Upload
dewisejarah
View
2.804
Download
17
Embed Size (px)
DESCRIPTION
Citation preview
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang.
Palembang merupakan kota yang sangat strategis di Sumatera Selatan.
Sebagai kota tua, Palembang banyak menyimpan sejarah perjuangan rakyat.
Keberadaan Palembang yang dibagi oleh Sungai Musi menambah eksotismenya.
Ciri khas kota Palembang sebagai kota yang sangat didominasi oleh air, bahkan
oleh Belanda sebelum Perang Dunia II, pernah dipromosikan sebagai “Venetie
van het Verre Oasten” atau “Venesia dari Timur Jauh”. Kekayaan alam Sumatera
Selatan menjadi kebanggaan sekaligus ancaman dari bangsa asing.
Setelah Perang Dunia II, Sekutu memboncengi NICA ke Indonesia dengan
maksud agar Belanda dapat kembali menguasai Indonesia. Konflik RI dan
Belanda semakin menimbulkan ketegangan. Para pasukan RI, lasykar dan rakyat
berusaha mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai pada 17 Agustus
1945. Usaha untuk mencapai kepentingan Belanda berlanjut dengan pertempuran
besar. Pertempuran besar yang menentukan antara lain Bandung Lautan Api,
Pertempuran Ambarawa, Medan Area, Puputan Margarana dan lain-lain. Di
Sumatera Selatan pun terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan Pertempuran
Lima Hari Lima Malam di Palembang. pertempuran ini terjadi pada tanggal 1
hingga 5 Januari 1947.
1
1.2.Rumusan Masalah.
1.Bagaimana Kondisi Kota Palembang setelah kemerdekaan Republik Indonesia?
2.Bagaimana Pembentukan dan Penyempurnaan Aparatur Pemerintah Sipil di
Sumatera Bagian Selatan?
3.Bagaimana Terbentuknya SUBKOSS di Sumatera Selatan?
4.Bagaimana peristiwa jalannya Pertempuran Lima Hari Lima Malam di
Palembang?
5.Dimana Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang?
6.Bagaimana Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran Lima Hari Lima
Malam di Palembang?
1.3.Tujuan Masalah.
1.Untuk mengetahui Kondisi Kota Palembang setelah kemerdekaan Republik
Indonesia
2.Untuk Mengetahui Pembentukan dan Penyempurnaan Aparatur Pemerintah
Sipil di Sumatera Bagian Selatan
3.Untuk Mengetahui Terbentuknya SUBKOSS di Sumatera Selatan
4.Untuk Mengetahui peristiwa jalannya Pertempuran Lima Hari Lima Malam di
Palembang
5.Untuk Mengetahui Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang
6.Untuk Mengetahui Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran Lima
Hari Lima Malam di Palembang
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.Situasi Kota Palembang Pasca Kemerdekaan
Para pemuka masyarakat palembang memperoleh informasi mengenai
proklamasi kemerdekaan itu pada tanggal 18 Agustus 1945 dar i Maylan, seorang
Redaktur Palembang Syimbun, yang kemudian menyiarkan berita itu melalui
Radio Palembang. Salah seorang yang menerima berita itu adalah A.K. Gani,
yang kemudian melakukan hubungan telepon dengan R.Sudarsono di Jambi.
Sumber lain menyebutkan bahwa masyarakat Palembang mengetahui
berita Proklasmasi itu beberapa hari kemudian, pada tanggal 19 atau 20 Agustus
1945, melalui orang-orang Palembang yang datang dari Jakarta (Mo’moen
Abdullah dkk, 1991/1992 : 168)
Pemerintah bala tentara Jepang pada tanggal 22 Agustus 1945
mengadakan pertempuran dengan para pemuda anggota Badan Kebaktian Rakyat
dan pimpinan masyarakat Palembang, antara lain : Abdul Rozak , Nungtjik AR,
Bay Ho. Dalam pertempuran itu Chokan Myako Tosio memberikan informasi
tentang penyerahan Jepang kepada kemerdekaan Indonesia (Kementrian
Penerangan RI, 1954 : 37)
Setelah pertemuan dengan Chokan Myako Tosio itu, para pemimpin
masyarakat Palembang mengadakan rapat untuk membicarakan langkah-langkah
apa yang perlu di ambil pada saat itu. Keputusan rapat itu adalah mengirimkan
satu delegasi di pimpin oleh Nungtjik AR untuk menemui Chokan Myako Tosio
pada hari itu juga (22 Agustus 1945). Delegasi itu diberikan tugas untuk
menyampaikan pernyataan sikap para pemimpin masyarakat Palembang.
3
Ada empat penyataan sikap yang di sampaikan kepada Chokan Myako Tosio,yaitu
:
1. Keamanan merupakan tanggung jawab bangsa Indonesia sepenuhnya.
2. Pihak Jepang harus memberikan jaminan mengenali keselamatan segenap
pemimpin rakyat.
3. Pihak Jepang tidak boleh bertindak sendiri, tanpa sepengetahuan para
pemimpin rakyat.
4. Kemerdekaan Indonesia adalah masalah bangsa Indonesia sendiri dan
tidak boleh di halang-halangi.
Dengan adanya pernyataan sikap itu dapat di ketahui bahwa bangsa
Indonesia memang sudah merdeka. Peristiwa ini di sambut gembira oelh para
pemuka masyarakat, tokoh, pemuda, dan lain-lain. Para pemuda mengadakan
rapat komolidasi pada siang hari tanggal 22 Agustus 1945 itu juga di Rumah Bari.
Tokoh-tokoh pemuda yang hadir dalam rapat itu adalah Maylan, Habibullah
Ashary, Abi Hasan Said, Mattjik Rosad, Adrian, Chodewy Amir, Amantjik,
Yunus S. , dan Baharuddinn.
Rapat itu membicarakan gerakan aksi massa yang perlu dilakukan untuk
mendukung pemenrintahan Republik Indonesia dengan penempelan pamflet
mengenai Indonesia merdeka dan pengibaran bendera Merah Putih di rumah
penduduk kota Palembang. Pamflet mengenai proklamasi itu di cetak melalui
percetakan K.A. Ebling dan di bagikan oleh Yunus Syamsuddin pada tanggal 24
Agustus 1945 kepada para pemuda yang bertugas.
Penempelan dan penyebaran pamflet titu dilakukan pada tengah malam
tanggal 24-25 Agustus 1945 oleh kelompok pemuda. Abi Hasan Said dan Rasyat
Narwawa melakukannya di daerah seberang Ulu, Kelompok Zailani di daerah
Sungai Buah, Habibullah Ashary di daerah Sekanak – Tangga Buntung,
Kelompok Chodewy Amir di pusat kota (15, 16, 17, 18, dan 19 Ilir sampai ke
Sekanak).
