Upload
uajy
View
0
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
PROFESI ADVOKAT DALAM PERSPEKTIF POLITIK
HUKUM
Suatu Kajian Kebijakan Hukum
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 Tentang
Advokat
HERIBERTUS APRIADI
135202045
Dosen Pengampu
Dr. Drs. Paulinus Soge, S.H.
0
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ATMA JAYA YOGYAKARTA
2013A. Latar Belakang
Advokat atau di Indonesia lebih populer dengan
sebutan pengacara, telah dikenal sejak zaman Romawi
dengan sebutan officium nobile (profesi mulia). Disebut
sebagai profesi yang mulia karena advokat
mengabdikan dirinya untuk kepentingan masyarakat dan
bukan bagi dirinya sendiri serta kewajibannya untuk
turut menegakkan hak asasi manusia. Abdul Hakim G.
Nusantara (dalam Ishaq, 2010 : 12) mengatakan bahwa
advokat sebagai kegiatan pelayanan hukum secara
cuma-cuma kepada masyarakat miskin dan buta hukum.
Sejak revolusi Perancis sampai pada zaman
modern sekarang ini, motivasi pemberian bantuan
hukum bukan hanya berdasarkan rasa perikemanusiaan
kepada orang yang tidak mampu, melainkan telah
1
menimbulkan hak politik atau hak warga negara yang
berlandaskan kepada konstitusi modern.
Kedudukan dan peran advokat dalam sistem hukum
dan peradilan di indonesia sebagaimana tersurat pada
Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Advokat yaitu advokat
berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri
yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-
undangan. Penegak hukum dalam hal ini kemudian harus
dipahami secara utuh dan konkrit. Advokat dalam
menjalankan profesinya akan selalu bersinggungan
dengan aparat penegak hukum lainnya seperti polisi,
jaksa, hakim.
Dalam sistem peradilan pidana misalnya, masing-
masing penegak hukum mempunyai tugas yang berbeda.
Polisi bertugas di bidang penyelidikan dan
penyidikan. Kejaksaan bertugas dibidang penuntutan,
hakim bertugas memutus perkara dan advokat
meperjuangkan kepentingan masyarakat (klien). Dalam
rangka membela klien, advokat harus memegang teguh
prinsip equality before the law (persamaan di depan hukum)
2
dan asas presumption of innocene (praduga tak bersalah).
Tujuannya adalah agar dalam tugas pembelaannya
dijalankan secara efektif (Ishaq, 2010 : 36). Hakim
berpangkal pada posisinya yang obyektif sehingga
penilaiannya juga harus objektif. Lain halnya dengan
jaksa penuntut umum yang mewakili negara berpangkal
pada posisi subjektif. Advokat dalam hal ini
mewakili kepentingan tersangka/terdakwa (klien) ada
pada posisi subjektif.
Ditengah sikap skeptis masyarakat terhadap
penegakan hukum di indonesia saat ini, peran advokat
di harapkan dapat menjadi harapan. Dapat dimaklumi,
mengingat negara Indonesia, meski telah 12 tahun
sejak reformasi, masih berada dalam masa transisi.
Masa transisi dimana negara ini masih mencari bentuk
terbaik dalam pelaksanaan tata pemerintahannya,
termasuk pelaksanaan fungsi advokat. Profesi advokat
harus dijalankan secara independen, profesional, dan
bergerak pada asas keadilan, kemanfaatan, dan
kepastian hukum. Oleh karena itu profesi advokat
3
perlu diatur secara cermat dan sistematis dalam
suatu perundang-undangan khusus (exceptional acts).
