14
Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan Percabangan Horizontal pada Hutan Alam di Sub- Sub DAS Tangga Sub Das Malino DAS Jeneberang Analysis of Rainfall Transformation on Horizontal Branching Trees in Natural Forest at Tangga River of Malino sub-basin watershed of Jeneberang Watershed Dwi Indah Puspita 1) , Usman Arsyad 2) , Beta Putranto 2) 1) Mahasiswa, Laboratorium Perencanaan dan Sistem Informasi Kehutanan dan Daerah Aliran Sungai, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar ; [email protected] 2) Staf Pengajar, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar ABSTRACT The aim of this study was to determine the relationship between rainfall and throughfall, stemflow and interception in the natural forest at Tangga River basin of Jeneberang Watershed, particularly those of horizontal- branching trees. This study was conducted for two months. The throughfall and stemflow measurements were performed at 08.00 am every day. There were 36 rain days during the study. Interception was obtained by subtracting the amount of total rainfall with throughfall and stemflow. The results showed that the largest part of the total rainfall that reached the forest’s floor was throughfall (66.99%), followed by interception (32.76%) and stemflow (0.25%). There was a significant quadratic relationship between rainfall and throughfall, stemflow and interception. The increase of rainfall had positive effect on throughfall and stemflow. The interception tended to increase when the rainfall was small but it would be decrease when the rainfall was greater than 20,56 mm. Keywords : Throughfall, stemflow, interception, natural forest, horizontal branching tree. PENDAHULUAN Curah hujan yang jatuh di permukaan bumi pada lahan bervegetasi tidak seluruhnya jatuh ke permukaan tanah dan menjadi bagian dari air tanah. Pada saat terjadi hujan, sebagian air hujan yang jatuh dan mengenai permukaan vegetasi akan tertahan sementara pada tajuk vegetasi, sebagiannya lagi akan jatuh melalui celah-celah daun, ranting dan cabang atau mengalir pada batang vegetasi tersebut hingga mencapai permukaan tanah. Proses tertahannya curah hujan pada tajuk vegetasi dan diuapkan kembali ke atmosfer dikenal dengan istilah intersepsi. Selain intersepsi ada bagian dari curah hujan yang sampai ke permukaan tanah melalui celah-celah daun, ranting, cabang disebut air lolos (throughfall) dan yang mengalir

Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

  • Upload
    others

  • View
    11

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan Percabangan Horizontal pada Hutan Alam di Sub-

Sub DAS Tangga Sub Das Malino DAS Jeneberang

Analysis of Rainfall Transformation on Horizontal Branching Trees in Natural Forest at Tangga River of Malino

sub-basin watershed of Jeneberang Watershed

Dwi Indah Puspita1), Usman Arsyad2), Beta Putranto2)

1) Mahasiswa, Laboratorium Perencanaan dan Sistem Informasi Kehutanan dan Daerah Aliran Sungai,

Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar ; [email protected]

2) Staf Pengajar, Fakultas Kehutanan, Universitas Hasanuddin, Makassar

ABSTRACT

The aim of this study was to determine the relationship between rainfall and throughfall, stemflow and

interception in the natural forest at Tangga River basin of Jeneberang Watershed, particularly those of horizontal-

branching trees. This study was conducted for two months. The throughfall and stemflow measurements were

performed at 08.00 am every day. There were 36 rain days during the study. Interception was obtained by

subtracting the amount of total rainfall with throughfall and stemflow.

The results showed that the largest part of the total rainfall that reached the forest’s floor was throughfall

(66.99%), followed by interception (32.76%) and stemflow (0.25%). There was a significant quadratic relationship

between rainfall and throughfall, stemflow and interception. The increase of rainfall had positive effect on

throughfall and stemflow. The interception tended to increase when the rainfall was small but it would be decrease

when the rainfall was greater than 20,56 mm.

Keywords : Throughfall, stemflow, interception, natural forest, horizontal branching tree.

PENDAHULUAN

Curah hujan yang jatuh di permukaan bumi

pada lahan bervegetasi tidak seluruhnya jatuh ke

permukaan tanah dan menjadi bagian dari air tanah.

Pada saat terjadi hujan, sebagian air hujan yang

jatuh dan mengenai permukaan vegetasi akan

tertahan sementara pada tajuk vegetasi,

sebagiannya lagi akan jatuh melalui celah-celah

daun, ranting dan cabang atau mengalir pada

batang vegetasi tersebut hingga mencapai

permukaan tanah.

Proses tertahannya curah hujan pada tajuk

vegetasi dan diuapkan kembali ke atmosfer dikenal

dengan istilah intersepsi. Selain intersepsi ada

bagian dari curah hujan yang sampai ke permukaan

tanah melalui celah-celah daun, ranting, cabang

disebut air lolos (throughfall) dan yang mengalir

Page 2: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

pada batang vegetasi hingga mencapai lantai hutan

disebut aliran batang (stemflow). Besarnya

intersepsi dapat dihitung dari perbedaan curah hujan

kotor (gross presipitation) dan curah hujan bersih

(net precipitation). Nilai curah hujan bersih diperoleh

dari penjumlahan nilai air lolos dan aliran batang

yang didapat dari hasil pengukuran di lapangan.

