12
1 Pengolahan Limbah Cair Percetakan dengan Menggunakan Koagulan Aluminium Sulfat dan Besi (III) Klorida Arsendi Nugraha, Dr. Sutanto, M.Si, Dra Ardi Muharini, M.Si Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Pakuan Bogor ABSTRACT Wiping solution is a solution used to clean the plate from ink spent in a printing industry. This ink mixed solution is not one time used, but its treated with separating and adjustment process for recycling and reusing in wiping solution in the printing process. The method used in this separating process was coagulation with coagulant agent addition. Coagulant were used alum ((K 2 SO 4 .Al 2 (SO 4 ) 3 .24H 2 O) and FeCl 3 .6H 2 O. This research was aim to determinate the optimum dose of coagulant alum and iron (III) chloride. Its used to assist the treatment process with right dose and the suitable coagulant type refers to characteristic of the wiping solution. The optimum dose of alum and FeCl 3 determined by jar test method with variety of dose. Parameter of analysis measured are pH, chemical oxygen demand (COD), total suspended solid (TSS), and total dissolved solid (TDS). COD measured by redox titration with potassium dichromate oxidator, then TSS and TDS measured by gravimetric method. The research given alum and FeCl 3 coagulants had the same optimum dose at 6000 ppm. Alum decreased the value of TSS and COD in the wiping solution up to 94.76% and 41.18%, whereas FeCl 3 up to 92.67% and 27.06%. FeCl 3 resulted in a better value of TDS up to 8.37% whereas alum 7.10%. Keywords : Wastewater, Coagulation, Jar test, Aluminium Sulphate, Iron (III) chloride 1 Pendahuluan Industri cetak dalam kegiatannya menggunakan bahan-bahan yang berpotensi mencemarkan lingkungan. Sumber pencemaran berasal dari proses pembuatan acuan cetakan, proses produksi dan proses finishing. Proses tersebut dapat dihasilkan limbah padatan, berupa sisa potongan kertas yang masih dapat dimanfaatkan. Sedangkan limbah cair industri percetakan terdiri dari tinta yang rusak, bahan pelarut, bahan pencair, bahan pengering, dan bahan penolong. (Herlambang, 2002) Salah satu sumber limbah yang terdapat dalam industri pecetakan yaitu limbah cair dari larutan penyapu. Larutan penyapu adalah suatu larutan yang digunakan untuk membersihkan silinder penyapu pada proses cetak yang menggunakan sistem “water wiping”. Atas dasar efisiensi, larutan pembersih tidak digunakan sekali pakai (one-time used), larutan penyapu yang telah bercampur dengan tinta kemudian dilakukan proses daur ulang untuk memisahkan antara tinta dan larutan penyapu melalui proses pengolahan dan koreksi sehingga larutan tersebut dapat digunakan kembali secara berulang- ulang (recycling/reuse) dalam proses pencetakannya. Cara pengolahan limbah cair yang digunakan dalam penelitian ini yaitu pengendapan polutan yang terkandung di dalam limbah dengan penambahan koagulan. Limbah cair ini tidak mudah diendapkan hanya dengan penambahan asam-basa, sehingga

jurnal arsendi nugraha 062108017

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: jurnal arsendi nugraha 062108017

1

Pengolahan Limbah Cair Percetakan dengan Menggunakan Koagulan

Aluminium Sulfat dan Besi (III) Klorida

Arsendi Nugraha, Dr. Sutanto, M.Si, Dra Ardi Muharini, M.Si

Program Studi Kimia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,

Universitas Pakuan Bogor

ABSTRACT Wiping solution is a solution used to clean the plate from ink spent in a printing

industry. This ink mixed solution is not one time used, but its treated with separating

and adjustment process for recycling and reusing in wiping solution in the printing

process. The method used in this separating process was coagulation with coagulant

agent addition. Coagulant were used alum ((K2SO4.Al2(SO4)3.24H2O) and FeCl3.6H2O.

This research was aim to determinate the optimum dose of coagulant alum and iron (III)

chloride. Its used to assist the treatment process with right dose and the suitable

coagulant type refers to characteristic of the wiping solution.

The optimum dose of alum and FeCl3 determined by jar test method with variety

of dose. Parameter of analysis measured are pH, chemical oxygen demand (COD), total

suspended solid (TSS), and total dissolved solid (TDS). COD measured by redox

titration with potassium dichromate oxidator, then TSS and TDS measured by

gravimetric method.

The research given alum and FeCl3 coagulants had the same optimum dose at

6000 ppm. Alum decreased the value of TSS and COD in the wiping solution up to

94.76% and 41.18%, whereas FeCl3 up to 92.67% and 27.06%. FeCl3 resulted in a

better value of TDS up to 8.37% whereas alum 7.10%.

Keywords : Wastewater, Coagulation, Jar test, Aluminium Sulphate, Iron (III) chloride

1 Pendahuluan

Industri cetak dalam kegiatannya

menggunakan bahan-bahan yang

berpotensi mencemarkan lingkungan.

