90
ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 i ALTERNATIF JURNAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL Pelindung: Ketua Yayasan Jayabaya Pembina: Rektor Universitas Jayabaya Prof. H. Amir Santoso, Ph.D Penanggung Jawab: Dekan FISIP Univ. Jayabaya Drs. Erwin Zein, M.Si Pemimpin Umum/ Pemimpin Redaksi: Dr. Umar S. Bakry Mitra Bestari: Prof. Dr. Arry Bainus, MA Prof. Yanyan M. Yani, Ph.D Prof. Bob S. Hadiwinata, Ph.D Prof. Suke Djelantik, Ph.D Musafir Kelana, Ph.D Redaktur Pelaksana: Drs. Denny Ramdhany, M.Si Sekretaris Redaksi: Iin Sofyan, SE, MM Dewan Editor: Drs. Saiful Syam, MA, Ph.D Dra. Siti Hajar, M.Si, Ph.D Drs. Subarno, M.Hum Dra. Ambarwati, M.Si Drs. Mansyur Kardi, M.Si Sinta Julina, S.Sos, M.Si Alamat Redaksi: FISIP-HI Universitas Jayabaya Jl. Pulomas Selatan Kav. 23 Jakarta Timur 13210 Telp/Fax: 021-4700903 HP 08111755379/0818718570 E-mail: [email protected] ISSN: 2087 – 7048 VOLUME 06 NOMOR 02 – 2016 DAFTAR ISI PENGANTAR REDAKSI (Hal. ii) RUNTUHNYA INTEGRASI UNI EROPA? (Hal. 81 – 95) PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DALAM POLITIK LUAR NEGERI: SEBUAH KAJIAN IDIOSINKRATIK (Hal. 96 – 114) POKOK BAHASAN HUKUM INTERNASIONAL DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUBUNGAN INTERNASIONAL (Hal. 115 – 131) KAJIAN KOMUNIKASI GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLITIK LUAR NEGERI (Hal. 132 – 150) STRATEGI AMERIKA SERIKAT DALAM MENGHADAPI EVOLUSI KEAMANAN GLOBAL CHINA (Hal. 151 – 165) PEDOMAN PENULISAN (Hal. 166) ALTERNATIF adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pogram Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jayabaya. Jurnal ini terutama ditujukan untuk menampung hasil-hasil penelitian dan pemikiran- pemikiran alternatif dalam Ilmu Hubungan Internasional. Jurnal ini terbuka untuk seluruh komunitas studi HI dan peminat masalah-masalah internasional. Jurnal terbit dua kali (dua volume) dalam setahun.

Jurnal alternatif vol 6-2

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 i

ALTERNATIFJURNAL ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL

Pelindung:Ketua Yayasan Jayabaya

Pembina:Rektor Universitas JayabayaProf. H. Amir Santoso, Ph.D

Penanggung Jawab:Dekan FISIP Univ. Jayabaya

Drs. Erwin Zein, M.Si

Pemimpin Umum/Pemimpin Redaksi:Dr. Umar S. Bakry

Mitra Bestari:Prof. Dr. Arry Bainus, MA

Prof. Yanyan M. Yani, Ph.DProf. Bob S. Hadiwinata, Ph.D

Prof. Suke Djelantik, Ph.DMusafir Kelana, Ph.D

Redaktur Pelaksana:Drs. Denny Ramdhany, M.Si

Sekretaris Redaksi:Iin Sofyan, SE, MM

Dewan Editor:Drs. Saiful Syam, MA, Ph.DDra. Siti Hajar, M.Si, Ph.D

Drs. Subarno, M.HumDra. Ambarwati, M.Si

Drs. Mansyur Kardi, M.SiSinta Julina, S.Sos, M.Si

Alamat Redaksi:FISIP-HI Universitas JayabayaJl. Pulomas Selatan Kav. 23

Jakarta Timur 13210Telp/Fax: 021-4700903

HP 08111755379/0818718570E-mail: [email protected]

ISSN: 2087 – 7048

VOLUME 06 NOMOR 02 – 2016

DAFTAR ISI

PENGANTAR REDAKSI(Hal. ii)

RUNTUHNYA INTEGRASI UNI EROPA?(Hal. 81 – 95)

PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DALAM POLITIK LUAR NEGERI: SEBUAH KAJIAN

IDIOSINKRATIK(Hal. 96 – 114)

POKOK BAHASAN HUKUM INTERNASIONAL DILIHAT DARI PERSPEKTIF HUBUNGAN

INTERNASIONAL(Hal. 115 – 131)

KAJIAN KOMUNIKASI GLOBAL DAN PENGARUHNYA TERHADAP POLITIK

LUAR NEGERI(Hal. 132 – 150)

STRATEGI AMERIKA SERIKAT DALAM MENGHADAPI EVOLUSI KEAMANAN GLOBAL

CHINA(Hal. 151 – 165)

PEDOMAN PENULISAN(Hal. 166)

ALTERNATIF adalah jurnal ilmiah yang diterbitkan oleh Pogram Studi Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Jayabaya. Jurnal ini terutama ditujukan untuk menampung hasil-hasil penelitian dan pemikiran-pemikiran alternatif dalam Ilmu Hubungan Internasional. Jurnal ini terbuka untuk seluruh komunitas studi HI dan peminat masalah-masalah internasional. Jurnal terbit dua kali (dua volume) dalam setahun.

Page 2: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016ii

PENGANTAR REDAKSI

AMITAV Acharya mengatakan bahwa studi Hubungan Internasional (HI) merupakan salah satu disiplin akademis yang paling cepat pertumbuhannya (the fastest growing academic disciplines), baik dalam hal pokok bahasan maupun metodologi yang digunakan. Ini terjadi karena fenomena politik dunia dan masyarakat global yang menjadi objek kajian studi HI berubah begitu cepat dan dinamis. Setiap perubahan yang terjadi dalam praktik hubungan internasional (terutama perubahan-perubahan fundamental) tentu menuntut reorientasi dan bahkan redefinisi dari teori-teori dan studi HI itu sendiri.

Jurnal Ilmu Hubungan Internasional ALTERNATIF edisi kali ini kembali menyajikan beberapa tulisan yang terkait dengan perubahan atau dinamika hubungan internasional yang berimplikasi pada studi HI. Tulisan pertama berjudul “Runtuhnya Integrasi Uni Eropa?” merupakan refleksi pemikiran dari Asrudin Azwar tentang perkembangan terbaru Uni Eropa terkait dengan keluarnya Inggris (Brexit) dari unit politik tersebut serta fenomena kebangkitan kembali nasionalisme di negara-negara Eropa. Fenomena ini oleh banyak peneliti HI dianggap sebagai kemunduran integrasi Eropa, tetapi Asrudin Azwar mencoba melihat dari perspektif yang berbeda.

Tulisan Gema Nusantara Bakry berjudul “Kajian Komunikasi Global dan Pengaruhnya terhadap Politik Luar Negeri” memberikan alternatif sebuah pendekatan baru dalam menganalisis politik luar negeri suatu negara, yakni global communication approach, yang belum banyak dioptimalkan oleh para penstudi HI di Indonesia. Sedangkan karya Lastika Kusumardhani berjudul “ Strategi Amerika Serikat dalam Menghadapi Evolusi Keamanan Global China” menyoroti dinamika keamanan regional di Asia-Pasifik yang memanas sehubungan dengan bangkitnya kekuatan militer China. Sementara tulisan karya Umar Suryadi Bakry (Pengaruh Faktor Individu dalam Politik Luar Negeri) dan artikel Muhammad Ikhwan Hakiki (Pokok Bahasan Hukum Internasional) lebih ditujukan untuk membahas studi HI dari aspek teoritis.

Semoga seluruh artikel yang kami sajikan dalam ALTERNATIF edisi kali ini bermanfaat bagi para pembaca dan komunitas studi HI pada umumnya. Salam!

• Redaksi

Page 3: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 81

RUNTUHNYA INTEGRASI UNI EROPA?

Oleh: Asrudin AzwarPeneliti Lingkaran Survei Indonesia (LSI)

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Speaking of European Union (EU), narrations appearing on some International Relations (IR) literature mostly reveal the success of EU integration. Only a few of them talk about the failure of EU integration. The literature frequently cited by IR researchers to measure EU integration are still referring the old writings of David Mitrany, Ernst B. Haas, Karl Deutsch, Joseph Nye, etc. Therefore, no wonder if IR researchers are always optimist about EU integration. This article seeks not to follow the most IR researcher’s grip and would like to begin from skepticism. From the current tendencies, the author refuses to say that EU had been succeeded on its integration. This refusal was based on the case of England’s resignation from EU or Britain Exit (Brexit), and also by the rise of European country’s nationalism that joined in EU. From those cases, the author wants to show that EU integration’s cohesion is threatened, more precisely lead to collapse.

Keywords: integration, European Union, nastonalism, Brexit, international relations.

ABSTRAK

Berbicara tentang Uni Eropa (EU), narasi yang muncul pada beberapa literatur Hubun-gan Internasional (HI) sebagian besar mengungkapkan keberhasilan integrasi Uni Eropa. Hanya beberapa dari mereka berbicara tentang kegagalan integrasi Uni Eropa. Literatur yang sering diku-tip oleh peneliti-peneliti HI untuk mengukur integrasi Uni Eropa masih mengacu tulisan-tulisan lama dari David Mitrany, Ernst B. Haas, Karl Deutsch, Joseph Nye, dll. Oleh karena itu, tak heran jika para peneliti HI selalu optimis tentang integrasi Uni Eropa. Artikel ini berusaha untuk tidak mengikuti pakem dari kebanyakan peneliti HI dan ingin mengawalinya dari skeptisisme. Dari kecenderungan saat ini, penulis menolak untuk mengatakan bahwa Uni Eropa telah berhasil atas integrasinya. Penolakan ini didasarkan pada kasus pengunduran diri Inggris dari Uni Eropa atau Britain Exit (Brexit), dan juga oleh kebangkitan nasionalisme negara-negara Eropa yang tergabung dalam Uni Eropa. Dari kasus tersebut, penulis ingin menunjukkan bahwa kohesi integrasi Uni Eropa terancam, lebih tepatnya mengarah pada keruntuhan.

Kata kunci: integrasi, Uni Eropa, nasionalisme, Brexit, hubungan internasional.

Page 4: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 201682

PENDAHULUAN

Kajian tentang integrasi UE memang selalu menarik untuk dikupas. Karena kajian tentang ini dinilai banyak teoretikus HI paling sesuai dengan khittah-nya ilmu HI, yaitu untuk menciptakan perdamaian dunia. Bahkan kesuksesan integrasi UE ini, kata Mohtar Mas’oed, telah melampaui apa yang sudah dilakukan oleh organisasi internasional manapun, termasuk PBB.

Pada buku yang disunting oleh Wisnu Tri Hanggoro, Johnly E.P. Poerba, dan Andreas Harsono, Perang, Militerisme, dan Tantangan Perdamaian, Mohtar misalnya dengan nada optimis menceritakan satu pengalaman penciptaan perdamaian di Eropa yang jalannya agak fungsionalis, yaitu dengan penciptaan kerja sama dalam bidang-bidang teknis, sebisa mungkin nonpolitis sehingga orang tidak lagi berbicara tentang kedaulatan. Dari situ mereka secara bersama-sama menghadapi persoalan-persoalan yang sifatnya supra-internasional. Di Eropa pada waktu itu mulainya dengan kerja sama di dua bidang, yaitu energi batubara dan baja. Kerja sama semacam inilah yang kemudian menjadi sangat beragam, sehingga memunculkan apa yang kita kenal sebagai Masyarakat Eropa.1 Kini menjadi Uni Eropa.

Selanjutnya Mas’oed menyinggung perubahan sosial dalam pengertian kondisi dan presipitasi. Memang yang terjadi akhir-akhir ini, seolah-olah merupakan akibat dari ulah para pemimpin. Padahal kondisi untuk itu, menurut penilaian Mas’oed sudah ada sebelumnya, paling tidak sesudah Perang Dunia II. Ada dua negara yang selama beratus-ratus tahun berperang, yakni Jerman dan Perancis. Tapi karena kondisinya tidak memungkinkan mereka berperang, ya tidak berperang. Dan ketika kondisi itu sudah siap, muncul percikan itu, presipitasi (precipitation). Dan percikan itu munculnya dalam bentuk pilihan-pilihan para pemimpin. Munculnya pemimpin-pemimpin seperti Helmut Kohl yang tidak melulu mendahulukan kepentingan nasional, tapi kepentingan yang lebih luas, telah memunculkan suatu eksperimen perdamaian yang paling besar di dunia. Ratusan tahun perang, namun kemudian dilupakan orang.2

Jadi, kalau kita ingin tahu yang konkrit, yakni bagaimana mengupayakan perdamaian, tegas Mohtar, kita bisa melihatnya melalui pengalaman Eropa. Dan bagi Mohtar kasus Eropa ini adalah proses yang sangat empirik dan jelas kontribusinya terhadap perdamaian.3

1 Mohtar Mas’oed dalam Wisnu Tri Hanggoro, Johnly E.P. Poerba, dan Andreas Harsono (eds.), Perang, Mi-literisme, dan Tantangan Perdamaian, (Salatiga & Jakarta: Satya Wacana University Press & Gramedia Widi-asarana Indonesia, 1994), hal. 101.

2 Ibid, hal. 102. 3 Ibid.

Page 5: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 83

Namun, kini situasi ekonomi dan politik di negara-negara Eropa sudah berubah. Terdapat sejumlah rintangan yang bisa menganggu kohesivitas negara-negara Eropa. Dalam konteks itulah, penulis ingin membuka narasi yang berbeda dan jauh lebih skeptis dari Mohtar.4 Penulis menilai bahwa terdapat masalah dalam proses integrasi di UE, yang kemudian memicu lahirnya tuntutan dari warga negara-negara Eropa yang tergabung dalam UE untuk melakukan referendum: bertahan di UE atau ke luar dari UE. Masalah itu atau rintangan itu terkait dengan adanya defisit demokrasi di dalam tubuh UE dan persoalan imigran ilegal yang terus membanjiri wilayah-wilayah UE.

Karena masalah-masalah itulah Inggris ke luar dari UE (Brexit) dan bangkitnya nasionalisme di sejumlah negara Eropa. Tulisan ini akan mengurai secara mendalam bagaimana Inggris bisa ke luar dari UE (Brexit) dan bagaimana partai-partai yang berhaluan kanan (nasionalis) saat ini bisa mendapat tempat di hati khalayak publik Eropa.

Untuk sampai pada inti tulisan ini, penulis akan mengulas lima ulasan penting. Pertama, tulisan ini akan mengulas bagaimana proses integrasi di Eropa terbentuk dan bisa menjadi besar seperti sekarang ini. Kedua, akan diulas pula sejumlah rintangan yang ikut menyertai proses integrasi di Eropa. Ketiga, mengupas dampak dari rintangan itu: Brexit dan Bangkitnya Nasionalisme di Eropa. Keempat, bagaimana dampak dari rintangan itu telah membuat UE dilema dalam mengambil keputusan. Kelima, memberikan hipotesa atas apa yang sudah penulis bahas sebelumnya.

INTEGRASI UNI EROPA

Konsepsi tentang integrasi memang merupakan pokok bahasan menarik dalam ilmu HI pasca Perang Dunia II. Bahasan tentang integrasi ini dikaji karena berkenaan dengan upaya-upaya untuk mencegah perang dan menciptakan perdamaian dunia. Pendekatan tentang terjadinya perang itu sendiri salah satunya merujuk pada terlalu kuatnya sistem negara bangsa warisan Westphalia.5 Karena itulah negara-negara Eropa membuat sebuah formulasi baru untuk menciptakan perdamaian dengan tidak

4 Untuk ulasan yang skeptis tentang integrasi UE, bisa juga dibaca dalam buku Asrudin Azwar, Teori Perda-maian Demokratis, (Malang: Intrans Publishing, 2016), hal. 175-200.

5 Ambarwati, “Aplikasi Teori Integrasi dalam Hubungan Internasional: Eropa dan Asia Timur,” dalam Asrudin & Mirza Jaka Suryana, Refleksi Teori Hubungan Internasional: dari Tradisional ke Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009), hal 125; baca juga ulasan tentang teori integrasi secara komprehensif dalam Tanja A. Bor-zel, “Comparative Regionalism: European Integration and Beyond”, dalam Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A. Simmons (eds.), Handbook of International Relations, (London: SAGE Publications, 2013), hal. 503-522.

Page 6: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 201684

menekankan kembali pada kuatnya peran negara bangsa, seperti yang pernah dilakukan pada 1648.6 Tapi dengan mengalihkan kesetiaan negara-negara Eropa pada organisasi yang lebih besar atau yang berskala regional. Pengalihan kesetiaan itu ditunjukkan oleh negara-negara Eropa dengan mengikatkan diri (integrasi) satu sama lain, agar tidak mengulangi era kegelapan seperti yang pernah terjadi pada masa Perang Dunia (I & II).

Karena hal itulah sejumlah teoretikus HI menyebut integrasi negara-negara Eropa ini sebagai sesuatu yang unik. Stephen Krasner misalnya - seorang realis politik terdepan yang begitu percaya dengan dominannya negara berdaulat – mengakui bahwa Uni Eropa adalah sesuatu yang berbeda. Uni Eropa, tegasnya, telah memberikan contoh lain seperangkat karakteristik alternatif: organisasi regional ini memiliki wilayah, pengakuan, kontrol, otoritas nasional, otoritas ekstranasional, dan otoritas supranasional. Krasner bahkan mengatakan Uni Eropa bukanlah model yang bisa ditiru oleh belahan dunia lain.7

Jalan menuju integrasi Eropa sendiri berawal dari peran Amerika Serikat. Amerika-lah yang memulihkan Eropa yang berada dalam keadaan kacau pada 1945. Jerman terpecah dan diduduki dan Amerika berusaha untuk memulihkan perekonomian Eropa sebagai bagian dari upaya untuk memulai kembali aktivitas ekonomi global pada masa damai, memperbaharui Eropa sebagai pasar bagi barang-barang Amerika, dan mengurangi daya tarik komunisme bagi orang-orang Eropa. Langkah pertama Amerika adalah menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif untuk melakukan rekonstruksi. Untuk mencapai hal ini, Amerika Serikat menjalankan strategi dua langkah. Pertama, memberikan kepada Eropa alat-alat untuk membangun kembali, dimulai dengan Marshall Plan. Kedua, memperkuat keamanan Eropa, yang mencapai puncaknya dengan pembentukan North Atlantic Treaty Organization (NATO) pada 1949. Kedua langkah tersebut mengusahakan penyatuan Eropa Barat sebagai penyeimbang USSR.8 Marshall Plan memberikan bantuan ekonomi, yang tunduk pada koordinasi upaya pemulihan Eropa. Ini merupakan langkah awal dalam jalan panjang menuju penyatuan Eropa. Pada 1948, Organisasi Kerja Sama Ekonomi Eropa (Organization for European Economic Cooperation/OEEC) dibentuk untuk mengoordinir bantuan Marshal. Hingga terbentuknya Masyarakat Ekonomi Eropa

6 Tentang Westphalia baca Paul Hirst., War and Power in the 21st Century: The State, Military Conflict, and the International System (Cambridge: Polity, 2001).

7 Lihat Stephen D. Krasner, Sovereignty: Organized Hypocrisy, (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1999), hal. 235.

8 Lihat Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty, Introduction to Global Politics, (London & New York: Routledge, 2008), bab 9.

Page 7: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 85

(European Economic Community/EEC), OEEC berperan penting dalam mendorong perdagangan dan memberi Eropa kemudahan menukar mata uang.9

Bantuan Marshall Plan diberikan kepada seluruh negara Eropa, termasuk negara-negara Eropa Timur, namun Stalin memaksa mereka untuk menolak bantuan ini karena khawatir bantuan tersebut akan meningkatkan pengaruh Amerika di blok Soviet. Selain itu, meskipun ada OEEC, permintaan bantuan Eropa sedikit lebih banyak daripada daftar permintaan masing-masing negara alih-alih sebuah upaya serius untuk kerjasama luas. Namun, pembagian Jerman dan peran penting Jerman Barat di garis depan Perang Dingin memastikan berlanjutnya kepentingan Amerika dalam integrasi Eropa. Sebuah entitas Eropa, menurutnya, akan membuat Jerman baru menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar daripada Eropa sendiri, sehingga meredakan kekhawatiran negara-negara Eropa lainnya akan lahirnya kembali nasionalisme Jerman namun memungkinkan Jerman untuk berkontribusi pada rekonstruksi dan keamanan Eropa.10

Untuk mensukseskan rekonstruksi, Eropa mengandalkan pada potensi industri Eropa Barat (Ruhr Basin), lokasi produksi baja dan batu bara terbesar di Eropa. Dengan menempatkan daerah ini di bawah kontrol internasional, akan memaksa Perancis dan Jerman Barat - negara-negara yang sempat berperang selama beratus-ratus tahun lalu - untuk bekerja sama. Meskipun Perancis sempat curiga, langkah besar pertama menuju integrasi Eropa sebagian besar adalah karya pakar ekonomi Perancis yang berpandangan jauh dan mantan pejabat Liga Bangsa-Bangsa, Jean Monet (1888-1979). “Tidak akan ada perdamaian di Eropa,” kata Monnet tahun 1943, “jika negara-negara membangun kembali diri mereka berdasarkan kedaulatan nasional, dengan semua yang tersirat di dalamnya melalui kebijakan prestise dan proteksionisme ekonomi.” Pada 9 Mei 1950, Menteri Luar Negeri Perancis, Robert Schuman (1886-1963), dalam sebuah pidato yang dipersiapkan oleh Monnet, mengusulkan integrasi industri batu bara dan baja Jerman dan Perancis di bawah institusi supranasional yang disebut High Otority. Diikuti dengan masuknya negara-negara Eropa yang lain, seperti Italia, Belgia, Belanda, dan Luxemburg, Schuman Plan menjadi dasar bagi disepakatinya Masyarakat Baja dan Batu Bara Eropa (European Coal and Steel Community-ECSC) pada 1951.11 Tujuan politiknya, menurut Perjanjian Paris (Treaty of Paris) adalah “untuk menggantikan rivalitas turun-temurun dengan penggabungan kepentingan-kepentingan ekonomi esensial mereka.

9 Ibid.10 Ibid.11 Ibid.

Page 8: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 201686

Satu inisiatif penting lainnya diambil pada Perjanjian Roma (Treaty of Rome), yang membawa pada pembentukan Masyarakat Ekonomi Eropa/Pasar Bersama (European Economic Community – EEC/Common Market), terdiri dari Perancis, Republik Federal Jerman, Italia, Belgia, Luksemburg, dan Belanda. Di tahun 1960-an, Eropa Barat mulai mempertimbangkan kemungkinan untuk mengejar kesatuan moneter. Pembentukan Sistem Moneter Eropa (European Monetary System – EMS) merupakan satu inisiatif awal penting menuju kesatuan moneter. Sejak dilakukannya penandatanganan Akta Eropa Tunggal (Single European Act – SEA) ditahun 1986, yang memerinci tujuan penciptaan pasar Eropa bersatu pada 1992, pergerakan menuju penyatuan Eropa mengalami percepatan. Dengan disepakatinya perjanjian Maastricht pada 9 Februari 1992, akhirnya terbentuklah Uni Eropa – UE (European Union-EU).12

Terbentuknya UE ini kemudian menciptakan sebuah Economic and Monetary Union (Kesatuan Ekonomi dan Moneter) tunggal dengan menghubungkan mata uang nasional negara-negara anggota dan menuntut komitmen anggota-anggotanya untuk menciptakan satu mata uang Eropa. Pada tahun 2000 diperkenalkan “zona euro” baru dengan penggantian mata uang-mata uang nasional dengan satu mata uang yang disebut euro dan pembentukan European Central Bank (Bank Sentral Eropa) yang bertanggungjawab atas kebijakan moneter Eropa secara keseluruhan. Pada 2004, euro berhasil menjadi mata uang yang kuat dan menjadi pesaing dollar AS dalam transaksi internasional.13 Kesuksesan demi kesuksesan yang berhasil di raih Uni Eropa inilah yang lalu menciptakan apa yang disebut oleh David Mitrany sebagai Doctrine of Ramification atau Spillover dalam istilahnya Ernst B. Haas.14 Karenanya menjadi lumrah jika kemudian keanggotaan UE terus bertambah. Hingga kini keanggotaan UE telah mencapai 28 negara, termasuk di dalamnya adalah negara-negara Eropa Timur. Itu artinya negara-negara Eropa mulai menyadari pentingnya kerjasama ketimbang berperang.

Menengok jauh ke belakang dalam sejarah perang, yang menjadi keajaiban tentu saja adalah penolakan negara-negara Eropa terhadap sebuah tradisi 700 tahun, yaitu penyelesaian masalah melalui kekuatan militer. Tidak ada lagi aksi saling bunuh.

12 Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin, Tantangan Kapitalisme Global: Ekonomi Dunia Abad ke-21, (Jakarta: Murai Kencana, 2002), hal. 209.

13 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty (2008), Bab 9. 14 Lihat karya-karya klasik dari Mitrany dan Haas: David Mitrany, “The Functional Approach to World Orga-

nization,” dalam International Affairs 24 (1948); David Mitrany, The Functional Theory of Politics, (New York: St Martin Press, 1975); Ernst B. Haas, “International Integration: the European and the Universal Process,” dalam International Organization 15 (1961); Ernst B. Haas, The Obsolescence of Regional Integration Theory, (Berkeley: University of California Press, 1975); Ernst B. Haas, The Uniting Europe: Political, Social, and Eco-nomic Forces, (Stanford, California: Stanford University Press, 1968).

Page 9: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 87

Semua masalah Eropa kini akan dihadapi dengan diplomasi, hukum internasional, negosiasi, dan multilateralisme. Pembentukan Uni Eropa merupakan sebuah perubahan besar, perubahan geopolitik terbesar dalam sejarah dunia.15

Georg Sorensen bahkan menilai bahwa suksesnya integrasi UE itu tidak lepas dari keyakinan negara-negara Eropa pada nilai demokrasi yang dimiliki bersama: saling percaya.16 Dan keyakinan ini - mengutip istilah Karl Deutsch – bisa menciptakan yang namanya komunitas keamanan, yang didefinisikan sebagai:

“a group of people which has become ‘integrated’. By integration we mean the attainment, within a territory, of a ‘sense of community’ and of institutions and practices strong enough and widespread enough to assure...dependable expectations of ‘peaceful change’ among its population. By sense of community we mean a belief...that common social problems must and can be resolved by processes of peaceful change.”17

Definisi Deutschian mengenai integrasi bukan hanya berfokus pada perdamaian, dan syarat-syarat bagi perdamaian, namun lebih dari itu. Sebuah komunitas keamanan melibatkan bukan hanya ketiadaan akan perang, tapi yang lebih penting lagi, ketiadaan akan pilihan militer dalam interaksi antarnegara Eropa dalam komunitas keamanan.

RINTANGAN UNI EROPA: DEFISIT DEMOKRASI

Meski ulasan proses integrasi UE di atas nampak begitu optimistik, namun pada kenyataannya pergerakan menuju unifikasi ekonomi dan politik Eropa yang lebih besar masih merupakan sebuah pergerakan elite yang terdiri dari para pemimpin politik nasional, pemimpin bisnis, dan pejabat pemerintahan UE. Opini publik dalam masyarakat negara-negara Eropa, di sisi lain, cenderung melawan atau setidaknya belum siap dengan langkah-langkah ambisius yang diambil menuju struktur ekonomi dan politik UE yang lebih terintegrasi. Walaupun perjanjian Maastricht, ditandatangani oleh semua lima belas anggota UE pada waktu itu, namun penolakan tetap datang dari masyarakat di Denmark, Perancis, dan Inggris. Bahkan di Jerman sekalipun terdapat kelompok-kelompok masyarakat yang dengan kuat menolak gagasan menyerahkan Mark dengan Euro. Kesadaran politik di Eropa rupanya sebagian besar

15 John Naisbitt, Mind Set!, (Jakarta: Daras Books, 2007), hal. 266. 16 Lihat Georg Sorensen, Democracy and Democratization: Processes and Prospect in a Changing World, (Westview

Press: 1993).17 Karl Deutsch & S.A. Burrell, Political Community and the North Atlantic Area, (Princeton: Princeton Univer-

sity Press, 1957), hal. 5.

