Upload
bpaadmin
View
1.537
Download
9
Embed Size (px)
Citation preview
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
1
PETUNJUK TEKNIS STANDARISASI
MUTU KOKON
BAB I
PENDAHULUAN
Potensi persuteraan alam merupakan salah satu hasil hutan bukan kayu
yang perlu dikembangkan dalam rangka mengentaskan kemiskinan, menunjang
produksi sandang dan meningkatkan diversifikasi usahatani masyarakat.
Pengembangan potensi persuteraan alam memerlukan perhatian yang mendalam
dalam semua proses kegiatannya mulai dari budidaya murbei, budidaya ulat hingga
tahap penanganan kokon sebagai sebuah produk. Kokon sebagai produk dari sektor
hulu di bidang persuteraan alam memerlukan perhatian yang serius dalam
hubungannya dengan pemasarannya ke industri pemintalan dan penenun benang
sutera. Dalam rangka mendukung pengembangan persuteraan alam dan
memberikan keseragaman informasi kepada masyarakat maka Departemen
Kehutanan sebagai instansi yang menangani sektor hulu bidang persuteraan alam
telah mengeluarkan SK Dirjen RLPS No. 022/Kpts./IV/2000 Tentang Petunjuk Teknis
Persuteraan Alam, Klasifikasi Mutu Kokon.
Kualitas kokon ditentukan oleh beberapa faktor yang saling terkait antara
lain bibit/telur ulat sutera, teknik pemeliharaan, peralatan pemeliharaan dan
perlakuan pada saat mengokonkan. Faktor-faktor tersebut akan menyebabkan
beragamnya mutu kokon yang akhirnya akan mempengaruhi harga kokon yang akan
dipasarkan. Oleh karena beragamnya mutu kokon tersebut maka diperlukan suatu
standar yang dapat mengklasifikasikan mutu kokon dan tercermin tingkatan
mutunya.
Benang sutera yang dihasilkan oleh para petani dan pengrajin sutera alam
dinilai masih mempunyai kualitas yang rendah, dan salah satu faktor penyebabnya
adalah kualitas kokonnya yang rendah. Kualitas kokon sendiri ditentukan oleh
banyak faktor antara lain kondisi dan perlakuan selama pemeliharaan ulat sutera
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
2
serta perlakuan pasca panen. Hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan pasca panen
akan dibahas secara khusus dalam Petunjuk Teknis Pasca Panen.
Sampai saat ini Indonesia belum mempunyai standar yang dapat dijadikan
acuan untuk menentukan kualitas kokon. Penentuan mutu kokon masih
menggunakan standar mutu dari Jepang dan Korea, yang ditentukan dengan
melihat dua parameter dari mutu serat yang diuji yaitu panjang serat dan daya
gulung. Pada dasarnya karena untuk menguji dan menentukan mutu kokon ke
dalam kelas-kelas tertentu diperlukan peralatan yang khusus dan mahal harganya
serta proses yang lama maka diperlukan cara yang praktis dan mudah dilaksanakan.
Oleh karena itu perlu dirintis penyusunan standar mutu melalui modifikasi yang
sudah ada disesuaikan dengan kondisi persuteraan alam di Indonesia.
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
3
BAB II
KLASIFIKASI MUTU KOKON
A. Standar Klasifikasi
Sampai saat ini, pengujian mutu kokon produk sutera alam khususnya
kokon dan raw silk di negara-negara penghasil sutera masih mengikuti standar
masing-masing dan belum ada kesepakatan tentang standar mutu yang berlaku
secara Internasional. Dalam hal ini International Silk Association (ISA) pernah
mengajukan adanya standar mutu benang sutera internasional yang dapat
digunakan oleh seluruh negara penghasil sutera sebagai langkah untuk memperbaiki
mekanisme pasar sutera dunia. Di negara-negara maju telah memberlakukan
standar mutu yang ketat.
Standar mutu yang diajukan ISA menyederhanakan standar mutu raw silk
yang diberlakukan di Cina dari 11 grade menjadi 6 grade plus 1 grade sub standar.
