Upload
dothuan
View
226
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. BS
Umur : 44 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Status perkawinan : Menikah
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Pekerjaan Lepas
Alamat : Sumurup 11/4 Asinan, Bawen
No CM : 1576xx-20xx
Tanggal masuk RS : 26 Oktober 2018, pukul 16.00 WIB
Tanggal keluar : 29 Oktober 2018
B. DATA DASAR
Diperoleh dari pasien serta keluarga pasien (Aautoanamnesis dan
aloanamnesis), dan catatan rekam medik, dilakukan pada tanggal 27 Oktober
2018, pukul 14.00 di bangsal Asoka.
C. KELUHAN UTAMA
Kedua kaki tidak dapat digerakkan dan terasa kebas dari perut hingga ke kaki
KELUHAN TAMBAHAN
Nyeri punggung, sesak nafas, BAK tidak dapat dikontrol, disfungsi ereksi
D. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien mengeluhkan kedua kaki susah digerakkan dan terasa kebas secara
tiba-tiba setelah jatuh dari atap setinggi ±4 meter pada 30 menit SMRS (15.30
WIB). Pada saat ditemukan, pasien sadar, ingat dengan kejadian saat terjatuh,
dapat berkomunikasi dengan baik dan dalam posisi terlentang dengan keadaan
punggung pasien terbentur dipan kayu. Kelumpuhan dialami pasien pada kedua
kaki, sedangkan tangan dapat digerakkan. Sakit kepala, wajah perot, gangguan
penglihatan, ataupun pendengaran disangkal oleh pasien. Setelah terjatuh,
pasien menyangkal adanya pingsan, kejang, atau mual muntah. Pasien
2
mengeluhkan nyeri pada punggung, nyeri dirasakan pasien terus menerus,
memberat saat pasien menelan dan batuk dan tidak membaik. Pasien juga
mengeluhkan adanya sesak nafas, BAK yang tidak dapat dikontrol serta penis
yang tidak dapat ereksi pada pagi hari. Pasien mengatakan bahwa pasien belum
BAB serta tidak merasakan nyeri atau kesemutan dari bagian perut hingga ke
kedua kakinya. Diketahui bahwa sebelumnya pasien dapat berjalan, merasakan
rangsang dengan normal tanpa gangguan, dapat mengontrol pola BAK, BAB
setiap pagi, serta tidak alami gangguan pada penisnya. Sebelum keluhan terjadi
pasien juga menyangkal adanya demam, penurunan berat badan, atau sakit
sebelumnya. Keluhan yang dirasakan saat ini belum pernah dirasakan oleh
pasien sebelumnya. Pasien menyangkal adanya riwayat nyeri, pegal-pegal,
ataupun kesemutan yang menjalar ke kaki sebelumnya.
E. RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
1. Riwayat keluhan serupa sebelumnya : disangkal
2. Riwayat trauma : disangkal
3. Riwayat hipertensi : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat stroke : disangkal
6. Riwayat penyakit jantung : disangkal
7. Riwayat infeksi TBC : disangkal
8. Riwayat hepatitis : disangkal
9. Riwayat low back pain : disangkal
10. Riwayat osteoarthritis : disangkal
11. Riwayat kelainan tulang belakang : disangkal
12. Riwayat operasi pada punggung : disangkal
13. Riwayat tumor/kegansan : disangkal
14. Riwayat konsumsi obat-obatan : disangkal
15. Riwayat konsumsi alkohol : disangkal
3
F. RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
1. Riwayat keluhan serupa : disangkal
2. Riwayat hipertensi : disangkal
3. Riwayat stroke : disangkal
4. Riwayat DM : disangkal
5. Riwayat penyakit jantung : disangkal
6. Riwayat infeksi TBC : disangkal
7. Riwayat osteoporosis : disangkal
8. Riwayat kejang : disangkal
G. RIWAYAT SOSIAL EKONOMI
Pasien merupakan seorang buruh yang bekerja lepas. Sehari-hari pasien
bekerja sesuai dengan panggilan yang diterimanya, karena pekerjaannya pasien
diketahui sering makan makanan diluar yang kurang dapat dipastikan
kebersihannya. Pasien datang menggunakan BPJS PBI dengan kesan ekonomi
cukup. Pasien sering merokok namun menyangkal meminum-minuman keras.
Pasien menyangkal memakai obat-obatan terlarang, obat-obat yang dibeli di
luar resep dokter dan jamu-jamuan diminum rutin. Namun pasien diketahui
belum mengkonsumsi obat untuk menghilangkan gejalanya.
H. ANAMNESIS SISTEM
1. Sistem cerebrospinal : kelemahan anggota gerak bawah
2. Sistem kardiovascular : tidak ada keluhan
3. Sistem respiratorius : sesak napas
4. Sistem gastrointestinal : sulit BAB
5. Sistem neuromuskuler : terasa kebas dari perut hingga ke
kaki, nyeri punggung
6. Sistem urogenital : tidak ada keluhan
7. Sistem integumen : keringat dingin
4
I. RESUME PASIEN
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis pada seorang laki-laki yang
bekerja sebagai buruh lepas yang datang dengan keluhan kedua kaki tidak
dapat digerakkan dan terasa kebas dari perut hingga ke kaki secara tiba-tiba
setelah jatuh dari atap setinggi ±4 meter pada 1 hari SMRS. Pasien juga
mengeluhkan nyeri pada punggung, nyeri dirasakan pasien terus menerus,
memberat saat pasien menelan dan batuk dan tidak membaik. Pasien juga
mengeluhkan adanya sesak nafas, BAK yang tidak dapat dikontrol serta penis
yang tidak dapat ereksi pada pagi hari. Pasien mengatakan bahwa pasien belum
BAB serta tidak merasakan nyeri atau kesemutan dari bagian perut hingga ke
kedua kakinya. Sebelum masuk rumah sakit pasien diketahui belum
mengkonsumsi obat untuk menghilangkan gejalanya, pasien tidak sedang
meminum obat-obatan apapun sebelum ini namun biasanya obat-obat yang
dibeli di luar resep dokter dan jamu-jamuan diminum rutin
J. DIAGNOSIS SEMENTARA
Diagnosis klinis : kaki tidak dapat digerakkan, tidak merasakan nyeri
ataupun kesemutan pada bagian perut hingga ke kaki, nyeri punggung, sesak
napas, tidak dapat mengontrol BAK, disfungsi ereksi
Diagnosis topis : medulla spinalis
Diagnosis etiologi : cedera medulla spinalis traumatic dd multiple injury
K. DISKUSI PERTAMA
Pasien datang dengan keluhan kedua kaki tidak dapat digerakkan dan
terasa kebas dari perut hingga ke kaki tiba-tiba setelah jatuh dari atap setinggi
±4 meter, jatuh yang dialami pasien dicurigai mencederai medulla spinalis.
Medulla spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke
susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk
oleh tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan
sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti
pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali.
5
Diketahui kelumpuhan dialami pasien pada kedua kaki, sedangkan
tangan dapat digerakkan, maka kemungkinan cedera pada medulla spinalis
setinggi torakalis ataupun dibawahnya. Hal ini disebabkan bila lesi komplit itu
berada di daerah servikal maka akan timbul tetraplegia dengan anastesi
dibawah lesi, sedangkan bila lesi komplit itu berada di daerah torakalis, maka
yang didapatkan adalah paraplegia dengan gangguan sensibilitas (anestesi) di
bawah lesi.
Pasien mengeluhkan nyeri pada punggung, nyeri dirasakan pasien terus
menerus, memberat saat pasien menelan dan batuk serta tidak membaik. Pada
pasien dengan cedera medulla spinalis sering ditemukan nyeri yang biasanya
mengacu pada inflamasi didalam atau disekitar medulla spinalis yang secara
perlahan menekan medulla sehingga timbul nyeri pada sisi yang tertekan.
Pasien juga mengeluhkan adanya sesak nafas, pada pasien dengan cedera
medulla spinalis bila terdapat lesi di daerah servikal bagian atas (C1-C4),
cedera di lokasi tersebut merupakan keadaan yang sangat berbahaya karena
menyebabkan timbulnya paralisis pada nervus frenikus. Ini akan menyebabkan
lumpuhnya otot-otot diafragma sehingga dapat menimbulkan kematian dengan
cepat.
Keluhan pasien berupa BAK yang tidak dapat dikontrol dan disfungsi
ereksi, serta belum BAB menandakan bahwa keluhan berada di antara T1-L2
dan terdapat neurogenic bowel.
Pasien mengeluhkan tidak merasakan nyeri atau kesemutan dari bagian
perut hingga ke kedua kakinya. Hal ini disebabkan kemungkinan akibat lesi
yang dialami pasien berada pada dermatome torakalis dan bersifat complete,
sehingga pasien alami gangguan motorik dan juga gangguan sensorik.
