Upload
mauliddani-milly-latifah
View
91
Download
7
Embed Size (px)
Citation preview
1
Pengolahan Limbah Cair Percetakan dengan Menggunakan Koagulan
Aluminium Sulfat dan Besi (III) Klorida
Arsendi Nugraha, Dr. Sutanto, M.Si, Dra Ardi Muharini, M.Si
Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Pakuan Bogor
ABSTRACT Wiping solution is a solution used to clean the plate from ink spent in a printing
industry. This ink mixed solution is not one time used, but its treated with separating
and adjustment process for recycling and reusing in wiping solution in the printing
process. The method used in this separating process was coagulation with coagulant
agent addition. Coagulant were used alum ((K2SO4.Al2(SO4)3.24H2O) and FeCl3.6H2O.
This research was aim to determinate the optimum dose of coagulant alum and iron (III)
chloride. Its used to assist the treatment process with right dose and the suitable
coagulant type refers to characteristic of the wiping solution.
The optimum dose of alum and FeCl3 determined by jar test method with variety
of dose. Parameter of analysis measured are pH, chemical oxygen demand (COD), total
suspended solid (TSS), and total dissolved solid (TDS). COD measured by redox
titration with potassium dichromate oxidator, then TSS and TDS measured by
gravimetric method.
The research given alum and FeCl3 coagulants had the same optimum dose at
6000 ppm. Alum decreased the value of TSS and COD in the wiping solution up to
94.76% and 41.18%, whereas FeCl3 up to 92.67% and 27.06%. FeCl3 resulted in a
better value of TDS up to 8.37% whereas alum 7.10%.
Keywords : Wastewater, Coagulation, Jar test, Aluminium Sulphate, Iron (III) chloride
1 Pendahuluan
Industri cetak dalam kegiatannya
menggunakan bahan-bahan yang
berpotensi mencemarkan lingkungan.
Sumber pencemaran berasal dari proses
pembuatan acuan cetakan, proses
produksi dan proses finishing. Proses
tersebut dapat dihasilkan limbah
padatan, berupa sisa potongan kertas
yang masih dapat dimanfaatkan.
Sedangkan limbah cair industri
percetakan terdiri dari tinta yang rusak,
bahan pelarut, bahan pencair, bahan
pengering, dan bahan penolong.
(Herlambang, 2002)
Salah satu sumber limbah yang
terdapat dalam industri pecetakan yaitu
limbah cair dari larutan penyapu.
Larutan penyapu adalah suatu larutan
yang digunakan untuk membersihkan
silinder penyapu pada proses cetak yang
menggunakan sistem “water wiping”.
Atas dasar efisiensi, larutan pembersih
tidak digunakan sekali pakai (one-time
used), larutan penyapu yang telah
bercampur dengan tinta kemudian
dilakukan proses daur ulang untuk
memisahkan antara tinta dan larutan
penyapu melalui proses pengolahan dan
koreksi sehingga larutan tersebut dapat
digunakan kembali secara berulang-
ulang (recycling/reuse) dalam proses
pencetakannya.
Cara pengolahan limbah cair
yang digunakan dalam penelitian ini
yaitu pengendapan polutan yang
terkandung di dalam limbah dengan
penambahan koagulan. Limbah cair ini
tidak mudah diendapkan hanya dengan
penambahan asam-basa, sehingga
2
dibutuhkan penambahan bahan kimia
berupa koagulan (bahan pengendap)
yang dapat membantu proses
pengendapan polutan terutama
pengendapan polutan sebagai partikel
koloid. Ada beberapa jenis koagulan
diantaranya adalah tawas
(K2SO4.Al2(SO4)3.24H2O) dan
FeCl3.6H2O.
Setiap koagulan memiliki
karakteristik yang berbeda-beda, oleh
karena itu perlunya disesuaikan dengan
limbah yang akan dikoagulasikan serta
dengan penambahan dosis yang tepat.
Penentuan jenis dan dosis koagulan yang
tepat dapat membantu proses pengolahan
larutan penyapu ini menjadi efektif dan
efisien.
