45
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan suatu negara. Salah satu sarana untuk mencapai derajat kesehatan tersebut adalah dengan adanya layanan Rumah Sakit. Rumah sakit adalah sebuah organisasi yang dituntut agar mampu mengelola kegiatannya dengan mengutamakan tanggungjawab tenaga profesional bidang yang dimiliknya, baik itu tenaga profesional kesehatan maupun non kesehatan. Dalam menjalankan aktifitas pelayanannya, rumah sakit memiliki tenaga medis dan tenaga keperawatan yang mempunyai uraian tugas dan kewenangan klinis yang jelas, demi tercapainya layanan kesehatan yang bermutu dan profesional. Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan kepadamasyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan bagi dokter untuk dapat melaksanakan tindakan medis terhadap orang lain adlah ilmu pengetahuan, teknologi dan kompetensi yang dimiliki melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang dimilikinya harus terus menerus di pertahakan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan ilmu pengaetahuan dan teknologi. Dokter dalam keilmuannya mempunyai karakteristik 1

MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kesehatan merupakan salah satu indikator kesejahteraan suatu negara. Salah satu

sarana untuk mencapai derajat kesehatan tersebut adalah dengan adanya layanan Rumah

Sakit. Rumah sakit adalah sebuah organisasi yang dituntut agar mampu mengelola

kegiatannya dengan mengutamakan tanggungjawab tenaga profesional bidang yang

dimiliknya, baik itu tenaga profesional kesehatan maupun non kesehatan. Dalam

menjalankan aktifitas pelayanannya, rumah sakit memiliki tenaga medis dan tenaga

keperawatan yang mempunyai uraian tugas dan kewenangan klinis yang jelas, demi

tercapainya layanan kesehatan yang bermutu dan profesional.

Dokter sebagai salah satu komponen utama pemberi pelayanan kesehatan

kepadamasyarakat mempunyai peranan yang sangat penting karena terkait langsung dengan

pemberian pelayanan kesehatan dan mutu pelayanan yang diberikan. Landasan bagi dokter

untuk dapat melaksanakan tindakan medis terhadap orang lain adlah ilmu pengetahuan,

teknologi dan kompetensi yang dimiliki melalui pendidikan dan pelatihan. Pengetahuan yang

dimilikinya harus terus menerus di pertahakan dan ditingkatkan sesuai dengan kemajuan

ilmu pengaetahuan dan teknologi. Dokter dalam keilmuannya mempunyai karakteristik yang

khas. Kekhasannya terlihat dari pembenaran yang dibenarkan oleh hokum yaitu

diperkenakannya melakukan tindakan medis terhadap tubuh manusia dalam upaya

memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan manusia.

Maraknya tuntutan hokum yang diajukan masyarakat dewasa ini, menunjukkan

berkurangnya kepercayaan masyarakat terhadap dokter, selain itu sejak berlakunya Undang-

undang Nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen memicu masyarakat gemar

menuntut, ataupun sebab lain yang seringkali diidentikkan dengan kegagalan dalam upaya

penyembuhan yang dilakukan dokter.

Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kecanggihan system penyampaian

informasi, membuat masyarakat semakin mudah dan cepat mengakses informasi yang

1

Page 2: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

mereka inginkan melalui internet. Pada zaman sekarang pasien dan keluarga pasien bisa saja

berdiskusi dengan Dokter tentang penyakitnya, hal ini dikarenakan biasanya sebelum

berkonsultasi ke dokter mereka sudah terlebih dahulu mencari informasi melalui internet

mengenai penyakit atau keluhan yang dirasanya. Dengan munculnya budaya seperti ini,

maka secara tidak langsung dokter harus selalu meningkatkan keilmuannya, karena pasien

akan semakin kritis dan gampang menuntut jika mereka tidak puas atau merasa tertipu.

Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dan rentan akan terjadinya

kecelakaan, sehingga harus dilakukan dengan penuh hati-hati oleh orang-orang yang

kompeten dan memiliki kewenangan khusus untuk itu. Upaya meminimalkan tuntutan

hukum terhadap rumah sakit beserta stafnya pada dasarnya merupakan upaya mencegah

terjadinya preventable adverse events yang disebabkan oleh medical errors, atau berarti

seluruh upaya mengelola risiko dengan berorientasikan kepada keselamatan pasien

Mengenai hal itu jelas dapat diketahui dari Pasal 54 ayat (1) UU No. 23/1992 tentang

Kesehatan, yaitu: “Tenaga kesehatan yang melakukan kesalahan atau kelalaian dalam

melaksanakan profesinya dapat dikenakan tindakan disiplin.” Selanjutnya dari penjelasan

pasal tersebut dapat diketahui bahwa tindakan disiplin berupa tindakan administratif,

misalnya pencabutan izin untuk jangka waktu tertentu atau hukuman lain sesuai dengan

kesalahan atau kelalaian yang dilakukan. Akhir-akhir ini, perbincangan masalah yang

menyangkut profesi kedokteran dan bidang hukum semakin ramai dan menarik banyak minat

berbagai kalangan, khususnya orang-orang yang mempunyai kaitan dengan profesi hukum

dan kedokteran. Hal tersebut merupakan hal yang positif, dan sekaligus menunjukkan tingkat

kesadaran hukum masyarakat yang semakin meningkat. Cara berpikir masyarakat menjadi

semakin kritis terhadap berbagai aspek kehidupan.

Banyak hal yang tadinya tidak menjadi pusat perhatian kini mencuat ke permukaan

dan menjadi sorotan masyarakat. Misalnya saja mengenai masalah malpraktik, yang

merupakan masalah hukum yang dihadapi dalam praktik kedokteran. Dalam pembicaraan

mengenai masalah malpraktik kita tidak hanya membicarakan masalah hukum dan praktik

kedokteran belaka, tetapi kitapun harus pula menyoroti hubungan timbal balik antara profesi

kedokteran dan masyarakat. Antara dokter dan pasien ada saling ketergantungan yang sangat

erat antara satu dengan yang lainnya. Di satu pihak masyarakat memerlukan kehadiran dokter

2

Page 3: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

untuk menyembuhkan penyakitnya, sedang di pihak lain dokter dalam menjalankan

profesinya membutuhkan masyarakat. Bidang medis telah mengalami perkembangan yang

amat pesat. Melalui pengetahuan dan teknologi medis yang serba modern, diagnosis suatu

penyakit dapat dilakukan dengan lebih sempurna sehingga pengobatan penyakit pun dapat

berlangsung secara lebih efektif dan efisien. Dengan peralatan dan obat-obatan kedokteran

yang modern, rasa sakit seorang penderita dapat diperingan; bahkan hidup seorang pasien

pun dapat “diperpanjang” untuk waktu tertentu dengan bantuan alat-alat dan obat-obatan

tersebut. Demikian pula cepat atau lambatnya proses kematian seorang penderita, seolah-olah

dapat diatur oleh teknologi modern tersebut.

1.2 Rumusan masalah

Makalah ini akan membahas pertanggungjawaban hukum (medical liability) yang

dibebankan kepada seorang dokter terkait pelayanan praktik kedokteran

1.3. Tujuan Penulisan

a. Untuk mengetahui hubungan hukum antara dokter, pasien dan penyedia

sarana kesehatan

b. Untu mengetahui bagaimana pertanggung jawaban hukum (Medical Liability)

yang diterima pasien akibat pelayanan kesehatan yang diberikan

3

Page 4: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

BAB II

PEMBAHASAN

2.1. Aspek Hukum Medical Liability

Perlindungan hukum bagi pasien erat kaitannya dengan perlindungan konsumen yaitu

pasien sebagai konsumen jasa pelayanan kesehatan. Dalam hal ini, perlindungan hukum bagi

pasien dimaksudkan sebagai tindakan untuk melindungi pasien jika ada kelalaian maupun

kesalahan dokter ataupun tenaga kesehatan dalam melakukan tindakan medik. Disebut

kelalaian medik karena kelalaian ini dilakukan oleh tenaga kesehatan dalam melakukan

tindakan medik. Pada dasarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan

tindakan medik, merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan, hal ini disebabkan

karena akibat kesalahan ataupun kelalaian tersebut mempunyai dampak yang sangat

merugikan.

