Upload
others
View
9
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
KEPUTUSAN AMERIKA SERIKAT DALAM PERJANJIAN EKSEKUTIF
PENEMPATAN KEMBALI PENGUNGSI DENGAN AUSTRALIA PADA
TAHUN 2017
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyarataan Memperoleh
PROGRAM STUDI ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh
Tasya Safirah Ghassani
1112113000054
iv
ABSTRAK
Skripsi ini menganalisis keputusan Amerika Serikat dalam perjanjian penempatan
kembali pengungsi dengan Australia pada tahun 2017. Skripsi ini menggunakan konsep
kepentingan nasional dari Donald J. Nuechterlein, konsep kebijakan luar negeri dan konsep
pengungsi untuk mengetahui kepentingan serta faktor-faktor yang melatarbelakangi
pengambilan keputusan oleh Amerika Serikat pada tahun 2017 dalam perjanjian penempatan
kembali pengungsi dengan Australia. Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif
dengan teknik pengumpulan dan pengolahan data sekunder (library research). Berdasarkan
penelitian yang dilakukan maka diperoleh hasil bahwa kepentingan nasional yang
mempengaruhi Amerika Serikat dalam perjanjiannya dengan Australia pada tahun 2017
adalah adanya kepentingan pertahanan dan ekonomi yang menjadi major issue dan
mempengaruhi Amerika Serikat dalam mengatasi permasalahan imigrasi ilegal dari Amerika
Tengah. Selain itu faktor-faktor yang mempengaruhi Amerika Serikat dalam pengambilan
keputusan adalah hubungan aliansinya dengan Australia dan adanya tekanan dari internal
Amerika Serikat yang mempengaruhi public opinion di Amerika Serikat.
Kata kunci : Amerika Serikat, Australia, pengungsi, refugee resettelment, kepentingan
nasional, kebijakan luar negeri
v
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahirabbil’alamiin, puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT
yang telah menganugerahkan rahmat dan inayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan penulisan skripsi. Dalam penulisan skripsi ini tentu tidak akan selesai
tanpa dukungan dari berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terimakasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Keluarga penulis, terutama kepada Ayahanda Iwan Kumara, Ibunda Tanti Dewi,
Andita Putri Ghassani, Bianco Adya Kumara dan Devant Ananta Kumara, juga
seluruh keluarga besar atas doa dan dukungan moral serta materilnya.
2. Bapak Febri Dirgantara Hasibuan, M.M selaku dosen pembimbing yang telah
bersedia meluangkan waktu dan pemikirannya selama membantu
penulis menyelesaikan skripsi.
3. Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Bapak
Dr. Ali Munhanif, M.A., Ketua Program Studi Hubungan Internasional Bapak Ahmad
Alfajri, MA. dan Sekretaris Program Studi Hubungan Internasional Ibu Eva Mushafa.
4. Jajaran dosen dan staf Program Studi Hubungan Internasional, atas segala upaya
dalam membantu penulis dari awal perkuliahan.
5. Ferico Rachman, seseorang yang telah membantu dan mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini
6. Rekan PANAZ yang selalu setia memberikan support dan semangat kepada penulis,
Dinda C Savitry, Arlinda Ayuningtyas, Dita Kirana, Hani Samantha dan Onyuwida
7. Kawan-kawan HI angkatan 2012 serta pejuang akhir yang selalu menumbuhkan
optimisme bahwa kita bisa menyelesaikan skripsi ini.
vi
8. Kawan-kawan Abang None Jakarta Timur 2017 yang telah memberikan semangat
untuk menyelesikan skripsi ini
9. Bang Indra Saputra dan Hani Samantha dari HI angkatan 2012 yang telah meluangkan
waktunya membantu penulis selama proses penulisan
10. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah
memberikan bantuan selama proses penulisan skripsi ini.
Dalam penulisan skripsi ini masih jauh dari kata sempurna, maka penulis
menyadari mengharapkan kritik dan saran agar penulis dapat menulis lebih baik lagi
dikemudian hari.
Jakarta, 03 Mei 2019
Tasya Safirah Ghassani
vii
DAFTAR SINGKATAN
UNHCR : United Nations High Commisioner for Refugees
PBB : Perserikatan Bangsa-bangsa
CoC : Clash of Civilizations
USRAP : U.S. Refugee Admission Program
DACA : Deferred Action for Childhood Arrivals
TPS : Temporary Protected Status
CAM : Central American Minors
TCO : Transnational Criminal Organizations
ACS : American Community Survey
NTCA : The Northern Triangle of Central America
PTA : Protection Transfer Agreement
IOM : International Organization for Migration
AUSMIN : Australia-United States Ministerial Consultations
FTA : Free Trade Agreement
CBP : U.S. Customs and Border Protection
ICE : U.S. Immigration and Customs Enforcement's
viii
DAFTAR TABEL
Tabel I.E.1 Isi Model Analisa Kepentingan Nasional .......................................... 17
Tabel II.B.2 Jumlah Imigran Amerika Tengah di
Amerika Serikat periode 1970-2018 ..................................................................... 35
Tabel III.B.3. Publikasi Perjanjian Internasional Amerika Serikat ...................... 56
Tabel IV.A.4. Kepentingan Nasional Amerika Serikat ........................................ 64
ix
DAFTAR GRAFIK
Grafik II.B.1 Tingkat Pembunuhan di Kawasan Segitiga Utara 2004-2015 ........ 33
Grafik III.B.2. Pengungsi Yang Telah Mendapatkan Hak Penempatan
Kembali di Amerika Serikat berdasarkan Kewarganegaraannya ......................... 59
Grafik III.B.3. Pengungsi Yang Tidak Mendapatkan Hak Penempatan
Kembali di Amerika Serikat berdasarkan Kewarganegaraannya ......................... 59
x
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ............................................................ i
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI ......................................................... ii
PENGESAHAN PANITIAN UJIAN SIDANG SKRIPSI .................................... iii
ABSTRAK .................................... ............................................................... ........... iv
KATA PENGANTAR .................. ........................................................................... v
DAFTAR SINGKATAN ..................................................................................... .... vii
DAFTAR TABEL ........................ ........................................................................... viii
DAFTAR GRAFIK ...................... ........................................................................... ix
DAFTAR ISI........................................................................................ .................... x
BAB I PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah ....................................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ..................................................................................... 9
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................................... 9
D. Tinjauan Pustaka ............................................................................................ 10
E. Kerangka Teori .............................................................................................. 13
1. Konsep Kepentingan Nasional ........................................................... 13
2. Konsep Kebijakan Luar Negeri ......................................................... 17
3. Konsep Pengungsi .............................................................................. 19
F. Metode Penelitian .......................................................................................... 20
G. Sistematika Penulisan .................................................................................... 22
BAB II KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TERKAIT
PENEMPATAN KEMBALI PENGUNGSI
A. Pandangan dan Kebijakan Amerika Serikat terkait
Pengungsi ....................................................................................................... 27
B. Kebijakan Amerika Serikat terkait Penempatan Kembali
Pengungsi pada tahun 2009-2016 .................................................................. 32
C. Kebijakan Amerika Serikat terkait Penempatan Kembali
Pengungsi pada tahun 2017 ........................................................................... 38
BAB III HUBUNGAN AMERIKA SERIKAT DAN
AUSTRALIA
A. Aliansi Amerika Serikat dan Australia .......................................................... 45
B. Perjanjian Eksekutif Bilateral Amerika Serikat dan
Australia dalam Penempatan Kembali Pengungsi dari
Nauru dan Kepulauan Manus......................................................................... 50
xi
BAB IV ANALISA KEPUTUSAN AMERIKA SERIKAT
DALAM PERJANJIAN PENEMPATAN KEMBALI
PENGUNGSI DENGAN AUSTRALIA 2017
A. Kepentingan Nasional .................................................................................. 61
1. Kepentingan Pertahanan .......................................................................... 66
2. Kepetingan Ekonomi ............................................................................... 72
B. Kebijakan Luar Negeri................................................................................ 75
1. Faktor Eksternal ................................................................................. 75
2. Faktor Internal .................................................................................... 76
BAB V KESIMPULAN ........................................................................................... 78
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................... xii
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pernyataan Masalah
Krisis pengungsi internasional masih menjadi permasalahan setiap
tahunnya di beberapa negara di dunia. Pada tahun 2016, United Nations High
Commisioner for Refugees (UNHCR) menyatakan bahwa jumlah keseluruhan
pengungsi di dunia mencapai 65,6 juta orang dan mengalami peningkatan sebesar
2,9 juta orang pada tahun 2017 menjadi 68,5 juta orang.1 Jumlah pengungsi
tersebut setiap tahunnya terus mengalami peningkatan seiring dengan ikut
bertambahnya permasalahan kesejahteraan sosial dan perlindungan hak asasi bagi
para pengungsi di dunia.
Perlindungan hak bagi pengungsi internasional telah diatur oleh UNHCR,
salah satunya dengan program refugee resettlement sebagai sebuah solusi jangka
panjang bagi para pengungsi. Solusi ini memberikan kesempatan “penempatan
kembali” bagi para pengungsi yang tidak dapat kembali maupun tidak mendapat
perlindungan dari negara asalnya, untuk kemudian pindah ke negara ketiga yang
bersedia menerima mereka dengan status tinggal tetap. 2 Di antara 37 negara yang
terdaftar dalam program penempatan kembali, Amerika Serikat merupakan negara
1 UNHCR, “Forced Displacement Above 68m in 2017, new global deal on refugees
critical”, diakses pada 18 Maret 2019,
http://www.unhcr.org/news/press/2018/6/5b27c2434/forced-displacement-above-68m-2017-new-
global-deal-refugees-critical.html 2 UNHCR, “The 10 Point Plan : Solution for Refugees” [buku on-line], (Luxembourg:
Imprimeria Centrale, 2011); tersedia di: https://www.unhcr.org/50a4c17f9.pdf, diunduh pada 18
maret 2019; Chapter 7
2
yang paling banyak dituju oleh para pencari suaka dengan jumlah penempatan
kembali pengungsi tertinggi di dunia.
Sejak tahun 1975, Amerika Serikat telah menerima 3,3 dari 4 juta
pengungsi di dunia untuk penempatan kembali secara tetap di Amerika Serikat
hingga tahun 2017.3 Meskipun hingga saat ini Amerika Serikat belum meratifikasi
konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait pengungsi yang dikeluarkan
oleh UNHCR pada tahun 1951, Amerika Serikat telah meratifikasi protokol 1967
yang mengharuskan Amerika Serikat untuk tetap mengaplikasikan ketentuan yang
ada dalam konvensi pengungsi 1951 dan membentuk undang-undang imigrasi
federal tahun 1980.4
Pada tahun 2015, beberapa negara telah dihadapkan pada krisis
permasalahan perpindahan pengungsi dalam jumlah besar. Pengungsi-pengungsi
tersebut berasal dari 70 negara di dunia yang mengalami krisis serta konflik
seperti Suriah, Afghanistan, Kongo dan Myanmar5. Menanggapi gelombang
perpindahan pengungsi secara masif di dunia, Amerika Serikat di bawah presiden
Barack Obama sepakat untuk menempatkan kembali 85.000 pengungsi pada tahun
3 U.S. Department of State, “Refugee Admission”, diakses pada 18 Maret 2019,
https://www.state.gov/j/prm/ra/ 4 Kaldor Centre for International Refugee Law, “Australia – United States Resettlement
Agreement”, diunduh pada : 1 November 2018, tersedia di:
https://www.kaldorcentre.unsw.edu.au/publication/australia–united-states-resettlement-
arrangement, Hal. 1 5 UNHCR, “U.S. Refugee Resettlement Facts – 2017”, diakses pada 18 Maret 2019,
tersedia di: https://www.unhcr.org/previous-us-refugee-resettlement-fact-sheets.html
3
2016 dan berencana untuk meningkatkan jumlahnya menjadi 110.000 pengungsi
pada tahun 2017.6
Penerapan penempatan kembali pengungsi juga dilakukan dalam kerangka
kerjasama dengan negara lain atau melalui perjanjian bilateral antara dua negara.
Salah satu perjanjian bilateral yang dilakukan Amerika Serikat terkait pengungsi
adalah perjanjian eksekutif penempatan kembali pengungsi atau refugee
resettlement antara Amerika Serikat dengan Australia. Perjanjian bilateral tersebut
dilakukan pada tahun 2016 di bawah kesepakatan eksekutif antar dua kepala
eksekutif negara, yakni Presiden Amerika Serikat, Barack Obama dengan Perdana
Menteri Australia, Malcolm Turnbull yang berisi bahwa Amerika Serikat setuju
untuk menempatkan kembali 1.250 pengungsi Australia dari Kepulauan Manus
dan Nauru di wilayah Amerika Serikat. 7
Australia telah mengahadapi gelombang kedatangan pengungsi dan
pencari suaka melalui jalur laut dalam jumlah besar sejak tahun 2001. Dalam
upaya Australia untuk menahan para pengungsi agar tidak memasuki wilayah
kedaulatan Australia, pemerintah mengeluarkan beberapa kebijakan untuk
menghentikan masuknya para pengungsi ilegal ke dalam Australia. Pada tahun
2001 di bawah kepemimpinan Perdana Menteri John Howard, Australia
mengeluarkan kebijakan “Pacific Solution” untuk menghentikan secara tegas arus
masuk gelombang pengungsi ilegal ke dalam negara. Kebijakan tersebut berisi
6 Jie Zong dan Jeanne Batalova, “Refugee and Asyless in the United States”, [artikel on-
line]; tersedia di: https://www.migrationpolicy.org/article/refugees-and-asylees-united-states;
diakses pada 18 Maret 2019 7 James Griffiths dan Pamela Boykoff, “US-Australia Refugee Deal: What You Need to
Know”, CNN, 2 Februari 2017, tersedia di: https://edition.cnn.com/2017/02/01/politics/australia-
us-refugee-deal-turnbull-trump/index.html; diakses pada 18 Maret 2019
4
bahwa setiap pencari suaka dan pengungsi yang datang melalui jalur laut, tanpa
dokumen yang jelas dan berusaha memasuki Australia maka akan dihentikan dan
dialihkan menuju pusat detensi dan pengelolaan pengungsi lepas pantai yang
disepakati oleh Australia dengan negara-negara pasifik yaitu Nauru dan
Kepulauan Manus di Papua Nugini. Hingga tahun 2018, tercatat lebih dari 3.000
orang telah dialihkan dari Australia menuju pusat detensi pengungsi Kepulauan
Manus dan Nauru. 8
Solusi tersebut dianggap belum bisa mengatasi permasalahan pengungsi
yang terjadi di Australia. Sejumlah masalah yang muncul seperti kurangnya
fasilitas kesehatan dan keamanan di kedua pusat detensi, lokasi pusat
penampungan yang tidak memadai dan kurang terawat, sulitnya akses air bersih
yang tersedia di pusat penahanan pengungsi serta tingginya angka kriminalitas
yang terjadi di masing masing pusat detensi menjadi permasalahan baru bagi
setiap pusat detensi.
Pada kunjungan UNHCR tahun 2016, UNHCR menemukan bahwa lebih
dari 80% para pengungsi dari kedua pusat detensi mengalami permasalahan
kejiwaan seperti percobaan bunuh diri, melukai diri sendiri, depresi, anxiety
disorder dan post traumatic stress disorder sehingga menimbulkan berbagai
kecaman dari masyarakat internasional.9 Salah satu dampak yang muncul adalah
8 UNHCR, “UNHCR Urges Australia to Evacuate Off-Shore Facilities as Health Situation
Deteriorates” diakses pada 18 Maret 2019, tersedia di: https://www.unhcr.org/en-
lk/news/briefing/2018/10/5bc059d24/unhcr-urges-australia-evacuate-off-shore-facilities-health-
situation-deteriorates.html 9 Nayla Rush, “U.S. – “Australia Refugee Resettlement Deal is Underway” [artikel on-
line]; tersedia di: https://cis.org/sites/cis.org/files/rush-australia-refugee.pdf ; diakses pada 18
Maret 2019
5
penutupan pusat detensi pengungsi Manus pada tahun 2016 oleh otoritas
pemerintah Papua Nugini karena dianggap ilegal dan telah melanggar banyak hak
asasi manusia.10
Permasalahan-permasalahan tersebut menjadi alasan utama bagi Australia
untuk segera mencari lokasi baru atau negara ketiga bagi para pengungsi yang
berada di pusat detensi Kepulauan Manus dan Nauru. Pada tahun 2016, Australia
mengumumkan bahwa Amerika Serikat sepakat untuk menerima 1.250 pengungsi
yang telah terverifikasi oleh UNHCR untuk penempatan kembali secara tetap di
Amerika Serikat. Perjanjian bilateral tersebut telah disetujui dalam level eksekutif
dan berlaku hanya 1 kali bagi para pengungsi yang saat itu berada di pusat detensi
pengungsi.11
Perjanjian bilateral yang dilakukan antara Amerika Serikat dan Australia
tersebut mendapat berbagai respon positif dari dunia internasional, meskipun
UNHCR menyatakan keprihatinan atas para individu yang belum berhasil
mendapatkan status sebagai pengungsi. Namun, perjanjian tersebut dinilai sebagai
salah satu solusi jangka panjang yang dibutuhkan oleh para pengungsi lainnya
yang telah menetap di kedua pusat detensi tersebut selama lebih dari 3 tahun.12
Dengan bergantinya kepemimpinan Amerika Serikat dari Barack Obama
ke Donald J. Trump pada tahun 2017, Amerika Serikat mengeluarkan berbagai
perubahan kebijakan terkait isu imigrasi dan pengungsi di Amerika Serikat.
10 Al Jazeera News, “Why is The Manus Detention Centre Being Closed?”, Al Jazeera, 29
Oktober 2017 ; tersedia di https://www.aljazeera.com/news/2017/10/manus-detention-centre-
closed-171024212852806.html, diakses pada 18 Maret 2019 11 Griffiths dan Boykoff, “US-Australia Refugee Deal: What You Need to Know” 12 Kaldor Centre for International Refugee Law, “Australia – United States Resettlement
Agreement”, Hal. 2
6
Beberapa perintah eksekutif yang dikeluarkan oleh Trump sejak 25 Januari hingga
27 Januari 2017 adalah pengaturan keamanan perbatasan terkait masuknya para
imigran, penegakan hukum terhadap imigran ilegal yang tidak memiliki dokumen
lengkap dan berada di Amerika Serikat, pemberlakuan penghentian program
penempatan kembali pengungsi selama 120 hari, larangan penerbitan visa atau
penempatan kembali pengungsi dari tujuh negara yang dianggap berbahaya bagi
Amerika Serikat dan larangan masuk bagi warga Suriah. 13
Pada 27 Januari 2017, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden
Donald Trump mengeluarkan perintah eksekutif terkait penempatan kembali
pengungsi yaitu Executive Order 13769: “Protecting the Nation from Foreign
Terrorist Entry into the United States”.14 Melalui perintah eksekutif ini, Presiden
Donald Trump menyatakan bahwa program penempatan kembali pengungsi
merupakan salah satu program berbahaya dan berpotensi memudahkan para
teroris untuk masuk dan mengancam kemanan Amerika Serikat. Dalam upayanya
meminimalisir potensi tersebut, Amerika Serikat mengeluarkan kebijakan
pengurangan kuota jumlah pengungsi dari 110.000 pengungsi menjadi 50.000
pengungsi pada tahun 2017.15
Berbagai perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap pengungsi
tersebut menimbulkan permasalahan baru bagi kelanjutan perjanjian eksekutif
penempatan kembali pengungsi antara Australia dengan Amerika Serikat. Hal
13 Todd Scribner, “You Are Not Welcome Here Anymore: Restoring Support for Refugee
Resettlement in the Age of Trump”, [artikel online], tersedia di:
https://doi.org/10.1177%2F233150241700500203 ; diunduh pada 25 Maret 2019, Hal. 265 - 266 14 BBC, “Trump’s Executive Order: Who Does Travel Ban Affect?”, BBC News, 10
Februari 2017, [berita online], tersedia di: https://www.bbc.com/news/world-us-canada-38781302 15 BBC, “Trump’s Executive Order: Who Does Travel Ban Affect?”.
7
tersebut dikarenakan perjanjian yang telah disepakati sangat berlawanan dengan
kebijakan yang sudah dikeluarkan oleh Amerika Serikat terkait pengungsi di
bawah presiden Donald Trump. Sehingga munculnya perintah eksekutif tersebut
mengancam keberlanjutan implementasi perjanjian antar dua negara yang telah
disepakati sebelumnya.
Pada 28 Januari 2017, Donald Trump melakukan komunikasi pertamanya
setelah menjabat sebagai presiden dengan pemimpin dari delapan negara,
termasuk Australia. Australia melalui Perdana Menteri Turnbull melakukan
komunikasi pertamanya dengan Presiden Donald Trump melalui jaringan telepon
untuk memastikan kelanjutan perjanjian penempatan pengungsi antara kedua
negara.16 Dalam negosiasi tersebut, Amerika Serikat menyatakan keberatannya
terhadap perjanjian tersebut sebab perjanjian penempatan kembali 1.250
pengungsi dari Australia ke Amerika Serikat diangap kontradiktif dengan
kepentingan nasional dan perintah eksekutif yang baru ditandatangani.17
Perjanjian bilateral tersebut dinilai tidak memiliki koherensi dengan
strategi kebijakan Amerika Serikat yang baru di bawah kepemimpinan Trump.
