109

Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini disusun sebagai bagian dari pelaksanaan tugas Bank Indonesia dalam mewujudkan misi ≈mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mewujudkan pembangunan ekonomi jangka panjang yang berkesinambungan.

Citation preview

Page 1: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

No. 9, September 2007

KAJIANSTABILITAS KEUANGAN

DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN

KA

JIAN

ST

AB

ILITA

S K

EU

AN

GA

N I - 2

00

7

Page 2: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

Kajian Stabilitas Keuangan (KSK) ini disusun sebagai bagian dari pelaksanaan

tugas Bank Indonesia dalam mewujudkan misi ≈mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah

melalui pemeliharaan kestabilan moneter dan stabilitas sistem keuangan dalam rangka mewujudkan

pembangunan ekonomi jangka panjang yang berkesinambunganΔ.

Penerbit:

Bank Indonesia

Jl. MH Thamrin No.2, Jakarta

Indonesia

Informasi dan Order :

KSK ini terbit pada bulan September 2007 dan didasarkan pada data dan informasi per Juni 2007, kecuali dinyatakan lain.

Dokumen KSK lengkap dalam format pdf tersedia pada web site Bank Indonesia : http://www.bi.go.id

Permintaan, komentar dan saran harap ditujukan kepada :

Bank Indonesia

Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan

Biro Stabilitas Sistem Keuangan

Jl.MH Thamrin No.2, Jakarta, Indonesia

Telepon : (+62-21) 381 8902, 381 8336

Fax : (+62-21) 351 8629

Email : [email protected]

KSK diterbitkan secara semesteran dengan tujuan untuk :

• Meningkatkan wawasan publik dalam memahami stabilitas sistem keuangan

• Mengkaji risiko-risiko potensial terhadap stabilitas sistem keuangan

• Menganalisa perkembangan dan permasalahan dalam sistem keuangan

• Merekomendasi kebijakan untuk mendorong dan memelihara sistem keuangan yang stabil.

Page 3: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

Kajian Stabilitas KeuanganI - 2007( No. 9, September 2007 )

Page 4: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

ii

Page 5: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

iii

Kata Pengantar vi

Gambaran Umum 3

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil 9

Kondisi Makro Ekonomi 9

Kondisi Sektor Riil 12

Boks 1.1. Potensi Dampak Krisis Subprime Mortgage

AS terhadap Pasar Keuangan Domestik 16

Bab 2 Sektor Keuangan 21

Struktur Sektor Keuangan 21

Perbankan 22

Pendanaan dan Risiko Likuiditas 22

Perkembangan dan Risiko Kredit 25

Risiko Pasar 30

Profitabilitas dan Permodalan 32

Lembaga Keuangan Bukan Bank dan Pasar Modal 34

Perusahaan Pembiayaan 35

Pasar Modal 36

Boks 2.1. Kondisi Financial Deepening di Indonesia 42

Boks 2.2. Capital Inflows dan Sudden Reversal:

Siapkah Kita Menghadapi Krisis? 44

Daftar Isi

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia 49

Prospek Ekonomi dan Persepsi Risiko 49

Profil Risiko Perbankan: Tingkat dan Arah 50

Prospek Sistem Keuangan Indonesia 51

Potensi Kerawanan 53

Boks 3.1. Financial Stability Index dan Probability

of Default 54

Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi

Risiko 59

Sistem Pembayaran 59

Kebijakan dan Mitigasi Risiko Dalam Sistem

Pembayaran 61

Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK) 63

Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) 64

Artikel

Artikel 1 Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko

Stratejik Bank Serta Implikasinya Terhadap

Stabilitas Sistem Keuangan 69

Artikel 2 Credit Risk Modelling:

Rating Transition Matrices 81

Page 6: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

iv

Daftar Tabel dan Grafik

Tabel

1.1 Indikator Ekonomi Dunia (Volume) 9

2.1 Perkembangan Indeks Harga Beberapa Bursa

Regional 37

2.2 Perkembangan Indeks Harga Sektoral 37

2.3 Perkembangan Efisiensi Pasar Saham 38

3.1 Konsensus Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi 49

3.2 Persepsi Risiko Indonesia 49

3.3 Dampak Nilai Tukar terhadap Permodalan

Konglomerasi 52

4.1 Perkembangan Nilai dan Volume Setelmen

dalam Sistem BI-RTGS 59

4.2 Transaksi APMK 60

4.3 Struktur dan Keanggotaan FSSK 64

Tabel Boks :

2.1.1 Perkembangan Financial Deepening Indonesia 42

2.1.2 Perkembangan Financial Deepening Indonesia 42

2.1.3 Real Rates of Returns di Indonesia 43

1.1 Perkembangan Suku Bunga Dunia 9

1.2 Perkembangan PDB Indonesia 10

1.3 Ekspor Non Migas Indonesia 10

1.4 Impor Non Migas Indonesia 10

1.5 Indeks Harga Saham Gabungan 10

1.6 Tingkat Bunga Riil Indonesia dan AS 10

1.7 Pergerakan Mata Uang Utama Dunia 11

1.8 Perkembangan Nilai Tukar Rupiah 11

1.9 Perkembangan Harga Minyak Dunia 12

1.10 Harga Beberapa Komoditas Utama Dunia 12

1.11 Perkembangan Suku Bunga dan Inflasi 12

1.12 Perkembangan Kredit Konsumsi 13

1.13 Ekspektasi Konsumen 13

1.14 Kinerja Keuangan Perusahaan Swasta

Non Financial Go Public 13

1.15 NPL Kredit Modal Kerja dan Investasi 13

1.16 Pembiayaan dan Ekspansi Korporasi 14

1.17 Tingkat Pengangguran 14

1.18 Estimasi Output Gap 14

1.19 Perkembangan DER dan Debt/TA 15

1.20 Neto Transaksi Asing: Saham dan SUN 15

2.1 Aset Lembaga Keuangan 22

2.2 Struktur Pendanaan dan Penempatan Bank 22

2.3 Rasio Alat Likuid Perbankan 22

2.4 Suku Bunga Rata-rata PUAB O/N 23

2.5 Perkembangan DPK 23

2.6 Perkembangan DPK Berdasarkan Valuta 23

2.7 Perkembangan DPK Valas 23

2.8 Pertumbuhan Deposito 23

2.9 Struktur DPK 24

2.10 Perkembangan DPK terkait Penjaminan 24

2.11 Pertumbuhan Kredit 25

Grafik

Page 7: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

v

2.12 Pangsa Aktiva Produktif 25

2.13 Pertumbuhan Jenis Penggunaan Kredit 26

2.14 Pertumbuhan Jenis Penggunaan Kredit 26

2.15 Kredit per Sektor Ekonomi 26

2.16 Non Performing Loan (NPL) 26

2.17 Perkembangan Nominal NPL 27

2.18 NPL Gross Per Kelompok Bank 27

2.19 NPL Gross Per Sektor Ekonomi 27

2.20 Pangsa NPL Menurut Sektor Ekonomi 27

2.21 Pangsa NPL Menurut Jenis Penggunaan Kredit 28

2.22 Perkembangan Nominal NPL Konsumsi 28

2.23 Perkembangan NPL Gross 28

2.24 Nominal NPL Korporasi dan UMKM 29

2.25 NPL Gross Kredit UMKM dan Korporasi 29

2.26 Perkembangan Kurs dan NPL Valas 29

2.27 Perkembangan NPL Gross Valas 29

2.28 Kredit, NPL dan PPAP 30

2.29 Perkembangan Suku Bunga dan Nilai Tukar 30

2.30 Suku Bunga Kredit Per Kelompok Bank 31

2.31 Maturity Profile Rupiah 31

2.32 Maturity Profile Valas 31

2.33 Perkembangan PDN (Overall) 32

2.34 SUN yang Dimiliki Perbankan 32

2.35 Perkembangan NII Perbankan 33

2.36 Perkembangan Laba dan Asset Perbankan 33

2.37 Komposisi Pendapatan Bunga Perbankan 33

2.38 ATMR, Modal dan CAR 34

2.39 Rasio Tier 1 terhadap ATMR, dan CAR 34

2.40 Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan 35

2.41 Perusahaan Pembiayaan 35

2.42 Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan Swasta

Nasional 35

2.43 Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan Patungan 35

2.44 Arus Kas Neto Perusahaan Pembiayaan 36

2.45 Capital Inflows pada SUN-SBI-Saham 36

2.46 Perkembangan Indeks Saham Bursa Regional 37

2.47 Perkembangan Indeks Sektoral 38

2.48 Transaksi Saham Investor Domestik-Asing 38

2.49 Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi 38

2.50 Perkembangan Harga SUN 39

2.51 Distribusi SUN Menurut Tenor 39

2.52 Kepemilikan SUN 39

2.53 Perkembangan Yield Tenor 20 Tahun 40

2.54 Perbandingan Volatilitas Harga Aset Keuangan 40

2.55 Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi 40

2.56 Perkembangan Reksa Dana Per Jenis 41

3.1 Kurva Yield 50

3.2 Profil Risiko Industri Perbankan dan Arahnya 50

3.3 Financial Stability Index 51

3.4 Probability of Default Perusahaan Non Financial

Go Public 52

4.1 Aktivitas Transaksi Sistem Pembayaran

Semester I 2007 59

Grafik Boks :

1.1.1 Indeks Harga Rumah di Beberapa Negara 16

1.1.2 Delinquency Rate SPM 16

1.1.3 Foreclosure Rate SPM 17

2.2.1. NPL & CAR Sebelum dan Sesudah Krisis 45

2.2.2. Perkembangan Kredit Valas 45

3.1.1. Probability of Default √ Metode Barrier Option 55

3.1.2. Probability of Default √ Metode Option Biasa 55

Page 8: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

vi

Dengan mengucapkan puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, kami menyambut gembira penerbitan Kajian

Stabilitas Keuangan (KSK) No.9 September 2007 ini. Kajian ini dinilai sangat penting dan tepat waktu mengingat pasar

keuangan global dewasa ini berkembang sangat dinamis dan cenderung terus bergejolak sehingga dampaknya terhadap

stabilitas keuangan domestik perlu dipahami secara baik. Kajian ini akan membantu untuk meningkatkan pemahaman

tentang betapa pentingnya memelihara stabilitas keuangan ditengah-tengah meningkatnya keterkaitan antara pasar

global dengan sektor keuangan domestik.

Sebagaimana halnya kajian-kajian sebelumnya maka kajian edisi ini akan menjelaskan perkembangan stabilitas

sistem keuangan Indonesia, sumber-sumber kerentanan dan risiko-risiko yang dihadapi, langkah-langkah mitigasi risiko,

serta prospek sistem keuangan ke depan. Di samping itu, kajian ini secara khusus akan menyoroti berbagai isu mutakhir

seperti krisis subprime mortgage dan kemungkinan terjadinya pembalikan arus modal (sudden reversal) yang dapat

memicu krisis seperti yang pernah terjadi tepat 10 tahun yang lalu. Masih dalam konteks menjaga stabilitas sistem

keuangan, kajian ini juga akan membahas pentingnya untuk segera memprioritaskan upaya-upaya peningkatan financial

deepening di Indonesia dewasa ini.

Dengan membahas isu-isu tersebut di atas, kajian ini diharapkan akan menjadi masukan berharga bagi para pelaku

bisnis pada sektor keuangan, pejabat-pejabat Pemerintah, akademisi dan pengamat ekonomi. Kajian ini diharapkan juga

dapat menggugah kepedulian semua pihak terkait agar bersama-sama secara proaktif memelihara stabilitas sistem

keuangan. Tanpa memiliki sistem keuangan yang stabil dan terjaga dengan baik, sulit bagi kita untuk meningkatkan

pertumbuhan ekonomi, mengurangi pengangguran dan mengatasi kemiskinan.

Akhirnya atas nama Dewan Gubernur, kami mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Tim Penyusun

dan semua pihak yang telah memberikan bantuan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penulisan kajian

ini. Semoga hasil kerja keras ini dapat bermanfaat dalam menjaga stabilitas sistem keuangan yang berkelanjutan.

DEPUTI GUBERNUR

BANK INDONESIA

Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad Muliaman D. Hadad

Kata Pengantar

Page 9: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

1

Gambaran Umum

Gambaran Umum

Page 10: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

2

Gambaran Umum

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 11: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

3

Gambaran Umum

Stabilitas sistem keuangan Indonesia pada semester I 2007 tetap terpelihara

dengan prospek yang baik. Adanya kekhawatiran tentang sudden reversal

arus modal berjangka pendek, serta kemungkinan contagion effect dari krisis

subprime mortgage yang terjadi di beberapa negara lainnya akhir-akhir ini

ternyata tidak menimbulkan gangguan yang cukup berarti pada ketahanan

sistem keuangan Indonesia. Terpeliharanya stabilitas sistem keuangan tidak

terlepas dari dukungan stabilitas moneter dan membaiknya perekonomian

domestik, di samping karena masih tetap terkendalinya tekanan dari

perekonomian internasional. Secara keseluruhan, kondisi ini kondusif bagi

peningkatan kinerja sektor keuangan. Sebagai industri yang mendominasi

sektor keuangan, perbankan tetap likuid dengan kualitas aktiva produktif

yang relatif terjaga, profitabilitas yang tinggi dan permodalan yang kuat.

Namun, dengan adanya berbagai sumber instabilitas maka upaya antisipasi

dan langkah-langkah mitigasi risiko perlu terus menerus dilakukan.

Gambaran Umum

1. SUMBER-SUMBER INSTABILITAS

1.1. Gejolak lingkungan eksternal

Semakin terintegrasinya ekonomi domestik dengan

ekonomi dunia membuat Indonesia semakin rentan

terhadap berbagai gejolak pada lingkungan eksternal, baik

yang bersifat ekonomi dan non-ekonomi. Beberapa

pemicu gejolak adalah berlebihnya likuiditas dunia yang

mendorong peningkatan arus modal berjangka pendek,

masih adanya ketidakseimbangan global, dan

kecenderungan peningkatan harga minyak dunia. Gejolak

juga dapat muncul karena permasalahan yang melanda

sektor usaha tertentu pada suatu negara dapat menjalar

(contagion effect) ke negara-negara lain, sebagaimana

terlihat pada krisis subprime mortgage yang melanda

beberapa negara akhir-akhir ini.

1.2. Tingginya ketergantungan terhadap

perbankan

Perbankan masih mendominasi sektor keuangan

Indonesia. Hal ini menimbulkan tingginya ketergantungan

kepada perbankan sebagai sumber pembiayaan

pembangunan dan perekonomian. Ketergantungan yang

tinggi tersebut dapat mendatangkan kerawanan karena

gejolak yang melanda perbankan dapat dengan cepat

mengganggu stabilitas sistem keuangan. Oleh karena itu,

Page 12: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

4

Gambaran Umum

setiap jenis risiko yang dapat membahayakan perbankan

harus dimitigasi secara tepat agar tidak berkembang

menjadi sumber instabilitas. Salah satu potensi instabilitas

yang perlu diwaspadai adalah kemungkinan peningkatan

risiko kredit karena belum tuntasnya penyelesaian

restrukturisasi kredit, penerapan manajemen risiko kredit

yang masih memerlukan perbaikan dan masih adanya

kelemahan dalam sistem informasi manajemen kredit

perbankan.

1.3. Kendala-kendala di sektor riil

Sektor riil masih menghadapi beberapa kendala,

antara lain permasalahan ketenagakerjaan dan

keterbatasan infrastruktur. Selain itu, beban usaha juga

masih tinggi sehingga cenderung menghambat

pengembangan usaha. Apabila berlangsung terus

menerus, hal ini dapat menimbulkan instabilitas jika banyak

korporasi yang menutup bisnisnya atau pindah usaha ke

negara lain. Akibatnya, perbankan mengalami ekses

likuiditas sejalan dengan terbatasnya permintaan kredit

oleh korporasi dan menjadi kurang optimal dalam

menjalankan fungsi intermediasi. Oleh karena itu,

penyelesaian berbagai kendala di sektor riil sangat

dibutuhkan untuk mendukung tercapainya stabilitas sistem

keuangan.

1.4. Terkonsentrasinya kredit pada pembiayaan

konsumen

Sumber instabilitas penting lainnya adalah semakin

terkonsentrasinya kredit perbankan pada pembiayaan

konsumen. Hal ini antara lain terlihat dari peningkatan

pinjaman untuk kartu kredit, kenderaan bermotor dan

perumahan. Kerawanan dapat muncul apabila pendapatan

sektor rumah tangga (household income) tidak cukup

memadai untuk membayar kewajiban kepada bank

sehingga dapat meningkatkan risiko kredit.

2. MITIGASI RISIKO

Untuk memperkecil peluang terjadinya instabilitas

dan tingginya risiko yang dihadapi oleh sektor keuangan

Indonesia, maka dilakukan langkah-langkah sebagai

berikut:

2.1. Memperkuat Manajemen Risiko Perbankan

Manajemen risiko perbankan perlu diperkuat karena

kegiatan bisnis perbankan semakin kompleks dan dinamis

sejalan dengan kemajuan teknologi informasi dan

meningkatnya persaingan usaha. Program sertifikasi

manajemen risiko yang saat ini sedang terus berlangsung

dan implementasi Basel II mulai 2008 diharapkan dapat

meningkatkan kualitas manajemen risiko perbankan.

Sejalan dengan itu, sistem informasi manajemen kredit

perbankan perlu terus dibenahi agar dapat meningkatkan

efektivitas manajemen risiko. Sementara itu, dari sisi

pengawasan bank, pendekatan risk-based supervision

terus dikembangkan yang didukung oleh peningkatan

kemampuan pengawasan melalui program sertifikasi

tenaga pengawas bank.

2.2. Memperkuat Infrastruktur Keuangan

Penguatan infrastruktur keuangan dapat dilakukan

melalui dua cara. Pertama, melalui pengembangan sistem

pembayaran yang handal dan aman oleh Bank Indonesia.

Kedua, melalui penguatan jaring pengaman sektor

keuangan (JPSK) dan manajemen krisis berdasarkan kerja

sama antara Bank Indonesia dan Pemerintah. Dengan

memiliki infrastruktur keuangan yang lebih kuat, maka

risiko instabilitas pada sektor keuangan dapat diperkecil.

2.3. Meningkatkan Efektivitas Pemantauan

terhadap Sistem Keuangan

Mitigasi risiko pada sektor keuangan hanya akan

efektif apabila dilakukan pemantauan (surveillance) yang

Page 13: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

5

Gambaran Umum

terus menerus terhadap perkembangan sistem keuangan.

Sehubungan dengan itu, efektivitas pemantauan terus

ditingkatkan melalui pengembangan berbagai metodologi

dan stress test untuk mengukur risiko dan ketahanan

sistem keuangan. Diskusi dengan pelaku pasar dan tukar

pendapat dengan para akademisi terus dilakukan untuk

mempertajam analisis tentang potensi instabilitas dalam

sektor keuangan.

2.4. Meningkatkan Financial Deepening

Untuk mengurangi kerawanan yang ditimbulkan

oleh tingginya ketergantungan terhadap industri

perbankan, maka peningkatan financial deepening

(pendalaman keuangan) perlu segera dilakukan.

Peningkatan financial deepening akan mendorong

pertumbuhan kegiatan usaha keuangan non-bank,

memperbanyak alternatif instrumen keuangan, serta

meningkatkan akses masyarakat miskin dan terkebelakang

terhadap produk dan jasa keuangan.

3. PROSPEK STABILITAS SISTEM KEUANGAN

Secara keseluruhan, risiko sistem keuangan pada

semester I 2007 relatif terkendali dengan arah yang stabil

sejalan dengan stabilitas moneter dan perbaikan kondisi

perekonomian. Adanya kekhawatiran tentang sudden

reversal arus modal berjangka pendek, serta kemungkinan

contagion effect dari krisis subprime mortgage yang terjadi

di beberapa negara lainnya akhir-akhir ini ternyata tidak

menimbulkan gangguan yang cukup berarti pada

ketahanan sistem keuangan Indonesia. Ke depan, faktor

eksternal yang berpotensi mempengaruhi ketahanan

sistem keuangan Indonesia meliputi pertumbuhan

ekonomi dunia yang melambat, potensi lonjakan harga

minyak dunia, dan arus modal masuk berjangka pendek.

Selain itu, efektivitas langkah-langkah penyelesaian krisis

subprime mortgage yang dilakukan oleh otoritas moneter

dan perbankan negara-negara terkait juga dapat

berpengaruh terhadap stabilitas sistem keuangan

Indonesia.

Dari sisi internal, diperlukan kewaspadaan terhadap

dampak persiapan menjelang Pemilu terhadap aktivitas

bisnis dan perkembangan risiko pada sektor keuangan,

terutama karena kondisi keamanan yang tidak kondusif

dapat memicu terjadinya capital outflows. Kewaspadaan

juga diperlukan karena ke depan, perbankan sebagai

industri yang mendominasi sektor keuangan, akan

menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan, antara

lain penyelesaian restrukturisasi kredit, perbaikan

manajemen risiko dan sistem informasi kredit, sinkronisasi

antara upaya peningkatan fungsi intermediasi dengan

upaya penurunan risiko kredit, pengembangan rencana

kontinjensi untuk mengurangi risiko operasional,

peningkatan efektivitas pengendalian internal dan tata

kelola usaha, dan pemenuhan ketentuan modal inti

minimum bank sebesar Rp80 milyar pada akhir tahun 2007

dan sebesar Rp100 milyar pada akhir tahun 2010.

Sementara itu, hasil stress test yang dilakukan untuk

mengukur risiko kredit, risiko likuiditas dan risiko pasar

menunjukkan bahwa perbankan memiliki ketahanan yang

memadai terhadap berbagai guncangan akibat perubahan

variabel makroekonomi. Selanjutnya, hasil stress test

sederhana terhadap beberapa konglomerasi/korporasi

besar yang mendapatkan pinjaman dalam valuta asing

mengindikasikan bahwa mereka relatif cukup tahan

terhadap gejolak risiko nilai tukar. Meskipun hasil estimasi

menunjukkan bahwa jumlah perusahaan non financial go

public yang memiliki probability of default (PD) lebih dari

0,5 akan mengalami sedikit peningkatan, namun

pembentukan cadangan dan kuatnya permodalan bank

diperkirakan dapat mencegah hal tersebut menjadi sumber

instabilitas. Secara keseluruhan prospek sektor keuangan

ke depan akan tetap stabil dan cukup terkendali.

Page 14: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

6

Gambaran Umum

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 15: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

7

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Bab 1Kondisi Makroekonomi

Page 16: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

8

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 17: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

9

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

1.1. KONDISI MAKRO EKONOMI

Selama semester I 2007 perekonomian global

dihadapkan pada tekanan perlambatan pertumbuhan

ekonomi, serta permasalahan kredit macet sektor properti

(subprime mortgage) dalam beberapa waktu terakhir.

Dalam upaya pemulihan pertumbuhan ekonomi Amerika

Serikat (AS), terutama untuk mengatasi kekhawatiran

masih akan tingginya inflasi, The Fed antara lain mengambil

keputusan untuk menunda rencana kenaikan Fedfund rate

dan mempertahankan pada level 5,25%.1 Hal ini sangat

mempengaruhi perkembangan pasar keuangan global

karena Fedfund rate sebelumnya diekspektasikan akan

turun.

Seiring dengan berlangsungnya proses pemulihan

ekonomi AS, perekonomian global mengindikasikan proses

penyesuaian ketidakseimbangan menuju skenario soft

landing sebagai dampak dari peningkatan fleksibilitas

sistem nilai tukar di Asia, peningkatan pengeluaran oleh

negara-negara penghasil minyak, serta reformasi struktural

di Eropa dan Jepang. Upaya koreksi ketidakseimbangan

Selama Semester I 2007 ekspansi ekonomi berlanjut dengan stabilitas

makroekonomi yang tetap terjaga. Tekanan vulnerabilitas sektor eksternal

belum berdampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi domestik.

Sementara itu, turunnya tingkat bunga domestik secara perlahan mulai

memicu pergerakan di sektor riil. Namun, masih adanya berbagai kendala

usaha di lapangan serta permasalahan pembiayaan menyebabkan sektor riil

belum bertumbuh optimal.

Kondisi Makroekonomi dan Sektor RiilBab 1

Grafik 1.1Perkembangan Suku Bunga Dunia

Persen

0

1,0

2,0

3,0

4,0

5,0

6,0

7,0

20072004 2005 2006200320022001

SIBOR LIBOR

ECB FFR

Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun

World Output 4,9 5,5 5,2 5,2Advanced Economies 2,6 3,1 2,6 2,8United States 3,2 3,3 2,0 2,8Emerging & Developing Countries 7,5 8,1 8,0 7,6

Consumer PriceAdvanced Economies 2,3 2,3 2,0 2,1Emerging & Developing Countries 5,4 5,3 5,7 5,0LIBORUS Dollar Deposit 3,8 5,3 5,4 5,3Euro Deposit 2,2 3,1 3,8 3,7Yen Deposit 0,1 0,4 0,8 1,2

Oil Price (USD) - rata-rata 41,3 20,5 (0,8) 7,8

Tabel 1.1Indikator Ekonomi Dunia (Volume)

Kategori 2005 2006

%%%%%Proyeksi

2007 2008

Sumber: World Economic Outlook - IMF Juli 2007

1 Perkembangan terakhir, pada tanggal 18 September 2007, The Fed menurunkan Fedfundrate 50 basis points (bps) sehingga menjadi 4,75%.

Page 18: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

10

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

global tersebut mendorong berlanjutnya ekspansi ekonomi

di negara-negara berkembang termasuk Indonesia.

Peningkatan ekspansi ekonomi Indonesia dapat

diamati dari kondisi perekonomian Indonesia yang selama

semester I 2007 tumbuh semakin kuat dengan laju inflasi

yang terkendali. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada

Triwulan I 2007 mencapai 6,0% (y-o-y) dan kemudian

meningkat menjadi 6,1% (y-o-y) pada Triwulan II 2007.

Pertumbuhan ini lebih tinggi dibandingkan dengan

triwulan yang sama tahun sebelumnya yang hanya sebesar

5,0% (y-o-y). Akselerasi pertumbuhan ekonomi selama

Triwulan II 2007 terutama didukung oleh peningkatan

konsumsi swasta dan ekspor, terutama ekspor dari sektor

manufaktur, seiring membaiknya daya beli masyarakat dan

masih tingginya permintaan dunia. Neraca transaksi

berjalan diperkirakan surplus USD1,2 miliar yang

Grafik 1.2Perkembangan PDB Indonesia

Persen

2,00

4,00

6,00

8,00

-

4,12

5,22

4,39

5,87

6,30

4,96

T-I T-II T-III T-IV T-I T-II T-III T-IV T-I T-II T-III T-IV T-I T-II T-III T-IV T-I T-II T-III T-IV T-I T-II

2002 2003 2004 2005 2006 2007

Grafik 1.4Impor Non Migas Indonesia

Juta USD

Agriculture, Hunting and Fishing Mining and Quarrying

Manufacturing Total

0

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

2006 2007Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun

menopang surplus Neraca Pembayaran Indonesia (NPI)

sebesar USD3,7 miliar. Dengan perkembangan ini, pada

akhir Juni 2007 cadangan devisa meningkat menjadi

sebesar USD50,9 miliar.

Sementara itu, kondisi ekonomi AS yang belum stabil

dan diikuti keputusan menahan rencana kenaikan tingkat

bunga The Fed, mendorong terjadinya pengalihan investasi

Grafik 1.5Indeks Harga Saham Gabungan

0

500

1.000

1.500

2.000

2.500

2003 20072004 2005 2006Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun

Grafik 1.3Ekspor Non Migas Indonesia

Agriculture, Hunting and Fishing Mining and Quarrying

Manufacturing Total

Juta USD

0

1.000

2.000

3.000

4.000

5.000

6.000

7.000

8.000

9.000

2006 2007Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des Feb Mar Apr Mei JunJan

Grafik 1.6Tingkat Bunga Riil Indonesia dan AS

Persen

2003 20072004 2005 2006

(8.00)

(6.00)

(4.00)

(2.00)

-

2.00

4.00

6.00

Indonesia AS

Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun

Page 19: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

11

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

ke emerging market yang pertumbuhan ekonominya

cenderung membaik dan menawarkan imbal hasil lebih

tinggi. Derasnya aliran dana asing tersebut antara lain

dapat diamati dari indeks harga di pasar modal domestik,

regional dan internasional yang meningkat cukup

signifikan. Pada semester I 2007 pasar saham regional Asia

Tenggara mengalami bullish yang lebih tajam dibandingkan

semester sebelumnya.

Surplus dana pada beberapa negara di dunia

mendorong semakin berkembangnya aktivitas hedge fund

dengan volume yang semakin membesar. Sementara itu,

tingkat bunga Jepang yang sangat rendah mendorong aksi

carry trade oleh para pelaku pasar global. Mereka

memanfaatkan sumber dana murah di Jepang untuk

kemudian ditanamkan ke dalam mata uang lain yang

menawarkan imbal hasil tinggi untuk mendapatkan spread

keuntungan yang memuaskan. Penanaman dana tersebut

umumnya dilakukan untuk jangka waktu pendek sehingga

mengakibatkan tetap tingginya volatilitas harga di pasar

keuangan global maupun regional termasuk Indonesia.

Terjadinya peningkatan capital inflows tersebut

memberikan dampak positif terhadap nilai tukar mata

uang emerging market termasuk Indonesia. Sebaliknya,

mata uang Jepang cenderung melemah akibat aksi carry

trade. Pada Mei 2007, nilai tukar rupiah terhadap dollar

AS bahkan sempat menguat signifikan ke posisi Rp8.670.-

Namun demikian, dalam beberapa waktu terakhir

khususnya sejak akhir Juli 2007, nilai tukar beberapa mata

uang regional Asia termasuk Indonesia sedikit berfluktuasi

dengan kecenderungan melemah meskipun masih dalam

dalam batas yang terkendali. Pelemahan nilai tukar rupiah

tersebut dipengaruhi oleh perkembangan yang kurang

menguntungkan dalam pasar keuangan global dan

regional yang berimbas kepada penurunan pasar keuangan

domestik. Kejatuhan pasar surat utang subprime mortgage

di AS yang berasal dari kemacetan subprime loans menjadi

sentimen negatif yang memicu investor asing untuk

mengurangi portofolio instrumen keuangan berisiko tinggi

di emerging market termasuk Indonesia dan berpindah

ke aset-aset berdenominasi dollar AS (lihat Boks 1.1.).

Perilaku tersebut mendorong terjadinya capital outflows

yang berkontribusi kepada pelemahan nilai tukar rupiah

terhadap dollar AS. Selain itu, faktor kenaikan harga

minyak dunia juga ikut mendorong pelemahan nilai tukar

rupiah.

Meskipun demikian, fundamental ekonomi Indonesia

yang cukup baik antara lain tercermin dari naiknya surplus

kinerja NPI, meningkatnya jumlah cadangan devisa, eksposur

risiko nilai tukar dalam sistem perbankan yang terjaga,

pertumbuhan ekonomi yang membaik dan ketahanan fiskal

pemerintah serta terjadinya perbaikan debt rating outlook

Grafik 1.7Pergerakan Mata Uang Utama Dunia

96

98

100

102

104

106

108

110

Jan Feb Mar Apr Mei Jun

SGD THBPHP KRWEUR JPYIDR

Grafik 1.8Perkembangan Nilai Tukar Rupiah

Rp/USD

- Badai Katrina di New Orleans, Louisiana (29 Agt 2005)- Harga Minyak Dunia USD69,81 per barrel (30 Agt 2005)

Berlakunya harga BBMbaru & Bom Bali II 1 Okt 2005

FFR 5% (10 Mei 2006)BI-rate 12,50% (9 Mei 2006)

2005Jan Apr Jul Ags DesOkt Feb Mei Mar Jun

2006 2007

7.000

7.500

8.000

8.500

9.000

9.500

10.000

10.500

11.000

11.500

12.000

Page 20: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

12

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Indonesia dari stabil menjadi positif oleh lembaga

pemeringkat internasional (Fitch Rating dan Moody»s) pada

awal semester I 2007 bersama-sama dengan penurunan

premi swap dan stabilnya yield spread menunjukkan

terjaganya faktor risiko dalam negeri. Secara keseluruhan,

hal ini memberikan sentimen positif terhadap Indonesia

sehingga meskipun terdapat peningkatan tekanan volatilitas

pasar keuangan global, perekonomian dan sektor keuangan

domestik masih tetap terjaga dengan baik.

Ke depan, tekanan risiko pasar terutama yang berasal

dari volatilitas pasar saham global dan regional diperkirakan

masih cukup besar. Selain itu, potensi kembali terjadinya

lonjakan harga minyak dunia, serta potensi tekanan inflasi

akibat kenaikan harga komoditas dunia juga masih terbuka

lebar. Hal-hal ini perlu diwaspadai agar tidak menimbulkan

tekanan terhadap stabilitas sistem keuangan.

1.2. KONDISI SEKTOR RIIL

Membaiknya berbagai indikator makroekonomi

memberi keyakinan akan tercapainya sasaran inflasi ke

depan sehingga membuka ruang untuk dilakukannya

penurunan BI-Rate hingga ke level 8,25% sampai dengan

akhir semester I 2007. Penurunan BI-Rate tersebut sesuai

dengan ekspektasi pelaku pasar sehingga memberikan

sentimen positif terhadap pergerakan nilai tukar rupiah.

Di tengah-tengah pergerakan nilai tukar rupiah yang relatif

stabil dengan kecenderungan menguat, penurunan BI-Rate

mulai diikuti oleh suku bunga domestik lainnya, terutama

suku bunga deposito 1 bulan yang pada akhir Juni 2007

berada pada level 7,46% atau turun 150 bps dibandingkan

posisi akhir Desember 2006. Sementara itu, pada periode

yang sama, suku bunga kredit modal kerja, investasi dan

konsumsi turun lebih lambat, masing-masing sebesar 119

bps, 111 bps dan 67 bps sehingga menjadi sebesar

13,88%, 13,99% dan 16,91%.

Meskipun penurunan BI-Rate masih ditransmisikan

secara terbatas terhadap suku bunga kredit tetapi trend

penurunan suku bunga serta membaiknya berbagai

indikator makroekonomi mulai menumbuhkan keyakinan

konsumen (demand) dan meningkatkan optimisme

produsen (supply) terhadap perbaikan perekonomian.

Dari sisi demand, meskipun terbatas, konsumsi

swasta menunjukkan trend yang meningkat dan berada

Grafik 1.9Perkembangan Harga Minyak Dunia

USD/ barrel

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

70,00

80,00

2003 20072004 2005 2006

Future 6 bln

WTI Spot Price

Future 3 bln

Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun

Grafik 1.10Harga Beberapa Komoditas Utama Dunia

USD

0

50

100

150

200

250

300

20072004 2005 20062003

Kayu Lapis

Minyak Sawit

Beras

Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun

Grafik 1.11Perkembangan Suku Bunga dan Inflasi

2003 20072004 2005 2006

Deposito 1 Bulan

Suku Bunga Kredit Modal Kerja

Suku Bunga Kredit Investasi

Suku Bunga Kredit Konsumsi Inflasi

0

5

10

15

20

25Persen

BI-Rate

SBI 1 bln

Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun

Page 21: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

13

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

pada fase ekspansi. Selain sebagai akibat dari penurunan

suku bunga, peningkatan konsumsi swasta juga didukung

oleh peningkatan daya beli masyarakat. Kondisi ini antara

lain ditunjukkan oleh meningkatnya pertumbuhan kredit

konsumsi setelah mengalami tekanan berat akibat

kenaikan harga BBM pada Oktober 2005. Selain itu,

beberapa indikator ekonomi juga mengindikasikan adanya

peningkatan konsumsi swasta seiring mulai meningkatnya

ekspektasi terhadap penghasilan, ekonomi dan

ketersediaan lapangan kerja.

Sementara dari sisi supply, sejalan dengan kondisi

makroekonomi yang cukup mendukung, kinerja keuangan

perusahaan non financial go public tahun 2006 terlihat

relatif membaik dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini

antara lain ditandai oleh kenaikan rentabilitas usaha (ROE)

dengan leverage yang terjaga.

Membaiknya kinerja korporasi menimbulkan

dampak positif terhadap sektor keuangan karena dapat

mendorong meningkatnya kemampuan pembayaran

kembali kredit. Sejalan dengan hal tersebut, persentase

dan nominal Non Performing Loans (NPL) kredit modal

kerja dan kredit investasi cenderung menurun pada

semester I 2007.