Proses intersepsi dipengaruhi oleh intensitas

hujan, kecepatan angin dan beda suhu antara

permukaan tajuk dan suhu atmosfer. Besarnya air

hujan yang diintersepsikan merupakan fungsi dari :

1) karakteristik hujan, 2) jenis, umur dan kerapatan

vegetasi, dan 3) musim pada tahun yang

bersangkutan (Asdak, 2010).

Penutupan lahan oleh vegetasi memberikan

dampak tertahannya curah hujan di atas daun (tajuk)

ketika hujan berlangsung. Penelitian yang dilakukan

oleh Ford dan Deans (1978) dalam Heryansah

(2008) didapat bahwa struktur kanopi pada vegetasi

hutan mempengaruhi air yang lolos hingga

menyentuh lantai dasar hutan (tanah). Lebarnya

daun serta ketebalan tajuk dan kerapatan vegetasi

memengaruhi besarnya nilai air lolos. Sedang

besarnya air yang mengalir pada batang tanaman

tergantung dari struktur cabang vegetasi itu sendiri.

Kemiringan cabang pada satu pohon akan

mengalirkan air hujan menuju batang dan jatuh ke

tanah sebagai aliran batang (Ford dan Deans 1978

dalam Heryansah (2008).

Intersepsi sebagai salah satu komponen daur

hidrologi dianggap sebagai faktor penting dalam

suatu Daerah Aliran Sungai (DAS). Berkurangnya air

hujan yang sampai di permukaan tanah oleh adanya

proses intersepsi adalah cukup besar. Berdasarkan

penelitian yang dilakukan oleh Bruijnzeel (1990)

dalam Asdak (2010), besarnya intersepsi di hutan

hujan tropis berkisar antara 10-35 % dari curah

hujan total. Sedang penelitian yang dilakukan Rauf

dkk (2008) pada hutan tropika basah di Taman

Nasional Lore Lindu memperoleh intersepsi sebesar

36,25% dari total curah hujan (1659 mm). Ghimire

et.al (2012) memperoleh besarnya intersepsi yaitu

22,50% dari total curah hujan (319 mm) pada hutan

alam di Nepal. Besarnya intersepsi ini dapat

memberikan dampak dengan skala kecil sampai

sedang terhadap keadaan neraca air suatu DAS,

karena adanya defisit kelembaban lokal sebagai

akibat penurunan jumlah presipitasi dan air lolos

yang sampai ke permukaan tanah (Heryansah,

2008).

Penelitian yang berbasis hidrologi pada Sub

DAS Malino telah dilakukan pada tahun-tahun

sebelumnya. Unsur-unsur hidrologi yang

berpengaruh pada DAS seperti distribusi curah

hujan, infiltrasi, simpanan air tanah, debit air

dilakukan untuk menganalisis kondisi sub DAS

Malino yang memiliki peran penting bagi ekosistem.

Penelitian ini dilakukan untuk menduga

komponen intersepsi pada Hutan Alam di Sub-Sub

DAS Tangga Sub DAS Malino DAS Jeneberang.

Data yang diperoleh dapat digunakan untuk melihat

besarnya air lolos (throughfall), aliran batang

(stemflow) dan intersepsi (interception) pada saat

terjadinya hujan yang dikhususkan pada pohon

dengan percabangan horizontal dan untuk

Page 3: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

mengetahui hubungan antara curah hujan dengan

air lolos, aliran batang dan intersepsi.

METODE PENELITIAN

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan selama dua bulan,

dimulai pada bulan Desember 2013 sampai dengan

Februari 2014 di Sub-Sub DAS Tangga Sub DAS

Malino DAS Jeneberang yang secara administratif

berada di Kelurahan Gantarang, Kecamatan

Tinggimoncong, Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi

Selatan.

Gambar 1. Peta lokasi penelitian Horizontal pada Hutan Alam di Sub-Sub DAS Tangga Sub Das Malino

DAS Jeneberang (Sumber : Analisis SIG dan Peta RBI)

Alat dan Bahan

Alat dan bahan yang digunakan dalam

penelitian ini yaitu empat buah alat penakar hujan

tipe observatorium, jerigen, selang plastik dengan

panjang 150-200 cm, meteran, gelas ukur 250 ml,

tali rafiah, GPS, Termometer, alat tulis-menulis,

hutan alam, lem silikon, citra landsat 8 tahun 2013,

peta kelerengan.

Prosedur Peneltitian

1. Persiapan Penelitian

a) Menginterpretasi penutupan lahan berdasarkan

citra landsat 8 tahun 2013

Page 4: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

b) Mengoverlay peta penutupan lahan dengan peta

kelerengan.

c) Menentukan lokasi penelitian berdasarkan

penutupan lahan hutan alam sekunder dengan

kemiringan lereng >40%.

d) Penentuan lokasi untuk peletakan alat penakar

curah hujan.

e) Perakitan alat-alat yang akan digunakan untuk

mengukur air lolos (throughfall) dan aliran

batang (stemflow).

