EVALUASI PENGAYAAN CACING TANAH (Pheretima sp)
TERHADAP KOMPOSISI KIMIA DAN PERKEMBANGAN
GONAD INDUK BETINA UDANG VANAMEI (L. vannamei)
VENI DARMAWIYANTI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Evaluasi Pengayaan
Cacing Tanah (Pheretima sp) terhadap Komposisi Kimia dan Perkembangan Gonad Induk Betina Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, November 2013
Veni Darmawiyanti NIM C 151110291
RINGKASAN
VENI DARMAWIYANTI. Evaluasi Pengayaan Cacing Tanah (Pheretima sp)
terhadap Komposisi Kimia dan Perkembangan Gonad Induk Betina Udang Vanamei
(Litopenaeus vannamei). Dibimbing oleh MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI,
NUR BAMBANG PRIYO UTOMO dan MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR.
Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu spesies
keluarga udang-udang penaid yang mempunyai nilai komersial penting dalam
perdagangan dunia. Pakan alami yang unggul dalam memacu pematangan gonad
udang vanamei adalah cacing laut (Nereis sp), namun cacing laut menjadi vektor
perpindahan virus white spot pada spesies udang-udang penaid. Tujuan penelitian
ini adalah mencari pakan alternatif pengganti cacing laut sebagai pakan induk
udang Vanamei. Cacing tanah (Pheretima sp) sangat potensial untuk
dikembangkan sebagai pakan pengganti induk udang Vanamei karena dapat
dibudidayakan dan kandungan gizinya cukup tinggi. Namun kandungan
fosfolipid, kolesterol dan karotennya lebih rendah daripada cacing laut.
Evaluasi dilakukan pada pakan cacing laut (Nereis sp) sebagai kontrol (A), pakan cacing tanah (Pheretima sp) (B), pakan cacing tanah (Pheretima sp) yang diperkaya fosfolipid, kolesterol dan karoten (C) dan pakan buatan yang menggunakan tepung cacing tanah (Pheretima sp) sebagai sumber protein utama dengan diperkaya fosfolipid, kolesterol dan karoten (D). Ikan uji adalah induk betina udang Vanamei yang belum pernah mijah. Masa pemeliharaan selama 3 periode pematangan. Parameter yang diamati antara lain tingkat perkembangan gonad dan komposisi kimia gonad pada tingkat kematangan gonad (TKG) II dan IV.
Hasil menunjukkan bahwa kecepatan perkembangan gonad secara morfologi maupun histologi pada perlakuan C lebih tinggi dibandingkan perlakuan B dan D. Jumlah induk yang berkembang menjadi TKG IV tertinggi pada perlakuan A (28%) diikuti oleh induk betina pada perlakuan C (22.67%) dan D (17.33%). Pengamatan komposisi kimia gonad induk selama perkembangan gonad dari TKG II ke IV, menunjukkan bahwa meskipun kandungan lemak total perlakuan A, C dan D meningkat, hanya perlakuan A dan C yang menunjukkan peningkatan pada kandungan protein, triasilgliserida dan lemak polar. Hal ini disebabkan kandungan betakaroten kedua perlakuan cukup tinggi sehingga dapat mencegah proses oksidasi selama suplai lemak kedalam gonad. Pada penelitian ini, induk yang dapat memproduksi telur adalah induk pada perlakuan pakan A dan C. Kelompok lemak khusus yang ditransfer kedalam telur dengan kandungan yang relatif tinggi adalah triasilgliserida dan kolesterol. Komposisi kimia telur yaitu kandungan protein telur A. 1.87%, C. 12.94%; kandungan triasilgliserida telur A. 0.73%, C. 0.70%; kandungan kolesterol telur A. 0.62%, C. 0.49%; dan kandungan betakaroten telur A. 20.62 mg/1000g, C. 18.2 mg/1000g. Sehingga dapat disimpulkan bahwa cacing tanah (Pheretima sp) segar yang diperkaya dengan fosfolipid, kolesterol dan betakaroten dapat digunakan sebagai pakan alternatif pengganti cacing laut (Nereis sp) untuk induk udang Vanamei (Litopenaeus vannamei).
Kata kunci: Cacing laut Nereis sp, induk L. Vanamei, cacing tanah Pheretima sp
SUMMARY
VENI DARMAWIYANTI. The Evaluation of Earthworm (Pheretima sp)
Enrichment on The Chemical Composition and Ovarian Development of Female
Pacifik White Shrimp (Litopenaeus vannamei) Broodstock. Supervised by MUHAMMAD AGUS SUPRAYUDI, NUR BAMBANG PRIYO UTOMO and
MUHAMMAD ZAIRIN JUNIOR.
Pacific White shrimp (Litopenaeus vannamei ) is a species of penaid shrimp
families that has significant commercial value in the world trade. Fresh feed that
have excelent result to increase broodstock gonad maturation of white shrimp is
marine worm (Nereis sp), therefore they become WSSV vector. This study aimed
to search arternative feed subtituting marine worm as the main feed of white
shrimp broodstock. Earthworms (Pheretima sp) have a great potential to be used
as an alternative feed to subtituting marine worm for white shrimp broodstock
because they can be cultivated, and the nutritional content is quite high. But the
content of phospholipids, cholesterol and carotene earthworms were lower than
marine worms.
The diet treatments were marine worms (Nereis sp) as a control (A),
earthworms (Pheretima sp) (B), earthworms enriched by phospholipids,
cholesterol and carotene (C) and artificial feed using earthworms flour as the main
protein source enriched by phospholipids, cholesterol and carotene (D). The
object of this research was virgin white shrimp broodstock. Observed parameters
were gonad development stage (GDS) and gonad chemical composition at gonad
maturation level II and IV.
The results showed that gonad development stage both morfology and
histology of C treatment was higher than B and D. The highest of broodstock that
reach out for GDS IV was treatment A (28%), followed by treatment C (22.67%)
and treatment D (17.33%). The observation of broodstock gonad chemical
composition during maturation process from GDS II to GDS IV, showed that
although gonad total lipid (TL) of treatments A, C and D increase, only treatment
A and treatment C showed an increase in protein content, triacylgliseride, and
polar lipid. These affected by betacaroten of both treatments were high enough, so
be able to prevent the oxidation of gonad lipid mobilization process. In this study,
the treatment that able to produce eggs are treatment A and C. Lipids were
preferentially transferred to the eggs, which contained relatively high
triacylgliseride and cholesterol levels. The chemical composition of eggs
respectively were: protein content of eggs A. 1.87%, C. 12.94%; triacylgliseride
content of eggs A. 0.73%, C. 0.70%; cholesterol content of eggs A. 0.62%, C.
0.49%; and beta-caroten content of eggs A. 20.62 mg/1000g, C. 18.2 mg/1000g. It
can be concluded that earthworms (Pheretima sp) enriched by phospholipids,
cholesterol and beta-carotene can be used as a white shrimp broodstock alternative
feed for subtitute marine worms (Nereis sp).
Keywords: Marine worm Nereis sp, L. vannamei broodstock, earthworm
Pheretima sp
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini
dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
i
EVALUASI PENGAYAAN CACING TANAH (Pheretima sp)
TERHADAP KOMPOSISI KIMIA DAN PERKEMBANGAN
GONAD INDUK BETINA UDANG VANAMEI (L. vannamei)
VENI DARMAWIYANTI
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2013
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Ilmu Akuakultur
Penguji Luar komisi pada ujian tesis : Dr. Dedi Jusadi
i
Judul Tesis : Evaluasi Pengayaan Cacing Tanah (Pheretima sp) terhadap
Komposisi Kimia dan Perkembangan Gonad Induk Betina Udang
Vanamei (Litopenaeus vannamei)
Nama : Veni Darmawiyanti
NIM : C151110291
Disetujui oleh
Komisi Pembimbing
Dr Ir Muhammad Agus Suprayudi, MSc
Ketua
Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo, MSi
Anggota
Prof Dr Ir Muhammad Zairin Junior, MSc
Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi
Ilmu Akuakultur
Dr Ir Widanarni, MSi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Dr Ir Dahrul Syah, MSc Agr
Tanggal Ujian: Tanggal Lulus:
19 November 2013
v
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala karuniaNya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 ini adalah pakan
alternatif untuk induk udang, dengan judul Evaluasi Pengayaan Cacing Tanah
(Pheretima sp) terhadap Komposisi Kimia dan Perkembangan Gonad Induk
Betina Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei). Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Dr Ir Muhammad Agus
Suprayudi MSc, Dr Ir Nur Bambang Priyo Utomo MSi dan Prof Dr Ir Muhammad
Zairin Junior MSc atas bimbingan dan saran yang diberikan, serta kepada Bapak
Dr Dedi Jusadi dan Ibu Dr Ir Widanarni MSi selaku dosen penguji. Ucapan terima
kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh pimpinan dan staf Balai Budidaya
Air Payau Situbondo, Bapak Dr Ir Slamet Subyakto MSi serta Bapak Dr Ir
Muhammad Murjani MSc atas perhatian dan bantuannya. Selanjutnya ucapan
terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen Program Studi Ilmu
Akuakultur dan staf Laboratorium Nutrisi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,
staf Laboratorium Kesehatan Ikan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, staf
Laboratorium Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan, dan staf Laboratorium
Fisiologis Fakultas Kedokteran Hewan IPB.
Penghargaan dan ucapan terima kasih yang tak terhingga disampaikan
kepada Ayahanda Drs Abd Rachman Abu, Ibunda Tri Murdaningsih AMa Pd,
Ayahanda Imam Soetomo BcIp, Ibunda Rr Moerhardiyati, Mas Salugu Widya
Utama SH, Fadhil Widya Dharma Putra dan Vidi, Vici, Imam, Anita, Mas Agung,
Inten, Bintang, Bulan, serta Raditya atas segala cinta, doa dan dukungannya.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Mas Yanto Sumber Jambe
Jember, Ansar (Mahasiswa Universitas Borneo Tarakan), SMK Sukorambi
Jember (Ibnu, Ival, Eki, Anto) atas bantuannya, keluarga The Reginer’s serta
rekan Akuakultur 2011 dan 2011 atas kebersamaan, kasih sayang dan dukungan
semangatnya.
Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat dan diridhoi oleh Allah SWT.
Amin.
Bogor, November 2013
Veni Darmawiyanti
v
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR vii
DAFTAR LAMPIRAN viii
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 2 Tujuan dan Manfaat 3
2 TINJAUAN PUSTAKA 4
Cacing Tanah (Pheretima sp ) 4 Biologi 4 Kandungan Nutrisi 4
Udang Vanamei 6 Biologi 6 Perkembangan Gonad Udang Vanamei 6
Kebutuhan Nutrisi Induk 9 Persyaratan Energi 9
Lemak 10 Protein dan Asam Amino 10 Karbohidrat 11 Vitamin dan Mineral 11 Pigmen Karotenoid 11
3 METODE PENELITIAN 13
Waktu dan Tempat 13 Prosedur Penelitian 13 Hewan Uji 13 Pakan Uji 14
Persiapan Pakan Uji 14
Pakan Cacing Laut dan Cacing Tanah tanpa Pengkaya 14
Pengayaan Cacing Tanah 14 Pakan Buatan 14
Persiapan Wadah dan Media Pemeliharaan 14 Pemeliharaan Udang Vanamei 15 Ablasi 15
Pemijahan dan Pelepasan Telur 15 Parameter yang Diamati 16
Tingkat Kematangan Gonad. 16 Indeks Kematangan Gonad (Effendi 1979) 16 Pengukuran Diameter Telur 16
Komposisi Kimia Gonad dan Telur 16 Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel and Torrie 1991) 16
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 17
Hasil 17 Tingkat Kematangan Gonad secara Morfologi 17 Tingkat Kematangan Gonad Secara Histologi 17 Indeks Kematangan Gonad (GSI) dan Diameter Telur 20 Komposisi Kimia Pakan, Gonad dan Telur 23 Kandungan Protein 23 Kandungan Lemak 23 Kandungan Betakaroten 26
Pembahasan 27
5 SIMPULAN DAN SARAN 33
Simpulan 33 Saran 33
DAFTAR PUSTAKA 33
vii
DAFTAR TABEL
1 Komposisi kimia tepung cacing tanah (Pheretima sp)* 5
2 Profil asam amino cacing tanah (Pheretima sp)* 5
3 Perlakuan pakan uji pada induk udangVanamei 14 4 Komposisi kimia pakan perlakuan
* 15
5 Persentase frekuensi diameter oosit udang Vanamei pada tingkat
kematangan II dan diameter rata-ratanya 19 6 Persentase frekuensi diameter oosit udang Vanamei pada tingkat
kematangan IV dan diameter rata-ratanya 20
7 Komposisi lemak total dan kelompok-kelompok lemak pada pakan,
gonad dan telur masing-masing perlakuan; (TL) lemak total; (NL)
lemak netral; (TAG) triasilgliserida; (COL) kolesterol; (PL) lemak
polar 24
DAFTAR GAMBAR
1 Cacing Tanah (Pheretima sp) 4 2 Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) 6 3 Perkembangan gonad udang. A. Tahap belum berkembang / spent
(tampak atas); B. Tahap berkembang (tampak atas); C. Tahap hampir
matang (tampak atas); D. Tahap matang (tampak atas); E. Tahap D
tampak samping; F. Tahap D tampak bawah; AL: anterior lobe,
ABL: abdominal lobe / LL: lateral lobe (Motoh 1981). 7 4 Gambaran histologi perkembangan gonad udang, A. TKG 1, B. TKG
2, C. TKG 3, D. TKG 4 (Motoh 1981). 8 5 Alur kegiatan penelitian 13 6 Jumlah induk udang Vanamei pada TKG III dan IV selama masa
pemeliharaan 17 7 Gambaran histologi gonad induk udang Vanamei pada TKG II;
preparasi dengan larutan Davidson; x100; (op) oosit primer; (nu)
nukleoli; (n) nukleus 18
8 Gambaran histologi gonad induk udang Vanamei pada TKG IV;
preparasi dengan larutan Davidson; x100; (cg) butiran kortikal; (nu)
nukleoli (y) kuning telur; (n) nukleus 19 9 Frekuensi penyebaran garis tengah telur dan indeks kematangan
gonad induk betina udang Vanamei masing-masing perlakuan pada
TKG II 21 10 Frekuensi penyebaran garis tengah telur dan indeks kematangan
gonad induk betina udang Vanamei masing-masing perlakuan pada
TKG IV 22 11 Kandungan protein pakan, gonad dan telur masing-masing perlakuan 23 12 Kandungan betakaroten pakan, gonad dan telur perlakuan 27 13 Perbandingan warna gonad antar perlakuan 31
DAFTAR LAMPIRAN
1 Pengamatan jumlah induk udang Vanamei pada TKG I-IV selama
pemeliharaan 34
1
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) merupakan salah satu spesies keluarga
udang-udang penaid yang mempunyai nilai komersial penting dalam perdagangan
dunia (FAO 2012). Tingginya permintaan ekspor udang Indonesia menyebabkan udang
Vanamei menjadi salah satu komoditas unggulan dalam program industrialisasi
perikanan. Salah satu upaya untuk mendukung pengembangan budidaya udang
Vanamei adalah melalui penyediaan benih yang bermutu. Benih bermutu dihasilkan
oleh induk dengan kinerja reproduksi yang baik. Beberapa faktor yang mempengaruhi
kinerja reproduksi induk adalah pakan, manajemen lingkungan dan kualitas genetik
(Izquierdo et al. 2001; Ibarra et al. 2007). Pakan sangat berperan dalam proses pematangan gonad udang Vanamei
(Izquierdo et al. 2001). Pakan yang umum diberikan pada induk udang Vanamei berupa
pakan segar yang berasal dari laut seperti cacing laut (Nereis sp), cumi, kerang dan
udang. Penggunaan jenis pakan tersebut didasarkan pada tingginya kandungan asam
lemak tak jenuh, terutama asam lemak arakidonat (ARA: 20:4n-6), asam lemak
eikosapentaenoik (EPA: 20:5n-3) dan asam lemak dokosaheksaenoik (DHA: 22: 6n-3)
yang dapat memacu perkembangan gonad dan reproduksi udang (Wouters et al. 2001a).
