Upload
others
View
8
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
1
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Daging ayam merupakan salah satu sumber protein hewani yang paling
banyak dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia, selain ikan dan telur, guna
memenuhi kebutuhan akan protein. Data Food and Agricultural Policy Research
Institute (FAPRI) menunjukan bahwa dari tahun 1998 – 2007, tingkat konsumsi
daging ayam menunjukkan kecenderungan yang meningkat setiap tahunnya.
Untuk tahun 2008, data Direktorat Jenderal Peternakan menunjukkan konsumsi
daging ayam mencapai 6 kg per kapita per tahun, artinya meningkat 22.19% dari
tahun sebelumnya. Konsumsi ini masih jauh dibandingkan dengan negara Asia
Tenggara lainnya seperti Malaysia yang sudah mencapai 32 kg perkapita pertahun
(Tabel 1). Jika dibandingkan dengan konsumsi daging ternak yang lain, jumlah
konsumsi daging ayam mencapai 84,07% dari total konsumsi daging ternak
lainnya, sedangkan produksi daging ayam ras pedaging menurut BPS pada tahun
2007 menunjukkan angka 891,659 ton ekor yang berarti 65% dari total populasi
ternak di Indonesia, dan peningkatan ini terus terjadi setiap tahunnya.
Hal ini menunjukkan bahwa tingkat ketergantungan masyarakat Indonesia
terhadap daging ayam cukup tinggi. Dengan jumlah penduduk Indonesia yang
telah mencapai 237 juta jiwa konsumsi daging ayam akan terus meningkat di
tahun mendatang, sehingga peningkatan produksi di sektor peternakan ayam
masih memungkinkan untuk konsumsi dalam negeri di tahun mendatang.
Dengan rendahnya konsumsi daging ayam dan peningkatan jumlah
penduduk merupakan potensi peternakan untuk berkembang. Beberapa masalah
2
yang perlu diperhatikan dalam perkembangan ini adalah masalah AI (Avian
Influenza), daya beli masyarakat, distribusi, ruang penyimpanan dingin dan
produk olahan (Daryanto, 2009).
Tabel 1 . Konsumsi Daging Ayam di Asia Tenggara Tahun 2008
Negara Konsumsi Daging Ayam per kapita (kg)
Brunei 40
Malaysia 32
Thailand 10
Philippina 8
Indonesia 6
Sumber : Vibiznews (2009)
Pada tahun 2008 sektor pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan
menyumbang 11,72% terhadap PDB Indonesia sedangkan sub sektor peternakan
memberikan kontribusi 1.67% terhadap PDB Indonesia (Tabel 2). Sumbangan
PDB Indonesia dari subsektor peternakan terus meningkat tiap tahun dan pada
tahun 2009 sudah memberikan kontribusi 1.85%.
Tabel 2 . PDB Atas Dasar Harga Berlaku Menurut Lapangan Usaha (miliar rupiah)
*Angka sementara, **Angka sangat sementara, Sumber: BPS (2010)
Lapangan Usaha 2008* 2009** 2008-2009 Kontribusi terhadap PDB 2009
Tanaman Bahan Makanan
349,795.0 418,963.9 23.67% 7.46%
Tanaman Perkebunan 105,969.3 112,522.1 28.80% 2.00%
Peternakan 82,676.4 104,040.0 20.07% 1.85%
Kehutanan 40,375.1 44,952.1 20.25% 0.80%
Perikanan 137,249.5 177,773.9 31.43% 3.17%
3
Pada tahun 2006 total populasi peternak ayam Indonesia untuk ayam ras
pedaging, ayam buras dan ayam ras petelur masing-masing memberikan
kontribusi sebesar 69%, 21% dan 10% (Ditjennak.go.id). Populasinya tersebar di
beberapa wilayah antara lain Jawa Barat 47%, Jawa Timur 18%, Jawa Tengah
7%, Sumatra Utara 5% dan sisanya di propinsi lain.
Populasi ayam ras pedaging yang cukup besar pada tahun 2010 terhadap
total populasi ternak nasional sebesar 72,69% masih belum mencukupi kebutuhan
masyarakat Indonesia yang sudah mencapai 237 juta jiwa (Tabel 4).