Sebelum keluhan terjadi pasien juga menyangkal adanya demam,
penurunan berat badan, atau sakit sebelumnya. Hal ini menyangkal dugaan
adanya spondylitis TB. Pasien juga diketahui menyangkal adanya riwayat
nyeri, pegal-pegal, ataupun kesemutan yang menjalar ke kaki sebelumnya. Hal
ini menyangkal dugaan adanya HNP.
6
TRAUMA MEDULLA SPINALIS
1. Definisi3,4
Medula spinalis merupakan satu kumpulan saraf-saraf yang terhubung ke
susunan saraf pusat yang berjalan sepanjang kanalis spinalis yang dibentuk
oleh tulang vertebra. Ketika terjadi kerusakan pada medula spinalis, masukan
sensoris, gerakan dari bagian tertentu dari tubuh dan fungsi involunter seperti
pernapasan dapat terganggu atau hilang sama sekali. Ketika gangguan
sementara ataupun permanen terjadi akibat dari kerusakan pada medula
spinalis, kondisi ini disebut sebagai cedera medula spinalis.
2. Epidemiologi2,3,4
Setiap tahun di Amerika Serikat, sekitar 7.600 sampai 10.000 individu
mengalami cedera medula spinalis. Sampai tahun 1999, diperkirakan ada
sebanyak 183.000 sampai 203.000 orang yang hidup dengan cedera medula
spinalis di negara tersebut.
Cedera medula spinalis dikaitkan dengan mortalitas yang tinggi, ketidak
berdayaan, rehabilitasi dan perawatan yang berkepanjangan, dan beban
ekonomi yang tinggi. Pada tahun 2004, Christopher & Dana Reeve Foundation
bekerja sama dengan Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
melakukan penelitian untuk mengetahui epidemiologi penderita cedera medula
spinalis dan yang mengalami paralisis di Amerika Serikat.
Hasilnya yaitu sekitar 1,9% dari populasi Amerika Serikat atau sekitar
5.596.000 orang melaporkan beberapa bentuk paralisis berdasarkan definisi
7
fungsional yang digunakan dalam survei tersebut. Sekitar 0,4% dari populasi
Amerika Serikat atau sekitar 1.275.000 orang dilaporkan mengalami paralisis
dikarenakan oleh cedera medula spinalis.
Menurut Dahlberg dkk. (2005), penyebab cedera medula spinalis yang
terbanyak di Helsinki, Finlandia adalah jatuh (43%) , diikuti dengan
kecelakaan lalu lintas (35%), menyelam (9%), kekerasan (4%) dan penyebab
lain (9%). Penyebab cedera medula spinalis di negara berkembang bervariasi
dari satu negara ke negara lain. Kecelakaan lalu lintas mencakup sebesar 49%
penyebab cedera medula spinalis di Nigeria, 48,8% di Turki dan 30% di
Taiwan.
3. Etiologi3,4
Cedera medulla spinalis di bedakan atas 2 jenis, yaitu:
a) Cedera medulla spinalis traumatik : terjadi ketika benturan fisik
eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh
atau kekerasan, merusak medula spinalis. Hagen dkk (2009) mendefinisikan
cedera medula spinalis traumatik sebagai lesi traumatik pada medula spinalis
dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis. Sesuai dengan
American Board of Physical Medicine and Rehabilitation Examination Outline
for Spinal Cord Injury Medicine, cedera medula spinalis traumatik mencakup
fraktur, dislokasi dan kontusio dari kolum vertebra.
b) Cedera medulla spinalis non-traumatik : terjadi ketika kondisi
kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada
medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan
disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula
spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit
infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi
toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.
8
4. Klasifikasi5,6,7
Klasifikasi Menurut American Spinal Injury Association :
Grade A Hilangnya seluruh fungsi morotik dan
sensorik dibawah tingkat lesi
Grade B Hilangnya seluruh fungsi motorik dan
sebagian fungsi sensorik di bawah tingkat
lesi.
Grade C Fungsi motorik intak tetapi dengan
kekuatan di bawah 3.
Grade D Fungsi motorik intak dengan kekuatan
motorik di atas atau sama dengan 3.
Grade E Fungsi motorik dan sensorik normal.
Penilaian terhadap gangguan motorik dan sensorik dipergunakan Frankel
Score.
Frankel Score A kehilangan fingsi motorik dan sensorik
lengkap (complete loss).
Frankel Score B Fungsi motorik hilang, fungsi sensorik
utuh.
Frankel Score C Fungsi motorik ada tetapi secara praktis
tidak berguna (dapat menggerakkan
tungkai tetapi tidak dapat berjalan).
Frankel Score D Fungsi motorik terganggu (dapat berjalan
tetapi tidak dengan normal ”gait”).
Frankel Score E Tidak terdapat gangguan neurologik.
Sedangkan lesi pada medulla spinalis menurut ASIA resived 2000,
terbagi atas :
a) Paraplegia : suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau
sensorik karena kerusakan pada segmen torako-lumbo-sakral.
b) Quadriplegia : suatu gangguan atau hilangnya fungsi motorik dan atau
sensorik karena kerusakan pada segmen servikal.
9
Spesifik Level
C1 – C2 Quadriplegia, kemampuan bernafas
(-).
C3 – C4 Quadriplegia, fungsi nervus
phrenicus (-), kemampuan bernafas
(-)
C5 – C6 Quadriplegia, hanya ada gerak
kasar lengan
C6 – C7 Quadriplegia, gerak biceps (+),
gerak triceps (-)
C7 – C8 Quadriplegia, gerak triceps (+),
gerak intrinsik lengan (-)
T1 – L1 Paraplegia, fungsi lengan (+), gerak
intercostalis tertentu (-), fungsi
tungkai (-), fungsi seksual (-)
Di bawah L2 Termasuk LMN, fungsi sensorik (-
), bladder & bowel (-), fungsi
seksual tergantung radiks yang
rusak.
Sindroma cedera medulla spinalis menurut American Spinal Injury
Association (ASIA), yaitu :
Nama Sindroma Pola dari lesi
saraf
Kerusakan
Central cord syndrome Hematomielia,
Trauma spinal
1. Paresis lengan >
tungkai
2. Gangguan sensorik
bervariasi di ujung distal
lengan
10
3. Disosiasi sensibilitas
4. Disfungsi miksi,
defekasi, dan seksual
Brown- Sequard
Syndrome
Trauma tembus,
Kompresi
1. Paresis UMN ipsilateral
di bawah lesi dan LMN
setinggi lesi
2. Gangguan eksteroseptif
(nyeri dan suhu)
kontralateral
3. Gangguan proprioseptif
(raba dan tekan) ipsilateral
Anterior cord
syndrome
Cedera yang
menyebabkan
HNP pada T4-6
1. Paresis LMN setinggi
lesi, UMN dibawah lesi
2. Dapat disertai disosiasi
sensibilitas
3. Gangguan
eksteroseptif, proprioseptif
normal
4. Disfungsi spinkter
Posterior cord
syndrome
Trauma, infark
arteri spinalis
posterior
1. Paresis ringan
2. Gangguan eksteroseptif
punggung, leher, dan
bokong
3. Gangguan propioseptif
bilateral
Conus medullaris
syndrome
Trauma lower
sacral cord
1. Gangguan motorik
ringan, simetris
2. Gangguan sensorik,
bilateral, disosiasi
sensibilitas
11
3. Nyeri jarang, relative
ringan, simetris, bilateral
pada perineum dan paha
4. Refleks Achilles -,
patella +, bulbocavernosus -
, anal –
5. Disfungsi spinkter,
ereksi, dan ejakulasi.
Cauda equine
syndrome
Cedera akar saraf
lumbosakral
1. Gangguan motorik
sedang sampai berat,
asimetris
2. Gangguan sensibilitas,
asimetris, tidak ada disosiasi
sensibilitas
3. Nyeri sangat hebat,
asimetris
4. Gangguan reflex
bervariasi
5. Gangguan spinkter
timbul lambat, ringan,
jarang terdapat disfungsi
seksual
12
Gambaran Potongan Melintang Medulla Spinalis
5. Patofisiologi8,9,10,11
Trauma pada tulang belakang dapat menimbulkan fraktur atau dislokasi.
Tetapi sewaktu-waktu tidak tampak ada kelainan tulang belakang yang jelas,
namun penderita menunjukkan kelainan neurologic yang nyata. Fraktur tulang
belakang bias berupa fraktur corpus vertebra (misanya fraktur kompresi korpus
vertebra), fraktur pada lamina, pedikel, dan pada prosesus transverses.
