Upload
others
View
11
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan Percabangan Horizontal pada Hutan Alam di Sub-
Sub DAS Tangga Sub Das Malino DAS Jeneberang
Analysis of Rainfall Transformation on Horizontal Branching Trees in Natural Forest at Tangga River of Malino
sub-basin watershed of Jeneberang Watershed
Dwi Indah Puspita1), Usman Arsyad2), Beta Putranto2)
1) Mahasiswa, Laboratorium Perencanaan dan Sistem Informasi Kehutanan dan Daerah Aliran Sungai,
Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar ; [email protected]
2) Staf Pengajar, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar
ABSTRACT
The aim of this study was to determine the relationship between rainfall and throughfall, stemflow and
interception in the natural forest at Tangga River basin of Jeneberang Watershed, particularly those of horizontal-
branching trees. This study was conducted for two months. The throughfall and stemflow measurements were
performed at 08.00 am every day. There were 36 rain days during the study. Interception was obtained by
subtracting the amount of total rainfall with throughfall and stemflow.
The results showed that the largest part of the total rainfall that reached the forest’s floor was throughfall
(66.99%), followed by interception (32.76%) and stemflow (0.25%). There was a significant quadratic relationship
between rainfall and throughfall, stemflow and interception. The increase of rainfall had positive effect on
throughfall and stemflow. The interception tended to increase when the rainfall was small but it would be decrease
when the rainfall was greater than 20,56 mm.
Keywords : Throughfall, stemflow, interception, natural forest, horizontal branching tree.
PENDAHULUAN
Curah hujan yang jatuh di permukaan bumi
pada lahan bervegetasi tidak seluruhnya jatuh ke
permukaan tanah dan menjadi bagian dari air tanah.
Pada saat terjadi hujan, sebagian air hujan yang
jatuh dan mengenai permukaan vegetasi akan
tertahan sementara pada tajuk vegetasi,
sebagiannya lagi akan jatuh melalui celah-celah
daun, ranting dan cabang atau mengalir pada
batang vegetasi tersebut hingga mencapai
permukaan tanah.
Proses tertahannya curah hujan pada tajuk
vegetasi dan diuapkan kembali ke atmosfer dikenal
dengan istilah intersepsi. Selain intersepsi ada
bagian dari curah hujan yang sampai ke permukaan
tanah melalui celah-celah daun, ranting, cabang
disebut air lolos (throughfall) dan yang mengalir
pada batang vegetasi hingga mencapai lantai hutan
disebut aliran batang (stemflow). Besarnya
intersepsi dapat dihitung dari perbedaan curah hujan
kotor (gross presipitation) dan curah hujan bersih
(net precipitation). Nilai curah hujan bersih diperoleh
dari penjumlahan nilai air lolos dan aliran batang
yang didapat dari hasil pengukuran di lapangan.
Proses intersepsi dipengaruhi oleh intensitas
hujan, kecepatan angin dan beda suhu antara
permukaan tajuk dan suhu atmosfer. Besarnya air
hujan yang diintersepsikan merupakan fungsi dari :
1) karakteristik hujan, 2) jenis, umur dan kerapatan
vegetasi, dan 3) musim pada tahun yang
bersangkutan (Asdak, 2010).
Penutupan lahan oleh vegetasi memberikan
dampak tertahannya curah hujan di atas daun (tajuk)
ketika hujan berlangsung. Penelitian yang dilakukan
oleh Ford dan Deans (1978) dalam Heryansah
(2008) didapat bahwa struktur kanopi pada vegetasi
hutan mempengaruhi air yang lolos hingga
menyentuh lantai dasar hutan (tanah). Lebarnya
daun serta ketebalan tajuk dan kerapatan vegetasi
memengaruhi besarnya nilai air lolos. Sedang
besarnya air yang mengalir pada batang tanaman
tergantung dari struktur cabang vegetasi itu sendiri.
Kemiringan cabang pada satu pohon akan
mengalirkan air hujan menuju batang dan jatuh ke
tanah sebagai aliran batang (Ford dan Deans 1978
dalam Heryansah (2008).
Intersepsi sebagai salah satu komponen daur
hidrologi dianggap sebagai faktor penting dalam
suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Berkurangnya air
hujan yang sampai di permukaan tanah oleh adanya
proses intersepsi adalah cukup besar. Berdasarkan
penelitian yang dilakukan oleh Bruijnzeel (1990)
dalam Asdak (2010), besarnya intersepsi di hutan
hujan tropis berkisar antara 10-35 % dari curah
hujan total. Sedang penelitian yang dilakukan Rauf
dkk (2008) pada hutan tropika basah di Taman
Nasional Lore Lindu memperoleh intersepsi sebesar
36,25% dari total curah hujan (1659 mm). Ghimire
et.al (2012) memperoleh besarnya intersepsi yaitu
22,50% dari total curah hujan (319 mm) pada hutan
alam di Nepal. Besarnya intersepsi ini dapat
memberikan dampak dengan skala kecil sampai
sedang terhadap keadaan neraca air suatu DAS,
karena adanya defisit kelembaban lokal sebagai
akibat penurunan jumlah presipitasi dan air lolos
yang sampai ke permukaan tanah (Heryansah,
2008).
