i
PENGARUH POLA JARAK TANAM DAN BIOPESTISIDA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG (Zea mays L.)
(Skripsi)
Oleh
JAKA PRIMANDIRA
15110046
SEKOLAH TINGGI ILMU PERTANIAN (STIPER)
DHARMA WACANA METRO
2019
ii
PENGARUH POLA JARAK TANAM DAN BIOPESTISIDA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG (Zea mays L.)
SKRIPSI
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai Gelar
SARJANA PERTANIAN
Pada
Program Studi Agroteknologi
Oleh
JAKA PRIMANDIRA
NPM : 15110046
SEKOLAH TINGGI ILMU PERTANIAN (STIPER)
DHARMA WACANA METRO
2019
i
PENGARUH POLA JARAK TANAM DAN BIOPESTISIDA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG (Zea mays L.)
Oleh:
JAKA PRIMANDIRA
ABSTRAK
Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan terpenting setelah padi dan
gandum. Jagung tidak hanya sebagai bahan pangan, tetapi juga sebagai pakan
ternak dan bahan baku industri. Konsumsi jagung per tahun di Indonesia
meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan daya
beli masyarakat. Dengan demikian perlu adanya upaya untuk meningkatkan
produksi jagung melalui peningkatan produksi dalam budidaya jagung. Upaya
untuk menciptakan produksi jagung yang tinggi dengan uji pertumbuhan dan hasil
perlu dikaji lebih lanjut untuk meningkatkan produksi jagung tersebut terutama
pada penggunaan pola jarak tanam dan biopestisida. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui (1) Pengaruh pola jarak tanam dalam meningkatkan pertumbuhan dan
hasil tanaman jagung (Zea mays L.). (2) Pengaruh biopestisida terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman jagung (Zea mays L.). (3) Interaksi antara pola
jarak tanam dan biopestisida terhadap semua parameter.
Penelitian dilakukan pada bulan November 2018 sampai Februari 2019 di
hamparan lahan kering Desa Margototo, Kecamatan Metro Kibang, Kabupaten
Lampung Timur. Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Petak
Terbagi (Spil Plot) yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap
(RAKL) dengan 3 (tiga) ulangan. Sebagai petak utama adalah pola jarak tanam
(P) terdiri atas 2 taraf yaitu: pola jarak tanam lurus (p1) dan pola jarak tanam
zigzag (p2). Sebagai anak petak yakni pengendalian OPT terdiri dari 4 taraf yaitu:
Kontrol (b0), Biopestisida (b1), Asam Humat (b2), dan Agen Hayati (b3). Sehingga
terdapat 8 perlakuan dan 24 satuan percobaan.
Hasil penelitian menunjukan bahwa (1) Pola jarak tanam berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman jagung yaitu pada variabel tinggi tanaman, bobot
berangkasan kering, bobot pertongkol, panjang per tongkol, diameter per tongkol,
dan hasil per petak panen berat tongkol. Pada pola jarak tanam lurus (P1) lebih
baik dari pada pola jarak tanam zig-zag (P2). (2) Pengendalian organisme
pengganggu tanaman berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
jagung yaitu pada variabel jumlah daun, dan bobot berangkasan kering. Perlakuan
pengendali organisme pengganggu tanaman menggunakan biopestisida (b1) lebih
ii
baik dari pada kontrol (b0), asam humat (b2), dan agen hayati (b3). (3) Tidak
terdapat interaksi antara pola jarak tanam dan pengendalian organisme
pengganggu tanaman kecuali pada variabel bobot berangkasan kering. Interaksi
terbaik pada pola jarak tanam lurus (P1) dan pengendali organisme pengganggu
tanaman menggunakan biopestisida (b1).
iii
HALAMAN PERSETUJUAN
Judul Penelitian : PENGARUH POLA JARAK TANAM
DAN BIOPESTISIDA TERHADAP
PERTUMBUHAN DAN HASIL JAGUNG
(Zea mays L.).
Nama Mahasiswa : JAKA PRIMANDIRA
NPM : 15110046
Jurusan/PS : Agroteknologi
MENYETUJUI
1. Komisi Pembimbing
Pembimbing I, Pembimbing II,
Ir. Yatmin, M.T.A.
NIP. 196302161990031003
Sri Wahyuni, SP.,M.Si
NIP.197210091998032001
2. Ketua Jurusan
Priyadi, SP, M.Si
NIDN. 0214108803
iv
MENGESAHKAN
1. Tim Penguji
Ketua : Ir. Yatmin, M.T.A. (.............................)
Penguji Utama : Jamaludin, SP.,M.Si. (..............................)
Anggota : Sri Wahyuni, SP.,M.Si. (..............................)
2. Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian Dharma Wacana
Ir. Rakhmiati, MTA
NIP.196304081989032003
Tanggal Lulus Ujian : 16 Juli 2019
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis tinggal di Desa Penawar Jaya, Kecamatan Banjar
Margo, Kabupaten Tulang Bawang, Provinsi Lampung.
Lahir di Gedung Karya Jitu pada tanggal 05 September
1996, anak pertama dari dua bersaudara dari pasang
Bapak Ahmad Syamsul Arifin dan Ibu Karmila.
Pendidikan Sekolah Dasar di SD Negeri 01 Penawar Rejo lulus tahun 2008,
pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 01 Banjar Margo lulus
tahun 2011, dan pendidikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 01 Banjar
Margo Lulus tahun 2014. Pada tahun 2015 penulis melanjutkan pendidikan studi
strata satu (S1) jurusan Agroteknologi di Sekolah Tinggi Ilmu Pertanian
(STIPER) Dharma Wacana Metro Lampung.
vi
MOTTO
“Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan sholatmu sebagai
penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar”
(Al-Baqarah: 153)
vii
PERSEMBAHAN
Dengan penuh rasa syukur kepada Allah SWT
Saya persembahkan karya sederhana ini
Kepada :
“Kedua orang tua saya”
(Bpk. Ahmad Syamsul Arifin dan Ibu Karmila)
Karena doa dan jerih payah nya
Saya dapat menyelesaikan semuanya
“Adik dan keluarga besar saya”
Yang selalu mendukung saya untuk menjadi orang sukses
“Sahabat-sahabat saya”
Yang menjadi keluarga ke-2 saya
Yang selalu ada baik susah maupun senang.
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan
berkah dah rahmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang
berjudul “Pengaruh Pola Jarak Tanam dan Biopestisida Terhadap Pertumbuhan
dan Hasil Jagung (Zea mays L.)”.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih dan penghargaan yang
tulus kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis terutama ditujukan
kepada:
1. Ibu Ir. Rakhmiati, MTA, sebagai Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Pertania
(STIPER) Dharma Wacana Metro.
2. Bapak Ir. Yatmin, MTA, sebagai Pembantu Ketua 1 dan sebagai dosen
pembimbing skripsi yang telah memberi bimbingan, saran, dukungan, selama
penelitian dan penyusunan skripsi ini.
3. Ibu Sri Wahyuni, SP., M.Si, sebagai penanggung jawab kegiatan lapang di
Desa Margototo, Kecaman Metro Kibang, Kabupaten Lampung Timur, dan
sebagai pembimbing lapang sekaligus pembimbing skripsi yang telah
memberi bimbingan, saran, dukungan, selama penelitian dan penyusunan
skripsi.
ix
4. Bapak Jamaludin, M.Si., sebagai dosen penguji atas saran-saranya yang
bermanfaat dalam penyusunan dan perbaikan skripsi ini.
5. Bapak Ahmad Samsun dan Staff dari Balai Penelitian Tanah (Balittanah)
Taman Bogo Lampung Timur, yang telah membantu membimbing dilapangan
dan memberi bimbingan, saran, dukungan dan motivasi, selama penelitian dan
penyusunan skripsi ini.
6. Bapak dan Ibu Dosen beserta Staff STIPER Dharma Wacana Metro yang
selalu memberikan dukungan dan ilmu yang telah diberikan.
7. Kedua orang tua saya yaitu Bpk. Ahmad Samsul Arifin dan Ibu Karmila yang
selalu berjuang dan mendoakan demi keberhasilan dan kesuksesan saya.
8. Teman-teman seperjuangan baik AGT maupun AGB yaitu mahasiswa-
mahasiswi angkatan 2015 STIPER Dharma Wacana Metro.
9. Semua pihak yang telah berperan serta dan membantu baik dalam penulisan
skripsi ini maupun masa perkuliahan.
Penulis berusaha menyelesaikan skripsi ini dengan sempurna dan sebaik-baiknya,
namun sesungguhnya kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT dan kekurangan
adalah milik manusia. Oleh karna itu penulis mengharapkan saran dan masukan
dari pembaca untuk menyikapi kekurangan-kekurangan yang ada pada tulisan ini.
Semoga tulisan ini dapat bermanfaat, Amin.
Metro, Juli 2019
Penulis
ix
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .............................................................................. xi
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR .......................................................................... xiv
I. PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1 Latar Belakang dan Masalah ............................................ 1
1.2 Tujuan Penelitian ............................................................. 6
1.3 Dasar Pengajuan Hipotesis ................................................ 7
1.4 Hipotesis .......................................................................... 9
II. TINJAUAN PUSTAKA ........................................................... 10
2.1 Botani Tanaman Jagung .................................................. 10
2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung ...................................... 14
2.2.1 Tanah ....................................................................... 14
2.2.2 Iklim ....................................................................... 15
2.3 Biopestisida ....................................................................... 16
2.4 Asam Humat ..................................................................... 21
2.5 Agen Hayati ...................................................................... 23
2.6 Pola Jarak Tanam .............................................................. 29
III. BAHAN DAN METODE ......................................................... 31
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ........................................... 31
x
3.2 Bahan dan Alat Penelitian ................................................. 31
3.3 Metodelogi Penelitian ...................................................... 32
3.4 Pelaksanaan Penelitian ...................................................... 32
3.4.1 Persiapan Lahan .................................................. 32
3.4.2 Penanaman ......................................................... 33
3.4.3 Pemupukan .......................................................... 33
3.4.4 Pemeliharaan ....................................................... 33
3.4.5 Pengendalian Hama dan Penyakit ....................... 34
3.4.6 Pemanenan .......................................................... 34
3.5 Peubah yang Diamati ........................................................ 34
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................. 37
4.1 Hasil .................................................................................. 37
4.2 Pembahasan ...................................................................... 46
V. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................. 49
5.1 Kesimpulan ....................................................................... 49
5.2 Saran ................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 51
LAMPIRAN ........................................................................................ (57-91)
xi
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Uji BNT Tinggi Tanaman 56 hst ................................................... 37
2. Uji BNT Jumlah Daun 56 hst ......................................................... 39
3. Uji BNT Bobot Berangkasan Kering ............................................. 40
4. Uji BNT Bobot per Tongkol Tanpa Kelobot ................................. 41
5. Uji BNT Panjang per Tongkol Tanpa Kelobot .............................. 42
6. Uji BNT Diameter per Tongkol Tanpa Kelobot ............................ 43
7. Uji BNT Bobot 1000 Butir ............................................................. 44
8. Uji BNT Hasil per Petak Berat Tongkol ........................................ 45
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1. Tata Letak Percobaan ..................................................................... 58
2. Tatak Letak Pola Tanaman Lurus .................................................. 59
3. Tatak Letak Pola Tanaman Zigzag ................................................ 60
4. Deskripsi Jagung Varietas NK 22 .................................................. 61
5. Jadwal Kegiatan ............................................................................. 62
6. Tabel Rekapitulasi Uji BNT Semua Variabel Pengamatan ........... 64
7. Data Rata-Rata Tinggi Tanaman Umur ke 14 hst sampai 56 hst ... 65
8. Data Tinggi Tanaman Umur 56 hst ................................................ 65
9. Analisis Ragam Tinggi Tanaman Umur 56 hst .............................. 66
10. Data Rata-Rata Jumlah Daun Umur ke 14 hst sampai 56 hst ........ 66
11. Data Jumlah Daun Umur 56 hst ..................................................... 67
12. Analisis Ragam Jumlah Daun Umur 56 hst ................................... 67
13. Data Berangkasan Kering .............................................................. 68
14. Analisis Ragam Berangkasan Kering............................................. 68
15. Data Bobot per Tongkol Tanpa Kelobot ........................................ 69
16. Analisis Ragam Bobot per Tongkol Tanpa Kelobot ...................... 69
17. Data Panjang per Tongkol Tanpa Kelobot ..................................... 70
18. Analisis Ragam Panjang Tongkol Tanpa Kelobot ......................... 70
xiii
19. Data Diameter per Tongkol Tanpa Kelobot ................................... 71
20. Analisis Ragam Diameter Tongkol Tanpa Kelobot ....................... 71
21. Data Bobot 1000 Butir ................................................................... 72
22. Analisis Ragam Bobot 1000 Butir ................................................. 72
23. Data Hasil per Petak Panen Berat Tongkol .................................... 73
24. Analisis Ragam Hasil per Petak Panen Berat Tongkol .................. 73
25. Data Hasil per Petak Panen Berat Tongkol (Transformasi) (√𝑥) .. 74
26. Analisis Sidik Ragam Hasil per Petak Panen Berat Tongkol ........ 74
27. Konversi Berat Pipilan (Kg) KA 29 % .......................................... 75
28. Konversi Berat Pipilan (Kg) KA 19 % .......................................... 75
29. Data Organisme Pengganggu Tanaman ......................................... 76
30. Data pH Tanah ............................................................................... 78
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Kurva pertumbuhan Tinggi Tanaman Umur 14 hst, 28 hst, 42 hst,
dan 56 hst ....................................................................................... 38
2. Kurva pertumbuhan Jumlah Daun umur 14 hst, 28 hst, 42 hst, dan
56 hst .............................................................................................. 39
3. Pembuatan Petak Perlakuan ........................................................... 79
4. Pemasangan Plat Perlakuan............................................................ 79
5. Pemasangan Ajir ............................................................................ 80
6. Pengukuran Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun umur 14 hst ........ 80
7. Penyemprotan Biopestisida umur 14 hst ........................................ 81
8. Penimbangan Asam Humat ............................................................ 81
9. Pengukuran pH Tanah dan Kelembaban Tanah ............................. 82
10. Pengamatan Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun umur 28 hst........ 82
11. Penyemprotan Biopestisida umur 28 hst ........................................ 83
12. Pembuatan Biopestisida ................................................................. 83
13. Pengamatan Tinggi Tanaman dan Jumlah Daun umur 42 hst........ 84
14. Pemanenan Tanaman Sampel ........................................................ 84
15. Penjemuran Bobot Berangkasan Kering ........................................ 85
16. Penimbangan Hasil per Petak Panen .............................................. 85
17. Pengukuran Panjang Tongkol Tanpa Kelobot ............................... 86
18. Pengukuran Diameter Tongkol Tanpa Kelobot ............................. 86
19. Penimbangan Bobot Tongkol Tanpa Kelobot ................................ 87
20. Pemipilan dan Penghitungan 1000 butir ........................................ 87
21. Pemanenan ..................................................................................... 88
22. Penjemuran Bobot 1000 butir ........................................................ 88
23. Pengukuran Kadar Air.................................................................... 89
24. Penimbangan Bobot 1000 butir ...................................................... 89
25. Kerapatan Tanaman Zigzag ........................................................... 90
26. Foto dari Udara Lahan Penelitian .................................................. 90
27. Foto Jagung Penelitian Pola Jarak Tanam Zigzag ......................... 91
28. Foto Jagung Penelitian Pola Jarak Tanam Lurus ........................... 91
1
I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman pangan terpenting setelah padi dan
gandum. Jagung tidak hanya sebagai bahan pangan, tetapi juga sebagai pakan
ternak dan bahan baku industri. Permintaan jagung untuk industri pangan, pakan,
dan kebutuhan industri lainnya, setiap tahun diperkirakan akan terus meningkat
seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan daya beli
masyarakat (Balai Penelitian Tanaman Serealia, 2002).
