DAMPAK PENETAPAN WBTB INDONESIA DALAM DAFTAR ICH UNESCO
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN DIKBUD PUSAT PENELITIAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
2017
ii
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan
Indonesia. Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan
Dampak Penetapan WBTB Indonesia dalam Daftar ICH UNESCO
Jakarta: Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan, Balitbang,
Kemendikbud, 2017 V, 64h
ISBN: 978-602-8613-86-6
1. Warisan Budaya Tak Benda
2. Penetapan ICH UNESCO
3. Budaya Noken dan Angklung
4. Muatan Lokal
I. JUDUL
II. PUSAT PENELITIAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN,
BALITBANG, KEMDIKBUD
III. SERI PENELITIAN KEBIJAKAN
Tim Penyusun : Damardjati Kun Marjanto, S.Sos.
Dra. Siti Dloyana Kusumah
Dr. Ade Makmur, M.Phil.
Ihya Ulumuddin, M.Si.
Linda Efaria, S.Pd.
Sri Merajiwaty Doenggio, S.E.
Tim Penyunting : Mikka Wildha Nurrochsyam, M.Hum.
Nur Berlian V. Ali, M.SE
PERNYATAAN HAK CIPTA
© Puslitjakdikbud/Copyright@2017
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan
Badan Penelitian dan Pengembangan, Kemendikbud
Gedung E, Lantai 19
Jalan Jenderal Sudirman-Senayan, Jakarta 10270
Telp. 021-5736365; Faks. 021-5741664
Website: https://litbang.kemdikbud.go.id
e-mail: [email protected]
Hak Cipta dilindungi Undang-undang. Diperbolehkan mengutip dengan menyebut sumber.
iii
KATA SAMBUTAN
Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan (Puslitjakdikbud),
Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang), Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan (Kemendikbud) pada Tahun 2017 menerbitkan Buku
Laporan Hasil Penelitian yang merupakan hasil kegiatan Tahun 2016.
Penerbitan Buku Laporan Hasil Penelitian ini dimaksudkan antara lain untuk
menyebarluaskan hasil penelitian kepada pihak-pihak yang berkepentingan
dan sebagai wujud akuntabilitas publik Puslitjakdikbud, Balitbang,
Kemendikbud, sesuai dengan Renstra Puslitjak Tahun 2016.
Buku Laporan Hasil Penelitian yang diterbitkan tahun ini terkait prioritas
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yaitu Bidang Guru dan Tenaga
Kependidikan; Bidang Pendidikan Anak Usia Dini, Pendidikan Dasar dan
Menengah, Pendidikan Masyarakat; dan Bidang Kebudayaan.
Kami menyambut gembira atas terbitnya Buku Laporan Hasil Penelitian ini
dan mengharapkan informasi hasil penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai
bahan rekomendasi bagi para pengambil kebijakan dan referensi bagi
pemangku kepentingan lainnya dalam rangka meningkatkan mutu pendidikan
nasional.
Kami menyampaikan apresiasi dan penghargaan serta mengucapkan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu terwujudnya penerbitan Buku
Laporan Hasil Penelitian ini.
Jakarta, Desember 2017
plt. Kepala Pusat,
Dr. Ir. Bastari, M.A.
NIP 196607301990011001
iv
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan
anugerahnya kami dapat menyelesaikan laporan penelitian tentang “Dampak
Pendaftaran WBTB Indonesia dalam daftar ICH UNESCO” dengan tepat
waktu. Penelitian ini penting dilakukan untuk melihat dampak terhadap
warisan budaya tak benda yang sudah terdaftar di ICH UNESCO, dalam hal
ini noken dan angklung. Selain dampak yang ditimbulkan sebagai akibat dari
terdaftarnya WBTB Noken dan Angklung tersebut dalam daftar ICH
UNESCO, penelitian ini terutama juga untuk melihat implementasi dari
rencana tindak yang telah disusun oleh negara pihak pada saat mengajukan
nominasi pendaftaran ke UNESCO. Implementasi rencana tindak tersebut
penting sebagai laporan periodik perkembangan WBTB yang sudah terdaftar.
Apabila rencana tindak tersebut tidak dilakukan, maka kemungkinan WBTB
yang sudah terdaftar akan dihapus dari daftar ICH UNESCO.
Hasil penelitian memperlihatkan implementasi rencana tindak sudah
dijalankan dengan baik walaupun ada beberapa yang belum berjalan dengan
semestinya. Sedangkan dampak yang ditimbulkan karena terdaftarnya WBTB
di ICH UNESCO menyangkut sektor pelestarian kebudayaan, pendidikan,
sosial, ekologi, ekonomi. Dampak tersebut sangat dirasakan oleh para pelaku
budaya WBTB noken dan angklung.
Tiada gading yang tak retak. Penelitian dan laporan ini masih jauh dari
sempurna. Untuk itu saran dan masukan dari pembaca sangat diharapkan. Atas
perhatiannya kami ucapkan terima kasih.
Jakarta, Desember 2017
Tim Peneliti
vi
DAFTAR ISI
KATA SAMBUTAN........…………………………………...………………. ii
KATA PENGANTAR......…………….....…………………………………. iii
BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………. 1
BAB II KAJIAN AWAL …………………………………...………………. 9
BAB III PELAKSANAAN RENCANA TINDAK ANGKLUNG
DAN NOKEN SEMENJAK TERDAFTAR DALAM
ICH UNESCO.................................................................................... 23
BAB IV ANALISIS DAMPAK PENETAPAN WBTB INDONESIA
DALAM DAFTAR ICH UNESCO …………………...……….….. 44
BAB V SIMPULAN, REKOMENDASI DAN USULAN
KEBIJAKAN………..................…………..……............................. 61
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………….……. 65
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagai bagian dari struktur Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), UNESCO
mengemban amanah untuk mengurusi pendidikan, ilmu pengetahuan, dan
kebudayaan. Dalam bidang kebudayaan, beberapa konvensi telah dihasilkan
oleh UNESCO sebagai upaya pelestarian kebudayaan yang menjadi tanggung
jawab institusi ini. Konvensi-konvensi tersebut adalah:
1. Protection of Cultural Property in the Event of Armed Conflict (1954)
2. Fighting Againts the Ilicit Trafficking of Cultural Property (1970)
3. Protection of the World Cultural and Natural Heritage (World
Heritage Convention) (1972)
4. Protection of the Underwater Cultural Heritage (2001)
5. Safeguarding of the Intangible Cultural Heritage (ICH) (2003)
6. Protection and Promotion of the Diversity of Cultural Expressions
(2005) (Arbi 2014).
Salah satu konvensi tersebut, yaitu Konvensi 2003 mengatur pelindungan
terhadap Warisan Budaya Takbenda (WBTB). Mengingat pentingnya
konvensi 2003 tersebut bagi pelestarian kebudayaan khususnya warisan
budaya takbenda, maka pemerintah Indonesia telah meratifikasi Konvensi
2003 melalui Peraturan Presiden No. 78, tertanggal 5 Juli 2007, dan menjadi
Negara Pihak Konvensi sejak 15 Januari 2008.
Menurut Konvensi 2003, yang dimaksud dengan warisan budaya takbenda
atau Intangible Cultural Heritage adalah:
“Segala praktik, representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan
– serta alat-alat, benda (alamiah), artefak dan ruang-ruang budaya
terkait dengannya—yang diakui oleh berbagai komunitas,
kelompok, dan dalam hal tertentu perseorangan sebagai bagian
warisan budaya mereka. Warisan Budaya Takbenda ini, yang
diwariskan dari generasi ke generasi, senantiasa diciptakan
kembali oleh berbagai komunitas dan kelompok sebagai tanggapan
mereka terhadap lingkungannya, interaksinya dengan alam, serta
2
sejarahnya, dan memberikan mereka rasa jati diri dan
keberlanjutan, untuk memajukan penghormatan keanekaragaman
budaya dan daya cipta insani”.
Ada 5 (lima) domain yang masuk dalam ketegori Warisan Budaya Takbenda
(WBTB) ICH UNESCO. Lima domain tersebut adalah:
a. Budaya lisan, termasuk bahasa
b. Seni pentas/ pertunjukan
c. Adat istiadat, perayaan, festival
d. Pengetahuan tentang alam dan semesta
e. Kemahiran kerajinan tradisional
Pasal 1 Konvensi 2003 UNESCO, menyatakan bahwa tujuan dikeluarkannya
konvensi ini adalah; a) melindungi warisan budaya takbenda; b) menjamin rasa
hormat terhadap warisan budaya takbenda milik berbagai komunitas,
kelompok, dan perseorangan yang bersangkutan; c)meningkatkan kesadaran,
baik pada tingkat lokal, nasional maupun internasional, akan pentingnya
warisan budaya takbenda, dan menjamin sikap saling menghargai terhadap
warisan budaya tersebut; d) menyediakan kerja sama dan bantuan
internasional.
Sebagai negara yang sudah meratifikasi Konvensi 2003 tersebut, Indonesia
memiliki kewajiban : Melindungi semua warisan budaya takbenda di Indonesia
melalui indentifikasi, inventarisasi (pencatatan warisan budaya takbenda),
penelitian, preservasi (menjaga dan memelihara); memajukan asal tidak
tercerabut dari akar budayanya; mentransmisikan budaya melalui pendidikan
usia dini (keluarga, kelompok bermain), pendidikan luar sekolah (sanggar,
perkumpulan, kursus-kursus), dan pendidikan formal (pendidikan dasar
sampai perguruan tinggi) serta melibatkan komunitas, kelompok sosial, dan
perseorangan.
Dalam Konvensi 2003, terdapat tiga katagori bagi bangsa-bangsa yang ingin
WBTB mereka terdaftar dalam daftar ICH UNESCO. Tiga daftar tersebut
adalah:
3
1. Daftar Representatif Budaya Takbenda Warisan Manusia
(Representatif List) (Pasal 16) – Formulir ICH-02.
2. Daftar Budaya Takbenda yang Memerlukan Perlindungan Mendesak
(Urgent Safeguarding) (Pasal 17) Formulir ICH-01
3. Daftar Cara dan Program yang terbaik yang mencerminkan tujuan dan
prinsip Konvensi (Best Practices) (Pasal 18) Formulir ICH-03
Sebagai negara pihak yang sudah meratifikasi Konvensi 2003 ini, salah satu
upaya pelindungan terhadap warisan budaya adalah mendaftarkan WBTB
Indonesia dalam daftar ICH UNESCO. Sampai saat ini, Indonesia sudah
berhasil menempatkan beberapa WBTB dalam daftar ICH UNESCO. WBTB
Indonesia yang sudah terdaftar tersebut adalah:
1. Wayang, terdaftar pada tahun 2003 dalam daftar Representatif List
2. Keris, terdaftar pada tahun 2005 dalam daftar Representatif List
3. Batik, terdaftar pada tahun 2009, dalam daftar Representatif List
4. Diklat Batik Pekalongan, terdaftar pada tahun 2009, dalam daftar Best
Practices
5. Angklung, terdaftar pada tahun 2010, dalam daftar Representatif List
6. Tari Saman, terdaftar pada tahun 2011, dalam daftar Urgent
Safeguarding
7. Noken, terdaftar pada tahun 2012, dalam daftar Urgent Safeguarding
8. Tari Tradisi Bali, terdaftar pada tahun 2015, dalam daftar Representatif
List
Tentu saja ada manfaat yang didapat dari pendaftaran WBTB dalam daftar ICH
UNESCO tersebut. Manfaat bagi bangsa yang mendaftarkan WBTB mereka
ke ICH UNESCO adalah sebagai berikut: 1. Menarik perhatian dunia pada
mata budaya yang terinskripsi dan daerah asalnya; 2. Memperkuat kesadaran
identitas budaya lokal; 3. Meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara
tentang warisan budaya yang bersangkutan, termasuk kesadaran untuk
melestarikannya melalui transmisi budaya dari generasi ke ke generasi. Khusus
untuk daftar yang memerlukan Perlindungan Mendesak (Urgent
Safeguarding), dapat disusun proyek pelestarian dan pengembangan, dengan
rancangan anggaran yang dibiayai bersama oleh semua pemangku
4
kepentingan, yakni Pemerintah, Pemerintah Provinsi, Pemerintah
Kabupaten/Kota, UNESCO, dan masyarakat itu sendiri.
Beberapa tugas dan fungsi Ditjen Kebudayaan, Kemdikbud adalah
pengelolaan warisan dan diplomasi budaya dan juga pelestarian nilai budaya.
Pendaftaran WBTB Indonesia ke ICH UNESCO merupakan upaya pemerintah
dalam mengelola warisan yang sarat dengan nilai nilai budaya sekaligus
sebagai sebagai upaya diplomasi budaya di tingkat dunia. Melalui pendaftaran
WBTB Indonesia ke UNESCO tersebut, dunia semakin mengenal keragaman
budaya bangsa Indonesia dan menghormati keragaman yang dimiliki bangsa
Indonesia. Nilai-nilai budaya yang terkandung dalam WBTB Indonesia dapat
menjadi cerminan karakter bangsa Indonesia yang dapat menjadi kebanggaan
bangsa dalam pergaulan di dunia.
Dalam Renstra Kemendikbud 2015-2019, khususnya dalam Rencana Induk
Nasional Pembangunan Kebudayaan, disebutkan bahwa salah satu Pilar
Pembangunan Kebudayaan adalah Pelestarian Sejarah dan Warisan Budaya.
Upaya pelestarian tersebut telah dilaksanakan melalui pendaftaran WBTB
Indonesia ke UNESCO. Upaya pelestarian tersebut tidak boleh berhenti pada
saat WBTB Indonesia tersebut telah terdaftar dalam Daftar ICH UNESCO.
Negara pihak mempunyai kewajiban untuk melakukan berbagai upaya untuk
pelestarian WBTB tersebut, khususnya action plan yang sudah dibuat sebagai
tindak lanjut dari terdaftarnya WBTB Indonesia tersebut ke daftar ICH
UNESCO. Implementasi dari action plan menjadi instrumen penting bagi
Sekretariat ICH UNESCO untuk menilai apakah WBTB yang sudah terdaftar
dapat terus dipertahankan dalam daftar ICH UNESCO. Penelitian ini menjadi
penting dilakukan untuk menghasilkan bahan perumusan kebijakan di bidang
kebudayaan, khususnya terhadap WBTB Indonesia yang sudah terdaftar di
UNESCO.
Sasaran RPJM 2015 – 2019 dan jabaran arah kebijakan serta strategi bidang
kebudayaan, khususnya pada sasaran ketiga adalah meningkatnya kualitas
pengelolaan dan apresiasi terhadap upaya pelindungan, pengembangan dan
pemanfaatan warisan budaya. Sedangkan salah satu strategi yang dijalankan
adalah sinergitas antara pemerintah pusat, daerah, masyarakat, dan dunia usaha
dalam pelestarian warisan budaya. Sebagai upaya pelestarian warisan budaya,
perlu langkah sinergitas seperti apa yang dipaparkan dalam strategi di atas bagi
WBTB Indonesia yang sudah terdaftar di UNESCO. Terkait dengan hal itu,
penelitian ini juga ingin melihat sejauh mana sinergitas antara pemerintah
5
pusat, daerah, masyarakat, dan dunia usaha dalam upaya pelestarian warisan
budaya yang sudah terdaftar di UNESCO tersebut.
B. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang terjadi dalam upaya pelestarian WBTB yang
sudah ditetapkan dalam daftar ICH UNESCO, mendasari pelaksanaan
penelitian ini. Permasalahan tersebut adalah:
1. WBTB Indonesia yang sudah terdaftar di UNESCO harus dibuatkan
laporan periodik tentang upaya pelestariannya. Laporan periodik
tersebut khususnya terkait dengan rencana tindak (action plan) yang
sudah disusun dalam berkas nominasi. Dalam rencana tindak tersebut
tergambar upaya apa saja dan oleh siapa saja pelestarian WBTB
tersebut akan dilakukan. Dengan laporan periodik tersebut, pihak
UNESCO dapat melihat upaya pelestarian yang sudah dilaksanakan
sesuai dengan komitmen dari negara pihak yang mendaftarkan WBTB
nya. Sanksi pencabutan dari daftar ICH UNESCO dimungkinkan
apabila negara pihak tidak melaksanakan upaya pelestarian.
2. Pendaftaran WBTB Indonesia ke UNESCO seyogyanya dapat
menghasilkan manfaat bagi WBTB dan pelaku budaya yang WBTB-
nya sudah didaftarkan. Manfaat terbesar sejatinya harus diperoleh para
pelaku budaya yang bersangkutan. Apabila para pelaku budaya
memperoleh manfaat dari pendaftaran WBTB ke UNESCO, maka
upaya pelestarian akan berjalan dengan semestinya.
3. Upaya pelestarian WBTB yang sudah terdaftar dalam ICH UNESCO,
tentu saja bukan pekerjaan yang mudah, apalagi bagi WBTB yang
termasuk dalam katagori yang memerlukan pelindungan yang
mendesak (urgent safeguarding), karena dikhawatirkan akan
mengalami kepunahan kalau tidak segera dilakukan upaya pelestarian.
Dari permasalahan seperti tersebut diatas, maka pertanyaan penelitian yang
dapat dikemukakan adalah:
1. Apakah rencana tindak sebagai upaya pelestarian WBTB yang terdaftar
di ICH Unesco sudah dilaksanakan oleh pemangku kepentingan?
2. Adakah dampak penetapan WBTB Indonesia dalam daftar ICH
UNESCO bagi WBTB dan para pelaku budaya?
6
C. Tujuan Penelitian
Beranjak dari pertanyaan penelitian diatas, maka tujuan penelitian ini adalah:
1. Mengetahui sejauh mana rencana tindak (action plan) yang sudah
disusun dilaksanakan oleh pemangku kepentingan baik di tingkat
pusat maupun daerah.
2. Mengetahui apakah penetapan dalam daftar UNESCO mempunyai
dampak bagi WBTB yang sudah terdaftar dan pelaku budaya WBTB
yang bersangkutan.
D. Fokus Penelitian
Terkait dengan realitas sosial budaya seperti itu, seberapa jauh kebijakan
penetapan warisan budaya dunia bagi perkembangan kebudayaan yang telah
dicatatkan itu, terutama bagi kebudayaan yang termasuk dalam kategori untuk
daftar yang memerlukan perlindungan mendesak, apakah penetapan itu telah
sejalan dengan maksud dan tujuan dari arah kebijakan tentang pelindungan
warisan budaya takbenda sebagaimana konvensi UNESCO tahun 2003, yang
terkait dengan upaya pelestarian dan pengembangan, melalui rancangan
anggaran yang dibiayai bersama oleh semua pemangku kepentingan, yakni
pemerintah, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, UNESCO dan
masyarakat itu sendiri.
Sehubungan dengan telah diimplementasikannya kebijakan tersebut,
tampaknya perlu dilakukan penelitian untuk mengevaluasi sejauh mana tujuan
kebijakan tersebut telah tercapai. Selain itu, juga mengidentifikasi efek dari
kebijakan tersebut, dan program yang berhubungan dengan pewarisan budaya
yang telah terdaftar dalam warisan budaya dunia. Penelitian ini, dilakukan
pada WBTB Indonesia yang telah diinskripsi pada Daftar UNESCO, yaitu:
1. Budaya Noken dinilai terancam karena fungsi dan nilai budayanya mulai
terdesak oleh modernisasi dan globalisasi, misalnya mengganti bahan baku
alami dengan benang dari nilon/manila, untuk mengatasi hal itu, telah
disusun rencana aksi pelindungan budaya Noken dengan melibatkan
komunitas dan juga pemerintah daerah.
2. Angklung, WBTB Indonesia yang masuk dalam daftar representative list
yang berarti bahwa warisan budaya tersebut masih berjalan dengan baik.
7
Kedua WBTB Indonesia tersebut (noken, dan angklung) merupakan WBTB
Indonesia dari tujuh WBTB yang sudah terdaftar dalam ICH UNESCO.
Pemilihan fokus penelitian pada WBTB noken, dan angklung didasarkan atas
pertimbangan bahwa kedua WBTB tersebut merupakan budaya pada
masyarakat tertentu, misalnya noken merupakan budaya masyarakat Papua.
Sedangkan angklung, walaupun di berbagai daerah ada, namun
perkembangannya lebih banyak terjadi dalam masyarakat Jawa Barat. Adapun
WBTB batik, keris, Wayang merupakan budaya masyarakat dari berbagai
daerah di Indonesia. Tahun-tahun mendatang apabila penelitian ini masih
dilanjutkan, maka perlu juga untuk melihat manfaat inskripsi dalam daftar
UNESCO terhadap batik, keris, dan wayang. Sebagai contoh tahun 2017
mungkin dapat dilakukan penelitian khusus tentang Batik, namun mengambil
lokasi di beberapa daerah sentra batik. Demikian seterusnya untuk keris dan
wayang.
