Upload
ekaekaekaa
View
78
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
NILAI:
ANALISIS BAHAN BAKU ASETOSAL
DAN UJI LOGAM BERAT
Disusun Oleh:
Ami Amalia Pratiwi 260110090084
Widya Norma Insani 260110090085
Nurul Fitria Adhyanti 260110090086
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PADJADJARAN
JATINANGOR
2012
BAB I
I. LATAR BELAKANG
Asam asetilsalisilat merupakan obat yang umum digunakan sebagai analgesik,
antipiretik, dan antiinflamasi. Asetosal merupakan obat pilihan pertama yang
banyak digunakan oleh masyarakat sehingga pengawasan terhadap kualitas bahan
baku asetosal sangat perlu dilakukan untuk menjamin keamanan dan kemurnian
bahan baku sesuai dengan COA (Certificate Of Analysis).Indikator kualitas bahan
baku dapat ditentukan berdasarkan penetapan titik lebur,penetapan titik susut
pengeringan,sisa pemijaran,uji batas logam berat,uji batas chlorida dan uji batas
sulfat. Pengujian terhadap bahan baku ini sangat penting dilakukan untuk
menjamin kualitas,kemanan dan kemurnian bahan baku obat.
II. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang tersebut maka dapat dirumuskan suatu masalah yaitu
Bagaimanakah metode analisis asetosal dan uji batas logam berat pada bahan
baku asetosal yang dapat memenuhi validitas suatu metode analisis .
III. TUJUAN PENELITIAN
Mengetahui metode analisis asetosal dan uji batas logam berat serta melakukan
analisis pada bahan baku tersebut.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Asam asetilsalisilat mempunyai nama sinonim asetosal, asam salisilat asetat
dan yang paling terkenal adalah aspirin. Serbuk asam asetilsalisilat dari tidak
berwarna atau kristal putih atau serbuk granul kristal yang berwarna putih. Asam
asetilsalisilat stabil dalam udara kering tapi terdegradasi perlahan jika terkena uap
air menjadi asam asetat dan asam salisilat. Nilai titik lebur dari asam asetilsalisilat
adalah 135 C. Asam asetilsalisilat larut dalam air (1:300), etanol (1:5), kloroform
(1:17) dan eter (1:10-15) (Lenngana, 2010).Tablet asam asetilsalisilat
mengandung asam asetilsalisilat tidak kurang dari 90,0 % dan tidak lebih dari
110,0 % dari jumlah yang tertera pada etiket (Farmakope Indonesia,1995).
Asetosal dapat membentuk kompleks berwarna ungu pekat dengan besi (III)
klorida. Asetosal merupakan ester fenolik dari asam salisilat sehingga tidak dapat
bereaksi dengan Fe3+. Gugus ester tersebut harus dipecah melalui hidrolisis
terlebih dahulu dengan NaOH sehingga terbentuk Na salisilat dan Na asetat.
Setelah diasamkan dengan HCl, asam salisilat hasil hidrolisis asetosal dapat
membentuk kompleks dengan pereaksi Fe3+ yang berwarna ungu yang dapat
diukur serapannya pada panjang gelombang sinar tampak (525 nm)
(Braddy,1999). Berikut adalah mekanisme reaksinya :
Spektrofotometri UV-Vis adalah teknik analisis yang menggunakan
sumber radiasi elektromagnetik ultraviolet dan sinar tampak dengan instrumen
spektrofotometer. Molekul-molekul yang memerlukan energi lebih banyak
untuk mempromosikan elektron akan menyerap pada panjang gelombang
yang lebih pendek dan sebaliknya. Senyawa yang menyerap cahaya pada
daerah visibel (senyawa berwarna) mempunyai elektron yang lebih mudah
dipromosikan daripada senyawa yang menyerap pada panjang gelombang UV
(Skoog, 1985).
Spektrofotometer terdiri dari komponen-komponennya meliputi
sumber-sumber sinar,monokromator dan sistem optik.Sumber sinar yang
biasa digunakan adalah lampu deuterium digunakan untuk daerah UV pada
panjang gelombang 190-350 nm,sementara lampu halogen kuarsa atau lampu
tungsten digunakan untuk daerah visible (pada panjang gelomabg antara 350-
900 nm).Monokromator digunakan untuk mendispersikan sinar ke dalam
komponen-komponen panjang gelombangnya yang selanjutnya dipilih oleh
celah (slit).Monokromator berputar sedemikian rupa sehingga kisaran panjang
gelombang dilewatkan pada sampel sebagai scan instrument melewati
spektrum.Sistem optik dapat didesain untuk memecah sumber sinar sehingga
sumber sinar melewati 2 kompartemen dan sebagaimana dalam
spektrofotometer berkas ganda (double beam),suatu larutan blanko dapat
digunakan dalam satu kompartemen untuk mengkoreksi pembacaan atau
spektrum sampel.Yang paling serng digunakan sebagai blanko dalam
spektrofotometri adalahs semua pelarut yang digunakan untuk melarutkan
sampel atau pereaksi (Gholib dan Rohman,2007).
Hukum Lambert-Beer menyatakan bahwa intensitas yang diteruskan
oleh larutan zat penyerap berbanding lurus dengan tabal dan konsentrasi
larutan.Dalam hukum Lambert-Beer tersebut ada beberapa pembatasan yaitu:
• Sinar yang digunakan dianggap monokromatis
• Penyerapan terjadi dalam suatu volume yang mempunyai
penampang luas yang sama
• Senyawa menyerap dalam larutan tersebut tidak tergantung
terhadap yang lain dalam larutan tersebut
• Tidak terjadi peristiwa flouresensi atau fosforisensi
• Indeks bias tidak tergantung pada konsentrasi larutan
(Gholib dan Rohman,2007).
