83
1 DUKUNGAN PERLINDUNGAN TANAMAN DALAM MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN (Revisi 5 September 2011) Oleh: Susamto Somowiyarjo Kita tidak dapat mencukupi pangan dunia hari ini dengan pertanian kemarin dan kita tidak dapat mencukupi pangan dunia besuk dengan pertanian hari ini (Lord May Robrert, 2002, cit. Ferry and Gatehouse, 2009) I.PENDAHULUAN Dengan jumlah penduduk yang akan mencapai 8 miliar pada tahun 2030 dan 9,2 miliar pada tahun 2050, dunia tetap akan terancam oleh kerawanan/kekurangan pangan. Di tahun 2015, misalnya, jumlah penduduk dunia yang mengalami kerawanan pangan diperkirakan akan mencapai 580 juta jiwa (Yudohusodo, 2004). Banyak ilmuwan memperkirakan bahwa jumlah penduduk yang akan mengalami kerawanan pangan akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan dalam jumlah penduduk yang belum diiringi dengan peningkatan dalam kualitas sumber daya manusia, disertai dengan terus menyusutnya sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, akan memperparah ancaman kekurangan pangan dunia. Berbicara mengenai sumber pangan dunia, sebenarnya dari 800.000 spesies tumbuhan yang sudah diketahui, 3.000 spesies di antaranya dapat dimakan. Dalam kenyataannnya, hanya 150 spesies tanaman yang sudah umum dimakan, dan dari jumlah tersebut yang menjadi

Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

  • Upload
    vuongtu

  • View
    285

  • Download
    11

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

1

DUKUNGAN PERLINDUNGAN TANAMAN DALAM MEMBANGUN KEDAULATAN PANGAN (Revisi 5 September 2011)

Oleh: Susamto Somowiyarjo

Kita tidak dapat mencukupi pangan dunia hari ini dengan pertanian kemarin dan kita tidak dapat mencukupi pangan dunia besuk dengan pertanian hari ini

(Lord May Robrert, 2002, cit. Ferry and Gatehouse, 2009)

I. PENDAHULUAN

Dengan jumlah penduduk yang akan mencapai 8 miliar pada tahun 2030 dan 9,2 miliar pada tahun 2050, dunia tetap akan terancam oleh kerawanan/kekurangan pangan. Di tahun 2015, misalnya, jumlah penduduk dunia yang mengalami kerawanan pangan diperkirakan akan mencapai 580 juta jiwa (Yudohusodo, 2004). Banyak ilmuwan memperkirakan bahwa jumlah penduduk yang akan mengalami kerawanan pangan akan terus meningkat dari waktu ke waktu. Peningkatan dalam jumlah penduduk yang belum diiringi dengan peningkatan dalam kualitas sumber daya manusia, disertai dengan terus menyusutnya sumber daya alam baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, akan memperparah ancaman kekurangan pangan dunia.

Berbicara mengenai sumber pangan dunia, sebenarnya dari 800.000 spesies tumbuhan yang sudah diketahui, 3.000 spesies di antaranya dapat dimakan. Dalam kenyataannnya, hanya 150 spesies tanaman yang sudah umum dimakan, dan dari jumlah tersebut yang menjadi sumber pangan utama dunia hanya 12 spesies tanaman yaitu gandum, padi, jagung, kentang, ubi jalar, ketela pohon, pisang, kelapa, kedelai, common bean, tebu, dan beet. Dari 12 spesies tanaman sumber utama pangan tersebut, tiga spesies tanaman yang termasuk kedalam kelompok biji bijian yaitu gandum, padi dan jagung, merupakan andalan utama untuk memenuhi kebutuhan kalori manusia (Schumann, 1991).

Data di atas mengingatkan kepada kita bahwa budidaya tiga kelompok tanaman biji bijian tesebut terus akan merupakan kegiatan yang sangat vital dalam rangka pemenuhan kebutuhan pangan dunia. Dari total kebutuhan biji-

Page 2: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

2

bijian dunia, sekitar 50 persen dipergunakan untuk konsumsi manusia, 44 persen untuk pakan ternak dan 6 persen untuk bahan dasar industri. Sehubungan dengan adanya krisis energi dunia, kemungkinan besar akan terjadi pergeseran proporsi kebutuhan biji bijian, terutama untuk biji bijian yang berpotensi sebagai bahan dasar produksi bioenergi.

Karena rendahnya produksi dalam negeri, pemenuhan pangan di negara negara yang sedang berkembang akan semakin tergantung pada bahan pangan impor. Ditengarai bahwa dalam kurun waktu 35 tahun, impor biji-bijian oleh negara negara yang sedang berkembang dapat meningkat hampir 2 kali lebih besar, yaitu dari 170 juta ton pada tahun 1995 menjadi 270 juta ton pada tahun 2030 (Yudohusodo, 2004). Situasi demikian merupakan peluang emas bagi Indonesia untuk mentransformasi dirinya dari negara dengan “ketahanan pangan yang tangguh” menjadi negara pemasok utama kebutuhan produk produk pangan tropika dunia. Peluang ini dimungkinkan karena Indonesia adalah negara agraris yang sangat luas dan dikaruniai sumber daya alam terbarukan yang melimpah. Dengan kata lain Indonesia seharusnya merubah impiannya dari mewujudkan kedaulatan/kemandirian pangan menjadi “produsen utama pangan tropika dunia”. Sejalan dengan pesan Presiden Pertama RI pada saat peletakan batu pertama gedung Institut Pertanian Bogor bahwa persoalan pangan adalah masalah hidup dan matinya bangsa (Soekarno, 1952), maka sebagai negara yang berpenduduk banyak dengan potensi pangan yang besar, membangun kemandirian pangan adalah suatu kebutuhan mendasar untuk menopang tegak dan kokohnya kedaulatan bangsa.

Mengutip pernyataan Prof. Dr. Ahmad Syafii Maarif pada orasi penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX (Maarif, 2004), Indonesia yang terdiri dari 17.565 pulau besar dan kecil sebenarnya adalah sebuah mosaik fisik dan budaya yang teramat elok dan menawan dengan kekayaan alam yang masih potensial dan memberi harapan untuk kemakmuran dan kesejahteraan rakyat banyak, jika saja dikelola secara baik dan jujur. Memang pulau pulau tersebut yang terangkai di sepanjang khatulistiwa dan lautan yang menyatukan rangkaian pulau ini merupakan kawasan yang kaya akan sumber daya alam (Anonim, 2006). Meskipun sebagian sumber daya alam kita telah lama kurang terurus dan sebagian sudah dirusak secara serakah oleh pihak pihak yang kurang bertanggung

Page 3: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

3

jawab, sumber daya alam kita, baik yang berupa sumber daya terbarukan maupun tidak terbarukan, masih memuat harapan untuk mewujudkan kedaulatan pangan di negeri tercinta ini. Dengan meminjam pernyataan Zen (2006), mewujudkan kedaulatan pangan di Indonesia bukanlah mengejar pelangi, yang akan berakhir dengan mimpi yang kosong. Yang kita kejar adalah pelangi mas. Jika direncanakan dengan matang, dengan strategi yang jitu, ini akan berakhir dengan hujan emas.

Kedaulatan pangan Indonesia dapat dicapai melalui: pertama, mengembangkan sains dan teknologi yang memanfaatkan potensi sumber sumber yang tersedia secara cerdas, diikuti tahap kedua yaitu dengan mengembangkan sains dan teknologi untuk mewujudkan keunggulan pangan Indonesia, kemakmuran dan martabat bangsa. Keberhasilan mengelola sumber daya pangan tersebut untuk mewujudkan kedaulatan pangan akan sangat ditentukan oleh mutu sumber daya manusia yang dihasilkan oleh sistem pendidikan pertanian nasional.

Dari gatra penawaran/permintaan pangan (food supply/demand) kondisi pangan dunia memang cukup memprihatinkan. Permintaan pangan terus meningkat dengan pesat untuk mengimbangi laju pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi, peningkatan kesejahteraan masyarakat, dan makin meningkatnya kompetisi penggunaan biji bijian sumber energi yang terbarukan. Meskipun tingkat kenaikan penduduk dunia sudah dapat ditekan dari 2 % per tahun pada tahun 1970 menjadi 1,2 % per tahun pada tahun 2010, dewasa ini pertambahan penduduk dunia masih mencapai 8 juta per tahun, atau kurang lebih 219.000 bayi per hari. Dari sisi penawaran pengadaan pangan menghadapi tantangan yang berupa makin menurunnya kualitas lahan, berkurangnya sumber air, perubahan status penggunaan lahan, perubahan iklim dan telah dicapainya leveling off produksi beberapa komoditas (Brown, 2011).

Karena kompleksnya masalah pangan, dalam membangun kemandirian /kedaulatan pangan seharusnya didekati dengan pendekatan system dengan menempatkan serangkaian kegiatan produksi sebagai salah satu sub-sistemnya (Anonim, 1988).

Dalam subsistem produksi pangan harus diakui bahwa sebagai produsen utama bahan pangan, petani masih belum mendapatkan perhatian yang memadai dari negara bila dilihat dari gatra peningkatan kesejahteraan

Page 4: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

4

(Yudohusodo, 2004). Di sisi lain masih terdapat gap (kesenjangan) yang lebar antara angka hasil aktual (actual yield) yang dicapai oleh petani di lapangan dan angka hasil potential (potential yield) di petak petak percobaan. Angka hasil potensial adalah angka hasil suatu komoditas yang dicapai bila komoditas tersebut dibudidayakan dengan persyaratan optimal dan memanfaatkan teknologi mutakhir, sedangkan angka hasil aktual adalah angka hasil yang dapat dicapai apabila suatu komoditas dibudidayakan oleh petani dalam skala luas. Untuk tanaman padi, misalnya, dewasa ini angka hasil aktual rata rata yang dapat dicapai petani adalah 4-5 ton beras per hektar, sedangkan angka hasil pada plot plot demonsrtrasi dapat mencapai 6-7 ton beras per hektar. Sudah lama diketahui bahwa penyebab klasik kesenjangan tersebut karena adanya hambatan biologi (biological constraints) yang terdiri dari masih tingginya penurunan angka hasil akibat serangan organism pengganggu tanaman (OPT), kualitas virietas dan bahan tanam, kurang optimalnya pengairan, pemupukan yang tidak optimal, cara budidaya, tanah dan cuaca dan hambatan sosio ekonomi (socio-economical constraints) yang terdiri dari masalah masalah penyuluhan, permodalan, resiko, tradisi, akses dan penyediaan sarana produksi, penyediaan insentif dan kelembagaan (Hadisapoetro, 1977).

Sebagai bagian dari system kedaulatan/kemandirian pangan, petani bertindak sebagai produsen, konsumen dan sekaligus pemasar hasil pertanian pangan. Dalam usahanya mencapai angka hasil yang optimal, petani harus menghadapi gangguan organisme pengganggu tanaman (OPT) pada fase I, yaitu gangguan sejak memilih benih, menanam sampai panen, dan gangguan fase II, yaitu gangguan sesudah panen sampai hasil tanamannya di tangan konsumen (Triharso, 1978). Dalam konteks ini yang dimaksud dengan OPT adalah hama dalam arti luas (pests , omo) yang terdiri dari tiga komponen yaitu hama dalam arti sempit (tungau, belut akar, serangga, tikus, babi hutan, burung), penyebab penyakit (viroid, virus, mikoplasma, spiroplasma, bakteri, jamur, benalu dan pathogen abiotik), dan gulma (rerumputan, enceng gondok, wedusan, gempur watu, pakisan, sembung rambat, alang-alang dan teki). Meskipun ketiga komponen OPT tersebut dipelajari secara terpisah, namun dalam pengelolaan suatu ekosistem ketiganya akan berpadu dan berkaitan timbal balik dengan

Page 5: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

5

komponen biotik dan abiotik lainnya dalam ekosistem tersebut (Soerjani et al., 1979; Triharso, 1993).

Indonesia tidak sendirian dalam menghadapi gangguan OPT. Meskipun teknologi pengendalian OPT saat ini sudah sangat maju, tetapi belum ada satupun negara di dunia ini yang terbebas dari gangguan OPT. Amerika Serikat misalnya, kerugian di bidang pertanian akibat OPT setiap tahun ditaksir sebesar 20,1 sampai 34,4 milyar dolar Amerika dan sebagai pembanding kerugian akibat hancurnya World Trade Center di New York tahun 2001 mencapai 27.1 milyar (Pimental et al., 2002 Cit. Heather and Hallman, 2008). Rata rata kerugian untuk semua komoditas pertanian di aras dunia karena OPT ditaksir sebesar 31-42 %. Ironisnya kerugian di negara yang sedang berkembang lebih besar dari pada di negara maju, padahal negara yang sedang berkembang ancaman kerawanan pangan lebih besar (Agrios, 2005).

II. ANCAMAN ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN TERHADAP KETAHANAN BANGSA: BELAJAR DARI MUSIBAH HAWAR DAUN KENTANG

Dari fosil-fosil purba diketahui bahwa parasitisme sudah berlangsung pada zaman Carbon, 230 juta tahun yang lalu. Dengan demikian pada waktu manusia mulai mengerjakan tanah 8-9 ribu tahun yang lalu, OPT sudah mengganggu tumbuhan (Baker dan Snijder, 1965 Cit. Triharso, 1978). Di dalam kitab Injil, penyakit dan hama selalu dihubungkan dengan hukuman Tuhan. Bahkan ada yang berpendapat hukuman tersebut ada sejak manusia dalam taman syurga sebagaimana disebutkan dalam salah satu firman Tuhan “I smote you with blasting and with mildew and hail in all the labors of your hands yet ye turned not to me, saith the Lord” (Haggai2:17 cit. Horst, 2008). Di negara Romawi kuno terdapat kepercayaan bahwa penyakit karat pada gandum dikendalikan oleh Dewa Robigus. Untuk menghindari gangguan penyakit karat tersebut, petani mengadakan pesta Robigalia. Perhatian manusia terhadap serangga hama telah diberikan sejak ribuan tahun yang lalu. Dalam catatan sejarah terungkap bahwa bangsa Mesir Kuno

Page 6: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

6

sudah mempunyai tradisi menghubungkan serangga dengan beberapa aspek kehidupan keseharian, seperti pertanian. Tercatat juga bahwa selama pemerintahan Ramses II, 1.400 tahun sebelum Masehi, terjadi serangan belalang yang dahsyat pada tanaman pertanian waktu itu (Adisoemarno, 2006). Dalam kepercayaan sebagian masyarakat Jawa tanaman padi adalah lambang Dewi Sri, sedangkan hama, penyakit, dan gulma adalah lambang dari Kala Gumbara yang ingin merusak Dewi Sri. Para petani mempunyai tradisi yang turun temurun untuk mengadakan selamatan pada saat mulai menyebar benih dan akan panen padi. Pada upacara selamatan menjelang panen, pemungutan padi yang akan dipakai sebagai benih selalu dilakukan oleh orang tua atau yang dianggap mempunyai kearifan di desa. Padi calon benih kemudian disimpan dalam bilik yang dilengkapi wewangian dan lampu, dengan harapan untuk mencegah kedatangan Kala Gumbara (Triharso, 1978). Negara yang bijak seharusnya belajar dari sejarah peradapan Manusia, yaitu berulang kali terjadinya kerawanan pangan sebagai akibat serangan OPT yang tidak terkendali dapat mengancam ketahanan nasional suatu bangsa. Kiranya akan terlalu panjang jika disebutkan semua catatan sejarah tentang runtuhnya ketahanan nasional suatu bangsa yang dimulai dari kegagalan bangsa tersebut dalam mengendalikan serangan OPT. Sekedar untuk memberikan gambaran tentang tragedi tersebut akan disampaikan beberapa contoh. Penyakit tumbuhan yang terhebat yang tercatat dalam sejarah adalah hawar daun kentang yang disebabkan oleh jamur Phytophthora infestans (Mont.) de By Pada tahun 1844 hawar daun kentang berkembang di Amerika Serikat. Penyakit ini tidak mendapat perhatian dari para petani di Eropa, yang jaraknya lebih kurang 5.000 km dari Amerika Serikat. Pada tahun 1845 penyakit berjangkit di hampir semua pertanaman kentang di Eropa yang meliputi luas jutaan ha. Penyakit ini sedemikian hebat sehingga kebanyakan pertanaman kentang binasa dan tidak menghasilkan. Di Irlandia yang makanan pokok rakyatnya kentang timbul paceklik panjang yang sangat menyedihkan. Sekitar satu juta rakyat Irlandia (seperdelapan dari jumlah penduduk pada waktu itu) mati kelaparan, sedang satu juta lainnya terpaksa merantau ke Negara lain dan sebagian besar menjadi emigrant ke Amerika Serikat dan Canada. Pada tahun 1917 penyakit ini juga membinasakan lebih kurang sepertiga dari pertanaman kentang sebagai penghasil makanan

Page 7: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

7

pokok di Jerman. Kekurangan pangan ini merupakan salah satu penyebab kalahnya Jerman dalam Perang Dunia (Semangun, 1996; Schumann, 1991). Pada tahun 1942 dan 1943 di Benggala (sekarang Bangladesh) terjadi wabah penyakit bercak coklat pada padi yang disebabkan oleh Helminthosporium oryzae B. de Haan. Penyakit ini menyebabkansebagian besar pertanaman padi puso sehingga terjadi paceklik yang menyedihkan, mengakibatkan lebih kurang 2 juta manusia mati kelaparan. Di tepi tepi jalan terdapat orang mati atau sekarat karena kelaparan. Peristiwa ini dikenal sebagai “The Great Bengal Famine”. Daerah Benggala adalah daerah yang padat penduduknya, kehidupan tergantung dari satu tanaman (padi), sedangkan penguasa Inggris pada waktu itu tidak dapat mendatangkan beras dari Myanmar (Burma) yang diduduki oleh tentara Jepang. Tragedi kemanusiaan yang dipicu karena kekurangan pangan seperti yang pernah terjadi di Irlandia pada tahun 1845an tampaknya masih terus menghantui negara negara yang sedang berkembang. Hal ini sangat mungkin terjadi jika negara negara yang sedang berkembang gagal memenuhi kebutuhan dasar rakyatnya yaitu pangan yang cukup dan bergizi tinggi, kebutuhan sandang dan perumahan yang layak, seperti yang akhir akhir ini di Somalia. Sejumlah tragedi pangan yang pernah terjadi beberapa kali di masa lampu, seyogyanya dijadikan pelajaran yang berharga bagi Indonesia dalam menyikapi masalah kemandirian atau kedaulatan pangan. Memang tidak salah, bahkan seiring dengan konsep ketahanan pangan, bahwa pemenuhan pangan suatu negara dapat dilakukan dengan impor. Namun pilihan ini menghadapi resiko bila situasi politik dan cadangan pangan negara pemasok tidak stabil, demikian pula bila lalu lintas perdagangan tidak aman, akan mengganggu ketahanan pangan dalam negeri kita.