Tabel 3. Populasi Ternak (000 ekor) Tahun 2007-2010
Ternak 2008 2009 2010*) Kontribusi 2010
1 Sapi Potong 12,257 12,760 13,633 0.79% 2 Sapi Perah 458 475 495 0.03% 3 Kerbau 1,931 1,933 2,005 0.12% 4 Kuda 393 399 409 0.02% 5 Kambing 15,147 15,815 16,821 0.98% 6 Domba 9,605 10,199 10,932 0.64% 7 Babi 6,338 6,975 7,212 0.42% 8 Ayam Buras 243,423 249,964 268,957 15.64% 9 Ayam Ras Petelur 107,955 99,768 103,841 6.04%
10 Ayam Ras Pedaging 902,052 991,281 1,249,952 72.69% 12 Itik 38,840 42,318 45,292 2.63% Total 1,338,399 1,431,887 1,719,549 0.00% *Angka sementara Sumber: Direktorat Jenderal Peternakan (2010)
PT. Japfa Group merupakan salah satu pelaku dalam industri perunggasan
di Indonesia. Melalui beberapa anak perusahaan yang dimiliki, PT. Japfa Group
mengelola bidang usaha mulai dari bagian hulu (industri pembibitan) sampai
dengan bagian hilir (industri pengolahan hasil ternak). Salah satu anak perusahaan
tersebut adalah PT. Ciomas Adisatwa (PTCA) merupakan bagian dari PT. Japfa
4
Group, salah satunya dalam bidang peternakan on farm. PTCA memiliki beberapa
lokasi peternakan yang tersebar di beberapa wilayah Indonesia seperti Jawa dan
Sumatera. Beberapa wilayah tersebut dibagi berdasarkan region yaitu region jawa
Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah dan Sumatera. Masing-masing region dibagi
kembali menjadi unit dengan total 18 unit dengan penyebaran Jawa Barat 3 unit,
Jawa Tengah 4 unit, Sumatera 6 unit dan Jawa Timur 5 unit. PTCA region Jawa
Barat unit Bogor membawahi area Bogor, Sukabumi, depok dan Tangerang.
Produk yang dihasilkan perusahaan berupa karkas ayam utuh (whole chicken
carcass) dalam bentuk segar (fresh) dan beku (frozen), potongan daging ayam
(parting), daging ayam tanpa tulang (boneless), produk olahan lanjutan (further
process), dan produk sampingan (by product).
PTCA masuk kedalam divisi perunggasan unit peternakan komersial
memberikan kontribusi sebesar 9.8% terhadap total penjualan bersih PT. Japfa
tahun 2010. PTCA region Jawa Barat unit Bogor memiliki kemitraan yang
tersebar di daerah Bogor, Tangerang, Bekasi, Cianjur, Sukabumi, Leuwiliang
dengan market share 20% . Dari total rata-rata 600.000 ekor populasinya 80%
dilakukan secara kemitraan dan 20% sisanya dikelola sendiri. Kemitraan yang
diterapkan oleh PTCA adalah inti plasma dengan sistem kontrak dimana sapronak
dan pemasaran dilakukan oleh inti dengan harga yang telah tetapkan.
Penjualan ayam pedaging dalam kondisi hidup dinilai masih belum efisien
dan belum memiliki daya saing tinggi. Terkait dengan hal ini, sebenarnya
Gubernur DKI Jakarta telah mengeluarkan Peraturan Daerah (Perda) Nomor 4
Tahun 2007 tentang Pengendalian, Pemeliharaan, dan Peredaran Unggas. Perda
ini dibuat untuk menanggulangi merebaknya kasus flu burung, penggunaan
5
formalin pada daging, dan perdagangan ayam tiren (mati kemarin). Dalam Perda
DKI Jakarta Nomor 4/2007 tersebut, Pemerintah Daerah DKI Jakarta menertibkan
pemeliharaan ayam hidup di DKI Jakarta dan mengurangi peredaran ayam pangan
hidup di DKI Jakarta. Penertiban ayam hidup di DKI Jakarta dilakukan dengan
cara memberikan sertifikasi terhadap setiap ayam hidup non pangan yang berada
di DKI Jakarta. Sementara pengurangan peredaran ayam pangan hidup dilakukan
dengan cara merelokasi Tempat Penampungan Ayam dan Tempat Pemotongan
Ayam (TPA) ke Rumah Potong Ayam (RPA).
Dengan kebijakan tersebut maka jalur distribusi dan perdagangan ayam
pangan di DKI Jakarta mengalami perubahan yang signifikan. Peternak dari
daerah penghasil wajib memasukan ayam hidupnya ke RPA, untuk kemudian
dipotong. Selanjutnya, ayam potong (karkas) tersebut dipasarkan di DKI Jakarta
melalui rantai dingin. Untuk memenuhi Perda No. 4 tersebut, perusahaan yang
bergerak di dunia perunggasan harus memiliki Rumah Potong Ayam (RPA)
sehingga bisa menyuplai daging ayam dalam kondisi siap masak. Di sisi lain,
Perda ini akan mematikan pedagang ayam hidup yang memasok ke pasar
tradisional.