Sektor pertanian merupakan mata pencaharian sebagian besar masyarakat
Indonesia. Produk Domestik Bruto (PDB) sektor pertanian mencapai 13,6%,
namun harus diakui bahwa keterlibatan dan penyerapan tenaga kerja sektor
pertanian sangat luar biasa besar. Ini telah dibuktikan ketika Indonesia diterpa
krisis ekonomi tahun 1998, sektor pertanianlah yang masih tetap eksis dan bahkan
dapat menampung tenaga kerja sektor lain yang mengalami goncangan. Program
Upaya Khusus (UPSUS) padi-jagung-kedelai (PAJALE), bawang merah-cabe
merah (BABE), sapi-ternak (SATE), yang direncanakan pemerintah sejak tahun
2014 telah nyata membuahkan hasil nyata secara positif. Tahun 2016 Indonesia
telah berhasil swasembada beras, pada tahun 2017 Indonesia telah berhasil
2
swasembada jagung, dan tahun 2018 telah berhasil mengeksport bawang merah
yang cukup besar. Keberhasilan ini harus terus dikawal untuk keberlanjutannya.
Dalam mencukupi kebutuhan jagung dalam negeri, pada tahun 2015 pemerintah
menetapkan sasaran produksi sebesar 20,313 juta ton atau naik sekitar 5%
dibandingkan produksi tahun 2014. Produksi jagung tahun 2014 sebanyak
19,01 juta ton pipilan kering atau meningkat sebanyak 0,50 juta ton (2,68 persen)
dibandingkan tahun 2013. Produksi jagung tahun 2015 diperkirakan sebanyak
20,67 juta ton pipilan kering atau mengalami peningkatan sebanyak 1,66 juta ton
(8,72 persen) dibandingkan tahun 2014 (Badan Pusat Statistik, 2015). Untuk
mencapai swasembada jagung pada tahun 2016 Kementan merencaanakan
pertambahan luas lahan tanaman jagung sebesar satu juta hektar
(Kementan RI, 2015).
Indonesia berpotensi besar dalam memproduksi jagung karena banyak lahan yang
sesuai untuk budidaya jagung, salah satunya di Provinsi Lampung. Luas lahan
tegalan di Provinsi Lampung perkembanganya berfluktuatif. Luas lahan tegalan di
Provinsi Lampung pada tahun 2009 seluas 791.362.00 ha, tahun 2010 seluas
768.715.00 ha, tahun 2011 seluas 452.458.00 ha, tahun 2012 seluas
749.597.00 ha, dan pada tahun 2013 seluas 743.725.00 ha (Badan Pusat Statistik,
2014). Namun demikian, produksi jagung di Provinsi Lampung hampir setiap
tahun mengalami penurunan. Produksi jagung di Provinsi Lampung pada tahun
2011 sebanyak 1.817.906 ton, tahun 2012 sebanyak 1.760.275 ton, tahun 2013
sebanyak 1.760.278 ton, tahun 2014 sebanyak 1.719.386 ton, dan pada tahun 2015
sebanyak 1.502.800 ton (Badan Pusat Statistik, 2016). Untuk itu dibutuhkan
3
peningkatan produksi jagung secara maksimum di Provinsi Lampung agar dapat
membantu memenuhi kebutuhan jagung di Indonesia.
Budidaya jagung seperti halnya tanaman lain, memerlukan faktor - faktor
pendukung yang mampu membantu tercapainya tingkat produksi yang optimum.
Faktor-faktor yang mendukung antara lain lingkungan, genetik, agronomis,
gangguan hama, dan penyakit serta pemupukan yang semuanya harus terjaga
dalam kondisi yang baik karena faktor-faktor tersebut akan saling terkait dan
saling mempengaruhi satu sama lain dalam menunjang pertumbuhan dan
produktivitas tanaman jagung (Puslitbangtan, 2007).
Menurut Barbieri et. al, (2000), Faktor iklim mempengaruhi produksi jagung pada
jarak tanam yang berbeda. Dengan curah hujan yang lebih banyak akan
menghasilkan produksi jagung lebih tinggi pada jarak yang lebih sempit. Dengan
jarak tanam 35 cm x 70 cm meningkatkan produksi persatuan luas lahan.
Kerapatan tanam harus diatur dengan jarak tanam sehingga tidak terjadi
persaingan antar tanaman, mudah memeliharanya dan mengurangi biaya.
Kerapatan tanaman mempengaruhi penampilan dan produksi tanaman, terutama
karena koefisien penggunaan cahaya.
Sistem jarak tanam mempengaruhi cahaya, CO2, angin dan unsur hara yang
diperoleh tanaman sehingga akan berpengaruh pada proses fotosintesis yang pada
akhirnya memberikan pengaruh yang berbeda pada parameter pertumbuhan dan
produksi jagung (Barri, 2003). Jarak yang lebih sempit mampu meningkatkan
produksi perluas lahan dan jumlah biji namun menurunkan bobot biji
(Maddonni et. al, 2006). Sedangkan menurut Liu et. al, (2004) variasi jarak tanam
4
berpengaruh tidak nyata pada jumlah daun, tinggi tanaman, indeks jumlah daun,
indeks panen, serta jumlah tongkol namun berpengaruh nyata pada produksi
per hektar.
Kendala utama selain air adalah munculnya hama pengganggu tanaman, seperti
penggerek tongkol (Helicoverpa armigera) dan penyakit bulai (Slerospora
maydis). Munculnya hama dan penyakit ini mendatangkan kerugian yang luar
biasa bagi petani. Selama ini pengendalian OPT tersebut sangat tergantung pada
penggunaan pestisida kimia.
Penggunaan pestisida kimia yang terus menerus sering menimbulkan masalah
yang serius termasuk didalamnya menghasilkan produk pertanian yang tercemar
residu pestisida. Terakhir ini membuat kekawatiran berbagai pihak baik
pemerintah, petani, dan bahkan konsumen penggunanya. Oleh karena itu
penggunaan pestisida kimia harus digunakan secara benar, bijaksana, dan
digunakan sebagai komponen terakhir bila cara yang lain sudah tidak lagi mampu
lagi digunakan.
Sebagai amanat dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2012 tentang pangan,
penggunaan pestisida kimia harus segera dikurangi. Pestisida organik termasuk di
dalamnya pestisida nabati, diharapkan sebagai pestisida yang dampaknya ramah
terhadap lingkungan. Pestisida jenis ini berbahan baku dari ekstrak tanam-
tanaman yang ada di sekitar kita. Oleh karenanya bersifat ramah lingkungan dan
tidak beracun bagi OPT non target.
5
Bio-pestisida atau pestisida organik merupakan pestisida yang bahan dasarnya
terdiri dari bahan-bahan alami dan tidak mengandung bahan kimia sama sekali.
Salah satu contoh biopestisida yang sering digunakan petani secara mandiri
adalaah pestisida nabati. Pestisida nabati merupakan produk alam dari tumbuhan
seperti daun, bunga, buah, biji, kulit, dan batang yang mempunyai kelompok
metabolit sekunder atau senyawa bioaktif dengan tujuan untuk mengendalikan
OPT (Kastono, 2005). Senyawa bioaktif dapat mengganggu pertumbuhan dan
pekermbangan hama dan penyakit tanaman. Biopestisida dapat menyerang hama
melalui dua cara yaitu secara kontak atau langsung dan secara sistemik. Beberapa
bioaktif tanaman telah diketahui mengandung bahan-bahan kimia yang dapat
membunuh, menarik, atau menolak serangga.
Beberapa tumbuhan menghasilkan racun, ada juga yang mengandung senyawa-
senyawa kompleks yang dapat mengganggu siklus pertumbuhan serangga, sistem
pencernaan, atau mengubah perilaku serangga (Supriyatin dan Marwoto, 2000).
Menurut Harjono (1999) pestisida nabati memiliki keunggulan yaitu: daya
kerjanya selektif, residunya cepat terurai dan tidak beracun, tidak menimbulkan
pencemaran air, tanah, udara dan tanaman, serangga-serangga berguna/predator
tidak ikut musnah, tidak menimbulkan kekebalan serangga, murah dan mudah
di dapat. Sehingga biopestisida sering digunakan sebagai pengganti pestisida
kimia dalam mengendalikan hama dan penyakit tanaman.
Pengaplikasian biopestisida pada produk pascapanen dapat menambah umur
produk lebih lama karena memiliki sifat anti-bakteri dan anti-jamur tergantung
pada bahan dasar yang digunakan pada biopestisida nabati tersebut. Sedangkan
6
Kardinan (2000) mengungkapkan bahwa pembakuan pestisida nabati memang
sedikit sulit dilakukan berbanding pertisida sintetik karena beberapa faktor.
Bahan-bahan alami potensial menggantikan pestisida kimiawi tersedia melimpah
dan mudah diperoleh di sekitar lingkungan kegiatan pertanian. Beberapa bahan
berbasis sumberdaya lokal dapat digunakan sebagai pestisida nabati misalnya
kunyit, daun randu, biji sirsak, daun kenikir, daun/biji mimba, daun/biji mahoni,
dan brotowali. Pestisida nabati memberikan prospek terhadap perbaikan kualitas
produk pertanian, ramah lingkungan, dan berkontribusi terhadap stabilitas hasil
tanaman budidaya.
Pestisida organik sekarang banyak dikembangkan, yaitu pestisida yang dibuat dari
bahan tumbuh-tumbuhan atau produk tumbuhannya. Banyak tanaman yang
mempunyai potensi sebagai pestisida organik baik dari akar, batang, daun,
bungabahkan buangan (limbah) dari produk yang telah diproses (Sudarmo,2005).
1.2 Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
1. Pengaruh pola jarak tanam dalam meningkatkan pertumbuhan dan hasil
tanaman jagung (Zea mays L.).
2. Pengaruh biopestisida terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman jagung
(Zea mays L.).
3. Interaksi antara pola jarak tanam dan biopestisida terhadap semua
parameter.
7
1.3 Dasar Pengajuan Hepotesis
Menurut Subandi, dkk (2006), salah satu cara untuk mendapatkan hasil jagung
yang optimal adalah mengatur populasi tanaman. Hasil jagung cenderung
meningkat pada populasi tinggi, tergantung pada varietas. Bagi beberapa varietas,
populasi tinggi menyebabkan tanaman mudah rebah dan terjangkit penyakit. Pada
umumnya dianjurkan menanam jagung dengan populasi 62.500-71.400 tanaman
per hektar dan antara barisan berjarak 70-80 cm, dalam barisan 20 cm dengan satu
tanaman, atau 40 cm dengan dua tanaman per rumpun. Bagi daerah-daerah yang
menghadapi masalah kekurangan tenaga kerja, dianjurkan jarak tanam dalam
barisan 40 cm dengan dua tanaman per rumpun (Subandi, dkk 1988 dan Subandi,
dkk 2006). Penelitian tentang sistem tanam zigzag belum dilaporkan dan masih
terbatas pada penggunaan sistem tanam lurus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa semua parameter pertumbuhan, komponen
hasil dan hasil nyata dipengaruhi oleh interaksi antara varietas dan sistem tanam,
kecuali tinggi letak tongkol, hasil biji/plot dan bobot 100 biji. Perbedaan varietas
tidak nyata pengaruhnya terhadap tinggi letak tongkol, populasi tanaman panen
dan bobot 1000 biji. Sistem tanam lurus dan zigzag memberikan pengaruh yang
nyata terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil dari masing-masing
varietas. Varietas Pioner-21 memiliki rata-rata hasil biji kering yang nyata lebih
tinggi (6.3 t/ha) dibanding Bisi-2 dan Sukmaraga, masing-masing adalah 5.4 dan
4.8 t/ha. (Jafri, dkk 2006).