Pasca dilantiknya Trump sebagai Presiden, Amerika Serikat sedang berusaha
untuk mengurangi atau membatasi angka pengungsi di negaranya. Trump pada
akhirnya mengeluarkan keputusan untuk tetap melanjutkan kerjasama dengan
16 Greg Miller, Julie Vitkovskaya, dan Reuben Fischer-Baum, “This Deal Will Make Me
Look Terrible’: Full transcripts of Trump’s calls with Mexico and Australia” ; The Washington
Post, 3 Agustus 2017, tersedia di:
https://www.washingtonpost.com/graphics/2017/politics/australia-mexico-
transcripts/?utm_term=.67fc9e8de533 ; diakses pada 18 Maret 2019 17 Greg Miller, Julie Vitkovskaya, dan Reuben Fischer-Baum, “This Deal Will Make Me
8
Australia dan menerima pengungsi tersebut untuk ditempatkan kembali di
Amerika Serikat.
Keputusan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat tersebut menimbulkan
banyak pertanyaan dari masyarakat internasional dalam menganalisa langkah
Amerika Serikat selanjutnya terhadap pengungsi. Hal tersebut dikarenakan sejak
awal Amerika Serikat mengeluarkan perintah eksekutif terhadap pengungsi,
Amerika Serikat telah melanggar perjanjiannya sendiri terhadap UNHCR maupun
Protokol 1967. Sementara itu, menyetujui kerjasama bilateral dengan Australia
juga inkonsisten terhadap kepentingan nasional maupun kebijakan luar negeri
Amerika Serikat dalam membatasi penempatan kembali pengungsi.
Berdasarkan uraian pernyataan masalah diatas, maka fokus pembahasan
skripsi ini akan mengarah kepada analisa alasan mengapa Amerika Serikat
memutuskan untuk tetap melanjutkan perjanjian eksekutif penempatan kembali
pengungsi dengan Australia. Adapun permasalahan tersebut dieksplorasi dalam
kurun periode sejak tahun 2016 hingga 2017. Tahun 2016 didasarkan pada tahun
disepakatinya perjanjian bilateral antara Amerika Serikat dan Australia,
sedangkan tahun 2017 didasarkan pada tahun di mana perjanjian tersebut mulai
diimplementasikan.
Signifikansi masalah dalam penelitian ini ialah, pertama adanya situasi
peralihan pemimpin yang terjadi di Amerika Serikat selama 2 tahun berpengaruh
terhadap kebijakan yang dikeluarkan dalam menghadapi permasalahan pengungsi
di Amerika Serikat. Kedua, keputusan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat
untuk melanjutkan penempatan kembali pengungsi dari Kepulauan Manus dan
9
Nauru sangat bertentangan dengan kepentingan nasional Amerika Serikat pada
tahun 2017.
B. Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan sikap yang diambil oleh Amerika Serikat, maka pertanyaan
masalah yang diajukan adalah: “Mengapa Amerika Serikat memutuskan untuk
melanjutkan perjanjian eksekutif penempatan kembali pengungsi dengan
Australia pada tahun 2017?”
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Adapun tujuan penelitian yang ingin dicapai dalam penulisan skripsi ini
adalah sebagai berikut :
1. Mengetahui dasar pertimbangan keputusan atau kepentingan Amerika
Serikat dalam kesepakatan kerjasama bilateral dengan Australia terkait
penempatan kembali pengungsi.
2. Menjelaskan faktor-faktor yang mendorong Amerika Serikat
melanjutkan perjanjian eksekutif penempatan kembali pengungsi
dengan Australia pada tahun 2017.
3. Mengetahui bagaimana perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap
penempatan kembali pengungsi pasca pergantian kepemimpinan.
Manfaat dari penelitian ini :
1. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan referensi
terkait analisa perubahan kebijakan Amerika Serikat terhadap
penempatan kembali pengungsi secara umum, khususnya dengan
Australia.
10
2. Menambah wawasan bagi para penstudi hubungan internasional
3. Berkontribusi dalam mengembangkan kajian ilmu hubungan
internasional khususnya dalam masalah perjanjian eksekutif
penempatan kembali pengungsi.
D. Tinjauan Pustaka
Skripsi ini menggunakan beberapa tulisan ilmiah untuk meninjau
perbedaan dengan penelitian sebelumnya dalam rangka mendukung penulisan
skripsi. Pertama, artikel junal yang ditulis oleh Dougal Robinson pada tahun 2017
yang berjudul “Congressional Support for Australia Has Paid Dividens with the
Trump Administration”18
Dalam tulisannya, Dougal menganalisis bagaimana bentuk perubahan
sikap pemerintahan Amerika Serikat pasca respon keras yang diberikan oleh
Amerika Serikat melalui komunikasi jaringan telepon yang dilakukan antara
presiden Amerika Serikat, Donald Trump dengan Perdana Menteri Australia,
Malcolm Turnbull. Adapun perubahan sikap yang dilakukan oleh pemerintah
Amerika Serikat terhadap Australia menjadi salah satu bukti bahwa Amerika
Serikat berusaha untuk memperbaiki hubungan kedua negara. Perubahan yang
terjadi diantaranya adalah perubahan keputusan Amerika Serikat untuk tetap
melanjutkan dan menghargai perjanjian dengan Australia, perubahan pandangan
atau arah kebijakan kedua pimpinan negara dan kunjungan tiga orang paling
penting dalam pemerintahan Amerika Serikat ke Australia.
18 Robinson, Dougal. "Congressional Support for Australia Has Paid Dividends with the
Trump Administration"; [Jurnal On-line], Security Challenges 13, no. 2 (2017): 5-10 ; tersedia di:
https://www.jstor.org/stable/26457715. diunduh pada : 20 Oktober 2018
11
Literatur Dougal memiliki kesamaan dengan skripsi ini dalam membahas
bagaimana sikap Amerika Serikat terhadap perjanjian eksekutif penempatan
kembali pengungsi dengan Australia. Sementara perbedaannya ialah, Douglas
hanya fokus menjelaskan apa saja perubahan sikap yang diberikan Amerika
Serikat terhadap Asutralia pasca negosiasi yang dilakukan kedua negara.
Sedangkan skripsi ini menganalisis apa saja hal yang mendasari dan memengaruhi
perubahan keputusan Amerika Serikat dalam melanjutkan perjanjian eksekutif
penempatan kembali pengungsi dengan Australia.
Kedua, artikel dalam jurnal yang ditulis oleh Todd Scribner yang berjudul
“You Are Not Welcome Here Anymore: Restoring Support for Refugee
Resettlement in the Age of Trump”.19 Fokus dalam literature Scribner adalah
bagaimana pendekatan Trump terhadap program penempatan kembali pengungsi
dan migrasi melalui paradigma Clash of Civilizations (CoC). Scribner berasumsi
bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pengambilan kebijakan Trump
adalah kuatnya persepsi atau stigma terhadap pengungsi yang dianggap memiliki
potensi ancaman terorisme khususnya bagi pengungsi yang berasal dari negara
mayoritas muslim. Melalui pandangan CoC, para pengungsi korban penganiyaan
yang datang dari negara-negara tersebut berpotensi besar untuk menjadi terorisme
sehingga penempatan kembali pengungsi dianggap sebagai salah satu ancaman
potensial bagi keamanan nasional.
Analisa Scribner ini bersumber dari berbagai data sekunder seperti buku,
jurnal dan berita. Penelitian ini cukup baik menjelaskan bagaimana kebijakan luar
19 Scribner, “You are Not Welcome Here Anymore: Restoring Support for Refugee
Resettlement in the Age of Trump”
12
negeri Trump dan pendukungnya terhadap pengungsi melalui pendekatan CoC.
Hanya saja, Scribner dominan membahas mengapa warga Amerika Serikat dan
Trump memberikan respon keras terhadap pengungsi sedangkan skripsi ini
berfokus kepada mengapa pada akhirnya Trump memutuskan untuk menerima
penempatan kembali pengungsi dari Australia pada tahun 2017.
Ketiga, artikel yang ditulis oleh Nayla Rush yang berjudul “US – Australia
Refugee Resettlement Deal is Underway.”20 Pertanyaan penelitian yang menjadi
bobot penelitian Nayla yaitu: “Mengapa Australia memilih untuk menempatkan
kembali pengungsi yang tidak diinginkannya ke Amerika Serikat?”. Dalam
penelitian ini Nayla menjelaskan bagaimana kondisi para pengungsi yang ada di
kedua pusat detensi , Kepulauan Manus dan Nauru serta menganalisis alasan
mengapa Amerika Serikat tetap mau menerima para pengungsi tersebut.
Nayla menganggap bahwa keputusan Obama pada tahun 2016 untuk
menerima para pengungsi adalah adanya kepedulian Obama terhadap kondisi
memperihatinkan dari para pengungsi tersebut, namun disisi lain Amerika Serikat
juga berkepentingan untuk mengirimkan kembali pengungsi yang ada di Kosta
Rika, salah satu pusat detensi pengungsi yang disepakati dalam “Protection
Transfer Agreement” antara Amerika Serikat dan Kosta Rika untuk menampung
pengungsi dari El Salvador, Honduras dan Guatemala untuk ditempatkan
sementara di pusat detensi Nauru.
Dalam penelitian ini, Nayla juga mempertanyakan mengapa Presiden
Trump tetap memutuskan untuk menerima pengungsi tersebut. Namun Nayla
20 Rush, “U.S. – “Australia Refugee Resettlement Deal is Underway”
13
tidak disertai jawaban yang konkret. Pertanyaan tersebut menjadi perbedaan
dengan skripsi ini karena berusaha meneliti alasan mengapa Amerika Serikat pada
tahun 2017 memutuskan untuk tetap melanjutkan perjanjian eksekutif penempatan
kembali pengungsi dengan Australia.
E. Kerangka Teori
Dalam menganalisa keputusan Amerika Serikat untuk melanjutkan
perjanjian pengungsi dengan Australia, diperlukan teori dan konsep-konsep yang
dapat membantu serta mendukung proses penganalisaan.
1. Konsep Kepentingan Nasional
Sebagai sebuah kunci dalam memahami kebijakan luar negeri yang
dikeluarkan oleh suatu negara, kepentingan nasional memegang peranan
penting dalam hubungan Internasional. Menurut K.J. Holsti, kepentingan
nasional diartikan sebagai sebuah instrument yang digunakan untuk
menganalisa tujuan atau keinginan yang ingin dicapai di masa yang akan
datang, melalui suatu pembuatan kebijakan luar negeri oleh negara, serta
bagaimana menentukan dan mengubah sikap suatu negara. 21
Dikutip dalam buku “The National Interest in International Relation
Theory” tulisan Scott Burchil, Joseph Frankel membagi dua golongan
dalam menggunakan serta mengartikan sebuah kepentingan nasional.
Pertama yaitu mereka yang menggunakan kepentingan nasional sebagai
alat untuk menganalisa kebijakan luar negeri dari suatu negara dan mereka
21 K. J. Holsti, “Politik Internasional Kerangka untuk Analisa Edisi Keempat Jilid 1”,
terjemahan M. Tahir Azhary, (Jakarta: Erlangga, 1988), Hal. 136-137
14
yang menggunakan kepentingan nasional sebagai alat untuk membenarkan
atau merasionalisasikan perilaku sebuah negara. 22
Donald E. Nuechterlein menyatakan bahwa terdapat empat aspek
kepentingan dasar dalam kepentingan nasional suatu negara yang dapat
mempengaruhi bagaimana suatu negara menjalankan atau merumuskan
suatu kebijakan luar negeri, yaitu: .23
a. Kepentingan pertahanan (defense interest), pengambilan sebuah
kebijakan didasarkan pada kepentingan negara untuk melindungi
warga dan negaranya dari kekerasan fisik yang datang dari negara
lainnya dan ancaman dari akstor eksternal terhadap sistem
pemerintahannya.
b. Kepentingan ekonomi (economy interest), pengambilan sebuah
kebijakan didasarkan pada kepentingan negara untuk meningkatkan
neraca perekonomian melalui kerjasama dengan negara lainnya
untuk meningkatkan kesejahteraan warga dan negaranya.
c. Kepentingan tatanan dunia (world order interest), pengambilan
sebuah kebijakan didasarkan pada kepentingan negara untuk
memelihara politik internasional dan sistem ekonomi dimana
menciptakan situasi aman dan nyaman bagi warga negaranya untuk
hidup di luar negaranya.
22 Scott Burchill, “The National Interest in International Relations Theory”, (New York:
PalgraveMacmillan, 2005) Hal. 3 23Donald E. Nuechterlein, "National Interests and Foreign Policy: A Conceptual
Framework for Analysis and Decision-Making." (British Journal of International Studies 2, no. 3
(1976): 246-66), tersedia di: http://www.jstor.org/stable/20096778.
15
d. Kepentingan ideologi (ideological interest), pengambilan sebuah
kebijakan didasarkan pada kepentingan negara untuk melindungi
serta menjaga ideologi negara dari ancaman negara lainnya.
Dalam memahami kepentingan dasar dari suatu isu, penting untuk
dipahami seberapa besar intensitas suatu isu dalam kepentingan nasional
suatu negara. Nuechterlein membaginya kedalam empat macam isu,
diantaranya adalah:24
a. Survival issues adalah kondisi dimana suatu isu bersifat mendesak
dan dapat mengancam eksistensi sebuah negara sehingga
menjadikan survival sebagai satu-satunya dasar dalam menentukan
kepentingan nasional.
b. Vital issues adalah kondisi dimana suatu isu dalam jangka panjang
dapat menjadi ancaman serius terhadap kesejahteraan politik,
ekonomi hingga eksistensi suatu negara, hanya saja isu tersebut
tidak mendesak dan negara memiliki waktu untuk mencari bantuan
dari sekutu, melakukan tindakan balasan serta tindakan preventif
lainnya
c. Major issues adalah kondisi dimana kesejahteraan politik, ekonomi
dan ideologi suatu negara dapat dipengaruhi oleh peristiwa yang
terjadi di sekitarnya sehingga diperlakukan tindakan korektif untuk
mencegah isu tersebut menjadi vital issues.
24 Nuechterlein, National Interest and Foreign Policy: A Conceptual Framework for
Analysis and Decision-Making.
16
d. Peripheral issues adalah suatu kondisi dimana suatu isu yang
terjadi diluar negeri tidak akan mempengaruhi kesejahteraan negara
akan tetapi mempengaruhi kepentingan warga negara dan
perusahaan swasta yang beroperasi di negara tersebut.
Analisa konsep kepentingan nasional oleh Nuechterlein akan
digunakan untuk menjelaskan kepentingan yang melatarbelakangi
keputusan Amerika Serikat untuk melanjutkan perjanjian eksekutif
penempatan kembali pengungsi dengan Australia pada tahun 2017. Skripsi
ini akan berfokus terhadap pembahasan setiap aspek kepentingan dasar
dalam isu serta pembagian berdasarkan intensitasnya dalam isu tersebut
sehingga terbentuklah suatu kebijakan luar negeri Amerika Serikat untuk
melanjutkan perjanjian pengungsinya dengan Australia. Dalam
menganalisa hal tersebut, Nuechterlein menjelaskannya melalui bagan
berikut.
17
Tabel 1.E.1. Model Analisa Kepentingan Nasional Nuechterlein
Country: X Issue: Y
Sumber: Nuchterlein, "National Interests and Foreign Policy: A
Conceptual Framework for Analysis and Decision-Making."
2. Konsep Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri merupakan suatu intsrumen yang diterapkan
oleh suatu negara untuk menjalin hubungan luar negeri dan diplomatik
dengan negara lainnya di dunia, inti terpenting dalam suatu kebijakan luar
negeri adalah untuk membentuk serta mempertahankan kepentingan
negara dalam politik dunia.25 KJ Holsti menjelaskan bahwa suatu
kebijakan luar negeri adalah pola yang diterapkan oleh suatu negara untuk
menanggapi lingkungan internasional yang ada dan terjadi di sekitar
negara tersebut untuk mengamankan kepentingan nasionalnya.26
25 Robert Jackson dan Georg Sorensen, “Pengantar Studi Hubungan Internasional”,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009), 89 26 Holsti, Politik Internasional : Suatu Kerangka Analisis , 21
Basic interest involved
Intensity of interest
Survival Vital Major Peripheral
Defense
Economic
World Order
Ideological
18
James N. Rosenau menyatakan bahwa sebuah kebijakan luar negeri
merupakan suatu bentuk upaya yang dikeluarkan oleh pemerintah untuk
mempertahankan kelangsungan hidup negaranya dengan memperoleh
keuntungan dari lingkungan eksternalnya.27 Dalam pembentukan serta
pengambilan sebuah kebijakan luar negeri, Rosenau mengkategorikan
empat sumber yang dapat mempengaruhi suatu negara dalam pembentukan
kebijakan luar negeri, keempat sumber tersebut dibagi ke dalam dua faktor
yaitu:28
a. Faktor eksternal,
1) Systemic Sources, meliputi struktur sistem internasional, struktur
great power, aliansi, teknologi, geografi dan size
b. Faktor Internal
1) Societal Sources, meliputi faktor struktur social, perkembangan
ekonomi, kebudayaan, sejarah dan opini masyarakat
2) Governmental Sources, meliputi struktur pemerintahan, partai
yang berkuasa dan kondisi politik dalam negara
3) Idiosyncratic Sources, meliputi faktor kepribadian pemimpin
negara, pengalaman, nilai dan bakat dari perumus kebijakan.
Dalam menganalisis keputusan Amerika Serika dalam pengambilan
keputusan, skripsi ini menggunakan kerangka berfikir James N. Rosenau
yaitu systemic sources dan societal sources.
27 James N. Rosenau, Kenneth W, Thompson, dan Gavin Boyd, World Politics: An
Introduction, (New York: The Free Press, 1976), Hal. 27-32 28 Rosenau, World Politics 27-32
19
3. Konsep Pengungsi
Menurut konvensi pengungsi yang dikeluarkan oleh PBB pada 1951,
pengungsi diartikan sebagai seseorang yang berada di luar negara asalnya
dan mengalami ketakutan atas kekerasan yang disebabkan oleh
permasalahan ras, agama, kebangsaan, perbedaan keanggotaan kelompok
sosial dan keanggotaan politik tertentu yang terjadi di negara asalnya
sehingga tidak memungkinkan bagi mereka untuk mendapatkan
perlindungan atau kembali ke negara asalnya. 29
Perbedaan antara pengungsi dengan imigran menurut konvensi 1951
adalah, pengungsi merupakan seseorang yang terpaksa untuk pindah ke
negara lainnya karena adanya ancaman persekusi dan tidak adanya
perlindungan dari negara asalnya, berbeda dengan imigran yang
melakukan perpindahan karena alasan lainnya yang tidak terkait dengan
persekusi serta masih adanya kemungkinan perlindungan dari negaranya.
30 Richard black menyatakan bahwa pengungsi diartikan sebagai seseorang
dengan pengalaman tertentu yang terpaksa atau dipaksa untuk bermigrasi,
berbeda dengan imigran ekonomi yang pindah secara sukarela. 31
Terdapat lima alasan utama seseorang menjadi pengungsi, yaitu
adanya persekusi agama, kebangsaan, social, ras dan politik dari negara
29 UNHCR,”The 1951 Convention and Its 1967 Protocol”, diunduh pada 18 Maret 2019,
tersedia di: https://www.unhcr.org/about-us/background/4ec262df9/1951-convention-relating-
status-refugees-its-1967-protocol.html, Hal. 3 30 UNHCR,”The 1951 Convention and Its 1967 Protocol, 3. 31 Richard Black, “Fifty Years of refugee Studies: From Theory to Policy”, International
Migration Review, Volume 35 Number 1, (Maret 2001): 57-78 ; diunduh pada 18 Maret 2019,
tersedia di: https://doi.org/10.1111%2Fj.1747-7379.2001.tb00004.x
20
asal, perang, perbedaan orientasi gender dan seksual, kekeringan dan
kelaparan dan perubahan iklim. 32 Konsep pengungsi tentu terkait dengan
penelitian ini, konsep ini digunakan untuk memahami lebih jelas
bagaimana kondisi pengungsi yang ada di Kepulauan Manus dan Nauru,
karena pengungsi yang datang ke Australia adalah para pengungsi yang
berusaha mencari perlindungan dan perrgi meninggalkan negara asalnya.
