60
65 Lampiran 1: Perspektif Kepuasan Pelanggan dalam Jaringan Distribusi Majalah MARKETING - Edisi UN Perspektif Kepuasan Pelanggan dalam Jaringan Distribusi Bulan September lalu banyak perusahaan mulai dari bank pemerintah maupun swasta, perusahaan pelayanan publik telekomunikasi,dan transportasi-secara serempak dan instan melaksanakan kegiatan yang di luar kebiasaan mereka. Saat itu, setiap konsumen yang ditemui diberikan cenderamata tertentu berupa bingkisan permen atau cokelat, bahkan ada juga dengan program "senyum" sesuai slogan yang tertera: "senyum pelanggan adalah senyumku juga". Ini semua adalah bagian dari tindakan konkrit dan kepedulian perusahaan untuk memberikan pelayanan khusus dalam rangka Hari Pelanggan Nasional (Harpelnas), yang jatuh setiap tanggal 4 September. Hanya saja perlu disadari, suka atau tidak suka, kepuasan pelanggan adalah proses panjang, bukannya kumpulan proyek yang diikat menjadi kegiatan mendadak. Dari yang kita cermati di atas, ternyata kegiatan kepuasan pelanggan masih sangat kental didominasi oleh produk-produk jasa. Padahal yang disebut customer bukanlah semata-mata konsumen akhir. Bagi bisnis distribusi, customer adalah perantara seperti para pengecer/retailer, pedagang besar/grosir, pasar moderen (modern market) serta institusi korporasi. Pertanyaan yang kini muncul: apa yang dilakukan oleh prinsipal ke distributornya, dan distributor ke pelanggannya, serta para pelanggan/toko ke konsumen akhimya? "Tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang tidak ingin dilayani dan dipuaskan, kecuali bila sudah tidak memiliki rasa dan membedakan mana yang indah dan mana yang buruk, mana yang baik dan mana yang tidak, serta mana yang nikmat dan mana yang laknat. " (Mindiarto Djugorahardjo)

Strategi mengembangkan pasar kertas rokok UD. Sahabat

Embed Size (px)

Citation preview

65

Lampiran 1: Perspektif Kepuasan Pelanggan dalam Jaringan Distribusi

Majalah MARKETING - Edisi UN

Perspektif Kepuasan Pelanggan dalam Jaringan Distribusi

Bulan September lalu banyak perusahaan mulai dari bank pemerintah maupun

swasta, perusahaan pelayanan publik telekomunikasi,dan transportasi-secara

serempak dan instan melaksanakan kegiatan yang di luar kebiasaan mereka. Saat

itu, setiap konsumen yang ditemui diberikan cenderamata tertentu berupa

bingkisan permen atau cokelat, bahkan ada juga dengan program "senyum" sesuai

slogan yang tertera: "senyum pelanggan adalah senyumku juga".

Ini semua adalah bagian dari tindakan konkrit dan kepedulian perusahaan untuk

memberikan pelayanan khusus dalam rangka Hari Pelanggan Nasional

(Harpelnas), yang jatuh setiap tanggal 4 September. Hanya saja perlu disadari,

suka atau tidak suka, kepuasan pelanggan adalah proses panjang, bukannya

kumpulan proyek yang diikat menjadi kegiatan mendadak.

Dari yang kita cermati di atas, ternyata kegiatan kepuasan pelanggan masih sangat

kental didominasi oleh produk-produk jasa. Padahal yang disebut customer

bukanlah semata-mata konsumen akhir. Bagi bisnis distribusi, customer adalah

perantara seperti para pengecer/retailer, pedagang besar/grosir, pasar moderen

(modern market) serta institusi korporasi. Pertanyaan yang kini muncul: apa yang

dilakukan oleh prinsipal ke distributornya, dan distributor ke pelanggannya, serta

para pelanggan/toko ke konsumen akhimya?

"Tidak ada satu pun manusia di bumi ini yang tidak ingin dilayani dan dipuaskan,

kecuali bila sudah tidak memiliki rasa dan membedakan mana yang indah dan

mana yang buruk, mana yang baik dan mana yang tidak, serta mana yang nikmat

dan mana yang laknat. "

(Mindiarto Djugorahardjo)

66

Lampiran 1 : Perspektif Kepuasan Pelanggan dalam Jaringan Distribusi

(sambungan)

Lima Pendekatan

Dalam perspektif kepuasan pelanggan, perusahaan distribusi tentunya masih perlu

ekstra kerja keras. Bukan saja soal sikap kepedulian dari setiap organisasi yang

terlibat di dalamnya, namun juga soal belum mendapatkan format dan harapan

customer. Atas dasar itulah, maka ada lima (5) pendekatan di dalam memuaskan

pelanggan bagi perusahaan distribusi. Pertama, keberadaan/ ketersediaan produk

atau product availibility. Di sinilah sumber keuntungan, bagaimana pelanggan

dipastikan mendapatkan produk-produk yang dipesannya, dikirim secepatnya,

dalam jumlah yang sesuai dan jenis/ukuran/item yang sesuai pula.

Kedua, kunjungan teratur dan rutin dari jajaran penjual, yaitu kepastian jadwal

kunjungan:apakah setiap hari tertentu,jam tertentu, atau frekuensi terstruktur

sesuai dengan potensi/daya belinyaseperti sebulan satu kali atau 2 kali, 3 kali dan

seterusnya. Ini akan menentukan kepastian jumlah produk yang akan dipesan agar

bisa melakukan prakiraan yang lebih akurat sehingga tidak berlebih maupun

kurang. Hal lainnya adalah durasi kunjungan, yaitu berapa banyak waktu yang

disediakan saat jajaran penjualan melakukan kunjungan presentasi penjualan.

Ketiga, kecepatan dalam memberikan tanggapan dan umpan balik (feedback).

Karena kecepatan dan kepastian keputusan bagi mereka adalah sesuatu yang

sangat berharga, pelanggan sangat tidak menyukai budaya "tar sok-tar sok" alias

sebentar besok, sebentar besok.

Keempat adalah hal klasik, yaitu keuntungan memadai. Keuntungan ini tentunya

dari perspektif harga, diskon, tenggat waktu pembayaran, kebijakan barang retur,

profit dan segmentasi produk, apakah produk yang dijual itu dapat dijadikan

sebagai mercusuar dan daya tarik atau malah jadi produk bermasalah.

Kelima, Trade Marketing yang berorientasi kepada sell-out. Dengan begitu, ada

keseimbangan antara kemampuan dan keyakinan dalam melakukan pemesanan

dengan kemampuan sell-out (mengeluarkan barang hingga dibeli oleh konsumen

67

akhir). Program Trade Marketing itu sendiri merupakan proyek yang bisa

dilakukan oleh jajaran penjualan,yang meliputi delapan aktivitas seperti:

dibentuknya team key account management, standarisasi visual merchandising

yang atraktif, pelaksanaan trade incentive/bonus, kepuasan pelaksana dalam

jajaran penjualan, penerapan manajemen inventory, pelaksanaan manajemen

logistik, serta sistem penjualan dan kontrol yang multi dimensi, manual

administrasi, inspeksi mendadak, dan electronic control. Selamat mencoba.

Mindiarto Djugoraharcfjo

Managing Partner

Forceone - Selling & Distribution Consultant

68

Lampiran 2: Perspektif Kepuasan Pelanggan dari Pedagang Eceran

69

Lampiran 3

HJE Rokok tak Pengaruhi Harga Tembakau di Petani BANDUNG, (PR).- Rencana kenaikan harga jual eceran (HJE) rokok sampai 20 persen, belum berdampak kepada petani tembakau di Jabar. Karena harga jual tembakau lebih banyak berdasarkan situasi pasar dan suplai produksi.

Demikian dikatakan Ketua Koperasi Petani Tembakau Sumedang, Jeni Wilanjana, di Bandung, Selasa (7/6). Disebutkan, sejauh ini yang terjadi di antara petani dan pedagang baru dapat berharap-harap situasi akan lebih baik. Bahkan, petani tampaknya lebih mengantisipasi dengan rasa pesimistis, karena biasanya petani tembakau menjadi korban tekanan pengusaha rokok.

"Harapan tampaknya tetap ada, itu pun jika para perokok di daerah tetap fanatik atau banyak beralih kembali ke rokok lintingan, karena kemahalan dengan harga rokok keretek. Pangsa pasar daerah sampai kini masih menjadi andalan," katanya.

Dicontohkan, harga tembakau lintingan rata-rata Rp 3.000,00/bungkus yang cukup untuk selama 3-4 hari. Berbeda dengan rokok kretek yang rata-rata Rp 4.500,00/bungkus namun kebanyakan hanya untuk sehari.

Tembakau produk Jabar yang dikenal dengan sebutan mole, mempunyai pangsa dan karakteristik yang khas, baik dari aroma maupun rasa. Di samping dijual dalam bentuk rajangan dan lintingan secara lokal, juga ada yang dijual ke sejumlah pabrik di Jateng dan Jatim melalui bandar di Garut.