Analisis volumetri atau titrimetri harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
• Reaksinya harus berlangsung cepat.Kebanyakan reaksi ion
memenuhi syarat ini.
• Reaksinya harus sederhana serta dapat dinyatakan dengan
persamaan reaksi,bahan yag diselidiki bereaksi sempurna
dengan senyawa baku dengan perbandingan kesetaraan
stiokiometris.
• Harus ada perubahan yang terlihat pada saat titik ekivalen
tercapai,baik secara kimia atau fisika.
(Gholib dan Rohman,2007).
Titrasi asidi-alkalimetri adalah titrasi untuk penetapan kadar yang
berdasarkan pada perpindahan proton dari zat yang bersifat asam atau
basa,baik dalam lingkungan air ataupun dalam lingkungan bebas air.Titrasi
alkalimetri adalah penetapan kadar senyawa-senyawa yang bersifat asam
dengan menggunakan baku basa sebaliknya titrasi asidimetri adalah penetapan
kadar senyawa-senyawa yang bersifat basa dengan menggunakan baku asam
(Gholib dan Rohman,2007).
Fenoftalein adalah indikator yang bersifat basa lemah,mempunyai Pka
9,4 (perubahan warna terjadi antara 8,4-10,4).Struktur fenoftakein akan
mengalami penataan ulang pda kisaran Ph ini karena proton dipindahkan dari
strukur fenol dari pp sehingga Ph meningkat akibatnya akan terjadi perubahan
warna menjadi pink muda (Vogel,1978).
Spektorofotmetri infra merah atau infra red merupakan suatu metode yang
meliputi teknik absorption,emisi dan flouresensi dan juga merupakan metode
yang mengamati interaksi molekul dengan radiasi elektromagnetik yang
berada pada daerah panjang gelombang (2500-50000 nm atau 4000 – 200 cm-
1) . Penyerapan gelombang elektromagnetik dapat menyebabkan terjadinya
eksitasi tingkat-tingkat energi dalam molekul dapat berupa eksitasi
elektronik,vibrasi atau rotasi.Rumus yang digunakan adalah:
Keterangan :
E = Energi yang diserap
h = Tetapan Planck (6,26 x 10-34 )
V = Frekuensi
C = Kecepatan cahaya (2,998 x 108 m/det)
= Panjang gelombang
(Basset,1994).
Setiap senyawa pada keadaan tertentu telah mempunyai tiga macam gerak,yaitu:
1. Gerak translasi,yaitu perpindahan dari satu titik ke titik lain
2. Gerak rotasi,yaitu gerak berputar pada porosnya
3. Gerak vibrasi,yaitu gerak bergetar pada tempatnya
Dalam spektrofotometri IR panjang gelombang dan bilangan gelombang
adalah nilai yang digunakan untuk menunjukan posisi dalam spektrum serapan,
posisi pita serapan dapat diprediksi berdasarkan teori mekanikal osilator harmoni
(Giwangkara,2001).Vibrasi molekul dapat digolongkan menjadi :
1. Vibrasi regangan (stretching)
Dalam vibrasi ini atom bergerak terus sepanjang ikatan yang
menghubungkannya sehingga akan terjadi perubahan jarak antara keduanya
walaupun sudut ikatan berubah.Ada simetri dan asimetri.
2. Vibrasi bengkokan (bending)
Jika sistem tiga atom merupakan bagian dari sebuah molekul yang lebih
besar,maka dapat menimbulkan vbrasi bengkokan/vibrasi deformasi yang
mempengaruhi osilasi atom atau molekul secara keseluruhan.Terbagi menjadi
Vibrasi goyangan,guntingan,kibasan dan twisting (Junaidi,2009).
Titik lebur adalah suhu dimana seluruh padatan dari senyawa mulai
meleleh.Titik lebur merupakan sifat fisik yang dapat digunakan untuk
mengidentifikasi senyawa.Pada praktiknya,Padatan biasanya melebur dalam
rentang suhu daripada pada suhu spesifik sehingga yang biasa digunakan untuk
identifikasi adalah rentang suhu titik leburnya.Senyawa yang dapat meleleh dalam
rentang suhu yang sempit biasanya diasumsikan bahwa senyawa tersebut
murni.Sebaliknya,jika senyawa dapat melebur dalam rentang yang lebar dapat
diasumsikan bahwa senyawa tersbut tidak murni.Selain meleleh pada rentang
yang lebar,senyawa yang tidak murni juga akan melebur pada suhu yang lebih
rendah daripada senyawa yang murni (Gholib dan Rohman,2007).
BAB III
ALAT,BAHAN DAN METODE PENELITIAN
ALAT
o Beaker glass
o Buret
o Gelas ukur
o Labu erlenmeyer
o Labu ukur 20 ml
o Melting point apparatus
o Ph meter
o Pipa kapiler
o Pipet gelas
o Spektrofotometer IR
o Spektrofotometer UV/Vis
BAHAN
o Asam oksalat
o Asetosal BPFI
o Asetosal
o Aquadest
o Etanol
o Fenoftalein
o Ferri klorida
o Kloroform
o Kalium Bromida
o Natrium Hidroksida
I. UJI PENDAHULUAN
A. Pemeriksaan Organoleptis
Timbang sejumlah asetosal kemudian lakukan pemeriksaan terhadap
bentuk,warna,rasa dan bau dari serbuk asetosal.
