205
KAPABILITAS PEMIMPIN DEMOKRATIS DALAM PENDIDIKAN

Pemimpin Demokratis - PERPUSTAKAAN UNSIKA

Embed Size (px)

Citation preview

KAPABILITAS PEMIMPIN DEMOKRATIS DALAM PENDIDIKAN

Sanksi Pelanggaran Pasal 113 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak

Cipta, sebagaimana yang diatur dan diubah dari Undang-undang Nomor 19 Tahun

2002, bahwa:

Kutipan Pasal 113

(1) Setiap Orang yang dengan tanpa hak melakukan pelanggaran hak ekonomi

sebagai­mana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) huruf i untuk Penggunaan Secara

Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau

pidana denda paling banyak Rp 100.000.000, 00 (seratus juta rupiah).

(2) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang

Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 ayat (1) huruf c, huruf d, huruf f, dan/atau huruf h untuk Peng­guna­an

Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan/

atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000, 00 (lima ratus juta rupiah).

(3) Setiap Orang yang dengan tanpa hak dan/atau tanpa izin Pencipta atau pemegang

Hak Cipta melakukan pelanggaran hak ekonomi Pencipta sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 9 ayat (1) huruf a, huruf b, huruf e, dan/atau huruf g untuk Peng­guna­an

Secara Komersial dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun

dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000. 000, 00 (satu miliar rupiah).

(4) Setiap Orang yang memenuhi unsur sebagaimana dimaksud pada ayat (3) yang

dilakukan dalam bentuk pembajakan, dipidana dengan pidana penjara paling lama

10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 4.000.000.000, 00

(empat miliar rupiah).

KAPABILITAS

PEMIMPIN DEMOKRATIS

DALAM PENDIDIKAN

Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Kata Pengantar:

Prof. Dr. H. Moh. Wahyudin Zarkasyi, SE., MS., Ak., CPA.

Rektor Universitas Singaperbangsa Karawang

bekerjasama dengan

KAPABILITAS PEMIMPIN DEMOKRATIS DALAM PENDIDIKAN

Penul is

Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Kata Pengantar:

Prof. Dr. H. Moh. Wahyudin Zarkasyi, SE., MS., Ak., CPA.

Editor:

Astuti Darmiyanti

Sampul & Tata Letak

W@khyUdin

Cetakan II: Januari 2018

Kode Produksi : LPB.01.18.00186

xiv + 191 hlm. 16 x 23 cm.

Penerbit

LaksBang PRESSindo, Yogyakarta

(Member of LaksBang Group)

E-mail: [email protected]

[email protected]

http://laksbangpressindo.com

Bekerjasama dengan

Universitas Singaperbangsa Karawang

Jl. HS.Ronggo Waluyo, Puseurjaya, Telukjambe Timur, Puseurjaya,

Telukjambe Timur, Kabupaten Karawang, Jawa Barat 41361

Anggota IKAPI

ISBN: 978-602-5452-07-9

Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak

dalam bentuk apa pun tanpa izin penulis dan penerbit.

vDr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Kata Pengantar

Rektor Universitas Singaperbangsa Karawang

KEPADA setiap dosen di lingkungan UniversitasSingaperbangsa Karawang, saya selalu menghimbau agarterus menerus meningkatkan kapasitas dengan cara menuliskarya ilmiah, baik buku maupun artikel untuk jurnal ilmiah.Karenanya, ketika dimintai memberikan kata pengantaratas diterbitkannya buku Dr. Oding Supriadi, M.Pd. selakustaf pengajar FKIP-Universitas Singaperbangsa Karawangyang berjudul KAPABILITAS PEMIMPIN DEMOKRATISDALAM PENDIDIKAN ini saya amat mendukung danmengapresiasi.

Perihal kepemimpinan pendidikan sebagai salah satufokus kajian manajemen pendidikan senantiasa menjadiwacana menarik yang terus menerus diteliti dan dikembang-kan. Buku ini agaknya ingin mengajak para mahasiswa,pembaca, dan para pemangku kepentingan dibidangmanajemen pendidikan untuk menggarisbawahi bahwakepemimpinan yang demokratis dalam pendidikan amatlahpenting dan diperlukan. Kehadiran buku ini sudah barangtentu akan semakin memperkaya literasi manajemenpendidikan pada khususnya dan ilmu pendidikan padaumumnya.

Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.vi

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

Universitas Singaperbangsa Karawang sebagai Per-guruan Tinggi Negeri yang relatif baru pastilah mendukungsetiap upaya publikasi sebagai bagian dari kekayaan in-telektual institusi. Oleh karena itu sebagai pimpinan sayaberharap agar kehadiran buku ini bisa memberikan efekinspirasi bagi dosen-dosen lain di lingkungan UniversitasSingaperbangsa Karawang untuk mengikuti jejak penulisbuku ini.

Semoga kehadiran buku ini, meskipun sedikit, dapatmemberikan manfaat yang besar bagi perkembangan ilmupengetahuan pada umumnya dan bidang manajemenpendidikan pada khususnya. Akhirnya, semoga Allah SWTTuhan Yang Maha Esa senantiasa melimpahkan rakmat danhidayahNya kepada kita semua sehingga mampu meng-hasilkan karya ilmiah yang jauh lebih sempurna.

Karawang, 30 September 2017

Rektor Universitas Singaperbangsa Karawang,

Prof. Dr. H. Moh. Wahyudin Zarkasyi, SE., MS., Ak., CPA.

viiDr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Pengantar Penulis

IBARAT berlari, menulis buku termasuk dalamkategori marathon, bukan sprinter, diperlukan tenaga danmentalitas ekstra dalam menyelesaikannya. Karena itukalimat pertama yang layak penulis sampaikan adalahucapan rasa syukur kehadirat Tuhan Yang Mahaesa AllahSubhana Wa Ta’alaa atas terselesaikannya penulisan bukuini. Tanpa anugerah dan keendak Nya, rasanya sulit bukuini bisa hadir ke sidang pembaca di tengah kesibukanpenulis sebagai aparatur birokrasi pendidikan.

Sebagaimana diketahui, pendidikan sudah merupa-kan public goods yang menjadi hajat hidup orang banyak.Itulah sebabnya konstitusi menjamin sepenuhnya pelak-sanaan pendidikan sebagai bagian dari upaya negara untukmencerdaskan kehidupan bangsa. Sejarah telah mem-buktikan bahwa pelaksanaannya dari waktu ke waktu, dariperiode ke periode, selalu mengalami sentuhan perbaikan,baik di tingkat kebijakan maupun di tingkat operasionalnya.Selalu ada semangat dan upaya untuk menyesuaikannyadengan kebutuhan masyarakat terhadap ilmu pengetahuan,teknologi, dan seni.

Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.viii

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

Fakta membuktikan, tidak ada pelaksanaan pen-didikan yang berjalan dengan sendirinya tanpa pemimpin.Pemimpin pendidikan dengan demikian menjadi bagian takterpisahkan dari teori dan praksis pendidikan. Namunketertarikan penulis terhadap studi kepemimpinan pen-didikan bukan semata-mata karena fakta tersebut, melain-kan juga didorong oleh hipotesis bahwa pemimpin pendidik-an merupakan korelat yang signifikan bagi tercapainyalayanan pendidikan yang berkualitas. Jika benar demikian,pertanyaan selanjutnya ialah, gaya kepemimpinan sepertiapa yang sesuai dengan tuntutan standar mutu danlingkungan pendidikan di Indonesia?

Buku yang merupakan sintesis dari beberapa pene-litian penulis tentang kepemimpinan pendidikan inidiharapkan mampu memberi penjelasan dan informasi detilsebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Agar deskripsimenjadi runtut, maka buku ini diorganisasikan menjadibeberapa bab. Sesuai dengan judulnya, bab pertamamenguraikan ihwal demokratisasi dan pemimpin demo-kratis yang di dalamnya menguraikan bagaimana ge-lombang demokratisasi sebagai gejala global juga melandadunia pendidikan; bagaimana karakter pemimpin demo-kratis yang dimaksudkan, dan pentingnya menempatkantrifungsi kepemimpinan bagi seorang pemimpin pen-didikan.

Bab kedua membahas rentang teori dan gagasantentang pemimpin mulai dari yang klasik hingga kontem-porer serta perihal kepemimpinan pendidikan dan implikasitrifungsi kepemimpinan dalam pendidikan sebagaimanadideskripsikan pada bab pertama. Bab ketiga mengulaskonteks tempat para pemimpin pendidikan berkiprah. Bab

ixDr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

keempat mendeskripsikan berbagai kemampuan ataukapabilitas pemimpin pendidikan yang diperlukan. Babkelima mengulas gaya kepemimpinan dan kaitannyadengan perilaku manajemen serta gaya kepemimpinanpendidikan yang relevan dipromosikan. Bab keenammembicarakan soal kompetensi pemimpin dalamhubungannya dengan kualitas layanan. Pada bab ini jugadibahas contoh kasus kepala sekolah sebagai pemimpinpendidikan, bagaimana mengevaluasi dan mengembang-kan kinerja kepemimpinannya. Sedangkan bab ketujuhmembahas perihal kepemimpinan demokratis dalamhubungannya dengan mutu pendidikan dan penyeleng-garaan sistem pemerintahan yang bersifat baik dan bersih(clean and good governance).

Agaknya tidak berlebihan apabila dalam kesempatanini penulis sampaikan rasa terima kasih dan penghargaanyang setinggi-tingginya atas ketulusan isteri penulis HajjahNur Rossylawati dan anak-anak penulis Agung Muttaqien,Firdaus Muttaqien, dan Annisa Jati Utami tercinta ataskeikhlasan mereka yang telah kehilangan waktu untukbercengkerama, bersendau gurau, dan lain-lain urusankeluarga demi penyelesaian buku ini. Kepada kedua orangtua penulis ayahanda Sayubi Sutarjo bin Suad Madtoip danibunda Irah binti Surtam Kartapraja yang tiada henti selaluberdoa untuk penulis, rasanya ucapan terima kasih sajatidaklah cukup, kepada beliau buku ini penulispersembahkan.

Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepadaBapak Prof. Dr. H. Moh. Wahyudin Zarkasyi, SE., MS., Ak.,CPA., yang telah berkenan memberi kata pengantar buku

Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.x

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

ini sekaligus memberi koreksi dan masukan yang sangatberharga terhadap substansi buku ini. Tentu saja ucapanterima kasih juga penulis sampaikan kepada segenap pihak,para kolega di FKIP-Universitas Singaperbangsa Karawang,dan sahabat akademisi antara lain Astuti Darmiyanti, MA,Ed., Ed.D. (Dosen FAI-Universitas Singaperbangsa Kara-wang) yang berkenan mengiditori buku ini, dan Dr.Mutrofin, M.Pd. (Dosen FKIP-Universitas Jember) yangkontribusinya terhadap penyelesaian edisi revisi buku inisangat signifikan.

Akhirnya seperti kata pepatah “tiada gading yangtak retak,” penulisan buku ini tentu saja masih jauh darisempurna. Oleh karena itu segala kritik, saran dan kontibusiyang konstruktif atas perbaikannya di masa mendatangselalu akan penulis terima dengan tangan terbuka. Semogakehadiran buku ini bermanfaat bagi segenap pembaca dansiapapun yang menaruh kepedulian terhadap mutupendidikan, khususnya dari sisi kepemimpinan.

Karawang, Akhir September 2017

Penulis,

OS

xiDr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

DAFTAR ISI

Pengantar Ketua STIE Setiabudhi ...::vPengantar Penulis ...::ixDaftar Isi ...::xi

Bab I

DEMOKRATISASI DAN PEMIMPIN

DEMOKRATIS ...::1

A. Gelombang Demokratisasi ...::1B. Pemimpin Demokratis ...::9C. Trifungsi Kepemimpinan ...::12

Bab II

MISTERI DAN RENTANG GAGASAN ...::21

A. Misteri Para Pemimpin ...::21B. Kepemimpinan dan Manajemen ...::32C. Dari Gagasan Klasik ke Kontemporer ...::34D. Ihwal Kepemimpinan Pendidikan ...::38E. Implikasi Trifungsi Kepemimpinan dalam

Pendidikan ...::41

Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.xii

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

Bab III

KONTEKS PEMIMPIN PENDIDIKAN ...::47

Bab IV

KAPABILITAS MANAJERIAL PIMPINAN

PENDIDIKAN ...::55

A. Makna Pemimpin ...::55B. Kemampuan Manajerial ...::60

Bab V

GAYA KEPEMIMPINAN DAN PERILAKU

MANAJEMEN ...::67

A. Konsep dan Pendekatan ...::671. Pendekatan Trait (Sifat) ...::712. Pendekatan Perilaku (Behavior) ...::743. Pendekatan Situasional ...::764. Pendekatan Transaksional ...::805. Pendekatan Transformasional ...::816. Pendekatan Kepemimpinan Kharismatik ...::827. Pendekatan Teori Kepemimpinan X dan Y ...::838. Pendekatan Teori Kepemimpinan Z ...::84

B. Perilaku Manajemen ...::88C. Gaya Kepemimpinan Pendidikan ...::93

Bab VI

KOMPETENSI PEMIMPIN DAN KUALITAS

LAYANAN ...::107

A. Standar Kompetensi Pemimpin ...::107B. Kualitas Layanan ...::117

1. Layanan ...::1182. Kualitas Layanan ...::122

C. Kasus Kepala Sekolah ...::137D. Evaluasi Kinerja Kepala Sekolah ...::148E. Pengembangan Keterampilan ...::151

xiiiDr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

Bab VII

KEPEMIMPINAN DEMOKRATIS DAN MUTU

PENDIDIKAN ...::157

A. Tata Pemerintahan Demokratis ...::157B. Kepemimpinan Demokratis ...::165C. Mutu Pendidikan ...::168

DAFTAR PUSTAKA ...::179

The quality of education in the future is depended upongood leaders and effective leadership approachers.Effective educational leader should have a clearunderstanding of their fuctions; a desire for and aknowledge of group dinamics; be accademically andprofessionally honest; have a desire to cut red tape; beunderstanding; patient, immaginative, and innovative;must exhibit the virtues of honesty, integraty,cooperation, and concern for others; ... and must beadaptable.

Morris (1985)

1Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

DEMOKRATISASI DAN PEMIMPIN DEMOKRATIS

A. Gelombang Demokratisasi

KOSA-KATA warisan abad ke-XX banyak yangmenjadi wacana amat populer, mengusik ketidaksadaranwarga bangsa, dan menemukan relevansinya yangsignifikan di abad ke-XXI. Beberapa di antaranya ialahperihal multikulturalisme, globalisasi, dan demokratisasi.Dalam sebuah ensiklopedi, demokratisasi diartikan sebagaiproses rezim otoriter beralih menjadi rezim demokratis.Pengertian tersebut harus secara analitis dibedakan dariproses liberalisasi dan transisi. Liberalisasi hanyalahpelunakan dari rezim otoriter dalam operasi atau kerangkakerjanya. Sementara prosesnya tetap saja dikendalikan olehpara pemimpin otoriter itu sendiri. Proses itu mencakuppenghapusan aspek terburuk dari otoriterisme seperti ber-akhirnya penyiksaan, pembebasan tahanan politik,pengakhiran sensor, dan toleransi oposisi. Pada banyakkasus, liberalisasi boleh jadi merupakan langkah paling muladari transisi menuju demokrasi yang sedang berlangsung(Pasquino, 1996).

Bab I

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

2 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Di luar toleransi oposisi yang tidak populer dalamkultur politik di Indonesia, aspek-aspek terburuk lain dariotoriterisme semasa Orde Baru praktis menjadi berkurangsecara signifikan sejak rezim itu tumbang pada tahun 1998.Perjalanan panjang sejak masa itu, oleh banyak kalanganIndonesia lantas disebut sedang memasuki suatu era yangdalam ilmu politik disebut sebagai era transisi menujudemokrasi. Demokratisasi dimaksud mulai berjalan dengansegala pasang surutnya.

Catatan penting yang relevan digarisbawahi karenamenjadi titik masuk pembahasan buku ini ialah bahwatransisi menuju demokrasi baru benar-benar dimulai ketikapemimpin otoriter tidak lagi mampu mengendalikanperkembangan politik domestik dan terpaksa melepaskandominasinya, diganti posisinya oleh para pemimpin demo-kratis. Pada titik itu, kata Rustow (1970), barulah terjadipembentukan berbagai kelompok, asosiasi, pergerakan danpartai politik yang mengisyaratkan bahwa transisi menujudemokrasi itu telah dimulai. Kelahiran ratusan partai politikyang puluhan di antaranya telah ikut serta dalam PemilihanUmum 1999, 2004, dan 2009 menjadi indikator kuantitatifbahwa transisi menuju demokrasi di Indonesia sudahberjalan kendati masih sebatas demokrasi struktural dansecara kualitatif belum berbentuk demokrasi kultural.

Sejauh menyangkut demokratisasi, menurut ilmu-wan politik Samuel P Huntington (1991), sekurang-kurang-nya ada tiga gelombang demokratisasi dan dua arus sebalik-nya: gelombang pertama terjadi selama periode 1828-1926dan arus balik pertama berlangsung selama periode 1922-1942. Gelombang kedua muncul pada 1943-1962 dan arus

Bab I: Demokratisasi dan Pemimpin Demokratis

3Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

balik kedua pada 1958-1975. Gelombang ketiga terjadimulai 1974 sampai sekarang. Keseluruhan proses demo-kratisasi telah berpindah dari kawasan Anglo-Saxon dannegara-negara Eropa Utara ke cekung Eropa Selatan danke benua Amerika Latin. Menjelang milenium ketiga, gelom-bangnya telah mencapai seluruh Eropa Timur dan beberapanegara Asia. Indonesia, dalam kategori Huntington,termasuk dalam gelombang ketiga bersama-sama denganBurma, Fiji, Ghana, Guyana, dan Lebanon yang belumdiketahui kapan akan terjadi arus baliknya.

Dalam dunia politik, demokratisasi bukan lagi meru-pakan sebuah fenomena yang bersifat budaya danberlawanan dengan periode sebelumnya, ia telah mendapat-kan dukungan luas dari animo masyarakat internasional.Meskipun tidak semua rezim demokratis yang baru bisastabil secara politis dan secara sosial-ekonomis efektif, tam-paknya rezim tersebut mencerminkan kemenangan besardari perjuangan keras dalam melawan aktor-aktor dan men-talitas otoriter (O’Donnel, Schmitter, & Whitehead, 1992.a).

Bagi Indonesia penyebaran demokrasi dapatdikatakan sebagai fenomena yang relatif baru. Implikasinyaadalah bahwa demokrasi memerlukan kondisi yang dihasil-kan oleh masyarakat industri modern untuk menciptakandemokrasi (Vanhanen, 2000). Gagasan ini agaknyamengikuti tesis Seymour M. Lipset yang sangat populer padatahun 1960-an, yakni, semakin kaya suatu bangsa, semakinbesar peluang negara tersebut melaksanakan demokrasi.Tesis tersebut meniscayakan bahwa demokratisasi hanyaakan berjalan apabila satu atau lebih prakondisi yangmenimbulkan demokrasi terpenuhi.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

4 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Sintesis sejumlah sumber kajian ilmu politik menun-jukkan bahwa sekurang-kurangnya ada empat prakondisidemokrasi yang diperlukan. Prakondisi pertama adalahmodernisasi dan kesejahteraan. Prakondisi itu umumnyadisertai oleh sejumlah faktor yang kondusif bagi demokrasi,yaitu meningkatnya tingkat melek huruf (literate) dantingkat pendidikan, urbanisasi, dan eksistensi media massa.Kesejahteraan juga akan menyediakan sumber daya yangdibutuhkan untuk meredakan ketegangan yangditimbulkan oleh konflik politik.

Prakondisi kedua adalah adanya budaya politik, yaitusistem nilai dan keyakinan yang menjelaskan konteks danmakna dari tindakan politik. Namun, karena sistem budayamerupakan subjek yang dinamis, agak sulit ditunjukkansuatu hubungan yang sistematis antara pola budayatertentu dan prevalensi demokrasi. Dalam pengertian yanglebih luas, sejumlah budaya lebih menekankan padahierarkhi, otoritas, dan intoleransi dibandingkan budayalainnya sehingga cukup masuk akal untuk mengharapkanbahwa budaya tersebut kurang kondusif bagi demokrasi.

Prakondisi ketiga adalah struktur sosial masyarakat,yaitu adanya kelas dan kelompok tertentu dalam masya-rakat. Tanpa kelas dan kelompok tertentu dalam masya-rakat, sulit berharap adanya demokrasi. Meskipun tidak adapreferensi tertentu pada setiap kelas, apa dan bagaimanapun strukturnya, sejumlah fakta menunjukkan bahwa per-juangan kelas yang dimaknai sebagai perjuangan masya-rakat melawan dominasilah yang melahirkan demokrasi.

Prakondisi terakhir ialah faktor eksternal, yaitu faktorekonomi, politik, ideologi, dan elemen lain yang merupakan

Bab I: Demokratisasi dan Pemimpin Demokratis

5Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

konteks internasional dari proses yang terjadi di suatunegara. Konteks internasional itu memang menjadi per-debatan panjang yang melelahkan. Meskipun hasil per-debatan menunjukkan bahwa tidak ada kesimpulanlangsung mengenai efek faktor eksternal terhadapdemokrasi, gerakan prodemokrasi yang muncul di banyaknegara, termasuk Indonesia, tidak pernah terpisah darikonteks internasional.

Keempat prakondisi tersebut bukanlah qonditio sinequanon. Beberapa ahli seperti Dahl, Larry Diamond, JuanLinz, dan Seymour Lipset menunjukkan prakondisi lainnyauntuk setiap faktor yang tampaknya kondusif bagi demo-krasi dapat dikemukakan faktor-faktor yang tidak kondusifbagi demokrasi. Di banyak negara barang kali terdapatprakondisi yang berbeda dengan arah yang berbeda,misalnya, faktor budaya mungkin kondusif bagi demokrasi,sedangkan faktor ekonomi tidak, demikian pula sebaliknya.

Bagi Indonesia, agaknya prakondisi ketiga dan ke-empatlah yang paling dominan mewarnai kemunculandemokrasi dan demokratisasi sebab untuk prakondisi yangpertama justru sebaliknya menciptakan apa yang disebutsebagai otoritarianisme sebagai puncak modernisasi karenatidak membawa banyak perubahan pada sebagian besarpenduduknya. Hasil gerakan perjuangan kalangan pro-demokrasilah yang berhasil mengusung proses demokrasidibantu oleh konteks internasional dalam bentuk tekananekonomi sehingga menimbulkan krisis moneter danekonomi yang memaksa rezim berkuasa meletakkankekuasaannya (O’Donnel, Schmitter, dan Whitehead,1992.b).

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

6 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Transisi dari pemerintah nondemokratis menujudemokratis merupakan sebuah proses yang kompleks danmelibatkan sejumlah tahapan. Pada kasus tipikal kon-temporer, permulaan proses ditandai dengan terjadinyakrisis dan akhirnya perpecahan dalam tubuh rezimnondemokratis atau rezim status quo. Jika transisi menujudemokrasi diawali dengan kesadaran dari rezim otoriterbahwa mereka harus meninggalkan kantornya, tahapan ituakan diakhiri dengan pembentukan sebuah pemerintahanyang baru berdasarkan pemilihan bebas. Dalam konteksIndonesia, hingga buku ini diterbitkan, pemerintahan baruberdasarkan pemilihan bebas telah terbentuk selama tigakali, yakni pemerintahan hasil Pemilu 1999, 2004, dan 2009.

Proses penuh menuju demokrasi yang solid mema-kan waktu lama sering kali puluhan tahun. Dalam kasusInggris Raya, proses keseluruhan memerlukan lebih dari 200tahun. Kesan yang lebih nyata dari tahapan dan masalahyang ada dalam transisi menuju demokrasi dapat diperolehdengan menggunakan model sederhana yang menggam-barkan beberapa elemen dalam proses transisi. Modeltersebut merupakan versi modifikasi dari model yang dibuatoleh Dankwart Rustow (Sorensen, 2003). Model tersebutmempunyai satu kondisi latar belakang, yakni persatuannasional yang harus dipahami terlebih dahulu sebelummemahami transisi menuju demokrasi. Persatuan nasionalyang dicirikan oleh mayoritas penduduk dalam warganegara yang tidak mempunyai keraguan dan keberatanmental tentang komunitas politiknya. Jika terjadi perpecah-an etnik dan perpecahan lain di antara yang ada dalamkelompok masyarakat, masalah tersebut harus dipecahkansebelum transisi menuju demokrasi dapat dijalankan.

Bab I: Demokratisasi dan Pemimpin Demokratis

7Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Menurut model tersebut, dengan persatuan nasionalsebagai satu-satunya kondisi latar belakang, tahapanpertama dalam transisi menuju demokrasi adalah tahapanpersiapan (preparatory phase). Tahapan pertama ini meliputipergantian rezim nondemokratis. Demokrasi bisa jadi bukantujuan utama sejumlah orang, kelompok, atau kelas yangmenentang pemerintahan nondemokratis. Demokrasi biasajadi hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan lain ataudampak ikutan dari perjuangan mencapai tujuan lainnyaseperti masyarakat yang lebih setara, distribusi kesejahteraanyang lebih baik, serta perluasan hak dan kebebasan.Komposisi kelompok yang berada di balik penentanganterhadap pemerintah berbeda-beda di setiap negara dan jugaberbeda-beda sepanjang waktu.

Tahapan kedua adalah tahapan keputusan yangberisi sebuah keputusan yang dirundingkan oleh sebagiandari para pemimpin politik untuk melembagakan beberapaaspek krusial dari prosedur demokrasi. Faktor terpentingyang mempengaruhi hasil dari tahapan untuk membanguntata tertib demokrasi adalah membangun koalisis utamayang berada di balik transisi. Perbedaan yang krusial terletakdi antara transisi yang didominasi elit yang juga berada dibelakang rezim otoriter yang lama dan transisi dengan aktormassa yang memperoleh kekuasaan. Transisi seperti itudapat menyebabkan demokrasi yang terbatas.

Tahapan akhir transisi menuju demokrasi adalahtahapan konsolidasi. Sejauh ini belum ada kesepakatanmengenai definisi yang pas. Namun, versi yang palingsering digunakan mengatakan bahwa konsolidasi tidakakan tercapai sebelum lembaga demokrasi terbentuk dan

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

8 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

demokrasi yang baru membuktikan dirinya mampu meng-alihkan kekuasaan kepada partai oposisi; demokrasi tersebutharus terbukti mampu menghadapi tantangan yang palingberat. Menururt Sorensen (2003), konsolidasi bukanlahsebuah proses politik murni, tetapi merupakan proses yangmenuntut perubahan sosial dan ekonomi. Tanpa membuatperubahan untuk mengoreksi ketimpangan yang banyakterjadi di masyarakat, akan terjadi penurunan dukunganpolitik bagi pemimpin yang terpilih secara demokratis danakan terjadi peningkatan delegitimasi bagi rezimdemokratis.

Tahap akhir konsolidasi adalah proses lembaga danpraktik demokrasi mendarah daging dalam budaya politik.Tidak hanya para pemimpin politik, tetapi juga mayoritasaktor politik dan masyarakat yang melihat praktik demo-krasi sebagai bagian dari hak dan tata tertib. Akhirnya,negara demokrasi baru lebih berkembang, praktik-praktikdemokrasi menjadi bagian dari budaya politik. Sayangnya,dengan beberapa kemungkinan perkecualian, tahapan itubelum pernah tercapai dalam transisi yang terjadi dalamdua puluh tahun terakhir ini.

B. Pemimpin Demokratis

Sama sekali tidak ada jaminan bahwa sekali transisidari otoritarianisme itu telah dimulai, prosesnya akan terusberlangsung bergulir menuju suatu rezim demokratis.Sekalipun demikian, begitu transisi itu dimulai berartibahwa tidak mungkin mengembalikan lagi rezim otoritersebelumnya. Pada banyak kasus transisi politik akanberlangsung lama, tersendat-sendat, dan tidak efektif. Pada

Bab I: Demokratisasi dan Pemimpin Demokratis

9Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

kasus lain ciri utama suatu rezim demokratis akan mulaimewujud. Biasanya, partai-partai politik akan munculkembali sebagai manifestasi dari ingatan politik tempo duludari negara atau terbentuknya partai baru untuk mewakilikepentingan aspirasi dari kelompok perlawanan dan oposisiyang telah ada selama pemerintah otoriter masih berkuasa.Kelangsungan dari rezim otoriter sebelumnya akan mem-pengaruhi kelompok kepemimpinan yang berbeda.

Jika rezim otoriter bertahan selama beberapa dasa-warsa, beberapa pemimpin politik yang tua dapat tampilkembali memperoleh popularitas dan dukungan politikuntuk memainkan suatu peran penting dalam masa transisidan pemimpin muda yang baru akan segera mengganti-kan mereka. Jika rezim otoriter bertahan kurang dari satudekade, pemimpin politis yang disisihkan oleh rezim otoritermemungkinkan untuk kembali muncul guna merestrukturi-sasi organisasi politik mereka dan berusaha mendapatkankekuasaan pemerintah. Dengan cara itu masyarakat yangpernah mampat dan terpusat akan memasuki suatu prosesreorganisasi dan terciptalah suatu kondisi sosial untuk aktor-aktor politik yang baru.

Jika berpegang pada skenario positif, Indonesia akanmenjadi negara demokrasi terbesar kedua setelah AmerikaSerikat, atau yang ketiga setelah Amerika Serikat dan India.Hal itu akan dapat dicapai apabila Indonesia dapat mem-pertahankan pola kepemimpinan nasional demokratis yangdipilih melalui pemilu, tetap memberi ruang kepada tumbuhsuburnya partai politik dan bila perlu menumbuhsuburkankultur oposisi, menyelenggarakan pemilu secara rutin untukmemilih presiden secara langsung, memilih anggota DPR,

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

10 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

dan lain-lain lembaga perwakilan sesuai dengan konstitusi.Lebih penting dari semuanya ialah apabila sistem politikIndonesia betul-betul berjalan di atas supremasi sipil.

Sejumlah kajian memperlihatkan bahwa demokrasimerupakan wacana paling mutakhir dari upaya pencarianmanusia atas bentuk pemerintahan universal. Keterlibatanrakyat sejalan dengan semangat etimologis yang melekatpadanya adalah keharusan absolut. Kenisbiannya hanyabisa ditoleransi oleh sistem, bukan oleh pemegang kekuasa-an. Namun, karena pelaksanaannya adalah manusia yangdiketahui dengan sarat berbagai keterbatasan dankepentingan, sebenarnyalah demokrasi ibarat hanyalahsepotong baju. Ada saat baju itu pas dan nyaman dipakai,ada kalanya terasa longgar dan bukan tak mungkin sesekalibegitu sempit sehingga tak memberi tempat bagi beberapajengkal tubuh manusia (Mutrofin, 2007).

Demokrasi sebagai sistem ideologi pun tak jauh dariperumpamaan tersebut, tapi berbeda dengan baju yangkunci utamanya adalah ukuran, bahan, kepantasan, danmode; dalam demokrasi kunci utamanya adalah kesadarandan keyakinan penganut yang kuat tentang kebenaransistem demokrasi sebagai yang paling pas dan tepat bagimereka dalam membangun kehidupan bermasyarakat,berbangsa, dan bernegara dengan segala aspeknya. Ketikasistem demokrasi yang diyakini mampu mengakomodasikepentingan, dan aspirasi masyarakat, misalnya, prosesdemokrasi akan berjalan alamilah dan menemukan sendiriformatnya yang relevan sekalipun tidak benar-benar pas.Terbukti, dalam berbagai negara yang pemerintahannyabegitu kuat menjalankan proses demokrasi, masih terdapat

Bab I: Demokratisasi dan Pemimpin Demokratis

11Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

parlemen jalanan dalam bentuk unjuk rasa, demonstrasi,aksi protes, dan sebagainya sekalipun skalanya demikiankecil (Mutrofin, 2007).

Persoalan mengemuka manakala sebuah bangsabaru belajar dan sedang dalam perjalanan melakukanpencarian atas esensi demokrasi yang oleh para pakar ilmupolitik disebut masa transisi menuju demokrasi. Transisimenuju demokrasi di mana pun merupakan masa kritis,sebab ketika tahap pertama ideologi demokrasi diterimasuatu masyarakat, tidak secara otomatis mengkultur dandipraktikkan secara sempurna. Dengan kalimat lain,ideologi demokrasi dalam sistem politik apa pun dan manapun tetap memerlukan proses sosialisasi, pembudayaan, danpengamalan.

Proses sosialisasi, pembudayaan, dan pengamalantidak akan terjadi tanpa campur tangan dan intervensi,tanpa arahan, dan tanpa suriteladan para pemimpin, ter-utama para pemimpin yang demokratis. Pemimpin demo-kratis yang dilahirkan oleh proses demokratisasi sangatdiperlukan guna menjamin tata pemerintahan yangdiselenggarakan secara baik dan bersih (clean and goodgovernance) di semua lini. Tentu saja hal itu mesti dimulaidari dunia politik untuk kemudian mengimbas secara positifke sektor-sektor lain pemerintahan seperti sektorpendidikan.

Kekhasan masa transisi, kata Alfian (1991), sebelumdemokrasi betul-betul membudaya dan diamalkan suatubangsa, biasanya akan mengalami berbagai macamkesulitan yang mengancam keberlangsungan eksistensinya.Ada masyarakat yang dapat mengatasi berbagai macam

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

12 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

kesulitan, tetapi ada pula yang menemui kegagalan ditengah jalan, antara lain karena tidak mampu membendungarus anarkhisme yang dirangsang oleh sifat terbukademokrasi sebagai ideologi.

Dalam kaitan itu, faktor komunikasi politik me-mainkan peran amat dominan guna memelihara sikap dantingkah laku kehati-hatian masyarakat sehingga merekatidak kembali jatuh ke pangkuan rezim otoritarianisme atautotaliterisme, bahkan rezim militer sebagaimana terjadi diMyanmar dan di Pakistan. Tampaknya hanya pemimpindemokratislah yang memiliki kemampuan untuk melaku-kan komunikasi politik secara komunikatif, jujur, elegan,dan terbuka.

C. Trifungsi Kepemimpinan

Sekiranya perlu disebut nama pemikir politik dansosial jempolan yang setiap bukunya laris bagaikan kacanggoreng di dunia, satu di antaranya adalah FrancisFukuyama. Pemikirannya dalam The End of History andThe Last Man (1992) menjadi perdebatan para pakar diberbagai forum publik serta mengundang gelombang reaksidan kritik di banyak negara. Tiga tahun kemudian, ia jugamenghasilkan Trust: The Social Virtues & The Creation ofProsperity (1995).

Kendati Fukuyama menyebut pencarian sistempemerintahan sudah dituntaskan dengan keunggulandemokrasi dan ekonomi terbuka, ia melihat sejumlah sistemtumbuh lebih mekar dibanding lainnya. Dalam buku keduayang tak kalah ambisiusnya, Fukuyama berusaha meyakin-kan dunia bahwa trust atau kepercayaan dalam kehidupan

Bab I: Demokratisasi dan Pemimpin Demokratis

13Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

ekonomi memiliki peran sentral. Dengan sampel AS, Jerman,dan Jepang di satu sisi serta Cina, Perancis, dan Italia di sisilain, ia sampai pada tesis bahwa modal sosial sebuah negaradan tingkat kepercayaan warga negara kepada pemerintah-nya (demokratis atau otoriter) merupakan faktor terpentingyang menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuahnegara dalam membangun kesejahteraan bangsanya.

Apa relevansi temuan Fukuyama mengenai keper-cayaan sosial tersebut? Jawabannya adalah bahwa di tengahzaman pertarungan untuk mencapai kejayaan ekonomiyang ada di depan kita sekarang, perbedaan kultural akanmenjadi penentu utama keberhasilan bangsa, dan modalsosial yang diwujudkan dalam bentuk kepercayaan akanmenjadi sama pentingnya dengan modal fisik. Hanyamasyarakat dengan kepercayaan sosial tinggilah yang akanmampu menciptakan organisasi bisnis skala besar yangfleksibel yang diperlukan untuk berhasil dalam kompetisiperekonomian global yang berkembang sekarang.

Tidak tertanggungkan lagi berapa kerugian yangmeski dibayar akibat ketidakpedulian pada kepercayaanini. Sementara itu, pada saat yang sama kita dihadapkanpada merosotnya moralitas dan degradasi kejujuran parapemimpin bangsa. Padahal hanya pemimpin yang jujur danterpercayalah (trust leader) yang mampu mengatrol keper-cayaan sosial warga bangsanya. Trust leader, menurut hematpenulis hanya akan terejawantahkan oleh pemimpin yangdemokratis.

Sebagaimana diketahui, wacana publik sebagaimanadirepresentasikan melalui pemberitaan pers nasional setiaphari mengindikasikan betapa sulit menemukan pemimpin

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

14 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

bangsa yang kredibel. Hiruk pikuk kasus duit triliunanrupiah yang terkenal dengan berbagai skandal, mulai darikasus BLBI, kasus Bank Bali, kasus Bank Century, dan tilapmenilap pajak secara sistematis telah membuka mata publikbetapa degradasi kejujuran para pemimpin bangsa sudahsampai pada tahap paling kritis. Padahal, republik ini hanyadapat dibangun oleh para pemimpin yang kredibel,berdedikasi tinggi, dan mengerti betul soal modal sosial dannilai tambah.

Menurut sejumlah teori psikologi, kredibilitasberhubungan dengan persepsi, sedangkan persepsi melekatpada pengalaman dan sepak terjang setiap individu dalamberbangsa dan bernegara di masa lampau. Dalam tatarankehidupan sosial politik, kredibilitas itu sendiri jelas tidakdapat dibangun melalui legitimasi semata-mata, tetapi jugaharus didukung oleh integritas pemimpin dan didukungsemua pihak guna membantu melalui dedikasi, keahliandan kepakaran, kebersamaan, serta -sekali lagi- kejujuran.

Dalam hal kejujuran, banyak orang menoleh padawilayah psikologis manusia. Para teoretikus behaviorismemisalnya, menyatakan bahwa kejujuran dan kebajikanmerupakan tingkah laku yang diperoleh berdasarkanprinsip belajar umum yang mereka senangi. Freudian(pengikut psikoanalisis Freud) berpendirian bahwakebajikan dan kejujuran merupakan identifikasi superegodengan orang tua, dan oleh karena itu ia merupakan hasilkeseimbangan yang tepat antara cinta dan otoritas dalamtata hubungan keluarga. Itulah sebabnya tidak sedikitkalangan yang berusaha menanamkan kejujuran dankebajikan melalui intervensi pendidikan.

