89
PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL (UN) DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION (Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur) SKRIPSI Oleh : LIA PUTIKASARI K6404005 PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2010

PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN …... · mengetahui jawaban yang lengkap dan mendalam ditambah dengan observasi langsung ... (1) pelanggaran dan tindak kejahatan dalam

Embed Size (px)

Citation preview

PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN

NASIONAL (UN) DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION

(Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur)

SKRIPSI

Oleh :

LIA PUTIKASARI

K6404005

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

2

PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN

NASIONAL (UN) DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION

(Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur)

Oleh :

LIA PUTIKASARI

K6404005

Skripsi

Ditulis dan Diajukan Untuk Memenuhi Syarat Mendapatkan Gelar Sarjana

Pendidikan Program Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan

Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial

PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2010

3

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan Tim Penguji

Skripsi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Surakarta.

Persetujuan Pembimbing

Pembimbing I Pembimbing II

Dra. Hj.CH Baroroh, M. Si. Drs. H. Utomo, M.Pd NIP. 19520706 198004 2 001 NIP. 19491108 197903 2 001

4

HALAMAN PENGESAHAN

Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan Tim Penguji Skripsi Fakultas

Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret Surakarta dan diterima

untuk memenuhi persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan

Pada hari :

Tanggal :

Tim Penguji Skripsi:

Nama Terang Tanda Tangan

Ketua : Dr. Sri Haryati, M. Pd

Sekretaris : Drs. Machmud AR, S.H, M. Si

Anggota I : Dra. Ch Baroroh, M. Si

Anggota II : Drs. H. Utomo, M. Pd

Disahkan oleh

Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret

Dekan,

Prof. Dr. M. Furqon Hidayatullah, M.Pd. NIP 19600727 198702 1 001

5

ABSTRAK

Lia Putikasari. PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN NASIONAL (UN) DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION (Studi Kasus di SMK PGRI 4 NGAWI JAWA TIMUR). Skripsi, Surakarta : Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan. Universitas Sebelas Maret Surakarta, Februari 2010. Tujuan Penelitian ini adalah untuk mengetahui : (1) Terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur, (2) Bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila dilihat dari perspektif civic education, (3) Cara mencegah pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dan obyek penelitiannya adalah Wakil kepala sekolah, Guru, Karyawan, Mantan para siswa dan Orang tua mantan para siswa SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Tehnik pengumpulan data yang di gunakan melalui wawancara secara mendalam untuk mengetahui jawaban yang lengkap dan mendalam ditambah dengan observasi langsung dan mencatat dokumen.

Kesimpulan yang di dapat dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa (1) pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN terjadi akibat standar kelulusan siswa yang tinggi alasan lain yang mengakibatkan banyaknya pelanggaran hingga terjadinya kejahatan karena adanya kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak di antara siswanya yang tidak lulus, (2) Bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur berupa Penggelapan Naskah Ujian Nasional, apabila dilihat dari perspektif civic education maka telah menyimpang dari kompetensi dasar dalam civic education yaitu pertama civic knowledge bahwa oknum-oknum yang melakukan tindakan kejahatan adalah oknum pejabat sekolah yang kedudukannya sebagai pendidik menunjukkan kurangnya pengertian mengenai pengetahuan kewarganegaraan seharusnya seorang pendidik memiliki atau membekali dirinya dengan pengetahuan kewarganegaraan, kedua civic dispositions tindakan yang dilakukan pendidik tersebut karena rendahnya pengertian arti nilai-nilai yang terkandung dalam civic education, misalnya tidak adanya kesadaran secara pribadi untuk bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan karena seharusnya pendidik mampu memberikan contoh, panutan, rujukan dan keteladanan yang baik bagi para peserta didiknya, ketiga civic skills yaitu seharusnya guru mampu berpartisipasi dalam menyukseskan anak didiknya dengan banyak mengadakan tanya jawab, diskusi tentang UN, (3) Cara mencegah pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN yaitu dengan membenahi mutu guru dan peserta didik, meninjau kembali alat ukurnya, membenahi teknik penyelenggaraan dan pengawasan, sangsi tegas kepada si pelanggar, tim-tim independen UN harus betul-betul menjalankan tugas dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab.

6

ABSTRACT Lia Putikasari. THE VIOLATION AND CRIME IN THE NATIONAL EXAMINATION (UN) IMPLEMENTATION VIEWED FROM THE CIVIC EDUCATION PERSPECTIVE (A CASE STUDY ON THE SMK PGRI 4 NGAWI EAST JAVA). Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty. Surakarta Sebelas Maret University, February 2010.

The objective of research is to find out: (1) the occurrence of violation and criminal action in the national examination (UN) implementation in SMK PGRI 4 Ngawi East Java, (2) the form of violation and criminal action in the national examination (UN) implementation in SMK PGRI 4 Ngawi East Java, and (3) the way of coping with the violation and criminal action in the national examination (UN) implementation in SMK PGRI 4 Ngawi East Java.

This research employed a descriptive qualitative method and the research objects were the vice Principal, Teachers, Employees, former students and former students’ parents in SMK PGRI 4 Ngawi East Java. Techniques of collecting data used were in-depth interview for finding out the complete and in-depth answer with direct observation and document recording.

The conclusion obtained from the result of research shows that (1) the violation and criminal action in the national examination (UN) implementation is due to the students’ high passing standard, another reason underlying many violations leading to the criminal action is the school’s concern that the school’s reputation will decline if many students does not pass through the UN, (2) the form of criminal action in the national examination (UN) implementation in SMK PGRI 4 Ngawi East Java constitutes the National Examination text abuse viewed from the civic education perspective has violated the basic competence in civic education including firstly the civic knowledge that the persons committing the criminal action or the school officials whose occupation is as an educator showing the lack of understanding about the citizenship knowledge, he/she should have or equip him/herself with citizenship knowledge, secondly, the civic disposition, the action committed by the educator is because the lack of understanding of the meaning of values containing in the civic education, such as the absence of personally awareness of being responsible corresponding to the provision because the educator should give good exemplar, model, reference and precedent for his/her pupil, thirdly civil skills, the teacher should participate in make his/her students successful by debriefing and discussing about UN, (3) the ways of coping with the violation and criminal action in the implementation of UN include to improve the quality of teacher and students, to review the parameter, to improve the organization and supervision technique, to give firm sanction to the violator, the UN’s independent team really undertakes its task and function fairly and responsibly, to improve the examination system and standard minimum graduation, and to use the education mapping.

7

MOTTO

“Ikhlas disetiap kejadian yang diberikan-NYA, bersyukur atas nikmatNYA,

bersabar atas ujian-NYA, ridho akan keputusan-NYA”

( aa’ gym )

8

PERSEMBAHAN

Karya ini dipersembahkan kepada:

· Allah SWT yang telah memberi karunia,

jalan kemudahan serta rahmad Nya bagi

penulis untuk selalu berusaha menjadi

yang terbaik

· Bapak dan Ibu terimakasih atas doa,

semangat dan kasih sayangnya

· M.dwi dan Azza, Suami dan Putra

Tercinta

· Rike dan Ridwan, Adik tersayang

· Teman-teman PKn angkatan 2004

· Almamater.

9

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT karena berkat rahmat

dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan untuk memenuhi

sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Kewarganegaraan.

Banyak hambatan yang menimbulkan kesulitan dalam penyelesaian

penulisan skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya

kesulitan-kesulitan yang timbul dapat diatasi. Untuk itu, atas segala bentuk

bantuannya penulis mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:

1. Dr.rer.nat.Sajidan, M. Si., Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan

Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah memberi izin penyusunan

skripsi.

2. Drs. Saiful Bachri, M. Pd., Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan

Sosial FKIP UNS yang telah memberikan izin penyusunan skripsi.

3. Dr. Sri Haryati, M. Pd., Ketua Program Pendidikan Kewaganegaraan yang

telah memberikan izin penyusunan skripsi kepada penulis serta membantu

penulis dalam menyelesaikan studi.

4. Dra. Hj. CH Baroroh, M. Si., Pembimbing I yang telah membimbing penulis

selama ini dengan penuh perhatian dan kesabaran.

5. Drs. H. Utomo, M. Pd., Pembimbing II yang telah memberikan bimbingan dan

arahan kepada penulis.

6. Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas

Sebelas Maret Surakarta, khususnya Program Pendidikan Kewaganegaraan

yang telah memberikan sebagian ilmunya kepada penulis dengan tulus ikhlas

selama ini.

7. Wakil Kepala Sekolah SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang telah

memberikan izin kepada penulis untuk melakukan penelitian.

8. Semua pihak yang telah membantu penulis demi lancarnya penulisan skripsi

ini.

Semoga amal kebaikan semua pihak mendapatkan imbalan dari Allah

SWT.

10

Penyusunan skripsi ini telah berusaha semaksimal mungkin, namun

penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat kekurangan, karena

keterbatasan penulis. Dengan segala rendah hati penulis mengharapkan kritik dan

saran yang bersifat membangun untuk menyempurnakan skripsi ini.

Penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi perkembangan ilmu

pengetahuan dan juga dunia pragmatika.

Surakarta, Februari 2010

Penulis

11

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ....................................................................................... i

HALAMAN PENGAJUAN............................................................................. ii

HALAMAN PERSETUJUAN......................................................................... iii

HALAMAN PENGESAHAN.......................................................................... iv

HALAMAN ABSTRAK.................................................................................. v

HALAMAN ABSTRAC.................................................................................... vi

HALAMAN MOTTO ..................................................................................... vii

HALAMAN PERSEMBAHAN ..................................................................... viii

KATA PENGANTAR .................................................................................... ix

DAFTAR ISI.................................................................................................... xi

DAFTAR TABEL............................................................................................ xiv

DAFTAR GAMBAR ....................................................................................... xv

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... xvi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah................................................................. 1

B. Rumusan Masalah .......................................................................... 6

C. Tujuan Penelitian ........................................................................... 6

D. Manfaat Penelitian ......................................................................... 6

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka ............................................................................ 8

1. Ujian Nasional dalam Konteks Pendidikan Nasional ............. 8

a. Hakekat Pendidikan Nasional ........................................... 8

b. Tinjauan tentang Ujian Nasional ....................................... 12

2. Tinjauan tentang Tindak Pidana .............................................. 16

a. Pengertian Tindak Pidana .................................................. 16

b. Penggolongan Tindak Pidana ............................................ 17

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana ................................................. 19

d. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam

Kelompok Kejahatan ......................................................... 19

12

e. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam

Kelompok Pelanggaran ..................................................... 20

f. Tinjauan tentang Pencurian................................................ 21

g. Tinjauan tentang Penggelapan .......................................... 24

3. Konsep Civic Education .......................................................... 26

a. Pengertian Civic Education .............................................. 26

b. Kompetensi Dasar Civic Education .................................. 28

c. Tujuan Civic Education .................................................... 28

4. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN .. 29

5. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN

di lihat dari Perspektif Civic Education .................................. 32

B. Kerangka Berpikir.......................................................................... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

A. Tempat dan Waktu Penelitian ........................................................ 36

B. Bentuk dan Strategi Penelitian....................................................... 37

C. Sumber Data Penelitian ................................................................. 38

D. Teknik Sampling (cuplikan) .......................................................... 39

E. Teknik Pengumpulan Data ............................................................ 40

F. Validitas Data ................................................................................ 42

G. Analisis Data .................................................................................. 43

H. Prosedur Penelitian ....................................................................... 44

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian .......................................................... 46

B. Deskripsi Hasil Penelitian.............................................................. 49

C. Temuan Studi ................................................................................. 71

BAB V KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. Kesimpulan ................................................................................... 75

B. Implikasi......................................................................................... 76

C. Saran .............................................................................................. 78

13

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... 80

DAFTAR LAMPIRAN.................................................................................... 82

14

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Jadual Kegiatan Penelitian................................................................. 36

15

DAFTAR GAMBAR Gambar 1: Bagan Kerangka Pemikiran .......................................................... 35

Gambar 2: Model Analisis Interaktif ............................................................... 44

16

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 : Data Informan............................................................................. 82

Lampiran 2 : Surat Putusan Pengadilan Ngawi .............................................. 84

Lampiran 3 : Pedoman Wawancara ................................................................. 88

Lampiran 4 : Hasil Wawancara........................................................................ 89

Lampiran 5 : Noda di Ujian Nasional ............................................................. 96

Lampiran 6 : Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi Kepada

Dekan FKIP UNS ...................................................................... 102

Lampiran 7 : Surat Keputusan Dekan FKIP UNS Tentang Ijin

Penyusunan Skripsi/ Makalah................................................... 103

Lampiran 8 : Surat Permohonan Ijin Research/ Try Out Pada Rektor

UNS ......................................................................................... 104

Lampiran 9: Surat Permohonan Ijin Penelitian Kepada Kepala SMK PGRI 4

Ngawi Jawa Timur ..................................................................... 105

Lampiran 10: Surat Keterangan telah Melakukan Penelitian

dari SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur …………………………… 106

17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Keputusan pemerintah melalui Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang

Ujian Akhir Nasional, dengan menghapuskan EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap

Akhir Nasional) kemudian menggantinya dengan UAN (Ujian Akhir Nasional)

dan lalu menjadi Ujian Nasional (UN) mendapat banyak sorotan dari berbagai

kalangan. Pemerintah sendiri khususnya Departemen Pendidikan Nasional

mempunyai alasan tersendiri, yaitu ingin mengetahui keadaan yang sesungguhnya

atas pendidikan

Berdasarkan kajian terhadap UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem

Pendidikan Nasional dan Kepmendiknas No. 153/U/2003 tentang Ujian Akhir

Nasional, Koalisi Pendidikan menemukan beberapa kesenjangan.

Mereka menilai UAN hanya mengukur satu aspek kompetensi kelulusan yakni

aspek kognitif. Padahal menurut penjelasan pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas (Pasal

35 ayat 1 UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional),

kompetensi lulusan seharusnya mencakup tiga aspek yaitu aspek sikap (afektif),

pengetahuan (kognitif), dan keterampilan (psikomotorik). Dalam kaitannya

dengan mutu pendidikan, UAN hanya melakukan evaluasi terhadap peserta didik.

Padahal, menurut pasal 57 UU Sisdiknas (Pasal 57 UU No. 20 Tahun 2003

tentang Sistem Pendidikan Nasional), mutu pendidikan seharusnya didasarkan

pada evaluasi yang mencakup peserta didik, lembaga, dan program pendidikan.

Mereka juga menilai bahwa UAN mengabaikan muatan kurikulum yang

menganut prinsip kemajemukan potensi daerah dan peserta didik. Sebab menurut

pasal 36 ayat 2 UU Sisdiknas, kurikulum harus dikembangkan dengan

menggunakan prinsip kemajemukan (diversifikasi) potensi daerah dan potensi

peserta didik. UAN juga telah merampas kewenangan pendidik/ guru dan sekolah

untuk melakukan evaluasi hasil belajar dan menentukan kelulusan peserta didik.

Menurut pasal 58 ayat 1 dan pasal 61 ayat 2 UU Sisdiknas, evaluasi hasil belajar

18

dan penentuan kelulusan peserta didik dilakukan oleh pendidik/ guru dan satuan

pendidikan/ sekolah.

Terlepas dari pro dan kontra seputar UAN (Ujian Akhir Nasional) yang

tahun 2005 ini berubah nama menjadi UN (Ujian Nasional), pemerintah tetap

teguh pada kebijakannya untuk memberlakukan Ujian Nasional di tahun-tahun

mendatang. Berikut ini, informasi singkat sejak UN mulai diberlakukan dan

rencana pemerintah di tahun 2006 mendatang. Dinamika pelaksanaan Ujian

Nasional berkembang dari tahun ke tahun.

Pada awal April 2003, pemerintah menetapkan kebijakan baru tentang

Ujian Akhir Nasional (UAN). Siswa SMP dan SMA atau sekolah sederajat peserta

UAN 2003 yang memiliki nilai ujian kurang dari tiga dinyatakan tidak lulus.

“Ketentuan tersebut bertujuan untuk meningkatkan mutu pendidikan dasar dan

menengah,” demikian kata Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen)

Depdiknas Indra Djati Sidi di tengah-tengah maraknya pro dan kontra berkaitan

dengan UAN ini.

Pada tahun-tahun sebelumnya, ujian yang diselenggarakan dinamakan

EBTANAS (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional). Siswa dinyatakan lulus jika

nilai rata-rata seluruh mata pelajaran yang diujikan dalam EBTANAS adalah

enam, meski terdapat satu atau beberapa mata pelajaran bernilai di bawah tiga.

Namun, mulai 2003, siswa kelas 3 SMP dan 3 SMA harus belajar lebih keras agar

nilai murni UAN tidak kurang dari angka tiga karena soal Ujian Akhir Nasional

dibuat oleh Depdiknas dan pihak sekolah tidak bisa mengatrol nilai UAN.

Para siswa yang tidak lulus UAN masih diberi kesempatan untuk

mengikuti ujian ulangan UAN selang satu minggu sesudahnya. Jika dalam ujian

ulangan UAN siswa tetap memiliki nilai kurang dari angka tiga, maka dengan

terpaksa mereka dinyatakan tidak lulus atau hanya dinyatakan tamat sekolah. Hal

ini bisa dilihat dari fakta di lapangan. Tiga persen (828 siswa) dari 26.252 siswa

SMA/MA di propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dinyatakan tidak lulus.

Sedangkan untuk jenjang SMP/MTs, 1.700 siswa (sekitar 3,7 persen) dari total

peserta Ujian Akhir Nasional sebanyak 46.475 siswa, dinyatakan tidak lulus.

19

Dalam rangka untuk lebih meningkatkan mutu pendidikan nasional, pada

tahun 2004 Departemen Pendidikan Nasional kembali menaikkan standar

kelulusan dari 3,01 menjadi 4,01. Sebenarnya angka nilai minimal 4,01 ini

terbilang masih sangat rendah bila dibandingkan dengan negara-negara lain yang

lebih maju yang mempunyai batas minimal nilai enam. Depdiknas juga

mengeluarkan keputusan ‘berani’ dengan ditiadakannya Ujian Ulang UAN bagi

siswa yang tidak mencapai batas minimal kelulusan. Artinya, bagi siswa yang

gagal meraih angka lebih dari 4,01 maka siswa yang bersangkutan harus

mengulang tahun depan atau dinyatakan tidak lulus.

Reaksi terhadap keputusan tentang Ujian Nasional ini sampai saat ini

belum berhenti. Namun pada dasarnya, Dalam Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Ujian Nasioanal

Tahun Pelajaran 2005/2006 pasal 4 menyebutkan bahwa “Ujian Nasional

bertujuan untuk menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata

pelajaran yang ditentukan dari kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan

teknologi, dalam rangka pencapaian standar nasional pendidikan” (Departemen

Pendidikan Nasional, 2005: 3). Lebih lanjut dalam Permendagri tersebut

dijelaskan tentang manfaat dari Ujian Nasional tersebut sebagaimana disebutkan

berikut :

Hasil ujian nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk: 1. penentuan kelulusan peserta didik dari suatu satuan pendidikan; 2. seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya; 3. pemetaan mutu satuan dan/atau program pendidikan; 4. akreditasi satuan pendidikan; 5. pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam upaya

peningkatan mutu pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 3).

Berkaitan dengan nilai penting tentang hasil Ujian Nasional ini, maka

pengawasan di ruang ujian dilakukan oleh tim pengawas ujian nasional dengan

sistem silang murni antarsekolah/madrasah.

Lebih lanjut dijelaskan dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasionall Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006) Pasal 13

bahwa :

1. Sekolah penyelenggara ujian nasional harus melibatkan dua orang unsur independen dalam pelaksanaan ujian.

20

2. Tugas unsur independen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah memantau penerimaan dan penyimpanan soal, pelaksanaan pengawasan ujian nasional, pengumpulan lembar jawaban, pengiriman lembar jawaban ke penyelenggara ujian nasional kabupaten/kota (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 7).

Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi ini menyebabkan terjadinya

berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di hampir

seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang mengakibatkan banyaknya

pelanggaran dalam UN ini adalah kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama

baik sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya

yang tidak lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu

sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak yang

tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan

berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan murid. Kekhawatiran

juga melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak lulus adalah adanya

demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus dan tindakan anarkis dari siswa yang

tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi Dinas Pendidikan Kota akan turun dan

dianggap tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan karena prosentase

kelulusan yang kecil.

Berbagai pelanggaran pada UN terjadi ketika bahan UN telah

didistribusikan ke sekolah atau madrasah pada hari terjadinya UN, bukan pada

tahap pendistribusian dari tingkat pusat, percetakan, propinsi hingga ke

kabupaten/kota. Pelanggaran terjadi ketika bahan UN dijemput oleh sekolah

penyelenggara. Soal- soal Ujian diambil sekitar pukul 05.00 subuh, waktu yang

tersedia antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 07.30 digunakan oleh oknum

guru atau kepala sekolah untuk membuka amplop soal UN, mengerjakannya, serta

menutup kembali amplop tersebut. Jawaban inilah yang nanti beredar dalam

bentuk SMS dan contekan kecil yang dibawa masuk ke ruang ujian oleh guru

sekolah penyelenggara atau ditulis di papan tulis di ruang ujian.

Pelanggaran lain yang ditemukan adalah ada sekolah yang sengaja

mendesain kelasnya hanya berjumlah kurang dari 20 orang sehingga ada sisa soal

di kelas itu. Padahal menurut Prosedur Operasional Standar (POS), sisa soal

21

harus segera disimpan. Namun sisa soal tersebut dikerjakan dan jawabannya

diedarkan dalam bentuk SMS dan contekan kecil ke seluruh peserta ujian.

Selain bentuk pelanggaran-pelanggaran di atas, ada pula kasus

penggelapan naskah soal UN oleh oknum kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi

Jawa Timur (Seputar Indonesia, 15 Juni 2007 Hal 5). Kasus ini termasuk dalam

tindak pidana kejahatan, dimana telah disidangkan di Pengadilan Negeri Ngawi,

Jawa Timur. Selain kepala sekolah tersebut, yang ikut menjadi terdakwa adalah,

Guru dan Kepala Staff Tata Usaha. Dalam sidang tersebut diketahui motif

terdakwa melakukan penggelapan naskah soal UN karena ingin meluluskan semua

siswanya dan bukan untuk menjual soal tersebut. Karena sebagai kepala sekolah,

dia ditargetkan untuk meluluskan sebanyak 96% dari seluruh siswa. Siswa SMK

yang menjadi peserta UN adalah sebanyak 484 siswa. Niat menggelapkan naskah

ujian muncul pada saat mereka mendapat tugas mengambil naskah ujian dari

Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk kemudian diamankan di Polres Ngawi.

