Upload
rolan-tuturoong
View
721
Download
2
Embed Size (px)
Citation preview
CEDERA KEPALA SEDANG
A. Definisi
Komosio serebri ( gegar otak ) merupakan bentuk trauma kapitis ringan, dimana terjadi
pingsan ( kurang dari 10 menit ). Gejala yang lain mungkin termasuk noda - noda didepan
mata dan linglung. Komosio serebri tidak meninggalkan gejala sisa atau tidak menyebabkan
kerusakan struktur otak ( Pahria, 1996 : 48 ).
Kromosio serebri atau gegar otak adalah keadaan pingsan yang berlangsung tidak lebih dari
10 menit akibat trauma kepaly yang tidak disertai dengan kerusakan jaringan otak. Pasien
mungkin mengeluh nyeri kepala, vertigo, mungkin muntah, tampak pucat ( Harsono, 2000 :
310 ).
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan GCS (Glasgow Coma Scale) antara 9
sampai 13 ( Mansjoer, Arif, 2000 : 3).
Cedera kepala sedang adalah cedera kepala dengan Skala Koma Glasgow ( SKG ) antara 9 -
12 dengan kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24
jam serta dapat mengalami fraktur tengkorak ( Hudak dan Gallo, 1996 : 226 ).
Dari beberapa pengertian diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa cedera kepala sedang
merupakan cedera kepala yang mengakibatkan kehilangan kesadaran atau amnesia lebih dari
30 menit tetapi kurang dari 24 jam serta dapat disertai fraktur tengkorak dan kerusakan
struktur dan jaringan otak dengan Skala Koma Glasgow antara 9 - 13.
B. Etiologi
Penyebab dari cedera kepala antara lain :
1. Kecelakaan sepeda motor atau lalu lintas.
2. Jatuh, benturan dengan benda keras.
3. Karena pukulan dengan benda tajam, tumpul dan perkelahian
4. Cedera karena olahraga
( Corwin, 2000 : 175 ).
Berbagai macam penyebab dari cidera kepala diantaranya karena adanya percepatan
mendadak yang memungkinkan terjadinya benturan atau karena perlambatan mendadak
yang terjadi jika kepala membentur objek yang tidak bergerak. Kerusakan otak yang bisa
terjadi pada titikbenturan pada sisi yang berlawanan, cedera percepatan - perlambatan
kadang disebut Coup countrecoup ( Adelina, 2000, htttp://.medicastore.com/ =687.
Accessed 16 Agustus 2006 ).
C. Manifestasi Klinis
Gejala klinik pada cedera kepala berbeda - beda sesuai dengan jenis dan macam-macam
dari trauma kepala itu sendiri. Jenis trauma kepala ada dua yaitu :
1. Trauma Kepala Terbuka
a. Komosio Serebri
Adalah suatu kehilangan fungsi neural akut yang berlangsung sebentar saja. Penderita
mengalami amnesia retrograd tanpa ditemukannya kelainan neurologis. Sepertiga kasus
mengalami fraktur linear yang tidak mengubah perjalanan penyakit sehingga tidak perlu
rawat inap. Bila terjadi fraktur yang melintasi arteri meningea media, sutura labdoidal atau
sutura sagitalis sebaiknya dilakukan perawatan karena kemungkinan akan terjadi hematoma
epidural.
Tanda dan gejala klinik :
1) Pingsan tidak lebih dari 10 menit.
2) Tanda - tanda vital tidak normal atau menurun.
3) Setelah sadar mungkin terdapat gejala subyektif seperti nyeri kepala, pusing, muntah.
4) Terdapat amnesia retrograd (singkat) dan pada pemeriksaan tidak terdapat kelainan
neurologik lainnya.
b. Kontusio Serebri
Tanda dan gejala :
1) Pingsan berlangsung lama, lebih dari 1 jam dan dapat berhari-hari bahkan beminggu -
minggu.
2) Kelainan neurologik. Kelainan ini timbul tergantung pada lokasi dan luasnya lesi. Lesi
pada batang otak dapat berakibat fatal.
a) Pada gangguan diensefalon : pernafasan biasa ( Chyne Stokes ) Pupil mengecil dan
reflek cahaya baik. Gerakan mata tetap ditengah pada gerakan kepala. Pada susunan
motorik terdapat rigiditas debortikalis.
b) Pada Gangguan Mesensefalons dan Pons : penurunan kesadaran hingga koma,
hiperventilasi, pupil melebar dan reflek cahaya tidak ada, pergerakan cahaya tidak teratur,
sikap desorebrasi tungkai dan lengan ( ekstensi ).
c) Pada medula oblongata : nafas tersengal - sengal, tidak teratur kemudian berhenti. Pada
pemeriksaan fungsi lumbal, cairan serebrospinal berdarah.
c. Hemutoma Epidural
Adalah pengumpulan darah diantara tulang kepala dan durameter. Lokasi yang sering
terjadi adalah didaerah .frontal dan temporal. Perdarahan ini terjadi karena robeknya arteri
meningea media atau cabang - cabangnya atau robeknya vena meningea media.
Gejala klinik :
1) Penurunan kesadaran ( nyeri kepala sebentar lalu mcmbaik ).
2) Anisokor sesisis
3) Hemiparasi kontralateral.
4) Beberapa jam kemudian timbul gejala yang berat dan progresif (nyeri kepala hebat,
pusing dengan penurunan kesadaran ).
d. Hematoma Subdural
Adalah pengumpulan darah diantara durameter dun arakhnoid. Perdarahan disebabkan oleh
robeknya vena yang melintasi dari korteks serebri ke sinus dural ( Bridging Veins ) atau
laserasi durameter. Perdarahan ini dapat dibedakan menjadi perdarahan akut, sub akut dan
kronis.
