41
LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING BLOK DIGESTIVE PBL KASUS 2 Tutor : dr. M. Zaenuri S. H., SpKF, MSi.Med. Kelompok 5 Yunandhika Rizki Widodo G1A01302 4 A. Naesaburi Sahid G1A01302 6 Fikri Fachri Pradika Busono G1A01302 7 Ghaida Sakina G1A01304 1 Risdinar Ulya Fauziyah G1A01304 4 Yupita Maya Sari G1A01304 5 Darlah Imma Aurani G1A01304 6 Juwita G1A01304

PBL 2 Digestif

Embed Size (px)

DESCRIPTION

digestif

Citation preview

Page 1: PBL 2 Digestif

LAPORAN PROBLEM BASED LEARNING

BLOK DIGESTIVE

PBL KASUS 2

Tutor :

dr. M. Zaenuri S. H., SpKF, MSi.Med.

Kelompok 5

Yunandhika Rizki Widodo G1A013024

A. Naesaburi Sahid G1A013026

Fikri Fachri Pradika Busono G1A013027

Ghaida Sakina G1A013041

Risdinar Ulya Fauziyah G1A013044

Yupita Maya Sari G1A013045

Darlah Imma Aurani G1A013046

Juwita Retnoningtyas G1A013048

Afria Tika Ningrum G1A013050

Sufiya Lisnawati G1A013051

M. Nauval Hanafi G1A013084

Mulia Sari G1A011112

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN

JURUSAN KEDOKTERAN UMUM

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

PURWOKERTO

2015

Page 2: PBL 2 Digestif

BAB I

PENDAHULUAN

A. Skenario

Informasi 1

a. Riwayat Penyakit Sekarang :

Seorang wanita, NY R, 69 tahun, datang ke polikinik RS dengan keluhan

penyakit kuning, penyakit ini sudah dirasa sejak 2 bulan yang lalu, tetapi

pasien tidak menyadarinya, sampai dokter Puskesmas merujuknya ke RS

tempat anda bekerja. Ny R mengeluhkan badannya gatal-gatal, air seninya

berwarna seperti teh. Selain itu, Ny R juga mengeluhkan kehilangan berat

badan beberapa kilogram selama 1 tahun ini, napsu makan menurun, dan

kadang-kadang mual serta muntah. Sejak didiagnosis menderita

osteoarthritis, Ny R rutin mengkonsumsi obat anti nyeri untuk penyakit

sendinya ini.

b. Riwayat penyakit dahulu :

Osteoartritis (OA)

c. Obat-obatan yang rutin di konsumsi :

Rutin meminum Natrium Diclovenac

d. Riwayat Keluarga :

Keluarga tidak ada yang menderita penyakit yang sama

Informasi 3

DD

a. Drug Induced Hepatitis

b. Viral Hepatitis

Informasi 4

Apa langkah selanjutnya yang paling tepat dalam pengelolaan pasien ini?

a. Liver Function Test

b. USG Hati

Informasi 5

a. Hasil lab

1

Page 3: PBL 2 Digestif

Hb: 11 g/dl, Peningkatan moderat enzim aspartat transaminase (AST) dan

Alanine Transaminase (ALT) dalam kisaran 300-500, bilirubin total: 14

mg/dl, bilirubin direk 12 mg/dl

b. USG Hati

CT Scan abdomen menunjukkan saluran empedu normal

Informasi 6

Terapi yang diberikan adalah :

Stop obat-obatan yang menyebabkan hepatitis

Pemberian obat hepar protector seperti curcuma dan HP Pro

Edukasi :

Pasien dalam minum obat-obatan harus dalam pengawasan dokter dan sesuai

dengan instruksi

Prognosis :

Baik, penyakit ini hilang dalam beberapa hari setelah penghentian obat-obatan

yang menyebabkan hepatitis

2

Page 4: PBL 2 Digestif

BAB II

PEMBAHASAN

A. Klarifikasi Istilah

1. Makanan yang dapat menyebabkan tinja berwarna hitam: makanan yang

mengandung zat besi

2. Hipertensi: kenaikan tekanan darah dimana sistol > 140 mmHg dan

diastole > 90 mmHg

3. Stroke: gangguan aliran darah otak oleh pembuluh arah otak tersumbat

atau rupture

B. Batasan Masalah

1. Identitas:

Nama : Ny. R

Usia : 69 th

2. RPS :

Keluhan utama : Penyakit Kuning

Onset : 2 Bulan

Keluhan penyerta: Badan gatal, air seni seperti teh, BB menurun, nafsu

makan menurun, mual , muntah

Kualitas :-

Kuantitas:-

Peringan :-

Pemberat :-

3. RPD :

Osteoatritis (OA)

4. Riwayat konsumsi obat:

Natrium Diklovenac

5. RPK :

Tidak ada yang punya keluhan sama

3

Page 5: PBL 2 Digestif

C. Analisis Masalah

1. Informasi yang didapat dan disimpulkan dari kasus tersebut

2. Hipotesis penyebab masalah untuk kasus tersebut

3. Diagnosis banding dari penyebab masalah tersebut

D. Menyusun Urutan Berbagai Penjelasan Mengenai Permasalahan

1. Hipotesis penyebab masalah untuk kasus tersebut

Hipotesis penyebab dari masalah pasien tersebut adalah adanya

Hepatitis. Syndrome dyspepsia didefinisikan sebagai abnormalitas dari

hepar yang disebabkan karena inflamasi atau peradangan pada hepar yang

menimbulkan gangguan sekresi cairan bilirubin sehinggan menyebabkan

penyakit kuning (Fauci et al, 2012). Dasar hipotesis tersebut didapatkan

dari anamnesis dan pemeriksaan fisik dari keadaan kulit dimana

keluhannya biasanya warna kekuningan pada kulit dan mata.

