View
2
Download
0
Category
Preview:
Citation preview
i
KONSEP AKHLAK DALAM KITAB AYYUHAL WALAD DAN
RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN
KARAKTER ANAK USIA DINI
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Disusun Oleh:
Leli Romdaniah (11160184000013)
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ISLAM ANAK USIA DINI
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1443 H / 2022 M
i
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI
Skripsi berjudul KONSEP AKHLAK DALAM KITAB AYYUHAL WALAD DAN
RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER ANAK USIA DINI
disusun oleh Leli Romdaniah, NIM. 11160184000013, Program Studi Pendidikan Islam
Anak Usia Dini, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta. Telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang
berhak untuk diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.
Jakarta, 22 Desember 2021
Yang mengesahkan,
Dosen Pembimbing
Dr. Azkia Muharom Albantani, M.Pd.I
NIDN. 2025079101
iv
KEMENTERIAN AGAMA
FORM (FR)
No. Dokumen : FITK-FR-AKD-081
UIN JAKARTA Tgl. Terbit : 1 Maret 2010
FITK No. Revisi: : 01
Jl. Ir. H. Juanda No 95 Ciputat 15412
Indonesia Hal : 1/1
SURAT PERNYATAAN PROGRAM STUDI
Ketua/Sekretaris Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini
Menyatakan bahwa,
Nama : Leli Romdaniah
NIM : 11160184000013
Prodi : Pendidikan Islam Anak Usia Dini
Semester : XI (Sebelas)
Benar telah menyelesaikan semua Program Akademik sesuai ketentuan yang berlaku dan
berhak untuk menempuh Ujian Skripsi (Munaqasah).
Jakarta, 30 Maret 2022
Mengetahui,
Penasehat Akademik,
Dr. Azkia Muharom Albantani, M.Pd.I
NIDN. 2025079101
Ketua/Sekretaris Prodi
Dr. Siti Khodijah, MA
NIP. 19700727 199703 2 004
v
ABSTRAK
Leli Romdaniah. (1160184000013). Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia
Dini, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan. Konsep Moral dalam Kitab Ayyuhal
Walad dan Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter Anak Usia Dini.
Betapa pentingnya pendidikan moral terhadap anak usia dini. Ada kisah yang
menarik bagi saya ketika mendengarkan cerita seorang ibu yang setia mengantarkan
anaknya ke sekolah, beliau menceritakan bahwa anaknya semenjak sekolah mengalami
banyak perubahan terutama terhadap perilaku dirumahnya dan berteman dengan teman-
temannya. Saat kakanya marah pada adiknya, adiknya langsung berkata kaka “kata ibu
guruku La taghdob walakal Jannah, kalo kita marah kita harus baca taawudz”. Fokus
penelitian, dalam penulisan skripsi ini penulis memfokuskan kepada masalah Pendidikan
Moral Anak Dini menurut Imam Al-Ghazali, yang metodenya adalah penelitian
kepustakaan (Library Reseacrh). Subjek peneliti ini adalah Pendidikan Akhlak menurut
Imam al-Ghozali. Dalam menganalisa data yang telah terkumpul penulis menggunakan
teknik deskriptif analisis, yaitu teknik analisis data yang menggunakan menafsirkan serta
mengklasifikasikan dengan membandingkan fenomena-fenomena pada masalah yang
diteliti melalui langkah mengumpulkan data, menganalisa data dan menginterpretasi data
dengan metode berpikir deduktif dan induktif. Setelah dianalisis maka dipadukan kembali
unsur-unsur tersebut untuk mencapai suatu kesimpulan. Kitab Ayyuhal Walad ini ditulis
oleh Imam Al-Ghazali sebagai jawaban kepada sepucuk surat yang dikirim oleh seorang
murid beliau yang sangat mencintainya, dimana didalam surat itu murid beliu meminta
agar imam Al-Ghazali sudi menulis sepucuk surat yang merupakan suatu nasehat yang
ditujukan kepadanya secara khusus, walaupun ia yakin bahwa isi kandungan surat
tersebut telah ada termaktub dalam kitab-kitab lainnya. Pendidikan Akhlak menurut al-
Ghazali dalam kitab Ayyuhal walad yaitu: religius: mempunyai akhlak yang mulia, dan
mengendalikan hawa nafsu. Toleransi: saling menghargai, tidak saling mencela dan
menggunjing. Kerja keras: tidak gampang menyerah dan rajin belajar. Kreatif:
mempunyai ambisi yang kuat dan berkomitmen tinggi. Rasa ingin tahu: semangat belajar
yang tinggi dan selalu ingin tahu. Tanggung jawab: dapat dipercaya, peduli lingkungan,
dan selalu berkata jujur. Relevansi pendidikan moral menurut Al-Ghazali dalam kitab
Ayyuhal Walad terhadap pendidikan karakter bagi anak, yaitu: religius, toleransi, kerja
keras, kreatif, rasa ingin tahu, dan tanggung jawab.
Kata Kunci: Kitab Ayyuhal Walad, Pendidikan Karakter, Anak Usia Dini
vi
ABSTRACT
Leli Romdaniah. (1160184000013). Moral Concepts in the Ayyuhal Walad Book and
Its Relevance to Early Childhood Character Education. Early Childhood Islamic
Education Study Program, Faculty of Tarbiyah and Teacher Training.
How important is moral education for early childhood. There is an interesting story for
me when I listen to the story of a mother who faithfully takes her child to school, she tells
that her child since school has experienced many changes, especially in his behavior at home
and making friends with his friends. When his brother was angry with his sister, his sister
immediately said, "My teacher said La taghdob walakal Jannah, if we are angry we have to
read taawudz". The focus of the research, in writing this thesis the author focuses on the issue
of Early Childhood Moral Education according to Imam al-Ghozali, whose method is library
research. The subject of this research is Moral Education according to Imam al-Ghozali. In
analyzing the data that has been collected, the writer uses descriptive analysis techniques,
namely data analysis techniques that use interpreting and classifying by comparing the
phenomena in the problems studied through the steps of collecting data, analyzing data and
interpreting data with deductive and inductive thinking methods. After being analyzed, the
elements are combined again to reach a conclusion. The book of Ayyuhal Walad was written
by Imam Al-Ghazali in response to a letter sent by a student of his who loved him very much,
in which his student asked Imam Al-Ghazali to write a letter which was an advice addressed
to him specifically , although he believes that the contents of the letter are already contained
in other books. Moral education studies the thoughts of Imam Al-Ghazali in the book
Ayyuhal Walad of 18 characters. The values of moral education according to al-Ghazali in the
book Ayyuha al-walad are: religious: having noble character, and controlling lust. Tolerance:
mutual respect, not criticizing and gossiping. Hard work: don't give up easily and study hard.
Creative: have strong ambitions and are highly committed. Curiosity: high enthusiasm for
learning and always curious. Responsibilities: trustworthy, care for the environment, and
always tell the truth. The relevance of moral education according to al-Ghazali in the book
Ayyuha Al-Walad to character education for children, namely: religious, tolerance, hard work,
creativity, curiosity, and responsibility.
Keywords: Ayyuhal Walad Book, Character Education, Early Childhood
vii
KATA PENGANTAR
Pertama dan yang paling utama, saya panjatkan puji dan syukur kepada Allah
Subhanahu wa Ta‟ala, karena berkat rahmat dan karunia-Nya, serta kekuatan dari-Nya saya
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Juga tidak lupa shalawat serta salam
saya haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammmad Shallallah Alayhi wa Sallam beserta
keluarga dan para pengikutnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini begitu banyak hambatan dan
kesulitan sehingga tidak lepas dari bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena
itu, dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Amany Lubis M.A Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
2. Dr. Sururin, M.Ag. Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.
3. Dr. Siti Khadijah, M.A. Ketua Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia Dini Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Miratul Hayati, M.Pd. Sebagai Sekretaris Program Studi Pendidikan Islam Anak Usia
Dini yang banyak memberikan dukungan dan motivasi selama ini.
5. Dr. Azkia Muharom Albantani M.Pd.I, selaku Dosen Bimbingan Akademik yang telah
meluangkan waktu, memberikan tenaga dan fikirannya untuk membimbing hingga
selesainya skripsi ini.
6. Kedua Orang tua yang tak pernah berhenti memberikan kasih sayang Bapa H. Rafiuddin
dan Mama Hj. Nunung Nuraeni semoga sehat selalu dan bahagia selalu.
7. Kaka-kaka dan Adik- Adik yang terkasih Ka Ade, Ka Arif, Ka Awang, Ka Ahmad, Teh
Adah, Teh Liah, Teh Piah, Ka Embub, Ka Nur, Ka Sholeh dan Adik- adik Ujib, Rijal,
Iffah yang selalu mendukung, memberi motivasi dan mendoakan, serta selalu memberi
bantuan baik moril maupun materil. Karena do‟a mereka saya dapat menyelesaikan
skripsi ini.
8. Kaka yang membantu keriwetan dan menyaksikan haru pada bimbingan hingga proses
menuju sidang sampai sekarang ada didepan saya Abdul Hafiz, dan kerabat dekat yang
pernah menjadi teman kamar selama diciputat dan suport saya Zulfi, Nafa, Anis, Shofi,
Nabila, Ella, Aisyah
9. Teman-teman seperjuangan Pendidikan Islam Anak Usia Dini kelas A dan B 2016 yang
telah menemani dan yang selalu memberikan dukungan kepada saya dari awal
viii
perkuliahan hingga saat ini. Terkhusus Dini dan Thorfi yang bareng bimbingan dengan
haru bersama.
10. Himpunan Qari‟-Qari‟ah Mahasiswa telah mengajarkan aku kehidupan dengan warna
yang indah kaka adik teman yang lebih menjadikanku keluarga.
11. Kanda dan Yunda Ikatan Remaja Masjid Fatullah yang memberikan singgah rasa- rasa
pada kehidupan perkuliahan ini.
Skripsi ini telah disusun secara maksimal. Terlepas dari itu, penulis menyadari bahwa
masih ada kekurangan baik itu dari sistematika penulisan maupun penggunaan bahasa. Oleh
karena itu, penulis sangat berharap adanya kritik dan saran dari semua pihak yang membaca,
untuk kebaikan di masa mendatang.
Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
pembuatan skripsi ini yang tidak bisa disebutkan satu persatu. Semoga Allah membalas
semua kebaikan kalian. Akhir kata, semoga Skripsi ini dapat diterima dan memberikan
manfaat bagi penulis dan pembaca.
Jakarta, 30 Maret 2022
Penulis
Leli Romdaniah
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING SKRIPSI i
LEMBAR PENGESAHAN ii
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vii
DAFTAR ISI ix
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Identifikasi Masalah 4
C. Pembatasan Masalah 5
D. Rumusan Masalah 5
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian 5
F. Metode Penelitian 6
BAB II 9
KAJIAN TEORI 9
A. Konsep Akhlak 9
B. Dasar, Tujuan, dan Ruang lingkup Akhlak 11
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak 19
D. Konsep Karakter 20
E. Pengertian Pendidikan Karakter 21
F. Fungsi, Tujuan dan Urgensi Pendidikan Karakter 23
G. Hasil Penelitian Yang Relevan 25
BAB III 28
BIOGRAFI AL-GHAZALI 28
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali 28
B. Riwayat Pendidikan Imam Al-Ghazali 39
C. Karya-karya 42
D. Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali 45
BAB IV 48
TEMUAN DAN PEMBAHASAN 48
A. Selayang Pandang Ayyuhal Walad 48
B. Latar belakang penulisan kitab Ayyuhal Walad 49
C. Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Al-Ghazali 51
D. Konsep Akhlak Anak Dalam Kitab Ayyuhal Walad 56
E. Relevansi Kitab Ayyuhal Walad Terhadap Pendidikan Karakter Anak Usia Dini 59
BAB V 69
PENUTUP 69
A. Kesimpulan 69
B. Saran 69
DAFTAR PUSTAKA 71
Lampiran 90
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan Undang- undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional pasal 28 yang menjelaskan bahwa :“Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD)
diselenggarakan melalui tiga jalur yaitu : Pertama, jalur pendidikan formal berbentuk
Taman Kanak- kanak (TK), Raudhatul Athfal (RA) atau bentuk lain yang sederajat;
Kedua, jalur pendidikan non formal berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman
Pendidikan Anak (TPA) atau bentuk lain yang sederajat dan ketiga, jalur pendidikan
informal berbentuk keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.
Istilah Golden Age sering dimaknai dengan masa keemasan anak usia dini, dari
anak berusia 0-6 tahun. Merupakan masa dimana perkembangan dan pertumbuhan yang
sangat menentukan bagi anak di masa depannya.1 Priode ini juga yang menentukan tahap
perkembangan dan pertumbuhan anak pada tahap selanjutnya. Pertumbuhan dan
perkembangan merupakan proses alami yang terjadi dalam kehidupan manusia, dimulai
sejak dalam kandungan sampai akhir hayat. Pertumbuhan lebih menitikberatkan pada
perubahan fisik yang bersifat kuantitatif, sedangkan perkembangan yang bersifat
kualitatif berarti serangkaian perubahan progresif sebagai akibat dari proses kematangan
hingga ajal selalu terjadi perubahan, baik fisik maupun kemampuan psikologis.2
Pada masa ini anak mempunyai peluang dalam mengembangkan kemampuan
nilai agama dan akhlak, kognitif, bahasa, fisik motorik halus dan kasar, seni. Taman
pendidikan anak usia dini yang akan memperkenalkan kepada anak akan realitas
lingkungan hidup yang lebih luas dibandingkan lingkup keluarga. Disinilah nilai-nilai
akan diperkenalkan kepada anak-anak.
Usia 4-6 tahun merupakan masa peka bagi anak usia dini, pada masa ini anak
sensitif untuk menerima rangsangan dalam upaya mengembangakan seluruh potensi anak.
Masa peka anak adalah masa terjadinya pematangan fungsi fisik dan psikis yang siap
merespon stimulus yang diberikan oleh lingkungan. Oleh sebab itu dibutuhkan susana
belajar strategis dan stimulus yang sesuai dengan kebutuhan anak agar pertumbuhan dan
perkembangan anak tercapai secara optimal3
1Suryadi dan Maulidya Ulfah, Konsep Dasar PAUD, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.2
2Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta: Erlangga, 1996), h.12
3Yamin, H. Martinis. Panduan Pendidikan Anak Usia Dini. (Jakarta: GP Press. 2010), h. 4
2
Pada Bab 1 pasal 1, butir 14 Pendidikan Anak Usia Dini adalah suatu upaya
pembinaan yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang
dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan
jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan memasuki pendidikan lebih lanjut.
Dalam buku karangan Dr. Nashih Ulwan ada lima perkara metode pendidikan
yaitu mendidik dengan keteladanan, mendidik dengan kebiasaan, mendidik dengan
nasihat, mendidik dengan perhatian dan mendidik dengan hukuman. Pada dasarnya islam
membawa misi yang penting dalam hal pendidikan. Jadi, perilaku manusia benar-benar
menjadi yang terdepan dalam agama, bahkan akhlak mulia adalah islam itu sendiri.
Betapa banyak yang mempengaruhi keberhasilan pendidik dalam
mengembangkan nilai agama dan akhlak diantaranya perencanaan yang baik, kegiatan
belajar mengajar dengan fasilitas yang baik juga proses kegiatan keislaman terkonsep
dengan baik. Mengingat pentingnya nilai agama dan akhlak anak untuk anak usia dini
khususnya anak yang berusia 4-6 tahun, maka salah cara yang ditempuh adalah melalui
kegiatan keislaman.
Sehingga dapat dikatakan bahwasanya perbuatan dan tindakan yang dilakukan
oleh seorang individu mampu mempengaruhi kebiasaan dan keberadaan dari seseorang.
Maka menanamkan kegiatan keislaman sejak dini kepada anak dapat memberikan
kebiasan yang mengarahkan anak pada akhlak mulia. Sisi akhlak yang menonjol dengan
keteladanan yang baik adalah faktor terbesar yang memberi pengaruh terhadap hati dan
jiwa. Hal ini juga menjadi sebab terbesar tersebarnya islam ke pelosok negeri yang jauh
dan masuknya banyak umat manusia ke jalan iman.4
Namun, apakah cukup bagi para pendidik untuk mengemban berbagai tanggung
jawab tersebut dan melaksanakan semua kewajibannya.5 Jawabannya sudah pasti bahwa
seorang pendidik yang baik akan selalu mencari sarana dan metode pendidikan yang
sangat berpengaruh dalam pembentukan akidah dan akhlak anak, dalam pembentukan
pengetahuan, mental dan sosialnya bahkan pengembangan lainnya.
Pada dasarnya seorang guru sangat memperhatikan dalam proses pembinaan dan
pendidikan kepada peserta didik, sebelum peserta didik melakukan segala hal pasti yang
dicontohkan adalah seorang guru terlebih dahulu, ketika dari guru telah menanamkan
kebiasaan baik pada dirinya maka akan lebih mudah lagi peserta didik hendak mengikuti
4Abdullah Nashih „Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terj.Arif Rahman Hakim (Jawa Tengah:
Insan Kamil Solo, 2017, h.533. 5Suryadi dan Maulidya Ulfah, Konsep Dasar PAUD, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.2
3
dan mengerjakan akhlak mulia yang dicontohkan oleh seorang guru yaitu melalui
kebiasaan akhlak mulia.
Bagi para pendidik untuk menerapkan pendidikan yang baik untuk anak seakan
terasa sangat mudah, akan tetapi sangat sulit bagi anak untuk mengikuti metode
pendidikan yang diberikan oleh pendidik, karena bagaimana pun besarnya pendidik
menerapkan metode untuk kebaikanya. Ia tidak akan mampu memenuhi prinsip-prinsip
kebaikan tersebut jika anak tidak melihat sang pendidik sebagai teladan dan menjungjung
nilai-nilai Akhlak yang tinggi.6
Dalam Undang-Undang Nomor 20, Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional salah satu tujuannya adalah mewujudkan akhlak yang mulia, akan tetapi fakta
yang menunjukkan banyak dijumpai generasi muda masa kini kurang sopan, bahkan lebih
ironisnya lagi banyak anak-anak yang sudah tidak menghormati orangtua serta guru-guru
di sekolahnya. Hal ini tidak terlepas dari pengaruh ilmu dan teknologi informasi yang
sudah mengglobal, bahkan tidak bisa difilter kembali, oleh karena itu perlu adanya
penanaman akhlak yang baik sehingga membuat anak tersebut istimewa.7
Hal ini dikarenakan, pada usia anak-anak the golden age adalah waktu yang tepat
untuk menanamkan nilai-nilai karakter yang nantinya diharapkan akan membentuk
kepribadiannya. Berdasarkan hasil penelitian yang dikemukakan Gardner8 bahwa anak
usia dini mengalami perkembangan yang sangat pesat mecapai 80%, 50% dari dilahirkan
sampai usia 4 tahun, 30% lagi bertambah sampai anak berumur 8 tahun. Dan nantinya
selebihnya berkembang sampai 18 tahun. Penelitian ini menunjukkan bahwa pada rentang
usia dini merupakan masa yang tepat untuk dilakukan pendidikan karakter dikarenakan
kemampuan otak dalam hal yang menyerap nilai-nilai berkembang dengan baik dan
menjadikan nilai-nilai tersebut dapat menjadi kebiasaan ketika dewasa. Pendidikan
karakter bagi anak usia dini sendiri mempunyai makna yang lebih tinggi dari pendidikan
moral dikarenakan tidak hanya berkaitan dengan masalah benar-salah tetapi bagaimana
menanamkan kebiasaan tentang berbagai perilaku yang baik dalam kehidupan sehingga
anak memiliki kecerdasan dan komitmen untuk menerapkan kebajikan dalam kehidupan
sehari-hari.
6Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak Dalam Islam, Terj. Arif Rahman Hakim jilid 2.
(Pustaka Amani : Jakarta, 2007) h.142 7Sabar Budi Raharjo, “Pendidikan Karakter Sebagai Upaya Menciptakan Akhlak Mulia” Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan, Vol. 16 No. 3. Mei 2010 8Mulyasa. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara, 2011. h.27
4
Sungguh sangat memilukan, bukan hanya anak remaja tetapi anak kecil dibawah
umur pun terjadi kasus pencabulan, tragedi ini termasuk permasalahan yang amat serius
dan sudah merusak masa depan anak-anak. Betapa pentingnya pendidikan akhlak
terhadap anak usia dini. Ada kisah yang menarik bagi saya ketika mendengarkan cerita
seorang ibu yang setia mengantarkan anaknya ke sekolah, beliau menceritakan bahwa
anaknya semenjak sekolah mengalami banyak perubahan terutama terhadap perilaku
dirumahnya dan berteman dengan teman-temannya. Saat kakanya marah pada adiknya,
adiknya langsung berkata kaka “kata ibu guruku La taghdob walaakal jannah, kalo kita
marah kita harus baca taawudz”. Dari sinilah kita bisa mengambil kesimpulan bahwa
anak yang tertanam dilingkungan pendidikan akan memberi pengaruh yang baik, seperti
kisah tersebut.
Fenomena ini yang melatar belakangi penulis untuk mengetahui cara
menanamkan pendidikan akhlak pada anak usia dini dengan berbagai cara. Terlepas dari
perbedaan kata yang digunakan baik etika, akhlak dan budi pekerti mempunyai
penekanan yang sama, yaitu adanya kualitas-kualitas yang baik teraplikasikan dalam
perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari, baik sifat-sifatnya yang ada dalam
dirinya maupun dalam kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat.9 Walau mempunyai
perbedaan, namun akhlak, etika dan akhlak dapat dianggap sama apabila sumber ataupun
produk budaya yang digunakan sesuai.10
Bahwasanya skripsi ini sangat berkaitan dengan pendidikan akhlak anak tentang
sikap dan tingkah laku manusia dalam kehidupan sehari-hari. Seperti jujur, toleransi,
bertanggung jawab dan lainnya. Oleh karena itu, maka tentang konsep akhlak anak bukan
sekedar mengajarkan norma-norma tentang mana nilai-nilai diutamakan untuk mencapai
pribadi yang baik dalam situasi kehidupan, akan tetapi konsep akhlak anak juga
dipengaruhi oleh pendidikan karakter yang sesuai.
B. Identifikasi Masalah
1. Pendidikan akhlak anak usia dini di sekolah masih kurang maksimal
2. Minimnya literatur mengenai pendidikan anak usia dini tentang akhlak
9La Ode Aan Sanjaya, Jamaludin Hos, dan Ratna Supiyah, “Kontrol Sosial Masyarakat Terhadap
Maraknya Seks Bebas di Kalangan Pelajar”, Jurnal Pemkiran dan Penelitian Sosiologi.Vol. 16 2018 h, 441-
448. 10
Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam: Buku Teks Agama Untuk Perguruan Tinggi Umum
(Bandung: Alfabeta,1993), h.209
5
3. Minimnya literatur dalam kitab Ayyuha alwalad tentang pendidikan akhlak anak
usia dini
C. Pembatasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah tersebut, penulis akan membatasi beberapa hal yang
berkaitan dengan masalah, yaitu diperlukannya sistem di sekolah yang mendukung
penanaman perkembangan nilai agama dan akhlak anak melalui kegiatan keislaman
berdasarkan pemikiran Imam al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad.
D. Rumusan Masalah
1. Bagaimana Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini menurut Imam Al-Ghazali?
2. Apa Relevansi Pendidikan Akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal
walad terhadap pendidikan karakter Anak?
E. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan penelitian ini adalah:
a. Mengetahui pendidikan akhlak anak usia dini menurut Imam Al-Ghazali dalam
kitab Ayyuhal Walad
b. Mengetahui relevansi konsep pendidikan akhlak menurut Imam Al-Ghazali dalam
kitab Ayyuhal walad terhadap pendidikan karakter Anak
2. Adapun manfaat penelitian sebagai berikut:
a. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan sumbangan khazanah bagi pendidikan
khususnya bagi pendidik dalam penanaman perkembangan akhlak anak di sekolah.
b. Manfaat Praktis
1) Bagi peneliti
Penelitian ini diharapkan memberikan ilmu pengetahuan yang baru kepada
peneliti, serta pengalaman mengenai penelitian baik dalam teoritis maupun
praktis
2) Bagi Lembaga Pendidikan
Penelitian ini dapat dijadikan rujukan sebagai informasi serta bahan masukan
dalam menerapkan penanaman perkembangan nilai dan Akhlak
3) Bagi Masyarakat
6
Penelitian ini memberikan wawasan serta pengalaman dalam penanaman
perkembangan nilai agama dan akhlak pada anak
4) Bagi penelitian lain
Dengan penelitian ini dapat dijadikan bahan rujukan dalam penelitian yang
akan dilakukan.
F. Metode Penelitian
1. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian yang berjudul “Konsep Akhlak dalam Kitab Ayyuhal Walad dan
Relevansinya Terhadap Pendidikan Karakter Anak Usia Dini” ini dilaksanakan
dalam waktu beberapa bulan, dengan waktu sebagai berikut: September awal 2020
sampai bulan Desember 2021 digunakan untuk pengumpulan data mengenai
sumber-sumber tertulis yang diperoleh dari buku-buku yang ada di perpustakaan,
serta sumber lain yang mendukung penelitian ini. Terutama yang berkaitan
dengan akhlak anak usia dini, metode dan materi dari berbagai sumber sebagai
sumber primer.
2. Jenis Penelitian
Menurut Bodgam & Taylor, penelitian kualitatif adalah penelitian yang
menghasilkan data deskriptif, yaitu ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat
menghasilkan data deskriptif, yaitu ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat
diamati dari orang-orang (subjek) itu sendiri.
Jenis penelitian ini adalah kajian pustaka yang bersifat analisis. Penelitian
pustaka yaitu peneliti berusaha untuk mengumpulkan dan menyusun data,
kemudian terdapat analisa dan interpretasi atau pengisian terhadap data tersebut.
Pembahasan ini merupakan pembahasan naskah, yang mana datanya diperoleh
melalui sumber literatur, yaitu melalui penelitian kepustakaan. Penelitian
kepustakaan bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi dari buku-buku,
film, majalah, dokumen, catatan dan kisah-kisah sejarah lainnya. Serta deskripsi
analisis yaitu dengan memberi gambaran utuh dan sistematis serta mengalisisnya
secara mendalam mengungkap pendidikan akhlak menurut al-Ghazali dalam kitab
Ayyuhal Walad.
