Upload
others
View
6
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
34 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
Keamanan Maritim Samudera Hindia: Perspektif TNI AL Dalam
Menghadapi Perkembangan Geopolitik Indo-Pasifik
Andromeda Windra Ciptadi
Indonesian Navy [email protected]
Received: 06-11-2018, Accepted: 16-05-2019
Abstract Indo-Pacific is a newly geopolitical construct referring to a geographic concept that spans two regions of the Indian Ocean and the Pacific Ocean. The new paradigm in viewing geopolitics in the region is a result of Sino-American relations that tended to be heating up recently. The Joko Widodo administration views the importance of maintaining the stability of the region by urging the adoption of the Indo-Pacific Cooperation concept, which one of the efforts is to strengthen cooperation with nations located in the Indian Ocean. The Indonesian Navy needs to adapt itself in face of the emerging challenges in Indo-Pacific, especially in the Indian Ocean, in order to safeguard national interests. To maintain regional maritime security in the Indian Ocean, the Indonesian Navy requires to expand its force deployment, to intensify confident-building measure intiatives, and to build a modern capable naval force. These three efforts finally need supports in form of supportive policy, adequate naval budget, and qualified personnel to ensure the effectivity of naval diplomacy in supporting national policy to realize national goals.
Keywords: Indo-Pacific, geostrategy, naval diplomacy, maritime security.
Abstrak Indo-Pasifik merupakan sebuah konstruksi geopolitik baru dalam konsep geografis yang meliputi kawasan Samudera Hindia dan Samudera Pasifik. Paradigma baru dalam menyikapi fenomena geopolitik ini adalah akibat dari hubungan antara negara Amerika Serikat dan Cina yang cenderung menghangat. Pemerintahan Presiden Joko Widodo memandang pentingnya menjaga stabilitas kawasan dengan mendorong negara-negara sahabat mengadopsi konsep kerja sama Indo-Pasifik, termasuk di antaranya adalah meningkatkan kerja sama dengan negara-negara yang terletak di kawasan Samudera Hindia. TNI Angkatan Laut harus mengikuti perkembangan lingkungan strategis ini dalam menghadapi tantangan-tantangan baru di kawasan Indo-Pasifik, khususnya di Samudera Hindia, untuk menjaga tercapainya kepentingan nasional. Dalam mempertahankan stabilitas keamanan maritim kawasan Samudera Hindia, TNI Angkatan Laut harus mampu untuk melaksanakan operasi di kawasan Samudera Hindia, meningkatkan upaya confidence-building measure, dan melaksananakan pembangunan kekuatan. Tiga upaya ini membutuhkan kebijakan strategis yang sejalan dengan cita-cita TNI Angkatan Laut, yaitu anggaran yang cukup dan sumber daya manusia yang unggul dalam mendukung upaya diplomasi angkatan berdasarkan kebijakan nasional untuk mewujudkan tujuan nasional.
Kata kunci: Indo-Pasifik, geostrategi, diplomasi angkatan laut, keamanan maritim.
Keamanan Maritim Samudera Hindia…..│Andromeda Windra │35
Latar Belakang
Keamanan maritim merupakan sesuatu
yang perlu mendapat atensi khusus pada
bidang hubungan internasional karena tidak
terlepas dari semakin pentingnya bidang
maritim dalam kehidupan manusia. Fakta
bahwa dua pertiga permukaan bumi adalah
lautan dan betapa besarnya intensitas
pergeseran logistik melalui media laut
menjadikan keamanan maritim sebagai faktor
penting dalam perekonomian dunia modern.
Situasi lingkungan global dan regional yang
berubah dengan cepat, baik diinginkan atau
tidak, menimbulkan implikasi terhadap
keamanan kawasan, termasuk keamanan
maritim ketika dunia sedang memasuki zaman
Revolusi Industri 4.0 dengan berbagai
keunggulan dan tantangan. Era ini juga sering
disebut sebagai era disrupsi, ketika peran
manusia digantikan oleh komputer dan robot
sehingga menimbulkan kerugian bagi mereka
yang tidak mampu berjalan beriringan dengan
perkembangan zaman. Dalam perspektif
hubungan internasional, era Revolusi Industri
4.0 ini juga ditandai dengan bergesernya
tatanan dunia dari unipolar menjadi multipolar
yang ditandai dengan mulai munculnya
negara-negara menengah yang memosisikan
dirinya sebagai pemimpin di kawasan masing-
masing, baik dari segi ekonomi maupun militer.
Perkembangan fenomena ini perlu diwaspadai
oleh negara-negara lainnya, termasuk
Indonesia, sebagai bagian dari komunitas
internasional untuk mengamankan
kepentingan nasionalnya.
Implikasi dari perubahan tatanan dunia
dalam percaturan politik luar negeri yang perlu
dicermati bersama adalah meningkatnya
perhatian negara-negara besar secara khusus
terhadap kawasan Indo-Pasifik. Perubahan
cara pandang geopolitik ini merupakan imbas
dari persaingan perebutan hegemoni antara
Amerika Serikat dan Cina. Pemerintah Cina
dengan kekuatan baru ekonominya secara
perlahan terlihat bercita-cita ingin
menggantikan peran Amerika Serikat sebagai
pemimpin dunia. Strategi Amerika Serikat
terdahulu Rebalancing Asia dengan fokus
hanya pada negara-negara di kawasan Asia-
Pasifik terbukti belum mampu untuk menekan
penyebaran pengaruh Cina. Naiknya Presiden
Donald Trump sebagai presiden ke-45 Amerika
Serikat segera ditindaklanjuti dengan
perubahan strategi Amerika Serikat di kawasan
Timur Jauh, di antaranya adalah dengan tidak
melanjutkan keikutsertaan Amerika Serikat
pada Kemitraan Trans-Pasifik (Trans-Pacific
Partnership). Tidak berhenti di sana, penetrasi
Cina yang masif di negara-negara kawasan
Samudera Hindia dengan konsep Belt and
Road Initiative (BRI) memaksa Amerika Serikat
segera mencari strategi baru dalam
membendung langkah Cina tersebut. Salah
satu strategi yang ditempuh oleh Amerika
Serikat adalah memperlebar lanskap geopolitik
dari semula Asia-Pasifik menjadi Indo-Pasifik
segera setelah menyadari bahwa konstelasi
negara-negara yang tersebar di sepanjang
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik saling
36 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
terkait satu sama lain. Dari sudut pandang
realis, strategi Amerika Serikat ini dapat
dijelaskan ke dalam dua hal. Pertama, untuk
mengimbangi perluasan pengaruh politik dan
militer Cina di kawasan Pasifik Barat dan
Samudera Hindia. Kedua, keinginan Amerika
Serikat untuk melibatkan India yang telah
tumbuh menjadi big regional power sebagai
“penanggung jawab” keamanan dalam
arsitektur keamanan kawasan (Kuo, 2018).
Salah satu isu utama yang harus dicermati
dari pergeseran fokus geopolitik dalam bidang
keamanan kawasan adalah inisiatif Amerika
Serikat membentuk Quadrilateral Security
Dialogue (the Quads) bersama dengan
Jepang, Australia, dan India. The Quads
sejatinya digagas pada tahun 2007 yang
dilanjutkan dengan latihan militer bersama
bertajuk Exercise Malabar. Sempat vakum
pasca-keluarnya Australia dari keanggotaan
tak lama setelah dibentuk, keempat negara
sepakat melanjutkan kembali kerja sama
tersebut pada tahun 2017 seiring dengan
semakin dirasakannya penyebaran pengaruh
Cina. Beranggotakan negara-negara yang
berkontribusi besar pada upaya pemulihan
pasca-bencana tsunami 2004, the Quads yang
pada awalnya dimaksudkan hanya sebagai
forum dialog informal, tidak menutup
kemungkinan akan berkembang lebih jauh lagi
apabila itu memang diperlukan dalam upaya
membendung manuver Cina di Samudera
Hindia, dengan menilik latar belakang anggota
the Quads, utamanya India dan Jepang, yang
mempunyai track record kurang bagus dalam
hubungan dengan Cina. Situasi seperti ini
berpotensi menimbulkan instabilitas keamanan
kawasan apabila tidak dikelola dengan baik.
Potensi pecahnya konflik di Samudera Hindia
tentu saja akan mengandung akibat yang
mahal bagi dunia, mengingat Samudera Hindia
merupakan jalur transportasi utama minyak
bumi dari Timur Tengah menuju ke Afrika dan
Asia Timur. Tidak kurang dari 32,2 juta barel
minyak mentah dan minyak bumi—hampir 50
persen dari volume perdagangan minyak
dunia—diangkut melalui Samudera Hindia
(Eleanor Albert, 2016). Cina sendiri
meningkatkan kegiatan angkatan lautnya di
Samudera Hindia demi melindungi 80 persen
impor minyaknya yang diangkut melalui
Samudera Hindia (Stashwick, 2018). Potensi
ancaman instabilitas kawasan ini memerlukan
strategi mitigasi yang tepat.
