Upload
letruc
View
222
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
BAB II
TINJAUAN TEORI
2.1. Terminal Peti Kemas
Terminal peti kemas berfungsi sebagai transfer interface antara kapal pengangkut peti
kemas dengan moda transportasi lainnya. Selain itu terminal peti kemas juga berfungsi
sebagai tempat penyimpanan sementara peti kemas dan menangani semua data yang
terkait dengan status peti kemas yang diperlukan oleh semua pihak yang terkait
dengannya.
Peti kemas (containerization) telah menjadi salah satu pilihan utama dalam
pengiriman kargo dalam perdagangan dunia. Data statistik yang menunjukkan bahwa
lebih dari 90% kargo internasional diangkut melalui moda laut dengan pelabuhan sebagai
transfer interfacenya (Winklemans, 2002). Selain itu kargo dan pelayaran dari seluruh
dunia juga mengalami kecenderungan peningkatan secara eksponensial (Henesey et al.,
2003). Dalam rangka ini terminal peti kemas berusaha mangatasi berbagai hambatan agar
produktivitas operasional meningkat dan akhirnya kapasitas terminal menjadi lebih
tinggi. Mempercepat vessel turn-around time dan pertukaran informasi merupakan usaha
riil untuk meningkatkan kapasitas terminal tersebut.
Sebuah terminal peti kemas memerlukan seperangkat peralatan dimana pelabuhan
laut tradisional tidak memerlukannya. Peralatan tersebut terdiri atas:
1. Shore (quay) crane yang diperlukan untuk membongkar atau memuat peti kemas
dari atau ke dalam kapal.
2. Spreader, yaitu peralatan yang merupakan bagian dari quay crane yang berfungsi
untuk mengangkat peti kemas dalam berbagai ukuran.
3. Truk untuk mengangkut peti kemas dari kapal yang ada di dermaga yang
dipindahkan melalui quay crane ke lapangan penumpukan (container yard; CY)
atau sebaliknya.
4. Transtainer atau Rubber Tyre Gantry Crane (RTG) yang memindahkan peti
kemas dari truk dan menumpuknya (stack) di lapangan penumpukan atau
sebaliknya.
5. Sistem informasi untuk mencatat dan merekam lokasi dan semua proses transaksi
yang telah dilakukan terhadap semua peti kemas. Proses ini dilakukan melalui
Hand Held Terminal (HHT) dan Vehicle Mounted Terminal (VMT) yang
terhubung dengan Sistem LAN melalui gelombang RF.
Quay Crane
Lap. Penumpukan / CY
Transtainer
Truk
Dermaga / Berth
Gambar 2.1. Tata Letak Terminal Peti Kemas.
Dalam melaksanakan jasa pelayanan bongkar muat, terminal peti kemas memiliki
berbagai fungsi pelayanan seperti ditunjukkan pada Gambar 2.2.
(Sumber: Dirgahayu, 1999, “Petunjuk Penanganan Kapal dan Barang di Pelabuhan”)
Penyusunan / Pembongkaran
muatan
Parkir Penahanan
Angkutan
Transfer
Pemeliharaan Perbaikan Penimbangan Pemeriksaan
Fungsi antarterminal
Fungsi intern terminal
Gambar 2.2. Diagram Antar Fungsi Terminal Peti Kemas
2.1.1. Pelayanan Terminal Peti Kemas
Ga
mba
r
2.3. Alur Proses Bisnis Terminal Peti Kemas.
Proses Kontrak
Persiapan Bongkar muat
Operasional Bongkar Muat Penagihan
Sumber : TPK Koja
Proses bisnis bongkar muat di terminal peti kemas secara umum digambarkan seperti
ditunjukkan pada Gambar 2.3. Proses bisnis dimulai dengan proses kontrak, lalu
dilanjutkan dengan persiapan bongkar muat, operasional bongkar muat, dan terakhir
penagihan.
