PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP
TINGKAT KOMPETENSI DALAM PENGAMBILAN
KEPUTUSAN DI KALANGAN KEPALA SEKOLAH
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi sebagian persyaratan dalam memperoleh
gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
ANITA SUPITA SARI
NIM: 105070002364
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP
TINGKAT KOMPETENSI DALAM PENGAMBILAN
KEPUTUSAN DI KALANGAN KEPALA SEKOLAH
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Psikologi untuk memenuhi syarat
memperoleh gelar Sarjana Psikologi
Oleh:
ANITA SUPITA SARI
NIM : 105070002364
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I Pembimbing II
Jahja Umar, Ph.D Yunita Faela Nisa, M.Psi., Psi. NIP. 130 885 522 NIP. 19770608 200501 2 003
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1431 H/2010 M
ii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul “PENGARUH KECERDASAN EMOSIONAL TERHADAP TINGKAT KOMPETENSI DALAM PENGAMBILAN KEPUTUSAN DI KALANGAN KEPALA SEKOLAH” telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 21 Juni 2010. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Psikologi.
Jakarta, 21 Juni 2010
Sidang Munaqasyah
Dekan/ Pudek I/ Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris Merangkap Anggota, Jahja Umar, Ph.D Dra. Fadhilah Suralaga, M.Si NIP. 130 885 522 NIP. 19561223 198303 2 001
Anggota:
Penguji I Penguji II
Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag Jahja Umar, Ph.D NIP. 19680614 199704 1 001 NIP. 130 885 522 Pembimbing I Pembimbing II
Jahja Umar, Ph.D Yunita Faela Nisa, M.Psi., Psi. NIP. 130 885 522 NIP. 19770608 200501 2 003
iii
PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Anita Supita Sari
NIM : 105070002364
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul ‘Pengaruh Kecerdasan Emosional
terhadap Tingkat Kompetensi dalam Pengambilan Keputusan di Kalangan Kepala
Sekolah’ ialah benar merupakan karya saya sendiri dan tidak melakukan tindakan plagiat
dalam penyusunan skripsi tersebut. Adapun kutipan-kutipan yang ada dalam skripsi ini telah
saya cantumkan sumber pengutipannya dalam daftar pustaka.
Saya bersedia melakukan proses yang semestinya sesuai dengan undang-undang yang berlaku
jika skripsi ini secara prinsip merupakan plagiat atau jiplakan dari karya orang lain.
Demikian pernyataan ini saya buat untuk dipergunakan sebaik-baiknya.
Jakarta, 25 Juni 2010
Anita Supita Sari
NIM: 105070002364
E-mail: [email protected]
iv
MOTTO:
Jadikanlah keyakinan kepada Tuhan sebagai pangkal pengendali setiap keputusan yang akan dipilih dan
setiap tindakan yang akan dilakukan.
Karena manusia di dunia ini, baik disadarinya atau tidak ialah dalam perjalanan kepada Tuhannya.
Dan tidak dapat tidak dia akan menemui Tuhannya untuk menerima pembalasan-Nya dari perbuatannya
yang baik maupun yang buruk.
Tough times never last, but tough people do!
Hidup itu perjuangan, hiduplah untuk banyak memberi yang terbaik!
Karya ini dipersembahkan untuk:
semua orang yang menyayangiku dengan tulus,
yang selalu memanjatkan doanya tiada henti dalam kebaikan…
v
ABSTRAK
(A) Fakultas Psikologi (B) Juni 2010 (C) Anita Supita Sari (D) Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap Tingkat Kompetensi dalam Pengambilan
Keputusan di Kalangan Kepala Sekolah (E) xiv + 83 halaman (F) Kepala sekolah ialah tombak penentu arah dan kebijakan sekolah. Dalam
memecahkan permasalahan, kepala sekolah seringkali menuruti perasaan dan emosi, sehingga keputusan yang diambil terkadang berkualitas rendah dan tidak tepat sasaran. Salah satu faktor yang dapat menentukan apakah emosi dapat menghambat atau membantu proses pengambilan keputusan adalah kemampuan pengambil keputusan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan emosi yang ia miliki. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kecerdasan emosional (mencakup well-being, self-control, Emotionality, Sociability, Adaptability, self-motivation), jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan di kalangan kepala sekolah. Penelitian ini dilakukan mulai bulan Februari dan berakhir di bulan Mei 2010. Penelitian ini disusun berdasarkan analisis dari 50 subjek penelitian. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini ialah ADMC (Adult Decision-Making Competence) dan TEIQue-SF (Trait Emotional Intelligence Questionnaire-Short Form) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Untuk menguji validitas konstruk dari alat ukur ADMC dan TEIQue, penulis melakukan uji Explanatory Factor Analysis (EFA) dan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Adapun metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis regresi berganda dengan program SPSS. Dari hasil perhitungan, diperoleh nilai R2 = 0,207. Ini berarti bahwa proporsi varian dari kompetensi pengambilan keputusan yang secara keseluruhan bisa diterapkan pada 9 variabel ialah sebesar 20,7%. Atau dengan kata lain, penyebab bervariasinya skor kompetensi pengambilan keputusan yang ditentukan oleh 9 variabel (WB, SC, Em, So, Ad, SM, jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah) secara bersama-sama ialah sebesar 20,7%. Sedangkan sisanya sebesar 79,3% disebabkan oleh sebab-sebab atau aspek-aspek lain. Kesimpulannya, terdapat kemungkinan adanya aspek-aspek lain yang memiliki pengaruh lebih besar terhadap tingkat kompetensi pengambilan keputusan. Berdasarkan hasil uji hipotesis dalam penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa hanya variabel usia yang memiliki pengaruh signifikan dengan kompetensi pengambilan keputusan. Sedangkan variabel well-being, self-control, emotionality, sociability, adaptability, self-motivation, jenis kelamin, usia, lama menjadi kepala sekolah tidak memiliki pengaruh yang signifikan dengan tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan.
(G) Daftar Pustaka = 24 (1997 - 2009)
vi
KATA PENGANTAR Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Alhamdulillahirabbil‘alamin, puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas
segala rahmat dan karunia yang telah diberikan, sehingga penulis mampu menyelesaikan
skripsi ini. Shalawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW
beserta keluarga, sahabat, dan seluruh umatnya.
Terselesaikannya skripsi ini tidak terlepas dari arahan, bimbingan, dorongan, dan
bantuan dari berbagai pihak. Dalam sebuah hadits dikemukakan bahwa ‘orang yang paling
banyak bersyukur kepada Allah ialah orang yang paling banyak berterima kasih kepada
sesama hamba-Nya.’ Oleh karena itu, dengan hati yang tulus, penulis ucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Jahja Umar, Ph.D, Dekan Fakultas Psikologi, dosen sekaligus pembimbing dan
penguji pada sidang skripsi ini. Terima kasih banyak atas waktu, tenaga, dan pikiran yang
telah diikhlaskan selama bapak membimbing penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Ibu Yunita Faela Nisa, M.Psi.,Psi. dan bapak Prof. Dr. Abdul Mujib, M.Ag, dosen
sekaligus pembimbing dan penguji pada sidang skripsi ini. Terima kasih banyak atas
arahan, kesabaran, serta perhatian ibu dan bapak demi terselesaikannya skripsi ini.
3. Seluruh dosen Fakultas Psikologi UIN Syahid Jakarta dan keluarga besar Pontren
Hypnotherapy Ciputat di bawah asuhan bapak Drs. Asep Haerul Gani, Psi.
4. Seluruh karyawan Fakultas Psikologi UIN, terima kasih atas pelayanan terbaiknya kepada
penulis.
5. Orang tua penulis, bapak (Alm.) Syafe’i dan ibu Umi Khasanah. Kakak dan adik-adik
penulis: Muchlis Muttaqin, Farid Iqbal, Mu’min Hakim, (Alm.) Zuhairinnisa. Keluarga
besar di Jakarta, Pacitan, Solo, dan Surabaya. Bapak dan ibu, ikatan cinta kasih ini takkan
terlerai dan putus. Ya Allah, tempatkanlah bapak dan adik kami di tempat yang terbaik, di
sisi-Mu ya Allah, ampunilah dosa kami dan dosa kedua orang tua kami, sayangilah mereka
sebagaimana mereka menyayangi kami, berikanlah kami kebahagiaan di dunia dan di
akhirat, dan periharalah keluarga kami dari siksa api neraka, Amin ya Rabbal ‘Alamin.
6. Sahabat dan teman-teman semuanya. Khususnya: Yulistin, Nur Jamilah, Lidya, Desti,
Nurlaili, Nurusofa, Ricky Firmansyah, Hari Primayuda, Jarwo Haryanto, Dewonx’s, Desi
dan Pipit, teman-teman Psikologi angkatan 2005, kakak dan adik kelas. Terima kasih atas
vii
sharingnya, bisikan dukungan saat dirundung kecemasan, perhatian, hiburan, saran, dan
doa yang tiada henti.
7. Teman laki-laki yang berusaha mengenal dan menjalin hubungan serius dengan penulis.
Setiap individu memiliki keunikan tersendiri, begitu pula dengan kalian, terima kasih
banyak atas semua pengalaman dan pembelajaran itu.
8. Teman-teman dan para kepala sekolah yang menjadi responden dalam penelitian ini. Serta
semua orang yang telah membantu proses penyelesaian skripsi ini yang tidak mungkin
penulis sebutkan namanya satu per satu.
9. Terima kasih yang teramat sangat untuk diri penulis sendiri.
Akhirnya, penulis memohon kepada Allah SWT agar seluruh dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak dibalas oleh Allah SWT dengan sebaik-baiknya pembalasan, Amin ya
Rabbal ’Alamin..
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, terdapat banyak
kekurangan dan kesalahan, sehingga besar harapan penulis bagi segenap pembaca untuk
memberikan masukan yang lebih baik. Jika ada sesuatu yang ingin ditanyakan mengenai
penelitian ini, pembaca dapat menghubungi penulis melalui e-mail
([email protected]). Akhir kata, terima kasih atas semua kerjasamanya dan mohon
maaf atas semua salah dan khilaf.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..
Jakarta, Juni 2010
Anita Supita Sari
viii
DAFTAR ISI Halaman Judul............................................................................................. i
Halaman Persetujuan.................................................................................... ii
Halaman Pengesahan......................................................................................... iii
Lembar Pernyataan...................................................................................... iv
Halaman Motto..................................................................................................... v
Abstrak....................................................................................................... vi
Kata Pengantar......................................................................................... ...... vii
Daftar isi..................................................................................................... ix
Daftar Tabel............................................................................................... ....... xii
Daftar Gambar........................................................................................... ....... xiii
Daftar Lampiran........................................................................................... ....... xiv
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah................................................. 1
1.2. Permasalahan
1.3.1. Ruang Lingkup Masalah................................ ..... 10
1.3.2. Rumusan Masalah ..................................... 10
1.3. Tujuan Penelitian....................................................... ..... 11
1.4. Manfaat Penelitian...................................................... ..... 12
1.5. Sistematika Penulisan…………………………………….. 12
BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Kompetensi pengambilan keputusan
2.1.1. Pengertian………………………………………… 14
2.1.2. Unsur-Unsur Pengambilan Keputusan............. .... 16
2.1.3. Latar Belakang Pengambilan Keputusan.......... ... 16
2.1.4. Jenis-Jenis Pengambilan Keputusan.................... 18
2.1.5. Proses Pengambilan Keputusan........................... 20
2.1.6. Tindakan Memutuskan..................................... .... 22
2.1.7. Pendekatan di dalam Pengambilan Keputusan....... 23
2.1.8. Model-Model Pengambilan Keputusan................ 25
ix
2.1.9. Teknik-Teknik Pengambilan Keputusan.......... .... 27
2.1.10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi
Pengambilan Keputusan...................................... 28
2.1.11. Pengukuran Kemampuan pengambilan keputusan ... 32
2.2. Kecerdasan Emosional
2.2.1. Pengertian Kecerdasan Emosional...................... 34
2.2.2. Konsep Kecerdasan Emosional....................... ... 36
2.2.3. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional...................... ... 37
2.2.4. Pengukuran Kecerdasan Emosional ............... ... 41
2.3. Kerangka Berpikir....................................................... ... 43
2.4. Hipotesis ................................................................... 45
BAB 3 : METODE PENELITIAN
3.1. Populasi dan Sampel ................................................. 47
3.2. Variabel Penelitian..................................................... ..... 47
3.3. Alat Ukur Penelitian.................................................... ...... 49
3.3.1. Prosedur Pengumpulan Data................................ 50
3.3.2. Teknik Pengolahan Data .................................... 51
3.4. Teknik Analisis Data ................................................ 53
BAB 4 : HASIL PENELITIAN
4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian ........................... 56
4.2. Analisis Validitas Alat Ukur Penelitian........................ ..... 58
4.2.1. Uji validitas Alat Ukur ADMC............................... 58
4.2.2. Uji Validitas Alat Ukur TEIQue......................... ..... 61
4.3. Uji Hipotesis PenelitIian.................................................. 65
4.3.1. Uji Hipotesis 1 ............................................. ..... 67
4.3.2. Uji Hpotesis 2 .............................................. ..... 68
4.3.4. Uji Hipotesis 3 ............................................. ..... 68
4.3.4. Uji Hipotesis 4 ............................................. ..... 68
4.4. Proporsi Varian....................................................... ..... 69
BAB 5: KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN
5.1. Kesimpulan ................................................................. ..... 76
x
5.2. Diskusi ........................................................................ .... 77
5.3. Saran ........................................................................... 80
DAFTAR PUSTAKA............................................................................... .... 82
LAMPIRAN
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Teknik-teknik Mengambil Keputusan...................................... 20
Tabel 4.1 Distribusi Skor Kompetensi Pengambilan Keputusan
Berdasarkan Jenis Kelamin..................................................... 56
Tabel 4.2 Distribusi Skor Kompetensi Pengambilan Keputusan
Berdasarkan Usia.................................................................... 57
Tabel 4.3 Distribusi Skor Kompetensi Pengambilan Keputusan
Berdasarkan Lama Menjadi Kepala Sekolah......................... 57
Tabel 4.4 Goodness of Fit Test................................. ............................. 59
Tabel 4.5 Factor Matrix............................... ........................................... 59
Tabel 4.6 Keterangan Dari Hasil Factor Matrix .................................... 61
Tabel 4.7 Goodness of Fit Test .............................................................. 61
Tabel 4.8 Rotated Factor Matrix ............................................................. 62
Tabel 4.9 Pattern Matrix.......................................................................... 62
Tabel 4.10 Hasil Lamda X menggunakan Lisrel........................................ 64
Tabel 4.11 Coefficients analisis regresi dari ke-9 IV.................................. 66
Tabel 4.12 Model summary analisis regresi dari ke-9 IV........................... 69
Tabel 4.13 Anova analisis regresi dari ke-9 IV........................................... 69
Tabel 4.14 Model summary analisis regresi dari ke-6 IV.............................. 70
Tabel 4.15 Anova analisis regresi dari ke-6 IV............................................. 70
Tabel 4.16 Coefficients analisis regresi dari ke-6 IV ................................... 71
Tabel 4.17 Proporsi varian DV yang terkait dengan IV................................ 72
xii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 2.1 Kerangka Kerja Pembuatan Keputusan ........................................ 22
Gambar 2.2 Skema Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kompetensi
Mengambil Keputusan ................................................................... 31
Gambar 4.1 Hasil Analisis Faktor ADMC menggunakan Lisrel....................... 60
Gambar 4.2 Hasil Analisis Faktor TEIQue menggunakan Lisrel...................... 64
xiii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil hitungan proporsi varian DV yang terkait dengan IV
menggunakan program SPSS................................................. ....... 84
Lampiran 2 Data mentah komponen RF.......................................................... 86
Lampiran 3 Data mentah komponen RSN....................................................... 87
Lampiran 4 Data mentah komponen UO......................................................... 95
Lampiran 5 Data mentah komponen ADR...................................................... 101
Lampiran 6 Data mentah komponen CRP....................................................... 102
Lampiran 7 Data mentah komponen RSC....................................................... 103
Lampiran 8 Data mentah komponen PI........................................................... 104
Lampiran 9 Data mentah EI............................................................................ 105
Lampiran 10 Surat izin penelitian dari Fakultas untuk Kepala Sekolah SDN
di Kecamatan Jagakarsa………………………………………….. 107
Lampiran 11 Surat izin penelitian dari Fakultas untuk Kepala Sekolah SDN
di Kecamatan Pasar Minggu……………………………………… 108
Lampiran 12 Surat rekomendasi penelitian dari KASI Dikdas Jagakarsa……… 109
Lampiran 13 Surat rekomendasi penelitian dari KASI Dikdas Pasar Minggu…. 110
Lampiran 14 Daftar penerimaan dan pengembalian alat ukur………………….. 111
xiv
xv
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Dalam kehidupan sekarang ini, makin terasa betapa penting peranan organisasi
terhadap kepentingan manusia, rasanya tidak ada seorang manusia pun yang hingga pada
saat kematiannya, ia tidak terikat pada organisasi. Hal ini diakibatkan oleh
ketidakmampuan manusia secara fisik dan psikis dalam mencapai berbagai tujuan, selain
itu juga akibat keberadaan manusia sebagai makhluk sosial yang selalu terdorong untuk
bekerja sama dengan individu yang lain.
Pada hakikatnya, bentuk kerjasama antara sekelompok individu dengan berbagai
macam ikatan dalam mencapai tujuan bersama itulah yang disebut sebuah organisasi.
Kata organisasi mengandung dua macam pengertian secara umum, yaitu (1) menandakan
suatu institution (lembaga) atau kelompok fungsional, antar lain rumah sakit, sekolah,
kantor-kantor pemerintah, dan sebagainya, (2) proses pengorganisasian, dalam hal ini
pekerjaan diatur dan dialokasikan di antara para anggota organisasi, sehingga tujuan
organisasi dapat dicapai secara efisien.
Di dalam lingkungan organisasi, kepemimpinan ialah suatu kekuatan penting
dalam rangka pengelolaan, oleh sebab itu kemampuan memimpin secara efektif
merupakan kunci keberhasilan organisasi. Kepemimpinan terjadi melalui 2 bentuk, yaitu
formal leadership (kepemimpinan formal) dan informal leadership (kepemimpinan
informal). Menurut Wahjosumidjo (2008), berdasarkan rumusan Schermerhorn,
2
pengertian orang-orang yang ditunjuk atau dipilih melalui proses, berarti bahwa untuk
mengisi jabatan kepemimpinan formal harus dilaksanakan melalui proses yang
didasarkan atas kriteria-kriteria tertentu yang menjadi bahan pertimbangan, seperti latar
belakang pengalaman atau pendidikan, pangkat, usia, dan integritas atau harga diri.
