Vol.1 No.1 April 2011
Vol.1 No.1 April 2011
Jurnal OTORITAS Ilmu Pemerintahan diterbitkan Program Studi Ilmu Pemerintahan
Universitas Muhammadiyah Makassar. Jurnal OTORITAS berisi artikel tulisan ilmiah dalam
bentuk hasil-hasil penelitian dan non penelitian, kajian analisis, aplikasi teori dan review
tentang masalah-masalah publik, kebijakan publik dan pemerintahan, baik di lembaga
eksekutif, legislatif, yudikatif, maupun di masyarakat. Penerbitan Jurnal ini bertujuan untuk
meningkatkan kuantitas serta menyebarluaskan kajian ilmu pemerintahan sekaligus sebagai
wahana komunikasi diantara cendikiawan, praktisi, mahasiswa, dan pemerhati masalah-
masalah publik dan praktika ilmu pemerintahan.
Vol.1 No.1 April 2011
DEWAN REDAKSI
Penerbit :
Program Studi Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Makassar
Penanggung Jawab :
Ketua Program Studi Ilmu Pemerintahan
Fakultas Ilmu Sosial & Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Makassar
Redaktur Ahli :Dr. A. Syamsu Alam, M.Si
Dr. A. Mappamadeng Dewang, M.Si
Pemimpin Redaksi :Dr. Nuryanti Mustari, S.IP, M.Si
Redaktur Pelaksana :Dr. Jaelan Usman, M.Si
Andi Nuraeni Aksa, SH, MHDrs. Alimuddin Said, M.Pd
Rudi Hardi, S.Sos, M.Si
Bidang Usaha :Ihyani Malik, S.Sos, M.Si
Design Grafis :Andi Maddukelleng, S.IP
Percetakan :Hardiansyah, S.Sos
Distribusi :Jusri Adi, S.IP
PercetakanCV. Adi Perkasa
Jl.Talasalapang Ruko BPH Makassar
Alamat Redaksi :Gedung F1 Lt.1
Pusat Perkantoran FISIPUnismuh Makassar
Jl. Sultan Alauddin No. 259Makassar 90221
Telp. 0411 – 866972 ext. 107Fax. 0411 – 865588
Email: [email protected]: [email protected]
Good Governance dan Formasi
Kebijakan Publik Neo-Liberal
(Andi Luhur Prianto).....................................................Hal. 01 - 10
Agenda Setting Pengelolaan
Sampah Pasar di Kota Makassar
(Muhlis Madani).............................................................Hal. 11 - 24
Implementasi Kebijakan Peningkatan
Kompetensi Pendidik melalui
Peningkatan Rasio Pendidik
(Nuryanti Mustari).........................................................Hal. 25 - 40
Implementasi Kebijakan Tata Kelola
Pemerintahan Daerah dengan Semangat
Efouria Demokrasi Lokal
(Jaelan Usman)................................................................Hal. 41 - 50
Persepsi Masyarakat terhadap
Kebijakan Politik di Kota Parepare
(Rudi Hardi)....................................................................Hal. 51 - 59
Kebijakan Publik dalam Konstelasi
Paradigma Pembangunan
Kesejahteraan Sosial
(Ronawaty Anasiru).......................................................Hal. 60 - 64
Manajemen Kebijakan dalam
Membangun Partisipasi Publik
(Lukman Hakim)............................................................Hal. 65 - 71
Kebijakan Sertifikasi Guru :
Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru(Ihyani Malik)..................................................................Hal. 72 - 76
ISSN 2088 3706
Redaksi Jurnal OTORITAS menerima tulisan yang belum pernah
diterbitkan dalam media cetak lain. Syarat, format, dan tata tulis artikel
dapat dilihat pada Petunjuk Penulisan Jurnal Ilmu Pemerintahan
OTORITAS dilembaran belakang Jurnal ini. Artikel yang masuk
ditelaah penyunting ahli untuk dinilai kelayakannya. Penyunting
dapat memodifikasi artikel untuk keseragaman format, istilah dan
kepentingan teknis lainnya tanpa merubah substansi artikel.
Vol.1 No.1 April 2011
Vol.1 No.1 April 2011
A. PENDAHULUAN
Beberapa tahun terakhir ini, terminologi
good governance telah melanda seluruh lapisan
masyarakat di seluruh pelosok nusantara.
Slogan reformasi politik yang pernah sangat
populer dan berenergi di tahun 1998-1999,
ternyata tidak berusia terlalu lama, dan
kemudian tidak banyak lagi digunakan.
Namun, wacana good governance bisa tetap
bertahan sekarang ini, dan seakan-akan
menjadi simbol dari masuknya Indonesia
dalam standar kehidupan global. Masyarakat
desa yang tidak berbahasa Inggris pun bisa
fasih untuk melafalkan good governance.
Dengan mudah kita menyaksikan atau
mendengar dari dekat bahasa santun nan elok
‘good governance’, tetapi dengan sangat
gampang pula di sekitar kita terlihat centang
perenang terjadi korupsi sistematik, legalisasi
ABSTRAK
Sejak kurun waktu beberapa tahun terakhir, diskursus good governance telah
menjajah wacana publik dalam reformasi dan demokratisasi di Indonesia.
Tulisan ini bermaksud mendekonstruksi diskursus good governance itu
sendiri, apa sesungguhnya yang keliru atau bahkan mungkin apa yang latah
diucapkan soal good governance. Tulisan ini berusaha untuk menunjukkan
masuknya gagasan neo-liberal dalam imajinasi perubahan politik, ekonomi dan
sosial yang digelindingkan di masa-masa akhir kepemimpinan Soeharto di awal
1990-an. Sebagaimana akan ditunjukkan dalam tulisan ini, gerakan yang berlabel
governance ini justru semakin menjauh dari semangat governance yang sebenarnya.
Secara singkat, gerakan good governance di Indonesia justru melenceng dari
semangat governance yang mengedepankan akomodasi, kooperasi dan sinegi
dalam kesetaraan antar pelaku. Hal ini membawa proses marginalisasi kebijakan
ekonomi, sosial, kultural dan juga politik yang sejalan dengan nilai-nilai neo-liberal.
Kata kunci : good governance, kebijakan publik dan neo liberal
GOOD GOVERNANCE DAN
FORMASI KEBIJAKAN PUBLIK
NEO-LIBERALAndi Luhur Prianto
1
Vol.1 No.1 April 2011
suap antar lembaga kekuasaan, pelanggaran
hak asasi manusia dan kebijakan imperial
lainnya. Sepertinya, beda tipis antara apa yang
disebut dengan ’good’ (baik) dengan ’bad’
(buruk) atau ‘poor’ (miskin) dalam tata kelola
pemerintahan, karena keduanya berjalan
seiring bak lintasan rel kereta yang didisain
kuat menancap dengan ‘bantalan’ teori dan
mistifikasi kekuasaan, yang keluar masuk
stasiun mengangkut (baca: memperdagangkan)
penumpang sebanyak-banyaknya. Persis
seperti ‘good governance’ yang diinjeksikan
dari negara satu ke negara lain yang menebarkan
pengaruh tentang kebenaran absolut dalam
pengelolaan administrasi dan manajemen
publik (Wiratraman, 2008).
Dalam konteks Indonesia yang bergeliat
dengan tuntutan reformasi, good governance
tampil sebagai model transplantatif baru yang
diyakini mampu mengobati birokrasi politik
yang dinilai sarat korupsi, suap, dan
penyalahgunaan kekuasan, termasuk berbagai
pelanggaran hak-hak asasi manusia. Aparat
birokrasi negara, dari Presiden di pucuk
pimpinan negara hingga pemerintahan paling
bawah, seragam mendendangkan good
governance. Di level aktor-aktor non-negara
pun tidak kalah, agenda organisasi non-
pemerintah pun bicara banyak soal good
governance, dan menjadikannya program kerja
yang signifikan pada pasca 1998. Tidak begitu
mengherankan program-program antikorupsi,
pengawasan terhadap pemerintah maupun
otonomi daerah, pengawasan peradilan, dan
lain sebagainya. Begitupun para akademisi,
lembaga ataupun negara donor, dan aktor-aktor
lainnya berbincang hal yang sama soal
pentingnya good governance.
Uniknya, lebih dari satu dekade reformasi
berjalan sejak 1998, korupsi bukannya
berkurang melainkan semakin menggurita.
Birokrasi publik masih belum banyak berubah,
dari mentalitas pelayanan yang buruk dan
inefisien, praktek suap menyuap masih subur,
dan berbagai pelanggaran hak-hak asasi
manusia masih banyak terjadi. Intinya, negara
yang korup masih belum bisa teratasi dengan
good governance.
Tulisan berikut hendak mendekonstruksi
diskursus good governance itu sendiri, apa
sesungguhnya yang keliru atau bahkan
mungkin apa yang latah diucapkan soal good
governance. Tulisan ini berusaha untuk
menunjukkan masuknya gagasan neo-liberal
dalam imajinasi perubahan politik, ekonomi
dan sosial yang digelindingkan di masa-masa
akhir kepemimpinan Suharto di awal 1990-an.
Sebagaimana akan ditunjukkan dalam tulisan
ini, gerakan yang berlabel governance ini justru
semakin menjauh dari semangat governance
yang sebenarnya. Secara singkat, gerakan good
governance di Indonesia justru melenceng dari
semangat governance yang mengedepankan
akomodasi, kooperasi dan sinergi dalam
kesetaraan antar pelaku. Hal ini membawa
proses marginalisasi ekonomi, sosial, kultural
dan juga politik yang berkepanjangan. Oleh
karena itu, di akhir tulisan ini berusaha
dilontarkan gagasan untuk mengembangkan
pola governance yang lebih demokratis dan
berkeadilan.
B. GOOD GOVERNANCE : LATAR BELAKANG
& SEJARAH PERKEMBANGAN
Sejak akhir tahun 1980-an, istilah
governance mulai digunakan untuk pengertian
yang berbeda. Tatkala istilah governance
dipopulerkan, perubahan penggunaan istilah
dari government ke governance lebih
dimaksudkan untuk menunjukkan perlunya
gelombang baru reformasi pemerintahan.
Istilah government reform, democracy dan
sejenisnya, dianggap telah mengalami inflasi
dan tidak mampu menarik perhatian untuk
menggerakkan semangat reform. Oleh karena
itu, diperlukan kemasan baru baru government
reform kali ini adalah berbeda dengan reform
yang ada sebelumnya. Menurut Rhodes
(Pratikno, 2005) Penggunaan istilah governance
digunakan untuk menegaskan perlunya arah
dan semangat baru reformasi pemerintahan.
Istilah governance telah digunakan untuk
menegaskan signifikansi perlunya perubahan
proses, metode dan capaian kepemerintahan.
Penggunaan istilah governance sebagai
konsep yang berbeda dengan government,
mulai dipopulerkan secara efektif oleh Bank
Dunia sejak tahun 1989. Dalam laporannya
yang sangat terkenal yang berjudul “Sub-
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 2
Vol.1 No.1 April 2011
Saharan Africa: From Crisis to Sustainable
Growth”. Dalam laporan ini, Bank Dunia (1989)
mendefinisikan governance sebagai “exercise of
political power to manage nation”. Selanjutnya,
laporan ini menekankan bahwa legitimasi
politik dan konsensus merupakan prasyarat
bagi pembangunan berkelanjutan. Aktor negara
(pemerintah), bisnis dan civil society harus
bersinergi membangun konsensus, dan peran
negara tidak lagi bersifat regulatif, tetapi hanya
sebatas fasilitatif. Oleh karena itu, Abrahamsen
(Wiratraman, 2007) legitimasi politik dan
konsensus yang menjadi pilar utama bagi Good
Governance versi Bank Dunia ini hanya bisa
dibangun dengan melibatkan aktor non-negara
yang seluas-luasnya dan melimitasi keterlibatan
negara (pemerintah).
Dengan merujuk pada kasus Afrika,
argumen di seluruh laporan ini menekankan
pemerintah adalah sumber kegagalan
pembangunan. Oleh karena itu, untuk
membangun kepemerintahan yang baik, maka
pemerintah harus dikurangi (less government).
Pemerintahan yang besar (big government)
akan menjadi sumber dari ke-pemerintahan
yang buruk (bad governance). Kepemerintahan
yang buruk ini, dalam operasi-onalisasi Bank
Dunia (Weiss 2000: 801) adalah pemerintahan
yang tidak representatif serta sistem non-pasar
yang tidak efisien, yang dalam prakteknya
menjadi sumber kegagalan pemba-ngunan di
Afrika (Pratikno, 2005).
Sejak saat itulah awal mula gelombang
penyuntikan dalam upaya memberantas
‘penyakit’ di dunia ketiga dilakukan, dengan
cara mewajibkan sejumlah persyaratan-
persyaratan dari Bank Dunia (yang kemudian
diikuti oleh lembaga dan negara donor lainnya).
Krisis di Afrika telah membawa pesan yang jelas
dalam memperkenalkan sebuah konsep baru
untuk melawan apa yang diidentifikasi Bank
Dunia sebagai sebuah ‘crisis of governance’ atau
‘bad governance’ (World Bank 1992). Tentu,
dalam menyuntikkan ide-ide governance
semacam itu, telah diusung pula diskursus
sebagai “pemanis” agar bisa diterima dan
terlegitimasi oleh kekuasaan diktatorial yang
memang banyak berkuasa saat itu. Diskursus
“pemanis” itu adalah promosi demokrasi yang
memperkuat good governance baik sebagai
tujuan maupun sebuah persyaratan kerjasama
pembangunan. Wacana yang diinisiasi oleh
Bank Dunia ini terus menggelinding, yang
kemudian membuat good governance menjadi
slogan yang populer, termasuk di Indonesia. Ide
utama yang melihat pemerintah sebagai
sumber masalah daripada sebagai solusi ini
terus merambah, dan melahirkan pendefinisian
governance yang lebih menekankan pada peran
aktor-aktor di luar pemerintah (Wiratraman,
2007).
C. TINJAUAN KONSEP GOOD GOVERNANCE
Konsep governance menurut Stoker
(Kurniawan, 2006) pengembangan dari gaya
memerintah dimana batas-batas antara sektor
publik dan sektor privat menjadi kabur.
Pengaburan batas-batas ini sejalan dengan
kebutuhan Negara-negara modern untuk lebih
melibatkan mekanisme politik dan pengakuan
akan pentingnya isu-isu yang menyangkut
empati dan persanaan dari publik untuk
terlibat, sehingga memberikan kesempatan
untuk mobilisasi sosial dan politik. Pemerintah
akan memilki peran yang penting dalam
menciptakan lingkungan politik pemerintahan
yang kondusif, sektor swasta menciptakan
pekerjaan dan pendapatan, sedangkan
masyarakat berperan positif dalam interaksi
sosial, ekonomi dan politik (Rakhmat, 2009).
Dalam perspektif Bank Dunia (Wiratraman,
2008), governance diartikan sebagai hal
kekuasaan yang ditujukan dalam manajemen
sumberdaya sosial dan ekonomi negara untuk
pembangunan. Pengalaman Afrika pasca krisis
utang dan pasca perang dingin telah menjadi
latar belakang dan iklim yang melukiskan
desakan kekuatan pasar bebas dan demokrasi
liberal. Good governance dalam konteks
tersebut adalah imposisi politik hukum yang
dikendalikan negara-negara industrial dan agen
internasional (lembaga maupun Negara donor)
dalam membentuk ketatapemerintahan yang
berselerakan pasar (Stokke 1995; Gathii 1998).
Inilah good governance yang lahir dari rahim
agenda besar globalisasi yang dikonstruksi
ideologi neo-liberal (Wiratraman, 2008).
Untuk menunjukkan perbedaan yang
cukup tajam dengan definisi di atas, Tokyo
Institute of Technology menegaskan bahwa
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 3
Vol.1 No.1 April 2011
“[t]he concept of governance refers to the set of
values, norms, processes and institutions by
which society manages its development and
resolves conflict, formally and informally.”
(www.soc.titech.ac.jp). Dalam definisi ini,
pengertian governance justru ditekankan pada
perilaku dan kapasitas masyarakat untuk
mengelola kepentingan bersama, termasuk
kapasitas dalam memanfaatkan pemerintah
dalam penyelesaian permasalahan-
permasalahan publik (Pratikno, 2005).
Negara-negara besar yang tergabung dalam
OECD mendefinisikan governance sebagai “the
use of political authority and exercise of control
in a society in relation to the management of its
resources for social and economic development”.
Lebih spesifik, pemerintah Inggris, dalam hal
ini ODA, menjelaskan karakteristik good
government mencakup legitimasi, akuntabilitas,
kompetensi, penghormatan terhadap hukum
dan hak-hak asasi manusia. Bank Dunia
mengemukakan karakteristik good governance
sebagai: masyarakat sipil yang kuat dan
partisipatoris; terbuka; pembuatan kebijakan
yang dapat diprediksi; eksekutif yang
bertanggungjawab; birokrasi yang profesional;
dan aturan hukum yang jelas. Sementara itu, The
Commission on Global Governance mengartikan
governance sebagai “the sum of the many ways
individuals and institutions, public and private,
manage their common affairs”. Dalam bahasa
komisi ini, Weiss (Pratikno, 2005) governance
merupakan proses yang berkelanjutan melalui
mana perbedaan kepentingan diakomodasi dan
diwujudkan dalam praktek.
Baik sebagai sound development
management maupun sebagai democratic
politics, reformasi ke arah good governance
menekankan pada perlunya pengecilan peran
pemerintah. Sebagaimana didefinisikan oleh
Rhodes (1996), good governance dimaknai
sebagai negara yang minimal (minimal state).
Pengurangan peran pemerintah ini menuntut
peran aktor di luar pemerintah yang lebih besar,
antara lain Civil Society Organization, dan
terutama pelaku pasar (market).
Melihat rumusan-rumusan governance di
atas, kata kunci dalam konsep governance
adalah konsensus melalui mana perbedaan
kepentingan bisa diakomodasikan, dan sinergi
bisa dibangun. Selain mengharapkan
bekerjanya institusi negara secara baik,
governance juga merujuk pada penguatan
institusi-institusi pasar dan civil society untuk
mengimbangi dominasi negara yang
sebelumnya menjadi sumber kegagalan
pembangunan. Pertanyaannya kemudian, apa
yang perlu dipermasalahkan dengan
governance? Apa kaitannya denga neo-
liberalisme dan impilkasi apa yang dilahirkan
pada praktek administrasi dan mana-jemen
publik?. Oleh karena itu, perdebatan tentang
konsep governance dan good governance perlu
didiskusikan pada level aplikasinya di dunia
ketiga, khususnya diIndonesia, dan kemudian
refleksi teoritik yang bisa dibangun dari situ.
D.GOOD GOVERNANCE & NEOLIBERALISME
Kritik terhadap good governance bukanlah
hal yang baru, karena banyak studi atau riset
yang telah dilakukan untuk membongkar
wacana ini dalam berbagai pendekatan, baik
itu pendekatan politik, ekonomi, sejarah,
hukum, sosiologi internasional, hubungan
internasional dan pendekatan disiplin ilmu
lainnya (Abrahamsen 2000; Bello 2002, 2005;
Bendana 2004; George 1995; Parasuraman, et.
al. 2004; Pieterse 2004; Quadir et al. 2001;
Robinson 2004; Selznick 1969; Gathii 1998;
Hosen 2003; Wiratraman 2007, 2008).
Bank Dunia merupakan pencetus gagasan
yang memperkenalkannya sebagai ‘program
pengelolaan sektor publik’ (public sector
management program), dalam rangka
penciptaan ketatapemerintahan yang baik
dalam kerangka persyaratan bantuan
pembangunan (Pratikno, 2005). Good
governance dalam konteks ini merupakan
“suara pembangunan”. Sebagai “suara
pembangunan”, sesungguhnya ia lebih
menampakkan pendisiplinan demokrasi atau
model ketatapemerintahan tertentu. Krisis di
Afrika telah membawa pesan demikian jelas
dalam mencetuskan suatu konsep baru
mengenai ‘governance’ untuk menentang apa
yang disebut Bank Dunia sebagai suatu ‘crisis
of governance’ atau ‘bad governance’ (World
Bank 1992). Pengalaman Afrika pasca krisis
utang dan perang dingin telah menggambarkan
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 4
Vol.1 No.1 April 2011
latar dari suatu iklim umum dalam menyokong
pasar bebas dan demokrasi liberal, dan hal ini
telah secara dahsyat menunjukkan betapa
good governance sebagai pemaksaan politik
hukum oleh negara industrialisasi maju dan
agen internasional (termasuk lembaga
maupun negara donor) dalam membentuk
ketatapemerintahan pasar (Abrahamsen
2000; Stokke 1995; Gathii 1998).
Dalam konteks Asia, proyek-proyek good
governance sesungguhnya telah lama di
perkenalkan ke sejumlah negara, utamanya ke
negara-negara yang memiliki ketergantungan
atas bantuan hutang luar negeri. Proyek
tersebut sama sekali tidak mempedulikan
rezim yang berkuasa adalah rezim yang
koruptif dan diktatorial. Di Indonesia, pada
awal tahun 1990-an sudah mulai diperkenalkan
model ketatapemerintahan yang ramah
terhadap kepentingan pasar, melalui skenario
program penyesuaian struktural. Meski-pun
demikian, saat Soeharto masih berkuasa,
proyek-proyek yang dikembangkan di
Indonesia praktis gagal dan tidak bisa
dipertanggung-jawabkan. Bahkan korupsi
yang dilakukan atas bantuan hutang luar
negeri tersebut diketahui Bank Dunia, namun
Bank Dunia melakukan pembiaran atas
hutang-hutang yang dikorupsi tersebut. Inilah
yang disebut ‘criminal debt’ (hutang kriminal),
yang ironisnya harus dibayar oleh rakyat dan
dibebankan pada generasi bangsa pasca
Soeharto (Winters 1999; 2002).
Jadi apa yang disebut sebagai ‘bantuan’
oleh Bank Dunia, sebenarnya merupakan
proses sistematik penghancuran yang tidak
hanya ditujukan pada rakyat saat rezim
Soeharto berkuasa, melainkan pula ongkos
‘pelanggengan kekuasaan diktator’ yang
memiliki konsekuensi panjang terhadap jutaan
rakyat Indonesia di masa-masa berikutnya.
Dalam situasi demikian, terlihatlah dengan jelas
bahwa ‘good governance’ bersahabat dengan
mekanisme-mekanisme siluman yang tidak
berkepentingan atas demokratisasi dan hak
asasi manusia.
Tekanan Bank Dunia dalam urusan
pembaruan ketatapemerintahan kian menguat
disuntikkan setelah terjadinya krisis finansial
di Asia di paruh akhir 1990an. Praktek dan
justifikasi Bank Dunia melalui diagnosa antara
ketatapemerintahan yang ‘buruk dan baik’
menjadi wacana utama dalam mempengaruhi
faktor-faktor kegagalan dalam konteks krisis
tersebut, dan ini persis seperti apa yang telah
dilakukan sebelumnya di Afrika pada 1980-an.
Seiring bersama dengan gerakan reformasi
yang dilakukan oleh mahasiswa tahun 1998,
seolah proponen neo-liberal diberi ‘pintu
masuk’ untuk kembali menanamkan proyek-
proyeknya (juga melalui utang) kepada
pemerintah. Ratusan juta dolar dikucurkan
untuk pemerintah dalam membiayai
pembaruan kebijakan publik dan institusi
politik, hukum dan ekonomi, sehingga tak
terelakkan bahwa good governance menjadi
arus utama pembaruan birokrasi dan hukum
sebagai penopang proyek ketatapemerintahan
tersebut.
Desentralisasi yang terjadi di awal
reformasi telah memuluskan dan menyuburkan
wacana good governance, karena ia menjadi
sesuatu yang seksi, segar, populer, dan
diucapkan secara berulangkali baik oleh
pejabat tinggi hingga level yang paling rendah
di daerah. Tak terkecuali, agenda-agenda
gerakan menjadi ikut pula termoderasi dan
mempercayai good governance sebagai obat
mujarab bagi tatanan birokrasi politik-ekonomi
Indonesia.
Akademisi dan organisasi non-pemerintah
pun latah mengucapkan wacana tersebut
sebagai ikon baru yang menemani
demokratisasi. Sejak reformasi bergulir, telah
lahir banyak pusat studi maupun proyek-
proyek good governance yang dipesan melalui
perguruan tinggi, dari mulai isu yang lekat
dengan pembaruan hukum, pembaruan
peradilan, desentralisasi, penganggaran,
hingga soal legal drafting. Begitu juga
organisasi non-pemerintah yang secara kuat
pula mentransmisikan gagasan good
governance melalui isu yang tidak jauh
berbeda.
Mengapa transmisi wacana good
governance tersebut demikian kuat diusung oleh
Bank Dunia dan kemudian ditransplantasikan
dengan rapi oleh agen-agen negara maupun
non-negara? Kita bisa mulai membedahnya
dari sisi konseptual, dan lalu dilanjutkan
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 5
Vol.1 No.1 April 2011
dengan memetakan bagaimana kerangka
konseptual tersebut menjadi sangat dominan
dipaksakan ke negara-negara selatan,
termasuk di Indonesia.
Dalam laporannya tahun 1989, Bank Dunia
(Wiratraman, 2007) telah mengekspresikan
gagasan “Upaya untuk menciptakan suatu
kemampuan lingkungan dan untuk membangun
kapasitas-kapasitas akan dibuang bila konteks
politik tidak mendukung. Pada akhirnya,
pemerintahan yang baik memerlukan
pembaharuan politik. Ini berarti suatu tindakan
bersama melawan korupsi dari tingkat paling
tinggi hingga paling rendah. Hal ini dapat
dilakukan dengan menata suatu contoh baik,
dengan memperkuat pertanggung-jawaban,
dengan mendukung debat publik, dengan
memelihara suatu pers bebas. Ini juga berarti
membantu perkembangan akar rumput dan
orga-nisasi non-pemerintah seperti serikat
petani, perkumpulan-perkumpulan, dan
kelompok-kelompok perempuan”.
Dengan langgam bahasa yang hampir
sama, Bank Dunia telah menyatakan pula, “Good
governance dilambangkan dengan dapat
diperkirakan (predictable), terbuka (open) dan
pembuatan kebijakan yang tercerahkan
(enlightened policy-making), suatu birokrasi
diilhami dengan ber-tindak etos professional
dalam pemajuan fasilitas publik, rule of law,
proses-proses transparan, dan masyarakat sipil
yang kuat berpartisipasi dalam kepentingan
publik. Ketatapemerintahan yang miskin (poor
governance) di sisi lain dikarakteristikan
dengan pembuatan kebijakan yang sewenang-
wenang, birokrasi yang tidak dapat
dipertanggungjawabkan, sistem perundangan
yang tidak adil dan tidak bisa ditegakkan,
penyalahgunaan kekuasaan eksekutif, suatu
masyarakat sipil yang tidak bisa menikmatik
kehidupan publiknya dan korupsi yang meluas.”
(World Bank 1994: vii).
Dalam mengkampayekan good governance,
Bank Dunia telah memprogramkan suatu program
pembelajaran dan telah memperkenalkan
konsep ketatapemerintahan. Good governance
merupakan suatu manual yang didefinisikan
sebagai implementasi efektif kebijakan dan
provisi pelayanan yang responsive terhadap
kebutuhan-kebutuhan warganya. Good
governance melekat pada kualitas, seperti
akuntabilitas, responsif, transparan, dan
efisiensi. Ia mengasumsikan kemampuan
pemerintah untuk mengelola sosial, perdamaian,
jaminan hukum dan tatanan, mempromosikan
dan menciptakan kondisi-kondisi yang perlu
untuk pertumbuhan ekonomi dan mamastikan
suatu level minimum jaminan sosial (World Bank
2002). Definisi yang demikian sesuangguhnya
telah tetap dan secara kuat dipertahankan
untuk menyokong aturan main bahwa membuat
pasar bekerja secara efisien dan lebih
problematiknya, Bank Dunia mengoreksi
kegagalan pasar (Bank Dunia 1992).
Sejumlah dokumen tersebut memperlihatkan
bahwa pendekatan yang digunakan oleh Bank
Dunia, khususnya dalam menegaskan isu-isu
penting akuntabilitas, sesungguhnya ditujukan
dalam rangka mengupayakan pembaharuan
untuk stabilitas politik dan pembangunan
ekonomi yang diperlukan dalam proses
liberalisasi pasar. Konsep politik ekonomi
yang demikian sesungguhnya berfokus pada
model demokrasi liberal dan liberalisasi
ekonomi, dan good governance-nya pun
merupakan model neo-liberal, yakni ‘good
governance free market assistance’ (Wiratraman
2008).
Watak neo-liberalisme good governance
dapat dilihat dari sasaran-sasarannya yang
senantiasa berpusat pada efisiensi pengelolaan
sumberdaya dan menopang pasar bebas.
Elemen-elemen kuncinya adalah akuntabilitas,
rule of law, transparan, dan partisipasi. Sungguh,
elemen-elemen ini juga menjadi kebutuhan
masyarakat Indonesia di tengah eforia
reformasi, namun elemen kunci tersebut
sebenarnya menyimpan rencana besar untuk
melucuti peran-peran negara di sektor publik
dan menggantikannya dengan peran dominan
swasta atau privat. Urusan perlindungan hak-
hak asasi manusia bukanlah urusan yang
penting dalam skema good governance ini,
meski pun mandat tanggung jawab hak asasi
manusia bertumpu pada peran utama negara
good governance yang demikian hanya akan
menempatkan posisi pasar secara dominan,
dan urusan-urusan publik yang dimaksudkan
pun telah diseleksi (baca: dipangkas) berbasis
pada iklim liberalisasi pasar.
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 6
Vol.1 No.1 April 2011
E. HEGEMONI GOOD GOVERNANCE DI
INDONESIA
Mengapa good governance tiba-tiba
muncul, lazim dan bertahan lama sebagai
model ketatapemerintahan di Indonesia yang
banyak dituturkan, diikuti dan diajarkan?
Mengapa secara cepat ‘pemerintahan yang
baik’ menjadi akrab dengan dunia birokrasi,
dunia usaha, dunia kampus dan pusat-pusat
studi (yang juga tumbuh subur bak jamur di
musim hujan), dunia aktivisme orga-nisasi
non-pemerintah (utamanya yang bergerak di
isu kebijakan publik dan antikorupsi), dan
yang paling aneh tapi nyata, hampir semua
lembaga-lembaga dana internasional dan
negara-negara donor serempak menggerojok
(baik utang maupun hibah) milyaran US
dollars untuk proyek good governance?
Padahal Bank Dunia sendiri sesung-guhnya
gagal melakukan good governance secara
internal, karena dipenuhi dengan korupsi
sistemik dan motif ekploitasi terhadap negara-
negara yang berutang kepadanya.
Pendapat mengatakan bahwa kemunculan
proyek-proyek good governance yang cukup
sukses adalah terkait dengan kesuksesan
model negara pembangunan (developmental
state model) diantara negara-negara
industrialisasi baru di Asia Timur dan Asia
Tenggara (Tshuma 1999; White 1987; Wade
1990). Pendapat lainnya mengatakan bahwa
ideologi neo-liberal telah melesat setelah
runtuhnya komunisme dan membangun suatu
suasana kondusif bagi kelahiran governance
sebagai sebuah isu pembangunan, dan karena
neo-liberalisme sebagai ideologi dominan
mencoba untuk mengkonstruksi ‘politically
lock-in neo-liberal reforms’ (Gill, 1997).
Kedua pendapat di atas relevan dengan
kemunculan good governance di Indonesia,
karena selain kebijakan pemerintah yang
berorientasikan pembangunan semasa Orde
Baru, dukungan Bank Dunia dan IMF dalam
mengguyurkan utang yang disertai
persyaratan-persyaratan khusus melengkapi
posisi Indonesia yang mengarah pada disain
liberalisasi pasar. Tetapi bila dilihat secara
lebih dalam, dengan menggunakan analisis
hegemoni, nampak bahwa good governance
bekerja dengan menggunakan rasionalitas dan
teknologi kekuasaan untuk menghasilkan
mesin yang halus dan efektif bagi upaya
liberalisasi pasar. Hukum sebagai
instrumentasi politik dipakai sebagai
legalisasi beroperasinya mesin kekuasaan
tersebut, sehingga jauh dari cerminan rasa
keadilan dan perlindungan terhadap kaum
proletar (Wiratraman, 2008).
Bank Dunia sendiri dalam mempromosikan
good governance di Indonesia melalui tiga pintu:
(i) CGI (Consultative Group on Indonesia); (ii)
Kemitraan untuk Pembaruan Tata Pemerintahan
(Partnership for Governance Reform); dan (iii)
Justice for the Poor. Dalam forum tahunan CGI,
Bank Dunia memimpin dan memiliki
kekuasaan untuk mengarahkan (mendikte)
kebijakan ekonomi (termasuk desakan
pembentukan peraturan perundang-
undangan). Ini bisa terjadi karena pemerintah
masih menerima kucuran utang sehingga
prasyarat utang tersebut harus dipenuhi
sebagai kompensasinya. Sedangkan Bank
Dunia pula bekerja secara dekat dengan UNDP
dan ADB sebagai sponsor dana utama untuk
Partnership for Governance Reform (World Bank
2003). Melalui forum kelompok multi-
stakeholder di Kemitraan ini, Bank Dunia telah
terlibat aktif dalam membuat kerangka kerja
hukum untuk pembangunan (legal framework
for development), seperti pembaruan peradilan,
pembaruan hukum, dan pembentukan lembaga
pemerintahan baru (World Bank 2003).
Pengaruh besar kemitraan ini adalah justru
peran hegemoninya sebagai lembaga dana
untuk proyek-proyek governance yang
dijalankan oleh tidak saja lembaga negara,
namun juga organisasi non-pemerintah.
Sedangkan Justice for the Poor adalah sebuah
institusi yang baru-baru saja dikreasi Bank
Dunia dalam mempromosikan pengurangan
kemiskinan di Indonesia, khususnya sebuah
strategi pemberdayaan untuk kaum miskin
melalui bantuan hukum.
Bagi Bank Dunia, program-program
pemberdayaan dan penyadaran hukum
merupakan hal penting dalam mewujudkan
kaum miskin atas akses keadilan. Dalam
urusan pemantauan korupsi, Bank Dunia
sendiri memilih menfokuskan lebih banyak
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 7
Vol.1 No.1 April 2011
pada proyek-proyek yang didanainya sendiri
(World Bank, 1997), semacam kini PNPM
(Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat).
Kedua institusi terakhir menjadi kendaraan
Bank Dunia untuk ikut pula mempromosikan
hak-hak asasi manusia di Indonesia. Proyek
pembaruan ketatapemerintahan melalui good
governance cenderung untuk melayani
promosi konsensus pembaruan sosial dan
ekonomi, khususnya dengan mengaplikasikan
pemberdayaan teknokratik dan bahasa liberal
partisipasi. Di titik ini, diskursus dan arah
kecenderungan hak-hak asasi manusia lebih
menyesuaikan dengan liberalisasi pasar. Inilah
yang disebut ‘market friendly human rights
paradigm’ (paradigma hak-hak asasi manusia
yang ramah pasar) (Wiratraman, 2008).
Strategi Bank Dunia untuk mempertahankan
hegemoninya adalah dengan mereproduksi
pengetahuan soal rasionalitas good governance
sehingga memudahkan bekerjanya teknologi
kekuasaannya melalui berbagai pintu masuk
di level negara, non negara maupun kemitraan
keduanya. Realitasnya, wacana-wacana
ketatapemerintahan, pembaruan hukum dan
kebijakan publik lainnya dikonstruksi dengan
mengikutsertakan demokrasi, hak asasi
manusia, anti kemiskinan, antikorupsi, yang
kesemuanya terasa cocok dengan suasana
(perangkap) reformasi yang sudah dikendalikan
pendukung neo-liberal. Semakin lengkap
adalah teknologi kekuasaan modalnya yang
mampu memistifikasi ketidakseimbangan
kekuasaan dan menyedot perhatian arah
reformasi yang ‘good’, melalui program
pendanaan ke sejumlah institusi negara,
organisasi non-pemerintah, serta kampus-
kampus melalui pusat-pusat studi governance.
Godaan untuk mengakses dana proyek
governance tersebut terlampau besar,
sehingga tidak sedikit yang mengubah pula
rencana dan pola kerja organisasi penerima
dana tersebut. Donor-driven hegemony!
F. GOOD GOVERNANCE DAN PEMBARUAN
KEBIJAKAN PUBLIK
Selain dirumuskan dengan merujuk pada
mekanisme pasar yang dianggap paling
efisien dalam pengelolaan sumberdaya, good
governance juga dirumuskan sebagai pola
pemerintahan yang demokratis. Dalam bahasa
Bank Dunia (1989 & 1992), selain disebabkan
oleh porsi pemerintah yang terlalu besar,
kegagalan pembangunan juga diakibatkan
oleh pemerintahan yang tidak demokratis, dan
otoritas negara yang dipersonifikasi dalam diri
satu atau sedikit orang pemimpin. Oleh karena
itu, good governance juga mendorong
demokratisasi dengan cara memaksa negara
untuk berbagi kekuasaan dengan aktor-aktor di
luar negara.
Diakui memang, bahwa telah terjadi
banyak perubahan yang cukup banyak
termasuk lompatan-lompatan pembentukan
dan kerja kelembagaan negara yang kian
melengkapi percaturan politik kenegaraan
Indonesia. Proyek-proyek pembaruan tata
pemerintahan dilakukan secara serentak,
mulai dari upaya pembaruan hukum,
pembaruan standar kinerja, dan pembaruan
lembaga-lembaga negara lainnya.
Bagi Bank Dunia, pembaruan administrasi
dan manajemen sektor publik dilihat sebagai
faktor-faktor penting untuk memperkuat
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi.
Untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan
sistem pasar bebas, salah satu elemen prinsip
good governance adalah ‘legal framework for
development’ (kerangka perundang-undangan
untuk pembangunan) (World Bank 1992).
Dalam kerangka perundangan yang demikian,
rule of law adalah konsep utama yang secara
instrumental dan substansial penting, karena
ia mengkonsentrasikan pada keadilan (justice),
kejujuran (fairness) dan kebebasan (liberty).
Bank Dunia menegaskan suatu sistem hukum
yang ‘fair’, yang kondusif untuk
menyeimbangkan pembangunan (World Bank
1992: 29-30). Ini sebabnya, tidak terlampau
mengejutkan, perspektif Bank Dunia dalam
good governance terkait utamanya dengan
kebutuhan-kebutuhan perundangan bagi
aktor-aktor komersial dalam pasar.
Dalam arena politik domestik, implikasi
pelaksanaan good governance juga sangat
jelas. Di satu sisi, good governance telah
terbukti mendobrak keangkuhan negara yang
selama ini menghegemoni masyarakat.
Personifikasi kekuasaan negara pada
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 8
Vol.1 No.1 April 2011
sekelompok kecil elit, kebuntuan akses
masyarakat terhadap kebijakan publik, dan
lemahnya penegakan hak asasi manusia telah
bisa didobrak oleh gelombang good
governance. Namun, kekuasaan hegemonik
yang menindas rakyat tidak secara otomatis
lumpuh. Kekuasaan hegemonik hanya beralih
dari kontrol negara ke kontrol swasta (kapital),
yang oleh Korten (Pratikno, 2005) yang dalam
kasus Indonesia pasca krisis 1998-2002 adalah
perusahaan multinasional.
Implikasi dari hegemoni swasta bagi
masyarakat umum ini tidak kalah buruk
dibandingkan dengan implikasi hegemoni
negara. Walaupun terdapat banyak program
pengentasan kemiskinan, namun jumlah
penduduk di bawah garis kemiskinan tidak
mengalami pengurangan yang berarti, atau
bahkan memburuk di beberapa negara.