Untuk melaksanakan proses bisnis tersebut, maka terminal peti kemas memiliki
berbagai jenis pelayanan, yaitu :
1. Penyandaran kapal (berthing service)
2. Pengeluaran peti kemas (container delivery)
3. Pemasukan peti kemas (container entry)
4. Over brengen (OB)
5. Pemeriksaan Bea dan Cukai (behandle)
6. Ubah status peti kemas (status changing)
7. Alih kapal (transhipment)
8. Penumpukan awal (entry stacking)
Untuk melaksanakan berbagai pelayanan tersebut, terminal peti kemas memerlukan
pengelolaan terminal yang dilaksanakan oleh bagian pelayanan yang terdiri atas:
1. Account service
2. Front office
3. Rencana dan pengendalian (planning & controlling)
4. Pintu (gate)
5. Pelayanan fiat bea cukai (custom approval)
6. Pelayanan di lapangan (yard service)
7. Pelayanan klaim (claim service)
8. Ketersediaan peralatan (readiness equipment)
9. Keamanan
Sebagai penghubung antara terminal peti kemas dengan pihak yang berkepentingan
dengan peti kemas, khususnya perusahaan pelayaran atau cargo owner, maka terminal
peti kemas menyediakan berbagai informasi yang meliputi:
1. Permintaan open stack
2. Permintaan closing time
3. Informasi kapal
4. Hasil rapat kapal
5. Pengaduan
2.1.2. Dimensi Pelayanan Peti Kemas
Pelayanan peti kemas memiliki 5 dimensi pelayanan yang harus dipenuhi, yaitu:
1. Tangible, yaitu dimensi terminal peti kemas yang meliputi keberadaan fasilitas
fisik, sumber daya manusia, dan material komunikasi.
2. Reliability, yaitu dimensi yang menggambarkan kemampuan terminal peti kemas
dalam melakukan pelayanan secara cepat, akurat, dan bertanggung jawab.
3. Responsiveness, yaitu respon yang cepat terhadap permintaan atau keluhan
pelanggan.
4. Assurance, yaitu dimensi yang menunjukkan pengetahuan dan kemampuan staf
dalam melaksanakan pelayanan secara meyakinkan.
5. Empathy, yaitu dimensi yang menggambarkan tentang kepedulian dan perhatian
terminal peti kemas terhadap masalah yang dihadapi oleh pengguna jasa atau
pihak yang berkepentingan.
2.1.3. Operasional Bongkar Muat Proses bongkar muat peti kemas di terminal menurut Henesey et al. (2003) secara umum
terdiri dari 4 sub sistem yaitu :
1. Kapal sandar ke dermaga (Ship to shore system)
2. Sistem Pemindahan Peti Kemas (Transfer Cycle System)
3. Sistem Penyimpanan Peti Kemas (Storage System)
4. Sistem Penerimaan dan Penyerahan Peti Kemas (Delivery/Receipt System)
Aliran masing-masing sistem pada realisasinya tidak seimbang bahkan terjadi proses
penyempitan (bottle neck) seperti tampak pada Gambar 2.4.
Ship to Shore Transfer
Cycle
Storage Delivery/
Receipt
Peti Kemas
Peti Kemas
Sumber : Henesey et al. (2003)
Gambar 2.4. Subsistem Proses Operasional Bongkar Muat Peti Kemas.
Kinerja masing-masing subsistem sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor yang
perlu dibahas secara terpisah, sehingga dapat diketahui faktor apa saja yang hanya
berpengaruh pada masing-masing subsistem atau yang mempengaruhi subsistem lainnya.
Proses bongkar muat peti kemas pada subsistem Transfer Cycle pada dasarnya
dibedakan menjadi kegiatan bongkar dan kegiatan muat. Secara umum kegiatan tersebut
melibatkan 3 unit kerja terminal yaitu Pengendalian, Operasional Terminal, dan Billing.