Sumber pencemaran berasal dari proses

pembuatan acuan cetakan, proses

produksi dan proses finishing. Proses

tersebut dapat dihasilkan limbah

padatan, berupa sisa potongan kertas

yang masih dapat dimanfaatkan.

Sedangkan limbah cair industri

percetakan terdiri dari tinta yang rusak,

bahan pelarut, bahan pencair, bahan

pengering, dan bahan penolong.

(Herlambang, 2002)

Salah satu sumber limbah yang

terdapat dalam industri pecetakan yaitu

limbah cair dari larutan penyapu.

Larutan penyapu adalah suatu larutan

yang digunakan untuk membersihkan

silinder penyapu pada proses cetak yang

menggunakan sistem “water wiping”.

Atas dasar efisiensi, larutan pembersih

tidak digunakan sekali pakai (one-time

used), larutan penyapu yang telah

bercampur dengan tinta kemudian

dilakukan proses daur ulang untuk

memisahkan antara tinta dan larutan

penyapu melalui proses pengolahan dan

koreksi sehingga larutan tersebut dapat

digunakan kembali secara berulang-

ulang (recycling/reuse) dalam proses

pencetakannya.

Cara pengolahan limbah cair

yang digunakan dalam penelitian ini

yaitu pengendapan polutan yang

terkandung di dalam limbah dengan

penambahan koagulan. Limbah cair ini

tidak mudah diendapkan hanya dengan

penambahan asam-basa, sehingga

Page 2: jurnal arsendi nugraha 062108017

2

dibutuhkan penambahan bahan kimia

berupa koagulan (bahan pengendap)

yang dapat membantu proses

pengendapan polutan terutama

pengendapan polutan sebagai partikel

koloid. Ada beberapa jenis koagulan

diantaranya adalah tawas

(K2SO4.Al2(SO4)3.24H2O) dan

FeCl3.6H2O.

Setiap koagulan memiliki

karakteristik yang berbeda-beda, oleh

karena itu perlunya disesuaikan dengan

limbah yang akan dikoagulasikan serta

dengan penambahan dosis yang tepat.

Penentuan jenis dan dosis koagulan yang

tepat dapat membantu proses pengolahan

larutan penyapu ini menjadi efektif dan

efisien.

Pemilihan aluminium sulfat dan

besi (III) klorida didasarkan atas kedua

koagulan tersebut telah dikenal sebagai

koagulan yang baik. Kedua koagulan ini

memiliki tiga valensi dari logamnya,

sehingga dalam penggunaannya akan

lebih sedikit dibandingkan dengan

koagulan yang hanya memiliki dua

ataupun satu valensi. Aluminium sulfat

memiliki kelebihan yaitu harga yang

relatif murah, serta terhidrolisis dalam

air menghasilkan jumlah kation dan

anion yang lebih banyak dibandingkan

dengan besi (III) klorida. Ion-ion yang

dihasilkan dibutuhkan untuk destabilisasi

koloid yang terdapat dalam limbah

cair.Besi (III) klorida dapat

menghasilkan pembentukan flok yang

lebih kuat dibandingkan dengan flok

yang dihasilkan dari koagulan alum

(Schulz, 1984).

Penelitian ini bertujuan untuk

menentukan dosis optimum koagulan

aluminium sulfat dan besi (III) klorida

dalam mengendapkan limbah larutan

penyapu pada proses cetak dalam.

2 Metode Penelitian

2.1 Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan yaitu

larutan kalium dikromat 0,25 N, Asam

sulfat pekat, perak sulfat, larutan fero

amonium sulfat, dan indikator feroin.

Alat yang digunakan adalah neraca

analitik, labu ukur 50 mL, 100 mL, alat

refluks, erlenmeyer 50 mL, 250 mL,

gelas ukur, pipet volumetri 5 mL, 10

mL, 25 mL, 50 mL, buret 25 mL, dan 50

mL.

2.2 Kerangka Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam

beberapa tahap, tahap pertama yaitu

pengukuran kondisi awal limbah cair

larutan penyapu yang meliputi

pengukuran pH, COD, TDS dan TSS.

Analisis awal ini bertujuan untuk

mengetahui karakteristik limbah, dan

sebagai pembanding kondisi limbah

setelah dilakukan proses koagulasi.

Tahap kedua yaitu yaitu

penentuan dosis optimum koagulan.

Pengujian ini dilakukan dengan

memindahkan sampel ke dalam 5 gelas

yang masing-masing sampel akan

ditambahkan variasi konsentrasi

koagulan yang berbeda. Variasi

konsentrasi koagulan tawas yang

digunakan yaitu 2000, 4000, 6000, 8000,

10.000 dan 12.000 ppm, sedangkan

variasi untuk koagulan FeCl3 yaitu 2000,

4000, 6000, 8000,10.000, dan 12.000

ppm. Varian sampel akan dilakukan

perlakuan yang sama, yaitu pengadukan

cepat, pengadukan lambat, proses

pengendapan, dan analisis COD, dan

analisis padatan (TDS dan TSS).