III. JANGAN ANGGAP REMEH CEMARAN MIKOTOKSIN: BELAJAR DARI KASUS

PENYAKIT ERGOT

Visi pembangunan pangan Indonesia adalah tersedianya pangan bagi seluruh rumah tangga dalam jumlah yang cukup, mutu dan gizi yang layak, merata dan terjangkau oleh setiap individu serta aman untuk dikonsumsi (UU No: 7, Th 1996, Tentang Pangan). Mungkin karena perhatian utama saat ini masih pada

Page 8: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

8

usaha pengadaan pangan yang cukup dan bahaya akibat mengkonsumsi pangan yang kurang aman masih belum banyak diketahui, perhatian kita terhadap masalah keamanan pangan masih sangat rendah. Indikator masih kurangnya perhatian kita terhadap masalah keamanan pangan tercermin antara lain pada masih sedikitnya jumlah diskusi diskusi masalah keamanan pangan, dibanding dengan diskusi pada ketahanan pangan. Pada hal menurut Sardjono (2011) dan Agus (2011), keamanan pangan dan pakan kita sudah dalam kondisi yang memprihatinkan, antara lain karena tingginya kontaminasi mikotoksin pada bahan tersebut. Mikotoksin adalah bahan beracun yang dikeluarkan oleh jamur yang meginfeksi biji bijian, pangan dan pakan yang dapat menyebabkan sakit atau kematian manusia atau hewan yang mengkonsumsi bahan tersebut. Tingginya kontaminasi pada berbagai bahan oleh mikotoksin merupakan salah satu masalah penyakit tumbuhan pasca panen yang perlu segera mendapatkan perhatian secara serius. Kelembaban dan temperatur yang tinggi merupakan faktor luar yang sangat mendukung berkembangnya penyakit pasca panen pada bahan pangan dan pakan, khususnya yang tergolong biji bijian di Indonesia. Selain menimbulkan kerugian secara kualitatif dengan jalan menurunkan bobot, pathogen pasca panen, khususnya jamur juga menurunkan kualitas bahan bahkan dapat menyebabkan bahan tersebut tidak layak untuk di konsumsi. Sardjono et al. (1992) melaporkan bahwa persentase infeksi jamur yang berpotensi sebagai penghasil mikotoksin pada beberapa biji bijian yang pernah diteliti, sudah pada aras yang perlu dikendalikan.

Dari 256 buah sample kacang tanah yang diamati, 100% menunjukkan infeksi jamur dengan rincian infeksi oleh Aspergillus flavus Link sebesar 98%, Aspergillus niger v.Tiegh sebesar 80%, serta kelompok Fusarium sebesar 14%. Sedangkan untuk Jagung, dari 82% sampel yang diteliti, sebanyak 80% terinfeksi Aspergillus flavus, 70% terinfeksi Fusarium moniliforme, dan 23% tercemar oleh Fusarium sp yang berpotensi menghasilkan mikotoksin jenis fumonisin. Seterusnya Sardjono (2005) juga melaporkan adanya cemaran mikotoksin pada sebagian produk produk olahan yang dihasilkan dari bahan mentah yang telah tercemar mikotoksin, antara lain bumbu pecel, enting-enting, oncom dan hasil olahan jagung. Di lingkungan ASEAN, Indonesia menduduki peringkat tertinggi

Page 9: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

9

dalam hal pencemaran mikotoksin pada biji bijian (Yamashita et al., 1995 cit. Sardjono, 2011).

Di Indonesia, cerita keamanan pangan, khususnya kontaminasi mikotoksin dan racun lain pada bahan pangan dan pakan, adalah cerita yang kurang menggembirakan. Dampak dari adanya cemaran mikotoksin pada bahan pangan sebagian besar terjadi pada anak anak muda dari golongan masyarakat yang tidak berpenghasilan tetap dan pas-pasan, karena mereka terpaksa harus mengkonsumsi makanan yang kualitasnya rendah. Situasi ini merupakan tantangan yang berat bagi berbagai pihak untuk bekerja lebih keras untuk mencukupi kebutuhan pangan yang lebih aman bagi seluruh warga Negara. Kiranya sangat tepat bila Internasional Society for Plant Pathology (ISPP) dalam penyelenggaraan the 9th International Congress of Plant Pathology di Italy tahun 2008, mengangkat tema “HEALTHY AND SAFE FOOD FOR EVERYBODY”. Tema tersebut mirip tema kongres beberapa tahun sebelumya yaitu “HEALTHY PLANT HEALTHY PEOPLE”.

Selain mengancam keamanan pangan, mikotoksin juga mengancam keamanan pakan ternak, yang pada gilirannya juga membahayakan manusia. Agus (2011) melaporkan bahwa pada pakan ternak sering terdeteksi adanya cemaran yang berupa mikotoksin, dioxin, melamin, logam berat, pestisida, obat hewan dan aditif (antibiotik, hormone), mikrobia pathogen (Salmonella enteric, Bacillus anthracis, Toxoplasma gondii, Trichinella spiralis, Bovine spongiform Encephalopathy) dan polycyclic aromatic hydrocarbons. Dalam situasi demikian penanganan pasca panen dan penyimpanan perlu ditingkatkan untuk meghasilkan pakan yang lebih aman bagi ternak dan manusia.

Mengenai cemaran mikotoksin pada bahan pakan ternak di Indonesia, Agus dan Nuryono (2007) melaporkan bahwa lebih dari 80% jagung yang pernah diteliti tercemar aflatoksin B1 dan rata rata di atas ambang batas toleransi (lebih dari 50 ppb). Tingkat cemaran aflatoksin B1 pada jagung di aras pedagang pengumpul selalu lebih tinggi dari pada aras petani, seperti di Kabupaten Tasikmalaya (243 vs 45 ppb), Klaten (147 vs 9,7) dan Blitar (29 vs 0,9 ppb) (Yunianta dan Agus, 2008).

Page 10: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

10

Dalam sejarah kemanusiaan adanya penyakit dan kematian pada manusia dan hewan karena mikotoksin, sebenarnya sudah dikenal lebih dari 1000 tahun yang lalu, ketika ribuan manusia dan hewan ternak mengalami kesakitan, cacat seumur hidup bahkan kematian beberapa saat setelah mereka mengkonsumsi biji bijian yang berjamur. Salah satu catatan sejarah terpenting terkait dengan mikotoksin adalah kematian ribuan manusia pada kurun waktu sekitar 500 tahun pada pertengahan abad 15 dan 16 di Spanyol dan Rusia. Kemudian diketahui bahwa kematian tersebut terjadi karena mereka makan roti yang terbuat dari tepung gandum (rye) yang bijinya terkontaminasi jamur pathogen (Claviceps purpurea ND) yang memproduksi mikotoksin. Penyakit yang sama diduga sebagai penyebab matinya ribuan orang di China pada 1100 sebelum Masehi dan di Assyria pada 600 tahun sebelum Masehi. Penyakit ini mulai mendapat perhatian yang serius setelah pada tahun 1722 menyebabkan kematian sekitar 20.000 tentara Russia setelah makan roti yang terbuat dari gandum yang terinfeksi C. purpurea. (Agrios, 2005). Di sub sektor peternakan, kehadiran mikotoksin dalam pakan juga menjadi perhatian yang serius, terutama setelah pada tahun 1960 terjadi kematian 100.000 anak kalkun di Inggris setelah memakan biji bijian yang terkontaminasi jamur berbahaya tersebut.

IV. PERANAN FITOSANITASI DALAM PERDAGANGAN PANGAN INTERNASIONAL

A. Umum

Seperti yang pernah diucapkan oleh Presiden Soeharto di era Order Baru, siap tidak siap, suka tidak suka, kita harus masuk dalam globalisasi yang salah satu cirinya adalah persaingan dalam semua kegiatan kehidupan. Globalisasi telah mendorong kerjasama antarbangsa untuk memenuhi kebutuhan hidup rakyatnya, termasuk dalam hal pemenuhan kebutuhan pangan. Kekurang siapan kita dalam memasuki era globaliasi telah berakibat dengan terbukanya pasar bersama, banyak produk pangan

Page 11: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

11

Indonesia yang tidak mampu bersaing dengan produk luar negeri di rumah sendiri.

Kita memang hidup di dunia yang oleh banyak orang disebut “The Borderless World”, dunia yang tanpa batas, dengan arus barang, orang, modal dan uang serta teknologi dan budaya yang hampir hampir tanpa hambatan, sehingga masalah impor ekpor pangan bukanlah sesuatu yang harus ditabukan. Di sisi lain karena Indonesia merupakan negara dengan kebutuhan pangan yang sangat besar, maka kiprah kita dalam perdagangan komoditas pangan di aras global, merupakan kegiatan yang amat penting dan strategis. Pangan juga merupakan kebutuhan pokok yang hakiki yang setiap saat dan di setiap tempat perlu tersedia dalam jumlah yang cukup, dengan mutu yang layak, aman dikonsumsi dan dengan harga yang terjangkau oleh semua lapisan masyarakat. Karena kita mempunyai potensi besar dan kebutuhan kita juga banyak, maka sudah sewajarnya bila Indonesia berani mengambil keputusan politik untuk menjadi pemain utama bidang pangan pada aras global sehingga mampu mencukupi kebutuhan pangannya secara mandiri (Yudohusodo, 2002). Keputusan politik ini pasti banyak mendapatkan tentangan, khususnya dari pihak-pihak yang mendapatkan keuntungan besar dari penyediaan pangan melalui impor. Namun demikian untuk kepentingan masa depan bangsa, keputusan tersebut seharusnya diambil dengan penuh percaya diri, keberanian, dan ketegasan dari diri kita sendiri yang diikuti dengan perencanaan yang cermat dan pelaksanaan yang konsisten untuk waktu yang lama (Yudohusodo, 2004). Sebagai Negara yang telah ikut menyepakati berbagai perjanjian dunia dalam perdagangan, Indonesa tidak dapat mengisolasi diri dan harus membiarkan Indonesia menjadi pasar bagi produk produk negara lain, termasuk produk produk pangan. Agar dalam bekerja sama dengan negara negara lain tidak dirugikan, kita harus mengikuti dan memanfaatkan secara cerdas kesepakatan kesepakatan global dalam perdagangan dunia, antara lain World Trade Organization (WTO). WTO dibentuk untuk menjamin agar perdagangan dunia dapat berjalan lancar, terpredeksi dan bebas. Mengingat Indonesia mempunyai keunggulan di berbagai komoditas dan potensi kita amat besar menjadi produsen pertanian tropis, Indonesia perlu mengambil strategi jitu agar keterlibatan kita dalam perdagangan

Page 12: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

12

dunia dapat memberikan keuntungan bagi Negara kita pada umumnya dan petani pada khususnya (Yudohusodo, 2004).

Salah satu resiko perlindungan tanaman dari meningkatnya arus lalu lintas bahan pangan dan pakan adalah masuk dan menyebarnya OPT dari suatu negara ke negara lain (Heather and Hallman, 2008). Masalah tersebut perlu dipecahkan secara international dalam rangka kerjasama biologi dan ekonomi (Triharso, 1978). Untuk mewadai kerjasama international tersebut, pada tahun 1952 dikembangkan the International Plant Protection Convention (IPPC) yang berkedudukan di Kantor Pusat FAO, Roma. IPPC beranggotakan 177 negara, termasuk Indonesia. Dokumen international tersebut ditulis dengan bahasa PBB (Arab, Cina, Inggris, Perancis, Rusia, dan Spanyol), selalu direvisi sesuai dengan tuntutan zaman dan kemajuan ilmu pengetahuan, serta dapat diikuti pada situs http://www.ippc.int. Di bawah ini akan disitasi secara singkat beberapa pokok ketentuan IPPC sesuai dengan naskah yang direvisi pada November 1997.

IPPC dikembangkan Negara Negara yang mempunyai kepedulian terhadap pentingnya kerjasama international dalam mengendalikan OPT pada tanaman dan hasil tanaman melalui pencegahan masuk dan tersebarnya OPT secara international, khususnya ke wilayah yang masih bebas OPT tersebut. Para pemarkasa IPPC juga memahami bahwa phytosanitary measures (teknik fitosanitasi) harus dapat dipertanggung jawabkan secara teknis dan transparan. Demikian pula perlu dihindari pemanfaatan teknik teknik tersebut sebagai pembatasan perdagangan international yang sewenang wenang, diskriminatif, maupun pelarangan yang tersembunyi.

B. Tujuan dan tanggung jawab Negara pengeskpor dan pengimpor (contracting parties)

IPPC memuat rambu rambu hukum, teknis dan administrasi dalam menghadapi lalu lintas OPT pada tingkat global berlandaskan tujuan untuk melakukan pengamanan dan tindakan yang efektif secara bersama sama guna mencegah penyebaran dan introduksi OPT bagi tanaman dan produk tanaman. Tujuan lain adalah mengembangkan cara pengendalian dari OPT tersebut.

Page 13: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

13

Negara pengimpor dan pengekspor (contracting parties), yang selanjutnya dalam bab ini disebut sebagai negara, berkewajiban untuk memenuhi seluruh persyaratan yang tercantum dalam IPPC di semua wilayah dari negaranya. Untuk memenuhi kewajiban tersebut semua negara wajib menyediakan tenaga perlindungan tanaman yang kompeten.

Selain untuk tanaman dan produk tanaman, negara dapat mempertimbangkan pemberlakuan ketentuan ketentuan dalam IPPC untuk aspek yang lebih luas, seperti untuk tempat penyimpanan, bahan bahan paking, container, alat alat pengangkutan, tanah dan organism, bahan bahan lain yang dapat membantu penyebaran OPT, khususnya yang terlibat dalam transportasi international.

C. Organisasi perlindungan tanaman nasional (National Plant Protection Organization = RPPO)

Masing masing negara wajib mengupayakan agar organisasi perlindungan tanaman nasional (OPTN) berperan secara maksimal dalam mendukung implementasi IPPC. Terkait dengan implementasi IPPC, OPTN mendapat tugas:

Menerbitkan sertifikat fitosanitasi dalam hubungannya peraturan fitosanitasi dari negara pengimpor, sebagai kelengkapan pengiriman tanaman, produk tanaman dan bahan lain yang diatur dalam IPPC.

Melakukan surveilensi tanaman yang sedang tumbuh, termasuk yang ditumbuhkan di lapangan, perkebunan, pesemaian, kebun, rumah kaca dan laboratorium, flora liar, and tanaman serta produk tanaman dalam penyimpanan dan pengangkutan. Hal hal yang harus dilaporkan dalam kegiatan ini meliputi ledakan serangan, penyebaran OPT dan metode pengendaliannya.

Melakukan inspeksi/pengamatan tanaman dan produk tanaman dalam lalu lintas internasional, dan juga juga bahan bahan lain yang terkait dengan introduksi dan penyebaran OPT, pada lalu lintas internasional.

Melakukan disinfeksi atau disinfestasi saat ada pengiriman tanaman, produk tanaman, atau barang barang lain yang diatur dalam IPPC pada lalu

Page 14: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

14

lintas barang internasional untuk memenuhi persyaratan fitosanitasi (phytosanitary requirement).

Memproteksi daerah bahaya, dan menentukan, memelihara serta melakukan surveilensi daerah yang bebas atau daerah dengan tingkat prevalensi OPT yang rendah.

Melakukan analisis resiko OPT (pests risk analysis) Menjamin bahwa keadaan OPT sebagaimana tertera dalam sertifikat

fitosanitasi untuk suatu bahan, tetap benar sampai saat sebelum bahan yang bersangkutan dikirim.

Terus melakukan training dan pengembangan ilmu pengetahuan secara berkesinambungan bagi staf dari organisasi perlindungan tanaman nasional

Mengupayakan system informasi yang baik terkait dengan jenis jenis OPT, cara cara pencegahan dan pengendaliannya dalam negaranya.

Selalu mengadakan penelitian dan investigasi dalam lapangan perlindungan tanaman

Menerbitkan peraturan peraturan yang terkait dengan fitosanitasi Melakukan hal hal lain untuk menjamin terimplementasinya IPPC secara

harmonis dan lancar di dalam negeri.

Masing masing Negara berkewajiban melaporkan struktur Organisasi Perlindungan Tanaman Nasional (OPTN) kepada Sekertariat IPPC di Roma dan ke semua Negara Negara mitra.

D. Sertifikati Fitosanitasi (phytosanitary certification)

Masing masing Negara harus mengatur setifikasi fitosanitasi dengan tujuan untuk menjamin bahwa tanaman, produk tanaman, dan bahan lain yang terkait dengan bahan yang dikirim, sesuai dengan pernyataan yang terkandung dalam sertifikat. Untuk mencapai kondisi tersebut, tata cara sertifikasi fitosanitasi hendaknya dilakukan dengan memperhatikan hal-hal sebagai berikut:

o Inspeksi dan semua aktifitas yang terkait dengan sertifikasi hanya dilakukan oleh Organisasi Perlindungan Tanaman Nasional (OPTN) resmi. Penerbitan sertifikat hanya dilakukan oleh pelayan publik yang secara akademik dan teknis kompeten.

Page 15: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

15

o Semua model sertifikat dan sertifikat elektronik yang diterima oleh negeri pengimpor harus sesuai dengan model yang dicantumkan pada lampiran IPPC.

o Perlu diupayakan agar tidak ada kesalahan dalam penulisan dokumen. Penggantian atau penghapusan huruf, angka, atau kata yang tidak dapat dipertanggung jawabkan, berakibat tidak validnya sertifikat

Negara pengimpor barang tidak dibenarkan meminta sertifikat fitosanitasi dengan format yang berbeda dengan format yang tercantum dalam lampiran IPPC.

