Upload
others
View
32
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
i
KARYA TULIS
EUTANASIA PADA HEWAN
OLEH :A.A. GDE ARJANA
FAKULTAS KEDOKTERAN HEWANUNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR2016
ii
KATA PENGANTAR
Atas asung kerta wara nugraha Ida Sang Hyang Widhi Wasa penulis dapat
menyelesaikan penulisan karya ilmiah dengan judul : Euthanasia Pada Hewan.
Penulisan karya ilmiah ini bertujuan untuk menambah pengetahuan tentang bagaimana cara
membunuh (euthanasia) pada hewan dengan cara yang benar.Terima kasih penulis sampaikan
kepada semua pihak yang telah membantu sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan
dengan baik
Demikian penulis sampaikan semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa melimpahkan
segala rahmatNya kepada kita semua
Denpasar, 30 Juni 2016
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………… iDAFTAR ISI……………………………………………………………………………… ii
I PENDAHULUAN…………………………………………………………… 1
1.1 Latar Belakang ………..……………………………………………….... 11.2 Rumusan Masalah………………………………………………………. 21.3 Tujuan Analisis Bioetika …..…….…………………………………….. 21.4 Analisis Bioetika .………….…………………………………………… 3
II EUTHANASIA………………………………………………………….…… 42.1 Terminologi ………………………………...…………………………… 42..2 Euthanasia dari Sudut Pelaksanaannya .……………………………….. 4
III EUTHANASIA PADA HEWAN ………………… 63.1 Hewan Penelitian ………………………………………………………. 73.2 Metode Euthanasia ……………………………………………………… 93.3 Pelaksanaan Euthanasia pada Hewan 93.4 Pendekatan Bioetika Euthanasia pada Hewan ………………………… 14
IV SIMPULAN ……………………………..…………………………………... 18
DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………….. 19
1
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kematian merupakan misteri yang paling besar, dan ilmu pengetahuan belum berhasil
menguaknya. Kematian sebagai akhir dari rangkaian kehidupan di dunia ini, merupakan hak
dari tuhan. Mati sesungguhnya masalah yang sudah pasti akan terjadi. Pengertian tentang
kematian itu sendiri mengalami perkembangan dari waktu ke waktu sejalan dengan
perkembangan ilmu pengetahuan. Kematian dapat dibagi menjadi 2 fase, yaitu : somatic
death (Kematian Somatik) dan biological death (Kematian Biologik). Kematian somatik
merupakan fase kematian dimana tidak didapati tanda-tanda kehidupan seperti denyut
jantung, gerakan penafasan, suhu badan yang menurun dan tidak adanya aktifitas listrik otak
pada rekaman EEG. Dalam waktu 2 jam, kematian somatik akan diikuti fase kematian
biologik yang ditandai dengan kematian sel. Kurun waktu 2 jam diantara kematian biologic
dan kematian somatik dikenal sebagai fase mati suri.
Kemajuan ilmu pengetahuan seperti respirato (alat bantu nafas), seseorang atau hewan
yang dikatakan mati batang otak yang ditandai dengan rekaman EEG yang datar, masih bisa
menunjukkan aktifitas denyut jantung, suhu badan yang hangat, fungsi alat tubuh yang lain
seperti ginjalpun masih berjalan sebagaimana mestinya, selama dalam bantuan alat respirator
tersebut. Tanda-tanda kematian somatic selain rekaman EEG tidak terlihat. Tetapi begitu alat
respirator tersebut dihentikan maka dalam beberapa menit akan diikuti tanda kematian
somatik lainnya. Walaupun tanda-tanda kematian somatik sudah ada, sebelum terjadi
kematian biologik, masih dapat dilakukan berbagai macam tindakan seperti pemindahan
organ tubuh untuk trasnplantasi, kultur sel ataupun jaringan dan organ atau jaringan tersebut
masih akan hidup terus, walaupun berada pada tempat yang berbeda selama mendapat
perawatan yang memadai.
2
Permasalahan penentuan saat kematian ini sangat penting bagi pengambilan
keputusan baik oleh dokter maupun keluarganya dalam kelanjutan pengobatan. Apakah
pengobatan dilanjutkan atau dihentikan. Dilanjutkan belum tentu membawa hasil, tetapi yang
jelas akan menghabiskan materi, sedangkan bila dihentikan pasti akan membawa ke fase
kematian. Penghentian tindakan pengobatan ini merupakan salah satu bentuk dari euthanasia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apakah pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip bioetika
otonomi ?.
2. Apakah pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip bioetika
nonmaleficience ?.
3. Apakah pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip bioetika
beneficience ?.
4. Apakah pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip bioetika
justice ?.
5. Apakah pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip bioetika
veracity ?.
6. Apakah pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip bioetika
confidentiality ?.
1.3 Tujuan Analisis Masalah Bioetika
1. Menganalisis pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip
bioetika otonomi.