Tahap terakhir yaitu pengolahan

data dan penarikan kesimpulan. Hasil

analisis COD, TDS, dan TSS dari

penentuan dosis optimum diplotkan ke

dalam grafik. Dosis koagulan optimum

didapat dari hasil analisis terbaik dari

varian dosis yang ditambahkan.

Page 3: jurnal arsendi nugraha 062108017

3

2.2.1 Penentuan Konsentrasi

Optimum Koagulan Alum

Sebanyak 300 mL sampel

dimasukkan ke dalam 6 gelas kimia 500

mL, kemudian koagulan tawas

ditambahkan ke dalam gelas kimia

dengan variasi konsentrasi koagulan

2000, 4000, 6000, 8000, 10.000, dan

12.000 mg/L. Larutan dilakukan

pengadukan dengan kecepatan 100 rpm

selama 1 menit, kemudian dilakukan

pengadukan lambat dengan kecepatan 20

rpm selama 15 menit. Dibiarkan

mengendap selama 30 menit kemudian

fase cairan dilakukan analisis pH, COD,

dan analisis padatan (TDS dan TSS).

2.2.2 Penentuan Konsentrasi

Optimum Koagulan FeCl3

Sebanyak 300 mL sampel

dimasukkan ke dalam 6 gelas kimia 500

mL, kemudian koagulan FeCl3

ditambahkan ke dalam gelas kimia

dengan variasi konsentrasi koagulan

2000, 4000, 6000, 8000, 10.000, dan

12.000 mg/L. Larutan dilakukan

pengadukan dengan kecepatan 100 rpm

selama 1 menit, kemudian dilakukan

pengadukan lambat dengan kecepatan 20

rpm selama 15 menit. Dibiarkan

mengendap selama 30 menit kemudian

fase cairan dilakukan analisis pH, COD,

dan analisis padatan (TDS dan TSS).

2.2.3 Analisis COD (SNI 06-6989.15-

2004)

a. Persiapan Reagen

a.1. Larutan standar kalium dikromat

0,25 N

Digunakan labu takar 100 mL

untuk melarutkan 1,228 K2Cr2O7 p.a

yang telah dikeringkan dalam oven

105°C dan didinginkan dalam desikator,

tambahkan air suling hingga tanda batas.

a.2. Reagen perak (II) sulfat dalam asam

sulfat pekat

Ditambahkan Ag2SO4 sebanyak

10 gram dalam 1000 mL asam sulfat

pekat. Pelarutan Ag2SO4 membutuhkan

waktu satu sampai dua hari.

a.3. Larutan standar fero amonium sulfat

0,1 N

Digunakan labu takar 1000 mL

untuk melarutkan 39 gram

Fe(NH4)2(SO4)2.6H2O dalam 500 mL air

suling, kemudian ditambahkan 20 mL

asam sulfat pekat, setelah dingin tanda

bataskan dengan menggunakan air

suling. Standarisasi selalu dilakukan

sebelum titrasi COD.

b. Standarisasi Larutan Titran FAS

Larutan standar kalium dikromat

0,10 N dipipet sebanyak 10 mL,

kemudian diencerkan dengan akuades

hingga 100 mL, ditambahkan dengan

asam sulfat pekat sebanyak 2 mL.

Setelah dingin dititrasi dengan larutan

fero ammonium sulfat dengan

menggunakan 3 tetes indikator feroin,

titik akhir akan dihasilkan warna larutan

menjadi oranye kemerah-merahan.

Dilakukan secara duplo. Dicatat volume

titran.

c. Analisis Kadar COD

Sampel air limbah dipipet

sebanyak 10 mL ke dalam Erlenmeyer

300 mL, kemudian ditambahkan 5 butir

batu didih, larutan kalium dikromat 0,25

N sebanyak 10 mL, dan secara perlahan

ditambahkan reagen asam sulfat-perak

sulfat sebanyak 5 mL, diaduk secara

perlahan untuk mencegah penguapan

dan larutan tercampur merata.

Erlenmeyer tersebut diletakkan di bawah

kondenser yang telah dialiri air

pendingin, kemudian ditambahkan 25

mL asam sulfat-perak sulfat sebanyak 25

mL sedikit demi sedikit sambil perlahan

diaduk. Erlenmeyer dipanaskan di atas

pemanas, dilakukan refluks selama 2

jam.

Erlenmeyer dilepaskan dari

kondenser, didinginkan, ditambahkan

indikator feroin, dilakukan titrasi dengan

larutan standar fero ammonium sulfat

0,1 N hingga warna larutan menjadi

Page 4: jurnal arsendi nugraha 062108017

4

cokelat–merah. Volume FAS yang

terpakai dicatat.Dilakukan dengan

blanko.

d. Perhitungan

a x x

m sampel

Keterangan :

a = mL FAS yang digunakan untuk

titrasi blanko

b = mL FAS yang digunakan untuk

titrasi sampel

N = Normalitas larutan FAS

Fp= faktor pengenceran

2.2.4 Analisis padatan tersuspensi

total (SNI 06-6989.3-2004)

a. Penimbangan Kertas Saring Kosong.