Profesi advokat sangat penting keberadaannya,
terutama dalam mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia, yaitu terwujudnya masyarakat yang
egaliter, sejahtera, adil, dan makmur berdasar atas
hukum nasional. Artinya, hukum merupakan jembatan
menuju terwujudnya cita-cita nasional tersebut
melalui serangkaian aturan dan proses-proses hukum
(due to process and rules of law). Advokat merupakan profesi
yang bebas dan independen dari segala pengaruh atau
tekanan (intervention) pihak lain. Hal inilah yang
mendasari pemberian “label” penegak hukum bagi
profesi advokat dalam undang-undang advokat. Profesi
advokat harus dijalankan dengan tanpa tekanan atau
intimidasi dari elemen-elemen pemerintahan lainnya.
Selama ini dalam praktek pelaksanaan undang-
undang advokat banyak pelaggaran yang dilakukan
advoakt itu sendiri. Hal ini kemudian menjadikan
profesi advokat tidak lagi sebagai “officium nobile”.
4
Hal ini dapat kita lihat semakin banyaknya
pelanggaran yang melibatkan oknun advokat.
Pelanggaran yang terjadi tidak hanya sebatas pada
pelanggaran etika profesi tetapi juga ada yang
melakukan tindak pidana. Selain pelanggaran yang
bersifat personal advokat, konflik organisasi
advokat juga memberi sumbangan yang cukup buruk
terhadap elektabilitas profesi advokat.
Mengutip kata pepatah lama “karena nila setitik
rusak susu sebelanga”. Hal ini kemudian terjadi pada
profesi advokat. Karena tindakan oknum advokat yang
tidak bertanggung jawab, kemudian mengakibatkan
buruknya citra advokat dimata masyarakat. Apabila
hal seperti ini terus terjadi dan tidak ada upaya
yang luar biasa untuk mengatasinya, maka profesi
advokat akan semakin rapuh dan akan meninggalkan
jiwanya sebagai “pembela yang benar”. Untuk
mengatasi hal tersebut, maka perlu diadakan
reformasi pada profesi advokat. Pertama,
mengembalikan profesi advokat sebagai sebuah profesi
5
mulia yang independen dan tidak tersentuh
kepentingan kekuasaan. Kedua, mengembalikan fungsi
yang hakiki dari profesi advokat untuk mewujudkan
keadilan, kepastian hukum dan mengawal konstitusi.
Ketiga, menjalankan fungsi check and balances bagi
institusi-institusi penegak hukum lainnya. Keempat,
mendorong dan memfasilitasi serta menegakkan
prinsip-prinsip negara hukum yang demokratis guna
mewujudkan kedaulatan rakyat. Kelima, melindungi
martabat dan hak asasi manusia.
Profesi advokat harus senantiasa mencirikan
independensi dan profesionalitasnya sesuai dengan
amanat undang-undang. Inilah kondisi ideal profesi
advokat, meski pada beberapa hal idealitas tersebut
belum atau masih sulit untuk diwujudkan.
Independensi profesi advokat merupakan bagian dari
prinsip negara hukum yang demokratis. Prinsip ini
diperlukan untuk melindungi profesi advokat dari
intervensi, bujukan, rayuan, paksaan maupun pengaruh
lembaga, teman sejawat, atau pihak-pihak lain,
6
sehingga advokat dalam menangani suatu perkara
benar-benar berdasar pada hukum, rasa keadilan dan
hati nurani.
Profesi advokat yang independen dimaksudkan
agar penyelenggaraan peradilan berjalan sesuai
dengan koridor hukum (fair trial). Dalam rangka
mewujudkan hal tersebut, profesi advokat yang masuk
kedalam sistem lembaga peradilan harus ditopang oleh
advokat-advokat yang memiliki kapabilitas,
integritas, dan kualitas pribadi yang tinggi.
Persoalan moralitas dewasa ini menjadi salah satu
mainstream yang paling penting. Moralitas penegak
hukum, khususnya advokat, harus menjadi perhatian
lebih karena demikian sangat menentukan alur proses
peradilan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, dapat dirumuskan satu
permasalahan utama, yaitu bagaimana politik hukum
dalam Undang-Undang nomor 18 tahun 2003 Tentang
Advokat?