Menurut Harrison (1997) selain n-3 HUFA (Highly Unsaturated Fatty Acid) dan asam
lemak arakidonat, jaringan pada cumi, tiram, dan udang kaya akan sterol-sterol,
fosfolipid (PL), serta asam amino essensial. Pakan alami ini juga mengandung betaine
dan nukleotida yang diketahui dalam bentuk attraktan. Jaringan udang dan tiram juga
tinggi kandungan astaksantin dan pigmen-pigmen karotenoid lain.
Menurut D’Abramo et al. (1981) lemak memainkan peranan yang sangat penting
dan terintegrasi dalam proses kelangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi udang.
Penelitian Gonzalez-Felix et al. (2002) menunjukkan pentingnya Fosfolipid dan asam
lemak tak jenuh (Highly Unsaturated Fatty Acid/ HUFA) dalam pakan udang-udang
penaid termasuk udang Vanamei. Krustasea diketahui mempunyai kemampuan yang
terbatas untuk mensintesa HUFA dan tidak mempunyai kemampuan untuk mensintesa
sterol secara de novo (Harrison 1990; Wouters et al. 2001a). Udang dapat mensintesa
PL didalam tubuhnya, namun laju sintesanya rendah sehingga harus ditambahkan
didalam pakan (Shieh 1969 dalam Gonzales-felix et al. 2002).
Diantara jenis-jenis pakan tersebut, cacing laut unggul dalam memacu
pematangan gonad. Penggunaan polychaetes atau cacing laut sebagai pakan induk
udang mencapai lebih dari 25% dari total pakan selama proses maturasi. Cacing laut
memiliki kandungan nutrisi minimal 50% protein, 79% kadar air, 13% kadar abu dan
kadar lemak berkisar antara 6.6%-19.3%. Jenis cacing ini digunakan sebagai pakan
khususnya karena tinggi akan kandungan n-3 HUFA, betaine dan nukleotida (Harrison
1997; Pinon et al. 2003). Cacing laut mempunyai kandungan asam lemak utama C16:0,
C18:1 dan C20:5 (n-3) karena hidup dalam sedimen lumpur, pasir dan tanah liat yang
kaya akan asam lemak. Asam lemak umumnya digunakan sebagai penanda biologis
dan indikator kualitas pakan dalam ekosistem laut karena hewan laut mempunyai
kemampuan yang terbatas dalam mensintesa asam lemak. Namun demikian
pemanfaatan cacing laut sebagai pakan segar udang Vanamei dihadapkan pada
beberapa kendala. Pertama, ketersediaan cacing laut dan tingkat kesegarannya
berfluktuasi (Bray dan Lawrence 1992 dalam Nguyen 2009). Kedua, menurut
Sangamaheswaran dan Jeyaselan (2001) cacing laut bisa menjadi vektor perpindahan
virus white spot pada spesies udang-udang Penaid. Sehingga diperlukan bahan
pengganti cacing laut sebagai pakan induk udang Vanamei.
Disisi lain pakan tiram, cacing laut dan cumi yang disimpan lama juga
menyebabkan penurunan kualitas reproduksi induk, yang ditunjukkan dengan hilangnya
pigmentasi dan pemutihan ovarium induk betina dan kuning telur. Akibatnya laju
konsumsi pakan larva menjadi rendah, tingkat abnormalitas zoea 1 meningkat dan
rendahnya kelangsungan hidup larva pada saat perubahan ke zoea II. Penambahan
karoten didalam pakan induk lobster ternyata dapat meningkatkan kelangsungan hidup
pada zoea II (Lorenz 1998).
Cacing tanah (Pheretima sp) sangat potensial dikembangkan sebagai pakan
pengganti untuk induk udang Vanamei karena cacing tanah sudah dapat dikembangkan
sebagai ternak komersial sehingga ketersediaannya tidak bergantung pada alam dan
kesegarannya dapat dijaga kestabilannya (Sihombing 1999). Kandungan gizinya cukup
tinggi, terutama kandungan proteinnya yang mencapai 53.69-55.56% dan lemak 15.6-
20.37%. Protein yang sangat tinggi pada tubuh cacing tanah terdiri dari 18 macam
asam amino. Selain itu, cacing tanah mengandung 20 mineral dan trace element, serta
kandungan nutrisi yang berkaitan dengan asam lemak n-3 dan asam arakidonat
(Paoletti et al. 2003; Brata 2009). Hasil analisis asam lemak cacing tanah (Pheretima
sp) menunjukkan kandungan asam lemak ARA sebesar 4.49%, EPA 2.06% dan DHA
0.30%. Kandungan asam lemak ini cukup tinggi jika dibandingkan dengan kandungan
asam lemak cacing laut (Nereis sp) terutama pada kandungan asam lemak ARA yaitu
4.66%, EPA 0.89% dan DHA 0.34%. Namun kandungan fosfolipid, kolesterol (COL)
dan karotennya rendah.
Uji coba pendahuluan penggunaan cacing tanah sebagai pakan induk udang
vanamei menunjukkan proses pematangan gonad dan jumlah induk matang gonad serta
ukuran larva cukup baik, namun kualitas larva yang dihasilkan menurun, yang
diindikasikan dengan terjadinya kematian total pada saat perubahan stadia zoea ke
mysis (Unpublised data, BBAP Situbondo). Dengan demikian agar pakan cacing tanah
dapat menunjang kinerja reproduksi induk dan juga viabilitas larva, maka sebelum
digunakan sebagai pakan, cacing tanah harus diperkaya dengan fosfolipid, COL dan
karoten. Aplikasi cacing tanah dapat berupa pakan segar ataupun dalam bentuk tepung
cacing tanah. Untuk mengetahui perbedaan penggunaan cacing tanah pada induk udang
Vanamei maka dalam penelitian ini juga dievaluasi pengunaan pakan buatan dengan
bahan baku tepung cacing tanah.
Rumusan Masalah
Kualitas larva sangat dipengaruhi oleh kualitas telur. Sedangkan kualitas dan
kuantitas telur dapat ditingkatkan melalui perbaikan kualitas pakan induk. Pakan yang
dapat meningkatkan kualitas dan kuantitas telur adalah kualitas pakan itu sendiri dan
bukannya kuantitas pakan (Kamler 1992). Menurut Halver dan Hardy (2002) ada lima
macam nutrien pakan yang harus memenuhi kebutuhan ikan antara lain: protein,
karbohidrat, lemak, vitamin dan mineral. Unsur pakan tersebut harus dipenuhi menurut
proporsinya supaya induk dapat mencapai hasil reproduksi optimal.
Keunggulan cacing laut sebagai pakan induk udang Vanamei selain kandungan
proteinnya, juga karena tingginya kandungan asam lemak tak jenuh (Polyunsaturated
fatty acid/PUFA) khususnya asam lemak arakidonat (ARA:20;4n-6), asam lemak
eikosapentaenoik (EPA: 20; 5n-3), asam lemak dokosaheksaenoik (DHA: 22; 6n-3) dan
kelompok PL, COL dan karoten. Sedangkan cacing tanah selain mengandung protein
3
yang tinggi (53,31-72.9%), asam amino essensial, kalsium dan besi juga memiliki
kandungan proporsi asam lemak tak jenuh (PUFA) yang tinggi yaitu berkisar 46.7-
54.2% dari lemak total (Paoletti et al. 2003; Brata 2009). Namun kandungan COL,
fosfolipid dan karotennya lebih rendah daripada cacing laut.
Wouters et al. (2001a) dalam ulasannya menyatakan bahwa fosfolipid, TAG dan
COL adalah kelompok lemak utama yang berperan dalam pematangan gonad.
Fosfolipid dan COL merupakan komponen essensial dalam pembentukan biomembran
bersama dengan protein. Kebutuhan akan fosfolipid dapat menjadi akut jika proses
makan berhenti dan proses mobilisasi lemak dari hepatopankreas terjadi. Jika pada saat
itu transport COL juga terhambat maka kematian akan terjadi karena terhambatnya
transport prekursor hormon kedalam jaringan. Fosfolipid sangat dibutuhkan induk
untuk menaikkan produksi naupli, penetasan dan spermatogenesis. COL merupakan
prekursor dari beberapa senyawa fungsional termasuk hormon sex dan molting, adrenal
kortikoid, asam bile dan vitamin D (Harrison 1990). COL dibutuhkan untuk menjamin
fungsi endokrin dan mobilisasinya berjalan dengan baik selama proses maturasi.
Disamping COL dan fosfolipid, karoten ternyata juga sangat mempengaruhi kualitas
reproduksi induk yang ditunjukkan dengan menurunnya kualitas larva yang dihasilkan
pada pakan induk tanpa karoten (D’Abramo 1983 dalam Lorenz 1998). Hal ini
disebabkan krustasea memiliki kemampuan yang terbatas untuk mensintesa fosfolipid,
COL dan karoten, selain itu transport COL bersifat spesifik (Sgoutas 1972 dalam
D’Abramo 1981). Oleh karena itu, sebagai bahan alternatif substitusi cacing laut,
cacing tanah harus diperkaya dengan fosfolipid, COL dan karoten agar kualitas
nutrisinya dapat memenuhi kebutuhan udang Vanamei.
Namun penggunaan pakan alami juga menghadapi kendala berfluktuasinya
kualitas pakan dan penanganan yang lebih sulit sehingga diperlukan pula upaya
pengembangan pakan buatan untuk induk udang Vanamei. Oleh karena itu dalam
penelitian ini, evaluasi juga dilakukan pada pakan buatan induk udang Vanamei dengan
menggunakan tepung cacing tanah sebagai sumber proteinnya, yang diperkaya
fosfolipid, COL dan karoten.
Tujuan dan Manfaat
Penelitian ini bertujuan untuk mencari pakan alternatif pengganti cacing laut,
melalui pengamatan terhadap komposisi kimia dan perkembangan gonad induk udang
Vanamei betina dengan pemberian pakan cacing tanah, cacing tanah yang diperkaya
fosfolipid, COL dan karoten dan pakan buatan dengan bahan baku tepung cacing tanah
yang diperkaya fosfolipid, COL dan karoten.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai aplikasi pakan
alternatif cacing tanah dalam bentuk pakan segar dan pakan buatan untuk induk udang
Vanamei.
2 TINJAUAN PUSTAKA
Cacing Tanah (Pheretima sp )
Biologi
Pheretima sp merupakan jenis cacing tanah lokal yang penyebarannya meliputi
Indo-Melayu, Asia tenggara, dan Australia. Letak klitelium pada segmen 14-16,
pigmentasi dorsal sama dengan pigmentasi ventral yaitu merah kecoklatan. Ukuran
tubuh lebih ramping dan panjang serta gerakannya lebih lincah dari E. foitida. Tubuh
cacing tanah dewasa dapat mencapai 11 cm dan diameter 2 mm, jumlah segmen 122-
153 dan setiap segmen mempunyai seta dan tipe Perichaetine. Cacing tanah Pheretima
sp diketahui mampu mengimbangi keberadaan jenis Lumbricus sp. Kondisi lingkungan
tempat hidup jenis cacing tanah lokal ini dicirikan oleh suhu harian antara 230C-27
0C,
kelembaban antara 70-90% dan pH antara 6.5-8.3. Pada umumnya media yang
disenangi pH kurang lebih 7.0 dan jarang dijumpai pada habitat yang langsung terkena
cahaya matahari, serta lebih menyukai tempat-tempat yang tenang (Sihombing 1999;
Brata 2009).
Ciri khas segmen pada tubuh cacing ini menjadikan Pheretima sp diidentifikasi
sebagai kelompok phylum Annelida. Segmen yang membesar kearah anterior disebut
clitellum menunjukkan keanggotaan untuk kelas clitellata. Anggota kelas ini juga
didefinisikan bersifat hermaprodit (Brata 2009).
Kandungan Nutrisi
Cacing tanah adalah kelompok hewan tidak bertulang belakang, dapat ditemukan
di tempat yang lembab dengan ukuran bervariasi. Hampir terdapat 1800 spesies cacing
tanah dan beberapa spesies telah dimanfaatkan secara komersial untuk pengolahan
limbah, pakan ternak, kosmetik dan farmasi. Menurut Brata (2009), kandungan nutrien
cacing tanah sangat baik. Komposisi kimia cacing tanah (Pheretima sp) ditampilkan
pada Tabel 1 berikut ini.
Gambar 1 Cacing Tanah (Pheretima sp)
5
Penelitian yang dilakukan oleh Paoletti et al. (2003) pada dua jenis cacing tanah
Annelida; Glossoscolecidae menunjukkan bahwa cacing tanah mengandung protein
yang tinggi (64.5%-72.9% berat kering), asam amino essensial, kalsium, besi dan
sejumlah elemen penting lain. Kualitas protein cacing tanah pada beberapa kasus dapat
dibandingkan dengan protein susu sapi dan telur. Pada Tabel 2 berikut ini ditampilkan
profil asam amino dari cacing tanah Pheretima sp.
Kandungan total asam lemak dalam sampel cacing tanah pada penelitian Paoletti
et al. (2003) sangat rendah dan berkisar antara 6.6-10.5 mg/g berat kering. Namun ada
beberapa aspek penting komposisi asam lemak pada cacing tanah tersebut, pertama
proporsi asam lemak tak jenuh (Polyunsaturated fatty acid/ PUFA) sangat tinggi yaitu
berkisar 46.7-54.2%. Kedua, diantara asam lemak tak jenuh ganda, proporsi asam
lemak n-6 lebih tinggi daripada asam lemak n-3. Ketiga, kandungan asam lemak
arakidonat (20:4 n-6) sekitar 33-45% dari total asam lemak tak jenuh ganda atau hampir
Tabel 1 Komposisi kimia tepung cacing tanah (Pheretima sp)*
Komponen Komposisi
Protein
Lemak
Serat kasar
Air
Abu
BETN
53.69-55.56%*
15.66-20.37%*
0.14-0.18%*
5.59-6.03%*
4.26-4.15%*
15.07-17.59%*
* Sumber: Brata (2009)
Tabel 2 Profil asam amino cacing tanah (Pheretima sp)*
Asam amino g/100g protein
Arginin
Alanin
Aspartik
Sistin
Glutamin
Glisin
Histidin
Isoleusin
Leusin
Lisin
Metionin
Fenil alanin
Prolin
Treonin
Triptofan
Tirosin
Valin
Serin
2.10
2.21
4.21
2.20
4.01
4.30
2.11
2.90
2.10
4.00
2.13
2.01
2.11
2.10
-
2.23
2.00
4.11 * Sumber : Brata 2003 dalam Brata 2009
¼ (15.7-23%) dari total asam lemak. Kandungan asam arakidonat ini sangat tinggi jika
dibandingkan bahan makanan lain seperti ayam, kalkun, telur dan daging babi .
Udang Vanamei
Biologi
Udang Putih Pasifik, Litopenaeus vannamei (Boone, 1931) dapat beradaptasi
dengan baik pada kisaran kondisi perairan budidaya yang sangat luas (Lawrence et al.