Bab I: Demokratisasi dan Pemimpin Demokratis

15Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Ketika para psikolog Amerika melakukan studipertama tentang moralitas manusia (studi Harstone danMay pada 1928-1930), banyak kalangan tidak yakin bahwakejujuran dan kebajikan dapat dibentuk melalui intervensipendidikan. Banyak fakta membuktikan, tingkat pendidik-an yang memadai, misalnya, tidak serta merta menjadikanseseorang jujur dan bijak. Bahkan, seringkali sebaliknya,pendidikan memadai dijadikan sebagai basis untukmelakukan ketidakjujuran, manipulasi, dan hal-hal takterpuji lain yang merugikan masyarakat luas.

Studi Harstone dan May tersebut memusatkan per-hatian pada suatu kelompok kebajikan moral sepertikejujuran, pelayanan, altruisme, dan pengendalian diri.Hasilnya sungguh mengagetkan para pakar yang padamasa itu betul-betul intensif mengkaji soal moralitas manusia.Ternyata tak ada ciri watak disposisi psikologis atau hal yangbersesuaian dengan kata seperti kejujuran, pelayanan,altruisme, dan pengendalian diri.

Sehubungan dengan kejujuran misalnya, merekamenemukan bahwa hampir setiap orang pada suatu waktupernah menipu atau berbohong. Apabila orang pada situasitertentu pernah menipu atau berbohong, hal itu tidak akanberarti ia akan atau tidak akan menipu atau berbohong padasituasi lainnya. Dengan kata lain, bukanlah ciri watakkejujuran yang membuat seorang manusia menipu atauberbohong pada situasi tertentu. Para peneliti awal inimenemukan bahwa orang yang menipu atau berbohongmengungkapkan sama banyak atau malah lebih banyakketidaksetujuan moral terhadap penipuan atau kebohonganseperti mereka yang tidak berbohong dan tidak menipu.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

16 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Pemimpin yang jujur memang tidak otomatis demo-kratis, tapi sebaliknya setiap pemimpin yang demokratispastilah menomorsatukan kejujuran. Hanya pemimpindemokratislah yang memiliki nyali untuk bersikap terbukaatau transparan. Transparansi adalah modal elementer bagisetiap kejujuran karena daripadanyalah setiap warga bangsamemiliki peluang untuk melakukan penilaian terhadappemimpinnya.

Teori orang besar (baca: kepemimpinan) sering kalimenyebut-nyebut bahwa proses yang mempengaruhiaktivitas seseorang atau sekelompok orang dalam upayamenuju ke arah pencapaian tujuan pada situasi tertentuhanya akan efektif jika ada kesamaan pandangan antarapemimpin potensial sebagai fungsi dari pengikut potensial.Hal ini berlaku tidak saja untuk pemimpin yang didaulatkarena kedudukannya (status leadership), tetapi jugaberlaku bagi kepemimpinan yang muncul dalam suatusituasi tertentu (emergent leadership), sehingga bisadibedakan secara tegas antara pemimpin dan pelawak.

Jika bantalan psikologis berupa kecerdasan emosionalmerupakan elemen penting yang selayaknya dipikirkan dimasa mendatang agar ada pada pengikut potensial,kejujuran merupakan prasyarat mutlak yang diperlukanoleh para pemimpin potensial. Dengan kata lain, sekiranyakita hendak benar-benar keluar dari berbagai krisis yangsungguh-sungguh telah mengancam kehidupan berbangsadan bernegara, sangat dibutuhkan kehadiran parapemimpin yang dapat dipercaya.

Pemimpin terpercaya inilah yang kelak diharapkanmampu membangun kepercayaan masyarakat sebagai

Bab I: Demokratisasi dan Pemimpin Demokratis

17Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

modal sosial untuk bangkit kembali meraih kejayaanIndonesia sebagai sebuah bangsa. Kalau ada elit politik,hukum, elit ekonomi, dan elit pendidikan yang dari hari kehari selalu menjadi tertawaan banyak orang, lebih baik iatak usah jadi pemimpin, melainkan jadi pelawak saja, sebabpemimpin yang berperan ganda sebagai pelawak jauh lebihburuk ketimbang pelawak yang kemudian jadi pemimpin(Mutrofin, 2007).

Paparan di atas seharusnya membuka kesadaransiapa pun bahwa degradasi (kemerosotan) kejujuran parapemimpin punya kontribusi besar atas munculnya berbagaimultiekses (ekses ganda). Ketidakjujuran, diakui atau tidak,telah menimbulkan ekses ekonomis, dan politis berupaketidakpercayaan masyarakat. Sementara itu dari sisi pen-didikan masyarakat, ekses edukatif yang ditimbulkannyasangatlah berat. Karena dibutuhkan waktu lebih dari satugenerasi untuk menghapus tilas ketidakjujuran parapemimpin sehingga dihasilkan para pemimpin yang benar-benar jujur.

Dalam konteks tersebut dalam buku ini dipromosikangagasan trifungsi kepemimpinan yang menjadi bagian darikarakter dan kapabilitas pemimpin demokratis dalam duniapendidikan. Gagasan tersebut lahir dari sejumlah riset yangpenulis lakukan, sekaligus telah dipraktikkan selama lebihdari 20 tahun sebagai pemimpin pendidikan.

Gagasan pertama, sebagai pemimpin pendidikanyang demokratis, seseorang harus memiliki kapabilitasdalam bertindak sebagai “manajer.” Sebagai manajer, iaharus menginternalisasi nilai ilmiah manajemen yang sudahteruji di berbagai jaringan organisasi. Sebagai manajer,

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

18 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pemimpin pendidikan hendaknya memiliki kapabilitasuntuk memotivasi, dan mempengaruhi staf untuk mencapaitujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya(Supriadi, 2009). Bab-bab selanjutnya buku ini memaparkanseluk-beluk fungsi tersebut dalam berbagai perspektif yangdapat memperkaya kapabilitas pemimpin demokratisdengan berbagai tantangannya.

Kedua, sebagai pemimpin pendidikan yang demo-kratis, seseorang harus memiliki kapabilitas dalam ber-tindak sebagai “orang tua.” Di kalangan Freudian, fungsikepemimpinan dengan personifikasi sebagai orang tuamemiliki peranan yang amat sentral, sebab seperti diketahui,masyarakat Indonesia pada umumnya merupakan masya-rakat paternalis yang masih kuat mengidentifikasi pe-mimpin sebagai orang tua. Sebagai orang tua tugaspemimpin pendidikan adalah mengayomi, melindungi, danmendukung agar semua staf selamat dan mencapai tujuanmasing-masing sesuai dengan keinginannya.

Ketiga, sebagai pemimpin pendidikan yang demo-kratis, seseorang harus memiliki kapabilitas dalam ber-tindak sebagai teman. Fungsi ini didasari oleh asaskolegialitas dalam kepemimpinan dan organisasi. Fungsi inimeniscayai pemimpin sebagai tempat untuk menum-pahkan curahan hati, saling bertukar pendapat dan pikiran(sharing opinian), dan wahana dalam rangka mencari solusisebagai upaya peningkatan karier.

19Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

MISTERI DAN RENTANG GAGASAN

A. Misteri Para Pemimpin

“KALAU Bung Karno (maksudnya adalah Ir.Soekarno, tokoh proklamator dan Presiden pertama RI)berpidato, jalanan menjadi sepi, rakyat berbondong-bondong mendengarkan radio. Semangat revolusi yangditeriakkan Bung Karno menyedot perhatian rakyat. Setiapkata yang diucapkan Bung Karno benar-benar menyentuhjiwa patriotisme”, kata seorang sahabat tua sembarimengingatkan betapa berat perjuangan zaman revolusidalam upaya mempertahankan eksistensi Negara KesatuanRepublik Indonesia. Nyaris tidak terbantahkan bahwa tigagenerasi yang menyertainya, yakni generasi sebelumIndonesia modern pra-1945, generasi pascakemerdekaanIndonesia hingga berakhirnya era Orde Lama 1966, dangenerasi era Orde Baru hingga reformasi 1998, tak mungkintidak mengenal Bung Karno meskipun tidak secara fisik.

Di negeri ini cukup banyak tokoh atau pemimpinyang kiprahnya diakui mewarnai perjalanan sejarah dunia

Bab II

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

20 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

dengan ide dan gagasan besar, juga langkah-langkah besar,bahkan terkadang dapat dikategorikan kontroversial. SelainSoekarno yang bergerak di bidang politik, tercatatMohamad Hatta, Sjahrir, Soeharto, dan nama-namalainnya. Di bidang pendidikan dan religiositas tercatat K.H.Hasyim Asyari, Ki Hajar Dewantara, K.H. Achmad Dahlan,Nurcholis Madjid, dan nama-nama lainnya. Mereka adalahpara pemimpin besar yang gagasan briliannya masihrelevan hingga kini.

Di belahan lain dunia, ada Franklin D. Roosevelt yanggemilang mengangkat Amerika Serikat keluar dari depresibesar, menerapkan program sosial utama seperti keamanansosial, dan memobilisasi bangsa itu menuju Perang DuniaII. Di rentang periode sejarah yang sama, Adolf Hitlermengubah Jerman dalam cara yang menghasilkan agresiparanoid, penganiayaan, kerusakan, dan kematian jutaanorang. Di Timur Tengah tercatat Gamal Abdul Nasser,Khomeini, Yaser Arafat, dan nama-nama lain yang begitupopuler di mata dunia internasional, termasuk dalamkategori tersebut tercatat nama Nelson Mandela dari AfrikaSelatan, dan Nehru dari India.

Sejumlah tokoh tersebut, yang juga bisa disebutsebagai pemimpin dunia yang menorehkan sejarah besarpada masanya, adalah sekadar contoh betapa kelahiranseorang pemimpin di tengah komunitasnya masihmerupakan misteri. Dikatakan misteri karena hingga kinibelum ada alat ukur yang valid dan kriteria yang objektifdapat digunakan untuk memprediksi kelahiran pemimpinseperti itu. Mereka rata-rata dilahirkan oleh sejarah di tengahkomunitas dengan segala tantangan yang melingkupinya.

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

21Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Memang benar bahwa pemimpin seperti itu, yang disebutoleh Bryman (1992) sebagai pemimpin kharismatik,memiliki tingkat kekuatan referen (referent power) yangsangat tinggi dan beberapa kekuatan tersebut diperoleh darikebutuhan mereka untuk mempengaruhi pihak lain.

Sosok kharismatik itu sendiri secara awam selalu kitaidentikkan sebagai seseorang yang mampu mmemancarkandaya tarik personal, popularitas, atau kekuatan tersendiriyang mendorong orang lain untuk patuh kepadanya.Namun, menurut Willner (1984) dalam The Spellbinders:Charismatic Political Leadership, pandangan seperti itu padadasarnya bertolak belakang dari konsepsi yang selama inidianut para sosiolog. Hal yang sama juga diungkapkan RoyWallis (1996), bahwa kharisma adalah salah satu konsepsosiologis yang paling kompleks. Hal itu disebabkan istilahtersebut telah digunakan untuk keperluan populer, seku-rang-kurangnya oleh media massa, yang telah menyim-pang dari makna aslinya. Sejatinya, istilah kharismabersumber dari satu konsepsi teologis yang berarti keang-gunan dan wibawa yang langsung dikaruniakan Tuhankepada seseorang. Weber mengembangkan penggunaansosiologisnya agar maknanya menjadi luas. Kharismadiartikan Weber sebagai kemampuan seseorang dalammendapatkan pengakuan alamiah dari orang lain sebagaipemimpin berkat adanya kekuatan supranatural ataukualitas individual tetentu yang dibawanya sejak lahir.

Banyak pihak menyatakan bahwa rumusan Webertersebut rancu karena perluasan makna tersebut mengarahke dua sisi (Wallis, 1996). Sisi pertama menunjukkan bahwahakikat kharisma terdapat pada kekuatan atau kualitas

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

22 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

tertentu dari seseorang sehingga sudah sewajarnyalahapabila dapat dijelaskan berdasarkan atribut psikologis-personal dari para pemimpin, sedangkan sisi keduadinyatakan bahwa karakter kharisma itu ditentukan pulaoleh pengakuan orang lain sehingga seharusnya bisadijelaskan berdasarkan psikologis-sosial hubunganantarpribadi, yakni antara pemimpin dan pengikutnya.

Menurut hemat penulis tidaklah demikian, Weberagaknya mengakui bahwa kelahiran pemimpin kharis-matik tetaplah sebagai suatu misteri meskipun pada suatuketika dapat ditimba sains leadership dari penelusuran atassepak-terjang sosial dan pandangan personal yang menge-muka dari para tokoh sejarah mengindikasikan bahwapemimpin kharismatik memiliki kepercayaan diri yangtinggi, cenderung mendominasi, dan kepercayaan yangkuat terhadap moral. Tampak jelas bahwa pemimpin kharis-matik perlu mengomunikasikan visi atau tujuan yang lebihjauh untuk membangkitkan komitmen dan energi parapengikutnya.

Weber secara tajam membedakan kharisma denganbentuk wewenang lain yang bersumber dari tradisi dan daripertimbangan rasionalistik atau legal lainnya. Pemimpinkharismatik adalah orang yang mampu merombak tradisi,bahkan menjungkir-balikkan norma-norma hukum yangtengah berlaku dan membangkitkan kepatuhan mutlakseperti halnya para nabi dan rasul yang diyakini mempunyaikekuatan supranatural tertentu. Itulah sebabnya kenapapara pemimpin yang diperoleh melalui prosedurkonvensional atau lewat warisan, misalnya para raja, jarangbahkan tidak dapat disebut sebagai pemimpin kharismatik.

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

23Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Pada umumnya para pengikut tokoh kharismatikbersedia menyerahkan kepatuhan dan pengabdiannyakarena mereka merasa terpanggil atau merasa yakin bahwakepatuhan dan pengabdian itu akan menyelamatkan dirimereka sendiri. Secara umum, menurut Wallis (1996), ke-patuhan itu bersifat permanen. Namun, ada kalanyakepatuhan itu perlu dipupuk dan dibina secara periodik agartidak luntur dan hal itu menjadi tugas pemimpin. Dalamkasus termutakhir di Indonesia dapat ditunjuk, misalnya,bagaimana pengikut Soekarno dan Abdurrahman Wahid(Gus Dur) sepanjang waktu selalu mengaktualkan apa yangtelah menjadi pemikiran dan karya-karya besar keduapemimpin kharismatik tersebut. Mulai dari idemarhaenisme, nasionalisme, multikulturalisme, dan lain-lainyang relevan bagi warga bangsa kini dan mendatang.

Sebagaimana sering terekam dalam sejarah, parapemimpin kharismatik pada umumnya lebih mengandal-kan sekelompok kaki tangan atau kalangan tertentu yangsecara personal dekat dengannya daripada jajaran stafadministratif yang stabil dan mapan. Sering kali terjadi,kalangan terdekatnya, khususnya apabila kharismapemimpinnya bersifat religius, terdiri atas sanak familiterdekat yang tinggal di suatu lingkungan tertentu yangmemungkinkan mereka menjalin hubungan komunal danemosional yang erat dengan sang pemimpin. Merekamenerima bagian wewenang dari pemimpin bukan atasdasar keahlian teknis melainkan atas dasar kepatuhannya.Wewenang itu pun bersifat ad-hoc, tidak ada penugasanyang bersifat rutin, hanya bersifat sementara. Setiap saatsang pemimpin selalu melakukan intervensi. Pertimbanganekonomi juga hanya menjadi salah satu alasan pendelegasi-

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

24 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

an wewenang. Pengambilan keputusan pun bersifatinspirasional dan tidak pasti.

Sejauh menyangkut pembatasan mengenai pe-mimpin kharismatik, yang berbeda dengan pemimpintransaksional dan transformatif yang bisa disigi efektiftidaknya bagi kepentingan organisasi, pada pemimpinkharismatik dikenal istilah positif dan negatif. Bagaimanacaranya membedakan antara pemimpin kharismatik yangpositif dan negatif telah menjadi salah satu isu menarik bagiteori kepemimpinan. Hingga saat buku ini ditulis, belumada kriteria baku yang jelas kapan seorang pemimpintertentu harus digolongkan sebagai pemimpin yangmemiliki kharisma positif atau negatif. Pendekatan yangsering kali digunakan untuk mengetahui hal itu ialahdengan cara menguji implikasi, konsekuensi dan loyalitaspengikutnya. Namun, kebanyakan pemimpin kharismatikmemiliki pengaruh, baik positif maupun negatif terhadappara pengikut. Jika dirunut lebih jauh, barangkali akanterjadi silang pendapat tentang relatif penting-tidaknyakharisma dimaksud. Bahkan, terkadang ada ketidaksesuai-an mengenai apakah hasil kepemimpinan kharismatikmenguntungkan, sekadar mengganggu, ataukah tidakmenguntungkan bagi pengikutnya.

Salah satu pendekatan yang lebih baik untukmembedakan antara kharisma positif dan negatif adalahdalam hal nilai dan kepribadian mereka. Kharisma negatifmemiliki orientasi kekuasaan secara lebih personal. Parapemimpin kharismatik lebih menekankan atau menonjol-kan identifikasi pribadi daripada proses internalisasi dirinyaoleh para pengikutnya. Ada kesadaran secara sengaja untuk

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

25Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

berusaha lebih menanamkan kesetiaan kepada diri merekasendiri daripada idealisme. Mereka dapat menggunakandaya tarik ideologis, tetapi hanya sebagai cara untukmemperoleh kekuasaan. Setelah itu, ideologi diabaikan ataudiubah secara halus, bahkan terkesan sembarangan sesuaidengan sasaran pribadi pemimpin itu. Mereka berusahauntuk mendominasi dan menaklukkan pengikut denganmembuat mereka tetap lemah dan bergantung padapemimpin. Otoritas untuk membuat keputusan pentingdipusatkan pada pemimpin, penghargaan dan hukumandigunakan untuk memelihara sebuah citra pemimpin yangtidak dapat berbuat kesalahan atau untuk membesar-besarkan ancaman eksternal kepada organisasi. Sering kaliterjadi keputusan para pemimpin seperti ini mencerminkanperhatian yang lebih besar terhadap pemujaan diri danmemelihara kekuasaan daripada memikirkan kesejahteraanpengikut.

Sebaliknya, kharisma positif memiliki orientasikekuasaan sosial. Para pemimpin dengan kharisma sepertiini menekankan internalisasi nilai, bukan identifikasi pribadi.Mereka berusaha untuk menanamkan kesetiaan kepada dirimereka sendiri. Otoritas didelegasikan hingga batas yangcukup besar, informasi dibagikan secara terbuka,diwujudkan dalam keputusan, dan penghargaan digunakanuntuk menguatkan perilaku yang konsisten dengan misidan sasaran organisasi. Hasilnya adalah kepemimpinanmereka akan makin menguntungkan bagi pengikutwalaupun konsekuensinya yang mendukung tidak dapatdihindari jika strategi yang didorong oleh pemimpin tidaktepat.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

26 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Sejatinya, teori utama mengenai kepemimpinankharismatik lebih menekankan pada konsekuensi positif,tetapi sejumlah ilmuwan sosial juga telah mempertimbang-kan sisi gelap dari kharisma. Konsekuensi negatif yangmungkin terjadi dalam organisasi yang dipimpin olehpemimpin kharismatik adalah:

(a) keinginan akan penerimaan oleh pemimpinmenghambat kritik dari pengikut;

(b) pemujaan oleh pengikut menciptakan khayalan akantidak dapat berbuat kesalahan;

(c) keyakinan dan optimisme berlebihan membutakanpemimpin dari bahaya nyata;

(d) penolakan akan masalah dan kegagalan mengurangipembelajaran organisasi;

(e) proyek berisiko yang terlalu besar, akan besar kemung-kinannya untuk gagal;

(f) pujian sepenuhnya atas keberhasilan akan mengasing-kan beberapa pengikut yang penting;

(g) perilaku impulsif yang tidak tradisional menciptakanmusuh dan juga orang-orang yang percaya;

(h) ketergantungan pada pemimpin akan menghambatperkembangan regenerasi atau penerus yang kompeten;

(i) kegagalan untuk mengembangkan regenerasi ataupenerus pada akhirnya menciptakan krisis ke-pemimpinan.

Konsekuensi yang saling terkait berkomposisi untukmeningkatkan kemungkinan bahwa karier pemimpin akanterpotong singkat. Para pemimpin kharismatik cenderung

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

27Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

untuk membuat keputusan yang berisiko yang dapat meng-akibatkan kegagalan serius dan mereka cenderung untukmembuat musuh yang lebih kuat yang akan menggunakankegagalan demikian sebagai kesempatan untukmemindahkan pemimpin dari kantornya.

Optimisme dan keyakinan diri amat penting untukmempengaruhi orang lain agar mendukung visi pemimpin,tetapi optimisme berlebihan membuat makin sulit bagipemimpin untuk mengenali kekurangan dalam visi itu.Terlalu mengenali visi tersebut akan merendahkan kapasitasuntuk mengevaluasinya secara objektif. Pengalaman darikeberhasilan sebelumnya dan pemujaan bawahan dapatmenyebabkan pemimpin percaya bahwa penilaiannya tidakbisa salah. Dalam pencarian yang tekun untuk mencapaisisi itu, seorang pemimpin yang kharismatik dapatmengabaikan atau menolak bukti bahwa visinya tidakrealistis dan mengarah kepada kegagalan. Para pengikutyang percaya pada pemimpin itu akan terhalang untukmenunjukkan kekurangan atau menyajikan perbaikanyang membuat sebuah keputusan yang buruk mungkinterjadi.

Perilaku impulsif dan tidak konvensional yang samayang menyebabkan beberapa orang memandang seorangpemimpin sebagai kharismatik akan tersinggung danmelawan orang lain yang memandang perilaku itu sebagaihal yang mengganggu dan tidak tepat. Hal serupa, pendirianyang kuat dari pemimpin itu terhadap ideologi yang tidaktradisonal akan mengasingkan orang yang tetap teguhterhadap cara tradisional dalam melakukan berbagai hal.Beberapa pendukung awal bisa seperti mengkhayal jika

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

28 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pemimpin itu gagal mengakui kontribusi penting merekaterhadap keberhasilan besar dari kelompok atau organisasi.Bass (1990) menyebutkan bahwa respons dari orangterhadap pemimpin yang kharismatik akan lebih besarpenghormatan luar biasa oleh beberapa orang lainnya. Jadi,keuntungan memiliki beberapa pengikut yang berdedikasiyang mengenali pemimpin akan diimbangi kerugiannyadengan memiliki beberapa musuh yang kuat, kemungkinanmeliputi anggota yang berkuasa dari organisasi itu yangdapat merendahkan program pemimpin tersebut atauberkonspirasi untuk menggeser pemimpin darikedudukannya.

Di luar semua konsekuensi yang merugikan tersebut,seseorang pemimpin yang kharismatik tidak terkutuk untukgagal. Terdapat banyak contoh mengenai kharismatiknarsistik yang mendirikan kerajaan politis, mendirikanperusahaan yang makmur, atau memulai sekte agama barudan mempertahankan kendali atas mereka di sepanjangmasa hidup mereka. Keberhasilan yang terus menerusmungkin bagi pemimpin yang memiliki keahlian untukmembuat keputusan yang baik, keterampilan politis untukmempertahankan kekuasaan, dan keberuntungan yangbaik untuk berada dalam situasi yang menguntungkan.

Para pengikut akan jauh lebih baik bila bersamadengan pemimpin yang berkharisma positif daripadadengan pemimpin berkharisma negatif. Mereka lebih besarkemungkinannya akan mengalami pertumbuhan psikologisdan perkembangan kemampuan mereka dan organisasiakan lebih dapat beradaptasi terhadap sebuah lingkunganyang dinamis, bermusuhan, dan kompetitif. Pemimpin yang

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

29Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

berkharisma positif biasanya menciptakan sebuah budayayang berorientasi pada keberhasilan, sistem kinerja tinggi,atau organisasi yang dipicu oleh nilai secara langsung.Organisasi jelas telah memahami misi yang telahmewujudkan nilai-nlai sosial bukan hanya keuntungan ataupertumbuhan, para anggota dari semua tingkat diberikankewenangan untuk membuat keputusan penting tentangbagaimana menerapkan strategi dan melakukan pekerjaanmereka, komunikasinya terbuka dan informasi dibagikan,dan struktur dan sistem organisasi mendukung misinya.

Jika dipandang sebagai mode operasi normal, budayakeberhasilan tunggal akan menciptakan tekanan yangberlebihan dan para anggota yang tidak mampumenoleransi tekanan itu akan mengalami penyimpanganpsikologis. Sebuah budaya keberhasilan dalam satu subunitdari organisasi yang besar dapat mengakibatkan sifat elite,isolasi, dan kurangnya kerja sama yang dibutuhkan dengansubunit lainnya. Kondisi budaya yang tidak terlalumenuntut, harus memiliki keseimbangan yang lebih baikantara masalah tugas dan masalah manusia.

Pada prinsipnya, kata Weber, kharisma merupakanbentuk wewenang yang rapuh dan tidak stabil. Bentukkharisma yang paling murni hanya bisa bertahan singkat,dan cenderung berubah ke bentuk wewenang lain, baik ituyang bersifat tradisional maupun yang bersifat legal-rasional. Pergeseran tersebut dengan sendirinya mengubahpula struktur kalangan yang mendukungnya. Skoppendukung yang diperlukan kian luas sehingga dibutuhkanadanya koordinasi, supervisi, dan delegasi yang kianmeningkat. Sebagai konsekuensinya, karakter personal

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

30 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

akan luntur dan unsur rutinitas akan membesar seiringdengan meningkatnya kebutuhan akan stabilitas danprediktabilitas. Masalah suksesi acap kali memperkuatproses rutinitas tersebut. Kharisma biasanya sulit diwariskansehingga, kalaupun terjadi hal itu merupakan tahapanperantara dalam proses transformasi wewenang menjadilebih tradisional atau legal-rasional.

Misteri kelahiran seorang pemimpin kharismatikadalah satu sisi, sulit kiranya berharap kontinyuitasnyauntuk dunia pendidikan. Secara kultural Indonesia belummemiliki pemimpin pendidikan sekapasitas Ki HadjarDewantara. Namun, di sisi lain, terdapat segudang harapanlahirnya pemimpin struktural dalam bidang pendidikan. Sisiinilah yang seyogianya mendapat perhatian serius danmemperoleh skala prioritas tinggi untuk dihasilkan.Kehadiran buku ini merupakan bagian dari ikhtiar untukitu.

B. Kepemimpinan dan Manajemen

Leadership atau kepemimpinan merupakan sebuahproses pengaruh satu arah ataupun timbal balik untukmencapai ketaatan. Kepemimpinan bisa saja terfokus padasatu individu, tetapi tidak harus selalu demikian (Hunt,1996). Kadang-kadang kepemimpinan diperlukan seolah-olah sebagai terminal akhir bersama manajemen, tetapikemudian kajian kepemimpinan cenderung makinmenekankan pada berbagai aspek perubahan, padahalmanajemen lebih menekankan pada status quo (Yukl, 1994).

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

31Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Meskipun kepemimpinan memiliki relevansi yangtinggi dan penting bagi manajemen, kepemimpinan danmanajemen merupakan dua konsep yang berbeda. Untukmengilustrasikan perbedaan tersebut, Wren (1970)menyatakan bahwa sebagian besar organisasi berada padasituasi terlalu berlebihan pengelolaannya (overmanaged ) dankurang sentuhan kepemimpinan(underlead). Seseorangdapat dikatakan sebagai manajer yang efektif karenamemiliki kemampuan tinggi sebagai perencana danadministrator, tetapi dia kurang memiliki keterampilanmemotivasi sebagai seorang pemimpin. Sebaliknya,seseorang yang lain dikatakan sebagai manajer yang efektifkarena memiliki keterampilan membangkitkan antusiasmekaryawan, tetapi dia tidak memiliki keterampilan manajerialuntuk menghubungkan kelebihan setiap karyawan menjadisuatu kombinasi yang konstruktif.

Sudut pandang buku ini bersifat komplementer.Kepemimpinan dan manajemen ditempatkan sebagaientitas yang simbiosis mutualistik. Tidak disaling-pisahkan.Penulis berpandangan, tanpa kepemimpinan yang ideal,memadai, kompeten, demokratis, kuat, dan lain-lain standar,aplikasi manajemen apa pun tidak pernah akan mencapaisasarannya dengan baik. Penguasaan kepemimpinan samapentingnya dengan penguasaan manajemen. Artinya,kombinasi keduanya merupakan formula paling sempurnayang mesti dikuasai oleh para pemimpin yang menghendakisukses paripurna dalam pekerjaan dan fungsinya sebagaipemimpin di berbagai bidang kehidupan.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

32 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

C. Dari Gagasan Klasik ke Kontemporer

Gagasan paling klasik sebagaimana dikemukakanpara psikolog dan peneliti kepemimpinan bermula dariupaya untuk memahami kepemimpinan dengan mencobamelakukan identifikasi terhadap karakteristik personal parapemimpin. Gagasan itu dilandasi suatu asumsi bahwakarakteristik kepemimpinan terlahir dari diri seorangpemimpin. Gagasan itulah yang di kemudian harimendasari suatu pemahaman bahwa seseorang dapatmenjadi pemimpin karena dia memang dilahirkan sebagaipemimpin, bukan dibentuk menjadi pemimpin. Gunamenentukan karakteristik kepemimpinan yang dapatdiukur, peneliti-peneliti menggunakan dua pendekatan,yaitu: (1) membandingkan karakteristik orang yang terlahirsebagai pemimpin dengan karaktersitik orang yang tidakterlahir sebagai pemimpin, dan (2) membandingkankarakteristik pemimpin yang efektif dengan pemimpinyang tidak efektif.

Sebagian besar penelitian mengenai karakteristikkepemimpinan berada pada kategori pertama yaitupemimpin. Namun, secara umum mereka gagal dalammenentukan perbedaan karakteristik secara jelas dankonsisten antara pemimpin dan bukan pemimpin aliaspengikut. Penelitian menunjukkan bahwa pemimpinmemiliki sifat lebih cerdas, lebih terbuka, dan lebih percayadiri dibandingkan dengan bukan pemimpin. Mereka jugacenderung lebih tinggi. Namun, meskipun jutaan orangmemiliki sifat-sifat tersebut, kebanyakan dari mereka tidakpernah mencapai posisi sebagai pemimpin. Beberapapemimpin bahkan tidak memiliki sifat tersebut, misalnya,

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

33Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Abraham Lincoln memiliki sifat moody dan tertutup,sedangkan tubuh Napoleon pendek. Kenyataan lainmenunjukkan bahwa seseorang memiliki beberapa sifattersebut setelah dia mencapai posisi pemimpin, sehinggasebagian sifat tersebut lebih dipandang sebagai hasil daripengalaman kepemimpinan daripada penyebab munculnyakemampuan kepemimpinan (Harsono, 2009).

Gagasan klasik juga memunculkan isu lain,misalnya, pertanyaan mengenai bias kultural. Di Amerikaseseorang dengan ukuran tubuh yang tinggi diasosiasikansebagai pemimpin. Apakah ini berarti bahwa tinggi tubuhmerupakan karakteristik pemimpin? Jika jawabannya iya,karakteristik pemimpin akan berubah seiring denganperkembangan jumlah wanita, kaum minoritas, homo (gay),dan disabilitas (penyandang cacat) yang menempati posisisebagai pemimpin.

Gagasan klasik secara etimologis menjelaskan bahwakepemimpinan itu mencakup dua entitas. Entitas pertamaadalah The ability and readiness to inspire, guide, direct ormanagement others, sedangkan entitas kedua mencakup Therole of interreter of interedd and objectives of a group the grouprecognizing and accepting the interpreter as spokesman (Good,1959). Makna hakikinya tidak lain adalah kesiapan mentalseseorang yang diwujudkan dalam bentuk kemampuanuntuk memberikan bimbingan, mengarahkan danmengatur, serta menguasai orang lain agar mereka berbuatsesuatu. Kesiapan dan kemampuan itu pada situasi tertentumemberikan kemungkinan kepada pemimpin tersebutuntuk memainkan peranan sebagai juru tafsir atau pembagipenjelasan tentang kepentingan, minat, kemauan, cita-cita,

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

34 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

atau tujuan yang diinginkan untuk dicapai oleh sekelompokindividu.

Gagasan klasik bertumpu pada analisis bahwa kepe-mimpinan adalah kemampuan dan kesiapan yang dimilikiseseorang untuk dapat mempengaruhi, mendorong,mengajak, menuntun, menggerakkan, dan kalau perlumemaksa orang lain agar ia menerima pengaruh itu untukselanjutnya berbuat sesuatu yang dapat membantupencapaian suatu maksud atau tujuan tertentu. Ada yangsecara simpel menyebut kepemimpinan sebagai suatu prosesmengarahkan dan mempengaruhi aktivitas yang terkaitdengan penyelesaian pekerjaan oleh anggota suatuorganisasi.

Kompleks atau simpel, gagasan klasik kepemimpinanselalu menandaskan betapa penting unsur yang terlibatdalam situasi kepemimpinan yang selalu ada orang yangdapat mempengaruhi orang lain di satu pihak; orang yangdapat dipengaruhi di lain pihak; ada maksud atau tujuantertentu yang hendak dicapai; dan ada serangkaian tinda-kan tertentu untuk mempengaruhi dan untuk mencapai mak-sud atau tujuan tertentu itu. Dengan demikian, sekurang-kurang-nya akan ada empat aspek yang relevan digarisbawahi, yaknisebagai berikut:

1. Kepemimpinan selalu melibatkan orang lain. Dalammasyarakat disebut pengikut; dalam perusahaan bisa jadikaryawan, dalam organisasi adalah anggota, dan dalamdunia pendidikan tentu saja adalah sivitas akademika.Dengan berbasis pada kemauan untuk menerima arahanpemimpin, setiap pengikut, karyawan, anggota, atausivitas akademika membantu untuk menentukan status

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

35Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pemimpin dan memungkinkan proses kepemimpinandapat berjalan sebagaimana mestinya. Tanpa orang lainyang dapat diarahkan atau dipengaruhi, konsepkepemimpinan menjadi tidak relevan.

2. Kepemimpinan meniscayai distribusi kekuasaan (powerdistribution) yang selalu tidak seimbang antarapemimpin dan yang dipimpin. Hal ini bukan berartibahwa pihak yang dipimpin tidak memiliki kekuatan.Mereka dapat melakukan aktivitas secara berkelompokmelalui berbagai cara. Secara umum, pemimpinbiasanya memiliki kekuatan yang lebih daripada yangdipimpin. Kekuatan memiliki lima bentuk dasar, yaitureward power, coercive power, legitimate power, referentpower, dan expert power.

3. Kemampuan menggunakan berbagai bentuk kekuatantersebut untuk mempengaruhi (influence) perilakupengikut dengan berbagai cara. Seorang panglimaperang memiliki kemampuan untuk mempengaruhipasukannya menyerang dan membunuh pasukanmusuh. Seorang manajer perusahaan memilikikemampuan mempengaruhi karyawan untukmengorbankan waktu luangnya demi mengejar targetjumlah produk yang harus dihasilkan.

4. Kemampuan menggabungkan ketiga aspek diatas danpemahaman bahwa kepemimpinan berkaitan dengannilai (values). Seorang pemimpin yang mengabaikankomponen moral kepemimpinan akan mengalamikegagalan dalam menjalankan fungsinya sebagaipemimpin. Moral kepemimpinan berkaitan dengan nilaidan mensyaratkan bahwa pengikut harus memiliki

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

36 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pengetahuan yang cukup terhadap alternatif-alternatifuntuk merespons kepemimpinan seorang pemimpin.

Berbeda dengan gagasan klasik yang cenderungbersifat sentralistik karena menunjuk kepemimpinanberbasis subjek, gagasan kontemporer lebih distributifkarena merujuk kepemimpinan dari sisi kontribusi. Salahsatu penggagas kontemporer kepemimpinan yang relevandirujuk adalah Kimball Wiles (1991). Ia menyatakan bahwaLeadership is any contribution to the establishment andattainment of group purposes. Dalam pandangannya,kepemimpinan dipandang sebagai segala kontribusi darisetiap orang yang dapat bermanfaat dalam penetapan danpencapaian tujuan kelompok secara bersama. Gagasankontemporer perihal kepemimpinan mendasaripembahasan bab selanjutnya.

D. Ihwal Kepemimpinan Pendidikan

Pada awalnya bidang pendidikan memang hanyaberada dalam domain filsafat. Kemudian didominasi olehpsikologi. Dewasa ini disiplin lain seperti antropologi,ekonomi, politik, dan sosiologi turut memberi warna bidangpendidikan yang dari waktu ke waktu semakin nyata.Sebagai studi terapan, masalah yang dibahas dalampendidikan acapkali bersesuaian dengan persepsi para tokohbisnis, tokoh pemerintahan atau politik, bahkan tokohmedia. Di Amerika Serikat, misalnya, pada akhir tahun1950-an dan akhir 1960-an, manakala pemimpin ASmementingkan persaingan pengaruh dan kekuatan denganUni Soviet, masalah yang menonjol adalah kurangnya aspek

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

37Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

teknik dan matematika yang sangat diperlukan dalam studistrategis dan persenjataan. Para psikolog seperti JeromeBruner pun menyarankan ditingkatkannya pengajaraneksakta mulai dari sekolah dasar. Masih cerita di AS, padapertengahan 1960-an, isu yang menonjol adalah hak sipil,dan kurikulum pendidikan pun mulai diwarnai oleh ajaransosial seperti yang disarankan oleh para tokoh seperti JeanPiaget. Dalam waktu bersamaan, penekanan pada pelajaraneksakta dan matematika yang pada masa sebelumnyadianggap sangat penting mulai merosot meskipun banyaktokoh pendidikan yang menyayangkannya (Feinberg,1996).

Di Indonesia pun keadaannya hampir sama.Manajemen pendidikan didesain sesuai dengan kepentinganelit bangsa atau para tokoh yang memang sedang beradadalam kekuasaan politik. Benar ataukah tidak sinyalementersebut bukanlah hal penting yang relevan dipersoalkan.Hal yang ingin digarisbawahi ialah bahwa ternyata adabenang merah antara geliat proses pendidikan dalamspektrum yang luas dan para tokoh atau pemimpin, baikkultural maupun struktural dalam masyarakat yangmewarnainya. Inilah agaknya yang kemudian memuncul-kan studi lebih lanjut tentang kepemimpinan pendidikan.

Dirawat, dkk. (1976) bersepakat bahwa kepemimpin-an merupakan fenomena atau kualitas kegiatan kerja daninteraksi dalam situasi kelompok, ia merupakan sumbangandari seseorang dalam situasi kerja sama. Kepemimpinan dankelompok merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkanantara satu dan yang lain, tidak ada kelompok tanpa adanyakepemimpinan dan sebaliknya kepemimpinan hanya ada

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

38 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

dalam situasi interaksi kelompok, seseorang tidak dapatdikatakan menjadi pemimpin jika ia berada di luarkelompok.