Selain mengandung potensi konflik antara
Cina dan Amerika Serikat beserta sekutunya,
kawasan Samudera Hindia terkenal juga akan
risiko pembajakan, terutama di kawasan
Somalia, tepatnya di daerah Tanduk Afrika
(Horn of Africa). Angka pembajakan kapal di
Perairan Teluk Aden memang menunjukkan
tren penurunan akhir-akhir ini dengan hanya
tiga angka kejadian sepanjang tahun 2018
yang lalu (“IMB Piracy and Armed Robbery
Map 2018,” t.t.). Meskipun demikian, potensi
terjadinya kasus-kasus pembajakan seperti
yang pernah terjadi tetap ada dengan melihat
kondisi negara Somalia yang tidak
menunjukkan peningkatan signifikan. Pada
tahun 2018, Somalia masih konsisten
Keamanan Maritim Samudera Hindia…..│Andromeda Windra │37
menempati urutan ke-2 sebagai negara yang
paling fragile dalam daftar Fragile States Index
2018 yang disusun oleh fundforpeace.org.
Somalia hanya unggul dari negara Sudan
Selatan (“Fragile States Index 2018,” 2018).
Kenyataan ini menunjukkan bahwa dunia
masih harus mewaspadai kemungkinan
terjadinya (lagi) peningkatan upaya-upaya
pembajakan kapal yang melewati wilayah
Teluk Aden dan sekitarnya. Turunnya angka
kejadian tidak berarti harus diikuti dengan
penurunan kewaspadaan. Indonesia pernah
mendapat pengalaman pahit dari kasus
pembajakan kapal MV. Sinar Kudus pada
tahun 2011 yang lalu tetap harus senantiasa
meningkatkan awareness terhadap peluang
terulangnya kejadian di masa lalu.
Kedua tantangan yang ada di Samudera
Hindia di atas harus disikapi oleh Indonesia
dengan mengambil langkah-langkah yang
diperlukan demi melindungi kepentingan
nasionalnya. Politik luar negeri Indonesia yang
berlandaskan asas bebas aktif merupakan
peluang yang lebih fleksibel dalam
menentukan strategi terbaik. Pada masa
globalisasi di mana seluruh negara saling
tergantung satu sama lain, diplomasi
merupakan cara yang paling masuk akal
untuk ditempuh dalam upaya penyelesaian
masalah. Indonesia memiliki sejarah panjang
dalam diplomasi, termasuk diplomasi dengan
menggunakan Angkatan Laut. Indonesia
selaku bagian dari masyarakat internasional
memiliki tanggung jawab untuk membangun
kemitraan global dengan sasaran
terwujudnya kawasan yang aman.
Permasalahan bersama yang potensial
terjadi di Samudera Hindia mengisyaratkan
pentingnya Angkatan Laut sebagai salah satu
instrumen pemerintah untuk turut
berpartisipasi dalam kegiatan diplomasi.
Di antara negara-negara yang berada di
sepanjang pesisir Samudera Hindia, Pakistan
merupakan salah satu negara potensial yang
strategis untuk diajak bekerja sama dalam
menjaga keamanan kawasan. Sayangnya,
hingga saat ini, potensi kerja sama dengan
Pakistan belum dimaksimalkan, mengingat
kerja sama militer dengan Pakistan hanya
sebatas pendidikan dan kunjungan (Blue
Print Diplomasi Militer TNI 2019 - 2024, 2018,
hal. 32). Untuk itu diperlukan peningkatan
kerja sama dengan Angkatan Laut Pakistan,
utamanya dalam bentuk operasi dan latihan
dalam rangka menjaga stabilitas kawasan
Samudera Hindia.
Perspektif Akademik.
1. Geopolitik dan Hubungan Antarnegara.
Dalam memahami fenomena hubungan
antarnegara, studi geopolitik merupakan aspek
penting yang harus dipertimbangkan sebagai
salah satu instrumen analisis. Geopolitik
merupakan sebuah cabang ilmu sosial politik
yang memahami hubungan antara sebuah
interaksi bangsa-bangsa dan hubungan politik
internasional dengan kondisi geografis (Cohen,
2009, hal. 11). Analisis geopolitik yang
dilakukan memang tidak dapat menentukan
arah kebijakan yang harus diambil oleh suatu
negara, namun seringkali dilaksanakan karena
38 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
mampu memperlihatkan kecenderungan yang
dapat terjadi terhadap sebuah kebijakan yang
diambil. Bidang studi geopolitik pada dasarnya
merupakan perpaduan antara ilmu geografi
dan politik, menjadikan banyaknya pendekatan
yang dapat dilakukan dalam menganalisis dan
tergantung dari framework masing-masing
disiplin ilmu (Cohen, 2009, hal. 12).
Dalam karyanya, “The States as an
Organism”, Kjellen menggambarkan bahwa
negara adalah sebuah organisasi yang
menempati suatu wilayah geografis tertentu
(Tunander, 2001, hal. 453–454). Bentuk fisik
wilayah suatu negara akan menentukan
tatanan politik, ekonomi, sosial, dan sistem
pertahanan keamanan. Sedangkan letak
geografis suatu negara akan memengaruhi
hubungannya dengan negara lain di
kawasannya. Sebagai sebuah organisme,
negara tidak bisa hidup menyendiri. Negara
membutuhkan organisme lain dalam suatu
pola simbiosis tertentu. Region atau kawasan
diartikan sebagai sekumpulan negara yang
memiliki kedekatan geografis karena berada
dalam satu wilayah tertentu, meskipun
demikian kedekatan geografis saja tidak cukup
untuk menyatukan negara dalam satu kawasan
(Mansfield & Milner, 1999, hal. 591). Hettne
dan Soderbaum mengemukakan bahwa
kedekatan geografis tersebut perlu didukung
adanya kesamaan budaya, keterikatan sosial
dan sejarah yang sama (Hettne & Söderbaum,
2000, hal. 457).
Menurut Saul Bernard Cohen, fase
geopolitik modern dapat dijabarkan ke dalam
lima tahap, yaitu tahap hegemoni imperial,
geopolitik Jerman, geopolitik Amerika, masa
Perang Dingin, dan pasca-Perang Dingin
(Cohen, 2009, hal. 12). Masa sekarang
merupakan fase kelima dari teori Cohen
(pasca-Perang Dingin) ditandai dengan
dominasi Amerika Serikat sebagai adidaya
tunggal di dunia yang serba universal. Fakta
geopolitik tersebut mulai berevolusi dengan
bangkitnya Cina sebagai kandidat kuat
penantang Amerika Serikat dan beberapa
negara kekuatan menengah di berbagai
kawasan, sehingga menjadikan pergeseran
fenomena unipolar menjadi uni-multipolar.
Geopolitik akan selalu berevolusi dan akan
tetap memiliki peran penting dalam membantu
memahami, memprediksi, dan
memformulasikan struktur dan direksi dari
sistem peradaban dunia.
2. Teori Hubungan Internasional: Realis
Versus Liberal.
Selanjutnya untuk menelaah keamanan
regional secara lebih mendalam, perlu untuk
mendiskusikan teori-teori utama pada disiplin
ilmu hubungan internasional. Disiplin
hubungan internasional merupakan bidang
studi lintas disiplin yang memadukan ilmu
ekonomi, sejarah, dan politik untuk
menganalisis isu-isu seperti hak asasi
manusia, kemiskinan global, lingkungan,
ekonomi, keamanan, dan lingkungan politik.
Terdapat beberapa perspektif dalam studi
hubungan internasional yang digunakan dalam
Keamanan Maritim Samudera Hindia…..│Andromeda Windra │39
analisis, di antaranya adalah paham realisme
dan liberalisme.
Kaum realis memandang bahwa militer
adalah faktor terpenting dari eksistensi sebuah
negara karena mereka selalu berpendapat
bahwa sistem internasional merupakan sistem
yang anarkis sehingga kekuatan militer mutlak
diperlukan untuk mempertahankan eksistensi
sebuah negara. Kaum neorealis pada
dasarnya merupakan strukturalis kausal,
artinya mereka percaya bahwa kebanyakan
sumbangsih terhadap politik internasional
dijelaskan oleh struktur sistem internasional.
Sistem internasional yang anarki “memaksa”
sebuah negara untuk melakukan tindakan-
tindakan yang dianggap perlu demi
mempertahankan kepentingan nasionalnya.
Teori ini juga memberi perhatian khusus
terhadap perilaku great powers, seperti
Amerika Serikat dan Cina. John J.
Mearsheimer, salah satu tokoh realis,
berpendapat bahwa tujuan utama dari para
negara adikuasa adalah survival dan tidak ada
satu negara pun yang mengetahui secara pasti
intensi dari negara lain (Mearsheimer, 2014,
hal. 31). Namun demikian, Mearsheimer juga
menyatakan bahwa great powers merupakan
aktor rasional yang peduli terhadap lingkungan
sekitarnya, termasuk kepentingan dari sebuah
negara yang berpengaruh terhadap
kepentingan negara lainnya yang pada
akhirnya akan berimplikasi terhadap strategi
survival dari great powers (Mearsheimer, 2014,
hal. 31).
Berbeda dengan aliran realisme, kaum
liberal memandang hubungan antarnegara
sebagai faktor utama dalam mencapai
perdamaian. Mereka yang pro-liberal
beranggapan lebih positif bila dibanding
dengan para realis, bahwa hubungan
internasional lebih bersifat kooperatif daripada
konfliktif. Walaupun aliran liberal mengamini
bahwa setiap negara, selayaknya seorang
individu, memiliki kepentingannya sendiri dan
selalu ingin bersaing, mereka juga merupakan
entitas sosial yang terlibat dalam berbagai aksi
sosial yang kooperatif dan kolaboratif. Tiga
prinsip utama yang menunjang perdamaian
adalah demokrasi, interdependensi, dan
organisasi internasional. Tiga hal ini yang
saling mendukung dalam menciptakan
perdamaian dunia, sesuai dengan pendapat
para kaum realis.