Selain mengurangi kepercayaan masyarakat terhadap profesi kedokteran juga

menimbulkan kerugian pada pasien. Pemberian hak atas ganti rugi merupakan suatu upaya

untuk memberikan perlindungan bagi setiap orang atas suatu akibat yang timbul, baik fisik

maupun non fisik karena kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Perlindungan ini sangat

pentingkarena akibat kelalaian atau kesalahan itu mungkin dapat menyebabkan kematian atau

menimbulkan cacat yang permanen.

Sebagai bagian dari perlindungan hukum bagi pasien baik yang bersifat preventif

maupun represif dapat dilihat dalam Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran pada Pasal 4 dinyatakan bahwa :

(1) Untuk melindungi masyarakat penerima jasa pelayanan kesehatan dan

meningkatkan mutu pelayanan kesehatan dari dokter dan dokter gigi dibentuk

Konsil Kedokteran Indonesia yang terdiri atas Konsil Kedokteran dan Konsil

Kedokteran Gigi.

(2) Konsil Kedokteran Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertanggung

jawab kepada Presiden.

4

Page 5: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Berdasarkan penjelasan pasal di atas mengenai Konsil Kedokteran Indonesia bahwa

Konsil Kedokteran Indonesia terdiri dari Konsil Kedokteran dan Konsil Kedokteran Gigi

yang memiliki fungsi pengaturan, pengesahan, penetapan, serta pembinaan dokter dan dokter

gigi yang menjalankan praktik kedokteran, dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan

medis. Hal in penting untuk diketahui pasien terkait perlindungan hukumnya terutama dalam

fungsi pembinaan dari Konsil Kedokteran Indonesia karena erat kaitannya dengan

penyelenggaran praktik kedokteran baik oleh dokter maupun dokter gigi. Selain itu, pasien

merasa aman karena penyelenggaraan praktik kedokteran telah diawasioleh Konsil

Kedokteran Indonesia sehingga dokter maupun dokter gigi dalam menyelenggarakan

praktiknya lebih berhati-hati dan teliti.

Di Indonesia penyelesaian kasus kelalaian medik berdasarkan mediasi dapat

diselesaikan melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia sebagaimana yang

dinyatakan dalam Pasal 64 Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik

Kedokteran bahwa :

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia bertugas:

a. menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus pelanggaran disiplin

dokter dan dokter gigi yang diajukan; dan

b. menyusun pedoman dan tata cara penanganan kasus pelanggaran disiplin dokter

atau dokter gigi.

Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia merupakan lembaga yang

berwenang menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam

penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi. Lembaga ini merupakan otonom

dari Konsil Kedokteran Indonesia yang menjalankan tugasnya bersifat independen.

Selanjutnya diperjelas lagi pada pasal 66 Undang-undang Nomor 29 tentang Praktek

Kedokteran yang berbunyi:

1. Setiap orang yang mengetahui atau kepentingannya dirugikan atas tindakan

dokter atau dokter gigi dalam menjalankan profesi kedokterannya dapat

5

Page 6: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

mengadukan secara tertulis kepada Ketua Majelis Kehormatan Disiplin

Kedokteran Indonesia

2. Pengaduan sekurang-kurangnya harus memuat:

a. Identitas Pengaduan

b. Nama dan alamat tempat praktik dokter atau dokter gigi dan waktu

tindakan dilakukan; dan

c. Alasan pengaduan

3. Pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak

menghilangkan hak setiap orang untuk melaporkan adanya dugaan tindak

pidana kepeda pihak yang berenang dan atau menggugat kerugian perdata ke

pengadilan

Sesuai Pasal 66 tersebut di atas, pasien atau keluarga pasien yang merasa dirugikan

akibat praktek kedokteran yang meraka anggap tidak tepat dapat mengadukan kasusnya

melalaui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia, yang merupakan jalur non-

litigasi. Selain melalui jalur non-litigasi, pasien atau keluarga pasien yang menduga telah

terjadinya kelalaian atas diri pasien tidak menutup kemungkinan untuk sekaligus menempuh

jalur litigasi, yaitu melalui jalur perdata atau pidana.

Kewenangan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia dalam menangani

pengaduan masyarakat, sesuai dengan pasal 67 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009

tentang Praktek Kedokteran: “ Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia

memeriksa dan memberikan keputusan terhadap pengaduan yang berkaitan dengan dokter

dan dokter gigi”

Kesalahan (kesengajaan atau kelalaian) dapat terjadi akibat kurangnya pengetahuan,

kurangnya pengalaman dan pengertian serta mengabaikan suatu perbuatan yang seharusnya

tidak dilakukan. Apabila hal itu dilakukan oleh doker, baik dengan sengaja maupun karena

kelalaiannya dalam upaya memberikan perawatan atau pelayanan kepada pasien, maka

pasien atau keluarganya dapat meminta tanggung jawab hukum (responsibility) pada dokter

yang bersangkutan.

6

Page 7: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Bentuk tanggung jawab hukum yang dimaksud disini meliputi tanggung jawab

hukum perdata, tanggung jawab hukum pidana, dan tanggung jawab hukum administrasi.

Jika pertanggungjawaban ini dibatasi pada hubungan hukum antara pasien dengan dokter

yang didasarkan pada suatu transaksi atau perjanjian terapeutik, keduanya dimata hukum

sama sederajat.

Untuk melihat lebih jelas dan terang tentang kesalahan (kesengajaan ataukelalaian),

adalah hal hal yang menyangkut tentang atau yang berkaitan dengan hak dan kewajiban

kedua belah pihak yang terikat dalam transaksi terapeutik, yaitu pasien dan dokter.

Hak dan kewajiban tersebut meliputi :

1. Masalah informasi yang diterima oleh pasien sebelum dia memberikan

persetujuan untuk menerima perawatan

2. Masalah persetujuan tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter atau

tenaga kesehatan

3. Masalah kehati-hatian dokter atau tenaga kesehatan yang melaksanakan

perawatan. Hal ini banyak sekali hubungannya dengan masalah kealpaan dan

standar pelayanan medis

Di dalam hukum perdata dikenal dua dasar hukum bagi tanggung gugat hukum

(liability) :

1. Tanggung gugat berdasarkan wanprestasi atau cedera janji atau ingkar janji

sebagaimana diatur dalam pasal 1239 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

2. Tanggung gugat berdasarkan perbuatan melawan hukum sebagaimana diatur

dalam pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Dalam bidang pidana, tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi dapat dimintai tanggung

jawab pidana. Ketentuan yang dapat diterapkan adalah ketentuan yang terdapat dalam pasal

359, 360 dan 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pelanggaran dalam ketiga

ketentuan itu adalah tindakannya yang menyebabkan matinya orang atau luka karena

kehilafan.