Namun demikian usulan tersebut sampai saat ini belum disepakati bersama dan
belum dipublikasikan untuk dipedomani.
Bertolak dari hal tersebut diatas maka standar mutu kokon dan raw silk
Indonesia mengacu standar yang diberlakukan di Jepang, dimana standar tersebut
juga diberlakukan di Indonesia (Balai Persuteraan Alam Persuteraan Alam dan
Perum Perhutani). Alasan menggunakan acuan standar yang diberlakukan di Jepang
karena Jepang sebagai pengimport kokon dan raw silk yang cukup besar.
B. Mutu Kokon
Pengujian mutu kokon dapat dilakukan di lapangan untuk tujuan
pemasaran lokal dan di laboratorium untuk tujuan pemasaran kokon secara besar-
besaran. Mutu kokon ditentukan oleh keadaan fisik kokon dan kualitas serat.
Keadaan fisik kokon ditunjukkan oleh berat kokon, prosentase kulit kokon dan
prosentase kokon cacat. Sedangkan kualitas serta ditunjukkan oleh daya gulung dan
panjang serta. Kriteria –kriteria tersebut penting untuk dipertimbangkan terutama
untuk pemintal terutama karena berhubungan langsung dengan harga yang akan
dibayarkan dan biaya untuk memproduksi benang.
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
4
Mutu kokon dikatakan baik apabila parameter-parameter tersebut
bernilai tinggi sehingga apabila kokon tersebut dipintal akan menghasilkan benang
dengan kuantitas dan kualitas yang tinggi pula.
Dalam transaksi perdagangan kadang-kadang mutu kokon sangat beragam
sehingga terjadi ketidaksesuaian harga antara produsen dan konsumen. Bagi
konsumen, mutu kokon yang diharapkan adalah kokon yang baik secara visual, fisik
maupun uji laboratorium yaitu kokon besar, keras dan rendemannya tinggi.
Secata kualitatif kokon diklasifikasikan ke dalam 3 kelas, sebagai berikut:
Kokon Kelas I : - bentuk normal
- berisi satu pupa
- ujung-ujung tidak berlubang
- berwarna putih tidak bernoda
- kokon keras
Kokon Kelas II : - bentuk normal
- berisi satu pupa
- ujung-ujung tipis
- berwarna putih
Kokon Afkir : - bentuk tidak normal (tidak beraturan)
- berisi lebih dari satu pupa
- bernoda
- kokon lembek
C. Parameter Penentu Mutu Kokon
Untuk menilai mutu kokon perlu diuji secara fisik dan laboratorium.
Pengujian secara fisik yaitu dengan mengukur berat, persentase kulit kokon dan
persentase kokon cacat dengan menggunakan peralatan yang sederhana dan mudah
didapat. Parameter yang sering digunakan petani sebagai acuan dalam transaksi
perdagangan antara lain berat kokon dan banyaknya kokon cacat.
Adapun metode pendekatan untuk memperoleh nilai grade yang
mendekati, penentuan grade dilakukan dengan pendekatan statistik yaitu semi-
sistematis, dengan cara sebagai berikut:
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
5
a. Kokon dikelompokkan berdasarkan daerah produksi kokon, jenis ulat yang
dipelihara, kondisi agroklimat dan produsen kokon (pemula, lanjut atau
maju)
b. Pengambilan contoh untuk pengujian lapangan ataupun laboratorium
dilakukan secara acak
c. Pengujian rawsilk juga dilakukan seperti halnya pengujian kokon
d. Parameter-parameter pengujian adalah kenampakan dan sifat-sifat fisik
yang berkaitan dengan mutu kokon atau benang
Parameter pengujian kokon di tingkat lapangan adalah warna, kekerasan,
jumlah per liter dan persentase kulit kokon dengan perbandingan tabel. Sementara
parameter pengujian kokon di laboratorium adalah kemudahan kokon terpintal dan
panjang filamen.
Tabel 1 . Klasifikasi Mutu Kokon Berdasarkan Berat Kokon, Persentase Kulit Kokon
dan Persentase Kokon Cacat
No. Berat Kokon (gr) % Kulit Kokon % Kokon Cacat Kelas
1. 2. 3. 4.