Seluruh terdakwa saat itu adalah rombongan yang berada dalam satu mobil.

Karena saat itu tidak ada polisi yang ikut dalam rombongan, lalu timbullah niat

untuk menggelapkan.

Mengenai pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan ujian

nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau

sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari, ternyata dalam pelanggaran

ujian nasional ada kasus oknum pejabat sekolah yang kedudukannya sebagai

pendidik seharusnya menunjukkan kelakuan yang layak sesuai harapan

masyarakat, dan seorang guru di harapkan berperan sebagai teladan dan rujukan

dalam masyarakat, khususnya bagi anak didik yang dia ajar. Bahwa seorang guru

yang memiliki kewajiban sebagai pendidik bagi anak didiknya dan seharusnya

memberikan contoh yang baik, dalam hal ini telah melakukan perbuatan yang

tidak patut di contoh yaitu menggelapkan naskah Ujian Nasional hal ini termasuk

dalam tindak kejahatan, menyangkut dengan tindakan tersebut berarti guru itu

telah melanggar nilai kode etik seorang guru dimana nilai-nilai moral telah di

langgar selain itu telah melanggar ketentuan hukum pidana yang telah termuat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu perbuatan

22

Penggelapan barang, dalam kasus ini yang di gelapkan adalah Naskah Ujian

Nasional. Penggelapan barang tergolong dalam tindak Kejahatan yang melanggar

pasal 372 KUHP. Tindakan tersebut telah menjatuhkan harkat dan martabat

seorang guru sebagai pendidik. Jika dilihat dari kasus tersebut maka tidak

mencerminkan adanya sikap yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang

individu dan sosial selain itu tindakan tersebut tidak mencerminkan peranan

warga negara yaitu salah satunya Kewajiban yang sama bagi setiap warga negara

untuk menjunjung/ mematuhi hukum dan pemerintahan.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti

PELANGGARAN DAN KEJAHATAN DALAM PELAKSANAAN UJIAN

NASIONAL DI LIHAT DARI PERSPEKTIF CIVIC EDUCATION (Studi Kasus

di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur).

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, maka agar

permasalahan dapat di bahas secara operasional dan sesuai dengan sasaran

penelitian yang diharapkan maka dapat di rumuskan beberapa permasalahan

sebagai berikut :

1. Mengapa terjadi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK

PGRI 4 Ngawi Jawa Timur?

2. Bagaimanakah bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di

SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila di lihat dari perspektif Civic Education?

3. Bagaimana cara mengatasi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian

Nasional yang terjadi di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur?

C. Tujuan Penelitian

Dalam melakukan sebuah penelitian, pasti mempunyai tujuan yang

hendak di capai. Demikian pula dalam penelitian ini, penulis melakukan

penelitian dengan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian

Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur.

2. Untuk mengetahui bentuk pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian

Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila di lihat dari perspektif Civic Education.

23

3. Untuk mengetahui cara mengatasi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian

Nasional yang terjadi di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur.

D. Manfaat Penelitian Dalam melakukan sebuah penelitian, di harapkan hasil penelitian dapat memberikan

manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah :

1. Manfaat teoritis

Manfaat teoritis yang dapat diambil yaitu:

a. Penelitian yang dilaksanakan diharapkan berguna untuk memberikan kontribusi terhadap

pengembangan ilmu pendidikan, khususnya Civic Education atau Pendidikan

Kewarganegaraan (PKn) yang berkaitan dengan pelanggaran dan tindak kejahatan dalam

pelaksanaan Ujian Nasional.

b. Bagi perguruan tinggi, diharapkan dapat digunakan untuk menambah khazanah kekayaan

literatur di bidang pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional.

c. Sedangkan bagi peneliti, dapat digunakan untuk memperluas wawasan dan pengalaman nyata

di bidang ilmu pendidikan.

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis yang dapat diambil yaitu:

Hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi para praktisi (termasuk

penegak hukum) maupun para pengambil kebijakan sebagai bahan masukan guna

memperbaharui peraturan perundang-undangan sehingga implementasi dan

penerapannya dapat berjalan lebih baik sesuai dengan Hak dan Kewajiban Warga

Negara. Selain itu, hasil penelitian ini juga dapat dijadikan sebagai bahan ilmiah

dalam penelitian lebih lanjut di masa yang akan datang.

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka

1. Ujian Nasional dalam Konteks Pendidikan Nasional

a. Hakekat Pendidikan Nasional

Pada hakekatnya pendidikan dalam konteks pembangunan nasional

mempunyai fungsi sebagai : pemersatu bangsa, penyamaan kesempatan dan

pengembangan potensi diri. Pendidikan diharapkan dapat memperkuat keutuhan

bangsa dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, memberi kesempatan yang

sama bagi setiap warga negara untuk berpartisipasi dalam pembangunan, dan

24

memungkinkan setiap warga negara untuk mengembangkan potensi yang

dimilikinya secara optimal.

Manusia membutuhkan pendidikan dalam kehidupannya. Pendidikan

merupakan usaha agar manusia dapat mengembangkan potensi dirinya melalui

proses pembelajaran dan atau cara lain yang dikenal dan diakui oleh masyarakat.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasal 31 ayat (1)

menyebutkan bahwa setiap warga negara berhak mendapat pendidikan dan ayat

(3) menegaskan bahwa pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu

sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta

akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan

Undang-Undang. Untuk itu seluruh komponen bangsa wajib mencerdaskan

kehidupan bangsa yang merupakan salah satu tujuan negara Indonesia.

Gerakan reformasi di Indonesia secara umum menuntut diterapkannya

prinsip demokrasi, desentralisasi, keadilan dan menjujung tinggi hak asasi

manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Dalam hubungannya dengan

pendidikan, prinsip-prinsip tersebut akan memberikan dampak yang mendasar

pada kandungan, proses dan manajemen sistem pendidikan. Selain itu, ilmu

pengetahuan dan teknologi, berkembang pesat dan memunculkan tuntutan baru

dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam sistem pendidikan.

Tuntutan tersebut menyangkut pembaharuan sistem pendidikan,

diantaranya pembaharuan kurikulum, yaitu diversifikasi kurikulum untuk

melayani peserta didik dan potensi daerah yang beragam, diversifikasi jenis

pendidikan yang dilakukan secara profesional, penyusunan standar kompetensi

tamatan yang berlaku secara nasional dan daerah menyesuaikan dengan kondisi

setempat, penyusunan standar kualifikasi pendidik yang sesuai dengan tuntutan

pelaksanaan tugas secara profesional, penyusunan standar pendanaan pendidikan

untuk setiap satuan pendidikan sesuai prinsip-prinsip pemerataan dan keadilan,

pelaksanaan manajemen pendidikan berbasis sekolah dan otonomi perguruan

tinggi, serta penyelenggaraan pendidikan dengan sistem terbuka dan multimakna.

Pembaharuan sistem pendidikan juga meliputi penghapusan diskriminasi antara

25

pendidikan yang dikelola pemerintah dan pendidikan yang dikelola masyarakat,

serta pembedaan antara pendidikan keagamaan dan pendidikan umum.

Sementara itu Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun

2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional merupakan dasar hukum

penyelenggaraan dan reformasi sistem pendidikan nasional. Undang-undang

tersebut memuat visi, misi, fungsi dan tujuan pendidikan nasional, serta strategi

pembangunan pendidikan nasional, untuk mewujudkan pendidikan yang bermutu,

relevan dengan kebutuhan masyarakat dan berdaya saing dalam kebutuhan global.

Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003

Tentang Sistem Pendidikan Nasional visi, misi, fungsi dan tujuan pendidikan

nasional adalah sebagai berikut:

Visi pendidikan nasional adalah mewujudkan sistem pendidikan sebagai pranata sosial yang kuat dan berwibawa untuk memberdayakan semua warga negara Indonesia agar berkembang menjadi manusia yang berkualitas serta mampu dan proaktif menjawab tantangan jaman yang selalu berubah (Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 24).

Misi pendidikan nasional adalah :

1) Mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan yang bermutu bagi seluruh rakyat Indonesia

2) Meningkatkan mutu pendidikan yang memiliki daya saing di tingkat nasional, regional, dan internasional

3) Meningkatkan relevansi pendidikan dengan kebutuhan masyarakat dan tantangan global

4) Membantu memfasilitasi pengembangan potensi anak bangsa secara utuh sejak usia dini sampai akhir hayat dalam rangka mewujudkan masyarakat belajar

5) Meningkatkan kesiapan masukan dan kualitas proses pendidikan untuk mengoptimalkan pembentukan kepribadian yang bermoral

6) Meningkatkan keprofesionalan dan akuntabilitas lembaga pendidikan sebagai pusat pembudayaan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pengalaman, sikap dan nilai berdasarkan standar yang bersifat nasional dan global

7) Mendorong peran serta masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan berdasarkan prinsip otonomi dalam konteks Negara Kesatuan Negara Indonesia (Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 24).

Berdasarkan visi dan misi pendidikan nasional tersebut, pendidikan

nasional memiliki fungsi dan tujuan yaitu :

Mengembankan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa,

26

dan bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Departemen Pendidikan Nasional, 2003: 25).

Terkait dengan visi dan misi pendidikan nasional tersebut di atas

reformasi pendidikan meliputi hal-hal sebagai berikut :

Pertama: Penyelenggaraan pendidikan dinyatakan sebagai suatu proses pembudayaan dan

pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat, dimana dalam

proses tersebut harus ada pendidik yang mampu memberikan keteladanan dan

mampu membangun kemauan serta mengembangkan potensi dan kreativitas

peserta didik. Prinsip tersebut menyebabkan adanya pergeseran paradigma proses

pendidikan, dari paradigma pengajaran ke paradigma pembelajaran. Paradigma

pengajaran yang lebih menitikberatkan peran pendidik dalam mentrasformasikan

pengetahuan kepada peserta didiknya bergeser pada paradigma pembelajaran yang

memberikan peran lebih banyak kepada peserta didik untuk mengembangkan

potensi dan kreativitas dirinya dalam rangka membentuk manusia yang memiliki

kekuatan spiritual keagamaan, berakhlak mulia, berkepribadian, memiliki

kecerdasan, memiliki estetika, sehat jasmani dan rohani, serta ketrampilan yang

dibutuhkan bagi dirinya masyarakat bangsa dan negara.

Kedua: Adanya perubahan pandangan tentang peran manusia dari paradigma manusia

sebagai sumberdaya pembangunan, menjadi paradigma manusia sebagai subyek

pembangunan secara utuh. Pendidikan harus mampu membentuk manusia

seutuhnya, dimana proses pendidikan harus mencakup : (1) Penumbuhkembangan

keimanan dan ketakwaan (2) Pengembangan wawasan kebangsaan (3)

Penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (4) Pengembangan, penghayatan,

apresiasi, dan ekspresi seni serta (5) Pembentukan manusia yang sehat jasmani

dan rohani. Proses pembentukan manusia di atas pada hakekatnya merupakan

proses pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung

sepanjang hayat.

Ketiga: Adanya pandangan terhadap keberadaan peserta didik yang terintegrasi dengan

lingkungan sosial kulturalnya dan pada gilirannya akan menumbuhkan individu

27

sebagai pribadi dan anggota masyarakat mandiri yang berbudaya. Hal ini sejalan

dengan proses pentahapan aktualisasi intelektual, emosional dan spiritual peserta

didik dalam memahami sesuatu, mulai dari tahapan paling sederhana dan bersifat

eksternal, sampai tahapan yang paling rumit dan bersifat internal, yang berkenaan

dengan pemahahaman dan dirinya dan lingkungan kulturalnya.

Keempat: Dalam rangka mewujudkan visi dan menjalani misi pendidikan nasional,

diperlukan suatu acuan dasar oleh setiap penyelenggara dan satuan pendidikan,

yang antara lain meliputi kriteria dan kriteria minimal berbagai aspek yang terkait

dengan penyelenggaraan pendidikan. dalam kaitan ini kriteria dan kriteria

penyelenggaraan pendidikan dijadikan pedoman untuk mewujudkan : (1)

Pendidikan yang berisi muatan yang seimbang (2) Proses pembelajaran yang

demokratis, mendidik, memotivasi, mendorong kreativitas dan dialogis (3) Hasil

pendidikan yang bermutu dan terukur (4) Berkembangnya profesionalisme

pendidik dan tenaga kepedidikan (5) Tersedianya sarana dan prasarana belajar

yang memungkinkan berkembangnya potensi peserta didik secara optimal (6)

Berkembangnya pengelolaan pendidikan yang memberdayakan satuan pendidikan

dan (7) Terlaksananya evaluasi, akreditasi dan sertifikasi yang berorientasi pada

peningkatan mutu pendidikan secara berkelanjutan.

Pendidikan Nasional adalah Pendidikan yang berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang berakar pada

nilai-nilai agama dan kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap

tuntutan perubahan jaman. Pendidikan Nasional sendiri merupakan

pengembangan dari arti kata Pendidikan, dimana dalam Undang-Undang Republik

Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1

dan 3 menyebutkan pengertian, fungsi dan tujuan pendidikan yaitu :

“Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana

belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan

potensi dirinya untuk menambah kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri,

kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, ketrampilan pada dirinya, masyarakat,

bangsa dan negara. Pendidikan Nasional berfungsi mengembangkan kemampuan

dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka

28

mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta

didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,

berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara

yang demokratis serta bertanggung jawab” (Departemen Pendidikan Nasional,

2003: 1-3).

b. Tinjauan tentang Ujian Nasional

Pada hakekatnya Pendidikan bermuara pada Sistem Pendidikan Nasional

yang telah dicanangkan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan

Nasional melalui Sistem Pendidikan Nasional yang berarti keseluruhan komponen

pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan

nasional.

Di dalam pendidikan nasional itu sendiri terdapat peserta didik selaku

anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan diri melalui proses

pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan tertentu.

Selain peserta didik sudah tentu harus tersedia tenaga kependidikan yang

merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri dan diangkat untuk

menunjang penyelenggaraan pendidikan seperti guru, dosen, konselor, instruktur,

pamong belajar, fasilitator dan lainnya yang turut berpartisipasi dalam

penyelenggaraan pendidikan.

Dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional sebagai

bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang

berkepentingan dilakukan evaluasi terhadap peserta didik, lembaga dan program

pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua jenjang, satuan dan

jenis pendidikan.

Hal ini dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan

perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Evaluasi peserta

didik, satuan pendidikan dan program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri

secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistemik untuk menilai pencapaian

standar nasional pendidikan.

Dalam rangka melaksanakan ketentuan pada pasal-pasal yang tercantum

pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai Sistem Pendidikan

29

Nasional dikeluarkanlah Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19

Tahun 2005 Tentang Standar Pendidikan Nasional yang berbunyi :

Pengertian standar nasional pendidikan adalah kriteria minimal tentang sistem pendidikan di seluruh wilayah hukum Indonesia. Standar nasional pendidikan ini berhubungan erat dengan standar kompetensi lulusan adalah kualifikasi kemampuan lulusan yang mencakup sikap, pengetahuan dan keterampilan (Anonim, 2005: 150).

Standar-standar ini bermacam-macam jenisnya, seperti standar isi,

standar proses, standar pendidik dan tenaga kependidikan, standar sarana dan

prasarana, standar pengelolaan, standar pembiayaan dan standar penilaian.

Untuk memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan pemerintah

tersebut maka dikeluarkanlah Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Mengenai

Ujian Nasional untuk Tahun Pelajaran 2006/2007 yaitu Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006. Peraturan

tersebut dikeluarkan dalam rangka pelaksanaan dari Pasal 67 ayat 3 dan Pasal 72

ayat 2 tentang peraturan pelaksanaannya. Ujian Nasional tersebut merupakan

wujud dari penilaian hasil belajar oleh pemerintah.

Penilaian hasil belajar tersebut bertujuan untuk menilai pencapaian

kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok

mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk Ujian

Nasional. Ujian Nasional tersebut harus dilaksanakan secara obyektif,

berkeadilan, dan akuntabel. Sedangkan untuk pelaksanaannya dapat dilakukan

sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun

pelajaran.

Hasil Ujian Nasional yang terdapat dalam Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Republik Indonesia Nomor 20 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran

2005/2006 Pasal 4 digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:

1) Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan 2) Dasar seleksi masuk jenjang pendidikan berikutnya 3) Penentuan kelulusan peserta didik dari program dan/atau satuan

pendidikan 4) Pembinaan dan pemberian bantuan kepada satuan pendidikan dalam

upayanya untuk meningkatkan mutu pendidikan (Departemen Pendidikan Nasional, 2005: 3).

30

Dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Menteri yaitu Peraturan

Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 maka

Ujian Nasional (UN) yang dilakukan untuk pengukuran standar kompetensi

peserta didik dapat dilaksanakan. Dalam pelaksanaan UN ini dan dalam rangka

pengembangan, pemantauan dan pelaporan pencapaian standar nasional

pendidikan dibentuklah sebuah Badan yang disebut Badan Standar Nasional

Pendidikan (BSNP) yang berkedudukan di ibukota wilayah Negara Republik

Indonesia dan menjalankan tugas dan fungsinya dengan mandiri dan profesional.

BSNP bertugas membantu Menteri dalam mengembangkan, memantau, dan

mengendalikan standar pendidikan nasional. Standar yang dikembangkan oleh

BSNP berlaku efektif dan mengikat semua satuan pendidikan secara nasional

setelah ditetapkan oleh peraturan menteri. Anggota-anggota BSNP ini terdiri dari

ahli-ahli di bidang psikometri, evaluasi pendidikan, kurikulum dan manajemen

pendidikan yang memiliki wawasan, pengalaman, dan komitmen untuk

meningkatkan mutu pendidikan. Tugas dari BSNP ini adalah menyelenggarakan

UN tahun pelajaran 2006/2007, untuk mata pelajaran tertentu yang diikuti oleh

peserta didik SMP, MTs, SMPLB, SMA, MA, SMALB dan SMK. Selain

menyelenggarakan ujian, BSNP juga berwenang untuk mengembangkan standar

pendidikan nasional, memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan

pemerintah daerah dalam penjaminan dan pengendalian mutu pendidikan, serta

merumuskan kriteria kelulusan dari satuan pendidikan pada jenjang pendidikan

dasar dan menengah. Ujian tersebut dilaksanakan sesuai dengan hasil pelajaran

yang telah diterima oleh siswa-siswa dalam jenjang pendidikan seperti yang

tersebut diatas berdasarkan Kurikulum 1994 yaitu adalah kurikulum pendidikan

dasar dan menengah yang sudah berlaku secara nasional sejak tahun pelajaran

1994/1995 berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan

sudah diterapkan secara terbatas mulai tahun ajaran 2001/2002.

Untuk standar kelulusan peserta didik seperti tercantum dalam Pasal 72

Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2005 mengenai Standar Nasional Pendidikan,

31

yaitu : Peserta didik dinyatakan lulus dari satuan pendidikan pada pendidikan

dasar dan menengah setelah :

1) Menyelesaikan seluruh program pembelajaran 2) Memperoleh nilai minimal baik pada penilaian akhir untuk seluruh mata pelajaran kelompok

mata pelajaran agama dan akhlak mulia, kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian, kelompok mata pelajaran estetika, dan kelompok mata pelajaran jasmani, olah raga dan kesehatan.

3) Lulus ujian sekolah/madrasah untuk kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi

4) Lulus ujian nasional (Anonim, 2005: 197).

Kelulusan peserta didik dari satuan pendidikan ditetapkan oleh satuan

pendidikan yang bersangkutan sesuai dengan kriteria yang dikembangkan oleh

BSNP dan ditetapkan dalam peraturan menteri.

Setiap peserta didik jalur formal pendidikan dasar dan menengah dan

pendidikan jalur nonformal kesetaraan berhak untuk mengikuti ujian nasional dan

berhak mengulanginya sepanjang belum dinyatakan lulus dari satuan pendidikan.

Dan hal tersebut dapat dilakukan tanpa dipungut biaya.

Sedangkan menurut peraturan Menteri Pendidikan Nasional ukuran

kelulusan peserta didik adalah jika memenuhi standar kelulusan UN sebagai

berikut : memiliki nilai rata-rata minimal 5,00 untuk seluruh mata pelajaran yang

diujikan, dengan tidak ada nilai di bawah 4,25 atau memiliki nilai minimal 4,00

pada salah satu mata pelajaran dengan nilai dua mata pelajaran lainnya minimal

6,00.

Pengertian Ujian Nasional Menurut Peraturan Menteri Pendidikan

Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 Tentang Ujian Nasional

Tahun Pelajaran 2006/2007 menyebutkan bahwa:

“ Ujian Nasional yang selanjutnya disebut UN adalah kegiatan pengukuran dan

penilaian kompetensi peserta didik secara nasional untuk jenjang pendidikan dasar

dan menengah” (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 2).

Sedangkan Tujuan Ujian Nasional Menurut Peraturan Menteri

Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 Tentang Ujian

Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007 menyebutkan bahwa:

32

“ Ujian Nasional bertujuan menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional

pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu penegetahuan

dan teknologi” (Departemen Pendidikan Nasional, 2006: 3).

2. Tinjauan tentang Tindak Pidana

a. Pengertian Tindak Pidana

Seperti halnya untuk memberikan definisi terhadap istilah hukum, maka tidaklah mudah

untuk memberikan perumusan atau definisi terhadap istilah “tindak pidana”. Masalah tindak

pidana dalam Ilmu Hukum Pidana merupakan bagian yang paling pokok dan sangat penting.

Perumusan atau definisi tentang tindak pidana disamping ada persamaan terdapat juga

perbedaannya.

Menurut J.E Jonkers (1987: 135) merumuskan peristiwa pidana ialah “perbuatan yang

melawan hukum (wederrechttelijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang

dilakukan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan”.

Wirjono Prodjodikoro (1981: 50) menyatakan bahwa “tindak pidana itu adalah suatu

perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana’’.

Menurut Moeljatno (1980: 1) memakai istilah perbuatan pidana yang dirumuskan

“Perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa yang

melanggar larangan tersebut”.

Beliau mengemukakan bahwa menurut ujudnya atau sifatnya, perbuatan-perbuatan

pidana ini adalah perbuatan-perbuatan yang melawan hukum. Perbuatan-perbuatan ini juga

merugikan masyarakat, dalam arti bertentangan dengan atau menghambat terlaksananya tata dalam

pergaulan masyarakat yang dianggap baik dan adil.

Dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu perbuatan akan jadi suatu tindak pidana apabila

perbuatan itu:

1) melawan hukum

2) merugikan masyarakat

3) dilarang oleh aturan pidana

4) pelakunya diancam dengan pidana

Butir 1 dan 2 menunjukkan sifat perbuatan, sedangkan yang memastikan perbuatan itu menjadi

suatu tindak pidana adalah butir 3 dan 4. Jadi, suatu perbuatan yang bersifat 1 dan 2 belum tentu

merupakan tindak pidana, sebelum dipastikan adanya 3 dan 4.

Untuk mengetahui, apakah suatu perbuatan itu merupakan tindak pidana atau bukan,

maka haruslah di lihat pada ketentuan-ketentuan hukum pidana yang ada dan berlaku (hukum

positif). Ketentuan-ketentuan hukum pidana yang berlaku sekarang adalah:

1) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

2) Peraturan-peraturan atau Undang-undang Pidana lainnya yang merupakan

ketentuan hukum pidana di luar KUHP.

33

b. Penggolongan atau Pembagian Tindak Pidana

Pembentuk Undang-undang membuat penggolongan tindak pidana dari berbagai

undang-undang hukum pidana, yaitu penggolongan kejahatan dan pelanggaran.

Menurut Moeljatno, Pertama-tama penggolongan ini terlihat dalam KUHP yang terdiri

dari:

Buku I, memuat tentang Aturan Umum, mulai pasal 1-103.

Buku II, memuat tentang Kejahatan, pasal 104-488.

Buku III, memuat tentang Pelanggaran, pasal 489-569.

Sebenarnya arti kata dari kedua istilah “kejahatan” dan “pelanggaran “ ini adalah sama, yaitu suatu

perbuatan yang melanggar sesuatu dan berhubungan dengan hukum, yang tidak lain yaitu

perbuatan melanggar hukum. Maka dari arti kata tersebut diatas tidak dapat dilihat perbedaan

antara dua golongan tindak pidana itu. Untuk menemukan perbedaan itu terdapat dua cara yang di

pergunakan, yaitu:

1) Dengan cara meneliti maksud dari pembentuk undang-undang,

2) Dengan cara meneliti sifat-sifat yang berbeda antara tindak-tidak pidana yang termuat

dalam Buku II dan Buku III dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).

Dalam Surat Penjelasan di jelaskan bahwa Pembentuk Undang-undang Pidana mengatakan bahwa:

1) Ada perbuatan-perbuatan yang oleh hukum dan oleh undang-undang dinyatakan

merupakan tindak pidana.

2) Adakalanya diadakan ancaman pidana terhadap suatu perbuatan yang sudah merupakan

pelanggaran hukum, sebelum pembentuk undang-undang membicarakannya. Atau yang

kita anggap baik, meskipun pembentuk undang-undang tidak membicarakannya.

3) Adakalanya suatu perbuatan dalam arti kata filsafat hukum baru menjadi pelanggaran

hukum, karena dinyatakan demikian oleh undang-undang. Jadi perbuatan tersebut tidak

baiknya hanya di kenal dari bunyi undang-undang.

Maka dari penjelasan di atas dapat di simpulkan bahwa penggolongan Kejahatan adalah

tindak pidana berdasarkan hukum sedangkan Pelanggaran adalah tindak pidana berdasarkan

undang-undang.

Akan tetapi Menurut Wirjono Prodjodikoro (1981: 26) ”penggolongan ini tidak tepat

karena semua tindak pidana, baik yang di masukkan ke dalam Buku II KUHP sebagai tindak

pidana Kejahatan, maupun yang dimasukkan dalam Buku III KUHP sebagai Pelanggaran,

merupakan tindak pidana berdasarkan hukum maupun berdasarkan undang-undang”. Semua

perbuatan itu adalah tindak pidana berdasarkan undang-undang, oleh karena kenyataannya untuk

kedua golongan perbuatan itu undang-undanglah yang menjadikan si pembuat dapat di hukum.

Dengan demikian dapat di simpulkan bahwa tidak ada perbedaan “kualitatif” melainkan hanya ada

perbedaan “kuantitatif” saja, yaitu Kejahatan pada umumnya di ancam dengan hukuman lebih

berat daripada Pelanggaran. Dan ini berdasarkan pada sifat lebih berat dari kejahatan.

34

Kalau diteliti pasal-pasal mengenai Kejahatan dan Pelanggaran dalam Kitab Undang-

Undang Hukum Pidana (KUHP) ternyata bahwa:

1) Apa yang termasuk dalam kelompok Kejahatan adalah merupakan perbuatan-perbuatan yang “berat” dan diberi ancaman hukuman yang tinggi sedangkan yang termasuk dalam kelompok Pelanggaran merupakan perbuatan yang “ringan” dengan ancaman hukuman yang rendah;

2) Macam perbuatan dalam Kejahatan jauh lebih banyak jumlahnya dari pada apa yang termasuk dalam kelompok Pelanggaran (Wantjik Saleh, 1983: 20).

c. Jenis-Jenis Tindak Pidana

Mengenai jenis-jenis tindak pidana seperti diungkapkan oleh M. Sudrajat Bassar

(1986: 10) adalah sebagai berikut: “(1) Tindak Pidana Materiil (materieel delict), (2) Tindak

Pidana Formil (formeel delict), (3) Commiissie Delict, (4) Ommissie Delict, (5) Gequalifieceerd

Delict, (6) Voortdurend Delict”. Adapun penjelasan diatas adalah sebagai berikut Tindak pidana

materiil dirumuskan sebagai suatu perbuatan yang menyebabkan suatu akibat tertentu, tanpa

merumuskan ujud dari perbuatan itu. Tindak pidana formil dirumuskan sebagai ujud perbuatannya,

tanpa mempersoalkan akibat yang di sebabkan oleh perbuatan itu. Commiissie Delict adalah tindak

pidana yang berupa melakukan suatu perbuatan positif, umpamanya membunuh, mencuri dan lain-

lain. Jadi hampir meliputi semua tindak pidana. Ommissie Delict adalah melalaikan kewajiban

untuk melakukan sesuatu, umpamanya tidak melalukan pemberitahuan dalam 10 hari hal kelahiran

atau kematian kepada Pengawas Jawatan Catatan Sipil (pasal 529 KUHP). Gequalifieceerd Delict

istilah ini di gunakan untuk suatu tindak pidana tertentu yang bersifat istimewa, umpamanya

pencurian (pasal 363 KUHP), apabila pencurian dilakukan dengan di ikuti perbuatan yang lain,

misalnya dengan merusak pintu. Voortdurend Delict adalah tindak pidana yang tidak ada henti-

hentinya.

d. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam Kelompok Kejahatan

Bentuk-bentuk tindak pidana yang termasuk dalam kelompok kejahatan, seperti

diungkapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada tiga puluh dua bentuk

kejahatan yaitu: “Kejahatan terhadap keamanan negara, Kejahatan terhadap martabat Presiden dan

Wakil Presiden, Kejahatan terhadap negara sahabat dan terhadap kepala negara sahabat serta

wakilnya, Kejahatan terhadap melakukan kewajiban dan hak kenegaraan, Kejahatan terhadap

ketertiban umum, Perkelahian tanding, Kejahatan yang membahayakan keamanan umum bagi

orang atau barang, Kejahatan terhadap penguasa umum, Sumpah palsu dan keterangan palsu,

Pemalsuan mata uang dan uang kertas, Pemalsuan materai dan merek, Pemalsuan surat, Kejahatan

terhadap asal-usul dan perkawinan, Kejahatan terhadap kesusilaan, Meninggalkan orang yang

perlu ditolong, Penghinaan, Membuka rahasia, Kejahatan terhadap kemerdekaaan orang,

Kejahatan terhadap nyawa, Penganiayaan, Menyebabkan mati atau luka-luka karena kealpaan,

Pencurian, Pemerasan dan pengancaman, Penggelapan, Perbuatan curang, Merugikan pemihutang

atau orang yang mempunyai hak, Menghancurkan atau merusakkan barang, Kejahatan jabatan,

Kejahatan pelayaran, Kejahatan Penerbangan dan Kejahatan terhadap sarana/prasarana

35

penerbangan, Penadahan penerbitan dan percetakan, Aturan tentang pengulangan kejahatan yang

bersangkutan dengan berbagai-bagai bab” (Anonim, 2005: vii).

e. Bentuk-Bentuk Tindak Pidana yang termasuk dalam Kelompok Pelanggaran

Bentuk-bentuk tindak pidana yang termasuk dalam kelompok pelanggaran, seperti

diungkapkan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) ada sembilan bentuk

pelanggaran yaitu:

1) Tentang Pelanggaran Keamanan Umum bagi Orang atau Barang dan kesehatan 2) Pelanggaran Ketertiban Umum 3) Pelanggaran Terhadap Penguasa Umum 4) Pelanggaran Mengenai Asal-Usul dan Perkawinan 5) Pelanggaran Terhadap Orang yang memerlukan Pertolongan 6) Pelanggaran Kesusilaan 7) Pelanggaran Mengenai Tanah, Tanaman, dan Pekarangan 8) Pelanggaran Jabatan 9) Pelanggaran Pelayaran (Anonim, 2005: ix)

Apabila suatu perbuatan tidak termasuk ke dalam salah satu dalam golongan kelompok

tersebut diatas, Maka berarti perbuatan itu tidak merupakan suatu tindak pidana, terkecuali kalau

ada suatu peraturan atau Undang-Undang yang dengan tegas menyatakan bahwa perbuatan itu

merupakan tindak pidana.

Umpamanya di negara Indonesia, sejak merdeka telah banyak di undangkan peraturan

atau Undang-Undang yang menyatakan suatu perbuatan menjadi suatu tindak pidana, sehubungan

timbulnya berbagai perbuatan yang tidak disebut dalam KUHP sebagai tindak pidana, akan tetapi

masyarakat merasakannya sebagai suatu perbuatan yang masyarakat anggap melawan hukum.

Untuk hal ini maka pemerintah dapat mengeluarkan suatu peraturan atau Undang-Undang yang

menyatakan bahwa suatu perbuatan tersebut menjadi suatu tindak pidana.

Oleh karena Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) itu telah terkodifisir dan

tidak mungkin peraturan-peraturan atau Undang-Undang tindak pidana yang baru dimasukkan ke

dalam KUHP, maka peraturan atau Undang-Undang yang di buat kemudian tidak dapat

dimasukkan kedalam KUHP dan berada di luar KUHP sehingga hal ini biasa disebut sebagai

“tindak pidana di luar KUHP” atau disebut “tindak pidana khusus”.

f. Tinjauan tentang Pencurian

Yang dimaksud dengan pencurian menurut hukum pidana, ialah perbuatan mengambil

sesuatu barang yang semuanya atau sebagiannya kepunyaaan orang lain disertai maksud untuk

memiliki dan dilakukan dengan melawan hukum (Gerson W. Bawengan 1983: 147).

Menurut Pasal 362 KUHP, Pencurian berbunyi:

Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah (Anonim, 2005: 121).

36

Jika diteliti rumusan tindak pidana pencurian tersebut, perbuatan itu terdiri dari unsur-

unsur:

1) barang siapa, 2) mengambil barang sesuatu, 3) barang kepunyaan orang lain, 4) dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum (Suharto, 1996: : 38). Dalam bukunya (Gerson W. Bawengan 1983: 147), Unsur-unsur yang harus dipenuhi

bahwa pencurian sebagai tindak pidana adalah:

1) adanya perbuatan mengambil; 2) yang diambil adalah suatu barang; 3) seluruhnya atau sebagiannya barang itu adalah kepunyaan orang lain; 4) pengambilan disertai maksud untuk memiliki dengan melawan hukum. Dapat dijelaskan mengenai Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 362 KUHP tersebut

adalah:

1) Unsur barang siapa, yang dimaksud dengan barang siapa ialah “orang” , subjek

hukum yang melakukan perbuatan.

Yang dimaksud dengan barang, tidak sekedar berupa benda belaka, tetapi telah

diperluas dengan termasuk hewan, tenaga listrik ataupun gas.

2) Yang dimaksud dengan mengambil ialah sebelum perbuatan dilakukan. Barang itu

belum berada didalam kekuasaan pengambil, Perbuatan mengambil dapat dipandang

telah terwujud, bilamana barang yang diambil itu telah berpindah ke dalam

lingkungan kekuasaan pengambil.

3) Mungkin pula bahwa yang mengambil itu mempunyai hak atas sebagian dari pada

barang yang diambilnya, dan sehubungan dengan hal demikian itu maka unsur ke 3

menyebut tentang pengambilan atas barang yang seluruhnya atu sebagiannya adalah

milik orang lain.

4) Pengambilan, harus disertai maksud untuk memiliki dengan melawan hukum.

Bila mana kita kembali meneliti bentuk pencurian sebagaimana diancam dalam KUHP,

maka akan kita jumpai :

1) pencurian biasa, pasal 362 KUHP; 2) pencurian berkualipikasi, pasal 363 KUHP; 3) pencurian dengan kekerasan, pasal 365 KUHP; 4) pencurian enteng, pasal 364 KUHP; 5) pencurian dalam lingkungan keluarga, pasal 367 KUHP (Gerson W. Bawengan 1983:

148).

Pasal 362 KUHP berbunyi: Barangsiapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah (Anonim, 2005: 121).

37

Menurut Pasal 363 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “Pencurian

dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun antara lain pencurian ternak, pencurian pada waktu

ada kebakaran, letusan, banjir gempa bumi, atau gempa laut, gunung meletus, kapal karam, kapal

terdampar, kecelakaan kereta api, huru-hara, pemberontakan atau bahaya perang, pencurian di

waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, yang dilakukan

oleh orang yang ada di situ tidak diketahui atau tidak dikehendaki oleh yang berhak, pencurian

yang dilakukan oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, pencurian yang untuk masuk ke

tempat melakukan kejahatan, atau untuk sampai pada barang yang diambil, dilakukan dengan

merusak, memotong atau memanjat, atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau

pakaian jabatan palsu” (Anonim, 121-122).

Pasal 364 KUHP berbunyi: Perbuatan yang diterangkan dalam pasal 362 dan pasal 363 butir 4, begitupun perbuatan yang diterangkan dalam pasal 363 butir 5, apabila tidak dilakukan dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya, jika harga barang yang dicuri tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam karena pencurian ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah (Anonim, 2005: 122). Menurut Pasal 365 dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) “Pencurian

dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun antara lain pencurian yang didahului, disertai

atau diikuti dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, terhadap orang dengan maksud untuk

mempersiapkan atau mempermudah pencurian, atau dalam hal tertangkap tangan, untuk

memungkinkan melarikan diri sendiri atau peserta lainnya, atau untuk tetap menguasai barang

yang dicuri. Diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun antara lain jika perbuatan

dilakukan pada waktu malam dalam sebuah rumah atau pekarangan tertutup yang ada rumahnya,

di jalan umum, atau dalam kereta api atau trem yang sedang berjalan, jika perbuatan dilakukan

oleh dua orang atau lebih dengan bersekutu, jika masuk ke tempat melakukan kejahatan dengan

merusak atau memanjat atau dengan memakai anak kunci palsu, perintah palsu atau pakaian

jabatan palsu, jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat. Jika perbutan mengakibatkan

kematian, maka diancam dengan pidana penjara paling lama lima belas tahun. Diancam dengan

pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh

tahun, jika perbuatan mengakibatkan luka berat atau kematian dan dilakukan oleh dua orang atau

lebih dengan bersekutu, disertai pula oleh salah satu hal“ (Anonim, 2005: 122-123).

g. Tinjauan tentang Penggelapan

Jika dalam pencurian perbuatan mengambil itu dilakukan dengan jalan mengambil

sesuatu barang dan keadaan barang itu masih terletak di luar kekuasaan pengambil, maka perkara

penggelapan, barang sebagai obyek sudah berada di dalam tangan pengambil.

38

Menurut M. Sudrajat Bassar (1986: 76) mengartikan “Penggelapan (verduistering)

adalah : Memiliki barang yang sudah ada di tangannya”.

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggolongkan penggelapan atas

bentuk-bentuk sebagai berikut:

1) penggelapan biasa, pasal 372 KUHP; 2) penggelapan enteng, pasal 373 KUHP; 3) penggelapan dengan pemberatan, pasal 374 KUHP; 4) penggelapan berat, pasal 375 KUHP (Suharto, 1996: 40).

Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan yang berbunyi :

Barangsiapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena penggelapan, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah (Anonim, 2005: 125).

Menurut Suharto (1996: 41) Unsur-unsur pasal 372 KUHP sebagai berikut :

1) barang siapa 2) melawan hukum mengaku sebagai milik sendiri 3) barang sesuatu 4) milik orang lain 5) barang yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan.

Memiliki adalah suatu perbuatan mengalihkan hak orang lain menjadi hak yang

berkehendak memiliki dan tentulah dalam hal ini dilakukan tanpa izin pemilik asli. Dengan

pengalihan hak yang demikian itu, maka sipengambil hak itu bertindak seolah-olah pemilik asli,

dan tindakan-tindakan dapat berbentuk menjual, menggadaikan atu menyewakan dan sebagainya.

Pasal 373 KUHP berbunyi :

Perbuatan yang dirumuskan dalam pasal 372 KUHP, apabila yang digelapkan bukan ternak dan harganya tidak lebih dari dua puluh lima rupiah, diancam sebagai penggelapan ringan dengan pidana penjara paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak dua ratus lima puluh rupiah (Anonim, 2005: 125).

Penggelapan enteng sebenarnya tak lain daripada penggelapan biasa denga kondisi

peringanan sehubungan dengan nilai yang rendah lagi pula bukan hewan.

Sebagai penggelapan enteng, maka pasal 373 KUHP hanya memberikan ancaman

hukuman maximal tiga bulan penjara atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 250.-

Pasal 374 KUHP berbunyi :

Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencarian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun (Anonim, 2005: 126). Penggelapan dengan pemberatan menurut pasal 374 KUHP mengancam dengan

hukuman penjara selama-lamanya lima tahun. Pertimbangan pemberatan dalam pasal itu adalah

39

bahwa orang yang memegang barang itu adalah berhubungan dengan pekerjaan atau jabatannya

atau karena memperoleh upah. Pasal 374 KUHP itu akan lebih banyak dibahas dalam bidang

pidana khusus yaitu korupsi, teristimewa bilamana dikaitkan dengan pasal 415 dan 417 KUHP.

Pasal 375 KUHP berbunyi :

Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang karena terpaksa diberi barang untuk disimpan, atau yang dilakukan oleh pengampu, pengurus atau pelaksana surat wasiat, pengurus lembaga sosial atau yayasan, terhadap barang sesuatu yang dikuasainya selaku demikian, dianca dengan pidana penjara peling lama enam tahun (Anonim, 2005: 126). Penggelapan berat sebagaimana diatur dengan pasal 375 KUHP, mengancam hukuman

penjara setingi-tingginya enam tahun. Pemberatan itu dihubungkan dengan keadaan terpaksa

untuk menyimpan barang, misalnya karena malapetaka atau bencana alam, namun kemudian

sipenyimpan melakukan penggelapan. Termasuk dalam kondisi penggelapan berat ialah mereka

yang merupakan wali, kurator atau pengurus dan sebagainya.

Unsur pokok dari penggelapan ialah bahwa barang yang di gelapkan

harus ada di bawah kekuasaan si pelaku, dengan cara lain daripada dengan

melakukan kejahatan. Jadi barang itu oleh yang punya di percayakan atau dapat

dianggap di percayakan kepada si pelaku.

Pada pokoknya, dengan perbuatan penggelapan si pelaku tidak

memenuhi kepercayaan yang dilimpahkan atau dapat dianggap dilimpahkan

kepadanya oleh yang berhak atas suatu barang.

3. Konsep Civic Education

a. Pengertian Civic Education

Secara bahasa istilah Civic Education oleh sebagian pakar di terjemahkan

ke dalam bahasa Indonesia menjadi Pendidikan Kewargaan dan Pendidikan

Kewarganegaraan. Istilah Pendidikan Kewargaan di wakili oleh Azyumardi Azra

dan Tim ICCE (Indonesian Center for Civic Education) UIN Jakarta sebagai

Pengembang Civic Education di Perguruan Tinggi yang pertama. Sedangkan

istilah Pendidikan Kewarganegaraan di wakili oleh Zamroni, Muhammad Numan

Soemantri, Udin S. Winataputra dan Tim CICED (Center Indonesian for Civic

Education), Merphin Panjaitan, Soedijarto dan pakar lainnya.

Menurut Zamroni berpendapat bahwa Pendidikan Kewarganegaraan adalah pendidikan demokrasi yang bertujuan untuk mempersiapkan warga masyarakat berpikir kritis dan bertindak demokratis, melalui aktivitas menanamkan kesadaran kepada generasi baru kesadaran bahwa

40

demokrasi adalah bentuk kehidupan masyarakat yang paling menjamin hak-hak warga masyarakat (Azyumardi Azra, 2002: 7).

Menurut Civitas Internasional bahwa Civic Education adalah pendidikan yang mencakup pemahaman dasar tentang cara kerja demokrasi dan lembaga-lembaganya, pemahaman tentang rule of law, hak asasi manusia, penguatan ketrampilan partisipatif yang demokratis, pengembangan budaya demokrasi dan perdamaian (Azyumardi Azra, 2002: 8).

Adapun menurut Landon E. Beyer (1999: 4) mengatakan bahwa “Civic Education is the

fundational course work in school designed to prepare young citizenship for an active role in their

comunicaties in their adult lives”. PKn adalah suatu mata pelajaran dasar di sekolah yang

dirancang untuk mempersiapkan warga muda agar kelak setelah dewasa dapat berperan aktif

dalam masyarakat (http: // Journal Article Excerpt. com).

Pendapat lain menurut Steven E. Finkel (2002: 64) mengatakan bahwa “The results

suggest that civic education and other group mobilization processes are highly complementary in

both cuntries; civic education training stimulates individual political behavior in much the same

way as does participation in other kinds of secondary groups activities” (http: // Journals

Cambridge. org).