2. Pelaksanaan penelitian

a) Penentuan Plot Penelitian

Penentuan plot penelitian dilakukan sedemikian

rupa sehingga dapat mewakili seluruh objek yang

diteliti. Untuk itu terlebih dahulu dilakukan orientasi

lapangan sehingga dapat ditentukan lokasi yang

sesuai dan representatif. Lokasi penelitian yaitu di

hutan alam sekunder dengan plot penelitian

berukuran 20 m x 20 m.

b) Pengumpulan Data

1) Pengukuran Curah Hujan

Pengukuran curah hujan dilakukan dengan

menggunakan alat penakar curah hujan tipe

observatorium. Penakar curah hujan diletakkan pada

tempat yang datar, dengan tiupan angin yang relatif

lemah dan tidak ada tutupan disekitarnya yang dapat

menambah atau mengurangi jumlah curah hujan

yang masuk ke penakar. Curah hujan diukur

berdasarkan curah hujan harian yang diamati setiap

pukul 08.00 pagi waktu setempat.

2) Air Lolos (Throughfall)

Air lolos diukur dengan menempatkan tiga buah

alat penakar di bawah tajuk pohon pada tiga

keadaan, yaitu di ujung tajuk (ut), tengah tajuk (tt)

dan di dekat batang (db). Posisi alat penakar air

lolos dipindah-pindahkan setiap 10 kali pengamatan

pada empat arah mata angin yaitu utara, selatan,

timur dan barat. Hal ini dilakukan dengan

pertimbangan agar hasilnya lebih representatif. Data

air lolos diukur setiap pukul 08.00 pagi waktu

setempat.

3) Aliran Batang (Stemflow)

Aliran batang diukur dengan cara melilitkan

selang plastik yang sudah dibelah dari atas ke

bawah bagian batang (sebagai talang) dan ujung

selang bagian bawah dihubungkan ke jerigen

penampungan air. Agar tidak terdapat rongga antara

selang dengan batang maka rongga tersebut ditutup

dengan lem silikon atau semacamnya untuk

mencegah terjadinya kebocoran aliran batang. Nilai

aliran batang diukur setiap hari hujan pada pukul

08.00 pagi waktu setempat. Pemilihan pohon yang

menjadi sampel penelitian yaitu pohon dengan

percabangan horizontal. Percabangan horizontal

adalah cabang yang tumbuh pada batang utama

dengan arah pertumbuhannya mendatar (Rusli dan

Heryana, 2012) .

4) Pengukuran Diameter Tajuk

Diameter tajuk diukur dengan cara

memproyeksikan besarnya lingkaran tajuk ke

permukaan tanah. Pertama-tama diameter diukur

untuk menentukan diameter terpanjang, kemudian

melakukan pengukuran kembali dengan posisi yang

tegak lurus terhadap diameter terpanjang, dan

kedua hasil tersebut dirata-ratakan untuk

memperoleh diameter tajuk (Anwar, 2003). Dengan

Page 5: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

mengetahui diameter tajuk maka luas penutupan

tajuk dapat diketahui dengan rumus : L = π r2

(Arsyad, 1983).

5) Pengukuran Diameter Batang

Diameter batang diperoleh dengan terlebih

dahulu mengukur keliling batang dengan

menggunakan meteran atau pita ukur. Pengukuran

keliling dilakukan pada diameter setinggi dada di

atas permukaan tanah untuk semua pohon yang ada

dalam plot. Diameter pohon yang diukur aliran

batangnya adalah diameter pohon rata-rata.

6) Pengamatan Kecepatan Angin

Pengamatan kecepatan angin dapat dilakukan

dengan mengamati kondisi di atas permukaan tanah.

Kecepatan angin diperkirakan dengan menggunakan

tabel gradasi kecepatan angin Beaufort.

7) Pengukuran suhu udara

Keadaan suhu udara harian diamati dengan

menggunakan Termometer.

3) Pengolahan Data

Data curah hujan harian yang tertampung pada

alat penakar hujan dihitung dengan menggunakan

rumus menurut Asdak (2010). Jumlah air lolos dan

aliran batang diukur dalam satuan mililiter (ml)

kemudian dikonversi ke dalam satuan tinggi kolom

air (mm) dengan menggunakan rumus menurut

Asdak (2010). Dari hasil pengukuran curah hujan, air

lolos, dan aliran batang, besarnya intersepsi dapat

dihitung berdasarkan Pendekatan Neraca Volume

(volume balance approach) (Asdak, 2010).

4) Analisis Data

Seluruh perhitungan air lolos, aliran batang dan

intersepsi serta bentuk hubungan curah hujan

dengan air lolos, aliran batang serta intersepsi

dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak

(software) microsoft excel. Untuk menduga

hubungan besarnya intersepsi, aliran batang dan air

lolos dengan curah hujan dilakukan dengan

menggunakan analisis regresi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengumpulan data curah hujan, air lolos, aliran

batang dan intersepsi dilakukan mulai tanggal 26

Desember 2013 sampai 4 Februari 2014.

Pembuatan plot penelitian pada hutan sekunder.

Pohon yang menjadi sampel pada penelitian ini

adalah pohon yang memiliki percabangan horizontal

(arah pertumbuhannya mendatar) dengan diamater

rata-rata 25,01 cm.

Selama penelitian tercatat sebanyak 36 hari

hujan dengan total curah hujan sebesar 661,80 mm.