E. Metode Penelitian
a. Pemilihan Informan
Informan yang akan diwawancarai merupakan individu yang memahami betul
budaya yang hendak diteliti dan mereka terlibat secara langsung dalam
kebudayaan tersebut (Spradley, 1987: 62-64). Dalam hal ini informan yang
dipilih adalah para pemangku kepentingan yang terkait dengan WBTB yang
sudah terdaftar di UNESCO dan para pelaku budaya dari WBTB yang sudah
terdaftar UNESCO tersebut. Dengan demikian, keterangan-keterangan yang
mereka sampaikan dapat dipercaya dan bisa dikonfirmasi melalui pengamatan
langsung di lapangan (observasi). Di samping itu, pemilihan informan juga
dilakukan dengan teknik snowballing (bola salju), di mana satu informan
merekomendasikan informan yang lain yang dianggap memiliki informasi
yang sepadan atau lebih luas (Endraswara, 2003: 239). Penelitian ini juga
menggunakan pendekatan kualitatif sebagaimana dikemukakan oleh Sadovnik
(2015), dalam penelitian ini peneliti yang menggunakan pendekatan kualitatif
mempelajari sesuatu dari lingkungan alamiahnya untuk berusaha memahami,
atau menafsirkan fenomena menurut makna yang dibawa oleh pelaku
kebijakan. Karena itu, untuk memperoleh data serupa itu dituntut informan
atau pelaku kebudayaan yang terkait dengan tujuan penelitian ini.
8
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan tiga cara, yaitu pengamatan,
wawancara, dan studi pustaka. Metode pengamatan dilakukan dengan cara
observasi berstruktur, di mana pengamatan dilakukan dengan menggunakan
panduan observasi. Hasil observasi dicatat dan dilengkapi dengan alat bantu
pengamatan berupa kamera foto (Bungin, 2010). Hasil pengamatan juga akan
dikonfirmasi melalui wawancara.
Wawancara merupakan upaya memperoleh informasi untuk tujuan penelitian
dengan cara tanya jawab langsung dengan informan baik menggunakan
pedoman wawancara maupun tidak (Bungin, 2010). Melalui metode ini
informasi mengenai berbagai upaya pelestarian terhadap WBTB yang sudah
terdaftar di UNESCO akan dapat tergali, serta manfaat dari penetapan WBTB
dalam Daftar UNESCO dapat diketahui.
Di samping dua cara pengumpulan data di atas, penelitian ini juga berupaya
memperoleh data melalui studi pustaka, baik pada awal proses atau tahapan
penelitian maupun sepanjang proses atau tahapan penelitian yang dilakukan,
dengan cara meneliti dan mencatat dokumen, baik dokumen pribadi maupun
dokumen resmi, serta data penunjang dari dokumen atau buku hasil penelitian
yang berkaitan. Dokumen pribadi adalah catatan yang dibuat oleh
perseorangan, dalam hal ini informan, dapat berupa buku harian, surat pribadi,
dan otobiografi. Sementara dokumen resmi adalah dokumen yang dimiliki
instansi tertentu, dapat berupa memo, pengumuman, instruksi, peraturan
daerah, dan lain-lain (Bungin, 2010).
c. Teknik Analisis Data
Dalam menganalisis data, peneliti menggunakan teknik analisis deskritif
kualitatif (Moleong, 2007). Metode ini dijalankan dengan mengklasifikasi data
yang terkumpul, dirangkai, dan dijelaskan menggunakan kalimat yang dipisah-
pisahkan menurut kategori untuk mendapatkan kesimpulan. Adapun tujuan
dari metode ini adalah untuk melukiskan secara sistematis, faktual dan akurat
mengenai faktor-faktor sifat serta hubungan antar fenomena yang diteliti.
9
BAB II
KAJIAN AWAL
A. Angklung
Angklung adalah alat musik bambu asli Indonesia yang sangat sederhana dan
sudah dikenal selama berabad-abad. Angklung terdiri dari 2-4 tabung bambu
hitam khusus terpasang pada rangka terbuat dari bambu putih dililit tali rotan.
Tabung bambu diraut dan dilaras oleh pengrajin ahli supaya berbunyi pada
nada tertentu bila rangka angklung digetarkan atau ditabuh. Satu angklung
hanya menghasilkan satu nada atau satu akord, sehingga banyak pemain yang
masing-masing pegang satu angklung perlu bekerjasama untuk memainkan
melodi lagu. Bermain angklung bersama terbukti mengembangkan kerjasama,
saling menghormati, disiplin, rasa seni dan lain-lain, antara para pemainnya
(living together), bahkan antara pemain dari lain suku dan bangsa sekalipun.
Angklung tradisional berlaras pentatonis, sedangkan angklung modern/
angklung padaeng berlaras diatonis. Angklung terkait erat dengan adat istiadat,
seni dan identitas budaya di Jawa Barat dan Banten, dan beberapa daerah lain.
Banyak nilai filosofis terkait dengan bentuk angklung. Angklung tradisional
dibunyikan pada hajatan, misalnya pada musim tanam padi sebagai tradisi agar
panen padi bagus, pada khitanan, dan lain-lain. Budaya angklung tradisional
diwariskan secara turun temurun, atau melalui pendidikan non-formal,
Sekarang, angklung padaeng banyak diajarkan pada segala jenjang pendidikan
dari TK sampai dengan perguruan tinggi, dan telah terbukti memberikan efek
positif dengan mengembangkan sifat baik tersebut pada siswa.
Angklung adalah alat musik bambu sangat sederhana asli Indonesia yang
sudah dikenal sejak abad ke-11. Kata “angklung” berasal dari bahasa Sunda
angkleung-angkleungan. Secara etimologis, kata “angklung” berasal dari kata
“angka” yang berarti nada, dan “lung” yang berarti pecah. 2-4 tabung bambu
hitam pilihan yang telah diraut dengan pisau tajam dan dilaras sampai
menghasilkan nada tertentu tergantung pada rangka berbentuk bujur sangkar
dengan pembatas antara masing-masing tabung, terbuat dari batang-batang
bambu putih diikat dengan lilitan tali rotan. Tonjolan di bagian bawah tabung
bergerak di dalam lobang penahan berbentuk segi empat panjang pada bambu
bawah yang menjadi alas rangka. Tabung nada akan berbunyi bila rangka
digetarkan atau ditabuh. 2 tabung Angklung dilaras pada nada yang sama, pada
oktav berbeda. Sebagian angklung 3 tabung juga demikian. Ada juga angklung
10
yang berisi 3 atau 4 tabung dengan nada yang berbeda, untuk menghasilkan
satu akord. Suara angklung oleh Udjo Ngalagena disebut musik alam – “the
music of nature”.
Banyak simbolisme dan nilai filosofis terkandung dalam bentuk angklung.
Misalnya, tabung besar dan tabung kecil melambangkan bahwa yang besar,
kuat dan kaya, harus selalu melindungi/mengayomi yang kecil, lemah dan
miskin. Tiap angklung mempunyai paling tidak dua tabung yang berbunyi. Ini
melambangkan bahwa manusia tidak boleh sendirian/egois, tetapi harus selalu
hidup bermasyarakat. Tabung-tabung tersusun dari kecil sampai besar. Ini
melambangkan bahwa setiap hari, manusia harus selalu berusaha menjadi lebih
baik daripada kemarin; juga bahwa ada orang yang diciptakan kecil, ada yang
besar, tetapi tidak ada yang perlu disesali karena itu semua takdir. Angklung
akan berbunyi dengan baik apabila tabung besar maupun kecil bergerak ke kiri
dan ke kanan pada waktu yang sama, dalam batasnya. Ini melambangkan
bahwa kalau semua orang sadar akan hak dan kewajibannya, kehidupan akan
harmonis. Tabung akan berbunyi bila menyentuh ancak ada bambu yang
menjadi dasar rangka. Ini melambangkan bahwa orang akan menjadi besar,
bersuara dan mempunyai karakter apabila dia tidak lupa pada jatidiri dan
budayanya, sedangkan kalau dia lupa, dia tidak akan menjadi apa-apa.
Angklung bertabung tiga melambangkan tritangtu, yang di Bali disebut
trihitakarana (berbuat baik dengan pikiran, badan dan kata-kata). Angklung
tradisional dengan tutup atasnya berbentuk lingkaran melambangkan
kosmologi, antara dunia atas dan pancasana atau dunia manusia. Pertemuan
kedua dunia ini dilambangkan oleh bunyinya angklung, yang dipercayai
menurunkan Dewi Sri ke dunia kita untuk menyuburkan tanaman. Ada pula
kepercayaan bahwa seperti kita harus berjejer rapi dan tidak boleh mendahuli
yang lain, seperti halnya tabung-tabung angklung berjejer rapi pada rangkanya.
Ada dua jenis angklung yaitu: angklung tradisional (pentatonis – laras
slendro): angklung Kanekes, angklung dogdog lojor, angklung gabrag,
angklung badeng, angklung buncis, calung. angklung modern (laras
diatonis/kromatis): angklung padaeng. angklung laras slendro, laras pelog dan
laras madenda (diciptakan oleh Udjo Ngalagena, sejak tahun 1965).
Keistimewaan angklung dibandingkan dengan semua alat musik lain di dunia
adalah bahwa setiap pemain memegang dan memainkan satu angklung yang
hanya menghasilkan satu nada (atau satu akord), sehingga untuk memainkan
lagu, harus ada kerjasama antara banyak pemain dalam orkesnya. Angklung
11
harus dimainkan secara masal. Ini membentuk kerjasama, dialog dan
persahabatan antara para pemain, sebagaimana dikonfirmasi oleh semua
responden penelitian. Angklung begitu sederhana, sehingga anak TK pun bisa
memainkannya. Orang dewasa, bahkan yang belum bisa memainkan alat
musik manapun, mudah sekali bermain angklung. Bermain angklung bersama
ini dapat mengembangkan persahabatan dan kerjasama antar bangsa di dunia.
Daeng Soetigna menyebutkan bahwa angklung memilik 5 sifat: murah, mudah,
massal, mendidik dan menarik.
Musik angklung tradisional dahulu dan bahkan sampai sekarang di beberapa
tempat (misalnya, angklung Kanekes di Baduy) dipakai sebagai sajian kepada
Nyi Sri Pohaci atau Dewi Sri (dewi padi), pada musim menanam padi (Mei
sampai dengan Juli), agar cuaca dan hujan baik sehingga penanaman padi
berhasil.
Pada tahun 1938, seorang guru musik bernama Daeng Soetigna (1908-1984)
mengembangkan angklung tradisional menjadi angklung diatonis/kromatis,
yang bisa dipakai untuk memainkan musik apa saja. Angklung diatonis ini
kemudian dikenal sebagai Angklung padaeng. Perkembangan ini sangat
memperluas dunia angklung. Angklung diakui sebagai alat pendidikan oleh SK
Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan No. 082 tahun 1968.
Angklung juga sering dipakai untuk jamuan diplomat pada berbagai
konperensi internasional. Sifat suaranya yang merdu dan alami, dan kebolehan
memainkan lagu dari negara manapun di dunia, turut menciptakan suasana
ramah dan kondusif pada konperensi, pertemuan atau hajatan lain. Bahkan
kadang-kadang, usai pertunjukan, para diplomat dan tamu lain diberikan
angklung dan pelajaran kilat, lalu langsung memainkan lagu bersama-sama.
Mungkin tidak ada alat musik lain di dunia yang sesederhana angklung dan
memungkinkan orang yang tidak mempunyai bakat musik sama sekalipun
langsung bisa memainkan lagu setelah belajar beberapa menit saja. Angklung
juga sering dipakai untuk diplomasi budaya. Beberapa KBRI, misalnya di
Genewa,Swiss, dan Paris, Perancis mempunyai grup angklung, dan sering
mengadakan pergelaran, termasuk mengajak diplomat mancanegara bermain
angklung bersama-sama.
Angklung Indonesia sangat pas masuk dalam katagori warisan budaya
takbenda/ICH UNESCO karena hampir semua domain dalam ICH UNESCO
ada dalam diri angklung Indonesia. Kelima domain tersebut:
12
(a) Tradisi dan Ekspresi Lisan
Cara pembelajaran angklung kebanyakan bersifat lisan/ tidak formal.
Masyarakat dari Kanekes, Baduy, melaporkan bahwa alat musik tradisional
bernama angklung Buhun di daerah mereka diwariskan kepada anak dengan
cara semua anak belajar dari orang tua. Para perajin angklung tradisional
belajar kerajinan membuat dan melaras angklung secara tidak formal di
sanggar
(b) Seni pertunjukan
Hampir semua tempat yang memiliki tradisi angklung selalu ada pergelaran
angklung. Konser angklung umumnya diadakan untuk hajat sekolah,
perlombaan, upacara di kantor pemerintah daerah, jamuan tamu. Bahkan sejak
Indonesia merdeka, angklung sering dipakai sebagai acara hiburan pada acara
kenegaraan. Anak-anak pemain angklung dari 33 Provinsi RI tergabung dalam
orkes Gita Bahari dengan berbusaha pakaian daerah masing-masing telah
pentas dalam acara perayaan HUT RI ke-33 di Istana Merdeka, Jakarta, pada
17/08/09.
(c) Adat istiadat, ritus dan perayaan
Prasasti Cibadak tahun 952 Saka atau 1031 dari daerah Sukabumi
menyebutkan bahwa Raja Sunda, Sri Jayabuphati, menggunakan seni
angklung dalam upcara keagamaan. Sastra Negarakertagama tahun 1359
(Pupuh L1:7) menerangkan penggunaan angklung sebagai media hiburan
dalam pesta penyambutan kerajaan. Diceriterakan bahwa pada waktu Hayam
Wuruk berkunjung ke daerah yang kini bernama Jawa Timur, disambut dengan
angklung yang dimainkan rakyat . Sultan Agung (abad ke-17) suka
mendengarkan musik angklung di istananya di Banten, dengan pemain
angklung dari Bali. Angklung dilarang pada zaman penjajahan kolonial, karena
angklung membangkitkan semangat rakyat untuk berontak melawan
penjajahan. Di beberapa daerah, misalnya di Badui, angklung hanya boleh
dibunyikan selama 3 bulan selama musim tanam padi (Juli-September), dan
selain itu, tidak boleh dibunyikan. Adapun, orang yang bermain angklung
buhun tradisional tersebut wajib berpakaian adat Badui, dengan celana dan
baju hitam, dan ikat kepada batik hitam dan biru khas Badui. Permainan
angklung buhun di daerah Kanekes/Badui adalah tradisi lama yang
dimaksudkan agar Nyi Sri Pohaci/ Dewi Sri (Dewi Padi) berkenan, sehingga
penanaman padi berhasil. Sedangkan di daerah Cigugur, Jawa Barat, angklung
13
tradisional bernama angklung buncis dimainkan pada waktu upacara syukuran
usai panen padi, dan juga untuk memeriahkan tanam padi dan khitanan di
daerah Ujung Berung, Bandung . Angklung badeng dikenal sebagai kesenian
di daerah Garut paling tidak sejak abad ke-17 sampai sekarang. Angklung
badud dikenal di daerah Cijulang, Ciamis, untuk syukuran panen padi.
Angklung bungko terdapat di desa Bungko antara Cirebon dan Indramayu,
sejak 600 tahun yang lalu sampai sekarang. Angklung gubrag di kampung
Cipining, Bogor digunakan sehubungan dengan penanaman, panen dan
penyimpanan padi.
(d) Pengetahuan dan kebiasaan perilaku mengenai alam dan semesta
Menurut pakar dan pengrajin angklung Handiman Diratmasasmita, angklung
terbuat dari bambu khusus pilihan, yang ditebang pada musim khusus
(ditandai oleh bunyi uir-uir (sejenis serangga, marga cicadidaem, pada awal
kemarau), dan dipersiapkan dengan cara khusus pula, agar suaranya bagus dan
agar awet sampai puluhan tahun dan tidak dimakan serangga. Awi hideung
atau bambu hitam (gigantochloa atroviolacia) dipakai untuk tabungnya dan
awi temen bambu ater (gigantochloa atter) atau bambu tali (gigantochloa
apus) untuk rangkanya, dililit dengan rotan (calamus pogonacanthis). Ada
upaya menanam jenis-jenis bambu khusus ini. Bambu tidak akan dipotong
sampai sudah beranak ke-3. Bambu dipotong tiga ruas di atas tanah, supaya
batang dan akar bambu yang dipotomg tidak mati dan masih bisa tumbuh dan
beranak lagi. Ini sesuai dengan prinsip konservasi tanaman. Angklung
tradisional di daerah Kanekes, (Badui) hanya dibunyikan selama 3 bulan
musim tanam padi, dalam upacara ngaseuk. Sedangkan di daerah Cigugur,
Jawa Barat, Angklung dibunyikan untuk syukuran panen padi. Nada-nada
angklung melambangkan hewan/burung tertentu.
(e) Kemahiran kerajinan tradisional
Bambu hitam pilihan (yang kadang-kadang telah direndam terlebih dahulu),
dikeringkan dan dipersiapkan sampai satu tahun atau lebih seperti yang
tersebut di atas, dipotong sesuai ukuran tabung yang dikehendaki untuk nada
tertentu. Kemudian tabung tersebut dibentuk dengan pisau raut yang tajam.
Tabung ditiup dan diketok, untuk mengetahui nada yang dihasilkannya, dan
dibandingkan dengan nada standar, dari saron kecil, seruling, atau nada
elektronik. Kalau nada terlalu rendah, ujung tabung dipotong sedikit. Kalau
nada terlalu tinggi, pinggiran tabung diraut sedikit. Bila nada sudah pas, tabung
dilobangi. Sementara, rangka telah disiapkan dari bambu putih. Tabung nada
14
(2, 3 atau 4) dipasang pada rangka. Semua langkah tersebut mulai dari
menebang bambu, pembuatan, pelarasan, sampai angklung jadi dikerjakan
dengan tangan menggunakan peralatan sederhana. Pengrajin lain mengakui
bahwa membuat dan melaras angklung adalah keahlian khusus yang
memerlukan pendengaran dan perasaan halus dan kesabaran tinggi, dan harus
dipelajari lama untuk dikuasai.
B. Noken
Noken merupakan kerajinan tangan semua warga suku bangsa di provinsi
Papua dan Papua Barat yang memiliki makna dan fungsi. Sebelum membahas
makna dan fungsi noken secara filosofi, budaya, sosial dan ekonomi, terlebih
dahulu kita akan melihat fungsi noken dalam kehidupan sehari-hari masyarakat
Papua.
Dalam kehidupan sehari-hari, khususnya pada masyarakat pedalaman,
misalnya di Paniai, Wamena, dan sebagainya, noken dapat berfungsi sebagai
tas, pakaian, ataupun penutup kepala (topi). Noken yang berfungsi sebagai
tas, biasanya terbuat dari rajutan atau anyaman serat pohon atau daun yang
kadang diwarnai dan diberi aneka hiasan.
Noken berukuran besar berfungsi untuk membawa hasil kebun, hasil laut,
kayu, bayi, hewan kecil, belanjaan, dan lain-lain. Noken juga digunakan
sebagai tempat penyimpan berbagai barang atau sebagai almari makanan.
Noken ukuran kecil berfungsi untuk membawa barang pribadi, seperti uang,
sirih pinang, makanan, buku dan lain-lain.
Selain berfungsi sebagai tas, noken dapat digunakan sebagai pakaian. Para
perempuan Papua, khususnya di daerah pedalaman menggunakan noken
sebagai pakaian mereka, baik sebagai baju maupun rok. Dengan berpakaian
noken, mereka merasa nyaman karena noken terbuat dari bahan alami sehingga
tidak terasa panas kalau dipakai. Selain dipakai sehari-hari seperti ke pasar,
kebun, atau tempat lain, pakaian noken juga dipakai perempuan Papua saat
menyambut tamu dari luar daerah. Dengan kata lain pakaian noken sekaligus
merupakan pakaian kebesaran dalam penyambutan tamu.
Di samping memiliki fungsi dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Papua,
Noken juga memiliki makna filosofi serta makna dan fungsi sosial, budaya,
dan ekonomi, sebagai berikut:
15
1. Makna Filosofi
a. Keselarasan dengan alam, kearifan lokal, dan konservasi lingkungan
Kehidupan masyarakat asli Papua tidak dapat dipisahkan dan bergantung pada
alam. Alam memberikan apa yang menjadi kebutuhan masyarakat. Sebaliknya
masyarakat memperlakukan alam secara arif dan berusaha untuk selalu hidup
harmoni dengan alam. Sebagian besar benda yang mereka kenakan berasal
dari sumber daya alam. Salah satu bukti keselarasan masyarakat dengan alam
adalah pemakaian noken untuk berbagai kebutuhan mereka.
