Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR EKONOMI DAN NONEKONOMI YANG
MEMENGARUHI ANAK PUTUS SEKOLAH DAN STRATEGI
MENGATASINYA
1Rokhmaniyah, 1Siti Fatimah, 1Kartika Chrysti S., 2Umi Mahmudah
1)UNS FKIP PGSD Kebumen 2)IAIN Pekalongan
E-mail: [email protected]
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk: 1) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi anak
putus sekolah pada jenjang pendidikan dasar di Kabupaten Kebumen tahun 2020, 2) mendeskripsikan faktor yang paling dominan, 3) menganalisis dampak yang terjadi adanya anak putus sekolah, 4) menemukan strategi untuk menekan anak putus
sekolah. Penelitian ini merupakan penelitian mixed methods dengan model desain sequential exploratory. Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan jumlah sampel sebanyak 144 siswa putus sekolah yang tersebar di 7 kecamatan yaitu kec. Kebumen, kec. Karangsambung, kec. Karanggayam, kec. Puring, kec. Rowokele, kec. Sempor, dan kec. Buayan. Instrumen pengambilan data terdiri dari
lembar angket, lembar observasi, lembar wawancara, dan dokumentasi. Teknik analisis data penelitian terdiri dari dua tahap: pertama penelitian kualitatif terdiri dari data collection, data reduction, data display, and conclusions. Kedua, penelitian kuantitatif menggunakan teknik analisis Fuzzy Structural Equation Modelling (FSEM). Hasil penelitian menunjukkan bahwa: 1) Faktor-faktor yang memengaruhi angkat putus
sekolah di Kabupaten Kebumen meliputi: faktor ekonomi dan faktor nonekonomi. Mayoritas faktor yang memengaruhi anak putus sekolah yaitu rendahnya kemampuan anak dalam berpikir; keluarga yang broken home; budaya; dan sistem zonasi; 2) Faktor
yang paling dominan dalam memengaruhi anak putus sekolah di Kabupaten Kebumen adalah faktor ekonomi; 3) Dampak yang terjadi adanya anak putus sekolah adalah
kesulitan mencari kerja, masuk kelompok “Anak Punk” (anak bradalan), menikah usia muda dan mendapatkan penghasilan keluarga yang rendah, memperbanyak pengangguran, meresahkan masyarakat, menjadi generasi yang kurang berwawasan,
mempengaruhi kualitas pendidikan, dan melemahkan sektor ekonomi; 4) Strategi untuk menanggulangi anak putus sekolah adalah menambahkan tempat dan pengelola
pendidikan nonformal kejar paket A di lokasi/desa terpencil, menambahkan penyelenggaraan sekolah inklusi, memberdayakan aparat desa beserta darma wanitanya untuk aktif memberikan pengawasan dan berperan aktif
mencegah/mengatasi anak putus sekolah, menambahkan subsidi pembiayaan pendidikan untuk keluarga tidak mampu, meningkatkan pengawasan terhadap penyaluran subsidi pembiayaan pendidikan tepat sasaran, menerbitkan peraturan desa
tentang wajib belajar 9 tahun sebagai persyaratan pernikahan, sistem zonasi untuk penerimaan siswa baru ditinjau ulang khususnya untuk daerah terpencil, sistem zonasi
penerimaan siswa baru agar memprioritaskan kepada lingkungan penduduk terdekat satuan pendidikan, dan keterlibatan orang tua dan masyarakat akan pentingnya pendidikan anak.
Kata kunci: faktor ekonomi, faktor nonekonomi, anak putus sekolah, strategi mengatasi
anak putus sekolah
2
PENDAHULUAN Perkembangan ilmu penge-
tahuan dan teknologi, serta perubahan lingkungan di abad XXI
semakin pesat. Kondisi tersebut memunculkan adanya dominasi
peradaban yang kemudian menyebabkan benturan. Keadaan inilah yang menuntut adanya peran
dunia pendidikan untuk membangun peradaban bangsa yang didasarkan
atas jati diri bangsa. Peran strategis pemba- ngunan
bidang pendidikan untuk
mewujudkan manusia Indonesia yang memiliki jati diri dan karakter
bangsa menjadi sangat penting. Pada periode 2010-2035, Indonesia
harus melakukan investasi besar- besaran dalam bidang pengem- bangan SDM sebagai upaya
menyiapkan generasi emas tahun 2045, satu abad kemerdekaan
Indonesia. Fondasi untuk me- nyiapkan generasi emas pada tahun
2045 adalah penyelenggaraan pendidikan dasar yang berkualitas.
Pada laporan tahunan World Ekonomi Forum (WEF) tahun 2018
yang dirilis pada hari Rabu
(17/10/2018) oleh Kompas.com dinyatakan bahwa peringkat daya
saing Indonesia naik dua peringkat ke angka 45 dari 140 negara.
Indonesi hanya unggul pada unsur pangsa pasar dengan skor 81,6 atau peringkat 8 global, jika dibandingkan
dengan Negara Singapura, Malaisia, dan Thailand. Berdasarkan laporan
WEF tersebut di atas, Indonesia belum berhasil pada banyak aspek termasuk pendidikan. Tingginya
angka putus sekolah juga menjadi penyebab menurunnya indeks daya
saing bangsa. Berdasarkan Data Pokok
Pendidikan dan Laporan individu Sekolah tahun 2019, APtS di Kabupaten Kebumen pada jenjang
SD sebanyak 73 anak. Pada jenjang SMP/MTs APtS sebanyak 99 anak.
Pada tahun 2019, anak putus sekolah pada jenjang pendidikan dasar di
Kabupaten Kebumen terjadi di 20 kecamatan dari 26 kecamatan. Angka paling tinggi di kecamatan
Rowokele, yaitu sebanyak 32 anak.