≥ 2
1,5 – 1,9 1 – 1,4 ≤ 0,9
≥ 25
20 – 24,9 15 – 19,9 ≤ 14,9
≤ 1
1,1 - 4 4,1 – 8 ≥ 8,1
A B C D
Contoh. - Kokon yang diuji mempunyai berat kokon rata-rata tiap butir mencapai 2 gram
atau lebih, maka kokon yang diuji termasuk dalam kelas A - Kokon yang diuji mempunyai rata-rata persentase kulit kokon kurang dari 1%
maka kokon tersebut termasuk dalam kelas A. - Kokon yang diuji mempunyai rata-rata persentase kulit kokon kurang dari atau
sama dengan 14,9%, maka masuk Kelas D
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
6
BAB III
PENGUJIAN KOKON
A. Pengambilan Contoh
Penentuan mutu kokon yang akan diperjualbelikan karena melibatkan
jumlah yang banyak, maka perlu diambil contoh (sampel) yang akan diuji baik
secara fisik maupun secara laboratorium sehingga pada akhirnya akan dapat
diketahui mutu kokonnya. Pengambilan contoh ini dilakukan pada kondisi kokon
masih segar atau belum dikeringkan. Tujuannya adalah agar data yang diperoleh
masih alami khususnya pada berat kokon dan persentase kulit kokon. Selain itu
kokon yang akan diuji harus sudah dibersihkan dari serat-serat halus (floss) yang
menyelimuti kulit kokon. Hal ini dimaksudkan agar keadaan kulit kokon dapat
terlihat cacat atau tidaknya, untuk menghitung ratio kokon cacat atau persentase
kokon cacatnya.
Pengambilan contoh kokon perlu dilakukan secara acak dari kokon yang
akan diuji agar data yang diperoleh dapat lebih akurat dan representatif. Jumlah
kokon yang dijadikan contoh kurang lebih 10% dari jumlah total kokon yang akan
diuji.
Contoh. Kokon yang akan diuji sebanyak 40 kg, maka yang diambil sebagai
contoh sebanyak 10% x 40 kg = 4 kg. Pengamatan tiga parameter
penentu kelas kokon secara fisik yang meliputi berat kokon,
persentase kulit kokon dan persentase kokon cacat dilakukan
terhadap 4 kg kokon tersebut
B. Penentuan Kelas Kokon
Contoh kokon yang telah diambil, diamati dan dihitung untuk ditentukan
kelas mutunya sesuai parameter-parameter yang telah ditentukan.
1. Berat kokon tiap butir
Berat kokon tiap butir dapat dihitung dengan dua cara yaitu:
- menghitung butir demi butir contoh kokon yang telah diambil kemudian
dirata-rata
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
7
- menghitung jumlah butir kokon yang terdapat dalam contoh kokon
tersebut, jumlah butir yang digunakan sebagai pembagi
Contoh. Setelah dihitung dari 4 kg kokon ternyata berjumlah 2.500 butir,
maka berat rata-rata kokon adalah
gramkg 6,10016,02500
4
2. Persentase kokon cacat
Kokon cacat adalah kokon yang bentuk fisiknya tidak normal sehingga tidak
dapat dipintal untuk menjadi benang sutera yang baik. Penghitungan
persentase kokon cacat dapat dengan dua cara yaitu:
- Berdasarkan berat
Sampel kokon diseleksi dan dipisahkan kokon cacatnya berdasarkan
kriteria kokon cacat kemudian ditimbang beratnya. Misalnya berat
sampel 4 kg, sementara berat kokon cacatnya 100 gram, maka persentase
kokon cacatnya adalah
%5,2%1004000
100x
- Berdasarkan jumlah butir kokon
Kokon-kokon cacat yang terkumpul dihitung jumlahnya, kemudian jumlah
kokon cacat dibagi dengan jumlah butir kokon secara keseluruhan.