Khusus tembakau mole rajangan, menurutnya, peluang usahanya bisa menjadi lebih baik. Namun itu pun tergantung sejauh mana dari perkembangan minat produk lintingan sendiri setelah ada kenaikan harga jual rokok keretek.

Harga tembakau mole sendiri, yang selama ini transaksinya terpusat di Pasar Tembakau Tanjungsari Sumedang, tengah naik harganya. Namun itu pun, karena kondisi suplai sedang kurang, karena musim tanam lalu kurang optimal akibat musim hujan.

Pada sisi lain, disebutkan, nasib harga tembakau mole pun sangat bergantung pula dari sejauh mana, sikap dan rasa kebersamaan sejumlah usaha rokok lokal. Kendati tembakau asal Jateng dan Jatim sudah jauh berkurang di Jabar, namun masih ada usaha pengemasan rokok berbahan

70

tembakau mole yang masih mengoplos.

"Ini sulit terdeteksi, karena tembakau asal Jateng dan Jatim ini dikirim langsung ke sebagian usaha pengemasan rokok berbahan tembakau mole. Mereka yang menggunakan, biasanya yang sudah mempunyai langganan tetap, baik penjual maupun pembeli," kata Jeni Wilanjana.

Objektif

Soal ditetapkannya kenaikan harga rokok oleh pemerintah pusat, ia lebih bersikap objektif. Apalagi, pada sisi lain, pemerintah tampaknya bermaksud untuk mengurangi jumlah perokok demi kesehatan, dengan cara menaikkan harga cukai rokok.

"Khusus untuk di Jabar, sejauh ini kami masih merasa ada sikap objektif dan berimbang pula dari pemprov, atas kelangsungan usaha tembakau rakyat daerahnya. Yang membesarkan hati atas harapan tetap eksisnya usaha tembakau rakyat di Jabar, adalah tembakau mole selama ini dirasakan jarang menimbulkan batuk-batuk, karena aromanya lebih lembut," katanya.

Mengenai sikap atas kebiasaan merokok dengan pemerhati kesehatan, menurut Jeni Wilanjana, sebaiknya para perokok pun dapat bersikap lebih bijaksana pula. Misalnya, jangan merokok di depan anak-anak atau istri, dengan tujuan bersikap edukatif.

Sementara itu, pengamat agrobisnis Jabar, Iyus Supriyatna, memperkirakan, rencana kenaikan harga eceran rokok ini, tampaknya masih tetap akan terjadi mekanisme seperti yang sudah-sudah. Faktor penyebab, biasanya dipicu oleh kenaikan harga cukai rokok.

"Jika hal ini kemudian memang terjadi, yang mengalami beban tetap adalah para konsumen. Ini banyak terjadi di Indonesia oleh perusahaan rokok serta makanan, hitung-hitungan usaha mereka tetap lancar, karena pajak membebankan pajak kepada pembeli," ujarnya. (A-81) ***

71

Sebagai Prosesi Ritual yang Sudah Jadi Tradisi ”Rokok Lintingan” Masih Bertahan

PETA persaingan bisnis rokok modern di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir ini terus menunjukkan peningkatan yang sangat ketat. Kondisi itu, dapat ditunjukan dengan bermunculannya jenis rokok baru dari berbagai merek yang menawarkan aroma baru.

Bagi sebagian orang mungkin adanya berbagai produk baru menjadi tawaran tersendiri atau alternatif yang mungkin dipilih, tetapi lain bagi sebagian masyarakat yang terbiasa merokok lintingan (bako-red). Hal itu bisa dilihat dari eksistensi industri rokok lintingan (bako-red) masih terpancang kuat.

Setidaknya di Tasikmalaya, Kota Banjar yang merupakan salah satu sentra industri itu. Di kota transit itu, setidaknya ada sekira 10 industri. Sementara perusahaan yang disebut-sebut memiliki omzet paling tinggi antara lain cap Padud Jaya, Keris, Elang, dan Bunga Tanjung. Mereka terbilang masih sangat kuat dalam memacu laju usahanya.

Buktinya, meski pesaing banyak bermunculan, keberadaan produk khas mereka masih ditunggu serta masih dinikmati oleh penggemar terutama di pelosok-pelosok desa. Orang yang gemar meracik rokok dengan tangan sendiri kini memang rada jarang ditemukan. Perilaku perokok kini sudah beralih dengan gaya yang simple dan mudah.

Tetapi sebagian warga di beberapa daerah Banjar seperti Langensari, Pataruman atau daerah pesisian lainnya, kebiasaan meracik rokok sendiri acapkali masih dilakoni. Mereka menilai, kebiasaan itu merupakan sesuatu yang turun temurun yang tak tergoyahkan di era globalisasi. Selain lebih murah, kebiasaan sebagian warga dikarenakan meracik rokok diyakini sebagai prosesi ritual klasik yang sudah menjadi tradisi.

Di Banjar sendiri, industri tersebut sudah mulai berkembang sekira tahun 60-an dan menyerap ratusan karyawan. Penggemar rokok lintingan hanya cukup mengeluarkan Rp 1000,00 - Rp 5.000,00 untuk satu bungkus bako dan itu cukup untuk beberapa hari. Bahkan jika dikombinasikan dengan segelas kopi atau teh tubruk, tentu rasanya lebih nikmat.

Selain itu, rasa bako produksi dari Banjar sangat khas dan cocok dengan lingkungan di pedesaan. Emod (48), warga Kp. Cikadongdong Desa Pataruman, Kec. Pataruman yang sehari-hari berprofesi sebagai petani singkong dan padi, mengaku menjadi penggemar bako sejak beberapa tahun lalu.

"Ngelinting dewe (melinting bako sendiri-red) mempunyai kekhasan tersendiri. Setelah selesai makan di lokasi kerja (sawah-red), menghisap

72

rokok lintingan sangat pedo (nikmat-red)," ungkapnya.

Dampak dari perilaku sebagian warga yang masih mempertahankan tradisi leluhur tersebut, otomatis para juragan bako yang ketiban rezeki. Para juragan tersebut menyambut sumringah dengan dipilihnya hasil produksi mereka sebagai teman mereka setelah bersantap.

Tingginya minat warga dalam mengonsumsi rokok lintingan itu dapat ditunjukan dengan masih banyaknya langganan dari berbagai daerah yang berdatangan ke setiap kios yang khusus menjajakan hasil gawe para saudagar bako tersebut.

Di pasar Banjar misalnya, tak kurang dari sepuluh kios berkompetisi meraih langganan dengan kondisi toko alakadarnya. Namun bagi saudagar yang tergolong kelas kakap seperti Padud Jaya atau Keris, menjajakan hasil produksinya di pasar hanya sebagai sampingan saja.

Dijual di pasar tradisional dilakukan oleh para pengusaha dimaksudkan hanya untuk menjangkau atau mengakomodasi permintaan dari konsumen kelas menengah sampai kelas eceran. Karena untuk melego hasil produksi dengan jumlah besar, beberapa sales khusus telah disiapkan dan mengunjungi gudang konsumen dengan rokok lintingan yang berkualitas.

"Karena konsumen yang bermain dalam jumlah besar mah sudah diatasi oleh para sales yang disiapkan perusahaan," ungkap Herni, karyawan perusahaan bako cap Padud Jaya yang ngepos di Pasar Banjar.

Sebenarnya pengembangan usaha perkebunan tembakau untuk mensuplai bahan baku industri rokok lintingan di kota transit ini jelas tidak bisa dijumpai. Para saudagar bako tersebut mendatangkan bahan baku dari daerah wetan seperti Probolinggo, Jawa Timur.

Melimpahnya lahan perkebunan tembakau di Probolinggo dibenarkan H. Junaedi, salah seorang Bandar tembakau asal Probolinggo yang kebetulan tengah mengirim sekira 7 ton bahan baku setengah jadi ke perusahaan bako cap Padud Jaya. Menurutnya bahan baku setengah jadi yang dijualnya ke saudagar Banjar itu dihargai Rp 1 juta per ton. "Saya mengirim sebanyak satu puso (sekira7 ton-red) per bulan," ujarnya. (Irman S/Priangan)***

73

Lampiran 5: Dibalik Nikmatnya Tembakau

Reporter : Ninok Hariyani - Sudaryono Cameraman : Heri Gemita

Tayang : Rabu, 23 Nopember 2005, Pukul 12 WIB

Merokok membawa kenikmatan tersendiri. Kalimat itu seringkali meluncur dari mulut mereka, para perokok.

Merokok bisa melepaskan kepenatan pikiran, membuat rileks, bahkan kadang menjadi sumber inspirasi bagi orang-

orang tertentu. Sebatang rokok pun bisa menjadi teman setia yang tiada duanya di saat-saat menunggu seperti ini.

Begitu pula di kala santai sore hari, kenikmatan mengepulkan asap rokok seolah tak tertandingi. Bahaya

mengancam dibalik campuran tembakau dan cengkih dalam gulungan kertas ini, tak lagi dihiraukan. Meski harga rokok

produksi pabrik dari tahun ke tahun harganya naik, penikmat rokok tak juga surut.