Tabel 1. Jumlah Angka Putus Sekolah Pendidikan Dasar
di Kab Kebumen Tahun 2019
(Sumber: Dinas Pendidikan Kab. Kebumen)
No Kecamatan Jml. APTs
No Kecamatan Jml. APTs
No Kecamatan Jml. APTs
1 Adimulyo 0 10 Karanggayam 25 19 Petanahan 2
2 Alian 2 11 Karangsambung 30 20 Poncowarno 0
3 Ambal 3 12 Kebumen 9 21 Prembun 2
4 Ayah 1 13 Klirong 7 22 Puring 12
5 Bonorowo 0 14 Kutowinangun 1 23 Rowokele 32
6 Buayan 16 15 Kuwarasan 2 24 Sadang 1
7 Buluspesantren 1 16 Mirit 1 25 Sempor 20
8 Gombong 8 17 Padureso 2 26 Sruweng 2
9 Karanganyar 5 18 Pejagoan 7
3
Faktor putus sekolah bisa disebabkan dari faktor ekonomi dan
nonekonomi. Faktor ekonomi adalah faktor yang berkaitan dengan
keuangan, sedangkan faktor non ekonomi berkaitan dengan kondisi
kehidupan yang tidak berkaitan dengan keuangan. Faktor ekonomi misalnya tingkat kemiskinan
(pemenuhan sandang, pangan, dan papan). Faktor nonekonomi misalnya
faktor geografis (tempat tinggal yang jauh dari lokasi sekolah), kecerdasan yang rendah, motivasi rendah,
lingkungan rumah tidak mendukung, dan sebagainya. Berdasarkan hasil
survei pendahuluan di kecamatan Buluspesantren dan Kebumen pada
bulan Maret 2020, faktor penyebab anak putus sekolah antara lain karena faktor ekonomi, sistem
seleksi berdasarkan zonasi, keluarga broken home, dan rendahnya
kecerdasan. Keadaan ini harus mendapatkan perhatian yang serius
dari pemerintah daerah.
Dari uraian di atas, penting kiranya dilakukan penelitian tentang
analisis faktor-faktor yang mem- pengaruhi APtS di Kabupaten
Kebumen dan strategi cara mengatasinya. Penelitian ini akan
menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi APtS di Kabupaten Kebumen secara rinci dan berusaha
menemukan strategi mengatasinya.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian kombinasi (Mixed Methods) dengan menggunakan model desain sequential exploratory.
Model desain sequential exploratory adalah metode penelitian kombinasi
yang menggabungkan metode penelitian kualitatif dan kuantitatif secara berurutan, tahap pertama
penelitian menggunakan metode kualitatif dan tahap kedua
menggunakan metode kuantitatif (Sugiyono, 2013).
Gambar 2. Desain Penelitian Metode Kombinasi Sequential Exploratory Design
(Sumber: Sugiyono, 2013)
4
Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 15 Juni - 30 September 2020
(3,5 bulan) yang dilaksanakan di 7 kecamatan, yaitu: Rowokele,
Sempor, Karangsambung, Kebumen, Puring, Buayan, dan Karanggayam.
Teknik sampel menggunakan teknik purposive sampling dengan pertimbangan ketujuh kecamatan
tersebut adalah kecamatan yang memiliki angka putus sekolahnya
tinggi dibandingkan dengan keca- matan lain di Kabupaten Kebumen yang lain. Selain itu, penentuan
sampel juga dengan memper- timbangkan kondisi geografis daerah
pegunungan, pantai, desa, dan kota dengan dasar pemikiran memiliki
latar belakang geografis yang berbeda. Sumber data terdiri dari 144 anak putus sekolah baik di
jenjang SD maupun SMP/MTs, kepala sekolah dan guru, orang
tua/keluarga anak putus sekolah, kepala UPT Dinas Pendidikan. Cara
pengambilan data meliputi wawan- cara, observasi, studi dokumen, FGD, dan kuesioner.
Teknik uji keabsahan penelitian kualitatif dengan triangulasi teknik
dan triangulasi sumber. Sedangkan
validitas dan reliabilitas konstruk dari indikator-indikator (item-item)
pembentuk konstruk laten dianalisis dengan Confirmatory Factor Analysis (CFA). Teknik analisis data pada tahap pertama menggunakan
menggunakan model yang dikembangkan oleh Miles and Huberman yaitu data collection, data reduction, data display, and conclusions. Sedangkan pada tahap
kedua menggunakan teknik analisis Fuzzy Structural Equation Modelling (FSEM).
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Deskripsi Umum Anak Putus Sekolah
Anak putus sekolah di Kab. Kebumen memiliki rata-rata usia sekitar 13 tahun dengan usia paling
besar adalah 19 tahun dan usia paling kecil adalah 7 tahun dengan
standar deviasi sebesar 2,41. Anak putus sekolah mayoritas berasal dari
orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan lulusan SD/MI/Paket A. Berikut adalah
gambaran umum latar belakang pendidikan orang tua anak putus
sekolah.
Gambar 4. Deskripsi Latar Belakang Pendidikan Orang Tua
Anak Putus Sekolah
28%
88,09%
6,25% 4%0%
10%20%30%40%50%60%70%80%90%
100%
5
Berdasarkan gambar 4 anak putus sekolah berasal dari latar
belakang pendidikan orang tua lulusan SD/MI/Paket A yaitu sebesar
88,09%. Sedangkan sebanyak 28% berasal dari orang tua yang tidak
mengenyam pendidikan. Latar belakang pendidikan orang tua memiliki pengaruh yang tinggi
terhadap pendidikan anak. Khan, dkk (2017) menjelaskan bahwa
rendahnya pendidikan orang tua dapat menyebabkan anak putus sekolah. Dijelaskan pula oleh Putri,
dkk (2018) yang menghasilkan temuan bahwa beberapa penyebab
anak putus sekolah adalah persepsi orang tua anak putus sekolah
tentang pendidikan formal rendah dan tingkat pendidikan formal orang tua anak putus sekolah juga rendah.
