Upload
phungkiet
View
228
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
AKTIVITAS ANTIHIPERGLIKEMIK DARI EKSTRAK
BUAH MAHKOTA DEWA [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.]
SEBAGAI INHIBITOR ALFA-GLUKOSIDASE
in vitro DAN in vivo PADA TIKUS PUTIH
OLEH : SRI SUGIWATI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
ABSTRAK
SRI SUGIWATI. Aktivitas Antihiperglikemik dari Ekstrak Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.)Boerl.] sebagai Inhibitor Alfa-Glukosidase in vitro dan in vivo pada Tikus Putih. Dibimbing oleh MARIA BINTANG dan L. BROTO S. KARDONO. Inhibitor alfa-glukosidase merupakan obat antidiabetes oral yang digunakan untuk mengobati Diabetes Mellitus (DM) tipe II. Kerja antihiperglikemik dari inhibitor alfa glukosidase berasal dari inhibisi reversibel, kompetitif terhadap enzim hidrolase alfa amilase pankreatik dan enzim-enzim pencernaan di usus halus seperti isomaltase, sukrase dan maltase yang berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida lainnya. Pada penderita DM, inhibisi terhadap enzim ini menyebabkan penghambatan absorpsi glukosa sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah makan. Penelitian ini bertujuan untuk menguji aktivitas antihiperglikemik dari ekstrak buah mahkota dewa sebagai inhibitor alfa-glukosidase in vitro dan in vivo. Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu fraksinasi dan ekstraksi buah tua dan buah muda mahkota dewa, penapisan fitokimia, uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dan uji toksisitas dengan metode Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) terhadap berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa, yang dilanjutkan dengan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo dari ekstrak buah tua mahkota dewa dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) pada model hewan coba tikus.
Percobaan uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dilakukan dengan menggunakan enzim alfa-glukosidase dan p-nitrofenil α-D-glukopiranosa sebagai substrat. Hasil percobaan menunjukkan bahwa ekstrak fraksi n-butanol dari buah tua dan buah muda mahkota dewa memiliki aktivitas inhibisi paling tinggi diikuti ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak metanol dan ekstrak air hasil rebusan, sedangkan ekstrak air hasil fraksinasi hampir tidak memiliki aktivitas inhibisi.
Pada uji toksisitas dengan metode BSLT diamati tingkat mortalitas larva udang Artemia salina Leach yang disebabkan oleh ekstrak buah mahkota dewa. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode Sam berdasarkan perhitungan jumlah larva yang mati dan hidup. Berdasarkan nilai LC50 dari hasil uji toksisitas dengan BSLT, ekstrak buah muda mahkota dewa lebih toksik daripada ekstrak buah tua, dengan toksisitas paling tinggi adalah ekstrak metanol diikuti ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak air hasil rebusan dan ekstrak fraksi n-butanol.
Pada percobaan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo digunakan 15 ekor tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan, yaitu kelompok kontrol positif yang dicekok obat Acarbose, kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak air hasil rebusan buah tua dan kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua. Hasil percobaan menunjukkan bahwa pemberian ekstrak air hasil rebusan buah tua dengan dosis 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus dan
ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan Acarbose sebagai kontrol positif dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus. Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ekstrak fraksi n-butanol buah muda dan buah tua mahkota dewa memiliki aktivitas antihiperglikemik in vitro tertinggi terhadap inhibisi enzim alfa-glukosidase dan pada percobaan in vivo menggunakan tikus putih, menunjukkan bahwa aktivitas antihiperglikemik dari ekstrak fraksi n-butanol buah tua setara dengan ekstrak air hasil rebusan buah tua dan Acarbose sebagai kontrol positif.
ABSTRACT
SRI SUGIWATI. Antihyperglycemic Activity of the Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl.] Fruit Extracts as Alpha-Glucosidase Inhibitor by in vitro and in vivo Experiments in the White Rats. Under the direction of MARIA BINTANG and L. BROTO S. KARDONO. Alpha-glucosidase inhibitor is an oral antidiabetes for use in the management of type 2 diabetes mellitus. The antihyperglycemic activity of alpha-glucosidase inhibitor resulted from a competitive, reversible inhibition of hydrolase enzymes, pancreatic alpha-amylase and intestinal digestion enzymes (i.e., isomaltase, sucrase and maltase) which hydrolyzed dietary carbohydrates to glucose and other monosaccharides. In diabetic patients, inhibition of these enzymes result in a delayed glucose absorption and a lowering of postprandial hyperglycemia. The purpose of this research is to study the antihyperglycemic activity of the fruit extracts of Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl. as alpha glucosidase inhibitor by in vitro and in vivo experiments.
The research is performed in several steps: fractionation and extraction of the ripe and unripe fruits, phytochemistry test of the fruit extracts, alpha-glucosidase inhibition test by in vitro experiment, toxicity test of the fruit extracts by using BSLT method and antihyperglycemic activity test by in vivo experiment with Oral Glucose Tolerance Test (OGTT) in the white rats.
The alpha-glucosidase inhibition test in vitro is performed by using alpha-glucosidase enzyme and substrate p-nitrophenyl α-D-glucopyranosa. The result of these experiment showed that n-butanol fraction extract of the ripe and unripe fruits have the highest activity followed by ethyl acetate fraction extract, methanol extract and water extract from the boiled of the ripe and unripe fruits. The water fraction extract of ripe and unripe fruits do not have any significant inhibition activity.
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) method used the shrimp larvas of Artemia salina Leach to study the mortality effect that caused by the fruit extracts of phaleria macrocarpa. The data obtained was analyzed by using Sam’s method. Based on the LC50 value from the result of BSLT method, the unripe fruit extracts are more toxic than the ripe fruit extracts, with the highest toxicity is methanol extract followed by ethyl acetate fraction extract, boiled water extract and n-butanol fraction extract.
In the antihyperglycemic activity test by in vivo experiment is used fifteen rats which are divided into three treatment groups: the positive control group which is given Acarbose drug, the treatment group which is given the water extract from the boiled ripe fruit and the treatment group which is given the n-butanol fraction extract of ripe fruit. The result of this experiment indicated that giving the water extract from the boiled ripe fruit with dose of 6.20 x 10-4 mg/ g rat and 1.24 x 10-3 mg/ g rat and the n-butanol fraction extract of ripe fruit with dose of 1.81 x 10-3 mg/ g rat and 3.62 x 10-3 mg/ g rat decreased the blood glucose concentration of rats after giving
80% w/v sucrose solution treated rats, that were comparable to those of Acarbose with dose of 1.00 x 10-3 mg/ g rat as the positive control.
The conclusion of this research is the n-butanol fraction extract of the ripe and unripe fruits of Phaleria macrocarpa (Scheff) Boerl. have the highest antihyperglycemic activity by in vitro experiment to inhibition of alpha-glucosidase enzyme and by in vivo experiment in the white rats showed that antihyperglycemic activity from the n-butanol fraction extract of the ripe fruit is the same as the water extract from the boiled ripe fruit and Acarbose as the positive control.
Judul Tesis : Aktivitas Antihiperglikemik dari Ekstrak Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] sebagai Inhibitor Alfa-Glukosidase in vitro dan in vivo pada Tikus Putih
Nama : Sri Sugiwati NRP : G135010011 Program Studi : Biokimia
Menyetujui,
1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS L. Broto S. Kardono, Apt. Ph.D, APU Ketua Anggota
Mengetahui,
2. Ketua Program Studi Biokimia 3. Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Norman R. Azwar Prof. Dr. Ir. Syafrida Manuwoto, M.Sc Tanggal ujian : 14 Juni 2005 Tanggal lulus :
PRAKATA
Berangkat dari suatu perasaan dari lubuk hati yang terdalam, yang tak terungkap dengan kata-kata tentang keikhlasan hati dari orang-orang terdekat, yang selalu setia dan penuh kasih sayang menemani dan membimbingku dalam menapaki jalan menuju cita. Kupersembahkan karya utama ini kepada Ibu dan Bapak tercinta Kakak-Kakak dan Adik-Adikku tersayang Suami dan belahan hatiku terkasih
Di awal kata tak akan pernah kulupa, untuk memanjatkan puji syukur yang
terdalam kehadirat Alloh SWT Yang Maharohman dan Maharohim sehingga penulis
dapat menyelesaikan karya ilmiah dengan judul “Aktivitas Antihiperglikemik dari
Ekstrak Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] sebagai
Inhibitor Alfa-Glukosidase in vitro dan in vivo pada Tikus Putih”.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus penulis sampaikan kepada
Ibu Prof. Dr. drh. Maria Bintang, MS sebagai pembimbing I dan Bapak Leonardus
Broto Sugeng Kardono, Apt. Ph.D, APU sebagai pembimbing II, yang telah
meluangkan waktu memberikan bimbingan, saran, dukungan dan semangat bagi
penulis sehingga penelitian dan penulisan karya ilmiah ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada seluruh
staf Laboratorium Bahan Alam, Pusat Penelitian Kimia Terapan LIPI, PUSPIPTEK
Serpong, terutama kepada Ibu Dra. Puspa Dewi, MSc atas bantuan sarana dan
prasarana penelitian. Kepada mbak Mimin, mbak Risna, Lala dan Bapak Achmad,
terima kasih atas segala bantuan dan bimbingannya di lapangan selama pelaksanaan
penelitian.
Kepada Bapak dan Ibundaku tercinta, terima kasih yang tak terhingga atas
segala doa dan bimbingannya yang tiada pernah putus-putusnya diberikan kepada
penulis dengan penuh kasih dan sayang.
Kepada suamiku, mas Hari Satria dan belahan hatiku, Opik dan Lulu, terima
kasih yang amat sangat atas segala doa, pengorbanan, dukungan dan pengertiannya
selama ini.
Kepada kakak-kakak dan adik-adikku, mbak Wiwik, Kak Almutholib, Ani,
Didi, Herningwang, Parno, keponakan-keponakanku Indri, Arif, Opang, Ilham,
Jajang, terima kasih yang tulus atas segala doa dan dukungannya. Mbak Tati dan Mas
Suryo, terima kasih atas segala dukungan dan bantuannya tak akan pernah kulupa.
Kusweni, terima kasih atas ketulusan dan keikhlasan menjaga dan menemani anak-
anakku.
Teman-teman Program Pasca Sarjana Biokimia, FMIPA-IPB, Purbowati,
Yosie dan Yuzda, semoga persahabatan yang telah terjalin akan terus berlanjut.
Terima kasih kepada semua pihak yang turut membantu di dalam penelitian
dan penulisan karya ilmiah ini yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.
Penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa karya ilmiah yang telah dapat
diselesaikan ini masih jauh dari sempurna dan oleh sebab itu segala saran dan kritik
membangun yang diberikan terhadap karya ilmiah ini sangat bermanfaat bagi penulis
sebagai penunjang untuk penelitian lebih lanjut.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kemajuan ilmu pengetahuan,
khususnya di negeri ini, dengan keanekaragaman hayatinya yang sangat beragam.
Bogor, 2 Juli 2005
Sri Sugiwati
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jakarta pada tanggal 22 Juni 1970 sebagai anak ketiga
dari lima bersaudara, dari pasangan H. Suwarno dan Hj. Sutari.
Pada tahun 1996, penulis menyelesaikan pendidikan sarjana di Jurusan Kimia,
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA), Universitas Indonesia.
Pada tahun 1998, penulis menikah dengan Hari Satria Setiawan dan telah
dikaruniai seorang putra Muhamad Taufiq Irsyad dan seorang putri Lulu Alya
Setyowati.
Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Departemen Keperawatan Dasar dan
Dasar Keperawatan (DKKD) Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia sejak
tahun 1997 hingga sekarang. Pada tahun 2001 penulis mendapat kesempatan untuk
melanjutkan pendidikan ke Program Pascasarjana IPB pada Program Studi Biokimia.
Selama pendidikan penulis mendapatkan beasiswa dari BPPS DIKTI.
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL …………………………………………………………... ix DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………….. x DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………… xii PENDAHULUAN …………………………………………………………… 1 TINJAUAN PUSTAKA Mahkota Dewa ……………………………………………………........... 5 Pencernaan dan Absorpsi Karbohidrat ………………………………….. 7 Glikolisis, Jalur Metabolisme Utama Glukosa, Fruktosa dan Galaktosa ... 8 Hormon-Hormon yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah …………. 14 Diabetes Mellitus (DM) …………………………………………………. 17 Klasifikasi DM ………………………………………………………….. 18 Diagnosis DM …………………………………………………………… 20 Komplikasi DM …………………………………………………………. 21 Pengobatan DM …………………………………………………………. 23 Mekanisme Kerja Obat sebagai Inhibitor Reaksi Enzim ………………... 26 Uji Inhibisi Alfa-Glukosidase …………………………………………… 28 Penentuan Kadar Glukosa Darah dengan Glucose Test Strip …………… 29 Model Hewan Percobaan DM …………………………………………... 30 BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat ……………………………………………................ 31 Bahan dan Alat ………………………………………………………….. 31 Sampel …………………………………………………………………... 32 Model Hewan Coba ……………………………………………………... 32 Rancangan Percobaan …………………………………………………… 32 Fraksinasi dan Ekstraksi ………………………………………………… 33 Penapisan Fitokimia …………………………………………………….. 34 Uji Inhibisi Alfa-Glukosidase …………………………………………… 36 Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan Larva Udang
Artemia salina Leach. ……………………………………………………. 38 Uji Aktivitas Antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dari Ekstrak Buah Tua Mahkota Dewa pada Hewan Coba Tikus ………. 39
HASIL DAN PEMBAHASAN Fraksinasi dan Ekstraksi ………………………………………………… 43 Penapisan Fitokimia …………………………………………………….. 45 Uji Inhibisi Alfa-Glukosidase …………………………………………... 47
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan Larva Udang Artemia salina Leach. ………………………………………………….. 52
Uji Aktivitas Antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dari Ekstrak Buah Tua Mahkota Dewa pada Hewan Coba Tikus ………. 55
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan ………………………………………………………………… 63 Saran …………………………………………………………………….. 64 DAFTAR PUSTAKA ……………………………………………………….. 65 LAMPIRAN ………………………………………………………………… 68
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Sistem reaksi enzim untuk satu sampel dengan volume total 2 ml …….. 37 2 Persen rendemen hasil ekstraksi buah mahkota dewa dengan pelarut
metanol ………………………………………………………………… 43 3 Persen rendemen hasil fraksinasi dari ekstrak metanol buah muda mahkota dewa …………………………………………………………. 44 4 Persen rendemen hasil fraksinasi dari ekstrak metanol buah tua mahkota dewa …………………………………………………………. 44 5 Persen rendemen hasil ekstraksi buah mahkota dewa yang diperoleh dengan cara rebusan …………………………………………………… 45 6 Hasil uji toksisitas dengan metode BSLT terhadap berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa …………………..................... 54
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1 Tanaman mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.)Boerl.] …….. 5
2 Pencernaan bertahap dari amilopektin atau glikogen oleh α-amilase
dan α(1→6)-glucosidase. α-Amilase pada saliva memutus ikatan glikosida α(1→4) diantara unit maltosa dari amilopektin (atau glikogen), tetapi tidak dapat memutus ikatan glikosida α(1→6) yang terdapat pada titik percabangan (gambar atas). α(1→6) Glukosidase di usus halus memutus ikatan glikosida α(1→6) pada titik percabangan, yang membuka inti amilosa untuk pencernaan lebih lanjut oleh amilase (gambar bawah) ……………………………………………………….. 9
3 Jalur glikolisis …………………………………………………………. 10 4 Jalur masuk fruktosa ke dalam jalur glikolisis ………………………… 12 5 Perubahan galaktosa menjadi glukosa ………………………………… 13 6 Pengontrolan kadar glukosa darah oleh hormon yang disekresi pankreas,
insulin dan glukagon …………………………………………………... 14 7 Pengontrolan metabolisme glikogen. Fosforilasi menginaktifkan
glikogen sintase dan mengaktifkan fosforilase, yang menyebabkan peningkatan glikogenesis dan penghambatan sintesis glikogen ……….. 16 8 Struktur kimia Acarbose ………………………………………………. 25 9 Inhibisi reversibel kompetitif; inhibitor dan substrat berkompetisi pada
sisi aktif enzim. E = enzim; S = substrat; I = inhibitor; ES = kompleks enzim substrat; EI = kompleks enzim inhibitor; P = produk .................. 27
10 Inhibisi reversibel non-kompetitif; inhibitor dan substrat terikat secara
bersama-sama. E = enzim; S = substrat; I = inhibitor; ES = kompleks enzim substrat; EI = kompleks enzim inhibitor; ESI = kompleks enzim substrat inhibitor; P = produk ................................................................. 28
11 Persamaan reaksi enzimatik α-glukosidase dan p-nitrofenil-α-D- glukopiranosa …………………………………………………………. 28
12 Persamaan reaksi enzimatik glukosa dengan glukosa oksidase dan Peroksidase ……………………………………………………………. 29
13 Diagram alir penelitian ………………………………………………… 33 14 Persen inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari ekstrak metanol,
ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol dan ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah tua mahkota dewa ……………. 48
15 Persen inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari ekstrak metanol,
ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah muda mahkota dewa …………. 50
16 Kurva TGO pada penentuan kadar larutan sukrosa yang akan dicekok
ke tikus. Kelompok I dicekok larutan sukrosa 40% b/v; kelompok II = 60% b/v dan kelompok III = 80% b/v …………………………………. 57
17 Kurva TGO kelompok A1 (kelompok kontrol positif yang diperlakukan
sebagai kontrol negatif) dibandingkan dengan kelompok A2 (kelompok kontrol positif) …………………………………………………………. 58
18 Kurva TGO kelompok B2 dan B3 (kelompok perlakuan yang dicekok
ekstrak rebusan buah tua dengan dosis masing-masing 6,20 x 10-4 mg/g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus) dibandingkan dengan kelompok B1 (kelompok perlakuan B sebagai kontrol negatif) dan kelompok A2 (kelompok kontrol positif) ……………………………… 60
19 Kurva TGO kelompok C2 dan C3 (kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis masing-masing 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus) dibandingkan dengan kelompok C1 (kelompok perlakuan C sebagai kontrol negatif) dan kelompok A2 (kelompok kontrol positif) ………… 61
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
1 Gambar buah mahkota dewa ………………………………………….. 68 2 Bagan fraksinasi dan ekstraksi buah tua dan buah muda mahkota dewa ……………………………………………………………………. 70 3 Hasil penapisan fitokimia pada berbagai ekstrak buah tua dan buah
muda mahkota dewa …………………………………………………… 71 4 Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi terhadap enzim
alfa-glukosidase secara in vitro dari berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa ………………………………………… 72
5 Data hasil uji BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak buah tua dan buah muda
mahkota dewa …………………………………………………………. 77 6 Histogram persentase mortalitas larva udang Artemia salina Leach.
pada uji toksisitas dengan metode BSLT dari berbagai ekstrak buah mahkota dewa …………………………………………………………. 82
7 Diagram alir percobaan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo dari
ekstrak buah tua mahkota dewa dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) pada model hewan coba tikus ……………………………….. 83
8 Perhitungan dosis obat Acarbose (Glucobay tablet) yang dicekokkan
pada hewan coba tikus ………………………………………………… 84 9 Perhitungan dosis ekstrak air hasil rebusan buah tua mahkota dewa
yang dicekokkan pada hewan coba tikus ……………………………… 85 10 Perhitungan dosis ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa yang
dicekokkan pada hewan coba tikus …………………………………… 86 11 Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada percobaan penentuan
kadar larutan sukrosa yang dicekokkan ke hewan coba tikus ................ 87 12 Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok kontrol positif
yang dicekok obat Acarbose (kelompok A) …………………………… 88
13 Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak air hasil rebusan buah tua mahkota dewa (kelompok B) ………………………………………………………….. 89
14 Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan
yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa (kelompok C) ………………………………………………………….. 91
15 Hasil Analisis Ragam Faktorial 2x2 RAL kadar glukosa darah kelompok
hewan coba tikus pada uji aktivitas antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) ………………………………….. 93
16 Uji lanjut Duncan pada percobaan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo pada hewan coba tikus ………………………………………… 94
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada
seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal
(hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
(Dalimartha 2003). DM merupakan masalah kesehatan yang serius di seluruh dunia.