2. Menganalisis pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip
bioetika nonmaleficience.
3. Menganalisis pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip
bioetika beneficience.
3
4. Menganalisis pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip
bioetika justice.
5. Menganalisis pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip
bioetika veracity.
6. Menganalisis pendekatan kasus Eutanasia pada hewan sudah sesuai dengan prinsip
bioetika confidentiality
1.4 Analisis Bioetika
1.4.1 Otonomi
1. Pasien
- Memiliki kebebasan dalam mengambil keputusan
- Memiliki hak atas perlindungan privacy, yang harus dihormati dokter
2. Dokter
- Memiliki kebebasan professional dari dokter (diagnostic, terapeutik/tindakan
terbaik, berdasarkan ilmu, keterampilan dan pengalaman) dokter tersebut.
- Mengungkap, merahasiakan, dan menjaga privacy
- Mendapatkan persetujuan untuk intervensi
- Membantu orang lain membuat keputusan yang penting
1.4.2 Nonmalefiecence (tidak menyakiti)
- Tidak menyebabkan kerugian secara sengaja (first do no harm/Prium non nocere)
- Menolong penderita/memberi pertimbangan sesuai kemampuan,
- Tidak pernah menyakiti/meniadakan kenyamanan
- Tidak menghina
1.4.3 Beneficence : memberi manfaat
- Tindakan yang dilakukan/pertimbangan yang diberikan sangat bermanfaat
- Tindakan/pertolongantidak memberi risiko/risiko minimal
4
- Benefit lebih besar dibandingkan dengan risk
1.4.4 Justice / Keadilan
- Perlakuan yang tepat / wajar sesuai hak / kewajiban dan norma-norma yang berlaku
1.4.5 Veracity
- Kejujuran mengungkapkan apa adanya / tidak ada manipulasi
1.4.6 Confidentiality
- Kepercayaan
II EUTANASIA
2.1 Terminologi
Kata euthanasia sendiri berasal dari Yunani, yaitu Eu – baik dan Thanatos – kematian
sehingga euthanasia disebutkan sebagai kematian dengan cara yang baik karena dilakukan
dengan meminimalisasikan rasa sakit dan stress. Euthanasia dinyatakan sebagai jalan keluar
terakhir disaat tidak diketemukannya alternatif medis lain yang dapat membantu pasien
menuju persembuhan.
Aturan hukum mengenai masalah ini sangat berbeda-beda di seluruh dunia dan
seringkali berubah seiring dengan perubahan norma-norma budaya dan tersedianya
perawatan atau tindakan medis. Di beberapa negara, tindakan ini dianggap legal, sedangkan
di negara-negara lainnya dianggap melanggar hukum. Karena sensitifnya isu ini, pembatasan
dan prosedur yang ketat selalu diterapkan tanpa memandang status hukumnya.
2.2 Eutanasia ditinjau dari sudut cara pelaksanaannya.
Ditinjau dari sudut maknanya maka eutanasia dapat digolongkan menjadi tiga yaitu :
1. Euthanasia agresif atau euthanasia aktif
yaitu suatu tindakan secara sengaja yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan
lain untuk mempersingkat atau mengakhiri hidup si pasien. Misalnya dengan
5
memberikan obat-obatan yang mematikan seperti misalnya pemberian tablet sianida
atau menyuntikkan zat-zat yang mematikan ke dalam tubuh pasien.
2. Euthanasia non agresif atau autoeuthanasia (euthanasia otomatis) atau disebut juga
euthanasia negative.
yaitu dimana seorang pasien menolak secara tegas dan dengan sadar untuk menerima
perawatan medis dan sipasien mengetahui bahwa penolakannya tersebut akan
memperpendek atau mengakhiri hidupnya. Dengan penolakan tersebut ia membuat
sebuah "codicil" (pernyataan tertulis tangan). Auto-euthanasia pada dasarnya adalah
suatu praktek euthanasia pasif atas permintaan.
3. Euthanasia pasif.
Euthanasia pasif, dikategorikan sebagai tindakan euthanasia negatif yang tidak
menggunakan alat-alat atau langkah-langkah aktif untuk mengakhiri kehidupan si
sakit. Tindakan pada euthanasia pasif ini adalah dengan secara sengaja tidak (lagi)
memberikan bantuan medis yang dapat memperpanjang hidup pasien. Misalnya tidak
memberikan bantuan oksigen bagi pasien yang mengalami kesulitan dalam
pernapasan atau tidak memberikan antibiotika kepada penderita pneumonia berat
ataupun meniadakan tindakan operasi yang seharusnya dilakukan guna
memperpanjang hidup pasien. Euthanasia pasif ini seringkali secara terselubung
dilakukan oleh kebanyakan rumah sakit.