Misalnya setelah dihitung jumlah kokon cacatnya 60 butir, maka kokon
persentase kokon cacatnya adalah
%4,2%1002500
60x
Gambar 1. Contoh pemisahan kokon jelek dan cacat dengan kokon baik
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
8
3. Persentase kulit kokon
Persentase kulit kokon merupakan perbandingan antara berat kulit kokon
dengan berat kokon. Dalam menentukan persentase kulit kokon, jumlah
kokon yang diambil untuk dihitung kurang lebih 5% dari contoh kokon.
Misalnya jumlah kokon yang telah diambil adalah 4000 butir, maka kokon
yang diambil untuk dihitung persentase kulit kokonnya adalah 5% x 4000 =
200 butir.
Cara penghitungan persentase kulit kokon dapat dilakukan dengan dua cara,
yaitu:
- Menghitung butir demi butir
Kokon contoh yang berjumlah 200 butir ditimbang beratnya satu demi
satu. Pada saat penimbangan harus diperhatikan urutan butir yang satu
dengan yang lain. Data hasil penimbangan dibuat daftar yang berbentuk
tabel.
Tahap berikutnya adalah mengupas/mengiris ujung kokon dan
mengeluarkan isi yang ada di dalamnya, kemudian kokon yang telah
dikeluarkan isinya tersebut (kulit kokon) ditimbang beratnya sesuai
urutan pada saat menimbang berat kokon sebelum diiris. Data masing-
masing penimbangan tersebut dicatat.
Persentase kulit kokon dihitung dengan rumus sebagai berikut:
Persentase kulit kokon = %100kokonBerat
cacatkulitBerat
- Berdasarkan berat kolektif
Persentase kulit kokon berdasarkan berat kolektif dapat dilakukan
dengan menimbang secara keseluruhan baik untuk kokonsebelum diiris
(masih utuh) atau setelah diiris (kulit kokon). Caranya adalah dengan
menimbang lebih dahulu kokon yang masih utuh, kemudian kokon diiris
dan dikeluarkan pupanya lalu kulit kokon tersebut ditimbang. Persentase
kulit kokon dihitung dengan menggunakan rumus di atas. Persentase kulit
kokon per butir merupakan hasil rata-rata dengan membagi jumlah kokon
yang ditimbang.
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
9
Hal yang harus dieprhatikan adalah pengupasan dilakukan dengan
mengiris ujung kokon menggunakan cutter/pisau/silet dan diusahakan
agar bagian yang diiris tidak terlepas dari kulit kokon. Hal ini agar bagian
kulit kokon tidak ada yang hilang, sehingga berat kulit kokon yang
ditimbang merupakan berat kulit kokon keseluruhan.
C. Penghitungan Kelas Mutu Kokon
Dengan menggunakan data yang telah dikumpulkan, maka ditentukan
klasifikasi mutu kokon sebagai berikut:
1. Berat kokon rata-rata setelah ditimbang = 1,6 gram. Berdasarkan Tabel
Klasifikasi Mutu Kokon maka berat kokon termasuk dalam Kelas C
2. Persentase kokon cacat rata-rata = 2,5 %. Berdasarkan Tabel Klasifikasi
Mutu Kokon maka berat kokon termasuk dalam Kelas B
3. Persentase kulit kokon rata-rata = 20,5 %. Berdasarkan Tabel Klasifikasi
Mutu Kokon maka berat kokon termasuk dalam Kelas B
Dari hasil penentuan kelas berdasarkan Klasifikasi Mutu Kokon tiap
parameter, dapat ditentukan kelas akhir merupakan kelas terendah dari hasil yang
didapat pada tiga parameter yang diuji. Pada contoh di atas maka kelas
terendahnya adalah B yaitu persentase kokon cacat, dengan demikian kokon
tersebut adalah kokon dengan mutu kelas B.
D. Pengujian di Laboratorium
Uji laboratorium dilakukan bila konsumen menghendaki data kualitas
kokon secara keseluruhan yaitu uji visual dan uji laboratorium. Pada dasarnya uji
laboratorium merupakan pengujian untuk mengetahui kualitas serat sutera.
