44
ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PELARANGAN EKSPOR RAW MATERIAL TAMBANG DAN MINERAL Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri Jakarta – 2013

Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

  • Upload
    guntur

  • View
    62

  • Download
    4

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Pertambangan

Citation preview

Page 1: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKANPELARANGAN EKSPOR RAW MATERIALTAMBANG DAN MINERAL

Badan Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Perdagangan

Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri

Jakarta – 2013

Page 2: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

i

KATA PENGANTAR

Tambang dan Mineral merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan

(non renewable) yang dikuasai oleh negara dan pemanfaatanya digunakan untuk

sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pengelolaan tambang dan

mineral harus memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional.

Terkait hal tersebut, pemerintah senantiasa terus melakukan upaya-upaya

untuk mendorong para pelaku usaha agar terus berbenah diri dan melakukan

terobosan-terobosan sehingga dapat mendongkrak nilai tambah tambang dan

mineral Indonesia ke posisi yang dapat mensejahterakan rakyat dan menentukan

bagi perdagangan tambang dan mineral dunia. Niat baik pemerintah dalam upaya

mendorong para pelaku usaha dimaksud, tertuang didalam Undang-undang No. 4

Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba), dimana materi

pokok yang terkandung didalam UU ini mengatur penghiliran hasil tambang mineral

dan batubara dan melarang ekspor bahan mentah hingga tahun 2014.

Sebagai pelaksanaan UU No 4 tahun 2009 tersebut, pemerintah kamudian

menerbitkan PP No 23 tahun 2010 yang telah diubah dengan PP No 24 tahun 2012

tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan Mineral dan Batubara. Beberapa

peraturan terkait lainya yaitu Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 yang

disempurnakan dengan Permen ESDM No 11 tahun 2012 dan terakhir adalah

Permen ESDM No. 20 Tahun 2013 tentang Perubahan kedua atas peraturan Menteri

ESDM No 7 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui kegiatan

Pengelolaan dan Pemurnian Mineral, Permendag No 52/M-DAG/per/8/ 2012 tentang

perubahan atas Permendag No. 29/M-DAG/per/5 /20l2 tentang ketentuan ekspor

produk pertambangan dan Permenkeu No. 128/pmk.011/2013 tentang perubahan

atas peraturan menteri keuangan nomor 75/pmk.011/2012 tentang penetapan

barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif bea keluar

Tujuan kajian singkat ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak

kehilangan ekspor pertambangan Indonesia atas diterapkan kebijakan pelarangan

Page 3: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

ii

ekspor raw material tambang dan mineral yang rencananya akan ditetapkan awal

tahun 2014.

Disadari bahwa kajian ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu

diharapkan sumbangan pemikiran dari para pembaca sebagai bahan

penyempurnaan. Pada kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih kepada

semua pihak, yang secara langsung dan tidak langsung telah membantu penyelesaian

kajian ini. Semoga laporan hasil Analisis Dampak Kebijakan Pelarangan Ekspor Raw

Material Tambang dan Mineral ini bermanfaat.

Jakarta, Oktober 2012

Tim Pengkaji

Page 4: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

iii

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI iii

DAFTAR TABEL iv

DAFTAR GAMBAR v

BAB I PENDAHULUAN 1

1.1 Latar Belakang 1

1.2 Tujuan dan Output Kajian 2

1.3 Ruang Lingkup Kajian 3

1.4 Metodologi Kajian 3

BAB II POTENDI DAN KEBIJAKAN 4

2.1 Sekilas Keberadaan Tambang dan Mineral di Indonesia 4

2.2 Daya Saing Industri Pertambangan Indonesia 10

2.3 Kebijakan Terkait Dengan Tambang dan Mineral 15

2.4 Pemasaran 18

BAB III ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PELARANGAN EKSPOR RAW MATERIAL

TAMBANG DAN MINERAL

24

BAB IV PENUTUP 35

A. Simpulan 35

B. Rekomendasi 35

DAFTAR PUSTAKA 36

Page 5: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

iv

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 2. 1Keadaan Beberapa Sumber Daya dan Cadangan Tambang danMineral di Indonesia Tahun 2011 7

Tabel 2. 2 Produksi Tambang dan Mineral Indonesia Tahun 2011 7

Tabel 2. 3Fasilitas Pengolahan dan Pemurnian Yang Beroperasi Pada Tahun

20148

Tabel 2. 4 Sepuluh produsen terbesar nikel olahan pada tahun 2010 14

Tabel 2.5 Data Produksi dan Penjualan Mineral 20

Tabel 2. 6 Impor Produk Pertambangan Tahun 2008 - 2012 23

Tabel 3. 1 Produksi Barang Tambang dan Mineral Tahun 1996 - 2011 26

Tabel 3. 2 Estimasi Ekspor Tambang dan Mineral 33

Page 6: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2. 1 Ekspor Non Migas Berdasarkan Sektor Periode Januari – Agustus2013

21

Gambar 2. 2 Perkembangan Ekspor Bijih Alumunium dan Nikel Tahun 2008 -2013

22

Gambar 3. 1 Rekapitulasi Progres Pembangunan Smelter 28

Page 7: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tambang dan Mineral merupakan sumber daya alam yang tidak terbarukan (non

renewable) yang dikuasai oleh negara dan pemanfaatanya digunakan untuk sebesar-

besarnya kemakmuran rakyat. Oleh karena itu, pengelolaan tambang dan mineral harus

memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional. Untuk mencapai hal dimaksud,

pengelolaan pertambangan mineral harus berazazkan kepada manfaat, keadilan dan

keseimbangan serta keberpihakan kepada kepentingan bangsa dan negara.

Sejalan dengan hal tersebut, pemerintah senantiasa terus melakukan upaya-upaya

untuk mendorong para pelaku usaha agar terus berbenah diri dan melakukan terobosan-

terobosan sehingga dapat mendongkrak nilai tambah tambang dan mineral Indonesia ke

posisi yang dapat mensejahterakan rakyat dan menentukan bagi perdagangan tambang

dan mineral dunia. Niat baik pemerintah dalam mendorong para pelaku usaha untuk

peningkatan nilai tambah tambang dan mineral dimaksud, sebagaimana tertuang didalam

Undang-undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba),

dimana didalam UU tersebut telah mengatur tentang kewajiban pengolahan dan

pemurnian tambang dan mineral yang diberlakukan selambat-lambatnya 5 (lima) tahun

sejak UU dimaksud diundangkan pada tanggal 12 Januari 2009 sehingga pemberlakukan

pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral jatuh pada bulan Januari 2014. Sebagai

akibat dari diundangkan UU No 4 Tahun 2009 tersebut, secara nasional telah terjadi

peningkatan ekspor bijih mineral secara besar-besaran dalam periode 3 tahun terakhir.

Dalam rangka pengendalian ekspor bijih mieral dan mendorong industry hilir,

pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No 23 tahun 2010 yang telah

diubah dengan PP No 24 tahun 2012 tentang pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan

Mineral dan Batubara. Selanjutnya dikeluarkan beberapa peraturan terkait seperti

Peraturan Menteri ESDM No. 7 Tahun 2012 yang kemudian disempurnakan dengan

Page 8: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

2

Permen ESDM No 11 tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral melalui

kegiatan Pengelolaan dan Pemurnian Mineral (smelter), dimana materi pokok yang

terkandung didalamnya menyebutkan bahwa perusahaan pertambangan dapat melakukan

ekspor bijih (ores) mineral ke luar negeri sebelum tahun 2004 apabila telah mendapatkan

rekomendasi dari Menteri ESDM. Peraturan terkait lainya yang telah diterbitkan dalam

rangka menunjang pelaksanaan UU Minerba tersebut, adalah Permendag No 29 tahun

2012 tentang ketentuan ekspor produk pertambangan dan Permenkeu No. 75 Tahun 2012

tentang Penetapan Barang yang dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar.

Berkaitan dengan berbagai permasalahan tersebut, dan berdasarkan Surat

Permintaan Kerjasama kajian tambang dan mineral dari Direktorat Eskpor Industri dan

Pertambangan (Ditjen Daglu) Nomor: 1022/DAGLU.3.4/ND/8/2013 tertanggal 13 Agustus

2013, maka Pusat Kebijakan Perdagangan Luar Negeri akan melakukan evaluasi terhadap

dampak kebijakan dimaksud, terutama yang berkaitan dengan pelarangan ekspor dalam

bentuk bijih (raw material atau ores) atas komoditi Tambang dan Mineral yang akan

diberlakukan pada bulan Januari 2014.

1.2. Tujuan dan Output Kajian

Tujuan dan output yang dingin dicapai dalam kegiatan analisis ini adalah sebagai

berikut :

1. Tujuan kajian ini adalah untuk mengetahui seberapa besar dampak sebagai akibat

pemberlakuan kebijakan pelarangan ekspor Tambang dan Mineral dalam bentuk bijih

(raw material atau ores).

2. Output dari kajian ini adalah hasil analisis terhadap dampak akibat diberlakukan

penerapan pelarangan ekspor atas komoditi Tambang dan Mineral dalam bentuk bijih

(raw material atau ore).

Page 9: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

3

1.3. Ruang Lingkup Kajian

Agar dapat mencapai hasil yang sesuai maksud dan tujuan yang diharapkan, maka

ruang lingkup yang dikaji dalam analisis ini dibatasi sebagai berikut:

1. Ruang lingkup kajian ini adalah hanya membahas mengenai dampak akibat diberlakukan

kebijakan pelarangan ekspor atas komoditi Tambang dan Mineral dalam bentuk bijih (raw

material atau ore).

2. Daerah Survei dalam kajian ini dibatatasi hanya di Propinsi Banten mengingat lokasi

beberapa industri pengolahan tambang dan mineral ada di wilayah tersebut, seperti PT.

Krakatau Posco, PT. Indo Ferro, PT. Century Metalindo dan lain-lainya.

1.4. Metodologi Kajian

1. Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam kajian terdiri dari data sekunder dan data primer. Data

sekunder yang dikumpulkan dalam kajian ini diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS),

Kementerian Perindustrian, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan

Kementerian Perdagangan. Sementara itu, data primer diperoleh dari hasil survai di

lapangan dengan cara melakukan pengumpulan data dan wawancara langsung kepada

responden.

2. Alat Analisa

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan

kuantitatif, yaitu penelitian yang didasarkan atas data sekunder, jurnal, artikel dan literatur

yang berhubungan dengan permasalahan penelitian melalui transaksi antar sektor baik

dalam bentuk input maupun output dalam proses produksi dapat terlihat kontribusi,

dampak pengganda dan tingkat keterkaitan hubungan antara sektor pertambangan dengan

sektor ekonomi lainnya. Analisis yang digunakan pada kajian ini adalah analisis deskriptif

dengan tujuan untuk memaparkan hasil temuan berupa data dan informasi baik yang

sifatnya kualitatif maupun kuantitatif.