Sekolah ialah suatu lembaga yang bersifat kompleks dan unik. Bersifat kompleks
karena sekolah sebagai suatu organisasi yang di dalamnya terdapat berbagai dimensi yang
saling berkaitan dan saling menentukan antara satu dengan yang lain. Sedang sifat unik,
menunjukkan bahwa sekolah merupakan organisasi yang memiliki ciri-ciri tertentu yang
tidak dimiliki oleh organisasi-organisasi lainnya, yaitu sekolah merupakan tempat di
mana terjadinya proses belajar mengajar, tempat terselenggaranya pembudayaan
kehidupan umat manusia.
Karena sifat yang kompleks dan unik itulah, sekolah sebagai organisasi
memerlukan tingkat koordinasi yang tinggi. Inilah pentingnya peranan seorang kepala
sekolah yang akan menentukan titik pusat dan irama suatu sekolah dalam mencapai
tujuan pendidikan.
Saat ini pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas
pendidikan dengan cara menyempurnakan sistem pendidikan, baik melalui penataan
perangkat keras maupun perangkat lunak. Salah satu upaya tersebut ialah dengan adanya
kebijakan dalam rangka desentralisasi pendidikan, yaitu pendekatan Manajemen Berbasis
Sekolah (selanjutnya disingkat MBS). Dalam UU RI Nomor 20 Tahun 2003 Tentang
Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 51 Ayat (1) disebutkan bahwa pengelolaan satuan
pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan
berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip MBS/madrasah. Dan di dalam
penjelasan atas undang-undang tersebut, dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan
MBS/madrasah ialah bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan,
3
yang dalam hal ini kepala sekolah/madrasah dan guru dibantu oleh komite
sekolah/madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan. MBS merupakan salah satu
wujud reformasi pendidikan yang memberikan otonomi kepada sekolah untuk mengatur
kehidupan sesuai dengan potensi, tuntutan, dan kebutuhannya. Otonomi dalam
manajemen merupakan tugas sekolah untuk meningkatkan kinerja para tenaga
kependidikan, menawarkan partisipasi langsung kelompok-kelompok terkait, dan
meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap pendidikan.
Dalam implementasi MBS, kepemimpinan merupakan suatu hal yang sangat
penting. Pelaksanaan MBS menuntut kepemimpinan kepala sekolah profesional yang
memiliki kemampuan manajerial dan integritas pribadi untuk mewujudkan visi menjadi
aksi, serta demokratis dan transparan dalam berbagai pengambilan keputusan. Oleh
karena itu, peran kepala sekolah sebagai pemimpin organisasi sekolah sangat sentral.
Kepala sekolah merupakan evaluator, manajer, administrator, supervisor, leader, inovator,
dan motivator.
Menurut Wahjosumidjo (2008), yang mengaitkan jabatan kepala sekolah sebagai
pejabat formal dengan teori Harry Mintzberg, diungkapkan adanya tiga macam peranan
seorang pemimpin, yaitu interpersonal, informational, dan decisional roles. Yang
pertama ialah interpersonal roles (peranan hubungan antarperseorangan). Peranan ini
timbul akibat otoritas formal dari seorang manajer, yang meliputi figurehead, leadership
(kepemimpinan), dan liasion (penghubung). Yang kedua ialah informational roles
(peranan informasional), kepala sekolah berperan untuk menerima dan menyebarluaskan
atau meneruskan informasi kepada guru, staf, siswa, dan orang tua siswa. Dalam fungsi
informasional inilah kepala sekolah berperan sebagai nerve center (urat syaraf) sekolah.
Peran kepala sekolah yang ketiga ialah sebagai desicional roles (pengambil keputusan).
Peranan sebagai pengambil keputusan merupakan peran yang paling penting dari kedua
4
macam peran yang lainnya. Ada empat macam peran kepala sekolah sebagai pengambil
keputusan, yaitu entrepreneur, disturbance-handler (orang yang memerhatikan
gangguan), a resource allocater (orang yang menyediakan segala sumber), dan negotiator
roles.
Siagian (1997) mengatakan bahwa salah satu tolak ukur utama yang biasa
digunakan untuk mengukur efektivitas kepemimpinan seseorang yang menduduki jabatan
pimpinan dalam suatu organisasi ialah kecekatan, kemahiran, dan kemampuannya dalam
pengambilan keputusan yang rasional, logis, berdasarkan daya pikir yang kreatif dan
inovatif, digabung dengan pendekatan yang intuitif dengan memanfaatkan berbagai
pelajaran yang diperoleh dari pengalaman. Bila diamati, kata ’kecekatan, kemahiran,
kemampuan’ merupakan variasi kata yang menggambarkan kompetensi. Berdasarkan
uraian tersebut, jelas bahwa pengambilan keputusan merupakan inti kepemimpinan,
karena pengambilan keputusan ialah kegiatan intelektual yang secara sadar dilakukan
oleh seseorang sehingga lebih menjamin bahwa hal-hal yang dihadapi oleh organisasi
telah diperhitungkan sebelumnya dan dengan demikian terhindar dari berbagai jenis
pendadakan.
Keputusan yang baik ialah keputusan yang memenuhi berbagai persyaratan. Dan
keputusan yang diambil hanya akan ada artinya dalam usaha pencapaian tujuan, dan
berbagai sasaran apabila dilaksanakan oleh para pelaksana yang memiliki dedikasi,
kesetiaan, kecakapan, dan keterampilan yang tinggi, yang kesemuanya merupakan
pencerminan dari perilaku yang positif.
Oleh sebab itu, kepala sekolah sebagai pimpinan organisasi sekolah yang
merupakan ujung tombak pengambil keputusan dalam menentukan kebijakan dan arah
tujuan pendidikan, selain harus memiliki keahlian atau kemampuan dasar, pengetahuan
dan keterampilan profesional, pelatihan dan pengalaman profesional, kompetensi kepala
5
sekolah, ia juga harus memiliki kualifikasi pribadi yang baik. Kualifikasi pribadi yang
berupa serangkaian sifat atau watak yang harus dimiliki oleh setiap pemimpin pada
umumnya, termasuk kepala sekolah, yaitu dalam segi: mental, fisik, emosi, berwatak
sosial, etik, sikap, dan kepribadian.
Menurut Damasio dalam Goleman (2007), emosi berperan dalam pengambilan
keputusan, termasuk pengambilan keputusan yang paling rasional. Damasio telah
melakukan studi yang saksama, hingga akhirnya ia mendapat bukti yang menuntunnya
pada pendapat kontra-intuisi yang menyatakan bahwa perasaan biasanya sangat
dibutuhkan untuk keputusan rasional, perasaan menunjukkan pada kita arah yang tepat,
sehingga logika mentah dapat digunakan sebaik-baiknya. Sementara dunia seringkali
menghadapkan kita kepada rentetan pilihan-pilihan yang tidak terhingga, pembelajaran
emosi yang telah diberikan kehidupan kepada kita mengirimkan sinyal-sinyal yang
merampingkan keputusan tersebut dengan membuang sejumlah pilihan dan memberi
penekanan pada pilihan-pilihan lain sejak awal.
Mikolajczak (2007:h.3) menyatakan bahwa “Emotion an essential ingredient: a)
accelerate the decision-making process (reduce the amount of information to be
processed), b) prevent us from hesitating endlessly between two options. Emotions can
both enhance and bias decision making.”
Salehudin (2008) menyimpulkan bahwa emosi dapat menghambat maupun
membantu proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan yang dilakukan
secara emosional maupun tanpa emosi sama-sama dapat mengurangi kualitas
pengambilan keputusan. Oleh karena itu, salah satu faktor yang dapat menentukan
apakah emosi dapat menghambat atau membantu proses pengambilan keputusan adalah
6
kemampuan pengambil keputusan untuk mengidentifikasi dan mengendalikan emosi yang
ia miliki.
Rachman dan Savitri (2009) juga mengatakan bahwa tantangan terbesar pemimpin
bukan ujian terhadap knowledge (pengetahuan)-nya, namun justru datang dari
kehebatannya dalam mengelola aspek emosi dan psikologi diri dan timnya. Bisa
dibayangkan bagaimana kacaunya bila seseorang tiba-tiba diposisikan sebagai pemimpin,
dituntut untuk mempraktikkan pengambilan keputusan dan pemberian arah yang jelas,
sementara ia tidak memiliki dan tidak mengasah kualitas-kualitas batinnya dengan
sungguh-sungguh.
Mubayidh (2006) mengungkapkan bahwa ada sejumlah penelitian yang dilakukan
dengan maksud menjawab pertanyaan tentang karakter dan pengalaman pemimpin yang
sukses, serta untuk merumuskan kriteria pimpinan yang baik. Hasil penelitian tersebut
digunakan untuk mengetahui perbedaan antara pemimpin agung dengan pemimpin biasa.
Ternyata faktor yang membedakan keduanya ialah Emotional Intelligence atau Emotional
Quotient (kecerdasan emosional).
Beberapa pakar memberikan definisi beragam pada kecerdasan emosi, di
antaranya ialah kemampuan untuk menyikapi pengetahuan-pengetahuan emosional dalam
bentuk menerima, memahami, dan mengelolanya. Salovey dalam Goleman (2007),
memperluas kecerdasan emosi menjadi lima wilayah utama, yaitu mengenali emosi diri,
mengelola emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang lain, dan membina
hubungan.
Untuk memahami 5 wilayah yang disebut di atas, kita uraikan salah satunya, yaitu
mengenai mengenali emosi diri. Mengenali emosi diri dapat diartikan kesadaran diri.
Sheth (2007) menjelaskan bahwa sadar diri ialah keterampilan kunci dari kecerdasan
7
emosi yang ada di belakang kepemimpinan yang baik. Keterampilan ini sering dipandang
sebagai kemampuan untuk mengetahui bagaimana perasaan kita sendiri, mengapa, serta
bagaimana dampak perasaan diri terhadap tingkah laku kita sendiri. Akan tetapi,
kesadaran diri ini juga melibatkan kemampuan untuk memantau dan mengendalikan bias
bawah sadar yang kuat pada setiap orang, yang dapat mempengaruhi pengambilan
keputusan. Pada saat yang sama, perlu diwaspadai penggunaan kecerdasan emosi jika
keterampilan ini dikembangkan secara tidak proporsional, karena itu dapat mengganggu
hubungan. Sebagai contoh, jika seorang pemimpin ekstrem sadar diri tapi kurang empati,
pemimpin itu mungkin menjadi orang yang terobsesi sendiri. Pemimpin yang cerdas
emosi ialah pemimpin yang tahu kapan harus mengendalikannya.
Kecerdasan emosi berbeda-beda tingkatnya antara satu pemimpin dengan
pemimpin yang lainnya, dan pemimpin-pemimpin itu menerapkannya dengan
keterampilan-keterampilan yang berbeda-beda pula. Jika dipergunakan dengan bijak dan
simpatik, kecerdasan emosi akan memacu pemimpin, orang-orangnya, dan organisasinya
hingga mencapai kinerja yang luar biasa. Sebaliknya, jika dipergunakan secara naif dan
melenceng, kecerdasan emosi dapat melumpuhkan pemimpin atau memungkinkan
mereka memanipulasi para pengikutnya untuk kepentingan pribadi.
Hasil pengamatan awal penulis memperlihatkan bahwa masih banyak kepala
sekolah yang belum mengerti dan memahami cara melakukan pengambilan keputusan
yang efektif sesuai dengan informasi yang tersedia dan sasaran yang hendak dicapai.
Lebih jauh lagi, para kepala sekolah cenderung menuruti perasaan dan emosi dalam
memecahkan permasalahan, sehingga keputusan yang diambil terkadang berkualitas
rendah dan tidak tepat sasaran. Telah diuraikan sebelumnya bahwa pengambilan
keputusan yang dilakukan secara emosional maupun tanpa emosi sama-sama dapat
mengurangi kualitas pengambilan keputusan. Dan salah satu faktor yang dapat
8
menentukan apakah emosi dapat menghambat atau membantu proses pengambilan
keputusan adalah kemampuan pengambil keputusan untuk mengidentifikasi dan
mengendalikan emosi yang ia miliki, dengan kata lain ialah bagaimana kecenderungan
kecerdasan emosional yang dimiliki oleh para pengambil keputusan itu sendiri.
Beberapa fenomena menunjukkan di antaranya masih banyak kepala sekolah yang
selalu meminta petunjuk dari atasan, yaitu pihak Dinas Pendidikan dalam rangka
merumuskan kebijakan, namun di pihak lain ada kepala sekolah yang telah berani
pengambilan keputusan atas inisiatif sendiri bersama dengan guru dan komite sekolah.
Kondisi pertama yang telah dikemukakan di atas bisa disebabkan karena kepala
sekolah belum mengetahui atau belum menguasai pendekatan, metode, dan teknik yang
dapat dipakai untuk meningkatkan kompetensi dalam pengambilan keputusan. Hal ini
juga disebabkan oleh belum berjalannya penyelenggaraan otonomi sekolah. Salah satunya
dapat terlihat pada birokrasi pendidikan, terutama dinas tingkat kecamatan yang masih
memegang kendali atas kepala sekolah yang dengan sendirinya telah menguasai kendali
sekolah. Hal tersebut dapat dikarenakan pemberian otonomi yang hanya sampai pada
tingkat kepala sekolah. Kondisi ini memungkinkan bagi birokrasi pendidikan untuk
melakukan kontrol, karena melalui Kepmen Nomor 162/U/2003, pemberhentian dan
pengangkatan kepala sekolah masih menjadi kewenangan mereka. Walau kepala sekolah
adalah guru yang mendapat tugas tambahan, secara struktural posisinya berada di atas
komponen sekolah lainnya, seperti guru. Pelimpahan otonomi membuat kewenangan
yang dimiliki kepala sekolah sangat besar. Apalagi belum ada mekanisme yang bisa
memaksa kepala sekolah melibatkan orang tua murid dan guru dalam pembuatan
kebijakan akademis apalagi finansial.
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan, ada indikasi bahwa kecerdasan
emosional memiliki peranan penting dalam pengambilan keputusan yang dibuat seorang
9
pemimpin, dalam hal ini ialah kepala sekolah sebagai pimpinan organisasi sekolah yang
dihadapkan pada berbagai kebijakan pemerintah, salah satunya ialah mengenai
pendekatan MBS. Kecerdasan emosional yang dimaksud di sini ialah trait Emotional
Intelligence (selanjutnya disebut trait EI).
Mikolajczak (2007) mengatakan bahwa ada 3 level kecerdasan emosional, yaitu:
(1) knowledge, (2) abilities, (3) traits = dispositions. Trait EI merupakan level yang
paling relevan dengan pengambilan keputusan. Salah satu alat ukur yang digunakan untuk
mengukur trait EI ialah Trait Emotional Intelligence Questionnaire (selanjutnya disebut
TEIQue) yang mencakup 6 faktor, yaitu Well-Being (selanjutnya disebut WB), Self-
Control (selanjutnya disebut SC), Emotionality (selanjutnya disebut Em), Sociability
(selanjutnya disebut So), Adaptability (selanjutnya disebut Ad), dan Self-Motivation
(selanjutnya disebut SM). Maka dari itu, penulis ingin mengkaji secara ilmiah apakah ada
pengaruh yang signifikan antara kecerdasan emosional, yang mencakup WB, SC, Em, So,
Ad, dan SM terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan di kalangan
kepala sekolah.
Seperti yang telah dijelaskan pada pembahasan di awal, bahwa ada beberapa
kriteria yang menjadi bahan pertimbangan untuk mengisi jabatan formal, di antaranya
ialah usia dan latar belakang pengalaman. Mikolajczak (2006) juga membuktikan adanya
pengaruh jenis kelamin dan usia terhadap trait EI. Oleh karena itu, maka penulis juga
menjadikan jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah sebagai variabel
tambahan dalam penelitian ini.
10
1.2. Permasalahan
1.2.1. Ruang Lingkup Masalah
Dalam penelitian ini, pengaruh antara kecerdasan emosional terhadap
tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan di kalangan kepala sekolah,
diteliti dalam lingkup yang dibatasi, yaitu:
1. Populasi dalam penelitian ini terbatas pada kepala sekolah yang berkedudukan
sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) pada tingkat pendidikan dasar.
2. Dari semua variabel yang mempengaruhi pengambilan keputusan, hanya
sebagian saja yang diteliti, yaitu yang manageable (dapat dikendalikan),
sesuai kemampuan, waktu, tenaga, dan biaya. Variabel-variabel itu ialah:
kecerdasan emosional (mencakup WB, SC, Em, So, Ad, dan SM), jenis
kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah.
1.2.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang dan ruang lingkup masalah, maka
rumusan masalah yang ingin dijawab dalam penelitian ini ialah:
1. Apakah kecerdasan emosional dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat
kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?
a. Apakah WB dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi
seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?
b. Apakah SC dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi
seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?
c. Apakah Em dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi
seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?
11
d. Apakah So dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi
seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?
e. Apakah Ad dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi
seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?
f. Apakah SM dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi
seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?
2. Apakah jenis kelamin dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat
kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?
3. Apakah usia dapat secara signifikan mempengaruhi tingkat kompetensi
seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?
4. Apakah lama menjadi kepala sekolah dapat secara signifikan mempengaruhi
tingkat kompetensi seorang kepala sekolah dalam pengambilan keputusan?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini ialah:
Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh kecerdasan emosional (mencakup WB, SC, Em,
So, Ad, SM), jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah terhadap tingkat
kompetensi dalam pengambilan keputusan di kalangan kepala sekolah, sehingga dapat
disusun rekomendasi untuk meningkatkan kompetensi tersebut.
12
1.4 Manfaat Penelitian
Dari hasil penelitian ini, peneliti berharap:
1. Dapat memberikan masukan dan bahan pertimbangan kepada Dinas Pendidikan
Provinsi DKI Jakarta, dalam rangka pelaksanaan seleksi penentuan kompetensi
sumber daya manusia yang berkualitas untuk mengisi jabatan kepala sekolah.
2. Dapat memberikan informasi dan masukan bagi kepala sekolah yang berada di dalam
maupun di luar kawasan penelitian untuk terus belajar meningkatkan kecerdasan
emosional serta kompetensinya dalam pengambilan keputusan untuk kebijakan
sekolah, melalui program peningkatan kompetensi kepala sekolah, pendidikan dan
pelatihan (diklat), rekayasa situasi, dsb.
3. Dapat menambah informasi untuk memperkaya khasanah ilmu pengetahuan,
khususnya bidang psikologi kognitif, sosial, PIO agar dapat dijadikan pedoman untuk
penelitian lebih lanjut terutama dalam mengkaji variabel lain yang berkaitan dengan
kecerdasan emosional dan pengambilan keputusan dengan kancah penelitian yang
berbeda dan jumlah responden yang lebih banyak.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan dalam penelitian ini mengacu pada pedoman penulisan
APA (American Psychology Association)–style dan pedoman penyusunan dan penulisan
skripsi Fakultas Psikologi UIN Syahid Jakarta. Penulisan penelitian ini dibagi menjadi
beberapa bahasan seperti yang akan dijabarkan berikut ini:
13
BAB I : PENDAHULUAN
Pada bab ini, peneliti menguraikan tentang latar belakang masalah,
permasalahan (identifikasi, batasan, rumusan), tujuan dan manfaat
penelitian, serta sistematika penelitian.