Dari definisi diatas, semakin mempertegas pengertian Civic Education karena bahannya

meliputi pengaruh positif dari pendidikan sekolah, pendidikan di rumah, dan pendidikan di luar

sekolah. Unsur-unsur ini harus dipertimbangkan dalam menyusun program Civic Education yang

diharapkan akan menolong para peserta didik untuk (a) mengetahui, memahami dan mengapresiasi

cita-cita nasional, (b) dapat membuat keputusan-keputusan yang cerdas dan bertanggung jawab

dalam berbagai masalah seperti masalah pribadi, masyarakat dan negara. Jadi, Pendidikan

Kewargaan (Civic Education) adalah program pendidikan yang memuat bahasan mengenai

kebangsaan, kewarganegaraan dalam hubungannya dengan negara, demokrasi, HAM dan

masyarakat madani (Civil Society) yang dalam implementasinya menerapkan prinsip-prinsip

pendidikan demokratis dan humanis.

b. Kompetensi Dasar Pendidikan Kewargaan ( Civic Education )

Dalam pembelajaran Pendidikan Kewargaan, kompetensi dasar, atau sering di sebut

kompetensi minimal, yang akan ditrasformasikan dan ditransmisikan pada peserta didik terdiri dari

tiga jenis :

1) kompetensi pengetahuan kewargaan (civic knowledge), yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan materi inti Pendidikan Kewargaan (Civic Education), yaitu demokrasi, hak asasi manusia, dan masyarakat madani

2) kompetensi sikap kewargaan (civic dispositions), yaitu kemampuan dan kecakapan yang terkait dengan kesadaran dan komitmen warga negara antara lain komitmen

41

akan kesetaraan gender, toleransi, kemajemukan, dan komitmen untuk peduli serta terlibat dalam penyelesaian persoalan-persoalan yang terkait dengan pelanggaran HAM

3) kompetensi keterampilan kewargaan (civic skills), yaitu kemampuan dan kecakapan mengartikulasikan keterampilan kewargaan seperti kemampuan berpartisipasi dalam proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol terhadap penyelenggara negara dan pemerintahan (A. Ubaedillah dan Abdul Rozak, 2008: 9).

Menurut Margaret S. Bronson (1999: 8), Komponen-Komponen dalam Civic Education

sebagai berikut :

1) Pengetahuan Kewarganegaraan (Civic Knowledge) 2) Kecakapan-Kecakapan Kewarganegaraan (Civic Skills): Intelektual dan

Partisipatoris 3) Watak-Watak Kewarganegaraan (Civic Dispositions): Sifat-Sifat Publik dan Privat

yang Utama c. Tujuan Civic Education

Menurut Azyumardi Azra (2002: 10). Pendidikan Kewargaan (Civic Education)

bertujuan untuk :

1) membentuk kecakapan partisipatif yang bermutu dan bertanggung jawab dalam kehidupan politik dan masyarakat baik di tingkat lokal, nasional, regional dan global;

2) menjadikan warga yang baik dan mampu menjaga persatuan integritas bangsa guna mewujudkan Indonesia yang kuat, sejahtera dan demokratis;

3) menghasilkan mahasiswa yang berpikir komprehensif, analitis dan kritis dan bertindak demokratis;

4) mengembangkan kultur demokasi yaitu kebebasan, persamaan, kemerdekaan, toleransi, kemampuan menahan diri, kemampuan mengambil keputusan serta kemampuan berpartisipasi dalam kegiatan politik kemasyarakatan;

5) mampu membentuk mahasiswa menjadi good and responsible citizen (warga negara yang baik dan bertanggung jawab) melalui penanaman moral dan ketrampilan sosial (social skills) sehingga kelak mereka mampu memahami dan memecahkan persoalan-persoalan aktual kewarganegaraan seperti toleransi, perbedaan pendapat, bersikap empati, meghargai pluralitas, kesadaran hukum dan tertib sosial, menjunjung tinggi HAM, mengembangkan demokratisasi dalam berbagai lapangan kehidupan dan menghargai kearifan lokal (local wisdom).

4. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan

Ujian Nasional

Karena tingginya standar kelulusan siswa dalam UN tahun ini

dimana nilai kelulusan peserta UN tingkat SMP/SM-PLB/MTs dan di tingkat

SMA/SMK/MA tidak bisa diganggu gugat dan ditawar-tawar. Untuk lulus

nilai rata-rata UN harus 5,00 dan nilai satu mata pelajaran minimal 4,25.

Bila salah satu mata ujian nilainya 4,00 maka dua mata ujian lainnya harus

minimal 6,00. Walaupun kurang nol koma nol sekian, tapi nilainya tidak

42

sampai 4 (empat), tetap tidak bisa lulus UN, hal ini dinyatakan oleh Yunan

Yusuf, ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (Warta Kota,

Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 3). Bila nilai ujian lainnya tinggi dan akhlaknya baik

tetapi nilai UN-nya dibawah 4 (empat) tetap tidak lulus. Begitu juga

sebaliknya, bila UN tinggi, tapi nilai ujian sekolah di bawah standar

kelulusan, siswa bisa tetap tidak lulus.

Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi ini menyebabkan

terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam

pelaksanaan UN di hampir seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang

mengakibatkan banyaknya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam UN ini

adalah kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang

bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya yang tidak

lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu

sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak

yang tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah

tersebut akan berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan

murid. Kekhawatiran juga melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak

lulus adalah adanya demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus dan

tindakan anarkis dari siswa yang tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi

Dinas Pendidikan Kota akan turun dan dianggap tidak berhasil

menyelenggarakan pendidikan karena prosentase kelulusan yang kecil.

Berbagai pelanggaran pada UN terjadi ketika bahan UN telah

didistribusikan ke sekolah atau madrasah pada hari terjadinya UN, bukan

pada tahap pendistribusian dari tingkat pusat, percetakan, propinsi hingga

ke kabupaten/kota.

Pelanggaran terjadi ketika bahan UN dijemput oleh sekolah

penyelenggara. Biasanya soal diambil pada pukul 05.00 subuh, waktu yang

tersedia antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 07.30 digunakan oleh

oknum guru atau kepala sekolah untuk membuka amplop soal UN,

mengerjakannya, serta menutup kembali amplop tersebut. Jawaban inilah

yang nanti beredar dalam bentuk SMS dan contekan kecil yang dibawa

43

masuk ke ruang ujian oleh guru sekolah penyelenggara atau ditulis di papan

tulis di ruang ujian.

Pelanggaran lain yang ditemukan adalah ada sekolah yang sengaja

mendesain kelasnya hanya berjumlah kurang dari 20 orang sehingga ada

sisa soal di kelas itu. Padahal menurut Prosedur Operasional Standar

(POS), sisa soal harus segera disimpan. Namun sisa soal tersebut dikerjakan

dan jawabannya diedarkan dalam bentuk SMS dan contekan kecil ke

seluruh peserta ujian (Republika, Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 4).

Selain itu, sekolah-sekolah yang tidak ingin muridnya gagal dalam

UN telah membentuk tim sukses untuk meluluskan para muridnya. Tim

Sukses ini beranggotakan guru-guru yang mata pelajarannya menjadi mata

pelajaran yang diujikan dalam UN.

Sebelum UN dilaksanakan, pihak sekolah telah mengundang tim

pengawas yang akan mengawasi UN di sekolah tersebut. Mereka diberi

pengarahan agar tidak terlalu ketat dalam mengawasi UN dan segala bentuk

pelanggaran yang terjadi tidak perlu dicatat. Karena sewaktu UN berjalan,

para murid akan saling memberitahukan jawaban ujian yang berasal dari

guru yang telah mendapatkan jawaban dari soal ujian yang telah dibuka

terlebih dahulu sebelum UN dimulai. Para guru pengawas tersebut, pada

saat UN berjalan hanya duduk di depan kelas sambil membaca saja dan

seolah tidak peduli akan segala sesuatu yang berjalan pada waktu ujian.

Tidak lupa para pengawas ini pun diberi amplop yang berisi uang sogokan

(Tempo, 4 Mei 2007, Hal 5).

Apabila setelah UN berakhir masih ada siswa yang belum selesai

mengisi lembar jawaban dengan jawaban yang benar, maka waktu yang

tersedia digunakan oleh pihak sekolah untuk membetulkan jawaban sebelum

semua jawaban dikumpulkan ke rayon masing-masing.

Siswa juga diminta hadir lebih awal ke sekolah sebelum pengawas

datang dan siswa tersebut diberi tahu kunci jawaban oleh tim sukses dan

guru yang telah mengerjakan soal-soal UN pada hari itu.

44

Jadi berbagai kecurangan itu justru berlangsung di ruang-ruang

kelas sekolah, bukan di luar kelas. Karena dari mulai penyelenggara UN

Pusat ke percetakan yang ditetapkan Gubernur sebagai pemenang tender,

master copy dijaga ketat oleh Kepolisian dan tim pemantau independen.

Soal-soal UN itu dicetak dan dipak dengan menggunakan tiga gembok

berbeda yang kuncinya masing-masing dipegang pihak percetakan, tim

pemantau independen dan Kepolisian. Ketika perusahaan percetakan

mendistribuskan bahan UN kepada penyelenggara UN tingkat

kabupaten/kota dan menyimpannya di kantor dinas pendidikan

kabupaten/kota, di kantor kepolisian dan di sub rayon sekolah

penyelenggara, seluruhnya juga dijaga ketat kepolisian, tim pemantau

independen dan penyelenggara UN kabupaten/kota hingga sampai ke

sekolah.

Akan tetapi dalam kasus di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur terjadi

tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian nasional yaitu penggelapan naskah soal

UN yang dilakukan oleh oknum kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi (Seputar

Indonesia, 15 Juni 2007, Hal 5). Kasus ini termasuk dalam tindak pidana

kejahatan, dimana telah disidangkan di Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur.

Selain kepala sekolah tersebut, yang ikut menjadi terdakwa adalah, Guru dan

Kepala Staff Tata Usaha. Dalam sidang tersebut diketahui motif terdakwa

melakukan penggelapan naskah soal UN karena ingin meluluskan semua siswanya

dan bukan untuk menjual soal tersebut. Karena sebagai kepala sekolah, dia

ditargetkan untuk meluluskan sebanyak 96% dari seluruh siswa. Siswa SMK

yang menjadi peserta UN adalah sebanyak 484 siswa. Niat menggelapkan naskah

ujian muncul pada saat mereka mendapat tugas mengambil naskah ujian dari

Dinas Pendidikan Jawa Timur untuk kemudian diamankan di Polres Ngawi.

Seluruh terdakwa saat itu adalah rombongan yang berada dalam satu mobil.

Karena saat itu tidak ada polisi yang ikut dalam rombongan, lalu timbullah niat

untuk menggelapkan.

Pelanggaran dalam UN yang terjadi di mana-mana ini, adalah juga

hasil Survey yang dilakukan oleh Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)

45

Poros Pendidikan (Republika, Selasa, 8 Mei 2007, Hal 5). Investigasi

mengenai pelanggaran dalam UN ini seharusnya menjadi tanggung jawab

dari pihak independen dan bukan Inspektorat Jendral Depdiknas. Karena,

bisa saja ada temuan yang ditutup-tutupi. LSM tersebut menilai, kecurangan

yang terjadi pada pelaksanaan UN merupakan tindakan kejahatan sistematis

untuk mencapai target standar kelulusan.

5. Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan

Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic Education

Pelaksanaan Ujian Nasional masih menyisakan masalah yang cukup

besar dan harus diantisipasi pada pelaksanaan UN tahun-tahun berikutnya.

Pelaksanaan UN yang menyamaratakan kualitas anak didik secara nasional,

bertentangan dengan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Sehingga mau tidak mau kebijakan ini harus di evaluasi lagi. Karena faktanya

masih ada perbedan standar mutu pendidikan antara daerah yang satu dengan yang

lain.

Penyamarataan penerapan kebijakan UN sangat melemahkan

pengembangan pendidikan di Indonesia. UN kurang mempertimbangkan berbagai

faktor obyektif di daerah seperti perbedaan kualitas ajar mengajar, dan fasilitas

pendidikan. Sistem UN harus segera di evaluasi karena bisa mengancam

disitegrasi bangsa. Bayangkan saja, tingkat kelulusan siswa-siswa di Papua

misalnya, hanya sekitar 20%, tidak bisa disamakan dengan tingkat kelulusan

siswa-siswa di DKI Jakarta. Karena kondisi di masing-masing daerah tentu

berbeda.

Berdasarkan pengalaman pada tahun-tahun sebelumnya, Ujian Nasional

(UN) menghabiskan anggaran sekitar Rp 300 miliar. Alokasi dana sebesar itu

tentu lebih bermakna jika digunakan untuk peningkatan mutu pendidikan dan

memperkecil disparitas kualitas pendidikan di tanah air.

Maraknya pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian Nasional baik yang dilakukan sekolah,

guru dan siswa bertentangan dengan Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan). Karena

Civic Education merupakan pembelajaran yang dimaksudkan sebagai wahana pendidikan umum

yang bertujuan memfasilitasi peserta didik agar dapat mengembangkan diri menjadi warga negara

46

yang kritis, cerdas, dan berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam

intrumentasi dan praksis pendidikannya secara progmatik di kembangkan civic intelligence

(kecerdasan warga negara) yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge (pengetahuan

kewarganegaraan), (2) civic skills (keterampilan kewargaan), dan (3) civic dispositions (sikap

kewargaan) melaui berbagai interaksi pembelajaran yang bersifat partisipasif; kajian individual

dan kelompok, yang diakhiri dengan penilaian belajar yang berlandaskan pada penguasaan

keseluruhan kompetensi kewargaan secara proporsional.

Dalam Civic Education di harapkan para peserta didik memiliki kreativitas tinggi,

memiliki kemandirian, dan sikap toleransi yang tinggi. Di samping itu agar peserta didik dapat

menemukan jati dirinya sebagai manusia yang sadar akan tanggung jawab individu dan sosial.

B. Kerangka Berpikir

Ujian Nasional merupakan wujud dari penilaian hasil belajar oleh

pemerintah. Penilaian hasil belajar tersebut bertujuan untuk menilai pencapaian

kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok

mata pelajaran ilmu pengetahuan teknologi dan dilakukan dalam bentuk Ujian

Nasional. Ujian Nasional tersebut harus dilaksanakan secara obyektif,

berkeadilan, dan akuntabel. Sedangkan untuk pelaksanaannya dapat dilakukan

sekurang-kurangnya satu kali dan sebanyak-banyaknya dua kali dalam satu tahun

pelajaran. Hasil Ujian Nasional digunakan sebagai salah satu pertimbangan untuk:

Pemetaan mutu program dan/atau satuan pendidikan, Dasar seleksi masuk

jenjang pendidikan berikutnya, Penentuan kelulusan peserta didik dari

program dan/atau satuan pendidikan, Pembinaan dan pemberian bantuan

kepada satuan pendidikan dalam upayanya untuk meningkatkan mutu

pendidikan.

Perbuatan akan jadi suatu tindak pidana apabila perbuatan itu,melawan hukum,

merugikan masyarakat, dilarang oleh aturan pidana, pelakunya diancam dengan pidana.

Pembentuk Undang-undang membuat penggolongan tindak pidana dari berbagai undang-undang

hukum pidana, yaitu penggolongan kejahatan dan pelanggaran. Apa yang termasuk dalam

kelompok Kejahatan adalah merupakan perbuatan-perbuatan yang “berat” dan diberi ancaman

hukuman yang tinggi sedangkan yang termasuk dalam kelompok Pelanggaran merupakan

perbuatan yang “ringan” dengan ancaman hukuman yang rendah, Macam perbuatan dalam

Kejahatan jauh lebih banyak jumlahnya dari pada apa yang termasuk dalam kelompok

Pelanggaran.

47

Mata Pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (Civic Education) Merupakan mata

pelajaran yang memfokuskan pada pembentukan warga negara yang memahami dan mampu

melaksanakan hak-hak dan kewajibannya untuk menjadi warga negara Indonesia yang cerdas,

terampil, dan berkarakter yang diamanatkan oleh Pancasila dan UUD 1945.

Pelaksanaan Ujian Nasional

Dilaksanakan dengan Baik

(Sesuai hak dan kewajiban)

Terjadi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan

Dilihat dari

KUHP

Dilihat dari perspektif Civic Education

Alternatif penyelesaian masalah

48

Gambar : 1 Bagan Kerangka Pemikiran

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

Metodologi Penelitian merupakan alat untuk mencari data dari obyek

yang menjadi sasaran dari penelitian. Adapun metode penelitian yang digunakan

penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

A. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Kualitas dari suatu penelitian tidak tergantung oleh luas tidaknya masalah

dan besar kecilnya populasi tetapi ditentukan oleh ketajaman didalam menganalisa

data atau permasalahannya. Sehingga perlu adanya suatu pembatasan tempat

penelitian yang jelas. Dalam penelitian kualitatif memandang permasalahan yang

ada secara menyeluruh dan terkait dengan yang lainnya. Tempat penelitian

merupakan suatu lokasi dimana penelitian akan dilakukan untuk memperoleh data

sesuai dengan permasalahan yang diajukan.

Tempat yang akan dipakai dalam melaksanakan penelitian ini adalah di

SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di lapangan dari di setujuinya judul

pada bulan Mei sampai selesainya penelitian. Berikut ini gambar alokasi

waktu kegiatan penelitian yang penulis lakukan :

49

Tabel 1. Jadual Kegiatan Penelitian

Tahun 2009 No Jenis Kegiatan

Mei Juni Juli Agust Sept Okt Nov Des

1. Pengajuan Judul

2. Penyusunan

Proposal

3. Pengajuan Surat

Ijin

4. Pengumpulan Data

5. Analisis Data

6. Laporan Penelitian

B. Bentuk dan Strategi Penelitian

1. Bentuk Penelitian

Dalam penelitian ini bentuk yang akan digunakan adalah bentuk

penulisan deskriptif kualitatif karena data yang dikumpulkan berupa kata-kata,

kalimat, pencatatan dokumen maupun arsip yang gemlike arti yang sangat lebih

dari sekedar angka atau frekuensi.

Menurut Lexy J. Moleong (2005: 4) yang mengutip dari pendapat

Bogdan dan Taylor. Penelitian kualitatif adalah sebagai berikut: “Metodologi

Kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa

kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.”

Penelitian ini diperoleh dengan mempertimbangkan kesesuaian obyek

dari studi, sehingga penggunaan metode penelitian secara mendalam agar sesuai

dengan metode tersebut yaitu menggunakan metode deskriptif. Hal tersebut sesuai

dengan pendapat dari Winarno Surakhmad (2004: 139) bahwa :

Penyelidikan deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Karena banyak sekali ragam penyelidikan demikian metode penyelidikan deskriptif diantaranya ialah penyelidikan yang menuturkan, menganalisa, dan mengklasifikasi. Sehingga menurutnya metode deskriptif adalah menuturkan dan menafsirkan data yang ada, misalnya tentang situasi yang dialami, satu hubungan kegiatan, pandangan, sikap yang menampak, atau tentang satu proses yang sedang berlangsung pengaruh yang sedang bekerja, kelainan yang sedang

50

muncul, kecenderungan yang menampak, pertentangan yang meruncing, dan sebagainya.

2. Strategi Penelitian

Strategi penelitian yang digunakan adalah strategi penelitian tunggal

terpancang. Mengenai model ini seperti yang diungkapkan HB. Sutopo (2002: 41-

42) menjelaskan sebagai berikut: “Dalam penelitian kualitatif ditemui adanya

bentuk penelitian terpancang (Embeded Research) yang memiliki pengertian

penelitian kualitatif yang sudah menentukan fokus penelitian berupa variabel

utamanya yang akan dikaji berdasarkan tujuan dan minat penelitiannya sebelum

peneliti kelapangan studinya. Dalam proposal peneliti sudah menentukan terlebih

dahulu fokus dari pada variabel tertentu. Akan tetapi dalam hal ini peneliti tetap

tidak melepaskan variabel fokusnya (pilihannya) dari sifatnya yang holistik

sehingga bagian-bagian yang diteliti tetap diusahakan pada posisi yang saling

berkaitan dengan bagian-bagian dari konteks secara keseluruhan guna

menemukan makna yang lengkap.

Untuk itu maksud dari strategi tunggal terpancang dalam penelitian ini,

dapat mengandung pengertian sebagai berikut: tunggal yang artinya hanya ada

satu lokasi yaitu di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. Sedang terpancang artinya

hanya pada tujuan untuk mengetahui Pelanggaran dan Kejahatan dalam

Pelaksanaan Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic Education (Studi Kasus

di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur).

C. Sumber Data

Menurut HB. Sutopo (2002: 50-54) menyatakan bahwa “sumber data

dalam penelitian kualitatif dapat berupa manusia, peristiwa, atau aktivitas, tempat

atau lokasi, benda, beragam gambar dan rekaman, dokumen atau arsip”.

Pendapat lain tentang sumber data dalam penelitian kualitatif adalah yang

diungkap oleh Lofland yang dikutip oleh oleh Lexy J. Moleong (2005: 157)

menjelaskan bahwa “sumber data utama dalam penelitian kualitatif ialah kata-

kata, dan tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-

lain”.

51

Berdasarkan pendapat di atas peneliti menggunakan sumber data yang

berupa informan, tempat, dan peristiwa serta arsip dan dokumen, lebih lanjut

dijelaskan sebagai berikut:

1. Informan

Jenis sumber data ini dalam penelitian pada umumnya dikenal sebagai

responden. Manusia sebagai sumber data perlu dipahami, bahwa mereka terdiri

dari beragam individu dan memiliki beragam posisi. Oleh karena itu di dalam

memilih siapa yang akan menjadi informan, peneliti wajib memahami posisi

dengan beragam peran serta yang ada sehingga dapat diperoleh informasi

pernyataan maupun kata-kata yang diperoleh dari informan yang disebut data

primer atau sering disebut sebagai informan kunci (key informan).

Adapun informan dalam penelitian ini antara lain:

a. Wakil kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial SH.

b. Dua orang guru SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial BS dan AS.

c. Dua orang karyawan SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial DV dan

KW.

d. Tiga orang alumni siswa SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial TH,

AH, dan LPS.

e. Dua orang tua mantan siswa SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang berinisial

SP dan ST. (Lihat Lampiran I halaman 82)

2. Tempat dan Peristiwa

Tempat sebagai obyek penelitian merupakan sumber data yang tidak

dapat ditinggalkan, maka penelitian ini dilakukan di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa

Timur. Peristiwa yang dimaksud adalah Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam

Pelaksanaan Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic Education (Studi Kasus

di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur).

3. Dokumen

Sumber data yang kedua atau sekunder dalam penelitian ini adalah

dokumen. Dokumen di sini dapat berupa Surat dan agenda yang berkaitan dengan

suatu peristiwa tertentu.