2. Faktor-Faktor yang
Memengaruhi Anak Putus Sekolah
a. Faktor Ekonomi Faktor ekonomi memengaruhi
anak putus sekolah. Faktor ekonomi
yang berkaitan dengan pekerjaan orang tua/wali siswa, pendapatan/
penghasilan per bulan, beban biaya keluarga, dan kondisi geografis
wilayah tempat tinggal dapat mengakibatkan lancar / tidaknya pembayaran uang sumbangan
pembangunan dan bulanan, ter- penuhi /tidaknya pembelian alat-alat
sekolah, terpenuhi/tidaknya uang saku, dan tuntutan untuk membantu orang tua mencari nafkah. Berkaitan
dengan indikator faktor ekonomi tersebut maka anak yang putus
sekolah lebih tertarik bekerja untuk mendapatkan uang, misalnya
membantu orang tua melakukan pekerjaan mengunduh air nira/ Nderes.
Gambar 5. Deskripsi Anak Putus
Sekolah yang Membantu dan Tidak Membantu Bekerja
Gambar 5 menunjukkan
bahwa sebanyak 45% anak yang
putus sekolah memang berusaha bekerja untuk membantu beban
ekonomi orang tua. Sedangkan berdasarkan hasil analisis angket,
meskipun masih ada orang tua yang sebenarnya mendukung anak untuk sekolah dan melanjutkan sekolah,
namun mayoritas orang tua anak putus sekolah yaitu sebanyak
84,37% mendukung anak untuk bekerja dan membantu beban perekonomian keluarga.
Gambar 6. Deskripsi Harapan
Orang Tua ke Anak Putus Sekolah
Berdasarkan hasil analisis angket, mayoritas orang tua anak putus sekolah berprofesi sebagai
petani, buruh, pedagang, dan nelayan. Gambar 7 adalah gambaran
mata pencaharian orang tua anak putus sekolah.
45%55%
0%10%20%30%40%50%60%
Berusaha BekerjaMembantu Ortu
Tidak BekerjaMembantu Ortu
84,37%
15,63%
0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
80,00%
100,00%
Mendukung anakbekerja
Mendukung anaksekolah
6
Gambar 7. Deskripsi Profesi Orang Tua Anak Putus Sekolah
Sedangkan penghasilan per-
bulan dari orang tua anak putus sekolah berkisar Rp 500.000,00 - Rp
1.000.000,00. Deksripsi penghasilan orang tua anak putus sekolah secara
lengkap dapat dilihat pada gambar 8.
Gambar 8. Deskripsi Penghasilan Orang Tua Anak Putus Sekolah
Sedangkan tanggungan anak dalam keluarga mayoritas adalah
sebanyak 2-4 anak. Berikut adalah gambaran jumlah tanggungan anak
dalam keluarga yang memiliki anak putus sekolah.
Gambar 9. Deskripsi Jumlah Tanggungan Anak dalam Keluarga
Anak Putus Sekolah
b. Faktor Nonekonomi 1) Kemampuan berpikir
Kemampuan berpikir yang rendah menyebabkan anak tersebut
tidak tertarik pada pembelajaran di sekolah. Hasil pembelajaran dan tes
selalu menunjukkan pada skore yang di bawah rata-rata dan tidak mencapai kriteria ketuntasan
minimal. kemampuan berpikir yang rendah menyebabkan anak malas
berpikir dan tidak tertarik untuk melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Ia lebih senang bebas atau
berkebun tanpa beban pikiran dibandingkan sekolah. Hasil
wawancara terhadap anak yang putus sekolah akibat kemampuan
berpikinya yang rendah dinyatakan bahwa lebih senang bermain-main dibandingkan bersekolah dan
membantu orang tua dibandingkan sekolah. Hasil wawancara terhadap
gurunya dinyatakan bahwa anak yang putus sekolah karena
kemampuan berpikir, membaca ,dan menulis yang rendah. Gambar 10 adalah deskripsi anak putus sekolah
yang tidak senang belajar memerlukan pikiran.
Gambar 10. Deskripsi Anak Putus Sekolah yang Tidak
Senang Belajar Memerlukan Pikiran
Berdasarkan gambar 10
sebanyak 59% anak putus sekolah
dikarenakan tidak senang belajar yang memerlukan pikiran.
75,18%
12,50% 17,18%
31,25%
0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
80,00%
Petani Nelayan Pedagang Buruh
41% 42,18%
14,06%
0%
10%
20%
30%
40%
50%
< 500 ribu 500 ribu-1juta
1juta-2juta
29,16%
58,33%
12,50%
0,00%
10,00%
20,00%
30,00%
40,00%
50,00%
60,00%
70,00%
<2 anak 2-4 anak >4 anak
59%41%
Anak Tidak Senang Belajar Berpikir
Anak Senang Belajar Berpikir
7
Berdasarkan hasil analisis, anak yang putus sekolah karena memiliki
kemampuan berpikir yang rendah juga kurang memiliki semangat
yang tinggi untuk sekolah yaitu sebanyak 59% responden, seperti
yang dapat dilihat pada gambar 11.