BAB II : LANDASAN TEORI
Pada bab ini, peneliti menguraikan tentang berbagai teori yang
digunakan, kerangka berpikir, dan hipotesis.
BAB III : METODE PENELITIAN
Pada bab ini, peneliti menguraikan tentang, populasi dan sampel,
variabel penelitian, alat ukur dan teknik analisis data.
BAB IV : HASIL PENELITIAN
Pada bab ini, peneliti menyajikan gambaran umum subjek, hasil
pengujian hipotesis peneltian dan interpretasinya.
BAB V : KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Pada bab ini, peneliti menyimpulkan apa yang telah diuraikan pada bab-
bab sebelumnya, diskusi hasil penelitian disertai rekomendasi dalam
bentuk saran yang relevan dan yang sifatnya konstruktif bagi para ujung
tombak pengambil keputusan.
14
BAB II
LANDASAN TEORI
Bab ini memaparkan teori yang digunakan dalam penelitian ini yang terdiri dari 4
subbab, yaitu: (1) kompetensi pengambilan keputusan, (2) kecerdasan emosional, (3)
kerangka berpikir, (4) hipotesis penelitian.
2.1. Kompetensi Pengambilan Keputusan
2.1.1. Pengertian
Competence (kompetensi, kecakapan, kemampuan, wewenang) ialah
kelayakan untuk melakukan satu tugas, dan merupakan satu keadaan mental yang
memberikan kualifikasi seseorang untuk berwenang dan bertanggung jawab atas
tindakan dan perbuatannya (Chaplin, 2008). Kompetensi yang dimaksud di sini
ialah satu kesatuan utuh yang menggambarkan potensi, pengetahuan,
keterampilan, dan sikap yang dinilai untuk menjalankan profesi tertentu.
Sedangkan keputusan ialah hasil pemutusan, yang telah ditetapkan (setelah
dipertimbangkan, dipikirkan, dsb).
Pengambilan keputusan merupakan suatu hal yang tidak akan pernah lepas
dari kegiatan kepemimpinan. Sedangkan yang sering terjadi selama ini ialah
kurangnya kesadaran bahwa tugas utama seorang pemimpin ialah pengambilan
keputusan. Sebenarnya, segala sesuatu yang terjadi dalam sebuah organisasi
sebaiknya ialah karena telah diputuskan sedemikian rupa, bukan karena terjadi
secara kebetulan semata. Dengan pengambilan keputusan yang tepat, maka segala
15
pendadakan dapat dikurangi dan bahkan dihindari. Hal ini sesuai dengan apa yang
dikatakan Siagian (1997) bahwa pengambilan keputusan merupakan inti
kepemimpinan, karena pengambilan keputusan ialah kegiatan intelektual yang
secara sadar dilakukan oleh seseorang sehingga lebih menjamin bahwa hal-hal
yang dihadapi oleh organisasi telah diperhitungkan sebelumnya dan dengan
demikian terhindar dari berbagai jenis pendadakan. Karena itu, berbagai model,
metode, dan teknik pengambilan keputusan harus dikuasai oleh orang-orang yang
menduduki jabatan pimpinan apa pun bentuk, jenis, dan ukuran organisasi yang
dipimpinnya.
Supranto (1998) mengatakan bahwa inti dari pengambilan keputusan ialah
terletak dalam perumusan berbagai alternatif tindakan sesuai dengan yang sedang
dalam perhatian dan dalam pemilihan alternatif yang tepat setelah suatu evaluasi
(penilaian) mengenai efektivitasnya dalam mencapai tujuan yang dikehendaki
pengambil keputusan. Setiap pengambil keputusan harus mengetahui dalam
lingkungan yang bagaimana keputusan tersebut diambil.
Bruine de Bruin, Parker, dan Fischhoff (2007:h.939) mengemukakan
mengenai cakupan kompetensi pengambilan keputusan, yaitu:
Normative models of decision making typically identify four fundamental skills: Belief assessment involves judging the likelihood of outcomes, value assessment involves evaluating outcomes, integration involves combining beliefs and values in making decisions, and metacognition means knowing the extent of one’s abilities. Thus, these models judge the quality of a decision by its process rather than by its outcome, although it is assumed that a person who uses better decision processes will be more likely to experience good decision outcomes.
Dari beberapa definisi dan deskripsi yang telah dikemukakan, dapat
disimpulkan bahwa kompetensi pengambilan keputusan dalam penelitian ini ialah
kompetensi seorang kepala sekolah dalam memilih suatu alternatif terbaik dari
16
berbagai macam alternatif yang tersedia untuk mencapai tujuan pendidikan
dengan menguasai berbagai keterampilan dasar, model, metode, dan teknik yang
tepat dan efisien sesuai dengan lingkungan situasi keputusan.
2.1.2. Unsur-Unsur Pengambilan Keputusan
Agar pengambilan keputusan dapat lebih terarah, maka perlu diketahui
unsur-unsur atau komponen-komponen dari pengambilan keputusan tersebut.
Hasan (2004) menyebutkan bahwa unsur-unsur atau komponen-komponen dari
pengambilan keputusan itu ialah:
a. Tujuan dari pengambilan keputusan
b. Identifikasi alternatif-alternatif keputusan untuk memecahkan masalah
c. Perhitungan mengenai faktor-faktor yang tidak dapat diketahui sebelumnya
atau di luar jangkauan manusia
d. Sarana atau alat untuk mengevaluasi atau mengukur hasil dari suatu
pengambilan keputusan.
2.1.3. Latar Belakang Pengambilan Keputusan
Supranto (1998) mengatakan bahwa organisasi, perorangan, dan kelompok
perorangan yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan dinyatakan dalam
teori sistem. Dalam teori ini, suatu sistem merupakan suatu set elemen-elemen
atau komponen-komponen yang tergabung bersama berdasarkan suatu bentuk
hubungan tertentu. Komponen-komponen itu satu sama lain saling kait mengait
dan membentuk suatu kesatuan yang utuh. Tingkah laku suatu sistem ditentukan
oleh hubungan antar komponennya. Suatu organisasi merupakan suatu contoh
sistem yang terdiri dari sejumlah individu, kelompok individu yang bekerja sama
17
untuk mencapai suatu tujuan. Sistem itu terdiri dari beberapa tingkat (hirarki)
yang berbeda-beda. Hirarki yang paling atas ialah pimpinan tertinggi dari suatu
organisasi. Sebagai contoh, pimpinan tertinggi dari organisasi sekolah ialah kepala
sekolah.
Yang dikemukakan oleh Supranto di atas, sesuai dengan salah satu bagian
dari dasar-dasar pengambilan keputusan yang diungkapkan oleh George R. Terry
dalam Hasan (2004) yang dinamakan wewenang. Dasar-dasar pengambilan
keputusan yang berlaku antara lain:
a. Intuisi. Intuisi atau perasaan ini memiliki sifat subjektif, sehingga mudah
terkena pengaruh.
b. Pengalaman. Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki
manfaat bagi pengetahuan praktis. Karena pengalaman seseorang dapat
memperkirakan keadaan sesuatu, dapat memperhitungkan untung ruginya,
baik-buruknya keputusan yang akan dihasilkan.
c. Fakta. Pengambilan keputusan berdasarkan fakta dapat memberikan keputusan
yang sehat, solid, dan baik.
d. Wewenang. Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya
dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannya atau orang yang lebih tinggi
kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya dalam suatu
sistem.
e. Rasional. Pada keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan yang
dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk
memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu, sehingga dapat
dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan.
Dalam pengambilan keputusan rasional ini terdapat beberapa hal, yaitu:
18
kejelasan masalah, orientasi tujuan, pengetahuan alternatif, preferensi yang
jelas, dan hasil maksimal.
2.1.4. Jenis-Jenis Pengambilan Keputusan
Berdasarkan kriteria yang menyertainya, pengambilan keputusan dapat
diklasifikasikan atas beberapa jenis, antara lain:
1. Dalam Siagian (1997), pengambilan keputusan dapat dibedakan menjadi dua
kelompok berdasarkan programnya, yaitu:
a. Pengambilan keputusan terprogram. Secara sederhana dapat dikatakan
tindakan menjatuhkan pilihan yang berlangsung berulang kali, dan diambil
secara rutin dalam organisasi. Perlu diperhatikan, bahwa pengambilan
keputusan terprogram hanya akan berlangsung dengan efektif apabila
empat kriteria dasar dipenuhi, yaitu: tersedia waktu dan dana yang
memadai untuk pengumpulan dan analisis data; tersedia data yang bersifat
kuantitatif; kondisi lingkungan yang relatif stabil; tersedia tenaga terampil
untuk merumuskan permasalahan secara tepat, termasuk tuntutan
operasional yang harus dipenuhi.
b. Pengambilan keputusan tidak terprogram. Berbeda dengan pengambilan
keputusan terprogram, pengambilan keputusan tidak terprogram biasanya
diambil dalam usaha memecahkan masalah-masalah baru yang belum
pernah dialami sebelumnya, tidak bersifat repetitif, tidak terstruktur, dan
sukar mengenali bentuk, hakikat, dan dampaknya. Pengalaman dan
pengamatan menunjukkan bahwa pemecahan masalah dan pengambilan
keputusan tidak terprogram biasanya tidak menyangkut hal-hal yang
sifatnya operasional, akan tetapi menyangkut kebijaksanaan organisasi
19
dengan dampak yang strategis bagi eksistensi organisasi yang
bersangkutan. Berarti bahwa pengambilan keputusan tidak terprogram
pada umumnya dibebankan di atas pundak para pimpinan tertinggi suatu
organisasi.
2. Dalam Supranto (1998), pengambilan keputusan dapat dibedakan menjadi
empat kelompok berdasarkan lingkungannya, yaitu:
a. Pengambilan keputusan dalam keadaan certainty (ada kepastian). Apabila
semua informasi yang diperlukan untuk pengambilan keputusan lengkap,
maka keputusan dikatakan dalam keadaan atau situasi ada kepastian.
Dengan perkataan lain dalam keadaan ada kepastian, kita dapat
meramalkan secara tepat atau eksak hasil dari setiap tidakan action
(tindakan). Pemecahan mengenai pengambilan keputusan dalam keadaan
ada kepastian, sifatnya deterministik.
b. Pengambilan keputusan dalam keadaan ada risk (risiko). Risiko terjadi jika
hasil pengambilan keputusan walaupun tidak dapat diketahui dengan pasti,
akan tetapi diketahui nilai kemungkinan (probabilitasnya).
c. Pengambilan keputusan dalam keadaan uncertainty (ketidakpastian).
Ketidakpastian akan kita hadapi sebagai pengambil keputusan jika hasil
keputusan sama sekali tidak diketahui karena hal yang akan diputuskan
belum pernah terjadi sebelumnya.
d. Pengambilan keputusan dalam keadaan ada conflict (konflik). Situasi
konflik terjadi jika kepentingan dua pengambil keputusan atau lebih saling
bertentangan (ada konfik) dalam situasi kompetitif. Walaupun
kelihatannya sederhana, keputusan dalam situasi ada konflik seringkali
dalam praktiknya menjadi sangat rumit (kompleks).
20
Secara keseluruhan, teknik-teknik yang dapat dipergunakan untuk
pengambilan keputusan dalam situasi yang berbeda-beda tersebut dapat dilihat
dalam tabel berikut:
Tabel 2.1: Teknik-Teknik Pengambilan keputusan
No. Situasi pengambilan
keputusan
Pemecahan Teknik
1. Ada kepastian Deterministik - Linear programming
- Model transportasi
- Model penugasan
- Model inventori
- Model antrian
- Model ‘network’
2. Ada risiko Probabilistik - Model keputusan probabilistik
- Model inventori probabilistik
- Model antrian probabilistic
3. Tidak ada kepastian Tak diketahui Analisis keputusan dalam
keadaan ketidakpastian
4. Ada konflik Tergantung
tindakan lawan
Game theory (teori permainan)
2.1.5. Proses Pengambilan Keputusan
Dalam Hasan (2004), proses pengambilan keputusan merupakan tahap-
tahap yang harus dilalui atau digunakan untuk membuat keputusan. Tahap-tahap
ini merupakan kerangka dasar, sehingga setiap tahap dapat dikembangkan lagi
21
menjadi beberapa sub tahap (disebut langkah) yang lebih khusus (spesifik) dan
lebih operasional.
Secara garis besar, proses pengambilan keputusan terdiri dari:
1. Penemuan masalah. Tahap ini merupakan tahap di mana masalah harus
didefinisikan dengan jelas, sehingga perbedaan antara masalah dan bukan
masalah (misalnya issu) menjadi jelas.
2. Pemecahan masalah. Tahap ini merupakan tahap di mana masalah yang sudah
ada atau sudah jelas itu kemudian diselesaikan. Langkah-langkah yang diambil
ialah sebagai berikut:
a. Identifikasi alternatif-alternatif keputusan untuk memecahkan masalah
b. Perhitungan mengenai faktor-faktor yang tidak dapat diketahui
sebelumnya atau di luar jangakuan manusia, identifikasi peristiwa-
peristiwa di masa datang
c. Pembuatan alat (sarana) untuk mengevaluasi atau mengukur hasil,
biasanya berbentuk pay off table (tabel hasil)
d. Pemilihan dan penggunaan model pengambilan keputusan.
3. Pengambilan keputusan. Keputusan yang diambil ialah berdasarkan pada
keadaan lingkungan atau kondisi yang ada, seperti kondisi pasti, kondisi
berisiko, kondisi tidak pasti, dan kondisi konflik.
Halpern dalam Suharnan (2005) mengusulkan sebuah kerangka kerja
pembuatan keputusan yang memuat sejumlah langkah-langkah yang dapat
ditempuh oleh orang yang akan membuat keputusan terutama untuk masalah yang
kompleks. Kerangka kerja pembuatan keputusan itu sebagai berikut:
22
Gambar 2.1: Kerangka Kerja Pembuatan Keputusan
Mengidentifikasi, mengenali, dan membingkai keputusan
Mencari dan menemukan
sejumlah alternatif
Mengevaluasi alternatif yang dihasilkan dengan
mempertimbangkan berbagai aspek
Mengevaluasi hasil-hasilnya
Melakukan tindakan sesuai keputusan
Mengevaluasi ulang, membingkai ulang, mencari
ulang alternatif lain
Memilih salah satu alternatif dan
melakukan tindakan
2.1.6. Tindakan Memutuskan
Menurut Siagian (1997), akal sehat dan pemikiran yang logis akan dengan
mudah menerima pendapat yang mengatakan bahwa dalam seluruh proses
pengambilan keputusan, tindakan memutuskan merupakan tindakan yang paling
dominan. Bahkan tanpa adanya tindakan memutuskan, sesungguhnya proses
pengambilan keputusan itu tidak berarti apa-apa. Tindakan memutuskan juga
23
merupakan langkah yang paling sulit. Pendalaman tindakan memutuskan secara
rasional menjadi semakin rumit, apabila diingat bahwa dengan perkembangan
yang sangat pesat dalam ilmu administrasi dan manajemen sekalipun, serta
dibantu oleh ilmu-ilmu lainnya yang mendukung, pengetahuan para pengambil
keputusan masih tetap sangat terbatas. Dikatakan demikian karena mendalami
tindakan memutuskan itu mencakup berbagai bidang, seperti: ciri-ciri pribadi
pengambil keputusan, latar belakang sosialnya, latar belakang pendidikan, filsafat
hidup, nilai-nilai organisasional, nilai-nilai sosial, sifat dan bentuk tujuan yang
ingin dicapai, kondisi lingkungan, gaya manajerial seseorang, kemampuan
organisasi dalam arti sumber daya dan dana yang dimiliki, model-model dan
teknik-teknik pengambilan keputusan yang diketahui dan dapat digunakan.
2.1.7. Pendekatan di dalam Pengambilan Keputusan
Dalam Suharnan (2005), pendekatan-pendekatan di dalam pembuatan
keputusan dapat dibedakan menjadi 2 macam, yaitu pendekatan normatif dan
deskriptif. Pendekatan normatif menggunakan prinsip berpikir rasional-logis (apa
yang seharusnya) sehingga menghasilkan suatu keputusan yang ideal. Sementara
itu, pendekatan deskriptif menggunakan prinsip kenyataan dan kecenderungan
orang-orang di dalam membuat keputusan di dalam praktik hidup sehari-hari,
sehingga keputusan yang dihasilkan kebanyakan hanya mencapai tingkat yang
cukup memuaskan atau baik.
Beberapa alternatif dalam pendekatan deskriptif telah diusulkan oleh para
ahli teori tentang pembuatan keputusan. Salah satu alternatif yang terkenal ialah
prospect theory (teori prospek). Teori prospek dikembangkan oleh dua orang
24
ilmuwan terkemuka dari Amerika Serikat, Danniel Kahneman dan Amos Tversky
di sekitar tahun 80-an.
Prinsip-prinsip yang diajukan oleh teori prospek meliputi: value function
(prinsip fungsi nilai), decision frame (bingkai keputusan), psychological
accounting (perhitungan mental psikologis), probability (probabilitas), dan
certainty effect (efek kepastian).
Dewasa ini para ahli psikologi khususnya lebih banyak mencurahkan
perhatian dalam studinya pada proses pembuatan keputusan melalui strategi
heuristik sebagai bagian dari pendekatan deskriptif. Heuristik ialah cara
menentukan sesuatu melalui hukum kedekatan, kemiripan, kecenderungan, atau
keadaan yang diperkirakan paling mendekati kenyataan. Heuristik sering disebut
the rule of thumb. Penggunaan pendekatan atau strategi heuristik ini dapat
diibaratkan seseorang yang menentukan panjang sebuah meja dengan
merentangkan jari tangannya, bukan dengan alat ukur yang dapat menunjuk
panjang secara akurat. Strategi-heuristik tersebut meliputi: keterwakilan,
ketersediaan informasi, pembuatan patokan atau ancer-ancer, perangkap
keputusan, kepercayaan yang berlebihan, dan pembingkaian.
Siagian (1997) mengatakan bahwa tidak cukup hanya dengan
menggunakan keputusan yang tidak baik sebagai titik tolak untuk meninjau
kembali model dan teknik pengambilan keputusan yang pernah digunakan. Sama
pentingnya ialah menilai mengapa suatu keputusan dapat dikatakan sebagai
keputusan yang baik, sedangkan yang lain dipandang sebgai keputusan yang tidak
baik. Hal ini perlu diketahui agar kita dapat memetik pelajaran untuk penerapan
model dan teknik pengambilan keputusan yang akan datang, sehingga dapat
25
mendatangkan hasil yang diharapkan. Dua cara untuk melakukan penilaian itu
ialah:
a. Menggunakan pendekatan yang sifatnya pragmatis, yaitu melihat hasil yang
dicapai. Jika hasil yang dicapai sesuai dengan harapan dan keinginan,
keputusan yang diambil dapat dikatakan keputusan yang baik.
b. Menggunakan pendekatan yang sifatnya prosedural. Dalam hal ini yang dinilai
ialah proses atau tata cara yang digunakan dalam pengambilan keputusan.
