Upload
lykhuong
View
223
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING (CTL) DALAM
PEMBELAJARAN FIQIH DI MI MA’ARIF MADUSARI
SECANG MAGELANG TAHUN 2010
SKRIPSI
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat
guna Memperoleh Gelar Sarjana
dalam Ilmu Tarbiyah
Oleh
SHOLATUN NIM: 073111218
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2011
ii
ABSTRAK
SHOLATUN (NIM: 073111218), Implementasi Model Pembelajaran Contextual
Teaching And Learning (CTL) dalam Pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif Madusari
Secang Magelang Tahun 2010. Skripsi. Semarang: Jurusan PAI Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo, 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk: 1) Mengetahui pembelajaran fiqih di
MI Ma’arif Madusari Secang Magelang. 2) Mengetahui implementasi model
pembelajaran contextual teaching and learning dalam pembelajaran fiqih di MI
Ma’arif Madusari Secang Magelang tahun 2010.
Penelitian ini merupakan penelitian lapangan (field research) dengan
menggunakan metode penelitian deskriptif kualitatif, yang dimaksudkan hanya
dengan membuat deskripsi atau narasi dari suatu fenomena, tidak untuk mencari
hubungan antar variabel, ataupun menguji hipotesis.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif
Madusari Secang Magelang dinilai sudah baik. Guru melakukan pembelajaran
Fiqih dengan tujuan mengarahkan siswa dalam memahami, mengenal, menghayati
dan mengamalkan hukum Islam yang mengarah siswa supaya taat dan bertaqwa
kepada Allah SWT melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta
pengalaman siswa sehingga menjadi muslim yang selalu bertambah keimanannya
kepada Allah SWT. Dalam rangka mencapai tujuan pembelajaran Fiqih tersebut,
guru melakukan pembelajaran dengan menggunakan pendekatan kontekstual.
Implementasi model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) dalam pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang Magelang
berjalan dengan baik; mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi
pembelajaran, yang sesuai dengan komponen dan karakteristik serta hal-hal lain
yang terkait dalam pendekatan CTL. Model pembelajaran Contextual Teaching
dan Learning (CTL) merupakan suatu model pembelajaran yang bertujuan untuk
membantu guru mengaitkan materi yang telah diperoleh oleh peserta didik ke
dalam dunia nyata. Siswa dengan segala potensi yang dimiliki, memungkinkan
untuk mengembangkannya sendiri sehingga menjadi pengetahuan yang bermakna,
baik sebagai individu, anggota keluarga maupun anggota masyarakat.
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan rujukan untuk
memperbaiki proses pembelajaran.
iii
Semarang, Maret 2011
NOTA DINAS
Kepada
Yth. Dekan Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo
di Semarang
Assalamu’alaikum wr. wb.
Dengan ini diberitahukan bahwa saya telah melakukan bimbingan, arahan dan
koreksi naskah skripsi dengan:
Judul : Implementasi Model Pembelajaran Contextual Teaching And
Learning (CTL) dalam Pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif
Madusari Secang Magelang Tahun 2010
Nama : Sholatun
NIM : 073111218
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
Saya memandang bahwa naskah skripsi tersebut sudah dapat diajukan kepada
Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo untuk diujikan dalam Sidang Munaqosah.
Wassalamu’alaikum wr. wb.
Pembimbing,
Darmu’in, M.Ag.
NIP. 19640424 199303 1 003
iv
KEMENTERIAN AGAMA R.I.
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
FAKULTAS TARBIYAH Alamat: Jl. Prof. Dr. Hamka (Kampus II) Ngaliyan Semarang
Telp. 024-7601295 Fax. 7615387
PENGESAHAN
Naskah Skripsi dengan:
Judul : Implementasi Model Pembelajaran Contextual Teaching And
Learning (CTL) dalam Pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif
Madusari Secang Magelang Tahun 2010
Nama : Sholatun
NIM : 073111218
Jurusan : Pendidikan Agama Islam
Program Studi : Pendidikan Agama Islam
telah diujikan dalam sidang munaqasyah oleh Dewan Penguji Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo dan dapat diterima sebagai salash satu syarat memperoleh gelar
sarjana dalam Ilmu Pendidikan Islam.
Semarang, April 2011
Ketua, Sekretaris,
Sugeng Ristianto, Drs. M.Ag. Nur Uhbiyati, Hj. Dra. M.Pd.
NIP. 19650819 200302 1 001 NIP. 19520208 197612 2 001
Penguji I, Penguji II,
Raharjo, H. Dr. M.Ed. St. Widodo Supriyono, Drs. M.A.
NIP. 19651123 199103 1 003 NIP. 19591025 198703 1 003
Dosen Pembimbing,
Darmu’in, M.Ag.
NIP. 19640424 199303 1 003
v
DEKLARASI
Dengan penuh kejujuran dan tanggung jawab, penulis menyatakan
bahwa skripsi ini tidak berisi materi yang telah di tulis oleh orang
lain atau diterbitkan. Demikian juga skripsi ini tidak berisi pikiran-
pikiran orang lain, kecuali informasi yang terdapat dalam referensi
yang dijadikan bahan rujukan.
Semarang, Maret 2011
Sholatun
NIM: 073111218
vi
MOTTO
Ÿξ sùr& tβρã�ÝàΨtƒ ’n<Î) È≅ Î/M}$# y# ø‹Ÿ2 ôM s)Î=äz ∩⊇∠∪ ’ n<Î)uρ Ï !$ uΚ¡¡9 $# y# ø‹Ÿ2 ôM yè Ïùâ‘
∩⊇∇∪ ’n<Î)uρ ÉΑ$t6 Åg ø:$# y# ø‹ x. ôMt6 ÅÁ çΡ ∩⊇∪ ’ n<Î)uρ ÇÚ ö‘F{ $# y# ø‹ x. ôMys ÏÜ ß™ ∩⊄⊃∪
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia
diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan? dan gunung-gunung
bagaimana ia ditegakkan? dan bumi bagaimana ia dihamparkan?
(QS. Al-Ghasyiyah: 17-20).1
1Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Jakarta: Depag RI, 1989), hlm. 1028
vii
PERSEMBAHAN
Dengan segala kerendahan hati dan penuh kebahagiaan skripsi
ini penulis persembahkan kepada orang-orang yang telah membuat hidup
ini menjadi berarti:
1. Suami Sujadi
2. Anak-anaku Khoirul Imam dan Arif Lukman Hakim
3. Keluarga besarku
viii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT. yang telah
melimpahkan rahmat, taufiq dan hidayah-Nya, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan penyusunan skripsi ini yang merupakan tugas dan syarat yang
wajib dipenuhi guna memperoleh gelar kesarjanaan dari Fakultas Tarbiyah IAIN
Walisongo Semarang.
Shalawat dan salam semoga tetap tercurahkan kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW. Yang telah membawa risalah Islam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan, khususnya ilmu-ilmu keislaman, sehingga dapat menjadi bekal
hidup kita, baik di dunia dan di akhirat kelak.
Penulis sadar sepenuhnya bahwa skripsi ini tidak terselesaikan jika tanpa
uluran tangan, bimbingan dan bantuan dari semua pihak baik bersifat materiil
maupun spiritual. Dengan teriring rasa hormat, penulis mengucapkan terima kasih
yang tak terhingga kepada:
1. Dr. Suja’i, M.Ag., selaku Dekan Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo
Semarang.
2. Darmu’in, M.Ag. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan
bimbingan dan arahan selama proses penulisan skripsi.
3. Kepala MI Ma’arif Madusari Secang Magelang yang berkenan memberikan
izin pada penulis untuk melakukan penelitian di MI Ma’arif Madusari Secang
Magelang.
4. Segenap dosen Fakultas Tarbiyah yang telah membekali banyak pengetahuan
kepada penulis dalam menempuh studi di Fakultas Tarbiyah.
5. Segenap pegawai Fakultas Tarbiyah, pegawai perpustakaan IAIN, dan
pegawai perpustakaan Fakultas Tarbiyah yang telah memberikan layanan yang
baik bagi penulis.
6. Semua pihak yang telah membantu penulis.
Atas jasa-jasa mereka, penulis hanya dapat memohon doa semoga amal
mereka diterima di sisi Allah SWT. dan mendapat balasan pahala yang lebih baik
serta mendapatkan kesuksesan baik di dunia maupun di akhirat kelak.
ix
Penulis dalam hal ini juga mengharap kritik dan saran yang konstruktif
dari para pembaca untuk menyempurnakan skripsi ini. Dan akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis pada khususnya dan
bagi para pembaca pada umumnya. Amin.
Semarang, Maret 2011
Penulis,
SHOLATUN
NIM : 073111218
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i
HALAMAN ABSTRAK ................................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ......................................................................... iv
HALAMAN DEKLARASI ............................................................................. v
HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vi
HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... vii
KATA PENGANTAR .................................................................................... viii
DAFTAR ISI ................................................................................................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1
B. Penegasan Istilah .......................................................................... 5
C. Rumusan Masalah ........................................................................ 6
D. Tujuan Penelitian ......................................................................... 6
E. Kajian Pustaka ............................................................................. 6
F. Metode Penelitian .................................................................... 8
BAB II MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND
LEARNING (CTL) DALAM PEMBELAJARAN FIQIH
A. Pembelajaran Fiqih ..................................................................... 24
1. Pengertian Pembelajaran Fiqih ............................................ 24
2. Tujuan Pembelajaran Fiqih .................................................. 27
3. Ruang Lingkup Fiqih ........................................................... 28
B. Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL) ........ 11
2. Pengertian Contextual Teaching And Learning ................ 11
3. Konsep Dasar Strategi Pembelajaran CTL ......................... 12
4. Karakteristik Pembelajaran CTL ......................................... 14
5. Pendekatan Kontekstual dalam Proses Pembelajaran ........ 21
C. Pendekatan Pembelajaran Fiqih melalui CTL .......................... 29
ii
BAB III GAMBARAN UMUM DAN IMPLEMENTASI MODEL
PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND
LEARNING (CTL) DALAM PEMBELAJARAN FIQIH DI MI
MA’ARIF MADUSARI SECANG MAGELANG
A. Gambaran Umum MI Ma’arif Madusari Secang Magelang .... 32
1. Tinjauan Historis ..................................................................... 32
2. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan .......................................... 33
3. Letak Geografis ....................................................................... 34
4. Struktur Organisasi .................................................................. 35
5. Keadaan Tenaga Pendidik ....................................................... 35
6. Keadaan Siswa ........................................................................ 36
7. Sarana dan Prasarana ............................................................... 37
B. Implementasi Model Pembelajaran Contextual Teaching
And Learning (CTL) Dalam Pembelajaran Fiqih di MI
Ma’arif Madusari Secang Magelang ........................................ 37
BAB IV ANALISIS IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN
CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DALAM
PEMBELAJARAN FIQIH DI MI MA’ARIF MADUSARI SECANG
MAGELANG TAHUN 2010 ………………………………….. 47
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .................................................................................... 59
B. Saran-saran .................................................................................... 59
C. Penutup .......................................................................................... 60
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN-LAMPIRAN
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pembelajaran fiqh di Madrasah Ibtidaiyah seringkali kurang menarik
dan cenderung membosankan bagi siswa. Dalam pembelajaran fiqh di MI
siswa diupayakan lebih aktif dan tertarik untuk mengikuti pelajaran agar
proses pembelajaran berlangsung dengan kondusif, efektif, kreatif, efisien dan
menyenangkan. Pola pembelajaran fiqh di MI diupayakan mampu
membangkitkan kreativitas belajar siswa. Agar pembelajaran fiqh terasa
mudah dan menyenangkan, pembelajarannya harus dikaitkan seoptimal
mungkin dengan kehidupan nyata dalam pikiran siswa, sehingga bermakna
dalam kehidupan siswa (anak) dan tidak terasa abstrak. Pembelajaran fiqh juga
diharapkan berorientasi membekali siswa dalam bentuk pengetahuan, pola
pikir, sikap dan keterampilan.
Sehubungan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP),
pendekatan yang dipakai dalam pembelajaran adalah model Contextual
Teaching and Learning (CTL). Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) sudah pada tahap implementasi. Artinya guru tidak lagi
mendiskusikan atau mempertanyakan landasan filosofis dan arah KTSP,
melainkan lebih pada upaya melaksanakan pesan, agar tujuan pendidikan
sesuai dengan rumusan idealitas KTSP.
Memang keberhasilan KTSP sangat tergantung dari proses
pembelajaran yang dilakukan guru meskipun juga masih ditentukan oleh
faktor lain seperti sarana prasarana sekolah. Salah satu upaya untuk
menyukseskan KTSP dilakukan dengan cara melaksanakan strategi
pembelajaran menggunakan pendekatan CTL (contextual teaching and
learning) pada mata pelajaran Fiqih.
Materi yang terdapat dalam mata pelajaran Fiqih sifatnya memberikan
bimbingan terhadap siswa agar dapat memahami, menghayati dan
mengamalkan pelaksanaan syari’at Islam, yang kemudian menjadi dasar
2
pandangan dalam kehidupannya, keluarga dan masyarakat lingkungannya.
Bentuk bimbingan itu tidak terbatas pada pemberian pengetahuan tetapi lebih
jauh seorang guru dapat memberikan contoh dan suri tauladan bagi siswa dan
masyarakat lingkungannya. Karena pada dasarnya mata pelajaran Fiqih
merupakan bidang keilmuan yang terikat langsung dengan kehidupan sehari-
hari. Oleh karena itu, pembelajaran Fikih diarahkan supaya peserta didik dapat
memahami pokok-pokok hukum Islam dan tata cara pelaksanaannya untuk
diaplikasikankan dalam kehidupan sehingga menjadi muslim yang selalu taat
menjalankan syariat Islam secara kaaffah (sempurna).1
Melalui pembelajaran kontekstual mata pelajaran fiqh dapat diberikan
kepada peserta didik untuk menerapkan kaidah-kaidah fiqh ke dalam dunia
nyata, sehingga diharapkan tingkat pemahaman siswa dapat meningkat dan
bisa mengaplikasikan pengetahuan yang diperoleh dalam kehidupan untuk
jangka panjang. Tidak seperti pembelajaran konvensional yang hanya
membantu siswa dalam mengingat mata pelajaran secara jangka pendek.
Pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning/CTL)
merupakan sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa peserta
didik mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap makna dalam
materi akademis yang mereka terima dan mampu mengaitkan informasi baru
dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka miliki sebelumnya.2
Dengan konsep itu, hasil pembelajaran diharapkan lebih bermakna bagi
siswa. Pendekatan ini cocok diterapkan dalam Fiqih sebagai mata pelajaran
yang aplikatif dan dapat mendorong siswa untuk menghayati sekaligus untuk
mengamalkan kaidah-kaidah Islam dalam kehidupan sehari-hari.
Sebagaimana telah digambarkan bahwa al-Qur’an menuntun peserta
didiknya untuk menemukan kebenaran melalui usaha peserta didik sendiri,
menuntut agar materi yang disajikan diyakini kebenarannya melalui
argumentasi-argumentasi logika, dan kisah-kisah yang dipaparkannya
1Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah Bab
VII, hlm. 50-51 2Elanine B. Johnson, Contextual Teaching And Learning, Terj. Ibnu Setiawan
(Bandung: MLC, 2007), hlm. 14
3
mengantarkan mereka kepada tujuan pendidikan dalam berbagai aspeknya,
dan nasihatnya diikuti dengan panutan.3
Begitu juga dalam rangka memantapkan pelaksanaan materi-materi
ajarannya, metode pembiasaan ditempuh pula oleh al-Qur’an. Hal ini dapat
dibuktikan dengan mengamati larangannya yang bersifat pasti tanpa bertahap
terhadap penyembahan berhala, syirik atau kebohongan. Sedangkan dalam
soal-soal seperti larangan minuman keras, zina atau riba, proses pembiasaan
tersebut dilakukan. Demikian pula dalam hal-hal seperti kewajiban shalat,
zakat dan puasa.4
Terlebih lagi bahwa prinsip-prinsip agama yang akan diajarkan di
sekolah adalah abstrak dan salah satu prinsip dari semua pengajaran adalah
hal-hal yang abstrak harus diajarkan sebagai interpretasi dari pengamalan
konkret, lebih-lebih lagi berfikir abstrak (kemampuan memahami arti dari hal-
hal yang sama sekali abstrak) secara relatif harus tumbuh dan menuju
kematangan pada akhir pertumbuhan pada masa kanak-kanak.5 Prinsip-
prinsip tersebut di atas memberi petunjuk bahwa pendidikan agama pada masa
kanak-kanak harus mencakup pengalaman-pengalaman konkrit yang
bermakna bagi anak dan menghindari hal-hal yang abstrak.
MI Ma’arif Madusari Secang Magelang merupakan salah satu sekolah
yang telah menerapkan pendekatan contextual teaching and learning. Hal
ini yang mendorong penulis untuk melakukan penelitian bagaimana
implementasi model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
dalam pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang Magelang dan
kendala-kendalanya.
B. Penegasan Istilah
Untuk memperoleh gambaran yang jelas dan agar terhindar dari
timbulnya kesalahpahaman terhadap apa yang terkandung dalam skripsi ini,
maka kiranya diperjelas dan dibatasi pengertian tersebut di bawah ini.
3Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), hlm. 177.
4Ibid., hlm. 176. 5Zakiyah Daradjat, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Penerbit
Bumi Aksara, 2001), hlm. 57.
4
1. Implementasi
Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, Implementasi berarti
pelaksanaan atau penerapan.6 Implementasi yang dimaksud yaitu
penerapan CTL dalam pembelajaran Fiqih.