Pemilihan aluminium sulfat dan
besi (III) klorida didasarkan atas kedua
koagulan tersebut telah dikenal sebagai
koagulan yang baik. Kedua koagulan ini
memiliki tiga valensi dari logamnya,
sehingga dalam penggunaannya akan
lebih sedikit dibandingkan dengan
koagulan yang hanya memiliki dua
ataupun satu valensi. Aluminium sulfat
memiliki kelebihan yaitu harga yang
relatif murah, serta terhidrolisis dalam
air menghasilkan jumlah kation dan
anion yang lebih banyak dibandingkan
dengan besi (III) klorida. Ion-ion yang
dihasilkan dibutuhkan untuk destabilisasi
koloid yang terdapat dalam limbah
cair.Besi (III) klorida dapat
menghasilkan pembentukan flok yang
lebih kuat dibandingkan dengan flok
yang dihasilkan dari koagulan alum
(Schulz, 1984).
Penelitian ini bertujuan untuk
menentukan dosis optimum koagulan
aluminium sulfat dan besi (III) klorida
dalam mengendapkan limbah larutan
penyapu pada proses cetak dalam.
2 Metode Penelitian
2.1 Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan yaitu
larutan kalium dikromat 0,25 N, Asam
sulfat pekat, perak sulfat, larutan fero
amonium sulfat, dan indikator feroin.
Alat yang digunakan adalah neraca
analitik, labu ukur 50 mL, 100 mL, alat
refluks, erlenmeyer 50 mL, 250 mL,
gelas ukur, pipet volumetri 5 mL, 10
mL, 25 mL, 50 mL, buret 25 mL, dan 50
mL.
2.2 Kerangka Penelitian
Penelitian ini dilakukan dalam
beberapa tahap, tahap pertama yaitu
pengukuran kondisi awal limbah cair
larutan penyapu yang meliputi
pengukuran pH, COD, TDS dan TSS.
Analisis awal ini bertujuan untuk
mengetahui karakteristik limbah, dan
sebagai pembanding kondisi limbah
setelah dilakukan proses koagulasi.
Tahap kedua yaitu yaitu
penentuan dosis optimum koagulan.
Pengujian ini dilakukan dengan
memindahkan sampel ke dalam 5 gelas
yang masing-masing sampel akan
ditambahkan variasi konsentrasi
koagulan yang berbeda. Variasi
konsentrasi koagulan tawas yang
digunakan yaitu 2000, 4000, 6000, 8000,
10.000 dan 12.000 ppm, sedangkan
variasi untuk koagulan FeCl3 yaitu 2000,
4000, 6000, 8000,10.000, dan 12.000
ppm. Varian sampel akan dilakukan
perlakuan yang sama, yaitu pengadukan
cepat, pengadukan lambat, proses
pengendapan, dan analisis COD, dan
analisis padatan (TDS dan TSS).
Tahap terakhir yaitu pengolahan
data dan penarikan kesimpulan. Hasil
analisis COD, TDS, dan TSS dari
penentuan dosis optimum diplotkan ke
dalam grafik. Dosis koagulan optimum
didapat dari hasil analisis terbaik dari
varian dosis yang ditambahkan.
3
2.2.1 Penentuan Konsentrasi
Optimum Koagulan Alum
Sebanyak 300 mL sampel
dimasukkan ke dalam 6 gelas kimia 500
mL, kemudian koagulan tawas
ditambahkan ke dalam gelas kimia
dengan variasi konsentrasi koagulan
2000, 4000, 6000, 8000, 10.000, dan
12.000 mg/L. Larutan dilakukan
pengadukan dengan kecepatan 100 rpm
selama 1 menit, kemudian dilakukan
pengadukan lambat dengan kecepatan 20
rpm selama 15 menit. Dibiarkan
mengendap selama 30 menit kemudian
fase cairan dilakukan analisis pH, COD,
dan analisis padatan (TDS dan TSS).
2.2.2 Penentuan Konsentrasi
Optimum Koagulan FeCl3
Sebanyak 300 mL sampel
dimasukkan ke dalam 6 gelas kimia 500
mL, kemudian koagulan FeCl3
ditambahkan ke dalam gelas kimia
dengan variasi konsentrasi koagulan
2000, 4000, 6000, 8000, 10.000, dan
12.000 mg/L. Larutan dilakukan
pengadukan dengan kecepatan 100 rpm
selama 1 menit, kemudian dilakukan
pengadukan lambat dengan kecepatan 20
rpm selama 15 menit. Dibiarkan
mengendap selama 30 menit kemudian
fase cairan dilakukan analisis pH, COD,
dan analisis padatan (TDS dan TSS).