Penyalahgunaan euthanasia pasif bisa dilakukan oleh tenaga medis, maupun pihak
keluarga yang menghendaki kematian seseorang atau keputusasaan keluargan karena ketidak
sanggupan menanggung beban biaya pengobatan. Ini biasanya terjadi pada keluarga pasien
yang tidak mungkin untuk membayar biaya pengobatannya, dan pihak rumah sakit akan
meminta untuk dibuat "pernyataan pulang paksa". Bila meninggal pun pasien diharapkan
mati secara alamiah. Ini sebagai upaya defensif medis.
6
III EUTHANASIA PADA HEWAN
Euthanasia atau Mercy Sleeping adalah tindakan membunuh hewan oleh seorang
dokter hewan dengan rasa sakit seminimal mungkin karena si hewan menderita penyakit yang
tidak dapat diobati atau situasi dimana perlakuan/pengobatan tidak memungkinkan lagi
memperoleh kesembuhan. Tapi bagi seorang klien kata-kata ”euthanasia” sering menjadi
sesuatu yang sangat menakutkan jika hal itu harus terjadi pada hewan kesayangannya. Oleh
karena itu kebanyakan dokter menyebutnya ”ditidurkan” atau ”disuntik tidur” untuk
mengurangi kesan ngeri tersebut. Istilah euthanasia sendiri berasal dari bahasa Yunani yang
berarti kematian yang baik atau mati dengan cara yang baik
Euthanasia atau suntik mati hingga kini masih menjadi pro-kontra. Secara moral dan
etika, euthanasia tidak dibenarkan bagi sebagian orang, karena dianggap tidak ada bedanya
dengan tindakan pembunuhan. Namun di sisi lain, euthanasia adalah sebuah pilihan bagi sang
pemilik hewan yang mengetahui bahwa piaraannya secara medis sudah tidak punya harapan
untuk hidup lagi.
Tindakan medis ini disebut sebagai tindakan euthanasia aktif, untuk membedakan dari
istilah euthanasia pasif. Euthanasia pasif adalah keputusan medis untuk menghentikan sama
sekali pengobatannya. Namun istilah euthanasia pasif tidak lagi dipakai karena masalah etika
kedokteran sudah dapat diatasi. Euthanasia pasif biasanya diganti dengan sebutan
membiarkan pasien meninggal karena harapan hidup sudah tidak ada lagi.
Pemanfaatan hewan pada bidang penelitian yang disebut sebagai hewan model atau
hewan percobaan telah berlangsung sejak berabad lalu sejalan dengan berkembangnya bidang
kedokteran. Pemanfaatannya semakin meluas setelah ditemukannya anaesthesi dan publikasi
dari Darwin yang menyatakan bahwa ada persamaan secara biologis antara manusia dan
hewan. Ironisnya hewan yang telah selesai menjalani perlakuan, untuk melihat perubahan
7
yang ditimbulkan oleh agen yang diujikan maka di akhir masa penelitian hewan tersebut
harus dimatikan. Periode mematikan hewan percobaan ini dikatagorikan sebagai euthanasia.
Pemakaian metode euthanasia dalam bidang keilmuan sangat penting perannya,
apabila ditinjau dari segi manfaatnya. Uji laboratorium terhadap material non-toksik dan
non–infectius sangat bisa diterima karena hewan diasumsikan tidak akan merasakan
penderitaan selama penelitian berlangsung. Keadaan menjadi sangat memprihatinkan apabila
hewan-hewan tersebut dipergunakan untuk uji biologis virus maupun logam berat dan zat
toxik lainnya. Kondisi ini yang menyebabkan perlu dilakukan suatu kajian etik terhadap
hewan yang akan menjalani euthanasia.
3.1 Hewan Penelitian
Pemanfaatan hewan untuk penelitian sejalan dengan perkembangan di bidang
kedokteran yang akarnya ada di Yunani dimulai oleh Aristoteles dan Hippocrates yang
meneliti tentang struktur dan fungsi tubuh manussia. Selanjutnya Galen (130-201 AD),
seorang dokter melakukan penelitian efek fisiologis obat pada babi, monyet dan kuda,
merupakan dasar untuk praktek kedokteran. Setelah Galen pemanfaatan hewan riset terhenti.
Hewan digunakan kembali saat dilakukan studi anatomi oleh Vesalius. Patogenitas
mikroorganisme dapat dibuktikan dengan memanfaatkan hewan yang peka utamanya setelah
ditemukannya Postulat Koch. Penggunaannya meningkat tajam pada abad 20 terutama pada
bidang biomedis termasuk farmakologi, toxicology dan imunologi. Sejalan dengan
pemanfaatan hewan untuk penelitian, perlu disusun suatu aturan yang ketat terhadap
pemakaian hewan untuk penelitian. Diakhir abad 20 pemakaian hewan semakin meningkat
sejalan dengan perkembangan bidang genetik, utamanya pemakaian mencit. Tabel 1
menunjukkan pemanfaatan beberapa spesies yang umum dipergunakan untuk penelitian
sedangkan Tabel 2 merupakan data pemanfaatan hewan model pada beberapa bidang ilmu.