Page 10: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

4

BAB II

POTENSI DAN KEBIJAKAN

2.1. Sekilas Keberadaan Tambang dan Mineral di Indonesia

Pasal 33 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 mengamanatkan bahwa bumi, air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

sebesar-besar untuk kemakmuran rakyat. Amanat UUD 1945 ini merupakan landasan

pembangunan pertambangan dan energi untuk memanfaatkan potensi kekayaan

sumberdaya alam mineral dan energi yang dimiliki secara optimal dalam mendukung

pembangunan nasional yang berkelanjutan.

Tambang, mineral dan batubara yang terkandung dalam wilayah hukum

pertambangan Indonesia merupakan kekayaan alam tak terbarukan sebagai karunia Tuhan

Yang Maha Esa yang mempunyai peranan penting dalam memenuhi hajat hidup orang

banyak. Oleh karena itu, pengelolaannya harus dikuasai oleh Negara untuk member nilai

tambah secara nyata bagi perekonomian nasional dalam usaha mencapai kemakmuran dan

kesejahteraan rakyat secara berkeadilan.

Pertambangan adalah suatu kegiatan pengambilan endapan bahan galian berharga

dan bernilai ekonomis dari dalam kulit bumi, baik secara mekanis dan manual pada

permukaan bumi, dibawah permukaan bumi air. Pemerintah Republik Indonesia melalui

Peraturan Pemerintahan No 27 tahun 1980 membagi bahan galian menjadi 3 golongan

yaitu :

1. Bahan galian strategis disebut bahan galian golongan A terdiri dari : minyak bumi,

bitumen cair, lilin beku, gas alam, bitumen padat, aspal, antrasit, batu bara muda,

uranium radium, thorium bahan galian radioaktif lainnya, nikel, kobalt, timah.

2. Bahan galian vital disebut pula sebagai bahan galian golongan B terdiri dari besi,

molibden, khrom, wolfram, vanidium, titan, bauksit, tembaga, timbal, seng, emas,

platina, perak, air raksa, arsen, antimon, bismut, ytrium, rhutenium, cerium, dan logam-

Page 11: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

5

logam langka lainnya, berilium, korundum, zirkon, kristal kuasa, kriolit, fluorspar, barit,

yodium, brom, klhor, belerang.

3. Bahan galian non strategis dan non vital, disebut pula sebagai bahan galian golongan C.

Terdiri dari : nitral, nitrit, fosfat, garam batu (halit), asbes, talk, mika, grafit,magnesit,

yarosit, leusit, tawas (alum), oker, batu permata, batu setengah permata, pasir kuarsa,

kaolin, feldspar, gipsum, bentonit, tanah diatomea, tanah serap (fuller earth), batu

apung, trass, obsidian, marmer, batu tulis, batu kapur, dolomit, kalsit, granit, andesit,

basalt, trakhit, tanah liat, pasir, sepanjang tidak mengandung unsur-unsur mineral

golongan A maupun golongan B dalam skala yang berarti dari segi ekonomi

pertambangan.

Penggolongan bahan galian di atas tidak terlepas dari Undang-Undang Pokok

Pertambangan 1967 yang menegaskan bahwa penggolongan bahan galian didasarkan pada

peranannya yang berbeda terhadap bangsa dan negara. Golongan A adalah mineral yang

sangat penting bagi perekonomian negara karena mendatangkan devisa yang relatif besar.

Golongan B adalah mineral yang menyangkut hajat hidup orang banyak, sedangkan

golongan C adalah mineral yang diperlukan untuk bahan industri atau bangunan.

Saat ini kegiatan pertambangan yang lebih dikenal adalah pertambangan untuk

komoditas mineral logam antara lain: emas, tembaga, nikel, bauksit dan batubara. Selain

komoditas mineral utama dan batubara ini, komoditas batuan memiliki peran yang sama

pentingnya terutama dalam memberikan dukungan material untuk pembangunan

infrastruktur antara lain: pendirian sarana infrastruktur jalan, pembangunan perumahan,

dan gedung perkantoran. Terminologi bahan galian golongan C yang sebelumnya diatur

dalam UU No 11 Tahun 1967 telah diubah berdasarkan UU No 4 Tahun 2009, menjadi

batuan, sehingga penggunaan istilah bahan galian golongan C sudah tidak tepat lagi dan

diganti menjadi batuan.

Kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara yang merupakan kegiatan usaha

pertambangan di luar panas bumi, minyak dan gas bumi serta air tanah mempunyai

peranan penting dalam memberikan nilai tambah secara nyata kepada pertumbuhan

ekonomi nasional dan pembangunan daerah secara berkelanjutan.

Page 12: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

6

Sementara itu, berdasarkan kriteria komoditas tambang mineral yang dapat

ditingkatkan nilai tambahnya dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) golongan, yaitu

mineral logam, mineral bukan logam dan batuan. Uraian masing-masing jenis komoditas

tambang mineral tersebut adalah sebagai berikut:

1. Kelompok mineral logam merupakan jenis komoditas tambang mineral logam antara

lain berupa bijih: tembaga, emas, perak, timah, timbal dan seng, kromium,

molibdenum, platinum group metal, bauksit, bijih besai, pasir besi, nikel, kobalt,

mangan dan antimon.

2. Kelompok mineral bukan logam terdiri dari berbagai jenis komoditi tambang mineral

bukan logam yang meliputi: kalsit (batu kapur/gamping), feldspar, kaolin, bentonit,

zeolit, silica, zircon dan Intan.

3. Adapun kelompok batuan merupakan jenis komoditas tambang batuan, antara lain:

Toseki, Marmer, Onik, Perlit, Slate (batu sabak), Granit, Granodiorit, Gabro, Peridotit,

Basalt, Opal, Kalsedon, Chert (rijang), Jasper, Krisoprase, Garnet, Giok, Agat dan

Topas.

Lokasi sumber daya tambang mineral tersebut, tersebar di beberapa daerah di

Indonesia, baik di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara Barat, Nusa

Tenggara Timur, Papua maupun di daerah lainnya. Mengenai sumber daya, cadangan

maupun produksi beberapa jenis tambang dan mineral di Indonesia pada tahun 2011 dapat

dilihat pada tabel di bawah ini:

Page 13: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

7

Tabel 2.1. Keadaan Beberapa Sumber daya dan Cadangan Tambang dan Mineral di

Indonesia Tahun 2011 (dalam juta ton bijih)

No Komoditas Sumber Daya Cadangan1. Tembaga 4.925 4.1612. Bauksit 551 1803. Nikel 2.633 5774. Pasir Besi 1.649 55. Besi Laterit 1.462 1066. Besi Primer 563 307. Besi Sedimen 18 -8. Mangan 11 49. Emas Alluvial 1.455 1710. Emas Primer 5.386 4.23111. Perak 3.406 4.10412. Seng 577 713. Timah 354 0,714. Timbal 363 1,6

Sumber: Badan Geologi, Kementerian ESDM

Tabel 2.2. Produksi Tambang dan Mineral di Indonesia Tahun 2011

No ProduksiTahun

2008 2009 2010 2011 20121 Logam Tembaga (ribu ton) 655 999.2 878.3 543 447.52 Emas (ton) 64.4 104.1 104.5 76 753 Tmah (ribu ton) 72 60.4 48.5 42 94.84 Nikel Matte (ton) 73,356 68,228 77,186 68,000 72,8995 Fero Nikel (ton) 17,566 12,550 18,688 19,610 18,3726 Bijih Nikel (juta ton) 4.11 10.99 16.98 32.63 41.097 Bauksit (juta ton) 7.77 15.94 26.89 39.68 30.28 Bijih Besi (juta ton) 1.86 7.19 7.91 12.81 10.419 Bijih Mangan (ton) 283,679 273,008 231,035 100,459 30,478

10 Bijih Timbal dan Seng (ton) 40,658 64,604 310,453 197,139 5,55611 Bijih Kromium (ton) 57,601 4,537 63,053 9,548 20,11112 Bijih Tembaga (ton) 1,276 3,579 5,816 13,810 8,418

*) data diambil dari Laporan Surveyor yang dikirimkan oleh PT Sucofindo.Diasumsikan angka ekspor sama dengan angka produksi.Sumber: Direktorat PembinaanPengusahaan Mineral, Kementerian ESDM

Dalam menyongsong kebijakan pelarangan ekspor barang mentah (raw material)

tambang dan mineral pada bulan Januari tahun 2014, terdapat 15 (limabelas) perusahaan

yang menyatakan kesiapan dengan fasilitas pengolahan dan pemurnian yang akan

Page 14: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

8

beroperasi pada tahun 2014. Dari ke 15 perusahaan tersebut, terdapat diantaranya 6

perusahaan yang sudah mempersiapkan diri dengan progres fasilitas pengolahan dan

pemurnian tambang dan mineral mencapai 100% untuk beroperasi pada tahun 2014. Dari

ke 6 (enam) perusahaan tambang tersebut, antara lain PT. Delta Prima Steel dan PT.

Meratur Jaya Iron Steel dengan hasil produksinya berupa Sponge Iron, PT. Indo Ferro

dengan hasil produksi berupa Pig Iron, PT. Batutua Tembaga Raya dengan hasil

pengolahanya berupa Cupper Chatode, PT. Indotama Ferro Allays dan PT. Century

Metalindo dengan hasil pengolahan berupa Silica Manganese. Sementara itu, ke 9

perusahaan lainya progress fasilitas kesiapan pengolahan dan pemurnian untuk beroperasi

pada tahun 2014 masih dibawah 75%. Mengenai rincian fasilitas pengolahan dan

pemurnian dari ke 15 perusahaan yang akan beroperasi pada tahun 2014 dapat dilihat

pada taberl berikut:

Tabel 2.3. Fasilitas Pengolahan Dan Pemurnian Yang Beroperasi Pada Tahun 2014

No Nama PerusahaanKomoditas

Lokasi

Produk Kapasitas

Target

Penyelesaian

ProyekKab/Kota Provinsi Progres Investasi (US$)

1 PT. Gebe Centra Nickel Nikel Gebe Maluku 30 300.000.000 FeNi 300.000 Jan-142 PT. Bintang Delapan Mineral Nikel Morowali Sulteng 35 316.030.000 FeNi 300.000 Awal 20143 PT. Elit Kharisma Utama Nikel Konawe Sultra 35 160.000.000 FeNi 110.000 Agu-13

4 PT. Kembar Emas Sultra Nikel Konawe Utara Sultra 30 15.000.000 NPI 48.000 Akhir 2013 (trialMini Smelter)

5 PT. Arga Morini Indah Nikel HalmaheraSelatan Malut 6 325.000.000 FeNi 50.000 2014

6 PT. Delta Prima Steel Besi Tanah Laut Kalsel 100 5.000.000 Sponge iron 100.000

7 PT. Meratus Jaya Iron Steel Besi Batu Licin Kalsel 100 65.000.000 Sponge Iron 315.000

8 PT. Krakatau Posco Besi Cilegon Banten 70 7.000.000.000 Billet 240.000November 2013(feeding ore ke

KS Posco)

9 PT. Yiwan Mining Besi Batu Licin Kalsel 10 250.000.000 Pig Iron 1.000.000 Oktober 201410 PT. Indoferro Besi Cilegon Banten 100 160.250.000 Pig Iron 500.000

11 PT. Lumbung Mineral Sentosa Timbal danSeng Bogor Jawa Barat 30 11.077.778 Bullion Lead

187 ton bullionPb/bulan, 312tonbullion/bulan

Akhir 2014

12PT. Indonesia Chemical Alumia

(PT. ICA)Bauksit Sanggau Kalbar 50 450.000.000 SGA 300.000 2013

13 PT. Batutua Tembaga Raya Tembaga (Wetar) MalukuBarat Daya Maluku 100 235.000.000 Cupper Cathode

14 PT. Indotama Ferro Alloys Mangan Purwakarta Jawa Barat 100 - Silika Manganese15 PT. Century Metalindo Mangan Cikande Banten 100 - Silika Manganese

Sumber: Badan Geologi, Kementerian ESDM

Page 15: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

9

Dalam tiga tahun terakhir setelah UU No. 4 Tahun 2009 diterbitkan, secara nasional

ada beberapa jenis bijih tambang dan mineral yang realisasinya mengalami peningkatan

secara besar-besaran, diantaranya ekspor bijih nikel meningkat sebesar 800%, bijih besi

meningkat 700%, dan bijih bauksit meningkat 500%. Dalam rangka pengendalian ekspor

bijih mineral dan mendorong industri hilir, maka pemerintah mengeluarkan beberapa

peraturan terkait diantaranya, Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 sebagaimana

diubah dengan PerMen No. 11 tahun 2012, Peraturan Menteri Perdagangan No 29 tahun

2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan dan Peraturan Menteri Keuangan

No. 75 tahun 2012 mengenai Penetapan Harga Ekspor Untuk Penghitungan Bea Keluar.

