Upload
khangminh22
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
48
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Gambaran Umum Kota Makassar
a. Kondisi Geografis Kota Makassar
Kota Makassar menjadi pusat dari segala aktifitas di Provinsi Sulawesi
Selatan. Hal ini disebabkan bukan hanya karena kota Makassar merupakan ibu
kota provinsi, melainkan juga posisi kota yang sangat strategis.Menurut
pemerintah Kota Makassar (http://bahasa.makassarkota.go.id/), Kota ini
merupakan persimpangan jalur lalu lintas dari arah selatan dan utara dalam
propinsi di Sulawesi, dari wilayah kawasan Barat ke wilayah kawasan Timur
Indonesia dan dari wilayah utara ke wilayah selatan Indonesia.
Dengan kata lain, wilayah kota Makassar berada koordinat 119 derajat
bujur timur dan 5,8 derajat lintang selatan dengan ketinggian yang bervariasi
antara 1-25 meter dari permukaan laut. Kota Makassar merupakan daerah pantai
yang datar dengan kemiringan 0-5 derajat ke arah barat, diapit dua muara sungai
yakni sungai.Tallo yang bermuara di bagian utara kota dan sungai Jeneberang
yang bermuara di selatan kota.
Kota Makassar terletak antara 119º24'17'38” Bujur Timur dan 5º8'6'19”
Lintang Selatan yang berbatasan dengan:
a. Batas Utara : Kabupaten Pangkajene Kepulauan
b. Batas Selatan : Kabupaten Gowa
49
c. Batas Timur : Kabupaten Maros
d. Batas Barat : Selat Makasar
Berikut luas wilayah dan persentase terhadap luas wilayah menurut
kecamatan di kota Makassar:
Tabel 1 Luas Wilayah Dan Persentase Terhadap Luas Wilayah MenurutKecamatan Di Kota Makassar
No Kecamatan Luas(Km²)
Persentase Terhadap LuasKota Makassar
1 Mariso 1,82 1,042 Mamajang 2,25 1,283 Tamalate 20,21 11,504 Rappocini 9,23 5,255 Makassar 2,52 1,436 Ujung Pandang 2,63 1,507 Wajo 1,99 1,138 Bontoala 2,10 1,199 Ujung Tanah 5,94 3,3810 Tallo 5,83 3,3211 Panakkukang 17,05 9,7012 Manggala 24,14 13,7313 Biringkanaya 48,22 27,4314 Tamalanrea 31,84 18,12
Total 175,77 100,00Sumber : Makassar Dalam Angka, 2014
Luas wilayah kota Makassar seluruhnya berjumlah kurang lebih 175,77
Km2 daratan dan termasuk 11 pulau di selat Makassar ditambah luas wilayah
perairan kurang lebih 100 Km². wilayah ini kemudian dibagi dalam 14 kecamatan
yakni kecamatan Mariso, Mamajang, Tamalate, Rappocini, Makassar,
Ujungpandang, Wajo, Bontoala, Ujung Tanah, Tallo, Panakkukang, Manggala,
Biringkanaya dan Tamalanrea. Diantara kecamatan-kecamatan tersebut, ada tujuh
kecamatan yang berbatasan dengan pantai yaitu kecamatan Tamalate, Mariso,
Wajo, Ujung Tanah, Tallo, Tamalanrea dan Biringkanaya.
50
Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa kecamatan yang paling luas terletak pada
kecamatan Biringkanaya, yakni seluas 48,22 Km2 , atau sebesar 27,43 persen dari
keseluruhan luas kota Makassar, dan kecamatan yang paling kecil adalah
kecamatan mariso, yang hanya seluas 1,82 Km2, atau hanya sekitar 1,04 persen
dari total keseluruhan kota Makassar. Adapun kecamatan yang menjadi pusat,
ataupun titik nol kilometer kota Makassar berada pada kecamatan Makassar yang
memiliki luas 2,52 Km2 atau sekitar 1,43 persen dari seluruh wilayah Makassar.
b. Demografi Kota Makassar
Kota Makassar saat ini menjadi salah satu wilayah urban yang
pertumbuhan penduduknya semakin bertambah setiap tahunnya. Penduduk Kota
Makassar pada tahun 2011 tercatat sebanyak 1.352.136 jiwa yang terdiri dari
667.681 laki-laki dan 684.455 perempuan. Sementara itu jumlah penduduk Kota
Makassar tahun 2010 tercatat sebanyak 1.339.374 jiwa. Dibawah ini, tabel
komposisi penduduk berdasarkan kecamatan pada tahun 2011.
Gambar 3 Peta Kota Makassar
51
Tabel 2. Komposisi Penduduk Kota Makassar Berdasarkan Kecamatan
No KecamatanJumlah
Penduduk( Jiwa)
Luas wilayah( Km2)
PersentasePenduduk(Persen )
KepadatanPenduduk(Per Km)
1 Mariso 56.408 1,82 4,17 30.9932 Mamajang 59.560 2,25 4,40 26.4713 Tamalate 172.506 20,21 12,76 8.5364 Rappocini 152.531 9,23 11,28 16.5265 Makassar 82.478 2,52 6,10 32.7306 Ujung Pandang 27.160 2,63 2,01 10.3277 Wajo 29.639 1,99 2,19 14.8948 Bontoala 54.714 2,10 4,05 26.0549 Ujung Tanah 47.133 5,94 3,49 7.93510 Tallo 135.574 5,83 10,03 23.25411 Panakkukang 142.729 17,05 10,56 8.37112 Manggala 118.191 24,14 8,74 4.89613 Biringkanaya 169.340 48,22 12,52 3.51214 Tamalanrea 104.175 31,84 7,70 3.272
Sumber : Makassar Dalam Angka, 2014
Pertumbuhan penduduk terjadi tidak saja disebabkan karena terjadinya
kawin mawin antar penduduk, melainkan juga karena adanya arus urbanisasi,
yang menjadi dampak dari program-program pembangunan yang dilakukan oleh
pemerintah kota dalam berbagai bidang, terutama pendidikan, kesehatan,
perindustrian dan perdagangan, serta pariwisata. Tidak heran jikalau segala
fasilitas, sarana dan prasarana, yang ada di Kota Makassar menyebabkan
banyaknya orang-orang yang tergiur untuk pindah, menetap, dan mencoba
peruntungan di Kota Makassar.
Kepala Bidang Kominfo Provinsi Sulawesi Selatan, Muhammad Arafah
bahwa hasil penelitian menunjukkan 20 tahun lalu populasi masyarakat di
Sulawesi Selatan dulu 30% di perkotaan dan 70% di pedesaan. Saat ini kondisi itu
sangat berubah secara signifikan, 55% penduduk Indonesia itu berada di
52
perkotaan, prediksi 20 tahun ke depan penduduk Sulawesi Selatan 80% berada di
perkotaan (Laporan Forum Diskusi Publik Sektor Transportasi, 2015).
c. Angkutan Kota Di Kota Makassar
Angkutan kota di Kota Makassar disebut angkutan kota mikro-bus atau
masyarakat Sulawesi Selatan menyebutnya angkutan pete-pete. Angkutan ini
merupakan kendaraan umum dengan rute yang sudah ditentukan dan dapat
berhenti untuk menaikkan atau menurunkan penumpang di mana saja kecuali pada
titik-titik tertentu yang telah diatur dalam lalu lintas.
Saat ini angkutan pete-pete masih mendominasi di Kota Makassar.
Jumlahnya mencapai 4113 unit (Dinas Perhubungan Kota Makassar Dalam
Angka, 2013). Kecepatan angkutan pete-pete sekitar 16 km/jam dengan kapasitas
12 orang penumpang. Adapun tarifnya, yaitu untuk umum sebesar Rp. 4000,- dan
untuk pelajar sebesar Rp. 3000,- (Ali, 2015).
Selain angkutan pete-pete, saat ini juga ada kebijakan untuk
mengembangkan transportasi umum di Sulawesi Selatan, yaitu Peraturan Presiden
Republik Indonesia Nomor 55 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan
Perkotaan Makassar, Maros, Sungguminasa dan Takalar. Pengembangan
transportasi umum di Provinsi Sulawesi Selatan berupa konsep BRT
Mamminasata-1, konsep BRT Mamminasata-2 dan sistem monorail.
Data dari Dinas Perhubungan Komunikasi & Informatika Provinsi
Sulawesi Selatan (2015) mengenai arah kebijakan pembangunan transportasi
Sulawesi Selatan menyebutkan untuk angkutan darat akan diadakan pembangunan
jalur BRT (Bus Rapid Transit) Mamminasata, pembenagunan kereta api
53
Makassar-Pare-Pare, pembangunan kereta api Mamminasata, dan pengembangan
serta pembangunan dermaga penyebrangan.
Untuk sistem BRT yang berjumlah 11 koridor, koridor 2 dan 3 yang tepat
berada di Kota Makassar telah selesai pembangunan haltenya dan beberapa BRT
terlihat telah beroperasi. Pelayanannya memfokuskan pada mall to mall dan
campus to campus. Ali (2015) juga menguraikan bahwa angkutan BRT
berdasarkan data dari Dinas Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan akan
disiapkan sebanyak 30 armada bus dengan kapasitas 40 penumpang tiap unitnya.
Estimasi tarifnya berkisar antara Rp 3000,00 sampai dengan Rp 10.000,00 dengan
kecepatan ideal 19-48 km/jam.
d. Gambaran Umum FLLAJ Kota Makassar
Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan diatur oleh Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum. Hal inilah yang
mengakibatkan Pemerintah Kota Makassar untuk membuat dan menerbitkan
peraturan melalui SK Walikota Makassar No 551.05 / 938 / Kep / XII / 2009
tentang Formasi dari Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan di Kota Makassar.
Forum ini memiliki empat tugas. Pertama, untuk mengkoordinasikan antara
penyelenggara yang perlu kekompakan untuk merencanakan dan mengatasi
masalah lalu lintas dan angkutan umum di Kota Makassar. Kedua, mengumpulkan
data tentang lalu lintas dan angkutan umum untuk mendapatkan saran saat
membuat keputusan/ kebijakan walikota. Ketiga, melakukan pertemuan
setidaknya sekali setiap tiga bulan. Keempat, melaporkan hasil pelaksanaan ke
Walikota Kota Makassar.
54
Lebih lanjut, Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (FLLAJ) ini
kemudian diatur kembali melalui Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
Nomor 37 Tahun 2011 Tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Kebijakan ini dikeluarkan untuk untuk memberikan arah prosedur kerja dan
susunan struktur FLLAJ baik ditingkat nasional, provinsi maupun kota/kabupaten.
Pasal 1 dalam undang-undang ini menyebutkan bahwa forum lalu lintas dan
angkutan jalan, selanjutnya disingkat forum, adalah wahana koordinasi
antarinstansi penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan. Secara langsung,
pengertian ini menyiratkan bahwa dalam lalu lintas dan angkutan jalan diperlukan
sebuah forum untuk menghubungkan antar aktor penyelenggara lalu lintas
sehingga melalui forum ini solusi tiap permasalahan lalu lintas dan angkutan jalan
dapat ditemukan.
Hal ini sesuai dengan Pasal 2 Ayat 1-4, Bab II Penyelenggaraan Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan, Peraturan Pemerintah Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2011 Tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang menyebutkan
bahwa:
a. Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan dalam kegiatan pelayanan
langsung kepada masyarakat dilakukan oleh Pemerintah, pemerintah
daerah, badan hukum, dan/atau masyarakat.
b. Penyelenggaraan lalu lintas dan angkutan jalan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan secara terkoordinasi.
c. Koordinasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan oleh forum.
55
d. Forum bertugas melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang
memerlukan keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan
permasalahan lalu lintas dan angkutan jalan.
Berdasarkan Pasal 2 Ayat 1-4 di atas bahwa penyelenggaraan lalu lintas
dan angkutan jalan, selain pemerintah pusat, dapat juga dilakukan oleh pemerintah
daerah, badan hukum dan masyarakat dimana bentuk koordinasinya dimediasi
melalui FLLAJ yang memang ditetapkan untuk bertugas melakukan koordinasi
antar aktor penyelenggara lalu lintas guna membahas dan menemukan solusi
terkait permasalahan lalu lintas dan angkutan jalan baik ditingkat nasional,
provinsi maupun kota/kabupaten.
Pada Pasal 10 Peraturan Pemerintah Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2011 Tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan juga menyebutkan:
a. Dalam hal terjadi permasalahan lalu lintas dan angkutan jalan yang
kompleks dan memerlukan keterpaduan dalam penyelesaiannya, dibahas
dalam forum.
b. Kriteria permasalahan lalu lintas dan angkutan jalan yang kompleks dan
memerlukan keterpaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
1) Terganggunya lalu lintas dan angkutan jalan yang berdampak negatif
terhadap sosial-ekonomi; dan/atau
2) Penyelesaiannya memerlukan keserasian dan kesalingbergantungan
kewenangan dan tanggung jawab antarinstansi pembina.
Pasal 10 berdasarkan undang-undang ini mengisyaratkan bahwa FLLAJ
dibentuk tidak hanya sekedar wahana koordinasi, namun sampai menyelesaikan
56
jika terdapat permasalahan yang kompleks terkait lalu lintas dan angkutan jalan.
Dengan demikian, forum ini sangatlah penting dan perlu dimanfaatkan dengan
bagi setiap aktor penyelenggara lalu lintas dan angkutan jalan.
Selain fungsi dan mekanisme kerja, peraturan pemerintah ini juga
mengatur tentang kenggotaan forum. Pada Pasal 21 Ayat 1, Peraturan pemerintah
Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2011 Tentang Forum Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan menyebutkan bahwa forum diselenggarakan dalam rangka
koordinasi antarinstansi penyelenggara lalu lintas angkutan jalan kabupaten/kota,
keanggotaan forum terdiri atas:
a. Bupati/walikota;
b. Kepala kepolisian resor/resor kota;
c. Badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah yang
kegiatan usahanya di bidang lalu lintas dan angkutan jalan;
d. Asosiasi perusahaan angkutan umum di kabupaten/kota;
e. Perwakilan perguruan tinggi;
f. Tenaga ahli di bidang lalu lintas dan angkutan jalan;
g. Lembaga swadaya masyarakat yang aktivitasnya di bidang lalu lintas dan
angkutan jalan; dan
h. Pemerhati lalu lintas dan angkutan jalan di kabupaten/kota.
Masih Pasal 21, selanjutnya Ayat 3 dan 4 juga menjelaskan susunan
keanggotaan tambahan yang harus dihadirkan dalam FLLAJ. Ayat 3 menekankan
bahwa bupati/walikota harus mengikutsertakan Satuan Kerja Perangkat Daerah
yang menyelenggarakan urusan sarana dan prasarana lalu lintas dan angkutan
57
jalan, jalan, perindustrian serta penelitian dan pengembangan. Sementara Ayat 4
menekankan bahwa dalam pembahasan forum, kepala kepolisian resor/ resor kota
harus mengikutsertakan kepala satuan lalu lintas kepolisian resor/resor kota.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Undang-Undang Nomor 37 Tahun
2011 Tentang Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan inilah, maka Keputusan
Walikota Makassar Nomor: 551.05/869/Kep/IX/2012 tentang Pembentukan
Kembali Forum Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Tingkat Kota Makassar akhirnya
diberlakukan. Dengan demikian Keputusan Walikota Makassar yang sebelumnya
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Keputusan Walikota Makassar ini terkait pembentukan kembali FLLAJ di
tingkat Kota Makassar menetapkan, antara lain:
a. Membentuk Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Tingkat Kota
Makassar.
b. Tugas FLLAJ ini, yaitu:
1) Melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan
keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah-
masalah lalu lintas dan angkutan jalan di Kota Makassar.
2) Menjabarkan uraian tugas dan mekanisme FLLAJ Kota Makassar.
3) Membentuk pembantu pelaksanaan sesuai kebutuhan.
4) Melaporkan hasilnya kepada Walikota Makassar.
c. Terkait dengan teknis pelaksanaan keputusan ini akan diatur lebih lanjut
dengan Keputusan Kepala Dinas Perhubungan Kota Makassar.
58
d. Biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan tugas dibebankan pada
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Makassar serta sumber
dana lain yang sah dan tidak mengikat.
e. Dengan berlakunya keputusan ini maka Keputusan Walikota Makassar
Nomor 551.05/938/XII/2009 tanggal 17 Desember 2009 tentang
Pembentukan Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota Makassar,
dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi.
Pembentukan FLLAJ berdasarkan keputusan Walikota Makassar juga
menetapkan susunan keanggotaan Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Kota
Makassar. Pembina dalam FLLAJ ini terdiri dari Walikota Makassar, Kepala
Kepolisian Resor Kota Besar Makassar, dan Direktur Lalu Lintas Polda Sulsel.
Sementara ketua umum FLLAJ Kota Makassar, yaitu Asisten Perekonomian dan
Pembangunan Sekretaris Kota Makassar dan sekertaris FLLAJ, yaitu Sekretaris
Dishub Kota Makassar.
Adapun bidang-bidang FLLAJ terdiri dari Bidang Prasarana Jalan, Bidang
Sarana Prasarana Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bidang Keselamatan dan
Keamanan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, Bidang Pendidikan Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan, Bidang Registrasi dan Identifikasi dan Bidang Humas. Susunan
keanggotannya dapat dilihat pada Tabel 3 di bawah ini.
