44
1 I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Brucellosis adalah penyakit zoonosis, yang menular dari hewan ke manusia melalui kontak langsung dari hewan terinfeksi, minum susu dari hewan terinfeksi dan menghirup udara yang tercemar oleh bakteri gram negatif penyebab Brucellosis yaitu Brucella sp. 1 Brucellosis memiliki dampak ekonomi sangat tinggi berkaitan dengan rendahnya produktivitas hewan penderita dan pada manusia karena tingginya biaya pengobatan akibat durasi pengobatan yang lama serta dapat mengurangi produktivitas penderita. Brucellosis memiliki dampak terhadap kesehatan masyarakat di hampir seluruh negara dunia. 1 Food and Agriculture Organization (FAO), World Health Organization (WHO) dan Office de Internationale Epizootika (OIE) atau organisasi kesehatan hewan se-dunia telah menetapkan bahwa Brucellosis adalah salah satu zoonosis yang menular secara cepat dan luas pada hewan ternak dan manusia. 2 Di Indonesia, kasus Brucelosis pada hewan ditemukan pertama kali tahun 1915 pada sapi di Jawa. Hingga tahun 2014 daerah yang bebas kasus Brucellosis pada hewan adalah Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Bangka Belitung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan seluruh pulau Kalimantan. Pulau Jawa diupayakan akan bebas Brucellosis pada tahun 2025. 3,4 Mengingat sebagian besar wilayah di Indonesia masih belum bebas Brucellosis pada hewan, maka besar kemungkinan risiko penularannya ke manusia. Namun kasus Brucellosis manusia di Indonesia masih sulit terdeteksi, kasus terakhir yang dilaporkan dari hasil penelitian Sudibyo (1995) terdapat antibodi terhadap Brucellosis pada 13,6% serum pekerja kandang sapi perah, 22.6% pekerja rumah potong babi dan 3% pekerja rumah potong babi. 5 Untuk menuju Indonesia bebas Brucellosis harus memperhatikan konsep one health yang membutuhkan kerja sama antara Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian sehingga penyakit zoonosis seperti Brucellosis dapat mudah dikendalikan. Namun belum ada data mengenai pekerja Tempat

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang. Laporan-20… · Brucella memiliki potensi sebagai agen bioterorisme karena kemampuannya untuk menular melalui udara dan menyebabkan penyakit yang

  • Upload
    others

  • View
    0

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

  • 1

    I. PENDAHULUAN

    1.1 Latar Belakang

    Brucellosis adalah penyakit zoonosis, yang menular dari hewan ke

    manusia melalui kontak langsung dari hewan terinfeksi, minum susu dari hewan

    terinfeksi dan menghirup udara yang tercemar oleh bakteri gram negatif penyebab

    Brucellosis yaitu Brucella sp.1

    Brucellosis memiliki dampak ekonomi sangat tinggi berkaitan dengan

    rendahnya produktivitas hewan penderita dan pada manusia karena tingginya

    biaya pengobatan akibat durasi pengobatan yang lama serta dapat mengurangi

    produktivitas penderita. Brucellosis memiliki dampak terhadap kesehatan

    masyarakat di hampir seluruh negara dunia.1

    Food and Agriculture Organization (FAO), World Health Organization

    (WHO) dan Office de Internationale Epizootika (OIE) atau organisasi kesehatan

    hewan se-dunia telah menetapkan bahwa Brucellosis adalah salah satu zoonosis

    yang menular secara cepat dan luas pada hewan ternak dan manusia.2

    Di Indonesia, kasus Brucelosis pada hewan ditemukan pertama kali tahun

    1915 pada sapi di Jawa. Hingga tahun 2014 daerah yang bebas kasus Brucellosis

    pada hewan adalah Riau, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu,

    Bangka Belitung, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan seluruh

    pulau Kalimantan. Pulau Jawa diupayakan akan bebas Brucellosis pada tahun

    2025.3,4

    Mengingat sebagian besar wilayah di Indonesia masih belum bebas

    Brucellosis pada hewan, maka besar kemungkinan risiko penularannya ke

    manusia. Namun kasus Brucellosis manusia di Indonesia masih sulit terdeteksi,

    kasus terakhir yang dilaporkan dari hasil penelitian Sudibyo (1995) terdapat

    antibodi terhadap Brucellosis pada 13,6% serum pekerja kandang sapi perah,

    22.6% pekerja rumah potong babi dan 3% pekerja rumah potong babi.5

    Untuk menuju Indonesia bebas Brucellosis harus memperhatikan konsep

    one health yang membutuhkan kerja sama antara Kementerian Kesehatan dan

    Kementerian Pertanian sehingga penyakit zoonosis seperti Brucellosis dapat

    mudah dikendalikan. Namun belum ada data mengenai pekerja Tempat

  • 2

    Pemerahan Susu (TPS) yang mengalami demam yang dikorelasikan dengan

    kejadian Brucellosis pada hewan serta belum ada data titer antibodi pekerja TPS

    terhadap Brucellosis. Hal tersebut memerlukan penelitian untuk mengetahui

    prevalensi antibodi Brucella pada pekerja TPS dan dapat diketahui keberadaan

    agen penyebab Brucellosis serta dapat dilakukan tindakan pemberantasan dengan

    segera di induk semang Brucellosis, baik pada hewan dan manusia.

    Selain itu, data berupa prevalensi Brucellosis di manusia, yaitu pekerja

    tempat pemerahan susu dapat berguna sebagai data dasar bagi bagian pelaksana

    program sebagai masukan dalam pembuatan penetapan kebijakan terkait dengan

    Brucellosis, sehingga status kesehatan masyarakat, terutama masyarakat para

    peternakan sapi perah akan lebih optimal.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan hal tersebut, penelitian ini dilakukan untuk mengetahui

    apakah pekerja TPS di sentra sapi perah DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah

    dan Jawa Timur memiliki antibodi (Ig G dan Ig M) terhadap Brucella dan apakah

    demam yang terjadi pada pekerja TPS disebabkan karena Brucellosis.

    II. TINJAUAN PUSTAKA

    Brucellosis menjadi salah satu penyakit zoonosis yang mendapat perhatian

    utama dalam upaya pemberantasannya oleh Kementerian Pertanian RI karena

    dampak yang sangat luas dan menimbulkan kerugian ekonomi yang cukup tinggi

    pada hewan ternak serta hingga saat ini seluruh wilayah Indonesia belum bebas

    dari Brucellosis. Ditambah dengan sistem pemeliharaan hewan ternak yang

    dilakukan oleh masyarakat masih secara konvensional dan belum memperhatikan

    aspek kebersihan.2,3

    Brucellosis adalah penyakit yang disebabkan oleh bakteri Brucella sp yang

    dapat menyerang hewan seperti sapi, kambing, domba, babi dan manusia. Hasil

    penelitian terakhir menyebutkan bahwa Brucella dapat menyerang hewan air

    seperti siput. Terdapat 6 spesies Brucella, namun ada 4 spesies yang dapat

    menyerang manusia, yaitu Brucella mellitensis yang terdapat pada kambing dan

  • 3

    domba, B. abortus yang terdapat pada sapi, kerbau dan unta, B. suis terdapat pada

    babi dan tikus, B. canis yang terdapat pada anjing.6

    Brucella memiliki potensi sebagai agen bioterorisme karena

    kemampuannya untuk menular melalui udara dan menyebabkan penyakit yang

    kronis sehingga membutuhkan kombinasi antibiotika dan waktu pengobatan yang

    lama.6

    Prevalensi Brucellosis manusia cukup tinggi diakibatkan kontak yang

    dekat antara hewan dan manusia dan budaya konsumsi minum susu sapi atau

    kambing yang masih mentah. Brucellosis pada manusia juga dikaitkan sebagai

    occupational diseases atau penyakit akibat kerja. Hal ini disebabkan karena

    Brucellosis juga menginfeksi pekerja peternakan seperti peternak, pemerah susu,

    dokter hewan dan mantri hewan yang berhubungan langsung dengan ternak.5

    Seroprevalensi Brucellosis terbanyak pada laki-laki umur 20-45 tahun

    Beberapa studi seroprevalensi Brucellosis di manusia telah dilakukan di beberapa

    negara termasuk di Ethiopia. Kasus Brucellosis menjadi salah satu penyakit yang

    paling banyak berdampak pada kesehatan masyarakat di Afrika. Brucellosis di

    manusia masih endemik di beberapa bagian dunia, seperti di India, Pakistan, Cina

    Tiongkok dan Srilanka. Di Malaysia, pertama kali terdeteksi kasus Brucellosis

    tahun 2010 pada seorang anak umur 6 tahun akibat minum susu kambing

    mentah.6-8

    Brucellosis di manusia terutama terjadi pada 2 jalan, yaitu : 1) makanan,

    mengkonsumsi makanan dan susu non pasterurisasi yang tercemar bakteri

    Brucella, 2) pekerjaan, Brucellosis termasuk salah satu penyakit yang berkaitan

    dengan pekerjaan, kasus penyakit banyak terjadi di dokter hewan, peternak,

    pekerja Rumah Potong Hewan (RPH), pekerja Tempat Pemerahan Susu (TPS),

    para pemotong hewan dan pekerja laboratorium.7-8

    Semakin tinggi kasus Brucellosis di hewan, mengakibatkan semakin tinggi

    kasus Brucellosis di manusia. Adanya kasus Brucellosis pada manusia yang

    memiliki kedekatan dengan hewan ternak mengindikasikan program sanitasi yang

    diterapkan dalam kandang masih kurang baik.4,9-10

  • 4

    Gejala klinis Brucellosis di manusia umumnya tidak spesifik seperti

    demam undulan yaitu demam yang mengalami naik turun, berkeringat, kelemahan

    badan secara umum, sakit kepala, nyeri sendi, dan kadang-kadang penderita

    sering didiagnosa malaria atau influenza.4,5

    Diagnosis a Brucella dapat dilakukan melalui pemeriksaan serum sebagai

    uji penapisan awal. Pemeriksaan serum dilakukan untuk memeriksa adanya

    aglutinasi di dalam serum, jika serum tersebut terdapat antibodi terhadap Brucella.