8
Tabel 1. Hewan Percobaan yang Digunakan untuk Penelitian (Baumans,www.nature.com/gt/journal)
No Jenis Hewan Persentase (%)
1 Mencit 44
2 Tikus 33
3 Unggas 10
4 Ikan 7
5 Guinea pig 2
6 Kelinci 1
7 Lainnya 3
Tabel 2. Bidang Ilmu yang Diteliti dengan Memanfaatkan Hewan (Baumans,www.nature.com/gt/journal)
No Bidang Ilmu Persentase (%)
1 Obat-obatan 23
2 Vaksin/biologi 21
3 Kanker 12
4 Tes Toksisitas 9
5 Jantung/Sirkulasi 2
6 Pendidikan 1
7 Lainnya 32
9
3.2 Metode Euthanasia
Menurut Franson metode dasar euthanasia terbagi menjadi euthanasia fisik dan
euthanasia kimia.
3.2.1 Euthanasia Fisik terdiri dari :
a. Cervical dislocation (pemutaran leher).
merupakan metode euthanasia untuk burung, hewan dengan bobot <125 gr, kelinci
dan rodensia dengan BB 125 gr – 1 kg. Hewan yang akan dimatikan harus dalam keadaan
telah dianaestesi dan tidak boleh dilakukan pada hewan dalam keadaan sadar. Metode ini
tidak diperbolehkan untuk meng-euthanasia kelinci atau rodensia dengan BB > 1 kg, anjing,
kucing, ternak potong Teknik ini sangat efektif, cepat, murah dan efek terhadap tes diagnostik
sangat rendah.
b. Decapitation (perusakan otak lewat leher).
Decapitation dilakukan dengan jalan memotong kepala hewan dengan menggunakan
peralatan tajam dengan tujuan untuk memutus kepekaan saraf tulang belakang. Hewan yang
diperbolehkan untuk di-decapitation sama dengan pada cervical dislocation.
c. Stunning & exsanguinations (removal blood).
dilakukan dengan jalan merusak bagian tengah tengkorak agar hewan menjadi tidak
sadar diikuti penyembelihan untuk mengeluarkan darah dengan memotong pembuluh darah
utama di bagian leher. Teknik ini sangat cocok untuk diterapkan pada hewan potong serta
hanya bisa dioperasikan apabila tes diagnostik pada otak tidak diperlukan.
d. Captive bolt atau gunshot.
merupakan metode yang umum dipergunakan di rumah potong hewan utamanya
kuda, ruminansia dan babi. Hewan dimatikan dengan jalan menembak langsung kepalanya
apabila otaknya diperlukan untuk tes diagnostik maka penembakan dilakukan di leher.
10
Pelaksanaannya memerlukan seorang ahli agar tercapai kematian yang manusiawi selain
untuk keamanan.
3.2.2 Euthanasia Kimia
yaitu memasukkan agen toksin kedala tubuh dengan suntikan atau inhalasi. Prosedur
inhalasi hanya boleh dilakukan oleh operator yang telah mendapat ijin untuk menggunakan
bahan kimia karena material yang akan digunakan sangat berbahaya bagi manusia. Inhalasi
ditujukan untuk membuat hewan dengan bobot < 7kg. Agen inhalasi yang dipilih harus
menjadikan hewan tidak sadar secara cepat. Adapun agen yang diperbolehkan adalah
halothane, enflurane, methoxyflurane, nitrous oxide karena nonflammable dan
nonexplosive.carbondioxide, derivat barbiturat, magnesium sulfat, KCl. Sedangkan agen
inhalassi yang tidak boleh ddipergunakan adalah Chloroform, gas hydrogen sianida, CO,
Chloral hidrat, striknin. Meskipun demikian pada kenyataannya CO, chloroform maupun
ether masih tetap dipergunakan terutama apabila jumlah hewan yang akan dieuthasia banyak.
Eutanasia kimia umum dilakukan untuk euthanasia burung mencit atau tikus dalam jumlah
banyak dengan jalan meletakkan hewan pada kotak yang tertutup plastik yang dialiri gas CO2
secara bertahap. Agen inhalasi juga bisa dicelupkan dan diletakkan di dalam kotak sampai
hewan tidak sadar dan mati apabila fasilitas di bawah ini tidak tersedia. Inhalasi dosis lethal
umum diberikan pada hewan peliharaan yang sudah tua yang menderita sakit. Prosedur ini
apabila titerapkan pada hewan percobaan kemungkinan besar akan mempengaruhi hasil akhir
penelitian serta karkasnya tidak bisa dikonsumsi.