Tabel 3. Susunan Keanggotaan Bidang-Bidang FLLAJ Kota Makassar
No Bidang Koordinator Anggota
1 Prasarana Jalan Kepala Bidang Jalandan Jembatan DinasPekerjaan UmumKota Makassar
Kepala Bidang Perencanaan danPengawasan Balai Besar PelaksanaanJalan NasionalKepala Seksi Rekayasa Lalu Lintas
Dishub Makassar
59
Kepala Himpunan Pengembangan JalanIndonesia MakassarKepala Bidang Fisik dan Prasarana,
Badan Perencanaan Pengembangan KotaMakassar
2 Sarana PrasaranaLalu Lintas danAngkutan Jalan
Kepala Bidang LaluLintas Dishub KotaMakassar
Dan POM VII WirabuanaKepala Urbin Ops Satlantas Polrestabes
MakassarKepala Seksi Prasarana Dishub MakassarKepala Bidang Perindustrian Disperindag
Kota MakassarKomunitas Pemerhati Lalu LintasKetua DPC Organda MakassarKepala Badan Lingkungan Hidup Kota
MakassarKetua Safety Drive MakassarKetua Yayasan Lembaga Konsumen
Indonesia Makassar3 Keselamatan dan
Keamanan LaluLintas danAngkutan Jalan
WakasatlantasPolrestabes Makassar
Kepala PT. Jasa Raharja CabangMakassarKepala Seksi Ketertiban LLAJ Kota
MakassarKepala Unit Turjawa Polrestabes
MakassarKetua Lembaga Perlindungan Konsumen
4 Pendidikan Lalulintas danAngkutan Jalan
Sekretaris MayarakatTransportasiIndonesia Prov.Sulawesi Selatan
Kepala Dinas Pendidikan Kota MakassarKepala Unit Rekayasa Satlantas
Polrestabes MakassarKetua Masyarakat Transportasi Indonesia
(MTI)Dekan Fakultas Teknik Sipil UnhasDekan Fakultas Teknik Sipil UMIDekan Fakultas Teknik Sipil Universitas
45Dekan Fakultas Teknik Sipil UNMDekan Fakultas Teknik Sipil UIN
MakassarKepala Seksi Bimbingan Keselamatan
Dishub Makassar5 Registrasi dan
IdentifikasiKepala Sub DirektorMin RegidentDitlantas Polda Susel
Kepala Dinas Pendapatan Daerah KotaMakassarKepala PT. Jasa Raharja Cabang
MakassarKepala Seksi STNK Ditlantas Polda
SulselKepala Seksi BPKB Ditlantas Polda
SulselKepala Seksi SIM Ditlantas Polda Sulsel
6 Humas - Direktur Pemberitaan TVRI Sulsel Pimpinan Redaksi Fajar
60
Pimpinan Redaksi Tribun Timur Pimpinan Redaksi Upeks
Salah satu permasalahan yang dikaji oleh FLLAJ Kota Makassar dari
tahun 2009-2013 adalah persoalan kemacetan lalu lintas. Hasil dari pertemuan
forum ini telah menghasilkan beberapa kebijakan berupa Peraturan Walikota
Makassar dalam rangka upaya mengatasi kemacetan di Kota Makassar, antara lain
Peraturan Walikota Makassar Nomor 94 Tahun 2013 tentang larangan truk
beroperasi dalam kota pada siang hari (jam tertentu), dan Peraturan Walikota
Makassar Nomor 64 Tahun 2011 tentang larangan parkir pada lima ruas jalan
(badan jalan) pada jalan-jalan protokol. Pada tahun 2014, pelaksanaan pertemuan
forum ini terhenti diakibatkan tidak adanya dana yang dinggarkan untuk
pelaksanaan pertemuan FLLAJ ini.
2. Profil Informan
Wawancara mendalam terhadap informan merupakan data primer yang
melengkapi analisis dalam penelitian ini dalam menjawab rumusan masalah.
Penulis telah melakukan wawancara terhadap beberapa informan yang terdiri dari
empat orang yang masing-masing juga merupakan perwakilan dari Forum Lalu
Lintas dan Angkutan Jalan (FLLAJ) Kota Makassar, satu orang dari perwakilan
LSM yang membidangi transportasi, lima orang supir pete-pete, dan tiga orang
warga pengguna BRT. Adapun profil dari informan-informan tersebut sebagai
berikut:
1. Informan HA
Informan HA merupakan Kepala Bidang Operasional Dinas
Perhubungan Kota Makassar. Berdasarkan informasi yang didapatkan oleh
61
penulis, Informan HA merupakan orang yang terlama berada di Dinas
Perhubungan Kota Makassar sehingga segala perkembangan kebijakan
angkutan kota dapat ditelusuri melalui Informan HA ini. Selain itu,
Informan HA ini selalu mewakili Dinas Perhubungan Kota Makassar
dalam setiap pertemuan FLLAJ ataupun forum diskusi di luar FLLAJ.
2. Informan AB
Sebagai Ketua Organda (Organisasi Angkutan Darat) Kota
Makassar, Informan AB tentunya juga informan yang tepat dalam
penelitian ini. Penelusuran penulis menemukan bahwa Informan AB
merupakan orang yang selalu mewakili Organda Kota Makassar dalam
FLLAJ maupun forum-forum diskusi yang lain menyangkut lalu lintas dan
angkutan jalan. Beliau termasuk orang yang vocal jika menyangkut
persoalan angkutan kota apalagi kehadiran sistem BRT menimbulkan
persoalan bagi angkutan pete-pete yang saat ini masih mendominasi di
Kota Makassar.
3. Informan IL
Informan IL adalah Kepala Bidang Angkutan Barang Dinas
Perhubungan Kota Makassar. Penulis beranggapan diperlukan lebih dari
satu informan khusus untuk Dinas Perhubungan Kota Makassar karena
sesuai dengan keputusan walikota, Dinas Perhubungan Kota Makassar
merupakan penanggungjawab atau leading sector dari FLLAJ ini meski
tidak disebutkan secara implisit. Hanya saja dana pelaksanaan pertemuan
FLLAJ dibebankan pada APBD dan Dinas Perhubungan Kota Makassar
62
yang mengurusinya sehingga dapat dikatakan penyelenggara FLLAJ
adalah Dinas Perhubungan Kota Makassar. Sementara Informan IL dipilih
oleh penulis sesuai hasil penelusuran menerangkan kalau informan ini juga
mengetahui banyak informasi mengenai kebijakan angkutan kota dan juga
wacana perkembangannya, seperti adanya wacana pete-pete smart yang
rencana akan diluncurkan sebagai bentuk penyesuaian visi dan misi
walikota dalam hal Makassar menuju kota dunia.
4. Informan DS
Informan DS adalah perwakilan dari Polrestabes Makassar,
tepatnya Kepala Lalu Lintas (Kalantas) Polrestabes Kota Makassar.
Informan ini selalu menghadiri setiap pertemuan yang dilakukan FLLAJ
Kota Makassar. Sebagaimana yang telah diketahui bersama pihak
kepolisian memiliki peranan yang penting menyangkut lalu lintas dan
angkutan jalan terutama dalam persoalan keamanan, keselamatan,
ketertiban dan kenyamanan berlalu lintas.
5. Informan SY
Informan SY merupakan Dewan Pembina Lembaga Swadaya
Masyarakat (LSM) Social Politic Genius (SIGn) yang membidangi
transportasi. Informan ini telah berumur 30 tahun dan telah menyelasaikan
pendidikannya di Pascasarjana Universitas Hasanuddin Program Studi
Antropollogi. Perhatiannya terhadap transportasi di Kota Makassar
dimulai bahkan jauh sebelum sistem BRT hadir. Saat ini, selain menjadi
63
Dewan Pembina di LSM SIGn, beliau juga mengajar di Universitas
Hasanuddin.
6. Informan AG
Informan ini tidak hanya pekerjaan sehari-harinya sebagai supir
pete-pete, tapi juga merupakan pemilik angkutan pete-pete. Hasil
penelusuran penulis menemukan bahwa Informan AG ini mengetahui
banyak kondisi angkutan pete-pete sebagai target implementasi kebijakan
angkutan kota. Jadi, tidak hanya merasakan kondisi sebagai supir pete-pete
pada umumnya namun juga senantiasa membicarakan segala kebijakan-
kebijakan terkait angkutan kota di Kota Makassar.
7. Informan RU
Informan RU adalah salah satu supir pete-pete dari ribuan supir
yang ada di Kota Makassar. Penulis memilih informan ini sebagai
perwakilan angkutan pete-pete dengan pertimbangan lamanya menjadi
supir pete-pete. Informan RU adalah laki-laki yang telah berumur 51 tahun
dan telah menjadi supir pete-pete selama kurang lebih 25 tahun. Selain itu,
informan yang telah memasuki masa dewasa akhir ini fasih dalam
berbahasa Indonesia sehingga cukup memudahkan bagi penulis dalam
melakukan wawancara. Dengan pengalamannya sebagai supir selama
puluhan tahun, penulis dapat membandingkan implementasi kebijakan
angkutan kota yang dijelaskan oleh para aktor FLLAJ dengan yang
dirasakan oleh Informan RU sebagai target implementasi kebijakan
angkutan kota.
64
8. Informan SI
Informan SI adalah seorang perempuan yang rutin menggunakan
angkutan BRT jika ingin berbelanja di Mall khususnya Mall Panakkukang.
Sehari-hari beliau sebagai ibu rumah tangga yang mengurusi dua orang
anak. Saat ini beliau berumur 39 tahun dan berdomisili di Jalan Andi
Pettarani, Makassar.
9. Informan DA
Informan DA juga merupakan salah satu pengguna angkutan BRT.
Tidak seperti Informan SI, informan ini tidak selalu menggunakan
angkutan BRT, tapi setidaknya beliau telah menggunakan angkutan BRT
sebanyak 10 kali dengan berbagai koridor. Informan DA adalah seorang
laki-laki mahasiswa Pascasarjana Universitas Hasanuddin dengan
konsentrasi Program Studi Ilmu Sosiologi yang berumur 26 tahun. Sebagai
mahasiswa pascasarjana, Informan DA mengetahui betul pentingnya
pengembangan transportasi perkotaan di Kota Makassar sehingga
informan juga aktif membicara perkembangan angkutan kota di Kota
Makassar.
10. Informan AC
Informan AC adalah seorang wiraswasta yang bergerak di bidang
percetakan. Informan ini telah menggunakan angkutan BRT sebanyak
delapan kali. Penggunaan angkutan BRT biasanya dilakukannya jika lagi
malas menggunakan kendaraan pribadinya untuk keperluan tertentu.
Informan AC, selain pengguna angkutan BRT juga peduli dengan isu-isu
65
terkait perkembangan angkutan BRT di Kota Makassar. Itulah sebabnya
penulis memilihnya sebagai informan dalam penelitian ini. Informan AC
saat ini telah berusia 30 tahun, menikah dan memiliki anak sebanyak dua
orang.
3. Penerimaan Masyarakat Terhadap Keberadaan BRT di Kota
Makassar
Pengungkapan penerimaan masyarakat terhadap keberadaan BRT di Kota
Makassar terkait mengenai proses penerimaan sosialisasi BRT oleh masyarakat
Kota Makassar berdasarkan teori interaksionisme simbolik. Proses pengungkapan
tersebut dimulai dari perlunya dipahami kembali kebijakan angkutan kota yang
dihasilkan dari kinerja FLLAJ (Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan) Kota
Makassar. Penulis beranggapan bahwa hal ini penting guna menyambung ke
pembahasan perspektif masyarakat terhadap sosialisasi BRT.
Secara umum kebijakan publik tidak hanya diartikan secara sempit seperti
perundang-undangan, namun segala hal-hal yang telah disepakati bersama sebagai
bagian dari tindak lanjut dari perundang-undangan juga merupakan kebijakan
publik. Pandangan Jenkin (Yudita, 2004) cukup mewakili dalam hal ini.
Kebijakan publik merupakan rangkaian yang saling berkaitan yang diambil oleh
seorang aktor politik berkenaan dengan tujuan yang telah dipilih beserta cara-cara
untuk mencapainya.
Pemahaman terkait kebijakan publik sangatlah penting. Permasalahan
yang biasanya timbul adalah apa sajakah yang dapat dikatakan sebagai kebijakan
publik. Jika mengacu pada kebijakan publik angkutan kota, maka Undang-
66
Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan Umum
merupakan salah satu kebijakan publik. Artinya segala hal yang menyangkut lalu
lintas dan angkutan umum harus mengacu pada undang-undang ini. Menanggapi
hal ini, Direktorat Jenderal Perhubungan Darat juga mengeluarkan kebijakan yang
juga harus mengacu pada undang-undang. Hal ini terus turun ke bawah hingga
tingkatan kota/kabupaten yang juga harus membuat kebijakan mengenai lalu
lintas dan angkutan umum. Hal inilah yang dimaksud rangkaian yang saling
berkaitan dalam pandangan Jenkin mengenai kebijakan publik. Kebijakan dari
pusat terus turun ke bawah dimana tiap instansi secara hirarki juga menghasilkan
kebijakan sehingga pelaksanaan kebijakan lalu lintas dan angkutan kota yang
turun pada masyarakat betul-betul operasional.
Hal yang perlu diketahui adalah bahwa di Kota Makassar terdapat Forum
Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (FLLAJ) sebagai wadah sosialisasi utama
mengenai kebijakan apapun terkait transportasi kota. Jadi, FLLAJ adalah produk
dari Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 Tentang Lalu Lintas dan Angkutan
Umum. Untuk memperjelas mengenai FLLAJ ini, maka Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2011 Tentang Forum Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan dikeluarkan untuk untuk memberikan arah prosedur kerja dan
susunan struktur FLLAJ baik ditingkat nasional, provinsi maupun kota/kabupaten.
Menindaklanjuti peraturan pemerintah tersebut, maka Pemerintah Kota
Makassar memberlakukan Keputusan Walikota Makassar Nomor:
551.05/869/Kep/IX/2012 tentang Pembentukan Kembali Forum Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan Tingkat Kota Makassar akhirnya diberlakukan. Dengan demikian
67
Keputusan Walikota Makassar yang sebelumnya dinyatakan tidak berlaku lagi.
Jadi, sebenarnya tahun 2009 FLLAJ Kota Makassar telah terbentuk, namun
karena terjadi pemolaan kembali mengenai FLLAJ ini, maka pada tahun 2012
berdasarkan keputusan walikota, FLLAJ dibentuk kembali di Kota Makassar.
Jadi yang menjadi perhatian adalah kebijakan-kebijakan yang dihasilkan
oleh FLLAJ Kota Makassar utamanya terkait angkutan kota. Terdapat dua
kebijakan dalam bentuk peraturan walikota yang lahir dari dorongan FLLAJ ini.
Kebijakan-kebijakan ini lahir selama periode kerja FLLAJ dari tahun 2009 hingga
tahun 2013. Hal ini sesuai dengan penjelasan Informan HA.
“Forum inikan fungsisanya adalah menghimpun permasalahandan memberikan rekomendasi. Kemudian dari beberapa tahun2014 itu forum tidak jalan karena anggarannya tidak masuktapi tahun 2013 ada dan beberapa permasalahan yang sempatwaktu itu lakukan dan bahasakan. Inti dari kinerja forum ituadalah menghimpun segala permasalahan dari setiappermaslahan lain dan kemudian mencari solusipermasalahan…”(Informan HA, 2 februari 2016).
Lebih lanjut lagi Informan mengungkapkan masalah kemacetan larangan
angkutan tambang galian:
“Pada tahun 2013 kita lebih menyoroti masalah kemacetan lainadapun output dari forum itu keluar perwali no 94 tahun 2013tentang larangan masuk bagi kendaraan angkutan tambanggalian kategori C. kemudian ada 1 lagi, itu adalah perwali no64 tahun 2011 berkaitan dengan larangan parkir di jalan utama,di undang-undang juga sudah ada. Jadi itu produk sempat kitayang menjadi hasil daripada forum lalulintas yang kita sudahlaksanakan dan pelaksananya sementara masih kitajalankan…” (Informan HA, 2 Februari 2016).
68
Informan HA merupakan Kepala Bidang Operasional Dinas Perhubungan
Kota Makassar. Menurutnya, hal yang paling penting dari adanya FLLAJ ini
adalah menghimpun permasalahan lalu lintas dan angkutan jalan dan memberikan
rekomendasi terkait solusi atas permasalahan tersebut. Salah satu permasalahan
lalu lintas di Kota Makassar adalah kemacetan yang menjadi fokus utama
pembahasan FLLAJ Kota Makassar dari tahun 2009 hingga tahun 2013.
Kebijakan tersebut, antara lain Peraturan Walikota Makassar Nomor 94 Tahun
2013 tentang tentang larangan truk beroperasi dalam kota pada siang hari (jam
tertentu), dan Peraturan Walikota Makassar Nomor 64 Tahun 2011 tentang
larangan parkir pada lima ruas jalan (badan jalan) pada jalan-jalan protokol.
