29
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Jika seseorang dihadapkan dengan secangkir kopi, kira-kira apa yang ada di pikirannya mengenai kopi tersebut? Apakah kopi tersebut bermakna kenikmatan sejati baginya? Apakah kopi itu bermakna pembangkit semangat untuk beraktivitas? Ataukah bermakna penghangat suasana bersama teman-teman? Itu tergantung pada kesan apa yang melekat pada individu tersebut setelah melihat sekian banyak bentuk promosi kopi yang ada di berbagai media. Jika kesan yang ditinggalkan setelah individu menonton iklan produk kopi merek X yang menekankan bahwa kopi adalah kenikmatan sejati, yang digambarkan dengan ekspresi tenang dan damai bintang iklan yang menyeruput kopinya dalam suasana yang syahdu, maka ia akan menganggap bahwa kopi memiliki kenikmatan sejati. Lain ceritanya kalau kesan yang ditinggalkan padanya adalah kesan dari iklan produk kopi merek Y di mana sang bintang iklan yang tadinya bermuka kuyu karena mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk menjadi segar dan berenergi kembali usai minum secangkir kopi. Begitu juga jika kesan yang ada padanya muncul saat melihat promosi di kafe yang berbunyi: “Dapatkan satu cangkir kopi gratis setiap membeli secangkir kopi untuk orang yang Anda sayangi!” “Beli lima cangkir kopi, bayar dengan harga 4 cangkir kopi! Nikmatilah sore menyenangkan bersama teman-teman dengan penawaran ini!”

Makalah Emotional Branding

Embed Size (px)

Citation preview

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Jika seseorang dihadapkan dengan secangkir kopi, kira-kira apa

yang ada di pikirannya mengenai kopi tersebut? Apakah kopi

tersebut bermakna kenikmatan sejati baginya? Apakah kopi itu

bermakna pembangkit semangat untuk beraktivitas? Ataukah

bermakna penghangat suasana bersama teman-teman? Itu

tergantung pada kesan apa yang melekat pada individu tersebut

setelah melihat sekian banyak bentuk promosi kopi yang ada di

berbagai media. Jika kesan yang ditinggalkan setelah individu

menonton iklan produk kopi merek X yang menekankan bahwa kopi

adalah kenikmatan sejati, yang digambarkan dengan ekspresi

tenang dan damai bintang iklan yang menyeruput kopinya dalam

suasana yang syahdu, maka ia akan menganggap bahwa kopi

memiliki kenikmatan sejati. Lain ceritanya kalau kesan yang

ditinggalkan padanya adalah kesan dari iklan produk kopi merek

Y di mana sang bintang iklan yang tadinya bermuka kuyu karena

mengerjakan tugas-tugas yang menumpuk menjadi segar dan

berenergi kembali usai minum secangkir kopi. Begitu juga jika

kesan yang ada padanya muncul saat melihat promosi di kafe

yang berbunyi: “Dapatkan satu cangkir kopi gratis setiap

membeli secangkir kopi untuk orang yang Anda sayangi!” “Beli

lima cangkir kopi, bayar dengan harga 4 cangkir kopi!

Nikmatilah sore menyenangkan bersama teman-teman dengan

penawaran ini!”

Coba lihat wanita-wanita yang berpenampilan sangat percaya

diri di suatu tempat, kemudian tanyakan, apa yang membuatnya

bisa tampil percaya diri? Jawaban mereka beragam, tapi

sebagian besar menjawab karena benda-benda yang melekat pada

tubuh mereka. Misalnya, produk kosmetika yang menonjolkan

kecantikan wajahnya. Pakaian yang memperindah lekuk tubuh

mereka. Aksesoris yang indah untuk melengkapi penampilan.

Sepatu yang menambah jenjang dan langsing kaki juga sangat

nyaman saat dipakai. Ada juga yang mengatakan karena produk

obat-obatan dan perawatan untuk menunjang penampilan fisik

yang prima. Saat ada yang hanya menyebutkan satu item untuk

menjawab pertanyaan tersebut, bayangkan betapa besarnya

pengaruh satu produk tersebut untuk kepercayaan dirinya.

Sebesar itulah pengaruh emotional branding bagi masyarakat. Merek

dan emosi konsumen kini saling berhubungan. Konsumen cenderung

memilih produk-produk dari merek yang memberikan dampak dan

kesan yang positif pada emosi mereka, begitu juga sebaliknya.