Pemerintah mengharuskan bea keluar bagi 14 mineral tambang diantaranya tembaga,

emas, perak, timah, timbel, kromium, molibdenum, platinum, bauksit, bijih besi, pasir besi,

nikel, mangan, dan antimon dengan range bea keluar yang akan dipungut bervariasi mulai

dari 20% hingga 50% bergantung pada jenis mineral.

Peraturan Menteri ESDM No 7 Tahun 2012 diterbitkan dalam rangka untuk

mengamankan terlaksananya amanat Undang-undang No 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara, khususnya terkait dengan kewajiban pengolahan dan

pemurnian mineral di dalam negeri paling lambat tanggal 12 Januari 2014. Kemudian

Permen 07 Tahun 2012 tersebut diubah berdasarkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber

Daya Mineral RI No. 11 Tahun 2012 tertanggal 16 Mei 2012 yang menyebutkan bahwa

perusahaan pertambangan dapat melakukan ekspor bijih atau ore mineral dalam hal ini

nikel ke luar negeri sebelum tahun 2014 apabila telah mendapatkan rekomendasi dari

Menteri ESDM c.q Direktur Jenderal.

Rekomendasi tersebut akan diberikan dengan persyaratan sebagai berikut:

1. Status IUP Operasi Produksi dan IPR clear and clean dalam arti bahwa setiap perusahaan

pertambangan wajib memiliki IUP Operasi Produksi yang telah disetujui.

2. Perusahaan pertambangan harus melunasi kewajiban pembayaran keuangan kepada

negara.

Page 16: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

10

3. Perusahaan pertambangan wajib menyampaikan rencana kerja dan atau kerja sama

dalam pengelolaan dan atau pemurnian mineral di dalam negeri.

4. Perusahaan pertambangan wajib menandatangani pakta integritas.

2.2. Daya Saing Industri Pertambangan Indonesia

Ada dua hal yang memungkinkan Indonesia dapat berkembang menjadi negara

industri maju. Pertama; Indonesia merupakan negara yang memiliki kekayaan mineral

terlengkap di dunia, walaupun bukan aktor utama dunia dalam keseluruhan raw

material, namun Indonesia memiliki hampir sebagian besar sumber mineral penting. Kedua,

Indonesia memiliki sumber energi yang relatif besar dan beragam jenisnya, mulai dari

minyak bumi, gas, batubara dan sumber-sumber energi terbaharukan lainnya.

Namun demikian, hingga saat ini Indonesia belum dapat mengembangkan industrinya

dengan baik, dikarenakan hasil tambang mineral yang diekploitasi di perut bumi Indonesia

masih di ekspor dalam bentuk raw material dengan nilai tambah yang sangat rendah. Di

satu sisi memang dalam hal raw material dan perdagangan komoditas, Indonesia

memegang posisi kunci. Tapi sebagian besar perusahaan tambang telah mengikat kontrak

penjualan hasil tambang dengan negara-negara maju, sehingga Indonesia tidak dapat

mengendalikan harga komoditas tambangnya.

Berikut ini akan disajikan secara deskriptif posisi Indonesia dalam peta investasi dan

perdagangan komoditas hasil tambang di dunia. Data-data ini diambil dari berbagai

sumber untuk memberi gambaran kepada publik dan pengambil kebijakan agar eksploitasi

hasil tambang di masa datang ditempatkan sebagai bagian dari strategi pembangunan

kedaulatan nasional dan kesejahteraan rakyat. Banyak perbedaan opini diantara para ahli

pertambangan di dunia untuk menyimpulkan pertambangan mana sesungguhnya yang

terbesar di dunia, dimana ada pendapat yang menyatakan bahwa yang terbesar adalah

Muruntau Gold Mine di Uzbekistan. Akan tetapi ada pendapat lain yang menyatakan

Page 17: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

11

bahwa yang terbesar adalah tambang Grasberg di Indonesia. Dari berbagai pendapat,

sebagian besar pendapat menyatakan bahwa yang terbesar adalah Gresberg. Keberadaan

tambang Grasberg di Papua menunjukkan bahwa Indonesia memiliki segalanya tentang

tambang. Negara ini memegang posisi penting dalam hal produksi dan perdagangan

sumber-sumber mineral di dunia. Dengan demikian situasi ekonomi dan politik Indonesia

akan menentukan peta pertarungan ekonomi pada tingkat global. Berikut uraian adanya ke

10 tambang terbesar di dunia:

1. Grasberg Gold Mine.

Tambang ini terletak di Indonesia, Provinsi Papua, menghasilkan 2.025.000 ons emas.

Tambang ini mayoritas dimiliki oleh Freeport-McMoRan Copper & Gold Inc. Selain emas,

juga menghasilkan perak dan tembaga.

2. Muruntau Gold Mine.

Tambang ini terletak sekitar 250 km sebelah barat ibukota di Uzbekistan, diyakini telah

memproduksi sekitar 1.800.000 ons emas pada tahun 2011.

3. Carlin-Nevada Complex.

Tambang ini terletak di negara bagian AS dari Nevada, menghasilkan 1.735.000 ons pada

2010. Tambang ini dimiliki oleh Newmont Mining Corp.

4. Yanacocha Gold Mine.

Tambang ini terletak di Peru dan merupakan tambang emas terbesar di Amerika Latin,

memproduksi 1,46 juta ons pada tahun 2011. Tambang ini dijalankan oleh Newmont

Mining dan dimiliki oleh Newmont Mining dan Buenaventurda, sebuah perusahaan Peru.

5. Goldstrike (Betze Post) Gold Mine.

Tambang ini terletak di sebelah barat laut dari Elko, Nevada, menghasilkan 1,24 juta ons

emas pada tahun 2011. Tambang ini dimiliki oleh Barrick Gold Corp.

6. Cortez Gold Mine.

Tambang ini terletak di sebelah barat daya dari Elko, Nevada, menghasilkan 1,14 juta

ons emas pada tahun 2011. Tambang ini dimiliki oleh Barrick Gold Corp.

7. Veladero Gold Mine.

Page 18: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

12

Tambang ini terletak di Argentina, memproduksi 1,12 juta ons emas pada tahun 2011.

Tambang ini dimiliki oleh Barrick Gold.

8. Lagunas Norte Gold Mine.

Tambang ini terletak di sebelah utara Peru, menghasilkan 808.000 ons emas pada tahun

2011. Tambang ini dimiliki oleh Barrick Gold.

9. Lihir Gold Mine.

Tambang yang terletak di Papua New Guineau, menghasilkan rata-rata 790.974 ons

emas dalam setahun. Tambang ini dimiliki oleh Newcrest Mining Ltd, produsen emas

terbesar di Australia.

10. Super Pit/Kalgoorlie.

Tambang yang terletak di Australia Barat, menghasilkan 788.000 ons pada tahun 2011.

Tambang ini 50% dimiliki oleh Barrick Gold dan 50% dimiliki olehNewmont Mining.

Situs resmi pemerintah Australia menyebutkan bahwa Indonesia juga merupakan

kelompok negara produsen tembaga terbesar di dunia. Masuk dalam 10 besar negara

penghasil tembaga terbesar dunia antara lain Chili, Australia, Peru, Mexico, Amerika

Serikat dan Indonesia, yang berada pada urutan ke enam. Namun media lainnya

menyebutkan bahwa Indonesia berada pada urutan ke lima dalam hal produksi tembaga

sesudah Chili, Peru, Amerika Serikat, China dan Indonesia. Sementara Australia sendiri

berada pada urutan ke enam setelah Indonesia.

Adapun data lainnya menyebutkan bahwa dalam hal produksi tembaga, pada tahun

2009, Indonesia merupakan negara produsen tembaga kelima terbesar di dunia dengan

produksi sebesar 950.000 ton. Urutan pertamanya adalah Chili, dengan produksi sebanyak

5.320.000 ton, yang membuat Chili jauh memimpin dibandingkan negara lainnya. Tempat

kedua adalah Amerika Serikat, dengan output 1.310.000 ton. Tambang tembaga terkenal di

AS, adalah Bingham Canyon Mine, juga dikenal sebagai tambang tembaga Kennecott,

berada di barat daya Salt Lake City, Utah, Amerika Serikat. Tambang ini dimiliki oleh Rio

Tinto Group.

Page 19: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

13

Selanjutnya Peru berada di urutan ketiga, dengan menghasilkan 1.260.000 ton.

Produsen terbesar keempat adalah Cina, dengan produksi 960.000 ton. Setelah Indonesia

di urutan kelima, urutan keenam diduduki oleh Australia dengan diproduksi 900.000 ton.

Tambang tembaga terbesar di Australia adalah The Olympic Dam, terletak sekitar 550 km

baratlaut dari Adelaide. Produsen peringkat ketujuh adalah Rusia, yang memproduksi

750.000 ton, dan di tempat kedelapan adalah Zambia, yang memproduksi 655.000 ton.

Kemudian Kanada ditempat kesembilan, dengan 580, 000 ton dan kesepuluh adalah

Polandia dengan produksi 440.000 ton tembaga.

Sementara dalam hal produksi perak, Indonesia masuk dalam 20 besar negara

produsen perak terbesar di dunis. Dalam lima besar terdapat Mexico, Peru, China, Australia

dan Chili. Indonesia sendiri berada dalam urutan ke 17. Salah satu penyebab Indonesia

berada di urutan 17, dikarenakan Indonesia mengekspor dalam bentuk bahan mentah

sumber daya emas dan tembaganya, sedangkan perak termasuk berada di dalam sumber

daya emas dan tembaga tersebut. Oleh karena itulah, Indonesia tidak diketahui dengan

jelas seberapa besar hasil peraknya.