    Namun sensitivitas pemeriksaan serum belum mencapai 100% karena menurut

    penelitian yang telah dilakukan oleh Sanodze (2015), ditemukan kultur bakteri

    Brucella pada responden yang tidak memiliki gejala klinis terhadap Brucella dan

    hasil pemeriksaan serum negatif terhadap Brucella. Pemeriksaan serum seperti

    aglutinasi tidak sensitif terhadap penderita yang masih terinfeksi tahap awal

    Brucellosis atau bakteremia.11

    III. TUJUAN PENELITIAN

    3.1 TUJUAN UMUM

    Mengetahui prevalensi Brucellosis di manusia pada pekerja TPS sentra

    sapi perah di DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur

    3.2 TUJUAN KHUSUS

    1. Untuk Mengetahui tingkat antibodi (Ig G dan Ig M) Brucella pada pekerja

    TPS

    2. Untuk Mengetahui keberadaan agen penyebab Brucellosis pada sapi dan

    lingkungan kandang

    3. Untuk Mengetahui gejala klinis Brucellosis pada pekerja TPS

    4. Untuk Mengetahui pengetahuan, sikap dan perilaku pekerja TPS terhadap

    kasus Brucellosis

    I. MANFAAT PENELITIAN

    1. Memberikan data dasar untuk bagian program dalam hal pembuatan

    Standard Operational Procedure (SOP), kebijakan dan peraturan terkait

    dengan kesehatan masyarakat di tempat pemerahan susu

  • 5

    2. Memberikan promosi kesehatan lebih lanjut pada pekerja TPS dalam upaya

    meningkatkan kualitas hidup

    3. Dapat ber Terwujudnya koordinasi dengan Kementerian Pertanian dalam hal

    pemberantasan Brucellosis di induk semang penyakit, yaitu di hewan dan

    manusia

    4. Menambah ilmu pengetahuan bagi khasanah ilmiah dalam hal penelitian

    zoonosis, terutama Brucellosis

    5. Dapat dijadikan Sebagai dasar penelitian pendahuluan untuk menjadi

    penelitian lanjut

    V. METODE

    5.1 Kerangka Teori

    Segitiga penyakit terjadinya Brucellosis seperti berikut12

    :

    Kerangka teori di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:, terjadinya

    Brucellosis baik pada hewan dan manusia disebabkan adanya peranan segitiga

    penyakit yaitu ketidakseimbangan antara faktor host (sapi, babi dan kambing),

    agen penyakit (Brucella sp) dan lingkungan kandang yang buruk sehingga dapat

    menjadi tempat yang ideal untuk Brucella sp berkembang biak dan hidup, seperti

    tingkat sanitasi buruk, kepadatan hewan dalam kandang, praktek kebersihan yang

    dijalankan oleh operator kandang rendah. Adanya ketidakseimbangan faktor itu

    Induk semang utama

    Brucellosis

    Manusia Sanitasi kandang

    buruk

    Manajemen

    pemeliharaan jelek

    Kebersihan pekerja

    kandang rendah

    Agen penyakit

    Bakteri Brucella sp

  • 6

    menyebabkan terjadinya Brucellosis pada hewan yang dapat menular ke

    manusia.12

    5.2 Kerangka Konsep

    Kerangka konsep di atas menjelaskan hubungan antara variabel bebas

    dengan variabel terikat. Ada tidaknya titer antibodi Brucella di pekerja TPS

    sebagai variabel terikat tergantung dari variabel bebas yaitu jumlah kasus

    Brucellosis di hewan, lama kontak dengan hewan, frekuensi minum susu tanpa

    pasteurisasi, kondisi lingkungan kandang, kelengkapan pemakaian pakaian dan

    peralatan selama bekerja di dalam TPS dan frekuensi kontak dengan limbah asal

    hewan.

    5.3 Desain dan Jenis Penelitian

    Desain penelitian cross sectional

    5.4 Tempat dan Waktu

    Penelitian dilakukan di Tempat Pemerahan Susu Sapi Perah (TPS) yang

    berada di Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Provinsi Jawa Tengah dan

    Pekerja TPS :

    Ada gejala

    klinis

    Tanpa gejala

    klinis

    Kasus Brucellosis

    di hewan

    Titer

    antibodi

    Kasus

    Brucellosis

    di manusia

    Penularan secara :

    per oral (minum susu tidak

    terpasteurisasi)

    kontak langsung dengan

    hewan penderita Brucellosis

    inhalasi

    Diagnosa

    pasti

  • 7

    Provinsi Jawa Timur. Penelitian akan dilakukan pada bulan April – Desember

    2016.

    5.5 Populasi dan Sampel

    Populasi adalah semua orang yang bekerja TPS di Provinsi DKI Jakarta, Jawa

    Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur

    Sampel adalah pemerah susu, dokter hewan dan pembersih kandang pada TPS di

    Provinsi DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur

    5.6 Besar Sampel, Cara Pemilihan dan Penarikan Sampel

    Sampel:

    Prevalensi kasus Brucellosis pada manusia yang diambil sebagai acuan pada

    penelitian ini adalah sebesar 14,.9% yaitu kasus prevalensi brucellosis pada

    manusia di Malaysia, berdasarkan literatur terbaru tahun 2014.7

    Rumus besar sampel didasarkan pada uji estimasi proporsi adalah :

    [ Z2

    1-α/2 p (1-p)

    n =

    Keterangan :

    p = proporsi kasus Brucellosis pada pekerja TPS (0,14)4

    d = simpangan mutlak (5%)

    Z2

    1-α/2 = nilai deviat baku Z pada derajat kesenjangan tertentu

    Deff = 2

    Berdasarkan rumus di atas, maka didapatkan nilai n yaitu 9,.8, dilakukan

    pembulatan sehingga nilai n adalah 10, ditambah dengan 10% derajat kesalahan

    maka jumlah sampel adalah 11 responden di tiap-tiap TPS.

    Tehnik sampling :

    Dari 46 TPS yang akan diteliti, jumlah total responden yang dibutuhkan di dalam

    penelitian ini sebanyak 506 responden.13

    d2

    X Deff

  • 8

    Cara Pengambilan Sampel :

    Cara pengambilan sampel dilakukan secara stratified sampling, yang

    dilakukan pemilihan mulai dari tingkat provinsi, lalu ke kabupaten kemudian

    turun ke TPS, sebagai berikut ini :

    Pemilihan Provinsi

    Penelitian dilakukan pada 4 provinsi terpilih yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat,

    Jawa Tengah dan Jawa Timur karena sapi perah di Indonesia sebagian besar

    terdapat di pulau Jawa.

    Pemilihan Kabupaten

    Masing-masing provinsi dipilih beberapa kabupaten terpilih berdasarkan jumlah

    populasi sapi perah terbanyak; , dimana pada provinsi Jawa Barat terpilih Garut

    dan Lembang, provinsi Jawa Tengah di kabupaten Boyolali dan provinsi Jawa

    Timur terpilih kabupaten Pasuruan dan Batu. Setelah mendapatkan diperoleh

    kabupaten terpilih maka dicari jumlah TPS yang ada di tiap-tiap kabupaten.

    Pemilihan TPS

    Terdapat 3 TPS yang terdapat di daerah Pondok Ranggon, Jakarta Timur dan

    Mampang, Jakarta Selatan Provinsi DKI Jakarta, 13 TPS di daerah Lembang dan

    Garut Provinsi Jawa Barat, 10 TPS di daerah Boyolali Provinsi Jawa Tengah dan

    20 TPS di daerah Pasuruan, Malang dan Batu Provinsi Jawa Timur.9 Sehingga

    total sebanyak 46 TPS. TPS yang digunakan sebagai lokasi penelitian adalah TPS

    milik rakyat yang dikelola secara tradisional.

    Pemilihan Sampel

    Responden yang terpilih sebagai sampel di tiap-tiap TPS dilakukan melalui

    systematic random sampling untuk pekerja TPS sedangkan sampel berupa dokter

    hewan diambil seluruhnya per TPS.

    5.7 Kriteria inklusi dan eksklusi

    Kriteria inklusi: pekerja TPS yang memiliki kasus Brucellosis di hewan, memiliki

    riwayat demam undulan, berumur 20-60 tahun, kontak dengan sapi perah atau

    meminum susu sapi atau kontak dengan ekskreta sapi perah dalam kurun waktu 1-

    2 bulan terakhir

  • 9

    Kriteria eksklusi: pekerja TPS yang memiliki kelainan darah, pekerja TPS yang

    minum obat pengencer darah.5.8 Variabel

    Variabel bebas: kasus Brucellosis di hewan, lama kontak dengan hewan, frekuensi

    minum susu tanpa pasteurisasi, kondisi lingkungan kandang, kelengkapan

    pemakaian pakaian dan peralatan selama bekerja di dalam TPS, frekuensi kontak

    dengan limbah asal hewan, pengetahuan, sikap dan perilaku pekerja TPS terhadap

    brucellosis sebagai penyakit zoonosis.