Kertas saring diletakkan pada

alat penyaring dan dibilas tiga kali

dengan akuades masing-masing

sebanyak 20 mL. Alat pengisap

dinyalakan untuk menghisap air yang

terdapat pada kertas saring. Kertas saring

Whatman Grade 934 AH diambil dan

dikeringkan dalam oven dengan suhu

103-1 5 ˚ selama 1 jam. Kemudian

didinginkan dalam desikator selama 10

menit dan ditimbang. Penimbangan

dilakukan sampai diperoleh bobot

konstan.

b. Penyaringan contoh.

Contoh homogen sebanyak 50,0

mL disaring dengan menggunakan kertas

saring yang telah diketahui bobot

konstannya pada cawan Gooch yang

dilengkapi dengan alat pengisap.

Kemudian kertas saring dibilas tiga kali

dengan akuades masing-masing

sebanyak 10 mL. Setelah itu, kertas

saring diambil dan dikeringkan dalam

oven dengan suhu 103-1 5 ˚ selama 1

jam. Kertas saring didinginkan dalam

desikator selama 10 menit dan kemudian

ditimbang. Penimbangan dilakukan

sampai diperoleh bobot konstan.

c. Perhitungan

Rumus untuk perhitungan TSS

adalah sebagai berikut:

o ot esidu pada ke tas sa ing

volume ontoh

2.2.5 Analisis Padatan Terlarut Total

(SNI 06-6989.27-2005)

a. Penimbangan kertas saring kosong.

Kertas saring diletakkan pada

alat penyaring dan dibilas tiga kali

dengan akuades masing-masing

sebanyak 20 mL. Alat pengisap

dinyalakan untuk menghisap air yang

terdapat pada kertas saring. Kertas saring

Whatman Grade 934 AH diambil dan

dikeringkan dalam oven dengan suhu

103-1 5 ˚ selama 1 jam. Kemudian

didinginkan dalam desikator selama 10

menit dan ditimbang. Penimbangan

dilakukan sampai diperoleh bobot

konstan.

b. Persiapan cawan

Cawan yang telah bersih

dipanaskan pada suhu 180°C selama 1

jam di dalam oven. Cawan dipindahkan

ke dalam desikator dengan

menggunakan penjepit. Setelah dingin

ditimbang dengan neraca analitik. Ulangi

pemanasan dengan oven dan

penimbangan hingga didapat bobot yang

konstan.

c. Penyaringan contoh.

Contoh homogen sebanyak 50,0

mL disaring dengan menggunakan kertas

saring yang telah diketahui bobot

konstannya pada cawan Gooch yang

dilengkapi dengan alat pengisap. Filtrat

dipipet sebanyak 10,0 mL, dimasukkan

ke dalam cawan yang telah diketahui

bobotnya. Cawan berisi filtrat

dikeringkan hingga semua air telah

menguap dalam oven pada suhu 180°C.

Dinginkan dalam desikator selama 10

menit dan kemudian ditimbang.. Ulangi

pemanasan dengan oven dan

penimbangan hingga didapat bobot yang

konstan.

Page 5: jurnal arsendi nugraha 062108017

5

d. Perhitungan

Rumus untuk perhitungan TDS

adalah sebagai berikut:

o ot esidu pada

volume ontoh

3 Hasil Dan Pembahasan

Koagulan alum dan FeCl3

dilakukan pengujian melalui jar test

pada berbagai konsentrasi yaitu 2000,

4000, 6000, 10.000, dan 12.000 ppm.

Sebelum dan sesudah jar test dilakukan

pengujian berbagai parameter yaitu pH,

TDS, TSS dan COD.

3.1 Pengaruh Dosis Koagulan

Terhadap pH Larutan Penyapu

Koagulan yang berupa garam

dari logam dan sisa asam yang terlarut

dalam air akan terhidrolisis dan

memberikan pengaruh terhadap pH

larutan tersebut. Gambar dapat dilihat

grafik perubahan pH setelah dilakukan

penambahan koagulan. Kondisi limbah

cair bersifat basa memiliki nilai pH

tinggi yaitu 12,86. Koagulan yang

digunakan bersifat asam, terjadi reaksi

penetralan dengan basa dari limbah.

Rincian perubahanan nilai pH terhadap

penambahan dosis koagulan dapat dilihat

pada gambar 1.