Dari mana merek-merek ini memberikan kesan positif pada emosi

konsumen? Ini diberikan melalui promosi-promosi yang dirancang

sesuai kesan yang diinginkan untuk membangkitkan emosi

tertentu dalam diri konsumen. Termasuk di dalamnya adalah

iklan, promosi diskon dan sejenisnya, mensponsori figur publik

tertentu dan sebagainya. Jika produsen merek mampu merebut

hati para konsumen melalui emotional branding, ini akan berdampak

pada peningkatan penjualan dan loyalitas konsumen pada produk-

produk mereka. Tentunya ini sangat menguntungkan bagi

produsen. Namun emotional branding juga dapat menjungkir balikkan

keadaan produsen dari berjaya menjadi hancur apabila produk

mereka memberikan kesan negatif yang membangkitkan emosi

negatif dalam masyarakat. Ini menjadi catatan bagi semua

perusahaan produsen produk untuk terus meningkatkan mutu dan

penampilan produk menjadi lebih baik.

Dalam karya tulis ini akan dibahas mengenai seluk beluk

emotional branding bagi masyarakat, kaitannya dalam psikologi dan

cara mensukseskan emotional branding pada produk.

1.2. Rumusan Masalah

Rumusan masalah dalam karya tulis ini antara lain:

1. Apa yang dimaksud dengan emotional branding?

2. Bagaimana menerapkan emotional branding?

3. Apa kaitan emotional branding dengan Psikologi?

4. Apa dampak emotional branding pada konsumen?

1.3. Tujuan Pembahasan

Tujuan pembahasan topik emotional branding ini antara lain:

1. Untuk mengetahui pengertian emotional branding

2. Untuk mengetahui cara-cara menerapkan emotional branding

3. Untuk mengetahui kaitan emotional branding dengan Psikologi

4. Untuk mengetahui dampak emotional branding pada konsumen

BAB 2

PEMBAHASAN

2.1. Merek

2.1.1. Definisi Merek

Merek adalah suatu nama, simbol, tanda, desain atau gabungan di

antaranya untuk dipakai sebagai identitas suatu perorangan,

organisasi atau perusahaan pada barang dan jasa yang dimiliki

untuk membedakan dengan produk jasa lainnya. Yang dapat

mengajukan pendaftaran merek adalah orang, badan hukum dan

beberapa orang atau badan hukum (pemilikan bersama).

Dalam bahasa Inggris, merek disebut dengan brand atau trade-mark

(merek dagang). Kata brand berasal dari kata dalam bahasa Norse

Lama brandr yang berarti untuk membakar. Pada jaman dahulu,

produsen produk menandai produk mereka dengan cara menancapkan

tanda besi yang dibakar sampai panas membara ke produk

tersebut.

Kotler (2003) berpendapat bahwa merek merupakan sebuah nama,

istilah, tanda, simbol, atau desain atau kombinasi dari

seluruhnya, yang bertujuan untuk mengidentifikasi barang-

barang maupun jasa dari suatu kelompok penjual dan untuk

membedakan produk mereka dari para pesaing.

Richard Koch (dalam Amin Wijaja: 2005) mendefinisikan merek

sebagai sebuah desain visual dan atau nama yang diberikan

kepada suatu produk atau jasa oleh suatu organisasi yang

bertujuan untuk membedakan produknya dari produk-produk

pesaing dan menjamin konsumen bahwa produk tersebut memiliki

kualitas tinggi yang konsisten.

Menurut Hermawan Kartawijaya (1996) merek adalah kelengkapan

produk, jadi setiap produk harus memiliki merek, sehingga

konsumen tidak mengalami kesulitan dalam mencari produk

kembali produk tersebut. Merek juga mempunyai fungsi untuk

membedakan kualitas produk yang satu dengan yang lainnya.

Selain itu merek juga merupakan suatu jaminan dari produsen

atas kualitas dari produk yang dihasilkan.

2.1.2. Elemen – elemen dalam Merek

Ada beberapa elemen di dalam suatu merek, antara lain:

1. Nama merek yang berupa kata atau kelompok kata

2. Logo merek yang berupa gambar (visual)

3. Tagline yang berupa kalimat yang berhubungan dengan produk

merek, contoh : “Ga ada lo ga rame!”

4. Bentuk produk yang dihasilkan produsen, contoh: bentuk

kemasan botol pewangi Downy

5. Warna khusus yang menandakan kekhasan produk merek

tertentu, contoh: warna pink lipstik yang berbeda-beda

setiap mereknya

6. Alunan nada atau suara yang menandakan kekhasan produk

merek tertentu, contoh: jingle Sari Roti yang dialunkan

setiap gerobaknya lewat

7. Wangi yang menandakan kekhasan produk merek tertentu,

contoh: wangi parfum Chanel No. 5

8. Rasa yang dikecap yang menandakan kekhasan produk merek

tertentu, contoh: rasa sirup rasberi Kurnia

9. Pergerakan yang menandakan kekhasan produk merek

tertentu, contoh: produk kulkas yang bisa dibuka dari dua

arah

2.1.3. Jenis – jenis Merek

Ada beberapa jenis merek, yaitu:

1. Merek perusahaan, yaitu merek yang dimiliki oleh suatu

perusahaan yang memproduksi produk atau jasa.