    Variabel terikat: titer antibodi Brucellosis di pekerja TPS, titer antigen Brucella di

    pekerja TPS

    5.9 Definisi Operasional

    Tabel 1. Definisi Operasional Penelitian

    Variabel Definisi

    Operasional

    Metode

    Penentuan

    Acuan Nilai

    positif

    Skala

    Pengukuran

    Variabel Bebas

    Kasus

    Brucellosis di

    hewan, lama

    kontak

    Jumlah kasus

    Brucellosis

    pada hewan

    yang tecatat

    dalam buku

    kesehatan

    hewan

    Pengamatan

    fisik, data

    sekunder

    P.H Bamaiyi,

    (2014)7

    Persentase Ordinal

    Demam undulan

    di pekerja

    Demam yang

    memiliki

    grafik naik

    turun yang

    disertai

    dengan gejala

    nyeri sendi

    dan

    kelemahan

    tubuh

    Wawancara

    dan pengisian

    kuesioner

    Arvas,et al.

    (2013)14

    Nominal

    Lingkungan Lingkungan

    kandang yang

    memiliki

    tingkat

    sanitasi rendah

    Pengamatan

    fisik

    P.H Bamaiyi,

    (2014)7

    Ordinal

    Variabel Terikat

    Pengetahuan

    mengenai

    Brucellosis

    Pengetahuan

    adalah tingkat

    sejauh mana

    seseorang

    mengetahui

    tentang

    Pengisian

    kuesioner

    Notoatmojo,

    (1997)15

    Nominal

  • 10

    Sikap

    Brucellosis

    Persepsi

    seseorang

    tentang

    sesuatu yang

    diyakini

    Pengisian

    kuesioner

    Notoatmojo,

    (1997)15

    Nominal

    Perilaku

    meminum susu

    sapi mentah

    Perilaku

    meminum

    susu sapi

    tanpa

    dilakukan

    tindakan

    pasteurisasi

    terlebih

    dahulu seperti

    direbus

    Pengisian

    kuesioner

    Rahman,

    (2014)9

    Nominal

    Perilaku

    memerah susu

    Perilaku

    pekerja TPS

    yang sesuai

    dengan SOP

    pemerahan

    susu yang

    higienis

    Pengisian

    kuesioner

    Rahman,

    (2014)9

    Nominal

    Perilaku kontak

    dengan sapi

    perah

    Perilaku

    pekerja TPS

    yang tidak

    memakai

    pelindung diri

    dan tidak

    menjaga

    kebersihan

    hewan dan

    kandang

    Pengisian

    kuesioner

    Rahman,

    (2014)9

    Nominal

    5.10 Instrumen dan Cara Pengambilan Data

    Total serum yang dibutuhkan untuk uji RBT dan ELISA sebanyak 130 µ.

    Sehingga pekerja TPS diambil darah sebanyak 3 ml, kelebihan serum akan

    disimpan sebagai Bahan Biologi Tersimpan (BBT). Sampel darah diletakkan di

    dalam tabung, dibiarkan beberapa jam agar membentuk bekuan darah, serum yang

    terbentuk disimpan dalam suhu -200C dan akan melalui dua tahapan uji yaitu RBT

    dan ELISA. Pengisian kuesioner akan dilakukan oleh tenaga terlatih dari Pusat

    Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan (PBTDK).

    Pengujian yang akan dilakukan antara lain :

    1. Uji Rose Bengal (RBT test)

    Uji RBT akan positif pada kasus Brucellosis yang akut. Uji dilakukan oleh

    tenaga laboran dari laboratorium Bakteriologi PBTDK Balitbang Kemenkes.

    Prosedur uji RBT adalah sebagai berikut ini : 30 µl serum yang sudah dikoleksi

  • 11

    diteteskan pada plate kemudian dicampur dengan antigen Brucella dengan jumlah

    yang sama, sehingga percampurannya membentuk diameter sebesar 2 cm. Serum

    dan antigen dicampur menggunakan pengaduk, kemudian plate digoyang-

    goyangkan dengan tangan selama 4 menit, selanjutnya akan terlihat proses

    aglutinasi jika serum mengandung antibodi Brucella. Tingkat aglutinasi akan

    disesuaikan dengan kriteria sebagai berikut : 0 = tidak terdapat aglutinasi, + =

    aglutinasi hanya sedikit, ++ aglutinasi terlihat sebagian, +++ = aglutinasi terlihat

    sangat jelas.

    Sampel yang memiliki tingkat aglutinasi sebesar + dikatakan positif Brucella.

    Setelah dilakukan uji RBT, dilanjutkan dengan uji ELISA untuk konfirmasi

    2. Uji ELISA

    Uji ELISA digunakan untuk mengetahui kasus Brucellosis kronis dan

    adanya komplikasi penyakit yang menyertai. Uji ELISA ini memakai Brucellosis

    Ig G dan Ig M komersial kit dari PANBIO (Windsar, Brisbane, Australia).5

    Nilai

    index yang didapatkan akan dikelompokkan menjadi negatif jika 11. Secara keseluruhan uji ELISA memakan waktu selama 2,5 jam.

    Serum yang dibutuhkan per sampel sebanyak 100 µ.

    5.11 Bahan dan Prosedur Kerja

    Bahan yang diperlukan dalam penelitian ini adalah Reagen RBT,

    Brucellosis Ig G dan Ig M komersial ELISA kit dari IDEXX, serum darah

    responden dan alkohol.

    1. Skema Prosedur kerja

    Lokasi TPS yang ditentukan : total 46 TPS

    Urus Proses ijin etik

    penelitian

    Urus Proses ijin penelitian : Kemendagri pusat, provinsi dan kabupaten : Jakarta Timurs,

    Lembang, Bandung, Garut, Boyolali, Semarangdan Malang

  • 12

    Gambar 1. Prosedur kerja

    Keterangan :

    Penelitian dimulai jika sudah mendapat ijin etik dari Komisi Etik Balitbangkes

    dan ijin penelitian di masing-masing daerah dari Kesbangpol setempat yang

    berawal dari ijin Kementerian Dalam Negeri Pusat. Pengurusan ijin penelitian

    dibantu oleh anggota tim dari daerah. Pelaksanaan penelitian di daerah juga

    dibantu oleh anggota tim dari daerah yang meliputi petugas puskesmas dalam hal

    pengambilan sampel darah dan penanganan serum. Penanganan serum dilakukan

    di masing-masing lokasi dengan alat sentrifus oleh anggota tim pusat. Penunjukan

    anggota tim dari puskesmas yang terlibat dalam penelitian dilakukan oleh petugas

    dinas kesehatan kabupaten setempat. Anggota tim daerah lainnya berasal dari

    Dinas Peternakan setempat yang bertugas dalam hal memastikan kelancaran

    pelaksanaan penelitian dan berkoordinasi dengan Koperasi Peternakan Sapi Perah

    Pekerja TPS yang memenuhi kriteria inklusi

    1. Menulis kuesioner terstruktur

    2. Diambil darah sebanyak 3 ml

    Serum yang terbentuk

    ELISA

    Pembacaan hasil uji RBT dan ELISA

    Penulisan laporan penelitian

    RBT

    Kultur bakteri

    Hanya dilakukan pada

    responden yang demam

    Pembacaan dan analisis hasil

    Data karakteristik responden,

    pengetahuan, sikap dan perilaku

    kuesioner

  • 13

    setempat.Anggota tim dari pusat bertugas dalam hal mewawancarai pemerah susu

    dan dokter hewan setempat dalam hal pengisian kuesioner dan memastikan serum

    yang terbentuk sesuai dengan sampel yang diinginkan, pengujian laboratorium

    hingga tahap penulisan laporan penelitian.

    Pekerja TPS yang masuk dalam kriteria inklusi diberikan kuesioner

    terstruktur untuk diisi, setelah itu darah diambil sebanyak 3 ml. Darah akan

    diperlakukan untuk mendapatkan serum yang akan digunakan untuk uji RBT dan

    ELISA. Uji kultur bakteri hanya dilakukan pada responden yang sedang

    mengalami demam pada saat pengambilan darah. Uji kultur bakteri dilakukan

    pada sampel berupa plasma darah. Hasil tes akan dibaca dan dianalisis

    dibandingkan dengan hasil kuesioner, dilanjutkan dengan penulisan laporan

    penelitian.

    5.12 Manajemen dan Analisis Data

    Data hasil berupa titer antibodi Brucella akan dianalisis menggunakan

    statistik epidemiologi untuk menentukan tingkat prevalensi Brucellosis pada

    pekerja TPS.

    Data berupa kuesioner diolah melalui SPSS versi 11,5. Karakteristik

    responden dianalisis melalui analisis univariat. Variabel pengetahuan, sikap dan

    perilaku dilakukan skoring. Soal pengetahuan terdiri dari 7 pertanyaan, nilai skor

    tertinggi 8 skor terendah adalah 0. Sehingga total jawaban tertinggi adalah 23 dan

    terendah adalah 0. Soal sikap terdiri dari 7 pertanyaan, nilai skor tertinggi 1 skor

    terendah adalah 0. Sehingga total jawaban tertinggi adalah 7 dan terendah adalah

    0. Soal perilaku terdiri dari 16 pertanyaan, nilai skor tertinggi 4 skor terendah

    adalah 0. Sehingga total jawaban tertinggi adalah 64 dan terendah adalah 0. Data

    kemudian dimasukkan ke SPSS dan diolah, tingkat pengetahuan, sikap dan

    perilaku responden dikelompokkan menjadi 3 kategori yaitu : baik, sedang dan

    kurang.

