BAB I-IV

Embed Size (px)

Citation preview

aa1

123


BAB I PENDAHULUAN

I.Latar Belakang Sejarah pemerintahan Indonesia, sejak kemerdekaan selalu menghadirkan otonomi sebagai sistem bernegara. Dalam setiap UUD yang pernah berlaku selalu tedapat pasal yang mengatur tentang penyelenggaraan desentralisasi di Indonesia. Untuk mewujudkan otonomi daerah sebagaimana di amanatkan UUD, hampir setiap kabinet yang terbentuk di masa lalu mencantumkan desentralisasi sebagai program kerjanya. Amanat konstitusi tersebut diterjemahkan dan diimplementasikan oleh pemerintah yang silih berganti secara berbeda-beda dalam hal gradasi, skala, dan besaran subtansi desentralisasi, sebagai hasil sintesis dari kondisi social politik pada masanya. Undang-undang yang mengatur tentang pemerintahan daerah dengan masing-masing corak dan kecenderungan, yaitu: UU No. 1 Tahun 1945, UU No. 2 Tahun 1948, UU No. 1 Tahun 1957, UU No. 16 Tahun 1965, UU No. 5 Tahun 1974, UU No. 22 Tahun 1999, dan terakhir UU No. 32 Tahun 2004. Selalu saja terjadi tarik menarik antara dua ekstrim sentralisasi dan desentralisasi tergantung kepentingan politik yang melatarinya. Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung banyak pengertian, diantaranya yaitu: 1. Desentralisasi menurut Hoessein (2001c) merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan urusan pemerintahan kepada daerah otonom tersebut 2. Desentralisasi menurut Harold F. Alderfer (1964: 176) dapat pula berarti unit-unit lokal yang ditetapkan dengan kekuasaan tertentu atas bidang tugas tertentu. Mereka dapat menjalankan penilaian, inisiatif, dan pemerintahannya sendiri (Muluk, 2005: 9). Dalam UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, otonomi memang dititikberatkan pada daerah kabupaten/kota. Itu sangat ideal bagi penerapan sebuah otonomi karena mendekatkan pemerintah dengan rakyat. Dengan demikian, dengan adanya desentralisasi, pemberian pelayanan dan perlindungan kepada rakyat akan dilakukan secara cepat, berdaya guna, dan berhasil guna. Warga masyarakat yang membutuhkan pelayanan, tidak harus pergi jauh ke ibu kota provinsi, tapi cukup dilakukan di kabupaten atau kota saja.

1

2

Dengan adanya otonomi daerah, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, termasuk mengurus dan mengelola pembangunan daerah. Menurut Todaro (2002:17) dengan otonomi daerah, daerah juga harus mampu menciptakan peluang untuk pembangunan di segala bidang bagi masyarakatnya. Pembangunan diartikan sebagai suatu proses multidimensional yang meliputi perubahan dalam struktur sosial, perubahan dalam sikap hidup masyarakat dan perubahan dalam kelembagaan nasional. Selain itu, pembangunan juga meliputi perubahan dalam tingkat pertumbuhan ekonomi, pengurangan ketimpangan pendapatan nasional dan pemberantasan kemiskinan. Guna mencapai sasaran yang diinginkan dalam pembangunan, maka pembangunan suatu negara dapat diarahkan pada tiga hal pokok, yaitu meningkatkan ketersediaan dan distribusi kebutuhan pokok bagi masyarakat, meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat dan meningkatkan kemampuan masyarakat dalam mengakses baik kegiatan ekonomi dan kegiatan sosial dalam kehidupannya (Hardjanto, 2008: 2) Selain itu pembangunan didefinisikan sebagai rangkaian usaha mewujudkan pertumbuhan dan perubahan secara terencana dan sadar yang ditempuh oleh suatu negara bangsa menuju modernitas dalam rangka nation-building pembinaan bangsa (Siagian, 2003: 4). Seiring dengan adanya otonomi daerah, masyarakat berharap bahwa otonomi daerah akan mendahulukan transparansi semua sektor pembangunan daerah, yang selama ini tidak pernah dipertanggungjawabkan secara publik. Terlebih lagi bagi masyarakat yang berada di kawasan perbatasan baik perbatasan antar negara, perbatasan antar provinsi, maupun perbatasan antar kabupaten/ kota. Dalam hal ini yang ingin diteliti adalah kawasan perbatasan provinsi Jawa Timur dengan Jawa Tengah tepatnya di Kabupaten Ponorogo dan Kabupaten Wonogiri. Kawasan perbatasan sendiri sebetulnya bukanlah kawasan yang terlalu istimewa, kawasan ini sama saja dengan kawasan yang terletak daerah lainnya, yang mempunyai karakteristik fisik, sosial, dan ekonomi relatif sama dengan daerah lainnya, tetapi kawasan ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut : 1. Merupakan daerah dengan batas-batas administrasi yang tidak jelas, sehingga menjadikan kawasan ini tidak bertuan, artinya penguasaan lahan dapat dilakukan masyarakat dari kedua daerah tanpa mengindahkan daerah kabupaten/kota. Hubungan kekerabatan antar masyarakat kedua daerah telah menafikan batas-batas kabupaten/kota. 2. Orientasi pembangunan cenderung pada kawasan yang tingkat kesejahteraannya lebih baik. 3. Masyarakat perbatasan sangat menyadari bahwa mereka tinggal di daerah yang sangat jauh dari pusat kekuasaan, karenanya kurang mendapat

3

perhatian, bahkan ada anggapan wilayah mereka telah dieksploitasi sedemikian rupa sehingga hampir-hampir tidak menyisakan hasil-hasil pembangunan yang dapat mereka gunakan untuk kelangsungan hidup mereka. 4. Mempunyai historis sebagai daerah ajang konflik antar kedua pemerintah daerah. 5. Merupakan pencerminan atau barometer pembangunan daerah, yang berarti meliputi seluruh aspek kehidupan daerah. Kalau daerah perbatasan semrawut, maka itu kemudian akan mencerminkan kesemrawutan wajah Pemda secara keseluruhan (www.tumoutou.net). Kemudian yang dapat dirumuskan dari penjelasan-penjelasan di atas adalah, kawasan perbatasan memang bukan merupakan daerah yang terlalu istimewa untuk diperhatikan. Akan tetapi untuk menghindari adanya konflik dan demi untuk mempercepat pembangunan, maka diperlukan adanya kemitraan atau kerjasama antar pemerintah daerah di kawasan perbatasan tersebut. Hal ini terkait dengan penerapan desentralisasi oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah sehingga daerah diberi kewenangan yang luas, bebas dan bertanggungjawab terhadap semua urusan rumah tangga dan urusan pembangunan daerahnya. Harus disadari percepatan pembangunan di perbatasan menjadi amat penting karena perbatasan memiliki beberapa nilai-nilai strategis, yang antara lain meliputi: 1. Mempunyai potensi sumber daya yang besar pengaruhnya terhadap aspek ekonomi, demografi, politis, pertahanan dan keamanan, serta pengembangan ruang wilayah di sekitarnya 2. Merupakan faktor pendorong bagi peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat baik di wilayah yang bersangkutan maupun di wilayah sekitarnya 3. Mempunyai keterkaitan yang saling mempengaruhi dengan kegiatan yang dilaksanakan di wilayah lainnya yang berbatasan baik dalam lingkup nasional maupun regional 4. Mempunyai dampak terhadap kondisi politis dan pertahanan keamanan nasional dan regional (www.lukmanedy.web.id) Selain mempunyai nilai-nilai strategis di atas, di sisi lain, daerah perbatasan juga mempunyai kekurangan misalnya dominannya kemiskinan di daerah perbatasan yang banyak diakibatkan oleh kecilnya arus investasi kendala struktural, dan serta asumsi tentang kewenangan di daerah perbatasan yang masih terpusat pada pemerintah Pusat. Secara sosial ekonomi, daerah perbatasan memang memiliki karakteristik yang lambat untuk berkembang, hal ini disebabkan antara lain oleh karena

4

lokasinya yang relatif terisolir/terpencil dengan tingkat aksesibilitas yang rendah, rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, rendahnya tingkat kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat daerah perbatasan yang ditunjukkan dengan jumlah penduduk miskin dan banyaknya desa tertinggal di kawasan perbatasan, serta langkanya informasi tentang pemerintah dan pembangunan yang diterima oleh masyarakat di daerah perbatasan (blank spots). Kriteria desa tertinggal itu sendiri dapat ditunjukkan dengan rendahnya tingkat pendidikan dan kesehatan masyarakat, rendahnya kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat. Fakta yang terjadi salah satunya adalah di Desa Pager Ukir, Kec. Sampung, Kabupaten Ponorogo. Daerah ini kurang mendapat perhatian dari pemerintah daerah karena letaknya jauh dari pusat kota atau pusat pemerintahan daerah. Desa ini berbatasan langsung dengan Desa Biting dan Desa Kepyar, Kec. Purwantoro, Kab. Wonogiri yang menjadi bagian dari provinsi Jawa Tengah. Desa Pager Ukir ini bisa dikatakan sebagai desa tertinggal dibandingkan dengan desa atau daerah lain. Akses jalan menuju desa ini sangat sulit dengan jalan yang masih makadam dan ada sedikit saja jalan yang sudah diaspal akan tetapi kondisinya juga sudah rusak berat dan bisa dilihat jalan tersebut diaspal sudah lama sekali. Dan angkutan untuk menuju ke Desa Pager Ukir ini juga tidak ada. Di desa ini, warga juga sulit mendapatkan air bersih dan hanya mengandalkan air dari tadah hujan karena daerahnya memang daerah yang betul-betul kering sehingga warga masyarakat hanya bisa panen padi satu tahun sekali. Oleh sebab itu, masyarakat juga mengkonsumsi gaplek untuk menyambung hidup apabila persediaan beras habis untuk menunggu panen berikutnya. Kondisi Sumber Daya Manusia di desa tersebut juga bisa dikatakan tertinggal dengan daerah lain. Karena hanya ada 1 SD di Desa tersebut, dan tidak ada SMP ataupun SMA. Jika ada yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat SMP, paling dekat harus ke Desa Kunthi, dimana akses jalan menuju kesana juga sulit. Dan jika ingin melanjutkan ke tingkat SMA yang terdekat adalah ke Kecamatan Sampung. Oleh sebab itu, sebagian besar masyarakat hanya tamat SD. Dan hanya sedikit sekali warga yang bekerja di sektor formal. Sebagaian besar dari mereka bekerja sebagai buruh "tegal" karena sebagian besar dari mereka juga tidak mempunyai lahan.