Bagian Operasional terminal terdiri dari dua unit yaitu unit kerja Dermaga (Berth) dan
unit kerja Penumpukan Peti Kemas (Container Yard).
Alur kerja kegiatan bongkar dan kegiatan muat ditunjukkan seperti pada Gambar 2.5 dan
2.6.
Dokumen Bay plan
Proses Bongkar Problem
?
Lapor sesuai prosedur
Y
Operasional Terminal Dermaga
Dermaga
Pengendalian
1 2 3
Sumber : TPK Koja
Lap. Penumpukan 4
5
TPenyimpanan
Laporan Kegiatan
Pengendalian
6Penagihan
Billing
Gambar 2.5. Kegiatan Bongkar Peti Kemas.
Alur kerja kegiatan bongkar dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Supervisor / KOL menerima dan mempelajari dokumen yang meliputi bayplan,
rencana crane, dan profil bongkar serta menyiapkan personil dan peralatan.
2. Operator crane melaksanakan tugas bongkar peti kemas sesuai dengan rencana
crane dan bayplan serta bekerja sama dengan operator Solo dan Whiskey
khususnya dalam pengecekan peti kemas (segel dan kondisi) yang datanya
diperbarui (update) melalui Hand Held Terminal (HHT)
3. Apabila ada masalah mengenai peti kemas, segera lapor ke Pengendalian
menggunakan prosedur yang sudah ada.
4. Kalau tidak ada masalah, peti kemas selajutnya disimpan di lapangan
penumpukan menggunakan transtainer (RTG) sekaligus memperbarui datanya
melalui VMT sehingga dapat dimonitor oleh bagian Pengendalian.
5. Laporan yang dibuat meliputi:
a. Operasi per shift dan time sheet yang diverifikasi oleh KOL.
b. Laporan Realisasi Bongkar Muat yang disesuaikan dengan Rekapitulasi
Bongkar Muat. Laporan tersebut harus diparaf oleh Supervisor
Operasional terminal dan selanjutnya ditandatangani oleh pihak pelayaran
dan Manajer Operasi.
6. Laporan diserahkan ke Billing untuk dapat dilaksanakan penagihan jasa.
Gambar 2.6. Kegiatan Muat Peti Kemas.
5
2
PengendalianPengendalian
Y
Penagihan
Billing
6
Sumber : TPK Koja
Laporan Kegiatan
Lapor sesuai prosedur
Problem?
Pemuatan Peti Kemas
TLap. Penumpukan
Dermaga 3 4
Dokumen Bay plan
Pengiriman ke Dermaga
Operasional Terminal Lap. Penumpukan 1
Alur kerja kegiatan muat dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Supervisor/Kolonel menerima dan mempelajari dokumen yang meliputi bayplan,
rencana crane, dan profil muat serta menyiapkan personil dan peralatan.
2. Operator RTG (Tango) menerima job list dan mengirimkan peti kemas ke
dermaga secara berurutan dan sekaligus melakukan proses update.
3. Apabila ada masalah mengenai peti kemas, segera lapor ke Pengendalian
menggunakan prosedur yang sudah ada.
4. Kalau tidak ada masalah, operator crane melaksanakan pemuatan peti kemas
sesuai dengan bayplan muat dengan berkoordinasi dengan Solo dan Whiskey,
dimana posisi peti kemas secara aktual akan diperbarui oleh Solo menggunakan
HHT.
5. Laporan yang dibuat meliputi:
a. Operasi per shift dan time sheet yang diverifikasi oleh Kolonel
b. Laporan Realisasi Bongkar Muat yang disesuaikan dengan Rekapitulasi
Bongkar Muat. Laporan tersebut harus diparaf oleh Supervisor
Operasional terminal dan selanjutnya ditandatangani oleh pihak pelayaran
dan Manajer Operasi.