Bahkan, disaat harga kebutuhan pokok merangkak naik akibat kenaikan BBM, para perokok berat masih saja punya

cara lain menikmati tembakau. Tetap menghisap rokok kegemarannya hanya saja kuantitas dikurangi, sesuai isi

kantung. Ada juga yang terpaksa merubah kebiasaan merokok, beralih dengan cara lain, menghisap rokok lintingan, rokok buatan sendiri.

Sebut saja Mbah Sukiran, warga Dusun Gamplong Sumber Rahayu, Moyudan, Sleman Yogyakarta. Sejak awal merokok, ia memang lebih suka rokok lintingan. Sesekali saja ia

menghisap batangan rokok produksi pabrik yang kini harganya rata-rata perbungkus diatas 5000 rupiah. Selain hemat, kenikmatan saat menghisap rokok lintingan, tak bisa dibandingkan dengan

rokok kemasan. Tembakau, cengkih dan sausnya, bisa diracik sesuai seleranya sendiri.

Umumnya di daerah pedesaan, tak sulit mendapatkan tembakau, cengkih dan saus untuk membuat sendiri rokok lintingan. Di setiap pasar tradisional, mudah dijumpai pedagang tembakau rajangan. Misalnya di Pasar Bringharjo, Yogyakarta. Tembakau rajangan yang diperjual belikan

disini , berasal dari berbagai daerah, seperti Jawa Tengah yang dikenal sebagai salah satu daerah utama penghasil tembakau rajangan.

Tembakau-tembakau yang diiris lembut dalam kondisi basah dan dijemur di terik matahari ini, namanya dikenal sesuai daerah asalnya, seperti tembakau Jawa Timur, tembakau Semarang,

tembakau Pakem, atau tembakau Boyolali yang banyak dicari orang. Di pasar tradisional, harga eceran tembakau ini bervariasi, tergantung kelasnya.

Selama beberapa kurun waktu belakangan ini, pedagang-pedagang tembakau rajangan, menghadapi kendala sulitnya menjual tembakau. Salah satu penyebabnya, banyak pabrik rokok

yang menolak pasokan tembakau dari petani biasa. Pembeli tembakau eceran kini juga berkurang seiring dengan naiknya harga BBM belum lama ini.

Di kota besar, kondisinya jauh berbeda. Pedagang tembakau eceran, yang biasa mangkal di stasiun kereta api, justru mengalami nasib sebaliknya. Kenaikan harga BBM, membawa

keberuntungan

tersendiri. Pelanggan rokok lintingan bertambah, keuntungan pun berlipat. Asep Hendris Sopian, misalnya, yang baru satu tahun berdagang rokok lintingan di Stasiun Depok Kota. Dengan

Berita Hot Hari Ini • PROGRAM

Ghost Episode 6 • NEWS

Chicken Soup for the Writer's Soul

• NEWS Dunia Cutting Stiker

• PROGRAM The Biggest Loser

74

bermodalkan satu unit alat giling sigaret kretek tangan, dalam sehari Asep bisa menjual sedikitnya 4 bungkus ramuan tembakau siap saji atau sekitar 300 batang rokok lintingan.

Biasanya Asep menjual dalam bentuk pak kecil berisi 5 batang rokok. Satu pak ia jual 1000 rupiah, jika 12 pak terjual semuanya, ia memperoleh 12.000 rupiah. Setelah dikurangi 3500 rupiah untuk

harga tembakau dari distributor, maka ia mengantungi 8500 keuntungan bersih perbungkus tembakau racikan yang terjual. Sebelum kenaikan harga BBM, sehari 2 bungkus habis terjual.

Konsumennya pun beragam, mulai dari anak muda hingga orang tua, bahkan kini ia punya pelanggan tetap. Soal rasa, Asep menjual 5 macam rasa tembakau. Seperti halnya rokok kemasan pabrik, rokok linting buatan Asep ada yang rasa coklat, kretek, super, filter dan mild. Bungkusnya

pun menyerupai rokok kemasan pabrik.

Soal aroma tembakau, tentu tak bisa dibandingkan dengan rokok pabrik. Asep bahkan meracik sendiri rasa tembakaunya. Kadang ia mencampur 2 rasa berbeda, kadang 4 rasa tembakau.

Pasokan tembakau ini diperolehnya dari penjual tembakau asal Cilacap, Jawa Tengah. Selain menjual rokok lintingan, ia juga menjual alat giling rokok yang terbuat dari kayu. Harganya 10 ribu

rupiah berbuah. Begitu juga dengan perlengkapan yang lain seperti kertas, busa filter dan lem kertas.

Bagi perokok berat yang sulit menghentikan kebiasaannya, rokok lintingan tanpa merek buatan Asep ini, bisa jadi rokok alternatif. Namun bagaimana pun, hidup sehat dengan menjauhkan diri

dari rokok, adalah pilihan hidup yang bijak.(Idh)

75

Lampiran 6

76

HORISON

Rokok Tingwe, Riwayatnya Kini

Reporter : Asep Syaifullah Juru Kamera : Ahmad Susanto

Lokasi : Wonosobo, Jawa Tengah Tayang : 27 September 2006, Pukul

12:00 Wib

Inilah rokok tingwe, rokok kegemaran masyarakat di pedesaan. Rokok tingwe, yang merupakan singkatan dari rokok

melinting dewe, atau melinting sendiri, bagi masyarakat di pedesaan di Jawa,

merupakan santapan setiap pagi, bersama secangkir kopi pahit.

Kebiasaan merokok tingwe ini masih dapat ditemui di daerah Wonosobo, Jawa Tengah.

Wonosobo, terletak diantara lereng Gunung Sindoro dan Gunung Sumbing. Kondisi alamnya berbukit–bukit, dan terdapat banyak sumber

mata air, sehingga tanahnya sangat subur dan udaranya sejuk.

Sebagian besar penduduk di Wonosobo bermata pencarian sebagai petani. Para orang tua di daerah ini mempunyai kebiasaan merokok

tingwe.

Sekitar lima kilometer dari kota Wonosobo atau tepatnya di daerah Selomerto, dengan mudah ditemui para orang tua, sedang menikmati

kepulan asap rokok tingwe.

Rokok tingwe merupakan campuran tembakau, dengan cengkeh dan kemenyan. Seni merokok tingwe, selain aromanya khas berbau kemenyan, juga dilinting sendiri.

Rasa dan aroma tingwe, tergantung dari campuran yang diracik sang perokok. Bagi para perokok tingwe, yang membedakan rasa rokok ini adalah campuran tembakau dan kemenyan. Bagi mereka, tanpa aroma kemenyan,

merokok tidak nikmat rasanya.

Menurut Trisno, warga Wonosobo, alasan utama dirinya setia merokok tingwe adalah harganya yang lebih murah dibandingkan rokok batangan biasa.

Kebiasaan merokok tingwe, sudah dilakukan Trisno sejak usia 8 tahun. Hingga usianya saat ini mencapai 80 tahun, dia masih tetap setia merokok tingwe.

Merokok tingwe bagi Trisno adaah penambah gairah untuk bekerja. Untuk mendapatkan bahan rokok tingwe tidak sulit. Tembakau mudah di dapat. Di pasar Wonosobo, banyak kios yang menjual

tembakau.

Selain menyediakan tembakau, kios ini juga menyediakan bahan campurannya, cengkeh dan kemenyan. Kertas kelobot untuk melinting juga dijual di tempat ini.

Untuk menjaga agar aromanya tetap terjaga, tembakau disimpan dalam besek dan dibungkus dengan daun. Tembakau dijual sesuai kebutuhan pembeli, dari

harga dua ribu lima ratus rupiah sampai enam puluh ribu rupiah.

Entah sampai kapan rokok tingwe akan tetap bertahan. Namun rokok ini akan tetap digemari karena harganya yang murah, dan aromanya ya http://news.indosiar.com/news_read.htm?id=55251

ng khas, yang tidak ditemui saat menghisap rokok biasa.(Indsib)

Berita Terkait:

• Pabrik Rokok Ilegal Digerebek • Peringatan Hari Rokok Sedunia • Mengapa Rokok Membuat

Wanita Tidak Cantik ?