Hasil penelitian terhadap curah hujan harian sangat

bervariasi, menyebabkan bervariasinya nilai-nilai

harian dari aliran batang, air lolos dan intersepsi

curah hujan.

1. Curah Hujan (Gross Precipitation)

Hasil pengamatan selama penelitian dari bulan

Desember 2013 sampai Februari 2014 tercatat

sebanyak 36 hari hujan dengan jumlah curah hujan

seluruhnya adalah 661,80 mm. Curah hujan di lokasi

penelitian ini sangat bervariasi. Curah hujan rata-

rata pada tiap kejadian hujan dalam jangka waktu

tersebut adalah 18,38 mm dengan variasi harian

Page 6: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

1,80 – 31,40 mm. Curah hujan tertinggi terjadi pada

tanggal 20 Januari 2014 yaitu sebesar 31,40 mm

dan terendah pada tanggal 11 Januari 2014

Distribusi curah hujan menunjukan bahwa curah

hujan antara 20 – 50 mm/hari lebih sering terjadi

selama penelitian yaitu 21 kejadian hujan dengan

persentase 58,30 % dari total hari hujan. Selama

penelitian menunjukkan kelas hujan normal lebih

sering terjadi. Frekuensi kejadian hujan berdasarkan

kelas hujan (Sosrodasrsono dan Takeda, 1999)

selama waktu penelitian disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1 Persentase kejadian hujan selama penelitian berdasarkan kelas hujan

Kategori Hujan

Interval Intensitas

Curah Hujan

(mm/hari)*

Kejadian Hujan

(Hari)

Persentase Kejadian

Hujan (%)

Hujan sangat ringan <5 2 5,60

Hujan ringan 5-20 13 36,10

Hujan normal 20-50 21 58,30

Hujan lebat 50-100 0 0

Hujan sangat lebat >100 0 0

2. Air Lolos (Throughfall)

Hasil pengukuran air lolos di lapangan selama

penelitian pada hutan alam diperoleh jumlah air lolos

443,33 mm atau sebesar 66,99% dari total curah

hujan. Jumlah air lolos tertinggi dalam jangka

waktupenelitian yaitu pada tanggal 20 Januari 2014

sebesar 25,67 mm atau sebesar 81,74% dari total

Gambar 2. Grafik fluktuasi harian air lolos

curah hujan. Sedangkan jumlah air lolos terkecil

yaitu sebesar 0,40 mm atau sebesar 22,22% dari

total curah hujan pada tanggal 11 Januari 2014.

Variasi persentase harian nilai air lolos terhadap

curah hujan yaitu antara 20,63 – 81,74%.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh

Anwar (2003) diperoleh besarnya air lolos pada

hutan sekunder yaitu 74,90%. Sedang penelitian

yang dilakukan oleh Ghimire et al. (2012) pada

hutan alam di Nepal diperoleh air lolos sebesar

0

5

10

15

20

25

30

35

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

Curah Hujan (mm)

Air lolos (mm)

Kejadian Hujan (hari)

Kom

pone

n in

ters

epsi

(m

m)

Page 7: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

76,20% dari total curah hujan. Arsyad (1983) dalam

penelitiannya pada hutan alam di Sub DAS Malino

memperoleh nilai air lolos sebesar 70% dari total

curah hujan. Apabila dibandingkan hasil penelitian

intersepsi dengan penelitian terdahulu nilai ini

merupakan persentase yang cukup tinggi, sehingga

menunjukkan bahwa air lolos merupakan bagian

yang paling besar dari curah hujan yang menyentuh

lantai hutan. Untuk fluktusai harian air lolos selama

penelitian disajikan pada Gambar 2.

3. Aliran Batang (Stemflow)

Hasil pengukuran aliran batang yang diperoleh

di lapangan selama penelitian pada hutan alam yaitu

sebesar 1,65 mm atau sekitar 0,25 % dari total curah

hujan. Nilai aliran batang tertinggi yaitu pada tanggal

20 Januari 2014 sebesar 0,12 mm atau sekitar

0,37% dari total curah hujan sedangkan nilai aliran

batang terendah yaitu 0 mm terjadi pada tanggal 11

Januari 2014. Variasi persentase harian nilai aliran

batang yaitu antara 0,00 –0,43 % dari total curah

hujan.

Gambar 3. Grafik fluktuasi harian aliran batang

Lee (1988) mengemukakan bahwa nilai aliran

batang adalah besaran yang nilainya paling kecil bila

dibandingkan dengan air lolos dan intersepsi.

Berdasarkan peneletian yang dilakukan oleh Rauf,

dkk (2008) pada hutan basah tropika diperoleh nilai

aliran batang sebesar 0,0657% dengan total curah

hujan sebesar 1659 mm. Sedangkan penelitian yang

dilakukan oleh Bahmani, dkk (2012) dan Supangat,

dkk (2012) pada hutan oak dan hutan tanaman

masing-masing nilai aliran batangnya yaitu 0,40%

dan 3,60%. Apabila membandingkan hasil penelitian

tersebut dengan penelitian yang dilakukan pada

hutan alam di Sub-sub DAS Tangga, nilai aliran

batang yang diperoleh sangat kecil. Untuk fluktuasi

aliran batang selama waktu penelitian disajikan pada

Gambar 3.