Penyakit busung lapar tetap dengan mudah
ditemukan tatkala praktek kepemerintahan
telah mulai menerapkan ciri-ciri good
governance, seperti partisipasi dan
transparansi. Lalu, apa makna good governance
bagi masyarakat marjinal yang tidak mampu
menjadi customer yang kuat di era liberalisasi
ekonomi ini? Di sinilah neo-liberalisme bekerja
rapi. Filho dan Johnston (Wiratraman, 2008)
mengingatkan bahwa di bawah neo-
liberalisme, pertumbuhan ekonomi telah
menurun, pengangguran meluas, ketidak-
sejajaran dalam maupun di antara negara-
negara kian memburuk menyeluruh di mana
saja, dan kaum marginal akan secara massif
tertindas dari ketidakstabilan ekonomi.
Dalam konteks Indonesia, tekanan desain
kebijakan publik neo-liberal sangat jelas
terlihat ketika upaya pembaruan hukum tidak
meletakkan arah perubahannya pada sistem
yang lebih berkeadilan bagi rakyat banyak,
melainkan lebih menuruti kepentingan atau
selera pasar dalam penciptaan iklim usaha.
Salam satunya yang paling menyakitkan bagi
buruh adalah pembentukan institusi peradilan
khusus bagi buruh melalui UU tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial (PPHI), Undang-Undang Badan
Hukum Pendidikan, UU Migas, UU Penanaman
Modal dll. Proyek pembaruan hukum yang
disponsori Bank Dunia, secara implementatif
tentu saja berdampak pada praktek
administrasi dan manajemen publik, yang oleh
Prasodjo (Kurniawan 2006) berupa
debirokratisasi organisasi internal,
modernisasi birokrasi, dan peningkatan
kapasitas aparat birokrasi.
Sektor publik di perhadapakan pada
seperangkat harapan baru dari masyarakat,
bahwa sektor publik atau pemerintah perlu
dikelola secara efisien (Rakhmat, 2009).
Kondisi ini tentu menjadi prasyarat untuk
meningkatkan kualitas pelayanan publik
disatu sisi dan pada sisi yang lain menjadi
ruang partisipasi masyarakat dalam kegiatan
publik (Kurniawan, 2006). Seluruh fenomena
ini merupakan implikasi proyek-proyek good
governance Bank Dunia, yang senantiasa
ditujukan pada pendisiplinan ketata-
pemerintahan yang berorientasikan pada
kesetiaan pada liberalisasi pasar. Mekanisme
pasar yang dikampanyekan dalam good
governance ternyata dimanipulasi menjadi
prosedur semu tanpa ada kapasitas negara
untuk mendisiplinkannya.
G. PENUTUP
Tidak semua persoalan yang digambarkan
di atas diakibatkan oleh kampanye good
governance yang ditekankan pada ‘sound
development management’ yang menjadi
“perangkap” agenda neo-liberal. Konsep dan ide
good governance disadari ataupun tidak telah
menjadi “narasi besar” reformasi birokrasi
publik di Indonesia. Namun, permasalahan
tersebut berkembang sebagai akibat dari
wacana dan praktek pembaruan kebijakan
publik di Indonesia yang tidak mengalami
kontekstualisasi secara memadai, gagasan
reformasi yang terfragmentasi, dan gagasan
reformasi yang tidak tumbuh dari pelaku-
pelaku di lapis bawah. Tulisan ini juga tidak
dimaksudkan untuk mengatakan bahwa tekanan
eksternal tidak penting dalam agenda reformasi
pemerintahan di Indonesia. Namun, agenda
reformasi yang yang terjebak pada perubahan
teknikalitas pemerintahan dan pada birokrasi
proyek akan mengakibatkan agenda kebijakan
publik tersebut kehilangan roh dan tujuan akhir
yang lebih bermakna bagi masyarakat.
Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO 9
Vol.1 No.1 April 2011
Argumen para penganjur neo-liberal yang
menyatakan bahwa penjaminan hak-hak
politik individu dan proses demokratisasi akan
mendukung pengembangan kepemerintahan
yang baik tidaklah salah. Namun, paket ini
harus dipadukan dengan hak-hak sosial dan
ekonomi individu sebagai paket integratif
yang tidak terpisahkan. Penjaminan hak sosial
dan ekonomi ini tidak bisa diberlakukan
sebagai produk dari good governance semata,
tetapi harus menjadi bagian dari proses
pengembangan kepemerintahan yang baik.
Oleh karena itu, sebagaimana digagas oleh
Mahbub ul Haq (Pratikno, 2005), pengem-
bangan kepemerintahan yang baik perlu
dipadukan dengan konsep humane
governance yang mencakup “good political,
economic and civic governance”.
Gagasan ini perlu ditelusuri lebih jauh, dan
perlu dikontekstualisasikan dengan potensi
dan problema Indonesia kontemporer. Pada
saat yang sama, gagasan Denhart dan
Denhardt (2003) tentang The New Public
Service perlu untuk diperhitungkan sebagai
inisiatif awal. Pada intinya, mempertahankan
posisi individu sebagai citizen dan meminta
pemerintah untuk lebih bertanggung jawab
menjamin hak-hak sosial dan ekonomi adalah
sesuatu yang vital, selain hak-hak politik.
DAFTAR PUSTAKA
Birkland, Thomas A. 2005. An Introduction to
the Policiy Process: Theories, Concepts,
and Models of Public Policy making. (Ed.
2th) New York: M.E. Sharpe, Inc.
Dye, Thomas R. 2005. Understanding Public
Policy (ed. 7th).USA: Prentice Hall.
Grindle, Merilee S. 1997. Getting Good
Government: Capacity Building in the
Public Sectors of D e v e l o p i n g
Countries. Boston: Harvard
University Press.
Kurniawan, Teguh 2006. Pergeseran
Paradigma Adminsitrasi Publik :
Dari Perilaku Model Klasik dan NPM
ke Good Governance, Program Doktor
Ilmu Adminsitrasi Negara S e k o la h
Pascasarjana UGM : Komponen Tugas
Mata Kuliah Good Governance.
Putra, Fadillah (2009) Senjakala Good
Governance, Malang : Pustaka
Avveroes
Pratikno (2005) Good Governance dan
Governability, Jurnal Sosial Politik, Vol.
8 No. 3, Maret 2005 (231-248).
Rakhmat (2009) Teori Administrasi dan
Manajemen Publik, Jakarta : Pustaka
Arief.
Stoker, G., 1991. The Politics of Local
Government, (2nd Edition), London:
Mac Millan.
Wiratraman, RH Perdana (2007) Neo-
Liberalisme, Good Governance, dan
Hak Azasi Manusia, Jurnal JENTERA
XV : Januari-Maret 2007 (1-14).
Wiratraman, RH Perdana (2007) Good
Governance dan Mitos Ketatanegaraan
Neo-Liberal, Jurnal BERSATU : Mei
2008 (1-11).
*******
10Good Governance dan Formasi Kebijakan Publik Neo-Liberal - ANDI LUHUR PRIANTO
Vol.1 No.1 April 2011
Muhlis Madani
ABSTRAK
Awal munculnya isu pengelolaan sampah pasar ini dimulai dari adanya problem
kebersihan, keteraturan, kenyamanan, dan keamanan untuk berbelanja di
pasar tradisional, yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Adapun
problem isu di sini, masyarakat pengguna pasar tradisional mempunyai anggapan
adanya kejenuhan terhadap kinerja pemerintah daerah, di samping itu masyarakat
menginginkan adanya suatu perubahan yang dapat menyentuh aspek manajemen
dan teknis pengelolaan sampah pasar.
Pemerintah Kota Makassar mesti melakukan pembenahan serius terhadap
fasilitas persampahan, terutama pada kondisi pasar pasca-revitalisasi. Sistem dan
penyediaan fasilitas tersebut melibatkan partisipasi pedagang. Pendekatan secara
partisipatif dalam perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan fasilitas akan
meningkatkan rasa memiliki di kalangan pedagang pasar. Untuk itulah penyusunan
agenda kebijakan pengelolaan sampah pasar penting untuk dilakukan.
Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) tentang penataan Pasar Tradisional
perlu dipercepat pembahasan dan atau pemberlakuannya, terutama hal yang
berkaitan dengan sistem dan prosedur pengelolaan sampah pasar. Gagasan dan
kebijakan revitalisasi pasar tradisional diharapkan tidak hanya terfokus pada aspek
penataan spasial (keruangan), tetapi juga memperhatikan aspek sosial dan
pengelolaan lingkungan terutama aspek persampahan.
Kata Kunci : isu, agenda, agenda setting, sampah pasar
A. PENDAHULUAN
1) Latar Belakang.
Sampah pada umumnya dianggap sebagai
benda yang tidak berguna, kompleks seiring
dengan berkembangnya aktivitas ekonomik.
sehingga disikapi dengan kaidah not in my
backyard (NIMBY). Pada prinsipnya jumlah
sampah akan meningkat seiring dengan
meningkatnya aktivitas ekonomi. Selain
jumlahnya, jenis dan dampak dari sampah juga
semakin beragam, ketika dalam aktivitas
ekonomik tersebut terlibat teknologi-
AGENDA SETTING PENGELOLAAN
SAMPAH PASAR DI KOTA MAKASSAR
11
Vol.1 No.1 April 2011
teknologi baru. Misalnya, produksi bahan-
bahan transgenik akan menghasilkan sampah
transgeni, produksi bahan radioaktif akan
menghasilkan sampah radioaktif. Jadi,
permasalahan sampah akan cenderung
semakin kompleks seiring dengan
berkembangnya aktivitas ekonomik.
Pertambahan jumlah penduduk, perubahan
pola konsumsi, dan gaya hidup masyarakat
telah meningkatkan jumlah, jenis, dan
keberagaman karakteristik sampah.
Meningkatnya daya beli masyarakat terhadap
berbagai jenis bahan pokok dan hasil teknologi
serta meningkatnya usaha atau kegiatan
penunjang pertumbuhan ekonomi suatu
daerah juga memberikan kontribusi yang besar
terhadap kuantitas dan kualitas sampah yang
dihasilkan. Meningkatnya volume sampah
memerlukan pengelolaan. Pengelolaan sampah
yang tidak mempergunakan metode dan teknik
pengelolaan sampah yang ramah lingkungan
selain akan dapat menimbulkan dampak
negatif terhadap kesehatan juga akan sangat
mengganggu kelestarian fungsi lingkungan baik
lingkungan pemukiman, hutan, persawahan,
sungai dan lautan.
Sebuah pendekatan pengelolaan sampah
yang konvensional, yang masih umum
dipraktikkan, adalah yang bersifat pasif,
instruksional dengan penekanan pada
pengolahan sampah diujung proses produksi
ekonomik (dikenal sebagai endof pipe
approach). Pengelolaan sampah dengan
pendekatan seperti ini tidak mendorong
terjadinya inovasi dalam aktivitas ekonomik
yang diperlukan untuk memasukkan nilai-nilai
lingkungan dan keberlanjutan pembangunan
ke dalam aktivitas tersebut. Pengelolaan
sampah yang bersifat instruktif (top-down)
juga kurang kondusif bagi terjadinya
pembelajaran masyarakat.
Berdasarkan Undang-Undang No. 18
Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan
sehari-hari manusia dan/atau proses alam
yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah
dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang
meliputi pengurangan dan penanganan
sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya
sampah dapat digolongkan menjadi: 1)
sampah ada yang mudah membusuk terdiri
atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa
daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang
tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas,
karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-
lain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan
4) sampah yang berbahaya (B3) bagi
kesehatan, seperti sampah berasal dari industri
dan rumah sakit yang mengandung zat-zat
kimia dan agen penyakit yang berbahaya.
Pengelolaan sampah bertujuan untuk
meningkatkan kesehatan masyarakat dan
kualitas lingkungan serta menjadikan sampah
sebagai sumber daya. Dari sudut pandang
kesehatan lingkungan, pengelolaan sampah
dipandang baik jika sampah tersebut tidak
menjadi media berkembang biaknya bibit
penyakit serta sampah tersebut tidak menjadi
medium perantara menyebarluasnya suatu
penyakit. Syarat lainnya yang harus dipenuhi,
yaitu tidak mencemari udara, air dan tanah,
tidak menimbulkan bau (tidak mengganggu
nilai estetis), tidak menimbulkan kebakaran
dan yang lainnya.
Ketika diamati dari berbagai rujukan dan
pengalaman berbagai negara, permasalahan
sampah sebenarnya berjalan seiring dengan
kebudayaan masyarakat itu sendiri. Semakin
maju tingkat penguasaan teknologi, industri
dan kebudayaan suatu masyarakat, diduga
sampah yang ditimbulkan semakin meningkat
juga. Volume sampah yang besar dan
beranekaragam jenisnya jika tidak dikelola
dengan baik dan benar sangat berpotensi
menimbulkan berbagai permasalahan
lingkungan yang kompleks dan serius, antara
lain: 1) pencemaran air oleh “lindi” (leachate)
yang keluar dari tumpukan sampah dan
mengalir menuju badan perairan ataupun
meresap ke dalam tanah; 2) pencemaran udara
karena adanya gas metana (CH4), salah satu
jenis gas rumah kaca, yang keluar dari tempat
penimbunan akhir sampah akibat proses
penguraian bahan organik secara anaerobik;
3) sampah merupakan habitat bagi
berkembangnya bakteri patogen tertentu
seperti Salmonella typhosa, Entamoeba coli,
Escherichia coli, Vibrio cholera, Shigella
dysentriae, Entamoeba histolytica, dan lain-lain
yang dapat menimbulkan penyakit pada
Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 12
Vol.1 No.1 April 2011
manusia; 4) menurunkan nilai estetika
lingkungan; dan 5) mengurangi kenyamanan
lingkungan.
Sampah telah menjadi masalah yang besar,
bagi kota-kota besar di Indonesia seperti
Jakarta, Surabaya, termasuk Makassar.
Cakupan pelayanan pengelolaan persampahan
yang masih rendah khususnya di perkotaan
dapat berdampak pada meningkatnya wabah
penyakit menular seperti tipus, kolera,
muntaber, disentri, pes, leptospirus,
salmonelosis, demam gigitan tikus. Selain itu,
sampah yang dibuang ke kanal dan saluran
pembuangan berpotansi menimbulkan banjir
(Percik, Vol. 5 Tahun I/Agustus 2004).
Volume sampah di Makassar tahun 2004
tercatat 4.330 ton perhari, jumlah ini meningkat
cukup signifikan dibanding tahun 2003 sebesar
3.748 ton, dengan komposisi sampah organik
87,21%, kertas 4,42%, plastik 5,84% dan
selebihnya alumunium, kaca, kayu dan jenis
lainnya. Kapasitas limbah padat Makassar
untuk saat ini mencapai 1.860 m3/hari yang
dibuang ke TPA Tamangapa. Timbulan sampah
pasar mencapai 60,10 % atau 16,69 % dari total
timbulan sampah kota Makassar (STLHD,
2006). Sebagian besar sampah tersebut adalah
sampah organik yang berasal dari pedagang
sayur-mayur dan buah-buahan serta sisa-sisa
makanan, serta dari para pembeli dan
pengunjung yang membuang sampah
sembarangan. Hal ini diakibatkan bukan saja
karena pertambahan jumlah penduduk tetapi
juga karena meningkatnya timbulan sampah
per kapita yang disebabkan oleh perbaikan
tingkat ekonomi dan kesejahteraan.
Pasar sebagai suatu tempat perdagangan
merupakan sumber timbulan sampah dan
limbah cair dari kawasan komersial. Sebagai
sebuah pusat perdagangan, pasar selalu
berada di lokasi yang strategis, bahkan banyak
dijumpai letak pasar ada di pusat kota. Pasar
mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan sampah dan limbah cair.
Sementara lahan TPA merupakan
permasalahan tersendiri yang dihadapi suatu
kota besar. Untuk dapat mengelola sampah dan
limbah cair pasar dengan benar, maka awal
yang paling penting diketahui adalah
pemahaman terhadap kuantitas, wujud,
karakteristik dan potensi dari sampah dan
limbah cair yang akan dikelola.
Meningkatnya volume sampah yang
dihasilkan oleh masyarakat urban maupun dari
aktivitas pasar. Sementara itu, rendahnya
pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi
pedagang dalam pengelolaan sampah menjadi
suatu permasalahan yang perlu mendapat
perhatian dalam pengelolaan lingkungan bersih
dan sehat. Kegiatan pengolahan sampah pasar
selama ini relatif belum melibatkan masyarakat
sebagai akibat dari kebijakan pemerintah
daerah yang bersifat top down. Salah satu
indikatornya adalah kebijakan tarif retribusi
kebersihan hanya ditentukan oleh aparatur
pemerintah daerah dan relatif belum
memperhatikan aspirasi masyarakat
menyangkut berapa sesungguhnya para
pedagang bersedia membayar untuk
mendukung kegiatan pengolahan sampah di
lingkungannya.
Awal munculnya isu tentang pengelolaan
sampah pasar terakit dengan meningkatnya
volume timbulan sampah pasar sebagai akibat
dari pola penanganan yang konvensional dari
Dinas Pengolaan Lingkungan Hidup dan
Kebersihan (DPLHK) Kota Makassar.
Permasalahan persampahan di beberapa
pasar tradisional besar seperti Pasar
Pabbaeng-baeng dan Pasar Terong, hanya
berkisar pada aspek teknis operasional yaitu
sistem pewadahan dan pengangkutan yang
tidak memadai, serta peran serta masyarakat
khususnya pedagang masih kurang dalam
penanganan sampah pasar. Kurangnya
kesadaran dan perhatian para pedagang
mengakibatkan mereka membuang sampah
sembarangan, sehingga mengotori kanal, di
sekitar tempat jualan pedagang, bahkan di
ruas jalan menuju pasar juga terlihat
tumpukan sampah. Hal ini menimbulkan
kesan kekumuhan, pencemaran bau dan
merusak wajah pasar itu sendiri serta
mengganggu kesehatan. Hal inilah yang
memicu para pemangku kepentingan seperti
Assosiasi Pedagang Pasar, partai politik, media
massa, LSM, dan kalangan perguruan tinggi
untuk melemparkan isu tentang penataan
pasar tradisional, terutama sekali pada aspek
pengelolaan sampah pasar.
Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 13
Vol.1 No.1 April 2011
Meluasnya isu penataan pasar tradisional
dari hasil interaksi antar kelompok
kepentingan, partai politik, media massa, dan
pemerintah daerah berimbas pada
pembahasan Rancangan Peraturan Daerah
(Ranperda) tentang Penataan Pasar
Tradisional oleh DPRD Kota Makassar. Isu
utama yang menjadi agenda kebijakan adalah
hal yang berkaitan dengan sistem dan
prosedur pengelolaan sampah pasar. Isu
kebijakan revitalisasi pasar tradisional
diharapkan tidak hanya terfokus pada aspek
penataan spasial (keruangan), tetapi juga
memperhatikan aspek sosial dan pengelolaan
lingkungan terutama aspek persampahan.
2) Perumusan Masalah
Permasalahan yang akan di bahas dalam
kajian ini adalah bagaimana proses
transformasi isu tentang kekumuhan,
timbulan sampah, dan kemacetan di pasar
tradisional dapat berkembang menjadi isu
agenda kebijakan pada Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah (DPRD) dan Pemerintah
Daerah menyangkut pengelolaan sampah
pasar di kota Makasar.
3) Tujuan Penelitian.
Tujuan kajian ini terkait dengan beberapa
hal, yakni: (1.) melakukan identifikasi terhadap
proses tranformasi isu publik menjadi isu
agenda kebijakan terkait dengan pengelolaan
sampah pasar di kota Makasar, (2.) melakukan
pemetaan konseptual yang akan memberikan
konstribusi dalam hal pengembangan studi
formulasi kebijakan publik khususnya
mengenai tahapan agenda setting.
B. KAJIAN TEORI
1) Konsep Isu dan Agenda
Secara konseptual, suatu masalah privat
sebelum masuk ke dalam agenda kebijakan,
masalah tersebut menjadi isu terlebih dahulu.
Isu ini akan menjadi embrio awal bagi
munculnya masalah-masalah publik dan bila
masalah tersebut mendapat perhatian yang
memadai, maka ia akan masuk ke dalam agenda
kebijakan. Sebuah isu atau permasalahan
dimulai dari adanya problem isu di tengah-
tengah masyarakat. Problem isu ini berawal
dari isu yang kecil dan lama-kelamaan
mendapat tanggapan dari masyarakat luas
(publik), sehingga isu menjadi sebuah
pembicaraan di tengah-tengah masyarakat
dan menjadi isu publik. Setelah menjadi isu
publik, maka tentunya isu ini akan diakomodir
oleh kelompok-kelompok kepentingan yang ada
untuk disampaikan kepada pembuat kebijakan
di daerah untuk menjadi pembahasan
bersama. Pembahasan yang terjadi antara
pembuat kebijakan (DPRD dan Pemda)
tentang isu yang disampaikan oleh kelompok-
kelompok kepentingan tadi yang menjadi isu
agenda kebijakan.
Issues diartikan oleh Cobb & Elder (1972)
sebagai problema publik yang saling
bertentangan (konflik) satu sama lain
(controversial public problems). Issues dapat
diartikan pula sebagai perbedaan-perbedaan
pendapat di masyarakat tentang persepsi dan
solusi (policy action) terhadap suatu masalah
publik. Issues kebijakan tidak hanya
mengandung ketidaksepakatan mengenai
arah tindakan yang aktual dan potensial, tetapi
juga mencerminkan pertentangan panda-ngan
mengenai sifat masalah itu sendiri.
Isu-isu yang beredar dalam masyarakat
akan bersaing satu dengan yang lain untuk
mendapatkan perhatian dari para elit politik,
sehingga isu yang mereka perjuangkan dapat
masuk ke agenda kebijakan. Oleh karena itu
kelompok-kelompok dalam masyarakat akan
menggunakan berbagai cara untuk
memperjuangkan suatu isu agar masuk ke agenda
kebijakan, seperti misalnya memobilisasi diri,
mencari dukungan kelompok-kelompok lain
maupun menggunakan media massa.
Menurut Cobb dan Elder, (1972 : 82),
sebuah isu akan tercipta melalui beberapa
cara, yaitu :
n Isu dibuat oleh partai yang merasa
melihat ketidakadilan atau bias
(penyelewengan) dalam distribusi
kekuasaan dan sumber daya.
n Penciptaan isu demi kepentingan dan
n keuntungan personal atau kelompok
tertentu.
n Isu tercipta akibat peristiwa yang tidak
terduga.
Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 14
Vol.1 No.1 April 2011
n Isu dibuat oleh “orang yang selalu ingin
perbaikan”.
Namun pembentukan isu tidak hanya
tergantung kepada satu pemicu saja. Harus
ada kaitan antara pemicu dan keprihatinan
atau problem yang kemudian ‘mengubah isu
menjadi item agenda. Agenda tersebut oleh
Cobb dan Elder dikarakteristikkan menjadi
dua tipe : sitematik dan institusional. Agenda
sitematis terdiri dari “ semua isu yang
umumnya dirasakan oleh anggota komunitas
politik sebagai isu yang pantas mendapat
perhatian dan dianggap sebagai persolan
didalam yurisdiksi yang sah dalam otoritas
pemerintah (Cobb dan Elder, 1972 : 85).
Agenda adalah istilah yang pada umumnya
digunakan untuk menggambarkan suatu isu
yang dinilai oleh publik perlu diambil suatu
tindakan. Kegiatan membuat masalah publik
(public problems) menjadi masalah kebijakan
(policy problems) sering disebut dengan
penyusunan agenda (agenda setting).
Dengan demikian, “policy agenda” akan
memuat masalah kebijakan yang perlu
direspons oleh sistem politik yang bersumber
dari lingkungan. Agenda sebagai suatu
kesepakatan umum, belum tentu tertulis
tentang adanya suatu masalah publik yang
perlu menjadi perhatian bersama dan
menuntut campur tangan pemerintah untuk
memecahkannya. Kepemimpinan politik
merupakan faktor yang penting dalam
penyusunan agenda. Para pemimpin politik
mungkin menanggapi, menyebarluaskannya
dan mengusulkan penyelesaian terhadap
masalah-masalah tersebut. Dalam kaitan ini,
Dalam kaitan ini, eksekutif daerah atau
Pemerintah Daerah maupun anggota-anggota
lembaga legislatif daerah (DPRD) mempunyai
peran utama dalam politik dan pemerintahan
untuk menyusun agenda publik.
2) Konsep Agenda Setting
Kebijakan publik adalah suatu upaya
yang diambil untuk memecahkan masalah-
masalah publik, maka penyusunan kebijakan
publik sudah seharusnya (senantiasa) dimulai
dari adanya agenda setting yang disusun
berdasarkan partisipasi publik. Ini berarti
keterlibatan publik dalam penyusunan agenda
menjadi sangat penting. Namun demikian cara
dan mekanisme penyusunan agenda bagi suatu
negara tentu sangat dipengaruhi oleh faktor
kondisi politiknya.
Agenda setting (penyusunan agenda) adalah
tahap awal dari suatu proses kebijakan publik.
Meskipun merupakan tahap awal, tetapi
kegiatan menyusun agenda adalah kegiatan
yang sulit karena meliputi pengenalan
masalah yang benar. Hal ini dikarenakan
pembuat kebijakan tidak selalu berhadapan
dengan masalah yang akan dipecahkannya
(melalui kebijakan yang akan diputuskannya).
Meskipun terkadang pembuat kebijakan
sudah menemukan “masalah”, tetapi belum
tentu “masalah” itulah yang paling urgen dan
dituntut oleh publik untuk dipecahkan. Apalagi
biasanya “masalah” yang muncul itu sangat
kompleks dan bervariasi, baik dari segi
materinya maupun dari segi asal muasalnya.
Konsepsi agenda yang lebih mendalam
ditulis oleh Layne D. Hoppe yang berjudul
“Agenda Setting Strategies: Pollution Policy”.
Menurut Hoppe dalam bukunya yang
diterbitkan pada tahun 1969 itu, “Agenda
adalah sebuah istilah tentang pola-pola
tindakan pemerintahan yang spesifik sifatnya,
terutama dalam tahapan awal perkembangan
suatu kebijakan. Agenda bisa diartikan
sebagai analisis tentang bagaimana suatu
problem dikembangkan, didefinisikan, dan
diformulasikannya cara-cara untuk
pemecahannya” (Cobb & Elder, 1972).
Roger W. Cobb dan Charles D. Elder (1972)
membagi agenda kedalam dua macam, yaitu;
Agenda Sistematis (Systemic Agenda), dan
Agenda Institusional (Institutional Agenda).
Agenda Sistematis adalah agenda yang
memuat semua isu yang secara umum
dipersepsikan oleh anggota masyarakat
politik sebagai masalah publik dan masalah-
masalah yang berhubungan dengan kekuasaan
pemerintah yang ada. Sedangkan Agenda
Institusional adalah serangkaian masalah yang
secara eksplisit diangkat oleh lembaga
(institusi) pengambil keputusan resmi untuk
dijadikan pertimbangan aktif dan serius
dalam mengambil keputusan.
Agenda setting dengan demikian disusun
berdasarkan perebutan dan perjuangan
Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 15
Vol.1 No.1 April 2011
kelompok-kelompok yang ada tersebut,
dimana pemerintah dikelilingi oleh pengaruh
kelompok-kelompok tersebut. Issues akan
mudah tampil atau masuk dalam agenda
sistemik menurut Cobb and Elder (1972) jika:
1. Isu itu memperoleh perhatian yang
luas atau setidaknya dapat menimbulkan
kesadaran masyarakat;
2. Adanya persepsi dan pandangan atau
pendapat publik yang luas bahwa
beberapa tindakan perlu dilakukan
untuk memecahkan masalah itu; dan
3. Adanya persepsi yang sama dari
masyarakat bahwa masalah itu
merupakan suatu kewajiban dan
tanggung jawab yang sah dari
beberapa unit pemerintahan untuk
memecahkannya.
Isu politik (political issues) yang telah
masuk ke dalam agenda pemerintah tadi
kemudian masuk ke dalam sistempolitik untuk
diproses (digodok) menjadi kebijakan publik.
Secara skematis kegiatan agenda setting dapat
digambarkan sebagai berikut.
Agenda institusional atau pemerintah
terdiri dari masalah-masalah yang mendapatkan
perhatian yang sungguh-sungguh dari pejabat
pemerintah. Karena terdapat bermacam-
macam pokok agenda yang membutuhkan
keputusan-keputusan kebijakan maka
terdapat pula banyak agenda lembaga. Pada
tingkat nasional misalnya, kita akan menda-
patkan agenda kepresidenan, agenda
administratif, agenda pengadilan dan lain
sebagainya. Agenda lembaga merupakan
agenda tindakan yang mempunyai sifat lebih
khusus dan lebih konkrit bila dibandingkan
dengan agenda sistemik.
3) Konsep Pengelolaan Sampah Pasar
Berdasarkan Undang-Undang No. 18
Tahun 2008, sampah adalah sisa kegiatan
sehari-hari manusia dan/atau proses alam
yang berbentuk padat. Pengelolaan sampah
dimaksudkan adalah kegiatan yang sistematis,
menyeluruh, dan berkesinambungan yang
meliputi pengurangan dan penanganan
sampah. Berdasarkan sifat fisik dan kimianya
sampah dapat digolongkan menjadi : 1)
sampah ada yang mudah membusuk terdiri
atas sampah organik seperti sisa sayuran, sisa
daging, daun dan lain-lain; 2) sampah yang
tidak mudah membusuk seperti plastik, kertas,
karet, logam, sisa bahan bangunan dan lain-
lain; 3) sampah yang berupa debu/abu; dan
4) sampah yang berbahaya (B3) bagi kesehatan,
seperti sampah berasal dari industri dan
rumah sakit yang mengandung zat-zat kimia
dan agen penyakit yang berbahaya.
Sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan
pada dalam Pasal 5 UU No.23 Th.1997 tentang
Pengelolan Lingkungan Hidup, bahwa
masyarakat berhak atas lingkungan hidup
yang baik dan sehat. Untuk mendapatkan hak
tersebut, pada Pasal 6 dinyatakan bahwa
masyarakat dan pengusaha berkewajiban
untuk berpartisipasi dalam memelihara
kelestarian fungsi lingkungan, mencegah dan
menaggulangi pencemaran dan kerusakan
lingkungan. Terkait dengan ketentuan
tersebut, dalam UU No. 18 Tahun 2008 secara
eksplisit juga dinyatakan, bahwa setiap orang
mempunyai hak dan kewajiban dalam
pengelolaan sampah.
Dalam hal pengelolaan sampah pasal 12
dinyatakan, setiap orang wajib mengurangi
dan menangani sampah dengan cara
berwawasan lingkungan. Masyarakat juga
dinyatakan berhak berpartisipasi dalam
Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 16
SUMBER : COBB & ELDER, 1972
No
I.
II.
III.
IV.
V.
Private
Problems
Public
Problems
Political
Issues
Systemic
Agenda
Institutional
Agenda
Akibat yang terbatas, atau hanya
menyangkut satu atau sejumlah kecil orang
yang terlibat secara langsung.
Public Problems: adalah masalah-masalah
yang mempunyai akibat lebih luas
termasuk akibat-akibat yang mengenai
orang-orang yang secara tidak langsung
terlibat.
Political issues; adalah perbedaan
pendapat masyarakat tentang solusi dalam
menangani masalah (policy action)
Systematic Agenda : isu dirasakan oleh
semua warga masyarakat politik yang
patut mendapat perhatian publik dan isu
tersebut berada dalam yuridiksi
kewenangan pemerintah.
Institutional Agenda: serangkaian isu yang
secara tegas membutuhkan pertimbangan
pertimbangan yang aktif dan sering dari
pembuat keputusan yang sah
MasalahTataran
Agenda Setting Process
Vol.1 No.1 April 2011
proses pengambilan keputusan, pengelolaan
dan pengawasan di bidang pengelolaan
sampah. Cara partisipasi masyarakat dalam
pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan
memperhatikan karakteristik dan tatanan
sosial budaya daerah masing-masing.
Berangkat dari ketentuan tersebut, tentu
menjadi kewajiban dan hak setiap orang baik
secara individu maupun secara kolektif,
demikian pula kelompok masyarakat
pengusaha dan komponen masyarakat lain
untuk berpartisipasi dalam pengelolaan
sampah dalam upaya untuk menciptakan
lingkungan perkotaan dan perdesaan yang
baik, bersih, dan sehat.
Menurut Suarna (2008), beberapa
pendekatan dan teknologi pengelolaan dan
pengolahan sampah yang telah dilaksanakan
antara lain adalah:
n Teknologi Komposting
n Teknologi Pembuatan Pupuk Kascing
n Pengolahan sampah menjadi listrik.
n Pengelolaan sampah mandiri
n Pengelolaan sampah berbasis masyarakat
Pola pengelolaan sampah berbasis
masyarakat sebaiknya dilakukan secara
sinergis (terpadu) dari berbagai elemen
(pemerintah, LSM, pengusaha/swasta,
sekolah, dan komponen lain yang terkait)
dengan menjadikan komunitas lokal sebagai
objek dan subjek pembangunan, khususnya
dalam pengelolaan sampah untuk menciptakan
lingkungan bersih, aman, sehat, asri, dan
lestari
C. METODE PENELITIAN
1) Tipe & Desain Penelitian
Tipe penelitian ini bersifat deskriptif yang
bersifat kualitatif dengan mempergunakan
data kualitatif maupun kuantitatif. Dalam
penelitian kualtitatif, prosedur sampling yang
terpenting adalah bagaimana menentukan
informan kunci (key informan) yang sarat
informasi sesuai dengan fokus penelitian
(Bungin, 2003: 53). Mengingat dasar
penelitian ini bersifat studi kasus, sehingga
metode pengumpulan data akan lebih banyak
diadakan dengan instrumen indepth
intervieuw dengan key informan yang terpilih.
2) Pendekatan dan Teknik Pengumpulan
Data
Pendekatan Pengambilan data dilakukan
dengan metode (Rural Rapid Appraisal) RRA
yaitu dengan memahami masyarakat secara
cepat. Pendekatan ini sangat kasar dalam
metode pengambilan data. Selain itu peneliti
juga melakukan pendekatan dengan metode
PRA (Participatory Rural Appraisal) yaitu
memahami masyarakat secara partisipatif.
Untuk mendapatkan data sekunder dan
data primer yang akurat maka penulis
menggunakan teknik pengumpulan data
sebagai berikut:
1. Studi Pustaka (Library Research)
Dalam studi pustaka ini penulis berusaha
menelaah berbagai bahan bacaan/pustaka
berupa buku-buku, majalah, surat kabar,
undang-undang, peraturan pemerintah serta
dokumen-dokumen lainnya yang mempunyai
relevansi dengan masalah yang akan diteliti.
2. Studi Lapangan (Field Research)
Studi lapangan ini dimaksudkan yaitu
penulis langsung melakukan penelitian pada
lokasi atau obyek yang telah ditentukan. Studi
lapangan ditempuh dengan cara sebagai berikut:
a. Wawancara, yaitu mengadakan tanya
jawab langsung kepada informan yang
memiliki informasi tentang aspek
pengelolaan sampah pasar.
a. Focussed Group Discussion (FGD), yaitu
teknik pengumpulan melalui disksusi
kelompok terarah pada beberapa key
informan.
3) Analisa Data
Data dalam penelitian ini merupakan data
primer yang diperoleh dilapang dari hasil
wawancara yang mendalam dan FGD dari
informan dan key informan. Data yang
terkumpul kemudian dianalisis secara
deskriptif sesuai dengan tujuan penelitian
melalui indikator-indikator yang telah
ditetapkan.
Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 17
Vol.1 No.1 April 2011
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
1) Kondisi Eksisting Pengelolaan Sampah
Pasar Di Kota Makassar
Sampah masih menjadi persoalan yang
tiada hentinya. Kemampuan dan kapasitas
pemerintah yang rendah diperhadapkan
dengan kesadaran masyarakat yang masih
rendah telah menjadi kombinasi buruk
penanganan sampah di kota Makassar. Bahkan
sebagian besar masyarakat menganggap
bahwa masalah sampah tanggung jawab
pemerintah semata. Sebagian masyarakat juga
beranggapan sampah bukanlah masalah bila
tidak berada di sekitarnya.
Terkait dengan masalah pengelolaan
sampah dan upaya menciptakan lingkungan
kota yang lebih baik, akhirnya pada tanggal 15
Mei 2004 dicanangkanlah kampanye Makassar
bersih oleh Walikota Makassar, yang bertujuan
menggugah kesadaran masyarakat dan
menciptakan tanggung jawab bersama
terhadap permasalahan sampah di kota
Makassar (Status Lingkungan Hidup daerah
Kota Makassar, 2006). Selain itu, sejak tahun
2008 pemerintah kota Makassar juga
mencanangkan Program Makassar Grean and
Clean untuk menuju Makassar Bersih. Namun
upaya ini, tidak akan berhasil sepenuhnya
tanpa adanya dukungan dari masyarakat.
Sampah merupakan salah satu ekses dari
kegiatan penduduk, baik sampah padat, cair
dan gas yang berasal dari kegiatan rumah
tangga, industri dan kegiatan perkotaan
lainnya. Data mengenai kondisi umum
persampahan di kota Makassar pada Tahun
2008 disajikan pada tabel 01.
Secara umum, dari data kondisi lokasi
sumber sampah memperlihatkan bahwa
beberapa lokasi mampu mengelola sampahnya
secara keseluruhan. Pada lokasi-lokasi
tersebut, misalnya permukiman mewah,
pantai wisata dan kawasan perkantoran dapat
dikatakan bahwa timbulan sampah yang
terjadi setiap hari, hampir seluruhnya dapat
diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Sebaliknya, data juga memperlihatkan bahwa
beberapa lokasi di kota Makassar belum
mampu menangani timbulan sampah dengan
cara mengangkutnya ke TPA.
Berdasarkan tabel 01, sumber sampah
terbesar adalah dari permukiman sederhana
yang ada di Kota Makassar. Dari total timbulan
sampah harian, rata-rata persentase sampah
yang terangkut dan dibuang ke TPA berjumlah
sekitar 1093,29 m3/hari. Sedangkan total
Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 18
Tabel No.01. Timbulan Sampah Dan Yang Terangkut Di Kota Makassar Tahun 2008
Sumber Data : Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup & Keindahan Kota Makassar, 2009
Vol.1 No.1 April 2011
timbulan adalah 1.282,45 m3/hari, sehingga
total timbulan yang tidak terangkut adalah
sebesar 189, 16 m3/hari atau berkisar 14 %.
Berdasarkan tabel No. 02 di atas, komposisi
terbesar sampah di kota Makassar Periode
Desember 2008 adalah sampah organik (bio
waste) yang layak kompos sebesar 83,61 %,
dan yang terkecil adalah komposisi sampah
kayu sebesar 0,18 %. Sampah organik dengan
proporsinya yang terbesar, merupakan
permasalahan utama persampahan di kota
Makassar ; bila tidak dikelola dengan baik,
sampah organik dapat menjadi sumber
pencemar lingkungan yang potensial.
Berbeda dengan sampah organik, sampah
anorganik pada batas-batas tertentu, melalui
mekanisme pasar, dapat digunakan kembali
sebagai bahan baku industri (Kementrian
Negara Lingkungan Hidup-JICA, 2008), kecuali
jenis-jenis sampah anorganik yang sulit
didaurulang atau terlalu mahal biaya pendaur
ulangannya, misalnya kantong-kantong plastik
atau kemasan-kemasan makanan instan.
Sistem pelayanan pembuangan sampah di
kota Makassar saat ini sudah dilayani oleh
armada sampah yang pengelolaannya berada
di bawah naungan Dinas Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota
Makassar, mulai dari daerah permukiman,
daerah perdagangan, pusat pemerintahan,
lokasi kegiatan sosial dan pendidikan. Sistem
pengelolaan sampah di kota Makassar pada
umumnya menekankan pendekatan Kumpul-
angkut-buang dan sistem pembuangan di TPA
secara terbuka (open dumping).
