1
MAKALAH UTS PIP
“Sekolah Negeri Biasa Terbukti Kalahkan Sekolah
Berlabel Internasional”
Disusun oleh :
Yeni Rudianty ( B Reguler/ 8105112246 )
UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA
2011
2
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI………………………………………………………………………….2
BAB I………………………………………………………………………………….
A. Latar Belakang………………………………………………………………….…3B. Masalah Pendidikan……………………………………………………………….5C. Identifikasi Masalah………………………………………………………………6D. Pembatasan Masalah………………………………………………………………7E. Perumusan Masalah………………………………………………...……………..7
BAB II………………………………………………………………………...............
A. Filsafat Pendidikan……………………………………………………………..…8B. Definisi Pendidikan………………………………………………………….……9C. Sifat Pendidikan……………………………………………………………....…10D. Situasi Pendidikan………………………………………………………….……11E. Hakekat Manusia……………………………………………………………..….12F. Landasan Pendidikan………………………………………………………….…13G. Komponen-Komponen dalam Pendidikan……………………………………….14
BAB III……………………………………………………………………………….
A. Konstruksi Ideal………………………………………………………………….17B. Deskripsi Masalah…………………………………………………………….…18C. Hasil Analisis Masalah…………………………………………………………..19D. Solusi Permasalahn………………………………………………………………21
BAB IV………………………………………………………………………………
A. Kesimpulan………………………………………………………………………25B. Saran……………………………………………………………………………..25
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………27
LAMPIRAN…………………………………………………………..……………28
3
BAB I
A. Latar Belakang
Pendidikan sejatinya bukan hanya sekedar proses transfer pengetahuan
(Transfer of Knowledge) belaka, atau semata mengembangkan aspek intelektual,
tapi juga merupakan proses transformasi nilai dan pembentukan karakter atau
kepribadian dengan segala aspeknya. Juga dalam bahasa lain, pendidikan adalah
membangun budaya, membangun peradaban, bahkan membangun masa depan.
Rasanya kita sepakat bahwa, untuk membangun bangsa yang maju mutlak
diperlukan pendidikan yang berkualitas. Belajar dari pengalaman negara-negara
maju seperti Jepang, Singapura, dan Malaysia, aspek yang paling utama mereka
bangun ialah pendidikan terlebih dahulu. Harus kita akui bahwa, pelaksanaan
pendidikan Nasional dari awal perkembangannya hingga sekarang sedikit banyak
telah memperlihatkan kemajuannya. Meski demikian, kemajuan yang kita capai
tersebut boleh dibilang belum optimal, apalagi jika dibandingkan dengan
pendidikan bangsa-bangsa lain pada umumnya. Hal ini ditandai dengan belum
optimalnya berbagai indikator pendidikan, baik yang bersifat makro maupun
mikro.
Maka tidak berlebihan jika kita memposisikan pendidikan pada garis terdepan
pembangunan suatu bangsa. Dengan kata lain, pendidikan merupakan bagian
penting dari proses pembangunan nasional yang ikut menentukan pertumbuhan
ekonomi suatu negara. Terlebih dengan adanya tuntutan mengenai relevansi dan
mutu dari pendidikan semakin marak diperbincangkan. Menjamurnya kemiskinan
dan susahnya mendapatkan pekerjaan mengindikasikan bahwa masih lemahnya
mutu pendidikan Nasional. Oleh karenanya, pengembangan sumber daya manusia
dan peningkatan kecakapan harus diyakini sebagai faktor pendukung upaya
manusia untuk tetap survive dalam menjalani kehidupan. Dalam kerangka inilah,
pendidikan diperlukan dan dipandang sebagai kebutuhan dasar bagi masyarakat
4
yang ingin maju, demikian halnya bagi masyarakat Indonesia yang memiliki
wilayah yang amat luas.
Untuk bersaing ditingkat global mutlak diperlukan Sumber Daya Manusia
(SDM) yang unggul dan kompetitif. Sekolah sebagai salah satu lembaga
pendidikan formal menjadi tempat yang strategis dalam mencapai tujuan
pembangunan manusia. Dan dengan adanya tuntutan Undang-Undang untuk
membangun SDM yang punya daya saing lokal maupun global maka,
pengembangan sekolah yang bertaraf Internasional menjadi bagian terpenting
dalam agenda pemerintah demi mewujudkan pendidikan yang berkualitas.
Pemerintah melalui Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan
Menengah telah menetapkan tiga rencana strategis (RENSTRA) dalam jangka
menengah, yaitu : 1) Peningkatan akses dan pemerataan dalam rangka penuntasan
wajib belajar pendidikan dasar, 2) peningkatan mutu, efesiensi, relevansi, dan
peningkatan daya saing, dan 3) peningkatan manajemen, akuntabilitas, dan
pencitraan publik. Berangkat dari tuntutan globalisasi dan tujuan pemerintah yang
dirumuskan dalam Rencana Strategis Jangka Menengah maka, peningkatan mutu
pendidikan tidak hanya di implementasikan dalam konteks lokal, tapi juga dapat
bersaing pada tingkat Internasional. Atas dasar inilah, dalam Undang-Undang
Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 pasal 50 ayat 2 dan 3
mengamanatkan kepada masing-masing satuan pendidikan tingkat kota/kabupaten
mengembangkan sekolah bertaraf internasional.
Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) adalah sekolah yang telah memenuhi
Standar Nasional Pelayanan (SNP) pada tiap aspeknya, meliputi kompetensi
lulusan, isi, proses, pendidik dan tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pembiayaan, pengelolaan, penilaian dan telah menyelenggarakan serta
menghasilkan lulusan dengan ciri keinternasionalan.
Namun, di sini ternyata pemerintah terlalu terfokus dalam pembentukan
Sekolah bertaraf Internasional demi mewujudkan Sumber Daya Manusia yang
unggul dan kompetitif. Bahkan pemerintah cenderung mendiskriminasikan
5
sekolah-sekolah bertaraf nasional yang sebenarnya lebih membutuhkan perhatian
dari pemerintah.
Pemerintah semakin tak peduli dengan Sekolah Nasional. Sekolah standar
nasional tak benar-benar terpikirkan matang oleh pemerintah. Setidaknya, dari
segi anggaran yang dialokasikan pemerintah, untuk sekolah nasional kalah jauh
dari Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) maupun Sekolah Bertaraf
Internasional (SBI).
Fakta tersebut diuraikan Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk
Transparansi Anggaran (FITRA). Tahun 2012, alokasi anggaran untuk RSBI
maupun SBI Rp 242 miliar. Sementara anggaran untuk sekolah standar nasional
(SSN) hanya Rp 108 miliar.