1985). Secara morfologi memiliki rostrum agak panjang sekitar 7-10 dorsal, dan 2-4
gigi ventral. Pada induk jantan petasma berbentuk simetris dan agak terbuka,
spermatofor kompleks dengan massa sperma dienkapsulasi dengan selubung. Induk
betina memiliki telikum terbuka. Warna umumnya transparan tetapi dapat berubah
karena substrat yang keruh, pakan atau media. Panjang maksimal 23 cm dan umumnya
udang betina lebih cepat tumbuh daripada udang jantan.
Perkembangan Gonad Udang Vanamei
Tingkat kematangan gonad merupakan parameter kualitatif sedangkan
perubahan yang terjadi pada gonad secara kuantitatif dapat dinyatakan dengan suatu
indeks kematangan gonad atau Gonado Somatic Index/GSI (Effendie 1979). Selama
proses reproduksi, sebagian energi akan dipakai untuk perkembangan gonad, sehingga
bobot gonad ikan akan mencapai maksimum sesaat sebelum ikan memijah dan
kemudian akan menurun dengan cepat selama proses pemijahan berlangsung hingga
selesai.
Gambar 2 Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei)
7
Perkembangan gonad udang dapat dibagi menjadi 5 kategori tahapan
perkembangan, yang terutama didasarkan pada ukuran sel telur, perkembangan gonad
serta perubahan warna dengan tujuan untuk menunjukkan Tingkat Kematangan
Gonad/TKG (Motoh, 1981).
- TKG 1 dan 5 : Tahap belum berkembang atau spent (Gambar 3A dan
4A)
Gonad sangat kecil, lembek dan tidak terlihat melalui
eksoskeleton. Sel telur tertutupi dengan lapisan sel
folikel dan berukuran kecil, ukuran rata-rata telur 35
mikron.
- TKG 2 : Tahap berkembang (Gambar 3B dan 4B)
Perkembangan gonad dapat dengan mudah dibedakan
dari jaringan lain. Gonad lembek berwarna putih pucat
kekuningan. Telur sudah mulai terisi kuning telur dan
berukuran rata-rata 170 mikron.
- TKG 3 : Tahap hampir matang (Gambar 3C dan 4C)
Pada tahap ini dapat ditentukan dengan pasti di lapang
karena gonad memiliki warna kuning kehijauan dan
dapat terlihat melalui eksoskeleton, membesar dan
memenuhi segmen pertama abdominal. Ukuran rata-
rata telur 215 mikron.
- TKG 4 : Tahap matang (Gambar 3D-F dan 4D)
Tahap ini dikenali hanya dengan munculnya cortical
alveolar. Secara histologi terlihat garis mengelilingi
nukleus. Ukuran telur mencapai rata-rata 235 mikron.
Gambar 3 Perkembangan gonad udang. A. Tahap belum berkembang / spent
(tampak atas); B. Tahap berkembang (tampak atas); C. Tahap
hampir matang (tampak atas); D. Tahap matang (tampak atas); E.
Tahap D tampak samping; F. Tahap D tampak bawah; AL: anterior
lobe, ABL: abdominal lobe / LL: lateral lobe (Motoh 1981).
Di lapang, seleksi induk matang gonad biasanya dilakukan berdasarkan
pengamatan pada perubahan warna, ukuran relatif (bagian gonad yang memenuhi
segmen abdominal 1 ), tekstur, dan pembesaran gonad melalui pengamatan secara cepat
pada bagian eksoskeleton. Jika menggunakan kriteria ini, tidak mungkin dapat
mengidentifikasi tahapan belum berkembang dan spent (TKG 1 dan 5) dan antara
hampir matang dan matang (TKG 3 dan 4). Jadi untuk memudahkan pengamatan secara
teknis, perkembangan gonad diklasifikasikan menjadi 2 kategori, tahap 1 termasuk
didalamnya tahap belum berkembang, tahap berkembang dan spent dan tahap 2 yaitu
hampir matang dan matang.
Tahapan perkembangan gonad induk udang Vanamei juga dapat ditunjukkan
secara histologi melalui pengamatan perkembangan oosit, yang dibagi menjadi 5 fase
yaitu: proliferative, meiosis, previtellogenesis, vitellogenesis (endogenous dan
exogenous) dan fase penyerapan kembali/oosorption (Demestre dan Fortuno 1992).
Fase proliferative, adalah tahap gonad belum berkembang, berwarna bening dan
sangat tipis. Sel germinal berbentuk basofilik. Diameter oogonia berukuran 6-16 m,
memiliki nukleus besar dan sejumlah kecil ooplasma. Setelah mengalami mitosis maka
sel oogonia akan masuk ke tahap oosit primer. Fase meiosis, merupakan tahap
perkembangan awal, gonad berwarna putih dan pada fase ini diameter oosit primer
berukuran 16-24 m, masih berkelompok dan masih berada di zona germinatif.
Nukleus terus membesar dan sitoplasma berbentuk basofilik. Oosit sudah dikelilingi
oleh sel-sel folikel. Fase previtellogenesis, gonad sudah berkembang berwarna putih
kekuningan, lebih tebal daripada tahap sebelumnya. Ukuran oosit berkisar 32-95 m
dan bentuknya lebih beraturan. Nukleoli dalam jumlah yang berbeda-beda mulai
terdiferensiasi dan berpindah ke bagian pinggir nukleus. Fase ini merupakan awal
penimbunan butiran-butiran kuning telur. Fase endogenous vitellogenesis (primary
vitellogenesis) merupakan tahap pematangan gonad, ukuran oosit berkisar antara 90-
100 m. Gonad berwarna kuning tua dan membesar. Nukleus berada dibagian tengah
dan mencapai besar maksimal (sekitar 40 m). Oosit tampak lebih individual dan saling
tumpang tindih. Sitoplasma dipenuhi oleh butiran-butiran lemak. Fase exogenous
vitellogenesis (secondary vitellogenesis) adalah tahap perkembangan gonad akhir,
Gambar 4 Gambaran histologi perkembangan gonad udang, A. TKG 1, B. TKG 2,
C. TKG 3, D. TKG 4 (Motoh 1981).
9
gonad berwarna kuning oranye dan membesar memenuhi permukaan dorsal induk
udang. Fase exogenous vitellogenesis dibagi dua tahap yaitu tahap awal pada saat
ukuran diameter oosit berkisar antara 100-168 m, dan tahap akhir ketika ukuran
diameter oosit berkisar antara 168-336 m. Oosit berbentuk seperti empat persegi
panjang, tampak saling menempel satu sama lain membentuk pola mosaik. Nukleus
tidak berbentuk bundar lagi, ukuran mengecil dan dengan bentuk tidak teratur,
perlahan-lahan mulai bermigrasi lebih ke bagian pinggir oosit. Di pinggiran oosit,
muncul butiran kortikal. Oosit dengan struktur kortikal adalah oosit yang sudah siap
untuk dilepaskan. Fase oosorption adalah tahap salin sesudah pemijahan. Gonad
berwarna putih gading, ukuran mengecil dan sangat lembek. Didalam gonad masih ada
sisa oosit. Oosit ini tidak fungsional, memiliki bentuk yang tidak teratur dan secara
bertahap mengecil. Akhirnya oosit ini akan diserap kembali melalui proses fagositosis.
Kebutuhan Nutrisi Induk
Makanan dalam bentuk protein, lemak, karbohidrat, mineral dan vitamin
dibutuhkan oleh udang untuk pertumbuhan, reproduksi dan menormalkan fungsi
fisiologis lainnya (Lovell 1984). Dikemukakan pula bahwa hasil reproduksi udang
berhubungan dengan keseimbangan komposisi nutrisi pakannya, dimana komposisi
kimia kuning telur bergantung kepada status nutrien dan kondisi induk. Sedangkan
komposisi kimia telur menurut Kamler (1992) menentukan besar kecilnya ukuran telur,
dan ukuran telur merupakan indikator kualitas telur. Selain itu, seperti halnya pada
hewan lain, defisiensi dan masalah nutrisi yang terjadi pada fase awal pemeliharaan
larva ikan berkaitan langsung dengan kualitas nutrisi dan durasi pemberian pakan pada
induknya. Penurunan fekunditas pada beberapa spesies ikan, disebabkan karena
pengaruh nutrisi terhadap tidak seimbangnya sistem endokrin dari otak-pituitari-gonad,
atau karena terbatasnya ketersediaan komponen biokimia untuk pembentukan telur
(Izquierdo et al. 2001).
Persyaratan Energi
Energi harus tersedia untuk mencukupi kebutuhan aktivitas harian sebelum dapat
digunakan untuk pertumbuhan atau reproduksi. Pada udang penaid, energi dapat secara
simultan digunakan untuk pertumbuhan (termasuk molting) dan reproduksi sedangkan
pada jenis krustasea lain pertumbuhan mungkin dikorbankan untuk kepentingan
reproduksi, yang ditandai dengan penurunan laju pertumbuhan pada induk betina yang
memasuki masa pematangan gonad. Dua aspek praktis untuk menentukan kebutuhan
energi dalam pakan induk belum diketahui dan kemungkinan bervariasi berdasarkan
spesiesnya. Pertama adalah jumlah kebutuhan energi untuk reproduksi, termasuk
kebutuhan untuk semua proses biosintesa yang berhubungan dengan produksi hormon,
materi genetik (DNA), gonad, gamet, kuning telur dan gelembung minyak (oil
globule). Kedua adalah sumber energi optimal atau hirarki dari bahan energi (lemak,
karbohidrat, protein) yang digunakan dalam proses reproduksi. Namun beberapa studi
menunjukkan penurunan lemak netral (NL) didalam hepatopankreas (terutama
triasilgliserida/TAG) selama maturasi dan lipogenesis ovarium, karena diubah menjadi
gelembung minyak didalam oosit. NL ini kaya akan asam lemak C16:0 dan TAG (n-9)
dan sepertinya merupakan sumber energi utama untuk proses oogenesis, vitelogenesis
dan embriogenesis (Teshima et al. 1988; Biesot 1982; Sasaki 1984; Sasaki et al. 1986
dalam Harrison 1997).
Lemak
Studi biokimia pada spesies udang liar menunjukkan bahwa fosfolipid,
triasilgliserida (TAG) dan kolesterol (COL) adalah kelompok lemak utama dalam
proses pematangan gonad. Sedangkan didalam telur, lemak merupakan komponen
kedua dimana bagian cadangan lemak utama terdapat dalam kuning telur. Lemak
dalam bentuk TAG ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan energi dan sisanya
disimpan dalam embrio. Sejumlah 31 spesies dari 39 spesies ikan perairan bebas
ditemukan kandungan lemak telurnya, berkisar antara 10-35% bahan kering (Kamler
1992). Kadar asam lemak dalam telur ikan Red Seabream sangat dipengaruhi oleh
kadar asam lemak pakan yang diberikan sebelum pemijahan .
Peran penting fosfolipid dan asam lemak tak jenuh (HUFA) pada nutrisi udang
ditunjukkan pada penelitian yang dilakukan pada banyak spesies udang termasuk udang
Vanamei (Gong et al. 2000; Gonzalez-Felix et al. 2002). Suplemen fosfolipid sangat
disarankan karena udang mempunyai keterbatasan untuk mensintesanya. fosfolipid
berperan sebagai komponen vital dalam membran sel dan sebagai agen pengemulsi
dalam sistem biologis. Hu et al. (2009) menyatakan bahwa fosfolipid memainkan
peranan penting dalam mempengaruhi tingkat fluiditas, permeabilitas dan kekenyalan
membran serta aktifitas enzim dan semua sifat ini mempengaruhi proses
gametogenesis dan penggabungan sel. Induk udang sangat membutuhkan fosfolipid
didalam pakannya untuk meningkatkan produksi naupli, daya tetas dan
spermatogenesis. Kandungan fosfolipid pakan akan mempengaruhi frekuensi pemijahan
dan fekunditas serta konsentrasi fosfolipid telur udang Vanamei (Wouters et al. 2001a).
Selain itu udang juga tidak mampu mensintesa sterol. Kolesterol (COL)
merupakan komponen membran sel dan berfungsi sebagai prekursor dari hormon sex
dan molting, adrenal kortikoid, asam bile dan vitamin D. Menurut Gonzalez-Felix et
al. (2002), level 3% PL dalam pakan secara nyata meningkatkan pertumbuhan udang
namun tidak mempengaruhi kelangsungan hidupnya. Gong et al. (2000) menyatakan
untuk udang Vanamei membutuhkan 5% fosfolipid jika tanpa COL dan 1.5% fosfolipid
jika level COL dalam pakan 0.14%. Dimana pada penelitian sebelumnya dikatakan
level optimum fosfolipid didalam pakan adalah 0.5%. Hasil penelitian Morris et al.
(2011) menyarankan penggunaan COL untuk pertumbuhan udang Vanamei berkisar
antara 0.076%-0.11% dari pakan .
Protein dan Asam Amino
Pada saat proses pematangan gonad dan reproduksi, terjadi peningkatan proses
biosintesa sehingga diasumsikan kebutuhan protein mencapai puncaknya jika
dibandingkan tahap non reproduksi. Menurut Kamler (1992) protein merupakan
komponen dominan kuning telur. Protein dengan proporsi yang tinggi akan diubah
menjadi jaringan embrio dan sebagian digunakan untuk menghasilkan energi.
Persentase protein dalam bahan kuning telur ikan perairan umum terletak dalam kisaran
antara 35-89%, kisaran yang lebih mewakili adalah 55-57% untuk 19 spesies dari 28
spesies ikan. Guillaume et al. (2001) menjelaskan bahwa kebutuhan udang akan
protein dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti ukuran udang, suhu air, tingkat
pemberian makan dan energi yang dapat dicerna yang terkandung dalam pakan.
Protein adalah salah satu makronutrient yang paling mahal di dalam pakan udang, jadi
penentuan tingkat optimal protein pada pakan udang sangat penting untuk mendapatkan
formula pakan yang efektif dan efisien.
11
Karbohidrat
Karbohidrat tidak esensial untuk induk udang. Namun dapat digunakan sebagai
sumber energi yang murah untuk menggantikan pemanfaatan lemak dan protein.
Menurut Harrison (1997), karbohidrat berperan dalam penyimpanan glikogen didalam
hepatopankreas sebagai sumber energi biosintesa selama proses maturasi. Furuichi
(1988) menyatakan bahwa relatif sedikit yang diperlukan untuk perkembangan telur.
Vitamin dan Mineral
Vitamin dan mineral merupakan elemen mikro bahan makanan. Vitamin dalam
pakan diperlukan sebagai fungsi katalisator yang berperan untuk pertumbuhan dan
reproduksi. Tidak semua vitamin diperlukan oleh ikan, vitamin menjadi esensial bila
tubuh tidak dapat mensintesisnya (De Silva dan Anderson 1995). Vitamin yang larut
dalam lemak seperti vitamin A, vitamin D dan E diketahui esensial untuk mendukung
reproduksi udang. Vitamin E dan C diduga berfungsi sebagai antioksidan alami dan
mempengaruhi tingkat abnormalitas sperma, daya tetas telur dan gonadosomatic index.
Vitamin A berperan dalam proses spermatogenesis, oogenesis dan embriogenesis.
Sedangkan vitamin D berkaitan dengan metabolisme kalsium dan fosfor pada krustasea.
Suplai kalsium dan fosfor serta penyimpanannya menjadi faktor kritis pada saat
perkembangan eksoskeleton selama masa embryonic, penetasan dan molting larva
(Harrison 1997). Kandungan thiamin, riboflavin, niacin, vitamin B6, vitamin B12,
choline, inositol dan ascorbic acid juga disarankan didalam pakan beberapa jenis
udang. Namun persyaratan vitamin untuk induk udang belum didefinisikan, dan
umumnya pada pakan buatan untuk induk disuplemen dengan campuran vitamin
(Wouters et al. 2001).