Page 10: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 201688

masih bersifat nasional: orang Jerman, orang Perancis, orang Inggris, dll.. dan bukan orang UE. Fakta-fakta politik menyangkut identitas nasional yang terpisah-terpisah ini terus-menerus berbenturan dengan upaya-upaya gigih para elite politik Eropa untuk mengimplementasikan perjanjian Maastricht: Satu Eropa, baik secara ekonomi ataupun secara politik. Itu artinya opini publik dalam masyarakat Eropa tidak memiliki pengaruh langsung atas institusi-institusi utama pembuat keputusan UE – Dewan maupun Komisi Eropa – dan institusi-institusi tersebut tidak bertanggung jawab kepada masyarakat UE. Terlepas dari keberhasilannya mendorong para anggota Komisi untuk mengundurkan diri di tahun 1999, Parlemen UE di Strassbourg yang dipilih secara langsung oleh masyarakatnya hanya memiliki kekuatan terbatas. Kalau kata Harlan Cleveland, Eropa tidak akan pernah bisa terintegrasi secara politik.18

Karena adanya “defisit demokrasi” ini, masyarakat Eropa jadinya hanya sedikit memiliki rasa identitas dengan UE dan kurang loyal terhadap institusi-institusinya.19 Sebagai contoh dari defisit demokrasi ini bisa dilihat ketika opini publik dari masyarakat negara-negara Eropa merespons secara negatif pembuatan konstitusi Eropa. Sebagaimana diketahui, sebagai hasil dari pertemuan Laeken, Belgia (Desember 2001), Dewan Eropa membentuk Konvensi tentang Masa Depan Eropa untuk menyusun rancangan konstitusi yang selesai bulan Juli 2003. Konstitusi yang diusulkan tersebut menggabungkan Perjanjian Roma dan Perjanjian Maastricht dengan ditambah beberapa pasal baru. Konstitusi ini mengharuskan setiap negara anggota untuk saling membantu jika terjadi serangan teroris dan mengusulkan surat perintah penahanan Eropa untuk memudahkan penegakan hukum. Konstitusi tersebut mendeskripsikan UE sebagai sebuah “personalitas hukum”, sebuah pernyataan yang memberinya status yuridis yang setara dengan negara berdaulat. Tiga prinsip mengatur konstitusi tersebut: penyerahan kekuasaan (konferal), pencabangan (subsidiaritas), dan proporsionalitas. Menurut prinsip penyerahan kekuasan, bidang-bidang kebijakan yang tidak secara eksplisit diserahkan ke UE oleh para anggota, tetap berada di bawah otoritas negara. Ini sama dengan klausul dalam konstitusi AS yang mempertahankan semua kekuasaan negara bagian yang tidak secara eksplisit diserahkan ke Pemerintah Federal. Menurut prinsip Pencabangan, UE hanya dapat bertindak ketika negara-negara anggota setuju bahwa tindakan masing-masing tidak cukup untuk mencapai tujuan yang dikehendaki. Akhirnya prinsip proporsionalitas mengatur bahwa tindakan UE tidak boleh dilakukan melebihi yang seharusnya untuk mencapai tujuannya.

18 Lihat Harlan Cleveland, Lahirnya Sebuah Dunia Baru (Jakarta: Yayasan Obor Indonesi, 1995), hal. 294.19 Robert Gilpin & Jean Millis Gilpin (2002), hal. 231-232.

Page 11: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 89

Pada 18 Juni 2004, negara-negara Eropa akhirnya menyetujui draft perjanjian Konstitusi Eropa (European Constitutional Treaty), namun masih harus diratifikasi oleh 25 anggota. Negara-negara Eropa, khususnya dari para warganya yang takut kehilangan kedaulatan nasional, tidak menyukai beberapa klausul dalam draft tersebut. Target utama mereka adalah mengganti suara mutlak dengan suara mayoritas dalam beberapa keputusan. Mereka juga menolak klausul yang menyatakan bahwa UU UE berada di atas undang-undang nasional, meski pun hal ini sudah berlaku selama beberapa dekade. Itulah sebabnya, draft tersebut menjadi kontroversi sengit dalam hampir sepanjang tahun 2005. Pada awalnya, beberapa negara anggota menyetujui konstitusi tersebut, namun pada 29 Mei 2005 pemilih Perancis secara meyakinkan menolak konstitusi yang diajukan tersebut dalam sebuah referendum, dan seminggu kemudian pemilih di Belanda melakukan hal yang sama.20

Dari sini terlihat jelas bahwa persoalan defisit demokrasi tidak bisa dianggap enteng oleh elite-elite politik di UE. Karena ke depan hal ini akan bisa menjadi rintangan yang besar bagi UE untuk bisa memperkokoh kohesivitasnya.

IMPLIKASI: BREXIT & BANGKITNYA NASIONALISME DI EROPA

Defisit demokrasi, sebagaimana penulis bahas di atas, pada intinya dapat memberikan implikasi kepada penolakan publik negara-negara di Eropa terhadap institusi UE. Implikasi itu dengan sangat terang-benderang dapat dilihat pada 23 Juni 2016 ketika masyarakat Inggris memutuskan mengadakan referendum untuk menentukan apakah Inggris akan bertahan di UE atau meninggalkan UE. Setelah dihitung, Brexit (Britain Exit), kelompok yang memilih keluar dari UE berhasil meraih 52 % suara, mengalahkan masyarakat yang menginginkan tetap berada di dalam UE (48% suara).

Kemenangan kelompok yang menginginkan Brexit itu bahkan membuat Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron mundur dari jabatannya. PM Cameron digantikan oleh Theresa May yang merupakan Menteri Dalam Negeri Inggris.21 Cameron yang memimpin kampanye agar Inggris tetap berada di UE, mengatakan “pilihan rakyat Inggris harus dihargai. Untuk itu, tak tepat bagi saya untuk berusaha

20 Richard W. Mansbach & Kirsten L. Rafferty (2008), bab 9.21 Lihat “Theresa May, Perdana Menteri Inggris Pengganti David Cameron”, dalam https://m.tempo.co/read/

news/2016/07/12/117786884/theresa-may-perdana-menteri-inggris-pengganti-david-cameron [Diakses 4 Januari 2017].

Page 12: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 201690

menjadi kapten yang menahkodai negara kita ke tujuan berikutnya. Kini rakyat Inggris memerlukan pemimpin baru untuk memandunya ke arah ini”.

Putusan PM Cameron untuk mundur pada dasarnya adalah sebuah keputusan ideal politik, sesuai dengan rambu-rambu demokrasi (sesuai dengan keinginan mayoritas masyarakat Inggris). Itu artinya, Brexit bukanlah suatu persoalan yang sesungguhnya. Brexit adalah akibat yang disebabkan oleh persoalan UE itu sendiri.

Persoalan itu bisa dilihat dari keputusan UE untuk menerima imigran yang umumnya ditolak oleh masyarakat Inggris dan masyarakat dari negara-negara anggota UE lainnya. Itulah sebabnya mengapa banyak warga dari Inggris memilih ke luar dari UE dan warga dari negara-negara anggota UE lainnya mulai memutuskan untuk memilih partai yang anti-imigran dan cenderung menjadi lebih nasionalis.

Sebelum Brexit, sejumlah partai dari negara-negara Eropa lainnya sebetulnya telah lebih dulu menunjukkan sikap yang anti terhadap UE. Partai-partai yang umumnya berhaluan Kanan tersebut mulai menghebuskan isu nasionalisme dan penolakannya terhadap UE. Dan ini bukannya tidak membuahkan hasil. Di Perancis, Front Nasional (FN) yang dipunggawai oleh Marine Le pen dan Marion Marechal Le pen mulai mengimbangi partai-partai lainnya yang sangat dominan, seperti Partai Sosialis dan Partai Republik. FN di Perancis terbilang cukup berhasil memobilisasi massa. Melalui retorika pulangkan imigran dan kembalikan mata uang Perancis, FN berhasil memeroleh 14% suara.

Di Jerman, partai yang terkenal sangat nasionalis, Alternatif untuk Jerman, juga mulai unjuk gigi. Partai yang dipimpin oleh Frauke Petry ini berhasil mendominasi pemilu regional di wilayah-wilayah yang menjadi basis suara partai berkuasa, partai Angela Merkel. Alternatif untuk Jerman ini memeroleh suara tak kurang dari 4,7%.

Di Austria sendiri pemilu presiden yang diselenggarakan pada 22 Mei 2016, berlangsung sangat ketat. Calon presiden dari Partai Kebebasan (PK) yang anti-imigran dan anti-euro Norbert Hofer kalah tipis, 0,3%, dari Alexander Van der Bellen yang didukung Partai Hijau. Namun penting untuk dicatat, PK memiliki 21% suara. Dengan suara ini, PK bisa mengganggu stabilitas Bellen jika tidak becus memimpin Austria.

Bangkitnya partai-partai nasionalis di Eropa ini tidak hanya terjadi di Perancis, Jerman, dan Austria saja. Di Swedia, Partai Demokrat Swedia berhasil mendapatkan dukungan 13% suara. Partai Jobbik di Hongaria 21% suara. Partai Rakyat Swiss 29%

Page 13: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 91

suara. The Finns di Finlandia 18% suara. Liga Utara di Italia 7% suara. Slowakia Kita 8% suara. Golden Down di Yunani yang saat ini sedang dilanda krisis ekonomi akut memperoleh 7% suara. Partai Kebebasan di Belanda 10% suara. Partai Rakyat Denmark 21% suara (BBC).

Ini semua adalah indikator dari bangkitnya nasionalisme di Eropa. Jika UE tidak segera mengoreksi langlah-langkah kebijakannya sendiri, khususnya terkait dengan masalah imigran, cepat atau lambat masyarakat dari negara-negara anggota UE sendiri yang akan mengoreksinya dengan ke luar dari organisasi regional tersebut, baik melalui referendum atau pun pemilu.

DILEMA UNI EROPA

Suka atau tidak, kini xenophobia – perasaan benci terhadap orang asing (imigran) - telah menjadi faktor determinan yang bisa mengancam eksistensi UE ke depannya. Intinya, masyarakat dari negara-negara anggota UE cenderung menolak dengan keras keberadaan imigran. Alasannya karena imigran dinilai dapat mengancam pekerjaan mereka di negaranya sendiri. Padahal di sisi lain, keberadaan imigran tetap begitu dibutuhkan UE karena rendahnya tingkat kelahiran di Eropa.

Namun, banyak pihak di Eropa mengatakan bahwa imigran hanya mencari manfaat model kesejahteraan Eropa, sementara serikat-serikat pekerja mengeluh bahwa para imigran hanya merebut pekerjaan anggota mereka. Dalam sebuah perekonomian yang dinamis, selalu ada pekerjaan yang hilang; pergantian pekerjaan merupakan akomodasi bagi perubahan waktu.

Menurut John Naisbitt dalam bukunya Mind Set! (2007), rendahnya tingkat kelahiran di Eropa, ditambah dengan keengganan masyarakat umum untuk menerima imigran, hanya akan membawa dampak buruk bagi ekonomi Eropa. Tingkat kelahiran di Eropa hanya 1,4 – artinya, para wanita di Eropa kini hanya melahirkan rata-rata 1,4 anak. Padahal untuk mempertahankan populasi di tingkat konstan, dibutuhkan tingkat kelahiran 2,1.22 Jika tingkat kelahiran di Eropa tidak meningkat dan jika Eropa terus membatasi imigrasi, jumlah penduduk Eropa akan menjadi setengah populasi saat ini dalam dua generasi ke depan.

22 Tingkat kesuburan yang dibutuhkan untuk mempertahankan populasi pada level konstan (yang disebut ”tingkat fertilitas pengganti”) adalah 2,1 kelahiran per ibu, karena demografer hanya menganggap sebuah kelahiran dapat menjadi pengganti jika anak yang terlahir itu mencapai usia 15 tahun.

Page 14: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 201692

Dalam laporan Demografi Eropa 2010 misalnya disebutkan, tingkat kelahiran di negara-negara anggota UE memang hanya mengalami sedikit kenaikan. Rata-rata tingkat kelahiran hanya 1,6 anak per ibu. Laju rata-rata kelahiran Eropa itu tetap tidak mencukupi kuota yang dibutuhkan. Di sisi lainnya, peta demografi Eropa juga mengalami penuaaan. Umur harapan hidup rata-rata pria mencapai 78 tahun dan perempuan 82 tahun. Populasi manula terbanyak terdapat di Jerman, Italia dan Perancis. Semakin banyak manula, berarti semakin sedikit penduduk yang berusia produktif. Celakanya tren seperti ini terus berlangsung hingga tahun 2016.

Jika tidak ada langkah konstruktif yang bisa diambil UE untuk mengatasi perubahan demografi ini, maka perspektif pertumbuhan ekonomi di Eropa akan direduksi. Karena bagaimanapun juga yang menentukan dalam ekonomi adalah, seberapa banyak kuota penduduk usia produktif pada keseluruhan populasi.

Di sinilah dilema-nya UE. Di satu sisi, jika UE terus menerima imigran, hal ini akan berakibat pada penolakan secara massif dari masyarakat-nya dan isu ini pun akan digoreng oleh elite-elite politik-nya yang anti-imigran dan ingin membawa negaranya ke luar dari UE. Di sisi lain, jika UE memutuskan untuk menolak masuknya imigran, hal ini juga akan berakibat pada ekonomi Eropa.

HIPOTESIS: MASA DEPAN UNI EROPA

Merujuk pada semua ulasan di atas, maka dapat dikatakan bahwa warga dari masyarakat negara-negara di Eropa saat ini cenderung menjadi nasionalistik dan lebih mementingkan kepentingan nasional negaranya daripada kepentingan UE itu sendiri. Kasus Brexit dan bangkitnya nasionalisme di Eropa bisa menjadi contoh bagus dari rapuhnya integrasi di tubuh UE.

Cas Mudde di jurnal bergensi Foreign Affairs telah mengonfirmasi inti dari tema tulisan ini.23 Menurutnya, kini hampir semua negara di Eropa mengalami kebangkitan partai sayap kanan. Kaum populis kini menguasai porsi terbesar parlemen di enam negara, yaitu, Yunani, Hongaria, Italia, Polandia, Swiss, dan Slowakia. Bahkan di Hongaria, partai yang berkuasa maupun partai oposisi sama-sama populis. Adapun di Finlandia, Norwegia, dan Lituania, partai-partai populis kini tergabung dalam koalisi pemerintahan.

23 Lihat Cas Mudde, “Europe’s Populist Surge”, dalam Foreign Affairs (November/December 2016). Artikel Mudde ini bisa diakses dalam https://www.foreignaffairs.com/articles/europe/2016-10-17/europe-s-popu-list-surge.

Page 15: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 93

Namun ini baru sebatas hipotesa. Kesimpulan final baru dapat dilihat pada tahun 2017, karena ditahun ini Jerman, Perancis, dan Belanda akan mengadakan Pemilihan Umum (Pemilu). Pemilihan di ketiga negara itu akan menjadi penentu apakah para kandidat dari partai arus utama masih dipercaya rakyatnya, atau justru kandidat partai sayap kanan yang akan duduk di kursi kekuasaan.

Di Jerman, Partai Alternatif untuk Jerman (AfD) yang dipimpin Frauke Petry berhasil menggeser dominasi partai-partai arus utama dalam pemilu negara bagian. Untuk pertama kalinya partai sayap kanan memiliki perwakilan di 10 parlemen negara bagian. Sepuluh tahun lalu, partai sejenis AfD yang memiliki ideologi xenofobia selalu diprotes warga Jerman jika berkampanye. Kini mereka menjadi partai harapan. Serangan teroris dengan menggunakan truk di bazar Natal Berlin, pekan lalu, semakin menekan posisi Kanselir Angela Merkel. Ia dikecam tidak hanya oleh kubu oposisi, tetapi juga oleh partai sekandung, Uni Sosial Kristen (CSU), yang sejak awal menentang kebijakan Merkel yang membuka pintu kepada imigran. Setelah serangkaian aksi teror yang terjadi musim panas lalu di Wuerzburg, Ansbach, Reutlingen, dan Muenchen, yang semuanya dilakukan oleh keturunan imigran dan pengungsi, insiden truk di Berlin yang dilakukan warga Tunisia semakin membuat Merkel sulit berkelit. Bagi AfD dan para pendukungnya, Merkel dianggap sudah tamat.24

Demikian juga Front Nasional Perancis yang dipimpin Marine Le Pen, putri pendiri FN Jean-Marie Le Pen. Dulu, rakyat Perancis dari kubu berbeda sepakat menggalang gerakan untuk mencegah Jean-Marie Le Pen memenangi pemilu 2002, dengan memilih Jacques Chirac.25

Tren politik di Belanda pun demikian.  Banyak yang tidak menduga bahwa Party for Freedom yang dipimpin oleh Greet Wilders grafiknya mengalami peningkatan kekuatan di parlemen. Peningkatannya pun cukup signifikan. Meski raihan kursi partai ini sempat menurun pada tahun 2010 akibat perselisihan internal, namun kembali mengalami peningkatan perolehan kursi dari 5,9% pada 2006 menjadi 10,1% pada 2012.

Celakanya lagi bagi UE adalah bahwa pemimpin dari dua kekuatan besar dunia: Donald Trump (Amerika Serikat) dan Vladimir Putin (Rusia) lebih cenderung mendukung partai-partai berhaluan Kanan di Eropa. Jika partai-partai berhaluan Kanan berhasil menguasai semua panggung kekuasaan di masing-masing negara Eropa

24 Lihat Myrna Ratna, “Bersiap Hadapi Eropa Kanan”, dalam Kompas, 27 Desember 2016.25 Ibid.

Page 16: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 201694

pada 2017 ini, tentu saja eksistensi UE akan menjadi terancam. Dan bukan tidak mungkin pula runtuhnya integrasi UE akan menjadi kenyataan. Kita tunggu saja hasil pemilu 2017 di beberapa negara Eropa. Karena runtuh atau tidak-nya integrasi UE akan sangat bergantung pada hasil dari pemilu tersebut.

KEPUSTAKAAN

Ambarwati, “Aplikasi Teori Integrasi dalam Hubungan Internasional: Eropa dan Asia Timur,” dalam Asrudin & Mirza Jaka Suryana (eds.), Refleksi Teori Hubungan Internasional: dari Tradisional ke Kontemporer, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2009).

Azwar, Asrudin Teori Perdamaian Demokratis, (Malang: Intrans Publishing, 2016).Cleveland, Harlan., Lahirnya Sebuah Dunia Baru, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesi, 1995).

Borzel, Tanja A., “Comparative Regionalism: European Integration and Beyond”, dalam Walter Carlsnaes, Thomas Risse, dan Beth A. Simmons (eds.), Handbook of International Relations, (London: SAGE Publications, 2013).

Deutsch, Karl, & A. Burrell, Political Community and the North Atlantic Area, (Princeton: Princeton University Press, 1957).

Gilpin, Robert & Millis Gilpin, Tantangan Kapitalisme Global: Ekonomi Dunia Abad ke-21, (Jakarta: Murai Kencana, 2002).

Hanggoro, Wisnu Tri, Johnly E.P. Poerba, & Andreas Harsono (eds.), Perang, Militerisme, dan Tantangan Perdamaian, (Salatiga & Jakarta: Satya Wacana University Press & Gramedia Widiasarana Indonesia, 1994).

Haas, Ernst B., “International Integration: the European and the Universal Process,” dalam International Organization 15 (1961).

__________., The Obsolescence of Regional Integration Theory, (Berkeley: University of California Press, 1975).

__________., The Uniting Europe: Political, Social, and Economic Forces, (Stanford, California: Stanford University Press, 1968).

Hirst, Paul., War and Power in the 21st Century: The State, Military Conflict, and the International System (Cambridge: Polity, 2001).

Page 17: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 95

Krasner, Stephen D., Sovereignty: Organized Hypocrisy, (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1999).

Mansbach, Richard W., & Kirsten L. Rafferty, Introduction to Global Politics, (London & New York: Routledge, 2008).

Mitrany, David, Functional Approach to World Organization,” dalam International Affairs 24 (1948).

__________, The Functional Theory of Politics, (New York: St Martin Press, 1975).

Mudde, Cas “Europe’s Populist Surge”, dalam Foreign Affairs (November/December 2016). Artikel Mudde ini bisa diakses dalam https://www.foreignaffairs.com/articles-europe/2016-10-17/europe-s-populist-surge.

Naisbitt, John, Mind Set!, (Jakarta: Daras Books, 2007).

Ratna, Myrna “Bersiap Hadapi Eropa Kanan”, dalam Kompas, 27 Desember 2016.

Sorensen, Georg., Democracy and Democratization: Processes and Prospect in a Changing World, (New York: Westview Press, 1993).

“Theresa May, Perdana Menteri Inggris Pengganti David Cameron”, dalam https://m.tempo.co/read/news/2016/07/12/117786884/theresa-may-perdana-menteri-inggris-pengganti-david-cameron

Page 18: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 201696

PENGARUH FAKTOR INDIVIDU DALAM POLITIK LUAR NEGERI: SEBUAH KAJIAN IDIOSINKRATIK

Oleh: Umar Suryadi BakryDosen FISIP-HI Universitas Jayabaya

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Foreign policy decisions are influenced by a lot of factors, because the real world is compli-cated and a lot of variables have to be taken into consideration when a policy maker take a decision. This is why the level of analysis is important in the study of International Relations (IR), especially when we have to analyze the foreign policy of a state. This paper examines an innovative element in the study of international relations through the analysis of the subjective elements (idiosyncratic factors) which appear in the foreign policy decisional process, at the individual level. Psychological approach of foreign policy decision making process facilitates the understanding of complexity in world politics. To gain a more comprehensive and in-depth understanding, this paper deliberately presenting a conceptual framework from some IR scholars concerned about the influence of individ-ual factors on the foreign policy of a state.

Keywords: idiosyncratic factors, level of analysis, individual level, personality, foreign policy

ABSTRAK

Keputusan kebijakan luar negeri dipengaruhi oleh banyak faktor, karena dunia nyata adalah rumit dan banyak variabel harus dipertimbangkan ketika pembuat kebijakan mengambil keputusan. Inilah sebabnya mengapa tingkat analisis penting dalam studi Hubungan Internasional (HI), terutama ketika kita harus menganalisis kebijakan luar negeri suatu negara. Tulisan ini membahas elemen inovatif dalam kajian hubungan internasional melalui analisis unsur subjektif (faktor idiosinkratik) yang muncul dalam proses pengambilan keputusan kebijakan luar negeri, pada tingkat individu. Pendekatan psikologis mengenai proses pengambilan keputusan politik luar negeri memfasilitasi pemahaman kompleksitas dalam politik dunia. Untuk mendapatkan pemaha-man yang lebih komprehensif dan mendalam, tulisan ini sengaja menyajikan kerangka konseptual dari beberapa sarjana HI yang menaruh perhatian tentang pengaruh faktor individu pada kebija-kan luar negeri sebuah negara.

Kata kunci: faktor-faktor idiosinkratik, peringkat analisis, level individu, kepribadian, politik luar negeri.

Page 19: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 97

PENDAHULUAN

SEBAGAI sebuah fenomena sosial, hubungan internasional itu sangat rumit dan kompleks. Sebab itu, untuk memahami hubungan internasional diperlukan sebuah metode atau perangkat konseptual yang tepat. Dalam studi Hubungan Internasional (HI) dapat ditemukan banyak metode atau perangkat konseptual yang diperlukan untuk mempelajari fenomena hubungan internasional. Salah satu perangkat konseptual yang paling banyak dikenal dan berguna untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional yang kompleks tersebut adalah pendekatan peringkat analisis (level of analysis).1 Sebagaimana dikatakan Joyce Kaufman, peringkat analisis merupakan sebuah kerangka kerja yang menyeluruh (overarching framework) yang diperlukan dalam memahami hubungan internasional.2

Pendekatan peringkat analisis terutama banyak digunakan oleh para sarjana HI yang beraliran realis (neorealis). Karena dalam kerangka pendekatan ini, diasumsikan bahwa aktor utama (primary actor) hubungan internasional adalah negara. Selain itu penggagas awal pendekatan ini adalah seorang neorealis (Kenneth Waltz). Secara umum, para pakar HI membagi peringkat analisis ke dalam tiga level, yaitu individual level, state level, dan international system level. Tulisan ini secara khusus akan membahas mengenai peringkat analisis individu, khususnya tentang bagaimana pengaruh faktor individu terhadap politik luar negeri suatu negara. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam, tulisan ini sengaja menampilkan sejumlah kerangka konseptual dari beberapa sarjana HI yang menaruh perhatian mengenai pengaruh faktor individu terhadap politik luar negeri suatu negara.

PENGERTIAN PERINGKAT ANALISIS

Apakah yang dimaksud dengan peringkat analisis? Dalam setiap kegiatan keilmuan dan penelitian ilmiah, selalu terdapat berbagai cara di mana fenomena yang kita pelajari (atau kita teliti) dapat dipilah atau diatur untuk sebuah analisis secara sistematis. Sebagai contoh dalam ilmu kimia, kita dapat mempelajari pada tingkat unit-unit mikro (seperti atom), pada tingkat unit-unit menengah (seperti senyawa kimia), atau kumpulan dari unit-unit makro (seperti polusi industri). Inilah yang dimaksud dengan peringkat analisis (level of analysis). Dalam studi HI, kita membagi realitas

1 Taku Tamaki, “The Level of Analysis of the International System”, dalam Emilian Kavalski (ed.), Encounters with World Affairs: An Introduction to International Relations (Farnham, UK: Ashgate, 2002).

2 Joyce P. Kaufman, Introduction to International Relations: Theory and Practice (Maryland: Rowman & Little-field Publishers, Inc., 2013), hal. 10.

Page 20: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 201698

yang kompleks dari fenomena internasional menjadi ‘potongan-potongan’ kecil (atau tingkat-tingkat) sehingga mempelajarinya menjadi lebih mudah. Peringkat analisis memungkinkan kita untuk menentukan ‘keputusan apa’ dibuat ‘oleh siapa’ dan di bawah kendala apa saja. Intinya, peringkat analisis dalam studi HI dapat dikatakan sebagai sebuah metode atau perangkat konseptual yang digunakan untuk menjelajahi atau mengeksplorasi masalah-masalah internasional.

Dalam pandangan Stuart Robinson, peringkat analisis adalah titik-pandang atau agregasi yang relatif lengkap untuk mengatur penelitian, biasanya untuk mengidentifikasi penyebab utama di balik beberapa aspek perilaku internasional. Peringkat analisis merupakan perangkat yang berguna untuk menggambarkan jebakan yang logis dalam studi HI, memperjelas manfaat serta keterbatasan jenis tertentu fokus analitis.3 Sedangkan menurut Marc Genest, konsep peringkat analisis adalah alat untuk membantu kita dalam melakukan penelitian tentang hubungan internasional. Peringkat analisis membantu kita memahami bahwa hubungan internasional merupakan hasil dari sejumlah sumber. Setiap tingkat memiliki pandangan dan memfokuskan pada masalah yang berbeda mengenai peristiwa yang kita teliti. Peringkat analisis adalah salah satu pendekatan atau metode yang paling abadi (paling lama bertahan) dalam mempelajari hubungan internasional.4

Dengan menetapkan peringkat analisis, kita dapat memahami tindakan (politik luar negeri) suatu negara dalam hubungan internasional. Dengan kata lain, tujuan dan perlunya ditetapkan peringkat analisis adalah untuk memahami hal-hal yang mendorong tindakan (perilaku) suatu negara dalam hubungan internasional, misalnya: (1) Apakah tindakan (perilaku) itu hanya merefleksikan preferensi individu pemimpin negara yang bersangkutan; (2) Apakah tindakan itu merupakan resultante kekuatan politik dan birokrasi domestik negara tersebut; (3) Apakah perilaku suatu negara benar-benar dapat dipandang sebagai resonansi dari kepentingan nasional yang telah dirumuskan dalam tujuan dan kebijakan nasional; (4) Apakah perilaku negara tersebut hanya sebagai respons terhadap sinyal-sinyal dan situasi yang terjadi dalam sistem regional atau global.5

Menurut J. David Singer, model peringkat analisis sangat membantu kita

3 Stuart Robinson, “Level of Analysis”, dalam Martin Griffiths (ed.), Encyclopedia of International Relations and Global Politics (New York: Routledge, 2005).

4 Marc A. Genest, Conflict and Cooperation: Evolving Theories on International Relations (Belmont, CA: Wad-sworth, 2004), hal. 3.

5 Daniel S. Papp, Contemporary International Relations: Framework for Understanding (New York: Longman Publishing Co., 2002).

Page 21: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 99

dalam membuat deskripsi, eksplanasi, dan prediksi tentang fenomena internasional yang ingin kita pelajari. Dengan peringkat analisis kita dapat membuat deskripsi yang akurat mengenai suatu peristiwa internasional, artinya mampu menggambarkan suatu peristiwa internasional yang kita pelajari secara lengkap dan tidak terdistorsi. Sedangkan yang dimaksud dengan kemampuan eksplanasi adalah kapasitas untuk menjelaskan hubungan antar fenomena yang diteliti, atau kapabilitas untuk mengelola hubungan kausal secara valid dan cermat (parsimonious). Sementara yang dimaksud dengan kemampuan prediksi adalah kapasitas untuk memperhitungkan kemungkinan apa yang terjadi di masa depan berdasarkan fenomena yang terjadi saat ini.6

Pendekatan peringkat analisis sebagai sebuah metode untuk mempelajari hubungan internasional awalnya dikembangkan oleh seorang neorealis bernama Kenneth Waltz melalui konsepnya Three Images. Waltz menunjukkan bahwa ada tiga peringkat analisis yang dapat dimanfaatkan untuk mempelajari mengapa perang terjadi. Tingkat pertama adalah perilaku manusia (human behavior). Pada tingkat ini kita berasumsi bahwa sifat manusia yang egois lah yang menjadi penyebab perang. Peringkat analisis ini menyiratkan bahwa kita tidak perlu keluar dari atribut (sifat) pribadi dari para pembuat kebijakan untuk menganalisis sebab-sebab perang (the causes of war). Waltz mengatakan, lokus dari penyebab utama perang dapat ditemukan dalam sifat dan perilaku manusia. Peperangan adalah hasil keegoisan, dari dorongan yang salah arah, dari kebodohan manusia.7

Tingkat kedua adalah struktur internal dari negara-negara (the internal structure of states). Pada tingkat ini kita berfokus pada faktor-faktor internal dalam suatu negara, seperti dasar-dasar ideologis. Argumen apakah negara demokratis lebih damai atau tidak dibandingkan negara otokratis, misalnya, menentukan cara kita menjelaskan suatu peristiwa internasional. Waltz mengatakan, perang seringkali dapat melahirkan persatuan internal dalam negara-negara yang terlibat. Sebab itu banyak negara ketika sedang menghadapi perselisihan internal sengaja menunggu serangan dari negara lain atau sengaja menciptakan perang dengan negara lain demi terbentuknya perdamaian internal.8

Tingkat ketiga adalah sifat anarkhis dari sistem internasional (the anarchic nature of the international system). Pada tingkat ini, perhatian tidak lagi kita fokuskan pada siapa aktornya atau aktor melakukan apa, melainkan lebih ditujukan pada bagaimana struktur

6 J. David Singer, “The Level-of-Analysis Problem in International Relations”, dalam World Politics, Vol. 14 No. 1 (1961), hal. 77-92.