7

Page 8: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Aspek hukum administrasi tenaga kesehatan/dokter/dokter gigi disini dilihat dari

sudut kewenangannya, yaitu: Apakah dokter yang bersangkutan berwenang atau tidak

melakukan perawatan? Berdasarkan hal tersebut di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa

untuk melakukan pekerjaan sebagai dokter diperlukan berbagai persyaratan, salah satu

persyaratan yang paling penting adalah izin dari Menteri Kesehatan RI. Dengan adanya izin

tersebut, barulah dokter yang bersangkut an berwenang melakukan tugas sebagai pelayan

kesehatan, baik pada instansi pemerintah maupun pada instansi swasta atau melakukan

praktek secara perorangan

2.2. Tanggung Jawab Hukum Rumah Sakit Terhadap Kelalaian Tenaga Kesehatan

dalam Melaksanakan Tindakan Medik

Dalam Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, dimana salah satu

klausulanya menentukan bahwa yang merupakan salah satu prinsip pertangggungjawaban

karena kesalahan dalam perbuatan melawan hukum adalah termasuk perbuatan orang-orang

yang berada dibawah pengawasannya. Hal ini didasarkan pada suatu teori yang dikenal

dengan nama “teori hubungan majikan dengan buruh” atau juga yang dikenal dengan istilah

doktrin respondeat superior.

Ditentukannya pertanggungjawaban majikan dalam pasal 1367 Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata atas kerugian yang telah ditimbulkan oleh bawahan untuk menjamin

kepastian berhasilnya ganti rugi. Penerapan doktrin respondeat superior ini mempunyai dua

tujuan pokok yaitu:

1. Adanya jaminan bahwa ganti rugi yang dibayar pada pasien yang menderita

kerugian akibat tindakan medik dokter

2. Hukum dan keadilan menghendaki sikap kehati-hatian dari dokter

Untuk mengajukan gugatan terhadap Rumah Sakit, dokter atau tenaga kesehatan

lainnya dengan alasan berdasarkan perbuatan melawan hukum harus dipenuhi empat unsur

sebagai berikut:

8

Page 9: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

1. Adanya pemberian gaji atau honor tetap yang dibayar secara periodic kepada dokter

atau tenaga kesehatan yang bersangkutan

2. Majikan atau rumah sakit mempunyai wewenang untuk memberikan instruksi yang

harus ditaati bawahannya

3. Adanya wewenang untuk mengadakan pengawasan

4. Adanya kesalahan atau kelalaian yang diperbuat oleh dokter atau tenaga kesehatan

lainnya, dimana kesalahan atau kelalaian tersebut menimbulkan kerugian bagi pasien

Berkaitan dengan tanggung jawab hukum pemberi pelayanan kesehatan terutama

tanggung jawab hukum Rumah Sakit, dalam hal ini sebagai suatu badan hukum yang

memilikinya bisa dituntut atas kerugian yang terjadi, bisa melalui dua cara:

1. Langsung sebagai pihak pihak pada suatu perjanjian bila ada wanprestasi

2. Tidak langsung sebagai majikan bila karyawannya dalam pengertian peraturan

perundang-undangan melakukan perbuatan melawan hukum.

Hukum Perdata membedakan kategori Rumah Sakit selaku pihak tergugat (korporasi)

yaitu Rumah Sakit pemerintah dan Rumah Sakit swasta. Berkaitandengan Rumah Sakit

pemerintah, maka manajemen Rumah Sakit pemerintah, Dinas Kesehatan/ Menteri

Kesehatan dapat dituntut.

Menurut Pasal 1367 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, karena pegawai yang

bekerja pada Rumah Sakit Pemerintah menjadi pegawai negeri dan negara sebagai suatu

badan hukum dapat dituntut untuk membayar ganti rugi atas tindakan pegawai negeri yang

dalam menjalankan tugasnya merugikan pihak lain. Sedangkan untuk manajemen Rumah

Sakit swasta sebagai badan hukum memiliki kekayaan sendiri dan dapat bertindak dalam

hukum dan dapat dituntut seperti halnya manusia. Jika diamati dengan seksama maka

layanan yang diberikan oleh Rumah Sakit kepada pasien yang dirawat dapat dirinci menjadi:

a. Medical care (Pengobatan Kesehatan)

b. Nursing care (Keperawatan; hal-hal yang dilakukan perawat)

c. Supportive care (Penggunaan alat-alat penunjang medik dan nonmedik)

9

Page 10: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Untuk kesalahan yang menyangkut management error maka tanggung jawabnya

dibebankan kepada Rumah Sakit. Oleh sebab itu, Rumah Sakit dituntut untuk menerapkan

manajemen yang baik; seperti selalu melakukan control terhadap semua peralatan medik dan

nonmedik serta dengan teratur melaksanakan kalibrasi terhadap semua peralatan medik yang

menurut peraturannya wajib dikalibrasi. Untuk kerugian yang disebabkan oleh medical error,

sangat tergantung pada status dokter yang bersangkutan. Bila kedudukannya sebagai

attending physician (mitra) maka Rumah Sakit berdasarkan prinsip umum tidak bertanggung

jawab atas kesalahan dokter, tetapi kedua belah pihak (Rumah Sakit dan dokter) dapat

membuat kesepakatan tersendiri yang di dalamnya meliputi pula pembagian presentase

tanggung gugat apabila pada suatu waktu harusmembayar ganti rugi.

Bila status dokter sebagai employee (agent/pekerja) maka berdasarkan doktrin

respondeat superior, tanggung gugatnya dapat dialihkan kepada Rumah Sakit sebagai

employer (bos/penyedia pekerjaan).

2.3. Hubungan Hukum antara Dokter dan Pasien

Hubungan dokter dengan pasien adalah hubungan yang unik, dokter sebagai pemberi

pelayanan kesehatan dan pasien sebagai penerima pelayanan kesehatan. Dokter yang pakar

dan pasien yang awam, dokter yang sehat dan pasien yang sakit. Hubungan tanggungjawab

tidak seimbang itu, menyebabkan pasien yang karena keawamannya tidak mengetahui apa

yang terjadi pada waktu tindakan medik dilakukan, hal ini dimungkinkan karena informasi

dari dokter tidak selalu dimengerti oleh pasien.

Seringkali pasien tidak mengerti itu, menduga telah terjadi kesalahan/kelalaian,

sehingga dokter diminta untuk mengganti kerugian yang dideritanya. Yang seringkali

menjadi pendapat yang salah adalah bahwa setiap kesalahan/kelalaian yang diperbuat oleh

dokter harus mendapat gantirugi. Bahkan kadang-kadang kalau ada sesuatu hal yang diduga

terjadi malpraktek, maka dipakai oleh pasien sebagai kesempatan untuk memaksa dokter

membayar ganti rugi.

10

Page 11: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Pada penentuan bersalah tidaknya dokter dan pembayaran ganti rugi harus dibuktikan

terlebih dahulu dan ditentukan oleh hakim di Pengadilan. Masalahnya dokter sangat rentan

terhadap publikasi, sehingga seringkali dokter yang enggan menjadi sorotan di media massa,

membayar komplain pasien, tanpa melalui proses hukum. Kesalahan ini sering disalah

gunakan oleh pasien, menyebabkan dokter akan melindungi dirinya dengan berbagai cara

untuk menghindari gugatan dari pasien.

Salah satu cara yaitu dengan mengalihkan tanggungjawab kepada pihak ketiga yaitu

asuransi ; atau bekerja ekstra hati-hati. Pada gilirannya pasien juga yang rugi, karena biaya

pengobatan menjadi lebih besar dan pasien yang harus menanggung beban.

Sebenarnya kesalahan atau kelalaian dokter dalam melaksanakan profesi medis,

merupakan suatu hal yang penting untuk dibicarakan dan diketahui oleh para dokter pada

umumnya, hal ini disebabkan karena akibat kesalahan dan kelalaian dapat menimbulkan

dampak yang sangat merugikan. Selain merusak atau mengurangi kepercayaan masyarakat

terhadap profesi kedokteran juga menimbulkan kerugian pada pasien. Untuk memahami ada

tidaknya kesalahan atau kelalaian tersebut, terlebih dahulu kesalahan atau kelalaian

pelaksanaan profesi harus diletakkan berhadapan dengan kewajiban profesi di samping

memperhatikan aspek hukum yang mendasari terjadinya hubungan hukum antara dokter

dengan pasien yang bersumber pada transaksi terapeutik.