Selain air lolos, aliran batang juga mempunyai

peran penting dalam menentukan besarnya

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

0

5

10

15

20

25

30

35

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

Curah Hujan (mm)

Aliran Batang (mm)

Kejadian hujan (hari)

Cur

ah H

ujan

(m

m)

Aliran B

atang (mm

)

Page 8: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

intersepsi. Dari beberapa penelitian yang telah

dilakukan pada hutan alam, tegakan berdaun lebar

maupun konifer didapat bahwa aliran batang

merupakan elemen yang paling kecil terjadi pada

penelitian intersepsi. Menurut Wiersum (1979), nilai

aliran batang sangat kecil dan bervariasi antara 0 –

10% dari total curah hujan. Menurut Pidwirny (2004)

dalam Heryansyah (2008) keragaman ini disebabkan

oleh keragaman bentuk daun, batang serta arsitektur

cabang.

Rendahnya nilai aliran batang yang diperoleh

juga dipengaruhi oleh adanya tumbuhan lumut,

parasit, epifit yang terdapat pada pohon di hutan

alam karena dapat mengurangi jumlah air hujan

yang akan menjadi aliran batang. Karena pada

waktu hujan akan tertahan pada sistem tersebut.

Akibatnya aliran batang baru dapat terjadi setelah

kemampuan menyerap air dari lumut, tumbuhan

epifit dan parasit tersebut telah maksimum (jenuh).

4. Intersepsi tajuk (Crown Interception)

Hasil pengukuran intersepsi tajuk di lapangan

sebesar 216,81 mm atau 32,76% dari curah hujan

total. Jumlah intersepsi tertinggi selama penelitian

pada tanggal 3 Februari 2014 sebesar 7,97 mm atau

37,22% dari total curah hujan. Sedang intersepsi

terendah pada tanggal 11 Januari 2014 sebesar

1,40 mm atau 77,78% dari total curah hujan. Variasi

persentase intersepsi selama penelitian yaitu antara

17,88–79,25% dari total curah hujan. Nilai-nilai ini

diperkirakan tidak seluruhnya berasal dari intersepsi

tajuk, melainkan ada sebagian kecil yang berasal

dari tumbuhan yang ada pada batang pohon.

2

Gambar 4. Grafik fluktuasi harian intersepsi

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Anwar

(2003) pada hutan sekunder di Sulawesi Tengah

menemukan besarnya intersepsi yaitu 23,50%.

Sedang Asdak et al,.(1998) memperoleh nilai

intersepsi pada hutan tidak ditebang sebesar

11,00%. Melihat hasil penelitian tersebut, sedikit

berbeda dengan hasil penelitian yang diperoleh

pada hutan alam namun sesuai dengan pernyataan

Asdak (2010) bahwa besarnya intersepsi berkisar

antara 10-35 % dari curah hujan total dan semakin

0

5

10

15

20

25

30

35

1 3 5 7 9 11 13 15 17 19 21 23 25 27 29 31 33 35

Curah Hujan (mm)

Intersepsi(mm)

Kom

pone

n In

ters

epsi

(m

m)

Kejadian Hujan (Hari)

Page 9: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

tinggi curah hujan, maka jumlah air yang

diintersepsikan juga semakin besar. Hal ini sesuai

dengan pernyataan Singh (1992) dan Asdak (2004)

dalam Dinata (2007) bahwa bentuk, intensitas, dan

lamanya hujan berpengaruh terhadap intersepsi

yang terjadi. Untuk fluktuasi intersepsi yang terjadi

selama penelitian disajikan pada Gambar 4.

Untuk mengetahui bentuk hubungan antara

curah hujan dengan aliran batang, air lolos dan

intersepsi, dilakukan dengan analisis regresi

sederhana. Berdasarkan hasil analisis regresi,

ditemukan bahwa bentuk hubungan antara curah

hujan dengan aliran batang, air lolos dan intersepsi

menunjukan korelasi positif masing-masing dengan

koefisien korelasi (r) yaitu sebesar 0,933, 0,995 dan

0,851.

Hubungan Curah Hujan dengan Air Lolos

Hasil analisis regresi menunjukan bahwa

hubungan curah hujan (Pg) dengan air lolos (Tf)

menunjukan korelasi positif, dimana ketika curah

hujan meningkat maka air hujan yang menjadi air

lolos juga akan meningkat. Hal ini ditunjukan oleh

nilai koefisien korelasi (r) antara kedua komponen

tersebut. Nilai r untuk hubungan antara curah hujan

dengan air lolos yaitu 0,995. Sedang koefisien

determinasi (R2) untuk hubungan antara curah hujan

dan air lolos adalah 0,991. Hal ini menunjukan

bahwa variabel air lolos pada hutan alam sebesar

99,10% dipengaruhi oleh curah hujan sedangkan

sisanya sebesar 0,90% dipengaruhi oleh variabel

lain. Gambar 5 menunjukan grafik hubungan antara

curah hujan dengan air lolos pada hutan alam

sekunder.