Pengendalian hama dan penyakit tanaman menggunakan agen hayati dan pestisida
nabati telah banyak dilakukan. Ekstrak daun tapak liman, mimba, sirih, dan serai
8
wangi ternyata memiliki potensi menekan penyakit bulai pada jagung manis
(Sekarsari, dkk 2013). Prayogo (2011) melaporkan pestisida nabati serbuk biji
srikaya dan biji jarak yang dikombinasikan dengan cendawan entomopatogen
Lecanicillium lecanii mampu meningkatkan efikasi pengendalian telur kepik
cokelat dibandingkan dengan aplikasi secara tunggal. Pengendalian hayati
penyakit bulai menggunakan kombinasi agens pengendali biologi Trichoderma
viride dan B. subtilis lebih efektif daripada aplikasi secara tunggal
(Sadoma, dkk 2011).
Muis, dkk (2015) juga telah melakukan penelitian virulensi beberapa isolat bakteri
antagonis putative Bacillus subtilis (Ehrenberg Cohn) sebagai agensia pengendali
hayati penyakit tanaman jagung. Pada pengujian lapang, agen hayati harus
diformulasikan secara tepat agar bakteri tetap hidup dan efektif mengendalikan
patogen (Suriani dan Muis 2016). Oleh karena itu, Muis, dkk (2015) telah
melakukan evaluasi beberapa bahan pembawa dan pembuatan formulasi B.
subtilis untuk pengendalian hawar pelepah dan upih daun jagung, sehingga
ditemukan talk sebagai bahan pembawa terbaik untuk formulasi B. subtilis isolat
TM4. Selanjutnya Djaenuddin, dkk (2017) melakukan pengujian formula B.
subtilis TM4 sebagai biopestisida untuk mengendalikan penyakit hawar pelepah
dan upih daun jagung serta penyakit hawar daun jagung. Formula B. subtilis TM4
relatif kurang efektif menekan perkembangan B. maydis.
Penelitian yang dilakukan Arsensi (2012), menunjukkan bahwa pemberian ekstrak
daun sirih cenderung menghasilkan diameter tongkol jagung manis yang lebih
besar dan berat tongkol yang lebih berat dibandingkan dengan perlakuan tanpa
pemberian ekstrak daun sirih. Penelitian yang dilakukan Rugaya dan Dahyar
9
(2002), menunjukkan bahwa semua pestisida yang diuji (daun tembakau, daun
nimbi, daun srikaya, daun sirsak, daun sereh, kulit biji jambu, mete dan cengkeh)
memperlihatkan efektifitas terhadap penggerek batang jagung Ostrinia furnacalis,
namun yang paling efektif adalah pestisida nabati yang berasal dari daun
tembakau. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa semua pestisida yang
diujikan tidak memperlihatkan pengaruh terhadap musuh alami.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa aplikasi kombinasi formulasi B. subtilis
dengan pestisida nabati ekstrak daun cengkeh, daun sirih, dan rimpang kunyit
tidak berbeda nyata dengan perlakuan agens hayati dan nabati yang diaplikasikan
secara tunggal. Perlakuan tunggal formulasi B. subtilis dapat menekan
perkembangan penyakit hawar pelepah dan upih daun pada jagung dengan
persentase serangan 39,1% dan hasil panen mencapai 8,4 t/ha (Djaenuddin dan
Muis, 2017).
1.4 Hipotesis
1. Pola jarak tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
jagung (Zea mays L.).
2. Pemberian biopestisida memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan dan
hasil tanaman jagung (Zea mays L.).
3. Terdapat interaksi antara pola jarak tanam dan biopestisida terhadap
pertumbuhan dan hassil tanaman jagung (Zea mays L.).
10
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Botani Tanaman Jagung
Jagung (Zea mays L.) merupakan tanaman semusim yang menyelesaikan satu
siklus hidupnya selama 80-150 hari. Tanaman jagung merupakan tanaman tingkat
tinggi dengan klasifikasi sebagai berikut:
Kingdom : Plantae
Divisio : Spermatophyta
Sub division : Angiospermae
Class : Monocotyledoneae
Ordo : Poales
Familia : Poaceae
Genus : Zea
Spesies : Zea mays L. (Iriany, dkk 2007)
Akar tanaman berfungsi sebagai organ yang bertanggung jawab agar tanaman
dapat berdiri tegak pada tanah, organ yang melakukan absorbsi tanah dan air,
melakukan aktivitas metabolisme dan membentuk berbagai persenyawa yang
diperlukan oleh tanaman, dan tempat menyimpan cadangan makanan. Seperti
tanaman jenis rumput-rumputan lainnya, jagung mempunyai akar serabut dengan
tiga macam akar, yaitu akar seminal, akar adventif, dan akar udara atau
11
penyangga (Singh, 1987; Subekti, dkk 2007). Akar seminal adalah akar yang
berkembang dari radikula dan embrio. Pertumbuhan akar seminal akan melambat
setelah plumula muncul ke permukaan tanah dan pertumbuhan akar seminal akan
berhenti pada fase V3. Akar adventif adalah akar yang semula berkembang dari
buku di ujung mesokotil, kemudian set akar adventif berkembang dari tiap buku
secara berurutan dan terus ke atas antara 7-10 buku, semuanya di bawah
permukaan tanah. Akar adventif berkembang menjadi serabut akar tebal. Akar
seminal hanya sedikit berperan dalam siklus hidup jagung. Akar adventif berperan
dalam pengambilan air dan hara. Bobot total akar jagung terdiri atas 52% akar
adventif seminal dan 48% akar nodal. Akar kait atau penyangga adalah akar
adventif yang muncul pada dua atau tiga buku di atas permukaan tanah. Fungsi
dari akar penyangga adalah menjaga tanaman agar tetap tegak dan mengatasi
rebah batang. Akar ini juga membantu penyerapan hara dan air
(Subekti, dkk 2007).
Tanaman jagung mempunyai batang yang tidak bercabang, berbentuk silindris,
dan terdiri atas sejumlah ruas dan buku ruas. Pada buku ruas terdapat tunas yang
berkembang menjadi tongkol. Dua tunas teratas berkembang menjadi tongkol
yang produktif. Batang memiliki tiga komponen jaringan utama, yaitu kulit
(epidermis), jaringan pembuluh (bundles vaskuler), dan pusat batang (pith).
Bundles vaskuler tertata dalam lingkaran konsentris dengan kepadatan bundles
yang tinggi, dan lingkaran-lingkaran menuju perikarp dekat epidermis. Kepadatan
bundles berkurang begitu mendekati pusat batang. Konsentrasi bundles vaskuler
yang tinggi di bawah epidermis menyebabkan batang tahan rebah
(Subekti, dkk 2007).
12
Sesudah koleoptil muncul di atas permukaan tanah, daun jagung mulai terbuka.
Setiap daun terdiri atas helaian daun, ligula, dan pelepah daun yang erat melekat
pada batang. Jumlah daun sama dengan jumlah buku batang. Jumlah daun
umumya berkisar antara 10-18 helai, rata-rata munculnya daun yang terbuka
sempurna adalah 3-4 hari setiap daun (Subekti, dkk 2007) . Daun tanaman jagung
mampu berkembang hingga 20-21 helai daun, walaupun jagung memproduksi
20 helai daun namun hanya 14-15 saja yang menyelesaikan stadia vegetatifnya
(Farnham, dkk 2003).
Jagung termasuk tanaman menyerbuk silang karena tanaman ini termasuk
tanaman berumah satu (monoecious) dengan bunga jantan dan bunga betina
terpisah pada bunga yang berbeda tetapi masih pada satu tanaman yang sama.
peluang penyerbukan silang sebesar 95% dan sisanya 5 % peluang menyerbuk
sendiri (Poehlman dan Borthakur, 1969). Tanaman ini berumah satu dengan
bunga jantan tumbuh sebagai pembungaan ujung (tassel) pada batang utama
(poros atau tangkai) dan bunga betina tumbuh terpisah sebagai pembungaan
samping (tongkol) yang berkembang pada ketiak daun. Tanaman ini
menghasilkan satu atau beberapa tongkol. Katang-kadang bunga jantan tumbuh
pada ujung tongkol dan bunga betina pada tassel (Rubatzky dan
Yamaguchi, 1998).
Bunga jantan berbentuk malai, terdiri atas kumpulan bunga tunggal dan terletak
pada bagian ujung batang. Masing-masing bunga jantan memiliki tiga stamen dan
satu pistil rudimenter. Bunga betina keluar dari buku-buku batang berupa tongkol.
Tangkai putik pada bagian betina berbentuk seperti rambut yang bercabang
13
cabang kecil. Bagian atas putik keluar dari tongkol untuk menangkap serbuk sari.
Bunga betina mempunyai pistil tunggal dan stamen rudimenter (Habibah, 2005).
Bunga jantan mampu menghasilkan 25 juta polen atau rata-rata lebih dari 25 000
polen untuk menyerbuki satu rambut sehingga menghasilkan satu biji. polen
menyebar satu sampai tiga hari sebelum bunga betina pada tanaman yang sama
telah siap diserbuki sampai beberapa waktu setelah bunga betina siap diserbuki
(Poehlman dan Borthakur, 1969).
Bunga betina, tongkol, muncul dari axillary apices tajuk. Bunga jantan (tassel)
berkembang dari titik tumbuh apikal di ujung tanaman. Rambut jagung (silk)
adalah pemanjangan dari saluran stylar ovary yang matang pada tongkol. Rambut
jagung tumbuh dengan panjang hingga 30.5 cm atau lebih sehingga keluar dari
ujung kelobot. Panjang rambut jagung bergantung pada panjang tongkol dan
kelobot (Subekti, dkk 2007).
Tanaman jagung mempunyai satu atau dua tongkol tergantung varietas. Tongkol
jagung yang terletak pada bagian atas umumnya lebih dahulu terbentuk dan lebih
besar dibanding yang terletak pada bagian bawah. Setiap tongkol terdiri atas
10-16 baris biji yang jumlahnya selalu genap (Subekti, dkk 2007). Biji-biji
tertempel kuat pada suatu poros yang kuat ‘janggel’, dan seluruhnya tertutup oleh
daun pelindung bunga. Biji jagung letaknya teratur, berbaris pada janggel sesuai
letak bunga. Seluruh tongkol terbungkus oleh pelepah-pelepah daun yang berubah
yang disebut kelobot, ini merupakan suatu perlindungan alami tongkol yang
sedang masak terhadap banyak hama di lapangan. Bentuk biji ada yang berbentuk
14
bulat, sesuai dengan varietasnya. Warna biji bervariasi antara kuning, putih,
merah/orange dan merah hampir hitam.
2.2 Syarat Tumbuh Tanaman Jagung
Jagung dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa karakter diantaranya
lingkungan tempat tumbuh dan umur panen. Jenis jagung berdasarkan lingkungan
tempat tumbuh meliputi jagung yang tumbuh di dataran rendah tropik
(< 1 000 mdpl), dataran rendah subtropik dan mid-altitude (1 000 – 1 600 m dpl),
dan dataran tinggi tropik (>1 600 m dpl). Jenis jagung berdasarkan umur panen
dikelompokkan menjadi dua yaitu jagung berumur genjah dan umur dalam.
Jagung umur genjah adalah jagung yang dipanen pada umur kurang dari 90 hari
sedangkan jagung umur dalam dipanen pada umur lebih dari 90 hari
(Iriany, dkk 2007).
2.2.1 Tanah
Tanaman jagung menghendaki tanah yang gembur, subur, berdrainase yang baik,
pH tanah 5,6-7,0. Jenis tanah yang dapat toleran ditanami jagung antara lain
andosol, latosol dengan syarat pH-nya harus memadai untuk tanaman tersebut
(Rukmana, 1997). Pada tanah-tanah yang bertekstur berat, jika akan ditanami
jagung maka perlu dilakukan pengolahan tanah yang baik. Namun, apabila
kondisi tanahnya gembur, dalam budidaya jagung tanah tidak perlu diolah
(sistem TOT). Tanaman jagung ditanam di Indonesia mulai dari dataran rendah
sampai di daerah pegunungan yang memiliki ketinggian antara 1000-1800 mdpl.
Sedangkan daerah yang optimum untuk pertumbuhan jagung adalah antara 0-600
mdpl (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).
15
2.2.2 Iklim
Tanaman jagung menghendaki daerah yang beriklim sedang hingga subtropik atau
tropis yang basah dan di daerah yang terletak antara 0-500 LU hingga 0-400 LS.
Tanaman jagung juga menghendaki penyinaran matahari yang penuh. Suhu
optimum untuk pertumbuhan tanaman jagung rata-rata 26ºC sampai 30ºC dan pH
tanah 5.7 – 6.8 (Subandi dalam Iriany, dkk 2007). Agar dapat tumbuh dengan
baik, tanaman jagung memerlukan temperatur rata-rata antara 14ºC sampai 30ºC,
dengan curah hujan sekitar 600 mm – 1 200 mm per tahun yang didistribusikan
rata selama musim tanam (Kartasapoetra, 1988). Intensitas cahaya matahari
sangat diperlukan untuk pertumbuhan yang baik. Tanaman jagung membutuhkan
cahaya matahari secara langsung bukan di tempat-tempat terlindung karena dapat
mengurangi hasil (Sudjana, dkk 1991). Hari panas dan suhu malam yang tinggi
meningkatkan pertumbuhan secara keseluruhan, dan walaupun suhu panas adalah
ideal untuk pertumbuhan vegetatif dan tongkol, suhu sedang adalah optimum
untuk akumulasi karbohidrat (Rubatzky dan Yamaguchi, 1998).