    VI. HASIL PENELITIAN

    Sebelum dilakukan pengumpulan data, terlebih dahulu dilakukan pre

    survei yang bertujuan untuk mengurus ijin penelitian di tiap-tiap daerah di dalam

  • 14

    hal ini dilakukan di Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (BakesbangPol), Dinas

    Kesehatan dan Dinas Peternakan, membicarakan tentang maksud dan tujuan

    penelitian, menyusun tim anggota dari daerah, mengetahui kasus Brucella di

    hewan, populasi sapi perah, jumlah tempat pemerahan susu dan jumlah peternak

    sapi perah di tiap-tiap daerah.

    Pre-survei telah dilaksanakan di 7 lokasi penelitian sebagaimana tertera di

    dalam Tabel 2 berikut ini :

    Tabel 2. Hasil Pre-survei di Tiap-Tiap Lokasi Penelitian

    Kab/Kota Ijin Penelitian Rakor untuk

    menentukan

    pelaksanaan

    penelitian

    Kasus Brucella

    di hewan

    Jumlah

    sapi

    perah

    (ekor)

    Jml

    Peternak

    (orang) Kesbang

    pol

    Dinkes Disnak

    Jakarta

    Timur

    V V Masih

    tertu-

    tup

    Sudah

    dilaksanakan,

    namun pihak

    Disnak masih

    tertutup sehingga

    membutuhkan

    pendekatan yang

    berkali-kali

    Prevalensi

    Brucella sangat

    besar yaitu

    >10%

    3800 24 orang

    di

    Pondok

    Ranggon

    Bandung

    Barat

    V V V Sudah

    dilaksanakan,

    semua pihak

    sangat kooperatif

    terhadap rencana

    penelitian.

    Penelitian akan

    dilaksanakan di

    peternak anggota

    KPSBU

    Lembang

    Ada, namun

    sudah 2-3 tahun

    lalu

    >100.000 3000-

    7000

    Bandung

    Ja

    V V V Sudah

    dilaksanakan.

    Sangat

    kooperatif.

    Penelitian

    direncanakan di

    peternak anggota

    KPBS

    Pengalengan

    Ada sapi positif

    CFT pada tahun

    2016 di

    Pengalengan

    >50.000 2500-

    6500

    Garut V V V Sudah

    dilaksanakan.

    Rencana

    penelitian di

    peternak kecil

    daerah Cilawu

    karena dekat

    dengan

    puskesmas

    Cilawu

    Ada kasus

    Brucella di

    tahun 2016,

    sebanyak 9 ekor

    sapi positif CFT

    di Cilawu

  • 15

    Semarang V V V Sudah

    dilaksanakan.

    Rencana

    penelitian akan

    dilakukan di

    peternak anggota

    KUD Getasan

    Ada namun

    sudah lama

    terjadi, di atas 5

    tahun yang lalu

    20000 50-100

    Boyolali V V V Sudah

    dilaksanakan.

    Rencana

    penelitian akan

    dilakukan di

    peternak daerah

    Mojosongo dan

    Cepogoh yang

    merupakan

    sentra sapi perah

    dan pembuatan

    olahan susu

    Data dari 2015

    tidak ditemukan

    Brucella

    >100.000 100-200

    Malang V V V Sudah

    dilaksanakan.

    Penelitian akan

    dilakukan di

    Pujon yang

    merupakan area

    kerja Puskesmas

    Pujon.

    Puskesmas Pujon

    sangat antusias

    terhadap

    penelitian ini

    Ada sudah

    terjadi 15 tahun

    yang lalu

    >

    100.000

    60.600

    Hasil dari pre-survei di atas, semua daerah lokasi penelitian pada

    prinsipnya tidak berkeberatan dengan penelitian ini, terutama dinas kesehatan

    yang mayoritas belum mengetahui adanya penyakit Brucella yang bersifat

    zoonosis. Hal tersebut bertolak belakang dengan dinas peternakan yang sudah

    mengetahui Brucella bersifat zoonosis karena Brucella merupakan salah satu

    penyakit zoonosis yang prioritas untuk dimusnahkan di hewan oleh Kementerian

    Pertanian.

    Berdasarkan hal tersebut dinas peternakan di semua lokasi sangat

    menyambut baik adanya penelitian ini, terbukti anggota tim dari daerah adalah

    dinas peternakan yang bertugas membantu memilih calon responden yang

    merupakan peternak binaan dan menjembatani komunikasi antara peneliti dengan

    peternak. Penentuan lokasi penelitian juga dibantu oleh dinas peternakan,

  • 16

    sehingga beban pekerjaan yang paling besar di dalam pre survei terletak pada

    dinas peternakan.

    Dinas kesehatan membantu pada saat pengumpulan data dimana

    membutuhkan tenaga pengambilan darah dan mengolah darah responden menjadi

    serum yang merupakan tugas dan tanggung jawab dinas kesehatan. Pada

    pelaksanaan penelitian ini, tugas tersebut dilaksanakan oleh tenaga laboran dari

    puskesmas setempat.

    Berdasarkan dari hasil presurvei, didapatkan frame sampling yang berupa

    jumlah TPS yang berbeda di tiap-tiap daerah. Jumlah responden di tiap daerah

    sebanyak n x jumlah TPS yang ada, sesuai dengan tabel berikut ini dimana n

    adalah 11.

    Tabel 3. Frame Sampling Penelitian

    Kabupaten Jumlah TPS Jumlah responden (n x jml TPS)

    DKI Jakarta 3 33

    Bandung 7 77

    Bandung Barat 8 88

    Garut 5 55

    Semarang 5 55

    Boyolali 8 88

    Malang 10 110

    Jumlah Total 46 506

    Sehubungan dengan adanya kebijakan Pemerintah terkait efisiensi

    anggaran belanja negara yang diberlakukan sejak September 2016, maka

    pengumpulan data baru sempat dilakukan di dua lokasi penelitian, yaitu di

    kabupaten Boyolali dan kabupaten Garut. Responden yang sesuai dengan kriteria

    inklusi di kabupaten Boyolali dan kabupaten Garut masing-masing sebanyak 92

    orang dan 57 orang, sehingga total responden adalah 149 orang. Tahapan

    pemeriksaan yang dilakukan di laboratorium tidak lengkap, yaitu hanya tahap

    pemeriksaaan anti antibodi dan komplemen, sedangkan tahap pemeriksaan

    selanjutnya yaitu titer antibodi Brucella dan kultur bakteri Brucella tidak

    dilakukan, terkait adanya efisiensi dana penelitian yang menimpa penelitian ini.

  • 17

    VI.1 Hasil Uji RBT dan CFT

    Hasil uji RBT pada kabupaten Boyolali, dari 92 responden ditemukan 3

    responden positif 3 (+++) yang ditandai dengan aglutinasi pasir secara cepat

    terbentuk pada saat serum diteteskan reagen RBT. Hasil uji RBT pada kabupaten

    Garut, dari 56 responden ditemukan 4 responden positif 3 (+++) yang ditandai

    dengan aglutinasi pasir secara cepat terbentuk pada saat serum diteteskan reagen

    RBT. Hasil uji RBT dikonfirmasi dengan uji CFT untuk peneguhan diagnosa

    terhadap Brucella. Bentuk aglutinasi yang terjadi pada uji RBT dan CFT dapat

    dilihat pada gambar berikut ini :

    Gambar 2. Hasil Pemeriksaan RBT. Aglutinasi terlihat pada lubang kedua (panah)

    Gambar 3. Hasil Pemeriksaan CFT. Titik aglutinasi terlihat jelas di dasar lubang

    sumuran (panah)

    Hasil pemeriksaan RBT dan CFT responden Boyolali dan Garut

    dirangkum secara jelas pada Tabel 4 berikut ini.

  • 18

    Tabel 4. Hasil Uji RBT dan CFT

    Jumlah responden RBT CFT

    + (orang) - (orang) + (orang) - (orang)

    92 (Boyolali) 3 (3,3%) 89 (96,7%) 0 (0%) 92 (100%)

    57 (Garut) 4 (7,01%) 53 (92,9%) 3 (5,3%) 54 (94,7%)

    Jumlah responden di Boyolali pada pemeriksaan RBT didapatkan hasil

    3,3% positif Brucella, dan menurun menjadi 0% pada pemeriksaan CFT. Jumlah

    responden Garut semula pemeriksaan RBT menunjukkan hasil 7,01% positif

    Brucella, kemudian dikonfirmasi dengan pemeriksaan CFT untuk peneguhan

    diagnosisa terhadap Brucella, didapatkan hasil sebanyak 5,3% positif terinfeksi

    Brucella. Jika dikorelasikan dengan kuesioner yang ada, mayoritas responden

    yang positif CFT itu pada saat dilakukan penelitian tidak terdapat ditemukan

    gejala klinis Brucella.