Menurut laporan terakhir dari International Diabetes Federation (IDF) tahun 2003
penderita DM telah meningkat secara mengkhawatirkan. Global Diabetes Statistic
melaporkan tahun 2003 ada 194 juta orang di dunia yang terkena DM dan
diperkirakan jumlahnya akan meningkat sampai 333 juta orang pada tahun 2025.
Prevalensi DM di Indonesia sekitar 1,2% sampai 2,3% dari jumlah penduduk berusia
di atas 15 tahun (Dalimunthe 2004).
DM merupakan penyakit yang perlu diwaspadai karena dapat menyerang
semua golongan usia, semua tingkat sosial ekonomi, laki-laki maupun perempuan.
Beberapa faktor penyebab penyakit DM adalah faktor keturunan, adanya infeksi virus
dan bakteri, bahan kimia toksik seperti aloksan dan streptozotosin, dan nutrisi
berlebihan. Nutrisi berlebihan (overnutrition) terutama makanan berkolesterol dan
berkadar lemak tinggi, merupakan faktor resiko pertama yang diketahui
menyebabkan DM (Utami et al. 2003).
Pada penderita DM menahun yang tidak mengontrol kadar glukosa darahnya,
dapat terjadi komplikasi kronis, yang terutama disebabkan oleh kelainan pembuluh
2
darah seperti makroangiopati dan mikroangiopati. Kelainan pembuluh darah kecil
(mikroangiopati) dapat menimbulkan berbagai perubahan pada pembuluh darah
kapiler yang ada pada ginjal, mata, dan kaki. Akibatnya, timbul berbagai komplikasi
seperti pada kapiler glomerulus ginjal yang menyebabkan nefropati diabetik, pada
retina mata menyebabkan retinopati dan berakhir dengan kebutaan. Kelainan pada
pembuluh darah besar (makroangiopati) dapat menyebabkan terjadinya penyumbatan
pada pembuluh darah jantung yang menyebabkan penyakit jantung koroner.
Penyempitan pada pembuluh darah tungkai bawah dapat menyebabkan ulkus dan
gangren di kaki, sedangkan kelainan pada pembuluh darah otak menyebabkan
penyakit cerebrovaskuler yang mengakibatkan stroke (Dalimartha 2003).
DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol dengan melakukan upaya-upaya seperti perencanaan diet, mempertahankan
bobot badan normal dan melakukan cukup olah raga. Obat hanya perlu diberikan, bila
setelah melakukan berbagai upaya tersebut secara maksimal tidak berhasil
mengendalikan kadar glukosa darah (Ganiswara et al. 1999). Ada dua macam obat
antihiperglikemik, yaitu berupa suntikan insulin dan obat antidiabetik oral yang
meliputi golongan sulfonilurea, biguanid, thiazolidinedion, dan inhibitor alfa-
glukosidase (Silva 2004).
Inhibitor alfa-glukosidase digunakan untuk mengobati DM tipe II. Berbeda
dengan sulfonilurea, obat golongan ini tidak meningkatkan sekresi insulin. Kerja
antihiperglikemik dari inhibitor alfa-glukosidase berasal dari inhibisi reversibel,
kompetitif terhadap enzim hidrolase alfa-amilase pankreatik dan enzim-enzim
pencernaan di usus halus seperti isomaltase, sukrase dan maltase. Enzim-enzim ini
3
berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan monosakarida
lainnya. Pada penderita DM, inhibisi terhadap enzim ini menyebabkan penghambatan
absorpsi glukosa sehingga menurunkan keadaan hiperglikemia setelah makan (Slagle
2002; Bayer 2004)).
Beberapa jenis tanaman obat tradisional Indonesia yang secara empiris
digunakan sebagai antidiabetes telah diteliti memiliki aktivitas sebagai inhibitor
enzim alfa- glukosidase, diantaranya adalah biji alpukat, daun bungur, kulit jamblang,
daun salam, daun sukun, daun kesumba dan cocor bebek. Pada penapisan fitokimia,
tanaman tersebut memiliki kandungan senyawa golongan fenol (Sutedja 2003).
Terdapat beberapa jenis tanaman obat Indonesia lainnya yang secara empiris
digunakan sebagai antidiabetes, tetapi belum diteliti aktivitasnya sebagai inhibitor
alfa-glukosidase, salah satunya adalah mahkota dewa.
Mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] merupakan tanaman
asli Indonesia yang berasal dari Papua. Umumnya dibudidayakan sebagai tanaman
hias atau tanaman peneduh, tetapi terkadang masih dapat dijumpai tumbuh liar di
daerah hutan pada ketinggian 10 m sampai 1.200 m di atas permukaan laut (Hutapea
et al. 1999; Winarto et al. 2003). Tanaman ini telah digunakan secara empirik untuk
mengatasi DM dan berbagai jenis penyakit lainnya seperti kanker, lever, jantung,
asam urat, rematik, ginjal, tekanan darah tinggi, eksim, jerawat, dan luka gigitan
serangga (Lisdawati 2002). Dari segi kandungan kimia, tumbuhan ini belum banyak
diketahui. Evaluasi fitokimia mahkota dewa telah dilakukan, yang antara lain
tumbuhan ini diduga mengandung alkaloid, terpenoid, saponin dan poliphenol
(Kardono 2003).
4
Untuk membuktikan secara ilmiah mengenai aktivitas antihiperglikemik dari
ekstrak buah mahkota dewa sebagai inhibitor alfa-glukosidase, maka dilakukan
penelitian in vitro dan in vivo. Penelitian in vitro dilakukan dengan menggunakan
ekstrak buah mahkota dewa sebagai inhibitor terhadap enzim alfa-glukosidase dan
p-nitrofenil α-D-glukopiranosa sebagai substrat. Penelitian in vivo dilakukan dengan
metode uji toleransi glukosa oral pada model hewan coba tikus putih jantan.
Penelitian ini bertujuan menguji aktivitas inhibisi dan membandingkan
efektifitas inhibisi terhadap enzim alfa-gukosidase in vitro dari berbagai ekstrak buah
muda dan buah tua mahkota dewa secara. Selanjutnya, menguji aktivitas
antihiperglikemik in vivo dari ekstrak buah tua dengan metode uji toleransi glukosa
oral pada hewan coba tikus putih.
Hipotesis dari penelitian ini adalah ekstrak buah mahkota dewa dapat
menginhibisi enzim alfa-gukosidase baik in vitro maupun in vivo.
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pembuktian ilmiah mengenai
aktivitas antihiperglikemik pada DM tipe II dari buah mahkota dewa, sehingga
penggunaannya sebagai obat antidiabetes dapat dipertanggungjawabkan secara
medik. Manfaat lain dari penelitian ini adalah diharapkan dapat meningkatkan
penggunaan mahkota dewa sebagai obat antidiabetes alternatif bagi masyarakat
terutama masyarakat pedesaan dimana tidak tersedia obat jadi atau karena tidak
terjangkau oleh daya beli masyarakat.
5
TINJAUAN PUSTAKA
Mahkota Dewa
Mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] merupakan tanaman
asli Indonesia yang berasal dari Papua. Umumnya dibudidayakan sebagai tanaman
hias atau tanaman peneduh, tetapi terkadang masih dapat dijumpai tumbuh liar di
daerah hutan pada ketinggian 10 m sampai 1.200 m di atas permukaan laut dengan
curah hujan rata-rata 1.000-2.500 mm/tahun. Tanaman ini memiliki nama sinonim
Phaleria papuana Warb. Var. Wichannii (Val.) Back., nama daerah Simalakama
(Sumatra), Makuto dewo (Jawa) (Hutapea et al. 1999; Winarto et al. 2003).
Gambar 1. Tanaman Mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.]
Berdasarkan taksonomi tumbuhan, mahkota dewa diklasifikasikan sebagai
berikut (Hutapea et al 1999; Winarto et al. 2003) :
Kingdom : Plantae
Divisi : Spermathophyta
Subdivisi : Angiospermae
6
Kelas : Dicotyledoneae
Bangsa : Thymelaeales
Suku : Thymelaeaceae
Marga : Phaleria
Spesies : Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl atau Phaleria
papuana Warb var. Winchannii (Val) Back
Morfologi tanaman ini cukup sempurna karena memiliki batang, daun, bunga,
dan buah. Buah mahkota dewa terdiri dari kulit, daging, cangkang, dan biji. Buah saat
masih muda berwarna hijau muda, tetapi akan berubah menjadi merah marun saat
sudah tua. Ukuran buahnya bervariasi, dari sebesar telur ayam kampung hingga
sebesar apel merah. Ketebalan kulit berkisar 0,5-1,0 mm. Daging buah berwarna
putih dengan ketebalan bervariasi, tergantung ukuran buah (Hutapea et al 1999;
Winarto et al. 2003).
Tanaman ini telah digunakan secara empiris untuk mengatasi berbagai jenis
penyakit seperti kanker, lever, jantung, kencing manis (diabetes), asam urat, rematik,
ginjal, tekanan darah tinggi, eksim, jerawat, dan luka gigitan serangga. Pemakaiannya
dapat digunakan sebagai obat dalam dengan cara dimakan maupun diminum atau
sebagai obat luar dengan cara dioleskan atau dilulurkan (Lisdawati 2002).
Dari segi kandungan kimia, tumbuhan ini belum banyak diketahui. Evaluasi
fitokimia mahkota dewa telah dilakukan, yang antara lain tumbuhan ini diduga
mengandung alkaloid, terpenoid, saponin dan poliphenol. Buahnya banyak
mengandung berbagai jenis lipid, yang terkonsentrasi pada biji. Sedangkan getahnya
mengandung senyawa-senyawa anti-insekta terutama terhadap kumbang tenebrinoid.
7
Senyawa-senyawa dalam getah antara lain toluquinone, ethylquinone, asam oktanoat,
1-nonene, 1-undecene, 1-pentadecene, 1-heptadene, dan 6-alkyl-1-4-naphtoquinone
(Kardono 2003). Dari daging buah mahkota dewa, telah diisolasi beberapa senyawa
antikanker (sitostatika), salah satunya adalah suatu lignan, dengan rumus molekul
C6H20O6 dan struktur molekulnya 5-[4(4-methoxy-phenyl-tetrahydrofuro-[3,4-
c]furan-1-yl]-benzene-1,2,3-triol (Lisdawati 2002).
Pencernaan dan Absorpsi Karbohidrat
Pencernaan karbohidrat (pati dan glikogen) dari makanan, sudah dimulai di
dalam mulut, oleh adanya enzim alfa-amilase yang dihasilkan oleh kelenjar saliva.
Enzim ini memutus ikatan glikosida α(1→4) pada polisakarida (Mathews dan van
Holde 2000).
Pencernaan karbohidrat selanjutnya, berlangsung di usus halus oleh adanya
enzim alfa-amilase pankreatik yang disekresi oleh pankreas. Alfa-amilase pankreatik
menghidrolisis amilosa menjadi maltosa dan glukosa, sedangkan amilopektin dan
glikogen hanya dihidrolisis secara parsial menghasilkan dekstrin, seperti
diperlihatkan pada Gambar 2. Enzim ini tidak dapat menghidrolisis sempurna
amilopektin dan glikogen, karena tidak dapat memutus ikatan glikosida α(1→6) yang
terdapat pada titik percabangan. α(1→6)-Glukosidase (isomaltase) merupakan enzim
yang dapat memutus ikatan glikosida α(1→6) pada titik percabangan tersebut,
sehingga terbuka kembali gugus baru yang dihubungkan oleh ikatan glikosida
α(1→4) dan dapat dihidrolisis lebih lanjut oleh α-amilase hingga mencapai kembali
titik percabangan baru yang dihubungkan oleh ikatan glikosida α(1→6). Produk akhir
8
dari kerja kedua enzim ini secara bertahap adalah penguraian sempurna pati dan
glikogen menjadi maltosa dan glukosa. Maltosa dihidrolisis oleh maltase
menghasilkan 2 molekul glukosa. Selanjutnya, glukosa dan monosakarida lainnya
seperti fruktosa dan galaktosa yang merupakan hasil hidrolisis dari sukrosa dan
laktosa diabsorpsi dari usus halus dan dibawa ke hati melalui sirkulasi vena portal
(Mathews dan van Holde 2000).
Di dalam hati, lebih dari setengah glukosa yang ada disimpan sebagai
glikogen dan juga dioksidasi melalui jalur glikolisis untuk memenuhi kebutuhan
energi metabolik hati. Glukosa sisanya, memasuki kembali aliran darah sebagai
glukosa bebas untuk dibawa ke jaringan. Di otot, glukosa juga dioksidasi melalui
jalur glikolisis untuk menghasilkan energi dan disimpan sebagai glikogen, sedangkan
di jaringan adiposa, glukosa diubah menjadi asam lemak dan trigliserida (Schreiber
1984).
Glikolisis, Jalur Metabolisme Utama Glukosa, Fruktosa dan Galaktosa
Glikolisis merupakan jalur metabolisme utama bukan saja bagi glukosa tetapi
juga bagi monosakarida lainnya, seperti fruktosa dan galaktosa yang berasal dari
makanan. Pada jalur glikolisis, glukosa diubah menjadi piruvat melalui 10 tahapan
reaksi seperti diperlihatkan pada Gambar 3. Selanjutnya, piruvat diubah menjadi
asetil-KoA dan memasuki siklus asam sitrat yang dirangkai dengan rantai transport
elektron dan fosforilasi oksidatif menghasilkan energi kimia dalam bentuk ATP
(Schreiber 1984; Strayer 2000).
9
Gambar 2. Pencernaan bertahap dari amilopektin atau glikogen oleh α-amilase dan
α(1→6)-glucosidase. α-Amilase pada saliva memutus ikatan glikosida α(1→4) diantara unit maltosa dari amilopektin (atau glikogen), tetapi tidak dapat memutus ikatan glikosida α(1→6) yang terdapat pada titik percabangan (gambar atas). α(1→6) Glukosidase di usus halus memutus ikatan glikosida α(1→6) pada titik percabangan, yang membuka inti amilosa untuk pencernaan lebih lanjut oleh amilase (gambar bawah).
11
Fruktosa, sebelum memasuki jalur glikolisis diubah terlebih dahulu menjadi
dihidroksiaseton fosfat, gliseraldehid 3-fosfat atau fruktosa 6-fosfat melalui dua jalur
reaksi yang berbeda, seperti diperlihatkan pada Gambar 4. Pada jalur pertama,
fruktosa difosforilasi menjadi fruktosa 1-fosfat oleh fruktokinase, yang selanjutnya
dipecah menjadi gliseraldehid dan dihidroksiaseton fosfat oleh fruktosa 1-fosfat
aldolase. Dihidroksiaseton fosfat merupakan intermediet glikolitik, sedangkan
gliseraldehid sebelum memasuki jalur glikolisis, difosforilasi oleh tirosin kinase
menjadi gliseraldehid 3-fosfat. Pada jalur kedua, fruktosa difosforilasi oleh
heksokinase menjadi fruktosa 6-fosfat yang merupakan intermediet glikolitik
(Schreiber 1984; Mathews dan van Holde 2000).
Galaktosa memasuki jalur glikolisis dalam bentuk glukosa 1-fosfat yang
merupakan intermediet glikolitik, melalui beberapa tahap reaksi seperti diperlihatkan
pada Gambar 5. Pada reaksi tahap pertama, galaktosa difosforilasi menjadi galaktosa
1-fosfat oleh galaktokinase. Galaktosa 1-fosfat kemudian bereaksi dengan UDP-
glukosa membentuk UDP-galaktosa, dengan melepaskan glukosa 1-fosfat. Reaksi ini
dikatalisis oleh galaktosa 1-fosfat uridil transferase. Selanjutnya, UDP-galaktosa
diubah kembali menjadi UDP-glukosa oleh UDP-galaktosa-4-epimerase (Schreber
1984; Mathews dan van Holde 2000).
14
Hormon-Hormon yang Mempengaruhi Kadar Glukosa Darah
Pengontrolan kadar glukosa darah dipengaruhi oleh kerja dari beberapa
hormon, seperti insulin, glukagon dan epinefrin. Hormon insulin berperan dalam
menurunkan kadar glukosa darah, sedangkan glukagon dan epinefrin berperan
sebaliknya, yaitu meningkatkan kadar glukosa darah. Mekanisme pengontrolan kadar
glukosa darah oleh insulin dan glukagon diperlihatkan pada Gambar 6 (Mathews dan
van Holde 2000).
Gambar 6. Pengontrolan kadar glukosa darah oleh hormon yang disekresi pankreas,
insulin dan glukagon.
Insulin
Insulin merupakan polipeptida berukuran 5,8 kilodalton, disintesis oleh sel
beta pulau Langerhans pankreas, yang disekresi sebagai respon terhadap peningkatan
kadar glukosa darah. Aksi insulin terutama pada tiga jaringan organ, yaitu hati, otot
15
dan jaringan adiposa. Aksi tersebut dapat berupa ambilan, penyimpanan, dan
penggunaan glukosa, yang meliputi aktifasi glikolisis di hati; peningkatan sintesis
asam lemak dan triasilgliserol di hati dan jaringan adiposa; inhibisi glukoneogenesis
di hati; peningkatan sintesis glikogen di hati dan otot serta peningkatan permeabilitas
sel terhadap glukosa di hati dan jaringan adiposa (Mathews dan van Holde 2000;
Zulfikar 1993).
Glukagon
Glukagon merupakan polipeptida berukuran 3,5 kilodalton, disintesis oleh sel
alfa pulau Lagerhans pankreas, yang disekresi sebagai respon terhadap kadar glukosa
darah rendah (Mathews dan van Holde 2000).