Faktor air merupakan salah satu faktor pembatas untuk pertumbuhan jagung.
Kebutuhan air yang terbanyak pada tanaman jagung adalah stadia pembungaan
dan stadia pengisian biji. Jumlah radiasi surya yang diterima oleh tanaman selama
fase berbunga juga merupakan faktor yang penting untuk penentuan jumlah biji
(Subandi, Syam dan Widjono, 1988).
16
2.3 Biopestisida
Pestisida nabati berbasis sumberdaya lokal mudah diperoleh, dibuat, relatif murah,
dan ramah lingkungan. Pemberian pestisida nabati secara terus menerus tidak
meninggalkan residu dalam tanah dan produk tanaman. Pestisida nabati relatif
mudah terdegradasi. Bahan-bahan alami yang berfungsi sebagai pestisida nabati
antara lain adalah kunyit, daun randu, biji srikaya, daun kenikir, daun/biji mimba,
daun/biji mindi, biji mahoni, dan brotowali. Balai Penelitian Lingkungan
Pertanian telah menginisiati pestisida nabati berbasis sumberdaya lokal dengan
memanfaatkan biji mahoni, daun/biji mimba, cairan dari asap cair proses pirolisis
arang hayati, dan urin sapi. Pestisida tersebut telah dimanfaatkan dalam sistem
budidaya tanaman pangan dan sayuran sebagai upaya preventif terhadap serangan
hama dan penyakit tanaman.
Urine sapi merupakan sisa ekresi dari metabolisme ternak sapi, dan oleh sebagian
besar patani urine ini belum dimanfaatkan dan biarkan terbuang percuma. Selama
ini yang termanfaatkan hanya kotoran (faeses) untuk dibuat pupuk kandang.
Menurut Murniyati dan Safriani (2013) urine sapi dapat dimanfaatkan sebagai
pupuk organik cair karena kandungan zat hara pada urine sapi, terutama
kandungan nitrogen, fosfor, kalium, dan air. Dari fakta tersebut maka urine sapi
layak dimanfaatkan sebagai pupuk organik cair (POC) bagi tanaman budidaya.
Selain sebagai POC, urine sapi dapat dimanfaatkan sebagai pestisida pembasmi
hama pada tanaman. Urine sapi yang diketahui berkhasiat sebagai pestisida
(Marlina, 2012). Urine sapi sebagai pestisida dikenal sebagai pestsida ramah
lingkungan karena mengandung unsur yang mampu mengusir dan membunuh
hama tanaman budidaya.
17
Sebelum dimanfaatkan sebagai pupuk dan pestisida organik, urine perlu
diperlakukan dengan cara fermentasi. Fermentasi merupakan aktivitas
mikroorganisme aerob dan/atau anaerob yang mampu mengubah atau
mentransformasikan senyawa kimia ke subtrat organik (Rahman, 1989).
Selanjutnya Winarno (1990) mengemukan bahwa fermentasi dapat terjadi karena
ada aktivitas mikroorganisme penyebab fermentasi pada subtrat organik yang
sesuai, proses ini dapat menyebabkan perubahan sifat bahan yang
difermentasikan.
Asap cair (wood vinegar, liquid smoke) adalah cairan yang dihasilkan dari sebuah
proses pengembunan (kondensasi) dari uap pembakaran secara langsung maupun
tidak langsung dari bahan-bahan yang banyak mengandung lignin, selulosa,
hemiselulosa serta senyawa karbon lainnya. Bahan baku yang banyak digunakan
antara lain berbagai macam jenis kayu, bongkol kelapa sawit, tempurung kelapa,
sekam, ampas atau serbuk gergaji kayu dan lain sebagainya. Dalam dunia
pertanian, bahan baku yang digunakan dalam pembuatan asap cair sebagai bio
pestisida pengendali hama ulat adalah tempurung kelapa, sekam padi dan limbah
kayu.
Pengembangan produk bio-pestisida berbasis "asap cair" adalah untuk
mengendalikan hama yang lebih ramah lingkungan dengan memanfaatkan
sumberdaya lokal yang efektif, aman, murah dan mudah dilaksanakan petani yang
dapat meningkatkan keamanan tanaman kedelai serta meningkatkan kesejahteraan
petani. Hasil kajian Rumbaina, dkk (2004) menunjukkan bahwa asap cair
berpotensi dan efektif sebagai penolak (repellent) hama ulat grayak dan
penggerek polong pada tanaman kedelai.
18
Pohon mimba dapat mencapai tinggi 20 m, batangnya agak bengkok dan pendek,
terasnya berwarna merah dan keras. Tajukrapat, berbentuk oval dan besar. Selalu
hijau tidak menggugurkan daun pada musim panas dan kering yang ekstrim.
Memiliki daun majemuk 7-17 pasang setiap tangkainya, daunnya berbentuk
lonjong dan bergigi. Daun sangat pahit dan bijinya mengeluarkan bau seperti
bawang putih.Bunga berbentuk malai dengan panjang 10-30 cm, dan berwarna
putih sampai krem. Buah berbentuk elips, berdaging tebal, memiliki panjang
1,2-2 cm, berwarna hijau/kuning ketika masak, dengan lapisan tipis kutikula yang
keras, dan daging buah berair. Mimba mengandung azadirachtin, meliantriol,
salannin, dan nimbin, di mana kandungan bahan aktif tertinggi terdapat pada
bagian biji.
Mekanisme pestisida dari daun mimba yaitu bahwa pestisida yang dibuat dari
tumbuhan dapat memengaruhi reproduksi dan perilaku serangga hama, dan dapat
berperan sebagai penolak, penarik, antifeedant, dan menghambat perkembangan
serangga, baik sebagai racun perut maupun racun kontak.
Kunyit atau Rhizome (batang dalam tanah) dapat digunakan sebagai insektisida
untuk mengendalikan serangga hama ataupun sebagai fungisida untuk
mengendalikan jamur yang merusak tanaman. Kandungan utama kunyit adalah
minyak atsiri dan kurkuminoid (Rukmana, 1994 dalam Nurhayati, dkk. 2012).
Minyak atsiri dalam rhizoma kunyit berfungsi sebagai anti fungi maupun anti
mikroba. Komponen minyak atsiri rhizoma kunyit mengandung senyawa
metabolit sekunder yang termasuk ke dalam golongan seskuiterpen. Dimana
senyawa tersebut dapat menghambat pertumbuhan miselium jamur, sehingga
kunyit dapat dijadikan sebagai pengendali penyakit tanaman yang disebabkan
19
oleh jamur. Senyawa turunan dari minyak atsiri rhizoma kunyit yang termasuk ke
dalam golongan sesquiterpen yaitu: turmerone, turmerol, ar-turmeron, curlon, ar-
kurkumin dan senyawa turunan minyak atsiri lainnya diduga mempunyai sifat
antifungi.
Kunyit mempunyai sifat yang sangat baik sebagi pengendali hama. Bila dicampur
dengan air kencing sapi dapat digunakan untuk mengendalikan beberapa penyakit
dan hama. Campuran tersebut diencerkan dengan 15-20 liter air ditambah dengan
4cc emulsifier (misal: gum arab, getah karet) setiap liter dapat digunakan untuk
menyemprot tanaman yang diserang hama.(Astuti, dkk., 2013).
Sasaran hama penggunaan bahan pestisida nabati kunyit yaitu Aphis, ulat grayak
(Spodoptera litura), ngengat punggungberlian (Plutella xylostella), wareng hijau
(Nephotettix virescens), pengebor batang padi (Scirpophaga incertulus),
penggulung daun padi (Cnaphalocrocis medinalis), dan ulat ataupun tungau
padaumumnya. Juga berfungsi sebagai insektisida terhadap hama gudang seperti
Bubuk-bubuk kapri (Callosobochus maculatus), bubuk biji gandum (Sitophilus
granarius), pengebor biji (Callosobruchus chinensis), kumbang tepung beras
(Tribolium sp.), bubuk beras (Sitophilus oryzae) (Astuti, dkk., 2013).
Mahoni merupakan tanaman tahunan yang tingginya 5-25 m. Batang berkayu,
bentuk bulat, mempunyai banyak percabangan. Daun majemuk, menyirip genap,
bentuk bulat telur sampai lonjong atau elips, ujung dan pangkalnya runcing, tepi
rata, pertulangan daun menyirip, daun muda warna merah dan setelah berwarna
hijau. Perbungaan bentuk malai, terdapat di ketiak daun, warna kuning
kecoklatan. Mahoni tumbuh pada ketinggian ± 700 m dpl, di daerah panas. Buah
20
mahoni mengandung senyawa yang mirip dengan Butane Hexane Chlor (BHC)
dengan konsentrasi 0,005 ppm. Senyawa BHC atau yang dikenal sekarang
Hexa Chlorosiclo Hexana (HCH) merupakan insektisida organoklorida yang
bersifat racun perut dan racun pernapasan.
Pengendalian hama Aphis dapat dilakukan dengan menerapkan konsep
Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dengan menggunakan bahan-bahan nabati
yang tersedia di alam, salah satunya adalah ekstrak biji mahoni. Ekstrak sederhana
biji mahoni dapat menyebabkan mortalitas pada hama Aphis jantan dan
menghambat reproduksi serangga betina. Cara pembuatan ekstrak biji mahoni
yaitu biji mahoni ditumbuk halus, dilarutkan dalam air dengan konsentrasi 10 gr/l,
biarkan 1 malam, kemudian disemprotkan (Budiyanto, 2016).
Selain kayunya, buah mahoni juga mengandung senyawa yang mirip dengan
Butane Hexane Chlor (BHC) dengan konsentrasi 0,005 ppm. Senyawa BHC atau
yang dikenal sekarang Hexa Chlorosiclo Hexana (HCH) merupakan insektisida
organoklorida yang bersifat racun perut dan racun pernapasan. Hal inilah yang
melandasi biji mahoni dijadikan insektisida organik (Anonim, 2016).
Tanaman mahoni (Swietenia mahagoni) merupakan famili dari Meliaceae dapat
digunakan sebagai insektisida organik. Biji mahoni mengandung senyawa
flavonoid, saponin, alkaloid, steroid, dan terpenoid. Kelompok flavonoid yang
bersifat insektisida alam yang kuat adalah isoflavon. Isoflavon memiliki efek pada
reproduksi, yaitu antifertilitas. Senyawa flavonoid yang lain bekerja sebagai
insektisida ialah rotenon. Rotenoid merupakan racun penghambat metabolisme
dan sistem saraf yang bekerja perlahan. Serangga yang mati diakibatkan karena
21
kelaparan akibat kelumpuhan padaalat mulutnya. Saponin menunjukkan aksi
sebagai racun yang dapat menyebabkan hemolisis sel darah merah. Pada biji
mahoni juga terdapat senyawa sweitenin yang termasuk senyawa limonoid yang
bersifat sebagai antifeedant dan penghambat pertumbuhan (Budiyanto, 2016).
Pestisida organik mampu merusak perkembangan telur, larva hingga pupa dengan
cara spesifik sehingga tidak mengganggu organisme lain. Selain itu mampu
mengurangi nafsu makan bagi serangga, menghambat reproduksi pada serangga
betina, hingga bersifat reppelent (mengusir). Jadi, biji mahoni ini sangat efektif
untuk dijadikan sebagai insektisida organik (Budiyanto, 2016).
2.4 Asam Humat
Bahan organik tanah sering dibedakan menjadi bahan terhumifikasi dan tak
terhumifikasi. Bahan-bahan tak terhumifikasi adalah senyawa-senyawa dalam
tanaman dan organisme lain yang memiliki ciri khas seperti karbohidrat, asam
amino, protein, lipid, asam nukleat, dan lignin. Sedangkan fraksi terhumifikasi
dikenal sebagai humus ataupun bahan humat, yang dianggap sebagai hasil akhir
dekomposisi bahan tanaman di dalam tanah (Tan, 1993).
Asam humat ialah fraksi utama dari bahan organik tanah yang merupakan faktor
penting untuk pemeliharaan kesuburan tanah (Bama, Selvakumari, Santhi, dan
Singaram, 2003). Menurut Stevenson (1982), asam humat adalah senyawa organik
hasil proses penguraian dan modifikasi sisa organisme yang berasal dari tanaman
dan hewan dalam tanah. Asam humat bersifat amorf, berwarna gelap, dan tahan
terhadap degradasi mikroba.
22
Asam humat adalah hasil akhir dari proses dekomposisi bahan organik,
merupakan fraksi yang larut dalam basa (Kononova, 1966). Asam humat
merupakan bahan koloid terdispersi bersifat amorf, berwarna kuning hingga
coklat kehitaman dan mempunyai berat molekul relatif tinggi (Tan, 1993).
Karakteristik lainnya adalah memiliki beban elektrositas yang tinggi, kapasitas
tukar yang tinggi, menjadi hidrofil dan asam secara alami (Orlov, 1985). Asam
humat bukanlah pupuk, tetapi merupakan bagian dari pupuk. Pupuk adalah
sumber hara untuk tanaman dan miktonutrien dari tanah ke tanaman (Sahala, Hari,
Setyoso, dan Bambang, 2006).