2. Diagnosis banding dari penyebab masalah tersebut

Penyakit kuning dapat disebabkan oleh berbagai hal, di mana yang

paling umum adalah penyakit Hepar, karena virus sehingga terjadi

gangguan sekresi hasil metabolik hepar yang ditandai oleh peningkatan

produksi bilirubin. Berikut merupakan beberapa penyebab dari Penyakit

kuning :

a. Hepatitis Viral

Hepatitis virus adalah radang hati yang disebabkan oleh

virus. Virus yang sering dikaitkan pada penyakit ini

adalah virus Hepatitis A, Hepatitis B dan Hepatitis C.

Dikatakan akut apabila inflamasi (radang) hati akibat

infeksi virus hepatitis yang berlangsung selama kurang

dari 6 bulan, dan kronis apabila hepatitis yang tetap

bertahan selama lebih dari 6 bulan. Keadaan kronis pada

anak-anak lebih sukar dirumuskan karena perjalanan

penyakitnya lebih ringan daripada orang dewasa (A. Hazim,

2010).

b. Hepatitis indced drug

4

Page 6: PBL 2 Digestif

c. Sirosis Hepatis

E. Sasaran Belajar

1. Anatomi Hepar.

2. Histologi Hepar

3. Fisiologi sistem Bilirubin

4. Patomekanisme Hepatitis

5. Tanda dan gejala Hepatitis

6. Pemeriksaan penunjang Hepatitis

7. Terapi medikamentosa pada Hepatitis

8. Terapi nonmedikamentosa pada Hepatitis

9. Prognosis Hepatitis

10. Komplikasi Hepatitis

F. Belajar Mandiri

Telah dilaksanakan.

G. Pembahasan Sasaran Belajar

1. Anatomi Letak Hepar

Gambar II.1. Anatomi sistem pencernaan atas dan bawah

a. Hepar

5

Page 7: PBL 2 Digestif

Gambar II.2. Anatomi cavum oris

Hepar Merupakan organ terbesar di abdomen.Terletak pada regio

hipocondriaca dextra dan regio epigastrica

Batas-batas :

1) Anterior : diaphragm, arcus costalis dextra et sinistra, pleura dextra et

sinistra, margo inferior pulmo dextra et sinistra, processus

xyphoideus

2) Posterior : diaphragm, rend extra, flexura coli dextra, duodenum,

vesica

biliaris, vena cava inferior, esophagus, fundus gaster

Terdiri dari 4 lobus, yaitu:

1) Lobus hepatis dextra

2) Lobus hepatis sinistra

3) Lobus quadratus

4) Lobus caudatus

Ligamentum

1) Ligamentum falciforme

2) Ligamentum teres hepatis

6

Page 8: PBL 2 Digestif

3) Ligamentum coronarium

4) Ligamentum triangulare dextra

5) Ligamentum triangulare sinistra

6) Ligamentum venosum (arantii)

Struktur :

1) Processus caudatus

2) Area nuda hepatis

3) Capsula hepatica

1) Vestibulum oris/ cavum buccalis

2) Cavum oris

3) Palatum durum

4) Palatum molle

5) Diafragma oris

6) Caruncula sublingualis

7) Arcus palatoglossus

8) Arcus palatopharingeus

9) Tonsilla palatina

10) Tonsilla lingualis

11) Vallecula epiglotica

12) Fauces

13) Uvula

14) Ostium Glandula Parotis

7

Page 9: PBL 2 Digestif

Gambar III.3. Antomi Hepar Posterioi

2. Histologi traktus digestivus atas

Hepar

a. Hati secara histology terdiri dari lobules-lobulus yang dipisahkan oleh

jaringan ikat.

b. Lobulus membentuk ruang heksagonal yang berisi sel hepatosit dan

vena centralis di bagian tengahnya.

c. Diantara 3 lobulus di ujung sisi membentuk suatu ruangan yang

disebut trias porta. Trias porta terdiri dari a. hepatica, v. porta, dan

ductus biliaris.

d. Di dalam kanalikuli-kanalikuli selain terdapat hepatosit terdapat juga

sel kupffer (makrofag yang terdapat di hepar)

e. Fungsi dari hepar sendiri adalah untuk metabolism karbohidrat,

protein, dan lemak serta detoksifikasi zat-zat yang berbahaya bagi

tubuh. Selain itumenghasilkan protein-protein seperti albumin serta

menghasilkan cairan empedu.

8

Page 10: PBL 2 Digestif

Gambar 2.1 Histologi hepar

Kantungempedu

a. Dinding kantung empedu terdiri atas mukosa, muskularis, dan

adventisia.

b. Dinding kantung empedu tidak memiliki muskularis mukosa dan

submukosa.

c. Mukosa terdiri dari epitel kolumner simpleks dan lamina propia.

Lamina propia terdapat jaringan ikat dan pembuluh darah.

d. Memiliki vili yang tidak teratur dan kripte.

e. Muskularis eksterna tidak terlihat jelas susunan-susunan

muskularisnya.

f. Lapisan paling luar adalah tunica adventisia

g. Fungsi utama kantung empedu adalah mengumpulkan, menyimpan,

memekatkan, dan mengeluarkan empedu ke duodenum untuk

emulsifikasi lemak.

9

Page 11: PBL 2 Digestif

Gambar 2.2 Histologi kandung empedu

3. Fisiologi Hepar dan Ductus Biliaris

Hati adalah organ metabolik terbesar dan terpenting di tubuh. organ ini

dapat dipandang sebagai pabrik biokimia utama tubuh. Perannya dalam

sistem pencernaan adalah sekresi garam empedu, yang membantu

pencernaan dan penyerapan lemak. Hati juga melakukan berbagai fungsi

yang tidak berkaitan dengan pencernaan, termasuk berikut ini :

1. Memproses secara merabolis ketiga kategori utama nutrient

(karbohidrat, protein, dan lemak) setelah zavzar ini diserap dari

saluran cerna.