E. Beberapa persyaratan terkait dengan impor

Untuk tujuan mencegah introduksi dan atau penyebaran OPT ke wilayahnya, suatu Negara mempunyai otoritas untuk mengatur, tentunya dengan cara cara yang sesuai dengan kesepakatan international, masuknya tanaman dan hasil tanaman serta bahan lain sesuai dengan aturan, mengikuti ketentuan sebagai berikut:

Negara menentukan dan mengadopsi cara-cara fitosanitasi (misalnya teknik inspeksi, larangan impor, dan perlakuan barang) dalam hubungannya pemasukan tanaman, produk tanaman, atau bahan lain yang diimpor.

Negara dapat menolak atau menahan, meminta perlakuan, pemusnahan, atau memindahkan dari wilayahnya, terhadap bahan tanaman, hasil tanaman serta bahan lain yang tidak dilengkapi dengan kelengkapan fitosanitasi yang ditentukan.

Negara dibenarkan untuk melarang atau membatasi perpindahan OPT yang diatur (regulated pests) ke wilayahnya.

Negara dapat melarang atau membatasi perpindahan agen pengendalian hayati atau organisme lain yang ada hubungannya dengan sertifikat fitosanitasi yang dinyatakan bermanfaat bagi wilayahnya.

Selanjutnya suatu negara dapat meminta cara cara (penanganan) khusus bagi suatu OPT yang di negara asal mungkin tidak mampu berkembang dengan

Page 16: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

16

baik, tetapi bila dimasukkan ke negara (baru) dapat menyebabkan kerugian ekonomi. Suatu negara juga dapat meminta secara khusus untuk pengiriman barang melalui transit di suatu wilayah yang secara teknis dapat dibenarkan dan dipandang perlu untuk mencegah introduksi atau penyebaran OPT yang berbahaya. Perlakuan khusus juga dapat disampaikan, tentu dengan sangat memperhatikan keamanan, untuk memasukan tanaman, hasil tanaman atau bahan bahan yang terkait dengan OPT, untuk keperluan penelitian akademik, pendidikan dan keperluan khusus lainnya. Dalam situasi darurat, suatu negara dapat mengambil langkah langkah yang tepat dan dapat dipertanggung jawabkan apabila ditemukan atau ada laporan keberadaan OPT yang membahayakan suatu daerah atau wilayah di negara tersebut. Segera setelah langkah langkah tersebut dilakukan, perlu segera dievaluasi efektifitasnya dan dilaporkan ke sekertariat IPPC.

F. Kerjasama international

Untuk memaksimalkan implementasi IPPC, diperlukan kerja sama international, khususnya dalam hal:

Kerjasama dalam pertukaran informasi OPT, terutama laporan keberadaan, ledakan atau penyebaran OPT yang mungkin tingkat bahayanya menengah atau mempunyai potensi bahaya, dengan menggunakan prosedur yang dikembangkan oleh IPPC.

Kerjasama dalam promosi pengendalian OPT yang mengancam produksi dan memerlukan kerjasama internasional

Kerja sama dalam penyediaan informasi teknik dan biologi yang diperlukan untuk analisis resiko OPT.

G. Komisi Teknik Sanitasi (Phytosanitari Measures)

Agar Indonesia mampu mengimplementasikan sebaik baiknya IPPC, khususnya untuk perdagangan bahan pangan, maka perlu mempunyai komisi fitosatitasi yang kuat. Menurut IPPC, fungsi komisi tersebut adalah:

Page 17: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

17

Melakukan review berkesinambungan tentang status OPT penting di dunia dan terus mempromosikan ke masyarakat international tentang perlunya pengendalian dan pencegahan masuknya OPT baru ke suatu wilayah.

Terus mendorong agar terjadi pengembangan dan adopsi standar internasional sebagaimana yang diatur dalam IPPC.

V. PERANAN SISTEM PERLINDUNGAN TANAMAN YANG TANGGUH DALAM MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN

Saat menyampaikan orasi dies UGM ke-44, Triharso (1993) mengungkapkan bahwa perlindungan terhadap pengganggu tanaman mempunyai peranan yang penting untuk meningkatkan angka hasil aktual (angka hasil yang dicapai oleh petani) ke angka hasil potensial (angka hasil yang dicapai pada petak percontohan intensifikasi) bahkan ke angka hasil ideal (angka hasil yang dicapai di tingkat penelitian). Agar peran tersebut dapat dilaksanakan dengan maksimal perlu didukung oleh system perlindungan tanaman yang tangguh (Untung, 1990). Yang dimaksud dengan system perlindungan tanaman yang tangguh adalah suatu system pengelolaan ekosistem pertanian yang berupaya untuk memberikan perlindungan terhadap kehilangan hasil tanaman yang diusahakan akibat serangan hama, timbulnya penyakit dan gangguan gulma sekaligus menghindari terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Komponen dari system perlindungan tanaman adalah teknologi pengendalian, prasarana dan sarana perlindungan, penentu keputusan dan pelaksana pengendalian. Sebagai subsistem atau bagian dari system pengelolaan ekosistem prertanian, system perlindungan tanaman seharusnya mempunyai peran dan fungsi yang dapat menggambarkan system pertanian yang berkelanjutan (Triharso, 1993).

Agar system perlindungan tanaman dapat mendukung terwujudnya kadaulatan pangan, maka harus mempunyai kemampuan sebagai berikut:

a. Mampu mempertahankan populasi dan intensitas serangan pengganggu di bawah tingkat toleransi ekonomi masyarakat pertani atau pelaku usaha tani yang mengelola lahan pertanian tertentu.

Page 18: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

18

b. Dalam interaksinya dengan teknologi budidaya pertanian lainnya, maka system perlindungan tanaman harus dapat memberikan keadaan yang menguntungkan bagi usaha lain, sehingga dapat meningkatkan produksi pertanian atau mempertahankan tingkat produktivitas yang tinggi.

c. Menyediakan berbagai alternatif teknologi pengendalian lengkap dengan prasarananya bagi petani sehingga mereka dapat menentukan pilihan yang paling menguntungkan bagi usaha pertaniannya. Dengan demikian usaha perlindungan tanaman, harus dapat meningkatkan pendapatan petani secara optimal.

d. Lebih mengutamakan teknologi pengendalian yang memanfaatkan proses pengendalian alami, memanfaatkan hasil rekayasa genetik dan agronomi, serta membatasi penggunaan pestisida yang dapat mencemari lingkungan dan membahayakan kesehatan konsumen hasil pertanian.

e. Harus dapat menampung dinamika dan variasi ekosistem antar waktu dan antar tempat, sehingga teknologi yang tersedia harus sesuai dengan keadaan ekosistem pertanian yang dikelola.

f. Harus mampu menggerakan motivasi dan partisipasi para kelompok tani untuk melakukan kegiatan perlindungan tanaman secara bersama sama dan terkoordinasi pada saat dan lokasi yang tepat.

g. Mampu berinteraksi secara timbal balik dengan dunia atau bidang penelitian serta dengan para penelitinya untuk selalu memperbaiki dan mendinamisasikan teknologi pengendalian OPT.

Dengan sistem perlindungan tanaman seperti tersebut di atas diharapkan resiko terjadinya eksplosi hama (dalam arti luas) dapat dikurangi untuk jangka yang panjang, sehingga gangguan hama, penyakit dan gulma tidak menjadi faktor pembatas yang penting dalam peningkatan produksi pertanian (Untung, 1990).

Dalam mengembangkan system perlindungan tanaman untuk mendukung kedaulatan pangan, salah satu aspek yang perlu dipertimbangkan adalah bentuk dan skala usaha tani komoditas pangan. Meskipun mulai tahun 2011 ini pemerintah telah memprakarsai produksi pangan dalam skala besar dalam bentuk food estate, selama ini berbeda dengan komoditas non pangan yang

Page 19: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

19

umumnya diusahakan dalam bentuk perkebunan atau usaha besar, sebagian besar komoditas pangan di Indonesia diusahakan oleh petani kecil (smallholder farms, petani gurem) dengan luas rata rata kepemilikan lahan yang kurang dari 0,25 ha. Mereka umumnya mempraktekan kearifan lokal yang diperoleh secara lisan turun temurun. Kearifan lokal yang dimaksud meliputi pranata mangsa, sistem tanam campuran, pembuatan teras, sanitasi lingkungan, pengenalan bibit unggul lokal, penyimpanan benih, pemanfaatan pupuk organik, maupun pemanfaatan berbagai pestisida botani yang ramah lingkungan. Dari gatra kemampuan dalam memanfaatkan teknologi mutakhir pengendalian OPT, mereka umumnya jauh tertinggal dari pada perkebunan besar.

Banyak cerita sukses mengenahi keberhasilan perusahaan besar dalam mengendalikan OPT yang berbahaya. Sebagai contoh, dengan memanfaatkan perangkat diagnosis molekular yang akurat (misalnya teknik ELISA berbasis antibodi monoclonal), diikuti dengan sanitasi lingkungan dan penanaman bibit hasil kultur jaringan yang bebas pathogen, beberapa perusahaan dapat secara sukses mengendalikan penyakit kerdil pisang (banana bunchy top) yang mengancam kelangsungan perusahaan. Pengalaman serupa juga dialami oleh pengusaha jeruk berskala besar dalam mengatasi penyakit citrus vein phloem degeneration (CVPD) yang telah memusnahnya jeruk keprok di Tawangmangu dan Jeruk Garut.

Pertanyaan yang perlu dijawab adalah mengapa dengan teknik yang sama petani gurem belum berhasil melindungi tanamannya dari gangguan penyakit yang sama. Hal ini tidak terlepas dari ciri petani gurem pada umumnya, yaitu: (1) keterbatasan dalam kepemilikan sumber daya produksi; (2) sebagian besar sudah berusia lanjut dengan pendidikan yang rendah; (3) kurangnya penyuluhan yang berkualitas; (4) keterbatasan akses informasi, khususnya tentang benih yang berkualitas; (5) tidak adanya jaminan kualitas sarana produksi (sering beredar benih, pupuk dan pestisida palsu); (6) rendahnya pengetahuan tentang keamanan pangan (khususnya mikotoksin dan kontaminasi pestisida); (7) masih rendahnya insentif yang diterima bagi mereka mengendalikan OPT dengan cara yang ramah lingkungan; dan (8) belum tersedianya system asuransi terhadap kegagalan panen.

Page 20: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

20

Untuk membangun system perlindungan tanaman yang tangguh pada petani gurem berbagai hal perlu dilakukan, antara lain (1) membantu advokasi agar masalah OPT pada petani gurem mendapat perhatian serius oleh para pemangku kepentingan; (2) melakukan penelitian untuk penyempurnaan kearifan lokal yang mereka praktekan; (3) menciptakan perangkat diagnosis OPT yang sederhana, murah, dan aman untuk identifikasi kehadiran OPT baru; (3) meningkatkan akses mereka terhadap informasi pasar dan sarana produksi; (4) meningkatkan pengetahuan dan penerapan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) melalui sekolah lapangan; dan (5) mendampingi mereka dalam semua tahapan kegiatan budidaya tanaman yang berkelanjutan. Mengingat kompleksnya masalah pengendalian OPT pada pertanian gurem, kegiatan ini tidak mungkin berhasil bila hanya dilakukan oleh para pakar perlindungan tanaman saja. Bantuan dan kerja sama secra sinergis dengan semua pemangku kepentingan, khususnya pakar agronomi, agribisnis, ilmu tanah, mikrobiologi, sosiologi dan budaya, sangat diharapkan (Somowiyarjo, 2011).

VI. FAKTA SINGKAT TENTANG ORGANISME PENGGANGGU TANAMAN PANGAN

Dalam ekosistem pertanian, komponen OPT yaitu hama, penyakit dan gulma dapat saling berkaitan satu sama lain (Soerjani et al., 1979. Dominasi masing masing komponen OPT tersebut dapat bervariasi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat.

a. Gulma sebagai OPT pada tanaman pangan

Dengan mensitasi pendapat Linnaeus (1707 – 1778) dan Plinius (23 – 79), Tjitrosoepomo (1969) mengungkapkan teori bahwa semua tumbuhan di bumi ini diciptakan oleh Tuhan untuk kepentingan manusia. Karena kuatnya pengaruh cara berpikir yang anthropocentric (segala sesuatu hanya ditujukan untuk kepentingan manusia), kepentingan manusialah yang membedakan apakah suatu tumbuhan tergolong sebagai gulma atau bukan gulma. Dapat dengan mudah dipahami bahwa dewasa ini terdapat lebih dari 30 buah batasan tentang gulma yang mempunyai makna berbeda beda tergantung

Page 21: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

21

dari latar belakang pembuat batasan tersebut (King, 1974 cit. Soejono, 2006). Sehubungan dengan hal tersebut Ronoprawiro (1992) menganggap bahwa batasan tentang gulma yang paling sesuai dengan keadaan di Indonesia pada waktu itu adalah tumbuhan yang apabila dibiarkan berkembang dalam system pertanaman menyebabkan kerugian finansial dalam berbagai bentuk. Masih menurut Ronoprawiro (1992), gulma dapat menimbulkan kerugian dalam berbagai bentuk, antara lain:

1) Penurunan angka hasil tanaman pokok karena persaingan unsur hara, air, dan cahaya.

2) Peningkatan biaya pengendalian OPT3) Penurunan kualitas hasil4) Terhambatnya aliran air dalam saluran irigasi, saluran pembuangan dan pipa air hidrolistrik

Sebagai bagian dari OPT, gulma berinteraksi dengan lingkungan dan komponen OPT yang lain sehingga dapat menambah atau mengurangi persolalan perlindungan tanaman yang dibudidayakan. Dalam interaksi yang menguntungkan, misalnya, gulma dapat menjadi tempat berlindung dan berkembangnya musuh alami hama (predator, parasitoid). Sebagai contoh, rumput Cengkehan (Ludwigia hyssopifolia (G.Don) Exell) adalah tumbuhan inang bagi Coccinella arquata yang sangat efektif sebagai pemangsa wereng batang coklat padi (Nilaparvata lugens).

Interaksi yang menambah persoalan perlindungan tanaman misalnya terciptanya lingkungan (misalnya kelebaban) yang kondusif untuk pertumbuhan pathogen dan peran gulma sebagai inang pengganti (alternate host) beberapa hama dan pathogen tanaman (Soejono, 2006).

Dalam praktek istilah gulma sering dihubungkan dengan status tumbuhan tersebut dalam ekosistem pertanian. Tumbuhan digolongkan sebagi gulma apabila hampir seluruh keberadaannya berpotensi merugikan manusia dengan tanda tanda sebagai berikut (Ronoprawiro, 1995):

Page 22: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

22

(1) Pertumbuhan vegetatifnya sangat cepat. Hal ini dapat dilihat antara lain dari cepatnya pembentukan anakan yang cepat dan banyak

(2) Reproduksinya awal dan efisien. Gulma semusim berkembang biak terutama dengan biji dan pertumbuhan vegetative yang cepat dan kuat melalui pembentukan anakan dan percabangan yang menunjang produksi biji yang sangat besar.

(3) Memiliki kemampuan untuk tahan hidup dan menyesuaikan diri terhadap keadaan lingkungan yang jelek.

(4) Propagulnya dorman atau dapat menjadi dorman dalam kondisi lingkungan yang kurang menguntungkan.

(5) Pada populasi yang rendah sudah mampu menimbulkan kerusakan yang nyata.

Salah satu tanaman pangan yang banyak menderita karena gangguan gulma adalah padi. Menurut Soerjani et al. (1987) dan Sastroutomo (1990) pada padi sawah terdapat 33 jenis gulma (10 rumputan, 7 tekian, 16 daun lebar); sekitar 60 jenis (14 rumputan, 10 tekian, 42 daun lebar) pada padi gogo; 38 jenis (21 rumputan, 9 tekian, 17 daun lebar) pada padi gogo rancah; dan 29 jenis (7 rumputan, 9 tekian, 14 daun lebar) pada padi pasang surut. Tabel 1 menyajikan nama nama dan sebagian sifat gulma gulma penting pada padi sawah, padi gogo, padi gogo rancah dan padi pasang surut.

Pada jagung terdapat sekitar 43 jenis gulma (12 rumputan, 5 tekian, 26 daun lebar); pada ubi kayu ada 38 jenis gulma (9 rumputan, 3 tekian, 26 daun lebar); pada kedelai terdapat 56 jenis gulma (20 rumputan, 6 tekian, 20 daun lebar); pada kacang tanah ada 42 jenis gulma (14 rumputan, 4 tekian, 24 daun lebar). Tabel 2 menyajikan gulma penting pada berbagai tanaman palawija .

Page 23: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

23

Tabel 1. Jenis-jenis gulma penting pada padi

No Tanaman Nama Ilmiah Nama Daerah B.m. D.h.1 Padi Sawah Monochoria vaginalis (Burm.f.) Presl

Paspalum disticum LFimbristylis miliacea (L.) Vahl.Cyperus difformis L.Scirpus juncoides Roxb.Marsilea crenata Presl.Echinochlaa crusgalli (L.) BeauvLudwigia adscendens (L) HaraSpenochlea zeylanica Gaertn.Cyperus iria L.

Wewehan (Jw)Lambani (Sd)Tumbaran (Jw)Brendelan (Jw)Babawangan (Sd)Semanggi (Ind)Kejawan (Jw)Tapak doro (Jw)Gunda (Jw; Ind)Jekeng kunyit (Ind)

GdlRTTTDdlRGdlGdlT

SmThThDmThThSmSmSmSm

2 Padi gogo Digitaria ciliaris (Retz.) KoelBorreria alata (Aubl.) DC.Phylanthus niruri Aubl. Non L.Echinochloa colonum (L.) LinkEleusine indica (L.) Gaertn.Cyperus rotondus L.Cyperus compressus L.Eragrostis tenella (L.) Beauv. Ex R&SImperata cylindrica (L.) Beauv. Heliotropium indicum (L.)

Jalamparan (Ind)Setawar (Ind)Meniran putih (Jw)Tuton (Jw)Lulangan (Jw)Teki (Ind.)Dekeng (Jw)Pekingan (Jw)

Alang-alang (Ind)Tusuk konde (Ind)

RGdlGdlRRTTR

RGdl

SmSmSmSmSmSmSmSm

ThSm

3 Padi gogo rancah

Echinochloa colonum (L.) LinkPaspalum disticum LCyperus iria LFimbristylis miliacea (L.) Vahl.Marsilea crenata Presl.Monochoria vaginalis (Burm.f.) PreslCyperus difformis L.Ludwigia hyssopifolia (G.Don) ExellCynodon dactylon (L.) Pers.Scirpus juncoides Roxb.

