Upload
others
View
2
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
LITERATURE REVIEW
PENERAPAN HATHA YOGA DALAM MAINTENANCE
STRESS PADA LANSIA
OLEH:
NI WAYAN ANA SASTRA ANJANI
NIM: 16.321.2581
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKABALI
DENPASAR
2020
i
LITERATURE REVIEW
PENERAPAN HATHA YOGA DALAM MAINTENANCE
STRESS PADA LANSIA
Diajukan kepada Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika Bali untuk memenuhi
salah satu persyaratan menyelesaikan Program Sarjana Keperawatan
OLEH:
NI WAYAN ANA SASTRA ANJANI
NIM: 16.321.2581
PROGRAM STUDI KEPERAWATAN PROGRAM SARJANA
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKABALI
DENPASAR
2020
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
LITERATURE REVIEW
Nama : Ni Wayan Ana Sastra Anjani
NIM : 16.321.2581
Judul : Penerapan Hatha Yoga Dalam Maintenance Stres Pada Lansia
Program Studi : Keperawatan Program Sarjana STIKes Wira Medika Bali
Telah diperiksa dan disetujui untuk mengikuti ujian literature review.
Pembimbing I
Ns. Desak Made Ari Dwi Jayanti, S.Kep., M.Fis
NIK. 2.04.11.505
Denpasar, Mei 2020
Pembimbing II
Ns. A. A. Istri Dalem Hana Yundari, S.Kep., M.Kep
NIK. 2.011.6841
iii
iv
KATA PENGANTAR
Puji syukur peneliti panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat-Nya, peneliti dapat menyelesaikan literature review yang berjudul
“Penerapan Hatha Yoga dalam Maintenance Stres Pada Lansia” tepat pada
waktunya.
Literature review ini disusun dalam rangka pengganti skripsi karena
pandemic Covid-19 untuk memperoleh gelar Sarjana Keperawatan pada Program
Studi Keperawatan, Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika Bali.
Pada proses penyusunan literature review ini, peneliti banyak mendapat
bimbingan dan bantuan sejak awal sampai terselesaikannya literature review ini,
untuk itu dengan segala hormat dan kerendahan hati, peneliti menyampaikan
penghargaan dan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Drs. I Dewa Agung Ketut Sudarsana, MM selaku Ketua Sekolah Tinggi Ilmu
Kesehatan Wira Medika Bali.
2. Ns. Ni Luh Putu Dewi Puspawati, S.Kep., M.Kep selaku Ketua Program Studi
Keperawatan Program Sarjana STIKes Wira Medika Bali.
3. Ns. Desak Made Ari Dwi Jayanti S.Kep., M.Fis selaku pembimbing I yang
telah memberikan bimbingan dalam penyelesaian literature review ini.
4. Ns. A. A. Istri Dalem Hana Yundari, S.Kep., M.Kep selaku pembimbing II
yang telah memberikan bimbingan dalam penyelesaian literature review ini.
5. Keluarga tercinta terutama orang tua atas segala doa, cinta dan kasih sayang
serta memberikan dukungan moral dan materiil dalam penyelesaian literature
review ini.
6. Teman-teman mahasiswa di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Wira Medika
Bali khususnya Angkatan A10-C dan semua pihak yang peneliti tidak dapat
disebutkan satu persatu yang telah membantu dalam penyusunan literature
review ini.
Semoga Tuhan senantiasa memberikan balasan dan rahmat karunia-Nya atas
budi baik yang telah diberikan dan semoga literature review ini dapat
dilaksanakan dan bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan.
v
Peneliti mengharapkan kritik dan saran bersifat konstruktif dari para pembaca
demi kesempurnaan dalam penyusunan literature review ini.