Noken merupakan benda yang terbuat dari bahan alami yang berasal dari alam
sekitar, seperti kulit, serat, dan akar pohon. Pemakaian bahan alami tersebut
bukan tanpa maksud, bahan alami mudah didapat dan kuat. Akan tetapi yang
terpenting adalah apabila noken telah rusak, maka bahan alami tersebut akan
kembali menyatu dengan tanah dan tidak menimbulkam efek negatif seperti
pemakaian bahan sintetis. Jika bangsa Eropa dan Amerika saat ini mulai sadar
akan pentingnya penggunaan bahan alami untuk berbagai keperluan, maka
masyarakat Papua dengan nokennya, telah mempraktikkan cara hidup selaras
dengan alam sejak ratusan tahun lalu.
b. Lambang Kesuburan
Noken bagi perempuan Papua merupakan benda warisan budaya yang
memiliki makna yang dalam. Noken merupakan lambang kesuburan dan
kandungan perempuan. Filosofi ini identik dengan bentuk dan sifat noken
yang elastis menyesuaikan apa yang dibawanya seperti kandungan perempuan
yang elastis, dapat mengandung janin kecil hingga tumbuh besar dan siap
dilahirkan.
Selain itu, noken disebut sebagai lambang kesuburan. Pada jaman dahulu,
seorang gadis ketika menginjak usia akil baliq harus dapat merajut atau
menganyam noken. Dengan demikian noken juga dipakai sebagai penanda
bahwa gadis tersebut telah menginjak usia subur dan siap untuk disunting
laki-laki. Keterampilan membuat noken harus dikuasai oleh seorang gadis
sebelum dia melangsungkan pernikahan. Dalam budaya Papua, seorang gadis
yang belum mampu membuat noken, maka tidak ada jejaka yang mau
melamarnya. Dengan kata lain, keterampilan membuat noken menjadi isyarat
dari seorang gadis untuk siap dipinang. Keterampilan membuat noken menjadi
prasyarat bagi seorang gadis untuk melewati tahap lanjutan dalam siklus
hidupnya.
16
c. Lambang Keragaman Budaya Papua
Noken dapat juga dimaknai sebagai lambang keragaman masyarakat Papua.
Semua masyarakat Papua mengenal noken, dan mengetahui masing-masing
noken dari setiap di daerah Papua yang memiliki ciri khas, baik bentuk maupun
bahannya. Di berbagai daerah di Papua, noken memiliki keragaman dalam
bentuk, warna dan asesorisnya. Dari ukurannya, noken tersedia dari ukuran
kecil sampai besar. Dari sisi warna pun beragam, mulai yang polos sampai
berwarna-warna. Adapula noken yang diberi asesoris dari bulu burung
ataupun manik-manik, namun ada juga yang tanpa asesoris.
Dari segi bahan baku pembuatan noken, juga bermacam-macam sesuai dengan
tipologi daerahnya. Masyarakat Papua yang tinggal di daerah pantai cenderung
memakai bahan baku yang mudah didapat disekitar mereka, misalnya daun
pandan laut. Masyarakat di daerah ini memakai teknik pembuatan noken
dengan cara dianyam atau teknik pembuatan sistim anyam. Sedangkan
masyarakat Papua yang tinggal di daerah pedalaman mempergunakan bahan
baku dari kulit kayu, serat kayu ataupun akar pohon untuk membuat noken.
Masyarakat di daerah ini memakai teknik pembuatan noken dengan cara
dirajut atau teknik pembuatan sistem rajut.
Di Papua sendiri ada banyak istilah untuk menyebut noken, namun mereka
memiliki pemahaman yang sama terhadap makna dan fungsi noken ini.
Terdaftarnya noken sebagai Intangible Cultural Heritage (ICH) UNESCO
dalam daftar yang memerlukan perlindungan mendesak (Needs of Urgent
Safeguarding) kian mempererat rasa persatuan masyarakat di seluruh tanah
Papua. Noken semakin menjadi identitas kultural dan kebanggaan bersama
masyarakat Papua.
d. Pandangan Hidup
Noken melambangkan pandangan hidup dan jati diri masyarakat Papua.
Masyarakat memaknai noken sebagai sebuah warisan budaya yang
mencerminkan cita-cita terhadap kehidupan mereka di dunia ini. Dengan
noken, masyarakat mempunyai pemahaman yang baik terhadap alam dan
seisinya. Dalam kehidupannya, manusia Papua dapat bercermin dari
keberadaan sebuah noken. Secara filosofi, noken selalu diisi dengan hal-hal
yang baik, demikian pula masyarakat Papua selalu mengisi dirinya dengan hal-
hal yang baik. Melalui keberadaan noken, masyarakat Papua diingatkan untuk
17
senantiasa menjalin hubungan yang harmonis dengan alam dan memberikan
yang terbaik untuk sesamanya.
Noken juga melambangkan kemandirian, hal itu dicirikan dengan berbagai
benda yang dibawa dalam noken yang dapat dipakai untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Manusia noken adalah manusia yang
selalu bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup. Kemandirian yang
dimiliki oleh manusia noken tidak menjerumuskan mereka pada sikap egois
dan mementingkan diri sendiri. Justru dengan adanya berbagai barang di dalam
noken tersebut memberikan peluang kepada mereka untuk berbagi dengan
sesama. Dalam hal ini, noken dimaknai sebagai “rumah berjalan”, karena di
dalam sebuah noken berbagai kebutuhan yang menjamin kelangsungan hidup
dapat dipenuhi.
Noken juga merupakan bagian dari hidup masyarakat Papua. Hal itu tercermin
dari filosofi noken yang lentur dan menyatu dengan tubuh. Noken menjadi
kawan seiring yang tak terpisahkan dari manusia Papua. Mereka akan
membawa noken kemanapun mereka pergi baik ke kebun, ke pasar, bahkan
sekolah sekalipun. Kebiasaan tersebut sudah mendarah daging dilakukan
sejak kecil. Akibatnya, apabila dalam sebuah aktivitas mereka lupa membawa
noken, maka terasa ada sesuatu yang kurang dalam dirinya. Noken menjadi
simbol percaya diri, dengan menggunakan noken, rasa percaya diri akan timbul
dan keyakinan akan masa depan yang cerah telah menanti mereka.
e. Ikatan batin
Noken yang dikenakan oleh seorang anak akan menimbulkan ikatan batin
kepada orang tua maupun tanah kelahirannya. Dikatakan sebagai pengikat
batin anak-anak Papua dengan mama mereka, karena sang mamalah yang
selalu membuatkan noken khusus untuk anaknya. Selain itu, noken
perlambang ikatan batin dengan tanah kelahiran, karena noken terbuat dari
bahan alami di sekitar rumah atau kampung halaman mereka. Noken khusus
tersebut akan selalu dipakai untuk berbagai aktivitas oleh anaknya. Sering kali
terjadi, noken yang dibuat oleh mama-mama Papua untuk anak mereka dipakai
si anak semenjak kecil hingga masa dewasa. Hal itu menumbuhkan ikatan
batin yang kuat diantara anak dan mama mereka.
Anak-anak Papua yang sudah beranjak dewasa dan meneruskan pendidikan di
luar pulau Papua biasanya memakai noken untuk menumpahkan kerinduan
18
mereka pada sang mama dan tanah leluhurnya. Noken melekat di batin anak-
anak Papua karena mereka dikenalkan pada benda budaya tersebut sejak kecil.
Saat anak Papua lahir ke dunia, mereka sudah dikenalkan pada noken dengan
cara digendong memakai noken. Setelah mereka menginjak usia balita,
mereka akan ditidurkan atau ditaruh pada noken yang diikat pada pohon dan
diayun-ayunkan sampai tertidur pulas. Rangkaian peristiwa tersebut terus
diingat oleh manusia noken dan menjadi kenangan berkesan yang dibawa
sampai mati.
2. Makna dan Fungsi Sosial
Noken memiliki makna sosial dalam hubungan atau interaksi sosial diantara
sesama warga masyarakat, warga dengan pemimpinnya, serta warga satu
komunitas suku dengan warga komunitas suku lainnya. Noken dapat menjadi
indentitas sosial sebuah komunitas suku, karena noken mencirikan dari suku
mana seseorang berasal. Masyarakat Papua dapat dilihat asal usul suku
bangsanya hanya dengan melihat noken yang dikenakan atau dibawa, karena
setiap suku di Papua berbeda bentuk dan ciri khas nokennya.
Noken Asmat berbeda bentuk dan ciri khasnya dengan noken Wamena. Noken
Paniai berbeda dengan noken dari Biak, dan sebagainya. Noken disamping
memiliki makna sebagai identitas sukubangsa karena bentuk dan ciri khasnya,
juga dapat berfungsi sebagai ikatan sosial diantara satu suku yang ada di Papua.
Ketika satu warga bertemu dengan warga lainnya satu suku, mereka akan
saling mengenal dari noken yang dibawa atau dikenakannya.
Disamping bermakna dan berfungsi sebagai identitas dan ikatan sosial, noken
merupakan benda budaya yang memiliki makna sebagai penanda dari sebuah
stratifikasi atau status sosial dalam masyarakat. Sebagai sebuah penanda dari
status sosial di masyarakat, noken berfungsi untuk mengatur warga masyarakat
hidup dalam keteraturan dalam hubungan antara pemimpin dan yang
dipimpinnya. Melalui noken, seseorang dapat dilihat kedudukannya di
masyarakat, karena noken yang dikenakan oleh kepala suku berbeda dengan
noken yang dikenakan oleh warga biasa. Seseorang yang telah menggunakan
noken kepala suku harus dapat berperilaku layaknya seorang pemimpin yang
dapat mengayomi dan berlaku adil di masyarakatnya, sebaliknya warga
masyarakat yang menggunakan noken untuk kalangan rakyat biasa akan
mengetahui kedudukan mereka di dalam suatu komunitas suku. Tidaklah
mungkin akan terjadi seorang warga biasa mengenakan noken yang seharusnya
19
dipakai oleh kepala suku. Ada sebuah pemahaman yang baik dari warga terkait
kedudukan seseorang di masyarakat, dan itu disimbolkan dengan noken.
Melalui nokenlah kedudukan seseorang dapat teridentifikasi.
Noken dapat pula dimaknai sebagai simbol kebersamaan dan tolong menolong
karena melalui nokenlah seseorang memiliki sesuatu untuk dibagikan kepada
yang lain. Dengan berbagai benda yang ada di dalam noken, manusia Papua
dapat menolong sesamanya yang sedang membutuhkan. Selain sebagai simbol
sosial kesediaan untuk berbagi dengan sesama, noken juga mempunyai makna
sebuah pengakuan atas hak milik seseorang.
Masyarakat Papua sangat menghargai hak milik seseorang dan hati-hati
terhadap segala sesuatu benda yang menjadi hak milik orang lain. Benda-benda
yang terdapat di dalam noken, walaupun dapat terlihat dengan jelas oleh orang
lain karena memang dengan memakai noken memungkinkan orang lain untuk
melihat isi noken, namun mereka hanya dapat melihatnya saja karena mereka
menghormati benda-benda yang ada di dalam noken sebagai benda milik
seseorang dan tidak boleh diambil begitu saja oleh orang lain. Dengan
demikian, dapat diungkapkan bahwa manusia Papua sangat menghargai hak
milik bahkan ikut menjaga kepemilikan orang lain dengan tidak
menginginkan barang milik orang lain. Seringkali kejahatan terjadi karena
seseorang melihat orang lain memiliki sesuatu di depan mata mereka dan
memiliki kesempatan untuk mengambilnya. Hal itu tidak akan terjadi dalam
kehidupan masyarakat Papua. Noken mengingatkan mereka akan pentingnya
penghargaan terhadap kejujuran dan pengakuan atas kepemilikan suatu barang.
Noken juga dimaknai sebagai benda yang menandakan penghormatan yang
tinggi dari seseorang kepada lainnya. Noken dapat berfungsi sebagai benda
pemberian atau sebagai kenang-kenangan kepada seseorang yang dianggap
istimewa dan berjasa bagi si pemberi. Tamu yang datang ke Papua seringkali
dikalungi sebuah noken sebagai wujud penghormatan kepada tamu tersebut.
Tamu tersebut dipandang sebagai “raja” bagi masyarakat Papua yang
didatangi, sehingga benda budaya yang sepadan dan pantas untuk
menghormati kedatangan seorang “raja” tidak lain adalah noken. Tamu adalah
“raja”, dan dengan noken, manusia Papua mengidentifikasikan diri sebagai
seorang tuan rumah yang menyambut kedatangan tamu dengan penuh
penghormatan dan keakraban.
20
Noken juga berfungsi untuk memperkuat interaksi sosial diantara para mama
Papua pembuat noken. Di beberapa daerah, banyak dijumpai para mama
membuat noken bersama di suatu tempat. Hal itu sebetulnya untuk mengusir
rasa malas dan bosan apabila dikerjakan secara sendiri-sendiri. Dengan bekerja
bersama maka satu sama lain saling memberikan semangat apabila rasa bosan
mulai datang. Dengan demikian, mereka dapat menyelesaikan pekerjaan
membuat sebuah noken. Dalam kegiatan ini, tidak jarang berbagai percakapan
muncul, baik yang bernada keluhan ataupun cerita lainnya. Seringkali berbagai
problem kehidupan mama-mama Papua terpecahkan ketika mereka bersama-
sama membuat noken.
3. Makna dan Fungsi Budaya
Noken memiliki makna budaya yang dalam bagi masyarakat Papua. Secara
budaya noken merupakan benda warisan budaya yang diperoleh dari nenek
moyang mereka. Sebagai benda bermakna budaya tinggi, masyarakat Papua
berusaha untuk melestarikan keberadaan warisan budaya tersebut. Sedemikian
pentingnya makna budaya noken bagi masyarakat, sehingga berbagai aktivitas
budaya, seperti peminangan gadis, upacara perkawinan, inisiasi, pengangkatan
kepala suku dan sebagainya, harus menggunakan noken untuk mengesahkan
acara-acara adat tersebut. Dalam peminangan gadis dan upacara perkawinan,
noken berperan istimewa sebagai salah satu benda hantaran (mas kawin).
Noken juga dipakai sebagai tempat menaruh kain timor yang juga merupakan
syarat wajib dalam upacara perkawinan, khususnya pada suku Moi di Papua
Barat.
Noken menjadi simbol kedewasaan pada upacara inisiasi yaitu upacara adat
yang dilakukan dalam pergantian tingkat pada siklus hidup manusia. Misalnya
dari status anak-anak menuju status orang dewasa. Di beberapa daerah seperti
Kabupaten Paniai, noken menjadi syarat bagi seorang anak perempuan
maupun laki-laki untuk dapat diakui adat sebagai seorang dewasa. Untuk anak
perempuan, dengan telah diakuinya sebagai seorang yang sudah menginjak
usia dewasa, maka dia dapat melangsungkan perkawinan. Bagi seorang anak
laki-laki apabila sudah mempunyai status dewasa, maka dia berhak mengikuti
musyawarah atau rapat adat.
Noken juga merupakan benda adat prasyarat wajib dalam upacara penobatan
kepala suku. Pada cara penobatan kepala suku, noken dikenakan oleh tua-tua
21
adat kepada kepala suku terpilih dan terus dipakai oleh kepala suku terpilih.
Noken yang dikenakan oleh kepala suku memiliki ciri khas yang berbeda
dengan noken yang dipakai oleh rakyat kebanyakan. Dengan demikian, noken
dapat dimaknai sebagai simbol kepemimpinan yang di dalamnya mengandung
kewajiban dan tanggungjawab dari kepala suku tersebut. Dalam satu hal,
misalnya upacara-upacara adat, kepala suku mendapat keistimewaan, namun
dalam hal lain tanggungjawab kepala suku juga sangat besar, misalnya pada
saat terjadi konflik antar suku.
Sebagai sebuah benda warisan budaya, noken merupakan benda pusaka yang
harus dilestarikan. Sebagai benda pusaka, noken dapat disejajarkan dengan
benda pusaka warisan turun temurun lainnya, seperti tanah, rumah, binatang,
gading, kain timor, dan lain sebagainya. Noken sebagai benda pusaka berbeda
dengan noken yang dipakai sehari-hari. Noken jenis ini hanya dipakai bila ada
upacara-upacara tertentu.
Disamping sebagai benda pusaka, noken dapat berfungsi sebagai tempat
penyimpan benda pusaka, misalnya kulit biya, kain timor, manik-manik dan
sebagainya. Noken ini dibuat secara khusus oleh mama Papua, dengan kualitas
jenis yang baik dan tahan lama dibanding lainnya. Sebagai penyimpan benda
pusaka, noken jenis ini tidak dipergunakan dalam kegiatan sehari-hari.
Masyarakat Papua terdiri dari beratus-ratus suku bangsa yang mendiami suatu
tempat yang terkadang berdekatan satu dengan lainnya. Perbedaan suku
tersebut sering menyebabkan terjadinya pertentangan atau konflik diantara
kedua suku yang berbeda. Dalam suatu konflik yang terjadi, biasanya terdapat
kesepakatan tidak tertulis diantara kedua belah pihak bahwa untuk mengakhiri
konflik perlu diadakan sebuah upacara perdamaian. Konflik antar suku akan
terus terjadi apabila rantai pembunuhan belum terputus. Sebagai contoh,
apabila suku A bertikai dengan suku B, dan ada warga suku A yang terbunuh,
maka suku A akan menuntut balas terhadap nyawa warga yang sudah terbunuh
tersebut kepada suku B. Pembunuhan akan terus terjadi apabila belum ada
sebuah upacara adat. Disinilah noken menjadi benda warisan budaya yang
bermakna bagi sebuah perdamaian. Untuk melaksanakan upacara perdamaian,
benda adat yang harus ada adalah noken, babi dan kulit biya. Ketiga benda ini
harus ada dan tidak boleh salah satu benda tidak disertakan dalam upacara
perdamaian tersebut. Apabila ketiga benda tersebut sudah lengkap maka
upacara perdamaian dapat dianggap sah dan kedua suku yang bertikai akan
22
berdamai. Dengan demikian noken berfungsi sebagai penyeimbang dan
penyelaras kondisi komunitas suku-suku yang ada di Papua. Budaya
perdamaian yang disimbolkan, salah satunya dengan noken ini, akan dijaga
dengan kesungguhan oleh kedua belah pihak yang bertikai.
4. Makna dan Fungsi Ekonomi
Noken memiliki makna ekonomis bagi masyarakat Papua. Dengan noken
manusia Papua dapat memastikan terjaganya persediaan makanan dalam
keluarganya. Noken juga mengingatkan manusia Papua untuk selalu
menyediakan bahan makanan yang menjadi kebutuhan mereka sehari-hari.
Ketika bahan makanan yang terdapat dalam noken mulai menipis, maka
manusia Papua harus mengisi kembali nokennya tersebut, sehingga dapat
dikatakan bahwa noken dapat menjadi sebuah “sistim peringatan dini” akan
kelangsungan hidup mereka. Ubi, petatas, sagu, merupakan bahan makanan
yang selalu ada di dalam noken-noken yang tergantung di dapur rumah tangga
masyarakat Papua, dengan nokenlah ketahanan pangan masyarakat Papua tetap
terjaga.
Disamping menjaga ketersediaan makanan bagi masyarakat Papua, noken juga
memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi, sehingga bagi mama-mama Papua,
noken juga merupakan “tabungan” ketika mereka harus menyediakan sejumlah
uang untuk keperluan yang mendesak, misalnya menyekolahkan anak atau
mengirimkan sejumlah uang kepada anaknya yang sedang menuntut ilmu di
luar pulau Papua. Pada jaman dahulu, noken bahkan berfungsi sebagai alat
tukar atau barter, karena apabila ada warga yang membutuhkan barang tertentu
dapat diperoleh dengan menukarkan dengan sebuah noken. Dalam kaitan
sebagai benda adat, noken juga memiliki nilai ekonomis yang tinggi karena
selalu dibutuhkan oleh masyarakat Papua.