4
Informasi resmi tentang Proklamasi Kemerdekaan di terima para pemuka
masyarakat Palembang pada tanggal 24 Agustus 1945, setelah wakil-wakil dari
Sumatera yang duduk dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia di Jakarta,
yaitu M. Amir, Teuku Moh. Hasan, dan Abbas, tiba di Palembang. Ketiga orang
itu kemudian mengadakan pertemuan dengan pemimpin masyarakat Palembang,
yaitu A.K. Gani, M. Isa, Asari, Ibrahim, Mursodo, R.Z. Fanani, Abdul Rozak, dan
Nungtjik A.R. Dalam pertemuan itu utusan dari Jakarta itu menjelaskan bahwa
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia tidak ada kaitannya dengan Jepang dan
bahwa Undang- Undang Dasar (UUD) di tetapkan oleh Panitian Persiapan
Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Para utusan itu juga menjelaskan terbentuknya
Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP), susunan pemerintahan, serta usaha dan
cara pengambilalihan pemerintahan dari tangan Jepang.
Rakyat Palembang dan sekitarnya menyambut Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia dengan mengibarkan bendera merah putih pada empat tiang di atas
gedung Menara Air,yang sekarang di kenal sebagai kantor Walikota Palembang.
Upacara pengibaran bendera itu diawali oleh para pemuda dan rakyat Palembang
dengan mendatangi gedung Menara Air itu dengan tujuan meresmikan
kemerdekaan Indonesia dan sekaligus menunjukkan bahwa mereka mendukung
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Pengibaran dilakukan oleh bekas perwira
Gyugun, yaitu Hasan Kasim, Moh. Arif, Dani Effendi, R. Abdullah (Cek Syekh),
A. Rival, dan lain-lain, serta dibantu oleh para pemuda di bawah pimpinan
Mailan, Abi Hasan Said, Dan Bujang Yacob (Alamsyah Ratu Perwiranegara,
1985:26).
Keesokan harinya, tanggal 25 Agustus 1945, tiga orang pempimpin
masyarakat Sumatera Selatan, yaitu A.K. Gani, Tosio untuk memberikan
penjelasan tentang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Bersamaan dengan itu,
diumumkan kepada seluruh rakyat hal-hal mengenai Proklamasi, UUD, rencana
KNIP, dan pembentukan Badan-Badan Keamanan Rakyat.Kepada para pemimpin
masyarakat daerah lainnya (Lampung, Jambi dan Bengkulu) diinstruksikan agar
mengikat gerak langkah yang dilakukan di Palembang.\
5
2.2.Pembentukan dan Penyempurnaan Aparatur Pemerintah Sipil di
Sumatera Bagian Selatan.
2.2.1.Propinsi Sumatera Selatan
Pengambilalihan kekuasaan dari tangan Jepang bukan hal yang mudah.
Kekuasan militer Jepang yang masih sangat kuat dan teratur, lengkap dengan
segala alat senjata perang. Sejak diumumkannya penghentian perang oleh Jepang
pada tanggal 22 Agustus 1945. Jepang sejak hari pengumuman itu membakar
segala macam arsip dan memberhentikan pegawai-pegawainya dengan
memberikan hadiah berupa barang.kesibukan bertambah dengan pembubaran
pekerja-pekerja romusha,heiho,dan gyugun.setelah pusat pemerintahan sipil yang
dikuasai A.K gani terbentuk,keadaan dapat dikuasai. pada tanggal 23 agustus
pagi, A.K gani mengadakan pertemuan untuk menyusun konsep susunan
pemerintah indonesia. hadir dalam pertemuan ini adalah dr.M.Isa, Tjik den,
parmono, Ir.Ibrahim, R.M.Mursodo, H.Tjikwan, Abdulrozak, Rd.Hanan, Asari,
R.M.Utojo, R.Z.Fanani, dan Nungtjik AR. Konsep susunan Pemerintahan
Indonesia untuk daerah Keresidenan Palembang adalah sebagai berikut :
Kepala Pemerintah : A.K. Gani
Wakil Kepala Pemerintahan : Abdul Rozak
Kepala Kepolisan : Asaari dan Mursodo
Bagian Kemakmuran : Ir. Ibrahim
Bagian Penerangan : Nungtjik Ar
Kepala Urusan Minyak dan Pertambangan : Dr. M. Isa
Kepala Urusan Pemerintahan Umum : R.Z. Fanani dan H. Tjikwan
Kepala Urusan Pemerintahan Kota Palembang : Raden Hasan
Kepala Urusan Perhubungan (Pos dan Telegrap) : RM. Utoyo
6
Di kota palembang pasukan BKR dibawah pimpinan M.arief, joko, dan
Dani Effendi, yang dibantu oleh Raden Abdullah (tje’syeh),menyerbu gudang
tekstil, beras dan gula di jalan merdeka pada saat dikuasai oleh jepang. Dalam
penyerbuan gudang itu terdapat korban dari pihak pejuang republik indonesia
sebanyak 20 orang gugur dan 30 orang luka-luka. Pada pihak jepang terdapat 5
orang gugur dan 15 orang luka-luka
BKR dan barisan pejuang lasykar berhasil merampas tiga buah gerbong
kereta api dan menyerbuh gudang senjata Jepang yang ada di rumah Bari.
Beberapa markas Jepang berhasil diduduki oleh BKR walaupun mereka hanya
bersenjata pedang, tombak dan bambu runcing. Jiwa dan semangat mereka yang
berkobar-kobar membuat tentara Jepang penik. Beberapa tentara Jepang ditawan
oleh BKR. Selain BKR, terdapat pula baris pemuda Republik Indonesia (BPRI),
yang dibantuk pada tanggal 9oktober 1945, yang juga merebut senjata Jepang
(Dinas Sejarah Kodam II Bukit Barisan, 1948: 269)
2.3.Terbentuknya SUBKOSS Sumatera Selatan.
Dalam rangka penyusunan organisasi Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
maka pada bulan Desember 1945, dr. AK Gani -sebagai salah seorang tokoh
perjuangan nasional yang berkedudukan di Palembang- ditunjuk oleh markas
besar TKR di Yogyakarta sebagai koordinator pembentukan TKR seluruh pulau
Sumatera. Dengan wewenang yang ada, kemudian dr. AK Gani membentuk TKR
Komandemen Sumatera, berkedudukan di Bukit Tinggi, Sumatera Barat.
Bertindak sebagai Panglima dan Kepala Staf adalah : Mayor Jendral Soehardjo
Hardjowardojo dan M. Noeh.
Konferensi TKR di Bukit Tinggi pada tanggal 17 Mei 1946 memutuskan
bahwa kekuatan militer di Sumatera Selatan ( Sumsel ) adalah satu sub
komandemen, yaitu Sub Komandemen Sumatera Selatan ( Subkoss ) yang
membawahkan 2 divisi. Keputusan ini berlaku surut, yaitu sejak tanggal 1 Januari
1946. Divisi I Garuda Bermarkas di Lahat berkekuatan 4 resimen, yang
disebarkan di Bengkulu, Baturaja, Lahat dan Tanjung Karang. Divisi II bermarkas
7
di Palembang, Jambi dan Bangka. Dengan demikian tanggal ini merupakan titik
awal tersusunnya kesatuan-kesatuan perjuangan bersenjata dalam wilayah
Sumbagsel, sekaligus secara resmi menerima panji-panji TKR sebagai ikatan
korps di bawah naungan dan pengendalian satu komando.