Gambar 1. Grafik hubungan dosis koagulan

dengan pH

Penambahan 6000 ppm

merupakan awal penurunan pH. Hal ini

menunjukkan kesukaran reaksi garam

asam dalam mengubah suasana basa

berlebih hingga menghasilkan penurunan

pH. Perubahan pH terbesar terjadi pada

penambahan koagulan FeCl3 dengan

dosis 12.000 ppm menurunkan pH

hingga 10,55. Perbandingan pH pada

tiap penambahan dosis koagulan FeCl3

memberikan penurunan pH lebih besar

dibandingkan dengan koagulan Al.

Semakin tinggi penambahan dosis

koagulan akan semakin menurunkan pH

limbah, koagulan alum pada

penambahan dosis tertinggi

menghasilkan penurunan pH menjadi

12,18.

Aluminium sulfat dan besi (III)

klorida merupakan garam yang berasal

dari asam kuat dan basa lemah, bila

dilarutkan dalam air akan menghasilkan

larutan yang bersifat asam. Kation M+

dari garam bereaksi dengan ion-ion

hidroksil yang dihasilkan oleh disosiasi

air, membentuk basa lemah MOH dan

meninggalkan ion-ion hidrogen dalam

larutan.

M+ + H2O ⇌ MOH + H

+

Al3+

+ 3H2O ⇌ Al(OH)3 + 3H+

Fe3+

+ 3H2O ⇌ Fe(OH)3 + 3H+

ion aluminium termasuk ion amfoter,

sehingga terdapat perbedaan antara sifat

aluminium dengan besi. Suasana basa

berlebih menyebabkan endapan Al(OH)3

dapat melarut kembali. Berbeda dengan

endapan Fe(OH)3 yang lebih stabil dan

tidak melarut kembali dalam kondisi

basa berlebih sehingga koagulan FeCl3

menyebabkan penurunan pH yang lebih

cepat daripada Alum. Endapan Al(OH)3

melarut kembali dalam basa berlebih

menghasilkan ion tetrahidroksoaluminat

(Vogel, 1990).

Al(OH)3 + OH¯ ⇌ [Al(OH)4]¯

Ion Cl¯dan SO42¯ memberikan

pengaruh terhadap perubahan pH. Ion

Cl¯terdisosiasi secara sempurna dalam

larutan, sedangkan ion SO42¯

terdisosiasi secara bertahap. Disosiasi

tahap pertama terurai secara sempurna,

99.510

10.511

11.512

12.513

pH

dosis koagulan (ppm)

Fe

Al

Page 6: jurnal arsendi nugraha 062108017

6

sedangkan disosiasi tahap kedua sebesar

1,2.10¯2 (Harjadi, 1986).

H2SO4 ⇌ HSO4¯ + H+……………α1

HSO4¯ ⇌ SO42¯ + H+……………α2

Penurunan pH yang lebih rendah

akan mengurangi nilai ekonomis dalam

proses daur ulang limbah air penyapu.

Hal ini dikarenakan pada setelah proses

koagulasi terdapat pengaturan kembali

komposisi dari larutan penyapu.

Sehingga semakin rendah nilai pH akan

membutuhkan penambahan basa yang

lebih banyak untuk memenuhi

persyaratan kebutuhan larutan penyapu.

Kandungan basa larutan penyapu yang

dibutuhkan pada proses cetak yaitu 0,5%

NaOH.

3.2 Pengaruh Dosis Koagulan

Terhadap TSS Larutan Penyapu

Nilai TSS mengalami penurunan

setelah proses koagulasi dari koagulan

alum maupun FeCl3. Berdasarkan

Gambar 2, diketahui koagulan alum

mencapai dosis optimum pada

konsentrasi 6000 ppm, dan koagulan

FeCl3 pada 6000 ppm. Kondisi TSS awal

limbah yaitu 382 ppm dan proses

koagulasi optimum menghasilkan nilai

TSS 20 ppm untuk alum dan 28 ppm

untuk FeCl3. Persentase penurunan TSS

setelah dilakukan koagulasi mencapai

94,76% untuk alum, sedangkan untuk

koagulan FeCl3 mencapai 92,67%.

Selisih persentase penurunan nilai TSS

limbah antara koagulan alum dan

koagulan FeCl3 tidak terlampau jauh,

yaitu 2,09%. Rincian perhitungan TSS

dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 2. Grafik hubungan dosis

koagulan dengan TSS

Mekanisme pengendapan

suspensi dan koloid yang terjadi pada

limbah yaitu koagulan menghasilkan ion

M3+

yang kemudian terhidrolisis menjadi

M(OH)3 yang berupa koloid bermuatan

positif. Koloid alam yang umumnya

bermuatan negatif akan tersisipi koloid

positif ini, sehingga antar koloid yang

bermuatan negatif dapat saling

mendekat, karena hilangnya gaya tolak

menolak antar koloid. Akhirnya dengan

tidak adanya gaya tolak menolak pada

koloid, koloid akan kehilangan

kestabilan sehingga gaya yang mengenai

koloid hanya gaya tarik massa, sehingga

koloid ini akan terendapkan.