Gambar 5. Grafik regresi antara curah hujan (mm) dengan air lolos (mm)

Persamaan regresi (Gambar 5.) berlaku untuk

suatu nilai air lolos jika Pg > 0, artinya bahwa pada

saat hujan mulai turun tidak langsung terjadi air lolos

(memerlukan waktu sesaat). Hal ini menggambarkan

bahwa besarnya air lolos dipengaruhi oleh waktu

terjadinya hujan (intensitas hujan), semakin lama

waktu terjadinya hujan (semakin besar intensitas

hujan) maka akan semakin besar pula air lolos.

ỳ1 = - 0.880 + 0.342x + 0.017x2 R² = 0.991

0

5

10

15

20

25

30

0 5 10 15 20 25 30 35

Air

Lolo

s (m

m)

Curah hujan (mm)

Page 10: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

Hasil penelitian menunjukan bahwa semakin

tinggi kelas hujan, maka semakin besar air lolos

yang terjadi. Pada hutan alam menunjukan bahwa

perubahan air lolos bervariasi, tetapi memiliki

kecenderungan bahwa air lolos meningkat dengan

semakin besar kelas hujan. Secara persentase juga

terjadi hal yang sama bahwa semakin besar kelas

hujan air lolos semakin meningkat. Artinya bahwa

apabila terjadi hujan dengan intensitas rendah dan

waktu singkat, maka air lolos yang terjadi relatif kecil

atau bahkan tidak terjadi air lolos. Hal ini terjadi

karena air yang mengalir melalui celah-celah tajuk

terlebih dahulu ditahan oleh tajuk untuk

membasahkan tajuk sampai tercapai penjenuhan

kapasitas tampung tajuk, disamping itu kemungkinan

terjadi yaitu curah hujan yang jatuh di atas tajuk

ditahan dan diuapkan kembali ke atmosfer.

Hubungan antara curah hujan dan aliran batang

Berdasarkan hasil analisis regresi, nilai koefisien

determinasi (R2) untuk hubungan antara curah hujan

dan aliran batang adalah sebesar 0,872 atau

87,20%, yang artinya variabel aliran batang

dipengaruhi variabel curah hujan sebesar 87,20%

sedangkan sisanya 12,80% dipengaruhi oleh

variabel lain.

Gambar 6. Grafik regresi antara curah hujan (mm) dengan aliran batang (mm).

Dalam hubungannya dengan aliran batang,

setiap pohon pada hutan alam memegang peranan

penting. Pada umumnya karakteristik vegetasi pada

hutan alam yaitu, terdiri dari pohon-pohon yang

cukup tinggi, kekasaran kulit batang bervariasi dari

yang licin hingga kasar, juga terdapat tumbuhan

epifit dan tumbuhan lain di bawah pohon utama.

Demikian halnya pada pohon di lokasi penelitian

(Barringtonia sp.) yang ditumbuhi oleh tumbuhan

epifit, lumut dan parasit. Pada beberapa pohon

ditemukan pertumbuhan lumut dan parasit yang

cukup banyak bahkan menyebar ke seluruh bagian

pohon, mulai dari pangkal batang sampai ke

percabangan. Hal ini yang diperkirakan sangat

mempengaruhi besarnya aliran batang. Dalam hal ini,

lumut, tumbuhan epifit serta parasit dapat

mengurangi jumlah air hujan yang akan menjadi

aliran batang, karena pada waktu hujan akan

ỳ2 = 0.021 - 0.004x + 0.001x2 R² = 0.872

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

0 5 10 15 20 25 30 35

Alir

an B

atan

g (m

m)

Curah Hujan (mm)

Page 11: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

tertahan pada daerah tersebut. Akibatnya, aliran

batang baru dapat dimulai setelah kemampuan

menyerap air dari lumut, parasit dan epifit tersebut

telah maksimum (jenuh).

Selain dipengaruhi oleh lumut, parasit dan epifit,

faktor lain yang yang mempengaruhi besarnya aliran

batang adalah arsitektur cabang. Keadaan

percabangan/ ranting-ranting dengan posisi

mendatar atau condong ke bawah diperkirakan tidak

dapat menambah jumlah aliran batang. Cabang atau

ranting yang demikian akan menahan bagian air

hujan yang jatuh di atasnya tanpa mengalirkannya

ke batang, melainkan akan jatuh sebagai air lolos

atau mungkin diserap oleh bagian pohon tersebut.

Hubungan antara curah hujan dan intersepsi

Curah hujan mempunyai hubungan yang erat

dengan intersepsi, hal ini dapat dilihat dari tingginya

nilai korelasi antara curah hujan dengan intersepsi

yaitu sebesar 0,851. Hasil analisis regresi

menunjukkan bahwa koefisien determinasi (R2)

sebesar 0,725 atau 72,50%, artinya bahwa 72,50%

variabel intersepsi dipengaruhi oleh curah hujan dan

sisanya 27,50% dipengaruhi oleh variabel lain.

Gambar 7. Grafik regresi antara curah hujan (mm) dengan intersepsi (mm)

Intersepsi memiliki hubungan yang sangat erat

dengan curah hujan. Semakin tinggi curah hujan,

maka jumlah air yang di intersepsikan juga semakin

besar. Namun ketika curah hujan yang turun lebih

besar dari kapasitas tajuk maka proporsi air hujan

yang diintersepsikan akan semakin kecil, hal ini

terjadi karena kapasitas penampungan air intersepsi

yang telah jenuh air. Hal ini sesuai dengan

pernyataan Siregar et al. (2006) dalam Pelawi

(2009) yang menyatakan bahwa kapasitas intersepsi

beragam dan berbanding terbalik dengan curah

hujan. Hal ini juga didukung oleh penelitian yang

dilakukan Arsyad (1983) yang menemukan

hubungan antara curah hujan dan intersepsi adalah

kuadratik.