Penelitian yang berbasis hidrologi pada Sub
DAS Malino telah dilakukan pada tahun-tahun
sebelumnya. Unsur-unsur hidrologi yang
berpengaruh pada DAS seperti distribusi curah
hujan, infiltrasi, simpanan air tanah, debit air
dilakukan untuk menganalisis kondisi sub DAS
Malino yang memiliki peran penting bagi ekosistem.
Penelitian ini dilakukan untuk menduga
komponen intersepsi pada Hutan Alam di Sub-Sub
DAS Tangga Sub DAS Malino DAS Jeneberang.
Data yang diperoleh dapat digunakan untuk melihat
besarnya air lolos (throughfall), aliran batang
(stemflow) dan intersepsi (interception) pada saat
terjadinya hujan yang dikhususkan pada pohon
dengan percabangan horizontal dan untuk
mengetahui hubungan antara curah hujan dengan
air lolos, aliran batang dan intersepsi.
METODE PENELITIAN
Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan,
dimulai pada bulan Desember 2013 sampai dengan
Februari 2014 di Sub-Sub DAS Tangga Sub DAS
Malino DAS Jeneberang yang secara administratif
berada di Kelurahan Gantarang, Kecamatan
Tinggimoncong, Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi
Selatan.
Gambar 1. Peta lokasi penelitian Horizontal pada Hutan Alam di Sub-Sub DAS Tangga Sub Das Malino
DAS Jeneberang (Sumber : Analisis SIG dan Peta RBI)
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu empat buah alat penakar hujan
tipe observatorium, jerigen, selang plastik dengan
panjang 150-200 cm, meteran, gelas ukur 250 ml,
tali rafiah, GPS, Termometer, alat tulis-menulis,
hutan alam, lem silikon, citra landsat 8 tahun 2013,
peta kelerengan.
Prosedur Peneltitian
1. Persiapan Penelitian
a) Menginterpretasi penutupan lahan berdasarkan
citra landsat 8 tahun 2013
b) Mengoverlay peta penutupan lahan dengan peta
kelerengan.
c) Menentukan lokasi penelitian berdasarkan
penutupan lahan hutan alam sekunder dengan
kemiringan lereng >40%.
d) Penentuan lokasi untuk peletakan alat penakar
curah hujan.
e) Perakitan alat-alat yang akan digunakan untuk
mengukur air lolos (throughfall) dan aliran
batang (stemflow).
2. Pelaksanaan penelitian
a) Penentuan Plot Penelitian
Penentuan plot penelitian dilakukan sedemikian
rupa sehingga dapat mewakili seluruh objek yang
diteliti. Untuk itu terlebih dahulu dilakukan orientasi
lapangan sehingga dapat ditentukan lokasi yang
sesuai dan representatif. Lokasi penelitian yaitu di
hutan alam sekunder dengan plot penelitian
berukuran 20 m x 20 m.
b) Pengumpulan Data
1) Pengukuran Curah Hujan
Pengukuran curah hujan dilakukan dengan
menggunakan alat penakar curah hujan tipe
observatorium. Penakar curah hujan diletakkan pada
tempat yang datar, dengan tiupan angin yang relatif
lemah dan tidak ada tutupan disekitarnya yang dapat
menambah atau mengurangi jumlah curah hujan
yang masuk ke penakar. Curah hujan diukur
berdasarkan curah hujan harian yang diamati setiap
pukul 08.00 pagi waktu setempat.
2) Air Lolos (Throughfall)
Air lolos diukur dengan menempatkan tiga buah
alat penakar di bawah tajuk pohon pada tiga
keadaan, yaitu di ujung tajuk (ut), tengah tajuk (tt)
dan di dekat batang (db). Posisi alat penakar air
lolos dipindah-pindahkan setiap 10 kali pengamatan
pada empat arah mata angin yaitu utara, selatan,
timur dan barat. Hal ini dilakukan dengan
pertimbangan agar hasilnya lebih representatif. Data
air lolos diukur setiap pukul 08.00 pagi waktu
setempat.