Setelah penambahan dosis lebih

dari 6000 ppm terjadi peningkatan nilai

TSS. Hal ini dikarenakan jumlah

koagulan diatas 6000 ppm telah

mencapai konsentrasi yang berlebih,

sehingga terjadi proses restabilisasi

muatan koloid karena terjadinya adsorpsi

counter ion. Bila counter ion yang

teradsorp berlebih, muatan partikel

koloid akan menjadi positif dan terjadi

tolak menolak antar partikel koloid yang

bermuatan positif kemudian koloid

terdispersi kembali dan menjadi stabil.

3.3 Pengaruh Dosis Koagulan

Terhadap TDS Larutan Penyapu

Data analisis TDS terhadap

penambahan dosis koagulan terlihat pada

gambar 8 bahwa setiap penambahan

dosis koagulan nilai TDS menurun.

0

50

100

150

200

250

300

350

400

TSS

(pp

m)

dosis koagulan (ppm)

Fe

Al

Page 7: jurnal arsendi nugraha 062108017

7

Kondisi awal sampel memiliki nilai TDS

mencapai 50.670 ppm yang menandakan

bahwa kandungan padatan terlarut yang

cukup tinggi. Penambahan dosis 6.000

ppm pada koagulan alum menghasilkan

penurunan sebesar 5,13%, sedangkan

koagulan FeCl3 sebesar 7,32%.

Peningkatan jumlah dosis melebihi 6000

ppm hanya sedikit mempengaruhi

penurunan nilai TDS. Selisih persentase

penurunan TDS pada koagulan alum

antara dosis 6000 dan 12.000 ppm yaitu

1,97% sedangkan pada koagulan FeCl3

dengan rentang dosis yang sama yaitu

1,05%. Hal ini secara ekonomis tidak

menguntungkan karena dengan

penambahan jumlah dosis sebesar dua

kali lipatnya hanya memiliki perbedaan

penurunan nilai TDS tidak lebih dari 2%.

Sehingga dapat diketahui dosis koagulan

optimum baik koagulan alum dan FeCl3

yaitu pada dosis 6.000 ppm.

Penambahan koagulan dengan dosis

tertinggi menurunkan angka TDS

sebesar 8,37% untuk FeCl3, dan 7,10%

untuk alum. Data perhitungan TDS dapat

dilihat pada Lampiran 3.

Zat padat yang terdapat dalam

cairan terdiri dari zat padat terlarut yaitu

berupa garam dan molekul organik, dan

zat padat tersuspensi dan koloidal,

seperti tanah liat dan kwarts. Analisis

TDS merupakan analisis untuk

mengetahui jumlah konsentrasi zat padat

terlarut dari suatu cairan. Proses

koagulasi berpengaruh terhadap zat

padat suspensi dan koloid, sedangkan

penurunan nilai TDS yang terjadi yaitu

adanya zat terlarut yang terjerap ke

dalam koloid dan ikut terendapkan.

Gambar 3. Grafik hubungan dosis dengan

TDS

Penurunan padatan terlarut dalam

limbah yang ditambahkan koagulan ini

terjadi karena adanya jerapan partikel

terlarut oleh adanya pertukaran ion H+

pada M(OH)3 dengan partikel logam.

Reaksi penjerapan yang terjadi

merupakan reaksi pertukaran ion

(Manahan, 1994). Reaksi yang terjadi

sebagai berikut :

M(OH)3 + Zn → M( H) -Zn-O + 2H+

3.4 Pengaruh Dosis Koagulan

Terhadap COD Larutan Penyapu

Nilai COD merupakan nilai yang

menunjukkan jumlah kandungan zat

organik yang terdapat dalam air limbah.

Data hasil analisis COD proses koagulasi

terlihat pada gambar 4.

Gambar 4. Grafik hubungan dosis

dengan COD

Penambahan koagulan alum dan

FeCl3 mampu menurunkan nilai COD.

Penurunan terjadi karena partikel zat

organik ikut mengendap dalam proses

koagulasi. Penurunan nilai COD lebih

baik didapatkan dari koagulasi melalui

44000

45000

46000

47000

48000

49000

50000

51000

TDS

(pp

m)

dosis koagulan (ppm)

Fe

Al

35,000

40,000

45,000

50,000

55,000

60,000

65,000

70,000

CO

D (

pp

m)

dosis koagulan (ppm)

Fe

Al

Page 8: jurnal arsendi nugraha 062108017

8

koagulan alum. Penambahan koagulan

dengan dosis 2000 ppm menghasilkan

penurunan nilai COD yang cukup besar,

yaitu mencapai 32,94% untuk alum dan

20,59% untuk FeCl3. Penambahan dosis

koagulan melebihi dosis 2000 ppm tetap

akan menurunkan nilai COD meskipun

penurunan ini tidak terlalu besar jika

dibandingkan dengan penurunan pada

dosis 2000 ppm. Nilai COD terendah

yang didapatkan koagulan alum yaitu

40.080 ppm sedangkan koagulan FeCl3

yaitu 49.699,2 ppm. Rincian nilai COD

dapat dilihat pada Lampiran 4.