2. Merek pribadi, yaitu merek yang dimiliki oleh distributor

atau pedagang dari produk atau jasa.

3. Produk generik yang merupakan produk barang atau jasa

yang dipasarkan tanpa menggunakan merek atau identitas

yang membedakan dengan produk lain baik dari produsen

maupun pedagang.

2.1.4. Fungsi Merek

Fungsi merek antara lain adalah sebagai berikut:

1. Tanda pengenal untuk membedakan hasil produksi yang

dihasilkan seseorang atau beberapa orang secara bersama-

sama atau badan hukum dengan produksi orang lain atau

badan hukum lainnya.

2. Sebagai alat promosi, sehingga mempromosikan hasil

produksinya cukup dengan menyebutkan mereknya.

3. Sebagai jaminan atas mutu barangnya.

4. Menunjukkan asal barang atau jasa dihasilkan.

2.1.5. Strategi dalam Merek

1. Nama perusahaan

Perusahaan menggunakan nama perusahaan sebagai merek

produk yang mereka pasarkan atau produksi.

2. Merek individual

Perusahaan menggunakan nama merek yang berbeda untuk

setiap produk-produknya.

3. Merek sikap dan merek ikonik

Perusahaan menunjukkan sebuah sikap yang mampu ‘menjual’

produk-produknya sehingga menjadi ikonik (sebuah simbol).

Menurut Holt (2004), ada empat elemen kunci dalam

menciptakan merek ikonik, yaitu performa produk yang

prima dan dapat diterima masyarakat, pembuatan cerita

yang memiliki makna tertentu yang mempertunjukkan suatu

merek, adanya perbedaan antara keadaan konsumen

sesungguhnya dan harapan yang mereka inginkan, dan proses

manajemen merek dalam budaya masyarakat.

4. Tidak memakai merek

Perusahaan tidak menggunakan nama merek, tetapi fokus

pada kekhasan pada produknya untuk membedakan produk

tersebut dengan produk lain yang serupa namun memiliki

merek.

5. Merek yang didapatkan

Perusahaan yang memproduksi komponen penting yang

diperlukan untuk membuat produk-produk lainnya

mempromosikan produknya dengan mereknya sendiri, sehingga

kepopulerannya dapat setara dengan produk akhir di mana

komponen itu diletakkan.

6. Perpanjangan dan dilusi merek

Perpanjangan merek adalah keadaan di mana perusahaan

dapat memakai merek yang sudah mereka miliki untuk

digunakan pada produk lain yang baru atau dimodifikasi

yang masih dalam ranah lingkup produk yang dinaungi merek

tersebut. Contoh: Merek susu cokelat Milo yang

‘dipanjangkan’ kepada produk sereal cokelat dan cemilan

cokelat yang masih sama-sama berupa barang konsumsi

dengan kandungan cokelat. Jika perpanjangan merek telah

sampai jauh hingga merek tersebut kehilangan hubungannya

dengan segmen pasar, area produk, kualitas dan harga yang

semula, merek tersebut dikatakan telah mengalami dilusi

merek.

7. Merek media sosial

Perusahaan memiliki media sosial di mana perusahaan bisa

berkomunikasi dengan konsumen melalui merek yang mereka

miliki, misalnya dalam bentuk fanpage atau akun Twitter

pribadi merek yang memuat informasi produk, promosi yang

sedang berlangsung, menjawab pertanyaan dan keluhan

konsumen, dan sebagainya.

8. Multi-merek

Perusahaan memakai merek berbeda untuk produk yang sama

yang dijual terpisah sesuai merek masing-masing.

9. Merek pribadi

Perusahaan yang menjadi retailer memiliki produk sendiri dan

menjualnya dengan nama merek perusahaan tersebut.

10. Merek individual dan organisasional

Nama seseorang dan organisasi dapat dijadikan sebagai

sebuah nama merek untuk memasarkan produk yang

dihasilkan. Biasanya, nama seseorang atau organisasi yang

dipakai adalah nama seseorang atau organisasi yang

memiliki peranan dalam terciptanya produk tersebut atau

menjadi inspirasi terciptanya produk meskipun yang

bersangkutan tidak terlibat langsung dalam proses

terciptanya produk.

11. Merek yang diciptakan masyarakat

Berbeda dari perusahaan yang menciptakan merek, merek ini

diciptakan oleh masyarakat untuk perusahaan yang

memasarkan atau menciptakan produk.

12. Merek negara (tempat dan diplomasi publik)

Merek dapat menggunakan nama negara tempat produk

tercipta untuk mempromosikan negara tersebut.