Tuton (Jw)Lambani (Sd.)Jekeng kunyit (Ind)Tumbaran (Jw)Semanggi (Ind)Wewehan (Jw)Brendelan (Jw)Cengkehan (Jw)Suket grinting (Jw)Babawangan (Sd)

RRTTGdlGdlTGdlRT

SmThSmThThSmThSmThTh

4 Padi Pasang Surut

Panicum repen L.Fimbristylis miliacea (L.) Vahl.Ludwigia octovalvis (Jacq.) RavenCommelina diffusa Burm.f.Ludwigia adscendens (L) HaraLeersia hexandra SwCyperus iria LC. difformisCyperus brevifolius (Rottb.) Hassk.Enhydra fluctuans Lour

Lempuyangan (Ind)Tumbaran (Jw)Salah nyowo (Jw)Gewor (Jw)Lombokan (Jw)Kalamento (Jw)Jekeng kunyit (Ind)Brendelan (Jw)Teki rowo (Jw)Gedobos (Jw)

RTGdlGdlGdlRTTTGdl

ThThThThSmThSmDmThTh

Keterangan:

B.m.: Bentuk morfologi D.h.: Daur hidup

R = rumputan Sm = semusim

Gdl = Gulma daun lebar Dm = Dwi musim

T = Tekian Th: Tahunan

Page 24: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

24

Tabel 2. Jenis gulma penting pada palawija

No Tanaman Nama Ilmiah Nama Daerah B.m. D.h.1 Jagung Digitaria ciliaris (Retz.) Koel

Ageratum conyzoides L.Paspalum distichum L.Eleusine indica (L.) Gaertn.Borreria alata (Aubl.) DC.Cyperus rotundus L.Phylanthus niruri auct. Non L.Cynodon dactylon (L) Pers.Alternanthera philoxeroides (Mart.) G.Synedrella nodiflora (L) Gaertn.

Jalamparan (Ind)Bandotan (Ind)Lamban (Sd)Lulangan (Jw)Rp. SetawarTeki (Ind)Meniran putih (Ind)Suket grinting (Jw)Alligaor weed

Glantangan (Jw)

RGdlRRGdlTGdlRGdl

Gdl

SmSmThSmSmThSmThTh

Sm2 Ubi kayu Digitaria ciliaris (Retz.) Koel

Phylanthus niruri auct. Non L.Synedrella nodiflora (L) GaertnImperata cylindrica (l.) Bauv.Commelina benghalensis L. Cleome viscosa L. Spigelia anthelmia L. Echinochloa colonum (L.) LinkBoerhavia erecta L. Borreria alata (Aubl.) DC.

Jelamparan (Ind)Meniran putih (Jw)Gletangan (Jw)Alang alang (Ind)Brambangan (Jw)Enceng-encengan (Jw)Platikan (Jw)Tuton (Jw)Cakar ayam (Jw)Rp. Setawar (Ind)

RGdlGdlRGdlGdlGdlRGdlGdl

SmSmSmThSmSmSmSmSmSm

3 Kedelai Eleusine indica (L.) Gaertn.Ageratum conyzoides L.Cyperus iria L.Mimosa pudica L. Cynodon dactylon (L) Pers.Commelina diffusa Burm.f.Cyperus rotundus L.Borreria alata (Aubl.) DC.

Lulangan (Jw)Bandotan (Ind)Jekeng kunyit (Ind)Putri malu (Ind)Suket grinting (Jw)Gewor (Jw)Teki (Ind)Rp. Setawar (Ind)

RGdlRGdlRGdlTGdl

SmSmSmThThThThSm

4 Kacang Tanah Echinochloa colonum (L.) LinkDigitaria ciliaris (Retz.) KoelCyperus rotundus L.Eleusine indica (L.) Gaertn.Ageratum conyzoides L.Phylantus debilis Klein ex Willd.Portulaca oleracea L. Phylanthus urinaria L. Physalis angulata L.Cynodon dactylon (L) Pers.Cyperus iria L.

Tuton (Jw)Jelamparan (Ind)Teki (Ind)Lulangan (Ind)Bandotan (Ind)Meniran putih (Ind)Krokot (Jw; Ind)Meniran (Ind)Ceplukan (Jw)Suket grinting (Jw)Jekeng kunyit (Ind)

RRTRGdlGdlGdlGdlGdlRR

SmSmThSmSmSmSmSmSmThSm

Keterangan:

B.m.: Bentuk morfologi D.h.: Daur hidup

R = rumputan Sm = semusim

Gdl = Gulma daun lebar Dm = Dwi musim

Page 25: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

25

Di Indonesia, gulma masih kurang mendapat perhatian, pada kerugian yang ditimbulkan secara kuantitatif cukup tinggi. Menurut Sastroutomo (1990), kerugian akibat gulma pada padi sawah, padi gogo, jagung, kedelai dan ubikayu masing masing sebesar 15-40%, 47-87%, 16-82% dan 6-62%. Di tingkat dunia, kerugian karena gulma pada berbagai komoditas ditaksir sebesar 12,6% (Agrios, 2005).

Untuk mengurangi kerugian akibat gangguan gulma dapat dilakukan pada saat sebelum tanam (pra-tanam) atau pasca tumbuh. Pengendalian sebelum tanam dapat berupa pengolahan tanah sempurna dengan beberapa kali ulangan, terutama untuk mematikan biji, rimpang, umbi dan alat perbanyakan gulma yang lain. Pengendalian gulma pasca tumbuh dapat dilakukan secara mekanis dan kimiawi, tergantung dari jenis gulma dan sarana yang tersedia. Indonesia juga mempunyai banyak pengalaman dalam pemanfaatan musuh alami untuk pengendalian gulma (Sosromarsono, 2006).

b. Patogen tumbuhan

Uraian lengkap tentang penyakit penyakit tanaman pangan yang meliputi sejarah dan i penting penyakit, gejala penyakit, penyebab penyakit, faktor- faktor yang mempengaruhi penyakit, dan cara pengendaliannya telah dikemukan oleh Semangun (1991). Penyakit tumbuhan dapat dikelompokan dengan cara yang bermacam macam. Berdasarkan gejalanya kita mengenal misalnya busuk akar, layu, bercak daun, karat daun, tunas bengkak, kerdil, masaik dan sebagainya. Penyakit juga dapat dibedakan berdasarkan organ yang diserang pathogen, sehingga kita mengnal, penyakit benih, penyakit akar, penyakit batang, penyakit daun dan penyakit buah. Pengelompokan penyakit yang dianggap paling bermanfaat untuk mendukung usaha pengendaliannya adalah berdasarkan jenis patogennya (Agrios, 2005).

Berdasarkan jenis patogennya, dikenal dua kelompok besar penyakit, yaitu:

1) Penyakit Tumbuhan infeksious, atau penyakit biotik, yang terdiri dari:

a. Penyakit karena jamur (Tabel 3)

b. Penyakit karena prokaryotes (Bakteri dan Mollicutes) (Tabel 4)

c. Penyakit karena tanaman tinggi parasit ( misalnya benalu) dan algae

d. Penyakit karena virus dan viroid (Tabel 5)

e. Penyakit karena nematode (Tabel 6)

Page 26: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

26

f. Penyakit karena protozoa

2) Penyakit Tumbuhan non-infeksious atau abiotik, yang terdiri dari:

a. Penyakit karena temperature terlalu tinggi atau rendah

b. Penyakit karena kelebihan atau kekurangan air

c. Penyakit karena kekurangan atau kelebihan cahaya

d. Penyakit karena kelebihan atau kekurangan oksigen

e. Penyakit karena pencemaran udara

f. Penyakit karena kekurangan unsure hara

g. Penyakit karena keracunan mineral

h. Penyakit karena keasaman tanah

i. Penyakit karena keracunan pestisida

j. Penyakit karena kesalahan teknik budidaya

Semua jenis penyakit tersebut sangat berpotensi sebagai kendala dalam upaya mewujudkan negara yang berdaulat dalam bidang pangan karena penyakit tumbuhan dapat:

a. Mengurangi kuantitas dan kualitas hasil tanaman

b. Membatasi kesesuaian lahan untuk menanam tanaman pangan

c. Menghasilkan pangan dan pakan yang tercemari racun, khususnya mikotoksin

d. Meningkatkan biaya produksi

Mengenai nematode, masih terdapat perbedaan apakah termasuk pathogen atau hama. Berhubung nematode termasuk binatang maka ada yang mengelompokan sebagai hama. Kalau mendasarkan pada kejala dan patogenesisnya, nematoda cenderung dikelompokan sebagai pathogen.

Page 27: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

27

Tabel 3. Contoh jamur-jamur pathogen penting pada tanaman pangan

No Tanaman Penyakit Penyebab Penyakit/Patogen1 Padi Busuk pelepah daun Rhizoctonia solani Kuhn.

Blast Pyricularia orizae Cav.Bercak daun sempit Cercospora oryzae MiyakeSmut Ustilagonoidea virens Cook) Tak.Bakanae Giberella fujikuroi (Sawada) Wollenweber

2. Jagung Karat Puccinia sorghi Schw.Busuk pelepah daun Rhizoctonia solani Kuhn.Bulai Perenosclerospora maydis (Rac.) ShawHawar daun Drechslera maydis Nisi and MiyakeBusuk tongkol Fusarium moniliformae J. ShedRebah semai Pythium sp.Penyakit gudang Aspergillus flavus Link.

3. Kacang tanah Karat Puccinia arachidis Speg.Bercak daun Cercospora arachidicola HoriRebah semai Pythium sp.,

Rhizoctonia solani Kuhn.Layu Sclerotium rolfsii Sacc.

4. Kedelai Antraknosa Colletotrichum truncatum (Schw.) Andrus and Moore

Bercak daun Alternaria sp.,Cercospora sp.,Curvularia sp.,Phyllosticta sp.

Rebah semai Pythium sp.,Sclerotium rolfsii Sacc.

Hawar Phomopsis sojae Lehm.5. Ketela pohon Busuk umbi Botryodiplodia theobromae Pat.

Phytophthora palmivora ButlerBusuk daun Phytophthora spp.

Busuk batang Sclerotium rolfsii Sacc.Busuk akar putih Rigidoporus microporus (Swatz) van Ov.Embun tepung Oidium manihotis Henn.Antraknosa Colletotrichum manihotis Henn.Bercak daun Mycosphaerella manihotis Syd and P.Syd

Phyllosticta sp.,Cercospora sp.

Page 28: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

28

Tabel 4. Contoh bakteri penyebab penyakit pada tanaman pangan

No. Inang Nama Penyakit Patogen1 Padi 1. Bacterial leaf blight Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Ishiyama)

Page 29: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

29

2. Bacterial leaf streak3. Bacterial red stripe4. Grain rot5. Foot rot

Xanthomonas oryzae pv. oryzicola (Fang)Microbacterium sp. (Kaku)Bulkholderia glumae (Kurita & Tabei)Dickeya sp. (Burkholder)

2 Jagung 1. Bacterial stalk rot2. Stewart’s wilt3. Bacterial leaf stripe

Dickeya zeae (Sabet)Pantoea stewartii (Smith)Acidovorax avineae subsp. aveneae (Manns)

3 Kacang Tanah

1. Bacterial wilt Ralstonia solanacearum (Smith)

4 Kacang Hijau

1. Bacterial spot2. Halo blight

Pseudomonas syringae pv. glycines (Coerper)Pseudomonas phaseolicola (Burkholder)

5 Kedelai 1. Bacterial blight2. Bacterial Pustul3. Wildfire4. Bacterial wilt

5.Bacterial crinkle-leaf

Pseudomonas syringae pv. glycinea (Coerper)Xanthomonas axonopodis pv. glycines (Nakano)Pseudomonas syringae pv. tabaci (Wolf & Foster)- Ralstonia solanacearum (Smith)- Curtobacterium flaccumfaciens pv. Flaccumfaciens

(Hedges)Pseudomonas syringae pv. syringae (van Hall)

6 Ketela Pohon

1. Cassava bacterial blight2. Bacteria angular leaf spot3. Bacterial stem gall4. Bacterial stem rot5. Bacterial wilt

Xanthomonas axonopodis pv. manihotis (Berthet & Bondar)Xanthomonas axonopodis pv. cassavae (Wiehe & Dowson)Agrobacterium tumefaciens (Smith & Townsend)Pectobacterium carotovorum subsp. carotovorum (Jones)Pantoea agglomerans (Ewing & Fife)

7 Ubi Jalar 1. Bacterial stem and root rot2. Bacterial wilt3. Crown gall

Dickeya sp. (Burkholder)Ralstonia solanacearum (Smith)Agrobacterium tumefaciens (Smith & Townsend)

8 Gandum 1. Bacterial leaf blight2. Bacterial mosaic3. Bacterial sheath rot4. Basal glume rot5. Black chaff = bacterial streak6. Pink seed7. Spike blight = gummosis

Pseudomonas syringae pv. syringae (van Hall)Clavibacter michiganensis subsp. Tessellarius (Smith)Pseudomonas fuscovaginae (Tanii)Pseudomonas syringae pv. Atrofaciens (van Hall)Xanthomonas campestris pv. Translucens (Pammel)Erwinia rhapontici (Millard)Rathayibacter tritici (Carlson & Vidaver)

9 Sorgum 1. Bacterial leaf spot2. Bacterial leaf streak3. Bacterial leaf stripe

Pseudomonas syringae (van Hall)Xanthomonas campestris pv. holcicola (Elliott)Burkholderia andropogonis (Smith)

Tabel 5. Contoh virus-virus patogen pada tanaman pangan

Tanaman Spesies Virus Genus Vektor

Page 30: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

30

Padi

Rice Tungro Spherical Virus (RTSV)Rice Tungro Bacilliform Virus (RTBV)Rice Ragged Stunt Virus (RRSV)Rice Grassy Stunt Virus (RGSV)Rice Stripe Virus (RSV)

WaikavirusBadnavirusOryzavirusTenuivirusTenuivirus

Nephotettix virescens Nephotettix virescens Nilaparvata lugensNilaparvata lugensNilaparvata lugens

JagungCucumber Mosaic Virus (CMV)Sugarcane Mosaic Virus (SCMV)Maize Dwarf MosaicVirus (MDMV)

CucumovirusPotyvirusPotyvirus

Myzus PersicaeRhapalosiphum maidisMyzus Persicae

Kacang Kedelai

Cucumber Mosaic Virus (CMV)Soybean Dwarf Virus (SDV)Soybean Stunt virus (SSV) (CMV-Y)Soyabean Mosaic Virus (SMV)

CucumovirusLuteovirus

CucumovirusPotyvirus

Myzus PersicaAulacorthum solaniAphis craccivora & A.GlycineAphis Glycine

Kacang Tanah

Peanut Stripe Virus (PStV)Bean Common Mosaic Virus (BCMV)Bean Yellow Mosaic Virus (BYMV)Cowpea Aphid Borne Mosaic Virus (CABMV)

PotyvirusPotyvirusPotyvirusPotyvirus

Aphis craccivoraMyzus PersicaeAphis craccivora KochAphis craccivora &Myzus Persicae

Singkong Cassava Mosaic Virus (CMV) Begomovirus Bemisia tabaci

Ubi Jalar Sweet Potato Feathery Mottle Virus (SPFMV) Potyvirus Aphis craccivora &Myzus Persicae

Tabel 6. Contoh nematoda parasit pada tanaman panganTanaman Nama ilmiah Nama umum

1 Padi Meloidogyne graminicola Nematoda puru akar (root-knot nematode)Hirschmaniella oryzae rice root nematode ( nematoda parasit akar padi)Aphlenchoides besseyi rice white tip nematode ScutellonemaRotylenchusHelicotylenchus spiral nematode

2 Jagung Pratylenchus zeae nematoda penyebab luka akar (root lesion nematode)Hoplolaimus lance nematode

Page 31: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

31

Trichodorus stubby-root nematodeHelicotylenchus spiral nematode

3 Ubi jalar M. incognitaRotylenchulus reniformis reniform nematodeHelicotylenchus spiral nematodeCriconemella ring nematodeDitylenchus destructorRadopholus similisScutellonema spp

4 Ubi Kayu M. incognita nematoda puru akar Pratylenchus brachiurusRotylenchulus reniformis reniform nematodeHelicotylenchus spp, spiral nematode

5 Kacang hijau Meloidogyne spp. nematoda puru akar Rotylenchulus reniformis reniform nematode

6 Kedelai Pratylenchus spp, nematoda luka akar (root lesion nematode)Rotylenchulus reniformis reniform nematodeHelicotylenchus spiral nematodeTylenchorhynchus spp stunt nematodesScutellonemaTrichodorus stubby-root nematodeMeloidogyne spp. nematoda puru akar Hoplolaimus spp lance nematode

7 Kacang Tanah Meloidogyne spp nematoda puru akar Pratylenchus brachiurus nematoda luka akar (root lesion nematode)Belonolaimus caudatus sting nematodeCriconemalla ornataAphelenchoides arachidisScutellonema cavenessi

Tylechorhynchus brevilineatus

Dalam catatan sejarah peradapan manusia dan kitab kitab suci, hubungan antara serangga dengan manusia, baik sebagai lawan maupun teman, sudah dikenal jauh sebelum lahirnya entomologi (ilmu serangga). Bangsa Mesir Kuno telah mengenal bahwa salah satu penyebab kerusakan tanaman pertanian adalah serangga. Pada zaman pemerintahan Ramses II, 1,400 tahun sebelum Maseshi, telah dilaporkan bahwa belalang telah memporak porandakan tanaman pertanian (Adisoemarto, 2006).