Deskripsi tentang kepemimpinan telah menunjukpada suatu fenomena kemampuan seseorang dalammenggerakkan, membimbing, dan mengarahkan oranglain dalam suatu kerja sama. Jika studi kepemimpinandipautkan, dan diasosiassikan, lebih tepatnya diaplikasikanuntuk kepentingan pembangunan pendidikan, lahirlah apayang disebut sebagai kepemimpinan pendidikan. Jika duniapendidikan yang amat luas dipandang sebagai segala dayaupaya untuk mewujudkan bertumbuhnya budi pekerti(kekuatan batin dan karakter), pikiran (intelek), (kembalike asal) manusia untuk memajukan kehidupan manusiaselaras dengan dunianya, yang dimaksud dengan ke-pemimpinan pendidikan adalah sebagai suatu kemampuandan proses mempengaruhi, membimbing, mengoordinasi-kan, dan menggerakkan orang lain untuk mewujudkanbertumbuhnya budi pekerti (kekuatan batin, karakter),pikiran (intelek), dan tubuh manusia untuk memajukankehidupan manusia selaras dengan dunianya. Dalamkonteks yang lebih spesifik, yakni pendidikan sekolah,pendidikan berarti terkait dengan pengembangan ilmupengetahuan, teknologi, seni, dan kebudayaan; pelaksanaanpendidikan dan pengajaran, dan lain-lain fungsi ke-pendidikan agar proses dan aktivitas yang dijalankan dapatsejalan, lebih efisien, dan efektif dalam pencapaian tujuanpendidikan dan pengajaran.

Apabila diambil sarinya, kepemimpinan pendidikanmerupakan kemampuan untuk menggerakkan dan mem-

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

39Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

bimbing orang yang terlibat dalam pelaksanaan pendidikanuntuk mencapai tujuan pendidikan. Pengertian itu sejalandengan sudut filosofi kepemimpinan yang pada pokoknyamenjunjung tinggi asas hubungan kemanusiaan (humanrelationship) (Soetopo & Soemanto, 1984).

E. Implikasi Trifungsi Kepemimpinan dalam Pendidikan

Sebagaimana dijelaskan pada Bab I, inti buku iniadalah mempromosikan gagasan mendasar pentingnyamenginternalisasi sikap dan perilaku pemimpin pendidikanyang demokratis. Kapabilitas pertama yang mesti dikuasasiialah kemampuan untuk berfungsi sebagai manajer. Sebagaimanajer dimaksudkan untuk menginternalisasi nilai ilmiahmanajemen yang sudah teruji di berbagai jaringan organi-sasi. Sebagai manajer, pemimpin pendidikan hendaknyamemiliki kapabilitas untuk memotivasi, dan mempengaruhistaf untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkansebelumnya (Supriadi, 2009).

Implikasi dari fungsi ini, antara lain akan terwujudkemampuan untuk:

a. memikirkan, merencanakan, dan merumuskan denganteliti tujuan organisasi atau institusi pendidikan serta men-jelaskan agar anggotanya selalu memiliki kesadaranyang kritis dan bekerja sama dengan sempurna untukmencapai tujuan tersebut;

b. memberi dorongan atau motivasi para anggotaorganisasi serta menjelaskan situasi dengan tujuan dapatmenemukan rencana kegiatan kepemimpinan yangdapat memberi harapan baik; dan kepemimpinan harus

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

40 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

cocok dengan situasi yang nyata karena kepemimpinanyang efektif dalam suasana demokratis tergantunginteraksi dari anggota dalam situasi itu dan juga sarandari anggota akan membantu pemimpin dalam halmembawa anggota mencapai tujuan;

c. membantu para anggota organisasi atau institusi gunamengumpulkan berbagai informasi yang diperlukansebagai bagian dari rasional pengambilan keputusanyang sehat, analitis, dan terfokus;

d. mengaktualisasikan potensi, bakat khusus (talenta), danminat anggota institusi;

e. memberikan dorongan kepada setiap anggota agarmereka berkemampuan melahirkan intuisi, gagasan, danpikiran serta memilih yang terbaik dan bermanfaat bagipemecahan masalah yang dihadapi oleh institusi; dan

f. mendelegasikan wewenang, tanggung jawab, danmemberi kepercayaan yang tinggi kepada anggotainsitusi dalam melaksanakan tugas masing-masingsesuai dengan tupoksi (tugas pokok dan fungsi), sertakemampuan masing-masing demi kepentingankemajuan institusi.

Sebagai pemimpin pendidikan yang demokratis,seseorang harus memiliki kapabilitas dalam bertindaksebagai orang tua. Di kalangan Freudian, fungsi kepemim-pinan dengan personifikasi sebagai orang tua memilikiperanan yang amat sentral, sebab seperti diketahui,masyarakat Indonesia pada umumnya merupakanmasyarakat paternalis yang masih kuat mengidentifikasipemimpin sebagai orangtua. Sebagai orang tua, tugas

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

41Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pemimpin pendidikan adalah mengayomi, melindungi, danmendukung semua staf agar selamat dan mencapai tujuankarier masing-masing sesuai dengan keinginannya.

Implikasi dari fungsi ini, antara lain, terwujud dalamkemampuan untuk:

a. mempertinggi semangat memiliki institusi (sense ofbelonging) dan selalu memelihara kesediaan bekerja samadi dalam organisasi demi tercapainya tujuan bersama;

b. menanamkan dan memupuk perasaan pada anggotamasing-masing bahwa mereka termasuk dalam institusidan merupakan bagian darinya. Semangat kebersamaandapat dibentuk melalui penghargaan (reward) atasprestasi kerja, keramah-tamahan, keringanan, dan lain-lain sikap pemimpin. Proses imitasi sebagai pemimpinyang diidolakan layaknya orang tua akan terjadi dengansendirinya;

c. berupaya menyediakan tempat atau ruang kerja yangsehat, menyenangkan, lengkap fasilitasnya, dan menjagasituasi kerja agar kondusif;

d. mengintroduksikan ragam kelebihan yang terdapatpada pimpinan agar memberi sumbangan dalamorganisasi menuju pencapaian tujuan bersama, termasukdi dalamnya mendorong ragam kelebihan anggotamasing-masing sehingga pimpinan bisa diterima dandiakui secara wajar; dan

e. memiliki kesanggupan untuk menjadi tempat berserahdiri bagi anggota institusi yang mengalami problem,baik yang bersifat pribadi, kerumah-tanggaan, terlebihyang bertalian dengan pekerjaan.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

42 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Sebagai pemimpin pendidikan yang demokratis,seseorang harus pula memiliki kapabilitas dalam bertindaksebagai teman. Fungsi ini didasari oleh asas kolegialitasdalam kepemimpinan dan organisasi. Fungsi ini meniscayaipemimpin sebagai tempat untuk menumpahkan curahanhati, saling bertukar pendapat dan pikiran (sharing opinion),dan wahana dalam rangka mencari solusi sebagai upayapeningkatan karier.

Implikasi dari fungsi ini, antara lain, terwujud dalamkemampuan untuk:

a. selalu membantu terciptanya suatu iklim pekerjaandalam suasana kekeluargaan dan sosial yang baik.Dalam konteks ini, pemimpin akan berhasil jika ada nilaiintegritas, kebebasan, rasa persaudaraan, dan salingtoleran yang dijunjung tinggi. Kekuatan kerja samamutlak diperlukan;

b. selalu siap membantu sebagai fasilitator kelompok untukmengorganisasikan diri, yaitu ikut serta dalam mem-berikan perangsang dan bantuan kepada kelompokdalam menetapkan dan menjelaskan tujuannya;

c. sigap dalam membantu setiap anggota institusi terkaitdengan standar prosedur operasional kerja masing-masing. Dalam konteks ini pemimpin juga harus selalusiap membantu road map bagi peningkatan karieranggota sesuai dengan hak dan kewajiban masingsebagaimana telah ditetapkan oleh undang-undangataupun oleh institusi;

d. bertanggung jawab dalam mengambil keputusanbersama dengan kelompok;

Bab II: Misteri dan Rentang Gagasan

43Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

e. memberi kesempatan kepada kelompok untuk belajardari pengalaman, di sini pemimpin mempunyaitanggung jawab untuk melatih kelompok agar me-nyadari proses dan isi pekerjaan yang dilakukan dankemudian berani menilai hasilnya secara jujur danobjektif; dan

f. siap menerima klaim, kritik, saran, baik yang bersifatkonstruktif maupun yang sengaja ditujukan untuk men-jatuhkan pimpinan tanpa harus memiliki rasa dendam.

45Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Bab III

KONTEKS PEMIMPIN PENDIDIKAN

TIDAK dapat dipungkiri, dewasa ini institusi pen-didikan memegang peranan penting dalam pembangunansumber daya manusia. Untuk menjangkau konteks yanglebih luas, peran institusi pendidikan menjadi sangat vital,terutama jika dikaitkan dengan peningkatan dan pen-capaian mutu pendidikan. Institusi pendidikan yangdimaksud dalam buku ini tentu saja bukan hanya sekolahsemata, tetapi juga mencakup birokrasi pendidikan,lembaga pendidikan luar sekolah, bahkan komunitasmasyarakat tempat terjadinya proses pemelajaran. Melaluiinstitusi pendidikanlah setiap peserta didik dan warga belajarberkesempatan mengkaji berbagai ilmu pengetahuan(sains), serta mendalami alih teknologi dan keterampilansosial lain sehingga dapat mempersiapkan diri menjalanikehidupan sebagai manusia, termasuk di dalamnyabagaimana berpartisipasi mengisi pembangunan di segalabidang. Melalui kalimat lain dapat dikatakan bahwa institusipendidikan merupakan organisasi atau lembaga pendidikanyang menjadi wahana pembekalan peserta didik dan warga

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

46 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

belajar untuk mengisi pembangunan yang diharapkanbangsa dan negara.

Patut diakui bahwa pesatnya perkembangankuantitas institusi pendidikan saat ini merupakan bagiandari upaya mencapai tujuan konstitusi, yakni upaya men-cerdaskan kehidupan bangsa. Secara spesisfik barangkalijuga sebagai upaya mencapai standar minimal pendidikananak bangsa sekurang-kurangnya berpendidikan dasarsembilan tahun (enam tahun di sekolah dasar dan tiga tahundi sekolah menengah pertama). Setidak-tidaknya setiapanak bangsa mampu mencapai tingkat atau jenjangpendidikan yang setara minimal Kejar Paket A dan B. Suksesprogram tersebut menuntut pemerintah dan pemerintahdaerah agar terus meningkatkan kualitas dan kuantitasinstitusi pendidikan. Salah satu upaya signifikan yang di-perlukan ialah, bagaimana menjamin ketersediaanpemimpin pendidikan yang memadai, melaksanakan polaperekrutan pemimpin yang transparan dan objektif,menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan yangprogresif, serta memberikan insentif yang cukup sehinggamereka bisa fokus dalam bekerja (Supriadi, 2000).Tujuannya jelas: agar setiap pemimpin pendidikan produktifmengelola institusi sehingga menghasilkan lulusan yangberkualitas dan berdaya saing tinggi. Itulah salah satuindikator keberhasilan pemimpin pendidikan yang populerdi mata masyarakat meskipun masih banyak indikator lainyang mesti dicapai.

Secara teoretis, keberhasilan institusi pendidikandalam menghasilkan lulusan yang berkualitas dankompetitif sangat dipengaruhi oleh peran pemimpinnya.

Bab III: Konteks Pemimpin Pendidikan

47Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Pemimpin sebagai sosok seorang manajer dalam mengelolainstitusi mempunyai tugas dalam:

(1) bekerja dengan dan melalui orang lain;

(2) bertanggung jawab dan mempertanggungjawabkansemua kegiatan yang telah dilakukan sendiri ataupunbersama-sama;

(3) menghadapi berbagai persoalan di dalam maupun di luarinstitusi pendidikan;

(4) berpikir realistis dan konseptual;

(5) bertindak sebagai juru penengah jika terjadi konflik;

(6) membuat keputusan secara cerdas pada saat yang sulitsekalipun;

(7) menjadi diplomat/negosiator; demokrat dan adil, tekundan ulet dalam melaksanakan layanan prima, dan

(8) memahami perkembangan politik pendidikan danberbagai isu pendidikan.

Sekurang-kurangnya ada tiga konteks tempatpemimpin pendidikan menjalankan fungsi administratordan fungsi manajerialnya, yakni dalam konteks pendidikansekolah, pendidikan luar sekolah, dan birokrasi pendidikan.Latar ketiganya diulas secara singkat berikut ini.

A. Konteks Pendidikan Sekolah

Pada konteks pendidikan sekolah, seorang pemimpindikatakan berhasil apabila mampu memahami kondisiobjektif institusi dan mampu melaksanakan peran danfungsinya sebagai pemimpin, yaitu memimpin berbagai

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

48 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

kemajuan institusi pendidikan dengan penuh kesadaran danbertanggung jawab. Dalam tugas dan tanggung jawabnya,Ia harus mampu mencapai kinerja tinggi. Kinerja yang di-maksud tidak akan terlepas dari tugasnya sebagai adminis-trator dan manajer (tugas kepemimpinan dan manajerial),yaitu memahami berbagai unsur yang dibutuhkan institusidengan cara senantiasa memperhatikan situasi lingkunganbudayanya dan iklim institusi pendidikannya sebab hal itumerupakan kondisi yang memungkinkan terciptanya ke-mampuan untuk mencapai standar mutu yang diharapkan.

Selain itu, pemimpin pendidikan dengan dibantu olehpara tenaga kependidikan, baik guru, instruktur maupunpelatih dan staf tata usaha harus selalu mengupayakantercipta dan terbinanya suasana yang kondusif (suasanakekeluargaan yang mendukung berlangsungnya prosespembelajaran secara efektif) dan memberikan layanan yangprima. Pemimpin pendidikan juga harus selalu berusahamengembangkan model layanan yang memberikanmotivasi sehingga dapat membuat para orang tua pesertadidik terlibat aktif dalam menunjang berbagai aktivitas dankegiatan pendidikan dan pembelajaran serta prosespengembangan institusi, khususnya dalam kesediaanmereka menjadi pengampu kepentingan (stakeholders)dalam memenuhi berbagai kebutuhan.

Pada konteks tersebut gaya kepemimpinan mutlakdiperlukan dalam mewujudkan institusi pendidikan yangmencapai standar mutu pendidikan. Gaya kepemimpinanuntuk melakukan perubahan dan meningkatkan ke-mampuan dalam melakukan bimbingan, tuntunan, atauanjuran kepada tenaga kependidikan dan staf tata usaha

Bab III: Konteks Pemimpin Pendidikan

49Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

diperlukan agar tujuan peningkatan mutu pendidikan bisatercapai. Artinya, jika institusi pendidikan ingin berubahdemi kemajuan dan pengembangan standar mutu pendidik-an, penerapan kualitas layanan harus dapat menunjangterwujudnya perubahan sistem pelayanan yang lebih baik.Pada saat itulah gaya kepemimpinan pemimpin pendidikanharus sesuai dengan tuntutan perubahan. Hal itu berartipemimpin pendidikan dalam melakukan tugas danfungsinya harus mencakup pemberdayaan organisasi yangseluas mungkin untuk mencapai standar mutu pendidikan,yang dicerminkan oleh bagaimana pemimpin pendidikanbersama sivitas akademikanya memberikan kualitaslayanan pendidikan yang maksimal (Supriadi, 2000).

Fokus krusial dalam upaya pemberdayaan institusipendidikan (baca: sekolah) yang relevan dikedepankan ialahbagaimana memberdayakan tenaga kependidikan, baikpara guru, instruktur, maupun para pelatih. Pemimpin pen-didikan harus mengenal karakteristik, visi, dan kebutuhantenaga kependidikan sehingga dapat dengan mudah me-laksanakan tugasnya. Tugas dan fungsinya tentu saja harusdijalankan dengan gaya kepemimpinan yang memungkin-kan berperilaku demokratis untuk menunjang berkembang-nya institusi pendidikan yang dipimpinnya.

Kenyataan menunjukkan bahwa dalam kegiatanpengelolaan institusi pendidikan, tampak para pemimpinbelum sepenuhnya dapat melaksanakan tugas kepemim-pinan dan manajerial dengan semestinya. Selain itu, lebihjelas lagi tercermin pada masih adanya ketimpangan danketidakseimbangan peran dari tenaga kependidikan dalammelaksanakan proses pendidikan dan pembelajaran yang

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

50 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

bersifat melayani terpenuhinya kebutuhan peserta didik(belum menjadikan peserta didik sebagai subjek pendidikandan pembelajaran). Sampai saat ini masih ditemukanberlanjutnya pola manajerial yang menempatkan pemimpininstitusi pendidikan sebagai penguasa otoritas institusi(bergaya otoriter, bukan bergaya demokratis) karena iamasih beranggapan bahwa institusi pendidikan merupakanwilayah kekuasaannya.

Dalam perspektif pendidikan secara menyeluruh,konteks manajemen berbasis institusi pendidikan, peranpemimpin memang sentral. Namun, ia harus mau danmampu berbagi (sharing) dengan bawahannya; mampumenunjukkan kepemimpinan kepada bawahannya,terutama terhadap tenaga kependidikan; mampu dan maumelayani berbagai hal yang terkait dengan jabatannyasebagai pemimpin pendidikan secara cepat dan tepat, sertamampu mengaplikasikan budaya layanan prima.

Kemampuan pemimpin pendidikan dalam menun-jukkan kepemimpinan yang demokratis dan mengayomiserta kemampuannya melayani dengan cepat dan tepat, disatu sisi sangat bergantung pada kemampuan kepemim-pinannya dan di sisi lain sangat bergantung pada kemampu-an manajerialnya. Kemampuan kepemimpinan yangdimaksud adalah bagaimana memimpin tenaga ke-pendidikan, staf tata usaha, dan para peserta didik. Yangdimaksud kemampuan manajerial ialah bagaimana me-ngelola pembiayaan pendidikan, mengelola sarana danprasarana, memberikan pelayanan, mengatasi konflik, dansebagainya.

Bab III: Konteks Pemimpin Pendidikan

51Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Gaya kepemimpinan demokratis banyak dilaksanak-an oleh para pemimpin pendidikan dalam memberikankualitas layanan yang tertinggi. Artinya, secara pragmatiskualitas layanan dengan gaya kepemimpinan demokratisdilaksanakan karena mampu memberikan kepuasan untuktercapainya standar mutu pendidikan.

Hal yang berbeda dengan gaya kepemimpinanotoriter adalah kepemimpinan demokratis memiliki toleransiyang lebih besar dalam menggunakan lebih banyakinformasi dan lebih banyak alternatif. Pemimpin pendidikandengan gaya kepemimpinan seperti otoriter sangat mungkinkurang mampu melaksanakan kualitas layanan, sedangkanpemimpin pendidikan yang memiliki gaya kepemimpinandemokratis cenderung berpikir jauh ke depan, biasanya iaakan mampu melaksanakan kualitas layanan yang tinggi.Dalam siklus pelaksanaan kepemimpinan dan manajerial-nya, ia akan senantiasa bekerja untuk melayani dengansebaik-baiknya. Dengan kata lain, kepemimpinannyaditentukan oleh tinggi rendahnya kualitas layanan yangdilaksanakannya dalam memimpin institusi untukpencapaian standar mutu pendidikan.

Perbedaan kemampuan manajerial dan gayakepemimpinan yang diaplikasikan dalam bentuk kualitaslayanan diasumsikan menjadi faktor penentu bagipemimpin pendidikan dalam meningkatkan standar mutupendidikan. Begitu pula dengan interaksi antara gayakepemimpinan dan kualitas layanan yang diaplikasikandapat dijadikan faktor determinan keragaman atauperbedaan mutu pendidikan yang diupayakan olehpemimpin. Berkaitan dengan upaya untuk memaparkan

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

52 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

faktor kepemimpinan dalam memberikan layanan sehinggaberdampak pada mutu pendidikan, tulisan ini diarahkanuntuk mendeskripsikan variabel kepemimpinan danlayanan pendidikan berperan penting dalam meningkatkandan mencapai standar mutu pendidikan.

B. Konteks Pendidikan Luar Sekolah

Di samping pendidikan sekolah ada pendidikan luarsekolah (PLS) tempat pemimpin pendidikan menjalankantugas dan fungsinya. Sekadar mengingatkan, yang di-maksud dengan PLS adalah setiap kegiatan yang diorgani-sasikan di luar sistem setiap persekolahan yang mapan,apakah dilakukan secara terpisah atau sebagai bagianpenting dari kegiatan yang lebih luas, dilakukan secara se-ngaja untuk melayani peserta didik tertentu demi mencapaitujuan belajar (Coombs, Prosser & Mauzoor, 1983). Batasantersebut didasarkan pada pengalaman praktis yang ada dilapangan, didefinisikan dengan tujuan membedakanpendidikan yang berstruktur formal dan yang tidak.

Undang-undang RI No. 20 Tahun 2003 tentangSistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tidak menyebutnyasebagai PLS melainkan sebagai pendidikan nonformal.Bagian kelima pasal 26 UU tersebut menyatakan bahwapendidikan nonformal diselenggarakan bagi warga masya-rakat yang memerlukan layanan pendidikan yang berfungsisebagai pengganti, penambah, dan/atau pelengkap pen-didikan formal dalam rangka mendukung pendidikansepanjang hayat. Pendidikan nonformal berfungsi mengem-bangkan potensi peserta didik dengan penekanan padapenguasaan pengetahuan dan keterampilan fungsional serta

Bab III: Konteks Pemimpin Pendidikan

53Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pengembangan sikap dan kepribadian profesional. Pen-didikan nonformal meliputi pendidikan kecakapan hidup,pendidikan anak usia dini, pendidikan kepemudaan, pen-didikan pemberdayaan perempuan, pendidikan keaksara-an, pendidikan keterampilan dan pelatihan kerja, pendidik-an kesetaraan, serta pendidikan lain yang ditujukan untukmengembangkan kemampuan peserta didik.

Berdasarkan batasan tersebut maka pendidikannonformal yang ada di berbagai daerah di Indonesia cukupbanyak. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas lembagakursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatanbelajar masyarakat (PKBM) dan majelis taklim, serta satuanpendidikan yang sejenis. Kursus dan pelatihan diselenggara-kan bagi masyarakat yang memerlukan bekal pengetahuan,keterampilan, kecakapan hidup, dan sikap untuk mengem-bangkan diri, mengembangkan profesi, bekerja, usahamandiri, dan/atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yanglebih tinggi.

Hasil pendidikan nonformal dapat dihargai setaradengan hasil program pendidikan formal setelah melaluiproses penilaian penyetaraan oleh lembaga yang ditunjukpemerintah atau pemerintah daerah dengan mengacu padastandar nasional pendidikan. Contohnya ialah programpendidikan yang dilaksanakan oleh masyarakat denganbantuan pemerintah seperti kelompok belajar (Kejar) PaketA, B, dan C.

Perkembangan pendidikan nonformal di Indonesiasebagai wahana pendidikan alternatif di luar pendidikansekolah sangat pesat. Hal itu disebabkan oleh berbagaikondisi, antara lain:

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

54 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

a. Terbatasnya kemampuan pemerintah membiayai semuapenyelenggaraan pendidikan sekolah sehingga sebagianpenyelenggaraan tersebut dibebankan kepadamasyarakat.

b. Tidak terbatasnya kebutuhan masyarakat akan berbagaiilmu pengetahuan yang ingin dipelajari; sehingga ilmutersebut kadang-kadang tidak dapat dipenuhi di lembagapendidikan formal. Dengan demikian masyarakat me-nyelenggarakan pendidikan nonformal untuk berbagaimacam ilmu pengetahuan yang diperlukan masyarakat.

c. Masyarakat lapisan bawah seringkali mempunyai ke-terbatasan untuk mengikuti pendidikan formal; dengandemikian mengikuti pendidikan nonformal dipandangsebagai cara yang lebih sesuai bagi mereka.

Karena begitu ragamnya anggota masyarakat yangmemerlukan pelayanan pendidikan nonformal, maka agartujuan pendidikan nonformal dapat dicapai secara lebihefektif; maka diperlukan kelompok sasaran (target group).Pengelompokan kelompok sasaran dapat bervariasi, dapatdigolongkan dalam kelompok usia, kelompok tempat ting-gal, kelompok profesi atau kelompok lainnya. Penggolongantarget group tersebut sangat bergantung pada target pro-gram yang ingin dicapai. Oleh karena itu, program-program pendidikan nonformal memerlukan penentuantarget group tersebut.

Pada konteks itulah pemimpin pendidikan sepertiketua lembaga kursus, ketua lembaga pelatihan, ketuakelompok belajar, ketua PKBM, ketua majelis taklim danketua satuan pendidikan sejenis berkesempatan menerap-kan gaya kepemimpinannya. Gaya kepemimpinan yang

Bab III: Konteks Pemimpin Pendidikan

55Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

disarankan adalah gaya kepemimpinan demokratissebagaimana diterapkan di lingkungan pendidikan formal(sekolah). Hal itu dilandasi pemikiran bahwa meskipunkelompok sasaran dalam pendidikan nonformal berbedadengan kelompok sasaran dalam pendidikan formal, namunpara peserta didik memiliki karakter kebutuhan belajaryang sama. Kualitas layanan prima sebagai inti kepemim-pinan demokratis tidak membeda-bedakan kelompoksasaran, melainkan hanya pada pemenuhan kebutuhanpendidikan yang diinginkan.

C. Konteks Birokrasi Pendidikan

Sebelum UU No. 22/1999 tentang PemerintahDaerah yang kemudian disempurnakan melalui UU No.32/2004 tentang Pemerintah Daerah, birokrasi pendidikanmengalami penjenjangan, mulai dari tingkat kecamatanhingga tingkat pusat. Pemberlakuan Undang-undangtersebut yang populer dengan nama otonomi daerah menye-babkan birokrasi pendidikan mengalami pengklusteran.Implikasinya ialah terdapat para pemimpin pendidikanyang mandiri di daerah di luar provinsi dan tingkatkementerian.

Meskipun wilayah cakupan kementerian pendidikannasional meliput seluruh wilayah di Indonesaia, namuninsiatif para pemimpin daerah menjadi taruhan keberhasilanprogram. Disparitas mutu menjadi lebih sempit oleh karenakemudian muncul para pemimpin pendidikan yang ber-gerak di lingkungan birokrasi tanpa harus “mengekor”pemimpin pendidikan pada level di atasnya. Hal itu sangatdimungkinkan oleh karena pembagian kewenangan antara

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

56 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pusat dan daerah sudah sangat jelas. Tingkat keter-gantungan dalam mengembangkan potensi pendidikan didaerah kepada pusat menjadi berkurang. Kondisi seperti itusangat memberi peluang bagi para pemimpin pendidikandi daerah yang berbakat untuk eksis menampilkan ka-pabilitasnya tanpa harus ragu apakah para pemimpinbirokrasi di pusat setuju atau tidak setuju.

Pada konteks tersebut, wujud perilaku kepemimpin-an demokratis akan mudah dikenali karena para pemimpinpendidikan secara otomatis akan berhadapan denganpublik yang paling dekat untuk dilayani. Hal itu berbedadengan dua konteks pemimpin sebelumnya yang bergeraksecara internal berdasarkan segmen kolegial yang menjadilingkup kerjanya. Pada konteks birokrasi pendidikan, parapemimpin lebih banyak berkutat dengan kebijakan dansistem pelayanan publik terkait dengan programpendidikan.

Oleh karena yang dihadapi adalah publik, yaknimasyarakat luas, maka mau tidak mau ada aspek kehati-hatian (prudency) yang layak diperhatikan. Fungsikepemimpinan dalam hal ini tidak saja berkaitan denganaparatur birokrasi, namun lebih jauh dari itu yaitu bagai-mana pemimpin bisa menempatkan diri sebagai pelayanmasyarakat. Artinya, setiap gaya kepemimpinannya akandinilai langsung oleh masyarakat apakah sudah memenuhistandar pelayanan minimal ataukah tidak. Jelas hal itu lebihsulit dibandingkan dengan fungsi internal yang harusdilaksanakannya karena yang dihadapi hanyalah paraaparatur birokrasi.

Bab III: Konteks Pemimpin Pendidikan

57Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Pada konteks birokrasi pendidikan, pemimpinpendidikan terentang luas meskipun tidak selalu bersifathierarkhis. Di tingkat kementerian ada menteri pendidikannasional, direktur jenderal, inspektorat jenderal, kepala biro,kepala bagian, dan sebagainya sesuai dengan strukturorganisasinya. Pada tingkat provinsi ada gubernur, kepaladinas pendidikan, dan lain-lain. Demikian pula di tingkatkabupaten/kota juga terdapat personal yang mengembantugas dan fungsi sebagai pemimpin pendidikan.

59Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Bab IV

KAPABILITAS MANAJERIAL PEMIMPIN PENDIDIKAN

A. Makna Pemimpin

Kehidupan manusia sebagai makhluk sosial tidakterlepas dari usaha kerja sama dalam mencapai tujuanhidupnya. Kerja sama itu dilakukan oleh beberapa orangdalam berbagai kegiatan untuk memudahkan dalampencapaian tujuan daripada bekerja sendiri. Keseluruhanproses kerja sama itu disebut kepemimpinan (Nawawi &Martini, 1995). Dalam suatu organisasi apa pun bentuknyapasti ada seseorang sebagai pemimpin yang diberikepercayaan untuk memimpin.

Pemimpin adalah seorang kepala sekaligus seorangatasan dari sekelompok orang (Siagian, 1995).

Institusi pendidikan adalah suatu organisasi yangterdiri atas kumpulan orang yang mempunyai pemimpin.Jadi, yang dimaksud dengan pemimpin institusi pendidikanadalah seorang kepala sekaligus seorang atasan dari suatuinstitusi pendidikan.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

60 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Pengertian lain pemimpin, dapat diartikan sederhanasebagai pembimbing, penuntun, atau pembina (yangdituakan) yang memperlihatkan hubungan antara orangyang dipimpin dan orang yang memimpin demikianeratnya seolah-olah menyatu. Mereka bukan saja menyatuantarmereka, tetapi juga menyatu dengan tugas dan seluruhaset organisasi (Suit & Ahmadi, 1996).

Pemimpin institusi pendidikan yang efektif mampumemberikan pengarahan terhadap usaha semua pekerjaantenaga kependidikan, baik guru, instruktur, maupun pelatihdalam mencapai tujuan. Tanpa pemimpin atau bimbingan,hubungan antarindividu tujuan organisasi berada padasuatu situasi tempat individu bekerja untuk mencapai tujuansendiri. Sementara itu keseluruhan organisasi berada ditampat individu dalam keadaan tidak efisien dalammencapai tujuan.

Davis dalam Hicks & Gullet (1985) mengatakan “...tanpa pimpinan, suatu organisasi akan merupakan campuraduk manusia dan peralatan.” Kepemimpinan merupakankecakapan untuk meyakinkan orang agar mengusahakansecara tegas tujuannya dengan penuh semangat. Hal itumerupakan faktor manusia yang mengikat suatu kelompokuntuk bersama-sama dan mendorong terhadap tujuan.

Aktivitas manajemen, seperti halnya perencanaan,pengaturan, dan pengambilan keputusan, merupakankepompong yang tidak aktif sampai pemimpin menyeleng-garakan daya pendorong dan membimbingnya padaberbagai tujuan. Pemimpin mengimplementasikan kedalam kenyataan. Ini merupakan suatu perbuatan yangpokok yang membawa pada keberhasilan seluruh potensi

Bab IV: Kapabilitas Manajerial Pimpinan Pendidikan

61Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

yang terdapat dalam suatu organisasi dan orang-orangnya.

Singkat kata, seorang pemimpin dalam institusipendidikan sangat diperlukan jika suatu institusi pendidikandiharapkan mencapai keberhasilan penuh. Bahkan, seorangtenaga kependidikan yang baik perlu mengetahui bagai-mana mereka dapat memberi sumbangan untuk tujuaninstitusi pendidikan, sedangkan tenaga kependidikan yangkurang antusias memerlukan pemimpin yang memberikanmotivasi kerja. Biasanya motivasi dari pemimpin dikenalsebagai motivasi eksternal, untuk mempertahankan tujuanyang sesuai dengan apa yang menjadi tujuan organisasi atauinstitusi pendidikan.

“Seorang pemimpin dituntut untuk mampu meng-gerakkan karyawannya dalam bekerja, terutama dalamcara bekerja yang efektif, efisien, ekonomis, dan produktif”(Hasibuan, 1995). Seorang pimpinan juga diharapkanmampu mengarahkan orang lain dan yang bertanggungjawab atas pekerjaan tersebut. Tanembaum dalam Siagian(1995) mengatakan bahwa pemimpin adalah mereka yangmenggunakan wewenang formal untuk mengorganisasi,mengarahkan, dan mengontrol bawahan yang ber-tanggung jawab, supaya semua bagian pekerjaandikordinasikan demi mencapai tujuan perusahaan.

Menurut Gage Alle sebagaimana dikutip KartiniKartono (2001), “seorang pemimpin merupakan seorangpemandu, penunjuk, penuntun, dan komandan.” Pemimpininstitusi pendidikan sangat berperan penting dalampencapaian tujuan secara optimal. Oleh karena itu,pemimpin institusi pendidikan hendaknya senantiasamenciptakan hubungan yang baik dengan segenap tenaga

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

62 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

kependidikan, baik guru, instruktur, maupun pelatih.Hubungan yang baik ini dapat memberikan manfaat positifbagi kedua belah pihak.

William (1972) mengemukakan bahwa atasanhendaknya mengetahui kekuatan atau kelebihan yangdimiliki oleh bawahannya dan dapat memanfaatkannyaseoptimal mungkin. Sebaliknya, bawahan hendaknya sadarakan berbagai keberhasilan dan kegagalan dalam bekerja,dan berupaya untuk menganalisis sebab-sebab keberhasilandan kegagalan tersebut, serta belajar dari keduanya untukmeningkatkan kinerja supaya lebih baik.

Atasan hendaknya menegaskan kembali perannyadalam melaksanakan bimbingan kepada bawahan sehinggadapat menghasilkan kinerja tinggi. Sutisna (1989)menegaskan tugas pemimpin pada suatu organisasi ataulembaga formal, yaitu hendaknya memberikan arah padausaha dari semua personil dalam mencapai tujuanorganisasi.

Memimpin institusi pendidikan pada hakekatnyaadalah menciptakan lingkungan institusi pendidikan yangkreatif, memberdayakan tenaga kependidikan, sertamerekayasa mereka menjadi sumber daya manusia yangberkualitas. Pemimpin hendaknya dapat menyadari bahwakeberhasilannya turut ditentukan oleh tingkat kinerja yangditunjukkan oleh seluruh sivitas yang ada di bawahwewenang dan tanggung jawabnya. Kerja sama yangdidasarkan pada kemitraan inilah yang akan membawakinerja institusi pendidikan menjadi lebih baik.

Penting ditegaskan bahwa dalam tubuh institusi pen-didikan, kepemimpinan hendaknya dikembangkan di

Bab IV: Kapabilitas Manajerial Pimpinan Pendidikan

63Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

antara semua guru, instruktur, dan pelatih pada semuatingkatan. Segenap tenaga kependidikan hendaknyaberpartisipasi dalam mengembangkan visi dan misi institusipendidikan dalam menghadapi era masa depan. Semuaanggota kelompok organisasi hendaknya rela menerimatanggung jawab baru, mengambil risiko, membinakonsensus, dan saling percaya di antara kolega.

Pemimpin harus yakin bahwa semua orang memilikiketerampilan memimpin yang ada di dalam diri masing-masing dan keterampilan tersebut dapat dikembangkan.Kepemimpinan bukan sesuatu yang mistik, tetapi terdiri atassejumlah keterampilan yang dapat dilatih dan dikembang-kan walaupun disadari bahwa ada faktor bakat alamilahtertentu yang melekat pada setiap orang.

Robbins (1986) berpendapat bahwa keberhasilan dankegagalan organisasi banyak ditentukan oleh keberhasilandan kegagalan pemimpin dalam memainkan perannya.Pemimpin dalam menggerakkan anggota memiliki pera-nan yang strategis. Secara umum dapat dikatakan bahwaseorang pemimpin pada tingkat apa pun hendaknya me-miliki wawasan yang luas dan menjangkau ke masa depan,mampu membuat keseimbangan dan keserasian dalammembuat keputusan untuk menggerakkan anggotanya da-lam mewujudkan sasaran guna mencapai tujuan organisasi.Pemimpin harus berperan sebagai individu teladan (to dothe right things), sebagai komandan, sebagai fasilitator yangbertugas menyiapkan kader, sebagai seorang bapak yang bijak,dan sekaligus sebagai seorang sahabat yang penuh pengertian.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

64 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

B. Kemampuan Manajerial

Pada prinsipnya banyak kemampuan manajerialyang dipersyaratkan agar dikuasasi oleh para pemimpin.Beberapa di antaranya dikemukakan berikut. Salah satunyaialah perilaku komunikasi manajerial. Perilaku komunikasimanajerial harus dimiliki oleh seorang pemimpin pemimpinagar pemimpin dapat berinteraksi dengan bawahan, atasan,kolega, dan pihak-pihak lain. Newstrom (1985) menyata-kan bahwa komunikasi pada hakikatnya adalah upayamentransfer informasi dan pemahaman dari seseorang keorang lain. Sementara Stamatis (1996) mengemukakanbahwa organisasi tidak ada tanpa komunikasi. Komunikasimemungkinkan terjadinya tukar menukar ide sertakepedulian dan masalah. Tanpa komunikasi, manajer tidakakan pernah mendapat balikan, penyelia tidak akan pernahbisa memberikan pengarahan, koordinasi tidak akan pernahterwujud, dan organisasi akan hancur. Setiap kegiatankomunikasi akan berpengaruh terhadap organisasi.

Steers (1987) mencoba melihat hubungan yang sangaterat antara komunikasi dan motivasi. Komunikasi dua arahakan dapat mengurangi ketidakpastian. Demikian jugadengan komunikasi dalam organisasi dimungkinkanadanya mekanisme balikan dan manajer akan memperolehinformasi yang akurat tentang pelaksanaan suatu kegiatandan akibat yang mungkin terjadi. Seorang manajer yangbaik, senantiasa berupaya untuk mengetahui bagaimanaorang berpikir tentang dirinya. Hal itu dapat diketahui padasaat ia berkomunikasi. Pengetahuan tentang bagaimanaorang berpikir mengenai dirinya akan sangat berguna bagimanajer karena ia akan senantiasa berupaya untuk

Bab IV: Kapabilitas Manajerial Pimpinan Pendidikan

65Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

membina komunikasi yang efektif dengan pihak lain. Kerjasama antara manajer dan staf dapat terjalin dengan baikjika kedua belah pihak melaksanakan komunikasi secaraefektif. Makin efektif komunikasi, makin besar kemungkin-an terjadinya tindakan bersama untuk mewujudkan sasaranyang ditetapkan bersama. Inti komunikasi sebagai prosessosial adalah penyampaian dan sekaligus pemahaman pesanseseorang kepada orang lain. Komunikasi bisa langsungataupun mempergunakan media.

