26
AGEN-AGEN WANITA UNTUK PERUBAHAN SOSIAL DI TENGAH MASYARAKAT MUSLIM A. PENDAHULUAN Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia dapat menemukan hal-hal baru yang dapat dikembangkan dan diperoleh untuk menghadapi tantangan yang ada sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan dapat mengarahkan pada upaya pembentukan manusia yang berbudaya. Dengan makin berkualitasnya hidup manusia, manusia dapat mengaktualisasikan dirinya secara terus menerus dalam meningkatkan kualitasnya sebagai seorang manusia yang sesungguhnya ke arah yang lebih baik dalam berbagai bidang kehidupan kemasyarakatan. Sejak awal, islam tidak melarang perempuan untuk berilmu dan berpendidikan tinggi, asalkan ia tidak melupakan fitrahnya sebagai perempuan. Hal ini dibuktikan dengan hadist nabi: “Menuntut ilmu wajib atas setiap muslim dan muslimah”. Menuntut ilmu tidak hanya diwajibkan bagi kaum laki-laki akan tetapi juga berlaku bagi kaum perempuan yang ditunjukkan pada kata “muslimah” pada hadits tersebut. Sebelum dikenal adanya emansipasi wanita, perempuan terkurung dalam kuatnya budaya patriarkat 1

TUGAS MAKALAH SPI

Embed Size (px)

Citation preview

AGEN-AGEN WANITA UNTUK PERUBAHAN SOSIAL DI TENGAH

MASYARAKAT MUSLIM

A. PENDAHULUAN

Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting

bagi kehidupan manusia. Melalui pendidikan, manusia

dapat menemukan hal-hal baru yang dapat dikembangkan

dan diperoleh untuk menghadapi tantangan yang ada

sesuai dengan perkembangan zaman. Pendidikan dapat

mengarahkan pada upaya pembentukan manusia yang

berbudaya. Dengan makin berkualitasnya hidup

manusia, manusia dapat mengaktualisasikan dirinya

secara terus menerus dalam meningkatkan kualitasnya

sebagai seorang manusia yang sesungguhnya ke arah

yang lebih baik dalam berbagai bidang kehidupan

kemasyarakatan.

Sejak awal, islam tidak melarang perempuan

untuk berilmu dan berpendidikan tinggi, asalkan ia

tidak melupakan fitrahnya sebagai perempuan. Hal ini

dibuktikan dengan hadist nabi: “Menuntut ilmu wajib atas

setiap muslim dan muslimah”. Menuntut ilmu tidak hanya

diwajibkan bagi kaum laki-laki akan tetapi juga

berlaku bagi kaum perempuan yang ditunjukkan pada

kata “muslimah” pada hadits tersebut.

Sebelum dikenal adanya emansipasi wanita,

perempuan terkurung dalam kuatnya budaya patriarkat

1

yang melarang perempuan bersekolah meraih pendidikan

tinggi. Perempuan diposisikan sebagai kelas dua dan

ada stereotip bahwa kelak perempuan hanya

beraktivitas dalam ranah domestik. Masyarakat Jawa

membangun stereotip bahwa ruang lingkup perempuan

ada di 3 R (kasur, dapur, dan sumur). Begitulah

kondisi gender di era pra emansipasi. Perempuan

tidak diperbolehkan sekolah dan memperoleh

pendidikan. Pada masa itu, perempuan harus tunduk

dalam sebuah budaya yang sangat patriarki.

Pada era globalisasi seperti saat ini istilah

emansipasi sudah tidak asing lagi.  Peran seorang

wanita sangat banyak. Pendidikan yang dahulu lebih

identik ditempuh oleh pria menjadi tidak asing lagi

sekarang ketika ditemukan banyak wanita yang

memiliki gelar membanggakan karena tingginya tingkat

pendidikan yang telah dicapai.

Perubahan sosial yang deras ini terjadi pada

pergantian abad ke-19 menuju abad ke-20. Seiring

dengan bergulirnya roda sejarah, status sosial kaum

perempuan perlahan-lahan berubah. Perubahan terjadi

antara lain karena adanya tokoh-tokoh penggerak

emansipasi yang membuka jalan bagi pendidikan kaum

wanita. Tokoh-tokoh penggerak emansipasi ini antara

lain Raden Dewi Sartika (dari Bandung), R.A. Kartini

(dari Jepara), Rohana Kudus (dari Kotogadang), serta

2

Rahmah El-Yunusiyah (dari Padang Panjang). Setelah

Indonesia merdeka tahun 1945, keadaan berubah secara

drastis. Kebebasan terbuka lebar bagi bangsa

Indonesia untuk berkiprah di segala bidang. Jelas

pula perubahan yang terjadi. Sekarang, wanita sudah

setara dengan pria untuk mendapatkan hak atas

pendidikan.

Melalui makalah ini, penulis akan membahas

tokoh-tokoh wanita yang berpengaruh dalam emansipasi

wanita pada pendidikan di tengah masyarakat muslim

Indonesia. Penulis akan mencoba menjabarkan lebih

jauh apa makna emansipasi itu sendiri dan siapa saja

tokoh-tokoh emansipasi wanita dalam pendidikan di

Indonesia yang mayoritas beragama muslim serta

menjabarkan pemikiran-pemikiran yang dicetuskan oleh

para tokoh-tokoh wanita tersebut.