5

Masyarakat di Desa Pager Ukir ini, bisa berinteraksi langsung dengan masyarakat di Desa Biting dan Desa Kepyar yang merupakan bagian dari Kabupaten Wonogiri. Mereka bisa berinteraksi karena ada juga akses jalan menuju ke desa-desa tersebut walaupun belum bagus. Setiap hari "pasaran pon dan kliwon" warga masyarakat dari Desa Pager Ukir dan dari Desa Biting bisa bertemu di satu pasar. Oleh karena sebab-sebab di atas, diperlukan pendekatan yang holistik dalam rangka melakukan percepatan pembangunan daerah perbatasan. Tentunya dengan melibatkan semua stake holders, baik itu pemerintah pusat, pemerintah daerah, sektor swasta maupun masyarakat itu sendiri. Hal lain yang perlu ditekankan dalam percepatan pembangunan daerah perbatasan adalah landasan atau payung hukum dalam pengelolaan kelembagaan masyarakat, serta penataan ruang daerah perbatasan. Perlu aturan main yang jelas dari pihak pemerintah daerah dan pemerintah pusat. Oleh karenanya perlu ditetapkan Status Hukum Kawasan, dan Pembentukan Badan Pengelola. Selain itu, pendekatan kesejahteraan yang berjalan simultan dengan pendekatan keamanan perlu diterapkan dalam membangun kawasan perbatasan (www.lukmanedy.web.id). Selain dari aspek pemerintah, dari aspek masyarakat juga perlu pengembangan sikap berpikir masyarakat, agar dapat memanfaatkan ekonomi perbatasan ke arah keuntungan masyarakat lokal, atau melalui pendidikan kewirausahaan di daerah perbatasan. Hal ini bisa dilakukan dengan: 1. Memfungsikan wilayah-wilayah potensial di kawasan perbatasan, menentukan sektor dan komoditas unggulan, serta menciptakan iklim yang kondusif bagi masuknya investasi; 2. Menerapkan wawasan kebangsaan kepada masyarakat di perbatasan; 3. Mengembangkan lembaga-lembaga keuangan lokal (bank dan non bank) yang diatur secara profesional agar dana dari daerah ini tidak keluar dan dapat dimanfaatkan secara maksimal untuk mendorong pembangunan ekonomi lokal. Sedangkan peraturan yang berlaku di Kabupaten Ponorogo adalah berdasarkan Peraturan Bupati Ponorogo No. 24 Tahun 2007 Tentang Dokumen Pelengkap Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten Ponorogo Tahun 2005-2010, Model Perencanaan Strategis Kabupaten Ponorogo 2005-2010 adalah sebagai berikut; pernyataan visi, pernyataan misi, agenda, tujuan, prioritas pembangunan, urusan pemerintah daerah berdasarkan Permendagri No. 13 Tahun 2006, sasaran dan indikator. Dalam perencanaan startegis ini terdapat indikator kinerja sebagai ukuran keberhasilan dan kegagalan pelaksanaan pembangunan oleh

6

pemerintah daerah. Dan salah satu agendanya adalah: Meningkatkan kesejahteraan rakyat Ponorogo yang lebih baik, dengan prioritas program di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Penanggulangan kemiskinan. 2. Percepatan pembangunan infrastruktur. 3. Pembangunan pedesaan. 4. Pengurangan ketimpangan pembangunan wilayah, dengan sasaran terwujudnya keseimbangan antar wilayah melalui percepatan pembangunan di wilayah tertinggal, wialayah cepat tumbuh dan strategis, dan wilayah perbatasan dalam suatu sistem perencanaan wilayah yang sinergis dan terintegrasi. 5. Peningkatan perlindungan dan kesejahteraan sosial. Berdasarkan program-program di atas, langkah-langkah yang akan ditempuh yang dijabarkan satunya dalam program-program sebagai sesuai urusan klasifikasi wajib urusan pemerintahan daerah sebagaimana terdapat dalam Permendagri No. 13 Tahun 2006 salah diklasifikasikan perencanaan pembangunan dengan beberapa uraian program sebagai berikut: 1. Program kerjasama pembangunan. 2. Program pengembangan wilayah perbatasan. 3. Program perencanaan pengembangan wilayah strategis dan cepat tumbuh. 4. Program perencanaan pembangunan daerah. Dengan demikian, dapat dilihat program-program pembangunan pemerintah Kabupaten ponorogo dalam rangka percepatan pembangunan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat dengan salah satu prioritas sasaran di kawasan perbatasan. Dengan demikian, diharapkan bahwa proses percepatan pembangunan daerah perbatasan mampu membalikkan arus keuntungan kepada masyarakat perbatasan, sehingga masyarakat perbatasan dapat menjadi pusat pertahanan yang tangguh untuk membangun kawasan perbatasan itu sendiri. Atas dasar uraian tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang Peran Pemerintah Kabupaten Ponorogo Dalam Usaha Memajukan Desa Di Kawasan Perbatasan.

7

II.Rumusaan Masalah 1. Bagaimana peran Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam usaha memajukan desa di kawasan perbatasan? 2. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam usahanya memajukan desa di kawasan perbatasan tersebut? III.Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui Ponorogo peran Pemerintah usaha yang Kabupaten 2. Untuk dalam

memajukan desa di kawasan perbatasan. mengetahui faktor-faktor mempengaruhi usaha Pemerintah Kabupaten Ponorogo dalam usahanya memajukan desa di kawasan perbatasan. IV.Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang berkepentingan dan membutuhkan baik dari aspek teoritis maupun praktis. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat antara lain: 1. Bagi Pemda Kabupaten Ponorogo yaitu dengan agar dalam pelaksanaan pembangunan lebih memperhatikan daerah-daerah perbatasan yang umumnya berada jauh diluar ibukota pemerintahan agar sama dengan daerah lainnya dalam rangka percapatan pembangunan dan kesejahteraan masyarakat. 2. Bagi mahasiswa dan pengguna lainnya, yaitu sebagai tambahan pengetahuan sekaligus bahan perbandingan dari teori-teori yang telah diterima dibangku kuliah, disamping juga sebagai bahan dan menambah kepustakaan terutama tentang peran pemerintah daerah dalam usaha memajukan desa di kawasan perbatasan.

8

V.Sistematika Penulisan dan Pembahasan BAB I: Pendahuluan, bab ini merupakan kerangka dasar penulisan skripsi yang memuat aspek-aspek: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan dan pembahasan yang menguraikan hal-hal yang dicantumkan pada setiap bab dan alasan penempatan bab serta keterjalinan antara bab. BAB II: Membicarakan studi kepustakaan yaitu menjelaskan tentang pembangunan di era otonomi daerah, pembangunan sendiri yang mencakup definisi pembangunan, sasaran dan obyek-obyek pembangunan, perencanaan pembangunan daerah, peran pemerintah daerah dalam pembangunan, dan kawasan perbatasan. BAB III: Dalam bab ini membicarakan tentang metode penelitian yang terdiri dari fokus penelitian, lokasi penelitian, metode penelitian, sumber data, teknik pengumpulan data, instrumen penelitian, dan analisis data. Pendekatanya kualitatif dan metode pengumpulan data yang terdiri dari sumber data penelitiannya yang diperoleh dari data skunder, teknik pengumpulan datanya diperoleh dari hasil wawancara dan observasi dengan memaparkan biografi subyek penelitian serta penyebaran kuesioner. Kemudian teknik pengolahan data dan analisis datanya menggunakan deskriptif kualitatif. BAB IV: Dalam bab ini berisi tentang paparan data dan analisa tentang permasalahannya yaitu Peran Pemerintah Kabupaten Ponorogo Dalam Usaha Memajukan Desa Di Kawasan Perbatasan BAB V : Kesimpulan dan Saran.

9

BAB II KAJIAN PUSTAKA

I.Desentralisasi dan Pemerintah Daerah Dalam pasal 18 UUD 1945 dikatakan bahwa Pembagian daerah Indonesia atas dasar besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa (Kansil, 2002: 2). Penjelasan Pasal 18 UUD 1945 menerangkan bahwa karena negara Indonesia itu adalah suatu negara kesatuan, Indonesia tidak akan mempunyai daerah di dalam lingkungannya yang juga berbentuk negara. Wilayah Indonesia dibagi menjadi daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi dibagi pula menjadi daerah yang lebih kecil. Daerah tersebut bersifat otonom ataiu bersifat administratif saja, semuanya menurut aturan yang ditetapkan dengan undangundang. Di daerah-daerah yang bersifat otonom akan diadakan badan perwakilan daerah, karena di daerah pun pemerintah akan bersendikan dasar permusyawaratan. Maksudnya adalah bahwa wilayah Indonesia dibagi menjadi sejumlah daerah yang besar dan kecil yang bersifat otonom, yaitu daerah yang boleh mengurus rumah tangganya sendiri dan daerah administrasi, yaitu daerah yang tidak boleh berdiri sendiri (Kansil, 2002: 2). Dalam kepustakaan Amerika Serikat, Harold F. Alferder (1964:176) mengungkapkan bahwa terdapat dua prinsip umum dalam membedakan bagaimana pemerintah pusat mengalokasikan kekuasaannya ke bawah. Pertama, dalam bentuk deconcentration yaitu semata-mata menyusun unit-unit administrasi atau field stations, baik itu tunggal ataupun ada dalam hierarki, baik itu terpisah maupun tergabung, dengan perintah mengenai apa yang seharusnya mereka kerjakan atau bagaimana mengerjakannya. Kedua, dalam bentuk desentralisation yaitu unit-unit local ditetapkan dengan kekuasaan tertentu atas bidang tugas tertentu dan mereka dapat menjalankan penilaian, inisiatif dan pemerintahannya sendiri. Sedangkan menurut Conyers (1983: 102) desentralisasi dapat dimengerti dalam dua jenis yang berbeda yaitu devolution yang menunjuk pada kewenangan

10

politik yang ditetapkan secara legal dan dipilih secara lokal, dan deconcentration yang menunjuk pada kewenangan administrative yang diberikan pada perwakilan badan-badan pemerintah pusat (Muluk, 2005: 5). Menurut Mardiasmo (2002), adanya pergeseran paradigma dari sentralisasi menjadi desentralisasi, ini bukanlah suatu proses yang sederhana. Di Indonesia proses tersebut dikenal dengan istilah reformasi total. Diawali dengan adanya krisis ekonomi dan krisis kepercayaan telah membuka jalan bagi munculnya reformasi total di seluruh aspek kehidupan bangsa yang ditujukan untuk mewujudkan masyarakat madani, terciptanya good governance, serta mengembangkan pendekatan pembangunan yang berkeadilan. Di samping itu juga memunculkan sikap keterbukaan dan fleksibilitas sistem politik dan kelembagaan sosial, sehingga mempermudah proses pengembangan dan modernisasi lingkungan legal dan regulasi untuk pembaharuan paradigma di berbagai bidang kehidupan (Hardjanto, 2008: 2). Perwujudan dari reformasi tersebut dituangkan dalam bentuk pemberian otonomi kepada daerah kabupaten atau kota. Pada dasarnya, desentralisasi bukanlah merupakan sistem yang berdiri sendiri akan tetapi merupakan rangkaian sistem yang lebih besar (Koswara: 2001). Jadi desentralisasi tidaklah didikotomikan dengan sentralisasi namun merupakan merupakan sub-sub sistem dalam kerangka sistem organisasi negara (Hardjanto, 2008: 3). Terjemahan operasionalnya dapat dilihat dalam bentuk proporsi peranan pemerintah pusat dan pemerintah daerah . Bila peranan pemerintah pusat lebih besar atau sentralistis akan menimbulkan dampak terhadap rendahnya kapabilitas dan efektivitas dari pemerintah daerah dalam melaksanakan dan mendorong proses pembangunan dan kehidupan demokrasi. Namun disisi lain ada beberapa alasaan yang dijadikan sebagai dasar berpijak untuk dilaksanakannya sentralisasi, yakni: pertama, karena alasan untuk menjamin stabilitas nasional dan kedua, karena alasan sumber daya manusia di daerah dipandang kurang atau belum mampu. Bila peranan pemerintah daerah lebih besar, diharapkan proses demokrasi dapat berjalan sebagaimana mestinya sehingga dapat meningkatkan rasa memiliki dari masyarakatnya. Sense of belonging ini mempunyai arti yang sangat penting karena akan dapat lebih mempercepat proses pertumbuhan dan perkembangan daerahnya. Namun masalahnya sekarang adalah sampai seberapa jauh pemerintah daerah saat ini telah siap menerima pelimpahan wewenang yang cukup berat (Hardjanto, 2008:h. 3) II.Pembangunan Di Era Otonomi Daerah Tujuan utama dibentuknya pemerintahan adalah untuk menjaga suatu sistem ketertiban sehingga masyarakat bisa menjalani kehidupannya secara wajar. Pemerintahan pada hakikatnya, adalah pelayanan kepada masyarakat. Pemerintahan tidak diadakan untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakat serta menciptakan kondisi yang memungkinkan setiap