7 Kenneth Waltz, Man, the State, and War (New York: Columbia University Press, 1959), hal. 16.8 Ibid., hal. 81.

Page 22: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016100

sistem internasional yang berlaku atau bagaimana sistem internasional bekerja. Waltz mengatakan, dalam sistem internasional di mana terdapat banyak negara berdaulat, dengan tidak ada sistem hukum yang dapat dipaksakan untuk mereka, dengan setiap negara menilai kekecewaan dan ambisi menurut alasannya sendiri-sendiri, konflik atau perang antar negara menjadi sangat mudah terjadi.9

Meskipun istilah peringkat analisis pertama kali dikembangkan oleh Kenneth Waltz, tetapi beberapa pakar HI melihat asal-usul perdebatan mengenai masalah peringkat analisis dalam komunitas studi HI muncul setelah David Singer merilis artikelnya yang berjudul “The Level-of-Analysis Problem in International Relations” (1961). Menurut sejumlah ahli, pandangan Singer tentang isu-isu peringkat analisis dalam stud HI berbeda secara fundamental dari Waltz. Jika Waltz lebih menekankan pada kategori faktor-faktor eksplanatori, Singer lebih mengacu pada agregasi atau entitas sosial mengenai deskripsi, eksplanasi, dan prediksi yang dapat digunakan dalam studi tertentu.10 Singer sendiri membagi peringkat analisis ke dalam tiga level, yakni systemic level, national state level, dan individual level.

Banyak sarjana HI membagi peringkat analisis ke dalam tiga level sebagaimana yang dilakukan oleh David Singer, misalnya Theodore Couloumbis dan James Wolfe (1981), John Spanier (1981), Kalevi Holsti (1981), Marc A. Genest (2004), John Rourke dan Mark Boyer (2009), serta Charles Kegley dan Shannon Blanton (2011). Tiga peringkat analisis menurut Charles Kegley dan Shannon Blanton adalah global level of analysis, state level analysis, dan individual lebel of analysis. Tingkat analisis global mengacu pada interakasi aktor-aktor negara dan non-negara pada pentas global yang perilakunya membentuk sistem politik internasional serta tingkat konflik dan kerjasama yang mewarnai politik dunia. Tingkat analisis negara menekankan unit-unit pembuatan keputusan yang otoritatif yang mengatur proses-proses kebijakan luar negeri dan atribut-atribut internal dari suatu negara (seperti jenis pemerintahan, tingkat kemampuan ekonomi dan militer, dan sebagainya) yang membentuk dan menghambat pilihan-pilihan kebijakan luar negeri. Sedangkan tingkat analisis individu mengacu pada karakteristik personal dari individu, terutama mereka yang bertanggung jawab membuat keputusan-keputusan penting atas nama aktor-aktor negara dan non-negara.11

9 Ibid., hal. 159.10 Lihat James Lee Ray, “Integrating Levels of Analysis in World Politics”, dalam Journal of Theoretical Politics,

Vol. 13 No. 4 (2001), hal. 355-388.11 Charles W. Kegley, Jr. dan Shannon L. Blanton, World Politics: Trend and Transformation (Boston, MA: Wad-

sworth Cengage Learning, 2011), hal. 18-19.

Page 23: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 101

Tulisan ini secara khusus akan membahas mengenai peringkat analisis individu, khususnya tentang bagaimana pengaruh faktor individu terhadap politik luar negeri suatu negara. Untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif dan mendalam, tulisan ini sengaja menampilkan sejumlah kerangka konseptual dari beberapa sarjana HI yang menaruh perhatian mengenai pengaruh faktor individu terhadap politik luar negeri suatu negara.

PERINGKAT ANALISIS INDIVIDU

Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa pendekatan tingkat individu terhadap politik luar negeri dan politik internasional menekankan karakter umum dari semua individu, sering disebut sebagai ‘sifat manusia’ (human nature). Dalam kaitannya dengan studi Kenneth Waltz mengapa perang terjadi, asumsinya adalah bahwa sifat manusia yang egoistik yang menyebabkan perang.12 Para pakar lain kemudian menggunakan pendekatan ini untuk mencari penjelasan mengenai bagaimana pengaruh individu tertentu (biasanya pengambil kebijakan tertinggi di suatu negara) terhadap keputusan politik luar negeri negara tertentu.

Menurut Marc Genest, eksplanasi tingkat individu membahas aktor manusia dalam berbagai cara yang berbeda. Pendekatan pertama melihat karakteristik dasar dari sifat manusia secara umum. Sebagaimana dikatakan Thomas Hobbes bahwa individu yang secara alamiah bersifat agresif dan merasa tidak aman (insecure), membentuk, menentukan, dan menggambarkan sifat masyarakat dan pemerintahnya.13 Pendekatan kedua menganalisis motif-motif, prinsip-prinsip, dan prakonsepsi dari individu. Thomas Carlyle mengatakan bahwa “sejarah dunia adalah tentang biografi orang besar”. Pernyataan ini menegaskan bahwa persepsi, mispersepsi, dan perilaku dari individu pemimpin dapat memiliki pengaruh yang dramatis terhadap tindakan suatu negara. Tindakan ini kemudian menciptakan riak melalui sistem internasional secara keseluruhan.14

Menurut Hubert Blalock, dalam penelitian ilmu sosial dikenal istilah micro-level analysis, meso-level analysis, dan macro-level analysis.15 Dengan mengacu pada pembagian ini, peringkat analisis individu dapat digolongkan sebagai micro-level analysis (analisis tingkat mikro). Pada tingkat ini, yang diperhatikan adalah gaya

12 Kenneth Waltz sebagaimana dikutip Taku Tamaki, loc. cit.13 Thomas Hobbes, Human Nature and De Corpore Politico (Oxford: Oxford University Press, 2008).14 Marc A. Genest, op. cit., hal. 10.15 Hubert M. Blalock, Social Statistics (New York: McGraw-Hill, 1979).

Page 24: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016102

kepemimpinan (leadership style) dari individu negarawan. Apakah yang dimaksud dengan gaya kepemimpinan? Menurut Juliet Kaarbo, gaya kepemimpinan adalah kebiasaan kerja (work habits) para pemimpin, yakni bagaimana mereka berhubungan dengan orang-orang di sekitar mereka, bagaimana mereka menerima informasi, dan bagaimana mereka mengambil keputusan.16 Ini semua membentuk pola tertentu yang berbeda antara satu pemimpin dengan pemimpin lainnya. Misalnya, beberapa pemimpin cenderung banyak terlibat dalam proses pengambilan keputusan, sementara beberapa lainnya lebih menyukai pendelegasian wewenang. Beberapa pemimpin menyukai mengumpulkan saran atau informasi dari banyak sumber sebelum mengambil keputusan, namun beberapa lainnya cenderung mengandalkan informasi dari penasihat terpercaya atau bahkan dari dirinya sendiri.

Namun pemisahan paling umum untuk mengakses gaya pengambilan keputusan seorang pemimpin adalah apakah pemimpin itu terbuka atau tertutup. Pemimpin dengan gaya yang lebih terbuka (open style) selalu menyesuaikan perilaku mereka agar selaras dengan tuntutan situasi, untuk memastikan di mana posisi orang lain dengan memperhatikan masalah dan mempertimbangkan bagaimana kecenderungan tindakan dari pemerintah negara-negara lain sebelum membuat keputusan. Untuk menjadi pemimpin yang dapat diterima (acceptable leader), gagasan, sikap, keyakinan, dan motif yang dimilikinya harus mendapatkan validasi eksternal dari orang lain. Karena isyarat situasional begitu penting untuk menentukan perilaku yang pantas, para pemimpin yang lebih responsif biasanya berusaha untuk menciptakan dan memelihara jaringan pengumpulan informasi yang luas agar selalu dapat memahami apa yang terjadi. Mereka ingin orang-orang di sekitar mereka mewakili berbagai konstituennya, sehingga dapat terus mengikuti kebutuhan dan kepentingan para konstituen tempat mereka mengharapkan dukungan.17

Sementara para pemimpin dengan gaya yang lebih tertutup (closed style) cenderung yakin pada posisi dan preferensi kebijakan mereka, serta sedikit menggunakan nasihat orang lain. Apa yang menentukan keputusan mereka adalah bagaimana mereka memandang situasi melalui sistem kepercayaan yang dimilikinya, kurang mempedulikan oposisi atau peringatan dari orang lain. Pengaruh dari pemimpin dengan gaya tertutup terhadap politik luar negeri bersifat langsung. Apa yang dipersepsikan, nilai-nilai,

16 Juliet Kaarbo, “Prime Minister Leadership Styles in Foreign Policy Decision Making: A Framework for Re-search”, dalam Political Psychology, Vol 18 (1997), hal. 553-581.

17 Margaret G. Hermann, “Leaders and Foreign Policy Decision-Making”, dalam D. Caldwell dan T. McKeon (eds.), Diplomacy, Force and Leadership: Essay in Honor of Alexander George (Bouler, CO: Westview Press, 1993), hal. 82.

Page 25: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 103

dan keyakinan seorang pemimpin, kemungkinan besar akan menentukan keputusan yang dibuat, meskipun ada kendala domestik maupun internasional. Sedangkan efek pemimpin dengan gaya terbuka terhadap politik luar negeri bersifat tidak langsung (indirect). Contoh pemimpin dunia yang memiliki gaya kepemimpinan tertutup adalah Ronald Reagan, George W. Bush, dan Margareth Thatcher.18 Sedangkan yang memiliki gaya kepemimpinan terbuka diantaranya Jimmy Carter, Bill Clinton, dan Hashemi Rafsanjani. Sedangkan untuk konteks Indonesia, Presiden Soeharto dan Megawati Soekarnoputri barangkali dapat diklasifikasikan sebagai tipe policy maker dari gaya kepemimpinan tertutup, sedangkan Presiden Joko Widodo dan B.J. Habibie lebih mendekati karakteristik dengan gaya kepemimpinan terbuka.

Kaum tradisionalis dalam studi HI biasanya memberi istilah pendekatan micro-level analysis sebagai biografi, sedangkan para penganut aliran saintifik menyebut pendekatan ini lebih menekankan pada investigasi perilaku idiosinkratik elit (elite idiosyncratic behavior) atau kode operasional (operational code).19 Secara leksikal, idiosinkratik adalah sesuatu yang unik dalam kepribadian seseorang. Jika kita ingin mengetahui idiosinkratik seseorang maka kita harus mengamati apa yang dilakukan sesorang dengan caranya sendiri. Heikki Patomäki secara lebih lengkap mengatakan bahwa idiosinkratik seseorang termanifestasi dalam konteks interaksi dan wacana (serta terkait dengan kemampaun dan keterampilan praktis).20 Analisis idiosinkratik adalah kajian tentang manusia sebagai individu dan bagaimana karakter pribadi setiap pemimpin turut membentuk keputusan-keputusan yang dibuatnya. Misalnya, apakah pemimpin yang otoriter cenderung mudah mengawali dan meningkatkan konflik dengan negara lain daripada pemimpin yang demokratis.

Kode operasional (operational code) merupakan varian dari belief-system yang lebih modern, lebih detail, dan lebih terstruktur. Menurut Melanie Gabriela, kode operasional digunakan untuk mengidentifikasi dua kategori keyakinan (belief), yaitu keyakinan filosofis (philosophical belief) dan keyakinan instrumental (instrumental belief). Keyakinan filosofis terdiri dari beberapa sub-kategori, seperti hakikat esensial dari dunia (keyakinan filosofis utama), optimisme, kemampuan memprediksi (predictability), kemampuan mengendalikan (ablity to control), peran yang dimainkan secara kebutulan (the role played by chance), dan sebagainya. Sedangkan keyakinan

18 Juliet Kaarbo, loc. cit.19 Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice (New

Delhi: Prentice-Hall of India, 1981), hal. 26.20 Heikki Patomäki, After International Relations: Critical Realism and the (Re)-Construction of World Politics

(London: Routledge, 2002), hal. 117.

Page 26: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016104

instrumental mencakup beberapa sub-kategori, misalnya arah strategi (keyakinan instrumental utama), intensitas taktik (intensity of tactics), orientasi tentang resiko (orientation of risk), periodisasi atau fleksibilitas taktik, penggunaan power (power exercise), dan sebagainya.21

James Kuhlman menyatakan bahwa operasionalisasi konsep karakteristik idiosinkratik seorang elit politik dalam analis politik luar bukan pekerjaan mudah. Aspek idiosinkratik dalam politik luar negeri biasanya didekati dari perspektif menggambarkan images (citra, kesan) yang ditangkap seorang pengambil keputusan (decision-maker). Sebuah images merupakan “representasi terorganisir” tentang suatu obyek dalam sebuah sistem kognitif individu. Images dapat menyebabkan timbulnya perasaan positif, negatif, atau netral pada orang yang menangkapnya, sehingga dengan demikian images terkait dengan sikap. Dengan kata lain, bahwa hubungan antara images dan decisions adalah kunci pokok bagi kerangka kerja yang sangat berharga dalam analisis politik luar negeri.22

Harold Jacobson dan William Zimmerman mengatakan bahwa eksplanasi tradisional tentang politik luar negeri selain dapat dikategorikan dalam pendekatan sistemik, environmental, societal, dan governmental, juga dalam pendekatan idiosinkratik (psikologis). Pendekatan idiosinkratik memfokuskan diri pada faktor-faktor kepribadian (personalities). Bagi Jacobson dan Zimmerman, politik luar negeri dengan pendekatan idiosinkratik adalah yang paling elegan dan secara estetis paling menarik, namun pendekatan ini sekaligus juga paling sulit (terutama dalam mengaitkannya dengan realitas empiris). Pendekatan idiosinkratik memberikan indikasi paling sedikit mengenai dinamika perilaku negara (politik luar negeri).23

Sementara Margaret Hermann berpendapat bahwa dengan menganalisis faktor idiosinkratik, karakteristik dan kepribadian, prediksi mengenai pengambilan keputusan politik luar negeri dapat dibuat, karena analisis tersebut dapat memberikan gambaran yang jelas dari kecenderungan perilaku pribadi para pemimpin. Prediksi biasanya dilakukan dengan cara analisis dan pemetaan kognitif dari proses-proses kognitif dan psikologis yang terlibat dalam pengambilan keputusan.24 Jika kita ingin menganalisis

21 Melanie Gabriela, “Idiosyncracies in Foreign Policy Decision Making: Post Cold War”, disertasi pada Faculty of European Studies, Babes-Bolya Universiti (Cluj Nopoca, Romania, 2012).

22 James A. Kuhlman (ed.), The Foreign Policies of Eastern Europe: Domestics and International Determinants (Leyden: A.W. Sijthoff, 1978), hal. 195.

23 Harold Jacobson dan William Zimmerman sebagaimana dikutip Paul G. Harris (ed.), Environmental Change and Foreign Policy: Theory and Practice (London: Routledge, 2009), hal. 5.

24 Margaret G. Hermann, “Explaining Foreign Policy Behavior Using the Personal Characteristics of Political Leaders”, dalam International Studies Quaterly, Vol. 24 No. 1 (1990), hal. 7-46.

Page 27: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 105

suatu peristiwa internasional atau politik luar negeri suatu negara dengan menggunakan pendekatan peringkat analisis individu, para pembuat keputusan (decision makers) kita asumsikan sedang menetapkan tujuan, memilih berbagai sebab-sebab tindakan, dan mendayagunakan kapabilitas nasional untuk mencapai tujuan politik luar negeri atas nama negaranya.

Dalam pandangan Kalevi Holsti, peringkat analisis ini memusatkan perhatian pada variabel-variabel ideologi, motivasi, cita-cita, persepsi, dan nilai-nilai, atau idiosinkratik para individu yang memiliki kemampuan untuk membuat keputusan politik luar negeri bagi negaranya.25 Sedangkan menurut Caitlin Smith, idiosinkratik seorang pengambil keputusan dapat dikelompokkan dalam kategori-kategori karakteristik pribadinya, yang mencakup keyakinan (beliefs), motif (motives), gaya pengambilan keputusan (decisional style), gaya interpersonal (interpersonal style).26 Sementara Melania Gabriela membagi faktor idiosinkratik dalam pembuatan keputusan politik luar negeri menjadi empat jenis, yaitu: cognitive idiosyncracies, social perception idiosyncracies, motivational idiosyncracies, dan emotional (affective) idiosyncracies.27

Cognitive idiosyncracies diidentifikasi sebagai kategori-kategori seperti framing, anchoring, disponibility, utilitas, kerangka perspetual, persepsi tentang tugas (task perception), konsistensi kognitif, kompleksitas konseptual, kompleksitas integratif, gaya berbicara, events presentation, konstruksi yang mempengaruhi gaya putusan, citra, analogi historis, dan sebagainya. Social perception idiosyncracies diidentifikasi sebagai kategori-kategori yang berpusat pada self dan others yang ditunjukkan melalui fragmen-fragmen dalam berbagai wacana dan wawancara, seperti transparansi dan pendekatan perspektif (self) serta prioritas kepentingan dan memahami bagian pihak lain (others). Sementara motivational idiosyncracies ditunjukkan dalam beberapa kategori seperti realisasi diri (self-realization), kohorensi dan keseimbangan (coherence and balance), kerjasama, dan tanggung jawab. Sedangkan emotional (affective) idiosyncracies mencakup kategori emosi-emosi positif (apakah ia seorang periang, bergairah, penuh harapan, dan sebagainya) serta emosi-emosi negatif (orang yang penyedih, gampang merasa tidak nyaman, mudah marah, dan sebagainya).28

Menurut John Rourke dan Mark Boyer, analisis tingkat individu melibatkan pemahaman mengenai individu sebagai spesies, individu dalam kelompok, dan

25 Kalevi J. Holsti, International Politics: A Framework for Analysis (New Jersey: Prentice-Hall, 1995).26 Caitlin Smith, “Personality in Foreign Policy Decision-Making”, dalam http://www.e-ir.info/2012/10/16/

[Diakses 28 Desember 2016].27 Melanie Gabriela, loc. cit. 28 Ibid.

Page 28: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016106

individu secara idiosinkratik. Dalam pendekatan individu sebagai spesies, pembuatan keputusan politik luar negeri dipengaruhi oleh faktor-faktor kognitif, emosional, psikologis, persepsi, dan seringkali biologis (etologi dan gender). Dalam pendekatan individu dalam kelompok, dapat diilustrasikan dua konsep, yakni perilaku peran (role behavior) dan perilaku pengambilan keputusan dalam kelompok (group decision-making behavior). Sedangkan pendekatan idiosinkratik sedikitnya menelaah lima faktor, yakni faktor kepribadian, faktor kesehatan fisik dan jiwa, faktor ego dan ambisi, faktor sejarah politik dan pengalaman pribadi; dan faktor persepsi dan realitas operasional.29

Tabel 1Faktor Individu Dalam Politik Luar Negeri

PENDEKATAN VARIABEL

A. Individu sebagai sebuah spesies 1. Cognitive factors2. Emotional factors3. Psychological factors 4. Perception factors5. Biological factors

B. Individu dalam kelompok 1. Role Behavior2. Group decision-making behavior

C. Individu dalam konteks idiosinkratik

1. Personality factors2. Physical and mental health3. Ego and ambitions4. Political history and personal experiences5. Perceptions and operational reality

Sumber: John T. Rourke dan Mark A, Boyer (2009).

Ketika menganalisis jenis kepribadian (personality type) dan dampaknya terhadap kebijakan, kita hendaknya menelaah orientasi dasar seorang pemimpin terhadap dirinya dan orang lain, pola perilaku, dan sikapnya mengenai konsep-konsep yang relevan secara politis, misalnya konsep otoritas. Menurut Joseph Grieco (et al), kepribadian seorang pemimpin terbentuk dari sejumlah sumber, termasuk faktor

29 John T. Rourke dan Mark A. Boyer, International Politics on the World Stage (New York: McGraw-Hill Educa-tion, 2009), hal. 74-76.

Page 29: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 107

genetika, sosialisasi semasa kanak-kanak, dan pengalaman pada masa dewasa awal.30 Faktor kepribadian ini dapat berpengaruh kuat pada apa yang dipikirkan seorang pemimpin mengenai masalah internasional dan politik luar negeri. Sebagai contoh, beberapa analisis telah menegaskan bahwa identitas rasial dan pengalaman masa kanak-kanak Presiden Barack Obama tinggal di Indonesia, telah menjadikannya sebagai presiden Amerika pertama yang memiliki sensitivitas multi-etnis dan multi-rasial di dalam maupun di luar negeri.

Ada sejumlah skema kategorisasi tentang kepribadian. Salah satu yang paling banyak digunakan dalam analisis kepribadian politik adalah skala aktif-pasif dan skala positif-negatif dari James Barber. Pemimpin yang aktif (active leaders) adalah inovator kebijakan dan pemimpin yang pasif (passive leaders) merupakan seorang yang reaktor. Sementara itu pemimpin yang berkepribadian positif (positive personalities) biasanya memiliki kepribadian yang cukup kuat untuk menerima lingkungan politik yang berbeda (kontroversial), sedangkan pemimpin yang berkepribadian negatif (negative personalities) cenderung merasa terbebani (bahkan merasa dilecehkan) oleh kritik-kritik politik.31

Kesehatan jiwa dan fisik (physical and mental health), seorang pemimpin, menurut Rourke dan Boyer, juga menjadi faktor penting dalam pembuatan keputusan politik luar negeri. Sebagai contoh, ketika Franklin Roosevelt dinyatakan sakit hipertensi pada 1945, kelemahan fisik dan jiwa Presiden Amerika Serikat ini menyebabkan ia tidak dapat menolak tuntutan Joseph Stalin untuk menduduki Eropa Timur. Menyangkut kesehatan jiwa dan fisik ini adalah kebiasaan minum alkohol. Misalnya, Presiden Richard Nixon yang dijuluki oleh Henry Kissinger sebagai “my drunken friend”, dilaporkan sering membuat keputusan-keputusan yang kurang tepat selama era krisis dengan Uni Soviet. Pembuatan keputusan politik luar negeri, menurut Rourke dan Boyer, juga dapat dipengaruhi oleh faktor ego dan ambisi pribadi (ego and personal ambitions) dari seorang pemimpin. Kebijakan Washington mengintervensi Irak 2003, misalnya, oleh sejumlah pengamat banyak dipengaruhi faktor ego dan ambisi pribadi Presiden George Bush.32 Begitu pula invasi militer Irak ke Kuwait sebelum itu, banyak didominasi oleh ego dan ambisi pribadi Presiden Saddam Hussein.

30 Joseph Grieco, John Ikenberry, dan Michael Mastanduno, Introduction to International Relations (New York: Palgrave Macmillan, 2015), hal. 113.

31 Lihat James D. Barber, The Presidential Character: Predicting Performance in the White House (New York: Prentice-Hall, Inc., 1992).

32 Lihat George W. Bush, Decision Points (New York: Broadway Paperbacks, 2011).

Page 30: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016108

Pengambil keputusan politik luar negeri seringkali juga dipengaruhi pengalaman pribadi (personal experiences) mereka. Margaret Hermann mengatakan bahwa pengalaman masa lalu seorang pemimpin dapat mempengaruhi kebijakan luar negeri negaranya, di samping faktor-faktor kepribadian lainnya. Meskipun masih bersifat spekulasi, pengalaman personal Presiden George Bush, menurut Rourke dan Boyer, mempengaruhi tekadnya untuk menjatuhkan Saddam Hussein dari tampuk kekuasaan pada 2003.33 Terakhir, images mengenai realitas dari para pengambil keputusan merupakan elemen idiosinkratik yang juga mempengaruhi pendekatan mereka terhadap politik luar negeri. Tidak dapat dinafikkan bahwa persepsi seorang pemimpin memainkan peran sentral dalam pembuatan keputusan politik luar negeri. Apapun sumbernya, persepsi seorang pemimpin menciptakan pandangan dunianya (his/her world view). Persepsi memainkan peran kunci dalam kebijakan karena persepsi membentuk realitas operasional. Artinya, pembuat kebijakan cenderung bertindak berdasarkan persepsi, apakah persepsi itu akurat atau tidak. Kode operasional, menurut Rourke dan Boyer, terkait dengan fenomena perseptual. Gagasan ini menjelaskan bagaimana pandangan dunia setiap pemimpin dan kecenderungan filosofis untuk mendiagnosis bagaimana politik dunia beroperasi, mempengaruhi kecenderungan mereka untuk memilih cara imbalan, ancaman, kekuatan, atau metode diplomasi lainnya.34

Dalam pandangan Russel Bova, faktor-faktor individu yang dapat mempengaruhi politik luar negeri diklasifikasikan dalam dua variabel utama, yaitu sistem keyakinan (belief systems) dan atribut kepribadian (personality attributes). Sebuah sistem keyakinan merujuk pada seperangkat nilai-nilai dan pemahaman substantif mengenai dunia yang dianut oleh seorang individu. Jika kita meyakini bahwa kualitas pemimpin mempunyai pengaruh pada politik luar negeri suatu negara, kita akan langsung mengacu pada gagasan dan keyakinan substantif mereka mengenai dunia. Dalam konteks ini, perbedaan dalam sistem keyakinan dapat terwujud dalam perbedaan posisi ketika menanggapi tantangan kebijakan luar negeri tertentu. Sistem keyakinan yang tingkatnya paling rumit dan sangat terintegrasi adalah ideologi. Dalam hal ini, ideologi adalah seperangkat asumsi dan pemahaman yang terintegrasi mengenai bagaimana dunia sosial, ekonomi, dan politik seharusnya dikelola, distrukturisasi atau diorganisasi. Seorang pemimpin yang ‘berideologi’ nasionalis, misalnya, akan memiliki pemahaman yang sangat berbeda mengenai dunia daripada seorang pemimpin yang

33 John T. Rourke dan Mark A. Boyer, loc. cit.34 Mengenai peran kode operasional ini, lihat juga Mark Schafer and Stephen Walker (eds.), Beliefs and Leader-

ship in World Politics (New York: Palgrave Macmillan, 2006).

Page 31: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 109

berorientasi liberal. Perbedaan ideologis ini pada gilirannya akan mempengaruhi pandangan negara (state view) mengenai siapa yang dianggap sahabat dan musuh di dunia, sifat dari tantangan dan ancaman yang dihadapinya, serta instrumen yang dapat digunakan untuk menghadapi tantangan dan ancaman tersebut.35

Selain sistem keyakinan, atribut-atribut kepribadian seorang pemimpin dapat juga membentuk atau mempengaruhi keputusan politik luar negeri. Apakah seorang individu pemimpin memiliki kepribadian yang pragmatis atau dogmatis, otoriter atau demokratis, impulsif atau deliberatif, yang berhati-hati atau pengambil resiko (cautious or risk-taking), dapat memiliki pengaruh yang besar terhadap kebijakan yang dibuatnya atas nama negara. Salah seorang sarjana HI yang telah melakukan pengujian mengenai pengaruh atribut kepribadian pemimpin terhadap politik luar negeri suatu negara adalah Margaret Hermann. Dengan mempelajari apa yang dikatakan para pemimpin melalui pidato-pidato dan wawancara-wawancara, Hermann membagi ke dalam tujuh ciri-ciri kepribadian yang berbeda, yaitu: (1) keyakinan bahwa seseorang dapat mempengaruhi dan mengontrol apa yang terjadi; (2) membutuhkan kekuasaan dan pengaruh; (3) tingkat kompleksitas konseptual; (4) percaya diri; (5) cenderung memusatkan perhatian pada pemecahan masalah dan berorientasi prestasi dan menjaga kelompok atau senang dengan gagasan yang sensitif; (6) tidak percaya atau mencurigai orang lain; dan (7) tingkat bias dalam kelompok.36

Versi sederhana dari analisis Margaret Hermann mengenai atribut kepribadian tersebut disajikan dalam Tabel 2. Dengan mengkombinasikan beberapa dari tujuh ciri kepribadian di atas, Tabel 2 mencoba membedakan para pemimpin ke dalam dua dimensi, yaitu tanggap terhadap kendala-kendala eksternal dan terbuka terhadap informasi. Tanggap terhadap kendala (responsiveness to external constraints) harus dilakukan dengan sejauh mungkin pemimpin memandang keadaan eksternal di tingkat analisis sistemik dan negara untuk membatasi kebebasan tindakannya. Keterbukaan terhadap informasi juga perlu dilakukan untuk mengetahui sejauhmana seorang pemimpin berusaha dan menerima informasi yang bertentangan dengan pandangan dan kebijakan yang telah ditetapkannya. Hasilnya adalah empat jenis kepemimpinan, yaitu crusaders, opportunists, strategists dan pragmatists.