Berita Hot Hari Ini

• PROGRAM Cinta Gadis Buta

• PROGRAM Ghost Episode 10 (Terakhir)

• PROGRAM Snakehead

• NEWS Novita Dewi : Kompetitor Adalah

Pemberi Semangat

77

Lampiran 7

Analisis Pola Konsumsi Rokok Sigaret Kretek Mesin, Sigaret Kretek Tangan, dan

Sigaret Putih Mesin (Cornelius Tjahjaprijadi dan Walujo Djoko Indarto)

ANALISIS POLA KONSUMSI

ROKOK SIGARET KRETEK MESIN, SIGARET KRETEK TANGAN,

DAN SIGARET PUTIH MESIN

Oleh :

Cornelius Tjahjaprijadi1

Walujo Djoko Indarto

Abstraksi

Penetapan tarif cukai dan harga jual eceran berdampak kepada harga rokok yang

diterima oleh konsumen. Konsumsi rokok sigaret kretek mesin (SKM)

dipengaruhi oleh harga rokok SKM, namun tidak terpengaruh oleh harga rokok

sigaret kretek tangan (SKT) dan sigaret putih mesin (SPM). Konsumsi rokok

SKM juga tidak dipengaruhi oleh pendapatan. Harga rokok SKT dan SPM

mempengaruhi konsumsi rokok SKT. Namun harga rokok SKM tidak

mempengaruhi konsumsi rokok SKT. Pendapatan juga tidak berpengaruh terhadap

konsumsi rokok SKT. Konsumsi rokok SPM dipengaruhi oleh harga rokok SPM,

SKM, SKT, dan juga pendapatan. Perkiraan konsumsi rokok SKM, SKT, dan

SPM untuk tahun 2003 menunjukkan perubahan yang sangat kecil.

I. Pendahuluan

Penerimaan dari cukai rokok merupakan bagian dari penerimaan pajak dalam

negeri yang termuat dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Sebagai salah satu andalan penerimaan negara, cukai rokok menunjukkan kinerja

yang baik, seperti terlihat pada Tabel-1.

78

Tabel 1

Perkembangan Target dan Realisasi Penerimaan Cukai Rokok

Tahun Anggaran 1995/1996- 2003

(miliar rupiah)

Tahun Anggaran Target Realisasi Pencapaian

1995/1996 3.667,60 3.592,70 97,96%

1996/1997 4.216,70 4.565,80 108,28%

1997/1998 4.436,30 5.101,20 114,99

1998/1999 7.775,90 7.973,90 102,81%

1999/2000 10.160,00 10.398,50 102,35%

2000 10.271,80 11.380,00 110,79%

2001 17.600,60 17.491,00 99,38%

2002 22.469,00 23.327,00 103,82%

2003 27,945,60 11.098,00*) 39,71%

Sumber: Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Juni 2003

Keterangan: *)realisasi penerimaan semester I tahun 2003

Selama rentang waktu dari Tahun Anggaran 1995/1996 hingga semester I Tahun

Anggaran 2003, penerimaan cukai rokok telah meningkat sekitar 7,6 kali, yaitu

dari Rp. 3.667,60 miliar menjadi Rp. 27,945,60 miliar. Hasil tersebut

menunjukkan bahwa penerimaan dari cukai rokok masih memiliki potensi yang

cukup besar untuk terus ditingkatkan sebagai salah satu sumber penerimaan

negara. Peningkatan pendapatan dari cukai rokok tersebut dapat dilakukan

melalui:

1. Kenaikan Harga Jual Eceran (HJE), yaitu kenaikan harga jenis hasil tembakau

yang ditetapkan pemerintah sebagai harga jual minimum dari produk rokok.

Penetapan HJE dikaitkan dengan tarif cukai rokok yang dikenakan terhadap

produk rokok tersebut.

79

2. Peningkatan tarif cukai rokok, yaitu peningkatan pajak yang dikenakan kepada

jenis hasil tembakau sebesar persentase tertentu terhadap harga jual ecerannya.

Penetapan tarif cukai ditentukan dengan memperhatikan jenis hasil tembakau

(Sigaret Kretek Tangan atau SKT, Sigaret Kretek Mesin atau SKM, dan

Sigaret Putih Mesin atau SPM) serta skala produksi industri rokok (besar,

menengah, dan kecil).

Tarif cukai yang ditetapkan oleh pemerintah bersifat majemuk dengan

memperhatikan dua hal, yaitu:

1. Jenis produksi rokok atau jenis hasil tembakau, yaitu : SKT, SKM, dan

SPM

2. Besarnya skala produksi atau skala usaha, yaitu : besar, menengah, dan

kecil

Berkaitan dengan permintaan rokok, maka pengenaan tarif cukai dan penetapan

harga eceran minimum akan dapat berakibat kepada:

� Kemampuan atau daya beli konsumen dalam mengkonsumsi rokok, yang pada

akhirnya akan dapat mempengaruhi besarnya permintaan terhadap rokok.

� Perubahan harga rokok sehingga dapat menggeser permintaan rokok.

1.1 Permasalahan

Tarif cukai dan harga jual minimum yang dikenakan berdasarkan jenis produksi

rokok dan besarnya skala produksi dapat mempengaruhi harga rokok yang

diterima oleh konsumen. Harga rokok tersebut selanjutnya akan mempengaruhi

pola konsumsi rokok, sehingga dapat disusun beberapa permasalahan sebagai

berikut :

1. Bagaimana perubahan pola konsumsi rokok (sigaret kretek mesin, sigaret

kretek tangan, dan sigaret putih mesin) yang disebabkan oleh harga rokok

karena adanya pengenaan tarif cukai dan harga jual minimum?

2. Bagaimana perubahan pola konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM yang

disebabkan oleh faktor pendapatan masyarakat?

1.2 Tujuan Penelitian

80

Penulisan artikel ini bertujuan untuk menjawab permasalahan yang muncul akibat

penetapan tarif cukai dan harga eceran minimum berdasarkan jenis hasil tembakau

dan skala produksi industri rokok. Secara spesifik tujuannya adalah:

1. Untuk mengetahui pengaruh harga rokok dan harga rokok substitusi terhadap

konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM.

2. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan konsumen rokok terhadap konsumsi

rokok SKM, SKT, dan SPM.

1.3 Metodologi Penelitian

Artikel ini mengacu kepada teori permintaan yang mendasarkan bahwa perubahan

jumlah barang yang diminta (dikonsumsi) dipengaruhi oleh beberapa hal. Karena

keterbatasan data yang dapat diperoleh dalam penulisan artikel ini, maka faktor-

faktor yang mempengaruhi permintaan rokok ditentukan oleh harga rokok itu

sendiri, harga rokok substitusi, dan pendapatan konsumen rokok. Data sekunder

yang digunakan diperoleh dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Tahun 2002

(SUSENAS 2002), yang meliputi: (i) nilai-nilai konsumsi rokok kretek filter,

rokok kretek tanpa filter, dan rokok putih; (ii) harga rokok kretek filter, rokok

kretek tanpa filter, dan rokok putih yang merupakan hasil pembagian antara nilai

konsumsi dibagi dengan banyaknya konsumsi; serta (iii) total pendapatan dan

penerimaan rumah tangga.

Dalam menganalisis fungsi konsumsi rokok berdasarkan jenis hasil tembakau,

yaitu sigaret kretek mesin (SKM), sigaret kretek tangan (SKT), dan sigaret putih

mesin (SPM) digunakan 7 variabel. Variabel-variabel tersebut terdiri dari 3

dependent variable, yaitu konsumsi rokok SKM, konsumsi rokok SKT, dan

konsumsi rokok SPM, serta 4 independent variable, yaitu harga SKM, harga SKT,

harga SPM, dan pendapatan. Karena seluruh variabel-variabel yang digunakan

tersebut berdasarkan pada data Susenas tahun 2002, maka fungsi konsumsi rokok

yang akan diperoleh merupakan pola perilaku konsumsi rokok rumah tangga pada

tahun 2002.

Model regresi dari fungsi konsumsi rokok yang digunakan adalah double log

(karena dependent variable dan independent variable yang digunakan berada

dalam format natural logarithm) atau log-linear (karena hubungan linier pada

81

logaritma dari semua variabel yang digunakan). Dengan menggunakan model

regresi tersebut, maka koefisien regresi dari setiap independent variable dapat

digunakan sebagai elastisitas konsumsi rokok terhadap harga rokok, harga rokok

substitusi, dan pendapatan.

Model regresi untuk fungsi konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM adalah sebagai

berikut :

ln Y1 = α + β1 ln X1 +β2 ln X2 + β3 ln X3 + β4 ln X4 + µ

ln Y2 = α + β1 ln X1 +β2 ln X2 + β3 ln X3 + β4 ln X4 + µ

ln Y3 = α + β1 ln X1 +β2 ln X2 + β3 ln X3 + β4 ln X4 + µ, dimana

Y1 : konsumsi rokok SKM

Y2 : konsumsi rokok SKT

Y3 : konsumsi rokok SPM

X1 : harga SKM

X2 : harga SKT

X3 : harga SPM

X4 : pendapatan

µ : error term

α : konstanta

Untuk melakukan proyeksi atau perkiraan konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM

pada tahun 2003, yang dilakukan adalah mencari perubahan konsumsi rokok

SKM, SKT, dan SPM dari tahun 2002 ke tahun 2003. Perubahan konsumsi rokok

tersebut diperoleh dengan menggunakan elastisitas harga SKM, harga SKT, harga

SPM, dan pendapatan dari fungsi-fungsi konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM.