F. Metode Penelitian
Skripsi ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Menurut
Hammersley dan Atkinson, suatu penelitian kualitatif haruslah menjadi suatu
proses yang dinamis dalam bergerak melaui setiap kegiatan, kegiatan tersebut
diantaranya adalah pengumpulan data, menganalisis data, mengembangkan serta
memodifikasi teori, menguraikan atau memfokuskan kembali pertanyaan
penelitian dan mengidentifikasi serta menghadapi ancaman kebenaran suatu
penelitian yang berlangsung secara bersamaan.33
Menurut Joseph A. Maxwell mengenai penelitian kualitatif, terdapat lima
komponen penting yang harus diperhatikan dalam pembuatan suatu penelitian,
yaitu 34:
a. Tujuan, meliputi mengapa suatu penelitian layak dilakukan,
masalah apa yang akan diangkat, praktik serta kebijakan apa yang
32 Phineas Rueckert, “There Are 5 Reasons Why People Become Refugees”, Global Citizen,
14 Agustus 2017, diakses pada 18 Maret 2019, tersedia di:
https://www.globalcitizen.org/en/content/reasons-why-people-become-refugees/ 33Joseph A. Maxwell. “Designing a Qualitative Study.” The SAGE Handbook of Applied
Social Research Methods (2009): 214–253 ; diunduh pada 18 maret 2019, tersedia di :
https://www.sagepub.com/sites/default/files/upm-binaries/23772_Ch7.pdf. Hal. 215 34 Maxwell, Designing a Qualitative Study.” The SAGE Handbook of Applied Social
Research Methods, 216
21
yang mempengaruhinya, mengapa penelitian ini dilakukan dan
mengapa kita harus peduli terhadap penelitian tersebut
b. Kerangka kerja konseptual, meliputi hal apa saja yang terjadi
dengan masalah, latar atau individu yang akan diteliti, apa teori,
kepercayaan dan penelitian sebelumnya yang dapat membantu
dalam memberikan informasi terhadap penelitian dan apa saja
literature, preliminary studies dan pengalaman pribadi yang akan
peneliti tulis untuk memahami permasalahan yang sedang diteliti.
c. Pertanyaan penelitian, meliputi hal spesifik apa yang ingin
dipelajari atau dipahami dengan melakukan penelitian ini, apa yang
tidak diketahui dalam penelitian ini dan ingin peneliti ketahui,
pertanyaan apa yang peneliti jawab dan bagaimana pertanyaan
tersebut berkaitan dengan penelitian ini.
d. Metode, meliputi hal apa yang peneliti lakukan dalam melakukan
penelitian ini, pendekatan serta tekhnik apa saja yang peneliti
gunakan dalam mengumpulkan dan menganalisa data anda serta
bagaimana hal ini menjadi strategi yang tepat bagi penelitian
e. Validitas, bagaimana kemungkinan suatu penelitian dan
kesimpulan dapat salah, apa saja penggambaran alternative dan
ancaman kebenaran yang dapat mempengaruhi hasil penelitian,
bagaimana kemungkinan data yang telah dikumpulkan dapat
mendukung dan menantang hasil penelitian mengenai
permasalahan yang sedang diangkat.
22
G. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini bertujuan untuk menjelaskan pernyataan masalah,
dimana didalamnya terdapat signifikansi dari masalah
tersebut. Pertanyaan masalah dirumuskan dari penyataan
masalah. Selain itu, dalam bab ini juga berisikan tujuan dan
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teori untuk
menganalisa signifikansi dari masalah dalam skripsi ini.
Pada akhir bab, skripisi ini akan menjelaskan mengenai
metode penelitian yang digunakan dan sistematika
penulisan yang digunakan dalam skripsi ini.
BAB I I KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TERKAIT
PENEMPATAN KEMBALI PENGUNGSI
Bab ini menjelaskan tentang bagaimana kebijakan Amerika
Serikat terhadap pengungsi dan program penempatan
kembali pengungsi. Adapun tujuan penulisan bab ini agar
dapat mengetahui dasar kebijakan Amerika Serikat terhadap
pengungsi dan bagaimana perubahan kebijakan Amerika
Serikat terkait pengungsi dan program penempatan kembali
pengungsi khususnya pada tahun 2009-2016 dan pada tahun
2017.
23
BAB III HUBUNGAN AMERIKA SERIKAT DAN
AUSTRALIA
Bab ini menjelaskan mengenai sejarah hubungan aliansi
antara Amerika Serikat dengan Australia dan perjanjian
eksekutif bilateral antara Amerika Serikat dan Australia
dalam penempatan kembali pengungsi. Tujuan penulisan
bab ini agar dapat mengetahui alasan pemerintah Amerika
Serikat melakukan perjanjian penempatan kembali
pengungsi dengan Australia dari Kepulauan Manus dan
Nauru pada tahun 2016.
BAB IV ANALISA KEPUTUSAN AMERIKA SERIKAT
DALAM PERJANJIAN EKSEKUTIF PENEMPATAN
KEMBALI PENGUNGSI DENGAN AUSTRALIA
Bab ini menganalisa apa saja kepentingan nasional dan
faktor internal eksternal yang mempengaruhi keputusan
Amerika Serikat pada tahun 2017 dalam perjanjian
penempatan kembali pengungsi dengan Australia. Pada
tahun 2017, Amerika Serikat mengeluarkan “Executive
Order 13769 : Protecting the Nation from Foreign Terrorist
entry into the United States” yang didalamnya menjelaskan
bahwa program penempatan kembali pengungsi dapat
memudahkan masuknya teroris ke Amerika Serikat
sehingga negara memberhentikan sementara program
24
penempatan kembali pengungsi. Penulisan bab ini bertujuan
agar dapat mengetahui kepentingan apa yang dimiliki oleh
Amerika Serikat dalam perjanjian ini, melihat berbagai
kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat pada
tahun 2017 berlawanan dengan perjanjian tersebut
BAB V KESIMPULAN
Bab ini memberikan kesimpulan sesuai dengan analisa yang
dilakukan pada bab-bab sebelumnya.
25
BAB II
KEBIJAKAN AMERIKA SERIKAT TERKAIT PENEMPATAN
KEMBALI PENGUNGSI
Prosesi penempatan kembali pengungsi atau refugee resettlement
sudah berlaku secara konstitutif di Amerika Serikat sejak tahun 1960an
hingga kemudian disempurnakan dalam “refugee act of 1980”. Undang-
undang tersebut digunakan dalam mengatur sistem dan mekanisme tetap bagi
para pengungsi yang masuk ke wilayah AS menurut kasus kemanusiaan
tertentu. Undang-undang ini juga melandasi program penerimaan dan
penempatan (reception and placement) bagi para pengungsi yang akan
ditempatkan kembali di bawah negara dan menginisiasi pembentukan badan
administratif pengelola penempatan kembali pengungsi (Office of Refugee
Resettlement) di bawah departemen kesehatan dan kemanusiaan Amerika
Serikat.1
Definisi pengungsi dalam statuta Amerika Serikat tahun 1980 yang
juga didasarkan dari konvensi PBB 1951 dan protokol 1967, menetapkan
pengungsi sebagai seseorang yang tidak dapat atau tidak mampu kembali ke
negara asal karena adanya rasa ketakutan akan penganiayaan akibat adanya
permasalahan ras, keanggotaan dalam kelompok sosial tertentu, pendapat
1 Zuzana Cepla, “Factsheet: U.S. Refugee Resettlement”, [artikel on-line], tersedia di:
https://immigrationforum.org/article/fact-sheet-u-s-refugee-resettlement/ (diunduh 5 Maret 2019)
26
politik, agama serta kenegaraan di negara asalnya.2 Atas dasar permasalahan
tersebut, menjadikan seseorang tidak dapat atau tidak mampu kembali ke
negara asalnya, dan atau tidak dapat atau tidak mampu menerima
perlindungan dari negara asalnya.3
Sebelum dibentuknya undang-undang pengungsi tahun 1980, Amerika
Serikat telah menunjukan perannya dalam memberikan bantuan serta
perlindungan bagi para pengungsi sejak krisis pengungsi yang terjadi pasca
Perang Dunia ke–2. Pada tahun 1948, Amerika Serikat mengambil beberapa
langkah intervensi sebagai respon terhadap jutaan pengungsi yang terlantar
dari Eropa. Selain memberikan bantuan berupa dana pembangunan untuk
kamp pengungsi, Amerika Serikat juga memfasilitasi penempatan kembali
250.000 pengungsi dari Eropa Timur dengan meresmikan “The Displaced
Person Act of 1948” dan menerima lebih dari 400.000 pengungsi tambahan di
Amerika Serikat.4 Undang-undang tersebut hanya bersifat sementara sebagai
respon terhadap fenomena krisis pengungsi Eropa.5 Sejarah ini menunjukan
Amerika Serikat memiliki pehatian dan kontribusi besar terhadap
permasalahan humanitarian internasional.
2 American Immigration Council, “an Overview of U.S. Refugee Law and Policy”[artikel
online], ,tersedia di:
https://www.americanimmigrationcouncil.org/sites/default/files/research/an_overview_of_united_
states_refugee_law_and_policy_0.pdf ; Hal. 2 (diunduh 18 Maret 2019) 3 U.S. Citizenship and Immigration Services, “Refugees”, diakses pada 18 Maret 2019,
tersedia di: https://www.uscis.gov/humanitarian/refugees-asylum/refugees 4 Refugee Council USA, “History of the U.S. Refugee Resettlement Program”, [artikel
online], tersedia di http://www.rcusa.org/history diakses pada 18 Maret 2019 5Maurice A. Roberts, “The U.S. and Refugees: The Refugee Act of 1980”, [Jurnal online],
tersedia di: http://www.jstor.org/stable/1166528, diakses pada 18 Maret 2019
27
A. Pandangan dan Kebijakan Amerika Serikat terkait Pengungsi
Sebelum akhirnya menyempurnakan konstitusinya terkait pengungsi
yang disahkan dalam refugee act of 1980, Amerika Serikat telah mengadopsi
beberapa statuta yang mendukung prosesi perlindungan, penempatan,
perpindahan, dan lain sebagainya bagi para pengungsi. Statuta tersebut
bersifat sementara dan hanya mengacu kepada fenomena tertentu saja, dan
bahkan beberapa di antaranya dijadikan prioritas besar negara, seperti
eksodus masyarakat Eropa yang berupaya menghindar dari rezim Komunis.
Diskursus kebijakan refugee resettlement di Amerika Serikat sejatinya
berangkat dari cerita sejarah kepedulian besar Amerika Serikat terhadap
displaced people dan kepentingan geopolitik6 untuk mencegah penyebaran
komunisme.7
Pada tahun 1953, Amerika Serikat kembali mengeluarkan undang-
undang yang mengatur tentang bantuan terhadap pengungsi yaitu Refugee
Relief Act of 1953. 8 Melalui undang-undang ini, Amerika Serikat
melegitimasi masuknya 214.000 imigran tambahan yang sebelumnya tidak
termasuk dalam admisi undang-undang tahun 1948.9 Undang-undang 1953
mengakomodir pengungsi dan pelarian yang terlantar akibat adanya
persekusi, bencana alam, operasi militer, perbedaan ras, agama, dan pendapat
6 Profesor Idean Salehyan, “The Strategic Case for Refugee Resettlement”, [artikel online],
tersedia di: https://niskanencenter.org/wp-content/uploads/2018/09/NC-Refugee-Paper-
SalehyanElec_FINAL.pdf , diakses pada 18 Maret 2019, hal. 3 7 Kathryn M. Bockley, “ A Historical Overview of Refugee Legislation: The Deception of
Foreign Policy in the Land of Promise”, [Jurnal Online], tersedia di:
https://scholarship.law.unc.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://www.google.com/&httpsredir=
1&article=1579&context=ncilj , diakses pada 18 Maret 2019 8 Bockley, “ A Historical Overview of Refugee Legislation” 9 Salehyan, “The Strategic Case for Refugee Resettlement”
28
politik baik yang berasal dari negara non komunis atau negara yang
terpengaruh paham komunis. Undang-undang ini juga membuka admisi bagi
German Expelee atau etnis Jerman yang terpaksa meninggalkan negara
asalnya di Eropa Timur.10
Perhatian Amerika Serikat terhadap fenomena krisis pengungsi di
dunia tidak hanya berfokus kepada kasus yang terjadi di Eropa, namun juga
terhadap krisis yang terjadi di Timur Tengah, Afrika, dan Asia. Nilai toleransi
yang tinggi dan stabilitas politik di Amerika Serikat menjadikannya salah satu
negara yang paling banyak dihampiri pengungsi. Dari keseluruhan refugee
resettlement yang diterima, alasan kerusuhan politik dan/atau perang menjadi
yang paling banyak muncul di Amerika Serikat11.
Bukti perhatian Amerika Serikat terhadap pengungsi juga terlihat jelas
dalam isu krisis pengungsi pasca perang Vietnam pada tahun 1975. Kejatuhan
Saigon dalam perang Vietnam pada 30 April 1975 mengakibatkan 500.000
lebih warga Vietnam pergi meninggalkan negara asalnya untuk mencari
negara penempatan kembali, gelombang perpindahan penduduk tersebut
menjadi krisis pengungsi terbesar di Asia Tenggara.12 Krisis tersebut
mengantarkan Amerika Serikat terhadap kebutuhan pembentukan peraturan
10 Alona E. Evans, “The Political Refugee in United States Immigration Law and
Practice”, [jurnal online], tersedia di: file:///C:/Users/asus/Downloads/[email protected],
hal. 217 , diakses pada 18 Maret 2019 11 Agency for New Americans, “Why do refugees come to America?”, 12 April 2018,
http://www.anaidaho.org/blog/why-do-refugees-come-to-america , diakses pada 18 Maret 2019 12 National Geographic Education, “Migration of the Boat People”, tersedia di:
https://media.nationalgeographic.org/assets/file/vietnamese_MIG.pdf , diakses pada 18 Maret
2019
29
yang mengatur secara tetap bagaimana program penempatan kembali bagi
semua pengungsi dan tidak lagi sebatas kebijakan ad-hoc.13
Refugee Act of 1980 yang disahkan oleh Presiden Jimmy Carter pada
17 Maret dan diberlakukan secara efektif pada 1 April 1980 mengakomodir
regulasi dan mekanisme yang lebih sistemis dan permanen terkait admisi dan
penanganan refugee resettlement. Defnisi pengungsi dalam kebijakan ini
disesuaikan dengan UNHCR yang juga termaktub dalam konvensi PBB tahun
1951 dan Protokol 1967. Prosesi penempatan kembali pengungsi akan
melalui seleksi oleh UNHCR dan badan pemerintahan lainnya untuk
mengevaluasi catatan kriminal dan kesehatan.14
Amerika Serikat mempunyai kewajiban-kewajiban formal yang diatur
dalam undang-undang pengungsi Amerika Serikat tahun 1980 dan dasar
konstitusi negara. Kewajiban tersebut diantaranya adalah menyaring para
pengungsi, mengawasi, memberikan bantuan serta manfaat bagi para imigran
yang memegang status sebagai pengungsi, pencari suaka, penerima visa
imigran khusus dan kriteria lainnya.15
Sejak pembentukan undang-undang pengungsi Amerika Serikat tahun
1980, Amerika Serikat telah menempatkan kembali lebih dari tiga juta
13 Bureau of Population, Refugees and Migration, “history of U.S. Refugee Resettlement”,
tersedia di: https://2009-2017.state.gov/documents/organization/244270.pdf , diunduh pada 18
Maret 2019 14 Salehyan, “The Strategic Case for Refugee Resettlement”, 2018, hal. 4 15 Donald Kerwin, “The Faltering Us Refugee Protection System: Legal And Policy
Responses To Refugees, Asylum-Seekers, And Others In Need Of Protection “, [jurnal online],
tersedia di: file:///C:/Users/asus/Downloads/kerwin2012.pdf , diunduh pada 18 Maret 2019
30
pengungsi dari seluruh dunia.16 Pada tahun pertama ditetapkannya undang-
undang pengungsi 1980, Amerika Serikat telah memungkimkan lebih dari
207.000 pengungsi yang mayoritas berasal dari Vietnam, Kamboja dan Laos,
angka tersebut menjadi jumlah pengungsi tertinggi yang pernah diterima oleh
Amerika Serikat hingga tahun 2017.17
Dalam menentukan kuota maksimal pengungsi setiap tahunnya,
Amerika Serikat memiliki peraturan tersendiri dalam menentukan kuota
maksimal pengungsi pertahunnya. Menurut undang-undang pengungsi
Amerika Serikat tahun 1980, jumlah kuota pengungsi yang dapat masuk dan
diterima oleh Amerika Serikat akan ditentukan setiap tahunnya oleh Presiden
dengan bantuan dari Kongres. Presiden Amerika Serikat akan membuat
consultation document yang berisi jumlah usulan tertinggi pengungsi yang
akan diterima dari seluruh dunia dan sudah ditentukan oleh pemerintah serta
estimasi jumlah pengungsi yang akan diterima di tahun berikutnya18.
Dokumen usulan tersebut kemudian diajukan dari Presiden kepada
Kongres untuk kemudian didiskusikan dan disahkan sebagai kuota pengungsi
pada tahun tersebut dan tahun berikutnya. Hal ini menjadikan Presiden
memiliki wewenang tinggi dalam menentukan jumlah pengungsi yang dapat
diterima oleh negara. Penentuan jumlah tersebut akan disesuaikan dengan
16 Jens Manuel Krogstad dan Jynnah Radford, “Key Facts about Refugees to the U.S.”,
[artikel online], tersedia di: https://www.pewresearch.org/fact-tank/2017/01/30/key-facts-about-
refugees-to-the-u-s/ , diakses pada 18 Maret 2019 17Keith Welch, “A Pivotal Monent for the US Refugee Resettlement Program”, haas
institute For A Fair and Inclusive Society, Research Brief (Juni 2017). 18Andorra Bruno, “Refugee Admissions and Resettlement Policy”, Congressional Research
Service, 18 Desember 2018.
31
kondisi atau fenomena yang terjadi pada saat presiden tersebut menjabat dan
disesuaikan dengan kepentingan negara.
Undang-undang pengungsi Amerika Serikat tahun 1980 lebih banyak
bersandar pada norma humanitarian. Meski begitu, sejumlah presiden
Amerika Serikat tetap mencoba menggunakan hak prerogatifnya untuk
menentukan jumlah kuota pengungsi yang diterima dan menerapkan asas
kebijakan luar negerinya masing-masing sebagai penentu kebijakan atau
keputusan penerimaan pengungsi.19 Kepentingan kebijakan luar negeri selalu
menjadi pertimbangan terutama dalam kasus politik yang sensitif sebab
penanganan pengungsi dapat meredakan tensi di regional.20
Dapat disimpulkan bahwa kebijakan refugee resettlement atau
penempatan kembali pengungsi di Amerika Serikat selama Perang Dunia II
didominasi atas pertimbangan kepentingan geopolitik Amerika Serikat.
Kebijakan tersebut tidak terlepas dari pertentangan ideologi dan stratejik
dengan Uni Soviet dan sekutunya karenanya, mayoritas pengungsi adalah
mereka yang lari dari wilayah perang atau negara otoritarian yang terpapar
komunisme.21 Namun, penerimaan Amerika Serikat terhadap jutaan manusia
yang terlantar tetap merupakan kontribusi yang cukup besar bagi isu
kemanusiaan. Masyarakat internasional hingga saat ini masih memandang
19 Salehyan, The Strategic Case for Refugee Resettlement, 4 20 US Department of State, “Proposed Refugee Admission for FY 2002”, http://2001-
2009.state.gov/g/prm/refadm/rls/rpts/7241.htm, 2001, diakses pada 16 April 2019 21 Salehyan, The Strategic Case for Refugee Resettlement, 4
32
Amerika Serikat sebagai salah satu negara suaka bagi mereka yang teropresi
dan yang mencari kebebasan serta kesempatan baru dari negara asalnya. 22
B. Kebijakan Amerika Serikat terkait Penempatan Kembali
Pengungsi pada tahun 2009 – 2016
Selama periode tahun 2009 – 2016, Amerika Serikat di bawah
kepenimpinan Barack Obama telah menerima jumlah tertinggi dalam
penempatan kembali pengungsi. Sebanyak 600.000 lebih pengungsi telah
ditetmpatkan kembali di Amerika Serikat.23 Beberapa kebijakan yang
dikeluarkan selama periode tersebut menunjukan kepedulian serta keterbukaan
Amerika Serikat terhadap permasalahan pengungsi di dunia.
Amerika Serikat memberikan perhatian khusus terhadap pengungsi
atau pencari suaka yang berasal dari Meksiko dan tiga negara dari kawasan
segitiga utara Amerika Tengah atau “The Northern Triangle of Central
America” (NTCA). Kawasan segitiga utara merupakan kawasan yang dinilai
sebagai salah satu kawasan paling berbahaya non-perang di dunia yang terdiri
dari tiga negara Amerika Tengah yaitu El Salvador, Guatemala dan Honduras.