FITRA mengakui ada penurunan alokasi anggaran tahun 2012. Alokasi RSBI
atau SBI turun Rp 47.612.929.000 dibanding alokasi anggaran 2011, Rp 289
miliar. Sedang alokasi anggaran SSN turun Rp 142.403.825.000 dibanding
alokasi anggaran 2011 Rp 108 miliar. Penurunan alokasi anggaran sekolah
standar nasional ini sangat dratis sekali, dibandingkan dengan alokasi anggaran
untuk sekolah standar internasional.
B. Masalah Pendidikan
Ketika kita berbicara tentang pendidikan, di dalamnya tidak terlepas dari
peran dan tanggung jawab pemerintah terhadap peningkatan kualitas pendidikan.
Peranan pemerintah melalui kebijakan-kebijakan yang dilakukan tidak sering
menimbulkan kontroversi di kalangan dunia pendidikan.
Sampai saat ini, pemerintah telah melakukan berbagai cara untuk memajukan
pendidikan Indonesia, baik dengan meningkatkan kualitas guru, mengubah sistem
pendidikan menjadi lebih efektif, sampai dengan membuat anggaran khusus untuk
meningkatkan kualitas sekolah.
6
Namun, dalam perjalanannya kebijakan-kebijakan tersebut menimbulkan
masalah baru antara Sekolah Bertaraf Nasional dengan Sekolah Bertaraf
Internasional akibat pembuatan anggaran pendidikan yang kurang obyektif.
Dalam kasus ini, pemerintah cenderung lebih mengistimewakan Sekolah Negeri
Bertaraf Internasioanl dari pada Sekolah Negeri Bertaraf Nasional. Padahal fakta
yang terjadi di lapangan tidak semua Sekolah Negeri Bertaraf Nasional memiliki
kualitas di bawah Sekolah Negeri Bertaraf Internasional.
Menurut data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), untuk kasus di Jakarta
pada tahun 2010, SMA 77 DKI Jakarta yang notabene bukan bertaraf
internasional mampu menduduki ranking I dalam Ujian Nasional (UN) 2010.
Prestasi tersebut jauh melampaui sekolah yang menambahkan label 'bertaraf
internasional' yaitu SMA 3, SMA 8, SMA 13, SMA 28, SMA 68, SMA 70, SMA
78, SMA 81, SMA Labschool Rawamangun, dan SMA Al Azhar. Sementara pada
kompetisi UN 2011, peringkat I diperoleh SMA bukan berstandar internasional
yaitu SMA 99 Jakarta.
C. Identifikasi Masalah
Kasus yang terjadi antara Sekolah Negeri Bertaraf Internasional dengan
Sekolah Negeri Bertaraf Nasional akibat pembuatan anggaran pendidikan yang
dirasa kurang adil menimbulkan masalah-masalah baru. Antara lain adalah :
1. Muncul kesenjangan sosial
2. Muncul rasa ketidakpercayaan terhadap pemerintah
3. Muncul sikap pembangkangan sebagai perwujudan dari kekesalan pihak
sekolah yang dianak tirikan
7
D. Pembatasan Masalah
Dalam makalah ini, saya akan membahas lebih dalam mengenai adanya
kesenjangan sosial akibat dari pemberian bantuan operasional yang kurang adil
karena hanya memandang dari status atau label sebuah sekolah tanpa
mempertimbangkan prestasi yang telah dicapai.
E. Perumusan Masalah
Kesenjangan social merupakan keadaan atau situasi dimana tidak terjadi
keselarasan antara factor yang satu dengan yang lain. Jika dikaitkan dengan
masalah di atas, pemerintah telah bersikap diskriminatif kepada Sekolah Negeri
Biasa yang notabene Sekolan Standar Nasional.
Hal ini menimbulkan kesenjangan sosial antara SSN dengan SBI karena
pemerintah dianggap tidak dapat bersikap adil. Kesenjangan ini bukan sekedar
opini semata yang dibuat-buat, tetapi memang kenyataan yang terjadi seperti ini.
Pemerintah seolah-olah lebih terfokus pada peningkatan pendidikan di Indonesia
dengan perencanaan SBI, dan justru mengabaikan sekolah-sekolah bertaraf
nasional yang lebih membutuhkan bantuan dan perhatian pemerintah.
Lebih pantas jika pemerintah mengalokasikan anggaran lebih besar kepada
SSN karena bisa untuk memberikan subsidi kepada penduduk miskin yang
anaknya bersekolah di SSN. Ketidakadilan bagi orang miskin atas keberadaan
RSBI/SBI ini adalah mata anggaran pada satuan harga per sekolah yang akan
dibiayai oleh pemerintah.
Catatan FITRA, jika pemerintah memberikan bantuan alokasi anggaran
sebesar Rp 192 juta untuk satu SD bertaraf international, SD bertaraf nasional
hanya mendapatkan Rp 128 juta. Belum lagi perbedaan alokasi anggaran untuk
pembinaan menuju SBI. Pemerintah memberikan bantuan per sekolah sebesar Rp
253 juta untuk satu sekolah. Sementara itu, alokasi anggaran untuk pembinaan
menuju SSN hanya sebesar Rp 73 juta untuk satu sekolah.
8
BAB II
A. Filsafat Pendidikan
Cita-cita yang ingin dicapai oleh setiap Negara di dunia adalah menjadi
bangsa yang maju. Sudah menjadi rahasia umum bahwa maju atau tidaknya suatu
Negara di pengaruhi oleh factor pendidikan. Begitu pentingnya pendidikan,
sehingga suatu bangsa dapat diukur apakah bangsa itu maju atau mundur, karena
tentunya dengan proses pendidikan telah mencetak sumber daya manusia yang
berkualitas baik dari segi spiritual, intelegensi, maupun skill.
Pendidikan merupakan proses mencetak generasi penerus bangsa. Apabila
output dari proses pendidikan ini gagal, maka sulit dibayangkan bagaimana
sebuah Negara dapat mencapai kemajuan.
Selain sebagai tolak ukur kemajuan suatu Negara, pendidikan juga merupakan
salah satu factor yang dapat digunakan untuk merealisasikan bakat-bakat yang
dibawa manusia sejak lahir, sehingga manusia mempunyai keterampilan. Dengan
keterampilan tersebut, diharapkan akan muncul masyarakat yang dinamis, efektif,
dan produktif. Sasaran akhir dari terciptanya masyaraencakat yang demikian
adalah pencapaian cita-cita bangsa sesuai dengan isi Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 alineaa 4 ayat 1 yang antara lain disebutkan “…memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kesejahteraan individu-individu dapat dilihat melalui penghasilan yang
diperolehnya, sedangkan penghasilan dapat dicapai apabila individu memiliki
keterampilan yang berasal dari proses pendidikan.