Yang dilakukan ialah menilai sesuatu keputusan, baik atau tidak, berdasarkan
cara yang ditempuh untuk menjatuhkan pilihan. Cara inilah yang menyangkut
model dan teknik pengambilan keputusan.
Menurut Anderson dalam Suharnan (2005), untuk menghadapi
permasalahan atau keputusan yang kompleks, seseorang dapat menempuh 3
pendekatan, yaitu memaksimalkan nilai minimum (pendekatan pesimis),
memaksimalkan nilai maksimum (pendekatan optimis), dan memaksimalkan nilai
harapan (memperhitungkan nilai-nilai yang baik dan buruk). Seseorang juga perlu
mempertimbangkan penggunaan proses conscious thingking (berpikir sadar) atau
unconscious thinking (berpikir tidak sadar) agar dapat diperoleh keputusan yang
baik.
2.1.8. Model-Model Pengambilan Keputusan
Dalam Hasan (2004), model ialah percontohan yang mengandung unsur
yang bersifat penyederhanaan untuk dapat ditiru (jika perlu). Model merupakan
alat penyederhanaan dan penganalisisan situasi atau sistem yang kompleks. Jadi
dengan model, situasi atau sistem yang kompleks itu dapat disederhanakan tanpa
26
menghilangkan hal-hal yang esensial dengan tujuan memudahkan pemahaman.
Pembuatan dan penggunaan model dapat memberikan kerangka pengelolaan
dalam pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan itu sendiri merupakan suatu proses berurutan yang
memerlukan penggunaan model secara tepat dan benar. Pengambil keputusan
berusaha menggeser keputusan yang semula tanpa perhitungan menjadi keputusan
yang penuh perhitungan.
Klasifikasi model dapat dilakukan berdasarkan: purpose (tujuannya), field
of application (bidang penerapannya), level (tingkatannya), time character (ciri
waktunya), form (bentuknya), analytic development (pengembangan analitik),
complexity (kompleksitas), formalization (formalisasi).
Quade dalam Hasan (2004) membedakan model ke dalam dua tipe, yaitu:
1. Model kuantitatif. Model kuantitatif ialah serangkaian asumsi yang tepat, yang
dinyatakan dalam serangkaian hubungan matematis yang pasti.
2. Model kualitatif. Model kualitatif didasarkan atas asumsi-asumsi yang
ketepatannya agak kurang jika dibandingkan dengan model kuantitatif dan
ciri-cirinya digambarkan melalui kombinasi dari deduksi-deduksi asumsi-
asumsi tersebut, dengan pertimbangan yang lebih bersifat subjektif mengenai
proses atau masalah yang pemecahannya dibuatkan model. Gullett dan Hicks
memberikan beberapa klasifikasi model pengambilan keputusan yang kerap
kali digunakan untuk memecahkan masalah (yang hasilnya kurang diketahui
secara pasti), antara lain: model probabilitas, konsep tentang nilai-nilai
harapan, the payoff matrix model (model matriks korelasi), decision tree model
(model pohon keputusan), model kurva indiferen (kurva tak acuh), dan model
simulasi komputer.
27
2.1.9. Teknik-Teknik Pengambilan Keputusan
Telah terlihat pada uraian sebelumnya, bahwa model apapun yang
digunakan dalam pengambilan keputusan, sebelum tindakan memutuskan diambil,
diperlukan data dan informasi yang memenuhi syarat kemutakhiran, kelengkapan,
ketepatan, dan ketersediaan apabila diperlukan, karena sukar dibayangkan bahwa
keputusan yang rasional dapat diambil tanpa bantuan informasi.
Dalam Siagian (1997), pada dasarnya ada dua kelompok teknik
pengambilan keputusan yang dapat dan biasa digunakan, yaitu:
1. Teknik pengambilan keputusan yang bersifat kuantitatif. Inti teknik ini terletak
pada usaha menganalisis berbagai variabel yang jumlahnya banyak dan
mencari hubungan antara berbagai variabel tersebut.
a. Teknik pengambilan keputusan yang tidak bersifat kuantitatif. Teknik-
teknik itu antara lain: brainstorming, synetics, consensus thinking, delphi,
fish bowling, didactic interaction, collective bargaining.
b. Pemecahan masalah. Teknik pemecahan masalah ini berkisar pada
pengambilan tujuh langkah, yaitu: identifikasi dan definisi hakikat masalah
yang dihadapi, pengumpulan dan pengolahan informasi, identifikasi
alternatif, analisis berbagai alternatif, penentuan pilihan alternatif terbaik,
pelaksanaan, dan evaluasi hasil yang dicapai.
Dari uraian sebelumnya telah terlihat bahwa proses pengambilan
keputusan yang rasional pada dasarnya mencakup beberapa hal pokok, yaitu:
a. Tumbuhnya kesadaran bahwa ada situasi problematik yang dihadapi dan harus
ditanggulangi
b. Adanya keinginan kuat untuk mengatasinya
28
c. Pengenalan hakikat masalah yang dihadapi
d. Pengumpulan dan pengolahan informasi
e. Pencaharian dan penemuan berbagai alternatif
f. Pemilihan berbagai alternatif untuk dianalisis
g. Perkiraan tentang hasil-hasil yang diperhitungkan akan diperolah
h. Tindakan memutuskan dengan menggunakan model atau teknik tertentu
i. Pengumpulan umpan balik tentang hasil yang diperoleh.
Tetapi terlihat pula bahwa dalam praktik, pengambilan keputusan yang
rasional dan logis masih tetap harus dibarengi dengan penggunaan daya pikir yang
kreatif, inovatif, intuitif, dan keterikatan emosional, digabung dengan pengalaman
yang telah berhasil dikumpulkan.
2.1.10. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pengambilan Keputusan
Dalam Hasan (2004), ada beberapa pendapat yang diungkapkan oleh para
ahli mengenai faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan, faktor-faktor
itu antara lain:
1. Posisi atau kedudukan. Dalam kerangka pengambilan keputusan, posisi atau
kedudukan seseorang dapat dilihat dalam:
a. letak posisi; dalam hal ini apakah ia sebagai decision maker (pembuat
keputusan), ataukah staf.
b. tingkatan posisi; dalam hal ini apakah sebagai strategi, polisi, peraturan,
organisasional, operasional, teknis.
29
2. Masalah. Masalah ialah apa yang menjadi penghalang untuk tercapainya
tujuan, yang merupakan penyimpangan daripada apa yang diharapkan,
direncanakan, atau dikehendaki, dan harus diselesaikan.
3. Situasi. Situasi ialah keseluruhan faktor-faktor dalam keadaan, yang berkaitan
satu sama lain, dan yang secara bersama-sama memancarkan pengaruh
terhadap apa yang hendak diperbuat. Faktor-faktor itu dibedakan atas dua,
yaitu:
a. faktor-faktor yang konstan (C), yaitu faktor-faktor yang sifatnya tidak
berubah-ubah atau tetap keadaannya
b. faktor-faktor yang tidak konstan, atau variabel (V), yaitu faktor-faktor
yang sifatnya selalu berubah-ubah, tidak tetap keadaannya.
4. Kondisi. Kondisi ialah keseluruhan dari faktor-faktor yang secara bersama-
sama menentukan daya gerak, daya berbuat atau kemampuan. Sebagian
faktor-faktor tersebut merupakan sumber daya - sumber daya.
5. Tujuan yang hendak dicapai.
6. Keadaan intern organisasi. Keadaan intern organisasi bersangkut paut dengan
apa yang ada di dalam organisasi tersebut. Keadaan intern organisasi antara
lain meliputi dana yang tersedia, keadaan sumber daya manusia, kemampuan
karyawan, kelengkapan dari peralatan organisasi, struktur organisasi.
7. Keadaan ekstern organisasi. Keadaan ekstern organisasi bersangkut paut
dengan apa yang ada di luar organisasi tersebut. Keadaan ekstern organisasi
antara lain meliputi keadaan ekonomi, sosial, politik, hukum, budaya, dsb.
8. Tersedianya informasi yang diperlukan. Dalam pengambilan keputusan,
informasi yang diperlukan haruslah lengkap dan memiliki sifat-sifat tertentu,
sehingga keputusan yang dihasilkan dapatlah berkualitas dan baik. Sifat-sifat
30
informasi itu antara lain: akurat, up to date, komprehensif, relevan, memiliki
kesalahan baku kecil.
9. Kepribadian dan kecakapan pengambilan keputusan. Nilai-nilai kepribadian
dan kecakapan, yang meliputi penilaian, kebutuhan, intelegensi, keterampilan,
kapasitas, dsb ini turut juga mewarnai tepat tidaknya keputusan yang diambil.
Jika pengambil keputusan memiliki kepribadian dan kecakapan yang kurang,
maka keputusan yang diambil juga akan kurang, demikian juga sebaliknya.
John D. Millet (dalam Hasan, 2004) juga mengemukakan faktor-faktor
yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan oleh pemimpin, yaitu:
1. Pria dan wanita. Pria umumnya bersifat lebih tegas, berani, dan cepat
pengambilan keputusan, sedangkan wanita umumnya relatif lebih lambat dan
sering ragu-ragu.
2. Peranan pengambil keputusan. Peranan bagi orang yang pengambilan
keputusan itu perlu diperhatikan, mencakup kemampuan mengumpulkan
informasi, kemampuan menganalisis dan menginterpretasikan, kemampuan
menggunakan konsep yang cukup luas tentang perilaku manusia secara fisik
untuk memperkirakan perkembangan-perkembangan hari depan yang lebih
baik.
3. Keterbatasan kemampuan. Perlu disadari adanya kemampuan yang terbatas
dalam pengambilan keputusan di bidang manajemen, yang dapat bersifat
institusional ataupun bersifat pribadi.
Berdasarkan uraian sebelumnya, di bawah ini dikemukakan skema
mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi kompetensi pengambilan keputusan,
sebagai berikut:
31
Gambar 2.2:
Skema Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kompetensi Pengambilan Keputusan
• Posisi atau kedudukan
• Masalah, Situasi, Kondisi
• Jenis kelamin (X7)
• Tujuan yang hendak dicapai
• Keadaan intern dan ekstern organisasi
• Tersedianya informasi yang diperlukan
• Kualifikasi pribadi: Mental, Fisik Kompetensi
Kecerdasan emosional (X1-6) Mengambil
Watak sosial Keputusan (y)
Etik, Sikap, Kepribadian
• Usia (X8)
• Agama, Suku bangsa, Pangkat / golongan
• Latar belakang pendidikan formal
• Lama menjadi kepala sekolah (X9)
• Pengalaman mengajar
Berdasarkan skema di atas, terdapat persamaan:
y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 + e
Di mana:
y = kompetensi pengambilan keputusan
a = konstan, intercept
b = koefisien regresi
X1 = well-being, X2 = self-control, X3 = emotionality
X4 = sociability, X5 = adaptability, X6 = self-motivation
X7 = jenis kelamin, X8 = usia , X9 = lama menjadi kepala sekolah
e = residu (segala hal yang mempengaruhi kompetensi pengambilan keputusan di luar
dari IV yang ada di persamaan)
32
2.1.11 Pengukuran Kemampuan Pengambilan Keputusan
Bruine de Bruin et. al (2007) merancang Adult Decision-Making
Competence (ADMC) untuk mengkaji seberapa baik seorang individu dalam
pengambilan keputusan. Komponen ADMC terdiri dari:
a. Resistance to Framing (RF), menilai apakah pilihan dipengaruhi oleh
perbedaan-perbedaan yang tidak relevan di dalam pendeskripsian masalah,
khususnya pembingkaian pilihan dalam bentuk gain (perolehan) dan lost
(kehilangan).
Cara ini dapat mempengaruhi persepsi seseorang terhadap pilihan yang
hendak diputuskan. Suatu cara penyajian atau konteks yang berbeda akan
menghasilkan keputusan yang berbeda pula, meski persoalan yang diangkat
sebenarnya sama. Dalam RF, terdapat 2 macam pembingkaian yang dipandang
memiliki potensi untuk mempengaruhi pembuatan keputusan, yaitu: (1)
penerimaan, dinyatakan dalam bentuk gain (perolehan) yang seharusnya
menghasilkan tindakan penentangan atau penghindaran terhadap risiko; (2)
penolakan, dinyatakan dalam bentuk lost (kehilangan), sehingga akan
menimbulkan tingkah laku mengambil risiko.
b. Recognizing Social Norms (RSN), menilai pemahaman norma-norma sosial
dari kelompok sebaya.
c. Under/Overconfidence (UO), menilai seberapa baik penyesuaian individu
dalam bentuk mengenali sejauh mana pengetahuan mereka sendiri.
d. Applying Decision Rules (ADR), menilai seberapa baik individu mampu
menggunakan berbagai keputusan yang dijelaskan oleh aturan, seperti
keputusan dengan bobot yang sama. Dalam Suharnan (2005) dikemukakan
33
bahwa kecenderungan orang dalam membuat keputusan merupakan fungsi
dari bobot keputusan. Bobot keputusan ini tidak selalu berhubungan dengan
besar-kecilnya peluang atau frekuensi kejadian.
e. Consistency in Risk Perception (CRP), menilai perhitungan kemungkinan,
terutama seberapa baik individu memahami aturan probabilitas atau
kemungkinan.
f. Resistance to Sunk Costs (RSC), menilai kemampuan untuk mengabaikan
investasi utama ketika keputusan diambil. Hal ini merupakan psychological
accounting (perhitungan psikologis). Seseorang yang membuat keputusan
tidak hanya membingkai pilihan-pilihan yang ditawarkan, tetapi juga
membingkai hasil serta akibat dari pilihan-pilihan itu.
g. Path Independence (PI), menilai apakah pilihan dipengaruhi oleh perbedaan-
perbedaan yang tidak relevan di dalam pendeskripsian masalah, terutama
penyajian sebagai satu atau dua tahap spekulasi.
Dalam Suharnan (2005) dikemukakan bahwa preferensi (kecenderungan
memilih) akan tegantung pada bagaimana suatu persoalan diformulasikan. Jika
titik referensi diformulasikan sedemikian rupa sehingga hasil keputusan
dianggap atau dipersepsi sebagai suatu perolehan, maka orang yang
pengambilan keputusan akan cenderung menghindari risiko, begitu pula
sebaliknya.
Peneliti akan menggunakan ADMC sebagai salah satu alat ukur dalam
penelitian ini, dengan alasan:
34
1. ADMC memang dirancang untuk menilai seberapa baik individu dalam
pengambilan keputusan, alat ukur ini sesuai dengan variabel yang ingin diteliti
yaitu kompetensi pengambilan keputusan.
2. Material ADMC tersedia secara on-line, sehingga mudah diakses.
3. Komponen ADMC memiliki korelasi yang signifikan (de Bruin, 2007) dengan
Raven’s Standard Progressive Matrices, Nelson-Denny Reading Test, Regret
Scale, Maximization Scale, Constructive Thinking Inventory, General
Decision Making Style, dan Decision Outcome Inventory.
2.2. Kecerdasan Emosional
2.2.1. Pengertian Kecerdasan Emosional
Inteligensi ialah satu kemampuan mental, pikiran, atau intelektual
manusia. Inteligensi merupakan bagian dari proses-proses kognitif pada urutan
yang lebih tinggi. Secara umum, inteligensi sering disebut kecerdasan. David
Wechsler memberikan definisi inteligensi sebagai kemampuan individu untuk
berpikir dan bertindak secara terarah, serta mengolah dan menguasai lingkungan
secara efektif. Kemampuan itu ialah kemampuan untuk mengolah lebih jauh lagi
hal-hal yang kita amati. Kemampuan ini terdiri dari kemampuan umum dan
kemampuan khusus.
Keadaan emosional merupakan satu reaksi kompleks yang mengait satu
tingkat tinggi kegiatan dan perubahan-perubahan secara mendalam, serta
dibarengi perasaan yang kuat, atau disertai keadaan afektif (Chaplin, 2008). Emosi
juga dapat dirumuskan sebagai satu keadaan yang terangsang dari organisme,
35
mencakup perubahan-perubahan yang disadari, yang mendalam sifatnya, dan
perubahan perilaku.
Menurut Goleman (2007), emosi merujuk pada suatu perasaan dan pikiran-
pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis, dan serangkaian
kecenderungan untuk bertindak.
Gratch dan Marsella dalam Van Heck dan Den Oudsten (2008:h.97)
menyimpulkan bahwa “Emotions have a tremendous impact on our beliefs,
inform our decision making, and guide how we adapt our behavior to the world
around us. Hence, they play a powerful role in people’s lives.”
Salovey dan Mayer dalam Shapiro (2003), mendefinisikan kecerdasan
emosional sebagai himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan
kemampuan memantau perasaan dan emosi baik pada diri sendiri maupun pada
orang lain, memilah-milah semuanya, dan menggunakan informasi ini untuk
membimbing pikiran dan tindakan.
Menurut Gardner dalam Goleman (2007), kecerdasan pribadi (oleh
Goleman disebut kecerdasan emosional) terdiri dari kecerdasan antarpribadi dan
kecerdasan intrapribadi. Kecerdasan antarpribadi ialah kemampuan untuk
memahami orang lain: apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja,
bagaimana bekerja bahu-membahu dengan mereka. Dalam rumusan lain, Gardner
mencatat bahwa inti kecerdasan antarpribadi itu mencakup kemampuan
membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, temperamen, motivasi,
dan hasrat orang lain. Dalam kecerdasan antarpribadi yang merupakan kunci
menuju pengetahuan diri, ia mencantumkan: akses menuju perasaan-perasaan diri
seseorang dan kemampuannya untuk membedakan perasaan-perasaan tersebut
serta memanfaatkannya untuk menuntun tingkah laku. Sedangkan kecerdasan
36
intrapribadi ialah kemampuan yang korelatif, tetapi terarah ke dalam diri.
Kemampuan tersebut ialah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang
teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan model tadi
sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif.
Berdasarkan uraian kecerdasan yang diungkapkan oleh Gardner tersebut,
Salovey dalam Goleman (2007) mencetuskan definisi dasar tentang kecerdasan
emosional, seraya memperluas kemampuan ini menjadi lima wilayah utama,
yaitu: mengenali emosi diri (kesadaran diri), mengelola emosi, memotivasi diri
sendiri, mengenali emosi orang lain (empati, keterampilan bergaul), dan membina
hubungan (keterampilan mengelola emosi orang lain).
Berdasarkan deskripsi yang telah dikemukakan, dapat disimpulkan bahwa
kecerdasan emosional dalam penelitian ini ialah kemampuan khusus yang dimiliki
oleh kepala sekolah dalam mengenali dan mengelola emosi diri, memotivasi dan
menguasai diri sendiri, mengenali dan mengelola emosi orang lain, membina
hubungan dengan orang lain sedemikian rupa sehingga bermanfaat secara efektif
untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan.