2. Mendetoksifikasi atau menguraikan zat sisa tubuh dan hormon serta

obat dan senyawa asing lain.

3. Membentuk protein plasma, rermasuk protein yang dibutuhkan

untuk pembekuan darah dan yang untuk mengangkut hormon steroid

dan tiroid serta kolesterol dalam darah.

4. Menyimpan glikogen, lemak, besi, tembaga, dan banyak vitamin.

5. Mengaktifkan vitamin D, yang dilakukan hati bersama dengan

ginjal.

Untuk melaksanakan beragam tugas ini, susunan anatomik hati

memungkinkan setiap hepatosit berkontak langsung dengan darah dari dua

sumber: darah arteri yang datang dari aorta dan darah vena yang datang

langsung dari saluran cerna. Seperti sel lain, hepatosit menerima darah

arteri segar melalui arteri hepatika, yang menyalurkan oksigen dan

metabolit-metabolit darah untuk diproses oleh hati. Darahvena juga masuk

10

Page 12: PBL 2 Digestif

ke hati melalui sistem porta hati, suatu koneksi vaskular unik dan

kompleks antara saluran cerna dan hati (Sherwood, 2012).

Vena-vena yang mengalir dari saluran cerna tidak langsung menuju

ke vena kava inferior, vena besar yang mengembalikan darah ke jantung.

Namun vena-vena dari lambung dan usus masuk ke vena porta hati, yang

membawa produk yang diserap dari saluran cerna langsung ke hati untuk

diproses, disimpan, atau didetoksiftkasi sebelum produk-produk ini

memperoleh akscs ke sirkulasi umum. Di dalam hati, vena porta kembali

bercabangcabang menjadi anyaman kapiler (sinusoid hati) untuk

memungkinkan terjadinya pertukaran antara darah dan hepatosit sebelum

darah mengalir ke dalam vena hepatika, yang kemudian menyatu dengan

vena kava inferior (Sherwood, 2012).

Hati tersusun menjadi unit-unit fungsional yang dikenal sebagai

lobulus, yaitu susunan jaringan berbentuk heksagonal mengelilingi satu

vena sentral. Setiap enam sudut luar lobulus terdapat tiga pembuluh,

cabang arteri hepatika, cabang vena porra hati, dan duktus biliaris. Darah

dari cabang arteri hepatika dan vena porta mengalir dari perifer lobulus ke

ruang kapiler luas yang disebut sinusoid yang berjalan di antara jejeran sel

hati ke vena sentral seperti jari-jari roda sepeda (Sherwood, 2012).

Sel Kupffer melapisi bagian dalam sinusoid serra menelan dan

menghancurkan sel darah merah dan bakteri yang melewatinya dalam

darah. Hepatosit-heparosit tersusun antara sinusoid dalam lempeng-

lempeng yang tebalnya dua sel, sehingga masing-masing tepi lateral

menghadap ke genangan darah sinusoid. Vena sentral di semua lobulus

hati menyatu untuk membentuk vena hepatika, yang mengalirkan darah

keluar dari hati. Saluran tipis pengangkut empedu, kanalikulus biliaris,

berjalan di antara sel-sel di dalam setiap lempeng hati. Hepatosit terus-

menerus mengeluarkan empedu ke dalam saluran tipis ini, yang

mengangkut empedu ke duktus biliaris di tepi lobulus. Duktus-duktus

biliaris dari berbagai lobulus menyatu untuk akhirnya membentuk duktus

biliaris komunis, yang mengangkut empedu dari hati ke duodenum. Setiap

11

Page 13: PBL 2 Digestif

hepatosit berkontak dengan sinusoid di satu sisi dan kanalikulus biliaris di

sisi lain (Martini, 2012).

Lubang duktus biliaris ke dalam duodenum dijaga oleh sffngter

Oddi, yang mencegah empedu masuk ke duodenum kecuali sewaktu

pencernaan makanan. Ketika sfingter ini tertutup, sebagian besar empedu

yang disekresikan oleh hati dialihkan balik ke dalam kandung empedu,

suatu struktur kecil berbentuk kantung yang terselip di bawah tetapi tidak

langsung berhubungan dengan hati. Karena itu, empedu tidak diangkut

langsung dari hati ke kandung empedu. Empedu kemudian disimpan dan

dipekatkan di kandung empedu di antara waktu makan. Setelah makan,

empedu masuk ke duodenum akibat efek kombinasi pengosongan kandung

empedu dan peningkatan sekresi empedu oleh hati. Jumlah empedu yang

disekresikan per hari berkisar dari 250 ml sampai 1 liter, bergantung pada

derajat perangsangan (Sherwood, 2012).

Caram empedu membantu pencernaan Iemak melalui efek

deterjennya (emulsifikasi) dan mempermudah penyerapanlemak dengan

ikut serta dalam pembentukan misel (micelle), Istilah efek deterjen

merujuk kepada kemampuan garam empedu untuk mengubah globulus

(gumpalan) lemak besar menjadi emulsi lemak yang terdiri dari banyak

tetesan/butiran lemak dengan garis tengah masing-masing 1 mm yang

membentuk suspensi di dalam kimus cair sehingga luas permukaan yang

tersedia untuk tempat lipase pankreas bekerja bertambah. Gumpalan

lemak, berapapun ukurannya, terutama terdiri dari molekul trigliserida

yang belum tercerna (Sherwood, 2012).