Pada tanggal 10 Januari 1947, Subkoss dihapuskan. Sebagai gantinya,
semua kekuatan bersenjata bergabung dalam Divisi Garuda VIII, yang
membawahkan tiga resimen dan satu brigade pertempuran Garuda Merah,
ditambah satu batalyon istimewa. Markas Divisi ditetapkan berkedudukan di
Lahat. Untuk perang gerilya, diperlukan kekuatan berstruktur bersenjata.
Akibatnya, Divisi VIII diubah lagi menjadi Subkoss, yang terdiri dari 3 sub
teritorial. Markas Subkoss ditetapkan di Muara Beliti, sementara markas sub-sub
teritorial di Jambi, Palembang dan Tanjung Karang. Pada tanggal 17 Desember
1949, keberadaan sub-sub teritorial digantikan oleh sebuah brigade yang
membawahkan 5 batalyon infantri. Jambi dan Lampung masing-masing ditempati
oleh 1 batalyon, sementara Palembang dijatahkan 3. Pada awal tahun 1952,
brigade tersebut beralih rupa menjadi Teritorium II/ Sumatera, yang lebih dikenal
dengan sebutan TT II/Sriwijaya. Berdasarkan surat keputusan Kasad Nomor
Skep/953/10/1959 tanggal 25 Oktober 1959 dan keputusan Panglima Nomor
222/1/1961 tanggal 19 November 1961, Teritorium II/Sriwijaya berubah menjadi
Kodam IV/Sriwijaya. Dalam rangka reorganisasi ABRI, maka berdasarkan surat
keputusan Kasad Nomor 346/II/1985 tanggal 12 Februari 1985, Kodam
IV/Sriwijaya menjadi Kodam II/ Sriwijaya. Perubahan ini diresmikan di Jakarta
pada tanggal 9 April 1985, ditandai dengan penyerahan pataka Komando,
sedangkan daerah tanggung jawab meliputi wilayah Kodam IV/Sriwijaya. Markas
Kodam. ditetapkan berkedudukan di bekas Markas Kodam IV/Sriwijaya. Wilayah
Kodam II/Sriwijaya meliputi 4 daerah provinsi, yaitu Sumsel, Bengkulu, Jambi
dan Lampung yang masing-masing dibawahkan oleh 1 Komando Resort Militer.
Strukturnya adalah sebagai berikut :
Korem 041 Garuda Emas di Bengkulu
Korem 042 Garuda Putih di Jambi
8
Korem 043 Garuda Hitam di Lampung
Korem 044 Garuda Dempo di Palembang
2.4.Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang.
Setelah Perang Dunia II, Sekutu memboncengi NICA ke Indonesia dengan
maksud agar Belanda dapat kembali menguasai Indonesia. Konflik RI dan
Belanda semakin menimbulkan ketegangan. Para pasukan RI, lasykar dan rakyat
berusaha mempertahankan kemerdekaan yang telah dicapai pada 17 Agustus
1945. Usaha untuk mencapai kepentingan Belanda berlanjut dengan pertempuran
besar. Pertempuran besar yang menentukan antara lain Bandung Lautan Api,
Pertempuran Ambarawa, Medan Area, Puputan Margarana dan lain-lain. Di
Sumatera Selatan pun terjadi pertempuran besar yang dikenal dengan Pertempuran
Lima Hari Lima Malam di Palembang. pertempuran ini terjadi pada tanggal 1
hingga 5 Januari 1947.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang merupakan perang
tiga matra yang pertama kali kita alami, begitu pula pihak Belanda. Perang
tersebut terjadi melibatkan kekuatan darat, laut, dan udara. Belanda sangat
berkepentingan untuk menguasai Palembang secara total karena tinjauan Belanda
terhadap Palembang dari aspek politik, ekonomi dan militer. Dalam aspek politik,
Belanda berusaha untuk menguasai Palembang karena ingin membuktikan kepada
dunia internasional bahwa mereka benar-benar telah menguasai Jawa dan
Sumatera. Ditinjau dari aspek ekonomi berarti jika Kota Palembang dikuasai
sepenuhnya maka berarti juga dapat menguasai tempat penyulingan minyak di
Plaju serta Sei Gerong. Selain itu, dapat pula me- manfaatkan Palembang sebagai
pusat perdagangan karet dan hasil bumi lainnya untuk tujuan ekspor. Sedangkan
jika ditinjau dari segi militer, sebenarnya Pasukan TRI dan pejuang yang
dikonsentrasikan di Kota Palembang merupakan pasukan yang relatif mempunyai
persenjataan yang terkuat, jika dibandingkan dengan pasukan–pasukan yang
berada di luar kota. Oleh karena itu, jika Belanda berhasil menguasai Kota
Palembang secara total, maka akan mempermudah gerakan operasi militer mereka
9
ke daerah-daerah pedalaman. Peranan rakyat sangat besar dalam pertempuran
Lima Hari Lima Malam. Motivasi perjuangan rakyat Indonesia umumnya dan
khususnya para pejuang di daerah Sumatera Selatan yakni adanya “sense to be a
nation”, rasa harga diri sebagai suatu bangsa yang telah merdeka. Semboyan
“Merdeka atau Mati” yang berkumandang semasa periode Perang Kemerdekaan
adalah wujud usaha untuk menjaga agar tetap berdirinya Negara Republik
Indonesia.
2.4.1.Provokasi Belanda
Daerah Keresidenan Palembang pada masa-masa menjelang Pertempuran
Lima Hari Lima Malam memiliki keunikan tersendiri, bila dibandingkan dengan
daerah-daerah Indonesia lainnya yang telah diduduki oleh Sekutu (NICA), seperti
Medan, Padang, Jakarta, Bandung, dan lain-lainnya, yang masih terdapat
pemerintahan RI lengkap dengan pasukan, karena keberhasilan diplomasi yang
dilakukan oleh kepala pemerintahan setempat. Setelah Belanda menggantikan
Inggris di Palembang pada 24 Oktober 1946, Kolonel Mollinger menjadi
Komandan territorial Belanda untuk Sumatera Selatan (Palembang, Lampung,
Bangka, dan Jambi). Penyerahan pendudukan Inggris kepada Belanda
berlangsung pada 7 November 1946. Setelah menggantikan Inggris, Belanda
menuntut garis demarkasi yang lebih jauh. Untuk mencegah timbulnya insiden
dilakukanlah perundingan antara pihak Belanda dan RI pada tanggal November
1946.