Dari keseluruhan TPA menerapkan sistem
pembuangan terbuka, sekitar 60 % memiliki
lokasi TPA yang dapat digolongkan sebagai
unmanaged disposal sites. Bahkan, di wialayah
tertentu seperti Kalimantan dan Sulawesi,
terdapat beberapa kota kecil yang memiliki
tempat pembuangan akhir yang sulit
dikategorikan sebagai TPA (uncategorized
disposal sites). Sistem pengelolaan sampah
yang dilakukan dengan cara pembuangan
terbuka mengindikasikan bahwa di kota
tersebut tidak dilakukan upaya pemilahan
sampah. Dengan sistem open dumping,
kemampuan pengelola untuk mengangkut
sampah cenderung menurun atau realtif tetap.
Di sisi lain, jumlah penduduk menunjukkan
gejala yang semakin meningkat. Hal ini
menyebabkan volume timbulan sampah
meningkat, sementara kemampuan
mengangkut sampah relative tidak berubah
(Status Lingkungan Hidup Daerah, 2006).
Pengelolaan pasar di kota Makassar,
umumnya dilakukan oleh perusahaan daerah
Pasar (PD Pasar) dan kepemilikan kios/toko
secara perorangan. Salah satu permasalahan
pada pasar di kota Makassar adalah masalah
pengelolaan sampah. Pasar-pasar di kota
Makassar menghasilkan sampah dalam jumlah
yang besar yaitu sekitar 574,80 m3/hari. Atau
sumber penyumbang sampah kedua terbesar
di kota Makassar setelah permukiman
sederhana.
Sebagian besar sampah tersebut berasal
dari pedagang, konsumen, baik dari barang-
barang yang dijual di pasar berupa kemasan,
kulit sayur, atau sisa olahan barang yang akan
dijual. Komposisi sampah dari sampah pasar
kota Makassar adalah berupa sampah organik
dan anorganik. Sampah organik terbesar
bersumber dari sayur mayur. Sedangkan
sampah anorganik biasanya dari kemasan
barang dagangan berupa kantung plastik,
karung, kertas, dsb.
Dalam pengelolaan persampahan skala
kota yang rumit, terdapat beragam stakeholders
yang teribat secara langsung ataupun tidak
langsung. Setiap stakeholders berperan sesuai
dengan posisinya masing-masing. Dalam skala
kota, peran pemerintah kota dalam mengelola
sampah sangat-lah penting, dan pengelolaan
sampah merupakan salah satu tugas utamanya
sebagai bentuk pelayanan yang merupakan
Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 19
Tabel No.02.
Komposisi Sampah Di Kota Makassar
Periode Desember 2008
Sumber Data : Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup & Keindahan
Kota Makassar, 2009
Vol.1 No.1 April 2011
bagian dari infrastruktur kota tersebut.
Stakeholders utama yang terdapat dalam
pengelolaan sampah pasar adalah pengelola
kota dalam hal ini dilakukan oleh Dinas
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan
Kota Makassar.
2) Tahapan Penyusunan Agenda
Sistem pengelolaan sampah konvensional
yang masih berdasarkan prinsip Kumpul-
Angkut-Buang dan sepenuhnya tergantung dari
keberadaan TPA, diperkirakan bahwa dalam 5-
10 tahun ke depan, pengelolaan sampah di
banyak kota di Indonesia akan mengalami
persoalan dengan habisnya masa pakai TPA
sementara lokasi pengganti semakin sulit
diperoleh sehubungan dengan terbatasnya
lahan dan meningkatnya resistensi masyarakat
terhadap keberadaan TPA, khususnya yang
terletak di sekitar permukiman penduduk
(Status Lingkungan Hidup, 2006).
Pada situasi seperti inilah maka upaya
menemukenali sebuah tahapan penyusunan
agenda dalam pengelolaan sampah pasar di Kota
Makassar menjadi sangat isu yang strategis.
Transformasi isu menjadi isu agenda kebijakan
merupakan produk dari sebuah interaksi antar
aktor dan stakeholders dalam menyusun
formulasi kebijakan pengelolaan sampah pasar
di Kota Makassar. Secara kenseptual dapat di
lihat dalam tabel no. 3 di bawah ini.
1. Private Problem
Pasar sebagai suatu tempat perdagangan
merupakan sumber timbulan sampah dan
limbah cair dari kawasan komersial. Sebagai
sebuah pusat perdagangan, pasar selalu berada
di lokasi yang strategis, bahkan banyak
dijumpai letak pasar ada di pusat kota. Pasar
mempunyai potensi yang cukup besar untuk
menimbulkan sampah dan limbah cair.
Sementara lahan TPA (tempat pembuangan
akhir) merupakan permasalahan tersendiri
yang dihadapi suatu kota besar. Untuk dapat
mengelola sampah dan limbah cair pasar
dengan benar, maka awal yang paling penting
diketahui adalah pemahaman terhadap
kuantitas, wujud, karakteristik dan potensi dari
sampah dan limbah cair yang akan dikelola.
Meningkatnya volume sampah yang
dihasilkan oleh masyarakat urban maupun
dari aktivitas pasar. Sementara itu, rendahnya
pengetahuan, kesadaran, dan partisipasi
pedagang dalam pengelolaan sampah menjadi
suatu permasalahan yang perlu mendapat
perhatian dalam pengelolaan lingkungan
bersih dan sehat. Kegiatan pengolahan sampah
pasar selama ini relatif belum melibatkan
masyarakat sebagai akibat dari kebijakan
pemerintah daerah yang bersifat top down.
Salah satu indikatornya adalah kebijakan tarif
retribusi kebersihan hanya ditentukan oleh
aparatur pemerintah daerah dan relatif belum
memperhatikan aspirasi masyarakat
menyangkut berapa sesungguhnya para
pedagang bersedia membayar untuk
mendukung kegiatan pengolahan sampah di
lingkungannya.
Pola penanganan masalah sampah yang
cenderung reaktif dan parsial terbukti tidak
mampu menyelesaikan problem sampah pasar
ini secara holistik. Pada saat yang sama, akibat
nyata yang ditimbulkan telah membawa
terganggunya aktivitas penjual dan pembeli
dalam aktivitas transaksi jual-beli. Kondisi
sampah yang berserakan membuat pembeli
akan tidak nyaman untuk berbelanja di pasar
tradisonal. Pada saat yang sama, semakin
maraknya serbuan pasar retail modern yang
menawarkan kenyamanan dan kebersihan,
membuat pengujung pasar tradisional
menjadi semakin berkurang. Dengan semakin
Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 20
Tabel No. 03 Matriks Agenda Setting :
Pengelolaan Sampah Pasar di Kota Makassar
Vol.1 No.1 April 2011
berkurangnya frekuensi kunjungan pembeli
ke pasar tradisonal, maka secara agregat
pendapatan pedagang pasar pun menjadi
menurun.
2. Public Problem
Sampah telah menjadi masalah yang besar,
bagi kota-kota besar di Indonesia seperti
Jakarta, Surabaya, termasuk Makassar.
Cakupan pelayanan pengelolaan persampahan
yang masih rendah khususnya di perkotaan
dapat berdampak pada meningkatnya wabah
penyakit menular seperti tipus, kolera,
muntaber, disentri, pes, leptospirus,
salmonelosis, demam gigitan tikus. Selain itu,
sampah yang dibuang ke kanal dan saluran
pembuangan berpotansi menimbulkan banjir.
Volume sampah di Makassar tahun 2004
tercatat 4.330 ton perhari, jumlah ini
meningkat cukup signifikan dibanding tahun
2003 sebesar 3.748 ton, dengan komposisi
sampah organik 87,21%, kertas 4,42%, plastik
5,84% dan selebihnya alumunium, kaca, kayu
dan jenis lainnya. Kapasitas limbah padat
Makassar untuk saat ini mencapai 1.860 m3/
hari yang dibuang ke TPA Tamangapa.
Timbulan sampah pasar mencapai 60,10 %
atau 16,69 % dari total timbulan sampah kota
Makassar (STLHD, 2006). Sebagian besar
sampah tersebut adalah sampah organik yang
berasal dari pedagang sayur-mayur dan buah-
buahan serta sisa-sisa makanan, serta dari
para pembeli dan pengunjung yang membuang
sampah sembarangan, tentu akan membuat
kualitas lingkungan menjadi tercemar. Hal ini
diakibat-kan bukan saja karena pertambahan
jumlah penduduk tetapi juga karena
meningkatnya timbulan sampah per kapita
yang disebabkan oleh perbaikan tingkat
ekonomi dan kesejahteraan.
Sampah organik yang umumnya berasal
dari sisa sayur-sayuran dan buah-buahan
serta kantong kemasan berbahan plastik, yang
tidak terangkut dengan di Tempat
Pembuangan Sementara (TPS) sekitar pasar
menjadi berserakan hingga ke saluran
drainase dan kanal. Timbulan sampah yang
menyumbat drainase dan kanal, pada musim
penghujan dapat menimbulkan banjir. Selain
menimbulkan banjir, timbulan sampah yang
tidak terangkut dengan cepat di bak sampah,
yang juga difungsikan sebagai Tempat
Pembuangan Sementara (TPS) hingga ke
badan jalan secara nyata telah menimbulkan
kemacetan lalu lintas.
3. Policy Issues
Selama ini, metode pengelolaan sampah
pasar yang diterapkan pemerintah kota
terhadap pasar tradisional masih bersifat
konvensional. Pola kumpul-angkut-buang/
bakar sebenarnya sudah tidak memadai lagi
ditengah upaya peningkatan nilai ekonomi
dari sampah. Metode 3R (reduce, reuse, recycle)
yang memungkinkan terjadinya daur-ulang
sampah secara berkelanjutan. Dengan metode
ini, sampah bukan lagi barang yang tidak
berguna tetapi menjadi sebuah komoditi yang
bernilai ekonomi tinggi.
Permasalahan pengelolaan sampah
terutama di Pasar Pabbaeng-baeng dan Pasar
Terong terutama pada teknis operasional yaitu
sistem pewadahan dan pengangkutan yang
tidak memadai, serta peran serta masyarakat
khususnya pedagang masih kurang dalam
penanganan sampah pasar. Selama ini, pilihan
metode konvensional yang digunakan tidak
ditunjang oleh jumlah fasilitas persampahan
yang memadai. Bak sampah yang berfungsi
TPS dan mobil angkutan sampah jumlahnya
sangat tidak proporsional dengan laju
pertumbuhan sampah yang ada.
Disamping itu, aspek maintainance
(pemeliharaan) terhadap fasilitas yang ada
serta jumlah personil operator kebersihan
juga belum pada kategori yang memadai.
Dinas Pengolaan Lingkungan Hidup dan
Keindahan (DPLHK) Kota Makassar, sebagai
leading sector penanganan masalah ini masih
diperhadapkan pada problem birokrasi kronis,
seperti keterbatasan dari sisi anggaran,
personil hingga pada resistensi terhadap
perubahan metode pengeloaan sampah.
Keseluruhan problem yang dihadapi dari
sisi manajemen, pada saat yang sama tidak di
dukung oleh kesadaran yang tinggi dari
kalangan pedangang, terutama dalam
mengumpulkan sampah dagangannya.
Kurangnya kesadaran dan perhatian para
pedagang mengakibatkan mereka membuang
Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 21
Vol.1 No.1 April 2011
sampah sembarangan, sehingga mengotori
kanal, di sekitar tempat jualan pedagang,
bahkan di ruas jalan menuju pasar juga
terlihat tumpukan sampah. Situasi ini
seharusnya menyadarkan pemerintah kota
bahwa perbaikan manajemen sampah pasar
tidaka bisa dilakukan hanya dengan
memperbaiki sarana dan prasarana saja. Perlu
sentuhan pada aspek manusianya, dalam hal
ini peningkatan kesadaran melalui pembinaan
pedagang untuk berperan dalam mengelola
sampah pasar.
4. Systemic Agenda
Sampah masih menjadi persoalan yang
tiada hentinya. Kemampuan dan kapasitas
pemerintah yang rendah diperhadapkan
dengan kesadaran masyarakat yang masih
rendah telah menjadi kombinasi buruk
penanganan sampah di kota Makassar.
Sebagian masyarakat juga beranggapan
sampah bukanlah masalah bila tidak berada di
sekitarnya.
Terkait dengan masalah pengelolaan
sampah dan upaya menciptakan lingkungan
kota yang lebih baik, akhirnya pada tanggal 15
Mei 2004 dicanangkanlah kampanye
Makassar bersih oleh Walikota Makassar, yang
bertujuan menggugah kesadaran masyarakat
dan menciptakan tanggung jawab bersama
terhadap permasalahan sampah di kota
Makassar (Status Lingkungan Hidup daerah
Kota Makassar, 2006). Selain itu, sejak tahun
2008 pemerintah kota Makassar juga
mencanangkan Program Makassar Grean and
Clean (MGC) untuk menuju Makassar Bersih.
Namun upaya ini, tidak akan berhasil
sepenuhnya tanpa adanya dukungan dari
masyarakat.
Secara umum, kini fungsi pasar
bertransformasi dari fungsi sebagai arena
transaksi menjadi fungsi produsen sampah,
penyebab banjir, dan kemacetan. Langkah
sistemik yang diharus dilakukan pemerintah
kota adalah dengan segera melakukan langkah
revitalisasi pasar tradisional, dari sisi
manajemen dan penataan fisik. Langkah in
diharapkan akan mengembalikan fungsi
pasar tradisional sebagai arena jual-beli yang
egaliter serta menghadirkan suasana nyaman
dan bersih, dan mampu bersaing pasar retail
modern yang semakin menjamur.
Partisipasi pedagang dalam pengelolaan
sampah pasar menjadi sebuah keniscayaan.
Hal ini terkait dengan kesadaran bahwa di era
new governance, pemangku kepentingan
utama pembangunan buka hanya di sektor
pemerintah. Anggapan sebagian besar
masyarakat menganggap bahwa masalah
sampah tanggung jawab pemerintah semata
perlu direorientasikan. Dalam pola interaksi
new governance, pedagang tidak lagi
diposisikan hanya sebagi obyek pasif yang
hanya bisa memproduksi sampah dan
membayar retribusi, tetapi menjadi bagian dan
aktor penting dalam pengelolaan sampah pasar.
Partisipasi pedagang dapat dilakukan mulai
dilevel penyusunan rencana (perencanaan),
tindakan pelaksanaan, hingga ditahap
monitoring (pengawasan).
5. Institutional Agenda
Dari total timbulan sampah harian, rata-
rata persentase sampah yang terangkut dan
dibuang ke TPA berjumlah sekitar 1093,29
m3/hari. Sedangkan total timbulan adalah
1.282,45 m3/hari, sehingga total timbulan
yang tidak terangkut adalah sebesar 189, 16
m3/hari atau berkisar 14 % (DPLHK, 2009).
Sistem pelayanan pembuangan sampah di
kota Makassar saat ini sudah dilayani oleh
armada sampah yang pengelolaannya berada
di bawah naungan Dinas Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan Keindahan Kota
Makassar, mulai dari daerah permukiman,
daerah perdagangan, pusat pemerintahan,
lokasi kegiatan sosial dan pendidikan. Sistem
pengelolaan sampah di kota Makassar pada
umumnya menekankan pendekatan Kumpul-
angkut-buang dan sistem pembuangan di TPA
secara terbuka (open dumping).
Dalam pengelolaan persampahan skala
kota yang rumit, terdapat beragam
stakeholders yang teribat secara langsung
ataupun tidak langsung. Setiap stakeholders
berperan sesuai dengan posisinya masing-
masing. Dalam skala kota, peran pemerintah
kota dalam mengelola sampah sangatlah
penting, dan pengelolaan sampah merupakan
salah satu tugas utamanya sebagai bentuk
Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani 22
Vol.1 No.1 April 2011
pelayanan yang merupakan bagian dari
infrastruktur kota tersebut.
Stakeholders utama yang terdapat dalam
pengelolaan sampah pasar adalah Dinas
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan
Kota Makassar dengan Pedagang pasar.
Hubungan kemitraan antar kedua aktor dan
kelembagaan ini menjadi solusi dalam
mengatisipasi laju pertumbuhan aktivitas
ekonomi pasar yang menghasilkan ribuan ton
meter-kubik jumlah sampah. Dari titik inilah,
upaya mendorong perluasan partsipasi
pedagang dalam pengelolaan sampah pasar
penting untuk menjadi agenda kebijakan
Pemerintah Kota Makassar.
E. KESIMPULAN DAN SARAN
1) Kesimpulan
Sampah telah menjadi masalah yang besar,
bagi kota-kota besar di Indonesia seperti
Jakarta, Surabaya, Bandung dan termasuk
Makassar. Timbulan sampah pasar mencapai
60,10 % atau 16,69 % dari total timbulan
sampah kota Makassar (STLHD, 2006).
Cakupan pelayanan pengelolaan persampahan
yang masih rendah khususnya di perkotaan
dapat berdampak pada menurunnya aktivitas
ekonomi pada pasar tradisional serta memicu
peningkatan penyakit menular seperti diare,
disentri, pes, dll.
Berdasarkan hasil pembahasan diatas,
maka dapat ditarik kesimpulan yakni Sistem
pengelolaan sampah yang selama ini
diterapkan di Pasar belum memberikan hasil
yang optimal karena kurangnya ketersediaan
TPS, pengangkutan sampah ke TPA belum
dilaksanakan secara rutin, penyediaan
infrastruktur persampahan yang masih minim
oleh instansi terkait. Sementara Partisipasi
pedagang masih rendah, ditandai dengan
kurangnya keterlibatan pedagang mulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan dan penga-
wasan pengelolaan sampah. Untuk itulah
penyusunan agenda kebijakan pengelolaan
sampah pasar penting untuk dilakukan.
2) Saran
n Setiap pasar dianjurkan menggunakan
tempat sampah dua partisi dan dilakukan
pemilahan pada tahap awal dan sampah yang
ada (organik) dibuat kompos. Untuk
pengadaan bahan dan peralatannya dapat
disediakan dan dibantu oleh pihak pengelola
pasar kerjasama dengan pihak pemerintah.
n Pemerintah Kota Makassar, yakni Dinas
Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Keindahan
agar meningkatkan infrastruktur pengelolaan
sampah baik itu berupa penambahan jumlah
bak tempat pembuangan sampah sementara
(TPS) di pasar, penambahan jumlah petugas
kebersihan, maupun peningkatan jumlah
armada pengangkutan sampah, sehingga
sampah yang tidak dapat ditangani dapat
diangkut secara keseluruhan ke tempat
pembuangan sampah akhir (TPA).
n Pemerintah Kota Makassar mesti
melakukan pembenahan serius terhadap
fasilitas persampahan, terutama pada kondisi
pasar pascarevitalisasi. Sistem dan penyediaan
fasilitas tersebut melibatkan partisipasi
pedagang. Pendekatan secara partisipatif dalam
perencanaan, pengadaan dan pemeliharaan
fasilitas akan meningkatkan rasa memiliki di
kalangan pedagang pasar.
n Peraturan Daerah (Perda) tentang
penataan Pasar Tradisional perlu dipercepat
pembahasan dan atau pemberlakuannya,
terutama hal yang berkaitan dengan sistem dan
prosedur pengelolaan sampah pasar. Gagasan
dan kebijakan revitalisasi pasar tradisional
diharapkan tidak hanya terfokus pada aspek
penataan spasial (keruangan), tetapi juga
memperhatikan aspek sosial dan pengelolaan
lingkungan terutama aspek persampahan.
DAFTAR PUSTAKA
Birkland, Thomas A. 1997. Efter Disaster :
Agenda Setting, Public Policy, and
Focusing Event, Washington : George
Town University Press.
Cobb, Roger. W. & Charles. D. Elder, 1972.
Participation in American Politics: The
Dynamics of Agenda-Building, John
Hopkins University Press.
DPLHK, 2009. Komposisi Sampah Di Kota
23Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani
Vol.1 No.1 April 2011
Makassar Periode Desember 2008,
Laporan Bulanan Dinas Pengeloaan
Lingkungan Hidup & Keindahan Kota
Makassar
Dye, Thomas, R. 2005. Understanding Public
Policiy (ed.7th). New Jersey: Pearson
Prentice Hall
Gupta, Dipak K. 2001. Analyzing Public Policy,
Concepts, Tools, and Techniques,
Singapore : CQ Press.
Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2008.
Statistik Persampahan Indonesia. Japan
International Cooperation Agency
(JICA), Jakarta.
Kingdon, John W. 1995. Agendas, Alternatives,
and Public Policies, 2nd ed. New York :
Harper Collins
Status Lingkungan Hidup Daerah (SLHD).
2006, Melaui Makassar Bersih, Menuju
Kota Berkelanjutan, Buku Parameter
Basis Data, Makassar : Dinas PLHK &
CV. Globalindo Konsultama.
Shinichi Shigetomi, (2002), “The State and
NGOs: Issue &Analytical Framework”,
dalam Shinichi Shigetomi (ed.), 2002.
The State & NGOs: Perspective from
Asia, Singapore: ISEAS.
Stone, Deborah. 2002. Policy Paradox : The Art
of Political Decision Making. Rev. ed.
New York: W.W Norton)
Undang-Undang No. 18 Tahun 2008 tentang
Pengelolaan Sampah.
*******
24Agenda Setting Pengelolaan Sampah Pasar di kota Makassar - Muhlis Madani
Vol.1 No.1 April 2011
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PENINGKATAN
KOMPETENSI PENDIDIK MELALUI PENINGKATAN
RASIO PENDIDIK & PEMERATAAN PENYEBARAN
PENDIDIK DI KABUPATEN JENEPONTO
Nuryanti Mustari
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: Implementasi Kebijakan Peningkatan rasio
pendidik dan pemerataan penyebaran pendidik di Kabupaten Jeneponto sebagai salah
satu program untuk meningkatkan kompetensi pendidik yang muaranya adalah
meningkatkan mutu pendidikan di Kabupaten Jeneponto. Sampel penelitian adalah
implementor kebijakan yaitu Dinas Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Jeneponto dan Objek Kebijakan yaitu guru-guru IPA, IPS dan Bahasa SMA se Kabupaten
Jeneponto yaitu 7 Sekolah Menengah Atas. Dan Informan dari institusi Dinas Pendidikan
yaitu Kepala Dinas pendidikan, Sekretaris Dinas pendidikan, Kepala Bidang Ketenagaan,
dan Kepala Bidang Kejuruan dan SLTA. Responden dipilih melalui teknik Proportional
Random Sampling. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan kuesioner,
dokumentasi, rekaman arsip, wawancara dan observasi langsung. Teknik analisas data
adalah teknik analisa siklus yang meliputi tahap-tahap reduksi data, penyajian data dan
penarikan kesimpulan.
Hasil Penelitian menunjukkan bahwa implementasi kebijakan peningkatan rasio
pendidik dan pemerataan penyebaran pendidik di Kabupaten Jeneponto belum berjalan
efektif sehingga masih banyak yang perlu dibenahi dan diperhatikan oleh Pemerintah.
Kata Kunci : Implementasi Kebijakan Peningkatan peningkatan rasio pendidik dan
pemerataan penyebaran pendidik.
PENDAHULUAN
Isu sentral yang berkembang di Indonesia
dewasa ini dalam bidang pendidikan adalah
masalah rendahnya mutu pendidikan. Kualitas
pendidikan di Indonesia dinilai masih rendah
bila dibandingkan dengan negara lain. Hal ini
dibuktikan dari fakta dalam beberapa tahun
terakhir tentang mutu pendidikan di
Indonesia yang sungguh memprihatinkan.
Menurut Engkoswara dalam seminar Nasional
Kualitas Pendidikan dalam membangun
kualitas bangsa (Desember, 2006) bahwa
Indonesia hanya menempati urutan 102 dari
107 negara di dunia dan urutan 41 dari 47
negara di Asia.
Fakta lain bahwa kualitas pendidikan kita
masih rendah, tertinggal dibanding negara
lain dilihat dari Laporan United National,
Scientific, and Cultural Organisation (UNESCO),
25
Vol.1 No.1 April 2011
November 2007 menyebutkan peringkat
Indonesia di bidang pendidikan turun dari
peringkat 58 ke peringkat 62. Selain itu,
rendahnya mutu pendidikan Indonesia juga
dapat dilihat dari rendahnya daya saing
Indonesia, yang menurut World Economic
Forum, 2007-2008 berada di level 54 dari 131
negara, jauh di bawah peringkat daya saing
sesama Negara Asean seperti Malaysia yang
berada di urutan ke-21 dan Singapura berada
pada urutan ke-7. Hal yang perlu diketahui
bahwa kualitas sumber daya manusia menjadi
salah satu faktor penyebab rendahnya daya
saing selain faktor birokrasi, lingkungan serta
perangkat dan penegakan hukum (Tangkilisan,
2008).
Rendahnya mutu pendidikan di Indonesia
dapat juga dilihat dari rendannya standar
kelulusan yang ditetapkan. Data Departemen
Pendidikan Nasional menunjukkan bahwa
pada tahun 2004/2005 standar kelulusan
Ujian Akhir Nasional (UAN) adalah 4,01.
Penetapan standard tersebut adalah tergolong
rendah, jauh dari standar kelulusan Malaysia
yang mematok angka 6,00, dan standard
kelulusan Singapura yang mematok angka
8,00. Ironisnya, pada Tahun 2004 dengan
standar kelulusan yang tergolong rendah
tersebut, pada pelaksanaan Ujian Akhir
Nasional (UAN) Tahun 2004, hasilnya sangat
mengagetkan semua pihak karena masih saja
ada sekolah yang jumlah siswanya tidak lulus
100% (Depdiknas). Dunia pendidikan dalam
hal ini Departemen Pendidikan Nasional
(Depdiknas) menuai protes baik dari
masyarakat maupun dari orang tua siswa.
Siswa yang tidak lulus diberikan kesempatan
untuk mengikuti ujian ulang. Hebatnya dengan
tanpa diberikan program pengayaan dan
remedial, hasil ujian tersebut nyaris tidak
terdengar ada yang tidak lulus.
Pada Tahun 2005/2006 dilaksanakan
Ujian Nasional (UN) yang merupakan
penerapan kurikulum berbasis kompetensi
(KBK) dengan standard kelulusan sedikit
dinaikkan menjadi 4,25, tetapi juga hasilnya
tidak jauh berbeda dengan UAN tahun 2004
yang juga menuai protes dari berbagai pihak
termasuk pengamat pendidikan dan politisi
di DPR yang menginginkan ditiadakannya
UAN (Marliana, 2007). Hal ini disebabkan
karena nasib siswa SMA ditentukan oleh
empat bidang studi yang diujikan, satu bidang
studi saja yang tidak mencapai standar
kelulusan walaupun ada bidang studi lain yang
nilainya melebihi standar dan dapat menutupi
kekurangan nilai dari bidang studi yang tidak
mencapai standard tersebut, tetap saja siswa
dinyatakan tidak lulus. Contoh kasus adalah
juara olympiade Fisika yang gagal Ujian
Nasional karena nilai Matematikanya hanya
4,00. Selain itu, banyak siswa SMA yang
mengikuti penerimaan mahasiswa baru di
perguruan tinggi negeri (PTN) melalui jalur
penelusuran minat dan kemampuan (PMDK)
yang diterima di salah satu PTN, tidak bisa
melanjutkan pendidikannnya.
Rendahnya mutu pendidikan adalah
persoalan bangsa yang sangat krusial, yang
membutuhkan perhatian semua pihak
khususnya pemerintah. Demikian pula yang
terjadi di Kabupaten Jeneponto Propinsi
Sulawesi Selatan.
Rendahnya mutu pendidikan di Kabupaten
Jeneponto, kususnya pada tingkat SLTA dapat
dilihat dari prosentase kelulusan dan niali rata-
rata Ujian Akhir Nasional yang merupakan
tonggak-tonggak keberhasilan sekolah dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan, serta
tingkat kelulusan pada perguruan tinggi negeri
yang merupakan barometer untuk mengukur
prestasi sekolah dalam memberikan pelayanan
minimal pendidikan.
Informasi yang dapat kita telah adalah
bahwa persentase kelulusan siswa Sekolah
Menengah Tingkat Atas Kabupaten Jeneponto
mengalami penurunan, kurun waktu 2006-
2008, sementara disisi lain juga
memperlihatkan persentase kelulusan yang
lebih tinggi dari persentase rata-rata kelulusan
Sekolah Menengah Atas (SMA) se-Sulawesi
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik
dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari26
Tabel 1.
Persentase Kelulusan Peserta Ujian Nasional Tingkat SLTA
Kabupaten Jeneponto 2006-2008
Sumber Data Sekunder Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel, 2009
Tahun JumlahPeserta
JumlahLulus
Presentase
LulusPresentase
Kelulusan Sulsel
Peringkat
Se Sulsel
2006
2007
2008
1503
1493
1497
1499
1472
1468
99,73%
98,59%
98,06%
96,80 %
94,37 %
96,74 %
3
4
9
Vol.1 No.1 April 2011
Selatan.
Persentase kelululusan siswa Sekolah
Menengah Atas Kabupaten Jeneponto
walaupun mengalami penurunan yang cukup
signifikan kurun waktu 2006-2008, tetapi
memperlihatkan prosentase rata-rata kelulusan
yang jauh diatas prosentase rata-rata kelulusan
Sekolah Menengah Atas tingkat Sulawesi
Selatan. Ironisnya, dengan prosentase kelulusan
siswa Sekolah Menengah Atas Kabupaten
Jeneponto yang tinggi ternyata berbanding
terbalik dengan capaian Nilai Ujian Akhir
Sekolah yang memperlihatkan penurunan
yang signifikan kurun waktu 2006-2008,
khususnya untuk jurusan IPA dan IPS. Padahal,
capaian Nilai Ujian Akhir Nasional merupakan
tonggak-tonggak keberhasilan sekolah dalam
upaya peningkatan mutu pendidikan.
Rendahnya atau menurunnya mutu pendidikan
di Kabupaten Jeneponto dapat dilihat dari
penurunan capaian nilai ujian akhir nasional.
Untuk lebih jelasnya, akan diuraikan dalam
Tabel 2 berikut:
Rendahnya mutu pendidikan di
Kabupaten Jeneponto khususnya pada tingkat
SLTA, dapat pula dilihat dari rendahnya
tingkat kelulusan siswa dalam seleksi Ujian
Masuk Perguruan Tinggi Negeri yang
merupakan barometer untuk mengukur
prestasi sekolah dalam memberikan
pelayanan minimal pendidikan. Pada Tahun
2006, dari 1499 jumlah lulusan Sekolah
Menegah Atas, sekitar 824 siswa tersebar
pada perguruan tinggi swasta. Pada Tahun
2007, jumlah siswa yang terdaftar pada
perguruan tinggi swasta tersebut sebanyak
1188, dan pada tahun 2008 meningkat
sebanyak 2.131 siswa (Dinas Pendidikan
Kabupaten Jeneponto, 2009). Untuk
mengetahui jumlah lulusan Sekolah Menengah
Tingkat Atas yang lulus selekasi Ujian Masuk
Perguruan Tinggi Negeri, dengan mengambil
sampel SMA 1 Binamu sebagai sekolah
unggulan, disajikan dalam Tabel 3 berikut:
Rendahnya mutu pendidikan di Kabupaten
Jeneponto juga dapat dilihat dari animo siswa
untuk melanjutkan pendidikan pada perguruan
tinggi khususnya perguruan tinggi negeri
sangat rendah, seperti terlihat pada tabel 3
tersebut di atas, dimana pada tahun 2003
sampai dengan tahun 2006 sangat sedikit
jumlah siswa yang melanjutkan pendidikan
pada perguruan tinggi negeri, hal ini
disebabkan kurangnya pemahaman mereka
tentang pentingnya pendidikan untuk investasi
masa depan, demikian menurut LY (wakil
kepala sekolah bidang kesiswaan SMA 1
Binamu Kabupaten Jeneponto). Jumlah siswa
yang melanjutkan pendidikan ke perguruan
tinggi negeri tidak sebanding atau bahkan
menunjukkan ketimpangan yang besar jika
dibandingkan dengan jumlah siswa SMA 1
Binamu Kabupaten Jeneponto yang lulus Ujian
Akhir Nasional dari Tahun 2002 sampai dengan
Tahun 2007 yang mencapai angka kelulusan
100 persen.
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidik
dan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari27
Tabel 2.
Capaian Nilai Ujian Akhir Nasional Tingkat SLTA
Kabupaten Jeneponto Tahun 2006-2008
2006
2007
2008
IPA
25,00
22,95
46,81
IPS
22,88
21,31
45,42
BHS
24,29
22,25
46,79
IPA
23,77
23,51
46,77
IPS
22,55
21,71
46,26
BHS
22,68
21,10
42,60
IPA
2
16
15
IPS
7
11
20
BHS
2
6
1
Tahun JurusanNilai Rata-Rata
UAN Tingkat SulselPerolehan
Peringkat Sulsel
Sumber Data Sekunder Dinas Pendidikan Provinsi Sulsel, 2009
Sumber Data Sekunder, SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto, 2009
Tabel 3.
Jumlah Siswa SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto
yang Lulus Seleksi Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri dan
PMDK Tahun 2002-2007
Tabel 4.
Jumlah Siswa SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto yang Lulus
Ujian Akhir Nasional Tahun 2002-2007
Sumber Data Sekunder, SMA 1 Binamu Kabupaten Jeneponto, 2009
Vol.1 No.1 April 2011
Tonggak-tonggak kunci keberhasilan
sekolah dari segi output yang termaktub dalam
standar nasional pendidikan, salah satu
itemnya adalah dengan melihat banyaknya
jumlah lulusan yang melanjutkan pendidikan
ke jenjang yang lebih tinggi, dalam hal ini
perguruan tinggi khususnya perguruan tinggi
negeri. Rendahnya animo masyarakat untuk
melanjutkan pendidikan juga merupakan salah
satu indikator rendahnya mutu pendidikan.
Kelompok Kerja Pengkajian, Perumusan
Filosofis kebijakan dan Strategi Pendidikan
Nasional (1999) bahwa rendahnya mutu
pendidikan di Indonesia selama ini
disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya
(1) tidak adanya relevansi pendidikan dengan
kebutuhan tenaga kerja, (2) tidak terjadinya
proses belajar dengan baik, disebabkan
kurang profesionalnya tenaga pengajar, (3)
kurang tersedianya sarana dan prasarana
yang memadai sebagai penunjang kegiatan-
kegiatan pembelajaran, (4) pelaksanaan
pendidikan selama ini bersifat sentralistik,
sehingga mematikan potensi-potensi yang
ada di daerah untuk mengembangkan
pendidikan yang akan dilaksanakan.
Walaupun guru dan pengajar bukan satu-
satunya faktor penentu keberhasilan
pendidikan tetapi pengajaran merupakan titik
sentral pendidikan dan kualifikasi atau
kompetensi sebagai cermin kualitas pendidik
memberikan andil yang sangat besar pada
kualitas pendidikan. Guru punya peran yang
sangat besar dalam menciptakan manusia–
manusia handal. Menurut Hamalik (2006: 19)
bahwa masalah pendidik dalam hal ini guru
adalah masalah yang penting. Penting oleh
sebab mutu pendidik turut menentukan mutu
pendidikan. Sedangkan mutu pendidikan
akan menentukan mutu generasi muda
sebagai generasi penerus bangsa. Michael G.
Fullan yang dikutip oleh Suyanto dan Hisyam
(2000) mengemukakan bahwa:
“Educational change depends on
what teachers do and think...”
Upaya peningkatan mutu pendidik
dilakukan oleh pemerintah dengan lahirnya
sebuah kebijakan yang tertuang dalam
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2006 tentang
RPJM Kabupaten Jeneponto Tahun 2006-2008.
Di dalam Perda tersebut tertuang uraian
kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan
mutu atau kompetensi pendidik yaitu di
antaranya adalah peningkatan rasio pendidik
dan tenaga kependidikan melalui pengangkatan,
dan pemerataan penyebaran pendidik dan
tenaga kependidikan. Tetapi dengan kebijakan
itu, penulis melihat tidak banyak membawa
perubahan pada kualitas pendidik di
Kabupaten Jeneponto.
Berdasarkan latar belakang dan gambaran
singkat mengenai keadaan tersebut
disimpulkan bahwa kebijakan peningkatan
kompetensi pendidik di Kabupaten Jeneponto
tidak membawa perubahan yang signifikan
terhadap kompetensi guru khususnya
kompetensi profesional yang berdampak pada
kemampuan akademik dan non akademik
siswa yang rendah. Kebijakan peningkatan
kompetensi pendidik yang tertuang dalam
Perda Nomor 4 Tahun 2006 tentang RPJM
Kabupaten Jeneponto berjalan sejak Tahun
2006, ternyata selama kurun waktu 2006-
2008 kualitas anak didik menujukkan
penurunan.
LANDASAN TEORI
A. Implementasi Kebijakan Publik
Implementasi kebijakan merupakan aspek
penting dari keseluruhan proses kebijakan.
Udoji (1981,32) dengan tegas mengatakan
bahwa the execution of policies is as important
if not more important than policy-making.
Policies will remain dreams or blue prints file
jackets unless they are implemented
(Pelaksanaan kebijakan adalah sesuatu yang
penting, bahkan jauh lebih penting daripada
pembuatan kebijakan. Kebijakan-kebijakan
akan sekedar berupa impian atau rencana
bagus yang tersimpan rapi dalam arsip kalau
tidak diimplementasikan. Dengan kata lain
pembuatan kebijakan tidak berakhir setelah
kebijakan ditentukan atau disetujui.
Implementasi Kebijakan merupakan
langkah lanjutan berdasarkan suatu kebijakan
formulasi. Definisi yang umum dipakai
menyangkut kebijakan implementasi adalah:
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
28
Vol.1 No.1 April 2011
(Wahab, 1997: 63) : “Implementasi adalah
tindakan-tindakan yang dilakukan baik oleh
individu-individu, pejabat-pejabat, atau
kelompok-kelompok pemerintah atau swasta
yang diarahkan pada tercapainya tujuan-
tujuan yang telah digariskan dalam keputusan
kebijakan.
Dunn (1981 ; 56) menyatakan bahwa akan
halnya implementasi kebijakan, lebih bersifat
kegiatan praktis, termasuk di dalamnya
mengeksekusi dan mengarahkan. Lebih lanjut
dikemukakan sebagai berikut : “Policy
implementation involves the execution and
steering of a laws of action overtime. Policy
implementation is essentially a practical
activity, as distinguished from policy
formulation, which is essentially theoretical’.
Sehubungan dengan sifat praktis yang ada
dalam proses implementasi kebijakan di atas,
maka hal yang wajar bahwa implementasi ini
berkaitan dengan proses politik dan
administrasi. Hal tersebut disebabkan karena
ia menyangkut tujuan dari diadakannya
kebijakan tersebut (policy goals). Dan jika
dliihat dari konteks implementasi kebijakan,
maka hal tersebut berkaitan dengan
kekuasaan (power), kepentingan dan strategi
para pelaku kebijakan, disamping karakteristik
lembaga dan rezim serta ijin pelaksanaan dan
respon terhadap kebijakan.
Konteks implementasi demikian baru akan
terlihat pengaruhnya setelah kebijakan
tersebut dilaksanakan. Hal itulah yang
menunjukkan bahwa proses pelaksanaan
kebijakan merupakan salah satu tahapan
penting dan momentum dalam proses
perumusan/pembuatan kebijakan selan-
jutnya, sebab berhasil atau tidaknya suatu
kebijakan dalam mencapai tujuannya
ditentukan dalam pelaksanaannya. Oleh
karena itu, rumusan kebijakan yang telah
dibuat tidak akan mempunyai arti apa-apa
atau hanya akan merupakan rangkaian kata-
kata indah dan baku yang tersimpan rapi
dalam sebuah dokumen kalau tidak
diimplementasikan. Berkaitan dengan hal itu,
dapat dikatakan bahwa salah satu tolok ukur
keberhasilan suatu strategi atau kebijakan
terletak pada proses implementasinya.