Denpasar, Mei 2020
Peneliti
Ni Wayan Ana Sastra Anjani
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN SAMPUL ..................................................................................... i
LEMBAR PERSETUJUAN ............................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ...................................................................................... iv
DAFTAR ISI ..................................................................................................... vi
DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... viii
ABSTRAK ......................................................................................................... 1
PENDAHULUAN ............................................................................................. 2
1. Latar Belakang Masalah.......................................................................... 2
2. Tujuan .................................................................................................... 4
METODE ........................................................................................................... 4
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................... 5
1. Hasil Review Artikel ............................................................................... 5
2. Pembahasan ............................................................................................. 9
KESIMPULAN DAN SARAN ......................................................................... 10
1. Kesimpulan ............................................................................................. 10
2. Saran ....................................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 11
LAMPIRAN
vii
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Hasil Review Artikel ......................................................................... 5
viii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 : Bukti Bimbingan
Lampiran 2 : Jurnal
1
PENERAPAN HATHA YOGA DALAM MAINTENANCE
STRESS PADA LANSIA
Application Of Hatha Yoga In Maintenance Stress
In Elderly
Ni Wayan Ana Sastra Anjani1, Ns. Desak Made Ari Dwi Jayanti S.Kep., M.Fis
2,
Ns. A. A. Istri Dalem Hana Yundari, S.Kep., M.Kep3
123Program Studi Keperawatan Program Sarjana STIKes Wira Medika Bali
Email : [email protected]
ABSTRAK
Latar belakang: Stres adalah suatu ketidakseimbangan diri atau jiwa dan
realitas kehidupan setiap hari yang tidak dapat dihindari atau perubahan yang
memerlukan penyesuaian. Stres dapat menimbulkan tuntutan yang besar pada
seseorang, dan jika seseorang tersebut tidak dapat mengadaptasi, maka dapat
terjadi penyakit. Stres dapat diatasi dengan terapi farmakologis dan terapi non
farmakologis, terapi non farmakologis salah satunya dengan melakukan Hatha
yoga Tujuan: literature review ini bertujuan untuk menganalisa penerapan
Hatha Yoga dalam maintenance stress lansia. Metode: Penulisan literature review
ini adalah dengan pengumpulan beberapa artikel dari penelusuran internet
database google scholar melalui advanced search yang telah dipublikasi secara
online dengan kata kunci Hatha yoga, tingkat stres, lansia. Dari beberapa artikel
yang diperoleh 8 artikel yang sesuai melalui analisis tujuan. Jurnal yang diambil
merupakan original article sehingga data yang disajikan lengkap dan
memudahkan dalam penelahaan penelitian. Hasil: Dari hasil analisis beberapa
jurnal menunjukkan adanya pengaruh hatha yoga dalam menurunkan tingkat
stress lansia. Kesimpulan: Latihan hatha yoga jangka panjang secara teratur akan
memberikan manfaat bagi kesehatan dan lebih dapat menurunkan stress yang
lebih signifikan
Kata Kunci : Hatha Yoga, Tingkat Stres, Lansia.
ABSTRACT
Background: Stress is an imbalance of self or soul and the daily reality of
life that cannot be avoided or changes that require adjustment. Stress can create a
great demand on someone, and if someone cannot adapt, illness can occur. Stress
can be overcome with pharmacological therapy and non-pharmacological
therapy, one of which is to conduct Hatha yoga. Objective: this literature review
aims to analyze the application of Hatha Yoga in the maintenance of elderly
stress. Method: Writing this review literature is by collecting a number of articles from the internet search google scholar database through an advanced search
that has been published online with the keywords Hatha yoga, stress level,
2
elderly. From several articles obtained 8 articles which are suitable through
purpose analysis. The journal taken is an original article so that the data
presented is complete and makes it easy to study research. Results: From the
results of the analysis of several journals, there was an influence of hatha yoga in
reducing the stress level of the elderly. Conclusion: Long-term practice of Hatha
yoga regularly will provide health benefits and can reduce stress more
significantly
Keywords: Hatha Yoga, Stress Level, Elderly.
3
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Lanjut usia adalah kelompok manusia yang berusia 60 tahun ke atas. Pada
lanjut usia akan terjadi proses menghilangnya kemampuan jaringan untuk
memperbaiki diri atau mengganti dan mempertahankan fungsi normalnya secara
perlahan-lahan sehingga tidak dapat bertahan terhadap infeksi dan memperbaiki
kerusakan yang terjadi. (Sunaryo, dkk, 2016). Menurut Depkes RI (2013), lanjut
usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas, yang diklasifikasikan
dalam beberapa kategori yaitu yang pertama pralansia, yaitu seseorang yang
berusia antara 45-59 tahun, kedua lansia, yaitu seseorang yang berusia 60-69
tahun, ketiga lansia resiko tinggi, yaitu seseorang yang berusia 70 tahun atau lebih
dengan masalah kesehatan.
Badan Pusat Statistik (2019), dalam waktu hampir lima dekade, persentase
lansia Indonesia meningkat sekitar dua kali lipat (1971-2019), yakni menjadi
9,5% (25 juta-an) dimana lansia perempuan sekitar 1% lebih banyak
dibandingkan lansia laki-laki yaitu 10,10% berbanding 9,10% .Lansia yang ada di
seluruh Indonesia, lansia muda (60-69 tahun) jauh mendominasi dengan besaran
yang mencapai 63,82 %, selanjutnya diikuti oleh lansia madya (70-79 tahun) dan
lansia tua (80 tahun ke atas) dengan besaran masing-masing 27,68% dan 8,50%.