Parameter yang diamati pada uji laboratorium yaitu panjang serat dan daya gulung.
Pemisahan parameter untuk uji laboratorium dan uji visual diperlukan karena
pengujian laboratorium memerlukan waktu yang lama dan hanya instansi tertentu
yang dapat melakukannya. Sementara untuk uji fisik dapat dilakukan di tempat
berlangsungnya transaksi sehingga hasilnya dapat segera diketahui.
Pengujian laboratorium dilakukan dengan melalui 2 tahap, yaitu:
1. Pengujian terhadap panjang filamen dengan menggunakan alat single cocoon
winding frame (dari sampel kokon)
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
10
2. Pengujian daya gulung filamen menggunakan alat yang disebut multi end
winding frame (dari sampel kokon)
Mutu kokon secara laboratoris merupakan penjumlahan nilai (point) daya gulung
dan panjang filamen kemudian hasil penjumlahan kedua nilai tersebut
dibandingkan dengan tabel klasifikasi kualitas kokon.
Tabel 2. Klasifikasi Kelas Kokon
Kelas Amat Baik Kelas I Kelas II Kelas III Kelas IV
Nilai Total > 91,5 90,5 - 91 89 - 90 87 – 88,5 < 87,5
Tabel 3. Klasifikasi Panjang Filamen dengan Nilainya
No. Panjang Filamen (m) Nilai (point)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
890 atau kurang
1451 – 960
1451 – 1030
1451 – 1100
1451 – 1170
1451 – 1240
1451 – 1310
1451 – 1380
1451 – 1450
1451 atau lebih
38,0
38,5
39,0
39,5
40,0
40,5
41,0
41,5
42,0
42,5
Contoh. - Kokon yang diuji mempunyai panjang serat kurang dari 890 meter, maka
kokon tersebut mempunyai nilai 38,0 - Kokon yang diuji mempunyai panjang serta antara 891 sampai 960 meter,
maka nilainya 38,5 dan seterusnya
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
11
Tabel 4. Klasifikasi Daya Gulung dan Nilainya
No. Panjang Filamen (m) Nilai (point)
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
43 atau kurang
44 – 50
51 – 57
58 – 63
64 – 68
69 – 73
74 – 78
79 – 82
83 – 86
87 atau lebih
47,0
47,5
48,0
48,5
49,0
49,5
50,0
50,5
51,0
51,5
Contoh. - Kokon yang diuji mempunyai daya gulung 43% atau kurang, maka kokon
tersebut mempunyai nilai 47,0 dan seterusnya
Uji kokon secara laboratorium dapat dilakukan jika jumlah kokon yang
diuji minimal 500 butir. Jadi sisa kokon contoh yang telah diuji secara fisik diambil
sebanyak 500 butir untuk kemudian dibawa ke instansi yang berwenang untuk
menguji. Dari contoh diatas, maka setelah diuji laboratorium diperoleh data
sebagai berikut:
- Panjang serat 1000 m sehingga mempunyai nilai 39,0
- Daya gulung 72% sehingga nilainya 49,5
Nilai dari dua parameter tersebut bila dijumlahkan = 88,5. Berdasarkan Tabel
Klasifikasi Kelas Kokon maka nilai 88,5 termasuk Kelas III. Jadi kelas kokon yang
diuji adalah Kelas III.
Petunjuk Teknis Standarisasi Mutu Kokon
12
BAB IV
PENUTUP
Petunjuk Teknis Klasifikasi Mutu Kokon disusun sebagai pedoman dan informasi
bagi masyarakat persuteraan alam tentang teknik pengujian kualitas dan penentuan
klasifikasi mutu kokon. Diharapkan dengan adanya Petunjuk Teknis Klasifikasi Mutu Kokon
ini masyarakat mempunyai acuan sehingga dapat membantu kelancaran kegiatan di
lapangan. Petunjuk Teknis ini dapat dipergunakan oleh para petani, Ketua Kelompok Tani,
Mitra Usaha/Pengusaha dan masyarakat pemerhati bidang persuteraan alam.