Dua aliran pemikiran tersebut selanjutnya
dapat dijadikan cara berpikir dalam menyikapi
perkembangan lingkungan strategis yang
terjadi. Isu-isu keamanan internasional pada
akhirnya akan dapat dijelaskan dengan
menggunakan dua teori tersebut. Apakah
memilih membangun kekuatan militer secara
masif atau dengan cara mempererat kerja
sama dalam menyikapi sebuah peristiwa
internasional sebagai cara pandang yang
selalu dapat diperdebatkan. Perpaduan dua
perspektif tersebut dalam menganalisis isu
keamanan regional sangat dibutuhkan untuk
menghasilkan analisis yang lebih
komprehensif.
40 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
Perspektif TNI Angkatan Laut Terhadap Perkembangan Geopolitik.
Indonesia yang merupakan negara terbesar
di Asia Tenggara memiliki peran sentral dalam
ASEAN, termasuk dalam tanggung jawab
memelihara keamanan kawasan. Peran sentral
tersebut tidak terlepas dari kenyataan peran
Indonesia sebagai salah satu pendiri ASEAN.
ASEAN telah menempatkan dirinya sebagai
“penyeimbang” dalam menyikapi kompetisi
antara Amerika dan Cina. TNI Angkatan Laut
sebagai salah satu instrumen diplomasi negara
telah menjalankan fungsinya sebagai ujung
tombak diplomasi Indonesia di bidang
pertahanan dan keamanan kawasan.
Berdasarkan tugas TNI Angkatan Laut dan UU
Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara
Nasional Indonesia, keterlibatan TNI Angkatan
Laut dalam kegiatan-kegiatan diplomasi
merupakan implementasi dari Pasal 9 (c),
sebuah tugas yang tidak dimiliki oleh kedua
matra yang lain. Diplomasi yang dilaksanakan
oleh TNI Angkatan Laut tentunya sejalan
dengan kebijakan negara, yaitu mendukung
ASEAN dalam memosisikan diri sebagai
kekuatan regional penyeimbang di kawasan
Indo-Pasifik.
Dalam memerankan fungsi tersebut, TNI
Angkatan Laut secara aktif menjadi integrator
Angkatan Laut negara-negara Asia Tenggara
dalam rangka memelihara keamanan
kawasan. Di antara kegiatan yang telah
dilakukan oleh TNI Angkatan Laut adalah
melaksanakan kegiatan operasi dan latihan
bersama-sama dengan negara ASEAN lainnya
dalam bentuk patroli terkoordinasi dan latihan
bersama. Selain bidang operasi dan latihan,
TNI Angkatan Laut juga secara rutin terlibat
dalam upaya confidence building measure
lainnya dalam bentuk pertukaran perwira, kerja
sama pendidikan, seminar, dan kegiatan
lainnya. Dalam kegiatan-kegiatan tersebut, TNI
Angkatan Laut selalu berusaha untuk
memainkan peran sentral dan menjadi leader
di kalangan angkatan laut negara-negara
ASEAN. Salah satu peran TNI AL yang
menonjol adalah prakarsa sebagai
penyelenggara Multilateral Naval Exercise
Komodo (MNEK), sebuah event dua tahunan
yang telah dilaksanakan sejak tahun 2014. Tak
hanya itu, kepemimpinan Indonesia dalam
beberapa pelaksanaan patroli terkoordinasi
cukup dirasakan. Sebuah operasi bersama
yang dilaksanakan dengan angkatan laut Asia
Tenggara lainnya sangat dirasakan
dampaknya oleh masyarakat, yaitu
meningkatnya keamanan di beberapa perairan
yang sebelumnya merupakan wilayah rawan
pembajakan. Kepemimpinan TNI Angkatan
Laut yang telah ditunjukkan di lingkup ASEAN
tersebut merupakan modal berharga dalam
upaya memelihara keamanan kawasan.
Fakta bahwa Indonesia merupakan negara
yang secara geografis terletak di antara
Samudera Hindia dan Samudera Pasifik
membuat TNI Angkatan Laut harus
meningkatkan atensi ke kedua samudera
tersebut. Kondisi geografis berupa gugusan
pulau-pulau menjadikan Indonesia rawan
terhadap masuknya ancaman melalui arah
Keamanan Maritim Samudera Hindia…..│Andromeda Windra │41
mana saja, utamanya melalui laut. Hal ini
disadari oleh Kepala Staf Angkatan Laut
Laksamana TNI Siwi Sukma Adji, S.E., M.M.
dengan visi ingin menjadikan TNI Angkatan
Laut “profesional dan modern serta
berkemampuan proyeksi regional (Siwi Sukma
Adji, 2018, hal. 1). Keinginan untuk memiliki
Angkatan Laut yang disegani di kawasan
bukan merupakan kemewahan, melainkan
sudah menjadi kebutuhan mengingat
Indonesia merupakan negara kepulauan besar
di kawasan, baik dari segi luas wilayah, jumlah
penduduk, maupun kekuatan ekonomi. Pada
tahun 2017, laporan dari the World Bank
menempatkan Indonesia pada peringkat ke-16
dengan PDB sebesar USD 1.015.539 juta, jauh
di atas Singapura dan Malaysia yang
menempati urutan ke-36 dan ke-37 (Gross
Domestic Product 2017, 2019). Menilik hal
tersebut, TNI Angkatan Laut memandang
penting untuk menjaga keamanan kawasan
Indo-Pasifik, dan Indonesia terletak tepat di
pusat persilangan kedua samudera tersebut.
Amannya kawasan Indo-Pasifik merupakan
prasyarat utama bagi Indonesia agar ekonomi
terus tumbuh positif. Salah satu cara yang
dapat lakukan untuk memelihara keamanan
kawasan adalah dengan meningkatkan upaya
diplomasi dengan negara-negara kawasan
Indo-Pasifik, khususnya negara-negara
kawasan pesisir Samudera Hindia. Di sini, TNI
AL dapat menjalankan peran penyeimbang
terhadap kekuatan the Quads yang dipimpin
oleh Amerika Serikat untuk menandingi Cina
yang terus melakukan penetrasi ekonomi di
Samudera Hindia yang di-back up oleh
kekuatan militernya, utamanya armada kapal
perangnya.
Keinginan untuk memiliki peran lebih di
kawasan juga sejalan dengan visi Presiden RI
yaitu Indonesia sebagai Poros Maritim Dunia
(PMD). Perwujudan konsep PMD ditempuh
melalui beberapa misi, di antaranya adalah
dengan cara “mewujudkan politik luar negeri
bebas-aktif dan memperkuat jati diri sebagai
Negara maritim [sic]” demi tercapainya tujuan
nasional (“Visi-Misi Program Aksi Ir. H. Joko
Widodo - Drs. H.M. Jusuf Kalla: Pemilu
Presiden dan Wakil Presiden Tahun 2004,”
2014). Menjadikan Indonesia sebagai PMD
adalah upaya meningkatkan peran Indonesia di
kawasan, yaitu sebagai poros maritim di
persilangan Samudera Hindia dan Samudera
Pasifik. Secara internal, PMD diterjemahkan
dengan upaya-upaya penguatan sektor
kemaritiman untuk menyelesaikan
permasalahan-permasalahan dalam negeri,
seperti pembangunan tol laut yang bertujuan
untuk menekan perbedaan harga-harga bahan
pokok dan komoditas antara Pulau Jawa dan
luar Jawa. Pada aspek eksternal, visi PMD
bercita-cita menjadikan Indonesia sebagai hub
bagi lalu lintas barang melalui laut, baik dari
Timur Tengah ke Asia Timur dan Australia
ataupun sebaliknya. Cita-cita tersebut tentunya
membutuhkan kondisi yang aman dan stabil,
baik keamanan perairan regional maupun
keamanan perairan dalam negeri. TNI
Angkatan Laut merupakan aset utama
pemerintah dalam mewujudkan keamanan
42 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
kawasan yang diinginkan demi mendukung visi
PMD.
Cita-cita menjadikan Indonesia sebagai
PMD ditindaklanjuti dengan ditetapkannya
Peraturan Presiden RI Nomor 16 Tahun 2017
tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Dalam
Peraturan Presiden Nomor 16 Tahun 2017
tentang Rencana Aksi Kebijakan Kelautan
Indonesia (KKI), disebutkan bahwa
pembangunan poros maritim meliputi lima pilar,
yaitu:
“(1) Membangun budaya maritim Indonesia; (2) Menjaga laut dan sumber daya laut, dengan fokus membangun kedaulatan pangan laut melalui pengembangan industri perikanan dengan menempatkan nelayan sebagai pilar utama; (3) Memberi prioritas pada pengembangan infrastruktur dan konektivitas maritim, dengan membangun tol laut, deep seaport, logistik dan industri perkapalan, dan pariwisata maritim; (4) Memperkuat diplomasi maritim, kerja sama di bidang keluatan, menghilangkan sumber konflik di laut seperti pencurian ikan, pelanggaran kedaulatan, sengketa wilayah, perompakan, dan pencemaran laut, serta (5) Membangun kekuatan pertahanan maritim untuk menjaga kedaulatan dan kekayaan maritim serta bentuk tanggung jawab dalam menjaga keselamatan pelayaran dan keamanan maritim.” (Perpres Nomor 16 Tahun 2017, 2017).