7
C. Pembahasan
1. Politik Hukum dan Profesi Advokat
a. Politik Hukum
Politik pada umumnya diberi berbagai arti
seperti kebijakan, seni kekuasaan, dan cara,
akal dan taktik. Intinya politik adalah cara
mempengaruhi orang lain agar dapat bertingkah
laku sesuai dengan kehendak mempengaruhi yakni
orang yang mempunyai kekuasaan (Abdul Aziz
Hakim, 2011 : 29-30). Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, politik hukum didefinisikan sebagai
rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis
besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu
pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak
(Imam Syaukani & A. Ahsin Thohari, 2008 : 22).
Definisi dari KBBI tersebut lebih melihat
politik hukum sebagai blueprint terhadap
sekalian kebijakan yang akan diambil dalam
rangka penegakan hukum pada segenap dimensi
kehidupan masyarakat. Dengan demikian, politik
8
hukum merupakan patronase bagi stakeholder dalam
melaksanakan tugas, fungsi, dan kewenangannya
di bidang hukum.
Menurut Mahfud MD, ada hubungan kausalitas
antara politik dan hukum. Hubungan ini kemudian
memunculkan pertanyaan tentang apakah hukum
yang mempengaruhi politik ataukah sebaliknya.
Dalam hubungan tersebut diatas, hukum lebih
cenderung terpengaruh oleh politik, karena
subsistem politik memiliki konsentrasi energi
yang lebih besar dari pada hukum. Sehingga
apabila harus berhadapan dengan politik, maka
hukum berada dalam kedudukan yang lebih lemah
(Abdul Aziz Hakim, : 39. Baca juga Mahfud MD,
2010 : 13). Dengan menggunakan asumsi dasar
bahwa hukum sebagai produk politik, maka
politik akan sangat menentukan kebijakan hukum.
Secara lebih spesifik dapat dikemukakan bahwa
konfigurasi politik suatu negara akan
9
melahirkan karakteristik politik hukum tertentu
di negara tersebut (ibid, 40).
b. Profesi Advokat
Profesi adalah bidang pekerjaan yang
dilandasi oleh keahlian/keterampilan tertentu
(Ropaun Rambe, 2001 : 41). Advokat sebagai nama
resmi profesi dalam sistem peradilan di
Indonesia pertama-tama ditemukan dalam
ketentuan Susunan Kehakiman dan Kebijaksanaan
Mengadili (RO). Advokat merupakan padanan dari
kata advocaat (belanda) artinya seseorang yang
telah resmi diangkat untuk menjalankan
profesinya setelah memperoleh gelar meester in de
rechten (Luhut Pangaribuan, 1996 : 1). Advokat
adalah orang yang berprofesi memberi jasa
hukum, baik di dalam maupun diluar pengadilan
yang memenuhi persyaratan berdasarkan ketentuan
undang-undang. Dalam upaya menjunjung tinggi
citra profesi advokat sebagai profesi yang
10
terhormat, advokat/pengacara bukan sekedar
mencari nafkah semata, tetapi juga harus
memperjuangkan nilai kebenaran dan keadilan,
karena di dalamnya terdapat adanya idealisme
dan moralitas (Ropaun Rambe, 2001 : 33).
Selain berfungsi untuk membela kepentingan
masyarakat (public defender) dan kliennya, advokat
juga berfungsi dan berkewajiban untuk berperan
dalam pembangunan hukum (law development),
pembaruan hukum (law reform), dan pembuatan
formulasi rumusan hukum (law rechtvorming).
Menurut Frans Hendra Wiarta, kebebasan
profesi advokat menjadi sangat penting artinya
bagi masyarakat yang memerlukan jasa hukum (legal
services) dan pembelaan (litigation) dari seorang
advokat. Masyarakat yang perlu dibela akan
mendapat jasa hukum dari seorang advokat
independen yang membela semua kepentingan
kliennya tanpa ragu-ragu (Ishaq, 43).