Kreitner (1983) menyarankan tiga hal tentang bagai-mana caranya menjadi komunikator yang lebih baik.Pertama, menjadi pendengar yang efektif. Untuk menjadipendengar yang efektif, penerima pesan harus mendengardengan penuh perhatian agar dapat menangkap sisi pesandan isi pesan balikan dengan sempurna. Kedua, menjadipenulis yang efektif. Seorang manajer dituntut untuk dapatmerumuskan ide dalam tulisan, perintah dan pesan padabawahan dilakukan secara efektif. Hal yang ditulis harusbenar, tujuan penyampaian pesan jelas, dan arti yangterkandung di dalamnya dapat dengan mudah dipahami,baik tata bahasanya, maupun ejaannya. Ketiga, menyeleng-garakan pertemuan atau rapat secara efektif. Pertemuan,rapat, taklimat (briefing) merupakan bagian yang sangatpenting dan tidak bisa dipisahkan dari kehidupan organisasi.Rapat dan pertemuan sangat penting untuk menjaringaspirasi bawah, menyampaikan kebijakan dari atas, danmencari alternatif pemecahan berbagai masalah.

Keterampilan lain dalam proses manusiawi adalahperilaku peran individu dalam kelompok. Kelompok akanberfungsi efektif dan sinergis jika setiap anggota kelompok

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

66 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

berpatisipasi secara penuh dalam kegiatan kelompok.Semua yang dilakukan anggota kelompok seharusnyaberorientasi pada penyelesaian tugas dan pada upayamemelihara iklim dan kekompakan kelompok. Setiapanggota kelompok dapat menerima sesuatu dari kelompok,sebaliknya kelompok dapat memberikan dan memenuhikebutuhan individu.

Finch (1976: 25) menyatakan “...kelompok memberi-kan nilai positif bagi anggotanya. Anggota kelompokmembutuhkan keamanan, kerjasama, ingin dikenal, butuhkasih sayang, dan perhatian. Kelompok dapat memberikandan memenuhinya. Dalam kelompok dapat dibina danmemenuhinya. Dalam kelompok dapat dibina dandikembangkan karakter dan nilai-nilai seperti kesetiaan(loyality), percaya mempercayai (trust), keterbukaan(openness), pertanggung-jawaban pribadi (personalresponsibility).”

Kreitner (1983) melihat kelompok sebagai suatuproses sosial karena setiap orang akan memainkan perannyasesuai dengan deskripsi perilaku yang diharapkan.Tujuannya adalah memperbaiki efektivitas kelompok. Olehkarena itu, setiap anggota kelompok hendaknya memilikikejelasan tentang tujuan yang ingin diwujudkan, proseduruntuk mencapainya, pola komunikasi, pengambilankeputusan, delegasi wewenang, pengembangan karier danpola hubungan ke luar.

Perilaku individu yang diharapkan dan dapat men-dorong ke arah peningkatan efektivitas kelompok adalahpengambil prakarsa, pencari informasi, pengumpulpendapat, pendorong terciptanya suasana kelompok yang

Bab IV: Kapabilitas Manajerial Pimpinan Pendidikan

67Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

menyenangkan, penjaga keutuhan kelompok, pembuatnorma kerja, pengikut yang konsisten, dan pengekspresiperasaan kelompok, sedangkan perilaku yang akanmerusak keutuhan dan efektivitas kelompok adalahpenentang, penghalang kemajuan kelompok, pendominasi,penyaing yang selalu ingin lebih dahulu menyampaikanpendapat sebelum orang lain, pencari simpati, penyokongkecil dalam kelompok, pencari nama, dan acuh tak acuhterhadap kegiatan kelompok.

Keterampilan manajer yang penting lainnya adalahperilaku pengambilan keputusan. Setiap manajer dalammelaksanakan tugasnya dituntut untuk membuat berbagaikeputusan. Pembuatan keputusan bukanlah pekerjaan yangmudah. Dalam era yang serba cepat, perubahan terjadisangat cepat, langkah pengambilan keputusan dituntutuntuk dilaksanakan dengan cepat, tepat, dan akurat.Mengapa harus mengambil keputusan? Karena keputusanmerupakan pemecahan masalah. Pengambilan keputusanmerupakan suatu proses untuk memilih salah satu arahtindakan sebagai pemecahan suatu masalah. Pemecahanmasalah menunjuk pada kegiatan yang lebih luas dalamrangka penemuan dan pelaksanaan arah tindakan untukmemperbaiki situasi yang tidak dikehendaki.

Hunsaker (1980) menyatakan bahwa pengambilankeputusan merupakan bagian yang sangat penting daritugas seorang manajer. Keputusan efektif yang dibuat olehmanajer akan mempunyai dampak langsung terhadaporganisasi dan juga membawa dampak terhadap kemajuankarier manajer itu sendiri. Oleh karena itu, manajermempelajari berbagai cara pengambilan keputusan, meng-

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

68 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

ujicobakan, menganalisisnya, sehingga dengan demikianmanajer akan tahu secara tepat gaya kepemimpinan manayang paling cocok untuk memimpin bawahannya. Adaempat gaya pengambilan keputusan yang perlu dipelajaridan dipertimbangkan untuk dipilih, yaitu gaya pe-ngambilan keputusan tegas (decisive), gaya luwes (flexible),gaya bertingkat (hierarchy), dan gaya terpadu (integrative).

Owens (1991) berpendapat bahwa pengambilankeputusan terbaik hendaknya dilakukan oleh banyakorang. Keputusan bersama akan menghasilkan kualitaskeputusan yang lebih baik. Keputusan bersama kelompokcenderung lebih berkualitas dibanding dengan keputusanyang dibuat sendiri walaupun pengambil keputusan tersebutdiambil oleh individu terbaik dalam kelompoknya.Keputusan akan memiliki kualitas baik apabila dimulai dandidahului oleh analisis situasi. Dalam gaya manajemenpartisipatif, seperti halnya manajemen pola kerja terpadu,pengambilan keputusan banyak melibatkan kelompok.

Hersey & Blanchard (1988: 88) juga menyatakan ”...pengambilan keputusan sering kali tidak diambil hanya olehsatu orang saja, akan tetapi melibatkan berbagai unsurdalam organisasi. Bahkan pada organisasi atau perusahaanbesar, disamping melibatkan manajer, tidak jarang merekamelibatkan bawahan. Walaupun pengalaman mem-buktikan bahwa peranserta bawahan dalam pengambilankeputusan kadang efektif dalam situasi tertentu, tetapikurang efektif dalam situasi lain. Input yang sangatberharga dalam pengambilan keputusan dapat diperolehdengan berbagai cara antara lain dari hasil seminar, hasilpenelitian, belajar dari organisasi lain, dan saran dari

Bab IV: Kapabilitas Manajerial Pimpinan Pendidikan

69Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pemakai atau pelanggan.”

Semakin jelaslah bahwa pengambilan keputusanoleh pemimpin sangat penting bagi perkembanganorganisasi. Keputusan terbaik diambil bersama kelompokdan dilakukan analisis situasi serta digunakan masukansebelum diambil keputusan. Oleh karena itu, seorangpemimpin institusi pendidikan adalah sumber aktivitas.Sebagai pimpinan, ia harus merencanakan, mengorganisasi,menggerakkan, dan mengendalikan semua kegiatan agartujuan tercapai. Pemimpin harus memberikan arah kepadalembaga, organisasi, atau perusahaan yang dikelolanya. Iaharus memikirkan secara tuntas misi perusahaan, organisasiatau institusinya, serta menetapkan sasaran danmengorganisasikan sumber-sumber untuk mencapai tujuanyang telah digariskan.

Benar kiranya apa yang diungkapkan oleh KartiniKartono (1994) bahwa pemimpin adalah seorang pribadiyang memiliki kecakapan dan kelebihan, khususnya,kecakapan dan kelebihan di satu bidang, sehingga diamampu mempengaruhi orang lain untuk bersamamelakukan aktivitas tertentu demi pencapaian satu ataubeberapa tujuan.

Hal itu menunjukkan bahwa pemimpin dalamorganisasi atau institusi pendidikan harus mempunyaikemampuan untuk mempengaruhi orang lain agar ia maumengikuti tujuan institusi pendidikan atau organisasi,mempengaruhi orang lain, dan mengubah tingkah lakuorang atau bawahan agar menyatukan tindakannya ke arahsasaran bersama yang hendak dicapai.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

70 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Kemampuan manajerial pemimpin institusipendidikan yang seyogianya dimiliki antara lain ialah:

(1) mengetahui bidang tugasnya dengan penuh kesadarandan cermat;

(2) tanggap terhadap keadaan lingkungan sekitarnya;

(3) mempunyai hubungan antarmanusia dengan baik;

(4) dapat dipercaya dan mampu mempercayai orang lain,

(5) mampu melakukan hubungan kerja;

(6) mampu melakukan kordinasi;

(7) mampu menyelenggarakan dan mengelola hubunganmasyarakat; dan

(8) mampu mengambil keputusan secara tepat dan cepat.

71Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

GAYA KEPEMIMPINAN DAN PERILAKU MANAJEMEN

A. Konsep dan Pendekatan

BANYAK para pakar perilaku organisasi yang men-jelaskan kepemimpinan. Richard L. Daft (2005) menjelaskanbahwa kepemimpinan merupakan salah satu fenomenayang paling mudah diobservasi, tetapi menjadi salah satuhal yang paling sulit untuk dipahami. Oleh sebab itu, untukmempermudah pemahaman dengan mendefinisikankepemimpinan sebagai sebuah hubungan yang saling mem-pengaruhi di antara pemimpin dan pengikut (bawahan)yang menginginkan perubahan nyata yang mencerminkantujuan bersamanya.

Ahli lain, yaitu Judith R.Gordon (2007), menjelaskan,“A leader is an individual who influences others to act towarda particular goal or endstate.” Konsepsi kepemimpinanmeliputi tindakan seperti merumuskan gagasan, memo-bilisasi kekuatan, mengorganisasikan orang, dan meluncur-kan gerakan. Th. Agung M. Harsiwi yang mengutippendapat Locke (1997) melukiskan kepemimpinan sebagaisuatu proses membujuk (inducing) orang lain menuju

Bab V

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

72 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

sasaran bersama. Definisi tersebut mencakup tiga unsurberikut: (1) kepemimpinan merupakan suatu konsep yangberhubungan (relational concept), yaitu kepemimpinanhanya ada dalam proses yang berhubungan dengan oranglain (para pengikut); (2) kepemimpinan merupakan suatuproses, yaitu agar bisa memimpin pemimpin harus mampumelakukan sesuatu; dan (3) kepemimpinan harusmembujuk orang lain untuk mengambil tindakan, yaitupemimpin membujuk pengikutnya melalui berbagai cara,seperti menggunakan wewenang yang dimiliki, mencipta-kan anutan atau menjadi teladan, menetapkan sasaran,memberikan imbalan dan hukuman, restrukturisasiorganisasi, dan mengomunikasikan visi.

Selanjutnya kepemimpinan menurut Newstrom(2007) didefinisikan sebagai suatu proses yang dapat mem-pengaruhi dan mengarahkan kegiatan pribadi ataukelompok dalam usaha mengidentifikasi dan memo-tivasinya untuk mencapai tujuan serta sistem kepemimpi-nan adalah sebagai the total pattern of explicit and implicitleader’s actions as seen by employees.

Selanjutnya Robbins (2003) menyatakan ada empatpendekatan untuk membuat pemimpin menjadi efektif: (1)berusaha mencari ciri kepribadian universal yang derajatnyasatu tingkat lebih tinggi dibandingkan dengan yang bukanpemimpin, (2) mencoba menjelaskan kepemimpinan danperilaku seseorang yang terlibat di dalamnya. Kedua pen-dekatan ini telah dicap sebagai “awal yang palsu” yangdidasarkan pada konsepsi tentang kepemimpinan yangkeliru dan terlalu disederhanakan; dan (3) menggunakanmodel kemungkinan untuk menjelaskan tidak memadainya

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

73Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

teori kepemimpinan sebelumnya dalam merujukkan danmemadukan aneka ragam penemuan penelitian; dan (4)perhatian kembali ke ciri, tetapi dari suatu perspektif yangberbeda. Oleh sebab itu, menurut Stephens Robbins (2003),kepemimpinan dapat didefinisikan sebagai kemampuanuntuk mempengaruhi suatu kelompok ke arah tercapainyatujuan. Garis pemikiran ini mengemukakan bahwa hakikatkepemimpinan adalah gaya yang menonjolkan penampilansebagai pemimpin.

Debra & Campbell menyimpulkan lima tipe pemim-pin untuk mempengaruhi tingkah laku orang lain, yaitu(1) kekuasaan imbalan (reward power), (2) kekuasaan paksa(coercive power), (3) kekuasaan kewenangan (legitimatepower), (4) kekuasaan daya tarik (referent power), dan (5)kekuasaan keahlian (expert power).

Jika pengertian tersebut disarikan, pada dasarnyakepemimpinan merupakan upaya mempengaruhi danmenggerakkan orang lain untuk bekerja sama dalamrangka mencapai tujuan bersama yang telah ditentukansebelumnya.

Kepemimpinan pada suatu organisasi memegangperanan yang sangat penting. Pentingnya kepemimpinanpada suatu organisasi terkait dengan strategi fungsikepemimpinan. Menurut Hurber, terdapat lima aspekpenghubung di dalam kepemimpinan, yaitu; (1) pemimpin(the leader), (2) bawahan (the follower), (3) situasi (thesituation), (4) proses komunikasi (the communication process),dan (5) tujuan (the goal). Kelima unsur tersebut berinteraksipada setiap momen kepemimpinan.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

74 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Berikut merupakan beberapa hubungan antaraatasan (pimpinan) dan bawahan (karyawan) meliputi: (1)tingkat rasa percaya diri: kepercayaan, kehormatanbawahan kepada pimpinannya, (2) struktur kerja (tingkattugas kerja sesuai dengan prosedur contoh: terstruktur atautidak terstruktur), dan (3) posisi kekuasaan (tingkatpengaruh pemimpin yang mempunyai kekuasaan lebihseperti kekuasaan membayar gaji, memberhentikan, sertamenentukan promosi dan kenaikan gaji karyawan.

Tahap berikutnya di dalam model Fielder (1981) ialahmenilai keadaan ketiga jarak kontingensi variabel.Hubungan pemimpin dan bawahan adalah baik atau buruk;struktur kerja: tinggi atau rendah; dan posisi kekuasan: kuatatau lemah. Fielder menetapkan hubungan pemimpin-karyawan yang lebih baik, yaitu struktur kerjanya lebihterstruktur dan posisi kekuasaannya lebih kuat; lebihterkontrol atau pengaruh yang dimiliki oleh pemimpin lebihkuat. Orientasi hubungan pemimpin perlu lebihmenampilkan situasi yang lebih moderat.

Dalam penjelasaannya, Hersey & Blanchard (1996),mengidentifikasikan tiga keterampilan yang sangatdibutuhkan untuk memimpin atau mempengaruhi karya-wan yaitu (1) mendiagnosis (diagnosing), proses memeriksakegiatan yang menyangkut pemahaman situasi danpermasalahan baik yang bisa diatasi maupun yang tidakbisa diatasi, (2) mengadaptasi (adapting), proses menyesuai-kan kegiatan yang menyangkut penyesuaian perilaku danpengembangan lain yang disesuaikan dengan situasi, dan(3) mengomunikasikan (communicating), proses peng-omunikasian kegiatan karyawan. Organisasi merupakan

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

75Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

sistem sosial yang ada untuk menyejahterakan masyarakat.Organisasi yang belajar terus menerus dapat meningkatkankesejahteraan masyarakat secara berkelanjutan.

Dalam bukunya The Fifth Discipline, Peter M. Sengeyang dikutip Jaffe (2001) menyatakan bahwa bangunan darilearning organization adalah lima unsur, yaitu (1) berpikirsistem (system thinking), (2) penguasaan pribadi (personalmastery), (3) pola mental (mentals models), (4) berbagi visi(shared vision), dan (5) kelompok belajar (team learning).

Para ahli kepemimpinan telah meneliti dan mengem-bangkan gaya kepemimpinan yang berbeda-beda sesuaidengan evolusi teori kepemimpinan. Pemelajaran subjekkepemimpinan dapat dilakukan dengan cara (pendekatan)berbeda-beda, tergantung pada konsep yang dipakai olehpeneliti mengenai kepemimpinan dan pilihan metodologiyang digunakan. Penelitian kepemimpinan umumnyaterbagi pada garis pendekatan penelitian yang jelas dandapat diklasifikasikan menurut fokus utama seperti uraianberikut.

1. Pendekatan Sifat (Trait)

Pendekatan paling mula yang dilakukan parapsikolog dan peneliti lain untuk memahami kepemimpinanadalah mencoba untuk melakukan identifikasi terhadapkarakteristik personal para pemimpin. Pendekatan itudilandasi suatu asumsi bahwa karakteristik kepemimpinanterlahir dalam diri seorang pemimpin. Pandangan itukemudian mendasari suatu pemahaman bahwa seseorangmenjadi pemimpin karena dia dilahirkan sebagai pemimpin,bukan dibentuk menjadi pemimpin.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

76 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Guna menentukan karakteristik kepemimpinanyang dapat diukur, peneliti menggunakan dua pendekatan,yaitu (1) membandingkan karakteristik orang yang terlahirsebagai pemimpin dengan karaktersitik orang yang tidakterlahir sebagai pemimpin, dan (2) membandingkankarakteristik pemimpin yang efektif dengan pemimpinyang tidak efektif.

Yukl (1994) mengemukakan bahwa pemahamanawal tentang kepemimpinan terfokus pada ciri sifat yangdimiliki seorang pemimpin. Sifat merupakan salah satu ciriyang spesifik yang dimiliki oleh pribadi, seperti kepercayaandiri, kejujuran, kecerdasan, dan keberanian. Menurut teorisifat, hanya pribadi yang memiliki sifat tertentu yang bisamenjadi seorang pemimpin. Pribadi tersebut lebih dikenalsebagai orang hebat (great person). Teori itu menegaskangagasan bahwa beberapa pribadi dilahirkan memiliki sifattertentu yang secara alamiah menjadikan mereka seorangpemimpin. Teori tersebut mencoba untuk membandingkansifat yang dimiliki oleh seorang pemimpin dengan sifatpribadi yang bukan seorang pemimpin.

Kemudian penelitian kepemimpinan memusatkanperhatian pada ciri pribadi pemimpin yang dikenal dengantrait theory. Trait pada dasarnya menjadi motivasi bagi pe-mimpin. Trait atau sifat yang penting antara lain adalahmendorong atau ambisi, kejujuran dan integritas, motivasikepemimpinan, percaya diri, kemampuan kognitif,pengetahuan bisnis, kreativitas, dan fleksibilitas.

Sebagian besar penelitian mengenai karakteristikkepemimpinan berada pada kategori pertama yaitu sebagaipemimpin. Namun, secara umum mereka gagal untuk me-

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

77Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

nentukan perbedaan karakteristik secara jelas dan konsistenantara pemimpin dan pengikut. Penelitian menunjukkanbahwa pemimpin memiliki sifat lebih cerdas, lebih terbuka,dan lebih percaya diri dibandingkan dengan bukan pe-mimpin. Mereka juga cenderung lebih tinggi. Meskipunjutaan orang memiliki sifat tersebut, kebanyakan darimereka tidak pernah mencapai posisi sebagai pemimpin.Beberapa pemimpin bahkan tidak memiliki sifat tersebut,misalnya Abraham Lincoln, ia memiliki sifat moody dantertutup, sedangkan tubuh Napoleon pendek. Kenyataanlain menunjukkan bahwa seseorang memiliki beberapa sifattersebut setelah dia mencapai posisi pemimpin sehinggasebagian sifat tersebut lebih dipandang sebagai hasil daripengalaman kepemimpinan daripada penyebab munculnyakemampuan kepemimpinan.

Cara kedua ialah membandingkan karakteristikantara pemimpin yang efektif dan tidak efektif. Namun,penelitian dalam kategori ini pun banyak menemuikegagalan untuk memisahkan karakteristik dengansuksesnya kepemimpinan. Suatu penelitian menemukanbahwa intelegensi, inisiatif, dan keyakinan diri diartikansebagai penentu kinerja manajerial. Penelitian lainmenemukan bahwa kepemimpinan efektif tidak tergantunghanya pada sekelompok karakteristik tertentu, melainkanbagaimana karakteristik pemimpin tersebut sesuai denganpersyaratan situasi yang ada.

Sejumlah peneliti menemukan bukti bahwa masihsedikit jumlah perempuan yang mampu mencapai posisipemimpin dibandingkan dengan laki-laki. Namun, di sisilain semakin banyak jumlah orang yang semakin percaya

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

78 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

dengan keseimbangan kemampuan antara laki-laki danperempuan sehingga kepercayaan mereka terhadap potensiperempuan sebagai pemimpin juga semakin meningkat.

Penetapan stereotipe (stereotyping) berbasis etnikyang cenderung rasial merupakan masalah lain dalammengidentifikasi hubungan antara karakteristik dankualitas kepemimpinan. Fakta menunjukkan bahwasemakin banyak kelompok minoritas mencapai tingkatkesuksesan dalam menjalankan bisnisnya. Di satu sisikesuksesan tersebut turut memberikan kontribusi bagikemakmuran bangsa dan negara, di sisi lain menimbulkankecemburuan sosial sehingga memunculkan rasialisme yangtidak semestinya.

2. Pendekatan Perilaku (Behavior)

Pendekatan awal terhadap penelitian perilakupemimpin dihubungkan dengan trait theory atau teori sifat,yaitu tetap menekankan pada hal yang diyakini merupakanperbedaan dasar pada pola perilaku pemimpin yang berasaldari kepribadian dan pandangan hidup pribadi. Manakalaterdapat bukti bahwa pemimpin efektif tidak selaluditentukan oleh karakteristik tertentu, para peneliti lantasberupaya untuk memisahkan karakteristik perilaku pe-mimpin efektif. Para peneliti tidak lagi mencoba mengatakansiapa (who are) pemimpin efektif itu, tetapi lebih menekankanpada apa yang dilakukan (what to do) pemimpin efektif.Penelitian diarahkan untuk menjawab pertanyaan bagai-mana pemimpin mendelegasikan pekerjaan; bagaimanapemimpin berkomunikasi dengan pengikut; bagaimanapemimpin memotivasi pengikut; bagaimana mereka

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

79Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

menyelesaikan pekerjaan? dan sebagainya. Perilaku, tidakseperti karakteristik, dapat dipelajari sehingga seseorangdapat dilatih mengenai kepemimpinan secara tepat agardapat memimpin secara efektif. Atas dasar pemahamantersebut, para peneliti memfokuskan pendekatan ini padadua aspek yaitu fungsi kepemimpinan dan gayakepemimpinan.

Terkait dengan fungsi kepemimpinan, para penelitimengkaji atas dasar suatu kesimpulan bahwa untuk meng-operasikan suatu kelompok atau organisasi secara efektifdiperlukan seseorang yang memiliki dua kemampuanutama, yaitu task-related atau fungsi terkait pekerjaan dangroup-maintenance atau fungsi sosial. Pemimpin yangmemiliki kemampuan untuk memerankan kedua fungsitersebut secara tepat akan menjadi seorang pemimpin yangefektif. Penelitian lain menunjukkan bahwa kelompok atauorganisasi yang berhasil memiliki bentuk kepemimpinanyang saling melengkapi adalah satu pemimpin memeran-kan fungsi terkait pekerjaan, sedangkan pemimpin lainmemerankan fungsi sosial.

Terkait dengan gaya kepemimpinan, Daft (2005)mengungkapkan gaya kepemimpinan berdasarkangabungan dua dimensi, yaitu (1) seberapa jauh pemimpinmelibatkan bawahan dalam pengambilan keputusan(otokratis-demokratis), dan (2) seberapa jauh pemimpinmengarahkan kegiatan bawahan dan memberitahubagaimana cara melaksanakan pekerjaan mereka (direktif-permisif). Dengan demikian terdapat empat gaya (perilaku)kepemimpinan, yaitu: (a) otokratis-direktif, mengambilkeputusan sendiri, dengan ketat mengawasi bawahan, (b)

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

80 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

otokratis-permisif, mengambil keputusan sendiri, tetapimemberi kebebasan kepada bawahan untuk melaksanakanpekerjaannya, (c) demokratis-direktif, mengambil keputusansecara partisipatif, tetapi mengawasi bawahan secara ketat,(d) demokratis-permisif, mengambil keputusan secarapartisipatif, dan memberi kebebasan kepada bawahanuntuk melaksanakan pekerjaannya.

3. Pendekatan Situasional

Pendekatan situasional disebut juga denganpendekatan contingency yang didasarkan pada pendapatbahwa kepemimpinan yang efektif tergantung padasejumlah faktor. Tidak ada kepemimpinan yang efektifuntuk semua situasi atau keadaan. Para peneliti yangmenggunakan pendekatan karakteristik dan perilakumenunjukkan bahwa kepemimpinan yang efektiftergantung pada banyak variabel, seperti kultur, organisasi,dan jenis pekerjaan. Tidak ada karakteristik unilateral yangtepat bagi keseluruhan pemimpin efektif. Artinya, tidak adahanya satu gaya yang efektif dalam kepemimpinan untuksegala situasi.

Para peneliti kemudian mencoba untukmengidentifikasi faktor-faktor pada situasi yang berbeda danberpengaruh pada keefektifan suatu gaya kepemimpinan.Penelitian dengan memasukkan berbagai kontekssituasional tersebut dikenal dengan pendekatan kontingensi.Pendekatan ini memfokuskan pada faktor berikut ini: (a)persyaratan pekerjaan, (b) perilaku dan harapan rekansekerja, (c) perilaku, harapan dan karakteristik karyawan,dan (d) kebijakan dan budaya organisasi.

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

81Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Menurut Hersey & Blanchard (1996), gaya kepe-mimpinan yang paling efektif berbeda-beda tergantungpada kesiapan karyawan. Kesiapan yang dimaksud adalahhasrat untuk pencapaian tujuan, kemauan untuk menerimatanggung jawab, serta kemampuan, keterampilan, danpengalaman yang terkait dengan pekerjaan. Tujuan danpengetahuan pengikut merupakan faktor penting dalammenentukan gaya kepemimpinan yang efektif. Hersey &Blanchard (1996) meyakini bahwa hubungan antaramanajer dan karyawan terjadi melalui empat tahapan.

Pada tahap kesiapan pertama, jumlah perilaku kerjaberada pada titik yang tinggi. Pada tahap itu, karyawanharus diperintah untuk melaksanakan pekerjaannya denganberbagai aturan dan prosedur organisasi. Ketika pengikutmulai memahami pekerjaannya, perilaku kerja tetap beradapada tingkat yang tinggi, sedangkan manajer mulaimenaruh kepercayaan dan dukungan kepada karyawan,sehingga manajer perlu mengembangkan perilakuhubungan. Pada tahap ketiga, karyawan telah memilikilebih banyak kemampuan dan motivasi penyelesaianpekerjaan sehingga mereka mulai mencari tanggung jawabyang lebih besar. Manajer tidak lagi sekadar memberikanperintah, tetapi mereka masih perlu memberikan dukungandan pertimbangan untuk memperkuat motivasi karyawan.Ketika karyawan secara bertahap mulai percaya diri,mandiri, dan berpengalaman, manajer dapat mengurangijumlah dukungan dan dorongan kepada karyawan. Padatahap keempat, karyawan tidak lagi menunggu perintahmanajer, tetapi mereka akan bekerja secara mandiri. Modelkepemimpinan situasional banyak diterapkan di berbagaiorganisasi bisnis karena model ini menawarkan konsep

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

82 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

mengenai gaya kepemimpinan yang lebih dinamis danfleksibel.

Model pendekatan kontingensi atau pendekatansituasional lainnya dikembangkan oleh Fred E. Fiedler(1967). Asumsi dasar model Fiedler adalah kesulitan yangdihadapi manajer untuk mengubah gaya kepemimpinanyang telah membuatnya berhasil. Pada kenyataannya,Fiedler meyakini bahwa kebanyakan manajer tidak terlalufleksibel. Perubahan gaya manajer untuk menyesuaikandengan perubahan situasi yang tidak dapat diperkirakanmerupakan tindakan yang tidak berguna. PendekatanFiedler mirip dengan gaya kepemimpinan yang berorientasikaryawan dan berorientasi pekerjaan. Hal yang membeda-kan ialah instrumen yang digunakan untuk mengukur.Fiedler mengukur gaya kepemimpinan pada suatu skalayang diindikasikan sebagai tingkat kesukaan atau ketidak-sukaan untuk menggambarkan seseorang menurut leastpreferred co-worker (LPC)-karyawan dengan siapapunmanajer dapat bekerja dengan baik. Menurut Fiedler, sese-orang yang digambarkan dengan LPC yang relatif disukai(LPC tinggi) cenderung permisif, orientasi hubunganmanusia, dan mempertimbangkan perasaan orang lain.Namun, seseorang yang digambarkan memiliki LPC yangrelatif tidak disukai (LPC rendah) cenderung lebih mengatur,pengendalian pekerjaan, dan kurang memberikan perhatianpada hubungan manusia.

Menurut teori Fiedler terdapat tiga kriteria situasi,yaitu hubungan antara pimpinan dan karyawan, tugaskelompok dan kekuatan atau kekuasaan. Fiedler percayabahwa kunci kesuksesan seorang pemimpin terletak padagaya kepemimpinan.

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

83Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Fiedler mengidentifikasi tiga situasi kepemimpinanatau variabel yang membantu menentukan gaya kepemim-pinan mana yang lebih efektif, yaitu hubungan antarapemimpin-pengikut (leader-member relations), strukturpekerjaan (task structure), dan kekuatan posisi pemimpin(leader’s position power). Hubungan pemimpin-pengikutmenunjukkan kualitas interaksi antara seorang pemimpindan karyawannya. Hubungan itu merupakan faktorterpenting yang mempengaruhi kekuatan dan keefektifanmanajer. Struktur pekerjaan merupakan suatu situasi yangdapat membantu menentukan kekuatan manajer. Di dalampekerjaan yang terstruktur, manajer secara otomatismemiliki kekuatan yang tinggi, sedangkan pada pekerjaanyang tidak terstruktur kekuatan manajer akan menurun.Kekuatan, menurut Fiedler, melekat pada posisi formal. Ke-kuatan pemimpin tergantung pada posisi yang diduduki-nya. Semakin tinggi kekuatan posisi seorang manajer,semakin mudah baginya untuk mempengaruhi karyawandalam penyelesaian pekerjaan.

Fiedler kemudian menemukan delapan kombinasidari ketiga variabel dalam siatuasi kepemimpinan, yaituhubungan pemimpin-pengikut bisa bagus atau buruk, pe-kerjaan bisa terstruktur atau tidak terstruktur, dan kekuatanposisi bisa kuat atau lemah. Dengan menggunakan delapankategori situasi kepemimpinan dan dua tipe pemimpin-LPCtinggi dan LPC rendah-Fiedler melakukan penelitian ter-hadap lebih dari 800 kelompok untuk melihat tipe pemimpinmana yang paling efektif pada setiap situasi. Model Fiedlermenyarankan bahwa kesesuaian yang tepat antara gayapemimpin (skor LPC) dan situasi (interaksi antara ketigavariabel) akan menunjukkan kinerja manajer yang efektif.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

84 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

4. Pendekatan Transaksional

Pada organisasi modern gaya kepemimpinan yangbanyak diterapkan adalah pendekatan kepemimpinantransaksional. Gaya kepemimpinan itu didasarkan padaasumsi bahwa kepemimpinan merupakan kontrak sosialantara pemimpin dan pengikut. Kedua pihak saling bebas(independent) dan memiliki tujuan, kebutuhan serta kepenti-ngan sendiri. Sering kali tujuan dan kebutuhan kedua pihaksaling bertentangan sehingga mengarah ke situasi konflikantara pemimpin (manajemen perusahaan) dan bawahan(karyawan) (Daft, 2005).

Pendekatan kepemimpinan transaksional mendalil-kan bahwa seorang pemimpin memfokuskan perhatiannyapada transaksi interpersonal antara pemimpin dan karya-wan yang melibatkan hubungan pertukaran. Pertukarantersebut didasarkan pada kesepakatan mengenai klasifikasisasaran, standar kerja, penugasan kerja, dan penghargaan.Judge dan Locke dalam Daft (2005) menegaskan bahwagaya kepemimpinan merupakan salah satu faktor penentukepuasan kerja. Jenkins dalam Daft (2005) mengungkap-kan bahwa keluarnya karyawan lebih banyak disebabkanoleh ketidakpuasan terhadap kondisi kerja karena karya-wan merasa pemimpin tidak memberi kepercayaan kepadakaryawan, tidak ada keterlibatan karyawan dalam pem-buatan keputusan, pemimpin berlaku tidak objektif dantidak jujur pada karyawan. Alasan utama karyawan me-ninggalkan organisasi disebabkan pemimpin gagalmemahami karyawan dan pemimpin tidak memperhatikankebutuhan karyawan.

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

85Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Bass (1981) mengemukakan bahwa karakteristik ke-pemimpinan transaksional terdiri atas dua aspek, yaituimbalan kontingen, dan manajemen eksepsi. Hubunganpemimpin transaksional dengan karyawan tercermin daritiga hal berikut, yakni:

a. pemimpin mengetahui apa yang diinginkan karya-wan dan menjelaskan apa yang akan mereka dapat-kan apabila pekerjaannya sesuai dengan harapan;

b. pemimpin menukar usaha yang dilakukan olehkaryawan dengan imbalan; dan

c. pemimpin responsif terhadap kepentingan pribadikaryawan selama kepentingan tersebut sebandingdengan nilai pekerjaan yang telah dilakukankaryawan.

Para pemimpin transaksional menentukan apa yangharus dilakukan karyawan untuk mencapai tujuan merekadan tujuan organisasi; menentukan persyaratan-persyaratanyang diperlukan; dan membantu karyawan untuk meyakinibahwa mereka mampu mencapai tujuan dengan upayayang sudah ditentukan.

5. Pendekatan Transformasional

Daft (2005) menggagas teori kepemimpinantransformasional (transfomational leadership). Pengem-bangan faktor kepemimpinan transformasional telahdilakukan pada penelitian yang dilakukan oleh Bass. Iamengidentifikasikan lima faktor (tiga yang pertama berlakupada transformasional dan dua faktor yang terakhir berlakupada kepemimpinan transaksional). Faktor tersebut adalah

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

86 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(a) karisma, (b) perhatian pribadi, (c) rangsangan intelektual,(d) pujian terbuka, dan (e) inspirasi.

Pemimpin transformasional dapat menggunakan ke-kuasaan dan wewenangnya untuk mengganti suasanalingkungan sosial dan psikologis secara radikal; melakukanperubahan; atau membuang yang lama dan menggantikan-nya dengan yang baru (Daft, 2005). Para pemimpin transfor-masional memotivasi karyawan untuk melakukan lebih dariapa yang mereka harapkan melalui peningkatan kesadaranterhadap kepentingan dan nilai pekerjaan karyawan, melaluiupaya penyadaran bahwa kepentingan tim dan organisasiberada di atas kepentingan diri mereka sendiri, dan melaluipeningkatan kebutuhan atau motivasi ke tingkat yang lebihtinggi, misalnya, aktualisasi diri.

Kapan seorang pemimpin dikatakan sebagaipemimpin transformasional, Bass (1981) mengemukakanbahwa hal tersebut dapat diukur dalam hubungan denganpengaruh pemimpin tersebut berhadapan karyawan. Olehkarena itu, Bass mengemukakan ada tiga cara seorangpemimpin transformasional memotivasi karyawannya, yaitudengan (a) mendorong karyawan untuk lebih menyadariarti penting hasil usaha; (b) mendorong karyawan untukmendahulukan kepentingan kelompok, dan (c) meningkat-kan kebutuhan karyawan yang lebih tinggi seperti hargadiri dan aktualisasi diri. Ada empat karakteristik ke-pemimpinan transformasional, yaitu kharisma, inspirasional,stimulasi intelektual, dan perhatian individual.

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

87Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

6. Pendekatan Kepemimpinan Kharismatik

Weber (1947) memberi perhatian pada pendekatankepemimpinan kharismatik, yang menurutnya kepemim-pinan kharismatik memiliki kapasitas untuk mengubahsistem sosial yang ada, berdasarkan persepsi pengikut yangpercaya bahwa pemimpin ditakdirkan memiliki kemampu-an istimewa. Pemimpin kharismatik akan muncul jikaterjadi krisis sosial dengan visi yang radikal dan menjanjikansolusi terhadap krisis (lihat kembali Bab II).

Teori Robert House (Newstrom, 2007) pada The Path-Goal Theory, dikembangkan berdasarkan teori pengharapanpada motivasi. Teori itu menyatakan bahwa orang akantermotivasi oleh dua harapan berupa kemampuannyamengerjakan suatu tugas dan memiliki keyakinan. Jikapegawai tersebut dapat mengerjakan pekerjaannya denganbaik, ia akan memperoleh hadiah yang berharga. Selanjut-nya, Daft (2005) membedakan ciri kepribadian dari perilakupemimpin kharismatik dan tidak kharismatik.

7. Pendekatan Teori Kepemimpinan X dan Y

Teori X dan Teori Y dikembangkan oleh DouglasMcGregor (1985). Pada Teori X diasumsikan bahwa (1)manusia pada dasarnya tidak suka bekerja dan bilamungkin akan menghindari pekerjaan; (2) karena sifatmanusia tidak suka bekerja, kebanyakan manusia harusdipaksa, dikontrol, dan diancam dengan hukuman agar mauberusaha mencapai sasaran organisasi; (3) pada umumnyamanusia lebih suka diarahkan, ingin menghindari tanggungjawab, memiliki sedikit ambisi, dan menginginkankeamanan lebih dari segalanya.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

88 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Selanjutnya Teori Y menjelaskan bahwa manajemenperusahaan mulai mengadopsi nilai-nilai yang lebihmanusiawi dengan perlakuan lebih sederajat dan lebihmurah hati terhadap karyawannya. Perubahan inimenimbulkan asumsi yang lain mengenai manusia. Jadidimensi teori Y adalah (1) keluarnya tenaga fisik dan mentaldalam bekerja adalah sama seperti bermain atau beristirahat,(2) kontrol eksternal dan ancaman hukuman bukanmerupakan satu-satunya cara untuk membangkitkan usahakaryawan (kinerja) bagi pencapaian sasaran organisasi, (3)komitmen pada sasaran merupakan fungsi penghargaanyang dikaitkan dengan kinerja, (4) pada umumnya orangsuka belajar dan pada kondisi yang tepat akan mencaritanggung jawab, (5) kapasitas untuk melakukan khayalantingkat tinggi, kepintaran, dan kreativitas dalam rangkasolusi masalah organisasi secara umum, dan (6) dalamkondisi kehidupan industrial modern, potensi kecerdasanmanusia hanya sedikit yang digunakan (McGregor, 1985).