Pada tahun ini sudah ada lima provinsi yang memiliki struktur penduduk tua
dimana penduduk lansianya sudah mencapai 10%, yaitu: DI Yogyakarta
(14,50%), Jawa Tengah (13,36%), Jawa Timur (12,96%), Bali (11,30%), dan
Sulawesi Barat (11,15%).
Masalah psikososial yang paling banyak terjadi pada lansia adalah stress
(Tamher & Noorkasiani, 2009). Insidensi stres di Indonesia pada tahun 2008
tercatat sebesar 10% pada lansia dari total penduduk Indonesia. Menurut Stanlay
(2007), walaupun tinggal dengan keluarga masih terdapat 10-15% lansia yang
mengalami stres. Penelitian Raden (2015) menunjukan tingkat stres yang tinggi
pada lanjut usia, dengan 21,25% menunjukan keluhan berat dan 18,75%
menunjukan keluhan sedang. Nussbaum (1998) melaporkan bahwa kelaziman
stres adalah antara 2% sampai 8% bagi warga lansia yang tinggal di komunitas.
Skala ini meningkat sampai 10% bagi warga lansia di lembaga perawatan
kesehatan dan 15% bagi warga lansia di panti jompo atau perawat intensif. Skala
lazim tentang stres diantara warga lansia secara konsisten antara 18% dan
40%.
Hasil penelitian yang dilakukan Sari,dkk (2015), menunjukkan bahwa
tingkat stress pada lansia di Panti Sosial Tresna Werdha Jara Mara Pati di
Singaraja yang ikut dalam penelitian 36 responden, sebanyak 24 responden
(66,7%) mengalami tingkat stress ringan dan 12 responden (33,3%) mengalami
tingkat stress sedang. Hasil penelitian yang dilakukan Khaidir&Nora (2017) juga
menunjukkan bahwa tingkat stress pada lansia di Panti Jompo Kota Lhokseumawe
memiliki tingkat stress sedang sebanyak 25 orang (45,4%), diikuti tingkat stress
ringan sebanyak 14 orang (25,4%), dan stress berat sebanyak 8 orang (14,5%).
Hal ini menunjukkan bahwa lansia yang berada di Panti jompo mengalami tingkat
stress yang cukup tinggi.
4
Stres adalah suatu ketidakseimbangan diri atau jiwa dan realitas kehidupan
setiap hari yang tidak dapat dihindari atau perubahan yang memerlukan
penyesuaian. Sering dianggap sebagai kejadian atau perubahan negatif yang dapat
menimbulkan stress seperti cedera, sakit atau kematian orang yang dicintai.
Perubahan positif juga dapat menimbulkan stress seperti naik pangkat,
perkawinan, dan jatuh cinta. Stress terjadi jika orang dihadapkan dengan peristiwa
yang dirasakan sebagai ancaman fisik atau psikologisnya (Mubarak, 2015). Stres
yang berkepanjangan dapat berdampak buruk bagi kesehatan lansia.
Menurut Potter & Perry (2005), stres dapat menimbulkan tuntutan
yang besar pada seseorang, dan jika seseorang tersebut tidak dapat mengadaptasi,
maka dapat terjadi penyakit. Stres dapat menyebabkan aktivitas hipotalamus
yang selanjutnya mengendalikan dua sistem neuroendokrin, yaitu sistem
simpatis dan sistem korteks adrenal yang dapat menimbulkan berbagai
dampak seperti gangguan pernafasan akibat spasme jalan napas, jantung
berdebar-debar, pembuluh darah menyempit (conctriction), peningkatan kadar
glukosa darah, serta dapat mengakibatkan depresi sistem imun sehingga
lansia yang mengalami stres mudah terserang penyakit. Stres dapat diatasi dengan
terapi farmakologis dan terapi non farmakologis. Terapi farmakologis
penangangan stress berupa obat anti depresan dan anti cemas golongan
benzodiazepam seperti alprazolam, yang dalam penerapannya menyebabkan
ketergantungan yang cukup besar. Terapi non farmakologis penanganan stress
yaiu antara lain jalan kaki, senam dan salah satunya adalah melakukan Yoga (Sari,
dkk, 2015).