Penjumlahan dari perubahan-perubahan tersebut merupakan besarnya persentase

perubahan konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM dari tahun 2002 ke tahun 2003.

Besarnya konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM pada tahun 2003 merupakan

penjumlahan dari besarnya konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM tahun 2002

ditambah dengan perkalian antara persentase perubahan konsumsi rokok SKM,

SKT, dan SPM dari tahun 2002 ke tahun 2003 dengan besarnya konsumsi rokok

SKM, SKT, dan SPM tahun 2002.

82

II. Teori Permintaan

Jumlah barang atau produk yang diminta oleh konsumen merupakan suatu jumlah

barang yang ingin dibeli oleh konsumen ketika menghadapi beberapa hal, yaitu:

harga barang yang diinginkan, harga barang lain yang terkait, pendapatan, selera,

dan segala sesuatu yang terkait dengan keinginan konsumen. Keinginan

konsumen dapat berbeda dengan kondisi aktual dari jumlah barang yang

sesungguhnya dibeli oleh konsumen. Keinginan konsumen tidak bermakna pada

keinginan belaka (idle dreams), namun bermakna pada jumlah yang

sesungguhnya ingin dibeli oleh konsumen dengan berdasarkan pada harga barang

yang harus dibayar.

Jumlah barang yang ingin dibeli oleh konsumen dipengaruhi oleh beberapa hal:

a. Harga dari barang atau jasa itu sendiri

b. Rata-rata pendapatan rumah tangga

c. Harga dari barang atau jasa lain yang terkait

d. Selera (cita rasa)

e. Distribusi pendapatan

f. Jumlah penduduk

g. Ekspektasi di masa yang akan datang

Untuk mengkaitkan antara jumlah yang diminta dengan tingkat harga, digunakan

hipotesa bahwa harga dari suatu barang dan jumlah yang diminta memiliki

hubungan yang negatif, dengan faktor yang lain adalah konstan. Hubungan yang

negatif merupakan kondisi dimana hubungan antara jumlah barang yang diminta

dengan harganya berada dalam kondisi bahwa semakin rendah tingkat harga,

maka semakin tinggi jumlah barang yang diminta; dan semakin tinggi tingkat

harga, maka semakin rendah jumlah barang yang diminta.

2.1 Hubungan Antara Harga Dengan Permintaan.

Hukum permintaan menjelaskan kaitan antara permintaan suatu barang dengan

harganya. Hukum ini merupakan suatu hipotesa yang menyatakan bahwa semakin

rendah harga suatu barang, maka semakin banyak permintaan terhadap barang

83

tersebut; dan sebaliknya semakin tinggi harga suatu barang, maka semakin sedikit

permintaan terhadap barang tersebut.

Didalam menganalisis permintaan suatu barang, perlu dibedakan antara

permintaan dan jumlah barang yang diminta. Permintaan menggambarkan

keseluruhan hubungan antara harga dengan jumlah permintaan, sedangkan jumlah

barang yang diminta adalah banyaknya permintaan pada suatu tingkat harga

tertentu.

2.2 Pengaruh Faktor Bukan Harga Terhadap Permintaan

Hukum permintaan hanya menekankan perhatiannya kepada pengaruh harga suatu

barang kepada jumlah barang yang diminta. Dalam kenyataan sebenarnya, banyak

permintaan terhadap suatu barang juga ditentukan oleh faktor-faktor lain. Oleh

sebab itu perlu juga dijelaskan bagaimana faktor-faktor yang lain akan

mempengaruhi permintaan.

a. Harga Barang Lainnya

Hubungan antara suatu barang dengan berbagai jenis barang lainnya dapat

dibedakan dalam tiga golongan:

1. Barang pengganti. Suatu barang disebut barang pengganti kepada suatu

barang lainnya apabila ia dapat menggantikan fungsi dari barang lain

tersebut. Bila terjadi penurunan harga terhadap barang tersebut, maka

permintaan terhadap barang pengganti akan menurun juga.

2. Barang penggenap. Apabila suatu barang selalu digunakan bersama-sama

dengan barang lainnya, maka barang tersebut dinamakan barang

penggenap. Kenaikan atau penurunan permintaan terhadap barang

penggenap selalu sejalan dengan permintaan atas barang yang digenapkan.

3. Barang netral. Apabila dua macam barang tidak mempunyai kaitan yang

rapat, maka perubahan atas permintaan suatu barang tidak akan

mempengaruhi barang lainnya.

b. Pendapatan Konsumen

Pendapatan konsumen merupakan faktor yang sangat penting dalam menentukan

bentuk permintaan terhadap berbagai jenis barang.

84

Perubahan dalam pendapatan selalu menimbulkan perubahan terhadap permintaan

berbagai jenis barang. Berdasarkan sifat perubahan permintaan yang akan berlaku

apabila pendapatan berubah, maka berbagai jenis barang dapat dibedakan :

1. Barang inferior, merupakan barang yang banyak diminta oleh konsumen

berpendapatan rendah. Jika pendapatan bertambah, maka permintaan

terhadap barang inferior juga berkurang, dan sebaliknya.

2. Barang esensial, merupakan barang yang sangat penting artinya dalam

kehidupan masyarakat sehari-hari, sehingga barang tersebut akan tetap

dikonsumsi pada berbagai tingkat pendapatan.

3. Barang normal, merupakan barang yang akan mengalami kenaikan

permintaan jika pendapatan meningkat.

4. Barang mewah, merupakan jenis barang yang akan dibeli apabila

pendapatan konsumen sudah relatif tinggi.

c. Distribusi Pendapatan Masyarakat

Distribusi pendapatan masyarakat dapat mempengaruhi corak permintaan

masyarakat terhadap suatu barang. Sejumlah pendapatan masyarakat yang tertentu

besarnya akan menimbulkan corak permintaan masyarakat yang berbeda apabila

pendapat tersebut diubah corak distribusinya. Seandainya pemerintah

memberlakukan pajak yang tinggi terhadap barang mewah, yang kemudian hasil

pajak tersebut digunakan untuk menaikan pendapatan masyarakat golongan

pekerja rendah, maka akan terjadi penurunan permintaan terhadap barang mewah

dan meningkatkan permintaan atas barang yang diperlukan oleh golongan

masyarakat yang pendapatannya bertambah.

d. Selera Masyarakat.

Selera masyarakat mempunyai pengaruh yang besar terhadap keinginan

masyarakat untuk membeli suatu barang. Contoh : sekitar tahun 1960an sangat

sedikit masyarakat menggunakan mobil buatan Jepang. Akan tetapi mulai tahun

1970an selera masyarakat berubah mengenai mobil Jepang, dan hingga saat ini

dapat dikatakan mobil Jepang dapat memenuhi selera masyarakat.

85

e. Jumlah Penduduk

Pertambahan penduduk tidak dengan sendirinya menyebabkan pertambahan

jumlah permintaan suatu barang. Akan tetapi biasanya pertambahan penduduk

diikuti oleh perkembangan kesempatan kerja.

Dengan demikian akan lebih banyak orang yang menerima pendapatan dan hal ini

juga akan menambah daya beli masyarakat. Pertambahan daya beli masyarakat

akan menambah permintaan.

f. Ekspektasi Di Masa Yang Akan Datang

Perubahan-perubahan yang diperkirakan akan terjadi di masa yang akan datang

dapat mempengaruhi permintaan. Perkiraan bahwa harga-harga akan bertambah

tinggi di masa yang akan datang, dapat mendorong jumlah pembelian yang lebih

banyak pada saat ini, demikian juga sebaliknya bila perkiraan harga-harga akan

turun, maka hal tersebut akan mendorong penundaan pembelian sehingga

mengurangi jumlah pembelian saat ini.

III. Elastisitas Permintaan

Suatu pengukuran kuantitatif yang menunjukkan besarnya pengaruh perubahan

harga terhadap perubahan permintaan disebut elastisitas permintaan. Elastisitas

permintaan dibedakan tiga jenis, yaitu: (i) elastisitas permintaan terhadap harga,

(ii) elastisitas permintaan terhadap pendapatan, dan (iii) elastisitas permintaan

silang.

3.1 Elastisitas Permintaan Terhadap Harga

Elastisitas ini digunakan untuk mengetahui tingkat kepekaan perubahan

permintaan suatu barang sebagai akibat dari perubahan harga. Elastisitas

permintaan dipresentasikan dalam bentuk koefisien elastisitas yang didefinisikan

sebagai suatu angka penunjuk yang menggambarkan sampai seberapa besar

perubahan jumlah barang yang diminta dibandingkan dengan perubahan harga.

Prosentase perubahan jumlah barang yang diminta E

d = Prosentase perubahan harga

86

Nilai koefisien elastisitas berkisar antara nol dan tak terhingga. Elastisitas nol

apabila perubahan harga tidak akan mengubah jumlah yang diminta. Elastisitas

nol disebut juga tidak elastis sempurna. Koefisien elastisitas permintaan bernilai

tak terhingga apabila pada suatu harga tertentu pasar sanggup membeli semua

barang yang ada. Koefisien elastisitas yang tak terhingga ini disebut elastis

sempurna. Elastisitas lainnya yang dianggap sempurna adalah elastisitas

dengannilai sama dengan satu, yang disebut elastisitas uniter, dimana perubahan

harga akan selalu sama dengan perubahan permintaan.