8. Pendekatan Teori Kepemimpinan Z

Model integratif atau gabungan perilaku organisasiyang diajukan oleh William Ouchi dalam Davis & Newstrom(1985), menyajikan contoh yang berguna untuk menunjuk-kan bahwa resep perilaku untuk para manajer harus sejalandengan lingkungan organisasi. Ciri-ciri teori Z yangmenonjol, yaitu (1) Kepegawaian seumur hidup, (2) karieryang tidak dispesialisasikan, (3) tanggung jawab pribadi,(4) perhatian terhadap orang seutuhnya, (5) sistem pengen-dalian kurang formal, (6) pengambilan keputusan berdasar-kan konsensus, dan (7) laju promosi lebih lamban (Davis &Newstrom, 1985).

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

89Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Luthans (1985) mengutip pendapat yang dikemuka-kan oleh Robert House bahwa terdapat empat gayakepemimpinan yang dikemukakan dan menjadi perilakuseorang pemimpin, yakni (a) kepemimpinan direktif(directive leadership), pemimpin memberi kesempatankepada bawahan untuk mengetahui apa yang menjadiharapan pemimpinnya dan pemimpin tersebut menyatakankepada bawahannya tentang bagaimana untuk dapatmelaksanakan suatu tugas; (b) kepemimpinan suportif(supportive leadership), usaha pemimpin untuk mendekat-kan diri dan bersikap ramah serta menyenangkan perasaanbawahannya; (c) kepemimpinan partisipatif (participativeleadership), pemimpin berkonsultasi dengan bawahannyadan bertanya untuk mendapatkan masukan-serta sarandalam rangka pengambilan keputusan; dan (d) ke-pemimpinan yang berorientasi pada prestasi (achievement-oriented leadership), pemimpin menetapkan tujuan yangbersifat menantang dan pemimpin tersebut mengharapkanagar bawahan berusaha mencapai tujuan itu seoptimalmungkin.

Menurut pendapat Vroom-Yetton yang dikutip dariDavis & Newstrom (1999), keputusan manajerial di-pengaruhi oleh sifat masalah yang ada, informasi yangtersedia, dan tingkat partisipasi bawahan. Vroom-Yettonmenyebutkan lima gaya kepemimpinan, yaitu (a) autho-cratic I, yaitu pemimpin memecahkan masalah sendiriandengan menggunakan informasi yang tersedia padanyapada saat masalah itu muncul, (b) authocratic II, yaitupemimpin mendapat informasi yang diperlukan daribawahannya, kemudian memutuskan masalah tersebutsecara sendirian, (c) consultive I, yaitu pemimpin

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

90 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

menjelaskan masalahnya kepada seorang bawahannyayang berkaitan dengan masalah tersebut untuk mendapat-kan gagasan, (d) consultive II, yaitu pemimpin memberitahumasalahnya kepada bawahan pada suatu kelompokkemudian secara bersama-sama mencari gagasan atau saranpemecahan (e) grup II, yaitu pemimpin memberitahukanmasalah kepada bawahannya pada suatu kelompok. ModelVroom ini menekankan fleksibilitas seorang pemimpindalam menerapkan gaya kepemimpinan sesuai dengansituasi yang ada.

Menurut Newstrom (1999), gaya kepemimpinan jikaditinjau dari segi penggunaan wewenang, dapat dibagi atastiga macam, yaitu (a) gaya kepemimpinan otokratis, gayakepemimpinan yang dipandang sebagai pemimpin yangmemberi komando, mengharapkan ketaatan penuhanggota, menegakkan disiplin, memimpin dengan pen-dekatan, memberikan ganjaran atau hukuman bila terjadipenyimpangan oleh bawahan, dan kaku. Penggunaan gayakepemimpinan otokratis cocok bila para bawahan tidakmengetahui tujuan dan sasaran perusahaan dan perusahaanmenggunakan rasa takut, hukuman sebagai cara pen-disiplinan, dan para karyawan umumnya tidak terlatih. Parapimpinan ingin lebih dominan di dalam pengambilankeputusan, dan hanya ada sedikit ruang untuk melakukankesalahan; (b) gaya kepemimpinan demokratis ataupartisipatif, gaya kepemimpinan yang mempunyai ciriberkonsultasi dengan bawahan tentang tindakan dankeputusan yang diusulkan serta mendorong adanyakeikurtsertaan bawahan. Gaya kepemimpinan partisipatifini cocok bila pimpinan benar-benar ingin mendengarkanpendapat atau gagasan dari bawahan sebelum mengambil

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

91Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

keputusan dan pimpinan ingin mengembangkan ke-mampuan analitis para bawahannya dan tujuan perusahaanjuga telah dikomunikasikan kepada bawahannya; serta (c)gaya kepemimpinan bebas kendali atau free-rein, gayakepemimpinan yang lebih memberikan kesempatansebanyak-banyaknya kepada bawahan untuk mandiri.

Kepemimpinan ini menghindari kekuasaan dan rasatanggung jawab pribadi, lebih bergantung pada kelompok.Pada gaya free-rein tujuan perusahaan telah dikomunikasi-kan dan diterima dengan baik oleh bawahan. Jadi antaratujuan perusahaan dan tujuan karyawan pararel. Pemimpinpercaya atas pengalaman dan kemampuan bawahan,sehingga pemimpin berani mendelegasikan pengambilankeputusan pada bawahan. Bawahan ingin mendapatkankebebasan dan memperoleh kepuasan dari pelaksanaanpekerjaannya. Jelas bahwa seseorang perlu mengubah gayakepemimpinan bila situasinya memang berubah danmenangkap situasi ini penting bagi seorang pemimpin.

Tannebaum dan Schmidt dalam Richard L.Daft(2005) mengemukakan gaya kepemimpinan dalam suatugambar kontinum perilaku kepemimpinan.

Pada dasarnya ada tiga gaya kepemimpinan yangdikembangkan oleh Ronald Lippitt and Ralph K. Whiteseperti yang dikutip oleh Fred Luthans (1985), yaitu (1)otokratik yang menggambarkan seorang pemimpincenderung memusatkan otoritas, senang mendiktepekerjaan, membuat keputusan sepihak dan membatasikeikutsertaan bawahan, (2) demokratik yang melukiskanseorang pemimpin cenderung melibatkan staf di dalampengambilan keputusan, mendelegasikan kewenangan,

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

92 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

mendorong keikutsertaan untuk menentukan sasaran danmetode kerja, dan menggunakan umpan balik sebagaipeluang untuk melatih staf, dan (3) laissez faire yangcenderung memberi kebebasan penuh pada kelompokuntuk membuat keputusan dan menyelesaikan pekerjaandengan cara apa saja yang mereka anggap sesuai.

Teori kontemporer kepemimpinan tersebut terfokuspada gaya manajerial dan Hurber menyatakan polaperilaku seorang pemimpin yang dapat melakukan suatukerja sama dengan bawahannya, yaitu (1) pemimpin yangmengadopsi gaya otokratif mengharapkan karyawannyadapat mengikuti gaya pemimpin tersebut. Gaya ini diper-gunakan untuk membuat keputusan dengan cepat; (2)pemimpin yang mengadopsi gaya demokratis yang akanmeminta bawahannya untuk memberi masukan sebelummembuat keputusan, tetapi mereka tetap menjadi peme-gang keputusan terakhir; dan (3) pemimpin yang meng-adopsi gaya bebas kendali (free-rein) yang memberi masu-kan atau nasihat kepada bawahannya dan mereka diperbo-lehkan untuk mengambil keputusan (Griffin & Ebert, 2004).

B. Perilaku Manajemen

Pengambilan keputusan merupakan suatu kompo-nen sentral pada kepemimpinan dan aktivitas manajemen.Pengambilan keputusan dalam kepemimpinan berfokuspada pemilihan yang dibuat untuk mendukung tujuansuatu kelompok.

Implikasi kepemimpinan dan manajemen pada pe-ngambilan keputusan dapat terlihat pada gambar 1 berikutini:

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

93Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Ga

mb

ar

1:

Pe

ng

am

bil

an

Ke

pu

tusa

n

Ke

pe

mim

pin

an

da

n P

eri

lak

u M

an

aje

me

n

Sum

ber:

Dia

ne H

urb

er,

Lead

ersh

ip a

nd N

ursi

ng C

are

Man

agem

ent

(Phi

lad

elph

ia:

WB

Sau

nder

sC

omp

any,

199

6),

p.

136.

Ada

pun

fung

si p

ara

pem

impi

n da

pat d

iliha

t pad

a G

amba

r 2 b

erik

ut in

i.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

94 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Ga

mb

ar

2:

Ke

gu

na

an

Ke

lom

po

k,

Ko

mit

e,

da

n R

eg

u

Ke

pe

mim

pin

an

da

n P

eri

lak

u M

an

aje

me

n

Sum

ber:

Dia

ne H

urb

er,

Lead

ersh

ip a

nd N

ursi

ng C

are

Man

agem

ent

(Phi

lad

elph

ia:

WB

Sau

nder

sC

omp

any,

199

6),

p.1

57.

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

95Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Ga

mb

ar

3:

De

sen

tra

lisa

si d

an

Be

rba

gi

Tata

Pa

mo

ng

Ke

pe

mim

pin

an

da

n P

eri

lak

u M

an

aje

me

n

Sum

ber:

Dia

ne H

urb

er,

Lead

ersh

ip a

nd N

ursi

ng C

are

Man

agem

ent

(Phi

lad

elph

ia:

WB

Sau

nder

sC

omp

any,

199

6),

p.

272.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

96 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Ga

mb

ar

4:

Ko

nfl

ik

Ke

pe

mim

pin

an

da

n P

eri

lak

u M

an

aje

me

n

Sum

ber:

Dia

ne H

urb

er,

Lead

ersh

ip a

nd N

ursi

ng C

are

Man

agem

ent

(Phi

lad

elph

ia:

WB

Sau

nder

sC

omp

any,

199

6),

p.

418.

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

97Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Ketiga gaya di atas kemudian dilengkapi dengan satugaya lagi sehingga menjadi empat gaya, yakni direktif,konsultatif, partisipatif, dan delegasi (J. Salusu, 1996). Gayadirektif, yaitu semua kegiatan terpusat pada pemimpin dansedikit saja kebebasaan orang lain untuk beraksi dan ber-tindak. Pada dasarnya gaya ini adalah gaya otoriter. Gayakonsultatif, yaitu gaya ini dibangun di atas gaya direktif,kurang otoriter, dan lebih banyak melakukan interaksidengan para staf dan anggota organisasi. Pemimpin lebihbanyak berfungsi sebagai konsultan untuk memberikanbimbingan, memotivasi, dan memberikan nasihat untukmencapai tujuan. Gaya partisipatif, yaitu bertolak dari gayakonsultatif yang berkembang ke arah saling percaya diantara pemimpin dan bawahan. Pemimpin cenderungmemberi kepercayaan kepada kemampuan staf untukmenyelesaikan pekerjaan sebagai tanggung jawab mereka.Sementara itu, kontak konsultatif tetap berjalan terus. Dalamgaya ini pemimpin lebih banyak mendengar, menerima,bekerja sama, dan memberi dorongan pada prosespengambilan keputusan, tetapi perhatian diberikan padakelompok. Gaya free-rein atau disebut juga gaya delegasiyaitu gaya yang mendorong kemampuan staf untukmengambil inisiatif. Kurangnya interaksi dan kontrol olehpemimpin menyebabkan gaya ini hanya bisa berjalan bilastaf memperlihatkan tingkat kompetensi dan keyakinanuntuk mengejar tujuan dan sasaran organisasi.

C. Gaya Kepemimpinan Pendidikan

Tidaklah berlebihan jika dikatakan bahwa konsepkepemimpinan merupakan suatu konsep yang paling

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

98 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

banyak dipelajari dan diamati. Namun, kepemimpinantetap merupakan salah satu fenomena yang paling sedikitdipahami di bumi ini (Bass, 1981). Hal itu menunjukkanbetapa kompleksnya hal-hal yang bertali-temali dengankepemimpinan. Morris (1985) berpandangan bahwa konsepkepemimpinan merupakan isu utama dalam masyarakatBarat. Meskipun begitu, kajian kepemimpinan yangbertolak dari berbagai konsep telah memberikan arah barubagi kawasan pendidikan. Kajian konsep kepemimpinantelah melahirkan berbagai konseptualisasi, formulasi, dandefinisi. Analisisnya menghasilkan ciri-ciri (traits), perilaku,dan pola kepemimpinan yang dianggap menunjangkefektifan kepemimpinan.

Di bidang pendidikan, Morris (1985) lebihmenekankan kepemimpinan yang berkaitan dengan mutupendidikan. Sebagaimana dikutip di awal Bab I, ia menyata-kan bahwa the quality of education in the future is dependedupon good leaders and effective leadership approachers. Strategiyang digunakan untuk itu adalah dengan menyadarkansemua individu terhadap pengaruh perkembangan socio-politico-economic dalam pendidikan. Mekanisme yangdianjurkan adalah forum antar individu dalam organisasi.Isu penting dalam pendidikan diberikan melalui informasi,komunikasi, dan interaksi yang dapat membangkitkangagasan dan pandangan tentang isu penting bagi duniapendidikan. Walaupun Morris sendiri tidak secara tegasmendeskripsikan bagaimana pemimpin pendidikan yangefektif, unsur keikutsertaan individu dalam kegiatan kelom-pok sudah memberikan sumbangan pada konsep kepemim-pinan yang umum, yaitu menggerakkan kelompok untukmencapai tujuan. Dengan mengutip pandangan Berg

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

99Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(1977), Morris (1985) mencoba mendeskripsikankarakteristik yang diperlukan bagi pemimpin yang efektifsebagai berikut :

Effective educational leader should have a clear under-standing of their fuctions; a desire for and a knowledge ofgroup dinamics; be accademically and professionallyhonest; have a desire to cut red tape; be understanding;patient, immaginative, and innovative; must exhibit thevirtues of honesty, integraty, cooperation, and concern forothers; ...and must be adaptable.

Ciiri sifat di atas agaknya sejalan dengan konsep-tualisasi effective leader behavior sebagaimana dikemukakanHalpin (dalam Cambell & Gregg, 1977). Halpin menyatakansebagai berikut:

Effective leader behavior is associated with high per-formance in initiating structure and consideration... thecollege department chairman whose department is reputedto be administered are alike in being men who: (1) definethe role wich they expect each member of the workgroupto assume, and delineate patterns of organization andways of getting the job done; and (2) establish arelationship of mutual trust and respect between the groupmembers and themselves.

Menurut pandangan tersebut, struktur inisiasiberkaitan dengan masalah kepedulian terhadap organisasi(lembaga atau institusi); sedangkan konsiderasi menyangkutkepedulian terhadap hubungan manusiawi (human relation)yang keduanya diunjuk-kerjakan dalam hubunganpemimpin dan anggota yang dipimpin.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

100 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Efektivitas perilaku kepemimpinan yang lebihkompleks dirumuskan oleh Reddin, dalam 3-D ManagementStyle, dengan istilah task behavior dan relation behavior, yangdikatakannya mirip dengan konsep struktur inisiasi dankonsiderasi. Ia menjelaskan bahwa efektivitas pemimpintergantung dari bagaimana gaya kepemimpinan merekaberinterrelasi dengan situasi kepemimpinan mereka di-operasikan. Untuk itu, ia menambahkan dimensi efektivitaspada dua dimensi yang telah ada (Hersey & Blanchard,1977).

Efektivitas perilaku kepemimpinan ini juga dapatdilihat dari gaya kepemimpinan yang dilakukan olehpemimpin (Depdikbud, 1985). Gaya kepemimpinan tersebutdapat diteropong dari beberapa sudut pandang. Beberapasudut pandang tersebut antara lain adalah dari sudut (1)kekuasaan, (2) tingkah laku, (3) tolehan ke depan, dan (4)waktu (Depdikbud, 1986). Dari sudut kekuasaan seorangpemimpin dapat menggunakan secara otoriter, demokrasi,dan leissez faire (Harry & Brislin, 1980), sedangkan dari sudutpandangan tingkah laku yang dilakukan seorang pe-mimpin, terdapat enam tingkah laku gaya kepemimpinan,yaitu:

(1) menunjukkan masalah, alternatif pemecahan masalahdan apa yang harus dilakukan oleh kelompok;

(2) menjual keputusan dengan meyakinkan kelompok, bah-wa keputusan itu paling baik dan harus dilaksanakan;

(3) menguji kelompok melalui pelemparan masalah danalternatif pemecahan, sedangkan keputusan diambilsetelah ada reaksi dari kelompok;

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

101Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(4) berkonsultasi dengan kelompok dalam arti berpartisipasidi dalam kerja kelompok;

(5) menggabungkan diri dengan kelompok dalam artiberpartisipasi di dalam kerja kelompok; dan

(6) menyerahkan kepada kelompok kekuasaan untuk me-ngambil keputusan dan mengakui keputusan tersebut.

Bagi perilaku kepemimpinan yang berorientasi padatolehan ke depan, terdapat dua gaya kepemimpinan, yaitu:

(1) berorientasi pada pencapaian tujuan, walaupun suasanategang; dan

(2) berorientasi pada pemeliharaan suasana kerja yangakrab, walaupun mungkin tujuan tidak tercapaisepenuhnya.

Berdasarkan dua gaya kepemimpinan tersebut,muncul gaya gabungan yang dapat digambarkan sebagaiberikut:

(1) pemeliharaan suasana kerja rendah, upaya pencapaiantujuan rendah;

(2) upaya pemeliharaan suasana kerja tinggi, pencapaiantujuan rendah;

(3) upaya pencapaian tujuan rendah, suasana kerja tinggi;dan/atau

(4) upaya pencapaian tujuan tinggi, suasana pemeliharaankerja tinggi.

Sementara itu pola kepemimpinan dilihat dari sudutwaktu, dapat dibedakan menjadi dua macam gayakepemimpinan, yaitu:

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

102 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(1) gaya kepemimpinan permanen, yaitu merupakan gayadasar yang sulit berubah; dan

2) gaya kepemimpinan situasional, yaitu gaya ke-pemimpinan yang disesuaikan dengan situasi dankondisi setempat dan sewaktu-waktu.

Secara pragmatis, leadership style sering kali dijumpaidalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Teoretis di duniapendidikan pun terdapat berbagai macam gaya ke-pemimpinan. Sejalan dengan masa sekarang saat duniapendidikan sedang mengalami tantangannya yang relevan,baik dalam konteks kompetisi regional maupun inter-nasional, dunia pendidikan tidak lepas dan sangat mem-butuhkan proses internalisasi gaya kepemimpinan yangmampu menelurkan pemimpin pendidikan yang officialleader, yang cara kerja dan cara bergaulnya dapat dipertang-gungjawabkan dan bisa menggerakkan orang lain untukturut serta mengerjakan sesuatu yang berguna bagipencapaian tujuan pendidikan nasional.

Menurut Graves (Hendyat Soetopo & WastySoemanto, 1984), ketika memberikan laporan tentang groupprocesses in training administration di Stanford University,beberapa gaya kepemimpinan pendidikan, diidentifikasisebagai berikut.

1) Gaya Autoritarian

Pada gaya kepemimpinan semacam ini, pemimpinpendidikan lebih bersifat ingin berkuasa, suasana di duniapendidikan selalu tegang. Pemimpin sama sekali tidakmemberi kebebasan kepada anggota kelompok untuk turutambil bagian dalam memutuskan suatu persoalan. Di sini

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

103Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pemimpin pendidikan selalu mendikte anggota yang adadi bawah kepemimpinannya tentang apa yang harusdikerjakan oleh mereka dan bagaimana harus dikerjakan.Inisiatif dan daya pikir anggota sangat dibatasi, sehinggatidak diberi kesempatan untuk mengeluarkan pendapatmereka. Pemimpin pendidikan bebas membuat suatuperaturan sendiri dan peraturan tersebut harus ditaati dandiikuti oleh anggota. Akhirnya, tindak kepemimpinandemikian tidak bisa menciptakan kegembiraan kerja darisuatu kelompok sebab bawahan merasa dipermainkan dantidak adanya harga diri. Gaya kepemimpinan pendidikanseperti ini banyak diterapkan di yayasan pendidikan swastatertentu dan di lingkungan pondok pesantren meskipuntidak semuanya menerapkan gaya ini.

2) Gaya Laizzes-faire

Gaya kepemimpinan jenis laizzes-faire seolah-olahmemang tidak tampak sebab dengan gaya ini seorangpemimpin pendidikan memberikan kebebasan penuhkepada para anggotanya dalam melaksanakan tugas, atausecara tidak langsung segala peraturan atau kebijakan(policy) suatu institusi pendidikan berada di tangan anggota.Anggota kelompok bekerja menurut kehendaknya masing-masing tanpa adanya pedoman kerja yang baik. Di siniseorang pemimpin pendidikan mempunyai keyakinanbahwa dengan memberikan kebebasan yang seluas-luasnyaterhadap bawahan, semua usahanya akan cepat berhasil.Dalam konteks pendidikan di Indonesia, kebanyakan LSMyang bergerak di bidang pendidikan melaksanakan gayakepemimpinan seperti ini. Misalnya, pada pendidikan anak

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

104 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

jalanan, dan pendidikan komunitas pantai, pendidikanmasyarakat berpindah di hutan-hutan.

3) Gaya Demokratis

Sejalan dengan maksud buku ini, gaya kepemimpin-an yang ingin dipromosikan adalah gaya kepemimpinanyang demokratis. Gaya kepemimpinan demokratismengandaikan seorang pemimpin selalu mengikutsertakanseluruh anggota kelompoknya dalam mengambil keputus-an, pemimpin pendidikan yang bersifat demikian akanselalu menghargai pendapat atau kreasi anggotanya yangada di bawahnya dalam rangka membina institusi pendidik-an. Pemimpin pendidikan memberikan sebagian kekuasa-annya kepada bawahan sehingga para bawahan merasaturut bertanggung jawab terhadap pelaksanaan programpendidikan dan pengajaran yang dilaksanakan institusinya.

Pemimpin pendidikan sebagai seorang pemimpinlebih mementingkan kepentingan bersama daripadakepentingan sendiri, sehingga terciptalah hubungan dankerja sama yang baik dan harmonis, serta membantu dalammelaksanakan tugas sehari-hari. Hanya dengan terciptanyasuasana kerja yang sehat, setiap komponen institusi dapatbekerja dengan penuh kegembiraan dan suasana hati yangnyaman guna memajukan rencana pendidikan dan men-capai sasaran mutu pendidikan dengan sempurna (prima).

Promosi internalisasi kepemimpinan yang demo-kratis menjadi kebutuhan mutlak di tengah arus gelombangdemokratisasi di segala bidang yang sedang berada disekitar kita (lihat Bab I). Kehidupan pasca globalisasi amatjelas menempatan suasana kompetisi yang demikiandahsyat. Agaknya hanya bangsa yang memiliki dedikasi

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

105Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

dan tingkat pendidikan yang baiklah yang mampubertahan. Kompleksitas problem tersebut harus dijawab olehdunia pendidikan. Dalam konteks tersebut, dunia pendidik-an harus pula mengadobsi nilai-nilai demokratis, termasukpara pemimpinnya. Cepatnya perubahan juga menuntutkecakapan bangsa ini untuk mengadaptasi lingkunganbaru.

Berada dalam posisi seperti itu, para pemimpin pen-didikan sekurang-kurangnya akan berhadapan dengan duatekanan mendasar, yakni (a) tekanan sisa gaya otoritarianyang sudah berurat-berakar dalam kehidupan keseharianmasyarakat dan birokrasi sehingga berimplikasi pada pelak-sanaan tugas dan kewajiban, (b) tekanan ide, gagasan, dantemuan baru ilmu pengetahuan yang sangat berpengaruhpada kehidupan sehari-hari.

Guna mendapatkan solusi yang lebih baik, masya-rakat yang demokratis memandang individu dan kelompoksebagai organisme yang tumbuh, dinamis, dan kreatifsehingga makin terasa betapa penting bagi pemimpinpendidikan untuk lebih memprioritaskan demokrasi dalamseluruh konteksnya agar dijadikan dasar dalam proses pe-ngambilan keputusan. Nilai guna hal itu ada dalamkebebasan dan tanggung jawab pribadi dalam kepemimpin-an demokratis yang memberi kekuasaan melalui kerja sama.Pemimpin pendidikan berkewajiban untuk memperluaspengetahuannya agar memperoleh gambaran yang lebihjelas tentang nilai demokrasi dan maknanya bagi kehidupanmanusia.

Menurut Wiraputra (1976), banyak risalah hasil risetkepemimpinan yang dapat dijadikan acuan. Beberapa yang

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

106 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

penting di antaranya adalah sebagai berikut.

(1) Kepemimpinan merupakan hasil interaksi antarindividudalam kelompok, bukan sesuatu yang timbul di atas ataudari status atau kedudukan seseorang, status dapat me-ningkatkan atau merusak efektivitas sikap ke-pemimpinan.

(2) Semua anggota mempunyai potensi untuk memimpindan memperlihatkan sikap kepemimpinan. Potensikepemimpinan tidak terpusat pada seorang dua oranganggota dalam kelompok.

(3) Sikap yang dapat membantu seseorang untuk menjadipemimpin dalam suatu situasi, belum tentu demikianhalnya dalam situasi yang lain. Oleh karena itu, ketikaseseorang menunjukkan sikap yang baik dalam suatusituasi, kita tak dapat mengambil kesimpulan bahwa iaakan menunjukkan sikap yang sama di dalam situasilain. Dengan demikian, kepemimpinan berarti beralihdari situasi ke situasi.

(4) Efektivitas sikap kepemimpinan diukur denganmemperhatikan tujuan, produktivitas dalam mencapaitujuan itu dan pembinaan solidaritas kelompok.

Sejumlah hasil riset menunjukkan bahwa untukmencapai kepemimpinan yang demokratis, aktivitaspemimpin harus (a) meningkatkan interaksi kelompok danperencanaan kooperatif; dan (b) menciptakan iklim yangsehat untuk perkembangan individual dan menelurkanpemimpin yang potensial.

Hasil ini dapat dicapai kalau ada partisipasi yang aktifdari semua anggota kelompok yang berkesempatan untuk

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

107Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

secara demokratis membagi kekuasaan dan tanggungjawab.

Pemimpin demokratis yang baik adalah seorangpemimpin yang mempunyai kecenderungan untuk tidakmenganggap diri sendiri sebagai orang yang mahamengetahui dan berusaha untuk menyesuaikan diri dengankelompok. Ia tidak menyandarkan diri pada kedudukan-nya, prestasinya dan kekuasaannya, tetapi pada ke-mampuannya untuk menjalankan kepemimpinan yangdinamis dengan menghubungkan diri dengan kelompoknyaatau sebaliknya, menghubungkan kelompok denganpemimpin. Pemimpin yang demokratis berbagi fungsikepemimpinan dengan anggota kelompok dan merangsangmereka, bahkan bilamana perlu memberikan kesempatankepada mereka untuk waktu tertentu melaksanakan tugaskepemimpinan.

Bangsa yang demokratis menerima tantangan kepe-mimpinan karena ada kesadaran bahwa kepercayaan akankemampuan seseorang untuk melaksanakan sesuatudengan rasa tanggung jawab yang mendalam bisa dimilikisetiap orang. Konsep kepemimpinan yang demokratis harusdapat dibuktikan kepemimpinannya dengan arah tindakanberikut:

(1) Kebebasan pemikiran seseorang atau kelompok meng-hasilkan tindakan yang bertanggung jawab.

(2) Perbedaan penilaian dan kepercayaan dapat memanfaat-kan perbedaan itu untuk lebih mendekati kebenaran.

(3) Motivasi perasaan dan sentimen orang mendorong danmengarahkan kepada pemecahan masalah.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

108 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(4) Kelompok-kelompok dapat mencari pertimbanganantara kepentingan kelompok dan kepentingan umum.

(5) Orang-orang memakai kecakapannya dengan efektifdalam menyelesaikan masalah.

(6) Orang-orang bukan saja memakai sumber intern, tapimeluas keluar untuk melaksanakan imajinasi, inisiatif,dan kreativitas dalam menetapkan dan memecahkanmasalah.

Dengan demikian, kata demokratis mencakup diantaranya keenam hal di atas sehingga bukan hanya potensidan kebebasan berpikir seseorang meningkat melainkanorang-orang dan kelompok itu meningkat pula dalampenerangan intelegensi dan kebebasan berpikir untukmenyelesaikan masalah kelompok dan masyarakat(Hendyat Soetopo & Wasty Soemanto, 1984).

Institusi pendidikan harus banyak ditentukan olehmasyarakat, baik melalui instansi atau lembaga resmi, mau-pun tidak resmi atau informal sehingga keinginan masya-rakat dapat disalurkan dan dapat ditimbulkan kesadarandalam hal apa rakyat dapat membantu untuk meningkat-kan taraf pendidikan. Aktivitas orang dan kelompokhendaknya diarahkan pada pencapaian tujuan pendidikanyang mungkin dapat diterima oleh mereka. Kegiatan-kegiatan dalam kelompok hendaknya: (a) memusatkan padatujuan, (b) berorientasi pada nilai, (c) merangsang, dan (d)kreatif.

Pemimpin pendidikan yang demokratis hendaknyamempunyai pengertian serta pandai merasakan apa yanghidup dalam masyarakat dan apa yang dilakukannya

Bab V: Gaya Kepemimpinan dan Perilaku Manajemen

109Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

diterima semua pihak. Apa yang terjadi dalam masyarakathendaknya memberikan penjelasan kekuatan, bantuan,saran alternatif, hubungan dan pengaturan baru, sertapengertian baru; pola atau cara kerja baru, motivasi,perspektif dan konsep pemikiran baru. Kegiatan pemimpinpendidikan yang demokratis merupakan kreativitasinteraksi yang memungkinkan penambahan pengertianmengenai orang, lingkungan, dan berbagai atributkehidupan yang lebih baik daripada sebelumnya atau yangsudah-sudah.

4) Gaya Demokratis Semu (Pseaudo Democratic)

Gaya kepemimpinan yang dimaksudkan ini ialahdemokrasi yang semu, artinya seorang pemimpin yangmempunyai sifat demokratis semu hanya menampakkansikapnya saja yang demokratis, di balik kata-katanya yangpenuh tanggung jawab ada siasat yang sebenarnyamerupakan tindakan yang absurd. Pemimpin yang demo-kratis semu penuh dengan manipulasi sehingga pen-dapatnya sendiri yang harus disetujui.

111Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Bab VI

KOMPETENSI PEMIMPIN DAN KUALITAS LAYANAN

A. Standar Kompetensi Pemimpin

KEBANYAKAN ahli, para penulis, dan penganut teorimanajemen sumber daya manusia berkeyakinan bahwasalah satu persyaratan mendasar dan penting bagi efektivitaskesuksesan seorang pemimpin (manajer) dan kepemimpin-an dalam mengemban peran, tugas, fungsi, ataupuntanggung jawabnya masing-masing adalah kompetensi.Basis pengetahuan mengenai kompetensi bersumber daripsikologi. Konseptualisasi paling mula tentang kompetensidiintroduksikan oleh Boyatzis (Spencer & Spencer, 1993)yang memberi makna kompetensi sebagai “kemampuanyang dimiliki seseorang yang tampak pada sikapnya yangsesuai dengan kebutuhan kerja dalam parameter lingkunganorganisasi dan memberikan hasil yang diinginkan. Spencer& Spencer (1993) sendiri menggarisbawahi bahwa yangterpenting dalam kompetensi ialah “… an underlyingcharacteristic of an individual that is causally related tocriterion referenced effective and/or superior performance in ajob or situation.” Mereka mendefinisikan kompetensi sebagai

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

112 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

karakteristik tersembunyi dari seorang individu yangberhubungan secara kausal dengan acuan kriteria efektivitasdan/atau kinerja unggul dalam suatu pekerjaan atau situasi.Mereka menjelaskan sebagai berikut:

(1) karakteristik tersembunyi dimaksudkan sebagai kepri-badian seseorang yang secara internal terletak cukupdalam dan terus menerus hadir dalam diri individusehingga dapat memprediksi perilakunya dalam anekasituasi dan pelaksanaan tugas;

(2) berhubungan secara kausal berarti kompetensi menye-babkan atau memprediksi perilaku dan kinerja;

(3) acuan kriteria berarti kompetensi dapat memprediksisiapa yang akan berhasil atau gagal jika diukur denganstandar tertentu dalam sebuah pekerjaan atau situasi.

Secara simpel tetapi menyangkut dimensi amat luas,Robbins (1998) memberi pengertian kompetensi sebagaisuatu kapasitas individu untuk mengerjakan berbagai tugasdalam suatu pekerjaan. Sejalan dengan makna tersebut,Dingle (1995) menyatakan bahwa kompetensi adalahkemampuan seorang pegawai untuk mencapai kinerjatertentu dari suatu pekerjaan yang menjadi tanggungjawab-nya sehingga terpenuhi unsur efektif dan efisien. Sementaraitu, Rotwell mengatakan, kompetensi adalah an area ofknowledge or skill that is critical for production ke outputs.Lebih lanjut Rotwell menuliskan bahwa competencies areainternal capabilities that people brings to their job; capabilitieswhich may be expressed in a broad, even infinite array of onthe job behaviour. Sementara Zwell menyebut competenciescan be defined as the enduring traits and characteristics that

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

113Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

determine performance. Examples of competencies are initia-tive, influence, teamwork, innovation, and strategic thinking.”

Sejumlah pandangan di atas mengindikasikan bahwakompetensi merupakan karakteristik atau ciri sifatkepribadian (traits) individu yang bersifat permanen dandapat mempengaruhi kinerja seseorang. Selain traits dariSpencer dan Zwell tersebut, terdapat karakteristik kom-petensi lain, yatu motives, self concept, knowledge, dan skill.Jika dikembalikan pada konteks makna aslinya di kalanganahli psikologi, berbagai atribut kompetensi tersebutmengandung komponnen-komponen berikut.

(1) Traits merunjuk pada ciri bawaan yang bersifat fisik dantanggapan yang konsisten terhadap berbagai situasi atauinformasi.

(2) Motives adalah sesuatu yang selalu dipikirkan ataudiinginkan seseorang, yang dapat mengarahkan,mendorong, atau menyebabkan orang melakukan suatutindakan. Motivasi dapat mengarahkan seseorang untukmenetapkan tindakan yang memastikan dirinyamencapai tujuan yang diharapkan.

(3) Self concept adalah sikap, nilai, atau citra yang dimilikiseseorang tentang diri sendiri dan yang memberikankeyakinan pada seseorang siapa dirinya.

(4) Knowledge adalah informasi yang dimiliki seseorangdalam suatu bidang tertentu.

(5) Skill adalah kemampuan untuk melaksanakan tugastertentu, baik mental atau maupun fisik.

Kelima atribut, sumber, atau karakteristik kompetensitersebut saling berinteraksi dan bersinergi untuk membentuk

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

114 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

kompetensi individu. Interaksi setiap elemen kompetensiindividu digambarkan berikut ini.

Gambar 5. Model Kompetensi Individu

Pengetahuan

Watak Motif

Konsep Diri

Kompetensi

Individu

Keterampilan

Sumber: Spencer & Spencer (1993: 9)

Berbeda dengan keempat karakteristik kompetensilain yang bersifat intention dalam diri individu, skill bersifataction. Menurut Spencer (1993), skill menjelma sebagaiperilaku yang di dalamnya terdapat motives, traits, selfconcept, dan knowledge dan knowledge. Menurut Spencer& Spencer (1993) terdapat kompetensi kepemimpinan secaraumum yang dapat berlaku atau dipilah menurut jenjang,fungsi, atau bidang, yaitu kompetensi berupa resultorientation, influence, initiative, flexibility, concern for quality,technical expertise, analytical thinking, conceptual thinking,team work, service orientation, interpersonal awareness,relationship building, cross cultural sensitivity, strategicthinking, entrepreneurial orientation, building organizationalcommitment, empowering others, dan developing others.

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

115Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Kompetensi-kompetensi tersebut pada umumnya merupa-kan kompetensi jabatan manajerial yang diperlukan hampirdalam semua posisi manajerial.

Sejumlah standar kompetensi yang diidentifikasitersebut dapat diturunkan ke dalam jenjang kepemimpinanberikut (a) pimpinan puncak, (b) pimpinan menengah, dan(c) pimpinan pengendali operasi teknis (supervisor). Kom-petensi pada pimpinan puncak adalah result (achievement)orientation, relationship building, initiative, influence,strategic thinking, building organizational commitment,entrepreneurial orientation, empowering others, developingothers, dan flexibility. Kompetensi pada tingkat pimpinanmenengah lebih berfokus pada influence, result (achievement)orientation, team work, analitycal thinking, initiative,empowering others, developing others, conceptual thinking,relationship building, service orientation, interpersonalawareness, cross cultural sensitivity, dan technical expertise.Pada tingkat supervisor kompetensi kepemimpinannya lebihbefokus pada technical expertise, developing others, empower-ing others, interpersonal understanding, service orientation,building organizational commitment, concern for order,influence, flexibilty, relationship building, result (achievement)orientation, team work, dan cross cultural sensitivity.

Terkait dengan berbagai standar kompetensi tersebut,Kouzes & Posner (1995) sepakat bahwa suatu kinerja yangmemiliki kualitas unggul berupa barang ataupun jasa hanyadapat dihasilkan oleh para pemimpin yang memiliki kualitasprima. Mereka menjelaskan, kualitas kepemimpinanmanajerial adalah suatu cara hidup yang dihasilkan darimutu pribadi total ditambah kendali mutu total ditambah

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

116 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

mutu kepemimpinan. Berdasarkan risetnya, sekurang-kurangnya ditemukan ada lima praktik mendasar pemim-pin yang memiliki kualitas kepemimpinan unggul, yaitu(1) menantang proses, (2) memberikan inspirasi wawasanbersama, (3) memungkinkan orang lain dapat bertindakdan berpartisipasi, (4) mampu menjadi penunjuk jalan, dan(5) memotivasi bawahan.