Mensejahterakan bangsa menurut UU No. 2 tahun 1989 paasal 4 dapat
diperoleh melalui usaha membangun manusia seutuhnya, artinya beriman dan
bertaqwaa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi pekerti luhur, memiliki
pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang
mantap, mandiri serta bertanggung jawab terhadap masyarakat dan bangsa.
9
Dengan adanya tuntutan usaha-usaha mensejahterakan individu dan
masyarakat, maka tidak dapat diragukan bahwa usaha pendidikan mempunyai
andil yang sangat besar terhadap kesejateraan bangsa.
B. Definisi Pendidikan
GBHN 1988 memberikan batasan tentang pendidikan nasional yaitu
pendidikan yang berakar pada kebudayaan bangsa Indonesia, Pancasila, dan UUD
1945 yang diarahkan untuk meningkatkan kecerdasan serta harkat dan martabat
bangsa, mewujudkan manusia serta masyarakat Indonesia yang beriman dan
bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berkualitas, mandiri, sehingga mampu
membangun dirinya dan masyarakat sekelilingnya serta dapat memenuhi
kebutuhan pembangunan nasioanal dan bertanggung jawab atas pembangunan
bangsa.
Berikut ini adalah pengertian pendidikan menurut beberapa ahli :
a. Menurut Prof. Dr. N. Drijarkara
Pendidikan ialah pe-manusia-an manusia muda, atau pengangkatan
manusia muda ke taraf insani.
b. Menurut Prof. Dr. M.J. Langeveld
Pendidikan adalah setiap usaha, pengaruh, perlindungan, dan bantuan
yang diberikan kepada anak tertuu padda pendewasaan anak, atau lebih tepat
membantu anak agar cakap melaksanakan tugas hiidupnya sendiri. Pengaruh
itu datangnya dari orang dewasa ditujukan pada orang yang belum dewasa.
c. Menuurut Ki Hajar Dewantara
Pendidikan ialah tuntutan di dalam hidup dan tumbuhnya anak-anak,
maksudnya pendidikan itu menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak agar dapat mencapai keselamatan dan kebahagian yang setinggi-
tingginya.
d. Menurut Daoed Joesoef
10
Pendidikan merupakan segala bidang penghidupan dalm memilih dan
membina hidup yang baik, yang sesuai dengan martabat manusia.
Dari seluruh definisi di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan
adalah segala kegiatan atau aktifitas yang dilakukan oleh orang dewasa secara
sengaja yang bertujuan untuk menciptakan warga Negara yang baik dan
mengembangkan potensi yang dimiliki oleh individu sebagai modal untuk
kehidup untuk mencapaiannya kelak.
C. Sifat Pendidikan
Sifat-sifat Ilmu Pendidikan antara lain adalah :
a. Terbuka, artinya memerlukan bantuan ilmu-ilmu lain untuk mencapai
tujuannya (psikologis, antropologis, sosial, kebudayaan, ekonomi, filsafat,
politik, ideologi)
b. Teoritis, mengkaji bidang keilmuan secara luas (profesional) sampai hal-hal
yang terkecil (atomistik)
c. Praktis atau terapan, teori-teori yang dikaji digunakan untuk melancarkan
proses pendidikan
d. Normatif, memiliki cirri-ciri dasar atau aturan yang mendukung aturan-aturan
dasaryang sudah baku. Contoh : melestarikan budaya bangsa melalui
pembinaan budaya-budaya daerah yang bersifat positif.
Contoh budaya yang negative dan perlu dihilangkan antara lain :
- Wanita tempatnya hanya di dapur
- Makan tidak makan asal ngumpul
- Banyak anak banyak rejeki
e. Deskriptif, menggambarkan seluruh peristiwa belajar dengan tepat, apa
adanya, tidak dimanipulasi dari mulai siapa siswa, apa yang telah diajarkan
sampai nilai yang diberikan harus betul-betul menggambarkan perolehan hasil
belajar anak.
11
D. Situasi Pendidikan
Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai kecenderungan untuk selalu
berkumpul dengan orang lain. Saat berkumpul dengan orang lain timbul berbagai
keinginan untuk meniru, bertanya dan ingin tahu, kemudian kondisi ini merubah
hubungan sosial biasa ke arah hubungan pendidikan.
Syarat minimal situasi pendidikan adalah adanya guru dan siswa (anak didik
dan pendidik). Hubungan guru dan siswa dalam konteks biasa disebut situasi
pergaaulan. Situasi pergaulan segera berubah menjadi situasi pendidikan bila
muncul adanya keinginan secara sadar untuk merubah siswa dari hal-hal negative
menjadi hal-hal yang positif.
Usaha sadar yang dilakukan oleh guru berarti bahwa pendidikan harus
direncanakan karena adanya keinginan merubah sesuuatu dari yang tidak baik
menjadi baik, dari yang tidak bisa menjadi bisa.
Dalam aktifitas pendidikan terdapat factor yang harus dimiliki oleh pendidik
yaitu kewibawaan. Kewibawaan adalah factor diri yang dapat menimbulkan rasa
segan dan percaya sehingga siswa patuh mengikuti ajaran guru karena adanya
rasa hormat dan perasaan senang.
Pada saat situasi pendidikan berlangsung kondusif, diharapkan anak didik
dapat menjadi :
a. Komunikator, artinya mampu mengkomunikasikan ilmu atau pengetahuan dan
ketranpilan dengan baik
b. Fasilitator, artinya dapat menciptakan situasi dan kondisi yang baik sehingga
siswa dapat memperoleh hasil belajar yang optimal
c. Motivator, artinya mampu memberi dorongan belajar
d. Konselor, artinya dapat menjadi pembimbing, pengasuh, pengarah untuk
membantu memecahkan masalah dengan ikhlas
12
e. Administrator, artinya mempunyai catatan yang lengkap dari hasil kemajuan
siswa dari awal sampai akhir, sehingga tampak adanya kelebihan atau
kekurangan siswa.
E. Hakekat Manusia
Fokus pendidikan adalah manusia. Pendidikan bertuuan untuk membantu
anak didik menggembangkan potensi kemanusiaannya yang merupakan benih
kemungkinan untuk menjadi manusia. Tugas mendidik hanya mungkin apt
dilakukan dengan benar apabila pendidik memiliki gambaran yang jelas tentang
siapa manusia itu sebenarnya. Manusia mempunyai cirri khas yang membedakan
dirinya dengan hewan.