6. Laporan diserahkan ke Billing untuk dapat dilaksanakan penagihan jasa.
2.1.4. Produktivitas
Proses bongkar muat peti kemas memiliki indikator yang berfungsi untuk mengukur
produktivitas sekaligus menjadi indikator kualitas pelayanan peti kemas. Secara umum
kualitas pelayanan peti kemas diukur sampai seberapa lama proses bongkar muat peti
kemas tersebut dilaksanakan. Semakin cepat pelaksanaan bongkar dan muat, maka akan
membuat pihak pelayaran akan puas. Menurut Rebollo et al. (2000), biaya yang harus
dikeluarkan oleh pihak pelayaran selama bersandar di dermaga adalah sebesar $1.000
atau lebih per jam.
Selain itu kualitas peti kemas juga sangat dipengaruhi oleh ketepatan dan akurasi
bongkar muat. Hal-hal yang menurunkan kualitas bongkar muat adalah:
1. Penandatanganan realisasi bongkar muat. Masalah yang dihadapi antara lain:
a. Kesesuaian jumlah box peti kemas.
b. Penanganan terhadap peti kemas yang meliputi proses bongkar, muat,
shifting, dan lain-lain.
c. Penanganan terhadap jenis peti kemas, yang meliputi peti kemas 20’, 40’,
45’, OD, MI, Reefer, dan lain-lain.
2. Masalah di gate, yang antara lain:
a. Dokumen peti kemas tidak lengkap
b. Closing time terlampaui
c. Kelebihan berat
d. Peti kemas rusak
e. Segel rusak
f. Antrian panjang
3. Kejadian terhadap peti kemas, yang meliputi:
a. Kehilangan isi peti kemas
b. Kerusakan atau perubahan segel pengaman peti kemas
c. Kehilangan peti kemas
d. Kecelakaan
Indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat produktivitas terminal dalam
melakukan proses bongkar muat adalah:
1. Box Crane per Hour (BCH) yaitu banyaknya box peti kemas yang dilaksanakan
oleh satu buah crane dalam waktu 1 (satu) jam. Indikator ini lebih ditujukan untuk
kepentingan pihak internal terminal.
2. Box Ship per Hour (BSH) yaitu banyaknya box peti kemas yang mampu
dibongkar dan/atau dimuat oleh pihak terminal terhadap satu buah kapal dalam
waktu satu jam. Indikator ini lebih ditujukan untuk kepentingan pihak pelayaran,
karena semakin tinggi BSH berarti waktu pelayanan menjadi semakin pendek
yang tentu saja akan mempengaruhi turn-around time dan mengurangi ongkos
sandar kapal.
3. Turn Round Time (TRT) merupakan waktu yang diperlukan oleh sebuah kapal
dalam melakukan proses bongkar muat peti kemas, mulai dari saat datang ke
terminal hingga keluar dari terminal.
4. Berth Ocupancy Ratio (BOR) adalah indikator pemanfaatan dermaga (berth);
yang dihitung dengan membagi jumlah berthing time (selang waktu yang
diperlukan untuk bongkar muat) dengan dua kali jumlah jam dalam satu tahun.
Semakin tinggi nilai BOR (dalam satuan presentase), semakin tinggi pemanfaatan
dermaga.
Kaitan antara BCH, BSH, dan TRT adalah:
• Dengan meningkatnya BCH, maka peluang untuk meningkatkan BSH menjadi
semakin besar.
• Dengan nilai BSH yang makin besar akan menyebabkan TRT menjadi lebih
rendah.
• TRT yang lebih rendah menyebabkan berthing window menjadi semakin terbuka.
• Dengan adanya tambahan berthing window maka terbuka peluang berthing
contract baru untuk shipping line yang secara reguler sandar di terminal.
• Tambahan berthing contract berarti tambahan pendapatan.
Gambar 2.7. Kaitan antara Indikator Operasional BCH, BSH, dan TRT.