Jika kadar glukosa darah rendah, glukagon disekresi oleh pankreas dan
dibawa oleh aliran darah ke organ sasaran. Hati merupakan organ sasaran utama dari
glukagon. Sel-sel hati memiliki reseptor eksternal glukagon. Pada saat berikatan
dengan reseptor, glukagon mengaktifasi adenilat siklase, enzim pada permukaan
intraselular membran. Adenilat siklase merubah ATP menjadi siklik AMP, yang
merupakan second messenger. Selanjutnya, siklik AMP berikatan dan mengaktifasi
protein kinase yang bergantung siklik AMP. Protein kinase memfosforilasi beberapa
enzim, yang dapat merubah aktifitas enzimatiknya, menjadi bentuk aktif dan tidak
aktif. Fosforilasi glikogen sintase merubahnya menjadi bentuk tidak aktif, sehingga
menghambat sintesis glikogen. Sebaliknya, fosforilasi pada fosforilase kinase,
membuat enzim ini menjadi bentuk aktif. Terbentuknya fosforilase kinase aktif,
selanjutnya mengubah glikogen fosforilase tidak aktif menjadi bentuk aktif. Dengan
terbentuknya glikogen fosforilase aktif, maka proses glikogenolisis meningkat.
16
Penghambatan sintesis glikogen dan peningkatan glikogenolisis, menyebabkan
peningkatan kadar glukosa darah. Mekanisme pengontrolan metabolisme glikogen
oleh hormon glukagon diperlihatkan pada Gambar 7 (Schreiber 1984; Mathews dan
van Holde 2000).
Gambar 7. Pengontrolan metabolisme glikogen. Fosforilasi menginaktifkan
glikogen sintase dan mengaktifkan fosforilase, yang menyebabkan peningkatan glikogenesis dan penghambatan sintesis glikogen.
17
Epinefrin
Epinefrin disekresi oleh medulla adrenal, sebagai respon terhadap kadar
glukosa darah rendah. Di otot, epinefrin mengaktifasi adenilat siklase, yang
menyebabkan peningkatan glikogenolisis dan menghambat sintesis glikogen. Di
jaringan adiposa, epinefrin meningkatkan penguraian triasilgliserol menghasilkan
bahan bakar untuk jaringan otot. Akibatnya, ambilan glukosa ke dalam otot menjadi
berkurang dan menyebabkan peningkatan kadar glukosa darah. Epinefrin juga
menghambat sekresi insulin dan menstimulasi sekresi glukagon. Secara keseluruhan
kerja dari hormon epinefrin adalah meningkatkan kadar glukosa darah (Mathews dan
van Holde 2000).
Diabetes Mellitus
Diabetes Mellitus (DM) merupakan sekumpulan gejala yang timbul pada
seseorang, ditandai dengan kadar glukosa darah yang melebihi nilai normal
(hiperglikemia) akibat tubuh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif
(Dalimartha 2003).
Seseorang dapat menderita penyakit DM karena berbagai faktor berikut ini
(Utami et al. 2003) :
(1) Faktor genetik atau keturunan
Pada sebagian besar penderita DM memiliki riwayat keluarga yang juga
menderita DM.
(2) Virus dan Bakteri
Virus yang diduga menyebabkan DM adalah rubela, mumps, dan human
coxsackievirus B4. Hasil penelitian menyebutkan bahwa virus dapat
18
menyebabkan DM melalui mekanisme infeksi sitolitik pada sel beta yang
mengakibatkan kerusakan sel.
(3) Bahan Toksik atau Beracun
Ada beberapa bahan toksik yang mampu merusak sel beta secara langsung,
yakni aloksan, pyrinuron (rodentisida), dan streptozotocin (produk dari sejenis
jamur).
(4) Nutrisi
Nutrisi berlebihan (overnutrition) merupakan faktor resiko pertama yang
diketahui menyebabkan DM. Semakin lama dan berat obesitas akibat nutrisi
berlebihan, semakin besar kemungkinan terjangkitnya DM.
Klasifikasi DM
Berikut ini adalah klasifikasi DM dan gangguan toleransi glukosa menurut
WHO 1985 (Tjokroprawiro et al. 1988) :
A. Kelas Klinis
I. Diabetes Mellitus
1. DM tipe I atau Diabetes Mellitus Tergantung Insulin (DMTI) atau insulin
dependent diabetes mellitus (IDDM)
Kelompok DM tipe I adalah penderita penyakit DM yang sangat tergantung
pada suntikan insulin. Kebanyakan penderitanya masih muda dan tidak
gemuk. Sekitar 5-10 persen penderita DM menderita DM tipe I. DM tipe I
disebabkan karena sebagian besar sel beta pulau Langerhans pankreas yang
memproduksi insulin mengalami kerusakan, akibatnya, kadar insulin menjadi
kurang atau tidak ada (Dalimartha 2003; Utami et al. 2003).
19
2. DM tipe II atau Diabetes Mellitus Tidak Tergantung Insulin (DMTI) atau non
insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM)
DM tipe II adalah lebih umum daripada tipe I. Di Indonesia 90 persen
penderita DM adalah penderita DM tipe II dan umumnya disertai dengan
kegemukan. Kebanyakan timbul pada penderita di atas usia 40 tahun. Pada
DM tipe II, pankreas masih relatif cukup menghasilkan insulin, tetapi insulin
yang ada bekerja kurang sempurna karena jumlah reseptor insulin pada sel
target tidak mencukupi, akibat kegemukan. Orang gemuk biasanya memiliki
jumlah reseptor insulin yang lebih sedikit daripada orang normal. Kelompok
ini terdiri dari penderita tidak gemuk (non-obese) dan penderita gemuk
(obese) (Bettelheim dan Jerry 1995; Dalimartha 2003).
3. DMTM (Diabetes Mellitus Terkait Malnutrisi)
Salah satu penyebab terjadinya DMTM diduga karena kekurangan protein
jangka panjang yang bersamaan dengan makanan utama singkong, sehingga
HCN dari singkong akan merusak sel beta pankreas yang sebenarnya HCN
bisa dinetralkan oleh asam amino dari protein makanan, dan selanjutnya
dikeluarkan melalui urin (cyanide-cassava hypothesis) (Tjokroprawiro et al.
1988).
4. DM tipe lain yang berhubungan dengan keadaan atau sindrom tertentu
Diabetes tipe ini disebabkan oleh keadaan atau sindrom tertentu seperti
penyakit pankreas, penyakit hormonal, keadaan yang disebabkan oleh obat
atau zat kimia, gangguan reseptor insulin, dan sindrom genetik tertentu
(Ellenberg dan Harold 1983).
20
II. Gangguan Toleransi Glukosa (GTG)
Penderita gangguan toleransi glukosa (GTG) dinyatakan dengan adanya
peningkatan kadar glukosa darah pada tes toleransi glukosa oral (TTGO) dimana
nilainya ada di daerah perbatasan yaitu di atas normal, tetapi di bawah nilai
diagnostik untuk DM (Dalimartha 2003).
III. DM pada kehamilan (gestational DM)
Pada waktu hamil, perubahan-perubahan biokimiawi akibat kehamilan seperti
adanya hormon plasenta yang bersifat insulin antagonis dan meningkatnya
pemecahan insulin oleh plasenta, merupakan faktor diabetogenik (Adam 1987).
B. Kelas risiko statistik
Semua orang dengan toleransi glukosa normal tetapi mempunyai risiko yang
lebih besar untuk mengidap DM. Yang termasuk dalam golongan ini adalah penderita
yang kedua orang tuanya menderita DM, pernah menderita GTG kemudian normal
lagi, pernah melahirkan bayi dengan berat badan lebih dari 4 kg (Dalimartha 2003).
Diagnosis DM
Diagnosis DM dapat dilakukan dengan pemeriksaan darah, yaitu dengan Tes
Toleransi Glukosa Oral (TTGO) standar menurut WHO. TTGO secara umum
dilakukan dengan cara mengukur kadar glukosa darah puasa setelah pasien berpuasa
selama 10-12 jam, kemudian pasien diberi minum larutan glukosa 75 gram.
Selanjutnya, kadar glukosa darah diukur kembali setelah 1 jam dan 2 jam setelah
minum larutan glukosa. Darah yang diperiksa adalah darah dari vena sekitar lipat siku
(Dalimartha 2003).
21
Dari hasil pemeriksaan TTGO dapat diketahui apakah seseorang menderita
DM, mengalami gangguan toleransi glukosa atau normal, dengan kriteria sebagai
berikut (Dalimartha 2003):
(1) Seseorang dikatakan menderita penyakit DM bila hasil pemeriksaan kadar
glukosa darah puasanya ≥ 126 mg/dl dan kadar glukosa darah 2 jam setelah
minum larutan glukosa ≥ 200 mg/dl.
(2) Seseorang dikatakan terganggu terhadap toleransi glukosa bila hasil
pemeriksaan kadar glukosa darah puasanya 110-125 mg/dl dan kadar glukosa
darah 2 jam setelah minum larutan glukosa 140-199 mg/dl.
(3) Seseorang dikatakan normal bila hasil pemeriksaan kadar glukosa darah
puasanya < 110 mg/dl, kadar glukosa darah 1 jam setelah minum larutan
glukosa < 180 mg/dl, dan 2 jam setelah minum larutan glukosa < 140 mg/dl.
Komplikasi DM
A. Komplikasi Akut DM
Komplikasi akut terjadi jika kadar glukosa darah seseorang meningkat atau
menurun tajam dalam waktu relatif singkat. Pada komplikasi akut DM dapat
terjadi (Utami et al. 2003) :
(1) Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah suatu keadaan seseorang dengan kadar glukosa darah
di bawah nilai normal (kurang dari 50 mg/dl). Gejala dini hipoglikemia
yaitu keringat dingin pada muka terutama hidung, gemetar, lemas, rasa
lapar, mual, tekanan darah turun, gelisah, jantung berdebar, sakit kepala,
22
serta kesemutan di jari tangan dan bibir. Bila dibiarkan tanpa pertolongan
maka penderita menjadi tidak sadar (koma) dengan atau tanpa kejang
(Dalimartha 2003).
(2) Ketoasidosis Diabetik
Pada penderita DM, kadar glukosa darah tinggi tetapi tidak dapat masuk ke
dalam sel karena kekurangan insulin, maka kebutuhan energi tubuh
dipenuhi dengan meningkatkan metabolisme lipid (lipolisis), yang
mengakibatkan meningkatnya asetil-KoA, dan selanjutnya meningkatkan
pembentukan badan keton. Peningkatan badan keton menyebabkan asidosis,
yang pada akhirnya dapat menyebabkan darah menjadi asam, jaringan tubuh
rusak, tidak sadarkan diri, dan mengalami koma (Ganiswara et al. 1999).
B. Komplikasi Kronis DM
Komplikasi kronis terjadi terutama akibat kelainan pembuluh darah seperti
makroangiopati dan mikroangiopati. Kelainan pembuluh darah kecil
(mikroangiopati) dapat menimbulkan berbagai perubahan pada pembuluh darah
kapiler yang ada pada ginjal, mata, dan kaki. Akibatnya, timbul berbagai
komplikasi seperti pada kapiler glomerulus ginjal yang menyebabkan nefropati
diabetik, pada retina mata menyebabkan retinopati dan berakhir dengan
kebutaan. Kelainan pada pembuluh darah besar (makroangiopati) dapat
menyebabkan terjadinya penyumbatan pada pembuluh darah jantung yang
menyebabkan penyakit jantung koroner. Penyempitan pada pembuluh darah
tungkai bawah dapat menyebabkan ulkus dan gangren di kaki, sedangkan
23
kelainan pada pembuluh darah otak menyebabkan penyakit cerebrovaskuler
yang mengakibatkan stroke (Dalimartha 2003).
Pengobatan DM
DM merupakan penyakit yang tidak dapat disembuhkan, tetapi dapat
dikontrol. Untuk mengendalikan penyakit DM, Perkumpulan Endokrionologi
Indonesia (Perkeni) menetapkan empat pilar utama dalam penatalaksanaan DM, yang
meliputi perencanaan diet, latihan jasmani, penyuluhan atau pendidikan kesehatan,
dan pemberian obat hipoglikemik oral atau pemberian insulin (Nurul 1997). Pada
penderita DM tipe II, obat hanya perlu diberikan, bila setelah melakukan diet dan
latihan jasmani secara maksimal tetapi tidak berhasil mengendalikan kadar glukosa
darah (Ganiswara et al. 1999).
Ada dua macam obat hipoglikemik, yaitu berupa suntikan dan berupa tablet
yang disebut obat hipoglikemik oral atau antidiabetes oral. Antidiabetis oral dapat
dibagi dalam 4 golongan, yaitu :
(1) Golongan Sulfonilurea
Derivat sulfonilurea bekerja dengan cara merangsang sel Beta-pulau
Langerhans pankreas untuk mengeksresikan insulin. Obat golongan ini tidak
berguna bila diberikan pada penderita DM tipe I, karena pada penderita DM
tipe I, sel beta pulau Langerhans pankreasnya sudah rusak, sehingga tidak
dapat memproduksi insulin. Obat golongan ini dapat berguna bila diberikan
pada penderita DM tipe II (Ganiswara et al. 1999). Berikut ini adalah obat-
obat yang termasuk golongan sulfonilurea (Ellenberg dan Harold 1983) :
24
(a) Generasi pertama:
Tolbutamide, Chlorpropamide, Tolazamide, Acetohexamide
(b) Generasi kedua: Glibenklamide, Glipizide, Glibonuride
(2) Golongan Biguanid
Derivat biguanid mempunyai mekanisme kerja yang berlainan dengan derivat
sulfonilurea, obat-obat golongan ini bekerja dengan cara mengurangi
resistensi insulin, sehingga glukosa dapat memasuki sel-sel hati, otot dan
organ tubuh lainnya. Obat-obat yang termasuk golongan biguanid adalah
Metformin, Phenformin dan Buformin (Silva 2004).
(3) Golongan Thiazolidinedion
Derivat thiazolidinedion bekerja dengan cara yang sama dengan derivat
biguanid, yaitu dengan mengurangi resistensi insulin, sehingga glukosa dapat
memasuki sel-sel hati, otot dan organ tubuh lainnya. Obat yang termasuk
golongan thiazolidinedion adalah Troglitazone (Silva 2004).
(4) Golongan inhibitor alfa-glukosidase
Obat ini bekerja dengan cara menginhibisi secara reversibel kompetitif
terhadap enzim hidrolase alfa-amilase pankreatik dan enzim-enzim
pencernaan di usus halus seperti isomaltase, sukrase dan maltase. Enzim-
enzim ini berperan pada hidrolisis karbohidrat makanan menjadi glukosa dan
monosakarida lainnya. Pada penderita DM, inhibisi terhadap enzim ini
menyebabkan penghambatan absorpsi glukosa, sehingga menurunkan keadaan
hiperglikemia setelah makan. Obat yang termasuk golongan ini adalah
Acarbose dan di Indonesia telah dipasarkan dengan nama dagang Glucobay.
25
Acarbose adalah suatu oligosakarida yang diperoleh dari proses fermentasi
mikroorganisme, Actinoplanes utahensis, dengan nama kimia O-4,6-dideoxy-
4-[[(1 S,4 R, 5 S, 6 S)-4,5,6-trihydroxy-3-(hydroxymethyl)-2-cyclohexen-1-
yl]amino]-(alpha)-D-glucopyranosyl-1(1 → 4)- O -(alpha)-D-glucopyranosyl-
(1 → 4)-D-glucose. Acarbose merupakan serbuk berwarna putih dengan berat
molekul 645,6, bersifat larut dalam air dan memiliki pKa 5,1. Rumus
empiriknya adalah C25H43NO18 dan struktur kimianya adalah sebagai berikut
(Slagle 2002; Bayer 2004) :
Gambar 8. Struktur kimia Acarbose
Acarbose, dapat digunakan secara kombinasi dengan obat antidiabetik oral
lainnya seperti sulfonilurea, insulin atau metformin, untuk meningkatkan
kontrol hiperglikemia. Hal ini disebabkan karena acarbose memiliki
mekanisme kerja yang berbeda dengan ketiga golongan antidiabetik oral
tersebut (Bayer 2004).
26
Mekanisme Kerja Obat Sebagai Inhibitor Reaksi Enzim
Inhibisi reaksi enzim merupakan suatu strategi utama dalam perancangan
obat, dan hampir sepertiga dari lima puluh jenis obat terpopuler yang diperdagangkan
saat ini merupakan inhibitor enzim. Inhibisi dari suatu reaksi yang dikatalisis enzim
dapat menghambat jalur metabolik utama dengan memblok pembentukan dari suatu
metabolit esensial maupun metabolit yang tidak diinginkan (King 1994).
Enzim memiliki sisi aktif yang dapat mengenali secara spesifik substratnya
yang sesuai, sehingga memungkinkan untuk merancang inhibitor enzim yang dapat
menghalangi pengikatan substrat pada enzim. Dengan terikatnya inhibitor pada
enzim, maka dapat menghambat terbentuknya produk dari suatu metabolit yang tidak
diinginkan (King 1994).
Pada dasarnya, ada dua tipe inhibisi enzim yang disebabkan oleh obat sebagai
inhibitor, yaitu inhibisi reversibel dan inhibisi ireversibel (Ophardt 2003).
(1) Inhibisi Reversibel
Inhibisi reversibel ditandai oleh adanya reaksi kesetimbangan diantara enzim
dan obat sebagai inhibitor. Inhibitor reversibel berikatan dengan enzim melalui ikatan
non-kovalen atau gaya kovalen lemah, dan dapat dilepaskan dari enzim dengan cara
pengenceran, filtrasi gel, atau dialisis. Ada dua tipe utama inhibisi reversibel, yaitu
(King 1994; Ophardt 2003) :
(a) Inhibisi reversibel kompetitif
Inhibisi kompetitif terjadi apabila obat yang berperan sebagai inhibitor
dengan struktur yang menyerupai substrat normal enzim, berkompetisi
27
dengan substrat normal untuk berikatan pada sisi aktif enzim (Ophardt
2003).
Gambar 9. Inhibisi reversibel kompetitif; inhibitor dan substrat berkompetisi
pada sisi aktif enzim. E = enzim; S = substrat; I = inhibitor; ES = kompleks enzim substrat; EI = kompleks enzim inhibitor; P = produk.
(b) Inhibisi reversibel nonkompetitif
Pada inhibisi reversibel nonkompetitif, obat sebagai inhibitor tidak
terikat pada sisi aktif enzim, tetapi terikat pada bagian lain dari enzim.
Terikatnya inhibitor obat pada enzim, menyebabkan perubahan bentuk
enzim, yang mengakibatkan penurunan aktivitas katalitik enzim. Karena
inhibitor terikat pada sisi yang berbeda dari substrat, maka enzim dapat
berikatan dengan inhibitor, berikatan dengan substrat atau berikatan
dengan inhibitor dan enzim secara bersama-sama (Hames & Hooper
2000; Ophardt 2003).