Pemahaman pendidik terhadap sifat hakekat manusia akan membentuk peta
tentang karakteristik manusia. Peta ini akan menjadi landasan dalam menyusun
strategi, metode, dan teknik mendidik.
Dalam masalah munculnya rasa kecermburuan sosial di dalam kasus
kesenjangan sosial antara Sekolah Negeri Bertaraf Internasional dengan Sekolah
Negeri Bertaraf Nasional akibat pemberian bantuan operasional yang kurang
obyektif dapat kita kita masukan ke dalam pengertian hakekat manusia dipandang
dari sudut pandang faham existensialis.
Faham existensialis merupakan faham manusia akan keberadaan manusia itu
sendiri. Menurut faham existensialis, manusia pada dasarnya mempunyai
kemampuan untuk menyadari, artinya ia dapat membedakan antaranya dirinya
(Aku) dan lingkungan sekitar (non Aku). Disamping itu, manusia juga
mempunyai kemmapuan untuk menjaga jarak dengan lingkungannya baik yang
berupa pribadi maupun benda-benda disekitarnya.
Dalam kasus ini, keberadaan Sekolah Negeri Bertaraf Nasional jelas
dipandang sebelah mata. Pemerintah seolah-olah mengacuhkan prestasi yang
telah dicapai. Pemerintah seakan hanya melihat “embel-embel bertaraf
internasional” pada suatu sekolah, karena mereka menganggap label itu cukup
13
untuk membuat Indonesia menonjol di mata dunia. Pandangan seperti ini yang
harus kita kaji ulang, karena dengan menganaktirikan sekolah-sekolah berprestasi
berlabel nasional bukan solusi terbaik, justu akan berdampak pada perkembangan
pendidikan di Indonesia. Hal ini karena sebagian besar sekolah yang ada di
Indonesia masih berstandar nasional.
Pemerintah harus mengambil keputusan bijak untuk menyelesaikan masalah
ini, apakah kebijakan yang diterapkan baik atau justru membuat kondisi
pendidikan Indonesia semakin tak menentu. Hal ini sejalan dengan faham
existensialis, yaitu manusia mempunyai kemampuan untuk menilai yang baik dan
yang buruk. Manusia dikatakan mempunyai kata hati yang tajam apabila ia
mampu membuat keputusan tentang yang baik yang buruk bagi diri sendiri dan
orang lain.
Kemampuan untuk membuat keputusan yang bijak kadang terasa sulit bagi
manusia karena ia selalu dihadapkan pada pilihan-pilihan yang membingungkan.
Pilihan-pilihan untuk dipilih antara yang baik dan yang kurang baik atau antara
yang buruk dan yang lebih buruk. Hal itu terjadi karena ia dihadapkan dengan
kriteria serta kemampuan analisis yang perlu didukung oleh kecerdasan akal budi.
F. Landasan Pendidikan
Landasan Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk digunakan
dalam pengambilan keputusan dan tindakan yang tepat dalam pendidikan dapat
memberi peluang yang lebih besar dalam merancang dan menyelenggarakan
program pendidikan dan akan memberikan perspektif yang kebih luas terhadap
pendidikan baik dalam aspek konseptual maupun operasional. Hal ini penting
karena hasil pendidikan tidak segera nampak sehingga setiap keputusan dan
tindakan yang dilakukan dalam endidikan harus diujikan kebenarannya.
Pengambilan keputusan yang tepat untuk kasus di atas dapat ditelaah
menggunakan konsep landasan sosiologis. Pada dasarnya, kegiatan pendidikan
dalam landasan sosiologis merupakan suatu proses interaksi antara dua orang atau
14
lebih. Interaksi yang terjadi pada kasus di atas adalah interaksi antara pemerintah
dan sekolah-sekolah nyang terkait.
Hal yang menjadi penekanan dalam landasan sosiologis adalah apakah proses
pendidikan yang telah dilakukan dapat mempersiapkan anak menjadi seorang
individu yang siap terjun di masyarakat dan dapat berinteraksi dengan sesama
dengan metode yang baik. Selanjutnya, diharapkan anak didik dapat menjadi
anggota masyarakat yang aktif dan ikut serta mengembangkan pendidikan di
Indonesia.
G. Konponen-Komponen dalam Pendidikan
Komponen-komponen pendidikan merupakan syarat yang mutlak
berlangsungnya sebuah pendidikan. Komponen-komponen tersebut adalah adanya
anak didik, pendidik, adanya tujuan yaitu ke arah anak itu akan dibawa, alat
pendidik sebagai alat untuk mencapai tujuan tersebut, serta factor lingkungan
yang tidak diragukan lagi pengaruhnya terhadap berlangsungnya pendidikan.
a) Anak Didik
Langeveld menyatakan bahwa anak bukanlah orang deewasa dalam
bentuk kecil. Oleh karena itu, anak memilik sifat menggantungkan diri,
membutuhkan pertolongan, dan bimbingan baik jasmani dan rohani. Anak
didik merupakan individu yang sedang berkembang, artinya perubahan yang
terjadi dalam diri peserta didik secara wajar, baik ditujukan kepada diri
sendiri, maupun kea rah penyesuaian dengan lingkungan.
Keberhasilan kegiatan pendidikan ditentukan oleh bagaimana partisipasi
anak didik di dalam mengikuti kegatan interaksi dalam pendidikan tersebut.
Semakin anak didik aktif mengambil bagian dalm kegiatan interaksi tersebut,
semakin tujuan pendidikan dapat tercapai.
15
Anak didik harus mempunyai motivasi untuk mengikuti kegiatan belajar
atau pendidikan yang sedang berlangsung. Apabila anak didik mempunyai
motivasi yang kuat, dia akn menunjukkan minatnya, aktifitasnya, dan
partisipasinya di dalam mengikuti kegiatan belajar atau pendidikan yang
sedang dilaksanakan.
b) Pendidik
Secara umum, setiap orang dewasa dalam masyarakat dapat menjadi
pendidik, karena setiap orang dewasa mempunyai ciri adanya rasa tanggung
jawab mendidik anak yang belum dewasa untuk mencapai tingkat
kedewasaan.
Seorang pendidik harus mempunyai kewibawaan yang membuat ia
dituruti, dipatuhi, dan dipercaya oleh anak didik tanpa adanya paksaan.
c) Tujuan dalam Pendidikan
Menurut ketetapan MPR No.IV/MPR/1993, pendidikan nasional
berdasarkan atas Pancasila bertujuan untuk meningkatkan ketaqwaan kepada
Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, keterampilan, mempertinggi budi pekerti,
memperkuat kepribadian, dan mempertebal semangat kebangsaan agar dapat
menumbuhkan manusia-manusia pembangunan yang dapat membangun
dirinya sendiri serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan
bangsa.