Kalau dilihat dari kaca mata hukum, hubungan antara pasien dengan dokter termasuk

dalam ruang lingkup perjanjian (transaksi terapeutik) karena adanya kesanggupan dari dokter

untuk mengupayakan kesehatan atau kesembuhan pasien, sebaliknya pasien menyetujui

tindakan terapeutik yang dilakukan oleh dokter tersebut. Perjanjian terapeutik memiliki sifat

dan ciri yang khusus, tidak sama dengan sifat dan ciri perjanjian pada umumnya, karena

obyek perjanjian dalam transaksi terapeutik bukan “kesembuhan” pasien, melainkan mencari

“upaya” yang tepat untuk kesembuhan pasien.

Perjanjian dokter dengan pasien termasuk pada perjanjian tentang “upaya” atau

disebut (Inspanings verbintenis ) bukan perjanjian tentang “hasil” atau disebut

11

Page 12: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

(Resultaatverbintenis). Hubungan hukum antara pasien dengan dokter dapat terjadi antara

lain karena ; pasien sendiri yang mendatangi dokter untuk meminta pertolongan mengobati

sakit yang dideritanya, dalam keadaan seperti ini terjadi persetujuan kehendak antara kedua

belah pihak, dan terjadi hubungan hukum yang bersumber dari kepercayaan pasien terhadap

dokter, sehingga pasien bersedia memberikan persetujuan tindakan medik (informed

consent).

Di Indonesia informed consent telah memperoleh justifikasi yuridis melalui Peraturan

Menteri Kesehatan RI No. 290/MENKES/PER/III/2008 Persetujuan tindakan medik

(informed consent) dalam praktik banyak mengalami kendala, karena faktor bahasa, faktor

campur tangan keluarga atau pihak ketiga dalam hal memberikan persetujuan, faktor

perbedaan kepentingan antara dokter dan pasien, dan faktor lainnya.

Sebab dalam konsep ini dokter hanya berkewajiban melakukan pelayanan kesehatan

dengan penuh kesungguhan, dengan mengerahkan seluruh kemampuan dan perhatiannya

sesuai dengan standard profesinya. Jadi Seorang dokter dapat dikatakan melakukan

kesalahan atau kelalaian dalam menjalankan profesinya, apabila dia tidak memenuhi

kewajibannya dengan baik, yang berdasarkan kemampuan tertinggi yang dimilikinya sesuai

dengan standard operasional (SOP).

2.4. Malpraktek dan kelalaian

Kamus Besar bahasa Indonesia edisi ketiga menyebutkan istilah malpraktik dengan

malapraktik yang diartikan dengan: “praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi

undang-undang atau kode etik”.

Malpraktek kedokteran adalah sebuah proses yang melibatkan kesalahan prosedur

penanganan seorang pasien yang dilakukan oleh dokter. Kesalahan yang dimaksud

diantaranya adalah kesalahan pada diagnosa, kesalahan pemberian obat, kesalahan pemberian

terapi atau kesalahan penanganan pasien oleh dokter. Dalam semua kasus malpraktek

kedokteran, pasien tentu adalah pihak yang dirugikan.

12

Page 13: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Kerugian yang ditanggung tidak hanya secara materil, namun lebih dari itu bisa saja

berupa kerugian secara kejiwaan dan mental pasien beserta keluarga. Adami Chazawi

menyebutkan bahwa malpraktik medic terjadi kalau dokter atau orang yang ada di bawah

perintahnya dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan perbuatan (aktif atau pasif)

dalam praktik medik terhadap pasiennya dalam segala tingkatan yang melanggar standar

profesi, standar prosedur, atau prinsip-prinsip kedokteran, atau dengan melanggar hukum

tanpa wewenang; dengan menimbulkan akibat (causal verband) kerugian bagi tubuh,

kesehatan fisik, maupun mental dan atau nyawa pasien, dan oleh sebab itu membentuk

pertanggungjawaban hukum bagi dokter.

a. Kelalaian medik

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga, kelalaian dari asal kata

lalai yang berarti “tindakan yang kurang hati-hati, tidak mengindahkan

(kewajiban,pekerjaan,dsb.), lengah”. Dalam An Indonesian-English Dictionary 3th

Edition, Kelalaian diartikan dari kata neglect, carelessness.

Dalam kamus Hukum Edisi lengkap, terjemahan dari: culpa (Lat.) atau schuld

(Bld.), atau debt, guilt, fault (Ing.), yang artinya adalah “kekhilafan atau kelalaian

yang menimbulkan akibat hukum, dianggap melakukan tindak pidana yang dapat

ditindak atau dituntut”.

Jenis kelalaian Menurut teori hukum pidana, kealpaan yang diartikan sebagai

suatu macam kesalahan sebagai akibat kurang hati-hati sehingga secara tidak sengaja

mengakibatkan terjadinya sesuatu tersebut dapat dibagi menjadi dua bentuk, yaitu:

1. Kealpaan ringan (culpa levissima)

2. Kealpaan berat (culpa lata)

Dalam hukum pidana, untuk menilai seseorang bertindak hati-hati atau

sebaliknya, adalah dengan memperbandingkan tindakan seseorang tersebut dengan

tindakan orang lain. Terdapat dua kategori orang lain yang dimaksud, yaitu: (1).

Orang yang sekategori dengan seseorang yang dinilai tindakannya, dan (2). Orang

yang memiliki kategori lebih. (Dr.Ari Yunanto). Unsur-unsur kelalaian. Untuk lebih

13

Page 14: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

berhasilnya suatu tuntutan berdasarkan kelalaian, menurut J.guwandi, harus dipenuhi

4 (empat) unsur yang dikenal dengan nama 4-D, yaitu :

1. Duty to Use Due Care

Tidak ada kelalaian jika tidak ada kewajiban untuk mengobati. Hal ini berarti bahwa

harus ada hubungan hukum antara dokter dan pasien dan dokter/rumah sakit. Dengan adanya

hubungan hukum maka implikasinya adalah bahwa sikap tindak dokter/perawat rumah sakit

itu harus sesuai dengan standar pelayanan medik agar pasien jangan sampai menderita cedera

karenanya.

2. Deriliction (Breach of Duty)

Apabila sudah ada kewajiban (duty) maka dokter/perawat rumah sakit harus bertindak

sesuai dengan standar profesi yang berlaku. Jika terdapat penyimpangan dari standar tersebut

maka ia dapat dipersalahkan. Bukti adanya suatu penyimpangan dapat diberikan melalui

saksi ahli, catatan-catatan pada rekam medik, kesaksian perawat, dan bukti-bukti lain.

Apabila kesalahan atau kelalaian itu sedemikian jelasnya, sehingga tidak diperlukan

kesaksian ahli lagi, maka hakim dapat menerapkan doktrin Res ipsa loquitur. Tolak ukur

yang dipakai secara umum adalah sikap-tindak seorang dokter yang wajar dan setingkat di

dalam situasi dan keadaan yang sama.

3. Damage (Injury)

Unsur ketiga untuk penuntutan malpraktik medik adalah “cedera atau kerugian” yang

diakibatkan pada pasien. Walaupun seorang dokter atau rumah sakit dituduh telah berlaku

lalai, tetapi jika tidak sampai menimbulkan luka/cedera/kerugian (damage, injury, harm)

kepada pasien, maka ia tidak dapat dituntut ganti kerugian. Istilah (injury) tidak saja dalam

benyuk fisik, namun kadangkala juga termasuk dalam arti gangguan mental yang hebat

(mental anguish). Juga apabila terjadi pelanggaran terhadap privasi orang lain.