Suatu permintaan bersifat tidak elastis apabila koefisien elastisitas permintaannya

berada diantara nol dan satu. Hal ini berarti prosentase perubahan harga lebih

besar daripada prosentase perubahan jumlah barang yang diminta. Sedangkan

permintaan yang bersifat elastis terjadi apabila permintaan mengalami perubahan

dengan prosentase yang melebihi prosentase perubahan harga. Nilai koefisien

elastisitas permintaan yang bersifat elastis adalah lebih besar dari satu.

3.2 Elastisitas Permintaan Pendapatan

Elastisitas permintaan dari pendapatan merupakan koefisien yang menunjukkan

besarnya perubahan pemintaan atas suatu barang sebagai akibat dari perubahan

pendapatan konsumen. Elastisitas ini dinyatakan dengan persamaan sebagai

berikut:

Prosentase perubahan jumlah barang yang diminta E

i = Prosentase perubahan pendapatan

Pada barang-barang normal, kenaikan pendapatan konsumen dapat menyebabkan

kenaikan permintaan. Terdapat hubungan yang searah antara perubahan

pendapatan dengan perubahan jumlah barang yang diminta, sehingga nilai

koefisien elastisitas pendapatan untuk barang-barang normal adalah positif. Pada

barang-barang inferior, terjadi pengurangan permintaan apabila pendapatan

meningkat, sehingga nilai koefisiennya adalah negatif.

3.3 Elastisitas Permintaan Silang

87

Elastisitas permintaan silang merupakan suatu koefisien yang menunjukkan

besarnya perubahan permintaan suatu barang jika terjadi perubahan terhadap

harga barang lain. Persamaannya dinyatakan sebagai berikut:

Prosentase perubahan jumlah barang X yang diminta E

c = Prosentase perubahan harga barang Y

Nilai elastisitas silang berkisar antara tak terhingga yang negatif hingga tak

terhingga yang positif. Barang-barang komplementer elastisitas silangnya bernilai

negatif, sedangkan nilai elastisitas silang untuk barang-barang substitusi adalah

positif.

3.4 Permintaan Rokok

Permintaan rokok dari tahun ke tahun terus menunjukkan kecenderungan yang

meningkat. Jika diperhatikan berdasarkan lokasi, yaitu desa dan kota,

kecenderungan tersebut tidak memperlihatkan adanya perbedaan. Tabel 3 berikut

menampilkan rata-rata pengeluaran per kapita untuk konsumsi kelompok

tembakau dan sirih, dimana rokok adalah yang paling dominan.

Tabel-3

Pengeluaran Rata-rata Per Kapita Sebulan

Kelompok Tembakau dan Sirih

rupiah

Lokasi 1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002

Kota 427 611 744 1174 1449 1710 2611 3450 8015 15408

Desa 241 436 513 715 970 1295 1930 2919 6873 12947

Kota &

Desa

276 476 566 823 1097 1420 2156 3110 7322 14041

Rata-rata pengeluaran sebulan untuk konsumsi rokok yang cenderung meningkat

lebih besar terjadi di daerah perkotaan. Hal ini tentunya tidak lepas dari lebih

besarnya tingkat pendapatan yang dapat mendorong kenaikan konsumsi rokok di

daerah perkotaan. Meskipun rata-rata pengeluaran untuk konsumsi rokok di

daerah pedesaan lebih kecil dibanding daerah perkotaan, namun hal tersebut tetap

menunjukkan bahwa desa memiliki rata-rata pengeluaran terhadap konsumsi

88

rokok yang terus meningkat setiap tahunnya. Bila dilihat dari prosentase

pengeluaran rata-rata per kapita per bulan, baik di daerah perkotaan maupun

pedesaan, besarnya prosentase tersebut kurang lebih menunjukkan hasil yang

sama, seperti terlihat pada Table-4.

Tabel-4

Prosentase Pengeluaran Rata-rata Per Kapita Sebulan

Kelompok Tembakau dan Sirih

persen

Loka

si

1978 1980 1981 1984 1987 1990 1993 1996 1999 2002

Kota 4,63 5 4,42 4,66 5,37 5,33 5,78 4,08 3,43 4,44

Desa 5,09 6,05 5,46 5,36 4,34 3,88 4,08 5,78 5,54 6,28

Kota

&

Desa

4,96 5,71 5,10 5,10 4,96 4,96 4,95 4,95 4,44 5,33

IV. Kebijakan Harga Jual Eceran dan Tarif Cukai Kebijakan Harga Jual

Eceran (HJE) ditentukan berdasarkan fungsi pemungutan cukai yang antara lain

mempertimbangkan :

1. Pendapatan bagi negara, dimana cukai merupakan salah satu sumber

penerimaan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)

2. Pembatasan pola konsumsi rokok, dimana dasar pengenaan cukai terhadap

barang-barang tertentu dikarenakan sifatnya yang dapat “merugikan”

konsumen.

Besarnya tarif cukai yang ditentukan oleh pemerintah ditetapkan dengan

dua cara, yaitu:

1. Advarolem (tarif prosentase), dimana cukai dikenakan dengan cara menetapkan

besaran prosentase tarif terhadap harga jual barang kena cukai.

89

2. Spesifik (tarif nominal), dimana cukai dikenakan dengan menetapkan besaran

rupiah terhadap satuan volume barang kena cukai, seperti Rp/batang dan

Rp/liter.

Besarnya tarif cukai yang telah ditetapkan berdasarkan tarif prosentase atau

tarif nominal akan menentukan besarnya penerimaan cukai bagi pemerintah

sebagai berikut :

1. Pada sistem advarolem, proyeksi pendapatan pemerintah dari cukai sangat

tergantung pada ketepatan dalam memproyeksikan harga jual eceran (HJE)

dan besarnya volume penjualan. Dari dua variabel yang diproyeksikan

tersebut, maka dapat diperkirakan besarnya penerimaan negara dari cukai

adalah perkalian antara prosentase tarif cukai dengan HJE dan besarnya

volume penjualan.

2. Pada sistem tarif nominal atau spesifik, proyeksi pendapatan pemerintah dari

cukai hanya ditentukan dari ketepatan dalam memperkirakan besarnya volume

penjualan. Dengan variabel volume penjualan tersebut, maka penerimaan

cukai dapat diperhitungkan besarnya dengan cara mengalikan tarif cukai untuk

setiap batang rokok dengan besarnya volume penjualan rokok.

Pemerintah menerapkan tarif cukai secara majemuk, artinya besarnya tarif cukai

dibedakan berdasarkan 3 hal, yaitu:

1. Proses produksi. Dalam proses produksi, besarnya tarif cukai ditentukan

berdasarkan jenis hasil tembakau dan karakteristik produksinya, yaitu: sigaret

kretek tangan (SKT) yang merupakan produksi rokok padat karya, serta

sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) yang keduanya

merupakan produksi rokok padat modal.

2. Besar kecilnya volume penjualan (strata volume). Kemampuan produksi

maupun strategi usaha pada tiap industri rokok akan

menentukan banyaknya jumlah rokok yang akan diproduksi. Besar kecilnya

industri rokok ditentukan dari jumlah rokok yang diproduksi oleh masing-

masing industri rokok.

3. Harga jual eceran (strata harga). Penetapan harga jual eceran ditentukan

berdasarkan jenis hasil tembakau dan pengelompokan besar kecilnya industri

rokok. Harga jual eceran merupakan angka yang menunjukkan batas maksimal

90

dan minimal dari suatu jenis rokok yang dihasilkan oleh suatu industri rokok

dapat dijual ke masyarakat.

V. Pola Konsumsi Rokok SKM, SKT, dan SPM Tahun 2002

Dengan melakukan plotting terhadap data yang akan digunakan dalam

mengestimasi fungsi konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM, ditemukan adanya

penyimpangan berupa outlier, sehingga data tidak menunjukkan pola tertentu.

Penyimpangan tersebut sangat mempengaruhi hubungan antar variabel yang

digunakan dalam estimasi, sehingga data yang menyimpang tersebut perlu

dikeluarkan dari data sample yang akan digunakan untuk mencari hubungan antar

dependent variable dan independent variable dalam estimasi fungsi konsumsi

rokok SKM, SKT, dan SPM. Hasil estimasi dari setiap fungsi konsumsi rokok dan

interpretasi hasilnya disampaikan dalam hasil analisa fungsi konsumsi rokok

SKM, SKT, dan SPM berikut.