13. Merek tempat tujuan

Merek dapat menggunakan nama tempat seperti kota, desa,

provinsi, dan sebagainya untuk mempromosikan daerah

tersebut dan mendapatkan penghasilan berupa pajak dari

penjualan produk tersebut.

2.2. Emosi

2.2.1. Definisi Emosi

Emosi adalah perasaan yang ada di dalam diri individu yang

dirasakan dan diekspresikan oleh tubuh dan merupakan motif

untuk berperilaku. Dalam World Book Dictionary (1994), emosi

didefinisikan sebagai berbagai perasaan yang kuat. Goleman

(1995) menyatakan bahwa emosi merujuk pada suatu perasaan atau

pikiran-pikiran khasnya, suatu keadaan biologis dan psikologis

serta serangkaian kecenderungan untuk bertindak. Syamsuddin

(1990) mengemukakan bahwa emosi merupakan suatu suasana yang

kompleks (a complex feeling state) dan getaran jiwa yang menyertai

atau muncul sebelum atau sesudah terjadinya suatu perilaku.

Donald Norman menjelaskan bahwa emosi tidak terpisahkan

dari kognisi, dan merupakan bagian penting darinya. Apa saja

yang dilakukan dan dipikirkan dipengaruhi oleh emosi, yang

kebanyakan di bawah sadar. Emosi manusia mengubah cara pikir

manusia dan bertindak sebagai pemandu yang konstan dalam

berperilaku yang sepantasnya dan menjauhkan kita dari apa yang

tidak sepantasnya.

2.2.2. Jenis – jenis Emosi Dasar Manusia

Beberapa ahli mengemukakan pendapat mereka mengenai jenis-

jenis emosi dasar manusia, antara lain:

1. Clifford Morgan & Richard King : Gembira, takut, marah

2. Atkinson : Menyenangkan dan tidak menyenangkan

3. Paul Ekman & Richard Lazarus : Bahagia, takut, marah,

sedih, kaget, jijik

4. Daniel Goleman : Kenikmatan, cinta, rasa takut, amarah,

kesedihan, terkejut, jengkel, malu

2.2.3. Cara Terbentuknya Emosi

Lewis dan Rosenblum (dalam Stewart, et.al: 1985) mengutarakan

proses terjadinya emosi melalui lima tahapan sebagai berikut ;

1. Elicitors, yaitu adanya dorongan berupa situasi atau peristiwa.

2. Receptors, yaitu aktivitas di pusat sistem saraf.

3. State, yaitu perubahan spesifik yang terjadi dalam aspek

fisiologi.

4. Expression, yaitu terjadinya perubahan pada daerah yang dapat

diamati.

5. Experience, yaitu persepsi dan interprestasi individu pada

kondisi emosionalnya.

Syamsuddin (2000) mengutarakan mekanisme emosi dalam tiga

variabel, yaitu:

1. Variabel stimulus, yaitu rangsangan yang menimbulkan emosi

2. Variabel organismik, yaitu perubahan-perubahan fisilogis

yang terjadi saat mengalami emosi

3. Variabel respons, yaitu pola sambutan ekspresif atas

terjadinya pengalaman emosi

2.2.4. Anatomi Kecerdasan Emosi

1. Korteks

a. memberi makna apa yang kita serap

b. mengatur fungsi penglihatan, memori jangka panjang

c. bagian ini membuat kita memiliki perasaan akan perasaan

kita sendiri, memahami, menganalisis mengapa punya

perasaan.

2. Hipokampus

a. tempat proses pembelajaran, disimpannya emosi

b. pemicu bagi reaksi emosi amigdala

3. Amigdala

a. Pusat pengendali emosi

b. Pemicu reaksi

2.2.5. Fungsi Emosi

Dalam buku (Rakhmat : 2007) dituliskan bahwa terdapat empat

macam fungsi emosi menurut Coleman dan Hammen (1997), yaitu:

1. Emosi adalah pembangkit energi (energizer). Artinya ketika

seseorang merasakan emosi, maka tubuhnya akan tergerak

untuk melakukan apa yang dirasakannya, dalam hal ini

emosi membangkitkan dan memobilisasi energi kita.

2. Emosi adalah pembawa informasi (messenger). Fungsi ini

lebih mengarah pada komunikasi intrapersonal. Ketika

emosi itu kita rasakan pada diri kita maka secara tidak

langsung kita menyadari apa yang sedang terjadi pada diri

kita atau stimuli apa yang kita dapat dari lingkungan.

3. Pembawa pesan dalam komunikasi intrapersonal dan

interpersonal. Dalam berkomunikasi, pasti memiliki tujuan

atau pesan yang akan disampaikan.