3) Aliran Batang (Stemflow)
Aliran batang diukur dengan cara melilitkan
selang plastik yang sudah dibelah dari atas ke
bawah bagian batang (sebagai talang) dan ujung
selang bagian bawah dihubungkan ke jerigen
penampungan air. Agar tidak terdapat rongga antara
selang dengan batang maka rongga tersebut ditutup
dengan lem silikon atau semacamnya untuk
mencegah terjadinya kebocoran aliran batang. Nilai
aliran batang diukur setiap hari hujan pada pukul
08.00 pagi waktu setempat. Pemilihan pohon yang
menjadi sampel penelitian yaitu pohon dengan
percabangan horizontal. Percabangan horizontal
adalah cabang yang tumbuh pada batang utama
dengan arah pertumbuhannya mendatar (Rusli dan
Heryana, 2012) .
4) Pengukuran Diameter Tajuk
Diameter tajuk diukur dengan cara
memproyeksikan besarnya lingkaran tajuk ke
permukaan tanah. Pertama-tama diameter diukur
untuk menentukan diameter terpanjang, kemudian
melakukan pengukuran kembali dengan posisi yang
tegak lurus terhadap diameter terpanjang, dan
kedua hasil tersebut dirata-ratakan untuk
memperoleh diameter tajuk (Anwar, 2003). Dengan
mengetahui diameter tajuk maka luas penutupan
tajuk dapat diketahui dengan rumus : L = π r2
(Arsyad, 1983).
5) Pengukuran Diameter Batang
Diameter batang diperoleh dengan terlebih
dahulu mengukur keliling batang dengan
menggunakan meteran atau pita ukur. Pengukuran
keliling dilakukan pada diameter setinggi dada di
atas permukaan tanah untuk semua pohon yang ada
dalam plot. Diameter pohon yang diukur aliran
batangnya adalah diameter pohon rata-rata.
6) Pengamatan Kecepatan Angin
Pengamatan kecepatan angin dapat dilakukan
dengan mengamati kondisi di atas permukaan tanah.
Kecepatan angin diperkirakan dengan menggunakan
tabel gradasi kecepatan angin Beaufort.
7) Pengukuran suhu udara
Keadaan suhu udara harian diamati dengan
menggunakan Termometer.
3) Pengolahan Data
Data curah hujan harian yang tertampung pada
alat penakar hujan dihitung dengan menggunakan
rumus menurut Asdak (2010). Jumlah air lolos dan
aliran batang diukur dalam satuan mililiter (ml)
kemudian dikonversi ke dalam satuan tinggi kolom
air (mm) dengan menggunakan rumus menurut
Asdak (2010). Dari hasil pengukuran curah hujan, air
lolos, dan aliran batang, besarnya intersepsi dapat
dihitung berdasarkan Pendekatan Neraca Volume
(volume balance approach) (Asdak, 2010).
4) Analisis Data
Seluruh perhitungan air lolos, aliran batang dan
intersepsi serta bentuk hubungan curah hujan
dengan air lolos, aliran batang serta intersepsi
dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak
(software) microsoft excel. Untuk menduga
hubungan besarnya intersepsi, aliran batang dan air
lolos dengan curah hujan dilakukan dengan
menggunakan analisis regresi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengumpulan data curah hujan, air lolos, aliran
batang dan intersepsi dilakukan mulai tanggal 26
Desember 2013 sampai 4 Februari 2014.
Pembuatan plot penelitian pada hutan sekunder.
Pohon yang menjadi sampel pada penelitian ini
adalah pohon yang memiliki percabangan horizontal
(arah pertumbuhannya mendatar) dengan diamater
rata-rata 25,01 cm.
Selama penelitian tercatat sebanyak 36 hari
hujan dengan total curah hujan sebesar 661,80 mm.
Hasil penelitian terhadap curah hujan harian sangat
bervariasi, menyebabkan bervariasinya nilai-nilai
harian dari aliran batang, air lolos dan intersepsi
curah hujan.
1. Curah Hujan (Gross Precipitation)
Hasil pengamatan selama penelitian dari bulan
Desember 2013 sampai Februari 2014 tercatat
sebanyak 36 hari hujan dengan jumlah curah hujan
seluruhnya adalah 661,80 mm. Curah hujan di lokasi
penelitian ini sangat bervariasi. Curah hujan rata-
rata pada tiap kejadian hujan dalam jangka waktu
tersebut adalah 18,38 mm dengan variasi harian
1,80 – 31,40 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada
tanggal 20 Januari 2014 yaitu sebesar 31,40 mm
dan terendah pada tanggal 11 Januari 2014
Distribusi curah hujan menunjukan bahwa curah
hujan antara 20 – 50 mm/hari lebih sering terjadi
selama penelitian yaitu 21 kejadian hujan dengan
persentase 58,30 % dari total hari hujan. Selama
penelitian menunjukkan kelas hujan normal lebih
sering terjadi. Frekuensi kejadian hujan berdasarkan
kelas hujan (Sosrodasrsono dan Takeda, 1999)
selama waktu penelitian disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Persentase kejadian hujan selama penelitian berdasarkan kelas hujan
Kategori Hujan
Interval Intensitas
Curah Hujan
(mm/hari)*
Kejadian Hujan
(Hari)
Persentase Kejadian
Hujan (%)
Hujan sangat ringan <5 2 5,60
Hujan ringan 5-20 13 36,10
Hujan normal 20-50 21 58,30
Hujan lebat 50-100 0 0
Hujan sangat lebat >100 0 0
2. Air Lolos (Throughfall)
Hasil pengukuran air lolos di lapangan selama
penelitian pada hutan alam diperoleh jumlah air lolos
443,33 mm atau sebesar 66,99% dari total curah
hujan. Jumlah air lolos tertinggi dalam jangka
waktupenelitian yaitu pada tanggal 20 Januari 2014
sebesar 25,67 mm atau sebesar 81,74% dari total
Gambar 2. Grafik fluktuasi harian air lolos
curah hujan. Sedangkan jumlah air lolos terkecil
yaitu sebesar 0,40 mm atau sebesar 22,22% dari
total curah hujan pada tanggal 11 Januari 2014.