2. Pendekatan CTL
Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan
konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi
pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata,
sehingga peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan
kompetensi hasil belajar dalam kehidupan sehari-hari.7
Dalam buku Departemen Pendidikan Nasional dijelaskan bahwa
pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) adalah
konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa
membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupannya sehari-hari, dengan melibatkan tujuh
komponen utama pembelajaran efektif, yaitu konstruktivisme
(Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry)
masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), dan
penilaian sebenarnya (Authentic Assessment).
Jadi CTL yang dimaksud di sini yakni suatu strategi pembelajaran
yang membantu guru mengaitkan materi yang diajarkannya dengan situasi
dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antar
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
sehari-hari sehingga hasil pembelajarannya diharapkan lebih bermakna
bagi siswa.
6Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya
Karya, 2009), hlm. 178. 7Masnur Muslih, KTSP: Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2009), hlm. 41.
5
3. Pembelajaran Fiqih
Mata pelajaran Fiqih merupakan salah satu mata pelajaran yang
diajarkan di MI yang merupakan bagian dari pendidikan agama Islam.
Sedangkan kata Fiqih berasal dari kata faqaha yang artinya ”memahami”.8
Menurut istilah Fiqih adalah ”hasil daya upaya para fuqaha dalam
menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.9 Dari
definisi tersebut dapat disimpulkan Fiqih adalah ilmu yang menjelaskan
tentang hukum syar’iyyah yang berhubungan dengan segala tindakan
manusia baik berupa ucapan atau perbuatan. Jadi pembelajaran Fiqih
adalah proses belajar mengajar yang fokus pada pembahasan hukum
Islam.
4. MI Ma’arif Madusari Secang Magelang
Madrasah Ibtidaiyah merupakan sekolah dasar yang berciri khas
agama Islam yang diselenggarakan oleh Departemen Agama melalui
Keputusan Menteri Agama Nomor 372 Tahun 1993 tentang kurikulum
Pendidikan dasar berciri khas agama Islam. MI yang dimaksud adalah MI
MI Ma’arif yang terletak di desa Madusari kecamatan Secang kabupaten
Magelang, sebuah lembaga pendidikan yang setaraf dengan SD dan secara
institusi bernaung dibawah Departemen Agama.
Dengan demikian yang dimaksud dengan judul “Implementasi Model
Pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran
Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang Magelang Tahun 2010” adalah
kemampuan seorang pendidik untuk mengkaitkan antara materi pelajaran
yang diajarkan dengan situasi dunia nyata yang dialami siswa serta
mendorong membuat hubungan antara pengetahuan yang dimiliki dengan
penerapannya dalam kehidupan sehari-hari pada kelompok pengetahuan Fiqih
di MI Ma’arif Madusari Secang Magelang.
8Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 321
9Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001). hlm. 29.
6
C. Rumusan Masalah
Bertolak dari uraian tersebut, maka ada beberapa masalah yang perlu
peneliti kemukakan, antara lain :
1. Bagaimana pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang
Magelang?
2. Bagaimana implementasi model pembelajaran contextual teaching and
learning dalam pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang
Magelang tahun 2010?
D. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Mengetahui pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang
Magelang.
2. Mengetahui implementasi model pembelajaran contextual teaching and
learning dalam pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang
Magelang tahun 2010.
E. Manfaat Penelitian
1. Bagi Peserta Didik
Dapat memberi gambaran yang nyata tentang penerapan model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam
pembelajaran PAI sehingga peserta didik memiliki motivasi yang tinggi
dalam meraih prestasi sebaik-baiknya.
2. Bagi Guru
Kegunaan bagi guru mata pelajaran adalah agar mendapat
pengalaman langsung tentang pelaksanaan model pembelajaran
Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran PAI
sekaligus sebagai contoh yang dapat dilaksanakan di lapangan.
3. Bagi Sekolah
Dengan mengetahui hasil penelitian ini, hendaknya pihak sekolah
memiliki sikap proaktif terhadap setiap usaha guru, mendukung dan
7
memberi kesempatan kepada guru untuk senantiasa meningkatkan kualitas
pembelajaran dan dapat meningkatkan hasil belajar peserta didik.
F. Kajian Pustaka
Sepanjang telaah penulis, sudah ada penelitian ilmiah yang membahas
tentang implementasi pendekatan CTL dalam pembelajaran Fiqih. Sebagai
bahan komparasi, penulis akan memaparkan beberapa literatur yang berkaitan
dengan penelitian ini.
Skripsi Siti Ruwiyah (NIM: 073111299) yang berjudul
”Pengembangan Sumber Belajar Melalui Pendekatan CTL Pada Mata
Pelajaran Pendidikan Ibadah Shalat di MI Hidayatussibyan Wadaslintang
Wonosobo Tahun 2008/2009.” Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
pengembangan dan pemanfaatan sumber belajar pada mata pelajaran
pendidikan ibadah shalat melalui pendekatan CTL, telah diterapkan dengan
memanfaatkan sumber belajar yang ada, yakni melalui media yang tersedia
walaupun masih sangat terbatas. Hal itu terlihat kegiatan belajar mengajar
yang lebih sering menggunakan media charta dan masih terfokus pada buku
ajar. Meskipun sudah mulai menggunakan sumber belajar lainnya seperti
perpustakaan dan masjid, namun pelaksanaannya kurang intensif.
Elanine B. Johnson, dalam bukunya yang berjudul “Contextual
Teaching And Learning”, yang khusus membahas masalah pembelajaran
kontekstual (Contextual Teaching And Learning). Dalam buku ini dijelaskan
secara gamblang apa saja bidang gerak CTL, menjelaskan cara menggunakan
sistem ini dan memberikan banyak contoh cara yang dipakai oleh guru-guru
yang sudah berhasil menggunakan CTL untuk membantu peserta didik meraih
keunggulan akademis.10
Masnur Muslih dalam bukunya yang berjudul ” KTSP: Pembelajaran
Berbasis Kompetensi dan Kontekstual”. Dalam buku ini disajikan latar
belakang perlunya pendekatan kontekstual diterapkan dalam pembelajaran,
10Elanine B. Johnson, loc.cit.
8
pengertian pendekatan kontekstual dan penerapan pendekatan kontekstual
dalam pembelajaran.11
Dalam hal ini penulis akan mencoba melakukan elaborasi tentang
implementasi pendekatan pembelajaran CTL pada mata pelajaran Fiqih,
khususnya di MI Ma’arif Madusari Secang Magelang.
G. Metode Penelitian
1. Fokus Penelitian
Dalam penelitian ini, peneliti menfokuskan penelitan pada
implementasi pendekatan CTL pada mata pelajaran Fiqih, di antaranya:
a. Persiapan pembelajaran Fiqih menggunakan pendekatan CTL
b. Proses belajar mengajar Fiqih menggunakan pendekatan CTL
c. Evaluasi pembelajaran Fiqih menggunakan pendekatan CTL
2. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang peneliti gunakan adalah pendekatan
kualitatif lapangan yaitu pendekatan penelitian yang dimaksudkan untuk
menjelaskan fenomena atau karakteristik individu, situasi atau kelompok
tertentu secara akurat.
Penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan
untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah dimana peneliti adalah
sebagai instrument kunci.12
3. Metode Pengumpulan Data
Pengumpulan data adalah cara yang tepat untuk mengumpulkan
data lengkap, objektif dan dapat dipertanggungjawabkan serta sesuai
subjek dan tujuan penelitian. Adapun metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah:
a. Metode observasi
Metode observasi adalah ”pengamatan dan pencatatan secara
sistematis terhadap fenomena atau kejadian yang diselidiki.”13
11Masnur Muslih, op.cit., hlm. 40.
12Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung : Alfabeta, 2009), hlm. 1
13Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi, 2002), hlm. 136.
9
Metode ini digunakan untuk mengetahui proses pembelajaran Fiqih
menggunakan model pembelajaran contextual teaching and learning
(CTL) di MI Ma’arif Madusari Secang Magelang.
b. Metode Interview (wawancara)
Menurut Subagyo wawancara ialah “suatu kegiatan yang
dilakukan untuk mendapatkan informasi secara langsung dengan
mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan pada responden.”14 Metode
ini digunakan untuk menggali data tentang sejarah berdirinya
madrasah, keadaan guru, tenaga kependidikan dan implementasi
pendekatan CTL pada mata pelajaran Fiqih. Yang menjadi nara
sumber adalah guru, kepala madrasah dan siswa.
c. Metode Dokumentasi
Metode Dokumentasi, peneliti menyelidiki benda-benda tertulis
seperti buku, majalah, dokumen, peraturan-peraturan, notulen rapat,
catatan harian dan sebagainya.15 Yakni metode yang menggunakan
sekumpulan data verbal berupa tulisan, dokumen, sertifikat, photo,
kaset dan lain-lain. Metode ini digunakan untuk memperoleh data-data
yang berkaitan dengan sekolah seperti biografi sekolah, jumlah siswa,
guru, visi misi MI Ma’arif Madusari Secang Magelang, foto
pembelajaran dan perangkat pembelajaran lain seperti RPP.
4. Metode Analisis Data
Analisis data adalah proses mencari dan menyusun secara
sistematis data yang diperoleh dari lapangan dengan cara
mengorganisasikan data ke dalam kategori, menjabarkan ke dalam unit-
unit, melakukan sintesa, menyusun pola, memilih mana yang penting dan
yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan sehingga mudah dipahami
oleh diri sendiri maupun orang lain.16
14P. Jogo Subagyo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, (Jakarta: Rineka Cipta,
2004), hlm. 39 15Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, (Jakarta, Rineka
Cipta, 1997), hlm. 135. 16Sugiyono, op.cit., hlm. 89
10
Adapun metode yang dipakai dalam menganalisis data adalah
deskriptif kualitatif, yang dimaksudkan hanya dengan membuat deskripsi
atau narasi dari suatu fenomena, tidak untuk mencari hubungan antar
variabel, ataupun menguji hipotesis.
Adapun metode yang dilakukan dalam pendekatan kualitatif
deskriptif, adalah sebagai berikut:
a. Deduksi
Yaitu cara berfikir yang berangkat dari pengetahuan yang
sifatnya umum dan bertitik tolak pada pengetahuan yang umum itu kita
hendak menilai kejadian yang bersifat khusus.17
b. Induksi
Yaitu apa saja yang dipandang benar pada semua peristiwa
dalam suatu kelas atau jenis berlaku juga sebagai hal yang benar pada
semua peristiwa yang termasuk dalam kelas itu atau jenis itu. Jika
orang dapat membuktikan bahwa suatu peristiwa termasuk dalam kelas
yang dipandang benar, maka secara logik dan otomatik orang dapat
menarik kesimpulan bahwa kebenaran yang terdapat dalam kelas itu
juga menjadi kebenaran bagi peristiwa yang khusus itu.18
Dengan demikian, induksi adalah cara berfikir yang berangkat
dari fakta-fakta yang khusus, peristiwa-peristiwa yang konkrit,
kemudian dari fakta-fakta atau peristiwa-peristiwa yang khusus,
konkrit itu ditarik generalisasi-generalisasi yang bersifat umum.
17Sutrisno Hadi, Metodologi Research, Jilid I, (Yogyakarta: yayasan Penerbit Fakultas
Psikology, Andi Offset1980), hlm. 42. 18
Ibid., hlm. 36.
11
BAB II
MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING
(CTL) DALAM PEMBELAJARAN FIQIH
A. Pembelajaran Fiqih
1. Pengertian Pembelajaran Fiqih
Pembelajaran adalah proses yang terjadi dalam kegiatan belajar
mengajar. Sebelum penulis menjelaskan pengertian pembelajaran Fiqih
terlebih dahulu akan dijelaskan mengenai beberapa pengertian belajar.
Secara bahasa kata pembelajaran berasal dari kata belajar dan
mendapat imbuhan pe- dan -an yang berarti ”proses, cara, menjadikan
orang atau makhluk hidup belajar.”1 Sedangkan secara istilah pengertian
belajar adalah “tahapan perubahan seluruh tingkah laku individu yang
relative menetapkan sebagai hasil pengalaman dan interaksi dengan
lingkungan yang melibatkan proses kognitif.”2
Menurut Moh. Uzer Usman pembelajaran adalah “suatu proses
yang mengandung serangkaian perbuatan guru dan peserta didik atas dasar
hubungan timbal balik yang berlangsung dalam situasi edukatif untuk
mencapai tujuan tertentu.”3
Interaksi yang terjadi dalam proses pembelajaran banyak faktor
yang mempengaruhinya, baik faktor internal yang datang dari dalam diri
individu, maupun eksternal yang datang dari lingkungan peserta didik itu
sendiri. Untuk itu seorang pendidik dengan mengetahui beberapa faktor
yang mempengaruhi proses pembelajaran maka bagaimana seorang
pendidik untuk dapat memberikan motifasi dan semangat kepada mereka
ketika beberapa faktor yang datang dari luar atau dari luar sebagai
penghambat bagi mereka.
1Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Semarang: Widya
Karya, 2009), hlm. 21 2Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, (Bandung: Remaja
Rosda Karya, 2002), hlm. 92. 3Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2009),
hlm. 4.
12
Kata Fiqih berasal dari kata faqaha yang artinya ”memahami”.4
Menurut istilah Fiqih adalah ”hasil daya upaya para fuqaha dalam
menerapkan syariat Islam sesuai dengan kebutuhan masyarakat.5 Jadi
Fiqih adalah ilmu yang menjelaskan tentang hukum syar’iyyah yang
berhubungan dengan segala tindakan manusia baik berupa ucapan atau
perbuatan. Sehingga dapat ditarik kesimpulan bahwa pembelajaran mata
pelajaran Fiqih adalah sebagai proses belajar untuk mengembangkan
kreativitas berfikir yang dapat meningkatkan kemampuan berfikir peserta
didik, serta dapat meningkatkan kemampuan membangun pengetahuan
baru yang di dapat dari pengalaman dalam proses pembelajaran yang
berkaitan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Hal ini sesuai dengan
komponen pembelajaran secara kontekstual bahwa dengan mengaitkan
materi pembelajaran yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari atau
dalam konteks kehidupan nyata maka proses pembelajaran benar-benar
bermakna dan membekas dibenak mereka.
Sedangkan dalam Peraturan Menteri Agama RI Nomor 2 Tahun 2008
tentang Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama
Islam dan Bahasa Arab di Madrasah dijelaskan bahwa Fiqih merupakan
“sistem norma (aturan) yang mengatur hubungan manusia dengan Allah,
sesama manusia dan dengan makhluk lainnya.”6 Untuk selanjutnya istilah
Fiqih ini dipahami sebagai salah satu bagian dari mata pelajaran
pendidikan agama yang diajarkan di Madrasah.
Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa
pembelajaran Fiqih adalah proses interaksi antara peserta didik dan
pendidik dalam rangka memahami konsep Fiqih yang utuh, sehingga
peserta didik mampu mengimplementasikan hukum mawaris dalam
kehidupan sehari-hari.
4Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), hlm. 321 5Tengku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Semarang: Pustaka
Rizki Putra, 2001). hlm. 29. 6Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah bab VII, hlm. 48
13
Mata pelajaran Fiqih sebagai bagian dari Pendidikan Agama Islam
(PAI) diterangkan bahwa Pendidikan Agama Islam adalah upaya dasar dan
terencana dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami,
menghayati hingga mengimani ajaran agama islam.7 Dalam hal ini proses
pembelajaran Fiqih di Madrasah Ibtidaiyah tidak terlepas dari peran
lembaga Madrasah Ibtidaiyah itu sendiri.
Materi pembelajaran Fiqih yang ada di madrasah tidak lepas dari
kurikulum pendidikan nasional yang tidak lain mengacu pada kebutuhan
peserta didik dan mnyesuaikan perkembangan zaman. Sehingga
pembelajaran Fiqih yang dilakukan oleh pendidik benar-benar membekali
peserta didik untuk menghadapai tantangan hidupnya dimasa yang akan
datang secara mandiri, cerdas, rasional dan kritis.
Pembelajaran Fiqih yang ada di madrasah saat ini tidak terlepas dari
kurikulum yang saat ini ditetapkan oleh pemerintah yaitu Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP).
Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) sebagaimana
dimaksud adalah kurikulum operasional yang disusun oleh dan
dilaksanakan dimasing-masing satuan pendidikan. Sehingga kurukulum ini
sangat beragam. Pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
yang beragam ini tetap mengacu pada standar nasional pendidikan.
Standar Nasional Pendidikan itu sendiri terdiri atas standar isi, proses,
kompetensi lulusan, tenaga kependidikan, sarana dan prasarana,
pengelolaan, pembiyayaan dan penilaian pendidikan
2. Tujuan Pembelajaran Fiqih
Mata pelajaran Fiqih di Madrasah Ibtidaiyah merupakan salah satu
mata pelajaran PAI yang mempelajari tentang Fiqih ibadah, terutama
menyangkut pengenalan dan pemahaman tentang cara-cara pelaksanaan
rukun Islam dan pembiasaannya dalam kehidupan sehari-hari, serta Fiqih
muamalah yang menyangkut pengenalan dan pemahaman sederhana
7Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
(Bandung: PT Remja Rosda Karya, 2004), hlm. 130
14
mengenai ketentuan tentang makanan dan minuman yang halal dan haram,
khitan, kurban, serta tata cara pelaksanaan jual beli dan pinjam meminjam.
Secara substansial mata pelajaran Fiqih memiliki kontribusi dalam
memberikan motivasi kepada peserta didik untuk mempraktikkan dan
menerapkan hukum Islam dalam kehidupan sehari-hari sebagai
perwujudan keserasian, keselarasan, dan keseimbangan hubungan manusia
dengan Allah SWT, dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia,
makhluk lainnya ataupun lingkungannya.