4. Sumber informasi tentang keberhasilan.

2.3. ‘Emotional Branding’

2.3.1. Definisi Emotional Branding

Emotional branding adalah istilah yang digunakan dalam komunikasi

pemasaran yang menunjukkan praktek membangun merek yang

menarik secara langsung pada keadaan sosial, kebutuhan dan

pendapat konsumen. Emotional branding dikatakan sukses apabila

mampu memicu respon emosional pada konsumen, yaitu keinginan

kuat untuk memiliki produk merek tersebut yang tidak bisa

dirasionalkan seutuhnya. emotional branding memiliki dampak

signifikan ketika konsumen mengalami kedekatan yang kuat dan

bertahan lama yang sebanding dengan rasa terikat atau cinta

pada merek tersebut. Menurut Jurnal Pemasaran Asosiasi

Pemasaran Amerika (2006), emotional branding adalah pendekatan

yang berhubungan dan berpusat pada konsumen yang digerakkan

oleh cerita untuk membentuk dan mempertahankan ikatan perasaan

antara konsumen dan merek tersebut.

Berikut adalah kutipan pendapat Marc Gobe mengenai emotional

branding:

"Dewasa ini, saya merasa pendekatan Emotional Branding merupakan elemen

penentu yang sangat penting yang membedakan merek yang sukses dengan merek

yang biasa di pasar. Namun hanya sedikit perusahaan yang memahami seni

menilai - dengan kecerdasan dan kepekaan - kekuatan sejati di balik emosi

manusia. Emotional Branding memberikan lapisan kredibilitas dan kepribadian

yang baru pada sebuah merek, dengan menghubungkan merek dengan orang-

orang pada tatanan pribadi dan holistik. Emotional Branding didasarkan pada

rasa percaya yang unik yang terjalin erat dengan sebuah audiens. Pendekatan ini

meningkatkan pembelian yang hanya sekedar dipicu oleh kebutuhan menjadi

pembelian yang muncul dalam hasrat. Komitmen pada sebuah produk atau intuisi,

kebanggaan yang kita rasakan saat menerima hadiah yang cantik dari merek yang

kita senangi atau pengalaman berbelanja yang positif dalam sebuah lingkungan

yang menakjubkan ketika seseorang mengetahui nama kita atau membawakan

secangkir kopi untuk memberikan kita kejutan yang menyenangkan - perasaan-

perasaan ini merupakan inti dari Emotional Branding”

(Marc Gobe, Emotional Branding, www.emotionalbranding.com)

2.3.2. Sejarah Emotional Branding

Dengan dimulainya pemasaran masal di tahun 1900-an, perusahaan

mulai menggunakan identitas merek untuk menghubungkan sebuah

pemikiran atau gaya hidup dengan sebuah merek. Ide ini

dimiliki oleh Bapak Periklanan Modern, Thomas J. Barrett yang

berada di balik iklan Pears Soap. Barrett menggunakan hubungan

antara kebudayaan tinggi dan kualitas pada merek dari

produknya kepada khalayak ramai. Ini menandai awal merek

emosional modern, melalui penggunaan manipulasi emosi manusia

untuk menjual produk. Para ahli pemasaran dalam masa ini

memahami bahwa untuk menciptakan hubungan antara manusia dan

merek, merek harus menunjukkan kepribadian tertentu dengan

nilai-nilai dan simbol-simbol spesifik yang dikenakan sehingga

berdasarkan emosi manusia, konsumen dapat membangun hubungan

lebih dekat dengan merek.

Permainan emosi dalam merek berubah lebih maju dengan

kepopuleran teori ketidaksadaran pikiran dari Sigmund Freud

dari tahun 1912. Dalam periklanan digunakan pesan dan simbol

tersembunyi untuk memicu respon emosional tanpa membuat klaim

secara langsung tentang produk. Selama awal tahun 1900-an,

Edward Bernays menerbitkan karyanya mengenai propaganda dan

hubungan publik, istilah yang ia pakai, dengan hubungannya

dalam mempengaruhi emosi manusia. Bernays mempromosikan ide

tentang manipulasi opini publik untuk memberi pengaruh. Dalam

buku Public Relations, Bernays berpendapat bahwa periklanan

perlu menerapkan apa yang ilmu sosial telah ketahui tentang

keadaan manusia. Periklanan harus mengakrabkan diri dengan

kata-kata kunci dari ilmu yang berhubungan dengan mereka,

antara lain sosiologi, psikologi, psikologi sosial,

antropologi dan psikiatri. Bernays percaya bahwa periklanan

harus lebih fokus pada studi perilaku manusia. Ini memulai

revolusi dalam periklanan sehingga memulai merek emosional

modern.

Sebagai percobaan, Barneys menciptakan frasa ‘Obor Kebebasan’

(Torch of Freedom) sebagai referensi terhadap rokok yang diisap

perempuan di tahun 1929. Bernays menerapkan nilai-nilai hak-

hak wanita pada imej merek rokok sebagai “obor kebebasan”

dengan mengundang wanita-wanita untuk berbaris saat parade

Minggu Paskah di tahun 1929 sambil merokok sehingga memicu

ketertarikan wanita akan rokok.