B. POKOK PEMBAHASAN

1. Pengertian Emansipasi

3

Emansipasi yaitu pembebasan dari perbudakan,

persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan

masyarakat.1

Emansipasi berasal dari bahasa Latin

"emancipatio", artinya adalah pembebasan dari

tangan kekuasaan. Di zaman Romawi dahulu, istilah

ini dipakai terhadap upaya seorang anak yang belum

dewasa agar lepas dari kekuasaan orang tua mereka

dengan maksud untuk mengangkat derajat atau haknya.2

Istilah itu secara luas digunakan untuk

menggambarkan berbagai upaya yang dilakukan untuk

memperoleh persamaan derajat atau hak-hak politik,

lazimnya digunakan bagi kelompok yang tak diberi

hak secara spesifik, atau secara lebih umum dibahas

dalam hal-hal berkaitan masalah persamaan derajat.3

Dalam perkembangannya, istilah ini kemudian

lebih sering dikaitkan dengan emansipasi wanita

(baca persamaan hak dan kedudukan bagi wanita)

dalam rangka memperoleh persamaan hak, derajat, dan

kebebasan seperti halnya kaum lelaki. Sejak abad

ke-14 M sudah ada gerakan untuk memperjuangkan

1 Sugihastuti. Siti Hariti Sastriyani. Glossarium Seks dan Gender. (Yogyakarta: Caravasti Books, 2009), hlm. 58.2 Kemenag Riau, Emansipasi Wanita, http://riau1.kemenag.go.id/index.php/a=artikel&id=49, diakses pada13 Desember 2013, Jam 06:303 Ibid.,

4

persamaan bagi wanita yang sekarang orang lebih

mengenalnya sebagai emansipasi wanita. 4

Berbicara tentang siapa sebenarnya wanita,

Qasim Amin dalam bukunya Tahrir al-Mar’ah menjelaskan

bahwa wanita itu manusia seperti pria, tidak ada

perbedaan bila dilihat dari anggota badan, tugas,

perasaan, pemikiran dan semua yang menyangkut

dengan hakikat manusia. Kalaupun akan ada juga

perbedaan antara keduanya, itu hanyalah sekedar

pengaruh perbedaan jenis.

Menurut Qasim Amin, pendidikan bagi wanita

merupakan sesuatu yang sangat penting dalam rangka

memajukan suatu bangsa, baik ditinjau dari

statusnya sebagai anggota masyarakat, ataupun

sebagai ibu rumah tangga.

Wanita, menurut Qasim Ami, tidak mungkin

mengurus rumah tangga dengan baik, kecuali dengan

bekal ilmu pengetahuan. Dengan bekal pengetahuan

ini dia dapat memilih sesuatu yang sesuai dengan

perasaannya dan dapat berbuat dengan penuh

keyakinan. Dengan pengetahuan tulis baca ia dapat

memahami berbagai ilmu pengetahuan seperti ilmu

bumi, sejarah bangsa-bangsa, astronomi, fisika dan

lain-lain, sehingga dirinya penuh dengan

pengetahuan, dengan demikian dia juga dapat pula

4 Ibid.,

5

memahami masalah aqidah dan etika agama.

Intelektualnya (akalnya) akan siap menerima

pendapat-pendapat yang benar dengan penuh kesadaran

dan menghindarkan diri dari khufarat dan kebathilan

yang mematikan akal sehat kewanitaannya. Dengan

pendidikan mental maupun intelektual diharapkan

pula akan dapat membentuk wanita yang berahklak

baik.

2. Tokoh-tokoh Wanita yang Berpengaruh dalam Emansipasi

Wanita pada Pendidikan Masyarakat Muslim Imdonesia

a. R. A. Kartini

Kartini adalah salah satu putri Sosroningrat,

yaitu seorang Bupati Jepara. Kartini lahir di desa

Mayong tanggal 28 Robiul Akhir 1808.5 Saat itu Ayah

Kartini masih menjabat sebagai wedana di desa

Mayong. Kartini bukanlah anak dari seorang Raden

Ayu, namun Kartini terlahir dari rahim seorang

perempuan desa biasa. Karena Sosroningrat, Ayah

Kartini mempunyai dua orang istri yaitu Ngasirah

yang pertama kali dinikahinya saat ia masih menjadi

wedana dan menjadi ibu dari Kartini dan yang kedua

adalah R.A Moerjam. Ngasirah adalah anak dari Kyiai

Haji Modirono seorang guru Agama terkenal dari

Teluk Awur Jepara, dan Ibunya Hajah Siti Aminah

juga dari desa Teluk Awur. Ngasirah dinikahi5 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, terj. Armijn Pane, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 3.

