Upload
independent
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Jika seseorang dihadapkan dengan secangkir kopi, kira-kira apa
yang ada di pikirannya mengenai kopi tersebut? Apakah kopi
tersebut bermakna kenikmatan sejati baginya? Apakah kopi itu
bermakna pembangkit semangat untuk beraktivitas? Ataukah
bermakna penghangat suasana bersama teman-teman? Itu
tergantung pada kesan apa yang melekat pada individu tersebut
setelah melihat sekian banyak bentuk promosi kopi yang ada di
berbagai media. Jika kesan yang ditinggalkan setelah individu
menonton iklan produk kopi merek X yang menekankan bahwa kopi
adalah kenikmatan sejati, yang digambarkan dengan ekspresi
tenang dan damai bintang iklan yang menyeruput kopinya dalam
suasana yang syahdu, maka ia akan menganggap bahwa kopi
memiliki kenikmatan sejati. Lain ceritanya kalau kesan yang
ditinggalkan padanya adalah kesan dari iklan produk kopi merek
Y di mana sang bintang iklan yang tadinya bermuka kuyu karena
mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk menjadi segar dan
berenergi kembali usai minum secangkir kopi. Begitu juga jika
kesan yang ada padanya muncul saat melihat promosi di kafe
yang berbunyi: “Dapatkan satu cangkir kopi gratis setiap
membeli secangkir kopi untuk orang yang Anda sayangi!” “Beli
lima cangkir kopi, bayar dengan harga 4 cangkir kopi!
Nikmatilah sore menyenangkan bersama teman-teman dengan
penawaran ini!”
Coba lihat wanita-wanita yang berpenampilan sangat percaya
diri di suatu tempat, kemudian tanyakan, apa yang membuatnya
bisa tampil percaya diri? Jawaban mereka beragam, tapi
sebagian besar menjawab karena benda-benda yang melekat pada
tubuh mereka. Misalnya, produk kosmetika yang menonjolkan
kecantikan wajahnya. Pakaian yang memperindah lekuk tubuh
mereka. Aksesoris yang indah untuk melengkapi penampilan.
Sepatu yang menambah jenjang dan langsing kaki juga sangat
nyaman saat dipakai. Ada juga yang mengatakan karena produk
obat-obatan dan perawatan untuk menunjang penampilan fisik
yang prima. Saat ada yang hanya menyebutkan satu item untuk
menjawab pertanyaan tersebut, bayangkan betapa besarnya
pengaruh satu produk tersebut untuk kepercayaan dirinya.
Sebesar itulah pengaruh emotional branding bagi masyarakat. Merek
dan emosi konsumen kini saling berhubungan. Konsumen cenderung
memilih produk-produk dari merek yang memberikan dampak dan
kesan yang positif pada emosi mereka, begitu juga sebaliknya.
Dari mana merek-merek ini memberikan kesan positif pada emosi
konsumen? Ini diberikan melalui promosi-promosi yang dirancang
sesuai kesan yang diinginkan untuk membangkitkan emosi
tertentu dalam diri konsumen. Termasuk di dalamnya adalah
iklan, promosi diskon dan sejenisnya, mensponsori figur publik
tertentu dan sebagainya. Jika produsen merek mampu merebut
hati para konsumen melalui emotional branding, ini akan berdampak
pada peningkatan penjualan dan loyalitas konsumen pada produk-
produk mereka. Tentunya ini sangat menguntungkan bagi
produsen. Namun emotional branding juga dapat menjungkir balikkan
keadaan produsen dari berjaya menjadi hancur apabila produk
mereka memberikan kesan negatif yang membangkitkan emosi
negatif dalam masyarakat. Ini menjadi catatan bagi semua
perusahaan produsen produk untuk terus meningkatkan mutu dan
penampilan produk menjadi lebih baik.
Dalam karya tulis ini akan dibahas mengenai seluk beluk
emotional branding bagi masyarakat, kaitannya dalam psikologi dan
cara mensukseskan emotional branding pada produk.