2.3.4. Tujuan Emotional Branding

Tujuan emotional branding adalah untuk menciptakan ikatan antara

konsumen dan produk dengan memicu emosi konsumen. Vance

Packard dalam The Hidden Persuaders berpendapat bahwa di dalam

situasi pembelian, konsumen umumnya bertindak secara emosional

dan kompulsif, secara tidak sadar bereaksi terhadap imej dan

desain yang berhubungan dengan produk. Imej dan desain yang

diciptakan tersebut harus didasarkan pada pengalaman sensorial

dan pemahaman atas keinginan emosional yang paling dalam.

Emosi tidak hanya berhubungan dengan kekompulsifan dan

irasionalitas, tetapi adalah reaksi bawah sadar. Inilah yang

menggerakkan teori emotional branding. Untuk menjalin hubungan

dengan konsumen, perusahaan melakukan percakapan pribadi untuk

merespon kebutuhan mereka sehingga terciptalah ikatan

emosional, termasuk di dalamnya kepercayaan, melalui merek

mereka. Bentuk ikatan tersebut adalah memberikan nilai jangka

panjang pada merek dan produk, terkait dengan pengalaman

inderawi, desain yang membuat konsumen merasakan produk,

desain yang membuat konsumen membeli produk sehingga

meningkatkan penjualan produk. Emotional branding juga

menciptakan kepribadian bagi merek tersebut. Kepribadian

inilah yang memicu respon emosional bagi konsumen.

2.3.5. Teknik – teknik Emotional Branding

Ada beberapa teknik untuk mencapai respon emosional untuk

merek, antara lain menaruh merek pada seperangkat nilai-nilai

ideologis. Ini akan bekerja dengan baik ketika pengiklan telah

melakukan riset mendalam pada masyarakat sehingga diketahui

nilai dan pemikiran apa yang akan memicu respon emosional dan

hubungan pada merek. Nilai ini dapat ditambahkan pada merek

melalui imej dan bahasa. Contohnya, iklan teh celup Sariwangi

yang menampilkan nilai-nilai kebersamaan keluarga pada

iklannya. Emotional branding memakai serangkaian tema dan simbol

untuk menciptakan makna bagi konsumen. Tema ini berarti sebuah

konsep atau jalan cerita yang dibawakan dalam iklan, dan jika

terintegrasi cukup baik, dalam merek. Simbol adalah perwakilan

dari tema tersebut. Vance Packard dalam The Hidden Persuaders

mengemukakan bahwa simbol merepresentasikan janji yang dibeli

oleh konsumen. Perusahaan kosmetik tidak menjual Lanolin,

melainkan harapan. Kita tidak membeli jeruk, melainkan

kesehatan. Kita tidak membeli kendaraan, melainkan gengsi.

Menurut Bernays, agar sukses tema harus menarik motivasi

manusia untuk menggerakkan keinginan untuk mencapai tujuan,

yaitu untuk ‘memiliki janji yang ditawarkan tersebut’. Metode

yang dipakai dengan simbolisme antara lain membuat tema dan

simbol dari merek tersebut dipublikasikan secara berkelanjutan

dan memastikan bahwa tema dan simbol dapat bertahan dan

mempromosikan ide spesifik tentang perusahaan. Simbol

perusahaan perlu dirancang dapat beradaptasi dengan mudah

dalam masyarakat namun juga tetap teguh sebagai seperangkat

nilai-nilai. Adakalanya sebuah simbol dapat merepresentasikan

banyak tema secara berkesinambungan. Contohnya, kucing dapat

menyimbolkan suka bermain dan kenyamanan, maka kucing dipakai

sebagai simbol untuk produk alas kaki suatu merek untuk

menggambarkan bahwa produknya berpenampilan menarik namun juga

nyaman di kaki sehingga tetap enak dipakai bermain seharian

tanpa merasa begitu lelah. Packard menandai delapan kebutuhan

tersembunyi yang didasarkan oleh emosi bawah sadar yang

dimiliki konsumen yang memiliki tema dan simbol untuk dijual,

yaitu

1. Keamanan emosional

Semua orang memulai kehidupan sebagai makhluk yang rapuh

sehingga mereka mencari keamanan emosional. Iklan

menawarkan rasa nyaman, aman, kebahagiaan dan lenyapnya

perasaan buruk agar konsumen mendapatkan keamanan

emosional yang didambakannya.

2. Perasaan pantas

Apa yang pantas kita dapatkan? Apakah semua yang kita

miliki memang sudah tepat dimiliki? Perasaan inilah yang

dimainkan oleh pengiklan untuk memasarkan produknya,

dengan harapan bahwa: ‘ya, benda ini pantas dimiliki’.

