Dr.tj Prescil Chf Kel.e

Embed Size (px)

DESCRIPTION

chf

Citation preview

PRESENTASI KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE(CHF)

Pembimbing:

dr. Tri Jauhari P, Sp. PD., S.Biomed., M.Sc.Disusun oleh Kelompok E:

Yessi Dwi Oktavia G4A014053

Annisaa Auliyaa G4A014054

Lilis Indri Astuti G4A014055

SMF ILMU PENYAKIT DALAM

RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN PURWOKERTO2015 LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS

CONGESTIVE HEART FAILURE (CHF)Disusun oleh :

Yessi Dwi Oktavia G4A014053Annisaa Auliyaa G4A014054

Lilis Indri Astuti G4A014055

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Penyakit Dalam RSUD Prof. Dr. Margono Soekarjo

Telah disetujui dan dipresentasikan

Pada tanggal : Januari 2015Dokter Pembimbing :

dr. Tri Jauhari P, Sp. PD., S.Biomed., M.Sc.BAB ILAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien

Nama

: Tn. TUsia

: 60 tahunAlamat

: Karang Lewas, PurwokertoJenis kelamin: Laki-LakiStatus

: Menikah

Pekerjaan

: BuruhPendidikan: SMPTanggal masuk: 18-01-15Tanggal periksa: 19-01-11No. CM

: 925787B. Anamnesis

1. Keluhan utama :

Sesak nafas2. Keluhan tambahan :

Kaki bengkak dan batuk3. Riwayat penyakit sekarang

Pasien datang dengan keluhan sesak napas dirasakan sejak dua hari dan semakin memberat. Pasien menyatakan selama ini (sejak 1 tahun yang lalu) pasien mudah merasa sesak napas terutama jika melakukan aktivitas ringan seperti berjalan dari kamar ke kamar mandi. Pasien mengeluhkan sesak nafas bertambah berat jika berada dalam posisi telantang dan sesak nafas berkurang apabila pasien duduk atau tiduran menggunakan bantal tinggi, bantal yang digunakan sebanyak 3 bantal. Setiap malam pasien hampir selalu terbangun tidur dikarenakan sesak napas. Keluhan sesak napas tidak disertai bunyi ngik-ngik. Satu hari sebelum masuk RS pasien merasakan sesak semakin bertambah parah, sesak napas membuat pasien tidak dapat tidur. Sesak napas dirasakan terus menerus walaupun sedang istirahat.

Keluhan ini disertai dengan kaki yang membengkak. Kaki bengkak dirasakan sejak dua hari yang lalu. Keluhan kaki bengkak sudah pernah dirasakan sebelumnya. Kaki membengkak membuat pasien sulit beraktivitas. Kaki membengkak terutama apabila pasien duduk dalam jangka waktu lama. Keluhan kaki membengkan tidak kunjung membaik dalam dua hari terakhir, kaki akan semakin bengkak apabila pasien duduk dalam waktu lama.

4. Riwayat penyakit dahulu

a. Riwayat hipertensi

: diakuib. Riwayat sakit jantung

: diakuic. Riwayat kencing manis: disangkal

d. Riwayat penyakit ginjal: disangkal

e. Riwayat penyakit hati

: disangkalf. Riwayat asma

: disangkalg. Riwayat mondok

: disangkal5. Riwayat penyakit keluarga

a. Keluhan yang sama

: disangkalb. Riwayat hipertensi

: disangkalc. Riwayat DM

: disangkal

d. Riwayat penyakit jantung

: disangkal

e. Riwayat penyakit ginjal

: disangkal

f. Riwayat penyakit hati

: disangkal

g. Riwayat alergi

: disangkal

h. Riwayat asma

: disangkal

6. Riwayat sosial dan exposurea. KomunitasPasien tinggal di lingkungan padat penduduk. Rumah satu dengan yang lain berdekatan. Hubungan antara pasien dengan tetangga dan keluarga dekat baik. Disekitar lingkungan rumah dinyatakan tidak ada wabah penyakit tertentu.

b. RumahPasien tinggal bersama dengan istrinya. Rumah pasien merupakan rumah permanen. Atap tertutup genteng dan lantai rumah terbuat dari semen. Kamar mandi di dalam rumah.

c. PekerjaanPasien bekerja sebagai buruh. d. Personal habit

Pasien seorang perokok,setiap hari menghabiskan 1 bungkus rokok, pasien tidak minum minuman beralkohol. Pasien setiap harinya makan secara teratur 3 kali sehari. Tidak mempunyai kebiasaan makan asin.C. Pemeriksaan Fisik