1.2. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam karya tulis ini antara lain:
1. Apa yang dimaksud dengan emotional branding?
2. Bagaimana menerapkan emotional branding?
3. Apa kaitan emotional branding dengan Psikologi?
4. Apa dampak emotional branding pada konsumen?
1.3. Tujuan Pembahasan
Tujuan pembahasan topik emotional branding ini antara lain:
1. Untuk mengetahui pengertian emotional branding
2. Untuk mengetahui cara-cara menerapkan emotional branding
3. Untuk mengetahui kaitan emotional branding dengan Psikologi
4. Untuk mengetahui dampak emotional branding pada konsumen
BAB 2
PEMBAHASAN
2.1. Merek
2.1.1. Definisi Merek
Merek adalah suatu nama, simbol, tanda, desain atau gabungan di
antaranya untuk dipakai sebagai identitas suatu perorangan,
organisasi atau perusahaan pada barang dan jasa yang dimiliki
untuk membedakan dengan produk jasa lainnya. Yang dapat
mengajukan pendaftaran merek adalah orang, badan hukum dan
beberapa orang atau badan hukum (pemilikan bersama).
Dalam bahasa Inggris, merek disebut dengan brand atau trade-mark
(merek dagang). Kata brand berasal dari kata dalam bahasa Norse
Lama brandr yang berarti untuk membakar. Pada jaman dahulu,
produsen produk menandai produk mereka dengan cara menancapkan
tanda besi yang dibakar sampai panas membara ke produk
tersebut.
Kotler (2003) berpendapat bahwa merek merupakan sebuah nama,
istilah, tanda, simbol, atau desain atau kombinasi dari
seluruhnya, yang bertujuan untuk mengidentifikasi barang-
barang maupun jasa dari suatu kelompok penjual dan untuk
membedakan produk mereka dari para pesaing.
Richard Koch (dalam Amin Wijaja: 2005) mendefinisikan merek
sebagai sebuah desain visual dan atau nama yang diberikan
kepada suatu produk atau jasa oleh suatu organisasi yang
bertujuan untuk membedakan produknya dari produk-produk
pesaing dan menjamin konsumen bahwa produk tersebut memiliki
kualitas tinggi yang konsisten.
Menurut Hermawan Kartawijaya (1996) merek adalah kelengkapan
produk, jadi setiap produk harus memiliki merek, sehingga
konsumen tidak mengalami kesulitan dalam mencari produk
kembali produk tersebut. Merek juga mempunyai fungsi untuk
membedakan kualitas produk yang satu dengan yang lainnya.
Selain itu merek juga merupakan suatu jaminan dari produsen
atas kualitas dari produk yang dihasilkan.
2.1.2. Elemen – elemen dalam Merek
Ada beberapa elemen di dalam suatu merek, antara lain:
1. Nama merek yang berupa kata atau kelompok kata
2. Logo merek yang berupa gambar (visual)
3. Tagline yang berupa kalimat yang berhubungan dengan produk
merek, contoh : “Ga ada lo ga rame!”
4. Bentuk produk yang dihasilkan produsen, contoh: bentuk
kemasan botol pewangi Downy
5. Warna khusus yang menandakan kekhasan produk merek
tertentu, contoh: warna pink lipstik yang berbeda-beda
setiap mereknya
6. Alunan nada atau suara yang menandakan kekhasan produk
merek tertentu, contoh: jingle Sari Roti yang dialunkan
setiap gerobaknya lewat
7. Wangi yang menandakan kekhasan produk merek tertentu,
contoh: wangi parfum Chanel No. 5
8. Rasa yang dikecap yang menandakan kekhasan produk merek
tertentu, contoh: rasa sirup rasberi Kurnia
9. Pergerakan yang menandakan kekhasan produk merek
tertentu, contoh: produk kulkas yang bisa dibuka dari dua
arah
2.1.3. Jenis – jenis Merek
Ada beberapa jenis merek, yaitu:
1. Merek perusahaan, yaitu merek yang dimiliki oleh suatu
perusahaan yang memproduksi produk atau jasa.
2. Merek pribadi, yaitu merek yang dimiliki oleh distributor
atau pedagang dari produk atau jasa.
3. Produk generik yang merupakan produk barang atau jasa
yang dipasarkan tanpa menggunakan merek atau identitas
yang membedakan dengan produk lain baik dari produsen
maupun pedagang.
2.1.4. Fungsi Merek
Fungsi merek antara lain adalah sebagai berikut:
1. Tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang
dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-
sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau
badan hukum lainnya.
2. Sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil
produksinya cukup dengan menyebutkan mereknya.
3. Sebagai jaminan atas mutu barangnya.
4. Menunjukkan asal barang atau jasa dihasilkan.
2.1.5. Strategi dalam Merek
1. Nama perusahaan
Perusahaan menggunakan nama perusahaan sebagai merek
produk yang mereka pasarkan atau produksi.
2. Merek individual
Perusahaan menggunakan nama merek yang berbeda untuk
setiap produk-produknya.