6

Sosroningrat pada tahun 1872 yang berstatus menjadi

garwo ampil. Dan pada tahun 1875 Sosroningrat menikahi

anak dari seorang Bupati Jepara sebelumnya yaitu

R.A.A Tjitrowikromo yang bernama R.A Moerjam

sebagai garwa padmi, yaitu status yang lebih tinggi

dan terhormat dari status Ngasirah.6

Kartini adalah seorang wanita dari kelas

bangsawan Jawa. Ayahnya dikenal sebagai salah

seorang bupati Jawa yang paling maju.7 Karena faktor

ini, Kartini diperbolehkan untuk bersekolah di ELS

(Europese Lagere School), hingga umur 12 tahun. Di

sini Kartini belajar bahasa Belanda. Tetapi setelah

usia 12 tahun, ia harus tinggal di rumah, karena

adat pada waktu itu melarang seorang wanita untuk

“melihat” dunia luar kecuali ia telah memiliki

suami.8

Kemampuannya berbahasa Belanda, membuat

Kartini belajar secara otodidak di rumah, dan mulai

menulis surat kepada teman-teman korespondensi yang

berasal dari Belanda. Ia sangat tertarik pada

kemajuan berpikir wanita Eropa, yang didapatnya

dari buku-buku, koran, dan majalah Eropa. Kartini

6 Siti Soemandari Soeroto, Kartini; Sebuah Biografi, (Jakarta: Gunung Agung, 1979), hlm.13.7 M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, (Jakarta, Serambi: 2008), hlm. 3408 R.A. Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang; Door Duisternis Tot Licht, (Yogyakarta, Narasi: 2011), hlm. 9

7

berkeinginan untuk memajukan perempuan Nusantara,

yang saat itu masih berada mengalami diskriminasi.9

Kartini menuliskan pemikiran-pemikirannya

tentang realita sosial saat itu, khususnnya tentang

kondisi perempuan pribumi. Sebagian besar surat-

suratnya berisi keluhan dan gugatan khususnya

menyangkut budaya di Jawa yang sedikit mengekang

perempuan. Dia ingin wanita memiliki kebebasan

menuntut ilmu dan belajar.

Dalam suratnya Kartini berharap agar perempuan

diberi kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk

memperoleh pendidikan yang sama dengan tujuan agar

mereka (perempuan) menjadi seorang ibu yang baik

dan bermanfaat bagi lingkungan keluarga maupun

masyarakat sebagai berikut:

“… menjadikan mereka sebagai perempuan yangcakap dan baik, yang sadar akan panggilanbudinya, sanggup menjalankan kewajibannya yangbesar dalam masyarakat. Agar dalam masyarakatitu dia menjadi ibu yang baik, pendidik yangbijaksana, pengatur rumah tangga yang mampupemegang uang dan pembantu yang baik bagisiapapun yang memerlukan bantuan”10

Menurut Kartini, seorang ibu juga bertanggung

jawab terhadap pembentukan budi pekerti anak-anak 9 Tri Darma Yudha Pirhot, R. A. Kartini:Ketika Surat menjadi Alat Perjuangan,http://pirhot-nababan.blogspot.com/2012/03/ra-kartini-ketika-surat-menjadi-alat.html, diakses pada 11 Desember 2013, Jam 14:5010 Kartini, Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan Untuk Bangsanya, terj. Sulastrin Sutrisno, (Bandung: Djambangan, 1979), hlm. 126.

8

mereka. Sebagiamana dalam suratnya kepada Tuan

Prof. Dr. G. K. Anton dan istrinya pada tanggal 4

Oktober 1902 sebagai berikut:

“Ibulah yang jadi pusat kehidupan rumah tangga,dan kepada ibu itulah dipertanggungjawabkankewajiban pendidikan anak-anak yang berat itu;yaitu bagian pendidikan yang membentuk budinya.Berilah anak-anak gadis pendidikan yangsempurna, jagalah supaya ia cakap kelak memikulkewajiban yang berat itu”.11

Selain kewajibannya sebagai seorang ibu,

perempuan merupakan salah satu faktor penting dalam

usaha memajukan bangsa dan pendukung peradaban.

Sebagaimana surat Kartini kepada nona Zeehandeler

pada tanggal 9 Januari 1901 sebagai berikut:

“Dari semenjak dahulu kemajuan perempuan itumenjadi pasal yang amat penting dalam usahamemajukan bangsa. Kecerdasan pikiran pendudukpribumi tiada akan maju dengan pesatnya, bilaperempuan itu ketinggalan dalam usaha itu.Perempuan jadi pembawa peradaban”12

Pemikiran-pemikiran Kartini yang tertuang

dalam surat-suratnya tersebut mendapat tanggapan

dari R.M. Abendanon, salah seorang sahabat pena

Kartini. Abendanon menerbitkan surat-surat Karini

pada tahun 1911 dengan judul Door Duisternis tot Licht.

Gagasan dan pemikiran-pemikirannya yang tertuang

11 Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang, terj. Armijn Pane, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), hlm. 3.12 Ibid., hlm. 47

9

dalam surat-suratnya inilah yang kemudian banyak

membuka mata hati dan perubahan tentang sejarah

peran wanita di Indonesia.