Mineral merupakan unsur yang dapat menjaga keseimbangan asam basa, juga
berperan dalam proses osmotik. Selain itu, mineral juga penting untuk fungsi
pembekuan darah, fungsi otot dan sebagai kofaktor dalam reaksi enzimatik ( Guillaume
et al. 2001). Berdasarkan pada Harrison (1990), defisiensi mineral atau
ketidakseimbangannya ternyata berefek negatif terhadap reproduksi udang. Malnutrisi
mineral mengubah komposisi dan kualitas telur yang dihasilkan. Induk-induk udang
pada akhir masa reproduksi biasanya juga mengalami keropos yang diasumsikan
berkaitan dengan rendahnya tingkat kalsium dan magnesium di otot dan
hepatopankreas. Penurunan kandungan mineral di hepatopankreas kemungkinan
disebabkan karena mineral ditransfer ke ovarium.
Beberapa kelainan yang timbul akibat defisiensi vitamin E dapat dicegah dengan
pemberian asam amino yang mengandung mineral sulfur dan selenium (Piliang 1992).
Percobaan pemberian pakan berprotein rendah terhadap induk red seabream tanpa
pemberian fosfor menghasilkan produksi telur yang rendah (Watanabe et al. 1984).
Linder (1992) menjelaskan bahwa kebutuhan mineral Zn dan Cu sangat dipengaruhi
oleh vitamin E. Mineral Zn berfungsi sebagai stabilisator biomembran yang dapat
meningkatkan kestabilan tokoferol plasma. Pada beberapa studi, pakan buatan
umumnya diperkaya dengan kalsium, fosfor, magnesium, sodium, besi, mangan dan
selenium.
Pigmen Karotenoid
Meskipun peran yang spesifik dari karotenoid belum ditentukan dengan jelas,
namun akumulasi yang mencolok selama proses maturasi dipercaya menunjukkan
adanya pengaruh karotenoid selama gonadogenesis, embriogenesis dan perkembangan
larva awal. Zagalsky et al. (1967) dan Nelis et al. (1989) dalam Harrison (1997)
menduga bahwa peran karotenoid dalam reproduksi adalah melindungi baik penyediaan
nutrien dan perkembangan embrio dari proses oksidasi dan radiasi matahari, menyuplai
penyediaan pigmen untuk embrio dan larva dalam perkembangan kromatofor dan
eyespots, juga sebagai prekursor vitamin A.
Krustasea tidak mampu mensintesa karotenoid secara de novo, sehingga didalam
pakannya harus tersedia karotenoid. Pengayaan karotenoid didalam pakan induk
menunjukkan adanya pengaruh terhadap kualitas telur dan kesehatan serta
kelangsungan hidup larva. Penambahan paprika pada pakan induk udang penaid
menghasilkan peningkatan warna ovarium induk, kekerasan cangkang dan yang paling
penting kualitas larva dan kelangsungan hidupnya (Wyban et al. 1995 dalam Harrison
1997). Pengaruh karoten sebagai pigmen dalam pakan dipelajari dengan pemberian 100
ppm berbagai jenis karotenoid (betakaroten, canthaxanthin dan astaxanthin) pada
Penaeus japonicas. Setelah 8 minggu diketahui bahwa karotenoid yang tersimpan
dalam jaringan yang tertinggi adalah astaxanthin, diikuti dengan canthaxanthin dan
betakaroten. Studi lain dengan pemberian pakan yang ditambah berbagai dosis (50-400
ppm). Hasil pengamatan menunjukkan astaxanthin pakan pada dosis 200 ppm
menunjukkan hasil yang baik, sedang pada level >200 ppm ternyata tidak memberikan
hasil positif (Lorenz 1998).
13
3 METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di Broodstock Center Udang Vanamei dan
Laboratorium Nutrisi, Balai Budidaya Air Payau Situbondo (BBAP), Kabupaten
Situbondo, Jawa Timur, selama 6 bulan. Analisis kandungan kimia dilakukan di
Laboratorium Nutrisi dan Teknologi Pakan FPIK-IPB dan Laboratorium Kimia
Terpadu IPB serta Laboratorium Penguji BBAP Situbondo. Analisis histologi gonad
dilaksanakan di Laboratorium Kesehatan Ikan FPIK-IPB.
Prosedur Penelitian
Penelitian ini meliputi kegiatan persiapan pakan, pengujian pakan pada induk
udang Vanamei dan pengambilan data. Alur kegiatan penelitian yang dilakukan seperti
pada Gambar 5.
Hewan Uji
Hewan uji adalah induk betina belum pernah mijah dan induk jantan udang
Vanamei berasal dari Broodstock Center BBAP Situbondo sebanyak 100 pasang. Berat
induk betina kurang lebih 40 gram dan induk jantan kurang lebih 35 gram dipelihara
dalam hapa sebanyak 25 ekor/hapa. Pemilihan induk didasarkan pada persyaratan
kualitatif induk udang Vanamei menurut SNI 01-7253-2006 tentang Induk Udang
Vanamei (Litopenaeus vannamei ) Kelas Induk Pokok yaitu: warna bening kecoklatan
dan cerah dengan garis merah pada uropod, punggung lurus mendatar dan kondisi
sehat, bebas virus dan nekrosis, tidak cacat, anggota tubuh lengkap, insang bersih dan
tidak bengkak, kekenyalan tubuh baik dan tidak keropos. Gerakan aktif dan normal.
Persiapan pakan alami dan pakan
buatan
Analisis proksimat, fosfolipid, kolesterol,
betakaroten pakan
Seleksi induk udang Vanamei
Aklimatisasi
Ablasi
Pemeliharaan induk dan pengambilan data TKG,
GSI dan komposisi kimia Pemijahan
Panen telur dan pengambilan data kualitas
telur
Analisis data
Gambar 5 Alur kegiatan penelitian
Pakan Uji
Pakan uji yang digunakan dalam penelitian ini ditampilkan pada Tabel 3. Sedang
komposisi kimia pakan ditampilkan pada Tabel 4.
Persiapan Pakan Uji
Pakan Cacing Laut dan Cacing Tanah tanpa Pengkaya
Cacing laut segar jenis Nereis sp dan cacing tanah segar jenis Pheretima sp
diberikan sebagai pakan induk udang Vanamei tanpa diperkaya.
Pengayaan Cacing Tanah
Cacing tanah Pheretima sp diperkaya dengan fosfolipid, COL dan karoten yang
dilarutkan dalam minyak cumi dan minyak ikan. Fosfolipid yang digunakan adalah
produk lechitin kedelai merk Nature yang mengandung 58-60% fosfatidilkolin dan
fosfatidilinositol. COL yang digunakan adalah kolesterin Kristal dari Merck.
Sedangkan karoten menggunakan produk karoten A9335 dari Sigma. Pengayaan
dilakukan dengan cara penyuntikan bahan pengaya melalui segmen dibawah klitelum
cacing tanah. Dosis bahan pengaya yaitu untuk setiap 100 gram cacing tanah ditambah
1.5 gram fosfolipid, 0.14 gram COL berdasarkan Gong et al. (2000) dan 0.01 gram
karoten berdasarkan Lorenz (1998). Bahan pengaya dilarutkan dalam campuran 3 gram
minyak cumi dan 3 gram minyak ikan. Selanjutnya cacing tanah dapat langsung
diberikan sebagai pakan induk udang vanamei.
Pakan Buatan
Pakan buatan dibuat dalam bentuk pelet kering. Sumber protein berasal dari
cacing tanah yang dikeringkan pada suhu 60oC, kemudiang digiling menjadi tepung.
Kedalam bahan baku tepung cacing tanah tersebut ditambahkan atraktan, minyak cumi,
minyak ikan, vitamin premiks, binder, fosfolipid, COL dan karoten. Dosis fosfolipid,
COL dan karoten sama dengan perlakuan C. Adonan dicetak kemudian dikeringkan
dengan oven. Komposisi kimia pakan buatan dibuat berdasarkan standart komposisi
kimia pakan udang Vanamei menurut Wouters et al, (2001a). Hasil analisa proksimat
pakan buatan ditampilkan pada Tabel 4.
Persiapan Wadah dan Media Pemeliharaan
Delapan buah hapa ukuran 1 x 3 x 1.2 m ditempatkan dalam 4 buah bak beton
berkapasitas 8 m3 disiapkan untuk tempat pemeliharaan dan pematangan gonad induk
udang Vanamei. Bak berada didalam ruangan (indoor) untuk menjaga kestabilan
kondisi lingkungan. Bak dilengkapi dengan aerasi sebanyak 10 titik dengan kedalaman
Tabel 3 Perlakuan pakan uji pada induk udangVanamei
Perlakuan Keterangan
A Pemberian pakan cacing laut segar tanpa diperkaya (kontrol)
B Pemberian pakan cacing tanah segar tanpa diperkaya
C Pemberian pakan cacing tanah segar diperkaya fosfolipid, COL dan
karoten
D Pemberian pakan buatan dengan sumber protein utama tepung cacing
tanah yang diperkaya fosfolipid, COL dan karoten
15
kurang dari 5 cm dari dasar bak agar kotoran dan sisa pakan tidak teraduk. Seluruh
wadah pemeliharan diisi dengan air laut yang sudah melalui proses penyaringan dan
sterilisasi dengan sinar UV. Kondisi kualitas air yaitu salinitas berkisar antara 33
sampai 35 ppt; suhu 28 oC + 2 ; pH 7 sampai 8; DO dipertahankan >5 ppm. Kepadatan
masing-masing hapa 10 ekor/ m2.
Pemeliharaan Udang Vanamei
Calon induk dari tambak pembesaran diadaptasikan dalam hapa selama 2
minggu. Pada awal pemeliharaan dilakukan pengukuran panjang dan bobot tubuh.
Setelah dilakukan ablasi mata induk dipelihara kembali selama 3 periode pematangan
gonad. Ransum pakan selama pemeliharaan sesuai dengan perlakuan. Pemberian
pakan dilakukan empat kali dalam sehari pada pukul 08.00, 12.00 dan 16.00 dan 20.00
WIB. Jumlah pakan alami yang diberikan 30% bobot biomas sedangkan pakan buatan
3% bobot biomas. Agar kondisi kualitas air tetap baik, kotoran yang ada di dasar bak
dibersihkan setiap hari dengan cara disifon. Pada akhir pemeliharaan semua induk
yang tersisa ditimbang dan diambil sampel gonad. Pengambilan sampel untuk data GSI,
histologi dan analisis kimia gonad induk betina dilakukan pada tahapan Tingkat
Kematangan Gonad (TKG) II dan TKG IV.
Ablasi
Proses pematangan gonad induk dipacu dengan teknik ablasi, yaitu dengan cara
memotong sebelah tangkai mata udang dengan menggunakan gunting yang telah
dipanaskan (Nurdjana 1983).
Pemijahan dan Pelepasan Telur
Proses pemijahan dilakukan dengan memasukkan induk betina matang gonad
kedalam populasi induk jantan. Pengamatan berhasil tidaknya pemijahan dilakukan 4
sampai 5 jam setelah proses tersebut. Induk betina yang sudah kawin dipindahkan ke
bak penetasan telur. Didalam bak ini, induk dibiarkan selama semalam untuk memberi
kesempatan terjadinya proses pembuahan dan pelepasan telur. Kemudian induk yang
telah melepaskan telur dikembalikan kedalam bak pemeliharaan agar tidak menghisap
kembali telurnya.
Parameter/satuan
A. Cacing
laut
Nereis sp
B. Cacing
tanah
Pheretima sp
C. Cacing tanah
diperkaya
Pheretima sp
D. Pakan
buatan
Pheretima sp
Protein % 67.12 60.23 56.41 59.82
Air % 85.16 78.68 76.92 8.81
Abu % 10.65 20.83 9.58 14.99
Serat % 0 2.63 0.35 1.56
Lemak % 18.94 14.21 33.15 9.44
BETN % 3.23 2.2 0.52 14.49 *berdasarkan berat kering
Tabel 4 Komposisi kimia pakan perlakuan*
Parameter yang Diamati
Tingkat Kematangan Gonad.
Pengamatan perkembangan gonad dilakukan secara morfologi dan histologi.
Pengamatan harian perkembangan gonad secara morfologi berdasarkan pada Motoh
(1981). Sedangkan secara histologi dilakukan pada gonad TKG 2 dan TKG 4,
pengamatan tingkat perkembangan oosit berdasarkan Demestre dan Fortuno (1992).
Perhitungan persentase kematangan gonad dilakukan dengan membandingkan jumlah
induk yang matang gonad dengan populasi total (Tarsim et al. 2007).
Indeks Kematangan Gonad (Effendi 1979)
Indeks Kematangan Gonad / Gonadosomatic Index (GSI) adalah pengukuran
rasio berat gonad dengan total berat tubuh untuk mengukur tingkat kematangan seksual
yang berhubungan dengan perkembangan gonad. Persentase GSI dihitung berdasarkan
rumus berikut :
Pengukuran Diameter Telur
Pengukuran diameter telur pada tingkat kematangan gonad II dan IV dilakukan
dengan mengukur diameter oosit dalam tampilan histologi jaringan gonad. Prosedur
yang dilakukan yaitu : induk udang vannamei pada TKG II dan IV dibedah kemudian
diambil sampel jaringan gonadnya. Sampel gonad difiksasi dengan larutan Davidson
selama 1-2 hari kemudian dipindahkan kedalam larutan alkohol 70 % sampai
dianalisis. Menggunakan scalpel bersih, trim kotak atau potongan jaringan yang sudah
difiksasi sehingga berukuran lebar antara 0.2-0.5 cm, ketebalan antara 0.2-0.5 cm, dan
panjang tidak lebih dari 2 cm. Sampel jaringan kemudian melalui proses dehiration
dengan alkohol , clearing, infiltration, embedding, pemotongan jaringan dan pewarnaan
dengan mayer’s haematoxylin. Pengukuran diameter dilakukan dengan alat micrometer
dibawah mikroskop compound pada pembesaran 100x. Jumlah sampel telur yang
diamati 100-200 butir.
Komposisi Kimia Gonad dan Telur
Pada udang betina dengan tingkat kematangan gonad II dan IV dilakukan
pembedahan untuk mengambil gonadnya dan selanjutnya dilakukan penimbangan dan
analisis kandungan protein dengan metode Bradford, total lemak dengan metode Folch,
lemak netral (NL) dan lemak polar (PL) dengan metode cartridge Sep-Pak, TAG dan
COL dengan metode CHOD-PAP dan betakaroten dengan metode HPLC. Demikian
pula pada telur yang dihasilkan oleh induk pada masing-masing perlakuan.
Rancangan Percobaan dan Analisis Data (Steel and Torrie 1991)
Rancangan percobaan yang diterapkan pada penelitian ini adalah Rancangan
Acak Lengkap (RAL) satu faktor dengan perlakuan berupa pemberian pakan yang
berbeda terhadap komposisi kimia gonad dan rata-rata diameter telur induk udang
Vanamei. Pada pengamatan tingkat kematangan gonad induk secara morfologi, masing-
masing individu sebagai ulangan. Data komposisi kimia dan histologi dianalisis secara
deskriptif dan disajikan dalam bentuk tabel, grafik serta gambar.