11

anggota masyarakat mengembangkan kemampuan serta kreatifitasnya demi mencapai kemajuan bersama (Sjihabuddin & Harahap, 1998: 139). Oleh karena itu, pemerintahan perlu semakin didekatkan kepada masyarakat, sehingga pelayanan yang diberikannya menjadi semakin baik (the closer government, the better it services). Menurut pandangan ilmu pemerintahan, salah satu cara untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat adalah dengan menerapkan kebijakan desentrasasi yang bentuknya bisa berupa dekonsentrasi, medebewind, atau devolusi (Sjihabuddin & Harahap, 1998: 139). Asumsinya, kalau berada dalam jangkauan masyarakat, maka pelayanan yang diberikan menjadi lebih cepat, hemat, murah, responsive, akomodatif, inovatif, dan produktif. Secara konstitusional, pemerintah Orde Baru cukup memperhatikan pentingnya menerapkan strategi desentralisasi pemerintahan. Dalam Undangundang No. 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok pemerintahan di daerah telah diterapkan pelaksanaan asas desentralisasi melalui pembentukan daerah otonom tingkat I dan daerah otonom tingkat II, yang masing-masing berhak mengurus rumah tangganya sendiri berdasarkan penyerahan urusan dari pemerintah pusat. Bahkan, untuk mendekatkan pemerintahan kepada masyarakat, dalam undangundang tersebut ditandaskan bahwa titik berat otonomi daerah diletakkan pada daerah tingkat II, suatu tingkat pemerintahan yang dekat kepada masyarakat (Sjihabuddin & Harahap, 1998: 140). Kemudian pada tahun 1999 telah dikeluarkannya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang disempurnakan dengan UndangUndang No. 32 Tahun 2004 dimana merupakan landasan yurudis bagi pengembangan otonomi daerah di Indonesia. Ada beberapa persyaratan yang diamanatkan dalam undang-undang tersebut, yakni pengembangan otonomi pada daerah kabupaten/kota diselenggarakan dengan memperhatikan: prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah. Kewenangan otonomi yang bersifat lebih homogeny dan integral yang dilimpahkan kepada daerah, secara prinsip dihajadkan untuk melakukan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan dengan lebih berorientasi pada kondisi dan kebutuhan riil masyarakat daerah setempat. Kewenangan otonomi juga merupakan sumber kewenangan perencanaan pembangunan daerah yang mampu menciptakan penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan pada satu daerah, atas dasar pertimbangan-pertimbangan fisik, sosial, ekonomi, dan budaya setempat (Munir, 2002: 205). Pelaksanaan otonomi daerah, sebagaimana diamanatkan dalam UU No. 22

12

Tahun 1999 dan UU No. 25 Tahun 1999, secara resmi dimulai pada 1 Januari 2001. Menurut Sumitro Maskun, yang menjadi harapan politis dan birokratis dalam proses otonomi daerah akan banyak terkait dengan hal-hal berikut ini (Munir, 2002: 205): 1. Penyerahan secara nyata berbagai fungsi-fungsi pemerintah pusat yang menjadi urusan-urusan pemerintah daerah, meliputi fungsi teknis sektoral departemental. 2. Dalam proses penyerahan ini secara strategis perlu diterapkan konsepsi otonomi untuk pembangunan sehingga penyelenggaraan otonomi tidak semata-mata menjadi pelimpahan dari otorita birokrasi machinal dan rutin. Otonomi untuk membangun daerah adalah suatu kewenangan fleksibel yang memerlukan dukungan profesionalisme daerah, termasuk inisiatif dan kreatifitas daerah yang bermuara kepada inovasi. Kendatipun dalam sejarah pemerintahan di berbagai Negara isu otonomi selalu mengundang perbedaan pendapat, dan dalam banyak kasus hak otonomi suatu daerah hanya diperoleh dari pemerintahan pusat setelah konflik, otonomi juga diakui sebagai suatu prinsip yang diperlukan demi efisiensi pemerintahan (Sjihabuddin & Harahap, 1998: 141). Jadi otonomi daerah sebagimana dimaklumi, adalah hak, wewenang dan kewajiban untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri. Hak tersebut diperoleh melalui penyerahan pemerintahan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah, sesuai dengan keadaan, kemampuan dan kebutuhan daerah yang bersangkutan. Dalam hubungan ini, kebijakan desentralisasi selalu dikaitkan dengan penilaian yang menyeluruh atas keadaan, kemampuan dan kebutuhan daerah untuk menerima suatu hak otonomi. Otonomi biasanya terwujud melalui pengalokasian dan pendistribusian kekuasaan, serta pendelegasian wewenang dan tanggung jawab. Hasil yang diharapkan dari otonomi adalah pemberian pelayanan public yang lebih memuaskan, pengakomodasian, partisipasi masyarakat, pengurangan beban pemerintah pusat, penumbuhan kemandirian dan kedewasaan daerah, serta penyusunan program yang sesuai dengan kebutuhan daerah. Kesimpulannya, teori pemerintahan modern mengajarkan bahwa untuk menciptakan Good Governance

13

perlu diadakan desentralisasi pemerintahan. Dalam pandangan kita, desentralisasi berbagai kewenangan pembinaan politik dan pengelolaan pembangunan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah secara lebih bermakna merupakan salah satu agenda penting yang perlu dimiliki oleh setiap pemerintahan di masa depan. Pengaturan serta pengelolaan kehidupan social politik dan ekonomi pembangunan sehari-hari sewajarnya menjadi tanggungjawab pemerintah daerah. Dengan demikian, pemerintah pusat bisa berkonsentrasi pada perumusan dan pelaksanaan kebijakan-kebijakan nasional yang bersifat fundamental saja. Sudah waktunya pemerintah daerah diberi kepercayaan untuk tampil secara lebih kreatif memberi makna pada penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan itu. Pemerintah hanya cukup memberikan arahan-arahan kebijakan yang harus ditaati oleh pemerintah daerah, namun tentang implementasi kebijakan untuk kepentingan local sebaiknya keikutsertaan pemerintah pusat dapat ditekan sampai pada tingkat minimum. Kompetisi untuk maju di antara pemerintahan daerah pun bisa ditingkatkan. Kalau pemerintah daerah diberi kepercayaan dan otoritas untuk menyelenggarakan sebagian besar urusan domestic, bertanggungjawab atas keberhasilan dan kegagalan pembangunan, maka pemerintah pusat cukup hanya dengan mengawasi dan memberi dukungan saja. Dengan demikian, akan tersedia lebih banyak waktu dan energi bagi pemerintah pusat untuk berkonsentrasi pada urusan yang memerlukan kebijakan nsional yang terpadu dan urusan-urusan strategis untuk kompetisi global. Dengan pembagian tugas yang jelas antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, akan semakin jelas pula siapa yang bertanggungjawab atas segala kegagalan suatu kebijakan. Hal ini penting sekali dalam upaya membangun pemerintahan yang efektif. Efektifitas di sini tidak sekedar berarti kemampuan organisasi pemerintahan mewujudkan tujuan-tujuan yang telah ditentukan, tetapi juga kemampuan untuk menjawab berbagai tuntutan yang terus bergulir. Otonomi harus dilihat sebagai upaya meningkatkan kapasitas, intensitas, dan kualitas penyelenggaran pemerintahan dan pembangunan, sehingga perlu dilakukan penilaian atas konfigurasi pemerintah daerah, serta mencoba mengenali pathologi birokrasi pemerintahan daerah apakah mempengaruhi secara positif atau

14

negative terhadap penyelenggaraan otonomi Dengan demikian, dikeluarkannya kebijakan otonomi daerah melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah telah memberikan otonomi yang luas kepada daerah, khususnya kabupaten/ kota sehingga diharapkan dapat mengembalikan harkat dan martabat masyarakat di daerah, memberikan peluang pendidikan politik dalam rangka peningkatan kualitas demokrasi di daerah, peningkatan efisiensi dan efektivitas pelayanan publik di daerah, peningkatan percepatan pembangunan di daerah, dan pada akhirnya diharapkan pula penciptaan cara pemerintahan yang baik (good governance). III.Pembangunan A. Definisi Pembangunan Pendapat tentang pengertian pembangunan banyak dan berbeda-beda. Dorodjatun Kuncoro-Jakti berpendapat bahwa pembangunan mencakup pengertian menjadi dan mengerjakan. Perampasan, kesewenangan, kemlaratan, di manapun itu terjadi semuanya menandakan keterbelakangan, dan sangat penting untuk mengerjakan hal-hal tertentu untuk mengurangi kemiskinan seperti itu. Dengan demikian pembangunan dapat diartikan sebagai perencanaan dan pelaksanaan serta pengelolaan proyek dan program untuk mewujudkan perubahan yang nyata dan bermakna di lingkungan rakyat (Kuntjoro-Jakti, 1987: 21). Sedangkan menurut Goulet dalam bukunya yang berjudul The Cruel Choice mendefinisikan pembangunan sebagai pembebasan dari kemlaratan dan pandangan yang kerdil mengenai diri sendiri. Jadi pembangunan berarti memupuk harga diri rasa penuh dayaguna atau kemampuan untuk membuat pilihan-pilihan mengenai masa depan. Definisi lain dari pembangunan adalah menurut Siagian (1994) memberikan pengertian tentang pembangunan sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara, dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa. Sedangkan Ginanjar Kartasasmita (1994) memberikan pengertian yang lebih sederhana yaitu sebagai suatu proses perubahan ke arah yang lebih baik melalui upaya yang dilakukan secara terencana (Bratakusumah, 2003: 4). Tetapi apabila pembangunan didefinisikan secara sederhana, maka akan memunculkan paling sedikit tujuh ide pokok, yaitu: 1. pembangunan merupakan suatu proses yang berarti bahwa

15

2. 3. 4. 5.

6.

7. Dari

pembangunan merupakan rangkaian kegiatan yang berlangsung secara berkelanjutan dan terdiri dari tahap yang di satu pihak bersifat independen, akan tetapi di lain pihak merupakan bagian dari sesuatu yang bersifat tanpa akhir, pembangunan merupakan upaya yang secara sadar ditetapkan sebagai sesuatu untuk dilaksanakan, pembangunan dilakukan secara terencana, baik dalam arti jangka panjang, jangka menengah, dan jangka pendek, rencana pembangunan mengandung makna pertumbuhan dan perubahan, pembangunan mengarah pada modernitas yang diartikan sebagai cara hidup yang baru dan lebih baik daripada sebelumnya, cara berfikir yang rasional dan sistem budaya yang kuat tetapi fleksibel, modernitas yang ingin dicapai melalui berbagai kegiatan pembangunan per definisi bersifat multidimensional yang artinya modernitas tersebut mencakup seluruh segi kehidupan berbangsa dan bernegara, dapat megejawantahkan dalam bidang politik, ekonomi, sosial budaya, serta pertahanan dan keamanan, semua hal yang telah tersebut di atas ditujukan kepada usaha pembinaan bangsa sehingga negara bangsa yang bersangkutan semakin kokoh fondasinya (Siagian, 2003: 5). definisi tersebut di atas secara implisit menunjukkan bahwa kegiatan pembangunan bukan hanya tugas dan

upaya dan kegiatan pembangunan merupakan upaya nasional. Artinya menyelenggarakan tanggungjawab pemerintah dengan segala aparat dan jajarannya meskipun harus diakui bahwa peranan pemerintah cukup dominan. Para politisi dengan kekuatan sosial politik harus turut berperan. Dunia usaha juga memainkan peranan yang besar terutama di bidang ekonomi. Para teoritisi dan cendekiawan ditantang untuk memberikan sumbangsihnya, khususnya dalam penguasaan dan kemampuan memanfaatkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Para pembentuk opini (opinion leaders) turut berperan dalam memberdayakan masyarakat, antara lain melalui peningkatan kemampuan melaksanakan pengawasan sosial. Bahkan rakyat jelatapun harus ikut dilibatkan. Singkatnya, pembangunan merupakan urusan semua pihak dalam suatu masyarakat bangsa. Dalam menyelenggarakan kegiatan pembangunan, tidak ada warga masyarakat bangsa yang berperan sebagai penonton, dan semua harus berperan sebagai pemain.