Indikator BCH dan BSH sangat dipengaruhi oleh banyak faktor baik yang dapat
dikendalikan oleh pihak terminal maupun yang tidak. Faktor-faktor yang mempengaruhi
indikator tersebut adalah:
1. Faktor Kapal, yang meliputi jenis kapal dan jenis pelayaran.
2. Faktor Muatan, yang meliputi susunan peti kemas, variasi jenis peti kemas, dan
jumlah palka yang digunakan.
3. Faktor Dermaga, berapa panjang dermaga yang digunakan oleh kapal (kade
meter) dan jumlah dermaga yang digunakan pada saat yang bersamaan.
4. Faktor Personil, yaitu jumlah personil yang tersedia dan terlibat dan kemampuan
personil.
5. Faktor Administrasi, yang terdiri dari closing time penerimaan peti kemas dan
pemeriksaan kepabeanan.
6. Faktor Crane, yang terdiri dari jenis crane, ketersediaan crane, kondisi crane,
kondisi spreader, dan jumlah crane yang digunakan.
7. Faktor Truk, yang terdiri dari ketersediaan dan jumlah truk, baik untuk bongkar
maupun muat, serta kondisi truk.
8. Faktor Teknologi Informasi, yang terdiri atas kesesuaian rencana bongkar
dan/atau muat, ketersediaan sistem, ketersediaan dan kondisi HHT.
9. Faktor Metoda Penanganan Peti Kemas, yang terdiri atas ketersediaan metoda
atau SOP baik untuk penanganan kapal, penanganan crane, penanganan truk,
maupun penanganan jenis peti kemas.
10. Faktor Alam, yang terdiri dari hujan, gelombang laut, dan angin.
2.1.5. Peralatan Bongkar Muat Peti Kemas Terdapat tiga peralatan utama yang digunakan (terlibat) pada proses bongkar muat, yaitu
quay crane, transtainer, headtruck dan chassis.
- Quay Crane atau Container Crane (CC)
Quay crane merupakan alat untuk memindahkan peti kemas dari/ke kapal.
Terdapat tiga jenis crane yang umum dan masih sama-sama dipakai, yaitu
Panamax, Post Panamax, dan Super Post Panamax. Masing-masing jenis crane ini
dibedakan dari kemampuan atau kinerjanya. Pada Tabel 2.1 ditunjukkan kinerja
dan spesifikasi ketiga jenis quay crane.
Saat ini TPK Koja memiliki enam buah quay crane, yang terdiri atas tiga
crane dari jenis Panamax, dua crane Post Panamax, dan satu crane Super Post
Panamax.
Pada crane terdapat spreader, yaitu bagian yang mengaitkan peti kemas
pada crane. Jenis spreader dapat diganti untuk disesuaikan dengan jenis peti
kemas. Peti kemas khusus, seperti OD, akan menggunakan spreader yang berbeda
dengan yang digunakan untuk peti kemas standar.
Tabel 2.1. Perbandingan Data Kinerja Quay Crane Panamax, Post Panamax, dan
Super Post Panamax.
Deskripsi Panamax Post Panamax Super Post
Panamax
Rows on ship
deck Max 13 Max 18 22 -24
Lifted load 40 ton 51 – 66 ton 65 – 66 ton
Outreach 36; 38,5; 41 m 51; 53,5; 56 m 61; 63.5; 66 m
Hoisting speed 60/120 –
75/150 m/min
75/150 –
90/180 m/min
75/150 m/min –
90/180 m/min
Trolley travel
speeds 150 – 180 m/min 180 – 210 m/min 180; 210; 240 m/min
Gantry travel
speeds 45 – 60 m/min 45 – 60 m /min 45 – 60 m/min
Boom hoist 5 min 5 min 5 min
Trim/List/Skew ±5° /±5°/ ±5° ±3° /±3° /±3° ±3° /±3° /±3°
Sumber: Bagian Teknik TPK Koja.
