PBL 2 NSS fix

Embed Size (px)

Citation preview

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    1/28

    LAPORAN PBL 2

    BLOK NEUROLOGY AND SPECIFIC SENSE SYSTEMS

    Mengantuk terus

    Tutor :

    dr. Joko Mulyanto, M.Sc

    Kelompok IV

    Gohlena Raja N.C. G1A009009

    Istiani Danu P. G1A009018

    Prasastie Gita W. G1A009023

    David Santoso G1A009031

    Famila G1A009044

    Alfian Tagar G1A009064

    Herlinda Yudi S. G1A009080

    Dhayksa Cahya P. G1A009088

    Rahma Dewi A. G1A009081

    Semba Anggen R. G1A009085

    UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

    FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

    JURUSAN KEDOKTERAN

    PURWOKERTO

    2012

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    2/28

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Meningitis merupakan salah satu kegawatdaruratan medik yang memberi

    resiko kecacatan dan kematian yang cukup tinggi. Siapapun bisa terkena bakteri

    meningitis, tetapi paling umum pada bayi dan anak-anak. Orang-orang yang telah

    lama atau kontak dekat dengan pasien meningitis yang disebabkan oleh Neisseria

    meningitidis atau Hib juga dapat berisiko tertular.

    Tidak jarang organisme yang relatif memiliki derajat patogenitas rendah

    dapat menyebabkan meningitis atau abses otak. Demikian pula cairan

    serebrospinal (CSS) pada beberapa kasus justru merupakan media yang ideal

    untuk pertumbuhan kuman disamping hambatan antibodi dan sel radang untuk

    menembus jaringan saraf pusat oleh karena adanya barrierdarah otak. Dari segi

    klinis, infeksi intrakranial seringkali menunjukkan angka morbiditas dan

    mortalitas yang tinggi. Hingga penting untuk mengenal diagnosis secara dini dan

    memberikan pengobatan yang segera, tepat dan rasional untuk menghin dari

    kematian dan gejala sisa yang menetap.

    Tingkat lanjut bakteri meningitis dapat mengakibatkan kerusakan otak,

    koma, dan kematian. Korban dapat menderita komplikasi jangka panjang,

    termasuk kehilangan pendengaran, penglihatan, keterlambatan mental, lumpuh,

    dan lain-lain.

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    3/28

    BAB II

    PEMBAHASAN

    Informasi I

    Mengantuk terus..

    Tn M. Usia 38 tahun datang ke IGD diantar keluarganya dengan keluhan

    penurunan kesadaran sejak 1 jam yang lalu ketika sedang tiduran.

    Sebelumnya 6 jam sebelum masuk rumah sakit, pagi hari setelah bangun

    tidur pasien mengeluh sakit pada kepalanya yang semakin lama semakin hebat

    hingga pasien muntah, keluhan ini tidak hilang dengan mengonsumsi obat

    penghilang rasa sakit. Sehingga oleh keluarganya Tn.M dibawa ke rumah sakit,

    ditengah perjalanan Tn.M mengalami kejang selama 10 menit. Sesampainya di

    IGD pasien mengalami kejang kembali selama 5 menit

    Seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien merasa demam. Pasien

    mempunyai riwayat 1 bulan yang lalu, pasien mengeluh batuk, sering berkeringat

    pada malam hari dan pasien merasakan berat badannya turun sehingga dengan

    keluhan ini pasien berobat ke dokter. Oleh dokter, pasien dilakukan foto rontgen

    dan diketahui terdapat infeksi pada paru-parunya. Pasien diharuskan meminum

    obat yang tidak boleh putus sama sekali selama 6 bulan, akan tetapi karena

    keterbatasan biaya pasien tidak berobat kembali.

    Anamnesis

    1. Identitas

    Nama Pasien : Tn. M

    Umur : 38 tahun

    2. RPSKeluhan utama : penurunan kesadaran

    Onset : 1 jam yang lalu

    Kronologis : pagi hari setelah bangun tidur pasien mengeluh sakit pada

    kepalanya yang semakin lama semakinhebat hingga

    muntah, keluhan ini tidak hilang dengan mengomsumsi obat

    penghilang rasa sakit. sehingga oleh keluarganya Tn. M di

    bawa ke rumah sakit, ditengah perjalanan Tn. M mengalami

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    4/28

    kejang selama 10 menit. Sesampainya di IGD pasien

    mengalami kejang kembali selama 5 menit.

    Gejala penyerta : sakit kepala hebat, muntah, kejang

    RPK : -

    RPD : seminggu sebelum masuk rumah sakit pasien merasa

    demam, 1 bulan yang lalu pasien mengeluh batuk, sering

    berkeringat pada malam hari dan pasien merasakan berat

    badannya turun. Pasien telah menjalani foto rontgen dan

    diketahui terdapat infeksi pada paru-parunya. Pasien

    diharuskan meminum obat yang tidak boleh putus sama

    sekali selama 6 bulan.

    RPSos : keterbatasan ekonomi, menghentikan pengobatan untuk

    infeksi paru-parunya.