Variasi persentase harian nilai air lolos terhadap
curah hujan yaitu antara 20,63 – 81,74%.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Anwar (2003) diperoleh besarnya air lolos pada
hutan sekunder yaitu 74,90%. Sedang penelitian
yang dilakukan oleh Ghimire et al. (2012) pada
hutan alam di Nepal diperoleh air lolos sebesar
0
5
10
15
20
25
30
35
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35
Curah Hujan (mm)
Air lolos (mm)
Kejadian Hujan (hari)
Kom
pone
n in
ters
epsi
(m
m)
76,20% dari total curah hujan. Arsyad (1983) dalam
penelitiannya pada hutan alam di Sub DAS Malino
memperoleh nilai air lolos sebesar 70% dari total
curah hujan. Apabila dibandingkan hasil penelitian
intersepsi dengan penelitian terdahulu nilai ini
merupakan persentase yang cukup tinggi, sehingga
menunjukkan bahwa air lolos merupakan bagian
yang paling besar dari curah hujan yang menyentuh
lantai hutan. Untuk fluktusai harian air lolos selama
penelitian disajikan pada Gambar 2.
3. Aliran Batang (Stemflow)
Hasil pengukuran aliran batang yang diperoleh
di lapangan selama penelitian pada hutan alam yaitu
sebesar 1,65 mm atau sekitar 0,25 % dari total curah
hujan. Nilai aliran batang tertinggi yaitu pada tanggal
20 Januari 2014 sebesar 0,12 mm atau sekitar
0,37% dari total curah hujan sedangkan nilai aliran
batang terendah yaitu 0 mm terjadi pada tanggal 11
Januari 2014. Variasi persentase harian nilai aliran
batang yaitu antara 0,00 –0,43 % dari total curah
hujan.
Gambar 3. Grafik fluktuasi harian aliran batang
Lee (1988) mengemukakan bahwa nilai aliran
batang adalah besaran yang nilainya paling kecil bila
dibandingkan dengan air lolos dan intersepsi.
Berdasarkan peneletian yang dilakukan oleh Rauf,
dkk (2008) pada hutan basah tropika diperoleh nilai
aliran batang sebesar 0,0657% dengan total curah
hujan sebesar 1659 mm. Sedangkan penelitian yang
dilakukan oleh Bahmani, dkk (2012) dan Supangat,
dkk (2012) pada hutan oak dan hutan tanaman
masing-masing nilai aliran batangnya yaitu 0,40%
dan 3,60%. Apabila membandingkan hasil penelitian
tersebut dengan penelitian yang dilakukan pada
hutan alam di Sub-sub DAS Tangga, nilai aliran
batang yang diperoleh sangat kecil. Untuk fluktuasi
aliran batang selama waktu penelitian disajikan pada
Gambar 3.
Selain air lolos, aliran batang juga mempunyai
peran penting dalam menentukan besarnya
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0
5
10
15
20
25
30
35
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35
Curah Hujan (mm)
Aliran Batang (mm)
Kejadian hujan (hari)
Cur
ah H
ujan
(m
m)
Aliran B
atang (mm
)
intersepsi. Dari beberapa penelitian yang telah
dilakukan pada hutan alam, tegakan berdaun lebar
maupun konifer didapat bahwa aliran batang
merupakan elemen yang paling kecil terjadi pada
penelitian intersepsi. Menurut Wiersum (1979), nilai
aliran batang sangat kecil dan bervariasi antara 0 –
10% dari total curah hujan. Menurut Pidwirny (2004)
dalam Heryansyah (2008) keragaman ini disebabkan
oleh keragaman bentuk daun, batang serta arsitektur
cabang.
Rendahnya nilai aliran batang yang diperoleh
juga dipengaruhi oleh adanya tumbuhan lumut,
parasit, epifit yang terdapat pada pohon di hutan
alam karena dapat mengurangi jumlah air hujan
yang akan menjadi aliran batang. Karena pada
waktu hujan akan tertahan pada sistem tersebut.