Indonesia pada tahun 2008 berada pada urutan ke lima dalam hal perusahaan

tambang bauksit terbesar di dunia. pada urutan pertama adalah Australia, diikuti

oleh Brasil, China dan India. Saat ini Indonesia masih terus melakukan ekspor bahan

mentah bauksit ke China, meskipun di Indonesia terdapat pabrik peleburan (smelter) PT

Indonesia Asahan Alumunium (INALUM) yang merupakan terbesar di Asia Tenggara.

Namun kepemilikan sahamnya Indonesia hanya sebesar 41.12%, sedangkan Japanese

consortium Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd mencapai 58.88%.

Dalam hal produksi nikel, Indonesia merupakan produsen terbesar setelah Rusia.

Negara produsen nikel terbesar di dunia adalah: Rusia, Indonesia, Philipina, Kanada,

Australia, New Caledonia, China, Cuba, Colombia. Perusahaan yang memimpin produksi

nikel adalah Norilsk (Russia), diikuti oleh Vale Inco Ltd. (Brazil and Canada) dan the BHP

Billiton Group (Australia and United Kingdom). PT Aneka Tambang Tbk. (Indonesia) pada

Page 20: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

14

urutan ke empat, yang produksinya untuk pengiriman langsung ke Chinese Nickel Pig Iron

Industry. Selanjutnya produsen terbesar lainnya adalah Eramet Group (Perancis), Jinchuan

Non-ferrous Metals Corp. (JNMC) (China), and Xstrata plc (Swiss).

Meskipun merupakan produsen nikel terbesar, Indonesia tidak termasuk kategori

negara terbesar yang menghasilkan nickel olahan dikarenakan produksi Indonesia dikirim

ke pasar ekspor dalam bentuk bahan mentah. Tidak adanya industrialisasi dalam nickel

menyebabkan nilai tambah dari komoditas ini diambil alih oleh negara lain. Adapun ke 10

negara produsen nikel olahan terbesar dunia pada tahun 2010 dapat dilihat pada table 2.4

berikut.

Tabel 2.4. Sepuluh Produsen Terbesar Nikel Olahan Pada Tahun 2010

No NegaraProduksi

(metric ton)1 China 318.02 Russia 265.03 Japan 160.04 Canada 105.05 Australia 101.06 Norway 92.07 Colombia 49.08 Finland 47.09 New Caledonia 40.0

10 South Afrika 36.0

Sumber: Bloomberg

Selanjutnya terkait dengan produksi bauksit, Indonesia merupakan salah satu negara

produsen bauksit terbesar di dunia. Berdasarkan data 2007: peringkat pertama adalah 1.

Australia dengan produksi 62,428; urutan 2. China 30,000; 3. Brazil 22,100; 4. India

19,221; 5. Guinea 18,000; 6. Jamaica 14,568; 7. Russian Federation 6,400; 8. Venezuela

5,900; 9. Suriname 4,900; 10. Kazakhstan 4,800; 11. Greece 2,220; 12. Guyana 1,600.

Indonesia berada pada urutan ketiga belas dengan produksi 1,251; 14. Sierra Leone 1,168;

15. Ghana 840; 16. Bosnia and Herzegovina 800; 17. Turkey 780; 18. Montenegro 650; 19.

Hungary 546.4; 20. Dominican Republic 500. (Sumber: United States Geological Survey

(USGS) Minerals Resources Program).

Page 21: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

15

Meskipun demikian, Indonesia belum masuk dalam kategori 10 besar negara dengan

produksi alumunium terbesar dunia. Hal ini disebabkan bauksit yang merupakan bahan

baku aluminium masih dialokasikan untuk pasar ekspor, dimana alumunium tersebut

secara jelas merupakan bahan baku penting untuk pembangunan industri di negara-negara

maju.

Saat ini peringkat produsen utama alumunium di dunia adalah Canada, Amerika

Serikat, Argentina, Brazil, Venezuela, France, Germany, Norway, Netherlands, Spain,

Russian Federation, Ukraine, Slovenia, Bahrain, India, Indonesia, Turkey, United Arab

Emirates, China, Japan, South Korea, Australia, Egypt, Cameroon, Mozambique, Ghana,

Nigeria and South Africa. Sementara itu, satu-satunya perusahaan alumunium di Indonesia

adalah PT Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) yang juga merupakan satu-satunya

smelter di Asia Tenggara. Perusahaan ini merupakan joint venture company antara

Indonesia (41.12%) and Japanese consortium Nippon Asahan Aluminium Co. Ltd (58.88%),

dengan kapasitas 225.000 tons. Adapun sebagian besar hasil produksinya yang berupa

alumunium ditujukan untuk ekspor (60% ) bagi kepentingan industri jepang.

Jika mengamati seluruh kegiatan ekploitasi tambang di Indonesia dapat disimpulkan

bahwa negara ini memiliki kekayaan alam terlengkap yang diperlukan bagi pengembangan

industri tambang dan mineral. Selain jenis-jenis mineral diatas, Indonesia juga

menghasilkan biji besi, mangan, dan lain sebagainya. Sebagian besar produksi nasional

diekpor dalam bentuk bahan mentah, meskipun kegitan ekplotasi tambang telah

berlangsung sejak jaman kolonial, namun hingga saat ini negara belum dapat membangun

industrinya.

2.3. Kebijakan Terkait Dengan Tambang dan Mineral

Bertitik tolak dari dikeluarkanya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 pada tanggal

12 Januari 2013 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, dimana materi pokok yang

terkandung didalam UU ini mengatur penghiliran hasil tambang mineral dan batubara dan

melarang ekspor bahan mentah hingga tahun 2014. Oleh karena itu, UU ini

Page 22: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

16

mengamanahkan pembangunan smelter sehingga produksi tambang dalam negeri dapat

diproses sebelum diekspor. Adapun tujuan daripada UU Minerba dimaksud, agar Indonesia

bisa merasakan nilai tambah dari produk - produk tambang dan mineral sehingga dapat

mendongkrak produk domestik bruto dan menyerap tenaga kerja. Berdasarkan amanat UU

No. 4 Tahun 2009 dimaksud, maka akan berlaku efektif pada Januari 2014 untuk komoditas

tambang mineral logam, mineral bukan logam dan batuan dalam bentuk bahan mentah

(raw material/ores).

Dalam rangka pelaksanaan berbagai pasal didalam UU Minerba tersebut, kemudian

pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) No.23 Tahun 2010 tertanggal 1

Februari 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara,

dimana didalam peraturan ini mengisyaratkan bahwa pemegang Izin Usaha Pertambangan

(IUP) operasi produksi dan Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) Operasi produksi harus

mengutamakan kebutuhan mineral dan/atau batubara untuk kepentingan dalam negeri.

Untuk itu, dalam menunjang pembangunan industri dalam negeri perlu penataan kembali

pemberian izin usaha pertambangan untuk mineral bukan logam dan batuan. Selanjutnya

dalam rangka memberi kesempatan lebih besar kepada peserta Indonesia untuk lebih

berpartisipasi dalam kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara serta dalam

rangka memberikan kepastian hukum bagi pemegang Kontrak Karya dan Perjanjian Karya

Pengusahaan Pertambangan Batubara yang bermaksud melakukan perpanjangan dalam

bentuk Izin Usaha Pertambangan, maka kemudian diterbitkan PP No. 24 tahun 2012

tertanggal 21 Februari 2012 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 23

tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.

Disamping itu, dalam rangka meningkatkan efektivitas pelaksanaan pengendalian

ekspor bijih mineral dan mendorong industri hilir, maka pemerintah telah mengeluarkan

berbagai peraturan seperti halnya Peraturan Menteri (Perman) ESDM No 7 Tahun 2012

yang kemudian diubah dengan Permen ESDM No 11 Tahun 2012 tentang Peningkatan Nilai

Tambah Mineral melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral. Peningkatan Nilai

Tambah dan kewajiban pengolahan dengan batasan minimum pengolahan, hal ini

dilakukan dengan Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral antara lain meliputi

Page 23: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

17

kegiatan pengolahan dan pemurnian mineral logam, pengolahan mineral bukan logam dan

pengolahan batuan, serta pengolahan dan pemurnian mineral logam tertentu, pengolahan

mineral bukan logam tertentu, dan pengolahan batuan tertentu wajib memenuhi batasan

minimum pengolahan.

Sementara itu, dalam rangka miningkatkan efektivitas pelaksanaan pengaturan

ekspor beberapa jenis produk pertambangan, maka pemerintah melalui Kementerian

Perdagangan juga telah menerbitkan Permendag No 29/M-AG/PER/5/2012 sebagaimana

telah disempurnkan dengan Permendag No. 52/M-AG/PER/8/2012 tentang Ketentuan

Ekspor Produk Pertambangan, dimana peraturan ini mengatur hal-hal yang berkaitan

dengan tata cara dan perizinan pelaksanaan kegiatan ekspor berbagai jenis produk

pertambangan dengan mempertimbangkan adanya keharusan memenuhi batasan

minimum pengolahan.

Selain hal tersebut, berdasarkan pertimbangan/usulan Menteri ESDM sebagaimana

disampaikan melalui Surat Nomor 3038/30/MEM.B/2012 perihal Kebijakan Pengendalian

Penjualan Bijih (Raw Material atau Ore) Mineral ke luar negeri serta dalam rangka

meningkatkan nilai tambah dan ketersediaan sumber daya mineral di dalam negeri, maka

perlu mengatur mengenai pengenaan Bea Keluar terhadap barang ekspor berupa bijih (raw

material atau ore) mineral. Berkaitan dengan hal itu, pada tanggal 16 Mei 2012

pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah menerbitkan Permenkeu No

75/PMK.011/2012 yang kemudian disempurnakan dengan Permenkeu No

128/PMK.011/2013 tentang perubahan atas peraturan menteri keuangan nomor

75/pmk.011/2012 tentang penetapan barang ekspor yang dikenakan bea keluar dan tarif

bea keluar, dimana materi pokok didalam perubahan tersebut terkait dengan penjualan

berbagai jenis bijih (raw material atau ore) mineral ke luar negeri dikenakan tariff bea

keluar ekspor sebesar 20%, terkecuali untuk produk Marmer dan Travertine dalam bentuk

balok dengan ketebalan >4 cm dan produk Granit balok dengan ketebalan > 4 cm

dikenakan tariff bea keluar sebesar 10%.

Adapun tujuan dari kebijakan pengenaan bea keluar ekspor komoditas tambang

dimaksud, antara lain adalah untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan didalam negeri,

Page 24: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

18

melindungi kelestarian sumber daya alam, mengantisipasi kenaikan harga yang cukup

drastis dari komoditi ekspor tertentu di pasaran internasional dan atau menjaga kestabilan

harga komoditi tertentu di dalam negeri.