B. Uji Kelarutan
Timbang sejumlah asetosal kemudian dilarutkan masing-masing ke dalam air
(1:30),etanol (1:5) ,eter dan kloroform (1:17).
C. Uji susut pengeringan
Timbang 3 gram serbuk asetosal kemudian masukan ke dalam oven selama 1 jam
dan timbang massa akhir setelah di keringkan kemudian di hitung nilai susut
pengeringan.
D. Uji Reaksi Warna
Sejumlah serbuk asetosal ditempatkan pada pelat tetes kemudian di tambahkan
reagen besi (III) klorida maka akan terbentuk larutan kompleks berwarna merah
ungu.
E. Uji pH
Sejumlah asetosal dilarutkan dalam aquadest kemudian diukur nilai Ph dengan
menggunakan ph meter.
F. Uji batas logam berat
Ditimbang sebanyak 2 gram asetosal dalam 25 ml aseton P kemudian
ditambahkan 1 ml air dan 10 ml hidrogen sulfida LP ;warna yang terbentuk tidak
lebih gelap dari pembanding yang dibuat dari 25 ml aseton P,2 ml larutan baku
timbal dan 10 ml hidrogen sulfida.
II. UJI KUALITATIF
A. Melting Point Test
Serbuk asetosal yang digunakan harus dalam keadaan kering,kemudian sejumlah
asetosal dimasukan ke dalam tube kapiler pastikan tidak ada rongga udara pada
saat memasukan sampel,selanjutnya tube kapiler dimasukan ke dalam melting
point apparatus,panaskan alat hingga 130° C serta atur kenaikan suhu 2° C setiap
menit hingga sampel meleleh.
B. Spektrofotometri IR
Ditimbang 200 mg serbuk KBr kering bebas air dan 20 mg asetosal kemudian
digerus sampai halus dan homogen selanjutnya di kempa dengan pompa hydrolik
hingga membentuk cakram kemudian dimasukan ke dalam spektrofotometer IR
dan spektrum yang terbentuk diamati.Dari spektrum diperoleh bilangan
gelombang yang menunjukan gugus fungsi yang terdapat dalam sampel serta
kemurniannya (purity index) .
III. UJI KUANTITATIF
A. Spektrofotometri UV/Vis
Asetosal BPFI ditimbang sebanyak 30 mg kemudian dilarutkan ke dalam etanol
95% sebanyak 100 ml di dalam labu ukur.Selanjutnya di buat 5 variasi
konsentrasi secara kuantitatif dengan konsentrasi 100 ppm,90 ppm,80 ppm,70
ppm dan 60 ppm serta sampel asetosal.Masing-masing konsentrasi diukur
absrobansinya pada panjang gelombang 277 nm kemudian data absrobansi yang
diperoleh di plotkan dalam kurva baku dengan (x) adalah konsentrasi baku dan
(y) adalah absorbansi dan dihitung konsentrasi sampelnya.
B. Titrasi Alkalimetri
Dilakukan pembakuan NaOH dengan menggunakan Asam Oksalat.ditimbang
0,63 gram asam oksalat kemudian di masukan ke dalam labu ukur 20 ml lalu
kocok hingga larut.Dari larutan tersebut diambil 10 ml kemudian masukan ke
dalam erlenmeyer lalu tambahkan 2 tetes indikator fenoftalein selanjutnya dititrasi
dengan NaOH 0,5 N yang dilakukan duplo kemudian dihitung normalitas
NaOH.Penetapan kadar asetosal dilakukan dengan menimbang 0,18 gram asetosal
yang dilarutkan ke dalam etanol netral 95 % kemudian ditambahkan 2 tetes
fenoftalein lalu dititrasi dengan NaOH 0,5 N yang dilakukan duplo kemudian dari
data tersebut dihitung kadar asetosal dengan rumus:
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
I. HASIL PENELITIAN
NO PENGUJIAN HASIL1. Pemeriksaan organoleptis Bentuk : hablur putih seperti
jarum atau lempengan.