Hal terpenting dari perundingan itu antara lain tentara Belanda tidak akan
memperluas atau melewati batas daerah yang diserahkan kepadanya oleh Inggris
dan akan memelihara status quo. Sementara itu di Palembang mulai dilakukan
pengembangan kekuatan militer oleh Pasukan TRI sedangkan, pihak Belanda giat
menyusun posisi dan memperkuat pasukannya di Palembang. Pada bulan
Desember 1946, pihak Belanda telah menyusun pasukan-pasukannya di Kota
Palembang dan sekitarnya. Kapal-kapal perang Belanda mulai melakukan
pencegahan terhadap lalu lintas pelayaran antara Palembang – Lampung – Jambi –
10
Singapura, yang bertujuan untuk mengadakan blokade ekonomi dan militer.
Blokade bertujuan agar hubungan timbal balik antara Jambi, Lampung,
Palembang dan Singapura terputus sehingga hasil bumi, barang kebutuhan hidup
dan senjata tidak dapat diimpor dan diselundupkan dari Singapura. Dr. A.K. Gani
melakukan kegiatan menembus blokade tersebut untuk memperkuat perjuangan
sehingga dia dijuluki “The biggest smuggler of South East”. Panglima Komando
Sumatera, Jenderal Mayor Suharjo Harjowardoyo mengeluarkan Perintah Harian
lewat corong Radio Republik Indonesia di Palembang pada akhir Desember 1946
yang ditujukan kepada pasukan-pasukan RI di daerah pendudukan Belanda di
Medan, Padang dan terutama yang di Palembang untuk selalu siap siaga dan
waspada menunggu instruksi dari pemerintahan pusat.
Pada tanggal 28 Desember 1946, seorang anggota Lasykar Napindo
bernama Nungcik ditembak mati karena melewati pos pasukan Belanda di
Benteng. Malam harinya Belanda melanggar garis demarkasi yang telah
ditentukan. Dua buah Jeep yang dikendarai oleh pasukan Belanda dari Talang
Semut melewati Jalan Merdeka, Jalan Tengkuruk (sekarang Jalan Sudirman),
Rumah Sakit Charitas sambil melepaskan tembakan-tembakan secara
membabibuta. Pancingan itu segera mendapat jawaban dari pasukan RI.
Meletuslah pertempuran yang berlangsung sekitar 13 jam lamanya. Setelah
terjadinya perang sekitar 13 jam, situasi Palembang dalam kondisi cease fire.
Insiden ini menunjukkan akan meletusnya perang yang lebih besar, karena
Belanda berusaha meningkatkan pertahanannya. Penghentian tembak-menembak
tersebut tidaklah berlangsung lama, Belanda kembali melanggar kesepakatan pada
29 Desember 1946, berupa terjadinya penembakan terhadap Letnan Satu A.
Riva’i, Komandan Datasemen Divisi Dua, yang mengendarai sepeda motor
Harley Davidson saat sedang melakukan inspeksi kepada pasukan-pasukan dan
pos-pos pertahanan TRI-Subkoss/ Lasykar. Ketika melintas di depan Charitas, ia
ditembak dengan senjata otomatis oleh pasukan belanda yang berada di Charitas.
Letnan Satu A. Riva’i berhasil menyelamatkan diri walaupun tembakan itu tepat
mengenai perutnya.
11
Provokasi Belanda terus terjadi pada 31 Desember 1946 menyebabkan
insiden dengan pihak TRI yang sifatnya sporadis. Belanda melakukan konvoi dari
Talang Semut menuju arah Jalan Jenderal Sudirman. Mobil tersebut melaju
dengan kencang dan melepaskan tembakan-tembakan. Kontak senjata tidak
terelakkan di depan Masjid Agung dan sekitar rumah penjara Jalan Merdeka.
Pasukan TRI melakukan pengepungan dan serangan terhadap kekuatan Belanda di
Charitas sehingga tidak mungkin Belanda untuk keluar dan meneriman bantuan
dari luar. Akhirnya Belanda meminta bantuan Panglima Divisi II (Kol. Hasan
Kasim) dan Gubernur Sumatera Selatan (dr. M. Isa) untuk penghentian tembak-
menembak (cease fire).
Tujuan dilakukan penghentian tembak-menembak bagi Belanda adalah
untuk menyusun kembali kekuatan tempurnya. Sebelum Belanda melakukan
serangan udara itu memakan waktu yang relatif singkat, yaitu beberapa jam
sebelum matahari terbenam menjelang malam. Belanda melakukan penembakan
dengan mortir ke tempat dimana Pasukan TRI/ Lasykar berada yaitu di Gedung
Perjuangan (sekarang Pusat Perbelanjaan Bandung), di daerah dekat Sungai
Jeruju, daerah Tangga Buntung dan sebagainya. Dengan demikian telah berakhir
kesepakatan penghentian tembak-menembak oleh Belanda. Insiden-insiden yang
terjadi pada akhir tahun 1949 tersebut menjadikan situasi di Kota Palembang dan
sekitarnya menjadi panas (Perwiranegara, 1987 : 58). Insiden yang terjadi
sesungguhnya adalah cara Belanda untuk memicu keributan dengan tujuan agar
terjadi pertempuran yang lebih besar. Pada hari Rabu, tanggal 1 Januari 1947,
sekitar pukul 05.30 pagi, sebuah kendaraan Jeep yang berisi pasukan Belanda
keluar dari Benteng dengan kecepatan tinggi. Mereka melampaui daerah garis
demarkasi yang sudah disepakati. Ternyata mereka mabuk setelah pesta semalam
suntuk merayakan datangnya tahun baru. Kendaraan Jeep itu melintasi Jalan
Tengkuruk membelok dari Jalan Kepandean (sekarang Jalan TP. Rustam Efendi)
lalu menuju Sayangan, kemudian melintasi ke arah Jalan Segaran di 15 Ilir, yang
banyak terdapat markas pasukan RI/ Lasykar seperti Markas Napindo, Markas
12
TRI di Sekolah Methodist, rumah kediaman A.K. Gani, Markas Divisi 17
Agustus, Markas Resimen 15 dan markas Polisi Tentara.
Pada kesempatan yang sama para pemimpin milter dan lasykar
mengadakan rapat komando untuk menentukan sikap dalam menghadapi
provokasi Belanda. Rapat dihadiri pimpinan pemerintah sipil Gubernur Muda M.
Isa. Dalam rapat tersebut, Panglima Divisi II Kolonel Bambang Utoyo, Gubernur
Muda M. Isa maupun Panglima Lasykar 17 Agustus, Kolonel Husin Achmad
menyatakan bahwa dalam menghadapi provokasi Belanda, pihak RI bertindak
tidak lagi sekedar membalas serangan, melainkan harus berinisiatif untuk
menggempur semua kedudukan dan posisi pertahanan Belanda di seluruh sektor.
Kepala staf Divisi II, Kapten Alamsyah, mengeluarkan perintah “Siap dan Maju”
untuk bertempur menghadapi Belanda.
2.5.Front Pertempuran Lima Hari Lima Malam
2.5.1.Front Seberang Ilir Timur
Front Seberang Ilir Timur meliputi kawasan mulai dari Tengkuruk sampai
RS. Charitas – Lorong Pagar Alam – Jalan Talang Betutu – 16 Ilir – Kepandean –
Sungai Jeruju – Boom Baru – Kenten. Pertempuran pertama terjadi pada hari
Rabu tanggal 1 Januari 1947. Belanda melancarkan serangan dan tembakan yang
terus menerus diarahkan ke lokasi pasukan RI yang ada di sekitar RS. Charitas.