Mata pelajaran Fiqih di Madrasah Ibtidaiyah bertujuan untuk
membekali peserta didik agar dapat:
a. Mengetahui dan memahami cara-cara pelaksanaan hukum Islam baik
yang menyangkut aspek ibadah maupun muamalah untuk dijadikan
pedoman hidup dalam kehidupan pribadi dan sosial.
b. Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar
dan baik, sebagai perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan ajaran
agama Islam baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT,
dengan diri manusia itu sendiri, sesama manusia, dan makhluk lainnya
maupun hubungan dengan lingkungannya.8
Pemahaman dan pengetahuan tersebut diharapkan menjadi
pedoman hidup dalam kehidupan sosial. Dan pengalaman yang mereka
miliki diharapkan dapat menumbuhkan ketaatan menjalankan hukum
Islam, tnggung jawab dan disiplin yang yinggi dalam kehidupan pribadi
maupun sosial. Jadi pemahaman, pengetahuan serta pengalaman dalam
kehidupan peserta didik senantiasa dilandasi dengan dasar dan hukum
Islam untuk diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
3. Ruang Lingkup Fiqih
Ruang lingkup Fiqih di Madrasah Ibtidaiyah meliputi keserasian,
keselarasan dan kesinambungan antara:
8Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah, hlm. 20
15
a. Hubungan manusia dengan Allah SWT
b. Hubungan manusia dengan sesame manusia, dan
c. Hubungan manusia dengan alam (selain manusia)ndan lingkungan
Adapun ruang lingkup bahan mata pelajaran Fiqih di Madrasah
Ibtidaiyah terfokus pada aspek:
a. Fiqih ibadah, yang menyangkut: pengenalan dan pemahaman tentang
cara pelaksanaan rukun Islam yang benar dan baik, seperti: tata cara
taharah, salat, puasa, zakat, dan ibadah haji.
b. Fiqih muamalah, yang menyangkut: pengenalan dan pemahaman
mengenai ketentuan tentang makanan dan minuman yang halal dan
haram, khitan, kurban, serta tata cara pelaksanaan jual beli dan pinjam
meminjam.9
B. Pembelajaran Contextual Teaching And Learning (CTL)
1. Pengertian Contextual Teaching And Learning
Pembelajaran CTL (Contextual Teaching and Learning) merupakan
konsep pembelajaran yang menekankan pada keterkaitan antara materi
pembelajaran dengan dunia kehidupan peserta didik secara nyata, sehingga
peserta didik mampu menghubungkan dan menerapkan kompetensi hasil
belajar dalam kehidupan sehari-hari.10 Pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual ini diharapkan mendorong peserta didik memahami hakekat,
makna dan manfaat belajar sehingga akan memberikan stimulus dan
motivasi kepada mereka untuk rajin dan senantiasa belajar.
Pendekatan kontekstual (contextual teaching and learning/CTL)
merupakan sebuah sistem belajar yang didasarkan pada filosofi bahwa
peserta didik mampu menyerap pelajaran apabila mereka menangkap
makna dalam materi akademis yang mereka terima dan mampu mengaitkan
9Ibid., hlm. 23
10Masnur Muslih, KTSP: Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual, (Jakarta: Bumi Aksara, 2009), hlm. 41.
16
informasi baru dengan pengetahuan dan pengalaman yang sudah mereka
miliki sebelumnya.11
Pembelajaran kontekstual merupakan konsep belajar dimana guru
menghadirkan situasi dunia nyata kedalam kelas dan mendorong peserta
didik membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan
penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga dan
masyarakat. Sehingga pembelajaran akan lebih bermakna dan
menyenangkan.
Strategi dan metode pembelajaran menjadi lebih utama dari pada hasil.
Pembelajaran kontekstual ini bertujuan membantu peserta didik memahami
makna pelajaran yang mereka pelajari dengan cara menghubungkan dengan
konteks kehidupan mereka sendiri dalam lingkungan sosial dan budaya
masyarakat.12
2. Konsep Dasar Strategi Pembelajaran CTL
Contextual Teaching and Learning (CTL) adalah suatu strategi
pembelajaran yang menekankan kepada proses keterlibatan siswa secara
penuh untuk dapat menemukan materi yang dipelajari dan
menghubungkannya dengan situasi kehidupan nyata sehingga mendorong
siswa untuk dapat menerapkannya dalam kehidupan mereka.
Konsep pembelajaran CTL ada tiga hal yang harus kita pahami.
Pertama, CTL menekankan kepada proses keterlibatan untuk menemukan
materi.13 Maksudnya bahwa proses belajar diorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung. Proses belajar diorientasikan pada proses
pengalaman secara langsung. Semua hasil belajar dicapai melalui
pengalamannya sendiri. Guru sebenarnya tidak dapat “memberikan”
pendidikan kepada pelajar, tetapi pelajar itu sendiri yang “memperolehnya”.
11Elanine B. Johnson, Contextual Teaching And Learning, Terj. Ibnu Setiawan
(Bandung: MLC, 2007), hlm. 14 12Agus Suprijono, Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2010), hlm. 80 13Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
(Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008), hlm. 255
17
Tanpa keaktifan pelajar, hasil belajar tidak akan tercapai.14 Dalam konteks
sebagaiman firman Allah SWT Q.S. Al-Ra’du: 11
…çµ s9 ×M≈t7 Ée)yè ãΒ .ÏiΒ È÷ t/ ϵ÷ƒ y‰tƒ ôÏΒ uρ ϵ Ï�ù=yz …çµ tΡθ Ýàx�øts† ôÏΒ Ì� øΒ r& «!$# 3 āχÎ) ©!$# Ÿω
ç�Éi� tó ム$ tΒ BΘöθ s)Î/ 4 ®L ym (#ρç�Éi� tó ム$ tΒ öΝÍκŦ à�Ρr' Î/ 3 !#sŒ Î)uρ yŠ# u‘r& ª!$# 5Θöθ s)Î/ # [ þθ ß™ Ÿξ sù ¨Š t� tΒ …çµ s9 4
$ tΒ uρ Οßγ s9 ÏiΒ Ïµ ÏΡρߊ ÏΒ @Α#uρ ١٥
“Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merubah keadaan sesuatu kaum sehingga mereka merubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, Maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia”. (Q.S. Al-Ra’du: 13)
Kedua, CTL mendorong siswa agar dapat menemukan hubungan
antara materi yang dipelajari dengan situasi kehidupan nyata, artinya siswa
dituntut untuk dapat menangkap hubungan antara pengalaman belajar di
sekolah dengan kehidupan nyata.16 Hal ini sangat penting, sebab dengan
mengorelasikan materi yang ditemukan dengan kehidupan nyata, bukan saja
bagi siswa materi itu akan bermakna secara fungsional, akan tetapi materi
yang dipelajarinya akan tertanam erat dalam memori siswa, sehingga tidak
akan mudah dilupakan.
Mengingat sesuatu adalah suatu hal yang tidak mudah, untuk itu perlu
adanya suatu kesadaran bahwa mengingat sesuatu yang telah dipelajari
sangat penting. Mengingat yang didasari atas kebutuhan dan kesadaran
untuk mencapai tujuan belajar lebih lanjut adalah termasuk aktivitas
belajar.17
Ketiga, CTL mendorong siswa untuk dapat menerapkannya dalam
kehidupan, artinya CTL bukan hanya mengharapkan siswa dapat
14Departemen Agama RI, Metodologi Pendidikan Agama Islam, (Jakarta: Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001), hlm. 39 15Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjamahannya, (Semarang: Toha Putra, 1989), hlm. 370 16Wina Sanjaya, loc.cit. 17Abu Ahmadi dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, (Jakarta: PT Rineka Cipta,
2004), hlm. 137
18
memahami materi yang dipelajarinya, akan tetapi bagaimana materi
pelajaran itu dapat mewarnai perilakunya dalam kehidupan sehari-hari.
Proses pembelajaran dengan pendekatan secara kontekstual, materi yang
diajarkan bukan untuk ditumpuk di otak dan kemudian dilupakan, akan
tetapi untuk difahami sebagai bekal mereka dalam mengarungi kehidupan
nyata.
3. Karakteristik Pembelajaran CTL
Menurut Johnson ada delapan karakteristik utama dalam sistem
pembelajaran kontekstual yang disebutkan sebagai berikut:
a. Membuat keterkaitan yang bermakna b. Melakukan pekerjaan yang berarti c. Melakukan pembelajaran yang diatur sendiri d. Bekerja sama e. Berpikir kritis dan kreatif f. Membantu individu untuk tumbuh dan berkembang g. Mencapai standar yang tinggi h. Menggunakan penilaian autentik.18
4. Komponen Contextual Teaching and Learning
Ada tujuh komponen utama yang mendasari pembelajaran
kontekstual. Adapun ketujuh komponen itu adalah kontruktivisme
(contruktivism), bertanya (questioning), menemukan (inquiri), masyarakat
belajar (learning community), pemodelan (modeling), refleksi (reflection),
dan penilaian sebenarnya (authentic assessment), adapun penjelasannya
sebagai berikut:
a. Konstruktivisme (contruktivism)
Kontruktivisme (constructivism) merupakan landasan berpikir
(filosofi) pembelajaran kontekstual, yaitu bahwa pada dasarnya
menekankan pentingnya peserta didik membangun sendiri pengetahuan
mereka lewat keterlibatan aktif dalam proses belajar mengajar.19
Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta, konsep atau kaidah yang siap
18Elaine B. Johnson, op.cit., hlm. 65-66 19Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivitsik, (Jakarta:
Prestasi Pustaka, 2007), hlm. 106
19
untuk diambil dan diingat. Manusia mengonstruksi pengetahuan itu dan
memberi makna melalui pengalaman nyata. Dengan Pendekatan
konstruktivisme ini mempunyai prinsip bahwa anak pada dasarnya
membangun/mengkonstruksi sendiri pengetahuannya melalui interaksi
dengan lingkungan sosial. Dalam pendekatan ini diupayakan anak dapat
memotivasi dan mengarahkan diri secara intrinsik.
Tujuan pembelajaran konstruktivisme menekankan pada penciptaan
pemahaman yang menuntut aktivitas kreatif dan produktif dalam konteks
nyata. Untuk itu tugas guru adalah memfasilitasi proses tersebut dengan:
a. Menjadikan pengatahuan bermakna dan relevan bagi siswa
b. Memberi kesempatan siswa menemukan dan menerapkan idenya
sendiri
c. Menyadarkan siswa agar menerapkan strategi mereka sendiri dalam
belajar.20
b. Menemukan (Inquiry)
Menemukan merupakan bagian dari kegiatan pembelajaran berbasis
Contextual Teaching and Learning. Pengetahuan dan ketrampilan yang
diperoleh peserta didik diharapkan bukan hasil mengingat seperangkat
fakta-fakta, tetapi dari hasil menemukan sendiri.
Kegiatan menemukan pada dasarnya adalah cara menyadari apa
yang telah dialami, karena inquiri menuntut peserta didik berfikir. Metode
ini menempatkan peserta didik pada situasi yang melibatkan mereka
dalam kegiatan intelektual. Metode ini menuntut peserta didik memproses
pengalaman belajar menjadi sesuatu yang bermakna dalam kehidupan
nyata, dengan demikian melalui metode ini peserta didik dibiasakan
untuk produktif, analisis dan kritis.21
c. Bertanya
Asas ketiga dalam pembelajaran Contextual Teaching and Learning
adalah questioning atau bertanya. Peran bertanya sangat penting, sebab
20Ibid., hlm. 109
21E. Mulyasa, Kurikulum Berbasis Kompetensi, (Bandung: PT Remaja Rosda karya, 2003), hlm. 235
20
melalui pertanyaan-pertanyaan guru dapat membimbing dan
mengarahkan peserta didik menemukan kekurangan dan kelebihan yang
ada pada peserta didik baik kemampuan dari segi kognitifnya, afektif
maupun psikomotoriknya.
Belajar pada hakekatnya adalah bertanya dan menjawab pertanyaan.
Bertanya dapat dipandang sebagai refleksi dari keingintahuan setiap
individu; sedangkan menjawab pertanyaan mencerminkan kemampuan
seseorang dalam berpikir.22
Peran bertanya sangat penting, sebab melalui pertanyaan-
pertanyaan guru dapat membimbing dan mengarahkan siswa untuk
menemukan setiap materi yang dipelajarinya.
Melalui komponen questioning dalam pembelajaran Contextual
Teaching and Learning, guru dapat mengetahui kemampuan siswa
dalam menerima pelajaran. Dalam proses pembelajaran dengan
pendekatan ini guru tidak menyampaikan informasi begitu saja, akan
tetapi memberi rangsangan agar siswa dapat menemukan sendiri dan
materi yang telah diajarkan benar-benar bermakna dan membekas pada
dirinya.
Komponen questioning atau bertanya dalam proses pembelajaran
mempunyai beberapa fungsi yaitu:
1) Memberikan dorongan dan pengarahan kepada siswa dalam berpikir untuk memecahkan masalah
2) Memberikan latihan kepada siswa untuk menggunakan informasi dan ketrampilan memproseskan perolehan dalam menjelaskan atau memecahkan suatu masalah
3) Memberikan dorongan atau mengajak siswa untuk berpikir memecahkan masalah dengan kemampuan sendiri
4) Merangsang rasa ingin tahu siswa 5) Memperoleh umpan balik dari siswa mengenai tingkat keberhasilan
penyampaian materi, bagian-bagian dari bahan pelajaran yang masih dirasakan sulit atau belum dipahami.23
22Wina Sanjaya, op.cit., hlm. 266 23Cony Semiawan, et. al, Pendekatan Ketrampilan Proses, (Jakarta: Gramedia Widya
Sarana Indonesia, 1992), hlm. 71
21
d. Masyarakat Belajar
Konsep ini menyatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman siswa
dipengaruhi oleh komunikasi dengan orang lain.24 Hasil belajar
diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok dan antar mereka
yang tahu ke mereka yang belum tahu, baik di dalam maupun di luar
kelas.25
Kerja sama dalam kelompok memberi banyak manfaat bagi peserta
didik. Peserta didik cenderung lebih berhasil dengan adanya bermacam-
macam tugas belajar, meningkatkan kemampuan mereka dalam
pemecahan masalah dan pengambilan keputusan dangan cara berbagi
strategi dengan peserta didik lain. Dengan kerja kelompok juga dapat
meningkatkan ketrampilan sosial yang diperlukan untuk keberhasilan
hidup ketika berinteraksi dengan orang lain di masyarakat secara nyata.
Hal ini sekaligus peserta didik akan mempersiapkan diri untuk
berinteraksi dengan masyarakat luas yang terdiri dari banyak orang yang
berbeda pula.
Kelas yang berbasis kontekstual, guru disarankan selalu
melaksanakan pembelajaran dalam kelompok belajar. Siswa dibagi
dalam kelompok-kelompok yang anggotanya bersifat heterogen, baik
dilihat dari kemampuan dan kecakapan belajarnya, maupun dilihat dari
bakat minatnya. Dan perlu dingat bahwa adanya kelompok-kelompok ini
mereka semua harus bekerja ketika ada tugas atau permasalahan yang
dihadapi. Sebagaimana dalam pembelajaran kooperative yang
didalamnya dibentuk beberapa kelompok-kelompok kecil, dengan
adanya kelompok ini untuk meningkatkan pencapaian prestasi siswa, dan
juga akibat-akibat positif lainnya yang dapat mengembangkan hubungan
antar kelompok. Alasan lain adalah tumbuhnya kesadaran bahwa para
siswa perlu belajar untuk berpikir, menyelesaikan masalah, dan
24Wina Sanjaya, op.cit., hlm. 267 25Masnur Muslih, op.cit., hlm. 46
22
mengintegrasikan serta mengaplikasikan kemampuan dan pengetahuan
mereka.26
Kegiatan learning community sesuai dengan salah satu dengan
prinsip yang digunakan untuk mengaktifkan sisa dalam belajar yaitu
prinsip sosial. Satu sama lain saling membantu, bekerja sama dan
berinteraksi untuk memecahkan suatu masalah. Kegiatan learning
community juga diharapkan siswa akan berwawasan luas karena banyak
pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh dari berbagai sumber.
e. Pemodelan (modeling)
Komponen pembelajaran kontekstual selanjutnya adalah
pemodelan. Pemodelan merupakan komponen yang pada dasarnya
membahasakan gagasan yang dipikirkan, mendemonstrasikan bagaimana
guru menginginkan peserta didik untuk belajar dan melakukan apa yang
guru inginkan. Maksudnya dalam pembelajaran ketrampilan atau
pengetahuan tertentu, ada model tertentu yang bisa ditiru. Pemodelan
dapat berbentuk demonstrasi, pemberian contoh tentang konsep.
Peserta didik benar-benar akan mudah memahami dan mengerti
tentang materi pelajaran yang sedang dipelajari melalui demonstrasi
yaitu dengan melihat secara langsung tentang materi yang diajarkan oleh
seorang pendidik. Demonstrasi merupakan metode pembelajaran yang
menggunakan peragaan untuk memperjelas suatu pengertian atau untuk
memperjelas suatu pengertian atau untuk memperlihatkan bagaimana
melakukan sesuatu kepada peserta didik.27
Pemodelan dalam pembelajaran kontekstual, guru bukan satu-
satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa.28
Seorang siswa dapat ditunjuk memberi contoh kepada temannya. Hal ini
akan memudahkan kepada siswa untuk memahami suatu materi
26Robert E. Slavin, Cooperative Learning, terj. Nurulita Yusron, (Bandung: Nusa Media,
2008), hlm. 5 27Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, (Semarang : Rasail
Media Group, 2008), hlm.20 28Trianto, op.cit., hlm. 112
23
pelajaran dengan adanya model yang dihadirkan didalam kelas.