Salah satu kitab suci yang mengungkapkan keterkaitan serangga dengan kehidupan manusia adalah Kitab Injil (Matius 3:4) yang menuliskan bahwa makanan Yohanes

Page 32: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

32

Pembaptis adalah berupa belalang dan madu hutan (Adisoemarto, 2006). Selanjutnya dalam Kitab Al-Qur’an Tuhan mewahyukan kepada lebah untuk membuat sarang-sarang di bukit-bukit, pohon pohon kayu dan tempat tempat buatan manusia (An Nahl : 68). Tuhan juga mengajarkan kepada manusia bahwa di dalam perut lebah terdapat berwarna warna yang mempunyai kasiyat sebagai obat penyakit (An Nahl: 69). Ditinjau dari ilmu perlindungan tanaman modern, keberadaan perintah perintah Tuhan terkait serangga bermanfaat dalam kitab kitab suci, harus dimaknai sebagai pesan suci agar manusia memanfaatkan dan turut menjaga kelestarian serangga tersebut. Oleh karena itu semua taktik pengendalian OPT yang dapat menghancurkan atau memusnahkan serangga tersebut, misalnya penggunaan insektisida yang berlebihan, seyogyanya dihindarkan.

Di Indonesia, perhatian terhadap serangga hama mulai diberikan oleh para entomologiwan terapan pada awal abad ke-20 dengan mempelajari serangga yang menjadi hama padi, Agrotis sp dan Hesperia phillino . Mengingat makin pentingnya tanaman pangan bagi perekonomian negara, para entomologiwan kemudian memberikan perhatian serius kepada hama lain seperti penggerek batang padi, wereng, dan walang sangit. Sejak tahun 1917, penelitian hama diperluas ke tanaman pangan selain lain, seperti jagung dan ubi jalar (Adisoemarto, 2006). Dalam perkembangannya, petani di Indonesia juga harus menghadapi berbagai hama di luar kelompok serangga. Salah satu hama non serangga yang sangat potensial untuk menimbulkan kerugian adalah tikus padi sawah (Rattus argentivente Rob & KL) pada padi irigasi di dataran rendah (Jacob et al., 2003). Kajian mendalam mengenai taksonomi, biologi dan pengendalian hama hama penting bagi pertanian di Indonesia dapat dipelajari antara lain pada karya Kalshoven (1981) dengan contoh beberapa hama penting pada tanaman pangan disajikan pada Tabel 7 dan Tabel 8.

Tabel 7. Serangga dan tungau hama penting tanaman pangan

Komoditas Jenis hama (nama umum, nama ilmiah)Padi sawah Penggerek batang padi : penggerek batang padi kuning (Scirpophaga incertulas

(Wlk.)) dan penggerek batang padi putih (Scirpophaga innotata(Wlk.)) .Wereng batang cokelat (Nilaparvata lugens Stall.)Kepik padi (Leptocorixa acuta (Thunb.))

Padi gogo Penggerek batang padi merah jambu (Sesamia inferens (Wlk.))

Page 33: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

33

Lalat bibit (Atherigona oryzae Mall.)Uret perusak akar (Phyllophaga helleri (Brsk.))

Kedelai Lalat kacang (Agromyza phaseoli (Tryon.))Ulat grayak (Spodoptera litura F.)Ulat penggerek polong (Etiella zinckenella (Tr.))Kepik penghisap polong (Riptortus linearis (L.))Kumbang kedelai (Phaedonia inclusa (Stal.))Kumbang bubuk kedelai (Calosobruchus sinensis (L.))

Jagung Lalat bibit (Atherigona exiqua Stein)Penggerek batang jagung (Ostrinia furnacalis (Guen.))Penggerek tongkol jagung muda (Helicoverpa armigera Hbn.)Kutu daun jagung (Rophalosiphum maydis (Fitch)Penggerek biji jagung (Sitophyllus zeamais (Motsch.))Uret perusak akar (Lepidiota stigma (F.), Phyllophaga heleri (Brsk.), Leucopholis rorida F.)

Kacang tanah Wereng daun (Empoasca flavescens (F.), Orosius argentatus Evans)Pelipat daun kacang tanah (Biloba subsecivella (Zell.))

Ubi kayu Tungau merah (Tetranychus cinnabarinus (Boisd.))Rayap (Macrotermes gilvus (Hag.))Uret perusak umbi/akar (Leucopholis rorida (F.), Lepidiota stigma F., Phyllophaga helleri (Brsk.))

Tabel 8. Vertebrata hama penting pada tanama pangan

Padi Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer (Rob. & Kl.))Burung pipit (Lonchura leucogastroides (H. & M.))

Kedelai Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer (Rob. & Kl.))Jagung Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer (Rob. & Kl.))

Babi hutanKacang tanah Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer (Rob. & Kl.))

Kera ekor panjang, babun (kera tidak berekor)Babi hutan

Ubi kayu Tikus sawah (Rattus rattus argentiventer (Rob. & Kl.))Babi hutan

VII. PENGENDALIAN HAMA TERPADU (PHT): PILAR UTAMA SISTEM PERLINDUNGAN TANAMAN YANG TANGGUH

A. Komponen taktik pengendalian dalam PHT

Page 34: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

34

Komponen hama (pest = omo) dalam konsep PHT meliputi pathogen (jamur, bakteri, virus, viroid, fitoplasma, tumbuhan parasit), hama dalam arti sempit (serangga, tungau, hama vertebrata dan nematode) dan tumbuhan pengganggu (gulma). Ada tiga pendekatan pokok dalam pengendalian hama pada tanaman pangan, yaitu mengurangi sumber inokulum dengan memanipulasi lingkungan, memadukan berbagai taktik pengendalian yang kompatibel dalam kesatuan rencana yang terkoordinasi dengan teknik budidaya tanaman, dan analisis biaya dan keuntungan (Oka, 1976). Pendekatan tersebut seiring dengan model matematis dalam pengelolaan penyakit tanaman yang diuraikan Triharso (1978), yaitu: (a) mengurangi sumber penular mula-mula dengan jalan sanitasi, penggunaan jenis yang mempunyai ketahanan vertikal dan eradikasi secara kimiawi; (b) mengurangi laju infeksi dengan jalan penggunaan jenis yang mempunyai ketahanan horizontal dan pemakaian fungisida protektan; (c) mengurangi waktu lamanya terjadi infeksi dengan menggunakan varietas yang genjah atau masak awal atau penanaman yang lebih awal; dan (d) mengurangi sumber penular mula mula, laju infeksi dan waktu lamanya terjadi infeksi dengan jaln menggunakan jenis yang tolerance. Apabila dalam mengimplmentasikan salah satu usaha pengendalian bertentangan dengan perrlakuan lain yang berguna seperti misalnya pemeliharaan tanaman, maka dengan mengingat keseluruhannya, hendaknya dicari kompromi terbaik , agar diperoleh hasil yang paling menguntungkan.

Berbagai komponen PHT yang dapat dikombinasikan dalam menghadapi OPT dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Penggunaan Varitas Resisten

Cara ini merupakan cara yang paling murah, aman, relatif tahan lama dan mudah dilaksanakan oleh petani. Strategi pengelolaan dan peningkatan sifat resisten dilakukan untuk mempertahankan atau meningkatkan daya guna varitas unggul yang telah dihasilkan.

Ketahanan varitas terhadap OPT ada yang bersifat vertikal, horizontal dan toleran. Untuk mempermudah dalam menahami sifat tesrebut, Triharso (1978) mengungkapkan fenomena ketahanan varietas tanaman terhadap penyebab penyakit (patogen). Apabila dilakukan sederetan inokulasi pathogen pada tanaman inang, jumlah penyakit yang ditimbulkan sebagai hasil interaksi antara inang dan pathogen tidak menunjukan perbedaan yang nyata , maka sifat ketahanan tanaman inang tersebut disebut horizontal, sedangkan jika ada perbedaan yang nyata maka ketahannya disebut vertikal. Ketahanan horizontal reaksinya tidak diferential, bekerja tidak begitu menyolok (resistensinya rendah), tahan lama (stabil), dan dikendalikan oleh banyak gen. Ketahanan vertikal reaksinya diferential, bekerja sangat kuat, tidak tahan lama, dikendalikan oleh satu gen (monogenic). Di antara dua jenis ketahanan tersebut terdapat yang disebut toleransi, yaitu tanaman masih mampu berproduksi meskipun tanaman tersebut sangat menderita.

Page 35: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

35

Tiga strategi yang dapat dianjurkan untuk mengelola varitas dengan ketahanan

vertikal (Galun & Kush, 1980; cit. Triharso, 1993) yaitu:

a. Melepas beruntun (sequential release) varitas yang memiliki resistensi gen tunggal,b. Membentuk system pyramid gen vertikal, bentuknya adalah menggabungkan dua atau

lebih gen vertikcal ke dalam suatu kultivar. c. Mengembangkan varitas multilini, maksudnya membentuk suatau varitas yang terdiri

dari beberapa galur yang memiliki sifat agronomi yang sama, tetapi berbeda dalm hal resistensinya terhadap sejumlah biotipe atau ras dari OPT penting. Penggunaan varitas unggul secara bijaksana dan spesifik lokasi akan sangat bermanfaat

bagi pembangunan pertanian, tetapi harus dikukung dengan system perbenihan yang tangguh. Selain ketahanan yang diatur oleh gen secara langsung, ada ketahanan yang disebut sebagai ketahanan terimbas sebagai akibat pengaktifan potensi ketahanan genetis pada tanaman oleh elisitor atau inducer yang berupa jasad non patogenik, pathogen, atau bahan kimia. Ketahanan terimbas sering disebut juga acquired reristance, acquired immunity, immunization, maupun proteksi silang (cross protection). Menurut Christanti Sumardiyono (2000), pemanfaatan ketahanan terimbas dapat merupakan salah satu alternatif pengendalian pathogen yang ramah lingkungan, sehingga layak dipertimbangkan untuk dimanfaatkan sebagai salah satu komponen pengendalian hama terpadu.

2. Pola tanam

Untuk mengurangi populasi hama dan patogen dapat dilakukan tertib tanam dalam ruang dan waktu, pergiliran tanam, dan tumpang sari. Cara tersebut dimaksudkan untuk memotong siklus hidup dan menghambat perkembangan hama atau penyakit, karena cara ini dapat mempertinggi keanekaragaman jenis tanaman.

Pengurangan gangguan OPT melalui pola tanam sebenarnya merupakan kearifan lokal telah lama dipraktekan oleh petani tradisional, khususnya di Jawa. Prayitno (2009) yang mengkaji tembang dalam Surat Chentini menemukan bahwa jauh sebelum lembaga pendidikan pertanian formal lahir di Indonesia, di Kademangan Pengasih Kabupaten Kulon Progo, telah terdapat praktek pertanian yang berasaskan pada prinsip prinsip agroekoteknologi yang benar. Tembang tersebut mengungkap tata letak rumah dan pekarangan, termasuk jenis jenis tanaman maupun jenis hewan piaraan yang seyogyanya ada dalam lingkungan pekarangan untuk dapat memenuhi kebutuhan lahir dan bathin.

Selain pola tanam, nenek moyang kita telah mewariskan kearifan atau adat kebiasaan yang tidak tertulis tentang klasifikasi tanah, seleksi benih unggul, kelestarian plasma nutfah, mengatur lingkungan untuk menghindari OPT, memperhitungkan saat tanam, mengadakan

Page 36: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

36

pengamatan selama musim tanam, keseimbangan hayati terhadap musuh alami, dan pengelolaan alam (Triharso, 1978).

3. Teknik Bercocok Tanam

Cara ini merupakan pengendalian yang murah, mudah, terpercaya dan aman tehadap lingkungan. Agar dapat berhasil dengan baik, cara ini perlu didukung dengan pengetahuan bioekologi yang serba cakup dari hama, pathogen dan gulma. Cara ini meliputi tiga kategori, yaitu:

a. Yang berhubungan dengan fenologi hama atau penyakit (watu tanam dan panen yang tepat)

b. yang berhubungan dengan pengelolaan tanaman (pengelolaan tanah, pengairan, jarak tanam dan pemupukan),

c. yang berhubungan dengan pengelolaan lingkungan tanaman atau hama (sanitasi, air pengairan)

Mengenai pentingnya bioekologi hama dalam pengelolaan OPT, Oka (1979) memberikan contoh terkait dengan pengendalian virus kerdil hampa pada padi (rice rugged stunt virus). Ekobiologi virus tersebut adalah: Virus ditularkan oleh wereng coklat (Nilaparvata lugens) ; sifat penularan persisten, tidak diturunkan ke progeni; semua varitas peka, efisiensi pnularan 10 – 20%; serangan bersifat endemik; belum diketahui sumber gen untuk resisten, tanaman inang lain Echinochloa crusgalli dan Ehinochloa colonum. Teknik bercocok tanam yang dianjurkan adalah menanam secara serempak, pergiliran tanaman dengan bukan padi, sanitasi selektif (singgang padi dan kedua gulma inang dibinasakan), pengamatan populasi wereng, pengamatan musuh alami wereng, penggunaan pestisida berdasarkan hasil pengamatan, dan meningkatkan peran musuh alami.

4. Cara Fisik dan Mekanik

Cara ini meliputi berbagai teknik yang berhubungan dengan perilaku hama (lampu perangkap atau bahan perangkap lain), teknik yang berhubungan dengan toleransi hama terhadap lingkungan hidup (angin, temperature, kelembaban, ultrasonic) dan teknik secara mekanik (gropyokan, pembakaran dan perendaman).

Terkait dengan teknik ini, petani juga sudah mempraktekan kearifan lokal yang menurut penururan mereka sangat berhasil. Hadisutrisno (1999) mengemukakan bahwa transmigran asal Boyolali di Kecamatan Manggala, Lampung Utara, mempunyai kebiasaan yang unik dalam

Page 37: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

37

menghalau hama burung pada padi secara efektif dan efisien. Mereka menghalau burung di sawah dengan memasang tiruan kepala burung yang terbuat dari potongan kain plastik dengan warna dasar kuning pada kepala burung, sedangkan matanya berwarna coklat kemerahan. Hal yang serupa dilakukan oleh penduduk Jepang yang tinggal di apartemen dalam menghalau datangnya burung merpati yang mengotori beranda. Mereka memasang tiriun bola mata burung pemangsa yang sudah tersedia secara komersial, berupa bola berwarna kuning dengan gambaran lingkaran yang berwarana hitam.

Sebagian petani di Jawa telah lama menghindari kerusakan benih dengan cara menggangtukan benih benih tanaman (misalnya bawang merah) di atas paga paga di dapur. Dengan cara ini petani dapat menghindarkan penyakit “kropos” pada benih bawang merah dan bawang putih yang sering terjadi di simpanan, tanpa harus menggunakan pestisida.

5. Zat Kimia yang mempengaruhi perilaku Hama

Penerapan rangsangan bahan kimia sebagai metode pengendalian hama merupakan hal yang relative baru, tetapi potensinya sebagai alternative yang aman sangat besar. Sebagai contoh bahan tersebut adalah, feromon yang memberikan reaksi spesifik. Karena sifatnya yang spesifik, penggunaan feromon merupakan salah satu metode alternative yang kini banyak dikembangkan. Pada dasarnya feromon dapat diterapkan untuk: (a) survey hama sebagai dasar tindakan pengendalian; (b) mengendalikan hama dengan mengkombinasikan dengan senyawa lain seperti insektisida atau kemosterilan, (c) mengendalikan hama dengan cara memberikan feromon sampai jenuh sehingga srangga hama kehilangan orientasi dan tidak mampu berkopulasi.

6. Pengendalian Secara hayati

Karena perbedaan dalam latar belakangnya, para pakar memberikan arti pengendalian hayati dengan maksud yang agak sedikit berbeda beda. Dalam pandangan Mangoendihardjo (1995) pengendalian hayati adalah penggunaan agens hayati atau musuh alami dan pesaing untuk pengendalian organism pengganggu tanaman (OPT). Dalam pengertian sempit pengendalian hayati didefinisikan sebagai penggunaan musuh alami hama (parasitoid/predator/pathogen) untuk menekan populasi hama sampai suatu tingkat yang secara ekonomi tidak merugikan (Mahrub, 2002). DeBach (1964 cit. Sosromarsono, 2006) memberikan batasan pengendalian hayati sebagai berikut: “tindakan parasitoid, predator dan patogen dalam memelihara kerapatan organisme lain pada rerata yang lebih rendah dari pada kerapatan bila tindakan musuh alami tidak ada”. Pendapat lain memahami pengendalian hayati dalam arti yang lebih luas, yaitu mencakup faktor faktor lain misalnya penggunaan tanaman tahan OPT, teknik pemandulan diri (auto sterillity), dan manipulasi genetik spesies (Bosch dan

Page 38: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

38

Messenger, 1973 cit. Sosromarsono, 2006). Adapun yang termasuk dalam kategori agens hayati atau musuh alami adalah burung pemangsa ulat, burung pemangsa tikus, ular pemangsa tikus, ikan pemangsa gulma air, serangga pemakan gulma, parasitoid dan pathogen serangga hama dan pesaing penyebab penyakit. Keuntungan pengendalian hayati adalah relative stabil, ekonomis, aman, dapat berlangsung secara mandiri secara terus menerus (Triharso, 1993).