17
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil
Tingkat Kematangan Gonad secara Morfologi
Gambar 6 menyajikan data rata-rata persentase jumlah induk betina udang
Vanamei yang matang gonad pada TKG III sampai TKG IV selama masa
pemeliharaan. Data pengamatan selengkapnya ditampilkan pada Lampiran 1. Dari
pengamatan menunjukkan jumlah induk matang gonad pada TKG III tertinggi pada
perlakuan A, diikuti berturut-turut oleh perlakuan B, C dan D. Namun jumlah induk
yang berkembang menjadi TKG IV tertinggi pada perlakuan A diikuti oleh induk betina
pada perlakuan C dan D. Sedangkan perlakuan B menunjukkan jumlah induk betina
matang gonad terendah. Sehingga jika dijumlahkan, persentase induk betina pada TKG
III dan IV tertinggi adalah induk pada perlakuan A diikuti oleh induk pada perlakuan C,
B dan yang terendah adalah perlakuan D.
Tingkat Kematangan Gonad Secara Histologi
Dari hasil analisis perkembangan gonad induk udang Vanamei secara histologi
dapat dilihat bahwa pada tahapan kematangan yang sama, induk pada perlakuan yang
berbeda menunjukkan fase perkembangan oosit yang berbeda. Gambar 7 menunjukkan
gambaran histologi gonad induk udang Vanamei pada TKG II. Sedangkan pada
Gambar 8 ditampilkan gambaran histologi gonad induk udang Vanamei setiap
perlakuan pada TKG IV.
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
70.00
80.00
A B C D
Jum
lah
ind
uk
be
tin
a (%
)
TKG III
TKG IV
TKG III + IV
Gambar 6 Jumlah induk udang Vanamei pada TKG III dan IV selama masa
pemeliharaan
Pada gambar 7 tampak bahwa oosit didalam gonad setiap perlakuan berada pada
masa pertumbuhan. Oosit yang terkandung didalam gonad semakin membesar
diameternya sebagai hasil dari pengendapan kuning telur dan pembentukan butir-butir
minyak secara bertahap pada tahapan vitelogenesis, oleh karena itu gonad tampak
membesar dan berwarna kekuningan. Pada perlakuan A, B dan C jumlah oosit yang
sudah memasuki fase vitelogenesis lebih banyak daripada perlakuan D. Nukleus
berukuran sekitar 40 m berada dibagian tengah. Didalam nukleus oosit vitelogenik,
terlihat posisi nukleoli berada di bagian pinggir membran.
Pada Gambar 8, gambaran histologi menunjukkan perkembangan oosit didalam
gonad pada tahap kematangan gonad IV. Oosit pada perlakuan A dan C sebagian besar
sudah mencapai ukuran diameter 150-200 m dengan bentuk oosit seperti persegi
panjang.
y
D C
B A
op
op
n
nu
uu
Gambar 7 Gambaran histologi gonad induk udang Vanamei pada TKG II; preparasi
dengan larutan Davidson; x100; (op) oosit primer; (nu) nukleoli; (n)
nukleus
19
Oosit saling menempel satu sama lain dan membentuk pola mosaik. Kemudian
dibagian periferal oosit, terlihat adanya butiran kortikal. Sedangkan oosit didalam
gonad perlakuan B dan D, meskipun berdasarkan diameternya sebagian sudah
memasuki fase vitelogenesis akhir, tetapi belum menunjukkan adanya butiran kortikal.
A B
C D
y
nu cg
n
Perlakuan*
Diameter
Rata-rata
m**
Oosit vitelogenik
63-90
m
90-100
m
100-168
m
168-336
m
A 118.22a + 18.19 3.03% 10.61% 86.36% -
B 94.09a + 16.05 30.00% 15.29% 54.71% -
C 101.27a + 17.73 14.41% 22.84% 62.71% -
D 85.43a + 14.15 50.98% 41.18% 7.84 % -
Keterangan: * Perlakuan A . pakan cacing laut (Nereis sp); B. pakan cacing tanah ( Pheretyma sp); C. pakan cacing tanah
diperkaya kolesterol, fosfolipid dan karoten; D. pakan buatan cacing tanah yang diperkaya kolesterol, fosfolipid
dan karoten
** Nilai rerata diikuti huruf yang sama menunjukkan berbeda tidak nyata pada uji BNTα = 0,05
Tabel 5 Persentase frekuensi diameter oosit udang Vanamei pada tingkat kematangan II dan
diameter rata-ratanya
Gambar 8 Gambaran histologi gonad induk udang Vanamei pada TKG IV; preparasi dengan
larutan Davidson; x100; (cg) butiran kortikal; (nu) nukleoli (y) kuning telur; (n)
nukleus
Berdasarkan klasifikasi perkembangan oosit menurut Demestre dan Fortuno
(1992), kecepatan proses vitelogenesis oosit keempat perlakuan berbeda. Perbedaan ini
ditunjukkan oleh persentase sebaran diameter oosit yang berbeda-beda pada setiap
tahapannya. Tabel 5 menunjukkan bahwa secara morfologi keempat sampel gonad
berada pada kategori tingkat kematangan II, namun keadaan oosit pada perlakuan A.
96.97% sudah mencapai ukuran diameter 90-168 m, dan hanya 3.03% yang masih
berukuran 63-90 m. Bertolak belakang dengan A, gonad pada perlakuan D
menunjukkan hanya 7.84% oosit yang berukuran diameter 100-168 m, sebagian besar
oosit (92.16%) masih berukuran 63-100 m. Perlakuan C menunjukkan bahwa 85.59%
oosit sudah mencapai ukuran diameter 90-168 m sedangkan perlakuan B hanya 70%.
Sekitar 30% oosit pada gonad perlakuan pakan B masih berukuran 63-90 m, sedang
pada perlakuan C tercatat 14.41%.
Pada Tabel 6 dijelaskan bahwa berdasarkan kurva sebaran diameter oosit
vitelogenik (Gambar 10), tampak bahwa rata-rata diameter keempat perlakuan tidak
berbeda nyata. Namun pada perlakuan A dan C frekuensi oosit pada kisaran diameter
100-336 m lebih besar daripada kedua perlakuan lain. Hal ini menyebabkan ukuran
diameter rata-rata telur pada gonad perlakuan A dan C lebih besar. Dari data
peningkatan ukuran diameter oosit diatas disimpulkan bahwa kecepatan proses
vitelogenesis oosit induk udang Vaname perlakuan C mendekati kecepatan proses
vitelogenesis pada gonad induk yang diberi perlakuan pakan cacing laut.
Indeks Kematangan Gonad (GSI) dan Diameter Telur
Seiring tingkat perkembangan gonad, garis tengah telur yang dikandung juga
akan meningkat. Dengan demikian akan didapatkan hubungan antara indeks
kematangan gonad dengan perkembangan garis tengah telur. Gambar 9 dan 10
menunjukkan histogram frekuensi penyebaran garis tengah telur perlakuan A, B, C dan
D pada TKG II dan IV.
Terlihat bahwa pada perlakuan A TKG II dengan GSI 4.84%, persentase jumlah
oosit tertinggi berkisar pada diameter 110.42-123.42 m. Pada perlakuan B dengan GSI
TKG II 2.94%, jumlah oosit tertinggi berkisar pada diameter 93.70-104.70 m. Indeks
kematangan gonad perlakuan C yaitu 2.82%, ukuran oosit terbanyak berkisar pada
diameter 94.28-104.48 m. Sedangkan perlakuan D dengan GSI 2.27%, ukuran oosit
Perlakuan
Diameter
Rata-rata
m
Oosit vitelogenik
63-90
m
90-100
m
100-168
m
168-336
m
A 144.92a + 31.94 5.39% 5.38% 58.46% 30.77%
B 133.03a + 26.47 6.79% 5.56% 71.6% 16.05%
C 148.86a + 23.89 0.79 2.38% 53.97% 42.86%
D 119.00a + 26.93 16.66% 14% 64.67% 4.67 %
Keterangan : Legenda mengikuti keterangan seperti pada Tabel 5
Tabel 6 Persentase frekuensi diameter oosit udang Vanamei pada tingkat kematangan IV
dan diameter rata-ratanya
21
terbanyak berkisar pada diameter 97.13-105.13 m. Jadi pada GSI 2.27-2.94%
sebagian besar oosit berada pada kisaran ukuran 90-100 m atau pada fase
vitelogenesis primer berdasarkan klasifikasi Demestre dan Fortuno (1992). Sedangkan
pada GSI 4.84% sebagian besar oosit sudah berada pada kisaran ukuran 100-168 m
atau sudah memasuki awal fase vitelogenesis sekunder.
Pada Gambar 10 menunjukkan bahwa pada TKG IV, GSI perlakuan A sebesar
6.44%, frekuensi jumlah oosit tertinggi adalah yang berukuran antara 158.88-178.88
m. Pada GSI 4.58%-5.18% (perlakuan B dan C) jumlah oosit yang berukuran 146.42-
168.56 m menunjukkan frekuensi tertinggi. Pada perlakuan D dengan GSI 3.67%,
ukuran oosit terbanyak berada pada kisaran 134.99-149.99 m. Gambar 10
menunjukkan histogram frekuensi penyebaran diameter oosit pada indeks kematangan
gonad 3.67% sampai pada 6.44% dimana sebagian besar oosit sudah berada pada
kisaran ukuran 100-168 m atau sudah memasuki fase vitelogenesis sekunder. Indeks
kematangan gonad (GSI) A pada TKG IV lebih tinggi dibandingkan perlakuan lain
Gambar 9 Frekuensi penyebaran garis tengah telur dan indeks kematangan gonad
induk betina udang Vanamei masing-masing perlakuan pada TKG II
GSI 4.84%; n=132 GSI 2.94%; n= 170
GSI 2.82%; n=118 GSI 2.27%; n=102
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
0
5
10
15
20
25
30
35
40
71.4
3
84.4
2
97.4
2
110
.42
123
.42
136
.42
149
.42
162
.42
175
.42
Fre
kuen
si
Histogram diameter oosit A (m)
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
05
1015202530354045
60.7
17
1.7
08
2.7
09
3.7
01
04
.70
115
.70
126
.70
137
.70
148
.70
Fre
kuen
si
Histogram diameter oosit B (m)
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
0
5
10
15
20
25
30
64.2
9
74.2
8
84.2
8
94.2
8
104
.28
114
.28
124
.28
134
.28
144
.28
Fre
kuen
si
Histogram diameter oosit C (m)
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
35.00%
0
5
10
15
20
25
30
355
7.1
4
65.1
3
73.1
3
81.1
3
89.1
3
97.1
3
105
.13
113
.13
121
.13
Fre
kuen
si
Histogram diameter oosit D (m)
karena GSI pada TKG II juga sudah tinggi. Namun jika kenaikan nilai indeks antara
TKG II dan TKG IV pada masing-masing perlakuan dibandingkan, terlihat bahwa
perlakuan C menunjukkan kecepatan perkembangan gonad tertinggi. Kenaikan nilai
indeks kematangan gonad dari TKG II ke TKG IV pada keempat perlakuan berturut-
turut yaitu C. 2.36%; A. 1.6%; B. 1.58%; dan D. 1.4%.
Pada Gambar 9 dan 10 juga dapat disimpulkan bahwa indeks kematangan gonad
semua perlakuan meningkat seiring dengan pertumbuhan oosit. Dimana pada kisaran
GSI 2.27-2.94% oosit vitelogenik masih berada dalam kisaran diameter 63-168 m.
Pada GSI 3.67-4.84% sebagian besar oosit berukuran diameter antara 90-168 m,
sedang pada GSI 5.18-6.44% sebagian besar oosit vitelogenik sudah pada kisaran
diameter 100-336 m. Penggolongan kisaran diameter berdasarkan pada klasifikasi
Demestre dan Fortuno (1992).
GSI 6.44 %; n = 130 GSI 4.52 %; n = 162
GSI 5.18 %; n = 126 GSI 3.67 %; n = 150
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
35.00%
40.00%
0
10
20
30
40
50
60
63.8
9
86.8
8
109
.88
132
.88
155
.88
178
.88
201
.88
224
.88
247
.88
Fre
kuen
si
Histogram diameter oosit A (m)
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
0
5
10
15
20
25
30
35
40
71.4
38
6.4
21
01
.42
116
.42
131
.42
146
.42
161
.42
176
.42
191
.42
206
.42
Fre
kuen
si
Histogram diameter oosit B (m)
0.00%5.00%10.00%15.00%20.00%25.00%30.00%35.00%40.00%
0
10
20
30
40
50
78
.57
96
.56
11
4.5
6
13
2.5
6
15
0.5
6
16
8.5
6
18
6.5
6
20
4.5
6
22
2.5
6
Fre
kuen
si
Histogram diameter oosit C (m)
0.00%
5.00%
10.00%
15.00%
20.00%
25.00%
30.00%
0
10
20
30
40
50
75
89
.99
10
4.9
91
19
.99
13
4.9
91
49
.99
16
4.9
91
79
.99
19
4.9
9
Fre
kuen
si
Histogram Diameter oosit D (m)
Gambar 10 Frekuensi penyebaran garis tengah telur dan indeks kematangan gonad induk
betina udang Vanamei masing-masing perlakuan pada TKG IV
23
Komposisi Kimia Pakan, Gonad dan Telur
Kandungan Protein
Analisis kandungan protein baik didalam pakan maupun didalam gonad induk
udang Vanamei selama masa maturasi TKG II dan IV serta yang diekspresikan dalam
telur ditampilkan pada Gambar 11. Dalam penelitian ini kandungan protein pakan
berdasarkan berat basah perlakuan yaitu A. 9.96%; B. 12.84%; C. 13.12%; D. 54.55%
atau jika dikonversi berdasarkan berat kering berturut-turut yaitu A. 67.12%; B.
60.23%; C. 56.41% dan D. 59.82%.
Dari hasil analisis protein gonad induk udang Vanamei pada TKG II dan IV,
terlihat bahwa pemberian pakan yang berbeda menunjukkan respon yang berbeda pula
terhadap akumulasi protein didalam gonad. Pakan cacing tanah segar yang diperkaya
dengan COL, PL dan karoten (perlakuan C) ternyata memperlihatkan kenaikan
kandungan protein didalam gonad dari TKG II (11.82%) ke TKG IV (25.89%),
demikian pula pada perlakuan A (cacing laut) yaitu dari TKG II (6.81%) ke TKG IV
(14.48%). Sebaliknya pada perlakuan B dan D menunjukkan kandungan protein gonad
menurun. Telur yang dihasilkan oleh induk betina udang Vanamei perlakuan A dan C
menunjukkan kandungan protein yang berbeda nyata.
Kandungan Lemak
Data hasil analisis kandungan lemak total (TL) dan kelompok-kelompok lemak
ditampilkan pada Tabel 7. Data analisis ditampilkan dalam satu tabel untuk
menunjukkan komposisi lemak total dan kelompok-kelompok lemak yang terkandung
didalamnya.