Ketiga negara tersebut memiliki tingkat kejahatan dan pembunuhan tertinggi di
dunia dimana negara dikuasai oleh kelompok-kelompok kriminal
termasuk“transnational gangs” yang terlibat dalam berbagai tindakan
22 Salehyan, The Strategic Case for Refugee Resettlement, 4 23 Lizzie Biddle, “Refugee Resettlement Under The Obama Administration: Untangling The
U.S. Refugee Assistance Program At The Federal Level”, Global Journal of Peace and Praxis, 2,
Spring 2018, 2
33
kejahatan seperti intimidasi, penculikan, kekerasan, pembunuhan, pemerasan,
perdagangan narkoba dan tindak kejahatan lainnya.24
Grafik II.B.1 Tingkat Pembunuhan di Kawasan Segitiga Utara 2004-
201525
Sumber : Clare Ribando Seelke, “Gangs in Central America”, 29
Agustus 2016, tersedia di: https://fas.org/sgp/crs/row/RL34112.pdf ; diunduh
pada 1 Maret 2019, 6
Kelompok kriminal transnasional terbesar di kawasan tersebut
memiliki hubungan dengan Amerika Serikat diantaranya adalah Mara
Salvatrucha (MS-13) dan Eighteenth Street Gang (M-18). Kelompok tersebut
juga berafiliasi langsung dengan kelompok kejahatan terorganisir domestik,
organisasi perdagangan narkoba Meksiko, organisasi kriminal transnasional
24 Seth Robbins, “3 Crime Factors Driving Northern Triangle Migrants Out”, Insight
Crime, 30 Oktober 2018, tersedia di: https://www.insightcrime.org/news/analysis/crime-factors-
pushing-northern-triangle-migrants-out/ ; diakses pada 1 Maret 2019 25 Clare Ribando Seelke, “Gangs in Central America”, 29 Agustus 2016, tersedia di:
https://fas.org/sgp/crs/row/RL34112.pdf ; diunduh pada 1 Maret 2019, 6
34
dan memiliki delapan puluh ribu lebih anggota yang tersebar di kawasan
Amerika. 26
Keberadaan kelompok kriminal transnasional yang didukung dengan
lemah dan korupnya pemerintahan menjadi penyebab utama mengapa hukum
di kawasan segitiga utara menjadi sangat buruk dan lemah. Ketiadaan peran
pemerintah dalam menjaga serta melindungi warga negaranya berdampak
terhadap perpindahan lebih dari 100.000 imigran untuk mencari perlindungan
ke Amerika Serikat dan Meksiko, baik secara legal melalui pengajuan program
penempatan kembali pengungsi di Amerika Serikat maupun secara ilegal. 27
Berdasarkan laporan dari Center for Immigration Studies yang diambil
dari sensus tahunan, American Community Survey (ACS), Annual Social and
Economic Supplement of the Current Population Survey yang dikumpulkan
oleh Biro Sensus Amerika Serikat, jumlah imigran legal dan ilegal dari negara
Amerika Tengah telah berkembang enam kali lebih cepat dibanding
keseluruhan populasi imigran di Amerika Serikat yaitu dari 118.000 pada tahun
1970 menjadi hampir 3.3 juta pada 2018.28
26 Rocio Cara Labrador dan Danielle Renwick, “Central America’s Violent Northern
Triangle”, CFR, 26 Juni 2018, tersedia di: https://www.cfr.org/backgrounder/central-americas-
violent-northern-triangle; diakses pada 1 Maret 2019 27 Amanda Holpuch, “US Partners with Costa Rica to protect Central American Refugee”,
The Guardian, 26 Juli 2016, tersedia di: https://www.theguardian.com/world/2016/jul/26/central-
american-refugees-costa-rica-obama-administration; diakses pada 1 Maret 2019 28 Steven A. Camarota dan Karen Zeigler, “Central American Imigrant Population
Increased Nearly 28-Fold since 1970”, [artikel online], 1 November 2018, tersedia di:
https://cis.org/Report/Central-American-Imigrant-Population-Increased-Nearly-28Fold-1970;
diunduh pada 1 Maret 2019
35
Tabel II.B.2 Jumlah Imigran Amerika Tengah di Amerika
Serikat periode 1970-2018
Sumber: Camarota dan Zeigler, “Central American Imigrant Population
Increased Nearly 28-Fold since 1970”,
Beberapa kebijakan yang dikeluarkan Amerika Serikat dalam
mengatasi permasalahan perpindahan imigran tersebut diantaranya adalah pada
13 Juni 2012, Amerika Serikat mengeluarkan Deferred Action for Childhood
Arrivals (DACA) sebagai respon atas ancaman deportasi bagi para imigran
ilegal muda yang berada di Amerika Serikat. 29 Dalam program ini, para
imigran ilegal yang dibawa saat masih muda atau di bawah 16 tahun saat
dibawa untuk menetap di Amerika Serikat akan diberikan kesempatan untuk
mendapatkan hak untuk tinggal, bekerja dan belajar di Amerika Serikat. 30
29 Suzanne Gamboa, “What is DACA? What you need to know?”, [artikel online], 9 Maret
2018, tersedia di : https://www.nbcnews.com/storyline/smart-facts/what-daca-n854906, diakses
pada 18 Maret 2019 30 Joanna Walters, “What is DACA and who are the Dreamers?”, artikel online], 14
September 2017, tersedia di: https://www.theguardian.com/us-news/2017/sep/04/donald-trump-
what-is-daca-dreamers , diakses pada 18 Maret 2019
36
Kesempatan izin perpanjang akan diberikan setelah izin kerja dua
tahun mereka telah habis sehingga para imigran tersebut akan terhindar dari
ancaman deportasi oleh pemerintah. Para imigran ilegal yang berada di bawah
perlindungan DACA ini disebut sebagai “Dreamers” dan mayoritas berasal
dari Meksiko, El Salvador, Guatemala dan Honduras dengan jumlah 690.00031
Dreames per 4 September 2017. 32
Solusi berikutnya yang dilakukan oleh Amerika Serikat terkait
pengungsi Amerika Serikat program Central American Minors (CAM) yang
dibentuk pada tahun 2014. Program ini bertujuan untuk memberikan
kesempatan bagi anak-anak serta anggota keluarga tertentu dari anak tersebut
yang berada di negara El Salvador, Guatemala dan Honduras untuk
penempatan kembali pengungsi di Amerika Serikat sejak masih berada di
negara asal mereka. 33
Pada 26 Juli 2016, Kosta Rika sepakat untuk bergabung dalam
protection transfer arrangement (PTA) dengan UNHCR dan International
Organization for Migration (IOM). 34 PTA merupakan salah satu program
yang dibentuk oleh Amerika Serikat sebagai respon atas tingginya arus
imigrasi dari negara Amerika Tengah. Melalui perjanjian ini, pemerintah
Amerika Serikat dapat melakukan proses seleksi terhadap para pengungsi yang
31 Gamboa, “What is DACA? What you need to know?” 32 Walters, “What is DACA and who are the dreamers?” 33 U.S. Citizenship and Immigration Services, “In-Country Refugee/Parole Processing for
Minors in Honduras, El Salvador and Guatemala (Central American Minors – CAM)” , 15
November 2017, tersedia di: https://www.dhs.gov/news/2016/07/26/us-expands-initiatives-
address-central-american-migration-challenges; diakses pada 18 Maret 2019 34
37
mengajukan penempatan kembali dari Kosta Rika, Kosta Rika juga akan
menampung para pengungungsi selama proses seleksi berlangsung dan menjadi
negara transit bagi para pengungsi tersebut. 35
Pada tahun 2015, tercatat lebih dari 65 juta manusia dipindahkan atau
berpindah secara paksa dari negara asalnya, dengan total 21,3 juta pengungsi,
10 juta stateless people dan hanya 107.100 pengungsi yang berhasil
mendapatkan status penempatan kembali di negara ketiga. 36 Menanggapi
minimnya jumlah pengungsi yang berhasil mendapatkan hak penempatan
kembali pengungsi serta krisis pengungsi dari negara Suriah yang telah terjadi
sejak tahun 2011, Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Barack Obama
sepakat untuk menerima 10.000 pengungsi dari Suriah pada tahun 2015.
Selanjutnya pada tahun 2016, Amerika Serikat menetapkan kuota penempatan
kembali pengungsi sebanyak 85.000 pengungsi dan 110.000 pengungsi pada
tahun 2017 mendatang dengan total rekor pengungsi muslim tertingi sepanjang
sejarah Amerika Serikat yaitu 39.000 pengungsi pada tahun 201637.
Hal tersebut menunjukan tingginya perhatian Amerika Serikat
terhadap krisis pengungsi yang terjadi di dunia. Upaya Amerika Serikat dalam
meningkatkan jumlah kuota pengungsi yang dapat ditempatkan kembali di
Amerika Serikat menjadi salah satu alasan mengapa Amerika Serikat menjadi
35 UNHCR ACNUR,” Pillar 4: Opportunities For Durable Solutionsprotection Transfer
Arrangement”, Desember 2018, tersedia di: http://www.globalcrrf.org/wp
content/uploads/2018/10/6.-PTA-dic18.pdf; diunduh pada: 19 Maret 2019 36 Keith Welch, “ A Pivotal Moment for the US Refugee Resettlement Program”, [buku on-
line], (CA: Haas Institute for A Fair and Inclusive Society, University of California, Berkeley, Juni
2017), tersedia di:
http://haasinstitute.berkeley.edu/sites/default/files/haasinstitute_usrefugeeresettlment_june2017_p
ublish.pdf , diunduh pada 19 Maret 2019 37 Krogstad dan Radford, “Key Facts about Refugees to the U.S.”
38
salah satu negara tujuan bagi para pencari suaka dimana negara tidak hanya
menerima para pencari suaka maupun pengungsi tetapi juga memberikan
perlindungan kemanusiaan bagi para individu yang tiba di Amerika Serikat
atau mengajukan status suaka dari dalam negara.38 Menanggapi krisis
pengungsi Amerika Tengah yang terjadi di perbatasan Amerika Serikat,
pemerintah tetap mengeluarkan kebijakan untuk mengutamakan hak
kemanusiaan serta pemberian perlindungan bagi para imigran maupun
pengungsi yang datang ke Amerika Serikat melalui program kemanusiaan
seperti DACA, CAM dan pembentukan PTA untuk mengatasi permasalahan
tersebut. Adapun peningkatan jumlah kuoat pengungsi dari 85.000 pada tahun
2016 menjadi 110.000 pada tahun 2017 menjadi salah satu angka peningkatan
kuota penerimaan pengungsi tertinggi sepanjang sejarah Amerika Serikat. 39
C. Kebijakan Amerika Serikat terkait Penempatan Kembali
Pengungsi pada tahun 2017
Perubahan arah kebijakan Amerika Serikat terhadap pengungsi terjadi
pasca pergantian kepemimpinan Amerika Serikat dari Barack Obama menjadi
Donald Trump pada tahun 2017. Selama masa kepemimpinannya sebagai
Presiden Amerika Serikat, Donald Trump secara aktif mengeluarkan beberapa
kebijakan untuk menekan angka jumlah pengungsi yang dapat diterima oleh
Amerika Serikat.
Pada 27 Januari 2017, Amerika Serikat melalui Presiden Donald
Trump menandatangani perintah eksekutif (Executive Order) bernama
38 Zong dan Batalova, “Refugee and Asyless in the United States” 39 Zong dan Batalova, “Refugee and Asyless in the United States”
39
“Protecting the Nation from Foreign Terrorist Entry into the United States”
.40 Keputusan tersebut dikeluarkan Amerika Serikat sebagai respon atas asas
kebijakan luar negeri Trump yang ingin melindungi negara dari masuknya
ancaman terorisme dari luar Amerika Serikat.41
Dalam perintah eksekutif tersebut, penundaan admisi penerimaan
pengungsi dari Suriah dan pemberhentian sementara program penempatan
kembali pengungsi tercantum dalam pasal lima, “Executive Order 13769 :
Protecting the Nation from Foreign Terrorist Entry into the United States”
pada bagian Penundaan dan penataan kembali program penerimaan
pengungsi di Amerika Serikat untuk tahun 2017 yang berisi:42
1. Sekertaris Negara akan menghentikan sementara program
penerimaan pengungsi atau U.S. Refugee Admission Program
(USRAP) selama 120 hari untuk meninjau program tersebut dan
menentukan prosedur apa saja yang harus diambil dan ditambah
untuk memastikan bahwa pengungsi yang diterima oleh Amerika
Serikat tidak akan menimbulkan ancaman terhadap kesejahteraan
dan keamanan negara. Pengungsi yang sedang menjalani proses
dalam program penerimaan pengungsi atau USRAP dapat diterima
masuk kembali setelah program tersebut selesai direvisi oleh
40BBC, “Trump's executive order: Who does travel ban affect?”, BBC, 10 Februari 2017,
tersedia dalam https://www.bbc.com/news/world-us-canada-38781302 (diakses pada 30 Agustus
2018) 41Sarah Pierce dan Doris Meissner, “Trump Executive Order on Refugees and Travel Ban:
A Brief Review”, Migration Policy Institute, Februari 2017”, lihat dalam
https://www.migrationpolicy.org/research/trump-executive-order-refugees-and-travel-ban-brief-
review (diakses pada 26 Maret 2019) 42 Protecting the Nation From Foreign Terrorist Entry Into the United States, Presidential
Document, Vol .82, No 20 (1 Februari 2017.)
40
Sekertaris Negara, Sekertaris Keamanan dalam Negeri dan
Direktur Intelijen Nasional
2. Pada saat program penerimaan pengungsi atau USRAP kembali
dilanjutkan, Sekertaris Negara dibantu dengan Sekertaris
Keamanan Dalam Negeri akan diarahkan untuk memuat
perubahan sejauh yang diiizinkan oleh hukum untuk memberikan
prioritas kepada klaim individu yang dibuat berdasarkan
penganiayaan berbasis agama, khususnya dari agama minoritas di
negara kebangsaan individu tersebut. Bila diperlukan, Sekertaris
Negara dan Sekertaris Keamanan Dalam Negeri akan
menrekomendasikan sebuah undang-undang yang akan membantu
prioritas tersebut kepada presiden.
3. Masuknya warga negara Suriah ke Amerika Serikat sebagai
pengungsi dianggap telah merugikan kepentingan Amerika
Serikat. Penangguhan masuknya pengungsi Suriah akan dilakukan
sampai waktu yang akan ditentukan oleh Presiden Amerika
Serikat. Peninjauan program pada USRAP akan dilakukan untuk
memastikan bahwa penerimaan pengungsi Suriah sejalan dengan
kepentingan nasional Amerika Serikat.
4. Penurunan kuota penerimaan pengungsi dari yang sebelumnya
telah ditentukan oleh Barack Obama yaitu sebesar 110.000 untuk
tahun 2017 menjadi 50.000 pengungsi.
41
5. Sekalipun terdapat penangguhan sementara yang diberlakukan
pada ayat (1), Sekertaris Negara dan Sekertaris Keamanan Dalam
Negeri dapat bersama-sama memutuskan untuk menerima
individu ke Amerika Serikat sebagai pengungsi jika penerimaan
tersebut untuk kepentingan nasional Amerika Serikat.
6. Sekertaris Negara harus menyerahkan laporan awal tentang
kemajuan proses dari ayat (2) terkait prioritas yang dibuat oleh
individu berdasarkan penganiayaan agama kepada Presiden dalam
100 hari sejak perintah ini disampaikan dan laporan kedua pada
200 hari.
7. Yuridiksi negara bagian dan lokal dapat ikut berperan dalam
proses menentukan penempatan kembali pengungsi di wilayah
yuridiksinya.
Dalam pasal tiga terkait penangguhan penerbitan visa dan manfaat
imigrasi lainnya bagi warga negara dengan perhatian khusus, Amerika Serikat
menyatakan bahwa larangan masuk selama 90 hari akan diberikan kepada
warga imigran maupun bukan imigran yang berkewarganegaraan Iran, Irak,
Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman.43 Selain menerapkan penangguhan
dan larangan masuk, pada pasal empat dijelaskan bahwa Amerika Serikat akan
menerapkan standard pemeriksaan ketat terhadap seluruh proses imigrasi,
dalam hal ini Sekertaris Negara, Sekertaris Keamanan Dalam Negeri, Direktur
Intelijen Nasional dan Direktur Biro Investigasi Federal akan menerapkan
43 Protecting the Nation From Foreign Terrorist Entry Into the United States, Presidential
Document,
42
beberapa program untuk mengidentifikasi setiap individu yang akan memasuki
Amerika Serikat dan memastikan tidak ada maksud penipuan, menyebabkan
kerugian atau dapat berseiko menyebabkan kerusakan setelah penerimaanya44
Kebijakan Trump terhadap pengungsi dan imigran juga meliputi
pemberhentian beberapa program terkait migrasi diantaranya adalah Deferred
Action for Childhood Arrivals (DACA) Program, sebuah program yang
dikeluarkan pada tahun 2012 untuk menangguhkan deportasi bagi imigran
remaja yang datang ke Amerika Serikat saat masih anak-anak45, Temporary
Protected Status (TPS) yaitu sebuah program kemanusiaan sementara yang
memberikan perlindungan kepada warga negara dari negara-negara yang
diketahui terlibat dalam konflik kekerasan atau bencana alam dan program
Cental American Minors (CAM).46
Dengan dikeluarkannya Executive Order 13769: Protecting the
Nation from Foreign Terrorist Entry into the United States, Amerika Serikat
memiliki beberapa pertimbangan khususnya dalam meningkatkan keamanan
dan keselamatan Amerika Serikat. Menurut laporan dari gedung putih Amerika
Serikat, terdapat beberapa kasus dimana pengungsi telah menimbulkan
ancaman terhadap keamanan nasional Amerika Serikat. Beberapa kasus
tersebut diantaranya adalah pada Februari 2017, lebih dari 300 individu yang
telah diakui oleh negara sebagai pengungsi berada dalam investigasi Biro
44 Protecting the Nation From Foreign Terrorist Entry Into the United States, Presidential
Document 45 Brian Harper dan Brendan, O’Boyle, Explainer: What Is DACA?, AS COA, 13 September
2018, tersedia dalam https://www.as-coa.org/articles/explainer-what-daca (diakses 30 April 2019) 46 Sarah Pierce dan Andrew Selee, “Immigration under Trump” A Review of Policy Shifts
in the Year Since the Election”, Desember 2017, Migration Policy Institute, Policy Brief
43
Investigasi Federal atas potensi keterikatannya terhadap terduga teroris, sejak
2011 terdapat setidaknya 20 individu berstatus pengungsi yang ditangkap atau
telah dipindahkan dari Amerika Serikat atas investigasi terorisme dan pada
2016 seorang pengungsi Somalia menyerang 11 warga Amerika Serikat di
Ohio State University di Columbus, Ohio. 47
Berdasarkan beberapa alasan itulah, maka dalam pasal 1 Executive
Order 13769 disebutkan bahwa Amerika Serikat memutuskan untuk
menciptakan suatu peraturan yang dapat melindungi warga negara Amerika
Serikat dengan memastikan bahwa setiap individu yang diakui dan diterima di
Amerika Serikat tidak memiliki rasa atau sikap bermusuhan terhadap warga
Amerika Serikat dan prinsip pendirinya. Amerika Serikat tidak dapat dan tidak
seharusnya mengakui mereka yang tidak mendukung konstitusi atau mereka
yang akan menempatkan ideologi kekerasan atas hukum Amerika Serikat.
Selain itu, Amerika Serikat juga tidak boleh mengakui mereka yang terlibat
dalam tindakan fanatik atau kebencian seperti pembunuhan atas dasar
kehormatan atau bentuk kekerasan lainnya terhadap perempuan, penganiyaan
atas perbedaan agama atau terhadap mereka yang akan menindas warga
Amerika Serikat dari segala ras, jenis kelamin atau orientasi seksual apapun.48
47 President Donald J. Trump, “President Donald J. Trump is Taking a Responsible and
Humanitarian Approach on Refugees”, Fact Shett, 29 September 2017, lihat dalam
https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/President-donald-j-trump-taking-responsible-
humanitarian-approach-refugees/ (15 Maret 2019) 48 Executive Order 13780: Protecting the Nation From Foreign Terrorist Entry Into the
United States Initial Section 11 Report, Home Land Security, 6 Maret 2017 tersedia dalam
https://www.dhs.gov/publication/executive-order-13780-protecting-nation-foreign-terrorist-entry-
united-states-initial (diaskes 23 Maret 2019)
44
Pasca dikeluarkannya perintah ekskutif oleh Presiden Amerika
Serikat, Amerika Serikat mengalami beberapa perubahan khususnya dalam
program penempatan kembali pengungsi. Kebijakan Amerika Serikat terhadap
program penempatan kembali pengungsi tidak hanya berpengaruh terhadap
berkurangnya jumlah pengungsi yang dapat diterima oleh negara setiap
tahunnya, tetapi juga terhadap realokasi sumber daya untuk mengatasi
simpanan suaka serta peningkatan keamanan dalam proses pemeriksaan
pengungsi atau security vetting.49
Salah satu negara yang memiliki pengaruh langsung terhadap
kebijakan tersebut adalah Australia. Pada tahun 2016 kedua negara telah
melakukan kerjasama bilateral dan sepakat untuk menempatkan kembali
1.250 pengungsi Australia yang berada di pusat detensi Kepulauan Manus
dan Nauru di tahun 2017. Adapun, penjelasan mengenai isi perjanjian
Australia dan Amerika Serikat terkait penempatan kembali pengungsi serta
keputusan yang diambil Amerika Serikat terhadap kerjasama tersebut akan
dipaparkan pada bab selanjutnya.
49 Nayla Rush, “The U.S. refugee Admissions Program under the Trump Admission”,
[artikel on-line], 1 April 2019, tersedia di: https://cis.org/Rush/US-Refugee-Admissions-Program-
under-Trump-Administration, (diakses 23 Maret 2019)
45
BAB III
HUBUNGAN AMERIKA SERIKAT DAN AUSTRALIA
A. Aliansi Amerika Serikat dan Australia
Hubungan antara Amerika dan Australia sudah berlaku sejak tahun 1940an
dimana kedua negara sepakat untuk mengembangkan hubungan diplomatik
bilateralnya pada 8 Januari 1940.50 Kedua negara memiliki hubungan historis
dimana sejak perang yang terjadi di Asia-Pasifik akibat penyerangan Jepang yang
dilakukan di Pelabuhan Harbor pada Desember 1941, Amerika Serikat menjadi
salah satu negara aliansi pasifik yang ikut berperan membantu militer Australia.51
Australia juga menjadi salah satu negara aliansi utama yang berkontribusi
bersama Amerika Serikat dalam Perang Dunia Pertama dan Kedua serta dalam
konflik di Korea, Vietnam, Irak dan Afghanistan.52
Dalam setiap kebijakan luar negeri yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat,
Australia secara aktif terus menunjukkan dukungan serta bantuannya, termasuk
didalamnya adalah dalam program war on terrorism, invasi Amerika Serikat di
Irak, mengendalikan program pengembangan senjata pemusnah massal (WMD)
50 U.S. Embassy & Consulates in Australia, “History of the U.S. and Australia”, tersedia
di: https://au.usembassy.gov/our-relationship/policy-history/history-of-u-s-and-australia/ diakses
pada 20 Maret 2019 51 Anthony L. Smith, “ Still Great Mates: Australia and the United States”, Asian Affairs:
An American Review, vol. 30, no. 02, The Responses of Asian Nations to Bush Administration
Security Policies, Summer, 2003, [artikel online], tersedia di:
https://www.jstor.org/stable/30172851, (diunduh pada 7 Mei 2019) 52 Smith, “ Still Great Mates: Australia and the United States”
46
dan pembangunan missile defense shield.53 Peran serta keterlibatan Australia
dalam setiap konflik dan kebijakan menjadikannya sebagai salah satu aliansi yang
dapat diandalkan, baik dalam sektor keamanan maupun diplomatik.54
Australia menjadikan Amerika Serikat sebagai salah satu aliansi paling
penting dan kuat yang harus diperhatikan dalam setiap pembentukan kebijakan
luar negerinya, khususnya dalam sektor pertahanan dan ekonomi. Amerika Serikat
sebagai negara hegemon dengan kekuatan militer yang kuat dapat menjadi
pencegahan atau deterrent dari ancaman yang ditujukan kepada Australia.55
Kesamaan kepentingan strategis dan nilai yang dimiliki oleh kedua negara telah
menciptakan terjadinya berbagai kerja sama diantara kedua negara.