Akibatnya aliran batang baru dapat terjadi setelah
kemampuan menyerap air dari lumut, tumbuhan
epifit dan parasit tersebut telah maksimum (jenuh).
4. Intersepsi tajuk (Crown Interception)
Hasil pengukuran intersepsi tajuk di lapangan
sebesar 216,81 mm atau 32,76% dari curah hujan
total. Jumlah intersepsi tertinggi selama penelitian
pada tanggal 3 Februari 2014 sebesar 7,97 mm atau
37,22% dari total curah hujan. Sedang intersepsi
terendah pada tanggal 11 Januari 2014 sebesar
1,40 mm atau 77,78% dari total curah hujan. Variasi
persentase intersepsi selama penelitian yaitu antara
17,88–79,25% dari total curah hujan. Nilai-nilai ini
diperkirakan tidak seluruhnya berasal dari intersepsi
tajuk, melainkan ada sebagian kecil yang berasal
dari tumbuhan yang ada pada batang pohon.
2
Gambar 4. Grafik fluktuasi harian intersepsi
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anwar
(2003) pada hutan sekunder di Sulawesi Tengah
menemukan besarnya intersepsi yaitu 23,50%.
Sedang Asdak et al,.(1998) memperoleh nilai
intersepsi pada hutan tidak ditebang sebesar
11,00%. Melihat hasil penelitian tersebut, sedikit
berbeda dengan hasil penelitian yang diperoleh
pada hutan alam namun sesuai dengan pernyataan
Asdak (2010) bahwa besarnya intersepsi berkisar
antara 10-35 % dari curah hujan total dan semakin
0
5
10
15
20
25
30
35
1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35
Curah Hujan (mm)
Intersepsi(mm)
Kom
pone
n In
ters
epsi
(m
m)
Kejadian Hujan (Hari)
tinggi curah hujan, maka jumlah air yang
diintersepsikan juga semakin besar. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Singh (1992) dan Asdak (2004)
dalam Dinata (2007) bahwa bentuk, intensitas, dan
lamanya hujan berpengaruh terhadap intersepsi
yang terjadi. Untuk fluktuasi intersepsi yang terjadi
selama penelitian disajikan pada Gambar 4.
Untuk mengetahui bentuk hubungan antara
curah hujan dengan aliran batang, air lolos dan
intersepsi, dilakukan dengan analisis regresi
sederhana. Berdasarkan hasil analisis regresi,
ditemukan bahwa bentuk hubungan antara curah
hujan dengan aliran batang, air lolos dan intersepsi
menunjukan korelasi positif masing-masing dengan
koefisien korelasi (r) yaitu sebesar 0,933, 0,995 dan
0,851.
Hubungan Curah Hujan dengan Air Lolos
Hasil analisis regresi menunjukan bahwa
hubungan curah hujan (Pg) dengan air lolos (Tf)
menunjukan korelasi positif, dimana ketika curah
hujan meningkat maka air hujan yang menjadi air
lolos juga akan meningkat. Hal ini ditunjukan oleh
nilai koefisien korelasi (r) antara kedua komponen
tersebut. Nilai r untuk hubungan antara curah hujan
dengan air lolos yaitu 0,995. Sedang koefisien
determinasi (R2) untuk hubungan antara curah hujan
dan air lolos adalah 0,991. Hal ini menunjukan
bahwa variabel air lolos pada hutan alam sebesar
99,10% dipengaruhi oleh curah hujan sedangkan
sisanya sebesar 0,90% dipengaruhi oleh variabel
lain. Gambar 5 menunjukan grafik hubungan antara
curah hujan dengan air lolos pada hutan alam
sekunder.
Gambar 5. Grafik regresi antara curah hujan (mm) dengan air lolos (mm)
Persamaan regresi (Gambar 5.) berlaku untuk
suatu nilai air lolos jika Pg > 0, artinya bahwa pada
saat hujan mulai turun tidak langsung terjadi air lolos
(memerlukan waktu sesaat). Hal ini menggambarkan
bahwa besarnya air lolos dipengaruhi oleh waktu
terjadinya hujan (intensitas hujan), semakin lama
waktu terjadinya hujan (semakin besar intensitas
hujan) maka akan semakin besar pula air lolos.