Asam humat biasanya kaya akan karbon, yang berkisar antara 41 dan 57%. Asam
humat mengandung kadar oksigen yang tinggi, sedangkan kadar hidrogennya
rendah serta mengandung nitrogen. Kadar oksigen sekitar 33-46% dan
mengandung 2-5% N. Kemasaman total atau kapasitas tukar senyawa - senyawa
humat tanah dikarenakan oleh kehadiran proton yang dapat terdisosiasi atau ion-
ion H pada gugus-gugus karboksil dan alifatik dan gugus hidroksil fenolik. Asam
humat dicirikan oleh kemasaman total dan kadar karboksil yang lebih rendah
daripada asam fulvat (Tan, 1993).
Menurut Tan (1993), tiga tahap dasar yang terlibat dalam pembentukan asam
humat: pembentukan satuan-satuan struktur dari dekomposisi jaringan tanaman,
kondensasi dari satuan-satuan tersebut, dan polimerisasi dari produkproduk
kondensasi. Hasilnya adalah suatu sistem multi komponen, yang disebut asam
humat atau asam fulvat. Keduanya menunjukkan pola struktur yang mirip, tetapi
dapat berbeda dalam rincian komposisi struktur dan kimia misalnya asam fulvat
mempunyai inti aromatik yang kurang padat, tetapi mempunyai komponen
23
peripheral yang lebih berkembang. Asam fulvat dapat merupakan pendahulu atau
produk dekomposisi dari asam humat. Humus dan bahan humat merupakan
komponen tanah yang sangat penting. Bahan humat dengan lempung tanah
berperan atas sejumlah aktivitas kimia dalam tanah yang dapat mempengaruhi
pertumbuhan tanaman secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruhnya
secara tidak langsung diketahui dapat memperbaiki kesuburan tanah dengan
mengubah kondisi fisik, kimia, dan biologi dalam tanah. Secara langsung, bahan-
bahan humat dapat merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya
terhadap metabolisme dan proses fisiologi lainnya. Senyawa humat dan sejenisnya
dapat memperbaiki pertumbuhan tanaman secara langsung dengan mempercepat
proses respirasi, dengan meningkatkan permeabilitas sel, atau melalui kegiatan
hormon pertumbuhan. Senyawa humat juga berperan serta dalam pembentukan
tanah dan berperan penting dalam translokasi atau metabolisme lempung,
alumunium, dan besi yang menghasilkan horizon spodik dan horizon argilik (Tan,
1993). Brady dan Weil (2002) menyatakan bahwa asam humat berpengaruh
langsung pada pertumbuhan tanaman, diantaranya mempercepat perkecambahan
benih, merangsang pertumbuhan akar, mempercepat pemanjangan sel akar, dan
mempercepat pertumbuhan tunas dan akar tanaman jika diberikan dalam jumlah
yang tepat.
2.5 Agen Hayati
Agen Hayati adalah setiap organisme yang meliputi spesies, sub spesies, atau
varietas dari semua jenis serangga, nematode, protozoa, cendawan, bakteri, virus,
mikoplasma, serta organisme lain yang dalam semua tahap perkembangannya
dapat dipergunakan untuk keperluan pengendalian OPT dalam proses produksi,
24
pengolahan hasil pertanian dan berbagai keperluan lainnya (Permentan no 411
tahun 1995).
Jenis-jenis jamur yang biasa digunakan untuk mengendalikan hama dan penyakit
diantaranya:
1. Beauveria Bassiana, sp
2. Spicaria, sp
3. Paecylomiceus, sp
4. Trichoderma, sp
Faktor-faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap jamur diantaranya :
1. Jamur dapat berkembang biak pada suhu 20-30˚C.
2. Kelembaban 80-100%.
3. Sinar Matahari dan pestisida kimia dapat menghambat perkembangan
jamur bahkan dapat mematikan.
Kelebihan dan Kekurangan Penggunaan Agens Hayati
Agen hayati memiliki kelebihan :
1. Selektif, artinya mikroba dalam agen hayati tidak akan menyerang
organisme yang bermanfaat bagi tumbuhan karena agen hayati hanya akan
menyerang hama penyakit sasaran.
2. Sudah tersedia di alam. Sebenarnya secara alami agen hayati sudah
tersedia di alam, namun karena penggunaan pestisida yang tidak sesuai
menyebabkan keseimbangan ekosistem mulai goyah dan populasinya
terganggu.
25
3. Mampu mencari sasaran sendiri, karena agen hayati adalah makhluk hidup
yang bersifat patogen bagi organisme pengganggu, maka agen hayati dapat
secara alami menemukan hama dan penyakit sasarannya.
4. Tidak ada efek samping.
5. Relatif murah.
6. Tidak menimbulkan resistensi organisme pengganggu tumbuhan (OPT)
sasaran.
Kekurangan agen hayati :
1. Bekerja secara lambat.
2. Sulit diprediksi hasilnya, perkembangabiakkan agen hayati setelah
diaplikasikan sangat tergantung dengan ekosistem.
3. Lebih optimal jika digunakan untuk preventif (pencegahan), kurang cocok
digunakan untuk kuratif (penyembuhan penyakit).
4. Pada jenis hayati tertentu sulit dikembangkan secara massal.
Penggolongan Agen Hayati
1. Predator
Predator adalah binatang yang memakan hama OPT untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Berikut adalah contoh musuh alami dari golongan predator :
• Paedorus sp. atau dikenal dengan nama Tom-ket , merupakan predator
dari hama kutu-kutuan, wereng, dan Myzus sp.
• Laba-laba sebagai pemangsa belalang dan hama tanaman yang lainnya
seperti walang sangit dll.
26
• Belalang sembah merupakan predator yang pemangsa belalang dan hama
tanaman yang lainnya seperti walang sangit, ulat, dan imago dari
penggerek dll.
• Burung hantu Tyto alba adalah musuh alami dari tikus, sangat efektif
mengendalikan populasi tikus.
2. Parasitoid
Serangga Parasitoid adalah serangga yang memarasit atau hidup dan berkembang
dengan menumpang pada serangga lain (inang). Berdasarkan inangnya, parasitoid
dibagi dalam 3 golongan yaitu: Parasitoid Telur, Parasitoid Larva, dan Parasitoid
Imago.
Parasitoid idiobion adalah parasit yang mencegah pertumbuhan inang setelah
parasitisasi awal, dan khususnya ini melibatkan tahapan hidup inang yang tak
bergerak (mis, telur atau kepompong), dan hampir tanpa pengecualian mereka
tinggal di luar inang. Parasitoid koinobion memugkinkan inang terus berkembang
dan sering tak membunuh atau mengambil makanan dari inang hingga menjadi
kepompong ataupun dewasa, yang kemudian khasnya melibatkan hidup dalam
inang bergerak. Tak umum bagi parasitoid sendiri bertindak sebagai inang untuk
anak parasitoid lainnya. Yang terakhir ini umum disebut sebagai hiperparasit
namun istilah ini agak membingungkan, karena inang dan parasitoid primer
dibunuh. Istilah yang lebih baik adalah parasitoid sekunder, atau hiperparasitoid;
yang sebagian besar diketahui termasuk ordo Hymenoptera.
27
3. Patogen Serangga
Patogen Serangga adalah jasad renik (mikroorganisme) yang menyebabkan
infeksi dan menimbulkan penyakit pada serangga hama. Patogen serangga ada 3
yaitu jamur entomopatogen, bakteri entomopatogen dan virus. Jamur
entomopatogen adalah jamur yang dapat hidup dan berkembang biak di dalam
tubuh serangga. Cara kerja jamur ini sangat khas, spora yang awalnya menempel
di tubuh serangga akan mengeluarkan semacam kecambah yang akan menembus
dinding sel tubuh serangga, biasanya ini terjadi pada bagian tubuh seragga yang
lunak seperti ruas-ruas tubuh serangga. Kemampuan ini dikarenakan jamur dapat
memproduksi semacam enzim kitinase yang dapat melunakkan jaringan keras
pada tubuh serangga. Kecambah yang sudah masuk akhirnya akan tumbuh dan
berkembang secara pesat di dalam tubuh inangnya.
Serangga yang terserang patogen akan turun aktifitasnya, tidak mau makan, tidak
mau bergerak, lalu akhirnya mati. Searangga yang mati akan mengeluarkan benda
semacam kapas berwarna putih, coklat, ataupun kehijauan tergantung jenis jamur
yang menginfeksinya. Salah satu contoh jamur entomopatogen adalah Jamur
Beauveria Basssiana. Beauveria bassiana secara alami terdapat di dalam tanah
sebagai jamur saprofit. Pertumbuhan jamur di dalam tanah sangat dipengaruhi
oleh kondisi tanah, seperti kandungan bahan organik, suhu, kelembapan,
kebiasaan makan serangga, adanya pestisida sintetis, dan waktu aplikasi. Proses
ini memakan waktu 3-5 hari sampai akhirnya serangga mati, bangkai yang
terinfeksi dapat berfungsi sebagai sumber spora untuk penyebaran sekunder
jamur. Serangga juga dapat menyebarkan jamur melalui perkawinan.
28
Selain dari golongan jamur seperti diuraikan di atas, ada golongan bakteri yang
juga menginfeksi serangga hama, salah satunya adalah Serratia marcescens atau
dikenal juga dengan naman bakteri merah.Bakteri sangat efektif untuk
mengendalikan hama ulat, belalang, dan serangga penggit pengunyah lainnya.
Namun bakteri ini kurang efektif terhadap serangga dengan tipe mulut pencucuk
penghisap. Cara kerja bakteri ini adalah menyerupai racun lambung, yaitu massa
bakteri harus tertelan oleh serangga, setelah itu infeksi akan dimulai dari daerah
pencernaan serangga.
4. Agens Antagonis
Agen antagonis adalah jasad renik yang mengintervensi aktvitas pathogen
penyebab penyakit tumbuhan baik fase parasitic maupun saprofitiknya. Beberapa
alasan kenapa jamur tersebut bisa menjadi pilihan sebagai pengendali hayati yaitu:
mempunyai kapasitas reproduksi yang tergolong tinggi, mempunyai siklus hidup
yang pendek, dapat membentuk spora yang mampu bertahan lama di alam bahkan
dalam kondisi ekstrim, relatif aman digunakan, mudah diproduksi, cocok dengan
berbagai insektisida, dan kemungkinan menimbulkan resistensi hama sangat kecil.
Salah satu jamur antagonis adalah Gliocladium sp, Trichoderma sp. Yang
digunakan untuk mengendalikan penyakit layu baik Fusarium (jamur) atau
Xanthomonas sp dan Pseudomonas sp. (bakteri) dan bisa mengendalikan penyakit
akar gada pada kubis dan akar putih pada tanaman perkebunan (kakao, karet,
sawit, sengon, kopi, teh dan kina).
29
2.6 Pola Jarak Tanam
Jarak tanam adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk memberi ruang tumbuh
pada tiap–tiap tanaman agar tumbuh dengan baik. Jarak tanam akan
mempengaruhi kepadatan dan efisiensi penggunaan cahaya, persaingan diantara
tanaman dalam penggunaan air dan unsur hara sehingga akan mempengaruhi
produksi tanaman (Hidayat, 2008). Pola tanam adalah usaha yang dilakukan
dengan melaksanakan penanaman pada sebidang lahan dengan mengatur susunan
tata letak dari tanaman dan tata urutan tanaman selama periode waktu tertentu,
termasuk masa pengolahan tanah dan masa tidak ditanami selama periode
tertentu. (Musyafa, 2011).
Madodonni et. al, (2006) menyatakan bahwa jarak tanam yang lebih sempit akan
meningkatkan populasi yang bertujuan agar memberikan produksi per hektar yang
lebih besar. Sistem jarak tanam metode zigzag memiliki populasi yang lebih besar
dibandingkan sistem satu baris, ternyata dengan populasi yang lebih banyak lebih
mampu memberikan produksi per ha yang maksimal. Metode zigzag yang
digunakan pada penelitian ini yaitu dengan jarak tanam ukuran 20 x 25 cm.
Di lapangan pertumbuhan tanaman menggunakan metode zigzag ini cukup baik
proses pertumbuhannya.
Kerapatan tanaman mempengaruhi penampilan dan produksi tanaman, terutama
karena koofesien penggunaan cahaya. Tanaman memberikan respon dengan
mengurangi ukuran baik pada seluruh tanaman atau bagian-bagian tertentu
(Setyati, 1983). Jarak tanam yang lebih sempit meningkatkan persaingan antar
jagung. Sistem satu baris memiliki persaingan yang lebih rendah sehingga mampu
30
memberikan pertumbuhan yang lebih baik. Metode jarak tanam sistem satu baris
yang digunakan pada penelitian ini yaitu dengan jarak tanam 20 x 30 cm (2 benih
perlubang tanam).
31
III. BAHAN DAN METODE
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian
Kegiatan penelitian dilaksanakan di hamparan lahan kering Desa Margototo,
Kecamatan Metro Kibang, Kabupaten Lampung Timur. Penelitian ini
dilaksanakan pada bulan November 2018 sampai Februari 2019.
3.2 Bahan dan Alat Penelitian
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah benih jagung (NK-22), pupuk
buatan (UREA, SP36, KCl), Agen Hayati, Asam Humat, bahan biopestisida
terdiri dari : urin sapi, daun mahoni, daun mimba, asap cair, rimpang kunyit, dan
mikroba Bacillus aryabhattai.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain: bajak, timbangan
analitik tipe HWH DJ 1002C dengan ketelitian 0,01 gram, tangki sprayer
kapasitas 16 liter lengkap dengan APD-nya , kantong plastik ukuran 1 kg, karung
plastik ukuran 10 kg dan 50 kg, terpal ukuran 1 X 1 m, gergaji, pisau, sendok,
cangkul, golok, meteran, map plastik, ember kecil dan besar, paku, palu, kamera,
dan alat tulis. Sedanngkan peralatan pembuataan pestisida nabati terdiri dari: alat
pencacah atau seperangkat alat penumbuk, tungku pemanas, saringan, timbangan,
gayung, drum, botol, dan derigen.