- Transtainer atau Rubber Tyre Gantry Crane (RTG)
Transtainer merupakan crane yang terdapat di lapangan penumpukan peti kemas.
Crane ini memindahkan peti kemas dari penumpukan ke truk dan sebaliknya.
TPK Koja memiliki 21 transtainer.
- Head Truck dan Chassis
Truk pengangkut peti kemas mengantarkan peti kemas dari quay crane ke
lapangan penumpukan pada proses bongkar. Sebaliknya, truk ini juga
mengangkut peti kemas dari lapangan penumpukan ke quay crane pada proses
muat.
Truk terdiri atas dua bagian, yaitu head truck dan chassis. Head truck
merupakan bagian depan (penarik) truk dan chassis merupakan bagian belakang
yang memuat peti kemas. Terdapat dua jenis chassis, yaitu yang memuat peti
kemas 20 kaki dan 40 kaki.
2.1.6. Kualitas Bongkar Muat
Kualitas pelayanan terminal peti kemas perlu ditingkatkan, bahkan secara terus-menerus,
agar memenuhi kebutuhan pelanggan. Peningkatan kualitas pelayanan pada akhirnya
akan meningkatkan nilai kompetitif perusahaan di industri terminal peti kemas.
Agar peningkatan kualitas dapat dilaksanakan, maka perlu dibuat definisi kualitas
termasuk pengukurannya. Secara lebih lengkap, pengukuran kualitas dapat digunakan
untuk:
1. Memahami kondisi terminal secara umum.
2. Menetapkan sasaran yang ingin dicapai oleh terminal, terutama di bidang operasional
bongkar muat.
3. Meningkatkan kinerja (performance) terminal, terutama kinerja bongkar muat.
4. Merencanakan dan mengembangkan terminal.
2.1.6.1. Indikator Kualitas Pengukuran kualitas dapat dilaksanakan melalui indikator kualitas. Terdapat dua
indikator kualitas untuk operasi bongkar muat (transfer cycle), yaitu BCH (Box Crane
per Hour) dan BSH (Box Ship per Hour).
2.1.6.1.1. BCH (Box Crane per Hour) BCH menunjukkan kinerja sebuah quay crane melakukan bongkar muat. Satuannya
adalah box crane per hour, yaitu jumlah petikemas yang dapat dibongkar/muat dalam
satu jam oleh sebuah crane. Semakin tinggi angka BCH, semakin tinggi kualitas kinerja
crane melaksanakan bongkar muat.
2.1.6.1.2. BSH (Box Ship per Hour) BSH menunjukkan kinerja operasi bongkar muat. Satuannya adalah box ship per hour,
yaitu jumlah peti kemas yang dapat dibongkar/muat oleh satu crane atau lebih pada
sebuah kapal. Semakin tinggi angka BSH, semakin tinggi kualitas operasi bongkar muat,
dan semakin cepat kapal dapat dilayani.
2.2. Process Quality Model (PQM)
Peningkatan kualitas layanan kepada pelanggan secara terus-menerus pada terminal peti
kemas perlu dilaksanakan mengingat persaingan yang semakin ketat. Pelanggan
menuntut kualitas pelayanan yang tinggi. Dalam hal ini, kecepatan pelayanan bongkar
muat sangat berarti bagi perusahaan shipping line yang menjadi pelanggan langsung
terminal peti kemas.
2.2.1. Peningkatan Pelayanan Terus-menerus Peningkatan kualitas pelayanan secara terus-menerus dapat diterjemahkan menjadi
peningkatan proses. DeToro dan Tenner (1977) mengajukan pendekatan peningkatan
proses tahap demi tahap. Tahapan peningkatan proses secara terus-menerus meliputi:
1. Memahami pelanggan. Memahami kebutuhan (persyaratan) pelanggan dan mencari
tahu kemampuan perusahaan untuk memenuhi persyaratan tersebut.