Lain halnya yang diungkapkan oleh Informan HA, yaitu tidak berjalannya
FLLAJ ini selama tahun 2014 disebabkan oleh tidak adanya anggaran yang cair
dari pemerintah kota. Mengenai anggaran pelaksanaan FLLAJ telah diatur
berdasarkan Keputusan Walikota Makassar Nomor: 551.05/869/Kep/IX/2012
tentang Pembentukan Kembali Forum Lalu Lintas Dan Angkutan Jalan Tingkat
Kota Makassar bahwa biaya yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan tugas
dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Makassar serta
sumber dana lain yang sah dan tidak mengikat.
Praktisnya, tahun 2014 tidak ada kebijakan yang dihasilkan oleh FLLAJ
ini. Kalaupun diperhatikan dua kebijakan yang dihasilkan melalui peraturan
walikota ini, tampaknya secara langsung tidak berhubungan dengan angkutan kota
di Kota Makassar. Sementara telah diketahui angkutan kota di Kota Makassar
masih didominasi oleh pete-pete. Peraturan walikota nomor 94 tahun 2013
69
dikhususkan untuk truk yang masuk di Kota Makassar, sedangkan peraturan
walikota nomor 64 tahun 2011 dikhususkan bagi angkutan jalan agar tidak
memarkir kendaraannya di pinggir jalan-jalan utama Kota Makassar.
Pertanyaannya kemudian adalah angkutan kota (pete-pete) di Kota
Makassar tidak memiliki permasalahan sehingga tidak ada kebijakan khusus yang
lahir dari FLLAJ ini. Beberapa kebijakan tentunya dihasilkan untuk mengarahkan
terwujudnya transportasi kota yang efektif. Persoalan kemacetan yang diakibatkan
oleh pete-pete Kota Makassar dan adanya perilaku mengemudi yang agresif juga
menjadi salah satu kajian dalam forum ini. Pemaparan Informan HA berikut
menjelaskan salah satu kebijakan angkutan kota yang dihasilkan melalui FLLAJ.
“…Jadi, kita ini tiap tahun membina pengemudi angkutan yangmasuk dalam pemilihan angkutan umum teladan. Ya…jadi disitulah kita masukkan pembinaan terhadap pengemudiangkutan. Ada angkutan kota,…angkutan AKBP maupunangkutan provinsi…” (Informan HA, 2 Februari 2016).
Program pemilihan angkutan umum teladan merupakan salah satu
kebijakan guna melakukan pembinaan terhadap angkutan umum di Kota
Makassar. Melalui program ini, pemerintah dapat berperan aktif dalam melakukan
pembinaan terhadap pete-pete di Kota Makassar, apalagi pete-pete Kota Makassar
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Asdar & Kasnawi (2011)
mengungkapkan bahwa perilaku mengemudi supir pete-pete Kota Makassar yang
masih agresif. Di sisi lain terdapat juga kebijakan yang dari tahun 2007
dicanangkan oleh Dinas Perhubungan Kota Makassar dan kemudian
ditindaklanjuti melalui FLLAJ.
“…Secara garis besar perubahan angkutan kota ini dari dulusebelum tahun 2007 kita sudah melakukan pengurangan 4.550
70
kemudian sampai disini berkurang jadi 4.113 itu dimaksudkankarna ini masukmi BRT, supaya ini harus berkurang diaberfungsingnya sebagai pengumpan namun ada masalah lagidengan adanya bentor. bentor banyak menyerap angkutanorang atau penumpang sehinggga kinerja dari angkutan kotajadi berkurang. hal ini bisa dilihat dari 2 faktor, yaitu rata-ratayang ada sekarang ini itu tidak sampai dengan 60% bahkanrata-rata cenderung ke arah 40-50% artinya bahwa masih harusada 50% angkutan kota yang harus dikurangi supaya diamemiliki faktor baik diatas 70%, begitu” (Informan HA, 2Februari 2016).
Penjelasan Informan HA tersebut terkait kebijakan pengurangan jumlah
kendaraan pete-pete yang ada di Kota Makassar. Tahun 2007 jumlah angkutan
pete-pete di Kota Makassar berjumlah 4.550 unit, dan tahun 2014 berkurang
menjadi 4.113 unit. Menurut Informan HA, pengurangan masih diperlukan
setidaknya 50% lagi dari jumlah pete-pete yang ada saat ini. Kebijakan ini
diberlakukan terkait beroperasinya kendaraan angkutan kota jenis BRT (Bus
Rapid Trans).
Kebijakan lainnya yang dihasilkan melalui FLLAJ Kota Makassar terkait
regulasi penertiban dan pengaturan angkutan kota terkhusus pete-pete. Ketua
Organda Kota Makassar menjelaskan dengan baik bahwa dengan keberadaan
aktor-aktor dalam FLLAJ sangat membantu dalam melakukan penertiban
angkutan kota.
“…Oleh karena itu, penangannaya memang serius bukan hanyasatu pihak yang menangani, bukan hanya pihak perhubungansaja tetapi semua instansi yang terkait harus berada didalamnyaduduk bersama mencari jalan keluarnya. Kita juga sudahbeberapa kali tahun 2012, 2013, dan 2014 forum ini termasukorganda itu didalamnya juga beberapa kali melakukan reaksiatau ketertiban. Penerbitan alhamdulilah pada saat itupenertiban luar biasa hasil yang kita dapat artinya Mengingat
71
teman-teman masyarakat bahwa harus di tertibkan pada saatoperasi penertiban mereka.”(Informan AB, 3 Februari 2016).
Lebih lanjut lagi informan mengunkapkan permasalahan penertiban
transfortasi yang tidak berkesinambungan:
“…Tetapi setelah kita berhenti mereka kembali lagi beroperasioleh karena itu memang perlu forum ini sehingga penertibanini harus berkesinambungan tidak hanya satu kali. Jadi sebuahmasalah yang besar khusnya di transportasi memang perluberkesenimambungan tidak berhenti satu bulan saja atau duabulan saja setelah itu kita tidak berlakukan lagi” (Informan AB,3 Februari 2016).
Dengan adanya FLLAJ, Organda Kota Makassar mudah melakukan
tugasnya dalam persoalan penertiban angkutan kota yang liar. Hal ini dikarenakan
berbagai pihak atau aktor lain turut membantu dan memperhatikan permasalahan
angkutan kota di Kota Makassar. Dengan demikian, kebijakan penertiban terkait
lalu lintas angkutan kota merupakan juga salah satu kebijakan yang dihasilkan
oleh FLLAJ. Penertiban ini utamanya dilakukan oleh Organda Kota Makassar
bekerja sama dengan aktor-aktor lain seperti Dinas Perhubungan Kota Makassar,
MTI, Dinas PU, Dinas Balai Jalan ataupun pihak kepolisian Kota Makassar/Polda
Sulselbar.
Penulis sejauh ini telah berusaha menyebutkan beberapa kebijakan
angkutan kota yang dihasilkan oleh FLLAJ. Pengetahuan akan kebijakan-
kebijakan yang dihasilkan ini akan membantu untuk menganalisis perspektif
masyarakat terhadap sosialisasi BRT. Sebagaimana yang telah diungkap
sebelumnya FLLAJ Kota Makassar merupakan wadah yang seharusnya
melakukan sosialisasi mengenai keberadaan BRT di Kota Makassar. Terkait
prosedur kerja FLLAJ Kota Makassar dijelaskan oleh Informa AB.
72
“…Jadi melalui forum pasti ada SK, apakah itu SK Walikota,apakah itu SK Dinas Perhubungan Kota Makassar atau SKdari Dinas Perhubungan Provinsi atau SK dari pihakkepolisisan. Setelah itu, tadi kebijakan itu akan menimbulkanpersoalan, itu sudah pasti. kalau di transportasi oleh karenaitu, permasalahan bukan berarti permasalahan ini tidak adasolusi, ia kan. Bukan berarti kebijakan ini tidak ada solusi,tetapi itu tadi namanya forum kita duduk bersama, contohorganda diberikan tugas untuk memberikan sosialisasikepada anggotanya terhadap kebijakan pemerintah dalam halini. seperti ini model-modelnya. jadi masing-masing kitapunya wewenang…” (Informan AB, 3 Februari 2016).
Informan AB mencoba menyederhanakan prosedur dalam pertemuan yang
dilakukan oleh FLLAJ. Rapat FLLAJ harus didahului Surat Keputusan (SK) yang
dapat berasal dari Walikota, Dinas Perhubungan Kota Makassar, Dinas
Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan, dan dari pihak kepolisian. Rapat
diselenggarakan terkait adanya permasalahan yang hendak dibahas dan mencari
solusi yang tepat atas permasalahan tersebut. Hasil rapat FLLAJ kemudian
disimpulkan oleh notulen rapat dan menyampaikan tugas masing-masing aktor
terkait solusi atas permasalahan yang dibahas. Tugas yang diberikan oleh masing-
masing aktor tentunya sesuai dengan kompetensi aktor masing-masing.
Jika ditelusuri lebih jauh lagi prosedur kerja FLLAJ Kota Makassar ini
sesuai dengan tugas FLLAJ berdasarkan Keputusan Walikota Makassar Nomor:
551.05/869/Kep/IX/2012 tentang Pembentukan Kembali Forum Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan Tingkat Kota Makassar, yaitu:
a. Melakukan koordinasi antarinstansi penyelenggara yang memerlukan
keterpaduan dalam merencanakan dan menyelesaikan masalah-
masalah lalu lintas dan angkutan jalan di Kota Makassar.
b. Menjabarkan uraian tugas dan mekanisme FLLAJ Kota Makassar.
73
c. Membentuk pembantu pelaksanaan sesuai kebutuhan.
d. Melaporkan hasilnya kepada Walikota Makassar.
Upaya sosialisasi BRT oleh FLLAJ dilakukan berdasarkan kebutuhan
masyarakat terhadap transportasi yang lebih baik. Hal ini sebagaimana
diungkapkan oleh Informan DS mengenai harapan masyarakat Kota Makassar
terkait angkutan kota.
“…Umumnya masyarakat Makassar pasti menginginkantransportasi massal yang nyaman dan aman. Nyamannyadalam artian tidak macet. Sementara kondisi di KotaMakassar kan didominasi oleh pete-pete yang jumlahnyalebih dari 4000 unit. Sementara undang-undang yang berlakujuga mensyaratkan akan adanya hal seperti itu. Jadi, pastilahtidak mungkin langsung berhasil tentunya harus ada proses.Penerapan BRT kan merupakan salah satu solusi, tapidibutuhkan sosialisasi untuk membuat masyarakatmenerimanya. Kondisi jalan juga di Kota Makassar cukupmemprihatinkan dibeberapa titik, nah itu butuh waktu…”(Informan DS, 4 Februari 2016).
Beberapa informan yang lain juga menegaskan hal yang sama bahwa
kenyamanan dan keamanan dalam penggunaan angkutan dibutuhkan masyarakat
Kota Makassar kedepannya. Hal ini juga terkait kebijakan FLLAJ yang menjadi
tanggung jawab Dinas Perhubungan Kota Makassar mengenai pengurangan
jumlah kendaraan pete-pete. Hal ini terkait adanya pengembangan transportasi
umum di Provinsi Sulawesi Selatan berupa konsep BRT Mamminasata-1, konsep
BRT Mamminasata-2 dan sistem monorail dimana Kota Makassar sebagai ibu
kota provinsi tentunya memiliki peranan yang besar dalam hal ini.
Kebijakan pengembangan transportasi umum di Sulawesi Selatan ini
dilakukan berdasarkan Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 55 Tahun
2011 tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Makassar, Maros,
74
Sungguminasa dan Takalar. Oleh karena itu, kebijakan tentunya juga berdampak
dan memberikan tekanan bagi FLLAJ Kota Makassar.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ali (2015) selaku Ketua MTI
(Masyarakat Transportasi Indonesia) yang juga merupakan salah satu aktor di
FLLAJ Kota Makassar mengenai perspektif masyarakat transportasi terhadap
permasalahan dan solusi angkutan umum di Sulawesi Selatan menyajikan bahwa
terdapat tiga jenis moda utama yang dipertimbangkan dalam menyelesaikan
permasalahan angkutan umum di Kawasan Mamminasata, yaitu pete-pete, BRT,
dan kereta api. Khusus pete-pete dan BRT telah ada di Kota Makassar, sementara
kereta api masih dalam tahap perencanaan. Hasil penelitian Ali (2015), yaitu
masing-masing moda memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri. Pete-pete
kelebihannya pada tarifnya yang murah dan kekurangannya terletak pada
pelayanan dan penyebab kemacetan. Kelebihan Angkutan Kota BRT terletak pada
pelayanannya yang memuaskan dan kekurangannya pada tarifnya yang sedikit
lebih mahal jika dibandingkan pete-pete. Sedangkan kelebihan kereta api terletak
pada kemampuannya menghindari macet, namun tarifnya cukup tinggi.
Tidak adanya kebijakan secara khusus yang dikeluarkan oleh FLLAJ Kota
Makassar terkait adanya pengaturan angkutan kota di Kota Makassar dengan
adanya angkutan kota jenis BRT disebabkan pada anggaran yang tidak kucur
untuk pelaksanaan rapat FLLAJ sehingga forum ini mengalami kevakuman
selama tahun 2014. Namun secara umum, dapat dikatakan bahwa landasan utama
pentingnya BRT di Kota Makassar terletak pada peniruannya terhadap sistem
angkutan kota yang dianggap berhasil dibeberapa kota yang ada di Indonesia,
75
utamanya kota-kota yang ada di Pulau Jawa. Pernyataan Informan SY
menegaskan akan hal ini.
“…Begini, sebenarnya segala kebijakan yang dihasilkanmelalui forum ini, khusus angkutan kota itukan arahannyaagar mampu menyelesaikan permasalahan yang ada.Makassar ini angkutan kotanya didominasi pete-pete,sementara di kota-kota lain seperti di Jawa, angkutan kotanyakan banyak jenisnya terus pembangunan jalannya juga bagus.Di Jawa juga kereta apinya bagus, begitu juga BRT nya. Nah,Makassar sebagai kota metropolitan harusnya juga mampumengembangkan sistem angkutan kotanya. Dengan adanyaperaturan pemerintah tentang mamminasata, itu jalurnyasudah terbuka, hanya saja peran FLLAJ perlu lebihditingkatkan lagi…” (Informan SY, 17 Februari 2016).
Berdasarkan pemaparan Informan SY terdapat indikasi bahwa segala
kebijakan dan implementasinya pada FLLAJ Kota Makassar melakukan peniruan
terhadap kota-kota yang berhasil mengembangkan sistem transportasinya,
khususnya kota-kota besar yang ada di Jawa. Jika ditelusuri lebih jauh lagi,
sebenarnya proses peniruan ini juga berdasarkan visi Kota Makassar untuk
menuju kota dunia. Dengan demikian, kesinambungan dan perkembangan
diberbagai bidang sangat dibutuhkan untuk mewujudkan visi Kota Makassar ini.
“…Pak wali punya rencana-rencana adakan istilahnya konsepsmart city, membuat semisal Angkutan Smart. AngkutanSmart yang dimaksud berbeda dengan yang sekarangmisalnya dia itu ber AC, ada tempat sampah di dalam, adapanduan misalnya diluar daripada orang-orang diluar kotaMakassar yang naik jadi dia tau arahnya kemana, ituprogramnya. Tahun 2015 ini dibuatlah semacam Pete-petepercontohan Pete-pete Smart namanya ini yang sekarang mauditender/proyekkan berserta dengan haltenya…”(InformanIL, 19 februari 2016).
Lebih lanjut lagi informan mengungkapkan antusias pemerintah terhadap
kendaraan massal BRT:
76
Pemerintah kota sangat antusias memperhatikan masalah ini.Artinya secara natural dia inginkan anggkutan massalsekarang ada BRT mall ke mall, tahap kedua kampus-kekampus. Liat itu depannya UIN, IKIP, UMI, UNHAS tapisekarang belum dia pakai karena belum ada bis tapi kalaubisnya segera dipakai. Masalah implementasi kebijakan tatakota sangat merespon dan aperesiasi terhadap angkutan-angkutan publik yang berhubungan dengan masyarakat. kalauberdasarkan keinginan menteri perhubungan sebenarnyabagaimana mindsetnya masyarakat itu tidak lagi naikangkutan pribadi dia inginkan kita naik angkutan massal…”(Informan IL, 19 Februari 2016).
Informan IL adalah Kepala Bidang Angkutan Barang Dinas Perhubungan
Kota Makassar menjelaskan pentingnya pengembangan angkutan umum di Kota
Makassar, apalagi Kota Makassar berdasarkan kebijakan walikota telah
menerapkan konsep Smart City untuk mewujudkan Makassar menuju kota dunia.
Bahkan Pemerintah Kota Makassar telah merencanakan angkutan kota smart,
yaitu pete-pete smart. Lebih lanjut, pengembangan sistem transportasi ini
dibutuhkan karena sesuai dengan arahan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat
agar menekan penggunaan angkutan pribadi oleh masyarakat dan beralih pada
angkutan umum. Dengan demikian, pemerintah dapat melakukan penghematan
BBM (Bahan Bakar Minyak).