32
3.3 Metodelogi Penelitian
Rancangan penelitian ini menggunakan Rancangan Petak Terbagi (Split Plot)
yang disusun dalam Rancangan Acak Kelompok Lengkap (RAKL) dengan 3
(tiga) ulangan. Sebagai petak utama adalah pola jarak tanam (P) terdiri atas 2 taraf
yaitu: pola jarak tanam lurus (p1) dan pola jarak tanam zigzag (p2). Sebagai anak
petak yakni pengendalian OPT terdiri dari 4 taraf yaitu: Kontrol (b0), Biopestisida
(b1), Asam Humat (b2), dan Agen Hayati (b3). Sehingga terdapat 8 perlakuan dan
24 satuan percobaan.
Data hasil pengamatan diuji homogenitasnya dengan uji Barlett dan
ketidakadiktifan data antara lingkungan dan perlakuan diuji deangan Tuckey
kemudian di analisis dalam sidik ragam dan dilanjutkan dengan uji beda nyata
terkecil (BNT), semua pengujian dilakukan dengan taraf 5%.
3.4 Pelaksanaan Penelitian
3.4.1 Persiapan Lahan
Lahan yang ditanami merupakan lahan sisa atau residu penggunaan berbagai
pembenah tanah dan selanjutnya diolah dengan di bajak dalam dan dirotari. Tanah
diolah hingga menjadi gembur, bersih dari gulma serta sisa-sisa tanaman, tanah
diratakan dan kemudian dilanjutkan dengan pembuatan petakan percobaan lalu
tanah diratakan. Pembuatan petakan pada pola jarak tanam lurus seluas 10 m x 6
m dan pola jarak tanam zigzag seluas 10,2 m x 7 m sebanyak 24 petakan, dengan
jarak antar petak dan ulangan yaitu 2 m.
33
3.4.2 Penanaman
Penanaman menggunakan benih jagung NK-22, dilakukan dengan membuat
lubang tanam dengan cara menugal dengan kedalaman 3 cm. Pada pola jarak
tanam lurus 75 cm x 40 cm dalam 1 lubang diisi 2 butir biji jagung, dan pada
sistem tanam zig-zag 60 cm x 25 cm dalam 1 lubang diisi 1 butir biji jagung.
Populasi tanaman jagung setiap plot percobaan sistem tanam row/lurus adalah 384
tanaman, dan pada sistem tanam zig-zag adalah 636 tanaman.
3.4.3 Pemupukan
Pemberian pupuk kandang 800 kg/ha dan dolomit 1 ton/ha dilakukan pada saat
olah tanah. Pemberian pupuk UREA 300 kg/ha, Phonska 200 kg/ha, SP-36 100
kg/ha, dan KCL 100 kg/ha diberikan pada saat tanam dengan cara di tabur secara
larikan yang berjarak 5cm dari lubang.
3.4.4 Pemeliharaan
Pemeliharaan meliputi :
1. Penyiraman
Untuk penyiraman disesuaikan dengan kondisi cuaca Jika pelaksanaan
penelitian pada musim penghujan maka tidak perlu dilakukan penyiraman,
tetapi jika pada waktu penelitian pada musim kemarau maka dilakukan
penyiraman.
2. Penyiangan
Penyiangan dilakukan secara kimiawi dan manual. Kimiawi dengan
menggunakan herbisida zenus pada gulma yang tumbuh di areal pertanaman,
34
dan manual dengan mencabut gulma yang tumbuh di areal pertanaman dengan
tangan dan membersihkan gulma da parit drainase dengan cangkul.
3.4.5 Pengendalian Hama dan Penyakit
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan pada tanaman sehat untuk mencegah
terjadinya serangan hama dan penyakit. Sedangkan aplikasi pestisida nabati
dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan konsentrasi 10 ml/L air, dimulai sejak
tanaman berumur 14 hari setelah tanam (HST). Untuk menghindari serangan
penggerek tongkol, khusus awal pembungaan sampai pengisian biji interval
aplikasi pestisida dipercepat menjadi 1 minggu sekali dengan dosis sama. Dalam
satu periode tanam jagung disemprot pestisida nabati sebanyak 8 kali. Aplikasi
asam humat dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan dosis 7 gr/petak, dimulai
sejak tanaman berumur 14 hari setelah tanam (HST). Aplikasi agen hayati
dilakukan setiap 2 minggu sekali dengan konsentrasi 15 l/L air, dimulai sejak
tanaman berumur 14 hari setelah tanam (HST).
3.4.6 Pemanenan
Pemanenan dilakukan pada saat 105 hari setelah tanam dengan kriteria batang
daun dan kelobot menguning, biji jagung padat, keras dan menguning.
3.5 Peubah yang Diamati
3.5.1 Tinggi Tanaman
Tinggi tanaman diukur dalam satuan meter (m). Pengukuran dimulai dari pangkal
batang sampai ujung daun tertinggi. Pengukuran dimulai saat tanaman berumur
35
14 hst dengan interval 2 minggu sekali sampai muncul bunga jantan
sebanyak 75%.
3.5.2 Jumlah Daun
Jumlah daun dihitung pada daun yang telah membuka sempurna, penghitungan
dimulai saat tanaman berumur 14 hst dengan interval 2 minggu sekali sampai
muncul bunga jantan sebanyak 75%.
3.5.3 Bobot Berangkasan Kering Tanaman (gram).
Berangkasan yang diambil dikeringkan dengan dijemur dan ditimbang kemudian
dioven selama 5 jam dengan suhu 700C dan setelah dingin ditimbang lagi, ketika
tidak terjadi perubahan berat maka pengeringan dihentikan dan didapatkan berat
konstanta.
3.5.4 Bobot per Tongkol Tanpa Kelobot (gram)
Bobot tongkol dihitung dengan cara menimbang jagung tanpa kelobot pada saat
panen pada setiap tanaman sampel.
3.5.5 Panjang per Tongkol Tanpa Kelobot (cm)
Panjang tongkol diukur setelah jagung dipanen dan dikupas kelobotnya setelah itu
diukur mulai dari pangkal hingga ujung tongkol.
3.5.6 Diameter per Tongkol Tanpa Kelobot (cm)
Diameter tongkol diukur setelah jagung dipanen dan dikupas kelobotnya setelah
itu diukur diameter tongkol bagian tengah menggunakan jangka sorong.
36
3.5.7 Bobot 1000 butir dengan Kadar Air 14% (gram)
Penimbangan bobot 1000 butir dilakukan setelah pemanenan tanaman. Setelah
dipanen jagung dijemur, kemudian biji jagung yang sudah kering dipisahkan dari
tongkol (dipipil) lalu dihitung 1000 butir, kemudian dijemur hingga kadar air 14%
dan ditimbang. Penimbangan dilakukan untuk semua tanaman diambil dari petak
panen dan dinyatakan dalam gram.
3.5.8 Hasil per Petak Panen Berat Tongkol ( kg).
Hasil per petak diperoleh dengan mengambil hasil dari seluruh tanaman dalam
petak panen yaitu seluas 2.5 m x 4 m kemudian ditimbang menggunakan
timbangan duduk kapasitas 20kg dan 100 kg.
37
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil Penelitian
4.1.1 Tinggi Tanaman
Data rata-rata tinggi tanaman jagung umur 14 hst, 28 hst, 42 hst, dan 56 hst dapat
dilihat pada lampiran 10. Data pengamatan tinggi tanaman jagung umur 56 hst
disajikan pada lampiran 8. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan
pola jarak tanam berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, pengendalian
organisme pengganggu tanaman berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman
dan tidak terdapat interaksi terhadap kedua perlakuan lampiran 9 Hasil Uji BNT
Tinggi Tanaman Umur 56 hst dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Uji BNT Tinggi Tanaman 56 hst
Pola jarak tanam Pengendalian OPT Rata-Rata
Kontrol
(b0)
Biopestisida
(b1)
Asam
Humat
(b2)
Agen
Hayati
(b3)
……………………….m………………………..
Lurus (P1) 2,96 2,97 2,99 3,00 2,98 B
Zigzag (P2) 2,72 2,75 2,77 2,77 2,75 A
Rata-Rata 2,84 2,86 2,88 2,89
BNT P (0,05) = 0,14
BNT b (0,05) = 0,08
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNT 5%
38
Berdasarkan uji BNT (Tabel 1) menunjukan bahwa perlakuan pola jarak tanam
lurus menghasilkan tinggi tanaman lebih baik 8,36% dibandingkan pola jarak
tanam zig-zag. Sedangkan pengendalian organisme pengganggu tanaman
menghasilkan tinggi tanaman yang relatif sama. Hal tersebut dapat dilihat dari
kurva pertumbuhan (Gambar 1) menunjukan gradient pada masing-masing
tanaman.
Kurva pertumbuhan tinggi tanaman umur 14 hst sampai 56 hst dapat dilihat pada
gambar 1.
Gambar 1. Kurva pertumbuhan Tinggi Tanaman Umur 14 hst, 28 hst, 42 hst, dan
56 hst.
4.1.2 Jumlah Daun
Data rata-rata jumlah daun tanaman jagung umur 14 hst, 28 hst, 42 hst, dan 56 hst
disajikan pada lampiran 10. Data pengamatan jumlah daun tanaman jagung umur
56 hst dapat dilihat pada lampiran 11. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa
perlakuan pola jarak tanam berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah daun,
0.00
0.50
1.00
1.50
2.00
2.50
3.00
3.50
14 hst 28 hst 42 hst 56 hst
Umur Tanaman (hst)
Tin
gg
i T
an
am
an
(cm
) p1b0
p1b1
p1b2
p1b3
p2b0
p2b1
p2b2
p2b3
39
pengendalian organisme pengganggu tanaman berpengaruh nyata terhadap tinggi
tanaman dan tidak terdapat interaksi terhadap kedua perlakuan lampiran 12. Hasil
Uji BNT Jumlah Daun Umur 56 hst dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Uji BNT Jumlah Daun 56 hst
Pola Jarak Tanam Pengedalian OPT Rata-Rata
Kontrol
(b0)
Biopestisida
(b1)
Asam
Humat
(b2)
Agen
Hayati
(b3)
……………………….helai………………………..
Lurus (P1) 12,83 13,56 13,5 13,50 13,35
Zigzag (P2) 12,78 13,78 13,83 13,00 13,35
Rata-Rata 12,81 a 13,67 b 13,67 b 13,25 ab
BNT P (0,05) = 0,36
BNT b (0,05) = 0,64
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNT 5%
Berdasarkan uji BNT (Tabel 2) menunjukan bahwa pengendali organisme
pengganggu tanaman menggunakan biopestisida (b1) dan asam humat (b2)
menghasilkan jumlah daun terbanyak. Sedangkan pola jarak tanam menghasilkan
jumlah daun yang relatife sama. Hal tersebut dapat dilihat dari kurva pertumbuhan
(Gambar 2) menunjukan gradient pada masing-masing tanaman.
Kurva jumlah daun umur 14 hst sampai 56 hst dapat dilihat pada gambar 2.
Gambar 2. Kurva pertumbuhan Jumlah Daun umur 14 hst, 28 hst, 42 hst, dan
56 hst.
0.00
5.00
10.00
15.00
14 hst 28 hst 42 hst 56 hst
Umur Tanaman (hst)
Jum
lah
Dau
n (
he
lai) p1b0
p1b1
p1b2
p1b3
p2b0
p2b1
p2b2
40
4.1.3 Bobot Berangkasan Kering (gram)
Data pengamatan berangkasan kering disajikan pada lampiran 13. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan pola jarak tanam berpengaruh nyata
terhadap bobot berangkasan kering, pengendalian organisme pengganggu tanaman
berpengaruh nyata terhadap bobot berangkasan kering dan terdapat interaksi
terhadap kedua perlakuan lampiran 14. Hasil Uji BNT Bobot Berangkasan Kering
dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Uji BNT Bobot Berangkasan Kering
Pola Jarak Tanam Pengedalian OPT
Kontrol
(b0)
Biopestisida
(b1)
Asam
Humat (b2)
Agen
Hayati (b3)
………………gram………………..
Lurus (P1) 266,93 A 271,07 A 260,93 A 298,47 B
a a a B
Zigzag (P2) 219,87 A 257,80 A 236,73 A 234,2 A
a b ab Ab
BNT P dalam level b yang sama (0,05) = 48,86
BNT b dalam level P yang sama (0,05) = 23,88
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama (huruf kecil arah
vertical, huruf besar arah horizontal) tidak berbeda nyata pada
uji BNT 5%
Berdasarkan uji BNT (Tabel 3) menunjukan bahwa perlakuan pola jarak tanam
lurus (P1) pada pengendali organisme pengganggu tanaman menggunakan agen
hayati (b3) menghasilkan bobot berangkasan kering lebih baik, sedangkan pada
pola jarak tanam zigzag (P2) bobot berangkasan kering terbaik pada pengendali
organisme pengganggu tanaman menggunakan biopestisida (b1) dan sama dengan
asam humat (b2) dan agen hayati (b3).
41
4.1.4 Bobot per Tongkol Tanpa Kelobot (gram)
Data pengamatan bobot per tongkol tanpa kelobot disajikan pada lampiran 15.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pola jarak tanam berpengaruh
nyata terhadap bobot per tongkol tanpa kelobot, pengendalian organisme
pengganggu tanaman tidak berpengaruh nyata terhadap bobot per tongkol tanpa
kelobot dan tidak terdapat interaksi terhadap kedua perlakuan lampiran 16. Hasil
Uji BNT Bobot per Tongkol Tanpa Kelobot dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Uji BNT Bobot per Tongkol Tanpa Kelobot
Pola Jarak
Tanam Pengedalian OPT
Rata-Rata
Kontrol
(b0)
Biopestisida
(b1)
Asam
Humat
(b2)
Agen
Hayati
(b3)
……………………….gram………………………..
