Upload
trinhhanh
View
228
Download
1
Embed Size (px)
Citation preview
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Konsep Pembangunan Pertanian
Berbagai model dan konsep pembangunan pertanian telah dikembangkan
menjadi teori pembangunan pertanian. Namun demikian, menurut Hayami dan
Ruttan (1985) model pembangunan ekonomi dan pertanian tetap tidak lengkap
jika tidak melalui proses tertentu yang melibatkan berbagai aspek sistem pertanian
secara keseluruhan. Aspek-aspek tersebut mencakup bagaimana aksi kolektif dari
komunitas lokal sampai ke level pemerintah pusat, dapat diorganisasi sedemikian
rupa untuk menghasilkan barang-barang publik dalam merespon berbagai
perubahan kondisi perekonomian. Hal itu dapat dilakukan baik yang mencakup
pengenalan teknologi baru maupun perbaikan institusi.
Stevens dan Jabara (1988) serta Hayami dan Ruttan (1985) telah dengan
baik mendiskusikan teori-teori pembangunan ekonomi dan pertanian. Hayami dan
Ruttan (1985) menyebutkan ada sembilan teori pembangunan ekonomi dan
pertanian yang dominan, meliputi: model konservasi, model fundamentalisme
industri, model dampak industri-perkotaan, model difusi, model pertama
perubahan budaya dan pembangunan masyarakat, model Neo-Marxist dan
ketergantungan, model tahapan pertumbuhan, model high-payoff input Schultz,
dan model imbas inovasi teknologi. Sedangkan Stevens dan Jabara (1988)
menyebut 8 model pembangunan pertanian yaitu: model konservasi, model
fundamentalisme industri, model dampak industri-perkotaan, model difusi, model
pertama perubahan budaya dan pembangunan masyarakat, model Neo-Marxist
dan ketergantungan, model tahapan pertumbuhan, model high-payoff input
12
Schultz. Pada bagian ini akan diuraikan berbagai konsep pembangunan pertanian
mengacu pada uraian Stevens dan Jabara (1988).
Model konservasi (the conservation model) menyatakan bahwa sektor
pertanian berperan penting dalam pembangunan ekonomi, oleh karenanya upaya
untuk mempertahankan dan meningkatkan produktivitas produk pertanian perlu
dilakukan. Upaya tersebut dapat dilakukan dengan melakukan konservasi lahan.
Ada dua asumsi yang digunakan dalam model ini, yakni: (1) lahan untuk produksi
pertanian langka dan menjadi semakin langka, dan (2) lahan dalam kondisi kurang
subur memungkinkan untuk digunakan dalam memproduksi produk pertanian,
dan tindakan untuk mencegah penurunan hasil atau meningkatkan produktivitas
lahan berlangsung lambat. Implikasi dari teori ini adalah akibat dari lahan yang
semakin langka dan lahan kritis digunakan menyebabkan produktivitas marginal
tenaga kerja dan lahan menurun. Untuk mengatasi masalah ini perlu dilakukan
konservasi lahan. Dalam jangka pendek, relevansi teori ini pada negara-negara
sedang berkembang ditemukan beragam. Sejumlah negara sedang berkembang
dapat mengatasi masalah penurunan produktivitas marginal dengan meningkatkan
investasi, namun pada negara-negara yang mengembangkan sistem pertanian
tradisional model konservasi ini relevan dalam jangka pendek. Dalam jangka
panjang, model konservasi relevan diterapkan pada negara-negara sedang
berkembang.
Model konservasi memiliki beberapa kelemahan, meliputi: Pertama, pada
beberapa dekade terakhir cakupan peningkatan produktivitas lahan lebih besar
dari perkiraan ilmuwan klasik seperti yang dikemukan pada model konservasi. Di
negara maju produksi pertanian menunjukkan peningkatan hasil, dengan
13
kontribusi tambahan luas lahan yang relatif kecil. Kedua, model konservasi tidak
mempertimbangkan kontribusi industri yang menghasilkan input buatan, seperti
pupuk buatan dan pestisida. Kontribusi pupuk buatan dan pestisida juga cukup
besar terhadap perolehan produksi pertanian disamping lahan. Ketiga, model
konsevasi gagal menjelaskan dampak perubahan teknologi terhadap permintaan
lahan pertanian. Konservasi lahan memerlukan biaya yang besar dibandingkan
dengan perubahan teknologi, dan perubahan teknologi akan meningkatkan
produktivitas lahan pertanian lebih baik daripada konservasi lahan. Ke empat,
kelemahan utama dari model konservasi adalah bersifat noneconomic nature.
Model konservasi secara umum hanya mengukur lahan dan produktivitas secara
fisik, tidak menekankan manfaat ekonomi dari investasi atas konservasi yang
dilakukan.
Berbeda dengan model konservasi, model fundamentalisme industri (The
Industrial Fundamentalism Model) menekankan pentingnya industri dalam
mempercepat pertumbuhan ekonomi. Model ini juga menggunakan dua asumsi,
yakni: (1) jika investasi difokuskan pada pengembangan industri, maka
pertumbuhan ekonomi yang cepat akan dicapai, dan (2) sektor pertanian kurang
penting dalam meningkatkan pertumbuhan. Teori fundamentalisme industri ini
mendapat kritik dari Jorgenson (1961), Ranis dan Fei (1961) dengan model
ekonomi dua sektor. Mereka menyatakan bahwa keterlambatan sektor pertanian
akan memperlambat pertumbuhan ekonomi. Proporsi alokasi investasi yang besar
pada sektor industri selalu menghasilkan pendapatan yang tinggi pada sektor
industri dan memperlambat pertumbuhan sektor-sektor lainnya, sebaliknya
14
investasi pada sektor pertanian akan mempercepat pertumbuhan sektor-sektor
lainnya.
Selanjutnya model dampak industri-perkotaan (The Urban-Industrial
Impact Model) menyatakan bahwa produktivitas pertanian adalah fungsi dari jarak
antara kota dan areal industri. Jarak dari pasar kota mempengaruhi intensitas
ladang dan pertumbuhan berbagai tanaman keras. Model ini berdasarkan pada
teori sewa Ricardian dan Von Thunen yang menyatakan bahwa jarak dari pasar
kota mempengaruhi intensitas perladangan dan pertumbuhan tanaman. Dalam
model Von Thunen, variabel eksplanatori adalah biaya transportasi produk
pertanian ke pasar kota. Oleh karenanya petani-petani yang menghasilkan
produk-produk pertanian yang mudah busuk dan rusak cenderung memproduksi
produk pertaniannya di sekitar wilayah perkotaan dan industri dengan harga lahan
yang cukup tinggi. Sedangkan petani-petani yang menghasilkan produk-produk
pertanian yang tidak mudah rusak dan tahan lama cenderung memproduksi
produknya jauh dari areal perkotaan karena harga lahan relatif murah. Selanjutnya
Schultz (1953) berdasarkan model Von Thunen menjelaskan disparitas regional
pertumbuhan dan pembangunan pertanian di Amerika Serikat, dengan hipotesis
utama adalah organisasi ekonomi di areal pertanian yang berkerja dengan baik
berhubungan dengan industri perkotaan.
Model difusi (The Diffusion Model) berdasarkan pada hipotesis bahwa
peningkatan produksi pertanian tergantung pada: (1) peningkatan arus informasi
ke petani tentang teknologi baru dan tatanan organisasi baru, seperti kredit, dan
(2) kesediaan untuk belajar tentang bagaimana membuat manajemen pengambilan
keputusan lebih rasional secara ekonomi berkaitan dengan akses terhadap
15
sumberdaya. Difusi adalah proses penyebaran inovasi ke para anggota suatu
sistem sosial yang menekankan pada pengembangan teknologi pertanian spesifik
lokasi, meliputi: (1) keragaman jenis tanah, serangan hama dan penyakit dan
variabel-variabel pertumbuhan tanaman lainnya, (2) keragaman biaya kapital
relatif terhadap tenaga kerja., (3) perbedaan aturan sosial dan kelembagaan.
Ada empat kelemahan model difusi, meliputi: Pertama, hasil riset
menyatakan bahwa petani-petani tradisional mempunyai pengetahuan yang baik
tentang teknologi tradisional dan alokator yang efisien dari sumberdaya yang
mereka miliki. Oleh karenanya usaha untuk mengajarkan kepada para petani
tentang bagaimana mereka mengalokasikan sumberdaya tradisional mereka
adalah sia-sia. Kedua, ketersediaan teknologi baru yang terbatas di negara-negara
sedang berkembang yang produktif jika didifusi. Ketiga, personil penyuluh selalu
tidak dilatih dan oleh karenanya mereka tidak berhasil mentransfer
pengetahuannya ke petani yang memiliki kemampuan terbatas. Dan keempat,
agen-agen penyuluh cenderung tidak memahami kondisi sosial dan pertanian di
lokasi tugasnya karena mereka berasal dari perkotaan atau daerah lain yang
memiliki karakteristik yang berbeda.
Selanjutnya model perubahan budaya (The Cultural-Change-First Model)
dan pergerakan pembangunan masyarakat, serta model Neo-Marxist dan teori
ketergantungan menekan pada pentingnya aspek kelembagaan dan budaya
masyarakat dan menggerakkan pembangunan ekonomi dan pertanian. Model
pertama perubahan budaya (The Cultural-Change-First Model) dan pergerakan
pembangunan masyarakat mengidentifikasi nilai-nilai dan institusi-institusi sama
baiknya dengan teknologi sebagai variabel-variabel fundamental yang
16
mempengaruhi pembangunan. Hasil indentifikasi model ini menyebutkan bahwa
perluasan pembangunan suatu komoditas terkait dengan perubahan nilai-nilai dan
kelembangan tradisional. Perubahan budaya dan institusi di pedesaan (berkaitan
dengan sistem nilai dan institusi sosial) mempercepat kemajuan ekonomi. Ada
tiga asumsi yang digunakan sehingga perubahan terjadi: (1) sumberdaya-
sumberdaya pedesaan tidak/belum dialokasikan secara efisien, (2) pengembangan
masyarakat yang bekerja di pedesaan secara siginifikan mengubah nilai-nilai dan
institusi-institusi pedesaan, dan (3) pengembangan masyarakat yang bekerja di
pedesaan relevan dengan teknologi dan informasi baru. Ketersediaan teknologi
baru yang terbatas di negara-negara sedang berkembang yang produktif jika
didifusi.
Model Neo-Marxist mengasumsikan bahwa produksi ditentukan oleh
perubahan kelembagaan. Model ini sangat terbatas karena mengabaikan hubungan
antara kekayaan sumberdaya dan perubahan teknologi, dan antara kekayaan
sumberdaya, kekayaan budaya, dengan perubahaan kelembagaan. Sementara itu
teori ketergantungan menggambarkan bahwa peningkatan ketergantungan
ekonomi negara-negara sedang berkembang terhadap negara-negara maju
menyebabkan pengurasan sumberdaya dan pendapatan dari negara-negara sedang
berkembang sebagai satelit oleh negara-negara maju sebagai pusat. Wilayah-
wilayah metropolitan sebagai pusat di semua negara sedang berkembang lebih
maju dan para pekerja pertaniaan di pedesaan diisolasi sehingga cenderung
miskin. Teori ini juga menyatakan bahwa para elite lokal terperangkap, cenderung
mengeksploitasi negaranya dengan berpihak kepada pihak asing dalam
perdagangan. Konsep pembangunan ekonomi yang juga populer digunakan untuk
17
menggambarkan konsep pembangunan pertanian adalah model lima tahap
pembangunan Rostow. Model ini berdasarkan pada konsep leading sectors.
Dengan perubahan teknologi menyebabkan pertumbuhan ekonomi secara
keseluruhan meningkat.
Rostow (1960) berpendapat bahwa negara-negara dapat mengharapkan
melewati lima tahapan pertumbuhan ekonomi, yaitu: (1) ekonomi tradisional,
(2) prakondisi untuk tinggal landas, (3) tinggal landas, (4) dorongan menuju
kedewasaan, dan (5) era konsumsi masal yang tinggi.
Tahap pertama, ekonomi tradisional, dengan ciri utama adalah: Pertama,
agricultural economic base (perekonomian berbasis pertanian) yang
mempekerjakan 70–80 persen penduduk pada sektor pertanian dengan
produktivitas yang rendah dan sedikit surplus jika ada untuk dijual. Kedua,
adanya suatu social order (tatanan sosial) yang bersifat feodal dan dalam tatanan
sosial tersebut perubahan merupakan hal yang tidak biasa, sedangkan teknologi
bersifat statik.