Salah satu solusi untuk memenuhi kebutuhan konsumen secara
berkesinambungan adalah melalui peningkatan daya saing dan keunggulan
kompetitif dengan rantai nilai yang terintegrasi. Integrasi dapat menciptakan link
antara perusahaan dengan konsumen, pemasok, dan anggota saluran distribusi
lainnya. Integrasi tersebut dapat berupa keterkaitan hubungan, aktivitas, fungsi-
fungsi, proses dan lokasi. Hal ini menciptakan suatu hubungan ke arah kooperatif,
kemitraan bisnis jangka panjang, dan aliansi strategis. (Daryanto, 2009)
6
1.2. Rumusan Masalah
Rantai nilai adalah jejaring organisasi yang saling tergantung dan
bekerjasama dalam alur produk, informasi, layanan dan nilai dari produsen sampai
ke konsumen akhir. Serangkaian proses panjang tersebut harus dikelola dengan
baik untuk memaksimalkan penciptaan produk/jasa dan meminimalkan biaya
(Porter, 1985). Alat yang bisa digunakan untuk mengukur kondisi tersebut adalah
analisis rantai nilai. Dengan analisis rantai nilai, setiap aktor dalam rantai nilai
tersebut bisa mengidentifikasi aktivitas-aktivitas kunci dan mengidentifikasi
potensi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan pada sebuah rantai nilai
(Porter, 2001). Dengan demikian, jasa atau produk yang dihasilkan mampu
bersaing.
Analisis rantai nilai biasanya melibatkan identifikasi dan pemetaan
hubungan dari empat hal: (1) input, (2) process, (3) output (4) logistik/marketing.
Rantai nilai bisa menjadi kompleks ketika mereka mencerminkan sistem multi
tahap produksi dengan beberapa jenis usaha yang beroperasi di lokasi yang
berbeda di satu negara atau beberapa negara di dunia.
Untuk menunjang rantai nilai usaha ayam ras pedaging diperlukan
dukungan dari banyak pihak, baik di sektor hulu maupun sektor hilir. Penciptaan
sebuah jasa maupun produk membutuhkan pasokan bahan baku, baik yang berasal
dari dalam maupun dari pasokan luar. Kontinuitas pasokan sangat bergantung
pada kelanggengan hubungan dengan pemasok sebagai stakeholder. Sementara di
sisi hilir, produk atau jasa yang telah dihasilkan harus bisa disalurkan kepada
konsumen pada saat dan waktu yang tepat. Oleh karenanya, hubungan baik
7
dengan stakeholder perlu dijaga sehingga rantai nilai akan tetap berjalan dengan
baik.
Pada beberapa tahun terakhir, perkembangan industri peternakan
khususnya unggas mengalami peningkatan sebanyak 6% ditahun 2011 (Japfa,
2011) dan PTCA merupakan salah satu perusahaan yang bergerak dalam bisnis
perunggasan memiliki divisi onfarm sebagai salah satu bisnis unit dimana unit
bisnis ini mengurusi supply ayam untuk RPA maupun pengumpul dalam bentuk
hidup dan akhirnya disalurkan ke konsumen ikut berdampak terhadap jalannya
organisasi.
Dalam perkembangannya tersebut, PTCA memberlakukan pola kemitraan
dalam pengelolaan ayam pedaging tersebut, dari total rata-rata 600.000 ekor
populasinya 80% dilakukan secara kemitraan dan 20% sisanya dikelola sendiri.
Ayam ras pedaging merupakan komoditas unik karena merupakan
makhluk hidup sehingga memiliki keterbatasan untuk sampai ke tangan konsumen
agar tetap dalam kondisi hidup atau segar jika sudah potong. Jika dahulu
preferensi konsumen seperti atribut utama adalah jenis, kenyamanan, stabilitas
harga dan nilai komoditas, maka dewasa ini terdapat kecenderungan bahwa
konsumen menuntut tambahan atribut produk yang lebih rinci, seperti: kualitas
(komposisi bahan baku), kandungan nutrisi (lemak, kalori, kolestrol dan
sebagainya), keselamatan (kandungan adaptif, pestisida dan sebagainya), aspek
lingkungan (apakah produk tersebut dihasilkan dengan usahatani dan proses
pengolahan produk yang tidak mengganggu kualitas dan kelestarian lingkungan
hidup).
8
Selain preferensi konsumen, harga daging ayam juga sangat berfluktuatif,
hal ini terjadi karena suplai ayam pedaging tidak seimbang dengan jumlah yang
dibutuhkan oleh konsumen. keadaan ini perlu ditangani dengan benar karena bila
salah dalam mengelola, bisa menyebabkan kerugian pada usaha ayam ras
pedaging. Pengelolaan rantai nilai pada industri perunggasan nasional ditata
dengan baik maka fluktuasi harga ayam pedaging bisa diredam.