Pada tahun 1985, Bennis mengidentifikasi bentukkompetensi kepemimpinan berupa the ability to managedalam empat hal, yaitu attention (vision), meaning (commu-nication), trust (emotional glue), dan self (commitment,willingness to take risk). Kemudian, pada tahun 1997keempat konsep tersebut diubah menjadi the new rules ofleadership berupa (a) provide direction and meaning, a senseof purpose; (b) generate and sustain trust, creating authenticrelationships; (c) display a bias towards action, risk taking andcuriosity; dan (d) are purveyors of hope, optimism and apsychological resilience that expects success.

Bagi Rossbeth Moss Kanter (1994) dalam menghadapitantangan masa depan yang semakin terasa kompleks danakan berkembang semakin dinamik, diperlukan kompetensikepemimpinan berupa conception yang tepat, competencyyang cukup, connection yang luas, dan confidence. Hornby(2000) mengelaborasi bahwa pada dasarnya kompetensiadalah (1) menunjukkan kecakapan atau kemauan untukmengerjakan suatu pekerjaan; (2) merupakan suatu sifatorang-orang kompeten, yaitu yang memiliki kecakapan,kemampuan, otoritas, kemahiran, dan pengetahuan untukmengerjakan apa yang diperlukan; dan (3) menunjukkantindakan (kinerja) rasional yang dapat mencapai tujuan-tujuan secara memuaskan berdasarkan kondisi.

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

117Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Pakar lain yang tidak kalah penting untuk dikutipialah Ken Shelton (1997) yang mengidentifikasi kompetensidalam nuansa agak berbeda. Konteksnya adalah hubunganpemimpin dan pengikut, serta jiwa kepemimpinan. Dalamhubungan pemimpin dan pengikut, ia menekankanbagaimana keduanya sebaiknya berinteraksi. Fenomena itumemerlukan kualitas kepemimpinan yang tidak memen-tingkan diri sendiri. Selain itu, pemimpin dan pengikut me-rupakan dua sisi dari proses yang sama. Dalam hubunganjiwa kepemimpinan, sejumlah pengamat memasuki wilayahspiritual. Rangkaian kualitas lain yang mewarnainya antaralain adalah hati, jiwa, dan moral. Bardwick menyatakanbahwa kepemimpinan bukanlah masalah intelektual ataupengenalan melainkan masalah emosional sedangkan Bellberpikiran bahwa pemimpin yang benar tidak selamanyamerupakan mahluk rasional. Mereka sering kali adalahpencari nyala api.

Jika sudah jelas apa yang disebut kompetensi,pertanyaan selanjutnya ialah kompetensi apa sajakah yangdiperlukan oleh seorang pemimpin? Apabila mengikuti alurpemikiran Spencer & Spencer (1993), sekurang-kurangnyaada tiga jenis kompetensi yang relevan dikuasai atau dimilikioleh seorang pemimpin, yaitu (a) kompetensi intelektual,(b) kompetensi emosional, dan (c) kompetensi sosial. Kom-petensi intelektual adalah kemampuan manusia untukbelajar dan menciptakan sesuatu. Kompetensi intelektualmerupakan kemampuan yang diperlukan untuk menjalan-kan kegiatan mental.

Kompetensi intelektual terinternalisasi dalam bentuksembilan kompetensi, yaitu (1) berprestasi, maksudnya ialah

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

118 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

kemauan atau semangat seseorang untuk berusahamencapai kinerja terbaik dengan menggunakan cara yanglebih baik secara terus-menerus; (2) kepastian kerja,maksudnya ialah kemauan dan kemampuan seseorang,untuk meningkatkan kejelasan kerja dengan menetapkanrencana yang sistematik dan mampu memastikan pen-capaian tujuan berdasarkan data atau informasi yangakurat; (3) inisiatif, maksudnya ialah kemauan seseoranguntuk bertindak melebihi tuntutan seseorang, atau sifatkeinginan untuk mengetahui hal-hal yang baru denganmengevaluasi, menyeleksi, dan melaksanakan berbagaimetode dan strategi untuk meningkatkan kinerja; (4).penguasaan informasi, maksudnya ialah kepedulianseseorang untuk meningkatkan kualitas dan keputusan dantindakan berdasarkan informasi yang handal dan akuratserta berdasarkan pengalaman dan pengetahuan ataskondisi lingkungan kerja; (5) berpikir analitis, maksudnyaialah kemampuan seseorang untuk memahami situasidengan cara menguraikan permasalahan menjadikomponen yang lebih rinci serta menganalisis permasalahansecara sistematik, dan bertahap berdasarkan pendekatanberpikir logis; (6) berpikir konseptual, maksudnya ialahkemampuan seseorang untuk memahami dan memandangsuatu permasalahan sebagai suatu kesatuan yang meliputikemampuan untuk memahami akar permasalahan yangbersifat abstrak (kualitatif) secara sistemik; (7) keahlianpraktikal, maksudnya ialah kemampuan menguasaipengetahuan eksplisit berupa keahlian untuk menyelesaikanpekerjaan serta kemauan untuk memperbaiki danmengembangkan diri sendiri; (8) kemampuan linguistik,maksudnya ialah kemampuan untuk menyampaikan

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

119Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pemikiran atau gagasan secara lisan atau tulisan untukkemudian didiskusikan atau didialogkan sehingga terbentukkesamaan persepsi; dan (9) kemampuan naratif, maksudnyaialah kemampuan untuk meyampaikan pokok pikiran,gagasan atau ide-ide dalam suatu pertemuan formal atauinformal dengan menggunakan media cerita, dongeng, atauperumpamaan.

Kompetensi emosional merupakan karakter sikapdan perilaku atau kemauan dan kemampauan untukmenguasai diri dan memahami lingkungan secara objektifsehingga emosinya relatif stabil ketika menghadapi berbagaipermasalahan di tempat kerja. Kompetensi emosional dapatpula dimaksudkan sebagai sebuah kemampuan mengenalidan mengelola emosi diri sendiri dengan baik, mampumengenali emosi orang lain, dan mampu menjalinhubungan positif dengan orang lain agar menghasilkankinerja pada suatu pekerjaan tertentu.

Berdasarkan telaah Spencer (1993), kompetensiemosional individu terinternalisasi dalam bentuk enamtingkat kemauan dan kemampuan, yaitu (1) sensitivitas atausaling pengertian, maksudnya ialah kemampuan dankemauan untuk memahami, mendengarkan dan menang-gapi hal yang tidak dikatakan orang lain; (2) kepedulianterhadap kepuasan pelanggan internal dan eksternal,maksudnya ialah keinginan untuk membantu dan melayanipelanggan internal dan eksternal; (3) pengendalian diri,maksudnya ialah kemampuan untuk mengendalikanprestasi dan emosi pada saat menghadapi tekanan sehinggatidak melakukan tindakan yang negatif dalam situasi apapun; (4) percaya diri, maksudnya ialah keyakinan seseorang

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

120 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

untuk menunjukkan citra diri, keahlian dan kemampuanserta pertimbangan yang bersifat positif; (5) kemampuanberadaptasi, maksudnya ialah kemampuan menyesuaikandiri dan bekerja secara efektif pada berbagai situasi danmampu melihat setiap perubahan; dan (6) komitmen padaorganisasi, maksudnya ialah kemampuan dan kemauanseseorang untuk mengikatkan diri terhadap visi dan misiorganisasi dengan memahami kaitan antara tanggungjawab pekerjaannya dan tujuan organisasi.

Kompetensi sosial adalah karakter sikap dan perilakuatau kemauan dan kemampuan untuk membangun kerjasama dengan orang lain yang relatif bersifat stabil ketikamenghadapi permasalahan di tempat kerja yang terbentukmelalui sinergi antara watak, konsep diri, motivasi internaldan kapasitas pengetahuan sosial. Spencer & Spencer (1993)menyatakan bahwa kompetensi sosial individu terinternali-sasi dalam bentuk tujuh tingkat kemauan dan kemampuanyaitu (1) pengaruh dan dampak, maksudnya ialah ke-mampuan meyakinkan dan mempengaruhi orang lainuntuk secara efektif dan terbuka dalam berbagi pengetahu-an, pemikiran dan ide secara individu atau kelompok agarmau mendukung gagasan atau idenya; (2) kesadaranberorganisasi, maksudnya ialah kemampuan untukmemahami posisi atau kekuasaan secara komprehensif baikdalam organisasi maupun dengan pihak-pihak eksternallain; (3) membangun hubungan kerja, maksudnya ialahkemampuan untuk membangun dan memelihara jaringankerjasama agar tetap hangat dan akrab; (4) Mengembang-kan orang lain, maksudnya ialah kemampuan untukmeningkatkan keahlian bawahan atau orang lain denganmemberikan umpan balik yang bersifat membangun

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

121Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

berdasarkan fakta yang spesifik serta memberikanpelatihan, memberi wewenang untuk memberdayakan, danmeningkatkan partisipasinya; (5) Mengarahkan bawahan,maksudnya ialah kemampuan untuk memerintah, mem-pengaruhi, dan mengarahkan bawahan denganmelaksanakan strategi dan hubungan interpersonal agarmereka mencapai tujuan yang telah ditetapkan; (6) kerjatim, maksudnya ialah keinginan dan kemampuan untukbekerja sama dengan orang lain secara kooperatif yangmenjadi bagian bermakna dari suatu tim untuk mencapaisolusi yang bermanfaat bagi semua pihak; (7) kepemimpin-an kelompok, maksudnya ialah keinginan dan kemampuanuntuk berperan sebagai pemimpin kelompok dan mampumenjadi suri teladan bagi anggota kelompok dalam suatuinstitusi atau organisasi.

B. Kualitas Layanan

Kualitas layanan biasanya diaplikasikan dalambentuk orientasi layanan (service orientation). Untuk men-dapatkan pemahaman yang jelas tentang hakikat orientasilayanan, perlu dideskripsikan hakikat layanan yang diikutidengan deskripsi tentang orientasi layanan secara utuh.Deskripsi dimaksud disajikan berikut ini.

1. Layanan

Para pelanggan mendefinisikan layanan secaraberbeda-beda, tergantung dari perusahaan, industri,budaya, dan waktu. Sebuah kelompok masyarakat tertentudapat saja memasukkan beberapa faktor ke dalam definisimereka terkait kualitas sebuah organisasi dan kualitas

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

122 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

layanan dari organisasi tersebut, termasuk, misalnya, ke-amanan finansial, ketersediaan jasa tertentu, lamanya waktumenunggu ketika dalam pemberian jasa, perhatian pribaditerhadap masyarakat, fasilitas yang modern, dan karyawanyang kompeten dan berkualitas. Masyarakat dapat menilaisalah satu faktor tersebut lebih tinggi dibandingkan faktoryang lain. Selanjutnya, hal ini dapat berubah seiring dengankemajuan teknologi layanan yang dimiliki organisasi danjika terjadi persaingan antara organisasi meningkat.

Di sisi lain, apabila sebuah oragnisasi menyediakansebuah pelayanan yang tidak diinginkan oleh pelanggan,misalnya, meningkatnya biaya, maka tidak selalu diartikanmeningkatnya kualitas layanan. Dengan demikian, batasankualitas dan layanan sangat bergantung pada budaya.Berbagai penelitian yang dilakukan sebelumnya menunjuk-kan bahwa masyarakat secara konsisten menyambut baikberbagai determinan inti dari kualitas jasa oragnisasi,misalnya bebas kesalahan, rensposif, kesopanan, kredibilitas,dan jasa yang aman.

Aspek lain yang terkait dengan kualitas layananadalah mengidentifikasi berapa besar kesenjangan antaraapa yang diinginkan pelanggan dalam hal layanan dan apayang secara faktual diberikan. Apabila ekspektasi organisasiterhadap organisasi lainnya rendah, apa yang dilakukantidak berfungsi dengan optimal walaupun dapat saja tidakterlihat demikian bagi masyarakat tersebut. Di sisi lain,apabila masyarakat mengalami layanan yang lebih tinggidari organisasi lain, kesenjangan layanan akan meningkat.

Jika ditinjau dari istilah service gap yaitu apa yangdiinginkan berlawanan dengan apa yang didapatkannya,

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

123Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

para pelanggan mengiidentifikasi bahwa kualitas layananadalah seberapa besar kesenjangan yang terjadi antaralayanan yang diinginkan dengan layanan yang sesungguh-nya diterima. Jika harapan pelanggan tentang layananrendah yang disebabkan kurangnya persaingan danpengetahuan tentang kualitas layanan, organisasi tersebutberfungsi rendah sehingga dapat didefinisikan dengan carayang sesuai seperti yang dilakukan oleh masyarakat.

Jika masyarakat mengalami tingkatan kualitaslayanan yang lebih tinggi dari organisasi yang bersaing darijenis organisasi lainnya, service gap tersebut akan melebar.Kenaikan jumlah para penyedia layanan dapat menyebab-kan kenaikan yang relatif tajam atas permintaan yangdiajukan oleh masyarakat. Oleh karena itu, penting untukmenganalisis dan membahas berbagai hal yang timbul darikepuasan masyarakat yang berkaitan dengan ketidak-puasan pelanggan. Ketidakpuasan terhadap layanancenderung disebabkan oleh pelanggaran jaminan organi-sasi, keandalan, fungsionalitas, dan integritas, sedangkankepuasan masyarakat cenderung berkaitan dengan keung-gulan dalam komitmen, perhatian, manfaat, keramahandan sopan santun dalam layanan.

Berdasarkan uraian di atas tentang layanan, timbulbeberapa pertanyaan berikut. Apakah organisasi menyedia-kan dukungan yang konsisten terhadap layanan?, Apakahterdapat perhatian yang diterima pegawai dalam memberi-kan layanan yang luar biasa, berupa penghargaan,pelatihan, insentif, dan peningkatan karier?, Apakah fasilitastersebut tersedia dan dilaksanakan organisasi? Mungkin sajatidak demikian sehingga standar layanan tidak diketahui

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

124 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

oleh para pegawai, atau mereka tidak memahami apa yangseharusnya dilakukan untuk memberikan layanan yanglebih tinggi. Mungkin, boleh jadi bahwa organisasi tidakmenyediakan suatu kondisi yang menunjang berbagaipeningkatan dalam pemberian layanan.

Manajemen pada umumnya menentukan berbagaihal dalam layanan. Jika manajemen tidak berorientasi padalayanan, usaha organisasi untuk mendukung layanan yangresponsif itu perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, diperlukansuatu pemikiran yang luas secara internal terhadap aspekorganisasi yang menunjang berbagai hal yang perludilakukan untuk memberikan layanan berkualitas tinggi.

Selain integritas manajerial dan kepemimpinan,terdapat juga model struktural yang dapat digunakan untukmeningkatkan orientasi layanan, misalnya, membentukkelompok pengendali kualitas layanan, departemenpendukung, tim proyek, atau tim delivery untuk mening-katkan kualitas layanan. Skala orientasi layanan merupakanalat yang dirancang untuk mengukur persepsi pegawaitentang orientasi layanan di lingkungan kerja yang berbeda,dan dapat dimanfaatkan dalam berbagai macam cara, yaitusebagai berikut.

Pertama, skala dapat digunakan sebagai suatu alatuntuk mengukur tingkatan orientasi layanan organisasionalsepanjang organisasi-organisasi tersebut berbeda. Temuanitu menunjukkan bahwa tingkatan dan jenis orientasilayanan yang dioperasionalkan oleh sepuluh dimensiorientasi layanan dapat bervariasi besar sekali olehorganisasi. Profil organisasi memberikan banyak kesem-patan untuk menjelajahi dan memahami sifat dasar orientasi

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

125Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

layanan di dalam dan di semua unit organisasi, khususnyayang menyelidiki hasil-hasil yang relatif terhadap orientasilayanan organisasi.

Kedua, dalam organisasi tertentu, skala orientasilayanan dapat digunakan untuk mengevaluasi kualitaslayanan oleh departemen, divisi, atau cabang. Skala itu bisaditata dalam berbagai ragam yang luas terhadap personaldan dapat ditulis dalam bahasa umum yang dapat dijawaboleh setiap pegawai dari organisasi tersebut, misalnya olehpara pekerja garis terdepan, para manajer, dan staf umum,dan sebagainya.

Demikianlah, persepsi dan prosedur layanan yangdapat diselidiki dalam posisi unit (manajer, pegawai garisterdepan, stock person, atau pegawai part-time). Skalaorientasi layanan dapat juga digunakan untuk mem-pengaruhi perubahan organisasi. Pada mulanya orientasilayanan dapat digunakan untuk menciptakan ukuran daritingkatan orientasi layanan dalam suatu organisasi.Dimensinya dapat digunakan untuk menentukan danmemantau tingkatan kinerja organisasi. Setiap unit dapatdipantau kemajuan ke arah sasaran layanan yang spesifik.Ganjaran manajerial pegawai dapat didasarkan atasorientasi layanan yang ada dalam unit spesifik tersebut.

Untuk melaksanakan peningkatan layanan, orga-nisasi dapat mengubah iklim layanan. Pengubah iklimlayanan sebuah organisasi merupakan upaya merubah apayang dipercayai oleh para anggota organisasi dan apa yangmereka yakini sebagai nilai-nilai organisasi. Untukmenyampaikan nilai dan keyakinan layanan baru tersebut,tentu diperlukan upaya mengubah praktik dan prosedur

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

126 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

layanan yang mampu menanamkan keyakinan dan nilaibaru yang menuntun kegiatan pegawai. Tingkatan orientasilayanan untuk setiap unit dapat dikaitkan dengan ukuranhasil spesifik, misalnya, ukuran dari kepuasan pelanggan,profitabilitas, dan ukuran lain (Zeitaml, Parasuraman &Berry, 1990). Hal ini penting karena berdasarkan hasilpenelitian yang menunjukkan bahwa persepsi pegawaitentang layanan berpengaruh pada kepuasan pegawai.

2. Kualitas Layanan

Kualitas layanan atau orientasi layanan (serviceorientation) adalah istilah yang berkaitan dengan berbagaibentuk kebijakan, praktik, dan prosedur organisasi yangmendukung layanan prima. Penelitian empiris secarakonsisten mengindikasikan bahwa hasil, pertumbuhan,kepuasaan, dan loyalitas suatu organisasi sangatdipengaruhi oleh adanya orientasi layanan. Hasil positif initidak terbatas dirasakan oleh beberapa organisasi saja, tetapijuga dirasakan dan sangat penting bagi banyak institusipendidikan.

Terciptanya dan tersalurnya kualitas jasa yang tinggimerupakan hasil langsung dari adanya suatu orientasilayanan organisasi (organizational service orientation).Orientasi layanan organisasi merupakam produk dariditerapkannya kebijakan, praktik, dan prosedur organisasiyang mendukung, memelihara, dan memberi imbalanterhadap perilaku melayani yang prima dari seorangkaryawan dalam memberikan jasa. Inti dari budaya layananyang berorientasi jasa adalah pemahaman mengenai sifatdari layanan itu sendiri. Pertama, melayani berarti

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

127Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

memberikan bantuan kepada seseorang. Meliputimembantu, memberi, berbagi, dan memenuhi kebutuhan.Kedua, layanan selalu diberikan kepada pelanggan. Ketiga,dari sudut pandang kelembagaan, layanan hanya dapatdiberikan apabila pelayan dari organisasi tersebut (pegawai)ada pada posisi yang sesuai dalam rantai penciptaan danpenyaluran jasa serta mampu memenuhi keinginanpelanggan. Dengan demikian, suatu orientasi layananorganisasi tercipta apabila iklim organisasi penyedia jasamerancang, memelihara, dan memberi imbalan terhadappraktik dan perilaku layanan yang dapat memenuhikebutuhan pelanggan.

Organisasi perlu mengukur orientasi layanan denganmenggunakan skala orientasi layanan yang dikembangkanoleh Lynn & Lytle (1998). Karena orientasi layanan danskalanya sendiri tergolong cukup baru seperti yang dijelas-kan dalam berbagai literatur layanan, organisasi perlumenentukan skala dan pengembangannya. Berbagaimacam metodologi dan penelitian telah membuktikanbahwa orientasi layanan dijadikan instrumen pengukuranyang valid dan dapat diandalkan. Skala tersebut telahterbukti berhasil dan akurat secara psikometris. Skala itumenggunakan beberapa langkah prapercobaan danpercobaan yang memanfaatkan banyak pegawai, organisasidan industri.

Dalam bentuk gambar, orientasi layanan tersebuttampak seperti berikut.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

128 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Gambar 6: Orientasi Layanan

Sumber: Lynn & Lytle (2000: 284)

Pengertian setiap dimensi pada gambar di atas dapatdijelaskan secara singkat seperti berikut ini.

a) Layanan Pelanggan

Persepsi pegawai tentang bagaimana pandanganmereka mengenai kualitas layanan dapat memenuhikebutuhan pelanggannya masing-masing. Organisasi yangsecara konsisten menggalang praktik dalam menerapkanperaturan emas sekali pun, layananlah yang mampumenciptakan persepsi yang positif dari pelanggan tentangkinerja pelayanan.

b) Pemberdayaan Pegawai

Persepsi pelanggan terhadap sejauh mana merekadiberdayakan (diberi mandat dan wewenang) akan mem-

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

129Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

bentuk loyalitas dari pelanggan tersebut. Para karyawanyang diberdayakan (empowered employees) dapat membuatkeputusan yang menguntungkan bagi pelanggan secaralangsung daripada memperlambat layanan pelanggansampai izin dari pihak manajemen diperoleh.

c) Kepemimpinan Karyawan

Manajemen perubahan layanan memberikan contohuntuk diikuti yang nantinya akan mempertinggi aktivitaslayanan oleh semua pegawai. Semakin banyak pemimpinyang menerapkan pola kepemimpinan berdasarkan dirikaryawan, semakin baik pegawai tersebut mengatasi pe-langgan. Pemimpin karyawan merupakan contoh layananprima (set conspicuous service example) yang tidak hanyamendiktekan kebijakan layanan untuk sebuah organisasi.

d) Visi Layanan

Visi layanan yang dinyatakan sebagai komunikasiyang berjalan lancar merupakan visi layanan bagi suatuorganisasi (incessantly communicating a service vision for theorganization). Visi bermakna bahwa kualitas layanan dankepuasan pelanggan dalam membuat penilaian terhadapsuatu organisasi merupakan faktor yang sangat penting.Visi layanan yang bersifat atas-bawah (top-down) sangatpenting dan dibutuhkan untuk menampung aspirasi yangluas mengenai penyediaan kualitas layanan di antara paraanggota.

e) Pelatihan Layanan

Pelatihan layanan merupakan persepsi pegawaitentang seberapa banyak adanya pelatihan layanan pada

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

130 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

organisasi dan itu merupakan keberhasilan pelayanan.Keterlaksanaan pelayanan dengan baik sangat tergantungdari pelatihan pegawai itu sendiri. Keberhasilan layanandalam sebuah organisasi yang ditanamkan pada pegawaisama besarnya dengan yang ditanamkan pada teknologi.Secara umum, kedua hal tersebut menunjukkan bahwateknologi sebagai sesuatu yang akan membantu usaha daripekerja daripada menggantinya.

f) Penghargaan Layanan

Penghargaan layanan merupakan pandangan pega-wai tentang sikap layanan yang akan mendapatkan peng-hargaan di dalam suatu organisasi. Banyak ahli yangmenyatakan setuju, bahwa elemen yang penting dalam kua-litas layanan itu berhubungan antara pemberian imbalandan kinerja layanan. Organisasi yang menghargai layananyang tertinggi akan memberikan penghargaan kepada karya-wannya dengan sebaik-baiknya. Penghargaan terhadaplayanan akan memberikan motivasi bagi usaha-usaha yangdilakukan karyawan dalam meningkatkan kualitas layanan.

g) Pencegahan Kesalahan dalam Layanan

Pencegahan kesalahan dalam layanan merupakanpersepsi dari karyawan tentang apa yang diharapkan olehsebuah organisasi untuk mencegah kesalahan dalamlayanan dengan cara mempertahankan kecerdasan peng-organisasian dan sistem pencegahan secara luas.

h) Pemulihan Kesalahan dalam Layanan

Pemulihan kesalahan dalam layanan merupakanpersepsi dari karyawan terhadap startegi pengorganisasian

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

131Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

untuk menghadapi masalah yang terjadi. Berry et al.berpendapat bahwa jika sebuah organisasi gagal untuk me-nyelesaikan masalah dari pelanggan, ia telah mengecewa-kan pelanggan dua kali, yaitu: (1) kegagalan itu sendiri dan(2) kegagalan mengoreksi penyebab dari kegagalan itu. Hasilpenelitian menyimpulkan bahwa karena kelambatanperencanaan tindakan untuk menyelesaikan kegagalanlayanan 95% pelanggan yang tidak puas.

i) Teknologi Layanan

Pendapat karyawan tentang peralatan berteknologiyang dimiliki oleh suatu organisasi dapat menciptakanlayanan yang luar biasa. Artinya, penguasaan teknologiyang luar biasa dapat membantu memberikan layanan bagipelanggan yang luar biasa. Bantuan teknologi yang cukupbaik, menjadi modal bagi karyawan untuk memberikankualitas layanan yang diberikan.

j) Standar Komunikasi Layanan

Standar komunikasi layanan merupakan persepsikaryawan tentang kemampuan organisasi untuk berkomu-nikasi yang diharapkan dari semua pegawai yang berkaitandengan layanan standar, pelatihan, dan kebiasaan. Tingkatkualitas layanan yang tinggi akan dicapai oleh organisasiyang mengukur dan mengontrol, serta memenuhi standarkualitas layanan.

Skala orientasi layanan merupakan alat ukur yangdirancangkan untuk mengukur persepsi pegawai tentangorientasi layanan yang ada dalam lingkungan kerja yangberbeda. Skala ini juga dapat dimanfaatkan dalam berbagaimacam cara, misalnya, pertama, dapat digunakan sebagai

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

132 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

suatu alat riset untuk mengukur tingkat orientasi layananorganisasional pada berbagai organisasi dan industri yangberbeda. Temuan-temuan itu menunjukkan bahwa ting-katan dan jenis orientasi layanan dapat dioperasionalkandalam sepuluh dimensi service orientation.

Kedua, skala orientasi layanan dapat digunakandalam berbagai organisasi untuk mendiagnosis danmengevaluasi praktik layanan dan dimensi layanan yangdapat dilaksanakan oleh departemen, divisi, atau cabangdalam organisasi tersebut. Skala ini dapat ditata sedemikianrupa sampai pada berbagai variasi yang luas untuk semuapersonal karena ditulis dalam bahasa yang umum sehinggadapat dijawab oleh setiap pegawai dalam organisasi tersebut,misalnya, para pekerja garis terdepan, personal penjualan,personal eceran, para menajer, dan staf.

Demikianlah persepsi dan prosedur layanan yangdapat diselidiki oleh berbagai posisi dalam unit organisasi(menajer, pegawai tetap, dan pegawai part-time). Skala inijuga pada akhirnya dapat digunakan untuk mempengaruhiperubahan organisasional, walaupun pada mulanya, skalakualitas layanan dapat digunakan untuk menciptakan garis-garis dasar dari tingkatan orientasi layanan yang ada dalamorganisasi. Dimensi skala tersebut kemudian dapat diguna-kan untuk menentukan dan memantau tingkatan kinerjastandar (benchmark performance) untuk organisasi tersebut.Setiap unit bisnis dapat dipantau untuk menciptakanberbagai kemajuan ke arah sasaran layanan spesifik dandapat dipetakan. Penghargaan terhadap pegawai dapatdidasarkan atas orientasi layanan yang ada dalam unit bisnisspesifik. Lagi pula, biaya pelatihan dan pengembangan

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

133Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

dapat tersebar, khususnya jika terdapat bidang masalahlayanan yang teridentifikasi.

Dalam kegiatan tersebut, organisasi dapat lebihmampu untuk mengubah iklim layanan. Pengubahan iklimlayanan dari sebuah organisasi diakibatkan oleh upayamengubah apa yang dipercayai oleh para anggota organisasidan apa yang mereka yakini sebagai nilai-nilai organisasi.Untuk menyampaikan nilai dan keyakinan layanan baru,diperlukan upaya mengubah praktik dan prosedur layanandi setiap saat, sehingga dengan demikian penanamankeyakinan dan nilai baru akan menuntun kegiatan pegawai.Tingkatan orientasi layanan untuk setiap unit dapat dikait-kan dengan ukuran hasil spesifik, misalnya, ukurankepuasan pelanggan, profitabilitas, dan ukuran maksudperilaku pelanggan lain (Zeitaml, Parasuraman & Berry,1990). Hal itu penting karena riset yang telah dilakukanbelakangan ini menunjukkan bahwa persepsi pegawaitentang praktik layanan berhubungan dengan kepuasanpelanggan. Studi tentang orientasi layanan ini memper-timbangkan orientasi layanan sebagai suatu unsur iklimorganisasi. Variabel ini diselidiki sebagai susunan yang telahdirasakan tentang kebijakan, praktik, dan prosedur ataukarakteristik rancangan internal. Orientasi layanan diukurmenggunakan karya dari Lytle dkk. (1998). Skala peng-ukurannya terdiri atas sepuluh dimensi berikut ini.

(1) visi layanan,(2) contoh kepemimpinan/keteladanan,(3) perlakuan pelanggan,(4) pemberdayaan pegawai,(5) pelatihan layanan,

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

134 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(6) ganjaran layanan,(7) pencegahan kegagalan layanan,(8) kegagalan/pemulihan layanan,(9) teknologi layanan, dan(10)komunikasi standar-standar layanan.

Penelitian yang dilakukan oleh para ahli berikutmenggunakan variabel hasil organisasi sebagai variabelterikat yang dihubungkan dengan variabel orientasilayanan. Selanjutnya, dimodelkan secara luas sehubungandengan jumlah hubungan antara variabel pasar spesifik danvariabel organisasi. Para peneliti orientasi layananberpendapat bahwa organisasi yang berorientasi pelanggandipengaruhi oleh layanan dengan variabel psikologis dansosial. Para ahli tersebut berhasil mengungkapkan bagai-mana organisasi secara efektif meraih kinerjanya menurutketentuan dan sikap pegawai yang pada akhirnya menjadiunsur pokok yang digunakan untuk menciptakan danmemberikan layanan pelanggan yang unggul atau prima.Rincian layanan pelanggan tersebut digambarkan dalammatriks berikut ini.

Visi layanan Ada komitmen yang sebenarnya terhadaplayanan dan tidak hanya lip-service belaka.Para pelanggan dipandang sebagai sosokyang memiliki berbagai kesempatan un-tuk melayani dibanding sebagai sumberpenghasilan.Diyakini bahwa pada dasarnya organisasiitu ada untuk melayani berbagai ke-butuhan para pelanggannya.

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

135Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Contohkepemimpinan

Manajemen senantiasa menyampaikanpentingnya layanan.Manajemen secara teratur menghabiskanwaktu di lapangan atau di kantor denganpara pelanggan dan pegawai garis ter-depan.Manajemen senantiasa mengukur kuali-tas layanan.Manajemen memperlihatkan bahwamereka peduli tentang layanan denganselalu memberikan diri mereka sendirisebagai pelayan.Manajemen menyediakan sumber daya,tidak hanya lip-service, untuk mening-katkan kemampuan pegawai dalam me-nyediakan layanan yang unggul/prima.Para menejer memberikan masukan pri-badi dan kepemimpinan ke dalam organi-sasi sebagai upaya menciptakan layananyang bermutu.

Para pegawai peduli terhadap para pe-langgan sebagaimana mereka akan diper-hatikan.Para pegawai menuju second mile bagipara pelanggan.Kita hendaknya lebihramah dan sopan dari pesaing-pesaingkita.Para pegawai menjalankan cara merekauntuk mengurangi ketidaksenangan parapelanggan.

Keputusan diambil dekat dengan pe-langgan.

Perlakuanpelanggan

Pemberdayaanpegawai

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

136 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Dengan perkataan lain, para pegawaisering kali membuat keputusan pelang-gan yang penting tanpa mencari perse-tujuan manajemen.Para pegawai memiliki kebebasan danwewenang untuk bertindak bebas dalammemberikan layanan yang unggul.

Manajemen memberikan insentif danganjaran yang unggul di semua tingkatandalam memberikan kualitas layanan,tidak hanya produktivitas saja.Organisasi menyediakan berbagailayanan yang unggul.

Setiap pegawai menerima pelatihan ber-bagai keterampilan pribadi untuk me-ningkatkan kemampuannya dalam mem-berikan layanan yang bermutu tinggi.Kita menghabiskan banyak waktu danusaha dalam kegiatan pelatihan yang di-simulasikan untuk membantu memberi-kan tingkatan layanan yang lebih tinggidan dengan sesungguhnya menjumpaipelanggan.

Kita meningkatkan berbagai kemam-puan layanan melalui penggunaan tekno-logi canggih.Teknologi digunakan untuk membangundan mengembangkan tingkatan kualitaslayanan yang lebih tinggi.Kita menggunakan tingkatan teknologiyang tinggi untuk mendukung berbagai

Ganjaranlayanan

Pelatihanlayanan

Teknologilayanan

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

137Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

usaha karyawan, pria maupun wanitayang bertugas di garis terdepan.

Kita mencari cara untuk mencegahmasalah pelanggan.Kita mencari cara untuk mencegah mas-alah-masalah pelanggan daripada bereak-si terhadap masalah kalau terjadi.Kita secara aktif mendengar parapelanggan kita.

Kita mempunyai sistem penanganankeluhan pelanggan secara unggul untuktindak lanjut layanan.Kita memiliki kelompook pemecahmasalah yang telah terbentuk untukmeningkatkan kesanggupan kita dalammenyelesaikan persoalan layanan.Kita memberikan layanan tindak-lanjutuntuk menyesuaikan berbagai layanankita yang diberikan secara layak.Kita memberi jaminan layanan eksplisitkepada setiap pelanggan.Setiap pegawai mengetahui apa yangmenentukan pengalaman layanan yangtinggi dan rendah.

Kita tidak menanti pelanggan untukmengeluh, kita menggunakan standarinternal untuk menangguhkan kegagalansebelum kita menerima keluhanpelanggan.

Pencegahankegagalanlayanan

Komunikasistandar layanan

Pemulihankegagalanlayanan

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

138 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Semua variabel yang bersifat psikologis ini dioperasi-kan seperti berikut.

1. Komitmen

Komitmen dapat diekspresikan sebagai kekuatanrelatif dari identifikasi individu dan keterlibatan dalamberbagai sasaran, tujuan, dan misi organisasi. Komitmenadalah unsur budaya organisasi yang mirip dengan keadaanorganisasi yang mewajibkan para pegawai menciptakanperasaan bangga terhadap organisasi.

2. Pradesposisi Efektif (Esprit de corps)

Dimensi ini berupaya menilai seberapa jauh parapegawai mempunyai predisposisi afektif yang positifterhadap pekerjaan oleh organisasi (Ridler & Shockley, 1989).Menurut Brayfield dan Rothe (1951), diasumsikan bahwatingkat kepuasan pekerjaan global pegawai dapat ditarikdari sikapnya (Joel, 1995). Jadi, bagaimana sikap pegawaiterhadap pelaksanaan pekerjaan yang telah, sedang, atauakan dilaksanakan.

3. Kinerja Bisnis

Ada tiga ukuran utama yang digunakan untukmenilai kinerja bisnis:

(1) return-on-assets (ROA),

(2) rekening konsumen dan komersial yang baru, dan

(3) citra kualitas layanan.

Selain evaluasi subjektif, ukuran kinerja objektif(rekening baru yang dibuka) juga dimanfaatkan untukmengevaluasi kinerja bisnis kantor cabang. Oleh karena itu,

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

139Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

penggunaan data kinerja tinggi subjektif ataupun objektifakan memberikan kesempatan bagi organisasi untukmengevaluasi kinerja setiap unit yang ada di dalamnya.Penjelasan dari ketiga alat penilaian kinerja tersebut adalahsebagai berikut.

(1) Return-on-assets (ROA) merupakan bentuk evaluasikeberhasilan ekonomi suatu organisasi sebagai ukurandominan yang digunakan dalam memperoleh dataempiris tentang strategi organisasi (Hofer, 1983). ROAadalah suatu rasio, sehingga dimungkinkan membuatperbandingan organisasi dari ukuran yang berlainanMenurut Conant dkk. (1990) penilaian manajemen padaumumnya sangat konsisten dengan ukuran kinerjaobjektif internal terhadap organisasi. Data kinerja yangtelah diterbitkan secara sekunder yang bersifat eksternalterhadap organisasi tersebut.

(2) Rekening baru yang dibuka adalah jumlah rekeningkonsumen dan komersial yang dibuka selama tahunfiskal terbaru yang digunakan sebagai ukuran kinerjaobjektif. Dengan kata lain ia merupakan volume bisnisbaru pada sisi konsumen ataupun sisi komersial dari banktersebut yang diukur dari rekening baru yang dibukadan memang merupakan indikator yang berharga bagikeberhasilan bank terhadap pasarnya.

(3) Citra kualitas layanan adalah ukuran operasional yangberupa laporan subjektif yang memberikan wawasan kedalam hubungan antara ukuran keberhasilan non-ekonomi tertentu dan keunggulan bersaing. Kualitaslayanan dikonseptualisasikan sebagai tangibility,empathy, kecakapan, daya tanggap, dan keandalan.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

140 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Citra kualitas layanan yang telah dirasakan, relatif ter-hadap perbandingan, dianggap sebagai faktor tunggalyang mempengaruhi kinerja unit bisnis dalam jangkapanjang.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dirumuskan sintesiskualitas layanan sebagai berikut. Kualitas layanan adalahpenciptaan budaya layanan yang diimplementasikan dalambentuk produk dari diterapkannya kebijakan, praktik, danprosedur organisasi. Bentuk kualitas layanan diwujudkandalam perilaku pelayanan prima dari seorang karyawandalam memberikan jasa. Kualitas layanan diukur denganskala pengukuran yang terdiri atas sepuluh indikator, yaitu(1) pembantu kepemimpinan, (2)visi layanan, (3)perlakuanpelanggan, (4) pemberdayaan pegawai, (5) pelatihanlayanan, (6) ganjaran layanan, (7) pencegahan kegagalanlayanan, (8) kegagalan/pemulihan layanan, (9) teknologilayanan, dan (10) komunikasi standar layanan.

C. Kasus Kepala Sekolah

Pada Bab III sudah dijelaskan bahwa pemimpinpendidikan itu beraneka ragam. Salah satu di antaranyaialah kepala sekolah. Kepala sekolah merupakan jabatanadministratif. Pada jabatan tersebut prinsip kepemimpinandioperasionalisasikan. Dengan kata lain, seorang kepalasekolah haruslah individu yang memiliki unsur kepemim-pinan yang memadai karena dengan kepemimpinan itu,kepala sekolah menakhodai perjalanan sebuah kapal yangbernama sekolah mencapai pantai tujuannya, yaitu tujuanpendidikan dan pengajaran. Suatu kajian yang menguji

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

141Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

berbagai perspektif kepala sekolah atas kepemimpinandemokratis fasilitatif dan pembagian kekuasaan di sekolahpernah dilakukan orang. Hasilnya terungkap bahwa peru-bahan psikodinamik utama itu berlangsung sebagai hasilpengembangan suatu kolaborasi atau gaya kepemimpinanyang siap berbagi dan terbuka. Lebih dari itu, para kepalasekolah tidak sendiri dan lebih termotivasi dari keikutsertaandalam pembagian kekuasaan dan aksi mereka menjadi lebihkonsisten dengan sistem nilai dan kepercayaan merekasebagai suatu hasil dari pembagian kekuasaan bersama(Blasé & Blasé, 1999).