2.4. Pemasaran

Dalam Usaha penambangan bahan galian industri, pemasaran merupakan masalah

yang lebih sulit dari pada penambangannya. Permasalahan yang dihadapi oleh sebagian

pelaku usaha bahan galian dalam menjual hasil tambangnya tanpa melalui proses

pengolahan pada umumnya hanya soal angkutan. Sementara itu, bagi usaha penggalian

pasir dan batu untuk dapat memasarkan hasil galiannya kepada penjual bahan bangunan,

tidak begitu banyak pemasalahan yang dihadapi asalkan lokasi usahanya berdekatan

dengan si pembeli. Kelangsungan usaha bahan galian industri sangat ditentukan oleh lokasi

dan biaya angkutan mengingat produk yang harus dipasarkan selain berat juga besar

volumenya, akan tetapi harga satuannya juga relatif rendah.

Untuk batu gamping sebelum siap dijual melalui jalur pemasaran yang relatif panjang,

penggalian batu gamping dapat dilakukan dengan cara sederhana dan semua orang dapat

melakukannya dan hasilnya dapat langsung dijual kepada pihak pabrik pembakaran kapur.

Ditempat inilah batugamping akan diolah dengan proses melalui pembakaran yang

dilakukan dengan menggunakan tungku.

Contoh lain pada pengusahaan kaolin, proses penambangan sangat relatif sederhana.

Proses penambangan kaolin dilakukan melalui tahap pencucian dan pengendapan, setelah

itu dipanggang untuk dikeringkan yang kemudian dilakukan penggilingan. Produk dari

proses ini berupa tepung kaolin yang dapat dipasarkan sebagai filler kepabrik cat, pabrik

keramaik, dengan persyaratan yang tidak tinggi.

Kaolin juga diproses secara lebih canggih antara lain melalui proses flotasi, filtering

dan bleaching untuk menghasilkan produk berupa bubuk kaolin berbutir sangat halus,

bertekstur seragam, sangat murni, bersih dari kotoran dan mengkilap, memiliki sifat high

Page 25: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

19

gloss dan brightness serta tidak mudah bereaksi. Bubuk kaolin berkualitas tinggi dengan

istilah papercoating, digunakan sebagai bahan kosmetik dan lain-lain.

Dari uraian diatas dapat diambil kesimpulan bahwa meningkatkan produk bahan

galian industri diperlukan proses pengolahan dengan kecermatan tinggi yang pada akhirnya

dapat meningkatkan multiguna dari bahan galian tersebut sehingga pemasarannyapun

menjadi lebih luas. Kecermatan kerja diperlukan dalam semua tahap kegiatan sehingga

diperoleh banyak bahan galian yang berguna dan sedikit endapan pengotornya sehingga

hasil yang didapatkan lebih maksimal yang sesuai dengan hasil pesanan konsumen.

Dengan adanya UU Minerba, semua jenis bijih/barang tambang dan mineral harus

diolah dan dimurnikan terlebih dahulu untuk mendapatkan nilai tambah baru kemudian

boleh di ekspor. Pada Pasal 102 UU minerba, Pemegang IUP dan IUPK wajib meningkatkan

nilai tambah sumber daya mineral dan/atau batubara dalam pelaksanaan penambangan,

pengolahan dan pemurnian, serta pemanfaatan mineral dan batubara. Kewajiban ini baru

direncanakan berlaku pada 2014. Melihat kebijakan pelarangan tersebut, baru akan

diberlakukan pada tahun 2014, sebagian para pelaku usaha telah menaikkan produksi dan

eskpor secara besar-besaran. Hal ini dilakukan, karena pada umumnya para pelaku usaha

berpendapat bahwa untuk mendirikan pabrik pengolahan dan pemurnian dibidang

tambang dan mineral diperlukan biaya cukup tinggi, sehingga kesempatan pada masa

transisi ini tampak dimanfaatkan oleh para pelaku usaha untuk memproduksi dan

mengekpor secara besar-besaran karena dirasa biaya produksi masih relative murah.

Sebagaimana telah diketahui bersama , bahwa pasar raw material tambang dan mineral

sebagian besar adalah untuk ekspor, akan tetapi ada juga yang dipasarkan di dalam negeri

bahkan untuk memenuhi kebutuhan akan bahan baku lebih lanjut sebagai industry didalam

negeri juga melakukan impor meskipun sebenarnya raw material awal berasal dari dalam

negeri juga.

Page 26: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

20

2.4.1 Pasar Dalam Negeri

Dengan adanya UU Minerba ini, bisa menjamin kewajiban pasar domestik (domestic

market obligation/DMO), artinya adanya jaminan bahwa produk setengah jadi tersebut

dijamin oleh pasar di dalam negeri. Selama tahun 2011, pemasaran barang tambang

mineral di dalam negeri hanya meliputi persentase yang sedikit sekali jika dibandingkan

dengan persentase yang diekspor. Misalnya saja pada bijih besi, 100% produksi

disalurkan untuk ekspor sebagaimana terlihat pada tabel berikut.

Tabel 2.5. Data Produksi dan Penjualan Mineral

Sumber: Kementerian ESDM, 2011

2.4.2. Pasar Luar Negeri

Tujuan pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan relaksasi kuota ekspor produk

pertambangan adalah memberikan kemudahan ekspor untuk stok-stok bijih mineral

yang sudah siap ekspor. Pemerintah menyadari tidak semua perusahaan

pertambangan menikmati kebijakan ini karena meningkatkan produksi dalam waktu

singkat tidak mudah. Pengusaha pertambangan hanya memiliki kesempatan selama

Page 27: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

21

tiga bulan mendatang karena pada awal 2014, ekspor produk mentah pertambangan

dilarang berdasarkan UU No. 4 tahun 2009 tentang Minerba.

a. Ekspor

Tahun 2011 dan 2012 merupakan tahun perubahan peruntungan di industri

pertambangan di Indonesia. Perbaikan kinerja keuangan di tahun 2011 berbalik jadi

memburuk di tahun 2012 akibat ketidakpastian ekonomi global dan penurunan

harga komoditas. Akan tetapi, sejalan dengan kondisi tersebut, kontribusi industri

tambang terhadap ekonomi Indonesia tetap meningkat. Sektor pertambangan

menyumbang 5% sampai 6% dari PDB Indonesia pada tahun 2011 dan 2012 dan

lebih dari 17% untuk pendapatan ekspor. Berdasarkan data struktur ekspor non

migas periode Januari-Agustus 2013, ekspor di bidang pertambangan menempati

kontribusi kedua setelah industri dan paling terkecil adalah di sektor pertanian

(Gambar 2.1).

3.5

76.7

21.0

3.6

73.9

20.4

Pertanian

Industri

Pertambangan

Ekspor Non Migas Menurut Sektor(USD Miliar)

Jan-Ags 2013

Jan-Ags 2012 2.48

-6.20

-4.56

2.30

-3.64

-2.72

Pertumbuhan (%)

Pertanian3.2%

Industri75.5%

Pertambangan

21.7%

Struktur Ekspor Non Migas Menurut SektorJan-Ags 2013

Gambar 2.1. Ekspor Non Migas Berdasarkan Sektor, Jan-Ags 2013

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu)

Sebelum diberlakukan UU Minerba pada tahun 2014, perusahaan-perusahaan

tambang berbondong bondong mengekspor bijih tambang dan mineral yang

didapatkan dari hasil tambang. Berdasarkan data empiris, selama 5 tahun terakhir

ini yaitu dari 2008-2012 dan pertengahan tahun 2013 terjadi peningkatan bijih

Page 28: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

22

10.592,2 10.437,1 17.566,0 40.792,2 48.449,4 23.186,6 28.824,0

524,3

277,6

532,4

1.428,0 1.489,1

718,0

824,1

-

350,0

700,0

1.050,0

1.400,0

1.750,0

-

10.000,0

20.000,0

30.000,0

40.000,0

50.000,0

2012 2013

2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Jun

Ribu TonUSD Juta Bijih Nickel dan Konsentratnya

Volume (LHS) Nilai (RHS)

16.791,4 14.720,3 27.410,4 40.643,9 29.506,6 20.494,2 23.968,8

216,3 249,7

479,0

773,2

626,0

377,3

558,8

-

200,0

400,0

600,0

800,0

1.000,0

-

10.000,0

20.000,0

30.000,0

40.000,0

50.000,0

2012 2013

2008 2009 2010 2011 2012 Jan-Jun

Ribu TonUSD Juta Bijih Alumunium dan Konsentratnya

Volume (LHS) Nilai (RHS)

tambang dan mineral yang cukup signifikan. Sebagai contoh rata-rata volume

ekspor pada bijih aluminium dan nikel telah meningkat di atas 20%.

Gambar 2.2. Perkembangan Ekspor Bijih Aluminium dan Nikel, 2008-2013

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu)

b. Impor

Selama ini, impor produk tambang dan mineral Indonesia merupakan olahan

tambang dimana sebenarnya sumber daya alam di Indonesia memiliki semua bahan

baku tambang tersebut. Misalnya saja impor alumina sebagai bahan dasar

aluminium. Secara material, negeri ini harus memiliki industri dasar yang kuat

sebagai industri pendukung yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku

atau penolong atau barang setengah jadi atau yang menghasilkan energi bagi

keperluan industri di dalam negeri. Apalagi hilirisasasi industri yang diarahkan

menghendaki tercapainyai tujuan strategis, antara lain mengurangi ketergantungan

impor dan penguatan struktur industri di dalam negeri. Secara ideal progam

hilirisasi industri hanya akan terwujud dalam jangka panjang bilamana pemerintah

dapat mengembangkan kebijakannya dalam dua area besar, yaitu kebijakan

pengembangan industri dasar sebagai industri pendukung dan kebijakan industri

hilir itu sendiri.

Page 29: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

23

Dari sisi nilai impor produk pertambangan, telah terjadi penurunan nilai dari impor

mineral logam, namun impor mineral bukan logam dan batuan masih mengalami

peningkatan. Hal ini menunjukkan bahwa Indonesia masih membutuhkan hasil

olahan mineral yang bahan bakunya telah dimiliki sejak lama. Realisasi impor

produk pertambangan dalam periode tahun 2008 – 2012 dapat dilihat pada table

2.6 berikut:

Tabel 2.6. Impor Produk Pertambangan, 2008-2012

Sumber: BPS (diolah Puska Daglu)

Tindak lanjut dari UU Minerba kemungkinan besar akan memberikan peluang bagi

pengusaha untuk mengimpor bahan mentah mineral jika ketersediaan smelter telah

mencukupi di Indonesia. Hal ini disebabkan, pasokan bahan mentah kepada smelter

harus tetap terjaga dan berlanjut agar nilai produksinya tidak terhenti dan tetap

ekonomis. Pasalnya smelter memerlukan raw material yang tidak sedikit dan

produksinya didalam pabrik tidak bisa terhenti. Jika smelter telah terbangun di

dalam negeri, Indonesia akan menjadi pasar yang bagus untuk negara-negara

penghasil tambang mineral sehingga Indonesia tidak perlu lagi mengimpor barang

tambang olahan dari negara lain.