23
BAB III
PELAKSANAAN RENCANA TINDAK ANGKLUNG DAN NOKEN
SEMENJAK TERDAFTAR DALAM ICH UNESCO
A. Angklung
Penetapan Angklung dalam daftar ICH UNESCO pada tahun 2010
memberikan kepercayaan yang tinggi kepada komunitas angklung di
Indonesia, khususnya di Jawa Barat. Timbullah kesadaran dalam diri
masyarakat dan komunitas angklung bahwa warisan budaya takbenda yang
berujud angklung dapat diterima di dunia internasional. Kebanggaan terkait
identitas budaya tersebut melahirkan kesadaran bahwa angklung yang selama
ini menjadi warisan budaya yang lekat dalam diri masyarakat Sunda, ternyata
dapat diterima dengan baik oleh masyarakat internasional.
Kebanggan terhadap angklung sebagai warisan budaya takbenda milik bangsa
Indonesia, bukan saja dirasakan oleh masyarakat Sunda, namun beberapa
warga masyarakat di luar Jawa Barat juga merasakan kebanggaan dan ingin
memiliki dan memainkan angklung. Memang dalam formulir nominasi
disebutkan bahwa angklung diusung oleh 14 komunitas masyarakat di
Indonesia, misalnya di Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, Bali, NTB, dan
sebagainya. Saat ini diluar 14 daerah tersebut semakin banyak masyarakatnya
yang ingin memiliki angklung dan belajar memainkan angklung. Kebanggaan
bersama memiliki kebudayaan adiluhung berupa angklung tentu saja dapat
semakin merekatkan masyarakat Indonesia sebagai sebuah bangsa. Variasi
angklung dari berbagai daerah di Indonesia menumbuhkan sikap saling
menghormati dan menjunjung tinggi keanekaragaman budaya bangsa.
Perkembangan angklung dari jaman dahulu hingga sekarang sangat lekat
dengan berbagai inovasi dan kreativitas. Angklung tradisional atau angklung
pentatonis semisal angklung Kenekes, dogdog lojor, gubrag, badeng, buncis
dan sebagainya dipakai sebagai sarana upacara untuk menghormati Dewi Sri,
dewi kesuburan pada masyarakat petani di Pulau Jawa. Dalam perkembangan,
Daeng Sutigna mengkreasi angklung tradisional tersebut menjadi angklung
diatonis yang dapat dimainkan untuk berbagai komposisi dan lagu. Usaha
Daeng Sutigna tersebut diteruskan oleh Udjo Nalagena yang menjadikan
angklung semakin dapat diterima di berbagai kalangan, baik di dalam negeri
maupun luar negeri. Hal itu selaras dengan cita-cita Daeng Sutigna yang
mengharapkan angklung dapat menjadi alat perdamaian dunia. Perkembangan
24
angklung ternyata tidak berhenti sampai kepada angklung diatonik kreasi
Padaeng. Berbagai kreativitas dan inovasi terus dilakukan oleh komunitas
angklung. Kolaborasi angklung dengan berbagai tarian dan alat music
tradisional lainnya semakin marak diciptakan. Pembuatan angklung robot
(klungbot) diciptakan oleh akademisi dari ITB. Semua itu semakin
meneguhkan bahwa angklung dapat menjadi sarana penciptaan kreativitas dan
menimbulkan perasaan saling menghormati diantara komunitas angklung yang
ada.
1. Pelaksanaan Rencana Tindak Angklung
a. Pemerintah Pusat (Kemdikbud)
Berdasarkan laporan dari Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (WDB),
Ditjen Kebudayaan, Kemdikbud tentang Perkembangan Angklung semenjak
ditetapkan dalam Daftar ICH Unesco, ditulis oleh Irna, Staff Dit WDB,
menyatakan bahwa untuk mempromosikan fungsi warisan budaya takbenda
dalam masyarakat dan untuk mengintegrasikan perlindungannya ke dalam
program-program perencanaan, Kementerian mempunyai berbagai kegiatan
untuk mempertunjukkan dan mentransmisikan angklung pada seluruh
masyarakat Indonesia. Kegiatan tersebut mencakup seminar, pelatihan, dan
workshop yang membahas tentang upaya pelindungan warisan budaya
takbenda termasuk angklung. Kegiatan kegiatan tersebut dipublikasikan di
media massa. Pemerintah Pusat melalui Direktorat Warisan dan Diplomasi
menyelenggarakan kegiatan fasilitasi angklung yaitu: Festival Indonesia ke-4
diselenggarakan pada 19-20 Oktober 2013, di Penang, Malaysia, International
Folk and Dance Festival diselenggarakan pada 10-16 Desember 2013, di
Praha, Republik Ceko, Pelatihan/workshop kepada kelompok masyarakat
Indonesia, pelajar dan masyarakat Ceko serta pecinta Indonesia lainnya
diselenggarakan pada 1 April-28 Juni 2014, di Praha, Republik Ceko, Promosi
Budaya Indonesia di Montevideo diselenggarakan pada 7-15 Agustus 2014, di
Montevideo, Uruguay; Iguazu En Concierto 2015 25-30 Mei 2015, di Puero
Uguazu, Argentina; Pelatihan dan Pertunjukan angklung diselenggarakan pada
25 Juli-25 Agustus 2015, di Bratislava; 23th World Scout Jamboree Scout
Mondial Japan 2015: a Spirit of Unity diselenggarakan pada 27 Juli s.d 8
Agustus 2015,di Kirarahama dan Yamaguchi, Jepang; Fiesta de las Naciones
Penaflor diselenggarakan pada 6-12 Oktober 2015, di Santiago, Chile; Konser
Angklung oleh Saung Angklung Udjo diselenggarakan pada 25 November
2015, di Den Haag; Pelatihan angklung dan Resepsi Diplomatik HUT
25
Kemerdekaan RI ke-7110-21 diselenggarakan pada September 2016, New
Delhi; Promosi seni budaya Indonesia di Italia tahun 2016, yaitu: Festival dell’
Oriente a Napoli, Festival dell’ Oriente a Bari dan Resepsi Diplomatik
Peringatan HUT RI ke-71 diselenggarakan pada 23 September s.d 4 Oktober
2016, di Italia; dan Pelatihan dan Workshop Angklung serta Resepsi
Diplomatik diselenggarakan pada 28 Oktober 2016, di Praha, Ceko (Irna, TT).
Untuk menggiatkan frekuensi pertunjukan angklung. Fasilitasi itu untuk
memberikan kesempatan kepada komunitas angklung agar bisa perform dan
terus meningkatkan motivasinya dalam mengembangkan angklung. Fasilitasi
tersebut juga menjadi bagian dari promosi yang dilakukan pada tingkat
nasional maupun internasional oleh Pemerintah Pusat dan Daerah. Misalnya
Pemerintah daerah menyelenggarakan Pasanggiri Angklung Jawa Barat yang
diikuti oleh siswa tingkat SMP dan SMA dan kegiatan rekor bertajuk Angklung
For The World pemain angklung 10 ribu.
Selain program fasilitasi dan promosi tersebut, Kementerian juga mempunya
kegiatan Penetapan Warisan Budaya Takbenda untuk menjamin dan
mendorong kesadaran Pemerintah Daerah dalam upaya pelindungan warisan
budaya takbenda Indonesia pada skala nasional. Angklung telah ditetapkan
sebagai Warisan Budaya Takebenda pada tahun 2013 dengan nomor sertifikat
204780/MPK.F/DO/2013. Hingga tahun 2016 ini Kementerian melalui Subdit
Warisan Takebnda Benda telah menetapkan 444 karya budaya sebagai
Warsian Budaya Takbenda Indonesia. Kegiatan Penetapan merupakan
implimentasi dari Peraturan Menteri Nomor 106 Tahun 2013 tentang Warisan
Budaya Takbenda. Hasil Penetapan ini telah dipublikasikan melalui media
massa dan terbitan buku dan dipamerkan untuk tiap tahunnnya.
Untuk pengawalan terhadap kajian dan keilmuan warisan budaya takbenda
untuk pelindungan yang efektif, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kebijakan Pendidikan dan Kebudayaan
serta beberapa universitas dan institute melakukan riset terkait warisan budaya
takbenda yang telah masuk dalam daftar ICH list UNESCO. Pada tahun 2016
Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya menyelenggarakan Sarasehan
Keris di Solo, Noken di Jakarta, dan Angklung di Bandung.
Penelitian tentang Angklung, selain oleh pemerintah telah dilakukan oleh
peneliti, pengajar, dan peneliti di Pusat Penelitian universitas. Pada periode
setelah angklung masuk dalam daftar ICH UNESCO cenderung semakin
26
banyak kajian tentang Angklung, tidak hanya mengenai aspek pertunjukana,
tetapi juga mengenai aspek-aspek lainnya seperti sejarah, nilai budaya, nilai
religi, termasuk juga kesehatan. Penelitian-penelitian ini sangat penting artinya
bagi upaya pengembangan angklung. Salah satu terbitan hasil penelitian
angklung diterbitkan oleh Universitas Pendidikan Indonesia dengan Judul
Buku “ Angklung di Jawa Barat: Sebuah Perbandingan”. Hasil Penelitian
tersebut juga dapat menjadi bahan publikasi meskipun perlu dipublikasikan
secara luas karena sebagian besar hanya dapat diakses melalui perpustakaan-
perpustakaan universitas. Penelitian juga dilakukan oleh Pusat Penelitian
Kebijakan Pendidikan Kebudayaan Kemdikbud.
Selain riset, inventarisasi juga telah dilakukan terkait dengan jenis angklung,
persebaran, perbedaan dari jenis angklung, fungsi dari masing-masing jenis
angklung, ciri-ciri dari jenis angklung, dan contoh-contoh musik angklung.
Inventarisasi ini didokumentasikan dalam bentuk catatan, foto, dan video.
Namun sampai saat ini inventarisasi belum didokumentasikan secara
terstruktur, sehingga belum dapat digunakan sebagai bahan ajar. Meskipun
telah ada beberapa penelitian tentang angklung tetapi perlu adanya pendirian
lembaga riset angklung baik bihari maupun kiwari untuk memfokuskan bagi
pelestarian angklung.
Dengan kerjasama antar para peneliti diharapkan agar terbentuk kerjasama
integrasi untuk memperoleh data peta potensi dan sebaran angklung diatonis
dan pentatonis, data tentang angklung buhun, dan ensiklopedi angklung.
Ada beberapa program kegiatan yang efektif dan signifikan untuk mendorong
kesadaran generasi muda terkait dengan warisan budaya takbenda termasuk
angklung. Berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional Pasal 36 Ayat 2 dan 3, bahwa diversifikasi langsung
pendidikan sesuai dengan keragaman potensi lokal, serta pasal 37 menetapkan
muatan lokal dalam kurikulum pendidikan nasional. Muatan lokal ini dapat
diisi dengan bahasa dan budaya setempat. Upaya pengenalan angklung melalui
kurikulum muatan lokal sangat dibutuhkan bagi generasi muda yang semenjak
kecil tidak mengenal budaya angklung. Pewarisan budaya melalui pendidikan
formal dengan demikian sangat berperan besar dalam mempercepat proses
transmisi budaya Angklung. Pembuatan kurikulum angklung untuk sekolah
(SD, SMP, SMA) meskipun belum terselenggara tetapi telah diwacanakan.
kurikulum tersebut perlu ditunjang dengan buku pengayaan angklung terkait
27
nilai, makna dan fungsi, alat musik bagi sekolah-sekolah dan peningkatan
keterampilan guru angklung.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mulai tahun 1968 telah membuat
kebijakan terkait dengan bagiamana menumbuhkan kesadaran angklung bukan
hanya sebagai kesenian Sunda tetapi juga kesenian Indonesia yang diajarkan
di seluruh lembaga pendidikan. Upaya tersebut diwujudkan dengan terbitnya
SK Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 81 Tahun 1968
dengan menetapkan angklung sebagai alat pendidikan musik dalam
lingkungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kebijakan tersebut
perlu terus dilanjutkan tetapi kebijakan perlu ditinjau ulang agar dapat
diimplementasikan kepada pemerintah daerah terkait.
Angklung diharapkan segera masuk dalam silabus (kurikulum) sekolah-
sekolah di Provinsi Jawa Barat (Jabar) untuk memperkuat identitas budaya dan
pembangunan karakter siswa. Meskipun hal ini belum sepenuhnya terlaksana
tetapi para guru bersama Ketua Yayasan Saung Udjo telah membuat
rancangan silabus lengkap yang akan segera diusulkannya ke Pemprov agar
masuk dalam kurikulum sekolah. Pada kurikulum itu siswa akan dikenalkan
nilai, makna, dan fungsi angklung, teori musik angklung, notasi-notasi dan
laras agar siswa tumbuh menjadi generasi muda berkarakter, berpribadi santun
dan cinta budaya.
Regulasi Pemerintah Provinsi tentang pelestarian budaya angklung sebagai
WBTB UNESCO untuk pemerintah kabupaten/kota. Kebijakan pemerintah
terkait dengan pelestarian angklung telah dilakukan di mana pemerintah
daerah, di antaranya Pemerintah Jawa Barat bekerja sama dengan
Kemendikbud mendirikan Rumah Angklung. Selain itu, Pemerintah daerah
mengembangkan dan memelihara angklung berdasarkan Perda No. 15 Tahun
2014 tentang Perda Perubahan Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa Barat
Nomor 6 Tahun 2003 tentang Pemeliharaan Kesenian meskipun tidak secara
spesfik mengatur pelestarian angklung. Dengan Peraturan daerah ini kualitas
angklung sebagai warisan budaya takebenda menjadi semakin meningkat, dan
kuantitas peminat semakin bertambah sehingga permintaan angklung sebagai
alat semakin bertambah. Pemerintah daerah juga menyelenggarakan
Pasanggiri angklung Jawa Barat yang diikuti oleh siswa tingkat SMP dan SMA
dan kegiatan rekor bertajuk Angklung For The World pemain angklung 10 ribu.
28
Selain aktivitas latihan angklung bagi masyarakat yang ingin berlatih angklung
di Rumah Angklung. Program pelindungan angklung di beberapa daerah di
antaranya di Bandung Bandung at Saung Angklung Udjo. Dengan melibatkan
masyarakat setempat untuk membantu mempertahankan bambu sebagai bahan
baku pembuatan angklung. Di tempat ini, selain penanaman, pengunjung dan
masyarakat setempat juga diajarkan untuk membuat angklung, untuk
memahami filosofi, dan untuk memainkan angklung.
Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya bekerja sama dengan Balai
Pengembangan Kemitraan, Pelatihan Tenaga Kepariwisataan dan Kebudayaan
Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi Jawa Barat menyelenggarakan
kegiatan Sarasehan dan Perumusan Rencana Aksi “Revitalisasi Budaya
Angklung, Angklung Ti Bihari ka Kiwari”. Kegiatan ini merupakan bagian
dari serangkaian kegiatan Pengelolaan Warisan Budaya Takbenda yang
diampu oleh Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya. Kegiatan ini
mendukung pengelolaan terhadap Warisan Budaya Takbenda yang masuk
dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO. Sarasehan ini
mensosialisasikan tentang pentingnya pelestarian angklung sebagai tindak
lanjut dari angklung masuk dalam daftar Warisan Budaya Takbenda UNESCO
dan menyusun rumusan rencana tindakan (action plan) pelestarian angklung
sebagai bahan penyusunan laporan peridodik angklung.
Kegiatan ini diadakan pada tanggal 8-10 September 2016 di Bandung. Dalam
kegiatan tersebut ada dua kegiatan yaitu Sarasehan dengan peserta 60 orang
yang berasal dari masyarakat dan stakeholder (dinas, akademisi, dan
komunitas) serta kegiatan penyusunan rumusan rencana aksi pengelolaan
angklung oleh 20 orang tim perumus. Narasumber dan tim perumus yang akan
menyampaikan makalah dan yang terlibat dalam penyusunan perumusan
pelestarian angklung berasal dari berbagai profesi yaitu Direktorat Warisan
dan Diplomasi Budaya, Dinas-dinas terkait, Balai Pelestarian Nilai Budaya,
Akademisi, Yayasan/Sanggar/Seniman/Komunitas/ Pengrajin dan para
Budayawan pecinta angklung.
b. Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat
Semenjak ditetapkan dalam daftar ICH UNESCO pada tahun 2010, budaya
angklung semakin berkembang dengan pesat. Berbagai regulasi dikeluarkan
oleh pemerintah pusat dan daerah, khususnya Pemerintah Daerah Provinsi
29
Jawa Barat. Pemda Provinsi Jawa Barat membuat Rumah Angklung sebagai
sarana untuk pengembangan angklung, baik skala lokal, nasional, dan nantinya
diharapkan sampai pada level internasional. Berbagai even digelar oleh
Pemerintah Daerah untuk menyemarakkan budaya angklung. Bisa disebutkan
disini, misalnya Pasanggiri Angklung yang merupakan ajang tahunan
menampilkan pertunjukkan angklung dari seluruh kabupaten yang ada di
Provinsi Jawa Barat. Tahun depan sedang digagas antara pemerintah daerah
dengan komunitas angklung sebuah Pasanggiri tingkat nasional yang nantinya
dihadiri oleh berbagai komunitas angklung dari berbagai daerah di Indonesia
untuk menampilkan kebolehannya bermain angklung. Kegiatan Angklung Day
yang diselenggarakan setiap tanggal 20 November untuk memperingati
terdaftarnya Angklung pada daftar ICH UNESCO, merupakan ajang unjuk
kebolehan para pemain angklung yang tergabung dalam sanggar-sanggar baik
di sekolah-sekolah maupun di masyarakat. Kedua kegiatan ini hanyalah contoh
bagaimana pemerintah daerah berkolaborasi dengan komunitas angklung
untuk mengembangkan budaya angklung. Denga adanya kegiatan ini,
komunitas angklung semisal Sanggar Saung Angklung Udjo, maupun Bale
Angklung Bandung mendapatkan tugas untuk melakukan pembinaan terhadap
komunitas angklung yang ada di berbagai daerah di Provinsi Jawa Barat. Apa
yang dilakukan oleh pemerintah daerah tersebut merupakan sebuah stimuli
untuk pengembangan budaya angklung, karena sebenarnya yang banyak
berperan adalah komunitas angklung. Kesempatan tersebut tidak disia-siakan
oleh komunitas angklung yang ada di Jawa Barat.
Dalam hal transmisi budaya angklung hampir tidak terdapat kendala. Di
beberapa sekolah, angklung diajarkan dan dimainkan sebagai ekstrakurikuler.
Ke depan budaya angklung akan masuk dalam kurikulum sekolah. Kendala
yang nampak dari upaya memasukkan angklung dalam kurikulum di sekolah-
sekolah adalah belum semua sekolah memiliki alat musik Angklung, karena
harga seperangkat alat musik tersebut yang tidak murah. Kendala lain yang
nampak dalam upaya transmisi pengetahuan angklung di sekolah-sekolah
adalah semakin beratnya tuntutan kurikulum untuk berbagai pelajaran yang
ada, sehingga peserta didik sudah kehabisan waktu untuk bermain angklung.
Tuntutan orang tua untuk anaknya supaya berprestasi di bidang akademik,
menjadikan kesempatan untuk bermain angklung menjadi sangat berkurang.
Secara umum, ancaman yang lain dalam pengembangan budaya angklung
adalah tidak cukupnya bahan baku bambu yang berkualitas untuk pembuatan
30
seperangkat alat musik angklung. Pesanan yang banyak akan alat musik
angklung, baik dari dalam negeri maupun luar negeri menyebabkan pasokan
bahan baku menjadi kurang. Ke depan perlu gerakan penanaman bambu untuk
bahan baku angklung secara besar-besaran supaya pasokan tidak kurang dan
kualitas alat musik angklung tetap dapat dipertahankan.
c. Komunitas Angklung
Peran komunitas sangat penting bagi pelestarian sebuah warisan budaya
takbenda. Komunitaslah pihak yang langsung berhubungan dengan WBTB.
Kuatnya peran serta pemerintah tidak akan berarti apa-apa kalau komunitasnya
tidak bergerak untuk melakukan berbagai kegiatan yang menunjang upaya
pelestarian. Sebaliknya, walau pemerintah hanya memberikan sedikit stimuli
kalau komunitasnya aktif maka upaya pelestarian WBTB akan berjalan dengan
baik. Di Jawa Barat, terdapat banyak komunitas angklung yang sangat
berperan dalam upaya pelestarian budaya angklung. Komunitas tersebut antara
lain:
- Komunitas Angklung Ciptagelar: komunitas ini fokus melakukan upaya
pelestarian angklung tradisional (buhun) di Kasepuhan Ciptagelar. Ada
lebih 30 kegiatan adat atau upacara adat di Kasepuhan Ciptagelar yang
memerlukan kehadiran angklung buhun. Namun demikian tantangan
terbesar adalah proses transmisi angklung buhun dari generasi tua
kepada generasi muda. Ke depan komunitas ini sedang mengupayakan
bentuk-bentuk transmisi yang efektif dan variatif sehingga semakin
banyak anaka-anak yang akan memainkan angklung buhun.