    Klarifikasi Istilah

    Tidak ada

    Identifikasi masalah

    1. Informasi apa yang dibutuhkan untuk memperkuat hipotesis yang ada?

    Analisis Masalah

    1. Informasi apa lagi yang dibutuhkan?

    RPS :

    RPD :

    1. Apakah dulu pernah mengalami kejadian yang sama?

    2. Apakah ada riwayat mengkonsumsi obat-obatan tertentu?3. Apakah ada riwayat penyakit jantung, hipertensi atau diabetes mellitus?

    4. Apakah ada riwayat kejang sebelumnya?

    5. Apakah ada riwayat trauma?

    RPK:

    1. Apakah ada anggota keluarga yang pernah meminum obat-obatan selama

    6 bulan?

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    5/28

    2. Apakah dalam keluarga memiliki riwayat penyakit jantung, hipertensi,

    diabetes mellitus atau hiperlipidemia?

    RSE:

    1. Apakah pekerjaan pasien?

    2. Bagaimana pola makan pasien sehari-hari?

    3. Apakah pasien memiliki kebiasaan olahraga teratur?

    4. Apakah pasien terbiasa merokok atau mengkonsumsi alkohol?

    5. Bagaimana kondisi rumah pasien?

    Pemeriksaan Fisik yang diperlukan:

    1. Keadaan Umum

    2. Kesadaran skor GCS

    3. Vital Sign Tekanan Darah, Nadi, Respiratory Rate, Suhu

    4. Pemeriksaan Fisikhead to toe:

    a. Kepala-leher mata

    b. Thoraks jantung, paru-paru

    c. Abdomen lambung, hepar, peristaltik usus

    d. Ekstremitas kekuatan motorik ekstremitas atas dan bawah

    e. Orientasi waktu, orang, tempat

    5. Pemeriksaan Neurologis:

    a. Pemeriksaan nervus kranialis

    b. Pemeriksaan motorik

    c. Pemeriksaan sensorik

    d. Pemeriksaan refleks fisiologis dan patologis

    e. Pemeriksaan sensibilitas

    Informasi II

    Pemeriksaan fisik

    Keadaan umum : Penurunan kesadaran

    Kuantitatif : GCS E2 M3 V2

    Vital sign :

    TD : 120/80 mmHg

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    6/28

    N : 100x/menit

    RR : 24x/menit

    S : 39o C

    Orientasi :

    waktu: jelek

    orang : jelek

    tempat : jelek

    Kepala : mesochepal, tanda trauma (jejas) (-)

    Mata : dbn

    Leher : kaku kuduk (+)

    Jantung : dbn

    Paru : stridor (+)

    Sasaran Belajar :

    1. Struktur anatomi yang berperan dalam kesadaran?

    2. Bagaimana mekanisme kesadaran?

    3. Struktur yang peka pada nyeri kepala?

    4. Bagaimana terjadinya nyeri kepala?

    5. Bagaimana mekanisme kejang?

    6. Bagaimana mekanisme kaku kuduk?

    7. Apa yang di maksud dengan stridor?

    Hasil Belajar Mandiri :

    1. Struktur anatomi yang berperan dalam kesadaran

    Pusat kesadaran manusia terdapat didaerah pons, formasio retikularis

    daerah mesensefalon dan diensefalon. Lintasan aspesifik ini oleh Merruzi dan

    Magoum disebut diffuse ascending reticular activating system (ARAS).

    Melalui lintasan aspesifik ini, suatu impuls dari perifer akan menimbulkan

    rangsangan pada seluruh permukaan korteks serebri (Rumawas, 2000).

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    7/28

    2. Bagaimana mekanisme kesadaran?

    Gambar 2.1. Mekanisme kesadaran (Snell, 2006).

    Formatio reticularis

    Ascending Reticular Activating System (ARAS)

    Batang otak

    (mesencephalon pons medulla oblongata)

    Intralaminar nuclei

    di thalamus

    Saraf sensoris dari seluruh

    tubuh dan kepala

    Korteks serebri

    teraktivasi

    Kesadaran

    Excitatory

    neurotransmitter

    Inhibitory

    neurotransmitter

    Glutamat GABA

    Kesadaran meningkat Kesadaran menurun

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    8/28

    3. Struktur yang peka pada nyeri kepala?

    Selubung otak (meninges)

    a. Duramater

    Duramater terdiri dari dua lapisan jaringan penyambung yang kuat.

    Lapisan luar duramater disebut lapisan periosteum didalam tengkorak.

    Lapisan dalam atau lapisan meningeal adalah lapisan yang sesungguhnya.

    Duramater yang terletak diatas tentorium dipersarafi oleh cabangcabang

    nervus trigeminus, bagian infratentorialnya oleh cabang nervi segmentales

    servicales superiores dan nervus vagus. Sebagian saraf dural bermielin,

    sedangkan sebagiannya lagi tidak bermielin. Ujungnya telah terbukti

    merespons regangan, karena stimulasi dura dapat dirasakan terus menerus

    sehingga menimbulkan nyeri (Baehr, 2010). Pada bagian supratentorium

    yang dipersarafi oleh nervus trigeminus nyeri kepala akan dialihkan pada

    dahi dan muka sedangkan pada infratentorium yang dipersarafi oleh

    cabang nervi segmentales servicales superiores dan nervus vagus nyeri

    kepala akan dialihkan pada kebelakang kepala dan leher (Snell, 1996).