Yoga telah berkembang menjadi salah satu sistem kesehatan yang
komprehensif dan menyeluruh. Yoga juga dapat diartikan sebagai sebuah proses
menyatukan antara tubuh, pikiran, perasaan dan aspek spiritual dalam diri
manusia. Pemilihan jenis aktvitas fisik bagi lansia disesuaikan dengan
kemampuan tubuh dari lansia itu sendiri. Yoga merupakan altenatif saerobik yang
menarik karena latihannya memerlukan sedikit ruangan, tidak memerlukan
peralatan dalam latihannya dan tidak memiliki efek samping yang berbahaya.
Yoga juga memiliki keunggulan dari olahraga lainnya yaitu gerakan yoga yang
lembut, cenderung menghindari gerakan otot yang tiba-tiba dan terlalu keras
sehingga sangat baik dilakukan oleh lansia dan efek utama dari melakukan yoga
yaitu mental, tidak ada kelelahan asam laktat, bentuk otot yang terilekskan setelah
sebuah gerakan dari yoga dan otot akan menjadi rileks secara penuh (Gothe NP,
2014)
Hatha yoga saat ini merupakan aliran yang paling popular dibanding aliran
yoga lainnya (Kinasih, 2010). Hatha yoga adalah bentuk paling umum
dipraktikkan di Amerika Utara dan melibatkan praktik postur fisik dalam
hubunganya dengan kesadaran napas untuk membantu mengembangkan fookus
mental untuk menghubungkan pikiran, tubuh dan jiwa. Hatha yoga membutuhkan
upaya yang fokus dalam bergerak melalui posisi mengendalikan tubuh dan
bernapas dengan kecepatan tetap. Latihan pernapasan dan meditasi dilakukan untuk menenangkan dan memfokuskan pikiran dan kesadaran diri yang lebih
besar (Gothe NP, 2014). Hatha yoga juga dapat meningkatkan konsentrasi dan
menenangkan pikiran terhadap masalah yang dihadapi (stress) (Sindhu, 2013).
5
Berdasarkan uraian tersebut, penulis ingin melakukan telaah literature
lebih lanjut mengenai Penerapan Hatha Yoga Dalam Maintenance Stres Lansia.
2. Tujuan
Penyusunan literature ini bertujuan untuk mereview literature terkait
penerapan Hatha Yoga dalam maintenance stress pada lansia.
METODE
Metode yang digunakan dalam literature review ini menggunakan strategi
secara komprehensif, seperti pencarian artikel dalam database jurnal penelitian,
pencarian melalui internet, tinjauan ulang artikel. Pencarian database yang
digunakan meliputi ProQuest, SciVerse ScienceDirect, Scopus, Cohcrane library,
EBSCOhost, ClinicalKey, Sage Publications yang dipublikasikan secara online.
Kata kunci yang digunakan dalam pencarian artikel yaitu Hatha yoga, tingkat
stres, lansia. Terdapat 8 artikel yang diperoleh sesuai dengan kriteria yaitu 3 jurnal
internasional dan 5 jurnal nasional. Semua artikel dianalisis melalui analisis
tujuan kesesuaian topik, metode penelitian yang digunakan, ukuran sampel, etik
penelitian, hasil dari setiap artikel, serta keterbatasan yang terjadi. Jurnal yang
diambil merupakan original article sehingga data yang disajikan lengkap dan
memudahkan dalam penelahaan penelitian.
6
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Hasil Review Artikel
Tabel 1.
Artikel Review
Peneliti Judul Tujuan Karakteristik
Sampel
Metodelogi
Penelitian
Hasil
Khaidir, Nora
(2017)
Gambaran Tingkat
Stress Pada Lansia Di
Panti Jompo Kota
Lhokseumawe Tahun
2017
Mengetahui
gambaran tingkat
stress pada lansia
di panti jompo
kota
lhokseumawe
tahun 2017
Sampel dalam
penelitian ini
adalah lansia yang
berada di panti
jompo Darusaa‟dah
dan An-nur di kota
Lhoeksuemawe
sebanyak 55 orang
Metode
kuantitatif
deskriptif
Hasil dari penelitian memperlihatkan
bahwa tingkat stress paling tinggi adalah
tingkat stress sedang yaitu sebanyak 25
orang (45,4%), diikuti stress ringan
sebanyak 14 orang (25,4%) dan stress
berat sebanyak 8 orang (14,5%).