Tahap kedua, prakondisi tinggal landas, merupakan masa transisi dimana
prasyarat pertumbuhan swadaya dibangun. Masyarakat masih tergolong
tradisional, terus bergerak meskipun lambat. Keadaan ini maju karena adanya
campur tangan dari pihak luar, yaitu dari masyarakat yang lebih maju. Pada
periode ini, telah ada usaha untuk meningkatkan tabungan. Tabungan dipakai
untuk melakukan investasi pada sektor-sektor produksi yang menguntungkan,
seperti usaha peningkatan produksi dan usaha peningkatan pendidikan. Investasi
ini dilakukan oleh perorangan maupun oleh negara.
18
Tahap ketiga, tinggal landas, didefinisikan sebagai revolusi industri yang
bertalian secara langsung dengan perubahan radikal di dalam metode produksi dan
jangka waktu yang lama. Periode ini ditandai dengan tersingkirnya hambatan-
hambatan yang menghalangi proses pertumbuhan ekonomi. Tabungan dan
investasi yang efektif meningkat dari 5 persen menjadi 10 persen dari pendapatan
nasional atau lebih. Industri-industri baru mulai berkembang dengan sangat pesat.
Keuntungan sebagian besar ditanamkan kembali ke pabrik yang baru. Sektor
modern dari perekonomian menjadi berkembang. Pertanian menjadi usaha yang
komersial dan bukan sekedar untuk konsumsi. Perlunya proses modernisasi untuk
peningkatan produktivitas pertanian dengan ongkos yang lebih murah.
Tahap keempat, dorongan menuju kedewasaan, dimana masyarakat telah
efektif menerapkan teknologi modern terhadap seluruh sumberdaya mereka,
meskipun terjadi pasang surut. Antara 10 sampai 20 persen dari pendapatan
nasional selalu diinvestasikan kembali agar bisa mengatasi persoalan pertambahan
penduduk. Industri berkembang dengan sangat pesat. Perkembangan industri
terjadi tidak saja meliputi teknik-teknik produksi, tetapi juga aneka barang yang
diproduksi. Barang yang diproduksikan bukan saja terbatas pada barang
konsumsi, tetapi juga barang modal. Pada tahap ini terlihat adanya kedewasaan
teknologi.
Tahap kelima, era konsumsi masal yang tinggi. Pada tahap ini pendapatan
masyarakat sudah meningkat. Terjadi peningkatan konsumsi yang tinggi, bukan
saja pada barang-barang kebutuhan pokok tetapi juga dalam hal leisuer. Pada
tahap ini negara berada dalam output full employment dimana pengangguran
sudah tidak ada (sekitar 4 persen), dan peningkatan kesadaran akan jaminan
19
sosial. Investasi untuk meningkatkan produksi tidak lagi menjadi tujuan utama.
Sesudah taraf kedewasaan dicapai, surplus ekonomi akibat proses politik yang
terjadi dialokasikan untuk kesejahteraan sosial dan penambahan dana sosial. Pada
titik ini pembangunan sudah merupakan proses yang berkesinambungan yang bisa
menopang kemajuan secara terus menerus.
Teori tahapan pembangunan pertanian lainnya dikemukan oleh Wharton
(1963) dan Mellor (1966). Wharton (1963) menyimpulkan tiga tahap
pembangunan pertanian, yaitu: (1) tradisional (statik), (2) transisional, dan (3)
dinamis. Mellor (1966) merumuskan model tahapan pembangunan pertanian
berdasarkan dua batasan, yaitu: (1) batasan perubahan teknologi antara tahapan
tradisional dan labor intensive, dan (2) batasan perubahan biaya tenaga kerja
relatif terhadap kapital.
Sebagai penutup pada bagian ini dikemukan High-Payoff Input Model oleh
Schultz. Schultz memfokuskan pada dua pertanyaan: (1) bagaimana menciptakan
dan menyediaan sesuatu yang baru kepada para petani, higher-payoff technology
dalam penggunaan alat-alat kapital dan input lainnya, dan (2) Bagaimana
meningkatkan produktivitas tenaga kerja. Untuk meningkatkan penggunaan alat-
alat kapital dan input lainnya diperlukan investasi dalam pengembangan teknologi
pertanian. Hal ini didasarkan pada kenyataan bahwa pertumbuhan ekonomi
negara-negara miskin dari sektor pertanian sangat tergantung pada ketersediaan
dan harga faktor-faktor pertanian dari negara maju. Selanjutnya untuk
meningkatkan produktivitas tenaga kerja diperlukan investasi sumberdaya
manusia yang memadai. Peningkatan pendidikan petani dapat meningkatkan
pendapatan petani dan kesejahteraan masyarakat.
20
2.2. Peran Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi
2.2.1. Pertumbuhan Ekonomi, Pengurangan Pengangguran dan Kemiskin-an, serta Pemerataan Pendapatan
Beberapa permasalahan yang paling menantang bagi pengambil kebijakan
nasional dalam masalah pembangunan dan kesejahteran manusia yang ada di
berbagai negara-negara sedang berkembang saat ini antara lain adalah upaya
pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat dibarengi dengan upaya
pengurangan kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran (Ali, 2007;
Warr, 2006; Islam, 2004; Bhalla, 2002; Bautista, 2001; Perkins et al, 2001).
Perkins et al (2001), menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi memang penting
tetapi tidak memenuhi kondisi yang cukup untuk dapat meningkatkan standar
hidup banyak orang yang hidup pada negara-negara dengan pendapatan nasional
perkapita yang rendah. Diskusi tentang siapa yang memperoleh keuntungan dari
pertumbuhan ekonomi telah berlangsung sejak lama. Meningkatnya kesenjangan
dalam pendapatan dan kesejahteraaan masyarakat serta semakin persistennya
kemiskinan pada masyarakat kelas bawah menjadi topik yang sering didiskusikan
sejak lama. Bahkan ahli filsafat sosial Karl Mark dan novelis seperti Charles
Dickens menjadikannya sebagai tema tema utama pembahasan mereka.
Lewis (1954), dengan model surplus tenaga kerjanya menyatakan bahwa
pada mulanya kesenjangan akan meningkat tetapi pada ahirnya akan lenyap pada
saat pembangunan terjadi. Peningkatan kesenjangan ini terjadi karena (1)
peningkatan bagian pendapatan yang diterima oleh kapitalis akibat peningkatan
yang terjadi pada sektor yang dikembangkan, (2) kesenjangan pada pendapatan
tenaga kerja juga terjadi pada tahap awal pembangunan, ketika sebagian kecil
21
tenaga kerja mengalami peningkatan upah dari level upah buruh ke level upah di
sektor kapitalis. Oleh karena itu model Lewis ini sering disebut sebagai
petumbuhan dahulu baru kemudian dilakukan redistribusi (grow first, then
redistribute). Selanjutnya Perkins et al (2001) menyebutkan tiga model alternatif
lainnya yaitu: (1) redistribute first then grow (Melaksanakan redistribusi terlebih
dahulu baru tumbuh), (2) redistribution with growth (Pelaksanaan redistribusi
dengan pertumbuhan), dan (3) basic human needs ( kebutuhan dasar manusia).
Model melaksanakan redistribusi terlebih dahulu baru kemudian tumbuh,
adalah merupakan model radikal yang dterapkan oleh negara-negara Asia
beraliran sosial khususnya Cina. Pembagian kepemilikan sumberdaya pada
kelompok kelompok produsen berskala kecil atau bahkan sering terjadi
pengelolaannya dalam suatu sistem kepemilikan yang kolektif, berdampak
langsung pada penghilangan pendapatan atas properti dari kepemilikan terdahulu
kepada pemerintahan atau pemilik-pemilik baru yang memilikinya secara kolektif.
Hal ini secara subtansial dapat merubah pemerataan pendapatan. Pengelolaan
yang baik properti ini akan meningkatkan produktivitasnya, sehingga terjadilah
fenomena redistribute first then grow. Tetapi bila asetnya ternyata tidak produktif,
kerugian yang menimpa pemilik-pemilik baru tidak sebesar apabila itu menimpa
pada pemilik lama. Model radikal seperti yang dilakukan oleh Cina ini hanya bisa
terjadi kalau negara dikuasai oleh rejim yang kuat yang muncul lewat revolusi.
Oleh karena itu Taiwan dan Korea Selatan kemudian memodifikasi versi model
ini dalam model redistribute then develop yang membagi kepemilikan lahan yang
luas di desa desa tepat setelah perang dunia II berakhir dan berakibat pada
22
terjadinya percepatan dalam pembangunan dan secara komparatif dapat dikatakan
terjadi adanya pemerataan (Perkins et al , 2001).
Keinginan untuk mencegah terjadinya hal yang ekstrim sebagaimana
terjadi baik pada terkosentrasinya pembangunan industri pada model Lewis
maupun pada restrukturisasi kepemilikan aset secara radikal mengarahkan pada
jalan tengah yaitu pelaksanaan redistribusi dengan pertumbuhan (redistribution
with growth/RWG). Ide dasar dari RWG ini adalah kebijakan pemerintah harus
mencoba untuk membentuk pola pembangunan yang memungkinkan produsen
dengan pendapatan rendah (dalam banyak negara umumnya banyak berada pada
sektor primer pertanian dan usaha kecil di pedesaan) dapat melihat peluang
peningkatan pendapatan dan selanjutnya dapat memperoleh sumberdaya yang
diperlukan untuk memanfaatkan peluang tersebut. Menurut kelompok studi Bank
Dunia, setidaknya ada tujuh instrumen kebijakan yang dapat digunakan untuk
mencapai tujuan ini. Pertama, upaya untuk membuat tenaga kerja relatif lebih
murah daripada kapital dan hal ini dapat mendorong penyerapan tenaga kerja
lebih banyak pada tenaga kerja tidak terampil. Ke dua, redistribusi secara dinamis
terhadap aset-aset dengan cara mendorong penciptaan aset yang memungkinkan
kelompok miskin dapat memilikinya misalnya tanah pertanian yang telah
meningkat kualitasnya dan toko-toko kecil. Ke tiga, peningkatan pendidikan
untuk memungkinkan peningkatan kemampuan literasi, ketrampilan dan akses
terhadap ekonomi modern. Ke empat, penerapan pajak yang lebih progresif. Ke
lima, pemenuhan kebutuhan/kecukupan barang barang konsumsi seperti makanan
dasar untuk kelompok miskin. Ke enam, intervensi pada pasar komoditas untuk
membantu produsen produsen miskin dan konsumen. Ke tujuh, pembangunan
23
teknologi baru yang dapat membantu meningkatkan produktivitas pekerja yang
berpendapatan rendah.
Starategi pembangunan yang berbasis pada pedesaan dan yang
berorientasikan pada pemerataan sering diterapkan pada negara-negara yang
didominansi oleh pedesaan. Untuk negara-negara semacam ini waktu yang
digunakan oleh sektor modern untuk mencapai tingkat pemerataan yang
diinginkan menjadi lebih lama. Oleh karena itu strategi yang berbasis pada
pedesaan diharapkan dapat lebih mencapai pola pemerataan yang diharapkan
dibandingkan dengan strategi pembangunan yang ditekankan pada pertumbuhan
kota dan industri. Di sisi lain negara-negara yang memiliki sektor modern relatif
lebih luas, berharap untuk dapat menciptakan ekonomi modern yang terintegrasi
dalam waktu yang lebih singkat, sementara itu dengan ketersediaan surplus yang
lebih besar dapat diredistribusikan pada sektor sektor tradisional melalui jasa
sosial dan proyek proyek pembangunan pedesaan (Perkins et al, 2001).
Kekhawatiran tentang bagaimana cepatnya pembangunan ekonomi--
meskipun telah fokus pada kemiskinan, dapat meningkatkan kesejahteraan
kelompok miskin pada kebanyakan negara negara yang sedang berkembang
menjadi acuan dasar pada pendekatan kebutuhan dasar manusia (basic human
needs/BHN). Meskipun pendekatan BHN dan RWH mempunyai tujuan yang
sama, tetapi berbeda dalam bagaimana upaya terbaik dalam pencapaiannya. Kalau
pendekatan RWG lebih menekankan pada peningkatan produktivitas dan
kemampuan daya beli dari kelompok miskin, pendekatan BHN lebih menekankan
pada kecukupan dalam pemberian layanan publik, dengan perhatian lebih kepada
kelompok miskin yang dapat menjamin bahwa kelompok miskin dapat
24
memperoleh akses terhadap layanan publik yang diberikan. Tujuan dari strategi
BHN adalah pada penyediaan bagi kelompok miskin dengan beberapa komoditi
dan layanan dasar seperti makanan pokok, air dan sanitasi, kesehatan, pendidikan
primer dan pendidikan non formal serta perumahan. Strategi BHN ini setidaknya
membutuhkan dua hal penting agar dapat berjalan sukses. Pertama, cukupnya
pembiayaan yang diperlukan untuk memungkinkan penyediaan layanan-layanan
dan komoditi yang dapat dipenuhi dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat
miskin. Ke dua, ketersediaan jaringan pelayanan yang dibutuhkan untuk
mendistribusikan layanan layanan tersebut dalam bentuk yang sesuai bagi
konsumsi kelompok miskin, khususnya di wilayah lokasi kelompok miskin
tersebut tinggal. Hasil review Bank Dunia terhadap problem di dunia ke tiga
menggaris bawahi dua tindakan dasar untuk pengurangan kemiskinan yaitu
melalui kebijakan peningkatan produktivitas terhadap sumber-sumber yang
dimiliki oleh kelompok miskin—tenaga kerjanya, dan upaya mencukupi layanan
sosial dasar kepada kelompok miskin. Strategi yang menunjang pentingnya
pemenuhan kebutuhan dasar ini merupakan komplemen dari strategi RWG
( Perkins et al, 2001).