2.2.2. Konsep Kecerdasan Emosional
Petrides dan Furnham (2006) mengklasifikasikan konsep Emotional
Intelligence (kecerdasan emosional) menjadi dua, yaitu: trait EI (atau emotional
self-efficacy) dan ability EI (atau cognitive-emotional ability). Perbedaan di antara
trait EI dan ability EI terutama mengenai metode pengukuran pada konstruk dan
bukan pada teori. Trait EI merupakan suatu kumpulan dari emotion-related, self-
perceptions, dan dispositions (seperti persepsi emosi, manajemen emosi, empati)
yang dinilai melalui self-report questionnaires (kuesioner pelaporan diri).
37
Moira Mikolajczak (2007:h.13) menyimpulkan mengenai tingkatan
kecerdasan emosional sebagai berikut:
Three loosely interconnected levels of Emotional Intelligence: knowledge (complexity and width of conceptuall-declarative emotion knowledge), abilities (ability to apply knowledge to a problem solving situation and actually implement a given strategy), traits (propensity to put one’s abilities into practice, frequency with which one uses his/her abilities). And most relevant level to decision-making: trait EI.
2.2.3. Ciri-Ciri Kecerdasan Emosional
Dalam Van Heck dan Den Oudsten (2008), dikemukakan mengenai unsur-
unsur kecerdasan emosional, antara lain menurut:
1. Mayer & Salovey, yaitu:
a. Perception and expression of emotion (persepsi dan ekspresi emosi)
b. Assimilating emotion in thought (menyatukan emosi dalam proses
berpikir)
c. Understanding and analyzing emotion (pemahaman dan penalaran emosi)
d. Reflective regulation of emotion (mengatur emosi diri serta orang lain)
2. Bar-On, yaitu:
a. Intrapersonal skills (keahlian perseorangan)
b. Interpersonal skills (keahlian antar-perseorangan)
c. Adaptability skills (keahlian beradaptasi)
d. Stress-management skills (keahlian pengelolaan stress)
e. General mood (perasaan umum)
3. Goleman (2007), yaitu:
a. Knowing one’s emotions (mengenali emosi diri). Mengenali emosi diri
ialah mengenali perasaan sewaktu perasaan itu terjadi.
38
b. Management of emotions (mengelola emosi). Mengelola emosi
(pengaturan atau penguasaan diri) merupakan kemampuan individu dalam
menangani perasaan agar dapat terungkap dengan tepat dan selaras,
sehingga tercapai keseimbangan emosi.
c. Motivating oneself (memotivasi diri sendiri). Menata emosi sebagai alat
untuk mencapai tujuan ialah hal yang sangat penting dalam kaitan untuk
memberi perhatian, memotivasi diri sendiri, dan untuk berkreasi. Orang-
orang yang memiliki keterampilan ini cenderung jauh lebih produktif dan
efektif dalam hal apapun yang mereka kerjakan.
d. Recognizing emotions in others (mengenali emosi orang lain). Istilah
empati pada awalnya dikenalkan ke dalam bahasa Inggris dari kata Yunani
empatheia, ‘ikut merasakan’, istilah yang pada awalnya digunakan para
teoritikus estetika untuk kemampuan memahami pengalaman subjektif
orang lain. Menurut Segal (2000), kesadaran aktif yang senantiasa ada itu
membuat kita cerdas merasa, empati membuat kita bijaksana dalam
merasa. Dengan empati, kita menjadi seorang warga dunia.
e. Handling relationships (membina hubungan). Seni membina hubungan,
sebagian besar merupakan keterampilan mengelola emosi orang lain. Ini
merupakan keterampilan yang menunjang popularitas, kepemimpinan, dan
keberhasilan antarpribadi. Kemampuan sosial ini memungkinkan
seseorang membentuk hubungan, untuk menggerakkan dan mengilhami
orang-orang lain, membina kedekatan hubungan, menyakinkan dan
mempengaruhi, membuat orang-orang lain merasa nyaman.
4. Petrides (2001), ada 15 subskala yang merupakan komponen dari 6 faktor,
yaitu:
39
a. Well-Being, yang terdiri dari:
1) Self-Esteem (harga diri), skala harga diri mengukur keseluruhan
evaluasi seseorang terhadap dirinya sendiri. Skor tinggi dimiliki oleh
orang yang berpandangan positif terhadap diri dan prestasi mereka
sendiri.
2) Trait Optimism (sifat optimis), seperti kebahagiaan, skala ini
dihubungkan dengan kesejahteraan, memandang ke depan sekalipun
pada satu jalan.
3) Trait Happiness (sifat kebahagiaan), skala ini mengenai kondisi emosi
yang menyenangkan, terutama langsung mengarah pada sesuatu yang
terjadi saat ini dibandingkan dengan kepuasan hidup masa lalu atau
masa depan.
b. Self-Control, yang terdiri dari:
1) Emotion Regulation (pengaturan emosi), skala ini mengukur bagaimana
seseorang mengontrol perasaan dan kondisi emosinya dalam jangka
yang pendek, sedang, dan jangka panjang.
2) Stress Management (stress manajemen), skor tinggi pada skala ini dapat
menangani tekanan dengan santai dan efektif, karena mereka sukses
mengembangkan coping mechanisms.
3) Low Impulsiveness (daya dorong yang rendah), skala ini mengukur
sebagian besar ketidakberfungsian daripada keberfungsian daya dorong.
Daya dorong yang rendah membutuhkan pemikiran sebelum bertindak
dan membayangkan dengan cermat sebelum pengambilan keputusan.
c. Emotionality, yang terdiri dari:
40
1) Emotion Perception (persepsi atau pemahaman emosi), skala ini
mengukur pemahaman emosi dalam diri sendiri dan orang lain. Skor
tinggi pada skala ini jelas mengenai apa yang mereka rasakan dan
mampu memahami ekspresi emosi orang lain.
2) Emotion Expression (ekspresi emosi), skor tinggi pada skala ini
dimaksudkan untuk orang-orang yang mampu mengkomunikasikan
perasaan mereka dengan lancar kepada orang lain.
3) Trait Empathy (sifat empati), skala ini mengukur aspek ‘perspective-
taking’ dari empati, yaitu melihat dunia dari sudut pandang orang lain.
4) Relationships (hubungan), skala ini sebagian besar mengenai hubungan
seseorang, meliputi sahabat, teman, dan keluarga.
d. Sociability, yang terdiri dari:
1) Assertiveness (ketegasan), seseorang dengan skor tinggi pada skala ini
ialah yang jujur dan berterus terang. Mereka tahu bagaimana meminta
untuk sesuatu, memberikan dan menerima pujian, dan menghadapi hal
lain jika diperlukan.
2) Social Awareness (kesadaran sosial), skor tinggi dalam skala ini ialah
bagi mereka yang memiliki keterampilan sosial yang sempurna, peka,
mudah menyesuaikan diri, dan lekas mengerti. Mereka bagus dalam
bernegosiasi, membuat kesepakatan, dan mempengaruhi orang lain.
3) Emotion Management (manajemen emosi), skala ini mengenai
kemampuan seseorang memahami dan mengatur kondisi emosi orang
lain. Skor tinggi pada skala ini ialah orang yang dapat mempengaruhi
perasaan orang lain.
41
e. Adaptability (penyesuaian), skor tinggi ialah bagi mereka yang fleksibel
pada pekerjaan dan hidup mereka. Mereka mau dan mampu beradaptasi
dengan lingkungan dan kondisi yang baru.
f. Self-Motivation (motivasi diri), orang-orang dengan skor tinggi pada skala
ini dipandu oleh kebutuhan untuk menghasilkan pekerjaan dengan kualitas
yang tinggi. Mereka cenderung tekun dan gigih.
2.2.4. Pengukuran Kecerdasan Emosional
Dalam Mubayidh (2006), ada beberapa cara untuk menguji tingkat
kecerdasan emosional seseorang, di antaranya:
1. EQ-I (Emotional Quotient Inventory) yang dikembangkan oleh Dr. Reuven
Baron. Alat ukur ini dikembangkan dalam rangka terapi klinis untuk
mengetahui kesehatan emosi seseorang.
2. Skala EQ Multifaktor (MEIS-Multifactor Emotional Intelligence Scale). Skala
ini digunakan untuk mengukur kemampuan seseorang dalam menghadapi,
membedakan, memahami, dan menyikapi emosinya.
3. ECI (Inventory Emotional Competence), yaitu di mana seseorang diminta
untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar orang (yang hendak dihitung
EQ nya) yang telah dia kenal.
4. TEIQue (The Trait Emotional Intelligence Qustionnaire).
Dalam penelitian ini, peneliti akan menggunakan TEIQue-SF sebagai
salah satu alat ukur, dengan alasan:
1. TEIQue merupakan alat ukur yang memang dikembangkan untuk mengukur
kecerdasan emosional secara umum.
42
2. TEIQue-SF merupakan bentuk pendek dari TEIQue, yang mana itemnya telah
diseleksi berdasarkan pada korelasi dengan nilai total korespondesi sub skala.
3. Material TEIQue-SF tersedia secara on-line, sehingga mudah diakses.
4. Komponen TEIQue-SF memiliki korelasi yang signifikan (Petrides &
Furnman, 2003) dengan Shrink’s Emotional Intelligence Scale, ‘Big Five’
Personality Traits, dan EQ-i.
5. Berdasarkan konsep kecerdasan emosional, maka yang relevan dengan
pengambilan keputusan ialah konsep Trait EI.
Petrides dan Furnman (2003) dalam The Trait Emotional Intelligence
Qustionnaire (TEIQue) ialah alat ukur yang dikembangkan untuk mengukur
kecerdasan emosional yang bersifat umum. Didasarkan pada teori Trait EI,
TEIQue merupakan bagian penting dari penelitian mengenai kecerdasan
emosional. TEIQue tersedia dalam bentuk panjang dan pendek. Trait Emotional
Intelligence Questionnaire-Long Form (TEIQue-LF) terdiri dari 153 item
pelaporan diri dengan menggunakan 15 subskala yang merupakan komponen dari
6 faktor dan membutuhkan waktu 15 menit untuk menyelesaikannya. Sedangkan
Trait Emotional Intelligence Questionnaire-Short Form (TEIQue-SF), terdiri dari
30 item. Responden menggunakan skala dengan rentang 7 untuk setiap item.
Petrides dan Furnham (2006) juga mengatakan mengenai TEIQue-SF,
yaitu bahwa:
Two items from each of the 15 subscales of the TEIQue were selected for inclusion, based primarily on their correlations with the corresponding total subscale scores. This procedure was followed in order to ensure adequate internal consistencies and broad coverage of the sampling domain of the construct. Items were responded to on a 7-point Likert scale. The internal consistencies were satisfactory for both males and females (σ male5.84, σ female5.89).
43
Mikolajczak (2006) menemukan bahwa ke-15 subskala TEIQue yang
tergabung menjadi trait EI memiliki korelasi dengan usia dan jenis kelamin.
Perempuan memiliki skor yang lebih tinggi pada Em, sedangkan laki-laki
memiliki skor yang lebih tinggi pada SC dan So.
2.3. Kerangka Berpikir
Di dalam lingkungan organisasi, kepemimpinan ialah suatu kekuatan penting
dalam rangka pengelolaan, oleh sebab itu kemampuan memimpin secara efektif
merupakan kunci keberhasilan organisasi. Begitu pula dengan organisasi sekolah yang
dipimpin oleh kepala sekolah. Sekolah ialah suatu lembaga yang bersifat kompleks dan
unik. Karena itulah, sekolah sebagai organisasi memerlukan tingkat koordinasi yang
tinggi. Inilah pentingnya peranan seorang kepala sekolah yang akan menentukan titik
pusat dan irama suatu sekolah dalam mencapai tujuan pendidikan.
Ada tiga macam peranan seorang pemimpin, yaitu interpersonal, informational,
dan decisional roles. Peranan sebagai pengambil keputusan merupakan peran kepala
sekolah sebagai pejabat sekolah yang paling penting dari kedua macam peran yang
lainnya.
Oleh sebab itu, kepala sekolah sebagai pimpinan organisasi sekolah yang
merupakan motor penggerak, ujung tombak pengambil keputusan dalam menentukan
kebijakan dan arah tujuan pendidikan, selain harus memiliki keahlian atau kemampuan
dasar, pengetahuan dan keterampilan profesional, pelatihan dan pengalaman profesional,
kompetensi kepala sekolah, ia juga harus memiliki kualifikasi pribadi yang baik.
Kualifikasi pribadi yang berupa serangkaian sifat atau watak yang harus dimiliki oleh
44
setiap pemimpin pada umumnya, termasuk kepala sekolah, yaitu dalam segi: mental,
fisik, emosi, berwatak sosial, etik, sikap, dan kepribadian.
Emosi berperan dalam pengambilan keputusan, termasuk pengambilan keputusan
yang paling rasional. Ada penelitian ilmiah yang hasilnya menuntun kita pada pendapat
kontra-intuisi yang menyatakan bahwa perasaan biasanya sangat dibutuhkan untuk
keputusan rasional, perasaan menunjukkan pada kita arah yang tepat, sehingga logika
mentah dapat digunakan sebaik-baiknya. Dikatakan bahwa tantangan terbesar pemimpin
bukan ujian terhadap pengetahuannya, namun justru datang dari kehebatannya dalam
mengelola aspek emosi dan psikologi diri dan timnya. Hal ini menunjuk pada kecerdasan
emosional seorang pemimpin.
Kecerdasan emosional yang terkait dengan pengambilan keputusan mencakup 6
faktor, yaitu: (1) Well-Being, yang terdiri dari Self-Esteem, Trait Optimism, Trait
Happiness; (2) Self-Control, yang terdiri dari Emotion Regulation, Stress Management,
Low Impulsiveness; (3) Emotionality, yang terdiri dari Emotion Perception, Emotion
Expression, Trait Empathy, Relationships; (4) Sociability, yang terdiri dari Assertiveness,
Social Awareness, Emotion Management; (5) Adaptability; (6) Self-Motivation.
Selain itu, ada beberapa faktor yang berpengaruh dalam pengambilan keputusan
oleh pemimpin, yaitu jenis kelamin, usia, dan lama menjadi pemimpin (dalam hal ini
ialah kepala sekolah).
Untuk lebih jelasnya, kerangka berpikir dalam penelitian ini yang memuat skema
faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan, disajikan pada gambar 2.2.
45
2.4. Hipotesis
Berdasarkan rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori, dan kerangka
berpikir yang telah dikemukakan, maka hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini
ialah:
H1: Kecerdasan emosional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kompetensi dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
Hipotesis yang lebih rinci ialah sebagai berikut:
H1.a: Well-Being memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
H1.b: Self-Control memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
H1.c: Emotionality memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
H1.d: Sociability memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
H1.e: Adaptability memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
H1.f: Self-Motivation memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
H2: Jenis Kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi dalam
pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
H3: Usia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi dalam
pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
46
H4: Lama menjadi kepala sekolah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kompetensi dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
47
BAB III
METODE PENELITIAN
Dalam hal membicarakan metode penelitian, ada 2 masalah utama, yaitu (a)
pengumpulan data, yang mencakup persoalan menetapkan dan mendefinisikan variabel
penelitian, populasi, sampel, alat ukur dan prosedur pengumpulan data, serta teknik
pengolahan data; (b) analisis data, yang meliputi metode statistik (analisis data
kuantitatif) di mana ada variabel yang dijadikan IV dan DV.
4.1. Populasi dan Sampel
Populasi dalam penelitian ini ialah kepala sekolah SDN di wilayah kecamatan
Jagakarsa dan Pasar Minggu yang berjumlah 126 orang. Namun, yang mengembalikan
kuesioner dengan data lengkap hanya 50 orang. Hal ini dikarenakan waktu pengumpulan
data yang hampir bersamaan dengan ujian sekolah, sehingga banyak kepala sekolah yang
menolak mengisi kuesioner karena kesibukan mereka, ini perlu menjadi catatan penting
bagi penelitian yang sejenis. Oleh sebab itu, penelitian ini disusun berdasarkan analisis
yang ada, yaitu sebanyak 50 subjek penelitian.
4.2. Variabel Penelitian
Menurut Umar (2008), variabel ialah sesuatu yang bervariasi dari satu kasus ke
kasus lainnya, sebagai lawan dari konstan. Variabel dalam penelitian ini terdiri dari WB,
SC, Em, So, Ad, EM, jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah.
48
Sesuai judul dalam penelitian ini, yaitu Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap
Tingkat Kompetensi dalam Pengambilan keputusan di Kalangan Kepala Sekolah, maka
ada variabel yang diposisikan sebagai akibat, yang disebut DV (Dependent Variable atau
variabel terikat) dan ada variabel yag diposisikan sebagai penyebab, yang disebut IV
(Independent Variable atau variabel bebas). DV dalam penelitian ini ialah kompetensi
pengambilan keputusan, sedangkan IV dalam penelitian ini ialah kecerdasan emosional
yang mencakup WB, SC, Em, So, Ad, EM, dan variabel tambahan, yaitu jenis kelamin,
usia, dan lama menjadi kepala sekolah yang diteorikan mempengaruhi kompetensi
pengambilan keputusan.
Adapun definisi operasional dari variabel-variabel yang hendak diukur, yaitu:
1. Kompetensi pengambilan keputusan ialah:
“kompetensi seseorang dalam memilih suatu alternatif terbaik dari berbagai macam
alternatif yang tersedia untuk mencapai tujuan yang hendak dicapai dengan
menguasai beberapa aspek yang dapat diukur, yaitu: Resistance to Framing,
Recognizing Social Norms, Under/Overconfidence, Applying Decision Rules,
Consistency in Risk Perception, Resistance to Sunk Costs, Path Independence.”
2. Kecerdasan emosional ialah:
“kemampuan khusus yang dimiliki oleh seseorang dalam segi emosi yang diukur
melalui 6 faktor, yaitu: (1) Well-Being, yang terdiri dari Self-Esteem, Trait Optimism,
Trait Happiness; (2) Self-Control, yang terdiri dari Emotion Regulation, Stress
Management, Low Impulsiveness; (3) Emotionality, yang terdiri dari Emotion
Perception, Emotion Expression, Trait Empathy, Relationships; (4) Sociability, yang
terdiri dari Assertiveness, Social Awareness, Emotion Management; (5) Adaptability;
(6) Self-Motivation.”
49
3. Jenis kelamin, yaitu: sifat (keadaan) laki-laki atau perempuan
4. Usia, yaitu: umur, lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan)
5. Lama menjadi kepala sekolah, yaitu: bilangan yang menyatakan tarikh untuk
menunjukkan lama diangkat menjadi kepala sekolah.
3.3. Alat Ukur Penelitian
Dalam penelitian ini, untuk variabel kompetensi pengambilan keputusan oleh
kepala sekolah, penulis menggunakan alat ukur ADMC (Adult Decision-Making
Competence) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Contoh alat ukurnya ada
pada lampiran. Bentuk asli skala ADMC telah diuji. Hasil uji itu menunjukkan korelasi
bivariate yang signifikan dan positif di antara skor-skor komponen ADMC.