Selo, dkk
(2017)
Perbedaan Tingkat
Stress Pada Lansia Di
Dalam Dan Di Luar
Panti Werdha
Pangesti Lawang
Mengetahui
perbedaan tingkat
stress pada lansia
di dalam dan di
Luar Panti Wedha
Pangesti Lawang
Sampel dalam
penelitian ini
adalah lansia yang
berusia 60 tahun ke
atas, lansia yang
bertempat tinggal
di kelurahan
Tlogomas RT 05-
06 yang tinggal
bersama keluarga
dan lansia yang
tinggal di Panti
Werdha Pang Esti
Lawing
Metode
kuantitatif
simple random
sampling
Penelitian ini menggunakan sampel
sebanyak 21 lansia yang tinggal diluar
panti dan sebanyak 27 lansia yang
tinggal dipanti dan hasil dari penelitian
yang dilakukan didapatkan kurang dari
separuh (40,7%) responden mengalami
tingkat stress sedang didalam panti
werdha dan kurang dari separuh (47,6
%) responden tidak mengalami stress
diluar pantoi werdha, sedangkan hasil uji
independent sample t-test membuktikan
“ada perbedaan tingkat stress lansia di
dalam dan diluar panti dengan p-value =
(0,001) < (0,050).
7
Wardani,
(2015)
Pengaruh Hatha
Yoga Terhadap
Tingkat Stress Pada
Wanita Di Dusun
Karang Tengah
Sleman Yogyakarta
Mengetahui
pengaruh latihan
hatha yoga
terhadap tingkat
stress pada wanita
di dusun karang
tengah sleman
Yogyakarta
Sampel dalam
penelitian ini
adalah semua
wanita usia 30-50
tahun di dusun
karang tengah yang
berjumlah 123
orang
Metode
kuantitatif quasi
eksperimen
Penelitian ini menggunakan sampel
berdasarkan usia yaitu 45-50 pada
kelompok intervesi sebanyak 7 orang
(41,2%) dan kelompok kontrol sebanyak
9 orang (52,9%). Dari hasil penelitian
yang dilakukan menunjukkan adanya
perbedaan antara yang melakukan
latihan hatha yoga dengan yang tidak
melakukan pada kelompok intervensi
dengan kelompok kontrol ditunjukkan
dengan hasil nilai p=0,002
Kaunang, dkk
(2019)
Gambaran Tingkat
Stress Pada Lansia Q
Journal for Quality
in Public Health
ISSN: 2614-4913
(Print), 2614-4921
(Online)
Vol. 2, No. 2, May
160
Mengetahui
gambaran tingkat
stress pada lansia
di balai
penyantunan
sosial lanjut usia
terlantar senja
cerah
Sampel yang
digunakan yaitu
lansia yang berada
di balai
penyantunan sosial
lanjut usia terlantar
senja cerah
sebnayak 51 lansia
Metode
kuantitatif
deskriptif
Hasil dari penelitian ini dari 51 lansia,
sebanyak 47 lansia (92,2%) mengalami
stress fisik ringan dan 43 lansia (84,3%)
mengalami stress psikologis ringan
Santoso, tjhin
(2018)
Perbandingan
Tingkat Stress Pada
Lansia Di Panti
Werdha Dan Di
Keluarga
Mengetahui
perbandingan
tingkat stress pada
lansia di panti
wedha dan
dikeluarga
Sampel yang
digunakan dalam
penelitian ini
adalah lansia yang
berada di panti
sosial tresna
werdha budi mulia
2, cengkareng barat
sebanyak 72 lansia
dan lansia yang
tinggal bersama
keluarga sebanyak
72 lansia
Metode
kuantitatif
deskriptif
komparatif
Dari hasil penelitian yang dilakukan
rata-rata usia lansia yang tinggal dipati
adalah 68,81 + 6,72 dan yang di
keluarga 67,79 + 3,43. Tidak terdapat
perbedaan bermakna pada tingkat stress
lansia ditinjau dari segi usia (p=0,102)
dan jenis kelamin (p=0,598). Terdapat
perbedaan bermakna pada tingkat stress
lansia berdasarkan tingkat pendidikan
(p=0,000), status perkawinan (p=0,000),
riwayat penyakit (p=0,039) dan lokasi
tempat tinggal (p=0,000)
8
Huang, dkk
(2013)
Effect of Hatha Yoga
on Stress in Middle-
Aged Woman
Penelitian ini
menyelidiki
efektivitas
komparatif dari
kelas yoga Hatha
90 menit tunggal
dan kursus 8
minggu, 90 menit
kelas per minggu.