3.3 Pelaksanaan Euthanasia pada Hewan.
Euthanasia atau mercy killing mempunyai prosedur yang berbeda apabila diterapkan
pada hewan kesayangan, penderita penyakit zoonosis dan hewan liar.
11
1. Hewan Kesayangan
Euthanasia atau suntik mati pada hewan kesayangan bisa dilakukan apabila ada
permintaan dari pemilik bahwa hewan tersebut sudah sangat menderita dan pemilik sudah
tidak sanggup merawatnya. Pada kasus seperti ini, petugas harus menjelaskan pada pemilik
mengenai metode yang akan digunakan serta efek yang akan dirasakaan oleh hewan tersebut
apabila pemilik berkeinginan untuk menyaksikan proses euthanasia dengan demikian pemilik
tidak akan mengalami trauma. Proses menjadi lebih mudah apabila pemilik menyerahkan
sepenuhnya kepada petugas karena efek psikologis dari petugas tidak akan muncul. Pemilik
umumnya memiliki ikatan emosional yang sangat kental dengan hewan kesayangannya
seperti yang diungkapkan oleh Elizabeth Severino. Oleh karena itu, mereka lebih memilih
untuk tetap merawat hewan tersebut sampai kematian menjemput secara alamiah. Apabila
hewan tersebut setelah diobservasi ternyata menderita penyakit yang bersifat zoonosis seperti
rabies dengan alasan mengganggu keselamatan manusia maka pemilik harus merelakan
hewannya dieuthanasia. Solusi yang perlu dilakukan para pemilik hewan kesayangan adalah
dengan melakukan pemeriksaan rutin dengan demikian euthanasia akibat kecerobohan
pemilik bisa dihindari.
2. Hewan yang Tertular Penyakit Menular (zoonosis)
Sebagaimana telah diungkapkan di atas, hewan yang diduga tertular penyakit yang
bersifat zoonosis harus langsung dimusnahkan. Meskipun demikian panduan pelaksanaan
tetap harus ditegakkan karena hewan tersebut masih dalam kesadaran penuh. Kasus penyakit
anthrax, hewan tidak boleh dipotong atau jangan sampai mengeluarkan darah karena spora
bakteri yang terdapat di darah apabila kontak langsung dengan udara akan menjadi sangat
aktif. Penanganan kasus ini harus hati-hati karena hewan dalam keadaan sadar maka sebelum
dibakar hewan harus dianaesthesi dengan dosis lethal sehingga hewan tidak merasakan stress
dan rasa sakit saat meregang nyawa. Permasalahan menjadi sangat sulit apabila penyakit
12
tersebut menyerang pada populasi hewan yang padat. Oleh karena itu, pemerintah setempat
lebih memilih untuk menyatakan daerah tertular sebagai daerah tertutup bagi lalulintas
hewan. Keputusan ini menjadi solusi yang terbaik sampai observasi dan penanganan kasus
selesai atau terkendali.
3. Satwa Liar
Prosedur pemusnahan satwa liar tidak melalui pemberian anestetik ataupun sedatif
tetapi dengan meminimalkan efek visual, auditory dan stimulasi gerakan karena
pemanfaatkan dua prosedur terdahulu terbukti tidak efektif. Penembakan boleh dilakukan
langsung pada kepala atau leher sehingga hanya petugas yang benar-benar ahli yang
diperbolehkan untuk melaksanakan. Euthanasia pada satwa liar biasanya dilakukan apabila
hewan tersebut menjadi sangat tidak terkendali sehingga membahayakan manusia atau
terjadi over populasi.
Pelaksanaannya menjadi lebih mudah karena saat ini satwa liar telah terlokalisir
sehingga pengawasannya menjadi lebih mudah. Euthanasia pada hewan kesayangan,
penderita penyakit zoonosis maupun satwa liar meskipun secara etik diperbolehkan akan
tetapi harus tetap diperhatikan pelaksanaannya. Prosedurnya harus selalu diperbaiki utamanya
untuk mengurangi efek ketakutan dan rasa sakit terutama pada saat euthasia dilakukan di
tempat yang berbeda dengan habitat hewan tersebut. Selain hal tersebut, petugas yang trampil
dan terlatih akan sangat bermanfaat dalam mengurangi penderitaan hewan.
Hal lain sebagai alasan dilakukannya euthanasia pada hewan (animal euthanasia)
umumnya dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan sebagai berikut :
1. Terminal Iliness
Hewan diketahui menderita penyakit-penyakit seperti kanker, rabies, dan penyakit
lain yang dapat menyebabkan kematian.
13
2. Aggressive Behavior (vicious, dangerous, unmanageable)
Hewan memiliki perilaku agresif yang tidak dapat dikendalikan lagi dan
membahayakan lingkungan sekitarnya, terutama bagi manusia. Ini merupakan kisah nyata
tentang seorang anak kecil di Amerika di gigit pitbull milik pamannya hingga meninggal,
sementara neneknya terluka parah.