0
10
20
30
40
50
60
Pakan Gonad II Gonad IV Telur
Ka
nd
un
ga
n P
rote
in (
%)
A
B
C
D
Gambar 11 Kandungan protein pakan, gonad dan telur masing-masing perlakuan
Perlakuan Sampel Komposisi lemak Kandungan (%)*
A Pakan TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
2.81 + 0.01a
1.41 + 0.01c
0.14 + 0.002b
0.58 + 0.01b
1.39 + 0.003c
Gonad
TKG II
TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
4.64 + 0.1a
2.91 + 0.85b
1.58 + 1.38a
0.31 + 0.24a
1.73 + 0.6a
Gonad
TKG IV
TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
5.97 + 3.68a
3.62 + 2.29a
2.30 + 0.6a
0.34 + 0.13a
2.34 + 1.4a
Telur TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
0.69 + 0.02b
0.60 + 0.02b
0.73 + 0.004a
0.62 + 0.131a
0.09 + 0.004b
B Pakan TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
3.03 + 0.02b
1.31 + 0.01c
0.14 + 0.01b
0.38 + 0.006c
1.72 + 0.01b
Gonad
TKG II
TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
5.62 + 0.61a
3.89 + 0.54ab
3.04 + 0.29a
0.38 + 0.22a
1.73 + 0.37a
Gonad
TKG IV
TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
5.15 + 1.3a
3.19 + 1.19a
2.31 + 0.002a
0.21 + 0.03a
1.96 + 0.1a
C Pakan TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
7.65 + 0.01c
6.63 + 0.01a
0.20 + 0.003b
0.73 + 0.006a
1.02 + 0.005d
Tabel 7 Komposisi lemak total dan kelompok-kelompok lemak pada pakan, gonad dan
telur masing-masing perlakuan; (TL) lemak total; (NL) lemak netral; (TAG)
triasilgliserida; (COL) kolesterol; (PL) lemak polar
25
Hasil analisis kandungan TL pakan C (7.65%) dan D (8.61%) jauh lebih tinggi
daripada pakan A (2.81%) dan B (3.03%) karena penambahan bahan pengaya. Pada
tingkat kematangan gonad II, kandungan TL tertinggi pada gonad induk betina
perlakuan D, diikuti oleh gonad perlakuan B, C dan A. Namun pada tingkat
kematangan gonad IV kandungan TL gonad perlakuan C melebihi kandungan TL
ketiga perlakuan lain. Tidak ada perbedaan yang nyata pada kandungan TL gonad antar
perlakuan baik pada TKG II maupun IV. Namun selama perkembangan kematangan
gonad dari TKG II ke TKG IV, kandungan TL gonad pada perlakuan A, C dan D
meningkat sedangkan pada perlakuan B menurun. Kandungan TL pada telur perlakuan
C (3.23%) menunjukkan perbedaan yang nyata jika dibandingkan kandungan TL telur
perlakuan A (0.69%).
Komponen utama kandungan lemak didalam pakan perlakuan C dan D adalah
lemak netral (86.63%; 72.67%), pada perlakuan A dan B kandungan lemak netral
berturut-turut 50.60% dan 43.40% dari TL. Sedangkan didalam gonad TKG II dan IV
serta telur, lemak netral merupakan bagian utama dari total lemak. Tidak ada perbedaan
Lanjutan Tabel 7
Gonad TKG
II
TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
4.81 + 0.43a
3.12 + 0.06ab
1.75 + 0.68a
0.49 + 0.37a
1.69 + 0.45a
Gonad TKG
IV
TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
7.64 + 0.84a
5.29 + 0.94a
2.68 + 1.98a
0.25 + 0.02a
2.35 + 0.32a
Telur TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
3.23 + 0.03a
2.36 + 0.02a
0.70 + 0.01a
0.49 + 0.07a
0.87+ 0.007a
D Pakan TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
8.61 + 0.01d
6.26 + 0.06a
0.56 + 0.05a
0.20 + 0.02d
2.35 + 0.07a
Gonad TKG
II
TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
6.55 + 0.01a
4.79 + 0.02a
4.26 + 0.12a
0.37 + 0.09a
1.76 + 0.01a
Gonad TKG
IV
TL
- NL
o TAG
o COL
- PL
6.95 + 0.08a
4.28 + 1.03a
1.31 + 0.93a
0.25 + 0.01a
2.64 + 1.12a
* Data mewakili nilai rata-rata + standar deviasi. Pada jenis sampel dan kelompok lemak yang sama
nilai rerata yang diikuti huruf sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji BNTα = 0,05.
yang nyata kandungan lemak netral antar perlakuan pada gonad TKG IV, tetapi
kandungan lemak netral meningkat selama proses pematangan gonad dari TKG II ke
TKG IV pada perlakuan A dan C dan sebaliknya menurun pada gonad perlakuan B dan
D. Proporsi kandungan NL didalam telur perlakuan A (86.95% dari TL) lebih tinggi
dibandingkan telur perlakuan C (73.17% dari TL). Namun karena kandungan TL telur
perlakuan C tinggi, maka kandungan NL telur perlakuan C sangat berbeda nyata
dibandingkan kandungan NL telur perlakuan A.
Profil lemak polar (PL) gonad selama proses pematangan pada keempat
perlakuan konsisten. Pada keempat perlakuan kandungan PL meningkat selama proses
perubahan dari TKG II ke TKG IV. Kandungan PL tertinggi pada gonad TKG IV
adalah pada perlakuan D, namun sebenarnya mobilisasi PL perlakuan D cenderung
menurun selama proses pemindahan dari pakan sampai ke gonad. Demikian pula pada
kandungan PL perlakuan B. Mobilisasi PL tertinggi dari pakan sampai gonad TKG IV
adalah pada perlakuan C diikuti oleh perlakuan A. Kandungan PL telur perlakuan C
lebih tinggi dibandingkan pada perlakuan A.
Dalam penelitian ini, selama masa pematangan gonad tercatat terjadi kenaikan
triasilgilserida (TAG) pada perlakuan A yaitu dari 1.58% ke 2.30% dan pada perlakuan
C yaitu dari 1.75% ke 2.68%. Namun peningkatan kandungan TAG didalam gonad
induk udang Vanamei tidak terjadi pada perlakuan B dan D. Pada kedua perlakuan ini,
kandungan TAG tercatat menurun selama masa pematangan gonad. Meskipun demikian
tidak ada perbedaan yang nyata kandungan TAG gonad TKG II masing-masing
perlakuan dan kandungan TAG gonad pada TKG IV.
Kandungan kolesterol (COL) pakan perlakuan A dan C mengungguli dua
perlakuan lain, secara berurutan kandungan COL pakan perlakuan yaitu A. 0.58; B.
0.38; C. 0.73; D. 0.20 %. Kecuali pada perlakuan A, kandungan COL gonad ketiga
perlakuan pada TKG II ke TKG IV mengalami penurunan, dimana kandungan COL
tertinggi pada gonad TKG IV adalah pada perlakuan A diikuti oleh perlakuan C.
Kandungan COL pada telur jauh lebih tinggi dibandingkan kandungan COL gonad
TKG IV menunjukkan terjadinya mobilisasi COL dari gonad ke telur.
Kandungan Betakaroten
Hasil analisis betakaroten pakan dan gonad serta telur masing-masing perlakuan
ditampilkan pada Gambar 12. Dari keempat pakan perlakuan, pakan A mengandung
kandungan tertinggi (134.32 mg betakaroten/1000 g sampel) dibandingkan ketiga
perlakuan lain. Pakan cacing tanah segar yang diperkaya karoten, kandungan
betakarotennya mendekati kontrol. Namun pakan buatan tepung cacing tanah yang
diperkaya karoten kandungan karotennya bahkan lebih rendah dibandingkan pakan
cacing tanah segar tanpa pengaya. Demikian pula dengan akumulasi betakaroten
didalam gonad TKG IV berturut-turut adalah A. 45.85 mg/1000 g sampel, C. 43.16
mg/1000 g sampel, B. 3.86 mg/1000 g sampel dan D. 0 mg/1000 g sampel. Kandungan
betakaroten didalam telur A dan telur C tidak berbeda nyata.
27
Pembahasan
Dari data komposisi kimia pakan perlakuan, hasil analisa proksimat menunjukkan
keempat pakan memenuhi persyaratan kebutuhan protein dan serat induk udang
menurut Wouters et al. (2001). Protein pakan menyediakan baik asam amino essensial
maupun non essensial untuk perkembangan otot, jaringan pengikat dan protein
respiratori didalam hemolim (Harrison, 1990) sehingga ketersediannya akan
menentukan keberhasilan proses perkembangan gonad. Kandungan serat didalam pakan
didefinisikan sebagai sekelompok bahan yang terdiri dari berbagai polisakarida
termasuk selulosa, hemiselulosa, gums, alga, nonpolisakarida dan lain-lain yang
mempunyai daya tahan terhadap enzim pencernakan. Sehingga kandungan serat pakan
yang terlalu tinggi akan menurunkan kecernaan pakan (D’Abramo et al. 1997).
Proses pengayaan cacing tanah segar (C) maupun pakan buatan (D)
menghasilkan pakan dengan kandungan lemak total (TL), lemak netral (NL) dan
triasilgliserida (TAG) lebih tinggi daripada kontrol (A). Kandungan lemak polar pakan
perlakuan D juga paling tinggi dibandingkan perlakuan lain. Namun kandungan COL
dan betakarotennya lebih rendah daripada pakan cacing tanah yang tidak diperkaya (B).
Pakan buatan memiliki beberapa keunggulan yaitu memudahkan konsumen
didalam proses pemberian pakan dan penyimpanan. Namun proses-proses tersebut juga
dapat menurunkan aktifitas komponen nutrisi yang mudah rusak. Penambahan COL
dan karoten kedalam tepung cacing tanah tidak menghasilkan pakan buatan dengan
kandungan COL dan karoten yang optimal. Diduga proses pembuatan pakan
menyebabkan menurunnya kandungan komponen nutrisi didalam pakan. Proses
penghalusan bahan baku pakan akan menimbulkan panas yang dapat menginaktifkan
beberapa senyawa toksik atau antinutrien. Namun penghalusan bahan baku pakan juga
akan menyebabkan bidang kontak antara bahan baku dengan oksigen di udara
bertambah luas sehingga meningkatkan laju oksidasi. Kondisi ini akan semakin
134.32
4.53
83.42
1.6
45.85
3.86
43.16
0
20.62 18.2
A B C D Gonad
A
Gonad
B
Gonad
C
Gonad
D
Telur A Telur C
Ka
nd
un
ga
n b
eta
ka
rote
n m
g/1
00
0 g
Gambar 12 Kandungan betakaroten pakan, gonad dan telur perlakuan
bertambah buruk jika dalam bahan baku tersebut ditambahkan logam-logam yang
bersifat katalis, seperti Fe, Cu dan Zn. Selain itu, gesekan dan panas yang ditimbulkan
oleh mesin penghalus dapat merusak komponen nutrisi thermolabile seperti karoten,
vitamin C, PUFA dan beberapa asam amino. Selain proses oksidasi, kerugian lain dari
penghalusan bahan baku pakan adalah terjadinya susut bobot karena tercecernya atau
terbangnya bahan pakan yang berukuran sangat halus. Peningkatan suhu yang terjadi
selama proses gelatinisasi dan pencetakan pelet juga dapat merusak komponen pakan
yang tidak tahan terhadap suhu tinggi. Pelet yang dihasilkan segera dikeringkan. Proses
pengeringan dilakukan hingga kadar air pakan tinggal 10-12%, karena kadar air yang
terlalu tinggi menyebabkan pakan mudah ditumbuhi mikroba (jamur) dan disukai
serangga. Namun sebaliknya jika kadar airnya terlalu rendah juga kurang
menguntungkan karena akan terjadi peningkatan laju proses oksidasi dan pencoklatan.
Hasil analisis proksimat menunjukkan bahwa kadar air pakan D 8.81%, dibawah
persyaratan standar 10-12%, hal ini diduga menyebabkan peningkatan laju oksidasi
didalam pakan. Oksidasi lemak dan autolisis diketahui menjadi penyebab rusaknya
komponen vitamin. Secara umum vitamin sensitif terhadap oksigen, cahaya, panas dan
pH yang ekstrim atau kombinasi dari faktor tersebut (Lall dan Parazo 1995; D’Abramo
et al. 1997; Golez 2002). Sebenarnya untuk mencegah penurunan kualitas bahan akibat
reaksi oksidasi, dapat ditambahkan antioksidan. Didalam pakan D sudah ditambahkan
100 ppm karoten yang diketahui dapat berfungsi sebagai antioksidan. Penelitian yang
dilakukan oleh Zeb dan Murkovic (2011) membuktikan bahwa karotenoid dapat
melindungi TAG minyak zaitun selama perlakuan panas pada suhu 110oC selama 10
jam, namun dalam penelitian ini juga dibuktikan bahwa ternyata dibandingkan dengan
jenis karoten lain, betakaroten bersifat lebih prooksidan atau dengan kata lain lebih
cepat terdegradasi jika terpapar panas. Oleh karena itu disimpulkan bahwa meskipun
sudah ditambahkan antioksidan karoten, pakan D menunjukkan penurunan kandungan
nutrien dibandingkan pakan perlakuan lain karena pengaruh proses pembuatan pakan.
Pada Gambar 9 dan 10 ditampilkan indeks kematangan gonad semua perlakuan
meningkat seiring dengan tahapan perkembangan kematangan gonadnya. Indeks
kematangan gonad atau Gonadosomatik Index (GSI) merupakan suatu indeks untuk
mengetahui perubahan yang terjadi didalam gonad secara kuantitatif. Dengan nilai
tersebut akan diketahui bahwa sejalan dengan perkembangan gonad, indeks itu akan
semakin bertambah besar dengan batas kisar maksimum pada saat terjadi pemijahan.
Bertambahnya berat gonad selama proses pematangan juga menunjukkan terjadinya
penumpukan nutrien (Effendi 1979). Akumulasi lemak tampaknya berperan secara
nyata pada peningkatan berat gonad selama proses pematangan dari TKG II ke TKG
IV. Diketahui bahwa lemak total (TL) gonad perlakuan A. C dan D menunjukkan
peningkatan pada TKG II ke TKG IV. Sedangkan pada perlakuan B menunjukkan
penurunan. Jika dibandingkan dengan kandungan TL didalam pakan, perlakuan C
menunjukkan kandungan TL yang menurun pada TKG II kemudian meningkat kembali
pada TKG IV dengan kandungan yang tidak berbeda nyata dengan kandungan TL
pakan. Perlakuan D menunjukkan kandungan TL dari pakan sampai ke gonad TKG IV
dengan tren yang sama dengan perlakuan C.
Peningkatan lemak total (TL) selama proses pematangan gonad juga dilaporkan
terjadi pada penelitian lain dengan jenis udang berbeda yaitu pada P. aztecus (Castille
dan Lawrence 1989), P. monodon (Millamena dan Pascual, 1990) dan P. semisulcatus
(Ravid et al. 1999). Namun berbeda dengan data yang diperoleh pada penelitian ini,
Wouters et al. (2001b) menyatakan bahwa peningkatan TL selama proses maturasi
pada induk udang Vanamei dari alam ternyata hanya terjadi pada tahap belum
berkembang hingga TKG I, kemudian menurun pada tahapan selanjutnya.
29
Beberapa peneliti didalam Clarke (1982) menyatakan bahwa lemak didalam
gonad berasal dari hepatopankreas, juga berasal dari jaringan lain, sintesa secara de
novo ataupun pakan. Menurut Clarke (1982) dan Castille dan Lawrence (1989) jumlah
lemak yang tertimbun didalam gonad F. azteus dan Chorimus antarticus jauh melebihi
jumlah lemak yang tersimpan didalam hepatopankreas, laju sintesa lemak secara de
novo juga terlalu rendah untuk dapat mendukung peningkatan lemak didalam gonad.
Sehingga disimpulkan bahwa proses pematangan gonad induk udang kemungkinan
besar sangat tergantung pada ketersediaan lemak didalam pakan.