    VI.2 Karakteristik Responden

    Pada penelitian ini diketahui karakteristik responden berdasarkan jenis

    kelamin, usia, pekerjaan, lama bekerja di kandang, kepemilikan sapi, tingkat

    pendidikan dan penghasilan. Karakteristik responden dibagi 2 berdasarkan lokasi

    penelitian yaitu di Boyolali dan Garut, terlihat pada tabel berikut ini

    Tabel 5. Distribusi Menurut Karakteristik Responden di Boyolali

    No Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)

    1 Jenis Kelamin

    1. Laki-laki 66 71.7 2. Perempuan 26 28.3 2 Umur

    1. < 30 tahun 7 7.6 2. 30-39 tahun 17 18.5 3. 40-49 tahun 26 28.3 4. > 50 tahun 42 45.7 3 Pekerjaan Utama

    1. Dokter Hewan 6 6.6 2. Pemerah susu 38 41.8 3. Pembersih kandang 7 7.7 4. Paramedik 7 7.7 5. Pengolah susu 6 6.6

  • 19

    6. Lainnya 27 29.7 4 Pendidikan responden

    1. Tidak sekolah 1 1.1 2. Tidak tamat SD 4 4.3 3. Tamat SD 31 33.7 4. Tamat SLTP 14 15.2 5. Tamat SLTA 27 29.3 6. Tamat Perguruan Tinggi 13 14.1 7. Lainnya 2 2.2 5 Status kepemilikan sapi

    1. Milik sendiri 64 72.7 2. Milik orang lain 22 25.0 3. Tidak punya sapi 6 2.3

    6 Lama bekerja di kandang

    1. < 1 tahun 2 2.6 2. 1-5 tahun 12 15.6 3. 6-10 19 24.7 4. >10 tahun 44 57.1 7 Pendapatan per bulan

    1. < Rp. 1.000.000 20 21.8

    2. Rp.1.000.000 – Rp. 2000.000 29 31.5 3. Rp. 2000.000 – Rp.3000.000 28 30.4 4. > Rp. 3.000.000 15 16.3 8 Apakah di dalam keluarga ada

    riwayat abortus atau lahir

    prematur?

    1. Ya 15 16.3 2. Tidak 77 83.7 9 Pernah mengalami demam yang

    naik turun dalam 3 bulan

    terakhir ?

    1. Ya 10 11.0 2. Tidak 68 74.7 3. Kadang-kadang 13 14.3

    Terlihat dari Tabel 6, mayoritas responden di Boyolali berjenis kelamin

    laki-laki, berumur di atas 50 tahun, memiliki pekerjaan utama sebagai pemerah

    susu, berpendidikan tamat SD dan lama bekerja di atas 10 tahun.

    Tabel 6. Tabel Distribusi Menurut Karakteristik Responden di Garut

    No Karakteristik Responden Jumlah (n) Persentase (%)

    1 Jenis Kelamin

    1. Laki-laki 28 50 2. Perempuan 28 50 2 Umur

    1. < 30 tahun 11 19.6 2. 30-39 tahun 11 19.6 3. 40-49 tahun 21 37.5 4. > 50 tahun 13 23.2 3 Pekerjaan Utama

    1. Dokter Hewan 0 0

  • 20

    2. Pemerah susu 43 76.8 3. Pembersih kandang 5 8.9 4. Paramedik 2 3.6 5. Pengolah susu 3 5.4 6. Lainnya 3 5.4 4 Pendidikan responden

    1. Tidak tamat SD 12 21.4 2. Tamat SD 33 58.9 3. Tamat SLTP 8 14.3 4. Tamat SLTA 2 3.6 5. Tamat Perguruan Tinggi 1 1.8 5 Status kepemilikan sapi

    1. Milik sendiri 44 78.6 2. Milik orang lain 12 21.4 6 Lama bekerja di kandang

    1. < 5 tahun 6 10.9 2. 5-10 tahun 17 30.9 3. >10 tahun 32 58.2 7 Pendapatan per bulan

    1. < Rp. 1.000.000 10 17.9

    2. Rp.1.000.000– Rp. 2.000.000 31 55.4 3. Rp. 2000.000 – Rp.3000.000 9 16.1 4. > Rp. 3.000.000 6 10.7 8 Apakah di dalam keluarga ada

    riwayat abortus atau lahir

    prematur?

    1. Ya 4 7.1 2. Tidak 52 92.9 9 Pernah mengalami demam yang

    naik turun dalam 3 bulan

    terakhir ?

    1. Ya 4 7.1 2. Tidak 52 92.9 3. Kadang-kadang 0 0

    Secara garis besar karakteristik responden di Boyolali dan Garut terdapat

    kesamaan, yaitu mayoritas berjenis kelamin laki-laki, berusia 40-49 tahun,

    berpendidikan tamat SD, pekerjaan utama sebagai pemerah susu, memiliki sapi

    perah, lama bekerja di atas 10 tahun, berpendapatan sebesar Rp 1.000.000 – Rp

    2.000.000, tidak memiliki riwayat abortus di dalam keluarga dan tidak pernah

    mengalami demam yang naik turun dalam 3 bulan terakhir.

    Selain karakteristik responden, diketahui juga karakteristik sapi seperti

    terlihat di dalam Tabel 7 berikut ini :

    Tabel 7. Karakteristik Sapi Perah di Boyolali

    No Karakteristik Sapi Perah Jumlah (n) Persentase (%)

    1 Riwayat abortus

    1. Ya 4 5.2 2. Tidak 73 94.8

  • 21

    2 Divaksinasi Brucella

    1. Ya 52 67.5 2. Tidak 25 32.5 3 Lama Dipelihara

    1. < 3 bulan 3 3.8 2. 3-6 bulan 10 12.7 3. > 6 bulan 65 82.3 4 Sumber sapi

    1. Pasar lokal 67 88.2 2. Warisan 7 9.2 3. Pemerintah 2 2.6 5 Jumlah sapi yang dimiliki

    1. < 5 36 42.4 2. 5-10 38 44.7 3. >10 11 12.9 6 Rerata umur sapi

    1. < 1 tahun 61 79.2 2. 1-5 tahun 15 19.5 3. >5 tahun 1 1.3 7 Produksi susu (per hari)

    1. 1-5 liter 15 22.4

    2. 6-10 liter 26 38.8 3. > 10 liter 26 38.8

    Mayoritas sapi perah di Boyolali, tidak memiliki riwayat abortus, sudah

    divaksinasi Brucella, lama dipelihara di atas 6 bulan, berasal dari pasar lokal

    Boyolali, berusia di bawah 1 tahun dan memiliki produksi susu di atas 10 liter.

    Tabel 8. Karakteristik Sapi Perah di Garut

    No Karakteristik Sapi Perah Jumlah (n) Persentase (%)

    1 Riwayat abortus

    1. Ya 8 14.8 2. Tidak 46 85.2 2 Divaksinasi Brucella

    1. Ya 6 11.1 2. Tidak 48 88.9 3 Lama Dipelihara

    1. < 3 bulan 0 0 2. 3-6 bulan 1 1.9 3. > 6 bulan 53 98.1 4 Sumber sapi

    1. Pasar lokal 34 63.0 2. Luar daerah 1 provinsi 13 24.1 3. Beda provinsi 4 7.4 4. Warisan 1 1.9 5. Pemerintah 2 3.7 5 Jumlah sapi yang dimiliki

    1. < 5 26 48.1 2. 5-10 25 46.3 3. >10 3 5.6 6 Rerata umur sapi

    1. < 1 tahun 1 1.9 2. 1-5 tahun 39 72.2

  • 22

    3. >5 tahun 14 25.9 7 Produksi susu

    1. 1-5 liter 1 1.9

    2. 6-10 liter 1 1.9 3. > 10 liter 52 96.3

    Secara umum terdapat kesamaan karakteristik sapi perah di Boyolali dan

    Garut, yaitu sebagian besar tidak memiliki riwayat abortus dan lama sapi

    dipelihara di atas 6 bulan. Perbedaan yang tampak jelas bahwa sapi di Garut

    sebagian besar tidak divaksin Brucella dan sedang dalam usia produksi susu yaitu

    umur 1-5 tahun

    VI.3 Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Responden

    Pengetahuan, sikap dan perilaku responden terhadap Brucellosis pada

    manusia diukur memakai kuesioner. Kuesioner terbagi atas 3 blok pertanyaan

    yang masing-masing untuk mengetahui tingkat pengetahuan, sikap dan perilaku

    responden. Pertanyaan yang diajukan dan rerata skor tertinggi responden terhadap

    tiap-tiap pertanyaan terlihat di dalam tTabel 9 berikut ini :

    Tabel 9. Daftar Pertanyaan Untuk Mengetahui Tingkat Pengetahuan Responden

    Terhadap Brucellosis pada Manusia

    No Pertanyaan Rerata nilai responden Nilai tiap

    pertanyaan Boyolali Garut

    1 Apakah Saudara pernah mendengar tentang

    penyakit brucellosis/keguguran/keluron/demam

    undulan?

    0.68

    0.43

    1

    2 Darimana Saudara mendapat informasi tentang

    penyakit brucellosis?

    1.24

    0.7

    8

    3 Menurut Saudara, apakah penyakit Brucellosis

    dapat menular ke manusia ?

    0.75

    0.8

    2

    4 Menurut Saudara apakah yang menyebabkan

    seseorang tertular oleh Brucellosis?

    0.82

    1.21

    3

    5 Sebutkan tanda-tanda orang yang terjangkit

    penyakit Brucellosis

    1.24

    1.14

    5

    6 Menurut Saudara apakah Brucellosis pada

    manusia dapat diobati dengan… (pilihan)

    0.66

    0.75

    1

    7 Menurut Saudara apa upaya pencegahan untuk

    terhindar dari Brucellosis?

    2.33

    2.59

    3

    Tabel 9 di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden di Boyolali

    memiliki nilai terendah pada pertanyaan nomor 6 mengenai pengobatan Brucella.

  • 23

    Nilai tertinggi terletak pada pertanyaan nomor 7 mengenai upaya pencegahan

    terhadap Brucellosis. Mayoritas responden di Garut memiliki nilai terendah pada

    pertanyaan nomor 1 mengenai tingkat pengetahuan terhadap Brucellosis pada

    manusia. Nilai tertinggi pada pertanyaan nomor 7 mengenai upaya pencegahan

    terhadap Brucellosis.