Cita-cita Kartini untuk memperjuangkan nasib

wanita di Indonesia hanya bisa sebatas wacana dalam

suratnya, Pada umur 25 tahun-sebuah usia yang

relatif masih muda-Kartini harus menjumpai ajalnya

setelah ia melahirkan anak pertama.  Meskipun

begitu, upayanya memperjuangkan nasib wanita di

Indonesia tetap abadi hingga saat ini. Pemerintah

pun telah mengabadikannya sebagai Pahlawan Nasional

pada tahun 1964.

b. Raden Dewi Sartika

Dewi Sartika merupakan keturunan menak atau

priyayi. Dari garis keturunan ibunya, ia adalah

cucu dari Dalem Bintang, yakni Bupati Bandung pada

tahun 1846-1874. Namun ayahnya, Raden Somaganara,

yang sempat menjabat menjadi Patih Bandung bersama

dengan kakek Dewi Sartika, R.Demang Soeriadiprdja

menyusun sebuah penentangan terhadap terpilihnya RA

Martanegara sebagai Bupati Bandung menggantikan

Raden Adipati Kusumadilaga. Kejadian ini dikenal

dengan Peristiwa Dinamit Bandung. Peristiwa ini

terjadi pada 17 dan 20 Juli 1893. Akhirnya karena

10

hal ini, Somanagara diasingkan ke Ternate dan kakek

Dewi Sartika diasingkan ke Pontianak.13

Saat ayahnya diasingkan, ibu Dewi Sartika

turut serta ke Ternate. Dewi Sartika dan saudara-

saudaranya dititipkan terpisah-pisah ke kerabat

mereka. Dewi Sartika dititipkan pada pamannya,

Raden Demang Suriakarta Adiningrat, kakak dari ibu

Dewi Sartika. Pamannya adalah Patih Afdeling

Cicalengka. Dewi Sartika tinggal disana sampai ia

berusia 18 tahun.14

Saat di Cicalengka, Dewi Sartika mendapati

bahwa banyak perempuan bahkan dikalangan Menak yang

tidak bisa baca tulis. Istri keempat pamannya yang

bernama Nyi Raden Eni atau disapa Agan Eni menerima

gadis-gadis yang ingin mondok dan belajar etika

seorang perempuan Menak Sunda. Namun ternyata

mereka tetap saja tidak diajari baca tulis karena

dianggap tidak perlu memiliki skill semacam itu,

cukuplah mampu melayani dan mengurusi rumah dengan

baik. Kondisi ini membuat Dewi Sartika

mengembangkan pendidikan bagi perempuan.15

Di Bandung inilah Dewi Sartika secara serius

merintis sekolah untuk perempuan. Pada tahun 190213 Rochiati Wiriaatmadja, Dewi Sartika, (Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1985)14 Atrika Sartika, Dewi Sartika Simbol Perjuangan Emansipasi Wanita,http://filosofilandak.blogspot.com/2013/04/dewi-sartika-simbol-perjuangan.html, diakses pada 11 Desember 2013, Jam 23:5815 Ibid.,

11

tersebutlah, di halaman belakang rumah ibunya, Dewi

Sartika membuka sebuah sekolah untuk perempuan.