RS. Charitas berada di tempat yang strategis karena berada di atas bukit sehingga
menjadi basis pertahanan yang baik bagi Belanda. Daerah Front Seberang Ilir
(RS. Charitas) menjadi tanggung jawab dari Komandan Resimen Mayor Dani
Effendi. Basis strategi pertahanan di Front Seberang Ilir Timur terutama berlokasi
di depan Masjid Agung, simpang tiga Candi Walang, Pasar Lingkis (sekarang
Pasar Cinde), Lorong Candi Angkoso dan di Jalan Ophir (sekarang Lapangan
Hatta). Dibawah pimpinan Mayor Dani Effendi, Pasukan TRI melancarkan
serangan ke Rumah Sakit Charitas dan daerah di Talang Betutu. Serangan ini
dilakukan bersama dengan satu kompi dan batalyon Kapten Animan Akhyat yang
bertahan di simpang Jalan Talang Betutu (Perwiranegara, 1987 : 67). Tujuan
13
serangan ini adalah untuk memblokir bantuan Belanda yang datang dari arah
Lapangan Udara Talang Betutu menuju arah Palembang dan untuk menghalangi
hubungan antara pusat pertahanan Belanda di RS. Charitas dengan Benteng.
Pada sore harinya, pihak Belanda telah mengerahkan pasukan tank dan
panser untuk menerobos pertahanan dan barikade Pasukan TRI di sepanjang Jalan
Tengkuruk. Mereka kemudian berhasil menduduki Kantor Pos dan Kantor
Telepon melalui perlawanan seru dari Pasukan TRI. Dengan berhasilnya Belanda
menduduki kantor Telepon, maka hubungan melalui alat komunikasi menjadi
terputus secara total. Setelah itu, Belanda memperluas gerakannya hingga
menduduki Kantor Residen dan Kantor Walikota. Pasukan TRI yang berada di
daerah tersebut mengundurkan diri ke Jalan Kebon Duku dan Jalan Kepandean
sedangkan di RS. Charitas, kekuatan Belanda semakin terdesak karena serangan
dari Pasukan TRI.
Pada pertempuran hari kedua, konsentrasi pasukan terutama diarahkan
terhadap pasukan dan pertahanan Belanda di RS. Charitas. Namun, Belanda
berhasil menerobos lini Talang Betutu setelah terlebih dahulu berhadapan dengan
Lettu Wahid Uddin bersama Kapten Animan Achyat. Belanda telah memperkuat
tempat-tempat yang telah mereka kuasai, terutama di depan Masjid Agung.
Sementara itu, kapal-kapal perang (korvet) Belanda mulai bergerak hilir mudik di
Sungai Musi sambil menembakkan peluru mortirnya ke segala arah. Secara
spontanitas, rakyat dan pemuda di dalam kota dan luar kota turut serta bertempur
melawan Belanda. Mobilisasi umum di kalangan masyarakat agraris-tradisional
terus berlangsung untuk menghadapi Belanda. Melihat kemajuan-kemajuan di
pihak kita, Belanda pun segera mengadakan pengintaian, bahkan melakukan
tembakan dari udara terhadap kereta api yang membawa bahan makanan, bantuan
dari Baturaja, Lubuk Linggau dan Lahat, Rakyat yang berada di Front Seberang
Ilir menjadi sangat menderita karena keterbatasan kesediaan pangan akibat Sungai
Musi dikuasai Belanda dan penembakan kereta api.
14
Oleh karena lokasi Markas Besar Staf Komando Divisi II tidak lagi aman,
maka dipindahkan dari Sungai Jeruju ke daerah Kenten, tepatnya di Jalan Duku.
Hal ini disebabkan karena Belanda terus-menerus melakukan pengintaian dan
pengeboman terhadap markas-markas Pasukan TRI/ Lasykar. Keberhasilan
pengeboman jarak jauh yang dilakukan oleh Belanda tidak terlepas dari peranan
para pengintai atau mata-mata. Ternyata dalam pemeriksaan dan interogerasi yang
dilaksanakan, memberi banyak petunjuk bahwa pihak Belanda secara licik
menggunakan warga kota keturunan Tionghoa sebagai informan mereka,
disamping sebagai pelayan kegiatan ekonomi bagi kepentingan Belanda. Kapten
Alamsyah Ratu Perwiranegara menilai bahwa kasus mata-mata ini sangat sensitif,
ia segera memerintahkan Letnan Dua Asmuni Nas untuk merazia dan menyita
semua telepon yang digunakan oleh keturunan Tionghoa di sepanjang Pasar 16
Ilir.
Pertempuran ketiga berlangsung pada hari Jum’at, tanggal 3 Januari 1947.
Saat itu, Kolonel Mollinger memerintahkan angkatan perangnya (Darat, Laut dan
Udara) untuk menghancurkan semua garis pertahanan Pasukan TRI/ Lasykar. Ini
menunjukkan terjadinya konsep perang tiga matra yang dilakukan Belanda di
Palembang. Berdasarkan perintah tersebut, maka konvoi kendaraan berlapis baja
keluar dari Benteng menuju RS. Charitas menerobos Jalan Tengkuruk,
melepaskan tembakan di sekitar Masjid Agung dan Markas BPRI. Gerakan
penerobosan Belanda ke Charitas itu dihambat oleh pasukan kita yang berada di
Pasar Cinde dengan ranjau-ranjau, namun gagal karena ranjau-ranjau tersebut
gagal meledak. Akibatnya Pasar Lingkis (Cinde) dapat dikuasai oleh musuh. Tapi,
sore harinya pasar itu dapat dikuasai kembali oleh pasukan kita (Resimen XVII).
senjata dan amunisi yang dimiliki pasukan RI jumlahnya terbatas, dan sebagian
besar senjata yang digunakan oleh pasukan kita banyak yang telah tua (out of
date) sebagai hasil rampasan dari serdadu Jepang (Abdullah, 1996 : 43). Sampai
hari ketiga, keadaan Palembang sebenarnya sudah parah. Hampir seperlima kota
telah hancur terkena serangan bom dan peluru mortir Belanda.
15
Kehancuran Kota Palembang karena bom-bom Belanda tersebut ditambah lagi
dengan adanya aksi bumi hangus, seperti jembatan kayu di 24 Ilir, atas perintah
Kepala Pertahanan Divisi II, Kapten Alamsyah. Pembongkaran ini dimaksudkan
agar jembatan tidak digunakan oleh Belanda untuk menerobos dari arah Bukit
Kecil menuju Charitas. Bahkan, perintah yang benar-benar ditakuti oleh Belanda
adalah “aksi bumi hangus Plaju dan Sungai Gerong”.