Page 30: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

24

BAB III

ANALISIS DAMPAK KEBIJAKAN PELARANGAN EKSPOR

RAW MATERIAL TAMBANG DAN MINERAL

Di Indonesia, industri pertambangan mineral logam dikuasai oleh investor asing dan

BUMN seperti PT Freeport Indonesia, PT Newmont Nusa Tenggara, PT Inco Tbk, PT Koba

Tin, PT Timah Tbk, PT Aneka Tambang Tbk, serta perusahaan swasta. Perusahaan-

perusahaan tersebut didirikan berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia

dalam bentuk badan hukum Indonesia. Dalam dokumen kontrak karya pertambangan,

perusahaan pertambangan asing juga diwajibkan melepaskan saham kepemilikan.

Akibat perbedaan kondisi geologi, terjadi perbedaan potensi endapan mineral yang

menimbulkan perdagangan antar bangsa/wilayah. Contoh, endapan timah terkonsentrasi

sepanjang jalur yang meliputi wilayah RRC, Vietnam, Thailand, Malaysia, menerus hingga

kepulauan Riau dan Kepulauan Bangka-Belitung. Ladang minyak bumi raksasa dengan

cadangan yang melebihi 1 miliar barel terkonsentrasi di Saudi Arabia, Irak, Kuwait, Iran,

Rusia, RRC dan AS. Sedangkan Indonesia hanya memiliki satu lapangan minyak bumi

raksasa di Minas. Cadangan mineralisasi emas, krom, tembaga, kadmium, nikel, mangan

dan sebagainya terkonsentrasi di Afrika Selatan. Endapan kokas terkonsentrasi di Jerman,

Polandia, Rusia, AS, dan Afrika Selatan. Hal ini terjadi karena daerah tersebut terletak di

lempeng kontinen yang menyebabkan batubara mendapatkan tekanan, proses geologi

berulang-ulang dan berumur jutaan tahun. Endapan emas epitermal dengan cadangan

kecilkecil dan berkadar tinggi terkonsentrasi sepanjang jalur gunung api di kawasan Filipina,

Indonesia, dan Jepang. Potensi emas aluvial terbesar ditemukan di Afrika Selatan yang

berumur pra-Kambrium dan membentuk endapan konglomerat.

Kondisi geologi Indonesia berbeda antara kawasan Barat dan Kawasan Timur. Kondisi

geologi kawasan barat dicirikan dengan mineralisasi timah putih, mineralisasi Pb-Zn, dan

porfiri Cu-Mo/Au. Sedangkan dikawasan timur dicirikan oleh nikel, kobalt, dan porfiri CuAu.

Akibat negatif dari konsentrasi geologis, timbul konflik/peperangan. Perang Jerman-

Page 31: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

25

Perancis (1760-1767), memperebutkan wilayah endapan batubara di wilayah Saarland,

dimana batubara sangat diperlukan untuk menggerakkan industri di kedua negara setelah

revolusi industri. Jepang dan Amerika Serikat memperebutkan ladang minyak dalam Perang

Dunia II (1939-1945), di Asia Tenggara. Pendudukan Uni Sovyet di Afganistan (1979)

dimaksudkan untuk kepentingan pembangunan jaringan pipa minyak ke tepi Samudera

India. Perang Peru-Ekuador (Januari 1996) untuk merebut endapan emas di perbatasan.

Ketegangan di Laut Cina Selatan, disebabkan potensi endapan minyak dan gasbumi di

Kepulauan Spratley. Ketegangan Indonesia-Malaysia akibat penemuan endapan minyak

bumi di Ambalat. Bila diperhatikan sejarah umat manusia, konsentrasi endapan mineral,

batubara dan minyak telah menimbulkan penjajahan, terutama setelah revolusi industri.

Akibat dari perbedaan konsentrasi geologi ini, menimbulkan perdagangan, investasi,

dan industri pengolahan mineral. Pada tahun 1989, perdagangan komoditas mineral

seluruh dunia mencapai US $ 141,894 miliar, dan meningkat tajam pada tahun 2006

mencapai US $ 637.410 miliar. Pada tahun 1998, nilai ekspor mineral Indonesia mencapai

US $ 1,8 miliar, meningkat menjadi US $ 11,6 miliar pada tahun 2009 (Kompas 28

Desember 2009).

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

adalah bom waktu untuk Indonesia. UU ini mengatur penghiliran hasil tambang mineral

dan batubara dan melarang ekspor bahan mentah tahun 2014. UU ini mengamanahkan

pembangunan smelter sehingga produksi tambang dalam negeri dapat diproses sebelum

diekspor. Tujuan UU Minerba sangatlah mulia: agar Indonesia bisa merasakan nilai tambah

dari produk- produk tambang, mendongkrak produk domestik bruto, dan menyerap tenaga

kerja.

Berbeda dengan harapan awal, pasca-penetapan UU ini eksploitasi pertambangan

justru melonjak tajam. Pemilik tambang berlomba menambang sebanyak-banyaknya

sebelum dilarang. Akibatnya, produksi sejumlah komoditas tambang melonjak. Contohnya

produksi bauksit tahun 2009 sebanyak 783.000 mt, tahun 2011 menjadi 17.634.000 mt,

atau melonjak 2.150 persen. Hal serupa terjadi pada komoditas ore nikel, di mana produksi

pada 2009 hanya 5.802.000 wmt, tapi tahun 2011 sudah 15.973.000, atau meningkat 175

Page 32: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

26

persen (Kementerian ESDM, 2012). Untuk lebih jelasnya mengenai perkembangan

beberapa produksi barang tambang dan mineral dalam periode tahun 1996-2011 dapat

dilihat pada table berikkut.

Tabel 3.1. Produksi Barang Tambang dan Mineral, 1996-2011

Batu Bara Bauksit Nikel Emas Perak Granit Pasir Besi KonsentratTin

KonsentratTembaga

(ton) (ton) (ton) (kg) (kg) (ton) (ton) (tonmetrik) (tonmetrik)

1996      50,332,047          841,976      3,426,867            83,564          255,404      4,827,058          425,101           52,304           1,758,9101997      55,982,040          808,749      2,829,936            86,928          249,392      8,824,088          516,403           54,521           1,817,8801998      58,504,660      1,055,647      2,736,640          123,862          383,191      9,662,649          509,978           53,960           2,640,0401999      62,108,239      1,116,323      2,798,449          127,768          361,377      8,720,155          502,198           49,708           2,645,1802000      67,105,675      1,150,776      2,434,585          109,612          310,430      5,941,370          420,418           56,360           3,270,3352001      71,072,961      1,237,006      2,473,825          148,528          333,561      3,976,274          440,648           69,494           2,418,1102002   105,539,301      1,283,485      2,120,582          140,246          281,903      3,975,434          190,946           88,142           2,851,1902003   113,525,813      1,262,705      2,499,728          138,475          272,050      3,938,915          245,911           74,316           3,238,3062004   128,479,707      1,331,519      2,105,957            86,855          255,053      4,035,040            79,635           73,080           2,812,6642005   149,665,233      1,441,899      3,790,896          142,894          326,993      4,302,849            87,940           78,404           3,553,8082006   162,294,657      2,117,630      3,869,883          138,992          270,624      4,514,654            84,954           79,100              817,7962007   188,663,068      1,251,147      7,112,870          117,854          268,967      1,793,440            84,371           64,127              796,8992008   178,930,188      1,152,322      6,571,764            64,390          226,051      2,050,000      4,455,259           79,210              655,0462009   228,806,887          935,211      5,819,565          140,488          359,451 na      4,561,059           56,602              973,3472010   325,325,793      2,200,000      9,475,362          119,726          335,040      2,172,080      8,975,507           97,796              993,1522011   415,765,068    24,714,940    12,482,829            68,220          227,173      3,316,813    11,814,544           89,600           1,472,238

Tahun

Sumber: BPS

Pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor bahan mentah sudah di depan mata, tetapi

Indonesia masih belum memiliki smelter memadai untuk mengimbangi produksi tambang.

Tercatat setidaknya ada tiga komoditas yang akan defisit smelter pada tahun 2014, yaitu

tembaga, bauksit, dan nikel. Produksi bauksit nasional pada 2011 mencapai 17,6 juta ton

(Kementerian ESDM, 2012). Saat ini, Indonesia belum memiliki smelter bauksit. Rencana

pembangunan sejumlah smelter bauksit, hingga 2014, hanya mampu menampung 7,1 juta

ton. Gap antara produksi tambang dan kapasitas smelter 10,5 juta ton, dengan asumsi

semua pembangunan smelter lancar .

Komoditas nikel mengalami hal serupa. Pertambangan nikel Indonesia menghasilkan

15,9 juta ton nikel tahun 2011. Smelter nikel eksisting Indonesia memiliki kapasitas 9,03

juta ton. Sampai dengan tahun 2014, diperkirakan akan ada tambahan sejumlah smelter

Page 33: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

27

baru, dengan kapasitas total 4,15 juta ton. Gap antara produksi tambang dan smelter pada

tahun 2014 mencapai 2,72 juta ton.

Untuk komoditas tembaga, produksi tembaga nasional tahun 2011 mencapai 20,2

juta ton, sedangkan smelter tembaga yang eksisting hanya mampu menampung 1 juta ton

(Kementerian ESDM, 2012). Adapun rencana pembangunan sejumlah smelter tembaga

hingga 2014 hanya menambah kapasitas smelter menjadi 1,2 juta ton. Setidaknya akan ada

18 juta ton tembaga yang tidak dapat diolah.

3.1. Dampak UU Minerba

Implikasi dari minimnya smelter adalah banyak bahan mentah tambang yang tidak

dapat dijual, pada akhirnya membuat pelaku tambang mengurangi kapasitas produksi atau

bahkan menutup usahanya. Hal ini akan berdampak pada tiga hal. Pertama, berkurangnya

penerimaan negara. Kedua, pengurangan tenaga kerja di sektor tambang, dan ketiga,

semakin tergerusnya neraca perdagangan.

Pertama, pendapatan pemerintah dari sektor pertambangan dapat berupa

penerimaan pajak (PPh), penerimaan bukan pajak (royalti tambang), dan deadrent (sewa

lahan). Penerimaan royalti sektor minerba mencapai Rp 13 triliun per tahun, sedangkan

pajak dari sektor tambang dan galian Rp 55 triliun (Kementerian Keuangan, 2012).

Penerimaan ini berpotensi anjlok jika produksi tambang minerba menurun.

Kedua, berkurangnya produksi tambang akan berimplikasi terhadap pengurangan

tenaga kerja. Saat ini pekerja sektor pertambangan dan galian mencapai 1,6 juta pekerja

(BPS, 2012). Angka tersebut meningkat dibandingkan Januari 2009 yang hanya 1,1 juta,

atau ada peningkatan 40 persen. Kenaikan ini disinyalir akibat peningkatan produksi

tambang secara drastis yang membutuhkan banyak tenaga kerja. Dengan adanya larangan

ekspor bahan mentah, para pekerja harus bersiap kehilangan pekerjaan. Pengurangan

tenaga kerja juga akan terjadi pada perusahaan pendukung kegiatan tambang, seperti

perkapalan dan alat berat.