35 Russel Bova, How the World Works: A Brief Survey of International Relations (New York: Pearson Education, Inc., 2016), hal. 78.

36 Margaret C. Hermann, “Assesing Leadership Style: A Traits Analysis”, dalam http://socialscience.net/ [Diak-ses 22 September 2016].

Page 32: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016110

Tabel 2Tipologi Gaya Kepemimpinan

MENGIKUTI KENDALA MENENTANG KENDALA

TERBUKA TER-HADAP INFOR-MASI

OPPORTUNISTS• Paling sensitif terhadap

konteks• Cenderung untuk kompro-

mi dan bargaining• Tampak sangat berhati-hati

STRATEGISTS• Memiliki tujuan yang jelas• Mencari informasi terbaik

untuk mencapai tujuan• Tampak tak dapat diprediksi

TERTUTUP TER-HADAP INFOR-MASI

PRAGMATIS• Merasakan tekanan dari

kendala eksternal• Menunda tujuan apabila

waktu dan keadaan tidak menunjang

• Tampak tidak tegas

CRUSADERS• Kurang sensitive terhadap

konteks• Memiliki tujuan jelas dan

mencapainya tanpa ker-aguan

• Tampak sabar, tapi tegas

Sumber: Margaret Hermann, Thomas Preston, Baghat Korany, dan Timothy Shaw, “Who Leads Mat-ters: The Effects of Powerful Individual”, dalam International Studies Review, Vol. 3 No.2 (2001).

Dalam studinya yang lain, Margaret Hermann menemukan sejumlah karakteristik kepribadian yang mempengaruhi politik luar negeri. Ia diantaranya menemukan bahwa pemimpin dengan tingkat nasionalisme yang tinggi, memiliki kebutuhan yang kuat akan kekuasaan, dan tingkat ketidakpercayaan yang tinggi terhadap orang lain, cenderung mengembangkan orientasi politik luar negeri yang independen. Sebaliknya, pemimpin dengan tingkat nasionalisme yang rendah, memiliki kebutuhan yang tinggi akan evaluasi, dan tingkat ketidakpercayaan yang rendah terhadap orang lain, cenderung mengembangkan orientasi politik luar negeri yang partisipatif. Hasil penelitian Hermann menunjukkan bahwa pengaruh faktor kepribadian dalam kepemimpinan diktator cenderung lebih tinggi daripada dalam kepemimpinan demokratis, karena dalam kepemimpinan diktator tidak ada pemeriksaan kelembagaan yang efektif.37

37 Margaret G. Hermann sebagaimana dikutip oleh Karen A. Mingst, Essentials of International Relations (New York: W.W. Norton & Company, 2004), hal. 140-142.

Page 33: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 111

KESIMPULAN

Untuk memahami hubungan internasional diperlukan sebuah metode atau perangkat konseptual yang tepat. Salah satu perangkat konseptual yang paling banyak dikenal dan berguna untuk menjelaskan fenomena hubungan internasional yang kompleks tersebut adalah pendekatan peringkat analisis (level of analysis). Pendekatan peringkat analisis terutama banyak digunakan oleh para sarjana HI yang beraliran realis (neorealis), terutama untuk menjelaskan perilaku internasional atau politik luar negeri suatu negara. Banyak sarjana HI membagi peringkat analisis ke dalam tiga level, yaitu level individu, level negara, dan level sistem internasional. Menjelaskan politik luar negeri dengan menekankan pada level individu seringkali disebut sebagai pendekatan idiosinkratik. Pendekatan ini merupakan yang paling elegan dan secara estetis paling menarik, namun sekaligus juga paling sulit (terutama dalam mengaitkannya dengan realitas empiris).

Ada perbedaan pemahaman diantara pakar HI mengenai pendekatan idiosinkratik. Namun pada umumnya mereka memandang idiosinkratik sebagai faktor-faktor yang berkaitan dengan aspek kepribadian (personality) dari seorang pengambil keputusan (policy maker). Kajian idiosinkratik selain membedah karakteristik individual atau gaya kepemimpinan (leadership style) seorang pengambil keputusan yang mempengaruhi politik luar negeri negaranya, juga mengulas tentang faktor-faktor yang membentuk karakteristik individual atau gaya kepemimpinan tersebut. Karakteristik individual atau gaya kepemimpinan, misalnya apakah pengambil keputusan tersebut seorang yang aktif atau pasif, seorang yang terbuka atau tertutup, seorang yang cautious atau risk-taking, seorang yang otoriter atau demokratis, seorang yang oportunist atau strategist, seorang yang pragmatis atau crusaders, seorang yang berkepribadian positif atau negatif, seorang yang impulsif atau deliberatif, dan sebagainya. Sedangkan faktor-faktor yang membentuk karakteristik individual atau gaya kepemimpinan tersebut diantaranya personal experience (lingkungan keluarga, lingkungan pertemanan, pengalaman semasa remaja, lingkungan kerja, sejarah aktivitasnya dalam politik, pengalaman organisasi), nilai-nilai (values), sistem kepercayaan (belief system), ambisi, motivasi, ego, kesehatan fisik dan mental, faktor biologis (laki-laki atau perempuan), dan masih banyak lagi.

Page 34: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016112

KEPUSTAKAAN

Barber, James D., The Presidential Character: Predicting Performance in the White House (New York: Prentice-Hall, Inc., 1992).

Blalock, Hubert M., Social Statistics (New York: McGraw-Hill, 1979).

Bova, Russel, How the World Works: A Brief Survey of International Relations (New York: Pearson Education, Inc., 2016).

Bush, George W., Decision Points (New York: Broadway Paperbacks, 2011).

Caldwell, Dan dan Timothy McKeon (eds.), Diplomacy, Force and Leadership: Essay in Honor of Alexander George (Bouler, CO: Westview Press, 1993).

Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice (New Delhi: Prentice-Hall of India, 1981).

Genest, Marc A., Conflict and Cooperation: Evolving Theories on International Relations (Belmont, CA: Wadsworth, 2004).

Gabriela, Melanie “Idiosyncracies in Foreign Policy Decision Making: Post Cold War”, disertasi pada Faculty of European Studies, Babes-Bolya Universiti (Cluj Nopoca, Romania, 2012).

Grieco, Joseph, John Ikenberry, dan Michael Mastanduno, Introduction to International Relations (New York: Palgrave Macmillan, 2015).

Harris, Paul G. (ed.), Environmental Change and Foreign Policy: Theory and Practice (London: Routledge, 2009).

Hermann, Margaret G., “Explaining Foreign Policy Behavior Using the Personal Characteristics of Political Leaders”, dalam International Studies Quaterly, Vol. 24 No. 1 (1990), hal. 7-46.

Hermann, Margaret, Thomas Preston, Baghat Korany, dan Timothy Shaw, “Who Leads Matters: The Effects of Powerful Individual”, dalam International Studies Review, Vol. 3 No.2 (2001), hal. 83-131.

Hermann, Margaret C., “Assesing Leadership Style: A Traits Analysis”, dalam http://socialscience.net/ [Diakses 22 September 2016].

Hobbes, Thomas, Human Nature and De Corpore Politico (Oxford: Oxford University Press, 2008).

Page 35: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 113

Holsti, Kalevi J., International Politics: A Framework for Analysis (New Jersey: Prentice-Hall, 1995).

Kaarbo, Juliet, “Prime Minister Leadership Styles in Foreign Policy Decision Making: A Framework for Research”, dalam Political Psychology, Vol 18 (1997), hal. 553-581.

Kaarbo, Juliet dan James Lee Ray, Global Politics (Boston, MA: Wadsworth Cengage Learning, 2011).

Kaufman, Joyce P., Introduction to International Relations: Theory and Practice (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2013).

Kavalski, Emilian (ed.), Encounters With World Affairs: An Introduction to International Relations (Farnham, UK: Ashgate, 2002).

Kegley, Jr., Charles W. dan Shannon L. Blanton, World Politics: Trend and Transformation (Boston, MA: Wadsworth Cengage Learning, 2011).

Kuhlman, James A. (ed.), The Foreign Policies of Eastern Europe: Domestics and International Determinants (Leyden: A.W. Sijthoff, 1978).

Mingst, Karen A., Essentials of International Relations (New York: W.W. Norton & Company, 2004).

Papp, Daniel S., Contemporary International Relations: Framework for Understanding (New York: Longman Publishing Co., 2002).

Patomäki, Heikki, After International Relations: Critical Realism and the (Re)-Construction of World Politics (London: Routledge, 2002).

Ray, James Lee, “Integrating Levels of Analysis in World Politics”, dalam Journal of Theoretical Politics, Vol. 13 No. 4 (2001), hal. 355-388.

Robinson, Stuart, “Level of Analysis”, dalam Martin Griffiths (ed.), Encyclopedia of International Relations and Global Politics (New York: Routledge, 2005).

Rourke, John T. dan Mark A. Boyer, International Politics on the World Stage (New York: McGraw-Hill Education, 2009).

Schafer, Mark dan Stephen Walker (eds.), Beliefs and Leadership in World Politics (New York: Palgrave Macmillan, 2006).

Page 36: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016114

Singer, J. David, “The Level-of-Analysis Problem in International Relations”, dalam World Politics, Vol. 14 No. 1 (1961), hal. 77-92.

Smith, Caitlin, “Personality in Foreign Policy Decision-Making”, dalam http://www.e-ir.info/2012/10/16/ [Diakses 28 Desember 2016].

Waltz, Kenneth, Man, the State, and War (New York: Columbia University Press, 1959).

Page 37: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 115

POKOK BAHASAN HUKUM INTERNASIONALDILIHAT DARI PERSPEKTIF HUBUNGAN INTERNASIONAL

Oleh: Muhammad Ikhwan HakikiDosen FISIP-HI IISIP Jakarta

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

This paper discusses the international law as one of the subjects in the study of International Relations (IR). The discussion begins from the history of international law, the scope and sources of international law, the main theories in international law, and concludes with a discussion of international law viewed from the theories of International Relations. There are a number of theories of International Relations who paid attention to the phenomenon of international law, but in this article only discussed the perspective of realist theory, liberal theory and constructivist theory about international law. This mainstream theories in the study of IR has a different perspective about the existence of international law in international relations. Realism, for example, tend to have a pessimistic view of the existence of international law. Analysis of liberalism tends to be positive against international law, that view of international law as a coordination mechanism and an important instrument to facilitate cooperation and interdependence between nations. While the constructivist theory more emphasis on the process of formation, admission, and changes of international norms (law) in the international community.

Keywords: international law, international relations, realist theory, constructivist theory, liberal theory.

ABSTRAK

Tulisan ini membahas tentang hukum international sebagai salah satu pokok bahasan dalam studi HI. Pembahasan dimulai dari sejarah hukum internasional, lingkup dan sumber-sumber hukum internasional, teori-teori utama dalam hukum internasional, dan ditutup dengan bahasan hukum internasional dilihat dari teori-teori Hubungan Internasional. Ada sejumlah teori HI yang menaruh perhatian terhadap fenomena hukum internasional, namun dalam tulisan ini hanya dibahas pandangan teori realis, teori liberal, dan teori konstruktivis terhadap hukum internasional. Ketiga teori arus utama dalam studi HI ini memiliki perspektif yang berbeda-beda terhadap eksistensi hukum internasional dalam hubungan internasional. Realisme, misalnya cenderung memiliki pandangan yang pesimistik tentang eksistensi hukum internasional. Analisis liberalisme cenderung bersifat positif terhadap hukum internasional, yakni melihat hukum internasional sebagai sebuah mekanisme koordinasi dan instrumen penting untuk memfasilitasi kerjasama dan interdependensi antar-negara. Sedangkan teori konstruktivis lebih menekankan pada proses pembentukan, penerimaan dan perubahan norma-norma (hukum) internasional dalam masyarakat internasional.

Kata kunci: hukum internasional, hubungan internasional, teori realis, teori konstruktvis, teori liberal.

Page 38: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016116

PENDAHULUAN

Hukum international (international law) adalah seperangkat aturan yang secara umum dianggap dan diterima sebagai mengikat dalam hubungan antar-negara dan antar-bangsa, yang berfungsi sebagai kerangka kerja bagi praktik hubungan internasional yang stabil dan terorganisir.1 Dengan kata lain, hukum internasional merupakan seperangkat aturan yang dimaksudkan untuk mengikat (to bind) negara-negara dalam hubungan mereka satu sama lain. Hukum internasional berbeda dengan sistem-sistem hukum berbasis negara (state-based legal systems), karena hukum internasional terutama berlaku untuk negara-negara, sedangkan sistem hukum berbasis negara lebih ditujukan untuk warga negara.

Selain perbedaan hukum internasional dan hukum nasional, banyak ‘orang awam’ sering dibingungkan dengan terminologi hukum yang mengandung unsur asing (foreign law) atau kata internasionalnya. Secara garis besar, hukum yang mengandung unsur asing (internasional) dapat dibedakan menjadi hukum internasional publik (public international law) dan hukum perdata internasional (private international law). Hukum internasional yang dimaksud dalam tulisan ini adalah hukum internasional publik, sedangkan hukum perdata internasional pada hakikatnya bukan merupakan hukum internasional (melainkan hukum nasional biasa).

Kajian hukum internasional telah lama menjadi bagian dari studi Hubungan Internasional (HI), bahkan hukum internasional dapat dikatakan sebagai pokok bahasan yang paling tua dalam studi HI selain diplomasi dan organisasi internasional. Sebagaimana diketahui, aliran pemikiran (school of thought) yang pertama kali tumbuh dalam studi HI adalah aliran idealisme yang mengedepankan pentingnya pendekatan hukum dan organisasi internasional untuk mewujudkan perdamaian dunia. Meskipun demikian, kajian tentang hukum internasional hingga kini tetap menjadi salah satu pokok bahasan yang penting (core-subject) dalam studi HI di hampir semua universitas di dunia.

Akan tetapi, pembelajaran hukum internasional di lingkungan studi HI (terutama di hampir semua universitas di Indonesia) masih terlalu berorientasi pada pendekatan ilmu hukum (legal formal). Dengan kata lain, hukum internasional diajarkan dari perspektif ilmu hukum, bukan dari perspektif studi HI. Salah satu penyebabnya adalah karena banyak pengajar hukum internasional di program studi

1 William R. Slomanson, Fundamental Perspectives on International Law (Boston, MA: Wadsworth Cengage Learning, 2011), hal. 4-5.

Page 39: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 117

HI berlatar belakang ilmu hukum atau dosen dari fakultas hukum. Padahal orientasi dan substansi kajian hukum internasional di lingkungan studi HI berbeda dengan di lingkungan fakultas atau ilmu hukum. Tulisan ini berusaha untuk mengelaborasi hal ihwal kajian hukum internasional secara umum dan mencoba melihat dari perspektif studi HI.

SEJARAH HUKUM INTERNASIONAL

Istilah ‘hukum internasional’ (international law) pertama kali digunakan oleh Jeremy Bentham pada 1780 dalam karyanya berjudul Introduction to the Principles of Morals and Legislation. Istilah ‘hukum international’ itu telah menggantikan dua terminologi yang lebih tua, yaitu ‘law of nations’ (Inggris) dan ‘droit de gens’ (Perancis) yang dapat ditelusuri kembali pada konsep ‘ius gentium’ (Romawi) dan tulisan-tulisan dari Cicero. Sedangkan dalam bahasa Jerman, Belanda, Skandinavia, dan Slavia terdapat terminologi yang lebih tua lagi, yakni ‘Völkerrecht’, ‘Volkenrecht’, dan sebagainya.2 Jeremy Bentham sendiri mendefinisikan hukum internasional sebagai himpunan aturan (collection of rules) yang mengatur hubungan antar-negara.

Kendati istilah ‘hukum internasional’ baru diperkenalkan Jeremy Bentham 1780, prinsip-prinsip dan konsep-konsep dasar yang bekaitan dengan hukum internasional (seperti perjanjian-perjanjian) dapat ditelusuri ribuan tahun sebelumnya. Menurut banyak ahli sejarah, di wilayah yang sekarang kita kenal dengan India, sudah ribuan tahun mengenal prinsip-prinsip ‘hukum internasional’ ketika negara-negara Barat masih berada dalam tahap belum beradab (uncivilized stage). Selain referensi-referensi dalam kitab Arthshastra, dalam periode pasca-Veda telah ada aturan-aturan tertentu yang mengatur bagaimana perang dideklarasikan, perjanjian-perjanjian diumumkan, aliansi-aliansi dinegosiasikan, dan duta-duta besar diakreditasi. Waktu itu juga sudah ada aturan diplomatik bagaimana seorang duta yang menyampaikan pesan dari penguasa negaranya tidak boleh dibunuh.3

Contoh awal adanya perjanjian (treaty) sudah terjadi sekitar 2100 SM, yakni sebuah persetujuan (agreement) negara-kota Lagash dan Umma di Mesopotamia. Perjanjian ini tertulis pada sebuah blok batu yang secara garis besar menetapkan batas antara dua negara-kota tersebut. Di samping itu, sekitar 1000 SM sebuah persetujuan

2 Peter Malanczuk, Modern Introduction to International Law (London: Routledge, 1997), hal. 1.3 Pooja, “International Law: Definition, Evolution, and Scope of International Law”, dalam http://www.polit-

ical-sciencenotes.com/articles/international-law- [Diakses 23 Desember 2016].

Page 40: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016118

ditandatangani antara Ramses II dari Mesir dan Raja Hittites dari Suriah. Perjanjian ini menerapkan “perdamaian dan persaudaraan abadi” antara dua bangsa, yang juga berisi sikap saling menghormati wilayah masing-masing dan persetujuan untuk membentuk sebuah aliansi defensif.4 Yunani Kuno sebelum Alexander Agung juga melahirkan banyak perjanjian untuk mengatur bagaimana negara-negara kota di wilayah tersebut berinteraksi.

Pada era Kekaisaran Romawi hukum internasional tidak berkembang. Sebab dalam berinteraksi dengan wilayah-wilayah yang belum menjadi bagian kekaisaran, mereka tidak peduli dengan aturan-aturan ekternal. Saat itu yang berkembang di Romawi justru hukum yang mengatur interaksi antara warga Romawi dengan orang asing, atau apa yang sekarang dikenal dengan hukum perdata internasional. Setelah jatuhnya Kekaisaran Romawi dan runtuhnya Tahta Suci Romawi, barulah muncul kebutuhan dari unit-unit politik yang ada saat itu (kota-kota mandiri, kerajaan-kerajaan, bangsa-bangsa) atas adanya aturan untuk mengatur perilaku dan interaksi mereka.

Perdagangan internasional merupakan katalis nyata bagi perlunya pengembangan aturan perilaku antar negara yang obyektif. Para pedagang lintas-batas membutuhkan sebuah aturan (code of conduct) untuk melindungi kepentingan perdagangan mereka. Selain perdagangan, peperangan juga merupakan aktivitas ummat manusia yang memicu lahirnya hukum internasional. Paling tidak, adanya sebuah praktik dan kebiasaan bersama yang berlaku umum saat itu dipandang penting oleh para pelaku perdagangan dan peperangan. Dimulai dari munculnya Liga Hanseatik (kumpulan dari 150 entitas di Jerman, Skandinavia, dan Baltik) yang mengembangkan beberapa kebiasaan ‘internasional’ (international customs) untuk memfasilitasi aktivitas perdagangan dan komunikasi diantara mereka pada abad ke-13 hingga ke-15 M.5

Setelah itu negara-negara kota di Italia mulai mengembangkan aturan-aturan diplomatik, karena mereka mulai mengirimkan dutabesar ke berbagai negara, khususnya untuk mengatur urusan-urusan perdagangan. Perjanjian-perjanjian antar pemerintah pun mulai dibuat yang dimaksudkan untuk mengikat interaksi mereka, atau setidaknya dapat menjadi instrumen yang berguna untuk melindungi perdagangan diantara mereka. Pada saat yang sama, peristiwa “Perang Tiga Puluh Tahun” (Thirty Years’ War)

4 Arthur Nussbaum sebagaimana dikutip Christopher N. Warren, Literature and the Law of Nations 1580-1680 (Oxford: Oxford University Press, 2015).

5 Lihat David Nicolle, Forces of the Hanseatic League: 13th–15th Centuries (London: Osprey Publish-ing, 2014).

Page 41: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 119

semakin mendorong perlunya diciptakan aturan pertempuran (rules of combat) yang dapat melindungi masyarakat sipil yang tidak terlibat dalam pertempuran. Gagasan inilah yang kemudian menjadi salah satu faktor yang menginspirasi munculnya Konvensi Geneva 1949.

Perjanjian Westphalia 1648 merupakan titik balik dalam upaya membangun hukum internasional sehubungan dengan dintroduksinya konsep kedaulatan negara (state sovereignty). Namun upaya pertama untuk merumuskan sebuah teori otonom tentang hukum internasional telah terjadi sebelum itu, tepatnya di Spanyol pada abad ke-16. Francisco de Vitoria, misalnya, menulis tentang aspek keadilan penaklukan Spanyol di Amerika yang diterbitkan pada 1557. Alberico Gentili (1598) dan Francisco Suarez (1612) melakukan elaborasi tentang doktrin perang yang adil (just war doctrine), dan membedakan hukum alam (jus natural) dengan hukum yang dipraktikkan negara-negara (jus gentium). Kemudian Hugo Grotius (1625) mempublikasikan sebuah buku berjudul De Jure Belli ac Pacis (hukum tentang perang dan damai). Berkat karyanya yang fenomenal ini, Hugo Grotius di kemudian hari dinobatkan sebagai “bapak hukum internasional”.6

Pada abad ke-17 hingga 19, berbagai upaya masih dilakukan oleh para ahli hukum untuk mengkodifikasi hukum internasional. Misalnya, pada 1672 Samuel Pufendorf menulis buku berjudul De Jure Naturae et Gentium (hukum alam dan negara), yang kemudian menjadikannya sebagai pionir aliran naturalis tentang pemikiran hukum. Lantas, pada 1863 Francois Lieber menyiapkan A Code for the Government of Armies yang digunakan selama Perang Perancis-Prussia (1870-1871). Pada 1868, Bluntschli juga membuat upaya-upaya yang komprehensif menuju kodifikasi hukum internasional. Pada 1872, David Dudley Field mengeluarkan Draft Outline of an International Code. Sarjana hukum Italia, Pasquale Flore, pada 1899 menerbitkan sebuah kode yang mencakup berbagai bidang dari hukum internasional.7

Sebuah perkembangan penting dalam hukum internasional modern adalah konsep “persetujuan” (consent). Sebelum Perang Dunia II, sebuah negara tidak akan dianggap terikat oleh sebuah aturan internasional kecuali negara tersebut telah secara resmi menyetujui untuk terikat terhadap aturan tersebut, atau dianggap sudah lazim mematuhi aturan tersebut. Namun, di era modern sekarang ini, sekedar menyetujui sebuah praktik internasional dianggap cukup untuk terikat dengan praktik tersebut,

6 Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice (New Delhi: Prentice-Hall of India, 1981), hal. 230.

7 Peu Ghosh, International Relations (New Delhi: PHI Learning Private Limited., 2015), hal., 258.

Page 42: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016120

tanpa harus menandatangani sebuah perjanjian. Sebuah evolusi dari pendekatan positivis Hugo Grotius, konsep persetujuan (the concept of consent) merupakan sebuah unsur dari hukum kebiasaan internasional (customary international law).

LINGKUP DAN SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

Menurut Beth Simmons, hukum internasional dapat dianggap sebagai seperangkat aturan (the set of rules) yang dimaksudkan untuk mengikat negara-negara dalam hubungan mereka satu sama lain. Hukum internasional merupakan aturan yang diciptakan oleh negara-negara untuk mengatur dan menertibkan perilaku mereka sendiri (berbeda dengan hukum perdata internasional, atau perjanjian-perjanjian internasional yang berlaku untuk transaksi-transaksi pribadi seperti kontrak-kontrak bisnis dan sebagainya). Hukum internasional sebagian besar dibuat oleh negara (state-made), meskipun seperti hukum-hukum lainnya, aktor-aktor dan organisasi-organisasi swasta dapat memberikan masukan yang signifikan dalam proses-proses diplomatik yang menghasilkannya.8

Malcolm Shaw berpendapat bahwa hukum internasional merupakan bangunan dari aturan-aturan, norma-norma, dan standar-standar hukum yang berlaku diantara negara-negara berdaulat dan entitas-entitas lain yang secara legal diakui sebagai aktor-aktor internasional.9 Namun, hukum internasional sebagian besar dirancang untuk diberlakukan pada negara-negara, baik untuk membatasi (misalnya hukum perang) maupun untuk memberdayakan mereka (misalnya hukum kedaulatan). Dalam hubungan internasional, dari waktu ke waktu semakin banyak hukum internasional yang telah dikodifikasi, sehingga saat ini hampir semua kewajiban internasional telah terkandung dalam bentuk perjanjian. Meskipun demikian, secara historis hukum kebiasaan internasional (international customary law) memainkan peran yang relatif lebih penting daripada yang dilakukannya hari ini.

Menurut Lassa Oppenheim hukum internasional adalah “nama untuk sekumpulan aturan kebiasaan dan konvensi yang dianggap mengikat secara hukum oleh negara-negara beradab dalam hubungan mereka satu sama lain, dan kedudukan hukum ini tidak berada di atas negara manapun”.10 Sedangkan William Slomanson

8 Beth Simmons, “International Law and International Relations”, dalam Keith Whittington, Daniel Kelemen, dan Gregory Caldeira (eds.), The Oxford Handbook of Law and Politics (Oxford: Oxford University Press, 2008), hal. 187.

9 Malcolm N. Shaw, International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), hal. 1.10 Lassa Oppenheim sebagaimana dikutip Peu Ghosh, op. cit., hal. 350.

Page 43: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 121

menyatakan bahwa hukum internasional mengatur hubungan-hubungan antar negara-negara merdeka (independent states). Hukum internasional mengikat negara-negara karena berasal dari kehendak bebas (free will) mereka sendiri sebagaimana dinyatakan dalam perjanjian, konvensi, atau praktik kebiasaan yang berlaku umum. Selain itu, hukum internasional mengekspresikan prinsip-prinsip hukum yang dibentuk untuk mengatur hubungan antar komunitas-komunitas independen yang hidup bersama (co-existing) dan dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan bersama.11

Ruang lingkup hukum internasional modern mencakup semua bangsa yang bebas dan merdeka. Menurut hukum internasional, semua negara, apakah mereka kecil atau besar, menikmati status yang sama. Memang tidak ada prinsip hukum yang menjanjikan kesetaraan yang sempurna (the perfect equality) dalam hubungan antar negara. Namun, secara prinsip diakui bahwa China yang besar dan Brunei yang kecil memiliki hak yang sama di mata hukum internasional. Prinsip ini mengandung konsekuensi bahwa dalam pandangan hukum internasional tidak ada negara yang berhak memberlakukan aturan kepada negara lain, kecuali aturan itu telah disetujui bersama-sama.

Hukum internasional saat ini mencakup wilayah hirauan transnasional yang luas dan kompleks, yang secara umum dapat diklasifikasikan ke dalam topik-topik tradisional dan topik-topik baru. Lingkup hukum internasional yang termasuk dalam topik-topik tradisional misalnya hukum tentang status hukum negara (kedudukan dan pengakuan terhadap negara), perubahan status negara (suksesi, pemisahan diri, dan self-determination), tanggung jawab negara, imunitas kedaulatan, perdamaian dan keamanan, hukum perang, hukum perjanjian, hukum laut, hukum sungai internasional, dan pelaksanaan hubungan diplomatik. Sedangkan yang tergolong dalam topik-topik baru diantaranya hukum tentang organisasi internasional, ekonomi dan pembangunan, energi nuklir, hukum udara dan kegiatan luar angkasa, pemanfaatan sumber-sumber daya dari laut dalam, lingkungan hidup, komunikasi dan telekomunikasi, dan perlindungan internasional terhadap hak azasi manusia (HAM).12

Basak Cali mengatakan bahwa kajian hukum internasional kontemporer mencakup topik-topik seperti: hukum wilayah udara (airspace), pembangunan (development), keanekaragaman hayati (bio-diversity), perubahan iklim (climate change), aturan konflik bersenjata (conduct of armed conflicts), hubungan diplomatik dan konsuler (diplomatic and consular relations), ekstradisi (extradtion), keuangan (finance), perikanan

11 William R. Slomanson, op. cit., hal. 4.12 Peter Malanczuk, op. cit., hal. 7.

Page 44: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016122

(fisheries), HAM (human rights), hak-hak penduduk asli (indigenous rights), hak atas kekayaan intelektual (intellectual property rights), kejahatan transnasional (transnational crimes), hak-hak minoritas (minority rights), sumber daya alam (natural resources), luar angkasa (outer space), lapisan ozon (ozone layer), perdamaian dan keamanan (peace and security), ilmu pengetahuan dan keamanan (science and security), laut (sea), perdagangan (trade), penggunaan kekuatan (use of force), dan persenjataan (weapons).13

Secara garis besar kajian hukum internasional mencakup tiga hal. Pertama, hukum-hukum yang mengatur negara-negara pada masa damai (laws governing states in times of peace). Kedua, hukum-hukum yang mengatur negara-negara pada masa perang (laws governing states in times of war). Ketiga, hukum-hukum yang mengatur negara-negara dalam hubungannya tentang netralitas (laws governing states in the relation of neutrality).