Gambar 11. Deskripsi Anak Putus
Sekolah yang Tidak Semangat ke Sekolah
Simic & Krstic (2017) menyebutkan faktor dalam diri anak
menjadi salah satu penyebab anak putus sekolah seperti prestasi
akademik dan motivasi belajar yang rendah. Begitu juga dijelaskan oleh Owusu-Boateng, dkk. (2015) bahwa
anak-anak cenderung akan lebih besar putus sekolah karena
ketidakmampuan mereka untuk memenuhi standar belajar di
sekolah. Rendahnya kemampuan anak dalam berpikir membuat anak merasa minder dan tidak percaya
diri. 2) Keluarga broken home
Beberapa anak putus sekolah berasal dari orang tua yang memiliki latar belakang pendidikan lulusan
SD/MI/Paket A sehingga menye- babkan orang tua untuk bekerja lebih
keras untuk mendapatkan peng- hasilan yang lebih baik. Banyak
orang tua anak putus sekolah akhirnya merantau dan memiliki keluarga baru sehingga kurang
memberi perhatian kepada anaknya
yang ditinggalkan. Ada juga yang orang tua merantau kemudian hanya
memberi perhatian terhadap anak berupa uang. Anak ditinggal dengan
pembantu yang masih saudara atau ditinggal bersama nenek/kakek.
Berdasarkan hasil analisis angket, mayoritas anak yang putus sekolah tidak tinggal bersama orang tua
secara utuh. Sebanyak 57,63% anak berasal dari lingkungan keluarga
yang telah berpisah/bercerai sehingga perhatian dari orang tua sangat minim.
McMillen Kaufman & Whitener dalam Suryadi (2014: 112)
menjelaskan bahwa perhatian orang tua, hubungan orang tua yang
kurang harmonis, dan latar belakang pendidikan orang tua sehingga menyebabkan dorongan anak
bersekolah juga rendah sehingga berpotensi untuk anak putus
sekolah. Begitu juga yang dijelaskan oleh Talakua (2018) bahwa
perhatian orang tua yang kurang dan lebih banyak tercurah pada upaya untuk memenuhi kebutuhan
keluarga dapat menyebabkan anak putus sekolah.
3) Budaya dan lingkungan Kegiatan kesenian tradisional
(misalnya kuda lumping) yang dilakukan oleh masyarakat memberikan persuasi kepada anak
usia sekolah dasar untuk bergabung. Hal ini didukung oleh orang tua/wali
anak tersebut dikarenakan sebagai tontonan tanggapan yang mendapatkan uang. Selain itu ada
juga anak yang bermalas-malas lebih tertarik bermain merpati diban-
dingkan bersekolah. Selanjutnya, budaya merantau tanpa melanjutkan
atau menyelesaikan sekolah juga berpengaruh terhadap anak untuk putus sekolah. Hal ini berkaca
kepada salah seorang di daerahnya
59%41%
Anak Tidak Semangat ke Sekolah
Anak Semangat ke Sekolah
8
yang sukses menjadi pengusaha di kota besar tanpa dengan
menyelesaikan / melanjutkan sekolahnya di jenjang pendidikan
dasar. Bahkan pengusaha tersebut mampu menarik beberapa karyawan
dari desanya untuk bekerja di sana. Talakua (2018) menjelaskan
bahwa budaya dan lingkungan
masayarakat berpengaruh terhadap anak putus sekolah. Mereka
beranggapan tanpa bersekolah pun anak-anak mereka dapat hidup layak seperti anak lainnya yang
bersekolah, oleh karena di desa jumlah anak yang bersekolah lebih
banyak dan mereka dapat hidup layak maka kondisi seperti itu
dijadikan landasan dalam me- nentukan masa depan anaknya. Pandangan banyak anak banyak
rejeki membuat masyarakat di pedesaan lebih banyak mengarahkan
anaknya yang masih usia sekolah diarahkan untuk membantu orang
Tua dalam mencari nafkah. 4) Sistem Zonasi
Sistem zonasi berpengaruh
terhadap anak putus sekolah tidak mendapatkan sekolah lanjutan.
Sistem zonasi memungkinkan anak pada daerah terdekat dengan
satuan pendidikan di luar daerah tidak mendapatkan kesempatan masuk. Sedangkan untuk masuk di
sekolah daerah zonasi terlalu jauh dan sulit dijangkau.
3. Faktor Dominan yang Memengaruhi Anak Putus
Sekolah Berdasarkan hasil FGD,
Wawancara, dan observasi, dapat disimpulkan bahwa faktor dominan
anak putus sekolah di Kabupaten Kebumen adalah karena
ekonomi. Faktor ekonomi berkaitan dengan biaya yang harus
ditanggung oleh orang tua untuk membiayai hidup keluarganya
berpengaruh terhadap keber- lanjutan anaknya mengikuti pendidikan di sekolah. Walaupun
bantuan pemerintah telah diberikan, tetapi kondisi yang ada untuk
kebutuhan hidup sehari-hari kurang terpenuhi sehingga anak tersebut memilih membantu orang tua
bekerja untuk mendapatkan uang. Oleh karena itu, kadang terjadi
bantuan yang diberikan kepada anak untuk biaya sekolah tidak
digunakan sebagaimana mestinya. Hal ini diperkuat oleh Badan
Pusat Statistik yang menunjukkan
bahwa di tingkat provinsi dan kabupaten terdapat kelompok
anak-anak tertentu yang paling rentan dan sebagian besar berasal
dari keluarga miskin, sehingga tidak mampu melanjutkan pendidikan ke jenjang selanjutnya (Satiti, 2019).