Kelima pilar visi poros maritim dunia
tersebut dijabarkan ke dalam lima program
prioritas, yaitu pertama adalah pada bidang
batas maritim, ruang laut, dan diplomasi
maritim (Perpres Nomor 16 Tahun 2017,
2017). Diplomasi maritim merupakan aspek
penting dalam mendukung cita-cita Indonesia
untuk mampu tampil eksis di kawasan. Selain
itu, bidang pertahanan dan keamanan laut
ditempatkan sebagai prioritas keempat,
menandakan bahwa pembangunan kekuatan
pertahanan laut merupakan hal yang sangat
penting demi mendukung keberhasilan
pembangunan nasional, khususnya dalam
merealisasikan visi PMD karena jika situasi
tidak aman, maka kegiatan perekonomian
tidak dapat berjalan sesuai dengan yang
diinginkan. Tidak berjalannya kegiatan
ekonomi berarti menghambat kesejahteraan
bersama yang dicita-citakan. Untuk itu, TNI
Angkatan Laut harus mampu merespons
peluang ini dengan baik.
Dinamika Indo-Pasifik.
Istilah Indo-Pasifik menjadi topik utama
setelah Presiden Amerika Serikat (AS)
Donald Trump menyebutkannya dalam
berbagai kesempatan, menggantikan istilah
Asia-Pasifik yang populer sebelumnya.
Penyebutan istilah ini merupakan fenomena
pergeseran konstelasi geopolitik yang patut
dicermati. AS sendiri secara formal telah
menggunakan istilah ini pada dokumen
National Security Strategy-nya yang dirilis
pada Desember 2017 yang lalu. Perubahan
konsentrasi geopolitik ini tentunya akan
mengandung implikasi terhadap Indonesia
yang secara geografis terletak di posisi
persilangan antara Samudera Pasifik dan
Samudera Hindia. Istilah Indo-Pasifik sendiri
merujuk kepada nama kedua samudera
tersebut.
Konsep Indo-Pasifik pertama kali
diungkapkan oleh PM. Jepang Abe
Keamanan Maritim Samudera Hindia…..│Andromeda Windra │43
sebenarnya mulai terdengar sejak sebelum
tahun 2010 sebelum benar-benar digunakan
secara luas oleh Pemerintahan Trump akhir-
akhir ini. Faktor utama yang mendasarinya
tentunya adalah keterikatan antara wilayah
Asia Timur, Asia Tenggara, dan Asia Selatan
yang semakin erat. Hal ini merupakan
konsekuensi dari berubahnya tatanan dunia
menjadi multipolar, dan penyebaran
pengaruh Cina yang semakin luas diikuti oleh
India. Penetrasi Cina hingga ke Afrika Barat
dan kebijakan “Look-East Policy”-nya India
membuat dikotomi Asia Timur dan Asia
Selatan menjadi tidak tepat lagi. Jika Asia-
Pasifik meliputi wilayah-wilayah mulai
Semenanjung Korea hingga ke Asia
Tenggara dan berkonotasi daratan, Indo-
Pasifik membentang lebih luas lagi yang
mencakup kawasan Oseania hingga negara-
negara di pesisir Samudera Hindia dan
berkonotasi lautan. Dalam perspektif AS,
perluasan konsentrasi geopolitik menjadi
Indo-Pasifik merupakan strategi yang diambil
guna mempertahankan pengaruhnya di
kawasan. Salah satu yang dicanangkan oleh
Trump adalah inisiatif meningkatkan kerja
sama quadrilateral antara AS dengan India,
Australia, dan Jepang.
Berdiskusi tentang dinamika Indo-Pasifik
tentunya tidak dapat terlepas dari dinamika
yang terjadi di Samudera Hindia. Samudera
Hindia secara geografis meliputi perairan
yang membentang (dari barat ke timur) dari
Laut Merah, Laut Arab, Teluk Bengala,
hingga ke Laut Jawa dan Laut Cina Selatan.
Samudera Hindia merupakan kawasan yang
sangat dinamis dengan bermacam-macam
tantangan yang dihadapi oleh negara pantai.
Dimulai dari permasalahan negara gagal
(failed states) Somalia dengan kasus
pembajakannya; tantangan geopolitik di Irak,
Iran, dan Suriah; kebangkitan India dan
konflik abadinya dengan Pakistan; hingga
keotoriteran pemerintahan di Myanmar
menyebabkan krisis pengungsi yang
melanda Bangladesh. Realita tersebut
menjadikan Samudera Hindia sebagai salah
satu kawasan yang paling bergejolak di muka
bumi ini, sehingga patut untuk menjadi
perhatian bersama. Pakar strategi ternama
Amerika Alfred Thayer Mahan dalam
bukunya the Influence of Sea Power Upon
History, 1660 – 1783 secara implisit
menyatakan bahwa negara yang mampu
mengontrol Samudera Hindia akan
mendominasi Benua Asia (Alfred Thayer
Mahan, 1896). Hal ini didasari bahwa
Samudera Hindia merupakan jalur utama
transportasi sumber daya alam dari Timur
Tengah ke Asia, utamanya untuk negara-
negara industri Asia seperti Cina, Jepang,
dan Korea Selatan.
Teori dari Mahan tersebut nyatanya
diadopsi oleh Cina. Bagi Cina, Samudera
Hindia merupakan jalur komunikasi utama
bagi keamanan energi dan kepentingan
perdagangannya. Dengan pertumbuhan
ekonomi yang sedemikian pesat, pemerintah
Cina sangat bergantung dari suplai energi
dari Timur Tengah untuk memenuhi
44 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
kebutuhan penduduk dan industrinya. Pada
tahun 2020, ketergantungan impor minyak
bumi Cina diperkirakan mencapai 76,9
persen (P K Ghosh, ORF, 2011). Dalam
bidang perdagangan, bagi Cina, Samudera
Hindia merupakan jalur utama lalu lintas
perdangangan mereka, utamanya ke pasar
negara-negara Afrika dan Timur Tengah.
Cina bahkan sedang membangun ulang jalur
sutera modern dengan strategi BRI-nya. BRI
merupakan strategi mewujudkan konektivitas
dunia untuk kelancaran barang-barang
produksi Cina ke seluruh penjuru dunia.
Strategi ini diwujudkan dengan membantu
pembangunan infrastruktur negara-negara
dunia ketiga seperti pelabuhan, bandara,
jalan, dan lainnya. BRI mencakup lebih dari
60 negara di kawasan Indo-Pasifik yang
meliputi “60 persen populasi dunia, 40 persen
Produk Domestik Bruto (PDB) global, dan 75
persen sumber daya energi dunia” (Sakina
Rahma Diah Setiawan, 2016).
Dari sisi keamanan internasional, inisiatif
Cina mengusik Amerika Serikat selaku
negara adidaya tunggal. Niat Beijing
melebarkan sayapnya dibaca oleh
Washington sebagai upaya penyebaran
pengaruh paham sosialis-komunis dan bukan
hanya motif perdagangan semata. Akhir
tahun lalu, tiga dari anggota the Quads,
Amerika Serikat, Jepang, dan Australia,
mencoba menyaingi investasi Cina di Indo-
Pasifik dengan mengumumkan trilateral
investment initiative untuk membantu
pembangunan infrastruktur di negara-negara
berkembang di kawasan Indo-Pasifik (Greer,
2018). Komisi yang membidangi urusan
ekonomi dan keamanan Amerika Serikat-
Cina mengusulkan kepada Kongres untuk
mengalokasikan dana tambahan untuk
membantu negara-negara berkembang di
Indo-Pasifik yang menjadi target atau rentan
terhadap tekanan ekonomi/politik Cina
(Greer, 2018). Sebagaimana diketahui
bersama, tawaran bantuan investasi
pembangunan infrastruktur Cina seringkali
diibaratkan sebagai bentuk penjajahan gaya
baru, di mana negara-negara berkembang
diiming-imingi bantuan investasi yang cukup
besar hingga tidak mampu membayar hutang
tersebut sehingga Cina pada akhirnya
mendapat kompensasi berupa hak
pengelolaan sebagai ganti kredit yang macet
tersebut. Hal ini telah menimpa Sri Lanka
yang tidak mampu untuk membayar hutang
ke Cina untuk biaya pembangunan
Pelabuhan Hambatonta senilai USD 1,1
miliar (Schultz, 2018). Cina pada akhirnya
mendapat hak pengelolaan pelabuhan
tersebut selama 99 tahun, sesuatu yang
sangat dikhawatirkan oleh India sebagai
anggota the Quads. Hal yang sama diprediksi
berpotensi menimpa Djibouti, Tajikistan,
Kyrgyzstan, Laos, Maladewa, Mongolia,
Pakistan, dan Montenegro, karena memiliki
proporsi hutang dalam program BRI Cina
sebesar 40 persen PDB ke atas (Fernholz,
2018). Di Djibouti, Cina telah memiliki
pangkalan militer, sesuatu yang
dikhawatirkan oleh negara-negara barat
Keamanan Maritim Samudera Hindia…..│Andromeda Windra │45
karena dengan kepemilikan pangkalan militer
berarti semakin memperjauh jangkauan
proyeksi kekuatan militer Cina.