Ketiga, sektor pertambangan nonmigas (termasuk minerba) menyumbang 16,28

persen ekspor nasional (BI, 2012). Apabila ekspor bahan mentah menurun akibat larangan

Page 34: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

28

ekspor, neraca perdagangan akan kian defisit. Hal ini akan berdampak terhadap kian

lemahnya nilai tukar rupiah yang mendongkrak biaya impor. Tingginya biaya impor akan

berpengaruh terhadap sejumlah produk yang masih mengandalkan komponen impor.

UU Minerba sudah ditetapkan sejak 2009, tetapi hingga kini program penghiliran

seperti jalan di tempat. Pemerintah belum berhasil menciptakan iklim usaha yang

membuat investor tertarik membangun industri smelter di Indonesia. Berdasarkan data

dari Kementerian ESDM, perusahaan yang sudah dikatakan siap dalam menghadapi UU

Minerba ini hanya sebanyak 15 perusahaan. Sedangkan masih ada 97 perusahaan yang

belum ada progres yang berarti.

Gambar 3.1. Rekapitulasi Progres Pembangunan Smelter

Sumber: Kementerian ESDM

Permasalah yang sering dihadapi oleh perusahaan dalam pembangunan smelter

adalah birokrasi dan tata ruang. Pertama, birokrasi dan regulasi di Indonesia sering

menghambat proses penghiliran. Perizinan yang rumit, pembebasan lahan, hingga

tumpang tindih peraturan menjadi penghalang utama. Contohnya, aturan divestasi

tambang menyebabkan pemilik tambang enggan membangun smelter. Aturan divestasi

tambang memaksa pemilik tambang mendivestasikan sahamnya kepada pemerintah

(pemda, BUMN, BUMD) dalam waktu 10 tahun. Apabila tambang terintegrasi dengan

smelter tentunya investor rugi besar apabila smelter yang bernilai investasi besar turut

didivestasikan.

Page 35: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

29

Kedua, tata ruang. Investasi sering terkendala ketidakjelasan tata ruang. Masih ada

tumpang tindih antara peta kehutanan, peta pertambangan, dan rencana tata ruang

wilayah. Tumpang tindih ini, misalnya dengan kawasan lain, menjadi penyebab

ketidakpastian. Ketiga, ketersediaan infrastruktur. Smelter membutuhkan infrastruktur

penunjang seperti listrik untuk menjalankan pabrik, jalan untuk mengangkut bahan mentah

dan hasil olahan, dan pelabuhan untuk mendistribusikan hasil produksi smelter. Kebutuhan

infrastruktur tersebut gagal disediakan pemerintah. Masih banyak jalan rusak, pelabuhan

yang tidak efisien, dan sulitnya mendapatkan akses listrik.

Infrastruktur listrik di daerah yang memiliki potensi tambang sering memiliki rasio

elektrifikasi rendah, seperti Sumatera Selatan sebesar 72,71 persen, Kalimantan Tengah 67

persen, Kalimantan Selatan 75 persen, dan Papua 29,25 persen. Smelter biasanya akan

dibangun dekat dengan sumber tambang agar dapat menekan biaya transportasi. Dengan

tingkat elektrifikasi rendah, investor akan berpikir dua kali sebelum membangun industri

smelter.

Selain dampak-dampak di atas, beberapa pelaku usaha pertambangan juga

memperkirakan bahwa proyek smelter ini akan selesai pada tahun 2017. Potensi

penerimaan negara dari sektor pertambangan yang hilang diperkirakan mencapai 7-8 miliar

dollar AS, dan sekitar 30.000 orang akan kehilangan pekerjaan. Dana yang hilang tersebut

sebenarnya dapat membangun pabrik “Sponge Iron” (Sponge Iron adalah produk dari

pengolahan pasir besi maupun bijih besi) sebanyak 2000 unit dengan asumsi pembangunan

pabrik dengan kapasitas 100 ton/hari berkisar Rp 40 milyar dengan lama pembangunan

sekitar 6 bulan per pabrik. Jika seluruh pabrik didistribusikan ke seluruh provinsi di

Indonesia, maka setiap provinsi akan memiliki 60 unit pabrik pengolahan.

Kedua, jumlah tenaga kerja yang hilang akibat berhentinya sektor pertambangan

sebanyak 30.000 orang di seluruh Indonesia. Dengan dibangunnya 2000 unit pabrik

tersebut, maka akan diperlukan tenaga kerja langsung maupun tidak langsung sebanyak

100 orang/pabrik. Maka untuk keseluruhan akan dibutuhkan tenaga kerja sebanyak

200.000 orang, defisit 170.000 orang tenaga kerja.

Page 36: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

30

Ketiga, dengan adanya 2000 unit pabrik tersebut dengan kapasitas 100

ton/hari/pabrik maka total akan dihasilkan sponge iron sebanyak 70 juta ton per tahun,

sebanyak 10 juta ton untuk memenuhi kebutuhan di dalam negeri dengan harga berkisar

400 dollar AS/ton, sisanya sebanyak 60 juta ton bisa diekspor ke luar negeri karena sudah

memenuhi syarat Peraturan Menteri ESDM dengan asumsi harga 400 dollar AS/ton maka

akan didapat devisa sebesar 24 miliar dollar AS (Rp 240 Trilyun).

3.2. Strategi Jalan Keluar

Pemerintah dan DPR hanya mempunyai dua opsi jalan keluar. Pertama, melakukan

penundaan dari pelaksanaan pelarangan ekspor bahan mentah, yang berarti merevisi

undang-undang. Kedua, menjalankan pelarangan ekspor dan menanggung segala biaya

yang diakibatkannya.

Opsi pertama merupakan jalan aman yang minim konflik, tetapi menunjukkan

ketidaktegasan pemerintah. Jika opsi ini dijalankan tentu harus dimulai dari pembahasan

revisi UU Minerba. Lalu, pemerintah harus memberlakukan bea keluar dan pajak yang

besar bagi perusahaan yang melakukan ekspor bahan mentah sehingga menjadi disinsentif

pengusaha tambang.

Dengan adanya disinsentif tersebut diharapkan pengusaha tambang dapat

mengerem tingkat produksinya hingga setidaknya mendekati level pada tahun 2009, dan

mulai berinvestasi di bidang industri hilir. Selain itu, jika opsi ini dilakukan, pemerintah

harus mengambil berbagai kebijakan yang mendukung munculnya industri hilir. Dengan

demikian, meski ada penundaan, industri smelter tetap dibangun.

Kebijakan yang diambil dapat berupa pembangunan smelter yang berbasis wilayah.

Pemerintah menetapkan zona atau kawasan yang akan menjadi sentra industri hilir di

beberapa lokasi dan membangun infrastruktur penunjang. Lalu, pemerintah melalui BKPM

dapat menawarkan sentra-sentra tersebut kepada investor. Apabila opsi kedua diambil,

Indonesia akan menghadapi guncangan ekonomi cukup besar. Oleh sebab itu, pemerintah

diharapkan menyiapkan bantalan pengaman agar dampaknya dapat diminimalkan.

Page 37: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

31

Bantalan tersebut dapat berupa jaminan sosial dan pelatihan bagi karyawan yang terkena

PHK.

Pilihan yang akan diambil sangat bergantung pada kepemimpinan dan integritas DPR

dan pemerintah. Penghiliran merupakan proyek besar bangsa Indonesia, yang sayangnya

masih dikerjakan setengah hati.

Pemerintah masih setengah hati dalam menyediakan regulasi dan infrastruktur yang

menunjang investor dalam membangun smelter. Sektor swasta masih setengah hati

mengambil risiko dan sedikit berkorban untuk membangun smelter. Proyek sebesar ini

sudah selayaknya dilaksanakan dengan sepenuh hati sehingga seluruh masyarakat

Indonesia dapat merasakan dampak positif dari penghiliran ini.

3.3. Target Ekspor Tambang dan Mineral

Kebijakan ini tentu saja menghasilkan dampak buruk dan baik di industri

pertambangan. Dampak buruk itu akan terkena pada industri dengan skala kecil dan

menengah. Industri ini akan segera gulung tikar karena tidak mempunyai modal untuk

membangun smelter. Tidak terkecuali itu, perusahaan besar yang tidak mempunyai cukup

modal untuk membangun smelter akan segera menutup perusahaannya. Langkah ini

diambil untuk mengamankan posisi keuangan mereka, agar tidak rugi. Memang benar,

mereka masih bisa menambang, tapi mereka tidak bisa menjualnya. Industri

pengolahannya belum ada, sehingga mereka kesulitan untuk mengekspor atau menjual

mineral mereka.

Bila perusahaan tutup, maka yang akan terjadi adalah pemutusan hubungan kerja.

Contoh kasusnya adalah seperti di Kepulauan Riau. Di kepulauan Riau ini ada sekitar 20-an

usaha tambang bauksit yang menghentikan operasionalnya sementara dan merumahkan

sekitar total 4000-an karyawan dari 20 perusahaan tersebut sambil menunggu

“perubahan” permen ini. Hal ini dilakukan karena meskipun produksi tetap diizinkan

namun hasilnya mau dibawa kemana pasca larangan ekspor tersebut, karena belum ada

satupun perusahaan pengolahan biji bauksit didalam negeri yang menampung hasil

Page 38: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

32

tambang mereka. Bila perusahaan tutup dan banyak karyawan yang di PHK, maka APBD

daerah tersebut akan berkurang.

Kebijakan ini tentu saja mempunyai manfaat atau keuntungan sendiri. Penambahan

nilai jual mineral tentu saja akan kita dapatkan. Contohnya seperti ini, harga nikel mentah

setingkat 2000 dollar AS per ton. Setelah jadi ferro nikel, harganya jadi 17.000 dollar AS per

ton sesuai LME. Meningkat pesat atau hampir sembilan kali lipat dari harga normal. Tentu

saja keuntungannya akan lebih banyak lagi daripada kita hanya menjual raw material saja.

Menambah tenaga kerja yang diserap dan peningkatan mutu sumberdaya manusia

adalah manfaat sekundernya. Hal ini akan tercapai bila banyak pabrik pengolahan dan

pemurnian mineral didirikan. Tentu saja banyak pekerja yang akan diserap dan

membutuhkan tenaga ahli-tenaga ahli untuk menangani masalah-masalah dalam industri

ini. Selain dua manfaat diatas, manfaat yang akan timbul lagi adalah terkontrolnya ekspor

mineral. Tidak ada penjualan barang mentah ke luar negeri, atau tidak adanya penjualan

tanah air kita begitu saja.

Dengan adanya kebijakan penerapan Bea Keluar (BK) ekspor, maka dalam jangka

pendek penjualan ore secara besar-besaran dapat ditekan sehingga berimplikasi terhadap

perlambatan ekspor mineral tambang. Dari hasil perhitungan, pada tahun 2014,

diproyeksikan ekspor total mineral dan tambang akan mengalami penurunan, namun akan

meningkat pada tahun 2018 dan 2019. Hal ini disebabkan kesiapan perusahaan-perusahaan

tambang dalam membangun smelter dalam upaya mengolah hasil ore tambang mineral.