Berdasarkan Gambar 7., dapat dilihat bahwa

hubungan antara curah hujan dengan intersepsi

adalah kuadratik. Terjadinya hubungan kuadratik ini

ỳ3 = 0,859 + 0,661x - 0,016x2 R² = 0.725

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

0 5 10 15 20 25 30 35

Inte

rsep

si (

mm

)

Curah Hujan (mm)

Page 12: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

disebabkan terjadi kejenuhan daun pada curah

hujan tertentu. Ada dua faktor yang diperkirakan

paling berperan dalam terjadinya kejenuhan daun

pada hutan alam, yaitu faktor vegetasi (hutan alam)

dan faktor cuaca. Dalam hubungannya dengan

faktor vegetasi, maka sifat permukaan daun dari

setiap pohon di hutan alam paling berperan terhadap

proses kejenuhan daun. Hawlett dan Nutter (1969)

mengatakan bahwa sifat permukaan daun licin dan

kasar merupakan salah satu faktor yang penting

dalam intersepsi. Daun dengan permukaan licin

akan cepat mengalami kejenuhan. Dengan demikian

dapat diperkirakan bahwa pada hutan alam akan

mempunyai tingkat kejenuhan yang rendah, dan

hanya membutuhkan sejumlah kecil air hujan untuk

menjenuhkannya.

Untuk faktor cuaca, variabel yang

mempengaruhi intersepsi yaitu curah hujan,

kecepatan angin, kelembaban udara dan radiasi

matahari. Curah hujan mempengaruhi besar

kecilnya intersepsi. Seperti yang telah dijelaskan

sebelumnya, semakin besar curah hujan semakin

besar pula jumlah air yang diintersepsikan. Namun

ketika curah hujan yang turun lebih besar dari

kapasitas penyimpanan tajuk maka proporsi air

hujan yang diintersepsikan akan semakin kecil. Di

sisi lain, curah hujan juga mempengaruhi

kelembaban udara. Dalam hubungannya dengan

penguapan, semakin lembab udara, semakin

berkurang pula kemampuannya mengabsorbsi air.

Dalam hubungannya dengan radiasi matahari,

maka seperti yang telah diuraikan, selama penelitian

berlangsung sering terjadi hari cerah. Hal ini

menyebabkan semua permukaan daun menjadi

lebih kering, termasuk permukaan daun hutan alam.

Permukaan yang lebih kering ini, akan mempunyai

kemampuan menahan air yang lebih besar. Dalam

hubungan ini maka permukaan daun hutan alam

akan mampu menahan air hujan yang lebih banyak.

Dengan demikian hari-hari cerah yang terjadi selama

penelitian, akan memperbesar jumlah air yang

diintersepsikan oleh hutan alam.

Selain itu, kecepatan angin juga merupakan

salah satu faktor yang dianggap mempengaruhi

besarnya intersepsi. Pengaruhnya dapat

memperbesar atau mengurangi jumlah air yang

terintersepsi. Menurut Linsley et.al.(1975), apabila

hujan disertai angin mula-mula kecepatan intersepsi

rendah, setelah daun jenuh maka kecepatan

intersepsi dapat meningkat oleh pengaruh angin

terhadap penguapan.

Berdasarkan persamaan regresi diketahui pula

bahwa apabila curah hujan (x) sama dengan 0,

hutan alam telah mengintersepsikan air hujan

sebesar 0,859 mm (Gambar 7.). Diduga hal ini

terjadi karena selama waktu penelitian curah hujan

yang sangat ringan (mendekati 0 atau < 5 mm) dan

curah hujan ringan (5- 20 mm) sering terjadi. Artinya

bahwa pada saat curah hujan yang sangat ringan

terjadi, air hujan yang tertahan pada vegetasi hampir

seluruhnya terintersepsi (intersepsi sangat tinggi),

dan tidak ada curah hujan yang sampai ke

permukaan tanah sebagai air lolos dan aliran batang.

Dari hasil analisis regresi ditemukan bahwa

kejenuhan daun hutan alam tercapai pada curah

hujan 20,56 mm. Pada keadaan ini sebagian besar

Page 13: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

air hujan yang tertahan di atas permukaan tajuk

akan dilewatkan ke bawah sebagai air lolos, hanya

sebagian kecil yang ditahan untuk diuapkan kembali.

Dengan katan lain, kemungkinan terjadinya

hubungan linear antara curah hujan dengan

intersepsi hanya dapat mencapai sampai curah

hujan 20,56 mm. Jika curah hujan sebesar 20,56

mm ini terlampaui, maka hubungan tersebut

cenderung berbentuk kuadratik.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Besarnya air lolos (throughfall), aliran batang

(stemflow), dan intersepsi (interception) pada

hutan alam di Sub-sub DAS Tangga Sub DAS

Malino DAS Jeneberang masing-masing sebesar

sebesar 66,99%, 0,25%, 32,76% dari total curah

hujan.