28
Gambar 10. Inhibisi reversibel non-kompetitif; inhibitor dan substrat terikat secara bersama-sama. E = enzim; S = substrat; I = inhibitor; ES = kompleks enzim substrat; EI = kompleks enzim inhibitor; ESI = kompleks enzim substrat inhibitor; P = produk.
(2) Inhibisi Ireversibel
Pada inhibisi ireversibel, inhibitor terikat secara kovalen pada sisi aktif enzim,
membentuk kompleks enzim inhibitor yang bersifat tetap (Hames & Hooper 2000).
Inhibitor ireversibel tidak dapat dilepaskan dari enzim dengan cara pengenceran
maupun dialisis (King 1994).
Uji Inhibisi α-Glukosidase
Enzim α-glukosidase akan menghidrolisis substrat p-nitrofenil-α-D-
glukopiranosa menjadi p-nitrofenol (berwarna kuning) dan glukosa dengan reaksi
sebagai berikut :
Gambar 11. Persamaan reaksi enzimatik α-glukosidase dan p-nitrofenil-α-D-
glukopiranosa.
29
Aktivitas enzim diukur berdasarkan hasil absorbansi p-nitrofenol. Apabila tumbuhan
memiliki kemampuan menghambat aktivitas enzim alfa-glukosidase maka p-
nitrofenol yang dihasilkan akan berkurang (Basuki et al 2002).
Penentuan Kadar Glukosa Darah Dengan Glucose Test Strip
Prinsip dari penentuan kadar glukosa darah dengan glucose test strip adalah
menggunakan metode reaksi enzimatik glukosa darah dengan enzim glukosa oksidase
dan peroksidase yang dilapis pada kertas strip. Pada metode ini kertas strip dilapisi
dengan membran selulosa tipis yang permeabel hanya untuk molekul-molekul kecil
seperti glukosa. Apabila setetes darah dikenakan pada kertas strip, maka dengan
adanya oksigen, glukosa darah dioksidasi secara enzimatik oleh glukosa oksidase
menghasilkan hidrogen peroksida dan asam glukonat. Selanjutnya, peroksidase
mengkatalisis reaksi hidrogen peroksida dengan kromogen kalium iodida
menghasilkan iodin yang berwarna coklat. Intensitas warna yang terbentuk adalah
sebanding dengan jumlah glukosa dalam tetesan darah. Berikut ini adalah persamaan
reaksi enzimatik dari glukosa dengan enzim glukosa oksidase dan peroksidase
(NCBE 1995) :
β-D-Glukosa + O2 + H2O ⎯⎯⎯ →⎯oksidaseglukosa
H2O2 + asam glukonat
H2O2 + kalium iodida ⎯⎯⎯ →⎯ eperoksidas iodin + H2O
Gambar 12. Persamaan reaksi enzimatik glukosa dengan glukosa oksidase dan
peroksidase.
30
Model Hewan Percobaan DM
DM spontan menurut Skyler dan George (1981) merupakan kejadian umum
yang dijumpai pada berbagai spesies hewan dan telah dikenal sejak beberapa waktu
lalu. Leblanc melaporkan kejadian DM pada tikus pada 1851. Kucing, anjing, rubah,
ikan lumba-lumba, dan berbagai hewan ternak dapat mengalami DM. Hewan DM
dapat dijadikan sebagai model dari penyakit ini pada manusia. Akan tetapi,
dikarenakan hewan memperlihatkan keragaman patofisiologi, maka, pada
kenyataannya, tidak ada gejala DM pada hewan yang tepat sama dengan tipe DM
pada manusia. Gejala DM yang paling umum dijumpai pada hewan adalah berupa
obesitas, hiperinsulinemia dan resistensi insulin.
DM selain terjadi secara spontan dapat juga dibuat secara eksperimental
dengan infeksi virus, atau melalui pemberian hormon dan senyawa kimia seperti
pada berbagai hewan terutama hewan coba laboratorium, seperti tikus dan kelinci.
Model hewan DM baik spontan dan eksperimental dapat digunakan secara efektif
untuk mempelajari komplikasi, pengobatan dan pencegahan DM.
Penggunaan senyawa kimia untuk menginduksi hewan menjadi DM
memungkinkan mempelajari secara mendalam proses-proses biokimia, hormonal dan
morfologi yang terjadi selama dan setelah induksi senyawa kimia tersebut pada
hewan. Dua senyawa kimia yang telah dipelajari secara ekstensif adalah aloksan dan
streptozotocin. Kedua senyawa ini merusak sel beta pulau langerhans pankreas,
sehingga menyebabkan hiperglikemia permanen.
31
BAHAN DAN METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini berlangsung selama 10 bulan, mulai dari bulan April 2004
sampai Januari 2005, bertempat di Laboratorium Bahan Alam Pusat Penelitian
Kimia-LIPI, Kawasan PUSPIPTEK Serpong.
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pelarut-pelarut teknis dan
p.a. antara lain metanol, etil asetat, n-butanol, dimetilsulfoksida, HCl, kloroform,
H2SO4, anhidrida asetat, FeCl3, pereaksi Mayer’s, pereaksi Dragendorff, logam Mg,
Na2CO3, α-glukosidase (Saccharomyces sp., Oriental Yeast Co., Ltd.), p-nitrofenil α-
D-glukopiranosa (Wako Pure Chemical Industries, Ltd.), buffer fosfat (pH 7,0),
bovine serum albumin (Wako Pure Chemical Industries, Ltd.), tablet Glucobay, larva
udang Artemia salina Leach., air laut, sukrosa, glukosa strip tes, glukosa meter,
akuades, kertas saring.
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah rotary evaporator merk
Buchii, spektrofotometer UV-Vis, pH meter, neraca analitik, mikropipet merk
Socorex dan eppendorf, penangas air, oven, alat sentrifuse, lampu UV, kotak
bersekat, vial uji, sonde oral, timbangan tikus, jarum suntik dan alat-alat gelas seperti
tabung reaksi, erlenmeyer, beaker glass, labu bulat, pengaduk, corong pisah, gelas
ukur.
32
Sampel
Buah tua dan buah muda mahkota dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.)
Boerl.] yang telah diiris tipis dan dikeringkan dibawah matahari, diperoleh dari Balai
Penelitian Tanaman Obat (BPTO) Tawangmangu, Jawa Tengah. Buah tua dan buah
muda kering, selanjutnya dihaluskan dengan menggunakan blender.
Model Hewan Coba
Model hewan coba yang digunakan adalah tikus putih jantan galur Wistar,
sehat dan mempunyai aktivitas normal, berusia 6 bulan dengan bobot badan 250-350
gram.
Rancangan Percobaan
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap seperti diperlihatkan pada
diagram alir penelitian (Gambar 13) yang terdiri dari tahap pertama fraksinasi dan
ekstraksi dari buah tua dan buah muda mahkota dewa, tahap kedua penapisan
fitokimia terhadap berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa, tahap
ketiga uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro dari berbagai ekstrak buah tua dan buah
muda mahkota dewa, tahap keempat uji toksisitas dengan Brine Shrimp Lethality Test
(BSLT) dan tahap kelima uji aktivitas antihiperglikemik in vivo dari ekstrak buah tua
mahkota dewa dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) terhadap model hewan
coba tikus putih jantan galur Wistar.
33
Gambar 13. Diagram alir penelitian
Fraksinasi dan Ekstraksi
Sebanyak 200 gram serbuk daging buah muda mahkota dewa diekstraksi
dengan pelarut metanol sebanyak 1,5 liter, secara maserasi selama empat hari pada
suhu ruang dengan pengulangan sebanyak empat kali, kemudian disaring dan
diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator pada suhu 40oC hingga diperoleh
ekstrak metanol yang pekat. Ekstrak metanol buah tua diperoleh dengan cara yang
sama dengan merendam 200 gram serbuk daging buah tua dalam 1,5 liter metanol.
Fraksinasi dan ekstraksi buah tua dan buah muda
mahkota dewa
Penapisan fitokimia
Uji inhibisi alfa-glukosidase in vitro
Uji aktivitas antihiperglikemik in vivo dengan tes toleransi glukosa oral pada hewan coba tikus
Uji toksisitas dengan metode BSLT
34
Ekstrak metanol dari buah tua dan buah muda mahkota dewa selanjutnya
difraksinasi dengan campuran pelarut etil asetat-air (1:1) menghasilkan fraksi etil
asetat dan fraksi air. Fraksi air yang diperoleh difraksinasi kembali dengan n-butanol
menghasilkan fraksi air dan fraksi n-butanol. Masing-masing fraksi dipekatkan
dengan rotary evaporator pada suhu 40oC hingga diperoleh ekstrak fraksi etil asetat,
ekstrak fraksi n-butanol dan ekstrak fraksi air yang pekat. Bagan fraksinasi dan
ekstraksi dari buah tua dan buah muda mahkota dewa dapat dilihat pada Lampiran 2.
Pada penelitian ini, untuk memperoleh ekstrak air, selain dilakukan dengan
cara fraksinasi, juga dilakukan dengan cara merebus 20 gram serbuk daging buah tua
dan buah muda mahkota dewa dengan aquadest sebanyak 300 ml, kemudian disaring
dan diuapkan pelarutnya dengan rotary evaporator hingga diperoleh ekstrak air hasil
rebusan.
Penapisan Fitokimia
Uji Alkaloid
Sebanyak lebih kurang 10 ml ekstrak ditambahkan 1,5 ml asam klorida 2%.
Selanjutnya, larutan dibagi menjadi tiga sama banyak dalam tabung reaksi. Tabung
reaksi I sebagai pembanding. Tabung reaksi II ditetesi dengan 2 sampai 3 tetes
pereaksi Dragendorff. Tabung reaksi III ditetesi dengan 2 sampai 3 tetes pereaksi
Mayer. Adanya senyawa alkaloid ditunjukkan oleh terjadinya kekeruhan atau
endapan jingga kecoklatan untuk pereaksi Dragendorff dan endapan putih kekuningan
untuk pereaksi Mayer (Depkes 1987).
35
Uji Flavonoid
Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak dilarutkan dalam 1 ml etanol 95%, ditambahkan
0,1 g serbuk magnesium dan 10 tetes HCl pekat. Terbentuknya warna merah jingga
sampai merah ungu, menunjukkan adanya flavonoid (Depkes 1995).
Uji Fenol
Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak ditetesi dengan 3 tetes larutan besi (III) klorida.
Apabila terjadi warna hijau, ungu, biru sampai hitam, menunjukkan adanya senyawa
fenolik terutama fenol-fenol bebas (Depkes 1987).
Uji Saponin
Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak diencerkan dengan air volume sama dan
dituangkan dalam tabung reaksi, kemudian dikocok selama 15 menit. Terbentuknya
buih yang stabil menunjukkan adanya saponin (Depkes 1987).
Uji Tanin
Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak diencerkan dengan 2 ml air. Pada larutan
ditambahkan 3 tetes larutan besi(III) klorida. Adanya tanin ditunjukkan oleh adanya
perubahan warna larutan menjadi biru kehitaman atau hijau kehitaman (Depkes
1987).
Uji Steroid-Triterpenoid/Uji Lieberman-Burchard
Sebanyak lebih kurang 50 mg ekstrak ditambahkan 5 tetes asam asetat anhidrid dan
dikocok. Ke dalam campuran tersebut ditambahkan 2 tetes H2SO4 pekat, kocok dan
diamati. Terbentuknya warna hijau biru menunjukkan adanya steroid, sedangkan
warna merah/ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Juwati et al. 1998).
36
Uji Molish
Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak ditambahkan 1 tetes pereaksi Molish segar
kemudian dikocok. Selanjutnya, ditambahkan H2SO4 pekat lewat dinding tabung dan
tidak dikocok sehingga membentuk dua lapisan. Terbentuknya warna ungu antara
kedua lapisan tersebut menunjukkan adanya karbohidrat (Juwati et al. 1998).
Uji Biuret
Sebanyak lebih kurang 2 ml ekstrak dicampur dengan 2 ml NaOH 10%, kemudian
ditambahkan 2 tetes larutan CuSO4 0,5% lalu dikocok. Terbentuknya warna merah
muda atau ungu menunjukkan adanya protein (Munandar et al. 2001).
Uji Ninhidrin
Sebanyak lebih kurang 1 ml ekstrak dicampur dengan 1 ml pereaksi Ninhidrin 0,2%
dalam tabung reaksi, kemudian dipanaskan selama beberapa menit dalam air
mendidih. Terbentuknya warna biru atau ungu menunjukkan adanya asam amino
(Munandar et al. 2001).
Uji Inhibisi Alfa-Glukosidase (Sutedja 2003)
Larutan enzim dibuat dengan melarutkan 1,0 mg α-glukosidase dalam 100 ml
buffer fosfat (pH 7,0) yang mengandung 200 mg bovin serum albumin. Sebelum
digunakan, sebanyak 1 ml larutan enzim tersebut diencerkan 25 kali dengan buffer
fosfat (pH 7,0). Campuran reaksi terdiri dari 250 μl 20 mM p-nitrofenil α-D-
glukopiranosa sebagai substrat, 490 μl 100 mM buffer fosfat (pH 7,0) dan 10 μl
larutan sampel dalam DMSO. Setelah campuran reaksi diinkubasi pada 37oC selama
37
5 menit, 250 μl larutan enzim ditambahkan dan selanjutnya diinkubasi selama 15
menit. Reaksi enzim dihentikan dengan penambahan 1000 μl 200 mM natrium
karbonat dan p-nitro fenol yang dihasilkan dibaca absorbansinya pada 400 nm.
Sistem reaksi enzim selengkapnya untuk satu sampel dengan volume total 2
ml dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Sistem reaksi enzim untuk satu sampel dengan volume total 2 ml.
Blanko μl
Kontrol μl
So μl
S1 μl
Sampel - - 10 10 DMSO 10 10 - - Buffer 490 490 490 490 Substrat 250 250 250 250
Inkubasi penangas air 37oC, 5 menit Buffer 250 - 250 - Enzim - 250 - 250
Inkubasi penangas air 37oC, 15 menit Na2CO3 1000 1000 1000 1000
Sampel yang digunakan adalah ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat,
ekstrak fraksi n- butanol dan ekstrak air dengan variasi konsentrasi 1%, 0,5%, 02,5%
dan 0,125% dengan pelarut DMSO. Larutan standar dibuat dengan konsentrasi yang
sama dengan larutan sampel, dengan melarutkan tablet Acarbose (Glucobay) dalam
aquadest dan HCl 2N kemudian disentrifus, selanjutnya supernatan digunakan untuk
membuat larutan standar.
Persen inhibisi dapat dihitung dari persamaan : [(C - S) / C] x 100; dengan S
= absorbansi sampel (S1-So dengan S1 = absorbansi sampel dengan penambahan
enzim dan So = absorbansi sampel tanpa penambahan enzim) dan C = absorbansi
kontrol (DMSO), tanpa sampel (kontrol-blanko).
38
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan Larva Udang Artemia salina Leach.
Telur udang Artemia salina Leach. ditetaskan di dalam gelas piala ukuran 1
liter yang telah diisi air laut kemudian diletakkan di bawah lampu UV dan diberi
aerasi. Setelah 48 jam telur menetas menjadi larva udang (naupili) dan siap untuk
diujicobakan.
Larutan uji dibuat dengan konsentrasi 2000 ppm, 200 ppm dan 20 ppm.
Larutan uji 2000 ppm dibuat dengan cara melarutkan 4 mg ekstrak dalam 2,0 ml air
laut. Larutan uji 200 ppm dibuat dengan cara melarutkan 1 ml larutan uji 2000 ppm
dalam 9 ml air laut, sedangkan larutan uji 20 ppm dibuat dengan cara melarutkan 1
ml larutan uji 200 ppm dalam 9 ml air laut. Jika tidak larut ditambahkan DMSO
kurang lebih 10 μl.
Uji bioaktivitas dilakukan dengan cara memasukkan 100 μl air laut yang
berisi 10-12 ekor larva udang Artemia salina Leach., yang telah berumur 48 jam ke
dalam vial uji. Selanjutnya, ke dalam vial uji ditambahkan 100 μl larutan uji untuk
masing-masing konsentrasi sehingga konsentrasi akhir pada tiap-tiap lubang vial uji
adalah 1000 ppm, 100 ppm, dan 10 ppm, kemudian disimpan di bawah lampu UV.
Sebagai kontrol dipakai 1 ml air laut yang berisi 10-12 ekor larva udang tanpa
penambahan ekstrak.
Setelah 24 jam jumlah larva udang yang mati dihitung dan dianalisis
menggunakan metode Sam (Colegate et al. 1993) berdasarkan perhitungan jumlah
larva yang mati dan yang masih hidup, dan tingkat kematian atau mortalitas (%)
diperoleh dengan membandingkan antara jumlah yang mati dibagi dengan jumlah
39
total larva. Nilai LC50 diperoleh dengan cara menghitung menurut rumus y = a + bx.
Harga y yang dimasukkan adalah 50, untuk menyatakan larva udang yang mengalami
kematian sejumlah 50% setelah masa inkubasi 24 jam. Nilai a dan b diperoleh
dengan perhitungan menggunakan rumus regresi linier berdasarkan data dari tiga titik
konsentrasi yang digunakan. Harga x yang diperoleh merupakan konsentrasi larutan
yang menyebabkan kematian terhadap 50% larva.
Uji Aktivitas Antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dari Ekstrak Buah Tua Mahkota Dewa pada Hewan Coba Tikus
Pengadaptasian
Sebelum melakukan percobaan, tikus diadaptasikan dahulu selama dua
minggu untuk menyeragamkan cara hidup dan makanannya.
Penentuan Dosis Obat Acarbose (Glucobay) dan Dosis Ekstrak yang
Dicekokkan pada Hewan Coba Tikus
Penentuan dosis ekstrak yang dicekokkan ke hewan coba tikus didasarkan
pada pemakaian tradisional. Dalam penggunaannya sebagai obat tradisional untuk
diabetes, sebanyak 5-6 irisan daging buah mahkota dewa kering direbus dengan 5
gelas air sampai hanya tersisa 3 gelas. Air rebusan diminum satu jam sebelum makan
pagi, siang dan malam hari masing-masing sebanyak 1 gelas (Winarto et al. 2003).
Oleh karena itu, dalam penelitian ini digunakan dosis konversi yang setara dengan
bobot ekstrak 2 irisan daging buah mahkota dewa untuk manusia dengan bobot badan
50 kg. Sedangkan dosis obat Acarbose yang digunakan adalah dosis konversi yang
setara untuk manusia dengan bobot badan 50 kg. Perhitungan dosis obat Acarbose,
40
dosis ekstrak air hasil rebusan dan ekstrak fraksi n-butanol yang dicekokkan pada
hewan coba tikus, dapat dilihat pada Lampiran 8, 9 dan 10.