Pembelajaran yang ada didalam kelas tetap dikendalikan oleh guru
sekalipun model itu dihadirkan dari luar atau orang yang berkompeten
dibidangnya karena dalam seluruh prosedur mengajar itu guru
memegang peranan yang utama. Dialah yang disebut manager of the
conditions of learning.29
f. Refleksi (reflection)
Refleksi adalah proses pengendapan pengalaman yang telah
dipelajarinya yang dilakukan dengan cara mengurutkan kembali
kejadian-kejadian atau peristiwa pembelajaran yang telah dilaluinya.30
Peserta didik mengedepankan apa yang baru dipelajari sebagai struktur
pengetahuan baru, yang merupakan pengayaan atau revisi dari
pengetahuan sebelumnya.
Prinsip-prinsip dasar yang perlu diperhatikan guru dalam rangka
penerapan komponen refleksi adalah sebagai berikut:
1) Perenungan atas sesuatu pengetahuan yang baru diperoleh merupakan pengayaan atas pengetahuan sebelumnya.
2) Perenungan merupakan respon atas kejadian, aktivitas, atau pengetahuan yang baru diperolehnya.
3) Perenungan bisa berupa menyampaikan penilaian atas pengetahuan yang baru diterima, membuat catatan singkat, diskusi dengan teman sejawat.31
g. Penilaian Authentic (Authentic Assessment)
Gambaran perkembangan belajar peserta didik perlu diketahui oleh
guru sehingga dapat memastikan bahwa peserta didik mengalami proses
pembelajaran dengan benar dan mengetahui perkembangannya. Melalui
karakteristik pembelajaran berbasis Contextual Teaching and Learning
adalah penilaian sebenarnya yaitu proses pengumpulan berbagai data
29S. Nasution, Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1995), hlm. 189 30Wina Sanjaya, op.cit., hlm. 268 31Masnur Muslih, op.cit., hlm. 47
24
yang bisa memberikan gambaran atau informasi tentang perkembangan
pengalaman belajar siswa.32
Assesssment adalah proses pengumpulan berbagai data tentang
gambaran perkembangan siswa. Data yang dikumpulkan melalui kegiatan
penilaian (assessment) bukanlah untuk mencari informasi tentang belajar
siswa. Pembelajaran seharusnya ditekankan pada upaya membantu agar
siswa mempu mempelajari, bukan ditekankan pada diperolehnya
sebanyak mungkin informasi sebanyak mungkin diakhir periode
pembelajaran.
Melalui penilaian autentik kamajuan belajar peserta didik dapat
diketahui dari proses pembelajaran, dengan melakukan penilaian yang
dilakukan secara terintegrasi dalam proses pembelajaran. Penilaian ini
dilakukan secara terus menerus selama kegiatan pembelajaran
berlangsung. Oleh sebab itu penekanan pada proses pembeajaran ini
adalah pada proses pembelajaran bukan melalui hasil.
Perolehan data ini dapat dilakukan oleh guru dengan mengumpulkan
hasil penilaian yang dilakukan guru. Adapun hal-hal yang bisa digunakan
sebagai dasar penilaian adalah proyek/kegiatan dan laporannya,
pekerjaan rumah (PR), kuis, karya peserta didik, presentasi atau
penampiran peserta didik, demonstrasi, lapran, jurnal, hasil tes tulis, dan
karya tulis.33
5. Pendekatan Kontekstual dalam Proses Pembelajaran
Melalui Pembelajaran dengan pendekatan kontekstual ini ada
beberapa perbedaan dengan pembelajaran dengan pendekatan secara
tradisional yaitu:34
No Pembelajaran Tradisional Pembelajaran Kontekstual
1 Menyandarkan pada hafalan Menyandarkan pada memori spasial
2 Berfokus pada satu bidang (disiplin)
Mengintegrasikan berbagai bidang (disiplin) atau multidisiplin
32Ibid.
33Trianto, op.cit., hlm. 115 34Agus Suprijono, op.cit., hlm. 83
25
3 Nilai informasi bergantung pada guru
Nilai informasi berdasarkan kebutuhan peserta didik
4 Memberikan informasi kepada peserta didik sampai pada saatnya dibutuhkan
Menghubungkan informasi baru dengan pengetahuan yang telah dimiliki peserta didik
5 Penilaian hanya untuk akademik formal berupa ujian
Penilaian autentik melalui penerapan praktis pemecahan problem nyata
Di atas adalah sebagian dari perbedaan antara pembelajaran dengan
pendekatan kontekstual dan pembelajaran dengan pendekatan tradisional.
Sehingga guru yang menggunakan pendekatan kontekstual dapat dilihat
dari cara mengajar maupun langkah-langkah yang digunakan.
Guru selalu berusaha bagaimana memberikaan yang terbaik bagi anak
didiknya termasuk bekal untuk kehidupan dimasa mendatang. termasuk
mendidik siswanya supaya mahir, baik segi materi maupun
intelektualitasnya. Dalam hal ini pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual memungkinkan untuk mewujudkan hal itu.
Ada tujuh komponen utama pembelajaran kontekastual di kelas.
Ketujuh komponen tersebut adalah kontruktivisme, bertanya, menemukan,
masyarakat belajar, pemodelan , refleksi dan penilaian sebenarnya.
Kegiatan pembelajaran yang diterapkan oleh guru perlu disiasati
sedemikian rupa sehingga sesuai denagn tingat kemampuan peserta didik.
Hal ini sesuai dengan konsep pembelajaran dengan pendekatan kontekstual
bahwa proses pembelajaran yang ada didalamnya adalah mengutamakan
pada penilaian proses bukan hasil.
Adanya kelompok belajar dalam pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual dapat membantu siswa dalam memahami pembelajaran karena
dalam kelompok tersebut guru dapat mengorganisasi peserta dalam
kelompok tersebut, missal dalam kelompok tersebut terdapat siswa yang
sudah bisa atau mampu menguasai materi maka siswa tersebut dapat
membantu temen dalam kelompok tersebut yang belum bisa.
Penerapan model pembelajaran kontektual di kelas hendaknya guru
benar-benar memahami konsep pembelajaran ini supaya proses
pembelajaran dan hasil belajar siswa dapat tercapai secara maksimal.
26
Pseserta didik menemukan makna pembelajaran dan akan membekas
dibenak mereka atau akan selalu dingat dalam otak. Hal ini sesuai dengan
tujuan pembelajaran kontekstual bahwa siswa dapat dibekali materi-materi
yang mampu bertahan dalam jangka panjang sehingga dimana dan kapan
mereka menemui permasalah yang berkaitan dengan materi pembelajaran
yang pernah mereka dapatkan sewaktu dibangku sekolah benar-banar
masih berada dalam ingatan yang masih sempurna.
Ada beberapa hal yang dapat diikuti berkaitan penerapan metode
pembelajaran dengan pendekatan kontekstual yaitu:
a. Kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna denga cara menemukan sendiri, dan mengonstruksikan sendiri pengetahuan dan ketrampilan barunya
b. Kembangkan sifat ingin tahu siswa dengan bertanya c. Ciptakan masyarakat belajar (belajar dalam kelompok-kelompok) d. Tunjukkan model sebagai contoh pembelajaran e. Lakukan refleksi di akhir pertemuan f. Lakukan penilaian yang sebenarnya dari berbagai sumber dan
berbagai cara.35
Melalui pembelajaran kontekstual peserta didik diberi kesempatan
penuh untuk mengembangkan pemikiran mereka. Dengan tujuan siswa
dalam mengikuti pembelajaran di kelas menjadi siswa yang aktif baik
kehadirannya, mengungkapkan pendapatnya atau berargumen, menemukan
hal yang baru bukan menjadi siswa yang pasif yang hanya mendengarkan
keterangan guru atau hanya dicatat sehingga atidak dapat membekas dalam
diri mereka. Pembelajaran ini juga dianggap pembelajaran yang
menyenagkan. Pembelajaran ini berkaitan dengan kehidupan yang nyata
yang ada pada kehidupan sehari-hari siswa. Tidak hanya itu mereka dapat
menikmati pembelajaran dengan kehadiran sosok model yang dihadirkan
oleh guru tentuya model itu yang berkompeten dalam bidangnya.
Kelompok belajar juga mendukung semangat mereka dalam belajar karena
terjadi interaksi antara siswa sudah mahir dapat membantu siswa belum
tahu mengenai materi pelajaran yang sedang dipelajari.
35Trianto, op.cit, hlm. 106
27
Tidak semuanya penerapan pembelajaran dengan pendekatan
kontekstual mempunyai keunggulan yang paling baik dibanding dengan
metode-metode lain. Ada beberapa titik kelemahan dari penerapan model
pembelajaran ini. Kelemahan tersebut yaitu:
a. Seoarang pendidik harus secara penuh terlibat dalam proses
pembelajaran.
b. Sarana prasarana yang mendukung pembelajaran.
c. Seorang pendidik mampu menguasai model pembelajaran kontekstual
dan mampu menguasai kelas secara maksimal.
d. Membutuhkan tenaga ekstra, baik fisik maupun segi pemikiran serta
membutuhkan waktu yang lama.
e. Tidak semua materi dapat dikontekstualkan, walaupun model
pembelajaran ini dapat diterapkan dalam berbagai kurikulum apa saja
termasuk kurikulum 2006 atau KTSP
C. Pendekatan Pembelajaran Fiqih melalui CTL
Istilah pendekatan memiliki kemiripan dengan strategi maupun metode.
Akan tetapi ketiga komponen tersebut saling berkaitan. Dalam dunia
pendidikan strategi dapat diartikan sebagai perencanaan yang berisi tentang
rangkaian kegiatan yang didesain untuk mencapai tujuan pendidikan.36
Kemudian metode adalah untuk mengimplementasikan rencana yang sudah
disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang disusun tercapai secara
optimal.
Pendekatan (approach) diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang
kita terhadap proses pembelajaran.37 Istilah pendekatan merujuk kepada
pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih sangat umum.
Dalam pembelajaran Fiqih yang sesuai dengan standar isi Madrasah
Ibtidaiyah terdapat beberapa pendekatan berkaitan dengan cakupan materi
pada setiap aspek dalam suasana pembelajaran terpadu, meliputi:
36Wina Sanjaya, op.cit., hlm. 126 37Ibid., hlm. 127
28
1. Keimanan, yang mendorong peserta didik untuk mengembangkan
pemahaman dan keyakinan tentang adanya Allah sebagai sumber
kehidupan
2. Pengalaman, mengkondisikan peserta didik untuk mempraktikan dan
merasakan hasil-hasil pengalaman isi mata pelajaran Fiqih dalam
kehidupan sehari-hari
3. Pembiasaan, melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan
melakukan tata cara ibadah, bermasyarkat dan bernegara yang sesuai
dengan materi pelajaran Fiqih yang dicontohkan oleh para ulama
4. Rasional, Usaha meningkatkan proses dan hasil pembelajaran Fiqih
dengan pendekatan yang memfungsikan rasio peserta didik, sehingga isi
dan nilai-nilai yang ditanamkan mudah dipahami dengan penalaran.
5. Emosiaonal, Upaya menggugah perasaan peserta didik dalam menghayati
pelaksanaan ibadah sehingga lebih terkesan dalam jiwa peserta didik.
6. Fungsional, menyajikan materi Fiqih yang memberikan manfaat nyata
bagi peserta didik dalam kehidupan sehari-hari dalam arti luas
7. Keteladanan, yaitu pendidikan yang menempatkan dan memerankan guru
serta komponen madrasah lainnya sebagai teladan, sebagai cerminan dari
individu yang mengamalkan materi pembelajaran Fiqih.38
Sesuai dengan komponen pembelajaran dengan pendekatan kontekstual,
menurut penulis bahwa komponen tersebut telah mencakup pendekatan
pembelajaran Fiqih yang sesuai dengan standar isi Madrasah Ibtidaiyah , jadi
bagaimana seorang pendidik untuk menyampaikan materi pembelajaran Fiqih
dengan tepat melalui pendekatan-pendekatan tersebut.
Sekiranya pembelajaran Fiqih dengan menggunakan pendekatan
Contextual Teaching and Learning sangat penting untuk meningkatkan
pemahaman mereka dalam memahami hukum Islam, sehingga peserta didik
tidak membayangkan materi yang diajarkan akan tetapi materi yang diajarkan
tersebut benar-benar terjadi di lingkungan kehidupan sehari-hari mereka.
38Standar Isi Madrasah Tsanawiyah, op.cit., hlm. 24
29
Pembelajaran Fiqih dengan menggunakan pendekatan kontekstual dalam
penerapannya tidak lepas dari metode yang digunakan dalam menyampaiakan
materi yatu sebagai pendukung dari keberhasilan penerapan pendekatan dalam
pembelajar tersebut. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk
menerapkan pendekatan pembelajaran kontekstual, yaitu:
1. Metode ceramah
Metode ceramah yaitu disamping menerangkan materi, guru dapat
menyelipkan kisah-kisah yang besumber dari Al-Qur’an dan hadits. Misal
materi shalat berjamaah, shalat bagi orang sakit. Metode ini sebenarnya
tidak dapat ditinggalkan dalam setiap penyampaian materi, yang
dikolaborasikan dengan metode lain.
2. Metode tanya jawab
Metode tanya jawab adalah penyampaian pesan pengajaran dengan
cara mengajukan pertanyaan-pertanyaan dan siswa memberikan jawaban,
atau sebaliknya siswa diberi kesempatan bertanya dan guru memberikan
jawaban.
3. Metode diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara mempelajari materi pelajaran
dengan memperdebatkan masalah yang timbul dan saling mengadu
argumentasi. Hal ini yang akan membuat siswa untuk aktif dalam
pembelajaran dan dan berpikir kritis dalam menuangkankan ide-ide ketika
ada suatu permasalahan. Dalam metode diskusi ini guru tetap
mendampingi secara penuh dalam pembelajaran.
4. Metode demonstrasi
Metode ini dalam pembelajaran Fiqih digunakan untuk memberikan
penjelasan kepada peserta didik dan memudahkan untuk memahami suatu
materi pelajaran dengan memperlihatkan sesuatu di depan kelas. Misalnya
digunakan untuk memperagakan atau mempertunjukkan bagaimana
gerakan shalat yang benar.
5. Metode latihan atau drill
30
Pembelajaran Fiqih dengan metode drill ini digunakan untuk melatih
dan membiasakan siswa melaksanakan kaifiyah secara mudah, tepat dan
benar. Sebagaimana bacaan shalat bisa di driilkan menjelang pelajaran
dimulai.
Pembelajaran Fiqih yang ada di madrasah tersebut dengan pendekatan
kontekstual adalah sebagai pendukung karena kelima metode tersebut adalah
sebagai metode pembelajaran yang tidak dapat ditinggalkan dalam
mensukseskan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual. Akan tetapi
tidak menutup kemungkinan bahwa masih banyak berkaitan dengan metode
pembelajaran yang lain sebagai pendukung. Hal ini semua kembali kepada
pendidik yang berperan secara langsung dalam proses pembelajaran.
32
BAB III
GAMBARAN UMUM DAN IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN
CONTEXTUAL TEACHING AND LEARNING (CTL) DALAM
PEMBELAJARAN FIQIH DI MI MA’ARIF MADUSARI SECANG
MAGELANG
A. Gambaran Umum MI Ma’arif Madusari Secang Magelang
1. Tinjauan Historis
Sebagai masyarakat yang sadar akan pentingnya pendidikan
berbasis agama, warga kelurahan Madusari Secang Magelang berusaha
ikut berperan serta membantu pemerintah di bidang pendidikan dalam
mewujudkan kesejahteraan dan mencerdaskan kehidupan bangsa, yang
merupakan tanggung jawab bersama antara keluarga, masyarakat dan
pemerintah, dimana kunci keberhasilan pembinaan masyarakat Islam
terletak pada kesempurnaan pendidikan anggota-anggota, sehingga
manjadi masyarakat yang bertakwa kepada Allah SWT, berbudi luhur,
cerdas, terampil dan penuh tanggung jawab terhadap nusa dan bangsa.
Untuk mewujudkan gagasan yang mulia itu, maka dibentuklah suatu
yayasan yang diberi nama Yayasan Ma’arif.
Dari yayasan ini, berdirilah sebuah lembaga pendidikan dasar yang
bernafaskan Islam, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif Madusari. Madrasah
Ibtida’iyah Ma’arif Madusari didirikan pada tahun 1956 yang digagas oleh
pemuka-pemuka agama di lingkungan desa sekitar dan pengurus dari
Yayasan Ma’arif tersebut. Tujuan dari didirikannya MI Ma’arif Madusari
adalah untuk mengembangkan ukhuwah Islamiyah di lingkungan
madrasah tersebut dan sekitarnya, mendidik anak agar senantiasa
berakhlaqul karimah serta mengerti pendidikan agama dan menjalankan
perintah agama untuk mempersiapkan diri di hari mendatang.
٣٣
Pendirian lembaga pendidikan tersebut sangat dirasakan sekali
manfaatnya oleh masyarakat sekitar, karena dengan adanya lembaga
pendidikan berbasis agama tersebut, masyarakat sekitar tidak lagi
kesusahan mencari lembaga pendidikan yang bernafaskan Islam yang
letaknya tidak terlalu jauh dari lingkungan warga. Disamping itu mereka
juga menginginkan agar anak-anak mereka dapat menjadi penerus
perjuangan agama yang berguna bagi nusa dan bangsa.