16

B. Sasaran dan Obyek Pembangunan Siapa pun akan mengakui bahwa pembangunan merupakan kegiatan yang multifaset dan multidimensional. Karakteristik demikian merupakan tuntutan kehidupan berbangsa dan bernegara. Itulah sebabnya bidang-bidang yang menjadi obyek pembangunan adalah termasuk bidang politik, ekonomi, pertahanan dan keamanan, social budaya, pendidikan, ilmu pengetahuan dan teknologi, administrasi pemerintahan (Siagian, 2003: 57). Berikut ini adalah bidang-bidang yang menjadi obyek pembangunan, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Pembangunan bidang politik Telah umum diakui dan dimaklumi bahwa pembangunan nasional bersifat multifaset dan multidimensional. Agar suatu Negara bangsa semakin mampu menyelenggarakan berbagai kegiatan dalam upaya pencapaian Negara bangsa yang bersangkutan, seluruh segi kehidupan dan penghidupan mesti dibangun. Mungkin tidak secara simultan dan mungkin pula tidak dengan intensitas yang sama. Tidak simultan karena berbagai factor penghalang seperti keterbatasan kemampuan, hambatan atau kendala yang dihadapi mengharuskan penentuan skala prioritas yang tepat dan sesuai dengan tuntutan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Intensitas yang berbedapun merupakan akibat dari keterbatasan kemampuan, hambatan, ataupun kendala. Akan tetapi terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi, dapat dinyatakan secara kategorial bahwa bidang politik merupakan salah satu aspek kehidupan bernegara yang mutlak perlu dibangun secara programtik dan berkesinambungan. Dikatakan demikian karena berhasil tidaknya pembangunan di bidang-bidang yang lain akan sangat tergantung pada kehidupan politik yang terdapat di negara yang bersangkutan (Siagian, 2003: 57). 2. Pembangunan bidang ekonomi Tuntutan dalam penentuan prioritas pembangunan bagi Negaranegara yang sedang membangun pada umumnya menunjuk pada pembangunan bidang ekonomi.tuntutan demikian mudah diterima dan diterima karena memang kenyataan menunjukkan bahwa keterbelakangan

17

negara-negara tersebut paling terlihat dalam bidang ekonomi. Mungkin memang mudah menerima pendapat bahwa tidak ada satupun strategi pembangunan ekonomi yang cocok digunakan oleh semua Negara berkembang yang ingin meningkatkan kesejahteraan materiil pada warganya. Dikatakan demikian karena strategi yang mungkin dan tepat ditempuh dipengaruhi oleh banyak factor seperti: (a) persepsi para pengambil keputusan tentang prioritas pembangunan yang berkaitan dengan sifat keterbelakangan yang dihadapi oleh masyarakat, (b) luasnya wilayah kekuasaan negara, (c) jumlah penduduk, (d) tingkat pendidikan masyarakat, (e) topografi wilayah kekuasaan negara, (f) jenis dan jumlah kekayaan alam yang dimiliki, (g) sistem politik yang berlaku di negara yang bersangkutan (Siagian, 2003: 80). Pembangunan di bidang ekonomi tersebut harus berhasil. Karena tujuannya adalah: 1) Mengentaskan kemiskinan 2) Menghilangkan kesenjangan sosial 3) Tersedianya dana untuk pembangunan bidang-bidang lain. 3. Pembangunan bidang sosial budaya Sasaran akhir dari pembangunan social budaya adalah membangun negara bangsa sehingga menjadi negara maju dan modern tanpa kehilangan jati dirinya. Artinya, menghapuskan predikat terbelakang. Dengan demikian, jelas bahwa meskipun tidak menempati peringkat teratas dalam skala prioritas pembangunan nasional, pembangunan sosial budaya mutlak perlu mendapat perhatian serius yang tercermin pada pengerahan kemampuan, keahlian, waktu, dan biaya untuk menyelenggarakannya. Dari sekian banyak aspek sosial budaya yang relevan untuk mendapatkan perhatian dalam upaya memilih strategi pembangunan ada tujuh aspek yang menonjol yaitu: (a) bahasa, (b) adat istiadat dan tradisi, (c) persepsi tentang kekuasaan, (d) hubungan dengan alam, (e) locus of control, (f) pandangan tentang peranan wanita, (g) sistem keluarga besar (extented family sistem). Dengan kata lain, keseluruhan masalah sosial budaya yang harus dihadapi dan dipecahkan melalui pembangunan sosial budaya berkisar pada sistem nilai yang dianut oleh masyarakat secara keseluruhan (Siagian, 2003: 96). Sedangkan menurut Adisasmita sasaran pembangunan adalah dalam hal pembangunan pedesaan adalah terciptanya:

18

1) Peningkatan produksi dan produktivitas 2) Percepatan pertumbuhan desa 3) Peningkatan produktif 4) Peningkatan prakarsa dan partisipasi masyarakat 5) Perkuatan kelembagaan. Dan selanjutnya Adisasmita (2006: 17) menyatakan bahwa ruang lingkup pengembangan pedesaan, yakni: 1) Pembangunan sarana dan prasarana pedesaan yang meliputi: pengairan, jaringan jalan, lingkungan pemukiman, dan lain sebagainya 2) Pemberdayaan masyarakat. 3) Pengelolaan sumber daya alam (SDA) dan sumber daya manusia (SDM) 4) Penciptaan lapangan kerja, kesempatan berusaha, peningkatan pendapatan khususnya terhadap kawasankawasan miskin 5) Penataan keterkaitan antar kawasan pedesaan dengan kawasan perkotaan. C. Perencanaan Pembangunan Daerah a. Pengertian Perencanaan Pembangunan Daerah Conyers dan Hills (1994) mendefinisikan perencanaan sebagai suatu proses yang berkesinambungan yang mencakup keputusankeputusan atau pilihan-pilihan berbagai alternative penggunaan sumber daya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu pada masa yang akan datang (Munir, 2002: 25). Berdasarkan definisi tersebut berarti ada empat elemen dasar perencanaan pembangunan, yakni: 1) Merencanakan berarti memilih 2) Perencanaan merupakan alat pengelolaan sumber daya ketrampilan dalam berproduksi dan pengembangan lapangan kerja dan lapangan usaha

19

3) Perencanaan merupakan lat untuk mencapai tujuan 4) Perencanaan untuk masa depan Pengertian perencanaan pembangunan daerah dapat dilihat berdasarkan unsur-unsur yang membentuknya. Sebagaimana diketahui perencanaan pembangunan daerah merupakan suatu sistem yang dibentuk dari unsur-unsur perencanaan, pembangunan dan daerah. Perencanaan sendiri berasal dari kata rencana, yang berarti kerangka sesuatu yang harus dikerjakan. Suatu perencanaan yang baik, adalah perencanaan yang mampu secara tepat menetapkan pilihan, yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang ada. Data atau informasi akan menjadi penentu dalam proses ini. Semakin akurat data yang ada, akan semakin baik perencanaan bisa disusun (Hardjanto, 2008: 54). Sedangkan Wedgewood-Oppenheim sebagaimana dikutip oleh Lawton dan Rose (1995), menyatakan bahwa perencanaan dapat dilihat sebagai suatu proses dimana tujuan-tujuan, bukti-bukti faktual dan asumsi-asumsi diterjemahkan sebagai suatu proses argumen logis ke dalam penerapan kebijaksanaan yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan (Bratakusumah, 2003: 1). Definisi lain dari perencanaan yang dikemukakan oleh ahli manajemen, sebagaimana dikutip oleh Malayu S. P. Hasibuan (1988), antara lain adalah Harold Koontz dan Cyril ODonnel menyatakan bahwa perencanaan adalah fungsi seorang manajer yang berhubungan dengan pemilihan tujuan-tujuan, kebijaksanaan-kebijaksanaan, prosedur-prosedur, dan program-program dari beberapa alternatif yang ada (Bratakusumah, 2003: 1). Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam perencanaan pada umumnya terkandung beberapa hal pokok yang merupakan unsur dalam perencanaan itu sendiri, yaitu meliputi: 1) adanya asumsi-asumsi yang didasarkan pada fakta-fakta, 2) adanya alternatif-alternatif atau pilihan-pilihan sebagai dasar penentuan kegiatan yang akan dilakukan, 3) adanya tujuan yang ingin dicapai, 4) bersifat memprediksi sebagai langkah untuk adanya mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang dapat mempengaruhi dilaksanakan. Perencanaan sendiri dibuat karena merupakan suatu kebutuhan. Kebutuhan membuat perencanaan dapat diberi makna sebagai: pelaksanaan perencanaan, kebijaksanaan sebagai hasil keputusan yang harus

20

1) adanya kebutuhan untuk menentukan langkah-langkah ke depan yang tepat, yakni adanya kesesuaian antara sumber daya, situasi eksternal dan momentum, 2) agar dapat membuat bacaan (pembacaan) atas situasi yang tepat, sehingga daripadanya bisa diambil makna positif dan negatifnya, yang akan menjadi dasar (pertimbangan) dalam menentukan langkah ke depan, 3) agar dapat menentukan alokasi sumber daya secara tepat, sehingga hasil-hasil yang diperoleh merupakan optimalisasi atas sumberd aya yang tersedia, 4) agar bisa dibayangkan dengan lebih jelas mengenai apa saja yang harus dilakukan dan bagaimana mengantisipasi perkembangan (Hardjanto, 2008: 55). Dapat dikatakan bahwa suatu perencanaan tidak lain dari susunan (rumusan) sistematik mengenai langkah (tindakan-tindakan) yang akan dilakukan di masa depan, dengan didasarkan pada pertimbanganpertimbangan yang seksama atas potensi dan faktor-faktor eksternal, dari pihak-pihak yang berkepentingan, dalam rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Pengertian ini memuat hal-hal prinsip yang memuat dokumen perencanaan, yakni: (1) apa yang akan dilakukan yang merupakan penjabaran dari visi dan misi; (2) bagaimana mencapai hal tersebut; (3) siapa yang akan melakukan; (4) lokasi aktivitas; (5) kapan akan dilakukan, berapa lama; (6) sumberdaya yang dibutuhkan (Hardjanto, 2008: 56). Selanjutnya mengenai pembangunan, para ahli memberikan definisi yang bermacam-macam seperti halnya perencanaan. Namun secara umum ada suatu kesepakatan bahwa pembangunan merupakan proses untuk melakukan suatu perubahan (Bratakusumah, 2003: 4). Sedangkan definisi lain mengenai Pembangunan daerah adalah pembangunan yang segala sesuatunya dipersiapkan dan dilaksanakan oleh daerah, mulai dari perencanaan, pembiayaan, pelaksanaan sampai dengan pertanggungjawabannya (Munir, 2002: 65) Dengan demikian, perencanaan pembangunan dapat diartikan sebagai suatu proses perumusan alternatif-alternatif atau keputusankeputusan yang didasarkan pada data-data dan fakta-fakta yang akan digunakan sebagai bahan untuk melaksanakan suatu rangkaian kegiatan atau aktivitas kemasyarakatan, baik yang bersifat fisik (material), maupun nonfisik (mental dan spiritual), dalam rangka mencapai tujuan yang lebih baik (Bratakusumah, 2003: 7). Dalam hubungannya dengan suatu daerah sebagai area pembangunan di mana terbentuk konsep perencanaan pembangunan daerah, dapat dinyatakan bahwa perencanaan pembangunan daerah adalah suatu proses perencanaan pembangunan yang dimaksudkan untuk

21

melakukan perubahan menuju arah perkembangan yang lebih baik bagi suatu komunitas masyarakat, pemerintah, dan lingkungannya dalam wilayah atau daerah tertentu, dengan memanfaatkan atau mendayagunakan berbagai sumber daya yang ada, dan harus memiliki orientasi yang bersifat menyeluruh, lengkap, tapi tetap berpegang pada azas prioritas. Secara umum perencanaan daerah dibagi dalam dua bentuk, yaitu (Hardjanto, 2008: 59): 1) perencanaan daerah dibagi sebagai suatu bentuk perencanaan (pembangunan) yang merupakan implementasi atau penjabaran dari perencaan pusat (nasional). Dalam hal ini terjadi dua kemungkinan yaitu: a) perencanaan daerah adalah bagian dari perencanaan pusat; b) dan perencanaan daerah merupakan penjelasan mengenai perencanaan nasional yang akan diselenggarakan di daerah. Proses penyusunannya bisa top-down atau bottom-up. 2) perencanaan daerah dibagi sebagai suatu hasil pergulatan daerah dalam merumuskan kepentingan lokal. Dalam hal ini terjadi dua kemungkinan yaitu: a) perencanaan daerah sebagai perumusan murni kepentingan daerah tanpa mengindahkan koridor dari pusat; b) perencanaan lebih mengindahkan ruang yang disediakan oleh pusat. Melakukan perencanaan pembangunan daerah berbeda dengan melakukan perencanaan proyek atau perencanan-perencanaan kegiatan yang bersifat lebih spesifik dan mikro. Perencanaan pembangunan daerah jauh lebih kompleks dan rumit, karena menyangkut perencanaan pembangunan bagi suatu daerah atau wilayah dengan berbagai komunitas, lingkungan, dan kondisi sosial yang ada di dalamnya. Apalagi bila mencakup wilayah pembangunan yang luas, kultur sosialnya amat heterogen, dengan tingkat kepentingan yang berbeda-beda. Ciri-ciri perencanaan pembangunan daerah meliputi hal-hal sebagai berikut: 1) menghasilkan program-program yang bersifat umum, 2) analisis perencanaan bersifat makro/luas, lebih efektif dan efisien digunakan untuk perencanaan jangka menengah dan panjang,