Perdarahan akut sering dihubungkan dengan cedera otak besar atau batang otak dengan
tanda nyeri kepala, perasaan ngantuk, bingung, gelisah dan respon lambat.
Perdarahan sub akut biasanya berkembang antara 7 - 10 hari setelah cedera dan
dihubungkan dengan kontusio serebri yang agak berat. Hal ini menyebabkan tekanan yang
terus menerus yang dapat menyebabkah penurunan tingkat kesadaran yang dalam.
Perdarahan subdural kronis terjadi karena luka yang ringan. Pada mulanya perdarahan yang
memasuki ruang subdural, kemudian beberapa minggu menumpuk disekitar membran
vaskuler dan pelan - pelan meluas dan menimbulkan gejala sampai beberapa minggu atau
bulan sehingga terjadi penurunan tingkat kesadaran.
Gejala klinik :
1) Nyeri kepala hebat dan muntah.
2) Ubun - ubun besar menonjol dan lingkar kepala membesar.
3) Kejang - kejang.
4) Perdarahan retina.
5) Peningkatan tekanan intra cranial yang timbul dalam waktu 1 sampai 2 hari.
e. Hemutoma Intra Serebral
Merupakan penumpukan darah pada jaringan otak. Hal ini banyak dihubungkan dengan
kontusio dan terjadi di daerah frontal dan temporal. Akibat adanya substansi darah dalam
jaringan otak maka akan menimbulkan edema otak dan gejala neurologiknya tergantung
dari ukuran dan lokasi perdarahan.
Gejala klinik :
1) Terjadi bersatna kontusio
2) Lebih buruk dari kontusio
3) Adanya bekuan darah diotak.
4) Edema local yang hebat.
f. Fraktur Tengkorak
Fraktur tengkorak terdiri dari fraktur linear, diastatik, growing basilar, impresi dan terbuka.
Fraktur linear tengkorak yang imatur dapat menahan deformasi yang lebih besar sebelum
terjadi fraktur, dan bentuk fraktur yang terjadi biasanya fraktur linier. Pada anak kecil garis
fraktur tidak rata sehingga sulit dibedakan dengan sutura yang masih terbuka. Fraktur linier
terjadi akibat pukulan benda keras, oleh karena itu perlu observasi kemungkinan terjadinya
hematoma epidural dan subdural. Fraktur ditemporal atau meluas ke foramen magnum
dapat disertai timbulnya hematoma epidural, demikian juga apabila garis fraktur menyilang
pembuluh darah besar.
Fraktur diastatik adalah satu sutura atau lebih karena trauma kepala. Terjadi karena
robeknya sambungan sutura yang fibrus. Sering terjadi pada sutura lamdoidal dalam usia 4
tahun pertama. Keadaan ini harus dipantau secara cepat sebab dapat menjadi fraktur
growing yaitu heniasi jaringan otak melalui durameter yang robek. Fraktur basilar adalah
keadaan ini dicurigai apabila terlihat perdarahan nasofarings, telinga tengah, keluamya
cairan serebrospinal dari telinga (otorea), keluarnya cairan serebrospinal dari hidung
( rinorea ), ekimosis retroarikuler dan sekitar mata (battle sign) dan paresis nervus VII dan
VIII. Fraktur didasar fosa anterior dapat terjadi perdarahan kedalam orbita dengan gejala
eksoftalamos dan perdarahan konjungtiva, sedangkan fraktur dibagian temporalis bagian
mastoid menyebabkan ekimosis retroarikulur.
g. Sindroma Pasca Trauma
Gejala klinik :
1) Palpitasi (berdebar - debar ).
2) Konsentrasi menurun.
3) Dimensia ringan.
4) Mudah tersinggung.
5) Gangguan seksual.
6) Berkeringat.
7) Cepat lelah.
8) Lesi - lesi kecil diaerah temporofrontal.
2. Trauma Kepala Tertutup ( Trauma Spinal )
Gejala klinik :
Avulsi radiks terutama regio fleksus brakialis
a. Nyeri berat.
b. Mengakibatkan paresis anggota badan terkait.
c. Lesi servikal atas.
Secara spesifik manifestasi klinis dari cedera kepala sedang adalah :
1. Kehilangan kesadaran dan atau amnesia lebih dari 30 menit tetapi kurang dari 24 jam.
2. Dapat mengalami fraktur tengkorak.
3. Skala Koma Glasgow ( SKG ) antara 9 - 13 ( Hudak dan Gallo, 1996 : 226)
4. Terjadi konvusi.
5. Muntah
6. Tanda kemungkinan terjadi fraktur kranium ( mata rabun, hemotimpanium, ortorea atau
rinorea cairan serebrospinal ) dan terdapat lesi - lesi kecil didaerah lemporofrontal.
7. Kejang ( Manjoer, Arief, 2000 : 4 ).
Pemeriksaan diagnostik yang dilakukan dalam menegakan diagnosa medis cidera kepala
sedang adalah X - Ray tengkorak, CT Scan, Angiografi.
D. Patofisiologi
Cedera kepala dapat terjadi karena cidera kulit, kepala, tulang kepala, jaringan otak, baik
terpisah maupun seluruh. Faktor yang mempengaruhi luasnya cedera kepala adalah lokasi
dan arah dari penyebab benturan, kecepatan kekuatan yang datang, permukaan dari
kekuatan yang menimpa, kondisi kepala ketika mendapat benturan.
Tepat diatas tengkorak terletak galea aponeurika, suatu jaringan .fibrosa, padat, dapat
digerakan dengan bebas yang membantu menyerap kekuatan trauma eksternal. Diantara
kulit dan galea terdapat lapisan lemak dan membran dalam yang mengandung pembuiuh -
pembuluh besar. Bila robek pembuluh ini sukar mengadakan vasokontriksi. Tengkorak
merupakan ruangan keras sebagai pelindung otak atau rangka otak. Pelindung lain adalah
meningen yang merupakan selaput yang menutupi otak ( Price dan Wilson, 1995 : 1014 ).
Cedera kepala dapat bersifat terbuka ( menembus durameter ) atau trauma tertutup ( trauma
tumpul tanpa penetrasi menembus durameter ). Cedera kepala terbuka memungkinkan
patogen lingkungan memiliki akses langsung ke otak. Pada kedua jenis cidera kepala akan
terjadi kerusakan apabila pembuluh darah sel glia dan neuron hancur. Kerusakan otak akan
timbul setelah cedera berat, apabila terjadi perdarahan dan peradangan yang menyebabkan
peningkatan Tekanan Intra Kranial ( Corwin, 2001 : 175 ). Mekanisme cedera kepala
memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat ringannya konsekuensi
patofisiologi dari trauma kepala. Cedera percepatan ( aselerasi ) terjadi bila benda yang
sedang bergerak membentur kepala yang diam, sedangkan perlambatan ( deselerasi )
adalah bila kepala membentur objek yang secara relatif tidak bergerak ( Hudak dan Gallo,
1996 : 226). Kedua kekuatan ini memungkinkan terjadi secara bersamaan bila terdapat
gerakan kepala tiba - tiba tanpa kontak langsung seperti yang terjadi bila posisi badan
diubah secara kasar dan cepat. Kekuatan ini bisa dikombinasikan dengan pengubahan
posisi rotasi pada kepala yang menyebabkan trauma regangan dan robekan pada substantia
alba dan batang otak. Cidera primer yang terjadi pada waktu benturan, mungkin karena
memar pada permukaan otak, laserasi substantia alba cedera robekan atau hemoragi.
Sebagai akibat, cedera sekunder dapat terjadi sebagai kemampuan autoregulasi serebral
dikurangi atau tidak ada pada area cedera. Konsekuensinya meliputi hyperemia
( peningkatan volume darah ) pada area peningkatan permeabilitas kapiler, serta
vasodilatasi arterial, semua menimbulkan peningkatan isi intrakranial dan akhirnya
peningkatan Tekanan Intra Kranial ( TIK ). Beberapa kondisi yang dapat menyebabkan
cedera otak sekunder meliputi hipoksia, hiperkarbia, dan hipotensi ( Hudak dan Gallo, 1996
: 226 ).
Trauma dengan disertai edema dapat menyumbat CSF ( Cerebro Spinal Fluid ) baik
langsung maupun tidak langsung yang berakibat tekanan intra cranial meningkat ( Long,
1996 : 2004 ). Efek sekunder trauma yang menyebabkan perubahan neurologik berat,
disebabkan oleh reaksi jaringan terhadap cedera setiap kali, jaringan mengalami cedera,
respon dapat diperkirakan sebelumnya dengan perubahan cairan intrasel dan ekstrasel yang
mengakibatkan edema otak, mekanisme kompensasi menjadi tidak efektif yang
menimbulkan peningkatan TIK yang dapat mengurangi aliran darah otak dan
meningkatkan retensi CO, yang meningkat mengakibatkan vasodilatasi otak yang
membantu meningkatkan TIK sehingga otak akan mengalami penurunan O2 dan glukosa,
sebagai bahan bakar metabolisme otak tidak boleh berkurang karena akan menimbulkan
koma ( Pahria, Tuti, 1996 : 50). Pada kontusio serebri yang berat akan terjadi penimbunan
asam laktat dan penambahan asam laktat, hal ini terjadi karena metabolisme anaerobic dari
glukosa akibat hipoksia atau kerusakan akibat trauma. Bila otak mengalami hipoksia maka
metabolisme glukosa anaerob akan terjadi dan pada proses ini menyebabkan dilatasi
pembuluh darah, hal ini terjadi agar kebutuhan oksigen otak terpenuhi.
Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, bila terjadi kekurangan aliran darah ke otak
walaupun sebentar maka akan mengakibatkan gangguan fungsi. Sedangkan bahan bakar
utama otak adalah glukosa. Bila kadar glukosa kurang dari 20 mg% maka akan terjadi
koma.
Dalam keadaan normal Cerebral Blood Flow yaitu 60 - 70 ml/ menit 100 gram jaringan
otak, yang berarti 20 % dari CO. Pembuluh darah akan berkontriksi bila tekanan menurun
sedangkan pengaruh saraf simpatis dan para simpatis pada pembuluh darah arteri tidak
begitu besar. Sedangkan konsentrasi O2 dan CO2 dalam arteri sangat mempengaruhi aliran
darah. Bila PO rendah maka aliran darah akan bertambah secara nyata karena terjadi
vasodilatasi, sebaliknya bila terjadi penurunan PCO2 akan terjadi alkalosis yang
menyebabkan konstriksi arteri kecil dan penurunan CSF. Penambahan jumlah darah dalam
intra cranial akan menyebabkan terjadinya tekanan intra kranial ( TIK ).
Edema otak disebabkan karena adanya penumpukan cairan yang berlebihan pada jaringan
otak. Pada pasien kontusio serebri pembuluh kapiler sobek, cairan traumatic mengandung
protein eksudat yang berisi albumin dan cairan intersisial. Otak pada kondisi normal tidak
mengalami edema otak sehingga bila terjadi penekanan terhadap pembuluh darah dan
jaringan sekitarnya akan menimbulkan kematian jaringan otak. Edema jaringan otak akan
mengakibatkan peningkatan TIK yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang
otak.
Banyak energi diserap oleh lapisan pelindung ( rambut, kulit, kepala, tengkorak ) tetapi
pada trauma hebat penyerapannya ini tidak cukup untuk melindungi otak. Sisa energi
diteruskan ke otak dan menyebabkan kerusakan dan gangguan sepanjang jalan yang
dilewati karena jaringan lunak menjadi sasaran kekuatan itu.
Efek sekunder trauma yang menyebabkan neurologik berat, disebabkan oleh reaksi jaringan
terhadap cedera. Setiap kali jaringan mengalami cedera dan ekstrasel, ekstravasasi darah,
pcningkatan suplai darah ketempat itu dan mobilisasi sel - sel untuk memperbaiki dan
membuang debris seluler. Neuron atau sel - sel fungsional dalam otak bergantung dari
menit ke menit pada suplai nutrisi yang konstan dalam bentuk glukosa dan oksigen serta
sangat peka terhadap cedera metabolik apabila suplai terhenti sebagai akibat dari cedera,
sirkulasi otak dapat kehilangan kemampuannya untuk mengatur volume darah, beredar
yang tersedia, menyebabkan iskemia pada beberapa daerah tertentu dalam otak ( Price,
1995 : 1016 ).
E. Fokus Pengkajian
1. Aktifitas atau istirahat
a. Data Subyektif : adanya kelelahan atau kelemahan.
b. Data Obyektif : kesadaran menurun, lethargi, hemiparase, hilang keseimbangan,
adanya trauma tulang dan spasme.
2. Peredaran Darah
Data Obyektif : tekanan darah tinggi, denyut nadi (Brachialis, tachycardy, Disritmia ).
3. Eliminasi
Data Subyektif : verbal tidak dapat membuang air kecil dan air besar.
Data Obyektif : Bladder dan Bowel lncontinensia.
4. Makanan atau Cairan
Data Subyektif : mual, muntah.
Data Obyektif : muntah yang memancar atau proyektil, masalah kesukaran menelan
( airliur yang berlebihan, batuk, sukar makan makanan ).
5. Persyarafan
Data Subyektif : pusing, adanya hilrng kcsadaran, kejang, masalah penglihatan, bunyi
berdengung di telinga.
Data Obyektif : kesadaran menurun, koma, perubahan status mental, perubahan
penglihatan, kehilangan sensitifitas, wajah tidak simetris, tidak ada reflek tendon,
hemiparase, adanya perdarahan mata, hidung, telinga, kejang.
6. Kenyamanan atau Nyeri
Data Subyektif : nyeri kepala yang bervariasi tekanan dan lokasinya.
Data Obycktif : respon menarik diri terhadap rangsangan.
7. Pernafasan
Data Subyektif : perubahan pola nafas, wheezing, stridor, ronchi
8. Keamanan
Data Subyektif : ada riwayat kecelakaan.
Data Obyektif : terdapat trauma, fraktur, dislokasi, perubahan penglihatan, kulit, keluar
darah dari telinga atau hidung. Ketidaktahuan tentang keadaanya, kelemahan otot,
paralise, demam, gangguan perubahan temperatur.
9. Konsep Diri
Data Subyektif : adanya perubahan tingkah laku
Data Obyektif : kecemasan, berdebar - debar, bingung, delirium.
10. Interaksi Sosial
Data Subyektif : Afasia atau disatria ( gangguan dalam mengartikan kata orang lain ).
F. Fokus Intervensi
Intervensi keperawatan berdasarkan diagnosa yang mungkin muncul pada pasien dengan
codera kepala adalah :
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi, hemutoa atau
edema serebral. Dibuktikan oleh perubahan tingkat kesadaran, kehilangan memori,
perubahan respon motorik atau sensorik, perubahan tanda - tanda vital.
- Kriteri hasil yang diharapkan adalah mempertahankan tingkat kesadaran biasa
atau perbaikan, kognisi dan fungsi mototrik atau sensorik, mendemonstrasikan
tanda - tanda vital stabil, tidak ada peningkatan tekanan intra cranial
- Intervensinya
pantau atau cacat status neurologis secara teratur dan bandingkan dengan
nilai standar ( misalnya Skala Coma Glasacow ) untuk mengetahui
adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran dan potensial peningkatan
tekanan intra kranial dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,
perluasan dan perkembangan kerusakan sistem saraf pusat.
Pantau tekanan darah, autoregulasi mempertahankan aliran darah otak
yang konstan pada saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik, kehilangan
autoregulasi dapat mengikuti kerusakan vaskularisasi serebral lokal atau
menyeluruh, peningkatan tekanan darah sistemik yang diikuti oleh
penurunan tekanan darah diastolik merupakan tanda terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial jika diikuti oleh penurunan tingkat
kesadaran.
Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman, kesamaan antara kiri
dan kanan dan reaksi terhadap cahaya untuk mengetahui keadaan otak
apakah masih bagus atau tidak sedangkan respons terhadap cahaya
mencerminkan fungsi yang terkombinasi dari saraf kranial optikus ( II )
dan okulomotor ( III ).
Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai indikasi adanya demam
dapat mencerminkan kerusakan pada hipotulamus, peningkatan
kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen terjadi ( terutama pada
saat demam dan menggigil ) yang selanjutnya dapat menyebabkan
peningkatan tekanan intra kranial. Pertahankan kepala atau leher pada
posisi netral, kepala yang miring, pada salah satu sisi menekan vena
jugularis dan menghambat aliran darah vena yang selanjutnya akan
meningkatkan tekanan intra kranial.
Berikan waktu istirahat diantara aktivitas keperawatan yang dilakukan
dan batasi waktu dari setiap prosedur tersebut, aktivitas yang terus
menerus dapat meningkatkan tekanan inta kranial dengan menimbulkan
efek stimulasi kumulatif.
Tinggikan kepala pasien 15 sampai 45 derajat sesuai indikasi yang
ditoleransi untuk meningkatkan aliran balik vena dari kepala sehingga
akan mengurangi kongesti dan edema atau risiko terjadinya peningkatan
tekanan intra kranial. Pemberian obat diuretik sesuai program untuk
menurukkan edema otak dan tekanan intra kranial ( Doenges, 2000 :
273 ).
2. Resiko tinggi terhadap pola nafas tidak efektif berhubungan dengan kerusakan
neurovaskuler ( cedera pada pusat pernalasan otak ). obstruksi trakheobronkial.
- Kriteria hasilnya adalah mempertahankan pola pernafasan normal ( efektif, bebas
sianosis, analisa gas darah normal ).
- Intervensinya
pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan adanya perubahan dapat
menandakan awitan komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi atau
luasnva keterlibatan otak, pernafasan lambat., periode apnea dapat
menandakan perlunya ventilasi mekanis.
Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya, posisi miring sesuai
indikasi untuk mempermudah ekspansi paru atau ventilasi paru dan
menurunkan adanya kemungkinan lidah jatuh yang menyumbat jalan
nafas.
Anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam yang efektif jika pasien
sadar untuk mencegah atau menurunkan atelaktasis.
Lakukan penghisapan dengan ekstra hati - hati jangan lebih dari 10 - 15
detik, catat karakter, warna dau kekeruhan secret untuk membersihkan
plan nafas pada pasien koma dalam keadaan imobilisasi dan dalam
melakukan tindakan ini harus dengan hati - hati karena penghisapan pada
trakea yang terlalu dalam dapat menyebabkan hipoksia yang
mcnimbulkan vasokonstriksi yang akhirnya akan berpengaruh cukup
bcsar pada perfusi serebral.
Auskultasi suara nafas, perhatikan daerah hipoventiasi untuk
mengidentifikasikan adanya masalah paru seperti atelaktasis, kongesti
atau obstruksi jalan nafas yang membahayakan oksigenasi serebral atau
menandakan terjadinya infeksi paru.
Pantu penggunaan obat - obat depresan pernafasan untuk mengetahui ada
tidaknya gangguan atau komplikasi pernafasan.
Pantau ananlisa gas darah, tekanan oksimetri untuk menentukan
kecvkupan pernafasan, keseimbangan asam hasa dan kebutuhan akan
terapi.
Berikan oksigen sesuai program untuk mencegah terjadinya hipakria
( Doenges, 2000 : 277 ).
3. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan persepsi, penurumo
kekuatan. Dibuktikan oleh ketidakmampuan bergerak sesuai tujuan dalam
lingkungan fisik termasuk mobilitas fisik ditcmpat tidur, pemindahan ambulasi.
Kerusakan koordinasi, keterbatasan rentang gerak, penurunan kekuatan otot.
- Kriteria hasil yang diharapkan adalah melakukan kembali atau mempertahankan
pososi fungsi optimal, mempertahankan atau meningkatkan kekuatan dan fungsi
bagian tubuh yang sakit, mendemontrasikan teknik atau perilaku yang
memungkinkan dilakukannya kembali aktifitas, mcmpertanankan integritas kulit,
kandung kemih dan fungsi usus.
- Intervensinya
kaji derajat immoblisasi ( skala 0 - 4 ), pasien mampu mandiri ( nilai 0 )
atau memerlukan bantuan atau pcralatan yang minimal ( nilai l ),
memerlukan bantuan sedang atau dengan pengawasan atau diajarkan
( nilai 2 ), memerlukan bantuan atau peralatan terus menerus dan alat
khusus ( nilai 3 ), atau tergantung total pada pemberian asuhan ( nilai 4 ),
seseorang dalam kategori sama - sama mempunyai risiko kecelakaan
namun kategori dengan nilai 2 sampai 4 mempunyai risiko terbesar untuk
terjadinya bahaya tersebut sehubungan dengan imobilisasi.
Ubah posisi pasien secara teratur untuk meningkatkan sirkulasi pada
seluruh bagian tubuh. Pertahankan kesejajaran tubuh secara fungsional
seperti pantat, kaki, tangan penggunaan sepatu tenis hak tinggi sapce
boots dan kulit domba T - bar dapat membantuu mencegah footdrop,
bidai tangan bervariasin dan desain untuk mencegah detimal, penggunaan
bantal, gulungan alas tidur dan bantal pasir dapat membantu mencegah
terjadinya rotasi abnormal pada pantat.
Berikan atau bantu untuk melakukan latihan rentang gerak untuk
mempertahankan mobilisasi dan fungsi sendi atau posisi normal
ekstremitas dan menurunkan terjadinya vena yang statis. Tingkatkan
aktifitas dan partisipasi dalam merawat diri sendiri sesuai dengan
kemampuan untuk meningkatkan kerjasama pasien atau keberhasilan dari
suatu program tcrsebut.
Berikan perawatan kulit cermat, masase dengan pclembab dan ganti linen
atau pakaian yang basah dan pertahankan linen tersebut tetap bersih
untuk meningkatkan sirkulasi dan elasilitas kulit dan menurunkan risiko
terjadinya ekskrosiasi kulit. Pantau pola eliminasi untuk mengetahui
apakah terjadi komplikasi atau tidak, defekasi yang teratur merupakan
kebutuhan yang sederhana tetapi merupakan tindakan yang amat penting
untuk mencegah terjadinya komplikasi ( Doenges, 2000 : 282).
4. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan port de entry mikroorganisme.
- Kriteria hasilnya adalah tidak ada tanda - tanda infeksi ( rubor, calor, dolor,
tumor dan penurunan fungsi ), mcncapai penyembuhan luka tepat waktu bila ada.
- Intervensinya
berikan perawatan antiseptik dan aseptik untuk menghindari terjadinya
infeksi nosokomial.
Observasi daerah kulit yang mengalami kerusakan, daerah yang
terpasang alat invasisve deteksi dint perkembangan infeksi
memungkinkan untuk melakukan tindakan dengan segera dan
pencegahan terhadap komplikasi selanjutnya.
Pantau suhu tubuh secara teratur dapat mengindikasiakan
perkembangan sepsis yang selanjutnya memerlukan evaluasi atau
tindakan dengan segera. Anjurkan untuk nafas dalam untuk
meningkatkan mobilisasi dan pembersihan sekresi paru untuk
menurunkan risiko terjadinya pneumonia dan atelektasis. Kolaborasi
pemberian antibiotik sesuai indikasi untuk terapi profilaktik dapat
digunakan pada pasien yang mengalami trauma ( Doenges, 2000 :
284 ).
5. Resiko tinggi terhadap perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan perubahan kemampuan untuk mencerna nutrisi, kelemahan otot untuk
mengunyah, menelan.
- Kritera hasilnya adalah kemajuan peningkatan berat badan sesuai tujuan, tidak
mengalami tanda - tanda mal nutrisi.
- Intervensinya
kaji kemampuan pasien untuk mengunyah, menelan, batuk dan mengatasi
sekresi rasionalnya faktor ini menentukan pemilihan terhadap jenis
makanan sehingga pasien harus terlindung dari aspirasi.
Auskultasi bising usus rasionalnya yaitu fungsi saluran pencernaan
biasanya tetap baik pada kasus cedera kepala dan bising usus membantu
dalam menentukan respon makan untuk makan atau berkembangnya
komplikasi seperti paralitik illeus.
Timbang berat badan sesuai indikasi untuk mengevaluasi keefektifan atau
kebutuhan mengubah pemberian nutrisi. Jaga keamanan saat memberikan
makan pada pasien untuk menurunkan risiko regurgitasi dan atau
terjadinya aspirasi.
Tinggikan kepala tempat tidur untuk mempermudah makanan masuk
kelambung dan mencegah terjadinya refluk lambung.
Berikan makan dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang sering dengan
teratur untuk meningkatkan proses pencernaan dan toleransi pasien
terhadap nutrisi yang diberikan dan dapat meningkatkan kerjasama pasien
saat makan.
Kolaborasi yaitu konsultasi dengan ahli gizi untuk mengidentifikasi
kebutuhan kalori atau nutrisi tergantung pada usia, berat badan, keadaan
penyakit sekarang. Pantau pemeriks,um laboratorium untuk
mengidentifikasi defisiensi nutrisi, fungsi organ dan respons terhadap
nutrisi tersebut ( Doenges, 2000 : 286 ).
6. Kurang pengetahuan mengenai kondisi, penyakit dan kebutuhan pengobatan
berhubungan dengan tidak mengenal informasi atau sumber.
- Kriteria hasilnya adalah bcrpartisipasi dalam proses belajar, mengungkapkan
pemahaman tentang kondisi, aturan pengobatan, melakukan prosedur yang
diperlukan dengan benar.
- Intervensinya
evaluasi kemampuan dan kesiapan untuk belajar dari pasien dan juga
keluarganya rasionalnya yaitu memungkinkan untuk menyampaikan
bahan yang didasarkan atas kebutuhan secara individual.
Berikan kembali informasi yang berhubungan dengan proses dan
pengaruh sesudahnya untuk membantu dalam menciptakan harapan yang
realistis dan meningkatkan pemahaman pada saat ini dan kebutuhannya.
Diskusikan rencana untuk memenuhi kebutuhan perawatan diri
rasionalnya untuk berbagai tingkat bantuan mungkin perlu direncanakan
yang didasarkan atas kebutuhan yang bersirat individual. Berikan
instruksi dalam bentuk tulisan dan jadwal mengenai aktititas obat dan
faktor penting rasionalnya memberikan penguatan visual dan rujukan
setelah sembuh.
Identifikasi sumber - sumber yang berada dimasyarakat rasionalnya
diperlukan untuk memberikan bantuan perawatan secara fisik,
penanganan di rumah, perubahan gaya hidup ( Doenges, 2000 : 289 ).
7. Defisit perawatan diri hygiene berhubungan dengan kelemahan fisik.
- Kriteria hasilnya adalah pasien dapat mclakukan perawatan diri mandiri.
- Intervensinya
kaji kemampuan pasien rasionalnya mengidentifikasi kebutuhan
intervensi yanmg dibutuhkan.
Ikut sertakan pasien dalam rencana kegiatan rasionalnya meningkatkan
perasaan control dan meningkatkan, kerjasama dan perkembangan
kemandirian.
Dorong perawatan diri beketja sama dengan kemampuan yang sekarang
rasionalnya melakukan untuk dirinya sendiri akan meningkatkan
perasaan harga diri.
Bantu dalam perawatan diri rasionalnya membantu kebutuhan personal
hygiene pasien ( Doenges, 2000 : 932 ).
8. Gangguan rasa nyaman nyeri lokal berhubungan dengan peningkatan tekanan
intrakranial dan penurunan suplai oksigen ke otak ( hipoksia ).
- Kriteria hasilnya adalah pasien tidak mengeluh nyeri, hematoma atau
pembengkakan hilang atau berkurang, pasien dapat beristirahat dengan tenang.
- Intervensinya
kaji tipe, lokasi dan durasi nyeri untuk membantu dalam menentukan
diagnosa keperawatan dan kebutuhan terapinya.
Jelaskan patologis terjadinya nyeri akibat dari pada cedera untuk
mengurangi perasaan cemas pada pasien.
Batasi daerah yang cedera untuk mengantisipasi perluasan area cedera.
Observasi tanda - tanda vital rasioanalnya unluk mengetahui
perkembangan pasien secara umum.
Ajarkan tehnik relaksasi untuk mengurangi nyeri. Kolaborasi pemberian
analgetik untuk mengurangi rasa nyeri pasien ( Wahidi, & Aryati, 1996 :
54).
9. Gangguan pola tidur berhubungan dengan nyeri.
- Kriteria hasilnya adalah pasien dapat beristirahat atau tidur dengan tenang, tidak
ada gangguan tidur, mata tidak tampak sayu dan wajah tidak tampak kusam.
- intervensi
kaji pola tidur pasien untuk mengetahui pasien apakah pasien mengalami
gangguan pola tidur atau tidak.
Ciptakan lingkungan yang tenang dan nyaman agar pasien dapat beristirahat
tampa adanya gangguan.
Berikan posisi yang nyaman, anjurkan untuk melakukan tehnik distraksi dan
relaksasi jika nyeri timbul untuk mengurangi rasa nyeri ( Doenges, 2000 :
493 ).
RESUME
INSATALASI GAWAT DARURAT
A. IDENTITAS
- Nama : An. Diki darmawan
- Umur : 11 tahun
- Agama : Muslim
- Alamat : depok
- Pekerjaan :
- Status perkawinan : belum menikah
- Sumber informasi : keluarga
- Sumber biaya : cash
- Tanggal masuk : 19 – 10 – 2010. Pukul 13.45
B. Riwayat kesehatan
- Keluhan utama
Klien jatuh dari pohon kurang lebih tingginya 3 meter, 1 ½ jam yang lalu klien tidak
sadar, muntah 2 x dan kejang di perjalanan, dan ada perdarahan dari hidung.
- Riwayat kesehatan yang lalu dan kebiasaan hidup terkait penyakit
Klien tidak memiliki riwayat penyakit sebelunya.
C. Pengkajian ( primery )
- Airway
Adanya sumbatan jalan nafas berupa sekret. Terdengar suara nafas.klien di suction
dan terpasang gudel ( opa)
- Breathing
Terlihat pengembangan dada, terdenga suara nafas cepat, terasa hembusan nafas
frekwansi nafas 42x/menit
- Circulation
Adanya sianosi, akral dingin, kapilari refill kurang dari 3 detik, frekwansi nafas
42x/menit, nadi 133, tekanan darah 153/90.
- Disability
Pasien dalam keadaan tidak sadar ( koma )
- Exposure
Terlihat tada cedera di kepala, tangan dan kaki. Dan ada jejas di baian dada.
D. Pengkajian Head to toe (secondary )
Kepala: adanya luka di kepala kiri, kounjungtuva anemis, skelra tidak ikterik, kepala
tidak simetris
Thorak: ada jejas,
Abdominal: tidak ada jejas, tidak ada lesi, umbilicus di tengah
Ekstrimitas: tidak ada laserasi, kaki simetris, edema tidak ada
- Pemeriksaan penunjang
Hb = 11,8
L = 20, 6
Ht = 36
Tr = 458
Pemeriksaan
CT-scan
Ronsen torax, cervical, pelvis.
E. Diagnose medis
Cidera kepala sedang ( CKS )
F. Asuhan keperawatan
Analisa data.
No Data Fokus Problem Etiologi
1 Ds:
Do: . kesadaran klien koma, TD =
153/90, N = 133, RR = 42, S = 35,
8.
Perubahan perfusi
jaringan serebral
hemoragi, hemutoa
atau edema
serebral
2 Ds =
Do = terdengar suara nafas seperti
ngorok, dan RR = 42, klien di
suction dan terpasang gudel.
Resiko tinggi
terhadap pola nafas
tidak efektif
Adanya sumbatan
jalan nafas.
Intervensi.
1. Perubahan perfusi jaringan serebral berhubungan dengan hemoragi, hemutoa atau edema
serebral
Tujuan dan kriteri hasil INTERVENSI KEPERAWATAN
Setelah Dilkukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam masalah teratasidengan Kriteri hasil yang diharapkan adalah mempertahankan tingkat kesadaran biasa atau perbaikan, kognisi dan fungsi mototrik atau sensorik, mendemonstrasikan tanda - tanda vital stabil, tidak ada peningkatan tekanan intra cranial
- pantau atau cacat status neurologis secara teratur
dan bandingkan dengan nilai standar ( misalnya
Skala Coma Glasacow ) untuk mengetahui
adanya kecenderungan pada tingkat kesadaran
dan potensial peningkatan tekanan intra kranial
dan bermanfaat dalam menentukan lokasi,
perluasan dan perkembangan kerusakan sistem
saraf pusat.
- Pantau tekanan darah, autoregulasi
mempertahankan aliran darah otak yang konstan
pada saat ada fluktuasi tekanan darah sistemik,
kehilangan autoregulasi dapat mengikuti
kerusakan vaskularisasi serebral lokal atau
menyeluruh, peningkatan tekanan darah sistemik
yang diikuti oleh penurunan tekanan darah
diastolik merupakan tanda terjadinya
peningkatan tekanan intra kranial jika diikuti
oleh penurunan tingkat kesadaran.
- Evaluasi keadaan pupil, catat ukuran, ketajaman,
kesamaan antara kiri dan kanan dan reaksi
terhadap cahaya untuk mengetahui keadaan otak
apakah masih bagus atau tidak sedangkan
respons terhadap cahaya mencerminkan fungsi
yang terkombinasi dari saraf kranial optikus ( II )
dan okulomotor ( III ).
- Pantau suhu dan atur suhu lingkungan sesuai
indikasi adanya demam dapat mencerminkan
kerusakan pada hipotulamus, peningkatan
kebutuhan metabolisme dan konsumsi oksigen
terjadi ( terutama pada saat demam dan
menggigil ) yang selanjutnya dapat
menyebabkan peningkatan tekanan intra kranial.
Pertahankan kepala atau leher pada posisi netral,
kepala yang miring, pada salah satu sisi menekan
vena jugularis dan menghambat aliran darah
vena yang selanjutnya akan meningkatkan
tekanan intra kranial.
- Berikan waktu istirahat diantara aktivitas
keperawatan yang dilakukan dan batasi waktu
dari setiap prosedur tersebut, aktivitas yang terus
menerus dapat meningkatkan tekanan inta
kranial dengan menimbulkan efek stimulasi
kumulatif.
- Tinggikan kepala pasien 15 sampai 45 derajat
sesuai indikasi yang ditoleransi untuk
meningkatkan aliran balik vena dari kepala
sehingga akan mengurangi kongesti dan edema
atau risiko terjadinya peningkatan tekanan intra
kranial. Pemberian obat diuretik sesuai program
untuk menurukkan edema otak dan tekanan intra
kranial
2. Resiko tinggi terhadap pola nafas adanya sumbatan
Tujuan dan kriteri hasil INTERVENSI KEPERAWATAN
Setelah Dilkukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam masalah teratasi dengan Kriteria hasilnya adalah mempertahankan pola pernafasan normal ( efektif, bebas sianosis, analisa gas darah normal )
- pantau frekuensi, irama, kedalaman pernafasan
adanya perubahan dapat menandakan awitan
komplikasi pulmonal atau menandakan lokasi
atau luasnva keterlibatan otak, pernafasan
lambat., periode apnea dapat menandakan
perlunya ventilasi mekanis.
- Angkat kepala tempat tidur sesuai aturannya,
posisi miring sesuai indikasi untuk
mempermudah ekspansi paru atau ventilasi paru
dan menurunkan adanya kemungkinan lidah
jatuh yang menyumbat jalan nafas.
- Anjurkan pasien untuk melakukan nafas dalam
yang efektif jika pasien sadar untuk mencegah
atau menurunkan atelaktasis.
- Lakukan penghisapan dengan ekstra hati - hati
jangan lebih dari 10 - 15 detik, catat karakter,
warna dau kekeruhan secret untuk membersihkan
plan nafas pada pasien koma dalam keadaan
imobilisasi dan dalam melakukan tindakan ini
harus dengan hati - hati karena penghisapan pada
trakea yang terlalu dalam dapat menyebabkan
hipoksia yang mcnimbulkan vasokonstriksi yang
akhirnya akan berpengaruh cukup bcsar pada
perfusi serebral.
- Auskultasi suara nafas, perhatikan daerah
hipoventiasi untuk mengidentifikasikan adanya
masalah paru seperti atelaktasis, kongesti atau
obstruksi jalan nafas yang membahayakan
oksigenasi serebral atau menandakan terjadinya
infeksi paru.
- Pantu penggunaan obat - obat depresan
pernafasan untuk mengetahui ada tidaknya
gangguan atau komplikasi pernafasan.
- Pantau ananlisa gas darah, tekanan oksimetri
untuk menentukan kecvkupan pernafasan,
keseimbangan asam hasa dan kebutuhan akan
terapi.
- Berikan oksigen sesuai program untuk mencegah
terjadinya hipakria
Implementasi
Waktu No Dx Implementasi Evaluasi.
13 ; 30 1 Observasi TTV
TD = 153/90
N = 133
RR = 42
S = 35, 8
SpO2 = 95 %
S=
O = klien terlihat
tenag dan kesadaran
CM
A = masalah
keperawatan belum
terasi
13 ; 30
13:35
13:40
14.00
GCS = 10
Memasang infus
Infus terpasang asserig loading 250 cc/menit
Injek diasepam
Manitol 100 cc
Injec nicolin 250 mg
P =
Lanjutkan intervensi
keperawatn dan
kolaborasi
13 : 45 2 Menberikan O2 pada klien 8 liter.
Mengsuction
Memasang gudel
RR = 42
S =
O = klien terlihat
lebih tenang
RR= 30
A = masalah
keparawatan belum
teratasi.
P = lanjutkan
intervensi.
DAFTAR PUSTAKA
Carpenito, L. J, 2003, Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa Ester, M, EGC, Jakarta.
Doenges, M.E ; Moorhouse, M.F ; Geissler, A. C, 2000, Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman
untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien Edisi 3, Alih Bahasa Karisa dan
Sumarwati, EGC, Jakarta.
Hudak & Gallo, 1997, Keperawatan Kritis Pendekatan Holistik, Edisi VI Volume II, EGC
Jakarta.
Long, B. C, 1996, Perawatan Medikal Bedah, Alih Bahasa YIA PKT, Yayasan IAPK Padjajaran,
Bandung.
Mansjoer, A ; Suprohita ; Wardhani, W. I ; Setiowulan, 2000, Kapita Selekta Kedokeran, Media
Aesculapius, Jakarta.
Price, S. A & Wilson, L. M, 1995, Fisiologi Proses-proses Penyakit, Edisi 4, Alih Bahasa Peter
Anugrah, EGC, .lakarta.
Smeltzer, S. C & Bare, B. G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Edisi 8 Volume 2.
Aiih Bahasa Kuncara, H. Y, dkk, EGC Jakarta.
Syaifudin, 1997, Anatomi Fisiologi Untuk Siswa Perawat, Edisi 2, EGC, Jakarta.