    b. Arakhnoidmater

    Arakhnoid otak merupakan membran avaskuler yang tipis dan

    rapuh yang berhubungan erat dengan permukaan dalam piamater. Ruang

    arakhnoid dan piamater (ruang subarakhnoid) berisi cairan serebrospinal

    (Baehr, 2010).

    c. Piamater

    Piamater terdiri dari lapisan tipis selsel mesodermal yang

    menyerupai endotelium. Tidak seperti arakhnoid, struktur ini hanya

    meliputi seluruh permukaan eksternal otak dan medula spinalis yangterlihat tetapi juga permukaan yang tidak terlihat di sulkus yang lebih

    dalam. Saraf sensorik piamater tidak seperti pada duramater, tidak

    merespon terhadap stimulus mekanis atau termal, tetapi saraf ini diduga

    merespon terhadap regangan vaskular dan perubahan tonus pada dinding

    pembuluh darah (Baehr, 2010).

    4. Bagaimana terjadinya nyeri kepala?

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    9/28

    Mekanisme nyeri secara sederhana dimulai dari transduksi stimuli

    akibat kerusakan jaringan dalam saraf sensorik menjadi aktivitas listrik,

    kemudian ditransmisikan melalui serabut saraf bermielin A delta dan saraf

    tidak bermielin C ke kornu dorsalis medulla spinalis, thalamus, dan korteks

    serebri. Impuls listrik tersebut dipersepsikan dan didiskriminasikan sebagai

    kualitas dan kuantitas nyeri steleah mengalami modulasi sepanjang saraf

    perifer dan disusun saraf pusat. Rangsang yang membangkitkan nyeri dapat

    berupa rangsangan mekanik suhu (panas/dingin) dan agen kimawi yang

    dilepaskan karena trauma atau inflamasi. Fenomena nyeri timbul karena

    adanya kemampuan system saraf untuk mengubah berbagai stimuli mekanik

    kimia termal elektris menjadi potensial aksi yang dijalankan ke system saraf

    pusat. Nyeri kepala bisa disebabkan karena tekanan intracranial, cedera

    kepala, tumor otak, ketegangan mata, sinusitis, perubahan atmosfirm alergi

    makanan dan lain-lain (Sylvia, 2005).

    Bakteri masuk aliran

    darah

    Masuk plexus

    choroideus

    Infeksi epitel plexus

    Bisa masuk

    menembus LCS

    Multiplikasi bakteri di

    dalam LCS

    Bakteri keluarkan

    toksin

    Produksi Sitokin &

    Kemokin

    Gangguan

    permeabilitas BBB

    Leukosit masuk LCS

    Degranulasi

    Keluarkan metabolit

    toksin

    Ganggu

    metabolisme sel dan

    pompa elektrolit

    Bakteri membentuk

    eksudat di ruang

    subarachnoidea

    Cytotoxic edema

    Menggangguresorpsi

    LCS ke sinus dural

    Memblokir granulasiarachnoidea

    Hydrocephalus

    malresorpsi

    Protein plasma

    masuk LCS

    Vasogenic Edema

    TIK >>

    Aliran LCS yang

    sedikit teresorpsi

    mendesak sinus

    dural

    Sinus dural mendesak

    duramater pars

    periosteal

    Rangsang reseptor

    nyeri di duramater

    NYERI KEPALA

    Respon inflamasi

    Mediator inflamasi

    keluar menuju sinusdural

    Berikatan dengan

    reseptor nyeri

    NYERI KEPALA

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    10/28

    Gambar 2.2. Mekanisme nyeri kepala (Sylvia, 2005).

    5. Bagaimana mekanisme kejang?

    Meskipun mekanisme kejang yang tepat belum diketahui, tampak ada

    beberapa faktor fisiologi yang menyebabkan perkembangan kejang. Untuk

    memulai kejang, harus ada kelompok neuron yang mampu menimbulkan

    ledakan discharge (rabaS) yang berarti dan sistem hambatan GABAergik.

    Perjalanan discharge (rabas) kejang akhirnya tergantung pada eksitasi sinaps

    glutamaterik. Bukti baru-baru ini menunjukkan bahwa eksitasi

    neurotransmiter asam amino (glutamat, aspartat) dapat memainkan peran

    dalam menghasilkan eksitasi neuron dengan bekerja pada reseptor sel tertentu.

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    11/28

    Diketahui bahwa kejang dapat berasal dari daerah kematian neuron dan bahwa

    daerah otak ini dapat meningkatkan perkembangan sinaps hipereksitabel baru

    yang dapat menimbulkan kejang. Misalnya, lesi pada lobus temporalis

    termasuk glioma tumbuh lambat, hematoma, gliosis, dan malformasi

    arteriovenosus menyebabkan kejang. Dan bila jaringan abnormal diambil

    secara bedah, kejang mungkin berhenti. Lebih lanjut, konvulsi dapat

    ditimbulkan pada binatang percobaan dengan fenomena membangkitkan. Pada

    model ini, stimulasi otak subkonvulsif berulang (misal, amigdala) akhirnya

    menyebabkan konvulsi menyeluruh (Richard, 1999).

    6. Bagaimana mekanisme kaku kuduk?

    Kaku kuduk adalah salah satu bagian dari pemeriksaan Meningeal Sign.

    Apabila pemeriksaan ini positif maka merupakan suatu tanda dari meningitis.