Bersama-sama dengan patahnya tulang belakang, ligamentum longitudinalis
posterior dan duramater dapat ikut sobek: bahkan kepingan tulang belakang ini
dapat menusuk canalis vertebralis dan menimbulkan sobekan atau laserasi
pada medulla spinalis. Kepingan tulang ini dapat ula terselip di antara
duramater dan kolumna vertebralis dan menimbulkan penekanan atau kompresi
pada medulla spinalis. Arteri dan vena yang melayani medulla spinalis dapat
ikut terputus, misalnya arteria radikularis magna (adam kiwicz) yang jalannya
bersama-sama dengan radiks saraf spinalis thorakal bagian bawah atau lumbal
bagian atas. Keadaan ini akan menimbulkan deficit sensorimotorik pada
dermatom dan miotom yang bersangkutan.
Keadaan tersebut dapat pula menimbulkan hematoma ekstrameduler
traumatic yang menekan pada medulla spinalis. Fraktur tulang belakang dapat
terjadi di semua tempat di sepanjang kolumna vertebra tetapi lebih sering
terjadi di daerah servikal bagian bawah dan di daerah lumbal bagian atas.
Pada dislokasi akan tampak bahwa kanalis vertebralis di daerah dislokasi
tersebut menjadi sempit, keadaan ini akan menimbulkan penekanan atau
kompressi pada medulla spinalis atau radiks saraf spinalis.
13
6. Manifestasi Trauma Medulla Spinalis8,9,10,11
Lesi trauma medulla spinalis akibat trauma pada tulang belakang dapat
berupa :
a) Komosio Medulla Spinalis
Yaitu kelainan pada medulla spinalis yang bersifat sementara akibat
trauma yang sembuh seteah beberapa jam atau beberapa hari tanpa
meninggalkan gejala sisa. Kerusakan reversible yang mendasari komosio
medulla spinalis, beruapa edema, perdarahan perivaskuler kecil-kecil dan
infark di sekitar pembuluh darah. Pada inspeksi makroskopis, medulla
spinalis tampak utuh. Lesi reversibel ini biasanya disebabkan trauma tidak
langsung.
b) Kontusio Medulla Spinalis
Lesi ini sering dijumpai sebagai akibat fraktur atau dislokasi tulang
belakang atau dapat juga akibat hiperekstensi, hiperflexi atau rotasi tulang
belakang tanpa adanya kelainan tulang belakang pada pemeriksaan foto
rontgen. Pada keadaan ini terdapat perdarahan interstitial dalam substansi
medulla spinalis dengan tanpa tampak ada terputusnya kontinuitas medulla
spinalis dan piameter. Kerusakan yang timbul bersifat permanen dan
meninggalkan gejala-gejala sisa.
Pungsi lumbal dalam stadium permulaan dapat memperlihatkan likuor
yang bercampur sedikit dengan darah dengan test quekenstedt yang positif.
Kontusio medulla spinalis merupakan manifestasi terbanyak dari trauma
medulla spinalis
c) Laserasio Medulla Spinalis
Pada keadaan ini medulla spinalis menjadi robek. Ini biasanya
disebabkan trauma langsung misalnya kena peluru, tertusuk benda tajam
atau fragmen tulang. Pada pungsu lumbal ditemukan likuor yang
bercampur banyak darah.
d) Kompresi Medulla Spinalis
Keadaan ini dapat disebabkan oleh dislokasi tulang belakang, hematom
ekstramedullar traumatic dan dapat pula oleh karena medulla spinalis itu
14
tertekan kepingan tulang belakang yang patah dan terselip diantara
duramater dan kolumna vertebralis. Pada pungsi lumbal ditemukan
sindrom froin, yaitu likuor yang berwarna xantokrom, quekenstedt yang
negative atau memperlihatkan stop parsial, kadar protein dalam likuor
yang meningkat dengan jumlah sel /mm3 yang normal.
e) Hematomelia
Ditemukan hematom di medulla spinalis. Hematom ini biasanya
berbentuk lonjong dan berkedudukan di substansia grisea. Trauma yang
menimbulkannya dapat berupa trauma gerak lecut, jatuh dari tempat yang
tinggi dengan sikap badan berdiri, jatuh terduduk, terlempar karena
eksploitasi atau pula karena fraktur atau dislokasi tulang belakang.
Hiperekstensi, hiperflexi, dislokasi, fraktur dan trauma gerak lecut, dapat
mengakibatkan tertariknya radiks saraf spinalis sehingga timbul gejala
nyeri radikular spontan yang bersifat hiperparatia. Keadaan ini disebut
neuralgia radikularis traumatic yang bersifat reversibel. Pada trauma
whisplash keadaan ini sering mengenai radiks C5-7. Radiks saraf spinalis
dapat pula terputus sehingga menimbulkan defisit sensorik dan motorik
yang bersifat radikular.
Gejala-gejala trauma medulla spinalis bergantung pada komplit atau
tidak komplitnya lesi dan juga tingginya lesi tersebut. Lesi yang mengenai
separuh segmen kiri atau kanan medulla spinalis akan menimbulkan sindrom
brown sequard. Hematomieli menimbulkan gejala-gejala siringiomieli, sedang
lesi yang komplit akan menimbulkan paralisis atau anastesi total dibawah
tempat lesi. Bila lesi komplit itu berada di daerah torakalis, kita akan
mendapatkan paraplegia dengan gangguan sensibilitas di bawah lesi. Sehingga
bila lesi komplit itu berada di daerah servikal maka akan timbul tetraplegia
dengan anastesi dibawah lesi. Di samping itu aka nada pula gangguan
vegetative. Lesi di daerah servikal bagian atas yaitu C1-C4 merupakan keadaan
yang sangat berbahaya karena timbulnya paralisis pada nervus frenikus. Ini
akan menyebabkan lumpuhnya otot-otot diafragma sehingga dapat
15
menimbulkan kematian dengan cepat. Lesi di daerah di daerah C8-T1 dapat
disertai adanya gejala sindrom horner. Lesi di daerah konus medularis,
disamping konus, sering kali pula kauda equine ikut terkena sehingga di
samping gejala-gejala paraplegia/paraparesis, gangguan sensibilitas dan
vegetative, aka nada juga tanda laseque yang positif. Lesi dapat juga hanya
mengenai kauda equine sehingga menimbulkan gejala gangguan motorik dan
sensorik yang bersifat perifer dengan tanda laseque yang positif
7. Penegakan Diagnosis7,9,10,11
Anamnesis
a) Keluhan Utama : pada kasus cedera medula spinalis, pasien datang
dengan keluhan kelemahan pada ekstremitas. tanyakan keluhan sudah berapa
lama dirasakan
b) Riwayat Penyakit Sekarang : kaji kelemahan pada bagian ekstremitas
mana saja (paraplegia atau tetraplegia), kelemahan timbul secara tiba-tiba atau
perlahan, gejala semakin parah atau tidak, timbul setelah makan atau tidak,
obat-obatan yang telah digunakan untuk mengurangi gejala, adakah keluhan
tambahan contoh : nyeri (lokasi, terus menerus atau hilang timbul, menjalar
atau tidak, kapan nyeri memberat dan kapan membaik), kesemutan, sesak,
nyeri pada perut, keluhan BAK (inkontinensia atau retensi urin), BAB
(konstipasi), hilangnya sensasi rasa, dan disfungsi seksual.
c) Riwayat Penyakit Dahulu : tanyakan apakah pasien pernah alami
keluhan yang sama, riwayat trauma, riwayat kelainan tulang belakang, riwayat
DM, HT, alergi, low back pain, osteoporosis, osteoartritis, riwayat operasi, dan
riwayat infeksi TBC
d) Riwayat Penyakit Keluarga : riwayat kelainan tulang belakang pada
keluarga, osteoporosis, riwayat infeksi TBC
e) Riwayat Sosial Ekonomi : tanyakan kegiatan sehari-hari pasien (apakah
pasien suka angkat berat), pola BAB dan BAK sebelum sakit.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan awal dimulai dengan penilaian kondisi jalan nafas,
16
pernafasan dan sirkulasi darah. Pada kasus cedera, sangat penting diperiksa
keadaan jalan nafas dan pernafasannya karena pada trauma C1-C4.
a) Inspeksi : Inspeksi adalah pemeriksaan secara visual tentang kondisi serta
kemampuan gerak dan fungsinya. Apakah ada oedem pada anggota gerak,
pengecilan otot ( atropi ), warna, dan kondisi kulit sekitarnya, kemampuan
beraktifitas, alat bantu yang digunakan untuk beraktifitas, posisi pasien, dll.
b) Palpasi : Palpasi adalah pemeriksaan terhadap anggota gerak dengan
menggunakan tangan dan membedakan antara kedua anggota gerak yang kanan
dan kiri. Palpasi dilakukan terutama pada kulit dan subcutaneus untuk
mengetahui temperatur, oedem, spasme, dan lain sebagainya.
c) Pemeriksaan Fungsi Gerak : Dalam hal ini meliputi fungsi gerak aktif,
gerak pasif, dan gerak isometrik. Pada pemeriksaan ini umumnya pada pasien
ditemukan adanya rasa nyeri, keterbatasan gerak, kelemahan otot, dan
sebagainya.
d) Pemeriksaan Fungsional : Dalam pemeriksaan fungsional meliputi
kemampuan pasien dalam beraktifitas baik itu posisioning miring kanan-kiri (
setiap 2 jam ), transfer dari tidur ke duduk, dari tempat tidur ke kursi roda, dan
sebaliknya.
e) Pemeriksaan Khusus :
1. Kekuatan otot : Pengukuran ini digunakan untuk melihat kekuatan otot
dari keempat anggota gerak tubuh. Dan dilakukan dengan menggunakan
metode manual muscle testing (MMT)
2. ROM (lingkup gerak sendi) : Pemeriksaan ROM dilakukan dengan
menggunakan goniometer dan dituliskan dengan menggunakan metode ISOM
(International Standar Of Measurement).