Faktanya peniruan terhadap model sistem transportasi ini juga telah
berlandaskan pada kebijakan pembangunan transportasi di Sulawesi Selatan yang
digariskan oleh Direktur Jenderal Perhubungan Darat melalui kajian Direktur
Bina Sistem Transportasi Perkotaan (2008). Beberapa arahan kebijakan terkait
angkutan kota, antara lain:
77
a. Menyediakan pelayanan angkutan umum massal di daerah perkotaan
yang didukung pelayanan penumpang yang aman, nyaman, tertib, dan
disiplin.
b. Mengembangkan sistem transportasi yang andal dan berkemampuan
tinggi yang bertumpu pada aspek keselamatan, dan keterpaduan
antarmoda, antarsektor, antarwilayah, aspek sosial budaya, dan
profesionalitas pelaku dan penyedia layanan transportasi serta
menerapkan dan mengembangkan teknologi transportasi yang tepat
guna, hemat energi dan ramah lingkungan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Energi dan Sumber
Daya Mineral pada tahun 2007 menyebutkan bahwa konsumsi BBM terbesar di
Indonesia terletak pada sektor transportasi dengan pemakaian mencapai 56%
(Tamin & Dharmowijoyo, 2011). Sementara data dari Ditjen Perhubungan Darat,
Kementerian Perhubungan (2010) menyebutkan bahwa pada sektor transportasi
pemakaian BBM tertinggi berada pada mobil pribadi (34%), lalu disusul mobil
angkutan (32%). Kemacetan juga menjadi penyebab utama dalam hal pemborosan
energi. Kerugian Negara akibat kemacetan berdasarkan penelitian Prayudantyo
(2009) sekitar 10,4 Trilliun/tahun (Tamin & Dharmowijoyo, 2011).
Di Kota Makassar, pete-pete yang merupakan angkutan terbanyak juga
telah menjadi salah satu faktor kemacetan, belum lagi sebagaimana yang telah
dijelaskan sebelumnya perilaku mengemudi yang agresif. Pandangan ini juga
dikemukakan oleh Informan IL terkait pete-pete di Kota Makassar.
“…Sekarang berkaitan dengan pete-pete sebenarnya maudihilangkan, kita taulah bagaimana polanya supir, supir pete-
78
petekan tidak … apa bedanya dengan tukang becak, dia mauberhenti dia kejar Rp 2.000, dia hampir bunuh orangdibelakangnya.. Dengan adanya nanti ini sistem BRT ,apalagi tehniknya pemerintah untuk pelan-pelan, pemerintahbuat dari mol ke mol, kampus ke kampus supaya nda ributkalau kau ambil jalurnya dimana dia mau makan...”(IL, 19februari 2016).
Lebih lanjut lagi Informan mengungkapkan mekanisme barsaing
seperti Pasar, Telkom, dan Pesawat mengenai teknik pemerintah untuk
menghilangkan supir pete-pete:
Karna ke depanya orang mekanisme pasar siapa yangpelayanannya bagus cepat, irit dan efisin pasti dipakai biartidak dilarang dia akan mati dengan sendirinya karna orangbersaing. Coba dilihat sekarang di swastakan Telkom, jadiTelkom induk perusahaan dibiayayi sama anak perusahannyayaitu telkomsel. Seperti Pesawat dibiarkan tidak adamonopoli garuda dan merpati. Apa hasilnya sekarang oranglebih pilih pakai pesawat ketimbang kapal laut…” (InformanIL, 19 Februari 2016).
Lebih lanjut Informan IL menegaskan bahwa pete-pete yang ada di Kota
Makassar memiliki perilaku agresif. Oleh karena itu, dengan adanya konsep pete-
pete smart dan BRT, maka kualitas pelayanan transportasi umum di Kota
Makassar akan meningkat. Pernyataan Informan IL tersebut juga mengindikasikan
adanya bentuk penentangan dari pihak supir pete-pete terhadap kebijakan baru ini.
Pengembangan BRT secara khusus merupakan arahan dari Direktur
Jenderal Perhubungan Darat melalui kajian Direktur Bina Sistem Transportasi
Perkotaan (2011). Pada tahun 2011 baru tiga belas kota yang menerapkan BRT,
dan Kota Makassar sebagai kota metropolitan dengan kepadatan penduduk 8000
jiwa/km2 dianggap sudah seharusnya menerapkan moda transportasi BRT. Di
79
Kota Jakarta, BRT-nya dinamakan TransJakarta Busway, dari 15 koridor yang
telah direncanakan, sampai dengan tahun 2011 telah melayani 11 koridor.
Beberapa bentuk BRT di kota lain, seperti Bogor (Transpakuam), Yogyakarta
(Transyogya), Ambon (Trans Amboina) dan lainnya (Direktur Bina Sistem
Transportasi Perkotaan, 2011).
Upaya peniruan konsep angkutan kota BRT juga merupakan sebuah
peniruan dari tranportasi massal yang ada negara-negara lain dan dianggap
berhasil penerapannya. Hal ini berlandaskan pada kajian yang dilakukan oleh
Wright (Institut for Transportation and Development Policy) dan Fjellstrom
(GTZ) pada tahun 2002 mengenai opsi angkutan massal, panduan bagi pembuat
kebijakan di kota-kota berkembang.
Bus Rapid Transit adalah satu bentuk angkutan berorientasi pelanggan dan
mengkombinasikan stasiun, kendaraan, perencanaan dan elemen-elemen sistem
transportasi pintar ke dalam sebuah sistem yang terpadu dan memiliki satu
identitas unik. Ciri-ciri Bus Rapid Transit termasuk koridor busway pada jalur
terpisah – sejajar atau dipisahkan secara bertingkat - dan teknologi bus yang
dimodernisasi. Meskipun demikian, terlepas dari pemilahan busway, sistem BRT
secara umum meliputi: menaikkan dan menurunkan penumpang dengan cepat,
penarikan ongkos yang efisien, halte dan stasiun yang nyaman, teknologi bus
bersih, integrasi moda, identitas pemasaran modern dan layanan pelanggan yang
sangat baik. Bus Rapid Transit merupakan lebih dari sekadar operasional
sederhana di atas jalur eksklusif bus atau busway. Menurut studi terkini tentang
busway sejajar (Shen et. al., 1998), hanya setengah dari kota-kota yang memiliki
80
busway telah mengembangkannya sebagai bagian dari paket tindakan sistematis
dan komprehensif dari jaringan angkutan massal kota yang diidentifikasi sebagai
sistem BRT (Wright & Fjellstrom, 2002).
Beberapa penerapan sistem BRT di negara berkembang yang menjadi
tiruan bagi Negara-negara berkembang yang lain termasuk Indonesia, antara Kota
Kuritiba di Brazilia dan Kota Bogota di Kolombia. Kuritiba adalah salah satu
contoh terbaik dari integrasi transportasi dan perencanaan perkotaan. Kota ini
memiliki populasi sebanyak 1,5 juta jiwa dan 655.000 kendaraan bermotor.
Transportasi umum dikelola oleh sebuah perusahaan umum, URBS, dan
dioperasikan oleh 10 perusahaan swasta dalam kontrak kerja konsesi. Sistem
transportasi umum di sini menjalankan 1.677 bus - kebanyakan dari jenis bus-bus
gandeng untuk 270 penumpang- yang membawa rata-rata 976.000 penumpang per
hari. 65 km busway sepanjang lima rute utama di “teruskan” oleh 340 rute feeder
(rute terusan yang melayani jumlah penumpang relatif lebih sedikit) yang
berkonsentrasi pada desakan penumpang akan terminal-terminal interchange
berlokasi strategis. Terminal-terminal ini terhubung berturut-turut sejauh 185 km
dengan rute yang mengelilingi antar distrik. Yang berperan dalam menunjang
jaringan ini adalah rute “bus cepat” 250 km yang umumnya hanya berhenti di
stasiun- stasiun tabung tertentu dengan jarak diatur setiap 3 km (Wright &
Fjellstrom, 2002).
Sementara penerapan BRT di Bogota, Kolombia juga dianggap telah
berhasil. BRT di Bogota dinamakan TransMilenio Bogotá. Hasil di tahun-tahun
pertama operasi TransMilenio memenuhi harapan pengembangnya, antara lain
81
sistem ini setiap hari membawa 700.000 penumpang (Sept. 2002), sebagian besar
pengguna TransMilenio menghemat lebih dari 300 jam per tahun untuk diri
mereka sendiri, 11% pengguna TransMilenio dulu pengemudi mobil pribadi,
kecepatan rata- rata lebih dari 25 km per jam, dengan 72% dari jumlah
keseluruhan bus, sistem ini mengangkut sekitar 60.000 penumpang saat jam-jam
padat, polusi suara dan udara telah berkurang 30% di lintasan TransMilenio, 344
bus operasional, tarif US$ 0.40, jarak operasi sejauh 35.5 km dan 56 stasiun
operasi dan 6 masih dalam konstruksi (Wright & Fjellstrom, 2002).
Jadi, upaya peniruan sistem transportasi yang berkelanjutan dengan sistem
BRT dimulai dari beberapa contoh kota-kota berkembang seperti Kota Koritiba di
Brazilia dan Kota Bogota di Kolombia. Indonesia memulai menerapkan sistem
BRT di Kota Jakarta setidaknya perencanaannya dimulai pada tahun 2002 dengan
melakukan peniruan terhadap kota-kota di negara berkembang yang dianggap
berhasil penerapan sistem BRT-nya. Sejak Jakarta berhasil menerapkan sistem
BRT, beberapa kota lain di Indonesia juga menirunya dan akhirnya Kota
Makassar pun juga menirunya.
Dengan demikian, hal ini menjelaskan alasan munculnya kebijakan
FLLAJ terkait pengurangan jumlah pete-pete di Kota Makassar. Hal ini
dikarenakan sistem BRT yang telah diberlakukan di Kota Makassar sehingga
menuntut pengurangan jumlah angkutan pete-pete. Peniruannya terletak pada
sistem BRT-nya yang meniru keberhasilan penerapan sistem BRT di Jawa
khususnya Kota Jakarta.
82
Walaupun demikian, perlu dipahami bahwa adanya peniruan memiliki
tujuan yang positif. Mead (Rahmanur dkk, 2012), sebagaimana dikemukakan
Cooley, menekankan interpendensi diri dan masyarakat tapi mencurahkan
perhatian khusus pada peran yang dimainkan oleh sistem simbolik dalam
menciptakan manusia dan masyarakat. Sikap seseorang menggunakan respon
yang sama dengan pribadi orang lain sehingga kepribadian seseorang terbentuk
karena “mengambil/mencontoh sikap orang lain”. Hal ini kemudian juga
membentuk konsep diri seseorang.
Rahmanur dkk (2012) menguraikan pandangan Mead ini, yaitu apa yang
baik dan patut diambil sebagai contoh akan coba ditiru dan ditambah dengan
kreatifitasnya lainnya oleh si peniru. Jadi, upaya peniruan sistem BRT oleh
pemerintah merupakan salah satu upaya positif untuk menciptakan kenyamanan,
efisiensi, serta pelayanan yang maksimal dalam lalu lintas dan angkutan jalan.
Secara umum, masyarakat Kota Makassar cukup menerima keberadaan
BRT sebagai salah satu transportasi kota. Hanya saja dalam penerapannya
tampaknya berbagai hal perlu diperhatikan oleh FLLAJ khususnya pemerintah
Kota Makassar utamanya terkait sosialisasi BRT. Hal ini diuraikan dengan baik
oleh Informan SY.
“…Tidak semua masyarakat umun yang mengenai tentangBRT tapi kalau dengan bahasa busway kurasa ada yang tau,hanya saja masyarakat tertentu menurut saya yang tau danpaham misalnya pejabat, tapi kalau mau dipersentasikan sayakira belum cukup 50% yang tau masyarakat kota Makassaryang tau tentang BRT. Saya kira publikasinya juga belumbegitu semarak misalnya dimedia elektroni. Tetapi yanggojek justru yang semarak menuru saya…” (Informan SY, 17Februari 2016).
83
Pemaparan Informan SY sebagai salah satu dewan Pembina pada LSM
SIGn Institute cukup menarik karena mecoba membandingkan penerimaan BRT
dan Gojek di Kota Makassar. Dewan Pembina LSM yang bergerak di bidang
transportasi ini mengungkapkan bahwa sosialisasi yang dilakukan oleh Gojek
justru lebih semarak daripada BRT sehingga Gojek lebih bisa diterima dan
digunakan sebagai transportasi alternatif di Kota Makassar.
“…Menurut pengamatan saya yang pastinya BRTmempermudah transportasi, kedua itu menjadi solusikemacetan lalulintas, saya kira ada beberapa hal harusdibenahi dulu karena saya rasa ini belum siap untuk menjadisolusi, dan menurut saya masyarakat tidak suka dengansesuatu yang bersifat birokratis…Karena belum begitubanyak masyarakat paham tentang adandya BRT saya liatjustru yang dari kalangan mahasiswa yang banyak. Danapalagi stasiun-stasiunya BRT di tempatkan didekat kampusjadinya dari kalangan mahasiswa yang menjadipenggunanya, dan walaupun ada masyarakat itupunjumlahnya terbatas…” (Informan SY, 17 Februari 2016).
Informan SY melanjutkan bahwa tentunya BRT merupakan alat
transportasi kota yang efektif diterapkan di Kota Makassar, hanya saja masyarakat
belum siap. Seharusnya pemerintah perlu membenahi beberapa hal dulu sebelum
menerapkan BRT ini, salah satunya termasuk sosialisasi yang efektif mengenai
BRT sehingga dapat mengatasi permasalahan utama transportasi di Kota
Makassar, yaitu kemacetan lalu lintas. Pandangan yang senada juga dikemukakan
oleh Informan SI selaku salah satu warga pengguna rutin BRT.
“…Sebenarnya BRT itu bagus, murah, keamanan juga sayarasa terjamin, ada juga AC tapi sosialisasinya belumkemasyarakat sehingga masih banyak masyarakat yangmenggunakan angkutan angkot, sebenarnya BRT ini bagusdan murah kalau satu kali jalan 5000 sedangkan angkot jauhdekat tersendiri sedangkan ini menggunakan jalur tersendiri.Pemerintah seharusnya memperbanyak halte biar semua
84
masyarakat bisa menggunaka BRT…” (Informan SI, 20Februari 2016).
Informan SI mengungkapkan kurangnya sosialisasi terhadap BRT dan
shalter juga masih sedikit sehingga berdampak pada kurangnya masyarakat mau
menggunakan BRT. Sementara di sisi lain, beberapa pandangan mengungkapkan
kondisi beroperasinya BRT saat ini di Kota Makassar.
“…Awalnya saya mendengar BRT, saya berfikir wah bagusini kayak di Jawa. Saya membayangkan kenyamanan kalomenggunakan transportasi ini. Jadi, tertarikma…beberapakali saya naiki ini BRT, saya ada beberapa hal yang perludiperbaiki karena menurutku BRT itu bagus. Lebih nyamankalo dipake dan mengatasi juga kemacetan tapi sayangnyabela tidak adapi jalur khususnya kayak di Jakarta. Mungkintidak adapi dananya pemerintah…” (Informan DA, 21Februari 2016).
Tampaknya jalur khusus untuk BRT merupakan persoalan lainnya
sehingga keberterimaan masyarakat dan mau menggunakan BRT menjadi sangat
minim di Kota Makassar. Kondisi juga sama dengan yang dipaparkan oleh
Informan AC selaku pengguna BRT di Kota Makassar.
“…Saya beberapa kali kalau ke luar kota kayak di Jakarta,Bandung atau Surabaya itu penerapan BRT-nya cukup baguskarena Shalter-nya bagus, ada jalur sendirinya. Tidak kayakini di Makassar, pemerintah cuma mensosialisasikan BRT,ada itu dibelakang BRT tertulis solusi mengatasi kemacetan.Nah kayak tong berkurang itu kemacetan di Kota Makassarsemenjak ada itu BRT. Awalnya, sebelum ada itu BRT,pemerintah bikin itu dijalanan jalur warna merah, katanya ituuntuk jalur BRT. Mana ada jalur BRT seperti itu. Sekarangliatmi, tidak adaji gunanya, jadi itu kan namanya buang-buang uang saja. Menurutku saya siapkan dulu denganmatang jalurnya sembari sosialisasikan dulu dengan baik…”(Informan AC, 24 Februari 2015).
Informan AC menyampaikan kritikan terkait persoalan belum matangnya
persiapan dan sosialisasi BRT yang dilakukan oleh pemerintah. Persoalan tersebut
85
mengenai jalur BRT yang belum ada, dan optimalisasi shalter yang juga masih
kurang. Selain itu, sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah menurut Informan
AC terlalu berlebihan sehingga pada akhirnya hanya menuai kritikan dari
masyarakat.
4. Implikasi Sosial Terhadap Keberadaan BRT ada Masyarakat kota
Makassar
Implikasi sosial dalam penelitian ini merujuk pada dampak-dampak yang
ditimbulkan sejak diterapkannya transportasi kota Bus Rapid Transit (BRT) di
Kota Makassar. Penulis akan berupaya menunjukkan berdasarkan teknik
pengumpulan data yang digunakan implikasi sosial dari penerapan sistem BRT ini
sehingga pada pembahasan nantinya teori konflik akan melengkapi hasil
penelitian ini.