Penentuan Kadar Larutan Sukrosa yang Dicekokkan pada Hewan Coba Tikus
Pada percobaan ini digunakan 9 ekor tikus putih sehat yang dibagi menjadi 3
kelompok dengan jumlah 3 ekor untuk tiap-tiap kelompok, yaitu kelompok I, II dan
III. Tikus pada masing-masing kelompok dipuasakan selama 18 jam. Setelah
dipuasakan diambil darah pada masing-masing kelompok dan diukur kadar glukosa
darah puasanya. Selanjutnya, pada kelompok I dicekok larutan sukrosa 40%b/v,
kelompok II dicekok larutan sukrosa 60%b/v dan kelompok III dicekok larutan
sukrosa 80%b/v masing-masing sebanyak 1 ml. Selanjutnya, kadar glukosa darah
pada masing-masing kelompok diukur setelah ½, 1, 2, dan 3 jam.
Uji Aktivitas Antihiperglikemik
Pada percobaan ini digunakan 15 ekor tikus putih sehat yang dibagi menjadi 3
kelompok perlakuan dengan jumlah 5 ekor untuk tiap-tiap kelompok, yaitu kelompok
A, B, dan C sebagai berikut :
(1) Kelompok perlakuan A (kontrol positif)
Pada kelompok perlakuan A, tikus dicekok obat Acarbose (Glucobay)
dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus.
(2) Kelompok perlakuan B
Pada kelompok perlakuan B, tikus dicekok ekstrak air dari rebusan buah tua
mahkota dewa dengan dosis 1 x dosis konversi (6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus)
dan 2 x dosis konversi (1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus).
41
(3) Kelompok perlakuan C
Pada kelompok perlakuan C, tikus dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua
mahkota dewa dengan dosis 1 x dosis konversi (1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus)
dan 2 x dosis konversi (3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus).
Tikus pada masing-masing kelompok dipuasakan selama 18 jam. Setelah dipuasakan
diambil darah pada masing-masing kelompok dan diukur kadar glukosa darah
puasanya. Selanjutnya, pada kelompok kontrol positif dicekok acarbose, kelompok
perlakuan B dicekok ekstrak air rebusan buah tua mahkota dewa dengan dosis 1 x
dosis konversi, kelompok perlakuan C dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua
mahkota dewa 1 x dosis konversi. Lima menit kemudian pada masing-masing
kelompok dicekok larutan sukrosa 80% b/v sebanyak 1 ml. Kadar glukosa darah
pada masing-masing kelompok diukur setelah ½, 1, 2 dan 3 jam setelah perlakuan.
Percobaan untuk dosis 2 x dosis konversi pada kelompok perlakuan B dan C
dilakukan dengan cara yang sama.
Pada percobaan ini, sebagai kontrol negatif adalah setiap ekor tikus pada
masing-masing kelompok, sebelum perlakuan. Tikus dipuasakan selama 18 jam,
diukur kadar glukosa darahnya dan dicekok larutan sukrosa 80% b/v sebanyak 1 ml.
Selanjutnya, kadar glukosa darah diukur setelah ½, 1, 2, dan 3 jam setelah perlakuan.
Pengukuran Kadar Glukosa Darah dengan Glucose Test Strip
Pengambilan contoh darah tikus dilakukan dengan menusuk ekor tikus yang
sebelumnya telah dibersihkan dengan alkohol 70%(v/v), dengan jarum suntik
(lancet), selanjutnya tetesan darah yang keluar dikenakan pada glucose test strip.
42
Kadar glukosa darah dapat dibaca pada alat glukosa meter secara digital (Anonim
2004).
Analisis Data
Data yang diperoleh dari masing-masing kelompok dianalisis secara statistik
menggunakan metode Rancangan Acak Lengkap (RAL). Jika terdapat perbedaan
nyata atau signifikan antara perlakuan yang diberikan, analisis dilanjutkan dengan uji
Duncan pada taraf α = 0,05 (Matjik & Sumertajaya 2000).
43
HASIL DAN PEMBAHASAN
Fraksinasi dan Ekstraksi
Pada penelitian ini sebagai pelarut awal untuk ekstraksi digunakan metanol,
karena hampir semua senyawa pada jaringan tumbuhan dapat terekstraksi oleh
metanol (Harborne 1987). Ekstraksi dilakukan dengan cara maserasi dalam pelarut
metanol dari buah tua dan buah muda mahkota dewa yang telah dikeringkan dan
dijadikan serbuk. Maserasi dilakukan sebanyak 4 kali dengan asumsi maserasi sudah
tidak efektif mengekstraksi komponen tumbuhan dalam jumlah yang berarti. Ekstrak
yang diperoleh selanjutnya dipekatkan untuk mengetahui persen rendemen.
Pemekatan dilakukan dengan menggunakan rotary evaporator pada suhu 40oC untuk
mencegah kemungkinan terjadinya kerusakan komponen yang terkandung dalam
ekstrak. Ekstrak yang diperoleh disebut ekstrak kasar metanol yang berbentuk pasta.
Pada Tabel 2 dapat dilihat persen rendemen (kadar) hasil ekstraksi dari buah muda
dan buah tua mahkota dewa masing-masing sebanyak 200 gram yang diekstraksi
dengan pelarut metanol.
Tabel 2. Persen rendemen hasil ekstraksi buah mahkota dewa dengan pelarut metanol
Sampel Bobot awal (g) Bobot ekstrak (g) Kadar (%)
Buah tua
Buah muda
200
200
84,93
98,53
42,46
49,27
44
Sebanyak 3,04 g ekstrak metanol buah muda dan 3,01 g ekstrak metanol buah
tua difraksinasi dengan campuran pelarut etil asetat dan air dengan perbandingan etil
asetat : air (1:1). Hal ini dilakukan dengan maksud untuk memisahkan senyawa-
senyawa polar dan senyawa semi polar. Selanjutnya, fraksi air difraksinasi kembali
dengan pelarut n-butanol dengan perbandingan air : n-butanol (1:1). Fraksinasi
dengan n-butanol dilakukan untuk memisahkan senyawa-senyawa polar dan senyawa
non polar. Pada Tabel 3 dan Tabel 4 dapat dilihat persen rendemen dari hasil
fraksinasi bertingkat dari ekstrak metanol buah tua dan buah muda dengan pelarut etil
asetat, air dan n-butanol.
Tabel 3. Persen rendemen hasil fraksinasi dari ekstrak metanol buah muda mahkota dewa
Fraksi Bobot ekstrak (g) Kadar (%)
etil asetat
n-butanol
air
0,22
1,52
1,13
7,24
50,00
37,17
Tabel 4. Persen rendemen hasil fraksinasi dari ekstrak metanol buah tua mahkota
dewa
Fraksi Bobot ekstrak (g) Kadar (%)
etil asetat
n-butanol
air
0,44
1,42
1,02
14,62
47,18
33,89
45
Dari hasil fraksinasi diperoleh persen rendemen ekstrak fraksi n-butanol (buah
muda = 50,00% dan buah tua = 47,18%) lebih tinggi daripada ekstrak fraksi air (buah
muda = 37,17% dan buah tua = 33,89%) dan ekstrak fraksi etil asetat (buah muda =
7,24% dan buah tua = 14,62%). Hasil ini menunjukkan kemampuan mengekstraksi
terhadap senyawa metabolit sekunder yang terkandung dalam tanaman, paling tinggi
dimiliki pelarut n-butanol, diikuti pelarut air dan etil asetat.
Pada Tabel 5 dapat dilihat persen rendemen hasil ekstraksi dari buah muda
dan buah tua mahkota dewa masing-masing sebanyak 20 gram yang diekstraksi
dengan pelarut air dengan cara rebusan. Tujuan dari pembuatan ekstrak air dengan
cara rebusan ini adalah untuk digunakan sebagai sampel pada uji inhibisi alfa-
glukosidase baik in vitro maupun in vivo sehingga dapat dibuktikan adanya aktivitas
antihiperglikemik pada penggunaan buah mahkota dewa secara tradisional yaitu
dengan cara rebusan.
Tabel 5. Persen rendemen hasil ekstraksi buah mahkota dewa yang diperoleh dengan cara rebusan
Sampel Bobot awal (g) Bobot ekstrak (g) Kadar (%)
Buah tua
Buah muda
20
20
3,23
5,11
16,15
25,55
Penapisan Fitokimia
Pada penapisan fitokimia terhadap ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat,
ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah tua
dan buah muda mahkota dewa teridentifikasi adanya senyawa golongan fenol, tanin,
46
dan flavonoid. Hal ini ditandai dengan terbentuknya warna hijau kehitaman setelah
ditambahkan FeCl3 pada uji fenol dan uji tanin dan terbentuknya warna merah jingga
setelah penambahan magnesium dan HCl pekat pada uji flavonoid. Uji saponin
memberikan hasil negatif, karena buih yang terbentuk setelah larutan ekstrak dikocok
selama 15 menit tidak dapat bertahan selama 15 menit. Uji alkaloid juga memberikan
hasil negatif, yang ditandai oleh tidak terbentuknya endapan jingga kecoklatan setelah
ditambahkan pereaksi Dragendorff. Uji steroid-triterpenoid memberikan hasil positif
hanya pada ekstrak fraksi etil asetat dari buah muda dan buah tua mahkota dewa,
yang ditandai dengan terbentuknya warna hijau yang selanjutnya berubah menjadi
biru setelah penambahan pereaksi Liebermann-Burchard. Dari hasil uji Molish
menunjukkan adanya karbohidrat pada semua ekstrak uji, yang ditandai oleh
terbentuknya warna ungu diantara dua lapisan setelah penambahan larutan Molish
dan H2SO4 pekat. Uji Biuret memberikan hasil negatif pada semua ekstrak uji, yang
ditandai oleh tidak terbentuknya warna ungu tetapi warna kuning kehijauan. Ini
menunjukkan bahwa pada semua ekstrak uji tidak terdapat kandungan protein. Uji
Ninhidrin memberikan hasil positif hanya pada ekstrak metanol, ekstrak fraksi air dan
ekstrak air hasil rebusan dari buah muda mahkota dewa, yang ditandai oleh
terbentuknya warna biru setelah penambahan pereaksi Ninhidrin. Hal ini
menunjukkan adanya kandungan asam amino pada ekstrak metanol dan ekstrak air
dari buah muda mahkota dewa. Hasil penapisan fitokimia pada berbagai ekstrak buah
tua dan buah muda mahkota dewa dapat dilihat pada Lampiran 3.
47
Uji Inhibisi Alfa-Glukosidase
Uji inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dilakukan untuk mengetahui
aktivitas antihiperglikemik dari setiap ekstrak. Pada uji ini enzim alfa-glukosidase
akan menghidrolisis substrat p-nitrofenil-α-D-glukopiranosa menjadi p-nitrofenol
yang berwarna kuning dan glukosa dengan reaksi sebagai berikut :
Aktivitas enzim diukur berdasarkan hasil absorbansi p-nitrofenol yang berwarna
kuning (Basuki et al. 2002). Dengan adanya ekstrak buah mahkota dewa yang
berperan sebagai inhibitor alfa-glukosidase maka p-nitrofenol yang dihasilkan akan
berkurang yang ditandai oleh berkurangnya intensitas warna kuning.
Data absorbansi dan persen inhibisi dari hasil uji inhibisi alfa-glukosidase
dapat dilihat pada Lampiran 4. Persentase aktivitas penghambatan (% inhibisi)
dihitung dari persamaan : [(C-S) / C] x 100; dengan S = absorbansi sampel (S1-So,
dengan S1 = absorbansi sampel dengan penambahan enzim dan So = absorbansi
sampel tanpa penambahan enzim) dan C = absorbansi kontrol (DMSO), tanpa sampel
(kontrol-blanko) (Sutedja 2003).
Pada Gambar 14 diperlihatkan persen inhibisi terhadap enzim alfa-
glukosidase dari berbagai ekstrak buah tua mahkota dewa pada konsentrasi 6,25 ppm,
12,5 ppm, 25 ppm, dan 50 ppm.
48
0
11.34
21.4426.87
47.2752.93
69.9
0 0 0 0 0.41
37.09
20.97
10.1
42.27
8.2511.64
22.9
33.01
0
10
20
30
40
50
60
70
80
6.25 12.5 25 50
Konsentrasi (ppm)
% in
hibi
siMetanolEtil asetatn-ButanolAir rebusanAir fraksinasi
Gambar 14. Persen inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah tua mahkota dewa.
Pada konsentrasi 50 ppm, ekstrak fraksi n-butanol memiliki aktivitas inhibisi
paling tinggi (69,90%) diikuti ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak metanol dan ekstrak
air hasil rebusan dengan nilai persen inhibisi yang tidak jauh berbeda yaitu 42,27%
dan 37,09% dan 33,01%. Ekstrak fraksi air memiliki aktivitas inhibisi sangat rendah
(0,41%).
Pada konsentrasi 25 ppm dan 12,5 ppm aktivitas inhibisi dari ekstrak fraksi n-
butanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak metanol, dan ekstrak air hasil rebusan masih
memperlihatkan pola yang sama dengan aktivitas inhibisi pada konsentrasi 50 ppm,
yaitu ekstrak fraksi n-butanol memiliki aktivitas inhibisi tertinggi (52,93% pada 25
ppm dan 47,27% pada 12,5 ppm) diikuti ketiga ekstrak lainnya dengan nilai persen
inhibisi yang tidak jauh berbeda, yaitu ekstrak fraksi etil asetat (21,44% pada 25 ppm
dan 11,34% pada 12,5 ppm), ekstrak metanol (20,97% pada 25 ppm dan 10,10% pada
49
12,5 ppm) dan ekstrak air hasil rebusan (22,90% pada 25 ppm dan 11,64% pada 12,5
ppm). Ekstrak fraksi air sudah tidak memiliki aktivitas inhibisi (0%).
Pada konsentrasi 6,25 ppm ekstrak fraksi n-butanol tetap memiliki aktivitas
inhibisi tertinggi (26,87%) diikuti ekstrak fraksi etil asetat (8,25%), sedangkan
ekstrak metanol dan ekstrak air hasil rebusan sudah tidak memiliki aktivitas inhibisi
(0%).
Pada Gambar 15 diperlihatkan persen inhibisi terhadap enzim alfa-
glukosidase dari ekstrak buah muda mahkota dewa pada konsentrasi 6,25 ppm, 12,5
ppm, 25 ppm dan 50 ppm. Pada konsentrasi 50 ppm, ekstrak fraksi n-butanol dan
ekstrak fraksi etil asetat memiliki aktivitas inhibisi tertinggi dengan nilai persen
inhibisi yang hampir sama yaitu 71,11% dan 70,93% diikuti ekstrak metanol
(40,44%) dan ekstrak air hasil rebusan (26,53%). Ekstrak fraksi air memiliki aktivitas
inhibisi sangat rendah (0,61%).
Pada konsentrasi 25 ppm, ekstrak fraksi n-butanol memiliki aktivitas inhibisi
paling tinggi (63,64%) diikuti ekstrak fraksi etil asetat (45,15%), ekstrak metanol
(20,72%) dan ekstrak air hasil rebusan (11,45%). Ekstrak fraksi air sudah tidak
memiliki aktivitas inhibisi (0%).
Pada konsentrasi 12,5 ppm dan 6,25 ppm aktivitas inhibisi dari ekstrak fraksi
n-butanol, ekstrak fraksi etil asetat dan ekstrak metanol masih memperlihatkan pola
yang sama dengan aktivitas inhibisi pada konsentrasi 25 ppm, yaitu ekstrak fraksi n-
butanol memiliki aktivitas inhibisi tertinggi (54,75% pada 12,5 ppm dan 34,14% pada
6,25 ppm) diikuti ekstrak fraksi etil asetat (30,72% pada 12,5 ppm dan 14,02% pada
50
6,25 ppm) dan ekstrak metanol (11,47% pada 12,5 ppm dan 3,82% pada 6,25 ppm).
Ekstrak air hasil rebusan sudah tidak memiliki aktivitas inhibisi (0%).
34.14
54.75
63.64
0 0 0 03.82
40.44
20.72
11.47
45.15
30.72
70.93
14.02
71.11
0
11.45
26.53
0.610
10
20
3040
50
60
70
80
6.25 12.5 25 50
Konsentrasi (ppm)
% in
hibi
si
MetanolEtil asetatn-ButanolAir rebusanAir fraksinasi
Gambar 15. Persen inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah muda mahkota dewa.
Mekanisme kerja inhibisi dari ekstrak buah mahkota dewa yang berperan
sebagai inhibitor diduga adalah secara reversibel kompetitif terhadap enzim alfa-
glukosidase. Pada inhibisi reversibel kompetitif inhibitor dengan struktur yang
menyerupai substrat normal enzim, berkompetisi dengan substrat normal untuk
berikatan pada sisi aktif enzim membentuk kompleks enzim inhibitor dan tidak
membentuk kompleks enzim substrat, sehingga tidak dihasilkan produk yang
diharapkan (Ophardt 2003).
Dari hasil percobaan memperlihatkan bahwa ekstrak fraksi n-butanol baik
buah tua maupun buah muda memiliki aktivitas inhibisi paling tinggi diikuti ekstrak
51
fraksi etil asetat, ekstrak metanol, ekstrak air hasil rebusan dan ekstrak fraksi air. Hal
ini menunjukkan bahwa, senyawa metabolit sekunder yang berperan sebagai inhibitor
alfa-glukosidase, memiliki kelarutan tertinggi pada pelarut non polar (n-butanol)
diikuti pelarut semipolar (etil asetat), pelarut polar (metanol) dan pelarut polaritas
tinggi (air).
Ekstrak air hasil rebusan baik buah muda maupun buah tua mahkota dewa
memiliki aktivitas inhibisi lebih tinggi daripada ekstrak air hasil fraksinasi pada
semua konsentrasi yang diujikan. Hal ini disebabkan karena pada ekstrak air hasil
rebusan memiliki kandungan senyawa metabolit sekunder yang lebih banyak
dibandingkan dengan ekstrak air hasil fraksinasi. Pada ekstrak air hasil fraksinasi
sebagian besar kandungan senyawa metabolit sekunder telah terekstrak oleh pelarut-
pelarut pengekstrak lainnya yang digunakan pada fraksinasi.
Pada percobaan ini aktivitas inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari
larutan standart Acarboce (tablet Glucobay) tidak dapat diukur, karena Acarbose yang
dipakai tidak dalam bentuk sediaan murni, tetapi dalam bentuk tablet. Dari hasil
pengukuran absorbansi larutan standart Acarbose memberikan nilai negatif, sehingga
tidak dapat ditentukan persen inhibisinya.