3. Pemeriksaan nyeri dengan VAS : VAS merupakan salah satu metode
pengukuran nyeri yang dapat digunakan untuk menilai tingkat nyeri yang
dirasakan oleh pasien. Pasien diminta untuk menunjukan letak nyeri yang
dirasakan pada garis yang berukuran 10 cm, dimana pada ujung sebelah kiri
(nilai 0) tidak ada nyeri, dan pada ujung sebelah kanan (nilai 10) nyeri sekali.
17
4. Pemeriksaan sensoris : Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan
sensori level. Sensori level adalah batas paling kaudal dari segment medula
spinalis yang fungsi sensorisnya normal. Tes ini terdiri dari 28 tes area
dermatom yang diperiksa dengan menggunakan tes tajam tumpul dan sentuhan
sinar, dengan penilaiannya sebagai berikut :
• Nilai 0 : tidak dapat merasakan (absent)
• Nilai 1 : merasakan sebagian (impaired) dan hiperestesia
• Nilai 2 : dapat merasakan secara normal
• NT (not testable) : diberikan pada pasien yang tidak dapat merasakan
karena tidak sadarkan diri dan tidak kooperatif.
5. Pemeriksaan motorik : Pemeriksaan ini dilakukan untuk menentukan
motorik levelnya. Motorik level adalah batas paling kaudal dari segment
medula spinalis yang fungsi motoriknya normal. Identifikasi kerusakan
motorik lebih sulit, karena menyangkut innervasi dari beberapa otot. Tidak
adanya innervasi, berarti pada otot tersebut terjadi kelemahan atau
kelumpuhan. Pemeriksaan kekuatan otot tersebut bisa menggunakan
pemeriksaan dengan Manual Muscle Test (MMT), dengan skala penilaian
sebagai berikut : Nilai Huruf Skala Definisi
• Zero : tidak ditemukan kontraksi dengan palpasi
• Trace (Tr) : ada kontraksi dengan palpasi tapi tidak ada gerakan
• Poor (P) : gerakan dengan ROM penuh, tidak dapat melawan gravitasi
• Fair (F) : gerakan penuh melawan gravitasi
• Good (G) : gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan
• Normal (N) : gerakan ROM penuh dan dapat melawan tahanan secara
maksimal
Pada pemeriksaan motorik dengan menggunakan manual muscle testing
(MMT) biasanya dilakukan pada daerah miotom, antara lain :
• C5 : fleksi siku (m.biceps dan m.brachialis)
• C6 : ekstensi pergelangan tangan (m.ekstensor carpi radialis longus dan
brevis)
18
• C7 : ekstensi siku (m.triceps)
• C8 : fleksi digitorum profundus jari tengah (m.fleksor digitorum
profundus)
• T1 : abduksi digiti minimi (m.abduktor digiti minimi)
• L2 : fleksi hip (m.iliopsoas)
• L3 : ekstensi lutut (m.quadriceps)
• L4 : dorso fleksi pergelangan kaki (m.tibialis anterior)
• L5 : ekstensi ibu jari kaki (m.ekstensor hallucis longus)
• S1 : plantar fleksi pergelangan kaki (m.gastrocnemius dan m.soleus)
Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium
1) Osteokalsin : suatu protein tulang yang disekresi oleh osteoblast
2) B-cross : parameter untuk proses resorpsi (penyerapan tulang) untuk
mengetahui fungsi osteoklas
3) Elektrolit : untuk mengetahui kalsium total
4) Darah lengkap : untuk mengetahui Hb, Ht, Leukosit, dan Trombosit
5) Kimia darah : untuk mengetahui nilai G2JPP dan GDP
b. Radiologi
1) Foto polos vertebra : Merupakan langkah awal untuk mendeteksi
kelainan-kelainan yang melibatkan medula spinalis, kolumna vertebralis dan
jaringan di sekitarnya. Pada trauma servikal digunakan foto AP, lateral, dan
odontoid. Pada cedera torakal dan lumbal, digunakan foto AP dan Lateral. Foto
polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan
mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai
dengan dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut
terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur
vertebra C1-C2.
2) CT-Scan vertebra : Dapat melihat struktur tulang, dan kanalis spinalis
dalam potongan aksial. CT-Scan merupakan pilihan utama untuk mendeteksi
cedera fraktur pada tulang belakang
19
3) MRI vertebra : MRI dapat memperlihatkan seluruh struktur internal
medula spinalis dalam sekali pemeriksaan serta untuk melihat jaringan lunak.
4) Pungsi lumbal : Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit
peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan
Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi
perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati,
karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah
terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan
terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.
5) Mielografi : Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari
trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus
intervertebralis.
8. Diagnosis9,10,11
Dalam menegakkan diagnosis pada trauma/cedera medulla spinalis,
diperlukan anamnesis yang lengkap, dimana keluhan dan riwayat adanya
trauma atau kelainan tulang belakang ataupun adanya osteoporosis merupakan
resiko terjadinya cedera medulla spinalis. Selain itu, dilakukannya pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang yang lengkap diperlukan untuk menegakkan
diagnosis. Dengan menggunakan panduan dari American Spinal Injury Scale
(ASIA) maka diagnosis dapat ditegakkan atau ditegakkan sementara bila hasil
pemeriksaan penunjang belum keluar.
Apabila medulla spinalis tiba-tiba mengalami cedera, maka aka nada 3
kelainan yang muncul, yaitu :
a. Semua pergerakan volunteer dibawah lesi hilang secara mendadak dan
bersifat permanen
b. Sensasi sensorik refleks fisiologis bisa menghilang atau meningkat
c. Terjadi gangguan fungsi otonom
20
Trauma/cedera medulla spinalis dapat menghasilkan satu atau lebih tanda-
tanda klinis dibawah ini, yaitu :
a. Nyeri menjalar
b. Kelumpuhan atau hilangnya pergerakan atau adanya kelemahan
c. Hilangnya sensasi rasa
d. Hilangnya kemampuan peristaltik usus
e. Spasme otot atau bangkitan refleks yang meningkat
f. Perubahan fungsi seksual
9. Penatalaksanaan8,9,10,11
Sebelumnya perlu dikemukakan bahwa prognosis lesi medulla spinalis
(kecuali komosio medulla spinalis) adalah buruk, hal itu disebabkan oleh
karena daya regenerasi serabut-serabut saraf di medulla spinalis sangat sedikit.
Pada pengobatan lesi medulla spinalis akibat trauma terdapat dua
kemungkinan, yaitu :
1. Tindakan Pembedahan
2. Pengobatan Konservatif
Tindakan Pembedahan
Pembedahan dimaksudkan untuk mengadakan dekompresi, kadang-kadang
untuk maksud fiksasi vertebra dan juga bila mungkin reposisi suatu dislokasi.
Tindakan pembedahan jarang dilakukan bila waktu trauma tidak lebih dari 2
bulan dan bila tidak terdapat indikasi. Indikasi untuk melakukan tindakan
pembedahan adalah :
a. Bila terdapat halangan pada jalan likour serebrospinalis, yang dapat
diketahui dengan percobaan quekenstedt pada pungsi lumbal
b. Adanya pecahan-pecahan tulang yang masuk dalam kanalis vertebralis
c. Adanya fraktur terbuka
d. Bila gejala bertambah hebat secara progresif
Pengobatan Konservatif
Dalam keadaan ini diutamakan adalah perawatan dan fisioterapi
a. Untuk kelainan postural reduction
21
Untuk ini diperlukan tempat tidur alas keras, kasur yang lunak dan elastic dan
ganjal kaki. Untuk daerah lumbal, dan daerah servikal di butuhkan bantal
servikal. Pada subluksasio di daerah servikal dapat dipertimbangkan untuk
melakukan traksi dengan lis glisson, dan pemasangan gips di sekeliling leher.
b. Mencegah lesi yang ada bertambah besar
Penderita jangan diangkat tanpa perhatian khusus terhadap kelainan
tulangnya/frakturnya, badannya jangan dibungkukkan, terutama pada hari-hari
pertama. Juga pengambilan foto rontgen harus secara hati-hati dan hendaknya
dilakukan di tempat tidur penderita.