Warna : putih
Bau : tidak berbau atau berbau
lemah 2. Uji kelarutan Kelarutan dalam air : sukar larut
(100 mg :30 ml),perlu dibantu
dengan pemanasan
Kelarutan dalam etanol : mudah
larut (1 gr : 5 ml)
Kelarutan dalam kloroform:
mudah larut (1 gram : 17 ml)3. Uji susut pengeringan Massa awal : 3,0933 gram
Massa akhir : 3,0515 gram
Susut pengeringan : 0,0418 gram4. Uji reaksi warna Kondisi awal : larutan asetosal
berwarna kuning
Kondisi akhir : larutan kompleks
berwarna ungu pekat5. Uji pH Ph larutan asetosal : 2,336. Uji melting point 122-129° C7. Pembakuan NaOH dengan asam
oksalat
Penetapan kadar asetosal
V oksalat = 10 ml
N oksalat = 0,5 N
V NaOH I = 9,95 ml
V NaOH II = 9,54 ml
N NaOH I = 0,502
N NaOH II =0,52
N NaOH = 0,513
Vol.titer = 1,925 ml
Berat asetosal = 180,2 mg
Kadar asetosal = 98,73 %
8. Spektrofotometri UV/Vis 100 ppm ; A = 0,65
90 ppm ; A = 0,5755
80 ppm ; A = 0,5215
70 ppm ; A = 0,4582
60 ppm ; A = 0,3894
Hasil pembakuan NaOH dengan Asam oksalat
o Erlenmeyer 1
V1N1(NaOH) = V2N2 (as.oksalat)
9,95 x N1 = 10 x 0,5
N1 = 0,502
o Erlenmeyer 2
V1N1(NaOH) = V2N2 (as.oksalat)
9,54 x N1 = 10 x 0,5
N1 = 0,52
Hasil perhitungan kadar asetosal
Spektrum Infra Merah
500100015002000300040001/cm
-50
0
50
100
%T
30
23
,93
25
87
,53
17
57
,65
17
03
,16
16
06
,23
14
55
,79
13
06
,78
11
92
,02 10
95
,09
10
13
,12
91
6,6
8 80
4,3
2
70
4,9
9
28
31
,50
26
96
,48
25
84
,61
25
44
,11
23
58
,94
23
30
,01
17
70
,65
13
05
,81
13
05
,81
11
86
,22
11
86
,22
91
6,1
99
16
,19
asetosal_19-03-2012asetosal_baku 16-03-2011
Purity index for asetosal_19-03-2012 vs. asetosal_baku 16-03-2011
Date: 19/03/2012
Time: 15:21:01
Username: Owner
Normalization: Datapoints
Peak purity: Correlation
Threshold: 0,000000
Smooth: None
Purity index 0,806757
Slope 0,206410
Intercept 0,762934
Foto hasil penelitian
Kelarutan dalam kloroform (1 : 17 ) Kelarutan dalam etanol (1:5)
Uji Ph Reaksi warna
Spekttofotometri UV/Vis Pembakuan NaOH
Titrasi asetosal Melting point test
KURVA KALIBRASI ABSORBANSI LARUTAN BAKU ASETOSAL
Absorbansi
0,80
0,70
0,60
0,50
0,40
0,30
0,20
0,10
0,00Konsentrasi
60 ppm 70 ppm 80 ppm 90 ppm 100 ppm
II. PEMBAHASAN
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui metode analisis asetosal dan
uji batas logam berat serta melakukan analisis pada bahan baku
tersebut.Metode analisis yang digunakan dalam penelitian meliputi uji
pendahuluan,uji kualitatif dan uji kuantitatif.Dalam uji pendahuluan dilakukan
pemeriksaan organoleptis,pemeriksaan ini merupakan pemeriksaan yang
paling pertama dan mudah dilakukan yaitu dengan mengambil sejumlah
sampel asetosal kemudian diamati bentuk,rasa dan bau dari asetosal.Dari hasil
pengamatan diketahui bahwa asetosal memiliki bentuk hablur putih seperti
jarum atau lempengan berwarna putih dan tidak berbau.Hasil ini sesuai
dengan monografi asetosal yang tertera pada Farmakope
Indonesia.selanjutnya dilakukan pengujian kelarutan.Asetosal dilarutkan
dalam air,etanol dan kloroform.Dari hasil pengamatan diperoleh bahwa
asetosal sukar larut dalam air dengan perbandingan 1 gram : 300 ml perlu
dibantu dengan pemanasan , sedangkan dalam etanol asetosal memiliki
kelarutan yang baik yaitu dinyatakan mudah larut dengan perbandingan 1
gram: 5 ml begitu juga pada kelarutan dalam kloroform dinyatakan mudah
larut dengan perbandingan 1 gram : 17 ml.Selanjutnya dilakukan susut
pengeringan. Susut pengeringan adalah nilai yang menunjukan jumlah
senyawa volatile dalam sampel dengan pemanasan pada suhu yg spesifik
dengan/tanpa vaccum,pengujian susut pengeringan berdasarkan Farmakope
Indonesia dilakukan dengan menimbang sebanyak 3 gram asetosal kemudian
dikeringkan dengan menggunakan silica gel P selama 5 jam,namun dalam
penelitian pengeringan tidak dilakukan dengan silica melainkan dengan
menggunakan oven karena dinilai lebih cepat dalam pengerjaan.Setelah
dikeringkan kemudian ditimbang kembali bobot asetosalnya diperoleh bobot
asetosal setelah pengeringan sebesar 3,0515 dari data tersebut dapat ditentuka
bahwa nilai susut pengeringannya sebesar 0,0418 dari hasil tersebut dapat
dikatakan bahwa sampel asetosal tidak memenuhi syarat susut pengeringan
berdasarkan Farmakope Indonesia karena susut pengeringan nya lebih dari 0,5
%.Selanjutnya dilakukan Uji reaksi warna,pengujian ini dilakukan dengan
mereaksikan asetosal yang dilarutkan dalam etanol kemudian direaksikan
dengan besi (III) klorida,berikut adalah mekanisme reaksinya :
O C CH
O
C
O
OH
3
(aq) + CH C O (aq) + 2H O(l)
O
C
O
O
-
-(s) + 3OH (aq) -
O
-3 2
O
C
O
O
-
- + [Fe(H O) ]2 6
+3
O
C
O
O
+
2 4Fe(H O)
2 3
++ H O + H O
Asetosal merupakan ester fenolik dari asam salisilat sehingga tidak dapat
bereaksi dengan Fe3+. Gugus ester tersebut harus dipecah melalui hidrolisis
terlebih dahulu dengan ion hidroksida yang diperoleh dari etanol sehingga
terbentuk salisilat dianion selanjutnya dengan penambahan besi (III) klorida maka
akan terbentuk kompleks besi-salisilat yang berwarna ungu pekat.warna ungu
pekat yang terbentuk merupakan identifikasi yang spesifik terhadap asetosal.