Terbaru, situasi di Samudera Hindia
menjadi sedikit menghangat pasca
merapatnya hubungan Cina dengan
Pakistan. Pakistan merupakan salah satu
negara yang termasuk dalam grand strategy
program BRI Cina. Pakistan adalah kunci
bagi Cina. Pakistan merupakan penghubung
antara Laut Merah dan Xinjiang, provinsi di
bagian barat Cina. Cina berinvestasi pada
beberapa proyek infrastruktur strategis
Pakistan, di antaranya adalah jalan tol, rel
kereta api, serta jalur perpipaan yang
merupakan sarana distribusi sumber daya
alam dari Timur Tengah ke daratan Cina. Titik
strategis proyek Cina tersebut tentunya
adalah pelabuhan utama Pakistan yang
terletak di Laut Arab, pelabuhan Gwadar di
Balochistan. Dengan investasi sebesar USD
62 juta, Cina berupaya mengurangi
ketergantungannya pada Selat Malaka, yang
sejauh ini merupakan akses utama impor
minyak Cina (Pant, 27 Nov 18). Hubungan
mesra ini tentunya mengusik India yang sejak
lama dikenal sebagai rival abadi dari
Pakistan. Amerika Serikat pun merasa
kecolongan karena sejak awal merasa
Pakistan adalah salah satu sekutunya di
kawasan Asia Selatan bersama dengan
India.
Potensi Ancaman dari Barat Indonesia.
Segala dinamika di kawasan Indo-Pasifik
yang telah dibahas dan secara khusus
menunjukkan tren yang terjadi di Samudera
Hindia, merupakan sebuah fenomena yang
harus disikapi secara bijak. Indonesia
sebagai salah satu negara besar di
Samudera Hindia, tentunya harus pandai-
pandai menempatkan diri dalam
mengantisipasi segala jenis ancaman yang
berpotensi terjadi. Ancaman yang mungkin
muncul dapat terjadi dalam dua bentuk, yaitu
ancaman konvensional dalam bentuk
ancaman militer maupun ancaman non-
konvensional atau nirmiliter. Tensi tinggi
hubungan Amerika Serikat dan Cina
berpotensi merembet ke negara-negara
sekitar, termasuk Indonesia. Konflik yang
terjadi, meskipun dalam skala kecil, tentunya
mengandung implikasi terhadap kepentingan
nasional Indonesia. Contoh nyata adalah
perang dagang antara dua negara adidaya
tersebut yang telah mengakibatkan
melambatnya pertumbuhan ekonomi global.
Untuk Indonesia, pertumbuhan ekonomi di
tahun 2018 lalu hanya sebesar 5,4 persen,
lebih kecil dari target pertumbuhan ekonomi
yang ditetapkan pemerintah di awal tahun
anggaran. Eskalasi perang dagang
nampaknya belum menunjukkan tanda-tanda
menurun. Hingga Desember 2018, Presiden
Trump memerintahkan pemberlakuan tarif
terhadap barang-barang Cina senilai 200
miliar dolar AS menjadi 25 persen dari yang
tadinya hanya 10 persen menyusul gagalnya
proses negosiasi dengan negeri Tirai Bambu
tersebut (kompas.id, 2019). Tindakan
Amerika Serikat tersebut berpotensi dibalas
46 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
oleh Cina dengan meningkatkan tarif atas
produk-produk Amerika Serikat. Perang
dagang jilid dua ini berpotensi negatif
terhadap atmosfir perekonomian global, yang
tentunya akan memengaruhi situasi
perekonomian Indonesia.
Dari sisi militer, inisiasi the Quads
merupakan angin segar bagi India dan
Australia untuk menegaskan eksistensinya di
kawasan. India yang merasa sebagai negara
super power di Asia Selatan mulai
menunjukkan gelagat pelebaran sayapnya
dengan visi Look East, dan kemudian
menjadi Act East Policy. Dalam beberapa
kesempatan, India bahkan secara terang-
terangan menawarkan diri kepada Indonesia
untuk ikut terlibat aktif dalam upaya
pengamanan Selat Malaka. India juga telah
mengirim beberapa kapal perangnya
berpatroli di Laut Cina Selatan dalam
kampanye kebebasan bernavigasi (freedom
of navigation). Peningkatan kegiatan
Angkatan Laut India ini memang tidak secara
langsung ditujukan terhadap Indonesia,
melainkan bertujuan untuk meredam
agresivitas Cina di kawasan Indo-Pasifik.
Bagaimanapun, upaya India tersebut
berpotensi menjadikan Indonesia sebagai
spill over apabila terjadi gesekan-gesekan
dengan Angkatan Laut Cina, baik gesekan
dalam skala ringan dalam bentuk provokasi
hingga konflik intensitas sedang.
Australia pun demikian. Penetapan Darwin
sebagai pangkalan bagi ribuan pasukan
Marinir Amerika Serikat telah membuat
komunitas militer di Indonesia resah.
Penugasan Marinir negeri Paman Sam di
Darwin tersebut merupakan buah dari
kebijakan pemerintah Amerika Serikat
sebelumnya pada masa Presiden Barrack
Obama, yaitu rebalancing Asia-Pacific
dengan tujuan mengantisipasi terjadinya
konflik terbuka yang melibatkan Cina dan
sekutu-sekutu Amerika Serikat yang sedang
bersengketa di Laut Cina Selatan. Dalam
konteks the Quads, Australia bersama
Amerika Serikat telah menjajaki potensi
pembangunan pangkalan militer di Pulau
Manus, Papua Nugini dalam rangka
mengimbangi manuver Cina yang telah
memiliki pangkalan militer di Vanuatu
(Dziedzic, 2018). Hal ini tentunya
mengundang risiko tersendiri terhadap
Indonesia. Dalam dunia militer, pembentukan
pangkalan militer oleh sebuah negara asing
di lokasi yang berdekatan dengan wilayah
sendiri berpotensi merugikan secara militer.
Walaupun dengan dalih ditujukan untuk
menangkal ancaman dari Cina, inisiatif
pemerintah Australia tersebut tidak dapat
dibenarkan dalam kaca mata pertahanan
Indonesia. Pangkalan militer yang dibangun
Australia di Pulau Manus tersebut dapat juga
digunakan untuk proyeksi kekuatan terhadap
Indonesia jika situasi hubungan Indonesia-
Australia memburuk. Hal ini ditambah dengan
track record Australia yang kerap
berseberangan dengan Indonesia yang mau
tidak mau membuat Indonesia wajar menaruh
curiga. Strategi containment Australia di
Keamanan Maritim Samudera Hindia…..│Andromeda Windra │47
kawasan Pasifik terhadap ekspansi Cina juga
berpotensi menjadikan Indonesia sebagai
kawasan yang terdampak apabila konflik
terbuka benar-benar terjadi.
Pada sisi nonmiliter, kawasan Samudera
Hindia juga memiliki potensi ancaman bagi
Indonesia. Terorisme, pembajakan,
permasalahan migran, hingga penangkapan
ikan ilegal masih menjadi permasalahan yang
harus diantisipasi oleh TNI, khususnya TNI
Angkatan Laut sebagai instrumen penegak
kedaulatan negara di laut. Terorisme masih
menjadi ancaman nyata bangsa Indonesia
saat ini meskipun ISIS yang berpusat di Timur
Tengah sedang melemah, terbukti dengan
klaim ISIS sebagai penanggung jawab
serangan teror di Sri Lanka saat Paskah pada
bulan April yang lalu mengakibatkan jatuhnya
ratusan korban jiwa. Di Indonesia baru-baru
ini juga beredar video yang menampilkan
Rafli, seorang pemimpin kelompok Jamaah
Ansharud Daulah Bekasi yang berafiliasi
dengan ISIS. Dalam video tersebut dia
mengaku berencana melaksanakan aksi teror
dengan membuat bom yang dapat
dikendalikan dari jarak jauh dan ditempatkan
di tengah-tengah kerumunan orang yang
berdemo di depan kantor Komisi Pemilihan
Umum (KPU) pada tanggal 22 Mei 2019, saat
pengumuman rekapitulasi hasil pemilihan
umum 2019 (Rikang, 2019). Fakta ini
menunjukkan bahwa penanggulangan
paham radikal masih jauh dari kata selesai.
Para foreign terrorist fighters alumni Timur
Tengah berpotensi menggunakan media laut
untuk menuju ke negara-negara medan juang
mereka selanjutnya, termasuk di Indonesia,
seiring dengan semakin terbatasnya olah
gerak mereka di Timur Tengah.
Permasalahan pembajakan dan
perompakan di kawasan Tanduk Afrika tidak
dapat diabaikan begitu saja meskipun angka
prevalensi sudah sangat jauh menurun
dibandingkan dengan dua dekade silam.
Tidak beranjaknya peringkat Somalia dalam
daftar indeks negara gagal menunjukkan
bahwa potensi tindak kejahatan pembajakan
masih sangat mungkin terjadi. Meskipun
berjarak ribuan mil laut dari wilayah
Indonesia, kawasan rawan tersebut masih
punya korelasi terhadap kepentingan
nasional Indonesia. Wilayah Perairan
Somalia masih menjadi jalur sibuk pelayaran
dunia, termasuk kapal-kapal berbendera
Indonesia yang berlayar di sana.
Di samping ancaman pembajakan,
kawasan Samudera Hindia masih
menyimpan potensi digunakan sebagai
media pelarian imigran-imigran ilegal yang
berasal dari negara-negara yang mengalami
konflik. Perang yang berkecamuk di Timur
Tengah serta konflik internal di Myanmar
yang melibatkan suku Rohingya memaksa
ribuan orang mengungsi keluar negeri untuk
mencari harapan hidup yang lebih layak.