Cara yang paling menjanjikan untuk meningkatkan pemerataan selama
pertumbuhan menurut pendekatan reformis adalah dengan lebih menitikberatkan
pada penciptaan tenaga kerja. Hal lain yang penting dalam pertumbuhan yang
menjamin pemerataan adalah hubungan antara harga output di tingkat pedesaan
dan kota. Jika harga hasil pertanian ditekan untuk mempertahankan upah rendah
di perkotaan, hal ini dapat berimplikasi buruk pada kesejahteraan mayoritas
kelompok miskin yang tinggal di pedesaan dan utamanya bekerja di sektor
25
pertanian. Akhirnya adalah pertanyaan mendasar apakah pemerintah pemerintah
pada negara negara miskin pada kenyataannya akan mengambil kesempatan untuk
mengurangi kesenjangan yang terjadi disamping upayanya untuk meningkatkan
pertumbuhan. Pengurangan kemiskinan telah meningkat menjadi hal utama yang
hendak dicapai dalam upaya pembangunan dunia. Persatuan Bangsa Bangsa dan
Organisasi untuk Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan ini menetapkan target
untuk pengurangan insiden kemiskinan dunia hingga pada tahun 2015. Percepatan
pertumbuhan pada negara-negara berpendapatan rendah adalah kondisi yang
diperlukan bagi pencapaian tujuan ini (Perkins, 2001).
2.2.2 Peranan Sektor Pertanian dalam Pembangunan Ekonomi
Bank Dunia pada tahun 2008 memberikan perhatian khusus terhadap
peran sektor pertanian dalam pembangunan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari
pemilihan tajuk laporan tahunannya pada world development report 2008 yang
bertajukkan pertanian untuk pembangunan. Bank Dunia meyakini bahwa pada
abad 21 ini sektor pertanian masih akan terus berperan sebagai instrumen yang
fundamental dalam pembangunan berkelanjutan dan upaya pengurangan
kemiskinan. Pertanian diyakini dapat secara harmoni bersama sama sektor lainnya
untuk dapat menghasilkan pertumbuhan yang lebih cepat, upaya pengurangan
kemiskinan dan perwujudan lingkungan yang berkelanjutan (World Bank, 2007).
Peran pertanian dalam pembangunan ekonomi sebagaimana disebut dalam laporan
bank dunia tersebut memang sejak lama sudah diyakini oleh para ahli ekonomi.
Kuznets (1964), sektor pertanian di negara-negara sedang berkembang
kontribusinya terhadap pertumbuhan dan pembangunan ekonomi nasional, dapat
dikelompokkan dalam empat bentuk yaitu kontribusi produk, kontribusi pasar,
26
kontribusi faktor-faktor produksi dan kontribusi devisa. Sedangkan menurut
Steven dan Jabara (1988), meskipun peran utama dari sektor pertanian adalah
untuk memproduksi pangan dan produk produk pertanian yang menunjang
pembangunan ekonomi, sektor pertanian juga memberikan kontribusi sangat
penting lainnya dalam pertumbuhan ekonomi nasional. Dari pendapat beberapa
ahli dapat disimpulkan setidaknya sektor pertanian memberikan kontribusi dalam
pembangunan ekonomi dalam enam hal yaitu: (1) kontribusi penyerapan tenaga
kerja (2) kontribusi terhadap pendapatan (3) kontribusi terhadap penyediaan
pangan (4) kontribusi terhadap penyediaan bahan baku bagi sektor lainnya, (5)
kontribusi dalam bentuk kapital dan (6) ikut menyumbang dalam penyediaan mata
uang asing dari hasil ekspor pertanian (Stringer, 2001; Todaro, 2000; Timmer,
1995; Delgado, et al. 1994; Johnston and Mellor, 1961). Secara singkat Bank
Dunia menyebut bahwa pertanian berkontribusi secara unik pada pembangunan
dalam bentuk sebagai aktivitas ekonomi, sumber kehidupan, dan sebagai
penyedia jasa lingkungan (Worl Bank, 2007).
Kontribusi sektor pertanian terhadap pembangunan berbeda beda untuk
berbagai negara tergantung bagaimana negara tersebut tergantung pada pertanian
sebagai sumber pertumbuhan dan sebagai instrumen dalam pengurangan
kemiskinan. Selanjutnya Bank Dunia membagi negara-negara di dunia dalam tiga
kelompok berdasar sumbangan sektor pertanian terhadap pertumbuhan agregat
selama kurun waktu 15 tahun. Ke tiga kelompok tersebut adalah yaitu: (1)
kelompok negara berbasis pertanian, dimana pertanian merupakan sumber utama
pertumbuhan. Hal ini dicirikan dengan rata-rata kontribusi pertanian terhadap
pertumbuhan GDP sebesar 32 persen. Di samping itu kebanyakan dari masyarakat
27
miskinnya 70 persen berada di wilayah pedesaan (2) kelompok negara yang
mengalami transformasi, dimana pertanian bukan lagi sumber utama bagi
pertumbuhan ekonomi yaitu rata-rata menyumbang hanya sekitar 7 persen dari
pertumbuhan GDP. Indonesia dikelompokkan dalam kelompok negara yang
mengalami transformasi ini. (3) kelompok negara urban, dimana pertanian
kontribusinya terhadap pertumbuhan ekonomi rendah, rata-rata kontribusinya
terhadap pertumbuhan GDP sebesar 5 persen dan mayarakat miskin umumnya
tinggal di perkotaan. Selanjutnya bagi kelompok negara yang mengalami
transformasi sebagaimana Indonesia, kontribusi sektor pertanian dalam
pembangunan ekonomi dapat dilakukan dalam melalui: (1) pengelolaan terhadap
perbedaan yang menyolok antara pedesaan dan perkotaan dan (2) pengurangan
kemiskianan di pedesaan melalui upaya pertanian baru dan penyerapan tenaga
kerja non pertanian (World Bank, 2007)
Steven dan Jabara (1998) menambahkan bahwa peran sektor pertanian
dalam pertumbuhan ekonomi terlihat dari keterkaitannya dengan sektor sektor
lainnya, karena berdasarkan berbagai studi keterkaitan antar sektor ini dapat
meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari bagaimana
kontribusi sektor pertanian terhadap sektor-sektor lainnya dan bagaimana
kontribusi sektor-sektor lainnya terhadap sektor pertanian.
Kontribusi penting sektor pertanian terhadap sektor lainnya yang dapat
mempercepat pertumbuhan ekonomi antara lain berupa: (1) meningkatnya
produksi pangan dan produk pertanian lainnya yang digunakan untuk kepentingan
domestik di perkotaan dan untuk ekspor, (2) tambahahan tenaga kerja pada sektor
non pertanian, (3) aliran bersih dari kapital yang berasal dari sektor pertanian
28
yang dikeluarkan untuk investasi pada sektor sektor lain, (4) peningkatan
permintaan dari sektor pertanian terhadap barang dan jasa yang dihasilkan oleh
sektor sektor lainnya. Sedangkan kontribusi sektor-sektor lain yang
memungkinkan terjadinya pertumbuhan yang lebih cepat pada sektor pertanian
dapat berupa: (1) produksi dari sektor industri terhadap input yang dapat
meningkatkan produktivitas pertanian, (2) peningkatan permintaan terhadap
pangan dan produk pertanian lainnya baik karena terjadinya peningkatan
pendapatan maupun karena terjadinya peningkatan pergeseran jumlah proporsi
tenaga kerja yang bekerja di sekor non pertanian, (3) pemenuhan kecukupan dan
pengembangan infrastruktur yang dibutuhkan seperti jalan, transportasi,
komunikasi dan begitu juga pendidikan. Banyaknya aliran ekonomi antar sektor
ini akan meningkat pesat sejalan dengan pembangunan ekonomi. Kelemahan
dalam input produktif dan peralatan kapital dapat memperlemah pertumbuhan
pertanian, dan pada akhirnya dapat mengurangi laju pertumbuhan dalam
pendapatan nasional per kapita. Pertumbuhan yang rendah dalam pertanian akan
berdampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya negara-negara yang
proporsi utama penghasilannya masih berasal dari sektor pertanian (Steven dan
Jabara, 1988; Thorbecke, 1969; Yotopoulus dan Nugent, 1976).
Para ekonom sejak dulu telah mendiskusikan kontiribusi peran sektor
pertanian dalam pembangunan ekonomi, khususnya kontribusinya terhadap
pertumbuhan secara keseluruhan dan terhadap modernisasi (Stringer, 2001).
Melihat karakter peran pertanian dalam pembangunan ekonomi dan
mengidentifikasi berbagai cara untuk meningkatkan peran tersebut telah menjadi
tema klasik dalam ekonomi pembangunan (Mellor, 1966; Mellor 1986; Winters et
29
al, 1998). Beberapa ahli seperti Rosentein-Rodan (1943), Lewis (1954); Scitovsky
(1954); Hirschman (1958); Jorgenson (1961); serta Ranis dan Fei (1961)
menggarisbawahi peran pertanian karena kelimpah ruahan sumberdaya alamnya
dan suplai tenaga kerjanya serta kemampuan sektor ini untuk memberikan surplus
transfer pada sektor industri. Sedangkan Hayami and Ruttan (1985) dan Winters
et al. (1998) secara spesifik menyatakan bahwa untuk beberapa negara yang
hendak melakukan industrialisasi, sektor pertanian merupakan sumber utama yang
dapat dimanfaatkan untuk melakukan investasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa
suksesnya industrialisasi tergantung kepada adanya solusi terhadap berbagai
masalah yang berkaitan dengan penciptaan, transfer dan penggunaan surplus dari
sumberdaya sektor pertanian.
Dengan perannya sebagai penyedia bahan baku bagi sektor industri, peran
utama pertanian dalam transformasi perekonomian yang sedang berkembang
sering dipandang sebelah mata dalam strategi sentral melalui percepatan laju
indutrialisasi (Stringer, 2001; Vogel, 1994). Secara khusus Hirschman (1958)
mengabaikan pertanian sebagai sumber pertumbuhan, karena kegagalan sektor
pertanian untuk memperlihatkan keterkaitan ke depan dan ke belakang yang kuat
antar industri yang diperlukan bagi pembangunan. Selanjutnya Hirschman (1958)
menjelaskan bahwa lemahnya keterkaitan ke belakang dari sektor pertanian
mengakibatkan gagalnya sektor ini untuk menginduksi terbentuknya kapital. Hal
inilah yang mengakibatkan bahwa sektor pertanian tidak dapat dijadikan sebagai
sektor andalan dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. Dalam kaitan ini
Jhingan (1991) menyatakan bahwa ada pandangan yang berbeda antara
30
Hirschman dan Adelman dalam hal pengembangan sektor pertanian. Perbedaan
pendapat itu terletak pada kriteria pemilihan sektor kunci (leading sector).
Kriteria yang digunakan Hirschman dalam menentukan sektor kunci
dikritik oleh Aldeman sebagai terlalu sempit, karena hanya mempertimbangkan
keterkaitan produk dan yang lebih spesifik keterkaitan ke belakang. Hal ini tentu
saja dapat menempatkan sektor pertanian pada sektor yang inferior. Pada
kenyataannya berdasarkan hasil penelitian Syafaat dan Mardianto (2002); Poonyth
et al. (2001); Anderson and Strutt (1999); Delgado, et al. (1994); Haggblade et al.
(1991); Bautista (1986); Adelman (1984); Rangarajan(1982); Bell dan Hazell
(1980); menunjukkan bahwa keterkaitan antar sektor pertanian dengan sektor
industri tidak hanya keterkaitan produk, tetapi ada media keterkaitan lainnya yaitu
keterkaitan konsumsi, investasi dan tenaga kerja yang mampu menjelaskan secara
lebih menyeluruh mengenai keterkaitan ke dua sektor tersebut. Oleh karena itu
kriteria yang digunakan oleh Hirschman untuk menentukan sektor kunci tidak
mampu menjelaskan potensi keterkaitan sektor pertanian dengan industri (Syafaat
dan Mardianto, 2002).