3. Merek sikap dan merek ikonik
Perusahaan menunjukkan sebuah sikap yang mampu ‘menjual’
produk-produknya sehingga menjadi ikonik (sebuah simbol).
Menurut Holt (2004), ada empat elemen kunci dalam
menciptakan merek ikonik, yaitu performa produk yang
prima dan dapat diterima masyarakat, pembuatan cerita
yang memiliki makna tertentu yang mempertunjukkan suatu
merek, adanya perbedaan antara keadaan konsumen
sesungguhnya dan harapan yang mereka inginkan, dan proses
manajemen merek dalam budaya masyarakat.
4. Tidak memakai merek
Perusahaan tidak menggunakan nama merek, tetapi fokus
pada kekhasan pada produknya untuk membedakan produk
tersebut dengan produk lain yang serupa namun memiliki
merek.
5. Merek yang didapatkan
Perusahaan yang memproduksi komponen penting yang
diperlukan untuk membuat produk-produk lainnya
mempromosikan produknya dengan mereknya sendiri, sehingga
kepopulerannya dapat setara dengan produk akhir di mana
komponen itu diletakkan.
6. Perpanjangan dan dilusi merek
Perpanjangan merek adalah keadaan di mana perusahaan
dapat memakai merek yang sudah mereka miliki untuk
digunakan pada produk lain yang baru atau dimodifikasi
yang masih dalam ranah lingkup produk yang dinaungi merek
tersebut. Contoh: Merek susu cokelat Milo yang
‘dipanjangkan’ kepada produk sereal cokelat dan cemilan
cokelat yang masih sama-sama berupa barang konsumsi
dengan kandungan cokelat. Jika perpanjangan merek telah
sampai jauh hingga merek tersebut kehilangan hubungannya
dengan segmen pasar, area produk, kualitas dan harga yang
semula, merek tersebut dikatakan telah mengalami dilusi
merek.
7. Merek media sosial
Perusahaan memiliki media sosial di mana perusahaan bisa
berkomunikasi dengan konsumen melalui merek yang mereka
miliki, misalnya dalam bentuk fanpage atau akun Twitter
pribadi merek yang memuat informasi produk, promosi yang
sedang berlangsung, menjawab pertanyaan dan keluhan
konsumen, dan sebagainya.
8. Multi-merek
Perusahaan memakai merek berbeda untuk produk yang sama
yang dijual terpisah sesuai merek masing-masing.
9. Merek pribadi
Perusahaan yang menjadi retailer memiliki produk sendiri dan
menjualnya dengan nama merek perusahaan tersebut.
10. Merek individual dan organisasional
Nama seseorang dan organisasi dapat dijadikan sebagai
sebuah nama merek untuk memasarkan produk yang
dihasilkan. Biasanya, nama seseorang atau organisasi yang
dipakai adalah nama seseorang atau organisasi yang
memiliki peranan dalam terciptanya produk tersebut atau
menjadi inspirasi terciptanya produk meskipun yang
bersangkutan tidak terlibat langsung dalam proses
terciptanya produk.
11. Merek yang diciptakan masyarakat
Berbeda dari perusahaan yang menciptakan merek, merek ini
diciptakan oleh masyarakat untuk perusahaan yang
memasarkan atau menciptakan produk.
12. Merek negara (tempat dan diplomasi publik)
Merek dapat menggunakan nama negara tempat produk
tercipta untuk mempromosikan negara tersebut.
13. Merek tempat tujuan
Merek dapat menggunakan nama tempat seperti kota, desa,
provinsi, dan sebagainya untuk mempromosikan daerah
tersebut dan mendapatkan penghasilan berupa pajak dari
penjualan produk tersebut.
2.2. Emosi
2.2.1. Definisi Emosi
Emosi adalah perasaan yang ada di dalam diri individu yang
dirasakan dan diekspresikan oleh tubuh dan merupakan motif
untuk berperilaku. Dalam World Book Dictionary (1994), emosi
didefinisikan sebagai berbagai perasaan yang kuat. Goleman
(1995) menyatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan atau
pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis
serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Syamsuddin
(1990) mengemukakan bahwa emosi merupakan suatu suasana yang
kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa yang menyertai
atau muncul sebelum atau sesudah terjadinya suatu perilaku.
Donald Norman menjelaskan bahwa emosi tidak terpisahkan
dari kognisi, dan merupakan bagian penting darinya. Apa saja
yang dilakukan dan dipikirkan dipengaruhi oleh emosi, yang
kebanyakan di bawah sadar. Emosi manusia mengubah cara pikir
manusia dan bertindak sebagai pemandu yang konstan dalam
berperilaku yang sepantasnya dan menjauhkan kita dari apa yang
tidak sepantasnya.