- Sanggar Saung Angklung Udjo, sanggar angklung yang dipimpin Sam
Udjo ini merupakan garda terdepan dalam pelestarian angklung
Padaeng. Produksi angklungnya menjangkau hampir semua wilayah di
Indonesia dan berbagai negara di dunia. Sanggar tempat workshop
pembuatan angklung, pelatihan, penampilan angklung setiap minggu
didatangi tamu dari berbagai kalangan baik dalam negeri maupun luar
negeri. Saat ini bekerjasama dengan Dompet Duafa, Yayasan Kehati,
dan Honda Astra Motor sedang mengusahakan penanaman bambu di
Pegunungan Masigit, Cipatat.
- Bale angklung Bandung, komunitas ini melakukan kegiatan produksi
angklung yang dijual di dalam maupun di luar negeri. Selain itu
31
melakukan pelatihan dan penelaahan angklung. Komunitas yang
menghasilkan alat musik angklung dengan kualitas sangat baik ini
menjadi pembina bagi sanggar-sanggar angklung di berbagai daerah di
Jawa Barat. Bekerjasama dengan petani bambu di beberapa daerah di
Jawa Barat melakukan penanaman bambu dan memberikan pelatihan
terkait dengan penanaman, pemanenan, dan pemeliharaan bambu untuk
bahan alat musik angklung.
- Angklung Web Institut, merupakan komunitas yang kreatif
mendekatkan seni tradisional yang disebut angklung dengan masyarakat
perkotaan. Sekretariat komunitas ini adalah di Braga Citywalk, sebuah
pusat perbelanjaan modern di Kota Bandung. Workshop/pelatihan dan
penampilan angklung digelar di pusat perbelanjaan tersebut.
- KPA3, adalah komunitas yang terdiri dari alumni dan pecinta angklung
dari SMA 3 Bandung. KPA3 rutin mengadakan pelatihan ekstrakurikuler
bagi siswa SMA 3 Bandung. Berbagai kegiatan atau penampilan
angklung digelar bahkan dalam beberapa kesempatan bersama musisi
ternama Indonesia. Penampilan di luar negeri sering dilakukan dan
senantiasa menyabet gelar penampil terbaik.
- Rumah Angklung Indonesia Jakarta, komunitas ini merupakan
komunitas angklung yang memiliki sekretariat di Pusat Perbelanjaan
Modern Blok M. Berbagai kegiatan dilakukan, meliputi produksi
angklung, pelatihan dan penampilan orkes angklung/performance.
Komunitas yang didirikan sejak tahun 2011 ini banyak diminati warga
Jakarta yang ingin tahu, belajar, dan memainkan angklung.
- Kampung Angklung Ciamis, komunitas ini dicanangkan pada tahun
2013, dan ingin menjadikan kampung angklung Ciamis sebagai sentra
produksi angklung sekaligus menjadi kampung angklung Ciamis
sebagai destinasi pariwisata pendidikan dan budaya. Di kampung
angklung Ciamis ini, selalu ada workshop produski angklung juga ada
pelatihan bermain angklung bagi anak-anak SD dan masyarakat umum.
32
B. Noken
1. Pelaksanaan Rencana Tindak Noken
Semenjak Noken terdaftar dalam ICH UNESCO tahun 2012, berbagai kegiatan
dilakukan baik oleh pemerintah maupun komunitas noken. Dalam periode
pelaporan 2012-2016, berbagai kegiatan dilakukan untuk menjaga
kelangsungan hidup budaya noken. Kegiatan tersebut sesuai dengan rencana
tindak yang sudah disampaikan dalam Formulir Nominasi Noken, antara lain:
a. Inventarisasi Warisan Budaya Noken
Inventarisasi Warisan Budaya Noken perlu dilakukan untuk memperkaya
informasi tentang Noken dari 7 wilayah adat baik di Provinsi Papua maupun
di Provinsi Papua Barat. Inventarisasi Warisan Budaya Noken meliputi
pencatatan hal-hal yang berkaitan dengan penamaan noken dari berbagai
daerah, cara pembuatan, bahan baku alami, bahan pewarna alami, bentuk dan
fungsi noken, makna simbolis, perajin, dan maestro dari berbagai daerah di
Papua dan Papua Barat. Riset sebagai bagian dari kegiatan inventarisasi
dilakukan dengan cara wawancara langsung dengan perajin dan narasumber
lainnya. Informasi yang akurat terkait dengan perajin dan narasumber serta
berbagai aktivitas yang terkait dengan noken penting digunakan sebagai basis
data untuk kegiatan pelestarian noken selanjutnya. Inventarisasi dilakukan
secara bertahap dan berkala mengingat luasnya wilayah di Papua dan Papua
Barat. Komunitas noken juga dapat diberdayakan dan diberi pelatihan untuk
ikut serta dalam pengumpulan data tentang warisan budaya milik mereka
sendiri. Bulan Juli, tahun 2016 dilakukan kegiatan inventarisasi budaya noken
oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua, dan Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Provinsi Papua Barat.
b. Pembuatan Bahan Ajar Noken, Berupa Buku, CD/DVD interaktif dan
Poster
Salah satu media untuk mentransmisikan pengetahuan tentang berbagai nilai
budaya, fungsi, dan simbolisasi dari noken dan juga cara pembuatan Noken
adalah adanya buku bahan ajar. Beranjak dari kepentingan tersebut, setelah
noken ditetapkan sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO, pada
tahun Juni 2013 diterbitkanlah Buku Modul Pembuatan Noken untuk PAUD,
SMP, dan SMA/SMK oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
33
Penerbitan Modul pembelajaran tersebut ditindaklanjuti dengan sosialisasi
modul tersebut kepada para perajin, pemerhati noken, budayawan, guru-guru
sekolah, maupun para murid. Kegiatan sosialisasi dilakukan di Kota Jayapura
sebagai ibukota Provinsi Papua, dan Kota Manokwari sebagai ibukota Provinsi
Papua Barat.Buku tersebut selanjutnya dibagikan ke berbagai Kabupaten/kota
yang ada di masing-masing provinsi tersebut. Upaya ini dilakukan untuk
mempercepat proses transmisi pengetahuan kepada anak didik, dan pengenalan
bagi generasi muda di Papua dan Papua Barat yang sebelumnya tidak
mengenal noken.
Pembuatan buku tentang noken sebelumnya sudah dilakukan oleh Yayasan
Ekologi Papua bekerjasama dengan Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata
pada tahun 2012. Buku ini mengupas tentang berbagai informasi seputar noken
sebagai warisan budaya masyarakat Papua. Buku yang berjudul “Noken:
Cermin Masyarakat Papua” ini banyak bercerita tentang noken sebagai sebuah
budaya yang melekat pada diri orang Papua. Buku ini lebih diperuntukkan bagi
kalangan akademisi dibandingkan dengan kalangan anak-anak sekolah dan
juga guru sekolah dasar dan menengah. Namun sebagai bahan bacaan untuk
mendalami budaya noken, buku ini cukup representative untuk dibaca. Selain
menerbitkan buku, pada tahun 2015, Yayasan Ekologi Papua juga menerbitkan
kalender noken yang sekaligus dapat difungsikan sebagai poster.
c. Memasukkan Noken kedalam Kurikulum Sekolah sebagai Muatan
Lokal
Setelah tersedianya modul pembelajaran noken, maka kegiatan selanjutnya
diteruskan oleh Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua dengan
memasukkan pelajaran tentang noken dalam muatan lokal. Tahun ini sudah
disetujui bahwa noken masuk muatan lokal di Provinsi Papua. Dinas
Pendidikan dan Kebudayaan saat ini sedang mengupayakan dana otonomi
khusus Papua sebagian digunakan untuk pelestarian kebudayaan, khususnya
untuk pelestarian noken. Dengan dana tersebut akan dibangun galeri noken di
5 wilayah adat Papua. Saat ini yang menjadi proyek percontohan adalah
wilayah adat Mepago yang dipusatkan di Kabupaten Nabire. Pembangunan
galeri noken ini nantinya diharapkan dapat seiring dengan pelaksanaan muatan
lokal. Nantinya murid-murid yang belajar tentang noken dapat langsung
praktik cara pembuatan noken di galeri noken tersebut.
34
Proses tranmisi pengetahuan yang terjadi dalam kehidupan sehari hari adalah
seorang gadis remaja belajar membuat noken secara nonformal dari ibu atau
neneknya sendiri. Selama ini, inilah cara transmisi budaya noken secara
alamiah dari generasi ke generasi. Noken diperkenalkan kepada anak-anak
ketika seorang mama-mama menggendong bayinya dengan noken. Itulah
pertama kali seorang anak mengenal noken. Ketika sang anak sudah bisa
berjalan, mama-mama memakaikan noken kepada anaknya, baik yang laki-laki
maupun perempuan. Dengan demikian kebiasaan memakai noken
ditransmisikan kepada generasi berikut sejak usia dini. Saat ini kehidupan yang
seperti itu, khususnya di daerah perkotaan sudah mulai luntur. Untuk itu upaya
pengenalan noken melalui kurikulum muatan lokal sungguh sangat dibutuhkan
bagi generasi muda yang semenjak kecil tidak mengenal budaya noken.
Beberapa anak didik yang ditemui mengaku mereka mengenal noken di
sekolah. Cara transmisi dalam konteks pendidikan formal dengan demikian
sangat berperan besar dalam mentransmisikan budaya noken kepada generasi
muda.
d. Pelatihan Noken Melalui Sanggar-sanggar (Pilot Proyek)
Sanggar-sanggar noken merupakan ujung tombak bagi upaya pelestarian
noken dan menjaga noken dari kepunahan. Salah satu upaya pelindungan yang
ada dalam berkas nominasi noken yaitu mulai memberikan pembinaan dan
bantuan kepada para perajin noken, supaya mereka bersemangat. Bantuan
tersebut diberikan melalui sanggar-sanggar. Demikian juga telah ada upaya
dari masyarakat sendiri untuk melestarikan budaya noken. Upaya tersebut
antara lain melalui sanggar-sanggar perajin noken. Ada beberapa sanggar-
sanggar kecil di Sentani Barat, Epouto (Paniai), Biak, Wamena, Mokwam (file
nominasi poin 2 paragraf 2). Sanggar-sanggar di berbagai daerah menjadi
tempat yang srategis dalam menghidupkan kembali budaya noken yang
sebelumnya mulai terancam kepunahan. Ha itu disadari oleh para pemangku
kepentingan yang berada di provinsi maupun kabupaten/kota yang ada di
Papua maupun Papua Barat. Mereka memaksimalkan keberadaan sanggar-
sanggar yang sudah ada, memberikan pelatihan kepada mama-mama perajin
noken untuk meningkatkan kemahiran dan kehalusan anyaman dan rajutan
noken yang mereka buat.
Di kota Jayapura, perkembangan sanggar perajin noken sangat pesat. Mama-
mama yang berasal dari berbagai daerah dan saat ini tinggal di Kota Jayapura
35
membentuk sanggar-sanggar noken. Saat ini jumlah perajin di dalam sanggar
mereka setiap hari semakin bertambah jumlah perajinnya. Mereka diberi
berbagai pelatihan. Pada bulan Mei 2016, Kementerian Perindustrian
bekerjasama dengan Dinas Perindag Provinsi Papua menyelenggarakan
bimbingan teknis peningkatan kapasitas mama-mama perajin noken Papua.
Mereka diberi pelatihan dalam hal diversifikasi produk noken sehingga lebih
menarik untuk para pembeli. Disamping itu, pada bulan dan tahun yang sama,
Badan Ekonomi Kreatif bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif Provinsi Papua menyelenggarakan pelatihan inovasi produk noken
serta pelatihan pembuatan noken sebagai salah satu souvenir khas Papua.
Diharapkan noken dapat diterima sebagai souvenir bagi tamu-tamu hotel atau
wisatawan yang datang ke Papua.
e. Revitalisasi Budaya Noken dalam Masyarakat (Kerjasama dengan
Lembaga-Lembaga Adat Papua)
Lembaga adat di masyarakat Papua masih memegang peran yang strategis
dalam upaya pelestarian kebudayaan. Sama seperti halnya budaya noken,
upaya pelestarian dan pelindungannya sangat efektif apabila dilakukan atau
didukung sepenuhnya oleh lembaga-lembaga adat. Di Jayapura sendiri ada
paling tidak 14 sanggar noken yang aktif melakukan kegiatannya. Sanggar-
sanggar ini berafiliasi dengan lembaga-lembaga adat di daerah asal mereka.
Misalnya Sanggar Iwin Karudu merupakan sanggar yang para perajinnya
berasal dari Kabupaten Serui. Mereka mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan lembaga adat Serui yang ada di Kabupaten Serui. Melalui kegiatan
noken pelan namun pasti geliat kehidupan budaya noken dalam masyarakat
menjadi cerah kembali. Baik masyarakat Serui di kampung halaman, maupun
masyarakat Serui yang ada di Kota Jayapura sama-sama semakin bergairah
dalam beraktivitas terkait dengan budaya noken. Lembaga adat Serui
mempersatukan mama-mama perajin noken dan menghidupkan kembali
budaya noken dalam masyarakatnya.
Dewan Adat Daerah Hubula di Kabupaten Wamena memberikan perhatian
yang besar terhadap kemajuan noken di Papua. Melalui lembaga adat ini,
masyarakat Papua yang berasal dari Wamena yang tinggal di Kota Jayapura
dapat terus berhubungan dengan perajin noken yang ada di Kabaupaten
Wamena. Seringkali bahan baku noken yang didatangkan dari pegunungan
Wamena, mengingat bahan baku tersebut sangat susah ditemukan di Kota
36
Jayapura. Kehidupan budaya Noken menjadi lebih semarak karena adanya
hubungan yang baik antara perajin yang ada di Kota Jayapura dan perajin yang
ada di Kabupaten Wamena. Di sinilah peran lembaga adat dalam
menghidupkan kembali budaya noken.
f. Promosi Karya Budaya Noken oleh Pemerintah Daerah melalui
Pameran, Festival dan lain-lainnya.
Pemerintah daerah baik Pemerintah Provinsi Papua maupun Provinsi Papua
Barat gencar melakukan promosi dalam bentuk pameran, festival, dan lain
sebagainya. Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dan Dinas Perindag
memberikan fasilitasi untuk para perajin memamerkan hasil kerajinan noken
di berbagai kegiatan, baik di Papua sendiri maupun di berbagai daerah di
seluruh Indonesia, bahkan sampai ke luar negeri. Mengikuti berbagai festival
untuk produk kerajinan khas unggulan daerah, sudah dilakukan oleh mama-
mama perajin noken. Itu semua menambah semangat para mama Papua perajin
noken untuk terus menggeluti kerajinan noken, dan memiliki kebanggan
kembali bahwa noken sangat diperhitungkan dalam kancah kerajinan di
Nusantara
2. Beberapa Kegiatan yang Dilakukan oleh Pemangku Kepentingan dan
Komunitas Noken
a. Kegiatan Noken di Tingkat Pusat:
- Tanggal 17 Desember 2012, setelah penetapan noken dalam daftar ICH
Unesco tanggal 4 Desember 2012, Mengko Kesra, Agung Laksono
didampingi Wamendikbud Wiendhu Nuryanti mengadakan kunjungan
ke Papua untuk mensosialisasikan noken sebagai warisan budaya
takbenda dalam daftar ICH UNESCO. Sosialisasi mengikutsertakan juga
Titus Pikei dari Lembaga Ekologi Papua dalam acara talkshow di Studio
Papua TV. Menko Kesra dan Wamendikbud menyampaikan selamat
Noken menjadi warisan dunia, dan mengingatkan untuk terus merawat
noken dalam kaitannya dengan upaya tindak lanjut pelestarian noken dan
upaya keluar dari krisis ekologi Papua, mengingat bahan baku noken
yang berasal dari alam terkait dengan keragaman hayati Papua dan
kelangsungan ekologinya. Sosialisasi Noken sebagai WBTB di Papua
oleh Menko kesra dan Wamendikbud
37
- 25 Oktober 2013, Dit INDB, Ditjen Kebudayaan, Kemdikbud
mengadakan Seminar Nasional dengan tema “ Penetapan Noken Sebagai
Warisan Budaya Takbenda”, di Hotel Milenium Jakarta Pusat.
- Tanggal 20 Desember 2014, diadakan Seminar Nasional “Anyam Noken
Kehidupan: Keadilan, Perdamaian, dan Keamanan Papua menurut
Perempuan”. Seminar Nasional yang menghadirkan Menteri
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Yohana Yembesi
tersebut diselenggarakan atas kerjasama Program Pascasarjana UI
dengan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(KOMNAS PEREMPUAN).
- Pada bulan Juni 2015, Sajogyo Institut bersama dengan Program Studi
Kajian Gender Program Pascasarjana UI dan Mongabay serta didukung
oleh Asia Foundation menggelar diskusi publik bertajuk “Mendorong
Kepemimpinan Perempuan Mengurus Krisis Sosial-Ekologi di
Nusantara”. Noken sebagai salah satu upaya pelestarian ekologi dan
pemberdayaan gender menjadi salah satu rujukan dalam acara seminar
tersebut.
b. Kegiatan di Tingkat Daerah
Pemerintah Daerah Provinsi Papua bersama dengan SKPD, dan juga LSM
yang ada telah melakukan berbagai kegiatan terkait dengan upaya pelestarian
Noken yang sudah ditetapkan dalam daftar ICH Unseco sebagai Warisan
Budaya yang memerlukan pelindungan mendesak (Urgent Need of
Safeguarding). Beberapa SKPD yang terlibat dalam upaya pelestarian
(Pengembangan, Pelindungan, dan Pemanfaatan) noken adalah sebagai
berikut:
- Kebijakan Pemda Provinsi Papua terkait kebudayaan Papua
tertuang dalam Peraturan Daerah Provinsi Papua No. 16 tahun
2008, tentang Perlindungan dan Pembinaan Kebudayaan Asli
- Peraturan Daerah Khusus Daerah Provinsi Papua No. 19 tahun
2008 tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual Orang Asli Papua.
- Melalui Instruksi Gubernur Papua nomor 3/INSTR-GUB/Tahun
2014, diatur penggunaan tas noken bagi seluruh PNS di Papua, pada
setiap hari Kamis dan Jumat.
- Pemerintah Daerah Provinsi Papua menetapkan Hari Noken jatuh
pada setiap tanggal 4 Desember. Peringatan Hari Noken I pada tanggal
38
4-6 Desember 2013 dilaksanakan di Auditorium Uncen Abepura
mengusung tema : “Gerakan Cinta Noken Papua Warisan Budaya
Dunia”. Dibuka oleh Gubernur Papua Lukas Enembe. Beberapa agenda
acara disertakan diantaranya pameran, seminar, diskusi, pentas budaya,
dan lomba merajut noken bagi mama-mama Papua. Dalam seminar Hari
Noken I telah menegaskan pentingnya hidup untuk saling menghargai
dalam menjawab krisis ekologi untuk menanam bahan baku di alam
sekitarnya agar budaya noken tetap hidup.
- Peringatan Hari Noken II dilaksanakan pada tanggal 16 Desember 2014,
dengan tema: “ Mari Merajut Bersama Warisan Budaya Dunia” dan
Subtema: “Satu Noken Papua Menganyam Multietnis di Tanah Ini, Demi
Ketahanan Budaya, Bangkit, Mandiri, dan Sejahtera.” Acara ini
dilangsungkan di Kantor Majelis Rakyat Papua (MRP), dihadiri oleh
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia.
- Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua:
- Sebagai SKPD yang mengurusi bidang kebudayaan, dinas ini
berusaha untuk melakukan upaya pelestarian kebudayaan,
khususnya noken secara lebih sistemik. Pembenahan regulasi
terkait dengan dana Otonomi Khusus (Otsus) menjadi perhatian
dari Dinas Dikbud provinsi ini. Hal itu dilakukan dengan cara
mengusahakan dana Otsus untuk kebudayaan. Saat ini dana otsus
tidak ada sedikitpun yang dialokasikan untuk kebudayaan. Saat ini
pembahasan dengan DPRD Papua terus dilakukan terkait dengan
dana Otsus untuk kebudayaan tersebut.
- Mendukung berbagai kegiatan yang dilakukan oleh instansi lain
maupun komunitas noken, misalnya pelaksanaan HUT noken yang
dilakukan sejak tahun 2013, setiap tanggal 4 Desember.