Dari hasil identifikasinya terhadap sumber pertumbuhan output nasional,
Syafaat dan Mardianto (2002) menemukan bahwa sektor pertanian mempunyai
kontribusi yang tinggi dalam pembentukan output nasional. Walaupun demikian
pengembangan sektor pertanian primer saja tidak cukup memadai untuk
mempatkan sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi nasional. Untuk
mengatasi kelemahan tersebut maka perlu dikembangkan sektor komplemen, atau
dengan kata lain pengembangan sektor pertanian harus diletakkan dalam kerangka
pengembangan agribisnis di wilayah pedesaan.
31
Hal tersebut di atas sejalan dengan temuan SMERU Research Institute
(Suryahadi et al., 2006) yang menyatakan bahwa dalam kondisi cepatnya
perkembangan perkotaan di Indonesia, sektor pedesaan masih memegang peran
penting perekonomian nasional. Mayoritas penduduk Indonesia masih tinggal dan
bekerja di pedesaan, yang utamanya masih pada sektor pertanian. Bukti yang kuat
menunjukkan bahwa 80% penduduk miskin ditemukan di pedesaan. Oleh karena
itu diperlukan strategi yang efektif untuk meningkatkan perekonomian masyarakat
pedesaan. Karena secara khusus area pedesaan senantiasa didentifikasikan sebagai
sektor pertanian, maka pertanyaannya adalah manakah yang paling efektif
mendorong produktivitas terlebih dulu di sektor pertanian atau lebih baik
mengivestasikan pada sektor non pertanian di pedesaan. Dari hasil penelitian
ternyata pertumbuhan sektor pertanian secara kuat menginduksi pertumbuhan
sektor non pertanian di pedesaan. Meskipun berfluktuasi, diduga rata-rata sebesar
1% dari pertumbuhan sektor pertanian dapat menginduksi pertumbuhan sektor
non pertanian sebesar 1.2% di pedesaan. Dengan demikian strategi pembangunan
pedesaan melalui pembangunan sektor pertanian dapat memberikan daya dorong
dalam pertumbuhan ekonomi yang cepat pada wilayah pedesaan di Indonesia.
Syafaat dan Mardianto (2002) dalam hal ini menyarankan pentingnya
pengembangan sistem agribisnis pedesaan karena beberapa hal: (1) Sektor
pertanian dan pedesaan seharusnya masih dianggap sebagai tempat penyerapan
tenaga kerja terbesar dalam ekonomi, sehingga peningkatan pembangunan sektor
pertanian dapat mengatasi masalah pengangguran. (2) Sektor pertanian dan
pedesaan merupakan penopang utama sistem perekonomian nasional, mengingat
sebagian besar populasi berada di pedesaan. Oleh karena itu peningkatan
32
pembanguan pertanian dan pedesaan dapat mendorong perekonomian, mendorong
terjadinya pendewasaan dalam transformasi struktural ke arah industrialisasi, serta
dapat meningkatkan pendapatan sebagian besar penduduk Indonesia sekaligus
mendorong ke arah pengentasan kemiskinan (3) Sektor pertanian sebagai
penghasil makanan pokok dan mengurangi ketergantungan pangan pada pasar
internasional (4) Sektor pertanian dapat membantu menjaga stabilitas
perekonomian nasional, karena bobotnya yang besar dalam indek harga konsumen
(5) Sektor pertanian dapat mendorong ekspor dan mengurangi impor produk-
produk pertanian, pada gilirannya dapat menyumbang pemantapan neraca
pembayaran (6) Sektor pertanian dapat meningkatkan sektor industri, karena
adanya keterkaitan yang erat antara sektor pertanian dengan sektor industri
mencakup keterkaitan produk, konsumsi dan investasi (7) Pengembangan sektor
industri dan komersial yang padat karya dan berbasis pedesaan perlu didorong
dengan insentif fiskal serta diperlukan pengembangan pasar finansial dengan
memanfaatkan nilai nilai masyarakat pedesaan.
Sebagaimana telah didiskusikan pada sub bab sebelumnya, upaya
pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat dibarengi dengan upaya
pengurangan kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran merupakan
konsern utama para pengambil kebijakan (Ali, 2007; Warr, 2006; Islam, 2004;
Bhalla, 2002; Bautista, 2001; Perkins et al, 2001). Para pemimpin negara negara
di Afrika Selatan (Poonyth et al, 2001), Vietnam (Bautista, 2001) dan Indonesia
(Presiden Republik Indonesia, 2006) menjadikan hal ini sebagai perhatian utama.
Lewat tripple track stategy (pro-growth, pro-job, dan pro-poor), Presiden
Republik Indonesia merencanakan peningkatan pertumbuhan dengan
33
mengutamakan ekspor dan investasi, menggerakkan sektor riil untuk menciptakan
lapangan kerja, dan merevitalisasi pertanian, kehutanan, kelautan dan ekonomi
pedesaan untuk mengurangi kemiskinan.
Pembangunan pertanian diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi
sekaligus dapat membantu mengurangi kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan
pengangguran (Warr, 2006; Poonyth et al, 2001; Bautista, 2001; Bautista, 1999).
Strategi pembangunan pertanian yang diharapkan dapat mencapai hal tersebut
dapat dipertimbangkan antara lain adalah strategi Agricultural-Led Growth
(Poonyth, 2001), Agriculture-Based Development (Bautista, 2001), Agribisnis:
Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian di Pedesaan (Saragih, 2001; Syafaat
dan Mardianto, 2002), Agricultural Demand Led Industrialization / ADLI
(Adelman, 1984), dan strategi The Improved-Income-Distribution-with-Growth
(Mellor, 1976 dalam Stevens and Jabara, 1988).
Strategi Agricultural-Led Growth (Poonyth et al, 2001), pada prinsipnya
menekankan bahwa sektor pertanian adalah merupakan sektor pemimpin dalam
pembangunan ekonomi karena sektor pertanian merupakan pendorong bagi
pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu sektor pertanian perlu mendapat perhatian
utama dibandingkan sektor lainnya karena potensinya dalam mendorong
pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja. Pembangunan sektor
pertanian yang produktif dan pedesaan yang lebih baik merupakan kunci bagi
pertumbuhan sektor pertanian dan merupakan prekondisi bagi suksesnya
pembangunan ekonomi.
Strategi Agriculture-Based Development (Bautista, 2000; 2001),
didasarkan pada pertimbangan bahwa di banyak negara-negara berpendapatan
34
rendah mayoritas penduduknya berada di wilayah pedesaan, dimana sektor
pertanian merupakan sumber utama kehidupan. Strategi ini menjadi lebih efektif
dibandingkan strategi subtitusi impor maupun strategi export-led industrialization,
berdasarkan pertimbangan bahwa memberikan peluang penciptaan pendapatan,
secara langsung maupun tidak langsung kepada penduduk di pedesaan. Melalui
strategi ini sumberdaya publik ditingkatkan untuk dialokasikan bagi sektor
pertanian dan pedesaan dan diharapkan dapat meningkatkan produktivitas
pertanian dan pendapatan penduduk pedesaan.
Adapun strategi Agribisnis: Pembangunan Ekonomi Berbasis Pertanian di
Pedesaan (Saragih, 2001; Syafaat dan Mardianto, 2002), didasari pertimbangan
bahwa pengembangan sektor pertanian primer saja tidak cukup memadai untuk
menempatkan sektor pertanian sebagai penggerak ekonomi nasional. Untuk
mengatasi kelemahan tersebut maka perlu dikembangkan sektor komplemen baik
sektor hulu maupun hilirnya di pedesaan. Dengan kata lain pengembangan sektor
pertanian harus diletakkan dalam kerangka pengembangan agribisnis di wilayah
pedesaan.
Strategi Agricultural Demand Led Industrialization / ADLI (Adelman,
1984) lahir sebagai jawaban atas kegagalan strategi Export-Led Industrialization
dalam mengatasi masalah mendasar yang dihadapi negara berkembang. Strategi
ini merupakan satu dari strategi pembangunan nasional berbasis pada pertanian
sebagai sektor primer dan pengembangan industri dengan penekanan kuat pada
keterkaitan antara pertanian dan industri serta interaksinya. Strategi ADLI akan
menekankan pada peningkatan produktivitas pertanian sebagai sarana untuk
mencapai industrialisasi. Strategi ini akan mencapai tujuan industrialisasi melalui
35
pengembangan/perluasan permintaan internal untuk barang barang yang
dihasilkan oleh industri domestik.
Adapun strategi The Improved-Income-Distribution-with-Growth (Mellor,
1976 dalam Stevens and Jabara, 1988), lebih menekankan pada peningkatan
pemerataan pendapatan. Strategi pertumbuhan berorientasi pada tenaga kerja ini
didasarkan pengalaman dengan berbagai masalah pembangunan yang terjadi di
India dan Afrika Selatan, serta memfokuskan pada pertanian berukuran kecil
sampai menengah. Strategi ini mempunyai tiga prioritas utama. Pertama,
mengakselerasi pertumbuhan dari sektor pertanian dengan fokus pada: (1)
kecukupan kebutuhan akan input pupuk (2) investasi secara masif pada
infrastruktur pengendalian air khususnya yang berskala kecil, mengelola dan
mengendalikan proyek-proyek dengan baik (3) memperluas kegiatan penelitian
(4) memperluas keberadaan penyuluh yang terlatih untuk membantu petani-petani
kecil.
2.3. Pola Pengembangan Perkebunan
Dalam pengembangan perkebunan di Indonesia, khususnya dalam
pengembangan perkebunan kelapa sawit, pola pengembangan yang telah sangat
dikenal adalah pola pemberian Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya
(KKPA), dan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) (Mangoensoekarjo dan
Semangun, 2003; Fauzy et al., 2002). Dewasa ini dalam rangka untuk
meningkatkan kinerja perkebunan di Indonesia telah dikembangkan sistem
pengembangan perkebunan dengan pola Perusahaan Patungan (Joint Venture).
Berikut ini akan diuraikan tentang tiga pola pengembangan perkebunan tersebut.
36
2.3.1. Pola Kredit Koperasi Primer untuk Anggotanya
Sistem pengembangan perkebunan dengan pola Kredit kepada Koperasi
Primer untuk Anggotanya (KKPA) diterapkan mengacu pada Surat Keputusan
Menteri Pertanian No. 73/Kpts/OT.210/2/98 dan Surat Keputusan Bersama
Menteri Pertanian dan Menteri Koperasi dan Pembinaan Usaha Kecil
No.:01/SKB/M/II/1998. Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya
(KKPA) adalah kredit investasi dan atau kredit modal kerja yang diberikan oleh
Bank kepada Koperasi Primer untuk diteruskan kepada anggota-anggotanya guna
membiayai usaha anggota yang produktif.
Adapun tujuan dari diterapkannya pola KKPA ini adalah untuk:
(1) meningkatkan penghasilan dan pendapatan petani peserta melalui
pengembangan dibidang usaha perkebunan, (2) meningkatkan usaha KUD melalui
hubungan kemitraan, (3) menumbuh kembangkan peran dan fungsi KUD dalam
mewujudkan interaksi yang utuh antara usaha anggota dengan KUD dalam upaya
meningkatkan produktivitas dan tingkat efisiensi, (4) memberdayakan KUD agar
mampu memanfaatkan peluang bisnis di wilayah pengembangan kebun plasma,
(5) meningkatkan pembinaan dan pengendalian dalam pembangunan perkebunan,
dan (6) meningkatkan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan modal
secara optimal untuk dapat meningkatkan produktivitas dan tingkat efisiensi.
Dengan sasaran agar: (1) terwujudnya kesadaran dan kemampuan anggota, dalam
melaksanakan pekerjaan yang dilakukan secara kooperatif jauh lebih produktif
dan efisien dalam pengembangan usaha perkebunan, (2) terwujudnya hubungan
kemitraan antara KUD/petani peserta dengan Perusahaan Inti, dan (3)
37
terwujudnya usaha tani perkebunan rakyat yang efisien dengan produktivitas yang
optimal dan mempunyai daya saing tinggi.