10. Penatalaksanaan Pra-Rumah Sakit9,10,11
Penatalaksanaan TMS dimulai segera setelah terjadinya trauma. Berbagai
studi memperlihatkan pentingnya penatalaksanaan prarumah sakit dalam
menentukan prognosis pemulihan neurologis pasien TMS.
Evaluasi
Fase evaluasi meliputi observasi primer dan sekunder. Observasi primer
terdiri atas :
A : Airway maintenance dengan kontrol pada vertebra spinal
B : Breathing dan ventilasi
C : Circulation dengan kontrol perdarahan
D : Disabilitas (status neurologis)
E : Exposure/environmental control
Klasifikasi trauma medula spinalis komplet atau inkomplet serta level
trauma dapat diketahui melalui pemeriksaan motorik dan sensorik.
Pemeriksaan motorik dilakukan secara cepat dengan meminta pasien
menggenggam tangan pemeriksa dan melakukan dorsofleksi. Fungsi autonom
dinilai dengan melihat ada tidaknya retensi urin, priapismus, atau hilang
tidaknya tonus sfingterani. Temperatur kulit yang hangat dan adanya flushing
menunjukkan hilangnya tonus vaskuler simpatis di bawah level trauma.
22
Penatalaksanaan Gawat Darurat Stabilisasi Vertebra9,10,11*
Instabilitas vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat
diimobilisasi sementara menggunakan hard cervical collar dan meletakkan
bantal pasir pada kedua sisi kepala. Bila terdapat abnormalitas struktur
vertebra, tujuan penatalaksanaan adalah realignment dan fiksasi segmen
bersangkutan. Indikasi operasi meliputi fraktur tidak stabil, fraktur yang tidak
dapat direduksi dengan traksi, gross spinal misalignment, kompresi medula
spinalis pada trauma inkomplet, penurunan status neurologis, dan instabilitas
menetap pada manajemen konservatif.
Medikamentosa
Selain faktor mekanik yang merusak fungsi medula spinalis, perfusi
jaringan dan oksigenasi juga mempengaruhi luasnya kerusakan akibat stres
mekanik. Proses lain yang terjadi di daerah trauma dapat berupa edema,
perdarahan, degenerasi akson, demielinisasi, juga dapat mengubah bioenergetik
seluler. Pada tingkat seluler, terjadi peningkatan kadar asam amino eksitatorik,
glutamat, produksi radikal bebas, opioid endogen serta habisnya cadangan ATP
yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel. Bertambahnya pemahaman
fisiologi trauma medula spinalis akan menambah pilihan terapi farmakologi.
Terapi farmakologi, seperti kortikosteroid, 21-amino steroid, antagonis reseptor
opioid, gangliosida, thyrotropin releasing hormone (TRH),antioksidan,
kalsium, termasuk golongan imunomodulator, sedang diteliti; semuanya
memberikan hasil baik namun sampai saat ini baru kortikosteroid yang secara
klinis bermakna.
Terapi kerusakan primer
Trauma medula spinalis paling sering menimbulkan syok neurogenik yang
berhubungan dengan beratnya trauma dan level kerusakan yang terjadi. Pada
awalnya, akan terjadi peningkatan tekanan darah, detak jantung serta nadi, dan
kadar atekolamin yang tinggi, diikuti oleh hipotensi serta bradikardia. Terapi
lebih ditujukan untuk mencegah hipoperfusi sistemik yang akan memperparah
kerusakan medula spinalis, menggunakan vasopresor; namun, penggunaan
vasopresor ini harus diimbangi dengan pemantauan status cairan karena
23
penggunaan vasopresor yang berlebihan justru akan membuat vasokonstriksi
perifer yang akan menurunkan aliran darah ke perifer.
Terapi kerusakan sekunder
Merupakan sasaran terapi berikutnya karena hal ini akan memperburuk
keluaran (outcome) apabila tidak dilakukan intervensi farmakologis yang tepat
mengingat patofisiologi yang sangat variatif.
1. Kortikosteroid
Steroid berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi
lipid, mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah
medula spinalis, menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan
menghambat respons radang. Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai
antiinflamasi dan antiedema. Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding
steroid lain karena kadar antioksidannya, dapat menembus membrane sel
saraf lebih cepat, lebih efektif menetralkan factor komplemen yang
beredar, inhibisi peroksidasi lipid, prevensi iskemia pascatrauma, inhibisi
degradasi neurofi lamen, menetralkan penumpukan ion kalsium, serta
inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi NASCIS I (The National
Acute Spinal Cord Injury Study) menyarankan dosis tinggi sebesar 30
mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan sesegera
mungkin setelahtrauma karena distribusi metilprednisolon akan terhalang
oleh kerusakan pembuluh darah medula spinalis pada mekanisme
kerusakan sekunder. Penelitian NASCIS II membandingkan
metilprednisolon dosis 30 mg/kgBB bolus IV selama 15 menit dilanjutkan
dengan 5,4mg/kgBB/jam secara infuse selama 23 jam berikutnya dengan
nalokson (antireseptor opioid) 5,4 mg/kgBB bolus IV, dilanjutkan dengan
4 mg/kgBB/jam secara infus selama 23 jam. Hasilnya, metilprednisolon
lebih baik dan dapat digunakan sampai jeda 8 jam pascatrauma. Pada
NASCIS III, metilprednisolon dosis yang sama diberikan secara infus
sampai 48 jam ternyata memberikan keluaran lebih baik dibanding
pemberian 24 jam. Selain itu, dicoba pula tirilazad mesilat (TM), yakni
inhibitor peroksidasi lipid nonglukokortikoid, dan ternyata tidak lebih baik
24
disbanding metilprednisolon. Terapi ini masih kontroversial; studi terbaru
mengatakan belum ada studi kelas 1 dan 2 yang mendasari terapi ini, serta
ditemukan efek samping berupa perdarahan lambung, infeksi, sepsis,
meningkatkan lama perawatan di intensive care unit (ICU),dan kematian.
2. 21-Aminosteroid (Lazaroid)
21-aminosteroids atau U-74600F (tirilazad mesilat [TM]) bekerja
dengan mengurangi proses peroksidasi lipid melalui perantaraan vitamin
E. Efek lainnya adalah mengurangi enzim hidroksi peroksidase serta
menstabilkan membran sel, namun penggunaannya masih belum terbukti
menghasilkan keluaran yang lebih baik.
3. GM-1 Gangliosid
Merupakan asam sialat yang mengandung glikolipid pada
membran sel. Glikolipid ini berperan meningkatkan neuronal Sprout dan
transmisi sinaptik. Monosialotetraheksosilgangliosid (GM-1 gangliosid)
memiliki fungsi faktor pertumbuhan neurit, menstimulasi pertumbuhan sel
saraf, serta meregulasi protein kinase C untuk mencegah kerusakan sel
saraf pascaiskemia. Pada percobaan, dilakukan terapi 72 jam pascatrauma
dan dimulai dengan dosis 100 mg/hari. Studi terbaru menyatakan masih
kurang bukti ilmiah terkait obat ini.
4. Antagonis Opioid
Opioid endogen memperparah kerusakan sekunder. Penggunaan
nalokson sebagai antagonis opioid pada NASCIS II menunjukkan hasil
tidak lebih baik disbanding metilprednison. Penggunaan obat satu
golongan namun beda titik tangkap, Yaitu golongan antagonis reseptor
kappa (seperti dinorfin dan norbinaltorfimin) pada hewan coba berhasil
baik; diduga berefek pada perbaikan sirkulasi pembuluh darah,
pengurangan influx kalsium, peningkatan kadar magnesium, serta
modulasi pelepasan asam amino eksitatorik. Namun, belum dilakukan uji
klinis lanjutan. Opioid endogen akan menginhibisi sistem dopaminergik
dan depresi sistem kardiovaskuler. Pemberian antagonis opioid dapat
mencegah hipotensi sehingga mikrosirkulasi medula spinalis membaik.
25
5. Thyrotropin-Releasing Hormone (TRH) dan Analog
Thyrotropin-releasing hormone ( TRH) adalah tripeptida yang
mempunyai fungsi melawan faktor-faktor pengganggu, seperti opioid
endogen, platelet activating factor, peptidoleukotrien, dan asam amino
eksitatorik, sehingga akan menguatkan aliran darah spinalis, memperbaiki
keseimbangan elektrolit dan mencegah degradasi lipid. Pemberian
thyrotropin-releasing hormone intravena bolus 0,2 mg/kgBB diikuti 0,2
mg/kgBB/jam infus sampai 6 jam, dikatakan memberikan hasil baik,
terutama perbaikan motorik dan sensorik sampai 4 bulan setelah injury.