Tujuan pengungsian mereka biasanya
negara-negara maju seperti negara Eropa
dan Australia yang mereka anggap dapat
menyediakan penghidupan yang bagus untuk
mereka dan keluarganya. Meskipun
48 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
demikian, tidak menutup kemungkinan
Indonesia dijadikan tujuan utama maupun
hanya sebagai transit sebelum menuju ke
negara tujuan akhir. Potensi serbuan para
pengungsi ilegal ini tentunya merupakan
beban tersendiri bagi negara apabila tidak
diantisipasi dengan baik. Terakhir, kegiatan
illegal fishing di ZEEI bagian barat Indonesia
masih marak terjadi. Hal ini terungkap dari
pengakuan salah seorang nelayan Sibolga
yang mengatakan bahwa banyak kapal-kapal
ikan dari Sri Lanka yang turut beroperasi di
daerah penangkapan ikan di daerah
perbatasan Indonesia-India yang masih
berada di wilayah ZEEI. Ancaman-ancaman
yang berpotensi terjadi dari sebelah barat
Indonesia, khususnya di sepanjang wilayah
Samudera Hindia, menunjukkan bahwa
situasi kawasan yang relatif landai dalam
perspektif Indonesia ternyata menyimpan
sejumlah tantangan terhadap kepentingan
nasional Indonesia.
Strategi TNI AL di Samudera Hindia
Dengan segala dinamika di Samudera
Hindia membawa potensi ancaman maka,
sudah saatnya merumuskan strategi terbaik
demi terjaganya keamanan dan kepentingan
nasional. TNI AL sebagai salah satu
instrumen kekuatan negara di laut
merupakan aset yang sangat berharga yang
dapat digunakan untuk membantu
mewujudkan tujuan nasional melalui
pelaksanaan strategi yang tepat. Strategi
yang dirumuskan ini tentunya haruslah
selaras dengan kebijakan politik luar negeri
pemerintah.
Berbicara mengenai strategi, kita tidak
dapat melupakan teori yang digagas oleh
Arthur F. Lykke Jr. yang menyatakan bahwa
strategy = ends + ways + means (Arthur F.
Lykke, Jr., 1989). Berangkat dari teori
tersebut, perumusan strategi TNI Angkatan
Laut dalam menghadapi segala tantangan di
Samudera Hindia haruslah diawali dengan
identifikasi masing-masing variabel tersebut.
Pertama-tama, tujuan akhir dari cara
bertindak yang akan dilaksanakan oleh TNI
Angkatan Laut di Samudera Hindia pastinya
harus selaras dengan tujuan nasional yang
diamanatkan di dalam Undang-Undang
Dasar 1945, yaitu “melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukan kesejahteraan umum,
mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang
berdasarkan kemerdakaan, perdamaian
abadi dan keadilan sosial” (Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945, 1945).
Perdamaian dunia, khususnya di kawasan
pada akhirnya akan menciptakan stabilitas
kawasan dan tercapainya kepentingan
nasional. TNI Angkatan Laut sebagai salah
satu instrumen pertahanan tentunya
berkepentingan untuk mewujudkan cita-cita
bangsa tersebut dengan cara-cara yang
terukur yang sejalan dengan prinsip-prinsip
dasar negara.
Demi mewujudkan ends sesuai dengan
diskusi di atas, beberapa strategi yang dapat
Keamanan Maritim Samudera Hindia…..│Andromeda Windra │49
dilaksanakan oleh TNI Angkatan Laut di
antaranya adalah melalui deployment,
confidence-building measure (CBM), dan
naval build-up. Tiga hal tersebut merupakan
bentuk diplomasi angkatan laut dalam
mendukung kebijakan politik luar negeri.
Strategi pertama deployment merupakan
sebuah upaya menggelar kekuatan TNI
Angkatan Laut di wilayah Samudera Hindia
yang dapat berupa pameran bendera
maupun berpartisipasi aktif dalam operasi-
operasi multinasional maupun operasi
mandiri. Pengerahan kekuatan laut dalam
bentuk deployment di luar negeri
dimaksudkan untuk memperoleh bargaining
power dalam mendukung pembentukan
pengaruh terhadap negara-negara lain, di
samping juga dilakukan oleh para diplomat di
meja perundingan. Pameran bendera
merupakan kegiatan kunjungan kapal perang
ke negara-negara tertentu yang bertujuan
untuk mengomunikasikan niat sebuah
negara, menegosiasikan masalah bilateral,
ataupun untuk menyampaikan pesan militer
sebuah negara (Antariksa, 2014, hal. 13).
Sebagai contoh, kunjungan rutin kapal
perang Cina Taiwan setiap tahunnya ke
Indonesia dimaksudkan sebagai penegasan
eksistensi Cina Taiwan. (Antariksa, 2014, hal.
14). Dalam konteks penajaman diplomasi
Indonesia di Samudera Hindia dalam rangka
mendukung strategi Indo-Pasifik, kunjungan
kapal perang dapat difokuskan ke negara-
negara yang dipandang strategis seperti
India, Pakistan, dan Australia, dan mungkin
Cina selaku salah satu aktor yang sangat
berkepentingan di Samudera Hindia.
Di samping pameran bendera, show of
force dapat dilakukan dalam wujud pelibatan
TNI Angkatan Laut dalam operasi-operasi di
kawasan Samudera Hindia. Seperti telah
dibahas sebelumnya, Samudera Hindia
masih menyimpan ancaman yang harus
diwaspadai bersama, di antaranya adalah
ancaman pembajakan dan perompakan,
khususnya di daerah Tanduk Afrika. Data
statistik memang menunjukkan penurunan
signifikan angka kejadian tindak perompakan
di Tanduk Afrika, yang ditindaklanjuti dengan
tidak dilanjutkannya operasi NATO Operation
Ocean Shield sejak tahun 2016 serta rencana
penyetopan operasi EUNAVFOR negara-
negara Uni Eropa pada tahun 2020 (Loock,
2019). Meskipun demikian, tidak dapat
memandang bahwa kawasan Somalia benar-
benar aman. Jepang sebagai salah satu
anggota the Quads semakin menegaskan
komitmennya di Samudera Hindia dengan
rencana penambahan pengiriman
personelnya dalam operasi antipiracy yang
dilaksanakan oleh CTF 151 serta peluasan
pangkalan militernya di Djibouti (Loock,
2019). TNI Angkatan Laut dapat masuk ke
dalam CTF 151, baik dalam bentuk
pengiriman kapal maupun pengiriman
personel sebagai perwira staf CTF 151. Yang
telah dilaksanakan baru sebatas
mengirimkan satu orang perwira sebagai staf
intelijen CTF 151. Ke depan, apabila
Pemerintah Indonesia benar-benar serius
50 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
dengan visi Indo-Pasifiknya, TNI Angkatan
Laut dapat mengajukan penambahan
personel maupun pengiriman kapal untuk
bergabung dalam CTF 151, atau bahkan
melaksanakan operasi mandiri. Keterlibatan
TNI Angkatan Laut dalam operasi-operasi di
kawasan tersebut selain dapat menjamin
kepentingan nasional Indonesia dalam
bentuk penciptaan rasa aman bagi kapal-
kapal berbendera Indonesia yang melintas
daerah tersebut, juga sebagai penegas
eksistensi TNI Angkatan Laut dalam kancah
internasional dalam mendukung visi Indo-
Pasifik.
Strategi kedua yang dapat dilaksanakan
adalah meningkatkan upaya-upaya CBM
yang diwujudkan dalam bentuk pertukaran
informasi melalui berbagai forum, pertukaran
perwira dalam pendidikan dan latihan,
maupun kegiatan-kegiatan latihan bersama.
Upaya-upaya CBM pada dasarnya
dilaksanakan oleh kedutaan besar. Pelibatan
kekuatan militer, dalam hal ini TNI Angkatan
Laut, akan lebih memaksimalkan hasil dari
CBM tersebut karena kerja sama militer
langsung menyasar stakeholder keamanan
yang sehari-harinya bertindak sebagai
pelaksana di lapangan. TNI sendiri memiliki
skala hubungan kerja sama militer terhadap
negara-negara sahabat berdasarkan tingkat
prioritasnya, yang dibedakan menjadi
comprehensive strategic partnership,
strategic partnership, dan partnership
relations (Blue Print Diplomasi Militer TNI
2019 - 2024, 2018). Dalam dokumen Blue
Print Diplomasi Militer TNI 2019 – 2024,
terlihat bahwa dari semua negara-negara
yang terletak di kawasan Samudera Hindia,
hanya India yang menjadi prioritas. Hal ini
merujuk dari minimnya kerja sama militer
dengan negara-negara tersebut yang sangat
jauh bila dibandingkan dengan negara-
negara kawasan yang lain. Dari data yang
ada, selama tahun 2018 TNI hanya
melaksanakan 52 kerja sama militer dengan
negara-negara kawasan Samudera Hindia—
di luar Australia dan negara-negara Asean—
dalam bentuk kunjungan (5 kegiatan), latihan
bersama (2 kegiatan), patroli terkoordinasi (2
kegiatan), dan 43 kegiatan pendidikan dan
latihan dengan negara India, Pakistan, Sri
Lanka, Bangladesh, dan Uni Emirat Arab.
Dari fakta tersebut, perlu adanya peningkatan
kerja sama militer dengan negara-negara
seperti Bangladesh, Pakistan, Sri Lanka,
Oman, hingga Iran. Cara lain adalah
mengundang negara-negara kawasan untuk
berpartisipasi dalam latihan MNEK
berikutnya, baik sebagai peninjau ataupun
peserta, serta melaksanakan program
officers exchange dalam bentuk kegiatan-
kegiatan pendidikan dan latihan.
Meningkatnya kerja sama dengan Angkatan
Laut negara-negara tersebut akan
menunjukkan niat positif Indonesia dalam
menjaga perdamaian di kawasan Samudera
Hindia.