Pada pertempuran keempat (4 Januari 1947), Belanda memfokuskan
pertahanan di Plaju. Sehingga pasukan Mayor Dani Effendi berhasil
memanfaatkan situasi tersebut untuk menguasai Charitas dan sekitarnya.
Akibatnya pasukan Belanda mulai terdesak. Pasukan TRI berhasil mendekati
gudang amunisi di RS. Charitas dan menembak serdadu Belanda yang berusaha
mendekati gudang tersebut.
Pada 5 januari 1947, pihak Belanda dapat menguasai beberapa tempat
dengan bantuan kapal-kapal perang yang hilir mudik di Sungai Musi dan pesawat
terbang yang menjatuhkan bom-bom ke arah posisi Pasukan TRI. Namun
demikian pasukan Belanda mengalami keadaan yang sama dengan Pasukan TRI
yaitu letih, kurang tidur dan merasa stress, sedangkan Pasukan TRI telah banyak
menderita kerugian baik dari materi ataupun yang gugur dan luka-luka.
2.5.2.Front Seberang Ilir Barat
Front Seberang Ilir Barat meliputi kawasan mulai dari 36 Ilir yaitu
meliputi Tangga Buntung – Talang – Bukit Besar – Talang Semut – Talang
Kerangga – Emma Laan – Sungai Tawar – Sekanak – Benteng. Markas Batalyon
32 Resimen XV Divisi II dipimpin Makmun Murod yang berada di Front
Seberang Ilir Barat, yaitu di Sekanak. Komandan Resimen XV dan Komandan
Batalyon 32/XV beserta para perwira yang berada di markas, sibuk mengatur
pertahanan dan merencanakan untuk menyerang benteng-benteng pertahanan
Belanda. Suara tembakan yang saling bersahutan sudah semakin gencar diselingi
oleh dentuman senjata-senjata berat yang ditembakkan dari pos-pos dan gedung-
16
gedung pertahanan Belanda ke arah kubu pertahanan Pasukan TRI dan barisan
pertahanan rakyat.
Pada pertempuran yang terjadi pada tanggal 1 Januari 1947, pasukan-
pasukan disekitar belakang Benteng mulai terdesak lalu mengundurkan diri ke
sekitar Jalan Kelurahan Madu dan Jalan Kebon Duku. TRI/ Lasykar yang
berlokasi di Bukit terpaksa mengubah taktik yaitu memencarkan diri masuk ke
kampung-kampung di sekitar Bukit Siguntang dan sekitarnya. Tindakan ini
dilakukan untuk mencegah pasukan Belanda yang akan menerobos ke 35 Ilir.
Karena apabila pasukan Belanda yang akan beroperasi di 36 Ilir, Suro, 29 Ilir dan
Sekanak akan terkepung. Usaha Pasukan TRI dibawah pimpinan Mayor Surbi
Bustan dilakukan untuk menyerang Gedung BPM Handelszaken. Serangan ini
dibantu oleh Kapten Makmun Murod, Letnan Satu Asnawi Mangkualam dan
Kapten Riyacudu. Dalam pertempuran tersebut, seorang prajurit yang diketahui
pemuda keturunan Tionghoa, Sing, tertembak dan gugur.
Belanda dengan menggunakan kendaraan berlapis baja dan persenjataan
modern berhasil menguasai Kantor Pos, Kantor Telegraf, Kantor Residen, Kantor
Walikota dan disekitar Jalan Guru-guru di 19 Ilir. Secara keseluruhan,
pertempuran pada hari pertama tersebut, inisiatif sepenuhnya berada di tangan
Pasukan TRI dan pejuang. Belanda dengan segala kemampuannya berusaha
mempertahankan pos-pos pertahanan dan kedudukannya sambil terus
melancarkan tembakan-tembakan ke arah pasukan yang menyerang. Pasukan
Belanda boleh dikatakan tidak berani keluar dari kubu pertahanannya, terutama
yang berkedudukan di Seberang Ilir, karena gencarnya serangan Pasukan TRI dan
Lasykar. Pasukan Belanda hanya membalas tembakan dari tempat perlindungan,
dengan memuntahkan peluru mortir dan dengan tembakan howitzer untuk sasaran
jarak jauh. Belanda menerapkan sistem pertahanan saling dukung antar pos-pos
mereka. Jika satu tempat pertahanan terkepung oleh Pasukan TRI, maka dalam
waktu singkat akan mendapat bantuan dari kubu pertahanan Belanda lainnya.
Bantuan sering berupa tembakan, mortir atau howitzer atau dukungan tembakan
dari kapal perang De Ruiter. Kapal Belanda memang hilir mudik di sungai Musi,
17
khususnya jenis korvet. Pada pertempuran hari kedua, Belanda menembakkan
mortirnya dengan membabibuta ke arah Sekanak sampai ke Tangga Buntung.
Tujuan utama adalah menembaki markas batalyon dan pos-pos pertahanan TRI
dan rakyat yang terdapat antara Sekanak sampai Tangga Buntung. Tidak dapat
dihindari lagi peluru tersebut telah mengenai daerah pemukiman penduduk.
Gencarnya tembakan yang dilakukan Belanda dari benteng pertahanan dan yang
dilakukan Belanda dari benteng pertahanan dan pesawat udara pada 2 Januari
1947 menyebabkan staf Komando Batalyon 32/ XV oleh Mayor Zurbi Bustan
bersama Kapten Makmun Murod dipindahkan ke Talang. Daerah Suro dan Talang
Kerangga pada saat itu tidak luput dari sasaran musuh.
Dengan dorongan semangat dan do’a, Pasukan TRI tetap berusaha untuk
mempertahankan diri. Penambahan pasukan terjadi melalui bantuan Batalyon
Ismail Husin dari Lampung yang berhasil menyeberang melalui Tangga Buntung.
Rakyat atau penduduk sipil pun ikut serta memberi bantuan tenaga.keterbatasan
senjata tidak membuat pasukan kita menyerah. “Molotov” adalah bensin yang
dimasukkan yang dimasukkan ke dalam botol dicampur dengan karet untuk
kemudian diberi sumbu menjadi alat yang sangat efisien. Kapten Alamsjah
memerintahkan Sersan Mayor M. Amin Suhud untuk mencuri persediaan bensin
Belanda yang akan digunakan untuk membuat bom molotov. Sersan Mayor M.
Amin Suhud berhasil mendapatkan bensin d markas Kesulitan bahan makanan
dialami oleh Front Seberang Ilir Barat karena blokade yang dilakukan oleh
Belanda. Dalam kondisi demikian, bantuan bahan makanan dari dapur umum di
garis belakang yang dikirimkan oleh ibu-ibu dan remaja puteri sangat berarti.
Begitu pula peran anggota Palang Merah Indonesia (PMI) dan PPI (Pemuda Putri
Indonesia) yang mengurus korban pertempuran dan mengurus bahan makanan.