2.2.3 Analisis COD (SNI 06-6989.15-
2004)
a. Persiapan Reagen
a.1. Larutan standar kalium dikromat
0,25 N
Digunakan labu takar 100 mL
untuk melarutkan 1,228 K2Cr2O7 p.a
yang telah dikeringkan dalam oven
105°C dan didinginkan dalam desikator,
tambahkan air suling hingga tanda batas.
a.2. Reagen perak (II) sulfat dalam asam
sulfat pekat
Ditambahkan Ag2SO4 sebanyak
10 gram dalam 1000 mL asam sulfat
pekat. Pelarutan Ag2SO4 membutuhkan
waktu satu sampai dua hari.
a.3. Larutan standar fero amonium sulfat
0,1 N
Digunakan labu takar 1000 mL
untuk melarutkan 39 gram
Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O dalam 500 mL air
suling, kemudian ditambahkan 20 mL
asam sulfat pekat, setelah dingin tanda
bataskan dengan menggunakan air
suling. Standarisasi selalu dilakukan
sebelum titrasi COD.
b. Standarisasi Larutan Titran FAS
Larutan standar kalium dikromat
0,10 N dipipet sebanyak 10 mL,
kemudian diencerkan dengan akuades
hingga 100 mL, ditambahkan dengan
asam sulfat pekat sebanyak 2 mL.
Setelah dingin dititrasi dengan larutan
fero ammonium sulfat dengan
menggunakan 3 tetes indikator feroin,
titik akhir akan dihasilkan warna larutan
menjadi oranye kemerah-merahan.
Dilakukan secara duplo. Dicatat volume
titran.
c. Analisis Kadar COD
Sampel air limbah dipipet
sebanyak 10 mL ke dalam Erlenmeyer
300 mL, kemudian ditambahkan 5 butir
batu didih, larutan kalium dikromat 0,25
N sebanyak 10 mL, dan secara perlahan
ditambahkan reagen asam sulfat-perak
sulfat sebanyak 5 mL, diaduk secara
perlahan untuk mencegah penguapan
dan larutan tercampur merata.
Erlenmeyer tersebut diletakkan di bawah
kondenser yang telah dialiri air
pendingin, kemudian ditambahkan 25
mL asam sulfat-perak sulfat sebanyak 25
mL sedikit demi sedikit sambil perlahan
diaduk. Erlenmeyer dipanaskan di atas
pemanas, dilakukan refluks selama 2
jam.
Erlenmeyer dilepaskan dari
kondenser, didinginkan, ditambahkan
indikator feroin, dilakukan titrasi dengan
larutan standar fero ammonium sulfat
0,1 N hingga warna larutan menjadi
4
cokelat–merah. Volume FAS yang
terpakai dicatat.Dilakukan dengan
blanko.
d. Perhitungan
a x x
m sampel
Keterangan :
a = mL FAS yang digunakan untuk
titrasi blanko
b = mL FAS yang digunakan untuk
titrasi sampel
N = Normalitas larutan FAS
Fp= faktor pengenceran
2.2.4 Analisis padatan tersuspensi
total (SNI 06-6989.3-2004)
a. Penimbangan Kertas Saring Kosong.
Kertas saring diletakkan pada
alat penyaring dan dibilas tiga kali
dengan akuades masing-masing
sebanyak 20 mL. Alat pengisap
dinyalakan untuk menghisap air yang
terdapat pada kertas saring. Kertas saring
Whatman Grade 934 AH diambil dan
dikeringkan dalam oven dengan suhu
103-1 5 ˚ selama 1 jam. Kemudian
didinginkan dalam desikator selama 10
menit dan ditimbang. Penimbangan
dilakukan sampai diperoleh bobot
konstan.
b. Penyaringan contoh.
Contoh homogen sebanyak 50,0
mL disaring dengan menggunakan kertas
saring yang telah diketahui bobot
konstannya pada cawan Gooch yang
dilengkapi dengan alat pengisap.
Kemudian kertas saring dibilas tiga kali
dengan akuades masing-masing
sebanyak 10 mL. Setelah itu, kertas
saring diambil dan dikeringkan dalam
oven dengan suhu 103-1 5 ˚ selama 1
jam. Kertas saring didinginkan dalam
desikator selama 10 menit dan kemudian
ditimbang. Penimbangan dilakukan
sampai diperoleh bobot konstan.
c. Perhitungan
Rumus untuk perhitungan TSS
adalah sebagai berikut:
o ot esidu pada ke tas sa ing
volume ontoh
2.2.5 Analisis Padatan Terlarut Total
(SNI 06-6989.27-2005)
a. Penimbangan kertas saring kosong.