14

Page 15: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

4. Direct Causation (proximate Cause)

Untuk berhasilnya suatu gugatan ganti rugi berdasarkan malpraktik medik, maka

harus ada hubungan kausal yang wajar antara sikap tindak tergugat.

Perbedaan malpraktik medik dengan kelalaian medic Terminologi malpraktek medik

(malpraktic medic) dan kelalaian medic merupakan 2 hal yang berbeda. Kelalaian medic

memang termasuk malpraktik medik, akan tetapi di dalam malpraktik malpraktik medik tidak

hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga kerena adanya kesengajaan. Jika dilihat dari

definisi di atas jelaslah bahwa malpractice mempunyai pengertian yang lebih luas daripada

negligence karena selain mencakup arti kelalaian, istilah malpraktik pun mencakup tindakan-

tindakan yang dilakukan dengan sengaja (international, dolus, opzettelijk) dan melanggar

undang-undang.

Perbedaan yang lebih jelas kalau kita melihat motif yang dilakukan, yaitu:

(J.Guwandi : 1994)

Pada malpraktik (dalam arti ada kesengajaan): tindakannya dilakukan secara sadar,

dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada akibat yang hendak

ditimbulkan atau tidak perduli terhadap akibatnya, walaupun ia mengetahui atau

seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan dengan hukum yang

berlaku.

Pada kelalaian: tidak ada motif ataupun tujuan untuk menimbulkan akibat yang

terjadi. Akibat yang timbul disebabkan kerena adanya kelalaian yang sebenarnya

terjadi di luar kehendaknya.

b) Tindakan medik

Tindakan medik adalah tindakan professional oleh dokter terhadap pasien dengan

tujuan memelihara, meningkatkan, memulihkan kesehatan, atau menghilangkan atau

mengulangi penderitaan (samsi Jacobalis : 2005 )

15

Page 16: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

c) Risiko medik ( Untoward Result)

Untuk setiap manfaat yang kita dapatkan selalu ada risiko yang harus dihadapi. Satu-

satunya jalan menghindari risiko adalah dengan tidak berbuat sama sekali. (Dr. Ari Yunanto :

2010) Kalimat di atas merupakan salah satu ungkapan yang perlu kita renungkan , bahwa di

dalam kehidupan, manusia tidak akan pernah lepas dari ketidak sengajaan atau kesalahan

yang tidak dikehendaki di dalam menjalankan profesi atau pekerjaannya. Oleh karena itu,

untuk mencegah terjadinya risiko yang tidak diharapkan, seorang professional harus selalu

berpikir cermat dan bertindak hati-hati agar dapat mengantisipasi risiko yang mungkin

terjadi.

d) Kecelakaan Medik (medical mishap)

"Kecelakaan Medis" (medical mishap, misadventure, accident) adalah sesuatu yang

dapat dimengerti dan dimaafkan, tidak dipersalahkan, sehingga tidak dihukum. Kecelakaan

adalah lawan dari kesalahan, kecelakaan mengandung unsur yang tidak dapat dipersalahkan

(verwijtbaarheid), tidak dapat dicegah (vermijdbaarheid) dan terjadinya tidak dapat diduga

sebelumnya (voorzienbaarheid: Jonkers). (J.Guwandi : 2007) Asalkan kecelakaan ini

merupakan kecelakaan murni, dimana tidak ada unsur kelalaiannya. Hal ini disebabkan

karena didalam Hukum Medis yang terpenting bukanlah akibatnya, tetapi cara bagaimana

sampai terjadinya akibat itu, bagaimana tindakan itu dilakukan. Inilah yang paling penting

untuk diketahui. Untuk itu dipakailah tolok ukur, yaitu Etik Kedokteran dan Standar Profesi

Medis. Sebagaimana diketahui Hukum Pidana pertama-tama melihat dahulu akibat yang

ditimbulkan, baru motif dari tindakan tersebut. (J.Guwandi : 2007)

Untuk itu kita mengambil salah satu kamus, yaitu :The Oxford Illustrated Dictionary

(1975)yang antara lain merumuskan "Kecelakaan" sebagai : Suatu peristiwa yang tak

terduga, tindakan yang tidak disengaja. Sinonim yang bisa disebutkan adalah : "accident,

misfortune, bad fortune, mischance, ill luck". Namun tentunya tidaklah semua "tindakan

yang tidak disengaja" termasuk kategori kecelakaan,

16

Page 17: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

2.5. Malpraktek dan pertanggungjawaban hukumnya (medical liability)

Dunia kedokteran yang dahulu seakan tak terjangkau oleh hukum, dengan

berkembangnya kesadaran masyarakat akan kebutuhannya tentang perlindungan hukum

menjadikan dunia pengobatan bukan saja sebagai hubungan keperdataan, bahkan sering

berkembang menjadi persoalan pidana. Banyak persoalan-persoalan malpraktek yang kita

jumpai, atas kesadaran hukum pasien maka diangkat menjadi masalah pidana. Berdasarkan

hal tersebut diperlukan suatu pemikiran dan langkah-langkah yang bijaksana sehingga

masing-masing pihak baik dokter maupun pasien memperoleh perlindungan hukum yang

seadil adilnya. Membiarkan persoalan ini berlarut-larut akan berdampak negativ terhadap

pelayanan medis yang pada akhirnya akan dapat merugikan masyarakat secara keseluruhan.

Memang disadari oleh semua pihak, bahwa dokter hanyalah manusia yang suatu saat bisa

salah dan lalai sehingga pelanggaran kode etik bisa terjadi, bahkan mungkin sampai

pelanggaran norma-norma hukum. Soerjono Soekanto dan Kartono Muhammad berpendapat

bahwa belum ada parameter yang tegas tentang batas pelanggaran kode etik dan pelanggaran

hukum.

Belum adanya parameter yang tegas antara pelanggaran kode etik dan pelanggaran

didalam perbuatan dokter terhadap pasien tersebut, menunjukan adanya kebutuhan akan

hukum yang betul-betul diterapkan dalam pemecahan masalah-masalah medik, yang hanya

bisa diperoleh dengan berusaha memahami fenomena yang ada didalam profesi kedokteran.

Sekalipun pasien atau keluarganya mengetahui bahwa kualitas pelayanan yang

diterimanya kurang memadai, seringkali pasien atau keluarganya lebih memilih diam karena

kalau mereka menyatakan ketidak puasannya kepada dokter, mereka khawatir kalau dokter

akan menolak menolong dirinya yang pada akhirnya bisa menghambat kesembuhan sang

pasien. Walapun demikian tidak semua pasien memilih diam apabila pelayanan dokter tidak

memuaskan dirinya ataupun keluarganya terutama bila salah satu anggota keluarganya ada

yang mengalami cacat atau kematian setelah prosedur pengobatan dilakukan oleh dokter.

Berubahnya fenomena tersebut terjadi karena perubahan sudut pandang terhadap dokter

dengan pasiennya.

17

Page 18: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Kedudukan pasien yang semula hanya sebagai pihak yang bergantung pada dokter

dalam menentukan cara penyembuhan (terapi) kini berubah menjadi sederajat dengan dokter.