52

Macam-macam dokumen yang digunakan di sini meliputi seluruh

dokumen resmi tentang hal-hal yang terkait dengan Pelanggaran dan Tindak

Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional dilihat dari Perspektif Civic

Education (Studi Kasus di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur). Yaitu berupa :

Dokumen yang terdapat di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur berupa

Surat Putusan dari Pengadilan Negeri Ngawi tentang Identitas Pelaku Tindak

Kejahatan Penggelapan Naskah Ujian Nasional dan hukuman pidana atas para

pelaku. (Lihat Lampiran 2 halaman 84)

D. Teknik Sampling (Cuplikan)

Karena penelitian ini berbentuk kualitatif, maka teknik pengambilan

sampelnya harus disesuaikan dengan kebutuhan, maka pengambilan sample yang

paling tepat dalam penelitian adalah menggunakan purpossive sampling (sampel

bertujuan).

Menurut Lexy. J. Moleong (2005: 165), sampel bertujuan maksudnya:

1. Untuk menjaring sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber dan bangunannya

2. Menggali informasi yang akan menjadi dasar dari rancangan dan teori yang muncul. Dalam penelitian kualitatif lebih cenderung menggunakan teknik

cuplikan yang bersifat selektif dengan menggunakan pertimbangan berdasarkan

konsep teoritis yang digunakan, keingintahuan pribadi peneliti, karakteristik

empiris dan lain-lain. “Oleh karena itu cuplikan yang akan digunakan dalam

penelitian bersifat Purpossive Sampling, dengan kecenderungan peneliti untuk

memilih informasi dan masalahnya secara lebih mendalam dan dapat dipercaya

untuk menjadi sumber data yang mantap” (HB. Sutopo, 2002: 56). Apabila yang

menjadi populasi adalah Wakil Kepala Sekolah, Guru, Karyawan , Mantan Siswa

(Alumni Siswa SMK PGRI 4 Ngawi) dan Orang tua Alumni Siswa Sekolah yang

berjumlah 100 orang. Maka sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah

Wakil Kepala Sekolah, dua orang Guru, dua orang Karyawan sekolah, tiga orang

Mantan siswa (alumni siswa SMK PGRI 4 Ngawi) dan dua orang tua Alumni

siswa sekolah tersebut yang berjumlah 10 orang.

E. Teknik Pengumpulan Data

53

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data

sebagai berikut :

1. Wawancara Mendalam

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

mendalam atau in depth interviewing. “Wawancara ini bersifat lentur dan terbuka, serta tidak

terstruktur ketat dalam suasana formal dan bisa dilakukan berulang pada informan yang sama”

(HB. Sutopo, 2002: 56). Hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban yang lebih lengkap dan

mendalam tentang Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di

SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Wawancara mandalam ini peneliti lakukan pada informan

kunci.

Adapun informan dalam penelitian ini antara lain:

a. Wakil kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur.

b. Guru dan karyawan SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur.

c. Mantan para siswa SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur.

d. Orang tua mantan para siswa SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur

Adapun pedoman wawancara lihat lampiran 3 halaman 88 dan hasilnya dapat

dilihat pada dan lampiran 4 halaman 89.

2. Observasi Langsung

Teknik observasi digunakan untuk menggali data dari sumber data yang berupa peristiwa,

tempat atau lokasi, dan benda, serta rekaman gambar. Observasi dapat dilakukan baik secara

langsung maupun tidak langsung. Pada observasi langsung dapat dilakukan dengan mengambil

peran atau tak berperan. Spradley (1980) menjelaskan “bahwa pelaksanaan teknik dalam observasi

dapat di bagi menjadi (1) tak berperan sama sekali, (2) observasi berperan, yang terdiri dari, (1)

berperan pasif, (2) berperan aktif, dan (3) berperan penuh, dalam arti peneliti benar-benar menjadi

warga (bagian) atau anggota kelompok yang sedang diamati” (HB Sutopo, 2002: 64).

Teknik observasi yang digunakan dengan pengamatan secara langsung maupun tidak

langsung terhadap suatu gejala peristiwa yang terjadi dilapangan dengan mengkaji, serta

mengungkap fenomena-fenomena yang ada hubungannya dengan penelitian baik secara nyata

maupun secara mendalam yaitu mengenai pelaksanaan ujian nasional di sekolah SMK PGRI 4

Ngawi Jawa Timur.

Untuk penelitian ini peneliti berperan secara pasif dengan cara melakukan pengamatan,

meliputi segala aspek aktivitas di obyek yang diteliti, baik aktivitas yang didengar maupun yang

dilihat mengenai pelaksanaan ujian nasional yang dilakukan oleh para siswa dan siswi SMK PGRI

4 Ngawi Jawa Timur.

3. Analisis Dokumen

54

Dokumen tertulis dan arsip merupakan sumber data yang sering memiliki posisi

penting dalam penelitian kualitatif.

Dokumen bisa memiliki beragam bentuk, dari tertulis sederhana sampai lengkap, dan bahkan bisa berupa benda-benda lainnya sebagai peninggalan masa lampau. Demikian pula arsip yang ada umumnya berupa catatan-catatan yang lebih formal bila dibanding dengan dokumen. Sebagai catatan formal arsip sering memiliki peran sebagai sumber informasi yang sangat berharga bagi pemahaman suatu peristiwa. Sumber data berupa arsip dan dokumen biasanya merupakan sumber data pokok dalam penelitian kesejarahan, terutama untuk mendukung proses interprestasi dari setiap peristiwa yang diteliti (H.B Sutopo 2002 :69).

Dalam teknik dokumentasi peneliti melakukan telaah kepustakaan dan content

analysis. Menurut H.B Sutopo (2002 :69) “mencatat dokumen disebut juga content

analysis dan yang dimaksud peneliti bukan hanya sekedar mencatat isi penting yang

tersurat dalam dokumen atau arsip tetapi juga tentang maknanya yang tersirat”.

Dokumen atau arsip yang digunakan peneliti dalam penelitian ini berupa Surat Putusan

dari Pengadilan Negeri Ngawi tentang Identitas Pelaku Tindak Kejahatan Penggelapan Naskah

Ujian Nasional dan hukuman pidana atas para pelaku.

F. Validitas Data

Agar hasil penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah

maka di perlukan adanya validitas data untuk menjaga keabsahan data yang

dikumpulkan, validitas data merupakan sarana untuk membuktikan bahwa

penelitian kualitatif merupakan penelitian yang ilmiah.

Didalam bukunya H.B Sutopo (2002: 78) menyebutkan ada empat

macam trianggulasi data yaitu :

1. Trianggulasi data atau disebut trianggulasi sumber adalah penelitian dengan menggunakan berbagai sumber data yang berbeda untuk mengumpulkan data yang sejenis.

2. Trianggulasi penelitian yaitu cara yang mana hasil penelitian baik data maupun kesimpulan mengenai bagian tertentu atau keseluruhan diuji validitasnya dari berbagai peneliti.

3. Trianggulasi metodologis yaitu penelitian yang dilakukan dengan menggunakan data yang sejenis tetapi dengan teknik pengumpulan data yang berbeda.

4. Trianggulasi teori yaitu melakukan penelitian dengan topik yang sama dan datanya dianalisis dengan menggunakan beberapa perspektif lebih dari satu teori dalam membahas permasalahan yang di kaji.

Menurut (HB.Sutopo, 2002: 77) “Guna menjamin dan mengembangkan

validitas data yang biasa digunakan dalam penelitian kualitatif maka

menggunakan teknik trianggulasi data atau sumber”. Dalam hal ini peneliti

mengumpulkan data tentang Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur dari

55

sumber data yang berbeda, yang digali dari sumber data informan, arsip dan

peristiwa selama kegiatan berlangsung.

G. Analisis Data

Menurut Lexy J. Moleong (2005: 280) “Analisis data adalah proses

mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan

uraian dasar sehingga dapat ditemukan tema dan tempat dirumuskan hipotesis

kerja seperti yang disarankan oleh data”. Sedangkan menurut HB. Sutopo (2002:

91) berpendapat bahwa “Dalam proses analisis data terdapat 4 komponen utama

yang harus dipahami oleh setiap peneliti kualitatif. Empat komponen utama

tersebut adalah : (1) pengumpulan data, (2) reduksi data, (3) sajian data, (4)

penarikan kesimpulan/ verifikasi”.

1. Pengumpulan Data

Kegiatan ini digunakan untuk memperoleh informasi yang berupa

kalimat-kalimat yang dikumpulkan melalui kegiatan observasi, wawancara, dan

dokumen. Data yang diperoleh masih berupa data yang mentah yang tidak teratur,

sehingga diperlukan analisis agar data menjadi teratur.

2. Reduksi Data

Merupakan suatu proses seleksi, pengfokusan penyederhanaan dan

abstraksi dari field note (data mentah). HB. Sutopo (2002: 92) berpendapat bahwa:

“Reduksi data adalah bagian dari proses analisis, yang mempertegas,

memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang tidak penting dan

mengatur data sedemikian rupa sehingga simpulan penelitian dapat dilakukan”.

3. Sajian Data

Merupakan rakitan dari organisasi informasi yang memungkinkan

kesimpulan riset dapat dilakukan. Sajian data dapat berupa matriks, gambar atau

skema, jaringan kerja kegiatan dan tabel. Semuanya dirakit secara teratur guna

mempermudah pemahaman informasi.

4. Penarikan Kesimpulan

Kesimpulan akhir akan diperoleh bukan hanya sampai pada akhir

pengumpulan data, melainkan dibutuhkan suatu verifikasi yang berupa

56

pengulangan dengan melihat kembali field note (data mentah) agar kesimpulan

yang di ambil lebih kuat dan bisa dipertanggung jawabkan.

Keempat komponen utama tersebut merupakan suatu rangkaian dalam

proses analisis data yang satu dengan yang lain sehingga tidak dapat dipisahkan,

dimana komponen yang satu merupakan langkah menuju komponen yang lainnya,

sehingga dapat dikatakan bahwa dalam penelitian kualitatif tidak bisa

mengandung salah satu komponen. Untuk lebih jelasnya, dapat dilihat dalam

bagan berikut ini:

Gambar 2.

Data Model Analisis Interaktif

( HB. Sutopo, 2002 : 96 )

Pada penelitian ini peneliti memfokuskan pengumpulan data pada

Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa

Timur, baru kemudian peneliti menyajikan data tersebut dalam bentuk narasi yang

didalamnya menggambarkan Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam

Pelaksanaan Ujian Nasional (UN) di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur. Dari data

yang telah diuraikan tersebut akan ditarik suatu kesimpulan.

H. Prosedur Penelitian

Kegiatan penelitian ini direncanakan melalui beberapa tahapan yaitu:

“(1) Persiapan, (2) Pengumpulan data, (3) Analisis data, dan (4) Penyusunan

laporan penelitian” (HB. Sutopo, 2002: 187-190).

Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan diuraikan sebagai berikut:

1. Persiapan

a. Mengurus perijinan penelitian

1. Pengumpulan Data

2. Reduksi Data 3. Sajian Data Data

4. Penarikan Simpulan /verifikasi Verifikasi

57

b. Menyusun protokol penelitian, pengembangan pedoman pengumpulan data

dan menyusun jadwal kegiatan penelitian.

2. Pengumpulan Data

a. Mengumpulkan data di lokasi studi dengan melakukan wawancara mendalam

dan mencatat serta merekam dokumen

b. Melakukan review dan pembahasan beragam data yang telah terkumpul

c. Memilah dan mengatur data sesuai kebutuhan.

3. Analisis Data

a. Menentukan teknik analisa data yang tepat sesuai proposal penelitian

b. Mengembangkan sajian data dengan analisis lanjut kemudian di cross check

kan dengan temuan lapangan

c. Setelah dapat data yang sesuai intensitas kebutuhan maka dilakukan proses

verifikasi dan pengayaan dengan mengkonsultasikan dengan orang yang

dianggap lebih ahli

d. Setelah selesai, baru dibuat simpulan akhir sebagai temuan penelitian.

4. Penyusunan Laporan Penelitian

a. Penyusunan laporan awal

b. Review laporan: pertemuan diadakan dengan mengundang kurang lebih 2

orang yang cukup memahami penelitian untuk mendiskusikan laporan yang

telah disusun sementara

c. Perbaikan laporan sesuai dengan rekomendasi hasil diskusi

d. Penyusunan laporan akhir.

58

BAB IV

HASIL PENELITIAN

A. Deskripsi Lokasi Penelitian

1. Sejarah Singkat Berdirinya SMK PGRI 4 Ngawi

Pasca kemerdekaan, sejarah dunia pendidikan di Kabupaten Ngawi cukup berkembang.

Ini ditandai dengan sudah berdirinya sekolah tingkat atas/ Sekolah Lanjutan Tingkat Atas (SLTA)

yaitu SMA Negeri Ngawi pada tahun 1963. Seiring dengan terus berkembangnya dunia pendidikan

dengan ditandai dengan semakin banyaknya lulusan Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP)

maka daya tampung SMA Negeri Ngawi tidak mampu menyerap semua lulusan SLTP yang ingin

melanjutkan ke SLTA. Akhirnya dalam kurun waktu 16 tahun kemudian berdirilah SMA Negeri

kedua di Ngawi.

Melihat amino masyarakat yang demikian besar, akhirnya kedua sekolah negeri tersebut

tidak mampu menampung lulusan SLTP. Untuk mengatasi hal itu maka pada tahun 1979 berdirilah

SMK PGRI 4 Ngawi sebagai SMK swasta keempat di Kabupaten Ngawi.

SMK PGRI 4 Ngawi berdiri di bawah naungan Yayasan Pembina Lembaga Pendidikan

Dasar dan Menengah (YPLP Dasmen) PGRI Ngawi. Ijin operasional dari Departemen Pendidikan

Nasional dengan nomor SK: 60/U/PC/PGRI/1979 tanggal 18 Mei 1979.

Sejak momentum berdirinya SMK PGRI 4 Ngawi itulah dunia pendidikan khususnya

tingkat Sekolah Menengah Sangat bergairah terbukti semakin banyak bermunculan sekolah-

sekolah swasta baru, antara lain: SMA PGRI Widodaren, SMK PGRI 4 Geneng, SMA Santo

Thomas Ngawi, SMK Muhammadiyah Ngawi, SMA Soerjo Ngawi, dan lain-lain.

Pada rintisan awal SMK PGRI 4 Ngawi pada Tahun ajaran 1979/1980 membuka 3 kelas

dengan daya tampung 147 siswa. Karena Belum memiliki gedung sendiri maka meminjam gedung

SD Negeri Grudo Ngawi dengan cara masuk siang karena pagi hari digunakan untuk proses

Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) siswa SD.

Tahun ajaran 1981/1982 jumlah siswa keseluruhan mencapai 715 anak, karena SD

Grudo tidak mampu menampung, maka pihak sekolah mengambil langkah meminjam gedung SD

Cupo Ngawi sebagai gedung kedua.

Tahun ajaran 1982/1983 SMK PGRI 4 Ngawi harus kembali meminjam gedung sekolah

lain karena jumlah siswa yang semakin bertambah mencapai 906 anak. Akhirnya dipilihlah SD

Jururejo Ngawi untuk dipinjam sebagai gedung ketiga. Kebetulan ketiga SD tersebut berlokasi

tidak berjauhan hanya sekitar ±1000 meter.

Momentum berikutnya terjadi pada tahun ajaran 1987/1988, yaitu ketika untuk pertama

kalinya SMK PGRI 4 Ngawi berhasil menempati gedung milik sendiri, yang berlokasi di Jl. Raya

Ngawi Madiun Klitik Geneng Ngawi. Gedung ini ditempati hingga Sekarang dan sudah banyak

sekali perkembangannya.

59

2. Profil Aktual SMK PGRI 4 Ngawi

Data lengkap SMK PGRI 4 Ngawi adalah sebagai berikut :

NPSN 20508446

Nama Sekolah SMK PGRI 4 NGAWI

Tingkat Sekolah SMU/SMK/MA

Status Swasta

Alamat Jalan A. Yani (Timur Terminal Bus) Ngawi

Kode Pos 63271

Kelurahan Klitik

Kecamatan Geneng

Propinsi Jawa Timur

Kab/Kota Ngawi

Telepon (0351) 749676

Fax (0351) 749676

Email Sekolah [email protected]

Nama lengkap dari sekolah ini adalah Sekolah Menengah Kejuruan Persatuan Guru

Republik Indonesia 4 Ngawi (SMK PGRI 4 Ngawi). Nomor Statistika Sekolah/ Madrasah

(NSSM): 304050901003 dan Nomor Pokok Sekolah Nasional (NPSN): 20508446. Alamat: Jl. A.

Yani Klitik Geneng Ngawi Jawa Timur, Kode Pos: 63271 Telepon: 0351-749676 e-mail:

[email protected].

SMK PGRI 4 Ngawi berstatus sekolah swasta klasifikasi sekolah mandiri. Status ini

tertuang dalam SK No: 420/11/404.109 tertanggal : 28/02/2007. dalam akreditasi sekolah yang

terakhir tahun 2007 mendapat status terakreditasi dengan nilai “A” tertuang dalam SK Badan

Akreditasi Sekolah No: 036/5/BASDA/TU tertanggal: 19/07/2007.

Visi dari SMK PGRI 4 Ngawi adalah Terwujudnya sumber daya manusia bertaraf dunia

yang dilandasi iman dan taqwa serta keunggulan lokal, sedangkan misinya adalah :

a. Memberdayakan potensi yang ada dalam bentuk sarana prasarana, dana, teknologi dan

informasi.

b. Meningkatkan manajemen pelayanan dan kepuasan kerja.

c. Menciptakan iklim organisasi yang sehat.

d. Meningkatkan sumber daya manusia tenaga kependidikan terus menerus

Tahun pelajaran 2008/2009 SMK PGRI 4 Ngawi mengelola 15 kelas dengan jumlah

siswa sebanyak 654 orang.

Tinjauan terhadap sarana fisik, sekolah ini sudah menempati gedung milik sendiri dan

meyelenggarakan sekolah di pagi hari. Memiliki 16 ruang kelas, 1 ruang laboratorium, 1 ruang

laboratorium komputer yang sudah terkoneksi jaringan internet, 1 ruang laboratorium bahasa, 1

60

ruang perpustakaan, 1 ruang multimedia, 1 ruang kepala sekolah, 1 ruang guru, 1 ruang tata usaha,

masjid, ruang osis, WC, lapangan basket, lapangan voli, lapangan futsal, kantin dan tempat parkir.

Semua sudah berstatus milik sendiri dan berdiri di atas tanah hak milik bersertifikat.

SMK PGRI 4 NGAWI didukung oleh tenaga pendidik dan kependidikan muda yang

profesional dan inovatif serta memiliki fasilitas gedung milik sendiri, laboratorium komputer,

laboratorium bahasa, laboratorium penjualan, sistem pembelajaran menggunakan sistem multi

media.

SMK PGRI 4 NGAWI memiliki Bursa Kerja Khusus (BKK) yang telah mengantarkan

lulusan bekerja di dalam negeri (Batam, Jakarta, Surabaya, Semarang dan Palembang) serta ke luar

negeri (Amerika Serikat, Malaysia, Singapura, Taiwan dan Hongkong).

Jumlah tenaga pendidik (guru) di SMK PGRI 4 Ngawi seluruhnya 53 orang, terdiri dari

Guru Tetap sejumlah 6 orang, Guru Tidak Tetap sejumlah 44 orang, Guru Bantu Pusat sejumlah 1

orang dan Guru Bantu Daerah sejumlah 2 orang. Latar belakang pendidikannya mayoritas sudah

S1 sejumlah 50 orang, D3 sejumlah 2 orang dan D2 sejumlah 1 orang.

B. Deskripsi Permasalahan Penelitian

1. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di

SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur

a. Pelaksanaan Ujian Nasional

Masalah pendidikan merupakan masalah yang sangat kompleks di

Indonesia, mulai dari robohnya bangunan sekolah yang terjadi di mana-

mana, kekurangan guru, mahalnya biaya pendidikan, putus sekolah, korupsi

di bidang pendidikan, kontroversi Ujian Nasional, kecurangan penerimaan

siswa baru, kurikulum pendidikan yang sering berubah tanpa jelas arah dan

tujuannya, tidak merata dan rendahnya kualitas pendidikan, sampai pada

ketidaknyamanan anak belajar di sekolah.

Menurut Undang-Undang No. 20 tahun 2003 mengenai Sistim

Pendidikan Nasional, Pendidikan Nasional adalah Pendidikan yang

berdasarkan Pancasila dan Undang Undang Dasar Negara Republik

Indonesia tahun 1945 yang berakar pada nilai-nilai agama dan kebudayaan

nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan jaman.

Pendidikan Nasional sendiri merupakan pengembangan dari arti kata

Pendidikan sendiri yang berarti: usaha sadar dan terencana untuk

mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik

61

secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk menambah kekuatan

spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak

mulia, ketrampilan yang dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Dan

mempunyai fungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak

serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan

kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik

agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha

Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi

warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Semua itu

bermuara pada Sistem Pendidikan Nasional yang telah dicanangkan oleh

pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional melalui Sistem

Pendidikan Nasional yang berarti keseluruhan komponen pendidikan yang

saling terkait secara terpadu untuk mencapai tujuan pendidikan nasional.

Di dalam pendidikan nasional itu sendiri terdapat peserta didik

selaku anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan diri melalui

proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang dan jenis pendidikan

tertentu. Selain peserta didik sudah tentu harus tersedia tenaga

kependidikan yang merupakan anggota masyarakat yang mengabdikan diri

dan diangkat untuk menunjang penyelenggaraan pendidikan seperti guru,

dosen, konselor, instruktur, pamong belajar, fasilitator dan lainnya yang

turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan pendidikan.

Dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional

sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak

yang berkepentingan dilakukan evaluasi terhadap peserta didik, lembaga

dan program pendidikan pada jalur formal dan nonformal untuk semua

jenjang, satuan dan jenis pendidikan.

Hal ini dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil

belajar peserta didik secara berkesinambungan. Evalusi peserta didik, satuan pendidikan dan

program pendidikan dilakukan oleh lembaga mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan

sistemik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan.

Di tengah kondisi sosial masyarakat yang memprihatinkan, sektor pendidikan masih

menghadapi persoalan besar. Selain rendahnya mutu pendidikan dan terbatasnya komponen

62

instrumental yang mendukung pendidikan, ketidaksiapan masyarakat dalam mendukung setiap

kebijakan pendidikan terus-menerus menghantui di tiap tahunnya.