Pendirian MI Ma’arif Madusari tersebut awalnya mengalami
berbagai kendala, terutama masalah sumber dana. Setelah para tokoh-
tokoh agama yang ada di desa tersebut melakukan musyawarah, maka
menghasilkan keputusan untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan
Islam. Setelah disepakati, para tokoh-tokoh masyarakat dan pengurus
yayasan membuat proposal yang diajukan ke Dinas Pendidikan dan
Departemen Agama untuk segera memberikan surat izin pendirian
lembaga pendidikan tersebut.
Pendirian lembaga pendidikan ini tidak terlepas dari partisipasi
masyarakat sekitar, khususnya bantuan secara materiil. Setelah berdiri
Madrasah Ibtida’iyah Ma’arif Madusari, animo masyarakat cukup baik,
terbukti dengan banyaknya siswa yang masuk pada tahun pertama. Dan
alhamdulilah sejak berdiri hingga sekarang perkembangan madrasah
tersebut semakin pesat karena adanya pengelolaan madrasah yang baik.1
2. Visi, Misi dan Tujuan Pendidikan
a. Visi
Terwujudnya generasi islam yang qur’ani, berakhlak karimah dan
unggul dalam prestasi.
1 Hasil wawancara dengan Muhammad Masyruh, selaku Kepala MI Ma’arif Madusari,
pada tanggal 13 Desember 2010.
٣٤
b. Misi
1) Menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dalam pencapaian
prestasi akademik dan non akademik.
2) Mewujudkan pembelajaran dan pembiasaan dalam mempelajari al-
Qur’an dan menjalankan ajaran agama Islam.
3) Mewujudkan pembentukan karakter Islami yang berfaham ahlus
sunnah wal jama’ah (aswaja) dan mampu mengaktualisasikan diri
dalam masyarakat.
4) Meningkatkan pengetahuan dan profesionalisme tenaga
kependidikan sesuai dengan perkembangan dunia pendidikan.
5) Menyelenggarakan tata kelola madrasah yang efektif, efesien,
transparan dan akuntabel.
c. Tujuan Pendidikan
1) Mengoptimalkan proses pembelajaran dengan menggunakan
pendekatan pembelajaran aktif (PAKEM, CTL).
2) Mengembangkan potensi akademik, minat dan bakat siswa melalui
layanan bimbingan dan konseling dan kegiatan ekstra kurikuler.
3) Membiasakan perilaku Islami di lingkungan madrasah.
4) Meningkatkan prestasi akademik siswa dengan nilai rata-rata 7,5.
5) Meningkatkan prestasi akademik siswa di bidang seni dan olahraga
lewat kejuaraan dan kompetisi.
3. Letak Geografis
MI Ma’arif Madusari terletak di Jl. KH. M. Sururi No. 2/A
Madusari Secang. Bertempat di lokasi yang representatif untuk sebuah
pembelajaran karena didukung oleh kondisi dan situasi yang tenang dan
cukup jauh dari keramaian dan kebisingan aktifitas masyarakat kota.
Berikut ini gambaran batas-batas MI Ma’arif Madusari Madusari:
Sebelah barat : Lapangan sepak bola
Sebelah timur : RA Mashitoh
Sebelah utara : Kebun
Sebelah selatan : Jalan Kampung
٣٥
4. Struktu Organisasi
Susunan kepengurusan Madrasah Ibtida’iyah Ma’arif Madusari
adalah:
Kepala Sekolah : Muhammad Masyruh
Kepala Tata Usaha : Mirzam Ahmad
Wali Kelas I : Mutmainah, S.Ag.
Wali Kelas II : Siti Bariroh, S.Pd.I
Wali Kelas III : Munirotul Masruroh, S.Sos.
Wali Kelas IV : Badriyah, S.Pd.I
Wali Kelas V : Nasroh Latif, S.Pd.I
Wali Kelas VI : Sholatun
Guru Mapel PAI : Mirzam Ahmad
Guru Mapel Bahasa Arab : Muhammad Masyruh
5. Keadaan Tenaga Pendidik
Sampai saat diadakan penelitian ini, jumlah tenaga pengajar/guru
di lingkungan MI Ma’arif Madusari Secang Magelang Tahun Pelajaran
2010/2011 sebanyak 9 tenaga guru. Secara terperinci dapat dilihat pada
tabel berikut:
Daftar Guru dan Karyawan MI Ma’arif Madusari Secang Magelang
Tahun Pelajaran 2010/2011 2
No Nama Guru
Jabatan
Pendidikan
1 Muhammad Masyrur Kepala Sekolah MA
2 Siti Bariroh, S.Pd.I Guru Kelas II S.1
3 Slamet, A.Ma. Pensiun D.II
4 Badriyah, S.Pd.I Guru Kelas IV S.1
5 Sholatun Guru Kelas VI PGAN
6 Nasroh Latif, S.Pd.I Guru Kelas VI S.1
7 Mutmainah, S.Ag. Guru Kelas I S.1
2 Dokumen Kurikulum MI Ma’arif Madusari Secang tahun pelajaran 2010/2011.
٣٦
8 Mirzam Ahmad Guru Mapel MAN
9 Munirotul Masruroh, S.Sos. Guru Kelas III S.1
Kalau diperhatikan secara cermat bahwa guru di MI Ma’arif
Madusari, ternyata masih ada sebagian yang tidak sesuai dengan
kompetensinya. Hal itu disebabkan karena ada beberapa guru yang secara
akademik tidak memenuhi persyaratan dan kualifikasinya.
Padahal persyaratan menjadi seorang tenaga pengajar menurut
Undang-Undang Guru dan Dosen, bahwa untuk menjadi seorang guru MI
(Madrasah Ibtidaiyah) mereka paling tidak harus memiliki persayaratan
akademik D2. Oleh karena itu, bagi guru yang tidak memenuhi
persyaratan akademik, dianjurkan untuk mengikuti jenjang pendidikan
yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Guru dan Dosen. Bagi
tenaga guru yang berijazah MA, atau MAN hendaknya mengikuti
pendidikan D2 atau S1.
6. Keadaan Siswa
Sejak diadakannya penelitian ini hingga selesai jumlah siswa MI
Ma’arif Madusari Secang Magelang berjumlah 86 siswa yang terbagi atas
6 (enam) kelas.
Daftar Siswa MI Ma’arif Madusari Secang Magelang
Tahun Pelajaran 2010/20113
Kelas
Jumlah Siswa
L P JML
I 6 6 12
II 8 11 19
III 10 12 22
IV 8 6 14
V 3 8 11
VI 2 6 8
Jumlah 37 49 86
3 Dokumen Kurikulum MI Ma’arif Madusari Secang tahun pelajaran 2010/2011.
٣٧
7. Sarana dan Prasarana
Sebuah lembaga pendidikan akan dikatakan baik apabila memiliki
sarana yang memadai. Adapun sarana dan prasarana yang ada di MI
Ma’arif Madusari Secang Magelang antara lain:
Fasilitas Sarana Prasarana Pendidikan
MI Ma’arif Madusari Secang Magelang
Tahun Pelajaran 2010/2011 4
No Nama Barang Jumlah
1 Meja guru 10
2 Meja murid 76
3 Kursi guru 10
4 Kursi murid 86
5 Papan tulis 6
6 Almari 10
7 Mesin ketik 1
8 Komputer 1
B. Implementasi Model Pembelajaran Contextual Teaching And Learning
(CTL) Dalam Pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang
Magelang
Kurikulum mata pelajaran Fiqih di MI (Madrasah Ibtidaiyah) memuat
lingkup pembahasan mata pelajaran Fiqih ibadah yang berisi tentang pokok-
pokok ibadah mahdloh secara terperinci dan menyeluruh. Pengetahuan dan
pemahaman tersebut diharapkan menjadi pedoman hidup siswa dalam
kehidupan pribadi dan sosial. Dalam hal ini siswa diharapkan mampu
melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam secara benar. Dalam
pengamalannya, diharapkan dapat menumbuhkan ketaatan menjalankan
syariat Islam, disiplin dan memiliki tanggung jawab sosial yang tinggi.
4 Dokumen Kurikulum MI Ma’arif Madusari Secang tahun pelajaran 2010/2011.
٣٨
Berdasarkan kurikulum terbaru yang diterapkan di Indonesia, MI
Ma’arif Madusari Secang Magelang mengacu pada Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan (KTSP). Dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, setiap
pendidik dianjurkan untuk membuat rencana pembelajaran sebelum proses
pembelajaran dilaksanakan. Dalam rencana pembelajaran disebutkan pula
standar kompetensi, kompetensi dasar dan beberapa indikator pencapaian
keberhasilan belajar siswa dari masing-masing jenjang pendidikan. Melalui
rencana pembelajaran ini, seorang pendidik dapat memenej jalannya proses
pembelajaran, termasuk di dalamnya adalah mempersiapkan instrumen
pembelajaran seperti media pembelajaran, alat peraga dan sumber belajar
yang digunakan.
Berkaitan dengan proses pembelajaran pada mata pelajaran Fiqih di
MI Ma’arif Madusari Secang Magelang, salah satunya menggunakan
pendekatan CTL. Pendekatan CTL berorientasi pada pengalaman nyata. Siswa
dibimbing untuk mendapatkan pengalaman sendiri selama proses
pembelajaran. Pengalaman ini bisa dicapai dengan memanfaatkan semua
sarana yang ada sebagai sumber belajar. Sebagai contoh pemanfaatan sumber
belajar dalam pembelajaran Fiqih adalah menggunakan masjid sebagai
praktek latihan shalat, menggunakan alat peraga tentang tata cara ibadah
shalat dan lain sebagainya.5
Pengembangan sumber belajar pada mata pelajara Fiqih di MI Ma’arif
Madusari dilakukan dengan dua cara yaitu: pertama, melalui utilition, yaitu
pemanfaatan sumber belajar yang ada berupa alat peraga maupun sarana
penunjang dalam pembelajaran, seperti buku, gambar atau chart, masjid atau
mushala, dan lain sebagainya. Yang kedua, melalui design, yaitu sumber
belajar yang dihasilkan dengan membuat alat peraga sendiri yang berupa
tulisan-tulisan yang berkaitan dengan materi pembelajaran seperti lafal niat
shalat, lafal niat wudlu, lafal adzan, lafal iqomah atau yang lainnya.6
5 Hasil wawancara dengan Mirzam Ahmad, S.Pd.I selaku guru Fiqih MI Ma’arif
Madusari, pada tanggal 13 Desember 2010 6 Hasil wawancara dengan Mirzam Ahmad, S.Pd.I selaku guru Fiqih MI Ma’arif
Madusari, pada tanggal 13 Desember 2010
٣٩
Untuk memberikan gambaran yang jelas tentang pendekatan CTL
beserta sumber belajar yang dikembangkan pada pembelajaran Fiqih di MI
Ma’arif Madusari, berikut ini penulis paparkan proses pembelajaran tersebut
berdasarkan standar kompetensi yang telah ditetapkan.
1. Kelas I
Standar Kompetensi : Mengenal dan mengamalkan lima rukun Islam,
terbiasa berperilaku hidup bersih, mampu
berwudlu dan mengenal shalat fardlu.
Kompetensi Dasar : Melaksanakan wudlu
Indikator : 1) Melafalkan niat wudlu
2) Mempraktikkan wudlu dengan benar
Materi : Wudlu
Pendekatan pembelajaran yang dikembangkan meliputi hal-hal
sebagai berikut:
a. Pembiasaan, melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan sikap
dan perilaku yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits serta dicontohkan oleh para
ulama’.
b. Keteladanan, yaitu pendidikan yang menempatkan dan memerankan
guru serta komponen madrasah lainnya sebagai teladan, sebagai
cerminan dari individu yang mengamalkan ibadah.
Sumber belajar yang dimanfaatkan meliputi :
By Utilition : Buku pelajaran Fiqih, gambar orang yang sedang
melaksanakan berwudlu, mengajak siswa untuk pergi ke
kolam wudlu di musholla/masjid.
By Desain : Membuat tulisan atau lafadz wudlu dan do’a setelah
wudlu.
Sumber belajar yang dikembangkan adalah melalui media charta
tentang tata cara berwudlu, siswa disuruh membaca berulang-ulang
sehinga dapat menghafalnya di luar kepala; penanaman dan sikap dalam
٤٠
kehidupan sehari untuk membiasakan berwudlu sebelum mengerjakan
shalat atau membaca al-Qur'an dan sebagainya.7
2. Kelas II
Standar Kompetensi : Mampu melakukan shalat dengan menserasikan
bacaan, gerakan dan mengerti syarat syah shalat
dan yang membatalkannya, melafalkan adzan dan
iqamah, hafal bacaan qunut dalam shalat dan
mampu melakukan dzikir dan do’a.
Kompetensi Dasar : Melaksanakan adzan dan iqamah.
Indikator : 1) Melafalkan bacaan adzan dan iqamah.
2) Mengartikan bacaan adzan dan iqamah.
3) Melafalkan jawaban bacaan adzan dan iqamah.
4) Melafalkan do’a setelah adzan.
5) Mempraktikkan adzan dan iqamah.
6) Mampu melaksanakan adzan dan iqamah.
Materi : Adzan dan iqamah
Pendekatan pembelajaran yang dikembangkan meliputi hal-hal
sebagai berikut:
. Pengalaman, mengkondisikan siswa untuk mempraktikkan dan
merasakan hasil-hasil pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
a. Pembiasaan, melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan sikap
dan perilaku yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits serta dicontohkan oleh para
ulama’.
b. Keteladanan, yaitu pendidikan yang menempatkan dan memerankan
guru serta komponen madrasah lainnya sebagai teladan, sebagai
cerminan dari individu yang meneladani Nabi saw. Sahabat dan para
ulama’.
7 Hasil wawancara dengan Mirzam Ahmad, S.Pd.I selaku guru Fiqih MI Ma’arif
Madusari, pada tanggal 13 Desember 2010
٤١
Sumber belajar yang dimanfaatkan meliputi :
By Utilition : Buku pelajaran Fiqih, Gambar orang yang adzan dan
iqamah, mushollah dan masjid.
By Desain : Membuat tulisan do’a sesudah azdan, dan do’a
menjawab iqamah.
Berdasarkan sumber belajar yang telah tersedia dan dibuat oleh
guru, maka pengembangan dilakukan melalui media charta tentang tata
cara dan lafadz adzan dan iqamat, do'a sesudah adzan dan iqamat, siswa
disuruh membaca berulang-ulang sehinga dapat menghafalnya di luar
kepala; mengajak siswa untuk melakukan praktik adzan dan siswi untuk
melakukan iqamah sebagai penanaman dan sikap dalam kehidupan sehari
untuk membiasakan adzan sebelum mengerjakan shalat baik secara
berjama'ah atau sendirian.8
3. Kelas III
Standar kompetensi : Mampu memahami dan melakukan shalat
berjama’ah, shalat Jum’at dan mengerti syarat dan
sunnahnya, shalat sunah Rawatib, taraawih, Witir
dan shalat Id, dan memahami tata cara shalat bagi
orang yang sakit.
Kompetensi Dasar : Melaksanakan shalat berjama’ah
Indikator : 1) Menyebutkan syarat sah menjadi imam dan
makmum.
2) Menyebutkan cara memberi tahu imam yang
salah.
3) Mempraktikkan shalat berjama’ah.
4) Menyebutkan keutamaan shalat berjama’ah.
5) Melaksanakan shalat berjama’ah.
Materi : Shalat berjama’ah
8 Hasil wawancara dengan Mirzam Ahmad, S.Pd.I selaku guru Fiqih MI Ma’arif
Madusari, pada tanggal 13 Desember 2010
٤٢
Pendekatan pembelajaran yang dikembangkan meliputi hal-hal
sebagai berikut:
a. Keimanan, yang mendorong siswa untuk mengembangkan
pemahaman dan keyakinan tentang adanya Allah SWT, sebagai
sumber kehidupan.
b. Pengalaman, mengkondisikan siswa untuk mempraktikkan dan
merasakan hasil-hasil pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
c. Pembiasaan, melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan sikap
dan perilaku yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam yang
terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits serta dicontohkan oleh para
ulama’.
d. Keteladanan, yaitu pendidikan yang menenmpatkan dan memerankan
guru serta komponen madrasah lainnya sebagai teladan, sebagai
cerminan dari individu yang meneladani Nabi saw. Sahabat dan para
ulama’.9
Sumber belajar yang dimanfaatkan meliputi :
By Utilition : Buku pelajaran Fiqih, Gambar orang sedang
melaksanakan shalat berjama’ah, musholla dan masjid
By Desain : Membuat lafadz (berupa tulisan Arab) yang dibaca
ketika memberi tahu imam yang salah bagi makmum
laki-laki dan cara memberitahu imam yang salah bagi
makmum perempuan.
Sumber belajar yang dikembangkan adalah melalui memanfaatan
charta (gambar) yang memuat orang sedang shalat berjama'ah;
menjelaskan bacaan yang harus dibaca ketika imam salah, baik bagi
makmum laki-laki maupun perempuan, mengajak siswa-siswi pergi ke
mushalla atau masjid untuk mempraktikkan shalat berjama’ah sebagai
penanaman dan membiasakan diri siswa untuk senantiasa melaksanakan
shalat berjama'ah, baik di masjid, mushalla atau bahkan di rumah, serta
9 Hasil wawancara dengan Mirzam Ahmad, S.Pd.I selaku guru Fiqih MI Ma’arif
Madusari, pada tanggal 13 Desember 2010
٤٣
memberitahu imam yang salah, baik bagi makmum laki-laki maupun
perempuan.10
Sedangkan implementasi model pembelajaran CTL yang
dikembangkan dalam pembelajaran Fiqih dilakukan melalui kegiatan
observasi dan kunjungan belajar ke masjid. Sebagai contoh yang telah
diterapkan di kelas II MI Ma’arif Madusari Secang Magelang dengan materi
shalat berjamaah, adalah sebagai berikut:
1. Constructivism (konstruksivisme)
Dalam pembelajaran Fiqih materi ibadah shalat, pada kegiatan
awal guru menanyakan tentang pengertian shalat berjamaah dan syarat
menjadi imam dan makmum. Hal ini dilakukan untuk mengetahui
kemampuan awal siswa, sejauhmana pemahamannya tentang shalat
berjamaah, sehingga dalam pembelajaran nantinya siswa dapat
membangun pengetahuannya tentang tata cara shalat berjamaah secara
lebih dalam. Ada beberapa siswa yang sudah mengetahui pengertian shalat
berjamaah dan syarat menjadi imam dan makmum, tetapi juga ada
beberapa siswa yang belum mengetahui syarat menjadi imam dan
makmum. Setiap individu diberi kesempatan untuk mengungkapkan
jawaban mereka masing-masing dengan bahasa mereka sendiri.11 Dengan
cara seperti ini siswa akan belajar untuk mengkonstruk pemahamannya
sendiri tentang materi ibadah shalat.