Dilanjutkan oleh Kurebwa & Wilson (2015) bahwa faktor ekonomi
adalah faktor yang menjadi utama penyebab anak putus sekolah;
faktor kemiskinan menjadi faktor kedua yang dominan menyebabkan anak putus sekolah. Faktor
kemiskinan memberikan dampak bagi keberlangsungan pendidikan
anak yaitu orang tua cenderung kurang memotivasi anak-anaknya untuk ke sekolah.
Berdasarkan hasil analisis kuantitatif dengan menggunakan
FSEM didapatkan hasil sebagai berikut.
9
Gambar 12. Model CFA Sempurna
Tabel 2 menunjukkan regression weights dari masing-masing variabel berdasarkan indikator yang mengukurnya.
Tabel 2. Regression Weights dari Masing-Masing Variabel
Estimate S.E. C.R. p-value Keterangan
EK6 <--- Ekonomi 1,000
EK5 <--- Ekonomi 1,403 0,132 10,622 0,000 Signifikan
EK4 <--- Ekonomi 1,047 0,116 9,001 0,000 Signifikan
EK3 <--- Ekonomi 0,903 0,107 8,401 0,000 Signifikan
EK2 <--- Ekonomi 1,081 0,136 7,960 0,000 Signifikan
EK1 <--- Ekonomi 0,989 0,123 8,028 0,000 Signifikan
K6 <--- Keluarga 1,000
K5 <--- Keluarga 1,327 0,190 6,966 0,000 Signifikan
K4 <--- Keluarga 1,409 0,229 6,163 0,000 Signifikan
K3 <--- Keluarga 1,334 0,214 6,239 0,000 Signifikan
K2 <--- Keluarga 1,657 0,225 7,376 0,000 Signifikan
K1 <--- Keluarga 1,377 0,205 6,712 0,000 Signifikan
S6 <--- Sekolah 1,000
S5 <--- Sekolah 1,638 0,294 5,577 0,000 Signifikan
S4 <--- Sekolah 1,595 0,292 5,471 0,000 Signifikan
S3 <--- Sekolah 0,765 0,235 3,258 0,001 Signifikan
S2 <--- Sekolah 0,431 0,205 2,109 0,035 Signifikan
S1 <--- Sekolah 1,283 0,271 4,738 0,000 Signifikan
M3 <--- Masyarakat 1,000
10
Estimate S.E. C.R. p-value Keterangan
M2 <--- Masyarakat 0,961 0,125 7,714 0,000 Signifikan
M1 <--- Masyarakat 1,222 0,121 10,071 0,000 Signifikan
D4 <--- FaktorDiri 1,000
D3 <--- FaktorDiri 0,894 0,057 15,615 0,000 Signifikan
D2 <--- FaktorDiri 0,797 0,062 12,811 0,000 Signifikan
D1 <--- FaktorDiri 0,735 0,064 11,564 0,000 Signifikan
M4 <--- Masyarakat 1,141 0,123 9,271 0,000 Signifikan
Berdasarkan nilai p-value maka dapat dikatakan semua nilai estimates
dari regression weights adalah signifikan secara statistika karena p-value lebih kecil dari 0,05. Tabel 3 menunjukkan output AMOS yang mengilusitrasikan covariances antar variabel yang digunakan dalam penelitian ini.
Tabel 3. Covariances Antar Variabel
Estimate S.E. C.R. p-value Keterangan
Ekonomi <--> Keluarga 0,079 0,021 3,676 0,000 Signifikan
Keluarga <--> Sekolah 0,034 0,014 2,397 0,017 Signifikan
Ekonomi <--> Sekolah 0,024 0,014 1,754 0,079 Tidak Signifikan
Ekonomi <--> Masyarakat 0,041 0,021 1,933 0,053 Tidak Signifikan
Ekonomi <--> FaktorDiri 0,046 0,029 1,579 0,114 Tidak Signifikan
Keluarga <--> Masyarakat 0,055 0,021 2,584 0,010 Signifikan
Keluarga <--> FaktorDiri 0,109 0,032 3,424 0,000 Signifikan
Sekolah <--> FaktorDiri 0,086 0,026 3,356 0,000 Signifikan
Masyarakat <--> FaktorDiri 0,173 0,039 4,474 0,000 Signifikan
Sekolah <--> Masyarakat 0,090 0,022 4,011 0,000 Signifikan
Tabel 4. Nilai Estimasi dari Korelasi Antar Variabel Penelitian Estimate
Ekonomi <--> Keluarga 0,429
Keluarga <--> Sekolah 0,278
Ekonomi <--> Sekolah 0,181
Ekonomi <--> Masyarakat 0,185
Ekonomi <--> FaktorDiri 0,144
Keluarga <--> Masyarakat 0,271
Keluarga <--> FaktorDiri 0,364
Sekolah <--> FaktorDiri 0,402
Masyarakat <--> FaktorDiri 0,482
Sekolah <--> Masyarakat 0,619
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa antar variabel penelitian yang digunakan memiliki hubungan kausalitas yang positif. Misalkan faktor ekonomi dan keluarga memiliki korelasi sebesar 0,429. Tabel 5 menunjukkan tingkatan
pengaruh dari masing-masing variabel terhadap anak putus sekolah, yang mana disajikan dalam bentuk persentase.
Tabel 5. Tingkatan Pengaruh Masing-Masing Variabel Variabel Tingkat (%)
Ekonomi 58
Faktor Diri 55 Keluarga 51
Masyarakat 50 Sekolah 47
11
Dari tabel 5 dapat dilihat bahwa variabel ekonomi memiliki tingkat
pengaruh yang paling besar terhadap anak putus sekolah, yaitu
sebesar 58%, diikuti oleh variabel faktor diri yaitu sebesar 55% dan
variabel keluarga sebanyak 51%. Kemudian, diikuti oleh variabel masyarakat sebanyak 50%.