Dilakukan di bangsal Mawar RSMS, 19 Januari 20151. Keadaan umum: Tampak sesak, sedang2. Kesadaran

: Compos mentis

3. Tanda vital

:

Tekanan darah

: 150/90 mmHg

Nadi

: 72 x/ menit

Respirasi

: 24 x/ menit

Suhu

: 36,3C

4. BB

: 57 kg

5. TB

: 160 cm

6. Status generalisa. Pemeriksaan kepala

Bentuk: mesocephal, simetris, venektasi temporalis (+/+)

Rambut: tidak mudah dicabut, distribusi merata

Mata : conjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), edema palpebra (-/-), reflex cahaya (+/+) normal, pupil bulat isokor, diameter 3 mm

Hidung: discharge (-), napas cuping hidung (-/-)Mulut: Bibir sianosis (-), tepi hiperemis (-), bibir kering (-), lidah kotor (-), tremor (-), ikterik (-) Leher: deviasi trakea (-), tidak teraba pembesaran tiroid, JVP 5+4 cmH2O

b. Pemeriksaan dada

Paru

Inspeksi:Dinding dada tampak simetris, tidak tampak ketinggalan gerak antara hemithoraks dextra dan sinistra, kelainan bentuk dada (-), retraksi interkostalis (+)

Palpasi : Vokal fremitus lobus superior kanan = kiri

Vokal fremitus lobus inferior kanan = kiriPerkusi: Perkusi orientasi seluruh lapang paru sonor

Batas paru-hepar SIC V LMCD

Auskultasi: Suara dasar vesikuler +/+

Ronki basah halus +/+

Ronki basah kasar -/- Wheezing -/-Jantung

Inspeksi: Ictus cordis di SIC VI 2 jari lateral LMCS

Pulsasi epigastrium (+), pulsasi parasternal (-)

Palpasi : ictus cordis diSIC VI 2 jari lateral LMCS kuat angkat. Perkusi : batas jantung

kanan atas

: SIC II LPSD

kiri atas

: SIC II LPSS

kanan bawah: SIC V LPSD

kiribawah

: SIC VI 2 jari lateral LMCS

Auskultasi : S1>S2 reguler; Gallop (-), Murmur (+)Abdomen

Inspeksi : cembungAuskultasi : bising usus (+) NPerkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+) Palpasi : nyeri tekan (-) pada seluruh lapang abdomen, test undulasi (-) Hepato jugular Refleks (-)Hepar dan lien : sulit dinilai

Renal

: nyeri ketok kosto vertebrae -/-Ekstremitas :

Ekstremitas superiorEkstremitas inferior

DextraSinistraDextraSinistra

Edema--++

Sianosis----

Akral dingin----

Reflek fisiologis++++

Reflekpatologis----

D. PEMERIKSAAN PENUNJANG

Tanggal 18 Januari 2015Pemeriksaan Darah LengkapHemoglobin: 12,9 g/dl

Leukosit: 6640 uL

Hematokrit: 3 %

Eritrosit: 3,9 10^6/uL

Trombosit: 217.000 /uL

MCV

: 67.7 fL

MCH

: 33 pg

MCHC

: 39,3 %

RDW

: 16,4 %

MPV

: 10,7HitungJenis

Basofil

: 0,4 %

Eosinofil: 1,3 %

Batang

: 0,6 %

Segmen: 76,8 %

Limfosit: 15,9 %

Monosit: 5,0 %

Kimia Klinik

GDS

: 108Ureum

: 40,0Kreatinin: 0,85

Natrium: 134Kalium

: 4.6Klorida: 99Pemeriksaan EKG Gambar 1 Hasil Pemeriksaan Elektrokardiografi (18 Januari 2015)Kesan : Normal sinus rhythm

Heart Rate : 95 x/mnt (Normal), reguler

Axis Normal, tidak ada LAD atau RAD

Left Ventikuler Hipertrophy(LVH)

Gelombang T inverted di V4,V5 dan V6 kesan iskemik lateral.Rontgen Thoraks Gambar 2 Hasil Pemeriksaan Rontgen ThoraksKesan :

Cardiomegali (LV)Kalsifikasi arkus aorta kiriE. RESUME1. Anamnesis

a. Paroxysmal Nocturnal Dyspnea

b. Dyspnea deffort

c. Orthopnea

d. Edema ekstremitas2. Pemeriksaan fisik

a. KU/Kes

: tampak sesak/CM

b. Tekanan darah : 150/90 mmHg

RR

: 24 x/menit

c. Kepala

: venektasi temporal +/+

d. Leher

: JVP 5+4 cm

e. Paru

Auskultasi: ronkhi basah halus +/+

f. Jantung

Inspeksi: Ictus Cordis tampak di SIC VI 2 jari lateral LMCS

Pul epigastrium (+).Palpasi: Ictus Cordis teraba pada SIC VI 2 jari lateral LMCS dan kuat angkat (+)Perkusi: Batas atas kanan: SIC II LPSD

Batas atas kiri

: SIC II LPSS

Batas bawah kanan: SIC IV LPSD

Batas bawah kiri: SIC VI 2 jari lateral LMCS

Auskultasi: S1>S2, M(+), G(-)g. Abdomen

Perkusi

: pekak alih (+), pekak sisi (+)

h. Ekstremitas: edema +/+

3. Pemeriksaan penunjang

a. Cardiomegali

b. Kalsifikasi arkus aorta kiric. Left Ventikuler Hipertrophy(LVH)d. Gelombang T inverted di V4,V5 dan V6 kesan iskemik lateral.F. DIAGNOSA

CHF G. Pemeriksaan Penunjang yang Diajukan

1. Ekokardiografi

H. Tatalaksana

1. Non Farmakologis

a. Bed rest

2. Farmakologi

Di IGD (18-01-2015)a. O2 4 liter per menit NKb. IVFD RL 20 TPMc. Injeksi Furosemid 3x1 ampul IVRawat bangsal (18-01-2015)a. O2 4 liter per menit NK

b. IVFD RL 20 TPMc. Injeksi Furosemid 3x1 ampul IVd. Po. Digoxin 2 x 1/2 tab

e. Po. Spironolakton 1 x 25 mg

f. Po. Valsartan 1x1 tabletg. Po. Isosorbid dinitrat 1x1 tablet

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. Congestif Heart Failure (CHF)

1. Definisi

Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau hanya mampu jika disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung kiri dan kanan (Joewono, 2002).

Gagal jantung adalah ketidakmampuan jantung untuk mempertahankan curah jantung (Caridiac Output = CO) dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh. Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga mengakibatkan edema paru dan bendungan di system vena, maka keadaan ini disebut gagal jantung kongestif (Doenges, 2002).

2. Etiologi

Banyak hal yang dapat mendasari penyakit jantung. Penyakit jantung koroner pada Framingham Study dikatakan sebagai penyebab gagal jantung pada 46% laki-laki dan 27% pada wanita. Faktor risiko koroner seperti diabetes dan merokok juga merupakan faktor yang dapat berpengaruh pada perkembangan dari gagal jantung. Selain itu berat badan serta tingginya rasio kolesterol total dengan kolesterol HDL juga dikatakan sebagai faktor risiko independen perkembangan gagal jantung. Hipertensi telah dibuktikan meningkatkan risiko terjadinya gagal jantung pada beberapa penelitian. Hipertensi dapat menyebabkan gagal jantung melalui beberapa mekanisme, termasuk hipertrofi ventrikel kiri. Hipertensi ventrikel kiri dikaitkan dengan disfungsi ventrikel kiri sistolik dan diastolik dan meningkatkan risiko terjadinya infark miokard, serta memudahkan untuk terjadinya aritmia baik itu aritmia atrial maupun aritmia ventrikel. Ekokardiografi yang menunjukkan hipertrofi ventrikel kiri berhubungan kuat dengan perkembangan gagal jantung (Smeltzer, 2002).

Kardiomiopati didefinisikan sebagai penyakit pada otot jantung yang bukan disebabkan oleh penyakit koroner, hipertensi, maupun penyakit jantung kongenital, katup ataupun penyakit pada perikardial. Kardiomiopati dibedakan menjadi empat kategori fungsional yaitu dilatasi (kongestif), hipertrofi, restriktif dan obliterasi (Joewono, 2002).

Kardiomiopati dilatasi merupakan penyakit otot jantung dimana terjadi dilatasi abnormal pada ventrikel kiri dengan atau tanpa dilatasi ventrikel kanan. Penyebabnya antara lain miokarditis virus, penyakit pada jaringan ikat seperti SLE, sindrom Churg-Strauss dan poliarteritis nodosa. Kardiomiopati hipertrofik dapat merupakan penyakit keturunan (autosomal dominan) meski secara sporadik masih memungkinkan. Ditandai dengan adanya kelainan pada serabut miokard dengan gambaran khas hipertrofi septum yang asimetris yang berhubungan dengan obstruksi outflow aorta (kardiomiopati hipertrofik obstruktif). Kardiomiopati restriktif ditandai dengan kekakuan serta compliance ventrikel yang buruk, tidak membesar dan dihubungkan dengan kelainan fungsi diastolik (relaksasi) yang menghambat pengisian ventrikel (Joewono, 2002).

Penyakit katup sering disebabkan oleh penyakit jantung rematik, walaupun saat ini sudah mulai berkurang kejadiannya di negara maju. Penyebab utama terjadinya gagal jantung adalah regurgitasi mitral dan stenosis aorta. Regusitasi mitral (dan regurgitasi aorta) menyebabkan kelebihan beban volume (peningkatan preload) sedangkan stenosis aorta menimbulkan beban tekanan (peningkatan afterload) (Joewono, 2002).

Aritmia sering ditemukan pada pasien dengan gagal jantung dan dihubungkan dengan kelainan struktural termasuk hipertofi ventrikel kiri pada penderita hipertensi. Atrial fibrilasi dan gagal jantung seringkali timbul bersamaan. Alkohol dapat berefek secara langsung pada jantung, menimbulkan gagal jantung akut maupun gagal jantung akibat aritmia (tersering atrial fibrilasi). Konsumsi alkohol yang berlebihan dapat menyebabkan kardiomiopati dilatasi (penyakit otot jantung alkoholik). Alkohol menyebabkan gagal jantung 2 3% dari kasus. Alkohol juga dapat menyebabkan gangguan nutrisi dan defisiensi tiamin. Obat obatan juga dapat menyebabkan gagal jantung. Obat kemoterapi seperti doxorubicin dan obat antivirus seperti zidofudin juga dapat menyebabkan gagal jantung akibat efek toksik langsung terhadap otot jantung (Joewono, 2002).

Selain itu, mekanisme yang juga mendasari terjadinya gagal jantung kongestif meliputi gangguan kemampuan kontraktilitas jantung yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah jantung normal. Tetapi pada gagal jantung dengan masalah yang utama terjadi adalah kerusakan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah jantung normal masih dapat dipertahankan. Volume sekuncup adalah jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi tergantung pada tiga faktor: yaitu preload, kontraktilitas, afterload (Joewono, 2002).

a) Preload adalah jumlah darah yang mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut otot jantung.

b) Kontraktilitas mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan panjang serabut jantung dan kadar kalsium.

c) Afterload mengacu pada besarnya tekanan ventrikel yang harus dihasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang ditimbulkan oleh tekanan arteriol.

Pada gagal jantung, jika salah satu atau lebih faktor ini terganggu, maka curah jantung berkurang (Smeltzer, 2002).

a) Gagal Jantung Kiri

Kongesti terjadi pada ventrikel kiri, karena ventrikel kiri tidak mampu memompa darah yang datang dari paru. Peningkatan tekanan dalam sirkulasi paru menyebabkan cairan terdorong ke jaringan paru. Manifestasi klinis yang dapat terjadi meliputi dispneu, batuk, mudah lelah, denyut jantung cepat (takikardi) dengan bunyi S3, kecemasan dan kegelisahan.

b) Gagal Jantung Kanan

Bila ventrikel kanan gagal memompakan darah, maka yang menonjol adalah kongestif visera dan jaringan perifer. Hal ini terjadi karena sisi kanan jantung tidak mampu mengosongkan volume darah dengan adekuat sehingga tidak dapat mengakomodasi semua darah yang secara normal kembali dari sirkulasi vena. Manifestasi klinis yang tampak meliputi edema ekstremitas bawah (edema dependen), yang biasanya merupakan pitting edema, pertambahan berat badan, hepatomegali (pembesaran hepar), distensi vena jugularis (vena leher), asites (penimbunan cairan di dalam rongga peritoneal), anoreksia dan mual, nokturia dan lemah.

3. Penegakan Diagnosis

a. Manifestasi klinis (Joewono, 2002)

1) Paroksismal nokturnal dispnea

Serangan sesak napas berat dan batuk pada malam hari, biasanya membangunkan pasien

Batuk dan mengi sering bertahan bahkan dengan duduk tegak.

Asma kardiale, dispnea nokturnal, mengi, dan batuk karena bronkospasme

2) Respirasi Cheyne-Stokes

Respirasi respirasi periodik atau siklik

Umum di gagal jantung maju dan biasanya berhubungan dengan output jantung yang rendah

Pada tahap apneic, P arteri O 2 jatuh, dan P arteri CO 2 meningkat.

3) Kelelahan dan kelemahan

4) Gejala Gastrointestinal

5) Gejala Cerebral

Kebingungan

Disorientasi

Kesulitan berkonsentrasi

Gangguan memori

Sakit kepala

Insomnia

Kegelisahan

Mood swing

b. Pemeriksaan fisik

Tekanan darah sistolik normal atau tinggi pada gagal jantung awal

Tekanan nadi dapat berkurang

Sinus tachycardia

Akral dingin

Sianosis pada bibir dan kuku

Distensi vena jugularis

Peningkatan tekanan atrium kanan

Positif hepatojugular refluks

Pemeriksaan Paru

Paru crackles (rales atau crepitations) dengan atau tanpa mengi

Efusi pleura

Pemeriksaan jantung

Titik impuls maksimum (PMI) dapat dipindahkan dan berkelanjutan (seperti pada hipertensi) atau lemah, seperti dalam kardiomiopati membesar idiopatik.

Ketiga dan suara jantung keempat: sering ada tapi tidak spesifik

Murmur regurgitasi mitral dan trikuspid yang sering hadir pada pasien dengan gagal jantung lanjut

Hepatomegali

Asites (tanda akhir)

Penyakit kuning

Peripheral edema

Cardiac cachexia

Kriteria Framingham

Kriteria mayorKriteria minor

Paroxysmal nocturnal dyspneaEdema malleolus bilateral

Distensi vena leherDyspnea pada exersi biasa

Krepitasi Takikardia(.120/min)

S3 gallopBatuk nocturnal

Kardiomegali (rasio kardiotorak .50% pada rontgen torak)Hepatomegaly

Edema pulmonal akutEfusi pleura

Reflux hepatojugularPenurunan dalam kapasitas vital dalam 1/3 dari maksimal

Peningkatan tekanan vena sentral (.16cmH2O pada atrium kanan)

Penurunan berat badan .4,5kg dalam 5 hari sebagai respon terhadap pengobatan

Diagnosis gagal jantung kongestif mensyaratkan minimal 2 kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai 2 kriteria minor. Kriteria minor tersebut dapat diterima jika kriteria minor tersebut tidak berhubungan dengan penyakit seperti hipertensi pulmonal, ppok, sirosis hati atau sindroma nefrotik.Secara klinis pada penderita gagal jantung dapat ditemukan gejala dan tanda seperti sesak nafas saat aktivitas, edema paru, peningkatan JVP, hepatomegali, edema tungkai (Doenges, 2002).

Pemeriksaan penunjang yang dapat dikerjakan untuk mendiagnosis adanya gagal jantung antara lain foto thorax, EKG 12 lead, ekokardiografi, pemeriksaan darah, pemeriksaan radionuklide, angiografi dan tes fungsi paru (Joewono, 2002).

Pada pemeriksaan foto dada dapat ditemukan adanya pembesaran siluet jantung (cardio thoraxic ratio > 50%), gambaran kongesti vena pulmonalis terutama di zona atas pada tahap awal, bila tekanan vena pulmonal lebih dari 20 mmHg dapat timbul gambaran cairan pada fisura horizontal dan garis Kerley B pada sudut kostofrenikus. Bila tekanan lebih dari 25 mmHg didapatkan gambaran batwing pada lapangan paru yang menunjukkan adanya udema paru bermakna. Dapat pula tampak gambaran efusi pleura bilateral, tetapi bila unilateral, yang lebih banyak terkena adalah bagian kanan (Joewono, 2002).

Pada elektrokardiografi 12 lead didapatkan gambaran abnormal pada hampir seluruh penderita dengan gagal jantung, meskipun gambaran normal dapat dijumpai pada 10% kasus. Gambaran yang sering didapatkan antara lain gelombang Q, abnormalitas ST T, hipertrofi ventrikel kiri, bundle branch block dan fibrilasi atrium. Bila gambaran EKG dan foto dada keduanya menunjukkan gambaran yang normal, kemungkinan gagal jantung sebagai penyebab dispneu pada pasien sangat kecil kemungkinannya (Doenges, 2002).

Ekokardiografi merupakan pemeriksaan non-invasif yang sangat berguna pada gagal jantung. Ekokardiografi dapat menunjukkan gambaran obyektif mengenai struktur dan fungsi jantung. Penderita yang perlu dilakukan ekokardiografi adalah : semua pasien dengan tanda gagal jantung, susah bernafas yang berhubungan dengan murmur, sesak yang berhubungan dengan fibrilasi atrium, serta penderita dengan risiko disfungsi ventrikel kiri (infark miokard anterior, hipertensi tak terkontrol, atau aritmia). Ekokardiografi dapat mengidentifikasi gangguan fungsi sistolik, fungsi diastolik, mengetahui adanya gangguan katup, serta mengetahui risiko emboli (Joewon, 2002).

Pemeriksaan darah perlu dikerjakan untuk menyingkirkan anemia sebagai penyebab susah bernafas, dan untuk mengetahui adanya penyakit dasar serta komplikasi. Pada gagal jantung yang berat akibat berkurangnya kemampuan mengeluarkan air sehingga dapat timbul hiponatremia dilusional, karena itu adanya hiponatremia menunjukkan adanya gagal jantung yang berat. Pemeriksaan serum kreatinin perlu dikerjakan selain untuk mengetahui adanya gangguan ginjal, juga mengetahui adanya stenosis arteri renalis apabila terjadi peningkatan serum kreatinin setelah pemberian angiotensin converting enzyme inhibitor dan diuretik dosis tinggi. Pada gagal jantung berat dapat terjadi proteinuria. Hipokalemia dapat terjadi pada pemberian diuretik tanpa suplementasi kalium dan obat potassium sparring. Hiperkalemia timbul pada gagal jantung berat dengan penurunan fungsi ginjal, penggunaan ACE-inhibitor serta obat potassium sparring. Pada gagal jantung kongestif tes fungsi hati (bilirubin, AST dan LDH) gambarannya abnormal karena kongesti hati. Pemeriksaan profil lipid, albumin serum fungsi tiroid dianjurkan sesuai kebutuhan (Joewono, 2002).

Pemeriksaaan penanda BNP sebagai penanda biologis gagal jantung dengan kadar BNP plasma 100pg/ml dan plasma NT-proBNP adalah 300 pg/ml. Pemeriksaan radionuklide atau multigated ventrikulografi dapat mengetahui ejection fraction, laju pengisian sistolik, laju pengosongan diastolik, dan abnormalitas dari pergerakan dinding. Angiografi dikerjakan pada nyeri dada berulang akibat gagal jantung. Angiografi ventrikel kiri dapat mengetahui gangguan fungsi yang global maupun segmental serta mengetahui tekanan diastolik, sedangkan kateterisasi jantung kanan untuk mengetahui tekanan sebelah kanan (atrium kanan, ventrikel kanan dan arteri pulmonalis) serta pulmonary artery capillary wedge pressure (Joewono, 2002).

Gagal jantung dapat diklasifikasikan menurut beberapa faktor. New York HeartAssociation (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas:

a. Kelas 1

Bila pasien dapat melakukan aktifitas berat tampa keluhanb. Kelas 2

Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas lebih berat dari aktivitas sehari-hari tanpa keluhan.

c. Kelas 3

Bila pasien tidak dapat melakukan aktifitas sehari-hari tanpa keluhan.d. kelas 4

Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktifitas apapun dan harus tirah baring

American College of Cardiology/American Heart Association (ACC/AHA) Klasifikasiini menekankan padaevolusidanperkembangan gagaljantungkronik.KlasifikasiinimelengkapiklasifikasiNYHAdanmembantupenerapanpengobatan awal, yaitu:

a. Stage A : Pasien mempunyai resiko tinggi mengalami gagal jantung karena menderita penyakit yang merupakan penyebab terjadinya gagal jantung. Pasien seperti ini tidak mempunyai abnormalitas struktur jantung maupun fungsi perikardia, miokard, atau katup jantung dan tidak pernah memperlihatkan gejala gagal jantung.b. Stage B : Pasien dengan penyakit jantung dengan abnormalitas struktur yang merupakan penyebab terjadinya gagal jantung namun tidak pernah menunjukkan gejala gagal jantung

c. Stage C : Pasien yang pernah atau sedang mengalami gejala gagal jantung akibat adanya abnormalitas struktur jantung.d. Stage D : Pasien dengan abnormalitas struktur jantung yang parah dan menunjukkan gejala gagal jantung pada saat beristirahat meskipun diberikan terapi medik secara maksimal sehingga memerlukan penanganan yang khusus.4. Patofisiologi

Gagal jantung merupakan kelainan multisitem dimana terjadi gangguan pada jantung, otot skelet dan fungsi ginjal, stimulasi sistem saraf simpatis serta perubahan neurohormonal yang kompleks. Pada disfungsi sistolik terjadi gangguan pada ventrikel kiri yang menyebabkan terjadinya penurunan cardiac output. Hal ini menyebabkan aktivasi mekanisme kompensasi neurohormonal, sistem Renin Angiotensin Aldosteron (sistem RAA) serta kadar vasopresin dan natriuretic peptide yang bertujuan untuk memperbaiki lingkungan jantung sehingga aktivitas jantung dapat terjaga. Aktivasi sistem simpatis melalui tekanan pada baroreseptor menjaga cardiac output dengan meningkatkan denyut jantung, meningkatkan kontraktilitas serta vasokons-triksi perifer (peningkatan katekolamin). Apabila hal ini timbul berkelanjutan dapat menyeababkan gangguan pada fungsi jantung. Aktivasi simpatis yang berlebihan dapat menyebabkan terjadinya apoptosis miosit, hipertofi dan nekrosis miokard fokal. Stimulasi sistem RAA menyebabkan penigkatan konsentrasi renin, angiotensin II plasma dan aldosteron. Angiotensin II merupakan vasokonstriktor renal yang poten (arteriol eferen) dan sirkulasi sistemik yang merangsang pelepasan noradrenalin dari pusat saraf simpatis, menghambat tonus vagal dan merangsang pelepasan aldosteron. Aldosteron akan menyebabkan retensi natrium dan air serta meningkatkan sekresi kalium. Angiotensin II juga memiliki efek pada miosit serta berperan pada disfungsi endotel pada gagal jantung (Doenges, 2002).

Terdapat tiga bentuk natriuretic peptide yang berstruktur hampir sama yeng memiliki efek yang luas terhadap jantung, ginjal dan susunan saraf pusat. Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dihasilkan di atrium sebagai respon terhadap peregangan menyebabkan natriuresis dan vasodilatsi. Pada manusia Brain Natriuretic Peptide (BNO) juga dihasilkan di jantung, khususnya pada ventrikel, kerjanya mirip dengan ANP. C-type natriuretic peptide terbatas pada endotel pembuluh darah dan susunan saraf pusat, efek terhadap natriuresis dan vasodilatasi minimal. Atrial dan brain natriuretic peptide meningkat sebagai respon terhadap ekspansi volume dan kelebihan tekanan dan bekerja antagonis terhadap angiotensin II pada tonus vaskuler, sekresi ladosteron dan reabsorbsi natrium di tubulus renal. Karena peningkatan natriuretic peptide pada gagal jantung, maka banyak penelitian yang menunjukkan perannya sebagai marker diagnostik dan prognosis, bahkan telah digunakan sebagai terapi pada penderita gagal jantung . Vasopressin merupakan hormon antidiuretik yang meningkat kadarnya pada gagal jantung kronik yang berat. Kadar yang tinggi juga didpatkan pada pemberian diuretik yang akan menyebabkan hiponatremia. Endotelin disekresikan oleh sel endotel pembuluh darah dan merupakan peptide vasokonstriktor yang poten menyebabkan efek vasokonstriksi pada pembuluh darah ginjal, yang bertanggung jawab atas retensi natrium. Konsentrasi endotelin-1 plasma akan semakin meningkat sesuai dengan derajat gagal jantung. Selain itu juga berhubungan dengan tekanan pulmonary artery capillary wedge pressure, perlu perawatan dan kematian. Telah dikembangkan endotelin-1 antagonis sebagai obat kardioprotektor yang bekerja menghambat terjadinya remodelling vaskular dan miokardial akibat endotelin. Disfungsi diastolik merupakan akibat gangguan relaksasi miokard, dengan kekakuan dinding ventrikel dan berkurangnya compliance ventrikel kiri menyebabkan gangguan pada pengisian ventrikel saat diastolik. Penyebab tersering adalah penyakit jantung koroner, hipertensi dengan hipertrofi ventrikel kiri dan kardiomiopati hipertrofik, selain penyebab lain seperti infiltrasi pada penyakit jantung amiloid. Walaupun masih kontroversial, dikatakan 30 40 % penderita gagal jantung memiliki kontraksi ventrikel yang masih normal. Pada penderita gagal jantung sering ditemukan disfungsi sistolik dan diastolik yang timbul bersamaan meski dapat timbul sendiri (Joewono, 2002).5. Penatalaksanaan

Tujuan dasar penatalaksanaan pasien dan gagal jantung adalah (Smeltzer, 2002):a. Mengurangi beban kerja jantung.

b. Meningkatkan kekuatan dan efisiensi kontraksi jantung dengan bahan-bahan farmakologis.

c. Menghilangkan penimbunan cairan tubuh berlebihan dengan terapi diuretik, diet dan istirahat.

Terapi Non Farmakologis

a. Tirah baring

Tirah baring bertujuan untuk mengurangi beban kerja jantung sehingga kemampuan dalam memompa darah lebih efisien.

b. Posisi tidur tegak (setengah duduk)

Hal ini bertujuan untuk melancarkan aliran venous return sehingga meningkatkan volue paru, meningkatkan kapasitas vital paru dan compliance paru.

c. Diet rendah garam, bertujuan untuk mengurangi preload dan mengurangi retensi air dan natrium.

d. Diet rendah serat, bertujuan untuk mencegah terjadinya sembelit.

Terapi Farmakologis (Doenges, 2002)

a. Digitalis meningkatkan kekuatan kontraksi jantung dan memperlambat frekuensi jantung. Hasil yang diharapkan peningkatan curah jantung, penurunan tekanan vena dan volume darah dan peningkatan dieresis akan mengurangi edema. Apabila terjadi keracunan ditandai dengan anoreksia, mual dan muntah namun itu gejala awal selanjutnya akan terjadi perubahan irama, bradikardi kontrak ventrikel premature, bigemini (denyut normal dan premature saling berganti), dan takikardia atrial proksismal.

b. Terapi Diuretik

Diberikan untuk memacu ekresi natrium dan air melalui ginjal, obat ini tidak diperlukan bila pasien bersedia merespon. Pembatasan aktivitas digitalis dan diit rendah natrium, jadwal pemberian obat ditentukan oleh berat badan, furosemid (Lasix) terutama sangat penting dalam terapi gagal jantung karena kapasitas urea yang pada gilirannya mengurangi preload (darah vena yang kembali ke jantung).

Terapi diuretic jangka panjang dapat menyebabkan hiponatremia yang mengakibatkan lemah, letih, malaise, kram otot dan denyut nadi yang kecil dan cepat.

Pemberian diuretic dalam dosis besar dan berulang juga bisa mengakibatkan hipokalemia ditandai dengan denyut nadi lemah, suara jantung menjauh, hipertensi, otot kendor, penurunan refleks tendon dan kelemahan umum.

c. Terapi Vasodilator

Obat-obatan vasoaktif merupakan pengobatan utama pada penatalaksanaan gagal jantung. Natrium nitraprosida secara intravena melalui infuse yang dipantau tepat dosisnya harus dibatasi agar tekanan systole arteriole tetap dalam batas yang diinginkan.

d. OksigenPemberian oksigen terutama pada klien gagal jantung disertai dengan edema paru. Pemenuhan aksigen akan mengurangi kebutuhan miokardium dan membantu memenuhi kebutuhan oksigen tubuh.6. Komplikasi dapat berupa (Joewono, 2002):

a. Kerusakan atau kegagalan ginjal

Gagal jantung dapat mengurangi aliran darah ke ginjal, yang akhirnya dapat menyebabkan gagal ginjal jika tidak ditangani. Kerusakan ginjal dari gagal jantung dapat membutuhkan dialysis untuk pengobatan.

b. Masalah katup jantung

Gagal jantung menyebabkan penumpukan cairan sehingga dapat terjadi kerusakan pada katup jantung.

c. Kerusakan hati

Gagal jantung dapat menyebabkan penumpukan cairan yang menempatkan terlalu banyak tekanan pada hati. Cairan ini dapat menyebabkab jaringan parut yang mengakibatkanhati tidak dapat berfungsi dengan baik.

d. Serangan jantung dan stroke

Karena aliran darah melalui jantung lebih lambat pada gagal jantung daripada di jantung yang normal, maka semakin besar kemungkinan Anda akan mengembangkan pembekuan darah, yang dapat meningkatkan risiko terkena serangan jantung atau stroke.BAB III

KESIMPULAN

1. CHF adalah kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan.

2. Penyebab dari CHF yaitu hipertensi, kardiomiopati, penyakit katup jantung,aritmia, faktor pencetus dari pasien ini adalah: merokok.

3. Diagnosis CHF jika memenuhi kriteria Framingham: minimal 2 kriteria mayor atau satu kriteria mayor disertai 2 kriteria minor.

4. Terapi yang dilakukan secara non medika mentosa adalah tirah baring, posisi tidur tegak (setengah duduk), diet rendah garam, diet rendah serat. Sedangkan terapi farmakologinya adalah diberikan obat dari golongan digitalis, diuretik, vasodilator dan jika perlu diberikan oksigen.DAFTAR PUSTAKA

Dunitz, M. 2001. Treatment of Hypertension in General Practice. United Kingdom: Blackwell Science Inc.

Joewono, B. S. 2003.. Ilmu Penyakit Jantung. Surabaya : Airlangga University Press .

Padmawinata, K. 2001. Pengendalian Hipertensi, Bandung: ITB.

Palmer & Williams. 2007. Tekanan Darah Tinggi. Jakarta: Erlangga.

Smeltzer, C. S., Bare, G.,and Brenda, 2002. Buku Ajar Medikal Bedah Brunner dan Suddarths, Volume 2, Edisi 8, Jakarta : EGC.

Suwitra, K. 2009. Penyakit Ginjal Kronik dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi Kelima. Jakarta: Interna Publishing.

Wilson, L.M. 2005. Gagal Ginjal Kronik dalam Patofisiologi (Konsep Klinis Proses Proses Penyakit Edisi 6). Jakarta: EGC.