    Kaku kuduk terjadi karena adanya inflamasi pada nervus cranialis XI yaitu

    acessorius. Nervus ini merupakan nervus yang kerjanya dominan sistem

    motorik, yaitu mempersyarafi dua musculus pada bagian leher (M.

    Sternocleidomastoideus dan M. Trapezius). Sehingga untuk melakukan

    pemeriksaan kaku kuduk yang memfleksikan bagian kepala ke arah sternum

    maka akan terasa sakit dan tidak bisa menempel selayaknya orang normal

    (Lumbantobing, 2011).

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    12/28

    7. Apa yang di maksud dengan stridor?

    Stridor merupakan suara respirasi bernada tinggi, berisik seperti orang

    mengorok pada fase inspirasi, serta merupakan suatu tanda obstruksi saluran

    pernapasan, terutama pada trakea atau laring. Suara ini dapat terdengar tanpa

    menggunakan alat bantu stetoskop. Pada pasien ini stridor terjadi akibat pasien

    mengalami penurunan kesadaran hingga tahap koma sehingga yang terjadi

    adalah lidah tertarik ke belakang dan menutupi saluran pernafasannya

    sehingga dihasilkan suara stridor (Bickley, 2008).

    Informasi IV

    Status Neurologis:

    Pemeriksaan nervus kranialis :

    N. III : ODS : bentuk pupil bulat isokor diameter 3 mm

    OS : reflek cahaya langsung dan tidak langsung (+)

    sedikit berkurang

    N. VI : kesan parese N. VI bilateral

    N. VII : parese facial sinistra tipe sentral

    Pemeriksaan sensibilitas : sulit dinilai

    Pemeriksaan meningeal sign :

    Tes kaku kuduk : (+)

    Tes brudzinski : (+)

    Tes kernig : (+)

    Pemeriksaan fisiologis : (+) meningkat

    Kekuatan motorik : sulit dinilai, kesan kelemahan pada keempat

    ekstremitasPemeriksaan patologis :

    Refleks babinsky : +/+

    Informasi V

    Pemeriksaan penunjang :

    Darah lengkap (Hb, leukosit, Ht, Trombosit, Hitung jenis) GDS, ureum kreatinin,

    elektrolit.

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    13/28

    Hb : 14 gr/dl

    Leukosit : 17.000 mm3

    Trombosit : 150.000 mm3

    Hemetokrit : 42%

    GDS : 145 mg/dl

    Ureum : 23 mg/dl

    Kreatinin : 0,7 mg/dl

    Kalium : 4 meq/l

    Natrium : 140 meq/l

    Klorida : 101 meq/l

    TB ICT : (+)

    Foto Thorax : gambarab TB milier paru kanan-kiri

    Brain CT scan

    - Gambaran tuberculoma

    - Tidak tampak hidrosefalus

    - Tidak tampak infark

    Lumbal fungsi

    - Warna : Xantokrom

    - Leukosit : 750 x 103/ml

    - Neutrofil : < 75%

    - Perbandingan glukosa CSS : plasma < 50%

    Sasaran Belajar :

    1. Terangkan tentang meningeal sign, mekanisme dan caranya?

    2. Mengapa reflex babinsky +/+?

    3. Terangkan gambaran CT scan pasien?

    4. Terangkan cara, interpretasi, indikasi dan kontraindikasi limbal fungsi?

    5. Penatalaksanaan

    Pembahasan Sasaran Belajar:

    1. Meningeal sign

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    14/28

    Meningeal sign adalah salah satu cara untuk mengetahui gejala dari

    adanya peradangan pada selaput otak misalnya pada meningitis. Pemeriksaan

    ini terdiri dari Kaku Kuduk (nuchal rigidity), Tanda Lasegue, Tanda Kernig,

    dan Tanda Burdzinki (Lumbantobing, 2011).

    1. Kaku Kuduk

    Kaku kuduk merupakan gejala yang sering dijumpai pada kelainan

    rangsang selaput otak. Sangat jarang dapat mendiagnosis meningitis tanpa

    adanya gejala ini.

    a. Cara pemeriksaan :

    Tangan pemeriksa ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang

    berbaring. Kemudian kepala ditekukkan (fleksi) dan diusahakan agar

    dagu mencapai dada. Selama penekukan ini diperhatikan adanya

    tahanan.

    b. Interpretasi :

    Bila terdapat kaku kuduk maka akan didapatkan tahanan dan dagu

    tidak dapat mencapai dada. Kaku kuduk bersifat ringan apabila ada

    tahanan sewaktu menekukkan kepala. Kaku kuduk yang berat,

    didapatkan kepala yang tidak dapat ditekuk. Kaku kuduk juga dapat

    ditemukan pada keadaan miositis otot kuduk, abses retrofaringeal, atau

    artritis di servikal (Lumbantobing, 2011).

    2. Tanda Lasegue

    a. Cara pemeriksaan :

    Pasien berbaring, diluruskan (diekstensikan) kedua tungkainya.

    Kemudian satu tungkai diangkat lurus, dibengkokkan (fleksi) pada

    persendian panggulnya. Tungkai yang satu lagi harus selalu beradadalam keadaan ekstensi (lurus).

    b. Interpretasi :

    Pada keadaan normal, dapat mencapai sudut 70 derajat sebelum timbul

    rasa sakit dan tahanan. Bila sudah timbul rasa sakit dan tahanan

    sebelum mencapai 70 derajat, maka Tanda Lasegue positif. Tanda

    Lasegue positif ditemukan pada kelainan seperti rangsang selaput otak,

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    15/28

    isialgia, dan iritasi pleksus lumbosakral (misalnya hernia nukleus

    pulposus lumbalis) (Lumbantobing, 2011).