Adanya aktivitas inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase dari ekstrak
metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan
ekstrak air hasil rebusan dari buah tua dan buah muda mahkota dewa kemungkinan
disebabkan oleh adanya senyawa golongan fenol yang terkandung di dalam ekstrak
tersebut. Hal ini sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Sutedja (2003),
yang melaporkan adanya senyawa golongan fenol pada beberapa jenis tanaman obat
52
tradisional Indonesia yang secara empiris digunakan sebagai obat antidiabetes dan
telah diteliti memiliki aktivitas sebagai inhibitor alfa-glukosidase. Untuk itu perlu
dikaji lebih lanjut mengenai golongan senyawa kimia mana yang terkandung dalam
ekstrak tersebut yang berperan sebagai inhibitor alfa-glukosidase.
Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) dengan Larva Udang Artemia salina Leach
Penelitian dilanjutkan dengan menguji toksisitas pada berbagai ekstrak buah
mahkota dewa menggunakan metode BSLT (Brine Shrimp Lethality Test) dengan
larva udang Artemia salina Leach. Metode BSLT dipilih dengan beberapa alasan.
Alasan pertama, metode ini merupakan metode penapisan farmakologi awal yang
mudah dan relatif tidak mahal. Kedua, metode ini merupakan metode yang telah
teruji hasilnya dengan tingkat kepercayaan 95% untuk mengamati toksisitas suatu
senyawa di dalam ekstrak kasar tanaman. Selanjutnya yang ketiga, metode BSLT
sering digunakan dalam tahap awal isolasi senyawa toksik yang terkandung dalam
suatu ekstrak kasar dan yang keempat metode ini sering dikaitkan sebagai metode
penapisan untuk penyarian senyawa antikanker dari tanaman. Larva udang memiliki
kulit yang tipis dan peka terhadap lingkungannya. Zat atau senyawa asing yang ada di
lingkungannya akan terserap ke dalam tubuh dengan cara difusi dan langsung
mempengaruhi kehidupan larva udang tersebut. Larva udang yang sensitif ini akan
mati apabila zat atau senyawa asing tersebut bersifat toksik (Colegate et al. 1993;
Meyer et al. 1982).
BSLT pada penelitian ini menggunakan larva udang Artemia salina Leach.
sebanyak 10-12 ekor pada setiap vial uji yang ditambahkan ekstrak kasar tanaman
53
dari masing-masing pelarut. Percobaan dilakukan secara triplo dengan konsentrasi
ekstrak 1000, 100 dan 10 ppm. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dari
berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa dapat dilihat pada Lampiran
5.
Senyawa aktif yang memiliki daya toksisitas tinggi diketahui berdasarkan
nilai Lethal Concentration 50% (LC50) yaitu, suatu nilai yang menunjukkan
konsentrasi zat toksik yang dapat mengakibatkan kematian organisme sampai 50%.
Menurut Meyer et al. (1982), senyawa kimia dikatakan berpotensi bioaktif bila
mempunyai nilai LC50<1000 ppm dan bersifat non toksik bila nilai LC50>1000 ppm.
Pada Tabel 6 dapat dilihat nilai LC50 dari hasil uji toksisitas dengan metode BSLT
pada berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa.
Nilai LC50 dari ekstrak metanol buah tua adalah 212 ppm, nilai ini
menunjukkan bahwa pada konsentrasi 212 ppm ekstrak sampel mampu membunuh
larva udang lebih dari 50% populasi. Dari hasil fraksinasi terhadap ekstrak metanol
buah tua, fraksi etil asetat adalah fraksi yang paling toksik dengan nilai LC50 290
ppm, sedangkan fraksi n-butanol dan fraksi air masing-masing nilai LC50-nya adalah,
1208 ppm dan 1149 ppm.
Nilai LC50 dari ekstrak metanol buah muda adalah 139 ppm, sedangkan dari
hasil fraksinasi terhadap ekstrak metanol buah muda, fraksi etil asetat adalah fraksi
yang paling toksik dengan nilai LC50 235 ppm diikuti fraksi n-butanol dengan nilai
LC50 480 ppm. Fraksi air memiliki nilai LC50 lebih dari 1000 ppm, yaitu 2362 ppm.
Ekstrak air yang diperoleh dari hasil rebusan memiliki nilai LC50 (LC50 buah
muda = 310 ppm; LC50 buah tua = 411 ppm) lebih kecil daripada ekstrak air yang
54
diperolah dari hasil fraksinasi. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak air hasil rebusan
lebih bersifat toksik daripada ekstrak air hasil fraksinasi dan diperkirakan kandungan
senyawa metabolit sekunder pada ekstrak air hasil rebusan lebih banyak daripada
yang terdapat pada ekstrak air hasil fraksinasi. Pada ekstrak air hasil fraksinasi,
kemungkinan kandungan senyawa metabolit sekunder yang terdapat pada buah
mahkota dewa telah terekstrak oleh pelarut pengekstrak lainnya. Perbandingan
toksisitas berdasarkan metode BSLT dari masing-masing ekstrak buah mahkota dewa
dapat dilihat pada Gambar 6.1 dan Gambar 6.2 (Lampiran 6).
Tabel 6. Hasil uji toksisitas dengan metode BSLT terhadap berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa
Ekstrak LC50 (ppm)
Buah tua Metanol Fraksi Etil asetat Fraksi n-butanol Air hasil fraksinasi Air hasil rebusan Buah muda Metanol Fraksi Etil asetat Fraksi n-butanol Air hasil fraksinasi Air hasil rebusan
212 290 1208 1149 411
139 235 480 2362 310
Berdasarkan nilai LC50 pada Tabel 6, maka ekstrak buah tua yang berpotensi
bioaktif dengan nilai LC50 < 1000 ppm adalah ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil
asetat dan ekstrak air hasil rebusan, sedangkan dari ekstrak buah muda yang
berpotensi bioaktif adalah ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-
55
butanol dan ekstrak air hasil rebusan. Ekstral fraksi n-butanol dari buah tua, meskipun
memiliki nilai LC50 > 1000 ppm, tetapi berpotensi bioaktif (memiliki aktivitas
biologi). Hal ini ditandai oleh adanya aktivitas inhibisi yang cukup tinggi pada uji
aktivitas antihiperglikemik terhadap enzim alfa glukosidase in vitro.
Uji Aktivitas Antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
dari Ekstrak Buah Tua Mahkota Dewa Pada Hewan Coba Tikus
Dalam penelitian ini sebagai model hewan coba digunakan tikus putih jantan.
Tikus betina tidak digunakan karena terdapat siklus hormonal bulanan yang dapat
memberikan pengaruh terhadap kadar glukosa darah yang akan diukur.
Model hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini tidak dibuat DM,
sehingga metabolisme karbohidrat seluruh hewan coba dianggap normal tanpa adanya
defisiensi insulin.
Ekstrak yang digunakan pada percobaan ini adalah ekstrak air yang berasal
dari hasil rebusan buah tua dan ekstrak fraksi n-butanol dari buah tua mahkota dewa.
Pemakaian buah tua didasarkan pada pemakaian tradisional dan berdasarkan hasil uji
BSLT, yang menunjukkan bahwa ekstrak buah tua memiliki toksisitas lebih rendah
dibandingkan dengan ekstrak buah muda pada hampir semua ekstrak uji. Penggunaan
ekstrak fraksi n-butanol didasarkan pada hasil uji inhibisi terhadap enzim alfa-
glukosidase in vitro yang memiliki aktivitas inhibisi lebih tinggi dibandingkan
ekstrak uji lainnya dan berdasarkan hasil uji BSLT yang menunjukkan toksisitas lebih
rendah dibandingkan ekstrak uji lainnya yang digunakan pada percobaan ini.
Sedangkan penggunaan ekstrak air hasil rebusan adalah berdasarkan pemakaian
56
tradisional. Dalam penggunaannya sebagai obat tradisional untuk diabetes, sebanyak
5-6 irisan daging buah mahkota dewa kering yang diperdagangkan di pasar direbus
dengan 5 gelas air sampai hanya tersisa 3 gelas. Air rebusan diminum satu jam
sebelum makan pagi, siang dan malam hari masing-masing sebanyak 1 gelas
(Winarto et al. 2003).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Tes Toleransi Glukosa
Oral (TTGO), yaitu mengukur kemampuan tubuh untuk menggunakan glukosa.
Kadar glukosa darah ditingkatkan dengan pemberian sukrosa secara oral. Setelah
pemberian sukrosa, kurva Toleransi Glukosa Oral (TGO) akan meningkat tajam dan
mencapai puncaknya dalam waktu 60 menit. Kemudian kurva menurun perlahan dan
mencapai kadar glukosa darah normal setelah 2 sampai 3 jam (Ravel 1969).
Sebelum diberi perlakuan, tikus uji dipuasakan lebih dahulu selama 18 jam,
dengan tujuan untuk mendapatkan kadar glukosa darah puasa. Setelah pemberian
larutan sukrosa dan bahan uji peroral, sampel darah diambil setiap ½, 1, 2 dan 3 jam.
Pengukuran kadar glukosa darah dilakukan dengan metode glukosa oksidase
peroksidase menggunakan glucose test strip dan glukosa meter.
Pada awal percobaan dilakukan penentuan kadar larutan sukrosa yang akan
dicekokkan pada tikus. Pada percobaan ini digunakan 9 ekor tikus yang dibagi
menjadi 3 kelompok. Kelompok I dicekok larutan sukrosa 40% b/v, kelompok II 60%
b/v dan kelompok III 80% b/v. Pada Gambar 16 dapat dilihat Kurva Toleransi
Glukosa Oral (TGO) dari ketiga kelompok tikus yang dicekok larutan sukrosa dengan
kadar yang berbeda.
57
020406080
100120140160
0 0.5 1 2 3
Waktu (jam)
Kad
ar g
luko
sa d
arah
(mg/
dl)
Kelompok IKelompok IIKelompok III
Gambar 16. Kurva TGO pada penentuan kadar larutan sukrosa yang akan dicekok ke tikus. Kelompok I dicekok larutan sukrosa 40% b/v; kelompok II = 60% b/v dan kelompok III = 80% b/v .
Kurva TGO pada ketiga kelompok menunjukkan puncaknya pada waktu 1
jam dan kemudian menurun dalam waktu 3 jam hingga kembali normal. Kurva TGO
kelompok III lebih tinggi dibandingkan dengan kurva TGO kelompok II diikuti kurva
TGO kelompok I. Hal ini menunjukkan bahwa larutan sukrosa 80% b/v memiliki
kemampuan meningkatkan kadar glukosa darah tertinggi, diikuti larutan sukrosa 60%
b/v dan larutan sukrosa 40% b/v. Oleh karena itu, pada percobaan pengujian aktivitas
antihiperglikemik dari ekstrak buah tua mahkota dewa digunakan larutan sukrosa
80% b/v.
Dalam percobaan pengujian aktivitas antihiperglikemik digunakan 15 ekor
tikus yang dibagi menjadi 3 kelompok, masing-masing 5 ekor, yaitu kelompok A
(kelompok kontrol positif yang dicekok sukrosa dan obat Acarbose), B (kelompok
perlakuan yang dicekok sukrosa dan ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota
58
dewa), dan C (kelompok perlakuan yang dicekok sukrosa dan ekstrak fraksi n-butanol
buah tua mahkota dewa). Pada percobaan ini, sebagai kontrol negatif adalah setiap
ekor tikus pada masing-masing kelompok yang dicekok sukrosa, sebelum perlakuan.
Hasil percobaan menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata
dengan peluang nyata 0,0001 (<<α = 0,01). Hal ini menunjukkan bahwa pemberian
obat Acarbose dan ekstrak air dari hasil rebusan buah tua serta ekstrak fraksi n-
butanol buah tua mahkota dewa mempengaruhi berkurangnya peningkatan kadar
glukosa darah setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v pada hewan coba tikus.
Perbedaan waktu yang dilakukan pada pengukuran kadar glukosa darah juga
berpengaruh sangat nyata dengan peluang nyata 0,0001 (<<α = 0,01).
Pada Gambar 17 diperlihatkan kurva TGO dari kelompok A2 (kelompok
kontrol positif) dibandingkan dengan kurva TGO dari kelompok A1 (kelompok
kontrol positif yang diperlakukan sebagai kontrol negatif).
020406080
100120140
0 0.5 1 2 3
Waktu (jam)
Kad
ar g
luko
sa d
arah
(mg/
dl)
Kelompok A1Kelompok A2
Gambar 17. Kurva TGO kelompok A1 (kelompok kontrol positif yang diperlakukan sebagai kontrol negatif) dibandingkan dengan kelompok A2 (kelompok kontrol positif).
59
Kurva TGO kelompok A1 lebih tinggi dibandingkan kurva TGO kelompok
A2 dan dari hasil uji statistika menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf α =
0,05 antara kelompok perlakuan A1 dan A2 pada pengukuran kadar glukosa darah ½
dan 1 jam setelah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya pemberian
obat Acarbose, kadar glukosa darah tikus meningkat lebih tinggi setelah pemberian
larutan sukrosa 80% b/v dibandingkan dengan adanya pemberian obat Acarbose.
Peningkatan kadar glukosa darah setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v
disebabkan karena meningkatnya absorbsi glukosa sebagai akibat dari hidrolisis
sukrosa oleh enzim sukrase menjadi glukosa dan fruktosa pada usus halus. Dengan
adanya obat Acarbose yang berperan sebagai inhibitor terhadap enzim sukrase, maka
kerja dari enzim ini akan dihambat secara reversibel kompetitif, sehingga tidak semua
sukrosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa dan terjadi penurunan
absorbsi glukosa.
Pada Gambar 18 diperlihatkan kurva TGO dari kelompok B2 dan kelompok
B3 (kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak air dari hasil rebusan buah tua dengan
dosis masing-masing 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus)
dibandingkan dengan kurva TGO kelompok kontrol positif dan kurva TGO kelompok
B1 (kelompok perlakuan B yang diperlakukan sebagai kontrol negatif).
60
020406080
100120140160
0 0.5 1 2 3
Waktu (jam)
Kad
ar g
luko
sa d
arah
(mg/
dl)
Kelompok B1Kelompok B2Kelompok B3Kelompok A2
Gambar 18. Kurva TGO kelompok B2 dan B3 (kelompok perlakuan yang dicekok
ekstrak rebusan buah tua dengan dosis masing-masing 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus) dibandingkan dengan kelompok B1 (kelompok perlakuan B sebagai kontrol negatif) dan kelompok A2 (kelompok kontrol positif).
Kurva TGO kelompok B1 lebih tinggi dibandingkan kurva TGO kelompok
lainnya dan dari hasil uji statistika menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf α
= 0,05 antara kelompok perlakuan B1 dengan kelompok B2, B3 dan A2 pada
pengukuran kadar glukosa darah ½ dan 1 jam setelah perlakuan. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan adanya pemberian ekstrak air dari hasil rebusan buah tua, dapat
menurunkan peningkatan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian larutan sukrosa
80% b/v.
Kurva TGO kelompok B2, B3 dan A2 memiliki ketinggian yang hampir sama
dan dari hasil uji statistika menunjukkan bahwa antara kelompok B2, B3 dan A2
tidak berbeda nyata pada taraf α = 0,05 pada pengukuran kadar glukosa darah ½ dan
1 jam setelah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak air hasil rebusan buah
61
tua dengan dosis 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus dapat
menurunkan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v
dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3
mg/ g BB tikus.
Pada Gambar 19 diperlihatkan kurva TGO dari kelompok C2 dan C3
(kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol dengan dosis masing-
masing 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus) dibandingkan
dengan kurva TGO dari kelompok C1 (kelompok perlakuan C yang diperlakukan
sebagai kontrol negatif) dan kurva TGO kelompok A2.
020406080
100120140160
0 0.5 1 2 3
Waktu (jam)
Kad
ar g
luko
sa d
arah
(mg/
dl)
Kelompok C1Kelompok C2Kelompok C3Kelompok A2
Gambar 19. Kurva TGO kelompok C2 dan C3 (kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis masing-masing 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus) dibandingkan dengan kelompok C1 (kelompok perlakuan C sebagai kontrol negatif) dan kelompok A2 (kelompok kontrol positif).
Kurva TGO kelompok C1 lebih tinggi dibandingkan kurva TGO kelompok
lainnya dan dari hasil uji statistika menunjukkan adanya perbedaan nyata pada taraf α
62
= 0,05 antara kelompok perlakuan C1 dengan kelompok C3 dan A2 dan tidak berbeda
nyata dengan kelompok C2 pada pengukuran kadar glukosa darah ½ jam setelah
perlakuan, sedangkan pada pengukuran kadar glukosa darah 1 jam setelah perlakuan,
kelompok C1 berbeda nyata dengan kelompok C2, C3 dan A2. Hal ini menunjukkan
bahwa dengan pemberian obat Acarbose maupun ekstrak fraksi n-butanol dapat
menurunkan peningkatan kadar glukosa darah tikus setelah diberikan larutan sukrosa
80% b/v.
Kurva TGO kelompok perlakuan C2, C3 dan A2 memiliki ketinggian yang
hampir sama dan dari hasil uji statistika menunjukkan bahwa antara kelompok
perlakuan C2, C3 dan A2 tidak berbeda nyata pada taraf α = 0,05 pada pengukuran
kadar glukosa darah ½ dan 1 jam setelah perlakuan. Hal ini menunjukkan bahwa
ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x
10-3 mg/ g BB tikus dapat menurunkan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian
larutan sukrosa 80% b/v dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan obat Acarbose
dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus.
Berkurangnya peningkatan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian
larutan sukrosa 80% b/v sebagai akibat dari pemberian ekstrak air hasil rebusan buah
tua maupun ekstrak fraksi n-butanol disebabkan oleh adanya inhibisi secara reversibel
kompetitif terhadap enzim sukrase oleh kedua ekstrak tersebut, sehingga tidak semua
sukrosa dapat dihidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa. Akibatnya, terjadi
penurunan absorbsi glukosa dari usus halus dan peningkatan kadar glukosa darah
menjadi berkurang.
63
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
1. Penapisan fitokimia pada ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi
n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah tua dan buah
muda mahkota dewa menunjukkan adanya senyawa kimia golongan flavonoid,
fenol, tanin dan karbohidrat. Senyawa golongan steroid hanya dijumpai pada
ekstrak fraksi etil asetat buah tua dan buah muda mahkota dewa.
2. Berdasarkan nilai LC50 dari hasil uji BSLT ekstrak buah muda mahkota dewa
lebih toksik daripada ekstrak buah tua, dengan toksisitas paling tinggi adalah
ekstrak metanol diikuti ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak air hasil rebusan dan
ekstrak fraksi n-butanol sedangkan ekstrak fraksi air buah tua dan buah muda
bersifat non toksik dengan nilai LC50 > 1000 ppm.
3. Pada pengujian aktivitas antihiperglikemik in vitro terhadap berbagai ekstrak
buah tua dan buah muda mahkota dewa, ekstrak non polar (n-butanol) memiliki
aktivitas inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase paling tinggi diikuti ekstrak
semipolar (etil asetat), ekstrak polar (metanol) dan ekstrak polaritas tinggi (air)
hasil rebusan sedangkan ekstrak air hasil fraksinasi hampir tidak memiliki
aktivitas inhibisi.