Kertas saring diletakkan pada
alat penyaring dan dibilas tiga kali
dengan akuades masing-masing
sebanyak 20 mL. Alat pengisap
dinyalakan untuk menghisap air yang
terdapat pada kertas saring. Kertas saring
Whatman Grade 934 AH diambil dan
dikeringkan dalam oven dengan suhu
103-1 5 ˚ selama 1 jam. Kemudian
didinginkan dalam desikator selama 10
menit dan ditimbang. Penimbangan
dilakukan sampai diperoleh bobot
konstan.
b. Persiapan cawan
Cawan yang telah bersih
dipanaskan pada suhu 180°C selama 1
jam di dalam oven. Cawan dipindahkan
ke dalam desikator dengan
menggunakan penjepit. Setelah dingin
ditimbang dengan neraca analitik. Ulangi
pemanasan dengan oven dan
penimbangan hingga didapat bobot yang
konstan.
c. Penyaringan contoh.
Contoh homogen sebanyak 50,0
mL disaring dengan menggunakan kertas
saring yang telah diketahui bobot
konstannya pada cawan Gooch yang
dilengkapi dengan alat pengisap. Filtrat
dipipet sebanyak 10,0 mL, dimasukkan
ke dalam cawan yang telah diketahui
bobotnya. Cawan berisi filtrat
dikeringkan hingga semua air telah
menguap dalam oven pada suhu 180°C.
Dinginkan dalam desikator selama 10
menit dan kemudian ditimbang.. Ulangi
pemanasan dengan oven dan
penimbangan hingga didapat bobot yang
konstan.
5
d. Perhitungan
Rumus untuk perhitungan TDS
adalah sebagai berikut:
o ot esidu pada
volume ontoh
3 Hasil Dan Pembahasan
Koagulan alum dan FeCl3
dilakukan pengujian melalui jar test
pada berbagai konsentrasi yaitu 2000,
4000, 6000, 10.000, dan 12.000 ppm.
Sebelum dan sesudah jar test dilakukan
pengujian berbagai parameter yaitu pH,
TDS, TSS dan COD.
3.1 Pengaruh Dosis Koagulan
Terhadap pH Larutan Penyapu
Koagulan yang berupa garam
dari logam dan sisa asam yang terlarut
dalam air akan terhidrolisis dan
memberikan pengaruh terhadap pH
larutan tersebut. Gambar dapat dilihat
grafik perubahan pH setelah dilakukan
penambahan koagulan. Kondisi limbah
cair bersifat basa memiliki nilai pH
tinggi yaitu 12,86. Koagulan yang
digunakan bersifat asam, terjadi reaksi
penetralan dengan basa dari limbah.
Rincian perubahanan nilai pH terhadap
penambahan dosis koagulan dapat dilihat
pada gambar 1.
Gambar 1. Grafik hubungan dosis koagulan
dengan pH
Penambahan 6000 ppm
merupakan awal penurunan pH. Hal ini
menunjukkan kesukaran reaksi garam
asam dalam mengubah suasana basa
berlebih hingga menghasilkan penurunan
pH. Perubahan pH terbesar terjadi pada
penambahan koagulan FeCl3 dengan
dosis 12.000 ppm menurunkan pH
hingga 10,55. Perbandingan pH pada
tiap penambahan dosis koagulan FeCl3
memberikan penurunan pH lebih besar
dibandingkan dengan koagulan Al.
Semakin tinggi penambahan dosis
koagulan akan semakin menurunkan pH
limbah, koagulan alum pada
penambahan dosis tertinggi
menghasilkan penurunan pH menjadi
12,18.
Aluminium sulfat dan besi (III)
klorida merupakan garam yang berasal
dari asam kuat dan basa lemah, bila
dilarutkan dalam air akan menghasilkan
larutan yang bersifat asam. Kation M+
dari garam bereaksi dengan ion-ion
hidroksil yang dihasilkan oleh disosiasi
air, membentuk basa lemah MOH dan
meninggalkan ion-ion hidrogen dalam
larutan.
M+ + H2O ⇌ MOH + H
+
Al3+
+ 3H2O ⇌ Al(OH)3 + 3H+
Fe3+
+ 3H2O ⇌ Fe(OH)3 + 3H+
ion aluminium termasuk ion amfoter,
sehingga terdapat perbedaan antara sifat
aluminium dengan besi. Suasana basa
berlebih menyebabkan endapan Al(OH)3
dapat melarut kembali. Berbeda dengan
endapan Fe(OH)3 yang lebih stabil dan
tidak melarut kembali dalam kondisi
basa berlebih sehingga koagulan FeCl3
menyebabkan penurunan pH yang lebih
cepat daripada Alum. Endapan Al(OH)3
melarut kembali dalam basa berlebih
menghasilkan ion tetrahidroksoaluminat
(Vogel, 1990).