Sedangkan variabel sekolah diketahui memiliki pengaruh paling
kecil terhadap anak putus sekolah, yaitu sebesar 47%.
Berdasarkan pada tabel 5, diasumsikan bahwa pengaruh suatu
variabel dikatakan sedang dalam mempengaruhi anak putus sekolah
adalah 50%, maka diasumsikan pengaruh variabel yang bawah angka 50% dikatakan rendah
sedangkan jika di atas 50% maka dikatakan tinggi. Gambar berikut
mengilustrasikan kejadian tersebut.
Gambar 13. Ilustrasi pengaruh masing-masing variabel
menggunakan Fuzzy
Gambar 13 merepre-
sentasikan fungsi pengaruh variabel penelitian terhadap anak putus
sekolah dengan interval 25 sampai 75. Dari gambar di atas juga diketahui ada 3 bagian, yaitu 1)
garis liner yang turun ke bawah dengan range 25 sampai 44
merepresentasikan tingkat rendah, 2) kurva segitiga dengan range
antara 38 sampai 44
menggambarkan tingkat sedang, dan 3) garis liner yang naik ke atas
dengan interval 57 sampai 75 menggambarkan tingkatan yang tinggi. Ilustrasi ini dalam logika
fuzzy dapat didefinisikan melalui fungsi keanggotaan (membership function) sebagai berikut:
𝜇𝑟𝑒𝑛𝑑𝑎ℎ(𝑋) = {
1 𝑋 ≤ 2550 − 𝑋
50 − 2525 ≤ 𝑋 ≤ 50
0 𝑋 ≥ 50
𝜇𝑠𝑒𝑑𝑎𝑛𝑔(𝑋) =
{
0 𝑋 ≤ 38𝑋 − 38
50 − 3838 ≤ 𝑋 ≤ 50
63 − 𝑋
63 − 5050 ≤ 𝑋 ≤ 63
𝜇𝑡𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖(𝑋) = {
0 𝑋 ≤ 57𝑋 − 57
75 − 3857 ≤ 𝑋 ≤ 75
1 𝑋 ≥ 75
12
Dengan demikian, dapat dibuat
kesimpulan sebagai berikut: a) Faktor ekonomi yang memiliki
tingkat pengaruh di angka 58 dapat dikatakan berada di
kategori pengaruh yang tinggi karena nilai tersebut berada pada kurva segitiga dengan
interval 57 sampai dengan 63. b) Faktor diri yang memiliki tingkat
pengaruh di angka 55 dapat dikatakan berada di kategori pengaruh yang sedang karena
nilai tersebut berada pada daerah kategori sedang.
c) Faktor keluarga yang memiliki tingkat pengaruh di angka 51
dapat dikatakan berada di kategori pengaruh yang sedang karena nilai tersebut berada
pada daerah kategori sedang. d) Faktor masyarakat yang
memiliki tingkat pengaruh di angka 50 dapat dikatakan
berada di kategori pengaruh yang sedang karena nilai tersebut berada pada daerah
kategori sedang.
e) Faktor sekolah yang memiliki
tingkat pengaruh di angka 47 dapat dikatakan berada di
kategori pengaruh yang sedang karena nilai tersebut berada
pada daerah kategori sedang. -
4. Dampak yang terjadi adanya
Anak Putus Sekolah Hasil wawancara dan
observasi terhadap dampak terjadinya anak putus sekolah diantaranya sebagai berikut:
kesulitan mencari kerja, masuk kelompok “Anak Punk” (anak
bradalan), menikah usia muda dan mendapatkan penghasilan
keluarga yang rendah, mem- perbanyak pengangguran, mere- sahkan masyarakat, menjadi
generasi yang kurang ber- wawasan, mempengaruhi
kualitas pendidikan, dan mele- mahkan sektor ekonomi Berikut adalah hasil analisis
angket mengenai dampak anak putus sekolah.
Gambar 14. Dampak Adanya Anak Putus Sekolah
40,45%
72,51%
91,20%
68,17%
89,36% 87,90% 86,94%97,50% 93%
83,81%
0,00%
20,00%
40,00%
60,00%
80,00%
100,00%
120,00%
13
Berdasarkan gambar 14 dampak dari anak putus sekolah
yang paling besar adalah sebanyak 97,50% responden menyatakan
anak yang putus sekolah sulit diterima prusahaan dan sebanyak
93% menyebutkan bahwa dengan adanya anak putus sekolah mempengaruhi kualitas pendidikan.
Hasil tersebut sejalan dengan pendapat Owusu-Boateng, dkk
(2015) bahwa beberapa dampak adanya anak putus sekolah adalah siswa atau anak muda yang tidak
memiliki keterampilan dan prestasi akademik karena putus sekolah
menjadi tidak layak untuk mengambil posisi yang menantang di
masyarakat dimana masyarakat menuntut untuk memiliki kepribadian yang terdidik. Bahkan ketika anak
yang putus sekolah dipekerjakan akan mendapatkan gaji yang lebih
sedikit dan akhirnya mempengaruhi perekonomian dan pendapatan.
Owusu-Boateng, dkk (2015) juga menjelaskan bahwa dengan adanya angka putus sekolah yang tinggi
menyebabkan hancurnya masa
depan kaum muda yang cerah. Khususnya bagi anak-anak yang
memiliki kecerdasan tinggi namun terkendala biaya sekolah yang tinggi
menyebabkan anak tersebut kehilangan kesempatan untuk
menjadi anak yang lebih sukses. Kulyawan, dkk (2015) menghasilkan temuan bahwa anak yang putus
sekolah selain merugikan diri sendiri juga merugikan pada orang lain
seperti melakukan pencurian, perkelahian dan pemerasan. Selanjutnya Muamalah (2017)
menghasilkan temuan tentang dampak putus sekolah yaitu akan
memperbanyak pengangguran dan menjadi beban bagi masyarakat dan
sertanya kurangnya wawasan bagi generasi penerus.