4. Pada pengujian aktivitas antihiperglikemik in vivo terhadap model hewan coba
tikus, pemberian ekstrak air hasil rebusan buah tua dengan dosis 6,20 x 10-4 mg/ g
BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua
dengan dosis 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus dapat
64
menurunkan peningkatan kadar glukosa darah tikus setelah pemberian larutan
sukrosa 80% b/v dengan nilai yang tidak berbeda nyata dengan obat Acarbose
sebagai kontrol positif dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus.
Saran
1. Perlu diisolasi senyawa kimia murni dan dilakukan karakterisasi dengan
spektroskopi (UV, IR, NMR, GC-MS) untuk menentukan struktur molekul
terhadap senyawa yang terkandung dalam ekstrak buah mahkota dewa yang
memiliki aktivitas inhibisi alfa-glukosidase. Dengan didapatkan struktur
molekulnya, maka senyawa tersebut dapat diketahui apakah sama dengan obat
yang ditemukan sebelumnya atau merupakan obat baru sehingga dapat disintesis
dan dijadikan sebagai obat antidiabetes jenis baru.
2. Perlu dilakukan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo pada hewan coba yang
dibuat DM.
3. Perlu dilakukan uji keamanan dari penggunaan ekstrak buah mahkota dewa
melalui uji toksisitas akut, subkronik dan kronik pada hewan coba untuk melihat
pengaruh ekstrak terhadap organ.
4. Dalam penggunaannya sebagai obat tradisional untuk pasien DM sebaiknya
digunakan buah tua dengan dosis konversi pada manusia dengan bobot badan
70 kg adalah 43,4 mg untuk ekstrak air hasil rebusan buah tua dan 126,7 mg
untuk ekstrak fraksi n-butanol.
65
DAFTAR PUSTAKA
Adam JMF. (1987). Diabetes Gestasi. Cermin Dunia Kedokteran 42: 41-43.
Anonim. (2004). Blood Glucose Assay, Chemical Urine Tests, and Venous Blood Sampling. http://www.cuhk.edu.hk/cscl/materials/pclm12/pclm12.html. [17 Agustus 2004]
Basuki T, Indah DD, Nina A, LBS Kardono. 2002. Evaluasi Aktivitas Daya Hambat
Enzim α-Glukosidase dari Ekstrak Kulit Batang, Daun, Bunga dan Buah Kemuning [Murraya Paniculata (L.) Jack.]. Prosiding Seminar Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXI; Surabaya, 27-28 Maret 2002. Surabaya: Fakultas Farmasi Universitas Surabaya. hlm 314-318.
Bayer. 2004. Precose (Acarbose Tablets). http://www.drugs.com/PDR/Precose
Tablets.html. [14 Juni 2004]. Bettelheim FA, Jerry M. 1995. Introduction to Organic and Biochemistry. Ed ke-2.
Philadelpia: Saunders College Publishing. Collegate, Steven M, Russel J.M. 1993. Bioactive Natural Products, Detection,
Isolation, and Structural Determination. Boca Raton: CRC Press. Dalimartha S. 2003. Ramuan Tradisional Untuk Pengobatan Diabetes Mellitus.
Jakarta: Penebar Swadaya. Dalimunthe D. 2004. Diabetes Mellitus Adalah "Silent Killer".
http://www.waspada.co.id/serba_serbi/kesehatan/artikel.php?article_id=42768. [21 Juni 2004].
[Depkes] Departemen Kesehatan. 1987. Analisis Obat Tradisional. Jilid I. Jakarta:
Depkes. [Depkes] Departemen Kesehatan, Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan
Makanan. 1995. Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Dirjen POM Depkes RI.
Ellenberg M, Harold R, editor. 1983. Diabetes mellitus: Theory and Practice. Ed ke-
3. New York: Medical Examination Publishing Co., Inc. Ganiswara SG et al, editor. 1999. Farmakologi dan Terapi. Ed ke-4. Jakarta: Bagian
Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
66
Harborne JB. 1997. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisis Tumbuhan. K. Padmawinata K & I. Soediro, penerjemah; S. Nikosolihin, editor. Bandung: Penerbit ITB. Terjemahan dari: Phytochemical Methods. Ed ke-2.
Hutapea JR et al, editor. 1999. Inventaris Tanaman Obat Indonesia. Jilid V. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Juwati K. 1998. Penuntun Praktikum Biokimia Untuk Keperawatan. Depok: Jurusan
Kimia FMIPA Universitas Indonesia. Kardono LBS. 2003. Kajian Kandungan Kimia Mahkota Dewa [Phaleria
macrocarpa (Scheff.) Boerl.]. Dalam: Seminar Sehari Mahkota Dewa; Jakarta, 6 Agustus 2003. Jakarta: Puslitbang Farmasi dan Obat Tradisional, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan RI.
King FD, editor. 1994. Medicinal Chemistry: Principles and Practice. Cambridge:
The Royal Society of Chemistry. Lisdawati V. 2002. Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), Bioasai Antikanker in vitro
dengan Sel Leukemia L1210, dan Isolasi serta Penentuan Struktur Molekul Senyawa Kimia dari Buah Mahkota Dewa [Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl.] [Tesis]. Depok: Universitas Indonesia, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Loeb W, F. Quimby, W. Fred. 1989. The Clinical of Laboratory Animals. New York:
Pergamon Press. Mathews CK, KE van Holde, Kevin GA. 2000. Biochemistry. Ed ke-3. San
Francisco: Addison-Wesley publishing Company. Matjik AA, M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab. Jilid I. Ed ke-1. Bogor: IPB Press. Meyer, B.N., N.R. Ferrigni, J.E. Putnam, L.B. Jacobsen, D.E. Nichols & J.L.
McLaughlin. 1982. Brine Shrimp: A Convenient General Bioassays for Active Plant Constituent. Planta Med. 45: 31-34.
Muchtar Z. 1993. Resistensi Insulin: Mekanisme Seluler dan Implikasi Klinis.
Medika 19(6):47-57. Munandar I. et al. 2001. Penuntun Praktikum Kimia Dasar. Depok: Jurusan Kimia
FMIPA Universitas Indonesia.
67
[NCBE] National Centre for Biotechnology Education. 1995. Glucose Detector. http://www.ncbe.reading.ac.UK/NCBE/PROTOCOLS/PRACBIOTECH/PDF/glucdet.pdf. [17 September 2004].
Nurul. 1997. Sulfonilurea, Bila Diit dan Olahraga Gagal. Medika 23(8):668. Ophardt CE. 2003. Mechanism of Drug Action by Enzyme Inhibition.
http://www.elmhurst.edu/~chm/chembook/651enzymeinhibit.html. [18 Juni 2004].
Ravel R. 1969. Clinical Laboratory Methods. Ed ke-6. St. Louis: The CV Mosby Company.
Schreiber WE. 1984. Medical Aspects of Biochemistry. Boston: Little, Brown and
Company. Silva ML da. 2004. Diabetes Means Siphon! Insulin Comes from the Islands.
http://www.apol.net/dightonrock/diabetes_history.htm. [10 Mei 2004]. Skyler JS, George FC, editor. 1981. Diabetes Mellitus. New York: Yorke Medical
Books. Slagle M. 2002. Alpha-Glucosidase Inhibitors. Southern Medical Journal.
http://static.highbeam.com/s/southernmedicaljournal/january012002/alphaglucosidaseinhibitorsmedicationupdatebriefart/index.html. [18 Juni 2004].
Strayer L. 2000. Biokimia. Sadikin et al, penerjemah; Zahir SS, editor. Jakarta: EGC.
Terjemahan dari: Biochemistry. Volume ke-2. Ed ke-4. Sutedja L. 2003. Bioprospecting Tumbuhan Obat Indonesia Sebagai Sediaan
Fitofarmaka Antidiabetes. Laporan Kemajuan Tahap II Riset Unggulan Terpadu, Pusat Penelitian Kimia-LIPI.
Tjokroprawiro A, Hendromartono, Ari S. 1988. Aspek Klinik Diabetes Mellitus di
Bidang Kedokteran Gigi. Majalah Ilmu Penyakit Dalam 14(1):15-36. Utami P, Tim Lentera. 2003. Tanaman Obat untuk Mengatasi Diabetes Mellitus.
Jakarta: Agromedia Pustaka. Winarto WP, Tim Karyasari. 2003. Mahkota Dewa: Budi Daya dan Pemanfaatan
untuk Obat. Jakarta: Penebar Swadaya.
68
Lampiran 1. Gambar buah mahkota dewa
Gambar 1.1 Buah muda mahkota dewa.
Gambar 1.2 Buah tua mahkota dewa
69
Lampiran 1. Lanjutan
Gambar 1.3 Irisan buah tua mahkota dewa yang sudah dikeringkan di bawah
matahari.
70
Lampiran 2. Bagan fraksinasi dan ekstraksi buah tua dan buah muda mahkota dewa
Daging buah muda dan buah tua Phaleria macrocarpa (Scheff.) Boerl. yang telah dikeringkan dan dihaluskan,
dimaserasi dengan metanol
Saring dengan kertas saring kasar
Ampas Filtrat
Rotavapor 40oC
Ekstrak metanol
Fraksinasi dengan etil asetat : air (1:1) dalam corong pemisah
Fraksi air Fraksi etil asetat
Rotavapor 40oC
Ekstrak fraksi air
Fraksinasi dengan n-butanol : air (1:1) dalam corong pemisah
Fraksi air Fraksi n-butanol
Ekstrak fraksi etil asetat
Rotavapor 40oC
Ekstrak fraksi n-butanol Ekstrak fraksi air
Rotavapor 40oC Rotavapor 40oC
71
Lampiran 3. Hasil penapisan fitokimia pada berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa
Tabel 3.1. Hasil penapisan fitokimia pada berbagai ekstrak buah muda mahkota
dewa
Uji fitokimia Ekstrak metanol
Ekstrak etil asetat
Ekstrak n-butanol
Ekstrak air hasil fraksinasi
Ekstrak air hasil rebusan
Uji alkaloid − − − − −
Uji flavonoid + + + + +
Uji fenol + + + + +
Uji saponin − − − − −
Uji tanin + + + + +
Uji steroid-
triterpenoid
− + − − −
Uji molish + + + + +
Uji biuret − − − − −
Uji ninhidrin + − − + +
72
Lampiran 3. Lanjutan Tabel 3.2. Hasil penapisan fitokimia pada berbagai ekstrak buah tua mahkota dewa Uji fitokimia Ekstrak
metanol Ekstrak etil asetat
Ekstrak n-butanol
Ekstrak air hasil fraksinasi
Ekstrak air hasil rebusan
Uji alkaloid − − − − −
Uji flavonoid + + + + +
Uji fenol + + + + +
Uji saponin − − − − −
Uji tanin + + + + +
Uji steroid-
triterpenoid
− + − − −
Uji molish + + + + +
Uji biuret − − − − −
Uji ninhidrin − − − − −
73
Lampiran 4. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi terhadap enzim alfa-glukosidase in vitro dari berbagai ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa
Tabel 4.1. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase
in vitro dari ekstrak metanol buah tua Kadar
(%)
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
rerata
%
inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0,125 6,25 0,518 0,580 0,554 0,550 -
0,25 12,5 0,411 0,514 0,463 0,463 10,10
0,5 25 0,369 0,426 0,427 0,407 20,97
1 50 0,297 0,338 0,337 0,324 37,09
Kontrol 0,465 0,566 0,515 0,515
Contoh perhitungan % inhibisi dari ekstrak metanol buah tua mahkota dewa :
% inhibisi = [(C – S)/C] x 100 % inhibisi pada konsentrasi 12,5 ppm = [(0,515 – 0,463) /0,515] x 100 = 10,10% % inhibisi pada konsentrasi 25 ppm = [(0,515 – 0,407) /0,515] x 100 = 20,97% Tabel 4.2. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase
in vitro dari ekstrak metanol buah muda Kadar
(%)
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
rerata
%
inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0,125 6,25 0,443 0,544 0,448 0,478 3,82
0,25 12,5 0,406 0,506 0,408 0,440 11,47
0,5 25 0,338 0,468 0,377 0,394 20,72
1 50 0,252 0,364 0,273 0,296 40,44
Kontrol 0,465 0,566 0,461 0,497
74
Lampiran 4. Lanjutan Tabel 4.3. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase
in vitro dari ekstrak fraksi etil asetat buah tua Kadar
(%)
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
rerata
%
inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0,125 6,25 0,447 0,459 0,429 0,445 8,25
0,25 12,5 0,433 0,440 0,418 0,430 11,34
0,5 25 0,384 0,399 0,359 0,381 21,44
1 50 0,279 0,277 0,284 0,280 42,27
Kontrol 0,488 0,502 0,465 0,485
Tabel 4.4. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase
in vitro dari ekstrak fraksi etil asetat buah muda Kadar
(%)
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
Rerata
%
inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0,125 6,25 0,419 0,439 0,392 0,417 14,02
0,25 12,5 0,330 0,357 0,321 0,336 30,72
0,5 25 0,253 0,290 0,256 0,266 45,15
1 50 0,145 0,132 0,146 0,141 70,93
Kontrol 0,488 0,502 0,465 0,485
75
Lampiran 4. Lanjutan Tabel 4.5. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase
in vitro dari ekstrak fraksi n-butanol buah tua Kadar
(%)
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
rerata
%
inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0,125 6,25 0,335 0,360 0,390 0,362 26,87
0,25 12,5 0,256 0,260 0,268 0,261 47,27
0,5 25 0,212 0,235 0,253 0,233 52,93
1 50 0,134 0,148 0,164 0,149 69,90
Kontrol 0,468 0,495 0,521 0,495
Tabel 4.6. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase
in vitro dari ekstrak fraksi n-butanol buah muda Kadar
(%)
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
rerata
%
inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0,125 6,25 0,289 0,326 0,363 0,326 34,14
0,25 12,5 0,199 0,234 0,238 0,224 54,75
0,5 25 0,173 0,167 0,201 0,180 63,64
1 50 0,119 0,135 0,174 0,143 71,11
Kontrol 0,468 0,495 0,521 0,495
76
Lampiran 4. Lanjutan Tabel 4.7. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase
in vitro dari ekstrak fraksi air buah tua Kadar
(%)
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
rerata
%
inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0,125 6,25 0,577 0,499 0,502 0,526 -
0,25 12,5 0,564 0,493 0,491 0,516 -
0,5 25 0,549 0,486 0,478 0,504 -
1 50 0,539 0,472 0,459 0,490 0,41
Kontrol 0,540 0,474 0,461 0,492
Tabel 4.8. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase
in vitro dari ekstrak fraksi air buah muda Kadar
(%)
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
rerata
%
inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0,125 6,25 0,571 0,495 0,490 0,519 -
0,25 12,5 0,558 0,487 0,483 0,509 -
0,5 25 0,543 0,480 0,473 0,499 -
1 50 0,538 0,472 0,458 0,489 0,61
Kontrol 0,540 0,474 0,461 0,492
77
Lampiran 4. Lanjutan Tabel 4.9. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase
in vitro dari ekstrak air hasil rebusan buah tua Kadar
(%)
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
rerata
%
inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0,125 6,25 0,520 0,550 0,548 0,539 -
0,25 12,5 0,453 0,460 0,477 0,463 11,64
0,5 25 0,384 0,400 0,429 0,404 22,90
1 50 0,339 0,341 0,373 0,351 33,01
Kontrol 0,504 0,528 0,540 0,524
Tabel 4.10. Data absorbansi dan persen inhibisi hasil uji inhibisi alfa-glukosidase
in vitro dari ekstrak air hasil rebusan buah muda Kadar
(%)
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Absorbansi
rerata
%
inhibisi Ulangan 1 Ulangan 2 Ulangan 3
0,125 6,25 0,521 0,558 0,564 0,548 -
0,25 12,5 0,512 0,544 0,556 0,537 -
0,5 25 0,445 0,472 0,474 0,464 11,45
1 50 0,376 0,388 0,392 0,385 26,53
Kontrol 0,504 0,528 0,540 0,524
78
Lampiran 5. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak buah tua dan buah muda mahkota dewa
Tabel 5.1. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak
metanol buah tua mahkota dewa Konsentrasi
(ppm) Mati Hidup AM
AH AM/T Mortalitas
(%) LC50 (ppm)
1000 32 0 57 0 57/57 100 212 100 18 13 25 13 25/38 65,79 10 7 25 7 38 7/45 15,55
Keterangan Tabel : AM = Akumulasi jumlah mati AH = Akumulasi jumlah hidup AM/T = Akumulasi jumlah mati/Total (AM + AH) % Mortalitas = (AM/T) x 100% Contoh perhitungan nilai LC50 dari ekstrak metanol buah tua mahkota dewa dengan menggunakan metode Sam (Colegate et al. 1993) : Konsentrasi (ppm)
(x) % Mortalitas
(y) 1000 100 100 65,79 10 15,55
Persamaan garis regresi : y = a + bx y = 35,978 + 0,066x (a = 35,978; b = 0,066; r = 0,85) Jika y = 50, maka x = 212 Jadi nilai LC50 = 212 ppm
79
Lampiran 5. Lanjutan Tabel 5.2. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak
metanol buah muda mahkota dewa Konsentrasi
(ppm) Mati Hidup AM
AH AM/T Mortalitas
(%) LC50 (ppm)
1000 32 0 61 0 61/61 100 139 100 19 13 29 13 29/42 69,05 10 10 21 10 34 10/44 22,73
Tabel 5.3. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak
fraksi etil asetat buah tua mahkota dewa Konsentrasi
(ppm) Mati Hidup AM
AH AM/T Mortalitas
(%) LC50
(ppm) 1000 28 2 50 2 50/52 96,15 290 100 18 12 22 14 22/36 61,11 10 4 26 4 40 4/44 9,09
Tabel 5.4. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak
fraksi etil asetat buah muda mahkota dewa Konsentrasi
(ppm) Mati Hidup AM
AH AM/T Mortalitas
(%) LC50 (ppm)
1000 31 0 55 0 55/55 100,00 235 100 20 11 24 11 24/35 68,57 10 4 28 4 39 4/43 9,30
Tabel 5.5. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak
fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa Konsentrasi
(ppm) Mati Hidup AM
AH AM/T Mortalitas
(%) LC50
(ppm) 1000 7 23 17 23 17/40 42,50 1208 100 6 25 10 48 10/58 17,24 10 4 28 4 76 4/80 5,00
80
Lampiran 5. Lanjutan Tabel 5.6. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak
fraksi n-butanol buah muda mahkota dewa Konsentrasi
(ppm) Mati Hidup AM
AH AM/T Mortalitas
(%) LC50 (ppm)
1000 25 8 41 8 41/49 83,67 480 100 10 22 16 30 16/46 34,78 10 6 26 6 56 6/62 9,68
Tabel 5.7. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak
fraksi air buah tua mahkota dewa Konsentrasi
(ppm) Mati Hidup AM
AH AM/T Mortalitas
(%) LC50 (ppm)
1000 5 25 11 25 11/25 44,00 1149 100 3 27 6 52 6/25 11,54 10 3 28 3 80 3/80 3,75
Tabel 5.8. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak
fraksi air buah muda mahkota dewa Konsentrasi
(ppm) Mati Hidup AM
AH AM/T Mortalitas
(%) LC50 (ppm)
1000 4 28 6 28 6/28 21,43 2362 100 2 28 2 56 5/56 3,57 10 0 30 0 86 0/86 0,00
Tabel 5.9. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak
air hasil rebusan buah tua mahkota dewa Konsentrasi
(ppm) Mati Hidup AM
AH AM/T Mortalitas
(%) LC50 (ppm)
1000 25 6 43 6 43/49 87,75 411 100 11 19 18 25 18/43 41,86 10 7 25 7 50 7/57 12,28
81
Lampiran 5. Lanjutan Tabel 5.10. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari ekstrak
air hasil rebusan buah muda mahkota dewa Konsentrasi
(ppm) Mati Hidup AM
AH AM/T Mortalitas
(%) LC50 (ppm)
1000 27 5 51 5 51/56 91,07 310 100 15 16 24 21 24/45 53,33 10 9 24 9 45 9/54 16,67
Tabel 5.11. Data hasil uji toksisitas dengan metode BSLT dan nilai LC50 dari blanko
air laut Konsentrasi
(ppm) Mati Hidup AM
AH AM/T Mortalitas
(%) LC50 (ppm)
1000 0 31 1 31 1/31 3,23 18583 100 1 30 1 61 1/61 1,64 10 0 31 0 92 0/92 0,00
82
Lampiran 6. Histogram persentase mortalitas larva udang Artemia salina Leach. pada uji toksisitas dengan metode BSLT dari berbagai ekstrak buah mahkota dewa
0
20
40
60
80
100
120
10 100 1000
Konsentrasi (ppm)
% M
orta
litas
MetanolEtil asetatAir rebusann-ButanolAir fraksinasiBlanko
Gambar 6.1. Persentase mortalitas larva udang Artemia salina Leach. pada uji
toksisitas dengan metode BSLT terhadap ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah tua mahkota dewa.