Untuk variabel kecerdasan emosional, dalam pengumpulan datanya, penulis
menggunakan alat ukur TEIQue-SF (Trait Emotional Intelligence Questionnaire-Short
Form) yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Contoh alat ukurnya ada pada
lampiran. Bentuk asli skala TEIQue-SF telah diuji validitasnya oleh Petrides (2001).
Hasil uji itu menunjukkan skala reliabilitas Cronbach’s Alpha 0,71 dan 0,76. Dalam
penelitian ini, penulis akan menguji kembali alat ukur ADMC maupun TEIQue-SF.
Variabel lain yang turut dianalisis pengaruhnya terhadap kemampuan
pengambilan keputusan ialah:
a. Jenis kelamin, yaitu: sifat (keadaan) laki-laki atau perempuan
b. Usia, yaitu: umur, lama waktu hidup atau ada (sejak dilahirkan atau diadakan)
c. Lama menjadi kepala sekolah, yaitu: bilangan yang menyatakan tarikh untuk
menunjukkan lama diangkat menjadi kepala sekolah.
50
Untuk mengetahui informasi mengenai jenis kelamin, usia, dan lama menjadi
kepala sekolah, penulis membuat pertanyaan singkat pada bagian identitas responden.
Sebelumnya, penulis telah melakukan try out (uji coba) alat ukur ADMC dan
TEIQue-SF kepada 40 orang mahasiswa. Karena dikhawatirkan alat ukur hasil
terjemahan ini mengandung bias budaya, multi dimensional, dsb, maka fokus dari uji
coba ini ialah mendapatkan feedback (umpan balik) untuk memperbaiki alat ukur. Setelah
uji coba dilakukan, ada beberapa item yang tidak valid, maka penulis melakukan
perubahan kata-kata pada item tersebut, perubahan kata-kata ini juga berdasarkan
feedback yang diberikan oleh responden.
3.3.1. Prosedur Pengumpulan Data
Prosedur pengumpulan data yang dilakukan penulis, sebagai berikut:
1. Penulis langsung menemui subjek penelitian satu per satu, lalu penulis
menjelaskan maksud dan tujuan kedatangan sambil menyerahkan berkas surat
dari fakultas dan surat jalan dari KASI Dinas Pendidikan, kemudian penulis
memberikan kuesioner sekaligus menjelaskan mengenai petunjuk pengisian
item.
2. Kuesioner dapat dikerjakan di rumah, karena itu penulis memberikan waktu
untuk pengisian kuesioner selama beberapa hari. Penulis juga membuat
perjanjian kapan kira-kira kuesioner telah selesai diisi dan bisa diambil.
3. Pada waktu yang telah disepakati, penulis akan mengambil kuesioner yang
telah diisi oleh masing-masing kepala sekolah dan langsung mentabulasi data
yang diperoleh ke dalam komputer.
51
3.3.2. Teknik Pengolahan Data
Setelah pengumpulan data, data yang diperoleh langsung ditabulasi ke
dalam komputer melalui program Excel. Kemudian, penulis melakukan skoring
pada semua data yang telah ditabulasi. Skoring untuk masing-masing alat ukur
yang digunakan ialah sebagai berikut:
1. Alat ukur ADMC yang terdiri dari 7 komponen, yaitu:
a. Resistance to Framing (RF). RF terdiri dari 28 item yang disajikan dengan
skala 1 - 6 dan terbagi menjadi 2 bagian, yaitu 14 item risky-choice
framing dan 14 item attribute framing. Skor RF ialah rata-rata dari selisih
mutlak di antara versi keuntungan (perolehan) dan kerugian (kehilangan)
pada masing-masing bagian.
b. Recognizing Social Norms (RSN). RSN terbagi menjadi 2 bagian, yaitu:
(1) terdiri dari 16 item, yang meminta seseorang mengatakan ‘ya atau
tidak’ dalam kondisi tertentu untuk melakukan sesuatu, lalu dihitung
persentasenya dan dibuat peringkat; (2) terdiri dari 16 item yang meminta
seseorang menilai berapa banyak orang dari 100 orang yang sebaya
usianya mengatakan ‘ya’ dalam kondisi tertentu untuk melakukan sesuatu,
kemudian dibuat peringkatnya untuk setiap responden. Skor RSN untuk
setiap responden merupakan kombinasi nilai-nilai pada bagian 1 dan 2
yang dimasukkan ke dalam rumus Spearman Rank-Order Correlation:
c. Under/Overconfidence (UO). UO terdiri dari 34 item, setiap item terdiri
dari pernyataan benar dan salah yang dihitung persentasenya, (disebut juga
percentage correct), kemudian diikuti penilaian diri terhadap jawaban itu
52
dengan skala 50% - 100%, lalu dihitung rata-ratanya (yang disebut mean
confidence). Skor UO ialah nilai mutlak dari: 1 – (mean confidence -
percentage correct).
d. Applying Decision Rules (ADR). ADR terdiri dari 10 item, skor ADR ialah
persentase jawaban benar dari 10 item.
e. Consistency in Risk Perception (CRP). CRP terdiri dari 2 bagian yang
berjumlah 20 item dengan skala 0% - 100%. Nilai CRP terbagi menjadi 3,
yaitu: (1) sepuluh nilai pertama dihitung dari pembandingan bagian
pertama dan kedua, jika bagian pertama nilainya lebih kecil daripada
bagian kedua, maka diberi skor 1, jika sebaliknya diberi skor 0; (2) enam
nilai berikutnya dihitung dari pembandingan 6 item pada masing-masing
bagian, dengan patokan bahwa hal-hal yang bersifat umum harus lebih
besar daripada hal-hal yang bersifat khusus, jika jawabannya benar diberi
skor 1, jika salah diberi skor 0; (3) empat nilai terakhir dihitung dengan
cara menjumlahkan 4 item (2 item + 2 item) pada masing-masing bagian
yang jumlahnya harus 100%, jika benar diberi skor 1, jika salah diberi skor
0. Skor akhir CRP ialah persentase rata-rata nilai benar dari 20 skor CRP.
f. Resistance to Sunk Costs (RSC). RSC terdiri dari 10 item dengan rentang
skala 1 – 6. Skor RSC ialah nilai rata-rata dari 10 item.
g. Path Independence (PI). PI terdiri dari 24 item yang terbagi menjadi
menjadi 12 pasang item. Jika antar pasang item itu nilainya sama, diberi
skor 1, jika berbeda diberi skor 0. Skor akhir PI ialah persentase rata-rata
dari 12 skor PI.
2. Alat ukur TEIQue-SF yang terdiri dari 30 item dengan rentang skala 1 - 7 dan
terbagi menjadi 6 faktor, yang di dalamnya terdapat 15 subskala, yaitu: (1)
53
Well-Being, yang terdiri dari Self-Esteem, Trait Optimism, Trait Happiness;
(2) Self-Control, yang terdiri dari Emotion Regulation, Stress Management,
Low Impulsiveness; (3) Emotionality, yang terdiri dari Emotion Perception,
Emotion Expression, Trait Empathy, Relationships; (4) Sociability, yang
terdiri dari Assertiveness, Social Awareness, Emotion Management; (5)
Adaptability; (6) Self-Motivation.
Dari 30 item, ada 15 item yang nilai rentang skalanya dibalik karena
merupakan pasangan dari 15 item lainnya, yaitu item no: 2, 5, 4, 7, 8, 10, 12,
13, 14, 16, 18, 22, 25, 26, dan 28. Skor akhir setiap subskala TEIQue-SF ialah
penjumlahan dari setiap pasang item.
3. Jenis kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah merupakan data
identitas yang ditanyakan pada bagian identitas responden pada kuesioner.
3.4. Teknik Analisis Data
Untuk menguji validitas konstruk dari hasil pengukuran dengan alat ukur ADMC
dan TEIQue-SF, penulis melakukan uji Exploratory Factor Analysis (EFA) dan
Confirmatory Factor Analysis (CFA) yang akan menjawab apakah setiap item dalam
masing-masing komponen hanya mengukur satu faktor saja.
Setelah penulis melakukan pengolahan data terhadap alat ukur ADMC, penulis
akan memperoleh skor akhir dari ke-7 komponen ADMC, skor akhir itu dianalisis faktor,
sehingga diperoleh skor dari ke-7 faktor (yang diberi nama: DMC). Untuk menjawab uji
hipotesis, skor akhir dari ke-7 komponen ADMC dijumlahkan menjadi skor faktor
ADMC (yang diberi nama: DMC_Score).
54
Untuk alat ukur TEIQue-SF, penulis melakukan uji analisis faktor exploratory.
Dari uji EFA tersebut, 13 skor menghasilkan 4 faktor, yaitu well-being, self-control,
emotionality, dan sociability. Sedangkan 2 skor sisanya, yaitu adaptability dan self-
motivation tidak termasuk salah satu dari 4 faktor tersebut. Artinya, ke-2 skor tersebut
masing-masing merupakan faktor tersendiri. Temuan ini persis sekali dengan hasil
validitas yang dilakukan oleh Mikolajczak (2006) dan Freudenthaler (2008) yang juga
menghasilkan struktur faktor yang sama. Kesimpulannya, penulis akan menggunakan 6
faktor tersebut sebagai IV dalam analisis, sesuai dengan uraian sebelumnya.
Untuk memperkuat hasil-hasil yang telah ditemukan, penulis juga melakukan uji
analisis faktor confirmatory terhadap 4 faktor + 2 faktor tersendiri yang sesuai dengan
teori. Hasil uji CFA tersebut ternyata fit (sesuai) dengan data yang ada.
Selanjutnya, untuk menjawab hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini,
penulis menggunakan teknik analisis regresi berganda. Jika ditemukan ada IV yang
signifikan pengaruhnya terhadap DV, maka penulis juga akan mencari tahu apakah ada
interaksi antar sesama IV dalam mempengaruhi DV secara bersama-sama.
Adapun persamaan regresi yang akan penulis uji di dalam penelitian ini ialah:
y = a + b1X1 + b2X2 + b3X3 + b4X4 + b5X5 + b6X6 + b7X7 + b8X8 + b9X9 + e
Di mana:
y = kompetensi pengambilan keputusan
a = konstan, intercept
b = koefisien regresi
X1 = well-being, X2 = self-control, X3 = emotionality
X4 = sociability, X5 = adaptability, X6 = self-motivation
X7 = jenis kelamin, X8 = usia, X9 = lama menjadi kepala sekolah
55
e = residu (segala hal yang mempengaruhi kompetensi pengambilan keputusan di luar
dari IV yang ada di persamaan)
Dalam persamaan regresi ini, yang pertama dihitung ialah R2 yang menunjukkan
besarnya proporsi varian dari komponen pengambilan keputusan yang dapat dijelaskan
atau diterangkan oleh seluruh IV yang dianalisis. Dengan kata lain, R2 menunjukkan
presentase varian dari DV yang bisa diterangkan oleh IV.
Jika R2 ini signifikan, maka langkah berikutnya ialah menguji hipotesis mengenai
signifikan tidaknya masing-masing IV terhadap DV. Dalam hal ini yang dilakukan ialah
uji t-test terhadap setiap koefisien regresi yang dihasilkan pada masing-masing variabel.
Jika koefisien regresi untuk suatu variabel IV signifikan, maka berarti pengaruhnya
terhadap DV ialah signifikan, begitu pula sebaliknya.
Jika ingin mengetahui ada pengaruh-mempengaruhi (saling kait-mengkait) antar
IV, diciptakan variabel baru yang dinamakan interaksi. Hal ini disebut interaksi antar IV,
dan akan dilakukan uji interaksi pada beberapa IV.
Semua perhitungan atau komputerisasi dilakukan dengan program SPSS versi
17.0 dan Lisrel versi 8.80.
56
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Dalam bab ini, akan dipaparkan mengenai gambaran umum subjek penelitian,
hasil pengujian hipotesis yang telah diajukan melalui perhitungan statistik, dan
pembahasan hasil pengujian hipotesis.
4.1. Gambaran Umum Subjek Penelitian
Sesuai judul penelitian ini, yaitu Pengaruh Kecerdasan Emosional terhadap
Tingkat Kompetensi dalam Pengambilan keputusan di Kalangan Kepala Sekolah, maka
subjek dalam penelitian ini ialah kepala sekolah yang berjumlah 50 orang.
Uraian mengenai gambaran umum subjek penelitian berdasarkan jenis kelamin
dan usia disajikan pada tabel dan deskripsi singkat di bawah ini.
Tabel 4.1 Distribusi Skor Kompetensi pengambilan keputusan berdasarkan
Jenis Kelamin Jenis
Kelamin N % of Total N Mean Std. Deviation Laki-laki 29 58.0% 21.0117 7.99873 Perempuan 21 42.0% 21.7010 10.00121
Total 50 100.0% 21.3012 8.80364
Berdasarkan tabel 4.1, dapat kita lihat bahwa subjek dalam penelitian ini
berjumlah 50 orang, yang terdiri dari laki-laki sebanyak 29 orang (58%) dan perempuan
sebanyak 21 orang (42%). Untuk nilai mean kompetensi pengambilan keputusan pada
57
jenis kelamin perempuan (21,70) lebih tinggi dari laki-laki (21,01) dengan nilai
perbedaan sebesar 0,69.
Tabel 4.2
Distribusi Skor Kompetensi pengambilan keputusan berdasarkan Usia
Usia N % of Total N Mean Std. Deviation
Dewasa madya dini 20 40.0% 22.1955 9.19284 Dewasa madya lanjut 30 60.0% 20.7050 8.64109
Total 50 100.0% 21.3012 8.80364
Pada tabel 4.2, responden dalam penelitian ini berasal dari usia yang berbeda
antara 39-59 th. Usia dalam penghitungan analisis ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
dewasa madya dini, antara 39-50 th (40%) dan dewasa madya lanjut, antara 50-60 th
(60%). Dalam hal ini, nilai mean kompetensi pengambilan keputusan pada usia dewasa
madya dini (22,19) lebih tinggi daripada usia dewasa madya lanjut (20,70). Kriteria usia
ini tidak dapat dibandingkan karena jumlahnya tidak seimbang untuk masing-masing
usia.
Tabel 4.3 Distribusi Skor Kompetensi pengambilan keputusan berdasarkan Lama Menjadi Kepala Sekolah
Lama Menjadi Kepala
Sekolah N % of Total N Mean Std. Deviation Satu periode 21 42.0% 22.2181 9.62644 Lebih dari satu periode 29 58.0% 20.6372 8.26761
Total 50 100.0% 21.3012 8.80364
Pada tabel 4.3, lama menjadi kepala sekolah dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu
kelompok satu periode atau ≤ 5 th (42%) dan kelompok lebih dari satu periode (58 %).
Dapat dilihat bahwa nilai mean kompetensi pengambilan keputusan pada lama menjadi
kepala sekolah selama satu periode (22,21) lebih tinggi daripada selama lebih dari satu
periode (20,63).
58
4.2. Analisis Validitas Alat ukur Penelitian
Ada 2 alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu ADMC dan TEIQue-
SF. Karena ke-2 alat ukur tersebut bukan merupakan alat ukur yang baku, maka perlu
dilakukan uji validitas konstruk alat ukur. Hal ini akan dilakukan dalam dua tahap, yaitu:
1. Menguji hipotesis tentang model teori yang mengatakan bahwa setiap item dalam
masing-masing komponen hanya mengukur satu faktor saja (unidimensional model).
Secara teknis yang diuji ialah tentang ada tidaknya perbedaan yang signifikan antara
matriks korelasi yang diperoleh dari data dengan matriks korelasi yang diharapkan
atau seharusnya terjadi jika teori yang dipaparkan benar.
2. Menguji hipotesis: apakah setiap item dalam alat ukur memberikan informasi yang
signifikan mengenai aspek yang hendak diukur.
4.2.1. Uji Validitas Alat Ukur ADMC
Uji validitas alat ukur ADMC ini dilakukan dengan Exploratory Factor
Analysis (EFA). Dalam SPSS, penghitungan analisis faktor harus menggunakan
metode ekstraksi faktor yang disebut Maximun Likelihood yang dapat menguji
hipotesis dengan menetapkan jumlah faktor = 1.
59
Tabel 4.5 Factor Matrixa
Factor
1
RF -.233RSN .999UO -.127ADR -.276CRP .150RSC -.264PI .262Extraction Method: Maximum Likelihood.
a. 1 factors extracted. 5
iterations required.
Tabel 4.4 Goodness-of-fit Test
Chi-Square Df Sig.
15.436 14 .349
Jika Chi-Square menghasilkan nilai p > 0,05, berarti bahwa model satu faktor
(semua item hanya mengukur 1 asumsi) dinyatakan fit (sesuai) dengan data. Sebaliknya,
jika terdapat perbedaan yang signifikan antara matriks korelasi yang diperoleh dari data
dengan matriks korelasi yang diharapkan atau seharusnya terjadi jika teori yang
dipaparkan benar, berarti teori yang menyatakan satu faktor ditolak.
Berdasarkan tabel 4.4, dapat dilihat bahwa nilai Chi-Square ADMC yang
diperoleh ialah 15,436 dengan nilai df = 14 dan nilai signifikansi 0,349. Hal tersebut
berarti bahwa hipotesis nihil yang diajukan untuk uji validitas konstruk ADMC diterima
(tidak signifikan). Sehingga dapat diketahui bahwa ke-7 komponen ADMC benar-benar
mengukur 1 faktor yang sama, yaitu kompetensi pengambilan keputusan.
60
Gambar 4.1: Hasil Analisis Faktor ADMC menggunakan Lisrel
Di dalam tabel 4.5 dan gambar 4.1, dapat dilihat bahwa ke-7 komponen ADMC
memiliki koefisien yang tingginya relatif sama, kecuali RSN yang paling dominan. Dari
ke-7 komponen, ada 4 komponen yang berkorelasi negatif terhadap ADMC, yaitu
komponen 1 (RF), komponen 3 (UO), komponen 4 (ADR), dan komponen 6 (RSC).
Sedangkan komponen 2 (RSN), komponen 5 (CRP), dan komponen 7 (PI) memiliki
korelasi yang positif terhadap ADMC. Keterangan di atas dapat diperjelas pada tabel 4.6
di bawah ini:
61
Tabel 4.6: Keterangan dari hasil Factor Matrix
No. Komponen ADMC Skor Tingkat Kompetensi
dalam Pengambilan keputusan
1. RF Tinggi Rendah
2. RSN Tinggi Tinggi
3. UO Tinggi Rendah
4. ADR Tinggi Rendah
5. CRP Tinggi Tinggi
6. RSC Tinggi Rendah
7. PI Tinggi Tinggi
4.2.2. Uji Validitas Alat Ukur TEIQue
Uji validitas alat ukur TEIQue dilakukan dengan Confirmatory Factor
Analysis (CFA). Berikut ini ialah hasil penghitungan analisis faktor untuk
kecerdasan emosional (menggunakan SPSS).
Tabel 4.7 Goodness-of-fit Test
Chi-Square Df Sig.