    Tabel 10. Daftar Pertanyaan Untuk Mengetahui Sikap Responden Terhadap

    Brucellosis pada Manusia

    No Pertanyaan Rerata nilai responden Nilai tiap

    pertanyaan Boyolali Garut

    1 Menjaga kebersihan kandang tidak penting

    karena tidak mempengaruhi kesehatan sapi dan

    manusia

    0.87

    0.68

    1

    2 Minum susu sapi mentah dapat terhindar dari

    Brucellosis

    0.63

    0.57

    1

    3 Mencuci tangan dengan sabun sehabis

    menyentuh sapi sangat penting

    0.97

    1

    1

    4 Tidak perlu membersihkan puting susu sapi

    dengan desinfektan setelah memerah sapi

    0.64

    0.64

    1

    5 Meminum susu sapi sangat penting untuk

    menjaga kesehatan tubuh, terutama untuk anak-

    anak

    0.98

    0.95

    1

    6 Limbah kotoran sapi tidak harus diolah menjadi

    pupuk

    0.36

    0.52

    1

    Tabel 10 di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden di Boyolali

    memiliki nilai terendah pada pertanyaan nomor 6 mengenai penanganan limbah

    kotoran sapi. Nilai tertinggi terletak pada pertanyaan nomor 5 mengenai sikap

    yang setuju bahwa meminum susu sapi penting untuk kesehatan. Mayoritas

    responden di Garut juga memiliki nilai terendah pada pertanyaan nomor 6. Nilai

    tertinggi pada pertanyaan nomor 3 mengenai sikap cuci tangan setelah kontak

    dengan sapi.

    Tabel 11. Daftar Pertanyaan Untuk Mengetahui Perilaku Responden Terhadap

    Brucellosis pada Manusia

  • 24

    No Pertanyaan Rerata nilai responden Nilai tiap

    pertanyaan Boyolali Garut

    1 Sapi dikandangkan setiap hari? 3.46

    3.68

    4

    2 Sapi tidak selalu dimandikan setiap hari? 2.27

    1.27

    4

    3 Kandang selalu dibersihkan setiap hari? 3.41 3.48 4 4 Peralatan kandang dipakai untuk membersihkan

    kandang?

    3.42

    3.34

    4

    5 Menggunakan desinfektan setiap membersihkan

    kandang?

    0.85

    1.11

    4

    6 Tidak perlu menggunakan desinfektan pada

    putting susu setelah memerah sapi?

    2.47

    2.88

    4

    7 Sebelum memerah susu, seluruh peralatan

    sudah bersih?

    3.37

    3.5

    4

    8 Sapi sudah dimandikan sebelum memerah susu? 0.76 2.48 4

    9 Tidak perlu cuci tangan sehabis kontak dengan

    sapi?

    2.08

    1.93

    4

    10 Selalu memakai masker saat berada di dalam

    kandang sapi?

    1.05

    0.07

    4

    11 Sapi yang abortus dipisahkan dari teman

    sekandang

    1.37

    0.86

    4

    12 Limbah berupa kotoran sapi dan urine tidak

    diolah untuk menjadi pupuk?

    1.848

    3.321

    4

    13 Limbah berupa kotoran sapi dan urine langsung

    dibuang keluar kandang?

    2.761

    2.411

    4

    14 Kotoran sapi dan urine ditampung? 2.609 1.464 4

    15 Sumber air di kandang selalu dijaga

    kebersihannya?

    3.37

    3.375

    4

    16 Segera berobat ke puskesmas terdekat atau

    tenaga medis jika mengalami demam yang naik

    turun

    3.239

    2.857

    4

    Tabel 11 di atas menunjukkan bahwa mayoritas responden di Boyolali

    memiliki nilai terendah pada pertanyaan nomor 8 mengenai perilaku responden

    apakah memandikan sapi terlebih dahulu sebelum diperah susu. Nilai tertinggi

    terletak pada pertanyaan nomor 1 mengenai perilaku mengandangkan sapi setiap

    hari. Mayoritas responden di Garut juga memiliki nilai terendah pada pertanyaan

    nomor 10 mengenai perilaku memakai masker di dalam kandang sapi. Nilai

    tertinggi juga pada pertanyaan nomor 1 mengenai perilaku mengandangkan sapi

    setiap hari.

  • 25

    Perbedaan yang mendasar perilaku responden di Boyolali dan Garut

    adalah pada poin sapi dimandikan tiap hari. Di Boyolali secara geografis memiliki

    keterbatasan sumber air sehingga sapi hanya dimandikan maksimal sebanyak dua

    kali dalam satu bulan.

    Mayoritas peternak belum mengolah limbah feses dan urin menjadi pupuk

    karena keterbatasan sarana infrastruktur. Limbah feses hanya didiamkan di dalam

    kandang untuk kemudian dalam periode tertentu diambil dan langsung dijual ke

    petani. Peternak juga belum memakai Alat Perlengkapan Diri (APD) yang cukup

    memadai selama bekerja di dalam kandang, seperti tidak memakai masker. Sapi

    abortus juga tetap diletakkan di dalam satu kandang bersama sapi lainnya, dimana

    perilaku ini paling banyak ditemukan di Garut. Mayoritas responden juga tidak

    segera berobat ke puskesmas jika sakit, terutama di Garut.

    Pengetahuan, sikap dan perilaku responden dilakukan skoring terlebih

    dahulu yaitu baik, sedang dan buruk. Rerata nilai pengetahuan, sikap dan perilaku

    responden di Boyolali dan Garut terlihat pada tabel 12 berikut ini :

    Tabel 12. Rerata Tingkat Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Responden Terhadap

    Brucellosis Pada Manusia

    Data kemudian diuji normalitas data untuk mengetahui apakah data

    tersebut berdistribusi normal atau tidak. Setelah diuji, terlihat nilai p

  • 26

    responden diuji melalui uji statistik Chi Square, seperti terlihat pada tabel berikut

    ini :

    Tabel 13. Nilai p Variabel Pengetahuan, Sikap dan Perilaku

    Variabel Nilai p

    Boyolali Garut

    Pengetahuan VS Sikap 0,516 0,901

    Pengetahuan VS Perilaku 0,1 0,320

    Sikap VS Perilaku 0,757 0,724

    Terlihat nilai p semua variabel lebih dari 0,05 yang berarti tidak ada

    hubungan antara pengetahuan dengan sikap, pengetahuan dengan perilaku dan

    sikap dengan perilaku responden terhadap Brucellosis di manusia.

    VII. PEMBAHASAN

    Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Rahman, dkk faktor

    risiko Brucellosis pada manusia adalah jenis kelamin, umur dan tipe pekerjaan.

    Penderita brucellosis lebih banyak pada laki-laki, berusia antara 39-50 tahun dan

    bekerja di peternakan.9 Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian ini dimana

    yaitu responden yang positif pada uji CFT berjenis kelamin laki-laki, berusia 40-

    49 tahun dan bekerja sebagai pemerah susu.

    Penularan Brucella dari hewan ke manusia dapat melalui per oral yaitu

    mengkonsumsi susu mentah yang tidak dimasak terlebih dahulu, kontak langsung

    dengan hewan penderita melalui luka pada kulit dan membrane mukosa serta

    melalui jalur pernafasan.16

    Pada penelitian ini, kemungkinan responden tertular

    Brucellosis melalui kontak langsung dengan hewan penderita dan per inhalasi

    mengingat rerata lama bekerja di peternakan sebanyak lebih dari 10 tahun dan

    sapi belum divaksinasi Brucella.

    Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Njeru, et

    al bahwa dosis infektif Brucellosis ke manusia adalah dosis rendah, sehingga

    seseorang baru dapat terinfeksi Brucella jika terpapar dalam jangka waktu yang

    lama, sehingga gejala klinis yang terlihat pada seseorang yang memiliki uji CFT

    positif terhadap Brucella adalah asimptomatik.17

    Dimana Pada penelitian ini,

    yang telah kami lakukan, mayoritas responden yang terinfeksi memiliki lama

    waktu bekerja di dalam kandang di atas 10 tahun. Sehingga dapat dikatakan

  • 27

    bahwa ambang batas maksimal seseorang agar terhindar dari infeksi Brucella

    adalah di bawah 10 tahun. Gejala klinis yang asimptomatik juga terdapat di dalam

    penelitian ini; , dimana mayoritas responden yang positif CFT tidak memiliki

    gejala klinis yang khas terhadap Brucella. Hanya kadang-kadang saja responden

    mengaku menderita demam yang naik turun, dan data riwayat abortus maupun

    kematian prematur di dalam keluarga juga tidak ada.

    Pekerjaan yang berisiko tinggi tertular Brucellosis adalah dokter hewan,

    mantri hewan, peternak, pemerah susu, pembersih kandang, pengolah susu dan

    pekerja Rumah Potong Hewan (RPH). Anggota keluarga penderita Brucellosis

    juga berisiko tinggi dapat tertular jika hewan dipelihara dekat dengan tempat

    tinggal.18

    Terbukti pada hasil penelitian ini, pekerjaan yang berisiko tinggi tertular

    adalah pemerah susu karena 3 responden yang terinfeksi Brucella bekerja sebagai

    pemerah susu. Dimana sSecara tidak langsung, anggota keluarga dari penderita

    tersebut memiliki risiko tinggi tertular Brucellosis karena sapi dipelihara dekat

    dengan tempat tinggal. Hal ini sebaiknya mendapat perhatian utama dari

    pemegang kebijakan karena dampak yang ditimbulkan oleh Brucella ini sangat

    luas, tidak hanya orang yang terinfeksi saja yang dapat diperhatikan namun

    anggota keluarganya juga memiliki risiko tinggi untuk terinfeksi Brucella.