Untuk mencerna lemak, lipase harus berkontak langsung dengan

molekul trigliserida. Karena tidak larut dalam air maka trigliserida

cenderung menggumpal menjadi butir-butir besar dalam lingkungan usus

halus yang banyak mengandung air. Jika garam empedu tidak

mengemulsifikasi gumpalan besar lemak ini, maka lipase dapat bekerja

hanya pada permukaan gumpalan besar tersebut dan pencernaan lemak

akan sangat lama (Sherwood, 2012).

12

Page 14: PBL 2 Digestif

Bilirubin, konstituen utama lainnya pada empedu, sama sekali tidak

berperan dalam pencernaan tetapi merupakan produk sisa yang

diekskresikan di dalam empedu. Bilirubin adalah pigmen empedu urama

yang berasal dari penguraian sel darah merah usang. Rentang usia tipikal

sel darah merah di dalam sistem sirkulasi adalah 120 hari. Sel darah merah

yang telah usang dikeluarkan dari tubuh oleh makrofag yang melapisi

bagian dalam sinusoid hati dan di tempat-tempat lain di tubuh. Bilirubin

adalah produk akhir penguraian bagian hem (yang mengandung besi)

hemoglobin yang terkandung di dalam sel darah merah usang. Bilirubin ini

diekstraksi dari darah oleh hepatosit dan secara aktif disekresikan ke dalam

empedu (Sherwood, 2012).

Bilirubin adalah pigmen kuning yang menyebabkan empedu

berwarna kuning. Di da.lam saluran cerna, pigmen ini dimodifikasi oleh

enzim-enzim bakteri, menghasilkan warna tinja yang coklat khas. Jika

tidak terjadi sekresi bilirubin, seperti ketika duktus biliaris tersumbat total

oleh batu empedu, tinja berwarna putih keabuan. Dalam keadaan normal

sejumlah kecil bilirubin direabsorpsi oleh usus kembali ke darah, dan

ketika akhirnya diekskresikan di urin, bilirubin ini berperan besar

menyebabkan warna urin kuning. Ginjal tidak dapat mengekskresikan

bilirubin sampai bahan ini telah dimodifikasi ketika mengalir melewati

hati dan usus (Martini, 2012).

Sekresi empedu dapat ditingkatkan oleh mekanisme kimiawi,

hormon, dan saraf. Setiap bahan yang meningkatkan sekresi empedu oleh

hati disebut koleretik. Koleretik paling kuat adalah garam empedu itu

sendiri. Diantara waktu makan, empedu disimpan di kandung empedu,

tetapi sewaktu makan empedu disalurkan ke dalam duodenum oleh

kontraksi kandung empedu. Setelah ikut serta dalam pencernaan dan

penyerapan lemak, garam empedu direabsorpsi dan dikembalikan oieh

sirkulasi enterohepatik ke hati, tempat zar-zat ini bekerja sebagai koleretik

poten untuk merangsang sekresi empedu lebih lanjut (Sherwood, 2012).

Karena itu, sewaktu makan, ketika garam empedu dibutuhkan dan

sedang digunakan, sekresi empedu oleh hati meningkat. Mekanisme

13

Page 15: PBL 2 Digestif

hormon (sekretin). Selain meningkatkan sekresi NaHCO, cair oleh

pankreas, sekretin juga merangsang peningkatan sekresi empedu alka.lis

cair oleh duktus biliaris tanpa disertai oleh peningkatan setara garam-

garam empedu. Mekanisme saraf (saraf vagus). Stimulasi vagus pada hati

berperan kecil dalam sekresi empedu selama fase sefalik pencernaan, yang

mendorong peningkatan aliran empedu hati bahkan sebelum makanan

mencapai lambung atau usus (Sherwood, 2012).

4. Metabolisme Bilirubin

Gambar 4.1 Mekanisme Bilirubin (Kenoko, 2007).

Awal metabolism dari bilirubin dimulai dari destruksi eritrosit di

bone marrow. Kemudian pada eritrosit yang mengandung hemoglobin

tersebut mengalami pemecahan menjadi heme dan globin. melalui proses

oksidasi, komponen globin mengalami degadrasi menjadi asam amino dan

digunakan untuk pembentukan protein lain (Kenoko, 2007).

Unsur heme selanjutnya  oleh heme-oksigenase, teroksidasi

menjadi biliverdin dengan melepas zat besi dan karbonmonoksida.

Biliverdin redukse akan mereduksi biliverdin menjadi bilirubin tidak

terkonjugasi. lebih dari 80% bilirubin terjadi dari pemecahan heme yang

berasal dari eritrosit namun sekitar 15-20% bilirubin dapat pula berasal

dari hemoprotein lain seperti myoglobin dan sitokrom (Kenoko, 2007).

Bilirubin tidak terkonjugasi ini adalah suatu zat lipofilik, larut

dalam lemak, hampir tidak larut dalam air sehingga tidak dapat

14

Page 16: PBL 2 Digestif

dikeluarkan dalam urin melalui ginjal (disebut pula bilirubin indirek

karena hanya bereaksi positif pada tes setelah dilarutkan dalam alkohol).

Karena sifat lippofilik, zat ini dapat melalui membran sel dengan relatif

mudah. Setelah dilepas ke dalam plasma sebagian besar bilirubin tidak

terkonjugasi ini membentuk ikatan dengan albumin sehingga dapat larut di

dalam darah. Pigmen ini secara bertahap berdifusi ke dalam sel hati

(hepatosit) (Kenoko, 2007).