Dalam sektor pertahanan, aliansi antara Amerika Serikat dengan Australia
telah terjalin selama lebih dari 50 tahu n. Penandatanganan pakta pertahanan
antara Australia – Selandia Baru – Amerika Serikat atau ANZUS Treaty pada 1
September 1951 di San Fransisco menjadi salah satu tanda dimulainya aliansi
dalam sektor pertahanan yang dijalin oleh kedua negara.56 ANZUS Treaty
merupakan pakta aliansi keamanan dan berfungsi sebagai dasar kerja sama
pertahanan atau militer antara kedua negara dan menjadi landasan kebijakan
strategis dalam politik Australia. Salah satu manfaat penting yang didapatkan oleh
aliansinya dengan Amerika Serikat dalam bidang pertahanan adalah adanya
53 Smith, “ Still Great Mates: Australia and the United States” 54 Michael Fullilove, “Ally with a new attitude; Australia’s prime minister, the staunchest
of Bush supporters, is ousted”, Los Angeles Times, 29 November 2007. 55 Coral Bell, “Australia’s Alliance Options: Prospect and Retrospect in a World of
Change”, Australian Foreign Policy Papers (Canberra: Australian national University, 1991): 46 56Bruce Vaughn dan Thomas Lum, “Australia: Background and U.S. Relations”, 14
Desember 2015, tersedia di: https://fas.org/sgp/crs/row/RL33010.pdf, diunduh pada 20 Maret 2019
47
kerjasama intelijen tingkat tinggi dan akses terhadap peralatan dan tekhnologi
militer Amerika Serikat sehingga Australia dapat mempertahankan keunggulan
militernya di kawasan Asia tenggara.57
Pakta tersebut pertama kali digunakan oleh Australia sebagai respon atas
serangan teroris pada 11 September 2001 atau 9/11 yang dilakukan oleh
kelompok Islam ekstrimis al-Qaeda terhadap menara kembar World Trade Center
di kota New York.58 Sebagai negara yang menjadi korban serangan tersebut,
Amerika Serikat dan Australia sepakat untuk membuka jalan bagi kerjasama
pertahanan dan keamanan yang lebih dekat termasuk rotasi tahunan marinir ke
Darwin dan peningkatan rotasi pesawat angkatan udara Amerika Serikat ke
Australia melalui penandatanganan Australia-United States Ministerial
Consultations (AUSMIN) pada Agustus 2014.59
Berbagai kerjasama yang dilakukan antara Amerika Serikat dan Australia
memberikan manfaat terhadap perdamaian dan peningkatan stabilitas keamanan di
kawasan Pasifik.60 Pada Oktober 2015, department keamanan Amerika Serikat
dan Australia menandatangani pernyataan kerjasama pertahanan yang berfungsi
untuk kerjasama di masa depan dan pada 2017, Amerika Serikat dan Australia
sepakat unutuk berpartisipasi dalam latihan militer gabungan dua tahunan yang
57 Paul Dibb,” Will America’s Alliances in the Asia-Pacific Region Endure?”, Working
Paper No.345 (Canberra: Strategic and Defense Studies Centre, 2000), 33 58 U.S. Department of State, “U.S. Relations with Australia”, 23 Agustus 2018, tersedia di:
https://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2698.htm, diakses pada 20 Maret 2019 59 U.S. Department of State, “U.S. Relations with Australia” 60 U.S. Department of State, “U.S. Relations with Australia”
48
dirancang untuk memastikan dan menunjukan kemampuan pasukan pertahanan
kedua negara untuk bekerja sama dengan kemampuan tertinggi.61
Sedangkan dalam sektor investasi dan perdagangan, Amerika Serikat dan
Australia telah menandatangani Free Trade Agreement (FTA) pada 1 Januari
2005.62 Melalui perjanjian ini, maka kedua negara sepakat untuk menghilangkan
pajak terhadap produk impor dari Amerika Serikat ke Australia dan barang ekspor
dari Australia ke Amerika Serikat.63 Perjanjian ini dirancang untuk mengurangi
defisit perdagangan dengan menyediakan akses terhadap pasar yang adil dan
transparan, menjaga undang-undang perdagangan domestik dan mengatasi
dampak negatif dan manipulasi mata uang, hambatan perdagangan non terif,
ketidakstabilan finansial dan beban hutang yang tinggi dalam hubungan dagang
Amerika Serikat dan Australia.64
Dalam upayanya memberi perlindungan terhadap hak para pekerja di kedua
negara, perjanjian perdagangan bebas harus menegakkan kewajiban untuk
menghormati inti standar hak ketenagakerjaan dari Organisasi Buruh Internasional
diantaranya kesetaraan dan kebebasan berserikat, hak untuk berorganisasi dan
61 U.S. Department of State, “U.S. Relations with Australia” 62 Department of Health - Australian Government, “Australia-United States Free Trade
Agreement”, 6 Maret 2019, tersedia di: https://www.tga.gov.au/form/australia-united-states-free-
trade-agreement, diakses pada 22 Maret 2019 63 Department of Foreign Affairs and Trade – Australian Government, “Australia – Unites
States FTA”, 7 Desember 2017, tersedia di : https://dfat.gov.au/trade/agreements/in-
force/ausfta/Pages/australia-united-states-fta.aspx, diakses pada 22 Maret 2019 64 George Becker, “The U.S. – Australia Free Trade Agreement”, 12 Maret 2004, tersedia
di:https://web.archive.org/web/20041020041049/http://www.ustr.gov/assets/Trade_Agreements/Bi
lateral/Australia_FTA/Reports/asset_upload_file298_3385.pdf, (diunduh pada 23 Maret 2019)
49
berunding, larangan terhadap pekerja dibawah umur, kerja paksa dan
diskriminasi.65
Menurut laporan dari Departement of Foreign Affairs and Trade of
Australia, Amerika Serikat merupakan investor terbesar dan paling menjanjikan
di Australia dengan total 27% dari total investasi asing dan menjadi tujuan utama
para investasi asing terbesar di Australia dengan total 28.4% dari total persediaan
investasi luar negeri Australia pada Desember 2016. 66Perjanjian perdagangan
bebas atau Free Trade Agreement yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan
Australia telah berhasil menaikkan investasi kedua negara sebanyak tiga kali lipat
dari investasi sebelumnya.67 Perjanjian ini juga telah mendorong ekspor dari
Amerika Serikat ke Australia sebanyak lebih dari 100% sejak diberlakukan pada
tahun 2005. 68
Pada tahun 2016, Amerika Serikat menjadi mitra dagang dua arah terbesar
di Australia dan menjadi negara kedua terbesar di Australia dalam sektor barang
dan jasa yaitu senilai $64,3 miliar, total ekspor barang dari Australia ke Amerika
Serikat sebesar $12,4 miliar, total impor Australia dari Amerika Serikat sebesar
$29,7 miliar.69 Perjanjian ini berhasil mendorong perekonomian Amerika Serikat
dimana eksport Amerika Serikat ke Australia berhasil membuka 300.000 lebih
lowongan pekerjaan di Amerika Serikat dalam berbagai sektor seperti permesinan,
65George Becker, “The U.S. – Australia Free Trade Agreement” 66 Department of Foreign Affairs and Trade – Australian Government, “Australia – Unites
States FTA” 67 Department of Foreign Affairs and Trade – Australian Government, “Australia – Unites
States FTA”, 68 U.S. Department of State, “U.S. Relations with Australia” 69 U.S. Department of State, “U.S. Relations with Australia”
50
layanan perjalanan, persediaan dan bahan industri, barang konsumen serta layanan
keuangan. 70
Dalam Memorandum of Understanding, International Development
Cooperation antara Amerika Serikat dan Australia, kedua negara sepakat untuk
mewujudukan kerjasama dan pendekatan bersama dalam sektor kebijakan luar
negeri, pertahanan dan keamanan serta investasi dan perdagangan.71
B. Perjanjian Eksekutif Bilateral Amerika Serikat dan Australia dalam
Penempatan Kembali Pengungsi dari Kepulauan Manus dan Nauru
Sejak tahun 1991, Australia telah memperkenalkan fasilitas penahanan darat
atau onshore detention di Villawood Sydney di bawah pemerintahan Bob Hawke
sebagai salah satu antisipasi terhadap kedatangan tidak sah dari individu melalui
jalur laut.72 Puncak kedatangan pengungsi yang terjadi pada tahun 1999–2001
dimana Australia menghadapi krisis Tampa serta penyerangan kelompok teroris
al-Qaeda terhadap salah satu negara aliansi Australia yaitu Amerika Serikat pada
11 September 2001 berdampak kepada pembentukan kebijakan perlindungan
perbatasan yang lebih ketat dalam menjaga perbatasan Australia. 73
70 U.S. Department of State, “U.S. Relations with Australia” 71 Memorandum of Understanding on International Development Cooperation”, The
United States Agency for International Development(USAID) dan The Australian Agency For
International Development(AusAID), tersedia di: https://dfat.gov.au/about-
us/publications/Documents/mou-unitedstates.pdf , diakses pada 20 Maret 2019 72 Antony Loewenstein,” Australlia’s Refugee Policies: A Global Inspiration for all the
Wrong Reasons”, The Guardian, 18 Januari 2016, tersedia di:
https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/jan/18/australias-refugee-policies-a-global-
inspiration-for-all-the-wrong-reasons, diakses pada 22 Maret 2019 73 National Museum Australia, “Defining Moments – Tampa Affair”, tersedia di:
https://www.nma.gov.au/defining-moments/resources/tampa-affair, diakses pada 22 Maret 2019
51
Krisis Tampa merupakan salah satu krisis yang terjadi pada tahun 2001
dimana pada 24 Agustus 2001, sebanyak 433 pencari suaka dari Afghanistan
ditemukan terdampar di perairan Samudera Hindia dengan kapal nelayan Palapa
dari Indonesia.74 Para pencari suaka tersebut berusaha mencari suaka di Australia
dengan tujuan Christmas Island melalui jalur laut sebelum akhirnya diselamatkan
oleh kapal kontainer Norwegia bernama Tampa di bawah arahan dari Otoritas
Keamanan Maritim Australia.75
Di bawah Perdana Menteri Australia, John Howard, Peristiwa tersebut
berdampak kepada pembentukan kebijakan imigrasi radikal yaitu solusi pasifik
atau “Pacific Solution” dimana Australia memiliki wewenang untuk menentukan
siapa saja yang datang ke Australia berdasarkan kepada bagaimana kondisi
kedatangan mereka serta bagaimana tindakan yang harus diberikan oleh Australia
terhadap manusia perahu atau “boat people”76 Terdapat empat langkah
pencegahan utama wajib dan penahanan tidak terbatas yang dikeluarkan oleh
pemerintah Australia untuk menjadikan Australia bebas dari para pencari suaka
perahu, yaitu:77 visa sementara hanya berlaku bagi mereka yang telah
mendapatkan status pengungsi, offshore processing, intersepsi angkatan laut dari
kapal pencari suaka dan pemutarbalikan arah kapal agar kembali ke negara awal
keberangkatan.
74 National Museum Australia, “Defining Moments – Tampa Affair” 75 National Museum Australia, “Defining Moments – Tampa Affair” 76 Fiona Broom, “Has the ‘Pacific Solution’ solved anything in Australia?”, Al-Jazeera
News, 3 April 2014, tersedia di: https://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2014/03/pacific-
solution-solved-austral-201433113844238975.html, diakses pada 23 Maret 2019 77 Robert Manne,” This pains me, but it's time to compromise on Australia's cruel asylum
seeker policy”, The Guardian, 22 September 2018, tersedia di:
https://www.theguardian.com/australia-news/2018/sep/23/this-pains-me-but-its-time-to-
compromise-on-australias-cruel-asylum-seeker-policy, diakses pada 22 Maret 2019
52
Melalui solusi ini, para pencari suaka yang datang secara ilegal melalui jalur
laut dilarang untuk memasuki Australia dan mendapatkan status pengungsi di
Australia. Para pencari suaka tersebut akan dialihkan ke pusat detensi yang telah
bersedia menampung para pencari suaka dan pengungsi salah satunya adalah
pusat detensi pengungsi di Nauru dan Kepulauan Manus, Papua Nugini sebelum
kemudian ditempatkan kembali di negara lainnya atau mendapat kesempatan
untuk berbaur dengan warga lokal.78
Jalur laut dianggap sebagai salah satu jalur berbahaya bagi pemerintah
Australia dengan tingginya resiko kematian bagi para pencari suaka selama
perjalanan yang berbahaya dan banyaknya penyelundupan manusia ke Australia
melalui Indonesia. Kejadian penyerangan kelompok teroris al-Qaeda yang terjadi
di Amerika Serikat menjadi salah satu kejadian yang dimanfaatkan oleh Australia
untuk mengeluarkan kebijakan pengembalikan para manusia perahu serta
menghentikan setiap upaya pendaratan di Australia. Para manusia perahu yang
mayoritas datang dari Afghanistan, Irak dan Iran dianggap berpotensi sebagai
calon teroris dan dapat mengancam keamanan nasional.79 Ancaman terorisme dan
penyelundupan manusia menjadi dua faktor utama mengapa Australia menetapkan
kebijakan untuk menolak, mengembalikan serta mengalihkan para individu yang
datang melalui jalur laut.
78 Broom, “Has the ‘Pacific Solution’ solved anything in Australia?” 79 Judy Johnston dan Guy Callender, “One Impact of 9/11 in the Australian Context:
Government's Public Management Response to Asylum Seekers”, Administrative Theory & Praxis,
Vol. 24, No. 3 (Sep., 2002), pp. 601-606, tersedia di: http://www.jstor.org/stable/25611606,
diakses pada 22 Maret 2019
53
Mahkamah Agung Papua Nugini pada tahun 2015 memutuskan untuk
menutup pusat detensi penahanan pengungsi lepas pantai Australia yang ada di
Kepulauan Manus karena dianggap ilegal dan melanggar banyak hak asasi
manusia dasar .80 Pusat detensi Manus terletak di pulau kecil Manus yang berjarak
sekitar 300km dari pantai pulau utama Papua Nugini dan menampung lebih dari
600 pengungsi.81 Melalui penutupan pusat detensi tersebut, Australia mengalami
permasalahan baru dimana Australia yang menolak untuk menempatkan kembali
para pengungsi tersebut sehingga harus mencari negara baru bagi para pengungsi.
Pada 13 November 2016, Australia melalui Perdana Menteri, Malcolm
Turnbull, bersama dengan Kementerian Imigrasi dan Perlindungan Perbatasan,
Peter Dutton, mengumumkan bahwa Australia telah mencapai kesepakatan
dengan Amerika Serikat untuk menempatkan kembali 1.250 pengungsi Australia
yang ditahan di kedua pusat detensi lepas pantai kepulauan Kepulauan Manus dan
Nauru.82 Perjanjian ini disepakati dalam level eksekutif antara Amerika Serikat
dan Australia dan berlaku sebanyak satu kali atau one-off agreement, tidak berkala
dan hanya berlaku bagi pengungsi yang hingga 13 November 2016 berada di
pusat detensi. 83
80 Yarno Ritzen, “Refugees in Limbo as Manus Detention Centre Shuts”, Al-Jazeera News,
31 Oktober 2017, tersedia di: https://www.aljazeera.com/news/2017/10/refugees-limbo-manus-
detention-centre-shuts-171030211900096.html, , diakses pada 25 Maret 2019 81 Al Jazeera News, “Why is The Manus Detention Centre Being Closed?” 82 Andrew dan Renata, “Factsheet- The Australia United States Refugee Resettlement
Deal”, Kaldor Centre for International Refugee Law, (UNSW Sydney, updated April 2019) 83 Paul Karp dan Paul Farrel, “Refugees Held in Australian Offshore Detention to be
Resettled in US”, The Guardian, 13 November 2016, tersedia di:
https://www.theguardian.com/australia-news/2016/nov/13/refugees-held-in-australian-offshore-
detention-to-be-resettled-in-us, diakses pada 22 Maret 2019
54
Perjanjian tersebut merupakan perjanjian eksekutif (executive agreement)
yang disetujui pada level eksekutif dimana presiden memiliki hak dan wewenang
untuk mengeluarkan sebuah perjanjian eksekutif dengan pemerintah asing dan
tidak tunduk pada persyaratan konstitusional yang mengharuskan ratifikasi dari
dua pertiga anggota Senat Amerika Serikat.84 Perjanjian eksekutif memiliki
keterikatan secara politis, berbeda dengan perjanjian atau treaty yang bersifat
mengikat secara hukum sehingga perjanjian eksekutif tidak sepenuhnya mengikat
pemerintahan selanjutnya.85
Amerika Serikat memiliki definisi berbeda antara perjanjian (treaty) di
Amerika Serikat dan hukum internasional. Jika dalam hukum internasional sebuah
perjanjian diartikan sebagai perjanjian yang mengikat secara hukum antar negara,
maka Amerika Serikat mengartikan perjanjian sebagai salah satu perjanjian yang
dibuat oleh dan dengan saran dari Senat. 86 Setiap perjanjian internasional yang
tidak diajukan ke Senat akan disebut sebagai perjanjian eksekutif (executive
agreement).87 Perjanjian antara Amerika dan Australia dalam penempatan 1.250
pengungsi merupakan perjanjian eksekutif (execeutive agreement) dimana
perjanjian tersebut disetujui pada level eksekutif antar dua kepala negara atau
84 Editor Ensiklopedia Britannica, “Executive Agreement”, tersedia di:
https://www.britannica.com/topic/executive-agreement 85 Editor Ensiklopedia Britannica, ”Executive Agreement” 86 Congressional Research Service Library of Congress, “Treaties and Other International
Agreements: The Role of The United States Senate”, Januari 2001, tersedia di:
https://www.govinfo.gov/content/pkg/CPRT-106SPRT66922/pdf/CPRT-106SPRT66922.pdf 87 Congressional Research Service Library of Congress, “Treaties and Other International
Agreements: The Role of The United States Senate”,
55
perwakilannya dan tidak tunduk pada persyaratan konstitusional yang
mengharuskan ratifikasi dari dua pertiga anggota Senat Amerika Serikat.88
Presiden memiliki pilihan untuk menentukan apakah suatu perjanjian
internasional akan ditetapkan sebagai suatu perjanjian (treaty) atau
memperlakukannya sebagai sebuah perjanjian eksekutif (executive agreement). 89
Pada beberapa kasus, presiden memiliki kecenderungan untuk tidak membuat
perjanjian yang mencerminkan pandangan dari senator saat menghadapi oposisi
yang kuat di Senat sehingga perjanjian tersebut akan dikeluarkan melalui
penggunaan perjanjian eksekutif yang hanya membutuhkan persetujuan kongres
dan tidak mengharuskan persetujuan dua pertiga anggota senat untuk ratifikasi. 90
Adapun dalam perjanjian ini, Amerika Serikat dan Australia tidak
mempublikasikan isi dari perjanjian tersebut, perjanjian eksekutif tersebut bersifat
rahasia dan tidak dipublikasikan isinya kepada publik. Dalam beberapa kasus,
pemerintah memang tidak akan mempublikasikan sebuah perjanjian internasional
yang memiliki dampak terhadap keamanan nasional. Beberapa perjanjian akan
dipublikasikan saat perjanjian tersebut terlaksana sehingga meminimalisir
kemungkinan sebuah perjanjian untuk gagal. Menurut laporan dari Congressional
Research Service, sebanyak lebih dari 42% perjanjian internasional sejak tahun
2004 hingga 2014 tidak di publikasikan dan bersifat rahasia (Tabel 3).91
88 Editor Ensiklopedia Britannica, “Executive Agreement” 89 Glen S. Krutz dan Jeffrey S. Peake, “Treaties and Executive Agreements: a History”,
Treaty Politics and the Rise of Executive Agreements- International Commitments in a System of
Shared Powers, (The University of Michigan Press, 2009), tersedia di:
https://www.press.umich.edu/pdf/9780472116874-ch1.pdf 90 Krutz dan Peake, “Treaties and Executive Agreements: a History” 91 Elizabeth Goitein, “The New Era of Secret Law”, (New York: Brennan Center For
Justice, 2016) 47-49
56
Tabel III.B.3. Publikasi Perjanjian Internasional Amerika Serikat
Sumber: Goitein, “The New Era of Secret Law”, 4992
Pada 28 Januari 2017 pasca pergantian kepemimpinan di Amerika Serikat,
Australia melalui perdana menteri Turnbull melakukan komunikasi pertama
dengan Amerika serikat untuk memastikan kelanjutan perjanjian penempatan
pengungsi melalui jaringan telepon.93 Melalui negosiasi tersebut,Turnbull
menyebutkan beberapa isi dari perjanjian bilateral tersebut diantaranya adalah:94
a. Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Barack Obama telah
menandatangani perjanjian penempatan kembali 1.250 pengungsi
Australia yang berada di pusat detensi Kepulauan Manus dan Nauru;
b. Australia bersedia untuk menempatkan kembali pengungsi dari Amerika
Tengah yang berusaha untuk memasuki Amerika Serikat dan saat ini
92 Goitein, “The New Era of Secret Law”, 49 93 Greg Miller, Julie Vitkovskaya, dan Reuben Fischer-Baum, “This Deal Will Make Me
Look Terrible’: Full transcripts of Trump’s calls with Mexico and Australia” ; The Washington
Post, 3 Agustus 2017, tersedia di:
https://www.washingtonpost.com/graphics/2017/politics/australia-mexico-
transcripts/?utm_term=.67fc9e8de533 ; diakses pada 18 Maret 2019 94 Miller,Vitkovskaya dan Baum, “This deal will make me look terrible’: Full transcripts
of Trump’s calls with Mexico and Australia”
57
berada di pusat detensi pengungsi Kosta Rika sebagai bagian dari
perjanjian eksekutif penempatan kembali pengungsi Amerika Serikat
dan Australia. Australia juga bersedia untuk menerima pengungsi lebih
banyak dan siapapun yang Amerika Serikat inginkan.