Dewi Sartika membuka kesempatan bagi siapapun yang

ingin belajar dibawah pengajaran beliau tanpa

peduli status sosial mereka. Dewi Sartika mengajar

secara sukarela tanpa meminta upah. Sebagai

gantinya banyak murid-muridnya yang datang dengan

membawa makanan atau membawa keperluan dapur. (Bisa

jadi ini pun menjadi sumber penghidupan Dewi

Sartika sebab saat ayahnya diasingkan ke Ternate

seluruh harta mereka pun disita oleh pemerintah).16

Tekad Dewi Sartika untuk menyediakan

pendidikan bagi perempuan bisa jadi semakin bulat

sebab melihat kondisi ibunya yang tidak bisa

berusaha sendiri untuk menghidupi diri dan

keluarganya. Sebab meskipun ibunya berasal dari

golongan Menak namun beliau hanya mendapat

pendidikan tata krama dan hal-hal terkait tentang

pembawaan seorang Menak di lingkungan sosial, namun

tidak diajari keterampilan yang memadai untuk bisa

berusaha sendiri. Baca-tulispun tidak termasuk

dalam pendidikan kaum Menak untuk perempuan. Bisa

jadi hal ini yang membuat Dewi Sartika segera

merealisasikan rencananya membuat sekolah tersebut

meskipun dengan sarana yang seadanya.17

16 Ibid.,17 Ibid.,

12

Akhirnya pada 16 Januari 1904 secara resmi

didirikanlah Sakola Istri yang tempat belajarnya

dipindahkan dari rumah Dewi Sartika ke halaman

depan rumah Bupati Bandung, tepatnya dalam ruangan

di Paseban Barat. (Kini tempat tersebut sudah

hancur dan menjadi bagian dari taman di Pendopo

Alun-Alun Bandung). Saat awal berdirinya, Sakola

Istri memiliki 3 orang pengajar yakni Dewi Sartika,

Nyi Poerwa, & Nyi Oewit. Dengan jumlah murid

pertama kali sekitar 60 orang. 18

Karena jumlah murid yang terus bertambah,

tahun 1905 dipindahkanlah Sakola Istri ke jalan

Ciguriang-Kebon Cau. Lahan ini dijadikan lahan

sekolah baru dan dibeli sendiri oleh Dewi Sartika

dengan uang tabungannya. Pada 1910 tepatnya pada 5

November 1910 pukul 19.00 didirikanlah Perkumpulan

Kautamaan Istri yang dibentuk oleh Residen Priangan

W.F.L Boissevain dikediamannya yang dikenal sebagai

Gedung Pakuan. Pada 1911 tepat pada nama Sakola

Istri diganti menjadi Sakola Kautamaan Istri karena

banyaknya sumbangsih yang diberikan oleh

perkumpulan tersebut. Berkat dana yang dikumpulkan

oleh Perkumpulan Kautamaan Istri ini, dibangunlah

cabang-cabang Sakola Keutamaan Istri di Sumedang,

Cianjur, Sukabumi, Tasikmalaya, Garut, Purwakarta.

18 Ibid.,

13

Pada peringatan 7 tahun pendirian sekolah ini, Dewi

Sartika berpidato yang kemudian dibukukan dan

diterbitkan di Bandung oleh A.C Nix & Co pada tahun

1912 dengan judul Buku Kautamaan Istri.19

Di masa hidupnya, Dewi Sartika dua kali

mendapat penghargaan dari Pemerintah Hindia Belanda

yakni pada tahun 1922 dan 1939. Pada tahun 1922

beliau dianugerahi Bintang Perak oleh pemerintah

Hindia Belanda, dan tahun 1939 diberi penghargaan

yang lebih tinggi lagi yakni Bintang Emas. Hal ini

berarti membantah penyataan yang mengatakan bahwa

Raden Dewi Sartika dilingkungan orang-orang Belanda

tidak begitu dikenal. Fakta ini juga terbantahkan

dengan data bahwa perhatian publik atas keberadaan

Sekola Kautamaan Istri cukup bagus karena di tahun

1913 Sakola Kautamaan Istri sempat dikunjungi oleh

Gubernur Jenderal Idenburg. Kemudian pada tahun

1916 Sakola Kautamaan Istri dikunjungi oleh Nyonya

Limburg van Stirum (istri dari Gubernur Jenderal

yang baru).20

c. Siti Roehana Kudus

Siti Roehana lahir pada 20 Desember 1884, di

Kotogadang, Sumatra Barat.21 Roehana berasal dari

keluarga terpandang, dari salah satu jalur19 Ibid.,20 Ibid.,21 Tamar Djaja, Roehana Koddoes, Srikandi Indonesia, (Jakarta: Penerbit Mutiara, 1980), hlm. 26.

14

matrilineal tertua di Kotogadang, yakni keturunan

Datuk Dinagari dari Puak Kato. Ayah Roehana,

Moehammad Rasjad Maharadja Soetan, bekerja sebagai

seorang hoofdjaksa (jaksa kepala), jabatan yang

termasuk berkelas pada masa itu. Ayah Roehana pernah

mendapat penghargaan dari Kerajaan Belanda.

Darah keluarga Rasjad memang tergaris profesi

jaksa. Datoek Dinagari, kakek buyut Roehana, adalah

jaksa pertama di Bukitinggi sekurun 1833-1836. Paman

Roehana, adik Rasjad, juga seorang jaksa, begitu

pula saudara-saudara lelakinya yang lain. Roehana

adalah anak pertama Rasjad dari Kiam, istri pertama

Rasjad. Dari Kiam, Rasjad memperoleh enam anak.

Setelah Kiam wafat, Rasjad menikah lagi hingga lima

kali. Salah satu anak lelaki Rasjad adalah Soetan

Sjahrir.22 Dengan demikian, Sjahrir dan Roehana

adalah saudara tiri lain ibu. Adik Rasjad, paman

Roehana dan Sjahrir, adalah kakek dari Agus Salim,

yang pada akhirnya nanti menjadi bapak bangsa

Indonesia. Keluarga Roehana memang seolah-olah

ditakdirkan sebagai agen untuk perubahan.

Jika di Jawa tersebutlah nama Kartini sebagai

pendekar wanita yang paling kondang, kaum perempuan

di Sumatra juga punya idola yang tidak kalah harum

namanya: Siti Roehana Koedoes. Dari ranah Melayu,22 Rudolf Mrazek, Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, (Jakarta:Yayasan Obor Indonesia, 1996), hlm. 4-5.

15

Roehana engiringi perjuangan yang dirintis Kartini.

Sejarah telah menggurat riwayat, Kartini melegenda

berkat jasa baktinya memperjuangkan kaum perempuan,

demikian pula Roehana. Kedua srikandi Indonesia itu

menempuh jalan pendidikan demi mengentaskan

perempuan dari pembodohan dan penindasan.