11
2. Politik Hukum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003
Tentang Advokat
Hukum sebagai alat rekayasa sosial merupakan
fenomena yang menonjol pada masa kini. Pada masa
tradisional, hukum lebih merupakan pembadanan dari
kaidah-kaidah sosial yang sudah tenteram di dalam
masyarakat. Dalam perkembangannya hingga saat ini,
hukum telah menjadi sarana yang sarat dengan
keputusan politik (Satjipto Rahadrjo, 2002 : 81).
Munculnya Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat merupakan implementasi dari kekuasaan
kehakiman.
Kekuasaan kehakiman yang bebas dari segala
campur tangan pengaruh dari luar, memerlukan
profesi advokat. Hal ini adalah bentuk
sinergisitas profesi advokat yang bebas, mandiri
dan bertanggung jawab untuk terselenggaranya suatu
peradilan yang jujur, adil, dan memiliki kepastian
hukum bagi semua pencari keadilan dalam menegakkan
hukum, kebenaran, keadilan, dan hak asasi manusia.
12
Pada awal kemerdekaan, organisasi profesi
advokat di Indonesia menganut multi bar
association system. Hal ini ditandai dengan
terbentuknya beberapa profesi advokat, dimulai
dengan terbentuknya Persatuan Advokat Indonesia
(PAI) pada tanggal 14 Maret 1963 yang kemudian
digantikan oleh Persatuan Advoat Indonesia
(PERADIN) pada tanggal 30 Agustus 1964.
Profesi advokat yang bebas, mandiri dan
bertanggung jawab dalam menegakkan hukum perlu
dijamin dan dilindungi oleh undang-undang demi
terselenggaranya supermasi hukum. Kebebasan
advokat juga telah diakui secara universal.
Dalam Resolusi Konggres PBB tahun 1985 dinyatakan
dengan tegas bahwa asas kebebasan advokat
merupakan syarat mutlak sebagai komponen atau
bagian yang tidak terspisahkan dari kebebasan
peradilan (Ishaq, 2001 : 43).
Dalam realita kehidupan berbangsa dan
bernegara saat ini, profesi advokat yang kemudian
13
diharapkan menjunjung tinggi supermasi hukum, pada
akhirnya jatuh dan dipandang sebagai penyumbang
bobroknya penegakkan hukum di Indonesia. Banyak
advokat yang masuk kedalam pusaran suap yang
akhirnya berujung pada sikap skeptis masyarakat
terhadap profesi ini. Selain itu permasalahan yang
paling krusial saat ini adalah tentang organisasi
advokat.
Menurut Gerry Spence keprofesionalan para
lawyers, menjadi kurang berarti, bahkan mengganggu
apabila tidak diarahkan kepada tujuan kemanusiaan
yang lebih tinggi (Satjipto Rahardjo, 2009 : 105).
Kritik ini ditujukan karena ketidak mampuan
(incompetence) untuk memberikan pelayanan kepada
publik. kenyataan yang ada dimasyarakat adalah
advokat hanya memberikan pelayanan sesuai dengan
pesanan dari klien. kritik yang disampaikan Spence
ini merupakan tamparan keras bagi profesi advokat
di dunia pada umumnya.
14
IUS CONSTITUTUM UNDANG-UNDANG NO. 18 TAHUN 2003
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 mengamanatkan
pembentukan organisasi profesi advokat satu-
satunya sebagaimana tercantum dalam Pasal 28 ayat
(1). Organisasi advokat tersebut terbentuk paling
lambat 2 (dua) tahun setelah undang-undang
tersebut diundangkan dengan kata lain paling
lambat pada tahun 2005 telah terbentuk. Untuk
memenuhi ketentuan dalam undang-undang tersebut
maka pada tanggal 21 desember 2004 di deklarasikan
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) yang
merupakan perwujudan dari single bar association.
Hal ini merupakan sinyal positif akan
bersatunya profesi advokat indonesia dalam suatu
wadah organisasi profesi sebagaimana amanat
Undang-Undang No. 18 Tahun 2003 tersebut. Kemudian
pada tanggal 30 mei 2008 di deklarasikanlah
Kongres Advokat Indonesia (KAI) sebagai bentuk
perlawanan terhadap single bar association milik
PERADI.