5. Strategi Mengatasi Anak Putus Sekolah
Berdasarkan hasil wawancara selama FGD Strategi
mengatasi anak putus sekolah dapat dilihat pada skema berikut ini.
Gambar 15. Model Strategi Mengatasi/Mencegah Putus Sekolah
Keterangan: Input adalah peserta didik yang yang mau masuk sekolah. Proses; proses pembelajaran yang kondusif/berkualitas dan terkontrol. Output adalah lulusan yang berkualitas dan memiliki minat untuk melanjutkan. Outcome adalah dampat output yaitu siswa diterima di jenjang berikutnya SMP/MTs.
14
Beberapa hal yang perlu dilakukan dalam mengurangi anak putus
sekolah: a. Menambahkan tempat dan
pengelola pendidikan non- formal kejar paket A dan B di
lokasi/desa terpencil b. Menambahkan penyeleng-
garaan sekolah inklusi
c. Memberdayakan aparat desa beserta darma wanitanya
untuk aktif memberikan pengawasan dan berperan aktif mencegah/mengatasi
anak putus sekolah. d. Menambahkan subsidi pem-
biayaan pendidikan untuk keluarga tidak mampu
e. Subsidi pembiayaan untuk keluarga yang tidak mampu menyekolahkan anaknya
agar ditambahkan dari jumlah nominal yang
diterimanya. f. Meningkatkan pengawasan
terhadap penyaluran subsidi pembiayaan pendidikan tepat sasaran dan dimanfaatkan
untuk kepentingan keber- langsungan mengikuti pendi-
dikan di sekolah. g. Memberikan bimbingan
teknis atau pelatihan kepada orang tua/wali siswa putus sekolah yang tidak mampu
tentang keterampilan untuk kreatif menambahkan peng-
hasilan keluarga melaui pembuatan produk-produk home-industri.
h. Menerbitkan peraturan desa tentang wajib belajar 9 tahun
sebagai persyaratan perni- kahan. Peraturan wajib
belajar 9 tahun sangat tepat jika diberlakukan sebagai syarat menikah.
i. Sistem zonasi untuk penerimaan siswa baru
ditinjau ulang khususnya untuk daerah terpencil.
Sistem zonasi untuk daerah-daerah tertentu yang
jauh dengan lokasi satuan pendidikan untuk melanjutkan ke jenjang
SMP/MTs. j. Keterlibatan orang tua dan
masyarakat akan pentingnya pendidikan anak. Pelibatan orang tua dan masyarakat
akan pentingnya pendidikan sangat diperlukan.
Penjelasan di atas sejalan dengan Arifi, dkk (2007) bahwa
untuk menerapkan strategi yang efektif diperlukan adanya partisipasi bersama antara pemerintah,
sekolah, orang tua, dan siswa. Dilanjutkan dalam Devkota & Bagale
(2015) bahwa beberapa kegiatan yang dapat mengurangi tingkat
putus sekolah di tingkat dasar adalah: program beasiswa, memperkenalkan pendidikan alter-
natif untuk anak putus sekolah, melibatkan semua pemangku
kepentingan sistem pendidikan dasar yaitu semangat bersama dari
semua pihak baik orang tua, guru, kepala sekolah, dan petugas pendidikan serta pemerintah.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan menunjukkan bahwa:
1. Faktor-faktor yang memengaruhi angkat putus sekolah di
Kabupaten Kebumen meliputi: faktor ekonomi dan faktor
nonekonomi. Mayoritas faktor yang memengaruhi anak putus sekolah yaitu rendahnya
kemampuan anak dalam berpikir;
15
keluarga yang broken home; budaya; dan sistem zonasi;
2. Faktor yang paling dominan dalam memengaruhi anak putus
sekolah di Kabupaten Kebumen adalah faktor ekonomi;
3. Dampak yang terjadi adanya anak putus sekolah adalah kesulitan mencari kerja, masuk kelompok
“Anak Punk” (anak bradalan), menikah usia muda dan
mendapatkan penghasilan ke- luarga yang rendah, memper- banyak pengangguran, mere-
sahkan masyarakat, menjadi generasi yang kurang ber-
wawasan, mempengaruhi kualitas pendidikan, dan melemahkan
sektor ekonomi; 4. Strategi untuk menanggulangi
anak putus sekolah adalah
menambahkan tempat dan pengelola pendidikan nonformal
kejar paket A di lokasi/desa terpencil, menambahkan penye-
lenggaraan sekolah inklusi, memberdayakan aparat desa beserta darma wanitanya untuk
aktif memberikan pengawasan dan berperan aktif mencegah
/mengatasi anak putus sekolah, menambahkan subsidi pem-
biayaan pendidikan untuk keluarga tidak mampu, mening- katkan pengawasan terhadap
penyaluran subsidi pembiayaan pendidikan tepat sasaran,
menerbitkan peraturan desa ten- tang wajib belajar 9 tahun sebagai persyaratan pernikahan, sistem
zonasi untuk penerimaan siswa baru ditinjau ulang khususnya
untuk daerah terpencil, sistem zonasi penerimaan siswa baru
agar memprioritaskan kepada lingkungan penduduk terdekat satuan pendidikan, dan
keterlibatan orang tua dan
masyarakat akan pentingnya pendidikan anak.