    Sebagian besar sapi dipelihara di dekat tempat tinggal, hal ini terlihat di

    lokasi penelitian, baik di Boyolali maupun Garut. Jarak antara kandang dan rumah

    kurang dari 12 meter seperti yang disarankan oleh Pemerintah melalui

    Kementerian Pertanian. Jarak yang dekat ini kemungkinan karena sapi yang

    dipelihara berjumlah di bawah 10 ekor sehingga membutuhkan luas kandang yang

    tidak terlalu besar dan dapat diletakkan di area kosong sekitar rumah. Pada

    pengamatan yang telah dilakukan, banyak sapi diletakkan di dekat dapur, halaman

    depan dan halaman belakang rumah.2-4

    Sumber air untuk kandang sapi juga dipakai untuk kebutuhan hidup

    pemilik rumah. Hal inilah yang membuat sapi jarang dimandikan, maksimal dua

    kali dalam 1 bulan di Boyolali, karena kesulitan air yang terdapat di daerah

    tersebut yang mengakibatkan air diprioritaskan untuk kebutuhan manusia saja.

    Begitupula halnya di Garut, namun sapi dimandikan setidaknya tiap 3 hari,

  • 28

    walaupun tidak tiap hari sesuai dengan petunjuk pemeliharaan sapi perah yang

    baik dan benar.

    Pendidikan merupakan salah satu faktor risiko untuk terserang Brucellosis.

    Responden yang berpendidikan di atas Sekolah Menengah Atas memiliki risiko

    yang lebih rendah untuk tertular Brucellosis.18

    Hal tersebut sesuai dengan hasil

    penelitian ini, rerata pendidikan pada responden di Garut adalah Sekolah Dasar

    sehingga rentan untuk tertular Brucellosis. Pendidikan akan membuat

    pengetahuan seseorang meningkat. Pendidikan rendah menyebabkan tingkat

    pengetahuan rendah dan susah untuk diberikan penyuluhan kesehatan.

    Diagnosis terhadap Brucellosis di pada manusia merupakan tantangan

    tersendiri bagi praktisi kesehatan mengingat gejala Brucellosis sangat luas seperti

    sakit sendi, pusing, berkeringat di malam hari, demam yang berkepanjangan dan

    alat diagnosa Brucella yang tidak ada, sehingga sering dikelirukan dengan

    penyakit lain seperti Malaria dan TBC yang berakibat pemberian terapi yang salah

    dan berkepanjangan.16

    Hal ini ditemukan pada saat presurvei penelitian ini, yaitu

    mayoritas tenaga kesehatan di Dinas Kesehatan dan Puskesmas tidak memiliki

    catatan data kasus mengenai Brucellosis pada manusia meskipun terdapat banyak

    kasus abortus pada masyarakat namun para tenaga kesehatan tersebut tidak ada

    yang memasukkan Brucellosis sebagai diagnosa banding di dalam kasus abortus.

    Menurut literatur yang ada, disamping kesulitan diagnosa Brucellosis,

    kasus Brucellosis yang baru diperkirakan muncul sebanyak 500.000 kasus tiap

    tahun di dunia. Di negara berkembang, Brucellosis pada manusia bukan

    merupakan penyakit yang diprioritaskan untuk dibasmi pada sistem kesehatan,

    termasuk di Indonesia. Hal inilah yang membuat World Health Organization

    (WHO) memasukkan Brucellosis sebagai penyakit zoonosis yang terabaikan di

    tingkat pertama.19-20

    Data mengenai prevalensi Brucellosis pada manusia, faktor risiko, induk

    semang dan perantara Brucellosis yang potensial, penting untuk diketahui agar

    dapat ditemukan upaya pencegahan dan strategi untuk mengkontrol Brucellosis.20

    Pada hasil penelitian, responden yang positif CFT memiliki kesamaan yaitu sapi

    tidak divaksinasi Brucella, berjenis kelamin lelaki, bekerja di kandang sapi perah

    lebih dari 10 tahun dan tedapat kasus Brucellosis di hewan yang ditandai dengan

  • 29

    hasil uji CFT positif. Adanya data kasus Brucella di hewan melalui hasil uji CFT

    yang positif sebaiknya dijadikan sinyal terhadap kasus Brucella di manusia,

    mengingat sifat Brucella yang zoonosis. Terbukti dengan hasil penelitian ini

    bahwa kasus CFT positif di sapi berkorelasi dengan kasus CFT positif di manusia.

    Salah satu upaya pencegahan Brucella pada hewan selain pemotongan

    hewan yang positif terhadap Brucella adalah vaksinasi.20

    Vaksinasi Brucella

    sebagai upaya pencegahan penting dilakukan karena Indonesia masih endemik

    Brucellosis pada hewan. Di Garut, jumlah sapi perah yang tidak divaksin Brucella

    lebih tinggi dibandingkan di Boyolali, hal ini yang dapat menyebabkan peternak

    di Garut memiliki risiko lebih tinggi.

    Brucellosis merupakan penyakit zoonosis, sehingga tinggi rendahnya

    kasus di manusia sangat tergantung pada hewan sebagai induk semang. Jika kasus

    Brucella rendah di hewan, maka kasus di manusia akan rendah begitu pula

    sebaliknya. Indonesia masih belum bebas Brucellosis pada hewan, sehingga

    kelompok manusia yang bekerja di peternakan memiliki risiko tinggi untuk

    tertular mengingat Brucellosis merupakan penyakit zoonosis yang terabaikan

    sehingga eksistensi Brucellosis di manusia sering diabaikan.2-4

    Upaya pengendalian Brucellosis di hewan harus dilakukan secara optimal

    untuk mencegah penularan ke manusia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain

    vaksinasi Brucella ke hewan yang merupakan induk semang Brucellosis seperti

    sapi perah, sapi potong, babi, kambing dan domba, pemotongan hewan yang

    positif Brucella dan kontrol transportasi hewan ternak antar daerah untuk

    mencegah penyebaran Brucella antar wilayah.20

    Pada penelitian ini, ketiga upaya tersebut belum dilakukan secara optimal.

    Vaksinasi Brucella belum dilakukan pada semua hewan, yang dapat dilihat pada

    hasil penelitian. Transportasi hewan cukup tinggi pada Garut dimana karena

    sumber hewan didapatkan tidak hanya di pasar hewan lokal sebagaimana di

    Boyolali, namun juga berasal dari pasar hewan beda kota dan beda provinsi. Hal

    ini merupakan titik kritis yang harus diwaspadai terhadap penyebaran Brucellosis,

    ditambah ditemukan kasus Brucellosis pada manusia. Kontrol transportasi hewan

    terutama sapi perah dari dan ke Garut harus dilakukan secara ketat.

  • 30

    VIII. KETERBATASAN PENELITIAN

    Metodologi yang dipengaruhi oleh adanya efisiensi anggaran. Sehingga

    jumlah sampel berkurang. Lokasi penelitian hanya di 2 lokasi dari 7 lokasi

    penelitian yang ditentukan. Pemeriksaan serologis hanya dilakukan uji RBT dan

    CFT, tidak ELISA sehingga jumlah responden yang memiliki antibodi terhadap

    Brucellosis tidak diketahui secara pasti.

    IX. KESIMPULAN DAN SARAN

    KESIMPULAN

    1. Tingkat antibodi (IgG dan IgM) Brucella pada pekerja TPS belum

    diketahui karena adanya efisiensi penelitian sehingga uji antibodi (IgG dan

    IgM) memakai ELISA tidak dilakukan. Pemeriksaan titer antibodi

    terhadap Brucella dilakukan melalui uji CFT. Responden di Kabupaten

    Garut yang memiliki antibodi terhadap Brucellosis pada manusia menurut

    hasil uji CFT sebesar 5,5%

    2. Terdapat bakteri Brucella di lingkungan kandang sapi perah di sapi dan

    lingkungan kandang di daerah Garut

    3. Mayoritas gejala klinis Brucellosis pada pekerja TPS adalah demam yang

    naik turun (demam undulan) dan tidak terdapat gejala klinis (asimtomatik)

    4. Pengetahuan, sikap dan perilaku pekerja TPS terhadap Brucelosis di

    manusia masih kurang

    SARAN

    1. Perlu adanya screening test secara periodik misalnya uji RBT dan promosi

    kesehatan mengenai hidup bersih dan sehat di kandang sapi dan upaya

    pencegahan terhadap Brucellosis di manusia dikorelasikan dengan data

    hasil uji CFT positif pada hewan ternak

    2. Upaya pengendalian Brucellosis di hewan seperti vaksinasi Brucella,

    kontrol lalu lintas hewan dan pelaksanaan pemotongan pada ternak yang

    terdiagnosa positif Brucella harus dilakukan secara optimal mengingat

    peluang menular ke manusia sangat tinggi

  • 31

    3. Perlu dilakukan upaya promosi kesehatan yang intensif kepada para

    peternak sapi perah terkait dengan Brucellosis oleh Puskesmas

    Kesimpulan nomor 3 dan 4 belum tampak dalam saran. Karena

    kedua faktor ini berhubungan, maka saran saya, sarannya: 3.

    Perlu dilakukannya upaya promosi kesehatan yang intensif

    kepada para peternak terkait dengan Brucellosis.

    X. DAFTAR PUSTAKA

    1. Jama’ayah M.Z, Heu JY, Norazah A. Seroprevalence Brucellosis among

    suspected cases in Malaysia. Malaysian J Pathol. 2011;33(1):31-34.