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    16/28

    3. Tanda Kernig

    a. Cara pemeriksaan :

    Penderita yang sedang berbaring difleksikan pahanya pada persendian

    panggul sampai membuat sudut 90 derajat. Setelah itu tungkai bawah

    diekstensikan pada persendian lutut.

    b. Interpretasi :

    Pada keadaan normal, kita dapat melakukan ekstensi sampai sudut 135

    derajat, antara tungkai bawah dan tungkai atas. Bila terdapat tahanan

    dan rasa nyeri sebelum tercapai sudut ini, maka dikatakan bahwa tanda

    Kernig positif. Tanda ini positif ditemukan pada kelainan rangsang

    selaput otak dan iritasi akar lumbpsakral atau pleksusnya (misalnya

    pada HNP-lumbal). Pada meningitis biasanya positif bilateral,

    sedangkan pada HNP-lumbal dapat unilateral (Lumbantobing, 2011).

    4. Tanda Burdzinski I

    a. Cara pemeriksaan :

    Tangan ditempatkan di bawah kepala pasien yang sedang berbaring,

    kita tekukkan kepala sejauh mungkin sampai dagu mencapai dada.

    Tangan yang satu lagi sebaiknya ditempatkan di dada pasien untuk

    mencegah deiangkatnya badan.

    b. Interpretasi :

    Tanda ini dinilai positif apabila tindakan mengakibatkan fleksi pada

    kedua tungkai (Lumbantobing, 2011).

    5. Tanda Burdzinki II

    a. Cara pemeriksaan :

    Pasien yang sedang berbaring, satu tungkai difleksikan pada persedianpanggul, sedang tungkai yang satu lagi berada dalam keadaan ekstensi

    (lurus).

    b. Interpretasi :

    Tanda ini positif apabila tungkai yang satu ini pun ikut pula terfleksi

    (Lumbantobing, 2011).

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    17/28

    2. Reflex babinsky +/+

    Reflex babinsky positif pada umumnya dikarenakan oleh adanya

    kelainan pada sistem traktus piramidalis, baik struktur ataupun fungsinya. Hal

    ini menjadikan respon segmental jari kaki untuk flexi hilang, seharusnya ada

    kesigesgisan untuk flexi dan ekstensi. Dalam hal ini, muncul otot Ekstensor

    Hallucis Longus sehingga muncullah tanda babinsky (Khwaja, 2005).

    3. Gambaran CT Scan

    Gambaran tuberculoma pada ct scan

    Tuberkuloma terlihat pada CT scan kepala berupa iso- hypo- atau

    hyperdense lesions, diameter 1.5-7cm, dengan peripheral enhancementpada

    pemberian kontras dan adanya edema perifokal(Ceylan, 2005). Tuberkuloma

    terlihat avaskular oleh angiografi, dan terlihat bervariasi oleh CT scan dan

    MRI. Selama fase initial dari penyakitnya terlihat edema dan nekrosis pada

    CT scan. Pada fase granuloma akan lebih jelas terlihat dengan pemberian

    kontras, terdapat kalsifikasi dan ring enhancement dan berbagai derajat

    edema. Penyengatan bisa homogen atau radiolusen di area sentral dari

    nekrosis (Manoj, 1997). Perkejuan di tengah lesi dikelilingi sel epiteloid

    reaktif, sel giant Langerhans dan berbagai limfosit, polimorf, dan sel plasma

    (Revindra, 1996).

    4. Cara, interpretasi, indikasi dan kontraindikasi lumbal fungsi

    a. Definisi

    Merupakan upaya mengambil cairan liquor cerebro spinal (LCS)dengan memasukkan jarum ke dalam ruang subarachnoidea. Pemeriksaan

    ini dilakukan dengan tujuan untuk memeriksa spesimen LCS yang diambil,

    mengukur dan mengurangi tekanan LCS dan untuk menentukan ada

    tidaknya darah dalam ruang subarachnoidea.

    Pemeriksaan ini dapat dikategorikan diagnostik invasif karena LCS

    dikeluarkan untuk pemeriksaan. Pemeriksaan ini dilakukan dengan prinsip

    aseptik dengan menusukkan jarum pungsi di antara vertebrae lumbal III

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    18/28

    dan IV atau vertebrae lumbal IV dan V hingga mencapai ruang

    subarachnoidea di bawah medulla spinalis daerah cauda equina. Ujung

    jarum pungsi dilengkapi manometer yang berfungsi untuk mengetahui

    tekanan intraspinal.

    Pemeriksaan ini membutuhkan sekitar 2-3 mL LCS yang kemudian

    dialirkan ke sebuah tempat spesimen steril yang terbuat dari plastik.