Telah dipaparkan sebelumnya bahwa terdapat Forum Lalu Lintas dan
Angkutan Jalan (FLLAJ) Kota Makassar yang seharusnya lebih bertanggung
jawab dalam mensosialisasikan BRT kepada masyarakat. Selain itu, keberadaan
FLLAJ ini juga memiliki kekuatan untuk memberikan masukan kepada
pemerintah Kota Makassar mengenai hal-hal yang perlu dibenahi terkait
penerapan sistem BRT ini.
Keberadaan BRT telah membawa dampak sosial utamanya bagi angkutan
pete-pete yang masih mendominasi Kota Makassar saat ini. Hasil penelitian
menunjukkan adanya bentuk ketidaksetujuan terhadap kebijakan pemerintah
terkait diterapkannya sistem BRT di Kota Makassar. Jika dilihat akarnya,
ketidaksetujuan tersebut juga berasal dari kurang pedulinya pemerintah terhadap
86
keberadaan pete-pete. Hal ini dapat dilihat dari tanggapan supir pete-pete
mengenai program pembinaan yang sangat minim terhadap supir pete-pete.
Kurangnya program pembinaaan bagi supir pete-pete Makassar juga disadari oleh
Informan AG selaku supir pete-pete.
“…Sudah puluhan tahun Saya jadi supir pete-pete diMakassar. Kalau ada pembinaan mungkin saya sudah lupa,paling ada pembinaan-pembinaan sifatnya tidak formal,sifatnya orang per orang, tapi kalau secara formal tidakpernah ada…” (Informan RU, 16 Februari 2016).
Pernyataan Informan RU mengisyaratkan tidak adanya program-program
pembinaan yang sifat formal terkhusus yang dilakukan oleh pemerintah. Kalaupun
ada, sifatnya tidaklah formal dalam artian dari orang ke orang. Lebih jauh lagi,
pernyataan Informan AG ini mengandung sebuah harapan bahwa betapa
pentingnya pembinaan secara formal dilakukan oleh pihak-pihak yang terkait
secara langsung dengan bidang lalu lintas dan angkutan jalan. Supir pete-pete juga
membutuhkan perhatian, dalam artian melibatkannya sehingga dapat juga
berpartisipasi dalam pembangunan lalu lintas dan angkutan jalan.
Kenyataannya tidak terlaksananya program pembinaan formal yang
diharapkan supir pete-pete disebabkan oleh tidak adanya upaya melibatkan
berbagai aktor yang lain untuk melaksanakannya. FLLAJ Kota Makassar
cenderung sebatas menghasilkan kebijakan saja.
“…Susah ini di Makassar, melaksanakan kepentinganpublik tapi masing-masing mementingkan diri sendiri.Beda sama di Jawa, tranportasi publiknya bisa maju karenamereka betul-betul profesional…forum lalu lintas inisepertinya kami hanya sekedar diundang saja, sekedarmenghadiri rapatnya saja setelah itu pelaksanaanya kurang,tiga bulan kemudian eh undangannya datang lagi trus bahas
87
lagi masalah baru jadinya bertumpuk…” (Informan AB, 3Februari 2016).
Pernyataan langsung ini menandakan kurang efektifnya evaluasi yang
dilakukan FLLAJ terhadap kebijakan yang telah disepakati bersama, apalagi pada
tahun 2014 pertemuan forum ini tidak terlaksana disebabkan tidak adanya dana
dari pemerintah kota. Padahal dalam Keputusan Walikota Makassar Nomor:
551.05/869/Kep/IX/2012 tentang Pembentukan Kembali Forum Lalu Lintas Dan
Angkutan Jalan Tingkat Kota Makassar secara jelas menyatakan bahwa biaya
yang timbul sehubungan dengan pelaksanaan tugas dibebankan pada Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah Kota Makassar serta sumber dana lain yang sah
dan tidak mengikat. Artinya, biaya pelaksanaan pertemuan forum ini dapat juga
berasal dari dana lain selain dari pemerintah kota. Keterlibatan berbagai aktor
dalam FLLAJ jika dimanfaatkan dengan baik seharusnya bukanlah hal yang sulit
mengenai biaya penyelenggaraan rapat forum ini.
Selain kurangnya pembinaan, konflik supir pete-pete terkait adanya BRT
di Kota Makassar juga menyangkut adanya implementasi kebijakan pengurangan
jumlah angkutan pete-pete. Asumsi dasar pengurangan jumlah angkutan pete-pete
di Kota Makassar karena adanya sistem BRT yang telah berlaku. Sebagai salah
satu kota metropolitan di Indonesia, Kota Makassar sudah selayaknya
mengembangkan sistem transportasi umum. Uraian sebelumnya berdasarkan
pernyataan Informan HA bahwa kebijakan pengurangan jumlah angkutan pete-
pete telah dimulai oleh Dinas Perhubungan Kota Makassar sejak tahun 2007.
Kebijakan ini terus berlanjut hingga dibahas pada FLLAJ dan hasilnya
pengurangan ini penting dilakukan.
88
“…Penanggulang pete-pete itu pengurangan, yang keduaumurnya sudah tua, dan memang dari hasil studi itu kuranglebih yang ideal dikota Makassar jumlahnya 2.800 sekian,sekarangkan masih 4.000 an. Namun belum bisa berjalanmaksimal…” (Informan HA, 2 Februari 2016).
Penegasan Informan HA terkait bahwa upaya penanggulangan terhadap
permasalahan angkutan kota di Kota Makassar, yaitu pengurangan jumlah
angkutan pete-pete. Saat ini dengan jumlah 4113 unit, masih perlu dikurangi
hingga mencapai kurang lebih 2800 unit.
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Informan AB dalam diskusi
publik sektor transportasi yang diselenggarakan oleh Kementerian Perhubungan
bekerja sama dengan MTI Wilayah Sulawesi Selatan pada tanggal 10 Maret
2015. Informan AB menyatakan bahwa jika BRT ingin dihadirkan, angkutan pete-
pete sebanyak 4.113 di Kota Makassar harus dikurangi. Jika tidak, akan
menambah ruwet angkutan umum di Kota Makassar, mengingat untuk satu bus
bisa mengurangi paling tidak sepuluh unit kendaraan. Jadi kalau kita kalkulasi, 30
unit bus bisa mengurangi 300 kendaraan. BRT itu memiliki izin untuk beroperasi,
kenapa tidak mematikan angkutan yang memang betul-betul tidak mampu lagi
bersaing di kota itu? Jika semakin banyak BRT akan semakin banyak kendaraan
pribadi yang bisa dikurangi (Laporan Forum Diskusi Publik Sektor Transportasi,
2015).
Namun dalam implementasi pengurangan kebijakan angkutan pete-pete
tentunya terjadi permasalahan utamanya bagi Organda Makassar dan supir pete-
pete. Penerapan sistem BRT yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan Provinsi
89
Sulawesi Selatan di Kota Makassar ternyata bersinggungan dengan angkutan
pete-pete yang saat ini masih mendominasi di Kota Makassar.
“…Begini ketika ada program pemerintah itu yang maudilaksanakan di kota Makassar paling tidak disosialisasikanterhadap angkutan umum pete-pete kalau kehadiranya ituada di kota Makassar. Paling tidak pemerintah harusmencarikan solusi dulu. Seperti itu, jangan serta mertapemerintah kota mau mengadakan seperti begitu jelas kanada timbul masalah…” (Informan AB, 3 Februari 2016).
Pihak Organda Kota Makassar menyatakan kurangnya sosialisasi yang
dilakukan oleh pemerintah khususnya kepada supir pete-pete. Kehadiran sistem
BRT dengan melakukan pengurangan jumlah pete-pete tentu membuat resah bagi
supir pete-pete. Kondisi ini tentunya merupakan tanggung jawab Organda
Makassar untuk menjelaskan kepada supir pete-pete. Sementara pemerintah
belum memberikan solusi terhadap permasalahan ini. Selanjutnya Informan AB
juga menyatakan terkait adanya kebijakan sistem BRT belum dibahas di FLLAJ
Kota Makassar.
“…Harusnya itu kita duduk bersama kalaupun ini saja BRTharus masuk di makassar kita cari solusinya supaya tidakmacet, teman-teman bisa menerima dengan baik. Dalamartian kita bisa memberikan sosialisasi kemasyarakatkhususnya diangkutan kota kalau kita ikut di dalamnyaterlibat dalam forum. Sekarang ada dua halte yang menurutkami akan menimbulkan kemacetan-kemacetan luar biasayang pertama di pintu 2 hanya dua meter halte, itukanbelokkan ada dekat situ kemudian mobil ini kalau diaparkir menurut saya maka tinggal setengah meter dariujung belokkan. Kemudian halte yang kedua, di IKIP itujuga kurang lebih 2 meter dari belokan dari jalan mapalabelok kiri penempatan-penempatan seperti inilah kalaudiumbarkan diforum pasti tidak disitu…”(Informan AB, 3Februari 2016).
90
Lebih lanjut lagi Informan mengungkapkan tidak dilibatkan dalam forum
dibentuknya koridor dua:
“..Kalau dilibatkan dalam forum sudah pasti tidak jadi tapiinikan dalam provinsi. Waktu brt koridor dua saya palingbersikeras karena mau diambil lahan makannnya. Makassarmenujun kota metro. Mari kita berpikir dan kaji bersamasupaya semua enak. Mereka masing-masing dapat rezekimasing itu yang perlu dicari bukan untuk datangmematikan…” (Informan AB, 3 Februari 2016).
Informan AB menjelaskan secara panjang lebar bahwa seharusnya adanya
kebijakan sistem BRT harus menjadi pembahasan di FLLAJ Kota Makassar
walaupun kebijakan sistem BRT merupakan koridor tingkat provinsi.
Permasalahan yang timbul bagi supir pete-pete adalah persoalan adanya BRT
akan merugikan supir pete-pete dalam hal penghasilannya.
Persoalan ini juga dikemukakan oleh Informan HA selaku perwakilan dari
Dinas Perhubungan Kota Makassar dalam diskusi publik sektor transportasi
bahwa adanya BRT ini memang menjadi beban karena saat pembangunan tidak
ada komunikasi dengan Dinas Perhubungan Kota. Oleh karena itu, Dishub Kota
Makassar bersama Organda sempat terjadi penolakan pada saat peluncuran
pertama. Namun akan diterima jika memang itu operator berasal dari operator
yang bukan ditetapkan dari Dinas Perhubungan Provinsi. Harus ada sharing
antara operator yang ada ditambah dengan operator yang ada di Organda sehingga
tidak ada gejolak (Laporan Forum Diskusi Publik Sektor Transportasi, 2015).
Di sisi lain kehadiran sistem BRT di Kota Makassar ini membuat resah
bagi pemilik angkutan pete-pete dan supir pete-pete. Selain mempengaruhi tingkat
pendapatan bagi supir pete-pete, para pemilik angkutan pete-pete juga merasa
91
resah terkait adanya pengurangan jumlah kendaraan pete-pete. Apalagi
berkembang wacana bahwa pete-pete sekarang akan diganti dengan pete-pete
smart untuk mendukung visi Walikota Makassar menuju kota dunia.
“…Kan pemerintah, Suka tidak suka katakanlah kalau sajadirektur supirnya maka. Kan begini yang ada di Makassarini bukan berarti dia supir dia juga punya kendaraan kan.Saya punya kendaraan berarti ada sopirku, ketika digantiini, maka supirku bisa saja pindah berkerja di smart car,saya apa dong? Mobilku ini mau dikemanakan. kan begitu.!Belum jelas, kalau pemerintah itu bijaksana dalampersoalan ini paling tidak, pemilik kendaraan ini maupunsupirnya ini di carikan solusi. Kan Begitu. Kapanumpamanya supirku pindah saya tidak ada pemasukankatakanlah kalu saya hidup hanya dari situ saja ya…”(Informan AG, 16 Februari 2016).
Informan AG tidak hanya sebagai supir pete-pete tapi juga merupakan
pemilik angkutan pete-pete. Adanya wacana pete-pete smart dan kebijakan
pengurangan jumlah angkutan pete-pete membuat Informan AG resah terkait
penghasilan yang akan diperoleh ke depannya.
Informan AB selaku Ketua Organda Makassar juga telah melakukan
pembinaan kepada supir pete-pete dalam rangka menyelaraskan pete-pete yang
ada saat ini dengan program MTR (Makassar Tidak Rantasa) Walikota Makassar.
Tindakan tersebut tidak hanya dinilai sebagai upaya pembinaan, tapi juga dalam
rangka pengimplementasian kebijakan pembinaan angkutan kota yang dihasilkan
oleh FLLAJ.
“…Sekarang kami dari organda mencoba mencari solusibagaimana penataan angkutan di kota Makassar khusunyapete-pete. Artinya dengan Program Makassar TidakRantasa saya ikutkan bahwa angkutan-angkutan kota ikutaktif di dalamnya program Makassar Tidak Rantasa.Kemudian kami mencoba semua angkutan kota itumenyiapkan tempat sampah di atas pete-pete untuk
92
bagaimana penumpang di dalam tidak lagi membuangsampah dari dalam mobil karena sudah ada…” (InformanAB, 3 Februari 2016).
Tindakan Organda Kota Makassar ini merupakan upaya penyesuaian
dengan kebijakan-kebijakan Walikota Makassar terkait Program Makassar Tidak
Rantasa’ (MTR) dengan melakukan sosialisasi terhadap angkutan pete-pete agar
menyiapkan tempat sampah dimobilnya. Hanya saja dalam pelaksanaan
sosialisasi ini aktor lain tidak terlibat, padahal hal ini akan menimbulkan kesan
yang positif bagi angutan pete-pete jika seandainya berbagai aktor FLLAJ Kota
Makassar dilibatkan dalam sosialisasi ini.
Adanya kebijakan pengurangan jumlah pete-pete dalam pelaksanaannya
menjadi tanggung jawab Dinas Perhubungan Kota Makassar, namun dalam
pengimplementasian tentunya akan lebih baik jika aktor-aktor FLLAJ yang lain
dilibatkan. Pentingnya hal ini karena pengurangan tentunya tidak bisa langsung
dilakukan. Setidaknya dibutuhkan sosialisasi dan solusi bagi angkutan pete-pete
yang ada saat ini.
Permasalahan lainnya timbul akibat kebijakan dari Dinas Perhubungan
Provinsi yang telah mengoperasionalkan sistem BRT untuk kawasan
mamminasata di Kota Makassar tanpa melakukan koordinasi terlebih dahulu
dengan FLLAJ Kota Makassar. Akibatnya pembangunan halte BRT dan
pengoperasian BRT mall to mall bersinggungan dengan kerberadaan angkutan
pete-pete. Hal ini menimbulkan masalah bagi supir pete-pete terkait berkurangnya
pendapatan yang akan diperoleh. Selain itu, wacana pete-pete smart juga memicu
keresahan baik bagi supir pete-pete maupun bagi pemilik angkutan pete-pete.
93
Jadi kebijakan pengurangan angkutan pete-pete ini dalam penerapannya
menjadi masalah. Kurangnya koordinasi, dan juga kurangnya pelibatan berbagai
aktor serta tidak adanya sosialisasi dan solusi bagi angkutan pete-pete sekarang
ini meyebabkan kebijakan ini berjalan tidak efektif. Perilaku para aktor FLLAJ
terkait permasalahan tersebut kenyataannya berbeda-beda pandangan. Upaya
pertemuan yang telah dilakukan untuk menyatukan perbedaan tersebut tampaknya
belum bisa memberikan solusi bagi supir pete-pete yang ada saat ini.
Pertentangan yang lain dapat juga dilihat terkait implementasi kebijakan
mengatasi kemacetan melalui sistem BRT. Kondisi ini berdampak pada
kecenderungan bahwa angkutan pete-pete adalah biang keladi dari kemacetan di
Kota Makassar.
Upaya mengatasi kemacetan di Kota Makassar merupakan pembahasan
yang paling mencolok dari semua rapat FLLAJ Kota Makassar. Terdapat dua
kebijakan yang dihasilkan sebagaimana yang telah dijelaskan terlebih dahulu
dalam bentuk peraturan walikota. Namun dua kebijakan yang lahir ini secara
langsung tidak berhubungan dengan angkutan pete-pete yang ada di Kota
Makassar.
Sebagaimana prosedur pelaksanaan rapat FLLAJ Kota Makassar, hasil
rapat akan diserahkan pelaksanaannya sesuai aktor yang berkompeten. Namun
secara umum, semua aktor hendaknya memberikan dukungan terhadap kebijakan
yang dilahirkan. Para aktor yang terlibat dalam FLLAJ masing-masing memiliki
kemampuan yang jika dimanfaatkan dengan baik, maka akan memudahkan
pelaksanaan suatu kebijakan.