Melihat pentingnya fase ini, maka untuk
mencermati proses implementasi dari
kebijakan tersebut, terlebih dahulu harus kita
pahami beberapa konsep dari implementasi
itu sendiri. Menurut Salusu (2002),
implementasi adalah seperangkat kegiatan
yang dilakukan menyusul satu keputusan.
Suatu keputusan selalu dimaksudkan untuk
mencapai sasaran. Guna merealisasikan
pencapaian sasaran tersebut, diperlukan
serangkaian aktivitas. Jadi dapat dikatakan
bahwa implementasi adalah operasionalisasi
dari berbagai aktivitas guna mencapai sasaran
tertentu. Masih dalam Salusu (2002), Higgins
merumuskan implementasi sebagai
rangkuman dari berbagai kegiatan yang di
dalamnya sumberdaya manusia menggunakan
sumber daya lain untuk mencapai sasaran dan
strategi. Sehingga kegiatan implementasi ini,
menyentuh semua jajaran manajemen mulai
dari manajemen puncak sampai pada
karyawan lini paling bawah.
Pemahaman lebih lanjut tentang konsep
implementasi dapat pula dilihat dari apa yang
dikemukakan oleh Lineberry dalam Putra
(2003,81) dengan menguti pendapat Van
Meter dan Van Horn (1975) yang memberikan
pernyataan bahwa, Policy implementation
encompasses those actions by public and
private individuals (and groups) that are
directed at the achievement of goals and
objectives set forth in prior policy decisions.
Pernyataan ini memberikan makna bahwa
implementasi adalah tindakan-tindakan yang
dilaksanakan oleh individu-individu, dan
kelompok-kelompok pemerintah dan swasta
yang diarahkan pada pencapaian tujuan dan
sasaran yang menjadi prioritas dalam
keputusan kebijakan. Secara sederhana dapat
dikatakan bahwa implementasi meliputi
semua tindakan yang berlangsung antara
pernyataan kebijakan dan dampak aktualnya.
Pada bagian lain, mengenai pelaksanaan
kebijakan, Hoogerwerf (1983 ; 17)
mengemukakan sebagai berikut : “Bahwa
pelaksanaan kebijakan itu hampir selalu harus
disesuaikan lagi. Hal itu disebabkan karena
tujuan dirumuskan terlalu umum, sarana tidak
dapat diperoleh pada waktunya dan faktor
waktu dipilih terlalu optimis, semua ini
berdasarkan gambaran situasi yang kurang
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
29
Vol.1 No.1 April 2011
tepat. Dengan perkataan lain pelaksanaan
kebijakan didalam praktek sering menjadi
suatu proses yang berbelit-belit, yang
menjurus kepada permulaan baru dari pada
seluruh proses kebijakan atau menjadi buyar
sama sekali”.
Keberhasilan atau kegagalan suatu
implementasi kebijakan dapat dievaluasi dari
sudut kemampuannya secara nyata dalam
meneruskan dan mengoperasionalkan
program-program peningkatan kualitas
pendidik secara ideal yang telah dirancang
sebelumnya.
B. Kebijakan Pendidikan dan Kompetensi
Pendidik
1. Sekilas tentang Kebijakan Pendidikan
Di dalam Pembukaan UUD 1945
dinyatakan bahwa tujuan kita membentuk
negara kesatuan Republik Indonesia ialah
untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Bangsa yang cerdas adalah bangsa yang dapat
survive di dalam menghadapi berbagai
kesulitan. Kenyataannya adalah dewasa ini
bangsa Indonesia dilanda dan masih berada di
tengah-tengah krisis yang menyeluruh. Kita
dilanda oleh krisis politik, krisis ekonomi,
krisis hukum, krisis kebudayaan, dan tidak
dapat disangkal juga di dalam bidang
pendidikan.
Pendidikan tidak terlepas dari politik
sungguhpun pendidikan tidak dapat
menggantikan fungsi politik. Kenyataannya
ialah meskipun pendidikan tidak dapat
menggantikan politik, tetapi tanpa
pendidikan, tujuan-tujuan politik sulit untuk
dilaksanakan. Oleh karena itu fungsi dan pera-
nan pendidikan di dalam kehidupan suatu
bangsa tidak terlepas dari kehidupan politik
serta juga ekonomi, hukum dan kebudayaan
pada umumnya.
Di dalam masa krisis dewasa ini ada dua
hal yang menonjol menurut Tilaar (2000; 1)
yaitu: (1) bahwa pendidikan tidak terlepas
dari keseluruhan hidup manusia di dalam
segala aspeknya yaitu politik, ekonomi, hukum
dan kebudayaan, (2) krisis yang dialami oleh
bangsa Indonesia dewasa ini merupakan pula
refleksi dari krisis pendidikan nasional.
Pada masa pra Orde Baru, politik dijadikan
sebagai panglima. Segala kegiatan diarahkan
kepada berbagai usaha untuk mencapai tujuan
politik misalnya membangkitkan
nasionalisme, rasa persatuan bangsa,
penggalangan kekuatan bangsa di dalam
kehidupan perang dingin pada waktu itu.
Kecenderungan-kecenderungan dalam
kehidupan politik, ekonomu dan kebudayaan
pada waktu itu juga memasuki dunia
pendidikan. Praktis pendidikan diarahkan
kepada proses indoktrinasi. Dengan
sendirinya pendidikan tidak difungsikan
untuk meningkatkan taraf kehidupan rakyat.
Pendidikan tida dioroientasikan pada
kebutuhan pasar, tetapi pada kebutuhan
politik. Pendidikan diarahkan bukan kepada
peningkatan kualitas tetapi dijadikan sebagai
alat kekuasaan dalam mencapai tujuan politik.
Otoriterisme di dalam segala bentuknya mulai
memasuki kehidupan bermasyarakat
termasuk di dalam bidang pendidikan. Segala
sesuatu diarahkan kepada kemauan penguasa,
sehingga kebebasan berpikir, berpikir
alternatif, berpikir kritis semakin lama
semakin dikubur. Hasilnya ialah manusia-
manusia yang tidak mempunyai alternatif
yang telah disodorkan oleh penguasa.
Selanjutnya perkembangan pendidikan di
Indonesia dapat dilihat bahwa segera setelah
memperoleh kemerdekaannya, Indonesia telah
menyatakan niatnya untuk menciptakan
sistem pendidikan yang sesuai dengan
kebutuhan dan aspirasinya. Perubahan-
perubahan yang terjadi dalam bidang
pendidikan merupakan perubahan yang
mendasar, yaitu menyangkut penyesuaian
sistem pendidikan dengan kebutuhan dan
aspirasi bangsa yang merdeka. Pada mulanya,
penekanannya pada pemberian kesempatan
yang seluas-luasnya kepada semua warga
negara memperoleh pendidikan untuk
menghasilkan sebanyak-banyaknya orang
terdidik (Tilaar, 2000). Sekalipun tidak
dimaksudkan mengabaikan mutu, tetapi dalam
proses perkembangannya dari tahun ke tahun,
tampaknya kebijakan perluasan kesempatan
untuk memperoleh pendidikan kurang
menguntungkan mutu pendidikan.
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
30
Vol.1 No.1 April 2011
Dari satu sisi, jumlah orang terdidik
semakin meningkat, tetapi di sisi lain mutunya
kurang memuaskan. Kita dihadapkan pada
masalah rendahnya mutu pendidikan. Pada
Tahun 1969, diadakan seminar identifikasi
masalah pendidikan, dan menemukan lima
masalah sebagai faktor kelemahan dalam
pendidikan kita selama ini antara lain : (1)
pertambahan penduduk yang demikian
besarnya, (2) ketidakcocokan hasil sekolah
dengan kebutuhan masyarakat, (3) sedikitnya
biaya yang dapat disediakan oleh negara-
negara yang sedang berkembang, (4) tidak
adanya efisiensi kerja dan (5) kurang jelasnya
arah pendidikan (Sahabuddin, 1997,42). Hasil
identifikasi masalah pendidikan ini dijadikan
landasan pelaksanaan pembaharuan
pendidikan yang dimulai sejak tahun 1970.
Usaha pembaharuan pendidikan yang
berorientasi sekolah mengarah kepada
pembaharuan kurikulum dan metode mengajar
untuk mengembangkan kemampuan rasional.
Anak didik diharapkan dapat berpikir,
berkomunikasi serta bertiindak secara logis,
analitis-sintetis, kritis dan kreatif. (Sahabuddin,
1997,43). Untuk mencapai tujuan tersebut,
dikembangkan pendekatan yang memberi
kesempatan kepada siswa-siswa untuk belajar
aktif menurut minat dan kemampuan yang
disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA).
Dalam perkembangan selanjutnya
DEPDIKBUD mengembangkan kebijakan link
and match dalam konteks strategi dasar
pendidikan nasional. Link secara harifiah
berarti ada pertautan, keterkaitan, atau
hubungan interaktif. Dan match berarti
kesesuaian. Link berarti hasil pendidikan
selayak-nya sesuai dengan apa yang
dibutuhkan oleh dunia kerja dari segi jumlah,
mutu, jenis, kualifikasi dan waktunya. Match
berarti sesuai dengan pihak lain, penguatan
atau penekanan terhadap link.
Memasuki era reformasi, dengan pengalaman-
pengalaman masa lalu yang telah membentuk
masyarakat dan budaya Indonesia yang kini
mengalami krisis, maka tujuan nasional
pendidikan diarahkan kepada tercapainya
masyarakat Indonesia baru, yaitu masyarakat
madani. Masyarakat madani adalah bentuk
yang ideal dari suatu masyarakat demokratis
dan berkedaulatan rakyat. Lahirnya UU No 32
Tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi
UU No 32 Tahun 2004 tentang otonomi daerah
dan UU No. 25 Tahun 1999 mengenai
perimbangan keuangan pemerintah pusat dan
daerah, merupakan konsekuensi dari
keinginan era reformasi untuk menghidupkan
kehidupan demokrasi (Tilaar, 2000, 12).
Dengan terbitnya Udang-Undang Otonomi
Daerah, maka dimulailah salah satu rentetan
proses demokratisasi di dalam kehidupan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Salah satu
pelaksanaan dari Undang-Undang Otonomi
Daerah adalah dalam bidang pendidikan.
Penyelenggaraan pendidikan menjadi tugas
dan wewenang daerah. Desentralisasi
penyelenggaraan pendidikan di daerah
memberikan implikasi langsung di dalam
penyusunan dan penentuan kurikulum yang
selama orde baru sangat sentralistis. Comunity
based education serta school based education
management merupakan perwujudan nyata
dari demokratisasi dan desentralisasi
pendidikan.
Di dalam kaitan ini pendidikan yang kita
inginkan adalah pendidikan pemberdayaan
yaitu yang bertujuan memberdayakan setiap
anggota masyarakat untuk dapat berprestasi
setinggi-tingginya sesuai dengan kemampuan
yang telah dikembangkan di dalam dirinya
sendiri. Kemudian pada tahun 2004-2005
diterapkan Kurikulum Berbasis Kompetensi
(KBK). Kemudian pada Tahun 2006 sampai
sekarang diterapkan Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan. Perubahan-perubahan
kurikulum tersebut dilakukan sebagai salah
satu upaya untuk meningkatkan mutu
pendidikan.
Jika diperhatikan apa yang telah
dikemukakan, tampak bahwa dalam
perkembangan pendidikan di Indonesia telah
banyak upaya yang ditempuh untuk
meningkatkan mutu pendidikan. Demikian
halnya di Kabupaten Jeneponto, Upaya untuk
meningkatkan mutu pendidikan terlihat dari
lahirnya kebijakan Pemerintah Daerah yang
tertuang dalam Peraturan Daerah No. 4 Tahun
2006 tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah tahun 2006-2008. Di Dalam
kebijakan tersebut termaktub program
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
31
Vol.1 No.1 April 2011
peningkatan kompetensi pendidik yang
terdiri dari : (1) Peningkatan rasio pendidik
dan tenaga kependidikan melalui pengangkatan,
dan pemerataan penyebaran pendidik dan
tenaga kependidikan, (2) Peningkatan kualitas
pendidik dan tenaga kependidikan melalui
Diklat dan (3) Pemberian penghargaan sesuai
dengan tugas dan prestasi pendidik dan tenaga
kependidikan.
Kebijakan tersebutlah yang akan diteliti
bagaimana implementasinya di Kabupaten
Jeneponto. Karena yang dilihat adalah
kompetensi pendidik, maka selanjutnya akan
dijelaskan sekilas tentang kompetensi.
2. Kompetensi Profesional Pendidik
Konsep Kompetensi sebagaimana yang di-
kutip Siswanto (2003) dijelaskan bahwa
konsep kompetensi yang terkait dengan
pekerjaan, pertama kali diangkat oleh David C.
McClelland pada tahun 1973, ia
mempublikasikan paper berjudul Testing for
Competence rather than Intellegence” yang
mengemukakan latar belakang dan konsep
kompetensi dalam psikologi modern. Dalam
paper tersebut, ia melakukan kajian dan
metaanalisa berbagai penelitian sebelumnya,
dan menyimpulkan bahwa pengukuran potensi
intelegensi dan pengetahuan akademik
dianggap kurang akurat untuk memprediksi
prestasi kerja maupun keberhasilan dalam
kehidupan sosial di masyarakat.
Disamping itu dikemukakan pula bahwa
hasil psikotes dan nilai prestasi akademik yang
diperoleh dari bangku sekolah dan perguruan
tinggi seringkali diskriminatif terhadap
gender, kelompok minoritas, ataupun menurut
strata sosioekonomi. Hal ini memicu
penelitian-penelitian babak baru untuk
mencari metode-metode yang lebih baik untuk
mengidentifikasikan kemampuan profesional
dan kemampuan individu di tempat kerja,
yang kemudian disebut sebagai kemampuan
atau kompetensi.
Pengertian kompetensi dapat dijelaskan
secara sederhana sebagai kemampuan
manusia yang ditemukan dari praktek dunia
nyata dapat digunakan untuk membedakan
antara mereka yang sukses (superior) dengan
yang biasa-biasa saja di tempat kerja.
Kompetensi seseorang dapat ditunjukkan
dengan hasil kerja atau karya, pengetahuan,
keterampilan, perilaku, karakter, sikap,
motivasi, dan/atau bakatnya.
Spencer and Spencer (1993: 9)
mendefenisikan kompetensi “an underlying
characteristic of individual that is causally
related to criterion-referenced effective and/or
superior performance in a job or situation”.
Sebagai karakteristik individu yang melekat
kompetensi merupakan bagian dari
kepribadian individu yang relatif dalam dan
stabil, dan dapat dilihat serta diukur dari
perilaku individu yang bersangkutan, di
tempat kerja atau dalam berbagai situasi.
Untuk itu kompetensi seseorang
mengindikasikan kemampuan berperilaku
seseorang dalam berbagai situasi yang cukup
konsisten untuk suatu perioda waktu yang
cukup panjang, dan bukan hal yang kebetulan
sesaat semata. Kompetensi memiliki
persyaratan yang dapat digunakan untuk
menduga yang secara empiris terbukti
merupakan penyebab suatu keberhasilan.
Sebagai karakteristik individu yang
melekat, kompetensi nampak pada cara
berperilaku di tempat kerja seseorang.
Spencer (1993: 9-23) mengemukakan
kompetensi dapat bersumber dari lima jenis
sumber kompetensi yang berbeda yaitu:
(1)Motif. Sesuatu yang secara konsisten
menjadi dorongan, pikiran atau keinginan
seseorang yang menyebabkan munculnya
suatu tindakan. Motif akan mengarahkan dan
menyeleksi sikap menjadi tindakan atau
mewujudkan tujuan sehingga berbeda dari
yang lain.
(2)Karakter (trait) dan unsur bawaan. Ka-
rakter dan bawaan seseorang dapat
mempengaruhi prestasi di tempat kerja.
Karakter dan unsur bawaan ini dapat berupa
bawaan fisik (seperti postur atletis,
penglihatan yang baik), maupun bawaan sifat
yang lebih kompleks yang dimiliki seseorang
sebagai karakter, seperti kemampuan
mengendalikan emosi, perhatian terhadap hal
yang sangat detail dan sebagainya.
(3)Pengetahuan (knowledge). Pengetahuan
mencerminkan informasi yang dimiliki
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
32
Vol.1 No.1 April 2011
seseorang pada area disiplin yang tertentu
yang spesifik. Nilai akademis atau indeks
prestasi akademis seringkali kurang
bermanfaat untuk memprediksi performansi
di tempat kerja, karena sulitnya mengukur
kebutuhan pengetahuan dan keahlian yang
secara nyata digunakan dalam pekerjaan.
Pengetahuan dapat memprediksikan apa yang
mampu dilakukan seseorang, bukan apa yang
akan dilakukan. Hal ini disebabkan
pengukuran tes pengetahuan lebih banyak
menghafal, jika yang dipentingkan adalah
kemampuan untuk mencari informasi. Ingatan
mengenai fakta spesifik, tidak lebih penting
daripada pengetahuan mengenai fakta yang
relevan, terhadap masalah spesifik dan
pengetahuan tentang sumber informasi
dimana mencarinya ketika diperlukan. Tes
pengetahuan juga sangat tergantung situasi
responden. Tes tersebut mengukur
kemampuan memilih alternatif pilihan, yang
merupakan respon yang benar, dan bukan
untuk mengukur apakah seseorang dapat
bereaksi sesuai dengan pengetahuan
dasarnya. Mengetahui sesuatu yang benar
tidaklah selalu menjamin akan melakukan
sesuatu yang benar.
(4)Keterampilan. Kemampuan untuk
melakukan aktivitas fisik dan mental.
Kompetensi keterampilan mental atau kognitif
meliputi pemikiran analitis (memproses
pengetahuan atau data, menentukan sebab
dan pengaruh, mengorganisasi data dan
rencana) serta pemikiran konseptual
(pengenalan pola data yang kompleks).
Dari penjelasan diatas, dapat dipahami
bahwa apa yang dilakukan seseorang di
tempat kerja, hasil kerja apa yang diperoleh
seseorang, dan tingkat prestasi kerja apa yang
dicapai seseorang dapat bersumber dari
karakteristik individu, yang dipengaruhi oleh
salah satu atau kombinasi dari lima tipe
sumber kompotensi yang berbeda. Dengan
kata lain, pendekatan kompetensi ini meyakini
bahwa perilaku efektif seseorang di tempat
kerja atau pada suatu situasi tertentu
merupakan cerminan kompotensi seseorang.
Jika manusia merupakan sumber daya yang
nyata, maka sumber daya yang dapat
diberikannya adalah berupa keterampilan,
pengetahuan, motivasi, dan kemampuan
membuat keputusan. Proses identifikasi dan
penilaiannya sangat komplek dan sulit
sehingga hanya dapat diukur dari kinerja,
pengalaman dan kualifikasi mereka.
Kompetensi pada dasarnya merupakan
gambaran tentang apa yang seyogyanya dapat
dilakukan (be able to do) seseorang dalam
suatu pekerjaan, berupa kegiatan, perilaku dan
hasil yang seyogyanya dapat ditampilkan atau
ditunjukkan. Agar dapat melakukan (be able
to do) sesuatu dalam pekerjaannya, tentu saja
seseorang harus memiliki kemampuan
(ablity) dalam bentuk pengetahuan
(knowledge), sikap (attitude) dan kete-
rampilan (skill) yang sesuai dengan bidang
pekerjaannya. Kompetensi guru dapat
dimaknai sebagai gambaran tentang apa yang
seyogyanya dapat dilakukan seorang guru
dalam melaksanakan pekerjaannya, baik
berupa kegiatan, berperilaku maupun hasil
yang dapat ditunjukkan.
Dalam perspektif kebijakan pendidikan
nasional, pemerintah telah merumuskan
empat jenis kompetensi guru sebagaimana
tercantum dalam Penjelasan Peraturan
Pemerintah Nomor 14 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan, yaitu :
kompetensi pedagogik, Kompetensi kepri-
badian, Kompetensi sosial, dan kompetensi
profesional merupakan kemampuan
penguasaan materi pembelajaran secara luas
dan mendalam.
Indikator tentang kompetensi professional
guru yang disampaikan oleh Hamalik (2002)
mengandung makna bahwa guru yang
memiliki kompetensi professional adalah guru
yang mampu menciptakan lingkungan belajar
yang efektif, menyenangkan dan akan lebih
mampu mengelola kelasnya sehingga siswa
akan belajar secara optimal. Untuk itu
sehubungan dengan peranan guru sebagai
pendidik dan pengajar diperlukan
keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan
untuk kelancaran proses belajar mengajar
antara lain:
(1) keterampilan membuka pelajaran
pelajaran, (2) keterampilan menjelaskan atau
menyampaikan materi pelajaran, (3)
keterampilan member penguatan, (4)
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
33
Vol.1 No.1 April 2011
keterampilan menggunakan media
pembelajaran, (5) keterampilan membimbing
diskusi kelompok kecil, (6) keterampilan
menutup pelajaran. Dalam penelitian ini yang
digunakan hanya 4 indikator yaitu (1)
keterampilan membuka pelajaran, (2)
keterampilan menyampaikan materi
pelajaran, (3) keterampilan menggunakan
media pembelajaran dan (4) kete-rampilan
menutup pelajaran. (Hamalik,2002).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Pada kebijakan ini, peningkatan rasio
pendidik dimaksudkan untuk menutupi
kekurangan guru dengan melakukan
rekruitment atau pengangkatan pendidik.
Kemudian Pemerataan penyebaran pendidik
dimaksudkan untuk meminimalkan atau
mengeliminir kesenjangan antara sekolah
unggulan dengan sekolah-sekolah yang tidak
diunggulkan, atau antara sekolah yang berada
di kota maupun sekolah yang ada di
Kecamatan. Kegiatan yang dapat dilakukan
untuk maksud tersebut adalah mutasi.
a. Kebijakan Rekrutmen Pendidik.
Di dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 74 Tahun 2008 tentang guru
dikatakan bahwa rasio minimal jumlah peserta
didik terhadap guru untuk SMA atau yang
sederajat adalah 20: 1. Kemudian selanjutnya
pada Bab IV Pasal 52 Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 74 tahun 2008
tentang guru mengatur jumlah beban kerja
guru paling sedikit 24 jam tatap muka dalam
satu minggu pada satu atau lebih satuan
pendidikan yang memiliki izin pendirian dari
Pemerintah atau Pemerintah Daerah.
Sehingga jumlah kekurangan dan
kelebihan guru dapat diketahui dengan
terlebih dahulu mengetahui jumlah
rombongan belajar dan jumlah jam, dengan
tetap mengacu kepada aturan bahwa jumlah
maksimal siswa per rombongan belajar adalah
40 (empat puluh siswa), kemudian jumlah jam
wajib mengajar bagi guru adalah 24 (dua
puluh empat) jam per minggu, dan jumlah jam
pelajaran per kelas setiap minggu adalah
antara 38 sampai dengan 42 jam.
Selain itu menurut ND bahwa: Secara
kongrit jumlah kekurangan dan kelebihan guru
di setiap sekolah dapat diketahui dengan
mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor
74 Tahun 2008 tentang guru Bab IV Pasal 52.
Berikut akan diuraikan secara singkat
mengetahui jumlah kekurangan dan kelebihan
guru pada SMA 1 Tamalatea sebagai sampel.
SMA 1 Tamalatea Kabupaten Jeneponto
mempunyai 7 kelas X, 3 kelas XI IPA, 1 kelas XI
Bahasa, dan 2 kelas XI IPS, demikian pula untuk
kelas XII terdiri dari XII IPA sebanyak 3 kelas,
XII Bahasa sebanyak 1 kelas, dan XII IPS
sebanyak 3 kelas.
Sehingga jumlah rombongan belajar
secara keseluruhan adalah 20 rombel. Untuk
Mata Pelajaran Sosiologi jumlah kelasnya 12
kelas/rombongan belajar, dan jumlah jam
mengajar 36 jam per minggu, sehingga
diketahui bahwa jumlah guru yang dibutuhkan
adalah 2 orang guru sosiologi berdasarkan
aturan bahwa setiap guru wajib memenuhi 24
jam mengajar perminggu, sehingga 36 jam
dibagi dengan 24 jam sama dengan 2 orang.
Sementara di SMA 1 Tamalatea tidak
mempunyai guru mata pelajaran sosiologi
sehingga dikatakanlah bahwa SMA 1
Tamalatea Kekuarangan 2 orang guru
sosiologi. (wawancara Oktober 2009).
Berdasarkan hal tersebutlah sehingga
diketahui bahwa jumlah kekurangan guru di
Kabupaten Jeneponto kurun waktu 2006-
2008 adalah 84 orang guru, disisi lain juga
berkelebihan 20 guru. Untuk menutupi
kekurangan guru maka kegiatan yang
dilakukan adalah meningkatkan rasio
pendidik agar memenuhi standar dengan
melakukan rekrutment atau pengangkatan
pendidik.
Sebagaimana yang diatur dalam Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 74
Tahun 2008 tentang Guru, Bab VI pasal 59
ayat 3 menyatakan bahwa dalam hal terjadi
kokosongan guru, pemerintah atau
pemerintah daerah wajib menyediakan guru
pengganti untuk menjamin keberlanjutan
proses pembelajaran pada satuan pendidikan
yang bersangkutan. Sehingga atas dasar
tersebut, diadakanlah pengangkatan.
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
34
Vol.1 No.1 April 2011
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
35
Tabel 5.
Jumlah Kekurangan dan Rekrutment Guru di Sekolah SMAN
Kabupaten Jeneponto Kurun Waktu 2006-2008
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto
Berdasarkan Tabel 5 tersebut di atas,
dapat diketahui bahwa pengangkatan dan
penempatan guru dari Tahun 2006 sampai
dengan Tahun 2008 sejumlah 20 orang yang
tersebar pada 7 sekolah SMA di Kabupaten
Jeneponto. Jumlah ini sangat sedikit jika
dibandingkan dengan jumlah kekurangan
guru yang harus dipenuhi sebanyak 84 orang.
Padahal dalam standar pelayanan minimal
pendidikan ditetapkan bahwa sekolah
dikatakan memenuhi standar jumlah pendidik
jika telah memenuhi minimal 90 persen dari
kebutuhan tenaga guru dan tenaga
kependidikan lainnya. Dari Tabel 5 tersebut
di atas juga dapat dilihat bahwa guru-guru
yang direkrut tidak sesuai dengan kebutuhan
baik jumlah maupun kualifikasi mata
pelajaran.
Di SMA 1 Tamalatea misalnya, perekrutan
yang dilakukan tidak sesuai dengan
kebutuhan, dimana kekurangan 7 guru mata
pelajaran justru yang direkrut adalah Bahasa
Ingris dan Sejarah yang sebenarnya sudah
surplus guru untuk mata pelajaran tersebut.
Demikian juga di SMA 1 Bangkala yang
kekurangan 1 orang guru mata pelajaran
Ekonomi, tetapi yang direkrut tidak sesuai
dengan yang dbutuhkan yaitu 3 orang guru
mata pelajaran antara lain: PPKN, Bahasa
Daerah dan Bahasa Indonesia.
Di sekolah lainnya, walaupun sudah sesuai
dengan kebutuhan tetapi masih ada kebutuhan
guru yang tidak direkrut. Misalnya di SMA 2
Binamu yang kekurangan 15 guru mata
pelajaran, dan yang direkrut adalah guru mata
pelajaran Ekonomi, sesuai dengan kebutuhan
tetapi masih ada kebutuhan guru mata
pelajaran yang tidak direkrut sebanyak 14
orang guru.
Demikian halnya di SMA 1 Bangkala Barat
yang kekurangan 10 guru mata pelajaran,
namun yang direkrut hanya 4 orang guru mata
pelajaran. Meskipun yang direkrut sudah
sesuai dengan kebutuhan tetapi masih ada
kebutuhan guru mata pelajaran yang tidak
direkrut sebanyak 6 orang.
Pada Tabel 5 tersebut di atas juga
memperlihatkan bahwa terdapat sekolah yang
perekrutannya tidak sesuai dengan jumlah
yang dan kualifikasi guru mata pelajaran yang
Vol.1 No.1 April 2011
dibutuhkan. Hal ini terjadi pada SMA 1 Batang
yang kekurangan 16 guru mata pelajaran,
tetapi justru yang direkrut adalah guru mata
pelajaran Kimia yang sebenarnya sudah terisi.
Berdasarkan informasi yang disajikan pada
Tabel 8 tersebut dapat dicermati bahwa
perekrutan guru yang dilakukan masih
semrawut sehingga jumlah guru yang direkrut
tidak menutupi jumlah kekurangan guru dan
yang memprihatinkan adalah terjadinya
surplus guru pada satu sekolah karena yang
direkrut tidak sesuai dengan kebutuhan.
Berkaitan dengan hal tersebut, kami
konfirmasikan pada kepala bidang ketenagaan
Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto, dan
beliau mengemukakan bahwa; Jumlah guru
yang diangkat tidak sesuai dengan yang
dibutuhkan karena data tentang daftar keadaan
guru setiap sekolah belum akurat.selain itu
formasi dari BKN (Badan Kepegawaian Negara)
terbatas sehingga pengangkatan guru yang
dilaksanakan bertahap. (HK, wawancara Maret
2010).
Dari hasil wawancara tersebut dapat
diketahui bahwa untuk memenuhi prinsip
sangkil mangkus dalam perekrutan guru,
keakuratan data tentang kebutuhan guru di
setiap sekolah khususnya sekolah SMA di
Kabupaten Jeneponto sangat dibutuhkan,
karena formasi pengangkatan guru dari Badan
Kepegawaian Negara (BKN) terbatas.
Berdasarkan Tabel 6 tersebut di atas,
bahwa secara umum responden yaitu 53 orang
atau sekitar 58,4 % yang mengatakan bahwa
pemerintah masih belum serius dalam
mengimplementasikan kebijakan peningkatan
kompetensi pendidik di Kabupaten Jeneponto,
melalui upaya pengangkatan dan penyebaran
guru di sekolah-sekolah SMA se Kabupaten
Jeneponto.
Pendapat tersebut didasarkan pada
kenyataan bahwa belum terjadi pemerataan
pendidik antar sekolah sehingga yang terjadi
banyak sekolah-sekolah yang kekurangan
guru, sementara disisi lain sekolah juga
mempunyai kelebihan guru mata pelajaran
yang diakibatkan karena pengangkatan guru
tidak didasarkan pada prinsip proporsional
dan profesional.
Responden yang mengatakan serius
berjumlah 37 orang atau sekitar 41,62 persen
dengan pertimbangan bahwa hampir setiap
tahun kurun waktu 2006-2008 diadakan seleksi
penerimaan guru untuk menutupi kekurangan
guru, hanya faktor anggaran yang terbatas yang
menjadi kendala terimplementasinya
kebiijakan tersebut secara efektif. Hal ini
sesuai dengan yang dikemukakan oleh Kepala
Bidang Ketenagaan dalam wawancara kami
bahwa;
Dalam setiap meeting dengan Bupati,
beliau selalu menyampaikan pentingnya
menata kembali penempatan guru. Distribusi
guru yang sembrawut menjadi salah satu
indikator penghalang peningkatan mutu
pendidikan. Sehingga pengangkatan guru
dilakukan untuk mencukupi kebutuhan guru.
Hal ini telah dilakukan kurun waktu 2006-
2008, hanya saja masih mengalami kendala
setelah pengangkatan dan penempatan
dilakukan, tidak berapa lama kemudian guru
tersebut dengan berbagai alasan misalnya jauh
dari tempat tinggal, akhirnya meminta pindah.
Keadaan seperti ini bermuara pada terjadinya
ketimpangan jumlah guru di satu sekolah
dengan sekolah lain. Padaha apabila tertata
dengan baik guru tidak lagi menumpuk di
sekolah-sekolah tertentu dan terletak di dalam
kota, tetapi sudah bisa merata ke seluruh
pelosok. (HK,Wawancara Agustus,2009).
Hal berbeda dikemukakan oleh dengan
Koordinator Pengawas SMA Kabupaten
Jeneponto dalam wawancara penulis berkaitan
dengan pengangkatan dan penyebaran guru di
Kabupaten Jeneponto yang menganggap masih
kurang serius;
Berkaitan dengan peningkatan rasio
pendidik melalui pengangkatan dan
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
36
Tabel 6.
Tanggapan Responden terhadap Upaya Melaksanakan
Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik melalui Upaya
Perekrutan dan Penyebaran Guru di Kabupaten Jeneponto
Sumber: Hasil Olahan Kuesioner, 2009
Vol.1 No.1 April 2011
penyebaran guru di Jeneponto, selama ini belum
proporsional, hal yang perlu dilakukan adalah
menata pemerataan guru terlebih dahulu
sehingga tersebar secara merata disemua
sekolah-sekolah SMA, sebaiknya mereposisi dulu
kemudian merekrut guru sesuai dengan
kebutuhan. (DT, Wawancara, Juli, 2009).
Pernyataan dari sebagian besar kepala
sekolah SMA Kabupaten Jeneponto, setelah
kami konfirmasikan kepada Kepala Dinas
Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Jeneponto juga mengakui bahwa masih
adanya masalah kekurangan guru dan belum
meratanya distribusi guru ke di setiap sekolah,
berikut petikan wawancara kami:
Salah satu kendala yang kami alami
sekarang ini adalah soal pemerataan guru,
beberapa sekolah masih kekurangan guru mata
pelajaran yang mengajar sesuai kompetensinya.
Dalam beberapa kali penerimaan CPNS, guru-
guru yang diangkat kemudian ditempatkan
sesuai dengan SK justru jauh dari harapan.
Kerena faktor kedekatan emosional sehingga
mudah meminta pindah ke sekolah lain, yang
dianggap strategi. (Wawancara, Agustus,2009).
Wawancara tersebut memberikan gambaran
bahwa pemerintah sepertinya masih kesulitan
memenuhi atau mengimplementasikan
kebijakan ini, juga menimbulkan suatu asumsi
bahwa kebijakan peningkatan kompetensi
pendidik belum menjadi masalah prioritas.
Upaya pengangkatan dan penyebaran pendidik
belum proporsional karena tidak didasarkan
pada pertimbangan kebutuhan sekolah
sehingga masih terjadi krisis guru sekaligus
surplus guru yang terjadi di semua sekolah.
Terdapat kemungkinan ada unsur kekerabatan
sehingga ditempatkan pada sekolah yang
strategis tetapi perlu diteliti lebih jauh.
Kendala lain yang dihadapi berkaitan
dengan perekrutan pendidik di Kabupaten
Jeneponto adalah tempat domisili atau letak
tempat tinggal dengan sekolah (seperti yang
dikemukakan oleh Kepala Bidang Ketenagaan
Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto
dalam wawancara kami sebelumnya, halaman
150). Ada kecenderungan bahwa pendidik di
Kabupaten Jeneponto yang ditempatkan
disekolah yang jauh dari tempat tinggal
mereka akan meminta pindah. Sebagaimana
yang dikemukakan oleh AN (Agustus, 2009)
bahwa:
Guru-guru akan meminta pindah
mengajar jika letak sekolah tempatnya
mengajar jauh dari tempat tinggalnya,
sehingga diharapkan kedepan pemerintah
memperhatikan kedekatan jarak geografis
sekolah dengan tempat tinggal guru-guru
sehingga hal-hal yang tidak diinginkan bisa
dihindari, karena biasanya belum setahun
ditugaskan di sekolah bersangkutan, mereka
sudah meminta pindah dan yang
memprihatinkan adalah mereka datang dan
pergi tanpa sepengetahuan Kepala Sekolah,
secara tiba-tiba saja SK penempatan di
sekolah baru sudah ada tanpa ada informasi
awal dan sepengetahuan Kepala sekolah
sebelumnya. Di sekolah kami SMA 1 Turatea
yang hanya memiliki 9 orang guru tetap,
karena terdapat 3 orang guru tetap yang
pindah mengajar masing-masing ke SMA
khusus dan SMA 1 Binamu sehingga jumlah
kekurangan guru di sekolah kami meningkat.
Hasil wawancara tersebut menggambarkan
bahwa kebijakan penyebaran dan pemerataan
pendidik dengan memperhatikan letak
geografis tempat tinggal dengan tempat
mengajar belum dilaksanakan secara
maksimal, padahal menurut Saydam (1996:
99) penting untuk menjamin lingkungan kerja
yang mendukung, karena dengan lingkungan
pekerjaan yang nyaman membuat pegawai
bekerja tenang, bersemangat dan bergairah
dalam melaksanakan pekerjaan. Sebagaimana
tanggapan US bahwa:
Pendidik yang bekerja pada sekolah yang
jauh dari tempat tinggalnya akan merasa tidak
nyaman, sehingga semangat kerjanya
menurun. Hal ini pula yang menyebabkan
sering terlambat mengajar. (Wawancara
Agustus 2009).
Masalah lain berkaitan dengan belum
optimalnya upaya perekrutan guru, dari
olahan data sekunder dapat diketahui bahwa
pada pengangkatan guru SMA Tahun 2006
ditemukan data guru yang mengajarkan dua
mata pelajaran dan ironisnya adalah
mengajarkan mata pelajaran yang berbeda
dengan kualifikasi dan kompetensinya. Setelah
hal ini kami konfrontasikan dengan Kepala
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
37
Vol.1 No.1 April 2011
Sekolah SMA 1 Tamalatea Kabupaten
Jeneponto, beliau mengemukakan bahwa;
Untuk keberlangsungan Proses Belajar
Mengajar, agar kelas tidak kosong akibat
belum terpenuhinya kuota guru yang
dibutuhkan, maka selain mengandalkan guru
tidak tetap (GTT) , juga kami membebani
kepada guru yang dianggap bisa meskipun
tidak sesuai dengan basic ilmu yang
dimilikinya. (Wawancara, BM, Agustus, 2009).
Dari beberapa fenomena yang telah
dijelaskan maka dapat disimpulkan bahwa
bahwa pengangkatan guru tidak berakibat
pada terwujudanya kebijakan peningkatan
rasio pendidik pada sekolah SMA Kabupaten
Jeneponto secara optimal. Perekrutan yang
dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan baik
dari kuantitasanya (proporsional) maupun
kualifikasi guru mata pelajaran yang
dibutuhkan (profesional). Perlu diketahui
bahwa kebijakan pengangkatan dan
pemerataan penyebaran pendidik merupakan
salah satu faktor yang berpengaruh terhadap
peningkatan kompetensi pendidik di
Kabupaten Jeneponto. Hal ini didasarkan pada
pertimbangan bahwa apabila penataan guru
dilakukan secara proporsional, maka tidak ada
lagi sekolah yang mengalami surplus dan krisis
guru, sehingga proses belajar mengajar akan
berlangsung secara efektif dan secara tidak
langsung berakibat pada meningkatnya
kompetensi guru sesuai dengan tuntutan
perkembangan Ilmu pengetahuan dan
perkembangan masyarakat.
Sekolah yang mengalami surplus guru
mata pelajaran, terdapat kecenderungan
bahwa guru mata pelajaran akan sulit
memenuhi beban kerja kerja wajib per
minggu yaitu 24 jam yang juga merupakan
salah satu upaya meningkatkan kompetensi
profesional guru. Selanjutnya, kegiatan yang
dilakukan dalam rangka mengimplementasikan
kebijakan penyebaran pendidik adalah mutasi.
Berikut diuraikan bagaimana pelaksanaan
mutasi pendidik SMA di Kabupaten
Jeneponto. Mutasi dilaksanakan dalam upaya
pemerataan penyebaran guru, agar tidak
terjadi disparitas yang menonjol antara satu
sekolah dengan sekolah yang lain.
b. Kebijakan Mutasi Pendidik
Mutasi dilaksanakan dalam upaya
pemerataan penyebaran guru antara sekolah-
sekolah yang berada di kota maupun sekolah
yang ada di kecamatan, serta antara sekolah
yang surplus pendidiknya dengan sekolah
yang krisis pendidik.