20.890 32 .934
Pada tabel 4.7, untuk kecerdasan emosional yang terdiri dari 4 faktor
(13 subskala), terlihat bahwa nilai Chi-Square yang diperoleh = 20,890, nilai
df = 32, dan nilai signifikan 0,934. Karena p > 0,05, berdasarkan hipotesis
62
yang diajukan maka dapat disimpulkan bahwa hipotesis nihil yang diajukan
untuk uji validitas konstruk TEIQue-SF diterima (tidak signifikan). Sehingga
dapat diketahui bahwa ke-13 subskala TEIQue-SF ialah fit (sesuai) dengan
data untuk mengukur 4 faktor, yaitu WB, SC, Em, dan So.
Namun, bila membandingkan tabel 4.8 (hasil analisis faktor
exploratory yang diikuti dengan rotasi Varimax) dan tabel 4.9 (hasil analisis
faktor exploratory yang diikuti dengan rotasi Oblimin) dengan faktor dan
subskala yang terdapat pada teori ditemukan beberapa kerancuan, karena
tidak sesuai dengan teorinya, juga terdapat beberapa subskala yang kurang
jelas posisinya.
Tabel 4.8: Rotated Factor Matrixa
Factor 1 2 3 4
Assertiveness .127 .283 .613 .067
E_Perception .407 .277 .123 .297
E_Expression .114 .325 .529 .357
E_Management .164 .280 .647 .065
E_Regulation .037 .500 .337 .215
Impulsiveness .020 .081 .062 .172
Relationships .994 -.003 .100 .019
Self_Esteem .006 -.170 .409 .112
Social_Awareness .476 .475 .242 .177
S_Managemet .228 .082 -.123 .962
Empathy .133 .036 .446 -.171
Happiness .510 .249 .174 .162
Optimism .304 .935 -.015 .180
Extraction Method: Maximum Likelihood.
Rotation Method: Varimax with Kaiser
Normalization.
a. Rotation converged in 5 iterations.
Tabel 4.9: Pattern Matrixa
Factor
1 2 3 4
Assertiveness .044 .006 .170 .620
E_Perception .369 -.249 .161 .056
E_Expression .011 -.302 .180 .520
E_Management .081 .013 .157 .649
E_Regulation -.067 -.156 .429 .339
Impulsiveness -.007 -.168 .042 .054
Relationships 1.056 .061 -.165 -.044
Self_Esteem -.014 -.104 -.263 .419
Social_Awareness .416 -.092 .361 .177
S_Managemet .177 -.995 -.095 -.210
Empathy .113 .223 -.022 .454
Happiness .489 -.098 .132 .099
Optimism .195 -.085 .908 -.063
Extraction Method: Maximum Likelihood.
Rotation Method: Oblimin with Kaiser
Normalization.
a. Rotation converged in 12 iterations.
63
Untuk membuktikan hal ini, penulis melakukan uji analisis faktor pada
ke-4 faktor TEIQue-SF satu per satu, dengan menyesuaikan teori yang telah
dipaparkan. Ke-4 faktor + 2 faktor mandiri tersebut yaitu: (1) Well-Being,
yang terdiri dari Self-Esteem, Trait Optimism, Trait Happiness; (2) Self-
Control, yang terdiri dari Emotion Regulation, Stress Management, Low
Impulsiveness; (3) Emotionality, yang terdiri dari Emotion Perception,
Emotion Expression, Trait Empathy, Relationships; (4) Sociability, yang
terdiri dari Assertiveness, Social Awareness, Emotion Management; (5)
Adaptability; (6) Self-Motivation. Skor-skor itu diberi nama: WB, SC,
Emotion, Social, Adaptability, Self_Motivation.
Selain menggunakan program SPSS, penulis juga melakukan
penghitungan dan pembandingan antara faktor dan subskala yang didapatkan
dari teori yang telah ada dengan menggunakan program Lisrel versi 8.80,
hasilnya dapat dilihat pada gambar 4.2 dan tabel 4.10. Alasan dilakukan
pengujian ulang dengan Lisrel ialah agar bisa diuji item mana yang sigifikan.
Prosedur ini tidak tersedia dalam SPSS. Tetapi, dengan menggunakan SPSS,
penulis dengan mudah dapat menghitung ’factor score’ yang justru dalam
Lisrel diperlukan cara yang lebih rumit. Oleh sebab itu, penulis menggunakan
SPSS untuk menghasilkan factor score bagi setiap subjek penelitian yang
dalam hal ini sebenarnya ialah true score yang bebas dari kesalahan
pengukuran. Skor inilah yang dijadikan data dalam penelitian ini untuk
selanjutnya dianalisis dalam kaitannya dengan DV yang telah ditetapkan.
64
Gambar 4.2: Hasil Analisis Faktor TEIQue menggunakan Lisrel
Tabel 4.10: Hasil Lambda X menggunakan Lisrel
65
Dari hasil penghitungan dengan menggunakan Lisrel dapat terlihat
bahwa seluruh subskala TEIQue-SF fit (sesuai) dengan faktor-faktornya,
namun ada 2 subskala (indikator) yang memiliki loading (muatan) di dua
faktor sekaligus, yaitu happiness dan optimism, yang dalam hal ini di samping
mengukur well-being juga mengukur emotionality. Jika dilihat angkanya pada
tabel 4.10, happiness memiliki muatan 0,12 pada well-being dan muatan 3,12
pada emotionality, keduanya signifikan. Sedangkan optimism memiliki
muatan -2,34 pada well-being dan muatan 3,68 pada emotionality.
Angka-angka itu menunjukkan kecenderungan bahwa happiness dan
optimism tampaknya lebih tepat untuk mengukur faktor emotionality daripada
well-being. Kesimpulannya, jika faktor dan subskala TEIQue-SF ini diuji
analisis faktor yang sifatnya CFA dengan menggunakan program Lisrel, teori
yang telah dipaparkan terbukti kebenarannya dengan catatan bahwa subskala
happiness dan optimism masuk ke faktor emotionality.
4.3. Uji Hipotesis Penelitian
Selanjutnya, uji hipotesis untuk mengetahui pengaruh antara masing-masing IV
terhadap DV dalam penelitian ini, analisisnya dilakukan dengan teknik multiple regresi
berganda. Data yang dianalisis ialah faktor skor atau true score yang diperoleh dari hasil
analisis faktor. Alasan penulis menggunakan faktor skor ini ialah untuk menghindari
dampak negatif dari kesalahan pengukuran (attenuation). Hasilnya dapat dilihat pada
tabel 4.11.
66
Tabel 4.11: Coefficients analisis regresi dari ke-9 IV
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
Model B Std. Error Beta T Sig.
(Constant) 33.971 16.533 2.055 .046
Well_Being .289 .393 .150 .735 .466
Self_Control .181 .312 .105 .581 .564
Emotionality .465 .254 .370 1.831 .074
Sociability -.265 .299 -.184 -.886 .381
Adaptability -.240 .821 -.059 -.292 .772
Self_Motivation -.294 .653 -.091 -.450 .655
Jenis Kelamin .087 2.544 .005 .034 .973
Usia -.628 .298 -.364 -2.106 .042
1
Lama menjadi kepala
sekolah
.270 .419 .117 .645 .523
a. Dependent Variable: Kompetensi pengambilan keputusan
Berdasarkan tabel di atas, persamaan regresi berdasarkan nilai B yaitu:
Kompetensi pengambilan keputusan (y’) =
33,971 + 0,289 WB + 0,181 SC + 0,465 Em – 0,265 So – 0,240 Ad – 0,294 SM + 0,087
jenis kelamin – 0,628 usia + 0,270 lama menjadi kepala sekolah
Dari persamaan regresi tersebut, bisa dibuat prediksi tentang berapa harga Y jika
nilai setiap IV diketahui.
Sesuai tabel 4.11 di atas juga dapat diketahui signifikan tidaknya masing-masing
IV terhadap DV, hal ini untuk menjawab berbagai hipotesis dalam penelitian ini, yaitu:
67
4.3.1. Uji Hipotesis 1
Uji hipotesis 1 merupakan uji hipotesis yang menjawab pertanyaan:
apakah kecerdasan emosional memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kompetensi dalam pengambilan keputusan. Kecerdasan emosional mencakup 6
faktor, rinciannya ialah sebagai berikut:
a. Pada tabel 4.11 diketahui nilai p untuk WB = 0,466. Karena p > 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa well-being tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan.
b. Pada tabel 4.11 diketahui nilai p untuk SC = 0,564. Karena p > 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa self-control tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan.
c. Pada tabel 4.11 diketahui nilai p untuk Em = 0,074. Karena p > 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa emotionality tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan.
d. Pada tabel 4.11 diketahui nilai p untuk So = 0,381. Karena p > 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa sociability tidak memiliki pengaruh yang signifikan
terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan.
e. Pada tabel 4.11 diketahui nilai p untuk Ad = 0,772. Karena p > 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa adaptability tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan.
f. Pada tabel 4.11 diketahui nilai p untuk SM = 0,655. Karena p > 0,05 maka
dapat disimpulkan bahwa self-motivation tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan.
68
4.3.2. Uji Hipotesis 2
Uji hipotesis 2 merupakan uji hipotesis yang menjawab pertanyaan:
apakah jenis kelamin memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kompetensi dalam pengambilan keputusan. Pada tabel 4.11 diketahui nilai p untuk
jenis kelamin = 0,973. Karena p > 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa jenis
kelamin tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan.
4.3.3. Uji Hipotesis 3
Uji hipotesis 3 merupakan uji hipotesis yang menjawab pertanyaan:
apakah usia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan. Pada tabel 4.11 diketahui nilai p untuk usia =
0,042. Karena p < 0,05 maka dapat disimpulkan bahwa usia memiliki pengaruh
yang signifikan terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan.
4.3.4. Uji Hipotesis 4
Uji hipotesis 4 merupakan uji hipotesis yang menjawab pertanyaan:
apakah lama menjadi kepala sekolah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan. Pada tabel 4.11 diketahui nilai
p untuk lama menjadi kepala sekolah = 0,523. Karena p > 0,05 maka dapat
disimpulkan bahwa lama menjadi kepala sekolah tidak memiliki pengaruh yang
signifikan terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan.
69
4.4 Proporsi Varian Pada subbab sebelumnya dapat diketahui bahwa hanya satu IV yang dampaknya
signifikan terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan, yaitu usia. Hal ini
mungkin terjadi karena sedikitnya jumlah subjek penelitian dalam penelitian ini. Namun
demikian, penulis ingin melihat proporsi varian dari kompetensi pengambilan keputusan
yang secara keseluruhan bisa diterapkan pada 9 IV. Penulis melakukan uji analisis regresi
berganda menggunakan SPSS, hasilnya sebagai berikut:
Tabel 4.13: Anova analisis regresi dari ke-9 IV
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Regression 786.334 9 87.370 1.161 .346a
Residual 3011.367 40 75.284
1
Total 3797.701 49
a. Predictors: (Constant), Lama menjadi kepala sekolah, Sociability, Jenis Kelamin, Self_Control, Usia, Adaptability,
Emotionality, Self_Motivation, Well_Being
b. Dependent Variable: Kompetensi pengambilan keputusan
Tabel 4.12: Model Summary analisis regresi dari ke-9 IV
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
1 .455a .207 .029 8.67665
a. Predictors: (Constant), Lama menjadi kepala sekolah, Sociability, Jenis Kelamin,
Self_Control, Usia, Adaptability, Emotionality, Self_Motivation, Well_Being
b. Dependent Variable: Kompetensi pengambilan keputusan
Dari tabel 4.12 dan tabel 4.13 dapat diketahui bahwa nilai R = 0,455, nilai R2 =
0,207 dan nilai signifikan = 0,346. Ini berarti bahwa proporsi varian dari kompetensi
pengambilan keputusan yang secara keseluruhan bisa diterapkan pada 9 variabel ialah
sebesar 20,7%. Atau dengan kata lain, penyebab bervariasinya skor kompetensi
pengambilan keputusan yang ditentukan oleh 9 variabel (WB, SC, Em, So, Ad, SM, jenis
70
kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah) secara bersama-sama ialah sebesar
20,7%. Sedangkan sisanya sebesar 79,3% disebabkan oleh sebab-sebab atau aspek-aspek
lain. Kesimpulannya, terdapat kemungkinan adanya aspek-aspek lain yang memiliki
pengaruh lebih besar terhadap tingkat kompetensi pengambilan keputusan.
Sedangkan untuk mengetahui proporsi varian dari kecerdasan emosional (6
variabel) terhadap kompetensi pengambilan keputusan dapat dilihat pada tabel di bawah
ini.
Tabel 4.14: Model Summary analisis regresi dari ke-6 IV
Model R R Square Adjusted R Square
Std. Error of the
Estimate
1 .335a .112 -.011 8.85377
a. Predictors: (Constant), Self_Motivation, Self_Control, Emotionality,
Adaptability, Well_Being, Sociability
Tabel 4.15: Anova analisis regresi dari ke-6 IV
Model Sum of Squares Df Mean Square F Sig.
Regression 426.964 6 71.161 .908 .498a
Residual 3370.737 43 78.389 1
Total 3797.701 49
a. Predictors: (Constant), Self_Motivation, Self_Control, Emotionality, Adaptability, Well_Being,
Sociability
b. Dependent Variable: Kompetensi pengambilan keputusan
Berdasarkan tabel 4.14 dan 4.15 dapat diketahui nilai R = 0,335, nilai R2 = 0,112
dan nilai signifikansi = 0,498. Maka dapat dikatakan bahwa ke-6 faktor kecerdasan
emosional bisa meramalkan 11,2% dari bervariasinya kompetensi pengambilan
keputusan. Ini berarti, penyebab bervariasinya skor kompetensi pengambilan keputusan
yang ditentukan oleh variabel kecerdasan emosional yang mencakup WB, SC, Em, So,
Ad, SM secara bersama-sama ialah sebesar 11,2%. Sedangkan sisanya sebesar 88,8%
71
disebabkan oleh sebab-sebab atau aspek-aspek lain. Pada pembahasan sebelumnya
bervariasinya kompetensi pengambilan keputusan sebesar 9,5% dipengaruhi oleh jenis
kelamin, usia, dan lama menjadi kepala sekolah secara bersama-sama. Kesimpulannya,
terdapat kemungkinan adanya aspek-aspek lain yang memiliki pengaruh lebih besar
terhadap tingkat kompetensi pengambilan keputusan.
Berikut ini disajikan tabel coefficient analisis regresi dari ke-6 IV, sebagai berikut:
Tabel 4.16: Coefficients analisis regresi dari ke-6 IV
Unstandardized Coefficients
Standardized
Coefficients
Model B Std. Error Beta T Sig.
(Constant) 5.065 9.856 .514 .610
Well_Being .079 .382 .041 .208 .836
Self_Control .226 .318 .131 .711 .481
Emotionality .448 .256 .356 1.752 .087
Sociability -.232 .304 -.161 -.762 .450
Adaptability -.100 .771 -.025 -.130 .897
1
Self_Motivation -.212 .660 -.065 -.320 .750
a. Dependent Variable: Kompetensi pengambilan keputusan
Adapun persamaan regresi berdasarkan nilai B pada tabel 4.16 di atas yaitu:
Kompetensi pengambilan keputusan (y’) =
5.065 + 0,079 WB + 0,226 SC + 0,448 Em – 0,232 So – 0,100 Ad – 0,212 SM
Dari persamaan regresi di atas, bisa dibuat prediksi tentang berapa harga Y jika nilai
setiap IV diketahui.
Setelah mengetahui proporsi varian dari ke-9 variabel secara bersama-sama
maupun dari ke-6 variabel secara bersama-sama, penulis juga ingin melihat IV mana yang
memiliki kontribusi paling tinggi terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan
keputusan. Oleh karena itu penulis melakukan analisis regresi secara hirarkikal. Di sini
72
mula-mula penulis menghitung satu IV, kemudian menambahkan satu IV lagi, begitu
seterusnya hingga seluruh IV dimasukkan. Berdasarkan hasil hitungan menggunakan
program SPSS yang dapat dilihat pada lampiran 1, berikut ini ialah tabel proporsi varian
kompetensi pengambilan keputusan yang terkait dengan IV, yaitu:
Tabel 4.17: Proporsi varian DV yang terkait dengan IV
No. IV R2 R2 Change /
Kontribusi
Varian (%)
Sig
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
Em
Em+So
Em+So+WB
Em+So+WB+SC
Em+So+WB+SC+SM
Em+So+WB+SC+SM+Ad
Em+So+WB+SC+SM+Ad+Usia
Em+So+WB+SC+SM+Ad+Usia+Lama
menjadi kepala sekolah
Em+So+WB+SC+SM+Ad+Usia+Lama
menjadi kepala sekolah+Jenis kelamin
0,081
0,097
0,101
0,110
0,112
0,112
0,199
0,207
0,207
8,1 %
1,6 %
0,4 %
0,9 %
0,2 %
0 %
8,7 %
0,8 %
0 %
NS
NS
NS
NS
NS
NS
S
NS
NS
Total keseluruhan 20,7 %
Berdasarkan tabel 4.17 dapat diketahui kontribusi masing-masing IV terhadap
tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan. Berikut ini dijelaskan deskripsi dari
masing-masing IV sebagai berikut:
1. Tingkat kompetensi pengambilan keputusan dengan Em diperoleh R2 (R Square)
sebesar 0,081 yang berarti bahwa variabel Em memiliki kontribusi sebesar 8,1% dalam
mempengaruhi tingkat kompetensi pengambilan keputusan. Selain itu, pada tabel 4.11
dapat diperoleh nilai sebesar 0,465 yang berarti bahwa Em secara positif
mempengaruhi tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan dengan kriteria tidak
73
signifikan. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi emotionality seseorang, maka
semakin tinggi pula tingkat kompetensinya dalam pengambilan keputusan, namun hal
tersebut tidak signifikan.
2. Tingkat kompetensi pengambilan keputusan dengan So diperoleh R2 Change sebesar
0,097 yang berarti bahwa variabel So memiliki kontribusi sebesar 1,6% dalam
mempengaruhi tingkat kompetensi pengambilan keputusan. Selain itu, pada tabel 4.11
dapat diperoleh nilai sebesar -0,265 yang berarti bahwa So secara negatif
mempengaruhi tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan dengan kriteria tidak
signifikan. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi sociability seseorang, maka
semakin rendah tingkat kompetensinya dalam pengambilan keputusan, namun hal
tersebut tidak signifikan.
3. Tingkat kompetensi pengambilan keputusan dengan WB diperoleh R2 Change sebesar
0,101 0% yang berarti bahwa variabel WB memiliki kontribusi sebesar 0,4% dalam
mempengaruhi tingkat kompetensi pengambilan keputusan. Selain itu, pada tabel 4.11
dapat diperoleh nilai sebesar 0,289 yang berarti bahwa WB secara positif
mempengaruhi tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan dengan kriteria tidak
signifikan. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi well-being seseorang, maka
semakin tinggi pula tingkat kompetensinya dalam pengambilan keputusan, namun hal
tersebut tidak signifikan.