94
“…Memang persoalan kemacetan itu salah satupembahasan khusus di forum ini. Beberapa tahun terakhirini kami berupaya mengatasi persoalan ini…Angkutanpete-pete di Makassar memang masih mendominasi saat iniditambah kondisi jalan yang seharusnya sudahdikembangkan tapi ke depannya pasti lebih baik lagidengan adanya angkutan BRT. Masyarakat membutuhkanangkutan umum yang memadai dan pelayanannya baguskarena persoalan kemacetan sebenarnya diakibatkanmelonjaknya kendaraan pribadi…kondisi saat ini sulituntuk menyalahkan kemacetan yang disebabkan oleh pete-pete, dibutuhkan koordinasi yang baik utamanya denganpihak Organda dan Dinas Perhubungan…penguranganjumlah angkutan pete-pete yang ada saat ini tentunyamerupakan solusi mengingat hadirnya BRT…” (InformanDS, 4 Februari 2016).
Pandangan Informan DS ini sejalan dengan data yang disajikan oleh Salim
(2014) bahwa penyebab dari kemacetan di Kota Makassar disebabkan oleh
pertumbuhan kendaraan bermotor semakin tahun semakin meningkat dan telah
berkembang begitu pesat. Data dari Dinas Perhubungan Kota Makassar
(2014), pertumbuhan kendaraan dalam kurung waktu 5 tahun terakhir
mencapai 22 % pertahun, sementara perbaikan dan peningkatan infrastruktur
terutama sarana jalan tidak sebanding dengan pertumbuhan prasarana dan
sarana transportasi, sehingga akibat yang dirasakan sekarang terutama jam
sibuk pagi, siang dan malam sering terjadi gangguan arus lalu lintas
dibeberapa ruas jalan Kota Makassar.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mukhlis (2014), dalam upaya
mengatasi kemacetan di Kota Makassar ini, pemda setempat mengeluarkan
beberapa regulasi yaitu pelebaran jalan untuk beberapa jalan protokol, regulasi
pengaturan wilayah operasional bentor, dan regulasi pelarangan parkir pada bahu
jalan. Ketiga regulasi ini dikeluarkan dengan tujuan untuk mengurai kemacetan
95
kota. Dari ketiga kebijakan tersebut, kebijakan tentang regulasi pengaturan
wilayah operasional bentor merupakan kebijakan dengan tingkat implementasi
yang paling baik. Sedangkan jika berbicara mengenai kebijakan yang memiliki
pengaruh dalam mengatasi kemacetan, maka kebijakan yang paling berpengaruh
adalah kebijakan pelebaran jalan. Pelebaran jalan secara efektif mampu
mengurangi panjang antrian kendaraan dan menaikkan rata-rata kecepatan
kendaraan. Namun demikian, hingga saat ini kemacetan masih saja terjadi.
Penyebab tidak tercapainya tingkat keberhasilan implementasi yang baik
ternyata dipengaruhi oleh lima faktor. Faktor-faktor tersebut adalah kurangnya
koordinasi antar lembaga, jumlah staf atau personel yang belum memadai,
minimnya pendanaan dan peralatan, rendahnya kesadaran masyarakat, dan yang
terakhir adalah kemudahan akses kepemilikan kendaraan pribadi (Mukhlis, 2014).
Faktor kurangnya koordinasi antar lembaga tampaknya juga masih terjadi
di FLLAJ ini. Tidak dilakukannya pertemuan forum tahun 2014 dan kurangnya
komunikasi terkait adanya kebijakan sistem BRT menyebabkan mekanise forum
berjalan kurang efektif. Tidak dimasukkannya pembahasan kebijakan sistem BRT
dalam FLLAJ justru menimbulkan kegelisahan bagi para supir pete-pete. Di sisi
lain, Mukhlis (2014) juga menguraikan bahwa melonjaknya jumlah kendaraan
pribadi merupakan penyebab khusus kemacetan lalu lintas di Kota Makassar.
Dengan demikian, kebijakan pelebaran jalan tentunya tidak akan bisa mengatasi
kemacetan sementara pengguna kendaraan pribadi juga semakin meningkat.
Kondisi ini mengantarkan para pengambil kebijakan bahwa solusi yang
tepat dalam mengatasi kemacetan yaitu dengan menghadirkan angkutan kota yang
96
lebih baik sehingga masyarakat dapat menggunakan angkutan tersebut tanpa
selalu memakai kendaraan pribadinya. Dampak lain yang juga ditimbulkan dari
kebijakan seperti ini adalah penghematan energi, khususnya pemakaian BBM
dapat ditekan.
“…Kuncinya adanya BRT ini sesuai dengan keinginan PakWali. Apalagi kalau dilihat pak wali, dia ingin salah satukota nyaman kelas dunia dia punya visi misi ada juga poinke 4 bangun sistim transportasi kelas dunia, apa yangdimaksud dengan kelas dunia ? efektif dan efisien. Adaprogramnya juga kementerian yang visinya perhubungan.Jadi, ini juga kalau transportasi publik kita efektif danefisien tentu masyarakat terutama pengguna kendaraanpribadi diharapkan beralih. Inikan sangat efektif mengatasikemacetan, pemerintah juga nda terlalu banyakpengeluaran BBM nya…” (Informan IL, 19 Februari 2016).
Walau sistem BRT belum dibahas di FLLAJ, namun berbagai aktor yang
bergerak di bidang lalu lintas dan angkutan jalan ikut aktif dalam membahas
sistem BRT ini. Hanya saja pembahasannya berada di forum lain bukan di
FLLAJ. Informan AB yang mewakili Organda Kota Makassar begitu aktif dalam
mengikuti perkembangan penerapan sistem BRT.
“…Nah salah satu tugas permasalahan yang ada dikotaMakassar soal kemacetan dan lain sebaginya ini salah satu,surat kesalahpahaman bersama tentang pengoperasiankendaraan BRT koridor 2. Koridor 2 mol to mol, yang 1 iniada yang dari Dirjen. uji coba pengoperasian BRT koridor2 disepakati pada tanggal dijalankan 29 januari 2012 tapitidak jadi dia masuk tabnggal 28 february 2012 satu bulantertunda karena takut. 2 menaikan dan menurunkanpenumpang di halte pulang, hanya satu halte dipulang,kemudaian yang ke 3 pelanggaran pada poin ke 2 akandikenakan sanksi yang beralku…” Informan AB, 3 Februari2016).
97
lebih lanjut lagi Informan menambahkan kesepakatan mengenai sanksi di
tempat:
“… Jadi kalu dia berhenti tidak ditempat itu tadi dikenakansanksi, kemudian yang ke 4 sanksinya dimana disini bukanpolisi yang berikan sanksi tapi supir pete-pete, Kesepakatanitu. Kemudian yang ke 5 pengawaasan atau evaluasi ujicoba koridor 2 dilaksanakan secara bersama-sama antaradinas perhubungan kota makassar, serta organda. iayakanbegitu. Terntyata setelah kita evalusi itukan merugikan luarbiasa…” Informan AB, 3 Februari 2016).
Lebih lanjut lagi Informan mengungkapkan perencanaan pemerintah
mengenai 11 koridor yang sedang berjalan di provinsi:
“…Ada 11 koridor yang direncanakan pemerintah provinsi,salah satu proyek itukan sedang berjalan, untuk kelanjutanpentahapannya 10 koridor berikutnya disepakatiberdasarkan musyawarah bersama antara organda kotamakasar dengan kabupaten Maros, kabupaten gowa, dankabupaten takalar, dengan dinas perhubungan provinsisulsel dan dinas perhubungan kabupaten kota kawasanmaminasata. Kawasan maminasata itu maros, Makassar,gowa, dan takalar sama dengan dinas perhubunganmaminasata itu…” Informan AB, 3 Februari 2016).
Permasalahan lain juga yang diungkapkan oleh Informan mengenai
permasalahan penanganan terminal bayangan yang mengenai penertiban plat
hitam dan taksi liar:
Kemudian 7, penanganan terminal bayangan serta masalahplat hitam penertiban AKBP AKAP serta taksi liardisepakati menjadi agenda perioritas dan menjadipersaratan pentahapan BRT pada koridor selanjutnya, yangsaya makasud tadi. Uji coba BRT koridor 2 menjadi ajangkebersamaan dan kekeluargaan, ini ada kepala dinassekarang ini dan yang juga menambah tanpa itu tadi…”(Informan AB, 3 Februari 2016).
Penjelasan Informan AB tersebut terkait Surat Kesepahaman Bersama
Tentang Pengoperasian Kendaraan BRT Koridor 2 yang tepatnya berada di Kota
98
Makassar. Organda Kota Makassar bersama-sama dengan Organda Maros, Gowa
dan Takalar (DPC Organda Mamminasata) dan perusahaan angkutan pete-pete
telah menandatangani surat kesepahaman bersama ini bersama Kadis Dinas
Perhubungan Provinsi Sulawesi Selatan dan Kadis Dinas Perhubungan Kota
Makassar yang disaksikan oleh perwakilan dari Kementrian Perhubungan. Hal ini
dilakukan karena pihak Organda merasa keberadaan beberapa halte BRT di
beberapa titik khususnya yang ada di Kota Makassar serta jalur yang dilaluinya
berhimpitan dengan jalur pete-pete dan akan sangat merugikan pengusaha pete-
pete dan supir pete-pete. Adapun isi dari kesepakatan bersama tersebut, yaitu:
a. Uji coba pengoperasian BRT Koridor 2 disepakati dijalankan mulai
tanggal 29 Januari 2014
b. Menaikkan dan menurunkan penumpang di depan Mall dan halte BRT
(Pualam)
c. Pelanggaran pada poin 2 akan dikenakan sanksi sesuai aturan yang
berlaku.
d. Pengawasan/evaluasi uji coba koridor 2 dilaksanakan secara bersama-
sama antara Dinas Perhubungan Kominfo Provinsi Sulawesi Selatan
dan Dinas Perhubungan Kominfo Kota Makassar serta Organda.
e. Implementasi dan pentahapan pengembangan BRT 10 koridor lainnya
disepakati berdasarkan musyawarah bersama antara Organda Kota
Makassar, Kabupaten Maros, Kabupaten Gowa dan Kabupaten Takalar
dengan Dinas Perhubungan Provinsi Sul-Sel dan Dinas Perhubungan
Kab/Kota di Kawasan Mammimasata.
99
f. Penanganan terminal bayangan serta masalah Plat Hitam, Penertiban
AKDP dan AKAP serta taksi liar disepakati menjadi agenda prioritas
dan menjadi persyaratan pentahapan BRT pada koridor selanjutnya.
g. Uji coba BRT Koridor 2 menjadi ajang kebersamaan dan penciptaan
suasana saling mendukung dan kekeluargaan.
Surat kesepahaman bersama ini merupakan inisiatif dari Organda dan
pengusaha pete-pete serta supir pete-pete. Inisiatif ini dianggap penting mengingat
adanya kebijakan sistem BRT tanpa melibatkan Organda akan berdampak pada
kemacetan yang lebih parah utamanya di Kota Makassar. Analisis Organda
menganggap jalur BRT dan posisi beberapa halte BRT yang dibangun di Kota
Makassar akan semakin membuat macet Kota Makassar. Dampak lainnya
menimbulkan keresahan bagi supir pete-pete yang nantinya bisa saja memicu
terjadinya demonstrasi karena jalur BRT ini berhimpitan dengan jalur pete-pete
sehingga akan merugikan supir pete-pete.
Sampai awal tahun 2015, pihak Organda masih belum juga dilibatkan
dalam implementasi kebijakan sistem BRT ini. Tampaknya pihak pemerintah
belum juga menanggapi surat kesepahaman bersama tersebut. Pada tanggal 3
Maret 2015 dilakukanlah Forum Diskusi Sektor Transportasi. Berbagai pihak
dilibatkan dalam forum diskusi ini termasuk Organda dan kalangan pelajar.
Organda Kota Makassar, Informan AB menyampaikan permasalahan
implementasi sistem BRT di Kota Makassar ini. Organda tidak menolak adanya
sistem BRT ini, namun sebaiknya dilakukan pengurangan jumlah pete-pete
terlebih dahulu. Untuk itu, permasalahan ini seharusnya dibicarakan baik-baik.
100
Pada umumnya peserta forum menyepakati bahwa pete-pete haruslah dijadikan
pengumpan (feeder) bagi BRT, sementara di sisi lain jalur khusus untuk BRT
harusnya dibuatkan tersendiri karena akan terus menimbulkan permasalahan
dengan pihak Organda.
Penulis menganalisis bahwa perilaku Organda ini sekaligus juga
menanggapi banyaknya tudingan bagi supir pete-pete sebagai biang keladi dari
kemacetan di Kota Makassar. Walaupun supir pete-pete juga tidak memungkiri
adanya perilaku ini, namun seharusnya ada pembinaan dari pemerintah, bukan
hanya untuk supir pete-pete namun semua kalangan pengguna jalan raya di Kota
Makassar.
“…Kadang-kadang pete-pete selalu disalahkan, selaludibilangi penyebab macet. Padahal kan banyak yanggunakan jalan raya. Penumpang juga harusnya diberipembinaan, kita ini ambil penumpang dimana penumpangtahan pete-pete, kalo tidak nda adami penghasilanta. Biasaada penumpang di jalan yang padat kendaraan, maumidiapa terpaksa diambil dari pada tidak dapatkiuang…”(informan RU, 08 Februari 2016).
Lebih lanjut lagi informan mengunkapkan kehadiran BRT dapat menambahkemacetan dan dapat mengurangi pendapatan
“… Kan begitu…saya juga mendengar kalo ada bus mauberoperasi, beberapa kan sudah beroperasi. Nah tambahmacetlah karena tidak ada jalurnya sendiri, pete-pete jugamau dikurangi tapi kami mau ada solusilah bagi para supirpete-pete, jangan pemerintah semau-maunya ambilkebijakan, kita tidak diperhatikan…” (Informan RU, 08Februari 2016).
Informan RU selaku supir pete-pete menyampaikan seharusnya ada
pembinaan yang berkelanjutan bagi pengguna jalan. Terkait adanya kebijakan
sistem BRT, Informan RU juga mengharapkan pemerintah memberikan solusi
101
bagi pete-pete terkait adanya kebijakan pengurangan angkutan pete-pete. Tahun
2011, Serikat Supir Makassar juga pernah menyarankan kepada Direktorat Lalu
Lintas Polda Sulselbar agar memberikan sosialisasi yang berimbang kepada para
penumpang angkutan umum (pete-pete). Masalahnya supir pete-pete kerap
dituduh sebagai penyebab kemacetan dan kesemrawutan kota sementara kadang
penumpang juga tidak paham aturan lalu lintas. Mereka kadang menunggu pete-
pete di tempat yang seharusnya tidak boleh menunggu agkutan
(TribunTimur.com, 6 Desember 2011).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Mahsyar (2014) bahwa kemacetan
lalu lintas di jalan raya dapat disebabkan oleh berbagai faktor maupun
sumber penyebab terjadinya kemacetan, hasil identifikasi penyebab kermacetan
lalu lintas di Kota Makassar tidak terlepas dari ketersediaan infrastruktur lalu
lintas yang ada atau dengan kata lain kemacetan yang terjadi sebagai akibat
daripada kurangnya koordinasi yang dilakukan oleh instansi pemerintah dalam
menanggulangi kemacetan lalu lintas. Terdapat beberapa faktor penyebab
kemacetan lalu lintas jalan yaitu, faktor human error, rendahnya penegakan
hukum, pembiaran pemanfaatan sarana dan prasarana jalan, ketidakpedulian dan
kurangnya sumber daya aparat pelaksana.
Beberapa bentuk kesalahan manusia (human error) berdasarkan penelitian
Mahsyar (2014) yang menyebabkan terjadi kemacetan/pelambatan atau
tersendatnya arus lalu lintas yaitu seperti perilaku pengemudi kendaraan
khususnya kendaraan bermotor yang kurang atau tidak mentaati rambu- rambu
lalu lintas, keadaan seperti itu dapat dilihat pada pengemudi kendaraan baik mobil
102
maupun sepeda motor yang seenaknya menerobos traffic light pada saat lampu
merah menyala, tidak menghentikan kendaraan pada posisi yang tepat di jalan
raya pada saat lampu merah menyala, pengemudi menggunakan mobile phone
(hp) diatas kendaraan, kendaraan yang melawan arus banyak dilakukan oleh
pengguna sepeda motor, memarkir kendaraan pada ruas jalan yang bukan
peruntukan sebagai tempat parkir kendaraan terutama kendaraan roda empat atau
lebih, dan perilaku tidak sabaran ketika berada dipersimpangan, pertigaan, atau
pembelokan. Penyebab kemacetan atau pelambatan arus lalu lintas lainnya adalah
pejalan kaki yang menyeberang tidak pada tempatnya atau pejalan kaki di badan
jalan, dan angkutan kota (pete-pete) yang menaik turunkan penumpang bahkan
menunggu penumpang (ngetem) tidak pada jalur yang tepat (meminggirkan
kendaraan).
Bentuk human error lainnya yang menyebabkan kemacetan lalu lintas
yang sifatnya merupakan kesengajaan oleh orang atau lembaga tertentu adalah
memanfaatkan sebagian atau seluruh ruas jalan untuk berbagai aktivitas, seperti
penggunaan sebagian badan jalan atau penunjang jalan untuk aktivitas ekonomi
sebagai tempat berjualan hal ini tidak hanya dilakukan oleh pedagang kaki lima,
tetapi banyak pemilik toko besar yang menggunakan lahan atau rolling didepan
tokonya sebagai aktivitas bisnis yang sebenarnya melanggar peruntukannya.