Penurunannya nilai COD pada

penambahan koagulan FeCl3 terlihat

lebih sedikit dibandingkan dengan nilai

COD alum. Jika dihubungkan dengan

nilai TDS yang lebih rendah untuk

koagulan Fe dibandingkan dengan

koagulan alum maka dimungkinkan ion

Fe3+

yang terbentuk lebih kuat menarik

ion atau garam terlarut dari limbah untuk

membentuk suatu flok, sehingga kinerja

penarikan koloid akan lebih rendah

dibandingkan dengan alum.

4 Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan

Koagulan Alum dan FeCl3 dapat

digunakan untuk pengolahan limbah

yang berasal dari proses larutan

penyapu, terbukti dapat menurunkan

parameter TSS, TDS, dan COD.

Penggunaan koagulan alum dinilai lebih

baik karena dengan dosis optimum yang

sama dengan FeCl3, yaitu 6000 ppm,

dapat menurunkan parameter TSS dan

COD lebih rendah, dibandingkan dengan

koagulan FeCl3. Penurunan pH yang

terjadi pada penambahan koagulan FeCl3

hingga 10,55 sedangkan koagulan alum

12,18. Parameter nilai COD dengan

menggunakan koagulan alum

menghasilkan penurunan hingga 41,18%

sedangkan dengan menggunakan FeCl3

hingga 27,06%. Parameter nilai TSS

antara koagulan alum dan FeCl3

menghasilkan penurunan yang tidak

terpaut jauh, yaitu masing-masing

94,76% dan 92,67%. Penurunan TDS

untuk koagulan alum yaitu 7,10% dan

koagulan FeCl3 yaitu 8,37%.

4.2 Saran

Kriteria larutan penyapu

membutuhkan kondisi pH yang cukup

tinggi, akan tetapi proses koagulasi

dinilai dapat dioptimalisasi pada pH

yang mendekati netral. Sehingga

dibutuhkan adanya penelitian lanjutan

untuk menentukan pH optimum

koagulasi larutan penyapu, serta jumlah

kebutuhan basa yang ditambahkan

setelah proses koagulasi untuk

memenuhi kriteria larutan penyapu

dengan pH tinggi.

5 DAFTAR PUSTAKA

Alaert, G dan Sri S. S. 1984.Metoda

Penelitian Air. Surabaya.

Penerbit Usaha Nasional.

Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI

06-6989.3-2004. Air dan Air

Limbah – Cara Uji Kadar

Padatan Tersuspensi Total. BSN.

Serpong.

Badan Standarisasi Nasional. 2005. SNI

06-6989.27-2005. Air dan Air

Limbah – Cara Uji Kadar

Padatan Terlarut Total. BSN.

Serpong.

Badan Standarisasi Nasional. 2004. SNI

06-6989.15-2004. Air dan Air

Limbah – Cara Uji kebutuhan

Oksigen Kimia dengan Refluks

Terbuka. BSN Serpong.

Herlambang, A. 2002. Teknologi

Pengolahan Limbah Cair

Industri. Pusat Pengkajian dan

Penerapan Teknologi

Lingkungan dan Badan

Pengendalian Dampak

Lingkungan Daerah. Samarinda.

Harjadi, W. 1986. Ilmu Kimia Analitik

Dasar. PT. Gramedia. Jakarta.

Page 9: jurnal arsendi nugraha 062108017

9

International Finance Corporation. 2007.

Enviromental, Health, and Safety

Guidelines for Printing. IFC.

London.

Kipphan, Helmut. 2000. Handbook of

Print Media, Springer, Berlin.

Karamah, EF, Lubis AO. 1998.

Perlakuan Koagulasi dalam

Proses Pengolahan Air dengan

Membran : Pengaruh

Pengadukan Pelan Koagulan

Aluminium Sulfat terhadap

Kinerja Membran. Fakultas

Matematika dan Ilmu

Pengetahuan Alam. Universitas

Indonesia.

Manahan, S.E. 2005. Enviromental

Chemistry Eighth Edition. CRC

Press. Florida.

Saeni, MS. 1989. Kimia Lingkungan.

Dirjen Pendidikan Tinggi

Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Pusat Antar

Universitas Ilmu Hayati

IPB.Bogor.

Schulz, C.R., D.A. Okun, 1984, Surface

Water Treatment For

Communities In Developing

Countries, John Wiley & Son

Inc., Canada

Senevirate, Mohan., 2007, A Practical

Approach to Water Conservation

for Commercial and Industrial

Facilities, Elsevier LTD,

Burlington, USA

Siregar, S.A.2005.Instalasi Pengolahan

Air Limbah Penerbit Kanisius (

Anggota IKAPI ).Yogyakarta

Teng ST. 2000. Gambaran Umum

Penanganan Limbah. PT.

Nusantara Water Centre. Jakarta.