Berdasarkan tujuan dan sasaran dari SKB tersebut secara eksplisit
dinyatakan ada dua pihak yang terlibat dalam upaya pengembangan perkebunan,
yakni Koperasi Unit Desa (sebagai wakil petani) dan Perusahaan Inti. Oleh
karenanya dalam SKB tersebut diatur pula peran, fungsi dan kegiatan KUD dan
Perusahaan Inti. Peran, fungsi dan kegiatan KUD adalah: (1) melakukan kegiatan
usaha dalam pengembangan kemampuan petani anggotanya dan wilayah usaha
pembangunan perkebunan; (2) meningkatkan produktifitas dan tingkat efisiensi
dalam pengelolaan usaha tani dan usaha lainnya; (3) meningkatkan kesadaran
anggota agar aktif berkoperasi; (4) melaksanakan kegiatan usaha dengan
Perusahaan Inti melalui hubungan kemitraan sesuai dengan tahapan pembangunan
kebun plasma meliputi: masa konstruksi, masa penyerahan kebun sampai
pelunasan kredit, dan masa pasca kredit lunas; (5) mengupayakan peningkatan
kesejahteraan petani peserta dan keluarganya melalui berbagai kegiatan usaha,
antara lain: simpan pinjam, penyediaan dan penyaluran sarana produksi,
kebutuhan pokok sehari-hari serta jasa lainnya, dan kegiatan pemeliharaan kebun,
jalan, penanganan pasca panen, pengangkutan hasil produksi, dan kegiatan lain
yang terkait, serta peremajaan tanaman dengan menggunakan dana
IDAPERTABUN yang disisihkan dari hasil penjualan produksi petani peserta;
(6) KUD menyerahkan kebun plasma kepada masing-masing petani peserta
dilengkapi dengan fotokopi sertifikat tanah dan dokumen lain yang diperlukan;
(7) KUD melakukan pengelolaan kebun plasma yang telah diserahkan oleh
Perusahaan Inti secara kelompok; dan (8) KUD menjual hasil produksi kebun
38
plasma kepada Perusahaan Inti yang merupakan mitranya. Selanjutnya sesuai
dengan skim KKPA, maka KUD dapat bertindak sebagai pelaksana pemberian
kredit (executing agent), atau penyalur kredit (chanelling agent).
Perusahaan Inti bertugas: (1) membimbing, memberi bantuan teknis
budidaya dan manajemen kepada KUD/petani peserta sesuai dengan tahapan
pembangunan kebun plasma sehingga KUD/petani peserta dapat melaksanakan
kegiatan usahanya dan bermitra dengan baik, melaksanakan pembangunan kebun
plasma sesuai dengan ketentuan yang berlaku, membeli, mengolah dan
memasarkan seluruh hasil produksi kebun plasma; (2) memberi peran kepada
KUD dalam masa konstruksi, masa penyerahan sampai pelunasan kredit dan masa
pasca kredit lunas; (3) membangun kebun inti dan atau fasilitas pengolahan sesuai
standar yang ditentukan pemerintah; dan (4) membantu dalam pemotongan
angsuran kredit sampai lunas dan IDAPERTABUN pada saat pembayaran harga
hasil produksi yang besarnya sesuai kesepakatan antara Perusahaan Inti dan KUD.
2.3.2. Pola Perkebunan Inti Rakyat
Sistem pengembangan perkunan dengan pola Perkebunan Inti Rakyat
(PIR) diterapkan mengacu Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia
No.: 60/Kpts/KB.510/2/98 tentang pembinaan dan pendegelasian pengembangan
perkebunan pola Perusahaan Inti Rakyat. Pengembangan perkebunan pola
Perusahaan Inti Rakyat (PIR-BUN) adalah pengembangan perkebunan yang
menggunakan perkebunan besar sebagai inti yang membantu dan membimbing
perkebunan rakyat disekitarnya sebagi plasma yang dibiayai dari berbagai sumber
pendanaan dan dilaksanakan dalam suatu sistem kerjasama kemitraan yang saling
menguntungkan, utuh dan berkesinambungan.
39
PIR-BUN merupakan satu paket pengembangan wilayah perkebunan yang
utuh yang terdiri dari: (1) Komponen Utama, meliputi: pembangunan perkebunan
dan atau fasilitas pengolahan sebagai inti, dan pembangunan kebun plasma
termasuk sarana dan prasarana jalan; dan (2) komponen penunjang meliputi
peningkatan kualitas manajemen kelembagaan. Semua komponen sebagaimana
dimaksud harus terjamin keutuhan dan kualitasnya baik pada tahap persiapan,
pelaksanaan, maupun pasca pelaksanaan guna kelangsungan usaha.
Tujuan pembinaan dan pengendalian PIR-BUN adalah: (1) meningkatkan
pembangunan perkebunan rakyat secara intensif, terarah dan terpadu dalam
menambah pendapatan dan kesejahteraan petani, (2) meningkatkan pengelolaan
dan pemanfaatan sumberdaya lahan dan modal secara optimal untuk dapat
meningkatkan produktivitas dan efisiensi, (3) meningkatkan kemampuan
kelembagaan ekonomi petani plasma dalam wadah koperasi sehingga mampu
berperan dalam agribisnis, (4) Mewujudkan kemitraan agribisnis yang kuat antara
koperasi/petani plasma dan perusahaan inti perkebunan, dan (5) meningkatkan
pelaksanaan pencapaian sasaran pembangunan perkebunan secara efisien.
Sama halnya dengan pada pola KKPA, pada pola PIR juga melibatkan
koperasi/petani plasma dan perusahaan ini dengan hak dan kewajibannya juga
diatur dalam SK Menteri Pertanian ini. Koperasi/petani plasma mempunyai hak-
hak yang meliputi: (1) memperoleh bimbingan dan pembinaan dari Perusahaan
Inti sesuai ketentuan yang berlaku, (2) memperoleh informasi tentang sumber
pendanaan oleh Perusahaan Inti, (3) memperoleh kesempatan untuk memiliki
sebagian unit pengolahan hasil perusahaan inti sesuai kesepakatan kedua belah
pihak, (4) ikut membantu dalam pembangunan kebun, dan (5) memperoleh
40
tanaman yang memenuhi standar teknis. Disamping itu Koperasi/petani plasma
mempunyai kewajiban, meliputi: (1) mengikuti secara aktip perkembangan
pelaksanaan Kebun Plasma oleh Perusahaan Inti dan mengupayakan penyelesaian
terhadap penyimpangan yang terjadi, (2) melaksanakan atau mengkoordinasikan
pengangkutan hasil produksi Petani Plasma ke pabrik dan penyediaan sarana
produksi (saprodi), (3) mengkoordinasikan pemeliharaan jalan produksi/koleksi
dan pemeliharaan tanaman, (4) mendorong petani plasma untuk menabung dan
atau ikut asuransi guna menyediakan dana untuk peremajaan antara lain melalui
IDAPERTABUN, (5) mengembangkan pengelolaan kebun secara bersama
melalui kelompok hamparan, dan (6) mencegah penjualan produksi kepada pihak
lain dan mencegah adanya pungutan di luar ketentuan.
Sementara itu, Perusahaan Inti mempunyai hak-hak sebagai berikut:
(1) menentukan sistem manajemen untuk menjamin kwalitas dan produktivitas
kebun, (2) memperoleh daftar petani, lokasi dan luas lahan pemilikan serta
menentukan tata ruangnya, dan (3) memperoleh seluruh produksi petani peserta
untuk dibeli dan diolah di pabrik milik perusahaan inti. Dan kewajiban
Perusahaan Inti meliputi: (1) membangun Kebun Plasma dengan prasarana, kebun
inti dan atau pabrik sesuai standar teknis, (2) meningkatkan kemampuan
Kelompok Tani dan Koperasi agar dapat melaksanakan manajemen produksi
sehingga tercapai peningkatan mutu dan produktivitas, (3) menyampaikan laporan
perkembangan pelaksanaan pembangunan kebun kepada Instansi pembina baik
investasi maupun fisik, (4) menanggung kerugian akibat kelalaian dalam
membangun Kebun Plasma yang tidak sesuai dengan standar teknis,
(5) menyerahkan Kebun Plasma kepada Koperasi/kelompok tani tepat pada
41
waktunya dengan mutu sesuai standar teknis, (6) mendorong petani plasma untuk
menabung atau ikut asuransi dalam rangka peremajaan tanaman antara lain
melalui IDAPERTABUN, dan (7) membeli seluruh produksi Kebun Plasma
dengan harga yang layak.
2.3.3. Pola Patungan Pengembangan Perkebunan
Direktorat Pengembangan Perkebunan dan Direktorat Jenderal Bina
Produksi Perkebunan Departemen Pertanian telah menerbitkan pedoman
pembangunan agribisnis kelapa sawit 1500 ha pola terpadu. Dengan pertimbangan
bahwa pengelolaan sumberdaya alam yang ada di tanah air ini ditujukan untuk
sebesar-besarnya masyarakat, maka pengembangan 1500 ha pola terpadu ini harus
dapat melibatkan sebesar-besarnya peran serta masyarakat. Untuk itu, pola
pengembangan yang dipandang tepat adalah pola patungan. Pola patungan ini
pada dasarnya pola pengembangan perkebunan yang sahamnya sebagian dimiliki
oleh koperasi dan sebagian dimiliki oleh perusahaan/investor dan atau pemerintah
daerah. Dengan demikian, petani berstatus sebagai pemegang saham, anggota
koperasi perkebunan dan sekaligus menjadi karyawan atau anggota manajemen
perusahaan (http://www.deptan.go.id/ditbangbun/pedoman.htm, diakses tanggal
12 Juni 2005).
Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa alternatif yang dapat diterapkan
dalam pola patungan tersebut. Alternatif I: Seluruh saham kebun dimiliki oleh
koperasi, pabrik pengolahan sahamnya dimiliki keseluruhan oleh
pengusaha/investor, yang kemudian dikelola sebagai perusahaan patungan.
Alternatif II: Seluruh saham kebun dimiliki oleh koperasi, pabrik pengolahan
sahamnya dimiliki sebagian oleh koperasi dan sebagian oleh pengusaha/investor
42
dan pemerintah daerah, yang kemudian dikelola sebagai perusahaan patungan.
Alternatif III: Sebagian saham kebun dimiliki oleh koperasi, sebagian lainnya
dimiliki oleh pengusaha/investor dan pemerintah daerah, pabrik pengolahan
sahamnya dimiliki sebagian oleh koperasi dan sebagian oleh pengusaha/investor
dan pemerintah daerah, yang kemudian dikelola sebagai perusahaan patungan.
Alternatif IV: Sebagian saham kebun dimiliki oleh koperasi, sebagian lainnya
dimiliki oleh pengusaha/investor dan pemerintah daerah, pabrik pengolahan
sahamnya dimiliki sebagian oleh pengusaha/investor dan sebagian oleh
pemerintah daerah.
Untuk kepemilikan saham kebun bagi anggota koperasi, disarankan
nilainya setara dengan luasan kebun sawit 4 ha. Dengan kepemilikan tersebut,
petani akan lebih mampu untuk meningkatkan kesejahteraannya secara
berkesinambungan. Pemilihan alternatif pola patungan tersebut tentunya sangat
tergantung kepada daerah masing-masing, termasuk kemampuan
masyarakat/koperasi dalam menyediakan modal sebagai penyertaan saham
perusahaan patungan.
Perusahaan patungan yang akan dibentuk sangat memerlukan tenaga-
tenaga profesional demi keberlangsungan jalannya perusahaan tersebut. Untuk
memperoleh tenaga profesional dari pemegang saham khususnya
petani/masyarakat perlu adanya peningkatan kemampuan SDM dari para
petani/masyarakat pemegang saham serta penguatan kelembagaan
petani/koperasi. Dalam hal ini Pemerintah Daerah bersama dengan perusahaan
mitra investor bertanggung jawab untuk peningkat SDM tersebut.
43
Melalui pengembangan pola patungan ini, maka berbagai manfaat akan
diperoleh, baik bagi petani, koperasi, pengusaha, maupun pemerintah daerah,
yaitu: (1) petani/anggota koperasi memperoleh 2 sumber pendapatan, yaitu selain
dari kebunnya sebagai tenaga kerja juga mendapatkan deviden dari perusahaan
patungan; (2) kelangsungan usaha akan lebih terjamin, karena tidak akan lagi
terjadi konflik usaha dengan masyarakat; (3) terjaminnya ketersediaan minyak
goreng, mentega dan sabun dilokasi dengan harga terjangkau; (4) prasarana jalan
di daerah tidak cepat rusak, karena lalu-lalang TBS berkurang dan tonase
kendaraan yang lebih ringan; dan (5) ekonomi wilayah akan lebih cepat
berkembang dan akan mendorong meningkatnya pendapatan daerah.
2.4. Tinjauan Studi Dayasaing dan Matriks Neraca Kebijakan
Dayasaing pada prinsipnya merupakan kemampuan suatu produsen untuk
memproduksi komoditi dengan mutu baik dan biaya produksi yang rendah
sehingga pada harga pasar internasional produsen dapat memperoleh keuntungan
dan dapat mempertahankan kelanjutan kegiatan produksinya. Lindert dan
Kindleberger (1993), menyebutkan bahwa konsep daya saing berpijak pada dari
konsep keunggulan komparatif yang pertamakali dikenal dengan model Ricardian,
yang dikenal dengan hukum keunggulan komparatif (the law of comparative
advantage) dari Ricardo. G. Habler selanjutnya menyempurnakan teori
keunggulan komparatif, yaitu dengan menafsirkan bahwa labour of value hanya
dapat digunakan pada barang antara, sehingga menurutnya teori biaya imbangan
(theory opportunity cost) dipandang lebih relevan. Selanjutnya teori H. Ohlin
tentang pola perdagangan menyatakan bahwa: “Komoditi yang dalam
produksinya memerlukan faktor produksi (yang melimpah) dan faktor produksi
44
(yang langka) diekspor untuk ditukar dengan barang-barang yang membutuhkan
faktor produksi dalam proporsi yang sebaliknya. Jadi secara tidak langsung faktor
produksi yang melimpah diekspor dan faktor produksi yang langka diimpor”.