Sama yang dialami Kartini, cita-cita Roehana

menemui jalan terjal karena desakan adat yang tak

jarang menganggap rendah dalam memposisikan

perempuan. Gugatan sentiasa merintangi misi Roehana,

baik kecaman yang datang dari kalangan agamawan

maupun pemuka masyarakat, terutama mereka yang

berpikiran sempit dan anti kemajuan. “Tak ada

pengorbanan suci yang sia-sia,” demikian Roehana

meneguhkan hati.23

Upaya Roehana demi mencerdaskan bangsa telah

dirintis sejak belia. Pada usia yang masih sangat

muda, Roehana sudah menjadi guru dengan menyediakan

rumahnya sebagai sekolah dadakan bagi anak-anak

perempuan. Pelajaran yang diberikan meliputi

membaca, menulis, bahasa,

budi-pekerti, agama, dan keterampilan menganyam.

Roehana memacu semangat murid-muridnya untuk maju

dengan meyakinkan bahwa perempuan bisa juga menjadi23 Reni Nuryanti, Soenting Melajoe: Di sini, Nama Roehana Koedoes Terpahat, dalam Muhidin M Dahlan (Ed.), Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, Tanahair Bahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE, 2008, hlm. 91.

16

dokter atau guru. Roehana menganjurkan, dalam upaya

mencari ilmu, perempuan lebih baik merantau seperti

yang lazim dilakukan kaum lelaki Minang. Bagi kaum

adat, gagasan ini jelas menyimpang. Tetapi nyali

Roehana tak ciut. Baginya, emansipasi harus terus

diperjuangkan demi kemajuan kaum perempuan,

khususnya dalam pendidikan.

Pada 1911, Roehana membuka sekolah Kerajinan

Amai Setia (KAS) di kota kelahirannya, Kotogadang,

Sumatra Barat. KAS berkembang pesat dan menghasilkan

barang-barang kerajinan berkualitas tinggi. KAS

adalah

sekolah perempuan pertama di Sumatra yang digagas

langsung oleh

perempuan. Roehana menjadi wanita Sumatra pertama

yang dengan sadar

memulai usaha memajukan kaum perempuan.

Selain sebagai pendidik, Roehana juga disebut

sebagai Ibu Pers Indonesia berkat perannya sebagai

pelopor penerbitan koran perempuan

pertama di Indonesia di mana perempuan mengambil

peranan langsung dalam teknis penerbitannya. Rohana

merupakan cikal bakal

lahirnya wartawan-wartawan profesional di Sumatra

Barat. Roehana tak hanya sekadar berperan sebagai

“pemanis” dalam koran-koran yang

17

dikelolanya. Lebih dari itu, dia memainkan lakon

sentral sebagai

pemimpin redaksi Soenting Melajoe, koran perempuan

yang terbit di Padang sejak 10 Juli 1912, juga

koran-koran bergenre emanisipasi

wanita lainnya. Meskipun menjabat sebagai pemimpin

redaksi, Roehana tak segan turun langsung ke bawah

untuk meliput berita.

Roehana juga terlibat aktif dalam perintisan

perhimpunan perempuan di Sumatra. Melihat tumbuh

subur berdirinya organisasi perempuan di tanah

Minang, Roehana lalu berinisiatif untuk mewadahinya

dan menjadi motor pendeklarasian perhimpunan Sarikat

Kaum Ibu Sumatera (SKIS) sebagai wadah pemersatu

berbagai organisasi perempuan Sumatra. SKIS resmi

dibentuk di Padang pada 1911. Roehana mendirikan

persatuan

organisasi perempuan ini jauh sebelum Kongres

Perempuan Indonesia digagas, yang kelak baru

terlaksana pada 22-25 Desember 1928.

d. Rahmah El-Yunusiyah

Rahmah lahir di Padang Panjang, 29 Desember

1900, ia merupakan bungsu dari lima bersaudara.24

24 Aminuddin Rasyad. Disertasi Perguruan Diniyyah Puteri Padangpanjang: 1923-1978, Suatu Studi Mengenai Perkembangan Sistem Pendidikan Agama. (Jakarta: IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 1982), hlm. 176.

18

Rahmah dibesarkan dalam lingkungan keluarga yang

kuat adat dan agama.25

Perempuan, dalam pandangan Rahmah el-

Yunusiyah, mempunyai peran penting dalam kehidupan.

Perempuan adalah pendidik anak yang akan

mengendalikanjalurkehidupan mereka selanjutnya.26

Atas dasar itu, untuk meningkatkan kualitas dan

memperbaiki kedudukan perempuan diperlukan

pendidikan khusus kaum perempuan yang diajarkan

oleh kaum perempuan sendiri. Dalam hal ini perlu

adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan kaum

perempuan, baik di bldang intelektual, kepribadian

ataupun keterampilan.

Terlebih, saat itu masih banyak perempuan di

daerahnya yang belum mendapatkan pendidikan seperti

yang ia rasakan. Atas dasar inilah, ia mendirikan

sekolah khusus perempuan dengan model pesantren,

Diniyah Putri. Tidak lupa, ia memasukkan pendidikan

keperempuanan dalam kurikulum sekolahnya agar

perempuan tidak melupakan hak dan kewajibannya.