Dalam hepatosit, bilirubin tak berkonjugasi, dikonjugasi dengan

asam glukoromat membentuk bilirubin glukuronida atau bilirubin

terkonjugasi (disebut pula bilirubin direk). Reaksi konjugasi dikatalisasi

oleh enzim glukoronil transferase suatu enzim yang terdapat di retikulum

endoplasmik dan merupakan kelompok enzim yang mampu memodifikasi

zat asing yang bersifat toksik. Kelompok enzim ini dapat diaktifkan

dengan rangsangan fenobarbital, oleh karena itu fenobarbital dapat

dijadikan sebagai pengobatan, terutama apabila hanya terjadi penurunan

kadar glukonil trasferase (Kenoko, 2007).

Bilirubin terkonjugasi larut dalam air, dapat dikeluarkan melalui

ginjal namun dalam keadaan normal tidak dapat terdeteksi dalam urin.

Sebagian besar bilirubin terkonjugasi ini dikeluarkan ke dalam empedu,

suatu campuran kolesterol, fospholipid, bilirubin glukuronida dan garam

empedu. Sesudah dilepas ke dalam salurann cerna bilirubin glukoronida

(bilirubin terkonjugasi) diaktifkan oleh enzim bakteri di dalam usus,

sebagian menjadi komponen urobilinogen yang akan keluar dalam tinja

(sterkobilin), atau diserap kembali dari saluran cerna, dibawa ke hati dan

dikeluarkan kembali ke dalam empedu. Urobilinogen dapat larut dalam

air, oleh karena itu sebagian dikeluarkan melalui ginjal (Kenoko, 2007).

5. Patomekanisme Hepatitis Drug Induced

Obat dapat menyebabkan gangguan fungsi hati dalam beberapa

cara. Sebagian langsung merusak hati, lainnya diubah oleh hati menjadi

bahan kimia yang dapat berbahaya bagi hati secara langsung maupun tidak

langsung. Ada 3 jenis penyebab hepatotoksisitas, yaitu toksisitas

15

Page 17: PBL 2 Digestif

bergantung dosis (dose-dependenttoxicity), toksisitas idiosinkratik

(idiosyncratictoxicity), dan alergi obat (drug allergy).

Hepatotoksisitas tergantung dosis cukup sering terjadi dan dapat

karena dosis obat terlalu tinggi. Toksisitas idiosinkratik ditemukan pada

orang yang mewarisi gen spesifik yang mengontrol perubahan senyawa

kimia obat tertentu dan mengakibatkan akumulasi obat tersebut atau

produk metabolitnya yang berbahaya bagi hati. Kejadian ini biasanya

jarang dan tergantung obat, terjadi kurang dari 1-10 per 100.000 pasien.

Meskipun risiko toksisitas idiosinkrasi rendah, jenis ini yang umum terjadi

karena banyaknya pemakaian obat dan penggunaan beberapa macam obat.

Toksisitas idiosinkrasi sulit dideteksi dalam uji klinis awal yang biasanya

melibatkan paling banyak beberapa ribu pasien. Alergi obat juga dapat

menyebabkan hepatotoksisitas, meskipun jarang. Pada alergi obat, hati

mengalami peradangan ketika terjadi reaksi antigen-antibodi antara sel

imun tubuh terhadap obat.

Gangguan fungsi hati akibat obat berupa kerusakan hepatoseluler

dan kolestasis parah bahkan berakibat fatal. Mekanisme kerusakannya

disebabkan langsung atau reaksi hipersensitivitas sekunder (dimediasi

sistem imun).

6. Tanda dan gejala Hepatitis Drug-Induced

Gambaran hepatotoksisitas imbas obat sangat sulit dibedakan

secara klinik dengan penyakit hepatitis atau kholestasis dengan etiologi

lain. Riwayat dari penggunaan obat atau senyawa-senyawa lain yang

hepatotoksik harus terungkap. Onset umumnya cepat, malaise, dan icterus,

serta dapat terjadi gagal hati akut yang berat terutama bila pasien masih

mengkonsumsi obat tersebut setelah onset hepatotokisisitas

(Bayupurnama, 2009).

Apabila jejas hepatosist sudah dominan makaka dar

aminotransferase dapat meingkat paling tidak lebihdari lima kali batas atas

normal, sedangkan kenaikan kadar fosfatase alkali dan bilirubin menonjol

pada kholestasis. Mayoritas obat idiosin kratik melibatkan kerusakan

16

Page 18: PBL 2 Digestif

hepatosist seluruh lobul hepatic dengan derajat nekrosis dan apoptosis

bervariasi. Gejala hepatitis biasanya muncul beberapa hari atau minggu

setelah mengkonsumsi obat dan mungkin terus berkembang bahkan

sesudah obat penyebab dihentikan pemakaiannya (Bayupurnama, 2009).

Beberapa obat menunjukkan reaksi alaergi yang menonjol, seperti

phenytoin yang berhubungan dengan demam, limfadenopati, rash, dan

jejas hepatosit yang berat. Pemulihan reaksi imuno alergik umumnya

lambat sehingga diduga allergen tetap bertahan di hepatosit selama

berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan. Overdosis asetaminofen (lebih

dari 4 gram per 24 jam) merupakan contoh hepatotoksisitas obat yang

tergantung dosis yang dapat dengan cepat menyebabkan jejas hepatosit

terutama sentry lobuler. Kadar aminotransferase bisanya sangat tinggi,

dapat melebihi 3500UI/L (Bayupurnama, 2009).