Menurut UU RI No. 2 tahun 1989, pendidikan nasioanal bertujuan
mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia seutuhnya,
yaitu manusia yangberiman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan
jasmani dan rohani, kepribadian mantap dan mandiri serta tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
16
d) Alat Pendidikan
Alat pendidikan merupakan factor pendidikan yang sengaja dibuat dan
digunakan demi pencapaian tujuan pendidikan tertentu. Macam-macam alat
pendidikan dapat berupa perbuatan pendidikan (software) mncakup nasehaat,
teladan, larangan, perintah, , buku, peta, teguran, ancaman, dan hukuman.
Selanjutnya adalah benda-benda sebagai alat bantu (hardware) mencakup
meja-kursi belajar, papan tulis, penghapus, kapur tulis, dan lain-lain.
e) Faktor Lingkungan
Lingkungan pendidikan merupakan lingkungan sekitar yang sengaja
digunakan sebagai alat dalam prroses pendidikan (pakaian, keadaan rumah,
alat permainan, buku-buku, alat peraga, dan lainnya).
Menurut Ki Hajar Dewantara, lingkungan pendidikan terdiri dari
lingkungan masyarakat, lingkungan keluarga, lingkungan sekolah, dan
lingkungan organisasi pemuda. Sedangkan menurut Philip H. Coombs,
lingkungan pendidikan de\ibedakan menurut pola pengelolaannya, yaitu
pendidikan formal, pendidikan non formal, dan pendidikan informal.
17
BAB III
A. Konstruksi Ideal
Menurut Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (SISDIKNAS) Nomor
20 Tahun 2003, pasal 1 ayat 1 pengertian pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar
peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki
kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak
mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
negara.
Pengertian tersebut merupakan ungkapan makna teleologis dari pendidikan
yakni menciptakan warga negara yang bertaqwa, berakhlak dan terampil. Untuk
mencapai tujuan tersebut maka diselenggarakan serangkaian kegiatan
pembelajaran yang bersifat formal, nonformal maupun informal dengan berbagai
jenjang mulai dari pendidikan usia dini hingga pendidikan tinggi.
Sekolah Menengah Atas (SMA), Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan
Madrasah Aliyah (MA) merupakan salah satu jenjang pendidikan yang ditempuh
oleh anak Indonesia dalam mengikuti kegiatan pembelajaran secara formal.
Jenjang ini merupakan tahap yang strategis dan kritis bagi perkembangan dan
masa depan anak Indonesia. Pada jenjang ini, anak Indonesia berada pada pintu
gerbang untuk memasuki dunia pendidikan tinggi yang merupakan wahana untuk
membentuk integritas profesi yang didambakannya. Pada tahap ini pula, anak
Indonesia bersiap untuk memasuki dunia kerja yang penuh tantangan dan
kompetisi.
Secara psikologis, masa tersebut merupakan masa pematangan kedewasaan.
Pada tahap ini anak mulai mengidentifikasi profesi dan jati dirinya secara utuh.
Para ahli pendidikan seperti Montessory dan Charless Buhler (dalam Sugeng
Santosa; 2000), menyatakan bahwa pada usia tersebut seseorang berada pada
18
masa ‘penemuan diri’. Secara spesifik, Montessory menyebutkan pada usia 12 –
18 tahun, sementara Charles Buhler menyebutkan pada usia 13 – 19 tahun. Salah
satu aspek ‘penemuan diri’ pada anak yang paling penting pada tahap ini adalah
pekerjaan dan profesi. Secara psikologis mereka mulai mengidentifikasi jenis
pekerjaan dan profesi yang sesuai dengan bakat, minat, dan kecerdasan serta
potensi yang dimilikinya.
B. Deskripsi Masalah
Berbicara tentang pendidikan, di dalamnya tidak terlepas dari peran dan tanggung
jawab pemerintah terhadap peningkatan kualitas SDM di Indonesia. Termasuk juga
peranan masyarakat sebagai pelaku utama pendidikan. Kesadaran masyarakat bahwa
pendidikan bukan sekedar formalitas belaka, tetapi mengerti dan memahami dengan
benar bagaimana berinvestasi pada pendidikan. Peranan pemerintah melalui
kebijakan-kebijakan pendidikan tidak akan maksimal tanpa partisipasi masyarakat di
dalamnya, mengingat adanya pemikiran yang berkembang di kalangan masyarakat
untuk investasi didunia kerja (bekerja atau lainnya) daripada investasi pendidikan.
Saran dan kritik yang disampaikan untuk mengatasi persoalan pada sistem
pendidikan kita sudah cukup banyak. Akan tetapi seiring berjalannya waktu, topik-
topik tersebut mengalami ketidakpastian dalam pengaplikasiannya. Tampaknya kita
berputar-putar dalam lingkaran dan maju secara perlahan jika kata “kemandekan”
atau “kegagalan” terlalu vulgar untuk diutarakan. Pemerintah dan organisasi
pendidikan di Indonesia terlalu sibuk dengan sistem informasi manageman, analisis
finansial, angka kelulusan dan data-data kuantitatif lainnya sehingga terpisah jauh
dari jantung pendidikan itu sendiri. Dalam beberapa tahun terakhir ini, devaluasi
standart kualitas pendidikan tidak hanya melanda organisasi pendidikan saja, tetapi
telah merusak sistem pendidikan kita.
Salah satu bukti nyata dari gejala-gejala ketidakefektifan pendidikan di Indonesia
adalah terjadinya kesenjangan antara Sekolah Negeri Biasa dengan Sekolah Negeri
berembel Internasional. Hal ini karena pemerintah seakan-akan lebih
19
mengistimewakan Sekolah Negeri berembel Internasional dengan memberikan dana
bantuan operasional yang lebih banyak dibandigkan Sekolah Negeri Bertaraf
Nasional. Kebijakan ini menimbukan banyak kontroversi baik dari pihak sekolah
yang merasa dirugkan dan Lembaga Masyarakat.
Kebijakan Sekolah Berstandar Internasional dinilai sangat diskriminatif dan jauh
dari rasa keadilan. RAPBN 2012 yang menganggarkan Rp 242 miliar untuk Sekolah
Negeri Berstandar Internasional dinilai tidak logis. Sebab, Sekolah Negeri Biasa
(bukan berstandar internasional) dijatah kurang dari separuh Sekolah Bertaraf
Internasional yaitu hanya Rp 108 miliar. Sekolah unggulan yang kemudian dijadikan
sekolah RSBI notabene adalah sekolah-sekolah kaya yang muridnya juga kaya-kaya.