0
20
40
60
80
100
120
10 100 1000
Konsentrasi (ppm)
% M
orta
litas
MetanolEtil asetatAir rebusann-ButanolAir fraksinasiBlanko
Gambar 6.2. Persentase mortalitas larva udang Artemia salina Leach. pada uji toksisitas dengan metode BSLT terhadap ekstrak metanol, ekstrak fraksi etil asetat, ekstrak fraksi n-butanol, ekstrak fraksi air dan ekstrak air hasil rebusan dari buah muda mahkota dewa.
83
Lampiran 7. Diagram alir percobaan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo dari ekstrak buah tua mahkota dewa dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) pada model hewan coba tikus
dicekok sukrosa 80% b/v dicekok sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose (Glucobay) dicekok sukrosa 80% b/v dan ekstrak air buah tua 1 x dan 2 x dosis konversi dicekok sukrosa 80% b/v dan ekstrak butanol buah tua 1 x dan 2 x dosis konversi
Kontrol Negatif (Kelompok A, B,
C)
Kelompok Perlakuan A
(Kontrol Positif)
Kelompok Perlakuan B
Kelompok Perlakuan C
Analisis kadar glukosa darah
84
Lampiran 8. Perhitungan dosis obat Acarbose (Glucobay tablet) yang dicekokkan pada hewan coba tikus
Bobot 1 tablet obat Glucobay = 0,1360 g (mengandung 50 mg Acarbose)
Bobot obat Glucobay yang dicekok :
Bobot tikus
Bobot manusia (50 kg)
Contoh perhitungan untuk tikus dengan bobot badan (BB) 300 g
Bobot obat Glucobay yang dicekok :
0,300 kg
50 kg
Maka bobot obat Glucobay yang dicekok per g bobot badan tikus :
0,816 mg obat
300 g BB tikus
Dalam 1 tablet Glucobay mengandung 50 mg Acarbose, maka dosis Acarbose yang
dicekok pada hewan coba tikus dengan BB 300 g :
0,300 kg
50 kg
Maka bobot Acarbose yang dicekok per g bobot badan tikus :
0,30 mg obat
300 g BB tikus
x Bobot tablet Glucobay
x 0,1360 g = 8,16 x 10-4 g = 0,816 mg
= 2,72 x 10-3 mg obat/ g BB tikus
x 50 mg = 0,30 mg
= 1,00 x 10-3 mg obat/ g BB tikus
85
Lampiran 9. Perhitungan dosis ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa yang dicekokkan pada hewan coba tikus
Bobot rata-rata 2 irisan buah tua mahkota dewa :
(0,2184 + 0,1856 + 0,1703 + 0,1653 + 0,2458 + 0,1860 + 0,1726) g/ 7 = 0,1920 g
Rendemen ekstrak air dari rebusan buah tua mahkota dewa = 16,15%, jadi bobot
ekstrak dari 2 irisan buah tua = 0,1920 g x 16,15% = 0,0310 g
Bobot ekstrak yang dicekok :
Bobot tikus
Bobot manusia (50 kg)
Contoh perhitungan untuk tikus dengan bobot badan 300 g
Bobot ekstrak yang dicekok :
0,300 kg
50 kg
Maka bobot ekstrak yang dicekok per g bobot badan (BB) tikus :
0,186 mg ekstrak
300 g BB tikus
Bobot ekstrak air dari rebusan buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk
1 x dosis konversi = 6,20 x 10-4 mg ekstrak/ g BB tikus.
Bobot ekstrak air dari rebusan buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk
2 x dosis konversi = 1,24 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus.
x Bobot ekstrak 2 irisan buah tua
x 0,0310 g = 1,86 x 10-4 g = 0,186 mg
= 6,20 x 10-4 mg ekstrak/ g BB tikus
86
Lampiran 10. Perhitungan dosis ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa yang dicekokkan pada hewan coba tikus
Rendemen ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa :
Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua
Bobot ekstrak metanol yang digunakan
1,4176 g
3,0124 g
Maka bobot ekstrak fraksi n-butanol untuk 2 irisan buah tua :
Bobot rata-rata 2 irisan buah tua x 47,06%
= 0,1920 g x 47,06% = 0,0904 g
Bobot ekstrak yang dicekok :
Bobot tikus
Bobot manusia (50 kg)
Contoh perhitungan untuk tikus dengan bobot badan 300 g
Bobot ekstrak yang dicekok :
0,300 kg
50 kg
Maka bobot ekstrak yang dicekok per g bobot badan (BB) tikus :
0,5424 mg ekstrak
300 g BB tikus
Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk
1 x dosis konversi = 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk
2 x dosis konversi = 3,62 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
x Bobot ekstrak 2 irisan buah tua
x 0,0904 g = 5,424 x 10-4 g = 0,5424 mg
= 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
x 100%
x 100% = 47,06%
86
Lampiran 10. Perhitungan dosis ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa yang dicekokkan pada hewan coba tikus
Rendemen ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa :
Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua
Bobot ekstrak metanol yang digunakan
1,4176 g
3,0124 g
Maka bobot ekstrak fraksi n-butanol untuk 2 irisan buah tua :
Bobot rata-rata 2 irisan buah tua x 47,06%
= 0,1920 g x 47,06% = 0,0904 g
Bobot ekstrak yang dicekok :
Bobot tikus
Bobot manusia (50 kg)
Contoh perhitungan untuk tikus dengan bobot badan 300 g
Bobot ekstrak yang dicekok :
0,300 kg
50 kg
Maka bobot ekstrak yang dicekok per g bobot badan (BB) tikus :
0,5424 mg ekstrak
300 g BB tikus
Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk
1 x dosis konversi = 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
Bobot ekstrak fraksi n-butanol buah tua yang dicekok per g bobot badan tikus untuk
2 x dosis konversi = 3,62 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
x Bobot ekstrak 2 irisan buah tua
x 0,0904 g = 5,424 x 10-4 g = 0,5424 mg
= 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
x 100%
x 100% = 47,06%
87
Lampiran 11. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada penentuan kadar larutan sukrosa yang dicekokkan ke hewan coba tikus
Tabel 11.1. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok yang
dicekok larutan sukrosa 40% b/v (kelompok I) Kelompok Waktu
T0 T0,5 T1 T2 T3 I1 75 89 100 91 78 I2 80 95 113 98 86 I3 82 98 108 91 77
Rerata 79 94 107 93,33 80,33 Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 40% b/v. Tabel 11.2. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok yang
dicekok larutan sukrosa 60% b/v (kelompok II) Kelompok Waktu
T0 T0,5 T1 T2 T3 II1 76 91 110 91 82 II2 83 102 111 96 88 II3 90 106 117 105 98
Rerata 83 99,67 112,67 97,33 89,33 Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 60% b/v. Tabel 11.3. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok yang
dicekok larutan sukrosa 80% b/v (kelompok III) Kelompok Waktu
T0 T0,5 T1 T2 T3 III1 94 121 133 112 101 III2 90 115 142 124 114 III3 92 125 142 113 111
Rerata 92 120,33 139 116,33 108,67 Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v.
88
Lampiran 12. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok kontrol positif yang dicekok obat Acarbose (kelompok A)
Tabel 12.1 Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok kontrol
positif yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80%b/v)
Kelompok Waktu
T0 T0,5 T1 T2 T3 A1 92 121 130 118 103 A2 81 124 132 114 98 A3 80 115 125 100 94 A4 97 122 130 110 101 A5 86 121 130 116 99
Rerata 87,2 120,6 129,4 111,6 99 Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v. Tabel 12.2 Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok kontrol
positif yang dicekok obat Acarbose (tablet Glucobay) dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus
Kelompok Waktu
T0 T0,5 T1 T2 T3 A1 93 110 118 113 105 A2 85 113 115 113 93 A3 88 93 114 110 93 A4 90 108 119 112 95 A5 89 107 114 112 99
Rerata 89 106,2 116 112 97 Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus.
89
Lampiran 13. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa (kelompok B)
Tabel 13.1. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan
(kelompok B) yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80%b/v)
Kelompok Waktu
T0 T0,5 T1 T2 T3 B1 81 122 132 120 112 B2 90 115 142 124 114 B3 92 125 142 113 111 B4 88 126 135 119 101 B5 94 121 133 112 101
Rerata 89 121,8 136,8 117,6 107,8 Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v. Tabel 13.2. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan
(kelompok B) yang dicekok ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa dengan dosis 6,20 x 10-4 mg ekstrak/ g BB tikus
Kelompok Waktu
T0 T0,5 T1 T2 T3 B1 85 107 116 110 100 B2 98 118 129 111 92 B3 92 115 119 109 97 B4 80 104 111 99 89 B5 100 113 128 117 109
Rerata 91 111,4 120,6 109,2 97,4 Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa dengan dosis 6,20 x 10-4 mg ekstrak/ g BB tikus.
90
Lampiran 13. Lanjutan Tabel 13.3. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan
(kelompok B) yang dicekok ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa dengan dosis 1,24 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
Kelompok Waktu
T0 T0,5 T1 T2 T3 B1 89 112 119 114 113 B2 83 86 95 89 86 B3 100 103 120 116 111 B4 84 100 108 98 94 B5 98 117 118 111 107
Rerata 90,8 103,6 112 105,6 102,2 Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak air dari hasil rebusan buah tua mahkota dewa dengan dosis 1,24 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus.
91
Lampiran 14. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa (kelompok C)
Tabel 14.1. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan
(kelompok C) yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80%b/v)
Kelompok Waktu
T0 T0,5 T1 T2 T3 C1 100 120 142 118 114 C2 97 122 133 118 103 C3 94 127 142 115 111 C4 86 117 132 110 95 C5 82 120 134 115 93
Rerata 91,8 121,2 136,6 115,2 103,2 Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v. Tabel 14.2. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan
(kelompok C) yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa dengan dosis 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
Kelompok Waktu
T0 T0,5 T1 T2 T3 C1 118 119 122 112 99 C2 97 117 120 114 105 C3 96 112 122 115 107 C4 86 111 120 104 95 C5 89 105 118 103 98
Rerata 97,2 112,8 120,4 109,6 100,8 Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa dengan dosis 1,81 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus.
92
Lampiran 14. Lanjutan Tabel 14.3. Data hasil pengukuran kadar glukosa darah pada kelompok perlakuan
(kelompok C) yang dicekok ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa dengan dosis 3,62 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus
Kelompok Waktu
T0 T0,5 T1 T2 T3 C1 98 106 120 103 98 C2 97 118 122 115 99 C3 98 110 123 103 100 C4 84 113 116 108 90 C5 86 108 115 110 93
Rerata 92,6 111 119,2 107,8 96 Keterangan : T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah 0,5; 1; 2; 3 jam setelah pemberian larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua mahkota dewa dengan dosis 3,62 x 10-3 mg ekstrak/ g BB tikus.
93
Lampiran 15. Hasil Analisis Ragam Faktorial 2x2 RAL kadar glukosa darah kelompok hewan coba pada uji aktivitas antihiperglikemik dengan Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO)
General Linear Models Procedure Class Level Information
Class Levels Values
Treat 8 A1 A2 B1 B2 B3 C1 C2 C3 Time 5 1 2 3 4 5
Number of observations 200
Dependent Variable: kadar kadar glukosa darah (mg/dl)
Sum of
Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F
Model 47 32604.95500 693.72245 17.11 < 0.0001
Error 152 6162.04000 40.53974
Corrected Total 199 38766.99500
R-Square Coeff Var Root MSE Kadar Mean 0.841049 5.895174 6.367082 108.0050 Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Treat 7 3279.87500 468.55357 11.56 <0.0001 Time 4 25455.52000 6363.88000 156.98 <0.0001 Ulngn(treat) 8 1013.16000 126.64500 3.12 0.0027 Treat*Time 28 2856.40000 102.01429 2.52 0.0002 Keterangan : Sum of square = Jumlah kuadrat; Mean Square = Kuadrat tengah; F value = F hitung; Pr>F = peluang nyata; R-square = R2; C.V = koefisien keragaman (%); Root MSE = simpangan baku galat; kadar mean = rataan umum kadar glukosa darah.
94
Lampiran 16. Uji lanjut Duncan pada percobaan uji aktivitas antihiperglikemik in vivo pada hewan coba tikus
Tabel 16.1. Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok A1 dengan
kelompok A2 Kelompok Rerata kadar glukosa darah (mg/dl)
T0 T0,5 T1 T2 T3
A1 89 120,6* 129,4* 111,6 99
A2 87,2 106,2 116 112 97
Keterangan : A1 = kelompok kontrol positif yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); A2 = kelompok kontrol positif yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05. Tabel 16.2. Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok B1 dengan
kelompok A2 Kelompok Rerata kadar glukosa darah (mg/dl)
T0 T0,5 T1 T2 T3
B1 89 121,8* 136,8* 117,6 107,8
A2 87,2 106,2 116 112 97
Keterangan : B1 = kelompok perlakuan B yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); A2 = kelompok kontrol positif yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
95
Lampiran 16. Lanjutan Tabel 16.3. Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok B1 dengan
kelompok B2 Kelompok Rerata kadar glukosa darah (mg/dl)
T0 T0,5 T1 T2 T3
B1 89 121,8* 136,8* 117,6 107,8
B2 91 111,4 120,6 109,2 97,4
Keterangan : B1 = kelompok perlakuan B yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); B2 = kelompok perlakuan B yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak air rebusan buah tua dengan dosis 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05. Tabel 16.4. Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok B1 dengan
kelompok B3 Kelompok Rerata kadar glukosa darah (mg/dl)
T0 T0,5 T1 T2 T3
B1 89 121,8* 136,8* 117,6 107,8
B3 90,8 103,6 112 105,4 102,2
Keterangan : B1 = kelompok perlakuan B yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); B3 = kelompok perlakuan B yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak air rebusan buah tua dengan dosis 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
96
Lampiran 16. Lanjutan Tabel 16.5. Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok C1 dengan
kelompok A2 Kelompok Rerata kadar glukosa darah (mg/dl)
T0 T0,5 T1 T2 T3
C1 91,80 121,20* 136,60* 115,20 103,20
A2 87,2 106,2 116 112 97
Keterangan : C1 = kelompok perlakuan C yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); A2 = kelompok kontrol positif yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05. Tabel 16.6. Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok C1 dengan
kelompok C2 Kelompok Rerata kadar glukosa darah (mg/dl)
T0 T0,5 T1 T2 T3
C1 91,80 121,20 136,60* 115,20 103,20
C2 97,20 112,80 120,40 109,60 100,80
Keterangan : C1 = kelompok perlakuan C yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); C2 = kelompok perlakuan C yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
97
Lampiran 16. Lanjutan Tabel 16.7. Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok C1 dengan
kelompok C3 Kelompok Rerata kadar glukosa darah (mg/dl)
T0 T0,5 T1 T2 T3
C1 91,80 121,20* 136,60* 115,20 103,20
C3 92,60 111,00 119,20 107,80 96,00
Keterangan : C1 = kelompok perlakuan C yang diperlakukan sebagai kontrol negatif (dicekok larutan sukrosa 80% b/v); C3 = kelompok perlakuan C yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05. Tabel 16.8. Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok A2 dengan
kelompok B2 dan B3 Kelompok Rerata kadar glukosa darah (mg/dl)
T0 T0,5 T1 T2 T3
A2 87,2 106,2 116 112 97
B2 91 111,4 120,6 109,2 97,4
B3 90,8 103,6 112 105,4 102,2
Keterangan : A2 = kelompok kontrol positif yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus; B2 dan B3 = kelompok perlakuan B yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak air rebusan buah tua dengan dosis masing-masing 6,20 x 10-4 mg/ g BB tikus dan 1,24 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.
98
Lampiran 16. Lanjutan Tabel 16.9. Perbandingan rerata kadar glukosa darah antara kelompok A2 dengan
kelompok B2 dan B3 Kelompok Rerata kadar glukosa darah (mg/dl)
T0 T0,5 T1 T2 T3
A2 87,2 106,2 116 112 97
C2 97,20 112,80 120,40 109,60 100,80
C3 92,60 111,00 119,20 107,80 96,00
Keterangan : A2 = kelompok kontrol positif yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan obat Acarbose dengan dosis 1,00 x 10-3 mg/ g BB tikus; C2 dan C3 = kelompok perlakuan C yang dicekok larutan sukrosa 80% b/v dan ekstrak fraksi n-butanol buah tua dengan dosis masing-masing 1,81 x 10-3 mg/ g BB tikus dan 3,62 x 10-3 mg/ g BB tikus. T0 = sebelum perlakuan; T0,5; T1; T2; T3 masing-masing adalah ½ ; 1; 2; 3 jam setelah perlakuan. * = berbeda secara bermakna pada α = 0,05.