4. Tingkat kompetensi pengambilan keputusan dengan SC diperoleh R2 Change sebesar
0,110 yang berarti bahwa variabel SC memiliki kontribusi sebesar 0,9% dalam
mempengaruhi tingkat kompetensi pengambilan keputusan. Selain itu, pada tabel 4.11
dapat diperoleh nilai sebesar 0,181 yang berarti bahwa SC secara positif
mempengaruhi tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan dengan kriteria tidak
signifikan. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi self-control seseorang, maka
74
semakin rendah tingkat kompetensinya dalam pengambilan keputusan, namun hal
tersebut tidak signifikan.
5. Tingkat kompetensi pengambilan keputusan dengan SM diperoleh R2 Change sebesar
0,112 yang berarti bahwa variabel SM memiliki kontribusi sebesar 0,2% dalam
mempengaruhi tingkat kompetensi pengambilan keputusan. Selain itu, pada tabel 4.11
dapat diperoleh nilai sebesar -0,294 yang berarti bahwa SM secara negatif
mempengaruhi tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan dengan kriteria tidak
signifikan. Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi self-motivation seseorang, maka
semakin rendah tingkat kompetensinya dalam pengambilan keputusan, namun hal
tersebut tidak signifikan.
6. Tingkat kompetensi pengambilan keputusan dengan Ad diperoleh R2 Change sebesar
0% yang berarti bahwa variabel Ad tidak memiliki kontribusi dalam mempengaruhi
tingkat kompetensi pengambilan keputusan. Selain itu, pada tabel 4.11 dapat diperoleh
nilai sebesar -0,240 yang berarti bahwa Ad secara negatif mempengaruhi tingkat
kompetensi dalam pengambilan keputusan dengan kriteria tidak signifikan. Dapat
disimpulkan bahwa semakin tinggi adaptability seseorang, maka semakin rendah
tingkat kompetensinya dalam pengambilan keputusan, namun hal tersebut tidak
signifikan.
7. Tingkat kompetensi pengambilan keputusan dengan usia diperoleh R2 Change sebesar
0,087 yang berarti bahwa variabel usia memiliki kontribusi sebesar 8,7% dalam
mempengaruhi tingkat kompetensi pengambilan keputusan. Selain itu, pada tabel 4.11
dapat diperoleh nilai sebesar -0,628 yang berarti bahwa usia secara negatif
mempengaruhi tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan dengan kriteria
signifikan. Dapat disimpulkan bahwa semakin tua usia seseorang, maka semakin
rendah tingkat kompetensinya dalam pengambilan keputusan.
75
8. Tingkat kompetensi pengambilan keputusan dengan lama menjadi kepala sekolah
diperoleh R2 Change sebesar 0,008 yang berarti bahwa variabel lama menajadi kepala
sekolah memiliki kontribusi sebesar 0,8% dalam mempengaruhi tingkat kompetensi
pengambilan keputusan. Selain itu, pada tabel 4.11 dapat diperoleh nilai sebesar 0,270
yang berarti bahwa lama menjadi kepala sekolah secara positif mempengaruhi tingkat
kompetensi dalam pengambilan keputusan dengan kriteria tidak signifikan. Dapat
disimpulkan bahwa semakin lama seseorang menjadi kepala sekolah, maka semakin
tinggi tingkat kompetensinya dalam pengambilan keputusan, namun hal tersebut tidak
signifikan.
9. Tingkat kompetensi pengambilan keputusan dengan jenis kelamin diperoleh R2
Change sebesar 0% yang berarti bahwa variabel jenis kelamin tidak memiliki
kontribusi dalam mempengaruhi tingkat kompetensi pengambilan keputusan. Selain
itu, pada tabel 4.11 dapat diperoleh nilai sebesar 0,087 yang berarti bahwa jenis
kelamin secara positif mempengaruhi tingkat kompetensi dalam pengambilan
keputusan dengan kriteria tidak signifikan. Dalam penelitian ini coding yang
digunakan untuk perempuan adalah 1, sedangkan untuk laki-laki adalah 0. Maka dapat
diambil kesimpulan bahwa perempuan memiliki tingkat kompetensi pengambilan
keputusan yang lebih tinggi dari laki-laki, namun perbedaannya tidak signifikan.
76
BAB V
KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN
Dalam bab ini, akan dipaparkan mengenai kesimpulan yang akan memberikan
informasi dari hasil penelitian, diskusi dan saran yang efektif.
5.1. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dikemukakan pada bab sebelumnya, maka
kesimpulan dari penelitian ini adalah:
1. Kecerdasan emosional tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kompetensi dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
Rinciannya ialah sebagai berikut:
a. Well-Being tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
b. Self-Control tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
c. Emotionality tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
d. Sociability tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
e. Adaptability tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
77
f. Self-Motivation tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat
kompetensi dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
2. Jenis Kelamin tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi
dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
3. Usia memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tingkat kompetensi dalam
pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
4. Lama menjadi kepala sekolah tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap
tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan, khususnya bagi kepala sekolah.
5.2. Diskusi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan
kompetensi pengambilan keputusan antara laki-laki dan perempuan. Hal ini tidak sejalan
dengan Millet (2004) yang mengemukakan bahwa salah satu faktor yang berpengaruh
dalam pengambilan keputusan oleh pemimpin ialah laki-laki dan perempuan. Dikatakan
juga bahwa laki-laki umumnya bersifat lebih tegas, berani, dan cepat pengambilan
keputusan, sedangkan wanita umumnya relatif lebih lambat dan sering ragu-ragu.
Perlu diketahui, bahwa rentang usia subjek penelitian dalam penelitian ini sudah
memasuki masa setengah baya. Masa setengah baya ini merupakan masa penyesuaian
yang derajat kesukarannya berbeda-beda di antara dua jenis kelamin. Beberapa masalah
lebih sukar bagi laki-laki, dan beberapa lainnya lebih sukar bagi perempuan. Hal inilah
yang kemungkinan mempengaruhi hasil penelitian yang menunjukkan bahwa tidak ada
perbedaan kompetensi pengambilan keputusan antara laki-laki dan perempuan, karena
masing-masing jenis kelamin secara bersama-sama akan berusaha melakukan
penyesuaian pada masa setengah baya ini.
78
Mengenai komponen ADMC yang fit (sesuai) dengan data tetapi ada beberapa
komponennya yang berkorelasi negatif terhadap tingkat kompetensi dalam pengambilan
keputusan. Jika kita lihat komponennya yang negatif, yaitu RF, UO, ADR, dan RSC,
sedangkan yang positif ialah RSN, CRP, dan PI, maka secara umum kemungkinan
terjadinya korelasi negatif ini dan positif ini ialah dikarenakan adanya peranan
pengambilan keputusan dan keterbatasan kemampuan pengambilan keputusan.
Hal yang dikemukakan di atas kemungkinan bisa terjadi, terlebih subjek penelitian
ini ialah kepala sekolah yang merupakan pengambil keputusan terhadap semua urusan
organisasi sekolah. Jika ditelaah lebih lanjut mengenai banyaknya fenomena yang
menunjukkan bahwa masih banyak kepala sekolah yang meminta petunjuk dari atasan
dalam rangka merumuskan kebijakan, hal ini bisa dibenarkan. Karena memang masih
banyak kepala sekolah yang belum mengetahui dan menguasai berbagai pendekatan,
metode, dan teknik yang tepat untuk meningkatkan kompetensi dalam pengambilan
keputusan. Terlebih lagi adanya berbagai birokrasi pendidikan yang turut ikut campur
dalam berbagai urusan sekolah.
Selain alasan yang telah dikemukakan sebelumnya, mungkin perlu adanya
adaptasi kembali alat ukur ADMC dan TEIQue, kata-kata yang terlalu panjang, dan
konteks pernyataan yang dimuat ialah berkisar pada pengetahuan yang merefleksikan diri
sendiri. Hal ini terbukti setelah penelitian dilakukan, karena ada beberapa responden yang
mempertanyakan apa maksud dari pernyataan-pernyataan yang dimuat, keluhan bahwa
pernyataan-pernyataan tersebut harus dibaca berulang kali untuk mengetahui maksudnya.
Pada tabel 4.6, dapat diketahui jika skor komponen RF tinggi maka tingkat
kompetensi dalam pengambilan keputusannya rendah, begitu pula sebaliknya. Hal ini
sesuai dengan eksperimen yang dilakukan oleh Kahneman dan Tversky (dalam Suharnan,
2005). Dapat disimpulkan bahwa dalam situasi yang mengandung risiko orang-orang
79
cenderung menghindari risiko apabila mereka menghadapi kemungkinan perolehan.
Tetapi, mereka cenderung mengambil risiko apabila berkaitan dengan kemungkinan
kehilangan atau kerugian. Dengan kata lain, seseorang lebih berani mempertahankan
sesuatu yang sudah pasti daripada sesuatu yang belum pasti, ketika menghadapi
kemungkinan situasi yang mengandung risiko.
Pembahasan di atas juga sesuai dengan skor komponen PI yang semakin tinggi
maka tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan juga tinggi. Dalam hal ini, orang-
orang cenderung gambling (bersikap untung-untungan). Jika diterapkan di dalam dunia
bisnis, maka para pelaku bisnis cenderung bersikap ‘kemungkinan rugi’ daripada ‘pasti
rugi’ ketika dihadapkan pada situasi bisnis yang akan menghasilkan kerugian. Maka,
semakin seseorang berani berspekulasi, semakin tinggi pula tingkat kompetensinya dalam
pengambilan keputusan.
Untuk alat ukur TEIQue-SF, walaupun diketahui bahwa seluruh subskala fit
(sesuai) dengan data, ditemukan adanya kerancuan. Dari hasil penghitungan dengan
menggunakan Lisrel dapat terlihat bahwa seluruh subskala TEIQue-SF fit (sesuai) dengan
faktor-faktornya, namun ada 2 subskala yang mengukur 2 faktor sekaligus. Yaitu
subskala happiness dan optimism yang mengukur faktor well-being dan emotionality.
Happiness dan optimism lebih tepat untuk mengukur faktor emotionality daripada well-
being. Hal ini ternyata sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Mikolajczak
(2006). Berdasarkan hasil penelitiannya, Mikolajczak juga menemukan kerancuan pada
beberapa subskala TEIQue. Penulis menduga adanya multi dimensional item pada alat
ukur TEIQue.
Dalam unsur-unsur TEIQue, kemampuan setiap orang berbeda-beda. Sebagai
contoh, beberapa orang barangkali amat terampil meredam kemarahan orang lain, tetapi
agak kerepotan menangani kecemasan diri sendiri. Landasan di balik tingkat kemampuan
80
ini ialah saraf, tetapi otak bersifat plastis, sangat mudah dibentuk, dan terus menerus
belajar. Kekurangan-kekurangan dalam keterampilan emosional dapat diperbaiki sampai
ke tingkat yang setinggi-tingginya di mana masing-masing unsur menampilkan bentuk
kebiasaan dan respon yang, dengan upaya yang tepat, dapat dikembangkan.
Selanjutnya, hanya variabel usia yang memiliki pengaruh yang signifikan dengan
kompetensi pengambilan keputusan. Sedangkan variabel well-being, self-control,
emotionality, sociability, adaptability, self-motivation, jenis kelamin, lama menjadi
kepala sekolah tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kompetensi pengambilan
keputusan.
Beberapa hasil penelitian di atas sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan De
Bruin (2007). Hasil penelitian itu mengungkapkan bahwa usia memiliki korelasi yang
negatif terhadap kemampuan pengambilan keputusan bagi orang dewasa.
5.3. Saran
Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, maka dapat diberikan
beberapa saran sebagai berikut :
1. Dikarenakan variasi dari ke-9 IV hanya menyumbang pengaruh sebesar 20,7 % dan
sisanya disebabkan oleh faktor lain, maka disarankan untuk penelitian selanjutnya
agar mencari dan menghubungkan faktor-faktor lain yang mempengaruhi kompetensi
dalam pengambilan keputusan. Faktor-faktor tersebut diantaranya ialah gaya
pengambilan keputusan, tingkat pendidikan, kemampuan kognitif, keadaan ekonomi,
dsb.
2. Salah satu kekurangan dari penelitian ini adalah sedikitnya jumlah subjek penelitian.
Maka dalam penelitian selanjutnya diharapkan untuk memperbanyak jumlah subjek
81
penelitian, karena hasil penelitian ini bisa berubah jika subjek penelitiannya
bertambah.
3. Hasil penelitian ini dapat juga dijadikan bahan masukan yang positif dan bahan
pertimbangan kepada Dinas Pendidikan Provinsi DKI Jakarta, khususnya Kotamadya
Jakarta Selatan dalam rangka pelaksanaan seleksi penentuan kompetensi sumber daya
manusia yang berkualitas untuk mengisi jabatan kepala sekolah, terutama
diperhatikan mengenai usia seseorang diangkat menjadi kepala sekolah.
4. Dapat memberikan informasi dan masukan bagi penggagas program peningkatan
kompetensi kepala sekolah seluruh Indonesia yang dilaksanakan oleh Kementrian
Pendidikan Nasional agar menambahkan kompetensi pengambilan keputusan sebagai
materi diklatnya.
82
DAFTAR PUSTAKA
Bruine de Bruin, W., Parker, A.M., & Fischhoff, B. (2007). Individual difference in adult
decision-making competence. Journal of Personality and Social Psychology, 92 (5), 938-956.
Chaplin, J.P. (2008). Kamus lengkap psikologi, Ed-1, Cet-12. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada. Daftar nama dan alamat SDN dan SDS di Provinsi DKI Jakarta. Diakses dari
http://www.disdikdki.net/ Freudenthaler, H.H., Neubauer, A.C., Gabler, P., Scherl, W.G., Rindermann, H. (2008).
Testing and validating the trait emotional intelligence questionnaire in a german-speaking sample. Journal of Personality and Individual Differences, 45, 673-678.
Goleman, D. (2007). Kecerdasan emosional, Cet-17, terj. T. Hermaya, judul asli,
Emotional intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Hasan, I. (2004). Pokok-pokok materi teori pengambilan keputusan, Cet-2. Bogor: Ghalia
Indonesia. Mikolajczak, M. (2007). Emotional intelligence, is it relevant to the study of decision
making? ARC Seminar pada 5 November, 2007. Diakses pada 2 November, 2009 dari www.uclouvain.com
Mikolajczak, M., Luminet, O., Leroy, C., & Roy, E. (2006). Psychometric properties of
the trait emotional intelligence questionnaire: factor structure, reliability, construct, and incremental validity in a french-speaking population. Journal of Personality Assessment, 1-54.
Mubayidh, M. (2006). Kecerdasan dan kesehatan emosional Anak, terj. M. Muchson
Anasy, judul asli, Ad-dzaka’ al-athifi wa ash-shihhah al-athifiyah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Petrides, K.V. (2001). TEIQue interpretations. Diakses pada 2 November, 2009 dari
http://www.psychometriclab.com/ Petrides, K.V., & Furnham, A. (2003). Trait emotional intelligence questionnaire
(TEIQue). Diakses pada 2 November, 2009 dari http://www.statisticssolutions.com/
Petrides, K.V., & Furnham, A. (2006). The role of trait emotional intelligence in a
gender-specific model of organizational variables. Journal of Applied Social Psychology, 36 (2), 552-569.
83
Rachman, E. dan Savitri, S. (2009, 1 Agustus). Manajemen batin. Kompas, hlm.33 Salehudin, I. (2008). Pengambilan keputusan emosional Vs tanpa emosi. Diakses pada 8
Januari, 2009 dari http://mhs.blog.ui.ac.id/imam.salehudin/2008/essay-mid-term-mata-kuliah-proses-
mental/ Segal, J. (2000). Melejitkan kepekaan emosional: cara baru praktis untuk
mendayagunakan potensi insting dan kekuatan emosi anda, terj. Ary Nilandari, judul asli, raising your emotional intelligence. Bandung: Kaifa.
Shapiro, L.E. (2003). Mengajarkan emotional intelligence pada anak, Cet-6, terj. Alex
Tri Kantjono, judul asli, How to raise a child with a hagh EQ – a parents guide to emotional intelligence. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
Sheth, D. (2007). Kepemimpinan dan kecerdasan emosi, terj. Gafura, judul asli,
leadership and emotional intelligence. Diakses pada 9 Agustus, 2009 dari http://id.shvoong.com/humanities/1676190-kepemimpinan-dan-kecerdasan-emosi/
Siagian, S.P. (1997). Teori dan praktek pengambilan keputusan, Cet-10. Jakarta: PT Toko
Gunung Agung. Suharnan M.S. (2005). Psikologi kognitif, ed-revisi. Surabaya: Srikandi. Supranto, J. (1998). Teknik pengambilan keputusan. Jakarta: PT Rineka Cipta. Umar, J. (2008). Pengukuran dan analisis statistika dalam psikologi. Diakses pada 23
Januari, 2010 dari www.assessment-iai.com UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Diakses dari
http://www.inherent-dikti.net/files/sisdiknas.pdf Van Heck, G.L., & Den Oudsten, B.L. (2008). Chapter seven: Emotional intelligence:
relationships to stress, health, and well-being. Dalam A. Vingerhoets (ed). Emotion Regulation (97-121).
Wahjosumidjo. (2008). Kepemimpinan kepala sekolah. Jakarta: PT RajaGrafindo
Persada.
84
Lampiran 1:
Hasil hitungan proporsi varian DV yang terkait dengan IV menggunakan program SPSS:
a) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap
emotionality Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .285(a) .081 .062 8.52655 a Predictors: (Constant), EMOSI
b) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap sociability
Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .311(a) .097 .059 8.54208 a Predictors: (Constant), SOSIABIL, EMOSI
c) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap well-being
Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .318(a) .101 .043 8.61451 a Predictors: (Constant), WELLB, SOSIABIL, EMOSI
d) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap self-
control Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .331(a) .110 .030 8.66899 a Predictors: (Constant), SELFCTRL, SOSIABIL, WELLB, EMOSI
e) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap self-
motivation Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .335(a) .112 .011 8.75430 a Predictors: (Constant), SELFMOTI, SELFCTRL, EMOSI, WELLB, SOSIABIL
85
f) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap
adaptability Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .335(a) .112 -.011 8.85377 a Predictors: (Constant), ADABTABI, SOSIABIL, SELFCTRL, WELLB, SELFMOTI, EMOSI
g) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap usia
Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .446(a) .199 .065 8.51149 a Predictors: (Constant), AGE, SOSIABIL, SELFCTRL, ADABTABI, WELLB, SELFMOTI, EMOSI
h) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap lama
menjadi kepala sekolah Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .455(a) .207 .052 8.57030 a Predictors: (Constant), EXPKPLA, SOSIABIL, SELFCTRL, AGE, ADABTABI, WELLB, SELFMOTI,
EMOSI i) Proporsi varian tingkat kompetensi dalam pengambilan keputusan terhadap jenis
kelamin Model Summary
Model R R Square Adjusted R
Square Std. Error of the Estimate
1 .455(a) .207 .029 8.67665 a Predictors: (Constant), SEX, SELFCTRL, AGE, SOSIABIL, EXPKPLA, ADABTABI, EMOSI,
SELFMOTI, WELLB