Salah satu metode yang dipakai untuk memainkan perasaan

ini adalah dengan memasang figur publik yang terkenal dan

dianggap mewakili imej produk.

3. Gratifikasi ego

Sebagai manusia, kita ingin kita dihargai setelah

berusaha keras. Iklan menawarkan penghargaan dan pujian

sebagai ‘balasan’ atas pembelian dan pemakaian produk

mereka.

4. Kreativitas

Mengapa harus mengeluarkan banyak uang untuk membeli

barang-barang jika bisa membuatnya sendiri? Mungkin itu

yang dipikirkan oleh pembuat produk kerajinan tangan

buatan sendiri (do-it-yourself handcraft) seperti membuat

kalung, rajutan, gelang karet dan lain-lain. Tak hanya

benda buatan sendiri, benda yang bisa dikostumisasi

sesuai keinginan dan kreativitas individu masing-masing

juga termasuk dalam kategori ini. Contohnya mainan anak-

anak seperti lego, beragam macam pewarna kue untuk

membuat kue warna-warni kesukaan, dan sebagainya.

5. Objek cinta

Kini bertelepon tak hanya sekedar berkomunikasi, tapi

juga menjalin hubungan dengan orang yang dicintai.

Peliharaan juga tak hanya sekedar makhluk hidup, tapi

juga teman terbaik dalam hidup. Berkat pengiklan, kita

dapat menemukan hal-hal untuk kita cintai juga untuk

orang yang kita cintai.

6. Rasa kekuatan

Dengan kuasa di tangan, gengsi, kenyamanan, keamanan

dapat tergenggam. Kita memiliki hak untuk memilih yang

ingin kita pakai, yang menunjukkan kekuatan kita. Inilah

yang ditawarkan pengiklan kepada konsumen dengan kuasa

dan uang di tangannya.

7. Asal

Asal menunjukkan identitas. Tempat lahir, kebudayaan,

negara tempat kita tinggal, keluarga yang menjadi naungan

kita, almamater dan sebagainya menunjukkan siapa diri

kita karena itu semua menjadi bagian dari kehidupan kita.

Produk yang dipromosikan dengan menguatkan kesan

nostalgia dan atau tradisional seperti keluarga,

kebangsaan, budaya dan sebagainya akan memikat hati kita,

terutama jika asal yang ditunjukkan sangat dekat dengan

kehidupan kita.

8. Imortalitas.

Ketakutan besar, jika bukan terbesar, manusia adalah

lenyap dari dunia dan tidak menjadi berarti lagi. Ini

adalah salah satu ketakutan tertua karena sejak jaman

dahulu kala orang-orang mengusahakan bermacam ramuan dan

teknik agar bisa hidup selama-lamanya atau lebih lama,

minimal terlihat tak pernah menua. Pengiklan memanfaatkan

keadaan ini untuk mempromosikan produk anti penuaan atau

produk-produk lain yang membuat kehidupan kaum lanjut

usia menjadi bahagia, nyaman dan bermakna. Para kawula

muda menjadi imej pendorong bagi mereka untuk menjalani

hidup seperti remaja untuk kedua kalinya.

Metode lainnya adalah dengan cara menyatakan secara

langsung tentang produk dan hubungannya dengan emosi.

Contohnya kalimat “Nikmatilah segelas ketenangan” untuk produk

minuman cokelat atau teh herbal yang memiliki khasiat

menenangkan.

Perusahaan juga bisa memberikan konsumen reaksi

emosional. Misalnya jenis musik pop yang dimainkan sebagai

latar musik dalam sebuah toko aksesoris yang membuat konsumen

merasa bersemangat meskipun hanya sekedar melihat-lihat.

Penting untuk diingat bahwa emotional branding adalah

sesuatu yang didapatkan dalam waktu yang lama dan kemunculan

yang tetap. Melalui pengulangan tema dan simbol ini, nama

merek dapat mencapai euforia merek, di mana sebuah makna tidak

perlu diciptakan karena merek itu sudah cukup kuat imejnya.

2.3.6. Peran Psikologi dalam Emotional Branding

Peran psikologi dalam emotional branding tentu amat besar,

mengingat pengetahuan tentang emosi ada di dalam ranah

psikologi. Perkembangan emotional branding semakin pesat

berkat munculnya teori ketidaksadaran pikiran oleh Freud.