    Nantinya, cairan LCS tersebut akan diobservasi berdasarkan warna,

    konsistensi, dan lain-lain. Setelah pengambilan LCS dirasa cukup, jarum

    dicabut dan tempat penusukan tersebut ditutup perban.

    b. Indikasi

    a. Mengambil LCS untuk keperluan penegakan diagnosis, utamanya yang

    dicurigai mengalami meningitis, ensefalitis, meningoensefalitis, dan

    penyakit autoimun

    b. Mengidentifikasi adanya darah di dalam LCS akibat trauma atau

    perdarahan subarachnoidea.

    c. Memasukkan zat kontras ke dalam ruang subarachnoidea.

    d. Menentukan tekanan cairan otak

    e. Mengkonfirmasi penyebab inflamasi akut atau kronik

    f. Melihat perluasan infark atau stroke

    g. Memasukkan obat intratekal seperti anestesi, dan lain-lain.

    c. Kontraindikasi

    1. Infeksi dekat tempat penusukan

    2. Kontaminasi dari infeksi akan menyebabkan meningitis

    3. Infeksi epidural4. Pasien dengan peningkatan tekanan intrakranial, karena herniasi

    cerebral bisa terjadi.

    5. Pasien dengan penyakit sendi vertebrae degeneratif, karena akan sulit

    untuk melakukan penusukan jarum ke ruang interspinal

    6. Pasien yang mengalami kelainan psikiatrik berat

    d. Alat & Bahan

    a. Kassa steril

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    19/28

    b. Kapas steril

    c. Sarung tangan steril

    d. Baju steril

    e. Jarum pungsi lumbal No. 20 dan 22 G beserta stylet

    f. Manometer spinal

    g. Antiseptik : alkohol 70 % dan povidone iodine

    h. Anestesi lokal

    i. Spuit dan jarum untuk anestesi lokal

    j. Lidokain 1%

    k. Tempat penampung spesimen steril, terbuat dari plastik

    l. Plester

    m. Tempat sampah

    e. Prosedur

    a. Pengambilan Sampel

    1) Posisikan pasien

    Pasien dalam posisi miring pada salah satu sisi tubuh. Leher fleksi

    maksimal, ekstremitas inferior fleksi maksimum, dan columna

    vertebralis sejajar dengan tempat tidur

    2) Lakukan cuci tangan steril

    3) Persiapan alat

    4) Jaga privasi pasien

    5) Paparkan daerah lumbal

    6) Tentukan daerah pungsi lumbal di antara vertebrae L4 dan L5 yaitu

    dengan menemukan garis potong columna vertebralis dan garis antara

    kedua SIAS kiri dan kanan7) Lakukan tindakan antisepsis pada kulit di sekitar daerah pungsi radius

    10 cm dengan larutan povidone iodine diikuti dengan alkohol 70 %

    dan tutup dengan duk steril dimana daerah pungsi lumbal dibiarkan

    terbuka

    8) Tentukan kembali daerah pungsi dengan menekan ibu jari tangan

    yang telah memakai sarung tangan steril selama 30 detik yang akan

    menandai titik pungsi tersebut selama satu menit

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    20/28

    9) Anestesi kulit dengan Lidokain

    10) Tusukkan jarum spinal pada tempat yang telah ditentukan. Masukkan

    jarum perlahan menyusuri vertebrae sebelah proksimal dengan mulut

    jarum terbuka ke atas sampai menembus duramater (sensasi terasa

    lepas). Umumnya jarak pada usia dewasa sekitar 6-8 cm

    11)Hubungkan jarum lumbal dengan manometer, untuk mengetahui

    tekanan LCS, normalnya 60-180 mmHg

    12) Lepaskan stylet perlahan dari jarum dan cairan keluar. Untuk

    mendapatkan hasil yang lebih baik, jarum diputar hingga mulut jarum

    mengarah ke kranial. Ambil cairan untuk pemeriksaan dan masukkan

    pada tempat sampel yang sudah disiapkan.

    13) Cabut jarum dan tutup area tusukan dengan plester

    14) Rapikan alat-alat yang sudah digunakan

    15) Cuci tangan steril

    Gambar . Sampling LCS Posisi Lateral Decubitus

    b. Pengiriman dan Penyimpanan

    1) Harus segera dikirim

    2) Sel mulai degenerasi dalam waktu 30 menit

    3) Penundaan pengiriman menyebabkan glukosa turun

    4) Harus segera dilaksanakan setelah pengambilan (terbaik: kurang dari 1

    jam)

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    21/28

    5) Penyimpanan 4C dapat memperlambat degenerasi sel dan kimia

    6) Pemeriksaan mikrobiologi harus segera dilakukan jangan disimpan

    dalam suhu dingin karena menghambat Neisseria meningitidis &Haemophilus influenzae. Sampel sebaiknya dalam suhu kamar.