Hukum-hukum yang mengatur pada masa damai mencakup hak-hak (rights) dan kewajiban-kewajiban (obligations) mengenai independensi dan kesetaraan negara-negara, termasuk hak dan kewajiban yang melekat pada pejabat-pejabat diplomatik. Dalam hal ini juga tercakup hak dan fasilitas dari perwakilan diplomatik, organisasi dan prosedur konperensi-konperensi internasional, serta sifat dan metode pembuatan perjanjian.14 Dapat diklasifikasikan dalam kelompok ini adalah kode dan navigasi hukum maritim, serta hukum laut internasional seara umum. Bahkan hukum tentang hak azasi manusia (HAM) pun juga dapat diterapkan pada masa damai.

Hukum yang mengatur negara-negara pada masa perang mendominasi cakupan hukum internasional. Dalam hukum perang (the rules of war) meliputi aspek-aspek seperti bagaimana perang dideklarasikan, klasifikasi perang, hukum dan kebiasaan perang di darat, laut dan udara, efek-efek pasca perang, urusan dengan tahanan perang dan sebagainya. Hukum perang juga mengatur senjata-senjata yang boleh dan tidak boleh digunakan dalam perang (misalnya larangan menggunakan gas beracun dan bakteri atau membombardir komunitas sipil, dan sebagainya). Segala aturan mengenai larangan (prohibition) dan pembatasan (restriction) dalam perang, serta ketentuan tentang perlindungan (protection) terhadap pihak-pihak yang tidak terlibat peperangan, diatur dalam hukum humaniter internasional, yakni tersurat secara lengkap dalam Konvensi Geneva, Konvensi Den Haag, maupun Statuta Roma.

Kajian hukum internasional biasanya juga membahas tentang sumber-sumber

13 Basak Cali, International Law for International Relations (Oxford; Oxford University Press, 2010), hal. 6.14 Uraian lebih detail mengenai hukum diplomatik, lihat J. Craig Barker, The Protection of Diplomatic Personnel

(London: Routledge, 2016).

Page 45: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 123

hukum internasional (sources of international law). Para sarjana menyepakati bahwa sedikitnya ada empat sumber-sumber signifikan dari hukum internasional, yaitu: (1) konvensi-konvensi internasional (international conventions); (2) kebiasaan-kebiasaan internasional (international customs); (3) prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab (general principles of law recognized by civilized nations); serta (4) keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran-ajaran dari para ahli hukum yang sangat berkualitas (judicial decisions and the teachings of the most highly qualified publicists).15  

Tiga sumber hukum yang disebutkan terdahulu (poin 1 sampai 3), banyak diakui sebagai sumber hukum internasional yang paling penting dan paling mapan (well-established). Namun beberapa negara, akademisi, dan ahli hukum menyoroti bahwa putusan pengadilan (court judgements) telah menjadi semakin berpengaruh dalam perkembangan hukum internasional, setidaknya mereka berperan dalam pembentukan hukum kebiasaan internasional. Misalnya keputusan-keputusan ICJ terkait hukum humaniter internasional memiliki status hukum kebiasaan internasional, sehingga seringkali negara-negara yang tidak terlibat dalam perjanjian (states not party to the treaty) merasa terikat untuk mematuhinya.16

Konvensi-konvensi atau perjanjian-perjanjian internasional (international treaties) menetapkan aturan-aturan tertulis (written rules) yang mengikat negara-negara yang telah menandatangani dan meratifikasi konvensi atau perjanjian tersebut. Perjanjian secara alamiah bersifat kontraktual, antar dan diantara negara-negara, dan diatur oleh hukum internasional. Sedangkan kebiasaan-kebiasaan internasional menetapkan aturan-aturan tak tertulis (unwritten rules) yang mengikat semua negara, berdasarkan praktik umum. Kekuatan mengikat kebiasaan internasional didasarkan pada persetujuan yang tersirat (implied consent), yang dibuktikan dengan: (a) praktik negara yang hampir seragam dari waktu ke waktu; (b) keyakinan bahwa praktik tersebut adalah kewajiban hukum.

Sementara itu prinsip-prinsip hukum umum yang diakui oleh bangsa-bangsa yang beradab meliputi norma-norma yang harus ditaati (peremptory norms) atau jus cogens. Sebagai contoh, prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam PBB yang melarang penggunaan kekuatan (prohibit the use of force) kecuali untuk membela diri (self-defense). Sedangkan mengenai keputusan-keputusan pengadilan dan ajaran-

15 Lihat Hugh Thirlway, The Sources of International Law (Oxford: Oxford University Press, 2014).16 Alberto Alvarez-Jimenez, “Foreign Investment Protection and Regulatory Failures as States Contribution to

the State Necessity Under Customary International Law”, dalam International Arbitration, Vol. 141 (2010).

Page 46: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016124

ajaran dari para ahli hukum yang sangat berkualitas hampir telah diakui di semua negara sebagai salah satu sarana (sumber) untuk penentuan aturan hukum. Keduanya dianggap sebagai elemen penting dalam mengenali hukum serta menafsirkan dan mengembangkan aturan-aturan yang bersumber dari perjanjian, kebiasaan, dan prinsip-prinsip umum hukum.

TEORI HUKUM INTERNASIONAL

Dalam berbagai literatur hukum internasional, dikenal dua teori utama atau aliran pemikiran dalam memandang hukum internasional, yaitu teori naturalis (naturalisme) dan teori positivis (positivisme). Pemikir naturalist terkemuka diantaranya ahli hukum Belanda Hugo Grotius (1583-1645), ahli hukum Spanyol Francisco de Vitoria (1486-1546) dan Francisco Suarez (1548-1617), ahli hukum asal Italia Alberico Gentili (1552-1608), dan ahli hukum Inggris Richard Zouche (1590-1661). Sedangkan pelopor teori positivis dalam hukum internasional yang paling menonjol adalah penulis hukum asal Belanda, Cornelis van Bynkershoek (1673–1743).17

Peter Malanczuk mengatakan, meskipun berbeda pandangan dalam banyak hal, para pemikir naturalist sepakat bahwa prinsip-prinsip dari semua hukum, baik hukum nasional maupun internasional, adalah diturunkan (derived) dan bukan dari setiap pilihan atau keputusan umat manusia yang disengaja. Karena ‘diturunkan’ dan bukan kehendak manusia, prinsip-prinsip keadilan yang terdapat dalam hukum tersebut memiliki validitas universal dan abadi, serta serta memiliki alasan yang murni.18

Para penganut teori naturalis berpendapat bahwa semua hukum (termasuk hukum internasional) berasal dari Tuhan, dan mereka menyebutnya hukum Illahi yang superior. Hukum alam, pada gilirannya, dipandang sebagai penerapan yang setia terhadap hukum Illahi. Mereka berasumsi bahwa terdapat prinsip-prinsip yang mendasar dan tak dapat diubah yang melampaui kehendak dan izin dari para penguasa dan yang memerintah dalam masyarakat manusia. Sebab itu, semua hukum dikembangkan oleh masyarakat telah diuji kesesuiannya dengan hukum Illahi dan/atau hukum alam.19

Setelah Hugo Grotius dan sejumlah pemikir naturalis meninggal, iklim intelektual di lingkungan ilmu hukum menjadi skeptis terhadap teori naturalis

17 Peter Malanczuk, op. cit., hal. 15.18 Ibid.19 Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, op. cit., 231.

Page 47: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 125

tersebut. Menurut para ilmuwan hukum saat itu, hukum internasional akan kehilangan kehormatannya jika tetap mendasarkan diri pada teori hukum alam (natural law). Banyak ilmuwan mulai berani berpendapat bahwa hukum itu sebagian besar bersifat positif atau buatan manusia. Sebab itu, hukum dan keadilan tidak dapat sebagai identik. Keadilan memang bersifat universal, namun hukum bisa berbeda (bervariasi) dari waktu ke waktu, dari satu tempat dengan tempat lain, sesuai kehendak dari para legislator.20

Bagi para penganut teori positivis, basis dari hukum adalah kesepakatan antar manusia (dalam hukum internasional kesepakatan antar negara). Hukum adalah sesuatu yang dipilih atau diputuskan untuk tujuan-tujuan tertentu dengan serangkaian fungsi-fungsi yang spesifik sejauh yang dipikirkan pada rentang waktu tertentu. Ini berarti bahwa hukum dimaknai sebagai sesuatu yang berasal dari manusia itu sendiri dan bukan dari luar dirinya (dari Illahi).21

Para penganut pendekatan positivis berpendapat bahwa tidak ada hukum yang melebihi dari apa yang subyek hukum setuju untuk terikat. Mereka menolak prinsip hukum yang “lebih tinggi” (hukum Illahi atau hukum alam), dan sesuatu dapat dianggap sebagai hukum internasional hanyalah aturan-aturan yang diadopsi melalui kesepakatan, baik melalui kebiasaan (custom) atau perjanjian (treaties), dari negara-negara berdaulat. Di sini, negara-negara dan individu-individu dibebaskan dari kepatuhan kepada prinsip-prinsip yang “lebih tinggi” (prinsip-prinsip Illahi).22

HUKUM INTERNASIONAL DALAM TEORI HI

Lalu, bagaimana teori Hubungan Internasional (HI) memandang hukum internasional? Dalam studi HI, berbeda teori memiliki pandangan yang berbeda dalam melihat berbagai fenomena internasional, termasuk fenomena hukum internasional. Ada sejumlah teori HI yang menaruh perhatian terhadap masalah hukum internasional, diantaranya teori realis (realism), teori liberal (liberalism), teori fungsionalis (functionalism/rasionalism), dan teori konstruktivis (constructivism).

Para teoritisi realis dalam hubungan internasional selama ini cenderung mengabaikan aspek-aspek hukum internasional dalam analisis mereka, karena mereka

20 Ibid., hal. 16.21 Yesaya Sandang, “Naturalisme dan Positivisme dalam Filsafat Hukum”, dalam http://www.academia.edu/

[diakses 24 Desember 2016]. 22 Theodore A. Couloumbis dan James H. Wolfe, op. cit., 231.

Page 48: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016126

tidak melihat alasan yang meyakinkan untuk melakukan sebaliknya. Menurut Beth Simmons, kebencian realisme terhadap hukum internasional (baik yang bersifat positif maupun preskriptif ) sudah cukup dikenal. Seperti diketahui, fokus analisis realisme adalah pada power dan kepentingan nasional. Menurut kaum realis, hukum internasional merefleksikan power dan interests dari negara-negara yang mengambil bagian dalam generasinya, namun hukum internasional tidak sedikitpun menjinakkan penggunaan kekuasaan (the use of power) atas nama kepentingan.

Realisme tidak memiliki penjelasan yang sepenuhnya dapat mengelaborasi proliferasi perjanjian-perjanjian hukum, mungkin karena tidak ada kebutuhan untuk berteori mengenai fenomena yang tidak memiliki landasan kuat terhadap pertanyaan mendasar tentang politik dunia. Dalam pandangan realisme, pemerintah negara-negara mungkin saja mematuhi hukum atau perjanjian internasional, tetapi hanya ketika hukum internasional itu tidak melibatkan kepentingan nasional, atau jika hukum internasional itu konsisten dengan kepentingan negaranya. Kepatuhan terhadap kepentingan ini oleh kaum realis juga bisa ditafsirkan sebagai hasil dari paksaan dari negara-negara atau aktor-aktor lain yang lebih kuat.23

Sebagaimana dikatakan John Mearsheimer, penekanan utama realisme pada anarkhi dan power mengarahkan pada pandangan yang redup (suram) terhadap hukum internasional dan institusi-institusi internasional. Menurutnya, hukum internasional hanya dapat ditegakkan melalui kekuatan negara (state power) dan setiap negara memilih untuk mencurahkan power-nya yang sangat berharga untuk menegakkan hukum internasional, kecuali memiliki kepentingan material langsung atas berlakunya hukum internasional tersebut. Suatu negara bisa saja terlibat dalam pembuatan hukum internasional dan mematuhi hukum yang dibuatnya itu. Namun, dalam pandangan realisme, bukan hukum internasional itu yang menentukan mengapa suatu negara bertindak dengan cara tertentu, melainkan kepentingan material dan hubungan kekuasaan (power relations) yang mendasarinya. Dengan kata lain, hukum internasional hanya sekedar symptom dari perilaku negara, dan bukan sebagai penyebab.24

Liberalisme berbeda pandangan sangat fundamental dengan realisme dalam melihat hukum internasional. Dibandingkan dengan teori HI lainnya, teori liberal barangkali merupakan satu-satunya teori yang analisisnya paling positif terhadap hukum internasional. Sebagaimana diketahui, teori-teori HI liberal menaruh perhatian

23 Beth Simmons, op. cit., hal. 191-192.24 Anne-Marie Slaughter, “International Relations, Principle Theories”, dalam Rudiger Wolfrum, Encyclopedia

of Public International Law (Oxford: Oxfordf University Press, 2013).

Page 49: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 127

pada kebutuhan-kebutuhan individu dan kelompok-kelompok sosial sebagai kekuatan fundamental yang mengendalikan kebijakan negara, dan pada akhirnya mengendalikan tatanan dunia (world order). Bagi kaum liberal, masyarakat transnasional dan domestik saling tergantung (interdependent) yang secara meyakinkan membentuk kepentingan-kepentingan dan tujuan-tujuan dasar yang mendasari kebijakan negara. Dalam situasi dimana semakin tumbuh interdependensi dan negara-negara berjuang untuk mempertahankan kerjasama di tengah beragam kepentingan ekonomi, institusi-institusi politik domestik, dan cita-cita ketertiban umum yang sah, kehadiran hukum internasional semakin dibutuhkan oleh masyarakat internasional.25

Dalam pandangan teori liberal, starting point untuk menjelaskan mengapa pemerintah negara-negara berkehendak untuk mengikatkan diri dengan norma-norma hukum internasional adalah bahwa mereka memiliki tujuan substantif untuk melakukannya. Ini berarti bahwa sebuah koalisi domestik dari kepentingan-kepentingan sosial yang secara langsung maupun tidak langsung menguntungkan sangat kuat terwakili dalam pengambilan keputusan. Ini sering disalahartikan oleh klaim kaum realis (yang berbasis kepentingan nasional). Padahal-padahal kepentingan yang bekerja di balik penerimaan terhadap hukum internasional, menurut kaum liberal, adalah kepentingan ‘koalisi’ kelompok-kelompok sosial yang ingin mempertahankan interdependensi dan kerjasama antar-negara. Dengan demikian, dalam pandangan kaum liberal, kebanyakan perilaku negara konsisten dengan hukum kebiasaan internasional. Kaum liberal memposisikan hukum internasional sebagai sebuah mekanisme koordinasi dan sebagai instrumen yang memfasilitasi kerjasama internasional.26

Teori konstruktivis juga memiliki pandangan yang berbeda dengan realisme dalam melihat hukum internasional. Akan tetapi, kaum konstruktivis dalam studi HI lebih menyukai penggunaan konsep norms (norma-norma) dan rules (aturan) sebagai pedoman perilaku para aktor internasional, dan jarang menggunakan istilah hukum internasional untuk maksud tersebut. Kalau hukum internasional selama ini selalu dimaknai sebagai seperangkat aturan yang bersifat rigid, fixed, dan given, di mata kaum konstruktivis ‘norma-norma’ internasional cenderung bersifat dinamis, fleksibel, dan terus berubah (continually changes) sesuai kepentingan dan identitas para aktor. Kepatuhan para aktor (termasuk negara-negara) terhadap norma-norma internasional

25 Andrew Moravcsik, “Liberal Theories of International Law”, dalam Jeffrey L. Dunoff dan Mark A. Pollack (eds.), Interdisciplinary Perspective on International Law and International Relations: The State of the Art (Cam-bridge: Cambridge University Press, 2013), hal. 83.

26 Jack L. Goldsmeith dan Eric A. Posner, “A Theory of Customary International Law,” dalam The University of Chicago Law Review, Vol. 66, No. 4, hal. 1113–1177.

Page 50: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016128

tidak semata-mata didasarkan pada paksaan (coercion), melainkan juga tergantung pada faktor lain, yaitu kepentingan (interests) dari para aktor dan sejauhmana kekuatan legitimasi dari norma-norma tersebut.27

Berbeda dengan pandangan kaum realis yang melihat kekuatan material dapat memaksa perubahan perilaku negara (termasuk penerimaan terhadap norma atau hukum internasional), kaum konstruktivis berpendapat bahwa norma dan hukum internasional mempengaruhi perilaku dengan mengubah keyakinan (belief) dan motif para aktor, terutama pemahaman terhadap kepentingan (interest). Namun kaum konstruktivis mempunyai cara pandang yang berbeda dengan realisme dalam mendefinisikan kepentingan. Kalau kaum realis memahami kepentingan atas dasar ide tentang kebutuhan dan dibentuk oleh sumber-sumber material, kaum konstruktivis lebih menekankan pada konstruksi kepentingan yang bersifat ideasional (non-material).

Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink menjelaskan bagaimana proses pembentukan atau konstruksi norma (hukum) internasional melalui konsep “the life-cycle of norms”. Menurut kedua pakar konstruktivis itu, proses pembentukan dan penerimaan norma (hukum) internasional melalui tiga tahap, yaitu norm emergence, norm cascades, dan norm internalization.28 Sedang Jurgen Habermas melalui teori “communicative action” mengatakan bahwa aktor-aktor (negara-negara) tertentu berusaha melalui aktor-aktor (negara-negara) lain untuk menerima norma-norma internasional baru didasarkan pada kekuatan persuasi dalam proses komunikasi. Dalam proses komunikasi, para aktor (negara-negara) harus terbuka terhadap argumen dari pihak lain dan adanya kemauan untuk mengubah definisi mengenai kepentingan mereka. Inilah yang disebut Habermas dengan “the unforced force of the better argument”.29

KESIMPULAN

Kajian hukum internasional dalam studi HI memiliki cakupan atau ruang lingkup yang luas dan kompleks, tidak semata-mata mengandalkan pendekatan legalistik-formalistik. Selain topik-topik tradisional seperti tentang status hukum negara (kedudukan dan pengakuan terhadap negara), perubahan status negara (suksesi,

27 Lihat Alexander Wendt, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999), hal. 285-290.

28 Martha Finnemore dan Kathryn Sikkink sebagaimana dikutip Austin Sarat, Studies in Law, Politics and Society (Bingley, UK: Emerald Group Publising Ltd., 2009), hal. 69.

29 Jurgen Habermas, Moral Consciousness and Communicative Actions (Massachusetts: The MIT Press, 1999).

Page 51: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 129

pemisahan diri, dan self-determination), tanggung jawab negara, imunitas kedaulatan, perdamaian dan keamanan, hukum perang, hukum perjanjian, hukum laut, hukum sungai internasional, dan pelaksanaan hubungan diplomatik, pokok bahasan hukum internasional dalam studi HI juga membahas isu-isu baru seperti tentang organisasi internasional, ekonomi dan pembangunan, energi nuklir, hukum udara dan kegiatan luar angkasa, pemanfaatan sumber-sumber daya dari laut dalam, lingkungan hidup, komunikasi dan telekomunikasi, dan perlindungan internasional terhadap HAM. Bahkan hukum internasional dalam studi HI juga mengulas tentang isu-isu perubahan iklim, keanekaragaman hayati, hak atas kekayaaan intelektual, hak-hak minoritas dan masyarakat asli, kejahatan transnasional, dan sebagainya.

Berbagai teori dalam studi HI juga telah memberikan perhatian terhadap fenomena hukum internasional. Tiga teori arus utama (mainstream theories) dalam studi HI (realisme, liberalisme, dan konstruktivisme) memiliki perspektif yang berbeda-beda terhadap eksistensi hukum internasional dalam hubungan internasional. Realisme, misalnya cenderung memiliki pandangan yang pesimistik tentang eksistensi hukum internasional. Analisis liberalisme cenderung bersifat positif terhadap hukum internasional, yakni melihat hukum internasional sebagai sebuah mekanisme koordinasi dan instrumen penting untuk memfasilitasi kerjasama dan interdependensi antar-negara. Sedangkan teori konstruktivis lebih menekankan pada proses pembentukan, penerimaan dan perubahan norma-norma (hukum) internasional dalam masyarakat internasional.***

DAFTAR PUSTAKA

Alvarez-Jimenez, Alberto, “Foreign Investment Protection and Regulatory Failures as States Contribution to the State Necessity Under Customary International Law”, dalam International Arbitration, Vol. 141 (2010).

Amstrong, David, Theo Farrel, dan Helene Lambert, International Lam and International Relations (Cambridge: Cambridge University Press, 2012).

Barker, J. Craig, The Protection of Diplomatic Personnel (London: Routledge, 2016).

Byers, Michael (ed.), The Role of Law in International Politics: Essays in International Relations and International Law (Oxford: Oxford University Press, 2001).

Cali, Basak, International Law for International Relations (Oxford: Oxford University Press, 2010).

Page 52: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016130

Couloumbis, Theodore A. dan James H. Wolfe, Introduction to International Relations: Power and Justice (New Delhi: Prentice-Hall of India, 1981).

Dunoff, Jeffrey L. dan Mark A. Pollack (eds.), Interdisciplinary Perspective on International Law and International Relations: The State of the Art (Cambridge: Cambridge University Press, 2013).

Ghosh, Peu, International Relations (New Delhi: PHI Learning Private Limited., 2015).

Goldsmeith, Jack L. dan Eric A. Posner, “A Theory of Customary International Law,” dalam The University of Chicago Law Review, Vol. 66, No. 4, hal. 1113–1177.

Habermas, Jurgen, Moral Consciousness and Communicative Actions (Massachusetts: The MIT Press, 1999).

Hirose, Kazuko, A Social Theory of International Law: International Relations as a Complex System (Leiden: MartinusNijhoff Publishers, 2003).

Malanczuk, Peter, Modern Introduction to International Law (London: Routledge, 1997).

Nicolle, David, Forces of the Hanseatic League: 13th–15th Centuries (London: Osprey Publishing, 2014).

Pooja, “International Law: Definition, Evolution, and Scope of International Law”, dalam http://www.political-sciencenotes.com/articles/international-law- [Diakses 23 Desember 2016].

Sandang, Yesaya, “Naturalisme dan Positivisme dalam Filsafat Hukum”, dalam http://www.academia.edu/ [diakses 24 Desember 2016].

Sarat, Austin, Studies in Law, Politics and Society (Bingley, UK: Emerald Group Publising Ltd., 2009).

Shaw, Malcolm N., International Law (Cambridge: Cambridge University Press, 2003).

Simmons, Beth A. dan Richard H. Steinberg (eds.), International Law and International Relations (Cambridge: Cambridge University Press, 2007).

Slomanson, William R., Fundamental Perspectives on International Law (Boston, MA: Wadsworth Cengage Learning, 2011).

Stephen, James K., International Law and International Relations (London: Macmillan

Page 53: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 131

& Co., 1994).

Thirlway, Hugh, The Sources of International Law (Oxford: Oxford University Press, 2014).

Warren, Christopher N., Literature and the Law of Nations 1580-1680 (Oxford: Oxford University Press, 2015).

Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics (Cambridge: Cambridge University Press, 1999).

Whittington, Keith, Daniel Kelemen, dan Gregory Caldeira (eds.), The Oxford Handbook of Law and Politics (Oxford: Oxford University Press, 2008).

Wolfrum, Rudiger, Encyclopedia of Public International Law (Oxford: Oxfordf University Press, 2013).

Page 54: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016132

KAJIAN KOMUNIKASI GLOBAL DAN PENGARUHNYATERHADAP POLITIK LUAR NEGERI

Oleh: Gema Nusantara BakryDosen FISIP-HI Universitas Jayabaya

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

This article provides an overview of the impact of global communication on international relations, especially its impact to foreign policy of states. Global communication (also referred to as international communication or transnational communication) is the communication practice that occurs cross state (national) borders, and relates to all forms of interaction at the global level, both communication between government to government (G to G communications), business to business (B to B communications), and people to people (P to P communications). Since the end of the Cold War era, there are many scholars of International Relations examines international affairs using global communication approach. One is a study from Eytan Gilboa which discusses the influence of global communication on the formulation and implementation of foreign policy of a state. There are at least four theories or concepts that could be used to analyze foreign policy from the global commu-nication perspective: the CNN Effect theory, real-time policy, international political brokerage, and media diplomacy.

Keywords: global communication, foreign policy, CNN Effect theory, real-time policy, international political brokerage, media diplomacy

ABSTRAK

Artikel ini menyajikan gambaran tentang dampak komunikasi global pada hubungan internasional, terutama pengaruhnya terhadap politik luar negeri suatu negara. Komunikasi glob-al (juga disebut sebagai komunikasi internasional atau komunikasi transnasional) adalah prak-tik komunikasi yang terjadi melintasi perbatasan negara (nasional), dan berkaitan dengan segala bentuk interaksi di tingkat global, baik komunikasi antara pemerintah dengan pemerintah (G to G communications), bisnis dengan bisnis (B to B communications), maupun masyarakat den-gan masyarakat (P to P communications). Sejak era Perang Dingin berakhir, ada banyak sarjana Hubungan Internasional meneliti masalah-masaah internasional dengan menggunakan pendeka-tan komunikasi global. Salah satunya adalah penelitian dari Eytan Gilboa yang membahas pen-garuh komunikasi global pada perumusan dan pelaksanaan kebijakan luar negeri suatu negara. Setidaknya ada empat teori atau konsep yang dapat digunakan untuk menganalisis kebijakan luar negeri dari perspektif komunikasi global: teori CNN Effect, kebijakan real-time, broker politik internasional, dan diplomasi media.

Kata kunci: komunikasi global, politik luar negeri, teori Efek CNN, kebijakan real-time, broker politik internasional, diplomasi media.

Page 55: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 133

PENDAHULUAN

Komunikasi global (atau lazim juga disebut sebagai komunikasi internasional dan komunikasi transnasional) merupakan praktik komunikasi yang terjadi melintasi batas-batas negara (across state borders).1 Kebutuhan terhadap perlunya komunikasi global adalah karena semakin meningkatnya efek dan pengaruh globalisasi. Sebagai sebuah bidang studi, kajian komunikasi global (global communications) merupakan cabang dari ilmu komunikasi, namun studi Hubungan Internasional (HI) juga telah lama menjadikan komunikasi global sebagai salah satu pokok bahasan (subject-matter) di samping beberapa pokok bahasan tradisional seperti politik internasional, politik luar negeri, keamanan internasional, diplomasi, hukum internasional, dan sebagainya.

Ruang lingkup kajian komunikasi global berkaitan dengan segala bentuk interaksi di tingkat global antara komunikasi pemerintah dengan pemerintah (G to G communications), bisnis dengan bisnis (B to B communications), dan masyarakat dengan masyarakat (P to P communications). Saat ini pokok bahasan komunikasi global telah diajarkan di hampir semua universitas di dunia, khususnya di lingkungan ilmu komunikasi dan studi HI. Karena semakin meningkatnya globalisasi, permintaan akan komunikasi global juga semakin meningkat. Semakin beragam dan canggihnya teknologi komunikasi membuat setiap orang di muka bumi ini memiliki kemampuan untuk berkomunikasi lintas negara dan lintas budaya secara efektif.

Komunikasi global tidak lagi sekedar sebuah aktivitas seperti perdagangan internasional atau diplomasi, melainkan juga berperan sebagai sarana utama untuk menjembatani berbagai aktivitas lintas negara. Sebab itu hampir semua aktivitas hubungan internasional, apakah itu kegiatan diplomasi, perdagangan, kebudayaan, pendidikan, kerjasama ekonomi, olimpiade, kerjasama militer atau perang, dan sebagainya, membutuhkan komunikasi global sebagai sarana untuk mengefisienkan dan mengefektifkan aktivitas-aktivitas tersebut. Dengan demikian, kajian komunikasi global dalam studi HI merupakan pokok bahasan yang vital di tengah dunia modern sekarang ini. Tulisan ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran tentang hal ihwal komunikasi global dan dampaknya terhadap hubungan internasional (khususnya terhadap politik luar negeri).

1 Robert S. Fortner, International Communication: History, Conflict, and Control of the Global Metropolis (Bel-mont, CA: Wadsworth Publishing Co., 1993), hal. 6.

Page 56: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016134

PENGERTIAN DAN LINGKUP KOMUNIKASI GLOBAL

Karen Mingst mendefinisikan hubungan internasional sebagai interaksi antar berbagai aktor yang berpartisipasi dalam politik internasional, termasuk negara, organisasi internasional, organisasi non-pemerintah, entitas-entitas subnasional (seperti pemerintah lokal, serikat pekerja, dan individu-individu).2 Definisi ini menunjukkan bahwa kita hidup dalam dunia yang saling terkoneksi dalam sebuah kampung global (global village) dengan teknologi komunikasi yang terus berkembang sehingga memungkinkan kita untuk mengirimkan pesan dari satu tempat ke tempat lainnya, dari satu negara ke negara lainnya.