15
Saat ini profesi advokat sudah kehilangan
semangatnya untuk memiliki kepedulian kemanusiaan
diatas keprofesionalannya. Beberapa cenderung
mementingkan materi dari pada tujuan dari pada
profesi ini sendiri. Ironisnya, profesi advokat
yang dijunjung sebagai profesi mulia kemudian di
gerogoti dengan carut marut organisasi advokat
yang ada di indonesia. Hal yang paling sering kita
dengar yaitu perseteruan antara organisasi advokat
Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) dan Kongres
Advokat Indonesia (KAI). Perseteruan ini
didasarkan pada wadah tunggal organisasi advokat
(single bar system) sebagaimana yang dimuat dalam
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Advokat. Secara
rinci pasal tersebut menjelaskan bahwa organisasi
advokat merupakan satu-satunya wadah profesi
advokat yang bebas dan mandiri yang dibentuk
sesuai dengan ketentuan undang-undang ini dengan
maksud dan tujuan meningkatkan kualitas profesi
advokat. Kesepakatan untuk membentuk wadah tunggal
16
organisasi profesi advokat dari segi ius
constiutum sebenarnya telah sesuai. Pembentukan
organisasi Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI)
secara de facto dan de jure pembentukan organisasi
advokat ini sah secara hukum.
Dalam perkembangannya, kemudian muncul
permintaan dari organisasi advokat yaitu Kongres
Advokat Indonesia untuk merevisi undang-undang
advokat khusunya rumusan Pasal 4 ayat (1) dan
Pasal 28 ayat (1) UU No. 18 Tahun 2003 tentang
Advokat. Kedua pasal itu yang masing-
masing mengatur tentang sumpah advokat dan wadah
tunggal organisasi advokat dianggap sangat krusial
terhadap perkembangan dan kebutuhan advokat. Kedua
pasal diatas kemudian yang menjadi pemicu
munculnya konflik antara organisasi advokat KAI
dan PERADI.
IUS OPERATUM
17
Dalam pelaksanaan Undang-Undang No. 18 Tahun
2003 Tentang Advokat, Mahkamah Agung Sebagai
lembaga yang mempunyai kekuasaan menyelenggarakan
lembaga peradilan telah mengambil langkah-langkah
konrit terkait konflik antara organisasi advokat
KAI dan PERADI. Terjadinya konflik antara PERADI
dn KAI kemudian berimbas pada para pencari
keadilan. Terkait adanya polemik antara PERADI dan
KAI dalam hal pengambilan supah advokat, maka
kemudian Ketua Mahkamah Agung mengeluarkan Surat
Ketua Mahkamah Agung No. 089/KMA/VI /2010 yang
kemudian disampaikan kepada Ketua Pengadilan
Tinggi di seluruh Indonesia tanggal 25 Juni 2010.
Surat ini pada pokoknya agar dalam mengambil
sumpah para calon Advokat, dengan ketentuan bahwa
usul penyumpahan tersebut harus diajukan oleh
Pengurus PERADI sesuai dengan jiwa kesepakatan
tanggal 24 Juni 2010. Surat tersebut dengan maksud
dan tujuannya telah konkrit, individual dan final
adalah keputusan yang mempunyai akibat hukum bagi
18
seseorang atau badan hukum perdata (organisasi
profesi Advokat). Akibat dikeluarkannya surat ini
meinimbulkan efek domino bagi anggota organisasi
advokat Konggres Advokat Indoesia. Advokat dari
KAI tidak diperkenankan mendampingi klien dimuka
persidangan karena bukan merupakan
usulan/rekomendasi sumpah dari PERADI.