- Mensosialisasikan instruksi Gubernur Papua tentang pemakaian
noken sebagai tas ke kantor bagi para PNS, ke kabupaten-
kabupaten yang ada di Provinsi Papua
- Memfasilitasi pendirian galeri noken di 5 wilayah adat Papua.
Tahun ini direncanakan pendirian galeri di wilayah adat Mepago
yang terdiri dari 5 kabupaten. rencananya akan didirikan di
Kabupaten Nabire.
- Mengusahakan noken masuk dalam muatan lokal di Papua.
39
- Dinas Perindag (Perindustrian dan Perdagangan) Provinsi
Papua:
- Bekerjasama dengan Kementerian Perindustrian mengadakan
bimbingan teknis peningkatan kreativitas perajin noken di
Jayapura, tahun 2016.
- Tahun 2016, Bimtek untuk perajin noken di Kabupaten Paniai
sekaligus bantuan alat pintal untuk mengolah bahan baku menjadi
benang.
- Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif:
- Mulai tahun 2013 melakukan pembinaan sanggar-sanggar Noken
yang ada di Kota Jayapura. Semenjak ditetapkannya Noken sebagai
warisan budaya takbenda dunia, semakin banyak mama-mama
Papua yang kembali merajut dan menganyam noken. Sebelum
ditetapkan sangat sulit mencari sanggar-sanggar noken, namun
setelah ditetapkan tahun 2012, bermunculan sanggar-sanggar
noken di Kota Jayapura. Sanggar ini berasal dari kumpulan mama-
mama Papua dari berbagai kabupaten yang ada di Papua. Beberapa
bisa disebutkan disini antara lain:
a. Sanggar Noken Nabua Kabuwa, berasal dari Kabupaten
Wamena
b. Sanggar Koya Aki dan sama Busah, berasal dari Kabupaten
Paniai
c. Sanggar Noken Anim, berasal dari Kabupaten Nabire
d. Sanggar Fau Soway dari Kabupaten Jayapura
e. Sanggar Mamari dan Iwin Miobo Karudu, berasal dari
Kabupaten Serui, dan sebagainya
- Perkembangan sanggar, sebelum ditetapkan 2012 tidak terdapat
sanggar noken, pada tahun 2013 sudah terdapat 15 sanggar, dan
meningkat di tahun 2015 ada 37 sanggar atau kelompok mama-
mama perajin noken
- Tahun 2016, bekerjasama dengan Badan Ekonomi Kreatif
mengadakan workshop untuk perajin noken Papua, khususnya
dalam hal peningkatan kreatifitas produk noken.
- Mengadakan pelatihan ke sanggar-sanggar menyangkut
management pengelolaan sanggar dan promosi noken.
- Tahun 2014 mengadakan pelatihan noken kepada guru-guru di
tingkat SMP dan SMA
40
- Mengadakan kerjasama dengan pihak swasta dalam
mempromosikan noken, hasilnya Bank Papua memesan 300 noken
dan WWF (World Wild Fund), dalam rakornis di bulan September
2016 memesan 500-700 noken sebagai pengganti seminar kid.
- Rencana tahun 2017 mengadakan pendataan terhadap sanggar-
sanggar noken yang ada di Jayapura.
- Membawa mama-mama Papua ke berbagai pameran untuk lebih
mengembangkan kapasitas mama-mama perajin noken dalam hak
estetika produk dan pemasaran
- Tahun 2014 mengadakan workshop perajin noken di Hotel Horizon
Jayapura
- Dinas Perindagkop Kota Jayapura:
- Mengalokasikan beberapa los di pasar mama-mama Jayapura
khusus untuk perajin noken. Pasar tersebut sedang dalam tahap
pembangunan, diharapkan selesai pada tahun 2016. Dengan
demikian hal itu dapat sedikit demi sedikit mengangkat harkat
mama-mama perajin Papua. Yang dahulu berjualan di pelataran
pasar/trotoar dan lesehan, sekarang sudah disediakan los toko
khusus penjual noken Papua.
- Promosi noken di Bandara Sentani Jayapura di lantai 2. Saat ini
sudah ada counter toko yang khusus menyediakan noken. Sehingga
turis baik manca negara maupun nusantara dapat melihat dan
membeli noken di bandara utama Papua.
- Dinas Kehutanan Provinsi Papua:
- Pada tahun 2016, melalui Bidang Rehabilitasi dan Perhutanan
Sosial sudah mulai melakukan pendampingan kepada perajin
noken di Kabupaten Wamena untuk menanam tanaman bahan baku
noken. Saat ini sudah ada 2 ha lahan yang dipakai untuk program
penanaman tanaman bahan baku noken tersebut.
- Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Jayapura:
- Pada tahun 2012 mengadakan acara Jejak Tradisi Daerah di
Kabupaten Teminabuan di Papua Barat. Acara tersebut melibatkan
100 peserta dari siswa SMA. Selama 2 hari para peserta diajak ke
sentra-sentra industri noken yang ada di Kabupaten Teminabuan,
dengan harapan siswa-siswa tersebut dapat lebih memahami noken
yang akhirnya dapat mencintai noken dan memakai noken sebagai
identitas dan kebanggaan masyarakat Papua.
41
- Museum Loka Budaya Universitas Cendrawasih:
- Memiliki koleksi beberapa noken khas dari berbagai daerah yang
ada di Papua.
- Tahun ini sedang merencanakan pembuatan ruangan khusus noken
dari berbagai daerah sehingga dapat mendisplay lebih banyak
noken khas dari berbagai daerah. Hal itu sebagai respon dunia
akademis dalam rangka ikut melestarikan noken Papua yang sudah
ditetapkan oleh Unesco.
Disamping Pemda Provinsi Papua beserta dengan SKPD yang terkait dengan
Noken, pihak lain yang terlibat dalam upaya pelestarian noken adalah sebagai
berikut:
- Yayasan Ekologi Papua, dengan ketuanya Titus Pikei:
- Sosialisasi Noken sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesa
oleh ICH Unesco ke berbagai kabupaten yang ada di Papua dan
Papua Barat yang meliputi 7 wilayah adat (Papua 5 wilayah adat
dan Papua Barat meliputi 2 wilayah adat).
- Menginisiasi HUT noken pertama tahun 2013.
- Berbagai kegiatan telah dilakukan dilakukan baik di Jakarta dan di
Papua, yakni sebagai narasumber di berbagai pertemuan, seminar,
workshop tentang noken, membuat buku-buku tentang noken,
bahkan membuat kalender dengan tema noken.
- Mendorong pemda Papua menjadikan noken sebagai souvenir khas
Papua menggantikan topi yang terbuat dari bulu burung
Cendrawasih.
- Terus terlibat aktif dalam mempertahankan noken sebagai warisan
budaya takbenda Indonesia yang sudah terdaftar dalam ICH
UNESCO
- KONOPA (Komunitas Noken Papua):
- Marcel Suebu, selaku ketua KONOPA bekerjasama dengan
berbagai instansi mendorong pendaftaran HKI (Hak Kekayaan
Intelektual) bagi perajin noken/ Mengajukan permohonan merek
dagang atau label kerajinan tangan. Merek dagang ini namanya
KONOPA.
- Melakukan usaha pemasaran noken melalui internet
42
- Mendorong berbagai pemerintah daerah kabupaten di Papua untuk
melaksanakan instruksi gubernur Papua dalam pelaksanaan
pemakaian noken oleh PNS sebagai tas kerja kantor. Misalnya ada
3000 PNS di seluruh Papua, semua memakai noken, berapa besar
keuntungan ekonomi yang diperoleh mama-mama Papua perajin
noken.
Beberapa detail kegiatan yang terkait dengan budaya noken, setelah noken
ditetapkan dalam daftar ICH UNESCO tahun 2012, adalah sebagai berikut:
No Jadwal
Kegiatan Nama Kegiatan
Pendanaan dan
Sumber Dana Keterangan
Tahun 2011
September Penerbitan Buku
Noken Cermin
Papua (Cetakan I)
IDR
50.000.000,-
Yayasan Ekologi
Papua
Tahun 2012
Januari Penerbitan Buku
Noken Cermin
Papua (Cetakan II)
IDR
85.000.000,-
Yayasan Ekologi
Papua
Tahun 2013
1 April Penyerahan
Sertifikat Noken
IDR
100.000.000,-
Kemdikbud
2 Pembangunan/Pel
etakan Batu
Pertama Museum
Noken di Kota
Jayapura
IDR.5.000.000.0
00,-
Kemdikbud
Tahun 2016 ini
Museum Noken
direncanakan
dibuka untuk
umum
3 Juni Penyusunan
Modul Pembuatan
Noken untuk
PAUD, SMP, dan
SMA/SMK
IDR.
400.000.000,-
Kemdikbud
Untuk
mempercepat
transmisi budaya
Noken kepada
Generasi Muda
4 Desember Sosialisasi Modul
Pembuatan Noken
untuk
IDR
400.000.000,-
Kemdikbud
43
No Jadwal
Kegiatan Nama Kegiatan
Pendanaan dan
Sumber Dana Keterangan
PAUD,SMP,
SMA/SMK di
Kota Jayapura dan
Kota Manokwari
5 Oktober Workshop, Gala
Diner, dan
Pameran
Pembuatan Noken
IDR.1.400.000.0
00,-
Kemdikbud
6 Desember Pembuatan dan
Pengiriman
Prasasti Tugu
Noken di 7
Wilayah Adat
Papua
IDR
200.000.000,-
Kemdikbud
7 Desember Peringatan Hari
Noken I
IDR.
500.000.000,-
Dinas
Kebudayaan dan
Pariwisata
Provinsi Papua
8 November Pelaksanaan Jejak
Tradisi Daerah di
Kabupaten
Teminabuan,
Provinsi Papua
Barat
IDR 250.000,-
Balai Pelestarian
Nilai Budaya
Provinsi Papua
9 Desember Penerbitan Buku
Noken Cermin
Papua (Cetakan
III)
IDR
90.000.000,-
Yayasan Ekologi
Papua
II Tahun 2014
1 Juni Pameran Noken di
Monas Jakarta
IDR.
260.000.000,-
Dinas
Kebudayaan dan
Pariwisata
Provinsi Papua
44
No Jadwal
Kegiatan Nama Kegiatan
Pendanaan dan
Sumber Dana Keterangan
2
Desember Peringatan Hari
Noken II
IDR.
125.000.000,-
Dinas
Kebudayaan dan
Pariwisata
Provinsi Papua
III Tahun 2015
1 September Pameran Noken di
Provinsi Bali
IDR.
332.000.000
Dinas Parekraf
Provinsi Papua
2 Juni Pameran Noken di
Taman Mini
Indonesia Indah
Jakarta
IDR.
195.000.000,-
Dinas Parekraf
Provinsi Papua
3 Juni Pembangunan
fisik Sanggar
Nabua Kabuwa di
Kabupaten
Jayapura
IDR.
700.000.000
Dinas Parekraf
Provinsi Papua
4 November Penerbitan
Kalender
2016/Poster
IDR.
25.000.000,-
Yayasan Ekologi
Papua
IV Tahun 2016
1 Juli Inventarisasi
Budaya Noken
IDR.300.000.00
0,-
Dinas
Pendidikan dan
Kebudayaan
Provinsi Papua
Barat
2 Juli Inventarisasi
Budaya Noken
IDR.
500.000.000,-
Dinas
Pendidikan dan
45
No Jadwal
Kegiatan Nama Kegiatan
Pendanaan dan
Sumber Dana Keterangan
Kebudayaan
Provinsi Papua
3 Agustus Pameran Noken
Di Provinsi Bali
IDR.
195.000.000,-
Dinas Parekraf
Provinsi Papua
4 September Pameran Noken
(sebagai produk
unggulan dan
kerajinan khas
daerah, di Kelapa
Gading Jakarta)
IDR,175.000.00
0,-
Dinas Parekraf
Provinsi Papua
5 November Pelatihan
Diversifikasi
Produk Noken di
Yogyakarta
IDR
200.000.000,-
Dana Hibah
Gubernur Papua
46
BAB IV
ANALISIS
DAMPAK PENETAPAN WBTB INDONESIA DALAM DAFTAR
ICH UNESCO
A. Angklung
1. Manfaat Angklung yang telah Ditetapkan dalam Daftar ICH Unesco
Manfaat WBTB Indonesia, dalam hal ini angklung ketika sudah ditetapkan
dalam daftar ICH UNESCO, sesuai dengan Konvensi 2003 ICH UNESCO
adalah sebagai berikut:
1. Menarik perhatian dunia pada mata budaya yang terinskripsi dan
daerah asalnya;
2. Memperkuat kesadaran identitas budaya lokal;
3. Meningkatkan kesadaran berbangsa dan bernegara tentang warisan
budaya.
Setiap manfaat dari terinskripsinya WBTB Indonesia dalam ICH UNESCO
dapat dijabarkan sebagai berikut:
Program dan Kegiatan
Pemerintah Pusat
(Kemenko
Kesra/PMK.
Kemdikbud,
Kehutanan)
Pemerintah Daerah
(Provinsi/Kabupaten/Kota)
Manfaat Angklung
teriskripsi dalam
Daftar ICH
UNESCO
1. Menarik perhatian
dunia pada mata
budaya yang
terinskripsi dan
daerah asalnya.
a. Apa yang
dilakukan sejak
Kemdikbud :
Kebijakan
1. Kebijakan tentang angklung agar
menjadi semakin menarik setelah
47
Program dan Kegiatan
angklung
ditetapkan sebagai
warisan budaya
dunia agar
semakin menarik
perhatian dunia.
mendirikan: 1.
“Rumah” Angklung
di Kota Bandung,
bekerjasama dengan
Dinas Pariwisata
dan Kebudayaan
(Diparbud) Prov.
Jawa Barat; 2.
Mendirikan
Museum Angklung
di lingkungan
Saung Angklung
“Udjo” Kota
Bandung.
ditetapkan sebagai warisan budaya
dunia sifatnya lebih umum yang
dilakukan oleh Disparbud Prov. Jawa
Barat, sebagai berikut: (1) bekerjasama
dengan Kemendikbud mendirikan
“Rumah” Angklung; (2)
mengembangkan dan memelihara
angklung sejalan dengan Perda No 15
Tahun 2014, tentang Perda Perubahan
Atas Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Barat Nomor 6 Tahun 2003 tentang
Pemeliharaan Kesenian. Perda itu tidak
spesifik mengatur tatacara
pemeliharaan angklung sebagai WBTB
yang telah ditetapkan UNESCO
menjadi warisan dunia; (3)
menyelenggarakan Pasanggiri
Angklung Jawa Barat yang diikuti oleh
siswa tingkat SMP dan SMA; dan (4)
kegiatan pemecahan rekor bertajuk
'Angklung For The World' pemain
angklung 10 ribu.Simpulan: tidak ada
kebijakan khusus yang terkait dengan
angklung sebagai Warisan Budaya
Dunia.
2. Muhibah Luar Negeri
3. Kebijakan Pemerintah Kota Bandung
seperti Peraturan Walikota Bandung No
05 Tahun 2012 tentang Pelestarian Seni
Tradisional tidak spesifik mengarah
pada angklung sebagai WBTB yang
telah ditetapkan UNESCO sebagai
warisan budaya dunia. Pemerintah Kota
tidak memiliki kebijakan khusus untuk
pengembangan angklung sebagai
warisan budaya dunia.
b. Apa yang
dilakukan setelah
angklung diakui
1. Kebijakan Disparbud Prov. Jawa Barat,
terbatas pada PerdaNo 15 Tahun 2014,
tentang Perda Perubahan Atas Peraturan
48
Program dan Kegiatan
sebagai warisan
budaya dunia
untuk
meningkatkan
kesadaran agar
angklung tetap
menjadi bagian
dari kehidupan
warga
masyarakatnya.
Daerah Provinsi Jawa Barat Nomor 6
Tahun 2003 tentang Pemeliharaan
Kesenian, rumah angklung dan
penyelenggaraan Pasanggiri Angklung
Jawa Barat.
2. Kota Bandung terbatas pada Peraturan
Walikota Bandung No 05 Tahun 2012
tentang Pelestarian Seni Tradisional,
dan menyerahkan sepenuhnya kepada
Saung Angklung Udjo, serta partisipasi
masyarakat yang menaruh minat pada
pemeliharaan kesenian angklung.
c. Bagaimana upaya
yang dilakukan
agar angklung
setelah ditetapkan
sebagai warisan
budaya dunia tidak
menjadi semakin
terisolasi pada
aktivitas yang
bersifat komersial
dan industri.
Kebijakan yang terkait dengan pokok
masalah ini baik pemerintah provinsi
maupun kotamadya tidak memiliki
langkah-langkah yang dapat mencegah
pengkomersialan angklung malahan
angklung didorong untuk menjadi
semacam industri pertunjukan kesenian
yang dapat menghasilkan PAD dan
menyerap lapangan kerja bagi
penduduk dari pengindustrian dan
mengkomersialkan angklung.
2. Memperkuat
kesadaran identitas
budaya lokal:
a. Apa yang
dilakukan agar
angklung setelah
ditetapkan
sebagai warisan
budaya dunia
dapat lebih
membangkitkan
kebanggaan
bukan hanya pada
Kebijakan yang dikeluarkan baik
pemerintah provinsi maupun
kotamadya terbatas pada bagaimana
angklung dapat berkembang sesuai
dengan tuntutan dunia komersial dan
industri pertunjukan. Itu artinya,
sebagai warisan dunia lebih diarahkan
untuk dapat membangkitkan
kebanggaan belum dilakukan.
49
Program dan Kegiatan
warga masyarakat
di lingkungan
pemakai
angklung berada
tetapi meliputi
seluruh wilayah
NKRI.
b. Apa yang
dilakukan
agarangklung
setelah ditetapkan
sebagai warisan
budaya dunia
tidak saja
menjadi berciri
kesenian Sunda
tetapi juga dapat
diterima oleh
seluruh warga
masyarakat.
Sebetulnya langkah untuk menjadikan
angklung bukan hanya sebagai ciri
kesenian Sunda telah dilakukan oleh
Pelopor (Bapak) Angklung, yaitu
Daeng Soetigna sejak tahun 1938
dengan menginovasi angklung berlaras
pentatonik menjadi diatonik, angklung
bisa dimainkan sebagai alat musik
modern sesuai dengan komposisi lagu
modern, seperti pop, keroncong, lagu
klasik barat, dan rock. Dengan
berubahnya laras pentatonik ke diatonik
menunjukkan angklung bukan kesenian
Sunda meski angklung yang berlaras
pentatonik tetap terpelihara pada warga
masyarakat pedesaan untuk beraktivitas
di sekitar lapangan pertanian. Namun
upaya menduniakan angklung setelah
diakui sebagai warisan dunia, kebijakan
dari pemangku kepentingan belum
dilakukan misalnya dengan membuat
semacam institusi kajian angklung
dengan pendekatan lebih scientific.
Kecuali oleh orang beberapa orang yang
menaruh minat untuk mengembangkan
angklung sebagai musik yang dapat
diterima semua pihak, seperti yang
dilakukan Bale Angklung Bandung,
misalnya.
3. Meningkatkan
kesadaran
berbangsa dan
50
Program dan Kegiatan
bernegara tentang
warisan budaya.
a. Bagaimana upaya
dilakukan untuk
membentuk
kesadaran bahwa
angklung bukan
hanya sebagai
kesenian khas
Sunda tetapi juga
kesenian
Indonesia.
Konon menurut tuturan Handiman
Diratmasasmita, SK Menteri Pengajaran,
Pendidikan dan Kebudayaan No. 082
tahun 1968 dibawah ini: 1. Menetapkan
angklung sebagai alat pendidikan musik
dalam lingkungan Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, 2.
Menugaskan Direktur Jenderal
Kebudayaan untuk mengusahakan agar
angklung dapat ditetapkan sebagai alat
pendidikan musik tidak hanya dalam
lingkungan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Dengan demikian melalui
kebijakan itu, menunjukkan bahwa
ditumbuhkan kesadaran angklung bukan
hanya kesenian Sunda tetapi juga kesenian
Indonesia yang diajarkan di seluruh
lembaga pendidikan. Namun upaya itu
tidak berlanjut hingga sekarang.
b. Bagaimana cara
yang dilakukan
agar angklung
yang telah
ditetapkan sebagai
warisan budaya
dunia dapat
menyebar secara
nasional.