22

3) memerlukan pengetahuan secara interdisipliner, general dan universal, namun tetap memiliki spesifikasi masingmasing yang jelas, 4) fleksibel dan mudah untuk dijadikan sebagai acuan perencanaan pembanguan jangka pendek (1 tahunan) (Bratakusumah, 2003:h. 9). Walaupun telah direncanakan, juga bisa terjadi kegagalan dalam pembangunan. Krisis dan kegagalan pembangunan, itu adalah hasil pembangunan yang dirasakan bersama. Kegagalan dalam realisasi perencanaan lebih disebabkan tidak terlibatnya massa rakyat dalam proses perencanaan. Akibatnya, apa yang diputuskan bukan mewakili kepentingan rakyat, melainkan kepentingan sekelompok orang yang mengatasnamakan rakyat. Di sinilah kita hendak memasukkan dimensi lain dari proses perencanaan yaitu keterlibatan masyarakat. b. Dimensi-Dimensi Perencanaan Daerah Berikut ini beberapa dimensi dari perencanaan daerah adalah sebagai berikut (Hardjanto, 2008: 57): 1) dimensi waktu, artinya suatu perencanaan sesungguhnya bicara tentang masa depan. Dengan kata lain, perencanaan adalah susunan anak tangga waktu, dari masa kini ke masa depan; 2) dimensi tujuan, artinya suatu perencanaan pada dasarnya adalah rumusan mengenai pencapaian tujuan.maksudnya proses penyusunan perencanaan merupakan pergulatan terbuka, yang melibatkan kalangan yang luas dan representatif; 3) dimensi pengaturan memuat atau pula alokasi, artinya suatu untuk perencanaan suatu prioritas; 4) dimensi tindakan, artinya inti dari perencanaan adalah tindakan apa yang akan dilakukan. Maksudnya adalah bahwa suatu perencanaan seharusnya memiliki sifat terfokus (jelas apa yang ingin dicapai), sederhana, bisa maksud-maksud

mengatur atau membuat alokasi, termasuk menyusun

23

dilakukan, jelas tersedia sumberdaya pendukung, dan jelas kapan akan dilakukan serta jelas pula batas waktu yang hendak digunakan.

c. Aspek-Aspek Perencanaan Daerah Perencanaan pembangunan daerah merupakan kegiatan yang tidak mudah karena akan berhadapan dengan berbagai permasalahan yang sangat kompleks dan komprehensif (meliputi berbagai aspek sosial kemasyarakatan) dari suatu kegiatan yang ada di wilayah terkait. Kegiatan perencanaan pembangunan daerah tidak bisa dilakukan secara individual, melainkan harus dilakukan secara tim (teamwork), baik dalam arti kerjasama tim antar anggota perencana maupun kerjasama dalam arti institusional. Di samping itu, perencanaan pembangunan daerah juga memerlukan keterlibatan berbagai pihak secara interdisipliner sehingga mampu melakukan pengkajian dan analisis yang akurat dalam rangka perumusan hasil perencanaannya. Pihak-pihak disini bisa masyarakat umum, kalangan akademisi, tokoh-tokoh ormas, parpol dan elemen-elemen masyarakat lainnya dapat memberikan informasi penting tentang kebutuhan dasar suatu wilayah pembangunan. Untuk itulah, pemerintah selaku institusi yang bertanggung jawab terhadap masalah-masalah perencanaan pembangunan ini, harus benar-benar mengakomodir berbagai kepentingan yang ada di dalam masyarakat dengan melibatkan pihak-pihak tersebut. Keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan daerah akan sangat mendorong terciptanya suatu hasil perencanaan yang baik, karena masyarakat sebagai salah satu unsur dalam pembangunan, tentunya dapat mengetahui sekaligus memahami apa yang ada di wilayahnya. Sehubungan dengan hal tersebut, dalam perencanaan pembangunan daerah ada beberapa aspek yang perlu mendapatkan perhatian agar perencanaan pembangunan dapat menghasilkan rencana pembangunan yang baik serta dapat diimplementasikan di lapangan. Adapun aspek-aspek

24

tersebut adalah (Bratakusumah, 2003: 10): 1) Aspek lingkungan Aspek lingkungan perlu diperhatikan secara serius oleh setiap perencana pembangunan. Karena lingkungan memiliki dampak yang sangat besar terhadap berhasil atau tidaknya program pembangunan. Berdasarkan aspek ruang lingkupnya, aspek lingkungan dibagi menjadi dua bagian yaitu; lingkungan internal yakni lingkungan yang berada di dalam populasi di mana perencanaan pembangunan daerah dilaksanakan dan lingkungan eksternal yakni lingkungan yang berada di luar lingkungan populasi tetapi mempunyai pengaruh kuat terhadap tingkat keberhasilan suatu program pembangunan. Aspek lingkungan ini dapat meliputi bidang-bidang sosial, ekonomi, budaya, dan politik. 2) Aspek potensi dan masalah Potensi dan masalah merupakan dua hal yang sangat penting dan perlu diketahui oleh setiap perencana dalam upaya menyusun perencanaan pembangunan daerah. Potensi dan masalah merupakan fakta yang ada di lapangan dan sangat berpengaruh terhadap proses pembangunan. Bahkan hal tersebut dapat menjadi suatu pijakan awal dalam proses penyusunan perencanaan yang dapat menjadi dasar analisis berikutnya. 3) Aspek institusi perencanan Institusi perencana adalah organisasi pemerintah yang bertanggung jawab melakukan perencanaan pembangunan daerah. Karena pembangunan pada dasarnya merupakan tugas pemerintah dalam rangka memenuhi kewajiban-kewajibannya kepada masyarakat, maka hal itu perlu dilaksanakan mulai dari perencanaan hingga evaluasinya. Dalam konteks perencanaan pembangunan daerah, organisasi atau institusi perencana hendaknya dikoordinasikan oleh satu institusi tersendiri. Institusi perencana harus benar-benar berperan sebagai pelaksana fungsi manajemen dalam bidang perencanaan dan bertanggung jawab secara penuh atas hasilnya sebagai wujud pengejawantahan dari pelaksanaan manajemen pembangunan.

25

Perencanaan sebagai Suatu Dialog, mengemukakan bahwa untuk merancang dan menciptakan proses perencanaan yang partisipatif di tingkat daerah, perencanaan daerah harus mencapai suatu pemahaman tentang kerangka organisasi perencanan di mana perencanaan pembangunan akan dilaksanakan. Pemahaman tentang kerangka organisasi itu sendiri, dapat diartikan sebagai pemahaman terhadap peran dan fungsi institusi, peran dan fungsi perencana, kemampuan sumberdaya perencanan, lingkungan yang dapat mempengaruhi organisasi, termasuk juga masalah sistem yang berlaku di dalam organisasi perencana tersebut. 4) Aspek ruang dan waktu Perencanaan pembangunan daerah merupakan salah satu tahapan dalam proses pembangunan daerah. Sebagai suatu tahapan tentunya ia akan terikat oleh suatu dimensi yang disebut dengan dimensi ruang dan waktu. Ini berarti bahwa perencanaan pembangunan daerah sebagai suatu tahapan dalam proses pembangunan memiliki keterkaitan dengan tahapan-tahapan berikutnya bahkan dapat menjadi landasan awal bagi pelaksanaan tahapan berikutnya. Pembatasan ruang dan waktu dalam hal ini bukan berarti sebagai batasan yang bersifat mutlak yang dipandang secara parsial, melainkan merupakan suatu kenyataan yang harus dipahami oleh setiap perencana bahwa hasil-hasil rumusan atau keputusan yang disusunnya harus diimplementasikan dalam bentuk aksi atau kegiatan untu kurun waktu tertentu, di wilayah atau daerah tertentu. Aspek ruang dan waktu ini harus jelas menggambarkan suatu kebutuhan dalam timing tepat tentang kapan perencanaan pembangunan daerah mulai disusun, kapan mulai diberlakukan, untuk berapa lama masa pemberlakuannya, serta kapan dilaksanakan evaluasi atau perencanaan ulang (replanning) Melihat pembagian jangka waktu yang dikenal di Indonesia selama ini, yaitu dibagi dalam tiga bagian, antara lain:jangka pendek (untuk jangka waktu satu tahunan), jangka menengah (untuk jangka waktu lima tahunan), dan jangka panjang (untuk jangka waktu di atas

26

lima tahunan). Sementara dalam aspek ruang perencanaan pembangunan daerah harus dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh dari kondisi ruang yang ada, di mana proses pembangunan dilaksanakan. Perencanaan pembangunan daerah hendaknya dirumuskan secara menyeluruh meliputi kondisi lingkungan yang mencakup lingkungan udara, darat, laut, hutan, pertanian dan sebagainya. Kondisi lingkungan tersebut menjadi bahan yanng harus diperhatikan sebagai prakondisi bagi proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunan. Dalam hal ini dikenal istilah spatial planning, yakni suatu perencanaan yang diarahkan bagi penataan ruang suatu wilayah agar dapat dikembangkan dan dimanfaatkan sesuai dengan peruntukan dan kebutuhan, serta daya dukungnya. 5) Aspek legalisasi kebijakan Dalam perencanaan pembangunan daerah, masalah legislasi kebijaksanaan memiliki peranan yang tidak kalah penting dengan aspekaspek yang lain. Aspek ini menjadi penting ketika hasil perencanaan pembangunan daerah dipandang sebagai suatu keputusan dari suatu kebijakan yang harus dilaksanakan. Pelanggaran terhadap hasil suatu perencanaan dapat dipandang sebagai tindakan yang dapat mengakibatkan implikasi hukum terhadap para pelanggarnya. Dengan adanya legislasi kebijakan terhadap hasil perencanaan pembangunan daerah, implementasinya harus sesuai dengan batasanbatasan yang telah ditetapkan dalam perencanaan tersendiri. d. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Pembangunan Daerah Keberhasilan atau kegagalan program perencanaan pembangunan daerah selalu dipengeruhi oleh berbagai macam faktor. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi tersebut secara khusus dapat berbeda tergantung pada situasi dan kondisi yang sedang berlaku di daerah perencanaan. Subtansi permasalahan yang berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya dapat

27

menyebabkan berbedanya faktor-faktor yang dimaksud. Menurut pendapat yang dikeluarkan oleh Lembaga Administrasi Negara (LAN) dan Deutsche Stiftung fur Internationale Entwicklung (DSE) yang dituangkan dalam Modul Diklat Perencanaan Pembangunan Wilayah (1999), hal-hal yang dapat mempengaruhi perencanaan pembangunan daerah antara lain meliputi (Bratakusumah, 2003: 15): 1) Kestabilan politik dan keamanan dalam negeri. 2) Dilakukan oleh orang-orang yang ahli di bidangnya 3) Realistis, sesuai dengan kemampuan sumberdaya dan dana 4) Koordinasi yang baik 5) Top down dan bottom up planning 6) Sistem pemantauan dan pengawasan yang terus menerus. 7) Transparansi dan dapat diterima oleh masyarakat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembangunan tersebut antara lain meliputi (Bratakusumah, 2003: 15): 1) Faktor lingkungan Faktor lingkungan ini mencakup eksternal maupun internal yang dapat mencakup bidang sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Faktor eksternal biasanya datang dari wilayah tetangga, atau pengaruh global yang berkembang dalam lingkup nasional maupun internasional. Sedangkan faktor internal, merupakan faktor yang datang dari dalam wilayah perencanaan sendiri. 2) Faktor sumber daya manusia perencana Perencana selaku SDM perencanaan merupakan faktor utama yang menggerakkan pelaksanaan perencanaan. Sebagai motor penggerak perencanaan, SDM perencana menjadi sangat penting dan bahkan menjadi kunci bagi berhasil tidaknya proses perencanaan pembangunan. Kualitas perencanaan yang baik akan lebih memungkinkan tercipta oleh SDM yang tepat dan berkualitas, sementara itu perencanaan yang baik juga lebih memungkinkan untuk dapat diimplementasikan dalam program-program pembangunan. Dengan demikian, kualitas perencanaan yang baik sangat tergantung pada kemampuan, keahlian, dan keluwesan dari para perencananya di samping teknik dan metode yanbg digunakannya. Dalam hubungannya dengan perencanaan pembangunan daerah, ini, seorang perencanan bertugas untuk mengatur proses perencanaan di tingkat daerah. Tugas ini bersifat komprehensif atau menyeluruh, sehingga membutuhkan pengetahuan intersektoral yang luas dan kemampuan merencanakan pada tiga bidang utama perencanaan pembangunan daerah, yang menurut Poppe, meliputi: a) Perencanaan sumber daya alam b) Perencanaan sosial ekonomi c) Perencanaan fisik dan infrastruktur. Di samping itu, ia juga mengatakan bahwa seorang perencana harus memiliki kualifikasi yang berorientasi manajemen yang meyangkut empat tahap perencanaan utama yaitu: a) Analisis wilayah. b) Prospek pembangunan.