Dengan demikian dokter tidak boleh lagi mengabaikan pertimbangan dan pendapat pihak

pasien dalam memilih cara pengobatan termasuk pendapat pasien untuk menentukan

pengobatan dengan operasi atau tidak. Akibatnya apabila pasien merasa dirugikan dalam

pelayanan dokter maka pasien akan mengajukan gugatan terhadap dokter untuk memberikan

ganti rugi terhadap pengobatan yang dianggap merugikan dirinya. Dokterpun bereaksi,

tindakan-tindakan penuntutan dipengadilan itu mereka anggap sebagai ancaman. Penerapan

hukum dibidang kedikteran dianggap sebagai intervensi hukum. Mereka mengemukakan

bahwa KODEKI (Kode Etik Kedokteran Indonesia) sudah cukup untuk mengatur dan

mengawasi dokter dalam bekerja, sehingga tidak perlu lagi adanya intervensi hukum

tersebut. Lebih jauh dari itu kekhawatiran paling utama adalah profesi kedokteran akan

kehilangan martabatnya manakala diatur oleh hukum. Dokter merasa resah dan merasa

diperlakukan tidak adil sehingga mereka menuntut perlindungan hukum agar dapat

menjalankan profesinya dalam suasana tentram. Sampai sekarang yang mereka persoalkan

adalah perlindungan hukum dan bukan mengenai masalah tanggung jawab hukum serta

kesadaran hukum dokter dalam menjalankan profesinya. Hal ini menunjukan kurangnya

pengertian mengenai Etika dan Hukum dalam kalangan dokter. Demikian juga kerancuan

pemahaman atas masalah medical malpractice, masih sering dianggap pelanggaran norma

etis profesi saja yang tidak seharusnya diberikan sanksi ancaman pidana.

Kenyataan menunjukan bahwa kemajuan teknologi memang mampu meningkatkan

mutu dan jangkauan diagnosis (penentuan jenis penyakit) dan terapi (penyembuhan) sampai

batasan yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Namun demikian tidak selalu mampu

menyelesaikan problema medis seseorang penderita, bahkan kadang-kadang muncul problem

baru dimana untuk melakukan diagnosa dokter sangat bergantung pada alat bantu diagnosis.

Patut disadari bahwa ilmu dokter bukanlah ilmu pasti, menentukan diagnosis merupakan seni

tersendri karena memerlukan imajinasi setelah mendengar keluhan-keluhan pasien dan

melakukan pengamatan yang seksama terhadapnya. Hipocrates mengatakan bahwa ilmu

kedokteran merupakan perpaduan antara pengetahuan dan seni (science and art) yang harus

diramu sedemikian sehingga menghasilkan suatu diagnosa yang mendekati kebenaran.

18

Page 19: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Memang kita harus berkata jujur bahwa profesi kedokteran merupakan suatu profesi

yang penuh dengan resiko dan kadang-kadang dalam mengobati penderita atau pasien dapat

terjadi kematian sebagai akibat dari tindakan dokter. Resiko ini kadangkala diartikan oleh

pihak luar profesi kedokteran sebagai malpraktek medik.

2.6.1. Latar belakang timbulnya Malpraktek

Pelayanan kesehatan pada dasarnya bertujuan untuk melaksanakan pencegahan dan

pengobatan terhadap penyakit, termasuk didalamnya pelayanan medis yang dilaksanakan atas

dasar hubungan individual antara dokter dengan pasien yang membutuhkan penyembuhan.

Dalam hubungan antara dokter dan pasien tersebut terjadi transaksi terapeutik artinya

masing-masing pihak mempunyai hak dan kewajiban. Dokter berkewajiban memberikan

pelayanan medis yang sebaik-baiknya bagi pasien. Pelayanan media ini dapat berupa

penegakan diagnosis dengan benar sesuai prosedur, pemberian terapi, melakukan tindakan

medik sesuai standar pelayanan medik, serta memberikan tindakan wajar yang memang

diperlukan untuk kesembuhan pasiennya. Adanya upaya maksimal yang dilakukan dokter ini

adalah bertujuan agar pasien tersebut dapat memperoleh hak yang diharapkannya dari

transaksi yaitu kesembuhan ataupun pemulihan kesehatannya.

Namun adakalanya hasil yang dicapai tidak sesuai dengan harapan masing-masing

pihak. Dokter tidak berhasil menyembuhkan pasien, adakalanya pasien menderita cacat atau

bahkan sampai terjadi kematian dan tindakan dokterlah yang diduga sebagai penyebab

kematian tersebut. Dalam hal terjadi peristiwa yang demikian inilah dokter sering kali

dituduh melakukan kelalaian yang pada umumnya dianggap sebagai malpraktek.

2.6.2. Jenis Malpraktek

1. Malpraktek Etik

Yang dimaksud dengan malpraktek etik adalah dokter melakukan tindakan yang

bertentangan dengan etika kedokteran. Sedangkan etika kedokteran yang dituangkan da

dalam KODEKI merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku

untuk dokter.

19

Page 20: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Ngesti Lestari berpendapat bahwa malpraktek etik ini merupakan dampak negative dari

kemajuan teknologi kedokteran. Kemajuan teknologi kedokteran yang sebenarnya bertujuan

untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi pasien, dan membantu dokter untuk

mempermudah menentukan diagnosa dengan lebih cepat, lebbih tepat dan lebih akurat

sehingga rehabilitasi pasien bisa lebih cepat, ternyata memberikan efek samping yang tidak

diinginkan.

Efek samping ataupun dampak negative dari kemajuan teknologi kedokteran tersebut antara

lain :

Kontak atau komunikasi antara dokter dengan pasien semakin berkurang

Etika kedokteran terkontaminasi dengan kepentingan bisnis.

Harga pelayanan medis semakin tinggi, dsb.

Contoh konkrit penyalahgunaan kemajuan teknologi kedokteran yang merupakan malpraktek

etik ini antara lain :

Dibidang diagnostic

Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan terhadap pasien kadangkala tidak diperlukan

bilamana dokter mau memeriksa secara lebih teliti. Namun karena laboratorium memberikan

janji untuk memberikan “hadiah” kepada dokter yang mengirimkan pasiennya, maka dokter

kadang-kadang bisa tergoda juga mendapatkan hadiah tersebut.

Dibidang terapi

Berbagai perusahaan yang menawarkan antibiotika kepada dokter dengan janji kemudahan

yang akan diperoleh dokter bila mau menggunakan obat tersebut, kadang-kadang juga bisa

mempengaruhi pertimbangan dokter dalam memberikan terapi kepada pasien. Orientasi

terapi berdasarkan janji-janji pabrik obat yang sesungguhnya tidak sesuai dengan indikasi

yang diperlukan pasien juga merupakan malpraktek etik.

2. Malpraktek Yuridik

20

Page 21: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridik ini menjadi :

1. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)

Terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinya isi perjanjian

(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lain, atau

terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechmatige daad) sehingga menimbulkan

kerugian pada pasien.

Adapun isi dari tidak dipenuhinya perjanjian tersebut dapat berupa :

Tidak melakukan apa yang menurut kesepakatan wajib dilakukan.

Melakukan apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat

melaksanakannya.

Melakukan apa yang menurut  kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna

dalam pelaksanaan dan hasilnya.

Melakukan apa yang menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.

Sedangkan untuk perbuatan atau tindakan yang melanggar hukum haruslah memenuhi

beberapa syarat seperti :

Harus ada perbuatan (baik berbuat naupun tidak berbuat)

Perbuatan tersebut melanggar hukum (baik tertulis maupuntidak tertulis)

Ada kerugian

Ada hubungan sebab akibat (hukum kausal) antara perbuatan yang melanggar hukum

dengan kerugian yang diderita.

Adanya kesalahan (schuld)

Sedangkan untuk dapat menuntut pergantian kerugian (ganti rugi) karena kelalaian dokter,

maka pasien harus dapat membuktikan adanya empat unsure berikut :

Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien.

Dokter telah melanggar standar pelayanan medik yang lazim.

Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya.

21

Page 22: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Secara faktual kerugian itu disebabkan oleh tindakan dibawah standar.