Dengan berdirinya Diniyah Putri pada 1923,

sang pendiri, Rahmah el-Yunusiyah, memperluas misi

kaum modernis untuk menyediakan sarana pendidikan

bagi kaum perempuan yang akan menyiapkan mereka

25 Ibid., hlm. 132-13326 Hamka, Ayahku Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim Amarullah Dari Perjuangan KaumAgama di Sumatera, (Jakarta: Umminda, 1982), hlm. 245

19

menjadi warga yang produktif dan muslim yang baik.

Ia menciptakan wacana baru di Minangkabau, dan

meletakkan tradisi baru dalam pendidikan bagi kaum

perempuan di kepulauan Indonesia. Diniyah Putri

adalah akademi agama pertama bagi putri yang

didirikan di Indonesia.27 Murid-murid pertamanya

saat itu berjumlah 71 orang yang mayoritas terdiri

dari ibu-ibu rumah tangga muda, dengan pelajaran

diberikan setiap hari selama 3 jam di sebuah Masjid

Pasar Usang, Padang Panjang, dengan sistem

halaqah.28 Dalam perkembangannya, sekolah ini

menjadi pesantren dan hanya menerima murid perempuan

yang belum menikah.

Tujuan akhir Rahmah adalah meningkatkan

kedudukan kaum perempuan dalam masyarakat melalui

pendidikan modern yang berlandaskan prinsip-prinsip

Islam. Ia percaya bahwa perbaikan posisi kaum

perempuan dalam masyarakat tidak dapat diserahkan

kepada pihak lain, hal ini harus dilakukan oleh

kaum perempuan sendiri." Melalui lembaga seperti

itu, ia berharap bahwa perempuan bisa maju.29

Cita-cita dan gagasan Rahmah el-Yunusiyah

tentang pentingnya pendidikan bagi kaum perempuan

27 hamruni, Jurnal Pendidikan Perempuan dalam Pemikiran Rahma el-Yunusiyah, Vol. 02 No. 01 (Juli, 2004) , hlm. 828 Deliar Noer. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:Pustaka LP3ES. 1982). hlm. 62-63.29 Ibid., hlm. 113

20

mungkin dipengaruhi oleh pengalaman dan capaian

pendidikannya sendiri. Meskipun Rahmah hanya sempat

mengecap pendidikan dasardi Padang Panjang,

studinya yang mendalam terhadap agama adalah

sesuatu yang tidak lazim bagi seorang perempuan

pada awal abad kedua puluh di Minangkabau. Ia

memperoleh pendidikan melalui pengaturan khusus

dengan beberapa ulama modemis yang terkemuka, dalam

pola kaum muda di zamannya. Selain itu, Rahmah

belajar kerumahtanggaan dengan seorang bibi

maternal, dan mempelajari soal kesehatan dan

pemberian pertolongan pertama di bawah bimbingan

enam orang dokter kelahiran India. Ia belajar senam

dengan seorang guru Belanda di Sekolah Menengah

Putri di Padang Panjang. Pada dasarnya Rahmah

memperoleh pendidikan atas inisiatifnya sendiri,

pada saat pendidikan formal bagi kaum perempuan

hanya tersedla bagi segelintir orang.30

Untuk menarik minat masyarakat, baik kaum

intelektual maupun kaum adat (golongan yang sangat

kuat memegang faham kuno: bahwa perempuan tidak

perlu bersekolah), dan khususnya kaum ibu, maka

sekolah inl menggunakan tiga macam perkataan yang

menjadi satu yaitu: Dinijah School Poeteri, dengan nama

yang spesiflk tersebut masyarakat menjadi tertarik30 Lucy A. Wh.ley, Meletakkan Islam Ke Dalam Praktik : Perkernbangan Islam Dalam Perspektif Gender Di Minangkabau., hlm. 217

21

dan pada masa penjajahan jepang dipopulerkan dengan

nama "Sekolah Diniyah Puteri", sedang pada masa

sekarang dikenal dengan "Perguruan Diniyah Putri "

Padang Panjang. 31 Nama ini juga sekaligus sebagai

perlambang pembaharuan pendidikan agama Islam untuk

wanita.

Tidak hanya Diniyyah Puteri, Rahmah juga

mendirikan lembaga pendidikan Menyesal School untuk

kaum Ibu yang belum bisa baca-tulis, kemudian Freubel

School (Taman Kanak-kanak), Junior School (setingkat

HIS), Diniyah School Puteri 7 tahun secara

berjenjang dari tingkat Ibtidaiyah (4 tahun), dan

Tsanawiyah (3 tahun).32

Rahmah ingin perempuan bisa menjadi sosok

intelektual yang tetap pada fitrahnya dan anak

didiknya menjadi ibu yang baik untuk anak-anaknya

kelak, karenanya ia tetap memasukkan pendidikan

rumah tangga seperti menjahit, memasak dan

keterampilan rumah tangga lainnya ke dalam kurikulum

sekolahnya. Karena menurut Rahmah, masyarakat bisa

baik bila rumah tangga dari masyarakat tersebut juga

baik, karena rumah tangga adalah tiang masyarakat

31 Aminuddin Rasyad, dkk. Hj Rahmah El Yunusiyah dan Zainuddin Labay El'Yunusy Dua Bersaudara Tokoh Pembaharu Pendld/kan Islam di Indonesia, (PengurusPerguruan Diniyah Putri Padang panjang Perwakilan Jakarta:Jakarta, 1991), hlm.10132 Jajat Burhanuddin dan Oman Fathurrahman. Tentang Perempuan Islam:Wacana dan Gerakan. (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 2004). hlm.18-19