Aktivitas warga lainnya yang membuat kemacetan adalah menutup jalan untuk
kepentingan hajatan misalnya acara pernikahan dan adanya pos permintaan
sumbangan dijalan dan yang paling membuat kesal warga masyarakat adalah
kemacetan yang disebabkan oleh penutupan separuh atau seluruh badan jalan oleh
103
oknum atau kelompok yang melakukan demonstrasi, keadaan seperti ini dapat
dilihat pada jalur jalan utama terutama pada ruas jalan yang ada bangunan
perguruan tinggi (Mahsyar, 2014).
Penelitian yang dilakukan Mahsyar (2014) menyangkut koordinasi antar
lembaga dalam mengatasi kemacetan di Kota Makassar. Berdasarkan hasil
penelitiannya telah mengungkapkan secara jelas penyebab kemacetan sehingga
supir pete-pete dalam hal ini tidak selalu dapat dikatakan sebagai biang keladi dari
kemacetan yang terjadi selama ini. Hal ini juga sesuai yang disampaikan oleh
Informan DS.
“…Seperti yang saya katakan sebelumnya, jadi masyarakatpengguna jalan secara umum turut andil dalammenyebabkan kemacetan, bukan hanya angkutan pete-pete.Perilaku pengemudi kendaraan roda dua juga banyak yangmelakukan pelanggaran…jadi, adanya forum inidiharapkan mampu menyelesaikan persoalan ini, hanyasampai saat ini belum terjalin koordinasi dengan baik.Lagipula forum ini hanya sebatas membahas permasalahanlalu lintas, keputusannya berada di tangan dinasperhubungan atau walikota…”(Informan DS, 4 Februari2016).
Lebih lanjut Informan menambahkan mengenai permasalahan lalu lintas
kepolisian:
“…Pihak-pihak lain belum dimanfaatkan dengan baik.Jadi, saya kira semua butuh proses, kan tidak bisa jugakalau langsung bagus, tentu ada prosesnya. Kami darikepolisian dan pihak-pihak lain selalu belajar darikesalahan. Kedepannya tentu akan lebih baik lagi…iya,tahun 2014 kemarin forum ini tidak jalan, saya juga kurangtahu permasalahannya…” (Informan DS, 4 Februari 2016).
Secara umum Informan DS juga mengakui kurangnya koordinasi antar
lembaga dalam menyelesaikan permasalahan lalu lintas di Kota Makassar saat ini,
104
namun Informan DS yakin kalau FLLAJ ini merupakan wadah yang bagus untuk
menjalin koordinasi dengan baik terkait masalah lalu lintas. Hal serupa juga
diuraikan oleh Mahsyar (2014), FLLAJ merupakan wadah yang tepat dan
menghubungkan berbagai lembaga dalam menyelesaikan persoalan kemacetan di
Kota Makassar, namun kedudukan forum ini sebagai wadah koordinasi terlihat
belum mengakomodir semua stakeholder yang terlibat di Kota Makassar,
misalnya saja Perusahaan Daerah Parkir Makassar Raya belum dimasukkan
sebagai anggota dalam forum. Padahal sebagaimana diketahui berbagai kebijakan-
kebijakan yang dibuat oleh PD Parkir ini seperti dalam menempatkan titik parkir
yang ada di bahu jalan berpotensi mengakibatkan perlambatan atau kemacetan
arus lalu lintas.
Pemaparan yang telah penulis paparkan sejauh ini telah menunjukkan
bahwa salah satu implikasi sosial dari penerapan sistem BRT di Kota Makassar
adalah adanya konflik dengan supir pete-pete yang saat ini masih mendominasi di
Kota Makassar. Hasil wawancara penulis kepada beberapa supir pete-pete
menunjukkan ketidaksetujuan dengan diterapkan angkutan BRT. Selain beberapa
alasan yang telah ditunjukkan oleh penulis, alasan lain dapat dilihat sebagaimana
yang diungkapkan oleh Informan SU, Informan NU dan Informan SD bahwa
beroperasinya angkutan kota jenis BRT berdampak secara langsung terhadap
penghasilan supir pete-pete. Pengamatan penulis menyimpulkan bahwa ada
semacam ketakutan dari para supir pete-pete bahwa kedepannya ada banyak supir
yang menjadi pengangguran.
105
Pemerintah Kota Makassar melalui FLLAJ dapat lebih memprioritaskan
untuk mengatasi kecemasan para supir pete-pete. Dibutuhkan sosialisasi yang
efektif dan terorganisir dengan baik sehingga potensi konflik dapat diredam. Hal
ini secara langsung diungkapkan oleh Informan SY.
“…Perlu sekali mengubah pola pikir masyarakat untukmenjadikan BRT sebagai kendaraan yang bisa menggantikanpete-pete, sedangkan kebersinggunnanya dengan supir pete-pete saya kira banyak solusi misalnya supaya tidak terjadigesekan dengan BRT…” Informan SY, 17 Februari 2016).
Solusi lain yang di ungkapkan Informan mengenai pemberdayaan sopirpete-pete terhadap pemerintah:
“…Pemerintah seharusnya memberdayakan kehawatiran yangbakalan muncul adalah kehilangan pekerjaan para supir pete-pete misalkan bisa dikrekrut beberapa supir pete-pete untukdijadikan tenaga apotik ever di BRT seperti di Jakarta justrudia melakukan prekrutan itu jadi supir-supir angkot di audisiuntuk dijadikan sebagai sopir BRT misalkan supir pete-peteyang bekerja selama 20 tahun yang bisa di krekrut sedangkanyang masih baru-baru mungkin memiliki keahlian lain selainmenjadi supir pete-pete…” Informan SY, 17 Februari 2016).
Lebih lanjut lagi solusi lain Informan mengungkapkan mengenai
permasalahan sopir pete-pete terhadap BRT menjadi job drive:
“…Solusi yang lain kompensasi yang lain yang tidak menjadijob drever BRT itu dikasi apa begitu karena berhubungandengan pola pemerintah ketika melakukan pemotongan diatidak punya solusi untuk mengganti apa yang bisa dilakukansetelah pemotongan atau pengambilan lahan pekerjaan orang-orang nah itu yang dipikirkan matang-matang olehpemerintah…” (Informan SY, 17 Februari 2016).
Informan SY justru menekankan upaya pemerintah sedini mungkin agar
penerapan BRT tidak terjadi pergesekan dengan supir pete-pete, antara lain
melakukan audisi terhadap supir pete-pete untuk menjadi supir BRT, memberikan
pekerjaan bagi yang masih berusia muda, atau memberikan semacam kompensasi.
106
Hal ini penting agar tidak terjadi pergesekan dan BRT lebih bisa diterima dan
digunakan oleh masyarakat. penerimaan BRT oleh masyarakat menandakan
keberhasilan sosialisasi BRT yang pada gilirannya akan memobilisasi penduduk
Kota Makassar untuk menggunakan BRT. Hal ini sesuai dengan yang
diungkapkan oleh Informan SY.
“…Bisa, dengan catatan perluh diperhatikan bahwa adabeberapa hal yang menjadi jalur bagi masyarakat, masyarakatyang saya maksud adalah berbagai kategori sosial bukan cumakategori kelas menengah atas karena yang saya lihat stasiunterminal BRT di tempatkan di jalan utama tapi perlu juga diperhatikan masyarakat yang sehari-harinya itu yang cuma dipasar teradisional apakah dilewati atau tidak, apakah terlalu jauhketika turun dari BRT, apakah tidak terlalu jauh berjalan kakidari BRT ke tempat tujuan mereka. Makanya perlu ditanyakanpada pemerintah bahwa ini BRT tujuannya kepada siapa apakahhanya untuk kelas menengah keatas saja…”(Informan SY,17Februari 2016).
Lebih lanjut lagi Informan SY menambahkan fokus program BRT yang
direncanakan pemerintah harus memperhatikan pola fikir masyarakat. Berikut
pernyataan Informan SY yang bersifat solutif.
“…Dalam kajian teman-teman ada beberapa hal yang mestimenjadi fokus pemerintah dalam menuntaskan program BRT,selesaikanlah hal-hal yang belum penti ng dilakukan, misalkanmemperhatikan pola pikir masyarakat, memperhatikan kategorisosial yang terjadi di masyarakat, serta sarana dan prasaranayang bakalan mendukung jalur mobilisasi dari BRT ini kalauyang lain misalnya tidak bisakah di kasi lebih murah lagi,maksudnya untuk membuat penarik pengguna BRT saya kirapenting untuk pertimbangan harga…” (Informan SY, 17Februari 2016).
Pemaparan Informan SY tersebut menakankan keberadaan BRT
hendaknya menjangkau kelas menengah ke bawah bukan hanya kelas menengah
ke atas. Keberadaan shalter-shalter BRT yang hanya di beberapa titik tertentu
menunjukkan BRT seolah-olah disiapkan hanya golongan tertentu dikalangan
107
masyarakat. Jadi, pemerintah ataupun FLLAJ diharapkan lebih mampu lagi dalam
mengubah pola pikir masyarakat agar tidak hanya menerima keberadaan BRT
saja, tapi juga mau menggunakan angkutan kota ini yang masih terbilang baru di
Kota Makassar. Informan SY juga menambahkan pentingnya persoalan harga
menjadi pertimbangan pemerintah Kota Makassar dalam memikat hati masyarakat
khususnya kalangan menengah ke bawah sehingga mau menggunakan transportasi
BRT.
5. Interpretasi Hasil Penelitian
Berdasakan hasil penelitian yang telah penulis uraikan sebelumnya, maka
penulis akan menyajikan hasil interpretasi dari hasil wawancara dalam penelitian
ini. Untuk lebih jelasnya, dapat diperhatikan pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4 Interpretasi Hasil Wawancara Penelitian
No Informan Interview Interpretasi Teori
1 HA
“…Secara garis besarperubahan angkutan kota dimulai awal tahun 2007 kitamelakukan penguranganangkot 4.550 kemudianberkurang lagi menjadi4.113. itu dimaksudkankarna masukmi BRT.Namun ada masalah lagidengan adanya bentor yangbanyak menyerap angkutanpenumpang sehingggakinerja dari angkutan kotajadi berkurang. bisa dilihatdari 2 faktor, yaitu rata-ratayang ada sekarang ini itutidak sampai 60% bahkanrata-rata cenderung ke arah40-50% artinya bahwamasih harus ada 50%
Sejak tahun 2007, pihak DinasPerhubungan Kota Makassartelah melakukan sosialisasikebijakan mengenai tidakdiperbolehkannya peremajaanangkutan pete-pete, namunhasilnya tidak signifikan.Kebijakan ini disosialisasikanberhubung adanya sistem BRTyang akan diberlakukan diKota Makassar.
TeoriSosialisasi
108
angkutan kota yang harusdikurangi baik kalau diatas70%, begitu”.
2 AB
“…Susah ini di Makassar,melaksanakan kepentinganpublik tapi masing-masingmementingkan diri sendiri.Beda sama di Jawa,tranportasi publiknya bisamaju karena mereka betul-betul profesional…forumlalu lintas hanya sekedardiundang saja, sekedarmenghadiri rapatnya sajasetelah itu pelaksanaanyakurang”
Ketidakefektifan FLLAJkarena anggota forum inihanya sekedar di undangmelakukan pembahasanangkutan kota, sementaratindak lanjutnya sangatminim
TeoriKonflik
3 IL
“…Sekarang berkaitandengan pete-petesebenarnya maudihilangkan, kita taulahbagaimana polanya supir,supir pete-petekan tidak…apa bedanya dengan tukangbecak, dia mau berhenti diakejar Rp 2.000, dia hampirbunuh orangdibelakangnya.. Denganadanya ini sistem BRT ,pemerintah buat dari mol kemol, kampus ke kampussupaya nda ribut kalau kauambil jalurnya dimana diamau makan...”.
supir pete-pete memilikiperilaku yang agresif dalammengemudi, serta penegasanpentingnya keberadaan BRTdi Kota Makassar.
TeoriKonflik
4 DS
“Masyarakat Makassar pastimenginginkan transportasimassal yang nyaman danaman. Nyaman dalam artiantidak macet. Sementarakondisi di Kota Makassarkan didominasi oleh pete-pete yang jumlahnya lebihdari 4000 unit. PenerapanBRT kan merupakan salahsatu solusi, tapi dibutuhkansosialisasi untuk membuatmasyarakat menerimanya.
Masyarakat Makassarmembutuhkan transportasikota yang aman dan nyaman,dibutuhkan sosialisasi yanglebih massif lagi.
TeoriSosialisasi
5 SY “…Tidak semua masyarakat
109
yang mengetahui terkaitBRT, tapi kalau bahasabusway lebih ditau, hanyamasyarakat tertentu kalaumau dipersentasikan sayakira belum cukup 50%. Sayakira publikasinya jugabelum begitu semarakmisalnya dimedia elektronikgojek justru yang semarakmenurut saya…”
Penerimaan masyarakat KotaMakassar terhadap BRTsebagai simbol transportasiyang masih minim karenakurangnya sosialisasi
TeoriInteraksionisme Simbolik.
6 AG
“Begini, yang ada diMakassar ini bukan berartidia supir dia juga punyakendaraan. Saya punyakendaraan berarti adasopirku, ketika diganti ini,maka supirku bisa sajapindah berkerja di smartcar, saya apa dong?Mobilku ini maudikemanakan. kan begitu.!Belum jelas, kalaupemerintah itu bijaksanadalam persoalan ini palingtidak, pemilik kendaraan inimaupun supirnya ini dicarikan solusi”
Informan AG tidak hanyasebagai supir pete-pete tapijuga merupakan pemilikangkutan pete-pete. Adanyawacana pete-pete smart dankebijakan pengurangan jumlahangkutan pete-pete membuatInforman AG resah terkaitpenghasilan yang akandiperoleh ke depannya.
TeoriKonflik
7 RU
“…Sudah puluhan tahunSaya jadi supir pete-pete diMakassar. Kalau adapembinaan mungkin sayasudah lupa, paling adapembinaan-pembinaansifatnya tidak formal,sifatnya orang per orang,tapi kalau secara formaltidak pernah ada…”.
Pengakuan Informan RUbahwa selama puluhan tahunmenjadi supir pete-pete,tidak ada satu pun bentukpembinaan yang dilakukanoleh pemerintah.
TeoriKonflik
8 SI
“…BRT itu bagus, murah,keamanan terjamin, adajuga AC, tapi sosialisasinyabelum baik sehingga masihbanyak yang menggunakanangkutan angkot. BRT inimurah kalau satu kali jalan5000, angkot jauh dekattersendiri. Saranku
Kurangnya sosialisasi dansedikitnya shalter membuatmasyarakat jarangmenggunakan angkutan kotaBRT
TeoriSosialisasi
110
Pemerintah seharusnyamemperbanyak halte biarsemua masyarakat bisamenggunaka BRT…”
9 DA
“Awalnya saya mendengarBRT, saya berfikir wahbagus ini kayak di Jawa.terbayang kenyamanan kalomenggunakan transportasiini. Beberapa kali saya naikBRT, beberapa hal masihperlu diperbaiki seperti tidakadapi jalur khususnya kayakdi Jakarta. Mungkin tidakadapi dananya pemerintahKota…”
Belum adanya jalur khususBRT merupakanpermasalahan yang harusdiselesaikan bersama olehpemerintah sehingga BRTbisa lebih nyaman digunakan
10 AC
“…Saya beberapa kali kalauke luar kota kayak diJakarta, Bandung atauSurabaya itu penerapanBRT-nya cukup baguskarena Shalter-nya bagus,ada jalur sendirinya. Tidakkayak di sini, pemerintahcuma mensosialisasikanBRT dengan tulisan solusimengatasi kemacetan. kayaktong berkurang itukemacetan di KotaMakassar semenjak ada ituBRT. Awalnya, sebelum adaitu BRT, pemerintah bikinitu dijalanan jalur warnamerah, katanya itu untukjalur BRT. Mana ada jalurBRT seperti itu. Sekarangliatmi, tidak adaji gunanya,jadi itu kan namanya buang-buang uang saja. Menurutkusaya siapkan dulu denganmatang jalurnya sembarisosialisasikan dulu denganbaik…”
Banyaknya kekurangan yangbelum dilengkapi dalamsistem BRT di KotaMakassar, membuat salahsatu alat transportsi ini tidakmengatasi permasalahanseperti kemacetan di KotaMakassar.
TeoriInteraksiSimbolik
111
B. Pembahasan
1. Penerimaan Masyarakat Terhadap Keberadaan BRT di Kota
Makassar
Keberadaan angkutan Bus Rapid Transit di Kota Makassar berdampak
terhadap partisipatif masyarakat dalam menggunakan jasa transportasi tersebut.
Oleh karena itu, sosialisasi memegang peranan penting dalam mengarahkan
perhatian masyarakat agar dapat memahami tujuan diterapkannya angkutan BRT..
Dengan sosialisasi inilah, proses mempelajari dan menanamkan suatu nilai dan
norma baru itu dipahami oleh masyarakat Kota Makassar.