28

c) Perencanaan dan pembuatan program. d) Pelaksanaan rencana, monitoring dan evaluasi. 3) Faktor sistem yang digunakan Yang dimaksud dengan sistem perencanaan di sini adalah aturanaturan atau kebijakan-kebijakan yang digunakan oleh suatu daerah atau wilayah tertentu sebagai dasar atau landansan pelaksanaan perencanaan pembangunannya. Hal itu bisa menyangkut masalah prosedur, mekanisme pelaksanaan, pengambilan keputusan, pengesahan dan lain sebagainya. 4) Faktor perkembangan ilmu dan teknologi Ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini berkembang sangat pesat, bahkan dapat dikatakan bahwa umat manusia belum pernah mengalami perkembangan secepat itu. Dalam hubungan dengan masalah pembangunan, ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi faktor penting dan berperan sangat besar bagi upaya pencapaiannya. Berdasarkan pengalaman sejarah, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi ini, mulai memberikan pengaruhnya yang besar terhadap proses pembangunan ketika terjadi revolusi industri di Inggris pada abad ke-18. Sejak itu mulai terjadi perkembangan yang sangat pesat dalam bidang studi pembangunan dengan berbagai macam kajiannya. e. Unsur-Unsur Pokok Perencanaan Perencanaan pembangunan merupakan sebuah proses sistematis yang memadukan berbagai unsur-unsur pokok yang secara umum meliputi (Munir, 2002: 28): 1) Kebijaksanaan dasar rencana pembangunan, yang sering juga disebut dengan tujuan, arah, sasaran dan prioritasprioritas pembangunan. 2) Adanya kerangka rencana, disebut juga kerangka makro rencana. Dalam keramgka ini dihubungkan berbagai variable pembangunan serta implikasi hubungan tersebut, baik implikasi social, politik dan keamanan. 3) Perkiraan sumber pembangunan, khususnya sumbersumber pembiayaan merupakan bagian dari pengkajian kerangka makro rencana. 4) Uraian kerangka kebijaksanaan yang konsisten, artinya berbagai kerangka kebijakan perlu dirumuskan dan kemudian dilaksanakan, satu dengan lain kebijaksanaan pembangunn harus serasi dan konsisten. 5) Program investasi, dimana dilakukan secara sektoral yang dilakukan bersamaan dengan penyusunan sasaran-sasaran rencana. 6) Administrasi pembangunan, artinya salah satu aspek penting dalam proses perencanaan pembangunan adalah pelaksanaannya, dan untuk itu diperlukan suatu administasi negara yang mendukung usaha perencanaan dan

29

pelaksanaan pembangunan tersebut. f. Proses Perencanaan Pembangunan Dengan memperhatikan pedoman-pedoman perencanaan pembangunan yang dikeluarkan oleh Bappenas (2000), ada lima tahapan penting dalam proses penyusunan perencanaan pembangunan, yaitu (Munir, 2002: 35): 1) Penyususnan kebijakan, yang terdiri dari unsur: a) tinjauan keadaan, b) perkiraan keadaan masa yang kan dilalui rencanan, c) penetapan tujuan rencana (plan objective) dan pemilihan cara-cara pencapaian tujuan rencana, d) identifikasi kebijaksanaan dan atau kegiatan usaha yang perlu dilakukan dalam rencana, e) persetujuan rencana. 2) Penyusunan program, dalam tahap ini dilakukan perumusan yang lebih terperinci mengenai tujuan dan kebijaksanaan yang telah ditetapkan dalam perencanaan makro. 3) Penyusunan pembiayaan, yang disusun berdasarkan kebutuhan pendanaan untuk mencapai sasaran kegiatan pokok dalam program pembangunan yang telah ditetapkan dalam proses penyusunan program. 4) Pemantauan dan evaluasi kinerja, yang tujuannya adalah: a) mengusahakan supaya pelaksanaan rencana berjalan sesuai degan rencana, b) apabila terdapat penyimpangan maka perlu diketahui seberapa jauh penyimpangan tersebut dan apa penyebabnya, c) dilakukan tindakan korektif terhadap adanya penyimpanganpenyimpangan. 5) Penyempurnaan program pembangunan, dilakukan sebagai tindak lanjut dari suatu hasil monitoring dan evaluasi kinerja sebagai tinjauan yang berjalan secara kontinyu,

30

sering kali disebut concurent review. g. Stategi Perencanaan Pembangunan Daerah Misi umum dari perencanaan pembangunan daerah adalah meningkatkan kesejahteran masyarakat, yang ditandai dengan peningkatan pendapatan perkapita daerah dan pemeratannya, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Untuk mewujudkan visi dan misi tersebut diperlukan strategi pembangunan dengan melihat berbagai potensi sumber daya yang tersedia di daerah itu secara komprehensif. Beberapa pilihan dalam merancang pembangunan dapat dilihat dari berbagai sudut dan kelompok strategi perencanaan pembangunan, yaitu; dari sudut pemanfaatan sumberdaya daerah, penekanan komoditi yang dimiliki di daerah, teknis proses produksi yang efisien, dan institusi pelaksanan pembangunan di daerah (Munir. 2002: 82). 1) Strategi dari aspek sumber daya Sumber daya daerah adalah semua potensi sumber daya berupa sumber daya alam, sumber daya buatan dan sumber daya manusia yang terdapat di daerah. Dalam hal ini strategi yang digunakan adalah: a) Mengupayakan agar sumber daya yang melimpah dialokasikan sedemikian rupa agar dapat memberikan produktivitas yang maksimal dan seadil mungkin. b) Strategi yang bersifat alternative, yakni perencanan yang menekankan sumber daya yang langka dan terbatas yang tedapat di daerah, perlu ditambah dan dimasukkan ke dalam perekonomian daerah agar menjadi partner dan pendamping sumber daya yang sudah tersedia. Gabungan dari kedua sumber daya tersebut dapat meningkatkan produktivitas secara total. Secara teoritis praktis, kedua strategi diatas dapat diuraikan lebih lanjut dengan melihat basis dan sumber daya daerah (Munir. 2002: 83): a) Basis input sumber daya manusia, artinya, untuk perencanaan pembangunan daerah secara umum, penduduk yang melimpah hendaknya menjadi tantangan bagi perencana untuk memberdayakan tenaga manusia yang melimpah di daerah. Kelebihan tenaga kerja harus dilihat sebagai kekuatan dan modal pembangunan. Secara

31

sederhana untuk daerah semacam ini strategi pembangunannya adalah menciptakan lapanan kerja dan mengupayakan eksport tenaga kerja keluar daerah. Pemerintah, dalam hal ini berkewajiban untuk memfasilitasi peningkatan ketrampilan tenaga kerja melalui berbagai pelatihan teknis. b) Basis input sumber daya alam, strategi perencanaannya adalah mengupayakan pengolahan sumber daya alam atau dijual dan ditukarkan (dibeli) dengan sumber daya terbatas daerah tersebut. c) Basis sumber daya modal dan manajmen, hal ini biasanya menjadi kendala bagi suatu daerah. Namun strategi perencanaan bisa mendorong meningkatkan sumber daya ini dengan cara membentuk lembaga keuangan perbankan di daerah itu mendorong usaha-usaha yang produktif. d) Basis sumber daya lainnya. Sumber daya lainnya meliputi tanah, kondisi alam, lingkungan, seni, budaya masyarakat yang secara alamiah melekat dalam kehidupan masyarakat dan tersedia di beberapa daerah. e) Basis lokasi dan wilayah strategis, yaitu perencanaan yang memfokuskan lokasi strategis searah dengan perencanaan atau ruang dan enginering. 2) Strategi menurut komoditi Strategi ini menekankan obyek yang dianggap primadona di suatu daerah. Materi yang terkait dalam strategi ini dan merupakan masukan dalam perencanaan antara lain: a) sektor atau komoditi yang menjadi factor penentu dan pemacu perekonomian daerah b) keterkaitan sektor dan komoditi unggulan c) peran daya tampung tenaga kerja serta sumbangannya terhadap pendapatan daerah atas komoditi-komoditi atau sector unggulan d) Jangka waktu dan lamanya komoditi diharap bertahan e) prospek komoditi dalam pasar nasional dan pasar internasional f) faktor intensitas komoditi

32

3) Strategi dari sudut efisiensi Strategi dari sudut efisiensi merupakan pilihan yang sulit bagi perencana daerah dan kadang menempatkan mereka dipersimpangan jalan. Tidak jarang pada strategi awalnya mengutamakan efisiensi, tetapi pada pertengahan jalan berubah dan meninggalkan prinsip efisiensi tersebut. 4) Strategi dari sudut institusi dan actor ekonomi Perencanaan pembangunan ekonomi dapat dikaji juga dari sudut institusi dan aktor ekonomi. Pemikirannya adalah mereka yang menjalankan roda pembangunan, sehingga wajar jika kajiannya dimulai dari institusi ekonomi. Sedangkan program-program strategis yang dilakukan oleh pemerintah daerah dalam mengelola kota dan wilayah di antaranya dalam hal peningkatan pelayanan publik. Pelayanan publik pada dasarnya adalah tugas pemerintah. Dalam pelaksanannya, pemerintah menyerahkan sebagian kepada masyarakat atau sektor swasta. Sektor pelayanan yang menjadi tugas yang menjadi tugas utama pemerintah kabupaten/kota adalah kebutuhan pelayanan yang tidak ditangani oleh sektor swasta atau dilayani swasta, tapi belum menjangkau masyarakat secara keseluruhan antara lain (Sadyohutomo, 2008: 168) : a) Keamanan (kriminal, kebakaran) b) Ketertiban umum, c) Kesehatan, d) Pendidikan, e) Kualitas lingkungan. Sedangkan sektor-sektor pelayanan lainnya dapat diserahkan ke pihak swasta dengan kendali pengaturan oleh pemerintah. Peningkatan pelayanan umum ditempuh dengan upaya peningkatan kelembagaan pelayanan umum, yaitu sebagai berikut: a) Adanya tanggung jawab yang jelas pada kegiatan pokok yang menentukan kesejahteraan masyarakat dan efiensi fungsi kota dan wilayah.