ỳ1 = - 0.880 + 0.342x + 0.017x2 R² = 0.991
0
5
10
15
20
25
30
0 5 10 15 20 25 30 35
Air
Lolo
s (m
m)
Curah hujan (mm)
Hasil penelitian menunjukan bahwa semakin
tinggi kelas hujan, maka semakin besar air lolos
yang terjadi. Pada hutan alam menunjukan bahwa
perubahan air lolos bervariasi, tetapi memiliki
kecenderungan bahwa air lolos meningkat dengan
semakin besar kelas hujan. Secara persentase juga
terjadi hal yang sama bahwa semakin besar kelas
hujan air lolos semakin meningkat. Artinya bahwa
apabila terjadi hujan dengan intensitas rendah dan
waktu singkat, maka air lolos yang terjadi relatif kecil
atau bahkan tidak terjadi air lolos. Hal ini terjadi
karena air yang mengalir melalui celah-celah tajuk
terlebih dahulu ditahan oleh tajuk untuk
membasahkan tajuk sampai tercapai penjenuhan
kapasitas tampung tajuk, disamping itu kemungkinan
terjadi yaitu curah hujan yang jatuh di atas tajuk
ditahan dan diuapkan kembali ke atmosfer.
Hubungan antara curah hujan dan aliran batang
Berdasarkan hasil analisis regresi, nilai koefisien
determinasi (R2) untuk hubungan antara curah hujan
dan aliran batang adalah sebesar 0,872 atau
87,20%, yang artinya variabel aliran batang
dipengaruhi variabel curah hujan sebesar 87,20%
sedangkan sisanya 12,80% dipengaruhi oleh
variabel lain.
Gambar 6. Grafik regresi antara curah hujan (mm) dengan aliran batang (mm).
Dalam hubungannya dengan aliran batang,
setiap pohon pada hutan alam memegang peranan
penting. Pada umumnya karakteristik vegetasi pada
hutan alam yaitu, terdiri dari pohon-pohon yang
cukup tinggi, kekasaran kulit batang bervariasi dari
yang licin hingga kasar, juga terdapat tumbuhan
epifit dan tumbuhan lain di bawah pohon utama.
Demikian halnya pada pohon di lokasi penelitian
(Barringtonia sp.) yang ditumbuhi oleh tumbuhan
epifit, lumut dan parasit. Pada beberapa pohon
ditemukan pertumbuhan lumut dan parasit yang
cukup banyak bahkan menyebar ke seluruh bagian
pohon, mulai dari pangkal batang sampai ke
percabangan. Hal ini yang diperkirakan sangat
mempengaruhi besarnya aliran batang. Dalam hal ini,
lumut, tumbuhan epifit serta parasit dapat
mengurangi jumlah air hujan yang akan menjadi
aliran batang, karena pada waktu hujan akan
ỳ2 = 0.021 - 0.004x + 0.001x2 R² = 0.872
0
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0 5 10 15 20 25 30 35
Alir
an B
atan
g (m
m)
Curah Hujan (mm)
tertahan pada daerah tersebut. Akibatnya, aliran
batang baru dapat dimulai setelah kemampuan
menyerap air dari lumut, parasit dan epifit tersebut
telah maksimum (jenuh).
Selain dipengaruhi oleh lumut, parasit dan epifit,
faktor lain yang yang mempengaruhi besarnya aliran
batang adalah arsitektur cabang. Keadaan
percabangan/ ranting-ranting dengan posisi
mendatar atau condong ke bawah diperkirakan tidak
dapat menambah jumlah aliran batang. Cabang atau
ranting yang demikian akan menahan bagian air
hujan yang jatuh di atasnya tanpa mengalirkannya
ke batang, melainkan akan jatuh sebagai air lolos
atau mungkin diserap oleh bagian pohon tersebut.
Hubungan antara curah hujan dan intersepsi
Curah hujan mempunyai hubungan yang erat
dengan intersepsi, hal ini dapat dilihat dari tingginya
nilai korelasi antara curah hujan dengan intersepsi
yaitu sebesar 0,851. Hasil analisis regresi
menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R2)
sebesar 0,725 atau 72,50%, artinya bahwa 72,50%
variabel intersepsi dipengaruhi oleh curah hujan dan
sisanya 27,50% dipengaruhi oleh variabel lain.
Gambar 7. Grafik regresi antara curah hujan (mm) dengan intersepsi (mm)
Intersepsi memiliki hubungan yang sangat erat
dengan curah hujan. Semakin tinggi curah hujan,
maka jumlah air yang di intersepsikan juga semakin
besar. Namun ketika curah hujan yang turun lebih
besar dari kapasitas tajuk maka proporsi air hujan
yang diintersepsikan akan semakin kecil, hal ini
terjadi karena kapasitas penampungan air intersepsi
yang telah jenuh air. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Siregar et al. (2006) dalam Pelawi
(2009) yang menyatakan bahwa kapasitas intersepsi
beragam dan berbanding terbalik dengan curah
hujan. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang
dilakukan Arsyad (1983) yang menemukan
hubungan antara curah hujan dan intersepsi adalah
kuadratik.