Rahman, Sudaryanto dan Simatupang (2003) mengemukakan bahwa
konsep keunggulan komparatif merupakan ukuran daya saing potensial dalam
artian daya saing yang akan dicapai apabila perekonomian tidak mengalami
distorsi sama sekali. Komoditi yang memiliki keunggulan komparatif dikatakan
juga memiliki efisiensi secara ekonomi. Keunggulan komparatif bersifat dinamis.
Menurut Schydlowsky (1984) faktor-faktor yang berubah adalah ekonomi dunia,
lingkungan domestik dan teknologi. Berdasarkan uraian uraian tersebut,
keunggulan komparatif adalah suatu ukuran relatif yang menunjukkan potensi
keunggulan komoditi tersebut dalam perdagangan di pasar bebas. Sedangkan
keunggulan kompetitif masih menurut Rahman, Sudaryanto dan Simatupang
(2003) merupakan pengukur daya saing suatu kegiatan pada perekonomian aktual.
Adapun Porter (1985), Martin et al. (1991) , Tweeten (1992) dan Wild, Wild dan
Han (1999) menyatakan bahwa keunggulan daya saing pada prinsipnya
merupakan kemampuan suatu negara/perusahaan untuk mempertahankan dan
meningkatkan pangsa pasar secara menguntungkan dan berkelanjutan melalui
pemanfaatan keunggulan komparatifnya. Sementara itu menurut Porter (1990)
menyatakan teori keunggulan kompetitif suatu negara terhadap suatu industri
tegantung kepada kapasitas dan kemampuan untuk melakukan inovasi dan up
grade. Terdapat empat elemen yang dimiliki setiap negara untuk membentuk
basis keunggulan kompetitif yaitu kondisi input (factor conditions), kondisi
45
permintaan (demand conditions), industri penunjang (related and supporting
industies) dan struktur pasar (firm strategy, structure and rivalry).
Dalam konteks PAM, efisiensi merujuk pada kemampuan sistem usaha
tani untuk menghasilkan keuntungan pada harga efisien atau harga sosial. Hal ini
merefleksikan bahwa dalam sistem usaha tani tidak terjadi pendistorsian
kebijakan dan kegagalan pasar. Sedangkan tingkat dayasaing (competitiveness)
merefleksikan kemampuan dari usaha tani untuk menghasilkan keuntungan pada
harga aktual (pasar) atau harga privat pada lokasi usaha tani tersebut berada
(Rasmikayati dan Nurasiyah, 2004 ; Pearson et al. , 2005)
Oktaviani (1991) melakukan studi untuk menganalisis efisiensi finansial,
efisiensi ekonomis dan keunggulan komparatif dari komoditas pangan di
Indonesia dengan menggunakan Policy Analysis Matrix. Hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa komoditas pangan di enam propinsi di tahu 1984 dan 1989
memiliki keunggulan kompetitif dan komparatif, Hal ini ditunjukkan dari nilai
keuntungan privat dan sosial yang sama-sama positif. Sedangkan dari sisi
kebijakan pemerintah diketahui bahwa secara keseluruhan kebijakan pemerintah
tidak memberikan insentif bagi produsen untuk berproduksi.
Simanjutak (1992) melakukan studi untuk menganalisis dayasaing dan
dampak kebijaksanaan pemerintah terhadap dayasaing perusahaan kelapa sawit di
Indonesia. Analisis dayasaing dilakukan dengan menggunakan pendekatan Policy
Analysis Matrix sedangkan untuk menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
produksi dibangun sebuah model berdasarkan fungsi produksi Cobb-Douglas.
Dari hasil penelitian diketahui bahwa secara umum pada periode 1985 -1989 PTP
masih cukup mempunyai keunggulan kompetitif dan komparatif sebagai penghasil
46
CPO dan Inti. Perusahaan Swasta Asing mempunyai keunggulan kompetitif dan
komparatif yang jauh lebih tinggi dibandingkan PTP dalam menghasilkan devisa,
sedangkan Swata Nasional masih belum mempunyai keunggulan kompetitif dan
komparatif. Dari sisi produktivitas, beberapa faktor utama yang dapat
mempengaruhi biaya produksi adalah produktivitas TBS, CPO dan Inti per hektar,
pengaruh kenaikan harga input produksi dan keadaan alokasi input produksi
variabel.
Matoskova and Izakova (2003) melakukan studi yang bertujuan untuk
mendefenisikan sifat kompetitif dari kelompok-kelompok pangan terpilih di
Slovakia berdasarkan indikator keunggulan komparatif (DRC dan PCR), dan
menangkap dampak kebijakan ekonomi terhadap biaya dan pendapatan dari
produk-produk pangan berdasarkan pada efek penyebaran (I, J, K, L) dan
koefisien-koefisien proteksi nominal (NPCI dan NPCO) dan proteksi efektif
(EPC, PC, dan SRP). Analisis Policy Accounting Matrix (PAM) digunakan untuk
menganalisis menghitung indikator keunggulan komparatif dan dampak kebijakan
ekonomi terhadap biaya dan pendapatan dari produk-produk pangan.
Berdasarkan hasil analisis PAM dapat disimpulkan bahwa: Pertama,
milling industry pada tahun 1998 dan 1999 secara ekonomi efektif dan tidak
hanya memiliki keunggulan komparatif pada pasar domesik, namun juga memiliki
keunggulan komparatif pada pasar internasional. Pada waktu yang bersamaan,
pada kedua tahun tersebut keuntungan diperoleh baik berdasarkan harga individu
maupun berdasarkan harga sosial.
Kedua, beberapa feedstuffs industry memiliki keunggulan komparatif pada
pasar internasional dan memiliki nilai keuntungan yang positif berdasarkan harga
47
sosial. Namun demikian, feedstuffs industry pada pasar domestik tidak memiliki
keunggulan komparatif dan cenderung merugi. Ketiga, pasta industry tidak
memiliki keunggulan komparatif baik pada pasar internasional maupun pada pasar
domestik, serta cenderung merugi baik berdasarkan harga individu maupun harga
sosial. Keempat, spirits industry memiliki keunggulan kompetitif pada pasar
domestik dan memberikan keuntungan berdasarkan harga individu. Namun
demikian, industri ini tidak memiliki keunggulan komparatif pada pasar
internasional. Kelima, wine industry mempunyai keunggulan kompetitif dan
menguntungkan. Namun industri ini sangat tidak kompetitif pada tahun 1999
dibandingkan dengan tahun 1998. Keenam, beer industry efisien secara ekonomi
pada tahun 1998 dan 1999. Industri ini memiliki keunggulan komparatif pada
pasar domestik maupun pasar internasional, serta memberikan keuntungan baik
berdasarkan harga individu maupun berdasarkan harga sosial. Ketujuh, malt
industry tidak memiliki keunggulan komparatif dan tidak menguntungkan pada
tahun 1998. Pada tahun 1999 juga masih kurang kompetitif pada pasar
internasional, namun pada pasar domestik berada pada posisi kompetitif. Untuk
meningkatkan keunggulan komparatif dan kompetitif upaya untuk menekan biaya
produksi perlu dilakukan oleh berbagai produsen industri pangan.
Studi lainnya yang menggunakan analisis yang sama dilakukan oleh Hai
and Heidhues (2004). Studi ini dilakukan berdasarkan pengamatan atas fenomena
bahwa percepatan perubahan lingkungan ekonomi global dan reformasi ekonomi
domesik di Vietnam telah mengedepankan isu-isu keunggulan komparatif dari
sektor perberasan. Pada tahun-tahun belakangan ini, Vietnam telah berupaya
untuk meningkatkan kompetitif pasar ekspor berasnya. Studi ini bertujuan untuk
48
menguji fluktuasi keunggulan komparatif produksi beras Vietnam berdasarkan
sejumlah skenario dari liberalisasi perdagangan dan reformasi ekonomi di
Vietnam. Untuk menganalisis permasalahan tersebut, Policy Analysis Matrix
(PAM) digunakan dan dilengkapi dengan model ekonometrika.
Studi ini memasukkan sejumlah skenario simulasi dari liberalisasi
perdagangan dan reformasi ekonomi, menggunakan beragam faktor tunggal dan
kelompok faktor seperti harga produk dan biaya-biaya input, seperti harga impor
pupuk, lahan, biaya air, tenaga kerja dan sebagainya. Hasil empiris
menggambarkan bahwa pada tahun 1998 (skenario dasar), keunggulan komparatif
beras relatif tinggi dan menggunakan sumberdaya domestik seperti lahan, tenaga
kerja dan air, yang efisien secara ekonomi. Elastisitas dugaan DRC terhadap harga
beras dunia dan nilai tukar bayangan (shadow exchange rate) pada tahun 1998
memperlihatkan kondisi keunggulan komparatif. Elastisitas dugaan DRC terhadap
sewa lahan, biaya sosial tenaga kerja, harga impor pupuk, dan biaya air irigasi
mengindikasikan nilai absolut yang kecil dan berdampak negatif terhadap
keunggulan komparatif dengan kenaikan harga. Hasil analisis sensitivitas
menunjukkan bahwa keunggulan komparatif beras sangat sensitif terhadap
perubahan harga ekspor. Dapat ditambahkan bahwa nilai tukar dan sewa lahan
juga penting dalam mempengaruhi keunggulan komparatif sektor perberasan di
Vietnam. Hasil empiris lainnya memperlihatkan bahwa Vietnam masih mampu
meningkatkan keunggulan komparatif produksi beras pada dekade mendatang,
namun demikian keunggulan komparatif secara serius berdampak atau
mengancam kondisi perekonomian secara simultan.
49
Selanjutnya Winter and Nelson (1991) melakukan studi yang
menggunakan analisis PAM dengan tujuan untuk menganalisis kelayakan usaha
dari komoditas Tembakau di Zimbabwe, dan menganalisis kelayakan usaha
tersebut pada berbagai regim yang berbeda, dengan harapan petani dapat
memutuskan untuk menanam komoditas campuran dan mengarahkan petani di
wilayah Afrika ini agar dapat menanamkan modalnya secara tepat.
Hasil studi ini menyebutkan bahwa kelayakan usaha dalam memproduksi
tembakau mendorong petani untuk meningkatkan produksinya pada masa
mendatang. Kelayakan sosial mengandung pengertian bahwa komoditas ini
disamping akan meningkatkan pendapatan petani juga akan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi nasional Zimbabwe. Hasil simulasi menyimpulkan bahwa
pada kondisi hasil dan kualitas yang relatif rendah, dan efek disinsentif dari nilai
tukar yang terlalu tinggi (overvalued exchange rate), diperlukan skema kredit agar
petani tertarik untuk mengusahakan komoditas tembakau. Ketika dilakukan
devaluasi nilai tukar sebesar 20% akan membuat program kredit tidak lagi
diperlukan karena komoditas tembakau akan menjadi sangat menguntungkan
tanpa adanya program kredit.
Studi dengan menggunakan pendekatan policy analysis matrix (PAM)
yang dimodifikasi dilakukan oleh Mohanty and Chaudhary (2002) untuk
menganalisis efisiensi produksi benang sebagai salah satu dari lima komoditas
utama di India. Hasil studi ini mengindikasikan bahwa produksi benang di India
tidak efisien, hal ini disebabkan kebijakan pemerintah secara langung membuat
harga benang menjadi murah dan sektor tekstil menjadi tidak efisien.
50
Aji (2003) di Fakultas Pertanian Universitas Jember melakukan penelitian
menggunakan PAM untuk menganalisis efisiensi dan daya saing sistem usaha tani
kedelai di Jember. Dari hasil penelitiannya diperoleh bahwa sistem usaha tani
kedelai baik untuk varietas umum maupun varietas yang baru kedua duanya
ditemukan efisien dan kompetitif. Tingkat dayasaing dan efisiensi dari varietas
baru dijumpai lebih besar dibandingkan dengan varietas biasa. Private benefit cost
ratio (PBCR) dari sistem usaha tani dengan menggunakan varietas baru lebih
tinggi 13 persen dari PBCR sistem usaha tani dengan varietas yang biasa.
Disamping itu nilai PCR dari sistem usaha tani varitas biasa yang lebih tinggi
(0.33) dibandingkan dengan nilai PCR pada sistem usahatani varietas baru (0.27)
juga mengindikasikan bahwa sistem usahatani varietas baru lebih kompetitif
dibadingkan dengan sistem usahatani varietas biasa.
