Upload
others
View
13
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
JURNAL
POLA KOMUNIKASI ANTARA VOLUNTEER DAN FIGHTER DI
KOMUNITAS CHILDHOOD CANCER CARE (3C) SURAKARTA
(Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Volunteer Komunitas Childhood
Cancer Care Surakarta dalam Membangun Kepercayaan Diri
dan Keceriaan pada Fighter Tahun 2017)
Oleh:
RISKA RUSMIASIH
D1215046
FAKULTAS ILMU SOSIAL ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2017
1
POLA KOMUNIKASI ANTARA VOLUNTEER DAN FIGHTER DI KOMUNITAS CHILDHOOD CANCER CARE (3C) SURAKARTA (Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Volunteer Komunitas
Childhood cancer care Surakarta dalam Membangun Kepercayaan Diri dan Keceriaan pada Fighter Tahun 2017)
Riska RusmiasihTanti Hermawati
Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan PolitikUniversitas Sebelas Maret Surakarta
AbstractCancer is one of the biggest killer diseases in the world. Cancer not only
affects adults, but also children. The stigma of society against children with cancer makes children lose their confidence because of their physical condition. Cancer control efforts in children in Solo were conducted by a group of youths who formed in a community called Childhood cancer care (3C) Solo. This research wanted to know how volunteer and fighter 3C communication pattern in build confidence and cheerful fighter.
This study uses the theory of communication patterns according to Onong Uchjana Effendy, where in the delivery of a message by the communicator to the communicant must pay attention to the message content, media, and the nature of the message. This research is a descriptive qualitative research. Data collecting method by interview and documentations. Selection of informant sample is done by purposive sampling method where volunteer and fighter’s parent selected as informant are those who are active in communicating and following 3C activities. Interviewing informants that are comprehend about the object. Data obtained validity using source triangulation. Then the data is analyzed by using interactive analysis model from Miles and Huberman.
The result of the research shows that communication pattern between volunteer and fighter of 3C community is the primary communication pattern used in direct communication, secondary communication pattern which communication process uses media, linear communication pattern which shows that communication through media is no more effective than communication direct, and circular communication patterns where the feedback given by the fighter as a communicant becomes the key to the success of the communication process. The pattern of communication is used repeatedly in accordance in the process of delivering messages by volunteers to fighter 3C Surakarta community.
Keywords: Communication Patterns, Children with Cancer, Self Confidence and Cheerfulness.
2
A. Pendahuluan
Saat ini, kanker menjadi penyakit serius yang mengancam kesehatan anak di
dunia. Ancaman kanker di seluruh dunia sangat besar, karena setiap tahun terjadi
peningkatan jumlah penderita baru penyakit kanker. Menurut National Cancer
Institute atau NCI (2009) dan NCI (2010), diperkirakan terdapat lebih dari enam
juta penderita baru penyakit kanker setiap tahun. Dari seluruh kasus kanker yang
ada, NCI (2009) memperkirakan empat persen diantaranya adalah kanker pada
anak.
Di Kota Surakarta sendiri tercatat sebanyak 271 anak menderita penyakit
kanker. Sedangkan hanya 50 anak saja yang bersedia untuk menjalani perawatan
kemoterapi di RSUD Dr. Moewardi (www.timlo.net). Melihat jumlah anak
dengan kanker yang tidak sedikit, diperlukan penanganan serius untuk
mengendalikan penyakit tersebut. Di Indonesia, upaya pengendalian sudah banyak
dilaksanakan oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia dan pihak-pihak
lain di luar pemerintahan, seperti Yayasan Kanker Indonesia (YKI),
Penanggulangan Kanker Terpadu Paripurna (PKTP), Yayasan Onkologi Anak
Indonesia (YOAI), Yayasan Kasih Kanker Anak Indonesia (YKAKI), dan masih
banyak lagi.
Upaya pengendalian kanker pada anak di Kota Surakarta dilakukan oleh
sekelompok pemuda yang terbentuk dalam komunitas Childhood cancer care
(3C). 3C merupakan satu-satunya komunitas yang mendampingi anak-anak
dengan kanker di Kota Surakarta. 3C Surakarta berdiri secara independen (non-
profit) dan memiliki tujuan utama untuk mendampingi dan ‘memanusiakan’ para
fighter untuk tetap memiliki kesetaraan pada lingkungan sosialnya, yang
dilaksanakan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta. Komunitas tersebut
beranggotakan para relawan yang disebut sebagai volunteer, yang secara sukarela
menyisihkan waktu dan tenaganya untuk mencurahkan perhatian kepada anak-
anak dengan kanker. Komunitas peduli kanker sudah banyak terbentuk di kota-
kota lain, seperti komunitas KPKAPK di Palembang, Komunitas Peduli Knker di
Banten, Komunitas Taufan di Jakarta, dll. Surakarta memiliki 3C (Childhood
3
cancer care), pembentukan komunitas ini bertujuan untuk mendampingi anak
dengan kanker dalam memberikan motivasi kepada mereka.