3. Overpopulated (animal with limited adoption)
Hewan-hewan liar yang ditampung di shelter dan terpaksa harus ditidurkan karena
jumlahnya terlalu banyak dengan jumlah adopsi yang tidak berimbang, dalam kasus ini
kebanyakan anjing ataupun kucing liar yang berada di jalanan.
4. Accident Causing Permanent Damage with financial difficulty for the owner to support
the therapy.
Mengalami kecelakaan yang menyebabkan terjadinya kerusakan permanen sehingga
membutuhkan terapi khusus, sementara pemilik mengalami kesulitan finansial untuk
mensupport biaya terapi yang dibutuhkan.
5. Old age
Usia hewan yang semakin tua menyebabkan penurunan fungsi dari organ-organ tubuh
hewan sehingga pada fase ini sering dikatakan bahwa hewan telah mengalami penurunan
kualitas hidup.
Secara umum, kebanyakan euthanasia pada hewan kesayangan dilakukan melalui
injeksi intra vena (IV) menggunakan sediaan barbiturate dalam dosis tinggi (pentobarbital).
Penyuntikan ini dapat dilakukan dengan satu tahapan atau dua tahapan. Euthanasia dengan
dua tahapan yaitu; diawali dengan penyuntikan obat bius hingga pasien menjadi tidak sadar,
kemudian baru dilanjutkan dengan penyuntikan kedua sehingga hewan tidak mengalami rasa
sakit, penyuntikan kedua ini dapat dilakukan melalui injeksi intra cardiac.
14
Untuk hewan-hewan kecil seperti marmot, hamster, atau burung – euthanasia
dilakukan melalui inhalasi menggunakan anesthetics gas seperti isoflurane dan sevoflurane.
Sementara itu pada hewan besar seperti kuda, euthanasia dilakukan dengan penembakan pada
dahi yang diarahkan ke spinal cord melalui medulla oblongata yang menyebabkan kematian
seketika pada hewan, tentu saja hal tersebut harus dilakukan oleh orang yang sudah
berpengalaman. Perlakuan terhadap hewan-hewan untuk kepentingan konsumsi manusia juga
disebutkan sepantasnya mendapatkan perlakuan yang sama dengan hewan yang akan
dieuthanasia. Dalam hal ini, euthanasia pada sapi dilakukan dengan menggunakan captive
bolt/ penyetruman yang dilanjutkan dengan exsanguinasi.
Lokasi pelaksanaan euthanasia dapat dilakukan di klinik hewan, di rumah klien,
ataupun di tempat kejadian, hal tersebut disesuaikan dengan keinginan klien. Euthanasia yang
dilakukan pada tempat kejadian biasanya terjadi pada kuda pacu yang mengalami kecelakaan
pada saat berpacu di lapangan. Pada saat pelaksanaan euthanasia, pemilik diberikan
kesempatan untuk mengikuti proses atau menunggu hingga proses itu selesai. Pemilik yang
memutuskan untuk mendampingi hewannya tentu saja harus diberikan penjelasan mengenai
rigor mortis, urinasi atau defekasi yang mungkin dapat terjadi pada saat proses berjalan
sehingga pemilik tidak kaget dan mengalami shock. Bahkan pada beberapa kasus pemilik
dianjurkan untuk melakukan nekropsi supaya mendapatkan informasi yang jelas mengenai
kondisi penyakit yang diderita hewannya.
3.4 Pendekatan Bioetika Euthanasia Pada Hewan
Mengacu pada petunjuk pelaksanaan euthanasia, pada dasarnya euthanasia pada
hewan diperbolehkan apabila manfaat yang diperoleh lebih besar dari pengorbanan hewan
tersebut serta hewan tidak menderita. Para ahli sepakat bahwa dasar utama euthanasia adalah
meminimalkan rasa takut dan rasa sakit dari hewan. Meskipun demikian dalam
pelaksanaannya masih ada unsur moral yang belum diatur sehingga selalu menimbulkan
15
kontroversial. Salonii mengungkapkan bahwa euthanasia apabila diterapkan pada hewan
masih bisa diterima sedangkan pada manusia merupaka tindakan illegal. Perbedaan ini erat
kaitannya dengan fungsi hewan dalam menunjang kehidupan manusia. Hal ini menunjukkan
bahwa selama hewan tersebut dimanfaatkan untuk kemaslahatan manusia maka euthanasia
diperbolehkan.
Euthanasia apabila ditinjau dari kajian etiknya sangat dipengaruhi oleh faktor
manusia. Petunjuk pelaksanaan yang lebih detail yang lebih mengutamakan prosedur yang
paling rendah yang harus ditanggung hewan percobaan perlu segera ditetapkan khususnya di
Indonesia. Institutional Animal Care dan Use Committee yang berkedudukan di America
telah menerbitkan Guidelines for Animal Euthanasia. Panduan ini ditulis sebagai upaya untuk
meminimalkan penderitaan hewan sehingga akhir hidup dari hewan tersebut benar-benar
damai dan bermanfaat Satu bagian dari panduan tersebut dinyatakan bahwa euthanasia
diperbolehkan apabila dimanfaatkan untuk keilmuan.