IUS CONSTITUENDUM
Ius Constituendum atau hukum yang dicita-
citakan haruslah memiliki manfaat yang lebh baik
bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk
memperoleh manfaat dari ius constituendum di masa
mendatang, maka pola dan prosesnya harus mengacu
pada politik hukum nasioanl. Politik Hukum disini
dimaksudkan sebagai legal policy yang akan atau
dilaksanakan secara nasional oleh pemerintah
indonesia yang meliputi (Mahfud MD, 1998 : 9).
19
1) Pembangunan hukum yang berintikan pembuatan
dan pembaharuan terhadap materi-materi hukum
agar dapat sesuai dengan kebutuhan;
2) Pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada
termasuk penegasan fungsi lembaga dan
pembinaan para penegak hukum;
Dari pengertian tersebut politik hukum
mencakup proses pembuatan dan pelaksanaan hukum
yang dapat menunjukkan sifat dan kearah mana hukum
akan dibangun dan ditegakkan. Berdasarkan pada
pemaparan ius constitutum dan ius operatum diatas,
maka sebagai langkah untuk membuat suatu regulasi
tentang organisasi advokat dimasa mendatang yang
sesuai dengan kebijakan politik hukum nasional,
maka diperlukan kaidah-kaidah yang mengatur agar
konflik diantara organisasi advokat tidak menjadi
semakin meruncing.
Ius constituendumnya yaitu berupa
menyebutkan organisasi advokat PERADI yang telah
diakui oleh undang-undang dan penyelenggara
20
peradilan tertinggi yaitu Mahkamah Agung sebagai
satu-satunya organisasi advokat yang dapat
mengusulkan penyumpahan terhadap advokat. Hal ini
tidak dimaksudkan untuk mengurangi kebebasan
berorganisasi warga negara indonesia untuk membuat
atau mendirikan organisasi advokat lainnya, akan
tetapi dimaksudkan untuk menyelamatkan profesi
advokat sebagai profesi mulia dan meminimalsir
pelanggaran kode etik advokat.
D. Kesimpulan dan Saran
1. Kesimpulan
Berdasarkan uraian diatas, dapat diambil
suatu kesimpulan yaitu organisasi advokat harus
diwujudkan dalam satu wadah (single bar
association system). Tujuannya adalah agar
organisasi profesi advokat tetap konsisten
menjadi pengawal konstitusi dan kembali menjadi
21
profesi yang mulia. Untuk itu politik hukum dalam
Undang-Undang nomor 18 tahun 2003 Tentang Advokat
haruslah mengacu pada perbaikan dan mengembalikan
kewibawaan profesi advokat untuk kemaslahatan
pencari keadilan dan bukan untuk kepentingan
organisasi.
2. Saran
Berdasarkan kesimpulan diatas maka saran yang
dapat diberikan adalah segera direvisinya Undang-
Undang No. 18 Tahun 2003 tentang Advokat dengan
mencantumkan nama organisasi Perhimpunan Advokat
Indonesia (PERADI) sebagai satu-satunya wadah
tunggal profesi advokat di indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
22
Hakim, Abdul Aziz, 2011. Negara Hukum dan Demokrasi di
Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Ishaq, 2010. Pendidikan Keadvokatan, Jakarta : Sinar
Grafika.
Mahfud MD, Moch, 1998. Politik Hukum di Indonesia, Yogyakarta
: LP3ES.
------------------------, 2010. Membangun Politik Hukum,
Menegakkan Konstitusi, Jakarta : Rajawali Pers.
Pangaribuan, Luhut M.P., 1996, advokat dan contempt of court
satu proses di dewan kehormatan profesi. Jakarta :
Djambatan.
Rahardjo, Satjipto, 2002. Sosiologi Hukum Perkembangan
Metode dan Pilihan Masalah. Surakarta : Muhammadiyah
University Press
-----------------------, 2009. Hukum Progresif Sebuah
Sintesa Hukum Indonesia. Yogyakarta : Genta
Publishing.
Rambe, Ropaun, 2001. Teknik Praktek Advokasi, Jakarta :
Grasindo.
23