Sebelum Amerika Serikat dan Australia melakukan komunikasi melalui
jaringan telfon, Amerika Serikat melalui Presiden Donald Trump menandatangani
perintah eksekutif (Executive Order) bernama “Protecting the Nation from
Foreign Terrorist Entry into the United States” .95 Melalui perjanjian tersebut
Amerika Serikat berupaya untuk melindungi negara dari ancaman terorisme
melalui penghentian sementara program penempatan kembali pengungsi,
reformasi sistem imigrasi, larangan masuk serta perjalanan bagi warga dari
beberapa negara yang masuk dalam kategori berbahaya.
Perjanjian eksekutif antara Amerika Serikat dan Australia dianggap telah
melanggar beberapa hal dalam perintah eksekutif tersebut dan mengganggu
kepentingan nasional Amerika Serikat dalam proses reformasi sistem imigrasi di
Amerika Serikat. Menanggapi perjanjian yang telah disepakati antara Amerika
Serikat dan Australia pada tahun 2016, Amerika Serikat memutuskan untuk tetap
melanjutkan perjanjian eksekutif penempatan kembali pengungsi tersebut dengan
syarat bahwa sistem penempatan kembali pengungsi akan diatur dan berjalan
sesuai aturan dari Amerika Serikat.96 Amerika Serikat juga akan menerapkan
sistem keamanan yang ketat (extreme vetting) dimana wawancara mendalam
95BBC, “Trump's executive order: Who does travel ban affect?” 96 Parliament of Australia, “Chapter 4”, tersedia di:
https://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Committees/Senate/Legal_and_Constitutional_A
ffairs/NauruandManusRPCs/Report/c04
58
terkait latar belakang pengungsi dan kemungkinan interaksi dengan organisasi
berbahaya akan dilakukan oleh Departemen Keamanan Dalam Negeri Amerika
Serikat.97
Sampai dengan 28 Februari 2019, 493 pengungsi dilaporkan telah berangkat
menuju Amerika Serikat dengan mayoritas berasal dari individu yang tidak
memiliki kewarganegaraan (stateless person), berkewarganegaraan Pakistan dan
Afghanistan. (Grafik 2).98 Adapun pencari suaka yang ditolak pengajuan
programnya oleh otoritas pemerintahan Amerika Serikat sebanyak 265 orang dan
mayoritas berasal dari Iran, Sri Lanka dan Somalia (Grafik 3) sehingga jumlah
pencari suaka yang tersisa di Nauru sebanyak 394 pencari suaka dan 580 di
Kepulauan Manus Papua Nugini.99
97 Colin Packham, “Exclusive: U.S. starts’extreme vetting’ at Australia’s offshore detention
centers”, tersedia di: https://www.reuters.com/article/us-usa-trump-australia-refugees-
idUSKBN18J0GA 98 Refugee Council, ‘’Offshore Processing Statistics”, tersedia di:
https://www.refugeecouncil.org.au/operation-sovereign-borders-offshore-detention-statistics/4/ 99 Refugee Council, ‘’Offshore Processing Statistics”
59
Grafik III.B.2. Pengungsi Yang Telah Mendapatkan Hak Penempatan
Kembali di Amerika Serikat berdasarkan Kewarganegaraannya
Sumber: Refugee Council, ‘’Offshore Processing Statistics”100
Grafik III.B.3. Pengungsi Yang Tidak Mendapatkan Hak Penempatan
Kembali di Amerika Serikat berdasarkan Kewarganegaraannya
Sumber: Refugee Council, ‘’Offshore Processing Statistics”101
100 Refugee Council, ‘’Offshore Processing Statistics” 101 Refugee Council, ‘’Offshore Processing Statistics”
60
BAB IV
ANALISA KEPUTUSAN AMERIKA SERIKAT DALAM PERJANJIAN
EKSEKUTIF PENEMPATAN KEMBALI PENGUNGSI DENGAN
AUSTRALIA 2017
Bab ini menjawab pertanyaan mengapa Amerika Serikat memutuskan untuk
melanjutkan perjanjian eksekutif penempatan kembali pengungsi dengan
Australia pada tahun 2017. Analisa keputusan Amerika Serikat tersebut ditelaah
melalui kajian kepentingan nasional milik Nuechterlein, aspek kebijakan luar
negeri, dan pengungsi dalam ilmu hubungan internasional untuk mengetahui
kepentingan serta faktor-faktor yang melatarbelakangi pengambilan keputusan
oleh Amerika Serikat pada tahun 2017.
Pada tahun 2017, Amerika Serikat mengeluarkan berbagai kebijakan untuk
menekan angka pengungsi yang dapat masuk dan diterima oleh negara. Kebijakan
tersebut dikeluarkan melalui sebuah perintah eksekutif atau Executive Order
13769: Protecting the Nation from Foreign Terrorist Entry into the United States
dan menimbulkan dampak salah satunya terhadap kelanjutan perjanjian eksekutif
penempatan kembali pengungsi antara Amerika Serikat dengan Australia yang
telah disepakati oleh kedua negara pada 2016. Namun pada tahun 2017 Amerika
Serikat memutuskan untuk tetap melanjutkan perjanjian tersebut meski
berlawanan dengan kepentingan nasional pada saat itu.
61
Pengeluaran perintah eksekutif tersebut didominasi atas dasar pertimbangan
aspek pertahanan-keamanan dengan tujuan utama untuk melindungi negara dari
infiltrasi terorisme. Amerika Serikat sempat menunda dan mempertimbangkan
kembali keputusan keberlanjutan perjanjian dengan Australia sebab dianggap
kontradiktif terhadap perintah eksekutif yang baru saja dikeluarkan oleh Presiden
Trump. Namun, pada kenyataannya Amerika Serikat tetap melanjutkan perjanjian
tersebut dan hingga kini telah memberikan admisi kepada ratusan pengungsi.
Meski begitu, prosesi penerapan perjanjian ini tidak ditampilkan secara transparan
kepada publik untuk tetap menjaga keabsahan perintah eksekutif 13769.
Pertimbangan Amerika Serikat untuk melanjutkan perjanjian dengan
Australia tersebut dapat dipahami melalui analisa kepentingan nasional, utamanya
aspek pertahanan-keamanan dan ekonomi. Selain kedua aspek tersebut, ideologi
pun tetap menjadi salah satu pertimbangan Amerika Serikat sebagaimana yang
dicatatkan sejarah, meski prioritasnya kini tidak terlalu besar
A. Kepentingan Nasional
Sub-bab ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal yang melatar-belakangi
keputusan Amerika Serikat untuk melanjutkan perjanjian eksekutif penempatan
kembali pengungsi dengan Australia. Skripsi ini menganalisa keputusan Amerika
Serikat melalui kajian kepentingan nasional. Analisa tentang kepentingan nasional
suatu negara tidak terlepas dari pengaruh internal dan eksternal negara tersebut.
Setiap kepentingan nasional dibentuk berdasarkan kebutuhan, keinginan serta
cita-cita yang harus dicapai suatu negara melalui pembentukan setiap kebijakan
luar negeri.
62
Menurut Nuechterlein, kepentingan nasional dapat diartikan sebagai aspirasi
atau tujuan sebuah negara berdaulat dalam hubungannya dengan negara berdaulat
lain dalam tataran aspek dan konteks eksternal. 102 Dalam definisi tersebut,
Nuechterlein membaginya menjadi tiga poin penjelasan, yaitu: 103
1. Kebutuhan negara yang dianggap menjadi pertimbangan dalam
menentukan kepentingan negara berangkat dari proses politik. Konteks
politik dalam hal ini termasuk cara pandang seorang tokoh pemimpin
atau eksekutif negara. Adapun pandangan atau kebijakan seorang
pemimpin tersebut bisa jadi berbeda dengan kepentingan negara secara
umum, namun tetap menjadi pertimbangan penting dalam menentukan
pertimbangan keputusan atas suatu isu
2. Kepentingan nasional merupakan atribut yang melekat pada negara yang
berdaulat, dan tidak bisa dianalisa untuk kasus organisasi internasional
maupun negara terjajah. Sebab kepentingan nasional suatu negara tidak
terlepas dari pertimbangan penggunaan kekuatan, pembatasan
perdagangan, dan pembentukan aliansi yang tentu hanya dapat
diterapkan oleh negara yang telah secara utuh berdaulat
3. Terdapat perbedaan utama yang penting untuk diperhatikan dalam
menganalisa kepentingan nasional, yakni faktor eksternal dan faktor
internal (domestik) yang juga biasa disebut sebagai kepentingan publik.
102 Nuechterlein, National Interest and Foreign Policy: A Conceptual Framework for
Analysis and Decision-Making. 103 Nuechterlein, National Interest and Foreign Policy: A Conceptual Framework for
Analysis and Decision-Making.
63
Singkatnya, kepentingan nasional dibaca atau dianalisa secara keseluruhan
dalam konteks kebutuhan dan tujuan suatu negara, tidak terbatas pada suatu
kelompok, birokrasi, maupun organisasi politik tertentu. Nuchterlain
mengkategorikan kepentingan nasional berdasarkan empat aspek dasar, yakni
pertahanan-keamanan (defence interests), perekonomian (economic interests),
hubungan internasional (world order interests), dan ideologi (ideological interest).
Keempat aspek ini seringkali berkaitan dan bahkan tumpeng tindih prioritas antar
satu dengan yang lain104 Meski menjadi sebuah pertimbangan, terdapat urutan
intensitas kepentingan yang didasarkan dari bermacam faktor termasuk misalnya
aspek stratejik, demografi, dinamika hubungan dengan entitas internasional lain,
dan lain sebagainya.
Dalam memahami kepentingan nasional Amerika Serikat terhadap
pengungsi, perlu dipahami pula bagaimana pandangan suatu negara terhadap isu
atau fenomena yang terjadi baik dari dalam negeri ataupun konteks internasional.
Dalam hal ini adalah bagaimana Amerika Serikat melihat fenomena imigrasi serta
sejauh apa permasalahan pengungsi dan imigrasi mempengaruhi kepentingan
nasional Amerika Serikat. Misalnya, pada periode pasca PD II, Amerika Serikat
membuka rumahnya bagi para pengungsi sebab didorong oleh kepentingan
ideologi secara dominan, dalam hal tersebut yaitu mencegah penyebaran paham
komunisme. Sedangkan dalam kasus Amerika Serikat melanjutkan perjanjian
eksekutifnya dengan Australia terkait penempatan kembali pengungsi, dengan
104Nuechterlein, National Interest and Foreign Policy: A Conceptual Framework for
Analysis and Decision-Making.
64
menggunakan empat pokok kepentingan nasional Nuchterlain, dapat digambarkan
sebagai berikut
Tabel IV.A.4. Kepentingan Nasional Amerika Serikat
Country: United States Issue: Refugee Resettlement deal
Kepentingan pertahanan dan ekonomi pada tahun 2017 menjadi major
interest (kepentingan utama) dalam pertimbangan Amerika Serikat untuk
melanjutkan perjanjian eksekutif dengan Australia. Pada tahun 2017. Amerika
Serikat menyatakan bahwa permasalahan pengungsi khususnya dari negara
mayoritas muslim dan Amerika Tengah adalah ancaman besar terhadap
kepentingan pertahanan dan ekonomi, sehingga Amerika Serikat memutuskan
untuk mengeluarkan berbagai kebijakan keras terhadap kedua permasalahan
tersebut.
Intensitas kepentingan Amerika Serikat terhadap fenomena tersebut
dianggap sebagai major issues (masalah serius) sehingga diperlukan pencegahan
untuk mengatasi permasalahan tersebut sebelum menjadi vital issues (masalah
Basic
interest
involved
Intensity of interest
Survival Vital Major Peripheral
Defense X
Economic X
World Order X
Ideological X
65
krusial) di Amerika Serikat. Selain dikeluarkannya perintah eksekutif 13769
sebagai bentuk pencegahan, keberlanjutan perjanjian dengan Australia meski
cenderung kontradiktif, juga memiliki aspek pencegahan di dalamnya. Amerika
Serikat memiliki pola pertimbangan kebijakan dan kepentingan nasional yang
cukup idealis, yakni mengedepankan setiap isu yang berpotensi mempengaruhi
keamanan bangsa, negara, kesejahteraan ekonomi rakyat dan stabilitas sistem
internasional. 105
Pertimbangan hubungan internasional atau tatanan dunia dan ideologi tidak
menjadi diskusi utama dan karenanya masuk dalam kategori peripheral issues
(masalah ringan) sebab tidak memberikan pengaruh atau dampak signifikan
terhadap kesejahteraan negara. Hal ini erat kaitannya pula dengan fenomena atau
isu yang terjadi. Pasca PD II, kepentingan ideologi menjadi pertimbangan utama
sebab dihadapkan dengan penyebaran paham komunisme, serta tatanan dunia
sebab terjadi kontestasi geopolitik saat itu. Sementara pada kasus perjanjian
eksekutif dengan Australia, keputusan apapun yang mungkin dihasilkan tidak
memberi pengaruh signifikan terhadap maslahat ideologi Amerika Serikat
maupun tatanan dunia. Penjelasan terkait kepentingan nasional menurut
Nuechterlein akan dijelaskan dalam sub-bab berikut.
105 Donald E. Nuechterlein, “United States National Interest in a Changing World”
(Lexington: The University Press of Kentucky, 2015), 22
66
1. Kepentingan Pertahanan
Menurut Nuechterlein, kepentingan pertahanan (defense interest) adalah
pengambilan sebuah kebijakan yang didasarkan pada kepentingan negara untuk
melindungi warga dan negaranya dari ancaman kekerasan fisik yang datang baik
dari suatu negara lainnya maupun entittas eksternal lain terhadap sistem
pemerintahannya.106 Salah satu pilar kepentingan nasional utama (vital issues)
yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat adalah berusaha melindungi tanah air,
warga negara dan kehidupan warga Amerika Serikat.107 Masalah vital ini
memungkinkan negara untuk membangun kerjasama dan hubungan baik dengan
negara sekutu hingga menerapkan peraturan keamanan yang agresif kepada pihak
yang dicurigai atau pihak musuh.
Badan Pertahanan Amerika Serikat menyatakan bahwa saat ini ancaman
dalam lingkungan keamanan nasional tidak hanya berasal dari negara, tetapi juga
dari aktor non negara seperti teroris, organisasi kriminal lintas negara, cyber
hackers dan aktor kejahatan non-negara lainnya.108 Strategi yang dilakukan
Amerika Serikat untuk melindungi bangsa dan warga negaranya adalah dengan
memperkuat pengawasan terhadap wilayah perbatasan serta merubah sistem
imigrasi untuk mencegah dari ancaman terbesar antar negara yaitu teroris jihadis
dan organisasi kejahatan lintas negara atau transnational criminal organizations
106Nuechterlein, National Interest and Foreign Policy: A Conceptual Framework for
Analysis and Decision-Making. 107 National Security Strategy of the United States of America, tersedia dalam
https://www.whitehouse.gov/wp-content/uploads/2017/12/NSS-Final-12-18-2017-0905.pdf 108 National Defense Strategy of the United States of America, tersedia dalam
https://dod.defense.gov/Portals/1/Documents/pubs/2018-National-Defense-Strategy-Summary.pdf
67
(TCO) di Amerika Serikat.109 Strategi tersebut menjadi salah satu strategi utama
dalam menjaga keamanan nasional, kemakmuran ekonomi dan supremasi
Amerika Serikat. Strategi itu sangat penting untuk mencegah imigran ilegal,
transnational gangs, teroris, pengedar narkoba dan criminal car-tels untuk tidak
mengeksploitasi perbatasan, membebankan ekonomi dan mengancam keamanan
dan keselamatan negara.110
Bentuk kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat dalam mengatasi
permasalahan tersebut diantaranya adalah melalui pembentukan perintah eksekutif
atau “Executive Order”. Pada tahun 2017, Amerika Serikat mengeluarkan dua
perintah eksekutif yang berfokus kepada permasalahan tersebut, peraturan tersebut
adalah “Protecting the Nation from Foreign Terrorist Entry into the United
States” nomor 13769 dan “Border Security and Immigration Enforcement
Improvements” nomor 13767. Melalui perintah eksekutif tersebut, Amerika
Serikat menggolongkan ancaman keamanan nasional menjadi dua yaitu ancaman
terorisme yang ditujukan kepada pengungsi dari negara mayoritas Muslim dan
ancaman kejahatan antar bangsa yang ditujukan kepada negara-negara di
perbatasan Amerika Serikat yaitu Meksiko dan negara-negara Amerika Tengah.
Secara garis besar, perintah eksekutif “Protecting the Nation from Foreign
Terrorist Entry into the United States” dikeluarkan oleh Amerika Serikat sebagai
bentuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat untuk melindungi negara dari
ancaman terorisme. Kebijakan ini difokuskan kepada pengurangan kuota
pengungsi, pemberhentian sementara program penempatan kembali pengungsi,
109 National Security Strategy of the United States of America 110 National Security Strategy of the United States of America
68
larangan masuk bagi warga Suriah dan negara mayoritas Muslim yang dianggap
memiliki relasi dengan aksi terorisme serta penerapan pemeriksaan ketat dalam
seluruh proses imigrasi.111
Sedangkan perintah eksekutif “Border Security and Immigration
Enforcement Improvements” dikeluarkan atas keinginan Amerika Serikat untuk
mengamankan Perbatasan Selatan (southern border) antara Amerika Serikat dan
Meksiko serta memperbaiki sistem imigrasi. Perbatasan yang dimaksud meliputi
semua titik masuk jalur darat antar kedua negara. 112 Pengamanan Perbatasan
Selatan antara Amerika Serikat dan Meksiko dilakukan oleh U.S. Customs and
Border Protection (CBP) di bawah tanggung jawab dari Departemen Keamanan
Dalam Negeri Amerika Serikat. Presiden juga mengerahkan 7.500 tentara aktif
dan The National Guard, pasukan militer cadangan yang dikerahkan untuk
berbagai misi di dalam dan luar negeri untuk membantu penjaga perbatasan dalam
proses imigrasi serta mencegah perdagangan narkoba ilegal.113
Selama ini Perbatasan Selatan banyak dijadikan jalur organisasi kejahatan
lintas negara atau transnational criminal organizations, seperti perdagangan
narkoba dan manusia serta masuknya para imigran ilegal yang berpotensi
menciptakan teror dan tindakan kriminal yang dapat mengancam kepentingan
111 “Protecting the Nation From Foreign Terrorist Entry Into the United States”,
Presidential Document 112 Executive Order: Border Security and Immigration Enforcement Improvements,
Executive Order 113 Claire Felter dan Zachary Laub, “Who Secures the U.S. Border?”, CFR, 15 Februari
2019, teredia dalam https://www.cfr.org/backgrounder/us-mexico-border-woes
69
Amerika Serikat114. Meksiko dan Amerika Tengah ditetapkan sebagai wilayah
paling berbahaya di luar daerah aktif perang dengan permasalahan keamanan
seperti street gangs, organisasi kejahatan lintas negara dan korupsi dalam negeri
khususnya dalam tiga negara segitiga Utara yaitu El Salvador, Guatemala dan
Honduras. Permasalahan tersebut menjadi alasan utama mengapa setiap tahunnya
warga negara dari keempat negara tersebut memutuskan untuk pindah ke Amerika
Serikat, baik secara legal melalui pengajuan status penempatan kembali atau
secara ilegal dengan melintasi Perbatasan Selatan antara Amerika Serikat dan
Meksiko. 115
Fakta lain yang muncul di lapangan dalam permasalahan ini ialah otoritas
departemen keamanan dalam negeri yang bertanggung jawab untuk mengatur
Perbatasan Selatan tidak hanya melakukan pengawasan dan pemeriksaan,
melainkan ikut serta terlibat dalam melancarkan aktifitas penyelundupan tersebut.