3. Fokus Penelitian
Fokus penelitian, dalam penulisan skripsi ini penulis memfokuskan kepada
masalah Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini menurut Imam al-Ghazali dalam
kitab Ayyuhal walad, yang metodenya adalah penelitian kepustakaan (Library
7
Reseacrh). Subjek peneliti ini adalah Pendidikan Akhlak menurut Imam al-
Ghazali.
4. Prosedur penelitian
Prosedur penelitian skripsi ini, penulis menggunakan metode penelitian
kepustakaan (Library Reseacrh) metode yang dilakukan adalah:
a. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari literatur yang ada
hubungannya dengan masalah yang akan diteliti dengan mengumpulkan data-
data melalui bahan bacaan dengan bersumber pada buku-buku primer dan
sekunder yang berkaitan dengan masalah yang dibahas.
b. Teknik Pengolahan Data
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis lakukan adalah
membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi dan mengklasifikasikan data-
data yang relevan dan yang mendukung pokok bahasan, untuk selanjutnya
penulis bandingkan, analisis, simpulkan dalam satu pembahasan yang utuh.
c. Analisis Data
Dalam menganalisa data yang telah terkumpul penulis menggunakan teknik
deskriptif analisis, yaitu teknik analisis data yang menggunakan menafsirkan
serta mengklasifikasikan dengan membandingkan fenomena-fenomena pada
masalah yang diteliti melalui langkah mengumpulkan data, menganalisa data
dan menginterpretasi data dengan metode berpikir deduktif dan induktif.
Setelah dianalisis maka dipadukan kembali unsur-unsur tersebut untuk
mencapai suatu kesimpulan.
Untuk melakukan analisis data penulis menggunakan beberapa metode yaitu :
1) Metode Deskriptif
Metode deskriptif yaitu pemaparan gambaran yang mengenai situasi yang
diteliti dalam bentuk uraian naratif11
2) Metode Content Analisys
Metode Content Analysis (Analisis Isi) Harold D. Lasswell mengatakan
bahawa analisis isi (Content Analysis) merupakan penelitian yang
11
Sudjana Nana dan Ibrahim. Penelitian dan Penilaian Pendidikan. Bandung: Sinar Baru
Bandung. 1989,h. 189
8
mendalam untuk membahas tentang sesuatu informasi. Analisis data dalam
penelitian ini ialah analisis isi (content analysis).12
5. Teknik Penulisan
Teknik penulisan ini berpedoman pada buku pedoman penulisan Skripsi Fakultas
Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Unversitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
2013.
12
Lexy J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001), h. 104.
9
BAB II
KAJIAN TEORI
Pemikiran Imam al- Ghazali seorang ilmuan kontemporer yang sudah tidak asing
lagi para penuntut ilmu. Tidak sedikit kitab-kitab yang ditulis beliau digunakan dalam
dunia akademisi maupun di dunia pesantren. Kitab yang paling fenomenal adalah kitab
Ihya Ulumuddin yang dikatakan sebagai kitab penyempurna dari karya-karya imam al-
Ghazali. Dalam karya beliau ini, banyak pemikiran- pemikiran beliau tentang pendidikan
akhlak.13
Dari bab ini akan dibahas pemikiran Imam al-Ghazali terutama tentang
pendidikan akhlak.
Banyaknya kitab yang dikarang dalam dunia akademisi bahkan di dunia
pesantren. Imam al-Ghazali dikenal sebagai teolog muslim, ahli pendidikan dan sufi abad
pertengahan. Kitab Ayyuhal Walad merupakan kitab yang membahas tentang pendidikan
terhadap anak yang kental dengan nuansa islami. Dengan sebutan walad, yang berarti
“anak” dalam bahasa Indonesia, menunjukkan bahwa keterangan-keterangan Imam al-
Ghazali dalam kitab ini memiliki visi dan misi mendekatkan anak sebagai subjek
pendidikan. Di dalam kitab ini dari segi isinya menggunakan metode mauizah atau
pemberian nasehat dengan memberikan arahan-arahan kepada anak meliputi teori-teori
yang disandarkan pada al-Qur‟an maupun hadist juga dengan menggunakan pemikiran-
pemikiran Imam al-Ghazali itu sendiri dengan pengalamannya sebagai profesional.14
Kitab ini muncul sebab dari salah satu siswa zaman dahulu, yang meminta kepada
Imam al-Ghazali untuk menulis kitab yang didalamnya memuat ilmu yang bermanfaat
dan yang tidak bermanfaat bagi dirinya di dunia maupun di akhirat.
A. Konsep Akhlak
1. Definisi Akhlak
Menurut istilah etimology (bahasa) perkataan akhlak berasal dari bahasa
Arab yaitu, الق yang mengandung arti “budi pekerti, tingkah laku, perangai, dan أخ
13
Abuddin Nata, Akhlak TaSawuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002), h.17 14
Saepudin,“Pendidikan Karakter Dalam Kitab Ayyuhal Walad Dalam Konsep Pendidikan Di
Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu, Vol.2 Desember 2019, h. 6.
10
tabiat” Di dalam bahasa Arab kata “akhlak” (الق adalah bentuk jamak dari kata (أخ
“khuluq” (لق لق) ”yang berakar dari kata kerja “khalaqa ,(خ yang berarti ,(خ
“menciptakan”. Kata “khuluq” diartikan dengan sikap, tindakan, dan kelakuan..
Sedangkan secara terminologi (istilah), makna akhlak adalah suatu sifat yang
melekat dalam jiwa dan menjadi kepribadian, dari situlah memunculkan perilaku
yang spontan, mudah, tanpa memerlukan pertimbangan.15
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak merupakan keadaan jiwa seseorang yang
mendorongnya untuk melakukan suatu perbuatan tanpa melalui pertimbangan
pikiran dan perencanaan.16
Adapun menurut Zainuddin Ali berpendapat bahwa
akhlak adalah suatu kebiasaan, susila, adat mengenai baik buruk manusia.17
Menurut Rosihan Anwar, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang
mendorong manusia untuk berbuat tanpa melalui pertimbangan dan pilihan
terlebih dahulu.18
Secara terminologi, akhlak dapat didefinisikan berdasarkan
berbagai pendapat dari tokoh pemikiran akhlak. Seperti diungkapkan oleh Al-
Jahizh mengatakan bahwa akhlak adalah jiwa seseorang yang mewarnai setiap
tindakan dan perbuatannya, tanpa pertimbangan lama ataupun keinginan.19
Selanjutnya, secara terminologi ada beberapa definisi akhlak yang telah
dikemukakan oleh para ahli diantaranya: 1) Imam Al-Ghazali; akhlak adalah sifat
yang tertanam dalam jiwa yang menimbulkan perbuatan dengan mudah tanpa
memerlukan pemikiran dan pertimbangan, 2) Ibnu Miskawaih; akhlak adalah sifat
yang tertanam dalam jiwa yang mendorong untuk melakukan perbuatan tanpa
melakukan pemikiran dan pertimbangan atau akhlak adalah suatu sikap yang
digerakkan oleh jiwa yang menimbulkan tindakan dan perbuatan manusia baik
terhadap Tuhan, sesama manusia atau diri sendiri.20
Hal ini menjadi akan menjadi
perkembangan bagi anak hingga dewasa yang siap melewati semenanjung
kehidupan.
15
Adjat Sudrajat dkk, Din Al-Islam: Pendidikan Agama Islam di Perguruan Tinggi Umum,
(Yogyakarta: UNY Perss, 2008), h.88. 16
Ibnu Miskawaih, Tahdzib Al-Akhlak wa Thathhir Al-A‟raq, (Beirut: Maktabah Al-Hayah li
Ath- Thiba‟ah wa Nasyr, cetakan k-2), h. 51. 17
Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), h. 29 18
Rosihan Anwar, Asas Kebudayaan Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2010), h. 14. 19
Achmad Gholib, Akidah dan Akhlak dalam Perspektif Islam, (Ciputat: CV. Diaz Pratama Mulia,
2016), h.108. 20
Veithzal Rivai Zainal, Manajemen Akhlak, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2018), h.13.
11
2. Macam-macam akhlak
Berdasarkan sifatnya, akhlak dapat dibagi menjadi dua yaitu akhlak terpuji dan akhlak
tercela:
a. Akhlak terpuji merupakan salah tujuan dalam agama Islam, sehingga Allah
Swt berfirman dalam Al-Quran surat Al-Ahzab ayat 21 sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa seseorang harus menjadikan Rasulullah Saw
sebagai panutan dalam berakhlak. Contoh berdoa kepada Allah Swt
dengan suara lembut, bersholawat ketika mendengar nama Rasulullah
Saw, bersikap ramah kepada orang tua dan guru, bergaul dengan teman
dengan baik, menjaga lingkungan dan alam di sekitar kita.
b. Akhlak tercela jauh dari ajaran Islam yang menyebabkan kebencian Allah
Swt sampai makhluk-Nya. Seperti bermaksiat kepada Allah Swt, berkata
kasar kepada orang tua, mengganggu tetangga atau teman, merusak
lingkungan dan alam sekitar.21
sama pada orang tersebut.
B. Dasar, Tujuan, dan Ruang lingkup Akhlak
1. Dasar Akhlak dalam surat Al-Baqarah ayat 83
ه وبالوالدين إحسانا وذي القربى واليتامى والمساكين وقولوا للنا ا حسنال تـعبدون إلا اللـا
Artinya: Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baiklah
kepada kedua orang tua, kerabat, anak-anak yatim, dan orang-orang miskin. Dan
bertutur katalah yang baik kepada manusia. [al-Baqarah: 83]
Ayat di atas berbicara tentang akhlak kepada Allah dan juga akhlak kepada
manusia secara umum di antaranya kepada Orang tua, kerabat, anak yatim dan
orang miskin. Ayat ini secara urutan, pertama menjelaskan tentang tauhid, dan ini
adalah salah satu pokok aqidah akhlak berupa tauhid, ini juga dalil akan
pentingnya akhlak kepada Allah dibandingkan akhlak kepada manusia.
Karena setelah mengatakan terlarangnya penyembahan kepada selain
Allah, baru di ikuti dengan berbuat baik kepada manusia secara umum, di mulai
dari orang tua, kerabat, anak yatim dan orang yang fakir.
2. Tujuan mempelajari Akhlak
21
Ali Mustofa, “Konsep Akhlak Mahmudah Dan Madzmumah Perspektif Hafidz Hasan Al-
Mas‟Udi Dalam Kitab Taysir Al-Khallaq,” Jurnal Ilmuna 2, no. 1 (2020): 49–52.
12
Tujuan mempelajari akhlak adalah mencapai kebahagiaan hidup umat
manusia baik di dunia maupun akhirat jika seseorang dapat menjaga kualitas
mu‟amalah ma‟allah (hubungan dengan Allah) dan mu‟amalah ma‟annas
(hubungan dengan sesama manusia) maka akan memperoleh ridho-Nya.22
Orang yang mendapat ridho Allah Swt niscaya akan memperoleh jaminan
kebahagiaan hidup, baik duniawi maupun akhirat. Seseorang yang memiliki sifat
akhlakul karimah pantang berbohong sekaligus terhadap diri sendiri dan tidak
pernah menipu, apalagi menyesatkan orang lain. Orang seperti ini biasanya dapat
hidup dengan tenang dan damai, memiliki pergaulan luas dan banyak relasi,
dihargai kawan, dan disegani siapapun yang mengenalnya.23
Jika seorang anak pada masa Golden Age tumbuh atas keimanan pada Allah
Swt, terdidik rasa takut kepada-Nya maka akan terjaga dalam dirinya kefitrahan.
Pendidikan karakter haruslah diperhatikan, perlu adanya controlling dari pendidik
kepada peserta didik.24
Pertahanan agama yang mengakar dalam sanubarinya, rasa merasa diawasi
oleh Allah telah tertanam di lubuk hatinya yang terdalam. Semua itu akan menjadi
pemisah antara seorang anak dengan sifat- sifat yang tercela dan mengikuti
kebiasaan jahiliyah yang merusak.
3. Ruang Lingkup
Ruang lingkup akhlak adalah pembahasannya tentang perbuatan-perbuatan
manusia,25
kemudian menentukan perbuatan itu tergolong perbuatan baik atau
perbuatan buruk. Ilmu akhlak dapat pula dikatakan sebagai ilmu yang
pembahasanya dalam upaya mengenal tingkah laku manusia. Objek pembahasan
ilmu akhlak berkaitan dengan norma atau penilaian terhadap suatu perbuatan yang
dilakukan oleh seseorang. Jika kita katakan baik atau buruk maka ukuran yang
digunakan adalah ukuran normative.26
Sungguh penting bagi kita untuk memerhatikan aspek pendidikan akhlak
bagi kehidupan manusia. Melalui hal tersebut umat manusia akan mampu
22
Veithzal Rivai Zainal, Manajemen Akhlak, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2018), h.221. 23
Veithzal Rivai Zainal, Manajemen Akhlak, (Jakarta: Salemba Diniyah, 2018), h.224. 24
Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Teras,2009), h. 9. 25
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,
2008), h.261. 26
Achmad Gholib, Akidah dan Akhlak dalam Perspektif Islam, (Ciputat: CV. Diaz Pratama Mulia,
2016), h.110.
13
membangun peradaban yang baik dan bagus dengan dilandasi oleh keluhuran
nilai-nilai kemanusiaan dan akhlak yang tinggi.27
Akhlak sebagai suatu tatanan nilai yaitu merupakan sebuah pranata sosial
yang berdasarkan pada ajaran syariat Islam. Sedangkan akhlak sebagai sebuah
tingkah laku atau tabiat manusia yang merupakan perwujudan sikap hidup
manusia yang menjelma menjadi sebuah perbuatan atau tindakan. Untuk
menentukan perbuatan dan tindakan manusia itu baik atau buruk, Islam
menggunakan barometer syariat agama Islam yang berdasarkan wahyu Allah Swt
Sedangkan masyarakat umum lainnya ada yang menggunakan norma-norma adat
istiadat ataupun tatanan nilai masyarakat yang dirumuskan berdasarkan norma
etika dan moral.
Dalam Islam, tatanan nilai yang menentukan suatu perbuatan itu baik atau
buruk dirumuskan dalam konsep akhlakul karimah, yang merupakan suatu konsep
yang mengatur hubungan antara manusia dengan manusia, manusia dengan sang
Maha Pencipta yaitu Allah Swt, dan manusia dengan alam sekitarnya. Secara
lebih khusus juga mengatur hubungan manusia dengan dirinya sendiri.
Ruang lingkup akhlak itu dapat berupa seluruh aspek kehidupan seseorang
sebagai individu, yang bersinggungan dengan sesuatu yang ada di luar dirinya.
Karena sebagai individu, dia pasti berinteraksi dengan lingkungan alam
sekitarnya, dan juga berinteraksi dengan berbagai kelompok kehidupan manusia
secara sosiologis, dan juga berinteraksi secara methaphisik dengan Allah Swt
sebagai pencipta alam semesta.
Dengan adanya hubungan yang kuat antara iman dan akhlak terdapat
kekokohan antara akidah dan amal inilah, para pakar pendidikan dan ilmu sosial
baik dibarat maupun diberbagai negara memberikan perhatiannya. Kemudian
mereka mencetuskan pemikiran- pemikiran dan pandangan mereka bahwa tanpa
benteng agama maka kemapanan tidak mungkin terjadi.28
Berakhlak terhadap tuhan antara lain dengan mengenal, mendekati, dan
mencintai-Nya, melaksanakan segala perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya,
menghiasi diri dengan sifat-sifat-Nya atas dasar kemampuan dan kesanggupan
27
Otib Satibi Hidayat, Metode Pengembangan Moral dan Nilai- nilai Agama, (Tangsel: UT, 2018),
h.24. 28
Abdullah Nashih „Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, Terj.Arif Rahman Hakim (Jawa
Tengah: Insan Kamil Solo), h.133.
14
manusia, membumikan ajaran-Nya dalam kehidupan individu, masyarakat dan
bangsa.29
Sebagaimana manusia yang beragam sudah menjadi keharusan dalam
perbuatannya akan berhubungan dengan tuhan (Allah), hal ini tidak dapat
dipisahkan karena manusia makhluk ciptaan Allah dengan tujuan penciptaanya
sebagai firman Allah:
عبدون نس الا ليـ وما خلقت الجنا وال
Artinya: Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya
mereka mengabdi kepada-Ku. (Q.S. Az Zariyat [51] : 56)
Ada empat alasan mengapa manusia perlu berakhlak kepada Allah:
a. Allah yang telah menciptakan manusia. Dia menciptakan manusia dari air
yang ditumpahkan keluar dari antara tulang punggung dan tulang rusuk
sebagaimana dalam Al-Qur‟an surah At-Tariq ayat 5-7. Dalam ayat lain
Allah berfirman manusia diciptakan dari tanah yang kemudian diproses
menjadi benih yang disimpan dalam tempat yang kokoh (rahim) setelah ia
menjadi sebuah darah, segumpal daging dijadikan tulang dan dibalut
dengan daging dan selanjutnya diberi roh, sebagaimana dalam Al-Qur‟an
surah Al-Mu'min ayat 12- 13.
b. Allah yang telah memberikan perlengkapan panca indra, berupa
pendengaran, penglihatan, akal pikiran dan hati sanubari, disamping
anggota badan yang kokoh dan sempurna kepada manusia sebagaimana
dalam Al-Qur‟an surah An-Nahl ayat 78.
c. Allah yang telah menyediakan berbagai bahan dan sarana yang diperlukan
bagi kelangsungan hidup manusia, seperti bahan makanan yang berasal
dari tumbuh-tumbuhan, air, udara binatang ternak dan sebagainya.
sebagaimana dalam Al-Qur‟an surah Al-Jatsiyah ayat 12-13.
d. Allah yang telah memuliakan manusia dengan diberikannya kemampuan
menguasai daratan dan lautan. sebagaimana dalam Al-Qur‟an surah Al-
Isra ayat 70.30
29
Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam, & Barat, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.209. 30
Henny Narendrany Hidayati, Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa, (Jakarta: Lembaga
Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2009), h.12-13.
15
1) Berakhlak terhadap keluarga
ا ستكى انزي خهقكى ي ا اناط اذق ا تث جا ا ص خهق ي احذج فظ
ت انزي ذغاءناذقا للا غاءا ا شا ا سجالا كث ي كا للا السحاو ا
ثاا كى سق عه
Artinya: Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan
sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat,
anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang
jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan
diri. (Q.S. An-Nisa [4] : 1)
Berakhlak terhadap keluarga meliputi ayah, ibu, anak dan
keturunannya.31
Kita harus berbuat baik kepada anggota keluarga terutama
orang tua. Ibu yang telah mengandung kita dalam keadaan lemah, menyusui
dan mengasuh kita memberikan kasih sayang yang tiada tara. Begitu juga ayah
dialah sosok seorang pria yang hebat dalam hidup yang telah menafkahi kita
tanpa mempedulikan panasnya terik matahari.32
Seperti dalam ayat dibawah ini merupakan perintah untuk berbuat baik
kepada dua orang ibu dan bapak dalam Q.S Al-Ahqaf [46] : 15
احغااا انذ ت غا ا ال ص هر اي ح ه ح ضعر كشاا كشاا ه فص
ى ارا تهغ اشذا حر شا ش ث اشكش ثه ا صع عحا قال سب ا تهغ استع
ا انذي ى عه د عه ع ا رك انر ع ف اصهح ن ى ا ذشض م صانحا اع
غه ان ي ا ك ذثد ان ا ر رس
Artinya: Kami perintahkan kepada manusia supaya berbuat baik kepada dua
orang ibu bapaknya, ibunya mengandungnya dengan susah payah, dan
melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandungnya sampai
menyapihnya adalah tiga puluh bulan, sehingga apabila dia telah dewasa dan
umurnya sampai empat puluh tahun ia berdoa: "Ya Tuhanku, tunjukilah aku
31
Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral, penerjemah: Tulus Musthofa, (Yogyakarta: Pustaka pelajar,
2004), h. 24. 32
Syarifah Habibah,”Akhlak dan Etika dalam Islam”, Jurnal pendidikan Dasar dan Humaniora,
Oktober 2015, Vol.2 h.73-87.
16
untuk mensyukuri nikmat Engkau yang telah Engkau berikan kepadaku dan
kepadas ibu bapakku dan supaya aku dapat berbuat amal yang saleh yang
Engkau ridhai; berilah kebaikan kepadaku dengan (memberi kebaikan)
kepada anak cucuku. Sesungguhnya aku bertaubat kepada Engkau dan
sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri".(Q.S Al-Ahqaf
[46] :15).
Perkataan terhadap kedua ibu bapak haruslah dengan cara yang baik
sopan dan mulia. Dalam surah al-Ahqaf Sayyid Quthb mengatakan bahwa usia
dewasa, yakni pemikirannya dan sempurna pemahamannya dan kelemah
lembutanya, dan dikatakan biasanya seseorang itu tidak berubah, walau pun
umurnya sampai 40 tahun. Dari sini sungguhpun umur kita sudah lumayan tua,
kita tetap memperlakukan mereka dengan hormat dan berkata dengan
lembut.33
Itu pula sebabnya secara kodrati, setiap orang tua menyayangi dan
mencintai anaknya sebagaimana ia menyayangi dan mencintai dirinya sendiri,
kasih dan sayang ini mulai dicurahkan sepenuhnya terutama oleh ibu,
semenjak anak masih dalam kandungan sampai ia lahir dan menyusui bahkan
sampai tua.34
Didalam ajaran agama Islam, anak yang baru lahir mempunyai hak-hak
tertentu, yang harus diberikan oleh orangtuanya sebagai pelaksanaan tanggung
jawab orang tua dihadapan Allah Swt untuk kelestarian keturunannya, sebab
anak adalah karunia Allah Swt dan anak merupakan pewaris dari satu generasi
ke generasi yang baru hingga akhir zaman.35
Adapun anak juga merupakan amanah Allah Swt terhadap pasangan
manusia yang telah terjalin oleh tali perkawinan yang disebut dengan
keluarga, yang merupakan komponen terkecil dalam masyarakat, yang
nantinya akan berpengaruh dilingkungan masyarakat dimana keluarga itu
bertempat tinggal. Keluarga yang baik akan menjadi cerminan dalam suatu
masyarakat khususnya dan bangsa serta negara umumnya. Dengan demikian
setiap keluarga diharapkan agar dapat mendidik anak-anaknya untuk
33
Sayyid Quthb, Fii Dzilalil Qur‟an (Madina: Darrushorouk, 2007), h.22 34
Ibnu „aqil, Bahauddin Abdullah, Buku Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu‟aqil,(Bandung: Sinar
Baru Algesindo, 2017), h.3. 35
Aliasa, “Akhlak Sebagai Azas Kebahagiaan Keluarga dan Masyarakat”,Jurnal pendidikan
Agama Islam, February 2016, Vol.2 h.42.
17
melaksanakan agama dengan baik dan bersikap dengan akhlak yang baik,
hormat kepada ibu dan bapak.36
2) Berakhlak terhadap masyarakat
Al-Qur‟an menegaskan bahwa seluruh umat manusia berasal dari satu
pohon, walaupun akhirnya mereka berbeda dan membentuk bangsa-bangsa
dengan jenis dan warna yang berbeda-beda pula. Mereka semua adalah anak
dan keturunan dari satu bapak dan satu ibu, Adam dan Hawa. Dalam proses
penciptaannya, semua manusia sama karena masing-masing dari mereka
melalui fase-fase penciptaan yang juga sama.
Jika mereka sama dari awal sejak dilahirkan, maka berarti mereka juga
sama saat berakhir pada satu nasib, kematian. Allah Swt berfirman di dalam
Al-quran:
تث جا ا ص خهق ي احذج فظ ا ستكى انزي خهقكى ي ا اناط اذق ا
ت انزي ذغاءناذقا للا غاءا ا شا ا سجالا كث ي كا
للا السحاو ا
ثاا كى سق عه
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan
isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembangbiakkan laki-laki
dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan
(mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan
(peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga
dan mengawasi kamu. (QS. An-Nisa [4] : 1).37
Sesama orang yang beriman mereka bersaudara. Di antara mereka
tidak boleh saling mengolok karena boleh jadi yang diolok-olok sebenarnya
lebih baik. Di antara mereka juga tidak boleh saling mengunjing karena
perbuatan tersebut merupakan dosa. Dan antar sesama muslim harus saling
menolong untuk melaksanakan kebaikan dan ketakwaan, saling mengingatkan
dalam kebenaran dan kesabaran.38
36
Aliasa, “Akhlak Sebagai Azas Kebahagiaan Keluarga dan Masyarakat”, Jurnal pendidikan
Agama Islam, Februari 2016, Vol.2 h.43. 37
Muhammad As-Sayyid Yusuf, dkk. Ensiklopedi Metodologi Al-Quran, (Mesir: Dar as-salam,
Maktabah al-Usrah), h.28-29. 38
Edy Sukardi, Buku Pintar Akhlak Terpuji, (Jakarta: AMP Press, 2016), h.136.
18
Islam tidak hanya menyuruh kita membina hubungan baik dengan non
muslim. Namun demikian dalam hal-hal tertentu ada pembatasan hubungan
dengan non muslim, terutama yang menyangkut aspek ritual keagamaan.
Dalam berhubungan dengan masyarakat non muslim islam mengajarkan
kepada kita untuk toleransi, yaitu menghormati keyakinan umat lain tanpa
berusaha memaksakan keyakinan kita kepada mereka.
3) Berakhlak terhadap Lingkungan
Lingkungan adalah segala sesuatu yang di sekitar manusia, baik
binatang, tumbuh-tumbuhan maupun benda-benda. Pada dasarnya akhlak yang
diajarkan Al-Qur‟an terhadap lingkungan bersumber dari fungsi manusia
sebagai khalifah. Kekhalifaan menuntut adanya interaksi antara manusia
dengan sesamanya dan manusia terhadap alam. Kekhalifaan mengandung arti
pengayoman, pemeliharaan, serta bimbingan agar setiap makhluk mencapai
tujuan penciptanya.39
Manusia ialah makhluk Allah yang paling sempurna jika dibandingkan
dengan makhluk lain. Malaikat makhluk Allah yang mempunyai unsur akal,
sementara hewan yang hanya mempunyai unsur nafsu, sedangkan manusia
dikaruniakan Allah kedua unsur itu.