Hal ini berbanding terbalik dengan kondisi siswa-siswa Sekolah Negeri Biasa yang
sebagian besar bukan termasuk orang kaya, atau merupakan golongan menengah ke
bawah. Namun, pada kenyataannya pemerintah justru memberikan bantuan
operasional yang lebih banyak kepada Sekolah Berstandar Internasional.
C. Hasil Analisis Masalah
Hampir di setiap Kabupaten/Kota pasti ada Rintisan Sekolah Bertaraf
Internasional (RSBI)/Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yang jumlahnya bervariasi
mungkin 1, 2 atau 3 sekolah di masing-masing tingkatan (SD, SMP, SMA).
Sedangkan Sekolah Standar Nasional (SSN) biasanya lebih banyak namun kalah
populer bahkan tenggelam dibandingkan dengan RSBI/SBI. Dilihat dari namanya
yang membawa kata Internasional, mungkin tujuan pemerintah salah satunya adalah
untuk menyejajarkan sekolah di negeri ini berkualitas Internasional, baik dari sisi
kurikulum, sarana prasarana, kualitas pengajar dan tentu saja kualitas lulusan yang
dihasilkan. Untuk mencapai itu semua, pemerintah memberikan bantuan dana kepada
sekolah-sekolah RSBI/SBI tersebut.
Namun dalam pelaksanaannya, pemerintah kurang bertindak adil. Anggaran
pendidikan yang digelontorkan untuk SBI dianggap tidak logis karena jauh
melampaui bantuan yang diberikan pemerintah untuk SSN. Padahal fakta di
20
lapangan, kondisi siswa-siawa yang SBI sudah cukup mapan, justru kondisi siswa-
siawa SSN yang sebagian besar masih memerlukan bantuan dana untuk melanjutkan
sekolah.
Sepertinya pemerintah tidak melihat dari sisi ini. Pemerintah cenderung lebih
memikirkan bagaimana nama Indonesia dapat dikenal di dunia Internasional melalui
prestasi pendidikan. Tujuan ini sebenarnya positif, tetapi yang kini menjadi ajuan
sebuah kemajuan Negara bukanlah prestasi melainkan penerapan sistem pendidikan ,
adakah perkembangan progressive yang mungkin terjadi.
Sampai saat ini yang paling mudah dilihat perbedaan RSBI/SBI dengan SSN
maupun non RSBI/SBI adalah sarana dan prasarana di RSBI/SBI yang lebih mewah,
misalnya ruangan kelas ber-AC, lantai berkarpet, lingkungan sekolah lebih rapi,
media pembelajaran multi media, termasuk siswa yang diharuskan mempunyai
laptop. Semua itu hanyalah hal-hal yang kasat mata dan sebenarnya bisa dengan
mudah dipenuhi asal ada dana. Dan itu menjadi lebih mudah karena pemerintah
memberikan bantuan operasioan yang luar biasa banyak.
Namun, bagaimana dengan kualitas tenaga pengajar yang ada di SBI ? Ternyata
masih banyak pengajar yang belum mampu berkomunikasi dalam bahasa Inggris,
padahal dalam KBM diharuskan menyampaikan materi dalam Bahasa Inggris.
Begitupun dengan siswa, belum semua siswa bisa menerima materi yang disampaikan
dalam Bahasa Inggris atau berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Memang
kemampuan berbahasa Inggris bukanlah satu-satunya tujuan RSBI/SBI, tetapi akan
sangat baik bila seluruh siswa dan guru di RSBI/SBI mampu berkomunikasi dalam
bahasa Inggis dengan baik dan benar.
Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, ada baiknya pemerintah melakukan
evaluasi, sejauh mana keberhasilan Program RSBI/SBI. Karena disamping
kekurangan-kekurangan tersebut, pasti ada juga RSBI/SBI yang benar-benar
berkualitas Internasional.
Bila diibaratkan anak tangga, SSN adalah satu tingkat di bawah RSBI/SBI.
Sebelum ada RSBI/SBI, SSN dianggap sekolah yang unggul, karena berstandar
nasional. Kurikulum, pelaksanaan KBM, peningkatan kualitas SDM (pengajar),
21
peningkatan kualitas sekolah dan lulusannya dilaksanakan secara intensif. Dalam
beberapa kasus kualitas siswa lulusan SSN tidak kalah dibandingkan siswa lulusan
RSBI/SBI. Demikian juga dalam beberapa kegiatan non akademik, misalnya dalam
berbagai lomba TUB, OOSN, POP, dsb. siswa dari SSN tidak selalu kalah bersaing
dengan siswa RSBI/SBI.
SSN sebenarnya dapat bersaing dengan SBI. Fakta yang terjadi di lapangan
membuktikan bahwa prestasi SSN justru berada di atas SBI. Menurut data Federasi
Serikat Guru Indonesia (FSGI), untuk kasus di Jakarta pada tahun 2010, SMA 77
DKI Jakarta yang bukan berstandar internasional mampu menduduki ranking I untuk
urusan Ujian Nasional (UN). Prestasi tersebut jauh melampaui sekolah yang
menambahkan label 'berstandar internasional' yakni SMA 3, SMA 8, SMA 13, SMA
28, SMA 68, SMA 70,SMA 78, SMA 81,SMA Labschool Rawamangun dan SMA Al
Azhar. Sementara pada kompetisi UN 2011, peringkat pertama diperoleh SMA bukan
berstandar internasional yakni SMA 99 Jakarta.
Hal ini jelas membuktikan bahwa kualitas SBI tidak selalu berada di atas SSN.
Dengan fakta yang terjadi , adilkah jika SSN mendapat perlakuan yang tidak adil dari
pemerintah. SSN mampu membuktikan bahwa ia mempunyai kualitas yang baik,
bahkan dapat melebihi SBI. Oleh karena itu, tidak seharusnya pemerintah bersikap
diskriminatif. Pemerintah juga harus membuktikan kepedulian mereka terhadap
kemajuan pendidikan Indonesia dengan membuat kebijakan yang adil.
D. Solusi Masalah
Jika sudah terjadi masalah seperti ini, sebaiknya ppemerintah melakukan upaya
untuk mencegah masalah-masalah baru yang mungkin akan terjadi akibat
kecemburuan social ini. Hal-hal berikut harus dilakuakn oleh opemerintah guna
menyelesaikan masalah ini.