Al(OH)3 + OH¯ ⇌ [Al(OH)4]¯
Ion Cl¯dan SO42¯ memberikan
pengaruh terhadap perubahan pH. Ion
Cl¯terdisosiasi secara sempurna dalam
larutan, sedangkan ion SO42¯
terdisosiasi secara bertahap. Disosiasi
tahap pertama terurai secara sempurna,
99.510
10.511
11.512
12.513
pH
dosis koagulan (ppm)
Fe
Al
6
sedangkan disosiasi tahap kedua sebesar
1,2.10¯2 (Harjadi, 1986).
H2SO4 ⇌ HSO4¯ + H+……………α1
HSO4¯ ⇌ SO42¯ + H+……………α2
Penurunan pH yang lebih rendah
akan mengurangi nilai ekonomis dalam
proses daur ulang limbah air penyapu.
Hal ini dikarenakan pada setelah proses
koagulasi terdapat pengaturan kembali
komposisi dari larutan penyapu.
Sehingga semakin rendah nilai pH akan
membutuhkan penambahan basa yang
lebih banyak untuk memenuhi
persyaratan kebutuhan larutan penyapu.
Kandungan basa larutan penyapu yang
dibutuhkan pada proses cetak yaitu 0,5%
NaOH.
3.2 Pengaruh Dosis Koagulan
Terhadap TSS Larutan Penyapu
Nilai TSS mengalami penurunan
setelah proses koagulasi dari koagulan
alum maupun FeCl3. Berdasarkan
Gambar 2, diketahui koagulan alum
mencapai dosis optimum pada
konsentrasi 6000 ppm, dan koagulan
FeCl3 pada 6000 ppm. Kondisi TSS awal
limbah yaitu 382 ppm dan proses
koagulasi optimum menghasilkan nilai
TSS 20 ppm untuk alum dan 28 ppm
untuk FeCl3. Persentase penurunan TSS
setelah dilakukan koagulasi mencapai
94,76% untuk alum, sedangkan untuk
koagulan FeCl3 mencapai 92,67%.
Selisih persentase penurunan nilai TSS
limbah antara koagulan alum dan
koagulan FeCl3 tidak terlampau jauh,
yaitu 2,09%. Rincian perhitungan TSS
dapat dilihat pada Lampiran 2.
Gambar 2. Grafik hubungan dosis
koagulan dengan TSS
Mekanisme pengendapan
suspensi dan koloid yang terjadi pada
limbah yaitu koagulan menghasilkan ion
M3+
yang kemudian terhidrolisis menjadi
M(OH)3 yang berupa koloid bermuatan
positif. Koloid alam yang umumnya
bermuatan negatif akan tersisipi koloid
positif ini, sehingga antar koloid yang
bermuatan negatif dapat saling
mendekat, karena hilangnya gaya tolak
menolak antar koloid. Akhirnya dengan
tidak adanya gaya tolak menolak pada
koloid, koloid akan kehilangan
kestabilan sehingga gaya yang mengenai
koloid hanya gaya tarik massa, sehingga
koloid ini akan terendapkan.
Setelah penambahan dosis lebih
dari 6000 ppm terjadi peningkatan nilai
TSS. Hal ini dikarenakan jumlah
koagulan diatas 6000 ppm telah
mencapai konsentrasi yang berlebih,
sehingga terjadi proses restabilisasi
muatan koloid karena terjadinya adsorpsi
counter ion. Bila counter ion yang
teradsorp berlebih, muatan partikel
koloid akan menjadi positif dan terjadi
tolak menolak antar partikel koloid yang
bermuatan positif kemudian koloid
terdispersi kembali dan menjadi stabil.
3.3 Pengaruh Dosis Koagulan
Terhadap TDS Larutan Penyapu
Data analisis TDS terhadap
penambahan dosis koagulan terlihat pada
gambar 8 bahwa setiap penambahan
dosis koagulan nilai TDS menurun.
0
50
100
150
200
250
300
350
400
TSS
(pp
m)
dosis koagulan (ppm)
Fe
Al
7
Kondisi awal sampel memiliki nilai TDS
mencapai 50.670 ppm yang menandakan
bahwa kandungan padatan terlarut yang
cukup tinggi. Penambahan dosis 6.000
ppm pada koagulan alum menghasilkan
penurunan sebesar 5,13%, sedangkan
koagulan FeCl3 sebesar 7,32%.