2. Menganalisa proses. Menentukan efisiensi dan efektivitas dari proses. Pada tahap ini,
metode peningkatan yang tepat perlu diidentifikasi.
3. Meningkatkan proses. Plan-Do-Study-Act (Merencanakan-Mengerjakan-
Mempelajari-Bertindak) digunakan sebagai pendekatan untuk meningkatkan proses.
4. Menenerapkan perubahan. Membuat penyesuaian-penyesesuaian yang diperlukan.
5. Menstandarkan dan memonitor. Melacak kinerja, mengawasi proses dan peningkatan
secara terus-menerus.
2.2.2. Tahapan PQM Beamon (1998) menerapkan teori peningkatan proses DeToro dan Tenner tersebut di atas
untuk mendukung risetnya mengenai penjembatanan kesenjangan antara analisa sistem
supply chain dan kontrol kualitas dengan mengembangkan Process Quality Model
(PQM). PQM digunakan Beamon untuk assesment, peningkatan dan kontrol kualitas
pada sistem dan subsistem supply chain, membantu mengidentifikasi masalah, dan
menyajikan kerangka kerja untuk peningkatan secara terus-menerus sistem suply chain.
Khususnya, PQM pada supply chain untuk menjawab pertanyaan berikut:
a) Aspek kualitas mana yang harus diukur?
b) Bagaimana aspek kualitas ini diukur?
c) Bagaimana hasil pengukuran ini digunakan untuk mengevaluasi, meningkatkan
dan mengontrol kualitas sistem supply chain secara keseluruhan?
Beamon mengembangkan PQM yang terdiri atas tujuh modul yang terintegrasi. Kerangka
dasar PQM dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Modul 1: Identifikasi proses, teknologi dan tugasyang dilaksanakan
Modul 2:Identifikasi pelanggan & persyaratan, ekspektasi,
dan persepsi mereka
Modul 3:Mendefinisikan kualitas
Modul 4:Identifikasi pengukurankinerja kualitas saat ini
Modul 5: Evaluasi proses saat ini danmengeset standar kualitas
Modul 6:Meningkatkan proses
Modul 7:Kontrol dan monitor proses
Gambar 2.8. Kerangka Dasar Process Quality Model.
Pentahapan kerangka PQM adalah sebagai berikut:
• Modul 1: Mendefinisikan proses dan aktivitas yang sedang dilaksanakan.
Terdapat sejumlah tool grafis yang dapat digunakan untuk mendefinisikan atau
menggambarkan pekerjaan-pekerjaan yang sedang dilaksanakan, seperti
flowchart, flow process charts, Gantt charts, dan relation diagram. Setelah
mengidentifikasi aktivitas ini, maka selanjutnya aktivitas diterapkan pada
tahapan-tahapan proses.
• Modul 2: Mengetahui kebutuhan, harapan (eskpektasi), dan persepsi pelanggan.
Tujuan dari tahapan ini adalah untuk secara terus-menerus meningkatkan kualitas
pelayanan kepada pelanggan. Yang dimaksud dengan pelanggan di sini adalah
pelanggan eksternal dan internal. Pelanggan eksternal adalah konsumen dari
produk akhir. Sedangkan pelanggan internal adalah bagian (departemen) yang
membutuhkan barang atau pelayanan dari departemen lain di dalam organisasi
(perusahaan).
• Modul 3: Mendefinisikan kualitas. Terdapat berbagai macam definisi tentang
kualitas. Oleh sebab itu setiap perusahaan/organisasi perlu menciptakan definisi
kualitas berdasarkan kebutuhan pelanggannya. Definisi seharusnya merupakan
refleksi dari jenis pekerjaan (tugas) yang berkaitan dan juga merupakan cerminan
dari kebutuhan serta ekspektasi pelanggan.