6. Penyekat Kanal Kalsium
Peranan kalsium pada kematian sel melalui mekanisme efek
neurotoksik, vasospasme arteri, blokade kanal natrium serta NMDA dan
AMPA; obat yang dipakai adalah nimodipin, golongan lainnya adalah
benzamil dan bepridil merupakan antagonis ion kalsium dan natrium.
Nimodipin adalah golongan penyekat kanal kalsium dihidropiridin, sering
dipakai pada kasus stroke, memiliki fungsi blokade kanal ion kalsium
sehingga mencegah akumulasi ion kalsium intrasel terutama pada dinding
sel endotel pembuluh darah, oleh karena itu dianggap dapat mencegah
vasospasme dan iskemi post trauma, dibuktikan dengan efeknya pada
aliran darah di percobaan laboratorium; namun klinis masih belum terbukti
mampu meningkatkan keluaran pascatrauma karena diduga ada
keterlibatan kanal ion lain. Influks kalsium terjadi dalam hitungan detik
pascatrauma sehingga jendela terapeutiknya sempit; beberapa studi
menunjukkan bahwa peningkatan dosis justru malah memperjelek aliran
darah regional menyebabkan hipoperfusi dan iskemia. Karena itu, dosis
terapeutiknya juga sempit dan penggunaannya selektif.
7. Magnesium
Gangguan homeostasis magnesium terjadi pada trauma sekunder.
Pada tikus dengan onset 30 menit pascatrauma, dosis tinggi MgSO 600
mg/kgBB mempunyai efek baik dengan evaluasi somatosensory evoked
potential dan mempunyai efek mencegah peroksidase lipid, namun untuk
26
memastikan efek pada kondisi klinis sesungguhnya masih dibutuhkan
serangkaian uji klinis pada manusia.
8. Penyekat Kanal Natrium
Selain kalsium didapatkan penumpukan ion natrium intrasel
pascatrauma. Efek obat ini adalah sebagai anestesi lokal, antiaritmia, dan
antikonvulsi dengan tujuan melindungi sel pascatrauma. Studi in vivo
menggunakan tetrodotoksin dan golongan lain, seperti QX314, masih
belum menunjukkan efek yang diharapkan, begitu pula penggunaan riluzol
oleh Schwartz dan Fehlings masih belum menghasilkan perbaikan klinis.
9. Modulasi Metabolisme Asam Arakidonat
Perubahan asam arakhidonat menjadi tromboksan, prostaglandin,
dan leukotrien akan berefek menurunkan aliran darah, agregasi trombosit
sehingga menimbulkan iskemia. Obat yang dapat memblokade enzim
COX dianggap dapat bermanfaat. Prostasiklin yang merupakan hasil
metabolisme asam arakidonat memiliki efek berbeda, yaitu vasodilatasi
dan menghambat agregasi trombosit. Penggunaan naloxon digabung
dengan indomethacin dan prostasiklin yang dimulai 1 jam pascatrauma
memiliki efek lebih meng untungkan dibandingkan dengan naloxon
sendiri. Studi lain menggunakan ibuprofen, meclofenamat (NSAID dan
COX-inhibitor) dengan prostasiklin analog (iloprost) me nunjukkan
manfaat terhadap aliran darah.
10. Strategi Pengobatan Lain
Antagonis serotonin yang bekerja pada reseptor 5HT-1 dan 5HT-2
dalam percobaan memberikan efek cukup baik, begitu pula dengan
penggunaan neurotrophic growth factor; antibodi inhibitor degenerasi
aksonal telah dicobakan begitu pula dengan transplantasi sel saraf,
semuanya memberikan hasil baik sebatas percobaan. Target berikut yang
lebih penting adalah memotong jalur apoptosis yang dicetuskan oleh
kaspase, seperti inhibitor kaspase-3 serta antiapoptosis protein (BCl-2).
Takrolimus (FK56) dapat dipakai sebagai imunomodulator yang ber fungsi
sebagai promotor regenerasi akson.
27
11. Prognosis9
Pasien dengan cedera medulla spinalis komplit hanya mempunyai harapan
untuk sembuh kurang dari 5%. Jika kelumpuhan total telah terjadi selama 72
jam, maka peluang untuk sembuh menjadi tidak ada. Jika sebagian fungsi
sensorik masih ada, maka pasien mempunyai kesempatan untuk dapat berjalan
kembali sebesar 50%. Secara umum, 90% penderita cedera medulla spinalis
dapat sembuh dan mandiri.
L. PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik dilakukan pada hari Minggu, 27 Oktober 2018 pukul 14.00
di bangsal Asoka 106.2
Status generalisata
a) Keadaan umum : Tampak sakit berat
b) Kesadaran : Composmentis / GCS = E4M6V5= 15
c) VAS : 7 dari 10
d) Vital sign
1) TD : 120/70 mmHg
2) Nadi : 94 x/menit
3) Pernapasan : 27 x/menit
4) Suhu : 38,90 C (axiller)
5) SpO2 : 94%
Status internus
1) Kepala : kesan mesocephal, tidak ada kelainan
2) Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil
isokor (3mm/ 3mm), refleks cahaya (+/+), air mata
(-/-), mata cekung (-/-), refleks kornea (+/+)
3) Hidung : Septum deviasi (-), sekret (-)
4) Wajah : Simetris, nyeri tekan maxillaris (-)
5) Mulut : Sianosis (-), bibir kering (+)
6) Gigi : Caries dentis (-)
7) Telinga : Normotia, otorhea (-)
28
8) Leher : Pembesaran KGB (-), trakea di tengah, tiroid tidak
membesar, kaku kuduk (-)
9) Thorax
• Pulmo
Dextra Sinistra
1. Inspeksi
Bentuk dada
Retraksi ICS
Hemithorak
2. Palpasi
Nyeri tekan
Ekspansi dada
Taktil fremitus
3. Perkusi
Sonor seluruh
lapang paru
4. Auskultasi
Suara dasar
Suara tambahan
AP < L
(-)
Simetris
(-)
Tidak ada yang
tertinggal
Dextra = sinistra
+
Vesikuler
Ronkhi
AP < L
(-)
Simetris
(-)
Tidak ada yang
tertinggal
Dextra = sinistra
+
Vesikuler
-
• Cor
Inspeksi : ictus cordis tampak, ICS normal.
Palpasi : ictus cordis teraba, kuat angkat (+)
Perkusi
Kanan jantung : ICS V linea sternalis dextra
Kiri bawah : ICS V 1-2 medial midclavicularis
sinistra
Pinggang jantung : ICS V Linea Axilla Anterior
sinistra
Kiri atas : ICS II linea parasternalis sinistra
29
Auskultasi : Suara jantung murni: Suara I dan Suara II regular,
murmur (-), gallop (-).
