Penelitian oleh : Esther Kuntjara , Linda Bustan , Aditya Nugraha , Thomas Santoso ,

Preview:

DESCRIPTION

Encountering the ethno-religious Other: Toward inter-religious understanding and peace building initiatives UK Petra 8 Juni 2012. Penelitian oleh : Esther Kuntjara , Linda Bustan , Aditya Nugraha , Thomas Santoso , Henny PS Wijaya. Latar Belakang. - PowerPoint PPT Presentation

Citation preview

Penelitian oleh:Esther Kuntjara, Linda Bustan, Aditya Nugraha, Thomas Santoso, Henny PS Wijaya

ENCOUNTERING THE ETHNO-RELIGIOUS OTHER: TOWARD INTER-RELIGIOUS UNDERSTANDING AND PEACE BUILDING INITIATIVES

UK PETRA 8 JUNI 2012

Latar Belakang•Maraknya konflik yang dipicu oleh SARA.•Indonesia terdiri dari berbagai suku, golongan dan agama.•Perlunya mencari akar masalah dan penyelesaiannya.•Perlunya kurikulum yang mengarah pada perdamaian dalam keberagaman yang bisa diaplikasikan secara akademis.

Rumusan Masalah•Apa pandangan kelompok etnis dan agama tertentu terhadap kelompok etnis dan agama yang lain?

•Masalah apa saja yang sering memicu konflik antar etnis dan agama yang berbeda?

•Faktor apa yang sering menghambat terjadinya dialog antar etnis dan agama untuk membangun pemahaman & perdamaian?•Kemungkinan apa saja yang bisa dicapai untuk meningkatkan saling pengertian dan menciptakan perdamaian?

Pengambilan data(August – Desember 2011)6 Focus Group Discussions (kelompok homogen)Kelompok Tionghoa Kristen (12 partisipan)Kelompok Tionghoa Budhis (9 partisipan)Kelompok non-Tionghoa Kristen (10 partisipan)Kelompok non-Tionghoa Hindu (6 partisipan)Kelompok Tionghoa Islam (5 Partisipan)Kelompok non-Tionghoa Islam (12 Partisipan)2 Focus Group Discussions (kelompok campuran)Masing-masing kelompok dua wakil (12 partisipan)Tionghoa & non-Tionghoa Kristen & Islam (10 partisipan)

Penemuan Penelitian1. Bagaimana peserta

mengidentifikasi diri Lebih nyaman mengidentifikasikan diri (kecuali peserta Tionghoa) dengan asal mereka tinggal.

Istilah ‘Cina’ masih terasa merendahkan bagi sebagian peserta Tionghoa.

Lebih memilih sebagai orang Indonesia. Agama biasanya diturunkan dari orangtua, tapi peserta merasa mantap dengan pilihannya.

• Dari yang lahir dari kawin campur, lebih pas menyebut diri dari tempat dimana peserta tinggal yang paling nyaman. • Beberapa peserta Islam masih sulit untuk menentukan apakah lebih ke NU atau Muhamadyah atau Kejawen.• Berbagai macam golongan dan kelompok Islam menyulitkan memilih mana yang pas.• Tionghoa Muslim masih sering bingung memilih identitas yang pas.

2. Bagaimana mereka memandang orang lain Cukup terbuka untuk bekerjasama dengan kelompok lain.

Pengalaman yang traumatis tahun ‘98 membuat beberapa orang Tionghoa memandang ‘pribumi’ jahat dan sadis.

Merasa penting untuk bisa menerima orang lain apa adanya karena kita hidup dalam masyarakat yang plural. Sikap toleransi pada yang lain amatlah penting.

Memberi stereotip terhadap orang lain yang berbeda nampaknya cukup diterima peserta. Tapi kurang setuju utk disama-ratakan.

Semua setuju bahwa berbuat baik dan suka menolong orang lain merupakan nilai yang dijunjung tinggi di semua agama yang mereka anut.

Diakui semua agama ada orang yang baik dan yang kurang baik.

3. Kemungkinan sumber konflik Konflik internal terjadi saat orang Tionghoa merasa tak berdaya jika diperlakukan diskriminatif.

Konflik dalam keluarga seringkali terjadi karena beda generasi, beda Kasta, atau kawin campur.

kelompok Tionghoa sering merasa dijadikan korban/diperas. Dianggap semua orang Tionghoa kaya.

•Peserta non-Tionghoa Islam mengakui bahwa mereka yang berkonflik adalah orang-orang yang hanya belajar agama setengah-setengah.• Merasa diri paling benar (mis: dalam kuliah agama) sering memicu konflik.• Pemerintah dituduh lebih memilih yang kaya daripada yang miskin.• ‘Pribumi’ merasa terdesak / terkalahkan secara ekonomi.

• Konflik antar umat Kristen dan Islam dicurigai lebih bersifat politis dan ekonomis ketimbang disebabkan karena agama.•Cara ber-PI / berdakwah sering memicu konflik.• Konflik horizontal dalam Islam lebih tajam daripada konflik vertikal.• Social jealousy ditengarai sering menjadi penyebab konflik.

4. Resolusi konflik yang disarankan peserta Badan yang lebih tinggi seperti MUI atau Banjar perlu membantu menyelesaikan konflik.

Peserta Tionghoa menunjuk keluarga sendiri dalam penyelesaian masalah.

Orang muda dinilai lebih toleran terhadap tradisi ketimbang orangtua mereka.

Komunikasi yang sehat adalah kunci menuju perdamaian. Padahal orang Indonesia sering menghindarinya.

Hindari sikap menghakimi orang lain, tapi kembangkan saling pengertian lewat dialog dan kerjasama (mis: lewat hobi dan olah raga).

Tunjukkan agama kita lewat perbuatan baik kepada sesama dan saling menghormati.

• Berteman dengan orang yang berbeda latar belakang akan memupuk persahabatan. Hindari etnocentrisme.• Negara perlu menjaga stabilitas. • “Berbuatlah pada orang lain seperti anda ingin orang lain berbuat untuk anda” diakui oleh banyak agama.•Identitas nasional perlu dipupuk untuk mengembangkan semangat dan jiwa nasional kita.

Beberapa Kesimpulan•Peserta FGD yang kebanyakan mahasiswa terasa lebih terbuka dan menyadari akan kelemahan dan kekurangan mereka. •Ada suasana yang cukup optimis dari kalangan anak muda bahwa perbedaan bisa dijembatani.•Kesempatan untuk saling berkomunikasi perlu secara rutin diselenggarakan.

• Rumus Perdamaian oleh Johan Galtung:

Equality, Equity, Mutual respect bisa menjadi acuan dalam membangun dunia yang damai.• Konsep Perdamaian perlu disisipkan

dalam kurikulum sekolah & universitas di Indonesia.

TERIMA KASIH