Peningkatan jumlah dosis melebihi 6000
ppm hanya sedikit mempengaruhi
penurunan nilai TDS. Selisih persentase
penurunan TDS pada koagulan alum
antara dosis 6000 dan 12.000 ppm yaitu
1,97% sedangkan pada koagulan FeCl3
dengan rentang dosis yang sama yaitu
1,05%. Hal ini secara ekonomis tidak
menguntungkan karena dengan
penambahan jumlah dosis sebesar dua
kali lipatnya hanya memiliki perbedaan
penurunan nilai TDS tidak lebih dari 2%.
Sehingga dapat diketahui dosis koagulan
optimum baik koagulan alum dan FeCl3
yaitu pada dosis 6.000 ppm.
Penambahan koagulan dengan dosis
tertinggi menurunkan angka TDS
sebesar 8,37% untuk FeCl3, dan 7,10%
untuk alum. Data perhitungan TDS dapat
dilihat pada Lampiran 3.
Zat padat yang terdapat dalam
cairan terdiri dari zat padat terlarut yaitu
berupa garam dan molekul organik, dan
zat padat tersuspensi dan koloidal,
seperti tanah liat dan kwarts. Analisis
TDS merupakan analisis untuk
mengetahui jumlah konsentrasi zat padat
terlarut dari suatu cairan. Proses
koagulasi berpengaruh terhadap zat
padat suspensi dan koloid, sedangkan
penurunan nilai TDS yang terjadi yaitu
adanya zat terlarut yang terjerap ke
dalam koloid dan ikut terendapkan.
Gambar 3. Grafik hubungan dosis dengan
TDS
Penurunan padatan terlarut dalam
limbah yang ditambahkan koagulan ini
terjadi karena adanya jerapan partikel
terlarut oleh adanya pertukaran ion H+
pada M(OH)3 dengan partikel logam.
Reaksi penjerapan yang terjadi
merupakan reaksi pertukaran ion
(Manahan, 1994). Reaksi yang terjadi
sebagai berikut :
M(OH)3 + Zn → M( H) -Zn-O + 2H+
3.4 Pengaruh Dosis Koagulan
Terhadap COD Larutan Penyapu
Nilai COD merupakan nilai yang
menunjukkan jumlah kandungan zat
organik yang terdapat dalam air limbah.
Data hasil analisis COD proses koagulasi
terlihat pada gambar 4.
Gambar 4. Grafik hubungan dosis
dengan COD
Penambahan koagulan alum dan
FeCl3 mampu menurunkan nilai COD.
Penurunan terjadi karena partikel zat
organik ikut mengendap dalam proses
koagulasi. Penurunan nilai COD lebih
baik didapatkan dari koagulasi melalui
44000
45000
46000
47000
48000
49000
50000
51000
TDS
(pp
m)
dosis koagulan (ppm)
Fe
Al
35,000
40,000
45,000
50,000
55,000
60,000
65,000
70,000
CO
D (
pp
m)
dosis koagulan (ppm)
Fe
Al
8
koagulan alum. Penambahan koagulan
dengan dosis 2000 ppm menghasilkan
penurunan nilai COD yang cukup besar,
yaitu mencapai 32,94% untuk alum dan
20,59% untuk FeCl3. Penambahan dosis
koagulan melebihi dosis 2000 ppm tetap
akan menurunkan nilai COD meskipun
penurunan ini tidak terlalu besar jika
dibandingkan dengan penurunan pada
dosis 2000 ppm. Nilai COD terendah
yang didapatkan koagulan alum yaitu
40.080 ppm sedangkan koagulan FeCl3
yaitu 49.699,2 ppm. Rincian nilai COD
dapat dilihat pada Lampiran 4.
Penurunannya nilai COD pada
penambahan koagulan FeCl3 terlihat
lebih sedikit dibandingkan dengan nilai
COD alum. Jika dihubungkan dengan
nilai TDS yang lebih rendah untuk
koagulan Fe dibandingkan dengan
koagulan alum maka dimungkinkan ion
Fe3+
yang terbentuk lebih kuat menarik
ion atau garam terlarut dari limbah untuk
membentuk suatu flok, sehingga kinerja
penarikan koloid akan lebih rendah
dibandingkan dengan alum.