10) Abdomen
a) Inspeksi : Permukaan cembung
b) Auskultasi : Bising usus 2x / menit
c) Palpasi : Turgor kulit baik, nyeri tekan epigastrium (-)
d) Perkusi : Tidak dapat dinilai
11) Kelamin : tidak dilakukan pemeriksaan
12) Ekstremitas :
Superior Inferior
Akral dingin
Oedem
Sianosis
Gerak
nyeri
Hiperemis
-/-
-/-
-/-
Dalam batas normal
-/-
-/-
-/-
-/-
-/-
Dalam batas normal
-/-
-/-
Status Psikiatri
1) Tingkah laku : Gelisah
2) Perasaan hati : Irritabel
3) Orientasi : Normal
4) Kecerdasan : Normal
5) Daya ingat : Normal
Status Neurologis
1) Sikap tubuh : Tidak dapat dinilai
2) Gerakan abnormal : Tidak ada
3) Kepala : Tidak dapat dinilai
4) Nervus cranialis :
N. I (OLFAKTORIUS) Lubang hidung
Kanan
Lubang hidung
Kiri
30
Daya Pembau Normal Normal
N. II (OPTIKUS) Mata Kanan Mata Kiri
Daya Penglihatan Normal Normal
Pengenalan Warna Normal Normal
Lapang pandang Normal Normal
N.III (OKULOMOTORIS) Mata Kanan Mata Kiri
Ptosis - -
Gerak Mata Ke Atas + +
Gerak Mata Ke Bawah + +
Gerak Mata Ke Media + +
Ukuran Pupil 3 mm 3 mm
Bentuk Pupil Isokor Isokor
Reflek Cahaya Langsung + +
Reflek Cahaya Konsesuil + +
Strabismus Divergen - -
Diplopia - -
N.IV (TROKHLEARIS) Mata Kanan Mata Kiri
Gerak Mata Lateral Bawah + +
Strabismus Konvergen - -
Diplopia - -
N. V (TRIGEMINUS) Kanan Kiri
Mengigit Normal Normal
Membuka Mulut Normal Normal
Sensibilitas Muka Atas Normal Normal
Sensibilitas Muka Tengah Normal Normal
Sensibilitas Muka Bawah Normal Normal
31
Reflek Kornea + +
N. VI (ABDUSEN) Mata Kanan Mata Kiri
Gerak Mata Lateral Normal Normal
Starbismus Konvergen - -
Diplopia - -
N. VII (FASIALIS) Kanan Kiri
Kerutan Kulit Dahi Normal Normal
Kedipan Mata Normal Normal
Lipatan Nasolabial Normal Normal
Sudut Mulut Normal Normal
Mengerutkan Dahi Normal Normal
Mengangkat Alis Normal Normal
Menutup Mata Normal Normal
Meringis Normal Normal
Tik Fasial - -
Lakrimasi - -
Daya Kecap 2/3 Depan Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N. VIII (AKUSTIKUS) Kanan Kiri
Mendengar Suara Berbisik Normal Normal
Mendengar Detik Arloji Normal Normal
Tes Rinne Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Weber Tidak dilakukan Tidak dilakukan
Tes Schwabach Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N.IX (GLOSSOFARINGEUS) Keterangan
Arkus Faring Simetris
Daya Kecap 1/3 Belakang Tidak dinilai
32
Reflek Muntah (+)
Sengau (-)
Tersedak (-)
N. X (VAGUS) Keterangan
Arkus faring Simetris
Reflek muntah (+)
Bersuara Normal
Menelan Normal
N. XI (AKSESORIUS) Keterangan
Memalingkan Kepala Normal
Sikap Bahu Normal
Mengangkat Bahu Tidak dapat dinilai
Trofi Otot Bahu Eutrofi
N. XII (HIPOGLOSUS) Keterangan
Sikap lidah Normal
Artikulasi Normal
Tremor lidah (-)
Menjulurkan lidah Normal
Trofi otot lidah (-)
Fasikulasi lidah (-)
5) Refleks Fisiologis
Kanan Kiri
Refleks Biceps Normal Normal
Refleks Triceps Normal Normal
Refleks Ulna dan Radialis Normal Normal
Refleks Patella ↑ ↑
33
Refleks Achilles - -
Kesan : terdapat peningkatan refleks fisiologis pada refleks patella
6) Fungsi motorik
Kanan Kiri
Gerakan Bebas, spontan Bebas, spontan
- -
Kekuatan 555 555
000 000
Tonus + +
↑ ↑
Trofi Eutrofi Eutrofi
Eutrofi Eutrofi
Kesan : terdapat gangguan motorik pada ekstremitas inferior disertai
dengan adanya peningkatan tonus pada ekstremitas inferior, namun tidak
tampak adanya atrofi pada ekstremitas tersebut
7) Refleks Patologis
Kanan Kiri
Babinski + +
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -
Mendel Bachterew - -
Rosollimo - -
Gonda - -
Hofman Trommer - -
34
8) Fungsi Sensorik
Kanan Kiri
Eksteroseptif
Terasa Terasa
Tidak Terasa Tidak Terasa
Rasa nyeri Terasa Terasa
Tidak Terasa Tidak Terasa
Rasa raba Terasa Terasa
Tidak Terasa Tidak Terasa
Rasa suhu Terasa Terasa
Tidak Terasa Tidak Terasa
Propioseptif Terasa Terasa
Tidak Terasa Tidak Terasa
Rasa gerak dan sikap Terasa Terasa
Tidak Terasa Tidak Terasa
Rasa getar Terasa Terasa
Tidak Terasa Tidak Terasa
Diskriminatif Terasa Terasa
Tidak Terasa Tidak Terasa
Rasa gramestesia Terasa Terasa
Tidak Terasa Tidak Terasa
Rasa barognosia Terasa Terasa
Tidak Terasa Tidak Terasa
Rasa topognosisa Terasa Terasa
Tidak Terasa Tidak Terasa
Kesan : terdapat paranesthesia pada ekstremitas inferior
9) Pemeriksaan rangsal meningeal
Kaku kuduk -
Kernig sign -
Brudzinski I -
Brudzinski II -
Brudzinski III -
Brudzinski IV -
35
10) Pemeriksaan fungsi luhur dan vegetatif
Fungsi luhur : baik
Fungsi vegetatif : BAK tidak dapat dikontrol, belum BAB
11) Pemeriksaan ASIA Score
Ditemukan bahwa fungsi motorik ekstremitas atas (C5-T1) kanan
dan kiri pasien baik dengan skor 5 dan fungsi motorik ekstremitas
bawah (L2-S1) mengalami paralisis total. Sedangkan fungsi sensorik
pasien baik dengan skor 2 hingga dermatome T5, selebihnya pasien
tidak dapat merasakan apa-apa baik dengan sentuhan maupun dengan
rangsang nyeri (pin prick).
36
M. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium (26 Oktober 2018)
Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Satuan Darah Lengkap
Hb 14,5 11.7-15.5 g/dL
Leukosit 10,8 3.6-10 Ribu
Eritrosit 4,98 3.8-5.2 Juta
Hematokrit 39,5 35-47 %
MCV 79,3 82-98 fl
MCH 29,1 27-32 Pg
MCHC 36,7 32-37 g/dL
RDW 12,7 10-16 %
Trombosit 210 150-400 Ribu
PDW 14,4 10-18 %
MPV 8,0 7-11 Mikro m3
Limfosit 2,0 1.0-4.5 103/mikro
Monosit 0,4 0.2-1.0 103/mikro
Granulosit 8,4 2 - 4 103/mikro
Limfosit % 18,2 25-40 %
Monosit % 6,1 2-8 %
PCT 0.168 0.2-0.5 %
Urin Lengkap Warna Kuning -
Kekeruhan Jernih -
Protein Urin + Negatif g/L
Glukosa Urin Negatif Negatif Mmol/L
pH 5,0 5 - 9 -
Bilirubin Urin Negatif Negatif Umol/L
Urobilinogen Negatif Negatif Umol/L
Berat Jenis Urin 1,015 1,000-1,030 -
Keton Urin Negatif Negatif Mmol/L
Leukosit Negatif Negatif Sel/mL
Eritrosit Negatif Negatif Sel/mL
Nitrit Negatif Negatif -
Sedimen
1. Eritrosit 21,4 <6,4 uL
2. Leukosit 07,0 <0,5 uL
3. Epitel 45,3 <3,5 uL
4. Silinder 8,55 <0,47 uL
5. Bakteri 119,4 <23 uL
6. Kristal 92,7 Negatif -
7. Yeast 0,0 Negatif -
8. Epitel Tubulus 35,3 Negatif -
9. Silinder
Patologis 4,22 Negatif -
10. Mucus 3,73 Negatif -
11. Sperma 0,0 Negatif -
12. Konduktivity 20,5 Negatif -
37
X-Foto Vertebrae Thorako-Lumbal AP/Lateral (26 Oktober 2018)
Kesan : Spondilosis lumbalis dan torakalis
Tak tampak kompresi maupun listesis
Tak tampak listesis maupun penyempitan diskus
X Foto Cervical AP/Lateral/Oblique
Kesan : Alignment C1-5 lurus
Penyempitan VC5
Spondilosis servikalis
Tak tampak penyempitan diskus
38
X Foto Thorax AP
Kesan : Kardiomegali
Bronkopneumonia massif ec curiga kontusio pulmonal
Kompresi vertebra torakalis 4
N. DISKUSI KEDUA
Dari hasil pemeriksaan diatas, ditemukan bahwa frekuensi napas
pasien meningkat ditandai dengan bunyi ronkhi pada paru serta gambaran
infiltrate massif pada kedua lapang paru ec curiga kontusio pulmonal yang
berkontribusi pada meningkatnya frekuensi napas pasien.
Dari hasil pemeriksaan diatas ditemukan pasien alami paraparese pada
kedua ekstremitas bawah dengan anestesi dari dermatome torakalis 5
kebawah yang disertai dengan pemeriksaan radiologi yang menunjukkan
bahwa terdapat kompresi pada vertebra torakalis ke 4. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat cedera pada medulla spinalis pada dermatome torakalis ke 4
yang bersifat komplit.
O. P.
39
O. DIANOSIS AKHIR
Diagnosis klinik : Tidak dapat menggerakkan kedua tungkai bawah,
kebas dari daerah perut hingga ke bawah, nyeri
punggung, tidak dapat kontrol BAK, belum BAB,
disfungsi ereksi.