Aspek lain yang tidak kalah pentingnya adalahinteraksi di dalam kepemimpinan seorang kepala sekolah,terutama interaksi kepala sekolah dengan para wakil kepalasekolah, dewan guru, dan staf administrasi. Kondisi interaksiinilah yang sedikit banyak mempengaruhi kepemimpinanseorang kepala sekolah, termasuk di dalamnya mutukepemimpinan.

Pendidikan dan pengalaman yang dimiliki kepalasekolah merupakan faktor yang mempengaruhi kepemim-pinannya. Di samping itu, pendelegasian tanggung jawabsupervisi kepadanya; kesadarannya terhadap fungsinyasebagai pemimpin pendidikan, serta waktu yang dapatdipakai oleh kepala sekolah untuk menjalankan fungsisupervisi merupakan faktor-faktor yang sangat mem-pengaruhi kesempatan kepala sekolah untuk mengem-bangkan kepemimpinannya.

Tidak semua kepala sekolah mengerti maksudkepemimpinan, kualitas, serta fungsi yang harus dijalankanoleh pemimpin pendidikan. Setiap orang yang memberi

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

142 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

sumbangan bagi perumusan dan pencapaian tujuanbersama adalah pemimpin, tetapi individu yang mampumemberi sumbangan lebih besar terhadap perumusantujuan serta terhimpunnya kelompok di dalam kerja samapencapaiannya dianggap sebagai pemimpin yangsebenarnya.

Setiap orang yang memegang jabatan kepala sekolahpada prinsipnya adalah pemimpin pendidikan. Hal itumungkin benar, tetapi kepemimpinan itu sendiri bukanlahfungsi jabatan. Jabatan kepala sekolah belum menjamin,bahwa kepala sekolah adalah pemimpin pendidikan.

Kepala sekolah bekerja bukan hanya mengembang-kan dan menyerahkan suatu program pengajaran kepadaguru-guru untuk dilaksanakan, malainkan ia sebagaipemimpin resmi yang harus mampu menggunakan prosesdemokrasi atas dasar kualitas sumbangannya. la bertindaksebagai konsultan bagi guru-guru yang dapat membantumereka memecahkan permasalahan mereka. Ia hendaknyaberusaha meningkatkan kemampuan staf untuk bekerjadan berpikir bersama. Setiap usaha perubahan programpendidikan hendaknya melalui evaluasi dan perencanaanoleh kelompok. Ia harus mampu mengatasi setiap perbedaanpendapat dan mengambil keputusan melalui pertimbangankelompok. Ia jangan memveto keputusan kelompok, tetapimenerimanya sebagai dasar pertimbangan selanjutnya. Iahendaknya dilakukan menyadari bahwa partisipasi staf didalam perencanaan dan pembuatan keputusan adalahmembantu mereka untuk bertumbuh. Ia hendaknyamembantu guru untuk memberi kesempatan kepada setiaporang untuk berpartisipasi dalam program pengajaran.

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

143Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Tugas pemimpin pendidikan itu tidak mudah, karenamenuntut segenap kesanggupan kepala sekolah untukmelaksanakannya. Kepemimpinan memiliki suatu misiyang berarti, pemimpinnya menjadi seorang pemikir besar,pemimpinnya menjunjung tinggi nilai-nilai etika, pemimpin-nya menjadi pakar perubahan, peka, berani mengambilrisiko, seorang decision maker yang menggunakan kekuasa-an dengan bijak dan penuh komitmen (Bennis, 1991). Mutukepemimpinan seorang kepala sekolah akan lebih tampaklagi bila dikaitkan dengan pemberdayaan guru. Hal itumerupakan bentuk layanan prima yang dilakukan kepalasekolah. Menurut Permadi dalam Syafaruddin (2002), adatujuh layanan prima kepala sekolah, yaitu (1) sekolahmemiliki visi, strategi, misi, dan target mutu yang ingindicapai; (2) menciptakan lingkungan sekolah yang amandan tertib; (3) menciptakan sekolah yang memiliki ke-pemimpinan yang kuat; (4) adanya harapan yang tinggidari personal sekolah untuk berprestasi; (5) adanya pengem-bangan staf sekolah secara terus-menerus mengikutituntutan iptek; (6) adanya pelaksanaan evaluasi yangberkelanjutan terhadap berbagai aspek pengajaran danadministrasi serta pemanfaan hasilnya untuk peningkatanmutu; dan (7) adanya komunikasi dan dukungan intensifdari orang tua dan masyarakat.

Kepala sekolah sebagai pelaksana kepemimpinanpendidikan di sekolah harus memiliki kemampuan danketerampilan yang dapat dipraktikkan dalam kehidupansehari-hari. Di bawah ini terdaftar item yang menentukankesuksesan kepala sekolah sebagai pemimpin pendidikan.Daftar ini merupakan pemikiran dari para administrator

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

144 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

yang menginginkan perlunya administrasi yang baik dalamwujud tindak laku. Daftar ini juga merupakan barometerkebaikan kepemimpinan kepala sekolah yang meng-gambarkan tugas dan peranan kepala sekolah dalammelaksanakan kepemimpinan pendidikan (HendyatSoetopo & Wasty Soemanto, 1984).

Keterampilan dan kemampuan yang menggambar-kan tugas dan peranan kepala sekolah dalam penerapankepemimpinan pendidikan adalah sebagai berikut.

1. Kepala sekolah adalah pemimpin di bidang kurikulumyang harus:

(a) mengetahui dan menerima keberadaan filsafatpendidikan dalam keseluruhan sistem sekolah;

(b) berusaha mengembangkan dan menggunakanfilsafat hidup dan filsafat pendidikan secara personalataupun secara professional;

(c) mengetahui sumber-sumber material yang dapatmembantu dalam memperkembangkan kurikulum;

(d) menyesuaikan kurikulum dengan kebutuhanmasyarakat dan kebutuhan peserta didik;

(e) mendayagunakan sumber-sumber masyarakatdalam mengimplementasikan kurikulum;

(f) mendorong pendekatan eksperimental dalammengajar dan dalam kurikulum kepada semua staf;dan

(g) bertanggung jawab atas keseluruhan kurikulum danmemberikan contoh kepemimpinan yang positif.

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

145Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

2. Kepala sekolah adalah pemimpin di bidang personaliayang harus:

(a) memiliki kemampuan menerima dan menghargaiindividu guru sebagai anggota staf atas dasar karakterpribadi dan latar belakangnya;

(b) memberikan bekal yang mendorong kekuatan,minat, dan kecakapan setiap anggota staf dalammelaksanakan tugas;

(c) menghargai kekuatan dan kelemahan guru danmemperlengkapi serta membantunya melaluikonseling pribadi;

(d) mempraktikkan pendekatan psikologis dalam mana-jemen personalia. Pendekatan ini dapat dilakukandengan kerja sama dalam perencanaan, hubunganindividual dan kelompok, penciptaan iklim yang me-nyenangkan, dan pengorganisasian kurikulumsekolah secara bijaksana;

(g) mengetahui dan menerapkan beraneka ragam teknikkerja bersama staf dalam menyelesaikan problem;

(h) menilai diri sendiri secara objektif dan memperbaikitindakan selanjutnya;

(i) mengembangkan sensitivitas orang lain; dan

(j) mendorong dan memberikan bimbingan dalampertumbuhan profesional para guru dan mendorongmotivasi belajar.

3. Kepala sekolah adalah pemimpin di bidang publicrelation yang harus dapat:

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

146 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(a) mendayagunakan organisasi orang tua peserta didikdan guru serta organisasi tertentu demi kesehatan dankesejahteraan peserta didik;

(b) menggunakan organisasi-organisasi tersebut untukmembantu personal sekolah dalam menentukan,mengembangkan, dan memahami tujuan sekolah;

(c) menerapkan kepemimpinan untuk meningkatkanpartisipasi orang tua dalam menyelesaikan problemasekolah dan masyarakat;

(d) mendorong kunjungan orang tua dan menyediakanfasilitas terhadap kunjungan orang tua ke sekolah dankunjungan staf ke rumah peserta didik;

(e) mengembangkan metode pelaporan reguler yangsistematik kepada orang tua tentang perkembangansekolah;

(f) mendayagunakan partisipasi peserta didik dalamprogram hubungan sekolah dengan masyarakat;

(g) mengadakan studi dan mempraktikkan teknik-teknik latihan guru untuk melaksanakan publicrelation;

(h) mendayagunakan orang tua dan warga masyarakatuntuk meningkatkan program hubungan sekolahdengan masyarakat; dan

(i) melihat dengan jelas bagaimana memperbaikihubungan sekolah dengan masyarakat.

4. Kepala sekolah adalah pemimpin di bidang hubunganguru-peserta didik yang harus dapat:

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

147Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(a) mengarahkan guru agar memiliki pengetahuantentang peserta didik;

(b) mendorong guru agar profesional dalam menyam-paikan materi;

(c) mengusahakan adanya catatan tentang peserta didikdalam mengorganisasikan sistim referensi danmendorong guru untuk membuat laporan secaraperiodik tentang peserta didik;

(d) mendorong guru-guru agar mengembangkan respekkepada peserta didik sesuai dengan hakikatkemanusiaannya;

(e) membantu guru-guru untuk membedakan sebabdan akibat dalam menghadapi masalah;

(f) membantu guru-guru dalam memecahkan problemapeserta didik dan melihat implikasi problem dalamkonteks situasi kelompok;

(g) mendorong guru-guru untuk menciptakan rencanabersama antara guru-peserta didik di kelas, dalamrangka mengembangkan kepemimpinan dankeanggotaan peserta didik; dan

(h) memberikan contoh kepada para staf sekolah danpeserta didik dengan jalan membina hubunganpribadi yang baik kepada mereka.

5. Kepala sekolah sebagai pemimpin personal di bidang nonpengajaran, karena itu ia harus dapat:

(a) menerapkan pendekatan psikologis dalam mana-jemen individual atau kelompok, dengan jalanmendorong partisipasi mereka dan membuat merekamerasa turut ambil bagian di sekolah;

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

148 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(b) mengetahui tugas personal masing-masing denganmembuat program analisis pekerjaan bersamapengawas sekolah dan kantor kemendiknas;

(c) menyusun kerangka dan saluran pelayanan yangada di sekolah;

(d) mengisi waktu luang bersama para anggota staflainnya; dan

(e) mengelola aktivitas penyusunan jadwal dan berusahamematuhi jam kerja.

6. Kepala sekolah sebagai pemimpin dalam mengadakanhubungan dengan kantor Kemendiknas harus dapat:

(a) mendalami dan mencoba menerima kebijakan,situasi dan kondisi di bawah tugas dan wewenangKemendiknas;

(b) membuat laporan tentang kegiatan sekolahnyakepada kantor Kemendiknas;

(c) mengerti dan menggunakan saluran yang tepatdalam mengurus persoalan administratif;

(d) mendayagunakan pelayanan khusus dari kantorKemendiknas sebagai bagian dari pengayaansekolahnya; dan

(e) memberikan masukan dan saran sebagai realisasitanggung jawabnya untuk membantu Kemendiknasdalam mengembangkan perencanaan dan kebijakan;

7. Kepala sekolah sebagai pemimpin dalam pelayananbimbingan harus dapat:

(a) membina rasa kekeluargaan dan berdialog denganlembaga lain untuk meningkatkan dan mengem-

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

149Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

bangkan kesehatan dan kesejahteraan peserta didik;

(b) mengerti peserta didik secara keseluruhan dalamhubungannya dengan penyesuaian-penyesuaiannya;

(c) mendayagunakan berbagai sumber untuk menggaliberbagai informasi tentang peserta didik;

(d) sensitif terhadap kebutuhan akan perubahan minatsetiap peserta didik dan melayaninya denganorganisasi yang fleksibel;

(e) sadar akan pola-pola minat dan kemampuan setiappeserta didik, dan membantunya dalam rangkamengadakan penyesuaian diri untuk meningkatkanproses belajar; dan

(f) membantu guru-guru mengumpulkan data dariberbagai sumber untuk membantu peserta didikmengadakan penyesuaian.

8. Kepala sekolah adalah pemimpin dalam artikulasidengan sekolah-sekolah lain, karena itu ia harus dapat:

(a) memiliki tujuan dan sikap profesional terhadapteman sekerjanya;

(b) menghargai perbedaan opini dan pandangan yangberbeda-beda;

(c) memiliki pikiran yang terbuka dalam mengerti diridan dalam bekerja dengan orang lain;

(d) mengerti program sekolah lain dan dapat melihatkaitan program sekolah yang satu dengan sekolahyang lain, baik dalam jenis maupun tingkatannya;

(e) melibatkan staf dalam menilai program lain dan da-lam mengadakan hubungan dengan sekolah lain; dan

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

150 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(f) mendorong dan menyusun program kunjungan kesekolah lain di antara para anggota staf.

9. Kepala sekolah sebagai pemimpin dalam pengelolaanpelayanan, rumah sekolah, dan perlengkapan, karenaia harus dapat:

(a) mengerti jenis pelayanan dan perlengkapan yangberguna dan dibutuhkan;

(b) membimbing para staf dalam mendayagunakanyang ada semaksimal mungkin;

(c) membagi-bagi fasilitas secara bebas dan adil;

(d) memperlengkapi guru-guru dengan fasilitas yangada untuk membantu mereka agar dapat bekerjadengan baik;

(e) mendorong kelanjutan eksplorasi tentang berbagaipelayanan baru dan yang lebih baik;

(f) membina kejujuran para staf untuk menentukankebutuhan fasilitas dalam pelaksanaan tugas; dan

(g) mengajukan usul pemenuhan kebutuhan sekolahakan fasilitas kepada atasan.

10. Kepala sekolah sebagai pemimpin di bidangpengorganisasian, karena itu ia harus dapat:

(a) mengorganisasikan sekolah untuk memainkanfungsi dan peranannya demi pertumbuhan pesertadidik dalam belajar;

(b) bekerjasama dalam perencanaan dan pengorganisasi-an dengan staf agar pendayagunaan personal dapatefektif dan efisien;

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

151Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(c) merealisasikan tanggung jawab untuk membuatkeputusan dalam berbagai situasi; dan

(d) mengusahakan suatu organisasi untuk mening-katkan kesehatan mental dan stabilitas emosional darikeseluruhan personal sekolah.

D. Evaluasi Kinerja Kepala Sekolah

Pengevaluasian keberhasilan kepala sekolah berartiharus kembali pada konsep dasar dari tugas dan tanggungjawabnya. Setidaknya harus ada konsentrasi pada lima halmendasar yang menjadi tugas dan tanggung jawab seorangkepala sekolah. Berikut hal mendasar tersebut: (1) programpengajaran; (2) kesiswaan; (3) para guru, tenaga fungsionalyang lain dan tenaga administratif;(4) sarana dan fasilitassekolah; dan (5) hubungan atau kerja sama antara sekolahdan masyarakat (Wahjosumidjo, 2000).

Lipham et al., sebagaimana dikutip Wahjosumidjo,mengembangkan model penilaian atau evaluasi kinerjakepala sekolah. Ia menyimpulkan bahwa untuk menentu-kan keberhasilan seorang kepala sekolah, tidak hanyadiukur atau ditentukan oleh satu aspek saja, melainkanberbagai aspek yang menjadi tolok ukur keberhasilan kinerjakepala sekolah juga harus dilihat sebagai satu kesatuandengan keberadaan sekolah sebagai wawasan wiyata-mandala.

Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan MenengahDepartemen Pendidikan Nasional (Dirjen Dikdasmen Dep-diknas, 2000) telah merumuskan beberapa kriteria penilaiankinerja seorang kepala sekolah. Kriteria yang dikembang-

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

152 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

kan Dirjen Dikdasmen Depdiknas mengenai kinerja kepalasekolah dikelompokkan menjadi: (1) kinerja kepala sekolahsebagai pendidik (educator); (2) kinerja kepala sekolahsebagai manajer (manager); (3) kinerja kepala sekolahsebagai administrator; (4) kinerja kepala sekolah sebagaipenyelia (supervisor); (5) kinerja kepala sekolah sebagaipemimpin (leader); (6) kinerja kepala sekolah sebagaipembaharu (innovator); dan (7) kinerja kepala sekolahsebagai motivator.

Kinerja kepala sekolah sebagai pendidik (educator)meliputi kemampuan membimbing guru, mengembangkanguru, dan memberi contoh mengajar yang baik kinerjakepala sekolah sebagai manajer (manager) meliputikemampuan menyusun program sekolah, kemampuanmenyusun organisasi/kepegawaian di sekolah, kemampuanmenggerakkan guru, dan kemampuan mengoptimalkansumber daya sekolah.

Sementara itu, kinerja kepala sekolah sebagaiadministrator meliputi beberapa kemampuan, yaitu (1)kemampuan mengelola administrasi kegiatan belajarmengajar dan bimbingan karier dengan memilikikelengkapan data administratif; (2) kemampuan mengelolaadministrasi kesiswaan dengan memiliki kelengkapan data.Kinerja kepala sekolah sebagai penyelia (supervisor) jugamenyangkut beberapa kemampuan yang meliputi (a)kemampuan menyusun program supervisi pendidikandengan memiliki program supervisi, (b) kemampuanmelaksanakan program supervisi pendidikan, dan (c)kemampuan memanfaatkan hasil supervisi. Kinerja kepalasekolah sebagai pemimpin (leader) meliputi tiga

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

153Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

kemampuan, yakni (a) memiliki kepribadian yang kuat, (b)kemampuan mengambil keputusan, dan (c) kemampuanberkomunikasi.

Dalam buku ini, kepemimpinan seorang kepalasekolah mengacu pada kinerja kepala sekolah sebagaipemimpin sedangkan kinerja kepala sekolah sebagaipembaharu (innovator) meliputi kemampuan menemukangagasan baru untuk pembaharuan sekolah dan kemampu-an melakukan pembaharuan di sekolah. Kinerja kepalasekolah sebagai motivator terdiri atas tiga kemampuan,yakni (a) kemampuan mengatur lingkungan kerja fisik, (b)kemampuan mengatur lingkungan kerja nonfisik, dan (c)kemampuan menerapkan penghargaan dan hukuman.

Beberapa kompetensi berikut ini merupakan kenis-cayaan pada diri seorang kepala sekolah agar kepemim-pinannya menjadi bermutu. Kompetensi tersebut meliputi;visi, keterampilan perencanaan, berpikir kritis, keterampilanteknis kepemimpinan, keteguhan hati, keterampilanmempengaruhi, keterampilan hubungan interpersonal,percaya diri, pengembangan, empati, dan toleransi terhadapstres (Syafaruddin, 2002). Kompetensi di atas sangat terukurdan dapat dijadikan indikator kepemimpinan seorangkepala sekolah dan dari sanalah dapat disusun kisi-kisiinstrumen gaya kepemimpinan seorang kepala sekolah.

Berdasarkan kajian berbagai teori dan konsep di atas,dapat dirumuskan sintesis kepemimpinan kepala sekolahsebagai berikut. Kepemimpinan kepala sekolah merupakanupaya kepala sekolah mengarahkan dan mempengaruhiguru dan staf tata usaha serta pemangku kepentingan agardengan sukarela mau melakukan pekerjaan dengan penuh

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

154 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

semangat dan kepercayaan diri serta berusaha mencapaitujuan organisasi dengan menggunakan beberapa indikator,yaitu: legitimasi, kepercayaan kepada para guru dan staftata usaha, pelaksanaan prosedur kerja, pengarahanbawahan, dan penggunaan kompetensi bawahan untukmelakukan tujuan organisasi.

E. Pengembangan Keterampilan

Sebagai pemimpin pendidikan, seorang kepala seko-lah tetap memerlukan pengembangan keterampilan gunamenunjang tugas dan fungsinya. Menurut Hendyat Soetopo& Wasty Soemanto (1984), sekurang-kurangnya ada duapendekatan yang dapat dipergunakan guna mengembang-kan keterampilan kepala sekolah sebagai pemimpinpendidikan. Pertama, penganalisisan terhadap bidang tindaklaku administratif. Kedua, pengujian terhadap manajemenpersonalia di sekolah. Keduanya diuraikan sebagai berikut.

1. Analisis bidang Tindak Laku Administratif

a. Kepemimpinan dalam perumusan tujuan

(1) menentukan peranan sekolah dalam masyarakatdan dalam konteks sosial;

(2) melibatkan kepala sekolah, staf, peserta didikadministrator yang lain, orang tua dan masya-rakat dalam menentukan tujuan pendidikan seko-lah. Tujuan ini merupakan manifestasi praktis tu-juan pendidikan nasional sesuai dengan dokumennegara;

(3) menekankan pendekatan demokratis dalamperumusan tujuan;

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

155Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(4) menyusun tujuan yang dapat disepakati bersama;

(5) mengadakan uji-kembali terhadap tujuan secaraberkelanjutan dan/atau sesuai dengan per-kembangan kondisi; dan

(6) menetapkan tujuan jangka panjang dengantujuan antara.

b. Kepemimpinan melalui pembuatan keputusan

(1) mergidentifikasikan kebijakan sekolah secarajelas;

(2) melibatkan sejauh mungkin preferensi pribadidalam proses pembuatan keputusan;

(3) memperjelas proses demokratisasi dalampelibatan pembuatan keputusan;

(4) mencatat keputusan kebijakan dan melak-sanakannya; dan

(5) membuat peraturan untuk mengubah kebijakandan mengerti prosedur yang akan digunakan.

Kepala sekolah bekerja sama dalam pembuat-an keputusan bersama staf, minimal dalam bidang(1) penerimaan pegawai: pencarian, metode seleksidan tugas-tugas kerjanya; (2) pendayagunaan tenagadan program pendidikan dalam dinas; (3) evaluasistaf personal, misalnya dalam hal mutasi, promosidan demosi; (4) program dan jadwal pengimbalanjasa; (5) evaluasi terhadap keseluruhan programsekolah; (6) pelayanan kesehatan dan kesejahteraanstaf; dan (7) pendayagunaan personal dalam jabatanadministratif di sekolah.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

156 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

c. Kepemimpinan melalui penentuan tugas danperanan

(1) mengadakan spesifikasi peranan yang ada dalampelaksanaan program sekolah;

(2) menentukan dasar penentuan peranan;

(3) mempertimbangkan setiap potensi individudalam menentukan peranannya;

(4) mengurangi konflik yang hanya diakibatkan olehsalah pengertian terhadap peranan dan tanggungjawab, dan

(5) menentukan garis kebijakan yang jelas tentangperanan dari orangtua, per­sonal sekolah, ad-ministrator yang lain dan warga masyarakat.

d. Kepemimpinan melalui koordinasi dan konsultasi

(1) menetapkan luasnya kebijakan sekolah melaluitim kerja;

(2) melaksanakan rencana koordinasi untuk semuatugas;

(3) selalu memonitor kebaikan dan kelemahankoordinasi secara periodik;

(4) menentukan cara koordinasi yang efektif agarmemperoleh hasil maksimal; dan

(5) selalu melakukan koreksi dan meningkatkankoordinasi atas semua usaha pendidikan.

e. Kepemimpinan melalui penilaian terhadap kinerjastaf.

Bidang-bidang yang dinilai:

(1) efektivitas mengajar di kelas bagi guru,

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

157Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(2) efektivitas administrasi pada umumnya,

(3) usaha masyarakat dalam memberikan kesem-patan peserta didik untuk belajar dan kelang-sungan school public relation.

Prosedur yang digunakan:

(1) menentukan tujuan aktivitas penilaian;

(2) menentukan peranan kepala sekolah secara jelasdalam keseluruhan program penilaian;

(3) menyusun kriteria program penilaian secarakerjasama;

(4) melibatkan personal sebanyak mungkin dalamproses penilaian; dan/atau

(5) menyusun rekomendasi tentang kejelasan tinda-kan yang harus dilaksanakan sehingga mudahuntuk dinilai.

f. Kepemimpinan melalui kerja sama dengan masya-rakat dan orang-orang sumber

(1) bekerja dengan pemimpin masyarakat untukperbaikan pendidikan;

(2) mendayagunakan sumber-sumber masyarakatuntuk kepentingan pendidikan; dan/atau

(3) mennerjemahkan program pendidikan kepadamasyarakat agar diketahui.

g. Kepemimpinan melalui proses pelibatan semuapersonal

(1) menghargai pelibatan masyarakat dan parti-sipasinya dalam pelaksanaan sekolah;

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

158 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(2) menentukan kebijakan atau pola-pola kerjadalam rangka pelibatan semua orang;

(3) mengembangkan pola kerja dengan pendekatantim dalam rangka pelibatan semua orang; danatau

(4) memberikan kesempatan dan pengalaman untukselalu terlibat dalam kegiatan sekolah.

h. Kepemimpinan melalui proses komunikasi

(1) menentukan tujuan komunikasi dengan jelas;

(2) menentukan arah dan sruktur komunikasi untuksaling menyampaikan ide;

(3) menyediakan berbagai media komunikasi; danatau

(4) merealisasikan komunikasi efeklif den­gan saranaefektif pula.

2. Pengujian Manajemen Personalia di Sekolah

Fungsi kepala sekolah dalam memanajemeni per-sonal tergambar dalam fungsi-fungsi manajemen. Chandler& Petty (1955) sebagaimana dikutip Hendyat Soetopo &Wasty Soemanto (1984) menyebutkan fungsi tersebutsebagai berikut (1) planning, (2) organizing, (3) directing,(4) coordinating dan (5) controlling. Kepala sekolah harusdiuji dalam rangka melaksanakan kelima fungsi tersebut.Sudahkah kepala sekolah membuat perencanaan denganbaik dan melibatkan sebanyak mungkin personal? Sudah-kah pengorganisasian sekolah dilaksanakan dengan baikpula, begitu seterusnya. Dengan demikian, kesuksesankepala sekolah dalam melaksanakan fungsi manajementersebut dijadikan ukuran keberhasilan kepemimpinannya.

Bab VI: Kompetensi Pemimpin dan Kualitas Layanan

159Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Tugas-tugas kepemimpinan kepala sekolah secaraumum meliputi:

(1) peningkatan diri dan staf secara profesional;

(2) peningkatan pendidikan dan pengajaran di kelas;

(3) penyusunan dan peningkatan program sekolah.

(4) pemberian bimbingan dan peningkatkan disiplin.

(5) penumbuhan profesi dalam bidang kerja masing-masing.

(6) pengusahaan hubungan dengan masyarakat yangharmonis dan terpadu.

(7) penyediaan dan pengelolaan fasilitas yang memadai.

(8) pengembangan etika profesional dan hubungan yangharmonis dengan staf dan supervisor.

(9) pengelolaan pengadaan, pendayagunaan, dan pelaporankeuangan sekolah.

(10)pengaturan pelayanan khusus (special-service) di sekolah.

Uraian panjang di muka menunjukkan bahwahubungan antar standar kompetensi perlu dimiliki oleh parapemimpin pendidikan karena akan sangat menentukankinerjanya. Kinerja dimaksud tidak lain adalah layananprima yang meski dikedepankan ketika berhubungandengan pemangku kepentingan pendidikan. Dalam kontekstersebut kepala sekolah sebagai contoh kasus mem-persyaratkan berbagai dimensi keterampilan, termasuk didalamnya bagaimana ia mampu menjadi pemimpindemokratis yang membawa institusinya ke arah pencapaiantujuan pendidikan dan pengajaran secara sempurna.

161Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Bab VII

KEPEMIMPINAN DEMOKRATIS

DAN MUTU PENDIDIKAN

A. Tata Pemerintahan Demokratis

PERIHAL konsepsi tata pemerintahan bukanlahkonsep yang baru, tetapi setua usia sejarah umat manusia(Weiss, 2000). Namun, baru sejak 1980-an konsep tersebutmenjadi bagian dari perdebatan intelektual di kalangan ahliilmu politik dan studi-studi pembangunan. Sejauh ini adakesepakatan bahwa konsep tata pemerintahan (governance)pada umumnya dipandang lebih luas daripada konseppemerintah (government). Bahkan, definisi tentang tatapemerintahan secara substansial sangat bervariasi. Para ahlidan berbagai organisasi internasional memiliki definisisendiri tentang tata pemerintahan. Bank Dunia, misalnya,mendefinisikan tata pemerintahan sebagai cara menjalan-kan kekuasaan dalam pengelolaan sumberdaya ekonomidan sosial suatu negara. Sedangkan UNDP mendefinisikan-nya sebagai “pelaksanaan otoritas administratif, politik, dan

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

162 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

ekonomi untuk mengelola persoalan-persoalan negara disemua tingkatan (Weiss, 2000).

Pada awal tahun 1980-an, konsep tata pemerintahanyang baik (good governance) telah merasuki wacanapembangunan, khususnya pada agenda riset dan aktivitaslain yang didanai oleh lembaga dan negara donor. Seringdikemukakan bahwa tata pemerintahan yang baikmerupakan prakondisi yang diperlukan bagi keberhasilanpembangunan. Ide tentang tata pemerintahan yang baikmenjadi suatu ortodoksi baru, khususnya setelah pihakdonor Barat, khususnya Bank Dunia, pertama kalimengenalkan good governance sebagai solusi atas masalahpembangunan di Afrika pada akhir 1980-an. Selain itu, sejakawal 1980-an pihak donor memasukkan good governancesebagai syarat politik bantuan pembangunan, khususnyamelalui program penyesuaian struktural (structural ad-jusment program (SAP)). Dengan persyaratan politiksemacam itu negara peminjam harus melakukan reformasitata pemerintahan mereka (Leftwich, 2000). NamunLeftwich sendiri menyebutnya dengan istilah new publicmanagement karena good governance dipandang tidakmemiliki akar atau asal usul di Dunia Ketiga.

Berdasarkan pandangan Leftwich tersebut, sekurang-kurangnya ada empat faktor utama yang mempengaruhiantusiasme pada konsep good governance. Pertama, pe-ngalaman program penyesuaian struktural pada tahun1980-an. Program penyesuaian tersebut merupakan paketekonomi dan tindakan institusional yang diusulkan olehIMF, Bank Dunia, dan donor bilateral lainnya. Elemenutama program penyesuaian struktural adalah pasar yang

Bab VII: Kepemimpinan Demokratis dan Mutu Pendidikan

163Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

bersifat kompetitif, terbuka, dan bebas yang diawasi secaraminimal oleh negara. Kedua, dominasi politik neolibelarismedi Barat. Gagasan tentang good governance, sebagaimanaberkembang di dalam IMF dan Bank Dunia, juga mere-fleksikan munculnya pandangan neoliberal dalam teoriekonomi dan politik pada akhir 1970-an di negara-negaraBarat, khususnya Amerika Serikat dan Inggris. Faktor ketigaadalah ambruknya rezim komunis di Eropa Timur. Nasibkomunisme memberi penegasan kepada teori neoliberalbahwa sistem kolektif nondemokratik tidak akan mampumenghasilkan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutandan tidak mampu menghasilkan perubahan. Faktor yangkeempat, gerakan prodemokrasi di negara berkembang telahmemicu bangkitnya minat pembentukan tata pemerintahanyang demokratis (lihat juga Bab I). Gerakan tersebutmemberikan basis legitimasi bagi pemberian bantuan pem-bangunan dari negara Barat kepada negara berkembang,termasuk Indonesia, sehingga dapat dikatakan bahwakebijakan tersebut sejalan dengan tuntutan rakyat di negaraberkembang untuk menciptakan good governance.

Pengertian good governance bervariasi (Rhodes, 2000;Santiso, 2000) dan tidak ada konsensus tentang bentuk goodgovernance, tetapi menurut Leftwich (2000), setidaknya adatiga kategori atau level pemaknaan mengenainya, dimulaidari yang paling inklusif sampai yang paling sempit, yaknilevel sistemik (systemic of regime), level politik, dan levelmanajerial atau level administratif. Level pertama dan palinginklusif adalah tata pemerintahan tingkat sistemik ataurezim. Dalam pengertian yang luas, good governancemengacu pada sistem politik dan relasi sosioekonomi yangditata melalui aturan yang disepakati, atau secara lebih

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

164 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

longgar melalui suatu rezim. Meskipun pengertian rezimdapat berbeda-beda, pemaknaan atas rezim yang dimaksudcenderung merujuk pada suatu rezim kapitalis demokratikdengan campur tangan yang minimal dari negarasebagaimana yang diusulkan oleh pemimpin Barat padaKTT Houston tahun 1990.

Pada level kedua, good governance dimaknai lebihterbatas dan sarat dengan muatan politis, yakni sebagaiparticipatory politics (politik partisipatif) dan (kadang-kadang) disebut sebagai democratic government. Pemaknaanitu secara jelas dianut oleh rezim ekonomi pasar bebas dandemokratis yang secara eksplisit memberi pengertian bahwanegara mendapatkan legitimasi dan otoritas yangbersumber dari mandat partisipatif (meski tidak selaludisebut demokratis) dan dibangun berdasarkan gagasanliberal tradisional tentang pemisahan tegas antarakekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif termasuk didalamnya adalah pemilu yang bebas secara berkala untukmemilih anggota legislatif sebagai pengawas kekuasaaneksekutif. Pandangan itu dianut oleh sebagian besarpemerintah Barat, OECD, dan UNDP. Khususnya UNDP,konsep good governance adalah bagian dari promosipembangunan berkelanjutan. UNDP menekankan padapartisipasi publik, pertanggungjawaban, dan transparansisebagai elemen utama tata pemerintahan demokratis.

Sementara itu, Bank Dunia menganut pemaknaanpada level ketiga yang lebih sempit, yakni dari perspektifadministratif dan manajerial. Pada level ini, good governancesecara universal dimengerti sebagai pelayanan publik yangterbuka, dapat dipertanggungjawabkan, independen,

Bab VII: Kepemimpinan Demokratis dan Mutu Pendidikan

165Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

efisien, bebas korupsi, dan diabdikan untuk kepentinganpublik. Intinya ialah good governance sama dengan mana-jemen pembangunan yang baik. Bank Dunia menekankanempat elemen utama good governance, yang juga merupakanaspek utama manajemen sektor publik, yaitu akuntabilitaspejabat pemerintah, kerangka hukum untuk pembangunan,informasi yang dapat diandalkan dan mudah diakses, sertatransparansi yang memperkuat tanggung jawab, mencegahkorupsi, dan menstimulasi proses konsultasi pemerintah-swasta demi pengembangan kebijakan.

Hal yang perlu digarisbawahi ialah bahwa BankDunia tidak memberikan komitmen umum padapemaknaan tata pemerintahan di level rezim, proyek-proyekyang didanainya banyak yang memiliki implikasi padalevel rezim. Proyek Bank Dunia bukan hanya programreformasi kepegawaian pemerintah dan perbaikankerangka hukum untuk pembangunan, melainkan jugamencakup reformasi perusahaan negara dan manajemenumum ekonomi yang diprivatisasi.

Selaras dengan cita-cita tentang good governance,belakangan ini istilah lain, yakni democratic governance (tatapemerintahan yang demokratis) juga banyak digunakandi dalam komunitas pembangunan internasonal dan wacanaakademik. Santiso (2000) menyatakan bahwa istilah tersebutpertama kali diajukan oleh Inter-American DevelopmentBank (IDB) sebagai new cure (obat baru) bagi pembangunannegara transisional dan bagi efisiensi bantuan pembangunan,sedangkan Bank Dunia tetap menggunakan istilah goodgovernance dalam pengertian ekonomi dan administratif.IDB melangkah lebih jauh, yakni secara eksplisit

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

166 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

mempromosikan agenda yang lebih politis. Perbedaanantara kedua konsep tersebut adalah bahwa isitilah goodgovernance lebih menekankan pada reformasi ekonomi dankebijakan, khususnya melalui kebijakan yang didasarkanpada pinjaman, sedangkan istilah democratic governancemenekankan pada reformasi politik dan institusional.Intisarinya, tata pemerintahan yang demokratis menekan-kan dimensi politis pembangunan dan lingkup institusionaldalam pembuatan kebijakan publik.

Jika kembali kepada kategori Leftwich tentangpemaknaan good governance, istilah tata pemerintahan yangdemokratis lebih dekat pada kategori kedua, yakniparticipatory politics. Perhatian UNDP, USAID, dan OECDsecara jelas memperlihatkan bahwa reformasi politik ataupengembangan demokrasi merupakan bagian inheren darigood governance.

Berdasarkan telaah Santiso (2000), demokrasi dangood governance merupakan dua konsep yang salingmelengkapi dan saling bergantung. Keduanya laksana duasisi koin mata uang yang sama, yang dapat dimasukkanke satu konsep tata pemerintahan yang demokratis.Keduanya melihat problem pembangunan yang sama daridua perspektif yang berbeda. Yang pertama adalah pers-pektif politik dan yang kedua adalah perspektif ekonomi.Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa istilah tatapemerintahan yang demokratis mencerminkan konvergensiantara perspektif politik dan ekonomi serta antara reformasipolitik dan reformasi ekonomi.

Menurut Burnell (2000) dan Crawford (2000), konseptentang tata pemerintahan yang demokratis juga

Bab VII: Kepemimpinan Demokratis dan Mutu Pendidikan

167Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

mencerminkan konvergensi tiga agenda dan domain ban-tuan donor. Pada dasarnya, ada tiga bentuk utama kebija-kan bantuan dan promosi dari donor, yakni bantuan untukdemokrasi, good governance, dan hak asasi manusia.Demokrasi dan good governance merupakan konsep elastis,merentang mulai dari makna yang sempit ke makna yangluas. Pengertian hak asasi manusia mencakup pula hak sipildan kebebasan sipil yang terkait erat dengan demokrasi danpemerintahan. Meskipun inti persoalan dari ketiga bentukbantuan tersebut tidak sama, belakangan ada kecenderung-an untuk menganggapnya bersifat saling mendukung jikabukannya saling mengunci.

Brinkerhoff (2000) berpendapat bahwa pemerintah-an yang demokratis merupakan kombinasi antara ciri-ciriutama rezim politik yang memungkinkan warga negaramemiliki hak untuk mengatur diri sendiri (democracy)dengan menggunakan struktur dan mekanisme untukmengelola persoalan publik sesuai dengan aturan dan pro-sedur yang disepakati (governance). Jelasnya, tata peme-rintahan yang demokratis adalah seperangkat proseduryang menjamin kompetisi di antara partisipasi yang luasdalam memilih kebijakan dan pemimpin, dalam peng-alokasian sumber daya kemasyarakatan, serta dalamadanya tingkat kebebasan politik, ekonomi dan sipil yangtinggi (Brinkerhoff, 2000: 602).