Berdasarkan investigasi yang dilakukan oleh New York Times, sebanyak lebih dari
200 petugas dari otoritas keamanan perbatasan Amerika Serikat telah menerima
lebih dari 15 juta dolar selama sepuluh tahun terakhir untuk memberikan
informasi kepada para penyelundup, meloloskan berton-ton narkoba dan ribuan
imigran gelap untuk melewati perbatasan.116
114 Executive Order: Border Security and Immigration Enforcement Improvements,
Executive Order, dalam https://www.whitehouse.gov/Presidential-actions/executive-order-border-
security-immigration-enforcement-improvements/ (diakses pada 30 April 2019) 115 Stevan Dudley, “Transnational Crime in Mexico and Central America: Its Evolution
and Role in International Migration”, November 2012, tersedia dalam
https://www.migrationpolicy.org/research/RMSG-CentAm-transnational-crime (diunduh pada 23
April 2019) 116 Charley Lanyon, “New York Times: Corrupt Border Agents Are Letting Tons of Drugs
and Thousands of Undocumented Imigrants Into the Country”, New York Intelligencer, 28
70
The Migration Policy Institute telah memperkirakan dari total 11 juta
pengungsi tanpa dokumen atau ilegal yang ada di Amerika Serikat, 820.000
diantaranya telah dihukum atas tindak kejahatan dan 300.000 atau 3% dari total
pengungsi dipidana atas tindakan kejahatan berat.117 Pada akhir Januari 2017,
Badan Penegakan Imigrasi dan Bea Cukai atau U.S. Immigration and Customs
Enforcement's (ICE) menangkap 16 imigran ilegal berkebangsaan meksiko yang
diduga terlibat tindak kejahatan seperti pemaksaan / penyerangan dengan senjata
mematikan yang bukan senjata api namun tetap memungkinkan terjadinya cedera
fisik, menerima barang curian, pencurian dalam skala besar, kepemilikan obat
terlarang untuk didistribusikan dan mengemudi dalam keadaan mabuk.118
Dalam kepentingan pertahanan nasional, Nuechterlein menyatakan bahwa
salah satu faktor utama yang menjadi pertimbangan Amerika Serikat saat
menentukan intensitas prioritas kepentingan suatu isu dalam kebijakan luar negeri
dan pengaruhnya terhadap kepentingan nasional adalah lokasi dimana ancaman
tersebut terjadi atau location of threat.119 Faktor geografis ini meliputi bagaimana
implikasi strategis suatu isu terhadap wilayah Amerika Serikat dan warga negara
yang berada didalamnya.
Desember 2016, tersedia di: http://nymag.com/intelligencer/2016/12/nyt-corrupt-u-s-border-
agents-a-boon-for-smugglers.html; (diakses pada 18 April 2019) 117 Vivian Yee, Kenan Davis, dan Jugal K Patel, “Here’s the Reality About Ilegal Imigrants
in the United States”, NY Times, 6 Maret 2017, tersedia dalam
https://www.nytimes.com/interactive/2017/03/06/us/politics/undocumented-ilegal-imigrants.html 118 ICE Milwaukee arrests 16 during operation targeting criminal aliens, tersedia dalam
https://www.ice.gov/news/releases/ice-milwaukee-arrests-16-during-operation-targeting-criminal-
aliens 119 Nuechterlein, “United States National Interest in a Changing World”
71
Keamanan nasional dalam faktor ini dianggap berhubungan dengan
seberapa jauh jarak sebuah lokasi permasalahan dari wilayah Amerika Serikat.120
Jika dikaitkan dengan kedua ancaman yang dihadapi oleh Amerika Serikat yaitu
terorisme dari negara mayoritas muslim dan kejahatan antar bangsa dari negara
perbatasan, maka ancaman perbatasan dan imigrasi ilegal dari Meksiko dan
Amerika tengah menjadi masalah utama yang lebih berbahaya dibandingkan
dengan permasalahan pengungsi dari negara mayoritas muslim. Atas alasan itulah
Amerika Serikat menetapkan keamanan perbatasan pada tahun 2017 menjadi
aspek terpenting dalam pertahanan dan keamanan nasional Amerika Serikat dan
mendaklarasikan permasalahan perbatasan menjadi “national emergency” 121
Keputusan Amerika Serikat untuk melanjutkan perjanjian penempatan
kembali pengungsinya dengan Australia tidak sepenuhnya merugikan bagi
Amerika Serikat. Dalam negosiasi yang dilakukan antara Australia dan Amerika
Serikat pada tahun 2017, Australia telah bersedia untuk menerima lebih banyak
pengungsi yang tidak diinginkan oleh Amerika Serikat yang berasal dari negara-
negara di Amerika Tengah. Keputusan Amerika Serikat didasari oleh kepentingan
untuk melindungi warga dan negaranya dari kekerasan fisik yang datang dari
negara lainnya.
Meskipun telah dijelaskan bahwa pengungsi Australia mayoritas berasal
dari negara-negara yang termasuk dalam perhatian utama dan dapat menjadi
potensi ancaman teroris bagi Amerika Serikat, namun permasalahan yang terjadi
120 Nuechterlein, “United States National Interest in a Changing World” 121“President Donald J. Trump’s Border Security Victory”, 15 Februari 2019, tersedia
dalam https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/President-donald-j-trumps-border-
security-victory/
72
di perbatasan akibat para imigran ilegal dari Meksiko dan Amerika Tengah
merupakan salah satu ancaman yang lebih krusial. Hal tersebut dikarenakan
banyaknya tindak kriminalitas seperti penyelundupan, perdagangan narkoba dan
pergerakan anggota kejahatan yang ikut dalam arus imigrasi ilegal tersebut.
Dengan disepakatinya perjanjian penempatan kembali pengungsi dengan
Australia, Amerika Serikat dapat mengurangi kesempatan bagi para pelaku
kejahatan transnasional untuk memasuki Amerika Serikat. Sehingga perjanjian
tersebut dapat menjadi solusi jangka panjang bagi kepentingan pertahanan
Amerika Serikat. Perjanjian ini juga mengatur kesediaan Australia untuk
menempatkan kembali pengungsi Amerika Tengah tanpa batas ke Australia. Hal
tersebut berdampak kepada berkurangnya jumlah pengungsi di Kosta Rika akan
meningkatkan keamanan perbatasan Amerika Serikat berikut menurunnya tindak
kriminalitas yang disebabkan oleh kegiatan imigrasi ilegal.
2. Kepentingan Ekonomi
Menurut Nuechterlein, kepentingan ekonomi merupakan pengambilan
sebuah kebijakan yang didasarkan pada kepentingan negara untuk meningkatkan
neraca perekonomian dalam rangka meningkatkan kesejahteraan warga dan
negaranya.122 Kelangsungan hidup ekonomi dari Amerika Serikat memiliki nilai
vital dalam kepentingan Amerika Serikat. Dalam menentukan level kepentingan
negara terhadap negara asing, Amerika Serikat akan melihat kekuatan serta
122 Nuechterlein, National Interest and Foreign Policy: A Conceptual Framework for
Analysis and Decision-Making.
73
potensi suatu negara untuk mengukur bagaimana intensitas tersebut terhadap
kepentingan Amerika Serikat.123
Salah satu kepentingan ekonomi yang ingin dicapai Amerika Serikat pada
tahun 2017 adalah mengembalikan kejayaan perekonomian Amerika Serikat
melalui reformasi sistem untuk mendukung para pekerja Amerika Serikat. Bentuk
kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 2017 adalah perintah eksekutif untuk
“Buy American and Hire American”.124 Perintah eksekutif tersebut secara garis
besar berusaha untuk mempromosikan kepentingan keamanan nasional dan
ekonomi untuk merangsang pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan
pekerjaan dengan upah yang layak, memperkuat kelas menengah Amerika Serikat
serta mendukung industri perekonomian Amerika Serikat. 125
Dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih baik bagi warga
Amerika Serikat, maka negara menetapkan kebijakan “Hire American” dimana
negara akan secara ketat menegakkan serta mengelola undang-undang yang
mengatur masuknya pekerja asing ke Amerika Serikat untuk melindungi
kepentingan ekonomi Amerika Serikat.126 Negara juga akan memastikan bahwa
sistem imigrasi tidak akan mengancam para pekerja Amerika Serikat dan
123 Nuechterlein, National Interest and Foreign Policy: A Conceptual Framework for
Analysis and Decision-Making. 124 Presidential Executive Order on Buy American and Hire American, Exexutive Orders,
18 April 2017, tersedia dalam https://www.whitehouse.gov/Presidential-actions/Presidential-
executive-order-buy-american-hire-american/ (diaskes 30 April 2019) 125 Presidential Executive Order on Buy American and Hire American, Exexutive Orders 126 Presidential Executive Order on Buy American and Hire American, Exexutive Orders
74
menggantikan para pekerja Amerika Serikat dengan buruh asing dengan upah
yang lebih murah.127
Imigran legal dan ilegal khususnya dari Meksiko dan Amerika Tengah
memiliki pengaruh yang berbeda terhadap kepentingan ekonomi Amerika Serikat.
Para imigran legal tidak dapat dengan bebas mencari pekerjaan karena adanya
regulasi yang harus dipatuhi dan telah diatur oleh negara. Hal ini berbeda dengan
para imigran ilegal yang memiliki kecenderungan untuk datang dalam jumlah
masif dan dapat dengan leluasa menempati negara-negara bagian dengan peluang
kerja yang kuat dan tinggi.128
Hal tersebut menjadi alasan mengapa imigran ilegal menjadi ancaman
terhadap kepentingan ekonomi Amerika Serikat. Meskipun Amerika Serikat
berusaha untuk mengedepankan peluang kerja bagi masyarakat Amerika Serikat,
Peran pengungsi dalam pasar tenaga kerja Amerika Serikat masih dibutuhkan
untuk mengisi pekerjaan yang dibutuhkan. Tingginya partisipasi para pengungsi
dalam sektor tenaga kerja telah berkontribusi dalam perekonomian Amerika
Serikat.
Pada tahun 2015, pengungsi berkontribusi sebagai penghasil dan pembayar
pajak bagi Amerika Serikat. Pada tahun 2015, hampir 2.3 juta pengungsi telah
berkontribusi sebesar 20.9 miliar dolar terhadap pajak Amerika Serikat termasuk
14.5 miliar dolar pajak federal dan 6.4 miliar dolar dalam pembayaran kepada
127 President Trump Promotes “Buy American and Hire American” , Fact Sheet, 18 April
2018 tersedia dalam https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/President-trump-promotes-
buy-american-hire-american/ 128 Gordon H. Hanson, The Eonomic Logic of Ilegal Immigration, Council Ob Foreign
Relation CSR No. 26, (April 2007)
75
pemerintah negara bagian dan lokal dengan penghasilan rumah tangga 77.2 juta
secara kolektif.129
Dengan melanjutkan perjanjian penempatan kembali pengungsi dengan
Australia, maka para pengungsi tersebut dapat membantu perekonomian negara
dengan mengisi sektor-sektor tenaga kerja yang kemungkinan dapat diisi oleh
para imigran ilegal dari Amerika Tengah. Sehingga peluang kerja bagi para
imigran ilegal akan semakin sedikit sehingga mereka dapat kembali ke negara
asalnya.
B. Kebijakan Luar Negeri
1. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang berpengaruh terhadap keputusan Amerika Serikat
melanjutkan perjanjian eksekutif penempatan kembali pengungsi dengan
Australia adalah hubungan aliansi Amerika Serikat dengan Australia. Sebagai
aliansi, Australia memiliki pengaruh dalam pertimbangan pemerintah Amerika
Serikat untuk melanjutkan perjanjian penempatan kembali pengungsinya dengan
Australia. Keputusan Australia untuk menerima pengungsi yang berada di pusat
detensi pengungsi Kosta Rika tidak sepenuhnya merugikan bagi Amerika Serikat.
Dalam negosiasi yang dilakukan antara Australia dan Amerika Serikat pada tahun
2017, Australia telah bersedia untuk menerima lebih banyak pengungsi yang tidak
diinginkan oleh Amerika Serikat. Pernyataan tersebut jelas menjadi keuntungan di
129 New American Economy, “From Struggle to Resilience” , Juni 2017, tersedia di
http://research.newamericaneconomy.org/wp-
content/uploads/sites/2/2017/11/NAE_Refugees_V6.pdf
76
mana di masa yang akan datang Amerika Serikat dapat mengirimkan berapapun
pengungsi ke Australia.130
Meskipun para individu yang berada di pusat detensi Kepulauan Manus dan
Nauru telah mendapatkan status sebagai pengungsi oleh UNHCR, Amerika
Serikat tetap menjalankan kebijakannya dalam menjaga keamanan dengan
menerapkan mekanisme seleksi yang ketat dalam setiap proses terkait imigrasi
dan penempatan kembali pengungsi. Adapun permasalahan dalam perjanjian
penempatan kembali pengungsi dengan Australia, Amerika Serikat tentu tidak
bisa begitu saja membatalkan perjanjian dengan Australia, sebab perjanjian
eksekutif ini juga menjadi strategi Amerika Serikat untuk menjaga keharmonisan
dengan negara-negara sekutunya.
2. Faktor Internal
Faktor internal yang berpengaruh terhadap keputusan Amerika Serikat
melanjutkan perjanjian eksekutif penempatan kembali pengungsi dengan
Australia adalah adanya tekanan dari politik internal Amerika Serikat. Pasca
negosiasi yang dilakukan antara Amerika Serikat dan Australia, media
internasional secara negatif memberitakan bagaimana kelanjutan hubungan aliansi
kedua negara. Hal tersebut dikarenakan respon Donald Trump dalam negosiasi
tersebut bersifat sangat keras dengan menyebutkan perjanjian tersebut sebagai
“dumb deal” dan dapat menghancurkan Donald Trump secara politik.
Pemerintah internal Amerika Serikat menyikapi negosiasi antara kedua
kepala negara tersebut dengan menempatkan Trump sebagai salah satu ancaman
130 Miller,Vitkovskaya dan Baum,“This deal will make me look terrible’: Full transcripts of
Trump’s calls with Mexico and Australia”
77
dalam aliansi hubungan kedua negara. Dalam berbagai hal, pemerintah internal
Amerika Serikat melalui para senator dan badan perwakilannya menyatakan
bahwa Australia merupakan aliansi utama bagi Amerika Serikat dan aliansi
penting dalam menjaga kepentingan nasional Amerika Serikat.131
Selain pernyataan para senator dan badan perwakilan, hanya sedikit
perwakilan dari kongres yang sejalan dengan pemikiran presiden Donald Trump
untuk mengkritik perjanjian eksekutif Amerika Serikat pada era kepemimpinan
Donald Trump. Sedangkan para anggota kongres lainnya secara jelas mendukung
Australia dan mengkritik sikap Trump terhadap Australia.132 Respon keras yang
diberikan oleh internal Amerika Serikat yang dikemukakan secara masif melalui
media sosial dan media berita berdampak kepada penggerakan opini masyarakat
Amerika Serikat dan internasional yang tidak setuju terhadap sikap Amerika
Serikat terhadap Australia sehingga mempengaruhi aliansi kedua negara.
131 Dougal. "Congressional Support for Australia Has Paid Dividends with the Trump
Administration" 132 Dougal. "Congressional Support for Australia Has Paid Dividends with the Trump
Administration"
78
BAB V
KESIMPULAN
Pada tahun 2017, Amerika serikat memutuskan untuk melanjutkan
perjanjian eksekutif penempatan kembali pengungsinya dengan Australia. Melalui
perjanjian tersebut, Amerika Serikat bersedia untuk menempatkan kembali 1.250
pengungsi mayoritas dari Asia dan negara mayoritas muslim yang berada di pusat
detensi pengungsi milik Australia yang terletak di Kepulauan Manus dan Nauru.
Perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang berlaku hanya satu kali dan
disepakati pada tahun 2016 oleh mantan presiden Amerika serikat, Barack Obama
dan Perdana Menteri Australia, Malcolm Turnbull untuk direalisasikan pada tahun
2017.
Perjanjian tersebut mendapat respon dan kritik keras dari pemerintahan
Amerika Serikat dimana pada tahun 2017 terjadi peralihan pemerintahan dari
Barack Obama menjadi Donald Trump. Perjanjian tersebut dinilai melanggar
kepentingan nasional yang berusaha diwujudkan oleh Amerika Serikat pada tahun
2017 dimana negara berusaha menekan jumlah pengungsi dan imigran di Amerika
Serikat. Bentuk kebijakan luar negeri Amerika Serikat yang dilanggar adalah: 1)
Larangan masuk bagi warga Suriah; 2) Pemberhentian sementara program
penempatan kembali pengungsi di Amerika Serikat; 3) Larangan masuk
sementara bagi warga negara baik imigran maupun yang berkewarganegaraan
Irak, Iran, Libya, Somalia, Sudan, Suriah dan Yaman.
79
Namun Amerika Serikat pada tahun 2017 memutuskan untuk tetap
melanjutkan perjanjian eksekutif penempatan kembali pengungsi tersebut dan
bersedia menempatkan 1.250 pengungsi di Amerika Serikat meskipun
bertentangan dengan kepentingan serta kebijakan yang ingin dicapai oleh Amerika
Serikat. Konsep kepentingan nasional Nuechterlein mampu menjelaskan alasan
dibalik perubahan keputusan Amerika Serikat tersebut. Skripsi ini menemukan
bahwa alasan Amerika Serikat mengabaikan kepentingannya dan melanjutkan
perjanjian tersebut adalah karena adanya kepentingan lain yang bersifat lebih
utama dan mengancam terhadap kepentingan Amerika Serikat yaitu kepentingan
pertahanan dan ekonomi yang menjadi isu utama dalam kepentingan Amerika
Serikat.
Dalam kepentingan pertahanan, Amerika Serikat menghadapi permasalahan
yang lebih mendesak dimana lemahnya perbatasan Amerika serikat dengan
Meksiko berdampak kepada peningkatan kejahatan antar negara dan pergerakan
imigran ilegal dari negara bermasalah yaitu Amerika Tengah dan Meksiko.
Selain mengancam keamanan dan pertahanan, permasalahan ini juga
berdampak kepada kepentingan ekonomi Amerika Serikat dimana Amerika
Serikat memiliki kepentingan ekonomi untuk meningkatkan neraca perekonomian
dalam meningkatkan kesejahteraan warga negara Amerika Serikat melalui
pengembalian kejayaan perekonomian Amerika Serikat. Dalam kepentingan ini,
pengungsi masih menjadi salah satu kebutuhan dalam memajukan sektor industry
dan perekonomian Amerika Serikat sehingga setiap lowongan pekerjaan dapat
80
diisi oleh para pengungsi dan meminimalisir kesempatan bagi para imigran ilegal
untuk bekerja di Amerika Serikat.
Permasalahan terhadap kepentingan tersebut menjadi alasan mengapa
Amerika Serikat memutuskan untuk menempatkan kembali pengungsi dengan
Australia dimana Australia pada tahun 2017 juga sepakat untuk ikut menempatkan
kembali pengungsi yang berada di pusat detensi pengungsi milik Amerika Serikat
yang terletak di Kosta Rika dengan jumlah yang tidak ditentukan dan
menyesuaikan kuota pengungsi di Australia. Bantuan Australia tersebut dapat
mengurangi jumlah imigran dan pengungsi dari Amerika Tengah dan Meksiko
serta mendukung kepentingan pertahanan dan ekonomi Amerika Serikat.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi Amerika Serikat dalam
pengambilan keputusan untuk melanjutkan perjanjian penempatan kembali
pengungsi dengan Australia adalah hubungan aliansi antara Amerika Serikat dan
Australia dimana dalam sejarah Australia merupakan salah satu aliansi utama bagi
Amerika Serikat dan tingginya tekanan dari politik internal Amerika Serikat yang
ikut menggerakan serta mempengaruhi opini masyarakat dan internasional
terhadap Amerika Serikat.
xii
DAFTAR PUSTAKA
UNHCR, "Forced Displacement Above 68m in 2017, new global deal on refugees critical,"
(Berita On-line), Tersedia di; http://www.unhcr.org/news/press/2018/6/5b27c
2434/forced-displacement-above-68m-2017-new-global-deal-refugees-critical.html; internet;
diakses pada 18 Maret 2019.
UNHCR. "The 10 Point Plan : Solution for Refugees," (Luxembourg: Imprimeria Centrale,
2011), (Buku on-line), Tersedia di: https://www.unhcr.org/50a4c17f9.pdf; internet;
diunduh pada 18 maret 2019.
U.S. Department of State, "Refugee Admission," (Database On-line), Tersedia di;
https://www.state.gov/j/prm/ra/; Internet; diakses pada 18 Maret 2019.
Kaldor Centre for International Refugee Law, "Australia – United States Resettlement
Agreement," (Berita On-line). Tersedia di;
https://www.kaldorcentre.unsw.edu.au/publication/australia–united-states-
resettlement-arrangement; Internet; diunduh pada 1 November 2018.
UNHCR, "U.S. Refugee Resettlement Facts – 2017," (Artikel On-line). Tersedia di;
https://www.unhcr.org/previous-us-refugee-resettlement-fact-sheets.html; Internet:
diakses pada 18 Maret 2019.
Zong, Jie dan Jeanne Batalova, "Refugee and Asyless in the United States," (Artikel On-line],
Tersedia di: https://www.migrationpolicy.org/article/refugees-and-asylees-united-
states; Internet: diakses pada 18 Maret 2019
Griffiths, James dan Pamela Boykoff, "US-Australia Refugee Deal: What You Need to
Know," CNN, 2 Februari 2017, (Artikel On-line), Tersedia di;
https://edition.cnn.com/2017/02/01/politics/australia-us-refugee-deal-turnbull-
trump/index.html; Internet; diakses pada 18 Maret 2019.
xiii
UNHCR. "UNHCR Urges Australia to Evacuate Off-Shore Facilities as Health Situation
Deteriorates," (Berita On-line). Tersedia di; https://www.unhcr.org/en-
lk/news/briefing/2018/10/5bc059d24/unhcr-urges-australia-evacuate-off-shore-
facilities-health-situation-deteriorates.html; Internet.; diakses pada 18 Maret 2019.
Rush, Nayla. U.S. – “Australia Refugee Resettlement Deal is Underway," (Artikel On-line).