7. PP AVM

Menurut International Consensus Criteria, maka diagnosis

hepatotoksisitas imbas obat post of apabila ditemukan tiga criteria pertama

terpenuhi atau dua dari tiga criteria pertama terpenuhi dengan respon

positif pada pemaparan ulang obat, kemudian kriteria-kriteria yang

dimaksud tersebut (Bayupurnama, 2009) adalah:

a. Waktu dari mulai minum obat dan penghentian obat sampai onset

reaksi adalah “sugestif” (5-90 hari dari awal minum obat) atau

“compatible” (kurang dari lima hari atau lebih dari 90 hari sejak

minum obat dan tidak lebih dari 15 hari dari penghentian obat untuk

reaksi hepato seluler dan tidak lebih dari 30 hari dari pengentian obat

untuk reaksi kolestatik) dengan hepatotoksisitas obat.

b. Perjalanan reaksi setelah pengentian obat adalah “sangat sugestif”

(penurunan enzim hati paling tidak 50% dari kadar di atas batas atas

normal dalam 8 hari) atau “sugestif” (penurunan kadar enzim hati

paling tidak 50% dalam 30 hari untuk reaksi “hepatoseluler” dan 180

hari untuk reaksi “kholestetik”) dari reaksi obat.

17

Page 19: PBL 2 Digestif

c. Alternative sebab lain dari reaksi telah dieksklusi setelah pemeriksaan

teliti, termasuk biopsy hati pada tiap kasus.

d. Dijumpai respon positif setelah pemaparan ulang dengan obat yang

sama (paling tidak kenaikan dua kali lipat dari enzim hati.

8. Terapi medikamentosa Hepatitis Drug-Induced

Tidak ada pengobatan spesifik pada hepatitis akibat obat. Jika

dijumpai reaksi alergi berat dapat diberikan kortikosteroid, meskipun

belum ada bukti penelitian secara klinis. Pada obat-obtan tertentu seperti

amoksisilin, asam klavunalat dan fenitoin berhubungan dengan sindrom

dimana kondisi pasien memburuk dalam beberapa minggu sesudah

pengobatan dihentikan dan perlu waktu beberapa bulan untuk pulih seperti

sedia kala (Lee, 2010).

9. Terapi nonmedikamentosa Hepatitis-Drug Induced

Terapi efek hepatotoksik obat terdiri dari penghentian segera

obat-obatan yang dicurigai. Pengobatan dapat bersifat simtomatis.

Beberapa orang memberi respon yang baik jika telah dihentikan

pemakaian obatnya. Untuk yang lain terkadang membutuhkan beberapa

bulan untuk kembali normal. Selain itu, keseimbangan asam dan basa pada

penderita perlu diperhatikan dan kubutuhan nutrisi juga peru untuk

dipenuhi (Lee, 2010).

10. Prognosis Hepatitis Drug-Induced

Secara umum prognosis pada pasien drug induced hepatitis

semakin baik jika penetapan diagnosis pada awal.Prognosis penyakit ini

bergantung pada gejala pasien dan derajat kerusakan hati. Sebuah studi

prospektif yang dilakukan di Amerika pada tahun 1998-2001

menyimpulkanbahwa prognosis pasien (termasuk mereka yang menerima

transpalantasi hati) sebanyak 72%.Kejadian Gagal Hati akut ini ditentukan

oleh etiologinya, derajat ensefalopati hepatik, dan komplikasi seperti

infeksi. Prognosis gagal hati akut untuk reaksi idiosinkratik obat

burukdengan angka mortalitas lebih dari 80% (Bayupurnama, 2006).

18

Page 20: PBL 2 Digestif

Prognosis jangka pendek maupun jangkapanjang jejas tipe

hepatoselular mengikuti “hukum Hy”. Hukum ini dipopulerkan oleh

Hyman Zimmerman, seorang hepatolog yang tertarik pada Hepatitis Drug

Induced. Hukum Hy menyebutkan bahwa 10% pasien Hepatitis Drug

Induced mengalami icterus dan, dari jumlah tersebut, 10% akan meninggal

karena Hepatitis Drug Induced. Angka fatalitas kasus (case fatality rates)

pasien gagal hati fulminan imbas obat terlapor sangat tinggi (sekitar 75%)

untuk obat-obat selain asetaminofen. Sebaliknya, angka fatalitas kasus

gagal hati fulminan yang disebabkan asetaminfen jauh lebih rendah,

kurang lebih 25% (Bonkovsky, 2006).

11. Komplikasi Hepatitis Drug-Induced

Komplikasi dari Hepatitis Imbas Obat (Drug Induced Hapatitis)

sebenarnya cukup jarang, namun yang paling mungkin adalah dapat

menjadi faktor predisposisi menjadi gagal hati (Liver Failure) (Longstreth,

2012).

14. Macam-macam Ikterus

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang

berlangsung dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik,

masih relevan. Walaupun diperlukan penjelasan akan adanya fase

tambahan dalam tahapan metabolisme bilirubin, pembagian yang baru

menambahkan 2 fase lagi sehingga tahapan metabolisme bilirubin menjadi

5 fase, yaitu fase pembentukan bilirubin, transpor plasma, liver uptake,

konjugasi, dan ekskresi bilier. Ikterus disebabkan oleh gangguan pada

salah satu dari 5 fase metabolisme bilirubin tersebut (Lindseth, 2006).

a) Fase Prahepatik

Prehepatik atau hemolitik yaitu menyangkut ikterus yang disebabkan

oleh hal-hal yang dapat meningkatkan hemolisis (rusaknya sel darah

merah).

a. Pembentukan Bilirubin. Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau

sekitar 4mg per kg berat badan terbentuk setiap harinya; 70-80%

19

Page 21: PBL 2 Digestif

berasal dari pemecahan sel darah merah yang matang oleh sel sel

retikuloendotelial, sedangkan sisanya (early labeled bilirubin) 20-

30% berasal dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam

sumsum tulang dan hati. Peningkatan hemolisis sel darah merah

merupakan penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin.

Sebagiandari protein hem dipecah menjadi besi dan produk

diantara biliverdin dengan perantaraan enzim hemeoksigenase.