Daniel Tolliday secara sederhana mendefinisikan komunikasi global sebagai kemampuan untuk menyediakan dan mengakses informasi-informasi lintas budaya melalui berbicara, mendengarkan, atau membaca dan menulis.3 Sementara itu studi komunikasi global mengkaji media nasional dan transnasional sebagai bagian dari sistem global mengenai arus berita, interaksi politik, dan pertukaran budaya. Studi komunikasi global merupakan sebuah bidang interdisipliner yang mempelajari arus informasi yang berkesinambungan yang digunakan dalam menstransfer nilai-nilai (values), pendapat-pendapat (opinions), pengetahuan (knowledge), dan kebudayaan (culture) yang melintasi batas-batas negara.

Menurut Brian Hocking dan Michael Smith, komunikasi global didefinisikan sebagai kombinasi dari proses-proses yang digunakan untuk meningkatkan level komunikasi di seluruh dunia, yang melibatkan isu-isu politik, sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, dan lain-lain.4 Komunikasi global adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan cara-cara menyambungkan (to connect), berbagi (share), berhubungan (relate), dan memobilisasi (mobilize) yang melintasi perbedaan geografis, politik, ekonomi, sosial, dan budaya. Komunikasi global meredifinisi soft power dan hard power serta diplomasi dan kekuatan informasi melalui cara-cara yang semula tidak diperhitungkan oleh teori-teori HI tradisional.

Tolliday berpendapat bahwa komunikasi global telah menjadi semakin penting sehubungan dengan semakin berkembangnya globalisasi. Hubungan antara Amerika Serikat dan China, misalnya, telah meningkat secara dramatis di bidang perdagangan

2 Karen A. Mingst, Essentials of International Relations (New York: W.W. Norton & Company, 2004), hal. 2.3 Daniel Tolliday, “A Definition of Global Communication”, dalam http://www.ehow.com/facts_7601794-defi-

nition-global-communication.html [Diakses 29 Desember 2016].4 Brian Hocking dan Michael Smith, Politics: An Introduction to International Relations (London: British Li-

brary, 1995), hal. 108.

Page 57: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 135

dan pemahaman budaya sebagai akibat semakin berkembangnya komunikasi global. Di masa Perang Dingin, Amerika Serikat dan China menutup hubungan sedemikian rupa, saling curiga satu sama lain, dan sering terjadi kesalahpahaman dalam menyikapi masalah-masalah global maupun isu-isu dalam hubungan bilateral kedua negara. Dalam bidang bisnis internasional, komunikasi global juga telah memberikan kontribusi sangat vital dengan semakin meningkatnya efisiensi komunikasi. Sementara dalam bidang kebudayaan, komunikasi global telah berhasil menciptakan berbagai “budaya global” yang mempermudah interaksi antar bangsa.

Dalam pandangan Majid Tehranian, komunikasi global menyiratkan sebuah transfer pengetahuan dan gagasan dari pusat-pusat kekuasaan dunia (centers of world power) menuju daerah-daerah pinggiran (peripheries) melalui sarana-sarana soft-power, seperti hiburan dan berita-berita global. Namun, kata Tehranian, komunikasi global juga memberdayakan kelompok-kelompok dan suara-suara yang sering termarjinalisasi dalam masyarakat internasional. Saluran-saluran komunikasi global juga telah menjadi arena bagi kontestasi batas-batas ekonomi, politik, dan budaya baru. Komunikasi global (terutama dalam bentuk interaktif ) telah menciptakan ruang-ruang moral baru yang luar biasa (immense new moral spaces) untuk menjelajahi komunitas-komunitas baru. Dengan demikian, komunikasi global mengancam eksistensi sistem-sistem ekonomi, politik, dan budaya tradisional yang bersifat top-down.5

Komunikasi global semakin penting karena dengan adanya perkembangan teknologi telekomunikasi garis pemisah antar negara (seperti kedaulatan) telah semakin kabur. Dunia telah menjadi sebuah komunitas global yang anggota-anggotanya harus berkomunikasi untuk saling belajar satu sama lain maupun untuk menyelesaikan konflik-konflik diantara mereka. Seperti diketahui, sebelum era komunikasi digital (seperti televisi dan internet), negara-negara begitu terpisah satu sama lain, informasi dari satu negara tidak bisa dengan mudah menyeberang ke negara lain. Selain itu keyakinan yang berbeda-beda selama ini sering menimbulkan konflik antar masyarakat dari negara-negara yang berbeda. Dalam hal ini komunikasi global diperlukan sebagai sarana untuk menciptakan keadilan informasi dan menyelesaikan konflik-konflik antar-bangsa serta mencegah agar konflik-konflik tersebut tidak menjadi masalah yang lebih besar.

Menurut Mike Featherstone, komunikasi global telah menjadikan kita sebagai saksi mata dari peristiwa-peristiwa di lokasi terpencil di pojok dunia manapun, dan

5 Majid Tehranian, “Global Communication and International Relations”, dalam The International Journal of Peace Studies, Vol. 2 No. 1 (1997), hal. 181-199.

Page 58: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016136

memungkinkan kita berpartisipasi dalam wacana-wacana politik yang memiliki relevansi global, regional, atau bahkan lokal. Proses-proses global dimana pengetahuan, nilai-nilai dan etika, estetika, dan gaya hidup dipertukarkan, menjadi otonom, memunculkan “kebudayaan ketiga” (third culture), sebuah kerangka kesatuan generatif dimana keanekaragaman dapat terjadi.6

Dalam pandangan Katharine Sarikakis dan Leslie Shade, studi mengenai komunikasi global jarang yang mudah dipahami. Perkembangan komunikasi global selama ini merefleksikan masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi dalam masyarakat dunia pada umumnya, yang mempengaruhi kebudayaan dan komunikasi. Pada peringkat epistemologis, studi komunikasi global dianggap bagian dari studi HI, meskipun ini masih dianggap tidak sah oleh sejumlah ahli. Ada ahli yang mengatakan bahwa komunikasi global merupakan sub-disiplin dari ilmu komunikasi. Sementara beberapa ahli lain menilai bahwa tidak perlu ada lagi sub-disiplin komunikasi global, karena isu-isu komunikasi lintas-batas telah dieksplorasi dan dipelajari oleh banyak disiplin ilmu.7

Pokok bahasan komunikasi global pada umumnya menekankan pada masalah-masalah atau proses-proses di sekitar pembentukan opini publik. Sehingga dalam hal ini studi-studi mengenai media massa dan media-media komunikasi lainnya yang aktivitasnya memiliki dampak global, mendapatkan perhatian utama dari pokok bahasan komunikasi global. Para penstudi HI yang menekuni sub-disiplin komunikasi global ini pada umumnya mempunyai latar belakang yang memadai dalam ilmu komunikasi, atau pengalaman yang cukup di bidang industri komunikasi, atau setidaknya memiliki minat yang mendalam terhadap hal ihwal komunikasi.

Ali Mohammadi mengatakan bahwa komunikasi merupakan sebuah sub-bidang studi yang sangat kompleks dan mengalami pertumbuhan yang pesat. Studi komunikasi global mencakup isu-isu kebudayaan dan komodifikasi budaya (dari produk-produk budaya menjadi komoditas), penyebaran informasi dan penyiaran berita oleh kerajaan media di seluruh dunia, serta tantangan-tantangan yang dihadapi oleh negara berkembang dalam proses-proses tersebut. Dalam konteks Tata Informasi Dunia Baru, misalnya, studi komunikasi global membahas masalah-masalah kekuatan dan proses teknologi, penyensoran, dan HAM. Sedangkan dalam konteks perhatiannya terhadap teknologi, studi komunikasi global mempelajari broadcasting satelit televisi

6 Mike Featherstone (ed.), Global Culture: Nationalism, Globalization, and Modernity (London: SAGE Publica-tions, 1990), hal. 2.

7 Katharine Sarikakis dan Leslie Regan Shade, Feminist Intervention in International Communication: Minding the Gap (Maryland: The Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2008), hal. 5.

Page 59: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 137

dan peran negara-bangsa, serta kebebasan informasi dan teknologi itu sendiri.8

Sementara itu ruang lingkup pokok bahasan komunikasi global, menurut John Downing, mencakup tema-tema seperti proses-proses komunikasi global, teori-teori komunikasi internasional, perusahaan-perusahaan media global, kebijakan-kebijakan media global, arus berita global, komunikasi pembangunan, internet, arus komunikasi non-hegemonik, perfilman dunia, hukum kekayaan intelektual, dan sebagainya.9

Menurut Mehdi Semati, pokok bahasan komunikasi global meliputi tema-tema seperti komunikasi pembangunan, jurnalisme pembangunan, akses komunikasi global, hubungan internasional dan komunikasi, imperialisme media, perusahaan media transnasional, broadcasting radio dan televisi internasional, broadcasting dan propaganda, arus berita global, agen-agen berita internasional, arus data lintas batas, regulasi dan kebijakan komunikasi global, teknologi komunikasi internasional, dan sebagainya.10

FAKTOR PENDORONG KOMUNIKASI GLOBAL

Komunikasi global sebagai sebuah fenomena sosial barangkali sudah berlangsung lama, setidaknya sejak masyarakat manusia mulai mengorganisir diri dalam sebuah komunitas bangsa-bangsa dan mulai bertukar gagasan dan produk-produk. Namun, fenomena komunikasi global seperti yang kita kenal sekarang ini pada dasarnya adalah hasil dari perkembangan teknologi. Komunikasi global diawali dari adanya kemajuan teknologi transportasi canggih seperti mesin uap dan mesin pembakaran.11 Sedangkan saat ini fenomena komunikasi global didorong oleh proliferasi teknologi-teknologi informasi dan komunikasi (ICT) yang terjadi hampir di seluruh negara di dunia.

Perkembangan yang mendorong komunikasi global seperti yang kita lihat pada dua dekade awal abad ke-21 ini sebenarnya sudah mulai berlangsung pada periode antara dua perang dunia (inter-war period). Selama periode ini, interkoneksi global telah meningkat oleh perkembangan ICT, seperti telepon dan telegraf, pemasangan kabel laut antara Eropa dan Amerika, perluasan jaringan kereta api, dan pengembangan

8 Ali Mohammadi, International Communication and Globalization: A Critical Introduction (Lon-don: SAGE Publications Ltd., 2005), hal. 1.

9 John D.H. Downing, “International Communication”, dalam Wolfgang Donsbach, The International Ency-clopedia of Communication (New Jersey: Wiley-Blackwell, 2008).

10 Mehdi Semati (ed.), New Frontiers in International Communication Theory (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2004).

11 Howard H. Frederick, Global Communication and International Relations (Belmont, CA: Wadsworth , 1993).

Page 60: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016138

navigasi modern dengan bantuan teknologi radio. Perkembangan komunikasi global selanjutnya didorong oleh komersialisasi radio di Amerika Serikat dan perkembangan dan pertumbuhan dalam industri perfilman. Periode ini ini juga ditandai pertumbuhan kantor-kantor berita internasional utama di Eropa dan Amerika Serikat, serta pembentukan, pengintegrasian, dan transnasionalisasi institusi-institusi global seperti International Telecommunication Union (ITU), Universal Postal Union (UPU), dan Liga Bangsa-Bangsa (LBB).12

Periode selanjutnya ditandai dengan adanya hegemoni dari kekuatan-kekuatan besar di Barat yang menggunakan berbagai teknologi komunikasi tingkat tinggi. Media dan kantor-kantor berita internasional tidak saja dimanfaatkan untuk meningkatkan kekuatan mereka secara global, serta memperoleh koloni dan mengelola imperium, tetapi juga untuk mendorong westernisasi dan Eropanisasi di seluruh dunia. Sejak saat itu tumbuhlah industri media dan institusi-institusi baru yang terkait dengan pers, media, dan teknologi komunikasi dikembangkan. Pada gilirannya, ini semua memberi kontribusi pada penyebaran ‘ideologi’ yang terkait dengan westernisasi, modernisasi, dan sekularisasi di berbagai penjuru dunia (Afrika, Asia, dunia Arab, dan Amerika Latin).

Kekuatan-kekuatan besar dunia (great world powers) juga mulai memanfaatkan dampak dan pentingnya opini publik dan nilai propaganda (terutama selama masa perang), serta potensi dari media yang sedang berkembang (khususnya radio). Penyebaran ideologi-ideologi yang sedang bersaing, seperti liberalisme, komunisme, fasisme, dan sejumlah gerakan Islam pada gilirannya juga menyebabkan meningkatnya pemanfaatan media-media yang berkembang cepat, pers, dan media teknologi-teknologi komunikasi untuk mengelola kegiatan-kegiatan transnasional oleh gerakan-gerakan revolusioner.13

Pada periode pasca Perang Dunia II, pertumbuhan komunikasi global berlangsung lebih cepat. Percepatan ini terutama didorong oleh perkembangan dan ekspansi media (seperti televisi), dan percepatan yang paling penting adalah peningkatan dan proliferasi yang meluas dalam bidang ICT (seperti satelit, komputer, dan jaringan digital pelayanan terintegrasi atau ISDN).14 Ekspansi global dari media hiburan sebagai sebuah industri ekspor-impor serta isu-isu hak cipta (copyright), hak atas kekayaan intelektual (intellectual property right), dan privasi yang menyertainya,

12 Lucky Madikiza dan Elirea Bornman, “International Communication: Shifting Paradigms, Theories, and Foci of Interest”, dalam Communicatio, Vol. 33 No. 2 (2007), hal, 1753-5379.

13 Lucky Madikiza dan Elirea Bornman, Ibid.14 Hamid Mowlana, Global Communication in Transition: The End of Diversity? (Thousand Oaks, CA: SAGE

Publications, Inc., 1996).

Page 61: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 139

berkontribusi terhadap penyebaran westernisasi. Pertumbuhan dan meningkatnya internasionalisasi dan integrasi institusi-institusi multinasional yang terkait dengan produksi dan distribusi informasi serta pembentukan organisasi-organisasi komunikasi internasional seperti Konsorsium Satelit Telekomunikasi Internasional (INTELSAT) dan Organisai Satelit Maritim Internasional (INMARSAT), semakin memberikan kontribusi bagi pertumbuhan arus informasi internasional.15

Menurut Hamid Mowlana, akselerasi konperensi-konperensi internasional, ekspansi institusi-institusi pendidikan internasional, berbagai kongres dan seminar, pertukaran pelajar antar-negara, popularisasi perjalanan internasional, dan ekspansi peristiwa-peristiwa olahraga dunia, semakin meningkatkan kontak dan komunikasi antar bangsa di dunia.16 Jika komunikasi global tumbuh secara eksponensial pada periode pasca Perang Dunia II, pertumbuhan tersebut semakin terakselerasi pada periode pasca Perang Dingin. Difusi inovasi-inovasi teknologi baru yang semakin menyebar dipicu oleh meningkatnya liberalisasi lingkungan internasional yang berorientasi pasar-bebas dan berubahnya tatanan internasional pasca Perang Dingin yang ditandai semakin hilangnya makna perbatasan dan kedaulatan.17 Dalam dunia yang kompetitif dan munculnya raksasa-raksasa ekonomi dan komunikasi, membuat dunia telah berubah menjadi sebuah desa elektronik global (global electronic village) dan informasi telah muncul sebagai sumber daya dan komoditas pokok bagi penduduk bumi.

KOMUNIKASI GLOBAL DAN POLITIK LUAR NEGERI

Semula studi tentang komunikasi global kurang mendapatkan perhatian dari para ahli HI. Pokok bahasan ini dianggap kurang menarik dan tidak memiliki relevansi langsung atau peran yang vital dalam proses-proses hubungan internasional. Tetapi dengan semakin meluasnya fenomena globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi, memaksa para penstudi HI untuk menaruh perhatian yang lebih besar terhadap studi komunikasi global. Salah seorang sarjana HI yang dianggap sebagai pionir dan memberikan kontribusi besar bagi eksistensi pokok bahasan komunikasi global dalam studi HI adalah Karl Deutsch. Salah satu karya penting Deutsch dalam bidang komunikasi global berjudul “International Communication: The Media and Flows”.18

15 Lucky Madikiza dan Elirea Bornman, loc. cit.16 Hamid Mowlana, loc. cit.17 Muhammad Ayish, “International Communication in the 1900s: Implications for the Third World”, dalam

International Affairs, Vol. 68 No. 3 (2001), hal. 487-510.18 Karl W. Deutsch, “International Communication: The Media and Flows”, dalam Public Opinion Quarterly,

Vol. 20 No. 1 (1956), hal. 143-160.

Page 62: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016140

Bruce Russet dalam salah satu bukunya yang berjudul Karl W. Deutch: Pioneer in the Theory of International Relations, menyatakan bahwa tulisan-tulisan Deutsch banyak berkaitan dengan topik-topik yang sekarang menjadi bagian dari komunikasi global, seperti komunikasi sosial, sibernetika (cybernetics), sibernetika sosial, analisis sistem, dan pemodelan global.19 Tentu saja sebagai pakar HI, Deutsch juga menulis tema-tema tradisional dalam bidang HI, seperti soal perang dan damai, nasionalisme, integrasi Eropa, perlombaan sejata, dan sebagainya. Bruce Russet sendiri juga dikenal sebagai seorang sarjana HI yang menaruh perhatian besar terhadap tema-tema komunikasi global.

Sejak era Perang Dingin berakhir, banyak studi-studi HI yang mengaitkannya dengan aspek komunikasi global. Salah satunya adalah studi dari Eytan Gilboa yang membahas pengaruh komunikasi global terhadap formulasi dan pelaksanaan politik luar negeri suatu negara. Menurut Gilboa, revolusi komunikasi dan informasi pada abad ke-20, secara fundamental telah mengubah makna power dalam hubungan internasional, pembuatan kebijakan pertahanan, dan pelaksanaan diplomasi. Ia mengutip pendapat Josep Nye yang mendefinisikan soft power sebagai kemampuan untuk mencapai hasil yang diinginkan dalam hubungan internasional melalui daya tarik (attraction) daripada daya paksa (coercion),20 semakin melengkapi makna konsep military power dan economic power. Atraksi atau daya tarik membutuhkan penggunaan komunikasi global yang efektif untuk membujuk opini publik di seluruh dunia untuk mendukung suatu kebijakan. Dalam konteks ini media-media global memainkan peranan yang sangat vital.

Menurut Eytan Gilboa, pelaksanaan politik luar negeri melewati dua tahap perspektif yang saling terkait. Tahap pertama adalah pembuatan kebijakan (policy making), dimana pilihan, posisi, dan taktik kebijakan dipertimbangkan dan diputuskan dalam lingkungan domestik dari pihak-pihak yang terkait. Tahap kedua adalah interaksi dan diplomasi, mencakup pengimplementasian kebijakan terhadap aktor-aktor lain, menghadirkan posisi dan memutuskan tuntutan pada tahap lebih awal, serta mencari solusi melalui konfrontasi, negosiasi, atau mengkombinasikan keduanya. Media-media berita global dalam hal ini sangat berpengaruh, baik pada tahap pembuatan keputusan maupun pada fase-fase interaktif dari politik luar negeri.21 Berikut ini akan diulas berbagai teori dan konsep-konsep analitis yang telah berkembang untuk menjelaskan pengaruh komunikasi global pada pembuatan politik luar negeri (the effects of global communication on the making of foreign policy).

19 Bruce Russet, Karl W. Deutch: Pioneer in the Theory of International Relations (New York: Springer, 2015). 20 Lihat Joseph S. Nye, Jr., Soft Power: The Means to Success in World Politics (New York: Public Affairs, 2009). 21 Eytan Gilboa, “Global Communication and Foreign Policy”, dalam Journal of Communications, Vol. 52 No.

4 (2002), hal. 731-748.

Page 63: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 141

Sebagaimana dapat dilihat dalam Tabel 1, kiranya berguna untuk mengklasifikasikan konsep-konsep atau teori-teori yang ada melalui tipe dari aktor dan atribut-atribut yang sesuai dari aktivitas dan konteks. Pendekatan ini menghasilkan empat tipe dari aktor, yaitu controlling, constraining, intervening, dan instrumental. Teori peran controlling actor, yaitu teori Efek CNN, yang muncul dalam kaitannya dengan intervensi kemanusiaan (humanitarian intervention). Teori ini menyatakan bahwa televisi global telah mengambil alih proses pembuatan kebijakan luar negeri negara-negara. Teori peran constraining actor menganggap komunikasi global sebagai salah satu faktor diantara beberapa faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan luar negeri. Konteks yang terdiri dari pengambilan keputusan dan konsep-konsep yang relevan merupakan kebijakan aktual (real-time policy). Sedangkan menurut teori peran intervening actor, peran intervening dilakukan oleh jurnalis-jurnalis terkemuka yang mengasumsikan peran mediasi dalam konflik-konflik internasional. Di sini, konteks adalah mediasi internasional dan konsep adalah “broker politik internasional” (international political brokerage). Sementara itu, menurut teori instrumental, para pemimpin dunia memanfaatkan komunikasi global untuk mengedepankan negosiasi dan memobilisiasi dukungan publik. Di sini konteks terdiri dari resolusi konflik dan konsep adalah media diplomasi.22

Tabel 1Taksonomi Aktor-Aktor dan Konsep-Konsep

dalam Komunikasi Global

TIPE AKTOR AKTIVITAS KONTEKS KONSEP

Controlling Actor Menggantikan pembuat kebijakan

Kasus-2 Intervensi kemanusiaan

CNN Effects Theory

Constraining Actor Menghambat pembuat kebijakan

Pembuatan keputusan

Real-Time Policy

Intervening Actor Berperan sebagai mediator

Mediasi internasional

International Political Brokerage

Instrumental Actor Mempromosikan negosiasi-negosiasi dan agreements

Resolusi konflik Media Diplomacy

Sumber: Eytan Gilboa (2002).

22 Eytan Gilboa, ibid., hal. 732-733.

Page 64: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016142

Teori Efek CNN

Teori CNN Effects menunjukkan bahwa televisi-televisi global (seperti CNN, BBC, Aljazeera, dan sebagainya) telah menjadi aktor langsung dan bahkan aktor dominan dalam formulasi dari kebijakan-kebijakan dalam masalah pertahanan dan politik luar negeri, hasil dari refleksi yang dibuat oleh para pembuat kebijakan atas peran yang dimainkan oleh komunikasi global (khususnya CNN) dalam konflik-konflik internasional pada era pasca Perang Dingin. Peran yang sama juga diperlihatkan oleh CNN dan koleganya ketika meliput tindakan keras pemerintah China atas gerakan protes mahasiswa di Lapangan Tienanmen Beijing 1989, Krisis Teluk Persia yang diikuti invasi dan okupasi Irak atas Kuwait 1990-1991, serta perang saudara di Irak Utara, Somalia, Rwanda, Bosnia, dan Kosovo.

Kesaksian dari para pembuat kebijakan utama atas faktor-faktor yang memiliki dampak terbesar pada keputusan mereka biasanya dikutip oleh para pakar dan komentator untuk memantapkan validitas dari teori efek CNN. Beberapa pembuat kebijakan utama telah berbicara dan menulis tentang pengaruh televisi global terhadap politik luar negeri secara umum dan terhadap keputusan-keputusan intervensi kemanusiaan pada khususnya. Sebagai contoh, mantan Menteri Luar Negeri AS James Baker pernah mengatakan bahwa “Tragedi Tienanmen yang mengerikan merupakan ilustrasi klasik dari sebuah fenomena baru yang powerful, yakni kemampuan dari revolusi komunikasi global mengendalikan kebijakan”. 23 Baker menambahkan bahwa sejak itu, kemudian di Bosnia, Irak, Somalia, Rwanda, Chechnya, dan tempat-tempat lainnya, liputan langsung (real-time) dari media elektronik telah menciptakan pembuatan imperatif baru yang sangat kuat bagi tindakan cepat yang tidak hadir dalam masa yang kurang hingar bingar.

Mantan Menteri Luar Negeri AS lainnya, Madeleine Albright, pernah menegaskan di depan Senat, bahwa “kemampuan telivisi untuk membawa gambar-gambar grafis tentang rasa sakit dan kemarahan ke dalam ruang-ruang kehidupan kita, telah meningkatkan tekanan baik untuk keterlibatan langsung dalam wilayah-wilayah krisis internasional maupun pelepasan langsung tatkala peristiwa di lapangan berjalan tidak sesuai dengan rencana”.24 Testimoni James Baker dan Madeleine Albright tersebut semakin menegaskan bahwa televisi berita global (seperti CNN) memiliki pengaruh dalam pembuatan kebijakan luar negeri negara-negara di dunia.

23 James Baker, The Politics of Diplomacy (New York: G. P. Putnan Sons, 1995), hal. 103. 24 Johanna Neuman, Lights, Camera, War: Is Media Technology Driving International Politics? (New York: St.

Martin Press, 1996), hal. 14-15.

Page 65: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 143

Teori efek CNN merupakan studi kasus yang menarik dalam pengembangan terminologi dan teori. Awalnya teori ini disarankan dan diartikulasikan oleh para politisi dan pejabat yang dihantui oleh mitos media dalam Perang Vietnam, kebingungan era pasca-Perang Dingin, dan revolusi komunikasi. Meskipun banyak keyakinan sebaliknya, banyak pemimpin pemerintahan di dunia masih mempercayai bahwa liputan media yang negatif telah menyebabkan kekalahan Amerika dalam Perang Vietnam.25 Sejak itu, banyak yang memandang media sebagai musuh bagi kebijakan pemerintah dalam banyak bidang, termasuk kebijakan intervensi kemanusiaan dan negosiasi internasional. Latar belakang ini membantu untuk menjelaskan mengapa televisi berita global telah dipersepsikan mempunyai kekuatan untuk menentukan politik luar negeri, terutama dalam situasi-situasi krisis yang parah.

Teori Kebijakan Real-Time

Meskipun belum ada bukti yang mencukupi untuk mendukung klaim bahwa komunikasi global berperan sebagai aktor yang mengendalikan (controlling actor) dalam formulasi kebijakan yang ditujukan pada konflik-konflik internasional, ini tentunya mempengaruhi banyak dimensi penting dari kebijakan luar negeri dan diplomasi. Karena itu, mungkin lebih tepat dikatakan komunikasi global berfungsi sebagai aktor yang menghambat (constraining actor) kebijakan luar negeri. Dalam hal ini, kata “menghambat” bermakna bahwa liputan berita global dapat menggangu rutinitas proses-proses pembuatan kebijakan luar negeri, terutama kerja dari para burokrat professional. Di saat para pemimpin dan birokrat professional sedang menyusun ulang prioritas, mereka merasa dipaksa untuk mengikuti kebijakan tertentu yang diekspose oleh media atau tersirat dalam liputan media. Inilah yang disebut komunikasi global menghambat proses kebijakan, terutama melalui penyiaran dan pemancaran informasi dengan kecepatan tinggi.26

Pertukaran diplomatik dengan kecepatan tingkat tinggi yang dihadirkan televisi global seringkali menyajikan dilemma besar bagi semua aktor utama yang berpartisipasi dalam proses kebijakan luar negeri: para pemimpin politik, ahli-ahli, diplomat, dan jurnalis. Michael Beschloss berpendapat bahwa kecepatan tersebut dapat memaksa tanggapan yang terburu-buru (hurried responses) yang mendasarkan

25 Daniel C. Hallin, The Uncensored War: The Media and Vietnam (Berkely: University of California Press, 1989).

26 George Gerbner, “Instant History: The Case of Moscow Cup”, dalam Political Communication, Vol. 10 No. 2 (1993), hal. 193-203.

Page 66: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016144

intuisi daripada kehati-kehatian, dan ini dapat menyebabkan lahirnya kesalahan kebijakan yang berbahaya. Sebagai contoh, Beschloss menyangsikan apakah dalam tekanan televisi global, Presiden Kennedy akan mempunyai waktu untuk berhati-hati mempertimbangkan opsi-opsi dalam menyelesaikan krisis Kuba yang tengah bergejolak. Para pemimpin politik sering menghadapi dilemma: jika mereka merespon dengan segera tanpa mengambil waktu agar dengan cermat mempertimbangkan opsi-opsi kebijakan, mereka dapat membuat kesalahan. Namun jika mereka bersikeras membutuhkan lebih banyak waktu untuk berfikir, mereka menciptakan impresi tentang keraguan atau kehilangan kendali atas peristiwa yang tengah terjadi. Para pemimpin seringkali cenderung menyelesaikan dilemma ini dengan memberikan beberapa respon daripada meminta tambahan waktu untuk membahas sebuah keputusan.27

Dilemma lain sering dihadapi oleh birokrasi masalah-masalah luar negeri: bagaimana bersaing secara efektif dengan informasi real-time yang tersaji di layar televisi tanpa mengorbankan standar professional dalam membuat analisis dan rekomendasi. Jika para ahli politik luar negeri, petugas-petugas intelijen, dan para diplomat membuat sebuah analisis yang cepat didasarkan informasi yang kurang lengkap dan tekanan waktu yang hebat, mereka dapat membuat rekomendasi kebijakan yang buruk. Sebaliknya, jika mereka mengambil waktu yang diperlukan untuk memverifikasi secara cermat, dengan mengintegrasikan informasi dan gagasan dari berbagai sumber, serta menghasilkan laporan dan rekomendasi yang mendalam dan terpercaya, ini bisa menjadi tidak relevan (tidak berguna) jika pembuat kebijakan harus mengambil keputusan mendesak untuk menanggapi tantangan dan tekanan yang berasal dari liputan televisi global.28

Teori Broker Politik Internasional

Revolusi komunikasi telah menginspirasi para jurnalis terkemuka berasumsi, secara langsung maupun tak langsung, peran mediasi dalam konflik-konflik internasional. Peran intervening biasanya terjadi tatkala tidak ada kontak antar musuh dan tidak ada pihak ketiga yang membantu menyelesaikan perbedaan mereka. Para jurnalis seringkali menampilkan peran mediasi di dalam sebuah konteks jurnalistik (misalnya dalam wawancara). Situasi ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana kita mengetahui ketika seorang jurnalis menyeberangi batas reporting menjadi seorang

27 Michael R. Beschloss, President, Television, and Foreign Crisis (Wahington, DC: Annenberg Washington Pro-gram, 1993).

28 Eytan Gilboa, loc. cit.

Page 67: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 145

diplomat yang terlibat dalam mediasi? Georgie Geyer menyatakan bahwa reporter yang mewawancarai seorang pemimpin tidak disiapkan untuk menjadi diplomat, karena kebijakan resmi dan kendala-kendala lainnya.29 Sebab itu, menurut Gilboa, jurnalis boleh menampilkan peran mediasi hanya ketika mereka berdebat dengan pemimpin dari sisi yang lain, misalnya ‘mewakili’ posisi pemerintahnya, atau mengajukan usulan kepada rivalnya untuk mengakhiri sebuah konflik atau krisis.