Selanjutnya dilakukan pengujian Ph terhadap asetosal.asetosal dilarutkan ke
dalam aqudest walaupun asetosal sukar larut dalam air namun untuk pengujian ini
harus dilakukan dalam pelarut air karena air bersifat netral sehingga tidak akan
mempengaruhi pengukuran ph.Dari hasil pengamatan diperoleh ph asetosal yaitu
2,33 termasuk bersifat asam.Sifat asam ini karena dalam asetosal terdapat gugus
fungsi asam karboksilat.
Untuk uji kualitatif dilakukan pengujian Melting point dan dengan metode
Spektrofotometri IR.Titik leleh suatu senyawa ialah suhu dimana senyawa
tersebut mulai meleleh. Senyawa – senyawa murni suhunya hampir tetap selama
meleleh atau disebut juga mempunyai titik leleh yang tajam, misalnya 125,5° -
126° atau 180° - 181°, sedangkan untuk senyawa yang sama tetapi tidak murni
akan meleleh pada interval suhu yang lebar, misal 123° – 126° atau 176° – 180°.
Pengotoran yang menyebabkan penurunan titik leleh ini dapatmerupakan bahan
berbentuk resin yang tidak diidentifikasi atau senyawa lain yang mempunyai titik
leleh lebih rendah atau lebih tinggi dari senyawa utamanya.
Menentukan titik leleh suatu kristal merupakan cara yang digunakan untuk
menguji kemurnian suatu kristal tersebut. Jika zat padat dipanasakan, zat padat
akan meleleh. Suatu zat padat mempunyai struktur kisi yang teratur dan diikat
oleh gaya gravitasi dan elektrostatik. Bila zat padat dipanaskan, energi kinetik
dari molekul kristal akan naik dan molekul akan bergetar yang akhirnya pada
titik lelehnya, kristal akan meleleh. Alat penentu titik leleh ada beberapa macam
mulai yang manual hingga digital seperti thiele, Fisher John Melting point
apparatus, blok logam atau dengan system digital.
Dalam percobaan ini, kami menguji titik leleh asetosal dengan melting point
apparatus. Range titikleleh yang diperoleh dari percobaan yaitu 120-129° C Titik
leleh ini berbeda dengan titik leleh literatur 130°C. Hal ini karena didalam kristal
terdapat zat pengotor yang mengganggu struktur kisi kristal sehingga membuat
trayek titik leleh menjadi besar dan titik leleh menjadi tidak sama dengan
literatur, dalam hal ini zat pengotor nya adalah kristal asam salisilat. Hal lain
yang menyebabkan perbedaan titik leleh ini adalah pada saat pengisian pipa
kapiler pada melting block. Menurut literatur, kristal yang diperlukan untuk
mengisi pipa kapiler adalah sekitar 0,5 cm tinggi pipa kapiler tersebut. Jadi
kristal yang terlalu banyak dan terlalu sedikit membuat hasil titik leleh berbeda.
Selanjutnya, adalah pengujian dengan metode spektrofotometri infra
merah.Terdapat dua tipe Spektrofotometri Infra Merah, yaitu Spektrofotometri Infra merah
Konvensional dan Fourier Transform Infra Red (FTIR). Dalam percobaan ini digunakan
Spektrofotometri FTIR karena sampel yang digunakan lebih sedikit dari 5 mg. Selain itu juga
FTIR lebih sensitif daripada Spektrofotometri Infra merah Konvemsional.
Mekanisme analisis secara umum yaitu energi infra merah dipancarkan dari
pijaran sumber sinar. Sinar ini melewati celah yang mengontrol jumlah energi
yang disampaikan kepada sampel. Sinar memasuki interferometer dimana
“encoding spektral” terjadi.Sinyal Interferogram yang dihasilkan kemudian
keluar interferometer. Sinar memasuki ruang sampel dimana ditransmisikan
melalui permukaan sampel, tergantung pada jenis analisis yangdicapai. Di sinilah
frekuensi energi tertentu, yangmerupakan karakter unik darisampel, diserap.Sinar
akhirnya lolos ke detektor untuk pengukuran akhir. Detektor yangdigunakan
secara khusus dirancang untuk mengukur sinyalinterferogram. Sinyal yang
diukur didigitalkan dan dikirim ke komputer dimana transformasi Fourier terjadi.
Spektrum inframerah terakhir ini kemudian dipresentasikan kepada pengguna
untuk interpretasi.
Ada beberapa cara pengolahan sampel untuk analisis menggunakan
Spektrofotometri Infra Merah tetapi pada percobaan ini digunakan cakram
Kalium Bromida (KBr). Campur 200 mg kalium bromide dan 20 mg zat sampel
(asetosal), aduk hingga homogen di mortir khusus dan dilakukan di tempat yang
kelembabannya rendah. Kelembaban dari ruangan akan mempengaruhi cakram
KBr sehingga mempengaruhi pembacaan spectrum. Jika kelembaban tinggi maka
banyak uap air yang akan diserap oleh KBr. Buat cakram KBr dari campuran
KBr dan zat sampel. Cakram dibuat dengan cara mengisi cetakan dengan rata dan
kompresikan oleh alat penekan hidrolik dengan tekanan lebih kurang 60 Kn
selama 5 menit. Hubungkan pula dengan pompa vakum untuk membuang sisa
CO2 atau keberadaan udara pada KBr yang dapat mempengaruhi hasil. Setelah
itu cakram diletakkan pada spektrofotometer menggunakan pinset agar tidak
terkontaminasi. Lihat spektrum yang dihasilkan. Menurut Farmakope Indonesia
edisi IV, Spektrum serapan Inframerah zat yang didispersikan dalam kalium
bromida P menunjukkan maksimum hanya pada panjang gelombang yang sama seperti
pada Asam Asetilsalisilat BPFI.