Enzimlain, biliverdinreduktase, mengubah biliverdin menjadi

bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel system

retikuloendotelial (mononuklirfagositosis). Peningkatan hemolysis

sel darah merah merupakan penyebab utama peningkatan

pembentukan bilirubin. Pembentukan early labeled bilirubin

meningkat pada beberapa kelainan dengan eritropoiesis yang tidak

efektif namunsecara klinis kurang penting (Sulaiman, 2007).

b. Transport plasma. Bilirubin tidak larut dalam air, karenanya

bilirubin tak terkonjugasi ini transportnya dalam plasma terikat

dengan albumin dan tidak dapat melalui membran glomerulus,

karenanya tidak muncul dalam air seni. Ikatan melemah dalam

beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa bahan seperti

antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan dengan

albumin (Sulaiman, 2007).

b) Fase Intrahepatik

Intrahepatik yaitu menyangkut peradangan atau adanya kelainan pada

hati yang mengganggu proses pembuangan bilirubin

a. Liver uptake. Proses pengambilan bilirubin melalui transport yang

aktif dan berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan

albumin. Pengambilan oleh hati secara rinci dan pentingnya protein

pengikat seperti ligandin atau protein Y, belum jelas (Sulaiman,

2007).

b. Konjugasi. Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati

mengalami konjugasi dengan asam glukoronik membentuk

bilirubin diglukuronida /bilirubin konjugasi / bilirubin direk.

20

Page 22: PBL 2 Digestif

Bilirubin tidak terkonjugasi merupakan bilirubin yang tidak larut

dalam air kecuali bila jenis bilirubin terikat sebagai kompleks

dengan molekul amfipatik seperti albumin. Karena albumin tidak

terdapat dalam empedu, bilirubin harus dikonversikan menjadi

derivat yang larut dalam air sebelum diekskresikan oleh sistem

bilier. Proses ini terutama dilaksanakan oleh konjugasi bilirubin

pada asam glukuronat hingga terbentuk bilirubin glukuronid /

bilirubin terkonjugasi / bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi

oleh enzim microsomal glukoronil-transferase menghasilkan

bilirubin yang larut air (Sulaiman, 2007).

c) Fase Pascahepatik

Pascahepatik yaitu menyangkut penyumbatan saluran empedu di luar

hati oleh batu empedu atau tumor

a. Ekskresi bilirubin. Bilirubin konjugasi dikeluarkan ke dalam

kanalikulus bersama bahan lainnya. Anion organic

lainnyaatauobatdapatmempengaruhi proses yang kompleksini. Di

dalam usus, flora bakteri mereduksi bilirubin menjadi

sterkobilinogen dan mengeluarkannya sebagian besar ke dalam

tinja yang memberi warna coklat. Sebagian diserap dan dikeluarkan

kembali ke dalam empedu, dan dalam jumlah kecil mencapai

mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat mengeluarkan

bilirubin konjugasi tetapi tidak bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini

menerangkan warna air seni yang gelap khas pada gangguan

hepatoseluler atau kolestasis intrahepatik. Bilirubin tak

terkonjugasi bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam

lemak. Karenanya bilirubin tak terkonjugasi dapat melewati barrier

darah-otak atau masuk ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin

tak terkonjugasi mengalami proses konjugasi dengan gula melalui

enzim glukoronil transferase dan larut dalam empedu cair

(Sulaiman, 2007).

Gangguan metabolisme bilirubin dapat terjadi lewat salah satu dari

keempat mekanisme ini: over produksi, penurunan ambilan

21

Page 23: PBL 2 Digestif

hepatik, penurunan konjugasi hepatik, penurunan eksresi bilirubin

ke dalam empedu (akibat disfungsi intrahepatik atau obstruksi

mekanik ekstrahepatik). (Lindseth, 2006)

Metabolisme Bilirubin

Usus

Reabsorbsi

Bakteri Usus

Glucoronyl Transferase

Hemoglobin (RES)

Heme Globin

Bilirubin Unconjugated

Bilirubin Conjugated

Urobilinogen

Hepar

Stercobilin Urobilin Urin

Ginjal

Fase Prehepatik:- Pembentukan bilirubin (Bil Indirek)- Transport plasma

Fase intrahepatik:- Liver uptake:Scr aktif ( peran protein pengikat(ligandin/protein Y dan non uptake albumin)

- Konjugasi:Bil. Terkonjungasi dng asamglukoronik→ diglukuronida (Bil. direk) → Dikatalise oleh enzimemikrosomal glukoronik transferase(Bil.larut air)

Fase pascahepatik- Ekskresi (Bil. Direk) → flora usus

bakteri (medekonjugasu & mereduksi) → Sterkobilinogen (feces kecoklatan) → Empedu / ginjal(urobilinogen).

22

Page 24: PBL 2 Digestif

15. Natrium Diclovenac

Rumus molekul : C14H10Cl2NNaO2

Berat molekul : 318,13

Nama kimia : asam benzeneasetat, 2 - [ (2,6 diklorofenil)

amino] - monosodium

Nama lain : Sodium [o-(dikloroanilino)fenil]asetat

Pemeria : Serbuk hablur, berwarna putih, tidak

berasa

Kelarutan : Sedikit larut dalam air, larut dalam

alkohol; praktis tidak larut dalam kloroform

dan eter; bebas larut dalam alkohol metil.

pH larutan 1% dalam airadalah antara 7.0

dan 8

pKa : 4,2

Diklofenak adalah turunan asam fenilasetat sederhana yang

menyerupai florbiprofen maupun meklofenamat. Obat ini adalah

penghambat siklooksigenase yang kuat dengan efek anti inflamasi,

analgesik dan anti piretik. Diklofenak cepat diabsorbsi setelah pemberian

oral dan mempunyai waktu paruh yang pendek. Seperti flurbiprofen, obat

ini berkumpul di cairan sinovial. Potensi diklofenak lebih besar dari pada

naproksen. Obat ini dianjurkan untuk kondisi peradangan kronis seperti

artritis rematoid dan osteoartritis serta untuk pengobatan nyeri otot rangka

akut (Katzung, 2011).