Pakan perlakuan A, C dan D memiliki komposisi lemak netral (NL) lebih banyak
daripada lemak polar (PL) jika dibandingkan pakan perlakuan B. Namun selama proses
pematangan gonad pada perlakuan A dan C, tampak kandungan NL meningkat sedang
kandungan PL gonad cenderung menurun. Pakan perlakuan C mempunyai kandungan
NL tertinggi dibandingkan perlakuan lain. Kandungan NL ini berkaitan dengan
kandungan TAG dan COL. Kandungan PL berkaitan dengan kandungan jenis-jenis
fosfolipid. Secara keseluruhan terlihat bahwa pada perlakuan A dan C terjadi
peningkatan kandungan NL dan TAG pada gonad dari TKG II ke TKG IV, sedangkan
pada perlakuan B dan D justru menurun. Pada perlakuan A juga terjadi peningkatan
kandungan kolesterol (COL) selama proses maturasi, namun pada gonad perlakuan B,
C dan D kandungan COL tercatat menurun. Dari data tampak bahwa kandungan PL
pada semua perlakuan meningkat selama proses pematangan gonad. Menurut Ravid et
al. (1999) peningkatan PL kemungkinan juga disebabkan konversi TAG menjadi PL
didalam hepatopankreas yang kemudian dipindahkan kedalam gonad dalam bentuk
lipoprotein larut air bersama haemolim.
Fosfolipid dan TAG merupakan lemak yang penting didalam gonad udang, dan
dilaporkan merupakan lemak-lemak didalam gonad yang paling utama (Ravid et al.
1999; Shiau 1998). Peran penting fosfolipid dan TAG didalam metabolisme udang
berkaitan dengan asam-asam lemak penyusunnya. Beberapa studi menyatakan bahwa
beberapa udang menunjukkan kemampuan yang terbatas atau bahkan tidak mampu
melakukan biosintesa n-3 dan n-6 highly unsaturated fatty acids (HUFA) dari n-3 dan
n-6 polyunsaturated fatty acids (PUFA) (Read 1981; Colvin 1976; Bottino et al. 1980;
Kanazawa et al. 1976 dalam D’Abramo et al. 1997). HUFA n-3 dan n-6 merupakan
prekursor prostaglandin yang mempunyai peran penting dalam proses reproduksi.
Sedangkan fosfolipid diketahui sebagai komponen struktur dari membran gonad
(Ravid et al. 1999), berperan penting pada fluiditas, permeabilitas, dan plastisitas
membran serta untuk aktivasi enzim (Hu et al. 2009).
Disisi lain COL essensial bagi udang dan mungkin merupakan aspek yang terunik
pada komposisi lemak udang ( Shiau 1998). COL merupakan komponen penting dalam
semua sel membran dan prekursor dari banyak molekul bioaktif seperti hormon steroid.
Kanazawa dan Teshima (1971) dalam Harrison (1990) mendemonstrasikan konversi in
vivo COL menjadi hormon steroid didalam gonad lobster Panulirus japonicus . COL
essensial untuk udang karena udang tidak mampu mensintesa ikatan cincin sterol, dan
oleh karena itu COL dari pakan akan disimpan di jaringan otot, hepatopankreas dan
gonad.
Analisis kandungan protein gonad antar perlakuan menunjukkan bahwa pakan C
menghasilkan kenaikan kandungan protein gonad tertinggi dari TKG II ke IV.
Sebaliknya pada perlakuan B dan D, kandungan protein gonad menurun. Beberapa
studi menunjukkan perubahan kandungan protein didalam gonad yang berhubungan
dengan perkembangan telur dan pemijahan, serta keberhasilan pemijahan. Harrison
(1997) menemukan bahwa peningkatan kandungan protein didalam gonad berhubungan
dengan perkembangan gonad yang diikuti dengan penurunan tajam kandungan protein
sesudah pemijahan pada udang Paratelphysa hydrodromaus. Palacios et al. (2000),
melaporkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata pada kandungan protein
hepatopankreas dan gonad induk betina udang Vanamei liar dan hasil domestikasi,
dimana induk yang menunjukkan tampilan pemijahan yang baik, kandungan proteinnya
lebih tinggi daripada kandungan protein hepatopankreas dan gonad induk yang
tampilan pemijahannya buruk. Di dalam penelitian ini, penurunan kandungan protein
didalam gonad induk betina udang Vanamei perlakuan B dan D selama proses
pematangan gonad, diduga menyebabkan proses reproduksi tidak berjalan dengan baik
sehingga tidak dihasilkan telur. Harrison (1990) menyebutkan pentingnya sintesa
protein kuning telur, hormon peptida dan enzim-enzim selama masa maturasi dan
reproduksi. Protein didalam pakan menyediakan baik asam amino essensial maupun
non essensial yang dibutuhkan dalam pembentukan otot, jaringan pengikat dan protein
respirator dalam hemolim. Protein pakan juga menyediakan nitrogen untuk penyusunan
materi genetik dan juga dimetabolisme menjadi cadangan energi.
Hasil analisis betakaroten pakan dan gonad serta telur masing-masing perlakuan
ditampilkan pada Gambar 12. Karoten merupakan kelompok pigmen yang tidak bisa
disintesa oleh hewan sehingga harus diperoleh dari pakan dan bisa ditransformasi dari
satu bentuk karoten ke bentuk yang lain (Wouters et al 2001a). Data hasil analisis
menunjukkan bahwa akumulasi betakaroten didalam gonad berkaitan dengan
ketersediaanya didalam pakan. Dari keempat pakan perlakuan , pakan A mengandung
kandungan tertinggi (134.32 mg betakaroten/1000 g sampel) dibandingkan ketiga
perlakuan lain. Demikian pula dengan akumulasi betakaroten didalam gonad berturut-
turut adalah A. 45.85 mg/1000 gr sampel, C. 43.16 mg/1000 gr sampel, B. 3.86
mg/1000 gr sampel dan D. 0 mg/1000 gr sampel. Selama proses maturasi, karotenoid
bebas dan yang teresterifikasi terakumulasi didalam hepatopankreas, kemudian selama
proses vitelogenesis sekunder akan didistribusikan dari hepatopankreas melalui
hemolim dalam bentuk lemak komplek High Density Lypoproteins / HDL kedalam
gonad (Harrison 1990). Akumulasi karoten didalam gonad akan menyebabkan warna
gonad berubah menjadi lebih gelap, hal ini yang mendasari penentuan tingkat
kematangan gonad secara morfologi (Gambar 13).
Kandungan protein, lemak dan kelas-kelas lemak yang berbeda mempengaruhi
tahapan perkembangan gonad antar perlakuan. Data persentase jumlah induk matang
gonad TKG I, II, III dan IV pada 3 periode pengamatan (Lampiran 1) menunjukkan
bahwa rata-rata jumlah induk yang mencapai TKG III dan IV pada perlakuan A dan C
lebih banyak dibandingkan perlakuan lain. Pengukuran diameter oosit pada TKG II dan
TKG IV, secara statistik tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, namun dalam
penelitian ini terlihat bahwa perbedaan perlakuan pakan menghasilkan respon
kecepatan perkembangan oosit yang berbeda. Meskipun faktor lain seperti kondisi
lingkungan, sumber dan ukuran induk serta manajemen pemeliharaan dipertahankan
homogen. Perbedaan ini ditunjukkan oleh persentase sebaran diameter oosit vitelogenik
yang berbeda-beda pada setiap tahapan dan dari perkembangan sel oositnya. Pada
TKG IV, frekuensi oosit vitelogenik pada kisaran diameter 100-336 m perlakuan A
dan C lebih besar dibandingkan kedua perlakuan lain. Secara berturut-turut jumlah oosit
vitelogenik yang sudah matang gonad pada keempat perlakuan yaitu A. 89.23%; B.
87.65%; C. 96.97% dan D. 69.34%. Persentase oosit yang lebih banyak pada kisaran
diameter 100-336 m menyebabkan ukuran rata-rata diameter oosit pada perlakuan C
lebih besar. Data rata-rata diameter oosit berturut-turut A. 144.92a + 31.94 m;
B. 133.03a + 26.47 m; C. 148.86
a + 23.89m; D. 119.00
a + 26.93 m.
Effendi (1979) menyatakan bahwa dalam satu tingkatan gonad, komposisi telur
yang dikandung tidak homogen melainkan terdiri dari beberapa macam telur. Namun
31
dinyatakan bahwa komposisi telur ini berhubungan dengan frekuensi dan lama musim
pemijahan serta pengaruh lingkungan. Sebaliknya Harrison (1990) menyatakan bahwa
dalam proses pematangan gonad mencakup beberapa proses yaitu gonadogenesis
(perkembangan jaringan gonad), gametogenesis (produksi oosit atau spermatosit) dan
pada betina melalui proses vitelogenesis (produksi protein kuning telur) yang
seluruhnya dipengaruhi oleh kualitas nutrien dari pakan.
Ketersediaan pakan yang optimal diidentifikasi sebagai faktor yang sangat
penting didalam pematangan gonad dan reproduksi udang. Dilaporkan bahwa pakan
yang tidak seimbang atau tidak lengkap menyebabkan kinerja reproduksi induk buruk
atau bahkan sama sekali terhenti (Wouters et al. 2001a). Izquierdo (2001) menyatakan
bahwa sistem endokrin otak-pituitari-gonad dapat terganggu jika nutrisi pakan tidak
seimbang atau jika ketersediaan komponen biokimia untuk pembentukan telur terbatas.
Pada penelitian ini induk yang berhasil memproduksi telur adalah induk pada
perlakuan A dan C. Tercatat bahwa didalam telur yang dihasilkan oleh induk udang
Vanamei pada perlakuan A dan C juga terkandung TL. Adanya pemindahan TL kepada
turunannya sesuai dengan hasil penelitian Wouters et al. (2001b) pada udang Vanamei.
Terdapat perbedaan yang nyata kandungan TL pada telur yang dihasilkan perlakuan A
dan C. Transfer lemak dari gonad kedalam telur tampaknya terjadi lebih efisien pada
pakan C dibandingkan pakan A, karena tercatat kandungan TL pada telur C yaitu
3.23% sedangkan pada telur A yaitu 0.69%. Mobilisasi lemak yang lebih baik pada
perlakuan C diduga menyebabkan rata-rata diameter oosit dalam gonad C juga lebih
tinggi. TAG didalam telur digunakan dalam metabolisme tingkat substansial sebagai
Perlakuan Pakan
TKG II
TKG IV
A
B
C
D
Gambar 13 Perbandingan warna gonad antar perlakuan
cadangan energi selama perkembangan telur dan penetasan. Kandungan TAG didalam
telur tidak berbeda nyata pada perlakuan A dan perlakuan C yaitu berturut-turut 0.73%;
0.70%. Hal ini dapat menjadi indikator bahwa telur yang dihasilkan dari induk yang
diberi pakan alternatif cacing tanah segar diperkaya fosfolipid, COL dan karoten
kualitasnya baik, karena naupli yang mempunyai cadangan energi mempunyai
kesempatan besar untuk sukses melewati masa metamorphosis ke tahap zoea (Palacios
et al. 2001). Dalam penelitian ini COL pada perlakuan A meningkat selama proses
pematangan gonad tingkat II ke IV ( 0.31%-0.33%) dan kemudian terekspresi didalam
telur yang dihasilkan (0.62%). Sedangkan pada perlakuan B, C, dan D terjadi
penurunan kandungan COL selama proses pematangan gonad. Namun karena
kandungan COL pada perlakuan pakan C cukup tinggi dibandingkan ketiga perlakuan
lain (0.73%) maka meskipun kandungan COL gonad TKG IV lebih rendah
dibandingkan COL gonad TKG II, telur yang dihasilkan sudah mendapat suplai COL
(0.49%). Menurut Harrison (1990), COL telur tampaknya diambil dari cadangan COL
gonad, dalam bentuk membran telur dan membran-membran dalam perkembangan
embrio. COL yang disimpan dalam kuning telur tampaknya juga sebagai bahan
prekursor hormon steroid atau sebagai cadangan COL untuk tahap embrio dan larva
awal.
Fungsi karoten selama mobilisasi lemak gonad dan didalam telur kemungkinan
adalah sebagai antioksidan atau pelindung cahaya, melindungi cadangan nutrien dan
jaringan embrio dari kerusakan oksidatif atau radiasi matahari (Harrison 1990). Hal ini
diduga menjadi penyebab mengapa pakan pada perlakuan B dan D tidak mampu
mendukung kinerja reproduksi induk udang Vanamei dan gagal menghasilkan telur.
Kandungan betakaroten didalam pakan B dan D sangat rendah jika dibandingkan pakan
lain. Sehingga suplai betakaroten tidak mencukupi bukan saja untuk melindungi suplai
lemak selama mobilisasi kedalam gonad, bahkan juga kedalam telur. Dengan demikian
kandungan betakaroten didalam gonad pada TKG IV juga rendah dan bahkan tidak
terdeteksi pada gonad perlakuan D (0%). Rendahnya kandungan betakaroten didalam
pakan menyebabkan komponen nutrisi tidak dapat dilindungi dari proses kerusakan
akibat oksidasi. Akibatnya kandungan nutrisi khususnya protein dan lemak menurun
selama proses pematangan gonad TKG II dan IV dan bahkan terkuras sehingga tidak
mencukupi untuk dapat menghasilkan telur dengan viabilitas yang tinggi. Karoten juga
mendukung kestabilan struktur lipoprotein dengan membentuk nonstokiometrik
kompleks dan oleh karena itu melindungi nutrien yang dibutuhkan oleh embrio atau
larva. Karoten didalam telur kemungkinan juga berfungsi sebagai penyedia pigmen,
yang digunakan oleh embrio dan larva dalam pembentukan kromatofor dan titik mata,
atau sebagai prekursor vitamin A (Linan-cabello dan Jesus 2004). Telur yang dihasilkan
pada proses pemijahan induk udang Vanamei perlakuan A dan C menunjukkan ekspresi
betakaroten berturut-turut yaitu telur A 20.62 mg/1000g; telur C. 18.2 mg/1000g.
Harrison (1990) menekankan bahwa sumber pigmen karoten bagi udang hanya dari
pakan, sehingga pengayaan pakan induk dengan karoten akan sangat berpengaruh
terhadap kualitas telur, viabilitas dan vitalitas larva yang dihasilkan. Hal ini dapat
mendukung kesimpulan bahwa pakan cacing tanah yang diperkaya oleh kolesterol,
fosfolipid dan karoten dapat digunakan sebagai alternatif pakan untuk induk udang
Vanamei.
33
5 SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa pakan cacing tanah Pheretima sp yang
diperkaya dengan kolesterol, fosfolipid dan karoten dapat digunakan sebagai pakan
alternatif pengganti cacing laut Nereis sp untuk induk udang Vanamei L. vannamei.
Data menunjukkan bahwa meskipun TL gonad perlakuan meningkat namun
penggunaan cacing tanah Pheretima sp segar yang diperkaya menghasilkan kenaikan
kandungan protein, PL, TAG serta betakaroten gonad selama proses pematangan dari
TKG II ke TKG IV sehingga dapat menyamai komposisi kimia pakan kontrol.
Perkembangan kematangan gonad induk dengan pakan cacing tanah Pheretima sp yang
diperkaya baik secara morfologi maupun histologi menunjukkan kecepatan paling
tinggi dibandingkan perlakuan B dan D. Dalam penelitian ini induk yang berhasil
memproduksi telur adalah induk pada perlakuan cacing laut Nereis sp dan induk pada
perlakuan cacing tanah Pheretima sp yang diperkaya dengan kolesterol, fosfolipid dan
karoten.
Saran
Proses pengayaan cacing tanah (Pheretima sp) dengan kolesterol, fosfolipid dan
karoten dilakukan melalui penyuntikan. Oleh karena itu agar dapat diaplikasikan secara
masal dalam budidaya udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) disarankan untuk
mencari teknik pengayaan cacing tanah yang lebih mudah dan efektif .
DAFTAR PUSTAKA
Brata B. 2009. Cacing tanah: Faktor mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangbiakan. Bogor (ID): IPB Pr. 58.