Dari hasil Spektrum Infra Merah yang diperoleh, gugus fungsi yang didapat adalah sebagai
berikut:
BilanganGelombang Intensitas GugusFungsi
3023,93 Kuat C=H
2587,53 Sedang O=H Karboksilat
1757,65 Kuat Ester C=O
1703,16 Kuat C=O karboksilat
1606,23 Rendah-sedang C=C aromatik
1455,79 Rendah-sedang C=C
Dari data diatas diperoleh gugus-gugusfungsi yang sesuai dengan struktur
asetosal. Adapun purity index yang diperoleh yaitu 0,806757. Dapat disimpulkan
bahwa sampel asetosal ini tidak murni karena jauh dari range kemurnian asetosal
yang tercantum pada Farmakope Indonesia Edisi IV yaitu tidak kurang dari
99,5% dan tidak lebih dari 100,5%. Hal ini dapat disebabkan karena asetosal yang
digunakan mengandung pengotor, didalam cakram masih terdapat air atau CO2,
asetosal yang digunakan terurai karena adanya pengaruh kelembaban udara di
ruangan analisis, ataupun saat pembuatan cakram tidak homogen dalam
pencampurannya
Uji batas logam berat adalah uji yang dimaksudkan untuk mengetahui bahwa
cemaran logam yang direaksikan dgn ion sulfida menghasilkan warna pada
kondisi penetapan dan tidak melebihi batas logam berat yg tertera pd
monografi,dinyatakan dalam % (bobot) timbal dalam zat uji.untuk pengujian
batas logam berat menurut Farmakope Indonesia dilakukan dengan melarutkan 2
gram asetosal ke dalam 25 ml aseton dan ditambahkan 1 ml air dan 10 ml
hidrogen sulfida kompleks warna yang terbentuk tidak lebih gelap dari
pembanding yang dibuat dari dari 25 ml aseton P,2 ml larutan baku timbal dan 10
ml hidrogen sulfida.Nilai batas logam yang dipersyaratkan adalah tidak lebih dari
10 bpj.Namun,dalam penelitian kali ini tidak dilakukan pengujian batas logam
berat karena tidak adanya alat yang menunjang untuk uji tersebut.
Uji kuantitatif bertujuan untuk mengetahui kadar dari bahan baku asetosal
untuk menjamin kualitas bahan baku sediaaan obat. Penjaminan kualitas bahan
baku obat dengan melakukan penetapan kadar asetosal dari bahan baku sangat
penting untuk mendukung efek farmakologi yang optimal dari obat. Pada
percobaan ini penetapan kadar bahan baku asetosal menggunakan
spektrofotometri. Spektrofotometer adalah suatu instrumen yang digunakan untuk
mengukur transmitan/absorbansi suatu sampel sebagai fungsi panjang gelombang,
pengukuran terhadap sederetan sampel pada suatu panjang gelombang tunggal.
Spektrofotometri dapat digunakan untuk analisis kualitatif. Banyaknya sinar yang
diabsorpsi pada panjang gelombang tertentu sebanding dengan banyaknya
molekul yang menyerap radiasi, sehingga spektra absorpsi juga dapat digunakan
untuk analisis kuantitatif.
Keuntungan utama pemilihan metode spektrofotometri bahwa metode ini
sederhana dan memiliki tingkat ketelitian yang baik. Adapun prinsip utama pada
praktikum kali ini yaitu radiasi elektromagnetik dapat menyebabkan senyawa
yang meiliki gugus kromofor akan tereksitasi dari keadaan dasar (ground state)
ke keadaan tereksitasi dengan energi yang lebih tinggi karena menyerap radiasi
elektromagnetik. Asetosal mempunyai gugus kromofor dan auksokrom sehingga
menyebabkan senyawanya berwarna. Gugus kromofor merupakan gugus atau
atom dalam senyawa organik yang mampu menyerap sinar ultraviolet dan sinar
tampak. Contoh gugus kromofor adalah alken, alkil, karbonil, karboksil, amido
azo, nitro nitroso, nitrat. Sedangkan auksokrom adalah gugus fungsional yang
memiliki elektron bebas (seperti OH ; -O ; -NH2 ; dan – OCH3) dan dapat
meningkatkan daya kerja kromofor sehingga mengakibatkan pergeseran pita
absorpsi menuju ke panjang gelombang yang lebih besar atau dikenal dengan
pergeseran batokromik disertai dengan peningkatan intensitas (efek hiperkromik).
Gugus kromofor yang terdapat pada struktur Asetosal yaitu gugus karboksil.
Langkah awal dalam percobaan ini yaitu melakukan preparasi larutan
baku asetosal. Larutan baku Asetosal 150 ppm diencerkan dengan berbagai
variasi konsentrasi, yaitu 100 ppm, 90 ppm, 80 ppm, 70 ppm dan 60 ppm .
Pengenceran ini dilakukan untuk melihat variasi absorbansi dari variasi
konsentrasi larutan baku sehingga dapat dibuat kurva baku larutan Asetosal.