Cara yang ditempuh jauh sebelum
angklung ditetapkan sebagai warisan
dunia, melalui SK Menteri Pengajaran,
Pendidikan dan Kebudayaan No. 082
tahun 1968, telah dilakukan sebagai
musik nasional Indonesia. Walau
demikian upaya itu tidak berlangsung
lama kemudian terhenti dan kini
angklung hanya dijadikan bagian dari
mata pelajaran, bahkan di Jawa Barat
sendiri masih dalam wacana angklung
jadi mata pelajaran muatan lokal.
c. Apa yang
dilakukan agar
pewarisan
angklung bersifat
formal melalui
Cara untuk menggeserkan pewarisan
angklung melalui lembaga pendidikan
formal masih sebatas wacana menjadi
muatan lokal, begitu pun untuk peringkat
nasional, masih belum terlaksana. Itu
artinya, pembelajaran angklung di
51
Program dan Kegiatan
pendidikan di luar
keluarga.
sekolah sepertinya mengalami
kemunduran kebijakan yang pernah
dibuat pada tahun 1963 tentang angklung
jadi mata pelajaran kesenian di seluruh
Indonesia.
d. Apa yang
dilakukan setelah
angklung
ditetapkan sebagai
warisan budaya
dunia untuk
memelihara
keberlangsungan
kelestariannya dari
generasi ke
generasi termasuk
keberlanjutan SDA
Kebijakan yang terkait dengan pokok
masalah ini rupanya pemerintah provinsi
Jawa Barat maupun pemerintah kota
Bandung belum memberikan jawaban
yang pasti, karena Perda maupun Perwal
yang dikeluarkan lebih bersifat umum
untuk semua jenis kesenian, belum
ditemukan suatu kebijakan yang khusus
tentang tata kelola angklung baik dari
segi kualitas penciptaan lagu yang
bersumber angklung sebagai alat musik
maupun kuantitas dalam melestarikan
dalam penyediaan bahan baku bambu
yang khusus untuk angklung, dan pelatih
yang handal untuk menjaga
kesinambungan kualitas bermain
angklung, dan kualitas pembuatan
angklung (perajin). Selain itu, Perda atau
Perwal yang terkait dengan kesenian
hanya disasarkan untuk bagaimana alat
kesenian itu terpelihara, dan menjadi
daya tarik untuk hanya sekadar
dimainkan, bukan dijadikan bahwa alat
kesenian itu mendorong terciptanya lagu
yang didasarkan angklung sebagai musik.
Pewarisan sebatas dilakukan untuk
didemonstrasikan bahwa angklung
bagian dari kebudayaan di Jawa Barat?
Kesimpulan
Sementara
angklung setelah
ditetapkan dalam
daftar ICH
UNESCO
Kebijakan yang
ditempuh dengan
menguatkan
WBTB: SDA dan
SDM ?
Kebijakan yang ditempuh dengan
menguatkan WBTB: SDA dan SDM,
rupanya pemerintah provinsi dan
pemerintah kabupaten/kota yang
menyatakan sebagai pusat angklung
tidak memiliki kebijakan untuk
52
Program dan Kegiatan
mengembangkan angklung bukan
hanya sebagai kesenian yang di
dalamnya terdapat penciptaan lagu-
lagu yang berdasarkan angklung
sebagai alat penciptaan berbagai lagu
(komposer lagu asli yang diciptakan
dari angklung), tetapi juga pembuat
angklung sebagai alat untuk bermusik
bukan angklung sebagai benda
cinderamata, selain itu juga bahan baku
bambu ternyata juga belum menjadi
kebijakan tersendiri karena bahan baku
ini menjadi tantangan tersendiri untuk
keberlangsungkan angklung sebagai
aktivitas bermusik atau berkesenian,
dengan semakin langkanya jenis
bambu untuk angklung. Bambu terbaik
untuk angklung antara lain bambu
temen (gigantochloa atter), bambu
wulung (gigantochloa atroviolacea),
bambu lengka (gigantochloa
hasskarliana), dan bambu tali
(gigantochloa apus kurz). Sekarang ini,
petani bambu kurang tertarik menanam
jenis-jenis bambu untuk angklung.
Mereka lebih memilih menanam jenis
bambu lain untuk keperluan pembuatan
sumpit, perabotan rumah, atau
bangunan rumah karena jenis-jenis
bambu itulah yang banyak permintaan
sesuai dengan pasar yang ada.
2. Dampak Penetapan WBTB Indonesia/Angklung dalam Daftar ICH Unesco
Dampak Penetapan Angklung dalam daftar ICH Unesco
WBTB Pelaku Masyarakat
1. Menarik
perhatian dunia
53
Dampak Penetapan Angklung dalam daftar ICH Unesco
WBTB Pelaku Masyarakat
pada mata
budaya yang
terinskripsi dan
daerah asalnya.
a. Apa yang
dilakukan sejak
angklung
ditetapkan
sebagai warisan
budaya dunia
agar semakin
menarik
perhatian dunia.
1. Kualitas angklung
sebagai WBTB
menjadi semakin
meningkat, dan
kuantitas peminat
semakin bertambah
sehingga
permintaan
angklung sebagai
alat musik semakin
bertambah. Dengan
semakin
bertambahnya
permintaan
angklung tentunya
juga menuntut
penyediaan bahan
baku (bambu)
jenis tertentu
semakin tinggi,
padahal bahan
baku terbatas,
menyebabkan
kualitas angklung
menjadi menurun.
2. Dengan
ditetapkannya
angklung sebagai
warisan dunia,
pengembangan dan
pemeliharaan
angklung lebih
mendorong Saung
Dengan semakin
meningkatnya daya
tarik angklung sebagai
kesenian –
mengakibatkan
semakin
menumbuhkan
peminat angklung,
sehingga menuntut
peningkatan kualitas
pelaku baik sebagai
pelatih, pemain dan
penyelenggara
kegiatan baik untuk
pasanggiri maupun
pertunjukan. Namun
demikian bagi pelaku
angklung sendiri,
yaitu pembuat
angklung, pemain
sekaligus pelatih
angklung pengakuan
sebagai warisan
budaya dunia masih
sebatas pada
pengakuan belum
dapat meningkatkan
posisi angklung dalam
kesenian di Indonesia,
misalnya mendorong
pelaku untuk
menjadikan angklung
sebagai kesenian.
Masyarakat belum
merasakan dampak
langsung angklung
sebagai warisan
dunia, karena
upaya yang
dilakukan hanya
menempatkan
angklung untuk
mencapai raihan
pemecahan rekor
MURI, dan
kegiatan yang
bersifat pasanggiri
atau festival yang
jangkauannya
terbatas, bukan
pada masyarakat
umumnya.
54
Dampak Penetapan Angklung dalam daftar ICH Unesco
WBTB Pelaku Masyarakat
Udjo, sebagai ikon
kesenian
tradisional di kota
Bandung semakin
dikenal. Selain itu,
juga kepada warga
masyarakat yang
terkait dengan
keberadaan
angklung, seperti
komunitas pencinta
angklung, bale
angklung dan
institusi pendidikan
dari tingkat SD
sampai Perguruan
Tinggi misalnya
Keluarga Paduan
Angklung ITB
yang setiap 2
tahunan
mengadakan
Festival Paduan
Angklung ITB,
KPA3 SMA Negeri
3 Bandung.
b. Apa yang
dilakukan
setelah angklung
diakui sebagai
warisan budaya
dunia untuk
meningkatkan
kesadaran agar
angklung tetap
menjadi bagian
dari kehidupan
Angklung sebagai
WBTB yang diakui
UNESCO menjadi
warisan budaya dunia
meski pengetahuan
masyarakat
umumnya tentang hal
itu masih terbatas,
tetapi dengan
semakin banyak yang
menaruh minat
Pengakuan UNESCO
terhadap angklung
sebagai warisan dunia
semakin menambah
keyakinan bahwa
angklung harus dijaga
keberlangsungannya
sekaligus menjadi
bagian yang tidak
terpisahkan dari
kebudayaan di Jawa
Angklung bagi
masyarakat belum
menjadi bagian
dari kehidupannya,
meski angklung
telah diakui
sebagai warisan
budaya dunia.
Berbeda dengan
masyarakat yang
masih menjalankan
55
Dampak Penetapan Angklung dalam daftar ICH Unesco
WBTB Pelaku Masyarakat
warga
masyarakatnya
terhadap angklung
sedikit banyak
menumbuhkan
kesadaran bahwa
angklung itu memang
bagian dari
kebudayaan Sunda,
walaupun angklung
yang diperkenalkan
ke masyarakat
umumnya yang telah
diinovasi oleh Pak
Daeng Soetigna
sebagai angklung
dengan nada
universal.
Barat sekaligus bagian
dari kesenian di
Indonesia
tradisi dalam mata
pencahariannya
dengan berladang
angklung masih
menjadi bagian
yang tidak
terpisahkan dari
kehidupan
berladangnya.
c. Bagaimana
upaya yang
dilakukan agar
angklung
setelah ditetap-
kan sebagai
warisan budaya
dunia tidak
menjadi semakin
terisolasi pada
aktivitas yang
bersifat
komersial dan
industri.
Angklung sebagai
WBTB yang diakui
UNESCO, semakin
sulit dihindarkan dari
isolasi aktivitas
komersial dan
industri, karena
dengan pengakuan
ini seolah-olah
tuntutan untuk
menjaga
kelestariannya
dengan
menghidupkannya
melalui kegiatan
pariwisata yang
artinya, angklung
tidak lagi menjadi
bagian dari
serangkaian aktivitas
bertani/berladang
Sebagaimana telah
disebutkan terdahulu,
pelaku angklung
dalam kehidupan
kekinian dapat
dijumpai dalam dua
kategori, yaitu Pelaku
yang benar
memerlakukan
angklung sebagai
musik untuk
berkesenian, yang di
dalamnya mereka itu
tidak hanya bisa
memainkan angklung
tetapi juga dapat
membuat dan
menciptakan lagu dari
angklung sebagai alat
musik. Hal seperti ini
biasanya angklung
Membuat angklung
saat ini dapat
dijadian
memeroleh
pendapatan
(penghasilan dari
segi ekonomi),
walaupun
angklung yang
dihasilkan sekadar
bunyi-bunyian
bukan alat musik,
demikian juga
mendirikan
perkumpulan
angklung dapat
juga memberikan
penghasilan.
Rupanya cara itu
tidak dapat
dihindari karena
56
Dampak Penetapan Angklung dalam daftar ICH Unesco
WBTB Pelaku Masyarakat
yang digunakan
ketika mengawali
kegiatan berhuma.
Itu artinya angklung
menyandang fungsi
ritual bagi
masyarakatnya,
berbeda dengan
angklung yang ada di
perkotaan hari ini,
lebih berfungsi
sebagai seni
pertunjukan
dihadapan
wisatawan.
menjadi wahana
ritual; yang kedua,
adalah pelaku yang
hanya dapat
memainkan angklung
sekadar bunyi-
bunyian.
oleh sebagian
warga masyarakat
bahwa angklung
dikenal dan disukai
sehingga
dimanfaatkan
untuk memeroleh
pendapatan dengan
menjual angklung
bagi penjaja
cinderamata dan
bagi pembuat
kesempatan
ekonomi, dan bagi
yang memiliki
sedikit kemampuan
bermain angklung
dimanfaatkan
untuk
“mengamen”.
2. Memperkuat
kesadaran
identitas budaya
lokal
a. Apa yang
dilakukan agar
angklung setelah
ditetapkan
sebagai warisan
budaya dunia
dapat lebih
membangkitkan
kebanggaan
bukan hanya
pada warga
masyarakat di
lingkungan
Angklung masih
sebatas dikenal
sebagai kesenian
yang biasa
dipertunjukan di
Saung Angklung
Udjo
Angklung masih
dikenal sebagai
kesenian khas Jawa
Barat yang biasa
dimainkan oleh siswa
sekolah baik SD,
SMP, dan SMA
Angklung masih
sebatas kesenian
Jawa Barat, itu
ungkapan
kebanggaan yang
biasa dilontarkan,
belum menjadi
kesenian yang
dikenal luas di
Indonesia
57
Dampak Penetapan Angklung dalam daftar ICH Unesco
WBTB Pelaku Masyarakat
pemakai
angklung berada
tetapi meliputi
seluruh wilayah
NKRI.
3. Meningkatkan
kesadaran
berbangsa dan
bernegara
tentang warisan
budaya.
a. Bagaimana
upaya dilakukan
untuk
membentuk
kesadaran bahwa
angklung bukan
hanya sebagai
kesenian khas
Sunda tetapi
juga kesenian
Indonesia.
Angklung sebagai
warisan budaya dunia
telah membuat
kehadiran angklung
semakin menjadi
pilihan orang asing
untuk mengenal
angklung lebih dekat
(berkunjung ke
tempat pengrajin
angklung, dan
pertunjukan
angklung), serta
seringkali angklung
dijadikan tujuan
pencapaian pemain
angklung yang
terbanyak untuk
pemecahan rekor
MURI, dan angklung
dijadikan benda
cinderamata, dengan
capaian seperti itu,
membuat
perajin hanya
mengejar produksi
Menempatkan
angklung sebagai
warisan budaya dunia,
bagi pelaku
menimbulkan
setidaknya dua
kategori pelaku
angklung yang satu
sama lainnya saling
tidak terikat
membentuk keutuhan
angklung sebagai alat
musik dan aktivitas
bermusik atau
berkesenian. Kategori
pertama yang
menjadikan angklung
sebagai berkesenian
atau bermusik,
sehingga pelaku
semacam ini bukan
hanya bisa
memainkan alat tetapi
juga dapat membuat
angklung
sebagaimana
Dengan dicatatkan
angklung sebagai
warisan budaya
dunia oleh
UNESCO, bagi
masyarakat luas
khususnya orang
Sunda masih
sebatas
pengetahuan
bahwa angklung
sebagai musik
yang ada di Jawa
Barat, yang
digunakan untuk
aktivitas bertani,
juga dikenal
sebagai alat
kesenian Sunda
yang telah
dimodernisasi oleh
Daeng Soetigna
sebagai kesenian
menginovasi
angklung berlaras
pentatonik menjadi
58
Dampak Penetapan Angklung dalam daftar ICH Unesco
WBTB Pelaku Masyarakat
angklung tanpa
memperhatikan
kualitas. Padahal
yang seharusnya
dengan tercatatnya
Angklung sebagai
warisan dunia,
pembuat alat musik
sebaiknya perajin
yang bisa memainkan
angklung sehingga
bisa menyetel nada
dengan benar.
Dengan demikian,
dengan tercapainya
angklung sebagai
warisan budaya dunia
di satu sisi membuat
permintaan atas
angklung jumlahnya
semakin meningkat,
namun di sisi lainnya
angklung sebagai
kesenian mutunya
semakin menurun
karena angklung
hanya diarahkan pada
tindakan komersial
dan industri.
dicontohkan oleh
Daeng Soetigna ketika
penciptaan musik ini,
dan yang kedua
menjadikan angklung
sekadar bermain
bunyi-bunyian yang
tidak ada kaitannya
dengan bermusik.
diatonik. Dengan
laras diatonik,
angklung bisa
dimainkan sebagai
alat musik modern
sesuai dengan
komposisi lagu
modern, seperti
pop, keroncong,
lagu klasik barat,
dan rock. Bahkan
pengetahuan itu
sudah tumbuh
sejak tahun 1960-
an, bahkan ketika
itu angklung sudah
biasa dimainkan
diacara-acara resmi
kenegaraan, dan
menjadi bahan ajar
kesenian di
sekolah-sekolah
sejalan dengan
Keputusan
Menteri
Pendidikan dan
Kebudayaan
tanggal 23
Agustus 1963, No.
082/1963. Dengan
demikian diakui
angklung sebagai
warisan budaya
dunia belum
dirasakan
manfaatnya dalam
kehidupan
59
Dampak Penetapan Angklung dalam daftar ICH Unesco
WBTB Pelaku Masyarakat
masyarakat baik
sebagai
peningkatan citra
kesenian
masyarakat Jawa
Barat terlebih lagi
masyarakat
Indonesia.
Kesimpulan
dampak
angklung setelah
ditetapkan dalam
daftar ICH
UNESCO
Dampak angklung sebagai warisan budaya dunia terhadap sosial,
budaya, politik, dan ekonomi dapat disimpulkan, sebagai berikut:
a. Angklung sebagai kesenian yang kini telah dicatatkan UNESCO
sebagai warisan budaya dunia, pada mulanya sebagai kesenian
yang tidak terpisahkan dari kegiatan ritual pertanian pada
masyarakat peladang (huma) yang masih dijumpai di pedalaman
Jawa Barat, seperti pada masyarakat Kasepuhan Ciptagelar,
Ciptamulya, dan Sinar Resmi di Kabupaten Sukabumi, atau
masyarakat lainnya yang masih terikat pada sistem perladangan.
Angklung bagi masyarakat kasepuhan digunakan untuk
mengawali kegiatan berladang, sebagai ungkapan rasa syukur
kepada sang pemilik padi atau masyarakat setempat
menyebutnya Nyi Pohaci atau Dewi Sri. Selain itu, alunan irama
angklung bagi masyarakat umumnya dijadikan pertanda bahwa
musim tanam dimulai. Itu artinya, angklung dari awal
kewujudan memiliki fungsi sosial dan budaya yang keduanya
menjadi pengikat dalam aktivitas ritual pertanian masyarakat.
Namun setelah angklung dikembangkan dari yang semula
bernada pentatonis ke nada diatonis yang diinovasi oleh Daeng
Soetigna, bukan hanya menjadi kesenian yang erat kaitannya
dengan ritual pada masyarakat peladang tetapi menjadi kesenian
yang dapat dipertunjukan di tempat-tempat umum dengan nada
untuk lagu-lagu yang modern. Dengan demikian, dari sisi sosial
dan budaya menunjukkan angklung bukan hanya milik para
petani ladang yang ada di pedalamanan tetapi juga masyarakat
umum yang ada di perkotaan karena angklung sudah dapat
dimainkan dan dinikmati alunan musiknya secara luas.
b. Angklung dalam perkembangan kini, bukan hanya berfungsi
sosial dan budaya untuk aktivitas ritual dan menggugah
60
Dampak Penetapan Angklung dalam daftar ICH Unesco
WBTB Pelaku Masyarakat
kebersamaan antar warga masyarakat pendukungnya tetapi juga
angklung berfungsi ekonomi dan politik yang lebih luas setelah
angklung diinovasi oleh Daeng Soetigna dengan mewujudkan
nada-nada diatonis, sehingga irama dan alunan yang keluar dari
getaran himpunan dari rangkaian potongan bambu-bambu ini
dapat dinikmati oleh masyarakat yang lebih luas, karena nada
diatonis bersifat universal dalam dunia musik. Tentunya dengan
semakin dikenalnya angklung mendorong timbulnya istilah
pengrajin angklung yang itu menandakan bahwa angklung
bukan hanya benda kesenian yang memiliki nilai ritual tetapi
juga bernilai ekonomi, begitu pula kalau dulu alunan angklung
yang digetarkan oleh para pemain hanya untuk mengantarkan
kehadiran Dewi Sri, yang imbalannya adalah kesuburan dari
tanah-tanah untuk tanaman padi, kini para pemainnya
memperoleh imbalan ekonomi. Selain itu, pula dengan permain
angklung yang jumlahnya lebih dari 10 orang bahkan semakin
banyak pemainnya semakin indah getaran-getaran nadanya,
menunjukan dalam permainan angklung menuntut solidaritas
dan kebersamaan, karena itulah pula angklung bisa dinyatakan
secara politik kesenian perdamaian sebagaimana diungkapkan
oleh inovator angklung Deang Soetigna, yaitu di dalam
permainan angklung tertanam keinginan untuk pengembangan
imaginasi, pengembangan ingatan, saling menghormati,
motivasi diri, persamaan hak, kepekaan dan sifat halus serta rasa
seni dan musik baik yang mendengarkan maupun yang
memainkan tercipta kedamaian antar sesamanya. Karena itu,
memang betul bahwa angklung adalah musik perdamaian.