4 Kesimpulan dan Saran
4.1 Kesimpulan
Koagulan Alum dan FeCl3 dapat
digunakan untuk pengolahan limbah
yang berasal dari proses larutan
penyapu, terbukti dapat menurunkan
parameter TSS, TDS, dan COD.
Penggunaan koagulan alum dinilai lebih
baik karena dengan dosis optimum yang
sama dengan FeCl3, yaitu 6000 ppm,
dapat menurunkan parameter TSS dan
COD lebih rendah, dibandingkan dengan
koagulan FeCl3. Penurunan pH yang
terjadi pada penambahan koagulan FeCl3
hingga 10,55 sedangkan koagulan alum
12,18. Parameter nilai COD dengan
menggunakan koagulan alum
menghasilkan penurunan hingga 41,18%
sedangkan dengan menggunakan FeCl3
hingga 27,06%. Parameter nilai TSS
antara koagulan alum dan FeCl3
menghasilkan penurunan yang tidak
terpaut jauh, yaitu masing-masing
94,76% dan 92,67%. Penurunan TDS
untuk koagulan alum yaitu 7,10% dan
koagulan FeCl3 yaitu 8,37%.
4.2 Saran
Kriteria larutan penyapu
membutuhkan kondisi pH yang cukup
tinggi, akan tetapi proses koagulasi
dinilai dapat dioptimalisasi pada pH
yang mendekati netral. Sehingga
dibutuhkan adanya penelitian lanjutan
untuk menentukan pH optimum
koagulasi larutan penyapu, serta jumlah
kebutuhan basa yang ditambahkan
setelah proses koagulasi untuk
memenuhi kriteria larutan penyapu
dengan pH tinggi.
5 DAFTAR PUSTAKA
Alaert, G dan Sri S. S. 1984.Metoda
Penelitian Air. Surabaya.
Penerbit Usaha Nasional.
Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI
06-6989.3-2004. Air dan Air
Limbah – Cara Uji Kadar
Padatan Tersuspensi Total. BSN.
Serpong.
Badan Standarisasi Nasional. 2005. SNI
06-6989.27-2005. Air dan Air
Limbah – Cara Uji Kadar
Padatan Terlarut Total. BSN.
Serpong.
Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI
06-6989.15-2004. Air dan Air
Limbah – Cara Uji kebutuhan
Oksigen Kimia dengan Refluks
Terbuka. BSN Serpong.
Herlambang, A. 2002. Teknologi
Pengolahan Limbah Cair
Industri. Pusat Pengkajian dan
Penerapan Teknologi
Lingkungan dan Badan
Pengendalian Dampak
Lingkungan Daerah. Samarinda.
Harjadi, W. 1986. Ilmu Kimia Analitik
Dasar. PT. Gramedia. Jakarta.
9
International Finance Corporation. 2007.
Enviromental, Health, and Safety
Guidelines for Printing. IFC.
London.
Kipphan, Helmut. 2000. Handbook of
Print Media, Springer, Berlin.
Karamah, EF, Lubis AO. 1998.
Perlakuan Koagulasi dalam
Proses Pengolahan Air dengan
Membran : Pengaruh
Pengadukan Pelan Koagulan
Aluminium Sulfat terhadap
Kinerja Membran. Fakultas
Matematika dan Ilmu
Pengetahuan Alam. Universitas
Indonesia.
Manahan, S.E. 2005. Enviromental
Chemistry Eighth Edition. CRC
Press. Florida.
Saeni, MS. 1989. Kimia Lingkungan.
Dirjen Pendidikan Tinggi
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan Pusat Antar
Universitas Ilmu Hayati
IPB.Bogor.
Schulz, C.R., D.A. Okun, 1984, Surface
Water Treatment For
Communities In Developing
Countries, John Wiley & Son
Inc., Canada
Senevirate, Mohan., 2007, A Practical
Approach to Water Conservation
for Commercial and Industrial
Facilities, Elsevier LTD,
Burlington, USA
Siregar, S.A.2005.Instalasi Pengolahan
Air Limbah Penerbit Kanisius (
Anggota IKAPI ).Yogyakarta
Teng ST. 2000. Gambaran Umum
Penanganan Limbah. PT.
Nusantara Water Centre. Jakarta.
Vogel. 1990.Buku Teks Analisis
Anorganik Kualitatif Makro dan
Mikro Edisi kelima, Bagian II,
PT Kalman Media Pusaka.
Jakarta.
Wiratno, E. 2009. Analisa Kelayakan
Investasi Pembuatan Sulfonated
Castor Oil di Perum Peruri.