22
a) Perencanaan
1. Program Sekolah Bertaraf Internasional harus dievaluasi ulang
Anggota Komite III DPD RI, M Afnan Hadikusumo menyatakan
kekecewaan terhadap implementasi program RSBI yang dicanangkan
pemerintah. Dari kunjungan lapangan ke sekolah-sekolah di Indonesia dan
diikuti tatap muka dengan pengelola pendidikan, disimpulkan bahwa
implementasi program RSBI ternyata tidak sesuai dengan rencana awal karena
tidak begitu terlihat nilai tambah yang diperoleh siswa baik dari segi
kurikulum, staf pengajar, sarana maupun prasaran. Sementara anggaran yang
diberikan pemerintah sangat banyak.
Sekolah Berstandar Internasional (RSBI) belum mendapat prestasi yang
memuaskan dalam hasil Ujian Nasional (UN) SMA dan SMP 2011. Kita
ambil contoh di kota Surabaya. Dari 18 sekolah dengan label SBI/RSBI di
Surabaya tidak ada yang masuk sepuluh besar rerata nilai UN tertinggi.
Menurut Pengamat Pendidikan dari Universitas Negeri Surabaya (Unesa),
Soeryanto, prestasi SBI dalam hasil UN belum sesuai dengan tingginya biaya
pendidikan yang dibayarkan pemerintah.
Melihat kenyataan-kenyataan tersebut, ada baiknya pemerintah melakukan
evaluasi, sejauh mana keberhasilan Program RSBI/SBI. Karena disamping
kekurangan-kekurangan tersebut, pasti ada juga RSBI/SBI yang benar-benar
berkualitas Internasional.
2. Sekolah Bertaraf Nasional harus dikembangkan lagi
SSN yang banyak didominasi oleh penduduk miskin harus lebih
diperhatikan dan dikembangkan kea rah yang lebih baik. Selama ini, SSN
selalu memberikan prestasi yang menakjubkan di tengah anggaran pendidikan
yang minim. Dalam beberapa kasus, kualitas siswa lulusan SSN tidak kalah
dibandingkan siswa lulusan RSBI/SBI. Demikian juga dalam beberapa
kegiatan non akademik, misalnya dalam berbagai lomba TUB, OOSN, POP,
dsb. siswa dari SSN tidak selalu kalah bersaing dengan siswa RSBI/SBI.
23
SSN sebenarnya dapat bersaing dengan SBI. Fakta yang terjadi di
lapangan membuktikan bahwa prestasi SSN justru berada di atas SBI.
Menurut data Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), untuk kasus di Jakarta
pada tahun 2010, SMA 77 DKI Jakarta yang bukan berstandar internasional
mampu menduduki ranking I untuk urusan Ujian Nasional (UN). Prestasi
tersebut jauh melampaui sekolah yang menambahkan label 'berstandar
internasional' yakni SMA 3, SMA 8, SMA 13, SMA 28, SMA 68, SMA
70,SMA 78, SMA 81,SMA Labschool Rawamangun dan SMA Al Azhar.
Sementara pada kompetisi UN 2011, peringkat pertama diperoleh SMA bukan
berstandar internasional yakni SMA 99 Jakarta.
Jadi, pemerintah harus lebih jeli dalam melihat peluang manakah yang
akan merubah dunia pendidikan Indonesia. Bukan berarti nama Internasional
selalu lebih baik dari Nasional. Kini, fakta yang terjadi justru sebaliknya.
Dengan demikian, lebih bijaksana jika pemerintah tidan memandang sebelah
mata sekolah-sekolah berlabel Nasional, dan seharusnya membantu sekolah-
sekolah tersebut untuk bersaing dalam dunia pendidikan Indonesia.
b) Tindakan Aksi
Pemerintah harus melakukan survey terhadap kualitas dan kuantitas
pendidikan antara Sekolah Bertaraf Internasional dengan Sekolah Bertaraf
Nasional. Langkah-langkah yang dapat dilakukan pemerintah antara lain
dengan mengumpulkan dokumen-dokumen terkait prestasi kedua sekolah
dan/atau terjun langsung meninjau bagaimana kurikulum, staf pengajar,
sarana maupun prasaran yang ada pada kedua sekolah. Hal ini perlu dilakukan
terkait dengan kesenjangan yang terjadi antara SSN dengan SBI.
Gubernur DKI, H. Fauzi Bowo langsung memerintah Deputi Gubernur
Margani Mustar segera mengevaluasi pelaksanaan Rintisan Sekolah
Berstandar Internasional (RSBI) melihat maslah yang terjadi dan cukup
membuat system pendidikan di Indonesia berada di level ketidakpastian.
24
Fakta ini, merupakan salah satu tindakan aksi yang telah dilakukan oleh
pemerintah untuk mengubah persepsi masyarakat bahwa tidak selamanya SBI
itu selalu lebih baik dari SSN, dan sebaliknya.
c) Evaluasi
Evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah dengan cara mengumpulkan
dokumen-dokumen terkait prestasi kedua sekolah dan/atau terjun langsung
meninjau bagaimana kurikulum, staf pengajar, sarana maupun prasaran yang
ada pada kedua sekolah, tidak semata-mata untuk mengubah persepsi
masyarakat tentang SSN dan SBI. Akan tetapi, juga untuk mengoreksi ulang
apakah kebijakan yang telah diterapkan oleh pemerintah membawa
perkembangan yang progressive terhadap pendidikan di Indonesia.
Fakta yang terjadi di lapangan menunjukkan bahwa dari segi prestasi,
SSN mampu membuktikan diri sebagai yang terbaik dalam UN dibandingkan
SBI di tengah anggaran pendidikan yang minim dari pemerintah. Jadi, dengan
fakta ini diharapkan pemerintah mampu membuat kebijakan yang lebih adil
bagi kedua sekolah, baik SSN maupun SBI.
SSN sebagai sekolah yang mayoritas siswanya merupakan masyarakat
golongan menengah ke bawah sangat memerlukan bantuan dari pemerintah
untuk melanjutkan sekolah. Sehingga, tidak etis jika pemerintah
menggelontorkan dana yang begitu banyak bukan untuk membantu siswa-
siswa SSN, melainkan untuk program SBI yang notabene siswa-siswanya
merupakan golongan menengah ke atas.
SSN dan SBI sebenarnya merupakan sebuah jalan bagi Indonesia untuk
merombak prestasi-prestasi minim yang selama ini melekat pada Indonesia.
Pemerintah harus memperhatikan dengan lebih jeli dari setiap factor-faktor
yang ada dalam membuat sebuah kebijakan, apalagi tentang kebijakan
anggaran pendidikan. Kebijakan pemerintah inilah yang sesungguhnya
merupakan langkah awal perbaikan pendidikan di Indonesia.