Berdasarkan Tabel 7 tersebut di atas,
diketahui bahwa pemerataan guru masih
belum terbenahi dengan baik yang disebabkan
karena guru-guru yang direkrut tidak sesuai
dengan kebutuhan, kemudian tidak
ditempatkan pada sekolah yang kekurangan
sehingga mengakibatkan setiap sekolah
disamping kekurangan guru juga sekaligus
kelebihan guru mata pelajaran. Sebagai
penguatan atas indikasi tersebut dari laporan
bulanan sekolah SMA di Kabupaten Jeneponto
diketahui bahwa :
SMA 1 Binamu kekurangan 16 guru yang
dapat dirinci menurut mata pelajaran (lihat
Tabel 7), padahal disisi lain, SMA 1 Binamu
kelebihan 4 guru untuk Mata Pelajaran Sejarah
yang kelebihan 1 orang guru, Mata Pelajaran
Fisika kelebihan 2 orang guru, dan Mata
Pelajaran Geografi kelebihan 1 orang guru.
Sekolah SMA 2 Binamu kekurangan 15 Guru
yang dapat dirinci menurut Mata pelajaran
(lihat Tabel 7), sementara disisi lain kelebihan
2 guru Mata Pelajaran Bahasa Indonesia.
Sekolah SMA 1 Tamalatea kekurangan 7 orang
guru untuk Mata Pelajaran (lihat Tabel 7) disisi
lain, SMA 1 Tamalatea kelebihan 9 orang guru
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
38
Tabel 7.
Distribusi Jumlah kekurangan dan Kelebihan Guru Mata
Pelajaran Tingkat SMA di Kabupaten Jeneponto
Sumber: Dinas Pendidikan Kabupaten Jeneponto
Vol.1 No.1 April 2011
yang dapat dirinci untuk Mata Pelajaran
Agama kelebihan 3 orang guru, dan untuk Mata
Pelajaran Geografi, Biologi, Bahasa Ingris,
Sejarah, PPKN, dan Kimia masing-masing
kelebihan 1 orang guru. Ironisnya, terdapat
penempatan 2 guru bidang studi Bahasa Ingris
di SMA 1 Tamalatea padahal sudah kelebihan
1 guru Bahasa Inggris.
Demikian halnya di SMA 1 Bangkala
kekurangan 1 guru Mata Pelajaran Ekonomi
dan kelebihan 2 guru masing-masing untuk
mata pelajaran Bahasa Ingris dan Biologi.
Sedangkan di SMA 1 Bangkala Barat
kekurangan 10 guru mata pelajaran (lihat
Tabel 7), disisi lain SMA 1 Bangkala Barat
kelebihan 1 orang guru mata pelajaran Bahasa
Jerman. Penempatan 3 orang guru mata
pelajaran, masing-masing Bahasa Indonesia,
PPKN dan Bahasa Daerah dianggap tidak
proporsional karena SMA 1 Bangkala hanya
kekurangan 1 guru ekonomi.
Keadaan guru SMA 1 Batang juga
kekurangan 16 guru mata pelajaran (lihat
rinciannya pada Tabel 7). Disisi lain SMA 1
Batang hanya kelebihan 1 guru untuk mata
pelajaran Penjas. Pada pengangkatan Guru
kurun waktu 2006 sampai 2008 hanya 1
orang guru yaitu mata pelajaran kimia yang
ditempatkan di SMA 1 Batangi sehingga
sekolah ini masih mengalami kekurangan guru
yang signifikan. Terakhir, pada SMA 1 Kelara
yang kekurangan 19 guru (lihat rincian pada
Tabel 7) . Pengangkatan guru tidak menutupi
jumlah kekurangan guru di sekolah tersebut,
karena pada Tahun 2007 dan 2008 hanya ada
4 orang guru yang ditempatkan pada SMA 1
Kelara.
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk
menata penyebaran pendidik agar dapat
terdistribusi secara proporsional adalah
dengan melakukan mutasi. Tetapi Kenyataan
yang peneliti temukan di lapangan, pada tahun
2006 dan 2007 mutasi tidak dilaksanakan. Hal
ini sesuai pula dengan yang dikemukakan oleh
informan bahwa;
Pada tahun 2006 dan 2007 tidak ada
mutasi untuk guru-guru, yang sering dilakukan
adalah mutasi kepala sekolah. Nanti pada
tahun 2008 baru ada mutasi guru. (NL,
wawancara, Agustus 2009)
Dari hasil wawancara tersebut diketahui
bahwa mutasi guru hanya dilakukan pada
Tahun 2008. Dari data primer diketahui
bahwa guru-guru tersebut dimutasikan ke
sekolah SMAN LB khusus Kabupaten
Jeneponto, sesuai dengan Keputusan Bupati
Jeneponto Nomor 821.25-09 tanggal 15-07-
2008 sebanyak 7 orang guru mata pelajaran
dan semuanya ditempatkan di SMAN LB
khusus Kabupaten Jeneponto. Dari fenomena
ini dapat dicermati bahwa tujuan
dilaksanakannya mutasi yaitu agar tidak
terjadi ketimpangan antara sekolah-sekolah
yang diunggulkan dengan sekolah yang tidak
diunggulkan belum terpenuhi secara optimal.
Kemudian setelah peneliti mengkonfirmasikan
hal ini pada kepala sekolah tempat mengabdi
sebelumnya, beliau mengatakan bahwa:
Guru-guru terbaik kami dipindahkan ke
sekolah SMAN LB Khusus Kabupaten Jeneponto
sehingga jumlah kekurangan guru di sekolah
kami bertambah. Seharusnya setelah dimutasi,
pemerintah mengangkat guru pengganti untuk
mata pelajaran yang lowong (AN, wawancara
Agustus, 2009).
Hasil wawancara tersebut memberikan
gambaran bahwa guru mata pelajaran yang
lowong karena adanya mutasi belum diisi
sehingga jumlah kekurangan guru semakin
bertambah. Menurut Sutarto (1995) bahwa
apapun alasan terjadi lowongan dalam suatu
organisasi, yang jelas ialah bahwa lowongan itu
harus diisi, bahkan tidak mustahil ada
lowongan yang harus diisi dengan segera, salah
satu teknik pengisiannya adalah rekruitmen.
Berdasarkan fenomena ini dapat
dicermati bahwa pelaksanaan mutasi sebagai
upaya mengimplementasikan kebijakan
penyebaran pendidik tidak serta merta
menutupi jumlah kekurangan guru SMA di
Kabupaten Jeneponto dan pemerataan
pendidik antara satu sekolah dengan sekolah
lainnya. Hal ini juga sesuai dengan tanggapan
responden ketika diminta pendapatnya atau
penilaiannya tentang upaya perekrutan dan
mutasi guru di Kabupaten Jeneponto seperti
yang telah disinggung pada Tabel 9, bahwa
mereka juga sebagian besar 58,4% yang
menganggap kurang serius atau tidak serius
upaya mutasi guru di Kabupaten Jeneponto.
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
39
Vol.1 No.1 April 2011
Menanggapi masalah pemerataan guru, H.
Darwis Tanar selaku Koordinator Pengawas
mengungkapkan bahwa:
Ketidakseimbangan penempatan para
guru khususnya guru mata pelajaran memang
sudah sangat memperihatinkan. Di tingkat
SLTA Kabupaten Jeneponto masih terdapat
banyak kekurangan guru mata pelajaran
khususnya di sekolah-sekolah yang jauh dari
kota seperti SMA 1 Bangkala Barat yang
kekurangan 10 guru dan SMA 1 Batang yang
kekurangan 16 Guru. Sementara disisi lain
semua sekolah mengalami kelebihan guru dan
yang paling signifikan kelebihannya adalah
pada SMA 1 Tamalatea sebanyak 9 orang.
Kurang efektifnya proses belajar mengajar
yang disebabkan karena masih banyaknya
mata pelajaran yang lowong gurunya, maka
agar proses belajar mengajar tetap
berlangsung, disiasati dengan memberikan
tanggung jawab kepada guru tertentu yang
dianggap bisa meskipun berbeda dengan
kompetensi dan kualifikasinya. Seharusnya
agar terjadi pemerataan diadakan mutasi
yang tepat, dengan menata dan mendata
kembali keadaan guru disetiap sekolah,
kemudian memutasikan guru dari sekolah
yang surplus gurunya kepada sekolah yang
kurang atau sekolah yang membutuhkan.
Setelah itu barulah dilaksanakan perekrutan
untuk memenuhi kebutuhan guru setiap
sekolah. (wawancara, Juli 2009)
Berdasarkan wawancara tersebut,
ketimpangan yang terjadi akibat penyebaran
guru yang tidak merata di seluruh sekolah SMA
di Kabupaten Jeneponto sehingga masih
terdapat surplus guru di satu sekolah
sementara sekolah lain mengalami krisis guru
mata pelajaran. Hal ini dapat dilihat pada SMA
1 Binamu yang kelebihan guru mata pelajaran
fisika 2 orang, sementara di sisi lain SMA 2
Binamu dan SMA 1 Batang masing-masing
kekurangan 1 orang guru mata pelajaran
Fisika.
Demikian pula yang terjadi di SMA 1
Tamalatea yang kelebihan guru mata pelajaran
Geografi, Biologi, Bahasa Ingris, Sejarah, PPKN
dan Kimia masing-masing 1 orang, sementara
disisi lain SMA 2 Binamu kekurangan guru
Georafi dan Kimia masing-masing 1 orang,
SMA 1 Binamu kekurangan guru mata
pelajaran Biologi dan Kimia masing-masing 1
orang, dan SMA 1 Batang kekurangan guru
Bahasa Ingris dan Sejarah masing-masing 1
orang.
Dari penjelasan beberapa fenomena yang
disebutkan di atas, dapat disimpulkan bahwa
mutasi yang dilakukan tidak berakibat pada
terpenuhinya kebutuhan guru serta
pemerataan penyebaran guru di seluruh
sekolah SMA di Kabupaten Jeneponto. Padahal
Pemerataan Penyebaran pendidik dalam hal
ini guru sangat penting dilakukan untuk
memacu dan meningkatkan prestasi
pendidikan secara bersamaan antara sekolah-
sekolah yang ada di kota maupun yang berada
di kecamatan. Selain itu, jika terdapat
kecenderungan guru mengajarkan mata
pelajaran yang berbeda dengan
kompetensinya maka guru akan sulit
meningkatkan kompetensi profesionalnya.
(AN, wawancara Agustus 2009).
KESIMPULAN DAN SARAN
Implementasi kebijakan peningkatan
kompe-tensi pendidik yang tertuang dalam
Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2006
tentang Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Tahun 2006-2008 yang memuat
diantaranya peningkatan rasio pendidik
melalui pengangkatan dan penyebaran
pendidik belum dilaksanakan secara
proporsional dan professional sehingga masih
saja terjadi kirisis sekaligus surplus guru mata
pelajaran di sekolah SMA di Kabupaten
Jeneponto.
Hal ini disebabkan perekrutan yang
dilakukan tidak sesuai dengan kebutuhan guru
di setiap sekolah SMA di Kabupaten
Jeneponto. Selain itu dari data sekunder
diperoleh informasi bahwa terdapat guru yang
mengajarkan dua mata pelajaran berbeda yang
tidak sesuai dengan kompetensi keilmuannya.
Sehingga diharapkan Agar Pemerintah Daerah
Kabupaten Jeneponto dalam hal ini Dinas
Pendidikan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten
Jeneponto secara komprehensif
mengimplementasikan kebijakan peningkatan
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
40
Vol.1 No.1 April 2011
kompetensi pendidik melalui perekrutan,
penempatan dan penyebaran tenaga pendidik
secara proporsional dan profesional sesuai
dengan kebutuhan sekolah sehingga keadaan
surplus dan krisis guru yang terjadi secara
simultan pada sekolah SMA di Kabupaten
Jeneponto dapat diminimalkan.
DAFTAR PUSTAKA
Danim. 2002. Inovasi Pendidikan: Dalam
Upaya Meningkatkan Profesionalisme
Tenaga Kependidikan, ‘Bandung:
Pustaka Setia.
Depdikbud, 1999. Filosofi, Kebijakan dan
Strategi Pendidikan Nasional. Jakarta:
Depdikbud.
Dunn, William N. 1981. Public Policy Analysis:
An Introduction. New Jersey:
Englewood Cliffs.
Islamy, Irfan M. Prinsip-Prinsip Perumusan
Kebijakan Negara. Jakarta: Bumi
Aksara, 1997.
Jones, Charles O. 1996. Pengantar Kebijakan
Publik. Diterjemahkan oleh Ricky
Ismanto. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Putra, Fadillah. 2003. Paradigma Kritis Dalam
Studi Kebijakan Publik. Surabaya:
Pustaka Pelajar, 2003.
Salusu, J. 2000. Pengambilan Keputusan
Stratejik, (Cet. Ketiga).. Jakarta:
Grasindo.
Spencer, M., Lyle and Spencer, M. Signe. 1992.
Competence at Work: Models for
Superrior Performance. New York USA:
John Wiley & Son, Inc.
Tangkilisan, Wim, 2008, Mutu Pendidikan Kita,
(Online). (www.Koran Indonesia)
Diakses 12 Desember 2009.
Tilaar, 2000. Paradigma Baru Pendidikan
Nasional. Jakarta: PT. Rineka Cipta.
Udoji, Chief J.O. 1981. The African Public Srvant
As a Public Policy in Africa. Addis
Abeba: African Association for Public
Administration and Management.
Wahab, Solichin Abdul. 1997. Analisis
Kebijaksanaan. Jakarta: Bumi Aksara.
Implementasi Kebijakan Peningkatan Kompetensi Pendidik Melalui Peningkatan Rasio Pendidikdan Pemerataan Penyebaran Pendidik Di Kabupaten Jeneponto - Nuryanti Mustari
40
*******
Vol.1 No.1 April 2011
PENDAHULUAN
Perjalanan sistem desentralisasi di
Indonesia jika dirunut sepanjang sejarah
perjalanan bangsa ini cukup panjang dan
berliku. Perubahan politik di tahun 1990-an
menjadi arus balik perjalanan bangsa Indonesia
yang membawa beberapa dampak positif.
Perubahan tersebut di antaranya mengubah
tata hubungan antara Pemerintah Pusat dan
Daerah ke arah yang lebih demokratis dengan
memperbesar porsi desentralisasi. Dengan
perubahan sistem pemerintahan tersebut,
otomatis berbagai pranata pendukung sistem
yang selama ini bersifat sentralistik juga
mengalami perubahan.
Sistem pemerintahan desentralisasi
sebenarnya telah digagas oleh para pendiri
negara ini dengan menempatkan satu pasal
dalam UUD 1945 (pasal 18). Implementasi
IMPLEMENTASI KEBIJAKAN TATA KELOLA
PEMERINTAHAN DAERAH DENGAN SEMANGAT
EFOURIA DEMOKRASI LOKAL
Jaelan Usman
ABSTRAK
Perjalan reformasi kurang lebih 13 tahun pasca pemerintahan rezim Orde Baru
32 tahun; menimbulkan beberapa pertanyaan kritis yang harus dijawab dalam
konteks “Tata Kelola Pemerintahan Daerah, dengan semangat Efouria
Demokrasi Lokal”. Beberapa pertanyaan kritis dimaksud, timbul dari praktek
desentralisasi dan otonomi daerah, antara lain: Sejauh mana desentralisasi dan
otonomi daerah mendorong tumbuhnya demokrasi lokal yang kokoh dan beradab?
Bagaimana nasib perkembangan demokrasi lokal pasca Pemilihan Umum Legislatif
dan Pemilihan Presiden 2009? Desentralisasi, secara teoretis, merupakan upaya
untuk membawa negara lebih dekat dengan masyarakat lokal serta mendorong
tumbuhnya tata pemerintahan lokal yang lebih demokratis. Dengan kata lain, tanpa
diikuti dengan demokrasi lokal, desentralisasi dan otonomi daerah tidak lebih hanya
memindahkan sentralisasi dan korupsi dari pusat ke daerah. Tata pemerintahan
lokal yang demokratis, mengedepankan prinsip pemerintahan “dari” masyarakat,
dikelola secara akuntabel dan transparan “oleh” masyarakat dan dimanfaatkan
secara responsive “untuk” kepentingan masyarakat luas.
Kata Kunci : Tata Kelola Pemerintahan Daerah, Efouria Demokrasi Lokal.
41Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman
Vol.1 No.1 April 2011
pasal tersebut selalu menimbulkan persoalan
sejak tahun-tahun awal kemerdekaan.
Pergulatan mencari makna kebangsaan yang
dipandang sebagai identitas sekunder, selalu
menghadapi persoalan identitas primer
berupa kuatnya solidaritas etnik, agama, adat
dan bahasa serta tradisi lokal. Faktor-faktor
ini pula yang menyebabkan timbulnya
pemberontakan kedaerahan selain faktor
ketidakadilan dalam pembagian sumberdaya
ekonomi antara Pusat dan Daerah (Maryanov,
1958; Harvey, 1983).
Sejak tahun 1945 itu pula, Pemerintah
Pusat memandang pluralitas secara ambivalen.
Di satu sisi mempromosikan Bhinneka Tunggal
Ika sebagai semboyan resmi negara, di sisi lain
menerapkan kebijakan sentralisasi karena
kebhinekaan dilihat sebagai ancaman
disintegrasi. Selama masa kepemimpinan
Soekarno berlangsung 16 kali pergantian
kabinet. Yang menarik dari proses tersebut
adalah program-program kabinet yang
menempatkan “desentralisasi”, “otonomi
daerah” atau “memperbaiki hubungan Pusat-
Daerah” sebagai prioritas. Meskipun usaha
tersebut mengalami kegagalan, tetapi
menunjukkan betapa penting dan mendesak
mewujudkan hubungan Pusat-Daerah yang
seimbang dan proporsional. Perpaduan antara
tuntutan Daerah dan kehendak Pusat inilah
yang terus menerus dicari. Oleh sebab itu
sepanjang kepemimpinannya berlangsung 4
kali perubahan undang-undang pemerintahan
daerah.
Di bawah undang-undang no. 1/1945
dilakukan pembentukan daerah-daerah
otonom yang masih terbatas di Jawa.
Jangkauan undang-undang ini sangat terbatas,
mengingat sebagai negara baru masih
mencari-cari bentuk, termasuk susunan
pemerintahan daerah yang pluralistik sebagai
warisan penjajahan. Belanda menerapkan dua
sistem yang berbeda, yaitu indirect rule untuk
Jawa dan direct rule untuk luar Jawa. Dampak
kedua sistem ini cukup besar dalam susunan
pemerintahan lokal. Jika di Jawa otoritas
tradisional dalam batas-batas tertentu masih
kuat, maka di luar jawa kesatuan sosial dalam
bentuk suku, wilayah, kepulauan saling
memotong (cross cutting). Gejala ini di satu sisi
menumbuhkan kuatnya identitas primer
(primordialisme) di sisi lain berlangsung
besaran (magnitude) oleh proses ekonomi
kapitalistik yang mengintegrasikan ekonomi
luar jawa secara langsung dengan pasar
internasional.
Undang-undang No. 22/1948 memberi
ruang gerak daerah yang lebih luas dibanding
sebelumnya. Guna menghidupkan
pemerintahan lokal dan kesatuan sosial,
dibentuk daerah tingkat III yang satuannya
dapat berupa desa atau satuan yang setingkat.
Akibatnya kontrol Pusat terhadap Daerah
berkurang tajam. Tidak mengherankan di
bawah undang-undang tersebut berlangsung
berbagai pemberontakan daerah (DI, TII,
PERMESTA, RMS), selain pemberontakan PKI
di Madiun. Guna mencegah menguatnya
daerahisme, provinsialisme dan memperkuat
kontrol Pusat, dikeluarkan undang-undang No.
1/1957. Di bawah undang-undang baru ini
kandungan keseimbangan antara.
Pusat dan Daerah lebih mengemuka.
Meski-pun bukan produk DPR hasil pemilu
1955 secara penuh, hubungan Pusat-Daerah
lebih demokratis. Tetapi kemacetan-
kemacetan segera terjadi, yang penyebab
utamanya adalah pembagian hasil hutan,
pertambangan dan perkebunan yang lebih
berpihak ke Pusat.
Romantisme agama turut mempengaruhi
ketegangan Pusat-Daerah, sehingga undang-
undang tersebut tidak dapat
diimplementasikan secara optimal. Selain itu
konflik ideologi partai dan politisasi massa
untuk keperluan partai-partai, menguras
energi dan tidak terdapat kesempatan untuk
mengoptimalkan undang-undang tersebut.
Ketegangan antar partai, khususnya antara
PKI dan kekuatan oponennya, melahirkan
undang-undang No. 18/1965. Aturan ini tidak
banyak mewarnai hubungan Pusat-Daerah,
sebab kekacauan segera terjadi. Di bawah
kepemimpinan Soeharto, sentralisasi
setengah hatinya Soekarno dikonkritkan.
Soeharto tanpa ragu-ragu melihat
keanekaragaman budaya, geopolitik
kepulauan dan kemajemukan ideologi sebagai
ancaman persatuan dan kesatuan bangsa.
Integrasi nasional dalam visi Soeharto harus
42Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman
Vol.1 No.1 April 2011
dimulai dari integrasi wilayah (keutuhan
wilayah) dan merasuk ke integrasi bangsa
(Soeharto, 1989). Dalam visi demikian,
perbedaan ideologi tidak dapat ditoleransi.
Itulah sebabnya mengapa kepemimpinan
Soeharto anti partai, anti kemajemukan
ideologi dan menyatukan ideologi dalam asas
tunggal.
Kekhawatiran akan lahirnya daerahisme
dan provinsialisme, dipertegas dengan
membatasi masa jabatan kepala daerah dan
mekanisme pemilihan. Kepala Daerah tidak
sepenuhnya dipilih oleh Dewan. Secara formal
mekanismenya adalah perpaduan antara
kehendak Daerah (mengusulkan tiga nama)
dan kehendak Pusat (menentukan/memilih
satu dari tiga yang diusulkan Dewan). Tetapi
secara substantif, Kepala Daerah adalah orang
Pusat yang ditempatkan di daerah. Selain
didesain untuk mengendalikan Daerah,
undang-undang No. 5/1974 tidak memberi
ruang gerak yang memadai bagi tokoh-tokoh
Daerah untuk membangun kekuatan dengan
identitas Daerah.
Pembunuhan massal yang berlangsung
pertengahan tahun 1960-an, merupakan
kendala struktural bagi kekuatan masyarakat
termasuk kekuatan-kekuatan di Daerah untuk
melakukan tawar menawar dengan Pusat.
Menguatnya sentralisasi di awal
kepemimpinan Soeharto sesungguhnya
memiliki argumen empirik yang kuat, seperti
konflik ideologi global, geopolitik Indonesia
yang berbentuk kepulauan dan pluralitas
kultural. Latar belakang sebagai seorang
militer yang sebelumnya terlibat secara aktif
dalam memadamkan pemberontakan daerah
dan sebagai orang Jawa yang tidak menempuh
pendidikan tinggi, tidak memiliki referensi
lain selain kebudayaan jawa. Dalam konsep
kebudayaan jawa, kekuasaan itu utuh dan
konkrit (Anderson, 1985), sehingga
menerapkan desentralisasi berarti
mengurangi kekuasaan pemimpin Pusat.
Pertimbangan empiris lainnya adalah
kebutuhan akan kemajuan ekonomi yang
mendesak. Syarat untuk itu adalah stabilitas
sosial politik yang dimaknai sebagai
terwujudnya keamanan dan ketertiban
masyarakat. Berdasarkan pertimbangan-
pertimbangan tersebut, dilakukan penataan
struktur politik di awal tahun 1970-an.
LANDASAN TEORITIS
Landasan teoritis tentang hubungan Pusat
de-ngan Daerah, penataan tersebut
mengkristal pada pembentukan sistem
pemerintahan daerah yang tanggap terhadap
komando Pusat (Mas’oed, 1989). Jenjang
pemerintahan didesain bertingkat dengan
kepemimpinan berlatar belakang militer
untuk memastikan dipatuhinya perintah
Jenderal berbintang empat kepada jenderal
berbintang dua di provinsi dan kepada para
kolonel di kabupaten atau kota. Serentak
dengan itu, birokrasi digunakan sebagai
kekuatan utama perencana dan pelaksana.
Pilihan itu untuk menjamin rantai komando
dari Jakarta ke pelosok tanah air, mengingat
hanya birokrasi kekuatan yang tersebar ke
pelosok tanah air. Namun, setelah
pembangunan menunjukkan bukti-bukti
konkrit seperti meningkatnya usia harapan
hidup dari 44 tahun (1965) menjadi 59 tahun
(1995), meningkatnya angka partisipasi
sekolah dasar yang mencapai 100 persen sejak
tahun 1993, meningkatnya pendapatan
perkapita masyarakat dari negara miskin
(1965) ke negara berpendapatan menengah
(1995) dan menurunnya angka kemiskinan
dari 45 persen penduduk Indonesia (1965)
menjadi 13,5 persen (1995), ternyata format
hubungan Pusat dengan Daerah tidak
mengalami perubahan. Padahal dalam teori
pembangunan, perubahan-perubahan yang
mengarah ke semakin meningkatnya
kesejahteraan masyarakat, diperlukan ruang
yang lebih terbuka untuk memberi wadah
partisipasi masyarakat (Huntington, 1968).
Kegagalan membangun institusi yang mampu
memberi tempat partisipasi masyarakat, akan
menghancurkan hasil-hasil pembangunan
yang telah dicapai. Ruang dan institusi yang
dimaksud adalah partisipasi, transparansi,
keadilan dan kompetisi (demokratisasi).
Secara politik, desentralisasi merupakan
langkah menuju demokratisasi. Dengan
desentralisasi, pemerintah lebih dekat dengan
rakyat, sehingga kehadiran pemerintah lebih
43Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman
Vol.1 No.1 April 2011
dirasakan oleh rakyat dan keterlibatan rakyat
dalam perencanaan, pelaksanaan dan
pengawasan pembangunan dan pemerintahan
semakin nyata. Secara sosial, desentralisasi
akan mendorong masyarakat ke arah
swakelola dengan memfungsikan pranata
sosial yang merupakan social capital dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan yang
mereka hadapi. Dengan pranata yang telah
internalized, mekanisme penyelesaian mereka
pandang lebih efektif, efisien dan adil.
Sedangkan secara ekonomi, desentralisasi
diyakini dapat mencegah eksploitasi Pusat
terhadap daerah, menumbuhkan inovasi
masyarakat dan mendorong motivasi
masyarakat untuk lebih produktif.
Secara administratif akan mampu
meningkatkan kemampuan daerah dalam
melakukan perencanaan, pengorganisasian,
meningkatkan akuntabilitas atau pertanggung
jawaban publik. Baik Undang-Undang No. 22/
1999 maupun amandemennya UU No. 32/
2004 tentang Perintahan Daerah menganut
pemikiran seperti itu. Bahwa peningkatan
kualitas kehidupan masyarakat, kualitas
pelayanan pemerintah dan optimalisasi peran
serta masyarakat dalam pembangunan,
merupakan trimatra yang mendasari lahirnya
UU No. 22/1999 dan amandemennya yaitu UU
No. 32/2004.
Gagasan pemerintah sebagai fasilitator
dalam pembangunan masyarakat, masih jauh
dari harapan, jika memperhatikan kinerja
birokrasi selama beberapa tahun terakhir.
Selain format ideal bagi keberadaan birokrasi
di berbagai level pemerintahan belum
menemukan bentuknya, tarik menarik antara
pemerintah daerah propinsi dengan
kabupaten dan dengan Pusat, masih mewarnai
penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia.
Selain itu, kecenderungan semua level
pemerintahan untuk menjalankan semua
fungsi pelayanan juga masih dominan,
sehingga kecenderungan masyarakat sebagai
obyek penerima pelayanan juga masih
menonjol. Intervensi pemerintah di masa
yang lalu telah menimbulkan masalah
rendahnya kapabilitas dan efektivitas
pemerintah daerah dalam mendorong proses
pembangunan dan demokrasi. Arahan dan
statutory requirement yang terlalu besar dari
Pemerintah Pusat menyebabkan inisiatif dan
prakarsa daerah cenderung mati, sehingga
pemerintah daerah seringkali menjadikan
pemenuhan peraturan sebagai tujuan, dan
bukan sebagai alat untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat (Mardiasmo,
2002).
Besarnya arahan dari Pusat itu didasarkan
atas pertimbangan menjamin stabilitas
nasional dan kondisi sumberdaya manusia di
daerah. Hal ini dapat dipahami, sebab konteks
sosial dan politik dirumuskannya UU No. 5/
1974 adalah penegakan stabilitas nasional dan
pemberantasan kemiskinan serta
keterbelakangan masyarakat.
Tetapi dalam jangka panjang, sentralisasi
seperti itu telah menimbulkan rendahnya
akuntabilitas, memperlambat pembangunan
infrastruktur sosial, rendahnya tingkat
pengembalian proyek-proyek publik, serta
memperlambat pengembangan kelembagaan
sosial ekonomi di daerah (Bastin dan Smoke,
1992). Apalagi sejak tahun 1990-an
berlangsung new game di fora internasional
di mana negara tidak akan mampu lagi sebagai
pemain tunggal dalam menghadapi hyper
competitive. Pemerintah akan terlalu besar
untuk menyelesaikan masalah kecil dan terlalu
kecil untuk dapat menyelesaikan masalah yang
dihadapi oleh masyarakat.
Secara tegas dapat dikatakan bahwa,
desentralisasi tidak semata-mata untuk
membentuk pemerintahan daerah yang
menjalankan kekuasaan dan menghasilkan
kebijakan, tetapi yang lebih penting adalah
untuk membangkitkan kompetensi warga
terhadap urusannya sendiri, komunitas dan
pemerintah lokal. Dengan demikian, secara
akademik banyak pelajaran dan argumen yang
kuat bahwa desentralisasi menumbuhkan
modal sosial dan tradisi kewargaan di tingkat
lokal. Partisipasi demokratis warga telah
membiakkan komitmen warga yang luas
maupun hubungan-hubungan horizontal:
kepercayaan (trust), toleransi, kerja-sama, dan
solidaritas yang membentuk apa yang disebut
komunitas sipil (civic community). Indikator-
indikator civic engagement solidaritas sosial
dan partisipasi massal yang merentang luas
Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 44
Vol.1 No.1 April 2011
pada gilirannya berkorelasi tinggi dengan
kinerja pembangunan ekonomi dan kualitas
kehidupan demokrasi.
Pada dasarnya, desentralisasi bertujuan
membangun partisipasi masyarakat dan
mengundang keterlibatan publik seluas-
luasnya dalam proses perencanaan,
implementasi dan evaluasi pembangunan yang
dijalankan. Untuk itu, desentralisasi
memberikan ruang yang lebih luas kepada
daerah untuk secara demokratis mengatur
pemerintahannya sendiri sebagai manifestasi
dari cita-cita sistem desentralisasi. Tetapi,
pelaksanaan sistem ini mendapatkan
tantangan yang cukup besar. Kendala-kendala
tersebut diantaranya adalah (1) mindset atau
mentalitas aparat birokrasi yang belum
berubah; (2) hubungan antara institusi pusat
dengan daerah; (3) sumber daya manusia yang
terbatas; (4) pertarungan kepentingan yang
berorientasi pada perebutan kekuasaan,
penguasaan aset dan adanya semacam gejala
powershift syndrom yang menghinggapi
aparat pemerintah; dan (5) keinginan
pemerintah untuk menjadikan desa sebagai
unit politik di samping unit sosial budaya
dimana desa memiliki tatanan sosial budaya
yang otonom.
Pada kenyataannya, mindset atau
mentalitas menjadi kendala yang cukup besar
bagi pelaksanaan tata pemerintahan yang baru
ini. Selama kurang lebih 5 tahun pelaksanaan
otonomi daerah (2000-2005), timbul
berbagai persoalan yang disebabkan karena
pola pikir dan mentalitas yang belum berubah.
Di masa lalu, sistem sentralistik mengebiri
inisiatif lokal dan menempatkan pemerintah
pusat sebagai penguasa yang memiliki
wewenang sangat besar atas berbagai bentuk
kebijakan pembangunan. Keseragaman dan
kepatuhan daerah terhadap pusat menjadi
kata kunci sekaligus sebagai mainstream dan
ideologi pembangunan yang dijalankan.
Karenanya, pada masa itu kritik menjadi
sesuatu yang tabu dan jika terlontar akan
sangat mudah untuk dijerat secara hukum
sebagai tindakan subversi atau anti
pemerintah.
Setidaknya selama 32 tahun rezim orde
baru proses ini berlangsung secara terus-
menerus sehingga tidak mengherankan jika
mentalitas birokrasi pada akhirnya mengikuti
pola tersebut. Konflik menjadi sesuatu yang
tabu dan keberagaman dipandang sebagai
ancaman dan sumber disintegrasi bangsa.
Pola pemerintahan yang diterapkan dalam
struktur kekuasaan dikenal sebagai
pemerintahan yang harmoni tanpa gejolak
dengan mengembangkan ideologi ‘Triple S’
yaitu; Serasi, Selaras dan Seimbang.
Pada akhirnya terbentuklah subordinasi
hubungan antara pemerintah pusat–daerah
dengan kekuasaan sepenuhnya berada di
pemerintah pusat. Subordinasi yang
berlangsung lama menjadi penyebab
ketergantungan daerah sangat tinggi. Maka,
pada saat terjadi perubahan sistem yang
sentralistik menjadi desentralisasi, daerah
kurang memiliki kesiapan terutama dalam hal
mengambil inisiatif dalam menentukan
kebijakan. Tentu saja desentralisasi dan
otonomi daerah mengandung berbagai
konsekuensi, diantaranya adalah mentalitas
dan kapasitas pemerintah daerah yang harus
memadai sehingga dapat menjamin
pelaksanaan desentralisasi secara maksimal.
Kewenangan yang cukup besar berada di
tangan pemerintah daerah, berarti pemerintah
daerah memiliki keleluasaan sekaligus
tanggung jawab yang lebih besar daripada
sistem yang berlangsung sebelumnya. Hanya
saja, kendala sumber daya manusia hingga saat
ini masih membayangi-bayangi kinerja aparat
pemerintah daerah.
Maka, tidak mengherankan jika pada saat
ini, muncul persoalan-persoalan seperti batas
wilayah, ketidakharmonisan hubungan antar
institusi pusat-daerah, berbagai konflik
horizontal yang dipengaruhi oleh konfigurasi
etnis atau sentimen primordial dan berbagai
kebijakan untuk meningkatkan pendapatan
daerah yang cenderung memberatkan rakyat.
Dalam situasi yang serba terkungkung
selama lebih dari tiga puluh tahun, tiba-tiba
daerah memiliki kewenangan yang
sedemikian besar. Implikasi dari pelimpahan
wewenang tersebut di sebagian daerah
menimbulkan munculnya kembali chauvinisme
kedaerahan seperti munculnya kekuatan-
kekuatan kelompok aristokrasi dalam politik
Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 45
Vol.1 No.1 April 2011
lokal, kekuatan yang di masa Orde Baru
ditekan.
Kepentingan yang berorientasi kekuasaan
politis dan penguasaan aset daerah menjadi
persoalan yang kerap mencuat dalam masa
transisi pelaksanaan desentralisasi dan
otonomi daerah. Konflik kepentingan berupa
penguasaan aset seringkali menjadi kerikil
dalam perjalanan proses desentralisasi. Gejala
etno-sentrisme mulai muncul pada saat
meledaknya kerusuhan berlatar belakang etnis
di beberapa wilayah seperti Sampit, Poso,
Ambon dan di beberapa daerah pemekaran.
Bahkan pada saat dipilihnya kepala
daerah berdasarkan UU No. 22/1999 di tahun
2000, isu PAD (Putra Asli Daerah) merebak.
Tuntutan dipilihnya gubernur, bupati serta
walikota Putra Asli Daerah bahkan masuk ke
dalam tata tertib DPRD. Ini menunjukkan
bahwa isu putra daerah merupakan isu yang
paling sentisitf dan berpotensi mengganggu
hubungan baik antara pendatang tetapi telah
lama berdomisili di tempat tersebut dan
mengenal secara baik daerah tersebut. Orang-
orang yang potensial dan berkualitas tetapi
bukan putra daerah akan cenderung tersingkir
dalam proses politik di daerah dan hanya akan
mendapat peran pinggiran saja.
HASIL ANALISIS DAN PEMBAHASAN
Selama 32 tahun rezim Orde Baru dan 13
tahun Reformasi, sentralisasi dan desentralisasi
politik di Indonesia telah secara luas
mentransformasikan kultur politik elite dalam
suatu arah yang demokratis, meskipun masih
jauh dari harapan dan kepuasan semua pihak.
Pembentukan pemerintahan regional, yang
kemudian mendapatkan sejumlah kekuasaan
otonom yang signifikan dan kontrol atas
sumberdaya lokal, menghasilkan suatu tipe
perpolitikan yang secara ideologis tidak terlalu
terpolarisasi, lebih moderat, toleran, pragmatis,
lebih fleksibel dan suatu penerimaan mutual
yang lebih besar di antara hampir semua
partai’.
Secara berangsur-angsur warga
mengidentifikasi diri dengan level
pemerintahan lokal dan bahkan lebih
menghargainya ketimbang pemerintahan
nasional. Selain itu, harus dipahami bahwa
desentralisasi dan demokratisasi lokal
memiliki potensi besar untuk merangsang
pertumbuhan organisasi-organisasi, serta
jaringan masyarakat sipil (civil society).
Arena kehidupan komunitas dan lokal
lebih menawarkan cakupan terbesar bagi
organisasi-organisasi independen untuk
membentuk dan mempengaruhi kebijakan.
Pada level lokal, rintangan-rintangan sosial dan
organisasional terhadap aksi kolektif lebih
rendah maupun problem-problem yang
menuntut perhatian dari layanan sosial
sampai transportasi serta lingkungan yang
berdampak langsung pada kualitas hidup
masyarakat. Keterlibatan langsung warga
dalam penyelenggaraan layanan publik pada
level lokal menghasilkan suatu peluang
penting untuk memperkuat keterampilan para
warga secara individual dan akumulasi modal
sosial, seraya membuat penyampaian layanan
publik lebih accountable.
Sorotan terhadap reformasi sejak 1998
telah membangkitkan desentralisasi dan
demokrasi lokal, yang menggerogoti struktur
politik yang hirarkhis, sentralistik, feodalistik
dan otoriter. Locus politik telah bergeser dari
pusat ke daerah, dari sentralisasi ke
desentralisasi, dari bureaucratic government
ke party government, dan dari executive heavy
ke legislative heavy. Tetapi, seperti akan
diuraikan di bawah, demokrasi lokal yang
berlangsung masih sebatas efouria, bukan
sebagai proses konsolidasi menuju demokrasi
lokal yang kokoh, beradab dan terpercaya.
Efouria demokrasi lokal sangat bermasalah,
dan tetap akan bermasalah sampai pasca
pemilu 2009 karena fondasi yang sangat
rapuh. Praktik demokrasi lokal selama ini lebih
banyak diwarnai dengan sejumlah efouria
yang masih sangat rapuh.
Pertama, efouria demokrasi elektoral.