33

b) Adanya tanggung jawab yang jelas untuk pembangunan, operasi, dan pemeliharaan infrastruktur dan service. c) Adanya sumber daya yang memadai untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, terutama sumber dana dan staf yag terletih. d) Akuntabilitas dalam konteks politis meupun prosedural/ teknis. e) Responsif dan mempunyai kemampuan gerak yang independen. h. Penentuan Skala Prioritas Pembangunan Pembangunan ekonomi daerah secara teoritis mudah dilaksanakan bila kemampuan daerah sangat besar dan kendalanya sangat minim. Dalam kenyataannya kondisinya terbalik. Kemampuan daerah sangat terbatas dan kendalanya sangat banyak. Akibatnya perencanaan pembangunan menjadi sangat pelik dan sulit. Untuk mengatasi ini maka dilakukan skala prioritas dan tahapan rencana pembangunan (Munir, 2002: 91). Prioriatas pembangunan dilakukan mengingat daerah memerlukan kegiatan pembangunan yang memiliki tingkat kebutuhan dan kepentingan masyarakat yang tinggi, sedang pertahapan pembangunan dimaksudkan untuk mengikuti skala prioritas dengan mengacu pada tujuan pembangunan jangka panjang. Beberapa pertimbangan-pertimbangan untuk menentukan skala prioritas adalah sebagai berikut (Munir, 2002: 91): 1) Daerah dalam keadaaan darurat, misalnya karena wabah peyakit, bencana alam, kerusuhan masyarkat dan lain-lain. 2) Terdapat kendala alamiah yang harus segera dilaksanakan agar dapat mendorong perkembangan daerah secara menyeluruh. 3) Terdapat potensi komoditas atau kegiatan ekonomi yang sangat mudah, cepat berkembang dan cepat menghasilkan (quick yielding). 4) Terdapat ketimpangan social ekonomi dalam hal penguasaan sumber-sumber ekonomi dan pendapatan oleh sekelompok orang, wilayah dan golongan masyarakat. 5) Akibat pertimbangan politik demi menjaga keutuhan wilayah dan menghindari kecemburuan social.

34

Sebenarnya skala prioritas pembangunan daerah tidak terlepas dari kondisi, kendala dan masalah yang dihadapi daerah. Kondisi daerah ditentukan oleh sumber daya yang dimiliki. Dengan demikian, identifikasi kondisi dan permasalahan daerah menjadi dangat penting dalam menentukan skala prioritas pembangunan. i. Koordinasi Perencanaan Pembangunan Untuk mengefektifkan kegiatan perencanaan diperlukan adanya kegiatan perencanaan yang berintikan pada proses komunikasi antar lembaga perencanaan dan antar lembaga perencanaan dengan pelaku berkepentingan secara horizontal, vertical, dan lintas horizontal-vertikal. Koordinasi merupakan salah satu fungsi organic dari manajemen. Stoner dan Freeman (1992), secara sederhana mengartikan koordinasi sebagai proses pemaduan sasaran-sasaran dan kegiatan unit-unit yang terpisah (Munir, 2002: 155). Tujuan dilakukannya koordinasi adalah untuk menyamakan persepsi tentang substansi kebijakan untuk menyelasaikan masalah tertentu, menyelesaikan konflik kepentingan dlam pemanfaatan sumber daya pembangunan. Selain itu, koordinasi juga ditujukan untuk mengsinkronkan antara kebijakan dan rencana tindakan pelaksanaan yang dilakukan oleh masing-masing lembaga atau organisasi sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Dalam perencanaan pembangunan, koordinasi diprioritaskan pada dua hal pokok : (1) perumusan atau re-evaluasi dari kebijakan dan alternative rencana tindakan pelaksanaan, (2) sumber daya keuangan, sumber daya manusia, dan informasi. Menurut Nusi, A. H., ada beberapa aspek koordinasi yang perlu diperhatikan dalam pembangunan rencana daerah (Munir, 2002: 156): 1) Aspek fungsional, dimaksudkan: a) Adanya kegiatan dan keterpaduan fungsional antar berbagai kegiatan. b) Adanya keterkaitan dan keterpaduan fungsional antara suatu instansi dengan instansi lainnya dan antara setiap tahap perencanaan . c) Adanya kaitan dan keterpaduan fungsional antara program atau proyek pada suatu wilayah dengan wilayah lainnya.

35

2) Aspek formal, dimaksudkan adanya kaitan program atau proyek yang direncanakan dengan peraturan, pedoman, dan kebijaksanaan perencanaan makro nasional dan regional. 3) Aspek structural, dimaksudkan adanya kaitan dan koordinasi dalam bentuk penugasan pada setiap instansi terkait sesuai dengan tugas pokok dan fungsi dari intansi yang bersangkutan 4) Aspek material dimaksudkan adanya kaitan dan koordinasi antara program dan atau proyek intra dan antar instansi yang secara teknis dan material berbeda. 5) Aspek operasional, dimaksudkan adanya kaitan dan keterpaduan dalam penentuan langkah-langkah pelaksanaan, baik menyangkut waktu, lokasi, maupun kebutuhan sumber daya. Koordinasi perencanaan dilakukan tidak hanya dalam lingkup pemerintahan daerah, tetapi harus melibatkan unsur-unsur perencanaan pemerintah pusat, dengan mekanisme : 1) Secara horizontal, pada masing-masing lingkup pemerintahan (pusat, provinsi, kabupaten/kota) secara independen. 2) Secara vertikal antar lingkup pemerintahan di tingkat pusat dan daerah secara integralistik. 3) Secara lintas horizontal-vertikal, antar lingkup pemerintahan untuk membahas masalah lintas tertentu antara pusat dan daerah, antar provinsi, antar provinsi dan kabupaten/kota, dan antar kabupaten/kota. Pada setiap lingkup dan mekanisme koordinasi pelibatan unsurunsur masyarakat madani seperti kalangan profesi, LSM, pers, dan dunia usaha menjadi suatu keharusan. Hal ini dimaksudkan agar produk perencanaan memiliki legitimasi yang kuat di tengah masyarakat dan juga akan menumbuhkan sence of belonging terhadap produk perencanaan

36

daerah. Berkaitan dengan proses perencanaan, koordinasi perencanaan pembangunan dapat dilakukan dalam empat tahapan penting (Munir, 2002: 157): 1) Koordinasi panjang, penyusunan pembangunan. proses yang perencanaan, artinya proses perencanaan pembangunan mempunyai tahapan yang meliputi: penyusunan penyusunan dalam tahap kebijakan, pembiayaan, penyusunan program, Koordinasi

pemantauan dan evaluasi kinerja, penyempurnaan program rencana adalah berkaitan dengan tinjauan keadaan, perkiraan situasi yang akan dilalui rencana, serta penentuan tujuan rencana. Koordinasi pada tahap pelaksanaan rencana penting karena pada tahap ini sering terjadi hambatan-hambatan dalam proses pencapaian tujuan, baik hambatan yang berkaitan dengan aspek teknis, maupun non teknis. Koordinasi pada tahap evaluasi rencana difokuskan pada aspek-aspek penilaian terhadap kegiatan dan kebijaksanaan yang sedang berjalan. Apabila ketiga tahap ini tidak dikoordinasikan dengan baik, maka akan terjadi kelemahan dalam informasi perencanaan yang dapat mengakibatkan kesalahan dalam input penyusunan rencana. 2) Koordinasi metode perencanaan, jika dilihat dalam proses penyusunan rencana pembangunan maka yang menyangkut penentuan sasaran dan strategi pembangunan diperlukan koordinasi yang cukup intensif. Koordinasi metode perencanaan unsur lainnya dimaksudkan yang terlibat untuk dalam Dengan menghindari pengambilan koordinasi inkonsistensi antarapola pikir perencanan dengan unsurkebijaksanaan pembangunan.

perencanaan yang baik, tentunya dengan argumentasi dan

37

metodologi perencanaan yang dapat dipahami oleh semua pihak, maka pengambilan kebijaksanaan dapat diambil secara kompromistik, terbuka dan demokratis. Dengan demikian, koordinasi metode perencanaan sangat penting artinya dalam proses perencanaan pembangunan. 3) Koordinasi antar tingkat perencanaan, artinya perencanaan pembangunan dapat dibagi kedalam kelompok-kelompok perencanaan, yang satu dengan yang lainnya yang saling berkaitan. Pengelompokan perencanaan tersebut meliputi: a) Perencanaan makro, yang mengkoordinasikan hubungan variable-variabel ekonomi yang dan menjawab pertanyaan mengenai berapa besarnya pendapatan nasional yang akan ditingkatkan, berapa tingkat konsumsi, investasi, baik pemerintah maupun masyarakat, serta tingkat ekspor, impor, perpajakan dan tingkat bunga. b) Koordinasi sector dalam perencanaan pencapaian sektoral, sasaran yang memproyeksikan sasaran-sasaran pembangunan pendapatan

nasional yang ditentukan. c) Koordinasi perencanaan regional daerah, yang memproyeksikan masing-masing daerah yang perkiraan provinsi pertumbuhan (kabupaten/kota) dalam untuk dan

penentuan proyek-proyek yang akan dibangun di bersangkutan rangka keseimbangan pembangunan. d) Koordinasi perencanaan mikro yang merupakan skala rinci dalam perencanaan tahunan, sebagai jabaran rencana-rencana makro,sektoral dan regional dalam sususan proyek-proyek dan kegiatan-kegiatan dengan berbagai dokumen perencanaan dan penganggarannya.

38

4) Koordinasi

usaha-usaha

masyarakat,

artinya

untuk

membiayai pembangunan maka sumber pembiayaan dari pemerintah saja tidak dapat diandalkan usaha-usaha swasta juga harus digerakkan dan diberi motivasi untuk ikut serta dalam pembangunan. Oleh karena itu, peran pemerintah daerah sebagai koordinator pembangunan, dalam hal-hal tertentu harus lebih ditonjolkan sebagai fasilitator dan entrepreneur. Hal ini penting karena, dalam pemerintahan Negara modern, kemitraan antara masyarakat, swasta dan pemerintah sangat diperlukan. Apabila kita cermati, kegiatan pembangunan yang dilaksanakan di daerah, maka dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok kegiatan (Munir, 2002: 168): 1) Pembangunan yang dilaksanakan dengan azas desentralisasi sebagai kewenangan penuh daerah otonom. 2) Pembangunan yang dilaksanankan dengan azas dekonsentrasi yang merupakan kewenangan pemerintah pusat. 3) Pembangunan yang dilaksanakan dengan azas tugas pembantuan (medebewind). Ketiga kelompok kegiatan pembangunan itu memiliki sistem administrasi dan arus informasi yang berbeda satu sama lain, sesuai dengan sifat kewenangan masing-masing. Hal ini akan sangat berpengaruh pada efektifitas sistem perencanaan dan sistem koordinasi perencanaan. Dalam sistem perencanaan pembangunan nasional maupun daerah dibutuhkan arus koordinasi sedemikian kompleks, tidak hanya terbatas dalam lingkup kewenangan administratif pemerintahan unsich, tetapi melintas batas antar daerah, dan antar wilayah. Konsekuensinya diperlukan pula informasi yang cukup lengkap agar sistem koordinasi berjalan efektif. Atas dasar itu, sistem koordiansi harus dilakukan mulai dari: proses perencanaan, metode perencanaan, antar tingkat perencanaan, koordinasi usaha-usaha masyarakat, sebagai pengejewantahan sistem perencanaan bottom-up planning dan top-down planning. Dalam sistem koordinasi perencanaan pembangunan seperti ini, semaksimal mungkin berupaya memadukan aspirasi masyarakat (bottom-up) dengan kehendak pemerintah

39

(top-down), atau memadukan aspirasi daerah dengan kebijaksanaan pusat secara nasional (Munir, 2002: 169). Dilihat dari lingkup dan rentang waktu perencanaan, koordinasi perencanaan pembangunan terdiri dari dua lingkup koordinasi yaitu (Munir, 2002: 169): 1) Koordinasi penyusunan rencana pembangunan lima tahun, meliputi: a. Koordinasi penyusunan lima dan dialog rencana tahunan antara pembangunan komunikasi

merupakan upaya untuk melakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat luas. b. Hasil koordinasi penyusunan rencana pembangunan lima tahunan pada lingkup nasional dituangkan dalam bahan penyusunan Program Pembangunan (PROPENAS). c. Koordinasi penyusunan rencana pembangunan lima tahunan pada lingkup daerah merupakan upaya untuk melakukan dialog antara pemerintah daerah dan masyarakat luas dalam rangka Penyusunan Pola Dasar Pembangunan yang ke dalam dengan pada Daerah selanjutnya dokumen Daerah mengacu lingkup (POLDAS), dijabarkan Program Nasional

Pembangunan

(PROPEDA), d. Hasil

pada PROPENAS. koordinasi

40

departemen/lembaga Rencana dengan Startegis

pemerintah (RENSTRA) pada

non departemen dituangkan dalam mengacu

PROPENAS, dan hasil koordinasi pada lingkup badan/dinas otonom daerah yang dituangkan Rencana Strategis Dinas (RENSTRADA) dengan mengacu pada PROPEDA. e. Koordinasi penyusunan rancangan PROPENAS dilakukan oleh Badan Perencanaan Nasional, penyusunan dan Pembangunan koordinasi rancanangan

PROPEDA dilakukan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. f. Penyusunan RENSTRA dilakukan oleh penyusunan daerah. g. PROPENAS ditetapkan Daerah. h. PROPENAS, RENSTRA, wajib dan PROPEDA, RENSTRADA kepada ditetapkan dengan dengan Peraturan Undang-Undang, dan PROPEDA departemen/lembaga RENSTRADA pemerintah non departemen, dan dilakukan oleh badan/dinas otonom

merupakan dokkumen public dan disebarluaskan masyarakat. 2) Koordinasi penyusunan rencana pembangunan tahunan

41

a. Koordinasi rencana pembangunan tahunan meerupakan upaya melakukan komunikasi dialog pemerintah, pemerintah dalam melaksanakan PROPENAS PROPEDA. b. Hasil lingkup Rencana Pembangunan Tahunan (REPETA) dan hasil koordinasi pembangunan pada lingkup dituangkan Rencana Pembangunan Daerah untuk provinsi Tahunan lingkup maupun (REPETADA) baik daerah dalam koordinasi nasional pembangunan pada dituangkan ke dalam dan daerah, rangka dan masyarakat luas dan antara untuk

kabupaten/kota.