Universitas Singaperbangsa.
Karawang.
10
Lampiran 2. Data pengukuran TSS
Jenis
Koagulan
Dosis
(ppm)
bobot
kertas
(mg)
bobot
kertas +
residu
(mg)
bobot
residu
(mg)
Volume
sampel
(mL)
TSS
(ppm)
%
penurunan
Awal 0 132.8 151.9 19.1 50 382 0.00%
Alum
2000 131.9 136.8 4.9 50 98 74.35%
4000 134.9 136.8 1.9 50 38 90.05%
6000 138.1 139.1 1.0 50 20 94.76%
8000 134.9 136.3 1.4 50 28 92.67%
10000 130.7 132.4 1.7 50 34 91.10%
12000 134.4 136.2 1.8 50 36 90.58%
FeCl3
2000 178.1 182.8 4.7 50 94 75.39%
4000 180.2 183.1 2.9 50 58 84.82%
6000 174.5 175.9 1.4 50 28 92.67%
8000 177.7 180.0 2.3 50 46 87.96%
10000 177.6 181.6 4.0 50 80 79.06%
12000 175.2 179.4 4.2 50 84 78.01%
Contoh perhitungan TSS
Bobot residu = (bobot kertas saring + residu) – bobot kertas saring kosong
= 151,9 mg – 132,8 mg
= 19,1 mg
o ot esidu
volume ontoh
5 m
1
382 mg/L
penu unan awal akhi
penu unan
penu unan 5
11
Lampiran 3. Data pengukuran TDS
Jenis Koagulan
Dosis (ppm)
bobot cawan kosong
(g)
bobot cawan
+ residu (g)
bobot residu
(g)
Volume sampel
(mL)
TDS (ppm)
% penurunan
Awal 0 42.8800 43.3867 0.5067 10 50670 0.00%
Alum 2000 42.7013 43.2070 0.5057 10 50570 0.20%
4000 43.3521 43.8491 0.4970 10 49700 1.91%
6000 43.1208 43.6015 0.4807 10 48070 5.13%
8000 42.8790 43.3615 0.4825 10 48250 4.78%
10000 42.9671 43.4423 0.4752 10 47520 6.22%
12000 47.3520 47.8227 0.4707 10 47070 7.10%
FeCl3 2000 42.6988 43.2028 0.5040 10 50400 0.53%
4000 43.3532 43.8443 0.4911 10 49110 3.08%
6000 42.9275 43.3971 0.4696 10 46960 7.32%
8000 45.3795 45.8493 0.4698 10 46980 7.28%
10000 43.3496 43.8203 0.4707 10 47070 7.10%
12000 42.8010 43.2653 0.4643 10 46430 8.37%
Contoh perhitungan TDS
Bobot residu = (bobot cawan + residu) – bobot cawan kosong
= 43,3867 g – 42,8800 mg
= 0,5067 g
o ot esidu
volume ontoh
1 m
1
1 g
50.670 mg/L
penu unan awal akhi
penu unan 5 5 5
penu unan
12
Lampiran4. Data analisis COD
Koagulan Dosis (ppm)
M FAS V blangko
(mL) fp
v titrasi (mL)
vb-vs (mL)
COD (ppm)
% penurunan
Awal 0 0.1002 24.4 50 7.4 17.0 68136.0 0.00%
Alum
2000 0.1002 24.4 50 13.0 11.4 45691.2 32.94%
4000 0.1002 24.4 50 13.4 11 44088.0 35.29%
6000 0.1002 24.4 50 13.6 10.8 43286.4 36.47%
8000 0.1002 24.4 50 13.6 10.8 43286.4 36.47%
10000 0.1002 24.4 50 13.4 11 44088.0 35.29%
12000 0.1002 24.4 50 14.4 10 40080.0 41.18%
FeCl3
2000 0.1002 24.4 50 10.9 13.5 54108.0 20.59%
4000 0.1002 24.4 50 10.8 13.6 54508.8 20.00%
6000 0.1002 24.4 50 11.1 13.3 53306.4 21.76%
8000 0.1002 24.4 50 11.4 13.0 52104.0 23.53%
10000 0.1002 24.4 50 12.0 12.4 49699.2 27.06%
12000 0.1002 24.4 50 12.0 12.4 49699.2 27.06%
Contoh perhitungan
a x x x fp
m sampel
x 1 x x 5
1 m
x 1 x x 5
1 m
.1 ppm
penu unan awal akhi
penu unan 1 5 1
penu unan