Michael Gurevitch menyebut peran baru jurnalis tersebut sebagai broker politik internasional (international politically brokerage). Ia mengambil contoh ketika jurnalis CBS News, Walter Cronkite, membantu mengatur kunjungan bersejarah Anwar Sadat ke Yerusalem, dan ketika penyiar berita televisi Amerika yang bergegas mewawancarai Saddam Hussein di Bagdad selama konflik Teluk 1990-1991. Contoh-contoh ini, kata Gurevitch, menegaskan bahwa televisi global dapat melancarkan inisiatif reportorial yang cenderung mengaburkan perbedaan antara peran reporter dan diplomat. Ia mengutip seorang kolumnis Washington Post yang menulis bahwa pembaca berita yang mewawancari presiden Irak berubah peran menjadi seorang advokat, seakan mewakili juru runding dari pemerintahnya, menjelajah bersama orang yang diwawancari untuk menyelesaikan krisis.30

Satu hal yang perlu diperhatikan, mediasi internasional oleh seorang jurnalis dapat menimbulkan kesulitan etis dan masalah professional. Seperti diketahui, setiap jurnalis diharapkan dapat memberikan bebas-bias (bias-free), sangat professional, dan pemikiran yang relatif obyektif tentang proses-proses internasional. Apa yang dilakukan Walter Cronkite untuk tetap melanjutkan aktivitas reportase pada saat sedang menjalankan proses mediasi, secara sadar atau tidak sadar akan mempengaruhi akurasi dan obyektivitas dari laporannya. Sebab itu, selain mengeksporasi isu-isu tersebut melalui teori-teori dan konsep-konsep komunikasi, kajian mengenai peran intervening dari komunikasi global mungkin akan lebih berkembang jika menggunakan teori-teori mediasi internasional. Teori-teori ini menekankan signifikansi dari “tahap pranegosiasi”, peran dari “pihak ketiga”, dan “diplomasi dua jalur”.31

29 Georgie A. Geyer, “Journalists: The New Target, the New Diplomats, the New Intermediary People”, dalam Robert Schmuhl (ed.), The Responsibility of Jurnalism (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1984), hal. 71-73.

30 Michael Gurevitch, “The Globalization of Electronic Journalism”, dalam Michael Gurevitch dan James Cur-ran (eds.), Mass Media and Society (London: Edward Arnold, 1991), hal. 178-193.

31 Mengenai “pranegosiasi” lihat Janice G. Stein (1989), tentang peran “pihak ketiga” dalam mediasi inter-nasional lihat Thomas Princen (2014), dan tentang “diplomasi dua jalur” lihat Vamik D. Volkan, Joseph P. Montville, dan Demetrios A. Julius (1991).

Page 68: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016146

Teori Diplomasi Media

Saat ini para pemimpin dunia secara ekstensif menggunakan komunikasi global sebagai sebuah instrumen untuk mengembangkan negosiasi dan memobilisasi dukungan atas kebijakan-kebijakan luar negeri yang dibuatnya. Diplomasi media merupakan konsep yang paling tepat untuk menganalisis penggunaan komunikasi global tersebut, namun referensi tentang konsep diplomasi media dalam literatur professional masih sangat membingungkan.32 Bosah Ebo, misalnya, mendefinisikan diplomasi media terlalu luas, yakni sebagai “the use of media to articulate and promote foreign policy” (penggunaan media untuk mengartikulasikan dan mempromosikan politik luar negeri).33 Sementara Eytan Gilboa mengajukan definisi yang agak spesifik: diplomasi media mengacu pada penggunaan media oleh pemimpin untuk menyatakan kepentingan dalam negosiasi, untuk membangun keyakinan, dan untuk memobilisasi dukungan publik bagi persetujuan-persetujuan yang dibuatnya.34 Diplomasi media diupayakan melalui berbagai aktivitas media yang khusus dan rutin, termasuk press conferences, wawancara, kunjungan kepala negara dan mediator ke negara-negara rival, mengadakan acara-acara media yang spektakuler, dan sebagainya.

Menurut Christer Jonsson, menggunaan media untuk signaling tujuan-tujuan politik luar negeri telah dikenal selama bertahun-tahun. Dalam ketidakhadiran saluran komunikasi langsung yang memadai, atau ketika satu pihak tidak percaya bagaimana pihak lain dapat bereaksi pada kondisi-kondisi untuk negosiasi atau proposal untuk resolusi konflik, para pejabat lebih suka menggunakan media, dengan atau tanpa atribusi, guna mengirimkan pesan-pesan kepada pemimpin-pemimpin negara rival atau aktor-aktor non-negara. Akhir-akhir ini para pemimpin lebih sering menggunakan komunikasi global daripada saluran-saluran diplomatik tradisional untuk menyampaikan pesan-pesan yang dimaksudkan untuk mengubah image atau membuka sebuah lembaran baru.

Daniel Dayan dan Elihu Katz mengidentifikasi beberapa efek langsung dari acara-acara media tentang diplomasi, yaitu: (1) mengurangi peran para dutabesar; (2) memecahkan kebuntuan diplomatik dan menciptakan iklim yang kondusif untuk

32 Lihat Yoel Cohen, Media Diplomacy: The Foreign Office in the Mass Communication Age (New York: Frank Cass, 1986).

33 Bosah Ebo, “Media Diplomasi and Foreign Policy: Toward a Theoretical Framework”, dalam Abbas Malek (ed.), News Media and Foreign Relations: A Multifaceted Perspective (Norwood, NJ: Ablex Publishing Corpora-tions, 1996), hal. 43.

34 Eytan Gilboa, “Media Diplomacy: Conceptual Divergence and Applications”, dalam Harvard International Journal of Press/Politics, Vol. 3 No. 3 (1998), hal. 56-75.

Page 69: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 147

negosiasi; dan (3) menciptakan iklim yang kondusif untuk mengunci kesepakatan.35 Para pejabat dapat menggunakan acara-acara media untuk memperkuat dukungan publik untuk sebuah proses perdamaian setelah kesimpulan dari tahap awal namun sebelum bergerak menuju fase selanjutnya. Diplomasi media ini biasanya ditampilkan dalam kasus dimana sebuah terobosan telah dicapai, namun di sisi lain masih memiliki waktu yang panjang sebelum melangkah ke tahap menerjemahkan deklarasi pokok menjadi sebuah perjanjian damai dengan kekuatan hukum tetap. Efek perantara semacam ini dapat membantu untuk memobilisasi dukungan publik yang memadai dalam masyarakat yang terlibat pada negosiasi tahap berikutnya. Semua dari tiga efek dari acara-acara media di atas menunjukkan realitasnya dalam berbagai “summit diplomacy” internasional, khususnya dalam pembuatan perdamaian Arab-Israel.

KESIMPULAN

Kajian komunikasi global dalam studi HI merupakan pokok bahasan yang vital di tengah dunia modern sekarang ini. Komunikasi global semakin penting karena dengan adanya perkembangan teknologi telekomunikasi garis pemisah antar negara (seperti kedaulatan) telah semakin kabur. Dunia telah menjadi sebuah komunitas global yang anggota-anggotanya harus berkomunikasi untuk saling belajar satu sama lain maupun untuk menyelesaikan konflik-konflik diantara mereka. Dalam hal ini, komunikasi global setidaknya diperlukan sebagai sarana untuk menciptakan keadilan informasi dan menyelesaikan konflik-konflik antar-bangsa serta mencegah agar konflik-konflik tersebut tidak menjadi masalah yang lebih besar.

Semula studi tentang komunikasi global kurang mendapatkan perhatian dari para ahli HI. Pokok bahasan ini dianggap kurang menarik dan tidak memiliki relevansi langsung atau peran yang vital dalam proses-proses hubungan internasional. Tetapi dengan semakin meluasnya fenomena globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi, memaksa para penstudi HI untuk menaruh perhatian yang lebih besar terhadap studi komunikasi global. Sejak era Perang Dingin berakhir, banyak studi-studi HI yang mengaitkannya dengan aspek komunikasi global. Salah satunya adalah analisis tentang pengaruh komunikasi global terhadap formulasi dan pelaksanaan politik luar negeri suatu negara. Dengan demikian, hadirnya pendekatan komunikasi global telah memperkaya studi HI, terutama memperkaya analisis tentang politik luar negeri.

35 Daniel Dayan dan Elihu Katz, Media Events: The Live Broadcasting of History (Cambridge: Harvard University Press, 1992), hal. 204-205.

Page 70: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016148

KEPUSTAKAAN

Ayish, Muhammad, “International Communication in the 1900s: Implications for the Third World”, dalam International Affairs, Vol. 68 No. 3 (2001), hal. 487-510.

Baker, James, The Politics of Diplomacy (New York: G. P. Putnan Sons, 1995).

Beschloss, Michael R., President, Television, and Foreign Crisis (Wahington, DC: Annenberg Washington Program, 1993).

Cohen, Yoel, Media Diplomacy: The Foreign Office in the Mass Communication Age (New York: Frank Cass, 1986).

Dayan, Daniel dan Elihu Katz, Media Events: The Live Broadcasting of History (Cambridge: Harvard University Press, 1992).

Deutsch, Karl W., “International Communication: The Media and Flows”, dalam Public Opinion Quarterly, Vol. 20 No. 1 (1956), hal. 143-160.

Downing, John D.H.,“International Communication”, dalam Wolfgang Donsbach, The International Encyclopedia of Communication (New Jersey: Wiley-Blackwell, 2008).

Featherstone, Mike (ed.), Global Culture: Nationalism, Globalization, and Modernity (London: SAGE Publications, 1990).

Fortner, Robert S., International Communication: History, Conflict, and Control of the Global Metropolis (Belmont, CA: Wadsworth Publishing Co., 1993).

Frederick, Howard H., Global Communication and International Relations (Belmont, CA: Wadsworth , 1993).

Gerbner, George, “Instant History: The Case of Moscow Cup”, dalam Political Communication, Vol. 10 No. 2 (1993), hal. 193-203.

Gilboa, Eytan, “Media Diplomacy: Conceptual Divergence and Applications”, dalam Harvard International Journal of Press/Politics, Vol. 3 No. 3 (1998), hal. 56-75.

Gilboa, Eytan, “Global Communication and Foreign Policy”, dalam Journal of Communications, Vol. 52 No. 4 (2002), hal. 731-748.

Gurevitch, Michael dan James Curran (eds.), Mass Media and Society (London: Edward Arnold, 1991).

Page 71: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 149

Hallin, Daniel C., The Uncensored War: The Media and Vietnam (Berkely: University of California Press, 1989).

Hocking, Brian dan Michael Smith, Politics: An Introduction to International Relations (London: British Library, 1995).

Madikiza, Lucky dan Elirea Bornman, “International Communication: Shifting Paradigms, Theories, and Foci of Interest”, dalam Communicatio, Vol. 33 No. 2 (2007), hal, 1753-5379.

Malek, Abbas (ed.), News Media and Foreign Relations: A Multifaceted Perspective (Norwood, NJ: Ablex Publishing Corporations, 1996).

Mingst, Karen A., Essentials of International Relations (New York: W.W. Norton & Company, 2004).

Mohammadi, Ali, International Communication and Globalization: A Critical Introduction (London: SAGE Publications Ltd., 2005).

Mowlana, Hamid, Global Communication in Transition: The End of Diversity? (Thousand Oaks, CA: SAGE Publications, Inc., 1996).

Neuman, Johanna, Lights, Camera, War: Is Media Technology Driving International Politics? (New York: St. Martin Press, 1996).

Nye, Jr., Joseph S., Soft Power: The Means to Success in World Politics (New York: Public Affairs, 2009).

Russet, Bruce, Karl W. Deutch: Pioneer in the Theory of International Relations (New York: Springer, 2015).

Sarikakis, Katharine dan Leslie Regan Shade, Feminist Intervention in International Communication: Minding the Gap (Maryland: The Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2008).

Schmuhl, Robert (ed.), The Responsibility of Jurnalism (Notre Dame, IN: University of Notre Dame Press, 1984).

Semati, Mehdi (ed.), New Frontiers in International Communication Theory (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2004).

Stein, Janice G., Getting the Table: The Process of International Prenegotiation (Baltimore: John Hopkins University Press, 1989).

Page 72: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016150

Tehranian, Majid, “Global Communication and International Relations”, dalam The International Journal of Peace Studies, Vol. 2 No. 1 (1997), hal. 181-199.

Princen, Thomas, Intermediaries in International Conflict (Princeton, NJ: Princeton University Press, 1992).

Tolliday, Daniel, “A Definition of Global Communication”, dalam http://www.ehow.com/-facts_7601794-definition-global-communication.html [Diakses 29 Desember 2016].

Volkan, Vamik D., Joseph P. Montville, dan Demetrios A. Julius (eds.), The Psychodynamics of International Relations (Lexington, MA: Lexington Books, 1991).

Page 73: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 151

STRATEGI AMERIKA SERIKAT DALAM MENGHADAPIEVOLUSI KEAMANAN GLOBAL CHINA

Oleh: Lastika KusumawardhaniMahasiswa Pascasarjana Universitas Airlangga

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

This article analyzes the strategy of the United States dealing with the evolution and am-bitions of the China global security in recent years. As known, China is gradually paving the way for a more prominent presence as a global military player by strategizing, training and moderniz-ing its military hardware. China is changing how it handles the security of their growing interests across the globe. The Chinese military is intentionally evolving into a power that can more readily handle long-distance operations. Some scholars in the US advised Washington to take the strategy of “inclusive balancing”. For the US, involving Asian countries in global security issues does not mean to choose to be a friend or against China. Washington needs to involve all regional power simultane-ously in a pragmatics multilateral framework and based on equal partnership. At the same time the US can maintain a system of “checks and balances” between the regional powers in Asia.

Keywords: inclusive balancing strategy, security, security strategy, military engagement, common interest, global economic interest.

ABSTRAK

Artikel ini menganalisis strategi Amerika Serikat berkenaan dengan evolusi dan ambisi keamanan global China dalam beberapa tahun terakhir. Seperti diketahui, China secara bertahap telah membuka jalan bagi kehadiran lebih menonjol sebagai pemain militer global dengan meny-usun strategi, pelatihan dan modernisasi peralatan militer. China sedang mengubah bagaimana menangani keamanan dari kepentingannya yang sedang tumbuh di seluruh dunia. Militer Cina sengaja berkembang menjadi kekuatan yang dapat lebih mudah menangani operasi jarak jauh. Beberapa sarjana di AS menyarankan Washington untuk mengambil strategi “nclusive balancing”. Bagi AS, melibatkan negara-negara Asia dalam isu-isu keamanan global tidak berarti memilih un-tuk menjadi teman atau melawan China. Washington perlu melibatkan semua kekuatan regional secara bersamaan dalam kerangka multilateral pragmatik dan berdasarkan kemitraan yang setara. Pada saat yang sama AS dapat mempertahankan sistem “checks and balances” antara kekuatan regional di Asia.

Kata kunci: strategi inclusif balancing, keamanan, strategi keamanan, keterlibatan militer, kepent-ingan bersama, kepentingan ekonomi global.

Page 74: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016152

PENDAHULUAN

PADA bulan Desember 2008 tiga kapal perang China terpantau berlayar ke Teluk Aden melalui Selat Malaka. Mereka bergabung dalam misi angkatan laut internasional PBB untuk mengamankan Teluk Aden dari kejahatan perompakan yang sering menggelisahkan masyarakat dunia. Fenomena ini menjadi tonggak baru dalam sejarah militer China. Ini bukan sekedar keterlibatan China dalam sebuah misi PBB, namun jika disimak lebih cermat inilah untuk pertama kalinya China berusaha untuk melindungi kepentingan ekonominya yang mengglobal dengan kekuatan militer. Peristiwa itu juga tidak dapat dibaca sekadar sebuah langkah Beijing menuju kebijakan keamanan yang lebih proaktif. Itu adalah sinyal tegas bahwa China secara bertahap telah membuka jalan bagi kehadirannya yang lebih menonjol sebagai salah satu pemain kunci dalam isu-isu keamanan global.

Amerika Serikat (AS) sebagai negara super power tunggal pasca Perang Dingin, selama ini mengirimkan sinyal yang ambivalen terhadap evolusi militer China tersebut. Dalam laporan terbaru yang disampaikan kepada Kongres, Pentagon secara ekstensif mengelaborasi kemungkinan “keterlibatan militer” China dalam isu-isu keamanan global. Namun Pentagon sendiri masih mempertanyakan bagaimana arah pergeseran kekuatan militer China itu: Apakah itu hanya wujud kepedulian China untuk berkontribusi atau turut memikul tanggung jawab bersama masyarakat internasional, ataukah hal itu lebih sebagai proyek kekuatan China untuk menjamin keamanan terhadap akses sumber daya atau klaim wilayah yang disengketakan.1

Lepas dari apapun motifnya, AS kelihatannya berusaha memahami pertumbuhan militer China dan keterlibatannya dalam isu-isu keamanan global lebih sebagai sebuah kesempatan daripada ancaman. Dengan kemampuan militernya yang terus berkembang, China diharapkan AS dapat turut memikul tanggung jawab lebih terhadap berbagai ancaman keamanan non-tradisional seperti pembajakan dan terorisme. AS tampaknya menyadari bahwa Washington dan Beijing sebenarnya memiliki alasan yang cukup kuat untuk berinvestasi dalam kerjasama internasional. Jika AS tetap ingin menjadi pemimpin global yang dapat diandalkan, AS perlu memiliki mitra yang kuat sekaligus dapat dipercaya.

Kerjasama keamanan global dengan China memang masih mengandung dua tantangan bagi AS. Di satu sisi, Beijing masih akan terus mengabaikan ajakan AS

1 Office of the Secretary of Defence, U.S. Department of Defence, “Annual Report to the Congress, Military Power of the People’s Republic of China,” March 2009, hal.1, http://www.defenselink.mil/pubs/pdfs-Chi-na_Military_Power_Report_2009.pdf [Diakses 28 November 2015].

Page 75: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 153

untuk bekerjasama selama Washington masih membantu militer Taiwan. Sebab itu pemerintah AS harus dapat membuat kebijakan menahan diri (policy of restraint) dan memberikan sinyal yang jelas kepada China bahwa AS tidak akan memasok alutsista ke Taiwan selama ketegangan di Selat Taiwan masih tinggi. Di lain sisi, AS juga harus lebih peka terhadap keprihatinan sekutu-sekutu tradisionalnya seperti Australia, Jepang, dan Korea Selatan. Para sekutu tradisional ini melihat kerjasama militer AS-China dapat mengorbankan kepentingan strategis dengan mereka yang telah terbangun kokoh selama beberapa dekade.

Bagaimana sikap AS menghadapi tantangan atau dilema tersebut? Sejumlah kalangan di AS menyarankan Washington menempuh strategi “inclusive balancing”. Bagi AS, melibatkan Asia dalam isu-isu keamanan global bukan berarti harus memilih menjadi teman atau melawan China. Washington perlu melibatkan semua kekuatan regional secara bersamaan dalam kerangka multilateral yang pragmatis dan didasarkan pada kerjasama yang sederajat. Keberlanjutan kepemimpinan AS di Asia akan sangat tergantung pada sejauh mana negara itu berhasil mengkonversi ambisi-ambisi lokal (termasuk ambisi keamanan global China) menjadi sinergi. Pada saat yang sama AS juga dapat memelihara sistem “checks and balances” diantara kekuatan-kekuatan regional. Inilah yang dimaksud dengan strategi “inclusive balancing”.

AMBISI KEAMANAN GLOBAL CHINA

Sebagai negara kontinental yang luas, strategi keamanan tradisional China selama ini selalu diorientasikan untuk melindungi perbatasannya yang panjang dan tidak stabil. Taylor Fravel dalam artikelnya di The Washington Quaterly menyimpulkan bahwa keamanan nasional China pada intinya adalah: menjaga kedaulatan teritorial, reunifikasi dengan Taiwan, menjaga stabilitas domestik, dan mencegah infiltrasi oleh kekuatan-kekuatan besar ke wilayah periferal China (seperti Tibet, Xinjiang, dan Mongolia Dalam). Sebagai negara sedang berkembang, China sebenarnya menyadari bahwa untuk menghadapi fragmentasi sosial dan politik di dalam negeri masih merupakan perjuangan berat. Sebab itu China masih akan membatasi biaya proyeksi kekuatan militernya sepanjang masih mampu menunjang perkembangan ekonominya di pasar global. China juga menyadari bahwa masih perlu waktu lama untuk mengembangkan kapasitas militernya agar dapat terlibat secara aktif dalam operasi-operasi militer di tingkat global.2

2 Taylor Fravel, “China’s Search for Military Power,” The washington Quarterly, Vol. 31 No.3 (Summer 2008), hal. 125-141.

Page 76: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016154

Namun persistensi China pada strategi yang konservatif tidak akan mampu mencegah negara itu memusatkan perhatian pada ancaman-ancaman keamanan baru yang muncul sebagai sebuah konsekuensi dari perkembangan kehadirannya di level global. Sebagai contoh, kini China terus berubah menjadi negara dagang dengan ambisi global, dengan sendirinya kepentingan keamanannya pun menjadi global juga. Presiden Hu Jintao sendiri dalam pertemuan Komite Sentral tahun 2007 menegaskan bahwa China harus terus meningkatkan partisipasi dalam globalisasi ekonomi namun pada saat yang sama harus mampu melindungi keamanan ekonomi nasional. Hu Jintao menyatakan bahwa China perlu membangun sistem keamanan nasional yang efektif, sistem peringatan dini dan crisis response serta kapasitas untuk melindungi kepentingan dan keselamatan warga negara China di luar negeri.3 Ini semua merupakan sinyal yang tegas bahwa China telah tiba pada tahap penting dari proyek kekuatan militernya dan mulai membangun jalan untuk secara bertahap menggunakan kekuatan militer dalam kebijakan luar negerinya.

China tampaknya semakin menyadari implikasi keamanan dari pertumbuhan ekonominya di pasar global. Kerentanan jalur maritim menuju Afrika dan Timur Tengah telah menggugah para elit militer dan politik China di semua level. Selain itu masalah lain yang juga menjadi keprihatinan China adalah begitu seringnya pekerja-pekerja migran China di luar negeri menjadi korban kekerasan. Di negara-negara sedang berkembang, imigran China dituduh mengambil lapangan kerja penduduk pribumi dan ini menjadi target politik kelompok-kelompok oposisi. Di negara-negara miskin dan tidak stabil seperti Afghanistan, Ethiopia, Kenya, Myanmar, Nigeria, Pakistan, dan Sudan fasilitas orang China sering menjadi sasaran perampokan. Juga di Indonesia, insiden anti-China dalam skala besar yang terjadi pada akhir dekade 1990-an dimana banyak orang Tionghoa tewas dan properti mereka dijarah atau dibakar massa. Beijing berkepentingan semua itu tidak lagi terulang, dalam arti pemerintah China harus punya kemampuan untuk mencegahnya agar tidak terjadi lagi di masa depan.

Dalam lima tahun terakhir, berbagai insiden yang menggabungkan kejahatan terorganisasi dengan motif-motif politik anti-China (sinophobia), terus meningkat di berbagai negara berkembang dimana kepentingan ekonomi China banyak dipertaruhkan. Meskipun Beijing telah aktif memlihara kemitraan politik dengan berbagai negara di dunia, tetapi tidak selalu mampu mengubah persepsi dan sikap publik global terhadap China.

3 “Hu Jintao Tiangdiao “Zouchuqu” Zhichi Zhongqi Kuaguo Jingying” (Hu Jintao Menekankan Perlunya Mendukung Perusahaan-Perusahaan Berekspansi Keluar), China Review, September 30, 2007.

Page 77: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 155

Jika terjadi kerusuhan di negara lain yang mengancam keamanan asset ekonomi dan warga negara China, respon Beijing selama ini terlalu bersifat tradisional. Contohnya dengan menarik pulang atau mengevakuasi warga negaranya atau memohon perlindungan kepada pemerintah lokal dari negara tempat terjadinya kerusuhan itu. Tetapi, menurut seorang pejabat Kemlu China, Beijing tidak bisa selamanya menempuh kebijakan “melarikan diri” seperti itu. Beijing juga tidak bisa mengambil pilihan untuk menyewa penduduk lokal untuk mengelola asset dan kepentingan ekonomi China untuk menggantikan orang-orang China. Menurutnya, daripada mengevakuasi warga negara (pekerja) China atau mempekerjakan penduduk lokal, akan lebih baik apabila China mengembangkan kemampuan untuk melindungi keselamatan warga negara dan kepentingan ekonominya di luar negeri.

Seorang ilmuwan di Renmin University, Jin Canrong, menyodorkan konsep “diplomasi untuk rakyat” (Waijiao Wei Renmin) sebagai tahap awal dari suatu proses bertahap untuk melindungi kepentingan warga negara dan ekonomi China di luar negeri. Menurut Jin Canrong, pada akhirnya Beijing harus mengembangkan kekuatan nasionalnya, termasuk kekuatan militer, untuk melindungi kepentingan nasional China yang semakin mengglobal.4

Pemerintah dan rakyat China semakin menyadari bahwa era “free-ride” dalam melindungi kepentingan nasional telah berakhir. Kini China harus berinvestasi lebih banyak untuk menjaga kepentingan nasionalnya yang bersifat global. Perdebatan bagaimana melindungi kepentingan China di luar negeri dengan sarana militer, kini mulai dilakukan di semua level pemerintah dan masyarakat China. Ma Xiaojun dari IISS (Sekolah Partai Pusat) menegaskan bahwa adalah tanggung jawab negara untuk melindungi warga negaranya. China sekarang dihadapkan dengan dilema antara menjaga prinsip non-intervensi dan melindungi kepentingan ekonomi.5

Para ahli dan pejabat di China menengarai sedikitnya empat argumen utama untuk mendukung kebijakan keamanan China yang lebih proaktif. Pertama, persaingan ekonomi dengan negara-negara maju telah memaksa China untuk mencari peluang investasi di belahan dunia yang tak stabil. Kedua, mengingat statusnya sebagai negara besar (great power), China tidak bisa lagi mempertahankan maksim diplomasi tradisional yang bersifat low profile. Ketiga, Beijing mengakui bahwa mengeluarkan biaya untuk organisasi-organisasi regional atau kekuatan-kekuatan lain bukan merupakan pilihan

4 Fen Shao, “Waijiao Wei Renmin” (Diplomacy for the People), CASS Journall, August 12, 2004; Li Junqing, “Shishi Baodao Xin Shiye” (Diplomacy for the People), Hubei Daily, August 23, 2006.

5 Qing Li, “From State Diplomacy to People’s Diplomacy”, Sohu News, July 11, 2007.

Page 78: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016156

yang baik. Sejumlah petinggi militer China mengatakan, mengandalkan keamanan kepada negara-negara lain yang masing-masing punya kepentingan strategis adalah bukan pilihan yang bertanggung jawab. Keempat, China tidak seharusnya bergantung pada AS atau kekuatan regional lain untuk urusan keamanan.6

Oleh sebab itu China merasa perlu untuk memodifikasi postur militernya untuk menghada-pi tantangan-tantangan keamanan di luar negeri. Dalam sebuah laporan yang dibuat Pusat Penelitian Dewan Negara tahun 2007, para peneliti senior mengkategorikan ancaman-ancaman non-tradisional sebagai sebuah tantangan ekonomi strategis dan memasukkannya sebagai langkah-langkah baru dalam strategi keamanan nasional, berdasarkan posisi China sebagai kekuatan dunia yang berpengaruh (influential world power). Setelah peristiwa serangan yang mematikan terhadap fasilitas perminyakan China di Ethiopia pada bulan April 2007, China Daily menegaskan bahwa China perlu mempertimbangkan saluran-saluran baru untuk melindungi kepentingannya di luar negeri. China harus mendobrak pemikiran diplomatik tradisional. Prinsip-prinsip seperti “koeksistensi damai”, “kerjasama saling menguntungkan”, atau prinsip “pengendalian diri” ternyata tidak cukup memadai untuk melindungi kepentingan pertumbuhan ekonomi China di luar negeri. Sebab itu China harus mengembangkan kapabilitasnya lebih cepat lagi. Namun China juga harus menunjukkan bahwa meskipun menjadi kuat China tidak mengancam negara lain, melainkan justru dapat memberikan kontribusi bagi dunia yang lebih stabil.