Pengendalian hayati sudah lama dipraktekan di bidang pertanian. Di Cina pengendalian OPT dengan menggunakan musih alami sudah dimulai sejak tahun 1200 dan mengalami puncak kegiatannya pada sekitar dua decade terakhir abad ke-19 (Mangoendihardjo, 1995). Di California pada tahun 1888/1889, introduksi predator Rodolia cardinalis (Mulsant) telah berhasil untuk mengendalikan kutu Kerya purchase Maskel ( Greathead, 1992 cit. Mahrub, 2002). Indonesia juga sudah lama memanfaatkan pengendalian hayati OPT di sektor pertanian. Pada masa pra-kemerdekaan pemerintah kolonial Belanda sudah mempunyai perhatian yang besar terhadap pemanfaatan musuh alami pada pertanian. Dilaporkan bahwa pada 1915 an Belanda telah berhasil memanfaatkan parasitoid untuk berbagai hama kelapa seperti Brontispa longisima di Sulawesi Selatan, Aspidiotus destructor dan Sexava nubila di Sulawesi Utara,

Menandai peringatan 60 tahun Indonesia merdeka, Sosromarsono (2006) telah merekam secara secara tuntas sumbangan nyata para ilmuwan Indonesia, khususnya di bidang entomologi terapan, dalam mengisi kemerdekaan melalui pengembangan pengendalian hayati. Mereka termasuk sebagian ilmuwan Indonesia yang telah menumpahkan jiwa raga mereka untuk bekerja dalam bidang ilmu, lingkungan tempat mereka bekerja kurang menguntungkan (Sastrapraja dan Rifai, 2006). Salah satu catatan penting yang dikemukaan oleh Sosromarsono (2006) yaitu bahwa dua darsa warsa sebelum konsep pengendalian hama terpadu (PHT) dilahirkan oleh Stern et al. pada tahun 1930an, pengendalian ulat daun kelapa di Jawa Tengah pada tahun 1930an telah dilakukan dengan pendekatan dan prinsip prinsip tindakan yang sekarang disebut sebagai PHT. Untuk menyusun strategi pengendalian dimulai dengan penelitian ekobiologi dan teknik yang efektif untuk mengendalikan hama kelapa tersebut. Dari hasil penelitian diketahui bahwa instar instar ulat Artona ternyata diserang oleh parasitoid, yang dalam keadaan normal dapat menekan populasi Artona sehingga tidak merusak, dan tidak perlu dilakukan pengendalian. Pada saat itu ditentukan tahap pertama ambang pengendalian, yaitu rerata lima stadia hidup hama pada dua daun (pelepah) tua. Selanjutnya didasarkan atas pengetahuan pengaruh parasitasi oleh parasitoid serta persentase parasitasi total semua stadia Artona. Apabila rerata lima stadia hidup ditemukan pada dua daun tua, tetapi 80% dari stadia itu diserang oleh parasitoid, maka tidak dilakukan tindakan pengendalian. Sebaliknya jika tingkat parasitasi pada lima stadia hama tersebut oleh parasitoid kurang dari 80%, maka dilakukan pengendalian dengan memadukan cara pengendalian hayati, mekanis dan kimiawi. Pengalaman yang sama ternyata juga telah dilakukan oleh Perkebunan Tebu di Jawa Timur dalam mengendalikan kutu daun lilin tebu (Ceratovacuna lanigera) yang dimotori oleh Stasiun

Page 39: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

39

Penelitian Gula Pasuruan. Pada saat yang hamper bersamaan Pemerintah Kolonial Belanda juga sangat intensif melakukan penelitian dan memanfaatkan agens hayati untuk mengendalian berbagai OPT penting pada tanaman tembakau di Sumatera Utara dan lamtoro di Jawa Tengah. Selain untuk mngendalikan hama serangga, pada saat itu juga telah agens hayati yang sangat efektif untuk mengendalikan gulma.

Meskipun pada awal masa kemerdekaan Indonesia kekurangan sumber daya manusia (SDM) dalam bidang pengendalian hayati, saat ini perkembangan pengendalian hayati di Indonesia sangat menggembirakan. Saat ini telah tersedia berbagai agens hayati baik untuk pengendalian OPT kelompok hama, penyebab penyakit (pathogen), dan gulma. Mangoendihardjo (1995) bermimpi bahwa agens hayati akan menjadi komponen utama PHT Indonesia masa depan. Mimpi tersebut hanya dapat terwujud apabila kita berhasil mengembangkan SDM yang handal, mendapatkan dukungan dana yang cukup, mengembangkan kelembagaan yang sinergis, dan membangun komunikasi yang efektif.

7. Pengendalian Dengan Pestisida

Istilah pesticide (pest = pangganggu; caedo = membunuh), arti sesungguhnya adalah pembunuh pengganggu atau pembunuh hama dalam arti luas. Tetapi istilah ini sering tidak dimengerti oleh petani kemudian diterjemahkan menjadi obat anti hama. Istilah obatpun membingungkan, karena dalan bahasa sehari hari petani sering minum obat untuk menyembuhkan penyakitnya. Untuk menghindari kecelakaan dan hal hal yang tidak diinginkan perlu diganti dengan istilah yang lebih tepat. Sementara diusulkan untuk menggunakan racun hama untuk pestisida, racun serangga untuk insektisida, racun gulma untuk herbisida, dan racun jamur untuk fungisida (Triharso, 1978).

Tidak dapat dibantah lagi bahwa preranan pestisida di sektor pertanian sangat penting dan hampir tidak mungkin dipisahkan dengan kehidupan manusia pada umumnya (Supratoyo, 1977). Bahkan di negara negara yang sudah maju, teknologi pertanian mutakhir telah menjadikan pestisida sebagai bagian integral dalam usaha menaikkan dan mempetahankan produksi pertanian yang tinggi, serta menolong jiwa manusia (Semangun, 1975). Kiranya terlalu panjang jika harus dipaparkan semua peristiwa penting di Indonesia yang penanggulannya dilakukan terutama dengan pestisida. Sekedar sebagai gambaran, akan diberikan beberapa contoh:

a. Ledakan hama Sexava pada pertanaman kelapa di daerah Indonesia bagian timur (Kepulauan Sangir – Talaud) pada tahun 1960an dapat dikendalikan dengan penyemprotan Diazinon 100 EC melalui penyemprotan udara.

Page 40: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

40

b. Hama wereng Coklat yang berkecamuk hampir di seluruh daerah pertanaman padi pada tahun 1974-1976 dapat diatasi dengan baik dengan memadukan penanaman varitas unggul tahan wereng (VUTW) dan penggunaan berbagai insektisida.

c. Di sektor kesehatan, insektisida antara lain DDT, BHC, Aldrin, Dieldrin, telah berjasa untuk mengendalikan nyamuk, penular penyakit malaria dan demam berdarah.

Karena hasilnya yang cepat dirasakan, sedangkan dampak negatif penggunaan pestisida umumnya tidak langsung kelihatan, maka penggunaan pestisida bertambah dengan pesat. Meningkatnya penggunaan pestisida di sektor pertanian juga tidak lepas dari peran konsumen yang selalu menghendaki produk pertanian yang secara absolute bebas dari serangan OPT. Dapat dipahami bahwa pestiida pernah dianggap sebagai “dewa penyelamat” yang menjamin terbebasnya komoditas pertanian dari gangguan OPT (Oka, 1995).

Pestisida bukanlah racun yang tanpa pengaruh negatif. Selain mempunyai dampak ekobiologi, penggunaan pestisida juga sering menimbulkan masalah sosioekonomi. Sejak terbitnya buku “Silent Spring” yang ditulis oleh Carson pada tahun 1962, kesadaran untuk meneliti dan mempublikasikan dampak negatif dari penggunaan pestisida yang tidak bijaksana, meningkat dengan tajam (Oka, 1995). Dampak negatif tersebut antara lain:

a. Penggunaan salah satu jenis pestisida untuk mengendalikan salah satu jenis OPT, dapat menggalakan serangan penganggu yang lain. Antara lain terdapat tanda tanda bahwa pemakaian fungisa tembaga untuk mengendalikan penyakit cacar teh, dapat memicu berkembangnya tungau. Pemakaian herbisida untuk mengendalikan gulma pada teh, ternyata menggalakkan perkembangan bermacam macam ulat dan Helopeltis. Di luar negeri telah dibuktikan bahwa pemakaian herbisida 2,4-D untuk membrantas gulma menyebabkan tanaman pokoknya menjadi lebih peka terhadap bermacam macam serangga, jamur pathogen dan virus (Semangun, 1975).

b. Hama sasaran berkembang menjadi lebih kebal terhadap pestisida (Edwards, 1993 cit. Oka, 1995). Ditinjau dari segi mekanismenya, ketahanan terhadap pestisida dapat bersifat morfologi, biokimia dan watak (Supratoyo, 1977)

c. Hama tertentu, misalnya hama wereng, menjadi lebih banyak (Laba dan Soejitno, 1987 cit. Oka, 1995).

d. Musuh musuh alami (predator, parasitoid) dan makluk makluk bukan sasaran (belut, katak, kadal, lebah madu, serangga penyerbuk, cacing tanah, ikan, insekta air, jamur mikoriza, bakteri penambat nitrogen) ikut terbunuh.

e. Pestisida meninggalkan residu dalam tanaman dan hasil tanaman.f. Pestisida mencemari lingkungan fisik yaitu udara, air, dan tanah.g. Pestisida tertentu dapat menimbulkan “pembesaran biologis” seperti DDT dan

formulasi sebangsanya.

Page 41: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

41

h. Pestisida menimbulkan kecelakaan bagi manusia dan hewan ternak (keracunan akut/kronik dan kematian) (Oka, 1995)

Dua gatra penting yang berhubungan dengan masalah pencemaran lingkungan oleh pestisida adalah pengaruhnya terhadap manusia dan binatang piaraan, yang dapat tercemar melalui makanan, dan terhadap organism bukan sasaaran yang dapat terpengaruh oleh akumulasi pestisida melalui rantai makanan. Hewan vertebrata bukan sasaran tidak lepas dari pengaruh pencemaran pestisida. Di Inggris, misalnya, berbagai burung pernah dilaporkan mengandung residu pestisida yang cukup tinggi, bahkan sampai pada tingkat mematikan. Demikian pula di dalam hati sejumlah kelelawar ditemukan DDE (10.68 ppm), DDT (4,62 ppm, dan Dieldrin (0,29 ppm). Sejak tahun 1970an di banyak bagian dunia, keracunan pestisida telah mengakibatkan burung burung, terutama yang hidup di tepi pantai, bertelur dengan kulit tipis atau tanpa kulit sama sekali, sehingga meupakan penyebab utama penurunan populasi beberapa jenis burung tersebut (Kadarsan, 1976).

Akibat adanya DDT dan senyawa hasil uraiannya dalam ekosistem perairan menyebabkan kematian amfibia pradewasa, dan dewasa, serta menimbulkan perubahan dari kelakuan dan kelainan morfologi, seperti terjadinya ekor dan moncong yang tidak normal (Kadarsan, 1976).

B.. Sifat dan prinsip dasar PHT

Berdasarkan pertimbangan bahwa penggunaan pestisida telah menimbulkan dampak ekobiologi dan sosioekonomi yang sangat luas, bahkan dikawatirkan dapat mengancam keberlanjutan usaha pertanian, maka sejak tahun 1960an dengan dipelopori oleh Pickett et al. ( 1958, cit. Oka, 1995) di Kanada dan oleh Stern (1959, cit. Oka, 1995) di Kalifornia, dikembangkan konsep baru dalam pengendalian OPT, yaitu apa yang disebut “pest management”. Dalam konsep ini yang dimaksud dengan pest (hama=omo) meliputi hama dalam arti sempit, penyakit, gulma maupun hama hama yang termasuk vertebrata (Soerjani et al., 1979). Pest management mirip dengan “integrated pest control”, yaitu pemberantasan OPT dengan pemakaian kombinasi yang terbaik antara cara cara bercocok tanam, hayati, kimiawi, maupun fisik, dengan tujuan untuk mendapatkan populasi hama di bawah ambang ekonomi (economic level), dengan sangat memperhatikan faktor faktor ekologis dan ekonomis (Semangun, 1975). Lebih lanjut NAS (1972, cit. Soerjani et al., 1979) merumuskan pest management sebagai suatu konsolidasi dari segala macam cara untuk menjaga populasi pest dalam tingkat sedemikian rupa sehingga secara ekonomis tidak merugikan dan dengan akibat sampingan terkecil terhadap lingkungan hidup. Integrated control tersebu sering juga disebut “harmonious pest control”, total pest control, ecological pest control, total population approach, holistic approach, maupun environmental pest control. Dewasa ini di Indonesia dikenal sebagai Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Sifatnya dinamik dan regional, sebab yang

Page 42: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

42

dihadapi adalah proses yang selalu berubah dari system interaksi yang kompleks antara hama, lingkungan, keadaan social, dan ekonomi (Oka, 1976).

Beberapa pakar, seperti Peter Kenmore (1993, cit. White et al., 1996), berusaha menghindari istilah teknologi sehingga memberikan pengertian sebagai berikut: “PHT bukan merupakan teknologi. PHT merupakan proses pemecahan masalah hama, yang dilakukan oleh petani berdasarkan pengalaman, hasil belajar, dan hasil penelitian sendiri”. Dalam pemecahan masalah tersebut petani sangat memperhatikan pengaruh pestisida terhadap kesehatan manusia dan lingkungan, keberlanjutan ekosistem pertanian, analisis ekonomi.

Lima sifat penting yang membedakan PHT dengan cara pengendalian OPT yang menggunakan pendekatan ad-hoc, misalnya hanya dengan menggunakan pestisida saja, yaitu:

a. Pengendalian hama terpadu (PHT) berorientasi untuk seluruh populasi hama, atau sebagian besar dari padanya;

b. bertujuan untuk mengurangi ambang rata-rata dari banyaknya hama, sehingga frekwensi dari fluktuasinya, baik dalm ruang (tempat) maupun waktu, selalu di bawah ambang ekonomi;

c. sesedikit mungkin memakai cara pembrantasan buatan (artificial control) dan memakai) cara ini hanya sebagai siuplemen dari pada pengaruh unsure unsure pemberantasan alamiah. Usaha ini memntingkan penekanan hama oleh factor factor alam, yang dapat diharapkan akan mempunyai prengaruh yang lebih panjang. Pestisida hanya digunakan sebagai alternative terakir, bila cara cara yang lain sudah terbukti tidak efektif;

d. mempunyai manfaat jangka panjang dan luas, dan bukan hanya sekedar usaha sementara atau setempat;

e. dalam falsafahnya, PHT bertujuan untuk mengendalikan populasi hama dan bukan bertujuan untuk mendapatkan suatu keadaan yang bebas hama (pest free) (Rabb and Guthrie, 1970 cit. Semangun, 1975)

Selain harus harus memperhatikan hasil analisis ekologis dan tokskologi, pengambilan keputusan dalam PHT juga harus memperhatikan hasil analisis ekonomi. Analisis ekonomi terutama diperlukan untuk menentukan dan seterusnya menggunakan ambang ekonomi untuk menentukan tindakan pengendalian, menafsir faktor faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan dalam pengelolaan hama, serta menilai keberhasilan suatu cara pengendalian yang diterapkan (Carlson, 1971).

Ambang ekonomi merupakan salah alat penting untuk menentukan perlu tidaknya suatu tindakan pengendalian dilakukan. Konsep dasar ambang ekonomi sudah diterima oleh semua pihak, namun penerapannya di lapangan masih menghadapi banyak kesulitan (Untung,

Page 43: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

ANALISIS MASALAH

PEMILIHAN CARA PENGENDALIAN

PELAKSANAAN PENGENDALIAN DAN

EVALUASI

PROGRAM PENGELOLAAN JANGKA PANJANG

43

1979). Untuk menilai keberhasilan suatu pengendalian cara yang lazim dilakukan adalah dengan menghitung nisbah manfaat-korbanan (benefif-cost ratio) (Ordish dan Dufour, 1969).

Agar PHT dapat dilaksanakan dengan baik, pelaku usaha tani (petani) seharusnya mampu secara mandiri melakukan langkah langkah berikut: (1) Analisis masalah dengan tepat, (2) Pemilihan cara pengendalian disertai analisis dampaknya terhadap lingkungan, (3) Pelaksanaan pengendalian disertai penilaian yang mungkin berupa umpan balik terhadap langkah pertama, dan (4) program pengendalian jangka panjang (Soerjani et al., 1979).

Gambar1. Keempat langkah yang ditempuh dalam pengelolaan hama (Soerjani et. al., 1979)

Langkah berikutnya

Umpan balik

Jika upaya yang dilakukan Stern et al. (1959, cit. Oka, 1995) untuk mengurangi peran pestisida dalam pengelolaan OPT dapat dipandang sebagai tonggak sejarah awal kelahiran PHT, maka sebenarnya pendekatan yang ideal ini sudah berumur lebih dari 50 tahun. Berbagai negara optimis bahwa implementasi PHT dapat menurunkan jumlah penggunaan pestisida dan

Page 44: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

44

seluruh dampak negatifnya. Indonesia juga telah menerima PHT sebagai kebijakan yang harus dilakukan dalam perlindungan tanaman. Komitmen Pemerintah Indonesia dalam menerapkan PHT antara lain dapat dibuktikan dengan dibentuknya Program Nasional PHT. Pemerintah juga telah meletakkan landasan hukum yang kuat bagi implementasi PHT sebagaimana diatur dalam Pasal 20 sampai dengan Pasal 27 Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman.

Salah satu program penting dari Program Nasional PHT adalah mengembangkan Sumber Daya Manusia melalui Sekolah Lapangan PHT (SLPHT). Melalui SLPHT petani dilatih secara intensif dengan pendekatan partisipatif untuk menjadi pelaku PHT yang handal dan menjadi manager di lahannya sendiri (Oka, 1995). Dalam SLPHT pendidikan dirancang khusus untuk orang dewasa, dalam arti mereka didorong untuk terlibat secara aktif dalam proses belajar-mengajar, mencari-menemukan masalah, meneliti-diskusi tentang persoalan yang dihadapi. Setelah mengikuti SLPHT diharapkan petani mampu melakukan penalaran yang lebih terarah dengan kesimpulan atau keputusan yang rasional dalam mengatasi hama tanaman mereka. Cara ini tidak hanya menjadikan petani trampil melakukan suatu teknologi, tetapi juga memiliki pengertian mengapa teknologi tersebut dilakukan.

Hasil evaluasi awal mengenai pelaksanaan SLPHT di Indonesia menujukkan hasil yang cukup membanggakan. Program SLHPT telah menghasilkan lebih dari satu juta alumni yang siap mengamankan produksi (khususnya pangan dan hortikultura) dengan cara cara yang tidak merusak lingkungan, khususnya dengan cara mengurangi penggunaan pestisida. Sebagai contoh, petani yang secara konsisten mengimplementasikan PHT mereka dapat mengatasi Wereng Coklat tanpa menggunakan pestisida, setelah mereka menerapkan pola dan pergiliran tanaman yang benar, penanaman varietas tahan, dan pemanfaatan musuh alami. Keberhasilan SLPHT juga telah dikenal di dunia internasional, sehingga konsep dan implementasi SLHPT di Indonesia telah banyak menjadi acuan dalam mengatasi OPT di berbagai Negara, antara lain Thailand, Vietnam, Bangladesh, Sri Lanka, Filipina, Malaysia dan Korea Utara (Oka, 1995).