2. Inquiry (menemukan)
Setelah guru melakukan pre test seputar shalat berjamaah, guru
meminta sebagian siswa untuk melakukan shalat berjamaah, kemudian
sebagian siswa yang lain disuruh melakukan observasi (pengamatan)
terhadap aktifitas shalat berjamaat tersebut. Setelah aktifitas shalat
berjamaah selesai, siswa dipersilahkan untuk mengajukan pertanyaan
kepada siswa lain ataupun kepada guru, mengajukan dugaan, dan
mengumpulkan data tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan shalat
10 Hasil wawancara dengan Mirzam Ahmad, S.Pd.I selaku guru Fiqih MI Ma’arif
Madusari, pada tanggal 13 Desember 2010 11 Hasil observasi pada tanggal 16 Desember 2010
٤٤
berjamaah berdasarkan pengalaman masing-masing. Setelah itu siswa
menyimpulkan secara sederhana data yang telah dikumpulkan. Jika ada
yang belum benar, guru memberikan koreksi atas kesimpulan siswa
tersebut.12 Dengan melakukan kegiatan tersebut siswa akan menemukan
pengetahuan baru tentang penerapan ibadah shalat dalam kehidupan
sehari-hari.
3. Questioning (bertanya)
Setelah siswa melakukan observasi tentang pelaksanaan shalat
berjamaah, kemudian guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan pertanyaan seputar shalat bermajaah. Sebagai langkah
awal dan untuk memberikan stimulus kepada siswa, guru memberikan
pertanyaan dasar seputar shalat shalat, seperti bilangan rakaat shalat, niat
shalat ataupun tentang pengalaman pribadi siswa dalam melaksanakan
shalat berjamaah. Setelah itu siswa diminta untuk bergantian mengajukan
pertanyaan seputar shalat berjamaah. Pertanyaan tidak selalu dijawab oleh
guru, guru juga memberikan kesempatan kepada siswa untuk menjawab
pertanyaan temannya. Kegiatan ini berlangsung beberapa menit sampai
tidak ada lagi siswa yang bertanya.13
4. Learning Community (masyarakat belajar)
Setelah kegiatan quetioning, langkah selanjutnya adalah
membentuk kelompok belajar. Siswa dibentuk menjadi lima kelompok
kecil untuk melakukan belajar bersama dan membahas masalah shalat
berjamaah. Tiap kelompok terdiri dari lima anak, dan masing-masing
kelompok membahas satu topik tentang shalat berjamaah. Kelompok I
membahas tentang syarat sah menjadi imam dan makmum, kelompok II
membahas tentang cara memberi tahu imam yang salah, kelompok III
tentang tata cara shalat berjama’ah, kelompok IV membahas tentang
keutamaan shalat berjama’ah, kelompok V membahas tentang praktek
shalat berjamaah. Dengan dibimbing guru, setiap siswa dalam kelompok
12 Hasil observasi pada tanggal 16 Desember 2010
13 Hasil observasi pada tanggal 16 Desember 2010
٤٥
menguraikan pengalamannya tentang topik yang telah ditetapkan, dengan
begitu tiap siswa dapat bertukar pengalaman dan menjadi sumber belajar
bagi yang lainnya. Setelah itu, masih dalam bimbingan guru, setiap
kelompok membuat catatan tentang hasil belajar bersama dan disampaikan
kepada teman lainnya. Guru memberikan koreksi jika ada pernyataan yang
salah.14
5. Modeling (permodelan)
Dalam praktek shalat berjamaah ini, kelompok yang mendapatkan
topik tentang praktek shalat berjamaah, menjadi model dan melakukan
praktek shalat berjamaah. Sebelum melakukan praktek shalat berjamaah,
guru menunjuk satu siswa yang sudah hafal beberapa surat al-Qur’an
sebagai imam dan yang lainnya menjadi makmum. Kemudian siswa
melakukan praktek shalat berjamaah. Setelah selesai, langkah selanjutnya,
guru menjelaskan tentang cara mengingatkan imam yang salah. Guru
memberikan instruksi kepada imam untuk melakukan praktek shalat
berjamaah lagi, tetapi di tengah-tengah praktek shalat berjamaah, imam
melakukan kesalahan gerakan shalat, sehingga siswa yang menjadi
makmum mengingatkan imam dengan membaca "subhanallah".
Kemudian guru menambahkan jika yang melakukan shalat berjamaah itu
perempuan, maka cara mengingatkannya dengan menepuk lengan
sebanyak tiga kali.15 Dengan begitu siswa yang lain menjadi tahu
bagaimana cara mengingatkan imam yang salah.
6. Reflection (refleksi)
Setelah proses pembelajaran selesai, guru dan siswa melakukan
refleksi tentang pembelajaran Fiqih yang telah dilaksanakan. Dalam
refleksi ini, siswa diminta memberikan saran dan kesan tentang
pembelajaran Fiqih. Kebanyakkan siswa memberikan respon positif
terhadap model pembelajaran ini. Mereka merasa lebih mengetahui tata
cara shalat berjamaah setelah mempraktekkannya sendiri. Guru juga
14 Hasil observasi pada tanggal 16 Desember 2010
15 Hasil observasi pada tanggal 16 Desember 2010
٤٦
menyimpulkan tentang keberhasilan dan kekurangan selama proses
pembelajaran. Keberhasilan proses pembalajaran dapat diketahui dari
kesuksesan praktek shalat berjamaah, hampir sebagian besar siswa sudah
mampu mempraktekkan shalat berjamaah. Sedangkan kekurangan dari
proses pembelajaran ini dapat diindikasikan dengan adanya sejumlah
siswa yang tidak memperhatikan saat praktek shalat berjamaah dan asyik
bermain sendiri. Hal ini dikarenakan guru tidak dapat memantau seluruh
siswa secara sekaligus.16 Dengan adanya refleksi ini, guru berusaha untuk
memperbaiki proses pembelajaran yang selanjutnya.
7. Authantic Assessemant (penilaian sebenarnya)
Pada akhir pembelajaran, guru memberikan evaluasi (penilaian)
tentang proses pembelajaran kali ini. Guru memberikan skor tersendiri
kepada siswa yang didasarkan atas aktifitas siswa selama proses
pembelajaran. Guru melakukan evaluasi baik individu maupun kelompok,
yang meliputi evaluasi selama proses pembelajaran sampai akhir
pembelajaran.17 Evaluasi ini dilaksanakan saat siswa melakukan belajar
kelompok dan saat praktek shalat berjamaah baik individu maupun
kelompok.
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa implementasi model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran
Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang Magelang sudah sesuai dengan unsur-
unsur model pembelajaran CTL itu sendiri. Guru mencoba untuk menerapkan
model pembelajaran CTL dengan sebaik mungkin. Dengan menerapkan
model pembelajaran CTL, suasana pembelajaran menjadi lebih dinamis dan
lebih aktif.
16 Hasil observasi pada tanggal 16 Desember 2010
17 Hasil observasi pada tanggal 16 Desember 2010
47
BAB IV
ANALISIS IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN CONTEXTUAL
TEACHING AND LEARNING (CTL) DALAM PEMBELAJARAN FIQIH
DI MI MA’ARIF MADUSARI SECANG MAGELANG TAHUN 2010
Dalam kegiatan pembelajaran di MI Ma’arif Madusari, terutama pada
mata pelajaran Fiqih yang dilaksanakan melalui pendekatan CTL (Contextual
Teaching Learning) dengan memanfaatkan sumber belajar yang tersedia.
Pendekatan pembelajaran ini merupakan konsep pembelajaran yang membantu
guru dalam mengaitkan antara materi pelajaran yang diajarkan dengan situasi
dunia nyata yang dialami siswa serta mendorong membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimiliki dengan penerapannya dalam kehidupan sehari-hari.
Hal ini dimaksudkan agar siswa dapat menghubungkan apa yang telah mereka
pelajari dengan cara memanfaatkan pengetahuan yang dimilikinya, sehingga
proses belajar mengajar dapat benar-benar berlangsung dan mampu memproses
informasi dan pengetahuan sedemikian rupa sehingga pengetahuan tersebut dapat
lebih bermakna dan bergairah.
Sebuah kelas dikatakan telah menerapkan CTL jika dalam kegiatan
belajar mengajarnya menerapkakan tujuh komponen CTL diantaranya
konstruktifisme, inquiry, bertanya, pemodelan, masyarakat belajar, refleksi, dan
penilaian sebenarnya.
Untuk dapat merangsang agar siswa dapat mengkonstruksi pemikiran
mereka, maka guru memberikan mereka berbagai pertanyaan. Dengan demikian
situasi kelas menjadi hidup karena anak-anak dapat berfikir dan menyampaikan
buah pikirannya dangan berbicara atau menjawab pertanyaan.1 Selain itu kegiatan
ini dapat merangsang siswa untuk melatih dan mengembangkan daya fikir,
termasuk daya ingatan dan lain-lain. Guru disini betul-betul berfungsi sebagai
fasilitator yang mengarahkan siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan barunya.
1 Hasil wawancara dengan Mirzam Ahmad, S.Pd.I selaku guru Fiqih MI Ma’arif
Madusari, pada tanggal 13 Desember 2010
48
Dengan demikian proses belajar mengajar akan lebih berkesan bagi siswa,
karena mereka yang menemukan sendiri. Apa yang dialami siswa akan lebih
mudah diingat.2 Hal ini juga berlaku dalam kegiatan inquiry.
Dalam kegiatan inquiry, siswa diarahkan untuk menemukan sendiri
pengetahuan yang mereka pelajari. Ada beberapa cara yang dilakukan dalam
kegiatan inquiry seperti observasi dan outing (kunjungan belajar). Kegiatan ini
dilakukan dengan cara siswa diajak ke masjid untuk melakukan shalat berjamaah.
Dalam kegiatan ini siswa diminta untuk melakukan penelitian sederhana berkaitan
dengan pelaksaan shalat berjamaah.3
Dalam kegiatan outing (kunjungan belajar), siswa dapat mengerjakan
secara langsung shalat berjamaah yang dilakukan di masjid tersebut. Namun
kegiatan ini membutuhkan waktu yang lama apalagi persiapan atau pelaksanaan
tersebut tidak diatur dengan baik. Oleh karena itu, perencanaan yang matang dan
baik akan membantu pelaksanaan observasi dan kunjungan belajar tersebut.
Perencanaan ini dilakukan supaya tidak terjadi pemborosan waktu, tenaga, dan
biaya serta untuk mencapai tujuan pembelajaran. Adapun hal-hal yang dilakukan
oleh guru antara lain :
1. Pendahuluan
Dalam pendahuluan ini guru menyusun program antara lain:
a. Tujuan outing (kunjungan belajar)
b. Pembagian obyek kunjungan
c. Pembentukam kelompok
d. Menyusun jadwal acara dengan jelas dan terperinci
e. Penyusunan tata tertib yang harus dipatuhi oleh semua peserta
2. Pelaksanaan
a. Siswa aktif melaksanakan tugasnya masing-masing
b. Guru memberi bimbingan, motivasi, pengawasan dan mengajukan
pertanyaan
2 Hasil wawancara dengan Mirzam Ahmad, S.Pd.I selaku guru Fiqih MI Ma’arif
Madusari, pada tanggal 13 Desember 2010 3 Hasil observasi pada tanggal 16 Desember 2010
49
c. Pengolaan data sementara
d. Penyusunan laporan
Dari kegiatan ini, guru menilai kemajuan siswa. Misalnya kemampuan
bekerja sama, keaktifan dalam kegiatan tersebut dan kemampuan dalam
melakukan shalat berjamaah. Dalam kegiatan tersebut guru juga mengajukan
pertanyaan yang berkaitan dengan aktifitas yang diamati yaitu shalat berjamaah.
Dalam kegiatan bertanya, guru selalu memberikan tantangan kepada siswa
untuk menumbuhkan rasa ingin tahu mereka. Guru memberi kebebasan kepada
siswa untuk mengungkapkan pendapatnya dan apabila tidak mengena pada
sasaran, maka guru mengarahkannya.
Dalam praktek shalat berjamaah ini, kelompok yang mendapatkan topik
tentang praktek shalat berjamaah, menjadi model dan melakukan praktek shalat
berjamaah.4 Dengan menghadirkan sebuah model, maka akan mempermudah
pemahaman siswa. Kegiatan pemodelan yang ada di MI Ma’arif Madusari telah
dilaksanakan sesuai dengan materi pelajaran. Tingkah laku guru disini juga
menjadi model bagi siswa.
Untuk mewujudkan suasana belajar yang aktif dimana siswa menjadi
pusat kegiatan belajar diperlukan suatu pengorganisasian pembelajaran salah
satunya dengan membentuk kelompok belajar (learning community). Konsep
learning community ini menyarankan agar hasil pembelajaran diperoleh dari
kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antara teman,
antara kelompok, dan antara yang tahu ke yang belum tahu. Pembentukan
masyarakat belajar di MI Ma’arif Madusari telah berjalan dengan lancar, tetapi
perlu pengawasan dan pengarahan dari guru agar dapat tercapai hasil belajar yang
efektif dan efisien. Dalam kegiatan pembelajaran aktif, pengelompokan siswa
mempunyai arti tersendiri. Dalam membentuk kelompok belajar (learning
community) pengelompokan siswa dibedakan dalam beberapa jenis, misalnya
4 Hasil observasi pada tanggal 16 Desember 2010
50
pengelompokan menurut kesenangan berteman, menurut kemampuan, dan
menurut minat.5
Kemudian pada akhir pembelajaran, guru menyisakan waktu sejenak agar
siswa melakukan refleksi. Realisasinya berupa; pernyataan langsung tentang apa
yang diperolehnya hari ini, catatan atau jurnal di buku siswa, kesan dan saran
siswa mengenai pembelajaran hari itu, diskusi, dan hasil karya. Kegiatan refleksi
di MI Ma’arif Madusari tersebut sudah dilaksanakan dengan lancar.
Komponen CTL terakhir yaitu penilaian sebenarnya. Penilaian dilakukan
dengan tujuan untuk memperbaiki proses belajar mengajar. Penilaian ini
digunakan untuk mengetahui apakah pendekatan dan metode yang digunakan
sudah tepat sehingga memudahkan siswa memahami materi dengan baik.
Penilaian juga digunakan untuk mengetahui apakah sikap-sikap dan keterampilan
tertentu telah dimiliki siswa.
Cara penilaian di MI Ma’arif Madusari dilakukan berdasarkan kondisi
yang ada saat pembelajaran sedang berlangsung. Sehingga proses penilaian
dilaksanakan mulai dari awal pembelajaran sampai pembelajaran berakhir. Cara
penilaianya adalah sebagai berikut:
1. Secara verbal, misalnya ketika aktifitas tanya jawab, diskusi, dan presentasi.
2. Secara tertulis, misalnya berupa laporan sederhana dan tes
3. Pengamatan terhadap tingkah laku siswa.6
Penilaian tersebut lebih ditekankan pada fungsinya sebagai umpan balik
baik bagi siswa atau pada guru. Jadi penilaian yang ada di MI Ma’arif Madusari
tidak hanya tes tertulis tetapi juga tes lisan dan hasil laporan sederhana yang
dibuat siswa. Hal ini terbukti dengan adanya buku laporan yang diberikan pada
orang tua siswa yaitu laporan perkembangan siswa dan laporan hasil belajar
siswa.
5 Hasil wawancara dengan Mirzam Ahmad, S.Pd.I selaku guru Fiqih MI Ma’arif
Madusari, pada tanggal 13 Desember 2010 6 Hasil wawancara dengan Mirzam Ahmad, S.Pd.I selaku guru Fiqih MI Ma’arif
Madusari, pada tanggal 13 Desember 2010
51
Keberhasilan pembelajaran Fiqih menggunakan model pembelajaran CTL
ini juga ditunjang dengan sumber belajar yang memadai. Secara keseluruhan
sumber belajar yang dimanfaatkan dalam proses belajar mengajar meliputi:
1. By Utilition: Buku pelajaran Fiqih (untuk semua jenjang pendidikan), gambar
orang yang sedang melaksanakan berwudlu, mengajak siswa untuk pergi ke
tempat wudlu untuk mengambil air wudlu di musholla/masjid (kelas I);
Gambar orang yang adzan dan iqamah, musholla dan masjid (kelas II);
Gambar orang sedang melaksanakan shalat berjama’ah, musholla dan masjid
(kelas III).