    7) Sisa spesimen dibekukan -20C untuk pemeriksaan kimiawi, serologi &

    materi genetik tambahan

    f. Perawatan pasca pemeriksaan

    a. Pasien berbaring datar (sudut elevasi tidak lebih dari 30o) dengan hanya

    1 bantal untuk mengurangipost-dural puncture headache

    b. Anjurkan pasien tidur datar selama 6-12 jam setelah dilakukan prosedur

    c. Observasi tempat penusukan, apakah terjadi kebocoran untuk 4 jam

    pertama setelah pemeriksaan

    d. Observasi pasien berhubungan dengan orientasi, gelisah, perasaan

    mengantuk, mual, kelemahan tungkai untuk 4 jam pertama setelah

    pemeriksaan

    e. Anjurkan pasien melapor kepada dokter atau perawat bila terjadi nyeri

    kepala dan berikan obat analgesik sesuai dosi

    g. Interpretasi

    a. Nilai Normal

    1) Tekanan : 50-180 cm H2O

    2) Warna : transparan bening

    3) Eritrosit : -

    4) Leukosit : 0-5 sel/L atau 0-5 x 106 sel/L atau 0-5 x 103/mL

    5) Protein : 1545 mg/dl atau 0,15-0,45 gr/L SI unit (sekitar 70 mg/dl

    pada anak-anak dan lansia)

    6) Glukosa : 50-75 mg/dl (2,8-4,2 mmol/L SI unit atau 60-70 % dari

    glukosa darah plasma)

    7) Klorin : 700-750 mg/dl (110-125 mEq/L atau mmol/L SI unit)

    8) Glutamine : 6-15 mg/dl

    9) Laktat :

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    22/28

    b. Nilai Abnormal

    Interpretasi Abnormal

    Meningkat Menurun

    Leukosit Abses, infeksi akut, infarkcerebri, meningitis, penyakit

    demyelinisasi, tumor

    -

    Eritrosit Trauma, perdarahan -

    Klorid - Meningitis, Tuberculosis

    Glukosa Hiperglikemia sistemik Infeksi bakteri, infeksi

    jamur, meningitis,

    tuberculosis, post

    subarachnoid

    hemorrhagik

    Tekanan Perdarahan, infeksi, trauma,

    tumor

    Koma diabetikum, syok,

    sinkop, tumor medulla

    spinalis

    Protein Darah dalam LCS, DM,

    perdarahan, infeksi,

    polineuritis, sifilis, trauma,

    tumor

    Penurunan drastis

    produksi LCS

    Gamma-

    Globulin

    Neurosifilis, sindroma

    Guillain Barre, Multiple

    Sclerosis

    -

    Warna LCS 1. Kemerahan : perdarahan subarachnoidea,

    intracerebral, intraventricular ; obstruksi medulla

    spinalis

    2. Keruh : infeksi, adanya protein dalam LCS

    3. Xantokrome : peningkatan protein, breakdown

    eritrosit lama

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    23/28

    h. Komplikasi

    a. Nyeri kepala hebat akibat kebocoran LCS

    b. Meningitis akibat masuknya bakteri ke LCS

    c. Paresthesia pada bokong atau tungkai

    d. Luka pada medulla spinalis

    e. Herniasi otak.

    f. Hematom subdural atau ekstradural

    g. Infeksi

    h. Kematian

    5. Penatalaksanaan

    1. Menjaga stabilitas cairan dan gejala lain Perbaiki keadaan umum)

    2. Jangan sampai pasien mengalami kejang, beri profilaksis kejang.

    Kejang otak hipoksia Prosesnya akan cepat

    Outcome kejang: Hipoksia, sehingga akan menyebabkan cedera sekunder

    lebih membunuh dibanding primernya).

    3. Mencari penyebab/etiologi

    4. Innitial plan : Diberi antibiotik empirik dahulu

    5. Kulur dan sensitivitas test (gold standar umtuk pemberian antibiotik)

    PENATALAKSANAAN MENINGOENSEFALITIS TB

    FARMAKOLOGI

    a. OAT

    Pasien di kasus ini termasuk pasien TB paru kasus baru dan ekstra paru

    berat sehingga harus diberikan 4 jenis OAT kategori 1 dengan modifikasiaturan pakai. Berbeda dengan aturan kategori 1 pada umumnya, pada

    meningoensefalitis TB dianjurkan untuk memakai 2RHZS/7-10RH. Pada

    aturan ini etambutol digantikan dengan streptomisin karena obat-obatan

    yang dipakai harus dapat menembus sawar darah otak, sedangkan

    etambutol tidak bisa. Dosis OAT yang direkomendasikan yaitu :

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    24/28

    (WHO Guidelines Treatment of Tuberculosis, 2008)

    b. Adjuvant steroid

    Kortikosteroid diberikan dengan indikasi penurunan kesadaran atau defisit

    neurogis fokal, yang biasa digunakan pada kasus meningoensefalitis TB

    adalah dexamethason 10 mg bolus intravena kemudian 4x5mg intravenaselama 2 minggu berikutnya dan diturunkan perlahan selama 1 bulan atau

    prednisone dengan dosis 2 mg/kg/hari selama 4 minggu lalu dosis

    diturunkan dalam 1-2 minggu sebelum dihentikan. Fungsinya adalah

    sebagai antiinflamasi bagi meninges, membersihkan eksudat dari ruang

    subarachnoid, menurunkan edema serebri, dan mencegah komplikasi.

    Penggunaan obat ini akan memperbaiki outcome dan meningkatkan

    harapan hidup pasien meningoensefalitis TB (Cochrane Database Syst

    Rev, 2008).

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    25/28

    Informasi VI

    Terapi :

    - IVFD Asering 20 tpm

    - O2 4 liter/menit

    - Dexametason IV bolus 0,3 mg/kgBB/hari

    - Diazepam 10 mg IV pelan

    - Phenitoin 3 x 100 mg IV

    - Paracetamol 3 x 500 mg (jika panas)

    - Causa :

    Tahap 1 (2 bulan)

    Isonoazid 300 mg

    Rimfapicin 600 mg

    Pirazinamid 2 gr

    Etambutol 750 mg

    Tahap lanjut (70-10 bulan)

    Isoniazid 300 mg

    Rimpaficin 600 mg

    Informasi VII

    Diagnosis Klinik

    Penurunan kesadaran, meningeal sign (+), parese N. III, N. IV, parese N.