2.2.2. Jenis – jenis Emosi Dasar Manusia
Beberapa ahli mengemukakan pendapat mereka mengenai jenis-
jenis emosi dasar manusia, antara lain:
1. Clifford Morgan & Richard King : Gembira, takut, marah
2. Atkinson : Menyenangkan dan tidak menyenangkan
3. Paul Ekman & Richard Lazarus : Bahagia, takut, marah,
sedih, kaget, jijik
4. Daniel Goleman : Kenikmatan, cinta, rasa takut, amarah,
kesedihan, terkejut, jengkel, malu
2.2.3. Cara Terbentuknya Emosi
Lewis dan Rosenblum (dalam Stewart, et.al: 1985) mengutarakan
proses terjadinya emosi melalui lima tahapan sebagai berikut ;
1. Elicitors, yaitu adanya dorongan berupa situasi atau peristiwa.
2. Receptors, yaitu aktivitas di pusat sistem saraf.
3. State, yaitu perubahan spesifik yang terjadi dalam aspek
fisiologi.
4. Expression, yaitu terjadinya perubahan pada daerah yang dapat
diamati.
5. Experience, yaitu persepsi dan interprestasi individu pada
kondisi emosionalnya.
Syamsuddin (2000) mengutarakan mekanisme emosi dalam tiga
variabel, yaitu:
1. Variabel stimulus, yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi
2. Variabel organismik, yaitu perubahan-perubahan fisilogis
yang terjadi saat mengalami emosi
3. Variabel respons, yaitu pola sambutan ekspresif atas
terjadinya pengalaman emosi
2.2.4. Anatomi Kecerdasan Emosi
1. Korteks
a. memberi makna apa yang kita serap
b. mengatur fungsi penglihatan, memori jangka panjang
c. bagian ini membuat kita memiliki perasaan akan perasaan
kita sendiri, memahami, menganalisis mengapa punya
perasaan.
2. Hipokampus
a. tempat proses pembelajaran, disimpannya emosi
b. pemicu bagi reaksi emosi amigdala
3. Amigdala
a. Pusat pengendali emosi
b. Pemicu reaksi
2.2.5. Fungsi Emosi
Dalam buku (Rakhmat : 2007) dituliskan bahwa terdapat empat
macam fungsi emosi menurut Coleman dan Hammen (1997), yaitu:
1. Emosi adalah pembangkit energi (energizer). Artinya ketika
seseorang merasakan emosi, maka tubuhnya akan tergerak
untuk melakukan apa yang dirasakannya, dalam hal ini
emosi membangkitkan dan memobilisasi energi kita.
2. Emosi adalah pembawa informasi (messenger). Fungsi ini
lebih mengarah pada komunikasi intrapersonal. Ketika
emosi itu kita rasakan pada diri kita maka secara tidak
langsung kita menyadari apa yang sedang terjadi pada diri
kita atau stimuli apa yang kita dapat dari lingkungan.
3. Pembawa pesan dalam komunikasi intrapersonal dan
interpersonal. Dalam berkomunikasi, pasti memiliki tujuan
atau pesan yang akan disampaikan.
4. Sumber informasi tentang keberhasilan.
2.3. ‘Emotional Branding’
2.3.1. Definisi Emotional Branding
Emotional branding adalah istilah yang digunakan dalam komunikasi
pemasaran yang menunjukkan praktek membangun merek yang
menarik secara langsung pada keadaan sosial, kebutuhan dan
pendapat konsumen. Emotional branding dikatakan sukses apabila
mampu memicu respon emosional pada konsumen, yaitu keinginan
kuat untuk memiliki produk merek tersebut yang tidak bisa
dirasionalkan seutuhnya. emotional branding memiliki dampak
signifikan ketika konsumen mengalami kedekatan yang kuat dan
bertahan lama yang sebanding dengan rasa terikat atau cinta
pada merek tersebut. Menurut Jurnal Pemasaran Asosiasi
Pemasaran Amerika (2006), emotional branding adalah pendekatan
yang berhubungan dan berpusat pada konsumen yang digerakkan
oleh cerita untuk membentuk dan mempertahankan ikatan perasaan
antara konsumen dan merek tersebut.