Grafik 1.13Ekspektasi Konsumen

0

20

40

60

80

100

120

140

160

180

2003 20072004 2005 2006

PenghasilanEkonomiKetersediaan Lapangan Kerja

Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Mei

Grafik 1.12Perkembangan Kredit Konsumsi

Persen

KK growth (kiri)

NPL (kanan)

7

12

17

22

27

32

37

42

47

52

0,00

1,00

2,00

3,00

4,00

5,00

6,00

7,00

8,00

9,00

20072004 2005 2006

Persen

Jun Des Jun Des Jun Des Mei

Current Ratio 1,27 1,21

ROA (Return on Assets) 0,06 0,06

ROE (Return on Equity) 0,15 0,17

ITO (Inventory Turn Over) 0,18 0,16

Sales to Total Asset 0,87 0,78

DER (Debt Equity Ratio) 1,53 1,52

Grafik 1.14Kinerja Keuangan Perusahaan Swasta

Non Financial Go Public

Current Ratio

ROA

ROE

I T O

Sales toTotal Asset

DER

2005

2006

-

5,0

10,0

15,0

20,0

Keterangan:Semakin mendekati titik tengah risiko semakin kecil

2005

PersenPersenPersenPersenPersen

2006

Grafik 1.15NPL Kredit Modal Kerja dan Investasi

Persen

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

2003 2004 2005 2006 2007

Kredit Investasi

Kredit Modal Kerja

Jun Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun

Page 22: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

14

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Namun demikian, peningkatan kinerja sektor korporasi

tersebut belum diiringi oleh peningkatan ekspansi usaha

yang memadai. Secara umum, korporasi masih menghadapi

berbagai hambatan dalam pengembangan usahanya, antara

lain permasalahan ketenagakerjaan dan keterbatasan

infrastruktur. Sementara itu, belum terselesaikannya masalah

beban usaha yang masih tinggi mendorong korporasi untuk

cenderung menggunakan sumber dana internal

dibandingkan dengan sumber dana eksternal berupa kredit

perbankan untuk membiayai pengembangan usaha. Hal ini

juga menjelaskan mengapa penyaluran kredit oleh

perbankan masih belum sesuai harapan.

Grafik 1.16Pembiayaan dan Ekspansi Korporasi

-0,5

0,0

0,5

1,0

1,5

2,0

0,0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Pertumbuhan Sales (kiri)Pertumbuhan Aset Korporasi Tbk (kiri)

Pembiayaan dengan Modal Sendiri (kanan)

Grafik 1.18Estimasi Output Gap

1996

Periode output gapmenyempit menuju titik nol

Akselerasioutput gap

menuju titk nolmelambat

Output GapAccelerated Output Gap

0,1

0,05

0

-0,05

-0,1

-0,10

-0,5

-0,0

-0,01

1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV T- I I T- IV

Kecenderungan pembiayaan korporasi dengan

sumber dana internal juga dapat diamati dari relatif

tingginya rasio modal sendiri terhadap total aset pada

perusahaan yang go public. Pada satu sisi, kecenderungan

tersebut menggambarkan semakin membaiknya kondisi

keuangan korporasi karena sudah tidak lagi tergantung

pada pembiayaan dari hutang. Namun pada sisi lain,

kecenderungan tersebut berpotensi menghambat

korporasi untuk dapat melakukan ekspansi secara penuh

mengingat terbatasnya sumber dana internal. Apabila

kondisi ini terus berlanjut maka ketersediaan lapangan

pekerjaan baru akan menjadi semakin terbatas dan

menyulitkan upaya penurunan tingkat pengangguran yang

saat ini masih tergolong sangat tinggi.

Di samping itu, meskipun terdapat trend penurunan

suku bunga, alokasi kredit yang disediakan bank belum

dimanfaatkan oleh para pelaku usaha secara maksimal.

Terdapat indikasi bahwa pelaku usaha masih menunggu

implementasi paket perbaikan iklim investasi pasca

pengesahan Rancangan Undang-Undang Penanaman

Modal (RUU-PM) dan implementasi proyek percepatan

pembangunan infrastruktur. Akibatnya, meskipun kondisi

perekonomian Indonesia membaik, namun sebenarnya

bertumbuh di bawah tingkat potensialnya.

Sementara itu, aliran dana dari luar negeri (capital

inflows) yang banyak masuk ke Indonesia pada semester I

2007 belum memberikan dampak positif yang signifikan

terhadap pembiayaan sektor riil, khususnya sektor

korporasi. Ditengah-tengah derasnya aliran dana masuk

Grafik 1.17Tingkat Pengangguran

Persen

0

2

4

6

8

10

12

Feb Ags Feb2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Sumber : BPS

Page 23: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

15

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

ke Indonesia, rasio hutang terhadap modal (debt-to-equity

ratio) perusahaan-perusahaan non financial go public

malah cenderung menurun. Hal ini menunjukkan bahwa

aliran dana yang masuk belum terserap ke sektor korporasi,

khususnya yang telah go public. Aliran dana tersebut lebih

bersifat jangka pendek dan hanya berputar di sekitar

instrumen keuangan seperti saham dan Surat Utang

Negara (SUN).

Ke depan, agar perekonomian dapat bergerak lebih

dinamis diperlukan dukungan dari berbagai pihak untuk

mengatasi kendala-kendala yang ada di sektor riil. Dengan

demikian, membaiknya indikator makroekonomi akan

benar-benar diikuti oleh membaiknya perkembangan di

sektor riil sehingga akan meningkatkan ketahanan

perekonomian dan sektor keuangan domestik terhadap

vulnerabilitas sektor eksternal.

Grafik 1.19Perkembangan DER dan Debt/TA

Persen

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

-

1

2

3

4

5

6

7

8

9

2003 2004 2005 2006

TL/TA (kiri)

DER (kanan)

Grafik 1.20Neto Transaksi Asing: Saham dan SUN

8200

8400

8600

8800

9000

9200

9400

9600

9800

10000

-4,00

-2,00

0,00

2,00

4,00

6,00

8,00

10,00

2005 2006Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des

Triliun Rp Rp/U$$

Net Saham Net SUN Nilai Tukar

Page 24: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

16

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Potensi Dampak Krisis Subprime Mortgage AS terhadapPasar Keuangan Domestik

Boks 1.1

Sub-prime mortgage loans (SPM) merupakan jenis

kredit yang diberikan lembaga keuangan dalam rangka

pembiayaan perumahan yang tidak memenuhi

persyaratan pengajuan standar yang berlaku umum,

atau berisiko tinggi. Skim yang digunakan dapat berupa

Fixed Rate Mortgage (FRM) atau Adjustable Rate

Mortgage (ARM). Namun, sebagian besar SPM

merupakan ARM, yaitu mortgage loans yang suku

bunganya dapat disesuaikan setelah periode tertentu

sesuai dengan perubahan tingkat risiko di pasar.

SPM tumbuh pesat (booming) di AS sejak 2003.

Sejalan dengan pesatnya perkembangan sektor

perumahan di AS waktu itu, permintaan terhadap SPM

meningkat tajam. Lembaga keuangan memanfaatkan

peluang bisnis ini dan kemudian mengembangkan

sekuritisasi terhadap SPM. Maraknya sekuritisasi telah

mendukung perkembangan pasar sekunder SPM, baik

di negara-negara maju maupun di emerging countries

seperti Amerika Latin, Eropa Timur, dan Asia (tidak

termasuk Indonesia). Selain itu, berbagai instrumen

derivatif berbasis SPM juga semakin diminati investor.

Pesatnya perkembangan pasar sekunder SPM

mendorong kenaikan permintaan SPM oleh para

debitur yang umumnya merupakan investor properti

yang membeli rumah untuk dijual kembali dengan

harapan memperoleh keuntungan dari meningkatnya

harga rumah. Terus berlanjutnya kenaikan harga

properti di AS saat itu mampu mengubah persepsi dari

kreditur tentang risiko kredit dari SPM. Kreditur

cenderung meyakini bahwa risiko kredit dari SPM relatif

rendah karena tingginya ekspektasi tentang

peningkatan nilai rumah untuk mengcover pinjaman.

Namun, mulai pertengahan 2006, pasar properti

AS mulai jenuh yang diikuti dengan turunnya harga

properti. Keadaan menjadi semakin kurang

menguntungkan karena tekanan perlambatan ekonomi

AS berdampak pada menurunnya kemampuan

membayar debitur SPM sehingga menimbulkan kredit

macet. Negara-negara lain yang juga menjalankan

bisnis SPM, mengalami pengalaman yang sama

dengan AS.

Pada sisi lain, lesunya pasar properti telah

mengubah ekspektasi dan persepsi terhadap risiko dari

kreditur SPM. Untuk mengantisipasi risiko yang lebih

besar, mereka melakukan penyesuaian suku bunga

SPM dan menetapkan marjin yang jauh lebih tinggi.

Hal ini justru semakin mempersulit debitur SPM untuk

melunasi hutangnya sehingga mendorong

peningkatan delinquency rate ARM dari 14,5%

(Desember 2006) menjadi 16% (Maret 2007),

meskipun delinquency rate FRM relatif tetap 10%.

Grafik Boks 1.1.1Indeks Harga Rumah di Beberapa Negara

-40,0

-30,0

-20,0

-10,0

0,0

10,0

20,0

30,0

40,0

US UK Australia S Korea HK Thailand

T-IV T-I I I T- I I T- I T- IV T-I I I T- I I T- I T- IV T-I I I T- I I T- I T- IV T-I I I T- I I T- I T- IV T-I I I T- I I T- I

92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07

%

Grafik Boks 1.1.2Delinquency Rate SPM

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18Total Sub-Prime FRM ARM

2002 2003 2004 2005 2006 2007

Persen

T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I

Page 25: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

17

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Memburuknya kinerja SPM juga tercermin pada

meningkatnya foreclosure rate baik untuk SPM yang

menunggak s.d. 90 hari (Starting Delinquency),

maupun untuk SPM yang menunggak lebih dari 90

hari (Serious Delinquency). Foreclosure rate untuk

Starting Delinquency dan Serious Delinquency masing-

masing meningkat dari 2,0% dan 7,8% (Desember

2006) menjadi 2,4% dan 8,3% (Maret 2007).

Grafik Boks 1.1.3Foreclosure Rate SPM

Penurunan kualitas kredit SPM ternyata

berdampak luas dengan kerugian terbesar terutama

dialami oleh para investor di pasar sekunder yang

melakukan penanaman pada sekuritas berbasis SPM

maupun derivatif-nya. Peningkatan delinquency rate

dan foreclosure rate SPM menjadi sentimen negatif

yang mendorong investor untuk melakukan

redemption secara besar-besaran dan bersamaan.

Akibatnya, sejumlah hedge funds melakukan

likuidasi sehingga memicu peningkatan kebutuhan

likuiditas di pasar global.

Di emerging markets, dengan relatif

rendahnya eksposur penanaman lembaga

keuangan pada instrumen berbasis SPM,

diperkirakan dampak kerugian relatif lebih kecil dan

tidak signifikan. Relatif tingginya permodalan

lembaga keuangan di sebagian emerging markets,

juga dapat mengurangi kekhawatiran. Namun,

Serious Delinquency

0

2

4

6

8

10

12

14

Persen

2002 2003 2004 2005 2006 2007

Total Sub Prime Starting Delinquency

T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I T - III T - I

meningkatnya kebutuhan likuiditas di pasar global

karena tekanan krisis SPM telah mempengaruhi

kinerja pasar keuangan emerging markets yang

sebagian besar didukung oleh aliran dana masuk dari

luar (inflows).

Di pasar keuangan Indonesia, tekanan likuiditas

pasar global telah menimbulkan aliran dana ke luar

(outflows), tercermin pada turunnya jumlah

penanaman investor asing terutama pada SUN dan

SBI. Telah tingginya keuntungan yang diperoleh dari

penanaman pada SUN dan SBI serta mengecilnya

potensi keuntungan dari penanaman pada SUN

mendorong investor asing untuk merealisasikan profit

dan mengalihkan penanaman pada pasar global

terutama dalam bentuk aset-aset yang berdenominasi

dollar AS. Hal ini kemudian mendorong pelemahan

nilai tukar rupiah terhadap dollar AS dalam beberapa

waktu terakhir.

Sementara itu, data yang ada menunjukkan

bahwa perbankan Indonesia tidak ada yang

melakukan penanaman langsung pada SPM sehingga

terhindar dari dampak langsung krisis SPM. Hal ini

terutama karena ketentuan perbankan mewajibkan

bank menggolongkan penanaman pada surat

berharga berperingkat rendah (non-investment grade)

sebagai non-performing. Namun, potensi kerugian

dapat muncul dari aksi jual SUN oleh investor asing

yang mengakibatkan jatuhnya harga SUN. Akan tetapi,

karena penurunan harga SUN yang ditimbulkan oleh

krisis SPM ini masih tergolong kecil (sekitar 2% selama

Juli √ Agustus 2007), potensi kerugian terhadap bank

yang memiliki portfolio SUN juga kecil. Selain itu,

berdasarkan hasil stress test, penurunan harga SUN

baru akan berdampak terhadap permodalan (CAR)

bank apabila terdapat penurunan harga sebesar 20%

atau lebih. Dengan demikian, secara keseluruhan krisis

SPM diperkirakan tidak akan mengganggu stabilitas

sistem keuangan.

Page 26: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

18

Bab 1 Kondisi Makroekonomi dan Sektor Riil

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 27: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

19

Bab 2 Sektor Keuangan

Bab 2Sektor Keuangan

Page 28: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

20

Bab 2 Sektor Keuangan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 29: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

21

Bab 2 Sektor Keuangan

Sektor KeuanganBab 2

2.1. STRUKTUR SEKTOR KEUANGAN

Sektor keuangan Indonesia terdiri dari perbankan

umum dan bank perkreditan rakyat, serta industri

keuangan non-bank, yaitu asuransi, dana pensiun,

perusahaan pembiayaan, sekuritas dan pegadaian. Dengan

pangsa mencapai sekitar 80% dari total aset seluruh sistem

keuangan, perbankan tetap mendominasi sektor

keuangan. Hal ini mencerminkan tingginya

ketergantungan kepada perbankan sebagai sumber

pembiayaan perekonomian dan pembangunan.

Sementara itu, bank-bank besar masih terus mendominasi

industri perbankan, dengan pangsa sekitar 69% dari total

aset perbankan. Oleh karena itu, stabilitas sistem keuangan

Indonesia sangat dipengaruhi oleh perilaku risiko (risk

behavior) dari bank-bank besar.

Pangsa total aset perusahaan sekuritas dalam sistem

keuangan menunjukkan peningkatan yang cukup

signifikan, yaitu dari 1,0% pada 2005 menjadi 3,7% pada

2006. Kenaikan pangsa total aset perusahaan sekuritas

ini diimbangi oleh penurunan pangsa total aset perbankan

dan perusahaan pembiayaan. Pada satu sisi, kenaikan ini

menunjukkan hal yang positif karena dapat mengurangi

ketergantungan kepada industri perbankan. Namun,

pada sisi lain diperlukan peningkatan kemampuan

pengendalian risiko yang lebih baik dalam internal

perusahaan sekuritas, disamping pengawasan eksternal

yang lebih memadai oleh otoritas pengawasan yang

berwenang agar perkembangan positif tersebut

bermanfaat bagi perekonomian dan tidak

membahayakan stabilitas sistem keuangan.

Selama semester I 2007 stabilitas sistem keuangan masih terjaga. Industri

perbankan yang mendominasi sektor keuangan terus menunjukkan

kinerja yang menggembirakan, meskipun laju pertumbuhan kredit masih

perlu ditingkatkan. Perbankan sangat likuid dengan kualitas aset yang

cenderung membaik. Risiko pasar cukup terkendali sejalan dengan

tingginya profitabilitas dan permodalan yang sangat memadai. Sementara

itu, lembaga keuangan bukan bank dan pasar modal semakin maju dan

berkembang meskipun belum sepenuhnya terbebas dari berbagai jenis

risiko dan tantangan dari gejolak faktor eksternal yang berpotensi

menekan stabilitas sistem keuangan.

Page 30: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

22

Bab 2 Sektor Keuangan

Ketergantungan yang tinggi pada sektor perbankan

merupakan salah satu indikasi bahwa sektor keuangan

Indonesia sedang mengalami permasalahan dalam

financial deepening (lihat Boks 2.1). Oleh karena itu,

peningkatan financial deepening merupakan agenda

pokok yang harus segera dilaksanakan untuk

meningkatkan peranan sektor keuangan dalam

mendukung pembangunan perekonomian Indonesia.

2.2. PERBANKAN

2.2.1. Pendanaan dan Risiko Likuiditas

Dana Pihak Ketiga (DPK) tetap sebagai sumber dana

terbesar perbankan dengan tingkat pertumbuhan

cenderung melambat seiring dengan trend penurunan

suku bunga. Dominasi DPK sebagai sumber dana

perbankan mencapai sekitar 90% dan sebagian besar

berjangka waktu pendek. Meskipun pengalaman

sebelumnya menunjukkan bahwa perbankan dapat

mengelola likuiditas dengan baik, ke depan perbankan

perlu terus menjaga agar kesenjangan masa jatuh tempo

sumber dana ini tidak berkembang menjadi permasalahan

yang mengganggu kondisi likuiditas bank.

Kecukupan Likuiditas

Kondisi likuiditas perbankan selama semester I 2007

relatif terkendali. Hal ini terlihat antara lain dari rasio antara

jumlah alat likuid2 Ω terhadap jumlah non core deposit

(NCD)3 yang masih melampaui angka 100%, meskipun

cenderung menurun hingga mencapai 138,9% pada akhir

Juni 2007. Penurunan tersebut terjadi karena peningkatan

jumlah kewajiban jangka pendek (6,6%) yang lebih besar

dibandingkan dengan peningkatan jumlah alat likuid

(1,2%). Sementara itu, kondisi Pasar Uang Antar Bank

(PUAB) juga relatif stabil. Hal-hal ini mengindikasikan

bahwa perbankan memiliki ketahanan likuiditas yang

cukup memadai dengan risiko likuiditas yang relatif rendah.

Grafik 2.1Aset Lembaga Keuangan

% dari Total Aset Sektor Keuangan

Sumber: BI dan sumber lainnya

0

20

40

60

80

100

2005 2006

80,6 80,1

1,0 3,7

PegadaianPersahaan SekuritasPerusahaanPembiayaanDana PensiunPerusahaan AsuransiBPRBank Umum

Grafik 2.2Struktur Pendanaan dan Penempatan Bank

Persen

0

20

40

60

80

100

Penempatan Dana Sumber Dana

SuratBerharga

Antar Bank

Pinjaman

Dana PihakKetiga

904,0

224,1

342,0

165,086,0

1353,75

13,98118,67

16,81PenyertaanAntar Bank

SuratBerharga &Tagh Lain

SBI/Fasbi

Kredit

Grafik 2.3Rasio Alat Likuid Perbankan

Alat Likuid NCD Alat Likuid/NCD

Rp Triliun

0

80

160

240

320

400

60

120

180

Des Feb MeiMar Apr JunJanDes2005 20072006

Persen

2 Alat likuid terdiri dari kas dan penempatan pada BI (Giro BI, SBI dan Fasbi).3 Asumsi non core deposit (NCD) adalah 30% giro dan tabungan + 10% deposito jangka

waktu s.d. 3 bulan.

Pasar Uang Antar Bank (PUAB)

Kondisi PUAB rupiah selama semester I 2007 cukup

terkendali meskipun tingkat suku bunga rata-rata untuk

Page 31: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

23

Bab 2 Sektor Keuangan

perbankan. Dibandingkan dengan posisi akhir semester

sebelumnya, terdapat kenaikan sebesar Rp66,8 triliun atau

5,2%. Sementara itu, DPK valas bertumbuh lebih besar

dibandingkan dengan DPK rupiah, sehingga pangsa DPK

valas terhadap total DPK perbankan meningkat dari 15,0%

menjadi 16,5%.

Grafik 2.4Suku Bunga Rata-rata PUAB O/N

Persen

PUAB sore

PUAB Va DN

PUAB pagi

PUAB Va LN

3

6

9

12

2007Jan Mar MeiFeb Apr Jun

Grafik 2.5Perkembangan DPK

GiroTabungan

Deposito (kanan)

Rp Triliun

320

340

360

380

Des Feb Apr JunMeiMarJan2006 2007

610

615

620

625

630

Grafik 2.6Perkembangan DPK Berdasarkan Valuta

Rp Triliun

1.050

1.075

1.100

1.125

1.150

DPK Rupiah (kiri)

DPK Valas

180

190

200

210

220

230

2006Des Feb Apr JunJan Mar Mei

2007

Grafik 2.7Perkembangan DPK Valas

dalam USD(skala kiri)

dalam Rupiah (skala kanan)

USD Miliar Rp Triliun

20

21

22

23

24

25

180

200

220

240

2006Des Feb Apr JunJan Mar Mei

2007

Grafik 2.8Pertumbuhan Deposito

(m-t-m)

-10

-5

0

5

10

RP Va

2006Jul-Jun Nov-Okt Mar-Feb Jul-Jun

2007

transaksi overnight (O/N) cenderung berfluktuasi pada

kisaran 4% s.d. 10%. PUAB juga sempat beberapa kali

ketat terutama pada saat menghadapi kebutuhan likuiditas

yang cukup besar, seperti pembayaran pajak tahunan pada

akhir bulan Maret dan penarikan uang kartal oleh

masyarakat. Akibatnya, suku bunga O/N pernah mencapai

angka tertinggi sebesar 29% pada 22 Maret 2007. Namun,

dengan pengelolaan likuiditas yang cukup baik oleh

perbankan, antara lain melalui pemanfaatan fasilitas SBI

Repo dan Fine Tune Expansion (FTE), kondisi PUAB tetap

terkendali.

Struktur Dana Pihak Ketiga

Meskipun dengan tingkat pertumbuhan yang

cenderung melambat, DPK perbankan selama semester I

2007 terus meningkat sehingga pada akhir Juni 2007

mencapai Rp1.353,7 triliun atau 76,4% dari total aset

Page 32: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

24

Bab 2 Sektor Keuangan

Selama semester I 2007, DPK dalam denominasi valas

meningkat sebesar USD3,16 miliar. Peningkatan tersebut

terjadi hampir merata pada semua kelompok bank untuk

semua jenis DPK (giro, deposito dan tabungan). Secara

nominal, peningkatan terbesar terdapat pada giro dan

diikuti oleh deposito, sementara pertumbuhan tertinggi

terdapat pada tabungan. Penyebab peningkatan DPK valas

tersebut antara lain karena sebagian anggota masyarakat

menilai bahwa penempatan dana dalam bentuk valas

terutama deposito lebih menguntungkan. Selain itu,

khusus mengenai tabungan valas, peningkatannya juga

dipicu oleh pemberlakuan PBI No.9/4/2007 tanggal 26

Maret 2007 yang mencabut pelarangan penerimaan

tabungan valas.

Meskipun DPK perbankan menunjukkan

perkembangan yang positif, namun masih terdapat hal-

hal yang berpotensi meningkatkan risiko likuiditas,

khususnya yang berkaitan dengan struktur DPK yang

kurang berimbang, yakni masih terkonsentrasi pada dana

jangka pendek, deposan besar dan dimiliki oleh

perorangan. Sampai dengan akhir semester I 2007, DPK

berjangka pendek (giro, tabungan, dan deposito sampai

dengan 3 bulan) mencapai 93,2% dari total DPK,

sedangkan deposan besar dengan nominal rekening di atas

Rp100 juta mencakup 78% dari total DPK meskipun hanya

dimiliki oleh 2,5% dari total rekening nasabah. Sementara

itu, berdasarkan kepemilikan, DPK masih didominasi oleh

perorangan yang mencapai 54,8% dari total DPK. Struktur

DPK yang demikian ini sangat rentan terhadap penarikan

dana secara tiba-tiba, terutama apabila dilakukan oleh

nasabah besar. Untuk memitigasi risiko likuiditas ini,

perbankan melakukan penanaman dana pada aset-aset

yang likuid dan berisiko rendah. Akibatnya, selama

semester I 2007, kepemilikan SBI oleh perbankan

meningkat sebesar 12,9%.

Dampak Penurunan Skim Penjaminan Terbatas

Diberlakukannya skim penjaminan terbatas

maksimum Rp100 juta per nasabah per bank sejak 22

Maret 2007 tidak berpengaruh signifikan terhadap DPK

perbankan. Minat masyarakat untuk menginvestasikan

dananya di perbankan masih tetap tinggi yang terlihat dari

peningkatan DPK pada semua kelompok bank. Hal ini

sekaligus mengindikasikan bahwa penurunan penjaminan

tidak mengakibatkan terjadinya migrasi dana dari bank

yang dianggap kurang aman ke bank yang dianggap lebih

aman (flight to safety).

Perorangan(54,8%)

s.d 3 bln(93,2%)

> 100 jt(78,0%)

Lainnya(42,5%)

> 3 bln(6,8%)

< 100 jt(22,0%)

kepemilikan

jangka waktu

nominal

Grafik 2.9Struktur DPK

Grafik 2.10Perkembangan DPK terkait Penjaminan

Rp Triliun

0

100

200

300

400

500

600

22 Maret '07 468.8 124.9 99.5 39.4 20.3 84.311 449.840

26 Juni '07 479.7 138.2 103.8 46.9 20.9 86.518 457.632

Persero BPD Asing Campuran SwastaKecil

SwastaMenengah

SwastaBesar

Sementara itu, hipotesis yang mengatakan bahwa

penurunan skim penjaminan akan mendorong terjadinya

pemecahan rekening nasabah ke dalam nominal yang lebih

kecil, juga tidak terbukti. Sejak pemberlakuan skim

penjaminan terbatas tersebut, jumlah rekening nasabah

di perbankan justru cenderung menurun. Selain itu,

Page 33: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

25

Bab 2 Sektor Keuangan

periode yang sama pada tahun sebelumnya yang hanya

mencapai 3,7%. Secara y-o-y pertumbuhan kredit per Juni

2007 tercatat sebesar 19,4%, atau lebih baik dari tahun

sebelumnya sebesar 14%. Namun demikian, pencapaian

target kredit sampai dengan semester I 2007 masih di bawah

rencana bisnis bank, meskipun dengan deviasi yang relatif

kecil, yaitu Rp0,3 triliun. Dengan tingkat pertumbuhan DPK

yang lebih lambat dibandingkan tingkat pertumbuhan

kredit, LDR perbankan meningkat dari 64,7% per Desember

2006 menjadi 66,8% per Juni 2007. Sementara itu,

kelebihan dana yang dimiliki perbankan umumnya

ditanamkan dalam SBI/Fasbi dan surat-surat berharga.

Namun demikian, preferensi penempatan bank

dalam SBI/Fasbi cenderung menurun, terlihat dari

penurunan pangsanya terhadap total aktiva produktif dari

14,0% menjadi 13,7%, meskipun secara nominal

jumlahnya naik sebesar Rp6,5 triliun. Sementara itu,

kepemilikan surat berharga korporasi oleh perbankan

cenderung meningkat walaupun masih relatif rendah,

sedangkan untuk surat berharga pemerintah cenderung

menurun. Hal ini menyebabkan menurunnya porsi

penempatan bank pada surat-surat berharga dari 22,0%

menjadi 20,8%.

Penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi pada

Triwulan II 2007 turut mempengaruhi perkembangan

kredit perbankan dimana penyaluran kredit dalam valuta

asing menurun, sedangkan kredit Rupiah meningkat.

Namun demikian, pada Juni 2007 kredit dalam valuta asing

tumbuh cukup tinggi (9,1%) sejalan dengan pelemahan

kembali nilai tukar rupiah.

Trend penurunan suku bunga kredit belum langsung

direspon dengan kenaikan setiap jenis kredit perbankan.

Dalam 13 bulan terakhir penurunan suku bunga Kredit

Investasi (KI) dan Kredit Konsumsi (KK) masing-masing

mencapai 174 bps dan 43 bps, dan hal ini direspon

perbankan dengan peningkatan penyaluran KI dan KK.

berdasarkan sebaran rekening nasabah, persentase

rekening dengan nominal kurang dari Rp100 juta juga

tidak mengalami kenaikan. Secara keseluruhan, hal-hal ini

menunjukkan bahwa penurunan skim penjaminan tidak

menimbulkan dampak negatif yang signifikan terhadap

perbankan, sekaligus mengindikasikan bahwa kepercayaan

masyarakat terhadap sistem perbankan Indonesia sudah

semakin meningkat. Meningkatnya kepercayaan tersebut

sangat diperlukan dalam menjaga stabilitas sistem

keuangan.

2.2.2. Perkembangan dan Risiko Kredit

Perkembangan Kredit

Selama semester I 2007 jumlah kredit perbankan

terus meningkat, namun dengan tingkat pertumbuhan

yang relatif masih rendah, yaitu sebesar 8,5% atau naik

Rp71,1 triliun dibandingkan posisi akhir 2006. Tingkat

pertumbuhan tersebut lebih baik dibandingkan dengan

Grafik 2.11Pertumbuhan Kredit

Persen

y-o-y

y-t-d

-5

0

5

10

15

20

25

2006 2007

Jan Jun Jan JunFeb Mar Apr Mei Jul Ags Sep Okt Nov Des Feb Mar Apr Mei Jul

Grafik 2.12Pangsa Aktiva Produktif

Penyertaan

Antar Bank

SSB+Tagihan Lain

SBI & Fasbi

Kredit

Persen

0

25

50

75

100

Des Jun

2006 2007

53,5

14,0

22,0

10,10,4 0,4

55,1

13,7

20,8

10,1

Page 34: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

26

Bab 2 Sektor Keuangan

Namun demikian, khusus untuk KMK, meskipun

penurunan suku bunganya tercatat paling tinggi yaitu 229

bps, hal tersebut tidak mengakibatkan kenaikan

penyaluran kredit. Sampai dengan Mei 2007 pertumbuhan

KMK masih memiliki trend yang melambat, walaupun pada

Juni 2007 meningkat secara signifikan.

Jenis Kredit Konsumsi masih mendominasi

pertumbuhan kredit. Meskipun kenaikan kredit terbesar

terdapat pada KMK yaitu sebesar Rp31,3 triliun (tumbuh

7,5%), namun tingkat pertumbuhan tertinggi terdapat

pada Kredit Konsumsi yakni sebesar 10,2% (naik Rp23,1

triliun) secara y-t-d. Berdasarkan sektor ekonomi, Sektor

Lain-lain yang mencakup kredit untuk tujuan konsumsi

mengalami kenaikan paling besar, yaitu sebesar Rp23,1

triliun. Namun demikian, tingkat pertumbuhan tertinggi

terdapat pada kredit untuk Sektor Pertambangan, yaitu

sebesar 44,9%.

Prospek perkreditan ke depan tetap positif. Kredit

masih akan tetap tumbuh, tercermin dari jumlah

undisbursed loans yang terus naik, terutama KMK.

Sementara itu, untuk KI sejak Triwulan II 2007 mulai

terlihat adanya peningkatan jumlah persetujuan kredit.

Namun demikian, kenaikan jumlah undisbursed loans

relatif terkendali, tercermin dari stabilnya rasio

undisbursed loans terhadap total kredit pada kisaran

20%.

Risiko Kredit

Dibandingkan posisi akhir semester II 2006, jumlah

kredit bermasalah menurun sebesar Rp0,6 triliun atau

1,0% sehingga menjadi sebesar Rp57,5 triliun pada akhir

semester I 2007. Sementara itu, jumlah kredit yang

disalurkan perbankan mengalami peningkatan yang cukup

besar dibandingkan semester sebelumnya. Akibatnya, rasio

Grafik 2.13Pertumbuhan Jenis Penggunaan Kredit

Persen

-6

-4

-2

0

2

4

6

8

KMK KI KK

2006 2007

Jan Jun Jan JunFeb Mar Apr Mei Jul Ags Sep Okt Nov Des Feb Mar Apr Mei Jul

Grafik 2.14Pertumbuhan Jenis Penggunaan Kredit

KMK KI KK

46%

21%

33%

Grafik 2.16Non Performing Loan (NPL)

Persen Triliun

NPL Gross

NPL Nominal

NPL Net

-1

234

567

89

10

1112

2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jun25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

Grafik 2.15Kredit per Sektor Ekonomi

21%

30%22%

3%

4%5%

11%1% 2% 1%

Perdagangan

Lain-lain

Industri Pengolahan

Pengangkutan

Konstruksi

Pertanian

Jasa Dunia Usaha

Jasa Sosial

Pertambangan

Listrik

Page 35: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

27

Bab 2 Sektor Keuangan

10,5% menjadi 10,0%. Namun demikian, mengingat NPL

sektor Industri Pengolahan ini mendominasi total NPL

perbankan dengan pangsa sekitar 37,2% maka kredit

bermasalah pada sektor ini perlu dimonitor secara ketat dan

segera diselesaikan agar tidak menjadi sumber instabilitas.

Pada sisi lain, membaiknya kondisi ekonomi tidak

menimbulkan dampak positif terhadap kualitas kredit sektor

Lain-lain (umumnya kredit konsumsi) dan sektor

Perdagangan. Selama semester I 2007, NPL kedua sektor

NPL menurun dari 7,0% menjadi 6,4% (gross) atau dari

3,6% menjadi 2,9% (netto).

Penurunan rasio NPL tersebut tidak dapat langsung

diartikan bahwa kualitas kredit perbankan secara

keseluruhan membaik. Hal tersebut karena perbaikan

kualitas kredit lebih banyak terjadi pada kredit channelling

yang risikonya tidak berada pada perbankan, sementara

kredit bermasalah non channelling justru meningkat

sebesar Rp1,7 triliun atau 3,6%. Meskipun perbankan

telah membentuk cadangan (PPAP) untuk menghadapi

peningkatan NPL ini, namun kewaspadaan tetap

diperlukan untuk menjaga agar gejala awal peningkatan

risiko kredit ini tidak berkembang menjadi permasalahan

berat yang dapat mengganggu stabilitas sistem keuangan.

Dari segi kelompok bank, perkembangan NPL

cenderung bervariasi. Pada kelompok bank-bank besar,

NPL gross turun dari 8,4% menjadi 7,4%, terutama karena

membaiknya kualitas kredit channelling pada bank-bank

BUMN. Sementara itu, kelompok bank asing mengalami

peningkatan NPL cukup signifikan selama periode laporan

yaitu sebesar Rp1,2 triliun atau 43,7%, tertinggi dalam

beberapa tahun terakhir. Kenaikan nominal NPL juga

dialami oleh kelompok bank menengah yaitu sebesar

Rp0,8 triliun atau 30,3%.

Sementara itu, sejalan dengan membaiknya kondisi

makroekonomi, kualitas kredit sektor Industri Pengolahan

juga membaik, tercermin dari penurunan NPL gross dari

Grafik 2.17Perkembangan Nominal NPL

KurangLancar (kiri)

Macet (kanan)

Diragukan (kiri)

Total NPL

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

16,0

18,0

20,0

22,0

24,0

30,0

35,0

40,0

45,0

50,0

55,0

60,0

65,0

70,0

75,0

2006Jun

2007JunDesMar Sep Mar

Grafik 2.18NPL Gross Per Kelompok Bank

2

3

4

5

6

7

8

9

10

11

12

13

2004 Juni 2005 Juni 2006 Juni 2007 Juni

Besar Menengah Kecil Campuran Asing

Grafik 2.19NPL Gross Per Sektor Ekonomi

0,0 2,0 4,0 6,0 8,0 10,0 12,0

Jun-07Des 06

Pertanian

Pertambangan

Industri Pengolahan

Listrik

Konstruksi

Perdagangan

Pengangkutan

Jasa Dunia Usaha

Jasa Sosial

Grafik 2.20Pangsa NPL Menurut Sektor Ekonomi

Pertanian

Industri

Perdagangan

Gabungan Lainnya

Jasa Dunia Usaha

Gabungan Lainnya = Pertambangan, Listrik, Jasa Sosial, Konstruksi, Pengangkutan

Persen

0

20

40

60

80

100

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jun

Page 36: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

28

Bab 2 Sektor Keuangan

semester I 2007, sehingga rasio NPL gross-nya meningkat

dari 2,9% menjadi 3,5%.

Dapat dicatat bahwa kecenderungan terus

memburuknya kualitas kredit konsumsi dimulai sejak 2000.

Sejak saat itu pangsa kredit bermasalah kredit konsumsi

terhadap total kredit bermasalah terus meningkat. Pada

akhir semester I 2007, pangsa tersebut mencapai 17,4%,

jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pangsa pada akhir

semester sebelumnya sebesar 13,7%. Terkonsentrasinya

pemberian kredit untuk tujuan konsumsi ini perlu

diwaspadai karena apabila pendapatan sektor rumah

tangga (household income) tidak cukup memadai untuk

membayar kewajiban kepada bank, maka hal ini dapat

mendorong terjadinya peningkatan risiko kredit.

Kualitas KMK dan KI hanya mengalami sedikit

perbaikan. Hal ini tercermin dari penurunan rasio NPL

gross dari 6,3% menjadi 5,8% (KMK), dan dari 10,3%

menjadi 9,1% (KI). Meskipun perbaikan kualitas kedua

jenis kredit ini tidak tergolong besar, namun diperkirakan

cukup mengurangi potensi instabilitas mengingat pangsa

kredit bermalahnya cukup dominan, masing-masing

sebesar 52,1% dan 30,5% dari total kredit bermasalah

perbankan.