Berdasarkan Gambar 7., dapat dilihat bahwa
hubungan antara curah hujan dengan intersepsi
adalah kuadratik. Terjadinya hubungan kuadratik ini
ỳ3 = 0,859 + 0,661x - 0,016x2 R² = 0.725
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
0 5 10 15 20 25 30 35
Inte
rsep
si (
mm
)
Curah Hujan (mm)
disebabkan terjadi kejenuhan daun pada curah
hujan tertentu. Ada dua faktor yang diperkirakan
paling berperan dalam terjadinya kejenuhan daun
pada hutan alam, yaitu faktor vegetasi (hutan alam)
dan faktor cuaca. Dalam hubungannya dengan
faktor vegetasi, maka sifat permukaan daun dari
setiap pohon di hutan alam paling berperan terhadap
proses kejenuhan daun. Hawlett dan Nutter (1969)
mengatakan bahwa sifat permukaan daun licin dan
kasar merupakan salah satu faktor yang penting
dalam intersepsi. Daun dengan permukaan licin
akan cepat mengalami kejenuhan. Dengan demikian
dapat diperkirakan bahwa pada hutan alam akan
mempunyai tingkat kejenuhan yang rendah, dan
hanya membutuhkan sejumlah kecil air hujan untuk
menjenuhkannya.
Untuk faktor cuaca, variabel yang
mempengaruhi intersepsi yaitu curah hujan,
kecepatan angin, kelembaban udara dan radiasi
matahari. Curah hujan mempengaruhi besar
kecilnya intersepsi. Seperti yang telah dijelaskan
sebelumnya, semakin besar curah hujan semakin
besar pula jumlah air yang diintersepsikan. Namun
ketika curah hujan yang turun lebih besar dari
kapasitas penyimpanan tajuk maka proporsi air
hujan yang diintersepsikan akan semakin kecil. Di
sisi lain, curah hujan juga mempengaruhi
kelembaban udara. Dalam hubungannya dengan
penguapan, semakin lembab udara, semakin
berkurang pula kemampuannya mengabsorbsi air.
Dalam hubungannya dengan radiasi matahari,
maka seperti yang telah diuraikan, selama penelitian
berlangsung sering terjadi hari cerah. Hal ini
menyebabkan semua permukaan daun menjadi
lebih kering, termasuk permukaan daun hutan alam.
Permukaan yang lebih kering ini, akan mempunyai
kemampuan menahan air yang lebih besar. Dalam
hubungan ini maka permukaan daun hutan alam
akan mampu menahan air hujan yang lebih banyak.
Dengan demikian hari-hari cerah yang terjadi selama
penelitian, akan memperbesar jumlah air yang
diintersepsikan oleh hutan alam.
Selain itu, kecepatan angin juga merupakan
salah satu faktor yang dianggap mempengaruhi
besarnya intersepsi. Pengaruhnya dapat
memperbesar atau mengurangi jumlah air yang
terintersepsi. Menurut Linsley et.al.(1975), apabila
hujan disertai angin mula-mula kecepatan intersepsi
rendah, setelah daun jenuh maka kecepatan
intersepsi dapat meningkat oleh pengaruh angin
terhadap penguapan.
Berdasarkan persamaan regresi diketahui pula
bahwa apabila curah hujan (x) sama dengan 0,
hutan alam telah mengintersepsikan air hujan
sebesar 0,859 mm (Gambar 7.). Diduga hal ini
terjadi karena selama waktu penelitian curah hujan
yang sangat ringan (mendekati 0 atau < 5 mm) dan
curah hujan ringan (5- 20 mm) sering terjadi. Artinya
bahwa pada saat curah hujan yang sangat ringan
terjadi, air hujan yang tertahan pada vegetasi hampir
seluruhnya terintersepsi (intersepsi sangat tinggi),
dan tidak ada curah hujan yang sampai ke
permukaan tanah sebagai air lolos dan aliran batang.
Dari hasil analisis regresi ditemukan bahwa
kejenuhan daun hutan alam tercapai pada curah
hujan 20,56 mm. Pada keadaan ini sebagian besar
air hujan yang tertahan di atas permukaan tajuk
akan dilewatkan ke bawah sebagai air lolos, hanya
sebagian kecil yang ditahan untuk diuapkan kembali.
Dengan katan lain, kemungkinan terjadinya
hubungan linear antara curah hujan dengan
intersepsi hanya dapat mencapai sampai curah
hujan 20,56 mm. Jika curah hujan sebesar 20,56
mm ini terlampaui, maka hubungan tersebut
cenderung berbentuk kuadratik.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Besarnya air lolos (throughfall), aliran batang
(stemflow), dan intersepsi (interception) pada
hutan alam di Sub-sub DAS Tangga Sub DAS
Malino DAS Jeneberang masing-masing sebesar
sebesar 66,99%, 0,25%, 32,76% dari total curah
hujan.
2. Hubungan antara curah hujan dengan air lolos,
aliran batang dan intersepsi menunjukkan
korelasi yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh
koefisien korelasi (r) antara variabel tersebut
masing-masing sebesar 0,995, 0,933, dan 0,851.