42

c. Pelaksanaan koordinasi pembangunan dilakukan secara horizontal, vertical, dan antar wilayah, serta nasional oleh setiap bertahap d. Pada lingkup dan lingkup pemerintahan secara berkesinambungan. kabupaten/kota dilakukan koordinasi secara sebagai mengintegrasikan dan mengsinkronisasikan berbagai rencana pembangunan badan/dinas otonom kabupaten.kota, dengan mempertimbangkan aspirasi masyarakat, rencana lainnya, provinsi, informasi daerah rencana serta dari kabupaten/kota pembangunan horizontal

43

pemerintah Pelaksanaan koordianasi BAPPEDA

pusat. forum ini

dikoordinasikan oleh kabupaten/kota. e. Koordinasi horizontal perencanaan pembangunan pada lingkup provinsi dikoordinasikan oleh BAPPEDA provinsi. Forum merupakan dalam mengintegrasikan dan mensinkronisasikan berbagai rencana pembangunan badan/dinas otonom provinsi, hasil lingkup kabupaten/kota, rencana provinsi daerah lainnya, dengan koordinasi mempertimbangkan ini upaya

aspirasi masyarakat, dan informasi dari pemerintah pusat.

44

f. Koordinasi pembangunan secara horizontal pusat, sebagai dan mengsinkronisasikan berbagai rencana pembangunan departemen/lembaga pemerintah memperhatikan aspirasi pemerintah daerah masyarakat. Pelaksanaan koordinasi BAPPENAS Departemen Keuangan.g. REPETA

pada dilakukan upaya

lingkup pemerintah

pengintegrasikan

non

departemen, dengan

dan forum ini dan

dikoordinasikan oleh

maupun

REPETADA, merupakan dokumen public, dan oleh karena itu dokumen perencanaan tersebut wajib disebarluaskan kepada masyarakat.

45

j. Perencanaan pembangunan daerah dalam konteks nasional Pada umumnya pembangunan yang dilakukan oleh suatu negara atau bangsa didasarkan pada tiga pendaekatan yaitu; pendekatan makro, sektoral dan regional. Pembangunan makro menurut Ginanjar Kartasasmita, mencakup sasaran-sasaran dan upaya-upaya pada lingkup nasional, yang pencapaiannya merupakan hasil dari upaya-upaya pada tingkat sektoral dan regional (Bratakusumah, 2003: 42). Dalam pendapat di atas terkandung suatu pengertian bahwa pembangunan sektoral yang memfokuskan pada bidang-bidang tertentu, seperti pertanian, ekonomi, dan sebagainya, dan pembangunan regional yang menekankan pada pelaksanaan pembangunan di suatu daerah tertentu, pada dasarnya merupakan bagian dari pembangunan nasional itu sendiri. Dengan demikian kedudukan pembangunan daerah dalam pembangunan nasional sangat penting. Sebagaimana dikemukakan oleh Affendi Anwar dan Setia Hadi, bahwa kegagalan pembangunan di wilayahwilayah jelas akan memberikan dampak negatif terhadap perencanaan pembangunan perkotaan dan pembangunan secara keseluruhan. Ini juga berarti bahwa keberhasilan pembangunan di daerah-daerah akan membawa dampak positif terhadap pembangunan nasional secara keseluruhan. Premis ini juga menunjukkan bahwa pentingnya pembangunan daerah dalam rangka pembangunan nasional harus menjadi perhatian yang serius. Untuk mewujudkan hal tersebut diperlukan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah dengan political will yang tinggi untuk memberikan kewenangannya kepada daerah. Di pihak lain, daerah, baik masyarakat maupun pemerintahnya harus benar-benar mempersiapkan diri agar mampu melaksanakan tugas, hak dan kewajibannya tersebut dengan baik, sehingga pembangunan daerah dapat dilaksanakan secara mandiri dengan menggali potesi-potensi yang dimiliki secara optimal dengan tanpa mengabaikan kepentingan nasional (Bratakusumah, 2003: 43). Menurut Kartasasmita (1997: 37-38) proses pembangunan daerah dapat dilihat dengan tiga cara pandang yang berbeda. Pertama, pembangunan bagi suatu kota, daerah, wilayah sebagai suatu wujud (entity) bebas yang pengembangannya tidak terikat dengan kota, daerah atau wilayah lain sehingga penekanan perencanaan pembangunannya mengikuti pola yang lepas dan mandiri (independent). Kedua, pembangunan daerah merupakan bagian dari pembangunan nasinaol. Perencanaan pembangunan daerah dalam pendekatan ini merupakan perencanaan pembangunan pada satu yuridiksi ruang atau wilayah tertentu yang dapat digunakan sebagai bagian dari pola perencanaan pembangunan nasional. Ketiga, perencanaan pembangunan daerah sebagai instrumen bagi penentuan alokasi sumber daya pembangunan dan alokasi kegiatan di daerah yang telah direncanakan terpusat yag berguna untuk mencegah terjadinya kesenjangan ekonomi antar daerah (Bratakusumah, 2003: 43). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa perencanaan pembangunan

46

daerah dalam konteks pembangunan nasional memiliki peran dan fungsi yang sangat penting bagi pencapaian tujuan-tujuan pembangunan nasional. Meskipun perencanaan pembangunan daerah dewasa ini lebih bersifat independen sesuai dengan UU No.22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, di mana setiap daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan sendiri untuk melakukan kegiatan-kegiatan secara otonom, namun hal itu tidak berarti bahwa daerah harus mengabaikan kepentingan nasionalnya. Hal ini sejalan dengan prinsip otonomi yang bertanggung jawab, yang menurut undang-undang merupakan perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekwensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dan wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yag serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. D. Perencanaan Pembangunan Daerah Menurut UU No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah Menurut Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 150-154 menyatakan bahwa dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah disusun perencanaan pembangunan daerah sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. Perencanaan pembangunan daerah tersebut disusun oleh pemerintahan daerah provinsi, kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya yang dilaksanakan oleh Badan Perencanaan Pembangunan Daerah. Perencanaan pembangunan daerah disusun secara berjangka meliputi: a. Rencanan Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) daerah untuk waktu 20 tahun yang memuat visi, misi, dan arah pembangunan daerah yang mengacu kepada RPJP nasional; b. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) daerah untuk jangka waktu 5 tahun merupakan penjabaran dari visi, misi, dan program kepala daerah yang penyusunannya berpedoman kepada

47

RPJP daerah dengan memperhatikan RPJM nasional; c. RPJM daerah memuat kebijakan keuangan daerah, strategi pembangunan daerah, kebijakan umum, dan program satuan rencana kerja perangkat daerah, lintas satuan kerja perangkat daerah, dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif; d. Rencana Kerja Pembangunan Daerah (RKPD), merupakan penjabaran dari RPJM daerah untuk jangka waktu 1 tahun, yang memuat rancangan kerangka oleh ekonomi pemerintah daerah, daerah prioritas maupun pembangunan daerah, rencana kerja dan pendanaanya, baik yang dilaksanakan langsung ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat, dengan mengacu kepada rencana kerja Pemerintah. e. RPJP daerah dan RJMD ditetapkan dengan perda yang berpedoman kepada Peraturan Pemerintah. Satuan kerja perangkat daerah menyusun rencana strategis yang disebut Renstra-SKPD yang memuat visi, misi, tujuan, strategi, kebijakan, program dan kegiatan pembangunan sesuai dengan tugas dan fungsinya, yang berpedoman pada RPJM daerah dan bersifat indikatif. Renstra-SKPD dirumuskan dalam bentuk rencanan kerja satuan kerja perangkat daerah yang memuat kebijakan, program dan kegiatan pembangunan baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah daerah maupun yang ditempuh dengan mendorong pastisipasi masyarakat. Perencanaan pembangunan daerah didasarkan pada data dan informasi yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Data dan informasi tersebut mencakup: a. Penyelenggaraan pemerintahan daerah; b. Organisasi dan tata laksana pemerintahan daerah; c. Kepala daerah, DPRD, perangkat daerah, dan PNS daerah; d. Keuangan daerah; e. Potensi sumber daya daerah;

48

f. Produk hukum daerah; g. Kependudukan; h. Informasi dasar kewilayahan; dan i. Informasi lain terkait dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah, untuk tercapainya daya hasil dan hasil guna, pemanfaatan data dan informasi dikelola dalam sistem informasi daerah yang terintegrasi secara nasional. Perencanaan pembangunan daerah disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. Tahapan, tata cata penyusunan, pengendalian, dan evaluasi pelaksanaan rencana pembangunan daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemrintah yang berpedoman pada perundang-undangan.

E. Musyawarah Perencanaan Pembangunan (MUSRENBANG) Menurut UU No. 25 tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, Musrenbang adalah forum antar pelaku dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah. Sedangkan menurut Surat Edaran Bersama Menteri petunjuk Negara Teknis Perencanaan Pembangunan/Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri No. 1181/M.PPN/02/2006-No. 050/244/SJ perihal Penyelenggaraan Musrenbang tahun 2006, Musrenbang adalah proses penyusunan koordinasi antar instansi pemerintah dan partisipasi seluruh pelaku pembangunan. Sedangkan Musrenbang Kabupaten/Kota adalah musyawarah stakeholder Kabupaten/Kota untuk mematangkan rencana RKPD Kabupaten/Kota berdasarkkan Renja-SKPD yang hasilnya digunakan untuk pemutakhiran rancangan RKPD. Jadi Musrenbang adalah forum antar pelaku pembangunan dan instansi pemerintah dalam proses penyusunan koordinasi dalam rangka menyusun rencana pembangunan nasional dan rencana pembangunan daerah.

49

a. Fungsi Musrenbang Musrenbang diselenggarakan dalam rangka menyusun Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) dan diikuti oleh unsur-unsur penyelenggaraan Negara dengan mengikutsertakan masyarakat. Dalam Surat Edaran Bersama Menteri Negara Perencanaan Pembangunan/ Kepala Bappenas dan Menteri Dalam Negeri No. 1181/M.PPN/02/2006-No. 050/244/SJ perihal petunjuk Teknis Penyelenggaraan Musrenbang tahun 2006, mengatakan bahwa fungsi Musrenbang adalah sebagai forum untuk menghasilkan kesepakatan antar pelaku pembangunan tentang rancangan RKP dan rancangan RKPD yang menitikberatkan kepada pembahasan untuk sinkronisasi rencana kegiatan antar kementrian/lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah dan antara pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam pencapaian tujuan pembangunan nas