Vogel. 1990.Buku Teks Analisis

Anorganik Kualitatif Makro dan

Mikro Edisi kelima, Bagian II,

PT Kalman Media Pusaka.

Jakarta.

Wiratno, E. 2009. Analisa Kelayakan

Investasi Pembuatan Sulfonated

Castor Oil di Perum Peruri.

Universitas Singaperbangsa.

Karawang.

Page 10: jurnal arsendi nugraha 062108017

10

Lampiran 2. Data pengukuran TSS

Jenis

Koagulan

Dosis

(ppm)

bobot

kertas

(mg)

bobot

kertas +

residu

(mg)

bobot

residu

(mg)

Volume

sampel

(mL)

TSS

(ppm)

%

penurunan

Awal 0 132.8 151.9 19.1 50 382 0.00%

Alum

2000 131.9 136.8 4.9 50 98 74.35%

4000 134.9 136.8 1.9 50 38 90.05%

6000 138.1 139.1 1.0 50 20 94.76%

8000 134.9 136.3 1.4 50 28 92.67%

10000 130.7 132.4 1.7 50 34 91.10%

12000 134.4 136.2 1.8 50 36 90.58%

FeCl3

2000 178.1 182.8 4.7 50 94 75.39%

4000 180.2 183.1 2.9 50 58 84.82%

6000 174.5 175.9 1.4 50 28 92.67%

8000 177.7 180.0 2.3 50 46 87.96%

10000 177.6 181.6 4.0 50 80 79.06%

12000 175.2 179.4 4.2 50 84 78.01%

Contoh perhitungan TSS

Bobot residu = (bobot kertas saring + residu) – bobot kertas saring kosong

= 151,9 mg – 132,8 mg

= 19,1 mg

o ot esidu

volume ontoh

5 m

1

382 mg/L

penu unan awal akhi

penu unan

penu unan 5

Page 11: jurnal arsendi nugraha 062108017

11

Lampiran 3. Data pengukuran TDS

Jenis Koagulan

Dosis (ppm)

bobot cawan kosong

(g)

bobot cawan

+ residu (g)

bobot residu

(g)

Volume sampel

(mL)

TDS (ppm)

% penurunan

Awal 0 42.8800 43.3867 0.5067 10 50670 0.00%

Alum 2000 42.7013 43.2070 0.5057 10 50570 0.20%

4000 43.3521 43.8491 0.4970 10 49700 1.91%

6000 43.1208 43.6015 0.4807 10 48070 5.13%

8000 42.8790 43.3615 0.4825 10 48250 4.78%

10000 42.9671 43.4423 0.4752 10 47520 6.22%

12000 47.3520 47.8227 0.4707 10 47070 7.10%

FeCl3 2000 42.6988 43.2028 0.5040 10 50400 0.53%

4000 43.3532 43.8443 0.4911 10 49110 3.08%

6000 42.9275 43.3971 0.4696 10 46960 7.32%

8000 45.3795 45.8493 0.4698 10 46980 7.28%

10000 43.3496 43.8203 0.4707 10 47070 7.10%

12000 42.8010 43.2653 0.4643 10 46430 8.37%

Contoh perhitungan TDS

Bobot residu = (bobot cawan + residu) – bobot cawan kosong

= 43,3867 g – 42,8800 mg

= 0,5067 g

o ot esidu

volume ontoh

1 m

1

1 g

50.670 mg/L

penu unan awal akhi

penu unan 5 5 5

penu unan

Page 12: jurnal arsendi nugraha 062108017

12

Lampiran4. Data analisis COD

Koagulan Dosis (ppm)

M FAS V blangko

(mL) fp

v titrasi (mL)

vb-vs (mL)

COD (ppm)

% penurunan

Awal 0 0.1002 24.4 50 7.4 17.0 68136.0 0.00%

Alum

2000 0.1002 24.4 50 13.0 11.4 45691.2 32.94%

4000 0.1002 24.4 50 13.4 11 44088.0 35.29%

6000 0.1002 24.4 50 13.6 10.8 43286.4 36.47%

8000 0.1002 24.4 50 13.6 10.8 43286.4 36.47%

10000 0.1002 24.4 50 13.4 11 44088.0 35.29%

12000 0.1002 24.4 50 14.4 10 40080.0 41.18%

FeCl3

2000 0.1002 24.4 50 10.9 13.5 54108.0 20.59%

4000 0.1002 24.4 50 10.8 13.6 54508.8 20.00%

6000 0.1002 24.4 50 11.1 13.3 53306.4 21.76%

8000 0.1002 24.4 50 11.4 13.0 52104.0 23.53%

10000 0.1002 24.4 50 12.0 12.4 49699.2 27.06%

12000 0.1002 24.4 50 12.0 12.4 49699.2 27.06%

Contoh perhitungan

a x x x fp

m sampel

x 1 x x 5

1 m

x 1 x x 5

1 m

.1 ppm

penu unan awal akhi

penu unan 1 5 1

penu unan