Tersedia di; https://cis.org/sites/cis.org/files/rush-australia-refugee.pdf; Internet;
diakses pada 18 Maret 2019.
Al Jazeera News. "Why is The Manus Detention Centre Being Closed?”, Al Jazeera, 29
Oktober 2017, (Berita On-line). Tersedia di;
https://www.aljazeera.com/news/2017/10/manus-detention-centre-closed-
171024212852806.html; Internet; diakses pada 18 Maret 2019.
Scribner, Todd. "You Are Not Welcome Here Anymore: Restoring Support for Refugee
Resettlement in the Age of Trump," (Artikel On-line). Tersedia di;
https://doi.org/10.1177%2F233150241700500203; Internet; diunduh pada 25 Maret
2019.
BBC, "Trump’s Executive Order: Who Does Travel Ban Affect? BBC News, 10 Februari
2017," (Berita On-line), Tersedia di; https://www.bbc.com/news/world-us-canada-
38781302; Internet; Diakses pada 20 April 2019.
Miller, Greg, Julie Vitkovskaya dan Reuben Fischer-Baum, "This Deal Will Make Me Look
Terrible’: Full transcripts of Trump’s calls with Mexico and Australia," (Berita On-
line), Tersedia di; https://www.washingtonpost.com/graphics/2017/politics/australia-
mexico-transcripts/?utm_term=.67fc9e8de533; Internet; Diakses pada 18 Maret 2019.
Robinson, Dougal, "Congressional Support for Australia Has Paid Dividends with the Trump
Administration," Security Challenges 13, no. 2 (2017): 5-10; (Jurnal On-line);
xiv
Tersedia di: https://www.jstor.org/stable/26457715; Internet; diunduh pada 20
Oktober 2018.
Holsti, K. J. Holsti. Politik Internasional Kerangka untuk Analisa Edisi Keempat Jilid 1.
Jakarta: Erlangga, 1988.
Burchill, Scott. The National Interest in International Relations Theory. New York:
PalgraveMacmillan, 2005.
Nuechterlein, Donald. E, "National Interests and Foreign Policy: A Conceptual Framework
for Analysis and Decision-Making," British Journal of International Studies 2, no. 3
(1976): 246-66, (Artikel On-line), tersedia di: http://www.jstor.org/stable/20096778;
internet; diakses pada 21 April 2019.
Jackson, Robert dan Georg Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
Rosenau, James N, Kenneth W, Thompson, dan Gavin Boyd. World Politics: An
Introduction. New York: The Free Press, 1976.
UNHCR, ”The 1951 Convention and Its 1967 Protocol," (Artikel On-line). Tersedia di;
https://www.unhcr.org/about-us/background/4ec262df9/1951-convention-relating-
status-refugees-its-1967-protocol.html; internet; diunduh pada 18 Maret 2019.
Black, Richard, “Fifty Years of refugee Studies: From Theory to Policy," International
Migration Review, Volume 35 Number 1, (Maret 2001): 57-78, (Artikel On-line);
tersedia di; https://doi.org/10.1111%2Fj.1747-7379.2001.tb00004.x; internet; diunduh
pada 18 Maret 2019.
Rueckert, Phineas, “There Are 5 Reasons Why People Become Refugees," Global Citizen, 14
Agustus 2017, (Artikel On-line); tersedia di;
https://www.globalcitizen.org/en/content/reasons-why-people-become-refugees/;
internet; diakses pada 18 Maret 2019.
xv
Maxwell, Joseph. A ,“Designing a Qualitative Study,” The SAGE Handbook of Applied
Social Research Methods (2009): 214–253, (Jurnal On-line), Tersedia di;
https://www.sagepub.com/sites/default/files/upm-binaries/23772_Ch7.pdf; internet;
diunduh pada 18 maret 2019.
Cepla, Zuzana, “Factsheet: U.S. Refugee Resettlement,” (Artikel On-line), Tersedia di;
https://immigrationforum.org/article/fact-sheet-u-s-refugee-resettlement/; internet;
diunduh 5 Maret 2019.
American Immigration Council, “an Overview of U.S. Refugee Law and Policy,” (Artikel On-
line); tersedia di; https:
www.americanimmigrationcouncil.org/sites/default/files/research/an_overview_of_un
ited_states_refugee_law_and_policy_0.pdf; internet; diunduh 18 Maret 2019.
U.S. Citizenship and Immigration Services, “Refugees,” (Artikel On-line), tersedia di:
https://www.uscis.gov/humanitarian/refugees-asylum/refugees; internet. diakses pada
18 Maret 2019.
Refugee Council USA, “History of the U.S. Refugee Resettlement Program,” (Artikel online];
tersedia di http://www.rcusa.org/history; internet; diakses pada 18 Maret 2019.
Roberts, Maurice. A,“The U.S. and Refugees: The Refugee Act of 1980,” (Jurnal On-line),
tersedia di; http://www.jstor.org/stable/1166528; internet; diakses pada 18 Maret
2019.
Bockley, Kathryn M, “A Historical Overview of Refugee Legislation: The Deception of
Foreign Policy in the Land of Promise,” (Jurnal On-line), tersedia di;
https://scholarship.law.unc.edu/cgi/viewcontent.cgi?referer=https://www.google.com/
&httpsredir=1&article=1579&context=ncilj;internet;diakses pada 18 Maret 2019.
xvi
Salehyan, Idean, “The Strategic Case for Refugee Resettlement,” (Artikel On-line], Tersedia
di; https://niskanencenter.org/wp-content/uploads/2018/09/NC-Refugee-Paper-
SalehyanElec_FINAL.pdf; diakses pada 18 Maret 2019.
Evans, Alona. E, “The Political Refugee in United States Immigration Law and Practice,”
(Jurnal On-line], tersedia di:
file:///C:/Users/asus/Downloads/[email protected]; internet; diakses pada 18
Maret 2019.
Agency for New Americans, “Why do refugees come to America?,” 12 April 2018, (Artikel
On-line), Tersedia di; http://www.anaidaho.org/blog/why-do-refugees-come-to-
america; internet, diakses pada 18 Maret 2019.
National Geographic Education, “Migration of the Boat People," (Jurnal On-line), tersedia di:
https://media.nationalgeographic.org/assets/file/vietnamese_MIG.pdf; internet;
diakses pada 18 Maret 2019.
Bureau of Population, Refugees and Migration, “History of U.S. Refugee Resettlement,”
tersedia di; https://2009-2017.state.gov/documents/organization/244270.pdf; internet;
diunduh pada 18 Maret 2019.
Kerwin, Donald,“The Faltering Us Refugee Protection System: Legal And Policy Responses
To Refugees, Asylum-Seekers, And Others In Need Of Protection, “ [jurnal online],
tersedia di; file:///C:/Users/asus/Downloads/kerwin2012.pdf; internet; diunduh pada
18 Maret 2019.
Krogstad, Jens Manuel dan Jynnah Radford, “Key Facts about Refugees to the U.S.” [artikel
online], tersedia di; https://www.pewresearch.org/fact-tank/2017/01/30/key-facts-
about-refugees-to-the-u-s/; Internet; diakses pada 18 Maret 2019.
xvii
US Department of State, “Proposed Refugee Admission for FY 2002,” (database online),
tersedia di; http://2001-2009.state.gov/g/prm/refadm/rls/rpts/7241.htm, 2001; internet;
diakses pada 16 April 2019.
Robbins, Seth, “3 Crime Factors Driving Northern Triangle Migrants Out,” Insight Crime,
30 Oktober 2018, (Jurnal online), tersedia di;
https://www.insightcrime.org/news/analysis/crime-factors-pushing-northern-triangle-
migrants-out/; internet; diakses pada 1 Maret 2019.
Labrador, Rocio Cara dan Danielle Renwick, “Central America’s Violent Northern
Triangle,” CFR, 26 Juni 2018, (Jurnal Online), tersedia di;
https://www.cfr.org/backgrounder/central-americas-violent-northern-triangle;
internet; diakses pada 1 Maret 2019.
Holpuch, Amanda, “US Partners with Costa Rica to protect Central American Refugee,” The
Guardian, 26 Juli 2016, (Berita Online), tersedia di;
https://www.theguardian.com/world/2016/jul/26/central-american-refugees-costa-
rica-obama-administration; internet; diakses pada 1 Maret 2019.
Camarota, Steven A, dan Karen Zeigler, “Central American Immigrant Population Increased
Nearly 28-Fold since 1970,” [artikel online], tersedia di;
https://cis.org/Report/Central-American-Immigrant-Population-Increased-Nearly-
28Fold-1970; internet; diunduh pada 1 Maret 2019.
Gamboa, Suzanne, “What is DACA? What you need to know?,” [artikel online], tersedia di;
https://www.nbcnews.com/storyline/smart-facts/what-daca-n854906; internet; diakses
pada 18 Maret 2019.
Walters, Joanna, “What is DACA and who are the Dreamers?,” (Artikel Online], tersedia di;
https://www.theguardian.com/us-news/2017/sep/04/donald-trump-what-is-daca-
dreamers; internet; diakses pada 18 Maret 2019.
xviii
U.S. Citizenship and Immigration Services, “In-Country Refugee/Parole Processing for
Minors in Honduras, El Salvador and Guatemala (Central American Minors – CAM,”
tersedia di; https://www.dhs.gov/news/2016/07/26/us-expands-initiatives-address-
central-american-migration-challenges; internet; diakses pada 18 Maret 2019.
UNHCR ACNUR,” Pillar 4: Opportunities For Durable Solutionsprotection Transfer
Arrangement,” (Jurnal Online), tersedia di; http://www.globalcrrf.org/wp
content/uploads/2018/10/6.-PTA-dic18.pdf; internet; diunduh pada 19 Maret 2019.
Welch, Keith, “A Pivotal Moment for the US Refugee Resettlement Program,” CA: Haas
Institute for A Fair and Inclusive Society, University of California, Berkeley, Juni
2017, (Buku On-line), tersedia di;
http://haasinstitute.berkeley.edu/sites/default/files/haasinstitute_usrefugeeresettlment_
june2017_publish.pdf; internet; diunduh pada 19 Maret 2019.
BBC, “Trump's executive order: Who does travel ban affect?,” (Berita Online), tersedia di;
https://www.bbc.com/news/world-us-canada-38781302; internet; diakses pada 30
Agustus 2018.
Pierce, Sarah dan Doris Meissner, “Trump Executive Order on Refugees and Travel Ban: A
Brief Review,” Migration Policy Institute, (Buku Online), tersedia di;
https://www.migrationpolicy.org/research/trump-executive-order-refugees-and-travel-
ban-brief-review; internet; diakses pada 26 Maret 2019.
Harper, Brian dan Brendan, O’Boyle, " Explainer: What Is DACA?, AS COA", tersedia di;
https://www.as-coa.org/articles/explainer-what-daca; internet; diakses 30 April 2019.
Pierce, Sarah dan Andrew Selee, “Immigration under Trump” A Review of Policy Shifts in
the Year Since the Election”, Migration Policy Institute, Policy Brief.
Trump, Donald J, “President Donald J. Trump is Taking a Responsible and Humanitarian
Approach on Refugees”, Fact Sheet, (Database Online), tersedia di:
xix
https://www.whitehouse.gov/briefings-statements/president-donald-j-trump-taking-
responsible-humanitarian-approach-refugees/; internet; diakses pada 15 Maret 2019.
Executive Order 13780, "Protecting the Nation From Foreign Terrorist Entry Into the United
States Initial Section 11 Report, Home Land Security", (Database Online), tersedia di;
https://www.dhs.gov/publication/executive-order-13780-protecting-nation-foreign-
terrorist-entry-united-states-initiall; internet; diakses 23 Maret 2019.
Rush, Nayla, “The U.S. refugee Admissions Program under the Trump Admission,” [artikel
on-line], tersedia di; https://cis.org/Rush/US-Refugee-Admissions-Program-under-
Trump-Administration; internet; diakses 23 Maret 2019.
U.S. Embassy & Consulates in Australia, “History of the U.S. and Australia,” (Artikel
Online), tersedia di; https://au.usembassy.gov/our-relationship/policy-history/history-
of-u-s-and-australia/; internet; diakses pada 20 Maret 2019.
Smith, Anthony L., “ Still Great Mates: Australia and the United States,” "Asian Affairs: An
American Review, vol. 30, no. 02", "The Responses of Asian Nations to Bush
Administration Security Policies," [artikel online], tersedia di;
https://www.jstor.org/stable/30172851; internet; diunduh pada 7 Mei 2019.
Fullilove, Michael. Ally with a new attitude; Australia’s prime minister, the staunchest of
Bush supporters, is ousted. Los Angeles Times, 29 November 2007.
Bell, Coral. Australia’s Alliance Options: Prospect and Retrospect in a World of Change.
Australian Foreign Policy Papers. Canberra: Australian national University, 1991: 46.
Vaughn, Bruce dan Thomas Lum, “Australia: Background and U.S. Relations,” (Jurnal
Online), tersedia di; https://fas.org/sgp/crs/row/RL33010.pdf; internet; diunduh pada
20 Maret 2019.
Dibb, Paul. “Will America’s Alliances in the Asia-Pacific Region Endure?”. Working Paper
No.345.Canberra: Strategic and Defense Studies Centre, 2000, 33.
xx
U.S. Department of State, “U.S. Relations with Australia”, (Database Online), tersedia di;
https://www.state.gov/r/pa/ei/bgn/2698.htm; internet; diakses pada 20 Maret 2019.
Department of Health - Australian Government, “Australia-United States Free Trade
Agreement," (Database Online), tersedia di: https://www.tga.gov.au/form/australia-
united-states-free-trade-agreement; internet; diakses pada 22 Maret 2019.
Department of Foreign Affairs and Trade – Australian Government, “Australia – Unites
States FTA,” (Database Online), tersedia di ; https://dfat.gov.au/trade/agreements/in-
force/ausfta/Pages/australia-united-states-fta.aspx; internet; diakses pada 22 Maret
2019.
Becket, George, “The U.S. – Australia Free Trade Agreement”, (Database Online), tersedia
di;
https://web.archive.org/web/20041020041049/http://www.ustr.gov/assets/Trade_Agre
ements/Bilateral/Australia_FTA/Reports/asset_upload_file298_3385.pdf; internet;
diunduh pada 23 Maret 2019.
USAID dan AUSAID, "Memorandum of Understanding on International Development
Cooperation,” (Database Online), tersedia di; https://dfat.gov.au/about-
us/publications/Documents/mou-unitedstates.pdf; diakses pada 20 Maret 2019.
Loewenstein, Antony,” Australlia’s Refugee Policies: A Global Inspiration for all the Wrong
Reasons,”, tersedia di;
https://www.theguardian.com/commentisfree/2016/jan/18/australias-refugee-policies-
a-global-inspiration-for-all-the-wrong-reasons; internet; diakses pada 22 Maret 2019.
National Musseum Australia, “Defining Moments – Tampa Affair,” (Database Online),
tersedia di; https://www.nma.gov.au/defining-moments/resources/tampa-affair;
internet; diakses pada 22 Maret 2019.
Broom, Fiona, “Has the ‘Pacific Solution’ solved anything in Australia?”, Al-Jazeera
xxi
News, (Berita Online), tersedia di;
https://www.aljazeera.com/indepth/opinion/2014/03/pacific-solution-solved-austral-
201433113844238975.html; internet; diakses pada 23 Maret 2019.
Manne, Robert,” This pains me, but it's time to compromise on Australia's cruel asylum
seeker policy,” The Guardian, (Berita Online), tersedia di:
https://www.theguardian.com/australia-news/2018/sep/23/this-pains-me-but-its-time-
to-compromise-on-australias-cruel-asylum-seeker-policy; internet: diakses pada 22
Maret 2019.
Johnston, Judy dan Guy Callender, “One Impact of 9/11 in the Australian Context:
Government's Public Management Response to Asylum Seekers”, Administrative
Theory & Praxis, Vol. 24, No. 3 (Sep., 2002), pp. 601-606, (Buku Online), tersedia di;
http://www.jstor.org/stable/25611606; internet; diakses pada 22 Maret 2019.
Ritzen; Yarno, “Refugees in Limbo as Manus Detention Centre Shuts,” Al-Jazeera News, 31
Oktober 2017, (Berita Online), tersedia di;
https://www.aljazeera.com/news/2017/10/refugees-limbo-manus-detention-centre-
shuts-171030211900096.html; internet; diakses pada 25 Maret 2019.
Andrew dan Renata. Factsheet- The Australia United States Refugee Resettlement Deal.
Kaldor Centre for International Refugee Law. UNSW Sydney. updated April 2019.
Karp, Paul dan Paul Farrel, “Refugees Held in Australian Offshore Detention to be Resettled
in US”, The Guardian, 13 November 2016, (Berita Online), tersedia di:
https://www.theguardian.com/australia-news/2016/nov/13/refugees-held-in-
australian-offshore-detention-to-be-resettled-in-us; internet; diakses pada 22 Maret
2019.
xxii
Editor Ensiklopedia Britannica, “Executive Agreement”, (Artikel Online) tersedia di;
https://www.britannica.com/topic/executive-agreement; internet; diakses pada 20
April 2019.
Congressional Research Service Library of Congress, “Treaties and Other International
Agreements: The Role of The United States Senate,” Januari 2001, (Database Online),
tersedia di; https://www.govinfo.gov/content/pkg/CPRT-106SPRT66922/pdf/CPRT-
106SPRT66922.pdf; internet; diunduh pada 10 Mei 2019.
Krutz, Glen .S dan Jeffrey S. Peake, “Treaties and Executive Agreements: a History”, Treaty
Politics and the Rise of Executive Agreements- International Commitments in a
System of Shared Powers," (The University of Michigan Press, 2009), (Buku Online),
tersedia di: https://www.press.umich.edu/pdf/9780472116874-ch1.pdf; internet;
diunduh pada 10 Mei 2018.
Elizabeth Goitein. The New Era of Secret Law. New York: Brennan Center For Justice. 2016.
Miller, Greg, Julie Vitkovskaya dan Reuben Fischer-Baum, “This Deal Will Make Me Look
Terrible’: Full transcripts of Trump’s calls with Mexico and Australia,”The
Washington Post, 3 Agustus 201, (Berita Online), tersedia di:
https://www.washingtonpost.com/graphics/2017/politics/australia-mexico-
transcripts/?utm_term=.67fc9e8de533; internet; diakses pada 18 Maret 2019.
Parliament of Australia, “Chapter 4,”(Database Online), tersedia di:
https://www.aph.gov.au/Parliamentary_Business/Committees/Senate/Legal_and_Con
stitutional_Affairs/NauruandManusRPCs/Report/c04; internet; diakses pada 10 Mei
2019.
Packham, Colin “Exclusive: U.S. starts’extreme vetting’ at Australia’s offshore detention
centers,” tersedia di; https://www.reuters.com/article/us-usa-trump-australia-refugees-
idUSKBN18J0GA; internet; diakses pada 10 Mei 2019.
xxiii
Refugee Council, “Offshore Processing Statistics,” (Jurnal Online), tersedia di;
https://www.refugeecouncil.org.au/operation-sovereign-borders-offshore-detention-
statistics/4/; internet; diakses pada 11 Mei 2018.
Nuechterlein, Donald E. United States National Interest in a Changing World. Lexington:
The University Press of Kentucky, 2015.
"National Security Strategy of the United States of America,"(Database Online), tersedia di;
https://www.whitehouse.gov/wp-content/uploads/2017/12/NSS-Final-12-18-2017-
0905.pdf; internet; diakses pada 11 Mei 2019
"Executive Order: Border Security and Immigration Enforcement Improvements, Executive
Order," (Database Online), tersedia di; https://www.whitehouse.gov/presidential-
actions/executive-order-border-security-immigration-enforcement-improvements/;
internet; diakses pada 30 April 2019.
Dudley, Stevan, “Transnational Crime in Mexico and Central America: Its Evolution and
Role in International Migration,” November 2012, (Berita Online), tersedia di;
https://www.migrationpolicy.org/research/RMSG-CentAm-transnational-crime;
internet; diunduh pada 23 April 2019.
Yee, Vivian , Kenan Davis, dan Jugal K Patel, “Here’s the Reality About Ilegal Immigrants
in the United States”, 6 Maret 2017, (Berita Online), tersedia dalam
https://www.nytimes.com/interactive/2017/03/06/us/politics/undocumented-ilegal-
immigrants.html; internet; diakses pada 11 Mei 2019.
"ICE Milwaukee arrests 16 during operation targeting criminal aliens," (Berita Online),
tersedia di; https://www.ice.gov/news/releases/ice-milwaukee-arrests-16-during-
operation-targeting-criminal-aliens; internet, diakses pada 11 Mei 2019.
"Presidential Executive Order on Buy American and Hire American, Exexutive Orders," 18
April 2017, (Database Online), tersedia di; https://www.whitehouse.gov/presidential-
xxiv
actions/presidential-executive-order-buy-american-hire-american/; internet; diakses
30 April 2019.
" President Trump Promotes “Buy American and Hire American” , Fact Sheet, 18 April
2018, (Database Online), tersedia di; https://www.whitehouse.gov/briefings-
statements/president-trump-promotes-buy-american-hire-american/; internet; diakses
pada 11 Mei 2019.
Hanson, Gordon H. The Economic Logic of Ilegal Immigration, Council Ob Foreign Relation
CSR No. 26, April 2007.
Felter, Claire dan Zachary Laub, “Who secures the US border?”,(Artikel Online),
tersedia di; www.cfr.org/backgrounder/us-mexico-border-woes;internet; diakses pada
15 Februari 2019.