Strategi terakhir yang dapat ditempuh oleh
TNI Angkatan Laut dalam menyikapi
perkembangan situasi di Samudera Hindia
Keamanan Maritim Samudera Hindia…..│Andromeda Windra │51
adalah dengan melaksanakan modernisasi
alutsista. Sebagaimana kita ketahui bersama,
walaupun militer Indonesia termasuk yang
terbesar di Asean, alutista yang dimiliki oleh
TNI Angkatan Laut sebagian besar merupakan
alutsista berteknologi lama. Dalam mendukung
kebijakan pemerintah dalam menghadapi
tantangan di masa depan, khususnya di
Samudera Hindia, sudah saatnya TNI
Angkatan Laut memiliki alutsista modern yang
handal, baik dalam bentuk kapal, pesawat
udara, kendaraan tempur marinir,
persenjataan, dan segala yang
mendukungnya. Dalam beroperasi di
Samudera Hindia, dibutuhkan kapal-kapal
perang yang mampu beroperasi hingga sea
state 6 dan memiliki endurance yang cukup
lama. Kapal perang yang mampu memenuhi
syarat untuk beroperasi dalam jangka waktu
yang cukup lama dan mampu mengarungi
gelombang Samudera Hindia tersebut adalah
kapal-kapal jenis fregat ke atas ataupun kapal
jenis landing helicopter dock (LHD). Untuk itu
perlu dipertimbangkan oleh TNI Angkatan Laut
untuk memasukkan rencana pembangunan
kapal-kapal jenis tersebut, termasuk dengan
helikopter pendukungnya, dalam rencana
pembangunan kekuatan di masa depan untuk
dapat digunakan dalam misi-misi di Samudera
Hindia. Rencana pengembangan kekuatan TNI
Angkatan Laut ini tentunya harus didasarkan
pada prinsip peningkatan industri pertahanan
nasional yang telah ditetapkan.
Beberapa strategi yang telah dikemukakan
di atas membutuhkan sumber daya yang tepat
agar dapat digunakan untuk mencapai tujuan
yang diharapkan. Tentang hal ini, setidaknya
ada tiga syarat utama yang harus dipenuhi oleh
TNI Angkatan Laut untuk dapat memiliki postur
yang diharapkan tersebut, yaitu dari aspek
kebijakan, anggaran, dan sumber daya
manusia. Tiga hal tersebut mutlak dibutuhkan
untuk dapat menjadikan TNI Angkatan Laut
yang berkelas dunia dan disegani.
Kebijakan merupakan dasar utama bagi
para perencana maupun pelaksana di
lapangan untuk bekerja. Kebijakan
merupakan ranah strategis yang harus
sejalan dengan kebijakan di atasnya. Dalam
konteks TNI Angkatan Laut, kebijakan Kasal
tentunya sangat tergantung dari kebijakan
pemerintah dan Panglima TNI. Dalam
konteks Indo-Pasifik, pemerintah menjadikan
Indo-Pasifik sebagai perhatian utama dalam
menyikapi perkembangan lingkungan
strategis saat ini. Indo-Pasifik saat ini dilihat
dari aspek keamanan internasional
merupakan tantangan atas munculnya
hegemoni di kawasan dan mengganggu
stabilitas kawasan. TNI Angkatan Laut
membutuhkan penjabaran yang secara
langsung berimplikasi terhadap
pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut
untuk dapat menjalankan tugas-tugas yang
mendukung kebijakan pemerintah tersebut
dalam rangka memelihara stabilitas kawasan
dan mencegah timbulnya hegemoni baru
yang dapat diwujudkan secara bersama-
sama melalui wadah ASEAN maupun secara
mandiri.
52 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
Kebijakan yang pro terhadap
pembangunan Angkatan Laut secara
langsung memiliki dampak terhadap
kebijakan anggaran. Sebagamana diketahui
bersama, anggaran pertahanan Indonesia
dilihat dari persentase pendapatan domestik
bruto (PDB) merupakan yang terkecil kedua
di ASEAN, hanya lebih baik dari Laos.
Dengan nominal 0,8 persen dari PDB,
dibanding Singapura yang mencapai 3,3
persen PDB-nya, anggaran pertahanan
Indonesia tidak bisa dikatakan cukup untuk
negara yang memiliki luas wilayah hampir
seperti Amerika Serikat dan berpenduduk
terbesar keempat dunia ini. Lebih jauh lagi,
jika menelisik detail anggaran pertahanan kita
saat ini, secara umum, porsi terbanyak justru
digunakan sebagai belanja pegawai. Belum
lagi jika menilik persentase anggaran yang
digunakan untuk modernisasi yang hanya
mampu untuk membangun kekuatan setaraf
minimum essential force (MEF) saja. Dari
fakta yang ada ini, dapat dilihat bahwa
kebijakan nasional haruslah dijabarkan juga
hingga ke tataran kebijakan anggaran. Visi
PMD dan Indo-Pasifik sudah seharusnya
diterjemahkan ke dalam kebijakan yang pro-
angkatan laut, termasuk dengan
pengalokasian anggaran untuk dapat
membangun kekuatan TNI AL yang mampu
beroperasi hingga di Samudera Hindia.
Anggaran yang besar tersebut tentunya tidak
hanya dibutuhkan untuk modernisasi
alutsista, namun juga diperuntukkan sebagai
dukungan operasi di luar negeri secara rutin,
termasuk mendukung kegiatan-kegiatan
CBM dengan negara-negara di kawasan
Samudera Hindia. Apabila kebijakan
anggaran tidak mencukupi, maka TNI
Angkatan Laut akan kesulitan untuk
mengikuti kebijakan pemerintah dengan
maksimal karena masih akan menggunakan
asas prioritas dalam penggunaan
anggarannya. Pada dasarnya, dalam
pembangunan kekuatan sangat dibutuhkan
strategi kebijakan anggaran yang tepat untuk
mencapai tugas pokok dengan segala
keterbatasan yang ada.
Selanjutnya, upaya-upaya CBM tentunya
membutuhkan sumber daya manusia (SDM)
yang handal. Kegiatan CBM yang
dilaksanakan menjadikan SDM sebagai
faktor utama yang menentukan keberhasilan.
Dibutuhkan perwira-perwira TNI Angkatan
Laut yang handal sebagai diplomat-diplomat
militer dalam beriteraksi dengan angkatan
laut luar negeri. Salah satu aspek yang
sangat diperlukan adalah kemampuan
berbahasa Inggris yang baik, yang masih
dirasakan sangat kurang bagi sebagian
perwira TNI Angkatan Laut. Di samping
bahasa Inggris, kemampuan berpikir kritis
juga perlu ditingkatkan. Kemampuan ini
sangat erat kaitannya dengan sistem
pendidikan di negara kita, dalam arti jika ingin
adanya peningkatan kemampuan berpikir
kritis maka perlu juga untuk mengubah cara
belajar yang ada. Cara berpikir kritis ini
sangat penting karena merupakan modal
utama yang digunakan saat bertukar pikiran
Keamanan Maritim Samudera Hindia…..│Andromeda Windra │53
dengan perwira asing dalam sebuah diskusi
yang diharapkan outcome-nya
menguntungkan pihak sendiri. Selain itu,
peningkatan SDM sangat diperlukan untuk
mengawaki peralatan-peralatan modern
alutsista yang dimiliki. Kemampuan tempur
dari sebuah alutsista sangat ditentukan oleh
personel yang mengawakinya. Kunci dari
peningkatan SDM TNI Angkatan Laut ini
adalah peningkatan kualitas pendidikan dan
latihan yang dapat dijabarkan dengan sangat
luas, meliputi perbaikan kurikulum
pendidikan, peningkatan kualitas pengajar,
hingga pemenuhan sarana-prasarana
pendidikan. Pada akhirnya upaya
peningkatan SDM ini juga membutuhkan
dukungan anggaran yang tidak sedikit, yang
berarti juga sangat terkait dengan kebijakan
anggaran yang ada.
Kesimpulan
Perkembangan lingkungan strategis saat
ini tidak dapat dilepaskan dari persaingan
hegemoni antara Amerika Serikat dan Cina di
kawasan. Implikasi gesekan dua negara
adidaya tersebut tentunya dapat
memengaruhi stabilitas kawasan, khususnya
di kawasan Indo-Pasifik. Indonesia sebagai
negara yang secara geografis tepat berada di
jantung Indo-Pasifik tentunya sangat
menaruh perhatian terhadap perkembangan
lingkungan strategis ini terhadap keamanan
kawasan, terutama di kawasan Samudera
Hindia. Dari sisi keamanan maritim,
Samudera Hindia menyimpan potensi
ancaman dan tantangan yang tidak sedikit.
Gesekan militer antara Amerika Serikat
dengan the Quads-nya melawan militer Cina
dalam usaha perebutan pengaruh di
Samudera Hindia sangat mungkin imbasnya
berpengaruh terhadap kepentingan nasional
Indonesia. Di samping itu, efek perang
dagang di antara kedua negara besar
tersebut akan berpengaruh terhadap
ekonomi Indonesia juga. Ancaman terorisme
dari eks simpatisan ISIS di Timur Tengah dan
potensi pembajakan kapal-kapal di daerah
Tanduk Afrika merupakan dua hal lainnya
yang harus dicermati dan diwaspadai
bersama.