Kebanyakan para ahli memberikan penekanan yangberbeda bagi unsur tata pemerintahan yang demokratis.Santiso (2000) misalnya, lebih menekankan pada aspekpertanggungjawaban dan transparansi, aturan hukum danantikorupsi, serta partisipasi dan desentralisasi. Brinkerhoff

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

168 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

(2000) juga memperhatikan aspek demokratis yang serupa.Selain itu, ia juga menekankan aspek lainnya sebagai bagiandari tata pemerintahan yang demokratis, seperti pluralismekebijakan, reformasi negara, dan penghargaan atas HAM.Intisarinya, unsur tata pemerintahan demokratis terdiri atasbeberapa komponen utama yang diusulkan oleh pihak donorsebagai tiga agenda yang saling terkait, yakni demokrasi,good governance, dan HAM.

Weiss (2000: 801) menggarisbawahi elemen utamatata pemerintahan demokratis sebagaimana dinyatakanberikut “Lebih dari sekadar pemilihan multi partai, badanperadilan dan parlemen… perlindungan universal atasHAM, hukum yang nondiskriminatif, proses yudisial yangcepat, efisien dan tak berpihak, agen publik yang trans-paran, adanya akuntabilitas dalam keputusan-keputusanyang diambil oleh pejabat publik, devolusi atas sumber dayadan pengambilan keputusan di tingkat lokal, dan partisipasipenuh oleh warga negara dalam merumuskan kebijakandan pilihan publik.”

Kepemimpinan demokratis sebagaimana diuraikanpada bagian berikut tentu saja harus mempertimbangkanpartisipasi publik, pertanggungjawaban dan transparansisebagai elemen utama tata pemerintahan demokratis.

B. Kepemimpinan Demokratis

Kepemimpinan seorang pemimpin institusi pendidik-an melekat pada kompetensinya dalam mengembangkanvisi, keterampilan perencanaan, berpikir kritis, keterampilanteknis kepemimpinan, keteguhan hati, keterampilan

Bab VII: Kepemimpinan Demokratis dan Mutu Pendidikan

169Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

mempengaruhi, keterampilan hubungan interpersonal,percaya diri, pengembangan, empati, dan toleransi terhadapstres.

Pada penerapannya, kepemimpinan tersebut adakecenderungan menggunakan gaya otokrasi, demokrasi,dan situasional. Kepemimpinan situasional meliputi gayapartisipasi, konsultasi, delegasi, dan instruksi. Gayakepemimpinan demokrasi berbeda secara diametral darigaya kepemimpinan otoriter. Gaya kepemimpinan demo-krasi ditandai dengan tingkat hubungan bawahan-atasanyang relatif tinggi dan intensitas penugasan yang rendah.Sebaliknya, gaya kepemimpinan otoriter berciri hubunganantara bawahan-atasan yang relatif rendah dan intensitaspenugasannya tinggi. Dengan demikian, kedua gayakepemimpinan ini satu dengan lainnya saling berlawanan.

Gaya kepemimpinan yang dimiliki pemimpininstitusi pendidikan akan mempengaruhi mutu pendidikan.Artinya, seorang pemimpin yang bergaya kepemimpinandemokrasi lebih partisipatif dalam mempertimbangkanberbagai hal yang dijadikan dasar dalam kepemimpinan.Sebaliknya, gaya kepemimpinan otoriter lebih intsruktif dankurang mendapatkan simpatik dari bawahan dan hal iniakan berpengaruh dalam pemberian layanan terhadappenyelenggaraan pendidikan. Dengan demikian, mudahdiduga bahwa mutu pendidikan yang didasarkan padapertimbangan gaya kepemimpinan demokratis lebih tinggidaripada mutu pendidikan yang didasarkan pada gayakepemimpinan otoriter.

Kualitas layanan adalah penciptaan budaya layananyang diimplementasikan dalam bentuk produk diterapkan-

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

170 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

nya kebijakan, praktik, dan prosedur organisasi yangmendukung, memelihara, dan memberi imbalan terhadapperilaku melayani yang prima dari seorang karyawan dalammemberikan jasa. Pemberian jasa itu merupakan pe-mahanaman mengenai sifat dari layanan itu sendiri yangmeliputi: pemberian bantuan kepada seseorang, sepertimembantu, memberi, berbagi, dan memenuhi kebutuhanpelanggan dalam rantai penciptaan dan penyaluran jasaserta pemenuhan keinginan pelanggan yang diukur denganskala pengukurannya yang terdiri atas sepuluh indikator,yaitu: pembantu kepemimpinan, visi layanan, perlakuan pe-langgan, pemberdayaan pegawai, pelatihan layanan, ganja-ran layanan, pencegahan kegagalan layanan, kegagalan/pemulihan layanan, teknologi layanan, dan komunikasistandar-standar layanan. Adapun, mutu pendidikan adalahkualitas penyelenggaraan pendidikan yang meliputikesiapan peserta didik, ketersediaan tenaga pengajar, saranadan prasarana, metode pembelajaran, relevansi pendidikandengan kebutuhan, suasana lingkungan, dan iklim institusi.

Salah satu faktor yang erat kaitannya denganpelayanan adalah gaya kepemimpinan. Gaya kepemimpin-an adalah kemampuan seseorang yang mempengaruhiorang lain sehingga mampu mencapai tujuan yangdiharapkan. Dengan demikian, seorang pemimpinpendidikan dengan gaya kepemimpinan yang dipersepsibawahan dengan kualitas layanan yang tinggi dapatberpengaruh terhadap mutu pendidikan.

Gaya kepemimpinan demokratis, maupun otoriterdengan kualitas layanan menjadi faktor penyebab bermututidaknya pendidikan yang diupayakan seorang pemimpin

Bab VII: Kepemimpinan Demokratis dan Mutu Pendidikan

171Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pendidikan. Artinya, perbedaan gaya kepemimpinanberakibat pada perbedaan mutu pendidikan yang diupaya-kannya. Begitu pula dengan perbedaan kualitas layananjuga menjadi determinan bagi perbedaan mutu pendidikanyang diupayakannya.

Faktor gaya kepemimpinan dan kualitas layananberpengaruh terhadap mutu pendidikan. Dapat dipastikan,terdapat perbedaan kualitas layanan yang menyebabkanperbedaan mutu pendidikan antarinstitusi yang dipimpinoleh pimpinan yang gaya kepemimpinannya sama, atausebaliknya, perbedaan gaya kepemimpinan menyebabkanperbedaan mutu pendidikan dengan kualitas layanan yangsama.

Pemimpin pendidikan dengan gaya kepemimpinandemokratis dan memiliki kualitas layanan yang tinggi akanmampu mencapai mutu pendidikan yang lebih tinggi jikadibandingkan dengan pemimpin yang bergaya kepemim-pinan otoriter, apalagi dengan kualitas layanan yangrendah. Jadi, terdapat interaksi antara gaya kepemimpinanyang dipersepsi bawahan dengan kualitas layanan terhadapmutu pendidikan.

C. Mutu Pendidikan

Dalam kehidupan sehari-hari masalah mutu seringmenjadi bahan perbincangan. Mutu merupakan suatukonsep yang didasarkan pada ilusi dan bermakna indi-vidual. Oleh karena itu, mutu memiliki makna yang sangatberagam dan berlainan bagi setiap orang dan kriterianyaberubah secara terus menerus tergantung pada konteksnya.Mutu menjadi suatu terminologi yang subjektif dan relatif

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

172 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

yang dapat diartikan dengan berbagai cara karena setiapdefinisi dapat didukung oleh argumentasi yang samabaiknya sehingga mutu merupakan konsep yang kompleksyang telah menjadi perdebatan dalam semua teorimanajemen.

Konsep mutu dianggap sebagai ukuran relatif tentangkebaikan suatu produk atau jasa yang terdiri atas mutu dankesesuaian. Lloyd Dobbins & Clare Crawford-Mason dalamStoner (1995) memberikan pandangan mengenai mutu danmemberikan kesimpulan bahwa tidak ada orang yang dapatmenyetujui dengan tepat bagaimana mendefinisikan mutu.John Stewart, seorang konsultan di Mc Kinsey, mengatakanbahwa tidak ada sebuah definisi mengenai mutu. Mutuadalah perasaan menghargai bahwa sesuatu lebih baik daripada yang lain. Perasaan itu berubah sepanjang waktu, danberubah dari generasi ke generasi, serta bervariasi denganaspek aktivitas manusia.

Perdebatan tersebut terjadi karena konsep mutumenyangkut adanya dua belah pihak yang saling berkaitan,yakni pihak yang menghasilkan dan pihak yang meng-gunakan. Dalam hal ini, Deming (1982) lebih menekankanpada aspek yang lebih umum, ia berpendapat bahwa mutuadalah kesesuaian produk dengan kebutuhan konsumen.

Pendapat lain dikemukakan Juran (1993) bahwa mutumerupakan fitness for use, kecocokan penggunaan produkuntuk memenuhi kebutuhan dan kepuasan pelanggan(costomer satisfaction). Lebih lanjut dikemukakan Juran(1993) dalam Nasution (2001) bahwa kecocokan pengguna-an didasarkan pada lima ciri utama, yakni (1) teknologi,yaitu kekuatan atau daya tahan; (2) psikologis, yaitu citra

Bab VII: Kepemimpinan Demokratis dan Mutu Pendidikan

173Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

rasa atau status; (3) waktu, yaitu kehandalan; (4) kontrak-tual, yaitu adanya jaminan; (5) etika, yaitu sopan santun,ramah atau jujur. Pendapat Juran tersebut mengindikasikanbahwa mutu memiliki dua aspek utama, yaitu: pertama, ciri-ciri produk yang memenuhi permintaan pelanggan. Mutulebih tinggi memungkinkan perusahaan atau lembagadapat meningkatkan kepuasan pelanggan, membuatproduk laku terjual dengan harga tinggi; Kedua, bebas darikekurangan, mutu yang tinggi membuat perusahaan dapatmengurangi tingkat kesalahan, mengurangi ketidakpuasanpelanggan, dan memperbaiki kinerja penyampaian produkatau jasa.

Hal yang hampir sama dikemukakan pula olehCrosby (1978) yang mendefinisikan mutu sebagai confor-mance to requirement. Menurut Crosby, yang dimaksudmutu adalah yang sesuai dengan yang diisyaratkan ataudistandarkan yakni suatu produk memiliki mutu apabilasesuai dengan standar yang telah ditentukan. Standartersebut meliputi bahan baku, proses produksi, dan produkjadi. Pada tahun 1980 Crosby menerbitkan buku yangpertama tentang mutu terpadu yang diperuntukkankonsumen Amerika.

Jika Juran menekankan mutu sebagai fitness for useatau kecocokan untuk digunakan dan Crosby mendefinisi-kan mutu sebagai conformance to requirement atau sesuaidengan yang disyaratkan atau distandardkan, Feigenbaumdalam Nasution (2001) mengemukakan bahwa mutu adalahkepuasan pelanggan sepenuhnya (full costumer satisfaction),yakni suatu produk dikatakan bermutu apabila dapatmemberi kepuasan sepenuhnya pada konsumen. Selain itu,

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

174 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

masih banyak lagi pakar dan organisasi mendefinisikanmutu berdasarkan pandangannya, di antaranya diungkap-kan oleh Sallis (1993: 18) yang mengatakan, “Quality has avariety of contradictory meanings. It implies different thingsto different people. Everyone is in favour of providing qualityeducation”.

Menurut Goetsch & David dalam Tjiptono dan Diana(2001), mutu adalah suatu kondisi dinamis yang ber-hubungan dengan produk, jasa, manusia, proses, danlingkungan yang memenuhi atau melebihi harapan.Donabedian (1980) mengemukakan bahwa mutu adalahsifat yang dimiliki oleh program, mutu juga adalah tingkatkesempurnaan dari penampilan sesuatu yang sedangdiamati. Pendapat hampir senada dikemukakan oleh Hubeis(1999), yaitu bahwa konsep mutu sering dianggap sebagaiukuran relatif kebaikan suatu produk atau jasa yang terdiriatas mutu desain dan mutu kesesuaian. Mutu desainmerupakan spesifikasi produk, sedang mutu kesesuaianmerupakan suatu ukuran seberapa jauh suatu produkmemenuhi persyaratan atau spesifikasi mutu yangditetapkan. Jika mengacu pada pengertian di atas, tampakbahwa belum ada satu definisi tentang mutu yang diterimasecara universal sehingga Feffer dan Coote mengatakanmutu sebagai a slippery concept, yaitu konsep yang licin.

Walaupun argumentasi yang melatar belakangidefinisi mutu tidak tepat sama antara Deming, Juran,Crosby, Feigenbaum, dan Sallis, pada prinsipnya penerapanmutu memiliki tujuan yang sama, yaitu untuk (1) mening-katkan perbaikan secara terus menerus, (2) meningkatkannilai suatu produk atau jasa, (3) menjaga kesinambungan

Bab VII: Kepemimpinan Demokratis dan Mutu Pendidikan

175Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

antara penghasil dan pengguna produk, dalam kondisilingkungan yang selalu berubah. Beberapa langkah sebagaiupaya memperbaiki mutu menurut Juran dalam Lewis danSmith (1994) adalah membentuk kesadaran terhadappeluang untuk perbaikan; mengorganisasikan untuk upayamencapai tujuan, pelatihan, dan pelaksanaan proyek-proyekuntuk pemecahan masalah; melaporkan perkembangan;memberi penghargaan; mengkomunikasikan danmempertahankan hasil yang dicapai.

Sistem mutu menurut ISO 9000 & 14000(Kadarisman, 1999) mencakup beberapa hal pertama, mutuadalah gambaran dan karakteristik menyeluruh produkatau jasa yang menunjukkan kemampuannya dalammemenuhi kebutuhan yang ditentukan (tersurat) maupunyang tersirat. Kedua, kebijakan mutu adalah keseluruhanmaksud dan tujuan organisasi (institusi) yang berkaitandengan mutu yang secara formal dinyatakan oleh pemimpinformal. Ketiga, manajemen mutu adalah seluruh aspekfungsi manajemen yang menetapkan dan melaksanakankebijakaan mutu yang telah dinyatakan oleh pemimpinpuncak. Keempat, pengendalian mutu meliputi pemantaunsuatu proses, melakukan tindakan koreksi bila ada ketidak-sempurnaan dan menghilangkan penyebab timbulnya hasilyang kurang baik pada tahapan rangkaian mutu yangrelevan untuk mencapai efektivitas yang ekonomis. Kelima,jaminan mutu merupakan seluruh perencanaan dankegiatan sistematis yang diperlukan untuk memberikansuatu keyakinan (jaminan) yang memadai bahwa suatuproduk atau jasa akan memenuhi persyaratan tertentu.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

176 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Sehubungan dengan itu, untuk meningkatkan mutu,diperlukan berbagai upaya agar peningkatan mutu tersebutdapat terjamin (quality assurance). Dalam hal ini, Juransebagaimana dikutip Supranto (2001) mengemukakan tigaelemen yang disebut Juran Trilogy, yaitu: (1) qualityplanning, suatu proses yang mengidentifikasikan pelang-gan, kebutuhan mereka, product and service features yangdiharapkan pelanggan dan proses yang akan menyampai-kan produk dan jasa dengan karakteristik (atribut) yangtepat dan kemudian mentransfer pengetahuan ini ke seluruhjaringan perusahaan (dalam rangka memuaskan pelang-gan); (2) quality control, suatu proses yang produk benar-benar diperiksa dan dievaluasi dibandingkan kebutuhanyang diinginkan para pelanggan. Persoalan yang telahdiketahui kemudian dipecahkan, seperti mesin rusak, cepatdiperbaiki; dan (3) quality improvement: suatu prosesmekanisme yang sudah mapan dipertahankan sehinggamutu dapat dicapai secara berkelanjutan terus-menerus. Halitu meliputi penugasan orang menyelesaikan proyek mutu,pelatihan para karyawan yang terlibat dalam proyek, mutudan penetapan suatu struktur permanen untuk mengejarmutu dan pempertahanan apa yang telah dicapaisebelumnya.

Lebih lanjut mengatakan Juran dalam Supranto(2001) bahwa pengendalian mutu perusahaan secaramenyeluruh tidak dapat didelegasikan. Pemimpin harusterlibat langsung dan harus berkomitmen penuh. Setiapbagian dari unit kegiatan harus mampu menjamin dirinyamenjadi penjamin dari peningkatan kualitas (qualityimprovement). Joseph & Susan Berk (1995) mengatakanbahwa peningkatan mutu peran kontrol akan mengecil

Bab VII: Kepemimpinan Demokratis dan Mutu Pendidikan

177Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

apabila setiap bagian atau unit dalam organisasi ber-tanggung jawab secara menyeluruh terhadap mutu(universal quality responsibility).

Ada beberapa kesamaan dari beberapa definisi diatas, yakni (1) mutu mencakup upaya untuk memenuhiharapan/kebutuhan pelanggan, (2) mutu meliputi produk,proses, jasa, dan lingkungan, (3) mutu dapat berubah-ubahsesuai dengan kebutuhan.

Berdasarkan beberapa uraian tentang mutu tersebutdapat disimpulkan bahwa mutu adalah suatu keadaan yangsesuai dengan yang dibutuhkan oleh pelanggan. Dengandemikian, karena standar berbeda-beda antara satupelanggan dan pelanggan yang lain, mutu bersifat relatif.

Terkait dengan pendidikan sebagai suatu proses,mutu menjadi kata kunci. Namun demikian, perumusandefinisi mutu secara tepat tidaklah mudah. Konsep mutupertama kali muncul dalam dunia industri terdapat dinegara-negara yang telah maju. Mereka menerapkan mutudalam upaya memperbaiki dan meningkatakan produk-tivitas industri dan perekonomian secara umum. Olehkarena itu, ketika konsep mutu tersebut diterapkan dalamdunia pendidikan, muncul perdebatan mengenai maknayang sesungguhnya tentang mutu pendidikan, sehinggamenurut Semiawan (2005) meskipun telah dibicarakan olehberbagai pihak, isu konsep mutu tersebut tetap masihdiperdebatkan oleh berbagai kalangan. Kualitas sebenarnyabisa merupakan konsep multidimensional yang dapatdikategorisasikan secara umum menjadi kualitas intrinsikdan kualitas ekstrinsik.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

178 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Skelcher (1992:1) mengungkapkan bahwa mutu(quality) erat kaitannya dengan persamaan (equality), sepertiyang diungkapkan sebagai berikut:

“While the development of service quality involvesthinking about the customer as an individual it is alsoessential to recognize that they are member particulargroups, defined in terms of sex, ethnic origin, age physicalability or other characteristics.”

Pernyataan Skilcher tersebut menekankan bahwamutu tidak saja mengutamakan perlunya kepuasan bagiindividu, tetapi juga seluruh anggota masyarakat tanpamembedakan jenis kelamin, ras, dan suku bangsa. Ia jugamengatakan bahwa mutu layanan publik termasuk didalamnya pendidikan, harus mampu memberikanpelayanan yang sama bagi setiap anggota masyarakat.

Pendapat yang lebih mengarah pada mutu pendidik-an dikemukakan Semiawan (2005). Ia mengungkapkanbahwa kualitas adalah suatu notasi ilmiah yang digunakandalam berbagai pengetahuan yang menunjuk pada suatuproduk karya tertentu atau standar lembaga tertentu. Jadi,kualitas adalah sistem tentang pengetahuan, keterampilan,kebiasaan, dan nilai pada tingkat tertentu yang para-meternya ditentukan oleh masyarakat ilmiah tertentu.

Selanjutnya, Semiawan (2005) membagi kualitasmenjadi dua kategori, yaitu (1) kualitas intrinsik yangindikatornya terkait dengan visi, misi, tujuan, dan sasaranyang akan dicapai, dan (2) kualitas ekstrinsik, yakni sampaidi mana perguruan tinggi, dalam hal ini lembaga pendidik-an, mampu menyesuaikan diri pada tuntutan perubahanmasyarakat.

Bab VII: Kepemimpinan Demokratis dan Mutu Pendidikan

179Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Bloom (1976: 109-110) berpendapat bahwa mutu ataukualitas pendidikan terkait pembelajaran ia menyatakan:

The securing of the necesssary prerequisite and theredifinition, redegin, or restructuring of the learning taskor some combinatiojn of the two may overcome the initiallack of cognitive entry behaviors. Quality of instructionas though it deals with one or more learning tasks definedin a particualr way, we were maintaining that quality ofinstruction on a particular learning task (defined in aparticualr way) cannot overcome the lack of theprerequisite cognitive entry behaviors for that learningtask. In contrast to initial cognitive entry behaviors –defined as the prerequisite subject content and otherprerequisite cognitive skills for the particular learningtask-are the initial affective characteristics which includethe individual’s interests, attitudes, and motivations forthe particular learning task, here, we are convinced thatvery good quality of instruction may overcome negativeinitial affective characteristics, so that the student canlearn the particular learning task(s) to a high level.

Dalam bentuk gambar, kualitas pembelajaran yangditeorikan oleh Bloom tampak seperti berikut ini.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

180 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Ga

mb

ar

7:

Qu

ali

ty o

f In

stru

ctio

n

Sum

ber:

Blo

om (

1976

:109

)

Bab VII: Kepemimpinan Demokratis dan Mutu Pendidikan

181Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Everard, K.B., Geoffrey Morris dan Ian Wilson (2004:193) menjelaskan kualitas pendidikan sebagai berikut:

The concept of quality and the means to achieve it havegone through some interesting gyrations over recent years.The definition of quality as “excellence” was replaced inthe early 1980s by ’reasonably fit for the purpose’ andsince the late 1980s has swung back to be generallyaccepted as ’meeting or exceeding the expectations of thecustomer’s.

Dalam konteks untuk berkosentrasi pada mutu ataukualitas pendidikan dan strategi dalam pendidikan, belajardari pengalaman dua negara seperti Australia dan NewZealand, Dimmock (1995: 169), menyatakan berikut ini.

It is apparent that central authorities, whether at nationalor state levels, have adopted a powerful but sharplyfocused role. It is essentially one of determining goals,setting priorities and building frameworks for accoun-tability. A major factor underlying this centralizing trendis concern about quality/mutuality. This concern includingone devoted exclusively to the issue which stated that“concern for the quality of education in schools is todayamong the highest priorities in all countries. A broaderconcern for quality is having an impact on patterns ofmanagement in education. This is the concern for generalquality in life which is determined in large measure bythe capacity of a nation to perform well in a globaleconomy in order to become more competitive, the countrymust ensure a highly responsive economy which calls fora highly responsive system of education that equips citizenswith required knowledge, skills, and attitudes.

Dari pernyataan itu, dapat dipahami bahwa faktorutama peran pendidikan cenderung berada pada mutu

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

182 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

pendidikan. konsentrasi yang lebih luas tentang mutupendidikan tersebut adalah bagaimana mencapai mutuyang berdampak pada manajemen pendidikan itu sendiri,yaitu tentang kualitas hidup pada umumnya karena menjadiukuran bagaimana suatu negara memiliki kapasitas danmampu mencapai ekonomi global agar mampuberkompetisi untuk meraih ilmu pengetahuan, berbagaiketerampilan, dan memiliki perilaku yang tinggi. Jadi, mutupendidikan merupakan kemampuan hidup bangsa untukmenghasilkan sumber daya manusia yang berilmu,memiliki keterampilan, berperilaku tinggi, mampuberkompetisi lokal, nasional, regional, dan global, serta dapatmenunjang ekonomi negara.

Berdasarkan berbagai konsep dan teori di atas, dapatdirumuskan sintesis mutu pendidikan sebagai berikut. Mutupendidikan adalah kualitas penyelenggaraan pendidikanyang meliputi: kesiapan siswa, ketersediaan tenaga pengajar,sarana dan prasarana, metode pembelajaran, relevansipendidikan dengan kebutuhan, suasana lingkungan, daniklim institusi.

183Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

DAFTAR PUSTAKA

Alfian. 1991. Komunikasi Politik. Jakarta: PT. GramediaPustaka Utama.

Bass, B. M. 1990. Stogdill’s Handbook of Leadership: A Surveyof Theory and Research. New York: MacmillanPublishing Co, Inc.

Bennis, Warren. et al. 1991. Paradigma Baru Kepemimpinan.Penerjemah OKA. Jakarta: Elex Media Komputindo.

Bennis, Warren., Gretchen M. Spreitzer & Thomas G.Cummings. 1985. The Future of Leadership. New York:Josey Bass.

Blasé, Jo Roberts & Joseph Blasé. 1999. “Shared GovernancePrincivales: The Inner Experience,” in NASSPBulletin, V 83 No. 606, April.

Bloom, Benjamin S. 1982. Taxonomy of Educational Objectives,Cognitive Domain. Book I, New York: Longman.

Brinkerhoff, Derick W. 2000. “Democratic Governance andSectoral Policy Reform: Tracing linkages andExploring Synergies.” World Development. Volume28, No. 4. Hlm. 601-615.

Bryman, A. 1992. Charisma and Leadership in Organizations.London.

Burnell, Peter. 2000. “Democracy Assistance the State of theDiscourse.” Dalam Democracy Assistence: Inter-national Cooperation for Democratization. Peter Burnell(ed.). London: Frank Cass Publishers.

Campbell, R.F., Corbally, J.E., & Nystrand, R.O. 1983. Intro-duction to Educational Administration. Boston: Allynand Bacon, Inc.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

184 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Chandler, B.J. & P.V. Petty. 1955. Personal Management inSchool Administration. Yonkeron-Hudson, NY.:World Book, Co.

Crawford, Gordon. 2000. “Promoting Democratic Gover-nance in the South.” The European Journal of Develop-ment Research. Volume 12, No. 1. June. Hlm. 23-57.

Crosby, Philip B. 1978. Quality is Free. New York: NewAmerican Library.

Daft, Richard L. 2005. The Leadership Experience. USA: SouthWestern, The Thomson Corporation.

Davis, Keith & John W. Newstrom. 1985. Perilaku DalamOrganisasi. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Deming, W. Edwards. 1986. Out of Crisis. Cambridge:Massachussett Institute of Technology. Hlm. 175-176.

Depdikbud, 1985. Dinamika Kelompok. Jakarta: ProyekPengembangan Perguruan Tinggi Tenaga Ke-pendidikan Depdikbud.

Depdikbud, 1986. Administrasi Pendidikan; Buku IIC;Materi Dasar Akta Mengajar V. Jakarta: Proyek Pe-ngembangan Institusi Perguruan Tinggi, DirektoratJenderal Pendidikan Tinggi.

Dimock, Clive. 1995. School-Based Management and SchoolEffectiveness. New York: Routledge.

Dingle, John. 1995. “Analysing The Competence Require-ments of Managers.” Management DevelopmentReview, Vol. 8. No. 2. pp. 30-36.

Dirawat, dkk. 1976. Kepemimpinan Pendidikan dalam RangkaPertumbuhan Guru-guru. Malang: FIP-IKIP Malang.

Donabedian, Avedis. 1980. Exploration in Quality Assess-ment and Monitoring, Vol. I: The Definition of Quality

Daftar Pustaka

185Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

and Approaches to Its Assessment. Michigan: HealthAdministration Press.

Everard, K.B., Geoffrey Morris, & Ian Wilson. 2004. EffectiveSchool Management. London: Sage Publication.

Feinberg, W. 1996. Understanding Education: Toward a Re-construction of Educational Inquiry, Cambridge, UK.

Fiedler, F. E. 1967. A Theory of Leadership Effectiveness. NewYork.

Fielder, D Becker. 1981. Creating Environment in Organi-zations. New York: Proger Publisher.

Finch, Frederick, et al. 1976. Managing for OrganizationalEffectivess: an Experiental Approach. New York: McGraw-Hill Book Company.

Fukuyama, F. 1992. The End of History and The Last Man.London: Hamish Hamilton.

_______. 1995. Trust: The Social Virtues & The Creation ofProsperity. London: Hamish Hamilton.

George E. Ridler, & Robert J. Shockley. 1989. School Adminis-trator’s Budget Handbook: A Step-by-Step Guide forPreparing and Managing Your School Budget. NewJersey: Prentice Hall.

Good, Carter V. 1959. Dictionary of Education. New York:McGraw Hill Company, Inc.

Griffin, Ricky W. & Ronald J. Ebert. 2004. Business. SeventhEdition. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Halpin, Andrew W, 1977. Manual For The Leader BehaviorDescription Quistionaire. Colombus, Ohio: The OhioState University.

Harsono., Ed. 2009. Manajemen Pengantar. Yogyakarta:Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi YKPN.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

186 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Hasibuan, Malayu, S.P. 1995. Manajemen Dasar Pengertiandan Masalah. Jakarta: Gunung Agung.

Hersey, Paul & Kenneth H. Blanchard. 1996. Managementof Organizational Behavior, Utilizing Human Re-sources. New York: Prentice-Hall International, Inc.

Hicks, Herbert, G. & G. Ray Gullet. 1995. Organisasi, Teoridan Tingkah Laku. Penerjemah G. Kartasapoetra.Jakarta: Bumi Aksara.

Hornby, A.S. 2000. Oxford Advanced Learner’s Dictionary ofCurrent English. Edited By Sally Wehmeier & MichaelAshby. Sixth Edition. Oxford University Press.

Hubeis, M. 1999. Sistem Jaminan Mutu Pangan: PelatihanPengendalian Mutu dan Keamanan bagi Staf Pengajar.Bogor: Kerja sama Pusat Studi Pangan dan Gizi IPBdengan Direktorat Jenderal Pendidikan TinggiDepartemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Hunt, James G. 1996. “leadership” dalam Kuper, A. & Kuper,J. (Eds.). The Social Science Encyclopedia. London,Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul.

Huntington, S.P. 1991. The Third Wave: Democratization inthe Late Twentieth Century. Carl Albert Center,Oklahoma: University of Oklahoma.

Jaffe, David. 2001. Organization Theory. Singapore: McGraw-Hill International Edition.

Joel, E. Roes. 1995. Total Quality Management. Singapore:Mubarok and Brothers.

Juran, Joseph M. 1993. Quality Planning and Analysis. Thirdedition. New York: McGraw Hill Inc.

Jusuf Suit dan Almadi. 1996. Aspek Sikap Mental dalamSumber Daya Manusia. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Daftar Pustaka

187Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Kadarisman D., 1999. ISO (9000 & 14000) Sertifikasi Pelatih-an Pengendalian Mutu dan Keamanan bagi Staf Pe-ngajar. Jakarta: Kerja sama Pusat Studi Pangan danGizi IPB dengan Dirjen Dikti Depdikbud dan Kabu-paten Bogor.

Kartono, Kartini. 2001. Pemimpin dan Kepemimpinan.Jakarta: Rajawali Pers.

Kreitner, Robert. 1983. Management. Dallas: HoughtonMifflin Company.

Kuper, Adam & Jessica Kuper. (Eds.). 1996. The Social ScienceEncyclopedia. London, Boston and Henley: Routledge& Kegan Paul.

Leftwich, Adrian. 2000. States of Development, On thePrimacy of Politics in Development. Cambridge: PolityPress.

Lipham, James M. & James A. Hoech, Jr. 1975. ThePrincipalship: Foundation and Functions, New York:Harper & Row Pub.

Luthans, Fred. 1985. Organizational Behavior. New York:McGraw-Hill International Editions.

Lynn, Monty L. & Richard S. Lytle. 2000. “Service Orien-tation in Transitional Markets: Does it Matter?”European Journal of Marketing. Texas.

McGregor, Douglas dalam Stephen P. Robbins. 2003. Organi-zational Behavior. New York: Printice-Hall PearsonEducation, Inc.

Morris, G. Barry. 1985. “A Futuristic Cognitive View ofLeadership.” Dalam: Educational AdministrationQuarterly, Vol.21 (1) pp 7 – 27.

Mutrofin. 2007. Otokritik Pendidikan: Gagasan-gagasanEvaluatif. Yogyakarta: LaksBang PRESSindo.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

188 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Nawawi, Hadari & Martini Hadari. 1995. Kepemimpinanyang Efektif. Yogyakarta: Gadjah Mada UniversityPress.

Newstrom, John W. 1985. Human Behavior at Work:Organizational Behavior. New York: Mc Graw-HillBook Company, 7th edition.

Newstrom, John W. 2007. Organizational Behavior. NewYork: McGraw-Hill International Edition.

O’Donnel, Guilermo; Philippe C. Schmitter; LaurenceWhitehead. 1992 (a). Transisi Menuju Demokrasi:Tinjauan Berbagai Perspektif. Jakarta: LP3ES.

_______. 1992 (b). Transisi Menuju Demokrasi: Kasus AmerikaLatin. Jakarta: LP3ES.

Pasquino, G. 1996. “democratization” dalam Kuper, A. &Kuper, J. (Eds.). The Social Science Encyclopedia.London, Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul.

Paul Hersey & Ken Blanchard. 1988. Manajemen ofOrganizational Behavior: Utilizin Human Resources 5th

ed. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.Perilaku Organisasi, 2007 (http/www.leadership/con/struck/

html).Philip C. Hunsaker & Antony J. Alessander. 1980. The Art of

Managing Peaple. New York: Simon dan Schitter, Inc.Ralph G. Lewis & Douglas H. Smith. 1994. Total Quality for

Higher Education. Florida: St. Lucie Press.Rhodes, R.A.W. 2000. “Governance and Public Adminis-

tration.” Dalam Jon Pierre (ed.). Debating Governance.Cambridge: Oxford University Press.

Richard M. Steers & Lyman W. Parter. 1987. Motivation andWork Behavior, 4th ed. New York: Mc Graw-Hill, Inc.

Daftar Pustaka

189Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Robbins, Stephen P. 1986. Organizational Behavior: ConceptsControversies, and Applications, 3rd edition. EnglewoodCliffs, New Jersey: Prentice Hill.

Robbins, Stephen P. 1998. Perilaku Organisasi: Konsep, Kon-troversi, Aplikasi. Jilid 1. Jakarta: PT. Prenhallindo.

Robert G. Owens. 1991. Organization Behavior in Education4th ed. Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Rustow, O.A. 1970. “Transition to Democracy.” ComparativePolitics 2, No. 3. 337-65.

Sallis, Edward. 1993. Total Quality Management in Edu-cation. Philadelphia USA: Kogan Pages EducationManagement Series.

Salusu, J. 1996. Pengambilan Keputusan Strategik. Jakarta:Gramedia Widiasarana Indonesia.

Santiso, Carlos. 2000. “Toward Democratic Governance: theContribution of the Multilateral Development Banksin Latin America.” Dalam Democracy Assistence:International Cooperation for Democratization. PeterBurnell (ed.). London: Frank Cass Publishers.

Semiawan, Conny, M. 2005. Modul Landasan AkademikAkreditasi Perguruan Tinggi. Jakarta: PenataranAsesor Akreditasi PT-BAN.

Siagian, Sondang P. 1995. Organisasi Kepemimpinan danPerilaku Administrasi. Jakarta: CV. Haji Masagung.

Skilcher, C. 1992. Managing for Service Quality. Essex:Longman Group U.K. Ltd.

Soetopo, Hendyat. & Wasty Soemanto. 1984. Kepemimpinandan Supervisi Pendidikan. Malang: FIP-IKIP Malang.

Sorensen, G. 2003. Democracy and Democratization: Processesand Prospects in a Changing World. Westview: WestviewPress.

Kapabilitas Pemimpin Demokratis dalam Pendidikan

190 Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Spencer, Lyle M & Signe M. Spencer. 1993. Competence Work:Model fo Superior Perpormance. New York, USA: JohnWilley & Sons, Inc.

Stamatis. 1996. Total Quality Service. Singapura: St. Lucie.Stoner, James A.F. & R. Edward Freeman. 1995. Management.

Jakarta: Simon & Schuster.Stoner, James A.F., R. Edward Freeman & Daniel R. Gilbert

JR. 1995. Management. Sixth Edition. New Jersey:Prantice Hall Inc.

Supriadi, Oding. 2009. Pengaruh Gaya Kepemimpinan danKualitas Layanan terhadap Mutu Pendidikan di Kabu-paten Banten. Disertasi Doktor. Tidak diterbitkan. Pro-gram Pascasarjana (S3) Universitas Negeri Jakarta.

_______. 2000. Korelasi antara Persepsi Guru tentang Kemam-puan Manajerial Kepala Sekolah dan Hubungan Kerjaantar Guru dengan Kepuasan Kerja Guru di SMUNegeri Kabupaten Lebak Jawa Barat. Thesis Magister.Tidak diterbitkan. Program Pascasarjana UniversitasMhammadiyah Prof. DR. HAMKA, Jakarta.

Sutisna, Oteng. 1989. Administrasi Pendidikan, Dasar Teori-tis untuk Praktek Profesional. Bandung: CV. Angkasa.

Syafaruddin. 2002. Manajemen Mutu Terpadu dalamPendidikan. Jakarta: Grasindo.

Tjiptono, Fandy dan Anastasia Diana. 2001. Total QualityManagement. Yogyakarta: Andi Offset.

Vanhanen, T. 2000. The Process of Democratization: A Com-parative Study of 147 States, 1980-1990. New York:The Free Press.

Wallis, R. 1996. “Charisma” dalam Kuper, A. & Kuper, J.(Eds.). The Social Science Encyclopedia. London,Boston and Henley: Routledge & Kegan Paul.

Daftar Pustaka

191Dr. H. Oding Supriadi, M.Pd.

Weber, M. 1947 (1922). The Theory of Social and EconomicOrganization. London. (Bagian Pertama dariWirtschaft und Gesellschaft, Tubingen).

Weiss, Thomas G. 2000. “Governance, Good Governance,and Global Governance: Conceptual and ActualChallenges.” Third World Quarterly. Volume 21, No.5. Hlm. 795-814.

Wiles, K. 1991. Supervision for Better Schools. EnglewoodCliffs, New Jersey: Prentice Hall Inc.

William, D. Mac Erdle. 1972. Performance Appraisal inManagement. London: Heineman.

Willner, A. 1984. The Spellbinders: Charismatic PoliiticalLeadership. New Haven, CT.

Wiraputra, R. Iyeng. 1976. Beberapa Aspek dalam Kepemim-pinan Pendidikan. Bandung: Bhratara Karya Aksara.

Wren, D. 1970. The Evolution of Management Tought.Chisester, London.

Yukl, G. 1994. Leadership in Organizations. 3rd edn.Englewood Cliffs, NJ.

Zeitaml, Valarei A., A. Parasuraman & Leonard L. Berry.1990. Delivering Quality Service Balancing CustomerPerceptions and Expectations. New York: The FreePress.