B. Noken
1. Dampak Pendaftaran Noken oleh ICH Unesco:
a. Ada kepedulian dari Instansi terkait dan swasta, walaupun belum
maksimal, terhadap upaya pelestarian noken
b. Ada upaya-upaya pelestarian noken oleh berbagai pihak
c. Semakin banyaknya mama Papua yang kembali merajut dan
menganyam noken dan mengorganisir diri dalam bentuk sanggar-
sanggar
61
d. Animo yang besar dari mama-mama Papua perajin noken untuk
kembali merajut dan menganyam noken juga disebabkan permintaan
pasar yang mulai meningkat terhadap noken alami paska penetapan
noken oleh UNESCO. Permintaan tersebut berasal dari Instansi
Pemerintah, Swasta, LSM, Wisatawan baik asing/nusantara, dan
perorangan
e. Dalam bidang pendidikan, dengan terdaftarnya noken di UNESCO,
modul pembelajaran noken dapat dibuat dan didistribusikan ke
berbagai sekolah di Papua. Buku modul pembelajaran noken selain
berisi tentang proses pembuatan noken juga berisi tentang makna dan
nilai-nilai budaya noken yang tentu saja dapat berguna bagi
pembentukan karakter anak didik. Di samping itu, hasil yang didapat
dari aktivitas merajut dan menganyam noken mendatangkan
pendapatan yang salah satunya untuk membiayai pendidikan anak-
anak.
f. Secara sosial, ikatan sosial terbangun dengan adanya sanggar-sanggar
yang menjadi wadah berkumpulnya mama-mama Papua perajin
noken. Berbagai permasalahan keluarga, sosial dan ekonomi serasa
mendapat solusi pemecahannya karena dipikirkan secara bersama-
sama.
g. Masyarakat kembali menanam pohon untuk bahan baku pembuatan
noken baik ditanam dalam lingkup keluarga maupun secara adat di
tanah ulayat.
h. Dampak ekonomi dirasakan oleh penjual suvenir di pasar Jayapura
yang mengaku bahwa saat ini para turis baik dari mancanegara
maupun dari nusantara, lebih senang membeli noken alami
dibandingkan noken dari bahan benang toko. Bahkan para penjual
suvenir tersebut mengaku mengetahui noken sudah terdaftar ke
UNESCO melalui turis mancanegara yang berbelanja noken alami di
tokonya. Saat ini menjual noken alami lebih cepat laku dibanding
noken dari bahan baku benang toko.
2. Kendala Pelestarian Noken:
a. Bahan baku tanaman susah didapat, khususnya bagi mama-mama
Papua perajin noken di Kota Jayapura.
62
b. Pemasaran Noken sebagai hasil karya mama-mama Papua, perlu
mendapat pendampingan dari berbagai pihak
c. Diperlukan alat pemintal benang untuk mempercepat proses
pembuatan noken. Saat ini proses pemintalan masih menggunakan
sistem tradisional dengan cara memelintir setiap bahan alami dari
pohon menjadi benang dengan menggunakan tangan dan dialaskan di
paha mama-mama Papua perajin noken. Hal itu menjadikan lamanya
proses pemintalan benang.
d. Instruksi Gubernur tentang penggunaan noken pada setiap Kamis dan
Jumat belum memasyarakat di kabupaten-kabupaten di Provinsi
Papua.
e. Kreatifitas dan diversifikasi produk noken bagi mama-mama perajin
Noken perlu ditingkatkan melalui berbagai bimbingan teknis.
C. Dampak Penetapan WBTB Indonesia dalam Daftar ICH UNESCO
1. Dampak Penetapan Noken dalam Daftar ICH UNESCO
No Dampak Deskripsi
1. Pelestarian 1. Pelindungan: regulasi dan kebijakan
2. Pengembangan: fungsi, fungsi yang
lain, diversifikasi fungsi noken,
3. Pemanfaatan: lokal, nasional,
internasional
Budaya 1. Menumbuhkan dan memperkuat
kesadaran identitas sosial bukan
hanya sebagai warga Papua tetapi
juga Indonesia sebagai tempat noken
diakui sebagai warisan budaya
dunia.
2. Menumbuhkan dan meningkatkan
kesadaran tentang noken sebagai
warisan budaya yang perlu dijaga
keberlanjutannya dari generasi ke ke
generasi.
3. Mendorong karya cipta noken ke
dalam bentuk yang dapat digunakan
sesuai dengan tuntutan pemakainya.
63
No Dampak Deskripsi
2. Ekologis Pelindungan regulasi ekologis
Keberlanjutan tanaman bahan baku
noken
Mengurangi lahan kritis melalui
penanaman kembali tanaman bahan
baku noken
3. Sosial Meningkatkan kebanggaan terhadap
warisan budaya
Terjadinya jaringan sosial:
Meningkatkan status untuk kelengkapan
kantor
Status noken dari pinggiran ke pusat,
status sosial dari pinggiran ke pusat
4. Kelembagaan Lebih berfungsinya sanggar-sangar
sebagai tempat belajar memuat noken,
mempersatukan perajin, sanggar dan
penjual sebagai agen informasi
5. Ekonomi Peningkatan pendapatan, pemasaran
produk melalui pameran, festival, media
online, promosi
6. Pendidikan Transmisi pengetahuan budaya noken
melalui [pendidikan formal dan
informal (sanggar, panti asuhan/panti
jompo)
Tersusunnya materi pengayaan bahan
ajar
Penyadaran masyarakat terhadap
tanaman bahan baku
7. Politik Rasa memilik dan kebanggaan terhadap
noken , sebagai warisan kultural
bersama antara Papua dan Papua Barat
Dalam konteks politik bisa menjadi
alat/media diplomasi budaya antara
Indonesia dengan Papua Nugini
Noken sebagai media pemungutan suara
Menjadikan komunitas noken sebagai
potensi suara dalam pilkada
64
No Dampak Deskripsi
Kesadaran noken sebagai identitas dan
kebanggaan bangsa Indonesia belum
tercapai sehingga acara –acara yang
terkait dengan peristiwa noken harus
dalam lingkup nasional dan
international
2. Dampak Penetapan Angklung dalam daftar ICH UNESCO
No Dampak Deskripsi
1. Pelestarian 1. Pelindungan; belum ada regulasi dan
kebijakan khusus dalam bidang angklung;
ada kebijakan pendirian rumah angklung
oleh Dinas Parbud Prov. Jabar
2. Pengembangan: komunitas angklung dan
akademisi
3. Pemanfaatan: komunitas angklung oleh
Saung Angklung Udjo, dan sanggar-
sanggar
Catatan: Pelestarian angklung menjadi
tujuan dan pembuka ke dalam dampak tabel
no. 2 dan seterusnya
Budaya 1. Menumbuhkan dan memperkuat
kesadaran identitas sosial bukan hanya
sebagai warga Jawa Barat tetapi juga
Indonesia tempat angklung diakui
sebagai warisan budaya dunia.
2. Menumbuhkan dan meningkatkan
kesadaran tentang angklung sebagai
warisan budaya yang perlu dijaga
keberlanjutannya dari generasi ke ke
generasi.
3. Menumbuhkan kesadaran angklung
bukan hanya sebagai alat musik
pengiring lagu-lagu yang sudah ada,
tetapi menjadi melodi pencipta lagu
65
No Dampak Deskripsi
bukan hanya daerah tetapi juga Indonesia
dan bahkan dunia.
2. Ekologi 1. Penanaman kembali bahan baku
angklung atau bambu, misalnya di
Cipatat bekerjasama dengan Dompet
Duafa, Yayasan Kehati, Astra Honda
Motor
2. Penanaman bambu untuk rehabilitasi
lahan kritis
3. Sosial 1. Kebanggaan masyarakat terhadap
penetapan angklung
2. Menambah kertrampilan dari petani
bambu menjadi perajin angklung
3. Meluaskan jaringan sosial di kalangan
komunitas angklung
4. Meluaskan jaringan sosial para petani
bambu dan perajin angklung
4 Kelembagaan Semakin tumbuh sanggar-sanggar angklung
dan komunitas-rekomendasi pembentukan
koperasi di tingkat perajin atau petani
bamboo
5. Ekonomi 1. Meningkatkan pendapatan bagi perajin
dan petani bambu
2. Membuka / meluaskan lapangan kerja
(penajaja suvenir angklung, pemain
angklung)
6. Pendidikan 1. Ilmu Pengetahuan: ilmu seni
musik,pembuatannya ilmu angklung,
ilmu bambu, menghasilkan beberapa
skripsi, tesis maupun disertasi
2. Edukasi: media untuk pembelajaran
karakter
3. Penetapan angklung memunculkan
beberapa program studi di PT yang
mengkaji angklung (ISBI dan Unpas)
7. Politik Diplomasi budaya
66
Beberapa Catatan Penutup
Berikut ini informasi sebagaimana terkait Permohonan Pengajuan Bantuan
Internasional (Requesting International Assistance):
Komite Antarpemerintah untuk Pelindungan dan Pelestarian Warisan Budaya
Takbenda (the Intergovernmental Committee for the Safeguarding of the
Intangible Cultural Heritage) memberikan hibah/grants dari Dana Warisan
Budaya Takbenda (the Intangible Cultural Heritage Fund) untuk kegiatan-
kegiatan yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan warisan budaya
takbenda sebagaimana tercantum dalam Konvensi 2003 (Pasal 20):
a) melindungi dan melestarikan elemen-elemen warisan budaya takbenda yang
memerlukan pelindungan mendesak (in Need the Urgent Safeguarding
List);
b) persiapan inventarisasi;
c) dukungan untuk program-program, projek-projek dan kegiatan-kegiatan
yang bertujuan untuk melindungi dan melestarikan Warisan Budaya
Takbenda di tingkat nasional, subregional dan regional; dan
d) berbagai tujuan lain yang dianggap perlu oleh Komite tersebut, termasuk
bantuan untuk peningkatan kemampuan (capacity building) dan persiapan.
Detail informasi mengenai kriteria dan tata cara serta formulir pengajuan dapat
dilihat dari: http://www.unesco.org/culture/ich/en/requesting-assistance-
00039
Negara dapat meminta International Assistance (Bantuan Internasional) dari
Dana (Fund) tersebut. Sebagaimana dijelaskan
dalam http://www.unesco.org/culture/ich/en/ich-fund-00816
Penggunaan Dana (Use of the Fund) dapat dijelaskan sebagai berikut:
Pasal 7(c) dalam Konvensi meminta Komite untuk' mempersiapkan dan
menyerahkan kepada Sidang Umum untuk menyetujui draft rencana
penggunaan sumber dana dari the Intangible Cultural Heritage Fund, sesuai
dengan Pasal 25’. Pasal 25.4 dalam Konvensi menyatakan bahwa penggunaan
sumber dana dari ICH Fund tersebut oleh Komite ‘akan
diputuskan berdasarkan panduan yang dibuat oleh Sidang Umum'. Panduan
tersebut diadopsi oleh Sidang Umum Negara Anggota dalam sesi keduanya
tahun 2008 dan tercantum dalam Bab II.1 Panduan Operasional Implementasi
Konvensi (the Operational Directives for the Implementation of the
Convention).
67
Sidang Umum telah menyetujui rencana penggunaan sumber-sumber dari
Dana tersebut untuk periode 1 Januari 2016 hingga 31 Desember 2017
Terkait Modul Pelatihan dan Bahan Ajar untuk Capacity Building dan kegiatan
edukasi lain, pada website UNESCO ICH terdapat:
1. Kit of the Convention for the Safeguarding of the Intangible Cultural
Heritage. Kit ini terdiri dari 9 brosur dan fact sheets tentang 12 proyek
pelindungan dan pelestarian WBTB yang seluruhnya dapat diunduh secara
bebas dari: http://www.unesco.org/culture/ich/en/kit.
2. Juga terdapat video yang dibuat NHK Jepang pada bagian Publications yang
dapat menjadi referensi apabila ingin membuat video dokumentasi WBTB
dapat dilihat di sini http://www.unesco.org/culture/ich/en/nhk (NHK videos
in High-Definition on Intangible Cultural Heritage)
3. Informasi mengenai UNESCO Collection of Traditional Music of the World
pada http://www.unesco.org/culture/ich/en/collection-of-traditional-music-
00123
Selain itu telah diidentifikasi beberapa hal yang dapat diajukan ke UNESCO
untuk sejumlah rencana kegiatan:
1. Pemetaan Elemen ICH
2. Perekaman Elemen ICH
3. Pemetaan Sumberdaya Informasi dan Data (Backup server dan program
digitalisasi sumber informasi dan data yang sudah dimiliki), dll.
68
BAB V
SIMPULAN, REKOMENDASI DAN USULAN KEBIJAKAN
A. Simpulan
1. Ada kepedulian dari instansi terkait dan swasta, walaupun belum
maksimal, terhadap upaya pelestarian noken
2. Ada upaya-upaya peletarian noken oleh berbagai pihak
3. Semakin banyaknya mama Papua yang kembali merajut dan menganyam
noken dan mengorganisir diri dalam bentuk sanggar-sanggar
4. Animo yang besar dari mama-mama Papua perajin noken untuk kembali
merajut dan menganyam noken juga disebabkan permintaan pasar yang
mulai meningkat terhadap noken alami paska penetapan noken oleh
UNESCO. Permintaan tersebut berasal dari instansi pemerintah, Swasta,
LSM, wisatawan baik asing/nusantara, dan perorangan
5. Dalam bidang pendidikan, dengan terdaftarnya noken di UNESCO,
modul pembelajaran noken dapat dibuat dan didistribusikan ke berbagai
sekolah di Papua. Buku modul pembelajaran noken di samping berisi
tentang proses pembuatan noken juga berisi tentang makna dan nilai-
nilai budaya noken yang tentu saja dapat berguna bagi pembentukan
karakter anak didik. Di samping itu, hasil yang didapat dari aktivitas
merajut dan menganyam noken mendatangkan pendapatan yang salah
satunya untuk membiayai pendidikan anak-anak.
6. Secara sosial, ikatan sosial terbangun dengan adanya sanggar-sanggar
yang menjadi wadah berkumpulnya mama-mama Papua perajin noken.
Berbagai permasalahan keluarga, sosial dan ekonomi serasa mendapat
solusi pemecahannya karena dipikirkan secara bersama-sama.
7. Masyarakat kembali menanam pohon untuk bahan baku pembuatan
noken baik ditanam dalam lingkup keluarga maupun secara adat di tanah
ulayat.
8. Dampak ekonomi dirasakan oleh penjual suvenir di pasar Jayapura yang
mengaku bahwa saat ini para turis baik dari mancanegara maupun dari
nusantara, lebih senang membeli noken alami dibandingkan noken dari
bahan benang toko. Bahkan para penjual souvenir tersebut mengaku
mengetahui noken sudah terdaftar ke Unesco melalui turis mancanegara
yang berbelanja noken alami di tokonya. Saat ini menjual noken alami
lebih cepat laku dibanding noken dari bahan baku benang toko.
69
B. Rekomendasi Hasil Penelitian Noken dan Angklung
1. Noken
No Stakeholder Usulan Rekomendasi
1. Pemerintah Pusat
1. Kemenko PMK
2. Kemedikbud
3. Kemenhut
Kemdikbud:
pembuatan regulasi terkait dengan
WBTB yang telah terdaftar di ICH
UNESCO
Ada agenda setiap tahun tentang
WBTB yang sudah terdaftar
Pengenalan/sosialisasi budaya noken
sejak dini baik muatan lokal atau ekstra
kurikuler
Kemenhut:
Regulasi tentang budidaya tanaman
bahan baku noken
Regulasi yang mengatur bahan baku
noken sebagai tanaman langka yang
wajib dilindungi/pelindunagn terhadap
tanaman bahan baku noken
2. Pemerintah Daerah Gubernur Papua:
Membuat Monumen Noken
Sosialisasi ke kabupaten/kota terkait
instruksi gubernur tentang penggunaan
noken setiap hari Kamis dan Jumat
Pemberian sertifikat penetapan noken
dalam daftar ICH Unesco kepada
sanggar-sanggar di berbagai daerah di
provinsi Papua dan Papua Barat
Dinas Dikbud:
Memberikan diklat tentang makna,
nilai, dan fungsi noken serta proses
pembuatanya kepada guru pelajaran
prakarya
Membuat buku bergambar yang
menarik untuk tingkat TK sampai
SMA
Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif
Mensosialisasikan makna, nilai dan
fungsi noken di sanggar sanggar
dengan cara membuat standing banner,
tulisan-tulisan yang memuat tentang
makna, nilai dan fungsi noken sebagai
wahana sosialisasi
70
No Stakeholder Usulan Rekomendasi
Membuat suvenir noken untuk para
tamu yang menginap di hotel
Memberikan diklat untuk pemandu
wisata dalam rangka meningkatkan
pengetahuan dan pemahaman mereka
terhadap makna, nilai, dan fungsi
noken
3. Sanggar-sanggar Sanggar-sanggar yang sudah mapan
memberikan pendampingan kepada
sanggar-sanggar yang belum mapan
Meningkatkan kualitas bengkel kerja
pembuatan noken. Setiap sanggar
memiliki tempat display noken dan
bengkel tempat mengolah dari bahan
mentah menjadi bahan jadi
Membentuk koperasi simpan pinjam
perajin
4. Swasta Membantu perajin noken membuat
showroom untuk kepentingan display
noken, baik di provinsi maupun
kabupaten/kota ataupun di tempat
tempat umum dan keramaian.
Mengalokasikan sebagaian dana CSR
untuk membantu peningkatan produksi
noken
Bersedia menjadi bapak angkat bagi
perajin noken.
5. Kalangan Akademisi Meningkatkan riset terhadap budaya
noken, baik dari aspek bahan baku,
maupun kajian sosial budaya dari
noken
Melaksanakan riset tentang persebaran
noken di Papua dan Papua Barat
Melaksanakan riset tentang perubahan
nilai dan fungsi noken bagi masyarakat
pendukung kebudayaan noken
Melakukan diversifikasi produk noken
71
2. Angklung
No Stake Holder Usulan Rekomendasi
1. Pemerintah Pusat Ada lomba cipta lagu nasional khusus
berdasarkan melodi angklung
2. Pemerintah Daerah Mendorong sekolah-sekolah
menciptakan lagu dari melodi angklung
Menerbitkan regulasi dan kebijakan
khusus tentang angklung
Regulasi pelindungan tentang bambu
sebagai bahan baku angklung
Membuat Monumen Angklung
Menghimbau hotel-hotel untuk
memainkan angklung bagi
pertunjukkan tamu
Ada modifikasi supaya angklung dapat
dimainkan
3. Sanggar-sanggar Meningkatkan kualitas sumber daya
manusia yang terkait dengan angklung
4. Swasta Lebih memperbanyak CSR untuk budaya
angklung
5. Kalangan Akademisi Pendekatan angklung secara keilmuan
Peningkatan kajian terhadap angklung
oleh perguruan tinggi di Jawa Barat
dengan pendanaannya ditanggung oleh
masing-masing perguruan tinggi
Untuk Provinsi Jawa Barat, perlu
menetapkan pemberian beasiswa
kepada mahasiswa dari berbagai
program studi yang menaruh minat
meneliti angklung sebagai tugas akhir
atau skripsi, tesis dan disertasi.
Rumah Angklung Menjadikan pusat angklung di Jawa
Barat sebagai konservatorium musik
Indonesia, yang dikelola secara
profesional dengan kaidah-kaidah
akademik sehingga bukan hanya
menjadi rujukan, tetapi juga
pengembangan dan inovasi musik
Indonesia.
72
C. Rekomendasi terhadap WBTB Indonesia yang sudah terdaftar di
ICH UNESCO
1. Pemerintah Pusat (Kemdikbud) dalam hal ini dapat menerbitkan
Permendikbud tentang Hari WBTb Indonesia yang sudah terdaftar di
ICH UNESCO
2. Kemenko PMK dapat memaksimalkan fungsinya dalam
mengkoordinasikan pelestarian budaya, khususnya WBTb Indonesia
yang sudah terdaftar di ICH UNESCO
3. Pemerintah Daerah Provinsi perlu mensosialisasikan berbagai
kebijakan terkait dengan WBTb yang sudag terdaftar di ICH Unesco
ke kabupaten/kota.
4. Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota perlu menjalin
hubungan yang baik dengan komunitas yang mengampu WBTb yang
sudah terdaftar tersebut.
73
DAFTAR PUSTAKA
Arbi, Yunus. Petunjuk Pengusulan Warisan Budaya. Direktorat Internalisasi dan
Nilai Budaya. Jakarta: Ditjen Kebudayaan. Kemdikbud, 2014.
Bungin, Burhan, Cet 4. 2010. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi,
Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta: Elex Media.
Endraswara, Suwardi, 2003. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press. Irna. Laporan dari Direktorat Warisan dan Diplomasi Budaya (WDB). Jakarta:
Ditjen Kebudayaan, Kemdikbud , TT.
Maleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT.
Remaja Rosdakarya.
Sadovnik, Alan R. 2015. Penelitian Kualitatif dan Kebijakan Publik. Dalam
Frank Fischer, Gerald J. Miller, Mara S. Sidney. Handbook Analisis
Kebijakan Publik Teori, Politik dan Metode. Terjemahan Imam
Baihaqie. Bandung: Penerbit Nusa Media. Halaman 585 – 599.
Spradley, James P., 1987. Metode Etnografi. Yogyakarta: Tiara Wacana.