22

dan masyarakat adalah tiang negara, sebagaimana yang

diajarkan oleh agama Islam. Ia menginginkan setiap

wanita menjadi ibu yang baik dalam rumah tangganya,

masyarakat dan sekolah. Menurut Rahmah hal ini hanya

dapat dicapai melalui pendidikan.33

C. KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas dapat diambil

kesimpulan, yaitu:

1. Bahwa dalam sejarah kaum perempuan di Indonesia

sangatlah banyak tokoh-tokoh yg berperan bagi

pendidikan antara lain: Raden Dewi Sartika (dari

Bandung), R.A. Kartini (dari Jepara), Rohana Kudus

(dari Kotogadang), Rahmah El-Yunusiyah (dari Padang

Panjang)

2. Pemikiran-pemikiran yg dicetuskan para tokoh wanita

pendidikan itu sangat berpengaruh dengan kemajuan

yg dialami masyarakat Indonesia saat ini, meskipun

Indonesia masih mengalamai kemeresotan dalam bidang

pendidikan. Setidaknya, kaum perempuan pada era

globalisasi masa ini tidak lagi terkurung dalam

kuatnya budaya patriarkat yang melarang perempuan

bersekolah meraih pendidikan tinggi.

33 Aminuddin Rasyad, Op. Cit., hlm 161

23

DAFTAR RUJUKAN

Sugihastuti dan Siti Hariti Sastriyani. 2009. GlossariumSeks dan Gender. Yogyakarta: Caravasti Books

Kartini. 2001. Habis Gelap Terbitlah Terang, terj. ArmijnPane. Jakarta: Balai Pustaka

Soemandari Soeroto, Siti.1979 Kartini; Sebuah Biografi.Jakarta: Gunung Agung

M.C. Ricklefs. 2008. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.Jakarta: Serambi

Kartini. 2011. Habis Gelap Terbitlah Terang; Door Duisternis TotLicht, Yogyakarta: Narasi

24

Kartini. 1979. Surat-surat Kartini Renungan Tentang dan UntukBangsanya, terj. Sulastrin Sutrisno. Bandung:Djambangan

Wiriaatmadja, Rochiati. 1985. Dewi Sartika. Jakarta:Departemen Pendidikan dan Kebudayaan

Djaja, Tamar. 1980. Roehana Koddoes, Srikandi Indonesia.Jakarta: Mutiara

Mrazek, Rudolf. 1996. Sjahrir: Politik dan Pengasingan diIndonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia

Nuryanti, Reni. 2008. Soenting Melajoe: Di sini, Nama RoehanaKoedoes Terpahat, dalam Muhidin M Dahlan (Ed.),Seabad Pers Kebangsaan: Bahasa Bangsa, TanahairBahasa (1907-2007), Jakarta: IBOEKOE

Rasyad, Aminuddin. 1982. Disertasi Perguruan Diniyyah PuteriPadangpanjang: 1923-1978, Suatu Studi Mengenai PerkembanganSistem Pendidikan Agama. Jakarta: IAIN SyarifHidayatullah Jakarta

Wahyuni, Devi. 2009. Kebijakan Kepemimpinan Perempuan DalamPendidikan Islam (Refleksi Atas Kepemimpinan Rky Rahmah ElYunusiyah Sebagai Syaikhah Pertama di Indonesia) JurnalSawwa terbitan IAIN Walisongo Semarang No. 2, Vol.3

Husaini, Adian. 2012. Pendidikan Islam: Membentuk ManusiaBerkarakter dan Beradab. Jakarta: Cakrawala Publishing

Noer, Deliar. 1982. Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942. Jakarta: Pustaka LP3ES

Jajat Burhanuddin dan Oman Fathurrahman. 2004. TentangPerempuan Islam: Wacana dan Gerakan. Jakarta: GramediaPustaka Utama

Hamka. 1982. Ayahku Riwayat Hidup DR. H. Abdul Karim AmarullahDari Perjuangan Kaum Agama di Sumater. Jakarta: Umminda

Kemenag Riau, Mengupas Emansipasi Wanita [online].Tersedia: http://riau1.kemenag.go.id/index.php?a=artikel&id=492 [13 Desember 2013]

25

Yudha Pirhot, Tri Darma. 2012. R. A. Kartini: Ketika Suratmenjadi Alat Perjuangan [online]. Tersedia:http://pirhot-nababan.blogspot.com/2012/03/ra-kartini-ketika-surat-menjadi-alat.html [11Desember 2013]

Sartika, Atrika. 2013. Dewi Sartika Simbol PerjuanganEmansipasi Wanita [online]. Tersedia:http://filosofilandak.blogspot.com/2013/04/dewi-sartika-simbol-perjuangan.html [11 Desember 2013]

26