5.1 Hasil Analisa Fungsi Konsumsi Rokok SKM

Perhitungan fungsi konsumsi rokok SKM dengan konsumsi rokok SKM sebagai

dependent variable diperoleh hasil sebagai berikut:

Table 5.1

Hasil Regresi Fungsi Konsumsi Rokok SKM

Independent

Variable

Koefisien

Regresi

Nilai Uji t Nilai

Probabilitas

Harga SKM -0,475 -8,764 0,000

Harga SKT -0,026 -0,571 0,568

Harga SPM 0,010 0,222 0,825

Pendapatan 0,027 1,438 0,151

Dengan nilai probabiltas t lebih kecil dari tingkat signifikansi (α) = 10%, maka

harga SKM memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi rokok SKM.

Dari koefisien regresi diketahui bahwa hubungan tersebut adalah negatif yang

91

berarti bahwa kenaikan harga SKM akan direspon dengan penurunan konsumsi

rokok SKM. Koefisien regresi tersebut juga menunjukkan bahwa elastisitas

konsumsi rokok SKM terhadap harga SKM adalah inelastis. Hal ini berarti bahwa

kenaikan harga SKM sebesar 1% akan menyebabkan penurunan konsumsi rokok

SKM sebesar 0,475%.

Dari pengujian secara individu (t test) diketahui bahwa harga SKT memiliki nilai

probabilitas t yang lebih besar dari tingkat signifikansi (α) = 10%. Ini berarti

bahwa harga SKT tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi

rokok SKM. Hal ini disebabkan oleh faktor selera yang sangat dominan dalam

menentukan alasan bagi perokok untuk mengkonsumsi rokok maupun berganti

jenis rokok.

Harga SPM memiliki nilai probabilitas t lebih besar dari tingkat signifikansi (α) =

10%, sehingga harga SPM tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok SKM.

Sama halnya dengan hubungan antara harga SKT dengan konsumsi rokok SKM,

maka tidak adanya hubungan antara harga SPM dengan konsumsi SKM lebih

disebabkan oleh faktor selera. Karena faktor selera sangat dominan dalam

menentukan suatu jenis rokok yang akan dikonsumsi, maka tidak mudah bagi

perokok SKM untuk melakukan substitusi kepada jenis rokok yang lain (SKT dan

SPM).

Variabel pendapatan memiliki nilai probabilitas t yang lebih besar dari tingkat

signifikansi (α) = 10%. Dari hasil ini dapat dinyatakan bahwa pendapatan tidak

berpengaruh terhadap konsumsi rokok SKM. Masalah selera terhadap satu jenis

rokok serta faktor addiction terhadap rokok dapat menyebabkan konsumsi rokok

SKM tidak dipengaruhi oleh pendapatan dari yang merokoknya.

5.2 Hasil Analisa Fungsi Konsumsi Rokok SKT

Perhitungan fungsi konsumsi rokok SKT dengan konsumsi rokok SKT sebagai

dependent variable diperoleh hasil sebagai berikut:

92

Table 5.2

Hasil Regresi Fungsi Konsumsi Rokok SKT

Independent

Variable

Koefisien

Regresi

Nilai Uji t Nilai

Probabilitas

Harga SKT -0,811 -13,907 0,000

Harga SKM 0,050 0,840 0,401

Harga SPM 0,093 1,970 0,049

Pendapatan 0,005 0,262 0,793

Harga SKT memiliki nilai probabilitas t yang lebih kecil dari tingkat signifikansi

(α) = 10%, sehingga dapat dikatakan bahwa harga SKT memiliki hubungan yang

signifikan dengan konsumsi rokok SKT. Dengan koefisien regresi sebesar –0,811

maka dapat dinyatakan bahwa konsumsi rokok SKT inelastis terhadap harga SKT.

Kenaikan 1% harga SKT akan menyebabkan penurunan konsumsi rokok SKT

sebesar 0,811%.

Dengan nilai probabilitas t yang lebih besar dari tingkat signifikansi (α) = 10%,

maka harga SKM tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok SKT. Masalah

selera sangat menentukan dalam pengambilan keputusan untuk mengkonsumsi

suatu jenis rokok atau melakukan substitusi kepada jenis rokok yang lain.

Hasil perhitungan menunjukkan bahwa nilai probabilitas t dari harga SPM berada

dibawah tingkat signifikansi (α) = 10%. Hasil tersebut menyatakan bahwa harga

SPM memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi rokok SKT. Dengan

koefisien regresi sebesar 0,093 maka berarti terdapat cross inelasticity antara

konsumsi rokok SKT dengan harga SPM, dimana kenaikan harga SPM sebesar

1% akan meningkatkan konsumsi rokok SKT sebesar 0,093%. Dalam hal ini

antara rokok SKT dan rokok SPM memiliki hubungan yang saling menggantikan

sesuai dengan selera konsumen mereka.

Pendapatan memiliki nilai probabilitas t yang lebih besar dari tingkat signifikansi

(α) = 10%, sehingga pendapatan tidak berpengaruh terhadap konsumsi rokok

SKT. Pendapatan perokok tidak menentukan banyaknya rokok SKT yang

93

dikonsumsi, dan faktor ketagihan terhadap rokok SKT juga tidak dipengaruhi oleh

pendapatan perokoknya.

5.3 Hasil Analisa Fungsi Konsumsi Rokok SPM

Perhitungan fungsi konsumsi rokok SPM dengan konsumsi rokok SPM sebagai

dependent variable diperoleh hasil sebagai berikut:

Table 5.3

Hasil Regresi Fungsi Konsumsi Rokok SPM

Independent

Variable

Koefisien Regresi Nilai Uji t Nilai Probabilitas

Harga SPM -0,181 -2,248 0,025

Harga SKM -0,170 -1,778 0,076

Harga SKT 0,385 4,386 0,000

Pendapatan 0,059 1,697 0,090

Harga SPM memiliki nilai probabilitas t yang lebih kecil dari tingkat signifikansi

(α) = 10%, sehingga antara harga SPM dengan konsumsi rokok SPM memiliki

hubungan yang signifikan. Dengan koefisien regresi sebesar –0,181 maka

hubungan tersebut adalah negatif, yaitu kenaikan harga SPM akan diikuti oleh

turunnya konsumsi rokok SPM, dan terdapat inelastis konsumsi rokok SPM

terhadap harga SPM. Dapat diinterpretasikan bahwa kenaikan harga SPM sebesar

1% akan mengurangi konsumsi rokok SPM sebesar 0,181%.

Dengan nilai probabilitas t yang lebih kecil dari tingkat signifikansi (α) = 10%,

maka harga SKM memiliki pengaruh terhadap konsumsi rokok SPM. Dari

koefisien regresi yang nilainya –0,170 dapat diketahui bahwa pengaruh tersebut

adalah negatif, artinya kenaikan harga SKM akan mengurangi konsumsi rokok

SPM. Terdapat inelasticity pada konsumsi rokok SPM terhadap harga SKM, yaitu

kenaikan harga SKM sebesar 1% akan mengurangi konsumsi rokok SPM sebesar

0,170%.

Harga SKT dengan nilai probabilitas t lebih kecil dari tingkat signifikansi (α) =

10% menjelaskan bahwa harga SKT memiliki hubungan yang signifikan dengan

94

konsumsi rokok SPM. Sebagai produk substitusi, kenaikan harga SKT akan

menyebabkan konsumsi rokok SPM meningkat. Dengan koefisien regresi sebesar

0,385 maka terdapat inelastis konsumsi rokok SPM terhadap harga SKT. Hal ini

berarti bahwa kenaikan harga SKT sebesar 1% akan menaikan konsumsi rokok

SPM sebesar 0,385%.

Pendapatan berpengaruh terhadap konsumsi rokok SPM. Hal ini tercermin dari

nilai probabilitas t yang lebih besar dari tingkat signifikansi (α) = 10%. Dengan

koefisien regresi sebesar 0,059 maka pengaruh pendapatan terhadap konsumsi

rokok SPM adalah positif, yang berarti bahwa kenaikan pendapatan akan direspon

dengan naiknya konsumsi rokok SPM. Dan dengan nilai koefisien regresi

tersebut, maka terdapat inelasticity konsumsi rokok SPM terhadap pendapatan.

Artinya, kenaikan pendapatan sebesar 1% akan menambah konsumsi rokok SPM

sebesar 0,059%.

VI. Proyeksi Konsumsi Rokok SKM, SKT, dan SPM Tahun 2003

Perkiraan besarnya konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM di tahun 2003

dilakukan dengan mencari perubahan-perubahan pada konsumsi rokok

SKM, SKT, dan SPM dari tahun 2002 ke tahun 2003. Perubahan-perubahan

tersebut diperoleh dari elastisitas harga SKM, harga SKT, harga SPM, dan

pendapatan dari fungsi-fungsi konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM

sebagai berikut :

1. ln konsumsi rokok SKM = 15,221 – 0,475 ln harga SKM – 0,026 ln harga SKT

+ 0,010 ln harga SPM + 0,027 ln pendapatan,

2. ln konsumsi rokok SKT = 15,886 – 0,811 ln harga SKT + 0,050 ln harga SKM

+ 0,093 ln harga SPM + 0,005 ln pendapatan,

3. ln konsumsi rokok SPM = 11,574 – 0,181 ln harga SPM – 0,170 ln harga SKM

+ 0,385 ln harga SKT + 0,059 ln pendapatan.