2. By Desain: Membuat tulisan (berupa charta) lafadz wudlu, do’a setelah wudlu
(kelas I); Membuat tulisan do’a sesudah adzan, dan do’a menjawab iqamah
(kelas II); Membuat lafadz (berupa tulisan Arab) yang dibaca ketika memberi
tahu imam yang salah bagi makmum laki-laki dan cara memberitahu imam
yang salah bagi makmum perempuan (kelas III).7
Agar pencapaiannya lebih efektif perlu diperhatikan beberapa prinsip
desain dalam pembelajaran CTL (Contextual Teaching Learning). Prinsip itu
antara lain kesiapan dan motivasi, penggunaan alat pemusat perhatian, partisipasi
aktif siswa, perulangan dan umpan balik. Motivasi bagi siswa merupakan salah
satu faktor yang dapat meningkatkan kualitas pembelajaran, karena siswa akan
belajar dengan sungguh-sungguh apabila memiliki motivasi yang tinggi. Oleh
karena itu untuk meningkatkan kualitas pembelajaran, guru harus mampu
membangkitkan motivasi belajar siswa sehingga dapat mencapai tujuan
pembelajaran. Alangkah baiknya bagi setiap guru memiliki rasa ingin tahu,
mengapa dan bagaimana anak belajar dan menyesuaikan dirinya dengan kondisi-
kondisi belajar dalam lingkungannya. Hal itu disebabkan akan menambah
pemahaman dan wawasan guru sehingga memungkinkan proses pembelajaran
berlangsung lebih efektif dan optimal, karena pengetahuan tentang kejiwaan anak
yang berhubungan dengan masalah pendidikan bisa dijadikan sebagai dasar dalam
7 Hasil wawancara dengan Mirzam Ahmad, S.Pd.I selaku guru Fiqih MI Ma’arif
Madusari, pada tanggal 13 Desember 2010
52
memberikan motivasi kepada siswa sehingga mau dan mampu belajar dengan
sebaik-baiknya.
Seiring dengan penggunaan sistem KTSP dan diimplementasikan melalui
pendekatan CTL, kegiatan belajar mengajar di sekolah idealnya mengarah pada
kemandirian siswa dalam belajar. Siswa perlu dilatih sedini mungkin untuk
mandiri baik di sekolah maupun di rumah. Untuk itu guru harus mampu
menciptakan pola pembelajaran yang berdampak luas bagi siswa baik secara
kognitif, afektif maupun psikomotorik. Pola pembelajaran itu hendaknya juga
mampu mempengaruhi lingkungan dimana siswa itu berada dalam arti ikut
mendidik masyarakat sekitar untuk ikut peduli terhadap pendidikan anak-anaknya.
Mengacu pada pengertian kompetensi, bahwa ia merupakan pengetahuan,
ketrampilan dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam kebiasaan berfikir dan
bertindak. Kebiasaan berfikir dan bertindak yang secara konsisten dan terus-
menerus memungkinkan seseorang menjadi kompeten, dalam arti memiliki
pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai dasar untuk melakukan sesuatu.8 Dalam
hal ini termasuk untuk mengaplikasikan konsep mata pelajaran Fiqih ibadah,
termasuk mata pelajaran Fiqih.
Dalam kaitannya dengan mata pelajaran Fiqih, bahwa kompetensi
merupakan pengetahuan, ketrampilan dan nilai-nilai dasar ajaran Islam, yang
direfleksikan dalam bentuk kebiasaan berfikir dan berakhlaq (sikap) secara
konsisten dalam kehidupan sehari-hari, sehingga memungkinkan seorang siswa
menjadi kompeten dalam mengaplikasikan ajaran Islam.
Dalam kaitannya dengan pengembangan pemanfaatan sumber belajar pada
mata pelajaran Fiqih melalui pendekatan CTL, bahwa guru telah berusaha untuk
menerapkan dan memanfaatkan sumber belajar yang ada, yakni melalui media
yang tersedia walaupun masih sangat terbatas. Disamping itu, mengupayakan
penggalian dan pembiasaan sikap kepribadian siswa dalam kehidupan sehari-hari.
8 Abdul Majid dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 84.
53
Meskipun MI Ma’arif Madusari sudah menggunakan pendekatan CTL
dalam proses belajar mengajarnya, namun dalam pengembangan sumber belajar
dengan pendekatan pembelajaran CTL masih belum maksimal. Guru masih sangat
tergantung pada kehadiran buku tekstual, dan masih sangat jarang guru yang mau
bersusah payah mencari materi pelajaran penyerta atau tambahan untuk
melengkapi kekurangan buku pelajaran yang mereka gunakan.9 Hal ini mungkin
dikarenakan keterbatasan kemampuan sekolah untuk melengkapi media
pembelajaran, seperti CD/DVD, LCD, komputer dan alat-alat audio visual lainnya
sebagai sumber belajar yang menunjang proses belajar mengajar.
Sejalan dengan realisasi KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan)
yang mengimplementasikan model pembelajaran CTL (Contextual Teaching
Learning), guru dituntut harus dapat menguasai berbagai macam model
pendekatan pembelajaran dengan disertai pemanfaatan sumber belajar yang
tersedia atau bahkan menggali sumber belajar lain yang belum terdapat di
lingkungan sekolah/madrasah.
Arus informasi yang berkembang di masyarakat, tidak menuntut
kemungkinan dalam setiap pembelajaran diperlukan pendayagunaan sumber
belajar seoptimal mungkin, karena keefektifan pembelajaran ditentukan oleh
kemauan dan kemampuan mendayagunakan sumber-sumber belajar yang terdapat
di sekitar kita. Kemauan mendayagunakan sumber belajar tersebut tidak hanya
berguna untuk kepentingan akademik semata, melainkan merupakan keterampilan
umum yang diperlukan dalam kehidupan sehari-hari. Kemampuan
mendayagunakan sumber belajar yang tepat dapat menghemat dana, daya dan
tenaga.
Di antara manfaat pendayagunaan sumber belajar dalam menunjang
implementasi model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL)
dalam pembelajaran Fiqih, antara lain:
1. Memberi pengalaman belajar secara langsung dan konkret kepada siswa.
Misalnya melakukan praktek shalat di masjid.
9 Hasil observasi pada tanggal 16 Desember 2010
54
2. Dapat menyajikan sesuatu yang tidak mungkin diadakan, dikunjungi, atau
dilihat secara langsung dan konkret. Misalnya denah, sketsa, foto, film,
majalah dan sebagainya.
3. Dapat menambah dan memperluas cakrawala sajian yang ada di dalam kelas.
Misalnya buku-buku teks, foto, film, nara sumber majalah dan sebagainya.
4. Dapat memberi informasi yang akurat dan terbaru. Misalnya buku-buku
bacaan, ensiklopedia, majalah dan sebagainya.
5. Dapat membantu memecahkan masalah pendidikan (instruksional) baik dalam
lingkup mikro maupun makro. Misalnya secara makro: Sistem Belajar Jarak
Jauh (SBJJ) melalui modul.
6. Dapat memberi motivasi yang positif, apabila diatur dan direncanakan
pemanfaatannya secara tepat.
7. Dapat merangsang untuk berfikir, bersikap dan berkembang lebih lanjut.
Misalnya buku teks, buku bacaan, film dan lain-lain, yang mengandung daya
penalaran, sehingga dapat merangsang siswa untuk belajar berfikir,
menganalisis dan berkembang lebih lanjut. 10
Sebagaimana lazimnya suatu bidang studi, materi keilmuan mata pelajaran
Fiqih mencakup dimensi pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), dan nilai
(value). Hal ini sesuai dengan tujuan pokok pembelajaran mata pelajaran Fiqih
yaitu untuk membekali siswa agar dapat:
a. Mengetahui dan memahami cara-cara pelaksanaan hukum Islam baik yang
menyangkut aspek ibadah maupun muamalah untuk dijadikan pedoman hidup
dalam kehidupan pribadi dan sosial.
b. Melaksanakan dan mengamalkan ketentuan hukum Islam dengan benar dan
baik, sebagai perwujudan dari ketaatan dalam menjalankan ajaran agama
Islam baik dalam hubungan manusia dengan Allah SWT, dengan diri manusia
10 Ahmad Rohani, Media Instruksional Edukatif, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), hlm. 102-
103.
55
itu sendiri, sesama manusia, dan makhluk lainnya maupun hubungan dengan
lingkungannya.11
Jadi pada dasarnya pembelajaran bertujuan untuk mengarahkan siswa
dalam memahami, mengenal, menghayati dan mengamalkan hukum Islam yang
mengarah pada penciptaan yang taat dan bertaqwa kepada Allah SWT melalui
kegiatan bimbingan, pengajaran, latihan serta pengalaman siswa sehingga menjadi
muslim yang selalu bertambah keimanannya kepada Allah SWT.
Atas dasar pertimbangan di atas maka menerapkan pendekatan CTL
dalam pembelajaran mata pelajaran Fiqih menjadi sebuah keniscayaan. Karena
dengan pendekatan CTL akan lebih mempercepat proses bimbingan dan
pembinaan kualitas personil siswa baik aspek kognitif, afektif dan psikomotorik.
Dengan demikian, bagaimanapun jenis kurikulum yang digunakan, dalam
kegiatan belajar mengajar yang penting adalah dalam pelaksanaan dan
keberhasilannya disempurnakan atau dilengkapi dengan berbagai aktifitas
walaupun hanya berperan sebagai pelengkap. Dalam pengertian, ativitas di luar
proses belajar mengajar formal harus ditetapkan juga secara tertulis, terutama jika
proses belajar mengajar atau kurikulum menghendaki itu.
Dalam pelaksanaan pembelajaran berbasis kompetensi melalui pendekatan
CTL, seorang guru harus mampu menciptakan kondisi yang kondusif. Kendati
demikian kualitas pembelajaran sangat ditentukan oleh aktivitas dan kreatifitas
guru, disamping kompetensi-kompetensi profesionalnya.12
Beberapa hal yang perlu diperhatikan bagi seorang guru untuk
mengembangkan kreativitas dalam proses pembelajaran, antara lain:
1. Menyediakan lingkungan yang kondusif.
2. Menciptakan iklim pembelajaran yang demokratis.
11 Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Standar
Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan Bahasa Arab di Madrasah bab
VI, hlm.20 12 E. Mulyasa, Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005), hlm. 165.
56
3. Mengembangkan sikap empati dan merasakan apa yang sedang dirasakan oleh
siswa.
4. Membantu siswa menemukan solusi dalam setiap masalah yang dihadapinya.
5. Melibatkan siswa secara optimal dalam pembelajaran, baik secara fisik, sosial
maupun emosional.
6. Merespon setiap perilaku siswa secara positif dan menghindari respon yang
negatif.
7. Menjadi teladan dalam menegakkan aturan dan disiplin dalam pembelajaran.13
Dengan demikian sumber belajar yang utama bagi guru dalam kegiatan
proses belajar mengajar adalah tidak cukup hanya tergantung pada sarana sumber
belajar yang telah tersedia. Sumber belajar yang telah tersedia harus dapat
dimanfaatkan sebaik mungkin dan perlu mendayagunakan sumber belajar yang
belum tersedia. Ia dapat diupayakan dengan mengembangkan kemampuan diri
seseorang untuk senantiasa berorientasi pada wawasan era globalisasi. Hal ini
dilakukan agar kita tidak ketinggalan tentang informasi-informasi yang
berkembang di masyarakat secara umum.
Pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif Madusari diorientasikan agar siswa
mampu melakukan ibadah Mahdhah dengan baik dan menjalankan ibadah tersebut
dalam kehidupannya sehari-hari. Tujuan akhirnya adalah terciptanya insan kamil.
Pendekatan CTL yang digunakan merupakan upaya untuk mencapai tujuan
tersebut. Pendekatan tersebut merupakan langkah dalam pembelajaran guna
membangun karakter siswa yang bertakwa kepada Allah SWT dengan pembiasaan
ibadah dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun banyak kendala yang dihadapi
selama proses pembelajaran, termasuk keterbatasan sumber belajar yang berbasis
teknologi informasi.
Adapun manfaat dan kekurangan dari masing-masing sumber belajar
tersebut antara lain:
13 Ibid., hlm. 162-163.
57
1. Manfaat sumber belajar
Secara umum manfaat sumber belajar yang diaplikasikan dalam
kegiatan belajar mengajar di MI Ma’arif Madusari melalui model
pembelajaran CTL, antara lain :
a. Dapat membantu siswa dalam memahami materi pelajaran secara
komprehensif, karena siswa tidak hanya mengetahui teorinya namun juga
mengetahui bagaimana mengimplementasikanya.
b. Pembelajaran berjalan lebih dinamis dan aktif, karena sumber belajar yang
digunakan guru tidak monoton dan siswa dituntut untuk lebih aktif dalam
pembelajaran
c. Dapat meningkatkan motivasi belajar siswa karena pembelajaran berjalan
dengan lebih menyenangkan dan tanpa tekanan. Siswa dapat belajar dari
pengalaman yang mereka temuai dalam dunia nyata.
2. Kekurangan (kelemahan) sumber belajar
Berbagai macam sumber belajar, baik secara by utilition dan by desain
dalam kegiatan belajar mengajar di MI Ma’arif Madusari telah dilaksanakan
secara optimal. Namun demikian, pemanfaatan sumber belajar tersebut
mempunyai kekurangan/kelemahan, antara lain:
a. Bagi siswa kelas I dan kelas II masih sangat tergantung pada guru yang
menunjukkan belum ada kesiapan tentang pendekatan belajar melalui
CTL.
b. Guru masih tergantung pada buku pelajaran dalam satu penerbit, misalnya
buku terbitan dari Kementerian Agama saja.
c. Guru belum secara maksimal memanfaatkan sumber belajar yang tersedia,
misalnya pemanfataan komputer, sebagai media (sumber) belajar.
Model pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan
salah satu model pembelajaran kooperatif, sehingga selama proses pembelajaran
terjadi interaksi aktif antara siswa dengan siswa maupun antara siswa dengan
guru. Berbagai aktifitas yang dilakukan guru dan siswa selama proses
pembelajaran melalui pendekatan CTL merupakan sarana untuk mengaktifkan
siswa dan meningkatkan kualitas guru. Dengan menggunakan metode belajar
58
aktif, guru betul-betul berfungsi sebagai fasilitator sehingga dapat menciptakan
suasana belajar yang akan menumbuhkan kreativitas dan kapabilitas dengan
lebih optimal. Dengan demikian para guru dapat menumbuhkan dan
mengembangkan ketrampilan-ketrampilan dalam diri anak sesuai dengan taraf
pemikirannya.
Demikianlah analisis sederhana mengenai implementasi model
pembelajaran Contextual Teaching and Learning (CTL) dalam pembelajaran
Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang Magelang.
٥٩
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan data serta analisis yang telah dikemukakan pada bab
sebelumnya, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
1. Pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang Magelang dinilai
sudah baik. Guru melakukan pembelajaran Fiqih dengan tujuan
mengarahkan siswa dalam memahami, mengenal, menghayati dan
mengamalkan hukum Islam yang mengarah siswa supaya taat dan
bertaqwa kepada Allah SWT melalui kegiatan bimbingan, pengajaran,
latihan serta pengalaman siswa sehingga menjadi muslim yang selalu
bertambah keimanannya kepada Allah SWT. Dalam rangka mencapai
tujuan pembelajaran Fiqih tersebut, guru melakukan pembelajaran dengan
menggunakan pendekatan kontekstual.
2. Implementasi model pembelajaran Contextual Teaching and Learning
(CTL) dalam pembelajaran Fiqih di MI Ma’arif Madusari Secang
Magelang berjalan dengan baik; mulai dari persiapan, pelaksanaan, dan
evaluasi pembelajaran, yang sesuai dengan komponen dan karakteristik
serta hal-hal lain yang terkait dalam pendekatan CTL. Model pembelajaran
Contextual Teaching dan Learning (CTL) merupakan suatu model
pembelajaran yang bertujuan untuk membantu guru mengaitkan materi
yang telah diperoleh oleh peserta didik ke dalam dunia nyata. Siswa
dengan segala potensi yang dimiliki, memungkinkan untuk
mengembangkannya sendiri sehingga menjadi pengetahuan yang
bermakna, baik sebagai individu, anggota keluarga maupun anggota
masyarakat.
B. Saran
Pada bagian akhir skripsi ini, setelah melakukan analisis dan telah
menghasilkan kesimpulan, maka penulis akan mencoba untuk memberikan
saran-saran kepada pihak yang berkepentingan, antara lain:
٦٠
1. Lembaga yang diteliti, kepala madrasah hendaknya selalu mengarahkan
para pengajar untuk menerapkan pendekatan pembelajaran kontekstual
sesuai dengan prosedur dan kemampuan yang dimiliki agar tercapai tujuan
pembelajaran.
2. Guru Fiqih, sebaiknya dalam mengajarkan materi Fiqih dengan
menggunakan pendekatan pembelajaran kontekstual melakukan persiapan
dengan matang, agar tujuan pembelajaran Fiqih dapat tercapai
sebagaimana yang ditentukan.
3. Bagi siswa, hendaknya siswa terlebih dahulu mengerti dan paham tujuan
pembelajaran kontekstual dalam pembelajaran Fiqih, demi mendukung
terlaksananya pembelajaran dengan baik dan tidak tumbuh perasaan
merugi untuk berbagi ilmu dengan sesama.
4. Seluruh warga MI Ma’arif Madusari Secang Magelang hendaknya selalu
berusaha untuk menciptakan iklim sosial yang harmonis serta mendukung
terlaksananya pendekatan pembelajaran kontekstual dan tujuan
penerapannya.
C. Penutup
Dengan memanjatkan syukur alhamdulillah ke hadirat Allah SWT,
penulis telah menyelesaikan skripsi ini dengan sepenuh kemampuan yang
dimiliki. Dan ucapan terima kasih kepada para pembimbing yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan dan petunjuk kepada penulis
demi terselesaikannya skripsi ini.