Rasmikayati dan Nurasiyah (2004) menggunakan PAM untuk meneliti
kelayakan ekonomi dari investasi yang dilakukan untuk pembangunan
pembenihan kentang. Penelitian ini juga mengakses efisiensi relatif dari sistem
usaha tani pembenihan kentang masing masing untuk yang benih tersertifikasi,
domestik dan benih asal impor. Penelitian juga menganalisis tingkat dayasaing
sistem usahatani kentang yang menggunakan benih kentang berasal dari benih
tersertifikasi, domestik dan benih impor. Hasil penelitian menunjukkan ke tiga
sistem usaha tani sama sama memberikan keuntungan yang tinggi baik untuk
harga privat maupun harga sosial. Walaupun demikian tampak bahwa sistem
usaha tani yang berasal dari benih tersertifikasi mempunyai keuntungan yang
secara signifikan lebih baik dibanding dengan sistem usaha tani dengan benih baik
yang berasal dari domestik ataupun impor.
51
Perdana (2003) menggunakan analisis PAM untuk menganilisis tingkat
daya saing dan efisiensi usaha penggemukan sapi di Kabupaten Bandung Jawa
Barat. Dari hasil analisis PAM usaha penggemukan sapi ditemukan amat
menguntungkan, baik pada tingkat harga privat maupun harga sosial. Usaha
penggemukan, baik bibit lokal maupun bibit impor memberikan keuntungan yang
baik serta insetif positif bagi produsen yang mencerminkan penggunaan
sumberdaya yang efisien. Usaha penggemukan sapai dengan bibit lokal, dengan
pakan rumput dan jerami merupakan aktivitas yang paling menguntungkan.
Saptana, Friyatno dan Bastuti (2004) menganalisis dayasaing komoditi
tembakau rakyat di Klaten Jawa Tengah dengan menggunakan analis PAM. Dari
penelitian ini diperoleh hasil bahwa tembakau skalau usaha kecil di Klaten
mempunyai keunggulan komparatif dan kompetitif, masing diindikasikan dari
nilai DRC antara 0.42 – 0.65 dan nilai PCR = 0.55 – 0.67. Walaupun demikian
pasar tembakau khususnya untuk ekspor mengalami distorsi yang sangat tinggi,
dengan adanya bea cukai yang mencapai 30 – 40 persen. Sehingga untuk
Kabupaten Klaten, Jawa Tengah dari segi ekonomi maupun privat akan lebih
menguntungkan meningkatkan produksi dalam negeri dibandingkan dengan
impor.
Romdhon dan Siregar (2004) menggunakan PAM untuk menelaah
dayasaing industri kecil gula kelapa di Kabupaten Banyumas. Dalam penelaahan
kebijakan yang direkomendasikan, penelitian ini menambahkan analisis opsi
kelembagaan dengan menggunakan fungsi logistik. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa pengusahaan komoditas gula kelapa di Kabupaten Banyumas mempunyai
dayasaing yang relatif tinggi. Pengusahaan komoditas tersebut memberikan
52
keuntungan secara privat maupun secara sosial. Hasil analisis menunjukkan
bahwa keuntungan sosial lebih besar dibandingkan dengan keuntungan privat.
Distorsi ini terutama disebabkan oleh kegagalan pasar, dan berkenaan dengan
kontrak tradisional yang umumnya mengikat produsen gula kelapa (penderes).
Dari analisis fungsi logistik diketahui bahwa pendapatan rumah tangga penderes,
karakteristik komoditas yang diusahakan, dan karakteristik kelembagaan
merupakan faktor-faktor penentu opsi kelembagaan pemasaran yang dipilih
penderes.
2.5. Tinjauan Studi Peranan Sektoral dalam Perekonomian
Pada umumnya studi tentang peranan pembangunan ekonomi dilakukan
dengan pendekatan sektoral. Studi dengan fokus utama pada sektor pertanian
dilakukan oleh Arndt et al. (1998), Arndt et al. (2000) dan Nokkala (2002). Studi
Arndt et al. (1998) menggunakan data SAM Mozambique 1995 yang dinamakan
MOZAM. Studi ini dibuat untuk memberikan pemahaman tentang kompleksitas
perekonomian Mozambique (termasuk keterkaitan antar sektor) dengan fokus
utama pada peranan sektor pertanian. Data MOZAM terdiri dari 40 aktivitas
produksi, 40 komoditas dan 3 faktor produksi: pertanian dan non pertanian, tenaga
kerja, dan kapital. Rumahtangga dibedakan menjadi 2 tipe (rumahtangga
perkotaan dan perdesaan), begitu juga dengan government expenditure
(pengeluaran pemerintah) dibedakan menjadi dua bagian, yaitu recurrent
expenditure (pengeluaran rutin) dan government invesment (investasi pemerintah).
Pembagian pengeluaran pemerintah ini dimaksudkan untuk menangkap peran
aliran dana yang digunakan untuk membiayai pengeluaran rekonstruksi. Selain
itu, hal ini juga dimaksudkan untuk memfasilitasi pengamatan terhadap
53
pengeluaran rutin relatif terhadap tax revenue (pajak penghasilan). Analisis yang
dilakukan meliputi analisis multiplier SAM digunakan untuk mengukur dampak
kumulatif baik secara langsung maupun tidak langsung dari suatu shock. Setelah
itu SPA digunakan untuk mendekomposisi nilai multiplier yang dihasilkan
menjadi pilahan-pilahan.
Hasil studi Arndt et al. (1998) ini menyimpulkan bahwa: Pertama,
pengembangan pertanian sangatlah bersesuaian dalam membangun keseluruhan
kegiatan produksi, nilai tambah dan pendapatan rumahtangga. Kedua,
pengembangan pertanian dapat membantu mengurangi kesenjangan pendapatan
antara perkotaan dan perdesaan. Ketiga, strategi pertumbuhan yang ditujukan
untuk mengurangi kemiskinan harus memfokuskan diri pada sektor pertanian, hal
ini diperlihatkan oleh dampak multiplier yang besar pada saat peubah-peubah ini
melalui aliran perekonomian rural people (masyarakat perdesaan).
Arndt et al. (2000) juga melakukan studi yang menyajikan pengukuran
kuantitatif keuntungan potensial karena peningkatan produktivitas sektor
pertanian dan membangun jaringan pemasaran yang lebih baik. Analisis yang
dilakukan didasarkan pada analisis computable general equilibrium (CGE) model
untuk menangkap keunggulan struktural yang penting dari perekonomian
Mozambique. Model ini secara eksplisit mengikursertakan pemilahan biaya
pemasaran untuk kegiatan ekspor, impor dan juga penjualan domestik. Pertanian
diagregasi ke dalam 8 subsektor. Permintaan rumahtangga dibedakan menjadi
permintaan atas barang-barang yang dipasarkan dan barang-barang konsumsi
produk rumahtangga dengan penilaian harga didasarkan pada biaya produksi
(bukan harga pasar).
54
Hasil dari studi ini Arndt et al. (2000) mengindikasikan bahwa
peningkatan produktivitas pertanian adalah hal yang sangat penting untuk
perekonomian Mozambique, karena akan memberikan keuntungan potensial yang
cukup besar bagi perekonomian. Namun, peningkatan output pertanian ini berada
dalam lingkungan yang tidak kondusif, yaitu terdapatnya biaya pemasaran yang
cukup tinggi di sektor pertanian. Hal ini mengakibatkan jatuhnya harga cukup
signifikan. Penurunan ini akan mentransmisikan keuntungan dari faktor
pendapatan ke sektor pertanian dan faktor produksi. Namun, kondisi ini ternyata
membawa keuntungan bagi rumahtangga perdesaan karena tersedianya pangan
yang lebih banyak dan rendahnya harga produsen yang akan menurunkan biaya
konsumsi rumahtangga.
Nokkala (2002) melakukan studi dengan tujuan untuk menelaah
implementasi program investasi sektor pertanian di Zambia dengan menggunakan
kerangka SAM 1995. Ada empat alternatif pola pengeluaran dana investasi sektor
pertanian yang dipresentasikan sebagai suatu skenario kebijakan, yaitu skenario:
(1) implementasi aktual, (2) implementasi optimal, (3) pengeluaran investasi
sepenuhnya pada pertanian non komersial, dan (4) setengah dari pengeluaran
investasi pada pertanian komersial dan setengahnya lagi pada pertanian non
komersial. Kerangka SAM yang dibangun terdiri dari tiga neraca endogen dan
tiga neraca eksogen. Tiga neraca endogen tersebut adalah neraca produksi, faktor
produksi dan institusi, sedangkan neraca eksogen terdiri dari neraca pemerintah,
kapital dan rest of the world (ROW). Di samping itu studi ini mendekomposisi
matriks multiplier ke dalam empat komponen, yaitu: (1) initial injection (injeksi
awal), (2) kontribusi bersih dari transfer efek multiplier sebagai hasil dari transfer
55
langsung neraca endogen, (3) kontribusi bersih dari open-loop effect yang
menyerap interaksi antara tiga neraca endogen, dan (4) kontribusi bersih dari
sirkulasi closed-loop effect yang menjamin bahwa arus pendapatan antara neraca
endogen saling berhubungan.
Hasil analisis empat skenario kebijakan investasi oleh Nokkala (2002)
menyatakan bahwa shocks pengeluaran aktual (skenario 1) Agricultural Sector
Investment Program (ASIP) mendorong produksi pertanian komersial tumbuh
lebih besar daripada pertanian non komersial. Dari aspek pendapatan, program
ASIP meningkatkan pendapatan rumahtangga perdesaan tidak berkeahlian lebih
besar daripada rumahtangga perkotaan tidak berkeahlian dan berkeahlian. Hal ini
mendukung pandangan bahwa investasi di sektor pertanian menguntungkan
penduduk perdesaan, dalam kasus ini kelompok berpendapatan rendah. Hasil
analisis skenario 2, 3 dan 4 memperlihatkan hal yang senada dengan skenario 1,
namun dengan komposisi besaran yang berbeda.
Studi-studi yang secara tegas menganalisis keterkaitan antara sektor
pertanian dan sektor industri juga dilakukan oleh Vogel (1991), Suwandee (1996),
Bautista et al. (1999), dan Bautista (2000). Studi yang dilakukan Vogel (1991),
Bautista et al. (1999) dan Bautista (2000) menggunakan pendekatan SAM dalam
analisisnya, sedangkan Suwandee (1996) menggunakan pendekatan ekonometrika
(analisis cointegration dan error correction).
Bautista (2000) melakukan studi tentang pembangunan industri berbasis
pertanian dengan membangun sebuah model SAM untuk wilayah Viet Nam Pusat,
yang terdiri dari 25 sektor produksi, 5 faktor produksi, 4 kelompok pendapatan
rumahtangga, 2 perusahaan dan masing-masing satu item dalam neraca
56
pemerintahan, kapital dan rest of the world (ROW). Dari hasil analisis dapat
disimpulkan bahwa: Pertama, nilai multiplier output sektor pertanian secara
keseluruhan selalu lebih besar dibandingkan dengan nilai multiplier sektor
pertambangan dan industri pengolahan. Kedua, distribusi pendapatan pada sektor
pertanian dan industri menunjukkan perkembangan positif. Ketiga, nilai multiplier
pendapatan sektor pertanian secara keseluruhan dan dua sektor industri yang
mengolah komoditi pertanian, selalu lebih tinggi pada kelompok rumahtangga
yang berpendapatan rendah dibandingkan dengan yang berpendapatan tinggi, baik
di daerah perkotaan maupun perdesaan.
Keempat, ada hubungan timbal balik antara pertumbuhan pendapatan
rumahtangga pertanian dengan rumahtangga industri. Mekanisme keterkaitan ini
pada akhirnya akan membentuk suatu kekuatan sosial ekonomi yang kuat guna
memperbaiki tingkat produktivitas sektor-sektor tersebut di wilayah pusat
perekonomian. Dengan demikian dapat dinyatakan bahwa strategi agricultural
demand-led industry (ADLI, industri berbasis permintaan sektor pertanian) sangat
relevan diterapkan di wilayah Viet Nam Pusat karena kenaikan sumberdaya
publik bisa dialokasikan kepada sektor pertanian dan perdesaan sehingga
meningkatkan produktivitas sektor pertanian dan pendapatan rumahtangga di
perdesaan, selanjutnya akan menciptakan kekuatan permintaan terhadap barang-
barang produksi non pertanian dalam pasar lokal.
Studi tentang pembangunan industri berbasis pertanian juga dilakukan
oleh Vogel (1991). Studi ini bertujuan untuk mengetahui ketepatan strategi ADLI
dengan membangun kerangka SAM 27 sektor. Pengukuran matriks multiplier
SAM dengan mentransformasikan data ini dengan tiga tahap. Pertama, neraca
57
luar negeri dimasukkan dalam blok endogen dalam rangka untuk mengeksplorasi
open-economy linkages. Kedua, mereduksi SAM ke suatu disagregasi umum
untuk menghilangkan urban bias dari matriks multiplier, dengan memodifikasi
metode agar aliran pendapatan sektor pertanian ke rumahtangga perdesaan dapat
dipertahankan. Ketiga, path analysis memperhitungkan dekomposisi institusi dari
multiplier SAM. Ukuran agregasi kuantitatif dari expenditure paths dengan
mendekomposisi multiplier SAM ke dalam empat kontribusi: input-output,
pengeluaran rumahtangga perdesaan dan perkotaan, dan efek perdagangan luar
negeri. Regresi cross-section dilakukan terhadap 10 multiplier pertanian dan
dekomposisinya untuk menggambarkan perubahan struktural sektor pertanian dan
industri.