Selain mencari dana untuk penderita kanker melalui kegiatan charity
cancer, 3C juga mengadakan pendampingan terhadap anak dan orang tua. Selain
itu ada berbagai kegiatan yang diberikan untuk anak tidak hanya bermain-main
saja namun juga ada pembelajaran yang dilakukan setiap minggunya. Kegiatan
tersebut bertujuan untuk pengalihan rasa sakit yang dialami anak, serta
memberikan motivasi dan dukungan bagi fighter dalam mewujudkan harapan
masa depan dan bahwa para fighter tidak memiliki perbedaan dengan anak-anak
lain seusianya dalam mendapatkan pendidikan, dll, seperti halnya tujuan dari
komunitas 3C.
Selain pada anak, perhatian pada keluarga anak penderita kanker juga
dibutuhkan sebagai langkah pendukung suksesnya pengobatan yang diberikan
kepada anak. Hal ini disebutkan dalam Jurnal karya Lori Wiener et.al (2015) yang
berjudul Standards for the Psychosocial Care of Children With Cancer and Their
Families: An Introduction to the Special Issue bahwa kurangnya standar
psikososial pada anak penderita kanker mengakibatkan akses yang tidak konsisten
terhadap perawatan kesehatan behavioral untuk pasien dan keluarganya. Standar
ini mencakup rekomendasi perawatan psikososial untuk semua anak penderita
kanker. Standar ini cukup umum untuk disesuaikan dengan sumber daya
perawatan anak dengan kanker (pasien), memenuhi kebutuhan setiap pasien dan
keluarga pasien. Hal tersebut memberikan kontribusi terhadap kualitas hidup yang
positif dari anak-anak penderita kanker dan anggota keluarga mereka.
Dalam jurnal yang ditulis oleh Sean Phipps et.al (2015) yang berjudul
Parents of Children With Cancer: At-Risk or Resilient? menyebutkan bahwa
pembentukan grup penderita kanker anak sebagai wujud kepedulian sosial, dan
dengan diadakannya event-event tertentu mengenai kanker memberikan manfaat
yang besar bagi pertumbuhan psikologi baik bagi anak maupun orangtuanya.
Selain sebagai wujud kepedulian sosial, event-event yang diadakan terkait dengan
kanker tersebut menjadi pengalihan stress bagi pasien dan mengurangi timbulnya
trauma.
4
Interaksi yang terjadi antara volunteer dan fighter membentuk pola
komunikasi yang unik. Volunteer dituntut untuk berkomunikasi dengan fighter
yang cenderung sulit berinteraksi dengan orang lain karena pengaruh dari proses
pengobatan. Seperti kita ketahui bahwa berkomunikasi dengan anak-anak
memerlukan kesabaran dan ketelatenan, terlebih lagi dengan para fighter yang
akan mengalami perubahan kondisi psikologis yang rata-rata menjadi lebih rewel
dan sensitif pasca kemoterapi. Interaksi yang terjadi antara kedua pihak tersebut
merupakan salah satu gejala komunikasi yang berhubungan dengan pola
komunikasi karena volunteer perlu menggunakan strategi lebih agar komunikasi
dapat dilakukan.
Pola komunikasi yang terjadi antara volunteer dan fighter berbeda dengan
pola komunikasi pada umumnya. Jika biasanya berkomunikasi dengan orang
dewasa atau anak yang sehat dapat dilakukan secara umum dan universal, berbeda
jika komunikasi dilakukan dengan fighter. Komunikator harus cermat dalam
memilih kata yang diucapkan, mampu mendalami perasaan fighter, dan bahasa
tubuh serta parabahasa yang digunakan harus tepat agar mendapat penerimaan.
Pola komunikasi memberikan data untuk memahami dan mengerti tindakan atau
tingkah laku seseorang, kelompok, atau organisasi tertentu. Dalam hal ini peneliti
ingin mengetahui bagaimana pola komunikasi antara volunteer 3C kepada fighter
dalam meningkatkan kepercayaan diri dan keceriaan fighter, karena selain
dibutuhkan kedekatan antara volunteer dan fighter, juga dibutuhkan pola yang
baik dalam berkomunikasi agar pesan yang disampaikan volunteer dapat diterima
oleh fighter dengan baik.
Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti pola komunikasi yang ada
antara volunteer dan fighter dalam Komunitas 3C Surakarta. Penulis ingin
mengetahui lebih dalam bagaimana volunteer mengkomunikasikan pesan kepada
fighter yang mengalami penurunan kondisi psikis akibat dari proses pengobatan
kanker, sehingga penulis membuat penelitian dengan judul Pola Komunikasi
antara Volunteer dan Fighter di Komunitas Childhood cancer care (3C)
Surakarta (Studi Deskriptif Kualitatif Pola Komunikasi Volunteer
5
Komunitas Childhood cancer care Surakarta dalam Membangun
Kepercayaan Diri dan Keceriaan pada Fighter Tahun 2017).
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka peneliti merumuskan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana pola komunikasi antara volunteer Komunitas Childhood
cancer care Surakarta dan fighter di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dalam
membangun kepercayaan diri dan keceriaan pada fighter?
2. Apa saja faktor pendukung dan faktor penghambat volunteer sebagai
komunikator dalam berkomunikasi dengan para fighter?
C. Telaah Pustaka
a) Komunikasi
Untuk memahami pengertian komunikasi, para peminat komunikasi
seringkali mengutip paradigma Harold Lasswell dalam karyanya yang
berjudul The Structure and Function of Communication in Society, yang
mengatakan bahwa cara terbaik untuk menjelaskan komunikasi adalah
dengan menjawab pertanyaan: Who Says What In Which Channel To Whom
With What Effect? (Effendy, 1989: 13)
Paradigma Lasswell dalam Mulyana (2010: 69-72) menunjukkan bahwa
komunikasi meliputi lima komponen yang saling bergantung satu sama lain,
yakni:
a. Komunikator (Communicator, Source, Sender),
b. Pesan (Message),
c. Media/ Saluran (Channel),
d. Komunikan (Communicant, Communicatee, Receiver, Recipient),
e. Efek (Effect, Impact, Influence),
Jadi, berdasarkan paradigma Lasswell tersebut, komunikasi adalah
proses penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan melalui
media yang menimbulkan efek tertentu.
6
Menurut Mulyana (2010: 71-73) kelima unsur di atas belum lengkap.
Salah satu unsur lain yang sering ditambahkan adalah umpan balik
(feedback). Pandangan komunikasi sebagai interaksi menyetarakan
komunikasi dengan proses sebab-akibat atau aksi-reaksi, yang arahnya
bergantian. Umpan balik (feedback) yakni apa yang disampaikan penerima
pesan kepada sumber pesan, yang sekaligus digunakan sumber pesan
sebagai petunjuk mengenai efektivitas pesan yang ia sampaikan
sebelumnya: apakah dapat dimengerti, dapat diterima, menghadapi kendala
dan sebagainya, sehingga berdasarkan umpan balik itu, sumber dapat
mengubah pesan selanjutnya agar sesuai dengan tujuannya.
b) Pola Komunikasi
Effendy (1989: 27) mengemukakan bahwa pola komunikasi adalah
proses yang dirancang untuk mewakili kenyataan keterpautannya unsur-
unsur yang dicakup beserta kelangsungannya, guna memudahkan pemikiran
secara sistematik dan logis. Pola komunikasi merupakan model dari proses
komunikasi, sehingga dengan adanya berbagai macam model komunikasi
dan bagian dari proses komunikasi akan dapat ditemukan pola yang cocok
dan mudah digunakan dalam berkomunikasi. Pola komunikasi identik
dengan proses komunikasi. Proses komunikasi merupakan rangkaian dari
aktivitas menyampaikan pesan sehingga diperoleh feedback dari penerima
pesan. Dari proses komunikasi, akan timbul pola, model, bentuk dan juga
bagian-bagian kecil yang berkaitan erat dengan proses komunikasi.
Menurut Effendy (2005: 23-31) pola komunikasi adalah diketahui
sebagai berikut:
a. Pola Komunikasi Primer. Pola ini merupakan suatu proses
penyampaian pikiran dan/atau perasaan seseorang yang disebut
komunikator kepada orang lain yang disebut komunikan dengan
menggunakan suatu lambang atau simbol sebagai media atau
saluran.
7
b. Pola Komunikasi Sekunder. Pola komunikasi secara sekunder
adalah proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada orang lain
dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua setelah
memakai lambang sebagai media media pertama.
c. Pola Komunikasi Linear. Linear di sini mengandung makna lurus
yang berarti perjalanan dari satu titik ke titik lain secara lurus, yang
berarti penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan
sebagai titik terminal. Jadi dalam proses komunikasi ini biasanya
terjadi dalam komunikasi tatap muka (face to face), tetapi juga ada
kalanya komunikasi bermedia. Dalam proses komunikasi ini pesan
yang disampaikan akan efektif apabila ada perencanaan sebelum
melaksanakan komunikasi.
d. Pola Komunikasi Sirkular. Sirkular secara harfiah berarti bulat,
bundar atau keiling. Dalam proses sirkular itu terjadinya feedback
atau umpan balik, yaitu terjadinya arus dari komunikan ke
komunikator, sebagai penentu utama keberhasilan komunikasi.
Dalam pola komunikasi yang seperti ini proses komunikasi berjalan
terus yaitu adaya umpan balik antara komunikator dan komunikan.
c) Komunikasi Kesehatan
Komunikasi kesehatan merupakan studi yang mempelajari bagaimana
cara menggunakan strategi komunikasi untuk menyebarluaskan informasi
kesehatan yang dapat mempengaruhi individu dan komunitas agar mereka
dapat membuat keputusan yang tepat berkaitan dengan pengelolaan
kesehatan (Liliweri, 2007: 29).
Aktivitas komunikasi (termasuk komunikasi kesehatan) pada semua
level komunikasi membutuhkan peranan komunikator untuk memprakarsai
komunikasi. Peranan utama komunikator adalah mempengaruhi sikap
penerima. Peranan inilah yang dalam bahasa psikologi-komunikasi disebut
“komunikasi persuasif”. Dalam mempersuasi, komunikator dituntut untuk
memiliki kemampuan dan keterampilan menjadi seorang leader dalam
kebijakan komunikasi kesehatan (Liliweri, 2007: 75-77).
8
d) Komunikasi Dengan Anak
Berkomunikasi dengan anak tentu berbeda saat berkomunikasi yang
dilakukan dengan orang dewasa. Selain memperhatikan pedoman dalam
berkomunikasi dengan anak, saat berbicara denga anak harus mengetahui
beberapa teknik komunikasi dengan anak. Ada berbagai teknik komunikasi
dengan anak yang dapat diterapkan, yakni teknik komunikasi verbal dan
nonverbal (Machfoedz, 2009: 128).
e) Motivasi Diri Anak Dengan Kanker
Motivasi merupakan dorongan atau rangsangan yang diberikan pada
seseorang, atau membangkitkan sesuatu pada diri seseorang. Dimana
seseorang memberikan pengaruh yang kuat dengan tujuan tertentu kepada
orang lain. Untuk memperoleh pengaruh yang kuat dan bertahan lama,
motivasi tersebut harus bermanfaat bagi semua pihak yang terlibat
didalamnya (Clegg, 2001: 2).
D. Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian berparadigma kualitatif. Penelitian
kualitatif merupakan penelitian yang menafsirkan fenomena dari sejumlah
individu atau sekelompok orang yang berkaitan dengan masalah sosial atau
kemanusiaan. Dalam penelitian kualitatif, peneliti berusaha untuk mengeksplorasi
dan memahami makna dari sebuah fenomena (Creswell, 2012: 4).
Informan penelitian pada penelitian ini adalah volunteer dan orangtua
fighter Komunitas Childhood cancer care (3C) di RSUD dr. Moewardi Surakarta
yang setelah penulis amati memenuhi syarat seperti mengetahui seluk beluk 3C,
keanggotaan, serta kegiatan yang diadakan. Dalam pengujian keabsahan data, uji
validitas yang digunakan penulis untuk pengecekan data adalah tringulasi sumber.
Triangulasi sumber untuk menguji kredibilitas data dilakukan dengan cara
mengecek data yang telah diperoleh melalui beberapa sumber (Sugiyono, 2016:
127). Sumber atau informan dalam penelitian ini adalah volunter dan orangtua
fighter komunitas Childhood cancer care (3C) Surakarta. Penulis melakukan
pengumpulan data dari volunteer melalui wawancara, yang kemudian dilakukan
9
pengujian dalam bentuk wawancara sebagai crosscheck kepada orangtua fighter
untuk mengetahui validitas data yang diperoleh dari penyampaian volunteer.
Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, antara lain:
1) Wawancara. Menurut Berger (Kriyantono, 2007: 96), wawancara adalah
tanya jawab antara peneliti dengan informan atau narasumber yang
diasumsikan memiliki informasi penting tentang sebuah topik yang
sedang diteliti. Dalam penelitian kualitatif, jenis wawancara yang sering
digunakan adalah jenis wawancara mendalam (depth interview) atau
wawancara intensif (intensive-interview). Jenis ini mengharuskan peneliti
untuk mewawancara informan secara mendalam dan berulang-ulang.
Peneliti mengamati respon verbal dan non verbal dari informan secara
cermat dan mendalam (Kriyantono, 2007: 98).
2) Dokumentasi. Selain wawancara, penelitian ini juga menggunakan teknik
pengumpulan data dokumentasi. Teknik ini biasanya digunakan untuk
mendukung analisis dan interpretasi data dalam sebuah penelitian
(Kriyantono, 2007: 116). Peneliti berencana meminta dokumentasi, baik
berupa tulisan, gambar atau video dari volunteer Komunitas Childhood
cancer care Surakarta terkait kegiatan yang dilakukan. Dokumentasi ini
sebagai bukti pendukung data yang dikumpulkan peneliti dari wawancara
dan observasi.
Analisis data pada penelitian ini menggunakan model analisis interaktif dari
Miles dan Huberman. Menurut Miles dan Huberman (1994: 10), secara umum
analisis kualitatif terdiri dari tiga tahap aktivitas, yaitu reduksi data (data
reduction), penyajian data (data display) dan penarikan kesimpulan atau
pengujian (conclusion drawing/verification).
10
E. Sajian dan Analisis Data
a) Pola Komunikasi Volunteer dan Fighter Komunitas Childhood
cancer care (3C) Surakarta
Pola komunikasi identik dengan proses komunikasi. Dalam proses
komunikasi 3C, volunteer berperan sebagai komunikator, sedangkan yang
berperan sebagai komunikan adalah fighter dan orangtua fighter. Volunteer
menyampaikan pesan melalui media dan cara tertentu untuk membangun
minat fighter dan orangtuanya dalam menerima informasi dan pesan yang
disampaikan. Proses komunikasi tersebut dirancang untuk mewakili
kenyataan keterpautannya unsur-unsur yang dicakup dalam komunikasi.
Dalam rangkaian open recruitment, calon volunteer wajib melalui
proses screening dan camp untuk memberikan pembekalan mengenai tugas
dan kewajiban mereka kelak ketika mengemban tugas menjadi seorang
volunteer. Dari ketiga divisi tersebut, divisi yang bertugas langsung
bersinggungan dengan fighter adalah divisi Daily Activity (DA). Divisi DA
dibekali dengan pengetahuan untuk berinteraksi dengan fighter oleh dokter
dan pihak ahli lain seperti perawat mengenai cara berkomunikasi dengan
fighter yang baik dan benar.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Effendy (2005: 306)
bahwa dalam proses komunikasi seorang komunikator akan sukses apabila
ia berhasil menunjukkan source of credibility, yang artinya menjadi sumber
kepercayaan bagi komunikan.
Dalam perannya menjadi komunikator, volunteer 3C memiliki tugas
pokok membangun keceriaan dan memberikan motivasi kepada fighter agar
semangat dan rajin dalam menjalani proses pengobatan. Selain teknik dalam
berkomunikasi, dalam kegiatan yang dilakukan, volunteer sebagai
komunikator juga berperan mempersuasi fighter agar taat dan patuh pada
proses pengobatan yang sedang dijalani. Volunteer mempersuasi fighter
agar tetap makan teratur dan menghindari makanan-makanan yang tidak
11
diperbolehkan untuk dikonsumsi, rajin minum obat serta menjaga pola
hidup bersih dan sehat.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Liliweri (2007: 75-
77) bahwa dalam mempersuasi, komunikator dituntut untuk memiliki
kemampuan dan keterampilan menjadi seorang leader dalam kebijakan
komunikasi kesehatan.
Dari data hasil penelitian pada komunitas 3C di RSUD dr. Moewardi
yang peneliti sajikan bahwa pesan yang yang disampaikan oleh volunteer
kepada survivor berbentuk verbal dan nonverbal. Pesan yang disampaikan
secara verbal adalah berupa bercerita, mendongeng, dan penggunaan orang
ketiga dalam berkomunikasi. Orang ketiga disini digunakan sebagai sarana
membantu komunikator dalam menyampaikan pesan. Contoh orang ketiga
disini berupa survivor yang telah terbebas dari kanker atau sesama fighter
yang memiliki semangat juang tinggi.
Hal ini sesuai dengan teori yang dikemukakan Machfoedz (2009: 128)
bahwa ada beberapa teknik berkomunikasi dengan anak yaitu verbal (teknik
orang ketiga, bercerita, fantasi, dsb) dan non-verbal (menulis, menggambar,
sosiogram, menggambar bersama keluarga, bermain, dsb).
Selain pesan verbal dan nonverbal, peran orangtua dalam mengontrol
kepatuhan anak terhadap pengobatan sangatlah besar. Peran orangtua sangat
dibutuhkan untuk menjaga asupan makanan anak agar dapat menghindari
makanan-makanan yang tidak diperbolehkan untuk dikonsumsi. Dalam
proses pengobatan, pengobatan kanker memakan waktu yang lama sehingga
perlu untuk orangtua juga mampu membujuk anak supaya tetap mampu
menjalani pengobatan.
Hal ini sesuai dengan teori komunikasi kesehatan yang dikemukakan
oleh Liliweri (2007: 29) bahwa komunikasi kesehatan merupakan studi yang
mempelajari bagaimana cara menggunakan strategi komunikasi untuk
menyebarluaskan informasi kesehatan yang dapat mempengaruhi individu
dan komunitas agar mereka dapat membuat keputusan yang tepat berkaitan
dengan pengelolaan kesehatan.
12
Media yang digunakan dalam proses komunikasi antara volunteer dan
fighter 3C diantaranya, media cetak non massa (buku cerita, buku
pengetahuan, dan buku pelajaran) yang digunakan ketika kegiatan belajar
bersama didalam kelas, media massa elektronik (laptop dan LCD untuk
menonton film bersama, handphone untuk berkomunikasi jarak jauh), dan
media sosial online (instagram, facebook, whatsapp, dsb) yang digunakan
untuk lebih menarik minat fighter dalam proses penyampaian pesan.
Hal ini sesuai dengan pengertian saluran menurut Lasswell dalam
Mulyana (2010: 69-72) bahwa saluran adalah media, alat, atau wahana
yang digunakan komunikator untuk menyampaikan pesannya kepada
penerima. Sosialisasi dapat berjalan dengan baik dan efektif dikarenakan
dukungan media komunikasi yang baik dan tepat.
Seperti yang peneliti sebutkan di awal sajian, yang berperan sebagai
komunikan pada komunitas 3C adalah fighter (anak penderita kanker usia 0-
18 tahun) dan orangtua fighter yang tergabung dalam komunitas Childhood
cancer care Surakarta. Fighter biasanya berasal dari daerah yang masih
termasuk dalam karesidenan Surakarta dan dengan status ekonomi
menengah kebawah yang tergabung dalam BPJS golongan 3 (tiga).
Hal tersebut sesuai dengan paradigma Lasswell dalam Mulyana (2010:
69-72),
Komunikan adalah orang yang menerima pesan dari sumber (komunikator). Berdasarkan pengalaman masa lalu, rujukan nilai, pengetahuan, persepsi, pola pikir, dan perasaan, penerima pesan menafsirkan seperangkat simbol verbal dan nonverbal yang diterima dari pengirim pesan. Dari pesan yang diterima tersebut, fighter sebagai komunikan akan mencerna informasi yang diberikan oleh volunteer sebagai komunikator untuk kemudian informasi itu cukup diterima atau juga perlu diberikan umpan balik kepada volunteer. (Mulyana, 2010: 69-72)
Dari informasi yang disajikan penulis, terdapat efek yang terjadi pada
fighter dan orangtua fighter setelah mereka menerima pesan yang
disampaikan oleh volunteer. Efek yang timbul pada fighter dan orangtuanya
diantaranya,
13
a. Penambahan pengetahuan mengenai edukasi dan ide usaha kepada
orangtua fighter yang berasal dari pelatihan pembuatan kerajinan,
b. Penambahan pengetahuan mengenai informasi kesehatan tentang
makanan yang boleh dan tidak boleh dikonsumsi oleh fighter serta
anjuran perilaku hidup bersih dan sehat,
c. Terhibur atau sebagai pengalihan stress dari panjangnya proses
pengobatan kanker yang dijalani oleh fighter,
d. Perubahan perilaku berupa kepercayaan diri dan keceriaan mereka
kembali karena bermain bersama volunteer dan teman-teman
sesama fighter.
Hal ini sesuai dengan teori Lasswell dalam Mulyana (2010: 69-72)
bahwa efek adalah apa yang terjadi pada penerima setelah ia menerima
pesan, misalnya penambahan pengetahuan (dari tidak tahu menjadi tahu),
terhibur, perubahan sikap (dari tidak setuju menjadi setuju), perubahan
keyakinan, perubahan perilaku, dan sebagainya.
Selain efek yang ditimbulkan dari penyampaian pesan, fighter dan
orangtuanya juga meberikan feedback atas informasi-informasi tersebut,
terdapat reaksi dari komunikan (fighter dan orangtuanya) atas stimulus yang
diberikan oleh komunikator (volunteer) 3C. Reaksi yang diberikan oleh
fighter kepada volunteer tersebut berupa pertanyaan kesehatan seperti apa
saja anjuran dan larangan makanan yang dikonsumsi oleh fighter, anjuran
meminum obat, kebutuhan sehari-hari yang ter-cover oleh 3C seperti popok,
susu dan lain-lain, serta kritik dan saran mengenai cara penyampaian
informasi oleh volunteer.
Feedback yang diberikan oleh fighter dan orangtuanya kepada volunteer
dalam proses komunikasi 3C ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Mulyana (2010: 71-73) bahwa pandangan komunikasi sebagai interaksi
menyetarakan komunikasi dengan proses sebab-akibat atau aksi-reaksi, yang
arahnya bergantian. Umpan balik (feedback) yakni apa yang disampaikan
penerima pesan kepada sumber pesan, yang sekaligus digunakan sumber
pesan sebagai petunjuk mengenai efektivitas pesan yang ia sampaikan
14
sebelumnya: apakah dapat dimengerti, dapat diterima, menghadapi kendala
dan sebagainya, sehingga berdasarkan umpan balik itu, sumber dapat
mengubah pesan selanjutnya agar sesuai dengan tujuannya.
Dari analisis data proses komunikasi yang terjadi pada komunitas 3C di
RSUD dr. Moewardi Surakarta, terdapat pola komunikasi yang terjadi
antara volunteer dan fighter komunitas 3C di RSUD dr. Moewardi Surakarta
yang peneliti analisis sebagai berikut,
Dari data hasil penelitian pada komunitas 3C di RSUD dr. Moewardi
Surakarta yang peneliti sajikan bahwa dalam proses komunikasinya, 3C
menggunakan suatu lambang atau simbol sebagai media atau saluran. Dalam
pola ini, komunikasi terbagi menjadi dua lambang yaitu lambang verbal dan
lambang non verbal. Komunikasi secara verbal meliputi penggunaan kata-
kata dalam kegiatan kelas. Sedangkan komunikasi non-verbal berupa
penggunaan buku cerita, menggambar, dan sebagainya. Melalui simbol
verbal dan nonverbal yang disampaikan ketika berkomunikasi dengan
fighter, volunteer dapat menyampaikan pesan sesuai makna yang
dikehendaki untuk menyampaikan dan mengembangkan makna. Dari pesan
yang disampaikan tersebut juga volunteer dapat mempersuasi fighter
melalui makna dari pesan yang mereka sampaikan. Penggunaan simbol
dalam proses komunikasi tersebut sesuai dengan teori Wood (2016: 105)
bahwa simbol adalah komponen penting yang digunakan untuk
mempresentasikan pikiran, perasaan dan sebagainya dalam suatu proses
komunikasi.
Hal ini sesuai dengan Pola Komunikasi Primer menurut Effendy (2005:
23-31) bahwa Pola Komunikasi Primer merupakan proses penyampaian
pikiran dan/atau perasaan seseorang yang disebut komunikator kepada orang
lain yang disebut komunikan dengan menggunakan suatu lambang atau
simbol sebagai media atau saluran.
Selain itu, dalam proses komunikasinya, komunikator 3C menggunakan
media elektronik hingga media online, diantaranya penggunaan HP, Laptop,
LCD, hingga aplikasi pesan Whatsapp dan Instagram. Media ini biasanya
15
digunakan untuk membantu volunteer menyampaikan pesan. Penggunaan
media dilakukan selain untuk berkomunikasi jarak jauh, juga dilakukan
untuk lebih menarik minat fighter dalam menerima pesan dan informasi
yang disampaikan. Penggunaan media elektronik (handphone) dalam bentuk
chat message (whatsapp) dapat membantu fighter / orangtua untuk
berkomunikasi dengan volunteer ketika berada diluar jam kegiatan yang
menyebabkan komunikasi tidak dapat dilaksanakan secara tatap muka.
Selain menggunakan media cetak, volunteer juga menggunakan media
elektronik handphone yang memuat media online yang berupa penggunaan
aplikasi chat (WA), instagram, dll.
Penggunaan media elektronik dan media online ternyata dapat
membantu membangun minat fighter dalam menerima informasi. Meski
demikian, penggunaan media elektronik sangat diminimalkan karena radiasi
yang timbul dari media elektronik tersebut dapat memperburuk kondisi
fighter. Penggunaan media elektronik seperti handphone biasanya
digantikan oleh orangtua fighter.
Hal ini sesuai dengan Pola Komunikasi Sekunder menurut Effendy
(2005: 23-31) bahwa proses penyampaian pesan oleh seseorang kepada
orang lain dengan menggunakan alat atau sarana sebagai media kedua
setelah memakai lambang sebagai media media pertama.
Selain itu, dari data hasil penelitian pada komunitas 3C di RSUD dr.
Moewardi Surakarta yang peneliti sajikan bahwa dalam proses komunikasi
antara fighter dan volunteer 3C terdapat feedback atau umpan balik yang
diberikan oleh fighter kepada volunteer, feedback menjadi arus balik dari
komunikan ke komunikator, sebagai penentu utama keberhasilan
komunikasi karena dari umpan balik tersebut, volunteer dapat mengetahui
sejauh mana pesan yang disampaikan diterima oleh fighter dan orangtua
fighter sebagai komunikan.
Hal ini sesuai dengan Pola Komunikasi Sirkular menurut Effendy
(2005: 23-31) dimana
16
Sirkular secara harfiah berarti bulat, bundar atau keiling. Dalam proses sirkular itu terjadi feedback atau umpan balik, yaitu terjadinya arus dari komunikan ke komunikator, sebagai penentu utama keberhasilan komunikasi. Dalam pola komunikasi yang seperti ini proses komunikasi berjalan terus karena adanya umpan balik antara komunikator dan komunikan. Feedback yang disampaikan komunikan kepada komunikator, yang sekaligus digunakan sumber pesan sebagai petunjuk mengenai efektivitas pesan yang ia sampaikan sebelumnya: apakah dapat dimengerti, dapat diterima, menghadapi kendala dan sebagainya, sehingga berdasarkan umpan balik itu, sumber dapat mengubah pesan selanjutnya agar sesuai dengan tujuannya. (Effendy, 2005: 23-31)
Pola Komunikasi Sirkular di komunitas 3C biasanya digunakan ketika
fighter memberikan feedback atas pesan yang disampaikan oleh volunteer.
Feedback atau umpan balik tersebut berfungsi untuk memperbaiki proses
komunikasi yang telah dilakukan.
Selain mengenai kebutuhan fighter, sesuai dengan informasi yang
disampaikan oleh volunteer, feedback yang diberikan oleh fighter juga
menyangkut tentang informasi kesehatan, kebutuhan sehari-hari, serta cara
penyampaian informasi oleh volunteer. Dari feedback tersebut, volunteer
dapat memperbaiki serta meningkatkan pelayanan yang 3C berikan serta
menjadi acuan untuk bertindak lebih hati-hati dan lebih baik. Dalam pola
komunikasi sirkular ini, proses komunikasi antara volunteer dan fighter
terus berjalan karena saling memberi aksi dan reaksi dalam berkomunikasi.
Selain itu, dari data hasil penelitian pada komunitas 3C di RSUD dr.
Moewardi Surakarta yang peneliti sajikan bahwa dalam proses komunikasi
antara fighter dan volunteer 3C yang dalam proses penyampaian pesannya,
meski volunteer menggunakan media dalam penyampaiannya, komunikasi
secara langsung menjadi yang paling efektif karena dapat meminimalkan
kesalahan dalam pemahaman penerimaan pesan (missed communication)
oleh fighter.
Selain meminimalisasi adanya missed communication antara volunteer
dan fighter, berkomunikasi secara langsung juga dapat membantu
membentuk kedekatan melalui bermain. Selain itu juga dilakukan
17
perencanaan pemberian informasi dan kegiatan sebelum kegiatan
dilaksanakan menjadi langkah strategis dalam mensukseskan pencapaian
tujuan membangun kepercayaan diri dan keceriaan fighter dalam
kesehariannya menjalani proses pengobatan.
Hal ini sesuai dengan pengertian Pola Komunikasi Linear menurut
Effendy (2005: 23-31) bahwa linear mengandung makna lurus yang berarti
perjalanan dari satu titik ke titik lain secara lurus, yang berarti penyampaian
pesan oleh komunikator kepada komunikan sebagai titik terminal. Jadi
dalam proses komunikasi ini biasanya terjadi dalam komunikasi tatap muka
(face to face), tetapi juga ada kalanya komunikasi bermedia. Dalam proses
komunikasi ini pesan yang disampaikan akan efektif apabila ada
perencanaan sebelum melaksanakan komunikasi.
b) Faktor Pendukung dan Penghambat Penyampaian Pesan di
Komunitas Childhood cancer care Surakarta
Dalam proses komunikasi antara volunteer dengan fighter komunitas
3C di RSUD dr. Moewardi Surakarta, terdapat faktor pendukung serta
faktor penghambat. Faktor pendukung dan penghambat komunikasi antara
volunteer dan fighter komunitas 3C di RSUD dr. Moewardi Surakarta dapat
dianalisis sebagai berikut,
1) Faktor Pendukung
a. Kekompakan volunteer dalam menyampaikan pesan dan
menciptakan suasana yang menghibur.
b. Keikutsertaan dokter, perawat, dan donatur dalam
penyampaian pesan karena mereka memiliki kredibilitas dalam
cara menyampaikan maupun isi informasi dan pesan yang
disampaikan.
c. Bermain dan belajar bersama sebagai pengalihan rasa sakit
akibat dari pengobatan.
d. Penggunaan media online seperti Instagram dan Facebook
untuk menunjukkan akun media sosial seorang fighter yang
18
tetap berjuang melawan penyakitnya dapat menumbuhkan
semangat juang dan menjadi motivasi nyata bagi fighter lain.
e. Penggunaan media komunikasi handphone dapat membantu
volunteer dan fighter berkomunikasi jarak jauh meski sekedar
menanyakan kabar.
f. Keterbukaan fighter dan orangtua fighter mengenai umpan
balik yang mereka sampaikan kepada fighter.
2) Faktor Penghambat
a. Kondisi kesehatan dan mood fighter yang sedang menurun
akibat dari reaksi pengobatan yang sedang dilakukan.
b. Penggunaan media seperti HP dan laptop dapat berpengaruh
buruk pada kesehatan fighter karena radiasi yang ditimbulkan
olehnya.
c. Mood fighter yang down membuat minat fighter dalam
memberikan feedback atas aksi yang diberikan oleh volunteer
menjadi menurun.
Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh Mulyana (2010: 71)
bahwa di dalam komunikasi terdapat gangguan/ kendala (noise/ barriers)
dan konteks atau situasi komunikasi. Meski terdapat faktor pendukung dan
penghambat (gangguan) volunteer dalam berkomunikasi dengan fighter atau
sebaliknya, faktor-faktor ini menjadi pengaruh pada proses komunikasi yang
berlangsung antara volunteer dan fighter 3C.
F. Kesimpulan
Dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa pola komunikasi yang
dipakai antara volunteer dan fighter komunitas Childhood cancer care (3C)
Surakarta dalam membangun kepercayaan diri dan keceriaan fighter sesuai
dengan isi dan nilai penting pesan yang disampaikan.
Pola komunikasi primer digunakan dalam kegiatan yang berlangsung
didalam kelas, seperti bermain dan belajar bersama, serta interaksi langsung
ketika penyampaian pesan atau motivasi. Pola Komunikasi Sekunder, digunakan
19
ketika volunteer menggunakan media dalam penyampaian pesan. Pola
Komunikasi Linear, digunakan ketika penggunaan media tidak lebih efektif dari
penyampaian pesan yang dilakukan secara langsung. Penyampaian pesan secara
langsung dirasa lebih efektif karena dapat meminimalkan kesalahan dalam
pemahaman penerimaan pesan (missed communication). Pola Komunikasi
Sirkuler, digunakan ketika fighter memberikan feedback atas pesan yang
disampaikan oleh volunteer. Feedback atau umpan balik tersebut berfungsi untuk
memperbaiki proses komunikasi yang telah dilakukan.
Penggunaan pola komunikasi tersebut diatas adalah berdasarkan efektivitas
penerimaan pesan oleh fighter yang disampaikan oleh volunteer dalam proses
komunikasi selama melaksanakan kegiatan. Selain pola komunikasi yang
digunakan dalam berkomunikasi, juga terdapat faktor pendukung dan faktor
penghambat proses komunikasi antara volunteer dan fighter.
20
DAFTAR PUSTAKA
Clegg, B. (2001). Instant Motivation. Jakarta: Erlangga.
Creswell, J. W. (2012). Research Design: Pendekatan Kualitatif, Kuantitatif, dan Mixed. (A. Fawaid, Penerj.) Yogyakarta: Pustaka Belajar.
Effendy, O. U. (1989). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung : PT Remadja Karya.
___________ (2005). Ilmu Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung. PT Remaja Rosdakarya
Kriyantono, R. (2007). Teknik Praktis Riset Komunikasi: Disertai Contoh Praktis Riset Media, Public Relations, Advertising, Komunikasi Organisasi, Komunikasi Pemasaran. Jakarta: Kencana.
Liliweri, A. (2007). Dasar-Dasar Komunikasi Kesehatan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Machfoedz, M. (2009). Komunikasi Keperawatan Komunikasi Terapeutik. Yogyakarta: Ganbika.
Miles, M. B., & Huberman, A. M. (1994). Qualitative Data Analysis (2nd ed.). Thousand Oaks, CA: SAGE Publications.
Mulyana, D. (2010). Ilmu Komunikasi, Suatu Pengantar. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Phipps, S, et.al. (2015). Parents of Children With Cancer: At-Risk or Resilient?. Pediatric Psichology. Journal. OXFORD. Vol. 40 (9)
Wiener, L, et.al. (2015). Standards for the Psychosocial Care of Children With Cancer and Their Families: An Introduction to the Special Issue. Pediatr Blood Cancer. Journal. Vol. 62 (S419–S424)
21