Mekanisme kerjanya, bila membran sel mengalami kerusakan oleh

suatu rangsangan kimiawi, fisik, atau mekanis, maka enzim fosfolipase

diaktifkan untuk mengubah fosfolipida menjadi asam arachidonat. Asam

lemak poli-tak jenuh ini kemudian untuk sebagian diubah oleh ezim cyclo-

oksigenase menjadi endoperoksida dan seterusnya menjadi prostaglandin.

Cyclo-Oksigenase terdiri dari dua iso-enzim, yaitu COX-1 (tromboxan dan

prostacyclin) dan COX-2 (prostaglandin). Kebanyakan COX-1 terdapat di

jaringan, antara lain dipelat-pelat darah, ginjal dan saluran cerna. COX-2

dalam keadaan normal tidak terdapat dijaringan tetapi dibentuk selama

23

Page 25: PBL 2 Digestif

proses peradangan oleh sel-sel radang. Penghambatan COX-2 lah yang

memberikan efek anti radang dari obat NSAIDs. NSAID yang ideal hanya

menghambat COX-2 (peradangan) dan tidak COX-1 (perlindungan

mukosa lambung). Diklofenak merupakan obat NSAIDs (Non Steroidal

Anti Inflammatory Drugs) yang bersifat tidak selektif dimana kedua jenis

COX di blokir. Dengan dihambatnya COX-1, dengan demikian tidak ada

lagi yang bertanggung jawab melindungi mukosa lambung-usus dan ginjal

sehingga terjadi iritasi dan efek toksik pada ginjal (Tjay, 2007).

24

Page 26: PBL 2 Digestif

BAB III

KESIMPULAN

1. Hipotesis penyebab dari masalah pasien tersebut adalah adanya Hepatitis

bisa karena virus ataupun penggunaan obat-obatan yang tidak sesuai

indikasi.

2. Penyakit kuning dapat disebabkan oleh berbagai hal, di mana yang paling

umum adalah penyakit Hepar, berikut diagnosis banding dari kasus yaitu

hepatitis viral, hepatitis drug induced ataupun shirosis hepatis.

3. Pembagian mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang berlangsung ada

dalam 3 fase, yaitu prehepatik, intrahepatik, pascahepatik.

4. Komplikasi dari Hepatitis Imbas Obat (Drug Induced Hapatitis)

sebenarnya cukup jarang, namun yang paling mungkin adalah dapat

menjadi faktor predisposisi menjadi gagal hati (Liver Failure).

25

Page 27: PBL 2 Digestif

DAFTAR PUSTAKA

Bonkovsky HL. Drug-induced liver injury. In: Boyer, TD, Teresa LW, Michael PM, editors. Zakim and Boyer’s hepatology: A textbook of liver disease. 5th ed. USA: Elsevier; 2006. p. 503-38.

Bayupurnama P, Hepatotoksisitas Imbas Obat di dalam Buku Ajar Penyakit Dalam Jilid I, Edisi ke 4. Pusat Penerbitan Departemen IPD FKUI. Jakarta, 2006; 109: 473-76.

Bayupurnama, Putut. 2009. BukuAjarIlmuPenyakitDalamJilid I Edisi V. Jakarta: Internapublishing.

Daldiyono, 1997. Gastroenterologi Hepatologi. Jakarta : CV Sagung Seto.

Dubey, S. 2008. Perdarahan Gastrointestinal Atas. Dalam : Greenberg, M.I. Teks Atlas Kedaruratan Greenberg Vol 1. Jakarta : Erlangga

Eroschenko, Victor P. 2013. Atlas Histologi diFiore. Jakarta : EGC.

George F. Longstreth, MD, Department of Gastroenterology, Kaiser Permanente Medical Care Program, San Diego, California. Also reviewed by A.D.A.M. Health Solutions, Ebix, Inc., Editorial Team: David Zieve, MD, MHA, David R. Eltz, and Stephanie Slon.Update Date 10/8/2012.

Guyton, Arthur. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Kanoko, Mpu. 2007. Ilmu Ajar Ilmu Penyakit Hati. Jaya Abadi. Jakarta

Katzung, Bertram G. 2011. Farmakologi Dasar dan Klinik Edisi Ketiga. Jakarta: Salemba Medika.

Lee WM. 2010. Drug Induce hepatotoxicity. N Engl J Med ; 349 : 474-485

Lindseth Glenda N, 2006,Ikterus dan Metabolisme Bilirubin. Dalam : Hartanto Huriawati et al. PatofisiologiKonsepKlinis Proses-Proses Penyakit volume 1 Edisi 6. Jakarta:EGC. h.481-485

Sherwood, Laurelee. 2012. Fisiologi Manusia dari sel ke sistem Edisi 6. Jakarta: FK Universitas Indonesia.

Siew C. Ng, et. all. 2009. Gastric arteriovenous malformation: a rare cause of upper GI bleed. American Society for Gastrointestinal Endoscopy, Published by Elsevier Inc. All rights reserve, Volume 69; Issue 1; Pages 155–156.

26

Page 28: PBL 2 Digestif

Sulaiman, Ali, 2007, Pendekatan Klinis pada Pasien Ikterus. Dalam : Aru W Sudoyo et al. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta : Penerbitan IPD FKUI,.  h. 420-423

Sudoyo, AW., et al. 2007. Buku Ajar Penyakit Dalam. Jakarta : Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Tjay, T. H., dan Rahardja, K. 2007. Obat-Obat Penting Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya Edisi ke VI. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.

27