Hasil analisis yang dilakukan Vogel (1991) menyimpulkan bahwa:
Pertama, sektor pertanian memiliki keterkaitan ke belakang yang kuat dan
keterkaitan ke depan yang lemah dalam memenuhi kualifikasi pertanian sebagai
leading sector dalam strategi industrialisasi Hirschman. Dekomposisi multiplier
produksi ini menyoroti kontribusi penting dari permintaan rumahtangga pertanian,
membuat ADLI sebagai suatu alternatif kebijakan yang menarik. Kedua,
multiplier pendapatan sektor pertanian rumahtangga perdesaan lebih mendominasi
daripada rumahtangga perkotaan pada negara-negara berpendapatan rendah dan
menengah, sebaliknya untuk negara-negara berpendapatan tinggi. Dekomposisi
multiplier pendapatan rumahtangga perkotaan memberikan imbas terhadap
konsumen rumahtangga perdesaan dan permintaan input antara sektor pertanian.
Ketiga, multiplier pengeluaran rumahtangga pada sektor pertanian dan
dekomposisinya menggambarkan efek Engel dan efek substitusi dari produksi
58
pertanian terhadap permintaan akhir untuk penggunaan input antara. Multiplier
pengeluaran rumahtangga perdesaan pada sektor non pertanian ditemukan
menjadi kunci keterkaitan sektor pertanian terhadap sektor industri. Keempat,
path dari perubahan struktural multiplier impor sektor pertanian memperlihatkan
suatu hambatan struktural dalam mengimplementasi strategi ADLI untuk negara-
negara berpendapatan rendah.
Studi tentang strategi pembangunan industri yang lebih kompleks
dilakukan Bautista et al. (1999), yang mengukur pengaruh dari tiga alternatif
pembangunan industri terhadap perekonomian Indonesia dengan menggunakan
analisis multiplier SAM dan CGE. Tiga alternatif industri yang dimaksudkan
adalah agricultural demand-led industry (ADLI, industri berbasis permintaan
sektor pertanian) food processing-based industry (FPB, industri berbasis
pengolahan pangan), dan light manufacturing-based industry (LMB, industri
berbasis manufaktur ringan).
Analisis menggunakan data SAM Indonesia tahun 1995 ini lebih
difokuskan dari sisi permintaan. Model SAM yang dibentuk terdiri dari 17 sektor
produksi, 6 faktor produksi, 7 kelompok pendapatan rumahtangga, 3 neraca
pemerintahan dan 1 neraca masing-masing untuk perusahaan, modal serta rest of
the world (ROW). Analisis yang dilakukan meliputi: Pertama, analisis multiplier
yang menghitung pengaruh multiplier langsung dan tidak langsung akibat adanya
injeksi dari penerimaan eksogen terhadap sektor-sektor yang mendorong strategi
pembangunan ketiga alternatif industri tersebut. Dalam hal ini, multiplier
pendapatan yang diperoleh akan menunjukkan dampak keterkaitan ekonomi pada
sektor-sektor produksi, dengan asumsi bahwa tidak ada kendala dalam penawaran.
59
Multiplier pendapatan yang dihitung juga selalu dihubungkan dengan kelompok-
kelompok rumahtangga yang berbeda, dengan maksud untuk menggambarkan
adanya hubungan antara pertumbuhan dan pemerataan. Kedua, mengukur tingkat
pemerataan pendapatan dengan membandingkan perubahan pendapatan pada
berbagai kelompok rumahtangga menurut strategi ADLI, FPB dan LMB, dengan
pusat perhatian pada kelompok farm worker (tenaga kerja pertanian), small farm
(usahatani kecil), nonfarm low-income (rumahtangga pertanian berpendapatan
rendah), dan urban low-income (rumahtangga perkotaan berpendapaan rendah).
Dari analisis yang dilakukan Bautista et al. (1999) dapat disimpulkan
bahwa pembangunan industri yang berorientasi pada komoditas pertanian lebih
tinggi dan signifikan pengaruhnya terhadap kenaikan riil GDP Indonesia
dibandingkan dengan pembangunan industri yang berorientasi pada pengolahan
makanan dan industri ringan. Dari aspek distribusi pendapatan, pengaruh
kenaikan GDP lebih besar terhadap perubahan pendapatan kelompok
rumahtangga yang berpendapatan rendah, baik di sektor pertanian maupun di
sektor non pertanian.
Suwandee (1996) melakukan studi dengan tujuan untuk menganalisis
hubungan jangka pendek dan jangka panjang antara pertumbuhan sektor pertanian
dan industri. Perhatian studi ini adalah untuk memperoleh bukti bahwa kemajuan
sektor pertanian dan pertumbuhan industri memberikan kontribusi satu sama lain
dalam proses pembangunan. Studi ini menggunakan data Jepang, Korea Selatan
dan Taiwan yang cenderung memberlakukan derajat proteksi yang tinggi terhadap
sektor pertanian, di sisi lain digunakan data Indonesia, Malaysia dan Thailand
yang cenderung tidak berpihak terhadap sektor pertanian.
60
Suwandee (1996) melakukan analisis dalam dua dua tahap. Tahap
pertama, menyelidiki keberadaan hubungan jangka panjang antara output
pertanian dan industri menggunakan analisis cointegration. Tahap kedua,
menyelidiki hubungan jangka pendek antara pertumbuhan output pertanian dan
industri dengan menggunakan metode error correction. Hasil analisis
cointegration dari model bivariate menunjukkan bahwa ada hubungan jangka
panjang antara output pertanian dan industri pada kasus Jepang, Korea Selatan,
Malaysia, Taiwan dan Thailand, sedangkan pada kasus Indonesia tidak ada
hubungan. Dari analisis dengan metode error correction ditemukan bahwa ada
hubungan bi-directional (dua arah) antara sektor pertanian dan pertumbuhan
industri pada semua negara, kecuali pada kasus Malaysia.
Studi tentang pembangunan ekonomi lainnya dilakukan oleh Kahn dan
Thorbecke (1989) serta Sinha et al. (1999). Kahn dan Thorbecke (1989)
melakukan studi dengan tujuan untuk menganalisis efek makroekonomi dari
pemilihan teknologi terhadap output, tenaga kerja dan distribusi pendapatan. Efek
makroekonomi, baik langsung maupun tidak langsung terhadap pemilihan
teknologi ini dianalisis dengan menggunakan kerangka SAM Indonesia yang
terdiri dari 78 neraca. Dalam studi ini pilihan teknologi pada tingkat sektoral
disajikan dengan melakukan agregasi beberapa sektor (diambil sebanyak 12
sektor yang dianggap mewakili kriteria teknologi yang didasarkan pada asumsi
peneliti) secara dualistik – pilihan teknologi yang digunakan terdiri dari dua
teknik, yaitu tradisional dan modern. Dengan menggolongkan ke-12 sektor
tersebut ke dalam 6 sektor tertentu, dampak dari adanya substitusi secara
menyeluruh dari teknologi tradisional ke dalam teknologi modern, teramati
61
dengan menggunakan agregasi SAM. Dalam studi ini peneliti menggunakan alat
analisis fixed price multiplier (multiplier harga tetap) yang membantu
memperlihatkan dampak awal dari pemilihan teknik teknologi yang digunakan.
Dari analisis yang dilakukan Kahn dan Thorbecke (1989) dapat
disimpulkan bahwa: Pertama, pola distribusi pendapatan dan tenaga kerja sangat
sensitif terhadap pengadopsian teknik baru. Kedua, teknik tradisional
menghasilkan efek output, tenaga kerja dan pendapatan yang lebih besar
dibandingkan teknik modern. Namun jika pilihan ditujukan pada penggunakan
teknologi modern maka rumahtangga perkotaan akan lebih menikmati
dampaknya, meskipun secara umum teknologi dengan teknik modern akan
memberikan pendapatan yang lebih besar bagi perusahaan sebagai institusi lain di
dalam kerangka SAM dibandingkan dengan yang diberikan oleh teknologi dengan
teknik tradisional.
Sinha et al. (1999) melakukan studi dengan menggunakan model SAM
mencoba membangun suatu kerangka makroekonomi sektor formal dan informal
dalam kerangka perekonomian India, dengan fokus analisis adalah sektor formal
dan informal pada faktor produksi dan rumahtangga. Model SAM yang dibangun
terdiri atas 24 sektor produksi dan nilai tambahnya, masing-masing dipisahkan
menjadi sektor formal dan informal. Faktor produksi dari 24 sektor tersebut
kemudian dibedakan atas empat kelompok, yaitu informal labor, formal labor,
informal capital dan formal capital. Keempat faktor produksi tersebut dianalisis
menurut wilayah urban (perkotaan) dan rural (perdesaan). Lebih lanjut, analisis
terhadap rumahtangga di perkotaan dan perdesaan, dipisahkan tipe-tipe
rumahtangga sebagai berikut: (1) untuk sektor formal terdiri atas: rural poor,
62
rural middle, rural rich, urban poor, urban middle dan urban rich; (2) untuk
kelompok sektor informal terdiri atas: rural poor-agriculture, rural middle-
agriculture, rural rich-agriculture, urban poor, urban middle dan urban rich.
Dari hasil simulasi dapat disimpulkan bahwa simulasi kenaikan ekspor tekstil
pada sektor formal dan informal sebesar 20 persen merupakan skenario yang
paling baik, karena dapat meningkatkan pendapatan faktor produksi dan
rumahtangga yang paling tinggi, baik pada sektor formal maupun informal. Nilai
rata-rata yang dihasilkan menunjukkan bahwa faktor produksi pada sektor formal
tampaknya lebih banyak merasakan dampak dari naiknya ekspor tekstil tersebut.
Sedangkan dari aspek distribusi pendapatan dapat diungkapkan bahwa pendapatan
rumahtangga di sektor informal meningkat lebih besar dibandingkan sektor
formal.
Antara (1999), dengan menggunakan pendekatan SAM melakukan analisis
dampak pengeluaran pemerintah dan wisatawan terhadap kinerja perekonomian
Bali. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa produksi tanaman pangan
menimbulkan efek pengganda, dimana peningkatan produksi padi berperan besar
dalam meningkatkan permintaan produk prosuk industri alat angkutan.
Peningkatan alokasi pengeluaran pemerintah untuk infrastruktur ekonomi sebesar
15 persen berdampak menumbuhkan perekonomian Bali sebesar 0.05 persen,
pendapatan rumah tangga 0.05 persen, sektor produksi 0.09 persen dan
khususnya sektor produksi pertanian 0.10 persen.
Berbeda dengan studi studi sebelumnya yang pada umumnya secara
terpisah menggunakan alat analisis ekonomi mikro atau ekonomi regional dalam
memberikan telaahan terhadap suatu kebijakan pembangunan pertanian,
63
penelitian ini menggunakan ke duanya secara bersama-sama. Kajian aspek
ekonomi mikro bertujuan pertama untuk untuk melihat kondisi dayasaing dan
efisiensi perkebunan kelapa sawit petani plasma dan perkebunan kelapa sawit
perusahaan inti. Ke dua, menganalisis besarnya dampak kebijakan pemerintah
(penetapan upah, suku bunga, dan berbagai kebijakan output) dan perubahan
berbagai faktor eksternal (perubahan harga ouput, harga input, nilai tukar dan
perubahan-perubahan lainnya) terhadap dayasaing dan efisiensi perkebunan
kelapa sawit perusahaan inti dan perkebunan kelapa sawit petani plasma di
Kabupaten Siak.
Dari kajian aspek ekonomi regional perkebunan kelapa sawit perkebunan
kelapa sawit dapat diketahui bagaimana struktur perekonomian Kabupaten Siak
dan peranan perkebunan kelapa sawit terhadap perekonomian regional Kabupaten
Siak. Penelitian ini menganalisis dampak dari pengembangan perkebunan kelapa
sawit terhadap perekonomian regional Kabupaten Siak baik dari sisi peningkatan
output bruto, peningkatan nilai tambah, keterkaitan antar sektor dan pemerataan
pendapatan.
Dari hasil penelitian ini juga dapat diketahui apakah pegembangan kelapa
sawit di Kabupaten Siak dapat mendorong tercapainya tripple track strategy yang
diusung pemerintah pusat dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sekaligus
tercapainya pengurangan kesenjangan pendapatan, kemiskinan dan pengangguran.