2. Hubungan antara curah hujan dengan air lolos,

aliran batang dan intersepsi menunjukkan

korelasi yang positif. Hal ini ditunjukkan oleh

koefisien korelasi (r) antara variabel tersebut

masing-masing sebesar 0,995, 0,933, dan 0,851.

Sedang koefisien determinasi (R2) pada ketiga

variabel tersebut masing-masing sebesar 0,991,

0,872 dan 0,725. Artinya variabel air lolos, aliran

batang dan intersepsi masing-masing sebesar

99,10%, 87,20% dan 72,50% dipengaruhi oleh

variabel curah hujan sedang sisanya dipengaruhi

oleh variabel lain.

Saran

1. Diperlukan adanya penelitian intersepsi pada

hutan tersebut yang lebih lama dan lebih luas.

Dalam hal ini juga perlu dilakukan penelitian

intersepsi pada pohon dengan bentuk

percabangan vertikal pada lokasi tersebut.

2. Diperlukan adanya penelitian lebih lanjut tentang

LAI (Leaf Area Index) pada spesies tumbuhan

yang dominan di lokasi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, M. 2003 Intersepsi Hujan Oleh Hutan dan

Kebun Coklat di Kawasan Batas Hutan

Taman Nasional Lore Lindu Sulawesi

Tengah. Tesis. Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor. Bogor

Arsyad, U. 1983. Studi Intersepsi Cyrah Hujan Pada

Hutan Alam Di Sub DAS Malino Daerah

Aliran Sungai Sa’dan. Skripsi. Fakultas Ilmu-

ilmu Pertanian Universitas Hasanuddin.

Ujung Pandang

Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah

Aliran Sungai. Gadjah Mada University

Press. Yogyakarta

Asdak, C., Jarvis, P.G., Gardingen, V.P., dan Fraser,

A. 1998. Rainfall Interception Loss in

Unlogged and Logged Forest Areas of

Central Kalimantan, Indonesia. Journal of

Hydrology 206 (1998) 237-224.

Bahmani, H.G., Attarod, P., Bayramzadeh, V.,

Ahmadi, M.T., dan Radmehr, A. 2012.

Throughfall, Stemflow and Rainfall

Interception in a Natural Pure Forest of

Chestnut-Leaved Oak (Quercus

castaneifolia C.S.Mey) in the Caspian Forest

of Iran. Ann. For.Res 55 (2) :197-206

Page 14: Analisis Transformasi Curah Hujan pada Pohon dengan

Dinata, R.J. 2007. Intersepsi pada Berbagai Kelas

Umur Tegakan Karet (Havea brasiliensis)

(Studi Kasus di Desa Huta II Tumorang,

Kecamatan Gunung Malingas Kabupaten

Simalungun). Skripsi. Departemen

Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas

Sumatera Utara. Medan

Ghimire, C.P, Bruinjnzeel, L.A, dan Lubczynsky,M.W.

2012. Rainfall Interception by Natural and

Planted Forest in the Middle Mountains of

Nepal. Geophysical Research Abstracts. Vol.

14, EGU 2012-9192-1.

Hawlett, J.D. dan Nutter,W.L.1969. An Outline of

Forest Hydrology. University of Georgia

Press. Athens.

Heryansyah, L.E. 2008. Intersepsi Hujan Pada

Hutan Tanaman Agathis loranthifolia Sal. Di

DAS Cicatih Hulu Sukabumi. Skripsi.

Departemen Geofisika dan Meteorologi

Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan

Alam IPB. Bogor

Linsley, R.K, Kohler, M.A dan Paulhus, J.L.H. 1975.

Applied Hydrology. Mc Graw-Hill. New York.

Hal. 264 – 268

Pelawi, S.F. 2009. Intersepsi pada Berbagai Kelas

Umur Tegakan Kelapa Sawit (Elaeis

guineensis). Skripsi. Departemen Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Sumatera

Utara. Medan

Rauf, A., Pawitan, H., June, T., Kusmana, C., dan

Gravenhorst, G. 2008. Intersepsi Hujan dan

Pengaruhnya terhadap pemindahan Energi

dan Massa Pada Hutan Hujan Tropika

Basah “Studi Kasus Taman Nasional Lore

Lindu”. J.Agroland 15 (3) : 166-174. ISSN :

0854-641X

Rusli dan Heryana, N. 2012. Karakter Morfologi Pala

Asal Grafting Menggunakan Cabang

Ortotrop dan Plagiotrop. Skripsi. Balai

Penelitian Tanaman Indusrtri dan Penyegar.

Sukabumi

Sosrodarsono, S, dan Takeda, K. 1999. Hidrologi

Untuk Pengairan. PT Pradnya Paramita.

Jakarta

Supangat, A.B., Sudira, P., Supriyo, H., dan

Poedjirahajoe, E. 2012. Studi Intersepsi

Hujan pada Hutan Tanaman Eucalyptus

pellita di Riau. Agritech Vol. 32, No. 3.

Wiersum, K.F. 1979. Introduction to Principles of

Forest Hydrology and Erosion. Lembaga

Ekologi Universitas Padjadjaran. Bandung.