Berikut adalah kutipan pendapat Marc Gobe mengenai emotional
branding:
"Dewasa ini, saya merasa pendekatan Emotional Branding merupakan elemen
penentu yang sangat penting yang membedakan merek yang sukses dengan merek
yang biasa di pasar. Namun hanya sedikit perusahaan yang memahami seni
menilai - dengan kecerdasan dan kepekaan - kekuatan sejati di balik emosi
manusia. Emotional Branding memberikan lapisan kredibilitas dan kepribadian
yang baru pada sebuah merek, dengan menghubungkan merek dengan orang-
orang pada tatanan pribadi dan holistik. Emotional Branding didasarkan pada
rasa percaya yang unik yang terjalin erat dengan sebuah audiens. Pendekatan ini
meningkatkan pembelian yang hanya sekedar dipicu oleh kebutuhan menjadi
pembelian yang muncul dalam hasrat. Komitmen pada sebuah produk atau intuisi,
kebanggaan yang kita rasakan saat menerima hadiah yang cantik dari merek yang
kita senangi atau pengalaman berbelanja yang positif dalam sebuah lingkungan
yang menakjubkan ketika seseorang mengetahui nama kita atau membawakan
secangkir kopi untuk memberikan kita kejutan yang menyenangkan - perasaan-
perasaan ini merupakan inti dari Emotional Branding”
(Marc Gobe, Emotional Branding, www.emotionalbranding.com)
2.3.2. Sejarah Emotional Branding
Dengan dimulainya pemasaran masal di tahun 1900-an, perusahaan
mulai menggunakan identitas merek untuk menghubungkan sebuah
pemikiran atau gaya hidup dengan sebuah merek. Ide ini
dimiliki oleh Bapak Periklanan Modern, Thomas J. Barrett yang
berada di balik iklan Pears Soap. Barrett menggunakan hubungan
antara kebudayaan tinggi dan kualitas pada merek dari
produknya kepada khalayak ramai. Ini menandai awal merek
emosional modern, melalui penggunaan manipulasi emosi manusia
untuk menjual produk. Para ahli pemasaran dalam masa ini
memahami bahwa untuk menciptakan hubungan antara manusia dan
merek, merek harus menunjukkan kepribadian tertentu dengan
nilai-nilai dan simbol-simbol spesifik yang dikenakan sehingga
berdasarkan emosi manusia, konsumen dapat membangun hubungan
lebih dekat dengan merek.
Permainan emosi dalam merek berubah lebih maju dengan
kepopuleran teori ketidaksadaran pikiran dari Sigmund Freud
dari tahun 1912. Dalam periklanan digunakan pesan dan simbol
tersembunyi untuk memicu respon emosional tanpa membuat klaim
secara langsung tentang produk. Selama awal tahun 1900-an,
Edward Bernays menerbitkan karyanya mengenai propaganda dan
hubungan publik, istilah yang ia pakai, dengan hubungannya
dalam mempengaruhi emosi manusia. Bernays mempromosikan ide
tentang manipulasi opini publik untuk memberi pengaruh. Dalam
buku Public Relations, Bernays berpendapat bahwa periklanan
perlu menerapkan apa yang ilmu sosial telah ketahui tentang
keadaan manusia. Periklanan harus mengakrabkan diri dengan
kata-kata kunci dari ilmu yang berhubungan dengan mereka,
antara lain sosiologi, psikologi, psikologi sosial,
antropologi dan psikiatri. Bernays percaya bahwa periklanan
harus lebih fokus pada studi perilaku manusia. Ini memulai
revolusi dalam periklanan sehingga memulai merek emosional
modern.
Sebagai percobaan, Barneys menciptakan frasa ‘Obor Kebebasan’
(Torch of Freedom) sebagai referensi terhadap rokok yang diisap
perempuan di tahun 1929. Bernays menerapkan nilai-nilai hak-
hak wanita pada imej merek rokok sebagai “obor kebebasan”
dengan mengundang wanita-wanita untuk berbaris saat parade
Minggu Paskah di tahun 1929 sambil merokok sehingga memicu
ketertarikan wanita akan rokok.
2.3.4. Tujuan Emotional Branding
Tujuan emotional branding adalah untuk menciptakan ikatan antara
konsumen dan produk dengan memicu emosi konsumen. Vance
Packard dalam The Hidden Persuaders berpendapat bahwa di dalam
situasi pembelian, konsumen umumnya bertindak secara emosional
dan kompulsif, secara tidak sadar bereaksi terhadap imej dan
desain yang berhubungan dengan produk. Imej dan desain yang
diciptakan tersebut harus didasarkan pada pengalaman sensorial
dan pemahaman atas keinginan emosional yang paling dalam.