Mengacu pada Tabel 2 diatas, hewan penelitian yang dipergunakan untuk pendidikan
hanya 1% sedangkan pemanfaatan terbesar adalah pengujian obat dan bidang biomedis.
Hewan percobaan sangat berjasa dalam menunjang keberhasilan di bidang kedokteran. Solusi
yang dipilih sangat sulit karena ilmu pengetahuan terus berkembang dan semakin luas ilmu
yang dipelajari. Upaya yang bisa meminimalkan efek negatif pemanfaatan hewan untuk uji
biologis adalah membuat kultur jaringan atau organ sehingga efek kesakitan yang mungkin
timbul sudah bisa diantisipasi terlebih dahulu serta peneliti akan lebih akurat dalam
pengamatan dengan melihat efeknya pada organ atau jaringan tertentu.
Alternatif di atas sejalan dengan pemikiran Russell dan Burch dalam bukunya “The
Principles of Humane Experimental Technique tahun 1959, mengungkapkan bagaimana
pemanfaatan hewan yang secara etik bisa diterima yang dikenal dengan Three R’s yaitu
Replacement, Reduction and Refinement. Replacement dengan menggantikan hewan hidup
16
dengan teknik in vitro, Reduction dengan menurunkan jumlah hyang akan dipergunakan
dengan cara mengestimasikan sebelum penelitian dilakukan secara statistik, Refinement
artinya mengurangi rasa tidak nyaman pada hewan yang dieuthasia dengan menggunakan
anaestesi, analgesik, perhatian dan keahlian dari operator yang melakukannya.
Cervical dislocation, kira-kira 6 bulan yang lalu diterapkan pada saat pemunahan
unggas yang diduga tercemar flu burung di beberapa peternakan di Indonesia karena
dianggap paling efisien dan murah. Pada saat dibakar, unggas tersebut masih dalam keadaan
sadar sehingga Persatuan Dokter Hewan Indonesi (PDHI) bekerjasama dengan tokoh agama,
peneliti serta badan yang independen perlu menerbitkan aturan yang jelas dan terperinci
beserta sangsinya mengenai euthanasia yang manusiawi.
Sesuai dengan Kode Etik Dokter Hewan yang termuat dalam Bab III pasal 18 yaitu
”Dokter Hewan dengan persetujuan kliennya dapat melakukan Euthanasia jika diyakini
tindakan itulah yang terbaik sebagai jalan keluar bagi pasien dan kliennya.” Sebab-sebab
hewan dieuthanasia jika hewan itu berpemilik adalah hewan yang memiliki luka secara
menyeluruh, hewan dalam kondisi sangat menderita, hewan terlalu agresif, dan hewan sudah
sangat tua. Dalam hal ini diperlukan kerjasama dan saling pengertian antara Dokter hewan,
pemilik hewan dengan memperhatikan kesejahtraan hewan. Kerja sama tersebut seperti
terlihat pada bagan dibawah ini :
17
Bagan 1. Interaksi Dokter dengan Pasien/Keluarga dalam Mengambil KeputusanEutanasia pada Hewan
Bagi seorang dokter hewan, melakukan euthanasia juga bukan merupakan hal yang
mudah. Banyak hal yang harus dipertimbangkan oleh seorang dokter hewan sebelum
melakukan euthanasia, diantaranya adalah :
1. Mengakhiri kehidupan hewan adalah suatu keputusan yang sangat sulit bagi pemilik
hewan maupun dokter hewan, sehingga harus dipertimbangkan matang-matang.
2. Membicarakan kepada klien faktor-faktor yang menyebabkan kenapa keputusan
euthanasia harus dilakukan.
3. Pelaksanaan euthanasia hendaknya dijadwalkan sehingga masih ada waktu untuk
mendiskusikan dan tidak tergesa-gesa.
4. Beberapa klien merasa bersalah setelah dilakukannya euthanasia.
5. Klien harus menyadari bahwa kehidupan dan kematian hewan adalah sesuatu yang sangat
penting, sehingga euthanasia bukan suatu keputusan yang mudah.
DOKTER
PASIENKELUARGA
KEPUTUSAN
18
Sesuai Kode Etik Dokter Hewan yang menjunjung tinggi kesejahteraan hewan, maka
tindakan melakukan euthanasia pun harus menggunakan metode-metode yang ideal.