TNI Angkatan Laut sendiri sebagai alat
pertahanan negara di laut memandang
dinamika yang terjadi di kawasan Indo-Pasifik
ibarat dua sisi mata uang yang di satu sisi
mengandung dampak positif, namun di sisi
sebaliknya dapat berimplikasi negatif. TNI
Angkatan Laut selaku instrumen pertahanan
bertindak sejalan dengan visi pemerintah dan
visi TNI. Dalam hal ini, pemerintahan
Presiden Joko Widodo menegaskan perlunya
mewujudkan Indonesia sebagai PMD dan
mampu secara aktif bertindak sebagai
inisiator upaya-upaya kerja sama
internasional di kawasan Indo-Pasifik. Dalam
menerjemahkan visi tersebut, Kasal
memandang perlunya menjadikan TNI
Angkatan Laut sebagai kekuatan yang
mampu melaksanakan proyeksi kekuatan
regional. Hal ini menunjukkan sudah saatnya
TNI Angkatan Laut “melebarkan sayapnya”
untuk mulai berkomitmen dalam memelihara
54 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
keamanan kawasan, termasuk di kawasan
Samudera Hindia.
Dalam menghadapi segala tantangan dan
ancaman yang ada di Samudera Hindia, TNI
Angkatan Laut perlu menjalankan tiga
strategi yang bertujuan untuk mewujudkan
tujuan nasional sebagaimana tercantum
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar
1945. Ketiga strategi tersebut meliputi upaya
penggelaran kekuatan di Samudera Hindia,
melaksanakan penguatan CBM dengan
negara-negara di kawasan tersebut, serta
melaksanakan naval build-up dalam bentuk
modernisasi alutsista sebagai upaya
mempertajam deterrence sebagai
pendukung upaya diplomasi negara.
Mewujudkan ketiga langkah strategis
tersebut tentunya bukan perkara yang remeh
untuk dilaksanakan karena membutuhkan
komitmen yang kuat dalam bentuk kebijakan
dan penganggaran serta mutlak didukung
oleh personel-personel TNI Angkatan Laut
yang berkompeten. Kesemuanya tersebut
merupakan syarat utama untuk menuju TNI
Angkatan Laut berkelas dunia yang mampu
berperan aktif dalam upaya menjaga
keamanan maritim hingga tingkat regional.
Pada akhirnya, mengutip ucapan dari
Laksamana TNI (Purn) Bernard Kent
Sondakh, bahwa TNI Angkatan Laut yang
besar bukanlah sebuah kemewahan, namun
merupakan sebuah kebutuhan, mengingat
besarnya Indonesia dan nilai strategis yang
dimilikinya. Sebagai negara maritim terbesar
di dunia, bukanlah hal yang tabu untuk
memiliki angkatan laut yang bervisi outward
looking.
Referensi
A. Buku
1. Mahan, Alfred Thayer. 1896. The Influence of Sea Power Upon History: 1660-1783 (12ed.). Boston: Little, Brown, and Company.
2. Mabes TNI. 2018. Blue Print Diplomasi Militer TNI 2019 – 2024. Jakarta: Mabes TNI.
3. Cohen, S. B. 2009. Geopolitics: The geography of international relations. Lanham: Rowman & Littlefield.
4. Mearsheimer, J. J. 2014. The Tragedy of Great Power Politics (Updated edition). New York: W.W. Norton & Company.
B. Jurnal
5. Antariksa, A. Y. 2014. Diplomasi Pertahanan Laut Indonesia dalam Konteks Pergeseran Geopolitik di Kawasan pada Masa Depan. (Jurnal Pertahanan). Jakarta: Unhan Press.
6. Arthur F. Lykke, Jr. 1989. Defining Military Strategy. Military Review, 69(5).
7. Adji, Siwi Sukma. 2018. Resume Laporan Pelaksanaan dan Tindak Lanjut Program 100 Hari Kerja Kepala Staf Angkatan Laut.
C. Regulasi
8. Undang-Undang Dasar 1945.
9. Peraturan Presiden RI Nomor 16 Tahun 2017 tentang Kebijakan Kelautan Indonesia
D. Media Online
10. Dziedzic, S. US to partner with Australia and PNG on Manus Island naval
Keamanan Maritim Samudera Hindia…..│Andromeda Windra │55
base. Dapat dilihat pada ABC News website: https://www.abc.net.au/news/2018-11-17/us-to-partner-with-australia-and-png-on-manus-island-naval-base/10507658 diakses pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 04.14 WIB.
11. Eleanor, Albert. Competition in the Indian Ocean. Dapat dilihat pada Council of Foreign Relations https://www.cfr.org/backgrounder/competition-indian-ocean diakses pada tanggal 1 Februari 2019 pukul 15.40 WIB.
12. Fernholz, T. Eight countries in danger of falling into Cina’s debt trap. dapat dilihat pada Quartz website: https://qz.com/1223768/cina-debt-trap-these-eight-countries-are-in-danger-of-debt-overloads-from-cinas-belt-and-road-plans/ diakses pada tanggal 26 Februari 2019 pukul 14.15 WIB.
13. Fragile States Index 2018. Dapat dilihat pada The Fund for Peace: http://fundforpeace.org/fsi/2018/04/24/fragile-states-index-2018-annual-report/ diakses pada tanggal 1 Februari 2019 pukul 18.24 WIB.
14. Greer, T. One Belt, One Road, One Big Mistake. Dapat dilihat pada Foreign Policy https://foreignpolicy.com/2018/12/06/bri-cina-belt-road-initiative-blunder/ diakses pada tanggal 26 Februari 2019 pukul 19.00 WIB.
15. Gross Domestic Product 2017. Dapat dilihat pada https://databank.worldbank.org/data/download/GDP.pdf diakses pada tanggal 26 Februari 2019 pukul 20.15 WIB.
16. Hettne, B., & Söderbaum, F. Theorising the Rise of Regionness. New Political Economy. Dapat dilihat pada https://doi.org/10.1080/713687778
diakses pada tanggal 13 Februari 2019 pukul 09.25 WIB.
17. IMB Piracy and Armed Robbery Map 2018. (t.t.). dapat dilihat pada International Chamber of Commerce: Commercial Crime Services https://www.icc-ccs.org/piracy-reporting-centre/live-piracy-map diakses pada 30 Maret 2018 pukul 22.40 WIB.
18. Kompas.id. Perseteruan Berlanjut. Dapat dilihat pada Kompas.id https://kompas.id/baca/internasional/2019/05/12/perseteruan-berlanjut-2/ diakses pada tanggal 22 Maret 2019 pukul 04.20 WIB.
19. Kuo, M. A. The Origin of ‘Indo-Pacific’ as Geopolitical Construct. Dapat dilihat pada The Diplomat https://thediplomat.com/2018/01/the-origin-of-indo-pacific-as-geopolitical-construct/ diakses pada tanggal 1 Februari 2019 pukul 12.00 WIB.
20. Loock, J. Japan Expands Military Presence in Horn of Africa Despite Decrease in Somalia Piracy. Dapat dilihat pada Maritime Security Review http://www.marsecreview.com/2019/06/japan-expands-military-presence-in-horn-of-africa-despite-decrease-in-somalia-piracy/ diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul 13.55 WIB.
21. Mansfield, E. D., & Milner, H. V. The New Wave of Regionalism. International Organization. Dapat dilihat pada https://doi.org/10.1162/002081899551002 diakses pada tanggal 19 Maret 2019 pukul 14.30 WIB.
22. P K Ghosh, ORF. Indian Ocean dynamics: An Indian perspective. dapat dilihat pada East Asia Forum http://www.eastasiaforum.org/2011/04/05/indian-ocean-dynamics-an-indian-perspective/ diakses 19 Februari 2019 pukul 22.00 WIB.
56 │Jurnal Maritim Indonesia│Juni 2019, Volume 7 Nomor 01
23. Pant, H. V. The Cina-Pakistan love affair in troubled waters. dapat dilihat pada https://www.livemint.com/Opinion/7ttj4Fzy9Pyc7eiAZfWaqK/Opinion--The-CinaPakistan-love-affair-in-troubled-waters.html diakses pada tanggal 12 Maret 2019 pukul 21.45 WIB.
24. Rikang, R. Detik-detik yang Menentukan. dapat dilihat pada Tempo http://majalah.tempo.co/read/157691/detik-detik-yang-menentukan diakses pada tanggal 17 Maret 2019 pukul 17.21 WIB.
25. Setiawan, Sakina Rahma Diah. Proyek “One Belt One Road” Cina, Apa Untungnya bagi ASEAN? dapat dilihat pada KOMPAS.com https://bisniskeuangan.kompas.com/read/2016/11/20/122400626/proyek.one.belt.one.road.cina.apa.untungnya.bagi.asean. diakses pada tanggal 26 Februari 2019 pukul 19.20 WIB.
26. Schultz, K. Sri Lanka, Struggling with Debt, Hands a Major Port to Cina. The New York Times. dapat dilihat pada https://www.nytimes.com/2017/12/12/world/asia/sri-lanka-cina-port.html diakses pada tanggal 26 Februari 2019 pukul 19.25 WIB.
27. Stashwick, S. Cina’s Security Gambit in the Indian Ocean. dapat dilihat pada The Diplomat https://thediplomat.com/2018/05/cinas-security-gambit-in-the-indian-ocean/ diakses pada tanggal 1 Februari 2019 pukul 05.30 WIB.
28. Tunander, O. Swedish-German geopolitics for a new century: Rudolf Kjellén’s ‘The State as a Living Organism.’ Review of International Studies. dapat dilihat pada. https://doi.org/10.1017/S026021050100451X diakses pada tanggal 1 Februari 2019 pukul 17.00 WIB.