Namun adakalanya seorang pasien tidak perlu membuktikan adanya kelalaian dokter. Dalam

hukum ada kaidah yang berbunyi “res ipsa loquitor” yang artinya fakta telah berbicara.

Misalnya karena kelalaian dokter terdapat kain kasa yang tertinggal dalam perut sang pasien

tersebut akibat tertinggalnya kain kasa tersebut timbul komplikasi paksa bedah sehingga

pasien harus dilakukan operasi kembali. Dalam hal demikian, dokterlah yang harus

membuktikan tidak adanya kelalaian pada dirinya.

3. Malpraktek Pidana (Criminal Malpractice)

Terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga

kesehatan lainnya kurang hati-hati atua kurang cermat dalam melakukan upaya penyembuhan

terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.

4. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional)

Misalnya pada kasus-kasus melakukan aborsi tanpa indikasi medis, euthanasia,

membocorkan rahasia kedokteran, tidak melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal

diketahui bahwa tidak ada orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat

keterangan dokter yang tidak benar.

5. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness)

Misalnya melakukan tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi

serta melakukan tindakn tanpa disertai persetujuan tindakan medis.

6. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence)

Misalnya terjadi cacat atau kematian pada pasien sebagai akibat tindakan dokter yang kurang

hati-hati atau alpa dengan tertinggalnya alat operasi yang didalam rongga tubuh pasien.

7. Malpraktek Administratif (Administrative Malpractice)

22

Page 23: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Terjadi apabila dokter atau tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum

Administrasi Negara yang berlaku, misalnya menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau

izinnya, manjalankan praktek dengan izin yang sudah kadaluarsa dan menjalankan praktek

tanpa membuat catatan medik.

Pertanggung jawaban dalam Hukum Pidana

Untuk memidana seseorang disamping orang tersebut melakukan perbuatan yang dilarang

dikenal pula azas Geen Straf Zonder Schuld (tiada pidana tanpa kesalahan). Azas ini

merupakan hukum yang tidak tertulis tetapi berlaku dimasyarakat dan juga berlaku dalam

KUHP, misalnya pasal 48 tidak memberlakukan ancaman pidana bagi pelaku yang

melakukan perbuatan pidana karena adanya daya paksa. Oleh karena itu untuk dapat

dipidananya suatu kesalahan yang dapat diartikan sebagai pertanggungjawaban dalam hukum

pidana haruslah memenuhi 3 unsur, sebagai berikut :

1. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada petindak artinya keadaan jiwa petindak

harus normal.

2. Adanya hubungan batin antara petindak dengan perbuatannya yang dapat berupa

kesengajaan (dolus) atau kealpaan (culpa).

3. Tidak adanya alas an penghapus kesalahan atau pemaaf.

Perbedaaan kesengajaan dan kealpaan.

Mengenai kesengajaan, KUHP tidak menjelaskan apa arti kesengajaan tersebut. Dalam

Memorie van Toelichting (MvT), kesengajaan diartikan yaitu melakukan perbuatan yang

dilarang dengan dikehendaki dan diketahui.

Dalam tindakannya, seorang dokter terkadang harus dengan sengaja menyakiti atau

menimbulkan luka pada tubuh pasien, misalnya : seorang ahli dokter kandungan yang

melakukan pembedahan Sectio Caesaria untuk menyelamatkan ibu dan janin. Ilmu

pengetahuan (doktrin) mengartikan tindakan dokter tersebut sebagai penganiayaan karena

arti dan penganiayaan adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan sengaja untuk

menimbulkan rasa sakit atau luka pada orang lain. Didalam semua jenis pembedahan

23

Page 24: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

sebagaimana sectio caesare tersebut, dokter operator selalu menyakiti penderita dengan

menimbulkan luka pada pasien yang jika tidak karena perintah Undang-Undang “si pembuat

luka” dapat dikenakan sanksi pidana penganiayaan. Oleh karena itu, didalam setiap

pembedahan, dokter operator haruslah berhati-hati agar luka yang diakibatkannya tersebut

tidak menimbulkan masalah kelak di kemudian hari. Misalnya terjadi infeksi nosokomial

(infeksi yang terjadi akibat dilakukannya pembedahan) sehingga luka operasi tidak bisa

menutup. Bila ini terjadi dokter dianggap melakukan kelalaian atau kealpaan.

Kealpaan merupakan bentuk kesalahan yang tidak berupa kesengajaan, akan tetapi juga

bukan sesuatu yang terjadi karena kebetulan. Dalam kealpaan sikap batin seseorang

menghendaki melakukan perbuatan akan tetapi sama sekali tidak menghendaki ada niatan

jahat dari petindak. Walaupun demikian, kealpaan yang membahayakan keamanan dan

keselamatan orang lain tetap harus dipidanakan.

Moeljatno menyatakan bahwa kesengajaan merupakan tindakan yang secara sadar dilakukan

dengan menentang larangan, sedangkan kealpaan adalah kekurang perhatian pelaku terhadap

obyek dengan tidak disadari bahwa akibatnya merupakan keadaan yang dilarang, sehingga

kesalahan yang berbentuk kealpaan pada hakekatnya sama dengan kesengajaan hanya

berbeda gradasi saja.

2.6. Penanganan Malpraktek di Indonesia

Sistem hukum di Indonesia yang salah satu komponennya adalah hukum substantive,

diantaranya hukum pidana, hukum perdata dan hukum administrasi tidak mengenal bangunan

hukum “malpraktek”.

Sebagai profesi, sudah saatnya para dokter mempunyai peraturan hukum yang dapat

dijadikan pedoman bagi mereka dalam menjalankan profesinya dan sedapat mungkin untuk

menghindari pelanggaran etika kedokteran.

Keterkaitan antara pelbagai kaidah yang mengatur perilaku dokter, merupakan bibidang

hukum baru dalam ilmu hukum yang sampai saat ini belum diatur secara khusus. Padahal

hukum pidana atau hukum perdata yang merupakan hukum positif yang berlaku di Indonesia

24

Page 25: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

saat ini tidak seluruhnya tepat bila diterapkan pada dokter yang melakukan pelanggaran.

Bidang hukum baru inilah yang berkembang di Indonesia dengan sebutan Hukum

Kedokteran, bahkan dalam arti yang lebih luas dikenal dengan istilah Hukum Kesehatan.

Istilah hukum kedokteran mula-mula diunakan sebagai terjemahan dari Health Law yang

digunakan oleh World Health Organization. Kemudian Health Law diterjemahkan dengan

hukum kesehatan, sedangkan istilah hukum kedokteran kemudian digunakan sebagai bagian

dari hukum kesehatan yang semula disebut hukum medik sebagai terjemahan dari medic law.

Sejak World Congress ke VI pada bulan agustus 1982, hukum kesehatan berkembang pesat

di Indonesia. Atas prakarsa sejumlah dokter dan sarjana hukum pada tanggal 1 Nopember

1982 dibentuk Kelompok Studi Hukum Kedokteran di Indonesia dengan tujuan mempelajari

kemungkinan dikembangkannya Medical Law di Indonesia. Namun sampai saat ini, Medical

Law masih belum muncul dalam bentuk modifikasi tersendiri. Setiap ada persoalan yang

menyangkut medical law penanganannya masih mengacu kepada Hukum Kesehatan

Indonesia yang berupa Undang-Undang No. 23 Tahun 1992, KUHP dan Kitab Undang-

Undang Hukum Perdata. Kalau ditinjau dari budaya hukum Indonesia, malpraktek

merupakan sesuatu yang asing karena batasan pengertian malpraktek yang diketahui dan

dikenal oleh kalangan medis (kedokteran) dan hukum berasal dari alam pemikiran barat.