• Modul 4: Mengidentifikasi pengukuran kinerja kualitas yang ada. Tujuannya
adalah untuk mengidentifikasi biaya sekarang, produktivitas, dan pengukuran
layanan, serta mengidentifikasi kesenjangan (gap) pengukuran yang ada sekarang.
• Modul 5: Mengevaluasi proses yang ada sekarang dan mengeset standar kualitas.
Pada modul ini dikembangkan standar kualitas secara kuantitatif. Sebelum standar
dibangun, proses harus terkendalikan. Sebuah proses terkendalikan bila tidak ada
fluktuasi yang besar akibat dari hal-hal khusus. Dengan kata lain, variasi atau
fluktuasi ekstrim harus diatasi (dihilangkan) sebelum standar kualitas dibangun.
• Modul 6: Meningkatkan proses. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi dan
menerapkan perubahan untuk meningkatkan kinerja secara keseluruhan. Tahap
pertama adalah mengidentifikasi dan memprioritaskan peningkatan pada bidang
tertentu. Setelah bidang ini diprioritaskan, bidang yang harus menerima perhatian
diidentifikasi, dengan mempertimbangkan kendala waktu dan biaya. Maksud dari
peningkatan terus-menerus adalah mengurangi tingkat variasi dari penyebab yang
biasa (bukan penyebab khusus) yang ada di dalam proses. Pada perencanaan
peningkatan, hipotesa harus dibuat yang berkaitan dengan penyebab variasi.
Setelah penyebab ditemukan, maka perencanaan harus diterapkan untuk
mengurangi penyebabnya. Kemudian penyebab ini harus diuji untuk mengetahui
apakan solusi tersebut dapat mengurangi variasi. Setelah pengujian dilaksanakan,
peningkatan harus diterapkan ke seluruh proses. Proses ini harus diuji lagi untuk
mengetahui apakah masih terkendali; setelah proses terkendali, kemudian standar
kualitas diset kembali untuk proses yang ditingkatkan.
• Modul 7: Mengendalikan dan mengawasi proses. Tujuannya adalah untuk
mengendalikan dan mengawasi produktivitas dan kinerja pelayanan untuk
memastikan bahwa proses telah memenuhi standar. Terdapat sejumlah tool yang
dapat digunakan pada tahapan ini, yaitu control chart (untuk analisa variabilitas
proses), diagram cause and efect (analisa troubleshooting proses), histogram
(analisa frekuensi variabel proses), diagram scatter (analisa hubungan variabel
proses), dan run chart (analisa kecendrungan proses).
2.3. Analisa Statistik Seperti dikemukakan pada pengendalian kualitas proses pada metode PQM, menurunkan
tingkat variabilitas sangatlah penting. Seperti dikemukakan oleh Montgomery (2001),
peningkatan kualitas adalah penurunan variabilitas di dalam proses atau produk. Sebagai
contoh, untuk meningkatkan kualitas bongkar muat yang diukur melalui indikator BSH,
maka variabilitas nilai BSH harus dikurangi.
Pada konsep variabilitas dikenal istilah upper specification limit (USL) dan lower
specification limit (LSL). USL adalah nilai paling tinggi yang diijinkan untuk sebuah
karakteristik kualitas. Sedangkan LSL adalah nilai terendah yang diijinkan. Jadi nilai
karakateristik kualitas di antara USL dan LSL adalah yang sesuai dengan standar yang
ditetapkan.
Karena variabilitas hanya dapat dijelaskan secara statistik, maka metode
statistiklah yang berperan dalam usaha peningkatan kualitas. Secara keseluruhan dalam
penelitian ini, analisa statistik yang digunakan untuk keperluan analisa dan peningkatan
kualitas pelayanan dimaksudkan untuk:
1. Melakukan analisa pemecahan masalah suatu proses kegiatan. Perangkat yang
digunakan antara lain diagram cause and effect (diagram Ishikawa).
2. Melakukan analisa frekuensi variabel proses. Perangkat yang digunakan antara
lain Histrogram.