Castille FL, Lawrence AL. 1989. Relationship between maturation and biochemical
composition of the gonads and digestive glands of the shrimps Penaeus aztecus iIves
and Penaeus setiferus (L.). J. Crustacean Biol. 9(2): 202-211.
Clarke A. 1982. Lipid synthesis and reproductions in the polar shrimp Chorismus
antarticus. Mar. Ecol. Prog. Ser. 9. 81-90. 0171.8630/82/0009/0081. D’Abramo LR, Border CE, Conklin DE, Baum NA. 1981. Essentiality of dietary
phosphatidylcholine for the survival of Juvenile Lobsters. J.nutrition.III: 425-431 D’Abramo LR, Conklin DE, Akiyama DM, 1997. Crustacean Nutrition. The World
Aquaculture Society. Louisiana. ISBN 1 8888 07 00 8.
D’Abramo LR. 1989. Lipid requirement of shrimp. Advances in tropical aquaculture.
AQUACOP-IFREMER. Tahiti. 271-285.
De Silva SS dan Anderson TA. 1995. Fish nutrition in aquaculture. London (GB):
Chapman & Hall.318.
Demestre M, Fortuno JM. 1992. Reproduction of the deep-water shrimp Aristelus
antennatus (Decapoda: Dendrobranchiata). Mar. Ecol. Prog. Ser. 84. 41-51.doi
0171-8630/92/0084/0041/$03.00.
Effendi MI. 1979. Metode biologi perikanan. Bogor (ID). Yayasan Dewi Sri. FAO Food and Agriculture Organization. 2012. The state of world fisheries and
aquaculture. Fisheries and Aquaculture Departement. Food and Agriculture
Organization of The United Nations. Bull internet. Rome. Tersedia pada: http // www.fao.org/Fishery/spesies/3904/en.197.
Furuichi M. 1988. Fish nutrition. p 1-77. In T. Watanabe (ed). Fish nutrition and
mariculture. Jica Texbook The General Aquaculture Course. 233.
Golez NV. 2002. Processing of feedstuffs and aquafeeds. P 125-146. In Millamena
OM, Coloso RM, Pascual FP (ed). Nutrition in tropical aquaculture. Aquaculture
Departement SEAFDEC. Philippines. 196.
Gong H, Lawrence AL, Jiang DH, Gatlin III DM. 2000. Lipid nutrition of juvenile
Litopenaeus vannamei: I. Dietary cholesterol and de-oiled soy lecithin equirements
and their interaction. Aquaculture. 190:307–326. doi S0044- 8486 00 00414- 2.
Gonzalez-Felix MR, Gatlin III DM, Lawrence AL, Perez-Velazquez M. 2002. Effect
of dietary phospholipid on essential fatty acid requirements and tissue lipid
composition of Litopenaeus vannamei juveniles. Aquaculture. 207 :151– 167. doi
S0044-8486(01)00797-9.
Guillaume J, Kaushik S, Bergot P, Metailler R. 2001. Nutrition and feeding of fish and
crustaceans. Praxis Publishing. Chichester (UK). 408.
Halver JE, Hardy RW. 2002. Fish nutrition third edition. Academis Pr. (AP). Elseiver
Science (USA). 824.
Harrison K. 1990. The role of nutrition in maturation, reproduction and embryonic
development of decapod crustaceans (review). Journal of Shellfish Research. 9(1):
1-28. Generated 17 Februari 2011 11:24 pm.
Harrison K. 1997. Broodstock nutrition and maturation diets. In D’Abramo LR,
Conklin DE, Akiyama DM. (ed) : Crustacean nutrition, Advances in World
Aquaculture Volume 6. World Aquaculture Society. 587.
Hu E, Wang RJ, Pan CY, Yang WX. 2009. Fatty acids: Composition and functions for
reproduction. In: Nakamura TK (ed) Aquaculture research progress. Nova Sci.
Publisher, Inc.127-146.
Ibarra AM, Racotta IS, Arcos FG, Palacios E. 2007. Progress on the genetics of
reproductive performance in penaeid. Aquaculture. 268:23–43.
doi:10.1016/j.aquaculture.
Izquierdo MS, Fernandez-Palacios H, Tacon AGJ. 2001. Effect of broodstock
nutrition on reproductive performance of fish. Aquaculture. 197: 5–42. doi S0044-
8486 01 00581-6.
Kamler E. 1992. Early life history of fish: An energetics approach. Inggris (GB).
Roulemak totaled Chapman & Hall. 267.
Lall SP, Parazo MP. 1995. Vitamins in fish and shellfish . p 157-186. In Ruiter A (ed).
Fish and fishery product. CAB International. ISBN 0 85198 927 6.
Lawrence AL, McVey JP, Huner JV. 1985. Penaeid Shrimp Culture. In Huner JP,
Brown EE (eds.) : Crustacean and mollusk aquaculture in the United States. AVI
Publishing Co., Inc., Westport, Connecticut, USA.
Linan-Cabello MA, Jesus PM. 2004. Induction factors derived from carotenoids and
vitamin A during the ovarian maturation of L. vannamei. Aquaculture International.
12: 583-595.
Linder MC. 1992. Biokimia nutrisi dan metabolisme. Penerjemah : Aminuddin
Parakkasi. Penerbit Universitas Indonesia.
Lorenz T. 1998. A review of Carotenoid, Astaxanthin as a pigment and vitamin source
for cultured Penaeus Prawn. Naturose Technical Bulletin. Cyanotech Corporation.7.
Lovell RT. 1984. Ascorbic acid metabolism in: Fish Proc. Ascorbic acid in domestic
animal. Royal Danish Agriculture Soc. Copenhagen. 206-212 p.
35
Machlin LJ. 1990. Hand book of Vitamin. Second Edition. Revised and Expanded.
594 .
Millamena OM, Pascual FP. 1990. Tissue lipid content and fatty acid composition of
Penaeus monodon Fabricius broodstock from the wild. J. World Aquacult. Soc. 21:
116-121. DOI: 10.1111/j.1749-7345.1990.tb00531.x
Morris TC, Samocha TM, Davis AD, Fox MJ. 2011. Cholesterol supplements for
Litopenaeus vannamei reared on plant based diets in the presence of natural
productivity. Aquaculture. 314 : 140 - 144. Doi: 10. 1016 / j. aquaculture.
2011.01.052.
Motoh H. 1981. Studies on the fisheries biology of the Giant Tiger Prawn, Penaeus
monodon, in the Philippines. (Technical Report No. 7). Tigbauan, Iloilo, Philippines:
Aquaculture Department. Southeast Asian Fisheries Development Center. 128.
Mourente G. 1996. Invitro metabolisme of C-14-Polyunsaturated Fatty Acids in might
gland and ovary cells from Penaeus kerathurus Forskal at the beginning of sexual
maturation. Comp. Biochem. Physiol. 115(2) 255-266 .
Nguyen ND, Wouters R, Wille M, Thanh V, Dong TK¸ Hao NV, Sorgeloos P. 2009. A
Fresh-food maturation diet with an adequate HUFA composition for broodstock
nutrition studies in Black Tiger Shrimp Penaeus monodon (Fabricius, 1798).
Sciencedirect 297: 116–121. doi:10.1016/ j.aquaculture. 2009.09.005.
Nurdjana ML. 1983. Pengaruh ablasi mata unilateral terhadap perkembangan telur dan
embrio serta kualitas larva Udang Windu (Penaeus monodon Fab). Yogyakarta (ID).
Universitas Gajah Mada. 401.
Palacios E, Racotta IS, Heras H, Marty Y, Moal J, Samin JF. 2001. Relation between
lipid and fatty acid composition of eggs and larval survival in white pacific shrimp
(Penaeus vannamei, Boone, 1931). Aquaculture International. 9: 531-543.
Paoletti MG, Buscardo E, VanderJagt DJ, Pastuszyn A, Pizzoferrato L, Huang YS,
Chuang LT, Millson M, Torres F, Glew RH, Cerda H. 2003. Nutrient content of
earthworms consumed by Ye’Kuana Amerindians of The Alto Orinoco of
Venezuela. Inggris (GB). Proc. Royal Society. B . 270:249–257.
Peixoto S, Wasielesky W, Cavalli . 2011. Broodstock maturation and production of
the Indigenous Pink Shrimp Farfantepenaeus paulensis in Brazil: An Updated
Review on Research and Development. Aquaculture. 315 . 9–15.
doi:10.1016/j.aquaculture.2010.04.009.
Piliang WG dan Djojosubagio S. 1991. Fisiologi Nutrisi. Vol I. Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayati, IPB. 289.
Pinon E, Cowin P, Vera L, 2003. Use of Farm-raised Polychaetes Nereis virens in
shrimp maturation. In Jory, D. E.,(ed): Responsible Aquaculture for a Secure
Future. Proceedings of the Special Session on Shrimp Farming. Aquaculture. Baton
Rouge, LA (US).
Ravid T, Tietz A, Khayat M, Boehm E, Michelis R, Lubzens E. 1999. Lipid
accumulation in the ovaries of marine shrimp Penaeus semisulcatus (De Haan). J.
Exp. Biol. 202(13). 1819-1829.
Reddy PR, Kiranmayi P, Kumari KP, dan Reddy PS. 2006. 17-hydrokxiprogesteron
induced ovarian growth and vitellogenesis in the freshwater rice field crab
Oziotelphusa senex senex. Aquaculture. 254. 768-775. Doi:
10.1016/j.aquaculture.2005.11.023.
Sangamaheswaran AP dan Jeyaseelan MJP. 2001. White Spot Viral Disease in Penaeid
Shrimp review. ICLARM Quarterly. 24(3-4): 7.
Shiau SY. 1998. Nutrient requirement of penaeid shrimps. Aquaculture. 164. 77-93.
S0044-8486(98)00178-1.
Sihombing DTH. 1999. Satwa harapan II: Pengantar Ilmu dan Teknologi Budidaya.
Pustaka Wirausaha Muda. Bogor (ID). 230.
SNI 01-7253-2006 tentang Induk Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei) kelas induk
pokok. 2006. Ringkasan SNI Perikanan Budidaya. Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Kementerian Kelautan dan Perikanan. Jakarta (ID).
Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan prosedur statistika. Alih Bahasa : Bambang
Sumantri. Jakarta (ID). Gramedia Pustaka Utama. 748.
Tarsim M, Junior MZ, Riani E. 2007. Effect of Estradiol-17ß injection on gonad
development of White Shrimp (Litopenaeus vannamei). Jurnal Akuakultur
Indonesia, 6(1): 17–25.
Watanabe T, Itoh A, Kitajima C, Nishimura K. 1984. Effect of dietary protein levels on
reproduction of Red Seabream. Bull. Japan. Soc. Scien. Fish. 50(6): 1015-1022.
Watanabe T. 1988. Fish nutrition and mariculture. Jica Texbook The General
Aquaculture. 233.
Wilson RP. 1994. Utilization of dietary Carbohydrate by Fish. Aquaculture: 124
(1994) 67-80 . Wouters R, Lavens P, Nieto J, Sorgeloos P. 2001a. Penaeid Shrimp broodstock
nutrition: An updated review on research and development. Aquaculture research. 202:1-21.
Wouters R, Piguave X, Bastidas L, Caldero J, Sorgeloos P. 2001b. Ovarian maturation and haemolymphatic vitellogenin concentration of Pacific White Shrimp Litopenaeus vannamei (Boone) fed increasing levels of total dietary lipids and HUFA. Aquaculture Research. 32:573-582.
Zeb A, Murkovic M. 2011. Carotenoids and triacylglyserols interactions during thermal
oxidation of refined olive oil. Science direct. Doi: 10.1016/j.foodchem.2011.02.022
Periode/
hari ke
Perlakuan A
(n=25 ekor)
Perlakuan B
(n=25 ekor)
Perlakuan C
(n=25 ekor)
Perlakuan D
(n=25 ekor)
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
I
1. 8 1
2. 2 8 1 1
3. 1 2 8 1 2 1
4.
5.
6. 1 1 1 1 1 1
7. 1 1 1
8. 1 1 1 1
9. 1 1
10. 2 1
11. 2 1 1
12. 1 2 1
13. 2 1
14. 2 1
15. 2
16. 4
17. 2 4
Jumlah 22 20 14 1 1 3 1 0 5 4 4 2 1 1 1 0
% 88 80 56 4 4 12 4 0 20 16 16 8 4 4 4 0
Lampiran 1 Pengamatan jumlah induk udang Vanamei pada TKG I-IV selama pemeliharaan
Lanjutan Lampiran 1
Periode/
hari ke
PERLAKUAN A
(n=25 ekor)
PERLAKUAN B
(n=25 ekor)
PERLAKUAN C
(n=25 ekor)
PERLAKUAN D
(n=25 ekor)
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
II
1. 3 2 2 1 1 1 1
2. 3 2 2 1 3 1 1 1
3. 2 1 1 2 1 2 2 1
4. 2 2 2 2 2 1 1
5. 2 2 1 2 1 1 1
6. 2 2 1 1 1 1 1
7. 1 2 3 1 1 2 1 1 2
8. 1 2 3 1 1 2 1 1 2
9. 2 2 1 3 2 1 2 1 1 2 1
10. 2 3 1 2 3 1 2 2 1 1 1
11. 2 2 1 1 2 2 1 1 3 2 2 1
12. 3 1 2 1 1 1 1 2 1 2 1 2 1
13. 2 2 1 1 2 1 2 1 1 2 1
14. 2 2 1 2 1 1 1 1 2 2 1
15. 3 2 1 2 1 2 1 1 1 1 4
16. 1 4 1 1 1 2 1 1 1 1 2
17. 2 3 2 1 1 1 1 2
Jumlah 25 24 14 9 25 25 13 1 23 24 18 6 18 11 7 9
% 100 96 56 36 100 100 52 4 92 96 72 24 72 44 28 36
Lanjutan Lampiran 1
Periode/ Hari ke
PERLAKUAN A (n=25 ekor)
PERLAKUAN B (n=25 ekor)
PERLAKUAN C (n=25 ekor)
PERLAKUAN D (n=25 ekor)
I II III IV I II III IV I II III IV I II III IV
III
1. 3 4 2 1 1
2. 2 1 2 2 1 1 1
3. 5 1 1 4 1
4. 2 1 1 1 1 3 2 1
5. 1 1 2 1
6.
7. 1 1 2 2 2
8. 1 2
9. 1 1 3 1 2 2 2
10. 1 1 1 3 2 1 2 1
11. 1 1 3 2 2 1
12. 1 1 3 1 1 1 1
13. 1 1 1 1 1 2 1 1 1 1 1
14. 1 2 1 1 1 1
15. 1 1 2 1 1 1
16. 1 1 1 1 1 1 1
17.
jumlah 7 3 4 11 4 10 11 4 11 22 7 9 12 11 7 4
% 28 12 16 44 16 40 44 16 44 88 28 36 48 44 28 16
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Situbondo pada tanggal 11 November 1973
sebagai anak pertama dari pasangan Bapak Drs. Abd Rachman
Abu dan Ibu Tri Murdaningsih, A. Ma. Pd. Pendidikan Sekolah
Dasar sampai Sekolah Menengah Atas diselesaikan di
Situbondo. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi
Pengolahan Hasil Perikanan Fakultas Perikanan Universitas
Brawijaya Malang, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2011 penulis melanjutkan
pendidikan di Sekolah Pasca Sarjana Program Studi Ilmu Akuakultur Institut
Pertanian Bogor. Penulis bekerja sebagai Perekayasa di Balai Budidaya Air Payau
Situbondo sejak tahun 1998.