25
BAB IV
A. Kesimpulan
Dari kasus di atas, dapat kita simpulkan bahwa SSN tidak selalu mempunyai
prestasi di bawah SBI. Fakta yang terjadi justru sebaliknya, SSN dapat
membuktikan kualitas mereka dengan menduduki peringkat pertama Ujian
Nasional tahun 2010 dan tahun 2011. Selain itu, dalam berbagai perlombaan
tingkat nasional, SSN juga berhasil mengalahkan SBI.
Dengan demikian, tidak seharusnya jika pemerintah masih bersikap
diskriminatif dengan memberikan anggaran pendidikan lebih besar kepada SBI,
karena pada dasarnya kondisi siawa-siswa SSN masih sangat membutuhkan
bantuan dari pemerintah dibandingkan dengan kondisi siswa-siswa SBI yang
termasuk golongan menengah ke atas.
Selagi masih ada waktu dan RAPBN 2012 belum disahkan, sebaiknya
pemerintah meninjau ulang alokasi anggaran untuk sekolah-sekolah bertaraf
internasional agar tidak ada lagi ketidakadilan dan diskriminasi bagi orang-orang
miskin yang hanya mampu menyekolahkan anaknya pada sekolah standar
nasional.
B. Saran
Pendidikan merupakan salah satu pilar kemajuan sebuah Negara. Indonesia
tidak akan pernah menjadi Negara maju jika ia tidak berani menoleh ke belakang
dan mengambil pelajaran dari kesalahan yang dilakukan.
Terkait dengan masalah ini, pemerintah harus berani mengambil sikap atas
kesenjangan sosial yang terjadi. Jika ini terus dibiarkan, maka pendidikan
Indonesia akan mengalami masa ketidakpastian, ini akan berdampak pada
kestabilan Negara. Oleh sebab itu, pemerintah harus lebih berhati-hati dalam
menerapkan sebuah kebijakan pendidikan. Harus dilakukan peninjauan berulang-
26
ulang sebelum dan sesudah kebijakan tersebut diterapkan. Sehinga pemerintah
dapat mengontrol jalannya sistem pendidikan di Indonesia.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.detiknews.com/read/2011/10/27/193610/1754368/10/sekolah-negeri-
biasa-terbukti-kalahkan-sekolah-berlabel-internasional
2. Meilani, Sri Martini. Pengantar Ilmu Pendidikan. Universitas Negeri Jakarta.
2010
3. http://dinarpratama.wordpress.com/opini/
4. http://www.surya.co.id/2011/10/27/tragis-pemerintah-tidak-peduli-sekolah-
nasional
5. http://www.poskota.co.id/berita-terkini/2011/05/31/gubernur-dki-perintahkan-
rsbi-dievaluasi
6. http://www.kr.co.id/web/detail.php?sid=220421&actmenu=36
7. http://www.republika.co.id/berita/pendidikan/berita-pendidikan/11/06/05/lmb21b-
minim-prestasi-rsbi-mendesak-dievaluasi
28
LAMPIRAN
Kamis, 27/10/2011 19:36 WIB
Sekolah Negeri Biasa Terbukti Kalahkan Sekolah Berlabel
Internasional
Ari Saputra - detikNews
Jakarta - Sekolah negeri berembel-embel 'Berstandar Internasional' ternyata
tidak menjamin kualitas sekolah. Menurut data Federasi Serikat Guru Indonesia
(FSGI), untuk kasus di Jakarta pada tahun 2010, SMA 77 DKI Jakarta yang bukan
berstandar internasional mampu menduduki ranking I untuk urusan Ujian Nasional
(UN).
Prestasi tersebut jauh melampaui sekolah yang menambahkan label 'berstandar
internasional' yakni SMA 3, SMA 8, SMA 13, SMA 28, SMA 68, SMA 70,SMA 78,
SMA 81,SMA Labschool Rawamangun dan SMA Al Azhar.
Sementara pada kompetisi UN 2011, peringkat I diperoleh SMA bukan
berstandar internasional yakni SMA 99 Jakarta.
"Jadi secara kualitas, bisa bersaing," kata Sekjen FSGI Retno Listyarti kepada
detikcom, Kamis (27/10/2011).
Sehingga, RAPBN 2012 yang menganggarkan Rp 242 miliar untuk sekolah
negeri berstandar internasional dinilai tidak logis. Sebab, sekolah negeri yang biasa
(bukan berstandar internasional) dijatah kurang dari separuh sekolah bertaraf
internasional tersebut yakni hanya Rp 108 miliar.
"Kami menilai bahwa kebijakan sekolah berstandar internasional ini sangat
diskriminatif dan jauh dari rasa keadilan. Sekolah unggulan yang kemudian dijadikan
sekolah RSBI notabene adalah sekolah-sekolah kaya yang muridnya juga kaya-kaya.
29
Sudah kaya malah diberi blockgrant (anggaran khusus-red) senilai ratusan juta
rupiah," ucap Retno.
Menurutnya, dari awal pembentukan sekolah internasional sudah dipersoalkan
FSGI dan berbagai LSM lainnya. Sebab, prediksi para pemerhati pendidikan tersebut,
sekolah berembel-embel internasional hanya membuat 'kasta sosial' diakui secara sah
didunia pendidikan.
Sebagai catatan, saat ini UU yang menjadi dasar sekolah internasional sedang
digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK).
"FSGI bersama Koalisi Pendidikan, ICW dan Elsam dalam proses melakukan
judicial review atas pasal 50 ayat 3 UU Sisdiknas yang menjadi dasar hukum
pelaksanaan SBI. Kami menilai bahwa kebijakan SBI ini sangat diskriminatif," tandas
Retno.
"Pemerintah hanya senang kepada yang unggul-unggul. Sementara sekolah
miskin, malah tidak atau kurang diperhatikan, tidak pernah dibina apalagi dikasih
uang. Terutama sekolah swasta yang miskin tidak dapat apa-apa," sesal Retno.
Sebelumnya, Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA) meminta
DPR merevisi komposisi anggaran antara sekolah biasa dengan sekolah berembel-
embel internasional.
"Mumpung masih ada waktu dan RAPBN 2012 belum disahkan, kami meminta
DPR menghapus alokasi anggaran untuk sekolah-sekolah bertaraf internasional agar
tidak ada lagi ketidakadilan dan diskriminasi bagi orang-orang miskin yang hanya
mampu menyekolahkan anaknya pada sekolah standar nasional," desak Kordinator
Investigasi dan Advokasi FITRA, Uchok Sky.
(Ari/ndr)