Saran dan rekomendasi dalam penelitian adalah:
1. Keluarga/ Orang Tua: Lebih memberikan perhatian kepada
anak-anak, menjalin komunikasi yang baik dengna anak, selalu memotivasi anak untuk selalu
semangat bersekolah dan melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi, tidak membolehkan anak untuk bekerja dalam rangka mem-
bantu kebutuhan keluarga, menjalin komunikasi yang baik
dengan sekolah dan selalu mendukung serta berperan aktif
dalam program-program di sekolah.
2. Sekolah: Membuat lingkungan
sekolah dan kelas yang lebih menyenangkan dan ramah
anak, guru selalu memotivasi anak untuk selalu giat belajar
dan semangat sekolah sampai meneruskan ke jenjang yang lebih tinggi, tidak adanya
diskrimasi terhadap siswa yang memiliki kemampuan berbeda
khususnya anak yang memiliki kemampuan rendah, membe-
rikan pendambingan dan bimbingan yang lebih kepada anak yang memiliki potensi
putus sekolah, menjalin komunikasi yang baik dengan
dinas pendidikan, masyarakat, dan orang tua anak, serta membuat program sekolah yang
mengarah pada penguatan keluarga akan pentingnya
pendidikan anak seperti adanya program parenting, membuat
program sekolah yang dapat memotivasi anak untuk selalu semangat sekolah seperti
adanya .
16
3. Masyarakat dan Pemerintah Desa: Menciptakan lingkungan
masyarakat yang aman dan ramah anak, membuat
lingkungan masyarakat yang peduli akan pendidikan dengan
selalu memberikan dukungan dan motivasi kepada anak-anak untuk giat belajar dan semangat
sekolah, menerbitkan peraturan desa tentang wajib belajar 9
tahun sebagai persyaratan pernikahan, membuat program desa yang berkaitan dengan
dukungan terhadap pendidikan anak seperti mematikan TV
pada pukul 18.00-21.00 WIB, menggerakkan darma wanita
untuk aktif dalam pembe- rantasan anak putus sekolah, menjalin komunikasi yang baik
dengan dinas pendidikan setempat dan tokoh-tokoh
masyarakat dalam rangka mendukung pendidikan anak
-anak. 4. Dinas Pendidikan:
Menambahkan tempat dan
pengelola pendidikan nonformal kejar paket A di lokasi/desa
terpencil, menambahkan penye- lenggaraan sekolah inklusi,
menambahkan subsidi pem- biayaan pendidikan untuk keluarga tidak mampu, mening-
katkan pengawasan terhadap penyaluran subsidi pembiayaan
pendidikan tepat sasaran dan dimanfaatkan untuk kepentingan keberlangsungan
mengikuti pendidikan di sekolah, sistem zonasi untuk
penerimaan siswa baru ditinjau ulang khususnya untuk daerah
terpencil, sistem zonasi penerimaan siswa baru agar memprioritaskan kepada
lingkungan penduduk terdekat
satuan pendidikan, menjalin kemitraan yang baik dengan
sekolah dan pemerintah desa dalam rangka mendukung
penguatan pendidikan keluarga, memaksimalkan program
keluarga harapan dan mengefektifkan kinerja Tim Pencegahan dan Penanganan
Putus Sekolah (TP3S), selalu memperbaharaui data angka
putus sekolah. DAFTAR PUSTAKA
Arifi, S., Kryeziu, V., & Neslon, K. (2007). Student Dropout Prevention and Response. Catholic Relief Services.
BPS. (2010). Statistik Pendidikan 2009. Jakarta: BPS RI.
Devkota, S.P. & Bagale, S. (2015).
Primary Education and Dropout in Nepal. Journal of Education and Practice. Vol 6 (4): 153-357.
Khan, A., Hussain, I., Suleman, Q., Mehmood, A., & Nawab, B. (2017). Causes of Students’
Dropout at Elementary Level in Southern Districts of Khyber
Pakhtunkhwa. Research on Humanities and Social Sciences. Vol 7 (23): 20-25.
Kurebwa, M. & Wilson, M. (2015). Dropouts in the primary schools,
a cause for concern: A case of Shurugwi South Resettlements
Primary Schools 2006 to 2013. International Journal of Education and Research. Vol 3
(4): 505-514. Owusu-Boateng, W., Frank, A., &
Agyekum-Emmanuel, O. (2015). The effect of school
dropout on the lives of the youth in Akim Tafo community. Global Educational Research Journal. Vol. 3(10): 346-369.
17
Putri, A.E., Trisnaningsih, & Nugraheni, I.L. (2018). Faktor -
Faktor Penyebab Anak Putus Sekolah Jenjang Pendidikan
Dasar. Jurnal Penelitian Geografi. Vol 6 (5).
Satiti, S. (2019). Gerakan Ayo Sekolah Di Kabupaten Bojonegoro: Peningkatan
Sumber Daya Manusia Melalui Pendidikan Untuk Menyongsong
Bonus Demografi. Jurnal Kependudukan Indonesia. Vol. 14 (1): 77-92
Simic, N., & Krstić, K. (2017). School factors related to dropout from
primary and secondary education in Serbia – a
qualitative research. Psihološka istraživanja, Vol. XX (1) : 51-70.
Sugiyono. (2013). Metode Penelitian Kombinasi (Mixed Methods). Bandung: Alfabeta.
Suryadi. (2014). Permasalahan Dan Alternatif Kebijakan Pendidikan Indonesia. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Talakua, Y. (2018). Peran Stakeholder dalam Penanganan Anak Putus Sekolah di Kota
Ambon. Spirit Publik. Volume 13 (1): 1-16.