Perdebatan mengenai Ujian Nasional (UN) sebenarnya sudah terjadi

saat kebijakan tersebut mulai digulirkan pada tahun ajaran 2002/2003. UN

atau pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) menjadi pengganti

kebijakan Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (Ebtanas). Hanya,

sementara Ebtanas berlaku pada semua level sekolah, UN hanya pada

sekolah lanjutan tingkat pertama (SLTP), madrasah tsanawiyah (MTs),

sekolah menengah umum (SMU), madrasah aliyah (MA), dan sekolah

menengah kejuruan (SMK). Untuk sekolah dasar (SD), sekolah dasar luar

biasa (SDLB), sekolah luar biasa setingkat SD (SLB), dan madrasah

ibtidaiyah (MI), Ebtanas diganti dengan ujian akhir sekolah. Perdebatan

muncul tidak hanya karena kebijakan UN yang digulirkan Departemen

Pendidikan Nasional minim sosialisasi dan tertutup, tapi lebih pada hal yang

bersifat fundamental secara yuridis dan paedagogis.

Selain itu, pada penyelenggaraan UN tahun ajaran 2003/2004, Koalisi

Pendidikan menemukan berbagai penyimpangan, dari teknis hingga finansial.

Penyimpangan-penyimpangan yang terjadi secara teknis hingga finansial

pada penyelenggaraan Ujian Nasional tahun ajaran 2003/2004 Dari Hasil Kajian

Koalisi Pendidikan (Koran Tempo, 4 Februari 2005, hal 5) yaitu:

Pertama, teknik penyelenggaraan. Perlengkapan ujian tidak disediakan

secara memadai. Misalnya, dalam mata pelajaran bahasa Inggris, salah satu

kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa menjawab soal dengan

baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone). Pada

prakteknya, penyelenggara ujian tidak memiliki persiapan peralatan penunjang

yang baik.

Kedua, pengawasan. Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan

menjadi bagian penting dalam UN untuk memastikan tidak terjadinya kecurangan

yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini diserahkan kepada guru

dengan sistem silang pengawas tidak berasal dari sekolah yang bersangkutan, tapi

dari sekolah lain. Tapi, pada kenyataannya, terjadi kerja sama antarguru untuk

63

memudahkan atau memberi peluang siswa menyontek. Kasus di beberapa sekolah,

guru, terutama untuk mata pelajaran yang dibuat secara nasional seperti

matematika, bahasa Inggris, atau ekonomi, dengan berbagai modus memberi

kunci jawaban kepada siswa. Selain itu, pada tingkat penyelenggara pendidikan

daerah seperti dinas pendidikan, usaha untuk menggelembungkan (mark-up) hasil

ujian pun terjadi. Caranya dengan membuat tim untuk membetulkan jawaban-

jawaban siswa.

Ketiga, pembiayaan. Dalam dua kali UN, penyelenggaraannya

dibebankan pada pemerintah pusat dan daerah melalui APBN dan APBD. Artinya,

peserta ujian dibebaskan dari biaya mengikuti UAN. Tapi, pada tingkatan sekolah,

tidak jelas bagaimana sistem penghitungan dan distribusi dana ujian (baik APBN

maupun APBD). Posisi sekolah hanya tinggal menerima alokasi yang sudah

ditetapkan oleh penyelenggara di atasnya. Akibatnya, walau menerima dana untuk

menyelenggarakan UN, sekolah menganggap jumlahnya tidak mencukupi,

sehingga kemudian membebankannya pada peserta ujian. Caranya dengan

menumpangkan pada biaya SPP atau biaya acara perpisahan.

Dari penyimpangan-penyimpangan dalam pelaksanaan

penyelenggaraan UN menimbulkan ketidakadilan bagi para peserta didik

yang telah mengikuti UN. UN seharusnya didahului dengan pemerataan

standar baik di kota-kota besar maupun di daerah dan daerah-daerah

terpencil sehingga para peserta UN mempunyai bekal yang sama sebelum

mengikuti UN tersebut. Sebagai contoh, ada lulusan SD di Papua yang belum

bisa membaca tetapi harus disamakan dengan lulusan SD di DKI Jakarta

yang sudah sangat lancar membaca. Fasilitas di Papua jelas sangat berbeda

dengan di Jakarta, sehingga perbedaan tersebut jelas ada. Apabila

dibandingkan dengan sistem pendidikan di luar negeri, misalnya negara

tetangga Malaysia dan Singapura, jelas berbeda. Karena di negara-negara

tersebut sudah mempunyai standar mutu yang sama di setiap wilayahnya

sedangkan di Indonesia terjadi kesenjangan yang sangat mencolok di dalam

bidang pendidikan.

64

Ujian Nasional itu sendiri juga bertentangan dengan prinsip

Kurikulum Berbasis Kompetensi, sesuai dengan Pasal 8 Undang-Undang

Sistem Pendidikan Nasional, yaitu: bahwa kedalaman muatan kurikulum

pada setiap satuan pendidikan dituangkan dalam dasar kompetensi dan

kompetensi dasar pada setiap tingkat dan/atau semester sesuai dengan

Standar Nasional Pendidikan. Dalam hal ini dapat dikatakan bahwa

pendidik-lah yang mengetahui kompetensi siswa yang bersangkutan. Karena

setiap hari telah melakukan proses belajar dan mengajar terhadap siswa

tersebut otomatis yang lebih mengetahui perkembangan siswa tersebut

adalah pendidik itu sendiri. Dan penilaian kelulusan itu ditentukan pendidik

dengan memperhatikan 3 (tiga) unsur yaitu afektif, psikomotorik dan

kognitif. Karena itu tidak mungkin kelulusan seorang siswa hanya

ditentukan oleh tiga mata pelajaran dan dalam waktu satu hingga dua jam

saja.

b. Pelanggaran-Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian

Nasional (UN)

Karena tingginya standar kelulusan siswa dalam UN tahun ini

dimana nilai kelulusan peserta UN tingkat SMP/SM-PLB/MTs dan di tingkat

SMA/SMK/MA tidak bisa diganggu gugat dan ditawar-tawar. Untuk lulus

nilai rata-rata UN harus 5,00 dan nilai satu mata pelajaran minimal 4,25.

Bila salah satu mata ujian nilainya 4,00 maka dua mata ujian lainnya harus

minimal 6,00. Walaupun kurang nol koma nol sekian, tapi nilainya tidak

sampai 4 (empat), tetap tidak bisa lulus UN, hal ini dinyatakan oleh Yunan

Yusuf, ketua Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). (Warta Kota,

Sabtu, 5 Mei 2007, Hal. 3). Bila nilai ujian lainnya tinggi dan akhlaknya baik

tetapi nilai UN-nya dibawah 4 (empat) tetap tidak lulus. Begitu juga

sebaliknya, bila UN tinggi, tapi nilai ujian sekolah di bawah standar

kelulusan, siswa bisa tetap tidak lulus.

Pihak sekolah tidak bisa mengintervensi nilai UN untuk

mendongkrak nilai UN siswa sehingga lulus sekolah. Karena, seluruh hasil

UN itu diperiksa dan dikeluarkan oleh Puspendik Depdiknas. Skor UN

65

disampaikan oleh BSNP ke propinsi dan dilanjutkan ke sekolah-sekolah.

Supaya tidak terjadi dongkrak mendongkrak nilai harus ada batas nilai

kelulusan.

Dibandingkan dengan tahun lalu, nilai kelulusan yang diterapkan

saat ini telah diturunkan batas minimalnya. Tahun lalu, standar lulus satu

nilai mata ujian minimal 4,25. Tahun ini, peserta UN yang nilainya 4,00 bisa

lulus UN asalkan nilai dua ujian lainnya minimal 6,00. Tetapi walaupun

demikian masih banyak siswa yang gagal dalam UN.

Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi ini menyebabkan

terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam

pelaksanaan UN di hampir seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang

mengakibatkan banyaknya pelanggaran dalam UN ini adalah kekhawatiran

dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang bersangkutan akan turun

jika banyak diantaranya siswanya yang tidak lulus. Sebagian masyarakat

masih berpendapat jika keberhasilan suatu sekolah dilihat dari banyaknya

siswa yang berhasil lulus, apabila banyak yang tidak lulus otomatis

kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan berkurang dan

bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan murid. Kekhawatiran juga

melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak lulus adalah adanya

demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus dan tindakan anarkis dari siswa

yang tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi Dinas Pendidikan Kota akan

turun dan dianggap tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan karena

prosentase kelulusan yang kecil.

Berbagai pelanggaran pada UN terjadi ketika bahan UN telah

didistribusikan ke sekolah atau madrasah pada hari terjadinya UN, bukan

pada tahap pendistribusian dari tingkat pusat, percetakan, propinsi hingga

ke kabupaten/kota.

Pelanggaran terjadi ketika bahan UN dijemput oleh sekolah

penyelenggara. soal diambil pada pukul 05.00 subuh, waktu yang tersedia

antara pukul 05.00 sampai dengan pukul 07.30 digunakan oleh oknum guru

atau kepala sekolah untuk membuka amplop soal UN, mengerjakannya,

66

serta menutup kembali amplop tersebut. Jawaban inilah yang nanti beredar

dalam bentuk SMS dan contekan kecil yang dibawa masuk ke ruang ujian

oleh guru sekolah penyelenggara atau ditulis di papan tulis di ruang ujian.

Pelanggaran lain yang ditemukan adalah ada sekolah yang sengaja

mendesain kelasnya hanya berjumlah kurang dari 20 orang sehingga ada

sisa soal di kelas itu. Padahal menurut Prosedur Operasional Standar

(POS), sisa soal harus segera disimpan. Namun sisa soal tersebut dikerjakan

dan jawabannya diedarkan dalam bentuk SMS dan contekan kecil ke

seluruh peserta ujian (Republika, Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 4).

Selain itu, sekolah-sekolah yang tidak ingin muridnya gagal dalam

UN telah membentuk tim sukses untuk meluluskan para muridnya. Tim

Sukses ini beranggotakan guru-guru yang mata pelajarannya menjadi mata

pelajaran yang diujikan dalam UN.

Sebelum UN dilaksanakan, pihak sekolah telah mengundang tim

pengawas yang akan mengawasi UN di sekolah tersebut. Mereka diberi

pengarahan agar tidak terlalu ketat dalam mengawasi UN dan segala bentuk

pelanggaran yang terjadi tidak perlu dicatat. Karena sewaktu UN berjalan,

para murid akan saling memberitahukan jawaban ujian yang berasal dari

guru yang telah mendapatkan jawaban dari soal ujian yang telah dibuka

terlebih dahulu sebelum UN dimulai. Para guru pengawas tersebut, pada

saat UN berjalan hanya duduk di depan kelas sambil membaca saja dan

seolah tidak peduli akan segala sesuatu yang berjalan pada waktu ujian.

Tidak lupa para pengawas ini pun diberi amplop yang berisi uang sogokan

(Republika, Sabtu, 5 Mei 2007, Hal 4).

Apabila setelah UN berakhir masih ada siswa yang belum selesai

mengisi lembar jawaban dengan jawaban yang benar, maka waktu yang

tersedia digunakan oleh pihak sekolah untuk membetulkan jawaban sebelum

semua jawaban dikumpulkan ke rayon masing-masing.

Siswa juga diminta hadir lebih awal ke sekolah sebelum pengawas

datang dan siswa tersebut diberi tahu kunci jawaban oleh tim sukses dan

guru yang telah mengerjakan soal-soal UN pada hari itu.

67

Selain bentuk pelanggaran-pelanggaran di atas, ada pula kasus

penggelapan naskah soal UN oleh oknum kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi

(Seputar Indonesia, 15 Juni 2007 Hal 5). Kasus ini termasuk dalam tindak pidana

kejahatan, dimana telah disidangkan di Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur.

Selain kepala sekolah tersebut, yang ikut menjadi terdakwa adalah, Guru dan

Kepala Staff Tata Usaha. Dalam sidang tersebut diketahui motif terdakwa

melakukan penggelapan naskah soal UN karena ingin meluluskan semua siswanya

dan bukan untuk menjual soal tersebut. Karena sebagai kepala sekolah, dia

ditargetkan untuk meluluskan sebanyak 96% dari seluruh siswa. Siswa SMK

yang menjadi peserta UN adalah sebanyak 484 siswa. Niat menggelapkan naskah

ujian muncul pada saat mereka mendapat tugas mengambil naskah ujian dari

Kantor Diknas Ngawi untuk kemudian diamankan di Polres Ngawi. Seluruh

terdakwa saat itu adalah rombongan yang berada dalam satu mobil. Karena saat

itu tidak ada polisi yang ikut dalam rombongan, lalu timbullah niat untuk

menggelapkan.

Jadi berbagai kecurangan itu justru berlangsung di ruang-ruang

kelas sekolah, bahkan di luar kelas. Karena dari mulai penyelenggara UN

Pusat ke percetakan yang ditetapkan Gubernur sebagai pemenang tender,

master copy dijaga ketat oleh Kepolisian dan tim pemantau independen.

Soal-soal UN itu dicetak dan dipak dengan menggunakan tiga gembok

berbeda yang kuncinya masing-masing dipegang pihak percetakan, tim

pemantau independen dan Kepolisian. Ketika perusahaan percetakan

mendistribuskan bahan UN kepada penyelenggara UN tingkat

kabupaten/kota dan menyimpannya di kantor dinas pendidikan

kabupaten/kota, di kantor kepolisian dan di sub rayon sekolah

penyelenggara, seluruhnya juga dijaga ketat kepolisian, tim pemantau

independen dan penyelenggara UN kabupaten/kota hingga sampai ke

sekolah.

Ada informasi yang sedang diselidiki oleh pihak LSM tersebut

karena diperoleh kabar bahwa pengelola Bimbingan Belajar tersebut bisa

membeli soal seharga Rp. 20 juta sampai Rp 25 juta. Bimbingan Belajar

68

tersebut akan membahas soal UN tersebut dua minggu sebelum UN

dilaksanakan. Semua informasi survey ini diperoleh dari pengakuan peserta

UN, karena sepertinya ada kesepakatan bersama untuk menutupi

kecurangan UN antara sekolah dan guru, jadi sulit untuk

mengungkapkannya (Republika, Selasa 8 Mei 2007, Hal 5).

c. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional di

SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur

Sebagaimana di Sekolah lain, SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur juga

melaksanakan UN. Pada prakteknya, dalam pelaksanaan UN di Sekolah tersebut

terdapat banyak pelanggaran bahkan sampai terjadi tindak kejahatan, ini terlihat

dengan adanya oknum pejabat di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang telah

menggelapkan naskah Ujian Nasional. (Harian Seputar Indonesia, 15 Juni 2007,

Hal 5). Hal ini dikarenakan pada UN mulai tahun 2006 sampai 2008 selain

persyaratan kelulusan sulit juga jumlah mata pelajaran yang diujikan pada UN

juga bertambah dari tahun ketahun. Tidak hanya siswa saja yang khawatir dalam

menghadapi ujian tahun ini tetapi juga orang tua, sekolah, pemerintah daerah

masing-masing juga mengkhawatirkan.

Hal ini sesuai dengan wawancara dengan (CL nomor 1), Salah satu guru

pada sekolah SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. (Wawancara dilakukan pada hari

Senin tanggal 21 Juli 2008, pukul 10.00 WIB).

“Wah..gimana ya..? tahun lalu saja kita merasa kesulitan untuk memenuhi nilai

standar kelulusan yang diterapkan..e..malah sekarang dinaikkan standar kelulusannya.

Akhirnya kita melakukan berbagai upaya, agar anak-anak kita bisa mencapai nilai yang

diharapkan...Kalau tidak kita bantu, wah, ya sulit”

Selain karena tingginya standar kelulusan yang ditetapkan, salah satu

sebab terjadinya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam UN adalah karena siswa

merasa malu jika tidak lulus ujian, seolah-olah mereka belajar 3 tahun tidak ada

hasilnya, mau mengulang malu, takut pada orangtua dan secara psikologis

menjadi rendah diri. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan lulusan SMK

PGRI 4 Ngawi Jawa Timur yang saat ini bekerja sebagai karyawan toko (CL

nomor 2), (Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal 20 Juli 20008, pukul

12.05 WIB).

69

“Gimana ya Mbak, kalau ingat waktu ujian dulu, kita kerjasama, sms an, buat

contekan agar bisa lulus..Habis kalau sampai tidak lulus, saya malu banget, sama

tetangga, apalagi sama orang tua..”

Perasaan malu juga dialami orangtua jika anaknya tidak lulus, uang yang

telah mereka gunakan untuk membiayai anaknya seolah-olah tidak ada hasilnya.

Hal ini sesuai dengan wawancara dengan, Orang tua mantan siswa SMK PGRI 4

Ngawi Jawa Timur. (CL nomor 3).(Wawancara dilakukan pada hari Senin tanggal

21 Juli 2008, pukul 14.40 WIB)

“Wah..kalau sampai anak saya nggak lulus, mau ditaruh dimana muka saya ini

Mbak..sudah lah bayar sekolahnya mahal..eh, ujiannya nggak lulus pula”

Kekhawatiran tersebut, tidak saja dialami oleh siswa, guru maupun orang tua siswa.

Kekhawatiran juga dialami oleh sekolah. Kekhawatiran sekolah adalah persentase kelulusan ujian

nasional yang diperoleh kecil. Jika persentase kelulusan kecil maka sekolah akan menanggung

beban moral terhadap masyarakat karena merasa gagal dalam melakukan proses pembelajaran di

sekolah. Kegagalan tersebut juga sebagai indikator mutu sekolah, walaupun sebenarnya angka

kelulusan hanya merupakan salah satu indikator keberhasilan sekolah. Namun selama ini

masyarakat menilai bahwa mutu sekolah dapat dilihat dari angka kelulusan yang dicapai.

Hal ini seperti hasil wawancara dengan Wakil Kepala Sekolah SMK

PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur.(CL nomor 4). (Wawancara dilakukan pada hari

Senin tanggal 21 Juli 2008, pukul 10.30 WIB).

“UN ini memang menjadi beban moral kami. Bagaimana tidak, kalau sampai banyak

siswa sekolah kami yang tidak lulus, pasti masyarakat akan mempertanyakan mutu

sekolah ini. Padahal sebagai sekolah swasta, mutu tersebut menjadi tolok ukur

perolehan siswa pada tahun ajaran berikutnya”

Bahkan usaha penolakan pelaksanaan ujian nasional juga dilakukan oleh

sebagian dari kalangan pendidik. Mereka merasa bahwa penilaian adalah

merupakan hak pendidik, jadi kurang pas bila dievaluasi selain pendidik,

begitulah yang terjadi di tahun sebelumnya.

Kekhawatiran yang dimiliki oleh siswa, sekolah maupun pemerintah

daerah, baik tingkat kabupaten maupun propinsi menumbuhkan semangat untuk

melakukan usaha untuk meraih sukses dalam ujian nasional. Bentuk upaya itu bisa

berupa tambahan pelajaran, try out ujian nasional, supervisi persiapan ujian

nasional dan bentuk-bentuk lain yang serupa.

70

2. Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI 4

Ngawi Jawa Timur bila dilihat dari Perspektif Civic Education

Bentuk pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa

Timur berupa Membuat contekan jawaban Ujian Nasional (UN) hal ini dapat di kemukakan

sebagai berikut:

Selain Tindak Kejahatan yang sudah terkena sanksi hukum sebagaimana uraian yang

akan di paparkan di bawah, tidak sedikit bentuk kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional.

Kecurangan ini terjadi pada siswa, guru, sekolah sampai di tingkat daerah. Yang telah terjadi

ditemui banyak tulisan-tulisan jawaban di tempat tertentu seperti WC dan kamar mandi, banyak

siswa yang izin ke belakang saat ujian berlangsung, bahkan ada juga guru pada suatu sekolahan

yang secara terang-terangan memberikan jawaban di ruang ujian.

Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan salah seorang guru di SMK 4 PGRI

Ngawi (CL nomor 1), (Wawancara ini dilakukan pada hari selasa 22 Juli 2008, pukul 08.05 WIB).

“Yaa.. kita mesti pinter-pinter cari kesempatan mbak..ya nanti kita buatkan contekan

jawaban, trus diam-diam kita berikan pada siswa. Trus, kita juga pura-pura tidak tau

kalau ada siswa yang saling bertukar jawaban di WC atau dimana saja”

Berbagai macam pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional dapat di

lihat sesuai hasil wawancara dengan salah seorang alumni siswa SMK PGRI 4

Ngawi (CL nomor 2), (Wawancara ini dilakukan pada hari pada hari Senin

tanggal 20 Juli 20008, pukul 12.05 WIB).

“Pelanggaran?..ya macem-macem mbak..sms an, mengambil soal sebelum digunakan,

membuat contekan, ngasih tau jawaban kalau pas siswa keluar…itu semua termasuk

pelanggaran Mbak”

Ya itu tadi Mbak…ada yang buat contekan..ada yang sms an nyocokkan

jawabannya..ada yang pura-pura ke WC trus disana sms atau cari jawaban di buku

yang ditinggalkan di luar…pokoknya banyak deh cara yang dilakukan siswa

itu…ha..ha..ha..

Uraian di atas, menggambarkan bentuk-bentuk pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian

Nasional. Ketika pelaksanaan UN cara-cara curangpun dilakukan agar bisa lulus mulai pencurian

soal, saling contek, joki soal atau modus lain mewarnai UN. Memang bagi siswa yang siap

mungkin UN tidak menjadi masalah. Tapi, siswa yang tidak siap UN menjadi permasalahan besar,

tindakan nekatpun dilakukan.

Bentuk Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI

Ngawi Jawa Timur berupa Penggelapan Naskah soal Ujian Nasional (UN),

hal ini dapat di kemukakan sebagai berikut :

71

Sehubungan dengan akan dilaksanakannya Ujian Nasional SMK

Tahun Pelajaran 2006/2007 yang akan dilaksanakan pada hari Selasa

tanggal 17 April 2007, maka Pemerintah melalui Diknas Kabupaten Ngawi

pada hari Sabtu tanggal 14 April 2007 telah membagikan Naskah Ujian

Nasional kepada masing-masing sekolah di seluruh Wilayah Kabupaten

Ngawi termasuk Sekolah SMK PGRI-4 yang kepala sekolahnya adalah Drs.

H. Ma’mun Effendi.

Kejadian dalam tindak kejahatan pelanggaran pelaksanaan Ujian

Nasional berawal dari pada hari Sabtu tanggal 14 April 2007 Drs. H.