Masyarakat Indonesia, kini, tengah terjangkit
demam perayaan demokrasi elektoral. Ada
kesan kuat bahwa demokrasi hanya terfokus
pada pemilihan, sebuah perayaan politik yang
sarat dengan pesta, kompetisi, sensasi,
mobilisasi, money politics, intrik, caci-maki,
perdukunan, dan seterusnya. Di zaman dulu,
penentuan kepala daerah berlangsung secara
Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 46
Vol.1 No.1 April 2011
tertutup dan memperoleh pengawasan yang
ketat dari Jakarta. Hanya tentara dan birokrat
yang punya peluang untuk menduduki jabatan
kepala daerah. DPRD dalam posisi yang sangat
lemah, tidak mempunyai otoritas untuk
menentukan pilihan mereka.
Sekarang proses pemilihan lebih terbuka,
yang membuka kesempatan bagi hadirnya
aktor-aktor baru di luar tentara dan birokrat.
DPRD mempunyai kuasa penuh untuk
menentukan pilihan mereka terhadap kepala
daerah. Tetapi proses dan hasil pemilihan
kepala daerah tidak lebih baik daripada
sebelumnya. Setiap pemilihan selalu diwarnai
dengan permainan politik uang, kekerasan,
mobilisasi massa dan seterusnya. Proses yang
buruk itu mesti membuahkan hasil yang
buruk. Tidak sedikit kepala daerah yang
bermasalah dan korup untuk mengembalikan
modal yang telah dimainkan melalui politik
uang.
Rakyat kecewa, tetapi setiap pemilihan
politik uang tetap bermain. Dari kasus-kasus
ini dapat dipahami bahwa, demokrasi lokal
bukan sekadar proses elektoral, atau proses
pemilihan kepala daerah, tetapi yang lebih
penting adalah relasi yang demokratis sehari-
hari antara pemerintah daerah dengan warga
masyarakat. Akuntabilitas, transparansi dan
responsivitas pemerintah dae-rah jauh lebih
penting dari sekadar proses elektoral. Proses
elektoral sebenarnya merupakan langkah awal
untuk menghasilkan pemimpin lokal yang
memiliki visi dan komitmen serius pada
akuntabilitas, transparansi dan responsivitas
pemerintah daerah. Tetapi kalau isu-isu ini
dikalahkan oleh jumlah massa, popularitas,
apalagi oleh politik uang, maka demokrasi
lokal akan hancur dan rakyat terus-menerus
akan kecewa.
Kedua, efouria semangat keasilan
(nativisme). Di setiap daerah bergelora isu
“putera daerah” terutama ketika terjadi
pemilihan kepala daerah. Masyarakat lokal
sekarang secara keras berani menentang
kehadiran calon-calon yang bukan putera
daerah untuk menduduki jabatan kepala
daerah. Di masa Orde Baru, istilah itu memang
sangat berguna untuk menentang intervensi
Jakarta atau menolak calon titipan dari Jakarta.
Tetapi yang berkembang sekarang, istilah
putera daerah tidak mempunyai otentisitas
yang kuat, karena istilah itu cenderung hanya
sebagai pasport politik untuk menjustifikasi
kedudukan seseorang, tanpa melihat visi dan
kualifikasinya. Setelah “putera daerah” itu
berkuasa, ternyata bertindak menyimpang dari
prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan
responsivitas.
Ketiga, efouria parlemen lokal. Di bawah UU
No. 22/1999, DPRD sangat powerful
ketimbang kepala daerah. Publik berharap,
bahwa DPRD yang powerful itu menjadi modal
politik untuk memainkan check and balances
dengan baik di hadapan kepala daerah,
sehingga pemerintahan daerah bisa berjalan
secara akuntabel, transparan dan responsif.
Tetapi DPRD yang kuat itu justru menimbulkan
banyak masalah: DPRD menjadi oligarki baru
yang korup, berkapasitas rendah, tidak
bertanggungjawab, tidak peka pada aspirasi
rakyat, lebih mengutamakan kepentingan
sendiri. DPRD, kata publik, bukan sebagai
panggilan hidup dan komit-men untuk
berjuang, melainkan seperti lowongan kerja
untuk mencari nafkah dan kedudukan.
Akibatnya, rakyat kecewa dan tidak percaya
pada DPRD. Sayangnya, besok dalam pemilihan
umum 2004, rakyat tetap akan memilih lagi
calon-calon DPRD. Besok kecewa lagi.
Keempat, efouria kepialangan politik.
Otonomi daerah memang telah member
kesempatan yang terbuka bagi hadirnya
aktor-aktor politik baru, termasuk para
broker politik. Latar belakang mereka sangat
bermacam-macam: bisa kyai, akademisi,
mahasiswa, LSM, pengusaha, tokoh adat,
tokoh masyarakat, preman, dan seterusnya.
Setiap ada pemilihan kepala daerah, para
broker politik itu menjadi pemain yang
penting, entah dalam membuat opini publik
atau mengerahkan massa, dengan tujuan
untuk mencari kedudukan atau kekayaan.
Mengikuti pendapat para filsuf zaman Yunani
Kuno, massa yang digerakkan oleh para broker
tersebut bukan rakyat, warga atau publik yang
sejati, melainkan gerombolan massa (the mob)
yang sebenarnya merusak demokrasi lokal,
misalnya dengan cara permainan politik uang
maupun kekerasan.
Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 47
Vol.1 No.1 April 2011
Kelima, efouria NGO lokal. Era reformasi
dan otonomi daerah telah melahirkan begitu
banyak NGO lokal yang bersifat instan.
Sebagian besar NGO lokal lahir bukan dalam
konteks gerakan sosial dan jaringan sosial
yang luas, tetapi sebagai bentuk respons atas
proyek-proyek pemerintah sejak JPS maupun
sebagai bentuk “gerakan politik” untuk
memainkan kepialangan politik. NGO lokal
yang berorientasi proyek selalu kasak-kusuk
mencari proyek, entah melalui lobby atau
melontarkan kritik keras kepada Pemda agar
mereka memperoleh proyek. NGO “gerakan
politik” sangat rajin melakukan kasak-kusuk
menjadi broker politik dalam pemilihan
kepala daerah, pemilihan DPRD maupun
pejabat teras di daerah.
Keenam, efouria protes sosial atau
pembangkangan sipil. Sejak Soeharto jatuh di
tahun 1998, protes sosial (pembangkangan
sipil) mengalami perluasan, sebagai senjata
untuk menggerakkan reformasi politik. Protes
sosial atau pembang-kangan sipil memang
merupakan kekuatan alternatif bagi civil
society untuk melawan penguasa. Tetapi harap
diingat, bahwa protes sosial yang terjadi di
Indonesia selama ini lebih bersifat
kegembiraan sesaat atau sebagai partisipasi
ad hoc yang hanya sangat efektif untuk
menjatuhkan penguasa otoriter bermasalah,
tetapi tidak efektif untuk membangun
demokrasi lokal. Membangun demokrasi lokal
tentu membutuhkan penguatan gerakan sosial
masyarakat sipil dan partisipasi warga
masyarakat secara berkelanjutan.
Keenam efouria di atas memberi
gambaran yang suram tentang demokrasi
lokal, yang tampaknya masih akan berlanjut,
terutama terhadap pemilihan kepala daerah
yang dipilih secara langsung sejak tahun 2005,
yang kian menyuburkan efouria politik.
Efouria adalah kegembiraan sesaat, yaitu
proses politik hanya berlangsung dalam situasi
darurat jangka pendek. Kegembiraan jangka
pendek itu tidak bakal membuahkan
demokrasi lokal yang kokoh dan berkelanjutan,
kalau tidak dikatan gagal; kecuali hanya
membuahkan kekecewaan dan
ketidakpercayaan. Efouria akan come and go
berbarengan dengan pesta politik. Eforia akan
berubah menjadi kekecewaan bila pesta sudah
usai, tetapi ia akan datang lagi kalau pesta bakal
digelar kembali.
KESIMPULAN
Bertitik tolok dari uraian terdahulu
tentang kebijakan tata kelola pemerintahan
daerah, dengan semangat efouria demokrasi
lokal yang merupakan lingkaran setan yang
tidak pernah terselesaikan secara tuntas. Hal
ini karena fondasi yang betul-betul rapuh,
terutama beberapa indikator yang disoroti
dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :
1. Perubahan belum sempurna dari floating-
mass society menuju civil society. Sekarang
Indonesia masih dalam sekuen masyarakat
transisi, atau sering disebut sebagai mass-
politics society. Proses politik dan demokrasi
di Indonesia lebih banyak ditentukan oleh
kuantitas massa yang dimobilisir (mobilized
mass), bukan oleh visi, kebajikan maupun
organized mass.
2. Umumnya daerah di Indonesia mewarisi
kuatnya tradisi politik feodal, otoritarian,
birokratis dan sentralistik. Tradisi yang
relatif kekal ini membentuk paradigma kolot
para elite dalam mengelola kekuasaan,
mengatur rakyat dan menguasai
sumberdaya ekonomi. Para gubernur
misalnya, sangat berang karena
kekuasaannya atas bupati-bupati dipreteli
oleh UU No. 32/2004. Gubernur sekarang
tidak bisa lagi memerintah bupati,
memanipulasi DAU, atau mengutip pajak-
pajak daerah seperti dulu. Bahkan sekadar
undangan pun diabaikan oleh bupati.
Karena itu para gubernur menuntut agar
otonomi daerah diletakkan di provinsi atau
meminta agar kekuasaan dan kewenangan
mereka dipulihkan seperti sedia kala.
Sementara, bupati sekarang mempunyai
kekuasaan dan kewenangan yang sangat
besar. Mereka di atas angin, ibarat raja-raja
kecil yang secara leluasa bisa menguasai
sumberdaya politik dan ekonomi daerah.
“Otonomi daerah berhenti di tangan saya”,
demikian ungkap arogan seorang bupati
ketika menanggapi masalah otonomi desa.
Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 48
Vol.1 No.1 April 2011
3. Seorang Bupati bukan pemimpin yang
betul-betul mengayomi masyarakat,
melainkan hanya seorang pejabat yang
pekerjaannya adalah tandatangan, marah-
marah dan jalan-jalan”, demikian ungkap
seorang pegawai yang minta identitasnya
dirahasiakan. DPRD kabupaten dan/atau
kota sekarang mempunyai kekuasaan dan
kewenangan yang luar biasa, karena mereka
gunakan untuk menekan bupati/walikota
dengan senjata ampuh Laporan
Pertanggungjawaban. Namun, ulah anggota
DPRD yang tidak bertanggungjawab itu
dengan mudah bisa dipadamkan oleh
bupati/walikota setelah memperoleh
kucuran dana, proyek, dan fasilitas.
4. Paradigma ‘K-3’ (kekuasaan, kewenangan
dan kekayaan) dipegang betul oleh para
pemegang jabatan politik. Mereka tidak
mempunyai visi bagaimana memanfaatkan
kekuasaan untuk memperjuangkan nilai,
melainkan hanya berorientasi bagaimana
mencari dan mempertahankan kekuasaan.
Setiap penguasa, dari presiden hingga
bupati dan kepala desa, selalu berupaya
keras agar tetap menduduki jabatan yang
kedua kalinya. Ini tidak lain hanya untuk
memelihara status quo. Kalau dinalar secara
sehat, setiap penguasa sebenarnya tidak
mempunyai alasan lagi untuk menduduki
jabatan yang kedua kalinya. Kalau mereka
menampilkan visi, publik bisa bertanya: lalu
ngapain selama lima tahun berkuasa.
5. Fragmentasi masyarakat sipil dan modal
sosial. Organisasi masyarakat sipil dan
modal sosial yang kian semarak, memang
tidak tunggal. Di balik kemajuan dalam
organisasi nonpemerintah, juga
menyaksikan banyak sisi paradoksal dalam
modal sosial. Secara horizontal
kemajemukan masyarakat menyajikan
konflik ketimbang pluralisme dan
kohesivitas. Ruang publik civil society
memang menghadirkan wacana dan
gerakan demokratisasi yang semarak, tetapi
polarisasi ideologis dan kepentingan adalah
sajian yang jauh lebih menonjol. Inilah yang
penulis sebut sebagai fragmented social
capital. Gerakan demokratisasi yang
didorong oleh aktor-aktor civil society harus
berhadapan dengan praktik-praktik
kekerasan yang dimainkan oleh elemen
masyarakat lainnya. Bahkan gerakan
demokratisasi yang terus maju tidak didu-
kung oleh elemen-elemen partai oposisi
yang pro perubahan.
6. Baik di tingkat pusat maupun di daerah,
partai politik bukanlah pendukung otentik
demok-ratisasi melainkan sebagai bagian
dari pemeliharaan status quo yang harus
direformasi. Di banyak daerah, gerakan
demokratisasi civil society terus bergelora
menentang “raja-raja kecil” yang
bermasalah, tetapi gerakan itu dengan
mudah dilumpuhkan oleh para preman
bayaran maupun paramiliter yang
dipelihara oleh partai politik. Semua ini
memang tidak mengehentikan gerakan
demokratisasi meski harus dibayar dengan
risiko kekerasan, tetapi gerakan civil society
terseok-seok, tunggang-langgang dan
menghadapi anomalie yang serius.
DAFTAR PUSTAKA
Elisabeth, Adriana , dkk, 2004, Pemetaan
Peran dan Kepentingan Para Aktor
dalam Konflik di Papua, Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta.
Fakih, Mansour. 1996. Masyarakat Sipil untuk
Transformasi Sosial. Pergolakan Ideologi
LSM Indonesia. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Hagul, Peter, ed. 1992. Pembangunan Desa dan
Lembaga Swadaya Masyarakat,
Rajawali Press, Jakarta.
Johnson, Doyle Paul, 1986, Teori Sosiologi
Klasik dan Modern, PT Gramedia,
Jakarta.
Haba, John, dkk, 2003, Konflik di Kawasan
Ilegak Logging di Kalimantan Tengah,
Jakarta, LIPI. Kasiepo, Manuel, 1987,
Dari Perpolitikan Birokratik ke
Korporatisme Negara: Birokrasi dan
Politik di Indonesia Era Orde Baru,
49Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman
Vol.1 No.1 April 2011
Jurnal Ilmu Politik 2, Gramedia
bekerjasama dengan Asosiasi Ilmu
Politik Indonesia (AIPI), Jakarta.
Ndara, Talizuduhu, 1986, Birokrasi dan
Pembangunan, Dominasi atau Alat
Demokratisasi: Suatu Telaah
Pendahuluan, Jurnal Ilmu Politik 1,
Gramedia bekerjasama dengan
Asosiasi Ilmu Politik Indonesia (AIPI),
Jakarta.
Piliang, Indra J, dkk (ed.), 2003, Otonomi
Daerah, Evaluasi dan Proyeksi, Yayasan
Harkat Bangsa bekerjasama dengan
Partnership Governance Reform in
Indonesia, Jakarta.
Ratnawati, Tri (ed.), 2000, Otonomi Daerah
dalam Perspektif Lokal, Kasus Jawa
Timur, Sumatera Barat dan Nusa
Tenggara Timur, Puslitbang Politik dan
Kewilayahan LIPI, Jakarta.
Zulkarnaen, Iskandar, dkk, 2003, Potensi
Konflik di Daerah Pertambangan, Kasus
Pongkor dan Cilandak, Jakarta, LIPI.
Clark, John.1995. NGO dan
Pembangunan Demokrasi. Tiara
Wacana, Yogyakarta.
Huntington, Samuel P dan Joan Nelson. 1992.
Partisipasi Politik di Negara Berkembang.
Rineka Cipta, Jakarta.
Isdijoso, Brahmantio, et. al. 2001. Prospek
Penerapan Budget Tranparency dalam
Pelaksanaan otonomi Daerah dan
Desentralisasi Fiskal Di Daerah
Kabupaten dan Kota di Indonesia.
Center for Economic and Social
Studies, Jakarta.
Jeff Haynes, Demokrasi dan Masyarakat Sipil
di Dunia Ketiga. 2000. Gerakan Politik
Baru Kaum Terpinggir. Yayasan Obor
Indonesia, Jakarta.
Kuncoro, Mudrajad. 2004. Otonomi dan
Pembangunan Daerah; Reformasi,
Perencanaan, Strategi, dan Peluang,
Erlangga, Jakarta.
Pilliang, Indra J. et. al. 2003. Otonomi Daerah;
Evaluasi dan Proyeksi. Yayasan Harkat
Bangsa Bekerjasama dengan
Partnership for Governance Reform in
Indonesi, Jakarta.
Prodjodikoro, Wirjono. 1981. Asas-asas Ilmu
Negara dan Politik. PT Eresco,
Bandung.
Sarundajang. 1999. Arus Balik Kekuasaan
Pusat ke Daerah. Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta.
Implementasi Kebijakan Tata Kelola Pemerintahan Daerah dengan Semangat Efouria Demokrasi Lokal - Jaelan Usman 50
*******
Vol.1 No.1 April 2011
PERSEPSI MASYARAKAT TERHADAP
KEBIJAKAN POLITIK DI KOTA PAREPARE
Rudi Hardi
ABSTRAK
Dalam dunia politik, peranan etika politik tidak dapat diabaikan. Hal ini terkait dengan,
moralitas politik berguna untuk menyelidiki apa yang mengkonstitusi baik-buruk,
keutamaan, keabsahan hukum, kebenaran suara hati, kewajiban moral politik dan
sebagainya. Realitas persoalan yang dihadapi dalam budaya politik adalah adanya gap antara
campur tangan Politik dengan indenpendensi birokrat (Administrator) tentang pengelolaan
pelayanan pada Masyarakat. Kemudian, terdapat sikap dan perilaku yang “negatif”, baik politisi
mau pun birokrat dalam melaksanakan fungsi masing-masing.. Tujuan penelitian ini adalah
untuk mengidentifikasi etika budaya politik dan tanggapan/sikap masyarakat terhadap
perkembangan kondisi dan situasi budaya politik di Kota Parepare.
Metode yang digunakan adalah Survey sampel dengan unit analisis masyarakat pemilih.
Responden diambil dengan stratified random sampling dari masyarakat kota Parepare. Instrumen
penelitian adalah pedoman wawancara dan kuesioner. Analisa yang digunakan adalah deskriptif
pada data kualitatif.
Hasil penunjukkan bahwa secara keseluruhan, baik lapisan bawah, menengah, dan lapisan
atas, menilai bahwa etika politisi di kota Parepare relatif buruk, yaitu 191 (63,67%) dari 300
responden. Dan alasan responden adalah bahwa setelah menjadi politisi, mereka cenderung
individual atau memikirkan kepentingan diri, keluarga dan atau partainya yang terlihat dari
kebijakan-kebijakan yang mereka lahirkan. Hal itu sangat berbeda dengan waktu kampanye.
Kesimpulan, dalam mewujudkan partisipasi politik di kota Parepare, masyarakat memiliki
dua ciri atau bentuk dari partisipasi politik berdasarkan sifat yaitu dimobilisasi dan otonom.
Kemudian, untuk menilai bagaimana etika politik di Kota Parepare, ada tiga pola pola sikap dan
orientasi individu terhadap politik, yakni: (1). Orientasi Kognitif : pengetahuan, keyakinan (2).
Orientasi Afektif : perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya tentang obyek politik,
dan (3). Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan
nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian.
Kata Kunci: Persepsi, Masyarakat, Etika, Kebijakan, Etika Politik
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Perubahan UUD 1945 telah mewujudkan
konstitusi Indonesia yang memungkinkan
terlaksananya penyelenggaraan negara yang
modern dan demokratis. Semangat yang
diemban dalam perubahan konstitusi tersebut
adalah supremasi konstitusi, keharusan dan
pentingnya pembatasan kekuasaan,
pengaturan hubungan dan kekuasaan
antarcabang kekuasaan negara secara lebih
tegas, penguatan sistem checks and balances
antar cabang kekuasaan, penguatan
perlindungan dan penjaminan hak asasi
manusia, dan pengaturan hal-hal mendasar di
berbagai bidang kehidupan.
Semangat tersebut di atas dapat terlihat
dari adanya penegasan yang mengatur
pelaksanaan kedaulatan rakyat; pernyataan
bahwa Indonesia adalah negara hukum;
kesejajaran kedudukan antarlembaga negara
sehingga tidak dikenal lagi adanya lembaga
51
Vol.1 No.1 April 2011
tertinggi negara dan tinggi Negara tetapi
setiap lembaga negara melaksanakan tugas
dan wewenangnya sesuai UUD 1945;
pembatasan masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden hanya maksimal dua kali masa
jabatan; seluruh anggota lembaga perwakilan
dipilih dan tidak ada lagi yang diangkat;
pemilihan Presiden dan Wakil Presiden secara
langsung oleh rakyat; kekuasaan membentuk
undang-undang di tangan lembaga legislatif;
pembentukan lembaga perwakilan baru
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) yang
memperkuat posisi daerah dalam sistem
ketatanegaraan kita; dan pembentukan
lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman baru
Mahkamah Konstitusi (MK).
Selain itu juga dimuat ketentuan mengenai
pemilihan umum setiap lima tahun dan
diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan
umum yang bersifat nasional, tetap, dan
mandiri; pengaturan mengenai wilayah
negara; ketentuan mengenai hak asasi
manusia yang sangat rinci, dan pengaturan
hal-hal mendasar berbagai bidang kehidupan
seperti ekonomi, pendidikan, pertahanan dan
keamanan, ilmu pengetahuan, kesejahteraan
sosial, kebudayaan, dan lain-lain.
Perubahan-perubahan budaya politik di
atas merupakan elemen penting dalam sebuah
sistem politik. Perubahan tersebut juga
menjadi wajah baru sistem demokrasi yang
diterapkan di Indonesia. Meskipun ada
perbedaan pandangan mengenai derajat
pentingnya pengaruh budaya dalam proses
membangun demokrasi, namun hampir
semua ahli politik sependapat bahwa budaya
merupakan faktor yang mempengaruhi
terkonsolidasinya demokrasi.
Pada sisi lain, dalam dunia politik, peranan
etika politik sangat penting. Terkait dengannya,
moralitas politik berguna untuk menyelidiki
apa yang mengkonstitusi baik-buruk,
keutamaan, keabsahan hukum, kebenaran
suara hati, kewajiban moral politik dan
sebagainya. Apa yang disebut sebagai dasar
pertimbangan bukanlah berada pada cakupan
jurisprudence atau pedagogy dari moral politik
saja, tetapi seharusnya berdasarkan pada etika.
Tatkala kondisi moralitas politik
memungkinkan apa yang dianggap benar
untuk kasus pada waktu tertentu tetapi menjadi
salah pada kasus lain di waktu lain, maka sistem
kenegaraan ini sedang mengabaikan
kemungkinan bahwa seorang diktator akan
muncul kembali untuk menyalahgunakan
kekuasaannya, atau mempertahankan
kekuasaan berdasarkan moralitas personalnya
(dalam arti beyond his term of office).
Sebaliknya, semakin banyak kekuasaan yang
membebaninya, sementara kekuasaan itu
menjadi baju untuk lebih berkuasa, maka ia
akan menyalahgunakan sekaligus tetap
mempertahankan kekuasaan itu.
Kedua sisi ini, budaya politik dan etika
politik menjadi hal penting dalam era otonomi.
Karena itu, kajian ini terfokus pada etika politik
di kota Parepare. Realitas persoalan yang
dihadapi dalam budaya politik adalah adanya
gap antara campur tangan Politik dengan
indenpendensi birokrat (Administrator)
tentang pengelolaan pelayanan pada
Masyarakat. Kemudian, terdapat sikap dan
perilaku yang “negatif”, baik politisi mau pun
birokrat dalam melaksanakan fungsi masing-
masing. Serta berkembangnya dalam
kehidupan masyarakat toleransi dan antipati
masyarakat terhadap etika politisi.
Sehingga kegiatan kajian etika budaya
politik menjadi suatu kebutuhan realistik
untuk diwujudkan dalam membangun sosial
politik di Kota Parepare.
Dengan demikian, hal-hal yang menjadi
per-tanyaan penting untuk dijawab melalui
kajian yang mendalam adalah :
1. Bagaimana realitas budaya politik di
Kota Parepare?
2. Bagaimana etika politik yang berkembang
di Kota Parepare?
3. Bagaimana masyarakat menyikapi
perkembangan etika politik di kota
Parepare?
TINJAUAN TEORITIS
Untuk mendukung studi ini digunakan
beberapa teori yang relevan serta berkaitan
dengan pokok bahasan dalam studi sebagai
berikut:
Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 52
Vol.1 No.1 April 2011
Sistem Politik
Dalam perspektif sistem, sistem politik
adalah subsistem dari sistem sosial. Perspektif
atau pendekatan sistem melihat keseluruhan
interaksi yang ada dalam suatu sistem yakni
suatu unit yang relatif terpisah dari
lingkungannya dan memiliki hubungan yang
relatif tetap diantara elemen-elemen
pembentuknya. Kehidupan politik dari
perspektif sistem bisa dilihat dari berbagai
sudut, misalnya dengan menekankan pada
kelembagaan yang ada kita bisa melihat pada
struktur hubungan antara berbagai lembaga
atau institusi pembentuk sistem politik.
Hubungan antara berbagai lembaga negara
sebagai pusat kekuatan politik misalnya
merupakan satu aspek, sedangkan peranan
partai politik dan kelompok-kelompok
penekan merupakan bagian lain dari suatu
sistem politik. Dengan merubah sudut
pandang maka sistem politik bisa dilihat
sebagai kebudayaan politik, lembaga-lembaga
politik, dan perilaku politik.
Model sistem politik yang paling
sederhana akan menguraikan masukan
(input) ke dalam sistem politik, yang
mengubah melalui proses politik menjadi
keluaran (output). Dalam model ini masukan
biasanya dikaitkan dengan dukungan maupun
tuntutan yang harus diolah oleh sistem politik
lewat berbagai keputusan dan pelayanan
publik yang diberian oleh pemerintahan untuk
bisa menghasilkan kesejahteraan bagi rakyat.
Dalam perspektif ini, maka efektifitas sistem
politik adalah kemampuannya untuk
menciptakan kesejahteraan bagi rakyat.
Namun dengan mengingat Machiavelli
maka tidak jarang efektifitas sistem politik
diukur dari kemampuannya untuk
mempertahankan diri dari tekanan untuk
berubah. Pandangan ini tidak membedakan
antara sistem politik yang demokratis dan
sistem politik yang otoriter.
Partisipasi Politik
Partisipasi politik oleh para sarjana di
negara Barat sering hanya dipandang sebagai
kegiatan yang dilakukan untuk memberikan
input bagi pengambil kebijakan menuruti
aturan main yang berlaku. Definisi yang
demikian membuat partisipasi politik di
negara-negara berkembang sulit
dikategorikan sebagai bentuk partisipasi
politik. Untuk mengatasi hal tersebut,
Huntington mencoba mengatasi dengan
mengatakan bahwa partisipasi yang tergolong
negatif di mata para sarjana di negara-negara
berkembang pada dasarnya termasuk pula
bentuk partisipasi politik. Kecenderungan
mobilisasi di masyarakat negara-negara
berkembang menjadi ciri khas yang melekat
karena karakteristiknya yang khas selain tidak
bekerjanya sistem politik secara baik untuk
memberikan kesempatan kepada masyarakat
memberikan input tanpa takut diintimidasi
oleh pemerintah.
Apatisme juga menjadi persoalan
tersendiri dalam studi mengenai partisipasi
politik. Secara harfiah apatisme tidak dapat
dikatakan sebagai suatu bentuk partisipasi
karena seseorang tidak melakukan tindakan
apa pun untuk mempengaruhi kebijakan
ataupun memberikan input bagi pengambil
kebijakan. Akan tetapi, apabila itu dilakukan
dengan sadar sebagai bentuk protes atau
ketidaksukaan terhadap apa yang dilakukan
oleh pengambil kebijaksanaan, tindakan
apatisme dapat pula dikategorikan sebagai
satu bentuk input dan dengan demikian dapat
dinilai sebagai suatu tindakan partisipasi.
Pembangunan Politik
Sejak awal kehidupan manusia–berjuta
tahun yang lampau–manusia dihadapkan pada
berbagai macam perubahan aktual alam
semesta di mana dia hidup. Lambat laun,
respon atas fenomena alam ini bertransformasi
menjadi sikap mengatasi perbedaan-
perbedaan yang terjadi di antara umat
manusia, respon atas interaksi sosial ini
kemudian mengubah cara dan kebiasaan
hidup mereka. Hal ini terus berkembang
secara evolutif sekaligus revolutif, hingga
sampai pada diketemukannya model
pelembagaan pengaturan masyarakat dalam
bingkai negara, beserta ilmu yang
menyertainya, politik.
Kondisi politik pasca Reformasi
menjadikan masyarakat dihidangkan dengan
dengan sistem baru yang menuntut
Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 53
Vol.1 No.1 April 2011
masyarakat untuk lebih terlibat secara
proaktif didalamnya. Dalam penerapannya
tidaklah semudah membalikkan telapak
tangan, sehingga dalam mewujudkannya perlu
ada langkah-langkah yang harus dilakukan
secara bertahap. Peningkatan kesadaran
politik masyarakat serta penanaman nilai
tidak boleh diabaikan, hal inilah yang kita
inginkan dalam proses pembangunan politik.
Lucian W. Pye menyimpulkan tiga tema
besar yang berhubungan dengan makna
pembangunan politik. Pertama, terjadinya
pertambahan persamaan (equality) antara
individu dalam kaitannya dengan sistem
politik, kedua pertambahan kemampuan
(capacity) dalam hubungannya dengan
lingkungannya, dan yang ketiga pertambahan
pembedaan (differentation and spesia-litation)
lembaga dan strukur didalam sistem politik
tersebut. Pembangunan politik dalam hal ini
erat kaitannya dengan budaya politik, struktur-
struktur politik yang berwenang serta proses
politik.
Budaya Politik
Kebudayaan politik Indonesia pada
dasarnya bersumber pada pola sikap dan
tingkah laku politik yang majemuk. Namun dari
sinilah masalah-masalah biasanya bersumber.
Mengapa? Dikarenakan oleh karena golongan
elite yang mempunyai rasa idealisme yang
tinggi. Akan tetapi kadar idealisme yang tinggi
itu sering tidak dilandasi oleh pengetahuan yang
mantap tentang realita hidup masyarakat.
Sedangkan masyarakat yang hidup di dalam
realita ini terbentur oleh tembok kenyataan
hidup yang berbeda dengan idealisme yang
diterapkan oleh golongan elit tersebut.
Corak pertama terdapat pada golongan
elite strategis, yakni kecenderungan untuk
memaksakan subyektifisme mereka agar
menjadi obyektifisme, sikap seperti ini
biasanya melahirkan sikap mental yang
otoriter/totaliter. Corak kedua terdapat pada
anggota masyarakat biasa, corak ini bersifat
emosional-primordial. Kedua cirak ini
tersintesa sehingga menciptakan suasana
politik yang otoriter/totaliter.
Sejauh ini kita sudah mengetahui adanya
perbedaan atau kesenjangan antara corak-
corak sikap dan tingkah laku politik yang
tampak berlaku dalam masyarakat dengan
corak sikap dan tingkah laku politik yang
dikehendaki oleh Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945. Kita tahu bahwa manusia
Indonesia sekarang ini masih belum
mencerminkan nilai-nilai Pancasila itu dalam
sikap dan tingkah lakunya sehari-hari.
Kenyataan tersebutlah yang hendak kita rubah
dengan nilai-nilai idealisme pancasila, untuk
mencapai manusia yang paling tidak mendekati
kesempurnaan dalam konteks Pancasila.
Dua faktor yang memungkinkan
keberhasilan proses pembudayaan nilai-nilai
dalam diri seseorang yaitu sampai nilai-nilai
itu berhasil tertanam di dalam dirinya dengan
baik. Kedua faktor itu adalah; 1. Emosional
psikologis, faktor yang berasal dari hatinya. 2.
Rasio, faktor yang berasal dari otaknya
Klasifikasi budaya politik oleh Gabriel A.
Almond dan G. Bingham Powell, terdiri atas
budaya politik parokial, budaya politik
subjek/kaula, dan budaya politik partisipan.
Sedangkan budaya politik menurut Austin
Ranney dibedakan atas orientasi kognitif dan
preferensi politik.
Ada beberapa unsur yang berpengaruh
atau melibatkan diri dalam proses
pembentukan budaya politik nasional, yaitu
sebagai berikut.
1. Unsur sub-budaya politik yang berbentuk
budaya politik asal.
2. Aneka rupa sub-budaya politik yang
berasal dari luar lingkungan tempat budaya
politik asal itu berada.
3. Budaya politik nasional itu sendiri.
Tahapan perkembangan budaya politik
nasional menurut Sjamsuddin, antara lain
sebagai berikut (Rahman, 1998: 58).
1. Budaya politik nasional yang tengah berada
dalam proses pembentukannya.
2. Budaya politik nasional yang sedang
mengalami proses pematangan. Dalam
tahapan ini, pada dasarnya budaya politik
nasional sudah ada, tetapi masih belum
matang.
3. Budaya politik nasional yang sudah mapan,
yaitu budaya politik yang telah diakui
keberadaannya secara nasional.
Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 54
Vol.1 No.1 April 2011
4. Ada dua sudut pandang untuk melihat
budaya politik yang dikaitkan dengan
struktur sosial, yaitu secara vertikal maupun
horizontal.
Terakhir ada tiga kelompok yang
mempunyai pengaruh yang sangat kuat
terhadap sistem politik Indonesia, yaitu
kelompok agama, kelompok suku bangsa, dan
kelompok ras.
METODE PENELITIAN
Kegiatan kajian etika budaya politik
dilakukan dengan menggunakan metode survey
sampel. Populasinya adalah pelaku politik di
Kota Parepare. Pada pengkajian ini, yang akan
diteliti, ditelaah dan diterangkan adalah etika
budaya politik di kota Parepare. Karena itu,
metode yang digunakan adalah metode
kualitatif, metode kuantitatif, dan ataupun
gabungan antara keduanya, terutama nampak
pada analisanya. Metode kuantitatif
menggunakan angka-angka (Tabulasi, statistik
inferensial), menghubungkan antara angka
yang satu dengan angka yang lainnya kemudian
menarik makna. Sedang metode kualitatif
menggunakan makna: menghubungkan antara
makna yang satu dengan makna yang lainnya
kemudian menarik yang lebih luas atau lebih
dalam, atau yang lebih tinggi tingkatannya.
Pada dasarnya ada beberapa jenis studi
dan teknik pengumpulan data yang diterapkan
untuk kajian ini, sebagai berikut:
Stakeholders studies, dimaksudkan untuk
mendapatkan data dan informasi mengenai
pandangan/penilaian para pemangku
kepentingan atau stakeholders (Pemerintah,
DPRD, Partai Politik, kalangan Lembaga non
pemerintah, pakar/akademisi dan tokoh-
tokoh masyarakat lainnya tentang berbagai
regulasi, kebijakan maupun implementasi dari
kebijakan yang berhubungan dengan berbagai
aspek etika budaya politik. Ada dua teknik
pengumpulan data yang diterapkan untuk
stakeholder studies, yaitu indepth interview dan
FGD.
Policy Impact Studies (PIS). Policy impact
studies atau studi dampak kebijakan
dimaksudkan untuk melihat dampak
kebijakan berupa Peraturan Daerah dan Surat
Keputusan Walikota dalam mengatur usaha
kecil Kota Parepare.
Studi literatur. Sebelum penelitian
lapangan dilakukan, tim peneliti terlebih
dahulu telah melakukan kajian terhadap
laporan-laporan studi mengenai etika budaya
politik. Beberapa hal yang ditelaah antara lain
adalah kacamata analisis/cara pandang dan
indikator-indikator yang digunakan dalam
rangka melakukan kajian/studi. Di samping itu
ditelaah pula hasil-hasil utama (termasuk
rekomendasi-rekomendasi) yang diperoleh
dari studi. Hasil telaahan ini kemudian
dituliskan dalam bentuk overview singkat. Dari
hasil overview tersebut peneliti ahli kemudian
akan menulis “kajian kepustakaan/literatur
review” dengan memasukkan telahaan teori
dan konsep mengenai etika budaya politik.
Kajian historis mengenai etika budaya
politik. Kegiatan ini dilakukan dengan metode
analisis dokumen dan in-depth interview
kepada pihak-pihak yang dipandang memiliki
pengetahuan mengenai topik kajian yang
dilakukan yang kemudian dianalisis dan
disusun dalam bentuk position paper.
Teknik Pengumpulan Data, yaitu :
1. Data yang bersifat keterangan dikumpulkan
melalui teknik wawancara dengan
menggunakan pedoman wawancara
(interview guide),
2. Data yang bersifat distribusi/frekuensi
dikumpulkan melalui teknik perhitungan
atau pencacahan dengan menggunakan
kuesioner atau skedul.
3. Data yang bersifat nilai-nilai, norma-norma,
kepercayaan (adat dan agama), tingkah laku
yang laten (cover behaviuor), dan sejenisnya
dikumpulkan melalui teknik pengamatan
terlibat secara terbatas dan wawancara
dilakukan secara face to face dengan
menggunakan catatan lapang (field notes).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karasteristik Masyarakat Kota Parepare
Berdasarkan hasil kajian, maka
karateristik masyarakat kota Parepare
memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 55
Vol.1 No.1 April 2011
a. Pengaruh alam terhadap masyarakat kota
kecil
b. Mata pencahariannya sangat beragam
sesuai dengan keahlian dan
ketrampilannya.
c. Corak kehidupan sosialnya bersifat gessel
schaft (patembayan), lebih individual dan
kompetitif.
d. Keadaan penduduk dari status sosialnya
sangat heterogen
e. Stratifikasi dan diferensiasi sosial sangat
mencolok. Dasar stratifikasi adalah
pendidikan, kekuasaan, kekayaan,
prestasi, dan lain-lain.
f. Interaksi sosial kurang akrab dan kurang
peduli terhadap lingkungannya. Dasar
hubungannya adalah kepentingan.
g. Keterikatan terhadap tradisi sangat kecil
h. Masyarakat umumnya berpendidikan
lebih tinggi, rasional, menghargai waktu,
kerja keras, dan kebebasan.
i. Jumlah warga lebih banyak, padat, dan
heterogen.
j. Pembagian dan spesialisasi kerja lebih
banyak dan nyata.
k. Kehidupan sosial ekonomi, politik dan
budaya amat dinamis, sehingga
perkembangannya sangat cepat.
l. Masyarakatnya terbuka, demokratis,
kritis, dan mudah menerima unsur-
unsur pembaharuan.
m. Pranata sosialnya bersifat formal sesuai
dengan undang-undang dan peraturan
yang berlaku.
n. Memiliki sarana–prasarana dan fasilitas
kehidupan yang sangat banyak.
Partisipasi Politik Masyarakat Kota Parepare
Berdasarkan pada bentuk-bentuk
Partisipasi Politik menurut Almond (table 1),
maka partisipasi politik masyarakat di Kota
Parepare, sebagai berikut:
Dari table 2, nampak bahwa partisipasi
politik dari sisi pemberian suara pada setiap
pemilihan umum, baik pemilihan legislatif
(DPR/DPD/DPRD) maupun pemilihan
presiden (walikota). Ternyata dari 300
responden, 263 (88%) responden menjawab
sangat aktif dan hanya 9 (3%) responden yang
menjawab tidak aktif.
Kemudian, partisipasi politik dari bentuk
“diskusi politik”, ternyata responden
menjawab tidak aktif sebanyak 195 (65%), 75
(25%) menjawab sangat aktif, dan hanya 31
(10%) menjawab kadang-kadang aktif. Dan
setelah dikonfirmasi, alasan mereka antara
lain; sibuk bekerja, tidak dilibatkan dan
menghindari perbedaan pendapat dengan
orang lain. Sedangkan alasan responden
menjawab sangat aktif adalah karena teman
atau tetangga mereka yang pengurus partai
atau simpatisan melibat dalam pembicaraan
politik.