Harga SKM, SKT, dan SPM pada tahun 2002 menggunakan rata-rata harga jenis

hasil tembakau sebelum pelaksanaan Keputusan Menteri Keuangan Nomor

449/KMK.04/2002 dan Nomor 537/KMK.04/2002. Besarnya perubahan harga

95

jenis hasil tembakau tahun 2003 merupakan rata-rata perubahan harga jenis hasil

tembakau yang ditetapkan pada kedua Keputusan Menteri Keuangan tersebut

untuk SKM, SKT, dan SPM.

Perubahan pendapatan menggunakan asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 4%

pada tahun 2003. Tabel 6, 7, dan 8 menunjukkan perubahan-perubahan harga

SKM, SKT, SPM, dan pendapatan dari tahun 2002 hingga tahun 2003.

Penjumlahan dari persentase perubahan-perubahan tersebut merupakan besarnya

persentase perubahan konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM dari tahun 2002 ke

tahun 2003.

Besarnya perkiraan konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM pada tahun 2003

menunjukkan bahwa terjadi penurunan untuk rokok SKM sebesar 0,0270 persen

dibanding tahun 2002. Hal yang sama juga terjadi untuk rokok SKT, dimana

penurunannya sebesar 0,1028 persen. Kenaikan perkiraan konsumsi rokok terjadi

pada rokok SPM, yaitu mengalami peningkatan jumlah konsumsi sebesar 0,0364

persen dibandingkan tahun 2002.

Perubahan konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM berdasarkan proyeksi dari tahun

2002 ke tahun 2003 sangat kecil, bahkan untuk konsumsi rokok SKM dan SKT

perubahan yang terjadi adalah negatif atau mengalami penurunan. Kondisi

tersebut dimungkinkan karena faktor inelastis dari konsumsi rokok terhadap

perubahan harga rokok. Artinya, perubahan harga rokok, dalam hal ini kenaikan

harga rokok, berpengaruh sedikit terhadap perubahan konsumsi rokok. Selain itu,

hal tersebut dapat juga dipengaruhi oleh faktor pendapatan rumah tangga.

Meskipun pendapatan rumah tangga cenderung meningkat, namun karena

pendapatan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat konsumsi rokok,

maka kenaikan pendapatan tidak secara paralel menaikan konsumsi rokok. Hal

lain adalah faktor selera yang sangat dominan bagi para perokok dalam

menentukan jumlah dan jenis rokok yang dikonsumsi.

96

VII. Simpulan dan Rekomendasi

7.1 Simpulan

Konsumsi rokok SKM dipengaruhi oleh harga rokok SKM secara negatif, yaitu

kenaikan harga SKM akan direspon dengan penurunan konsumsi rokok SKM.

Dengan elastisitas konsumsi rokok SKM terhadap harga SKM inelastic, maka

kenaikan harga SKM sebesar 1 % akan menyebabkan penurunan konsumsi rokok

SKM sebesar 0,475 %. Terhadap harga SKT, konsumsi rokok SKM tidak

memiliki hubungan yang signifikan. Hal ini dikarenakan faktor selera yang sangat

dominan bagi perokok dalam mengkonsumsi suatu jenis rokok maupun berganti

jenis rokok. Sama halnya dengan harga SKT, harga SPM tidak berpengaruh

terhadap konsumsi rokok SKM. Karena faktor selera, maka tidak mudah bagi

perokok SKM untuk melakukan substitusi kepada jenis rokok yang lain (SKT

maupun SPM). Selain masalah selera terhadap satu jenis rokok serta faktor

addiction terhadap rokok dapat menyebabkan konsumsi rokok SKM tidak

dipengaruhi oleh pendapatan dari konsumennya.

Untuk konsumsi rokok SKT, harga SKT memiliki hubungan negatif yang

signifikan serta inelastis sebesar –0,811, sehingga kenaikan 1% harga SKT akan

menyebabkan penurunan konsumsi rokok SKT sebesar 0,811%. Harga SKM tidak

mempengaruhi konsumsi rokok SKT. Selera sangat menentukan dalam

mengkonsumsi suatu jenis rokok atau melakukan substitusi kepada jenis rokok

yang lain. Harga SPM memiliki hubungan yang signifikan dengan konsumsi

rokok SKT. Kenaikan harga SPM sebesar 1% akan meningkatkan konsumsi rokok

SKT sebesar 0,093%, sehingga antara rokok SKT dan rokok SPM memiliki

hubungan yang saling menggantikan. Konsumsi rokok SKT tidak dipengaruhi

oleh pendapatan. Pendapatan perokok tidak menentukan banyaknya rokok SKT

yang dikonsumsi, dan faktor addiction terhadap rokok SKT juga tidak dipengaruhi

oleh pendapatan perokoknya.

Konsumsi rokok SPM memiliki hubungan negatif yang signifikan dengan harga

SPM. Kenaikan harga SPM akan diikuti oleh turunnya konsumsi rokok SPM, dan

dengan hasil inelastis antara konsumsi rokok SPM dengan harga SPM, maka

kenaikan harga SPM sebesar 1% akan mengurangi konsumsi rokok SPM sebesar

0,181%. Harga SKM memiliki pengaruh yang negatif terhadap konsumsi rokok

97

SPM. Kenaikan harga SKM akan mengurangi konsumsi rokok SPM. Sebagai

produk substitusi, kenaikan harga SKT akan menyebabkan konsumsi rokok SPM

meningkat, dimana kenaikan harga SKT sebesar 1% akan menaikan konsumsi

rokok SPM sebesar 0,385%. Kenaikan pendapatan akan menyebabkan naiknya

konsumsi rokok SPM, dimana kenaikan pendapatan sebesar 1% akan menambah

konsumsi rokok SPM sebesar 0,059%.

Perkiraan konsumsi rokok SKM, SKT, dan SPM pada tahun 2003 menunjukkan

perubahan yang sangat kecil. Untuk konsumsi rokok SKM dan SKT, perubahan

konsumsinya adalah negatif atau mengalami penurunan. Hal tersebut disebabkan

oleh inelastisitas dari konsumsi rokok SKM dan SKT terhadap perubahan harga.

Selain itu, hal tersebut juga dipengaruhi oleh faktor pendapatan. Meskipun ada

kecenderungan kenaikan pendapatan, namun karena pendapatan tidak

berpengaruh terhadap konsumsi rokok SKM dan SKT, maka kecenderungan

kenaikan tersebut tidak secara paralel ikut menaikan konsumsi rokok SKM dan

SKT.

7.2 Rekomendasi

Kebijakan penetapan harga jual eceran minimum untuk jenis hasil tembakau

SKM, SKT, dan SPM hendaknya dihapus. Harga pasar yang diterima oleh

konsumen sebaiknya diserahkan kepada kekuatan permintaan dan penawaran

rokok. Pola konsumsi rokok menunjukkan bahwa hubungan antara konsumsi

rokok dengan harganya adalah negatif, sehingga mekanisme pasar untuk

menentukan harga rokok dapat bekerja sejauh tidak ada campur tangan

pemerintah.

Sebagai salah satu sumber penerimaan negara, tarif cukai hendaknya ditetapkan

secara spesifik dan progresif sesuai dengan jumlah produksi rokok yang

dihasilkan oleh masing-masing pengusaha rokok. Penetapan tarif cukai secara

spesifik dan progresif akan lebih adil karena dikaitkan dengan kemampuan dan

keuntungan yang diperoleh setiap industri rokok.

98

VIII. Daftar Pustaka

Badan Pusat Statistik. Survei Sosial Ekonomi Nasional. 1996

Badan Pusat Statistik. Survei Sosial Ekonomi Nasional. 1999

Badan Pusat Statistik. Survei Sosial Ekonomi Nasional. 2002

Hanke, John E. Reitsch, Arthur G, 1995, “Business Forecasting”, Fifth Edition.

Prentice-Hall International, Inc.

Mark, Stephen V, 2003, “Cigarette Excise Taxation in Indonesia An Economic

Analysis”.

Sukirno, Sadono, 1996, Pengantar Teori Makroekonomi. Rajawali Press.

Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 454/KMK.05/2000

Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 609A/KMK.04/2001

Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 449/KMK.04/2002

Surat Keputusan Menteri Keuangan Nomor 537/KMK.04/2002.

99

Lampiran 8

100

Lampiran 9

101

Lampiran 10

Kuesioner

102

103

104

105

106

107

108

109

110

111

112

113

114

115

116

117

118

119

120

121

Lampiran 11

Foto toko di Mojokerto

122

Foto dengan pemilik toko di Mojokerto

Foto pengunjung toko di Mojokerto

123

Foto dengan pemilik toko di Mojokerto

Foto proses melinting waktu demo

124

Foto waktu demo

Foto waktu demo