Meskipun penerapan PHT telah diakui sukses untuk mengatasi masalah OPT pada berbagai komoditas di berbagai Negara, namun masih terdapat peluang untuk lebih menyempurnakan konsep tersebut. Salah satu penyempurnaannya adalah dengan apa yang disebut sebagai areawide pest management (AWPM). Definisi AWPM adalah pengurangan secara sistematis hama sasaran, untuk mencapai tingkat populasi yang rendah dengan cara penerapan taktik mitigasi secara seragam dalam suatu wilayah geografi yang berbasis kriteria biologi (Faust, 2008). Secara filosofis, tidak ada perbedaan yang mendasar antara PHT dengan AWPM, sedikit perbedaan terutama hanya dalam skala wilayah jangkauan dan pelembagaannya. Selama ini PHT banyak dilakukan oleh individu dan terbatas dalam lingkungan usaha taninya, AWPM lebih menekankan perlunya pengendalian dalam areal yang sangat luas dengan tanggung jawab bersama. Agar dapat memberikan hasil yang memuaskan AWPM harus dilakukan : (1) pada wilayah geografis yang luas; (2) harus dikoordinasi oleh organisasi

Page 45: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

45

produsen; (3) seyogyanya memasukan taktik eradikasi, dan jika memungkinkan diupayakan untuk mencapai polulasi hama pada aras yang tidak merugikan; dan (4) seyogyanya ada taktik pengendalian yang melibatkan otoritas, sebab dari pengalaman taktik pengendalian yang sifatnya sukarela kurang dapat mencapai tujuan dengan baik.

Salah satu indikator penting keberhasilan implementasi PHT adalah apabila jumlah penggunaan pestisida yang digunakan di sektor pertanian dapat dikurangi secara nyata. Orasi Ilmiah yang disampaikan oleh Trisyono (2006) menunjukkan bahwa prestasi Indonesia dalam bidang ini, masih belum menggembirakan. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Untung (2004) bahwa tidak ada korelasi yang positif antara program SLPHT dengan menurunnya penggunaan pestisida secara nasional. Belum dapat diturunkannya penngunaan pestisida di Indonesia antara lain belum tersediannya alternative pengendalian non pestisida yang lebih efektif, masih kurang sinerginya antara kebijakan pendaftaran pestisida dengan PHT, dan masih lemahnya managemen pestisida (Trisyono, 2006). Belum adanya insentif terhadap petani yang mengimplentasikan PHT secara konsisten, juga merupakan salah satu factor pendorong petani untuk tetap menggunakan pestisida dalam jumlah yang banyak. Trisyono (2006) juga memprihatinkan adanya fenomena terus meningkatnya jumlah pestisida yang mendapat ijin untuk diperdagangkan di Indonesia, sedangkan di berbagai negara maju jumlah tersebut berhasil dikurangi secara nyata.

C. Berbagai Kendala Dalam Pelembagaan dan Penerapan PHT

Indonesia mempunyai pengalaman yang panjang tentang penelitian, pengembangan dan pelaksanaan pengendalian OPT dengan pendekatan PHT, namun sampai saat ini kiprah PHT dalam mendukung kedaulatan pangan harus diakui masih belum optimal. Berbagai kendala yang dapat menghambat pengembangan pendekatan baru dalam system perlindungan tanaman (Oka, 1995 ; Untung, 2000), tampaknya menarik untuk didiskusikan.

Salah satu penyebab belum optimalnya prestasi kita dalam pembudayaan konsep PHT di tingkat petani adalah belum mantabnya kelembagaan yang mengawal konsep tersebut. PHT mulai mendapat perhatian pemerintah secara serius pada era Orde Baru yang menganut paradigma sentralisasi. Pada saat awal pengembangannya, pemerintah telah mengeluarkan investasi yang sangat besar untuk menumbuh kembangkan PHT sehingga hasilnya PHT kita, khususnya pendekatan SLPHT telah berkembang di masyarakat, bahkan dijadikan acuan di luar negeri. Dengan berubahnya paradigma pemerintahan dari sentralisasi menjadi desentralisasi, tedapat variasi yang cukup besar mengenai perhatian dan pengawalan pelaksanaan PHT di berbagai daerah. Hal ini sangat wajar karena masing masing daerah memang berbeda dalam hal potensinya di bidang pertanian. Selanjutnya masing masing Kepala Daerah juga mempunyai perbedaan pandangan mengenai pentingnya sector pertanian di wilayahnya. Karena pendekatan dalam PHT adalah lintas sektoral, maka agar di era desentralisasi ini PHT tetap

Page 46: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

46

berkembang di daerah, diperlukan koordinasi yang efektif dan komitmen pimpinan dareah yang kuat.

Di aras pusat, dalam hal ini Kementrian Pertanian, juga telah terjadi perubahan yang mendasar dalam memposisikan PHT. Meskipun PHT tetap diterima sebagai konsep yang paling tepat untuk dikembangkan dan diterapkan, tampaknya ada perbedaan strategi dalam kebijakan dasar dalam memposisikan PHT di era orde baru dan di era reformasi. Dalam hal usaha pelembagaan PHT di tingkat petani misalnya, dulu PHT didukung dengan program nasional Sekolah Lapangan Pengelolaan Hama Terpadu (SLPHT), sehingga dalam waktu yang relative cepat dapat dihasilkan “petani pejuang” PHT yang cukup banyak. Dewasa ini pelembagaan PHT diintegrasikan ke dalam program Sekolah Lapangan Pengelolaan Tanaman Terpadu (SLPTT) yang diyakini merupakan pendekatan terbaik dalam peningkatan produksi pertanian di era reformasi. Memang belum ada evaluasi secara sistematis pengaruh diintegrasikannya SLPHT ke dalam SLPTT terhadap kualitas penerapan PHT di lapangan, namun terhadap indikasi bahwa di beberapa daerah PHT mengalami “mati suri” yang ditandai dengan bangkitnya kembali pola berfikir lama dan konvesional bahwa pestisida adalah “dewa penyelamat” yang dapat menjamin keberhasilan produksi pertanian.

Menurut Untung (2004) hambatan penting lain dalam pengembangan PHT adalah kurangnya hasil penelitian baik dari Perguruan Tinggi maupun Lembaga Penelitian yang dapat mendukung pelaksanaan PHT di lapangan. Tidak sedikit para peneliti yang memberikan rekomendasi pengendalian dengan hasil hasil penelitian yang sudah usang, sehingga kurang efektif dan efisien untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh petani di lapangan.

Mengenai masalah penelitian di bidang perlindungan tanaman, tidak lepas dari permasalahan penelitian di Perguruan Tinggi Indonesia pada umumnya sebagaimana telah disampaikan oleh Koeswara (2002, cit. Koeswara, 2006) antara lain:

a. Adanya kesenjangan kapasitas kemampuan baik antar perguruan tinggi maupun antar disiplin ilmu.

b. Rendahnya budaya meneliti di antara tenaga akademik. Di banyak perguruan tinggi orientasi pengajaran dan pendidikan masih lebih dominan dari pada penelitian. Kegiatan penelitian lebih didorong oleh keinginan untuk menambah penghasilan dan mendapatkan kredit untuk kenaikan pangkat dari pada untuk mendapatkan pengetahuan baru dan peningkatan proses pembelajaran.

c. Keterbatasan dana penlitiand. Belum tersedianya “payung penelitian”. Para peneliti umumnya masih melakukan

penelitian sendiri sendiri atau dalam kelompok kecil tanpa ada program institusi yang mengkoordinasikan dana, fasilitas, sumberdaya manusia maupun tema tema unggulan.

e. Rendahnya kualitas penelitian terutama karena rendahnya kemampuan dan penguasaan metode penelitian yang baik.

Page 47: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

47

f. Masih rendahnya publikasi ilmiah dalam jurnal profesi dan jurnal ilmiah yang terakreditasi.

g. Masih rendahnya penerimaan hak atas kekayaan intelektual (HAKI) para peneliti sehingga masih sedikit peneliti yang dapat meningkatkan nilai ekonomi hasil penelitiannya.

h. Masih rendahnya integrasi program penelitan dan pendidikan, khususnya di Program Pasca Sarjana.

i. Masih rendahnya kualitas dan efektifitas managemen penelitian.j. Masih kurangnya kolaborasi penelitian dengan lembaga dan pakar internasional.k. Masih terbatasnya kerja sama sinergis dalam penelitian antara perguruan tinggi,

industry, pemerintah daerah dan masyarakat. Kendala lain yang dihadapi dalam pengembangan PHT adalah lemahnya komunikasi oleh

para peneliti PHT di forum ilmiah maupun media popular ang penting bagi petani. Untuk memperbaiki kemampunan kita menulis di jurnal ilmiah maupun tulisan popular, diperlukan kerja keras. Hal disebabkan karena budaya kita adalah budaya verbal, sehingga umumnya para ilmuwan, termasuk ahli ahli PHT, mengalami kesulitan dalam penulisan naskah.

Sebagai salah satu barometer kualitas komunikasi ilmiah para peneliti adalah kehadiran jurnal terakreditasi di negeri kita. Apabila kita cermati Direktori Berkala Ilmiah Terakreditasi (Anonim, 2011), memang kondisi komunikasi ilmiah di bidang perlindungan tanaman sangat memprihatinkan dan ini merupakan tragedi akademik yang harus segera diatasi. Bayangkan Indonesia dengan permasalahan perlindungan tanaman yang sangat banyak, memiliki puluhan bahkan mungkin ratusan Guru Besar dan ratusan mungkin ribuan peneliti dalam bidang perlindungan tanaman, hanya mampu mempersembahkan kepada bangsa satu jurnal ilmiah yang terakreditasi.

Di hadapan perubahan perubahan global yang sangat dahsyat dan dalam situasi perkembangan teknologi informasi yang sangat cepat, rendahnya kualitas dan kuantitas publikasi di bidang perlindungan tanaman, menimbulkan pertanyaan mendasar yang harus dijawab dengan pikiran jernih. Pertama, apakah memang mutu penelitian kita masih sangat mempihatinkan sehingga hasilnya tidak layak untuk diterbitkan dalam jurnal yang terakreditasi?. Kedua, apakah para ilmuwan kita tidak merasa perlu untuk menerbitkan karya ilmiahnya dalam jurnal terakreditasi?. Ketiga, apakah para ilmuwan lebih senang menerbitkan karya ilmiahnya pada jurnal yang sudah mapan, misalnya jurnal international, dari pada repot repot membina jurnal dalam negeri?.

Meskipun para pemerhati PHT telah mempunyai perhimpunan profesi, seperti Perhimpunan Perlindungan Tanaman Indonesia, Perhimpunan Fitopatologi Indonesia (PFI), Perhimpuna Entomologi Indonesia (PEI), Perhimpunan Nematologi Indonesia (Pernemi), tetapi pengurusnya umumnya kurang tertarik pada penerbitan jurnal ilmiah yang berkesinambungan.

Page 48: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

48

Mereka lebih tertarik pada kegiatan lain, seperti menyelenggarakan seminar, melakukan negosiasi untuk memperoleh jabatan struktural atau politis, dari pada menerbitkan jurnal ilmiah yang berkualitas baik di tingkat nasional maupun global. Selain masalah dana, penerbitan jurnal ilmiah PHT dihadapkan pada masalah rendahnya kemampuan penyuntingan. Para anggota dewan penyuntung umumnya terdiri dari para pejabat yang tidak mempunyai cukup waktu atau para pakar yang bekerja secara sukarela karena hobinya dan dedikasinya kepada profesi dengan tanpa imbalan yang layak.

Sebenarnya prediksi akan adanya beberapa hal yang berpotensi sebagai kendala dalam pengembangan PHT di Indonesia telah disampaikan Oka (1995), yaitu: (1) kesinambungan dalam mendidik kader kader muda yang dapat berperan dalam berbagai aspek PHT (pakar, peneliti, praktisi, tenaga teknis, penyuluh), (2) belum tuntasnya perunahan paradigma dalam menyikapi petani dari sebagai bawahan menjadi mitra kerja, (3) masih beredarnya secara legal berbagai pestisida yang merusak lingkungan, dan (4) tidak mulusnya perluasan PHT dari tanaman pangan ke tanaman hortikultura dan perkebunan.

Pelaksanaan PHT di lapangan juga sering terkendala oleh ketatnya birokrasi di pemerintahan, swasta atau masyarakat (Untung, 2000). Hambatan birokrasi dapat bersifat bersifat fatal apabila berakibat tidak dapat dilakukannya secara tepat rekomendasi pengendalian. Hal ini dapat terjadi apabila terdapat perbedaan persepsi antar banyak lembaga yang terkait dengan pelaksanaan pengendalian.

D. Potensi Bioteknologi Untuk Mendukung PHT

Teknologi pemanfaatan jasad hidup secara konvensional sebenarnya telah lama dikenal antara lain teknologi pembuatan minuman beralkohol, pembuatan tempe, kecap, antibiotic (Hartiko, 1995) dan pengendalian hayati OPT (Mahrub, 2002). Bioteknologi modern menawarkan secara revolusioner untuk mengurangi kendala kendala yang dihadapi oleh biteknologi konvensiolan, antara lain dalam hal efisiensi dan efektifitasnya.

Karena sifatnya yang multidisiplioner, terdapat variasi mengenai batasan bioteknologi. Salah satu batasan bioteknologi yang banyak diikuti di lingkungan masyarakat perlindungan tanaman adalah “pemakaian tekniknologi biologi untuk mengembangkan proses dan produk dengan cara mempelajari organism atau bagian bagiannnya” (Hedin et al., 1988). Agrios (2005) menggunakan istilah bioteknolgi sebagai pemanfaatan organism yang secara genetis dimodifikasai dan atau pemanfaatan teknik dan proses dalam system biologi untuk produksi dalam industri. Para pakar perlindungan tanaman juga ada yang condong memanfaat definisi bioteknologi yang lebih spesifik untuk tanaman (plant biotechnology) yaitu penggunaan teknik kultur jaringan dan teknik rekayasa genetic untuk menghasilkan tanaman yang menunjukkan sifat sifat baru atau memperbaiki sifat sifat yang baik yang sebelumnya sudah ada. Di antaran sifat sifat baik tersebut adalah daya hasil yang lebih tinggi, kualitas produk yang lebih baik, lebih

Page 49: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

49

tahan terhadap cekaman baik oleh OPT maupun faktor lingkungan. Bioteknologi tanaman juga memungkinkan diproduksinya protein protein yang bermanfaat yang selama ini disandi oleh gen pada mikfrobia, hewan dan manusia. Jadi tujuan luasnya adalah peningkatan kuantitas dan kualitas hasil tanaman dan mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan terkait dengan budidaya tanaman tersebut.

Terlepas dari masih adanya pro dan kontra di antara para pakar mengenai perlu tidaknya memanfaatkan pendekatan bioteknologi dalam menyelesaikan masalah masalah perlindungan tanaman, kita tidak dapat menutup mata mengenai adanya sumbangan yang sangat nyata oleh bioteknologi dalam menyelesaikan berbagai persoalan, termasuk dalam pengembangan perlindungan tanaman yang handal.

Meskipun bioteknologi modern berpeluang untuk memberikan kemungkinan dan kemanfaatan yang tidak terbatas dalam pengembangan tenologi untuk mendukung PHT, namun tidak semua teknologi yang berbasis bioteknologi cocok untuk diterapkan pada aras petani, khususnya di Indonesia yang terdapat banyak petani kecil dan perusahaan pertanian. Keduanya tidak hanya berbeda dalam kemampuan keuanggannya, tetapi juga dalam hal kemampuan teknologinya (Semangun, 1989). Besarnya skala usaha harus menjadi salah satu pertimbangan penting bagi pakar perlindungan tanaman dalam memanfaafkan bioteknologi. Hartiko (1995) mengingatkan paling sedikit ada empat hal yang harus dipertimbangkan dalam penerapan bioteknologi, yang mungkin berlaku juga di bidang perlindungan tanaman, yaitu:

a. Pertimbangan Lingkungan hayati . Dalam banyak hal, bahaya hasil rekayasa genetik (Genetically Modified Organisms = GMO) terlalu di besar besarkan dengan cara kurang mengedepankan hasil kajian akademis yang sesunguhnya. Untuk Indonesia, potensi bahaya memang dapat diperbesar sebagai akibat kurangnya tanggung jawab pengelola hasil rekayasa genetik dan kurangnya fasilitas laboratorium yang handal. Berbagai bahaya yang mungkin timbul adalah:

1. Terlepasnya organism hasil rekayasa genetik (GMO) ke alam bebas2. Kurangnya fasilitas pengamanan di laboratorium terhadap gangguan alam atau

terhadap teroris/pencuri sehingga GMO dapat jatuh ke tangan yang orang yang tidak bertanggung jawab.

3. Penerapan GMO mempunyai kemungkinan besar berakibat terjadinya erosi genetik karena menterlantarkan tanaman lokal yang di masa depan penting sebagai sumber gen.

b. Pertimbangn kesehatan. Dewasa pertimbangan kesehatan menjadi sangat penting sebab sejak 1996 luas budidaya GMO di dunia, khususnya tanaman kedelai, jagung, kapas dan kanola telah mencapai lebih dari 500 juta hektar. Umum sifat GMO dari keempat tanaman tersebut adalah tahan hama serangga dan herbisida. Tingkat

Page 50: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

50

keamanan pangan dan pakan dari produk GMO tersebut dievaluasi Phipps (2009) dengan membandingkan kesehatan manusia dan 12 jenis hewan ternak yang diberi makan yang berasal dari GMO dan non-GMO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat keamaanan pakan dan pangan produk GMO dan non-GMO.

c. Pertimbangan Sosial, Ekonomi dan Budaya . GMO berpotensi mengancam keberadaan petani gurem. Selain harganya yang mahal, GMO biasanya lebih produksif dan dapat menurunkan harga produk. Situasi demikian akan dapat mengancam kesejahteraan petani yang tidak mampu memanfaatkan GMO.

d. Pertimbangan Etika. Percobaan lanjut dalam bioteknologi dan rekayasa genetik dapat saja mengarah pada pemikiran, bahwa hasil inovasi pakar perlu dipatenkan dalam bentuk “intelektual Property Right” bahkan tidak mustahil makhkluk hidup dipatenkan. Dewasa ini kromosom dan gen manusia menjadi komoditas bisnis, sehingga perlu dipertanyakan apakah DNA manusia boleh diperdagangkan?. Lerbih lanjut gen apapun asalnya dapat dicampur sehingga kemungkinan mencampur gen manusia dengan gen asal makluk lain, misalntya gorila, anjing dan sebagainya. Hal ini merupakan masalah etika yang harus diselesaikan.