Emosi tidak hanya berhubungan dengan kekompulsifan dan
irasionalitas, tetapi adalah reaksi bawah sadar. Inilah yang
menggerakkan teori emotional branding. Untuk menjalin hubungan
dengan konsumen, perusahaan melakukan percakapan pribadi untuk
merespon kebutuhan mereka sehingga terciptalah ikatan
emosional, termasuk di dalamnya kepercayaan, melalui merek
mereka. Bentuk ikatan tersebut adalah memberikan nilai jangka
panjang pada merek dan produk, terkait dengan pengalaman
inderawi, desain yang membuat konsumen merasakan produk,
desain yang membuat konsumen membeli produk sehingga
meningkatkan penjualan produk. Emotional branding juga
menciptakan kepribadian bagi merek tersebut. Kepribadian
inilah yang memicu respon emosional bagi konsumen.
2.3.5. Teknik – teknik Emotional Branding
Ada beberapa teknik untuk mencapai respon emosional untuk
merek, antara lain menaruh merek pada seperangkat nilai-nilai
ideologis. Ini akan bekerja dengan baik ketika pengiklan telah
melakukan riset mendalam pada masyarakat sehingga diketahui
nilai dan pemikiran apa yang akan memicu respon emosional dan
hubungan pada merek. Nilai ini dapat ditambahkan pada merek
melalui imej dan bahasa. Contohnya, iklan teh celup Sariwangi
yang menampilkan nilai-nilai kebersamaan keluarga pada
iklannya. Emotional branding memakai serangkaian tema dan simbol
untuk menciptakan makna bagi konsumen. Tema ini berarti sebuah
konsep atau jalan cerita yang dibawakan dalam iklan, dan jika
terintegrasi cukup baik, dalam merek. Simbol adalah perwakilan
dari tema tersebut. Vance Packard dalam The Hidden Persuaders
mengemukakan bahwa simbol merepresentasikan janji yang dibeli
oleh konsumen. Perusahaan kosmetik tidak menjual Lanolin,
melainkan harapan. Kita tidak membeli jeruk, melainkan
kesehatan. Kita tidak membeli kendaraan, melainkan gengsi.
Menurut Bernays, agar sukses tema harus menarik motivasi
manusia untuk menggerakkan keinginan untuk mencapai tujuan,
yaitu untuk ‘memiliki janji yang ditawarkan tersebut’. Metode
yang dipakai dengan simbolisme antara lain membuat tema dan
simbol dari merek tersebut dipublikasikan secara berkelanjutan
dan memastikan bahwa tema dan simbol dapat bertahan dan
mempromosikan ide spesifik tentang perusahaan. Simbol
perusahaan perlu dirancang dapat beradaptasi dengan mudah
dalam masyarakat namun juga tetap teguh sebagai seperangkat
nilai-nilai. Adakalanya sebuah simbol dapat merepresentasikan
banyak tema secara berkesinambungan. Contohnya, kucing dapat
menyimbolkan suka bermain dan kenyamanan, maka kucing dipakai
sebagai simbol untuk produk alas kaki suatu merek untuk
menggambarkan bahwa produknya berpenampilan menarik namun juga
nyaman di kaki sehingga tetap enak dipakai bermain seharian
tanpa merasa begitu lelah. Packard menandai delapan kebutuhan
tersembunyi yang didasarkan oleh emosi bawah sadar yang
dimiliki konsumen yang memiliki tema dan simbol untuk dijual,
yaitu
1. Keamanan emosional
Semua orang memulai kehidupan sebagai makhluk yang rapuh
sehingga mereka mencari keamanan emosional. Iklan
menawarkan rasa nyaman, aman, kebahagiaan dan lenyapnya
perasaan buruk agar konsumen mendapatkan keamanan
emosional yang didambakannya.
2. Perasaan pantas
Apa yang pantas kita dapatkan? Apakah semua yang kita
miliki memang sudah tepat dimiliki? Perasaan inilah yang
dimainkan oleh pengiklan untuk memasarkan produknya,
dengan harapan bahwa: ‘ya, benda ini pantas dimiliki’.
Salah satu metode yang dipakai untuk memainkan perasaan
ini adalah dengan memasang figur publik yang terkenal dan
dianggap mewakili imej produk.
3. Gratifikasi ego
Sebagai manusia, kita ingin kita dihargai setelah
berusaha keras. Iklan menawarkan penghargaan dan pujian
sebagai ‘balasan’ atas pembelian dan pemakaian produk
mereka.