Beberapa metode euthanasia yang ideal adalah :
1. Hewan direstrain dengan sedikit mungkin menderita kesakitan
2. Metode yang digunakan layak bagi operator (dokter hewan) dan klien
3. Resikonya sangat kecil bagi operator
4. Biaya relatif terjangkau
5. Derivat Barbiturat diinjeksikan secara intravena dengan ukuran over dosis biasa digunakan
di beberapa negara untuk anjing, kucing, kuda dan keledai.
19
IV SIMPULAN
Dari uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Euthanasia pada hewan dapat dilakukan sesuai Kode Etik Dokter Hewan yang menjunjung
tinggi kesejahteraan hewan.
2. Euthanasia pada hewan berpemilik dapat dilakukan, apabila hewan menderita penyakit
zoonosi, memiliki luka secara menyeluruh, hewan dalam kondisi sangat menderita, hewan
terlalu agresif, dan hewan sudah sangat tua.
3. Euthanasia pada hewan harus menggunakan metode-metode yang ideal, hewan direstrain
dengan sedikit mungkin menderita kesakitan
4. Diperlukan kerjasama dan saling pengertian antara Dokter hewan, pemilik hewan dengan
memperhatikan kesejahtraan hewan.
20
DAFTAR PUSTAKA
Almagor, Raphael (2001). The right to die with dignity: an argument in ethics, medicine, andlaw. New Brunswick, N.J: Rutgers University Press. ISBN 0-8135-2986-7.
Ansella.2008. animal Euthanasia.
Appel, Jacob.2007. A Suicide Right for the Mentally III? A Swiss Case Opens a New Debate.Hastings Centre Report, Vol. 37, No. 3.
Battin, Margaret P., Rhodes, Rosamond, and Silvers, Anita,eds. Physician assisted suicide:expanding the debate. NY : Routledge, 1998.
Dworkin, R. M. Life’s Dominion: An Argument About Abortion, Euthanasia, and IndividualFreedom. Newyork: Knopf, 1993
Emanuel, Ezekiel J. 2004. “The history of euthanasia debates in the United States andBritain” in Death and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD:Rowman & Littlefield Publishers.
Enny, T.S. 2004. Euthanasia: Tinjauan Etik pada Hewan. Sekolah Pasca Sarjana IPB, Bogor.
Fletcher, Joseph F. 1954. Morals and medicine; the moral problems of: the patient’s right toknown the truth, contraception, artificial insemination, sterilization, euthanasia.Princeton, N.J.: Princeton University Press.
Humhry, Derek, Ann Wickett (1986). The right to die: understanding euthanasia. SanFrancisco: Harper & Row. ISBN 0-06-015578-7.
Horan, Dennis J., David mall, eds. (1977). Death, dying, and euthanasia. Frederick, MD:University Publications of America. ISBN 0-89093-139-9.
Kamisar, Yale. 1877. Some non-religious views against proposed ‘mercy-killing’ legislation.In Death, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington:University Publications of America. Original edition, Minnesota Law Review 42:6(May 1958).
Kelly, Gerald. “The duty of using artificial means of preserving life” in Theological Studies(11:203-220), 1950.
Kopelman, Loretta M., deVille, Kenneth A., eds. Physician-assited suicide: What are theissues? Dordrecht: Kluwe Academic Publisher, 2001. (E.g., Engelhardt on secularbioethics).
Magnusson, Roger S. “The Sanctity of life and the right to die: social and jurisprudentialaspects of the euthanasia debate in Australia and the United States” in Pacific RimLaw & Policy Journal (6:1), January 1997.
Palmer, “Dr. Adams’ Trial for Murder” in The Criminal law Review. (Reporting on R. v.Adams with Devlin J. at 375f.) 365-377, 1957.
21
Panicola, Michael. 2004. Catholic teaching on prolonging life: setting the record straight. InDeath and dying: a reader, edited by T. A. Shannon. Lanham, MD: Rowman &Littlefield Publishers.
PCSEPMBBR, United States. President’s Commision for the study of Ethical Problems inMedicine and Biomedical and Behavioral Research. 1983. Deciding to forego life-sustaining treatment: a report on the ethical, medical, and legal issues in treatmentdecisions. Washington, DC: President’s Commission for the study of EthicalProblems in Medicine and Biomedical and Behavioral Research: For sale by theSupt. of Docs. U.S. G.P.O.
Rachels, James. The End of Life: Euthanasia and Morality. New York: Oxford universityPress, 1986.
Robertson, John. 1977. Involuntary euthanasia of defective newborns: a legal analysis. InDeath, dying, and euthanasia, edited by D. J. Horan and D. Mall. Washington:University Publications of America. Original edition, Stanford Law Review 27(1975) 213-269.
Sacred congregation for the doctrine of the faith. 1980. The declaration on euthanasia.Vatican City: The Vatican.
Stone, T. Howard, and Winslade, William J. “Physician-assisted suicide and euthanasia in theUnited States” in Journal of Legal Medicine (16:481-507), December 1995.