Selanjutnya pendapat responden tentang
kegiatan kampanye, mereka cenderung aktif,
dan hanya 48 (16%) yang tidak aktif. Alasan
mereka adalah menginginkan baju dan atau
bahkan uang dari tim sukses. Berbeda dengan
partisipasi politik berbentuk bergabung
dengan kelompok kepentingan, terdapat 242
(81%) responden tidak bergabung secara resmi
dalam dalam suatu organisasi yang berkaitan
dengan politik. Namun demikian, responden
menginginkan adanya komunikasi dengan
pejabat politik 102 (34%) dan 51 (17%). Dan
selebihnya 149 (49%) mangatakan malu-malu
“tidak aktif ” berkomunikasi dengan para
pejabat politik.
Dengan demikian, partisipasi politik
masyarakat di Kota Parepare sangat beragam,
dan sangat ditentukan oleh tingkat pendidikan
dan jenis pekerjaan yang digeluti. Makin tinggi
Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 56
Tabel 1:
Bentuk-bentuk partisipasi politik menurut Almond (1984:107).
Tabel 2:
Bentuk Partisipasi Politik Responden di Kota Parepare
Sumber: Hasil Olahan Kuesioner
Vol.1 No.1 April 2011
tingkat pendidikan, masyarakat juga cenderung
terlibat dalam partisipasi politik, demikian
sebaliknya, makin rendah pendidikan makin
kecil tingkat partisipasi mereka dalam politik.
Etika Politik Masyarakat
Orientasi kognitif, yang merupakan
pengetahuan masyarakat tentang sistem
politik, peran, dan segala kewajibannya.
Termasuk di dalamnya adalah pengetahuan
mengenai kebijakan-kebijakan yang dibuat
oleh pemerintah.
Orientasi afektif, merupakan perasaan
masya-rakat terhadap sistem politik dan
perannya, serta para pelaksana dan
penampilannya. Perasaan masyarakat tersebut
bisa saja merupakan perasaan untuk menolak
atau menerima sistem politik atau kebijakan
yang dibuat.
Orientasi evaluatif, merupakan keputusan
dan pendapat masyarakat tentang objek-objek
politik yang secara tipikal melibatkan nilai
moral yang ada dalam masyarakat dengan
kriteria informasi dan perasaan yang mereka
miliki.
Secara keseluruhan, tanggapan responden
tentang perilaku politisi di kota Parepare
dapat dilihat pada table berikut (Tabel 3):
Dari tabel 3, nampak bahwa secara keselu-
ruhan, baik lapisan bawah, menengah, dan
atas menilai bahwa etika politisi di kota
Parepare relatif buruk, yaitu 191 (63,67%).
Dan alasan responden adalah bahwa setelah
menjadi politisi, mereka cenderung individual
atau memikirkan kepentingan diri keluarga
dan atau partainya yang terlihat dari
kebijakan-kebijakan yang mereka lahirkan.
Hal itu sangat berbeda dengan waktu
kampanye.
KESIMPULAN
1. Di kota Parepare, dalam mewujudkan
partisipasi politik, masyarakat memiliki
dua ciri atau bentuk dari partisipasi
politik berdasarkan sifat yaitu yang
dimobilisasi dan otonom. Dimobilisasi
adalah banyak diantara orang-orang
yang memberikan suara, dan kampanye
yang kelihatannya sebagai partisipasi
politik tidaklah bertindak dengan niat
pribadi. Sedangkan partisipasi politik
otonom mengikuti dengan seksama,
menganalisa baik buruknya dan pilihan
atau kebijaksanaan yang diambil.
2. Etika politik termasuk lingkup etika
sosial yang berkaitan dengan bidang
kehidupan politik, politik juga memiliki
makna bermacam-macam kegiatan
dalam sistem politik dan menyangkut
proses penentuaan tujuan dari sebuah
sitem yang diikuti oleh pelaksananya,
yang menyangkut kepentingan
masyarakat dan bukan tujuan pribadi.
Untuk menilai bagaimana etika politik di
Kota Parepare, ada tiga pola pola sikap
dan orientasi individu terhadap politik
diantara anggota sistem politik.
Orientasi individu itu memiliki sejumlah
komponen yakni: (1). Orientasi Kognitif:
pengetahuan, keyakinan
(2). Orientasi Afektif : perasaan terkait,
keterlibatan, penolakan dan sejenisnya
tentang obyek politik, dan (3). Orientasi
Evaluasi : penilaian dan opini tentang
obyek politik yang biasanya melibatkan
nilai-nilai standar terhadap obyek politik
dan kejadian-kejadian. Dari hasil
analisa, nampak bahwa etika politisi di
Kota Parepare relatif buruk.
Karena itu, disarankan:
1. Agar fungsi politik di kota Parepare
berjalan dengan baik, semestinya, politik
adalah mekanisme yang digunakan
untuk mengatur lalu-lintas distribusi
kekuasaan. Subyek sekaligus obyek
dalam siklus politik modern adalah
rakyat, sementara para elit pejabat
berposisi sebagai pelayan mereka.
Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 57
Tabel 3:
Tanggapan Responden tentang perilaku politisi
Sumber: Hasil Olahan Kuesioner
Vol.1 No.1 April 2011
Politik harus diabdikan untuk
menggapai tujuan daerah, yakni untuk
memakmurkan, menyejahterakan dan
membahagiakan setiap waga. Struktur
kelembagaan daerah, dengan demikian,
berfungsi sebagai problem solver bagi
berbagai bentuk persoalan yang muncul
di masyarakat.
2. Sebaiknya, kekuasaan haruslah
impersonal. Artinya, struktur
kelembagaan daerah tidak dijalankan
atas dasar pola relasi kekerabatan yang
bisa menimbulkan bias dan
penyelewengan kekuasaan. Loyalitas
bawahan dalam sistem semacam ini
tidak ditujukan kepada orang-perorang
yang berkuasa, tetapi kepada sistem dan
struktur kelembagaan daerah. Para elit
pejabat hanya menjalankan tugas dan
fungsinya dalam rangka merealisasikan
terbentuknya daerah berbasis pada
kemaslahatan bersama.
DAFTAR PUSTAKA
Amal, Ickhlasul. 1998. Teori-Teori Mutakhir
Partai. Tiara Wacana. Yogyakarta
Apter, E. David. 1998. Pengantar Analisa
Politik. PT. Gramedia Pustaka utama.
Jakarta
BPS Kota Parepare, 2007/2008. Kota Parepare
Dalam Angka, Kota Parepare
BPS Kota Parepare, 2009. Indikator Ekonomi
Kota Parepare, Kota Parepare
BPS Kota Parepare, 2010. Kota Parepare
Dalam Angka, Kota Parepare
Budiardjo, Miriam. 1980. Partisipasi dan
Partai Politik. PT. Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta
Dahl, A. Robert. 2001. Perihal Demokrasi.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta
Davey, K.J., 1988, Pembiayaan Pemerintahan
Daerah: Praktek dan Relevansi bagi
Dunia Ketiga, Jakarta: Universitas
Indonesia.
Erani Yustika, Ahmad Kontestasi Politik dan
UMKM, http://ww.ahmadheryawan.com
Faisal, Sanafiah. 1989. Sistem Politik Indonesia.
CV. Rajawali. Jakarta
Fakih, mansour, 1996. Masyarakat sipil
menuju transformasi sosial, yogyakarta
: pustaka pelajar.
Gabriel A. Almond dan Sydney Verba, The Civic
Culture: Political Attitudes and
Democracy in Five Nations (Princeton:
Princeton University Press, 1963)
Gabriel Almond, “Comparative Political
Sistem,” Journal of Politics, 18 (1956).
Gabriel Ben-Dor, “Political Culture Approach to
Middle East Politics,” International
Journal of Middle East Studies, Vol. 8,
No. 1 (Jan., 1977).
Hikam, A.S. 1999. Politik Kewarganegaraan.
Erlangga. Jakarta
Kartasasmita, Ginanjar, 1996, Pembangunan
untuk Rakyat: Memadukan Pertumbuhan
dan Pemerataan, Cetakan I, Pustaka
Cidesindo, Jakarta.
Mahendra, Oka, A.A. dan Soekady. 2004. Sistem
Multi Partai Prospek Politik Pasca 2004.
Yayasan Pancur Siwah. Jakarta
Mannheim, K. 1991. Ideologi and Utopia:
Menyingkap Kaitan Pikiran dan Politik.
Penerbit Kanisius. Jakarta.
Margiono, Ari. Membangun Partai Politik yang
Demokrati, www.wordpress.ariblog.com
Mas’oed, Mochtar. 1998. Perbandingan Sistem
Politik. Gadjah Mada University Press.
Yogyakarta
Maswood, Javed, 2000, International Political
Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 58
Vol.1 No.1 April 2011
*******
Economy and Globalization, London:
World Scientific Publishing Co.
Muhaimin, Y.A. 1990. Bisnis dan Politik:
Kebijaksanaan Ekonomi Indonesia
1950-1980. LP3ES. Jakarta.
Obsborne, David and Ted Gaebler, 1992,
Reinventing Government: How The
Enterpreneurial Spirit is Transforming
the Public Sector, Mass: Addison-Wesley
Publishing.
Patton, Carl V. & Sawicki, David S., 1986, Basic
Methods of Policy Analysis and
Planning, New Jersey: Prentice-Hall
Englewood Cliffs.
Pembangunan Jangka Menengah Daerah
(RPJMD) Kota Parepare Tahun 2008-
2013), Parepare: Bappeda Parepare.
Permadani, Wahyu, popularitas dan suara
terbanyak: pilihan terbaik dari partai
politik. www.addpress2007.com
Robbins, S.P. , 1998, Organizational Behavior;
Concepts, Controversies, Applications,
8th Edition, Prentice-Hall
Rubin & rubin, 1986, organization theory :
structure, design and applications, new
jersey : prentice hall.
Sanit, Arbi. 1995. Sistem Politik Indonesia. PT.
Raja Grafindo Persada. Jakarta
Santoso, Topo dan Supriyanto, Didik. 2004.
Mengawasi Pemilu Mengawal
Demokrasi. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta
Sepandji, Kosasih Taruna, 2000, Manajemen
Pemerintahan Daerah: Era Reformasi
Menuju Pembangunan Otonomi
Daerah, Bandung: Penerbit Universal.
Stewart, M. Aileen, 1994, Empowering People,
Singapore: Pitman Publishing.
Wicipto Setiad, Peran partai politik Dalam
penyelenggaraan pemilu Yang aspiratif
dan demokratis, www.legalitas.org
Yusnita H, SH, Sistem Pemilu Ideal, Adakah.
www.wordpress.nitablog.com
Persepsi Masyarakat Terhadap Kebijakan Politik di Kota Parepare - Rudi Hardi 59
Vol.1 No.1 April 2011
KEBIJAKAN PUBLIK DALAM KONSTELASI
PARADIGMA PEMBANGUNAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Ronawaty Anasiru
ABSTRAK
Tulisan ini akan menyampaikan beberapa gagasan mengenai peran Negara
dalam kebijakan publik dan pembangunan sosial, khususnya yang menyangkut
pembangunan kesejahteraan sosial di Indonesia. Tulisan ini dilandasi argumen
bahwa menguatnya arus globalisasi dan liberalism ekonomi melahirkan kesempatan-
kesempatan dan pilihan-pilihan baru dalam berbagai bidang pembangunan. Namun
demikian, kapitalisme sebagai anak kandung globalisasi dan sekaligus poros dari
liberalisme ekonomi juga menciptakan tantangan-tantangan baru bagi pembangunan
Indonesia. Kebijakan publik yang pro pembangunan sosial diperlukan guna me-
rebounding dominasi globalisasi dan kapitalisme sehingga tidak menabrak keadilan
dan kesejahteraan sosial.
Kata Kunci: Kebijakan publik, pembangunan, kesejahteraan sosial
PENDAHULUAN
Menurut Undang-Undang No.11 tahun
2009 tentang kesejahteraan sosial.
Kesejahteraan sosial adalah kondisi
terpenuhinya kebutuhan spiritual, material
dan sosial warga Negara agar dapat hidup
layak dan mampu mengembangkan diri,
sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya
Kesejahteraan sosial adalah bagian tak
terpi-sahkan dari cita-cita kemerdekaan dan
muara dari agenda pembangunan ekonomi.
Pasal 33 UUD 1945 yang merupakan pasal
mengenai ekonomi berada pada bab.XIV UUD
45 yang berjudul “kesejahteraan sosial”.
Menurut Sri Edi Swasono (2001), dengan
menempatkan pasal 33 1945 dibawah judul
bab “kesejahteraan sosial” itu berarti
pembangunan ekonomi nasional haruslah
bermuara pada peningkatan kesejahteraan
sosial. Dengan demikian, dilihat dari
perspektif pembangunan sosial, Indonesia
menganut Negara kesejahteraan, Indonesia
menganut prinsip keadilan sosial (sila kelima
Pancasila) dan secara eksplisit konstitusinya
(pasal 27 dan 34 UUD 1945) mengamanatkan
tanggungjawab pemerintah dalam
pembangunan sosial.
60
Vol.1 No.1 April 2011
Namum demikian, baik pada masa Orde
Baru maupun era reformasi saat ini,
pembangunan sosial baru sebatas jargon dan
belum terintegrasi dengan strategi
pembangunan ekonomi. Penanganan masalah
sosial masih belum menyentuh persoalan
mendasar. Program-program jaminan sosial
masih bersifat parsial dan karitatif serta belum
didukung oleh kebijakan publik yang
memadai. Orang miskin masih dipandang
sebagai sampah pembangunan yang harus
dibersihkan. Kalaupun dibantu, baru sebatas
bantuan uang, barang, pakaian atau mie instan
berdasarkan prinsip belas kasihan (harity)
tanpa konsep dan visi yang jelas.
Bahkan kini terdapat kecenderungan
pemerintah enggan terlibat mengurusi
permasalahan sosial. Dengan menguatnya
liberalisme dan kapitalisme, pemerintah lebih
tertarik pada bagaimana memacu pertumbuhan
ekonomi setinggi-tingginya termasuk menarik
pajak dari rakyat sebesar-besarnya. Sedangkan
tanggungjawab menangani masalah sosial dan
memberikan jaminan sosial diserahkan
sepenuhnya kepada masyarakat.
Bergulirnya otonomi daerah juga bukan
semakin memperkuat komitmen pemerintah
daerah untuk lebih memperhatikan masyarakat
kelas bawah. Pemberian wewenang yang lebih
besar kepada pemerintah daerah dalam
mengelola pembangunan daerah belum diikuti
dengan penguatan piranti kebijakan dan
strategi pembangunan sosial. Bahkan terdapat
ironi di beberapa daerah institusi-institusi
kesejahteraan sosial yang sudah mapan, alih-
alih dibina kembangkan malahan dibumi
hanguskan begitu saja.
Terkesan kuat, pengalihan pembangunan
sosial hanya dianggap sebagai beban tambahan
bagi anggaran pemerintah daerah. Tidak sedikit
pemerintah daerah yang hanya mau menerima
penguatan dan peralihan wewenang dalam
pengelolaan dan peningkatan sumber-sumber
“Pendapatan Asli Daerah (PAD)” sedangkan
peralihan tugas dan peran menangani
“Permasalahan Sosial Asli Daerah (PSAD)
inginnya diserahkan kepada masyarakat,
lembaga-lembaga sosial dan keagamaan.
Indonesia bisa menimba pengalaman dari
Negara-negara maju ketika mereka
memanusiawikan kapitalisme. Kemiskinan
dan kesenjangan sosial ditanggulangi oleh
kebijakan publik, seperti berbagai skim
jaminan sosial yang benar-benar dapat
dirasakan manfaatnya secara nyata terutama
oleh masyarakat kelas bawah.
KEBIJAKAN PUBLIK
Istilah kebijakan adalah suatu kemampuan
atau kemahiran, sedangkan kebijakan publik
adalah suatu pernyataan atau kehendak dari
pemerintah mengenai suatu kegiatan yang
dilakukannya dalam suatu bidang tertentu
untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Literatur mengenai kebijakan publik telah
banyak menyajikan berbagai definisi kebijakan
publik, baik dalam arti luas maupun sempit. Dye
yang dikutip Young dan Quinn (2005:2),
memberikan definisi kebijakan publik secara
luas, yakni sebagai “whatever governments
choose to do or not to do”. Untuk memahami
berbagai definisi kebijakan publik ada baiknya
jika kita membahas beberapa konsep kunci
yang termuat dalam kebijakan publik.
a. Kebijakan publik adalah Tindakan
pemerintah yang berwewenang. Kebijakan
publik adalah tindakan yang dibuat dan
diimplementasikan oleh badan pemerintah
yang memiliki kewenangan hukum, politis
dan finansial untuk melakukannya.
b. Kebijakan publik adalah sebuah reaksi
terhadap kebutuhan dan masalah dunia
nyata. Kebijakan publik berupaya merespon
masalah atau kebutuhan kongkrit yang
berkembang di masyarakat.
c. Kebijakan publik adalah seperangkat
tindakan yang berorientasi pada tujuan.
Kebijakan publik biasanya bukanlah sebuah
keputusan tunggal melainkan terdiri dari
beberapa pilihan tindakan atau strategi
yang dibuat untuk mencapai tujuan tertentu
demi kepentingan orang banyak.
d. Kebijakan publik adalah sebuah keputusan
untuk melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Kebijakan publik pada umumnya
merupakan tindakan kolektif untuk
memecahkan masalah sosial. Namun,
kebijakan publik bisa juga dirumuskan
61Kebijakan Publik dalam Konstelasi Paradigma Pembangunan Kesejahteraan Sosial - Ronawaty Anasiru
Vol.1 No.1 April 2011
berdasarkan keyakinan bahwa masa-lah
sosial akan dapat dipecahkan oleh kerangka
kebijakan yang sudah ada dan karenannya
tindakan memerlukan tindakan tertentu.
PARADIGMA PEMBANGUNAN
KESEJAHTERAAN SOSIAL
Saat ini terjadi pergeseran paradigma
dalam ketatanegaraan dan kebijakan publik
dari goverment (pemerintahan) ke governance
(tata kelola), kebijakan publik dipandang
bukan lagi sebagai dominasi pemerintah.
Makna publik juga bergeser dari “penguasa
orang banyak” yang diindentik dengan
pemerintah ke “bagi kepentingan orang
banyak dengan istilah stakeholder atau
pemangku kepentingan. Para analis kebijakan
dan kelompok pemikir yang independen
kemudian muncul sebagai profesi baru yang
banyak berperan mengkritisi beroperasinya
kebijakan sosial dan kemudian mengajukan
saran-saran perbaikannya demi terwujudnya
good governance sejalan dengan menguatnya
semangat demokratisasi, civil society dan
transparansi.
Secara konseptual, pembangunan
kesejahteraan sosial merupakan bagian
integral dari pembangunan sosial. Dalam
Pembangunan Nasional kesejahteraan sosial
merupakan bagian integral dari pembangunan
bidang kesejahteraan rakyat, pendidikan dan
kebudayaan. Oleh karena itu, di Indonesia
kesejahteraan sosial secara luas merujuk pada
pembangunan sosial, sedangkan secara sempit
mengacu pada pembangunan kesejahteraan
sosial.
Edi Soeharto dalam bukunya Analisis
kebijakan publik menyatakan bahwa
“Pembangunan kesejahteraan sosial adalah
usaha yang terencana dan terarah yang
meliputi berbagai bentuk intervensi sosial dan
pelayanan sosial untuk memenuhi kebutuhan
manusia, mencegah dan mengatasi masalah
sosial, serta memperkuat institusi-institusi
sosial. Ciri iutama pembangunan kesejahteraan
sosial adalah holistik-komprehensif dalam arti
setiap pelayanan sosial yang diberikan
senantiasa menempatkan penerima pelayanan
(beneficiaries) sebagai manusia, baik dalam
arti individu maupun kolektifitas, yang tidak
terlepas dari sistem lingkungan sosio-
kulturalnya.
Perkembangan globalisasi dan menguatnya
interaksi antar peradaban dunia telah
memperkuat masuknya paham ekonomi
kapitalisme dalam berbagai pendekatan
pembangunan. Secara makro, masuknya faham
ekonomi kapitalisme ini telah mdelahirkan
kritikan tajam terhadap faham welfare state
(Negara kesejahteraan). Sehingga berkembang
anggapan bahwa negara kesejahteraan
merupakan sistem yang boros, tidak mampu
memberdayakan masyarakat, menimbulkan
stigmatisasi dan bahkan jebakan kemiskinan
(poverty trap) terhadap populasi sasarannya.
Meskipun kritik tersebut tidak sepenuhnya
akurat anggapan ini telah menyebabkan
menurunnya anggaran pembangunan yang
dialokasikan untuk usaha kesejahteraan sosial.
Usaha ini dipandang sebagai kegiatan yang
tidak memiliki indikator keberhasilan yang
terukur secara ekonomis. Menghadapai
tantangan ini pembangunan kesejahteraan
sosial mengalami pergeseran paradigma
(paradigm shift) yakni :
a. Dari masalah ke kebutuhan
Selama ini pembangunan kesejahteraan
sosial lebih berorientasi pada penanganan
masalah, khususnya masalah kesejahteraan
soaial. Meskipun bukan kekeliruan, pendekatan
semacam ini seringkali menggiring pada
pembuat keputusan dan pelaku pembangunan
kesejahteraan sosial kepada pendekatan
bersifat reaktif. Program pembangunan
kesejahteraan sosial dirancang hanya untuk
mengatasi masalah yang sudah ada diwilayah
hilir. Hal ini sejalan dengan teori “gunung es”
atau “Iceberg theory” dari Anderson dimana
melihat suatu permasalahan hanya dari
permukaan saja yang bersifat reaktif, tidak
melihat masalah yang mendasar yang ada
dibawah gunung es tersebut. Sebagaimana
dicontohkan para pekerja sosial berperilaku
seperti “tukang sampah” yang setiap hari
membersihkan sampah tanpa pernah
merespon sumber penghasil sampah.
Disadari bahwa kesejahteraan sosial
bersifat multidimensional, penanganannya
62Kebijakan Publik dalam Konstelasi Paradigma Pembangunan Kesejahteraan Sosial - Ronawaty Anasiru
Vol.1 No.1 April 2011
membutuhkan pendekatan terpadu yang tidak
hanya difokuskan pada gejala masalah,
melainkan pada berbagai determinan yang
mempengaruhinya. Perspektif penanganan
masalah sosial yang berorientasi pada
kebutuhan dapat dilihat dari program-
program kesejahteraan sosial yang bersifat
pencegahan dan pengembangan yang kini
banyak dikembangkan di negara maju dan
berkembang.
b. Dari stigmatisasi ke hak azasi manusia
Pada masyarakat barat, sejarah
perkembangan usaha kesejahteraan sosial
tidak dapat dilepaskan dari kegiatan-kegiatan
karitatif untuk menolong keluarga miskin. Para
penerima pelayanan diberi bantuan uang,
barang atau pelayanan sosial untuk menunjang
hidupnya, karena prasyarat menerima bantuan
adalah memenuhi kriteria “miskin” dan “tidak
mampu, para penerima pelayanan ini dengan
sendirinya termasuk ke dalam kelompopk
khusus. Mereka mengalami stigmatisasi sebagai
warga kelas dua pada struktur sosial
masyarakat. Konsep kesejahteraan kemudian
sangat identik dengan pemberian tunjangan
pendapatan (doll) atau tunjangan pengangguran
(unemployment benefits) bagi golongan
masyarakat yang papa, cacat atau menganggur.
Dewasa ini dengan diratifikasinya
berbagai konvensi hak azasi mananusia,
bantuan terhadap kaum papa sekalipun tidak
lagi dilihat sebagai usaha belas kasihan
(charity). Melainkan sebagai hak mereka
sebagai warga negara untuk menerima
pelayanan sosial dasar dari Negara sebagai
representasi masyarakat. Beberapa istilah
yang telah bertahun-tahun digunakan dalam
arena kesejahteraan sosial mengalami
berbagai penyelarasan. Misalnya orang miskin
(the poor) menjadi “pemerlu” (the needy),
orang cacat (handicapped disabled people)
menjadi “orang dengan kecacatan” (people
withdisabilities) atau “orang dengan
kemampuan khusus (people with specific
capacities). Kelompok sasaran ini yang tadinya
hanya dipandang sebagai “penerima
pelayanan” (beneficiares) atau “klien”(client),
kemudian ada yang sering dinamakan
“pengguna” (user). Istilah pengguna
dimasukkan sebagai salah satu populasi dan
“kelompok yang berkepentingan” (stakeholders)
dan dipandang sebagai kelompok penentu
proses keberhasilan pertolongan.
c. Dari penerima positif ke pelaku aktif
Salah satu kritik yang sering dilontarkan
kepada sistem welfare state adalah terlau
dominannya peran Negara dalam merancang
dan sekaligus melakukan intervensi terhadap
populasi yang mengalami masalah. Selain
meninmbulkan beban pada anggaran negara,
pendekatan ini sering menimbulkan
ketergantungan pada penerima pelayanan
sosial. Dalam praktek pekerjaan sosial, pekerja
sosial dipandang sebagai penolong yang serba
bisa. Sementara klien dilihat sebagai penerima
bantuan yang seakan-akan tidak memiliki
kemampuan untuk menolong dirinya.
Pandangan diatas kini telah banyak
bergeser. Negara kini banyak menyerahkan
sebagian peran sosialnya kepada Lembaga
Swadaya Masyarakat (LSM) sebagai mitra
kerjasama pembangunan kesejahteraan sosial.
Klien kini dipandang sebagai aktor yang juga
memiliki potensi yang dapat dikembangkan
untuk menghadapi masalahnya sendiri. Konsep
pemberdayaan menyeruk sebagai strategi
pembangunan kesejahteraan sosial yang
menempatkan penerima pelayanan bukan
semata-mata “klien” melainkan “partisipan”
dan “pelaku aktif ” pemenuhan kebutuhan
mereka sendiri.
d. Dari bantuan sosial ke pemberdayaan.
Dengan menguatnya embusan demokrasi
dan semangat civil society, konsep mengenai
pemberdayaan masyarakat (community
empowerment) semakin mendapat tempat
dalam relung kesadaran publik. Pembangunan
kesejahteraan sosial yang semula didominasi
negara, kini dilakukan dengan melibatkan
masyarakat dan organisasi-organisasi sosial.
Karena belanja negara untuk program
kesejahteraan sosial mengalami kontraksi,
program-program jaminan sosial dan
pelayanan sosial yang semula bersifat
universal, kini semakin bergeser menjadi
selektif berdasarkan pendekatan means-test.
Isu-isu mengenai stigma, kergantungan dan
Kebijakan Publik dalam Konstelasi Paradigma Pembangunan Kesejahteraan Sosial - Ronawaty Anasiru 63
Vol.1 No.1 April 2011
*******
“jebakan kemiskinan” (poverty trap) yang
sering dianggap melekat pada pelayanan dan
bantuan sosial, telah menjadi justifikasi logis
bagi masuknya nuansa pemberdayaan pada
mainstream pembangunan kesejahteraan
sosial
KONSTELASI PARADIGMA
PEMBANGUNAN KESEJAHTERAAN SOSIAL
Pandangan di atas mencerminkan bahwa
pembangunan kesejahteraan sosial
berorientasi dan berwawasan ke depan searah
dengan perubahan dan perkembangan
masyarakat. Pembangunan kesejahteraan
sosial bukan hanya bersifat residual, reaktif dan
karitatif dalam arti hadir hanya sebagai pelipur
lara terhadap para penyandang masalah sosial
dan memainkan peran hanya sebagai “penyapu
sampah-sampah pembangunan”. Pendekatan
pembangunan kesejahteraan sosial bersifat
universal. Institusional dan proaktif terhadap
kondisi kehidupan masyarakat dan masalah
sosial. Sasaran pembangunan kesejahteraan
sosial adalah seluruh masyarakat dari berbagai
latar dan golongan dengan prioritas utama para
penyandanga masalah sosial Pemerlu Pelayanan
Kesejahteraan Sosial (PPKS). Pembangunan
kesejahteraan sosial dilaksanakan secara
bertahap, terarah, terpadu, berkelanjutan,
berencana, terorganisasi dan melembaga.
Pembangunan kesejahteraan sosial
menekankan pada keberfungsian sosial (social
functioning) manusia dalam kehidupan sosial
masyarakat. Tujuan pembangunan
kesejahteraan sosial adalah tercapainya kondisi
kesejahteraan sosial yang adil dan merata serta
berjalannya suatu sistem kesejahteraan sosial
yang mapan dan melembaga sebagai salah satu
piranti kehidupan masyarakat Indonesia dalam
upaya menjadi bangsa yang maju, mandiri dan
mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sesuai
dengan standard kemanusiaan.
Pembangunan akan memberikan hasil
yang optimal apabila memperhatikan berbagai
dimensi secara seimbang dan proporsional.
Untuk memacu dan mempertahankan
pertumbuhan ekonomi serta mewujudkan
kesejahteraan sosial yang adil, pendekatan
pembangunan harus mempertimbangkan
aspek-aspek sosial. Pendekatan sosial perlu
diterapkan bersamaan dengan pendekatan
ekonomi dalam strategi pembangunan.
Keduanya harus dirancang dan dilaksanakan
secara seimbang, saling mengisi, saling
melengkapi, dan saling memperkuat satu sama
lain. Pembangunan sosial dan kebijakan sosial
kemudian muncul sebagai konsep baru yang
mewarnai konstelasi paradigma pembangunan
sebelumnya yang terlalu didominasi oleh
pembangunan ekonomi dan tentunya oleh
kebijakan ekonomi.
PENUTUP.
Demikianlah ulasan tentang Kebijakan
publik dalam konstelasi pareadigma
pembangunan kesejahteraan sosial. Terlepas
dari kelemahan dan kelebihannya memberi
pesan betapa sebuah naskah kebijakan adalah
produk akademis yang tidak kaku. Bila isi dan
tampilannya menarik, ia dapat mengundang
perhatian publik dan berpengaruh pada
perubahan masyarakat, for better or worst.
Karenanya, naskah kebijakan adalah piranti
pembangunan sosial yang sangat penting
menjadi bagian strategi pembangunan
nasional.
DAFTAR PUSTAKA
Anderson. E. James (1984) Public Police
Making, Holt, Rinehart and Winston,
CBS College Publishing, New York.
Suharto, Edi. (2005) Analisis Kebijakan Publik
(Panduan Praktis Mengkaji Masalah
dan Kebijakan Sosial) Bandung:
Alfabeta.
64Kebijakan Publik dalam Konstelasi Paradigma Pembangunan Kesejahteraan Sosial - Ronawaty Anasiru
Vol.1 No.1 April 2011
PENDAHULUAN
Berdasarkan penilaian “ The Fajar Institute
of Pro Otonomi (FIPO), Kabupaten Takalar
mendapat Tropi Otonomi Award 2010 kategori
daerah dengan profil menonjol partisipasi
publik dan kesinambungan politik lokal. Hal
tersebut berkaitan dengan kebijakan
pemerintah daerah yang terus berinovasi dan
melakukan terobosan di bidang partisipasi
masyarakat dalam pembangunan. Salah satu
program unggulannya adalah Sistem
Dukungan Terpadu Pembangunan di Desa
yang disingkat Sisduk (Usman, 2010).
Kabupaten Takalar yang berpenduduk miskin
31.17 juta jiwa atau 16,6 persen dari total
jumlah penduduk (BPS, 2009) harus bersaing
dengan empat daerah lainnya yang
didominasikan untuk kategori yang sama
yakni Kabupaten Luwu Utara, Soppeng, Sinjai
dan Kepulauan Selayar. Menurut peneliti FIPO,
Usman (2010) Kabupaten Takalar meraih skor
tertinggi dari 23 kabupaten/kota lainnya yakni
730 poin, sementara Luwu Utara dan Soppeng
memperoleh nilai sama 727 poin, Sinjai dan
Selayar masing-masing 722 dan 721 poin.
MANAJEMEN KEBIJAKAN DALAM
MEMBANGUN PARTISIPASI PUBLIK
Lukman Hakim
ABSTRAK
Partisipasi publik merupakan komponen vital bagi segenap lapisan masyarakat
termasuk kelompok miskin dalam suatu proses pembangunan yang
mendorong terciptanya masyarakat yang mandiri. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa pembangunan tidak hanya menjadi tumpuan pemerintah saja
secara top down, tetapi harus dilakukan dengan kemampuan membangun partisipasi
publik. Partisipasi publik sebagai gerakan masyarakat untuk terlibat dalam proses
pembuatan keputusan, dalam pelaksaanaan kegiatan, ikut menikmati hasil dari
kegiatan tersebut, dan ikut serta dalam mengevaluasinya. Oleh sebab itu dalam
membangun partisipasi publik tersebut maka pemerintah daerah perlu melakukan
terobosan dengan mengembangkan manajemen kebijakan diantaranya kebijakan
Sisduk, Pemberdayaan Masyarakat, dan Peningkatan Kinerja aparat pemerintah.
Tulisan ini menggunakan metode content analysis terhadap informasi hasil
penelitian The Fajar Institute of Pro Otonomi (FIPO) yang telah dipublikasikan, serta
analysis terhadap hasil penelitian tesis dua orang mahasiswa pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Makassar yang penulis sendiri bimbing dalam proses
penelitiannya.
Kata Kunci: Manajemen Kebijakan, Pemberdayaan dan Peningkatan Kinerja.
65
Vol.1 No.1 April 2011
Fenomena tersebut sangat menarik
terlebih bagi daerah yang sementara
membangun sebuah pemerintahan yang baik
(good governance), dimana proses
pembangunan tidak hanya menjadi tumpuan
pemerintah saja secara top down, tetapi harus
dilakukan dengan kemampuan membangun
partisipasi publik. Oleh sebab itu fenomena
tersebut perlu menjadi sebuah pembelajaran
untuk dikaji lebih mendalam mengenai fakta-
fakta apa saja yang menjadi faktor dominan
dalam membangun partisipasi publik.
Keberhasilan dalam membangun partisipasi
publik selain terkait dengan adanya kegiatan
dalam kebijakan Sisduk pemerintah daerah
Kabupaten Takalar, terkait pula dengan
strategi peningkatan kinerja aparat (Sukri,
2010) dan kemampuan mengembangkan
pemberdayaan masyarakat (Dewi, 2010).
Hasil penelitian dua orang mahasiswa
Pascasarjana Unismuh Makassar tersebut
menjadi tambahan rujukan analisis tulisan ini.
Sedangkan analisis hasil penelitian FIPO
dilakukan penulis dengan menggunakan
metode content analysis.
LANDASAN TEORI
Partisipasi Publik
Pengembangan partisipasi publik
merupakan sebuah pendekatan dalam
program pemberdayaan masyarakat. Menurut
Ndraha (1990) pada fase permulaan gerakan
pembangunan desa di berbagai negara,
parakarsa (initiative) yang disebut partisipasi
sebagai salah satu elemen proses
pembangunan desa, tida segera tergerak. Oleh
sebab itu partisipasi masyarakat dalam
pembangunan desa perlu dibangkitkan
terlebih dahulu oleh pihak lain. Berbagai
sumber menyatakan, penggerakan partisipasi
masyarakat desa merupakan salah satu
sasaran pembangunan desa itu sendiri (PBB;
Bhattacharyya, ADB dan Bhattacharyya dalam
Ndraha, 1990).
Beberapa ahli mendefinisikan partisipasi
sebagai gerakan masyarakat untuk terlibat
dalam proses pembuatan keputusan, dalam
pelaksaanaan kegiatan, ikut menikmati hasil
dari kegiatan tersebut, dan ikut serta dalam
mengevaluasinya (Uphoff, 1992). Partisipasi
adalah suatu proses dimana berbagai pelaku
(stakeholders) dapat mempengaruhi serta
membagi wewenang dalam menentukan
inisiatif-inisiatif pembangunan, keputusan
serta pengalokasian berbagai sumberdaya
yang berpengaruh terhadap mereka (Bank
Dunia, 2007).
Mubyarto (1984) mendefinisikan
partisipasi sebagai kesediaan untuk
membantu berhasilnya setiap program sesuai
kemampuan setiap orang tanpa berarti
mengorbankan kepentingan diri sendiri.
Sedangkan Nelson dalam Bryant dan White
(1982) menyebut dua macam partisipasi,
yaitu partisipasi antara sesama warga atau
anggota suatu perkumpulan yang dinamakan
partisipasi horizontal, dan partisipasi yang
dilakukan oleh bawahan dan atasan atau
antara masyarakat sebagai suatu keseluruhan
dengan pemerintah, yang diberi nama
partisipasi vertikal. Keterlibatan dalam
berbagai kegiatan politik seperti pemberian
suara dalam pemilihan, kampanye dan
sebagainya, disebut partisipasi dalam partai
politik. Sedangkan keterlibatan dalam kegiatan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan
disebut partisipasi dalam proses administrasi.
Keterlibatan kelompok atau masyarakat
sebagai suatu kesatuan disebut partisipasi
kolektif, sedangkan keterlibatan individu
dalam kegiatan kelompok disebut partisipasi
individual. Pengembangan partisipasi
masyarakat dalam pembangunan bertujuan
membangun prakarsa dimana setiap orang
atau kelompok masyarakat berpartisipasi
horizontal antara satu dengan lainnya baik
dalam melakukan usaha bersama maupun
dalam rangka melakukan kegiatan dengan
pihak lain.
Dalam pembangunan pedesaan di
Indonesia, partisipasi sepenuhnya dari
segenap lapisan masyarakat termasuk
kelompok miskin adalah komponen vital dalam
suatu proses pembangunan yang mendorong
terciptanya masyarakat yang mandiri. Oleh
sebab itu seringkali diperlukan pendekatan
partisipatif dalam pengembangan masyarakat,
karena memberi manfaat dalam pelaksanaan
program, antara lain; efisien, efektif, menjalin
Manajemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim 66
Vol.1 No.1 April 2011
kemitraan, memberdayakan kapasitas,
memperluas ruang lingkup, meningkatkan
ketepatan kelompok sasaran, berkelanjutan,
memberdayakan kelompok marjinal dan
meningkatkan akuntabilitas.
Salah satu sisi masalah dalam pendekatan
partisipatif ini adalah membutuhkan biaya
yang besar dan lambatnya proses pengambilan
keputusan. Namun demikian, pengembangan
partisipasi tersebut akan mendukung
keberhasilan dari pelaksana program yang
didampingi dan memperoleh legitimasi dari
masyarakat.
Pengembangan partisipasi masyarakat
dalam pembangunan tergantung kemauan
politik (political will) dari pemerintah yang
berkuasa. Dalam pelaksanaannya, proses
partisipatif seharusnya dimulai sejak
identifikasi dan analisis stakeholders,
konsultasi tingkat daerah, penyusunan
program pembangunan (strategi program,
program investasi, program pembiayaan, dan
program pengembangan kelembagaan),
proses pengawasan hingga monitoring dan
evaluasi. Dengan demikian pengembangan
partisipatif dalam pengembangan masyarakat
diharapkan selalu muncul dalam setiap
penggalian aspirasi dan kebutuhan, konsultasi,
penyepakatan, dan pengambilan keputusan.
Keuntungan-keuntungan lainnya dalam
pengembangan partisipasi dalam proses
pemberdayaan masyarakat, antara lain:
(1) Mampu merangsang timbulnya swadaya
masyarakat yang merupakan dukungan
penting bagi pembangunan
(2) Mampu meningkatkan motivasi dan kete-
rampilan masyarakat dalam membangun
(3) Pelaksanaan pembangunan semakin
sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan
masyarakat
(4) Jangkauan pembangunan menjadi lebih
luas, meskipun dengan dana yang terbatas
(5) Tidak menciptakan ketergantungan
masyarakat terhadap pemerintah dan
pihak lain.
Prinsip-prinsip tersebut dikembangkan
sesuai dengan kondisi lokalitas dan komunitas
untuk mengembangkan kreativitas dalam
upaya mengembangkan partisipasi dan
aspirasi masyarakat.