Namun demikian penulis menyadari bahwa penyusunan skripsi ini
jauh dari sempurna, untuk itu penulis sangat mengharapkan adanya saran dan
kritik dari semua pihak untuk perbaikan dan kesempurnaannya.
Akhirnya atas ridha Allah SWT, semoga skripsi yang sederhana ini
dapat bermanfaat khususnya bagi penulis dan bagi para pembaca pada
umumnya.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu dan Widodo Supriyono, Psikologi Belajar, Jakarta: PT Rineka
Cipta, 2004.
Arikunto, Suharsimi, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Jakarta,
Rineka Cipta, 1997.
Ash Shiddieqy, Tengku Muhammad Hasbi, Falsafah Hukum Islam, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2001.
Daradjat, Zakiyah, dkk, Metodik Khusus Pengajaran Agama Islam, Jakarta:
Penerbit Bumi Aksara, 2001.
Departemen Agama RI, Metodologi Pendidikan Agama Islam, Jakarta: Direktorat
Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, 2001.
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, Yogyakarta: Andi, 2002.
Ismail SM, Strategi Pembelajaran Agama Islam Berbasis PAIKEM, Semarang:
Rasail Media Group, 2008.
Johnson, Elanine B., Contextual Teaching And Learning, Terj. Ibnu Setiawan
Bandung: MLC, 2007.
Majid, Abdul dan Dian Andayani, Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompetensi,
Bandung: PT Remja Rosda Karya, 2004.
Mulyasa, E., Kurikulum Berbasis Kompetensi, Bandung: PT Remaja Rosda karya,
2003.
-------, Menjadi Guru Profesional, Menciptakan Pembelajaran Kreatif dan
Menyenangkan, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005.
Muslih, Masnur, KTSP: Pembelajaran Berbasis Kompetensi dan Kontekstual,
Jakarta: Bumi Aksara, 2009.
Nasution, S., Berbagai Pendekatan dalam Proses Belajar dan Mengajar, Jakarta:
Bumi Aksara, 1995.
Peraturan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang
Standar Kompetensi Lulusan dan Standar Isi Pendidikan Agama Islam dan
Bahasa Arab di Madrasah Bab VII.
Rohani, Ahmad, Media Instruksional Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.
Sanjaya, Wina, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan,
Jakarta, Kencana Prenada Media Group, 2008.
Semiawan, Cony, et. al, Pendekatan Ketrampilan Proses, Jakarta: Gramedia
Widya Sarana Indonesia, 1992.
Shihab, Quraish, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1994.
Silberman, Mel, Active Learning terjemahan, Sarjuli, et. all, Singapore: Ally and
Bacon, 1996.
Slavin, Robert E., Cooperative Learning, terj. Nurulita Yusron, Bandung: Nusa
Media, 2008.
Soenarjo, Al-Qur’an dan Terjamahannya, Semarang: Toha Putra, 1989.
Subagyo, P. Jogo, Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek, Jakarta: Rineka
Cipta, 2004.
Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, Bandung : Alfabeta, 2009.
Suharso dan Ana Retnoningsih, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Semarang:
Widya Karya, 2009.
Suprijono, Agus, Cooperative Learning: Teori dan Aplikasi PAIKEM,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Syah, Muhibbin, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung:
Remaja Rosda Karya, 2002.
Trianto, Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivitsik,
Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007.
Undang-Undang SISDIKNAS Nomor 20 Tahun 2003, Bandung: Fokos Media,
2006.
Usman, Moh. Uzer, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2009.
Yunus, Mahmud, Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya Agung, 1990.
HASIL WAWANCARA
DENGAN KEPALA MI MA’ARIF MADUSARI
Nara Sumber : Muhammad Masyruh
Tanggal : 13 Desember 2010
Peneliti : Bagaimana sejarah pendirian MI Ma’arif Madusari?
Nara sumber : Sekolah ini berawal dari masukan masyarakat. Melalui yayasan
Ma’arif kahirnya berdirilah sebuah lembaga pendidikan dasar
yang bernafaskan Islam, yaitu Madrasah Ibtidaiyah Ma’arif
Madusari. Madrasah Ibtida’iyah Ma’arif Madusari didirikan
pada tahun 1956 yang digagas oleh pemuka-pemuka agama di
lingkungan desa sekitar dan pengurus dari Yayasan Ma’arif
tersebut. Tujuan dari didirikannya MI Ma’arif Madusari adalah
untuk mengembangkan ukhuwah Islamiyah di lingkungan
madrasah tersebut dan sekitarnya, mendidik anak agar senantiasa
berakhlaqul karimah serta mengerti pendidikan agama dan
menjalankan perintah agama untuk mempersiapkan diri di hari
mendatang.
Peneliti : Bagaimana animo masyarakat terhadap MI Ma’arif Madusari?
Nara Sumber : Pendirian lembaga pendidikan ini tidak terlepas dari partisipasi
masyarakat sekitar, khususnya bantuan secara materiil. Setelah
berdiri Madrasah Ibtida’iyah Ma’arif Madusari, animo
masyarakat cukup baik, terbukti dengan banyaknya siswa yang
masuk pada tahun pertama. Dan alhamdulilah sejak berdiri
hingga sekarang perkembangan madrasah tersebut semakin pesat
karena adanya pengelolaan madrasah yang baik.
Peneliti : Bagaimana kebijakan sekolah tentang sistem pembelajaran
guru?
Nara Sumber : Sekolah menyerahkan semuanya kepada guru. Karena pada
dasarnya guru yang berhubungan langsung dengan peserta didik.
Sehingga mereka yang lebih tahu mana yang terbaik untuk
peserta didik.
Peneliti : Berkaitan dengan pendekatan CTL, apakah sekolah
menyarankan guru untuk menggunakan pendekatan tersebut?
Nara Sumber : Kami selalu mendukung segala sesuatu yang positif asalkan itu
baik untuk pembelajaran dan peningkatan kualitas pembelajaran.
Kaitannya dengan penerapan CTL, kami menyerahkan semua
kepada guru.
HASIL WAWANCARA
DENGAN GURU FIQIH MI MA’ARIF MADUSARI
Nara Sumber : Mirzam Ahmad, S.Pd.I
Tanggal : 13 Desember 2010
Peneliti : Berkaitan dengan proses pembelajaran pada mata pelajaran Fiqih
di MI Ma’arif Madusari Secang Magelang, pendekatan
pembelajaran apa yang sering digunakan?
Nara Sumber : Yang sering digunakan adalah pendekatan CTL. Pendekatan
CTL berorientasi pada pengalaman nyata. Siswa dibimbing
untuk mendapatkan pengalaman sendiri selama proses
pembelajaran. Pengalaman ini bisa dicapai dengan
memanfaatkan semua sarana yang ada sebagai sumber belajar.
Sebagai contoh pemanfaatan sumber belajar dalam pembelajaran
Fiqih adalah menggunakan masjid sebagai praktek latihan shalat,
menggunakan alat peraga tentang tata cara ibadah shalat dan lain
sebagainya.
Peneliti : Salah satu penentu keberhasilan CTL adalah sumber belajar,
bagaimana pengembangan sumber belajar yang dilakukan di
disini?
Nara Sumber : Pengembangan sumber belajar pada mata pelajara Fiqih di MI
Ma’arif Madusari dilakukan dengan dua cara yaitu: pertama,
melalui utilition, yaitu pemanfaatan sumber belajar yang ada
berupa alat peraga maupun sarana penunjang dalam
pembelajaran, seperti buku, gambar atau chart, masjid atau
mushala, dan lain sebagainya. Yang kedua, melalui design, yaitu
sumber belajar yang dihasilkan dengan membuat alat peraga
sendiri yang berupa tulisan-tulisan yang berkaitan dengan materi
pembelajaran seperti lafal niat shalat, lafal niat wudlu, lafal
adzan, lafal iqomah atau yang lainnya.
Peneliti : Dalam pembelajaran kontekstual ini, pendekatan pembelajaran
yang dikembangkan apa saja?
Nara Sumber : Pendekatan pembelajaran yang dikembangkan meliputi hal-hal
sebagai berikut: Keimanan, yang mendorong siswa untuk
mengembangkan pemahaman dan keyakinan tentang adanya
Allah SWT, sebagai sumber kehidupan. Pengalaman,
mengkondisikan siswa untuk mempraktikkan dan merasakan
hasil-hasil pengalaman ajaran dalam kehidupan sehari-hari.
Pembiasaan, melaksanakan pembelajaran dengan membiasakan
sikap dan perilaku yang baik yang sesuai dengan ajaran Islam
yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadits serta dicontohkan
oleh para ulama’. Keteladanan, yaitu pendidikan yang
menenmpatkan dan memerankan guru serta komponen madrasah
lainnya sebagai teladan, sebagai cerminan dari individu yang
meneladani Nabi saw. Sahabat dan para ulama’.
Peneliti : Bagaimana caranya supaya siswa dapat mengembangkan
pemikirannya?
Nara Sumber : Untuk dapat merangsang agar siswa dapat mengkonstruksi
pemikiran mereka, maka guru memberikan mereka berbagai
pertanyaan. Dengan demikian situasi kelas menjadi hidup karena
anak-anak dapat berfikir dan menyampaikan buah pikirannya
dangan berbicara atau menjawab pertanyaan.
Peneliti : Bagaimana peran guru dalam pembelajaran?
Nara Sumber : Guru disini betul-betul berfungsi sebagai fasilitator yang
mengarahkan siswa untuk mengkonstruksi pengetahuan barunya.
Dengan demikian proses belajar mengajar akan lebih berkesan
bagi siswa, karena mereka yang menemukan sendiri. Apa yang
dialami siswa akan lebih mudah diingat.
Peneliti : CTL juga berkaitan dengan masyarakat belajar, bagaimana
penerapannya?
Nara Sumber : Pembentukan masyarakat belajar di MI Ma’arif Madusari telah
berjalan dengan lancar, tetapi perlu pengawasan dan pengarahan
dari guru agar dapat tercapai hasil belajar yang efektif dan
efisien. Dalam kegiatan pembelajaran aktif, pengelompokan
siswa mempunyai arti tersendiri. Dalam membentuk kelompok
belajar (learning community) pengelompokan siswa dibedakan
dalam beberapa jenis, misalnya pengelompokan menurut
kesenangan berteman, menurut kemampuan, dan menurut
minat.
Peneliti : Bagaimana cara penilaian pembelajaran disini?
Nara Sumber : Cara penilaian di MI Ma’arif Madusari dilakukan berdasarkan
kondisi yang ada saat pembelajaran sedang berlangsung.
Sehingga proses penilaian dilaksanakan mulai dari awal
pembelajaran sampai pembelajaran berakhir. Cara penilaianya
adalah secara verbal, misalnya ketika aktifitas tanya jawab,
diskusi, dan presentasi. Secara tertulis, misalnya berupa laporan
sederhana dan tes. Dan Pengamatan terhadap tingkah laku siswa.
HASIL OBSERVASI
IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN CTL
MI MA’ARIF MADUSARI SECANG MAGELANG
No Komponen CTL
yang Diamati
Keterangan
1 Constructivism
(konstruksivisme)
Dalam pembelajaran Fiqih materi ibadah shalat, pada kegiatan
awal guru menanyakan tentang pengertian shalat berjamaah
dan syarat menjadi imam dan makmum. Hal ini dilakukan
untuk mengetahui kemampuan awal siswa, sejauhmana
pemahamannya tentang shalat berjamaah, sehingga dalam
pembelajaran nantinya siswa dapat membangun
pengetahuannya tentang tata cara shalat berjamaah secara
lebih dalam. Ada beberapa siswa yang sudah mengetahui
pengertian shalat berjamaah dan syarat menjadi imam dan
makmum, tetapi juga ada beberapa siswa yang belum
mengetahui syarat menjadi imam dan makmum. Setiap
individu diberi kesempatan untuk mengungkapkan jawaban
mereka masing-masing dengan bahasa mereka sendiri.
2 Inquiry (menemukan) Dalam kegiatan inquiry, siswa diarahkan untuk menemukan
sendiri pengetahuan yang mereka pelajari dengan cara
melakukan observasi dan outing. Guru meminta sebagian
siswa untuk melakukan shalat berjamaah, kemudian sebagian
siswa yang lain disuruh melakukan observasi (pengamatan)
terhadap aktifitas shalat berjamaat tersebut. Setelah aktifitas
shalat berjamaah selesai, siswa dipersilahkan untuk
mengajukan pertanyaan kepada siswa lain ataupun kepada
guru, mengajukan dugaan, dan mengumpulkan data tentang
segala sesuatu yang berkaitan dengan shalat berjamaah
berdasarkan pengalaman masing-masing. Setelah itu siswa
menyimpulkan secara sederhana data yang telah dikumpulkan.
Jika ada yang belum benar, guru memberikan koreksi atas
kesimpulan siswa tersebut.
3 Questioning
(bertanya)
Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengembangkan pertanyaan seputar shalat bermajaah.
Sebagai langkah awal dan untuk memberikan stimulus kepada
siswa, guru memberikan pertanyaan dasar seputar shalat
shalat, seperti bilangan rakaat shalat, niat shalat ataupun
tentang pengalaman pribadi siswa dalam melaksanakan shalat
berjamaah. Setelah itu siswa diminta untuk bergantian
mengajukan pertanyaan seputar shalat berjamaah. Pertanyaan
tidak selalu dijawab oleh guru, guru juga memberikan
kesempatan kepada siswa untuk menjawab pertanyaan
temannya. Kegiatan ini berlangsung beberapa menit sampai
tidak ada lagi siswa yang bertanya.
4 Learning Community Siswa dibentuk menjadi lima kelompok kecil untuk
(masyarakat belajar) melakukan belajar bersama dan membahas masalah shalat
berjamaah. Tiap kelompok terdiri dari lima anak, dan masing-
masing kelompok membahas satu topik tentang shalat
berjamaah. Kelompok I membahas tentang syarat sah menjadi
imam dan makmum, kelompok II membahas tentang cara
memberi tahu imam yang salah, kelompok III tentang tata cara
shalat berjama’ah, kelompok IV membahas tentang
keutamaan shalat berjama’ah, kelompok V membahas tentang
praktek shalat berjamaah. Dengan dibimbing guru, setiap
siswa dalam kelompok menguraikan pengalamannya tentang
topik yang telah ditetapkan, dengan begitu tiap siswa dapat
bertukar pengalaman dan menjadi sumber belajar bagi yang
lainnya. Setelah itu, masih dalam bimbingan guru, setiap
kelompok membuat catatan tentang hasil belajar bersama dan
disampaikan kepada teman lainnya. Guru memberikan koreksi
jika ada pernyataan yang salah.
5 Modeling
(permodelan)
Dalam praktek shalat berjamaah ini, kelompok yang
mendapatkan topik tentang praktek shalat berjamaah, menjadi
model dan melakukan praktek shalat berjamaah. Sebelum
melakukan praktek shalat berjamaah, guru menunjuk satu
siswa yang sudah hafal beberapa surat al-Qur’an sebagai
imam dan yang lainnya menjadi makmum. Kemudian siswa
melakukan praktek shalat berjamaah. Setelah selesai, langkah
selanjutnya, guru menjelaskan tentang cara mengingatkan
imam yang salah. Guru memberikan instruksi kepada imam
untuk melakukan praktek shalat berjamaah lagi, tetapi di
tengah-tengah praktek shalat berjamaah, imam melakukan
kesalahan gerakan shalat, sehingga siswa yang menjadi
makmum mengingatkan imam dengan membaca
"subhanallah". Kemudian guru menambahkan jika yang
melakukan shalat berjamaah itu perempuan, maka cara
mengingatkannya dengan menepuk lengan sebanyak tiga kali.
6 Reflection (refleksi) Dalam refleksi ini, siswa diminta memberikan saran dan kesan
tentang pembelajaran Fiqih. Kebanyakkan siswa memberikan
respon positif terhadap model pembelajaran ini. Mereka
merasa lebih mengetahui tata cara shalat berjamaah setelah
mempraktekkannya sendiri. Guru juga menyimpulkan tentang
keberhasilan dan kekurangan selama proses pembelajaran.
Keberhasilan proses pembalajaran dapat diketahui dari
kesuksesan praktek shalat berjamaah, hampir sebagian besar
siswa sudah mampu mempraktekkan shalat berjamaah.
Sedangkan kekurangan dari proses pembelajaran ini dapat
diindikasikan dengan adanya sejumlah siswa yang tidak
memperhatikan saat praktek shalat berjamaah dan asyik
bermain sendiri. Hal ini dikarenakan guru tidak dapat
memantau seluruh siswa secara sekaligus.
7 Authantic
Assessemant
(penilaian
sebenarnya)
Guru memberikan skor tersendiri kepada siswa yang
didasarkan atas aktifitas siswa selama proses pembelajaran.
Guru melakukan evaluasi baik individu maupun kelompok,
yang meliputi evaluasi selama proses pembelajaran sampai
akhir pembelajaran.
FOTO PEMBELAJARAN
DAFTAR RIWAYAT HIDUP PENULIS
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Sholatun
Tempat/Tanggal lahir : Magelang, 03 Agustus 1966
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Jagoan 3 RT 05 RW 08 Jurang Ombo Utara
Magelang Selatan Kota Magelang
Agama : Islam
Jenjang Pendidikan :
1. SDN Ngadirojo Secang Lulus Tahun 1981
2. MTs N Windusari Magelang Lulus Tahun 1983
3. PGAN Magelang Lulus Tahun 1986
4. IAIN Walisongo Angkatan 2007
Demikian daftar riwayat hidup penulis yang dibuat dengan sesungguhnya, dan
semoga dapat menjadi keterangan yang jelas.
Semarang, Maret 2011
Penulis
Sholatun
NIM. 073111218