Pada hari ketiga, pertempuran tiga matra yang dilakukan oleh Belanda
semakin aktif, setelah dikeluarkan perintah oleh Kolonel Mollinger untuk
menghancurkan garis pertahanan RI di Emma Laan (Jalan Kartini) dan Sekolah
MULO Talang Semut. Pasukan TRI dibawah pimpinan Letda Ali Usman berhasil
menghancurkan sekitar 3 regu Pasukan Belanda yaitu Pasukan Gajah Merah
18
(Perwiranegara, 1987 : 75). Belanda tidak tinggal diam, segera membalas
serangan di Emma Laan. Sehingga pada pertempuran hari keempat, Satbtu tanggal
4 Januari 1947, Pasukan TRI/ Lasykar terdesak sehingga mundur ke arah Kebo
Gede, Talang dan Tangga Buntung.
Sebagai resiko perjuangan dari bangsa yang baru merdeka, maka setiap
gerakan pasukan musuh berakibat pada pemindahan dislokasi pasukan. Walaupun
situasi pertempuran selalu dilaporkan kepada komando pertempuran. Namun
laporan tersebut mengalami keterlambatan akibat sulitnya hubungan komunikasi.
Pada hari kelima pertempuran di Front Seberang Ilir Barat terus berlangsung,
walaupun Pasukan TRI/ Lasykar dan rakyat mulai menampakkan keletihan dan
pengiriman makanan dari dapur umum mulai tidak teratur lagi akibat blokade
Belanda. Sebenarnya blokade ini juga berdampak pada pihak Belanda juga karena
bahan makanan dari luar kota sulit masuk ke Kota Palembang.
2.5.3. Front Seberang Ulu
Front Seberang Ulu meliputi kawasan mulai dari 1 Ulu Kertapati sampai
Bagus Kuning, selanjutnya meliputi kawasan Plaju – Simpang Kayu Agung –
Sungai Gerong. Untuk tanggung jawab pertahanan dan keamanan di daerah
Palembang Ulu dibebankan kepada Batalyon 34 Resimen XV dengan Komandan
Batalyon Kapten Raden Mas yang bermarkas di sekolah Cina 7 Ulu (sekarang
SHD), yang melakukan perlawanan di Kertapati sampai Plaju. Pada awal
pertempuran taanggal 1 Januari 1947, tembakan mortir dari pasukan Belanda yang
berada di Bagus Kuning, Plaju dan Sungai Gerong terus ditujukan ke markas
batalyon yang dipimpin Kapten Raden Mas. Namun demikian, kapal perang
Belanda yang berada di Boom Plaju atau Sungai Gerong belum dapat bergerak
leluasa, karena dihambat oleh pasukan ALRI di Boom Baru. Lokasi di perairan
Sungai Musi sebelum pertempuran merupakan salah satu tempat berlangsungnya
aktivitas perekonomian. Namun ini berbeda pada hari pertama pertempuran.
Motorboat milik Belanda melaju dari arah Plaju menuju Boom Yetty yang diduga
membawa bahan persenjataan pasukan Belanda, Pasukan TRI berusaha
19
menyerang namun tidak berhasil. Kompi I yang berkedudukan di Jalan Bakaran
Plaju, dipimpin Lettu Abdullah di Jalan kayu Agung dan Sungai Bakung diberi
tugas untuk menghadapi Belanda. Begitu juga Kompi II yang dipimpin Letda.
Sumaji bertugas menghadapi Belanda di Bagus Kuning dan Sriguna sedangkan
Kompi II dibawah pimpinan Letda Z. Anwar Lizano bertugas menghadapi
Belanda di pinggir Sungai Musi yang letaknya sejajar dengan Boom Yetty sampai
Pasar 16 Ilir. Pertempuran yang telah terjadi menimbulkan semangat patriotisme
di kalangan Pasukan TRI. Bantuan pasukan segera menuju Palembang. Letkol
Harun Sohar telah melepaskan pemberangkatan pasukannya menuju Kertapati dan
Lahat dengan menggunakan kereta api.
Kelelahan pasukan Belanda dimanfaatkan oleh Letnan Dua S. Sumaji yang
merencanakan serbuan dini hari, pada tanggal 2 Januari 1947. Pasukannya dibantu
dari Lasykar Pesindo, Napindo dan Hizbullah. Penyerbuan tersebut membuahkan
hasil. Pasukan TRI/ Lasykar dapat menguasai gudang-gudang persenjataan
musuh. Dalam pendudukan tersebut, TRI berhasil merampas persenjataan musuh
sedangkan pasukan Belanda mengundurkan diri ke kapal-kapal perang mereka.
Bendera Belanda si tiga warna yang terpancang di depan asrama telah diturunkan,
kemudian dirobek warna birunya dan dinaikkan kembali dalam keadaan si
Dwiwarna, Sang Saka Merah Putih. Namun kemenangan ini tidak berlangsung
lama pasukan Belanda kemudian melepaskan tembakan-tembakan mortir ke arah
kedudukan Pasukan TRI/ Lasykar. Setelah Komandan Mollinger mengeluarkan
perintah kepada seluruh unsur kekuatan darat, laut dan udara. Belanda untuk
meningkatkan gempuran dan berusaha menerobos setiap garis pertahanan TRI dan
badan-badan perjuangan rakyat. Pesawat-pesawat terbang dan kapal-kapal perang
Belanda semakin menggiatkan aksinya, terutama di daerah-daerah yang menjadi
tempat bertahan pasukan-Pasukan TRI yang berada di Seberang Ulu dan Ilir.
Kapal perang jenis korvet menembakkan mesin ke sepanjang Sungai Musi
terutama di pos-pos pertahanan RI, terutama yang berlokasi di sekitar 7 Ulu.
20
Akibatnya Pasukan TRI dan Lasykar terpaksa membalas dengan
menggunakan senjata bekas persenjataan Jepang, yaitu meriam pantai milik
Kompi III Batalyon 34 di 7 Ulu di tepi Sungai Musi. Dengan menggunakan
senjata seperti itu, pasukan Hisbullah dibawah pimpinan Letkol (Lasykar) M. Ali
Thoyib berhasil menembak sebuah motorboat Belanda yang sedang mengangkat
amunisi milik Belanda dari Plaju menuju ke Benteng. Serangan terhadap
motorboat Belanda mengakibatkan kemarahan pasukan Belanda. Mereka
membalas dengan mengirim pesawat Mustang dan secara terus-menerus
menghujani basis pasukan di 7 Ulu dengan tembakan bertubi-tubi selama dua jam.
Hal ini menimbulkan korban yang besar di kalangan Pasukan TRI/ Lasykar dan
rakyat. Bantuan terhadap pasukan di Front Seberang Ulu datang dari Lahat dan
Baturaja dikirim ke Bagus Kuning.
Pada tanggal 4 Januari 1947 di Front Seberang Ulu pasukan Belanda
semakin memperhebat tekanannya terhadap pasukan RI sehingga pasukan TRI
yang berada di Bagus Kuning mengundurkan diri ke 16 Ulu. Kapal-kapal perang
Belanda melakukan patroli mulai dari perairan Sungai Gerong di bagian Hilir
sampai ke perairan Kertapati Keramasan di bagian Hulu. Pada hari kelima,
tanggal 5 Januari 1947, pasukan kita dalam keadaan lelah, sekalipun hal itu tidak
mengendorkan semangat perjuangan
2.6.Upaya Perundingan dan Pengakhiran Pertempuran
Sejak tanggal 4 Januari 1947 di Kota Palembang telah menerima
kedatangan Kapten A.M. Thalib, utusan Panglima Divisi II Bambang Utoyo, yang
mengabarkan tentang keinginan Mollinger untuk berunding. Ternyata Gubernur
Muda telah menerima berita dari Jakarta lewat telegram yang diterima oleh
pemancar darurat dibawah pimpinan Herry Salim, bahwa akan datang ke
Palembang secepatnya Dokter Adnan Kapau Gani sebagai utusan pemerintah
pusat untuk melakukan perundingan gencatan senjata dengan pihak Belanda.
21
Perundingan yang dilakukan oleh pihak RI dikarenakan ada kepentingan
strategis dengan alasan, pertama, mencegah korban lebih banyak; kedua, kita
perlu mengadakan konsolidasi kekuatan kembali; ketiga, dari segi politis akan
membelikan gambaran kepada dunia internasional bahwa RI cinta perdamaian,
sekaligus menegaskan bahwa pemerintah pusatnya dipatuhi oleh daerah-daerah.
Perhitungan yang melandasi untuk berunding dari pihak RI adalah berdasarkan :
Pertama, perjuangan kemerdekaan akan memakan waktu cukup lama, mungkin
bertahun-tahun.
Kedua, hampir 60% pasukan RI di Sumatera Selatan berada di Kota Palembang,
bila sampai bertempur habis-habisan akan memperlemah kekuatan pada masa
selanjutnya.
Setelah itu, ditetapkan tiga orang delegasi yang akan melakukan penjajakan
perundingan. Mereka adalah dr. M. Isa, Gubernur Muda Sumatera Selatan yang
mewakili Pemerintahan Sipil; Mayor M. Rasyad Nawawi, Kepala Staf Divisi
Garuda II yang mewakili pasukan-pasukan dari Komando Pertempuran dan
Komisaris Besar Polisi Mursoda, yang mewakili Kepolisian (Parikesit, 1995 : 69).
Perundingan antara RI – Belanda dilaksanakan pada tanggal 5 Januari
1947 di Rumah Sakit Charitas. Formasi delegasi pun ditambah dengan Kolonel
Bambang Utoyo, Komandan Divisi Garuda II, yang ditunjuk sebagai Ketua dan
Mayor Laut A.R. Saroingsong. Pertemuan dengan pihak Belanda sebenarnya telah
mereka nanti-nantikan, sebab posisi Belanda benar-benar terjepit dan belum bisa
mengadakan link up. Mereka masih terkurung dalam kubu per kubu yang terpisah
satu sama lainnya.
Dalam perundingan tersebut pihak Belanda menuntut Kota palembang
dikosongkan dari seluruh Pasukan TRI. Namun hal itu ditolak oleh delegasi RI.
Pihak RI bersedia menarik TRI dan Lasykar dari kota, tapi ALRI, Kepolisian dan
Pemerintahan Sipil tetap berada di dalam kota. Dengan alasan bahwa ALRI tidak
mempunyai hubungan dengan Angkatan Darat. Adapun maksud tersembunyi
adalah pasukan ALRI yang tinggal di kota Palembang akan menjadi penghubung
22
dan mata-mata, disamping polisi dan Pemerintahan Sipil, guna mengawasi
kegiatan Belanda. Akhirnya pertempuran Lima Hari Lima Malam diakhiri dengan
gencatan senjata (cease fire) antara kedua belah pihak, dimana TRI/ lasykar harus
keluar dari Kota Palembang sejauh 20 Kilometer kecuali Pemerintahan Sipil RI
dan ALRI masih tetap berada di dalam kota. Sedangkan pos-pos Belanda hanya
boleh sejauh 14 km dari pusat kota. Jalan raya di dalam kota dijaga pasukan
Belanda dengan rentang wilayah 3 km ke kiri dan kanan jalan. Hasil perundingan
ini selanjutnya segera disampaikan ke markas besar TRI di Yogyakarta.
23
BAB III
PENUTUP
3.1.Kesimpulan
Setelah Proklamsi Kemerdekaan tahun 1945. Rakyat Palembang dan
sekitarnya menyambut Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dengan mengibarkan
bendera merah putih pada empat tiang di atas gedung Menara Air,yang sekarang
di kenal sebagai kantor Walikota Palembang. Upacara pengibaran bendera itu
diawali oleh para pemuda dan rakyat Palembang Konferensi TKR di Bukit Tinggi
pada tanggal 17 Mei 1946 memutuskan bahwa kekuatan militer di Sumatera
Selatan ( Sumsel ) adalah satu sub komandemen, yaitu Sub Komandemen
Sumatera Selatan ( Subkoss ) yang membawahkan 2 divisi. Kemudian Belanda
datang kembali untuk melakukan Agresi Militer Belanda I. Untuk melawan
Belanda Rakyat Palembang melakukan perlawanan dengan melakukan
Pertenpuran Lima Hari Lima Malam.
Pertempuran Lima Hari Lima Malam merupakan upaya yang dilakukan
oleh Pasukan TRI, lasykar dan rakyat untuk mempertahankan kemerdekaan di
Kota Palembang. Dalam pertempuran itu, pihak lawan menguasai udara dan
perairan (air and sea superioritary). Karena superioritas itulah mereka dapat
bertahan dan disinilah pula terletak kelemahan kita serta tidak mempunyai
perhubungan yang modern. Pertempuran Lima Hari Lima Malam di Palembang
merupakan pertempuran tiga matra dan perang terbesar dan terlengkap yang
pertama kali kita alami. Namun pihak kita hingga akhir pertempuran masih dapat
bertahan berkat semangat pengorbanan jiwa, jihad dan patriotisme yang besar dari
para pejuang dan rakyat.
24
DAFTAR PUSTAKA
Hanafiah, Djohan,dkk. 2001.Sejarah Perjuangan Kemerdekaan di Kota
Palembang. Palembang
Team VII dan Cabang Angkatan di Kota Madya Palembang. 1982. Peristiwa
Pengibaran tanggal 6 September 1945 di Gedung Menara Air Palembang.
Palembang
Yusuf, Syafruddin,M.Pd. dkk. 2003.Sejarah dan Peranan SUBKOSS Dalam
Perjuangan Rakyat SUBAGSEL (1945 – 1950). Palembang : CV. Komring Jaya
Putra
2013.http://forum.detik.com/sejarah-beberapa-sudut-palembang-saat-perang-5-
hari-5-malam-t72949.html, di akses tanggal 27 Mei 2013 (Sumber dari Internet)
2013.http://www.geocities.ws/Pentagon/7226/ididko23.htm, di akses tanggal 27
Mei 2013 (Sumber dari Internet)
25