Manajemen Kebijakan
Manajemen kebijakan di lingkungan
pemerintahan akan banyak berkaitan dengan
pengalokasian kekuasaan dan sumberdaya,
pendelegasian wewenang mengambil
keputusan, penggalian sumber-sumber
keuangan dan pemanfaatan dana dari rakyat
berupa pajak dengan cara yang paling efisien
dan efektif (Bryson, 1988). Kebijakan dalam
membangun partisipasi publik berawal dari
adanya awareness of a problem (kesadaran
akan adanya masalah tertentu). Misalnya,
gagalnya kebijakan tertentu dalam upaya
mengatasi suatu masalah pada suatu tingkat
yang dianggap memuaskan, atau ada masalah
tertentu yang sudah sekian lama dipersepsikan
belum pernah tersentuh oleh kebijakan
pemerintah (Wahab, 1997). Pada kasus
membangun partisipasi publik yang bertujuan
membangun prakarsa setiap orang atau
kelompok masyarakat berpartisipasi
horizontal dalam suatu proses pembangunan
seringkali diperlukan agenda kebijakan publik.
Kebijakan Sisduk pemerintah daerah
Kabupaten Takalar merupakan salah satu
terobosan yang perlu menjadi pembelajaran
bagi pemerintah daerah lainnya, sepanjang
memenuhi kriteria tertentu.
Hogwood dan Gunn (1986) menyebutkan
bahwa secara teoritis, suatu isu akan cenderung
memperoleh respons dari pembuat kebijakan
untuk dijadikan agenda kebijakan publik kalau
memenuhi beberapa kriteria tertentu, antara
lain: a) isu tersebut telah mencapai suatu titik
kritis tertentu, b) isu tersebut menyangkut
kepentingan orang banyak, c) isu tersebut
menjangkau dampak yang amat luas, dan d) isu
tersebut mudah dirasakan kehadirannya.
Kriteria tersebut dapat menjadi kerangka
acuan dalam praktek kebijakan di Indonesia.
Kebijakan pemerintah daerah dalam
membangun prakarsa masyarakat merupakan
aplikasi nilai-nilai keadilan, kebebasan dan
kesejahteraan. Nilai-nilai tersebut merupakan
tiga dari lima nilai kebaikan publik yang
disebutkan oleh Fisterbusch (1983)
diantaranya nilai keamanan (security), hukum
dan ketertiban umum (law and order), keadilan
(justice), kebebasan (liberty), dan
kesejahteraan (welfare).
Manajemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim 67
Vol.1 No.1 April 2011
Para pemikir kebijakan publik
berpendapat bahwa kesejahteraan umum itu
haruslah dimaksimalkan dengan jalan
memberikan kebahagiaan yang sebesar-
besarnya bagi sejumlah besar orang. Dalam
teori kebijakan publik dikenal prinsip
utilitarian sebagai prinsip yang etis karena
memperjuangkan manfaat yang sama bagi
setiap orang untuk merumuskan manfaat,
kebahagiaan, dan kemaslahatan menurut
keinginannya sendiri. Demikian pula perlu
adanya kebebasan dan persamaan yang penuh
serta memberikan perlakuan yang adil dan
sederajat terhadap si lemah yakni mereka yang
tak beruntung dalam masyarakat. Menurut
pandangan Rawls dalam Wahab (1997),
kebebasan itu adalah dalam artian hak-hak
politik dasar, sedangkan keadilan adalah
persamaan memperoleh kesempatan serta
perlakuan yang positif terhadap si lemah.
Berdasarkan pemikiran tersebut, maka
kebijakan sistem dukungan (Sisduk)
merupakan nilai tambah terhadap upaya
untuk memaksimasi kebaikan sosial atau
kemaslahatan umum bagi warga miskin dan
sebagai upaya untuk membuat kebijakan
publik yang lebih etis.
Kebijakan Sistem Dukungan Terpadu
dalam Pembangunan
Sistem Dukungan (Sisduk) merupakan
terobosan kebijakan pemerintah daerah
Kabupaten Takalar. Kebijakan Kegiatan Sisduk
menurut Usman (2010) antara lain:
pertama, pelatihan-pelatihan yang
ditujukan bagi para pelaksana pembangunan
masyarakat desa yaitu aparat pemerintahan
desa dan Lembaga Swadaya Masyarakat
(LSM), dan pelatihan-pelatihan khusus untuk
para anggota kelompok masyarakat.
Kedua, pelaksa-naan sistem dukungan
melalui pendampingan pada kelompok
masyarakat agar mereka mengetahui ciri khas
daerahnya sendiri, masa depannya, serta
pengorganisasian masyarakat melalui
berbagai aktivitas-aktivitas kecil yang dititik
beratkan pada kemampuan dan kebutuhan
mereka.
Ketiga, memberi dana stimulan
(perangsang) sebagai tambahan dari swadaya
masyarakat untuk kelompok-kelompok agar
mereka berpartisipasi dalam melakukan
kegiatan-kegiatan berdasarkan kebutuhan
mereka. Tujuan utama kebijakan ini adalah
membangun kemampuan masyarakat lokal
agar mereka dapat mandiri dan mampu
mengidentifikasi, memecahkan, dan
melaksanakan kegiatan untuk mengatasi
masalah yang dihadapi. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa program Sisduk mampu
mendorong partisipasi dan swadaya
masyarakat yang melebihi dana yang
dikeluarkan pemerintah. Berikut tabel
pengeluaran pemerintah Kabupaten Takalar
untuk kegiatan Program Sisduk
Dana pengeluaran pemerintah sebanyak
7,9 milyar rupiah maupun pengeluaran
masyarakat sebanyak 11,59 milyar rupiah
pada tahun 2003-2006 digunakan untuk
membantu 17.957 Kepala Keluarga (KK) dan
3.017 kelompok masyarakat. Sedangkan
pengeluaran pemerintah tahun 2009
sebanyak 1 milyar rupiah dan 1,69 milyar
rupiah dana partisipasi masyarakat mampu
membangkitkan partisipasi bidang ekonomi
dan sosial masyarakat yang diperuntukkan
untuk kegiatan bidang ekonomi seperti
pengadaan pompa air untuk pertanian,
pupuk, perikanan mesin alat tangkap, rumput
laut, dan industri rumah tangga. Sedangkan
dana pengeluaran untuk kegiatan bidang
sarana dan prasarana seperti pengadaan air
bersih, jamban keluarga, pengairan tersier,
dan jalan tani/jembatan hingga kegiatan sosial
seperti rehabilitasi masjid/musalah, dan
pembangunan TK/TPA. Kegiatan tersebut
telah membawa banyak perubahan di Takalar
seperti tumbuhnya kelompok-kelompok di
dalam masyarakat sebagai wadah kerja sama
untuk memenuhi kebutuhan bersama. Hingga
tahun 2008 telah terbentuk sebanyak 4.653
kelompok.
Managemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim
Tabel 1.
Pengeluaran Pemerintah untuk Program Sisduk (Milyard)
Sumber: Hasil Olahan Data Sekunder, 2010
TAHUN PENGELUARANPEMERINTAH
PENGELUARAN MASYARAKAT(DANA PARTISIPASI)
2003 – 2006
2009
7,91
11, 591,69
68
Vol.1 No.1 April 2011
Kebijakan Program Nasional
Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
Perdesaan (PNPM-MP).
Salah satu keberhasilan dalam membangun
partisipasi publik di Kabupaten Takalar adalah
keberhasilan mengimplementasikan program
nasional pemberdayaan masyarakat mandiri
pedesaan (PNPM-MP)di sebagian perdesaan.
Program PNPM Mandiri Perdesaan yang
dimulai sejak tahun 2007 dengan program
pengembangan masyarakat mulai diperluas
tahun 2008 dengan melibatkan program
pengembangan infrastruktur sosial ekonomi
wilayah (PISEW) untuk mengingrasikan pusat-
pusat pertumbuhan ekonomi dengan daerah
lainnya. Untuk meningkatkan pemberdayaan
masyarakat, maka di daerah ini dilaksanakan
pelatihan kader pemberdayaan masyarakat
desa (KPMD) dan pendamping lokal (PL)
program PNPM mandiri. Sesuai dengan visi
dan misi PNPM mandiri maka strategi yang
dikembangkan di daerah ini adalah
menjadikan rumah tangga miskin (RTM)
sebagai kelompok sasaran, menguatkan
sistem pembangunan partisipatif serta
mengembangkan kelembagaan kerjasama
antar desa. PNPM mandiri pedesaan lebih
menekankan pentingnya pemberdayaan
sebagai pendekatan yang dipilih.
Menurut hasil penelitian Dewi (2010),
PNPM Mandiri Perdesaan sangat berpengaruh
menekan permasalahan sosial sebagai
dampak kemiskinan, antara lain permasalahan
lapangan kerja, menekan rendahnya tingkat
pendidikan, menekan peningkatan angka
kriminalitas, dan menekan berkembangnya
konflik-konflik sosial antar masyarakat, dan
menekan rendahnya akses masyarakat
terhadap kebutuhan hidup.
Dengan adanya PNPM Mandiri Perdesaan
kegiatan bidang ekonomi seperti kerajinan
rumah tangga (home industri) membangkitkan
kembali peluang masyarakat mengembangkan
lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan
rumah tangga seperti pembuatan keramik,
pembuatan kursi tamu, dan pembuatan kue
dan makanan jadi lainnya. Dengan dana
bergulir pada program PNPM mandiri, maka
tingkat kriminalitas seperti pencurian ternak
dan kecemburuan sosial antar desa/kampung
dapat ditekan. Hal ini menunjukkan bahwa
meningkatnya kriminalitas dan persoalan
sosial lainnya tidak terlepas dari kondisi
kemiskinan yang dialami oleh masyarakat.
Meskipun demikian menurut Dewi (2010),
Indeks Pembangunan Manusia (human
Development index) di daerah ini masih sangat
rendah, dibandingkan dengan kualitas
manusia di daerah/negara lainnya.
Kebijakan Peningkatan Kinerja Aparat
Pemerintah
Aparat pemerintah merupakan motor
penggerak utama dalam membangkitkan
partisipasi publik dalam pembangunan, dan
oleh karena itu aparat harus bersikap sebagai
pelayan atau memberi pelayanan, dan bukan
sebagai penguasa (Tjokroamijoyo. 1987).
Pemerintah adalah pengambil prakarsa
terlebih dahulu dalam bentuk pembangunan
untuk masyarakat (Hanson, Bhattacharyya
dalam Ndraha, 1990). Dengan catatan tidak
mematikan inisiatif masyarakat itu sendiri.
Pemerintah dengan aparat yang dimiliki
berperan memberi bimbingan dan bantuan
teknis kepada masyarakat desa dengan
maksud agar pada suatu saat masyarakat
mampu melakukannya sendiri. Misalnya
dalam hal perencanaan, pada awalnya
pemerintah melakukan perencanaan untuk
masyarakat (planning for community),
kemudian perencanaan bersama masyarakat
(planning with community). Dan akhirnya
perencanaan oleh masyarakat (planning by
community).
Menurut Sukri (2010) salah satu
keberhasilan dalam membangun partisipasi
publik dalam pembangunan di Takalar adalah
adanya langkah-langkah strategis peningkatan
kinerja aparat pemerintah, antara lain: (1)
meningkatkan kualitas aparatur pemerintah
yang profesional, disiplin dan penuh tanggung
jawab, (2) mewujudkan pelayanan umum
masyarakat yang prima dan penyelengaraan
pemerintahan yang transparan dan akuntabel,
(3) meningkatkan sistem informasi
pelaksaanaan kegiatan, dan (4) mewujudkan
kebijakan yang mendorong pertumbuhan
ekonomi dan pembangunan yang berpihak
kepada rakyat. Kebijakan strategis tersebut di
69Managemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim
Vol.1 No.1 April 2011
dukung oleh (1) adanya dukungan dan
komitmen dari pimpinan, (2) adanya jaminan
ketersediaan anggaran untuk pelaksanaan
kegiatan, (3) ketersediaan sarana dan
prasarana, (4) kemampuan aparat dalam
mengelola teknologi informasi, dan (4) adanya
hubungan kerja yang baik antar aparat.
Namun demikian peningkatan kinerja
aparat menghadapi pula beberapa kendala
atau kelemahan diantaranya masih rendahnya
kualitas dan kuantitas sumberdaya manusia,
terbatasnya kemampuan keuangan daerah,
kurangnya pemahaman pegawai terhadap
rencana pembangunan pemerintah daerah,
serta belum tersusunnya indikator kinerja
aparat pemerintah.
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan sebelumnya,
maka beberapa kesimpulan dikemukakan
dalam tulisan ini, yaitu:
1. Partisipasi publik merupakan komponen
vital dalam suatu proses pembangunan
yang mendorong terciptanya masyarakat
yang mandiri.
2. Kebijakan pemerintah daerah yang terus
berinovasi dan melakukan terobosan di
bidang partisipasi masyarakat dalam
pembangunan merupakan kebijakan yang
akan berdampak pada terciptanya
pemerintahan yang baik (good governance)
3. Kebijakan sistem dukungan terpadu dalam
pembangunan mampu membangkitkan
partisipasi masyarakat dalam berprakarsa
baik di bidang ekonomi maupun sosial
4. Kebijakan program nasional pemberdayaan
masyarakat (PNPM) mandiri mampu
meningkatkan pemberdayaan masyarakat
khususnya kelompok masyarakat miskin
sebagai sasaran
5. Peningkatan kinerja aparat pemerintah
mampu berperan memberi bimbingan dan
bantuan teknis perencanaan pembangunan
kepada masyarakat desa dengan maksud
agar pada suatu saat masyarakat mampu
melakukannya sendiri.
SARAN
Agar pemerintah daerah dapat lebih
mampu mengembangkan partisipasi publik
dalam pembangunan, maka beberapa
masukan sebagai saran dikemukakan sebagai
berikut:
1. Pemerintah daerah perlu lebih berperan
membuat terobosan kebijakan, agar
pelaksanaan program pembangunan tidak
lagi bertumpu pada peran pemerintah,
tetapi mampu melibatkan peran serta
masyarakat baik dalam perencanaan
program maupun dalam pelaksanaan
2. Partisipasi publik tidak akan berjalan
sendiri, melainkan perlu adanya komitmen
dan dukungan finansial dan ketersediaan
sarana dan prasarana serta dukungan
kemampuan aparat baik kualitas maupun
kuantitas.
DAFTAR PUSTAKA
Bank Dunia. 2007. Era Baru dalam
Pengentasan Kemiskinan di Indonesia.
(Terjemahan) Penerbit: The World
Bank
Badan Pusat Statistik, 2009. Takalar dalam
Angka, Takalar: Badan Pusat Statistik
Tjokroamijoyo, Bintoro. 1987. Administrasi
Pembangunan, Jakarta: LP3ES.
Bryant, C and White, L.G, 1982. Managing
Development in The Third World,
Boulder Colorado: Westview Press.
Bryson, John, 1988. “Strategic Planning for
Publik and Nonprofit Organizations”.
Jossey Bass Publishers, San Fransisco
Dewi, Ratna. 2010. Efektivitas Implementasi
Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat (PNPM) mandiri Pedesaan
Di Kecamatan Polombangkeng Selatan
Kabupaten Takalar (Tesis), Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Makassar
Fisterbusch, Kurt. 1983. Evaluation Methods,
dalam Social Impact Assesment
Methods, Kurt fisterbusch et all (eds).
London: Sage Publication Ltd.
70Managemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim
Vol.1 No.1 April 2011
*******
Hogwood, Brian W and Lewis A. Gunn (1986).
Policy Analysis for the Real World.
Oxford University Press.
Mubyarto. 1984. Strategi Pembangunan
Pedesaan. Yokyakarta: P3PK UGM
Ndraha, Taliziduhu. 1990. Pembangunan
Masyarakat, Jakarta: Rineka Cipta
Sukri, Muhammad. 2010. Strategi Peningkatan
Kinerja Organisasi Pada Badan
Perencanaan Pembangunan Daerah
Kabupaten Takalar (Tesis), Pascasarjana
Universitas Muhammadiyah Makassar
Uphoff, N. 1988. Local Institutional
Development. Fransisco: Cornell
University Press
Usman, Sunda r i . 2 0 1 0 . Meng galang
Potensi, Membangun Kemandirian
L o k a l ( L a p o r a n P e n e l i t i a n ) ,
A r t i k e l O t o n o m i Awa r d, T h e
Fajar Inst itute of Pro Otonomi
( F I P O ) , H a r i a n Fa j a r, 2 1 J u l i
2010, Hal. 29
Wahab, Solichin Abdul, 1987. Analisis
Kebijaksanaan, Edisi Kedua, Bumi
Aksara, Jakarta.
71Managemen Kebijakan dalam Membangun Partisipasi Publik - Lukman Hakim
Vol.1 No.1 April 2011
PENDAHULUAN
Sejak pertama digulirkan, istilah sertifikasi
telah membuat “gerah” beberapa LPTK
(Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan)
di Tanah Air. Sertifikasi dianggap sebagai
bentuk keraguan dari pihak pemerintah
terhadap kredibilitas alumni dari LPTK yang
telah banyak menghasilkan tenaga guru dan
dosen. Lembaran negara berupa “Ijazah Akta”
tidak menjadi sebuah jaminan kompetensi bagi
setiap guru. Mengapa?
Issu tentang rendahnya mutu pendidikan
yang seakan tak pernah selesai menjadi fakta
tak terbantahkan sebagai indikator bahwa
kompetensi guru perlu ditelusuri lebih jauh.
Upaya untuk menelusuri pun “digodok” dalam
rangka mendeteksi layak tidaknya seorang
KEBIJAKAN SERTIFIKASI GURU
(Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru)
Ihyani Malik
ABSTRAK
Issu sertifikasi guru dan dosen telah lama digulirkan. Sertifikasi sebagai upaya
legal dan pengakuan negara terhadap status profesional bagi guru. Undang-
undang RI No.14 tahun 2005 dan PP No.74 tahun 2008 memberikan batasan
bahwa sertifikasi adalah proses pemberian sertifikat untuk guru dan dosen.
Pengakuan sebagai seorang profesional dikuatkan dengan terbitnya lembaran negara
yang bernama “sertifikat pendidik”. Sebuah impian yang dinantikan oleh kaum “Umar
Bakri” di Tanah Air. Namun menjadi sebuah tanda tanya, “apakah menjadi guru
profesional cukup dengan sertifikasi?” Menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan
analisis lebih jauh.
Kata Kunci: Kebijakan, pendidikan, sertifikasi guru
72
Vol.1 No.1 April 2011
guru dianggap profesional. Tarik ulur sistem
pendeteksian melahirkan sebuah instrumen
yang disebut dengan “Penilaian Porto Folio”
yang dianggap “lebih murah” saat ini sebagai
“alat deteksi” bagi keprofesionalan bagi
seorang guru.
Menyikapi pertanyaan utama di atas
dikaitkan dengan “alat deteksi” berupa porto
folio memang secara sederhana dapat
menjawab pertanyaan tersebut. Porto Folio
yang terbagi ke dalam 10 komponen besar
yang dipersyaratkan dapat memberi jaminan
bahwa seorang guru yang memenuhi standar
poin minimal dari isi porto folio mereka layak
dianggap profesional. Namun tentu saja
semua yang menjadi item penilaian tersebut
secara faktual merupakan pengalaman guru/
dosen yang benar-benar dilakoni dalam
kehidupan nyata. Bagaimana ini?
Dengan persyaratan skor minimal dari isi
porto folio (skor minimal 850) dan imbalan
finansial yang cukup menggiurkan, berbagai
upaya ditempuh oleh guru untuk mencapai
derajat “profesional” tersebut. Dari berbagai
sumber yang diperoleh (dari guru ataupun
asesor) terdeteksi adanya usaha yang tidak
“halal” dilakukan oleh calon profesional
tersebut. Hal seperti ini memberi catatan
tersendiri bahwa sebagian guru mengidap
“penyakit moral” yang perlu diobati. Dari
tangan asesor yang telah terlatih lahirlah guru
yang layak dan tidak layak menyandang gelar
“profesional”. Guru yang layak diberi sertifikat,
yang tidak layak di upgrade dalam suatu diklat
khusus.
Penyakit moral yang disebutkan di atas
muncul karena dua alasan yang berbeda. Ada
yang bisa dibenarkan dan ada yang memang
salah. Yang dapat dibenarkan adalah, mereka
(guru/dosen) yang telah lama mengabdi
secara benar atau “profesional” menurut
penilaian lapangan, namun semua bukti fisik
keprofesionalan yang telah diraih tidak dapat
diperlihatkan (salah satu kelemahan penilaian
porto folio). Yang tak dapat dibenarkan adalah
guru yang melengkapi bukti isi porto folio
mereka dengan cara yang tidak benar (pemalsuan,
plagiat, jual-beli piagam/sertifikat dsb).
Sertifikasi yang sedang terlaksana saat ini,
dengan semua kelebihan dan kelemahannya
harus diakui telah mampu menyaring
beberapa guru/dosen yang layak dan tidak
layak menyandang gelar profesional. Dari
semua fenomena di atas, penilaian portofolio
dan diklat adalah suatu upaya yang praktis dan
cenderung lebih realistis sebagai langkah awal
sertifikasi. Menyikapi semua hasil yang telah
dicapai dari sertifikasi, memotivasi baik user
ataupun stakeholder untuk memberikan
sumbangan ide pemikiran demi
menyempurnakan sistem yang sementara
diberlakukan.
KRITERIA GURU PROFESIONAL
Mulyasa dalam bukunya “Menjadi Guru
Profesional” (2006) menyoroti keprofesionalan
guru dari segi proses pembelajaran. Mulyasa
menekankan bahwa guru profesional harus
mampu menciptakan pembelajaran kreatif
dan menyenangkan. Dua kata terakhir
“kreatif” dan “menyenangkan” diungkapkan
dengan kata hubung “dan”. Menurut logika
bahasa kata “dan” mencakup dua hal yang
tidak boleh berpisah. Kreatif dapat bermakna
variatif, inovatif, atau baru dan harus
dinikmati secara menyenangkan oleh
pebelajar. Tuntutan kreatif dan menyenangkan
terkesan sederhana tetapi dalam aplikasinya
bukanlah hal yang gampang.
UU Sisdiknas 2003 pasal 39 (2)
menyebutkan, pendidik merupakan tenaga
profesional yang bertugas merencanakan dan
melaksanakan proses pembelajaran, menilai
hasil pembelajaran, melakukan pembimbingan
dan pelatihan, serta melakukan penelitian dan
pengabdian kepada masyarakat, terutama
bagi pendidik pada perguruan tinggi.
Kriteria profesional yang disebutkan ini
sudah sangat memadai apabila dimiliki oleh
seorang guru/dosen. Kemampuan guru, mulai
dari perencanaan sampai pada penilaian
adalah kemampuan proses evaluasi untuk
mendeteksi hasil yang akan dan telah dicapai.
Sedangkan pelaksanaan penelitian merupakan
upaya mengatasi masalah jika didapati adanya
kesenjangan antara harapan dan kenyataan
(anjuran pelaksanaan Penelitian Tindakan
Kelas). Komponen inilah yang sebaiknya
menjadi pantauan secara intensif pasca
sertifikasi guru/dosen. Bagaimana perlakuan
Kebijakan Sertfikasi Guru (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru) - Ihyani Malik 73
Vol.1 No.1 April 2011
pasca sertifikasi? Jawabannya adalah
tergantung user/stakeholder (masyarakat,
pemegang kewenangan, dan semua yang
berkepentingan dalam bidang pendidikan).
SERTIFIKASI UNTUK MENJADI
PROFESIONAL : SUATU TAWARAN SOLUSI
ALTERNATIF
Dua kriteria besar yang diungkapkan di
atas menjadi acuan untuk mengajukan solusi
merelevankan antara sertifikasi dengan
profesionalisme. Mengajukan solusi dari suatu
masalah haruslah bersifat realistis. Artinya
dapat menjawab masalah dan terjangkau dari
segi aplikasi, waktu, maupun dana. Dengan
pertimbangan itulah sertifikasi guru yang
dianggap dapat berdampak terhadap
profesionalisme adalah sebagai berikut: (1)
perlakuan pasca sertifikasi, (2) sistem
pendidikan yang manusawi, (3) perekrutan
tenaga pendidik profesional eksklusif, (4)
pemberlakuan sistem kontrak secara
profesional.
PERLAKUAN PASCA SERTFIKASI
Sertifikasi sudah bergulir dan yang dapat
dilakukan untuk mewujudkan guru profesional
adalah tindak lanjut pasca sertifikasi.
Mewujudkan cita-cita tersebut, sangat
tergantung bagaimana user/stakeholder
meberikan perlakuan pasca sertifikasi.
Sekurang-kurangnya ada 6 hal yang dapat
dilakukan mengenai perlakuan pasca
sertifikasi, yaitu: (1) bagaimana user/
stakeholder menempatkan, memberikan, dan
menugaskan guru profesional dengan
opstimal, (2) mengawasi penyandang “guru
profesional” tersebut membuktikan gelar baru
yang disandangnya, (3) mengevaluasi dampak
perlakuan user/stakeholder (kelebihan dan
kekurangan) dengan melihat proses maupun
hasil pendidikan yang telah dicapai, (4)
mengidentifikasi masalah (kekurangan) dari
hasil evaluasi, (5) merancang solusi alternatif
yang dianggap dapat megurangi kekurangan/
kelemahan sertifikasi, (6) memberikan syarat
kemudahan untuk mendapatkan imbalan
finansial. Cara ini meskipun sifatnya klasik,
namun bila dilakukan dengan tulus akan
efektif.
SISTEM KURIKULUM PENDIDIKAN
YANG MANUSIAWI
Sistem kurikulum pendidikan di Indonesia
cenderung tidak manusiawi. Berikut ini
beberapa sorotan yang patut dipertimbangkan
oleh stakeholder pendidikan yaitu:
Pertama, muatan kurikulum. Dalam
sebuah simposium reformasi pendidikan, Dr.
Hafid Abbas, mengemukakan sebuah hasil
analisis tentang kurikulum pendidikan dasar
dan menengah bahwa, “Indonesia menempati
posisi kedua kurikulum paling rumit di dunia
sesudah negara Turki”. Lebih lanjut dikatakan
bahwa kerumitan kurikulum yang dimaksud
adalah banyaknya cakupan kompetensi yang
harus dicapai oleh peserta didik (siswa). Selain
itu adalah jumlah mata pelajaran yang sangat
banyak. Prof. Dr. Saleh Pallu, mengungkapkan
bahwa Sekolah Dasar di Jepang hanya
mengajarkan 2 mata pelajaran yaitu
Matematika dan Fisika. Bandingkan dengan
kurikulum pendidikan di Indonesia.
Kedua, kurikulum yang terkesan memaksa.
Berdasarkan mata pelajaran dan standar isi,
kurikulum pendidikan tidak memberikan
pilihan yang lebih leluasa kepada peserta didik
untuk menentukan pilihan berdasarkan minat
dan bakat yang dimilikinya.
Ketiga, standar kompetensi lulusan yang
tumpang-tindih dengan kriteria kelulusan ujian
nasional. Penetapan KKM (Kriteria Ketuntasan
Minimal) adalah otonomi penuh bagi guru mata
pelajaran. Secara rasional siswa yang telah lulus
KKM dari semua mata pelajaran setiap jenjang
kelas sudah dianggap kompeten untuk lulus.
Tetapi secara nasional melalui Ujian Nasional
secara sepihak dapat menggagalkan semua itu
dengan kriterianya sendiri.
Sistem kurikulum ini sangat mempengaruhi
keprofesionalan guru sebab terkait dengan
hasil belajar yang menjadi tolok ukur utama
mutu pendidikan. Meskipun guru sudah
dianggap profesional tetapi dengan sistem
kurikulum seperti ini akan terpatahkan oleh
fakta hasil belajar siswa akibat kerumitan
muatan kurikulum yang dihadapinya.
Kebijakan Sertfikasi Guru (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru) - Ihyani Malik 74
Vol.1 No.1 April 2011
PEREKRUTAN TENAGA PENDIDIK
PROFESIONAL EKSKLUSIF
Melahirkan profesional memerlukan
perlakuan eksklusif (tidak umum). Eksklusif
dalam perekrutan calon profesional (sistem
seleksi), perlakuan calon profesional, dan
apresiasi user/stakeholder setelah menjadi
profesional. Salah satu kesalahan besar yang
dilakukan pemerintah di negeri ini adalah
perubahan IKIP (Institut Keguruan Ilmu
Pendidikan) menjadi Universitas. IKIP adalah
institusi eksklusif yang diformat untuk
memproduksi guru. Dengan menggunakan
nama IKIP maka secara rasio hanya
“memanggil” secara eksklusif untuk mereka
yang bercita-cita menjadi guru. Kebijakan
mengubah IKIP menjadi Universitas berakibat
pada tidak jelasnya institusi apa yang
bertanggung jawab terhadap mutu guru.
Prof. Dr. Djaali (anggota BSNP), bahkan
membuat wacana yang lebih eksklusif lagi
tentang perekrutan guru. Dikatakan bahwa
guru sebaiknya dieksklusifkan seperti
pendidikan AKABRI (seleksi ketat, terpusat,
dan diasramakan). Prof. Dr. Djaali meyakini
hipotesis bahwa rendahnya mutu pendidikan
bukan disebabkan oleh kompetensi guru,
melainkan lebih pada “keikhlasan menjadikan
profesi guru sebagai panggilan jiwa.”
PEMBERLAKUAN SISTEM GURU
KONTRAK SECARA PROFESIONAL
“Pemaksaan” meskipun terkesan bernilai
negatif, namun sering membuahkan hasil
yang optimal. Sistem kontrak secara
profesional akan “memaksa” guru untuk selalu
produktif. Dengan ancaman sanksi
administratif sampai pada pemutusan kontrak,
guru yang telah lulus seleksi dan dianggap
layak, dengan serta-merta akan meningkat-kan
kemampuannya. Sistem ini memang harus
diimbangi dengan gaji yang cukup
menjanjikan. Seperti sistem yang berlaku pada
bidang profesional seperti, perusahaan, sepak
bola, dunia hiburan, dan fashion.
MENGINTIP SERTIFIKASI NEGARA
SINGAPURA
Sebagai negara yang berhasil dalam
menuai hasil pendidikan Singapura cukup
layak menjadi sorotan dalam hal sertifikasi.
Sebuah paper berjudul “what the United States
of America can learn from Singapore’s world
class mathematics system (and what Singapore
can learn from the United States of America): An
exploratory study”, di dalamnya diungkapkan
mengenai sertifikasi guru menjadi bagian dari
kerangka kerja analitik selain entri, penyiapan,
dan pelatihan profesional. Dalam paper
tersebut dikemukakan bahwa di Singapura
dukungan terhadap guru berkualitas
dipersyaratkan untuk kualifikasi sarjana
(Strata-1).
Kementrian Pendidikan Singapura
menawarkan pengembangan profesionalisme
melalui program pre-service learning, effective
pedagogy, dan learn to understand new
technologies and incorporate them into teaching
(American Institutes for Research, 2005). Baik
pre-service learning atau effective pedagogy, di
Indonesia pun telah diprogramkan PPG
(Pendidikan Profesi Guru) yang memiliki ide
yang serupa.
Secara garis besar, sertifikasi yang
dilakukan di Singapura tidaklah jauh berbeda
dengan apa yang dilakukan di Indonesia. Tetapi
membandingkan hasil pendidikan Singapura-
Indonesia menunjukkan mutu yang berbeda.
Padahal menurut hitungan, jumlah jam
pelajaran yang dimiliki sistem persekolahan di
Indonesia berada di atas rata-rata dibandingkan
dengan negara lain yang maju di bidang
pendidikan. Semestinya “jam belajar yang
banyak” berbanding lurus dengan “mutu hasil
belajar yang dicapai.” Lalu di mana akar
masalahnya? Untuk menjawabnya dibutuhkan
eksperimen “berani” untuk mencoba tawaran-
tawaran alternatif yang telah dikemukakan di
atas.
DAFTAR PUSTAKA
Abidin, Said Zainal. 2009. Peran Pemerintah
dalam Pembangunan. Ilmu Administrasi
Vol. 4. No. 2 hlm.54 – 55.
Ahmad, H.Muh. Syarif. 2009. Pelaksanaan
Otonomi Daerah Sangat Diperlukan
Kebijakan Sertfikasi Guru (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru) - Ihyani Malik 75
Vol.1 No.1 April 2011
Manajemen Sumber Daya Manusia
yang Berkualitas. Adminstrasi Negara
Vol. 15. No. 3. Hlm. 24.
Ahmadi, Abu. 1999. Psikologi Sosial. Jakarta:
Rinneka Cipta
Ali, M. Sidin, Jaali, Syamsuddin Nonci. 1986.
Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Depdikbud
Proyek Sisdiklat BKS PTN, Indonesia
Timur.
Bycio, P., Hackett, R.D., and Allen, J.S. 1995.
Further Assessments of Bass’s (1985).
Conceptualization of Transactional
and Trans-formational Leadership.
Journal of Applied Psychology, 80 (4):
468-478.
Dessler, Gary, 1997. Human Resource
Management. Terjemahan Benyamin
Molan. Jakarta : Prenhallindo.
Donaldson dan Scannel, 1993. Human
Resources Development. Terjemahan
Ya’kub dan Eno. Jakarta : Gaya Media
Pratama.
Eisenbach, R., Watson, K., and Pillai, R.
1999. Transformational Leadership
in The Context of Organizational
Change. Journal of Organizational
Change Management , 12 (2): 80-
88.
Himpunan Peraturan Peundang-undangan
Pegawai Negeri Sipil, 2003. Bandung :
Fokus Media.
Judge, T.A., and Bono, J.E. 2000. Five-factors
Model of Personality and transactional
Leadership. Journal of Applied
Psychology, 85 (5): 751-765.
Jalaluddin dan Abdullah, 1997. Filsafat
Pendidikan. Jakarta : Gaya Media
Pratama.
Jessup, G., Jessup, H. (1975). Selection and
Assesssment, London, Matheuen.
Koh, W.L., Steers, R.M., and Terborg, J.R.
1995. The Effect of Transformational
Leadership on Teacher Attitudes and
Student Performance in Singapore.
Journal of Organizational Behavior,
16: 319-333.
Stolovitch, Keeps. 1992. Strategy Formulation
in Complex Organization. New York: Mc
Graw Hill Book Company
Suhartono, S. 1994. Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Ujungpandang: PPs UNHAS
Winkel, W.S. Psikologi Pengajaran. Jakarta: PT.
Gramedia
Winarno, Budi. 2002. Apakah Kebijakan
Publik : dalam Teori dan Proses
Kebijakan Publik. Yogyakarta: Media
Pressindo.
Yukl, G.A. 1998. Leadership in Organization.
Second Edition. Englewood Clifs, New
Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Yuki, Gary 1998. Kepemimpinan Dalam
Organisasi. Jakarta : Prenhallindo.
Zainun, Buchari, 1995a. Administrasi dan
Mananajemen Kepegawaian Pemerintah
Negara Indonesia. Jakarta : Gunung
Agung.
*******
76Kebijakan Sertfikasi Guru (Tawaran Solusi Pendidikan Profesi Guru) - Ihyani Malik
Vol.1 No.1 April 2011
68
Vol.1 No.1 April 2011
Petunjuk PenulisanJurnal Ilmu Pemerintahan OTORITAS
ISI ARTIKEL
Artikel yang dipublikasikan Jurnal Ilmu Pemerintahan
OTORITAS meliputi hasil penelitian dan non
penelitian (kajian analisis, aplikasi teori dan review)
tentang masalah-masalah publik, kebijakan publik,
administrasi publik baik pada lembaga-lembaga
pemerintahan, swasta/perusahaan maupun dalam
masyarakat. Artikel yang dimuat dalam jurnal
diprioritaskan artikel hasil penelitian dan belum
pernah atau akan diterbitkan dalam media cetak lain.
Isi artikel diketik spasi ganda dalam bahasa Indonesia
dan Inggris, dengan ukuran kertas A4 (21x29,7cm)
minimal 15 halaman dan maksimal 20 halaman.
Berkas naskah (file) dibuat pada program olah data
Microsof Word dilengkapi dengan nama penulis, judul
artikel, nama dan alamat lembaga, kode pos, beserta
nomor telepon/faks.
ARTIKEL HASIL PENELITIAN
Judul
Maksimal 14 Kata dalam Bahasa Indonesia atau 10
Kata dalam Bahasa Inggris, lugas dan menarik
Nama Penulis
Lengkapi dengan nama dan alamat lembaga tempat
kegiatan penelitian, kode pos, telp/faks, dan telp/faks
untuk koresponden dengan penulis.
Abstrak
Merupakan miniatur (segala sedikit) isi dari kese-
luruhan tulisan, meliputi masalah, tujuan, metode,
hasil, simpulan dan signifikan maksimal 200 kata.
Key Word (Kata Kunci)
Memuat konsep yang terkandung dalam artikel terdiri
dari 3 hingga 5 konsep.
Pendahuluan (tanpa sub judul)
Memuat latar belakang maslah penelitian, uraian dan
fokus permasalahan, tujuan penelitian, landasan teori
dan hasil penelitian terdahulu yang nyata-nyata
mendukung pemecahan permasalahan dan tujuan
penelitian.
Metode
Menjelaskan bagaimana prosedur penelitian di-
lakukan design penelitian, populasi, sampel,
instrumen, skala pengukuran, dan teknik analisis data.
Hasil
Hasil (bersih) analisis data yang dilengkapi dengan
illustrasi (gambar, foto, tabel, dan grafik).
Pembahasan
Menginterpretasikan hasil penelitian dan mengkaitkan
dengan konsep dasar. Bandingkan dengan teori, hasil
penelitian dengan orang lain yang relevan dan implikasi
dan praktisnya. Dalam pembahasan diperlukan,
ketajaman analisis dan sintesis secara kritis.
Simpulan
Ditulis dalam bentuk essay memuat esensi dari
perpaduan antara hasil dengan pembahasan dan
bukan hanya rangkuman.
ARTIKEL NON PENELITIAN
Judul, nama penulis, abstrak, key word, sama
dengan format hasil penelitian
Pendahuluan (tanpa sub judul)
Sub Judul
Sub Judul
Sub Judul
Tabel
Angka dan huruf menggunakan huruf bertipe Times
New Roman berukuran 10 point. Singkatan yang ada
di dalam tabel diberikan kepanjangan singkatan
tersebut dibawah tabel.
Gambar
Gambar grafik maksimun lebar 10,5 cm dibuat dalam
program pengolahan data (Microsoft Office). Angka
dan huruf keterangan gambar menggunakan huruf
bertipe Arial berukuran 9 point.
Daftar Pustaka/Rujukan
Daftar Rujukan diharapkan lebih 80 % bersumber
dari pustaka primer (Jurnal, hasil penelitian, disertasi,
tesis, skripsi) dari pustaka skunder (buku, majalah)
dan tahun terbitan lebih 80 % adalah 10 tahun
terakhir, diurutkan secara alphabet dan kronologis.
Kutipan dalam artikel
Kutipan dalam artikel dapat berupa kutipan langsung
atau tidak langsung. Yang penting setiap kutipan
harus mencerminkan, nama pengarang, tahun terbitan
dan nomor halaman.
sesuai dengan kebutuhan}
Vol.1 No.1 April 2011
Naskah dapat dikirim melalui E-mail, CD, atau via pos,
paling lambat 1 (satu) bulan sebelum bulan penerbitan
kepada:
Redaksi Jurnal Ilmu Pemerintahan OTORITAS
Alamat Redaksi :
Gedung F1 Lt.1
Pusat Perkantoran FISIP
Unismuh Makassar
Jl. Sultan Alauddin No. 259
Makassar 90221
Telp. 0411 – 866972 ext. 107
Fax. 0411 – 865588
Email: [email protected]
Email: [email protected]
Vol.1 No.1 April 2011