Fluktuasi harga dirasakan oleh PTCA untuk awal tahun 2011, dimana
terjadi penurunan harga ayam yang sangat drastis sedangkan harga input sapronak
seperti pakan, vaksin dan DOC terjadi kenaikan. Harga pakan yang memiliki
kontribusi 70% terhadap total biaya produksi ayam mengalami kenaikan sebesar
Rp.600/kg untuk awal 2011.
Tabel 4. Harga pakan unggas pedaging rata-rata per kg dan Harga DOC rata-rata
Bulan DOC Pakan
Februari 10 3700 5533
Mar et 10 3750 5650
Mei 10 3758 6000
Juni 10 4600 6500
Juli 10 3500 6000
Agustus 10 4000 5300
September 10 4050 5767
Oktober 10 3875 5967
November 10 3875 5750
Desember 10 4250 5250
Januari 11 4133 5900
Februari 11 4500 5200
Sumber: disnak.jabarprov.go.id.
9
Sedangkan fluktuasi harga daging ayam dipengaruhi juga oleh pola
konsumsi masyarakat sendiri, dimana untuk bulan-bulan tertentu permintaan akan
ayam meningkat sehingga harga akan naik.
Agribisnis ayam ras pedaging memiliki peluang yang sangat baik dimana
permintaan terhadap ayam ras pedaging terus meningkat seiring dengan
bertambahnya penduduk, pendapatan yang meningkat, pendidikan, serta gaya
hidup yang menyebabkan komposisi gizi akan berubah. Menurut Daryanto (2009)
masalah yang terkait dalam hal daya saing agribisnis ayam ras pedaging pertama
penyediaan bahan baku pangan dimana bahan baku pangan memiliki porsi 60-
70% dari biaya produksi, kedua adalah berhubungan dengan skala usaha industri
ayam ras pedaging dimana semakin besar skala usaha maka biayanya akan
semakin rendah dan manajemen kandang dalam pengelolaan produksi menjadi
penting dalam effisiensi, dimana posisi PTCA adalah pemasok daging ayam
terbesar di Jabotebek. Dan ketiga adalah penanggulangan akan penyakit pada
ayam ras pedaging terutama AI (Avian Influenza). Sehingga diperlukan
melakukan analisis rantai nilai untuk melihat apa saja faktor-faktor yang dapat
digunakan PTCA dalam strategi peningkatan daya saing.
Berikut rumusan masalah untuk penelitian ini:
1. Bagaimana rantai nilai ayam ras pedaging PT. Ciomas Adisatwa
Region Jawa Barat unit Bogor ?
2. Bagaimana gross margin pada rantai nilai ayam ras pedaging PT.
Ciomas Adisatwa Region Jawa Barat unit Bogor?
10
3. Apa saja faktor internal dan eksternal di PT. Ciomas Adisatwa
Region Jawa Barat unit Bogor?
4. Strategi apa yang digunakan untuk meningkatkan daya saing di PT.
Ciomas Adisatwa Region Jawa Barat unit Bogor?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah tersebut maka tujuan penelitian ini adalah
sebagain berikut:
1. Memetakan rantai nilai ayam ras pedaging di PT. Ciomas adisatwa
Region Jawa Barat unit Bogor
2. Mengetahui gross margin pada rantai nilai ayam ras pedaging PT.
Ciomas adisatwa Region Jawa Barat unit Bogor
3. Mengidentifikasi faktor internal dan ekternal PT. Ciomas Adisatwa.
4. Merumuskan strategi yang digunakan untuk meningkatkan daya
saing di PT. Ciomas adisatwa Region Jawa Barat unit Bogor
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan menjadi masukan bagi pengambil
kebijakan dalam bidang peternakan.
1. Bagi perusahaan, informasi rantai nilai dapat digunakan untuk
mencapai keunggulan kompetitif jangka panjang.
2. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini diharapkan menjadi bahan
pustaka dan studi lanjutan.
11
3. Bagi penulis, penelitian ini merupakan sarana menambah wawasan dan
mengembangkan teori dan konsep dalam dunia bisnis nyata.
1.5. Ruang Lingkup
Penelitian ini merupakan suatu kajian terhadap rantai nilai agribisnis ayam
ras pedaging PTCA. Penelitian dimulai dengan melakukan analisis rantai nilai
ayam ras pedaging PTCA. Setelah dilakukan analisis rantai nilai, diidentifikasi
faktor-faktor pedukung yang menjadi keunggulan kompetitif agribisnis ayam ras
pedaging PTCA. Kemudian akan dirumuskan strategi peningkatan keunggulan
kompetitif agribisnis ayam ras pedaging PT. Ciomas Adisatwa Region Jawa Barat
unit Bogor.