4. Kreativitas
Mengapa harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli
barang-barang jika bisa membuatnya sendiri? Mungkin itu
yang dipikirkan oleh pembuat produk kerajinan tangan
buatan sendiri (do-it-yourself handcraft) seperti membuat
kalung, rajutan, gelang karet dan lain-lain. Tak hanya
benda buatan sendiri, benda yang bisa dikostumisasi
sesuai keinginan dan kreativitas individu masing-masing
juga termasuk dalam kategori ini. Contohnya mainan anak-
anak seperti lego, beragam macam pewarna kue untuk
membuat kue warna-warni kesukaan, dan sebagainya.
5. Objek cinta
Kini bertelepon tak hanya sekedar berkomunikasi, tapi
juga menjalin hubungan dengan orang yang dicintai.
Peliharaan juga tak hanya sekedar makhluk hidup, tapi
juga teman terbaik dalam hidup. Berkat pengiklan, kita
dapat menemukan hal-hal untuk kita cintai juga untuk
orang yang kita cintai.
6. Rasa kekuatan
Dengan kuasa di tangan, gengsi, kenyamanan, keamanan
dapat tergenggam. Kita memiliki hak untuk memilih yang
ingin kita pakai, yang menunjukkan kekuatan kita. Inilah
yang ditawarkan pengiklan kepada konsumen dengan kuasa
dan uang di tangannya.
7. Asal
Asal menunjukkan identitas. Tempat lahir, kebudayaan,
negara tempat kita tinggal, keluarga yang menjadi naungan
kita, almamater dan sebagainya menunjukkan siapa diri
kita karena itu semua menjadi bagian dari kehidupan kita.
Produk yang dipromosikan dengan menguatkan kesan
nostalgia dan atau tradisional seperti keluarga,
kebangsaan, budaya dan sebagainya akan memikat hati kita,
terutama jika asal yang ditunjukkan sangat dekat dengan
kehidupan kita.
8. Imortalitas.
Ketakutan besar, jika bukan terbesar, manusia adalah
lenyap dari dunia dan tidak menjadi berarti lagi. Ini
adalah salah satu ketakutan tertua karena sejak jaman
dahulu kala orang-orang mengusahakan bermacam ramuan dan
teknik agar bisa hidup selama-lamanya atau lebih lama,
minimal terlihat tak pernah menua. Pengiklan memanfaatkan
keadaan ini untuk mempromosikan produk anti penuaan atau
produk-produk lain yang membuat kehidupan kaum lanjut
usia menjadi bahagia, nyaman dan bermakna. Para kawula
muda menjadi imej pendorong bagi mereka untuk menjalani
hidup seperti remaja untuk kedua kalinya.
Metode lainnya adalah dengan cara menyatakan secara
langsung tentang produk dan hubungannya dengan emosi.
Contohnya kalimat “Nikmatilah segelas ketenangan” untuk produk
minuman cokelat atau teh herbal yang memiliki khasiat
menenangkan.
Perusahaan juga bisa memberikan konsumen reaksi
emosional. Misalnya jenis musik pop yang dimainkan sebagai
latar musik dalam sebuah toko aksesoris yang membuat konsumen
merasa bersemangat meskipun hanya sekedar melihat-lihat.
Penting untuk diingat bahwa emotional branding adalah
sesuatu yang didapatkan dalam waktu yang lama dan kemunculan
yang tetap. Melalui pengulangan tema dan simbol ini, nama
merek dapat mencapai euforia merek, di mana sebuah makna tidak
perlu diciptakan karena merek itu sudah cukup kuat imejnya.
2.3.6. Peran Psikologi dalam Emotional Branding
Peran psikologi dalam emotional branding tentu amat besar,
mengingat pengetahuan tentang emosi ada di dalam ranah
psikologi. Perkembangan emotional branding semakin pesat
berkat munculnya teori ketidaksadaran pikiran oleh Freud.