Sebelumnya dilakukan penetuan variasi konsentrasi dengan mengukur absorbansi
dari konsentrasi larutan baku sehingga berada pada range 0,2 – 0,8 untuk
memberikan nilai akurasi dan presisi yang baik. Selain itu, pembuatan kurva baku
minimal dibuat 5 variasi konsentrasi untuk mendapatkan kurva yang linier,
sehingga menghasilkan nilai akurasi dan presisi yang lebih baik.
Sebelum pengukuran absorbansi larutan baku dilakukan, terlebih dahulu
dilakukan pengukuran absorbansi pelarut yang digunakan, yaitu etanol. Hal ini
dilakukan untuk mengkalibrasi alat spektrofotometer dengan tujuan untuk
menolkan pelarut sehingga pada saat pengukuran sampel pelarut tidak
memberikan serapan yang dapat mempengaruhi nilai absorbansi sampel yang
diukur.
Setelah itu dilakukan pengukuran terhadap larutan baku. Sebelumnya
kuvet yang akan digunakan dibilas terlebih dahulu dengan menggunkan larutan
baku agar tidak ada pengotor yang menempel pada dinding kuvet. Kemudian
larutan baku dimasukkan ke dalam kuvet hingga ¾ bagian kuvet. Kuvet
diletakkan ditempatnya dan absorbansi larutan sampel diukur pada rentang
panjang gelombang 400-800 nm
Data yang diperoleh dari pengukuran absorbansi larutan baku dengan 5
variasi konsentrasi yaitu 0,3894 A, 0,4582 A, 0,5215 A, 0,5755 A, dan 0,65
A,masing-masing untuk konsentrasi 60 ppm, 70 ppm, 80 ppm, 90 ppm, dan 100
ppm. Berdasarkan hasil tersebut, semakin besar konsentrasi larutan maka semakin
besar pula absorbansi larutan. Hal ini sesuai dengan hukum Lambert-Beer yang
dikenal dengan persamaan A=abc dimana absorbansi dinyatakan dengan A dan
konsentrasi dinyatakan dengan c. Berdasarkan persamaan tersebut diketahui
bahwa absorbansi berbanding lururs dengan konsentrasi, dengan kata lain
semakin besar nilai konsentrasi maka semakin besar absorbansinya.
Setelah mengetahui absorbansi pada variasi konsentrasi tersebut,
kemudian dibuat kurva kalibrasi untuk mendapatkan persamaan liniernya yaitu :
Y = 6,38 x 10-3 + 8,42 x 10-3
Dengan mengetahui persamaan linier tersebut maka dapat diketahui
konsentrasi dari sampel. Namun, pengukuran larutan sampel dengan
spektofometer tidak dilakukan karena keterbatasan waktu praktikum sedangkan
penggunaan spektrofotometer dilakukan secara bergiliran untuk semua kelompok.
Sehingga penetapan kadar asetosal dilakukan dengan metode titrasi asam basa
jenis alkalimetri untuk mendapatkan kadar bahan baku asetosal dalam rangka
pengujian kualitas bahan baku.
Dalam analisis titrimetri dilakukan dengan mengukur volume,sejumlah zat
yang dianalisis yang direaksikan dengan larutan baku (standar) yang
konsentrasinya telah diketahui secara teliti dan reaksinya berlangsung secara
kuantitatif.Metode titrimetri dipilih Metode titrasi dipilih karena memiliki
ketelitian yang baik,alat dan pengerjaannya yang sederhana. Titrasi ini adalah
jenis titrasi asidi-alkalimetri, titrasi asidi-alkalimetri termasuk reaksi
netralisasi.Reaksi netralisasi adalah reaksi antara ion hidrogen yang berasal dari
asam (dalam hal ini berasal dari asetosal) dengan ion hidroksida yang berasal dari
basa untuk menghasilkan air yang bersifat netral.
Titrasi yang dipilih adalah titrasi alkalimetri.Titrasi alkalimetri adalah
penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa yang bersifat asam dengan
menggunakan baku basa.Hal ini sesuai dengan asetosal yang bersifat asam lemah
yang akan dititrasi menggunakan NaOH sebagai larutan baku yang bersifat basa
kuat.Berdasarkan Farmakope indonesia, titrasi yang dilakukan adalah teknik
titrasi balik tetapi dalam penelitian ini dilakukan dengan teknik titrasi langsung
karena cara ini dinilai lebih akurat dibandingkan dengan cara titrasi balik yang
menggunakan dua titran sehingga kemungkinan kesalahanya lebih besar serta
pengerjaan titrasi langsung lebih mudah,cepat dan sederhana.