Untuk itu masih perlu ada pengkajian secara khusus guna memperoleh suatu rumusan

pengertian dan batasan istilah malpraktek medik yang khas Indonesia (bila memang

diperlukan sejauh itu) yakni sebagai hasil oleh piker bangsa Indonesia dengan berlandaskan

budaya bangsa yang kemudian dapat diterima sebagai budaya hukum (legal culture) yang

sesuai dengan system kesehatan nasional.

Dari penjelasan ini maka kita bisa menyimpulkan bahwa permasalahan malpraktek di

Indonesia dapat ditempuh melalui 2 jalur, yaitu jalur litigasi (peradilan) dan jalur non litigasi

(diluar peradilan).

Untuk penanganan bukti-bukti hukum tentang kesalahan atau kealpaan atau kelalaian dokter

dalam melaksanakan profesinya dan cara penyelesaiannya banyak kendala yuridis yang

dijumpai dalam pembuktian kesalahan atau kelalaian tersebut. Masalah ini berkait dengan

25

Page 26: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

masalah kelalaian atau kesalahan yang dilakukan oleh orang pada umumnya sebagai anggota

masyarakat, sebagai penanggung jawab hak dan kewajiban menurut ketentuan yang berlaku

bagi profesi. Oleh karena menyangkut 2 (dua) disiplin ilmu yang berbeda maka metode

pendekatan yang digunakan dalam mencari jalan keluar bagi masalah ini adalah dengan cara

pendekatan terhadap masalah medik melalui hukum. Untuk itu berdasarkan Surat Edaran

Mahkamah Agung Repiblik Indonesia (SEMA RI) tahun 1982, dianjurkan agar kasus-kasus

yang menyangkut dokter atau tenaga kesehatan lainnya seyogyanya tidak langsung diproses

melalui jalur hukum, tetapi dimintakan pendapat terlebih dahulu kepada Majelis Kehormatan

Etika Kedokteran (MKEK).

Majelis Kehormatan Etika Kedokteran merupakan sebuah badan di dalam struktur organisasi

profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI). MKEK ini akan menentukan kasus yang terjadi

merpuakan pelanggaran etika ataukah pelanggaran hukum. Hal ini juga diperkuat dengan UU

No. 23/1992 tentang kesehatan yang menyebutkan bahwa penentuan ada atau tidaknya 

kesalahan atau kelalaian ditentukan oleh Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (pasal 54 ayat 2)

yang dibentuk secara resmi melalui Keputusan Presiden (pasal 54 ayat 3).

Pada tanggal 10 Agustus 1995 telah ditetapkan Keputusan Presiden No. 56/1995 tentang

Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan (MDTK) yang bertugas menentukan ada atau tidaknya

kesalahan atau kelalaian dokter dalam menjalankan tanggung jawab profesinya. Lembaga ini

bersifat otonom, mandiri dan non structural yang keanggotaannya terdiri dari unsur Sarjana

Hukum, Ahli Kesehatan yang mewakili organisasi profesi dibidang kesehatan, Ahli Agama,

Ahli Psikologi, Ahli Sosiologi. Bila dibandingkan dengan MKEK, ketentuan yang dilakukan

oleh MDTK dapat diharapkan lebih obyektif, karena anggota dari MKEK hanya terdiri dari

para dokter yang terikat kepada sumpah jabatannya sehingga cenderung untuk bertindak

sepihak dan membela teman sejawatnya yang seprofesi. Akibatnya pasien tidak akan merasa

puas karena MKEK dianggap melindungi kepentingan dokter saja dan kurang memikirkan

kepentingan pasien.

26

Page 27: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

BAB IV

PENUTUP

4.1. Simpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan beberapa hal dari penelitian

ini, antara lain :

1) Perlindungan hukum bagi pasien dimaksudkan sebagai tindakan preventive

sekaligus represif dalam hal jika ada kelalaian maupun kesalahan dokter ataupun tenaga

kesehatan dalam melaksanakan tindakan medik. Tindakan preventive dalam hal ini dapat

berupa pengaturan yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan berupa pembinaan

maupun pengawasan terhadap dokter dan Rumah Sakit sedangkan tindakan represif berupa

tindakan yang dapat ditempuh jika dikemudian hari timbul sengketa melalui jalur non-litigasi

dengan mengadukan kasusnya melalui Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran

Indonesiaataupun melalui Lembaga Arbitrase dan Penyelesaian Sengketa dan menempuh

jalur litigasi, yaitu melalui jalur perdata atau pidana tanpa menutup kemungkinan untuk

menempuh kedua jalur tersebut baik litigasi maupun non litigasi secara sekaligus.

2) Rumah Sakit, baik yang dimiliki pemerintah ataupun swasta, merupakan organisasi

yang sangat kompleks. Di sarana kesehatan tersebut banyak berkumpul pekerja professional

dengan berbagai macam latar belakang keahlian dan banyak pula peralatan yang

digunakannya. Semakin besar dan canggih suatu Rumah Sakit akan semakin kompleks pula

permasalahannya. Oleh sebab itu, tidaklah gampang menentukan pembagian tanggung

gugatnya. Selain pola hubungan terapeutik dan pola hubungan kerja tenaga medis, penyebab

terjadinya kerugian itu sendiri juga sangat menentukan sejauh mana Rumah Sakit dan tenaga

kesehatan harus bertanggung jawab.

4.2. Saran

Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka penulis memberikan beberapa saran

sebagai berikut :

27

Page 28: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

a. Bagi Rumah Sakit hendaknya menjalankan manajemen Rumah Sakit yang baik

khususnya untuk memperjelas mengenai tanggung jawab hukumnya. Tujuannya untuk

memudahkan pasien menentukan apakah tindakan kelalaian yang dilakukan oleh dokter

tersebut merupakan kompetensinya atau merupakan tindakan yang berada dibawah

pengawasan pihak Rumah Sakit ;

b. Hendaknya bagi pasien mengetahui dengan jelas aturan atau payung hukum yang

melindunginya dan dibutuhkan ketelitian serta kemauan oleh pasien untuk lebih aktif dalam

penyembuhan kondisi kesehatannya ;

c. Bagi dokter hendaknya menjalankan kode etik, standar profesi, hak pengguna

pelayanan kesehatan, standar pelayanan, dan standar prosedur operasional sebagaimana

mestinya untuk menghindari ataupun mengurangi terjadinya kelalaian medik.

28

Page 29: MEDICAL LIABILITY TESSA SAFITRI 1420320028.docx

Daftar pustaka

Crowley, Ryan. 2014. Medical Liability Reform: Innovative Solutions for a New Health Care

System. Philadelphia: American College of Physicians; Policy Paper. (Available

from American College of Physicians, 190 N. Independence Mall West,

Philadelphia, PA 19106.)

Kayus Koyowuan Lewloba. 2008. “Malpraktek dalam pelayanan Kesehatan (Malpraktek

Medis)”. Bina Widya. Vol 19, No.3. Jakarta

Wahyudi, Setya. 2011. Tanggung jawab Rumah Sakit terhadap Kerugian akibat Kelalaian

Tenaga Kesehatan dan Implikasinya. Jurnal Dinamika Hukum. Vol.11 No.3.

Semarang

Bahder Johan Nasution,(2005). Hukum Kesehatan Pertanggungjawaban Dokter, Jakarta: Rineka Cipta

Siti Kemala Rohima. 2013. Perlindungan Hukum Bagi Pasien Terhadap Kelalaian Tenaga

Kesehatan ( Dokter ) Dalam Melaksanakan Tindakan Medik Berdasarkan

Peraturan Perundang-Undangan Yang Berlaku

Pradana, Firmansyah. 2014. Perlindungan Hukum terhadap Korban Malpraktik Medik yang Dilakukan oleh Dokter di Kota Makasar. Skripsi. Universitas Hasanudin. Makasar

29