Menurutnya, pikiran tidak sadar terdiri dari proses-proses di
dalam pikiran yang terjadi secara otomatis dan tidak dapat
diintrospeksi. Pikiran tidak sadar mencakup proses berpikir,
ingatan, perasaan dan motivasi. Inilah yang ‘dimainkan’ dalam
emotional branding melalui berbagai upaya yang telah disampaikan
di atas. Pengiklan harus tahu bermacam-macam emosi yang ada
pada manusia, emosi apa yang cocok dengan imej produk dan
merek yang akan dipromosikan, cara memicu emosi tersebut pada
sebagian besar konsumen sesuai target pasar yang diinginkan
dan cara mempertahankan emosi tersebut dalam diri konsumen
sampai konsumen merasa terikat dengan produk dan atau merek
tersebut. Emosi dalam diri konsumen itu akan memotivasi
perilaku apa yang akan ia perbuat terhadap promosi produk atau
merek tersebut. Karena adanya pengulangan (repetisi) dan
penguatan dampak dari promosi, imej produk dan atau merek
dapat melekat kuat dalam ingatan konsumen sehingga menjadikan
konsumen tersebut loyal terhadapnya. Perusahaan harus peka
terhadap suara konsumen untuk mengetahui emosi apa yang mereka
rasakan terhadap produk atau merek sehingga hubungan baik yang
ada tetap terpelihara baik dan konsumen tidak berpindah ke
lain hati. Untuk itu, pemahaman mengenai psikologi menjadi
sangat penting dalam emotional branding.
2.3.7. Pro dan Kontra Emotional Branding
Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa emotional branding
memiliki manfaat berarti, yaitu menjadikan konsumen menjadi
terikat (mencintai dan setia) kepada produk atau merek dan
sulit berpindah ke produk atau merek lain dan memikat hati
konsumen untuk membeli dan memakai produk atau merek sehingga
meningkatkan penjualan produk atau merek, tetapi ini bukan
tidak ada kontranya. Emotional branding adalah proses
memanipulasi emosi konsumen untuk mempromosikan produk atau
merek. Emosi adalah elemen yang sangat rentan dan irasional
dari pikiran manusia. Sama seperti hati yang tersakiti oleh
harapan palsu yang keluar dari bibir manis sang kekasih,
konsumen juga dapat merasa ‘terkhianati’ apabila janji yang
mereka beli ternyata tak seperti yang mereka harapkan. Jika
hati konsumen yang ‘terluka’ ini bertemu dengan promosi produk
atau merek lain yang memicu emosi positif dalam dirinya maka
pilihan mereka akan beralih pada produk atau merek tersebut.
Inilah gunanya perusahaan untuk peka terhadap suara konsumen.
Richard Lippke adalah salah satu ahli yang mengkritik
praktek ini. Ia mengritik bagian-bagian berikut:
1. Dorongan untuk menerima daya tarik emosional,
penyederhanaan yang berlebihan, kedangkalan dan standar
bukti yang buruk untuk klaim
2. Penekanan pada kemudahan dan kepuasan daripada
penghematan dan menahan diri
3. Gagasan bahwa pengiklan harus memperlihatkan bagaimana
cara menjalani hidup yang baik pada konsumen
4. Dorongan terus menerus agar jangan sampai tidak memakai
barang-barang baru
5. Kepercayaan palsu bahwa produk akan mengantarkan
barang-barang yang tidak dipasarkan dengan apa yang
dihubungkan padanya.
Menurutnya, masalah periklanan bukanlah penyebab konsumen
memilih produk yang salah, tetapi adalah penyebab konsumen
tertarik dan menjadikan mereka konsumen produk tersebut. Iklan
adalah salah satu bentuk emotional branding yang sederhana
tetapi rumit dalam praktek karena pengiklan berurusan dengan
emosi, hati konsumen. Meskipun irasional, hati tak pernah
berbohong. Sekali konsumen bertemu produk yang melukai hati
mereka, maka mereka tidak akan mau lagi menggunakannya. Mereka
akan menganggap bahwa itu adalah sebuah penipuan. Ini tentu
berdampak besar bagi penjualan produk dan merek yang
menaunginya.
BAB III
SIMPULAN
Emotional branding adalah serangkaian teknik promosi yang digunakan untuk menarik konsumen melalui manipulasi emosi manusia yang berhubungan dengan pikiran tidak sadar untuk meningkatkan penjualan produk dan merek. Emotional branding yang baik akan membuat konsumen loyal dan sangat terikat pada produk. Untuk bisa merebut hati konsumen, perusahaan dan pengiklan harus mengetahui emosi dari konsumen yang mana yang ingin dipicu dan bagaimana cara memicunya dengan tepat. Emotional branding serupa dengan propaganda, sehingga menimbulkan pro dan kontra.
Tugas Riset Marketing
EMOTIONAL BRANDING:
MEREK DAN EMOSI KONSUMEN
Nama : Sara Lupita W. M.
NPM : 12.860.0055
Kelas : Reguler B
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MEDAN AREA