Kesadaran baru seperti diuraikan di atas telah memiliki dampak pada angkatan bersenjata China. Sejak tahun 2004, kepemimpinan politik di China telah menginstruksikan militer untuk mempersiapkan diri melindungi pertumbuhan saham China di luar negeri. Dalam pidatonya di depan Komisi Militer Pusat pada 24 Desember 2004, Presiden Hu Jintao menyoroti perlindungan terhadap “kepentingan nasional China yang terus berkembang” sebagai sebuah misi bersejarah. Plenum Komite Sentral Desember 2006 juga telah memutuskan bahwa China harus mengintegrasikan seluruh sarana: politik, ekonomi, intelijen, dan militer untuk merespon ancaman-acaman keamanan terhadap kepentingan China di luar negeri.7 Keputusan ini merupakan respons atas dua rencana penting militer China (PLA), yaitu penggelaran operasi jarak-jauh yang terintegrasi dan akselerasi dalam pengembangan blue-water navy.

6 Lin Liu, “The Use of Non-war Military Strength”, Liberation Army Daily, January 24, 2007.7 “How to Deal Effectively With Traditional and Non-traditional Threats”, Xinhua, December 13, 2006.

Page 79: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 157

KEMAMPUAN OPERASIONAL JARAK JAUH

Buku Putih Pertahanan Nasional China 2006 mengemukakan bahwa: “Tentara diharapkan bergerak dari postur pertahanan regional menuju mobilitas trans-regional, dan meningkatkan kemampuan dalam operasi udara-darat yang terintegrasi, manuver-manuver jarak jauh, serangan-serangan cepat dan operasi-operasi khusus”. Dua tahun kemudian, Presiden Hu Jintao menegaskan bahwa tentara harus meningkatkan kemampuan untuk menangani banyak ancaman tradisional dan non-traditional dan, antara lain, “mempersiapkan perang untuk non-operasi militer”. Pada konferensi tentang operasi militer di Beijing pada tahun 2007, sangat jelas bahwa operasi militer non-tradisional lebih menonjol dalam pemikiran keamanan China.

Setidaknya misi operasi militer non-tradisional tersebut dapat dibedakan dalam empat jenis: operasi bantuan bencana, tindakan penegakan hukum, operasi penjaga perdamaian, dan operasi militer. Dalam rangka memfasilitasi misi seperti itu, Beijing telah menyetujui rencana ambisius untuk meningkatkan platform strategi singkat. Menurut Wang Hong, seorang analis militer China, “mobilitas dan fleksibilitas” adalah kunci untuk mengatasi tantangan-tantangan baru tersebut. Dia menulis: “Suatu kebijakan harus dilaksanakan untuk menggabungkan pengembangan domestik dan akuisisi pesawat militer yang besar, helikopter transportasi dan kapal pendarat besar untuk meningkatkan tiga demensional mobilitas militer China”.8

Konsekuensinya, militer China kini tengah mempersiapkan peralatan untuk proyeksi kekuatan jangka panjang. China saat ini masih menggunakan pesawat terbang sipil untuk mengangkut prajurit ketika berpartisipasi dalam operasi kemanusiaan, misi penjaga perdamaian, atau manuver skala besar. Kapasitas angkut pesawat udara China saat ini terbatas pada sekitar 150 orang. Beberapa pesawat tersebut diproduksi di dalam negeri, yakni tipe Y-8 pesawat turboprop dengan muatan maksimum 20 ton. Selain itu China memiliki 14 buah tipe II-76 pesawat jet angkut buatan Rusia dengan kapasitas 45 ton, dan sejumlah pesawat yang lebih kecil dan lebih tua. Meskipun tawar-menawar masih berlangsung alot, Beijing berharap dapat membeli batch tambahan tipe 34 II-76 dan empat kapal tanker II-78 pengisi bahan bakar, yang secara substansial akan meningkatkan panjang rentang kapasitas angkut China. Pada saat yang sama, China berinvestasi besar-besaran dalam mengembangkan sendiri pesawat besar yang berdaya jelajah panjang. Industri Pesawat Terbang Shaanxi dan Antonov sedang merancang sebuah pesawat militer berat dengan muatan minimal 100 ton. Rencana lainnya adalah penyusunan cetak biru untuk sebuah pesawat penumpang jumbo. Kedua jenis proyek tersebut direncanakan akan selesai pada tahun 2020.

8 Wang Hong She, “Mobility is Key for Flexible Military Operations”, Liberation Army Daily, June 4, 2008.

Page 80: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016158

Selain pesawat angkut, China juga berusaha untuk menggelar pasukan melalui laut. Pada tahun 2007, China telah membangun dermaga pendaratan Jenis-071 platform. Ini adalah kapal pertama yang memiliki semua fitur untuk mengangkut unit batalion -ukuran kecil ke medan jarak jauh. Para ahli percaya kapal amfibi yang lebih panjang tengah dipertimbangkan dan sebuah penelitian telah disiapkan untuk pembangunan helikopter pengakut yang lebih besar dan sebuah kapal induk. Rencana ini harus dikaitkan dengan proyek-proyek baru yang belum lama ini diluncurkan untuk membangun sebuah generasi baru dari helikopter transportasi. Sebuah artikel dalam Military Science mengungkapkan bahwa pada tahun 2020, generasi baru dari helikopter transportasi menengah dan besar akan dioperasikan, selain dari helikopter serangan baru. Mobilitas jarak jauh China juga akan ditingkatkan dengan memperkenalkan beberapa jenis kendaraan lapis baja ringan, seperti kendaraanEQ-2058 multi-utilitas dan WZ-0001 8x8 kendaraan tempur lapis baja.9

Pemerintah China kini tengah mempertimbangkan skenario masa depan tentang penggelaran militer jarak jauh di daerah-daerah rawan konflik. Pada tahun 2007, enam pesawat tipe II-76 melakukan simulasi penggelaran kendaraan lapis baja, unit-unit tempur, insinyur, dan helikopter transportasi ke Siberia Barat, dengan menggunakan pengisian bahan bakar di udara. Pada tahun 2008, sebuah operasi diluncurkan yang mensimulasikan unit-unit tempur yang turun dari pesawat militer dan sipil seakan-akan dalam kondisi tempur. Pada tahun 2008, Dewan Militer Pusat meluncurkan Pelatihan Militer dan Program Pemeriksaan, bertujuan untuk mengembangkan teori-teori baru dan pedoman untuk meningkatkan operasi non-perang dengan “jarak mobilitas cepat” dan “kemampuan tempur bersama di lingkungan yang bermusuhan.”

Sebagai konsekuensi dari “diversifikasi operasi militer,” pasukan darat China juga akan melalui tahap reformasi dalam hal komando, peralatan, dan pelatihan. Inovasi terbaru dalam organisasi militer China adalah pengenalan batalion berukuran kelompok pertempuran. Kelompok ini menggabungkan cabang dari beberapa brigade yang sama, seperti infanteri, teknik, tentara penerbangan, dan pengintaian. Komando mereka didasarkan pada prinsip shupei, yang lebih memiliki otonomi dan fleksibilitas untuk unit yang lebih kecil. Manuver di tingkat grup pertempuran telah menjadi praktek standar di pusat pelatihan operasi penjaga perdamaian. Reorganisasi pasukan darat ke dalam unit yang lebih kecil dan lebih fleksibel, dikombinasikan dengan berbagai platform pelatihan dan pengembangan logistik yang lebih spesifik, akan memungkinkan TPR untuk menggelar pertempuran dengan intensitas rendah di luar negeri dalam 10 sampai 15 tahun.

9 Liasong Zhang and Zhou Jing, “Hu Jintao on the Elements of Building Military Logistic Capacity”, China Military Digest, January 24, 2006.

Page 81: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 159

Partisipasi angkatan laut China dalam operasi maritim internasional di sepanjang pantai Somalia untukpertama kalinya menampilkan sejumlah armada cepat yang telah dimodernisasi. Dua kapal perusak tipe 052-B dan 052-C menunjukkan propulsi, radar, komunikasi, dan sistem senjata yang canggih.Kapal perusak tipe 051-C Luzhou dapat melibatkan enam target udara secara bersamaan melampaui 80 km. Sebuah frigat sistem pertahanan udara tipe 054-S mampu melacak 40 target secara simultan pada jangkauan maksimum 120 km. Lalusejenis rudal jarak jauh subsonik YJ-62 yang mampu menargetkan kapal pada jarak 280 km dan memiliki sistem anti-jamming dan kendali yang melebihi kebanyakan anti-kapal rudal. China meluncurkan tipe baru kapal perang meski masih dalam jumlah kecil, yang memungkinkan untuk bereksperimen dengan teknologi baru, dan ini dimaksudkan untuk secara bertahap menggantikan sistem persenjataan dari Rusia.

Selain misi di Samudera Hindia, kehadiran angkatan laut China di luar lautan sekitarnya masih terbatas. Disamping itu partisipasi China dalam bantuan kemanusiaan dan operasi penjaga perdamaian, tidak pernah menggunakan kapasitas militer. Selama ini angkatan laut China masih berkonsentrasi di Selat Taiwan serta Laut Cina Selatan dan Timur. Paling jauh kehadiran angkatan laut China selama ini hanya untuk menegaskan klaimnya atas suatu kawasan itu. Atau peningkatan kehadiran angkatan laut China selama ini hanya untuk melindungi nelayan-nelayan China dan atau untuk mendukung kegiatan eksplorasi ke wilayah yang disengketakan. Namun China secara bertahap mulai melebarkan kehadiran angkatan lautnya ke arah timur. Dalam sebuah pernyataan resmi, Pasifik Timur ditafsirkan sebagai zona pengaruh maritim China. Kini juga mulai muncul tuntutan lebih kuat untuk kehadiran angkatan laut China secara berkelanjutan di Samudera Hindia. Salah satu pemikir strategis terkemuka di Universitas Pertahanan Nasional mengatakan: “Banyak negara mengembangkan kekuatan militer sepanjang Samudera Hindia, mengapa China tidak? Para ahli China dan pejabat menyatakan bahwa dalam lima tahun mendatang, angkatan laut China harus beroperasi di Selat Malaka dan Samudera Hindia, namun ini akan dilakukannya dalam konteks operasi multilateral, latihan bersama, dan kemitraan militer dengan negara-negara di Afrika dan Asia Selatan.

KEPENTINGAN BERSAMA AS-CHINA

Sebagai konsekuensi ekonomi Chinayang terus berkembang, kepentingan keamanan China pun turut berkembang, begitu juga kemauan politik untuk melindunginya. Sebab itu dapat dimengerti apabila Beijing secara bertahap terus

Page 82: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016160

meningkatkan kemampuan militernya untuk operasi-operasi jarak jauh. Dalam hal proyeksi kekuatan jarak jauh, peringkatChina saat ini berada diantara India dan Jepang, dan akan memakan waktu setidaknya sepuluh tahun sebelum mampu menjadi kekuatan laut terbesar di Asia. Sehingga dapat dipastikan kehadiran angkatan bersenjata Chinadi tingkat global hanya masalah waktu saja.

Bagi AS, fenomena tersebut sebenarnya bukan ancaman. Dari perspektif realis,petualangan militer China di bagian-bagian dunia manapun tidak dapat dihindari lagi. Jika pada dekade berikutnya, dominasi militer PLA di Selat Taiwan telah dapat diatasi, China masih tetap memiliki kelemahan secara relatif dalam operasi jarak jauh.Ini memberi AS sejumlah besar leverage baru, asalkan kehadiran China tidak di titik-titik dunia yang sangat strategis bagi AS. Meskipun militer China memiliki ambisi global, AS akan terus memiliki kekuatan yang cukup untuk mengendalikan sistem internasional.

Sebab itu para ahli di Washington berpikir, mengapa China dan AS tidak bekerja sama saja? Kedua kekuatan memiliki banyak kepentingan keamanan yang sama. Pembajakan maritim adalah contoh jelas. Selain itu kerjasama yang juga dapat dieksplorasi adalah kolaborasi dalam hal keamanan energi. Kedua negara juga punya keprihatinan bersama tentang kekerasan di daerah-daerah seperti Teluk Guinea dan Afrika Timur. AS juga harus serius mempertimbangkan nilai tambah bekerja sama dengan China dalam menstabilkan Afghanistan / Pakistan. Provinsi Badakhshan di Afghanistan dan Propinsi Perbatasan Barat Laut (NWFP) di Pakistan merupakan tempat berkembang biak bagi kelompok-kelompok teroris yang menargetkan tentara AS dan wilayah otonom Xinjiang China. Dari sini kedua pihak dapat bekerjasama.

Di banyak negara-negara gagal lainnya, China dan AS dapat berbagi beban dalam mentrasformasi milisi-milisi pemerintah yang tidak terorganisir menjadi tentara reguler. Sinergi kedua negara sekaligus juga akan sangat relevan sebagai ujian bagi China sebagai salah satu kekuatan yang turut bertanggung jawab untuk kerjasama dan perdamaian. Untuk meningkatkanperdamaian pada dasarnya membutuhkan sikap kooperatif. Pada saat yang sama, tawaran AS untuk bekerja dengan China dan menghormati kepentingan nasional yang berpijak pada prinsip kesederajadan. Ini akan membuat Beijing sulit untuk menolak kerjasama, sehingga juga sulit untuk menghadapi AS dengan dalih antihegemoni tradisional.

Diakui secara luas bahwa untuk alasan ekonomi, diplomatik, dan berbagai keamanan, perlunya kemitraan AS-China tak terelakkan lagi. Bahkan dalam dimensi militer kedua negara dapat membuat hubungan ini bahkan lebih kuat dan stabil.

Page 83: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 161

Semakin luas lingkup kerjasama, pilihan lebih untuk trade-off antara berbagai sektor koperasi. Kemunduran dalam satu sektor dapat dikurangi dengan terus bergerak maju dalam sektor lain.

INCLUSIVE BALANCING STRATEGY

AS sebenarnya telah mengakui bahwa kerjasama adalah solusi terbaik dalam menyikapi evolusi militer China akhir-akhir ini. Pada Desember 2008, Komandan Pasifik AS (PACOM) Jenderal Timothy Keating menyatakan harapannya “bekerja sama” dengan Angkatan Laut China dalam operasi-operasi anti pembajakan dan perompakan di Teluk Aden dan menawarkan untuk tukar menukar intelijen. Sebelum itu, PACOM mengundang TPR untuk mengeksplorasi sebuah respons yang terkoordinasi dalam menghadapi bencana kemanusiaan di Asia di masa-masa mendatang. Untuk kali pertama, pengamat militer China mau menghadiri latihan Cobra Gold di Thailand yang dilakukan AS. Dengan mengundang China, Amerika Serikat mengukuhkan tujuan yang sebelumnya diumumkan untuk mendorong China “untuk memainkan peran konstruktif dan damai” serta “sebagai mitra dalam menghadapi tantangan keamanan bersama”.10

Namun Beijing masih kurang bersemangat untuk menerima ajakan-ajakan AS tersebut. Kendati China pernah mengirimkan jenderal senior untuk pertama kalinya dalam Dialog Strategis AS-China Januari 2008, dan sepakat untuk meningkatkan pertukaran di berbagai bidang tingkatan, interaksi itu kembali mengalami setback segera setelah Pentagon mengumumkan kesepakatan baru penjualan senjata dengan Taiwan pada Oktober 2008. Sebuah undangan oleh Deputi Asisten Sekretaris Pertahanan untuk Asia Timur Daud Sidney pada bulan Desember 2008 gagal untuk segera membawa jenderal militer China ke meja perundingan. Interaksi antara kedua angkatan laut yang diharapkan di Afrika Timur juga berakhir dengan kekecewaan bagi Pentagon.

China lagi-lagi menyalahkan ambivalensi Washington. Menurut seorang ahli dari Universitas Pertahanan China, Amerika satu tangannya ingin menjangkau China, sementara satu tangannya lagi merangkul Taiwan. Bahkan suara yang paling moderat dalam komunitas keamanan China sekalipun mengutuk paket bantuan militer AS sebesar $6,5 miliar yang terakhir diberikan kepada Taiwan. Sikap militer China sangat

10 Departemen of Defence, “Quadrennial Defence Review Report”, February 6, 2006, 29, dalam http://www.defenselink.mil.qdr/report/Report20060203.pdf.

Page 84: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016162

jelas, mereka tidak akan bersedia bekerjasama dengan AS sepanjang AS masih mem-back up Angkatan BersenjataTaiwan. Selama ini dilema keamanan menyangkut isu Taiwan masih berlanjut. Washington tampaknya akan sulit dapat mengharapkan Beijing akan mengubah strategi militer globalnya menjadi lebih kooperatif selama security dilemma itu masih berlangsung.

Untuk mengurangi dilema keamanan tersebut,tidak ada pilihan lain AS perlu untuk menahan diri dalam memberikan dukungan militer kepada Taiwan. AS sebenarnya mampu untuk melakukannya karena AS sejatinya tidak memerlukan Taiwan sebagai penyeimbang di bidang militer. Seperti dikemukakan sebelumnya, jika AS dapat melakukan hal itu, AS sebenarnya telah turut berkontribusi untuk mencegah kebangkitan militer China berubah menjadi misi-misi agresif. Ini tidak berarti bahwa Taiwan harus dikorbankan demi membujuk Beijing. Ini hanya suatu cara atau strategi yang efektif untuk mengarahkan evolusi militer China ke dalam koridor perdamaian. Untuk menghadapi China, AS memang harus menjalankan strategi yang cerdas dan hati-hati.

Untuk mengurangi dilema keamanan tersebut,tidak ada pilihan lain AS perlu untuk menahan diri dalam memberikan dukungan militer kepada Taiwan. AS sebenarnya mampu untuk melakukannya karena AS sejatinya tidak memerlukan Taiwan sebagai penyeimbang di bidang militer. Seperti dikemukakan sebelumnya, jika AS dapat melakukan hal itu, AS sebenarnya telah turut berkontribusi untuk mencegah kebangkitan militer China berubah menjadi misi-misi agresif. Ini tidak berarti bahwa Taiwan harus dikorbankan demi membujuk Beijing. Ini hanya suatu cara atau strategi yang efektif untuk mengarahkan evolusi militer China ke dalam koridor perdamaian. Untuk menghadapi China, AS memang harus menjalankan strategi yang cerdas dan hati-hati.

Pada saat yang sama, Washington perlu memperhatikan kekhawatiran negara-negara seperti Australia, India, Jepang, dan Korea Selatan. Ketidakpercayaan terhadap modernisasi militer China sangat besar, dan negara-negara tersebut akan melihat kerjasama AS-Chinadapat mengorbankan kepentingan strategis mereka. Sebagai contoh, militer India telah bereaksi negatif terhadap dukungan Washington bagi kehadiran angkatan laut China di Samudera Hindia. Jepang juga mengkhawatirkan bahwa mengizinkan militer China untuk memperluas pengaruh di Pasifik Barat dapat mengancam koridor maritim Jepang dan mungkin dapat membuat Beijing lebih berani untuk mengerahkan tekanan militer dalam sengketa Laut China Timur. Bahkan Moskow telah memprioritaskan untuk merevitalisasi kehadiran militernya di Timur Jauh.

Page 85: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 163

Washington perlu melibatkan kekuatan-kekuatan regional secara bersama-sama dalam mengatasi dilema keamanan di Asia-Pasifik. Strategi lama dengan menggunakan Taiwan sebagai benteng terdepan atau mengembangkan aliansi baru untuk membendungChina, bukan lagi pilihan yang efektif. Strategi “inclusive balancing” adalah yang paling realistis, yakni AS harus bekerjasama dengan semua pemain utama dalam sistem Asia. Ini adalah strategi paling efektif untuk menghadapi adventurisme militer di Asia. Dengan sistem politik yang berbeda-beda, strategi “inclusive balancing” berusaha untuk memberikan kesempatan kepada setiap pemain untuk mengembangkan diri, melawan revisionisme militer, menghadapi ancaman non-tradisional, dan melindungi sistem perdagangan terbuka. Hanya dengan strategi semacam ini Washington dapat mendorong kerjasama militer yang benar-benar strategis dengan China. Strategi itu juga dapat menghindari biaya tinggi seperti dalam sistem containment dan konfrontasi tradisional. Strategi itu juga dapat digunakan untuk meyakinkan sekutu-sekutu tradisional AS (seperti Australia, Korea Selatan, dan Jepang) bahwa mereka tidak akan dikorbankan.

KESIMPULAN

Kepentingan ekonomi global China yang terus tumbuh telah memaksa negara itu untuk memperluas cakrawala kebijakan keamanan dan strategi militer. Lambat tapi pasti, PLA sedang mempersiapkan diri untuk secara terintegrasi mampu menjalankan operasi-operasi militer jarak jauhdan memiliki blue-water patrolling di berbagai Samudera seperti yang dimiliki AS sekarang ini. Sebagai super power tunggal pasca Perang Dingin, AS dituntut untuk dapat mengantisipasi ambisi-ambisi keamanan global China.

Menyadari begitu banyaknya kepentingan bersama AS-China, Washington telah menganggap Beijing lebih sebagai mitra daripada pesaing, dan pilihan-pilihan untuk kerjasama perlu terus dieksplorasi. Namun, sebuah kemitraan militer strategis mustahil terlaksana jika AS tidak dapat mengatasi dilema keamanan yang ada antara AS dan China menyangkut Taiwan dan mengenai kekuatan-kekuatan lain di Asia. Washington harus mengatasi dilema ini dengan strategi keseimbangan inklusif. Sementara untuk mempertahan kanstabilitas kawasan diperlukan sistem “checks and balances”. Pendekatan ini akan mewajibkan China untuk memperlihatkan niat sebenarnya dan mencegah China bersembunyi di balik “kompleks pembendungan”.

Page 86: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016164

KEPUSTAKAAN

Bramall, Chris, Chinese Economic Development. (New York: Routledge, 2009).

Carpenter, Ted G. and James A. Dorn, Chinas’s Future: Constructive Partner or Emerging Threat? (Washington: Cato Institute, 2000).

Cohen, Warren I., America’s Response to China: A History of Sino-American Relations (New York: Colombia University Press, 2010).

Cooney, Kevin J. and Yoichiro Sato, The Rise of China and International Security: America and Asia Respond (New York: Routledge, 2009).

Fisher, Richard D., China’s Military Modernization: Building for Regional and Global Reach (USA: Greenwood Publishing Group, 2010).

Foot, Rosemary and Andrew Walter, China, The United States, and Global Order. (Cambridge: Cambridge University Press, 2011).

Fravel, Taylor, “China’s Search for Military Power”, dalam Washington Quarterly Vol. 31 No. 3 (2008), hal. 125-141.

Green, Michael J. 2009. Asia’s New Multilateralism: Cooperation, Competition, and The Search for Community (New York: Colombia University Press, 2009).

Gurtov, Melvin and Byong-Moo Hwang, China’s Security: The New Roles of the Military (Colorado: Lynne Rienner Publishers, Inc, 1998).

Guo Gujian, China’s “Peaceful Rise” in the XII Century: Domestic and International Condition. (Wiltshire, England: Antony Row, Ltd., 2006).

Hills, Carla A. and Dennis C. Blair, US-China Relations: An Affirmative Agenda, A Responsible Course (USA: Council of Foreign Relations, 2007).

Holslag, Jonathan, . “Embracing Chinese Global Security Ambitions”, dalam Washington Quarterly, Vol. 31. No. 4 (2009).

Johnston, Alstair I. and Robert S. Rose, Engaging China: The Management of an Emerging Power (New York: Routledge, 2005).

Kai He, Institutional Balancing in the Asia Pasific: Economic Interdependence and China’s Rise (New York: Routledge, 2009).

Page 87: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 165

Kai He, “Institutional Balancing and International Relations Theory: Economic Interdependence and Balance of Power Strategies in Southeast Asia”, dalam European Journal of International Relations, http://www.ejt.sagepub.com/content/ 14/3/489 [Diakses 1 April 2016].

Miles, Donna. “Gates Pushes for Stronger International Interagency Relationships”, American Forces Press Service, Oct 16, 2008.

Seedhouse, Erik, The New Space Race: China Vs. The United States (Chichester, UK: Praxis Publishing, Ltd, 2010).

Shambaugh, David L., Modernizing China’s Military: Progress, Problem, and Prospect (Berkeley: University of California Press, 2004).

Sim, K.S., China in Transition (New York: Nova Science Publishers, Inc., 2003).

Sutter, Robert G. 2012. Chinese Foreign Relations: Power and Policy Since the Cold War. (UK: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2012).

Story, William F. (et al.), China: Blue Water Navy? (USA: National War College, 1984).

Timperlake, Edward and William Triplett II, Red Dragon Rising: China’s Military Threat to America (Washington: Regnery Publishing, Inc., 1999).

Tow, William T., Asia-Pacific Strategies Relations: Seeking Convergent Security. (Cambridge: Cambridge University Press, 2001).

US – China Economic and Security Review Commission (ed.). 2008. “Report on the US – China Economic and Security Review Commission 2008, dalam http://www.uscc.gov [Diakses 2 April 2016].

Wang Gungwu and Cheng Yongnian, China and the New International Order (New York: Routledge, 2008).

Page 88: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016166

PEDOMAN PENULISAN ARTIKEL

1. Artikel yang dimuat di jurnal ini harus memiliki relevansi dengan studi Hubungan Internasional, dapat berupa hasil penelitian, tinjauan teori atau metodologi, anali-sis kasus, maupun resensi buku.

2. Redaksi memberi prioritas pada artikel-artikel yang menonjolkan pemikiran-pe-mikiran alternatif dalam studi Hubungan Internasional atau analisis atas isu-isu global kontemporer yang terjadi pasca periode Perang Dingin.

3. Artikel dapat ditulis dalam Bahasa Indonesia maupun Bahasa Inggris dengan tata bahasa yang benar.

4. Artikel harus orisinil (karya asli penulis) dan belum pernah dimuat dalam jurnal ilmiah atau penerbitan lain.

5. Artikel ditulis dengan panjang minimal 4000 kata, tidak termasuk abstrak dan kepustakaan. Khusus untuk resensi buku minimal 1000 kata.

6. Sistematika artikel terdiri dari: judul, nama penulis, institusi penulis, alamat email, abstract (dalam Bahasa Inggris), abstrak dalam Bahasa Indonesia, pendahuluan, kerangka teori dan metode penelitian (jika artikel hasil penelitian), hasil dan pem-bahasan, kesimpulan, dan kepustakaan.

7. Judul harus spesifik dan menggunakan kalimat efektif dengan panjang maksimal 14 kata

8. Abstrak/abstract terdiri dari 100-150 kata yang ditulis dalam satu paragraf, dilan-jutkan dengan kata-kata kunci (keywords), dan terdiri dari Bahasa Indonesia dan Inggris.

9. Setiap kutipan harus disertai dengan acuan berupa catatan kaki (footnote) dengan menggunakan model CMS (Chicago Manual Style). Contoh:1 Joyce P. Kaufman, Introduction to International Relations: Theory and Practice

(Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2013), hal. 10. (UNTUK BUKU)

2 J. David Singer, “The Level-of-Analysis Problem in International Relations”, dalam World Politics, Vol. 14 No. 1 (1961), hal. 77-92 (UNTUK JURNAL)

3 Daniel Tolliday, “A Definition of Global Communication”, dalam http://www.ehow.com/facts_7601794-definition-global-communication.html [Diakses 29 Desember 2016]. (UNTUK SUMBER DARI WEBSITE)

Page 89: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016 167

10. Untuk penulisan kepustakaan atau bibliograf juga mengikuti model CMS, dengan didahului nama belakang penulis dan disusun menurut urutan abjad. Contoh:- Kaufman, Joyce P., Introduction to International Relations: Theory and Practice

(Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, Inc., 2013), hal. 10. (UNTUK BUKU)

- Singer, J. David, “The Level-of-Analysis Problem in International Relations”, dalam World Politics, Vol. 14 No. 1 (1961), hal. 77-92 (UNTUK JURNAL)

- Tolliday, Daniel, “A Definition of Global Communication”, dalam http://www.ehow.com/facts7601794-definition-global-communication.html [Diakses 29 Desember 2016]. (UNTUK SUMBER DARI WEBSITE)

11. Penulis harus menyertakan CV singkat, meliputi nama lengkap (dengan gelar kes-arjanaan), tempat tanggal lahir, riwayat pendidikan (S1 sampai S3), pekerjaan, dan data lain yang dianggap perlu.

12. Artikel yang dikirim harus sesuai dengan pedoman penulisan artikel ini. Artikel yang tidak mengikuti ketentuan penulisan ini tidak akan diprioritaskan dalam pemuatan.

13. Redaksi berhak mengedit setiap artikel yang dimuat tanpa bermaksud mengubah substansi atau pokok pikiran penulis.

14. Setiap penulis yang artikelnya dimuat di jurnal ini berhak mendapatkan dua ek-semplar nomor bukti yang akan dikirim via pos.

15. Artikel yang dikirim ke Jurnal Alternatif harap dialamatkan ke [email protected] atau [email protected]

Page 90: Jurnal alternatif vol 6-2

ALTERNATIF VOL 06 (2) 2016168