Ma’mun Effendi Bin Muhadi, Drs. Fusi Santoso Bin Wiro Diharjo, Bambang

Sugeng Winarno, SH Bin Soenardi dan Agus Sulaiman Bin Karto Diharjo

Pardi selaku Panitia Pelaksanaan Ujian Nasional dari sekolah SMK PGRI-4

Ngawi telah menerima pembagian berkas Naskah Ujian Nasional di Kantor

Diknas Ngawi berupa : 26 Amplop terdiri dari 24 Amplop Besar dan 2

Amplop Kecil Mata Ujian Matematika, 26 Amplop terdiri dari 24 Amplop

Besar dan 2 Amplop Kecil Mata Ujian Bahasa Inggris dan 26 Amplop terdiri

dari 24 Amplop Besar dan 2 Amplop Kecil Mata Ujian Bahasa Indonesia,

ditambah 25 buah Kaset LC Bahasa Inggris. Drs H. Ma’mun Effendi sebagai

Pihak ke-II (Penerima) dan Pihak ke-I : Drs. Djarot Nugroho – selaku Ketua

Sub Rayon 62 dengan disaksikan oleh Drs. Fusi Santoso dan Drs. M. Fathoni

telah menandatangani Berita Acara Serah Terima Naskah Ujian Nasional.

Setelah Serah Terima Naskah selesai, sedianya Naskah untuk

Sekolah SMK PGRI-4 dititipkan di Polsek Geneng. Namun setelah diadakan

musyawarah antara pihak Diknas, Guru dan Petugas Polsek Geneng

disepakati bahwa Naskah tersebut akan dititipkan di Polsek Ngawi.

Kemudian Mahmud sebagai Petugas Pengawal dan Pengamanan Barang

menginstruksikan bahwa untuk pengangkutannya dilakukan bersama-sama

dengan pengangkutan Naskah Sekolah MAN dan SMKN-1 Ngawi yang akan

dikawal oleh Purwo dan Toeran juga sebagai Petugas Pengawal dan

Pengamanan Barang.

72

Pada saat Purwo dan Toeran sedang menyelesaikan pengecekan dan

penyusunan Naskah Sekolah MAN dan SMKN-1 Ngawi, para pelaku selaku

Panitia Pelaksanaan Ujian Nasional di Sekolah SMK PGRI 4 Ngawi, Jawa

Timur yaitu : (Drs.H.a’mun Effendi Bin Muhadi yang berkedudukan sebagai

Kepala sekolah SMK PGRI 4 Ngawi , Drs. Fusi Santoso Bin Wiro Diharjo

sebagai salah satu guru SMK PGRI 4 Ngawi, Bambang Sugeng Winarno, SH

Bin Soenardi juga sebagai guru SMK PGRI 4 Ngawi, dan Agus Sulaiman Bin

Karto Diharjo Pardi berkedudukan sebagai Kepala Tata Usaha SMK PGRI

4 Ngawi ). Tanpa sepengetahuan dan seijin Purwo dan Toeran yang

berkedudukan sebagai Petugas Pengawal dan Pengamanan Barang

berangkat terlebih dahulu dengan menggunakan Kendaraan Kijang no Pol

AE-2825-HB milik Drs. H. Ma’mun Effendi menuju ke Polsekta Ngawi.

Dalam perjalanan menuju Polsekta Ngawi, karena didukung adanya

kesempatan maka timbullah niat untuk mengambil sebagian dari Naskah

Ujian Nasional tersebut untuk diberikan kepada para Siswa. Agus Sulaiman

yang duduk di jok belakang mobil di sebelah Naskah Ujian Nasional

mengambil 1 (satu) buah Amplop Kecil berisi Naskah soal Bahasa Indonesia

dan 1 (satu) buah Kaset LC Bahasa Inggris dan mencoret atau mengganti

jumlah kaset yang tertera dalam Berita Acara Serah Terima Barang yang

semula tertulis 25 diganti menjadi 24, lalu diberikan kepada Drs. Fusi

Santoso yang kemudian diserahkan kepada Drs. H. Ma’mun Effendi dan

diletakkan di bawah kakinya. Kemudian Bambang Sugeng Winarno, SH

yang lalu memasukkan ke dalam tas Drs. H. Ma’mun Effendi.

Sesampainya di Polsekta Ngawi Drs. H. Ma’mun Effendi menyerahkan Naskah Ujian

Nasional dan kaset tersebut beserta Berita Acara Serah Terima kecuali Naskah dan Kaset yang

telah di ambil para pelaku yang menerima adalah Mahmud sebagai Petugas Pengawal dan

Pengamanan Barang, lalu para pelaku kembali ke Sekolah SMK PGRI 4 Ngawi.

Sesampainya di Sekolah ternyata Mahmud telah menunggu Drs. H. Ma’mun Effendi

dan menanyakan masalah jumlah Naskah yang tidak sesuai dengan Berita Acara Serah Terima

Barang dan Mahmud mengatakan agar segera dikembalikan. Saat itu juga Drs. H. Ma’mun Effendi

mengakui bahwa telah mengambil Naskah tersebut bersama-sama dengan para pelaku lainnya.

73

Perbuatan yang dilakukan oleh para oknum pejabat Sekolah di SMK

PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. Dapat dilihat atau di tinjau dari dua aspek yaitu segi

hukum dan perspektif civic education, yaitu:

Pertama, Apabila dilihat atau di tinjau dari segi hukum, maka

termasuk tindakan Kejahatan, dimana telah melakukan tindak pidana “

Penggelapan yang dilakukan secara bersama” sebagaimana diatur dalam surat

dakwaan melanggar Pasal 372 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan yang berbunyi : Barang siapa

dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang, yang sama sekali

atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada padanya bukan karena

kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara selama-lamanya

empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah.

Kejahatan ini dinamakan penggelapan biasa. Penggelapan adalah

kejahatan yang hampir sama dengan pencurian dalam Pasal 362, hanya bedanya

kalau dalam pencurian barang yang diambil untuk dimiliki itu belum berada di

tangan pelaku, sedang dalam kejahatan penggelapan, barang yang diambil untuk

dimiliki itu sudah berada di tangan pelaku tidak dengan jalan kejahatan atau sudah

dipercayakan kepadanya.

Sedangkan Pasal 55 KUHP berbunyi :

a. Dipidana sebagai si pembuat sesuatu tindak pidana : ke-1, orang yang melakukan, yang

menyuruh melakukan atau yang turut melakukan perbuatan itu; ke-2, orang yang dengan

pemberian upah, perjanjian, salah memakai kekuasaan atau martabat, memakai paksaan,

ancaman atau tipu karena memberi kesempatan, ikhtiar atau keterangan, dengan sengaja

menghasut supaya perbuatan itu dilakukan.

b. Adapun tentang orang yang tersebut dalam sub-2 itu, yang boleh dipertanggung

jawabkan kepadanya hanyalah perbuatan yang sengaja dibujuk olehnya serta akibat

perbuatan itu.

Unsur-unsur yang terdapat dalam Pasal 372 KUHP tersebut adalah :

a. Unsur Barang siapa

Yang dimaksud dengan barang siapa disini adalah siapa saja atau setiap orang selaku

Subyek Hukum atau Pendukung hak dan kewajiban yang terhadap dirinya berlaku dan/atau dapat

diterapkan Ketentuan Hukum Pidana Indonesia serta atas perbuatannya tersebut dapat

74

dipertanggungjawabkan secara hukum. Yang dimaksud Subyek Hukum dalam Keputusan ini

adalah para Terdakwa yaitu : Drs. H. Ma’mun Effendi Bin Muhadi, Drs. Fusi Santoso Bin Wiro

Diharjo, Bambang Sugeng Winarno, SH Bin Soenardi dan Agus Sulaiman Bin Karto Dharjo

Pardi. Semuanya dalam keadaan sehat jasmani dan rohani, sehingga dapat dimintakan

pertanggungan jawab atas perbuatannya.

b. Unsur Dengan Sengaja dan Melawan Hukum Memiliki Barang

Yang dimaksud Dengan Sengaja dan Melawan Hukum Memiliki Barang adalah suatu

perbuatan itu telah dilakukan dengan disadari atau telah ada niat dari Pelaku, baik untuk

melakukan perbuatan itu sendiri atau untuk timbulnya suatu akibat dari perbuatan yang akan

dilakukannya, dimana perbuatan tersebut dilakukan tanpa seijin ataupun sepengetahuan pihak

yang berwenang dengan cara menganggap ataupun memperlakukan sesuatu benda seolah-olah

miliknya sendiri, padahal para Terdakwa mengetahui bila Naskah Ujian Nasional tersebut

merupakan Dokumen Rahasia Negara yang hanya boleh diambil, disimpan dan dibuka melalui

prosedur yang telah ditentukan Pemerintah.

c. Unsur Seluruhnya atau Sebagian Milik Orang Lain

Sehubungan dengan akan dilaksanakannya Ujian Nasional SMK Tahun Pelajaran

2006/2007 yang akan dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 17 April 2007, maka Pemerintah

melalui Diknas Kabupaten Ngawi pada hari Sabtu tanggal 14 April 2007 telah membagikan

Naskah Ujian Nasional kepada masing-masing sekolah di seluruh Wilayah Kabupaten Ngawi

termasuk Sekolah SMK PGRI-4 yang kepala sekolahnya adalah Terdakwa I Drs. H. Ma’mun

Effendi.

Berdasarkan penjelasan diatas Unsur Yang Seluruhnya atau Sebagian Milik Orang Lain

telah terbukti secara sah dan meyakinkan.

d. Unsur Dan Yang Ada Padanya Bukan Karena Kejahatan

Perbuatan para Terdakwa menerima penyerahan Naskah Ujian Nasional tersebut

memang dikehendaki ataupun seijin dari Diknas Kabupaten Ngawi oleh karenanya jelas menurut

hukum bahwa penguasaan barang berupa Naskah Ujian Nasional tersebut oleh para Terdakwa

bukan karena kejahatan melainkan sesuai dengan kewenangannya yang untuk selanjutnya

diserahkan dan disimpan di Polsek Ngawi untuk pengamanan.

Berdasarkan penjelasan di atas Unsur Yang Seluruhnya atau Sebagian Milik Orang

Lain telah terbukti secara sah dan meyakinkan.

e. Unsur Dilakukan Oleh Dua Orang atau Lebih Secara Bersama-sama

Dapat disimpulkan bahwa perbuatan menyisihkan sebagian Naskah Ujian

Nasional dan Kaset tersebut adalah dikehendaki bersama-sama oleh para

Terdakwa sesuai perannya masing-masing, hal mana dapat diketahui dari tidak

adanya salah satu dari para Terdakwa yang menyatakan keberatan dengan

75

kejadian tersebut dengan melaporkan pada yang berwajib, sehingga dapat

diartikan bahwa para Terdakwa setuju dan bersepakat untuk melakukan Perbuatan

tersebut.

Berdasarkan penjelasan tersebut Unsur Dilakukan oleh Dua Orang atau

Lebih Secara Bersama-sama telah terbukti secara sah dan meyakinkan.

Bahwa dengan telah terpenuhinya semua unsur tindak pidana tersebut

maka para Terdakwa telah pula terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah

melakukan tindak pidana Penggelapan Yang Dilakukan Secara Bersama-sama.

Terdapat hal-hal yang memberatkan perbuatan para Terdakwa ini yaitu:

Perbuatan para Terdakwa telah merusak citra dunia Pendidikan hal mana

bertentangan dengan Program Pemerintah yang sedang giat-giatnya meningkatkan

mutu Pendidikan di Indonesia dan para Terdakwa sebagai Pendidik seharusnya

menjadi panutan bagi anak didiknya namun justru melakukan perbuatan yang

sebaliknya.

Sedangkan hal-hal yang meringankan para Terdakwa yaitu : Perbuatan

para Terdakwa belum sampai mengakibatkan kebocoran dan mengganggu

kelancaran jalannya Ujian Nasional, para Terdakwa mengakui terus terang

perbuatannya sehingga memperlancar jalannya Persidangan, para Terdakwa

menyesali perbuatannya dan berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya

tersebut, para Terdakwa telah cukup lama mengabdi di dunia Pendidikan tanpa

cela dan para Terdakwa belum pernah dihukum.

Sehingga sehubungan dengan hal-hal tersebut di atas, penjatuhan pidana terhadap para

Terdakwa bukanlah didasarkan atas tindakan balas dendam atau rasa benci melainkan sebagai

tindakan hukum yang bersifat mendidik yang didasarkan atas nilai-nilai keadilan hukum dan

keadilan masyarakat.

Kedua, Apabila dilihat dari Perspektif Civic Education,

Mengenai tindak kejahatan dan pelanggaran dalam pelaksanaan ujian

nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau

sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari, ternyata dalam pelanggaran

ujian nasional ada kasus oknum pejabat sekolah yang kedudukannya sebagai

pendidik seharusnya menunjukkan kelakuan yang layak sesuai harapan

masyarakat, dan seorang guru di harapkan berperan sebagai teladan dan rujukan

76

dalam masyarakat, khususnya bagi anak didik yang dia ajar. Bahwa seorang guru

yang memiliki kewajiban sebagai pendidik bagi anak didiknya dan seharusnya

memberikan contoh yang baik, dalam hal ini telah melakukan perbuatan yang

tidak patut di contoh yaitu menggelapkan naskah Ujian Nasional hal ini termasuk

dalam tindak kejahatan, menyangkut dengan tindakan tersebut berarti guru itu

telah melanggar nilai kode etik seorang guru dimana nilai-nilai moral telah di

langgar selain itu telah melanggar ketentuan hukum pidana yang telah termuat

dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu perbuatan

Penggelapan barang, dalam kasus ini yang di gelapkan adalah Naskah Ujian

Nasional. Penggelapan barang tergolong dalam tindak Kejahatan yang melanggar

pasal 372 KUHP. Tindakan tersebut telah menjatuhkan harkat dan martabat

seorang guru sebagai pendidik. Jika dilihat dari kasus tersebut maka tidak

mencerminkan adanya sikap yang sadar akan tanggung jawabnya sebagai seorang

individu dan sosial selain itu tindakan tersebut tidak mencerminkan peranan

warga negara yaitu salah satunya Kewajiban yang sama bagi setiap warga negara

untuk menjunjung/ mematuhi hukum dan pemerintahan.

Selain itu maraknya tindak kejahatan dan pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian

Nasional baik yang dilakukan sekolah, guru dan siswa bertentangan dengan Civic Education

(Pendidikan Kewarganegaraan). Karena Civic Education merupakan pembelajaran yang

dimaksudkan sebagai wahana pendidikan yang bertujuan memfasilitasi seorang pendidik, agar

dapat membentuk kepribadian, mengembangkan diri menjadi warga negara yang kritis, cerdas, dan

berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam intrumentasi dan praksis

pendidikannya secara progmatik di kembangkan Komponen-komponen atau Kompetensi dasar

Civic Education yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge (kompetensi pengetahuan

kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap kewargaan) dan (3) civic skills (kompetensi

keterampilan kewargaan).

Menurut Ketiga Kompetensi dasar yang dimiliki Civic Education yaitu (1) civic

knowledge (kompetensi pengetahuan kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap

kewargaan) dan (3) civic skills ( kompetensi keterampilan kewargaan) yang ada diatas maka

Tindakan Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional apabila dilihat dari perspektif Civic

Education sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari, hal ini dapat dilihat yang pertama

kompetensi civic knowledge (kompetensi pengetahuan kewarganegaraan) bahwa oknum-oknum

yang melakukan tindakan kejahatan adalah oknum pejabat sekolah yang kedudukanya sebagai

pendidik menunjukkan kurangnya pemahaman mengenai pengetahuan kewarganegaraan

77

seharusnya seorang pendidik memiliki atau membekali dirinya dengan pengetahuan

kewarganegaraan sehingga tindak kejahatan dalam pelaksanaan Ujian nasional tidak terjadi.

Komponen atau kompetensi esensial kedua Civic Education adalah civic dispositions (kompetensi

sikap kewargaan) disini tindakan yang dilakukan pendidik tersebut karena rendahnya pemahaman

atau kurang memahami arti nilai-nilai yang terkandung dalam Civic Education, misalnya tidak

adanya kesadaran secara pribadi untuk bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan karena

seharusnya pendidik mampu memberikan contoh, panutan, rujukan dan keteladanan yang baik

bagi para peserta didiknya tapi dengan tindakan yang dilakukan oknum para pejabat sekolah

selaku para pendidik tidak mencerminkan atau mencontohkan hal yang baik sehingga nilai rasa

tanggung jawab selaku pendidik rendah, seharusnya pula pendidik mampu menerima tanggung

jawab akan konsekuensi dari tindakan yang diperbuat dan mampu memenuhi kewajiban moral

yang demokratis. Kompetensi yang mendasar ketiga civic skills (kompetensi ketrampilan

kewargaan) dalam hal ini sebagai pendidik dan peserta didik juga kurang memahami adanya civic

skills karena tidak mampu mempraktekkan hak-haknya dan menunaikan tanggung jawabnya

sebagai seorang pendidik, Seorang pendidik seharusnya memiliki kecakapan-kecakapan intelektual

yang sangat penting pada dirinya yaitu mampu berpikir kritis, berpikir kritis disini yaitu

berpengetahuan, efektif dan bertanggung jawab. Karena rendahnya kecakapan intelektual yang

dimiliki oleh para oknum pejabat sekolah di mana mereka merasa takut apabila para siswanya

banyak yang tidak lulus Ujian Nasional sehingga mereka bertindak gegabah yaitu dengan cara

melakukan tindak kejahatan menggelapkan naskah ujian dengan tindakan tersebut skills atau

kecakapan seorang pendidik sangat rendah karena pendidik tersebut tidak mampu berpikir kritis

tapi sebaliknya mereka berpikir sempit dengan menghalalkan segala cara supaya para peserta

didiknya atau siswanya mampu untuk dapat lulus ujian dengan nilai yang sempurna. kompetensi

ketrampilan kewargaan

Dalam Civic Education di harapkan para pendidik dan peserta didik mampu membekali

dirinya dengan ketiga kompetensi yang dimiliki dalam civic education yaitu memiliki civic

knowledge (pengetahuan kewarganegaraan) yang tinggi, civic dispositions (sikap kewargaan) yang

tinggi dan civic skills (keterampilan kewargaan yang tinggi), selain itu pula harus memiliki

kreativitas tinggi, memiliki kemandirian, dan sikap toleransi yang tinggi. Di samping itu agar

pendidik dan peserta didik dapat menemukan jati dirinya sebagai manusia yang sadar akan

tanggung jawab baik individu maupun sosial. Maka dengan bekal ilmu yang telah dimiliki itu

semua seyogianya Tindakan kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional tidak akan terjadi.

3. Cara Mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN yang terjadi

di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur

a. Dengan membenahi mutu pendidik (guru) dan peserta didik (siswa).

Dalam hal ini Guru harus memiliki skills atau keterampilan yang tinggi supaya mampu

menjadikan peserta didiknya menjadi warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam

78

segala aspek kehidupan, mampu bertindak lebih aktif dalam memberikan pendalaman materi

ataupun masukan kepada para peserta didik untuk lebih giat belajar karena Ujian Nasional (UN)

merupakan Kegiatan penilaian hasil belajar siswa yang menentukan lulus atau tidaknya para siswa.

Bagi para peserta didik sebagai harapan masa depan bangsa, seharusnya para siswa atau anak didik

mengetahui benar tanggung jawab dan kewajiban besar yang dibebankan di bahu mereka yaitu

memiliki kecakapan partisipasif dan bertanggung jawab terhadap kehidupan berbangsa dan

bernegara jadi sebagai peserta didik tidak hanya diharapkan cerdas, aktif dan kritis tetapi juga

memiliki komitmen kuat menjaga persatuan dan integritas bangsa selain itu kewajiban untuk dapat

belajar dan menuntut ilmu maka dari itu para siswa untuk bisa rajin belajar, giat membaca buku

sehingga tidak terjadi pelanggaran-pelanggaran dalam Ujian Nasional.

Pada Intinya ketiga kompetensi dasar pada Civic Education harus dimiliki oleh para

pendidik dan peserta didik yaitu memiliki pengetahuan mengenai kewarganegaraan, memiliki

kecakapan-kecakapan intelektual dan memiliki nilai-nilai yang terdapat dalam ilmu

kewarganegaraan.

b. Dengan meninjau kembali alat ukurnya (Naskah Ujian).

Sebetulnya pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional semacam ini sudah

melanggar tata tertib, namun hal yang semacam ini tidak muncul dalam permukaan walaupun ada

tim pengawas independen. Dengan kecurangan seperti itu maka tidak aneh jika sekolah yang

betul-betul taat pada tata tertib malah gagal dalam ujian nasional. Dengan kecurangan-kecurangan

tersebut menjadikan ujian nasional tidak dapat digunakan sebagai fungsi yang sebenarnya seperti

tersebut dalam Permendiknas No 34 yaitu “Ujian Nasional bertujuan menilai pencapaian

kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran

ilmu pengetahuan dan teknologi”. Untuk itulah agar ujian nasional betul-betul dapat digunakan

sebagai alat guna mengukur ketercapaian kompetensi lulusan secara nasional, maka setiap

komponen yang terkait dalam pelaksanaan ujian nasional harus berpegang pada ketentuan-

ketentuan yang telah dibuat. Adapun jika hasilnya buruk secara nasional maka yang perlu ditinjau

kembali adalah alat ukurnya. Mungkin alat ukur (naskah ujian) terlalu sulit dan belum pas untuk

mengukur siswa kita secara nasional. Bisa juga terjadi terlalu mudah sehingga perlu dinaikkan

tingkat kesulitannya. Adapun untuk mengatasi sementara jika terjadi angka kelulusan sangat

rendah secara nasional maka bisa dilaksanakan ujian ulangan perbaikan seperti yang telah

dilakukan.

c. Dengan memperbaiki teknik penyelenggaraan.

Menyediakan perlengkapan pelaksanaan ujian yang memadai.Misalnya, dalam mata

pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa

menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone).

Maka tape dan earphone seharusnya sudah tersedia di sekolah-sekolah yang akan

menyelenggarakan ujian.

79

d. Dengan memperbaiki teknik pengawasan.

Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UN untuk

memastikam tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini

diserahkan kepada guru dengan sistem silang pengawas tidak berasal dari sekolah yang

bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Maka dengan hal tersebut agar dijalankan sesuai dengan

kesepakatan yang telah di tentukan dan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan dalam

mengawasi para siswa.

e. Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar tanpa terkecuali dan apabila terjadi

pelanggaran harus dapat ditindak sampai tuntas.

Apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional sudah seharusnya

ditindak sampai tuntas. Sudah sedemikianlah semestinya aturan itu dibuat, jika terjadi pelanggaran

maka sangsi harus diterima. Sehingga oknum-oknum yang melanggar dan yang belum melanggar

tidak akan melakukan pelanggaran pada ujian nasional berikutnya.

f. Tim-tim independen dalam pelaksanaan ujian nasional harus betul-betul menjalankan tugas

dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab.

Adapun tim independen juga harus betul-betul menjalankan fungsinya, tidak malah

memberikan iklim untuk terjadinya kecurangan. Sudah semestinya jika mengetahui terjadinya

kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional maka tim independen membuat

laporan sehingga dapat ditindaklanjuti. Bagaimanapun juga keberadaan ujian nasional sangat

kita perlukan untuk mengetahui standar mutu secara nasional. Dengan mengetahui

kekurangan dan kelebihan baik pada siswa, guru, sekolah, instansi yang terkait dalam

pelaksanaan ujian nasional, maka sudah ada arah langkah apa yang seharusnya dilakukan.

g. Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan.

Kenyataan ini, suka atau tidak, makin memperjelas sikap sense of

belonging masyarakat kita yang sebenarnya rendah atau kurang sama sekali

terhadap sektor pendidikan. Padahal, salah satu jalan untuk mendongkrak mutu

pendidikan nasional ke arah yang lebih baik, diperlukan keberanian untuk

mengambil kebijakan strategis dan perubahan cara pandang yang terlalu formal.

Salah satunya adalah dengan cara membenahi sistem ujian sekaligus standar

minimum kelulusan.

h. Dengan pemetaan pendidikan.

Jika tidak ada pemetaan sulit dilakukan evaluasi terhadap perkembangan

pendidikan di suatu daerah. Tidak adanya pemetaan sangat berisiko terhadap arah

kebijakan maupun program dari pemerintah pusat dan daerah. Sebagai pemakai

tenaga guru, sudah sewajarnya daerah punya gambaran sekolah mana yang perlu

80

perhatian khusus. Dalam hal penempatan guru, misalnya, pemerintah daerah bisa

menggunakan peta tersebut. Guru bukanlah satu-satunya faktor utama dalam

pencapaian mutu pendidikan. Kendati demikian, kompetensi guru tetap

merupakan faktor penentu. Karena itu, penyebaran guru jangan sampai

sembarangan.

Oleh karena itulah, kebijakan menaikkan standar kelulusan yang akan

diterapkan media tahun ini mudah-mudahan bisa dipahami secara wajar oleh

masyarakat kita. Ke depan, standar kelulusan bagi siswa diharapkan makin lama

makin tinggi. Konsekuensinya, jika seorang siswa belum mencapai standar

minimum tersebut, ia tidak boleh diluluskan. Justru dengan cara tersebut seluruh

komponen pendidikan, terutama guru dan orangtua, benar-benar ikut terpacu

kesadarannya untuk menyekolahkan anak-anaknya bukan untuk sekadar

mendapatkan ijazah, melainkan kecerdasan, daya kritis, dan etika moral.

C. Temuan Studi

Berdasarkan data penelitian yang telah dipaparkan diatas dalam

penelitian ini, peneliti menemukan beberapa temuan studi yaitu:

1. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN di

SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur

Akibat standar kelulusan siswa yang tinggi menyebabkan terjadinya

berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di

hampir seluruh daerah di Indonesia. Alasan lain yang mengakibatkan

banyaknya pelanggaran dan tindak kejahatan dalam UN ini adalah

kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik sekolah yang

bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya yang tidak

lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu

sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak

yang tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah

tersebut akan berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan

murid.

2. Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan UN di SMK PGRI Ngawi

Jawa Timur bila dilihat dari Perspektif Civic Education

81

Bentuk Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI Ngawi Jawa Timur

berupa Penggelapan Naskah Ujian nasional.

Perbuatan yang dilakukan oleh para oknum pejabat Sekolah di SMK

PGRI 4 Ngawi, Jawa Timur. Dapat dilihat atau di tinjau melalui dua aspek yang

pertama dari segi hukum dan kedua perspektif civic education, maka dapat dilihat

sebagai berikut :

Pertama, Apabila dilihat atau di tinjau dari segi hukum, maka

termasuk tindakan Kejahatan, dimana telah melakukan tindak pidana “

Penggelapan yang dilakukan secara bersama” sebagaimana diatur dalam surat

dakwaan melanggar Pasal 372 jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-undang

Hukum Pidana (KUHP).

Pasal 372 KUHP tentang Penggelapan yang berbunyi : Barang siapa

dengan sengaja dan dengan melawan hukum memiliki barang, yang sama sekali

atau sebagian kepunyaan orang lain, dan yang ada padanya bukan karena

kejahatan, dipidana karena penggelapan, dengan pidana penjara selama-lamanya

empat tahun atau denda sebanyak-banyaknya sembilan ratus rupiah.

Kedua, Apabila dilihat dari Perspektif Civic Education, Maraknya pelanggaran

dalam pelaksanaan Ujian Nasional baik yang dilakukan sekolah, guru dan siswa bertentangan

dengan Civic Education (Pendidikan Kewarganegaraan). Karena Civic Education merupakan

pembelajaran yang dimaksudkan sebagai wahana pendidikan umum yang bertujuan memfasilitasi

seorang pendidik, mahasiswa atau peserta didik agar dapat mengembangkan diri menjadi warga

negara yang kritis, cerdas, dan berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam

intrumentasi dan praksis pendidikannya secara progmatik di kembangkan Komponen-komponen

atau Kompetensi dasar dalam Civic Education yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge

(kompetensi pengetahuan kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap kewargaan) dan (3)

civic skills (kompetensi keterampilan kewargaan). Maka mengenai tindak kejahatan dan

pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat

menyimpang atau sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari terutama pada tiga

kompetensi dasar yang dimiliki Civic Education seperti yang telah di sebutkan di atas.

3. Cara mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN yang terjadi di SMK

PGRI 4 Ngawi Jawa Timur

a. Dengan membenahi mutu pendidik (guru) dan peserta didik (siswa)

Dalam hal ini Guru harus memiliki skills atau keterampilan yang tinggi supaya mampu

menjadikan peserta didiknya menjadi warga negara yang bermutu dan bertanggung jawab dalam

82

segala aspek kehidupan. Pada Intinya ketiga kompetensi dasar pada Civic Education harus dimiliki

oleh para pendidik dan peserta didik yaitu memiliki pengetahuan mengenai kewarganegaraan,

memiliki kecakapan-kecakapan intelektual dan memiliki nilai-nilai yang terdapat dalam ilmu

kewarganegaraan.

b. Dengan meninjau kembali alat ukurnya (Naskah Ujian)

Untuk itulah agar ujian nasional betul-betul dapat digunakan sebagai alat guna mengukur

ketercapaian kompetensi lulusan secara nasional, maka setiap komponen yang terkait dalam

pelaksanaan ujian nasional harus berpegang pada ketentuan-ketentuan yang telah dibuat. Adapun

jika hasilnya buruk secara nasional maka yang perlu ditinjau kembali adalah alat ukurnya.

Mungkin alat ukur (naskah ujian) terlalu sulit dan belum pas untuk mengukur siswa kita secara

nasional. Bisa juga terjadi terlalu mudah sehingga perlu dinaikkan tingkat kesulitannya. Adapun

untuk mengatasi sementara jika terjadi angka kelulusan sangat rendah secara nasional maka bisa

dilaksanakan ujian ulangan perbaikan seperti yang telah dilakukan.

c. Dengan memperbaiki teknik penyelenggaraan.

Menyediakan perlengkapan pelaksanaan ujian yang memadai.Misalnya, dalam mata

pelajaran bahasa Inggris, salah satu kemampuan yang diujikan adalah listening. Supaya bisa

menjawab soal dengan baik, peserta ujian memerlukan alat untuk mendengar (tape dan earphone).

Maka tape dan earphone seharusnya sudah tersedia di sekolah-sekolah yang akan

menyelenggarakan ujian.

d. Dengan memperbaiki teknik pengawasan

Dalam penyelenggaraan ujian, pengawasan menjadi bagian penting dalam UN untuk

memastikam tidak terjadinya kecurangan yang dilakukan oleh peserta. Fungsi pengawasan ini

diserahkan kepada guru dengan sistem silang pengawas tidak berasal dari sekolah yang

bersangkutan, tapi dari sekolah lain. Maka dengan hal tersebut agar dijalankan sesuai dengan

kesepakatan yang telah di tentukan dan agar tidak terjadi kecurangan-kecurangan dalam

mengawasi para siswa.

e. Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar tanpa terkecuali dan apabila terjadi

pelanggaran harus dapat ditindak sampai tuntas

Apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional sudah seharusnya ditindak

sampai tuntas. Sudah sedemikianlah semestinya aturan itu dibuat, jika terjadi pelanggaran maka

sangsi harus diterima. Sehingga oknum-oknum yang melanggar dan yang belum melanggar tidak

akan melakukan pelanggaran pada ujian nasional berikutnya.

f. Tim-tim independen dalam pelaksanaan ujian nasional harus betul-betul menjalankan tugas

dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab

Adapun tim independen juga harus betul-betul menjalankan fungsinya, tidak malah

memberikan iklim untuk terjadinya kecurangan. Sudah semestinya jika mengetahui terjadinya

kecurangan-kecurangan dalam pelaksanaan ujian nasional maka tim independen membuat laporan

83

sehingga dapat ditindaklanjuti. Bagaimanapun juga keberadaan ujian nasional sangat kita perlukan

untuk mengetahui standar mutu secara nasional.

g. Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan

Melihat persoalan standar kelulusan tidak bisa setengah-setengah dan

cukup sekali gebrakan. Apalagi untuk mengubah cara pandang lama, yaitu

kebijakan semua siswa naik kelas atau tamat belajar yang diterapkan di hampir

semua sekolah. Untuk itu, ada beberapa pendapat yang melatar belakangi

munculnya keinginan kuat tersebut, dan kemudian bisa juga dijadikan acuan bagi

masyarakat di masa mendatang.

h. Dengan pemetaan pendidikan

Dalam upaya menciptakan sinergisitas antara pemerintah pusat dan daerah,

pemetaan pendidikan merupakan hal mutlak, terutama menyangkut kompetensi

tenaga pengajar. Pemerintah tidak serta-merta mampu memenuhi kebutuhan

tenaga guru untuk ditempatkan di daerah-daerah. Sementara tuntutan akan mutu

pendidikan tidak bisa ditawar-tawar lagi.

BAB V

KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka dapat

disimpulkan sebagai berikut :

1. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian

Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur

Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian Nasional

terjadi akibat standar kelulusan siswa yang tinggi sehingga hal ini menyebabkan

terjadinya berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN

di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bahkan hampir di seluruh daerah di

84

Indonesia. Alasan lain yang mengakibatkan banyaknya pelanggaran dan tindak

kejahatan dalam UN ini adalah kekhawatiran dari pihak sekolah bahwa nama baik

sekolah yang bersangkutan akan turun jika banyak diantaranya siswanya yang

tidak lulus. Sebagian masyarakat masih berpendapat jika keberhasilan suatu

sekolah dilihat dari banyaknya siswa yang berhasil lulus, apabila banyak yang

tidak lulus otomatis kepercayaan masyarakat terhadap sekolah tersebut akan

berkurang dan bisa jadi sekolah tersebut akan kekurangan murid. Kekhawatiran

juga melanda sekolah apabila banyak siswa yang tidak lulus adalah adanya

demonstrasi dari orang tua yang tidak lulus dan tindakan anarkis dari siswa yang

tidak lulus tersebut. Selain itu reputasi Dinas Pendidikan Kota akan turun dan

dianggap tidak berhasil menyelenggarakan pendidikan karena prosentase

kelulusan yang kecil

2. Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam Pelaksanaan Ujian Nasional

di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila di lihat dari perspektif Civic

Education

Bentuk Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK PGRI Ngawi Jawa Timur

berupa Penggelapan Naskah Ujian nasional. Mengenai tindak kejahatan dan pelanggaran dalam

pelaksanaan ujian nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau

sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari. Maraknya pelanggaran dalam pelaksanaan Ujian

Nasional baik yang dilakukan sekolah, guru dan siswa bertentangan dengan Civic Education

(Pendidikan Kewarganegaraan). Karena Civic Education merupakan pembelajaran yang

dimaksudkan sebagai wahana pendidikan umum yang bertujuan memfasilitasi seorang pendidik,

mahasiswa atau peserta didik agar dapat mengembangkan diri menjadi warga negara yang kritis,

cerdas, dan berkeadaban atau smart and good citizens. Oleh karena itu, dalam intrumentasi dan

praksis pendidikannya secara progmatik di kembangkan Komponen-komponen atau Kompetensi

dasar dalam Civic Education yang mencakup tiga hal yaitu: (1) civic knowledge (kompetensi

pengetahuan kewargaan), (2) civic dispotions (kompetensi sikap kewargaan) dan (3) civic skills

(kompetensi keterampilan kewargaan. Maka mengenai tindak kejahatan dan pelanggaran dalam

pelaksanaan ujian nasional bila dilihat dari perspektif Civic Education sangat menyimpang atau

sangat bertentangan dengan ilmu yang di pelajari terutama pada tiga kompetensi dasar yang

dimiliki Civic Education seperti yang telah di sebutkan di atas.

3. Cara mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN yang terjadi di SMK

PGRI 4 Ngawi Jawa Timur

a. Dengan membenahi mutu pendidik (guru) dan peserta didik (siswa).

85

b. Dengan meninjau kembali alat ukurnya (naskah ujian).

c. Dengan membenahi teknik penyelenggaraan.

d. Dengan membenahi teknik pengawasan

e. Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar

f. Tim-tim independen dalam pelaksanaan ujian nasional harus betul-betul menjalankan

tugas dan fungsinya dengan jujur dan bertanggung jawab.

g. Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan.

h. Dengan pemetaan pendidikan.

B. IMPLIKASI

Berdasarkan kesimpulan yang telah di kemukakan di atas, maka

implikasi yang dapat di sampaikan sebagai berikut:

1. Terjadinya Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan Ujian

Nasional di SMK PGRI 4 Ngawi Jawa Timur

Karena standar kelulusan siswa yang tinggi mengakibatkan terjadinya

berbagai pelanggaran bahkan tindak kejahatan dalam pelaksanaan UN di hampir

seluruh daerah di Indonesia maka dari itu dengan cara membenahi sistem ujian

sekaligus standar minimum kelulusan dan pemerintah lebih meninjau,

menimbang, meneliti, dan mengukur apakah kebijakan yang telah dibuat

berdampak baik atau malah beresiko buruk terhadap kemajuan pendidikan.

2. Bentuk Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN di SMK

PGRI 4 Ngawi Jawa Timur bila dilihat dari Perspektif Civic Education

Karena ketakutan dan beban moral apabila anak didiknya gagal dalam

Ujian nasional terjadilah Penggelapan Naskah Ujian Nasional yang telah

dilakukan oknum pejabat sekolah, salah satunya adalah seorang guru maka dari

itu tindakan tersebut tidak terjadi karena Para pelaku yang berprofesi sebagai

seorang pendidik adalah tidak etis dan tidak terpuji melakukan perbuatan tercela

seperti tersebut, seperti arti kata “guru” dalam bahasa Jawa, yaitu “digugu” dan

“ditiru” yang artinya semua ucapan dan tingkah lakunya akan dijadikan panutan

bagi Siswa didiknya dalam bertindak, seorang guru lebih bertindak positif seperti

memperbaiki kualitas guru, memotivasi guru untuk memberikan jam-jam

tambahan kepada para anak didiknya untuk membahas materi-materi yang di

86

ujikan dalam Ujian Nasional atau memberikan semangat kepada anak didiknya

untuk lebih giat belajar dalam menghadapi Ujian Nasional.

3. Cara mengatasi Pelanggaran dan Tindak Kejahatan dalam pelaksanaan UN yang terjadi di

SMK PGRI 4 Ngawi jawa Timur

Karena cara mengatasi pelanggaran dan tindak kejahatan dalam pelaksanaan ujian

nasional tidak dapat dilakukan sendiri maka dari itu semua pihak dalam hal ini perlu ada

kerjasamanya dan harus ada sangsi yang tegas kepada si pelanggar dan para pelaku tindak

kejahatan tanpa terkecuali dan apabila terjadi pelanggaran bahkan sampai terjadi tindak kejahatan

harus dapat ditindak sampai tuntas.

C. SARAN

Berdasarkan kesimpulan yang peneliti ajukan serta pengalaman selama penelitian ini

dilaksanakan, maka peneliti memberikan saran-saran sebagai berikut:

1. Dengan cara membenahi sistem ujian dan standar minimum kelulusan

Kenyataan ini, suka atau tidak, makin memperjelas sikap sense of

belonging masyarakat kita yang sebenarnya rendah atau kurang sama sekali

terhadap sektor pendidikan. Padahal, salah satu jalan untuk mendongkrak mutu

pendidikan nasional ke arah yang lebih baik, diperlukan keberanian untuk

mengambil kebijakan strategis dan perubahan cara pandang yang terlalu formal.

Salah satunya adalah dengan cara membenahi sistem ujian sekaligus standar

minimum kelulusan.

Melihat persoalan standar kelulusan tidak bisa setengah-setengah dan

cukup sekali gebrakan. Apalagi untuk mengubah cara pandang lama, yaitu

kebijakan semua siswa naik kelas atau tamat belajar yang diterapkan di hampir

semua sekolah. Untuk itu, ada beberapa pendapat yang melatar belakangi

munculnya keinginan kuat tersebut, dan kemudian bisa juga dijadikan acuan bagi

masyarakat di masa mendatang.

2. Bagi Pendidik (Guru)

Pertama, memperbaiki kualitas guru kita yang kurang membanggakan.

Hal ini disinyalir karena faktor kualitas guru berbanding lurus dengan

kewibawaan guru di negeri ini yang juga mengalami keadaan serupa. Diakui,

banyaknya lembaga pendidikan guru di negeri ini sudah tidak lagi mendapatkan

input calon guru bermutu. Beramai-ramai calon mahasiswa mulai enggan memilih

87

jalur keguruan. Akibatnya, bisa diterka, input guru dari lembaga-lembaga

pencetak guru bukanlah mereka yang memang profesional dan terpilih sebagai

penyemai intelektualitas bangsa ini, melainkan mereka yang ikut-ikutan dan asal

memilih. Ke depan, kualitas guru kita diharapkan dapat memainkan perannya

dengan optimal, yaitu mencerdaskan kehidupan siswa dan mau menanamkan budi

pekerti kepada siswa.

Kedua, memotivasi guru untuk mau mengikuti kegiatan-kegiatan, seperti

studi lanjut, seminar, lokakarya, penataran, semiloka, srawung ilmiah, latihan, dan

simposium di bidang pendidikan, terutama bagi mereka yang belum memenuhi

kualifikasi sesuai aturan pemerintah. Sebab, kendatipun secara kuantitas jumlah

guru di Indonesia cukup memadai, secara kualitas mutu guru di negeri ini masih

rendah karena mereka jarang dilibatkan dalam serangkaian kegiatan tersebut, yang

justru lebih bisa mendongkrak tingkat profesionalismenya dari keadaan

sebelumnya.

3. Adanya sangsi yang tegas kepada si pelanggar tanpa terkecuali dan apabila terjadi

pelanggaran harus dapat ditindak sampai tuntas

Apabila terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan ujian nasional sudah seharusnya

ditindak sampai tuntas. Sudah sedemikianlah semestinya aturan itu dibuat, jika terjadi pelanggaran

maka sangsi harus diterima. Sehingga oknum-oknum yang melanggar dan yang belum melanggar

tidak akan melakukan pelanggaran pada ujian nasional berikutnya.

88

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2005. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Jakarta : Sinar Grafika

Anonim. 2005. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005

Tentang Standar Nasional Pendidikan. Jakarta : Pustaka Merah Putih A. Ubaedillah, Abdul Rozak. 2008. Pendidikan Kewarganegaan (Civic

Education) Demokrasi Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta : Tim ICCE UIN

Azra Azyumardi. 2002. Pendidikan Kewargaan (Civic Education) Demokrasi

Hak Asasi Manusia dan Masyarakat Madani. Jakarta : Tim ICCE UIN Bassar M Sudrajat. 1986. Tindak-Tindak Pidana tertentu di dalam Kitab Undang

- Undang Hukum Pidana. Bandung : Remaja Karya Departemen Pendidikan Nasional. 2005. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2005 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2005/2006. Jakarta : Biro Organisasi dan Hukum

Departemen Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

Republik Indonesia Nomor 45 Tahun 2006 Tentang Ujian Nasional Tahun Pelajaran 2006/2007. Jakarta : Biro Organisasi dan Hukum

Departemen Pendidikan Nasional. 2003. Undang-Undang Republik Indonesia

Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional. Jakarta: : Biro Organisasi dan Hukum

Lexy J. Moleong. 2005. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung : P.T Remaja

Rosda Karya

Margaret S. Bronson.1999. Belajar Civic Education dari Amerika. Yogyakarta : Lkis

Prodjodikoro Wirjono. 1981. Tindak- Tindak Pidana tertentu di Indonesia. Jakarta

: Eresco Suharto. 1996. Hukum Pidana Materiil. Jakarta: Sinar Grafika Sutopo Hb. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press

89

Wantjik Saleh. 1983. Hukum Pidana. Jakarta : Raja Grafindo Persada W Bawengan Gerson. 1983. Hukum Pidana di dalam Teori dan Praktek. Jakarta :

P.T Pradnya Paramita Winarno Surakhmad. 2004. Pengantar Penelitian-Penelitian Ilmiah. Bandung :

Tarsito Slamet Widodo. 2007. Mei 5 ”BSNP Evaluasi Pelanggaran Ujian”. Warta Kota.

3. Solihin. 2007. Mei 4 ” Noda di Ujian Nasional”. Tempo Interaktif. 4. Solihin. 2007. Juni 15 ” Noda di Ujian Nasional”. Seputar Indonesia. 1. Tya Eka. 2007. Mei 5 ”Pelanggaran Ujian Nasional Karena Alasan Hati”,

Republika. 4. ”Ujian Nasional Pendidikan Kesetaraan Banyak di minati”. 2007. Mei.

Republika. 5. http: // Journal Article Excerpt. com. Landon E. Beyer. Journal of Teacher

Education. Vol. 4 Tahun 1999. 20 Juni 2009 http: // Journals Cambridge. Org. Steven E. Finkel. The Journal of Politics. 15

Agustus 2002