Diagnosis topik : Medulla spinalis torakalis ke-4
Diagnosis etiologi : Cedera medulla spinalis komplit
Diagnosis tambahan : Dyspneu ec kontusio pulmonal
P. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan Farmakologis
• di IGD
1. Pasang Collar Neck
2. Pasang DC
3. NK 3 liter/menit
4. IVFD Asering Loading 250cc
5. Injeksi Metilprednisolon 30mg/kgBB bolus IV (15 menit)
6. Injeksi Ketorolac 2x30 mg
7. Injeksi Ranitidin 2x1 amp
• di Ruang Bangsal
1. NK 3 liter/menit
2. IVFD RL 20 tetes/menit
3. Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram
4. Injeksi Metilprednisolon 5,4mg/kgBB/jam (23 jam)
5. Injeksi Ranitidin 2x1 amp
6. Injeksi Paracetamol 3x500 mg
Non Farmakologis
Edukasi
1. Menjelaskan risiko yang mungkin dapat terjadi pada keadaan pasien
2. Menjelaskan indikasi, fungsi, manfaat, dan efek samping dari terapi yang
diberikan
40
Q. PLANNING
USG Abdomen
R. DISKUSI 3
Pasien diberikan collar neck, hal ini disebabkan oleh karena instabilitas
vertebra berisiko merusak saraf. Vertebra servikal dapat dimobilisasi sementara
menggunakan hard cervical collar. Tujuan pemberian collar neck adalah
realignment dan fiksasi segmen bersangkutan bila terjadi gangguan struktur
vertebra.
Pasien diberikan DC, hal ini disebabkan oleh karena ketika terjadi trauma
medulla spinalis, pasien seringkali alami bladder & bowel dysfunction
symptom. Hal tersebut dapat dilihat dari keluhan pasien yang kemudian
menyatakan bahwa dirinya tidak dapat mengontrol BAK.
Pasien diberikan metilprednisolon, hal ini disebabkan bahwa selain faktor
mekanik, perfusi jaringan dan oksigenasi juga mempengaruhi luasnya
kerusakan medulla spinalis. Proses lain yang terjadi di daerah trauma dapat
berupa edema, perdarahan, degenerasi akson, demielinisasi, juga dapat
mengubah bioenergetik seluler. Pada tingkat seluler, terjadi peningkatan kadar
asam amino eksitatorik, glutamat, produksi radikal bebas, opioid endogen serta
habisnya cadangan ATP yang pada akhirnya menyebabkan kematian sel dan
menyebabkan tetapnya gangguan pada fungsi motorik dan sensorik. Steroid
diketahui berfungsi menstabilkan membran, menghambat oksidasi lipid,
mensupresi edema vasogenik dengan memperbaiki sawar darah medula
spinalis, menghambat pelepasan endorfin dari hipofisis, dan menghambat
respons radang. Penggunaannya dimulai tahun 1960 sebagai antiinflamasi dan
antiedema. Metilprednisolon menjadi pilihan dibanding steroid lain karena
kadar antioksidannya, dapat menembus membrane sel saraf lebih cepat, lebih
efektif menetralkan factor komplemen yang beredar, inhibisi peroksidasi lipid,
prevensi iskemia pascatrauma, inhibisi degradasi neurofi lamen, menetralkan
penumpukan ion kalsium, serta inhibisi prostaglandin dan tromboksan. Studi
NASCIS I (The National Acute Spinal Cord Injury Study) menyarankan dosis
41
tinggi sebesar 30 mg/kgBB sebagai pencegahan peroksidasi lipid, diberikan
sesegera mungkin setelah trauma karena distribusi metilprednisolon akan
terhalang oleh kerusakan pembuluh darah akibat kerusakan sekunder.
S. PROGNOSIS
Death : Dubia ad Bonam
Disease : Dubia ad Malam
Disability : Dubia ad Malam
Discomfort : Dubia ad Malam
Dissatisfaction : Dubia ad Malam
Destitution : Dubia ad Malam
42
Q. FOLLOW UP
S
O
A
P
Minggu, 28 Oktober 2018
Pusing mengeluhkan tidak dapat menggerakkan kedua kaki dan terasa kebas
dari perut hingga ke bawah, nyeri pada punggung, sesak napas, belum BAB, dan
disfungsi ereksi
GCS : E4M6V5
VAS : 7
TD : 100/60 mmHg
N : 85 x/menit
RR : 30 x/menit
T : 41,4 0C
Abdomen : distensi +
Cedera medulla spinalis komplit ec trauma
Dyspneu napas ec kontusio pulmonal
1. NK 5 liter/menit
2. IVFD RL 20 tetes/menit
3. Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram
4. Injeksi Metilprednisolon 3,5 amp/jam (23 jam) dilanjutkan dengan 3x125mg
5. Injeksi Ranitidin 2x1 amp
6. Injeksi Paracetamol 3x500 mg
7. USG Abdomen
Kesan :
• Tidak tampak cairan
bebas intraabdominal
• Hepatomegali
• Nefrolithiasis kiri
• Efusi pleura kanan
43
S
O
A
P
Senin, 29 Oktober 2018
Pasien mengeluhkan dada terasa semakin sesak, masih belum bisa BAB, nyeri
pada punggung, alami kelumpuhan pada kedua kakinya dan tidak dapat
merasakan rangsang nyeri dari perut hingga ke bawah, keluarga pasien
mengatakan bahwa perut pasien terlihat semakin membesar
GCS : E4M6V5
VAS : 7
TD : 130/60 mmHg
N : 118 x/menit
RR : 36 x/menit
NCH +
Abdomen : distensi +
Retraksi +
T : 39,8 0C
Cedera medulla spinalis komplit ec trauma
Dyspneu ec kontusio pulmonal dd efusi pleura
1. NRM 10 liter/menit
2. IVFD RL 20 tetes/menit
3. Injeksi Ceftriaxone 2x1 gram
4. Injeksi Metilprednisolon 3,5 amp/jam (23 jam) dilanjutkan dengan 3x125mg
5. Injeksi Ranitidin 2x1 amp
6. Injeksi Paracetamol 3x500 mg
7. Refer Kariadi
44
DAFTAR PUSTAKA
1. Noback CR, Strominger NL, Demarest RJ, et al. The Human Nervous
System Structure and Function. 6th Edition. New Jersey : Humana Press
Inc. 2005.
2. Perdossi. Konsensus Nasional Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma
Spinal. Jakarta : Perdossi ; 2006.
3. Ropper H.A, Brown R H. Adam’s and Victor Principles of Neurology. USA
; McGrawHill : 2005.
4. Mumenthaler M, Mattle H. Neurology 4th edition. Germany : Thieme
Flexibook ; 2004.
5. ASIA. Spinal cord injury. 13 Januari 2008. Diunduh dari :
http://sci.rutgers.edu. 2008.
6. Ridvan A. Assessment of Spinal Cord Injury-History: Deparment of
medicine dan rehabilitation liv hospital. Turkey ; ASIA ; 2015
7. Consortium Member Organizations and Steering Committee
Representatives. Early Acute Management in Adults with Spinal Cord
Injury: A Clinical Practice Guideline for Health-Care Professionals. The
Journal Of Spinal Cord Medicine. Vol. 31. 2006.
8. Markam S. Penuntun neurologi. Banten ; Binapura Aksara pubhlisher. 2015.
9. Gondowirjaya Y. Trauma medulla spinalis : patobiologi dan tatalaksana
medikamentosa. Bali; Continuing medical education; CDK-219/vol.41 no.8
th. 2014
10. Muresanu D. Spinal cord injuries clinical assessment. New pharmacological
approach ini brain and spinal cord neuroprotection and neuro recovery
treatment. Romania. University medicine and pharmacy.
11. Hadley M. clinical assessment following acute cervical and spinal cord
injury; Birmingham; congress neurological surgeons;72:40-53:2013
45
PR PRESENTASI KASUS
1. Kenapa pada UMN terdapat peningkatan refleks?
Hal ini disebabkan akibat hilangnya pengaturan inhibisi dari jaras
motorik sehingga reflek miotatik (stretch reflex) tendon tidak terinhibisi
dan berlebih. Reflek ini merupakan salah satu diagnosis klinis utama untuk
memastikan apakah kelainan motorik pada pasien disebabkan oleh lesi
UMN atau LMN
2. Pemeriksaan tambahan untuk disfungsi ereksi
a. Refleks kremaster
Refleks ini dilakukan dengan cara (1) meraba halus daerah paha
dalam secara vertikal dengan menggunakan handscoen yang
menyebabkan (2) kontraksi pada muskulus kremaster yang
menimbulkan elevasi pada testis.
46
b. Refleks bulbocavernosus
Refleks ini dilakukan dengan cara menjepit gland penis secara tiba-
tiba dengan tangan yang satunya berada didalam anus. Hasil ditemukan
positif bila menyebabkan kontraksi pada spinchter ani