Lurus (P1) 246,37 248,31 227,90 226,00 237,14 B
Zigzag (P2) 175,59 180,32 173,46 178,82 177,05 A
Rata-Rata 210,98 214,32 200,68 202,41
BNT P (0,05) = 4,90
BNT b (0,05) = 20,55
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNT 5%
Berdasarkan uji BNT (Tabel 4) menunjukan bahwa perlakuan pola jarak tanam
lurus menghasilkan bobot per tongkol tanpa kelobot lebih baik 33,93%
dibandingkan pola jarak tanam zig-zag. Sedangkan pengendalian organisme
pengganggu tanaman menghasilkan bobot per tongkol tanpa kelobot yang relatif
sama.
42
4.1.5 Panjang per Tongkol Tanpa Kelobot (cm)
Data pengamatan panjang per tongkol tanpa kelobot disajikan pada lampiran 17.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pola jarak tanam berpengaruh
nyata terhadap panjang per tongkol tanpa kelobot, pengendalian organisme
pengganggu tanaman berpengaruh tidak nyata terhadap panjang per tongkol tanpa
kelobot dan tidak terdapat interaksi terhadap kedua perlakuan lampiran 18. Hasil
Uji BNT Panjang per Tongkol Tanpa Kelobot dapat dilihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Uji BNT Panjang per Tongkol Tanpa Kelobot
Pola Jarak Tanam Pengedalian OPT Rata-Rata
Kontrol
(b0)
Biopestisida
(b1)
Asam
Humat
(b2)
Agen
Hayati
(b3)
……………………….cm………………………..
Lurus (P1) 17,12 17,04 16,66 16,37 16,80 B
Zigzag (P2) 14,44 14,48 13,52 14,00 14,11 A
Rata-Rata 15,78 15,76 15,09 15,19
BNT P (0,05) = 0,84
BNT b (0,05) = 0,84
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNT 5%
Berdasarkan uji BNT (Tabel 5) menunjukan bahwa perlakuan pola jarak tanam
lurus menghasilkan panjang per tongkol tanpa kelobot lebih baik 19,06%
dibandingkan pola jarak tanam zig-zag. Sedangkan pengendalian organisme
pengganggu tanaman menghasilkan panjang per tongkol tanpa kelobot yang relatif
sama.
43
4.1.6 Diameter per Tongkol Tanpa Kelobot (cm)
Data pengamatan diameter per tongkol tanpa kelobot disajikan pada lampiran 19.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pola jarak tanam berpengaruh
nyata terhadap diameter per tongkol tanpa kelobot, pengendalian organisme
pengganggu tanaman berpengaruh tidak nyata terhadap diameter per tongkol
tanpa kelobot dan tidak terdapat interaksi terhadap kedua perlakuan lampiran 20.
Hasil Uji BNT Diameter per Tongkol Tanpa Kelobot dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Uji BNT Diameter per Tongkol Tanpa Kelobot
Pola Jarak Tanam Pengedalian OPT Rata-Rata
Kontrol
(b0)
Biopestisida
(b1)
Asam
Humat
(b2)
Agen
Hayati
(b3)
……………………….cm………………………..
Lurus (P1) 4,89 4,98 4,85 4,84 4,89 B
Zigzag (P2) 4,61 4,62 4,61 4,66 4,63 A
Rata-Rata 4,75 4,8 4,73 4,75
BNT P (0,05) = 0,05
BNT b (0,05) = 0,11
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNT 5%
Berdasarkan uji BNT (Tabel 6) menunjukan bahwa perlakuan pola jarak tanam
lurus menghasilkan diameter per tongkol tanpa kelobot lebih baik 5,62%
dibandingkan pola jarak tanam zig-zag. Sedangkan pengendalian organisme
pengganggu tanaman menghasilkan diameter per tongkol tanpa kelobot yang
relatif sama.
44
4.1.7 Bobot 1000 Butir
Data pengamatan bobot 1000 butir disajikan pada lampiran 21. Hasil analisis
ragam menunjukkan bahwa perlakuan pola jarak tanam dan pengendalian
organisme pengganggu tanaman berpengaruh tidak nyata terhadap bobot 1000
butir lampiran 22. Hasil Uji BNT bobot 1000 butir dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Uji BNT Bobot 1000 Butir
Pola Jarak Tanam Pengedalian OPT Rata-Rata
Kontrol
(b0)
Biopestisida
(b1)
Asam
Humat
(b2)
Agen
Hayati
(b3)
……………………….gram………………………..
Lurus (P1) 379,67 347,60 384,13 382,53 373,48
Zigzag (P2) 347,33 346,60 355,80 367,87 354,40
Rata-Rata 363,50 347,10 369,97 375,20
BNT P (0,05) = 48,79
BNT b (0,05) = 39,44
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNT 5%
Berdasarkan uji BNT (Tabel 7) menunjukan bahwa pola jarak tanam dan
pengendalian organisme pengganggu tanaman menghasilkan bobot 1000 butir
yang sama.
4.1.8 Hasil per Petak Panen Berat Tongkol (kg)
Data pengamatan hasil per petak panen dapat dilihat pada lampiran 23. Hasil
analisis ragam menunjukkan bahwa pola jarak tanam berpengaruh berbeda nyata
terhadap hasil per petak panen berat tongkol, pengendalian organisme
pengganggu tanaman berpengaruh tidak nyata terhadap hasil per petak panen
berat tongkol, dan tidak terdapat interaksi terhadap kedua perlakuan tersebut
45
lampiran 24. Hasil Uji BNT Hasil per Petak Berat Tongkol dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8. Uji BNT Hasil per Petak Panen Berat Tongkol
Pola Jarak Tanam Pengedalian OPT Rata-Rata
Kontrol
(b0)
Biopestisida
(b1)
Asam
Humat
(b2)
Agen
Hayati
(b3)
……………………….kg………………………..
Lurus (P1) 19,93 21,00 20,03 21,00 20,49 B
Zigzag (P2) 11,70 12,17 10,57 12,33 11,69 A
Rata-Rata 15,82 16,58 15,30 16,67
BNT P (0,05) = 2,02
BNT b (0,05) = 1,90
Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata
pada uji BNT 5%
Berdasarkan uji BNT (Tabel 8) menunjukan bahwa perlakuan pola jarak tanam
lurus menghasilkan hasil per petak panen berat tongkol lebih baik 75,28%
dibandingkan pola jarak tanam zig-zag. Sedangkan pengendalian organisme
pengganggu tanaman menghasilkan hasil per petak panen yang relatif sama.
46
4.2 Pembahasan
Hasil analisis ragam menunjukan bahwa uji pola jarak tanam berpengaruh nyata
terhadap variabel tinggi tanaman, bobot berangkasan kering tanaman, bobot
per tongkol tanpa kelobot, panjang per tongkol tanpa kelobot, diameter per
tongkol tanpa kelobot, dan hasil per petak panen berat tongkol. Sedangkan uji
pola jarak tanam yang berpengaruh tidak nyata terdapat pada variabel jumlah
daun, dan bobot 1000 butir.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pengendalian organisme pengganggu
tanaman berpengaruh nyata terhadap variabel jumlah daun, dan bobot
berangkasan kering tanaman. Sedangan pada variabel tinggi tanaman, bobot per
tongkol, panjang per tongkol, diameter per tongkol, bobot 1000 butir, dan hasil
per petak panen berat tongkol berpengaruh tidak nyata. Berpengaruh tidak nyata
pada variabel tersebut diduga karena faktor lingkungan lebih dominan
mempengaruhi pertumbuhan dan hasil. Faktor lingkungan yang mempengaruhi
yaitu meliputi air, suhu, dan kelembaban. Pada lahan pertanian di Desa Margototo
sedang dilanda kekeringan pada saat penelitian, dan sumber air disekitar lahan
penelitian mengalami kekeringan. Sehingga pada saat aplikasi pengendali
organisme pengganggu tanaman biopestisida, asam humat, dan agen hayati suhu
dan kelembaban lahan penelitian kurang baik pada saat aplikasi.
Hosang, dkk (2006) menjelaskan, tinggi tanaman berkaitan erat dengan kerebahan
batang, semakin tinggi suatu individu makin besar peluang individu tanaman
tersebut mengalami kerebahan. Hal ini akan berpengaruh terhadap produktivitas
tanaman terutama bila ditanam pada lokasi yang rentan terhadap kecepatan angin.
47
Penggunaan agen hayati secara tunggal maupun dikombinasikan dengan pestisida
nabati mampu menekan perkembangan penyakit hawar daun B. maydis. Hal
tersebut karena senyawa antifungi harus masuk ke dalam sel melalui dinding sel
untuk dapat mematikan cendawan (Iskarlia, dkk 2014). Sesuai dengan pernyataan
Tombe (2008) bahwa Bacillus spp. merupakan salah satu kelompok
mikroorganisme yang dapat berfungsi sebagai agen hayati untuk mengendalikan
penyakit tanaman dan sebagai stimulator pertumbuhan tanaman. Perkembangan
penyakit tidak hanya dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, namun juga faktor
fisik tanaman, di antaranya penetrasi stomata. B. maydis masuk ke jaringan
tanaman yang tidak hanya melalui stomata terbuka, tetapi juga dapat
mendegradasi jaringan tanaman untuk masuk ke dalam sel (Arrahman, dkk 2015).
Hasil penelitian menunjukan terdapat interaksi pada pola jarak tanam dan
pengendalian organisme pengganggu tanaman pada variabel bobot berangkasan
kering. Interaksi terbaik pada pola jarak tanam lurus dan pengendali organisme
pengganggu tanaman menggunakan agen hayati. Hal ini diduga karena perlakuan
agen hayati lebih optimal dalam pengendalian organisme pengganggu tanaman.
Hasil penelitian menunjukan bahwa pola jarak tanam lurus (P1) menghasilkan
pertumbuhan dan hasil yang tinggi, karena didukung oleh beberapa komponen
pengamatan yaitu tinggi tanaman, bobot berangkasan kering, bobot per tongkol,
panjang per tongkol, diameter per tongkol, hasil per petak panen berat tongkol
terbaik, dibandingkan dengan pola jarak tanam zigzag (P2). Hal ini diduga karena
pola jarak tanam zigzag tidak mencukupi dari faktor lingkungan dalam masa
pertumbuhannya.
48
Rendahnya hasil pada pola jarak tanam zigzag (P2) disebabkan oleh populasi yang
terlalu tinggi sehingga mempengaruhi kompetisi tanaman yang tinggi sehingga
terjadi plastisitas. Plastisitas adalah reaksi tumbuhan terhadap perubahan
lingkungan sehingga terjadi modifikasi berbagai organnya, dalam rangka
menyesuaikan terhadap faktor lingkungan yang tidak menguntungkan. Perubahan
atau modifikasi ini menunjukan adannya plastisitas dari organ tersebut. Apabila
kondisi menjadi normal maka bentuk organ ini akan sesuai dengan bentuk
normalnya (Cartono, 2005). Dengan demikian pola jarak tanam zigzag (P2) faktor
lingkungan tumbuhan berdiri dalam kondisi kurang optimal. Pertumbuhan bentuk
tanaman jagung pada pola jarak tanam zigzag (P2) mengalami modifikasi organ
seperti batang menjadi kecil, penyerbukan terganggu karena terhalang oleh daun
yang terlalu rapat sehingga pembuahan serbuk sari pada kepala putik tidak merata
dan menyebabkan tongkol tidak terisi biji secara menyeluruh. Hal tersebut sesuai
dengan pernyataan Sufardi (2010) menjelaskan jika faktor lingkungan lebih
dominan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil dibandingkan dengan faktor
genetik. Faktor lingkungan yang dimaksud terutama dalam kompetisi merebutkan
sarana ruang tumbuh, unsur hara, air, dan cahaya matahari.
Lingkungan merupakan salah satu faktor penentu dalam peningkatan produksi
tanaman. Demikian juga gangguan biotik berupa serangan hama dan penyakit,
menunjukan tingkat perkembangannya dilapangan sangan rendah. Keadaaan ini
diduga karena pengendalian yang dilakukan cukup intensif yang berupa
perpaduan pengaturan pola jarak tanam dan perlakuan biopestisida (Lampiran 27).
49
V. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukan bahwa :
1. Pola jarak tanam berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman
jagung yaitu pada variabel tinggi tanaman, bobot berangkasan kering, bobot
pertongkol, panjang per tongkol, diameter per tongkol, dan hasil per petak
panen berat tongkol. Pada pola jarak tanam lurus (P1) lebih baik dari pada
pola jarak tanam zig-zag (P2).
2. Pengendalian organisme pengganggu tanaman berpengaruh terhadap
pertumbuhan dan hasil tanaman jagung yaitu pada variabel jumlah daun, dan
bobot berangkasan kering. Perlakuan pengendali organisme pengganggu
tanaman menggunakan biopestisida (b1) lebih baik dari pada kontrol (b0),
asam humat (b2), dan agen hayati (b3).
3. Tidak terdapat interaksi antara pola jarak tanam dan pengendalian organisme
pengganggu tanaman kecuali pada variabel bobot berangkasan kering.
Interaksi terbaik pada pola jarak tanam lurus (P1) dan pengendali organisme
pengganggu tanaman menggunakan biopestisida (b1).