Sedang koefisien determinasi (R2) pada ketiga
variabel tersebut masing-masing sebesar 0,991,
0,872 dan 0,725. Artinya variabel air lolos, aliran
batang dan intersepsi masing-masing sebesar
99,10%, 87,20% dan 72,50% dipengaruhi oleh
variabel curah hujan sedang sisanya dipengaruhi
oleh variabel lain.
Saran
1. Diperlukan adanya penelitian intersepsi pada
hutan tersebut yang lebih lama dan lebih luas.
Dalam hal ini juga perlu dilakukan penelitian
intersepsi pada pohon dengan bentuk
percabangan vertikal pada lokasi tersebut.
2. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut tentang
LAI (Leaf Area Index) pada spesies tumbuhan
yang dominan di lokasi tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, M. 2003 Intersepsi Hujan Oleh Hutan dan
Kebun Coklat di Kawasan Batas Hutan
Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi
Tengah. Tesis. Sekolah Pascasarjana
Institut Pertanian Bogor. Bogor
Arsyad, U. 1983. Studi Intersepsi Cyrah Hujan Pada
Hutan Alam Di Sub DAS Malino Daerah
Aliran Sungai Sa’dan. Skripsi. Fakultas Ilmu-
ilmu Pertanian Universitas Hasanuddin.
Ujung Pandang
Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah
Aliran Sungai. Gadjah Mada University
Press. Yogyakarta
Asdak, C., Jarvis, P.G., Gardingen, V.P., dan Fraser,
A. 1998. Rainfall Interception Loss in
Unlogged and Logged Forest Areas of
Central Kalimantan, Indonesia. Journal of
Hydrology 206 (1998) 237-224.
Bahmani, H.G., Attarod, P., Bayramzadeh, V.,
Ahmadi, M.T., dan Radmehr, A. 2012.
Throughfall, Stemflow and Rainfall
Interception in a Natural Pure Forest of
Chestnut-Leaved Oak (Quercus
castaneifolia C.S.Mey) in the Caspian Forest
of Iran. Ann. For.Res 55 (2) :197-206
Dinata, R.J. 2007. Intersepsi pada Berbagai Kelas
Umur Tegakan Karet (Havea brasiliensis)
(Studi Kasus di Desa Huta II Tumorang,
Kecamatan Gunung Malingas Kabupaten
Simalungun). Skripsi. Departemen
Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas
Sumatera Utara. Medan
Ghimire, C.P, Bruinjnzeel, L.A, dan Lubczynsky,M.W.
2012. Rainfall Interception by Natural and
Planted Forest in the Middle Mountains of
Nepal. Geophysical Research Abstracts. Vol.
14, EGU 2012-9192-1.
Hawlett, J.D. dan Nutter,W.L.1969. An Outline of
Forest Hydrology. University of Georgia
Press. Athens.
Heryansyah, L.E. 2008. Intersepsi Hujan Pada
Hutan Tanaman Agathis loranthifolia Sal. Di
DAS Cicatih Hulu Sukabumi. Skripsi.
Departemen Geofisika dan Meteorologi
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam IPB. Bogor
Linsley, R.K, Kohler, M.A dan Paulhus, J.L.H. 1975.
Applied Hydrology. Mc Graw-Hill. New York.
Hal. 264 – 268
Pelawi, S.F. 2009. Intersepsi pada Berbagai Kelas
Umur Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis). Skripsi. Departemen Kehutanan
Fakultas Pertanian Universitas Sumatera
Utara. Medan
Rauf, A., Pawitan, H., June, T., Kusmana, C., dan
Gravenhorst, G. 2008. Intersepsi Hujan dan
Pengaruhnya terhadap pemindahan Energi
dan Massa Pada Hutan Hujan Tropika
Basah “Studi Kasus Taman Nasional Lore
Lindu”. J.Agroland 15 (3) : 166-174. ISSN :
0854-641X
Rusli dan Heryana, N. 2012. Karakter Morfologi Pala
Asal Grafting Menggunakan Cabang
Ortotrop dan Plagiotrop. Skripsi. Balai
Penelitian Tanaman Indusrtri dan Penyegar.
Sukabumi
Sosrodarsono, S, dan Takeda, K. 1999. Hidrologi
Untuk Pengairan. PT Pradnya Paramita.
Jakarta
Supangat, A.B., Sudira, P., Supriyo, H., dan
Poedjirahajoe, E. 2012. Studi Intersepsi
Hujan pada Hutan Tanaman Eucalyptus
pellita di Riau. Agritech Vol. 32, No. 3.
Wiersum, K.F. 1979. Introduction to Principles of
Forest Hydrology and Erosion. Lembaga
Ekologi Universitas Padjadjaran. Bandung.