    2. Corbel MJ. Brucellosis in Humans and Animals. World Health

    Organization, Food and Agriculture Organization of the United Nations,

    World Organization for Animal Health. 2006. Geneva, Switzerland

    3. Noor Susan M. Brucellosis : penyakit zoonosis yang belum banyak

    dikenal di Indonesia. Wartazoa. 2006. 16:1

    4. Muflinah Hanah, dkk. Brucellosis seroprevalence in Balicattle with

    reproductive failure in South Sulawesi and Brucella abortus biovar 1

    genotypes in the eastern Indonesia archipelago. BMC Veterinary research.

    2013, 9: 233.

    5. Sudibyo, A. Studi epidemiologi Brucellosis dan dampaknya terhadap

    reproduksi sapi perah di DKI Jakarta. JITV. 1995. 1:31-36

    6. Ossoro, EM., et al. Strong Association between Human and Animal

    Brucella Seropositivity in a Linked Study in Kenya, 2012–2013. Am. J.

    Trop. Med. Hyg. 2015.93(2);224–231.

    7. P.H Bamaiyi, Hassan L, Khairani Bejo S. and Zainal Abidin M. Updates

    on Brucellosis in Malaysia and Southeast Asia. Malaysian Journal of

    Veterinary Research. 2014,5(1); 71-82.

    8. Godfroeuid Jacob, et el.,2013. A “ one health” surveillance and control of

    Brucellosis in developing countries : moving away from improvisation.

    Comparative immunology, microbiology and infectious disease. 36

    (2013): 241-248.

  • 32

    9. Rahman A.K.M. Anisur. Epidemiology of Brucellosis in Human and

    Domestic Animals in Bangladesh. Thesis. Fakulty of Veterinary Medicine.

    University of Liege. Belgium. 2014.

    10. Samkhan. Analisis ekonomi penyakit Brucellosis dalam menyongsong

    penanggulangan, pemberantasan, dan pembebasan Brucellosis di

    Indonesia Tahun 2025. Buletin Laboratorium Veteriner. 2014. 14 (1).

    11. Sanodze L., et al. Expansion of brucellosis detection in the country of

    Georgia by screening household members of cases and neighboring

    community members. BMC Public Health. 2015:15(459);1-6

    12. Dennis L.K., Eugene B.Anthony S.F, Stephen L.H, Dan L.L., and Jame..

    on J.L.: Harrision’s principle of internal medicine. 6th edition USA: Mc

    Graw-Hill Companies, Inc. 2005: 116.

    13. Creswell John W. Planning a mixed methods study. Department of

    Educational Psychology, University of Nebraska-Lincoln. Journal of

    Mixed Methods Research. 2008

    14. Arvas Gulhan, Yasemin Akkoyunlu, Mustafa Bektas, Bulent Kaya and

    Turan Aslan. The Prevalence of Brucellosis in Adults in Northeastern

    Region of Turkey. Jundhisapur Journal of Microbiology. 2013.6(3); 263-

    264.

    15. Notoatmojo S. Promosi kesehatan dan ilmu perilaku. Rineka Cipta. 2007:

    139-146.

    16. Araj George F., et al., Evaluation of the PANBIO Brucella

    Immunoglobulin G (IgG) and Immunoglobulin (IgM) Enzyme Linked

    Immunosorbent Assays for Diagnosis of Human Brucellosis, Clinical and

    Diagnostic Laboratory Immunology, 2005, 12 (11); 1334-1335

    17. Njeru J., et al., Systematic review of brucellosis in Kenya: disease

    frequency in humans and animals and risk factors for human infection.

    BMC Public Health. 2016.16:853.

    18. Jang Yangho, et al., Epidemiological Aspects of Human Brucellosis and

    Leptospirosis Outbreaks in Korea, J Clin Med Res, 2011, 3(4); 199-202

    19. WHO. Seven neglected endemic zoonoses-some basic facts. Geneva:

    World Health Organization; 2011. http://www.who.int/zoonoses/

    http://www.who.int/zoonoses/

  • 33

    20. Dean AS, Crump L, Greter H, Schelling E, Zinsstag J. Global Burden of

    Human Brucellosis: A Systematic Review of Disease Frequency. PLOS

    Neglect Trop D. 2012;6(10), e1865

    XI. UCAPAN TERIMAKASIH

    Ucapan terimakasih disampaikan kepada Kepala Pusat Penelitian dan

    Pengembangan Upaya Kesehatan Masyarakat atas kesempatan dan

    kerjasama yang diberikan sehingga penelitian ini dapat berjalan dengan

    lancar. Terimakasih pula diucapkan atas kepercayaan melaksanakan

    penelitian ini melalui dana DIPA Puslitbang Upaya Kesehatan

    Masyarakat.

    Kami juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

    para pejabat di daerah, rekan-rekan sesama anggota penelitian di daerah

    dan masyarakat peternakan di daerah atas kepercayaan dan kerjasamanya

    sehingga kami diterima dengan sangat baik di daerah.

    XII. JADWAL KEGIATAN PENELITIAN

    Uraian

    kegiatan

    Tolok ukur Pencapaian tolok ukur per Triwulan (target kumulatif)

    Jumlah Satuan Triwulan I Triwulan II Triwulan III Triwulan IV

    Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %

    I Persiapan 1 100

    II Pelaksanaan 1 50 1 50

    III Pengolahan

    dan

    Analisis

    1 50 1 50

    IV Penyusunan

    laporan

    1 100

  • 34

    XIII. BIODATA KETUA PELAKSANA

    1. NAMA PENGUSUL

    Risqa Novita, drh., M.KM

    2. A L A M A T

    Gedung ex Namru Jl. Percetakan Negara No.23

    Pusat Biomedis dan Teknologi Dasar Kesehatan

    Badan Litbangkes Kementerian Kesehatan RI

    Email: [email protected]

    [email protected]

    3. PENDIDIKAN PROFESIONAL - Dokter Hewan - Magister Kesehatan Masyarakat

    4. RIWAYAT PEKERJAAN

    - 2014 : Peneliti Litbangkes

    5. PUBLIKASI

    1. Novita Risqa. Implementasi Kebijakan Pengandangan Unggas Terkait

    dengan Pengetahuan, Sikap dan Praktik Masyarakat di Kabupaten 2014

    Tahun 2012. Thesis. 2012. Universitas Padjadjaran.

    2. Novita Risqa, Perencanaan surveilans Brucellosis pada manusia

    menggunakan metode Geographical Information System (GIS). Jurnal

    Biotek Medisiana Indonesia. 2014.Vol.3 (1): 1-10.

    3. Novita Risqa, Pemilihan Hewan Coba pada Penelitian Pengembangan

    Vaksin Tuberkulosis. Jurnal Biotek Medisiana Indonesia. 2015.Vol.4

    (1): 15-23.

    4. Novita Risqa, Pengendalian Rabies: Peran Pemerintah dan Masyarakat.

    Buletin Zoonosis. 2015. Ed 17: 8-9.

    mailto:[email protected]

  • 35

  • 36

  • 37

  • 38

  • 39

  • 40

    XIV. LAMPIRAN

    Tabel Chi Square Pengetahuan VS Sikap Responden Boyolali

    Chi-Square Tests

    Value df

    Asymp. Sig. (2-

    sided)

    Pearson Chi-Square 3.255a 4 .516

    Likelihood Ratio 4.540 4 .338

    Linear-by-Linear Association .755 1 .385

    N of Valid Cases 92

    a. 5 cells (55.6%) have expected count less than 5. The minimum

    expected count is .65.

    Chi Square Pengetahuan VS Perilaku Responden Boyolali

    Chi-Square Tests

    Value df

    Asymp. Sig. (2-

    sided)

    Pearson Chi-Square 1.883a 4 .757

    Likelihood Ratio 1.673 4 .796

    Linear-by-Linear Association .022 1 .881

    N of Valid Cases 92

    a. 5 cells (55.6%) have expected count less than 5. The minimum

    expected count is .07.

    Chi-Square Tests

    Value df

    Asymp. Sig. (2-

    sided)

    Pearson Chi-Square .208a 2 .901

    Likelihood Ratio .208 2 .901

    Linear-by-Linear Association .073 1 .788

    N of Valid Cases 56

    a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum

    expected count is 1.61.

  • 41

    Tabel. Pengetahuan VS Sikap Responden di Garut

    Chi-Square Tests

    Value df

    Asymp. Sig. (2-

    sided)

    Pearson Chi-Square 2.277a 2 .320

    Likelihood Ratio 2.390 2 .303

    Linear-by-Linear Association 1.720 1 .190

    N of Valid Cases 55

    a. 3 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum

    expected count is .27.

    Tabel. Sikap VS Perilaku Responden Garut

    Chi-Square Tests

    Value df

    Asymp. Sig. (2-

    sided)

    Exact Sig. (2-

    sided)

    Exact Sig. (1-

    sided)

    Pearson Chi-Square .125a 1 .724

    Continuity Correctionb .000 1 1.000

    Likelihood Ratio .233 1 .629

    Fisher's Exact Test 1.000 .891

    Linear-by-Linear Association .122 1 .726

    N of Valid Casesb 55

    a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .11.

    b. Computed only for a 2x2 table

  • 42

    Gambar Pelaksanaan Penelitian di Boyolali

    1. Peternak dengan sapi peliharaannya 2. Pengambilan darah responden

    4. Suasana pengumpulan data, mulai dari wawancara hingga pengambilan

    darah

  • 43

    Gambar Pelaksanaan Penelitian di Garut

    1. Kandang Sapi di Garut 2. Pengambilan darah responden

    3. Wawancara responden 4. Pengolahan serum

  • 44