50
5.2 Saran
Untuk mendapatkan hasil yang baik, sebaiknya petani menanam dengan pola
jarak tanam lurus (P1) dan menggunakan pengendalian organisme pengganggu
tanaman agent hayati. Perlu dilakukan pengujian selanjutnya untuk pola jarak
tanam zigzag (P2) dengan menambah jarak tanam agar populasi tidak terlalu rapat
sehingga plastisitas dapat di tekan dan menghasilkan pertumbuhan dan hasil yang
tinggi Sedangkan pada pengendalian organisme pengganggu tanaman biopestisida
(b1) perlu dilakukan pengujian ulang untuk mengetahui apakah perlakuan
biopestisida (b1) pada pola jarak tanam yang berbeda akan menghasilkan
pengaruh pertumbuhan dan hasil tanaman jagung.
51
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2016. Pengendali Hayati: membunuh Serangga dengan Serangga.
Arrahman, A., Suriani, dan A. Muis. 2015. Pengaruh faktor fisik tanaman
terhadap intensitas serangan Bipolaris maydis terhadap 10 varietas
jagung. Prosiding Semnas dan Kongres PFI di Bekasi 11-13 November
2015: Hal. 39.
Arsensi I. 2012. Pengaruh Pemberian ekstrak Daun sirih Terhadap Penyebab
Penyakit Bulai Pada Tanaman Jagung Manis (Zea mays L.
Sacaracharata). Ziraa’ah 33(1):17-21.
Badan Pusat Statistik. 2015. Produksi Jagung Menurut Provinsi (ton), 19932015.
http://www.bps.go.id/linkTableDinamis/view/id/868. Diakses pada 03
Januari 2019.
Balai Penelitian Tanaman Serealia. 2002. Inovasi Teknologi Jagung; Menjawab
Tantangan Ketahanan Pangan Nasional. Balai Penelitian Tanaman
Serealia. Maros. 19 hlm.
Bama, S. K., G. Selvakumari, R. Santhi and P. Singaram. 2003. Effect of humic
acid on nutrient release pattern in an alfisol (Typic Haplustalf). Dept. of
Soil Sci. and Agrl. Chemistry, Tamil Nadu Agrl. University, Tamil Nadu.
The Madras Agriculture Journal, 9(10): 665.
Barbieri, P. A., H. R. S. Rozas, F. H. Andrade and H. E. Echeverria. 2000. Soil
Management; Row Spacing Effects at Different Levels of Nitrogen
Availability in Maize. Agron J. 92:283-288.
Barri, N. L. 2003. Peremajaan Kelapa Berbasis Usahatani Polikultur Penopang
Pendapatan Petani Berkelanjutan. Institut Pertanian Bogor. Desember
2003.
Brady, N.C. and R.R. Weil, 2002. The nature and properties of soils. 31th ed.
Prentice-Hall, Upper Saddle River, New York. 511 p.
xv
Budianto, Sugeng. 2016. Asyiknya bertanam Sayuran Hias Organik di Halaman
Rumah. Yogyakarta: Araska.
Bunaiyah, T. Wahyuni, dan U.P. Astuti. 2013. Petunjuk Teknis Pembuatan
Pestisida Nabati. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bengkulu.
Bengkulu.
Cartono, 2005. Biologi Umum Untuk Perguruan Tinggi LPTK, Bandung, Prime
press.
Djaenuddin, N., dan A. Muis. 2017. Efektifitas biopestisida Bacillus subtilis BNt8
dan pestisida nabati untuk pengendalian penyakit hawar pelepah dan upih
daun jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros. Vol. 17, No. 1 :
53-61.
Djaenuddin, N., N. Nonci, dan A. Muis. 2017. Efektivitas formula Bacillus
subtilis TM4 untuk pengendalian penyakit pada tanaman jagung. J.
Fitopatologi Indonesia 13(4): 113-118.
Farnham, D. E. 2001. Row Spacing, Plant Density, and Hybrid Effects on Corn
Grain Yield and Moisture. Agron J. 93:1049-1053.
Habibah, E.Z. 2005. Uji Daya Hasil Lima Genotipe Jagung Manis pada Dua
Lokasi di Kabupaten Bogor. [Skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. 45 hal.
Harjono, I. 1999. Sistem Pertanian Organik. Solo : Aneka.
Hidayat. N. 2008. Pertumbuhan dan Produksi Kacang Tanah (Arachis hypogae
L.) Varietas Lokal Madura pada Berbagai Jarak Tanam dan Pupuk Fosfor.
Madura. Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo. Agrovivor. Vol 1 no 1 :
55-63.
Hosang E.Y., F. Kasim dan P. Bhuja. 2006. Karakteristik agronomi jagung lokal
NTT. Prosiding Seminar dan Lokakarya Nasional. Makassar, 29-30
September 2005. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Hal. 196- 205.
Iriany, R.N, M. Yasin H.G, dan Andi Takdir M. 2007. Asal, Sejarah, Evolusi, dan
Taksonomi Jagung. Dalam Jagung: Teknik Produksi dan Pengembangan.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor.
Iskarlia, GR, Linda, R , & Uswatun, C, 2014, ‘Fungisida Nabati dari Tanaman
Serai Wangi (Cymbopogon nardus ) untuk Menghambat Pertumbuhan
Jamur pada Batang Karet (Hevea brasiliensis Muell. Arg)’, PolhaSains,
vol. 3, no. 1, hal. 1 – 7.
xvi
Jafri, Sigit S. Wibowo, M. Hattta dan Tatang M. Ibrahim. 2006. Pemanfaatan
lahan gambut untuk pengembangan jagung di Kalimantan Barat. Prosiding
Seminar dan Lokakarya Nasional. Makassar, 29-30 September 2005.
Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. Hal. 234-240.
Kardinan, Agus, 2000, Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi, Penebar Swadaya,
Jakarta.
Kartasapoetra, A.G., 1988. Teknologi Budidaya Tanaman Pangan di Daerah
Tropik. Bina Angkasa, Jakarta.
Kastono. 2005. Ilmu Gulma, Jurusan Budidaya Pertanian. UGM: Yogyakarta.
Kementrian pertanian RI. 2015. Mentan Bersama 100 Bupati Tingkatkan
ProduksiJagung.http://www.pertanian.go.id/ap_posts/detil/334/2015/05/05/
10/24/29/Diakses pada tanggal 14 Januari 2019.
Kononova, M. M. 1966. Soil Organic Matter. Persemon Press. London. England.
Liu, W., M. Tollenaar, G. Stewart and W. Deen. 2004. Within – Row Plat Spacing
Variability Does Not Effect Corn Yield. Agron. J. 96 : 275 – 280.
Maddonni, G. A., A. G. Cirilo and M. E. Otegui. 2006. Roww Width and Maize
Grain Yield. Agron. J. 98:1532-1543.
Marlina, N. dkk.2012. Respons Tanaman Padi (Oryza sativa L.) terhadap
Takaran PupukOrganik Plus dan Jenis Pestisida Organik dengan System of
Rice Intensification(SRI) di Lahan Pasang Surut. Lahan Suboptimal, 1(2):
138- 148.
Mentri Pertanian RI. 1995. Peraturan Mentri Pertanian Nomor
411/Kpts/TP.120/6/1995 tentang Pemasukan Agens Hayati ke dalam
Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Departemen Pertanian,
Jakarta.
Muis, A., N. Nonci, dan N. Djaenuddin. 2015. Evaluasi lima jenis inert carrier
dan formulasi Bacilus subtilis untuk pengendalian hawar pelepah jagung
(Rhizoctonia solani Kuhn). J. HPT Tropika 15(2): 164–169.
Murniati, N., & Safriani, E. 2013. Pemanfaatan Urine Sapi Sebagai Pupuk
Organik Cair Untuk Meningkatkan Produktivitas Tanaman Selada
( Lactuca sativa L.). Jurnal silampari Fakultas Pertanian UNMURA, 1 (2):
9-17.
Musyafa dan Rahayu, S. 2011. Evaluasi Gangguan Hama dan Penyakit Potensial
pada Casuarina equisetifolia di Lahan Pantai. Univesitas Gajah Mada.
Yogyakarta.
xvii
Nurhayati, U Abu, dan EA Silvia. 2012. Aplikasi Trichoderma virens melalui
penyemprotan pada daun, akar, dan perendaman akar untuk menekan
infeksi penyakit downy mildew pada tanaman caisin. Dharmapala. 4:22-28.
Orlov, D. S. 1985. Humus Acid of Soils. Oxionian Press Pvt, Ltd. New Delhi.
Poehlman, J.M. dan D. Borthakur. 1969. Breeding As field crops of India. Oxford
& IBH. New Delhi.
Prayogo, Y. 2011. Sinergisme Cendawan Entomopatogen Lecanicillium lecanii
dengan Insektisida Nabati untuk Meningkatkan Efikasi Pengendalian Telur
Kepik Coklat Riptortus linearis pada Kedelai. Jurnal HPT Tropika. ISSN
1411-7525. Vol. 11. No. 2 : 166-177.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. 2007. Penelitian Pertanian
Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
www.litbang.pertanian.go.id. Diakses pada tanggal 20 februari 2019.
Rahma, S., Nur, Widodo dan Krisno, Budiyanto. 2016. Uji Efektifitas Insektisida
Nabati Buah Crescentia cujete Dan Bunga Syzygium aromaticum Terhadap
Mortalitas Spodoptera litura Secara In Vitro Sebagai Sumber Belajar
Biologi. Jurnal Pendidikan Biologi Indonesia. 2(3) : 263-276.
Rahman, A. 1989. Teknologi Fermentasi Industrial: Produksi Metabolit Primer.
Bogor. Arcan.
Rubatzky,V.E dan Yamaguchi. 1998. (Sayuran Dunia, Prinsip, Produksi, dan
Gizi, alih bahasa Catur Herison).ITB, Bandung.
Rugaya, A. dan Dahyar. 2002. Pengendalian Hama Jagung dengan Menggunakan
Pestisida Nabati. Prosiding seminar ilmiah dan Pertemuan PEI, PFI& HPTI
XV Sulsel, 29 Oktober 2002. Balai Proteksi Tanaman Pangan dan
Hortikultura Maros.
Rukmana, R. 1997. Usaha Tanaman Jagung. Kanisius. Yogyakarta.
Rumbaina D, Amrizal N, Widiyantoro, Marwoto, Taufiq A, Kuntyastuti H,
Arsyad DM, Heriyanto. 2004. Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) di
lahan masam. Makalah Lokakarya Pengembangan Kedelai melalui
Pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu di Lahan Masam. BPTP
Lampung, 30 September 2004.p. 61-72.
Sadoma, M.T., A.B.B. El-Sayed, and S.M. El-Moghazy. 2011. Biological control
of downey mildew disease of maize caused by Peronosclerospora sorghi
using certain biocontrol agents alone or in combination. J. Agric. Res.
Kafer El-Sheikh Univ. 37(1):1-11.
xviii
Sahala, M. H., M. W Hari, H. Setyoso dan P. Bambang. 2006. Influence of Humic
Acid Application for Oil Palm in PT Astra Agro Lestari Tbk. International
Oil Palm Conference. Nusa Dua-Bali. June 19-23, 2006.
Sekarsari, R,A., J. Prasetyo, dan T. Maryono. 2013. Pengaruh beberapa fungisida
nabati terhadap keterjadian penyakit bulai pada jagung manis (Zea mays
saccharata). J.. Agrotek Tropika 1(1):98-101.
Setyati, S. 1983. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. Hal. 168 – 169.
Singh, J. 1987. Field Manual of Maize Breeding Procedures. Food and
Agriculture Organization of The United Nations. Rome.
Stevenson, F. J. 1982. Humus Chemistry Genesis, Composition, and Reaction.
John Wiley and Sons. New York.
Subandi, IG. Ismail dan Hermanto. 1998. Jagung. Teknologi produksi dan
pascapanen. Puslitbang Tanaman Pangan. Bogor. 57 hal.
Subandi et al. 2006. Teknik Peningkatan Produksi dan Mutu Jagung. Balai
Penelitian Serealia.
Subekti, N.A., Syafruddin, R. Efendi, dan S.Sunarti. 2007. Morfologi tanaman
dan fase pertumbuhan jagung. Balai Penelitian Tanaman Serealia. Maros
Sudarmo, S. 2005. Pestisida Nabati, Pembuatan Dan Pemanfaatannya.
Yogyakarta : Kanisius. 60 hal.
Sudjana, A., A. Rifin, dan M. Sudjadi. 1991. Jagung. Bul. Teknik no.4. Balai
Penelitian Tanaman Pangan. Bogor. 42 hal.
Sufardi. 2010. Mengenal Unsur Hara Tanaman. Universitas Syiah Kuala. Banda
Aceh.
Supriyatin dan Marwoto. 2000. Efektivitas beberapa bahan nabati terhadap
perusak daun kedelai. Pengelola sumberdaya lahan pada tanaman kacang-
kacangan dan umbi-umbian. PPTP. Malang.458.
Suriani & A. Muis. 2016. Prospek Bacillus subtilis sebagai agen pengendali
hayati patogen tular tanah pada tanaman jagung. J. Litbang Pert. 35(1):
37-45.
Tan, K.H., 1993. Principle Of Soil Chemistry. 2nd ed. Marcel Dekker Inc. New
York.
Tim Karya Tani Mandiri, 2010. Pedoman Bertanam Jagung. Nuansa Aulia,
Bandung.
xix
Tombe, M. 2008. Teknologi Aplikasi Mikroba Pada Tanaman.
http://www.google//sekilas pupuk hayati. Html. Diakses pada tanggal 14
februari 2019.
Winarno, F. G., 1990. Protein, Sumber dan Peranannya. Penerbit Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta.