23
BAB I PENDAHULUAN Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan liquor yang terbungkus oleh kapsul dibawah duramater. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arachnoid sehingga liquor serebrospinalis mengalir dan membentuk kolam. Pada dasarnya, penatalaksanaanya diberikan serupa dengan terapi pada hematoma subdural kronis. 1 . Kelainan ini agak jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput araknoid yang menyebabkan cairan LCS keluar ke ruang subdural.Sebagian literature juga menyatakan bahwa higroma subdural adalah hematoma subdural kronis/lama yang mungkin disertai oleh penumpukan/pengumpulan cairan LCS didalam ruang subdural. Dengan demikian higroma subdural serupa dengan hematom subdural kronik (HSD kronik). 2 Literatur tentang laporan kasus higroma subdural pada anak sangat terbatas. Di Indonesia, belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan mortalitas dari higroma subdural. Rata-rata morbiditas & mortalitas dihubungkan secara pembedahan pada kasus higroma subdural. Lesi hematom subdural lebih sering terjadi dibanding hematom epidural (HED atau EDH). Lesi hematom subdural ini bisa menyebabkan terjadinya higroma 1

HIGROMA REVISI

Embed Size (px)

DESCRIPTION

higroma subdural

Citation preview

BAB IPENDAHULUAN

Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan liquor yang terbungkus oleh kapsul dibawah duramater. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arachnoid sehingga liquor serebrospinalis mengalir dan membentuk kolam. Pada dasarnya, penatalaksanaanya diberikan serupa dengan terapi pada hematoma subdural kronis.1. Kelainan ini agak jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput araknoid yang menyebabkan cairan LCS keluar ke ruang subdural.Sebagian literature juga menyatakan bahwa higroma subdural adalah hematoma subdural kronis/lama yang mungkin disertai oleh penumpukan/pengumpulan cairan LCS didalam ruang subdural. Dengan demikian higroma subdural serupa dengan hematom subdural kronik (HSD kronik).2Literatur tentang laporan kasus higroma subdural pada anak sangat terbatas. Di Indonesia, belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan mortalitas dari higroma subdural. Rata-rata morbiditas & mortalitas dihubungkan secara pembedahan pada kasus higroma subdural.Lesi hematom subdural lebih sering terjadi dibanding hematom epidural (HED atau EDH). Lesi hematom subdural ini bisa menyebabkan terjadinya higroma subdural. Lesi ini terjadi akibat laserasi arteri/vena kortikal pada saat terjadi akselerasi dan deselerasi. Pada anak dan usia lanjut sering disebabkan bridging vein yang menghubungkan permukaan korteks dengan sinus vena.3

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI KEPALA DAN OTAK1. Kulit Kepala Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan yang disebut SCALP yaitu; skin atau kulit, connective tissue atau jaringan penyambung, aponeurosis atau galea aponeurotika, loose conective tissue atau jaringan penunjang longgar dan pericranium.42. Tulang Tengkorak Tengkorak adalah tulang kerangka dari kepala yang disusun menjadi dua bagian yaitu kranium (kalvaria) yang terdiri atas delapan tulang dan kerangka wajah yang terdiri atas empat belas tulang. Rongga tengkorak mempunyai permukaan atas yang dikenal sebagai kubah tengkorak, licin pada permukaan luar dan pada permukaan dalam yang terdapat lekukan supaya dapat sesuai dengan otak dan pembuluh darah. Permukaan bawah dari rongga dikenal sebagai dasar tengkorak atau basis kranii. Dasar tengkorak ditembusi oleh banyak lubang supaya dapat dilalui oleh saraf dan pembuluh darah.4

Gambar 2.1. Tulang Kranium

3. MeningealMeningeal merupakan selaput yang membungkus otak dan sumsum tulang belakang. Fungsi meningeal yaitu melindungi struktur saraf halus yang membawa pembuluh darah dan cairan sekresi (cairan serebrospinal), dan memperkecil benturan atau getaran, yang terdiri atas 3 lapisan, yaitu : a. Durameter (Lapisan sebelah luar) Durameter ialah selaput keras pembungkus otak yang berasal dari jaringan ikat tebal dan kuat, dibagian tengkorak terdiri dari selaput tulang tengkorak dan dura meter propia di bagian dalam. Di dalam kanalis vertebralis kedua lapisan ini terpisah. Durameter pada tempat tertentu mengandung rongga yang mengalirkan darah vena dari otak, rongga ini dinamakan sinus longitudinal superior yang terletak diantara kedua hemisfer otak. b. Selaput Arakhnoid (Lapisan tengah) Selaput arakhnoid merupakan selaput halus yang memisahkan durameter dengan piameter yang membentuk sebuah kantong atau balon berisi cairan otak yang meliputi seluruh susunan saraf sentral. c. Piameter (Lapisan sebelah dalam) Piameter merupakan selaput tipis yang terdapat pada permukaan jaringan otak, piameter berhubungan dengan arakhnoid melalui struktur-struktur jaringan ikat yang disebut trebekel. Tepi falks serebri membentuk sinus longitudinalis inferior dan sinus sagitalis inferior yang mengeluarkan darah dari falks serebri. Tentorium memisahkan cerebrum dengan cerebelum.4

Gambar 2.2. Lapisan Meningeal

4. Otak Otak merupakan suatu organ tubuh yang sangat penting karena merupakan pusat komputer dari semua organ tubuh, bagian dari saraf sentral yang terletak di dalam rongga tengkorak (kranium) yang dibungkus oleh selaput otak yang kuat. Otak terdiri dari otak besar (cerebrum), otak kecil (cerebellum), dan batang otak (Trunkus serebri). Besar otak orang dewasa kira-kira 1300 gram, 7/8 bagian berat terdiri dari otak besar.4

Gambar 2.3 Bagian Otaka. Otak besar (cerebrum)Otak besar merupakan bagian yang terluas dan terbesar dari otak, berbentuk telur mengisi penuh bagian depan atas rongga tengkorak. Masing-masing disebut fosa kranialis anterior atas dan fosa kranialis media. Otak besar terdiri dari dua belahan, yaitu belahan kiri yang mengendalikan tubuh bagian kanan, dan belahan kanan yang mengendalikan tubuh bagian kiri. Otak mempunyai 2 permukaan, permukaan atas dan permukaan bawah. Kedua lapisan ini dilapisi oleh lapisan kelabu (zat kelabu) yaitu pada pada bagian korteks serebral dan zat putih yang terdapat pada bagian dalam yang mengandung serabut saraf. Fungsi otak besar yaitu sebagai pusat berpikir (kepandaian), kecerdasan dan kehendak. Selain itu otak besar juga mengendalikan semua kegiatan yang disadari seperti bergerak, mendengar, melihat, berbicara, berpikir dan lain sebagainya.6b. Otak kecil (cerebellum) Otak kecil terletak dibawah otak besar. Terdiri dari dua belahan yang dihubungkan oleh jembatan varol, yang menyampaikan rangsangan pada kedua belahan dan menyampaikan rangsangan dari bagian lain. Fungsi otak kecil adalah untuk mengatur keseimbangan tubuh serta mengkoordinasikan kerja otot ketika bergerak.4c. Batang Otak (Trunkus serebri)Batang otak terdiri dari : 1. Diensefalon, bagian batang otak paling atas terdapat diantara serebellum dengan mensepalon, kumpulan dari sel saraf yang terdapat dibagian depan lobus temporalis terdapat kapsula interna dengan sudut menghadap kesamping. Diensefalon ini berfungsi sebagai vaso konstruksi (memperkecil pembuluh darah), respiratori (membantu proses pernafasan), mengontrol kegiatan reflex, dan membantu pekerjaan jantung.2. Mensefalon, atap dari mensefalaon terdiri dari empat bagian yang menonjol ke atas, dua di sebelah atas disebut korpus kuadrigeminus superior dan dua disebelah bawah disebut korpus kuadrigeminus inferior. Mensefalon ini berfungsi untuk sebagai pusat pergerakan mata, mengangkat kelopak mata, dan memutar mata.3. Pons varolli, merupakan bagian tengah batang otak dan arena itu memiliki jalur lintas naik dan turun seperti otak tengah. Selain itu terdapat banyak serabut yang berjalan menyilang menghubungkan kedua lobus cerebellum dan menghubungkan cerebellum dengan korteks serebri. 4. Medula oblongata, merupakan bagian dari batang otak yang paling bawah yang menghubungkan pons varolli dengan medulla spinalis. Medulla oblongata memiliki fungsi yang sama dengan diensefalon.65. Cairan Serebrospinalis Cairan serebrospinal adalah hasil sekresi plexus khoroid. Cairan ini bersifat alkali, bening mirip plasma dengan tekanannya 60-140 mm air. Sirkulasi cairan cerebrospinal yaitu cairan ini disalurkan oleh plexus khoroid ke dalam ventrikel-ventrikel yang ada di dalam otak. Cairan itu masuk ke dalam kanalis sentralis sumsum tulang belakang dan juga ke dalam ruang subarakhnoid melalui celah-celah yang terdapat pada ventrikel keempat. Setelah itu cairan ini dapat melintasi ruangan di atas seluruh permukaan otak dan sumsum tulang belakang hingga akhirnya kembali ke sirkulasi vena melalui granulasi arakhnoid pada sinus sagitalis superior. Oleh karena susunan ini maka bagian saraf otak dan sumsum tulang belakang yang sangat halus terletak diantara dua lapisan cairan. Dengan adanya kedua bantalan air ini maka sistem persarafan terlindungi dengan baik. Cairan cerebrospinal ini berfungsi sebagai buffer, melindungi otak dan sumsum tulang belakang dan menghantarkan makanan ke jaringan sistem persarafan pusat.6

2.2 HIGROMA SUBDURAL2.2.1 DEFINISIHigroma subdural merupakan pengumpulan cairan liquor yang terbungkus oleh kapsul dibawah duramater. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arachnoid sehingga liquor serebrospinalis mengalir dan membentuk kolam.1Sebagian literatur juga menyatakan bahwa higroma subdural adalah hematom subdural kronis/lama yang mungkin disertai oleh penumpukan/ pengumpulan cairan LCS di dalam ruang subdural. Kelainan ini agak jarang ditemukan dan dapat terjadi karena robekan selaput araknoid yang menyebabkan cairan LCS keluar ke ruang subdural. Dengan demikian higroma subdural serupa dengan hematom subdural kronik (HSD kronik) . 2Lesi hematom subdural ini lebih sering terjadi dibanding hematom epidural (HED atau EDH). Lesi ini terjadi akibat laserasi arteri/vena kortikal pada saat terjadi akselerasi dan deselerasi. Pada anak dan usia lanjut sering disebabkan bridging vein yang menghubungkan permukaan kortek dengan sinus vena.3

Gambar 2.4 Gambaran CT Scan Higroma Subdural pada sisi kiri. Perhatikan penekanan pada ventrikel lateral kiri

2.2.2 ETIOLOGI & PATOGENESISAda beberapa etiologi dari higroma subdural yang menyebabkan penumpukan akumulasi cairan serebrospinalis. Pada umumnya higroma subdural disebabkan pecahnya araknoid sehingga LCS mengalir dan terkumpul membentuk kolam. Menurut Iskandar J, dalam buku Cedera Kepala bahwa Post-traumatic kecelakaan ,merupakan kasus yang umum terjadi yang dapat menyebabkan subdural higroma, contohnya cedera kepala.4 Cedera kepala dapat melibatkan setiap komponen yang ada, mulai bagian terluar (scalp) sampai bagian terdalam (intrakranial) yang tiap komponen tersebutterkait erat dengan mekanisme cedera yang terjadi. Dengan demikian cedera yang terjadi dapat berupa cedera jaringan lunak, fraktur tulang kepala, dan cedera otak yang bisa menyebabkan higroma subdural.5Beberapa penyakit dapat menjadi predisposisi terjadinya perdarahan subdural meskipun hanya dipicu oleh trauma yang ringan. Seringkali episode-episode trauma terjadi tanpa mendapat perawatan. Penyebab-penyebab traumatik dapat berupa kecelakaan maupun disengaja (seperti kekerasan pada anak). Trauma akibat kekerasan merupakan penyebab hematoma subdural paling sering pada anak kurang dari 2 tahun. Kadang-kadang diagnosis diatesis perdarahan dibuat pada kasus perdarahan intrakranial yang tanpa riwayat trauma. Anomali intrakranial dapat pula menjadi faktor predisposisi perdarahan subdural yang bermanifestasi sebagai kista arachnoid di fossa medialias.6Kebanyakan subdural higroma terjadi sekunder akibat trauma. Cofiar et al melaporkan kejadian perkembangan suatu higroma subdural pada pasien Acute subdural hematoma (ASDH) atau hematom subdural akut, yang kemudian mengalami resolusi spontan cepat dalam waktu 9 jam akibat kontribusi terhadap pembesaran higroma subdural. Hematom subdural akut merupakan kumpulan darah segar di bawah lapisan duramater, yang biasanya cukup besar untuk menekan otak dan menyebabkan kematian hingga 60-80% kasus. Resolusi spontan cepat pada kasus hematom subdural akut sangat jarang terjadi. Salah satu mekanisme resolusi spontan yang pernah dilaporkan adalah melalui terbentuknya higroma subdural. Resolusi hematom subdural akut dan dampaknya terhadap higroma subdural harus dipertimbangkan selama penatalaksanaan merupakan kumpulan cairan subdural berupa cairan xanthochromic yang jernih atau disertai darah. Membedakan antara higroma subdural dan hematom sulit dilakukan dan mungkin artifisial, sebab higroma sering mengalami progresifitas menjadi hematom.7Vandenberg et al melaporkan suatu kasus higroma subdural yang terjadi setelah tindakan anestesia spinal. Subdural hematoma dan higroma subdural merupakan komplikasi yang jarang dari anestesia spinal. Penyebab komplikasi ini yang mungkin terpikirkan adalah kebocoran LCS melalui fistula dural yang terbentuk akibat tindakan punksi. Kebosoran ini menyebabkan pemisahan otak bagian kaudal (caudal displacement of the brain), dengan konsekuensi berupa peregangan dan rembesan dari vena-vena subdural intrakranial.. Namun, pada kebanyakan kasus, mekanisme yang ada tetap belum diketahui dengan jelas. Vandenberg menggunakan MRI dan radioisotope cisternography untuk mengelusidasi patogenesis kasus tersebut.2Patogenesis terjadinya Higroma Subdural adalah Akumulasi cairan dalam waktu lama di ruang subdural dapat terjadi akibat salah satu dari tiga proses yang berbeda. Patogenesis yang paling lazim terjadi adalah likuifikasi hematoma subdural akut sehingga membentuk atau terjadinya hematoma subdural kronik. Ada postulat yang menyatakan bahwa semakin kental cairan yang berakumulasi, semakin cepat pula peningkatan volumenya. Hal ini terjadi karena gradien tekanan onkotik yang tinggi pada cairan yang kental. Meskipun volumenya bisa menurun akibat degradasi darah dan protein, namun adanya perdarahan ulang menyebabkan volumenya menetap sehingga hematoma subdural tetap ada.Tipe akumulasi cairan subdural yang kedua adalah terbukanya arachnoid sehingga cairan serebrospinal dapat memasuki ruang subdural. Cairan serebrospinal bercampur dengan darah sehingga berubah menjadi cairan xantokromatik yang encer, sering disebut higroma subdural.Tipe akumulasi ketiga menghasilkan cairan yang lebih purulen. Empiema subdural dapat disebabkan oleh perluasan langsung dari sinusitis atau otitis media ke ruang epidural lalu ke ruang subdural. Akumulasi cairan subdural yang purulen kadang-kadang juga terlihat setelah episode meningitis bakterial, khususnya akibat Haemophilus influenza.8

2.2.3 GEJALA KLINISRaj Kumar melaporkan dalam penelitiannya 93% pasien berusia dibawah 2 tahun, namun ada pula beberapa anak berusia < 2 tahun dengan rerata umum 10 bulan (rentangan 3 bulan 2 tahun). Kejang merupakan gejala yang paling sering dikeluhkan, diikuti iritabilitas dan letargia, serta fontanela yang membesar dan membonjol . Kadang-kadang bisa disertai pula dengan hemiparesis dan paresis nervus VI.9SI No.Symtoms and signsPersentase (%)

1Sezure45.3

2Macrocrania37.1

3Bulging fontanel22.6

4Irritability15.4

5Anemia15.4

6Psychomotor retardation12.3

7Lethargy10.3

8Cranial nerve involment10.3

9Hemiparesis7.2

Tabel 2.1 Tanda & Gejala pada pasien dengan Higroma Subdural

2.2.4 DIAGNOSISUntuk menegakkan diagnosis higroma subdural, selain anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan fisik, diperlukan juga penunjang berupa radiologis diagnostik yaitu CT Scan dan MRI. CT Scan Kepala dengan atau tanpa kontras memiliki nilai diagnostik. Akumulasi cairan subdural umumnya bersifat bilateral pada hampir 77% kasus.11 Ketebalan akumulasi cairan subdural dapat bervariasi dari beberapa mm (4 mm) hingga 42 mm. MRI juga terbukti bermanfaat dalam membedakan akumulasi cairan subdural dari dilatasi subarachnoid jinak atau hidrosefalus eksternal jinak yang tidak membutuhkan intervensi bedah pada sebagian besar kasus. MRI dapat menunjukkan efek penekanan akumulasi subdural terhadap korteks.11Pada pemeriksaan neuroimaging, biasanya dengan CT scan dan MRI, terlihat berbentuk seperti bulan sabit dengan adanya tumpukan cairan extraaxial dengan CSF yang padat. Umumnya terjadi secara bilateral.12

Gambar 2.5 A.CT -hygromasubduralkirifrontal (9 hari).B Peningkatan kepadatan dan bentuk yang heterogen (53 hari)-tanda-tanda perdarahan hygroma pada ruang subdural.

Gambar 2.6.C. Pengurangan dari hygroma, dengan kemungkinan adanya neo-membrane(117 hari). D.Resolusi dari kumpulan subdural(730 hari).

Gambar2.7(A)CT scanmenunjukkan hygroma subdural bilateral pada bagian frontal (hari ke-12).(B)MRI (T1-weighted, tanpa kontras) menunjukkan subdural hematoma laminar,tanpa adanya kompresi pada otak yang mendasarinya (hari ke-191).(C)MRI (T1-weighted, dengan kontras) menunjukkan peningkatan pada bagian perifer (hari ke-191). (D)CT scan menunjukkan hilangnya kumpulan cairan di subdural(harike-300).

2.2.5 DIAGNOSIS BANDINGHigroma subdural adalah kumpulan cairan serebrospinal yang terletak di ruang subdural, mirip dengan hematoma. Diagnosis banding umtuk higroma subdural adalah subdural hematoma ronis. Dengan pemeriksaan CT-scan, subdural hematoma kronis dapat dibedakan dari higroma subdural. Namun, intensitas dinding higroma tidak meningkat. MRI menunjukkan bahwa higroma memiliki intensitas sinyal yang sangat mirip dengan CSF pada semua urutan, termasuk pemulihan inversi atenuasi cairan (FLAIR) gambar. Secara kasar seperlima dari semua pasien dengan higroma subdural menunjukkan lesi traumatis di otak.1

2.2.6 KOMPLIKASIKomplikasi pada pasien dengan Higroma Subdural adalah Perdarahan dan infeksi pasca pembedahan. Bisa juga terjadi adanya Herniasi batang otak karena penumpukan cairan serebrospinal yang banyak.13

1.2.5 PENATALAKSANAANSejumlah modalitas terapi pernah dilaporkan, antara lain evakuasi dan irigasi ruang subarachnoid melalui burrhole, tap subdural, drainase subdural secara kontinyu dan penggunaan shunt subduroperitoneal. Pemasangan shunt telah dilaporkan oleh sejumlah peneliti, namun komplikasinya cukup merepotkan, antara lain obstruksi, migrasi, infeksi, drainase unilateral dan perforasi usus.9Pada higroma yang simtomatik, khususnya dengan status klinis yang memburuk disertai dengan peningkatan volume hygroma dengan kompresi otak yang menyebabkan herniasi, dilakukan tindakan operasi: drainase burr-hole eksternal. Tetap dilakukan drainase dilakukan subdural selama 24-48 jam pasca operasi, jika tidak terjadi resorpsi yang memadai shunting pada ruang subdural.Kekambuhan setelah tindakan drainase burr-hole sederhana merupakan hal yang sering terjadi, karena kasus yang berulang.13,14Tindakan kraniotomi dilakukan untuk menemukan lokasi kebocoran CSF (yang mungkin sangat sulit untuk dilakukan). Juga dilakukan peletakan shuntsubdural ke peritoneal, untuk mengalirkan cairan yang berlebih menuju ruang peritoneum. 15

Gambar 2.8 Teknik Operasi Burrr-Holes 1.2.6 PROGNOSISDari segi mortalitas dan morbiditas secara neurologis, hasil akhir cedera kepala pada anak biasanya baik. Mortalitas mencapai 10-20% pada anak dengan GCS 8 atau kurang. Pada beberapa laporan, anak dengan GCS 5 atau lebih tanpa syok, mortalitas mencapai 10 persen, sedangkan anak dengan GCS dibawah 5, mortalitas mencapai 50-70%. Syok akan memperburuk hasil akhir.1 Berdasarkan literatur lain prognosis higroma sendiri berprognosis baik, tetapi prognosis lebih ditentukan oleh cedera otak primernya.2

BAB IIIRINGKASAN

Jumlah kejadian Literatur tentang laporan kasus higroma subdural pada anak sangat terbatas. Di Indonesia, belum ada catatan nasional mengenai morbiditas dan mortalitas dari higroma subdural. Rata-rata morbiditas & mortalitas dihubungkan secara pembedahan pada kasus higroma subdural.Higroma subdural merupakan pengumpulan cairan liquor yang terbungkus oleh kapsul dibawah duramater. Biasanya disebabkan oleh pecahnya arachnoid sehingga liquor serebrospinalis mengalir dan membentuk kolam. Pada dasarnya, penatalaksanaanya diberikan serupa dengan terapi pada hematoma subdural kronis.1Etiologi terbanyak yaitu meningitis meskipun ada juga etiologi lainnya sepeti robeknya sub arachnoid di karenakan trauma kepala, dan kebocoran CSF karena anastesi spinal.Gejala klinis yang sering kejang, dan di ikuti bulging fontanel, gelisah, anemia, keterbelakangan mental, kaku, dan gangguan nervus kranial.Untuk menegakakan diagnosis higroma subdural, selain anamnesis, gejala klinis dan pemeriksaan fisik, diperlukan juga penunjang seperti berupa radiologi diagnostic yaitu CT Scan dan MRI. Pada gambaran radiologis terlihat seperti gambaran bulan sabit pada kedua sisi.Komplikasi perdarahan dan infeksi pasca pembedahan yang bisa menyebabkan herniasi batang otak oleh karena penumpukan cairan yang banyak.Penanganan evakuasi cairan dengan tindakan burr hole.Prognosis dari segi mortalitas berdasarkan keadaan umum semakin jelek keadaan umumnya semakin tinggi pula angka mortalitas.

DAFTAR PUSTAKA

1. Satyanegara. Ilmu Bedah Saraf.PT. Gramedia Pustaka Utama;Jakarta: 2010.2. VandenBerg JSP, Sijbrandy SE, Meijer AH, Oostdijk AHJ. Subdural Hygroma:A Rare Complication of Spinal Anesthesia. Anesth Analg;;2011.94:162573. Mardjono M, Priguna S. Neurologi Klinis Dasar ; Mekanisme Trauma Susunan Saraf Pusat.Dian Rakyat. Jakarta,2009;249-2544. American College of Surgeons. Advanced Trauma Life Support (ATLS).United States of America : American College of Surgeons Commite on Trauma,2011.p.194-2365. .Iskandar J. Cedera Kepala. Jakarta: Gramedia, 2011. h.2-56. Shu-qing Y, Ji-sheng W, Nan J. Compressive brainstem deformation resultingfrom subdural hygroma after neurosurgery: a case report.Chinese MedicalJournal 2010; 121(11):1055-10567. Cofiar M, Eser O, Aslan A, Ela Y. Rapid Resolution of Acute Subdural Hematoma and effects on the Size of Existent Subdural Hygroma: A CaseRepor Turkish. Neurosurgery 2012, Vol: 17, No; 3,224-2278. Swift DM, McBride L. Chronic subdural hematoma in children. Neurosurg Clin sof North Am ; 2011(3): 439-46.9. Raj Kumar. Chronic Subdural Fliud Collection in Children. Journal of Medical Education and Research;2010.Vol;7,No:110. Ersahin Y, Tabur E, Kocaman S, Mutluer S. Complications of subduroperitoneal shunting . Child Nerv Syst;2011. 16:43336.11. Caldarelli M, Di Rocco C, Romani R. Surgical treatment of chronic subdural hygroma in infants and children.Acta Neurochir ; 2009.144: 58188.12. Paiva. WS, Oliveira. AMP, Andrade. AF. Remote Postoperative Epidural Hematoma after Subdural Hygroma Drainage. PubMed: Institute of Neurosurgery. 201013. Sjamsuhidajat R, Jong WD. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: 2009.EGC:111014. Ersahin Y, Tabur E, Kocaman S, Mutluer S. Complications of subduroperitoneal shunting . Child Nerv Syst 2009; 16:3336.15. Greaves, I., and Johnson, G. Head And Neck Trauma.Dalam: Greaves, I., and Johnson, G. Practical Emergency Medicine., 2010.p233 245.

17