Dengan akal pikiran, manusia membuat pertimbangan sebelum
melakukan sesuatu tindakan. Setelah dibuat barulah nafsu digerakkan kearah
mencapai keinginan itu. Namun, ada kalanya wujud ketidak harmonisan antara
unsur akal dan nafsu dalam jiwa manusia. Akibatnya, tindak-tanduk itu
memberi kesan positif kepada kesejahteraan manusia sejagat. Maka, timbul
krisis seperti masalah alam sekitar.40
ا احغ ك احغ ا انذ ثك ي ظ ص ل ذ خشج اس ال انذىك للا ذ ا ا اترغ ف
ل ذثغ ك ان للا فغذ ل حة ان
للا انفغاد فى السض ا
Artinya: Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
39
Abuddin Nata, Akhlak Tasawwuf dan Karakter Mulia, (Jakarta, Rajawali Press, 2015), h.129. 40
Edy Sukardi, Buku Pintar Akhlak Terpuji, (Jakarta: AMP Press, 2016), h.174-175.
19
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan. (QS. Al-Qasas [28] 77)
C. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Akhlak
Menurut Abuddin Nata, pembentukan akhlak adalah upaya yang dilakukan
orang tua atau pendidik dengan sungguh-sungguh dalam membentuk karakter dan
kepribadian anak melalui bimbingan, pembinaan dan pendidikan menggunakan
program-program yang telah direncanakan dan konsisten.41
Akhlak anak usia dini dan perkembangannya dalam tataran kehidupan
mereka dapat diuraikan sebagai berikut: Sikap dan cara berhubungan dengan
orang lain, cara berpakaian dan berpenampilan, sikap dan kebiasaaan makan dan
sikap perilaku anak yang memperlancar hubunganya denga orang lain.42
Ada tiga aliran yang menjelaskan faktor-faktor yang mempengaruhi
pembentukan akhlak yaitu:
1) Aliran nativisme, menurut aliran ini factor yang paling berpengaruh terhadap
pembentukan diri seseorang adalah pembawaan dari dalam (kecendrungan,
bakat, akal dan lain-lain).
2) Aliran empirisme, menurut aliran ini faktor dari luar sagat berpengaruh
terhadap pembentukan diri seseorang seperti lingkungan sosial, termask
pembinaan dan pendidikan yang diberikan.
3) Aliran konvergensi, berpendapat bahwa pembentukan akhlak dipengaruhi oleh
faktor internal yaitu pembawaan si anak dan faktor dari luar yaitu pendidikan
dan pembinaan yang dibuat secara khusus atau melalui interaksi dalam
lingkungan sosial.43
Pembinaan akhlak pada anak harus dilakukan sejak dini sebagai
pedoman yang dapat mengarahkan anak agar berperilaku sesuai dengan
aturan. Membina akhlak anak perlu dilakukan dengan mengarahkan anak pada
pengenalan kehidupan anak saat berinteraksi dengan orang lain.44
Perilaku akhlak merupakan produk dari pengetahuan akhlak dan perasaan
akhlak, yaitu mewujudkan penalaran akhlak menjadi perilaku yang nyata. Tiga
41
Abuddin Nata, Akhlak Tasawwuf. (Jakarta: Rajawali Pers: 2010), h.155 42
Mahjuddin, Akhlak Tasawwuf, (Jakarta: Kalam Mulia, 2009), h.7 43
Abuddin Nata, Akhlak Tasawwuf, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996) h. 167 44
Supriyanto, D. (2015). “Perkembangan Nilai Agama dan Moral Anak dan Pendidikan
Keagamaan Orangtua”.Modeling : Jurnal Program Studi PGMI, 87–105.
20
aspek yang perlu dipahami dalam mendorong anak untuk melakukan perilaku
akhlak yang baik antara lain:
a. Kompetensi (Competence)
Anak yang memiliki kompetensi akhlak berati ia dapat mengubah
pengetahuan dan perasaan menjadi perilaku akhlak yang efektif dan nyata.
b. Keinginan (Will)
Keinginan dibutuhkan untuk mengendalikan emosi. Anak membutuhkan
kehendak untuk memikirkan keadaan melalui semua aspek akhlak,
mendahulukan kewajiban, bukan kesenangan semata, serta menahan diri dari
godaan teman sebaya dan melawan hal-hal yang tidak baik.
c. Kebiasaan (Habit)
Kebiasaan merupakan faktor yang membentuk perilaku akhlak. Anak yang
berkarakter akan melakukan tindakan dengan sungguh-sungguh, memiliki
loyalitas, keberanian, berbudi pekerti yang baik, serta adil. Bahkan, seringkali
anak menentukan “pilihan yang benar” dengan tidak sadar, karena mereka
memiliki kebiasaan untuk beperilaku benar.45
D. Konsep Karakter
1. Definisi Karakter
Kata karakter menurut Dani Setiawan yang dikutip oleh Agus Wibowo
dalam bukunya mengatakan bahwa karakter berasal dari kata Latin “kharakter”,
“Kharassein” dan “Kharax” yang berarti “tools for making”, “to engrave” dan
“pointed stake”. Kata karakter juga berasal dari bahasa prancis “caractere” yang
diartikan dalam bahasa Inggris dengan kata “character” yang kemudian menjadi
bahasa Indonesia “karakter.46
Menurut Michael Novak karakter merupakan “campuran kompatibel dari
seluruh kebaikan yang diidentifikasi oleh tradisi religius, cerita sastra, kaum
bijaksana, dan kumpulan orang berakal sehat yang ada dalam sejarah.”47
Sementara itu, Masnur Muslich menyatakan bahwa karakter merupakan nilai-nilai
perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri,
45
Falakhul Auliya dkk, Kecerdasan Moral Anak Usia Dini, (Pekalongan: PT. Nasya Expanding
Management Penerbit NEM - Anggota IKAPI, 2020) h. 20-22 46
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 64. 47
Lickona, Thomas. Mendidik Untuk Membentuk Karakter: Bagaimana Sekolah dapat
Memberikan Pendidikan Sikap Hormat dan Bertanggung Jawab. (Penerjemah: Juma Abdu Wamaungo.
Jakarta: Bumi Aksara. 2012), h. 81
21
sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap,
perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata
krama, budaya, dan adat istiadat.48
Karakter adalah ciri khas yang dimiliki oleh suatu benda atau individu.
Ciri khas tersebut asli dan mengakar pada kepribadian benda atau individu
tersebut, dan merupakan mesin yang mendorong bagaimana seseorang bertindak,
bersikap, berujar, dan merespon sesuatu.49
Selanjutnya, menurut Maksudin yang
dimaksud karakter adalah ciri khas setiap individu berkenaan dengan jati dirinya
(daya qalbu), yang merupakan saripati kualitas batiniah/rohaniah, cara berpikir,
cara berperilaku (sikap dan perbuatan lahiriah) hidup seseorang dan bekerja sama
baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa maupun negara.50
Dari pendapat para ahli di atas, dapat disimpulkan bahwa karakter adalah
sesuatu yang terdapat pada individu yang menjadi ciri khas kepribadian individu
yang berbeda dengan orang lain berupa sikap, pikiran, dan tindakan. Ciri khas tiap
individu tersebut berguna untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
E. Pengertian Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian
seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlibat dalam tindakan
nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, dan
sebagainya.51
Membangun karakter itu harus dimulai sedini mungkin, disamping
itu pendidikan karakter juga mengembangkan semua potensi anak. Perkembangan
anak juga harus seimbang, baik dari segi akademiknya maupun dari sosial dan
emosinya.52
Pendidikan karakter terdiri dari dua suku kata yakni pendidikan dan
karakter. Menurut Undang-Undang nomor 20 tahun 2003 pasal 1 ayat 1 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, bahwa “pendidikan adalah usaha sadar dan terencana
48
Masnur Muslich. Pendidikan Karakter: Menjawab Tantangan KrisisMultidimensional. (Jakarta:
Bumi Aksara. 2011), h.84 49
Jamal Ma‟mur Asmani. Buku Panduan Internalisasi Pendidikan Karakterdi Sekolah.
(Yogyakarta: Diva Press. 2011), h.23 50
Maksudin.Pendidikan Karakter Non-Dikotomik (Yogyakarta:Pustaka Pelajar.2013), h.3 51
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2012),h.23. 52
Ihsana El-Khuluqo, Manajemen PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015), 63.
22
untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik
secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara”. Menurut
Dewantara, pendidikan merupakan tuntutan dalam hidup, artinya bahwa
pendidikan merupakan proses menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada
anak, agar tercapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik
sebagai manusia maupun anggota masyarakat.53
Anak usia dini harus dibiasakan dengan melakukan hal-hal yang baik
sesuai kemampuannya sehingga ketika perilaku baik sudah melekat pada dirinya
ketika itu dikatakan sebagai anak yang berkarakter baik.54
Dalam pendidikan
karakter akan membentuk kepribadian seseorang yang terdiri dari tiga komponen
yaitu Moral knowing, Moral feeling dan Moral action.55
Yang artinya seorang
anak akan mampu untuk memahami, merasakan dan melakukan nilai-nilai
kebaikan sesuai dengan aturan. Budaya sekolah merupakan salah satu upaya
dalam menanamkan karakter pada anak. Dengan budaya sekolah yang ada,
penanaman karakter anak ini akan terus menerus dibangun, dan dalam
pelaksanaannya semua anggota sekolah harus mengikutinya.
Sehingga pada dasarnya seorang anak akan menirukan apa yang mereka
lihat. Ketika seorang guru menjadi suri tauladan yang baik pada anak, maka anak
akan juga melakukan apa yang akan menjadi tujuan pendidikan. Selain itu budaya
sekolah juga dikondisikan dengan nilai-nilai karakter yang akan dikembangkan
baik dalam aturan ruangan atau benda-benda yang akan membantu dalam proses
penanaman karakter pada anak. Bukan hanya itu, metode juga merupakan salah
satu hal penting yang berperan dalam penanaman karakter anak. Ketika metode
yang digunakan menarik dapat dapat diterima dengan mudah oleh anak, maka
penanaman karakter itu akan lebih mudah ditanamkan pada anak.
Terdapat sumber tahapan yang menyatakan fase atau tahap pendidikan
karakter pada anak usia dini sesuai dengan umurnya yaitu:56
1) Usia 0-3 tahun
53
Dewantara, Ki Hadjar. Menuju Manusia Merdeka. Yogyakarta: Leutika, 2009). h.3 54
Ihsana El-Khuluqo, Manajemen PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini)(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2015), h.81. 55
Fadlillah Martono, Desain Pembelajaran PAUD (Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012).h.34. 56
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h.88-90
23
Pada fase umur ini, anak lebih membutuhkan peran keluarga terlebih
kedua orang tuanya dalam pembentukan karakternya. Karena pada fase ini,
anak sangat membutuhkan cinta dan kasih sayang dari orang tuanya
2) Usia 2-3 tahun
Pada fase umur ini, sebaiknya anak sudah diperkenalkan dengan sopan-
santun yang sesuai dengan adat dan nilai-nilai karakter, serta perkenalkan
anak dengan perilaku yang baik dan salah. Pada usia ini orang tua harus
sangat sabar pada anak, karena pada usia ini anak sudah mulai mencoba-
coba dan penasaran dengan melanggar aturan yang telah diajarkan.
3) Usia 4 tahun
Pada fase umur ini anak sudah mengalami masa egosentris, yang mana
anak lebih suka memaksakan kehendaknya tanpa memikirkan
lingkungannya, dan ia sudah mulai senang melanggar aturan-aturan.
Namun pada usia ini anak juga lebih lebih mudah untuk didorong
melakukan perbuatan yang baik dengan adanya hadiah yang telah
dijanjikan. Karena pada masa ini anak sudah mengerti antara hadiah dan
hukuman dalam perbuatannya.
4) Usia 4,5 - 6 tahun
Pada fase umur ini anak sudah mulai bisa diajak kerjasama agar sama-
sama mentaati aturan yang telah dibuat agar terhindar dari hukuman yang
telah dibuat.
5) Usia 6,5 – 8 tahun
Pada fase usia ini anak sudah mulai memiliki pikiran seperti orang dewasa,
dia tidak lagi berpikir bahwa orang dewasa memerintah mereka. Mereka
sudah berpikir konsep balas-membalas, ketika ada seorang yang berbuat
baik padanya, maka dia juga akan bersikap baik padanya, tapi ketika ada
seseorang yang berbuat tidak baik padanya, maka ia akan bersikap yang
tidak baik juga.
F. Fungsi, Tujuan dan Urgensi Pendidikan Karakter
1. Fungsi Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter berfungsi mengembangkan potensi dasar agar
berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik, memperkuat dan
membangun perilaku bangsa yang multikultur, serta meningkatkan peradaban
24
bangsa yang kompetitif dalam pergaulan dunia. Media implementasi
pendidikan karakter dapat berupa lingkungan keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat sipil, masyarakat politik, pemerintah, dunia usaha, dan media
massa.57
2. Tujuan Pendidikan Karakter
Menurut Kemendiknas, bahwa pendidikan karakter bertujuan
mengembangkan nilai-nilai yang membentuk karakter bangsa yaitu Pancasila,
meliputi:(a) mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia
berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik; (b) membangun bangsa
yang berkarakter Pancasila; (c) mengembangkan potensi warganegara agar
memiliki sikap percaya diri, bangga pada bangsa dan negaranya serta mencintai
umat manusia. Pendidikan karakter juga berfungsi yakni:(a) membangun
kehidupan kebangsaan yang multikultural; (b) membangun peradaban bangsa
yang cerdas, berbudaya luhur, dan mampu berkontribusi terhadap
pengembangan kehidupan umat manusia; mengembangkan potensi dasar agar
berhati baik, berpikiran baik, dan berperilaku baik serta keteladanan baik; (c)
membangun sikap warganegara yang cinta damai, kreatif, mandiri, dan mampu
hidup berdampingan dengan bangsa lain dalam suatu harmoni. Pendidikan
karakter dilakukan melalui berbagai media yaitu keluarga, satuan pendidikan,
masyarakat, pemerintah, dunia usaha, dan media massa.58
Aqib dan Amrullah, juga menguraikan tentang tujuan, fungsi, dan
media pendidikan karakter. Menurut mereka bahwa pendidikan karakter pada
intinya bertujuan untuk membentuk bangsa yang tangguh, kompetitif,
berakhlak mulia, bermoral, bertoleran, bergotong-royong, berjiwa patriotik,
berkembang dinamis, berorientasi ilmu pengetahuan dan teknologi yang
kesemuanya itu dijiwai oleh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berdasarkan pancasila.
Selanjutnya, menurut Kurniasih dan Sani, mengatakan bahwa pada
dasarnya, tujuan pendidikan karakter adalah untuk meningkatkan mutu
penyelenggaraan dan hasil pendidikan yang mengarah pada pencapaian
pembentukan karakter atau akhlak mulia peserta didik secara utuh, terpadu, dan
57
Aqib, Z., & Amrullah, A. Ensiklopedia Pendidikan & Psikologi. Yogyakarta: ANDI. 2017. h.4-5 58
Kemendiknas. Pengembangan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. (Jakarta: Badan
Penelitian dan Pengembangan Pusat Kurikulum. 2011), h.7
25
seimbang, sesuai dengan standar kompetensi lulusan. Dengan adanya
pendidikan karakter, maka diharapkan peserta didik mampu secara mandiri
meningkatkan serta menggunakan pengetahuannya, mengkaji serta
menginternalisasikan, mempersonalisasikan nilai-nilai karakter dan akhlak
mulia sehingga terwujud dalam perilaku sehari-hari.59
Lebih lanjut, Kurniasih
dan Sani, mengatakan bahwa tujuan pendidikan karakter memiliki fokus pada
pengembangan potensi peserta didik secara keseluruhan, agar dapat menjadi
individu yang siap menghadapi masa depan dan mampu survive mengatasi
tantangan jaman yang dinamis dengan perilaku-perilaku yang terpuji dan tidak
tercela.60
G. Hasil Penelitian Yang Relevan
1. Penelitian “Konsep Pendidikan Akhlak Persepktif Abdullah Nashih Ulwan”
(Library research, Kualitatif). Oleh Ita Humairah pada tahun 2012.
Menjelaskan tentang pendidikan akhlak dalam konsep Abdullah Nashih Ulwan.
Dia menjelaskan tentang bahwa konsep akhlak kepada Allah dan makhluk-Nya
hendaknya bersumber dari al-Qur‟an dan as-Sunah. Pada dasar pembentukkan
akhlak menurut Abdullah Nasih Ulwan menyebutkan bahwa keimanan kepada
Allah yang telah berkaitan dengan ketauhidan atau kepercayaan terhadap
Tuhan, telah menjadi dasar pendidikan akhlak. Secara khusus konsep
pendidikan akhlak terhadap Allah Swt meliputi: keikhlasan ketakwaan dan
penyabar. Perbedaannya skripsi ini menggunakan tokoh yang berlandaskan
Abdullah Nasih Ulwan. Persamaan adalah sama-sama menggunakan metode
kualitatif dan menjelaskan tentang Pendidikan Akhlak, sedangkan peneliti
menjelaskan tentang konsep pembinaan kepribadian anak menurut kitab
Ayyuhal Walad Imam Ghazali dan relevansinya terhadap pendidikan Akhlak
anak usia dini.
2. Penelitian yang dibuat oleh Rendi Setiawan. Jurusan Pendidikan Agama Islam,
Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2013.
Skripsi yang berjudul “Studi Komparasi Pemikiran Abdullah Nasih Ulwan dan
Zakiah Drajat terhadap Pendidikan Agama Islam pada Anak” Penelitian ini
59
Kurniasih, Imas dan Sani, Berlin. Ragam pengembangan model pembelajaran untuk
peningkatan profesionalitas guru. (Bandung: Kata Pena, 2017). h. 25 60
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h.88-90
26
membahas konsep pendidikan agama Islam pada anak menurut Abdullah
Nashih Ulwan dan Zakiyah Drajat, di penelitian ini menjelaskan konsep
pendidikan agama Islam pada anak itu berdasarkan materi, metode dan
lingkungan pendidikan. Perbedaannya di dalam skripsi ini metode yang
digunakan adalah metode keteladanan dan kebiasaan lingkungan yang
digunakan adalah lingkungan pendidikan. Skripsi ini menggunakan metode
penelitian pustaka, penelitian ini menggunakan metode pendekatan kualitatif
dan dalam penyajian datanya menggunakan deskriptif analisis. Persamaannya
skripsi Rendi Setiawan dengan saya, sama-sama menggunakan penelitian
kepustakaan dan membahasa tentang pendidikan anak menurut studi tokoh.
Perbedaaan dari skrispi ini adalah, jika skripsi ini membahas pendidikan agama
untuk anak menurut Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiyah Drajat, sedangkan
saya membahas konsep pembinaan kepribadian anak menurut kitab Ayyuhal
Walad Imam Ghazali dan relevansinya terhadap pendidikan Akhlak anak usia
dini. Skrpsi ini juga melibatkan dua tokoh karena studi komperasi yaitu
Abdullah Nashih Ulwan dan Zakiyah Drajat, sedangkan saya hanya satu yaitu
Imam Ghazali.
3. Penelitian Fitri Nur Chasanah dengan judul “Pendidikan Karakter Kajian
Pemikiran Imam Al-Ghazali dalam Kitab Ayyuhal Walad”. Kitab Ayyuhal
Walad karya Imam Al-Ghazali, didalamnya antara lain berisi : tentang akidah
yaitu beriman kepada Allah Swt, anjuran beribadah kepada Allah, dan nasihat-
nasihat yang edukatif terhadap anak. Khusus dengan pendidikan meliputi:
materi (subject matter) tentang akhlak, metode dan tujuan pendidikan.
Pendidikan karakter kajian pemikiran Imam Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal
Walad mencakup dua nilai yakni: nilai individu yang meliputi karakter religius
dan nilai kolektif atau sosial yang meliputi karakter peduli sosial, tanggung
jawab, kerja keras, menghargai prestasi. Adapun metode yang ditawarkan
Imam Al-Ghazali memiliki kesamaan dalam konteks penyesuaian metode
terhadap perkembangan anak. Tujuan pendidikan yang dikemukakan Imam Al-
Ghazali memiliki relevansi dengan tujuan Pendidikan Agama Islam konsep
Akhlak anak usia dini.
4. Penelitian Syahraini Tambak dengan judul “Pemikiran Pendidikan al-Ghazali”.
Hasil tulisan ini adalah bahwa bangunan pemikiran pendidikan al-Ghazali
27
bersifat religius-etis. tujuan pendidikan al-Ghazali mencakup tiga aspek, yaitu
aspek kognitif, aspek apektif, dan aspek psikomotorik. Metode pengajaran Al-
Ghazali menekankan bagi guru yang memberikan ilmu dituntut menggunakan
metode teladan dan dialog dalam proses pembelajaran. Persamaan adalah
sama-sama menggunakan metode kualitatif dan menjelaskan tentang
Pendidikan Akhlak, sedangkan peneliti menjelaskan tentang konsep pembinaan
kepribadian anak menurut kitab Ayyuhal Walad Imam Ghazali dan
relevansinya terhadap pendidikan akhlak anak usia dini.
Persamaan dari keempat karya tulis tersebut dengan skripsi yang penulis buat
ialah saling menganalisis tentang pendidikan, tetapi perbedaan disini penulis
mengaitkan tentang nilai-nilai pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhal Walad
dengan pendidikan karakter dalam sistem pendidikan nasional.
28
BAB III
BIOGRAFI AL-GHAZALI
A. Riwayat Hidup Al-Ghazali
Al-Ghazali dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali61
dan lebih dikenal dengan sebutan al-Ghazali. Ia dikenal sebagai ahli
fiqih, kalam, seorang filosof dan seorang yang membawa pembaharu terhadap
tafsiran ajaran-ajaran islam, dan yang berkenaan dengan kemasyarakatan, bahkan
juga sebagai tokoh pendidik akhlak berstandar islam. Ia lahir pada tahun 450 H.
(1058 M) di suatu daerah yang bernama Ghazalah, Tunisia, suatu kota di
Khusaran, Persia.62
Al-Ghazali seorang tokoh fiqih dan sufi, bermazhab Syafi‟i dan mengikuti
firqah Asy‟ariah dalam berakidah al-Ghazali juga populer dengan sebutan
Hujjatul Islam, Zainuddin at-Tusi (Penghias agama)63
. Namanya kadang
diucapkan Ghazzali (dua z), artinya tukang pintal benang, karena pekerjaan ayah
Al-Ghazali ialah tukang pintal benang wol. Sedangkan yang lazim ialah Ghazali
(satu),64
disebut demikian karena beliau dilahirkan di Ghazalah di kota thus
termasuk daerah Khurasan Iran pada tahun 450 H/1058 M.
Imam al-Ghazali dengan nama lengkap Abu Hamid Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad al-Ghazali at-Thusi, tapi dalam dunia islam ia lebih
dikenal dengan sebutan al-Ghazali saja. Al-Ghazali juga populer dengan sebutan
Hujjatul Islam, Zainuddin at-Thusi (Penghias Agama), al-Faqih asy-Syafi‟i dan
Bahrun Mugriq. Ia juga dijuluki the spiner yang berarti pemintal atau penenun.
Al-Ghazali juga hidup pada masa pemerintahan „Abbasiyah II, ia lahir di tengah-
61
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2009), h.9 62
Hasan Asari, The educationalk Thought of al-Ghazali: Theori and Praktice, Tesis Montreal:
Institute of Islamic Studies (t.tMcGill University, 1993),h. 27 63
Yusuf al-Qardhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan Kontra, alih bahasa, Hasan Abrori, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1996), h.39 64
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2009), h. 9
29
tengah keluarga yang tinggi religiusitasnya. Adapun ayahnya Muhammad yaitu
seorang penenun dan pemintal kain wol dan menjualnya di tokonya sendiri di
Thus, di luar kesibukannya. Ia senantiasa menghadiri majelis- majelis pengajian
yang diselenggarakan para ulama.65
Karena pekerjaan ayahnya adalah memintal benang wol, adanya tergolong
orang yang hidup sederhana sebagai pemintal benang, tetapi mempunyai semangat
keagamaan yang tinggi seperti terlihat pada simpatinya kepada para ulama dan
mengharap anaknya agar menjadi ulama yang selalu memberi nasehat.66
Al-Ghazali juga mempunyai seorang saudara laki-laki yang bernama Abu
al-Futuh Ahmad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad at-Thusi al-Ghazali
yang dikenal dengan julukan Majdudin.67
Dengan terbentuknya dari keluarga
religius mengarahkan keduanya untuk menjadi ulama besar. Hanya saja
saudaranya lebih cenderung kepada kegiatan dakwah dibanding al-Ghazali yang
menjadi penulis dan pemikir.
Ayahnya al-Ghazali disebut seorang pencinta ilmu, bercita-cita tinggi dan
seorang muslim yang soleh taat menjalankan agama. Tapi sangat disayangkan,
ajalnya tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menyaksikan segala
keinginan dan do‟anya tercapai. Ia meninggal sewaktu al-Ghazali dan saudaranya
al-Ghazali masih kecil. Margaret Smith mencatat bahwa ibu al-Ghazali masih
hidup dan berada di Baghdad sewaktu ia dan saudaranya al-Ghazali sudah
menjadi terkenal.
Pada keluarga al-Ghazali yang sangat sederhana itu, ayahnya menggemari
pola hidup sufi. Sehingga ketika dia sudah merasa ajalnya segera tiba, dan sempat
berwasiat kepada seorang sufi, teman karibnya yang bernama Ahmad bin
Muhammad ar-Razakani at-Thusi ahli taSawuf dan Fiqh dari Thus, untuk
memelihara dua orang anaknya yang masih kecil-kecil, yaitu Muhammad dan
Ahmad dengan bekal sedikit warisannya. Sufi itu pun menerima wasiatnya.
Setelah harta tersebut habis, sufi yang hidup faqir itu tak mampu
memberinya tambahan. Maka al-Ghazali dan adiknya diserahkan ke sebuah
65
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar
(Yogyakarta:1998),h.15 66
Zaenal Abidin Ahmad, Riwayat hidup Imam al-Ghazali (Jakarta:Bulan Bintang, 1975),
h.28 67
Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), h. 9
30
madrasah di Thusi untuk bisa memperoleh pakaian, makan dan pendidikan. Di
sinilah awal mula perkembangan intelektual dan spritual al-Ghazali yang penuh
arti sampai akhir hayatnya. Tidak diragukan lagi, bahwa al-Ghazali adalah salah
seorang pemikir besar islam dan filsafat kemanusiaan, disamping sebagai salah
seorang pribadi yang memiliki berbagai kegeniusan dan banyak karya. Al-Ghazali
adalah pakar ilmu Syari‟ah pada dekadenya, disamping itu dia juga menguasai
ilmu Fiqh, Ushul Fiqh, Kalam, Mantiq, Filsafat, Taswuf, Akhlak dan sebagainya.
Pada tiap-tiap disiplin ilmu tersebut, al-Ghazali telah menuliskannya
secara mendalam, murni dan bernilai tinggi. Banyak tokoh yang
mengungkapkannya pujian dan kekagumannya pada al-Ghazali Imamal-
Haramain. Seperti gurunya ia berkata al-Ghazali adalah lautan tanpa tepi,
sementara salah seorang muridnya yaitu Imam Muhammad bin Yahya berkata,
“Imam al-Ghazali adalah Hujjatul Islam bagi kaum muslimin imam dari para
imam agama, pribadi yang tidak pernah dilihat oleh mata pada diri tokoh-tokoh
selainnya, baik lisannya, ucapannya, kercerdasan maupun tabiatnya.68
Pendidikan dan karir intelektual al-Ghazali pendidikan dimasa anak-anak
dikampung halamannya. Setelah ayahnya meninggal dunia ia dan saudaranya di
didik oleh Ahmad bin Muhammad ar-Razakani at-Thusi, seorang sufi yang
mendapat wasiat dari ayahnya untuk mengasuh mereka.69
Imam al-Ghazali
menjadi sarjana dan ilmuwan. Bakat intelektualnya mengejutkan banyak orang,
tidak hanya di kalangan muslim, tetapi juga di kalangan cendekiawan barat.70
Dan
kepadanyalah kali pertama al-Ghazali mempelajari fiqh. Namun setelah sufi
tersebut tidak sanggup lagi mengasuh mereka, mereka dimasukkan ke sebuah
madarsah di Thus. Setelah mempelajari dasar-dasar Fiqh di kampung halamannya,
ia merantau ke Jurjan pada tahun 465 H, sebuah kota di Persia yang terletak antara
kota Tabristan dan Nisabur. Di Jurjan ia pun memperluas wawasannya tentang
Fiqh dengan berguru kepada seorang Fakih yang bernama Abu al-Qasim Isma‟il
bin Mus‟idah al-Isma‟illy atau yang populer dengan nama Imam Abu Nasr al-
Isma‟ily.
68
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar
(Yogyakarta:1998), h.17 69
Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009), h.9 70
Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam,
(Madiun: Jaya Star Nine,2013), h.19
31
Setelah kembali Thus, al-Ghazali yang telah berusia 20 tahun berangkat
lagi ke Nisabur pada tahun 470 H untuk belajar kepada salah seorang ulama
Asy‟ariyyah, yaitu yang bernama Imam Abu al-Ma‟ali al-Juwaini dan
mengikutinya sampai gurunya tersebut meninggal dunia pada tahun 1016 M/478H
Al-Juwaini lebih dikenal dengan nama Imamal-Haramain. Al-Ghazali belajar
kepadanya dalam bidang (Fiqh, Ilmu debat, Mantiq, Filsafat dan Ilmu kalam).71
Dengan meninggalnya Imam al-Haramain, maka al-Ghazali pun dengan
bekal kecakapan dan kecerdasannya menggantikan peran gurunya sebagai
pemimpin pada madrasah yang didirikan Imam al-Haramain di Nisabur.72
Disamping itu, al-Ghazali juga belajar taSawuf kepada dua orang sufi, yaitu Imam
Yusuf al-Nasaj dan Imam Abu „Ali al-Fadl bin Muhammad bin „Ali al-Farmazi at-
Thusi. Ia juga belajar hadist kepada banyak ulama hadist, seperti Abu Sahal
Muhammad bin Ahmad al-Hafsi al Marwaziy, Abu al-Fath Nasr bin „Ali bin
Ahmad al-Hakimi at-Thusi, Abu Muhammad „Abdullah bin Ahmad al-Khuwariy,
Muhammad bin Yahya bin Muhammad as-Sujja‟i al-Zauzani, al-Hafiz Abu al-
Fityan „Umar bin Abi al-Hasan ar-Ru‟asi al-Dahistaniy dan Nasr bin Ibrahim al-
Maqdisi.
Setelah al-Juwaini meninggal dunia, al-Ghazali mengunjungi tempat
kediaman seorang wazir (menteri) pada masa pemerintah Sultan „Adud ad-Daulah
Alp Arselan (455H/1063M-265 H/1072 M) dan Jalal ad-Daulah Malik Syah (465
H?1072M-485H/1092 M) dari Dinasti Salajiqah di al-„Askar, sebuah kota di
Persia.73
Wazir tersebut bernama Nizam al-Mulk. Wazir kagum atas pandangan-
pandangan al-Ghazali sehingga al-Ghazali diminta untuk mengajar Fiqh asy-
Syafi‟iyah di perguruan tingginya Nizham al-Mulk di Baghdad yang lebih dikenal
dengan perguruan atau madrasah Nizhamiyah al-Ghazali mengajar di Bahghad
pada tahun (484H/1091 M). Pada saat inilah al-Ghazali yang pada waktu itu
berusia 34 tahun memperoleh berbagai gelar dalam dunia islam dan mencapai
puncak karirnya yang ia capai dalam usia yang masih relatif sangat muda.74
71
Ahmad, Tafsir Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.(Bandung: Remaja Rosda
Karya,2004),h.45 72
Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam,
(Madiun: Jaya Star Nine,2013),h.20 73
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2012),h.206. 74
H. M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar,2009), h.63-64
32
Empat tahun lamanya al-Ghazali mengajar di Bahgdad. Kemudian ia
meninggalkan Baghdad menuju Mekkah untuk menunaikan ibadah haji kedua
kalinya pada tahun 488 H.75
Setelah ia mewakilkan tugasnya kepada saudaranya
dan terus melanjutkan perjalanan ke Damaskus. Di sini ia hidup sebagai seorang
zahid yang mendalami suasana batin, meninggalkan kemewahan dan menyucikan
diri dari dosa selama kurang dari 2 tahun lamanya. Kemudian pada akhir tahun
490 H/1098 M. Dia pergi ke Hebron dan Bait al-Maqdis, Palestina dan
melanjutkannya perjalanannya ke Mesir serta hendak ke Maroko dengan maksud
untuk bertemu dengan salah seorang Amir dari pemerintah Murabithun.
Namun sebelum keinginannya tercapai al-Ghazali mendengar kabar
kematian Amir tersebut. Lantas ia membatalkan niatnya dan kembali ke Timur
menuju tanah suci Mekkah dan Madinah. Selanjutnya ia kembali ke Nisabur dan
diangkat oleh Fakhr al-Mulk (putra Nizham al-Mulk) Perdana Menteri dari
Gubernur Khurasan Sanjar yang merupakan salah seorang puta Malik Syah,
sebagai Presiden dari perguruan di Nisabur pada tahun 1105.76
Tidak lama di
Nisabur, kemudian ia kembali ke Thus dan mendirikan madrasah yang
mempelajari teologi, tasawwuf, serta madrasah fiqh yang khusus mempelajari
ilmu hukum. Di sinilah al-Ghazali menghabiskan sisa hidupnya setelah
mengabdikan diri untuk pengetahuan berpuluh tahun lamanya dan sesudah
memperoleh kebenaran yang sejati.77
Latar belakang sosial politik situasi islam dalam perjalanan sejarahnya
tidak lepas dari kehidupan politik yang tidak jarang menumbuhkan benih-benih
konflik baik internal maupun eksternal. Konflik yang terjadi di kalangan umat
islam telah muncul secara jelas sejak masa Khalifah „Usman bin Affan dan pada
saat inilah maka umat islam berselisih dalam dua medan: Imamah (politik) dan
Ushul (teologi).
Dalam medan politik muncul partai dan aliran Khawarij, Syi‟ah dan
Murji‟ah serta lahir Daulat Umawiah yang berpusat di Damaskus (40-132H)
kemudian Daulat „Abbasiyah di Baghdad (132-656H), disamping sisa Daulat
Umawiyah di Spanyol (138-403H), yang di masa al-Ghazali sudah terkeping-
75
Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009),h.9 76
Fadjar Noegraha Syamhoedie, Tasawwuf Kehidupan al-Ghazali; Refleksi Petualangan
Intelektual dari Teolog, Filosof hingga Sufi, (Ciputat: CV. Putra Harapan,2009), h. 202-204. 77
Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam.(Bandung: Remaja Rosda
Karya,2004),h.49
33
keping menjadi kerajaan-kerajaan kecil (Muluk al-Twa‟if), dan Daulat
Fathimiyah/Isma‟iliyyah di Mesir (297-567 H) yang hal tersebut menandakan
adanya pergeseran doktrin politik islam yang hakiki kepada monarkisme yang
secara umum lebih mencerminkan nepotisme dan ambisi duniawi dan duniawi
oleh konflik-konflik politik berkepanjangan.78
Tetapi umat Islam sendiri, pasca “Tahun Perdamaian” („Am al-Jama‟ah)
yang dipelopori oleh Hasan bin „Ali Ibn „Abbas, dan Ibn „Umar tidak terbawa
hanyut ke dalam arus emosi di atas. Mereka menarik diri dari pentas politik
praktis untuk bergerak dalam dunia ilmu dan dakwah. Meski hal ini membawa
akses berupa munculnya semacam dualisme kepemimpinan umat, yaitu “Ulama”
dan “Umara” tetapi dengan cara ini dapat dipertahankan sedemikian jauh
kemurnian islam dan objektivitas ilmu, disamping tercapainya kemajuan ilmu dan
dakwah sendiri. Para penerusnya inilah yang kemudian disebut Ahl As-Sunnah wa
al-Jama‟ah yang salah satu tokohnya adalah al-Ghazali.79
Sepanjang perjalanan Daulat „Abbasiyah kompetisi dan konflik
berlangsung antara Bani „Abbas dan Syi‟ah Mu‟tazilah yang lebih dominan
disebabkan oleh perbedaan faham dan ideologi. Bahkan krisis politik Dinasti
“Abasyiah yang sangat kompleks ini memaksa jatuhnya otoritas ekslusif
kekhalifahan „Abbasiyah ke tangan sultan-sultan yang membagi wilayah
„Abbasiyah menjadi beberapa daerah kesultanan yang independen. Diantaranya
adalah Dinasti Saljuk yang didirikan oleh Togrel Bek (1037-1063) M) hingga
akhirnya dapat menguasai kota Baghdad pada tahun 1055 M, tiga tahun sebelum
al-Ghazali lahir, sekaligus menandai berakhirnya kekuasaan Bani Buawahi yang
sempat berkuasa selama 113 (334-447 H/945-1055 M).80
Maka sejak saat itu berdirilah kekuasaan independen Dinasti Saljuk yang
Sunni dengan corak keagamaan yang kuat. Dan pada masa Dinasti saljuk inilah
terutama sejak dipegang oleh Sultan Arselan lalu Malik Syah dengan wazirnya
yang masyhur, Nizham al-Mulk “Abbasiyah mencapai puncak kejayaannya
kembali. Namun pada masa Dinasti Saljuk pun tidak lepas dari adanya konflik-
konflik yang dilatar belakangi oleh perbedaan aliran keislaman. Faktor eksternal
78
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2013),h.134 79
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar
(Yogyakarta:1998), h.27 80
K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996), h.409.
34
yang memungkinkan jayanya kembali Dinasti „Abbasiyah adalah kondisi Dinasti
Fathimiy yang menganut Syi‟ah Isma‟iliyyah di Mesir yang sedang mengalami
kemorosotan menuju keruntuhannya baik karena krisis ekonomi, politik internal
maupun karena desakkan negara-negara Muharabithin yang Sunny-Maliky di
Afrika Utara hingga sebagian Sudan dan berafilasi ke Abbasiyah.81
Sedang „Abbasiyah pusat sendiri terus menerus mendesak dari arah Timur
dan Utara. Dengan sendirinya Isma‟iliy Yaman pun (Bani Sulaihi 483-569 H) ikut
menyusut. Namun sepeninggal Malik Syah dan Nizham al-Mulk, „Abbasiyah
berubah drastis yang akan diikuti oleh perubahan drastis pula dalam kehidupan al-
Ghazali. Merosotnya otoritas pemerintah disebabkan oleh adanya konflik atau
perang saudara yang berkepanjangan di kalangan istana (internal).82
Keadaan ini
diperparah lagi dengan bangkitnya kaum Bathiniyyah/Isma‟iliyyah/Ta‟limiyah di
Timur yang melancarkan teror-teror sehingga memakan korban salah satunya
Wazir Nizham Mulk.
Pada situasi ini dunia Kristen Eropa melancarakan Perang Salib di
Timur,83
sehingga mereka berhasil mengguncang Syiria dan mendirikan kerajaan-
kerajaan Kristen latin di Baitul Maqdis, Antiocia, Tarabils dan Ruha sejak tahun
490 H/1098 M. Sementara al-Ghazali masih berkhalwat mencari ilmu yakini di
Syam dan sekitarnya. Ia sendiri menilai masa ini sebagai masa fatrah
(menghiraukan dari ajaran agama), dimana ilmu-ilmu agama sudah mati, sehingga
perlu dilakukan pembaharuan (tajdid) atau menghidupkan kembali ilmu-ilmu
agama (Ihya „Ulum ad-Din).
Disimpulkan bahwa pada saat ini al-Ghazali dengan hidup dalam suasana
dan kondisi Islam yang sudah menunjukkan kemorosotan dan kemunduran dalam
beberapa aspeknya situasi ilmiah dan sosial keagamaan pada masa al-Ghazali,
bukan saja telah terjadi disintegrasi di bidang politik umat islam, tetapi juga di
bidang sosial keagamaan. Umat Islam ketika itu terpilah-pilah dalam beberapa
golongan mazhab fiqh dan aliran kalam, masing-masing dengan tokoh ulamanya
81
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar
(Yogyakarta:1998),h.27 82
Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun:
Jaya Star Nine, 2013),h.8 83
K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996),h.414.
35
yang sadar menanamkan fanatisme kepada umat. Dan terkadang, hal itu juga
dilakukan pula oleh pihak penguasa.84
Fanatisme yang berlebihan pada masa itu sering menimbulkan konflik
antar golongan mazhab dan aliran. Masing-masing mazhab memang mempunyai
wilayah penganutnya. Di Khurasan mayoritas penduduk bermazhab Syafi‟i di
Transoksiana didominasi oleh mazhab Hanafi, di Isfaham mazhab Syafi‟i bertemu
dengan mazhab Hanbali, di Balkan mazhab Syafi‟I bertemu mazhab Hanafi.
Adapun di wilayah Baghdad dan wilayah Irak, mazhab Hanbali lebih dominan.85
Konflik sering terjadi karena pengikut mazhab yang satu mengkafirkan mazhab
yang lain, seperti antara mazhab Syafi‟i dengan mazhab Hanbali. Konflik
terbanyak terjadi antara berbagai aliran kalam, yaitu antara Asy‟arime dengan
Hanabilah, antara Hanabilah dengan Mu‟tazilah dan antara aliran lain.86
Pada tahun 469 H. terjadi apa yang disebut sebagai “Peristiwa Qusyairi”,
yaitu konflik fisik antara pengikut Asy‟arisme dan Hanabilah karena pihak
pertama menuduh pihak kedua berpaham “tajsim” dan konflik ini meminta korban
seorang laki-laki. Pada tahun 473 H terjadi pula konflik antara golongan
Hanabilah dengan Syi‟ah dan dua tahun kemudian terjadi pula konflik antara
golongan Hanabilah dan Asy‟arisme. Penanaman fanatisme mazhab dan aliran
dalam masyarakat tersebut juga banyak melibatkan para ulama. Hal ini erat
kaitannya dengan status ulama yang menempati strata tertinggi dalam stratifikasi
sosial waktu itu, di bawah status para penguasa. Hal ini karena adanya
interdepensi antara penguasa dan ulama87
Para peran ulama, penguasa pun bisa memperoleh semacam legitimasi
terhadap kekuasaanya di mata umat, sebaliknya peran penguasa atau peran ulama
bisa memperoleh jabatan dan kemuliaan berikut kemewahan hidup. Karena itu
para ulama berlomba-lomba mendekati para penguasa dan sebaliknya. Disisi lain
ada pula golongan sufi yang hidup secara eksklusif di Khankah-khankah dengan
kehidupan mereka yang khas.88
84
Zakiyah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta:Bumi Aksara, 1984),h.32 85
Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun:
Jaya Star Nine, 2013),h.9 86
K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996),h.417 87
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar
(Yogyakarta:1998), h.32 88
Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan, Pustaka Pelajar
(Yogyakarta:1998),h.35
36
Di Damaskus pada masanya, golongan sufi yang hidup di Khankah
dianggap komunitas istimewa. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang tidak
menghiraukan kehidupan duniawi yang penuh dengan noda, dan mampu
mendoakan kepada Tuhan apa-apa yang diharapkan dengan mudah terkabul.
Kebutuhan mereka dicukupkan oleh masyarakat dan penguasa. Sebagai sufi pada
masa ini sangat beruntung karena mendapatkan kemudahan dan kesejahretaan
dengan saran kehidupan yang dimunculkan.89
Terjadinya konflik pada zaman al-Ghazali timbul dari perbedaan persepsi
terhadap ajaran agama, ada juga yang dari berbagai pengaruh kultural non-Islami
terhadap Islam yang sudah ada beberapa abad sebelumnya, yang kemudian
membentuk berbagai aliran dan paham ideologi keagamaan dan itu menyebabkan
bertentangan para penguasa dan ulama namun membawa dampak positif terhadap
perkembangan ilmu pengetahuan. Para ulama berlomba-lomba dalam menuaikan
berbagai ilmu meskipun bukan bermotif untuk pengembangan ilmu tetapi
mendapat perhatian dari penguasa yang memantau kemajuan untuk jabatan
intelektual yang lebih baik.
Tetapi usaha pengembangan ilmu ini mengarahkan pada misi bersama-
sama yaitu mengantisipasi pengaruh pemikiran filsafat dan kalam Mu‟tazilah.
Memang, filsafat waktu itu tidak hanya menjadi konsumsi kalangan elite
intelektual tetapi sudah menjadi konsumsi umum. Bahkan ada sebagian orang
yang sudah menerima kebenaran pemikiran filsafat secara mutlak dan cendrung
meremehkan doktrin agama dan pengamalannya.90
Aliran Mu‟tazilah banyak menyerap filsafat Yunani, pun secara historis
menyengsarakan golongan Ahl-assunah, pada masa Dinasti Buwaihi maupun pada
masa al-Kunduri (wazir Sulthan Torgel Bek). Dan menurut penguasa dan
beberapa ulama sama-sama menganut Ahl-assunah, Filsafat dan Mu‟tazilah
adalah musuh utama yang harus dihadapi bersama. Dengan masa inilah al-Ghazali
lahir dan berkembang menjadi seorang pemikir yang terkemuka dalam sejarah.
89
K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996),h.419. 90
Ali Al-Jumbulati Abdul Futuh At-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam,(Jakarta:
Rineka Cipta,2002),h.168
37
Latar belakang pemikiran al-Ghazali dengan adanya muncul beberapa
berbagai aliran keagamaan dan trend-trend pemikiran,91
disamping dengan
munculnya beberapa tokoh pemikir besar sebelum al-Ghazali. Di antaranya Abu
„Abdillah al-Baghdadi (w.413H) tokoh Syiah, al-Qadhi „Abd al-Jabbar (w.430H).
ahli Matematika dan Fisika, Ibn Hazm (w.444H). Tokoh salafisme di Spanyol, al-
Isfara‟ini (w.428H) tokoh Batiniyah al-Ghazali menggolongkan berbagai pada
masanya menjadi empat aliran popular yaitu Mutakalimun, pada filosof al-Ta‟lim
dan para sufi.92
Dua aliran yang pertama adalah mencari kebenaran berdasarkan akal
walaupun terdapat perbedaan yang besar dalam prinsip penggunaan akal antara
keduanya. Golongan yang ketiga menekankan otoritas imam dan yang terakhir
menggunakan al-dzauq (intuisi). Dengan latar belakang tersebut al-Ghazali yang
semula memiliki kecendrungan rasional yang tinggi.93
Bisa dilihat dari karya-
karya sebelum penyerangnya terhadap filsafat mengalami keraguan (syak)
keraguan ini berpangkal dari adanya kesenjangan antara persepsi ideal dalam
pandangannya dengan kenyataan yang sesungguhnya.
Menurut persepsi idealnya kebenaran datangnya berasal dari al-Fithrah al-
Ashiliyat. Menurut hadist nabi “Setiap anak dilahirkan atas dasar fithrahnya yang
membuat anak menjadi Yahudi, Nasrani, atau Majusi adalah orangtuanya”. Oleh
karenanya ia mencari hakekat al-fitrah al-Ashliyat yang menyebabkan keraguan
karena datangnya pengetahuanya dari luar dirinya. Dari sinilah al-Ghazali
menyimpulkan bahwa ia harus mulai dari hakekat pengetahuan yang diyakininya.
Kepercayaan al-Ghazali terhadap akal juga goncang karena tidak tahu apa
yang menjadi dasar kepercayaan pada akal. Seperti pengetahuan aksiomatis yang
bersifat apriori artinya ketika akal harus membuktikkan sumber pengetahuan yang
lebih tinggi dari akal ia hanya dapat menggunakan kesimpulan hipotesis (fadhi)
saja dan tidak sanggup membuktikan pengetahuan secara faktual al-Ghazali
kemudian menduga adanya pengetahuan supra rasional. Kemungkinan tersebut,
kemudian diperkuat adanya pengakuan para sufi bahwa pada situasi-situasi
tertentu (akhwal) mereka melihat hal-hal yang tidak sesuai dengan ukuran akal
91
M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 1996), h. 63. 92
Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun:
Jaya Star Nine, 2013), h.5 93
Amrouni, Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali (Jakarta : Riova Cipta, 2000 ,Cet I ),
h.78.
38
dan adanya hadist yang menyatakan bahwa manusia sadar (intabahu) dari tidurnya
sesudah mati.94
Pada tanggal 14 Jumadil Akhir, tahun 505 H atau 19 Desember 1111 M,
al-Ghazali meninggal dunia di Thus dalam usia 53 tahun.95
Dan kemudian
dimakamkan dengan makam penyair besar terkenal, yaitu Firdausi.96
Beliau wafat
dengan meninggalkan tiga orang anak, dua perempuan dan satu laki-laki,
sedangkan anak laki-lakinya yang bernama Hamid sudah meninggal dunia
sebelum beliau wafat. Al-Ghazali digelari Hujjatul Islam karena pembelaanya
yang mengagumkan terhadap agama, terutama dalam menyanggah aliran-aliran
kebatinan dan para filosof.97
Keistimewaan yang luar biasa dari al-Ghazali, bahwa
dia adalah seorang pengarang yang sangat produktif. Di dalam hidupnya, baik
sebagai pembesar negara di Muasakar maupun sebagai profesor di Baghdad, baik
sewaktu-waktu mulai skeptis di Nisyapur maupun setelah berada dalam pendirian
yang tegas, al-Ghazali tetap menulis dan mengarang puluhan kitab yang meliputi
berbagai disiplin ilmu termasuk salah satunya adalah kitab Ayyuhal Walad.
Begitu juga dengan ayahnya terkenal sebagai seorang miskin yang sholeh,
dan ia tidak mau makan-makanan kecuali dari usahanya sendiri yang halal,
dengan pekerjaannya seorang pemintal benang dari bulu. Disisi itu ia banyak
berbicara masalah fiqih dengan beberapa seorang ahli fiqih. Karena banyaknya
tertarik dengan masalah keislaman itu, maka ia pada suatu waktu pernah menangis
sehabis mendengarkan pengajian keislaman dan sesudah itu ia mohon kepada
Allah agar anaknya nanti kiranya menjadi seorang ahli fiqih dan lahirlah anak
bernama al-Ghazali atau Abu Hamid. Ternyata doa ayah inipun diterima oleh
Allah. Al-Ghazali dikenal sebagai seorang ahli fiqih atau tasawwuf yang banyak
menasehati masyarakat dengan keislaman.
Di waktu mudanya al-Ghazali memang banyak mempelajari masalah fiqih
dan tauhid (ilmu kalam) kepada imam Haramain (Dhiyaudin Al-Juwaini), begitu
pula dengan guru-guru yang lain. Ia juga mempelajari masalah filsafat, terutama
filsafat Al-Farabi dan Ibnu Sina dan juga tentang tasawwuf. Dari pengetahuan-
94
Ali Al-jumbulati Abdul Futuh At-Tuwanisi, Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta:
Rineka Cipta, 2002), h.173 95
Saepudin,“Pendidikan Karakter dalam Kitab Ayyuhal Walad dalam Konsep Pendidikan
di Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu, Vol.2 2019,h. 3. 96
Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali, h 53 97
Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1984),
h. 60
39
pengetahuan yang ia pelajari ternyata kurang menyakini dan tidak membawa
kebahagiaan pada hatinya. Maka sesudah ia mengajar di Madrasah Nizhamiyah
dan memerlukan penyelidikan lebih banyak menemui orang-orang tertentu dari
satu negara ke negara lain menuju Damaskus, Baitul Maqdis (Yerussalam), Kairo,
Iskandariyah, Mekah dan Madinah.98
Dari berbagai hal diatas pandangan pemikiran al-Ghazali terbentuk.
Karya-karya ilmiah Imam al-Ghazali adalah seorang penulis yang produktif ia
meninggalkan kita warisan keilmuan yang tiada tara harganya. Disebutkan ia
menyusun kurang lebih 228 karya. Karya-karyanya tersebut terdiri dari berbagai
disiplin ilmu terutama dalam bidang agama, filsafat, taSawuf dan sejarah.99
B. Riwayat Pendidikan Imam Al-Ghazali
Pendidikan Al-Ghazali dapat dilihat dalam beberapa fase perjalanan
pendidikannya, yaitu fase Thus, fase Jurjan, fase Nesabur, fase Mu‟askar, fase
Baghdad. Fase-fase itu akan penulis uraikan dalam penjelasan berikut ini :
1. Fase Tus
Awal pendidikan Al-Ghazali dimulai ketika ayahnya menitipkannya
dan saudaranya Ahmad kepada seorang shufi sahabat ayahnya hingga ia
berusia 15 tahun (450 H/1058 M-465 H/1073 M). Pendidikan yang
diperolehnya dari tokoh shufi ini antara lain mengenai Al-Qur'an, Hadist,
Khat, kisah para ahli hikmah.100
Kemudian pendidikan Al-Ghazali dilanjutkan
di Madrasah Nizamiyah Thus.101
2. Fase Jurjan
Fase pendidikan Al-Ghazali dilanjutkan di kota Jurjan di Mazardaran,
di kota ini Al-Ghazali memperdalam ilmu fikih pada imam Abu Nashr Al-
Isma‟ili.102
3. Fase Thus kedua
Dikisahkan bahwa selama di kota Thus (dalam fase pertama) Al-
Ghazali telah mengalami masa pergolakan batin setelah masa pendidikannya
98
K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), h.420. 99
Zakiyah Drajat, Ilmu Pendidikan Islam,(Jakarta:Bumi Aksara, 1984),h.213 100
Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Sriguntng, 1999)h.43 101
Saiful Anwar, Filsafat ilmu Al-Ghazali, Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), h. 64 102
Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.8
40
di Jurjan selesai, Al-Ghazali kembali ke kota Thus dan melanjutkan
pendidikannya dengan belajar ilmu taSawuf kepada Yusuf An-Nasaj, sampai
usia 20 tahun.103
4. Fase Nesapur
Fase pendidikan Al-Ghazali berlanjut di kota Nesapur, bersama
sekelompok pemuda dari kota Thus, Al-Ghazali melanjutkan pendidikannya di
Madrasah Al-Nhizamiyah Nesapur. Fase ini berlangsung selama 5 tahun yaitu
pada tahun 473 H/1081M- 478H/1086 M dan dikenal dengan nama imam Al-
Haramain.104
Dari Al-Juwaini, Al-Ghazali memperoleh pelajaran tentang
disiplin ilmu yang berbeda, yakni ilmu fiqih, ushul fiqih, serta mantiq, hikmah
dan filsafat.105
5. Fase Mu‟askar
Sepeninggal gurunya, Al-Farmadzi (w. 477) dan Al-Juwainiy (w. 478
H/1085 M), Al-Ghazali meneruskan pengembaraan intelektualnya ke
Mu‟askar dan menetap di sana. Pengembaraan Al-Ghazali di kota ini
berlansung lebih kurang 6 tahun.106
Kota ini merupakan tempat berkumpul
sekaligus tempat diselenggarakannya perdebatan antar ulama-ulama terkenal,
sehingga seorang yang menguasai retorika perdebatan Al-Ghazali terpancing
untuk melibatkan diri dalam perdebatan itu. Karena ketajaman analisis dan
kehebatan argumentasinya, Al-Ghazali sering mengalahkan para ulama
ternama sehingga mengakui kenggulan Al-Ghazali.107
6. Fase Baghdad
Fase pendidikan Al-Ghazali di Baghdad dimulai dari ketika Nizam Al-
Mulk mengangkat Al-Ghazali menjadi guru besar sekaligus Rektor Nizamiyah
Baghdad dalam usia 4 tahun. Ketika memasuki Baghdad Al-Ghazali mendapat
penghormatan yang luar biasa yang menyerupai kultus. Fase yang berlangsung
selama 4,5 tahun ini diisi Al-Ghazali dengan tiga kegiatan pokok, yaitu
103
Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.8 104
Muhammad Yasir Nasution, Manusia menurut Al-Ghazali, (Jakarta: Sriguntng, 1999)h.43 105
Fathiyah Hasan Sulaiman, Alam pendidikan Al-Ghazali mengenai ilmu pengetahuan, (terj.)
Herry Noer Aly, judul asli “ al-Mazahibu fit –Tarbawiyyah, Bahtsu fil Mazhahibu Tarbawiyyi „Indal Al-
Ghazali”,(Bandung: Diponegoro, 1986), cet. III h. 20 106
Saiful Anwar, Filsafat ilmu Al-Ghazali, Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), h. 56 107
M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 64.
41
mengajar, meneliti dan menulis karya ilmiah.108
Dapat dilihat bahwa Al-
Ghazali merupakan seorang sufi yang haus akan ilmu pengetahuan. Hal itu
terbukti dengan banyaknya tempat Al-Ghazali menuntut ilmu, dan secara
logika dapat diartikan bahwa imam Al-Ghazali adalah orang yang memiliki
banyak ilmu. Di Thus, beliau mempelajari ilmu Al-Qur‟an, Hadist, dan khat,
di Jurjan beliau meperdalam ilmu fikih pada imam Abu Nashr Al- Isma‟ili,
kemudian beliau kembali ke Thus untuk melanjutkan belajar ilmu tasawwuf
kepada Yusuf An-Nasaj, kemudian imam Al-Ghazali melanjutkan
pendidikannya di Madrasah Al-Nhizamiyah Naizabur, di Naizabur Al-Ghazali
memperoleh pelajaran tentang disiplin ilmu yang berbeda, yakni ilmu fiqih,
ushul fiqih, serta mantiq, hikmah dan filsafat.
Sepanjang hidup Al-Ghazali telah memiliki beberapa jabatan sebagai
pengajar dibeberapa Universitas terkenal, di antaranya :
1. Tenaga edukatif pada Universitas Nizamiyah (475-478 H)
Pada karir Al-Ghazali sebagai seorang pendidik atau sebagai
tenaga edukatif di Universitas Nizaymiyah.109
Peristiwa ini terjadi saat Al-
Ghazali masih berguru pada Imam Haramain, kemudin Al- Ghazali
diangkat menjadi asisten dan mengajar di Madrasah Nizhamiyah Naizabur.
2. Rektor Universitas Nizamiyah di Naizabur (478H/1085M)
Pada tahun 478H/1085 M. Meninggalnya Imam Al-Haramain,
maka perdana Menteri Nizamul Mulkti menunjuk Al-Ghazali
menggantikan gurunya untuk menjadi Rektor di Universitas Nizamiyah.110
3. Mufti dan Guru besar di Mu‟askar (1086-1090M)
Sepeninggal Imam Al-Haramain, Al-Ghazali pun tidak berlama-
lama di kota Naisapur. Beliaupun berangkat ke Mu‟askar, tempat
kediaman perdana Menteri serta pembesar-pembesar tinggi Negara, tokoh
ulama, politik, dan pujangga terkemuka.111
108
Saiful Anwar, Filsafat ilmu Al-Ghazali, Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), h. 57 109
Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.9 110
M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 68 111
Saiful Anwar, Filsafat ilmu Al-Ghazali, Dimensi Ontologi dan Aksiologi, (Bandung: Pustaka
Setia, 2007), h. 54
42
4. Guru besar utama di Universitas Nizamiyah
Kelebihan yang dimiliki oleh Imam Al-Ghazali, membuat hati
Nizhamal-mulk tersentuh, sehingga Nizhamal-mulk mengangkatnya
menjadi guru besar utama dalam bidang ilmu fikih di Universitas
Nizhamiyah dan juga ketua jurusan teologi pada Madrasah Nizamiyah di
Baghdad tahun 484H/1091M dalam usia menjelang 34 tahun.112
Demikianlah jabatan-jabatan yang telah diproleh oleh imam Al-
Ghazali, yang mana semua dari jabatan itu dimilikinya dengan cara yang
murni, tidak ada paksaaan dan itu semua didapatkannya karena kecerdasan
dan ketulusan hatinya mencintai ilmu pengetahuan.
C. Karya-karya
Al-Ghazali bukan hanya ulama yang kreatif tetapi gemar menulis.
Menurut Musthafa Galab, al-Ghazali meninggalkan tulisannya karya
ilmiah sebanyak 228 kitab terdiri dari macam ilmu pengetahuan yang
terkenal dan yang diterbitkan antar lain:
a. Dalam bidang Tasawwuf dan Akhlak
1). Ihya Ulum al-Din (Menghidupkan Ilmu-Ilmu Agama)
2). Ayyuha al-Walad (Wahai Anakku)
3). Minhaj al‟Abidin (Jalan orang-orang yang beribadah)
4). Kimiya al-Sa‟adah (Kimia Kebahagiaan)
5). Miskyah al-Anwar (Sumber Cahaya)
6). Al-Adab fi al-Din (Adab Keagamaaan)
7). Al-Risalah al-Laduniyah (Risalah tentang soal-soal batin)
8). Adab al-Sufiyah
9). Al-Munqiz min al-Dhalal (Penyelamat dari kesesatan)
10). Akhlaq al-Abrar wa al-Najah min al-Asyrar (Akhlak orang-orang
yang baik dan keselamatan dari kejahatan)
11). Al-Durar al-Fakhirah fi Kasyf „Ulum al-Akhirah (Mutiara-mutiara
yang megah dalam menyingkap Ilmu-ilmu akhirat)
12). Al-Qurbah ila Allah „Azza wa Jalla (Mendekatkan diri kepada
Allah yang maha mulia dan Maha Agung)113
112
Zainudin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), h.12 113
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 74-80.
43
b. Bidang Filsafat dan Logika
1).Maqasid al-Falasifah (Tujuan para Filsuf)
2). Tahafut al-Falasifah (kekacauan para filsuf)
3). Mi‟yar al-Ilm fi al-Mantiq
4). Mizan al-Amal (Timbangan amal)114
c. Bidang Ilmu al-Qur‟an
1). Jawahir al-Qur‟an (Mutiara-Mutiara al-Qur‟an)
2). Yaqut at-Ta‟wil fi Tafsir at-Tanzil (Permata Takwil dalam
menafsirkan al-Qur‟an
d. Bidang Ushul Fiqh
1). Al-Mankhul min Ta‟liqat al-Ushul (Pilihan yang tersaring dari
noda-noda Ushul Fiqh)
2). Syifa al-Ghalil fi Bayan al-Syabah wa al-Mukhil wa Masalik al-
Ta‟lil (Obat orang yang dengki : penjelasan tentang hal-hal yang samar
serta cara-cara penglihatan)
3). Al-Wajiz fi al-Fiqh al-Imam al-Syafi;i
4). Al-Mustasfha min „Ilm al-Ushul (Pilihan dari Ilmu Usul Fiqh)
5). Tahzib al-Ushul (Elaborasi terhadap Ilmu Ushul Fiqh)
6). Kitab Asas al-Qiyas115
e. Karya dalam Bidang Fiqh
1). Al-Wajiz (yang ringkas)
2). Al-Wasit (Yang pertengahan)
3). Al-Basit (Yang sederhana)
4).Al-Zari‟ah ila Makarim al-Syari‟ah (jalan menuju Syari‟at yang
mulia)
5).Al-Tibr al-Masbuk fi Nasihah al-Muluk (Batang logam mulia:Uraian
tentang nasihat kepada para raja)
d. Bidang Teologi dan Ilmu Kalam
1). Iljam al-„Awam‟an „Il al-Kalam
2). Al-Qisthas al-Mustaqim (Timbangan yang lurus)
114
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: CV.Pustaka
Setia,2013), h. 51-54. 115
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 80-86.
44
3). Faisal at-Tafriqah bain al-Islam wa az-Zandaqah (garis pemisah
antara islam dan kependidikan)
4). Al-Iqtisad fi al-tiqad (Kesederhanaan dalam beritiqad)
e. Bidang Politik
1). Fatihat al-Ulum (Pembuka pengetahuan)
2). Suluk as-Sulthaniyah (cara menjalankan pemerintahan)
3). Al-Mustazhiri nama lengkapnya Fadhaih al-Batiniyah wa Fadhil
al-Mustazhiriyah (Bahayanya haluan batiniyah yang ilegal dan
kebaikan pemerintah Muaszhir yang legal)116
3. Gambaran Umum Kitab Ayyuhal Walad
Karya al-Ghazali salah satunya adalah kitab Ayyuhaal Walad merupakan
sumber primer dan kajian dari penelitian ini. Kitab Ayyuha Walad merupakan kitab
yang mempunyai karakter tersendiri, membahas tentang hal penting yang harus
diketahui oleh seseorang yang sedang belajar atau menuntut ilmu.117
Kitab Ayyuhal Walad merupakan karangan Imam Abu Hamid Muhammad
bin Muhammad al-Ghazali yang diterbitkan di Surabaya Jawa Timur oleh penerbit
al-Hidayah.118
Kemudian diterjemaahkan kedalam bahasa indonesia oleh Achmad
Sunarno yang diterbitkan di Surabaya oleh penerbit Mutiara yang berjudul
“Ayyuhal Walad Nasehat-nasehat al-Imam al-Ghazali kepada para muridnya”.
Kitab Ayyuhal Walad terdapan nasihat, yang masing-masing bagian tersusun
oleh sebagai berikut:119
يح (1 naakubeePيقذ
2) Ketahuilah Wahai Anakku yang Tercinta Mulia ض حة انعض نذ ان ا ان اعهى أ
انحاج (3 قد uebau eaeue ea hauaePان
حح (4 فع انص aebeaeP Pebh ea hau kaneaePae يرى ذ
فع انعهى (5 aeP nuau hau kanaePaeeaee يرى
م (6 ل انع vhaanhaePme eaeu قث
ح (7 tanbh Pme Phea طاسج ان
116
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, (Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 74-86. 117
Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad (Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:
Darusalam Yasin, 2015), h.60 118
Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad (Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:
Darusalam Yasin, 2015), h.60 119
، أا اننذ، انحشي: انطثعح انثاح، ذ ٱنغضان ذ ت يح ٢, ح. ٧٢٤١اياو ات حايذ يح
45
iae mePp beau aaue enhيارا ذرعهى (8
ج (9 اد ح ان ظه ح tante emePme nu aeP paueaPme aeaanhإششاقح انش
nkeae aeePeauae فضم انعثادج (10
م (11 eauaeaeeP ihmeauu uehu فضم قاو انه
انعثادج (12 hu ueP aenh nkeaeانقصذ ي
ترذاع (13 iaPphbuah thateاذثاع ال
ال عاصش (14 eabaaaunPeeP mPbun-mPbunانك
ائذ (15 hehae -hehaeف
ا (16 uenhue baenePp punuاذخز نك يششذا
م للا (17 ششذ إنى عث hhaea punu eueP aaPuP ub ba eueP iuue صفاخ ان
ف (18 hebessua mPbun-mPbunخصال انرص
19) Dengan sabar terbukalah hakikat كشف انحقائق ثش ذ تانص
يارا ذفعم (20 iae mePp beu ahPppeubeP eae mePp beu ban ebeP يارا ذذع
عاء (21 veteانذ120
D. Pendidikan Akhlak Menurut Imam Al-Ghazali
Menurut Imam Al-Ghazali, pendidikan akhlak merupakan inti dari ajaran
agama. Nabi Muhammad diutus untuk memperbaiki karakter manusia, sebagaimana
sabdanya : “Hanya saja aku ini diutus untuk menyempurnakan budi pekerti”.
(HR.Ahmad, Hakim dan Baihaqi).121
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah akhlak berarti ajaran
terkait baik dan buruk yang dapat diterima secara luas atau umum berkaitan dengan
perbuatan, sikap, kewajiban; akhlak; budi pekerti; kondisi mental yang membuat
orang tetap berani, bersemangat, bergairah, berdisiplin; isi hati atau keadaan perasaan
yang mendorong suatu perbuatan.122
Tujuan pendidikan Islam pada dasarnya sesuai dengan tujuan dari Islam itu
sendiri, khususnya untuk mengangkat nilai-nilai akhlak hingga sampai pada tingkat
akhlak al-karimah yang mendalam. Selain itu, ada dua tujuan utama pendidikan
Islam yang ingin dicapai, yaitu kepuasan dunia dan kebahagiaan di akhirat. Lebih
120
، ذ ٱنغضان ذ ت يح ٧١, ح. ٧٢٤١أا اننذ، انحشي: انطثعح انثاح، اياو ات حايذ يح 121
Muhammad Jalaluddin Al-Asqalani Addimasqy, Mau‟izhatul Mukimin Min Ihya‟Ulumuddin,
(Al-Maktabah At-Tijjariyah Al-Kubra), h.502 122
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kelima. Pengarang, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Edisi Kelima, 2017.
46
jauh lagi, ini dipandang sebagai nilai yang lebih besar untuk pendidikan Islam
daripada pendidikan lain secara keseluruhan123
Anak merupakan tunas, potensi, dan generasi muda untuk meneruskan tujuan
perjuangan negara yang memiliki fungsi esensial dan memiliki ciri dan sifat unik
untuk menjamin kemajuan bangsa dan negara di kemudian hari. Oleh karena itu, agar
kelak seorang anak dapat menerima tanggung jawab itu, maka pada saat itu, ia harus
mendapatkan banyak kesempatan untuk tumbuh dan berkembang secara ideal, bukan
hanya fisik, tetapi mental dan sosial, serta berbudi pekerti yang baik, upaya harus
dilakukan untuk memberikan jaminan dan pencapaian. bantuan pemerintah anak
muda dengan memberikan jaminan untuk memenuhi kebebasan mereka dan tidak ada
perlakuan deskriminasi.124
Dalam Islam, pengertian anak berasal dari akar kata al-walad, al-ibn, al-tifl,
al-sabi, dan al-ghulam. Dalam pengertian yang sama itu disebut al- walad, yang
menyiratkan keturunan kedua dari seorang individu, atau semua yang dikandung dan
dilahirkan. Berdasarkan pengertian ini, keturunan yang pertama adalah orang tua.
Selain itu, orang tua memiliki keturunan, keturunan ini disebut anak-anak. Arti dari
kata al-ibn adalah anak yang baru lahir dengan jenis kelamin laki-laki. Lagi pula, al-
tifl adalah anak yang masih dalam tahap awal hingga baligh (sampai usia tertentu
yang dihukumi syari'at dan sudah bisa mengetahui hukumnya). Istilah lain yaitu al-
sabi dan al-ghulum, memiliki makna yaitu anak yang usianya dari lahir sampai
dewasa.125
Kurikulum pendidikan akhlak al-Ghazali didasarkan pada dua kecenderungan
yaitu, Pertama, kecederungan agama dan tasawwuf. Kecenderungan ini membuat al-
Ghazali menempatkan ilmu-ilmu agama di atas segalanya, dan memandangnya
sebagai alat untuk mensucikan diri dan membersihkan seseorang dari pengaruh
kehidupan dunia. Dengan kecenderungan ini, al-Ghazali sangat mementingkan
pendidikan Akhlak karena ilmu ini bertalian erat dengan pendidikan agama.
Kedua, kecenderungan pragmatis. Kecederungan ini tampak dalam karya
tulisnya. Al-Ghazali beberapa kali mengulang penilaiannya terhadap ilmu
berdasarkan manfaatnya bagi manusia, baik untuk kehidupan di dunia, maupun
kehidupan di akhirat. Ia juga menjelaskan bahwa ilmu netral/non syariat yang tidak
123
Nafis, M. Muntahibun. 2017. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: Kalimedia. h.24 124
M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), hlm. 8. 125
As‟ril Muhajir, Ilmu Pendidikan Prespektif Kontekstual, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2021), hlm.
113-114.
47
dipergunakan pemiliknya pada hal-hal yang bermanfaat merupakan ilmu yang tak
bernilai. Bagi al-Ghazali, setiap ilmu harus dilihat dari segi fungsi dan kegunaannya
dalam bentuk amaliah. Setiap amaliah yang disertai ilmu itu harus pula disertai
dengan kesungguhan dan niat yang tulus ikhlas.126
Pandangan al-Ghazali yang menyatakan ajaran akhlak harus bersandar pada
syari‟at dan akal ditentang oleh orang-orang yang meyakini konsep adanya relatifitas
akhlak. Mereka mendukung pendapat Socrates tentang adanya relatifitas akhlak.
Mereka menyatakan akhlak bersandar kepada kebaikan dan keburukan rasional,
yakni akal manusia memandang sebagian perbuatan adalah baik dan sebagian yang
lainnya adalah buruk. Akhlak mulia untuk segenap perbuatan baik dan terpuji, dan
akhlak buruk untuk segenap perbuatan tercela. Kemudian mereka mengatakan bahwa
pemikiran manusia tentang nilai kebaikan dan keburukan dari berbagai perbuatan itu
senantiasa mengalami perubahan mengikuti perubahan zaman; tidak ada nilai-nilai
akhlak yang bersifat tetap dan menyeluruh. Bisa saja suatu perbuatan dikategorikan
sebagai akhlak mulia di suatu lingkungan, tetapi dipandang akhlak yang buruk di
lingkungan lain.127
126
Ratna, “Konsep Pendidikan Moral Menurut Al-Gazali Dan Émile Durkheim”, Pascasarjana
UIN Alauddin Makassar, Lentera Pendidikan, Juni 2015, h.76. 127
Muthahari. Innaddina „Indallahil Islam. (Terjmh: Mansuroh Al-Rofi‟), h.269
48
BAB IV
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
A. Selayang Pandang Ayyuhal Walad
Kitab Ayyuhal Walad merupakan sumber jawaban dari Imam al-Ghazali atas
surat dari salah satu muridnya yang tengah mengalami kebimbangan setelah memperoleh
banyak ilmu dan pengetahuan. Teksnya yang menggunakan bahasa Persia, kemudian
dialihkan ke dalam Bahasa Arab. Terdapat dua kitab yang merupakan terjemah dalam
bahasa arabnya yaitu Ayyuhal walad dan Khulashoh attashonnifi. Kitab Ayyuhal Walad
yang penulis teliti merupakan terbitan al-Haramain Indonesia, tanpa tahun. Kitab ini
termasuk kitab kecil, hanya berjumlah 24 halaman.128
Dengan ukuran kecil namun
kandungannya sangat melimpah ruah. Dimulai pada pembahasan kerena dorongan dari
pengalaman dari ilmu-ilmu yang dilengkapi dengan analog-analog dan cerita yang
menarik dan unik.129
Dan terdapat pula karakteristik seorang sufi (praktisi ilmu
tasawwuf), etika berdiskusi dan metode ceramah.130
Penamaan kitab ini dengan kata Ayyuhal Walad karena pemaparannya banyak
dimulai dengan kata Ayyuhal Walad. Hampir setiap alinea baru dimulai dengan kata ini.
Pada kitab ini isi yang berjumlah 24 halaman memuat 74 paragraf , ada 23 paragraf yang
dimulai dengan kata Ayyuhal Walad. Dan ada beberapa paragraf yang dimulai dengan
kata I‟lam atau Wa‟lam (ketahuilah olehmu) berjumlah 6 paragraf. Lafaz I‟lam atau
Wa‟lam merupakan fi‟il amr (kalimat perintah). Fa‟ilnya wajib mustatir, takdirannya
adalah engkau. Engkau yang dimaksud disini adalah Ayyuhal Walad.
Meski istilah "anak" dalam kandungan masih sangat abstrak, namun pendidikan
bisa dimulai dengan menjalin hubungan dengan ibu kandung (prenatal education).
Padahal, pada kenyataannya pendidikan Islam tentang anak terutama ditujukan pada
pendidikan (nifas) tepatnya dimulai dari penamaan anak.131
Penggunaan dan pengulangan kata Ayyuhal Walad di awal kalam menunjukkan
komunikasi empati dari guru kemurid, karena murid selalu dalam perhatian guru,
sehingga ketika guru menasihati muridnya dari hati ke hati. Dengan begitu, hati murid
langsung luluh dan terketuk dan menerima apa yang disampaikan oleh gurunya. Dapat
128
Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu, (Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.45 129
Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu, (Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46 130
Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad (Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan: Darusalam
Yasin,2015), h.60 131
Miftahul Huda, Idealitas Pendidikan Anak: Tafsir Tematik QS.Luqman, (Malang: UIN Malang
Press, 2009), 49-50
49
disimpulkan dan dipahami bahwa tugas guru bukan hanya mentrasfer ilmu ke murid
tetapi yang sangat amat penting yaitu menyadarkan murid, mengetuk hatinya serta
membentuk karakter dan akhlaknya.
Kitab Ayyuhal Walad tidak memuat argumentasi relatif panjang berdasarkan
semua pernyataan atau saran dibuat oleh Al-Ghazali. Walaupun tidak panjang, empat
tema utama yang dibahas bagian untuk memahami arkeologi pemikiran Al-Ghazali di
kitab Ayyuhal Walad, yaitu tujuan pendidikan, subjek pendidikan, materi pendidikan,
metode pendidikan karakter.132
B. Latar belakang penulisan kitab Ayyuhal Walad
Kitab Ayyuhal Walad ini ditulis oleh Imam Al-Ghazali sebagai jawaban kepada
sepucuk surat yang dikirim oleh seorang murid beliau yang sangat mencintainya, dimana
didalam surat itu murid beliu meminta agar Imam Al-Ghazali sudi menulis sepucuk surat
yang merupakan suatu nasehat yang ditujukan kepadanya secara khusus, walaupun ia
yakin bahwa isi kandungan surat tersebut telah ada termaktub dalam kitab-kitab
lainnya.133
Inilah yang melatarbelakangi sehingga ia menulis surat kepada gurunya Imam Al-
Ghazali. Ia menanyakan berbagai masalah, meminta nasehat dan do‟a. dan berikut
kutipan pendahuluan beliau dalam kitab Ayyuhal walad yang menjadikan beliau
mengarang kitab ini, yang artinya: “segala puji milik Allah , Tuhan semesta alam. Dan
kesudahan baik itu bagi mereka yang bertaqwa. Shalawat serta salam semoga tetap
tercurah limpahkan kepada Nabi-Nya Muhammad Saw dan keluarganya. Ketahuilah,
bahwa ada seorang murid zaman dahulu, senantiasa berkhidmat kepada seorang guru
besar Imam Zainuddin Hujjatul Islam Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad Al-
Ghazali. Ia tidak pernah absen dalam belajar dan membaca ilmu pengetahuan
dihadapannya, sehingga ia berhasil mengumpukan ilmu pengetahuan tersebut secara
mendalam, ia juga berhasil menyempurnakan keutamaan jiwa.134
Imam Al-Ghazali berkata “Sesungguhnya aku telah membaca bermacam-macam
ilmu pengetahuan dan menghabiskan sebagian umurku untuk mempelajari dan
mengumpulkannya. Sekarang sebaiknya bagiku mengetahui ilmu-ilmu mana yang akan
132
Saepudin,“Pendidikan Karakter Dalam Kitab Ayyuhal Walad Dalam Konsep Pendidikan Di
Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu, Vol.2 Desember 2019, h.6. 133
Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad (Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan: Darusalam
Yasin,2015), h.60 134
Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu, (Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46
50
bermanfaat bagiku suatu kali nanti dan menemaniku di alam barzah kelak dan ilmu mana
yang tidak bermanfat bagiku sehingga akan ku tinggalkan seperti sabda Rasulullah Saw:
Ya Allah aku berlindung kepadamu dari ilmu yang tidak bermanfaat”.135
Dengan demikian maka terhimpunlah didalam kitab Ayyuhal Walad sebuah
nasihat Imam Al-Ghazali diantaranya ada dua puluh satu nasehat yang beliau tulis. Antara
lain:
مة (1 مقد
ز (2 اعلم أيـها الولد المحب العزيـ
الوقت هو الحياة (3
فع الناصيحة (4 نـ متى تـ
فع العلم (5 متى يـنـ
ول العمل (6 بـ قـ
ياة (7 طهارة النـ
علام (8 تـ ماذا تـ
قة الروح وظلمة الماداة (9 إشرا
فضل العبادة (10
فضل قيام اللايل (11
القصد من العبادة (12
باع (13 بتداع اتـ ال
عناصر الكمال (14
وائد (15 فـ
اتاخذ لك مرشدا (16
صفات المرشد إلى سبيل اهلل (17
خصال التاصوف (18
نكشف الحقائق (19 بر تـ بالصا
135
Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu, (Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46
51
ماذا تدع وماذا تـفعل (20
عاء (21 136الد
C. Pendidikan Akhlak Anak Usia Dini Menurut Al-Ghazali
Menurut al-Ghazali, pendidikan anak usia dini dapat dikelompokkan menjadi dua
tahapan yaitu tahapan janin dan tahapan kanak-kanak (thiftl).
1. Tahapan Janin
Pengajaran islam menyebutkan bahwa masa kehamilan/tahapan janin
merupakan masa menentukkan bagi kehidupan masa depan anak. Apa yang
dirasakan anak ketika masih dalam kandungan digambarkan sebagai situasi
yang akan dialami anak dalam kehidupan selanjutnya. Oleh karena itu, pada
masa kehamilan orangtua disarankan untuk menjaga diri dari sifat sikap
negatif serta memperbanyak ibadah dan terbiasa menyucikan diri sebelum
melakukan pekerjaan sehari-hari. Kondisi suci yang diciptakan dalam
lingkungan keluarga itu diyakini akan berpengaruh pada perkembangan janin
yang dikandung oleh si ibu. Hubungan langsung antara orang tua dan anak
memang belum berlangsung secara fisik, tetapi kondisi dan kegiatan orang tua
diakui berpengaruh pada kehidupan janin dalam kandungan137
Sebelum itu, Al-Ghazali terlebih dahulu membahas masalah tentang
proses pendidikan masa konsepsi yang terdapat dalam adab Al-Muasyarah
(adab pergaulan suami istri).138
Dalam adab yang kesepuluh dari bab tersebut
al-Ghazali menerangkan tentang tata cara bersetubuh yang benar menurut
Sunnah Rasul, diantaranya adalah membaca basmalah, surat Al-Ikhlas, takbir,
tauhid dan doa-doa lainnya.139
Dapat kita pahami dari uraian diatas bahwa pendekatan psikologis
pada masa ini mulai diterapkan dengan cara lebih mendekatkan diri kepada
Allah Swt seperti memperbanyak amal soleh, memperbanyak amal
kemanusiaan dan senantiasa berharap anak yang akan lahir kelak menjadi anak
yang benar-benar soleh. Penerapan doa kebaikan bagi anak ini tentu tidak
، أا اننذ، انحشي: انطثعح انثاح، ذ ٱنغضان ذ ت يح ٧١, ح. ٧٢٤١اياو ات حايذ يح
136
137Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star
Nine,2013), h.50 138
Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid II Alih Bahasa H.Ismail Jakub, (Jakarta:CV.Faizan,tth) h.427 139
Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star
Nine,2013), h.51
52
hanya diucapkan saat hendak bersetubuh saja, melainkan harus dilakukan
terus-menerus dan istiqomah.
Pada saat istri diketahui positif hamil, pendidikan anak sudah harus
mulai aktif dilakukan ibunya. Melalui pertumbuhan dan kesejahteraan
fisiknya, janin dalam kandungan dapat dijaga melalui pemenuhan makanan
yang halal dan baik supaya kesehatan ibu lebih terjaga. Meskipun makanan
yang halal tidak langsung diberikan kepada janin, tetapi hal itu justru
mendasar karena makanan yang baik dan halal akan membentuk janin yang
baik dan halal pula. Al-Ghazali menegaskan bahwa jika anak terutama masa
prenatal diberikan asupan makanan yang haram. Bila sudah begitu, akan selalu
muncul keinginan dalam dirinya untuk memakan, mecium, melihat dan
merasakan hal-hal yang haram, meskipun ia memiliki kesempatan untuk
merasakan yang halal. Sementara dari segi psikologisnya, janin tersebut
dipelihara melalui pembinaan suasana rumah tangga yang sedemikian rupa
sehingga ibu yang mengandungnya tetap merasakan ketentraman, kenyamanan
dan kestabilan emosi.140
1. Tahapan kanak-Kanak
Lingkungan anak yang pertama adalah keluarga, dan keluargalah yang
menentukan pertumbuhan dan perkembangan yang ada. Masa kanak-kanak
(thifl) merupakan masa yang paling penting dalam kehidupan (usia
prasekolah). Sebab hari-hari yang dilaluinya tidak akan mudah hilang atau
berubah. Adapun pokok pikiran al-Ghazali yang berkaitan dengan anak-anak
adalah :
a. Pentingnya peran orang tua dan pendidikan akhlak bagi anak usia dini
Al-Ghazali seorang pemuka agama yang sufi. Karena itu pertama kali ia
memandang penting membina dan mengisi hati anak kecil dengan melatih
jiwanya untuk beribadah, bermakrifah kepada Allah dan mendekatkan diri
kepada-Nya. Dan semua itu tidak akan tercapai kecuali dengan menanamkan
sendi-sendi agama yang benar di dalam dada anak kecil sejak masa
pertumbuhannya.141
140
Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star
Nine,2013), h.51 141
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama
Semarang, 1993), h.47
53
Anak menurut al-Ghazali dilahirkan dalam keadaan seimbang dan
dengan fitrah yang baik. Ayah ibunyalah yang mewariskan agama yang
mereka anut kepadanya. Sebagaimana ia bertingkahlaku terpuji atau tercela
dari lingkungan dimana ia hidup, dari cara bergaul dan dari kebiasaan
hidupnya. Ini sama dengan tubuh anak dikala lahir yang masih belum
sempurna, lewat pertumbuhan perawatan dan makan, tubuh menjadi
sempurna. Tabiat fitrah anak, yang merupakan anugerahnya. Semula belum
sempurna dan mungkin disempurnakan dan menjadi baik lewat pendidikan
yang baik pula.142
Al-Ghazali menasehatkan pula agar orang tua atau pendidik
menjauhkan anak didiknya dari teman-teman yang berprilaku kurang baik
sebagai jalan bagi pembinaan mental anak.143
Dinasehatkan juga agar orang
tua tidak memanjakannya, memupuk dengan kenikmatan, mengundurkan
semangat, malas dan memberikan segala kemudahan bagi pergaulan dengan
orang lain, dimana segala keinginan tercapai dari orang tanpa susah payah
adalah termasuk hal-hal yang dianggap tidak baik. Sebab pola asuh seperti ini
dapat merusakan budi pekertinya.
Beliau juga mengatakan seyogyanya anak dibiasakan untuk
menghormati dan rendah hati kepada orang-orang yang bergaul dengannya,
sopan santun dalam berbicara, tidak dibiasakan untuk menghormati dan
rendah hati kepada di tiang sandaran. Sebab semua itu, menjadi pertanda
kemalasan. Hendaknya anak juga diajarkan cara duduk yang baik, sudi
mendengarkan saat berbicara dengan orang yang lebih tua, dicegah dari
berbicara ngelantur dan kotor, atau memaki orang lain.144
Satu hal lagi yang perlu diungkapkan mengenai topik ini adalah bahwa
keseluruhan ide pendidikan anak didasarkan atas asumsi filosofis bahwa ia
dilahirkan dengan fitrah suci dengan potensi netral, dan karenanya ia siap
menerima pengaruh apa pun dari luar. Hal ini menjadikan pendidikan anak
sebagai satu seni menjadikan pendidikan anak sebagai satu seni menjaga dan
merawat serta sebuah poses penyediaan dorongan-dorongan yang membawa
142
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan Al-Ghazali, (terj. Hakim dan M. Imam Aziz),
(Jakarta: P3M, 1986), hal. 3 143
Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star
Nine,2013), h.5 144
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.80
54
kepada pertumbuhan dan perkembangan yang positif dan sebagai periode
dasar, keberhasilan pendidikan masa awal ini akan membuat tahap-tahap
berikutnya menjadi lebih mudah. Manakala tahap ini gagal, dan anak tumbuh
tidak terarah dan tidak mengenal disiplin, tugas pendidikan menjadi lebih sulit,
sebab ini akan melibatkan proses pelurusan arah-arah penyediaan dorongan-
dorongan kearah yang diinginkannya.145
b. Seimbangkan antara perintah dengan keteladanan
Al-Ghazali mengatakan bahwa pendidikan agama harus mulai sejak
dini, sebab anak-anak dalam usia ini siap untuk menerima akidah agama
melalui keimanannya kepadanya, ia tidak menuntut dalil untuk
menguatkannya.146
Ia juga tidak berkeinginan untuk memastikan atau
membuktikan kebenarannya. Oleh karena itu, dalam mengajarkan agama
kepadanya, guru harus mulai pertama kali dengan memintanya menghafal
kaidah-kaidah dan dasar-dasar agama, setelah itu baru guru menjelaskan
pengertiannya agar dapat diyakini dan dibenarkannya.147
Semuanya diberikan
tanpa memberikan dalil atau bukti, karena ia tidak memerlukannya. Dengan
kata lain, bahwa penanaman agama menurut cara ini jelas tidak sempurna,
karena itu perlu diikuti dengan langkah selanjutnya secara gradual sesuai
perkembangan anak, karena iman yang didirikan diatas keyakinan yang
dipotong oleh bukti-bukti yang benar.
Al-Ghazali mengatakan bahwa, agama selayaknya disajikan sepada
anak pada masa awal pertumbuhannya agar dihafalkan dengan baik.
Kemudian setelah ia dewasa, maka pergantiannya akan dapat ia ketahui sedikit
demi sedikit. Jadi berawal dari hafalan dan berakhir dengan kefahaman, untuk
selanjutnya menjadi I‟tiqad, menjadi keyakinan dan dibenarkan.148
Kegiatan
ini oleh Al-Ghazali diumpamakan dengan kegiatan menabur benih di lahan
pertanian. Dan ia kemudian atas dasar semua itu, ia membuat bentuk latihan
bagi muridnya.
145
Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik, (Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1999), h.85
146 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.83
147Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star
Nine,2013), h.7 148
Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.80
55
c. Berikan anak untuk bermain
Al-Ghazali juga mengingatkan baik kepada orangtua maupun kepada
guru akan perlunya permainan bagi anak-anak. Ia jelaskan nilai permainan
sebagai alat yang membantu pendidikan dan pengajaran anak, sebagai sarana
mengungkapkan bakat dan cara yang aman untuk menghilangkan keletihan
anak yang menumpuk ketika belajar. Selengkapnya ia mengatakan.149
“Anak seusai membaca pelajarannya hendaknya diizinkan untuk
bermain dengan baik agar ia bisa beristirahat dari keletihan belajar sekedarnya
saja, agar ia tidak letih karena bermain. Bila ia dilarang bermain dan diporsir
belajar, hatinya akan mati, kecerdasannya menurun dan kacaulah hidupnya
hingga mau tak mau ia mencari kesempatan untuk keluar dari suasana
tersebut.‟‟
Berbicara tentang nilai permainan, Al-Ghazali berbicara dan ia
mengemukakan pendapat yang matang.150
Al-Ghazali tidak menganggap
permainan semata-mata sebagai kegiatan bersama yang dilakukan oleh anak.
Permainan mempunyai tiga tugas pokok, yang sangat dibutuhkan baik untuk
pertumbuhan jasmani maupun intelektualnya. Pertama, permainan membantu
untuk menggerakkan tubuh anak serta menguatkan otot-ototnya yang akan
membawa pertumbuhan jasmaninya tumbuh dengan sehat. Kedua, permainan
membuat hati anak senang dan segar yang merupakan pendorong kebahagiaan
yang sangat dibutuhkan. Ketiga, permainan sebagai usaha menghilangkan
keletihan belajar yang dilakukan anak dengan riang merupakan salah satu hal
yang mempermudah pendidikan.151
d. Berikan kegiatan positif di waktu luangnya
Menurut Al-Ghazali diantara cara-cara yang dapat digunakan untuk
menjauhkan anak-anak dari pekerjaan-pekerjaan yang tak bermakna adalah
membiasakannya banyak membaca khususnya membaca Al-Qur‟an, hadist,
berbagai berita, hikayahnya atau cerita orang-orang yang baik serta keadaan
mereka (seperti kisah-kisah nabi) agar tertanam rasa cinta kepada orang-orang
baik di dalam hatinya. Ia juga menasehatkan agar anak-anak dijauhkan dari
149
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep pendidikan, h.75 150
Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.50. 151
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama
Semarang, 1993), h.89
56
bacaan yang merangsang (pornografi), nyanyian pencintaan ataupun puisi-
puisi yang berisi cinta dan orang mabuk asmara, guna menjaganya dari efek
yang tidak baik.152
e. Reward and Punishment
Al-Ghazali memandang wajib tentang masalah penghargaan dan pujian
kepada anak bila ia melakukan perbuatan-perbuatan yang baik atau
berperilaku dengan penuh etika. Anak harus juga diberi imbalan yang baik
sedapat mungkin atas segala kebaikan yang dilakukannya, bila perlu pujilah
anak dihadapan orang-orang penting dan berkedudukan tinggi guna
memberikan semangat kepadanya. Sebaliknya, bila anak melakukan perbuatan
yang tidak terpuji, terutama jika tampak ia merasa malu dan berupaya
menutupinya, sebaiknya kita berpura-pura seakan tidak mengetahuinya.153
Maksudnya adalah ketika pada kesempatan pertama anak melakukan
kesalahan, kita tidak langsung menegurnya, tapi memberikan kesempatan
kepada anak untuk menyadari kesalahannya itu terlebih dahulu. Karena
menampakkan kesalahan pada kesempatan pertama kepadanya bahwa kita
mengetahui perbuatan itu kadangkala justru membuat dia semakin mendetail,
tetapi Al-Ghazali paling tidak telah memberikan landasan/gagasan utama
dalam pendidikan anak usia dini yang dibaginya menjadi dua tahapan yaitu
tahap janin dan tahap kanak-kanak (thifl).
D. Konsep Akhlak Anak Dalam Kitab Ayyuhal Walad
1. Analisis Materi Pembinaan Akhlak Anak
Konsep akhlak yang diberikan oleh Imam Al-Ghazali kitab Ayyuhal Walad
adalah lebih kepada sikap bagaimana sikap seorang muslim atau seorang hamba
dalam berperilaku, baik kepada Tuhan, diri sendiri dan orang lain di sekitarnya.
Masih banyak sekolah yang menganggap pendidikan itu hanya berkutat soal
matematika, IPA, fisika, komputer dan teknik. Mereka lebih disibukkan oleh pelajaran
yang berpatokan dengan angka-angka sebagai poin keberhasilan. Pada akhirnya,
mereka melupakan pendidikan akhlak atau pembentukan karakter.154
Karena pada
dasarnya pembinaan akhlak tidak hanya mengajarkan mana yang benar dan mana
152
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama
Semarang, 1993), h.60 153
Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan. h.78 154
Enni K. Hairuddin, Membentuk Karakter Anak dari Rumah (Jakarta: Gramedia, 2014), h. 7.
57
yang salah kepada peserta didik, tetapi juga menanamkan kebiasaan (habituation)
tentang yang baik, sehingga peserta didik paham, mampu merasakan dan mau
melakukannya.
Beberapa materi pembinaan Akhlak dalam kitab Ayyuhal Walad adalah :
a. Taat dan Bertakwa Kepada Allah Swt
أيها الولد، خلصة العلم أن تـعلم أنا الطااعة والعبادة ما هي
Wahai anakku, intisari ilmu adalah kamu mengerti apa itu hakikat ketaatan
dan ibadah.
واهي، بالقول، والفعل. يـعني، اعلم، أنا الطااعة والعبادة إناما هي متابـعة الشاارع في الوامر، والنـارع، كما لو قتداء الشا وله وفعله يكون با رك، قـ تـ صمت يـوم العيد وأياام كل ما تـقول، وتـفعل، وتـ
التاشريق، تكون عاصيا، أو صلايت في ثـوب مغصوب، وإن كانت صورة عبادة تأثم
Ketahuilah, sesungguhnya taat dan ibadah itu mengikuti Syaari‟ (Nabi Saw)
dalam perintah, larangan, perkataan dan perbuatannya. Artinya, semua perkara yang
kamu ucapkan, lakukan, dan tinggalkan, itu keseluruhannya mengikuti syariat, seperti
halnya jika kamu berpuasa pada dua hari raya dan hari-hari tasyrik, maka kamu
adalah orang yang bermaksiat, atau kamu shalat dengan pakaian ghasab, walaupun
berbentuk ibadah kamu tetap berdosa.
Meteri yang disusun Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal Walad dimulai dengan
ketaatan seorang hamba kepada Allah Swt. Dengan itu orang akan tertanam dengan
takwa. Takwa yaitu memelihara diri dari siksaan Allah dengan mengikuti segala
perintah-Nya dan menjauhi segala larangn-Nya. Orang-orang yang bertakwa adalah
hamba Allah paling mulia dan bersih jiwanya. Para hamba Allah yang bertakwa
membekali diri dengan mengamalkan dari Al-Qur‟an dan sembari mencari ridho
Allah.
Ketakwaan adalah barang berharga yang tidak ternilai harganya. Ia merupakan
kekayaan paling mahal, dan kunci rahasia yang mampu membuka semua gerbang
kebaikan dan sarana menuju surga.155
Manusia dengan keutamaan takwa berarti
berupaya menghargai segala bentuk jalan kebaikan dan menghindari segala bentuk
jalan keburukan.
155
Muhammad Fethullah Gulen, Tasawwuf Untuk Kta Semua, (penerj.Fuad Syaifudin Nur),
(jakarta:Republika, 2013), h.101.
58
Sesungguhnya setiap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah kepada manusia
sesuatu tersebut mendatangkan kebaikan terhadap manusia. Dan setiap sesuatu yang
dilarang oleh Allah pasti itu mendatangkan mudharat terhadap manusia. Manfaat
yang didapatkan tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga mental bahkan setiap perintah
Allah seperti halnya rukun islam itu memberikan pengaruh pada kepribadian.
Misalkan solat, solat yang dilakukan dengan khusyu akan menciptakan rasa segan dan
takut kepada Allah sehingga tergerak hatinya untuk untuk menjauhi prilaku yang
buruk, menjaga kemaluan, menyampaikan amanat, menepati janji dan menjaga
Akhlak.156
Demikian juga untuk rukun islam lainnya seperti syahadat, zakat, puasa
dan haji.
b. Tawakal
ل، وهو أن تستحكم اعتقادك باهلل تـعالى فيما وعد، يـعني أنا ما وك ر لك سيصل وسألتني عن التـا قدهد كل من في العالم على صرفه عنك. وما لم يكتب لك لن يصل إليك إليك ، ل محالة، وإن اجتـ
وإن ساعدك جميع العالم
Kamu bertanya kepadaku tentang tawakal. Tawakal adalah ketika kau
memperkokoh keyakinanmu pada Allah Ta‟ala dalam perkara yang telah dijanjikan,
yaitu kamu meyakini bahwa apa yang telah ditakdirkan untukmu pasti akan sampai
padamu, walaupun seluruh makhluk yang ada di alam ini berusaha keras
menghalanginya darimu. Dan sesuatu yang tidak tertuliskan (untukmu) tentu tidak
akan sampai padamu, walaupun seluruh alam semesta membantumu
Tawakal artinya menggantungkan diri kepada Allah, serta mempercayakan
dan mewakilkan segala urusan kepada Allah. Tawakal merupakan salah satu maqom
dan tahap kemajuan keberagaman seorang mukmin. Bahkan dapat dikatakan bahwa ia
merupakan tahap tertinggi dari kepada Allah. Tetapi tawakal tidak harus berpangku
tangan duduk bersimpuh menunggu datangnya milik tanpa diusahakan. Tawakal juga
mengandung pengertian berusaha dengan sungguh-sungguh sambil menyandarkan,
mengandalkan Allah semata-mata. Tawakal adalah proses keyakinan bahwa hanya
pertolongan Allah yang dapat menyukseskan usaha seorang hamba157
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa banyak orang mengira bahwa tawakal
adalah tidak mau mencari nafkah, meninggalkan mencari penghidupan, meninggalkan
156
Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawwuf Islam Dan Akhlak, (Penrj.Kamran As‟at dan Fakhri
Ghazali), (Jakarta:Amzah,2011), h.245 157
B.Wiwho, Bertasawwuf Di Zaman Edan, (Jakarta: buku Republika, 2016), h.92
59
usaha, dan hanya berbaring diri sambil menunggu makan datang diatas meja makan
dengan sendirinya. Sesungguhnya ini adalah sangkaan orang-orang bodoh mengenai
tawakal dan hal tersebut tidak dibenarkan dan dilarang oleh syariat.158
Menurut Al-Gazali ada empat konsep yang harus baik supaya akhlak manusia itu
sempurna. Empat itu ialah kekuatan ilmu, kekuatan marah, kekuatan syahwat dan
kekuatan keseimbangan diantara kekuatan ketiga tersebut.159
1. Kekuatan ilmu bernilai baik bila dengan mudah menanggapi perbedaan antara
kebenaran dengan kebohongan, antara benar dan batil. Bila kekuatan ilmu ini baik,
niscaya lahirlah dari padanya al-Hikmah, yaitu suatu kebijaksanaan akan membawa
kepada perbuatan yang baik.
2. Kekuatan marah dinilai baik manakala dia dalam keadaan terkendali dan terarah
menurut batas yang dikehendaki oleh kebijaksanaan.
3. Kekuatan syahwat bernilai baik bila dalam bimbingan dan isyarat kebijaksanaan,
yakni menurut petunjuk akal dan agama.
4. Kekuatan adil, yaitu mengendalikan kekuatan syahwat dan kemarahan dibawah
penunjukan akal dan agama.
E. Relevansi Kitab Ayyuhal Walad Terhadap Pendidikan Karakter Anak
Usia Dini
Relevansi pendidikan karakter menurut al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal
Walad terhadap pendidikan karakter bagi anak, yaitu: karakter religius, karakter
toleransi, karakter kerja keras, karakter kreatif, karakter rasa ingin tahu, dan karakter
tanggung jawab.
Dalam menunjang penerapan pendidikan karakter di sekolah, semua
stakeholder pendidikan sebisa mungkin tidak hanya mengajarkan apa yang terdapat
dalam nilai-nilai universal dari desain kurikulum ini, tetapi juga harus disertai dengan
penanaman tentang nilai-nilai keteladanan yang mesti diajarkan sebagai cermin
pembentukan karakter. Karakter kepribadian atau budi pekerti adalah ciri yang
melekat pada setiap individu dan berpengaruh langsung ketika bersentuhan dengan
kelompok masyarakat. Sementara keteladanan, berasal dari kata teladan yang menurut
158
Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Buku Kesepuluh, terjm.Purwanto, (Bandung:Marja,
2014), h. 244. 159
Agus Salim Lubis, “Konsep Akhlak dalam Pemikiran Al-Ghzali”. Jurnal Ilmu Dakwah dan
Komunikasi Islam 6 Vol.1 2014. H,20
60
kamus besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang patut ditiru atau baik untuk
dicontoh (tentang perbuatan, kelakuan, sifat dan sebagainya).160
Mengenai metode yang digunakan oleh Imam Al-Ghazali, seperti metode
keteladanan dan metode cerita atau kisah, beliau mengambil keteladanan dari
Rasulullah Saw, guna membentuk akhlak yang baik pada anak. Selain itu keteladanan
juga diperoleh dari peristiwa sejarah atau contoh kehidupan tokoh agar menjadi
panutan dalam kehidupan anak. Salah satu metode lain yang diterapkan oleh Imam
Al-Ghazali yaitu metode pembiasan. Metode ini efektif untuk menghafalkan serta
untuk menguasai materi pelajaran apabila materi dipelajari secara berulang. Dalam
kehidupan, melakukan sebuah pembiasaan sangat penting, seperti terbiasa
mengamalkan ajaran agama dan terbiasa melakukan hal yang baik.
Metode lain yaitu metode nasihat, nasihat yang diberikan kepada anak
haruslah mengandung ajaran-ajaran yang baik dan positif. Ketika seorang guru
menasihati muridnya dengan sabar, penuh kasih sayang dan tanpa adanya tekanan,
maka metode ini sangat baik untuk mencapai tujuan pendidikan yang ingin dicapai.
Dengan demikian, beberapa metode yang telah dipaparkan oleh Imam Al-Ghazali
dalam kitab Ayyuhal walad ini sangat relevan diterapkan dalam sistem pendidikan
Islam. Berikut poin yang berkaitan dengan pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhal
Walad:
1. Religius
Religius pada anak tidak cukup diberikan melalui pelajaran, penjelasan
dan pemahaman.161
Kemudian membiarkan anak berjalan sendiri. Penanaman
nilai religius pada anak memerlukan bimbingan, yaitu usaha untuk menuntun,
mengarahkan sekaligus mendampingi anak dalam hal-hal terntentu, terutama
ketika anak merasakan ketidakberdayaan atau anak sedang mengalami masalah
maka kehadiran orangtua sangat berarti. Tujuan dari nilai religius adalah
bagaimana sikap kepada Allah, Tuhan semesta alam, yang menunjukkan sikap
ketakwaan.162
160
Mohammad Takdir Ilahi, Gagalnya Pendidikan Karakter. Analiss dan Solusi Pengendalian
Karakter Emas Anak Didik. (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2014). 161
Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, (Yogyakarta:
Laksbang Pressindo,2011), h. 64 162
Muhammad Fatehullah Gulen, TaSawuf untuk kita semua, penerjemah: Fuad Syaifudin Nur,
(Jakarta: Republika, 2013), h. 101.
61
Al-Ghazali adalah seorang tokoh pendidikan dan akhlak.163
Pendapat al-
Ghazali tentang pendidikan akhlak pada umumnya sejalan dengan trend-trend
agama dan etika al-Ghazali tidak melupakan masalah-masalah duniawi. Tetapi
dalam pandangannya, mempersiapkan diri untuk masalah-masalah dunia hanya
dimaksudkan sebagai jalan menuju kebahagiaan hidup di alam akhirat yang lebih
utama dan kekal. Dunia hanya alat yang megantarakan seseorang menemui
Tuhannya.164
Dalam kitab Ayyuhal Walad dijelaskan yang berkaitan dengan religiusitas
yaitu penjelasan tentang tasawwuf yang memiliki dua unsur yaitu istiqamah dan
ketenangan, sebagai berikut:
165اعلم أنا التاصوف له خصلتان الستقامة والسكون عن الخلق أيـها الولد، ثما Wahai anakku, maka ketahuilah bahwa tasawwuf memiliki dua unsur
yaitu istiqamah dan ketenangan dalam pergaulan
قام وأحسن خلقه بالناا ستقامة أن فمن استـ وعاملهم بالحلم فـهو صوفي. والفسه، وحسن الخلق مع الناا ، ألا تحمل الناا على مراد يـفدي حظا نـفسه لنـ
ر 166ع نـفسك، بل تحمل نـفسك على مرادهم ما لم يخالفوا الشاMaka siapapun yang istiqamah dan berperilaku baik dengan sesama
manusia dan bergaul dengan bijaksana maka ia adalah seseorang sufi. Istiqamah
adalah menebus sebagian kesenangan dirinya sendiri demi perintah Allah, dan
bergaul yang baik dengan manusia, yaitu kamu tidak mengajak mereka pada
keinginan dirimu, tetapi kamu berusaha membawa dirimu pada keinginan mereka
selama tidak bertentangan dengan syariat‟167
163
Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran al-Ghazali tentang pendidikan (Madiun: Jaya
Star Nine, 2013) h. 255 164
Abu Hamid Hambali bin Muhammad bin Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulummuddin jld.I
(Semarang: Thoha Putra,) h. 13 ، أيها الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، 165 د ٱلغزالي د بن محما ٧١, ح. ه ٧٢٤١امام ابي حامد محما
، أيها الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، 166 د ٱلغزالي د بن محما ٣, ح. ه ٧٢٤١امام ابي حامد محما167
Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha
al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad
bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia), h.96
62
Hal ini relevan dengan yang disampaikan al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal
Walad karakter religius berisi tetang seseorang mempunyai akhlak yang baik dan
mengendalikan hawa nafsu. Apabila seseorang mempunyai karakter itu maka
kehidupan setiap manusia atau anak harus seimbang antara dunia dan akhirat,
semua amal dan pola kehidupan kita harus didasarkan semata-mata hanya karena
Allah.
2. Toleransi
Menghormati perbedaan sikap dan perilaku agama, ras, suku, ras,
pendapat, sikap, perilaku, dan orang lain berbeda dengannya adalah arti kata
toleransi.168
Toleransi adalah kemampuan seseorang menerima perbedaan dari
orang lain. Orangtua perlu mendidikan apa artinya toleransi dan rasa hormat
kepada orang lain yang bisa saja menganut pemahaman berbeda darinya. Perlunya
orang tua untuk mengajarkan anak karakter toleransi atau saling menghargai
kepada anak.169
Dalam kitab Ayyuhal Walad dijelaskan tentang toleransi, Al-Ghazali
menunjukkan bahwa pentingnya proses saling menghargai diantara sesama
manusia, tidak saling mencela dan mengunjing antara orang satu dengan yang
lainnya, sebagai berikut:
قى لحد عليك حق 170استرضاء الخصوم حتاى ل يـبـMencari kerelaan hati para musuh sampai tidak ada hak orang lain yang
tersisa171
Hal ini relevan dengan yang disampaikan oleh Al-Ghazali dalam kitab
Ayyuhal Walad yaitu toleransi. Maksud dari “mencari kerelaan hati para musuh
sampai tidak ada hak orang lain yang tersisa” yaitu: Memberikan ruang dan hak
kepada musuh dan orang lain untuk memperoleh haknya sesuai dengan
kewajibannya dan kadarnya.
168
Pupuh Fathurrohman, AA Suryana, Pengembangan Pendidikan Karakter,(Bandung: PT.
Refika Aditama, 2013),h.19 169
Said Agil Husain Al-Munawar, MA, Fiqh Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat
Press, 2005), h.13-14 ، أيها الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، 170 د ٱلغزالي د بن محما ٣٢, ح. ه ٧٢٤١امام ابي حامد محما
171Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha
al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad
bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia),h. 63
63
Al-Ghazali menunjukkan bahwa pentingnya proses saling menghargai
diantara sesama manusia, tidak saling mencela dan menggunjing antara orang satu
dengan yang lainnya dalam hidup bermasyarakat perlu adanya sikap toleransi atau
saling menghargai antara orang satu dengan yang lainnya. Apabila tidak terdapat
toleransi antara orang satu dengan yang lain hidup itu tidak akan nyaman tentram
harmonis, adanya perpecahan, adanya permusuhan. Oleh karena itu perlunya
hidup dimanapun kita berada terutama dalam masyarakat untuk saling menghargai
atau toleransi.
3. Kerja Keras
Untuk memenuhi kehidupan sehari-hari perlu adanya kebutuhan primer,
seperti makan, minum, pakaian, rumah, dan kebutuhan yang lainnya. Semakin
tinggi kebutuhan hidup suatu keluarga semakin naik pula biaya yang diperlukan.
Semakin besar biaya yang diperlukan semakin kita dintuntut bekerja keras untuk
mendapatkan uang yang banyak. Anak juga harus diberi kesadaran bahwa untuk
mendapatkan uang yang banyak kita harus bekerja dan tanpa uang kita tidak akan
dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Agar mereka bersungguh-sungguh
dalam mencari ilmu atau belajar.172
Suatu upaya yang terbaik untuk mewujudkan atau menunjukkan
kesediaanmu untuk menjadi hamba Allah dengan menggunakan semua bakat,
pikiran dan dedikasi. Maka Allah menaklukkan dunia dan menempatkan dirimu
dalam masyarakat terbaik (khoiru ummah) merupakan arti kata kerja keras bagi
seorang muslim.173 Orang tua menjadi teladan, anak diberitahu penjelasan bahwa
kerja keras yang baik dan benar akan mendapatkan kebaikan, berupa uang fasilitas
kehormatan dan tentu pahala dari Allah Swt.
Banyak sekali kerja keras yang dapat didefinisikan, maka dari itu penulis
mengambil contoh pokok pembahasan dalam karakter ini yaitu kerja keras dalam
mengamalkan ilmu yang telah didapat. Tugas peserta didik bukan hanya menuntut
ilmu saja, selain itu juga harus mengamalkan ilmu yang ia dapat. Agar apa yang
telah ia ketahui itu juga dapat bermanfaat untuk orang lain.
172
Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, (Yogyakarta:
Laksbang Pressindo,2011), h. 52. 173
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, (Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005), h. 27
64
ضي اهلل عنه: من ظنا أناه بدون الجهد يصل فـهو متمن، ومن ظنا أناه وقال علي ر ببذل الجهد يصل فـهو مستـغن
Rasulullah Saw bersabda : “Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab
(pada hari kiamat), dan timbanglah amal kalian sebelum amal kalian ditimbang”.
Ali RA berkata : “Barangsiapa menyangka bahwa tanpa berusaha ia akan sampai
kepada tujuannya maka ia adalah orang pemimpi, dan barang siapa menyangka
dengan kerja keras ia akan berhasil maka ia termasuk orang yang tidak butuh
Allah ”174
Maksud dari hadits diatas yang tercantum didalam kitab Ayyuhal Walad
menjelaskan bahwa Imam Al-Ghazali menerangkan tentang pentingnya
pendidikan karakter yang menyeimbangkan antara kerja keras dengan berserah
diri kepada Allah Swt agar tidak disebut sebagai termasuk golongan orang yang
tidak butuh Allah Swt. Hal ini relevan dengan yang disampaikan oleh Al-Ghazali
dalam kitab Ayyuhal Walad yaitu kerja keras. Al-Ghazali menunjukkan bahwa
untuk mencapai segala sesuatu khususnya ilmu bermanfaat maka perlu kerja keras
dari seseorang anak untuk tidak gampang menyerah menuntut ilmu dan rajin
belajar agar mereka dapat mengatasi masalah yang dialaminya. Dalam belajar
dengan bertanya kepada seseorang anak untuk tidak gampang menyerah menuntut
ilmu dan rajin belajar agar mereka dapat mengatasi masalah yang dialaminya.
Dalam belajar dengan bertanya orang yang lebih pintar atau bertanya kepada yang
lebih tau dan mempelajari ilmu dengan menyeluruh dan teliti.
Kerja keras itu akan menghasilkan yang baik, jika pada proses belajar
tidak akan lepas dari kesulitan dan hambatan. Hal tersebut menjadi dorongan
untuk mencapai solusi dengan usaha yang telaten dan tidak mudah putus asa
sehingga mencapai prestasi yang memuaskan.175
4. Kreatif
Integritas pendidikan seharusnya tidak diukur dari seberapa banyak materi
yang dihafal anak dan kemampuannya mengerjakan soal, tetapi melalui kualitas-
174
Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha
al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad
bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia),h.27-28 175
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim,(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005), h.30
65
kualitas yang lebih subtansif seperti kemampuan mengambil keputusan,
menumbuhkan kreatifitas, keterampilan berkarya dan lainnya. Mencerminkan
sikap dan perilaku perilaku inovatif dalam segala aspek penyelesaian masalah,
sehingga mereka selalu dapat menemukan metode baru bahkan menemukan hasil
baru yang lebih baik dari sebelumnya merupakan arti sebuah sikap kreatif.176
Begitu pula orang kreatif bisa dimaknai sebagai pengalaman mengungkapkan dan
mengekspresikan diri dalam bentuk holistik yang berkaitan dengan diri sendiri,
alam dan lainnya.177
Ciri-ciri anak-anak yang mempunyai kreativitas anatara lain: Mempunyai
daya imajinasi yang kuat, senang mencari pengalaman baru, memiliki inisiatif,
mempunyai minat yang luas, selalu ingin tahu, mempunyai kebebasan dalam
berfikir, mempunyai kepercayaan diri yang kuat, mempunyai rasa humor, penuh
semangat, berwawasan masa depan dan berani mengambil resiko.178
ة، وكتابة فاتي فاطلبه ثما لك بـعضها مسطور في مصنـا أيـها الولد، والباقي من مسائنكشف لك ما لم تـعلم. قال رسول اهلل صلاى بـعضها حرام. اعمل أنت بما تـعلم ليـ
179اهلل عليه وسلام: )من عمل بما علم وراثه اهلل علم ما لم يـعلم(Wahai anakku, kelanjutan dari permasalahan-permasalahabmu
sebagiannya tertulis dalam kitab-kitab karanganku untuk itu carilah disana, dan
menuliskan jawaban dari sebagian dari permasalahanmu yang lain itu haram
(tidak diperkenankan). Amalkanlah apa yang telah kau ketahui supaya apa yang
belum kau ketahui bisa tersingkap. Rasulullah Saw bersabda: “Barang siapa
yang mengamalkan sesuatu yang telah ia ketahui maka Allah akan memberikan
ilmu yang belum ia ketahui”180
176
Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan Karakter,(Bandung: PT Remaja Rosdaya.
2013),h.8. 177
Fuad Nashori dan Rochmy Diana Mucharrom, Mengembangkan Kreativitas Dalam
Perspektif Psikologi Islam, (Yogyakarta: Menara Kudus,2002),h.34 178
Diana Vidya Fakhriyani.”Pengembangan Kreativitas Anak Usia Din” Jurnal Pendidikan.
Vol.2 Desember 2016. h. 4 ، أيها 179 د ٱلغزالي د بن محما ٢, ح. ه ٧٢٤١الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، امام ابي حامد محما
180Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha
al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad
bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia), h. 104-105
66
Maksud dari kata “Amalkanlah apa yang telah kau ketahui supaya apa yang
belum kau ketahui bisa tersingkap”, yaitu: Mengamalkan perbuatan atau ilmu
dapat menambah pengetahuan dan pengalaman baru dan membuka pengetahuan
yang lain, sehingga pengetahuan baru dan pengalaman baru menimbulkan sifat
yang kreatif dan inovatif.
Hal ini relevan dengan yang disampaikan oleh Al-Ghazali dalam kitab
Ayyuhal Walad yaitu kreatif. Al-Ghazali mengarahkan bahwa seseorang menuntut
ilmu itu harus mempunyai ambisi yang kuat, rasa ingin tahu yang tinggi serta
dapat berkomitmen serta memegang tujuan mereka dalam belajar. Seseorang yang
mempunyai kreatif dan mampu menjalankan amalan kehidupan yang baik, ilmu
itu beragam, maka perlu keratifitas dari seseorang dalam menjalankan dengan
baik dan sesuai yang baru lagi untuk mengembangkan ilmu tersebut yang pada
akhirnya akan bermanfaat bagi orang lain.
5. Rasa Ingin Tahu Anak
Setiap manusia mempunyai rasa ingin tahu dari sejak awal kehidupannya.
Rasa ingin tahulah yang membuat bertambah pengetahuannya. Seorang ahli
pendidikan sangat sepakat salah satu anak yang cerdas adalah memiliki rasa ingin
tahu yang sangat besar. Anak cerdas akan bertanya tentang banyak hal, karena dia
ingin tahu jawabannya. Dan anak akan bertanya, dan anak akan memberikan
pertanyaan lanjutan sampai orang tua kewalahan.181
Anak usia dini memiliki rasa ingin tahu yang tinggi karena itu mereka
selalu bertanya apa saja kepada orang yang ditemui. Orangtua atau pendidik tidak
dibenarkan melarang anak untuk bertanya atau bahkan memarahinya karena
sering bertanya, dan ketika memberikan jawaban yang logis dan terus melayani
apa yang ditanyakan anak. Seandainya untuk memberhentikan pertanyaannya
harus lebih halus dan lembut.182
Dalam nasihat beliau lainnya yaitu nilai pendidikan karaktek tentang rasa
ingin tahu, keingintahuan seorang anak harus disesuaikan dengan kemampuannya.
Karena, jika tidak anak akan merasa tidak mampu dan menyerah. Hal ini akan
181
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 97. 182
Muhammad Fadhilah dan Lilif Mualifatu Khorida. Pendidikan Karakter Anak Usia Dini:
Konsep dan Aplikasinya dalam PAUD. (Yogyakarta: Ar-Ruzz 2016) h. 83
67
memperkuat motivasi anak dalam menuntut ilmu. Berikut nasihat beliau dalam
kitab Ayyuhal Walad:
، أيـها الولد، أي شيء حاصل لك من تحصيل علم الكلم، والخلف، والطبواوين، ر تضييع العمر والدا والشعار، والنجوم، والعروض، والناحو، والتاصريف غيـ
183بخلف ذي الجلل Wahai anakku, apapun yang kamu peroleh dari mempelajari ilmu kalam,
perdebatan, kedokteran, prosa-prosa, syair-syair, astronomi, ilmu „arudh, nahwu,
dan sharf tidaklah menyia-nyiakan umur, berbeda dengan Allah Yang Maha
Agung184
Dari nasihat di atas dapat dipahami bahwa seorang anak yang sedang
menuntut ilmu harus memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dari berbagai ilmu
pengetahuan yang dipelajari. Maka dari itu, seorang anak yang sedang menuntut
ilmu harus gemar membaca dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, karena
dengan rasa ingin tahu yang tinggi dapat membuat anak memperoleh banyak
wawasan dari mempelajari berbagai ilmu pengetahuan yang diminati.
Hal ini relevan dengan yang disampaikan oleh Al-Ghazali dalam kitab
Ayyuhal Walad yaitu rasa ingin tahu yang tinggi. Al-Ghazali menunjukkan bahwa
rasa ingin tahu yang tinggi dalam menggali ilmu sedalam-dalamnya kepada
seorang guru perlu bagi setiap anak siswa. Untuk mencapai hasil yang maksimal,
membutuhkan peran rasa ingin tahu yang besar yang mempunyai semangat belajar
yang tinggi. Ketika rasa ingin tahu yang tinggi tersebut muncul akan menciptakan
keaktifan seseorang untuk mencari, mengikuti, bertanya, berpendapat dan
berargumentasi. Semua itu akan berpengaruh terhadap ilmu yang bermanfaat.
6. Tanggung Jawab
Rasa tanggung jawab pada anak bisa dilatih dengan pembagian tugas.
Menurut Moh Haitami Salim dapat dilakukan dalam rangka menumbuhkan
، أيها الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، 183 د ٱلغزالي د بن محما ٣, ح. ه ٧٢٤١امام ابي حامد محما
184Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha
al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad
bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia),h. 34-35
68
kepercayaan kepada anak agar bisa beratnggung jawab, dengan memberikan
tugas, amanah, pekerjaan tertentu.
185الولد، عش ما شئت، وأحبب ما شئت فإناك مفارقه، واعمل ما شئت فإناك مجزي به أيـها Wahai anakku, hiduplah semaumu, cintailah apa yang kamu inginkan karena
kamu akan meninggalakannya, dan berbuatlah sesukamu karena kamu akan
mendapat balasannya186
Dari nasihat tersebut, terlihat sangat jelas dengan kata “karena kamu akan
memperoleh balasan setimpal dengan perbuatanmu itu” yang mana menjelaskan
bahwa setiap perbuatan yang kita lakukan maka akan mendapatkan balasan, maka
dari itu dari kalimat tersebut, Imam Ghazali mengajarkan agar anak memiliki rasa
tanggung jawab atas setiap tindakan yang dilakukannya.
Hal ini sesuai dengan yang disampaikan oleh beliau imam Al- Ghazali
dalam kitab Ayyuhal Walad tentang nilai karakter tanggung jawab. Imam Al-
Ghazali mengatakan hiduplah semaumu, cintailah apa yang kamu inginkan karena
kamu akan meninggalakannya, dan berbuatlah sesukamu karena kamu akan
mendapat balasannya, mengajarkan agar anak memiliki rasa tanggung jawab atas
setiap tindakan dan perilaku terhadap temannya.
، أيها الولد، الحرمين: الطبعة الثانية، 185 د ٱلغزالي د بن محما ٢, ح. ه ٧٢٤١امام ابي حامد محما
186Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha
al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad
bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia),h. 33
69
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Menurut al-Ghazali, pendidikan anak usia dini dapat dikelompokkan menjadi dua
tahapan yaitu tahapan janin dan tahapan kanak-kanak (thiftl). Diantaranya: 1)Tahapan
Janin. Pengajaran islam menyebutkan bahwa masa kehamilan/tahapan janin merupakan
masa menentukkan bagi kehidupan masa depan anak. 2) Tahapan kanak-kanak;
a)Pentingnya peran orang tua dan pendidikan akhlak bagi anak usia dini, b)Seimbangkan
antara perintah dengan keteladanan, c)Berikan anak untuk bermain, d) Berikan kegiatan
positif di waktu luangnya, e) Reward and Punishment.
Pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhal Walad relevan dengan pendidikan baik
masa lalu maupun kontemporer. Relevansinya dapat menjadi faktor pendukung bagi tujuan
pendidikan anak usia dini akan berdampak pada aspek perkembangan Akhlak anak dan
memberikan karakter pada anak baik dari sisi substansi nilai maupun tujuan pendidikan
karakter. Relevansi pendidikan karakter menurut Al-Ghazali dalam kitab Ayyuhal
Walad terhadap pendidikan karakter bagi anak, yaitu: karakter religius, karakter toleransi,
karakter kerja keras, karakter kreatif, karakter rasa ingin tahu, dan karakter tanggung
jawab.
Jika pendidikan karakter dalam kitab Ayyuhal walad diterapkan, maka sangat
relevan dan sejalan dengan nilai-nilai dan tujuan pendidikan karakter dalam system
pendidikan nasional yakni pembentukan nilai karakter dalam diri agar terwujudnya
manusia yang memiliki karakter kuat yang berdampak baik di lingkungan individu
maupun masyarakatnya. Dan apabila hal itu diterapkan maka anak tersebut menjadi lebih
bai sehingga dapan menjungjung nilai-nilai Pancasila, undang- undang dasar 1945,
Bhineka Tunggal Ika dan juga Negara Kesatuan Republik Indonesia.
B. Saran
Pendidikan Akhlak anak usia dini dalam kitab Ayyuhal Walad yang telah penulis
paparkan diatas relevan dengan pendidikan saat ini, tujuan yang digunakan dalam
pembelajaran isi kitab tersebut. Dengan demikian Kitab Ayyuhal Walad karya Imam al-
Ghazali sangat cocok digunakan sebagai referensi dalam mengajarkan pendidikan Akhlak
saat ini. Khususnya pendidikan Akhlak yang dilaksanakan di sekolah. Begitu banyak nilai-
nilai pendidikan Akhlak dalam kitab Ayyuhal Walad ini perlu ditanamkan kepada diri
70
anak. Dalam kita ini cara penyampaiannya dengan menggunakan teladan dan nasehat
yamg tentunya mudah diingat dan cara melaksanakannya juga praktis. Maka dari itu kita
harus biasa mengenalkan kearifan lokal jangan sampai terlupakan.
Nilai-nilai pendidikan Akhlak dalam mendidik anak dalam kitab Ayyuhal Walad
ini relevan dengan nilai-nilai pendidikan karakter bagi anak seperti yang dirumuskan
berdasarkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003 pasal 1 bahwa
tujuan pendidikan itu menjadikan generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan
karakter yang bernafas nilai-nilai luhur dan agama. Maka dari itu kita ini dapat digunakan
sebagai motivasi untuk mendidikan anak dan dapat digunakan sebagai referensi dalam
pembelajaran, karena di dalamnya terkandung nilai-nilai pendidikan Akhlak yang praktis
dalam mendidik anak. Diharapkan dalam penelitian selanjutya dapat menambah nilai-nilai
karakter yang berkaitan dengan relevansi pendidikan karakter dari kitab Ayyuhal Walad.
71
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Gymnastiar, Refleksi Untuk Membangun Nurani Bangsa, Bandung: MQS
Publishing, 2004.
Abdul Mustaqim, “Berbagai Penyebutan Anak dalam al-Qur‟an”, Jurnal Lektur
Keagamaan, 2015.
Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah Gagasan Membangun Pendidikan
Islam, Yogyakarta: Teras, 2009.
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001.
Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-Ghazali tentang Pendidikan Islam,
Madiun: Jaya Star Nine, 2013.
Achmad Sunaro. Ayyuhal Waladu Muhibbu. Surabaya: Mutiara Ilmu, 2014.
Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia Dini Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2012
Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad (Wahai anakku yang tercinta),
Kalimantan: Darusalam Yasin, 2015.
Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang Pendidikan, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009.
Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Ayyuha al-Walad Fi
Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman
Na‟fian, Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia, 2006.
Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad Al-Ghazali, Konsep Pendidikan
Ayyuha al-Walad Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim Liya‟lamuu
Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian, Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah
bin Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin Ahmad bin Salim Al-Aydrus,
Jakarta:Alharamain Jaya Indonesia, 2006.
Al-Ghazali, Metode Penaklukan Jiwa Perspektif Sufistik, Bandung:Mizan, 2013.
Alisa, “Akhlak Sebagai Azas Kebahagiaan Keluarga dan Masyarakat”. Jurnal
Pendidikan Agama Islam, 2016.
Ansori, Raden Ahmad Muhajir. “Strategi Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama
Islam Pada Peserta Didik”, jurnal Pusaka: Media Kajian dan Pemikiran
Islam,2017.
Ahmad,Nurwadjah.Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan.Bandung: Marja, 2010.
72
Al-Misri, Mahmud. Ensiklopedia Akhlak Muhammad SAW. Jakarta: Pena Pundi
Aksara, 2011.
A. Khudori Soleh, Filsafat Islam dari Klasik hingga Kontemporer. Yogyakarta: Ar-
Ruzz Media, 2013.
Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep Filsuf dan Ajarannya, Bandung:
CV.Pustaka Setia, 2013.
Djaman Salon dan Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta, 2013.
Enni K. Hairuddin, Membentuk Karakter Anak dari Rumah. Jakarta: Gramedia, 2014.
Fadjar Noegraha Syamhoedie, TaSawuf Kehidupan al-Ghazali; Refleksi Petualangan
Intelektual dari Teolog, Filosof hingga Sufi, Ciputat: CV. Putra Harapan,
2009.
Fadlillah Martono, Desain Pembelajaran PAUD Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012.
Falakhul Auliya dkk, Kecerdasan Akhlak Anak Usia Dini, Pekalongan: PT. Nasya
Expanding Management Penerbit NEM - Anggota IKAPI, 2020.
Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam Pendidikan Islam Semarang: Dina
Utama Semarang, 1993.
Gholib, Achmad. Akidah dan Akhlak dalam Perspektif Islam.Ciputat: CV. Diaz
Pratama Mulia, 2016.
Habibah,“Syarifah. Akhlak dan Etika dalam Islam”. Jurnal pendidikan Dasar dan
Humaniora, 2015.
Haryani, Retno Ika.,Jaya,I., & Yulsyofriend. “Pembentukan karakter tanggung jawab
di Taman Kanak- Kanak Islam Budi Mulia Padang”. Jurnal Ilmiah Potensia.
2019.
Hidayati, Henny Narendrany. Pengukuran Akhlakul Karimah Mahasiswa. Jakarta:
Lembaga Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2009.
Herdianto, Tri Naimah, Yuki Widyasari. “Implementasi Sekolah Ramah Anak untuk
Membangun Nilai- Nilai Karakter Anak Usia Dini”. Jurnal Pendidikan Anak
Usia Dini. 2020.
Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan Implementasi Bandung: Alfabeta,
2012.
H. M. Zurkani Jahja, Teologi Al Ghazali: Pendekatan Metodologi, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
73
Ihsana El-Khuluqo, Manajemen PAUD (Pendidikan Anak Usia Dini) Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015.
Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat Al-imam al-Ghazali kepada para
muridnya, Surabaya: Mutiara Ilmu, 2014.
Ibnu „aqil, Bahauddin Abdullah, Buku Terjemahan Alfiyyah Syarah Ibnu‟aqil,
Bandung: Sinar Baru Algesindo, 2017.
K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj. Ghufron A. Mas'adi Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 1996.
KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Mahjuddin, Akhlak TaSawuf. Jakarta: Kalam Mulia, 2009.
Miftahul Huda, Idealitas Pendidikan Anak: TafsirTematik QS.Luqman, Malang: UIN
Malang Press, 2009.
Miqdad Yaljan, Kecerdasan Akhlak,penerjemah: Tulus Musthofa, Yogyakarta: Pustaka
pelajar, 2004.
Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk Pendidikan Karakter, Yogyakarta:
Laksbang Pressindo,2011.
Moh Fauziddin,Mufarizudin, “Useful of Clap Hand Games for Optimalize Cogtivite
Aspects in Early Chilhood Education”. Jurnal Pendidikan Anak Usia Dini.
2018.
Moleong,Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif.Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2016.
Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi Pengajaran Agama Islam, Jakarta:
Rineka Cipta, 2008.
Muhammad Fatehullah Gulen, TaSawuf untuk kita semua, penerjemah: Fuad
Syaifudin Nur, Jakarta: Republika, 2013.
Mulyasa. Manajemen Pendidikan Karakter. Jakarta: Bumi Aksara, 2011.
M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan Metodologi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996.
Nata, Abuddin. Pemikiran Pendidikan Islam, & Barat. Jakarta: Rajawali Press, 2012.
Pupuh Fathurrohman, AA Suryana, Pengembangan Pendidikan Karakter, (Bandung: PT.
Refika Aditama, 2013.
Ratna, “Konsep Pendidikan Akhlak Menurut Al-Gazali Dan Émile Durkheim”,
Pascasarjana UIN Alauddin Makassar, Lentera Pendidikan, Juni 2015.
Rosihon Anwar, Akhlak TaSawuf, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010.
74
Saepudin, “Pendidikan Karakter dalam Kitab Ayyuhal Walad dalam Konsep
Pendidikan di Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu, 2019.
Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis,
Jakarta: Ciputat Press, 2012.
Santrock, J.W (2007). Perkembangan Anak. Jakarta: Erlangga.
Satori,Djam‟an.Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta, 2013.
Siregar, N. S. S. Persepsi Oang Tua Terhadap Pentingnya Pendidikan Bagi Anak.
Jurnal Ilmu Pemerintahan Dan Sosial Politik. 2013.
Sodiq, Akhmad.Prophetic Character Building.Jakarta: Kencana, 2018.
Sugiyono.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif, dan R&D.Bandung: Alfabeta,
2016.
Sukandarrumidi.Metedologi Penelitian: Petunjuk Praktis Untuk Peneliti
Pemula.Yogyakarta: Gadjah Mada Universiti, 2012.
Sukardi,Edy.Buku Pintar Akhlak Terpuji.Jakarta: AMP Press, 2016.
Thoyib,M. “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam Alquran (Surat Al-Hujurat Ayat 11-
13)”,Jurnal Studi Keislaman, 2012.
Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim, Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005
Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-qur‟an, Jakarta: Rajawali Press,
2014.
Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam, Terj.Arif Rahman Hakim
Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2017.
Yamin, H. Martinis. Panduan Pendidikan Anak. Usia Dini. Jakarta: GP Press. 2010
Yulianto, A. Pendidikan Ramah Anak Studi Kasus SDIT Nur Hidayah Surakarta. At
Tarbawi. Jurnal Kajian Kependidikan Islam, 2016.
Yusuf,Muri.Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan Penelitian
Gabungan.Jakarta: PT Fajar Interpratama Mandiri, 2015.
Yusuf,Muhammad as-Sayyid., dkk.Ensiklopedi Metodologi Alquran.Mesir: Dar as-
salam, Maktabah al-Usrah.
Watz,M. An Historical Analysis of Character Education. Journal of Inqury & Action
in Education, 2011.
Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.
Zainal, Veithzal Rivai. Manajemin Akhlak.Jakarta: Salemba Diniyah, 2018.
Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2007.
75
LEMBAR UJI REFERENSI
Nama : Leli Romdaniah
NIM : 11160184000013
Jurusan : Pendidikan Islam Anak Usia Dini
Judul Skripsi : KONSEP MORAL DALAM KITAB AYYUHAL WALAD DAN
RELEVANSINYA TERHADAP PENDIDIKAN KARAKTER ANAK
USIA DINI
No
Judul dan Halaman Buku Paraf
Pembimbing
BAB I
1 Suryadi dan Maulidya Ulfah, Konsep Dasar PAUD,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.2
2 Elizabeth Hurlock, Perkembangan Anak, (Jakarta:
Erlangga, 1996), h.12
3 Abdullah Nashih „Ulwan, Pendidikan Anak dalam
Islam, (Jawa Tengah: Insan Kamil Solo, 2017,
h.533.
4 Suryadi dan Maulidya Ulfah, Konsep Dasar PAUD,
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2013), h.2.
5 Dr. Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak
Dalam Islam, jilid 2. (Pustaka Amani : Jakarta,
2007) h.142
6 Sabar Budi Raharjo, “Pendidikan Karakter Sebagai
Upaya Menciptakan Akhlak Mulia” Jurnal
Pendidikan dan Kebudayaan,Mei 2010
7 La Ode Aan Sanjaya, Jamaludin Hos, dan Ratna
Supiyah, “Kontrol Sosial Masyarakat Terhadap
Maraknya Seks Bebas di Kalangan Pelajar”, Jurnal
Pemkiran dan Penelitian Sosiologi, 2018 h.441-
448.
8 Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam: Buku
76
Teks Agama Untuk Perguruan Tinggi Umum
(Bandung: Alfabeta,1993), h.209
9 Muslim Nurdin, Moral Dan Kognisi Islam: Buku
Teks Agama Untuk Perguruan Tinggi Umum
(Bandung: Alfabeta,1993), h.209
BAB II
1 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2002), h.17
2 Saepudin,“Pendidikan Karakter Dalam Kitab
Ayyuhal Walad Dalam Konsep Pendidikan Di
Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu,
Desember 2019, h. 6.
3 Muhadjir Effendy, “Kamus Besar Bahasa
Indonsia”, https://kbbi.kemdikbud.go.id/
4 Raden Ahmad Muhajir Ansori,“Strategi
Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam
Pada Peserta Didik”,Jurnal Pusaka: Media Kajian
dan Pemikiran Islam, Mei 2017, h.16-17.
5 Akhmad Sodiq, Prophetic Character Building,
(Jakarta: Kencana, 2018), h.1.
6 Raden Ahmad Muhajir Ansori,“Strategi
Penanaman Nilai-Nilai Pendidikan Agama Islam
Pada Peserta Didik.h.20
7 Otib satibi Hidayat, Metode Pengembangan Moral
dan Nilai-Nilai Agama, (Jakarta: Universitas
Terbuka,2007), h.7.3-7.5
8 Mustofa, Akhlak Tasawuf, (Bandung: Pustaka Setia,
2014), h.17
9 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter
Mulia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2014), h. 75
10 Rosihon Anwar, Akhlak Tasawuf, (Bandung: CV
Pustaka Setia, 2010), h. 18.
77
11 Zainuddin Ali, Pendidikan Agama Islam,(jakarta:
Bumi Aksara, 2007), h. 29
12 Sutarjo Adisusilo, Pembelajaran Nilai-nilai
Karakte, (Jakarta: Rajawali Pers. 2013), h. 1
13 Achmad Gholib, Akidah dan Akhlak dalam
Perspektif Islam, (Ciputat: CV. Diaz Pratama
Mulia, 2016), h.108.
14 Veithzal Rivai Zainal, Manajemin Akhlak, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2018), h.13.
15 Abdullah Nashih „Ulwan, Pendidikan Anak dalam
Islam, (Jawa Tengah: Insan Kamil Solo), h.131.
16 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia
Dini (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2012), h. 64.
17 Heri Gunawan, Pendidikan Karakter Konsep dan
Implementasi (Bandung: Alfabeta, 2012),h.23
18 Ihsana El-Khuluqo,Manajemen PAUD (Pendidikan
Anak Usia Dini)(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), 63.
19 Ihsana El-Khuluqo,Manajemen PAUD (Pendidikan
Anak Usia Dini)(Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2015), h.81.
20 Fadlillah Martono, Desain Pembelajaran PAUD
(Jogjakarta : Ar-Ruzz Media, 2012).h.34.
21 Agus Wibowo, Pendidikan Karakter Anak Usia
Dini. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar), h.88-90
22 Veithzal Rivai Zainal, Manajemin Akhlak, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2018), h.221.
23 Veithzal Rivai Zainal, Manajemin Akhlak, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2018), h.224.
78
24 Abd. Aziz, Filsafat Pendidikan Islam Sebuah
Gagasan Membangun Pendidikan Islam,
(Yogyakarta: Teras,2009), h. 9.
25 Muhammad Abdul Qadir Ahmad, Metodologi
Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Rineka Cipta,
2008), h.261
26 Achmad Gholib, Akidah dan Akhlak dalam
Perspektif Islam, (Ciputat: CV. Diaz Pratama
Mulia, 2016), h.110.
27 Otib Satibi Hidayat, Metode Pengembangan Moral
dan Nilai- nilai Agama, (Tangsel: UT, 2018), h.24.
28 Otib Satibi Hidayat, Metode Pengembangan Moral
dan Nilai- nilai Agama, (Tangsel: UT, 2018), h.26.
29 Ulil Amri Syafri, Pendidikan Karakter Berbasis Al-
qur‟an, (Jakarta: Rajawali Press, 2014),h.11-12.
30 Abdullah Nashih „Ulwan, Pendidikan Anak dalam
Islam, (Jawa Tengah: Insan Kamil Solo), h.133.
31 Abuddin Nata, Pemikiran Pendidikan Islam, &
Barat, (Jakarta: Rajawali Press, 2012), h.209
32 Henny Narendrany Hidayati, Pengukuran Akhlakul
Karimah Mahasiswa, (Jakarta: Lembaga
Peningkatan dan Jaminan Mutu, 2009), h.12-13.
33 Miqdad Yaljan, Kecerdasan Moral, penerjemah:
Tulus Musthofa, (Yogyakarta: Pustaka pelajar,
2004), h. 24.
34 Syarifah Habibah,”Akhlak dan Etika dalam Islam”,
Jurnal pendidikan Dasar dan Humaniora, Oktober
2015, h.73-87.
35 Ibnu „aqil, Bahauddin Abdullah, Buku Terjemahan
Alfiyyah Syarah Ibnu‟aqil,(Bandung: Sinar Baru
79
Algesindo, 2017), h.3.
36 Aliasa, “Akhlak Sebagai Azas Kebahagiaan
Keluarga dan Masyarakat”, Jurnal pendidikan
Agama Islam, February2016, h.42.
37 Aliasa, “Akhlak Sebagai Azas Kebahagiaan
Keluarga dan Masyarakat”, Jurnal pendidikan
Agama Islam, February2016, h.43.
38 Muhammad as-Sayyid Yusuf, dkk. Ensiklopedi
Metodologi Alquran, (Mesir: Dar as-salam,
Maktabah al-Usrah), h.28-29.
39 Edy Sukardi, Buku Pintar Akhlak Terpuji, (Jakarta:
AMP Press, 2016), h.136.
40 Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter
Mulia, (Jakarta, Rajawali Press, 2015), h.129.
41 Edy Sukardi, Buku Pintar Akhlak Terpuji, (Jakarta:
AMP Press, 2016), h.174-175.
42 Veithzal Rivai Zainal, Manajemen Akhlak, (Jakarta:
Salemba Diniyah, 2018), h.15
43 M. Thoyib, “Nilai-Nilai Pendidikan Akhlak dalam
Alquran (Surat Al-Hujurat Ayat 11-13)”, Jurnal
Studi Keislaman, September 2012, h.200.
44 Jess Feist Dan Gregory J. Feist (penr handriyanto)
Teori Kpribadian Buku II (Jakarta: salemba
Humanika, 2010), h.3
45 Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka
Setia, 2003), h.299
46 Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,
(Bandung: Marja, 2010), h.128.
47 Nurwadjah Ahmad, Tafsir Ayat-Ayat Pendidikan,
(Bandung: Marja, 2010), h.129.
48 Mahjuddin, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2009), h.7
49 Falakhul Auliya dkk, Kecerdasan Moral Anak Usia
Dini, (Pekalongan: PT. Nasya Expanding
Management Penerbit NEM - Anggota IKAPI,
2020) h. 20-22
BAB III
80
1 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang
Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009),
h.9
2 Hasan Asari, The educationalk Thought of al-
Ghazali: Theori and Praktice, Tesis Montreal:
Institute of Islamic Studies (t.tMcGill University,
1993),h. 27
3 Yusuf al-Qardhawi, Al-Ghazali Antara Pro dan
Kontra, alih bahasa, Hasan Abrori, (Surabaya:
Pustaka Progresif, 1996), h.39
4 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali Tentang
Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,2009), h.
9
5 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang
Pendidikan, Pustaka Pelajar
(Yogyakarta:1998),h.15
6 Zaenal Abidin Ahmad, Riwayat hidup Imam al-
Ghazali (Jakarta:Bulan Bintang, 1975), h.28
7 Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang
Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.
9
8 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang
Pendidikan, Pustaka Pelajar (Yogyakarta:1998),
h.17
9 Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang
Pendidikan,(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), h.
9
10 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-
Ghazali tentang Pendidikan Islam, (Madiun: Jaya
Star Nine,2013), h.19
11 Ahmad, Tafsir Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif
Islam.(Bandung: Remaja Rosda Karya,2004),h.45
12 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-
81
Ghazali tentang Pendidikan Islam, (Madiun: Jaya
Star Nine,2013),h.20
13 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam
Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis,
(Jakarta: Ciputat Press, 2012),h.206
14 H. M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali:
Pendekatan Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar,2009), h.63-64
15 Ahmad Ludjito, Pemikiran Al-Ghazali Tentang
Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2009),h.9
16 Fadjar Noegraha Syamhoedie, Tasawuf Kehidupan
al-Ghazali; Refleksi Petualangan Intelektual dari
Teolog, Filosof hingga Sufi, (Ciputat: CV. Putra
Harapan,2009), h. 202-204
17 Ahmad Tafsir, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif
Islam.(Bandung: Remaja Rosda Karya,2004),h.49
18 A. Khudori Soleh, Filsafat Islam: dari Klasik
hingga Kontemporer (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2013),h.134
19 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang
Pendidikan, Pustaka Pelajar (Yogyakarta:1998),
h.27
20 K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj.
Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996), h.409
21 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang
Pendidikan, Pustaka Pelajar
(Yogyakarta:1998),h.27
22 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al
Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun: Jaya Star
Nine, 2013),h.8
23 K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj.
Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996),h.414.
24 Zakiyah drajat, Ilmu Pendidikan
Islam,(Jakarta:Bumi Aksara, 1984),h.32
25 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al
Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun: Jaya Star
Nine, 2013),h.9
26 K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj.
Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996),h.417
82
27 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang
Pendidikan, Pustaka Pelajar (Yogyakarta:1998),
h.32
28 Abidin Ibnu Rusn, Pemikiran Al-Ghazali tentang
Pendidikan, Pustaka Pelajar
(Yogyakarta:1998),h.35
29 K. Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj.
Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 1996),h.419.
30 Ali Al-Jumbulati Abdul Futuh At-Tuwanisi,
Perbandingan Pendidikan Islam,(Jakarta: Rineka
Cipta,2002),h.168
31 M. Zurkani Jahja, Teologi Al-Ghazali: Pendekatan
Metodologi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996),
h. 63
32 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al
Ghazali Tentang Pendidikan, (Madiun: Jaya Star
Nine, 2013), h.5
33 Amrouni, Pemikiran dan Dokrin Imam Al-Ghazali
(Jakarta : Riova Cipta, 2000 ,Cet I ), h.78.
34 Ali Al-jumbulati Abdul Futuh At-Tuwanisi,
Perbandingan Pendidikan Islam, (Jakarta: Rineka
Cipta, 2002), h.173
35 Saepudin,“Pendidikan Karakter dalam Kitab
Ayyuhal Walad dalam Konsep Pendidikan di
Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu,
2019,h. 3.
36 Ahmad, Riwayat Hidup Imam al-Ghazali, h 53
37 Ahmad Daudy, Segi-Segi Pemikiran Falsafi dalam
Islam (Jakarta:Bulan Bintang,1984), h. 60
38 K.Ali, Sejarah Islam (Tarikh Pramodern) terj.
Ghufron A. Mas'adi (Jakarta: Raja Grafindo
Persada,1996), h.420.
39 Zakiyah Drajat, Ilmu Pendidikan
Islam,(Jakarta:Bumi Aksara, 1984),h.213
40 Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta:
Logos Wacana Ilmu, 2001), h.64-65.
41 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 74-80.
83
42 Dedi Supriyadi, Pengantar Filsafat Islam; Konsep
Filsuf dan Ajarannya, (Bandung: CV.Pustaka
Setia,2013), h. 51-54.
43 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 80-86.
44 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 74-86.
45 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad
(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:
Darusalam Yasin, 2015), h.60
46 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad
(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:
Darusalam Yasin, 2015), h.60
47 Zainal Abidin Ahmad, Riwayat Hidup Al-Ghazali,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1975), h. 74-86
48 Muhammad Jalaluddin Al-Asqalani Addimasqy,
Mau‟izhatul Mukimin Min Ihya‟Ulumuddin, (Al-
Maktabah At-Tijjariyah Al-Kubra), h.502
49 Muhammad Jalaluddin Al-Asqalani Addimasqy,
Mau‟izhatul Mukimin Min Ihya‟Ulumuddin, (Al-
Maktabah At-Tijjariyah Al-Kubra), h.505
50 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kelima.
Pengarang, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan,. EDISI, Edisi Kelima, 2017.
51 Ratna, “Konsep Pendidikan Moral Menurut Al-
Gazali Dan Émile Durkheim”, Pascasarjana UIN
Alauddin Makassar, Lentera Pendidikan, Juni
2015, h.76.
52 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad
(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:
Darusalam Yasin, 2015), h.58
53 Pupuh Fathurrohman, AA Suryana, Pengembangan
Pendidikan Karakter, (Bandung: PT. Refika
Aditama, 2013), h. 19.
54 Said Agil Husain Al-Munawar, MA, Fiqh
Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press,
2005), h.13-14
55 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad
(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:
Darusalam Yasin, 2015), h.58
56 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat
Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 18.
84
57 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad
(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:
Darusalam Yasin, 2015), h.59
58 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat
Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 18.
59 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat
Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 20.
60 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad
(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan: D
Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk
Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Laksbang
Pressindo,2011), h. 104
arusalam Yasin, 2015), h.59
61 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat
Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 18
62 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat
Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 20.
63 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad
(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:
Darusalam Yasin, 2015), h.59
64 Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk
Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Laksbang
Pressindo,2011), h. 104
65 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 97
66 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat
Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h. 15
67 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad
(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:
Darusalam Yasin, 2015), h.60
68 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-
Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star
Nine,2013), h.50
69 Al-Ghazali, Ihya‟ Ulumuddin, Jilid II Alih Bahasa
H.Ismail Jakub, (Jakarta:CV.Faizan,tth) h.427
70 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-
Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star
Nine,2013), h.51
71 Ahmad Tafsir (ed), Pendidikan Agama Islam dalam
keluarga,(Bandung: PT. Remaja Rosdakarya,
2002), h.35
71 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam
85
Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama
Semarang, 1993), h.47
73 Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan. h.74
74 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran Al-
Ghazali Tentang Pendidikan,(Madiun:Jaya Star
Nine,2013), h.51
75 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi
Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.80
76 Hasan Asari, Nukilan Pemikiran Islam Klasik,
(Yogyakarta: PT.Tiara Wacana Yogya, 1999), h.85
77 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi
Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.83
78 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi
Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.78
79 Fathiyah Hasan Sulaiman, Sistem Pendidikan versi
Al-Ghazali, (Bandung:PT.Al Ma‟arif, 1986) h.80
80 Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep pendidikan,
h.75.
81 Imam Ghazali, Ayyuhal walad: Nasehat-Nasehat
Al-imam al-Ghazali kepada para muridnya,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.50.
82 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam
Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama
Semarang, 1993), h.89
83 Fathiyah Hasan Sulaiman, Aliran-aliran dalam
Pendidikan Islam (Semarang: Dina Utama
Semarang, 1993), h.60
84 Fathiyah Hasan Sulaiman, Konsep Pendidikan. h.78
BAB IV
1. Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.45
2 Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46
3 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuha al-Walad
(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:
Darusalam Yasin,2015), h.60
4 Miftahul Huda, Idealitas Pendidikan Anak:
86
TafsirTematik QS.Luqman, (Malang: UIN Malang
Press, 2009), 49-50
5 Miftahul Huda, Idealitas Pendidikan Anak:
TafsirTematik QS.Luqman, (Malang: UIN Malang
Press, 2009), 53
6 Abdul Mustaqim, “Berbagai Penyebutan Anak
dalam al-Qur‟an”, Jurnal Lektur Keagamaan, 2015,
h.271-290
7 Saepudin,“Pendidikan Karakter Dalam Kitab
Ayyuhal Walad Dalam Konsep Pendidikan Di
Indonesia”, Jurnal Studi Islam Kawasan Melayu,
Desember 2019, h.6
8 Ahmad Fahmi bin Zamzam, Ayyuhal Walad
(Wahai anakku yang tercinta), (Kalimantan:
Darusalam Yasin,2015), h.60
9 Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46
10 Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46
11 Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.47
12 Achmad Sunaro, Ayyuhal Waladu Muhibbu,
(Surabaya: Mutiara Ilmu,2014), h.46
13 Al-Ghazali, Metode Penaklukan Jiwa Perspektif
Sufistik, (Bandung:Mizan,2013), h.74
14 Enni K. Hairuddin, Membentuk Karakter Anak dari
Rumah (Jakarta: Gramedia, 2014), h. 7
15 Muhammad Fethullah Gulen, Tasawuf Untuk Kta
Semua, (penerj.Fuad Syaifudin Nur),
(jakarta:Republika, 2013), h.101
16 Muhammad Fauqi Hajjaj, Tasawuf Islam Dan
Akhlak, (penrj.Kamran As‟at dan Fakhri Ghazali),
(Jakarta:Amzah,2011), h.245
17 B.Wiwho, Bertasawuf Di Zaman Edan, (Jakarta:
buku Republika, 2016), h.92
18 Imam Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin Buku
Kesepuluh, terjm.Purwanto, (Bandung:Marja,
2014), h. 244.
19 Muhammad, Pendidikan di Alaf Baru Rekontruksi
atas Moralitas Pendidikan, (Yogyakarta:
Primashopie,2003), h.24
87
20 Mohammad Takdir Ilahi, Gagalnya Pendidikan
Karakter. Analiss dan Solusi Pengendalian
Karakter Emas Anak Didik. (Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2014).
21 Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk
Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Laksbang
Pressindo,2011), h. 64
22 Muhammad Fatehullah Gulen, Tasawuf untuk kita
semua, penerjemah: Fuad Syaifudin Nur, (Jakarta:
Republika, 2013), h. 101
23 Abu Muhammad Iqbal, Konsep Pemikiran al-
Ghazali tentang pendidikan (Madiun: Jaya Star
Nine, 2013) h. 255
24 Abu Hamid Hambali bin Muhammad bin
Muhammad al-Ghazali, Ihya Ulummuddin jld.I
(Semarang: Thoha Putra,) h. 13
25 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad
Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim
Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin
Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin
Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain
Jaya Indonesia), h.96
26 Pupuh Fathurrohman, AA Suryana,
Pengembangan Pendidikan Karakter,(Bandung:
PT. Refika Aditama, 2013),h.19
27 Said Agil Husain Al-Munawar, MA, Fiqh
Hubungan Antar Agama (Jakarta: Ciputat Press,
2005), h.13-14
28 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad
Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim
Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin
Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin
Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain
Jaya Indonesia),h. 63
29 Mohamad Mustari, Nilai Karakter Refleksi untuk
Pendidikan Karakter, (Yogyakarta: Laksbang
Pressindo,2011), 52.
30 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005), h. 27
88
31 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi Muslim,
(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005), h. 29
32 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad
Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim
Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin
Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin
Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain
Jaya Indonesia),h.27-28
33 Toto Tasmara, Etos Kerja Pribadi
Muslim,(Yogyakarta: Dana Bhakti Wakaf, 2005),
h.30
34 Suyadi, Strategi Pembelajaran Pendidikan
Karakter,(Bandung: PT Remaja Rosdaya.
2013),h.8.
35 Fuad Nashori dan Rochmy Diana Mucharrom,
Mengembangkan Kreativitas Dalam Perspektif
Psikologi Islam, (Yogyakarta: Menara
Kudus,2002),h.34
36 Diana Vidya Fakhriyani.”Pengembangan
Kreativitas Anak Usia Din” Jurnal Pendidikan.
Desember 2016. h. 4
37 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad
Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim
Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin
Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin
Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain
Jaya Indonesia), h. 104-105
38 Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran,
(Jakarta: Rineka Cipta, 2002), h. 97.
39 Muhammad Fadhilah dan Lilif Mualifatu Khorida.
Pendidikan Karakter Anak Usia Dini: Konsep dan
Aplikasinya dalam PAUD. (Yogyakarta: Ar-Ruzz
2016) h. 83
40 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad
Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim
89
Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin
Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin
Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain
Jaya Indonesia),h. 34-35
41 Al-Imam Abi Hamid Muhammad bin Muhammad
Al-Ghazali, Konsep Pendidikan Ayyuha al-Walad
Fi Nasihati al-Muta‟alimin Wa Mau‟izhatihim
Liya‟lamuu Wa Yumayyizuu Ilman Na‟fian,
Terjemahan: Assyarif Muhammad Abdullah bin
Al-„Alamah Al-Ustadz Al-Habib Sholeh bin
Ahmad bin Salim Al-Aydrus, (Jakarta:Alharamain
Jaya Indonesia),h. 33
Recommended