Estimasi pengurangan ekspor akibat dari diterapkannya kebijakan pelarangan ekspor raw

material mineral tambang :

Page 39: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

33

Tabel 3.2. Estimasi Ekspor Tambang Mineral

Sumber: Hasil Perhitungan Puska Daglu

Ada beberapa skenario estimasi ekspor tambang dan mineral yaitu pertama skenario

tanpa kewajiban hilirisasi sesuai UU No. 4 Tahun 2009 atau dengan kata lain ekspor ores

tetap dilakukan dengan pertumbuhan ekspor seperti tahun 2008-2012 sebesar 10% per

tahun maka estimasi ekspor ores akan terus bertambah tiap tahun dan tidak akan ada

ekspor olahan. Pada skenario kedua (skenario pesimis) yaitu ekspor dengan kewajiban

hilirisasi sesuai UU No. 4 Tahun 2009 dan pertumbuhan ekspor olahan sebesar 10% per

tahun, apabila perusahaan yang mengajukan ijin smelter dapat beroperasi, maka di tahun

2014 ekspor ores akan berkurang sebesar USD 7,13 miliar dan pengurangan tersebut

semakin membesar tiap tahun. Dengan kata lain, ekspor olahan mineral akan bertambah

sebesar USD 1,57 miliar pada tahun 2014 dan akan terus meningkat sebesar USD 2,31

miliar pada tahun 2018. Sementara dengan skenario ketiga (skenario optimis) yaitu ekspor

dengan kewajiban hilirisasi sesuai UU No. 4 Tahun 2009 dan pertumbuhan ekspor olahan

sebesar 25% per tahun, maka akan meningkatkan ekspor mineral tambang olahan

mencapai USD 1,97 miliar di tahun 2014 dan akan terus bertambah sebesar USD 9,84 miliar

Page 40: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

34

di tahun 2018. Sehingga kehilangan ekspor akibat kebijakan pelarangan ekspor raw mineral

tambang mencapai USD 0,59 miliar di tahun 2018. Diharapkan perusahaan smelter

tambang akan berkembang lebih baik dengan peningkatan kapasitas 25% per tahun,

sehingga kehilangan ekspor raw mineral tambang dapat ditutupi pada tahun 2019 pada

opsi optimis.

3.4. Hasil Survei

Survei dilakukan di Provinsi Banten karena sebagian besar industri pengolahan

tambang dan mineral berada di wilayah tersebut. Selain itu, kajian ini juga menggali

informasi dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Provinsi Banten. Hasil survei tersebut

antara lain:

1. PT. Krakatau Posco

PT. Krakatau Posco yang berstatus PMA dengan rencana hasil produksinya berupa Sleb

dan Plat ini telah siap beroperasi di tahun 2014. Progres kesiapan fasilitas pengolahan

dan pemurnian perusahaan ini hingga bulan Oktober tahun i2013 telah mencapai 98%

dan diperkirakan pada tanggal 23 Desember 2013 akan mencapai 100% . Perusahaan

yang akan memproduksi Sleb dan Plat ini memiliki kapasitas produksi sebesar 3 Juta ton

dengan rincian sebanyak 1 Juta ton akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan bahan

baku ke Krakatau Stel, 2,5 Juta ton akan diproduksi menjadi Plat dan 500 ribu lagi akan

di ekspor ke Asia Tenggara.

Terkait dengan kebijakan pelarangan ekspor raw material tambang dan mineral

sebagaimana tertuang didalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara yang akan berlaku efektif bulan Januari 2014, perusahaan ini telah

menyatakan kesiapanya untuk menyongsong pelaksanaan kebijakan dimaksud. `

2. PT. Indo Ferro

Perusahaan yang menghasilkan Nikel Pig Iron , ini berstatus PMA dan berdiri mulai

tahun 2008 dengan jumlah tenaga kerjanya sebanyak 1.200 orang. Adapun kapasitas

Page 41: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

35

produksi perusahaan ini mencapai 1 Juta ton dan realisasinya berkisar 500.000 ton.

Dalam menghadapi pelaksanaan kebijakan pelarangan ekspor raw material sebagaimana

tertuang di dalam UU No . 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara

yang akan dilaksanakan pada bulana Januari 2014, perusahaan ini telah menyatakan

kesipanya (100%) dan sangat optimis dengan harapan pelksanaan kebijakan tersebut

jangan sampai ditunda-tunda lagi.

Hasil produksi yang berupa Nikel Pig Iron sebesar 50% diperuntukan untuk memenuhi

kebutuhan industry dalam negeri dan 50% lagi adalah untuk di ekspordengan tujuan

India dan Taiwan.

3. PT.Century Metalindo

PT. Century Metalindo yang berdiri pada tahun 2009 ini berstatus sebagai perusahaan

status PMA dengan jumlah tenaga kerjanya sebanyak 200 orang. Produk yang dihasilkan

adalah berupa Silika Mangan dengan bahan bakunya berupa batu mangan, batu silika

dan kapur yang didatangkan dari Sumatera, Nusa Tenggara Timur dan sebagian dari

Jawa Timur. Kapasitas produksi Silika Mangan dari perusahaan ini mencapai 2500 ton

per bulan. Hasil produksi dari perusahaan ini sebesar 50% di jual ke pabrik baja Krakatau

Stel dan 50% nya lagi di ekspor ke Jepang.

Berkaitan dengan akan diberlakukan pelarangan ekspor raw material tambang dan

mineral sebagaimana tertuang didalam UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara yang akan dilaksanakan pada bulan Januari 2014, perusahaan ini

telah menyatakan kesiapanya dan memberi masukan agar pelaksanaan kebijakan ini

jangan sampai ditunda lagi hanya karena adanya lobi-lobi perusahaan yang tidak

bertanggung jawab. Bahkan perusahaan menyatakan kesiapanya sebagai konsultan bagi

perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang mineral tambang yang akan

membangun sebuah smelter (pengolahan dan pemurnian) mineral tambang.

Page 42: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

36

4. Disperindag Banten

Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh salah satu pejabat di Disperindag Banten

terkait akan diterapkanya pelarangan ekspor raw material tambang dan mineral

sebagaimana tertuang didalam UU No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral

dan Batubara pada bulan Januari 2014, dimana jumlah perusahaan yang bergerak

dibidang pengolahan tambang dan mineral di wilayah propinsi Banten sekitar 6

perusahaan. Dari ke 6 perusahaan tersebut, sampai saat ini sebagian besar (67%) telah

melakukan pembangunan fisik smelter dan sisanya (33%) dalam taraf penyelesaian akhir

pembangunan smelter hingga bulan Desember 2013 dan menyatakan kesiapanya untuk

dioperasikan pada bulan Januari 2014

5. Kesimpulan:

Berdasarkan hasil wawancara dilapangan terhadap beberapa perusahaan yang bergerak

dibidang tambang dan mineral (PT. Krakatau Posco, PT. Indo Ferro dan PT.Century

Metalindo) diwilayah Propinsi Banten terkait dengan akan diberlakukan kebijakan

pelarangan ekspor raw material tambang dan mineral pada bulan Januari 2014

sebagaimana tertuang didalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang

Pertambangan Mineral dan Batubara, dapat digaris bawahi bahwa sebagian besar

perusahaan-perusahaan pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral telah

menyatakan kesiapanya untuk menyongsong pelaksanaan kebijakan tersebut di tahun

2014. Diharapkan pelaksanaan kebijakan tersebut, jangan sampai ditunda-tunda lagi

hanya karena memperhatikan lobi-lobi dari para pemilik perusahaan tambang dan

mineral yang tidak bertanggung jawab, bahkan perlu pemberian sanksi bagi perusahaan

yang melanggar aturan seperti pencabutan Ijin Usaha Pertambanganya

Page 43: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

37

BAB IV

PENUTUP

4.1. Simpulan

1. Dengan skenario pertama, apabila ke 9 perusahaan yang mengajukan ijin smelter dapat

beroperasi di tahun 2014, maka ekspor ores atau raw material akan terus meningkat

tiap tahun sebesar USD 7,13 miliar di tahun 2014 dan dapat menjadi USD 10,44 miliar

pada tahun 2018. Selain itu, tidak akan ada ekspor untuk olahan mineral.

2. Dengan skenario pesimis, ke 9 perusahaan yang mengajukan ijin smelter diasumsikan

beroperasi tahun 2014, maka akan meningkatkan ekspor olahan mineral tambang USD

1,57 miliar (kapasitas 10%), sehingga kehilangan ekspor akibat kebijakan pelarangan

ekspor raw mineral tambang USD 5,55 miliar.

3. Dengan skenario optimis, ke 9 perusahaan yang mengajukan ijin smelter dapat

beroperasi di tahun 2014 dengan kapasitas 25% (USD 1,97 miliar), sehingga kehilangan

ekspor akibat kebijakan pelarangan ekspor raw mineral tambang USD 5,16 miliar.

Dengan asumsi terjadi peningkatan kapasitas 25% per tahun, maka kehilangan ekspor

raw mineral tambang dapat ditutupi pada tahun 2019 (optimis).

4.2 Rekomendasi

1. Untuk meningkatkan nilai tambah produk tambang dan mineral dalam rangka

peningkatan ekspor, perlu adanya kebijakan terpadu berupa SK bersama antar

Kementerian teknis terkait guna menciptakan iklim investasi yang kondusif bagi investor,

mendorong ketersediaan energi untuk dapat memenuhi kebutuhan industri khususnya

bagi industry pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral serta menyiapkan

infrastruktur yang memadahi.

2. Perlu dukungan fasilitas yaitu kemudahan perizinan dan insentif berupa pajak bagi

pelaku usaha Smelter untuk dapat segera menyelesaikan progres kesiapan

pembangunan pengolahan dan pemurnian tambang dan mineral.

Page 44: Analisis Dampak Kebijakan Larangan Ekspor

38

DAFTAR PUSTAKA

Gocht, WR., Zantop,H., Eggert, RG., 1988, International Mineral Economic, Mineral Exploration,

Mine Valuation, Mineral Markets, International Mineral Policies, Springer Verlag Berlin

Heidelberg.

http : //www. Smelting.co.id, 2009, PT Smelting Gresik Copper Smelter and Refinary.

Katili, J.A., 1979, Peranan pemerintah dalam manajemen sumber mineral, Majalah Survei dan

Pemetaan No. 13/IV/1979.

Sarno Harjanto, 1996, Potensi dan prospek beberepa jenis bahan galian industri di Indonesia,

Direktorat Sumber Daya Mineral Bandung.

Silitoe, R.H., 1994, Indonesian minerals deposits-introductory comments, camparisons and

speculation, Journal of Geochemical Exploration, Volume 50-NOS.1-3 March 1994,

Elsevier.

US Geological Survey, 2008, Mineral Commodity Summaries 2008, United Government Printing

Washington Van Leeuwen, T.M., 1994, 25 Years of minerals exploration and discovery in

Indonesia, Journal of Geochemical Exploration, Volume 50-NOS.1-3 March 1994, Elsevier.