Sementara itu, kualitas kredit korporasi cenderung

membaik, tercermin dari penurunan rasio NPL gross dari

8,1% menjadi 7,2%. Perbaikan kualitas kredit ini

diperkirakan berdampak positif terhadap stabilitas sistem

ini malah mengalami peningkatan masing-masing sebesar

Rp2,0 triliun (31,4%) dan Rp0,9 triliun (0,9%). Namun

demikian, potensi risiko kredit sektor Perdagangan dan

sektor Lain-lain cenderung lebih terkendali dibandingkan

sektor Industri Pengolahan, antara lain karena: (i) kredit

sektor Perdagangan dan sektor Lain-lain umumnya

berbentuk kredit modal kerja dan kredit konsumsi dengan

baki debet kredit relatif lebih kecil, (ii) debitur umumnya

bukan korporasi, dan (iii) hampir semua bank mempunyai

portofolio kredit kedua sektor ini sehingga risikonya lebih

terdiversifikasi.

Meskipun kondisi makroekonomi terus membaik,

kualitas kredit sektor rumah tangga yang tercermin dari

perkembangan kualitas kredit konsumsi terus mengalami

penurunan. Adanya penurunan suku bunga kredit

konsumsi sepanjang 2007 ternyata tidak membantu

peningkatan kualitas kreditnya. NPL kredit konsumsi malah

meningkat sebesar Rp21,1 triliun atau 31,7% selama

Grafik 2.21Pangsa NPL Menurut Jenis Penggunaan Kredit

Persen

0

20

40

60

80

100

1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007

Investasi

Modal Kerja

Konsumsi

Grafik 2.22 Perkembangan Nominal NPL Konsumsi

Rp Triliun

Kredit (kanan)

NPL

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

2003 2004 2005 2006 2007 Juni75

95

115

135

155

175

195

215

235

255

275

Grafik 2.23Perkembangan NPL Gross

Investasi (kiri)

Modal Kerja (kiri)

Konsumsi (kanan)

2,0

7,0

12,0

17,0

22,0

1,5

2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

2002 2003 2004 2005 2006 2007 Jun

Persen Persen

Page 37: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

29

Bab 2 Sektor Keuangan

keuangan karena pangsa kredit korporasi tergolong

besar mencapai 48,6% dari total kredit perbankan,

sedangkan pangsa kredit bermasalahnya mencapai

60,8% dari total NPL perbankan. Salah satu hal yang

mendorong perbaikan kualitas kredit korporasi adalah

pelaksanaan restrukturisasi kredit pada beberapa bank

BUMN beberapa waktu yang lalu.

Kualitas kredit untuk Usaha Mikro Kecil dan

Menengah (UMKM) mengalami penurunan, tercermin dari

peningkatan rasio NPL gross dari 4,2% menjadi 4,4%.

Secara nominal, NPL tersebut meningkat sebesar Rp2,4

triliun (14,3%), atau tertinggi selama beberapa tahun

terakhir. Namun demikian, dalam jangka pendek hal ini

diperkirakan tidak akan membahayakan stabilitas sistem

keuangan, terutama karena kredit tersebut cukup

terdiversifikasi dengan plafon yang relatif kecil dan jumlah

debitur yang cukup besar.

Perkembangan positif nilai tukar selama semester I

2007 ikut mendorong perbaikan kinerja kredit valas

sehingga mengurangi tekanan risiko kredit. Pada periode

laporan, nilai tukar Rupiah terhadap USD menguat sebesar

Rp191/USD. Sementara itu, sebagian besar debitur

korporasi yang direstrukturisasi pada bank-bank BUMN

mendapatkan fasilitas kredit valas. Akibatnya, kredit valas

bermasalah menurun cukup besar yaitu sebesar Rp1,7

triliun atau 11,0%, sehingga rasio NPL gross kredit valas

menurun dari 9,9% menjadi 7,9%. Pada sisi lain, kualitas

kredit rupiah menurun karena naiknya kredit bermasalah

sekitar Rp3,4 triliun atau 10,4% sehingga rasio NPL gross

dalam rupiah sedikit meningkat dari 5,1% menjadi 5,3%.

Grafik 2.24Nominal NPL Korporasi dan UMKM

Rp Triliun

Korporasi

UMKM

-

10

20

30

40

50

2001 2004 `2005 2006 2007 Juni

Grafik 2.25NPL Gross Kredit UMKM dan Korporasi

Korporasi (kiri)

4,0

5,0

6,0

7,0

8,0

9,0

10,0

11,0

12,0

13,0

2003 2004 2005 2006 2007 Juni2,0

2,5

3,0

3,5

4,0

4,5

5,0

5,5MKM (kanan)

Persen Persen

Grafik 2.26Perkembangan Kurs dan NPL Valas

Kurs/USD Triliun

8.000

8.500

9.000

9.500

10.000

10.500

11.000

11.500

12.000

2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Juni10

15

20

25

30

35

40

45

50

NPL ValasKurs

Grafik 2.27Perkembangan NPL Gross Valas

Persen

NPL Total

NPL Rp

0

5

10

15

20

25

30

35

40

45

2000 2002 2003 2004 2005 2006 2007 Juni

NPL Valas

Mitigasi Risiko Kredit

Untuk memitigasi risiko kredit, perbankan menjaga

kecukupan pembentukan penyisihan penghapusan kredit.

Selama semester I 2007, perbankan membentuk

Page 38: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

30

Bab 2 Sektor Keuangan

penyisihan penghapusan kredit sebesar Rp4,2 triliun atau

meningkat sebesar 10,7% dibandingkan dengan semester

sebelumnya. Dengan pembentukan penyisihan tersebut,

NPL netto perbankan mengalami penurunan dari 3,6%

menjadi 2,9%.

credit derivative akan membantu perbankan dalam

mengelola risiko kredit, memudahkan penyelesaian

masalah likuiditas, dan mendorong peningkatan financial

deepening.

2.2.3. Risiko Pasar

Kondisi makroekonomi yang membaik yang didukung

oleh laju inflasi serta trend penurunan suku bunga yang

terkendali membuat risiko pasar perbankan relatif terjaga.

Selama semester I 2007, trend penurunan suku bunga yang

telah berlangsung sejak pertengahan tahun lalu masih terus

berlanjut. Penurunan terjadi baik untuk suku bunga DPK

(deposito 1 bulan) maupun suku bunga semua jenis kredit

(KMK, KI dan KK). Meskipun penurunan suku bunga DPK

pada semester I 2007 (sebesar 150 bps) masih lebih besar

dibandingkan penurunan suku bunga kredit, namun

penurunan tersebut lebih rendah dibandingkan penurunan

suku bunga DPK semester sebelumnya (238 bps).

Sebaliknya, penurunan suku bunga kredit baik KMK, KI,

maupun KK pada semester I 2007 (masing-masing 119 bps,

111 bps, dan 67 bps) justru lebih besar dibandingkan

semester sebelumnya. Secara keseluruhan, hal-hal ini

mengindikasikan bahwa perbankan sudah lebih berani

menurunkan suku bunga kredit. Namun demikian, suku

bunga kredit konsumsi (KK) masih tergolong tinggi,

terutama pada kelompok bank asing dan campuran dengan

rata-rata suku bunga di atas 30%.

Grafik 2.28Kredit, NPL dan PPAP

Triliun

NPL (kiri)

PPAP (kiri)

Kredit (kanan)

30

40

50

60

70

80

90

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1000

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007Juni

Grafik 2.29Perkembangan Suku Bunga dan Nilai Tukar

Deposito 1 Bulan

KMK

KI

KK

Kurs (kanan)

Persen Rp

4

7

10

13

16

19

22

2002 2003 2004 2005 2006 20077500

8500

9500

10500

11500

Upaya-upaya lainnya yang dapat dilakukan

perbankan untuk memitigasi risiko kredit adalah (i)

menerapkan manajemen risiko yang tepat dalam

penyaluran kredit, (ii) meningkatkan kemampuan analisis

kredit dari loan officers, (iii) mengurangi kesenjangan

informasi (asymmetric information) dalam pemberian

kredit, antara lain dengan memanfaatkan data dan

informasi yang disediakan Biro Informasi Kredit (Credit

Buraeu), (iv) meningkatkan pemberian kredit melalui

sindikasi atau risk sharing agreement lainnya, dan (v)

mengefektifkan penerapan Peraturan Pemerintah No.33/

2006 tentang Tata Cara Penghapusan Piutang Negara,

untuk memperlancar restrukturisasi kredit pada bank-bank

BUMN. Dengan melakukan upaya-upaya ini, perbankan

diharapkan dapat mengatasi berbagai permasalahan

perkreditan yang berpotensi menekan stabilitas sistem

keuangan.

Ke depan, sejalan dengan semakin majunya bisnis

perbankan maka berbagai alternatif upaya mitigasi risiko

kredit perlu dikembangkan, antara lain dengan melakukan

sekuritisasi dan credit derivative. Kegiatan sekuritisasi dan

Page 39: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

31

Bab 2 Sektor Keuangan

Secara umum perbankan melakukan pengelolaan

risiko suku bunga dengan memelihara portofolio dengan

posisi short untuk jangka pendek dan long pada jangka

panjang. Dengan profil maturity yang short pada dana

jangka pendek tersebut, bank akan menikmati keuntungan

dengan adanya trend penurunan suku bunga. Posisi short

pada jangka pendek dan long untuk jangka panjang

terdapat baik pada portofolio rupiah maupun valas. Untuk

profil maturity rupiah, terlihat trend penurunan posisi short

pada jangka pendek dan posisi long untuk jangka panjang,

sedangkan untuk profil maturity valas, terdapat

kecenderungan peningkatan untuk posisi short jangka

pendek (s.d. 1 bulan). Hal ini mencerminkan pergeseran

komposisi portofolio bank dari rupiah ke valas yang terjadi

seiring dengan terus turunnya suku bunga.

Meskipun pada saat ini risiko suku bunga relatif

terkendali, profil maturity seperti dijelaskan di atas dapat

menimbulkan kerawanan apabila terjadi pembalikan arah

suku bunga. Potensi kerawanan itu perlu diwaspadai

mengingat di dalam negeri pasar hedging dan derivative

yang dapat mendukung pelaksanaan mitigasi risiko suku

bunga belum berkembang. Dengan demikian, apabila

terjadi pembalikan arah suku bunga sedangkan

perbankan tidak dapat merespon dengan baik, maka hal

ini dapat menimbulkan kerugian yang menekan

permodalan (CAR) perbankan. Berdasarkan hasil stress

test diketahui bahwa apabila suku bunga mengalami

peningkatan, secara rata-rata akan terjadi penurunan

CAR sebesar 28 bps untuk setiap peningkatan suku

bunga sebesar 100 bps.

Sementara itu, untuk mengatasi risiko nilai tukar,

perbankan memelihara Posisi Devisa Netto (PDN) yang

relatif rendah. Secara rata-rata, PDN perbankan selama

semester I 2007 berkisar antara 3% s.d. 5%. Dengan

memelihara PDN (overall) pada tingkat yang rendah,

kemampuan bank untuk menghadapi risiko pergerakan

nilai tukar relatif lebih baik. Dari hasil stress test tentang

dampak apresiasi/depresiasi nilai tukar rupiah terhadap

CAR diketahui bahwa secara umum bank-bank mampu

memelihara CAR di atas 8%. Oleh karena itu, adanya

gejolak nilai tukar rupiah yang sempat terjadi akhir-akhir

ini diperkirakan tidak akan sampai menimbulkan

instabilitas.

Grafik 2.32Maturity Profile Valas

Miliar USD

(10)

(5)

0

5

10

sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln

Des05

Jun06

Des06

Jun07

Grafik 2.30Suku Bunga Kredit Per Kelompok Bank

Persen

Des-05 Jun-06

Des-06 Jun-07

0

10

20

30

40

KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KK KMK KI KK

Persero BPD BUSN Asing & Campuran Seluruh

Grafik 2.31Maturity Profile Rupiah

Rp Triliun

(450)

(300)

(150)

0

150

300

450

sd 1 bln 1 - 3 bln 3 - 6 bulan 6 - 12 bln > 12 bln

Des-05

Jun-06

Des-06

Jun-07

Page 40: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

32

Bab 2 Sektor Keuangan

Dengan kemampuan bank memelihara posisi PDN

yang rendah serta didukung permodalan yang relatif tinggi

dan kondisi perekonomian yang membaik, maka risiko

pasar (nilai tukar) diperkirakan tetap terkendali. Namun

demikian, diperlukan kewaspadaan apabila terjadi

peningkatan suku bunga dan pembalikan arus dana asing

berjangka pendek (sudden reversal). Untuk itu, perbankan

perlu terus menerus meningkatkan kemampuan

manajemen risikonya serta mempersiapkan contingency

plan yang memadai.

Selama semester I 2007, jumlah Surat Utang Negara

(SUN) trading yang dimiliki perbankan mengalami

peningkatan sehingga pangsanya terhadap total aset

meningkat dari 7,4% menjadi 8,9%. Selain itu, proporsi

SUN trading terhadap total SUN juga meningkat, yaitu dari

46,3% menjadi 61,1%. Peningkatan portofolio trading

ini berpotensi meningkatkan risiko pasar. Hal ini perlu

diwaspadai mengingat pasar keuangan global dewasa ini

cenderung terus bergejolak yang dapat mengakibatkan

penurunan nilai aset-aset keuangan yang dimiliki

perbankan di dalam negeri, termasuk SUN. Penurunan nilai

tersebut kemudian dapat menimbulkan kerugian yang

menekan permodalan. Hasil stress test menunjukkan

bahwa apabila terjadi penurunan harga SUN sebesar 15%

atau lebih, terdapat 2 bank besar yang akan mengalami

penurunan CAR sehingga menjadi di bawah 10%.

Untuk mendukung peningkatan kemampuan

manajemen perbankan dalam mengelola dan memitigasi

risiko pasar, maka pengembangan pasar hedging dan

derivative sangat diperlukan. Tanpa pasar hedging dan

derivative, kemampuan untuk mengendalikan risiko pasar

oleh manajemen perbankan menjadi sangat terbatas. Pasar

hedging dan derivative yang berkembang baik akan

membantu pelaksanaan manajemen risiko pasar sekaligus

mendorong peningkatan financial deepening.

2.2.4. Profitabilitas dan Permodalan

Profitabilitas

Selama semester I 2007, profitabilitas perbankan

terus meningkat, tercermin dari kenaikan pendapatan

bunga bersih (NII) dari Rp42,5 triliun menjadi Rp46,4 triliun,

dan ROA dari 2,6% menjadi 2,8%. Sementara itu, efisiensi

operasi perbankan juga membaik, terlihat dari penurunan

rasio BOPO dari 86,5% menjadi 84,6%.

Trend penurunan suku bunga dimanfaatkan

perbankan untuk meningkatkan pendapatan. Perbankan

umumnya merespon trend tersebut dengan memperlebar

spread melalui penurunan suku bunga DPK yang lebih

besar dan lebih cepat dibandingkan dengan penurunan

suku bunga kredit. Akibatnya spread suku bunga Rupiah

meningkat dari 10,17% menjadi 10,28%, sedangkan

Grafik 2.34SUN yang Dimiliki Perbankan

Persen

0

25

50

75

100

5

9

13

17

21

Des Mar Jun Sept Des Mar Jun2005 2006 2007

Persen

Trading (kiri) Investment (kiri)% SUN Trading thd TA (kanan) % SUN thd TA (kanan)

Grafik 2.33Perkembangan PDN (Overall)

Persen

Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun2006 2007

17,115,6

14,716,3

18,416,9 16,6 17,0

15,3

BUSNBank Asing

Bank CampuranSeluruh

BPDPDN Tertinggi

Bank Persero

0

4

8

12

16

20

Page 41: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

33

Bab 2 Sektor Keuangan

spread suku bunga valas meningkat dari 5,30% menjadi

5,47%. Pada sisi lain, aktiva produktif bank, terutama

dalam bentuk kredit, terus mengalami peningkatan dalam

jumlah yang lebih besar daripada peningkatan DPK

sehingga pendapatan bunga naik lebih tinggi

dibandingkan dengan beban bunga. Secara keseluruhan,

hal-hal ini berdampak positif terhadap pendapatan bunga

bersih (NII) perbankan.

Peningkatan NII dan kenaikan pendapatan non

operasional mendorong peningkatan laba perbankan

dalam porsi yang lebih besar daripada kenaikan total aset

rata-rata. Selama semester I 2007, laba bank meningkat

14,1% sedangkan total aset rata-rata hanya naik sebesar

7,7%. Akibatnya, ROA perbankan meningkat dari 2,6%

menjadi 2,8%. Dari segi kelompok bank, kenaikan ROA

tertinggi dialami oleh kelompok 15 bank besar, yakni dari

Grafik 2.36Perkembangan Laba dan Asset Perbankan

Juta Rp

1.000.000

1.100.000

1.200.000

1.300.000

1.400.000

1.500.000

1.600.000

1.700.000

Jun Des Jun Des Jun Des Jun25.000

30.000

35.000

40.000

45.000

50.000

LABAAset rata-rata

2004 2005 20072006

Grafik 2.37Komposisi Pendapatan Bunga Perbankan

0

25

50

75

100

BI SSB Kredit Lainnya

2003 2004 2005 2006 2007Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun

7,0 7,8 6,9 7,3 8,9 9,2 8,2 7,9

49,856,4 59,7 63,3 63,1 59,2 60,1 63,5

32,526,3 25,1 22,2 22,0

22,9 21,4 16,8

10,8 9,5 8,3 7,2 6,0 8,7 10,4 11,8

Persen

2,4% menjadi 2,6%. Sementara itu, kelompok bank

lainnya hanya naik tipis dari 3,2% menjadi 3,3%. Tingginya

kenaikan ROA kelompok bank besar mencerminkan

peranan penting bank-bank besar dalam menentukan

kinerja keuangan industri perbankan.

Meningkatnya penyaluran kredit selama semester I

2007 mengakibatkan pendapatan bunga kredit

mendominasi total pendapatan bunga bank. Jika pada

semester sebelumnya pangsa pendapatan bunga kredit

terhadap total pendapatan bunga perbankan hanya

sebesar 60,1% maka pada semester I 2007 meningkat

menjadi sebesar 63,5%. Sumber pendapatan bunga

lainnya yang juga meningkat adalah pendapatan bunga

dari SBI/Fasbi, khususnya karena kenaikan penanaman

bank dalam SBI/Fasbi yakni Rp6,5 triliun. Namun demikian,

pangsa pendapatan bunga dari surat-surat berharga

lainnya turun cukup besar, yaitu dari 21,4% menjadi

16,8%, terutama karena menurunnya penanaman bank

dalam obligasi korporasi sebesar Rp16,5 triliun.

Peningkatan profitabilitas tersebut sejalan dengan

perbaikan efisiensi usaha yang tercermin dari penurunan

rasio BOPO. Meskipun terdapat kenaikan beban

pembentukan penyisihan aktiva produktif (PPAP) dari rata-

rata Rp2,6 triliun per bulan menjadi Rp3,0 triliun per bulan,

namun karena tingginya pendapatan operasional yang

berasal dari pendapatan bunga maka rasio BOPO menurun,

Grafik 2.35Perkembangan NII Perbankan

-

2,0

4,0

6,0

8,0

10,0

12,0

14,0

16,0

18,0

Pendapatan Bunga Beban Bunga NII

2005 2006 2007Feb Jun Okt Feb Jun Okt Feb Jun

Page 42: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

34

Bab 2 Sektor Keuangan

yaitu dari 86,5% menjadi 84,6%. Peningkatan profitabilitas

dan perbaikan efisiensi usaha perbankan ini akan

berdampak positif terhadap stabilitas sistem keuangan.

Permodalan

Tingginya profitabilitas selama semester I 2007

memungkinkan perbankan untuk melakukan pemupukan

modal secara internal (internal growth). Sementara itu,

kenaikan jumlah modal perbankan terlihat lebih tinggi

dibandingkan dengan kenaikan jumlah ATMR sehingga

rasio permodalan (CAR) naik tipis dari 20,5% menjadi

20,7%. Secara nominal, jumlah modal perbankan

meningkat 8,8% menjadi Rp198,5 triliun, sementara

jumlah ATMR mengalami kenaikan 7,2% menjadi

Rp958,9 triliun.

Selain memiliki CAR yang tergolong tinggi,

perbankan juga memiliki rasio modal inti terhadap ATMR

yang juga tinggi, yaitu mencapai 17,8%. Dengan

permodalan yang kuat tersebut, perbankan akan lebih

mampu menyerap berbagai jenis risiko sehingga dapat

memperkuat stabil itas sistem keuangan. Rasio

permodalan yang tinggi juga akan memberi ruang gerak

yang cukup bagi peningkatan fungsi intermediasi

perbankan.

Meskipun secara aggregat CAR perbankan

tergolong tinggi, namun masih terdapat sejumlah kecil

bank yang memiliki CAR yang marjinal. Dengan CAR yang

marjinal, bank-bank tersebut akan sangat rentan

terhadap peningkatan risiko. Untuk mengatasi

permasalahan ini, kepatuhan perbankan terhadap

pemenuhan ketentuan modal inti minimum sebesar Rp80

miliar pada akhir tahun 2007, dan Rp100 miliar pada

akhir 2010 sangat diperlukan.

2.3. LEMBAGA KEUANGAN BUKAN BANK DAN

PASAR MODAL

Selama semester I 2007, kinerja perusahaan

pembiayaan dan pasar modal sebagai Ωalternatif sumber

pembiayaan cukup baik. Perkembangan tersebut

terutama didukung oleh membaiknya prospek

perekonomian yang memungkinkan turunnya suku

bunga. Di pasar modal, mulai terdapatnya emisi baru

telah sedikit memperbaiki l ikuiditas pasar dan

menurunkan volatilitas sehingga mengurangi tekanan

risiko investasi. Namun, perkembangan emisi Ωcenderung

lambat sehingga Ωtidak mampu mengimbangi pesatnya

kenaikan permintaan investor, terutama investor asing.

Akibatnya, bubble price sulit dihindarkan. Perkembangan

pasar yang terutama didukung permintaan investor asing

cenderung rawan koreksi khususnya apabila terjadi

sudden reversal. Untuk itu, perlu segera dikembangkan

financial deepening yang memungkinkan tersedianya

berbagai alternatif penanaman bagi investor dalam

rangka diversifikasi risiko.

Grafik 2.38ATMR, Modal dan CAR

Persen

-

100

200

300

400

500

600

700

800

900

1.000

1.100

10

12

14

16

18

20

22Modal

Des Jun Des Jun Des Jun Des Jun

2003 2004 2005 2006 2007

ATMR CAR (kanan)

Rp Triliun

Grafik 2.39Rasio Tier 1 terhadap ATMR, dan CAR

Persen

0,0

5,0

10,0

15,0

20,0

25,0

30,0

CAR

Tier 1 : ATMR

A B C D E F G H I J K L M N O 15 BB AsgCmpr

LainnyaIndst

Page 43: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

35

Bab 2 Sektor Keuangan

Grafik 2.41Perusahaan Pembiayaan

0

20.000

40.000

60.000

80.000

100.000

120.000

Des Mei Des Mei2005 2006 2007

Total Perusahaan PembiayaanPerusahaan Pembiayaan Swasta NasionalPerusahaan Pembiayaan Patungan

Rp Miliar

Grafik 2.43Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan Patungan

0

5.000

10.000

15.000

20.000

25.000

30.000

35.000

Des Mei Des Jan Feb Mar Apr Mei2005 2006 2007

Pinjaman DN Pinjaman LN SSB

Rp Miliar

Pinjaman perbankan tetap menjadi sumber dana

utama PP, dengan pangsa yang meningkat, yaitu dari 85%

(Mei 2006) menjadi 90% (Mei 2007). PP Swasta Nasional

sangat tergantung terhadap perbankan domestik,

sedangkan PP Patungan mengandalkan pinjaman

perbankan luar negeri. Meskipun demikian, PP Patungan

mulai melakukan diversifikasi sumber dana dengan

mengurangi pinjaman perbankan luar negeri dan

meningkatkan penerbitan emisi saham dan obligasi.

Ketergantungan yang tinggi pada pinjaman

perbankan domestik cenderung berdampak negatif kepada

kinerja PP Swasta Nasional, khususnya karena mahalnya

biaya dana yang harus dibayarkan. Sementara itu, PP

Patungan dapat beroperasi secara lebih efisien karena suku

bunga pinjaman luar negeri yang harus dibayar lebih rendah.

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, baik PP

Swasta Nasional maupun PP Patungan sangat tergantung

Grafik 2.40Kegiatan Usaha Perusahaan Pembiayaan

Rp Triliun

0

20

40

60

80

100

120

Aset Pembiayaan Pendanaan Modal

20052006

Jan 07Mar 07Mei 07

2.3.1. Perusahaan Pembiayaan

Selama semester I 2007, penurunan suku bunga

mulai berdampak terhadap kinerja Perusahaan Pembiayaan

(PP), baik swasta nasional maupun usaha patungan. Hal

ini antara lain terlihat dari meningkatnya rasio pembiayaan

terhadap ekuitas dan rasio pembiayaan terhadap pinjaman.

Sejalan dengan peningkatan pembiayaan tersebut, total

aset PP meningkat sebesar 4,2%.

Grafik 2.42Sumber Dana Perusahaan Pembiayaan Swasta Nasional

0

2.000

4.000

6.000

8.000

10.000

12.000

14.000Pinjaman DN Pinjaman LN SSB

Des Mei Des Jan Feb Mar Apr Mei2005 2006 2007

Rp Miliar

Secara umum, kegiatan usaha PP masih

terkonsentrasi pada pembiayaan konsumen (64%),

terutama untuk pembelian kendaraan bermotor. Namun

demikian, pembiayaan yang dilakukan oleh PP Patungan

lebih besar dibandingkan dengan PP Swasta Nasional. Hal

tersebut antara lain karena PP Patungan melakukan

ekspansi pembiayaan dengan jangka waktu yang lebih

panjang, termasuk pembiayaan infrastrukur dan

perumahan melalui sewa guna usaha.

Page 44: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

36

Bab 2 Sektor Keuangan

pada sumber dana pinjaman perbankan. PP Patungan

memiliki struktur sumber dana yang didominasi oleh

pinjaman perbankan luar negeri. Lebih rendahnya suku

bunga pinjaman perbankan luar negeri membuat PP

Patungan lebih efisien menyalurkan pembiayaan. PP

Patungan juga mulai aktif menerbitkan obligasi di luar

negeri meskipun jumlahnya masih relatif sedikit yaitu

sebesar USD 6 juta.

Biaya operasi PP Swasta Nasional cenderung lebih

tinggi terutama karena meningkatnya kredit defaults yang

mengharuskan pembentukan pencadangan. Tingginya

biaya operasi ini selanjutnya mengakibatkan tingginya

defisit dari aktivitas operasi, sehingga risiko likuiditas PP

juga tergolong tinggi.

Di samping risiko likuiditas, PP Swasta Nasional juga

menghadapi risiko kredit yang cukup tinggi, terutama

karena adanya kecenderungan ekspansi pembiayaan

dilakukan secara agresif dan terkonsentrasi. Agresifnya

ekspansi pembiayaan berpotensi menimbulkan dampak

penularan (contagion effects) khususnya karena semakin

kuatnya kecenderungan konglomerasi antara bank, PP,

asuransi dan industri otomotif. Pada sisi lain, tingginya

ketergantungan PP terhadap sumber dana pinjaman

perbankan dapat mengakibatkan meningkatnya eksposur

risiko industri perbankan.

Sementara itu, tingginya kecenderungan PP

Patungan untuk menggunakan pinjaman luar negeri untuk

ekspansi pembiayaan dalam rupiah berpotensi

menimbulkan tekanan terhadap stabilitas sistem

keuangan, khususnya apabila tidak dilakukan hedging atas

pinjaman luar negeri tersebut. Selain itu, pelemahan rupiah

juga akan mempersulit pengembalian pinjaman luar negeri

oleh PP. Secara kolektif, hal-hal ini berpotensi menimbulkan

tekanan pada stabilitas sistem keuangan.

2.3.2. Pasar Modal

Terkendalinya inflasi yang memberikan ruang gerak

berlanjutnya penurunan suku bunga sebagaimana ditandai

oleh turunnya BI rate sehingga menjadi 8,25% (sejak Juni

2007) dari 9,5% (awal 2007) menjadi sentimen positif yang

mendukung berlanjutnya capital inflows. Pada semester I

2007 capital inflows yang bersumber dari penanaman

investor asing pada SBI, SUN dan saham meningkat pesat

(melebihi 100%) sehingga mencapai sekitar Rp58 triliun

dibandingkan dengan capital inflows pada semester II 2006

yang hanya sekitar Rp24,5 triliun.

Pesatnya kenaikan capital inflows tersebut

mendukung perkembangan pasar modal. Namun, tidak

terdapatnya pasar hedging dan tetap tidak likuidnya pasar

modal menyebabkan penanaman oleh investor asing

bersifat jangka pendek. Menjelang akhir semester (Juni

2007), perilaku profit taking investor asing yang terutama

dipicu sentimen negatif dari pasar internasional

menyebabkan terkoreksinya perkembangan pasar modal

Grafik 2.45 Capital Inflows pada SUN-SBI-Saham

Rp Triliun

-20

-10

0

10

20

30

Saham SBI SUN

2006 2007Jun Jul Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun

Grafik 2.44Arus Kas Neto Perusahaan Pembiayaan

Rp Miliar

-4.000

-2.000

0

2.000

4.000

2007Jan Feb Mar Apr Mei

Arus Kas Neto dari Aktivitas Investasi

Arus Kas Neto dari Aktivitas Pendanaan

Arus Kas Neto dari Aktivitas Operasi

Page 45: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

37

Bab 2 Sektor Keuangan

yang sempat menekan nilai tukar. Kondisi tersebut

menimbulkan kekhawatiran akan berulangnya krisis

keuangan yang bersumber dari terjadinya capital outflows

dalam jumlah besar secara bersamaan (sudden reversal)

yang berpotensi menekan stabilitas sistem keuangan (lihat

Boks 2.2). Namun, ketahanan sistem keuangan yang

dimiliki yang didukung oleh membaiknya prospek

perekonomian diperkirakan akan mampu mencegah

dampak negatif dari capital outflows.

Pasar Saham

Pada semester I 2007 bullish pasar saham emerging

countries berlanjut yang didukung tetap tingginya minat

investor asing. Pada awal 2007 pasar saham emerging

countries sempat mengalami koreksi yang dipicu sentimen

negatif dari bursa saham Cina. Di samping itu, koreksi pasar

terjadi karena sentimen negatif dari tekanan inflasi AS

terutama pada menjelang akhir semester I 2007. Namun,

cukup kuatnya sentimen positif dari pasar internasional yang

terutama bersumber dari meningkatnya harga komoditi

logam dan prospek berlanjutnya pertumbuhan ekonomi AS

mampu mendukung berlanjutnya penguatan pasar saham

emerging countries. Di pasar saham domestik, kuatnya

sentimen positif yang bersumber dari baiknya prospek

perekonomian ke depan mampu mempertahankan

penguatan pasar, sehingga pada semester I 2007 IHSG tetap

menguat sekitar 18% yang mencapai 2.139,28.

Koreksi pasar menyebabkan melambatnya

pertumbuhan hampir seluruh indeks sektoral yang pada

semester II 2006 mengalami pertumbuhan pesat.

Membaiknya prospek perekonomian ke depan yang

memberikan ruang gerak bagi berlanjutnya penurunan

suku bunga telah mendukung berlanjutnya penguatan

indeks sektor konstruksi, properti dan real estate yang pada

semester I 2007 tumbuh sekitar 75% (semester II 2006

tumbuh 56%). Menguatnya pertumbuhan sektor

pertambangan terutama didukung oleh membaiknya

perkembangan harga komoditi. Pertumbuhan indeks

Grafik 2.46Perkembangan Indeks Saham Bursa Regional

0

1000

2000

3000

4000

5000

6000IHSG

SET

NIKKEI NASDAQ

PCOMM

STI KLCI

HSCI

2007

29Des

12Jan

26Jan

9Feb

23Feb

9Mar

23Mar

6Apr

20Apr

4Mei

18Mei

1Jun

15Jun

29Jun

2006

IHSG 1,310.26 1,805.52 2,139.28 37.80 18.49

STI 2,435.39 2,985.83 3,548.20 22.60 18.83

KLCI 914.69 1,096.24 1,354.38 19.85 23.55

SET 678.13 679.84 776.79 0.25 14.26

PCOMM 3,020.13 3,940.47 5,148.42 30.47 30.65

HSCI 2,182.73 2,802.68 3,109.64 28.40 10.95

NIKKEI 309.54 336.39 356.40 8.67 5.95

NASDAQ 2,172.09 3,415.29 2,603.23 57.24 -23.78

DJI 11,150.22 12,463.15 13,443.75 11.77 7.87

SIASA 4,543.79 6,979.53 13,202.68 53.61 89.16

KOSPI 1,295.15 1,434.46 1,743.60 10.76 21.55

Tabel 2.1Perkembangan Indeks Harga Beberapa Bursa Regional

Sem II 06 Sem I 07

Pertumbuhan (%)Jun 06 Des 06 Jun 07

Pertanian 661.25 1,190.71 1,680.12 80.07 41.10

Industri Dasar 111.45 148.79 196.10 33.50 31.80

Knstr, Properti,RE 77.43 120.82 211.72 56.03 75.24

Konsumsi 299.32 390.19 437.01 30.36 12.00

Keuangan 142.39 204.39 223.14 43.54 9.17

Infra Struktur 585.96 754.54 750.43 28.77 -0.54

Pertambangan 729.65 920.31 1,647.04 26.13 78.97

Aneka Industri 192.43 282.14 324.96 46.62 15.18

Jasa Perdagangan 212.68 274.28 387.38 28.96 41.24

Grafik 2.2Perkembangan Indeks Harga Sektoral

Jun 06 Des 06 Jun 07Sem II 06 Sem I 07

Pertumbuhan (%)

Page 46: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

38

Bab 2 Sektor Keuangan

kapitalisasi pasar walau likuiditas pasar tetap rendah. Pada

semester I 2007 likuiditas pasar saham diharapkan

membaik dengan terdapatnya emisi sebesar Rp11,5 triliun.

Namun, tampaknya emisi tersebut belum mampu

mengimbangi tingginya minat investor untuk melakukan

penanaman pada saham sehingga tetap terjadi bubble

price. Cenderung tertahannya emisi baru juga karena

adanya kecenderungan sebagian emiten untuk memilih

melakukan emisi obligasi dengan memanfaatkan

momentum perkembangan pasar yang menguat dengan

turunnya perkembangan suku bunga.

Walau belum mampu sepenuhnya mendukung

pembentukan harga yang efisien, terdapatnya emisi baru

telah memperbaiki likuiditas yang selanjutnya mengurangi

tekanan risiko pasar saham. Hal tersebut tampak pada

Grafik 2.48Transaksi Saham Investor Domestik-Asing

Rp Triliun

0

20

40

60

80

100

120

Jun Sep Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun2006 2007

Total Indonesia Asing

Grafik 2.49Nilai Kapitalisasi & Nilai Emisi

N Kapitalisasi, Rp Triliun N Emisi, Rp Triliun

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

270

272

274

276

278

280

282

284

286N Kap (BEJ) N EmisiN Kap (BES)

2006 2007

Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun

sektor industri dasar stabil yaitu sekitar 30% yang didukung

tetap membaiknya harga logam di pasar internasional.

Profit taking yang dilakukan investor asing pada saham

sektor keuangan menyebabkan terkoreksinya harga.

Namun, kuatnya sentimen positif penurunan suku bunga

menyebabkan tetap menguatnya harga saham sektor

keuangan.

Pesatnya perkembangan harga saham lebih

didukung oleh maraknya transaksi. Pada semester I 2007

transaksi saham meningkat sekitar Rp38 triliun sehingga

menjadi Rp87 triliun. Sejalan dengan perkembangan

tersebut, transaksi saham investor asing juga meningkat

yang mencatat net beli sekitar Rp11 triliun (semester I

2007) dibandingkan dengan net beli sekitar Rp7,5 triliun

(semester II 2006).

Pesatnya perkembangan harga yang hanya didukung

maraknya transaksi mampu mendukung pertumbuhan

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

1600

1800

2000

2007

29Des

12Jan

26Jan

9Feb

23Feb

9Mar

23Mar

6Apr

20Apr

4Mei

18Mei

1Jun

15Jun

29Jun

2006

PertanianKonsumsiPertambangan

Indust DasarKeuanganAneka Indus

Konstruksi,Properti,Real EstateInfrastrukturJasa Perdag

Grafik 2.47Perkembangan Indeks Sektoral

IHSG 0.80 0.20 0.00 0.00 0.15 0.43 0.43 0.00Pertanian 0.51 0.49 0.00 0.00 0.46 0.54 0.00 0.00Industri Dasar 0.31 0.69 0.00 0.00 0.35 0.27 0.39 0.00Konstruksi,Properti, RE 0.31 0.69 0.00 0.00 0.39 0.61 0.00 0.00Konsumsi 0.33 0.67 0.00 0.00 0.37 0.27 0.35 0.00Keuangan 0.47 0.53 0.00 0.00 0.36 0.64 0.00 0.00Infra Struktur 0.29 0.71 0.00 0.00 0.46 0.54 0.00 0.00Pertambangan 0.34 0.66 0.00 0.00 0.39 0.45 0.16 0.00Aneka Industri 0.42 0.58 0.00 0.00 0.34 0.66 0.00 0.00Jasa Perdagangan 0.31 0.69 0.00 0.00 0.39 0.34 0.27 0.00

Tabel 2.3Perkembangan Efisiensi Pasar Saham

< 0,5 0,5 - <0,75 0,75 - <1 >1 < 0,5 0,5 - <0,75 0,75 - <1 >1

Sem II 2006 Sem I 2007

Page 47: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

39

Bab 2 Sektor Keuangan

perkembangan distribusi koefisien efisiensi pasar (MEC)

yang menunjukkan jauh berkurangnya volatilitas jangka

pendek pada semester I 2007 dengan meningkatnya

proporsi nilai MEC yang berada pada kisaran 0,75-<1 pada

semester I 2007.4

Pasar Obligasi

Pada semester I 2007 pasar obligasi mengalami

perkembangan pesat terutama didukung perkembangan

suku bunga yang menurun. Di pasar SUN, pesatnya

perkembangan harga kurang didukung perkembangan

likuiditas yang setara, sehingga tingkat harga naik terlalu

tinggi. Pada semester I 2007 posisi SUN naik dari Rp419

triliun menjadi Rp451 triliun. Sejak Mei 2007 pemerintah

juga telah menerbitkan SPN yang posisinya mencapai

Rp3,9 triliun (akhir semester I 2007).

Grafik 2.52Kepemilikan SUN

Triliun Rp

0

50

100

150

200

250

300

2006 2007Sep Okt Nov Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun

Perbankan Residen Asing

diversifikasi penanaman pada SPN. Perilaku tersebut

menyebabkan sedikit terkoreksinya harga SUN.

Penyesuaian portofolio investor berdampak pada

turunnya kepemilikan SUN perbankan dari sekitar Rp269

triliun (awal 2007) menjadi Rp258 triliun (akhir semester I

2007). Namun, baiknya prospek pasar obligasi

menyebabkan tetap tingginya minat investor terhadap

SUN. Pada semester I 2007 kepemilikan SUN investor

residen non perbankan dan investor asing naik dari masing-

masing sekitar Rp87 triliun dan Rp55 triliun (awal 2007)

menjadi masing-masing Rp97 triliun dan Rp82 triliun (akhir

semester I 2007).

Grafik 2.50Perkembangan Harga SUN

85

90

95

100

105

110

115

120

125

130

2Jan

16Jan

30Jan

13Feb

27Feb

13Mar

27Mar

10Apr

24Apr

8Mei

22Mei

5Jun

19Jun

2007

FR0040

FR0028

FR0045

FR0043

FR0034

FR0042

FR0044

Tetap tidak likuidnya pasar terutama untuk tenor

panjang, di samping terdapatnya isu kenaikan suku bunga

global yang bersumber dari tekanan inflasi perekonomian

AS mendorong investor utama SUN, yaitu perbankan dan

asing menyesuaikan portofolio, yaitu melepas SUN yang

harganya sudah terlalu tinggi dan membeli SUN yang

harganya masih murah melalui pembelian di pasar

perdana. Di samping itu, investor perbankan melakukan

Grafik 2.51Distribusi SUN Menurut Tenor

Rp Triliun

0

5

10

15

20

25

30

35

40

1 th 3 th 5 th 7 th 9 th 11 th 13 th 15 th 17 th 19 th 30 th

FR VR

4 Penjelasan lebih rinci tentang koefisien efisiensi pasar (MEC) dapat dilihat pada KSKNo.5, September 2005.

Ekspektasi berlanjutnya penurunan suku bunga

domestik memberikan prospek positif bagi perkembangan

pasar obligasi. Ekspektasi tersebut terindikasi pada

turunnya yield penanaman rupiah tenor jangka panjang

sekitar 80 bps. Perkembangan yang sama terjadi pada yield

Page 48: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

40

Bab 2 Sektor Keuangan

penanaman jangka panjang emerging markets Asia, seperti

Thailand, Malaysia dan Singapura. Namun, prospek jangka

panjang pasar obligasi emerging countries dibayangi

kekhawatiran terjadinya koreksi pasar yang dipicu sentimen

negatif meningkatnya suku bunga global. Kekhawatiran

tersebut menyebabkan sempat meningkatnya yield

penanaman jangka panjang emerging markets pada akhir

semester I 2007 sebagai imbas dari naiknya yield

penanaman US$. Terdapatnya kekhawatiran tersebut

menyebabkan penanaman pada instrumen keuangan

emerging markets cenderung berjangka pendek yang

berdampak pada perkembangan harga yang volatile

terutama dalam jangka pendek.

Trend penurunan suku bunga mulai berdampak

positif terhadap perkembangan pasar obligasi korporasi.

Perkembangan tersebut sejalan dengan mulai turunnya

suku bunga kredit perbankan. Pada semester I 2007,

emiten obligasi korporasi bertambah dari 162 perusahaan

(Desember 2006) menjadi 168 perusahaan (Juni 2007).

Nilai emisi oleh 6 emiten baru mencapai sekitar Rp3 triliun

sementara nilai emisi seluruh emiten naik Rp18,5 triliun

menjadi Rp121,12 triliun (akhir semester I 2007).

Dengan memperhitungkan obligasi korporasi jatuh

waktu, realisasi emisi obligasi korporasi naik Rp12,5 triliun.

Perkembangan tersebut juga mengindikasikan terdapatnya

sebagian emisi obligasi korporasi yang merupakan

refinancing terutama karena memanfaatkan trend

menurunnya perkembangan suku bunga ke depan.

Reksa Dana

Pesatnya perkembangan pasar saham dan pasar

obligasi sebagai dampak turunnya suku bunga telah

berimbas pada kinerja reksa dana. Turunnya suku bunga

simpanan juga mendorong investor untuk mengalihkan

penanaman dari deposito berjangka kepada instrumen

pasar modal yang menjanjikan return lebih tinggi

terutama reksa dana. Pada semester I 2007 NAB naik

31,7% sehingga menjadi sebesar Rp67,01 triliun.

Kenaikan NAB disertai kenaikan pada jumlah unit

penyertaan mencerminkan adanya tambahan investor

baru. Jenis reksa dana tetap terkonsentrasi pada jenis

pendapatan tetap yang memiliki aset pendukung obligasi

terutama SUN. Bullishnya pasar saham telah mendukung

Grafik 2.55Emisi dan Posisi Obligasi Korporasi

Emisi & Posisi, Rp Triliun Emiten

0

20

40

60

80

100

120

140

156

158

160

162

164

166

168

170Emisi Posisi Emiten

Jun Sep Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun2006 2007

Grafik 2.54Perbandingan Volatilitas Harga Aset Keuangan

Persen0 5 10 15 20 25

30hr 100hr

Singapore

US

Indonesia

Philipina

Thailand

Malaysia

Grafik 2.53Perkembangan Yield Tenor 20 Tahun

Persen

0

2

4

6

8

10

12

Indonesia Philipina Thailand

Malaysia Singapura Amerika Serikat

2007

8Jan

22Jan

5Feb

19Feb

5Mar

19Mar

2Apr

16Apr

30Apr

14Mei

28Mei

11Jun

25Jun

Page 49: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

41

Bab 2 Sektor Keuangan

Grafik 2.56Perkembangan Reksa Dana Per Jenis

Sumber: Bapepam

Rp Triliun

-

10

20

30

40

50

60

70

80

Mar Jun Sep Des Jan Feb Mar Apr Mei Jun2006 2007

FI Saham Mixed PU Terproteksi Indeks NAV

kenaikan reksa dana jenis saham. Sementara itu, sejalan

dengan turunnya perkembangan suku bunga, reksa dana

jenis pasar uang mengalami penurunan.

Di samping reksa dana, investor semakin aktif

melakukan penanaman melalui para manajer investasi

(MI). Pada semester I 2007 (s.d April 2007), pengelolaan

dana oleh MI naik 15% sehingga menjadi Rp90,53 triliun

sementara jumlah MI meningkat dari 90 menjadi 94. Dana

sebesar Rp90,53 triliun tersebut terbagi atas dana kelolaan

reksa dana, discretionary funds dan lainnya. Dari seluruh

dana kelolaan tersebut sebagian besar yaitu 96% dimiliki

investor domestik, terutama investor institusi.

Semakin berkembangnya berbagai alternatif

instrumen pasar modal yang ditawarkan melalui

pengelolaan dana oleh MI menyebabkan dampak

penurunan suku bunga terhadap reksa dana tidak sebesar

sebagaimana tahun-tahun sebelumnya. Di samping itu,

semakin berkembangnya regulasi reksa dana terutama

terkait disiplin penerapan mark to market dan aspek

transparansi telah semakin meningkatkan pemahaman

masyarakat akan risiko reksa dana. Dengan dukungan

aspek regulasi tersebut, pertumbuhan reksa dana akan

lebih sustainable sehingga risiko bagi investor semakin

terantisipasi.

Page 50: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

42

Bab 2 Sektor Keuangan

Kondisi Financial Deepening di IndonesiaBoks 2.1

Financial deepening merupakan suatu istilah yang

menggambarkan perkembangan sektor keuangan

pada suatu negara (Lynch, 1996; Kiyotaki dan Moore,

2005). Financial deepening sangat diperlukan untuk:

(i) memperkuat dan meningkatkan stabilitas sistem

keuangan, (ii) meningkatkan aliran uang dalam sektor

keuangan, (iii) meningkatkan efisiensi dan daya saing

sektor keuangan, dan (iv) meningkatkan akses terhadap

produk dan jasa keuangan, termasuk akses dari

masyarakat miskin dan terkebelakang.

Untuk menilai kondisi financial deepening, Shaw

(1973) menggunakan Rasio M2/GDP, Rasio Claims on

Private Sectors/GDP, dan Rasio Fixed Capital Formation/

GDP. Semakin tinggi rasio berarti semakin dalam

financial deepening, semakin besar penggunaan uang

dalam perekonomian, atau semakin luas kegiatan

sektor keuangan. Penilaian juga dapat dilakukan

dengan memperbandingkan nominal finance dan real

finance, dan dengan meneliti apakah terdapat real rates

of return yang rendah atau negatif.

Kebalikan dari financial deepening adalah

≈shallow financeΔ (Shaw, 1973), dengan karakteristik

antara lain sebagai berikut:

• Sektor keuangan didominasi oleh perbankan dan

aliran uang dari luar negeri baik berupa bantuan/

pinjaman, suppliers» credits, maupun investasi

langsung.

Real rates of return rendah atau negatif. Akibatnya,

pemilik aset keuangan tidak memperoleh reward

dari real growth pada portfolio, mereka malah

dirugikan.

Perekonomian sangat tergantung pada anggaran

pemerintah dan international capital accounts.

Permintaan terhadap aset keuangan terhambat oleh

suku bunga riil yang rendah, sedangkan penawaran

terhambat oleh credit rationing.

Terjadi overvaluation pada domestic money di pasar

foreign exchange spot. Hal ini tidak mendorong

ekspor dan tabungan, tapi malah mendorong

impor dan konsumsi.

Terjadi pelarian modal (capital flight) ke luar negeri.

Sektor keuangan Indonesia dewasa ini

menunjukkan beberapa kemajuan. Hal ini antara lain

terlihat dari meningkat pesatnya kegiatan di pasar

saham dan pasar obligasi (terutama SUN). Disamping

itu, transaksi valas secara bertahap terus mengalami

kenaikan sejalan dengan peningkatan kebutuhan

pelaku pasar, terkait dengan partisipasi pelaku asing

yang meningkat pesat di pasar keuangan domestik.

Sumber: Hasil olahan data yang berasal dari Bank Indonesia. Index dihitung denganmenjadikan tahun 2000 sebagai tahun dasar, mengikuti perhitungan GDP Riil denganharga konstan tahun 2000. Untuk menghitung Real Finance digunakan deflatorIndeks Harga Konsumen (IHK) pada tahun yang bersangkutan.

2000 1,00 1,002001 1,13 0,972002 1,18 0,962003 1,28 0,992004 1,38 1,012005 1,61 1,032006 1,85 1,02

Tabel Boks 2.1.2Perkembangan Financial Deepening Indonesia

Tahun IndeksNominal Finance

Indeks Real Finance

1997 56,66 60,82 28,311998 60,41 53,21 25,431999 58,76 20,48 20,142000 53,75 19,45 19,852001 50,11 17,75 19,232002 47,44 18,91 19,002003 46,93 20,95 19,292004 45,48 24,97 21,682005 44,06 25,96 21,972006 41,40 23,86 23,97

Tabel Boks 2.1.1Perkembangan Financial Deepening Indonesia

Tahun M2/GDP(%)

Claims on PrivateSectors /GDP (%)

Fixed CapitalFormation/GDP (%)

Sumber: Hasil olahan data yang berasal dari Bloomberg.

Page 51: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

43

Bab 2 Sektor Keuangan

2000 12,17 n.a n.a 2,82 n.a n.a2001 15,48 n.a n.a 2,93 n.a n.a2002 15,28 14,79 n.a 5,25 4,76 n.a2003 10,39 12,16 13,07 5,29 7,06 7,972004 7,07 8,66 10,27 0,67 2,26 3,872005 10,95 13,25 13,30 -6,15 -3,85 -3,802006 11,63 8,31 9,36 5,03 1,71 2,76

Namun demikian, kondisi financial deepening

Indonesia tampaknya masih belum menggembirakan,

tercermin dari angka Rasio M2/GDP, Rasio Claims on

Private Sectors/GDP, dan Rasio Fixed Capital Formation/

GDP yang cenderung terus menurun (Tabel 2.1.1).

Indikator lainnya adalah real finance yang jauh lebih

rendah daripada nominal finance. Sebagai contoh,

pada tahun 2006 nominal pertumbuhan M2 sebesar

85%, namun secara riil hanya sebesar 2% (Tabel

2.1.2). Selain itu, menggunakan data tingkat bunga

deposito dan yield Surat Utang Negara (SUN) seri FR05

dan FR21 sebagai suatu illustrasi, real rates of return

terlihat rendah dan bahkan negatif pada tahun

tertentu (Tabel 2.1.3).

Hal-hal lainnya yang mengindikasikan bahwa

Indonesia dewasa ini sedang menghadapi

permasalahan dalam financial deepening adalah (i)

kurang berjalannya fungsi intermediasi perbankan, (ii)

relatif mahalnya biaya dana, (iii) kurang tersedianya

sumber dana jangka panjang, (iv) keterbatasan

alternatif instrument keuangan yang disediakan oleh

lembaga-lembaga keuangan, dan (v) belum

berkembangnya pasar hedging dan derivatif. Selain

itu, akses dari masyarakat miskin dan terkebelakang

terhadap produk dan jasa keuangan juga masih relatif

terbatas.

Untuk mendiskusikan langkah-langkah yang

dapat ditempuh guna memajukan financial deepening

di Indonesia, pada 22-24 Agustus 2007 di Bali telah

dilaksanakan Seminar Internasional dengan tema

≈Financial Sector Deepening and Financial Stability:

Benefits and ChallengesΔ. Belajar dari pengalaman

negara lain yang diungkapkan dalam seminar

tersebut, terlihat betapa pentingnya bagi Indonesia

untuk segera melakukan financial deepening, namun

harus dilakukan secara berhati-hati agar tidak

menimbulkan tekanan terhadap stabilitas sistem

keuangan. Untuk itu, beberapa kajian untuk

meningkatkan financial deepening saat ini terus

dilakukan.

Daftar Pustaka

Kiyotaki, N. dan Moore, J. (2005), ≈Financial

DeepeningΔ, Journal of the European Economic

Association, 3(2-3): 701-713.

Lynch, D. (1996), ≈Measuring Financial Sector

Development: A Study of Selected Asia-Pacific

CountriesΔ, The Developing Economies, 34(1):

3-33.

Shaw, E. S. (1973), Financial Deepening in Economic

Development, Oxford University Press, London.

Tabel Boks 2.1.3Real Rates of Returns di Indonesia

Tahun Tingkat BungaDeposito (%)

Sumber: Hasil olahan data yang berasal dari Bloomberg dan Bank Indonesia.

Yield SUNFR05 (%)

Yield SUNFR21 (%)

Real Rates of ReturnsDeposito (%)

Real Rates of ReturnsSUN FR05 (%)

Real Rates of ReturnsSUN FR21 (%)

Page 52: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

44

Bab 2 Sektor Keuangan

Capital Inflows dan Sudden Reversal: Siapkah KitaMenghadapi Krisis?

Boks 2.2

Peningkatan capital inflows ke Indonesia akhir-

akhir ini telah menimbulkan kekhawatiran akan

berulangnya krisis keuangan yang terjadi tepat 10 tahun

yang lalu. Meskipun tidak ada satu orangpun yang dapat

memastikan kapan akan terjadinya krisis, penting sekali

dilakukan analisis tentang kemungkinan terjadinya krisis

dan seberapa siapkah kita menghadapinya.

Hal yang paling ditakutkan dari peningkatan capital

inflows adalah apabila terjadi pembalikan arus modal

secara tiba-tiba dan secara serentak (sudden reversal)

sehingga dapat memicu terulangnya krisis. Ketakutan

ini cukup beralasan karena mayoritas capital inflows

berjangka pendek dan umumnya ditanamkan dalam SBI,

SUN dan saham. Dengan penanaman dalam instrumen

berjangka pendek, investor asing dapat dengan mudah

mengalihkan penanaman ke luar Indonesia.

Faktor-faktor apa sajakah yang dapat memicu

sudden reversal? Secara umum terdapat 2 kelompok

faktor penyebab, yaitu faktor ekonomi dan faktor non-

ekonomi. Termasuk dalam faktor ekonomi adalah (i)

menyempitnya interest rate differential, (ii) rendahnya

yield yang dapat membuat berinvestasi di Indonesia

menjadi kurang menarik, dan (iii) contagion effect dari

negara lain. Contoh faktor non-ekonomi adalah

gejolak politik dan keamanan dalam negeri. Untuk

menghindari terulangnya krisis, penting sekali

dilakukan langkah-langkah untuk menghilangkan,

atau paling tidak meminimalkan, keberadaan faktor-

faktor pemicu tersebut.

Secara umum, dampak sudden reversal dapat

dilihat paling tidak dari 2 (dua) perspektif, yaitu (i) First

Round Effect, yaitu dampak yang langsung

mempengaruhi posisi keuangan bank atau lebih

bersifat mikro, dan (ii) Second Round Effect, yaitu

dampak lanjutan yang bersifat tidak langsung terhadap

posisi keuangan individual bank dan industri perbankan

secara keseluruhan (makro).

Pada first round effect, terdapat potensi kerugian

pada bank karena repricing asset/liability valas, dan

potensi gangguan likuiditas untuk pemenuhan

kebutuhan valas. Selain itu, first round effect juga dapat

menimbulkan kerugian pada trading portfolio surat-

surat berharga. Sebagai contoh, aksi jual yang dilakukan

investor asing dapat membuat harga SUN jatuh

sehingga bank yang memiliki SUN akan mengalami

kerugian. Sementara itu, pada second round effect,

sudden reversal akan mengakibatkan peningkatan NPL

valas. Hal ini kemudian akan memicu peningkatan NPL

rupiah karena debitur kedit valas biasanya juga

mendapat kredit rupiah. Gangguan likuiditas akan lebih

besar karena deposan rupiah kemungkinan ikut-ikutan

menarik uangnya untuk bermain dalam valas.

Akibatnya, nilai rupiah akan semakin tertekan sehingga

krisis yang baru menjadi diambang pintu.

Seberapa siapkah Indonesia menghadapi krisis

yang baru? Belajar dari pengalaman krisis 1997/1998,

telah banyak langkah perbaikan yang dilakukan

sehingga Indonesia dewasa ini sudah lebih siap dan

memiliki ketahanan sistem keuangan yang lebih baik

dibandingkan dengan periode sebelum krisis.

Beberapa kemajuan penting yang telah dicapai oleh

industri perbankan paska krisis adalah:

- Permodalan bank dalam beberapa tahun terakhir

relatif jauh lebih tinggi dibandingkan sebelum

krisis, sehingga dapat menjadi buffer yang kuat

dalam menghadapi ΔshockΔ. Selain itu,

profitabilitas juga relatif lebih baik dibandingkan

dengan kondisi sebelum krisis.

- Kualitas kredit terus membaik yang tercermin dari

rasio NPL yang terus menurun, berbeda dengan

situasi menjelang krisis dimana kualitas kredit terus

memburuk.

- Dalam pengelolaan bisnis sehari-hari, perbankan

telah menerapkan fungsi risk management yang

Page 53: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

45

Bab 2 Sektor Keuangan

lebih baik dan wajib dilaksanakan dari sisi

ketentuan, sementara sebelum krisis fungsi

tersebut kurang diterapkan. Selain itu, perbankan

sudah menerapkan prinsip-prinsip good corporate

governance, sesuatu hal yang diabaikan sebelum

krisis.

- Posisi Devisa Neto (PDN) perbankan dewasa ini

sangat kecil, yaitu sekitar 3% s.d. 5%. Selain itu,

pelaksanaan transaksi derivatif tidak seaktif

sebelum krisis, umumnya hanya untuk hedging and

matching position, bukan untuk maksud trading

sebagaimana yang terjadi sebelum krisis.

- Tidak ada pelanggaran Batas Maksimum

Pemberian Kredit (BMPK), padahal menjelang krisis

banyak terjadi pelanggaran BMPK (terutama untuk

pihak terkait).

- Paska krisis, potensi risiko perbankan relatif

berkurang dan terdiversifikasi sejalan dengan (i)

pergesaran fokus kredit dari jangka panjang ke

kredit jangka pendek seperti konsumsi, atau dari

jenis kredit korporasi ke kredit UMKM, (ii)

penurunan kredit sektor Industri Pengolahan dan

kemudian bergeser ke kredit sektor Perdagangan,

(iii) kredit dalam valas, yang sensitif terhadap

perubahan nilai tukar, tumbuh stabil dengan

pangsa sekitar 20% - 23%, dan (iv) meningkatnya

penanaman bank dalam SBI dan SUN.

Hal-hal lainnya yang berhasil dicapai paska krisis

dan mendukung ketahanan sistem keuangan adalah:

- Adanya Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK),

termasuk pendirian Lembaga Penjamin Simpanan

(LPS) untuk perlindungan dana nasabah. Sebelum

krisis, Indonesia tidak memiliki jaring pengaman

(safety nets) seperti ini.

- Cadangan devisa jauh lebih besar dibanding

periode sebelum krisis dengan kecenderungan

terus meningkat. Dengan cadangan devisa yang

lebih besar, ketahanan sistem keuangan menjadi

lebih kuat.

- Paska krisis sudah disusun Arsitektur Perbankan

Indonesia (API) yang antara lain mencakup

program-program seperti konsolidasi perbankan,

kewajiban sertifikasi manajemen risiko bagi

perbankan, penguatan kualitas operasional dan

manajemen perbankan, serta penerapan best

practices dalam pengawasan bank.

Kemajuan-kemajuan tersebut di atas

memberikan petunjuk yang cukup kuat bahwa

dewasa ini sektor keuangan Indonesia, terutama

industri perbankan, telah memiliki ketahanan yang

lebih baik. Dengan demikian, Indonesia akan lebih siap

menghadapi setiap kemungkinan terjelek yang dapat

mengganggu stabilitas sektor keuangan, termasuk jika

terjadi sudden reversal yang memicu krisis.

Grafik Boks 2.2.2.Perkembangan Kredit Valas

700

600

500

400

300

200

100

0

12.000

10.000

8.000

6.000

4.000

0

2.000

1995 1997 1999 2001 2003 2005 2007

Kredit ValasKredit Rupiah

Kurs (kanan)

Rp Triliun USD/Rp

Grafik Boks 2.2.1.NPL & CAR Sebelum dan Sesudah Krisis

NPLs Gross (%) CAR (%)

Pre Crisis

Crisis

Recovery

1996 1998 2000 2002 2004 2006

-25,0

-15,0

-5,0

5,0

15,0

25,0

35,0

45,0

55,0

Page 54: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

46

Bab 2 Sektor Keuangan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 55: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

47

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Bab 3Prospek SistemKeuangan Indonesia

Page 56: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

48

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 57: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

49

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Indo 14 BB- 6.57 196.5 114.8

Indo 17 BB- 6.74 203 124

Indo 35 BB- 7.34 245.6 177.4

PDB (% yoy) 6.0 6.3 6.1 6.1 6.2 6.0 6.1 6.0

Inflasi (% yoy) 6.4 6.0 6.3 6.5 6.3 6.5 6.4 6.3

Neraca Perdagangan (US$ miliar) 8.0 9.3 8.7 9.5 9.4 9.6 9.5 10.3

3.1. PROSPEK EKONOMI DAN PERSEPSI RISIKO

Prospek ekonomi tampaknya masih positif dan

berpotensi tumbuh dalam beberapa periode ke depan.

Analis ekonomi Asia Pasifik juga meyakini pertumbuhan

ekonomi yang didukung dengan peningkatan

perdagangan internasional dan tingkat inflasi yang

terjaga pada tingkat sekitar 6%. Kondisi ini diharapkan

mampu mendorong pengembangan sektor riil dan

memperkuat ketahanan perekonomian terhadap risiko-

risiko yang dapat mempengaruhi kestabilan sistem

keuangan. Selain itu momentum kestabilan kondisi makro

dan masih menariknya yield instrumen telah

meningkatkan investasi yang dilakukan oleh para hedge

fund untuk dapat mengkompensasi penurunan credit

spread investasi global.

Investor asing masih menganggap kondisi ekonomi

Indonesia menarik dan relatif stabil. Oleh karena itu, telah

masuk aliran investasi baik berjangka panjang maupun

berjangka pendek yang di pasar negara berkembang

berbentuk obligasi, leveraged lending dan structured credit

products. Namun demikian, kondisi yang positif tersebut

perlu diwaspadai karena peningkatan suku bunga di pasar

keuangan negara berkembang lain atau di negara maju

yang sebesar 200 bps berpotensi memicu pemindahan

dana sehingga akan mempengaruhi potensi pertumbuhan

ekonomi Indonesia.

Sistem keuangan Indonesia dalam semester I 2007 relatif stabil yang didukung

permodalan bank yang kuat, indikator makro ekonomi yang kondusif dan

kondisi korporasi yang memiliki kinerja rentabilitas yang positif. Namun

demikian, peningkatan investasi asing jangka pendek di pasar modal dan

berbagai tekanan di pasar global yang dapat menyebabkan pembalikan

investasi serta adanya potensi peningkatan risiko kredit perbankan domestik

perlu dipantau secara konsisten dan berkesinambungan.

Prospek Sistem Keuangan IndonesiaBab 3

Tabel 3.1Konsensus Proyeksi Beberapa Indikator Ekonomi

2007 2008

Q1 Q2 Q3 Q4 Q1 Q2 Q3 Q4

Sumber: Asia Pacific Concensus Forecast

Tabel 3.2Persepsi Risiko Indonesia

Sumber: Bloomberg

Obligasi Rating Ytm (%)Yield Spread (bp)

Juni Desember

Page 58: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

50

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

3.2. PROFIL RISIKO PERBANKAN: TINGKAT DAN

ARAH

Sistem perbankan masih dalam kondisi yang stabil

walaupun kegiatan intermediasi bank masih belum

optimal. Kondisi tersebut tampaknya mendorong

penguatan permodalan bank yang memiliki CAR sebesar

21,4% dan ROA sebesar 2,8%. Namun demikian, relaksasi

ketentuan yang dilakukan agar bank segera menyalurkan

kredit perlu mendapat perhatian agar tidak meningkatkan

kredit bermasalah bank.

Sementara itu, risiko pasar (nilai tukar) masih rendah

dengan volatilitas nilai tukar yang juga rendah. Ke depan,

potensi risiko nilai tukar diperkirakan tidak material karena

perbankan diperkirakan masih akan memelihara portofolio

valas atau PDN yang rendah. Namun demikian, risiko suku

bunga agak moderat. Hal tersebut karena profil maturity

perbankan cukup rawan terhadap pembalikan arah suku

bunga. Selain itu, instrumen keuangan yang dapat

digunakan manajemen untuk mengendalikan risiko suku

bunga juga masih terbatas sejalan dengan belum

berkembangnya pasar hedging dan derivative di dalam

negeri.

Sama halnya dengan risiko suku bunga, maka risiko

pasar harga SUN juga tergolong agak moderat. Namun

demikian, pengendalian risiko suku bunga dapat dilakukan

secara lebih baik dibandingkan dengan pengendalian risiko

pasar harga SUN. Pengendalian risiko pasar harga SUN

jauh lebih sulit karena gejolak pasar global dapat langsung

mempengaruhi harga SUN, padahal gejolak tersebut di

luar kendali manajemen.

Beberapa hal yang dapat memicu peningkatan risiko

likuiditas adalah struktur DPK yang masih terkonsentrasi

pada dana berjangka pendek, deposan besar, dan dana

milik perorangan. Untuk memitigasi risiko likuditas,

perbankan melakukan penempatan dana pada surat

berharga yang likuid dan memiliki risiko yang rendah. Hal

ini tampaknya cukup berhasil sehingga secara keseluruhan

risiko likuditas perbankan tergolong rendah dengan risk

control system yang umumnya acceptable.

Risiko kredit masih moderat di tengah upaya

restrukturisasi dan peningkatan penyaluran kredit karena

semakin mudahnya akses terhadap kredit untuk proyek-

Grafik 3.1Kurva Yield

Sumber: Bloomberg Tahun

Persen

0

2

4

6

8

10

12

1 3 5 6 7 8 9 10 15 20

3/30/2007

6/29/2007Log. (6/29/2007)

Log. (3/30/2007)

Grafik 3.2Profil Risiko Industri Perbankan dan Arahnya

Smt-I 2007

Outlook

Smt-I 2007

Outlook

Smt-I 2007

Outlook

Inherent Risk

HighM

oderateLow

Strong Acceptable WeakRisk Control

Strong Acceptable WeakRisk Control

Strong Acceptable WeakRisk Control

Risiko Likuiditas Risiko KreditRisiko Pasar

Nilai Tukar

SukuBunga Harga

SUN

Page 59: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

51

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

proyek infrastruktur. Namun, proses restrukturisasi debitur-

debitur besar yang belum tuntas dan berlangsung lama

telah menyebabkan biaya restrukturisasi menjadi semakin

mahal sehingga diperkirakan dapat mendorong

peningkatan risiko kredit ke depan. Potensi peningkatan

risiko kredit juga muncul karena penerapan manajemen

risiko kredit yang masih memerlukan perbaikan dan masih

adanya kelemahan dalam sistem informasi manajemen

kredit perbankan.

Sementara itu, dari segi risiko operasional,

perbankan Indonesia masih dihadapi berbagai tantangan,

antara lain karena masih banyaknya kasus-kasus

kejahatan perbankan dan masalah-masalah lain yang

terkait dengan teknologi informasi. Selain itu, beberapa

kejadian bencana banjir dan gangguan sistem telah

menyebabkan kegagalan sistem telekomunikasi

walaupun belum menimbulkan kerugian yang signifikan

dan menurunkan kepercayaan masyarakat kepada

perbankan. Tantangan berat lainnya yang dihadapi

perbankan adalah masih adanya kesulitan dalam

melakukan pengukuran risiko operasional dan

merumuskan langkah-langkah mitigasi risikonya. Hal ini

terjadi terutama karena keterbatasan data dan keahlian

yang dimiliki perbankan. Implementasi Basel II diharapkan

akan meningkatkan kemampuan perbankan dalam

pengukuran dan pengendalian risiko operasional.

3.3. PROSPEK SISTEM KEUANGAN INDONESIA

Kondisi sistem keuangan cenderung masih stabil dan

membaik terutama apabila dibandingkan dengan kondisi

pada akhir Desember 2006. Hal tersebut tercermin dari

penurunan indeks stabilitas sistem keuangan (financial

stability index) dari 1,37 menjadi 1,21 (lihat Boks 3.1).

Stabilitas ini didukung oleh semakin membaiknya kondisi

makro ekonomi dan perbankan serta pasar saham dan

obligasi. Ketahanan sistem keuangan pada semester

berikutnya diperkirakan tetap baik, tercermin dari simulasi

indeks stabilitas sistem keuangan yang mencapai 1,25

(Desember 2007).

Prakiraan

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5FSI FSI Average

2003 2004 2005 2006 2007M8 M10M12M2 M4 M6 M8 M10M12 M2 M4 M6 M8 M10M12M2 M4 M6 M8 M10M12 M2 M4 M6 M8 M10M12

Grafik 3.3Financial Stability Index

Potensi risiko terbesar yang dihadapi Indonesia

adalah sebagai akibat meningkatnya modal asing jangka

pendek di pasar saham yang masih bergelembung. Hal ini

merupakan fenomena normal saat ini dimana modal dapat

berpindah secara cepat melewati batas negara.

Perkembangan ini didorong oleh tiga aspek perubahan

yaitu (i) pertumbuhan aset yang dikelola oleh manajer

investasi (ii) perubahan perilaku investasi yang tidak lagi

bersifat ≈home biasΔ dan (iii) inovasi dan progres di bidang

pengelolaan risiko perbankan dan korporasi. Pertumbuhan

hedge funds yang diperkirakan mengelola US$1,4 triliun

dan fokus mereka untuk memperoleh pendapatan absolut

mempengaruhi keputusan investasi hedge funds di pasar

negara berkembang.

Peningkatan aliran dana antar pasar keuangan

menyebabkan pasar antar negara menjadi tanpa batas.

Sebagai contoh, pasar obligasi dan pasar saham di Eropa,

Jepang dan Amerika Serikat menjadi lebih dekat

dibandingkan satu dekade yang lalu. Tekanan yang terjadi

di pasar AS akan menyebabkan permasalahan di negara

lain misalnya sebagaimana krisis subprime mortgage di

AS yang berlanjut ke Australia, Jerman, dan negara

lainnya.

Page 60: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

52

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Probability of Default

0

10

20

30

40

50

60

70

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1

Desember 2007

Walaupun sebagian bursa saham global sudah mulai

kembali normal namun potensi gejolak yang akan terjadi

masih besar. Beberapa faktor utama yang dapat menjadi

pemicu adalah akselerasi inflasi di China, kecenderungan

kenaikan suku bunga global, dan kenaikan harga minyak

dunia yang sempat meningkat menjadi USD70,68 per

barrel pada semester I 2007. Faktor-faktor ini perlu

dipantau dan dimitigasi sehingga tidak menyebabkan

dampak negatif terhadap Indonesia. Salah satu yang perlu

mendapat perhatian adalah faktor penularan ke Bursa Efek

Jakarta sehingga menyebabkan investor melakukan

penarikan dana atau pindah ke instrumen investasi di pasar

uang. Namun diharapkan tekanan ini hanya bersifat

temporer sehingga yang perlu dilakukan adalah melakukan

pemantauan yang berkesinambungan sehingga dapat

diantisipasi perkembangan risikonya.

Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab

sebelumnya, stress test risiko pasar terhadap perbankan

menunjukkan ketahanan yang cukup baik terhadap

perubahan-perubahan variabel makroekonomi. Sementara

itu, stress test sederhana yang dilakukan terhadap sampel

35 konglomerasi/korporasi besar Indonesia yang memiliki

kewajiban valas menunjukkan bahwa permodalan mereka

relatif cukup kuat menghadapi risiko nilai tukar, khususnya

pelemahan rupiah s.d. Rp11.500/USD. Apabila rupiah

melemah lebih dari angka tersebut baru terdapat lebih

dari satu konglomerasi yang akan mengalami tekanan

dalam permodalannya.

Grafik 3.4Probability of Default Perusahaan Non Financial Go Public

Probability of Default

0

10

20

30

40

50

60

70

0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1

Desember 2006

Hasil estimasi probability of default (PD) terhadap

sampel 219 perusahaan non financial go public

menunjukkan bahwa jumlah perusahaan yang memiliki

PD lebih dari 0,5 mengalami sedikit peningkatan, yaitu

dari 66 perusahaan pada akhir Desember 2006 menjadi

69 perusahaan pada akhir Desember 2007 (lihat Boks 3.1).

Hal ini mengindikasikan bahwa risiko kredit ke depan akan

meningkat tipis. Hasil estimasi ini konsisten dengan analisis

sebelumnya yang juga memperkirakan bahwa risiko kredit

akan sedikit meningkat. Namun demikian, pembentukan

cadangan dan kuatnya permodalan bank diperkirakan

dapat mengatasi peningkatan risiko kredit tersebut.

S.d. Rp.11.000/USD 0

S.d. Rp.11.500/USD 1

S.d. Rp.12.000/USD 2

S.d. Rp.13.000/USD 7

S.d. Rp.15.000/USD 10

S.d. Rp.17.000/USD 14

> Rp17.000/USD 35

Tabel 3.3Dampak Nilai Tukar terhadap Permodalan Konglomerasi

KursJumlah konglomerasi yang menjadi

bermasalah permodalannya

Page 61: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

53

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Ke depan, pertumbuhan PDB dan masih rendahnya

suku bunga diperkirakan akan meningkatkan prospek

pertumbuhan aktivitas usaha perbankan. Beberapa sektor

yang diperkirakan tumbuh di atas rata-rata pertumbuhan

ekonomi adalah sektor konstruksi (10,2%), transportasi

dan komunikasi (9,7%) dan industri manufaktur (8,5%).

Rencana ekspansi kredit perbankan diperkirakan

meningkat sekitar 22% yang didukung dengan

pertumbuhan dana pihak ketiga. Pengembangan sektor

riil diperkirakan dapat didorong dengan peningkatan

aktivitas di pasar modal khususnya penerbitan obligasi oleh

korporasi.

3.4. POTENSI KERAWANAN

Ketahanan sistem keuangan Indonesia dalam periode

ke depan tampaknya relatif aman. Namun demikian, dari

sisi eksternal terdapat potensi kerawanan antara lain

pertumbuhan ekonomi dunia yang melambat, potensi

lonjakan harga minyak dunia, dan arus modal masuk

berjangka pendek. Selain itu, efektivitas langkah-langkah

penyelesaian krisis subprime mortgage yang dilakukan oleh

otoritas moneter dan perbankan negara-negara terkait

juga dapat berpengaruh terhadap stabilitas sistem

keuangan Indonesia. Dari sisi internal, potensi kerawanan

dapat muncul dari persiapan menjelang Pemilu yang

diperkirakan dapat mempengaruhi aktivitas bisnis dan

perkembangan risiko pada sektor keuangan, terutama

kondisi keamanan yang tidak mendukung dapat memicu

terjadinya capital outflows.

Sementara itu, ke depan industri perbankan juga

menghadapi berbagai tantangan yang tidak ringan, antara

lain penyelesaian restrukturisasi kredit, perbaikan

manajemen risiko dan sistem informasi manajemen kredit,

serta sinkronisasi antara upaya peningkatan fungsi

intermediasi perbankan dengan upaya penurunan risiko

kredit. Tantangan lainnya adalah pengembangan rencana

kontinjensi untuk mengurangi risiko operasional, serta

peningkatan efektivitas pengendalian internal dan tata

kelola usaha untuk memperkecil kerawanan pada industri

perbankan. Selain itu, pemenuhan ketentuan modal inti

minimum bank sebesar Rp80 milyar pada akhir tahun 2007

dan sebesar Rp100 milyar pada akhir tahun 2010

diperkirakan juga dapat menjadi tantangan tersendiri bagi

beberapa bank karena dapat mempengaruhi kemampuan

pengendalian risiko mereka ke depan.

Dalam upaya untuk mengurangi risiko telah

dilakukan koordinasi antara Pemerintah dan Bank

Indonesia. Sebagaimana yang akan dijelaskan pada bab

selanjutnya, salah satu inisiatif yang dihasilkan adalah

pembentukan Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK)

yang bertujuan untuk menjadi media pertukaran

informasi dan pembahasan risiko-risiko yang berkembang

dalam perekonomian yang berpotensi menyebabkan

krisis.

Page 62: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

54

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Financial Stability Index dan Probability of DefaultBoks 3.1

Financial Stability Index

Financial Stability Index (FSI) merupakan suatu

indikator yang digunakan untuk menilai perkembangan

stabilitas keuangan suatu negara. FSI dibangun dari 3

(tiga) blok utama di sektor keuangan Indonesia, yaitu

perbankan, pasar saham dan pasar obligasi (lihat Hadad

et al., 2007). Ketiga blok tersebut saling berhubungan

dan interaksinya mempengaruhi stabilitas keuangan.

Masing-masing blok diwakili oleh satu set persamaan

perilaku, sedangkan keterkaitan antar blok dijelaskan

oleh suatu persamaan identitas. Hal ini terlihat sebagai

berikut:

Persamaan Perilaku:

Blok Perbankan: Non-Performing Loan

npl = f[rlnd, log(income), (rlnd-sbi)]

Blok Pasar Saham: Indeks Harga Saham Gabungan

log(ihsg) = f[log(ihsg(-1)), log(income), rlnd, log(er)]

Blok Pasar Obligasi:Government Yield Bond (5 Years)

yield5yr = f[rdep1m, log(income), log(er)]

Persamaan Identitas:

income = cons + inv

Penjelasan Variabel:

Dengan menggunakan data bulanan yang

berasal dari Laporan Bulanan Bank Umum (LBU),

Bloomberg dan CEIC, masing-masing persamaan

diestimasi dengan pendekatan Three Stage Least

Squares (3SLS). Dalam kajian ini, periode observasi

mencakup Januari 2003 s.d. Juni 2007. Validitas hasil

estimasi pada variabel-variabel endogen diuji dengan

memperhatikan hasil perhitungan root mean squared

error, mean absolute error, mean absolute percentage

error, dan theil inequality coefficient. Selanjutnya

dilakukan pembobotan untuk pembentukan FSI.

Mengingat perbankan mendominasi sektor keuangan,

maka bobot yang lebih besar diberikan kepada

indikator perbankan (dalam hal ini NPL). Hasil estimasi

model dapat digunakan untuk memprediksi FSI satu

tahun ke depan.

Probability of Default

Probability of default (PD) digunakan untuk

mengetahui seberapa besar kemungkinan terjadinya

default (kegagalan pemenuhan kewajiban oleh

perusahaan) di masa yang akan datang. Untuk

mengestimasi PD digunakan metode Barrier Option

yang memodelkan perilaku aset perusahaan terhadap

kewajibannya atas dasar data neraca. Metode ini lebih

disukai karena mampu mengukur PD individual

perusahaan dengan data terbatas, sementara model

lain membutuhkan data yang cukup besar. Metode

ini juga cocok untuk pengukuran PD sektor ekonomi

atau industri yang memiliki karakteristik khusus.

Metode Barrier Option didasarkan pada

pendekatan Merton (1974) dimana aset diasumsikan

mengikuti proses Brownian Motion, yaitu suatu proses

stochastic dengan waktu kontinu yang merupakan

limit dari proses Random Walk. Metode Barrier Option

menjelaskan bagaimana asset bergerak dan seberapa

besar kemungkinan nilai asset jatuh pada treshold

tertentu. Yang menjadi treshold adalah kewajiban

(rlnd-sbi) selisih tingkat suku bunga pinjaman (lendingrate) dan SBI

log(er) nilai tukar nominal (Rp per USD)

log(ihsg) indeks harga saham gabungan

log(income) agregat pendapatan, sektor konsumsi dan

investasi

npl non-performing loanrdep1m tingkat suku bunga deposito 1 bulan

rlnd tingkat suku bunga pinjaman (lending rate)

sbi tingkat suku bunga SBI, 1 bulan

yield5yr government yield bond, 5 years

cons konsumsi

inv investasi

Variabel Pengertian

#) log : logaritma natural##) notasi ≈(-1)Δ : nilai satu periode sebelumnya

Page 63: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

55

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

(liabilities) dari perusahaan. Pendekatan ini dinilai lebih

baik daripada pendekatan option biasa karena mampu

memperhitungkan seberapa besar kemungkinan nilai

aset jatuh di bawah treshold sebelum masa jatuh

tempo dari aset.

Dalam kajian ini digunakan data total aset dan

total liabilites dari sampel 219 perusahaan non

financial go public yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta

(BEJ) pada akhir Desember 2005 dan 2006. Atas dasar

data total aset, dilakukan estimasi terhadap nilai rata-

rata pertumbuhan asset dan nilai volatilitasnya. Hasil

estimasi ini kemudian diolah lebih lanjut untuk

menghitung PD untuk 1 tahun ke depan. Untuk

menghitung PD akhir Desember 2006 digunakan data

neraca perusahaan posisi akhir Desember 2005 dan

untuk menghitung PD akhir Desember 2007

digunakan data posisi akhir Desember 2006. Hasil

estimasi menunjukkan bahwa jumlah perusahaan

yang memiliki PD lebih dari 0,5 pada akhir tahun 2007

akan sedikit meningkat dibandingkan dengan posisi

pada akhir tahun 2006.

Daftar Pustaka

Crosbie, P. (2003), Modeling Default Risk; Modeling

Methodology , Moody»s KMV, 18 Desember 2003.

Hadad, M.D., Safuan, S., Santoso, W., Besar, D.S., dan

Rulina, I. (2007), ≈Model Makroekonomi

Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi

Kasus IndonesiaΔ, Kajian Stabilitas Keuangan

(KSK), II - 2006 No.8, Maret 2007.

Merton, R.C. (1974), ≈On the Pricing of Corporate

Debt: The Risk Structure of Interest RateΔ, Journal

of Finance, 29:449-470.

Reisz, A. S. dan Perlich, C. (2007), ≈A Maket-Based

Framework for Bankruptcy PredictionΔ, Journal of

Financial Stability, doi:10.1016/j.jfs.2007.02.001.

Grafik Boks 3.1.1.Probability of Default - Metode Barrier Option

Grafik Boks 3.1.2.Probability of Default - Metode Option Biasa

Sumber: Reisz dan Perlich (2007)

Asset

Possible assetvalue path

DefaultPoint

Tt*Default Event

Sumber: Crosbie (2003)

AssetsPossible

asset valuepath

Distributionof asset valueat the horizon

DefaultPoint

ProbabilityDefault

H0

Vo

Page 64: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

56

Bab 3 Prospek Sistem Keuangan Indonesia

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 65: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

57

Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Bab 4Infrastruktur Keuangandan Mitigasi Risiko

Page 66: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

58

Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 67: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

59

Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Nilai Transaksi Volume Nilai Transaksi Volume Nilai Volume

(ribu triliun) Transaksi (ribu triliun) Transaksi

(juta) (juta)

Rp. 16,01 3,63 Rp. 22,09 3,87 38,03% 6,48%

4.1. SISTEM PEMBAYARAN

Sistem pembayaran Indonesia cukup handal serta

tidak menunjukkan risiko yang mengganggu stabilitas

sistem keuangan. Risiko gagal bayar dalam sistem

pembayaran semakin diminimalkan.

seluruh transaksi bernilai besar (>Rp100 juta) dilakukan

melalui sistem ini. Komposisi sistem BI-RTGS selama

semester I 2007 mencapai 92,85%, sistem kliring 3,50%

dan sisanya melalui sistem yang dilaksanakan di luar Bank

Indonesia. Transaksi melalui sistem BI-RTGS pada semester

ini mengalami peningkatan baik secara nilai maupun

volume jika dibandingkan dengan semester sebelumnya.

Nilai transaksi semester ini tercatat sebesar Rp22,09 ribu

triliun atau naik 38,03% dari semester sebelumnya

(Rp16,01 ribu triliun). Sedangkan volume transaksi

semester ini adalah sebesar 3,87 juta transaksi atau

Selama semester I 2007, sistem pembayaran yang merupakan infrastruktur

keuangan utama di Indonesia tetap handal dan mendukung terpeliharanya

stabilitas sistem keuangan. Kendati terjadi peningkatan volume dan nilai

setelmen, sistem pembayaran berfungsi tanpa kendala. Sementara itu, upaya

penguatan Jaringan Pengaman Sistem Keuangan (JPSK) terus dilanjutkan.

Selain itu, Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) yang organisasinya baru

saja lebih disempurnakan telah mulai beroperasi. Ke depan, FSSK juga akan

menjadi wadah koordinasi pelaksanaan Financial Sector Assessment Program

(FSAP) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia (ASKI).

Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi RisikoBab 4

Grafik 4.1Aktivitas Transaksi Sistem Pembayaran Semester I 2007

92,85%

3,48%

0,18%3,50%

RTGSKliringKartu kredit Kartu account based (ATM,ATM+debet & debet)

BI-RTGS semakin berperan penting dalam sistem

pembayaran, tercermin dari peningkatan pangsa dan

volume setelmen. Setelmen pada sistem pembayaran di

Indonesia semakin didominasi oleh sistem BI-RTGS, karena

Tabel 4.1Perkembangan Nilai dan Volume Setelmen

dalam Sistem BI-RTGS

Pertumbuhanq to q

Semester II 2006 Semester I 2007

Page 68: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

60

Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

meningkat 6,48% dibanding semester sebelumnya (3,63

juta transaksi).

Peningkatan nilai dan volume setelmen terutama

karena peningkatan nilai transaksi pasar uang. Aktivitas

pasar uang masih merupakan transaksi yang mempunyai

pangsa besar dalam sistem BI-RTGS. Nilai transaksi pasar

uang dalam semester ini sebesar Rp9,16 ribu triliun atau

mengalami kenaikan 58,45% dibandingkan semester

sebelumnya. Walaupun volume transaksi pasar uang hanya

1,19% dari total volume transaksi RTGS, namun pangsa

transaksi pasar uang terhadap total nilai transaksi sistem

BI-RTGS dalam semester ini adalah sebesar 41,46%.

Selain itu, terjadi peningkatan transaksi antar bank.

Nilai transaksi antar bank dalam semester ini adalah sebesar

Rp9,72 ribu triliun atau 36,32% lebih besar dibanding

semester sebelumnya. Apabila dilihat dari keseluruhan

transaksi sistem BI-RTGS pada semester ini, transaksi antar

bank mempunyai pangsa terbesar yaitu 44,01% dari total

nilai transaksi dan 86,66% dari total volume transaksi.

Transaksi antara bank terutama untuk jual beli surat

berharga, dengan kenaikan sebesar Rp586,81 triliun atau

naik sekitar 81,04%.

Setelmen melalui kliring juga berjalan tanpa kendala.

Sejak 2005, telah diimplementasikan Sistem Kliring

Nasional Bank Indonesia (SKNBI) yang sampai semester I

2007 telah mencakup 36 wilayah KBI dan 28 wilayah non

BI. Untuk itu, kegiatan kliring terbagi dalam beberapa

siklus, yaitu kliring kredit I, kliring kredit II, dan kliring debet

(terdiri dari kliring penyerahan dan kliring pengembalian).

Pelaksanaan kliring kredit dilakukan secara terpusat di

Jakarta sedangkan kliring debet masih dilaksanakan secara

lokal di masing-masing wilayah KBI namun setelmennya

dilakukan secara terpusat. Nilai transaksi kliring kredit

melalui SKNBI pada semester ini adalah sebesar Rp170,26

triliun dengan volume transaksi sebesar 18,01 juta

transaksi. Sedangkan nilai transaksi kliring debet, dengan

instrumen Cek dan Bilyet Giro (BG) pada semester ini

adalah sebesar Rp466,76 triliun dengan volume transaksi

sebesar 19,85 juta transaksi. Implementasi SKNBI di seluruh

wilayah Indonesia akan lebih meningkatkan kegiatan

perekonomian karena perpindahan dana dapat dilakukan

lebih cepat dengan biaya yang relatif murah.

Di sisi lain, perkembangan instrumen alat pembayaran

dengan mempergunakan kartu (APMK) semakin

meningkat, tidak hanya nilai dan volume transaksinya,

namun juga jenis dan jumlah kartu yang beredar. Jenis

APMK yang ada saat ini adalah Kartu Kredit, Kartu ATM

dan Kartu ATM yang berfungsi sekaligus sebagai Kartu

Debit (ATM+Debit). Jumlah ketiga jenis APMK tersebut di

atas yang beredar sampai dengan akhir semester ini adalah

sebesar 40,46 juta kartu dengan volume transaksi sebesar

809,22 juta dan nilai transaksi mencapai Rp1,103 ribu

triliun. Dari ketiga jenis APMK tersebut, kartu ATM+Debit

merupakan jenis kartu yang mempunyai pangsa terbesar,

baik secara jumlah, nilai maupun volume transaksi. Jumlah

kartu ATM+Debit yang beredar sampai dengan akhir

semester ini adalah sebanyak 29,63 juta kartu atau 73,23%

dari total kartu, dengan pangsa volume dan nilai transaksi

masing-masing sebesar 61,95% dan 66,07%.

Sementara itu, risiko gagal bayar dalam sistem

pembayaran semakin diminimalkan. Dengan prinsip No

Money No Game dalam sistem BI-RTGS dan telah

diterapkannya mekanisme Failure to Settle (FtS) dalam

SKNBI maka risiko gagal bayar sudah diminimalisir sehingga

Kartu Kredit 8,44 62,01 33,05

Kartu ATM 2,39 245,86 341,46

Kartu ATM +debet 29,63 501,29 729,39

TotalTotalTotalTotalTotal 809,22809,22809,22809,22809,22 1.103,891.103,891.103,891.103,891.103,89

Tabel 4.2Transaksi APMK

Jenis Kartu Jumlah Volume Nilai Transaksikartu Transaksi (dalam trilyun)

(dalam juta) (dalam juta)

Page 69: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

61

Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

transaksi pembayaran di Indonesia yang belum tercover

hanya sekitar 3,72%. Bank Indonesia sebagai regulator

semakin mengintensifkan upaya mitigasi risiko dalam

sistem pembayaran. Hal ini antara lain dilakukan melalui

penerbitan ketentuan yang memperhatikan aspek kehati-

hatian dan perlindungan konsumen seperti ketentuan

mengenai Prinsip Perlindungan Nasabah dan Kehati-hatian,

serta Peningkatan Keamanan dalam Penyelenggaraan

Kegiatan APMK.

4.2. KEBIJAKAN DAN MITIGASI RISIKO DALAM

SISTEM PEMBAYARAN

Sepanjang semester I 2007, upaya mitigasi risiko dan

peningkatan kehandalan sistem pembayaran terus

diintensifkan oleh Bank Indonesia. Hal ini dilandaskan

kepada 4 (empat) prinsip, yaitu minimalisasi risiko,

optimalisasi efisiensi, kesetaraan akses dan perlindungan

konsumen. Beberapa kebijakan dan pencapaian sistem

pembayaran yang telah dilakukan selama semester I 2007

adalah:

1.1.1.1.1. Intensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap CPIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap CPIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap CPIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap CPIntensifikasi Pemenuhan Sistem BI-RTGS terhadap CP

SIPSSIPSSIPSSIPSSIPS

CP SIPS merupakan standard internasional yang

dikeluarkan oleh Bank for International Settlements

(BIS), melalui Committee on Payment and Settlement

Sistems (CPSS) yang memuat prinsip-prinsip yang

harus diperhatikan dalam mendisain dan

mengoperasikan sistem pembayaran di setiap negara.

Dari hasil self assessment terhadap sistem BI-RTGS

yang telah dilakukan pada periode sebelumnya, masih

terdapat beberapa CP dimana sistem BI-RTGS masih

belum memenuhi dan memerlukan penyempurnaan.

Berkaitan dengan upaya pemenuhan terhadap CP

tersebut, Bank Indonesia telah melakukan

penyempurnaan pada sisi aplikasi maupun ketentuan

sistem BI-RTGS. Pada sisi aplikasi ditekankan pada

peningkatan fitur-fitur keamanan sistem BI-RTGS dan

kehandalan sistem BI-RTGS yang terkait dengan

ketersediaan sistem bagi peserta selama jam

operasional, baik menggunakan sistem utama

maupun sistem back up. Penyempurnaan ketentuan

dilakukan dengan mempertegas peran Bank

Indonesia dalam penyelenggaraan sistem BI-RTGS,

yaitu peran sebagai regulator, penyelenggara dan

pengawas sistem BI-RTGS.

2.2.2.2.2. Pengawasan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGSPengawasan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGSPengawasan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGSPengawasan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGSPengawasan Penyelenggaraan Sistem BI-RTGS

Pengawasan BI-RTGS diintensifkan untuk memastikan

kehandalan sistem. Sistem BI-RTGS merupakan sistem

pembayaran yang bersifat SIPS. Oleh karena itu

penyelenggaraan sistem BI-RTGS merupakan prioritas

dalam pengawasan sistem pembayaran. Tujuan

pengawasan kepada penyelenggaraan sistem BI-RTGS

adalah untuk memastikan penyelenggaraan sistem

BI-RTGS dilakukan secara cepat, aman dan handal

untuk mendukung stabilitas sistem keuangan dengan

memperhatikan prinsip perlindungan konsumen.

Mengingat penyelenggaraan sistem BI-RTGS

melibatkan 2 (pihak), yaitu Bank Indonesia sebagai

penyelenggara dan peserta maka apabila sebelumnya

pengawasan sistem BI-RTGS hanya difokuskan pada

peserta, untuk periode ini pengawasan

penyelenggaraan sistem BI-RTGS juga dilakukan

terhadap penyelenggara sistem BI-RTGS. Terkait

dengan tujuan pengawasan tersebut di atas maka

pengawasan terhadap penyelenggara sistem BI-RTGS

difokuskan pada penilaian secara keseluruhan

terhadap penyelenggaraan sistem BI-RTGS

berdasarkan aspek keamanan, efisiensi, perlindungan

konsumen, penilaian kepatuhan terhadap ketentuan

yang berlaku, standard penyelenggaraan yang telah

disepakati atau kebijakan sistem pembayaran yang

berlaku.

Page 70: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

62

Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

3.3.3.3.3. Business Continuity Plan (BCP) Sistem BI-RTGSBusiness Continuity Plan (BCP) Sistem BI-RTGSBusiness Continuity Plan (BCP) Sistem BI-RTGSBusiness Continuity Plan (BCP) Sistem BI-RTGSBusiness Continuity Plan (BCP) Sistem BI-RTGS

Bank Indonesia terus meningkatkan kesiapan SDM

peserta dalam kondisi darurat dengan melaksanakan

kegiatan uji coba BCP secara rutin. Kelangsungan

operasional sistem BI-RTGS baik di penyelenggara

maupun peserta membutuhkan tidak hanya

kehandalan infrastruktur sistem (aplikasi, hardware

dan jaringan), namun juga tersedianya Sumber Daya

Manusia (SDM) yang memahami prosedur dalam

keadaan darurat (contingency). Berkaitan dengan itu

dan sesuai dengan salah satu rekomendasi

assessment sistem BI-RTGS, Bank Indonesia sebagai

penyelenggara sistem BI-RTGS terus berusaha

meningkatkan kesiapan SDM Peserta dalam kondisi

darurat dengan melaksanakan kegiatan uji coba BCP

secara periodik pada semester I 2007. Disisi lain, untuk

meningkatkan kesiapan sistem backup, Bank

Indonesia memberikan kesempatan kepada peserta

untuk melakukan pengujian backup-nya secara

periodik. Sedangkan untuk meningkatkan kesiapan

infrastruktur di sisi penyelenggara, Bank Indonesia

melakukan uji coba operasional sistem BI-RTGS

dengan menggunakan sistem backup di lokasi

Disaster Recovery Centre (DRC).

Khusus mengenai prosedur dalam kondisi gangguan

dan/atau keadaan darurat, Bank Indonesia akan

menyempurnakan ketentuan mengenai alternatif

penyelesaian transaksi sistem BI-RTGS yang dapat

digunakan oleh Peserta dalam kondisi gangguan dan

keadaan darurat sehingga operasional sistem BI-RTGS

Peserta dapat terus berjalan mengingat dampak

terhentinya operasional salah satu Peserta dapat

berpotensi menimbulkan risiko sistemik.

Penyempurnaan tersebut adalah dengan menambah

alternatif mekanisme penyelesaian transaksi yang

dapat digunakan oleh Peserta dalam kondisi

gangguan dan/atau keadaan darurat. Bila sebelumnya

hanya disediakan instrumen Cek dan Bilyet Giro Bank

Indonesia (BGBI), Bank Indonesia bermaksud untuk

menyediakan RT backup di lokasi Bank Indonesia

untuk digunakan oleh Peserta dalam kondisi

gangguan dan/atau keadaan darurat.

4.4.4.4.4. Peningkatan Keamanan Alat PembayaranPeningkatan Keamanan Alat PembayaranPeningkatan Keamanan Alat PembayaranPeningkatan Keamanan Alat PembayaranPeningkatan Keamanan Alat Pembayaran

Menggunakan Kartu (APMK)Menggunakan Kartu (APMK)Menggunakan Kartu (APMK)Menggunakan Kartu (APMK)Menggunakan Kartu (APMK)

Bank Indonesia menyempurnakan ketentuan APMK

yang terkait dengan pelaporan APMK secara online.

Dengan demikian, pengawasan tidak langsung

terhadap penyelenggaraan APMK lebih mudah

dilakukan. Di sisi lain, hal ini meningkatkan upaya

perlindungan konsumen, karena informasi mengenai

APMK akan lebih up to date sehingga proses

pengambilan kebijakan dapat dilakukan lebih cepat.

Di samping melakukan pengawasan tidak langsung

melalui analisa laporan penyelenggaraan APMK, Bank

Indonesia juga tetap melakukan pengawasan

langsung kepada penyelenggara APMK untuk

menjamin risiko-risiko penyelenggaraan kegiatan

APMK dapat dikelola dengan baik oleh

penyelenggara. Ke depan, melihat potensi risiko

penyalahgunaan dan pemalsuan kartu, Bank

Indonesia berusaha memitigasi risiko dengan

mengeluarkan kebijakan penggunaan teknologi chip

untuk kartu ATM dan kartu debit.

5.5.5.5.5. Risk AssessmentRisk AssessmentRisk AssessmentRisk AssessmentRisk Assessment dan dan dan dan dan Risk ManagementRisk ManagementRisk ManagementRisk ManagementRisk Management Sistem Sistem Sistem Sistem Sistem

PembayaranPembayaranPembayaranPembayaranPembayaran

Dalam penyelenggaraan sistem BI-RTGS dan sistem

Kliring, Bank Indonesia mempunyai 2 (dua) peranan,

yaitu sebagai Penyelenggara dan Peserta. Baik dalam

pelaksanaan operasional sebagai Penyelenggara

maupun Peserta, Bank Indonesia menghadapi

potensi risiko, antara lain risiko finansial, reputasi

dan hukum. Risiko tersebut muncul antara lain

Page 71: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

63

Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

karena timbulnya permasalahan operasional, baik

yang disebabkan gangguan sistem maupun

kesalahan manusia (human error). Untuk

mengurangi kemungkinan kesalahan dalam transfer

dana karena human error tersebut, Bank Indonesia

melakukan risk assessment untuk mengidentifikasi

faktor penyebab permasalahan operasional, dampak

dan risiko permasalahan serta langkah-langkah

pencegahan yang perlu diambil. Kegiatan identifikasi

tersebut dapat dilaksanakan dengan beberapa

metode, antara lain metode Control Self Assessment

(CSA).

6.6.6.6.6. Implementasi Ketentuan Daftar Hitam Nasional (DHN)Implementasi Ketentuan Daftar Hitam Nasional (DHN)Implementasi Ketentuan Daftar Hitam Nasional (DHN)Implementasi Ketentuan Daftar Hitam Nasional (DHN)Implementasi Ketentuan Daftar Hitam Nasional (DHN)

Dalam rangka pelaksanaan prinsip perlindungan

nasabah serta untuk menjaga kepercayaan

masyarakat terhadap cek dan Bilyet Giro sebagai

instrumen pembayaran, Bank Indonesia

mengeluarkan ketentuan mengenai Daftar Hitam

Nasional (DHN) Penarik Cek dan/atau Bilyet Giro

Kosong dengan metode yang berbeda dengan

ketentuan sebelumnya. Upaya peningkatan

perlindungan kepada nasabah dilakukan oleh Bank

Indonesia melalui penambahan klausul kewajiban

pemegang rekening giro terhadap penggunaan Cek

dan Bilyet Giro dan pengawasan kepada bank atas

pelaksanaan penatausahaan DHN Penarik Cek dan/

atau Bilyet Giro Kosong.

Di samping itu, Bank Indonesia juga melakukan

perubahan metode dalam penatausahaan DHN.

Apabila dalam ketentuan sebelumnya, DHN dikelola

oleh Bank Indonesia maka pada ketentuan yang baru

ini, penatausahaan DHN diserahkan kepada masing-

masing bank. Latar belakang perubahan metode ini

adalah karena bank merupakan pihak yang lebih

mengenal karakteristik nasabahnya. Selain itu, hal ini

juga bertujuan untuk lebih meningkatkan kepedulian

bank dalam menerapkan prinsip Know Your

Customer (KYC).

4.3. JARING PENGAMAN SEKTOR KEUANGAN

(JPSK)

Pada semester I 2007, penguatan JPSK terus

dilanjutkan dalam rangka meningkatkan ketahanan sektor

keuangan, terutama sektor perbankan. Kerangka JPSK saat

ini telah dituangkan ke dalam suatu Rancangan Undang

Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan yang

secara komprehensif mencakup: (i) pengaturan dan

pengawasan lembaga dan pasar keuangan, (ii) fasilitas

lender of the last resort, (iii) program penjaminan

simpanan, dan (iv) manajemen krisis.

Skim penjaminan simpanan oleh Lembaga Penjamin

Simpanan (LPS) dan fasilitas pembiayaan darurat (FPD)

merupakan 2 komponen JPSK yang terpenting. LPS telah

melakukan pembayaran klaim penjaminan simpanan

kepada nasabah 9 BPR yang ditutup pada 2005 dan 2006.

Sementara itu, meskipun FPD telah diberlakukan sejak

2005, sampai saat ini belum ada bank yang

memanfaatkannya. Hal ini mencerminkan kondisi

perbankan yang sehat serta tidak memiliki kesulitan

likuiditas yang berdampak sistemik.

Selanjutnya, pada tanggal 29 Juni 2007, Gubernur

Bank Indonesia (BI) dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga

Penjamin Simpanan (LPS) telah menandatangani Nota

Kesepakatan sebagai bagian dari upaya untuk memperkuat

Jaring Pengaman Sektor Keuangan (JPSK). Nota

Kesepakatan tersebut mengatur tentang koordinasi dan

pertukaran informasi antara BI dan LPS yang memuat lima

aspek terkait program penjaminan dan pengawasan bank

serta penanganan bank gagal yakni: (i) pelaksanaan

penjaminan simpanan, (ii) penanganan bank bermasalah,

(iii) penyelesaian dan atau penanganan bank gagal, (iv)

tindak lanjut bank yang dicabut izin usahanya, dan (v)

Page 72: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

64

Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Departemen KeuanganDepartemen KeuanganDepartemen KeuanganDepartemen KeuanganDepartemen Keuangan- Direktur Jenderal Lembaga Keuangan- Direktur Jenderal Perbendaharaan dan- Ka. Badan Pengkajian Ekonomi, Keuangan, dan Kerjasama Internasional

Bank IndonesiaBank IndonesiaBank IndonesiaBank IndonesiaBank Indonesia- Deputi Gubernur Senior- Deputi Gubernur Bidang Penelitian dan Pengaturan Perbankan dan- Deputi Gubernur Bidang Pengawasan Perbankan serta dan

Lembaga Penjamin SimpananLembaga Penjamin SimpananLembaga Penjamin SimpananLembaga Penjamin SimpananLembaga Penjamin Simpanan- Kepala Eksekutif LPS

18 orang anggota yakni 6 orang pejabat eselon dua satuan kerja terkait DepartemenKeuangan, 6 orang Direktur dari satuan kerja terkait BI dan 2 orang Direktur LPS.

Tim Kerja beranggotakan pejabat dari Departemen Keuangan, BI dan LPS yangdibentuk berdasarkan usulan dari masing-masing lembaga dan keputusan ForumPengarah. Disamping itu, dimungkinkan untuk membentuk semacam Gugus Tugasuntuk menangani proyek-proyek tertentu seperti ASKI dan persiapan FSAP.

Forum PengarahForum PengarahForum PengarahForum PengarahForum Pengarah bertugas untukmemberikan arahan kepada ForumPelaksana terkait dengan fungsi-fungsiForum SSK di atas

Forum PelaksanaForum PelaksanaForum PelaksanaForum PelaksanaForum Pelaksana yang bertugasmelaksanakan fungsi Forum SSK sesuaiarahan Forum Pengarah.

Tim KerjaTim KerjaTim KerjaTim KerjaTim Kerja yang berfungsi untuk menunjangkelancaran tugas Forum Pelaksana danPengarah.

penetapan tingkat bunga yang wajar dalam rangka

penetapan klaim yang layak bayar. Dengan telah

ditandatanganinya Nota Kesepakatan antara BI dengan

LPS, Indonesia semakin memiliki kelengkapan perangkat

hukum dan pedoman yang jelas untuk pencegahan dan

penanganan krisis keuangan.

4.4. FORUM STABILITAS SISTEM KEUANGAN

(FSSK)

Koordinasi dalam rangka pemeliharaan stabilitas

sistem keuangan dilakukan melalui Forum Stabilitas

Sistem Keuangan (FSSK). FSSK dibentuk pada 30

Desember 2005 melalui suatu Keputusan Bersama (KB)

antara Menteri Keuangan, Gubernur Bank Indonesia

serta Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin

Simpanan (LPS). Selanjutnya, mengingat terjadi

reorganisasi dan perubahan struktur di Departemen

Keuangan serta Bank Indonesia yang mempengaruhi

keanggotaan di FSSK maka pada 29 Juni 2007 telah

ditandatangani KB antara Menteri Keuangan, Gubernur

Bank Indonesia, dan Ketua Dewan Komisioner LPS

Nomor 299/KMK.010/2007, Nomor 9/27/KEP.GBI/2007,

dan Nomor 015/DK-LPS/VI/2007 tanggal 29 Juni 2007

yang sifatnya mengukuhkan keanggotaan baru serta

mempertegas fungsi forum dimaksud. FSSK telah mulai

beroperasi dan telah melaksanakan pertemuan secara

reguler sejak 1 Juli 2007. Forum Pengarah bertemu

triwulanan, sementara Forum Pelaksana mengadakan

pertemuan bulanan setiap hari Senin minggu kedua. Di

luar itu, pertemuan dilaksanakan di tingkat Tim Kerja.

Dalam jangka pendek ke depan, FSSK akan menjadi

wadah koordinasi pelaksanaan Financial Sector Assessment

Program (FSAP) dan Arsitektur Sistem Keuangan Indonesia

(ASKI). Tim Kerja FSSK akan bekerjasama untuk persiapan

dan pelaksanaan FSAP yang akan dilakukan oleh Bank Dunia

dan IMF. Tujuan FSAP adalah untuk menilai ketahanan sektor

Tabel 4.3Struktur dan Keanggotaan FSSK

F o r u m A n g g o t a

Page 73: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

65

Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

keuangan serta menilai sejauh mana suatu sistem keuangan

memiliki compliance terhadap standar regulasi prudensial

internasional. Selain itu, Tim Kerja FSSK akan

mengkoordinasikan dan mengharmonisasikan penyusunan

ASKI yang merupakan arah pengembangan sistem

keuangan Indonesia dalam jangka menengah dan jangka

panjang ke depan.

Perkembangan terakhir, Rapat Anggota Forum

Pelaksana FSSK tanggal 13 Agustus 2007 menyepakati

pembentukan 2 (dua) gugus tugas, yaitu gugus tugas

Macro Early Warning System (EWS) dan Crisis

Management Protocol (CMP). Gugus tugas Macro EWS

diharapkan dapat memberikan kajian mengenai dampak

yang ditimbulkan apabila terjadi krisis global, berapa lama

krisis terjadi serta langkah-langkah berikutnya yang harus

dilakukan. Sementara itu, gugus tugas CMP akan

membuat acuan bagi otoritas keuangan dalam

menangani krisis. Dalam CMP akan dijelaskan mekanisme

penanganan krisis yang terjadi di sektor perbankan,

lembaga keuangan non-bank, pasar modal, serta pasar

uang. Dengan adanya CMP, maka otoritas diharapkan

dapat memberikan respon yang tepat dan efektif,

sehingga krisis dapat tertangani secara cepat, efektif, dan

tidak menimbulkan dampak negatif.

Page 74: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

66

Bab 4 Infrastruktur Keuangan dan Mitigasi Risiko

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 75: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

67

Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia

Ar t ike l

Page 76: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

68

Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 77: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

69

Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia

Artikel I

Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko StratejikBank Serta Implikasinya Terhadap Stabilitas Sistem Keuangan

Muliaman D. Hadad1 , Wimboh Santoso2 , Bambang Hermanto3

Dwityapoetra S. Besar4 , Ita Rulina W. S5

Tujuan penelitian ini menganalisis struktur, dinamika, dan kinerja industri perbankan dengan pengukuran

indeks konsentrasi yaitu HHI, HTI, CR 15, dan HHI-CR 15. Analisis dinamika dan risiko industri menggunakan

pendekatan Matriks Transisi Probabilitas Markov, sedangkan stabilitas industri dan risiko stratejik diukur dengan

nilai Entropy Dinamika Peringkat Kinerja baik pada tingkat industri maupun individu. Data yang digunakan

berasal dari laporan keuangan bulanan bank seluruh bank komersial di Indonesia selama September 2000 (156

bank) sampai dengan Mei 2006 (131 bank). Hasil penelitian menunjukkan bahwa industri perbankan Indonesia

berada dalam kondisi stabil karena memang belum beraktifitas pada tingkat persaingan yang normal. Namun,

ketatnya persaingan tersebut berbeda antar sub industri berdasarkan ukuran aset dan kinerja. Persaingan terketat

terjadi pada sub bank menengah. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya pengurangan jumlah bank dalam

industri diikuti oleh penurunan indeks konsentrasi, khususnya HHI dan HTI, serta pengurangan pangsa pasar 15

bank besar. Pada awal periode, 15 bank besar memiliki pangsa pasar +/-70% kemudian menjadi +/

- 60% di akhir

periode. Secara matematis, pengurangan jumlah bank dalam industri, ceteris paribus, seharusnya diikuti dengan

peningkatan indeks konsentrasi. Namun demikian, hasil penelitian menunjukkan fakta sebaliknya, hal ini

menandakan terjadinya proses konsolidasi industri.

1 Deputi Gubernur Bank Indonesia. Artikel ini ditulis pada waktu beliau masih menjadiDirektur √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia; e-mailaddressΩ: [email protected]

2 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia; e-mail addressΩ: [email protected]

3 Pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia; e-mail address: [email protected] Peneliti Senior √ Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan

Perbankan, Bank Indonesia; email address: [email protected] Peneliti √ Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan

Perbankan, Bank Indonesia; email address: [email protected]

1. PENDAHULUAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur risiko

stratejik industri perbankan Indonesia khususnya mengenai

kestabilan industri perbankan, dengan menggunakan

pendekatan disiplin Organisasi Industri. Paradigma

Structure √ Conduct √ Performance diterjemahkan secara

Page 78: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

70

Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan

2. METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan data bulanan bank

umum per Maret 2006 dengan periode waktu antara

September 2000 hingga Mei 2006, dengan variabel-

variabel antara lain aset, beban, laba, modal, kredit, DPK,

dan pendapatan.

Pendekatan disiplin Organisasi Industri. Paradigma

Structure √ Conduct √ Performance diterjemahkan secara

operasional dalam bentuk variabel pengukuran, yaitu:

indeks konsentrasi, pergerakan runtun waktu, dan entropi

dengan alur kerja penelitian disajikan dalam Gambar A.1.1

berikut:

operasional dalam bentuk variabel pengukuran, yaitu:

indeks konsentrasi, pergerakan runtun waktu, dan entropi.

Secara umum disepakati bahwa konsentrasi pasar

adalah salah satu penentu derajat persaingan yang penting,

walaupun pasar yang sangat terkonsentrasi tidak harus

mencerminkan kelangkaan tingkah laku kompetitif di pasar

itu (Nathan dan Neavel, 1989). Kedua kajian tersebut

memberikan bukti-bukti empiris yang mengindikasikan

bahwa konsentrasi pasar yang tinggi cenderung

mengurangi derajat persaingan di sektor perbankan

(Gilbert, 1984 dan Bhattacharya dan Das, 2003). Mengikuti

Rueffly, penelitian ini mengkaitkan persaingan dengan risiko

sekaligus dengan kestabilan industri.

Penelitian ini bersifat eksploratif dengan analisis awal

yang terbatas, mengingat penelitian ini merupakan

penelitian pertama dan belum ada rujukan pengukuran

dari hasil penelitian sebelumnya. Sistematika penyajian

hasil penelitian adalah sebagai berikut:

Bagian 2Bagian 2Bagian 2Bagian 2Bagian 2, menyajikan garis besar metodologi yang

digunakan untuk melihat struktur industri, dinamika

industri, serta ukuran kinerja, risiko, dan stabilitas industri

perbankan.

Bagian 3Bagian 3Bagian 3Bagian 3Bagian 3, menyajikan hasil pengukuran konsentrasi

statis dari variabel aset, kredit, dan DPK yang dilihat dari

HHI, HTI, dan Entropi Statis dari pangsa pasar baik industri

maupun sub kelompok industri sebagai variabel indikator

struktur industri dengan perubahannya dari awal ke akhir

periode penelitian, serta menyajikan entropi relatif

dinamika peringkat industri perbankan dari berbagai

variabel selama periode pengamatan sebagai ukuran

stabilitas dari industri perbankan, entropi individu 15 bank

terbesar sebagai ukuran risiko stratejik, serta dinamika

perubahan individu bank besar dalam sub kelompok.

Bagian 4Bagian 4Bagian 4Bagian 4Bagian 4, menyimpulkan temuan pada bagian

terdahulu dengan menggunakan kerangka organisasi

industri.

Gambar A1.1Alur Kerja Penelitian

Konsentrasi Industri

Ukuran-Ukuran Konsentrasi Statis

Ukuran populer yang digunakan adalah Herfindahl-

Hirschman indeks (HHI). Untuk n perusahaan di dalam

sebuah industri dengan pangsa pasar Si, HHI adalah:

(1) HHI =

Semakin sama ukuran perusahaan, semakin kecil

HHI. Berdasarkan definisi, HHI akan bernilai antara 1/n

10.000 di mana n adalah banyaknya perusahaan di dalam

Matriks Peringkat RelatifMatriks Insiden

Matriks Frekuensi TransisiPeringkat (total)

Matriks ProbabilitasTransisi Markov

(total)

Entropi DinamikaPeringkat Kinerja (sistem)

Entropi DinamikaPeringkat Kinerja (individu)

Matriks ProbabilitasTransisi Markov

Peringkat (4 periode-an)

Matriks Frekuensi TransisiPeringkat (4 periode-an)

Ukuran Dinamika,Risiko Stratejik,

dan Risiko Sistem

Statistik Deskriptif(industri dan kelompok)

Ukuran Konsentrasi Statis(industri dan kelompok)

Page 79: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

71

Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia

sebuah industri. Konsentrasi maksimal sebesar 10.000

ketika satu perusahaan memiliki semua penjualan, output,

atau yang lain di dalam sebuah industri. Ukuran lainnya,

yang secara ekstensif digunakan dalam berbagai kajian

organisasi industri, adalah:

The Hall-Tideman Index (HTI). HTI didefinisikan

dengan:

HTI =

Indeks ini memberikan bobot untuk pangsa pasar

perusahaan sesuai dengan peringkat relatifnya. Indeks ini

mempertimbangkan banyaknya bank dalam penghitungan

indeks konsentrasi untuk mencerminkan adanya pemain

dominan.

Relative Entropy Measure

Konsep entropi berasal dari teori informasi bertujuan

untuk mengukur kandungan informasi harapan ex-ante

dari suatu distribusi. Diformulasikan dengan:

Entropi-Pangsa =

Pengukuran berbasis entropi ini bersifat lebih umum dan

relatif mudah untuk diterapkan, sehingga sering

disarankan untuk mengukur konsentrasi pasar.

Risiko Stratejik dan Stabilitas

Konsep risiko stratejik didasarkan pada rancangan

ordinal mengikuti Collins dan Ruefli (1992). Risiko stratejik

dalam konteks ini diartikan dengan kemungkinan

perusahaan mengalami hilangnya posisi kompetitif relatif

di dalam sektor usahanya. Risiko stratejik dan stabilitas

industri perbankan juga diukur dengan menggunakan

entropi.

Ukuran Risiko Sistem

Informasi yang diperlukan untuk mengukur

ketidakpastian untuk sebuah sistem bisa diperoleh dari

distribusi-distribusi probabilitas yang mendeskripsikan

tingkah laku sistem (Shannon 1948). Penelitian ini

menggunakan ukuran entropi bersyarat relatif H(J|K)rel

untuk

merepresentasikan ketidakpastian relatif dari sistem. H(K|J)

adalah ukuran entropi absolut bersyarat rata-rata dari

sistem dan dirumuskan oleh:

H(K|J) =

H(K|J) menginformasikan nilai informasi yang dikandung

oleh observasi-observasi pada sistem apabila urutan

peringkat-peringkat perusahaan saat ini diketahui.

Sedangkan H*(K|J) = ln n adalah entropi bersyarat rata-

rata maksimal dari sistem dan bernilai sama dengan ln n.

Jadi entropi relatif dinamika peringkat kinerja H(K|J) rel

adalah :

H(K|J)rel =

H(K|J)rel mengekspresikan ketidakpastian relatif

sistem yang mencerminkan nilai informasi rata-rata transisi

sebuah perusahaan di dalam sistem antara dua keadaan

dalam dua waktu yang berbeda, bila diketahui keadaan

awal dari masing-masing perusahaan. H(K|J)rel bernilai dari

0 hingga 1. Apabila sistem benar-benar pasti, artinya,

apabila probabilitas semua keluaran bersyarat adalah 0

atau 1, maka entropi dari sistem, H(K|J), adalah 0. apabila

entropi sistem mendekati entropi maksimum yang

mungkin, H*(K|J), H(K|J)rel mendekati satu. Artinya, ketika

probabilitas masing-masing transisi dalam matriks transisi

mendekati 1/n, entropinya mendekati entropi maksimum

(atau itulah sistem yang random).

Page 80: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

72

Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan

Ukuran Risiko Stratejik Individual

Andaikan Nijk adalah total banyaknya transisi yang

dilakukan oleh perusahaan i dari peringkat j ke peringkat

k. Selanjutnya, dengan mengetahui bahwa untuk semua

perusahaan pk|j = N.jk/N.j., nilai harapan tertimbang dari

informasi yang berkenaan dengan transisi peringkat

bersyarat dapat ditulis:

h(k|j) = - [N.jk/N.j.]ln(pk|j)

Kemudian, nilai harapan total informasi tertimbang

yang berkenaan dengan transisi-transisi di dalam sistem

dari peringkat j ke peringkat k, yang dialamatkan pada

sebuah individu perusahaan i, dapat ditulis dengan

menggunakan entropi individu yang dirumuskan dengan:

hi(k|j) = - [Nijk/N.j.]ln(pk|j)

porsi ketidakpastian total yang dikontribusi oleh

perusahaan i di dalam sistem ditentukan oleh:

HWi(K|J) =

HWi(K|J)rel = HWi(K|J)/ HW*(K|J).

Untuk analisis dinamika pergerakan individu bank

dikaitkan dengan kinerja dan risiko di pergunakan

modifikasi matriks BCG, yang berakar pada disiplin

Organisasi Industri, mengingat jumlah data runtun waktu

masih terlalu sedikit untuk di analisis secara ekonometrik.

Modifikasi tersebut dalam bentuk Matriks Pangsa-Kinerja,

Pangsa√Risiko, dan Risiko-Kinerja yang dibandingkan

dalam dua titik waktu pengamatan yang berbeda; awal

periode dan akhir periode.

3. STRUKTUR INDUSTRI PERBANKAN, STABILITAS

INDUSTRI, DAN RISIKO STRATEJIK BANK

Pola persaingan dalam suatu industri ditentukan oleh

struktur industri yang diukur dengan: jumlah pemain,

adanya pemain dominan dan tingkat konsentrasi industri.

Hasil perhitungan statistik beberapa indeks konsentrasi

industri perbankan selama periode penelitian berdasarkan

berbagai variabel disajikan pada butir-butir berikut.

Pengukuran Konsentrasi: Aset, kredit dan DPK

Tabel A.1.1 memperlihatkan bahwa rerata HHI aset

sebesar 888, yang berarti bahwa industri perbankan

Indonesia relatif tidak terkonsentrasi, empat pemain

dominan terbesar tidak dapat mendikte pasar atau market

power (kekuatan pasar) pemain-pemain tersebut rendah.

Hal tersebut sejalan dengan rerata CR 15 yang

menunjukkan bahwa 15 bank dengan nilai aktiva terbesar,

secara bersama, rata-rata menguasai 68% aset

perbankan, dengan simpang baku (standard deviation)

sebesar 2%. Sejalan dengan hal tersebut adalah kecilnya

nilai indeks HTI, serta kecenderungan runtun waktu kedua

ukuran indeks konsentrasi aset, HHI, HHI-15 dan HTI yang

terus menurun sebagaimana terlihat pada Grafik A.1.1

Trend tersebut menunjukkan semakin kecilnya kekuatan

pasar dari bank besar. Penurunan indeks-indeks konsentrasi

aset tersebut bersamaan dengan penurunan jumlah bank

yang mencapai 16%. Pada awal periode penelitian

terdaftar 156 bank dan di akhir periode hanya 131 bank.

Secara teoritis seharusnya penurunan jumlah bank diikuti

Gambar A1.2Matriks Dinamika Risiko-Kinerja √ Awal/Akhir Periode T

Matriks Dinamika Risiko-Kinerja - Pada Periode T

Kinerja

Risi

ko

1Balance

Laggart Superiori

Alert2

3 4

-0,4

-0,3

-0,2

-0,1

0

0,1

0,2

-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Sumber: diolah

Keterangan :- Kuadran 1 : posisi individu bank dengan nilai kinerja dan risiko lebih dari rata-rata

kelompok (Balance)- Kuadran 2 : posisi individu bank dengan nilai kinerja kurang dari rata-rata kelompok

namun nilai risiko lebih dari rata-rata kelompok (Alert)- Kuadran 3 : posisi individu bank dengan nilai kinerja dan risiko kurang dari rata-rata

kelompok (Laggart)- Kuadran 4 : posisi individu bank dengan nilai kinerja lebih dari rata-rata kelompok namun

nilai risiko kurang dari rata-rata kelompok ( Superiori)

Page 81: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

73

Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia

HHI AVG 10.000/n < HHI < 10.000 888.937 601.451 890.798SD 151.718 31.995 113.625CV 5.859 18.798 7.840

HHI - CR 15 AVG 10.000/n < HHI-15 < 10.000 870.096 568.062 717.506SD 153.562 41.908 105.800CV 5.666 13.555 6.782

ENTROPY - STATIS AVG 0 < ENTROPY-STA < 1 0.643 0.701 0.648SD 0.023 0.010 0.025CV 28.514 71.702 25.571

CR-15 AVG 0 < CR-15 < 1 0.681 0.588 0.549SD 0.025 0.047 0.027CV 26.918 12.390 20.038

HTI AVG 0 < HTI < 1 0.042 0.034 0.045SD 0.003 0.002 0.002CV 15.792 19.543 19.020

dengan peningkatan indeks-indeks konsentrasi, atau

peningkatan kekuatan pasar di industri perbankan.

Hal ini sejalan dengan penelitian Bikker dan Haaf

(2001), yang melakukan kajian yang sama pada berbagai

negara dan hasil kerja Bhattacharya dan Das (2003) yang

mengkaji dinamika konsentrasi pasar perbankan di India.

Konsentrasi pasar kredit diukur dengan berbagai

ukuran konsentrasi statis sebagaimana pada Tabel A.1.1

di atas menunjukkan bahwa rerata tingkat kekuatan pasar

pemain lebih kecil dibandingkan dengan konsentrasi aset.

Berdasarkan grafik A.1.3 di bawah, pada awal 2002 sampai

Tabel A1.1.Rerata, Simpang Baku dan Koefisien Kovariasi Berbagai Ukuran Konsentrasi Statis Industri Perbankan

KISARAN ASSET KREDIT DPK

Sumber : diolah

Jumlah Bank HHI HHI 15 Besar HTI Pangsa 15 Besar

SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

0

200

400

600

800

1000

1200

1400

Grafik A1.1Pergerakan HHI, HHI-15, CR-15, dan Jumlah Bank

Berdasarkan Asset : 06/2000 √ 05/2006

0,54

0,56

0,58

0,6

0,62

0,64

0,66

0,68

0,7

SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Grafik A1.2Pergerakan Entropi pangsa berdasarkan Asset :

06/2000-05/2006

Untuk kepentingan penyesuaian skala grafik pangsa pasar 15 besar dikalikan dengan 1000Sumber : diolah Sumber : diolah

dengan awal 2005 terjadi kenaikkan pada HHI Industri,

HHI-CR 15, dan CR 15, bersamaan juga dengan penurunan

entropi pangsa. Hal ini menandakan bahwa pada periode

tersebut kekuatan pasar pemain meningkat, namun mulai

pertengahan 2002 hingga kuartal pertama 2006 indeks

HHI dan HTI kembali menurun dan nilai entropi juga

meningkat yang berarti bahwa kekuatan pasar berkurang.

Secara absolut nilai indeks konsentrasi DPK lebih

mendekati indeks aset dan berbeda dari indeks kredit,

dengan demikian penafsiran hasil dan kesimpulan

mengenai persaingan adalah senada dengan aset. Tabel

Page 82: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

74

Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan

A.1.1 di atas juga menjelaskan bahwa secara rata-rata

kekuatan pasar DPK relatif rendah sepanjang periode

penelitian. Seperti juga pada aset, terlihat kecenderungan

menurunnya daya pengaruh ke pasar bagi bank besar, yang

terlihat dari menurunnya tren HHI maupun HTI, dan juga

nilai entropi pasar yang semakin mendekati satu seperti

pada grafik di bawah berikut. Dari sisi persaingan,

ditemukan bahwa pada pasar kredit persaingan lebih ketat

dibanding pada pasar DPK.

Stabilitas Industri dan Risiko Stratejik

Stabilitas industri perbankan tercermin dari tingkat

keacakan peringkat kinerja bank, sebagai hasil dari

persaingan di pasar asupan maupun keluaran, ditunjukkan

oleh besarnya Entropi Relatif Dinamika Peringkat (ERDP)

kinerja seluruh bank dalam industri. Stabilitas industri ini

erat terkait dengan risiko stratejik bank-bank, yang diukur

dengan Entropi Absolut Dinamika Peringkat individu,

mengingat keduanya diturunkan dari matriks probabilitas

transisi Markov.

Gambar diagram pencar distribusi probabilitas transisi

menurut aset dan ROI, disajikan pada Gambar A.1.3 dan

A.1.4 di bawah memperlihatkan bahwa nilai probabilitas

transisi, baik peringkat ROI maupun aset, tersebar di sekitar

garis diagonal, tidak merata pada seluruh matriks. Hal

tersebut menunjukkan bahwa kenaikan atau penurunan

peringkat kinerja terjadi dalam rentang tertentu yang relatif

tidak acak. Namun demikian terlihat suatu pola yaitu pada

Grafik A1.4Pergerakan Entropi pangsa berdasarkan Kredit :

09/2000-05/2006

0,67

0,68

0,69

0,7

0,71

0,72

0,73

SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006Sumber : diolah

Grafik A1.3Pergerakkan HHI, HHI-15, CR-15, dan Jumlah Bank

Berdasarkan Kredit : 06/2000 √ 05/2006

0

100

200

300

400

500

600

700

SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Jumlah Bank HHI HHI 15 Besar HTI Pangsa 15 Besar

Untuk kepentingan penyesuaian skala grafik pangsa pasar 15 besar dikalikan dengan 1000Sumber : diolah

Grafik A1.6Pergerakan Entropi pangsa berdasarkan DPK :

09/2000-05/2006

Untuk kepentingan penyesuaian skala grafik pangsa pasar 15 besar dikalikan dengan 1000Sumber : diolah

Sumber : diolah

Grafik A1.5Pergerakkan HHI, HHI-15, CR-15, dan Jumlah Bank

Berdasarkan DPK : 06/2000 √ 05/2006

0

200

400

600

800

1000

1200

SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Jumlah Bank HHI HHI 15 Besar HTI Pangsa 15 Besar

0,54

0,56

0,58

0,60

0,62

0,64

0,66

0,68

0,70

SepNov JanMarMei Jul Sep NovJanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei Jul Sep Nov JanMarMei

2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006

Page 83: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

75

Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia

perhitungan stabilitas industri perbankan, entropi relatif

dinamika peringkat, maupun risiko stratejik individu bank

tertentu. Berikut sajian dan analisis hasil perhitungan

entropi industri perbankan.

Entropi Kinerja Lima Belas Bank Besar

Entropi absolut menunjukkan pola perilaku

dinamis individu bank dari waktu ke waktu dimana

dinamika yang tinggi mengindikasikan ketidakpastian

posisi baik dalam perolehan pasar maupun pencapaian

kinerja; dan dipergunakan sebagai indikator/ukuran risiko

stratejik. Tabel A.1. 2 menyajikan ikhtisar hasil perhitungan

entropi absolut per kuartal dari lima belas bank terbesar.

Dari tabel tersebut terlihat bahwa terjadi penurunan

rerata entropi dari awal ke akhir periode penelitian, empat

dari lima bank dengan entropi terkecil dan kurang dari

entropi rerata pada awal periode bertahan sampai akhir

periode. Sebaliknya lima entropi awal periode terbesar

empat diantaranya berganti bank hanya satu yang tetap

yaitu bank dengan kode IIHB. Dengan kata lain entropi

yang besar memang menunjukkan tingkat dinamika yang

lebih dibanding dengan yang kecil. Bank dengan kode IIPI

meskipun secara rerata memiliki entropi terkecil ternyata

pada awal dan akhir periode posisi entropinya selalu di

atas rerata limabelas bank besar, artinya pada tengah

periode penelitian saja entropi bank tersebut jauh di bawah

rerata. Grafik pergerakan runtun waktu entropi 15 bank

terbesar selama periode penelitian sebagai pelengkap

terlampir.

Dinamika Risiko Stratejik Dan Kinerja Individu

Lima Belas Bank Besar

Secara empiris belum ada rujukan yang menyatakan

pola hubungan antara risiko stratejik dengan kinerja bank.

Matriks Risiko-Kinerja, Pangsa-Kinerja, dan Pangsa-Risiko

digunakan untuk memetakan posisi relatif individual bank

pada awal dan akhir penelitian sebagai alat

Gambar A.1.3Pola Penyebaran Probabilitas Transisi Peringkat ROI

Seluruh Industri Perbankan

Gambar A.1.4Pola Penyebaran Probabilitas Transisi Peringkat Asset

Seluruh Industri Perbankan

kedua ujung diagonal rentang tersebut relatif sempit, pada

ROI tiga sampai tujuh peringkat kemudian melebar pada

bagian tengah diagonal antara peringkat duapuluhan

sampai dengan peringkat delapan puluhan dengan

rentang antara dua puluh sampai tujuh puluh peringkat.

Pola yang sama juga terlihat pada ERDP aset namun

dengan rentang yang lebih sempit. Pola tersebut

mengindikasikan bahwa bank pada peringkat tengah,

peringkat duapuluhan sampai dengan delapan puluhan

inilah kelompok dinamis yang probailitas sebagai pemicu

ketidakstabilan dalam industri lebih besar dibandingkan

dengan kelompok peringkat atas dan bawah. Matriks

transisi probalitas Markov tersebut merupakan dasar

Page 84: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

76

Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan

mengelompokkan, menggambarkan dinamika serta

implikasinya terhadap stabilitas industri perbankan. Berikut

disajikan hasil pemetaan menurut berbagai matriks

tersebut.

Entropi Absolut vs ROI 15 Bank Besar

Pada matriks dinamika risiko-kinerja di bawah terlihat

bahwa, pertama, penyebaran individu-individu bank pada

tiap kuadran dari awal sampai akhir penelitian relatif tidak

berubah, kedua, tidak terlihat pola hubungan linier antara

kinerja dengan risiko stratejik. Terlihat 4 individu bank (IIHP,

IIIR, IIPI, IIPP) yang menunjukkan kinerja di atas rata-rata,

tetapi hanya ada satu individu bank (IIPI) yang

memperlihatkan nilai entropi absolut diatas rata-rata atau

pada kuadran balance, sedangkan 11 lainnya berada pada

kuadran dengan kinerja dibawah rata-rata.

Pangsa pasar seringkali digunakan sebagai ukuran

kinerja dalam perolehan pasar. Untuk melihat perilaku

individu bank dari waktu ke waktu disajikan pola hubungan

antara pangsa pasar dan ROI.

Gambar A.1.5Matriks Dinamika Risiko-Kinerja Entropi Absolut dan ROI

15 Bank Besar - Awal & Akhir Periode Sampel

Sumber : diolah

ROI

Entr

oAbs

EntroAbs vs ROI Standard-Awal Periode Sampel

-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

-0,4

-0,3

-0,2

-0,1

0

0,1

0,2

ROI

Entr

oAbs

EntroAbs vs ROI Standard-Akhir Periode Sampel

-0,8

-0,6

-0,4

-0,2

0

0,2

0,4

-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7

1 Iipi 0.01052 Iihp 0.01543 Iiir 0.01734 Iipp 0.01875 Iipb 0.02036 Iisi 0.02267 Irsb 0.02328 Iiap 0.02409 Iiar 0.024210 Iihb 0.024311 Irrb 0.024612 Iaia 0.024813 Iisb 0.025114 Iibi 0.025515 Iihi 0.0260

Rata-rata 0.0218

1 Iisb 0.01572 Iihp 0.01573 Iipp 0.02144 Iiir 0.02145 Iaia 0.02146 Irsb 0.02707 Irrb 0.02708 Iisi 0.02709 Iipi 0.027010 Iipb 0.027011 Iiar 0.027012 Iihi 0.027013 Iihb 0.027014 Iibi 0.027015 iiap 0.0270

Rata-rata 0.0244

1 Iipp 0.00332 Iipb 0.01233 Iihp 0.01574 Iiir 0.01575 Iaia 0.02146 Iiap 0.02147 Iiar 0.02148 Irrb 0.02149 Irsb 0.027010 Iibi 0.027011 Iihb 0.027012 Iihi 0.027013 Iipi 0.027014 Iisb 0.027015 iisi 0.0270

Rata-rata 0.0215

Tabel A.1.2Entropi Absolut Dinamika Peringkat ROI - 15 Bank Besar

Rata-rata Selama Periode Penelitian, Kuartal II 2001 dan Kuartal I 2006

Sumber : diolah

No.Kode

15 Bank Besar

Rata-Rata

Entropi IndividuNo.

Kode15 Bank Besar

Rata-Rata

Posisi AwalPeriode

No.Kode

15 Bank Besar

Rata-Rata

Posisi AkhirPeriode

Page 85: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

77

Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia

Pangsa Pasar vs ROI 15 Bank Besar

Matriks dinamika berikut memperlihatkan posisi 15

bank besar berdasarkan pangsa pasar dan kinerjanya.

Sebagaimana pada matriks entropi-ROI di atas, terlihat 4

individu bank (IIHP, IIIR, IIPI, IIPP) dengan pangsa pasar dan

kinerja di atas rata-rata yang relatif tidak berubah dari awal

hingga akhir periode sampel. Sisa 11 bank lainnya

berkumpul pada kuadran 3 dengan pangsa pasar dan

kinerja di bawah rata-rata sehingga dapat disimpulkan

bahwa kedua matriks di bawah ini juga menunjukkan

adanya kemungkinan pola hubungan linear antara pangsa

dan kinerja keuangan, meskipun disertai fenomena

heteroskedastis, atau perubahan menjadi nonlinear pada

akhir periode.

Fungsi intermediasi bank dalam menyeimbangkan

perolehan DPK dan penyaluran kredit menjadi pusat

perhatian banyak pihak. Realita yang disampaikan adalah

tidak optimalnya fungsi penyaluran kredit. Penelitian ini

juga menyajikan secara lebih komprehensif realita tersebut

dengan melihat pola perilaku pertumbuhan DPK/

pertumbuhan kredit pada 15 bank besar dan ROI.

Ukuran keseimbangan fungsi intermediasi bank

dapat ditunjukkan oleh tingkat pertumbuhan DPK

berbanding dengan tingkat pertumbuhan kredit. Pada

bahasan selanjutnya akan disajikan pola hubungan dari

perbandingan pertumbuhan DPK dan kredit terhadap

kinerja (ROI) untuk 15 bank besar.

Pertumbuhan DPK/Pertumbuhan Kredit Vs ROI

15 Bank Besar

Rasio antara pertumbuhan DPK dengan

pertumbuhan kredit dari dua titik waktu, melengkapi

kedua matriks sebelumnya, dapat mengindikasikan

kestabilan fokus strategi dan kebijakan alokasi sumberdaya

bank. Pada matriks di bawah terlihat bahwa pada sebagian

besar bank alokasi sumberdaya relatif lebih besar ke pasar

kredit, demikian pula dengan keempat bank yang

berprestasi terbaik berkumpul pada kuadran 4 atau

superior (IIHP, IIIR, IIPI, IIPP). Hanya 2 bank (IIBI, IIHB) yang

menunjukkan sebaliknya pada awal periode dan pada akhir

periode sampel, posisi tersebut digantikan oleh IIAR dan

IIRB, jika kualitas kredit kedua bank ini kurang atau tidak

bagus maka kondisi ini dapat memperburuk kinerja ke

depan dan pada gilirannya berpotensi sebagai penyebab

ketidakstabilan industri perbankan. Posisi relatif bank-bank

besar lainnya pada matriks ini tidak bergerak dari awal

hingga akhir periode.

Dinamika individu bank untuk variabel pertumbuhan

DPK/pertumbuhan kredit terlihat hanya 2 individu dengan

nilai di atas rata-rata, hal ini mengandung 2 makna yakni

apakah nilai DPK individu bank tersebut relatif besar

ataukah nilai penyaluran kreditnya relatif kecil. Penelusuran

Gambar A.1.6Matriks Dinamika Risiko-Kinerja Pangsa Pasar dan ROI 15

Bank Besar - Awal & Akhir Periode Sampel

Sumber : hasil olahan tim peneliti

ROI

Pang

sa

-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

Pangsa vs ROI Standard-Awal Periode Sampel

-0,1

-0,05

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

Pangsa vs ROI Standard-Akhir Periode Sampel

ROI

Pang

sa

-0,06-0,04-0,02

00,020,040,060,08

0,10,120,14

-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7

Page 86: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

78

Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan

data memperlihatkan bahwa kedua bank ini memiliki

perolehan DPK yang terlalu besar sementara penyaluran

kredit yang relatif kecil (contoh IIBI dengan pangsa DPK

sebesar 5% sementara pangsa Kreditnya sebesar 0,6%).

Namun demikian pencapaian ROI kedua individu bank ini

relatif di bawah rata-rata yang berarti kedua bank ini

memfokuskan diri pada perluasan pasar (input atau output)

dengan marjin yang relatif rendah. Uraian di atas

memperlihatkan bahwa perubahan 15 bank besar relatif

kecil, hanya sebagian kecil individu bank yang

memperlihatkan perubahan signifikan dari posisi low

menjadi high dari nilai rata-rata yang dimiliki oleh

kelompok ini (entropi absolut, pangsa pasar, gD/gK, ROI).

Bahkan terlihat individu bank yang memiliki pangsa pasar

tinggi namun dengan tingkat kinerja relatif rendah yang

mengindikasikan aktifitas mass product dengan orientasi

perolehan pasar dan marjin yang rendah.

Dari ketiga hubungan di atas (poin V.4.1-3) terlihat

peta dinamika dalam kelompok 15 bank besar dengan

kecenderungan 4 individu bank (IIHP, IIIR, IIPI, IIPP) dengan

tingkat kinerja di atas rata-rata, sedangkan sisanya berada

di bawah rata-rata. Pergerakan ke-15 bank besar ini relatif

stabil dari waktu ke waktu, walaupun beberapa individu

(IIBI, IIHB, IIHI, IISB, IIPI, IISI, IRSB) menampilkan nilai entropi

absolut di atas rata-rata. Dinamika persaingan pada 11

individu bank (selain 4 bank dengan kinerja tinggi)

memperlihatkan perubahan dan pertukaran posisi dari

awal hingga akhir periode sampel. Ketatnya persaingan

pada 11 bank ini kemungkinan besar dikarenakan ukuran

yang relatif sama dibanding dengan 4 bank dengan kinerja

tinggi.

BOPO vs ROI 15 Bank Besar

Matriks berikut memperlihatkan bahwa 4 individu

bank dengan kinerja yang relatif di atas rata-rata

memperlihatkan nilai BOPO yang relatif tinggi (IIHP, IIIR,

IIPI, IIPP). Hal ini menandakan bahwa keempat bank

tersebut memiliki beban operasional yang relatif tinggi

namun dengan pencapaian ROI yang juga relatif tinggi.

Sebaliknya untuk 11 bank lainnya memperlihatkan nilai

BOPO yang relatif di bawah rata-rata dengan kinerja yang

relatif rendah di kelompoknya. Dengan kata lain, kelompok

15 bank besar dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok yakni

yang berada pada kuadran 1 dengan nilai BOPO dan kinerja

di atas rata-rata dan pada kuadran 3 dengan nilai BOPO

dan kinerja di bawah rata-rata. Fenomena ini sejalan

dengan fenomena hubungan antara ROI dengan pangsa

yang linear dan heteroskedastik.

Pola hubungan antara BOPO dengan ROI pada dua

titik waktu observasi sepintas terlihat tidak logis, counter

intuitive. Namun hal tersebut ternyata juga terjadi di negara

lain (Neceur, 2003 dan Bhattacharya, 2003), sehingga

dapat disimpulkan bahwa pola tersebut merupakan

kekhasan industri perbankan.

Gambar A.1.7Martiks Dinamika Risiko-Kinerja

Pertumbuhan DPK/Pertumbuhan Kredit dan ROI 15 BankBesar- Awal & Akhir Periode Sampel

Sumber : diolah

gD/gK vs ROI Standard-Awal Periode Sampel

ROI

gD/g

K

-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

-3-2-101234567

gD/gK vs ROI Standard-Akhir Periode Sampel

-20-10

0

10203040

5060

3-3 -2 -1 0 1 2 4 5 6 7

ROI

gD/g

K

Page 87: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

79

Artikel I - Jaring Pengaman Keuangan: Kajian Literatur dan Praktiknya di Indonesia

4. KESIMPULAN

Penelitian eksploratif ini bertujuan untuk

memperoleh gambaran mengenai keterkaitan antara

struktur, dinamika, dan kinerja industri perbankan,

khususnya kestabilan industri dan risiko stratejik individu

bank dengan menggunakan pendekatan Organisasi

Industri sebagai berikut:

1. Pengelompokan bank berdasarkan berbagai kriteria

Bank Indonesia didukung oleh kenyataan adanya

perbedaan distribusi statistik berbagai variabel

keuangan antar kelompok tersebut. Kelompok

tersebut dapat dianggap sebagai sub industri

perbankan yang berbeda secara riil.

2. Terjadi konsolidasi industri perbankan secara perlahan,

pada saat berkurangnya jumlah bank berkurang pula

kekuatan pasar pemain besar; sebaliknya, pemain

menengah bertambah kekuatan pasarnya. Hal ini

menunjukkan beberapa kemungkinan, pertama,

nasabah dari bank yang ditutup tidak berpindah ke

bank besar, atau kedua, bank menengah berhasil

menarik nasabah baru, ketiga, bank menengah

berhasil menarik nasabah lama dari bank besar, atau

yang terakhir adalah gabungan dari ketiganya.

3. Berkaitan dengan butir dua di atas, dalam pandangan

sebagian nasabah Indonesia dan sejauh berkaitan

dengan trade-off antara imbal hasil dan risiko, jasa/

produk bank besar adalah sama dengan jasa/produk

bank menengah/kecil. Hal ini mungkin akan

menambah keseriusan masalah informasi yang

asimetri pada industri perbankan Indonesia, yakni apa

yang disebut sebagai lemon market- nya Akerloff.

4. Secara keseluruhan industri perbankan Indonesia

dalam kondisi stabil, karena memang belum

beraktifitas pada tingkat persaingan yang normal,

namun, ketatnya persaingan tersebut berbeda antar

sub industri berdasarkan ukuran aset dan kenerja.

Persaingan terketat ada pada sub bank menengah.

5. Pola hubungan linier antara risiko stratejik dengan

berbagai variabel kinerja dan pangsa tidak dapat

ditetapkan dari data, hal ini mungkin berkaitan

dengan fenomena nonlinearitas risiko, tidak

sebagaimana halnya dengan pola hubungan antara

pangsa dan berbagai kinerja keuangan yang sudah

lebih jelas. Yang khas pada industri perbankan adalah

adanya hubungan linier positif antara rasio

profitabilitas dengan rasio BOPO.

Gambar A.1.8.Matriks Dinamika Risiko-Kinerja BOPO dan ROI 15 Bank

Besar-Awal & Akhir Periode Sampel

Sumber : hasil olahan tim peneliti

BOPO vs ROI Standard-Awal Periode Sampel

ROI

BOPO

-7 -6 -5 -4 -3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

-0,1

-0,05

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

BOPO vs ROI Standard-Akhir Periode Sampel

ROI

BOPO

-0,1-0,05

00,05

0,10,15

0,20,25

-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7

Page 88: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

80

Artikel I - Dinamika Struktur Industri Perbankan, Risiko Stratejik Bank Serta Implikasinya terhadap Stabilitas Sistem Keuangan

Avi Fiegenbaum and Howard Thomas (2004),Δ Strategic

risk and competitive advantage: an integrative

perspectiveΔ, European Management Review (2004)

1, 84√95

Basel Committee on Banking Supervision. 1998. Risk

Management for Electronic Banking and Electronic

Money Activities.

Basel Committee on Banking Supervision. 2001. Working

Paper on the Regulatory Treatment of Operational

Risk.

Basel Committee on Banking Supervision. 2003. Risk

Management Principles for Electronic Banking.

Basel Committee on Banking Supervision. 2003. Sound

Practices for the Management and Supervision of

Operational Risk.

Ben Naceur, Samy.October (2003).ΔThe Determinants of

The Tunisian Banking Industry Profitability: Panel

EvidenceΔ. Universite» Libre de Tunis. Department of

Finance.

Boss, Michael, Helmut Elsinger, Martin Summer, dan Stefan

turner (2004),ΔThe Network Topology of the

Interbank MarketΔ, Working Paper.

Boss, Michael, Helmut Elsinger, Martin Summer, dan Stefan

turner (2003), ≈An Empirical Analysis of the Network

Structure of the Austrian Interbank MarketΔ, Financial

Stability Report 7.

Collins, James M and Ruefli, Timothy W (1992), Δ Strategic

Risk : An Ordinal ApproachΔ, Management Science

Vol.38 No.12

Elsinger, Helmut, Alferd Lehar, dan Martin Summer

(2006),ΔUsing Market Information for Banking System

Risk AssessmentΔ, International Journal of Central

Banking, Vol 2 No 1.

Elsinger, Helmut, Alferd Lehar, dan Martin Summer,≈A New

Approach to Assessing the Risk of Interbank LoansΔ,

Financial Stability Report 3.

Daftar Pustaka

Freddy Delbaen (2000), ≈Coherent Risk Measures on

General Probability SpacesΔ, ¨ossische Technische

Hochschule, Z¨urich ,March 10

Jorion, Philippe. (2001). Value at Risk: The New Benchmark

for Managing Financial Risk, 2nd edition. New York:

McGraw-Hill.

Kaushik Bhattacharya and Abhiman Das (2003),Δ Dynamics

of Market Structure and Competitiveness of the

Banking Sector in India and its Impact on Output and

Prices of Banking ServicesΔ, Reserve Bank of India

Occasional Papers Vol. 24, No. 3, Winter.

Mehra Ajay (1996), Δ Resources and Market based

Determinants of Performance in the US Banking

IndustryΔ, Journal of Strategic Management Vol 17

No.4

Peraturan Bank Indonesia No 5/8/PBI/2003 tanggal 19 Mei

2003 tentang Penerapan Manajemen Risiko.

Ruefli, Timothy W (1990),Δ Mean-Variance Approaches

to Risk-Return Relationships in Strategy: Paradox

LostΔ,Management Science; Mar 1990; 36, 3; ABI/

INFORM Global pg. 368

Ruefli, Timothy W.; Wilson, Chester L. (1987), ΔOrdinal

Time Series Methodology for Industry and

Competitive AnalysisΔ, Management Science, May;

33, 5; ABI/INFORM Global pg. 640

The Financial Services Roundtable. (1999). Guiding

Principals in Risk Management for U.S. Commercial

Banks: A Report of The Subcommittee and Working

Group on Risk Management Principles. Washington

D.C.

Winfrey, Frank L. dan James L. Budd (1997),Δ Reframing

Strategic RiskΔ, S.A.M. Advanced Management

Journal. Autumn; 62, 4; ABI/INFORM Global, hal. 13-

21.

Page 89: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

81

Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia

Artikel II

Credit Risk Modelling:Rating Transition Matrices

Muliaman D. Hadad1 , Wimboh Santoso2 , Bagus Santoso3

Dwityapoetra S. Besar4 , Ita Rulina W. S5

1. PENDAHULUAN

Risiko kredit masih menjadi masalah utama

perbankan. Oleh karena itu, perbankan perlu

mengidentifikasi, mengukur, memonitor, dan mengontrol

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui migrasi rating pada periode tertentu, heterogenitas migrasi

rating dan tingkat volatilitas migrasi rating. Dengan menggunakan rating yang dikeluarkan oleh PT Pemeringkat

Efek Indonesia (Pefindo) sejak February 2001 sampai dengan Juni 2006, dihitung rating transition matrices

dengan menggunakan metode cohort dan continuous. Untuk setiap metode, disusun matriks tahunan, dua

tahunan (2004-2005), tiga tahunan (2003-2005), empat tahunan (2002-2005) dan lima tahunan (2001-2005).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa metode Continuous memberikan hasil yang lebih efisien dari pada metode

Cohort. Estimasi dengan menggunakan metode Continuous memberikan hasil terbaik untuk rating obligasi

korporasi dan menghasilkan distribusi probababilitas yang lebih tersebar. Dari sisi trend migrasi rating, estimasi

baik dengan menggunakan metode Cohort maupun Continuous memberikan hasil yang relatif konsisten. Selain

itu, migrasi rating cenderung untuk bergerak ke arah perbaikan rating dan hal ini konsisten dengan analisis

rating activity and rating drift.

risiko kredit serta memastikan tersedianya cukup modal

untuk mengantisipasi risiko tersebut (Basel Committee on

Banking Supervision, 1999). Basel II menetapkan bahwa

institusi keuangan perlu memiliki kemampuan untuk

menguji kinerja model kredit dan rating internal untuk

memastikan bahwa model tersebut dapat secara konsisten

dan meaningful mengukur risiko kredit (van Deventer dan

Wang, 2003). Secara khusus, van Deventer dan Imai (2003)

menyebutkan bahwa risiko kredit merupakan penyebab

utama default perbankan.

1 Deputi Gubernur Bank Indonesia. Artikel ini ditulis pada waktu beliau masih menjadiDirektur √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan, Bank Indonesia; e-mailaddressΩ: [email protected]

2 Kepala Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan,Bank Indonesia; e-mail addressΩ: [email protected]

3 Pengajar Fakultas Ekonomi, Universitas Gadjah Mada; e-mail address:[email protected]

4 Peneliti Senior √ Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan PengaturanPerbankan, Bank Indonesia; email address: [email protected]

5 Peneliti √ Biro Stabilitas Sistem Keuangan √ Direktorat Penelitian dan PengaturanPerbankan, Bank Indonesia; email address: [email protected]

Page 90: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

82

Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices

Ada beberapa kesulitan dalam menentukan solusi

risiko kredit yang mencakup banyak perusahaan. Pertama,

risiko kredit memiliki berbagai bentuk dan ukuran. Kedua,

jenis risiko kredit yang berbeda umumnya dikelola secara

ketat dan terpusat. Sumber risiko kredit juga relatif

beragam dan mencakup mulai dari corporate atau

sovereign bonds, credit derivatives, over-the-counter

derivatives (misalnya interest rate swap), pinjaman

komersial, retail mortgages, dan kartu kredit. Ketiga, bank

cenderung mengelola risiko kredit secara terpisah dari risiko

pasar.

Dalam melakukan pengukuran credit risk, Kamakura

Risk Information Services-KRIS (2004) menggunakan tiga

pendekatan kuantitatif untuk memodelKAN default

probabilities, yaitu Model Jarrow Chava, Model Struktural

Merton, dan Model Hibrid Jarrow Merton. Ketiga

pendekatan tersebut memasukkan informasi mengenai

harga pasar ekuitas perusahaan dan tingkat suku bunga,

sehingga current market expectation dapat terakomodasi

dalam default probability estimates. Van Deventer dan

Wang (2003) menggunakan model ini untuk mengestimasi

eksplisit probabilitas default dengan menggunakan regresi

logistik berdasarkan database default historis.

Selain melalui estimasi probabilitas default, analisis

risiko kredit juga dapat dilakukan melalui analisis migrasi

risiko (probabilitas migrasi rating obligasi). Bond rating

merupakan salah satu indikator penting untuk menilai

kualitas kredit perusahaan, dan juga default probability

perusahaan tersebut. Perubahan rating sebuah perusahaan

merefleksikan penilaian apakah kualitas kredit perusahaan

tersebut membaik (upgrade) atau memburuk (downgrade).

Analisis perpindahan rating, termasuk default, berguna

dalam credit risk model untuk mengukur future credit loss.

Dengan demikian, matriks yang berisi probabilitas transisi

rating (atau sering disebut transition matrix) memiliki peran

penting dalam credit risk modelling.

Secara teoritis, matriks transisi dapat diestimasi

untuk horison transisi yang diinginkan. Akan tetapi,

biasanya yang sering digunakan adalah matriks transisi

tahunan atau lima tahunan. Secara khusus, matriks

transisi menunjukkan risiko default dan volatilitas

migrasi yang tinggi untuk portofolio dengan grade

kualitas yang rendah. Default likelihood akan meningkat

secara eksponensial dengan adanya penurunan grade.

Semua matriks transisi memiliki karakteristik yang sama,

yaitu memiliki probabilitas yang tinggi di diagonal

matriks: obligor cenderung mempertahankan rating

mereka saat ini. Probabilitas terbesar kedua biasanya

berada di sekitar diagonal. Sementara itu, semakin jauh

dari diagonal, semakin kecil kecenderungan terjadinya

perubahan rating (Violi, 2004). Hasil studi Kryzanowski

dan Ménard (2001) menunjukkan bahwa probabilitas

suatu obligasi untuk tetap berada di rating semula akan

mengecil apabila horison waktu yang dianalisis semakin

panjang.

Diskusi mengenai credit modeling tidak hanya

berpusat pada probability of default, namun juga

menganalisis apa yang terjadi pada sebuah kredit yang

sudah hampir default (McNulty dan Levin, 2000). Oleh

karena itu, para peneliti mulai memfokuskan perhatian

pada probabilitas perpindahan rating kredit dari satu level

ke level lain. Salah satu cara yang cukup representatif untuk

menyajikan informasi tersebut adalah dengan

menggunakan matriks transisi (transition matrix).

2. TUJUAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk Melakukan estimasi

credit rating transition matrix, yaitu secara khusus

digunakan untuk mengetahui:

- Migrasi rating pada periode tertentu.

- Heterogenitas migrasi rating.

- Tingkat volatilitas migrasi rating.

Page 91: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

83

Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia

3. PERKEMBANGAN STUDI LITERATUR

Matriks Transisi Rating

Migrasi kredit atau matriks transisi menunjukkan

perubahan kualitas kredit terakhir dari perusahaan. Matriks

transisi merupakan input utama dalam berbagai aplikasi

manajemen risiko. Contohnya, dalam New Basel Accord

(BIS, 2001), capital requirements didasarkan pada migrasi

rating. Bahkan sejak tahun 1999, Basel Committee on

Banking Supervision (BCBS) menegaskan manfaat matriks

transisi dan mengharuskan penyusunan matriks transisi

sebagai dasar untuk pemenuhan securitisation framework.

Proses rating kredit merupakan proses dimana pada

sembarang pengamatan rating kredit dapat menempati

salah satu dari sejumlah berhingga state rating. Pada

penelitian ini, diasumsikan proses rating kredit mengikuti

Markov chain/process. Hal ini berarti probabilitas

menempati suatu state hanya dapat ditentukan dengan

mengetahui state pada observasi sebelumnya. Asumsi

Markov Chain pada proses rating kredit mengimplikasikan

bahwa transisi kredit tersebut menjadi time invariant atau

time homogenous, dimana probabilitas transisi tidak

berubah terhadap waktu dan konstan sepanjang horison

yang telah ditentukan.

Jika sebuah Markov Chain memiliki state space S =

{1, 2, º, k}, maka probabilitas bahwa proses rating kredit

menempati state j pada suatu observasi sesudah

menempati state i pada observasi sebelumnya dinotasikan

dengan pij. Kemudian p

ij disebut probabilitas transisi dari

state i ke state j. Matriks yang berisi probabilitas transisi

dari state i ke state j disebut matriks transisi dari Markov

Chain (Anton dan Roses, 1987). Selanjutnya matriks transisi

tersebut dinotasikan dengan P. Bentuk umum matriks

probabilitas transisi satu langkah adalah sebagai berikut.

(3.1)

Pada persamaan (3.1) di atas, pij menyatakan probabiltas

transisi dari state i pada waktu t ke state j pada waktu

t+1. Selain itu, matriks transisi Markov Chain di atas

mempunyai ciri bahwa entri-entri dalam satu baris

berjumlah 1. Secara matematis, ciri Markov Chain tersebut

dapat ditulis sebagai berikut.

(3.2)

Kemudian state vector xxxxx(t) untuk suatu observasi Markov

Chain dengan state space S = {1, 2, º,k} didefinisikan

sebagai vektor kolom xxxxx dimana komponen yang ke i, yaitu

xi , merupakan probabilitas menempati state ke i pada waktu

t. Vektor kolom tersebut dapat diformulasikan sebagai:

(3.3)

Menurut teorema yang dikemukakan oleh Anton dan

Rorres (1987), jika P adalah matriks transisi Markov Chain

dan x(n) merupakan state vector pada observasi ke n, maka.

(3.4)

Dari teorema di atas, diketahui bahwa:

(3.5)

Dengan kata lain, persamaan (3.5) menyatakan bahwa

state vector awal x(0) dan matriks transisi P menentukan

nilai state vector x(n).

Steady-State Behavior

Konsekuensi utama dari fakta bahwa penjumlahan

elemen-elemen dari setiap baris matriks PPPPP bernilai satu

adalah bahwa sistem dinamik yang mendeskripsikan

evolusi x(n) adalah murni stabil (neutrally stable). Artinya,

solusi untuk x(n) tidak pernah sama dengan nol ataupun

menuju ke tak terhingga (infinity). Solusi tersebut mencapai

solusi steady-state, x~ = x (n�~), dimana pada akhirnya

elemen-elemen dari xxxxx mencapai nilai konstan, x~ , dengan

syarat penjumlahan elemen-elemen dari xxxxx harus sama

dengan satu.

Page 92: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

84

Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices

credit derivatives maka diperlukan horison yang lebih

pendek walaupun pada penerapannya hanya matriks

transisi tahunan yang biasanya digunakan oleh agen-agen

rating sebagai horison transisi.

Jarrow, Lando dan Turnbull (1997) dalam studi

mengenai current credit derivatives pricing models,

menyelesaikan permasalahan horison transisi yang relatif

panjang dengan menghitung intensitas-intensitas

probabilitas yakni continuous time probabilities dari matriks

transisi satu tahun. Selain itu, Hillegeist et al. (2004) juga

menerapkan matriks transisi satu tahun horison dalam

memprediksi probabilitas kebangkrutan.

4. SPESIFIKASI PENDEKATAN MATRIKS TRANSISI

YANG DIGUNAKAN

Dalam studi ini, dilakukan konstruksi transisi matriks

untuk waktu diskrit maupun kontinyu. Berdasarkan

pendekatan waktu diskrit, perubahan rating obligor (atau

skor kredit) hanya diamati setelah suatu jangka waktu

tertentu yang fixed, misalnya enam bulan, sembilan bulan,

setahun, atau periode tertentu lainnya. Sementara

berdasarkan pendekatan waktu kontinyu, perubahan

rating dapat diamati setiap saat, bahkan mungkin hanya

dalam hitungan menit (Ahmed et al., 2004). Dalam

mengkonstruksi matriks transisi berdasarkan pendekatan

waktu diskrit, mengacu pada Jafry dan Schuermann

(2004). Sementara itu, konstruksi matriks transisi

berdasarkan pendekatan waktu kontinyu mengadaptasi

studi Lando dan Skμdeberg (2002).

Matriks Transisi Waktu Diskrit: Metode Cohort

(Frequentist)

Salah satu metode yang dapat digunakan untuk

menghitung perubahan probabilitas dari data yang

diestimasi pada waktu diskrit adalah dengan

menggunakan metode Cohort. Metode Cohort telah

banyak digunakan karena menggunakan perhitungan

The Absorbing ≈DefaultΔ State

Secara umum, default state dipandang sebagai

absorbing state. Hal ini mengimplikasikan bahwa setiap

perusahaan yang telah mencapai default state tidak dapat

berpindah ke state rating kredit lainnya. Hal ini dapat dilihat

pada baris terakhir dari bentuk umum matriks transisi yang

tersaji dalam persamaan (3.1), dimana semua elemen dari

baris tersebut adalah nol kecuali elemen dari default state

yang mempunyai entri satu (unity).

Konsekuensi matematik utama dalam memasukkan

absorbing state ke dalam state space adalah bahwa solusi

steady state, yaitu eigenvector pertama dan transpos

matriks P, adalah identik dengan absorbing row dari matriks

transisi P. Dengan kata lain, bentuk umum matriks migrasi

yang menunjukkan probabilitas default yang berhingga

yaitu matriks transisi P mempunyai berhingga elemen tak

nol dalam absorbing column, distribusi probabilitas x(n) akan

selalu menempati default state. Jika diberikan waktu yang

cukup lama maka pada akhirnya semua perusahaan akan

merosot ke default state.

Time Horizon

Secara teoretis, matriks-matriks transisi dapat

diestimasi untuk horison transisi berapapun namun matriks

transisi yang diestimasi dengan periode yang lebih pendek

sangat baik untuk menggambarkan proses rating. Semakin

pendek interval yang digunakan untuk mengestimasi

matriks transisi, semakin sedikit perubahan rating yang

diabaikan. Namun demikian, durasi yang lebih pendek juga

menghasilkan pergerakan (movements) rating yang kurang

ekstrim dimana pergerakan yang tinggi sering dicapai

dalam beberapa intermediary steps.

Faktor-faktor lain yang menentukan horison transisi

adalah tujuan aplikasi matriks transisi. Jika matriks transisi

diaplikasikan untuk menghitung credit risk exposures maka

umumnya digunakan horison transisi satu tahun. Jika

aplikasi matriks transisi adalah untuk menentukan harga

Page 93: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

85

Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia

λij > 0, untuk i = j

(3.7)

Entri tersebut menjelaskan perilaku probabilistik

holding time di state i sebagaimana yang didistribusikan

secara eksponensial (exponentially distributed) dengan

parameter λi, dimana λi = - λii, dan probabilitas untuk

berpindah dari state i ke state j adalah λij /λi.

Probabilitas transisi untuk setiap horizon waktu

merupakan fungsi dari generator. Oleh karena itu, kita

dapat memperoleh estimator maximum likelihood dari

matriks probabilitas transisi dengan cara memperoleh

estimasi maximum likelihood dari generator tersebut

kemudian mengaplikasikan fungsi eksponensial matriks

pada estimasi maximum likelihood dari generator tersebut.

Berdasarkan asumsi time homogeneity, elemen dari

matriks generator dihitung dengan menggunakan

estimator maximum likelihood sebagaimana yang

dilakukan oleh Küchler dan Sμrensen, 1997):

untuk (3.8)

dimana:

Nij (T) : jumlah transisi dari state rating i ke state rating j

selama periode pengamatan

Yij (s) : jumlah perusahaan yang menempati state rating

i saat s.

Dengan kata lain, denominator dari persamaan (3.8)

menyatakan jumlah »firm-years» dari semua perusahaan

dalam sampel saat menempati state awal i. Jadi, setiap

periode yang dihabiskan perusahaan untuk menempati

suatu state ikut dihitung sebagai denominator.

Metode Kontinyu dengan Asumsi Time Non-

Homogenous

Menurut studi yang dilakukan Lando dan Skμdeberg

(2002), salah satu cara untuk menghitung matriks

yang sederhana, meskipun terkadang memberikan hasil

yang kurang efisien.

Matriks Transisi Waktu Kontinyu

Konstruksi matriks transisi berdasarkan pendekatan

waktu kontinyu telah menarik perhatian banyak modeller

beberapa waktu terakhir. Ahmed et al. (2004)

menyebutkan dua manfaat utama penggunaan

pendekatan ini, yaitu:

1. memudahkan estimasi probabilitas transisi dimana

transisi ke suatu rating tertentu relatif jarang terjadi,

misalnya indirect default (default melalui downgrade

secara sekuensial)1

2. memungkinkan konstruksi matriks transisi untuk

setiap periode waktu (misalnya matriks transisi 73

hari).

Metode Kontinyu dengan Asumsi Time Homoge-

neous

Dalam pendekatan ini, dimisalkan terdapat K-state

Markov chain dimana state 1 sebagai state tertinggi dan

state K sebagai kondisi default. Probabilitas-probabilitas

transisi selama suatu periode tertentu dinyatakan dalam

matriks P(t) KxK dengan elemen ij adalah probabilitas

migrasi dari state i ke state j selama periode t. Matriks

generator dengan dimensi KxK adalah λ dengan

nonnegative off-diagonal entries dengan jumlah baris sama

dengan nol Israel et al., 2001, dimana (Lando dan

Skμdeberg, 2002):

P(t) = exp (λt), t > 0 (3.6)

Matriks λt merupakan matriks λ dikalikan t pada

setiap entri dan fungsi eksponensial merupakan

eksponensial matriks. Entri dari matriks λ adalah:

1 Jika dalam sebuah periode terdapat transisi dari AAA ke AA, kemudian terdapat transisidari AA ke default namun oleh perusahaan lainnya, maka estimator transisi dari AAA keD tidak sama dengan nol karena ternyata terdapat probabilitas untuk default setelahadanya downgrade meskipun oleh perusahaan lain. Berbeda dengan metode kontinu,metode diskrit tidak dapat mengakomodasi proses tersebut.

Page 94: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

86

Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices

probabilitas transisi dari data waktu kontinyu dengan

asumsi time non-homogenuous adalah dengan

menggunakan estimator Aalen-Johansen. Berdasarkan

Jafry dan Schuermann (2003) estimator Aalen-Johansen

atau estimator limit produk non parametrik yang diperoleh

adalah konsisten. Konstruksi matriks transisi berdasarkan

metode ini merupakan metode Cohort untuk periode yang

sangat pendek, misalnya dalam hitungan hari (Landschoot,

2005).

Dalam mengestimasi matriks transisi menggunakan

metode kontinyu dengan asumsi time non-homogeneous,

dimisalkan P[s,t] matriks probabilitas transisi dengan

periode [s,t]. Elemen ij dari matriks tersebut menotasikan

probabilitas proses Markov yang memulai transisi dari state

i saat s akan menempati state j saat t. Kemudian jika

diketahui terdapat sejumlah m transisi selama periode [s,t]

maka P[s,t] dapat diestimasi dengan menggunakan

estimator Aalen-Johansen (Jafri dan Schuermann (2003).

. (3.9)

Penilaian Kualitas Rating

Untuk memperdalam hasil analisis, terdapat

beberapa indikator yang perlu diperhatikan. Salah satu

indikator penting dalam menilai trend kualitas rating

korporasi (corporate rating) secara keseluruhan adalah

rating activity. Menurut Carty dan Fons (1993), rating

activity dapat dihitung dari penjumlahan semua perubahan

rating yang membaik (upgrades) maupun perubahan

rating yang memburuk (downgrades) dan membaginya

dengan jumlah issuer yang beroperasi pada awal tahun.

Salah satu indikator penting lainnya adalah rating

drift. Rating drift merupakan dependensi terhadap rating

sebelumnya dan merupakan non-Markovian behaviour

Lando dan Skodeberg (2002). Rating drift dihitung dengan

cara menjumlahkan jumlah perubahan rating yang

membaik dikurangi dengan jumlah perubahan rating yang

memburuk dan kemudian membagi selisih tersebut

dengan jumlah issuer yang beroperasi pada awal tahun.

Berdasarkan contoh yang diberikan oleh Carty dan Fons

(1993), perubahan rating dari BBB ke A merupakan satu

perubahan rating, sementara perubahan dari BBB ke AA

merupakan dua perubahan rating.

Model Discrete Hazard

Salah satu model risiko kredit yang akan digunakan

sebagai alat analisis risiko kredit adalah hazard rate model.

Hazard rate model adalah suatu metode pengukuran

kebangkrutan dengan memasukkan intensitas gagal bayar

(default intensity). Model hazard sangat banyak digunakan

dalam aplikasi pengukuran kinerja. Salah satu aplikasi

model hazard rate antara lain digunakan dalam metode

penetapan harga (pricing), kebangkrutan dan estimasi

probabilitas gagal bayar perusahaan. Terdapat dua model

hazard, yaitu discrete hazard rate dan continuous hazard

rate. Perbedaan antara dua model hazard tersebut dapat

diketahui melalui fungsi survival yang digunakan. Penelitian

permodelan kebangkrutan perusahaan kali ini hanya

terfokus pada model discrete hazard.

Model discrete hazard merupakan model yang sesuai

untuk menganalisa data yang terdiri dari observasi-

observasi binary, time-series dan cross-sectional contohnya

data kebangkrutan. Hazard rate didefinisikan dalam ilmu

ekonomi sebagai risiko transisi ke berbagai keadaan (state).

Dalam literatur finansial, hazard rate menunjuk kepada

credit default risk.

5. SUMBER DATA

Data yang digunakan berasal dari PT Pemeringkat

Efek Indonesia (Pefindo). Rating perusahaan (company

rating) maupun rating obligasi perusahaan (debt specific

rating) yang telah dipublikasikan oleh PEFINDO pada bulan

Februari 2001 sampai dengan bulan Juni 2006 digunakan

untuk mengestimasi matriks transisi, baik dengan metode

diskrit maupun dengan metode durasi/kontinyu. Namun,

Page 95: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

87

Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia

beberapa rating obligasi yang dipublikasikan oleh Pefindo

memuat obligasi yang dirating oleh agen pemeringkat

rating selain Pefindo, yaitu Kasnic.

Data rating perusahaan yang dipublikasikan dalam

kurun waktu tersebut merupakan semi-annual publication

yang dipublikasikan pada Februari dan Agustus. Publikasi

pada Februari tahun i merupakan data rating perusahaan

dari 31 Desember tahun i-1, sedangkan publikasi pada

Agustus tahun i merupakan data rating perusahaan dari

31 Juni tahun i. Sementara itu, data rating obligasi

perusahaan yang digunakan dalam estimasi merupakan

data untuk periode 2001-2005 yang dipublikasikan oleh

Pefindo setiap bulan, dari Juli 2003 sampai dengan Juni

2006 dan semi-annual publication rating dari 2001 sampai

dengan 2002.

Data yang diperoleh dari PEFINDO terdiri dari 115

rating perusahaan dan 412 rating obligasi perusahaan yang

berasal dari 119 perusahaan. Namun, tidak semua data

tersebut dapat dimasukkan dalam estimasi mengingat

tidak semua data tersebut mempunyai rating pada setiap

awal periode estimasi.

6. ANALISIS HASIL ESTIMASI MATRIKS TRANSISI

6.1 Penilaian Kualitas Rating

Gambar A.2.1. menunjukkan bahwa kualitas rating

korporasi sampel secara umum menunjukkan perbaikan.

Hal ini ditandai dengan turunnya persentase jumlah

perusahaan yang mengalami downgrade selama 2001-

2004 (dari 25% menjadi 3,23%). Meskipun demikian,

pada 2005, persentase jumlah perusahaan yang

mengalami downgrade kembali meningkat menjadi 4%.

Sebaliknya, peningkatan kualitas rating korporasi

ditunjukkan dengan peningkatan persentase jumlah

perusahaan yang mengalami upgrade, yaitu dari 10% pada

2001 menjadi 14,3% pada 2003. Persentase ini kembali

turun pada 2004 dan 2005. Sejak 2003, jumlah

perusahaan yang mengalami upgrade lebih banyak

dibandingkan perusahaan yang mengalami downgrade.

Hal ini merupakan sinyal awal perbaikan kondisi

perusahaan sampel.

Grafik A2.1Jumlah Perusahaan Sampel yang

Mengalami Upgrade dan Downgrade

0

5

10

15

20

25

30

25,0

7,1

3,2 4,0

14,3

7,5 7,0

12,2 12,2

10,0

2001 2002 2003 2004 2005

Downgrade Upgrade

Sumber: Pefindo. diolah

Persen

Grafik A2.2Jumlah Obligasi Sampel yang Mengalami

Upgrade dan Downgrade

13,5

6,3

2,51,3

16,8

7,1 7,48,2

5,1

7,7

0

2

4

6

8

10

12

14

16

18

2001 2002 2003 2004 2005

UpgradeDowngrade

Sumber: Pefindo. diolah

Persen

Hal ini juga ditegaskan oleh Grafik A.2.2 dimana

jumlah obligasi yang mengalami penurunan rating selama

lima tahun terakhir menunjukkan trend menurun. Pada

2001, jumlah obligasi sampel yang mengalami downgrade

sebanyak 13,5% sementara pada 2005 hanya terdapat

1,3% obligasi sampel yang mengalami donwgrade.

Secara singkat, Grafik A2.1. dan Grafik A2.2.

memberikan indikasi awal perbaikan creditworthiness

perusahaan penerbit obligasi yang menjadi sampel. Hal

ini tercermin dari penurunan persentase perusahaan

maupun obligasi yang mengalami downgrade, dan

peningkatan persentase perusahaan maupun obligasi yang

mengalami upgrade.

Page 96: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

88

Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices

Rating Activity dan Rating Drift

Rating drift yang bernilai positif (+) menunjukkan

bahwa jumlah upgrade melebihi jumlah downgrade atau

peningkatan kualitas rating, sementara rating drit yang

bernilai negatif (-) menunjukkan bahwa jumlah downgrade

melebihi jumlah upgrade atau penurunan kualitas kredit.

Secara singkat, rating drift menunjukkan apakah

perubahan rating menunjukkan perbaikan atau memburuk

selama periode waktu tertentu.

Rating activity dan rating drift perusahaan sampel

selama 2001-2005 ditunjukkan di Grafik A2.3. Terlihat

adanya penurunan letter activity rating perusahaan sampel

selama 2001-2004. Pada 2005, rating activity perusahaan

sampel menunjukkan peningkatan, yaitu menjadi 15%.

Meskipun persentase rating activity menunjukkan

penurunan, namun rating drift menunjukkan trend

menaik. Hal ini berarti bahwa meskipun persentase activity

rating perusahaan sampel selama beberapa tahun terakir

kurang menggembirakan, namun arah perubahan rating

menunjukkan perbaikan. Pada 2001 dan 2002, rating drift

negatif (-), yang berarti jumlah downgrades lebih besar

dibandingkan jumlah upgrades. Meskipun demikian, rating

drift mengalami penurunan sejak 2004, namun tidak

seburuk pada periode 2001-2002.

Grafik A2.4. menunjukkan rating activity dan rating

drift obligasi sampel selama 2001-2005. Persentase letter

rating activity obligasi sampel juga menunjukkan

penurunan, yaitu dari 65,4% pada 2001 menjadi 8,7%

pada 2005.

Meskipun persentase rating activity menunjukkan

penurunan, namun arah rating drift menunjukkan

perbaikan, karena rating drift obligasi sampel memiliki

trend menaik. Hal ini berarti bahwa meskipun persentase

activity rati ng obligasi beberapa tahun terakhir mengalami

penurunan, namun arah perubahan rating menunjukkan

perbaikan.

Pada 2001 dan 2002, rating drift negatif (-), yang

berarti jumlah downgrades yang terjadi lebih besar

dibandingkan jumlah upgrades. Meskipun demikian, rating

drift terus mengalami peningkatan sehingga mencapai

21% pada 2003. Hal ini berarti jumlah upgrades yang

terjadi lebih besar dibandingkan downgrades, serupa

dengan rating drift perusahaan sampel.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa persentase

rating activity perusahaan dan obligasi sampel selama periode

2001-2005 relatif menurun. Meskipun demikian, arah

aktivitas rating menunjukkan perbaikan, seperti ditunjukkan

oleh peningkatan rating drift. Hal ini memiliki implikasi awal

bahwa creditworthiness perusahaan dan obligasi sampel

relatif membaik selama beberapa tahun terakhir.

6.2. Analisis Matriks Transisi Rating

Terdapat dua pendekatan utama yang dapat

digunakan untuk mengestimasi matriks transisi, yaitu

Grafik A2.3Letter Rating Activity dan Rating Drift Perusahaan Sampel

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

100

120

2001 2002 2003 2004 2005

-55,0

-10,2

12,54,3

-1,0

110,0

55,1

26,8

10,8 15,0

Rating DriftRating Activity

Sumber: Pefindo, diolah

Persen

Grafik A2.4Letter Rating Activity dan Rating Drift

Obligasi Sampel

-60

-40

-20

0

20

40

60

80

2001 2002 2003 2004 2005

-42,3

-18,4

21,0

4,2 6,1

65,4

36,7 36,4

10,8 8,7

Rating Activity Rating Drift

Sumber: Pefindo, diolah

Persen

Page 97: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

89

Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia

38 transisi, dua transisi dari Not Rated dan dua transisi ke

Not Rated. Pola probabilitas default matriks transisi lima

tahun mirip dengan pola probabilitas default matriks

transisi empat tahun. Bahkan, distribusi probabilitas transisi

2001-2005 menunjukkan distribusi yang lebih merata

(Tabel A2.1).

Terkait hubungan simetri antara stabilitas rating

dengan kualitas rating, hasil estimasi untuk periode 2001-

2005 menunjukkan hubungan yang serupa dengan

matriks transisi periode dua, tiga, dan empat tahun.

Tingkat stabilitas rating semakin menurun seiring

penurunan rating, hingga rating BB. Selanjutnya, rating B

memiliki tingkat stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan

rating BB.

Probabilitas transisi umumnya semakin mengecil

dengan semakin jauhnya jarak transisi, meskipun beberapa

rating memiliki probabilitas yang cukup tinggi untuk

bermigrasi ke rating yang jauh di atasnya atau di

bawahnya.

Setelah lima tahun, terdapat banyak kemungkinan

yang terjadi, baik transisi dari speculative grade ke

investment grade dan sebaliknya. Meskipun demikian, arah

transisi ke rating yang lebih tinggi (upgrade) lebih banyak

dibandingkan jumlah transisi ke rating yang lebih rendah

(downgrade). Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan

sampel dalam jangka panjang menunjukkan peningkatan

metode Cohort dan metode Kontinyu/Durasi. Metode

Kontinyu dibedakan berdasarkan asumsi time

homogeneous dan asumsi time non-homogeneous. Dalam

studi ini, diestimasi matrisk transisi berdasarkan metode

Cohort dan metode Kontinyu dengan asumsi time

homogeneous.

Dalam mengkonstruksi matriks transisi berdasarkan

pendekatan waktu diskrit, digunakan metode Cohort yang

mengacu pada Jafry dan Schuermann (2004). Sementara

itu, konstruksi matriks transisi berdasarkan pendekatan

waktu kontinyu mengadaptasi studi Lando dan Skμdeberg

(2002). Untuk meringkas penyajiannya, dalam paper ini

hanya metode kontinyu yang disajikan.

Matriks Transisi Rating Perusahaan Metode

Kontinyu Asumsi Time Homogeneous

Estimasi matriks transisi rating perusahaan dengan

menggunakan metode kontinyu dilakukan per tahun, dua

tahun (2004-2005), tiga tahun (2003-2005), empat tahun

(2002-2005) dan lima tahun (2001-2005). Untuk

meringkas penyajiannya, hanya matriks lima tahun (2001-

2005) saja yang disajikan.

Matriks Transisi Lima Tahun Periode 2001-2005

Pada 2001-2005, jumlah transisi yang terjadi

berdasarkan metode kontinyu time homogeneous adalah

AAAAAAAAAAAAAAA 1 100 0 0 0 0 0 0 0 0AAAAAAAAAA 5 0 94,31 5,42 0,06 0,04 0 0,05 0,06 0,02AAAAA 20 0 4,51 86,72 2,02 1,31 0,23 1,37 2,19 0,70

BBBBBBBBBBBBBBB 7 0 0,38 14,61 82,87 0,13 0,24 0,13 0,17 1,39BBBBBBBBBB 0 0 0,10 5,50 27,41 41,40 1,40 13,48 10,32 0,28BBBBB 2 0 0,03 1,55 7,70 4,94 78,33 5,18 1,29 0,07

CCCCCCCCCCCCCCC 1 0 0,56 19,19 2,59 6,82 8,99 39,50 21,43 0,11DDDDD 3 0 0 0 0 0 0 0 100 0

NRNRNRNRNR 1 0 0,61 21,89 1,29 0,94 20,61 0,97 0,41 52,31TOTALTOTALTOTALTOTALTOTAL 40 Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω

Tabel A2.1Matriks Transisi Corporate Rating Berdasarkan Metode Kontinyu (%), Periode 2001-2005

JumlahPerusahaan Pada AAA AA A BBB BB B CCC D NR

Awal Priode

Page 98: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

90

Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices

creditworthiness, meskipun terdapat juga perusahaan yang

kualitas kreditnya memburuk.

Dalam jangka waktu lima tahun, perusahaan

menghadapi probabilitas gagal bayar atau transisi ke rating

D. Bahkan, perusahaan yang berada pada rating AA dan

A pun memiliki kemungkinan untuk mengalami gagal

bayar. Perusahaan yang tidak menghadapi risiko gagal

bayar dalam periode lima tahun adalah perusahaan yang

memiliki rating AAA. Hal ini serupa dengan hasil estimasi

transisi matriks empat tahun. Probabilitas gagal bayar ini

juga semakin meningkat dengan menurunnya kualitas

rating, kecuali rating BB dan rating B yang memiliki

probabilitas gagal bayar yang cukup rendah.

Terkait stabilitas rating, matriks transisi lima tahun

dan empat tahun menunjukkan bahwa rating yang

termasuk kategori investment grade memiliki stabilitas

yang cukup tinggi. Sementara itu, speculative rating yang

memiliki stabilitas relatif tinggi adalah rating B dan C untuk

estimasi matriks transisi empat tahun dan rating B untuk

estimasi matriks transisi lima tahun.

Stabilitas Rating Perusahaan Berdasarkan

Metode Kontinyu Asumsi Time Homogeneous

Pola perubahan tingkat kestabilitasan rating untuk

kategori investment grade terlihat pada Grafik A2.5,

sedangkan pola perubahan kestabilitasan rating kategori

non-investment atau speculative grade dapat dilihat pada

Grafik A2.6 Pada Grafik A2.5, terlihat bahwa investment

grade umumnya mempunyai tingkat kestabilitasan di atas

65%.

Rating yang memiliki tren kestabilan menaik adalah

rating A. Hal ini berarti dari tahun ke tahun, rating ini

semakin stabil. Sementara itu, rating AA dan BBB

mengalami fluktuasi tingkat kestabilan yang cukup

signifikan.

Perusahaan sampel yang mempunyai rating AAA

memiliki tingkat kestabilan yang tinggi dari tahun ke tahun.

Hal ini mengindikasikan bahwa issuer yang mempunyai

rating AAA cenderung mempunyai tingkat kestabilan yang

tinggi dan tahan terhadap pengaruh atau gejolak negatif

pasar. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa jumlah

observasi yang pernah berada di rating ini hanya beberapa

perusahaan, sehingga belum cukup representatif untuk

Grafik A2.5Tingkat Stabilitas Corporate Rating yang Tergolong

Investment Grade Berdasarkan Metode KontinyuTime Homogeneous

50

60

70

80

90

100

2001 2002 2003 2004 2005

AAA

AA BBB

A

Persen

Grafik A2.6Tingkat Stabilitas Corporate Rating yang Tergolong

Speculative Grade Berdasarkan MetodeKontinyuTime Homogeneous

2001 2002 2003 2004 2005

BB

B

CCC

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

100Persen

Gambar A2.7Tingkat Stabilitas Corporate Rating yang Tergolong

Investment Grade Berdasarkan Metode KontinyuTime Homogeneous pada Berbagai Periode Estimasi

75

80

85

90

95

100

AAA AA A BBB

(2001-2005)

(2002-2005)

(2003-2005)

(2004-2005)

2005

Persen

Page 99: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

91

Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia

AAAAAAAAAAAAAAA 0 100 0 0 0 0 0 0 0 0AAAAAAAAAA 1 0 100 0 0 0 0 0 0 0AAAAA 27 0 7,14 86,76 0,99 0 0,01 0 5,10 0

BBBBBBBBBBBBBBB 11 0 0,18 4,54 93,58 0,03 1,47 0,04 0,16 0BBBBBBBBBB 2 0 0 0,14 5,82 87,96 0,05 0 6,03 0BBBBB 8 0 0 0,15 6,13 3,77 82,29 4,43 3,23 0

CCCCCCCCCCCCCCC 3 0 0 0,03 1,72 23,87 22,48 50,58 1,32 0DDDDD 0 0 0 0 0 0 0 0 100 0

NRNRNRNRNR 0 0 0,04 1,22 39,66 6,85 6,95 26,98 0,30 18,01TotalTotalTotalTotalTotal 52 Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω Ω

Stabilitas rating yang tergolong speculative atau non-

investment grade juga umumnya mengalami penurunan

stabilitas dengan bertambahnya periode observasi.

Meskipun demikian terdapat tingkat kestabilan tersebut

juga mengalami fluktuasi, utamanya rating CCC.

Matriks Transisi Obligasi Perusahaan Metode

Kontinyu Asumsi Time Homogeneous

Matriks Transisi Lima Tahun Periode 2001-2005

Pada periode 2001-2005, jumlah transisi rating

obligasi yang terjadi berdasarkan metode kontinyu adalah

29 transisi dan dua transisi dari Not Rated. Hasil estimasi

matriks transisi berdasarkan metode kontinyu asumsi time

homogeneous pada periode 2001-2005 ditampilkan pada

Tabel A2.2.

Tingkat kestabilan rating obligasi Indonesia periode

2001-2005 cukup tinggi yaitu antara 87,96-100%, kecuali

tingkat kestabilan rating CCC yang hanya mencapai

50,58%. Rendahnya kestabilan rating CCC karena rating

ini tergolong dalam junk bond atau speculative grade,

artinya obligasi memiliki kualitas rating yang rendah

dengan probabilitas default yang relatif tinggi. Karena

obligasi investment grade memiliki tingkat stabilitas yang

tinggi maka obligasi ini cenderung tidak dimainkan untuk

tujuan spekulasi, melainkan untuk tujuan investasi. Lain

Gambar A2.8Tingkat Stabilitas Corporate Rating yang TergolongSpeculative Grade Berdasarkan Metode Kontinyu

Time Homogeneous pada Berbagai Periode Estimasi

0

20

40

60

80

100

120

BB B CCC

(2003-2005)2005 (2004-2005) (2002-2005) (2001-2005)

Persen

menggambarkan kondisi pasar. Di sisi lain, rating yang

paling tidak stabil di antara investment grade lainnya

adalah BBB karena persentase kestabilannya paling kecil.

Grafik A2.8 menunjukkan stabilitas rating yang

termasuk kategori investment grade untuk setiap periode

estimasi. Untuk kelima periode estimasi, stabilitas rating

yang termasuk kategori ini cukup tinggi, selalu berada di

atas 75%. Secara umum, rating yang lebih tinggi memiliki

stabilitas yang lebih tinggi dibandingkan rating yang lebih

rendah. Grafik tersebut juga menunjukkan bahwa stabilitas

rating ini semakin menurun dengan bertambahnya periode

estimasi. Sedikit berbeda dengan hal tersebut, stabilitas

rating BBB menunjukkan fluktuasi.

Tabel A2.2Matriks Transisi Bond Rating Berdasarkan Metode Kontinyu (%), Periode 2001 - 2005

JumlahPerusahaan Pada AAA AA A BBB BB B CCC D NR

Awal Priode

Page 100: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

92

Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices

halnya obligasi kategori speculative grade yang memiliki

fluktuasi perubahan rating yang tinggi yang

mengakibatkan obligasi jenis ini menarik untuk dimainkan

oleh para spekulan untuk mendapatkan return yang tinggi.

Tabel A2.2. menunjukkan bahwa rating CCC

memiliki probabilitas transisi upgrade ke rating B (22,48%),

rating BB (23,%), BBB (1,72%), dan A (0,03%). Namun

demikian, rating CCC memiliki probabilitas default sebesar

1,32%.

Matriks transisi 2001-2005 tidak menunjukkan pola

yang simetris. Semakin jauh dari sisi diagonal, besarnya

transisi rating sangat bervariasi dan belum tentu

probabilitasnya semakin kecil. Dari sisi stabilitasnya pun

(sisi diagonal) tidak menunjukkan pola yang konsisten.

Seharusnya semakin rendah kualitas obligasi semakin

rendah pula tingkat kesatabilannya.

Pada matriks transisi lima tahun hanya obligasi

dengan rating A dan BBB (kategori investment grade)

yang memiliki probabilitas transisi menuju speculative

grade. Selain itu, seluruh obligasi dengan kategori

speculative grade (BB, B, dan CCC) masing-masing

memiliki probabilitas transisi menjadi kategori investment

grade.

Stabilitas Bond Rating Metode Continue Homo-

geneous

Tingkat stabilitas rating obligasi 2001 sampai dengan

2005 dapat dianalisis terpisah antara stabilitas obligasi

investment grade dengan stabilitas obligasi speculative

grade. Tingkat stabilitas obligasi investment grade lebih

tinggi dibandingkan dengan tingkat stabilitas obligasi

speculative grade. Seperti yang terlihat pada Grafik A2.9.

bahwa persebaran persentase kestabilan obligasi

investment grade antara 70-100%. Sementara itu, pada

Grafik A2.10. terlihat bahwa persebaran nilai stabilitas

rating obligasi speculative grade antara 20-100%. Grafik-

grafik pada obligasi investment grade cenderung

berbentuk lebih datar dibandingkan dengan grafik pada

obligasi speculative grade.

Di antara obligasi-obligasi kategori investment grade,

obligasi dengan rating AAA merupakan obligasi yang

paling stabil disusul dengan obligasi rating AA, BBB dan

A. Rating kualitas tertinggi yaitu rating AAA merupakan

rating yang paling stabil. Tingkat kestabilan rating BBB

lebih stabil daripada rating A yang ditunjukkan dengan

kedataran garis BBB relatif terhadap garis A. Namun

demikian tren stabilitas rating A dari 2001 hingga tahun

2005 mengalami kenaikan. Hal ini berseberangan dengan

tren stabilitas rating BBB yang mengalami penurunan.

Tingkat stabilitas rating obligasi periode 2001 hingga

2005 sangat fluktuatif seperti terlihat pada besarnya

pergerakan grafik yang naik turun. Di dalam kategori

Gambar A2.9Tingkat Stabilitas Bond Rating yang Tergolong

Investment Grade Berdasarkan Metode Kontinyu AsumsiTime Homogeneous

Gambar A2.10Tingkat Stabilitas Bond Rating yang Tergolong

Speculative Grade Berdasarkan Metode Kontinyu AsumsiTime Homogeneous

50

70

90

110

2001 2002 2003 2004 2005

AAA

AA

A

BBB

Persen

0

20

40

60

80

100

120

2001 2002 2003 2004 2005

BBBCCC

Persen

Page 101: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

93

Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia

speculative grade, rating BB merupakan rating yang relatif

paling stabil disusul dengan rating B dan rating CCC. Dari

Grafik A.2.10. dapat disimpulkan bahwa semakin rendah

kualitas rating obligasi semakin rendah pula tingkat

stabilitasnya.

7. KESIMPULAN HASIL ESTIMASI DAN IMPLIKASI

KEBIJAKAN

Rating Activity dan Rating Drift

1. Perbaikan creditworthiness perusahaan penerbit

obligasi yang menjadi sampel. Hal ini tercermin dari

penurunan persentase perusahaan maupun obligasi

yang mengalami downgrade, dan peningkatan

persentase perusahaan maupun obligasi yang

mengalami upgrade.

2. Persentase rating activity perusahaan dan obligasi

sampel selama periode 2001-2005 relatif menurun.

Meskipun demikian, arah aktivitas rating

menunjukkan perbaikan, seperti ditunjukkan oleh

peningkatan rating drift. Hal ini memiliki implikasi

awal bahwa creditworthiness perusahaan sampel dan

obligasi sampel relatif membaik selama beberapa

tahun terakhir.

Estimasi Matriks Transisi Rating

1. Estimasi dengan menggunakan Metode Kontinyu

memberikan hasil yang lebih efisien dibandingkan

dengan Metode Cohort. Metode Kontinyu juga

memudahkan estimasi tak langsung suatu rating

tertentu secara sekuensial. Selain itu, metode ini

memungkinkan konstruksi matriks transisi yang

mengakomodasi unsur dinamis aktivitas rating

sepanjang periode, dan tidak hanya pada awal dan

akhir periode.

2. Estimasi dengan menggunakan Metode Cohort

menghasilkan matriks transisi dengan probabilitas

distribusi yang tidak merata dan hanya terdistribusi

di sekitar diagonal matriks. Sementara itu, estimasi

dengan menggunakan metode kontinyu,

menghasilkan matriks transisi dengan probabilitas

distribusi yang relatif lebih merata dan

memungkinkan adanya probabilitas migrasi ke rating

yang memiliki jarak cukup jauh dari diagonal matriks

(transisi ekstrim), bahkan ke rating default, meskipun

tidak terdapat direct transition ke rating tersebut. Hal

ini dimungkinkan melalui indirect transition melalui

rating lainnya. Pola distribusi probabilitas migrasi yang

tersebar ini terutama ditunjukkan oleh hasil estimasi

dengan menggunakan periode lebih dari satu tahun.

3. Estimasi dengan menggunakan metode Cohort tidak

menunjukkan adanya hubungan antara tingkat

stabilitas dengan tingkat rating. Hal ini ditunjukkan

oleh tingkat stabilitas rating yang tidak simetris atau

tingkat stabilitas rating tidak menurun dengan

menurunnya tingkat rating, terutama untuk periode

satu tahun. Beberapa hasil estimasi dengan

menggunakan periode lebih dari satu tahun

menunjukkan adanya hubungan simetris antara

stabilitas rating dan tingkat rating, namun hanya pada

invetsment grade.

4. Sebagian besar estimasi dengan menggunakan

Metode Kontinyu untuk berbagai periode

menunjukkan hasil yang hampir konsisten, yaitu

terdapat hubungan yang simetris antara stabilitas

rating dengan tingkat rating. Pola ini terutama terjadi

pada rating yang termasuk kategori investment grade.

Tingkat stabilitas rating tersebut bervariasi, namun

umumnya berkisar di atas 65%.

5. Rating yang termasuk kategori speculative grade

memiliki tingkat stabilitas yang berfluktuasi dan tidak

menunjukkan pola yang konsisten. Hal ini terutama

disebabkan terbatasnya jumlah sampel, baik

perusahaan maupun obligasi, yang pernah berada di

rating ini. Dengan demikian, transisi satu sampel yang

Page 102: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

94

Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices

berada di kategori speculative grade menyebabkan

perubahan dan dampak yang signifikan terhadap pola

distribusi probabilitas migrasi rating.

6. Terkait arah migrasi rating, hasil estimasi dengan

menggunakan Metode Cohort dan Metode Kontinyu

memberikan hasil yang relatif konsisten. Migrasi rating

cenderung mengarah ke rating yang lebih tinggi

(upgrading). Hal ini konsisten dengan analisis yang

dilakukan terhadap rating activity dan rating drift.

7. Secara umum dapat disimpulkan bahwa Metode

Kontinyu asumsi time homogeneous memberikan

hasil estimasi matriks transisi rating yang lebih efisien

dan memberikan indikasi adanya kemungkinan

migrasi rating yang secara historis jarang terjadi,

misalnya probabilitas untuk mengalami gagal bayar,

melalui mekanisme indirect default. Selain itu, hasil

estimasi baik dengan menggunakan Metode Cohort

maupun Metode Kontinyu asumsi time homogeneous

menunjukkan bahwa perusahaan dan obligasi sampel

mengalami peningkatan creditworthiness. Hal ini

ditunjukkan dengan arah migrasi rating yang

cenderung dan memiliki persentase yang lebih besar

ke arah rating yang lebih tinggi.

Adapun keterbatasan yang dihadapi dalam studi ini

adalah periode dan jumlah sampel yang sangat terbatas.

Selain itu, variasi aktivitas rating, yang ditunjukkan dengan

jumlah transisi rating, juga sangat terbatas. Periode sampel

yang sangat pendek menyebabkan estimasi matriks transisi

rating dalam jangka panjang tidak dapat dilakukan dan

tidak mencakup periode resesi perekonomian Indonesia.

Sementara itu, jumlah sampel yang sangat terbatas

menyebabkan satu transisi rating memiliki dampak yang

sangat besar dan signifikan terhadap pola distribusi

probabilitas transisi rating. Hal ini tarutama terjadi pada

sampel yang berada di kategori rating speculative grade.

Dengan demikian, analisis creditworthiness perusahaan

obligasi yang berada di kategori tersebut menjadi sulit

untuk dilakukan.

Page 103: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

95

Artikel II - Model Makroekonomi Pengukuran Indeks Stabilitas Keuangan: Studi Kasus Indonesia

Ahmed, Sarfaraz dkk. 2004. ≈Use of Transition Matrices

in Risk Management and ValuationΔ. A Fair Isaac

White Paper

Aldridge, Irene E. 2006. ≈Risk-Rating Private Loans:

Strategic Defaults.Δ

Altman, E. I. 1968. ≈Financial Ratios, Discriminant Analysis

and the Prediction of Corporate Bankruptcy.Δ Journal

of Finance, Vol. 23, pp. 589-609.

Altman, E. I., dkk. 1977. ΔZETA analysis: A New Model to

Identity Bankruptcy Risk of Corporations.Δ Journal of

Banking and Finance 10:29-54

Altman, E. I., dan Duen Li Kao. 1991. ≈Examining and

Modeling Corporate Bond Rating Drift,Δ Working

Paper Series, New York University Salomon Center.

Altman, E., dan Kao, D.1992. ΔThe Implications Of

Corporate Bond Rating Drift.Δ Financial Analysts

Journal, 64√75.

Anderson, Ronald dan Suresh Sundaresan. 2000. ≈A

Comparative Study of Structural Models of Corporate

Bond Yields: An Explanatory Investigation,Δ Journal

of Banking & Finance 24 P. 255-269

Arora, N., dkk. 2005. ≈Reduced Form Vs. Structural Models

Of Credit Risk: A Case Study Of Three ModelsΔ Journal

Of Investment Management, Vol. 3, No. 4, pp. 43√

67

Bank for International Settlements, (1999), ≈Estimating

And Interpreting Probability Density Functions,Δ

Proceedings of the workshop held at the BIS on 14

June 1999

Basel Committee on Banking Supervision (1999): Credit

risk modelling: current practices and applications.

Basel Committee on Banking Supervision, (2000), ≈Best

Practices for Credit Risk DisclosureΔ

Basel Committee on Banking Supervision, (2000), ≈Industry

Views on Credit Risk MitigationΔ

Basel Committee on Banking Supervision, (2001) ≈Working

Paper on the Internal Ratings-Based Approach to

Specialised Lending ExposuresΔ

Daftar Pustaka

Cantor, Richard dan Frank Packer, ≈The Credit Rating

Industry,Δ Federal Reserve Bank of New York Quarterly

Review 19 (Summer-Fall 1994), 1-26.

Carty, L. dan D. Lieberman (1996) Corporate bond defaults

and default rates 1938-1999, Moody»s Investors

Service Global Credit Research, New York, NY.

Chava S., Jarrow R.A., Bankruptcy Prediction With Industry

Effects, Market Versus Accounting Variables, And

Reduced Form Credit Risk Models, SSRN, October 20,

2001.

Chava, Sudheer dan Robert A. Jarrow. 2004. Bankruptcy

Prediction with Industry Effects. Review of Finance 8:

537-569

Crouhy, Michel , Dan Galai, Robert Mark, (2000), A

Comparative Analysis of Current Credit Risk Models,

Journal of Banking and Finance 24 (2000) 59-117

Crouhy, M., D. Galai & R. Mark (2001) ≈Prototype risk

rating system.Δ Journal of Banking & Finance 25, pp.

47-95.

D. Duffie, L. Pedersen dan K. Singleton (2000). ΔModeling

Sovereing Yield Spreads: A Case of Study of Russian

DebtΔ. Working paper, Graduate School of Business,

Stanford University.

Duffie, D. dan K. Singleton, 1999, ≈Modeling Term

Structures of Defaultable Bonds,Δ Review of Financial

Studies, 12 (4), 197-226.

Duffie, D. dan D. Lando (2000) ≈Term Structure of Credit

Spreads with Incomplete Accounting InformationΔ

Duffie, D., Pedersen, L. dan Singleton, K. (2000).

≈Modeling Sovereign Yield Spreads: A Case Study of

Russian Debt.Δ Working paper, Stanford University.

Fender, Ingo dan John Kiff (2004) ≈CDO rating

methodology: Some thoughts on model risk and its

implications. BIS Working Papers No 163

Fernandes, João Eduardo (2005), ≈Corporate Credit Risk

Modeling: Quantitative Rating System And Probability

Of Default EstimationΔ

Page 104: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

96

Artikel II - Credit Risk Modelling : Rating Transition Matrices

Frey, Rudiger dan Jochen Backhaus, (2004) ≈Portfolio

Credit Risk Models with Interacting Default Intensities:

a Markovian ApproachΔ

Gagliardini, P. dan C. Gouriéroux, 2005, ≈Stochastic

Migration Models with Apllication to Corporate,Δ

Journal of Financial Econometrics.

Gordy, Michael B., (1998), ≈From CreditMetrics to

CreditRisk+ and Back AgainΔ

Hadad, M. D., W. Santoso; D. S. Besar, dan Ita Rulina,

(2004), ≈Probabilitas Kegagalan Korporasi Dengan

Menggunakan Model MertonΔ Bank Indonesia

Heitfield, Erik (2004), ≈Rating System Dynamics and Bank-

Reported Default Probabilities under the New Basel

Capital AccordΔ

Hillegeist, Stephen A., Elizabeth Keating, Donald P. Cram

dan Kyle G. Lunstedt, 2004, Assessing the probability

of bankruptcy, Review of Accounting Studies 9, 5√

34.

Hurd T.R., dan A. Kuznetsov, 2005, ≈Affine Markov Chain

Model of Multifirm Credit Migration,Δ Natural

Sciences and Engineering Research Council of Canada

dan Mathematics of Information Technology and

Complex System in Canada.

Jarrow, Robert A & Lando, David & Turnbull, Stuart M,

1997. ≈A Markov Model for the Term Structure of

Credit Risk Spreads,Δ Review of Financial Studies,

Oxford University Press for Society for Financial

Studies, vol. 10(2), pages 481-523.

Kamakura Risk Information Services, 2004, Kamakura

pabulic Firm Models, Version 3.0.

Kaplan, R. dan G. Urwitz (1979), «»Statistical Models of

Bond ratings: A Methodological Inquiry»», Journal of

Business, April: 231-262

Kijima, M., dan K. Komoribayashi, 1998, ≈A Markov Chain

Model for Valuing Credit Risk DerivativesΔ, The

Journal of Derivatives, Fall, 97-108.

Lando, D. (1998) ≈On Cox Processes and Credit Risky

SecuritiesΔ Review of Derivatives Research, Vol. 2 (2/

3), pp. 99-120

Lando, David dan Torben M. Skμdeberg. 2002. Analyzing

rating transitions and rating drift with continuous

observations. Journal of Banking and Finance 26. 423-

444. www. Elsevier. Com

McNulty, Cynthia dan Ron Levin, 2000, ≈Modeling Credit

Migration,Δ JP Morgan Securities

Morokoff, William J., 2005, ≈Simulation Analysis of

Correlation and Credit Migration Models for Credit

Portfolios,Δ Proceedings of the 2005 Winter

Simulation Conference.

Nickell, P., Perraudin, W., dan S. Variotto, 2000, ΔStability

of Rating TransitionsΔ, Journal of Banking and

Finance, 24, 203-227.

Nickell, Pamela et al. 2001. Stability of ratings transitions

Nickell, Pamela et. al. 2001. Rating versus equity based

credit risk modelling: an empirical analysis

Nickell, Pamela et.al. 2005. Rating-Based credit Risk

Modelling : an Empirical analysis

Pefindo,2001. Indonesian Rating Highlights. Annual Report

Rommer, Anne Dyrberg, 2005, ≈Testing the Assumptions

of Credit-Scoring Models,Δ Danmarks Nationalbank

dan Centre for Applied Microeconometrics, Institute

of Economics, University of Copenhagen.

Sabourin, Patrick. 1999. Analyzing and Forecasting Credit

Ratings: Some Canadian Evidence

Schuermann, Til dan Yusuf Jafry. (2003). Measurement and

Estimation of Credit Migration Matrices. Wharton

Financial Institutions Centre.

van Deventer, D. dan K. Imai, (2003). ≈Credit Risk Models

and the Basel Accords: The Merton Model and

Reduced Form Models, John Wiley & Sons

van Deventer, Donald R. and Xiaoming Wang, (2003).

≈Advanced Credit Model Performance Testing to

Meet Basel Requirements,Δ Forthcoming in The Basel

Handbook √ A Guide for Financial Practitioners from

RISK Publications

Van Landschoot, Astrid (2003), ≈The Term Structure of

Credit Spreads on Euro Corporate BondsΔ

Van Landschoot, Astrid. 2005. Transition Probabilities

andAsset Correlation:Structured Products versus

Corporates. The McGrawhill Companies.

Violi, Roberto. 2004. Credit Ratings Transition in Structured

Finance. CGFS Working Group on Ratings in

Structured Finance.

Page 105: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

Glosari

97

Glosari

Page 106: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

Glosari

98

Halaman ini sengaja dikosongkan

Page 107: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

Glosari

99

Biaya penyediaan dana Biaya penyediaan dana Biaya penyediaan dana Biaya penyediaan dana Biaya penyediaan dana (cost of loanable funds)(cost of loanable funds)(cost of loanable funds)(cost of loanable funds)(cost of loanable funds): : : : : meliputi

biaya bunga, biaya operasional dan premi asuransi

simpanan dan biaya penyediaan giro wajib minimum.

Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Bank Indonesia Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement Real Time Gross Settlement (BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS)(BI-RTGS):

penyelesaian transaksi secara elektronis dan real time

dimana rekening peserta dapat didebit/dikredit berkali-kali

dalam sehari sesuai perintah.

Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis Manajemen kontinuitas bisnis (business continuity(business continuity(business continuity(business continuity(business continuity

management)management)management)management)management): pengelolaan risiko untuk memastikan tetap

berjalannya fungsi-fungsi penting dalam keadaan

gangguan dan proses pemulihan yang efektif.

Downside riskDownside riskDownside riskDownside riskDownside risk: potensi penurunan harga suatu sekuritas

atau investasi atau timbulnya kerugian akibat penurunan

harga.

Mekanisme kegagalan pembayaran Mekanisme kegagalan pembayaran Mekanisme kegagalan pembayaran Mekanisme kegagalan pembayaran Mekanisme kegagalan pembayaran (failure to settle)(failure to settle)(failure to settle)(failure to settle)(failure to settle):

mekanisme yang mewajibkan peserta kliring menyediakan

dana (prefund) untuk mengantisipasi kewajiban yang

mungkin timbul pada akhir hari.

Fasilitas diskonto Fasilitas diskonto Fasilitas diskonto Fasilitas diskonto Fasilitas diskonto (discount window)(discount window)(discount window)(discount window)(discount window): kredit yang diberikan

oleh bank sentral kepada bank untuk mengatasi kesulitan

likuiditas akibat ketidaksesuaian sementara (mismatch)

pengelolaan dana.

Financial deepeningFinancial deepeningFinancial deepeningFinancial deepeningFinancial deepening: : : : : istilah yang menggambarkan

perkembangan sektor keuangan pada suatu negara.

Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)Financial Sector Assessment Program (FSAP)::::: program IMF

dan Bank Dunia yang ditujukan untuk menilai ketahanan

sistem keuangan suatu negara termasuk kepatuhan

terhadap standar-standar internasional.

Flight to safetyFlight to safetyFlight to safetyFlight to safetyFlight to safety: perpindahan dana dari bank yang

dianggap kurang aman ke bank yang dianggap lebih

aman.

Prinsip empat mata (Prinsip empat mata (Prinsip empat mata (Prinsip empat mata (Prinsip empat mata (four eyes principle)four eyes principle)four eyes principle)four eyes principle)four eyes principle): pemutusan kredit

yang melibatkan sisi bisnis dan manajemen risiko.

Glosari

Jaring pengaman sistem keuangan Jaring pengaman sistem keuangan Jaring pengaman sistem keuangan Jaring pengaman sistem keuangan Jaring pengaman sistem keuangan (financial safety nets)(financial safety nets)(financial safety nets)(financial safety nets)(financial safety nets):

suatu kebijakan untuk memperkuat stabilitas sistem

keuangan yang mencakup empat elemen terkait: (i)

pengaturan dan pengawasan bank; (ii) lender of lastΩresort;

(iii) asuransi simpanan; dan (iv) manajemen krisis.

Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (Kewajiban Pemenuhan Modal Minimum (CapitalCapitalCapitalCapitalCapital

Adequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CARAdequacy Ratio/CAR))))): Rasio kecukupan modal bank;

merupakan pembagian jumlah modal yang meliputi tier I,

tier II, dan tier III dengan aktiva tertimbang menurut risiko.

Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (Kredit Bermasalah (non performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPLnon performing loan/NPL))))): terdiri dari

kredit yang tergolong Kurang Lancar (KL), Diragukan (D)

dan Macet (M).

Lender of last resortLender of last resortLender of last resortLender of last resortLender of last resort: fungsi bank sentral untuk memberikan

kredit kepada bank untuk mengatasi kesulitan likuiditas

akibat ketidaksesuaian sementara (mismatch) pendanaan.

Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (Manajemen krisis (crisis managementcrisis managementcrisis managementcrisis managementcrisis management))))): proses yang

meliputi identifikasi, mitigasi dan penyelesaian krisis.

Mark to marketMark to marketMark to marketMark to marketMark to market: penilaian instrumen keuangan

berdasarkan harga pasar saat ini atau berdasarkan harga

pasar instrumen keuangan lainnya yang sejenis.

Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko Mitigasi risiko (risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation)(risk mitigation): upaya untuk mengurangi

kemungkinan terjadinya dan dampak risiko.

Modal ekonomis (Modal ekonomis (Modal ekonomis (Modal ekonomis (Modal ekonomis (economic capitaleconomic capitaleconomic capitaleconomic capitaleconomic capital))))): modal riil yang

diperlukan bank untuk mengantisipasi risiko-risiko dan

mempertahankan kelangsungan usahanya.

Penyimpangan moralPenyimpangan moralPenyimpangan moralPenyimpangan moralPenyimpangan moral (moral hazard) (moral hazard) (moral hazard) (moral hazard) (moral hazard): penyimpangan

pelaku bisnis (pemilik, pengurus dan nasabah bank) yang

merugikan bank.

Pencegahan krisis (Pencegahan krisis (Pencegahan krisis (Pencegahan krisis (Pencegahan krisis (crisis preventioncrisis preventioncrisis preventioncrisis preventioncrisis prevention))))): upaya mencegah krisis

melalui berbagai kebijakan meliputi pengawasan dan

pengaturan (micro prudential) terhadap lembaga dan pasar

keuangan dan pemantauan dan mitigasi (surveillance)

terhadap sistem keuangan (macroprudential).

Page 108: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

Glosari

100

Penyelesaian krisis (Penyelesaian krisis (Penyelesaian krisis (Penyelesaian krisis (Penyelesaian krisis (crisis resolutioncrisis resolutioncrisis resolutioncrisis resolutioncrisis resolution))))): upaya untuk

mengatasi krisis bila terjadi termasuk restrukturisasi dan

rekapitalisasi bank-bank yang berdampak sistemik.

Ambil untungAmbil untungAmbil untungAmbil untungAmbil untung (profit taking) (profit taking) (profit taking) (profit taking) (profit taking): tindakan investor dengan

menjual aset/surat berharga pada saat harga tinggi untuk

mendapatkan keuntungan.

Modal regulasi Modal regulasi Modal regulasi Modal regulasi Modal regulasi (regulatory capital)(regulatory capital)(regulatory capital)(regulatory capital)(regulatory capital): modal minimum

bank yang ditetapkan regulator dimana perhitungannya

dapat berbeda dengan perhitungan akuntansi pada

umumnya.

RestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasiRestrukturisasi: penyesuaian persyaratan kredit dengan

penambahan dana dan/atau konversi seluruh atau

sebagian tunggakan bunga menjadi pokok kredit baru,

dan/atau konversi seluruh atau sebagian dari kredit menjadi

penyertaan bank dalam perusahaan, yang dapat disertai

dengan penjadwalan kembali dan/atau persyaratan

kembali (reconditioning).

Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (Risiko kredit (credit riskcredit riskcredit riskcredit riskcredit risk))))): risiko yang timbul akibat

kegagalan debitur atau mitra bisnis memenuhi

kewajibannya.

Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (Risiko likuiditas (liquidity riskliquidity riskliquidity riskliquidity riskliquidity risk))))): risiko yang timbul akibat

ketidakmampuan bank untuk memenuhi kewajiban

jangka pendeknya akibat ketidaksesuaian dana masuk

dan keluar.

Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (Risiko operasional (operational riskoperational riskoperational riskoperational riskoperational risk))))): risiko yang terjadi baik

secara langsung maupun tidak langsung akibat

ketidakmampuan atau kegagalan proses internal, manusia

dan sistem atau kejadian eksternal.

Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (Risiko pasar (market riskmarket riskmarket riskmarket riskmarket risk))))): risiko atas posisi perdagangan

akibat perubahan harga.

Risiko atau dampak sistemik (Risiko atau dampak sistemik (Risiko atau dampak sistemik (Risiko atau dampak sistemik (Risiko atau dampak sistemik (systemic risksystemic risksystemic risksystemic risksystemic risk))))): risiko yang

timbul akibat kegagalan satu lembaga keuangan dalam

memenuhi kewajibannya menyebabkan kegagalan

peserta-peserta lainnya untuk memenuhi kewajibannya

sehingga berdampak sistemik.

Aset tak berisiko (Aset tak berisiko (Aset tak berisiko (Aset tak berisiko (Aset tak berisiko (risk free assetsrisk free assetsrisk free assetsrisk free assetsrisk free assets))))): aset yang tingkat

pengembaliannya dapat diketahui dengan pasti.

Sistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment SystemsSistematically Important Payment Systems (SIPS) (SIPS) (SIPS) (SIPS) (SIPS): sistem

pembayaran yang berperan penting dan dapat

menimbulkan dampak sistemik jika tidak diatur dan diawasi

dengan baik.

Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (Sistem kontrol risiko (risk control systemsrisk control systemsrisk control systemsrisk control systemsrisk control systems))))): sistem

pengendalian risiko yang telah dituangkan dalam kebijakan

dan prosedur bank sesuai dengan prinsip-prinsip

manajemen risiko yang baik.

Sistem skor kredit (Sistem skor kredit (Sistem skor kredit (Sistem skor kredit (Sistem skor kredit (credit scoring systemcredit scoring systemcredit scoring systemcredit scoring systemcredit scoring system))))): teknik penilaian

kelayakan kredit calon debitur yang ditujukan untuk

mempercepat proses keputusan kredit.

Stabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuanganStabilitas sistem keuangan: suatu sistem keuangan dengan

intermediasi keuangan yang efektif dimana lembaga, pasar

dan infrastruktur pasar mampu memfasilitasi aliran dana

antara penabung dan debitur sehingga mendukung

pertumbuhan ekonomi.

Stress testingStress testingStress testingStress testingStress testing: estimasi potensi kerugian terhadap eksposur

kredit dan likuiditas yang dihasilkan dari beberapa skenario

perubahan harga dan volatilitas.

Kredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalurKredit belum tersalur (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans) (undisbursed loans): kredit yang telah

disetujui namun belum dicairkan.

Kerugian diluar perkiraan (Kerugian diluar perkiraan (Kerugian diluar perkiraan (Kerugian diluar perkiraan (Kerugian diluar perkiraan (unexpected loss)unexpected loss)unexpected loss)unexpected loss)unexpected loss): kerugian atas

suatu instrumen yang merupakan selisih antara kerugian

yang diharapkan (expected loss) dan kerugian terburuk

(worst case loss).

VolatilitasVolatilitasVolatilitasVolatilitasVolatilitas: standar deviasi dari perubahan nilai suatu

instrumen keuangan dengan jangka waktu spesifik;

digunakan untuk menghitung risiko dari instrumen

keuangan pada suatu periode waktu umumnya secara

tahunan.

YieldYieldYieldYieldYield: tingkat bunga yang dihasilkan atas suatu investasi

dimana besar bunga tersebut sesuai dengan pasar atau

berdasarkan harga pasar investasi yang berlaku.

Page 109: Bank Indonesia, Kajian Stabilitas Keuangan No. 9, September 2007

PENGARAH

Halim Alamsyah Wimboh Santoso

KOORDINATOR & EDITOR

Agusman

TIM PENYUSUN

Sukarela Batunanggar, Linda Maulidina, Herawanto, Ronald L. Toruan, Dwityapoetra S. Besar,

Pipih Dewi Purusitawati, Wini Purwanti, Endang Kurnia Saputra, Ferial Ahmad, Ita Rulina,

Ricky Satria, Fernando R. B, Noviati, Sagita Rachmanira, Reska Prasetya, Leanita Indah P.,

Elis Deriantino, Hero Wonida, Mestika Widantri, Heny S

KOMPILATOR, LAYOUT & PRODUKSI

Ita Rulina Ricky Satria Primitiva Febriarti

KONTRIBUTOR

Direktorat Pengawasan Bank 1

Direktorat Pengawasan Bank 2

Direktorat Pengawasan Bank 3

Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat

Direktorat Perbankan Syariah

Direktorat Investigasi dan Mediasi Perbankan

Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan

Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran

Biro Kredit

Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter

Direktorat Pengelolaan Moneter

Direktorat Pengelolaan Devisa

PENGOLAHAN DATA

Suharso I Made Yogi Tita Hapsari

Kajian Stabilitas KeuanganNo. 9, September 2007