Larutan baku dibuat dengan melarutkan 1gram NaOH ke dalam 50 ml
aquadest.NaOH merupakan larutan baku sekunder karena sifat nya higroskopis
sehingga perlu dilakukan standardisasi dengan menggunakan larutan baku
primer.Larutan baku primer yang digunakan adalah Asam oksalat karena untuk
senyawa yang digunakan sebagai baku primer harus memiliki kemurnian yang
sangat tinggi,tidak berubah selama penimbangan,tidak teroksidasi oleh O2 dari
udara dan tidak berubah dengan CO2 dari udara serta mempunyai berat ekivalen
yang tinggi sehingga kesalahan penimbangan akan menjadi lebih
kecil.Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mendapatkan berat asam oksalat
yang ditimbang berdasarkan rumus:
Sehingga dari perhitungan tersebut untuk membuat Asam oksalat 0.5 N
diperlukan 0,63 gram asam oksalat yang dilarutkan ke dalam 20 ml
aquadest,selanjutnya dari larutan tersebut diambil 10 ml dan ditempatkan pada
erlenmeyer untuk selanjutnya dititrasi dengan NaOH secara duplo kemudian volume
titran yang digunakan dicatat dan dilakukan perhitungan untuk mendapatkan
normalitas dari NaOH.Konsentrasi Asam okslaat 0,5 N berdasarkan pada penetapan
kadar yang tertera pada Farmakope Indonesia. Dari hasil pengamatan diperoleh
normalitas NaOH adalah 0,513. Setelah NaOH selesai dibakukan maka dapat
digunakan sebagai larutan baku untuk mentitrasi sampel asetosal.
Untuk melarutkan sampel digunakan etanol netral karena asetosal sukar larut
dalam air selain itu karena jika digunakan etanol biasa maka dikhawatirkan akan
menambah keasaman dari asetosal sehingga akan mempengaruhi hasil penetapan
kadarnya.Etanol netral dibuat dengan cara mentitrasi etanol dengan NaOH yang telah
dibakukan dan ditambahkan indikator fenoftalien.Titrasi dlakukan hingga terjadi
perubahan warna menjadi pink muda,selanjutny etanol netral dapat digunakan
sebagai pelarut.Ditimbang sebanyak 180,2 mg asetosal dilarutkan ke dalam etanol
netral dan ditambahan 2 tetes indikator fenoftalien kemudian dititrasi dengan NaOH
hingga terjadi perubahan warna dari bening menjadi pink muda.
Pada awal titrasi perubahan nilai Ph berlangsung lambat sampai menjelang titik
ekivalen.Pada saat nilai ekivalen inilah,nilai ph akan meningkat secara drastis
sehingga untuk mengamati titik akhir titrasi digunakan indikator. Titik ekivalen
adalah titik dimana bahan yang dianalisis telah bereaksi dengan senyawa baku secara
kuantitatf sedangkan titik akhr titrasi adalah titik dimana titrasi berakhir ditandai
dengan perubahan warna larutan.Perubahan warna ini dapat lebih mudah diamati
dengan bantuan indikator.Indikator adalah suatu asam atau basa lemah yang berubah
warna diantara bentuk terionisasi dan tidak terionisasi.Indikator yang digunakan
adalah fenoftalien.Fenoftalien dipilih karena titik akhir titrasi akan berada pada ph
basa sehingga dinilai fenoftalien merupaka indikator yang tepat karena Fenoftalien
mempunyainilai Pka 9,4 (perubahan warna terjadi antara Ph 8,4-10,4) struktur
fenoftalien akan mengalami penataan ulang (terionisasi) pada kisaran Ph tersebut
yang akan mengakibatkan perubahan warna menjadi pink.Kurva titrasi dengan
fenoftalein adalah sebagai berikut:
Dari hasil pengamatan volume titran yang digunakan adalah 1,925 ml kemudian
dihitung kadarnya dengan rumus :
Sehingga,diperoleh nilai kadar asetosal sebesar 98,73 %. Dari hasil ini dapat
dinyatakan bahwa sampel asetosal tidak memenuhi persyaratan Farmakope
Indonesia,dimana syarat kadar asetosal berada pada 99,5 % – 100,5 %.Hal ini dapat
terjadi karena bahan asetosal yang digunakan mungkin telah terkontaminasi zat lain
selama penyimpanan dan mungkin sampel yang digunakan merupakan sampel yang
telah disimpan dalam waktu yang lama sehingga kualitas sampel telah berkurang.
BAB V
KESIMPULAN
Dari hasil penelitian diperoleh kesimpulan sebagai berikut :
Metode analisis asetosal dapat diketahui yaitu dengan menggunakan Uji
pendahuluan yang meliputi pemeriksaaan organoleptis,uji kelarutan,susut
pengeringan,uji Ph;Uji kualitatif yaitu dengan pengujian melting point dengan
rentang suhu 122-129° C dan spektrofotometri IR dengan hasil kemurnian
sebesar 80,67 %;Uji kuantitatif meliputi : Titrasi alkalimetri dengan kadar 98,73
% dan Spektrofotometri UV/Vis.
DAFTAR PUSTAKA
Basset,J.,1994.Kimia Analisis Kuantitatif Anorganik.Jakarta: ECG
Braddy, James E., 1999. Kimia Universitas Asas dan Struktur, Binarupa
Aksara .Jakarta.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia.1995.Farmakope Indonesia Edisi
IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Giwangkara S.2007.Spektrofotometri Infra Merah.http://chem-is-try. org/
artikel_kimia_analisis/spektrofotometri_infra_merah/ (Diakses pada 31 maret
2012)
Gholib,Ibnu dan Rohman,Abdul.2007.Kimia Farmasi Analisis. Yogyakarta:
Pustaka pelajar.
Junaidi.2009.Spektrofotometri Infra Merah. http: //Wawan _Junaidi. Blogspot
.com /2009/07/spektrofotometri_infra_red_atau_infra.html (Diakses pada 31
maret 2012).
Skoog,D.A.,1985.Principle of Instrumental Analysis 3rd Ed.,Newyork: Saunders
College Publishing.
Vogel ,A.I.,1978. A Textbook of Quantitative Inorganic Analysis,4th Ed., London,
New York,Toronto: Longmans,Green and Co.