Kehadiran BRT ini harus diamati juga dari aspek kecenderungan
masyarakat dalam memahami nilai dari adanya angkutan kota ini, perspektif
masyarakat sangat didasari akan nilai guna bagi kalangan umum yang bisa saja
berbeda-beda. Oleh karena itu, penulis menggunakan teori interaksionisme
simbolik dalam mengungkap dan menganalisis penerimaan masyarakat terhadap
keberadaan Bus Rapid Transit (BRT) Kota Makassar. Interaksionisme simbolik
berfokus pada cara dimana makna muncul melalaui interaksi. Fokus utamanya
adalah untuk menganalisis makna dari kehidupan sehari-hari dapat terbentuk.
Melalui kerja pengamatan secara dekat dan akrab, penulis hendak
mendeskripsikan proses penerimaan masyarakat terhadap BRT sebagai sebuah
simbol dalam rangka mengurangi kemacetan di Kota Makassar.
Hasil penelitian mengindikasikan masih kurangnya sosialisasi BRT yang
dilakukan oleh pemerintah. Forum Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (FLLAJ) Kota
112
Makassar sebagai wadah sosialisasi BRT juga masih memiliki peranan yang
minim. Kondisi ini disebabkan FLLAJ yang merupakan kumpulan dari berbagai
aktor masih memiliki interpretasi yang berbeda-beda terkait keberadaan BRT.
Selain itu, kinerja FLLAJ selama beberapa tahun terakhir terbilang kurang efektif.
hal ini ditunjukkan bahwa selama tahun 2014, FLLAJ tidak berjalan disebabkan
tidak adanya dana yang kucur dari Pemerintah Kota Makassar, padahal tahun
2014 adalah waktu yang tepat untuk mensosialisasikan BRT sebelum diterapkan
pada tahun 2015.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa secara umum masyarakat Kota
Makassar menerima adanya BRT kecuali supir pete-pete. Hanya saja, dalam
proses pengimplementasian BRT saat ini, pemerintah provinsi dinilai terlalu
tergesa-gesa sementara jalur BRT belum ada, penempatan shalter yang hanya
menjangkau kalangan tertentu saja, dan keberadaan BRT ini justru mengakibatkan
semakin runyamnya kemacetan lalu lintas di Kota Makassar.
Perspektif interaksi simbolik sebenarnya berada dibawah payung
perspektif yang lebih besar, yang sering disebut perspektif fenomenologi (Craib,
1992: 127) atau perspektif interpretatif. Selama dekade awal perkembangannya,
teori interaksi simbolik seolah-olah tetap tersembunyi dibelakang dominasi teori
fungsionalisme (Poloma, 2007: 173) dari Talcott Parsons. Namun kemunduran
fungsionalisme tahun 1950-an dan tahun 1960-an mengakibatkan interaksionisme
simbolik muncul kembali ke permukaan dan berkembang pesat, hingga saat ini.
Sebagaimana lazimnya ilmu-ilmu sosial lainnya, teori interaksi simbolik
juga diilhami oleh serangkaian teori-teori sebelumnya. Banyak pakar bersepakat
113
bahwa pemikiran George Herbert Mead, sebagai tokoh sentral teori ini,
berlandaskan pada beberapa cabang filsafat, antara lain pragmatisme dan
behaviorisme. Namun pada masa perkembangannya, teori interaksi simbolik
memiliki “keunikan” dan “karakteristik” tersendiri yang sangat bertolak belakang
dari teori-teori yang menjadi “inspirasi”-nya. Beberapa orang ilmuwan yang
memiliki andil besar dalam “kemunculan” teori interaksi simbolik, antara lain:
James Mark Baldwin, William James, Charles Horton Cooley, John Dewey,
William Isaac Thomas, dan George Herbert Mead. Akan tetapi dari semua itu,
Mead-lah yang paling populer sebagai peletak dasar teori tersebut. Mead
mengembangkan teori interaksi simbolik tahun 1920-an dan 1930-an saat ia
menjadi profesor filsafat di Universitas Chicago. Gagasangagasannya mengenai
interaksi simbolik berkembang pesat setelah para mahasiswanya menerbitkan
catatan-catatan dan kuliah-kuliahnya, terutama melalui buku yang menjadi
rujukan utama teori interaksi simbolik, yakni “Mind, Self, and Society”, yang
diterbitkan pertama kali pada tahun 1934, yang terbit tak lama setelah Mead
meninggal dunia. Penyebaran dan pengembangan teori Mead juga ditunjang
dengan interpretasi dan penjabaran lebih lanjut yang dilakukan oleh para
mahasiswa dan pengikutnya, terutama oleh salah satu mahasiswanya, Herbert
Blumer. Ironisnya, justru Blumer-lah yang menciptakan istilah “interaksi
simbolik” pada tahun 1937 dan mempopulerkannya di kalangan komunitas
akademik (Muchlis, 2011: 211-212).
Perspektif interaksionesme simbolik mengandung dasar pemikiran yang
sama dengan teori tindakan sosial tentang “makna subjektif” (subjective meaning)
114
dari perilaku manusia, proses sosial dan pragmatismenya. Blumer sebagai salah
satu mahasiswa Mead mengungkapkan tiga premis yang mendasari pemikiran
interaksionisme simbolik (Littlejohn dalam Kuswarno, 2009: 113), yaitu:
a. Manusia bertindak terhadap sesuatu berdasarkan makna-makna yang
ada pada sesuatu itu bagi mereka
b. Makna tersebut berasal dari “interaksi sosial seseorang dengan orang
lain”
c. Makna-makna tersebut disempurnakan di saat proses interaksi sosial
berlangsung
Dengan demikian interaksi simbolik berasumsi bahwa manusia dapat
mengerti berbagai hal dengan belajar dari pengalaman. Persepsi seseorang selalu
diterjemahkan dalam simbol-simbol. Sebuah makna dipelajari melalui interaksi di
antara orang-orang, dan makna tersebut muncul karena adanya pertukaran simbol-
simbol dalam kelompok sosial. Pada sisi lain, interaksi simbolik memandang
bahwa seluruh struktur dan institusi sosial diciptakan oleh adanya interaksi
diantara orang-orang. Selain itu, tingkah laku seseorang tidak mutlak ditentukan
oleh kejadian-kejadian pada masa lampau saja, melainkan juga dilakukan dengan
sengaja (Kuswarno, 2009: 114).
Jika dikaitkan sesuai dengan hasil penelitian ini, bahwa terdapat berbagai
makna atau pandangan yang berbeda-beda dari berbagai kelompok/institusi dalam
menilai keberadaan BRT di Kota Makassar. Hal ini wajar karena berdasarkan
pandangan interaksi simbolik, BRT sebagai simbol transportasi baru pertama kali
115
diterapkan di Kota Makassar, sementara di sisi lain penerapan BRT telah
menemukan keberhasilan di berbagai Negara dan kota-kota di Indonesia.
Kondisi ini mempengaruhi persepsi berbagai individu atau kelompok
dalam menilai penerapan BRT di Kota Makassar. Namun BRT sebagai simbol
dapat diterima dan digunakan dengan baik ketika interaksi sosial terjadi melalui
sosialisasi yang massif. FLLAJ sebagai salah satu wadah yang merangkum
berbagai aktor dari pemerintah, swasta, LSM, komunitas hingga masyarakat
kalangan bawah dapat melakukan fungsi sosialisasi ini sehingga perbedaan-
perbedaan pandangan dalam masyarakat dapat diretas.
Menurut Mead (Kuswarno, 2009: 115), diri sebagai suatu proses sosial
terdiri dari dua fase, yaitu “I” (Aku) dan “Me” (Daku). “Aku” merupakan
kecenderungan individu yang impulsif, spontan, pengalaman tidak
terorganisasikan atau dengan kata lain mempresentasikan kecenderungan individu
yang tidak terarah. Sedangkan “Daku” menunjukkan individu yang bekerjasama
dengan orang lain, meliputi seperangkat sikap dan definisi berdasarkan pengertian
dan harapan dari orang lain yangdapat diterima dalam kelompok. Dalam beberapa
situasi, “Daku” melibatkan generalized other dan sesekali beberapa orang
tertentu. “Aku” karena spontannitasnya, potensial untuk menciptakan aktifitas
yang baru dan kreatif, sedangkan “Daku” sebagai pengatur memunculkan individu
kepada aktifitas yang terarahkan dan serasi.
Permasalahannya adalah FLLAJ Kota Makassar yang seharusnya
melakukan sosialisasi massif terkait persoalan BRT juga kurang dalam melakukan
interaksi dengan sesamanya. Hal ini dibuktikan sejak tahun 2014 bahkan hingga
116
saat ini, FLLAJ tidak melakukan pertemuan lagi. BRT hanya secara massif
disosialisasikan oleh MTI (Masyarakat Transportasi Indonesia) yang bekerjasama
dengan Dinas Provinsi Sulawesi Selatan. Kondisi ini menunjukkan tidak
terjadinya interaksi secara menyeluruh yang menyebabkan kurangnya
keberterimaan masyarakat terhadap BRT.
Kondisi ini dibuktikan masih minimnya keinginanan masyarakat Kota
Makassar dalam menggunakan BRT sebagai transportasi kota sekalipun
pelayanannya lebih bagus dan lebih nyaman serta harga terjangkau. Pemberitaan
media saat ini menginformasikan bahwa minimnya masyarakat Kota Makassar
yang menggunakan BRT juga disebabkan fasilitas halte yang belum baik. Selain
itu, Perum Damri Makassar Bahari juga menyatakan kalau pihaknya mendapatkan
kerugian selama pengoperasian BRT. Dalam satu hari beroperasi, setiap BRT
menghabiskan biaya operasional mencapai Rp 500 ribu dan terdapat lima bus
BRT yang beroperasi setiap harinya. Jadi, dalam sehari sedikitnya membutuhkan
biaya operasional sekitar Rp 2,5 juta sedangkan pemasukan BRT dalam satu hari
hanya mencapai Rp 500 ribu (www.republika.co.id). Kerugian yang dialami pihak
Perum Damri menyebabkan dibutuhkannya subsidi untuk menanggulangi
kerugian yang dialaminya selama ini.
2. Implikasi Sosial Terhadap Keberadaan BRT pada Masyarakat Kota
Makassar
Konflik merupakan salah satu esensi dari kehidupan dan perkembangan
manusia yang mempunyai karakterstik yang beragam. Manusia memiliki
perbedaan jenis kelamin, strata sosial dan ekonomi, sistem hukum, bangsa, suku,
117
agama, kepercayaan, serta budaya dan tujuan hidup yang berbeda, perbedaan
inilah yang melatarbelakangi terjadinya konflik. Konflik adalah sebagai perbedaan
persepsi mengenai kepentingan terjadi ketika tidak terlihat adanya alternatif.
Selama masih ada perbedaan tersebut, konflik tidak dapat dihindari dan selalu
akan terjadi. yang dapat memuaskan aspirasi kedua belah pihak (Wirawan, 2010:
1-2).
Hasil penelitian menunjukkan bahwa implikasi sosial dari diterapkannya
BRT di Kota Makassar adalah munculnya konflik antara pemerintah dengan supir
pete-pete. Konflik dapat terjadi hanya karena salah satu pihak memiliki aspirasi
tinggi atau karena alternatif yang bersifat integratif dinilai sulit didapat. Ketika
konflik semacam itu terjadi, maka ia akan semakin mendalam bila aspirasi sendiri
atau aspirasi pihak lain bersifat kaku dan menetap (Pruit dalam Wirawan, 2010:
27). Ketika terjadi suatu konflik dalam suatu masyarakat proses konsiliasi perlu di
pertimbangkan jangan sampai terjadi kekerasan yang dapat merugikan salah satu
pihak yang berkonflik.
Kondisi ini menunjukkan bahwa wajar saja jika supir pete-pete melakukan
penentangan terhadap kebijakan sistem BRT. Sesuai dengan hasil penelitian,
adanya angkutan BRT akan menyebabkan terjadinya persaingan antara supir pete-
pete dengan supir BRT terkait pendapatan sehari-hari. Dahrendorf memandang
masyarakat selalu berada dalam proses perubahan yang ditandai oleh pertentangan
yang terus menerus diantara unsur- unsurnya. Setiap elemen- elemen yang ada
dalam masyarakat memberikan sumbangan terhadap disintegrasi sosial. Sehingga
selalu terdapat konflik dan pertikaian dalam sistem sosial. Kekuasaan mempunyai
118
peran sentral dalam mempertahankan ketertiban masyarakat. Keteraturan yang ada
merupakan paksaan pihak yang berkuasa kepada pihak yang dikuasai.
Menurut Dahrendorf masyarakat mempunyai sisi ganda, konflik dan
konsensus yang menjadi persyaratan satu sama lain. Tidak akan ada konflik
kecuali ada konsensus. Konflik tidak akan lahir tanpa adanya konsensus
sebelumnya. Konsep konsensus menurut teori konflik merupakan ketidakbebasan
yang dipaksakan, bukan hasrat untuk stabil sebagaimana menurut teori
fungsionalisme. Hal ini posisi sekelompok orang dalam struktur sosial
menentukan otoritas terhadap kelompok lainnya (otoritas berada di dalam posisi).
Kepentingan dikategorikan Dahrendorf menjadi kepentingan tersembunyi dan
kepentingan nyata (Susan; 2009: 49).
Dilain pihak, konflik dapat menciptakan konsensus dan integrasi. Oleh
sebab itu, proses konflik sosial merupakkan kunci adanya struktur sosial.
Dahrendrof berpendapat bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh
pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur
kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu (Poloma, 2007: 135-136).
Kekuasaan memisahkan dengan tegas antara penguasa dan yang dikuasai,
sehingga di dalam masyarakat terdapat dua pihak yang saling bertentangan karena
adanya perbedaan kepentingan.
Pertentangan yang terjadi antara supir pete-pete dan pemerintah terkait
diterapkannya sistem BRT bukan hanya persoalan perebutan lahan pekerjaan
sehingga menyebabkan ketidakberterimaan supir pete-pete terhadap adanya
angkutan BRT. Informan AB selaku Ketua Organda Kota Makassar
119
mengungkapkan kurangnya komunikasi yang dilakukan oleh pemerintah baik
pemerintah provinsi maupun pemerintah kota kepada supir pete-pete terkait
adanya BRT. Organda menganggap BRT diberlakukan secara sepihak tanpa
melibatkan perwakilan-perwakilan kelompok/institusi yang ada dalam masyarakat
Kota Makassar.
Bahkan awal penerapan angkutan BRT di Kota Makassar juga menuai
konflik antara Pemerintah Kota Makassar dengan Pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan. Konflik tersebut terjadi lagi-lagi kurangnya interaksi atau komunikasi.
Pembangunan shalter dan jalur BRT yang dianggap banyak menyalahi ketentuan-
ketentuan yang telah berlaku.
Informan AB, Informan SY, supir pete-pete dan beberapa pengguna BRT
menilai terlalu tergesa-gesanya pemerintah dalam memberlakukan sistem BRT
sementara persiapannya belum matang. Salah satu penyebabnya selain jalur BRT
yang belum ada adalah pola pikir masyarakat Kota Makassar atau secara budaya,
mereka lebih paham akan angkutan pete-pete. Artinya, sosialisasi yang efektif
harus dilakukan terlebih dahulu bukan secara langsung mengimplementasikan
BRT lalu mensosialisasikannya. Akibatnya, sosialisasi yang dilakukan pemerintah
dianggap berlebihan dan tidak sesuai yang diharapkan.
Berdasarkan teori konflik, pada akhirnya dengan adanya konflik
menyebabkan adanya perubahan secara struktural (perubahan nilai atau aturan
sosial pada masyarakat). pergesekan-pergesakan seperti ini merembes akibat
adanya hubungan kekuasaan. Beberapa pernyataan Dahrendorf mendukung
kondisi seperti ini (Lauer, 2001: 281-282):
120
a. Setiap masyarakat dalam segala hal tunduk pada proses perubahan dan
perubahan itu dapat terjadi dimana saja.
b. Setiap masyarakat dalam segala hal memperlihatkan ketidaksesuaian
dan konflik, dan konflik sosial ada dimana saja
c. Setiap unsur dalam suatu masyarakat memberikan kontribusi terhadap
perpecahan dan perubahannya
d. Setiap masyarakat berdasarkan atas penggunaan kekerasan oleh
sebagian anggotanya terhadap anggota lain
Dengan demikian konflik yang terjadi antara supir pete-pete dengan
pemerintah terkait diterapkannya angkutan BRT di Kota Makassar seharusnya
mampu ditransformasikan secara sosial menjadi sebuah perubahan untuk
kepentingan bersama. Informan SY telah mengungkapkan pentingnya pemerintah
kota maupun pemerintah provinsi melakukan komunikasi kepada Organda sebagai
perwakilan supir pete-pete guna menyelesaikan konflik ini. Hal ini juga dapat
dilakukan dengan mengaktifkan kembali FLLAJ Kota Makassar sehingga konflik
dapat ditransformasikan menjadi sebuah perubahan dan tidak ada pihak yang
merasa dirugikan dengan hadirnya BRT.