    VII sinistra tipe sentral.

    Diagnosis Topik

    Meningeal, enchepalon

    Diagnosis Etiologi

    Meningoensefalitis e.c tuberculosa

    Diagnosa Banding

    1. Meningoensefalitis e.c virus

    2. Meningoensefalitis e.c parasit

    Prognosis :

    Fungsional : dubia ad malam

    Vitam : dubia ad malam

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    26/28

    Sanam : dubia ad malam

    BAB III

    KESIMPULAN

    Meningoenchepalitis adalah suatu penyakit yang menyerang sistem saraf

    pusat (SSP) yang terjadi akibat adanya infeksi yang ditimbulkan oleh agen-agen

    infeksi seperti bakteri, virus, atau jamur. Pada pasien ini, infeksi pada SSP terjadi

    akibat adanya penyebaran dari infeksi Mycobacterium tuberculosis yang

    sebelumnya menginfeksi paru-paru pasien dan menimbulkan manifestasi klinis

    penyakit tuberkulosis. Bakteri yang menyebar sampai ke SSP ini kemudian

    menginfeksi lapisan meningens pada otak hingga menimbulkan tanda-tanda

    meningitis bahkan enchepalitis karena telah terjadi gangguan pada saraf-saraf

    kranial.

    Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien tersebut yaitu dengan anamnesis,

    pemeriksaan fisik yang hasilnya diperoleh tanda iritasi meningeal, pemeriksaan

    neurologis, pemeriksaan kekuatan motorik, pemeriksaan laboratorium yang

    meliputi tes darah lengkap, dan LCS, dan pemeriksaan radiologi yang

    menggambarkan adanya gambaran TB millier pada paru kanan dan kiri.

    Dari pemeriksaan tersebut dapat ditegakkan diagnosis sebagai berikut:

    Diagnosis klinis : penurunan kesadaran, meningeal sign (+), parese N. III, N.

    VI, parese N. VII tipe sentral

    Diagnosis topis : meningeal, enchepalon

    Diagnosis etiologi : meningoenchepalitis et causa tuberculosa

    Penatalaksanaan yang dilakukan terhadap pasien tersebut adalah dengan

    mengatasi kegawatan yang ada serta terapi kausatif dengan pemberian obat. Untukmengatasi penyebab utamanya yaitu TB, maka pasien diwajibkan meminum OAT

    selama 2 bulan fase intensif dan 7-10 bulan fase lanjutan. Selain itu, pasien dan

    keluarganya kemudian diberi edukasi perubahan gaya hidup, pengetahuan tentang

    penyakit, penyesuaian keadaan psikologis, pemantauan penyakit tuberculosis,

    pemantauan minum obat

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    27/28

    DAFTAR PUSTAKA

    Baehr M., Frotscher M. 2010. Diagnosis Topik Neurologi DUUS Anatomi,

    Fisiologi, Tanda, Gejala ed 4. Jakarta : EGC

    Behrman, Richard E dkk (Eds). 1999. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Volume 1.

    Terjemahan oleh: A. Samik Wahab (Ed) dari Nelson Textbook of Pediatrics

    15/E . Jakarta: EGC.

    Bickley, Lynn S. 2008. Sistem Saraf. Dalam Buku Saku Pemeriksaan Fisik dan

    Rowayat Kesehatan Bates. Jakarta : EGC

    Ceylan. E, & Gencer. M, . 2005. Miliary Tuberculosa Associated with Multiple

    Intracranial Tuberculomas. Tohoku J. Exp.Med.205(4), 367-370.

    Lumbantobing, S. M., 2011. Neurologi klinik Pemeriksaan Fisik dan Mental.

    Jakarta : FKUI.

    Manoj K. Goel etc . 1997. Miliary tuberculosis with brain tuberculomas a rare

    presentation.Ind J Tub. 44: 87.

    Netter, Frank H., John A. Craig, James Perkins, John T. Hansen, Bruce M.

    Koeppen. 2002. Atlas of Neuroanatomy and Neurophysiology. USA : Icon

    Custom Communication.

    Price, S.A., L.M. Wilson. 2005. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses

    Penyakit. Jakarta: EGC.

    Ravindra, K. 1996. Diagnosis of Intra cranial Tuberkuloma. Department of

    Neurology, King Georges Medical College, Lucknow.Ind. J. Tub.43: 35.

    Rizal T. Rumawas. 2000. Patologi dan patofisiologi gangguan kesadaran..

    Jakarta: Simposium Koma.

    Snell, R.S. 2006. Neuroanatomi Klinik untuk Mahasiswa Kedokteran. Edisi 5.

    Jakarta: EGC.

    Snell, Richard S. 1996.Neuroanatomi Klinik ed 2. Jakarta : EGC

    WHO 2008 Guidelines Treatment of Tuberculosis Cochrane Database Syst Rev

    2008

  • 7/30/2019 PBL 2 NSS fix

    28/28