Agar pengembangan dan keberadaan GMO di Indonesai dapat mengahdirkan kemanfaatan yang sebesar besarnya bagi kesejahteraan rakyat, pemerintah melalui Menteri Pertanian telah menerbitkan SK Mentan No. 856/Kpts/HK.330/9/1997 tentang Ketentuan Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (PBPHRG). Selanjutnya Komisi Keamanan Hayati, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian telah pula menerbikan Pedoman Pelaksanaan Pengujian Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik (Anonim, 1998). Diharapkan kedua dokumen tersebut dapat merupakan payung hukum untuk penangan masalah GMO, termasuk produk produk yang mendukung perlindungan tanaman, di Indonesia. Perlu diingatkan bahwa secanggih apapun produk teknologi perlindungan tanaman hasil rekayasa bioteknologi, produk tersebut tetap harus diterapkan dengan memperhatikan filosofi dan kaidah kaidah yang berlaku dalam konsep PHT.

Meskipun dalam pengembangan bioteknologi masih mengalami kendala, saat ini berbagai kemungkinan terbuka lebar untuk menggunakan pendekatan bioteknologi dalam memecahkan masalah perlindungan tanaman, di antaranya:

a. Pengembangan perangkat diagnosis patogen berbasis molekular (Pelacak Asam nukleat atau serologi)

b. Pengembangan varitas tahan melalui teknologi transgenikc. Peningkatan patogenisitas agen pengendalian hayati (misalnya peningkatan kualitas

Bacillus thuringiensis)

Page 51: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

51

d. Pengembangan gen penanda ketahanan terhadap OPTe. Identifikasi dan diferensasi biotipe atau strain baru dari OPTf. Pengembangan bibit bebas pathogen melalui teknik kultur jaringang. Pengembangan perangkat deteksi cemaran dalam pangan dan pakan (misalnya

pemanfaatan antibody monoclonal untuk deteksi mikotoksin)h. Pengembangan perangkat deteksi pathogen untuk mendukung terwujudnya system

karantina yang tangguh.

Untuk memperoleh hasil yang sebaik baiknya dalam penerapan bioteknologi di bidang perlindungan tanaman, sangat diperlukan penetapan prioritas kegiatan dan sinergi antara lembaga lembaga pemangku kepentingan. Harus disadari pula bahwa bioteknologi telah memberikan terobosan terobosan dalam pemecahan masalah diberbagai aspek kehidupan, khususnya bidang kesehatan dan industri. Bioteknologi juga memberikan peluang untuk pemecahan masalah masalah perlindungan tanaman di Indonesia, tetapi bioteknologi bukanlah “raja” yang dapat menyelesaikan semua masalah. Bioteknologi adalah alat yang tidak terlepas dari sisi manfaat dan sisi yang merugikan. Oleh kanena itu dalam pemanfaatan bioteknologi dalam pelindungan tanaman, lebih lebih untuk hal hal yang menyangkut petani gurem, prinsip kehati hatian tetap harus dikedepankan.

VIII. PENUTUP

Sebagai Negara yang dikaruniai dengan sumber daya alam yang melimpah dan memerlukan bahan pangan dan pakan yang sangat besar, upaya mewujudkan kedaulatan pangan bukanlah suatu mimpi yang kosong, melainkan merupakan usaha yang rasional dilihat dari kepentingan masyarakat banyak. Berhubung terletak di daerah tropika, Indonesia mempunyai lingkungan yang selain sangat cocok untuk tumbuhnya berbagai komoditas pangan, juga merupakan “surga” bagi tumbuh dan perkembangan OPT. Oleh karena itu, kedaulatan pangan hanya mungkin dicapai apabila dikawal dengan sistem perlindungan tanaman yang handal. Dalam hal penyakit tumbuhan, misalnya, kita mempunyai pathogen tropika, tumbuhan pangan tropika, vektor tropika, dan memerlukan taktik pengendalian yang cocok untuk tropika (Semangun, 1973). Untuk itu kita memerlukan pendidikan dan penelitian khusus yang hanya dapat dilakukan di Negara Negara tropika.

Agar system perlidungan tanaman yang tangguh dapat terwujud, mutlak diperlukan adanya Sumber Daya Manusia yang tangguh. Dewasa ini masih banyak persoalan

Page 52: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

52

persoalan perlindungan tanaman di Indonesai yang belum terselesaikan, mulai dari persoalan yang sangat dasar, sampai pada persoalanan praktek di lapangan. Persoalan lain yang masih memprihatinkan adalah masih rendahnya kemampuan sarjana bidang perlindungan tanaman untuk ikut dalam berkiprah dalam percaturan pangan di tingkat global karena rendahnya penguasaan rambu rambu perdagangan internasional dan kurang mempunyai bernegosiasi secara internatsional. Sehubungan dengan hal tersebut, peningkatan kualitas sarjana perlindungan tanaman mutlak diperlukan.

Ucapan Terimakasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. Arif Wibowo,M.Agr.Sc; Dr. Tri Joko, M.Sc; Dr. Sedyo Hartono, M.P.; Ir. Tri Harjoko, M.P. dan Prof (ret). Dr. Ir. A. Toekidjan Soejono yang telah membantu menyiapkan bahan artikel ini. Editing artikel ini dibantu oleh Rahma Ayu Priani, S.P., untuk itu diucapkan terima kasih.

DAFTAR PUSTAKA

Adisoemarno, S. 2006. Perkembangan Entomologi Di Indonesia Sesudah Perang Dunia II. Dalam : Soemodihardjo, S. dan Setijati S. Sastrapradja (penyunting), Enam Dasa Warsa Ilmu dan Ilmuwan di Indonesia. Naturindo, Bogor, 85-105.

Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology. Fifth Edition. Elsevier Academic Press. USA.Agus, A. 2011. Kemandirian dan Keamanan Pakan, Tantangan Masa Depan Pembangunan

Peternakan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Peternakan UGM, 16 Maret 2011. 25 hal.

Agus, A. and Nuryono, 2007. Mycotoxins in Indonesia Feedstuffs. Biotracer General Meeting, Athens, Greece, 14 – 16 Nov. 2007.

Anonim. 2006. Sumber Daya Alam Untuk Pembangunan Nasional. Hasil Rumusan Pertemuan Penulis buku “Six Dcades of Science and Scientists in Indonesia”. Naturae Indonesiana, Bogor. 9 p.

Anonim. 1988. Kesimpulan dan Rekomendasi Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi IV. LIPI, PERSAGI, PERGIZI-PANGAN. Jakarta 1-3 Juni 1988. 16 hal.

Anonim, 1992. Undang Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman. Direktorat Bina Perlindungan Tanaman, Dirjen Perkebunan, Deptan, Jakrta. 112 p.

Anomin. 1997. International Plant Protection Convention. Https://www.ippc.int. Diakses pada tanggal 23 AGUSTUS 2011.

Anonim. 1998. Pedoman Pelaksanaan Pengujian Keamanan Hayati Produk Bioteknologi Pertanian Hasil Rekayasa Genetik. Balitbangtan, Departemen Pertanian, Jakarta. 49 p.

Anonim, 2011. Direktori Berkala Ilmiah Terakreditasi. Direktorat Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Kemendiknas, Jakarta. 31 p.

Page 53: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

53

Brown, L. 2011. The Great Food Crisis of 2011. http://www.foreignpolicy.com/articles/2011/01/ 10/the_great_food_crisis_of_2011?page=0,3 Diakses pada tanggal 18 Agustus 2011.

Carlson, G. A. 1971. Economic Aspects of Crop Loss Control at the Farm Level, 2.3/1-2.3/6. Dalam Chiarappa, L. (Ed.) Crop Loss Assessment Methods. FAO Manual on Evaluation and Prevention of Losses by Pest, Diseases and Weeds. Alden and Mowbray Ltd. Great Britain.

Christanti, S. 2000. Ketahanan Terimbas, Kendala dan Prospeknya Dalam Pengendalian Penyakit Tumbuhan. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, 11 Maret 2000. 28 P.

Faust, R.M. 2008. General Introduction to Areawide Pest Management. In. O. Koul, G. Cuperus and N. Elliott (Eds.). Areawide Pest Management, Theory and Implementation, CABI, UK. : 1-14 p.

Ferry, N. and A.M.R. Gatehouse. 2009. Environmental Impact of Genetically Modified Crops. CABI, UK. 424 p.

Hadisutrisno, B. 1999. Kearifan Petani dalam Pengendalian Penyakit Tanaman : Telaah Epidemiologis dan Kemungkinan Pengembangannya di Indonesia. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Madya dalam Epidemiologi Penyakit Tumbuhan pada Fakultas Pertanian,UGM. Yogyakarta.

Hadisapoetro, S. 1977. Perluasan areal pertanian dalam menunjang peningkatan produksi pangan. Ratek Ditlin. Jakarta: 25 P.

Hartiko, H. 1995. Penerapan Bioteknologi pada Sektor Pertanian untuk Meningkatkan Kualitas dan Kuantitas Produk Pertanian menghadapi Pasar Bebas. Sem. Peluang dan Tantangan Sektor Pertanian Menuju Perdagangan Bebas. SEMA Pertanian PT Sarjana Wiyata, Yogyakarta, 19 Juni 1995.

Heather, N. W., and G. J. Hallman. 2008. Pest management and phytosanitary trade barriers. CABI International. 257 p.

Hedin, P.A., J.J. Menn, and R.M. Hollingworthh. 1988. Biotechnology for Crop Protection. American Chemical Society, Washington. 473 p.

Horst, R.K. 2008. Westcott’s Plant Disease Handbook. 7th Edition. Springer, New York. 1315 p. Jacob, J., Sudarmaji and G.R. Singleton. 2001. Ecological based management of rice-field rats on

a village scale in West Java: experimental approach and assessment of habitat use . In G.R. Singleton, Hinds, L.A., Krebs, C.J. and D.M. Spratt (Eds.). Rats, mice. And people: rodent biology and management. ACIAR MONOGRAPH SERIES., Canberra. 191-197.

Kadarsan, S. 1976. Pengaruh Samping Pestisida Terhadap Hewan Vertebrata bukan Sasaran. Aspek Pestisida di Indonesia : Hasil Simposium Peranan Pestisida dalam Pengelolaan Hama-Penyakit Tanaman dan Tumbuhan Pengganggu. LPPP Bogor Edisi khusus 3 : 71-75

Kalshoven, L.G.E. 1951. De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie. NV. Vitgeverrij. W. Van Hoeve, Bandung, 512 p.

Koswara, J. 2006. Pembinaan Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat di Pendidikan Tinggi di Indonesia. Dalam Soemodihardjo, S. dan Setijati S. Sastrapradja (penyunting), Enam Dasa Warsa Ilmu dan Ilmuwan di Indonesia. Naturindo, Bogor, 413-439.

Page 54: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

54

Maarif, A. S. 2004. Indonesia Baru di Tengah Pertarungan antara Mosaik Budaya yang Elok Kaya dengan Ancaman Keserakahan. Pidato Penerimaan Anugerah Hamengku Buwono IX. UGM. 14 p.

Mahrub, E. 2002. Potensi Pengendalian Hayati dalam Pembangunan Pertanian Berkelanjutan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian, UGM. Yogyakarta. 27 p.

Mangoendihardjo, S. 1995. Pengendalian Hayati Komponen Utama Pengelolaan Jasad Pengganggu. Pidato Pengukuhan Guru Besar UGM. Yogyakarta

Oka, I.N. 1976. Ekologi Pengelolaan Hama Penyakit Tanaman. Kongres Nasional PFI ke IV. Bandung.

Oka, I.N. 1979. Menanggulangi Masalah Penyakit Tanaman Berdasarkan Konsep Pengelolaan Intergritas. Kongres Nasional PFI ke V. Malang.

Oka, I.N. 1995. Sumbangan Pengendalian Hama Terpadu (PHT) dalam Mengembangkan Sumberdaya Manusia dan Melestarikan Lingkungan. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Entomologi Pertanian, UGM. Yogyakarta.

Ordish, G. and D. Dufour. 1969. Economic Bases for Protection Against Plant Diseases. Ann. Rev. Phytopath 7 : 31-50

Phipps, R.H. 2009. Safety for Human Consumption. In N. Ferry and A.M.R. Gatehouse (Eds.), Enviromental Impact of Genetically Modified Crops. CABI. UK: 278-295.

Prayitno, D. 2009. Sistem Usaha Tani Terpadu SEbagai Model Pembangunan Pertanian Berkelanjutan di Tingkat Petani. Pidato Pengukuhan Sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian UGM, 30 Juli 2009. 20 p.

Ronoprawiro, S. 1995. Gulma sebagai Lawan dan Kawan dalam Kehidupan Manusia. Pidato Pengukuhan Sebagai Gurubesar Fakultas Pertanian UGM. 13 Februari 1992. 23 p.

Sardjono. 2005. Mycotoxigenic fungi and the occurrence of mycotoxins in Indonesian Food Commodities. The 9th National Congress of Indonesia society for Microbiology. Denpasar, Bali.

Sardjono, Endang S. Rahayu, Hocking, A.D., and J.I. Pitt. 1992. The mycroflora of cereal and nuts in Indonesia. Development of Food Science and Technology in South East Asia. Proceeding of the 4th ASEAN Food Conference’92. Jakarta, Indonesia.

Sardjono. 2011. Jamur Benang dan Pengembangannya pada Industri Pengelolaan Hasil Pertanian, UGM Yogyakarta, 21 Juni 2011, 22 p.

Sastroutomo, S.S. 1990. Ekologi Gulma. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakrta. 217 p. Schumann, G.L. 1991. Plant Diseases : Their Biology and Sosial Impact. The American

Phytopathological Society. USA. 397 p.Semangun, H. 1973. Fitopatoloi Tropika, Satu Aspek Fitopatologi yang Memerlukan Perhatian

Khusus. Pidato Pengukuhan Sebagai Gurubesar Faperta UGM, 19 Nopember 1973. 23 p. Semangun, H. 1975. Fitopatologi dan Konsep “Pest Management”. Kongres Nasional PFI III.

Bogor.Semangun, H. 1991. Penyakit-Penyakit Tanaman Pangan di Indonesia. Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta. 449 p.Semangun, H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta.

754 p.

Page 55: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

55

Soekarno. 1952. Soal Hidup atau Mati. Pidato Presiden Soekarno Pada Saat Peletakan Batu Pertama Gedung Fakultet Pertanian Universitas Indonesia, Bogor, 27 April 1952.

Soejono, A.T. 2006. Gulma dalam Agroekosistem: Peranan, Masalah, dan Pengelolaannya. Pidato Pengukuhan Sebagai Gurubesar pada Fakultas Pertanian UGM, 5 Juni 2006. 27 p.

Soerjani, M., S. Tjitrosemito dan Kasno. 1979. Pendekatan Terpadu Sebagai Usaha Pengendalian Penyakit Tanaman dalam Hubungannya dengan Masalah Gulma. Kongres Fitopatologi Indonesia. Malang. 19 p.

Soerjani, M., Kostermans, AJGH, and G. Tjitrosoepomo. 1987. Weeds of rice in Indonesia. Balai Pustaka, Jakarta, 716 p.

Somowiyarjo, S. 2011. Plant disease problems on smallholder farms in Asia. Australasian Plant Pathol. 40 : 318–319

Sosromarsono, S. 2006. Pengendalian Hayati Organisme Pengganggu Tanaman Pertanian Di Indonesia: Pengalaman Enam Dasawarsa Terakhir. Dalam S. Soemodihardjo dan Setijati D. Sastrapradja (penyunting) Enam Dasa Warsa Ilmu dan Ilmuwan di Indonesia. Naturindo, Bogor. 155-184.

Supratoyo. 1977.Toksikologi Pestisida. Bahan Kursus Proteksi Tanaman Petugas Proteksi Disbun Jateng. LPP Yogyakarta, 21 sd 26 Februari 1977. 22 p.

Tjitrosoepomo, G. 1969. Beberapa Persoalan Tentang Nomenklatur Tumbuh Tumbuhan. Pidato Pengukuhan Djabatan Guru besar dalam Ilmu Sistematik Tumbuh-tumbuhan pada Fakultas Biologi UGM. 18 Oktober 1969. 20 p.

Triharso. 1978. Beberapa Gatra Pengendalian Penyakit Tumbuhan dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian UGM, 25 Nopember 1978. 33 p.

Triharso. 1993. Pengembangan Pertanian Berwawasan Lingkungan Yang Terlanjutkan dan Perlindungan Tanaman. Pidato Dies Natalis Ke-44 UGM, 20 Desember 1993. 34 p.

Trisyono, Y.A. 2006. Refleksi dan Tuntutan Perlunya Manajemen Pestisida. Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Pertanian UGM. Yogyakarta.

Untung, K. 1990. Perlindungan Tanaman Menunjang Terwujudnya Pertanian Tangguh dan Kelestarian Lingkungan. P.T. Agricon. Bogor : 63-76

Untung, K. 2004. Dampak Pengendalian Hama Terpadu Terhadap Pendaftaran dan Penggunaan Pestisida di Indonesia. J. Perlin. Tan. Indo. 10 : 1-7

Yudohusodo, S. 2002. Penguatan Perekonomian Indonesia Dengan Membangun Kemandirian Di Bidang Pangan. Sem. Nas. Penguatan Perekonomian Indonesia Melaui Agroindustri, UGM, 8 Mei 2002. 18 p.

Yudohusodo, S. 2004. Membangun Kemandirian Pangan, Suatu kebutuhan bagi Indonesia, Negara berpenduduk banyak dengan potensi pangan yang besar. Yayasan Padamu Negeri, Jakarta. 372 p

Yunianta dan A. Agus. 2008. Aflatoxin B1 Contamination of corn collected from farmers and market in Klaten, Blitar and Tasikmalaya, Java Indonesia. Proc. Inter. Sem. On Management strategy on animal health and production control. Fac. of Vet. Sci., Airlangga Univ., Surabaya, Indonesia, 1-2 June 2008.

Zen, M.T. 2006. Mengejar Pelangi Emas. dalam Soemodihardjo, S. dan Setijati S. Sastrapradja (penyunting) Enam Dasa Warsa Ilmu dan Ilmuwan di Indonesia. Naturindo, Bogor. 11-48

Page 56: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

56

Page 57: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

57

Page 58: Bahan Kuliah Dasar-Dasar Perlindungan Tanaman Kelas B

58