Menurutnya, pikiran tidak sadar terdiri dari proses-proses di

dalam pikiran yang terjadi secara otomatis dan tidak dapat

diintrospeksi. Pikiran tidak sadar mencakup proses berpikir,

ingatan, perasaan dan motivasi. Inilah yang ‘dimainkan’ dalam

emotional branding melalui berbagai upaya yang telah disampaikan

di atas. Pengiklan harus tahu bermacam-macam emosi yang ada

pada manusia, emosi apa yang cocok dengan imej produk dan

merek yang akan dipromosikan, cara memicu emosi tersebut pada

sebagian besar konsumen sesuai target pasar yang diinginkan

dan cara mempertahankan emosi tersebut dalam diri konsumen

sampai konsumen merasa terikat dengan produk dan atau merek

tersebut. Emosi dalam diri konsumen itu akan memotivasi

perilaku apa yang akan ia perbuat terhadap promosi produk atau

merek tersebut. Karena adanya pengulangan (repetisi) dan

penguatan dampak dari promosi, imej produk dan atau merek

dapat melekat kuat dalam ingatan konsumen sehingga menjadikan

konsumen tersebut loyal terhadapnya. Perusahaan harus peka

terhadap suara konsumen untuk mengetahui emosi apa yang mereka

rasakan terhadap produk atau merek sehingga hubungan baik yang

ada tetap terpelihara baik dan konsumen tidak berpindah ke

lain hati. Untuk itu, pemahaman mengenai psikologi menjadi

sangat penting dalam emotional branding.

2.3.7. Pro dan Kontra Emotional Branding

Dari penjelasan di atas, dapat dilihat bahwa emotional branding

memiliki manfaat berarti, yaitu menjadikan konsumen menjadi

terikat (mencintai dan setia) kepada produk atau merek dan

sulit berpindah ke produk atau merek lain dan memikat hati

konsumen untuk membeli dan memakai produk atau merek sehingga

meningkatkan penjualan produk atau merek, tetapi ini bukan

tidak ada kontranya. Emotional branding adalah proses

memanipulasi emosi konsumen untuk mempromosikan produk atau

merek. Emosi adalah elemen yang sangat rentan dan irasional

dari pikiran manusia. Sama seperti hati yang tersakiti oleh

harapan palsu yang keluar dari bibir manis sang kekasih,

konsumen juga dapat merasa ‘terkhianati’ apabila janji yang

mereka beli ternyata tak seperti yang mereka harapkan. Jika

hati konsumen yang ‘terluka’ ini bertemu dengan promosi produk

atau merek lain yang memicu emosi positif dalam dirinya maka

pilihan mereka akan beralih pada produk atau merek tersebut.

Inilah gunanya perusahaan untuk peka terhadap suara konsumen.

Richard Lippke adalah salah satu ahli yang mengkritik

praktek ini. Ia mengritik bagian-bagian berikut:

1. Dorongan untuk menerima daya tarik emosional,

penyederhanaan yang berlebihan, kedangkalan dan standar

bukti yang buruk untuk klaim

2. Penekanan pada kemudahan dan kepuasan daripada

penghematan dan menahan diri

3. Gagasan bahwa pengiklan harus memperlihatkan bagaimana

cara menjalani hidup yang baik pada konsumen

4. Dorongan terus menerus agar jangan sampai tidak memakai

barang-barang baru

5. Kepercayaan palsu bahwa produk akan mengantarkan

barang-barang yang tidak dipasarkan dengan apa yang

dihubungkan padanya.

Menurutnya, masalah periklanan bukanlah penyebab konsumen

memilih produk yang salah, tetapi adalah penyebab konsumen

tertarik dan menjadikan mereka konsumen produk tersebut. Iklan

adalah salah satu bentuk emotional branding yang sederhana

tetapi rumit dalam praktek karena pengiklan berurusan dengan

emosi, hati konsumen. Meskipun irasional, hati tak pernah

berbohong. Sekali konsumen bertemu produk yang melukai hati

mereka, maka mereka tidak akan mau lagi menggunakannya. Mereka

akan menganggap bahwa itu adalah sebuah penipuan. Ini tentu

berdampak besar bagi penjualan produk dan merek yang

menaunginya.

BAB III

SIMPULAN

Emotional branding adalah serangkaian teknik promosi yang digunakan untuk menarik konsumen melalui manipulasi emosi manusia yang berhubungan dengan pikiran tidak sadar untuk meningkatkan penjualan produk dan merek. Emotional branding yang baik akan membuat konsumen loyal dan sangat terikat pada produk. Untuk bisa merebut hati konsumen, perusahaan dan pengiklan harus mengetahui emosi dari konsumen yang mana yang ingin dipicu dan bagaimana cara memicunya dengan tepat. Emotional branding serupa dengan propaganda, sehingga menimbulkan pro dan kontra.

Tugas Riset Marketing

EMOTIONAL BRANDING:

MEREK DAN EMOSI KONSUMEN

Nama : Sara Lupita W. M.

NPM : 12.860.0055

Kelas : Reguler B

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MEDAN AREA