Sampel pada
penelitia ini yaitu
63 warga
komunitas
perempuan di New
Teipe yang berusia
40-60 tahun
Metode
kuantitatif quasi
experimental
Hasil dari penelitian ini Setelah satu
kelas 90 menit yoga Hatha, skor PSS
kelompok eksperimen secara signifikan
lebih kecil daripada kelompok kontrol (p
= 0,001). Meskipun kelompok
eksperimen HRV (norma frekuensi
rendah dan frekuensi tinggi) telah
membaik, perubahan ini tidak signifikan
secara statistik (p = 0,059). Skor PSS
untuk kelas 90-menit minimum dan 8
minggu tidak tentu tidak berbeda secara
signifikan (p = .157) dan HRV statistik
signifikan (p = .005). Persamaan
estimasi umum menganalisis perubahan
dalam efektivitas dari waktu ke waktu
pengurangan stres (HRV dan PSS)
setelah intervensi yoga Hatha. Hasil
penelitian menunjukkan HRV dan PSS
postintervensi dari kelompok
eksperimen menurun secara signifikan
(p <0,001) lebih dari kelompok kontrol.
Oron, G, dkk
(2015)
A prospective study
using Hatha yoga for
stress reduction
among woman
waiting for IVF
treatment
Untuk mengetahui
efek hatha yoga
pada pasien IVF
yang mengalami
stress
Semua pasien
wanita, antara usia
21 dan 42 tahun,
dijadwalkan untuk
memulai siklus
IVF
Metode
kuantitatif
Hasil penelitian menunjukkan pada skala
dari 1 hingga 5 dengan 1 tidak terpenuhi
dan 5 sepenuhnya terpenuhi, tingkat
kepuasan keseluruhan tinggi, dengan
skor rata-rata rata-rata 4,6 ± 0,6. Pasien
melaporkan 'merasa lebih santai' sebagai
hasil dari program, dengan skor rata-rata
4,3 ± 0,7; dan 'merasa lebih bisa
mengendalikan perasaan', dengan skor
rata-rata 4,9 ± 0,2
9
Sarubin, N,
dkk (2014)
The influence of
Hatha yoga as an
add-on treatment in
major depression on
hypothalamic-
pituarity-adrenal-
axis activity: A
randomized trial
Untuk mengetahui
pengaruh hatha
yoga sebagai
tambahan dalam
perawatan depresi
Sampel yang
digunakan terdiri
dari 60 pasien dan
yang menderita
depresi
Metode
kuantitatif
deskriptif
Hasil penelitian menunjukkan
peningkatan parsial sekresi COR selama
DEX / CRH test setelah satu minggu
terapi pada pasien yang menerima
perawatan yoga sementara ada
pengurangan parsial setelah lima minggu
yoga. dalam kelompok kontrol
penurunan bertahap nilai-nilai COR
AUC dari minggu 0 hingga minggu 5
dapat diamati, yang menunjukkan bahwa
terapi yoga menyebabkan penurunan
sekresi COR secara berturut-turut.
10
2. Pembahasan
Menurut Indriana, dkk (2010), Stres pada lansia dapat didefinisikan
sebagai tekanan yang diakibatkan oleh stressor berupa perubahan-perubahan yang
menuntut adanya penyesuaian dari lansia. Tingkat stress pada lansia berarti pula
tinggi rendahnya tekanan yang dirasakan atau dialami oleh lansia sebagai akibat
dari stressor berupa perubahan-perubahan baik fisik, mental, maupun sosial dalam
kehidupan yang dialami lansia. Adapun perubahan fisik yang menjadi indikator
penentu tingkat stress individu, dalam hal ini lansia antara lain: panas, dingin,
nyeri, masuknya organisme, trauma fisik, kesulitan eliminasi, dan kekurangan
makan. Perubahan mental atau psikologis yang menjadi indikator antara lain:
kritik yang tidak dapat dibenarkan, kehilangan, ketakutan, serta krisis situasi.
Sedangkan perubahan sosial sebagai stressor dan penentu tingkat stress pada
lansia antara lain: isolasi atau diasingkan, status sosial atau ekonomi, perubahan
temapt tinggal atau tempat kerja, dan bertambahnya anggota keluarga.
Hasil penelitian Santoso, Tjhin (2018), menunjukkan bahwa terdapat
perbedaan bermakna pada tingkat stress lansia yang tinggal di Panti Werdha dan
di keluarga. Lansia yang tinggal di Panti Werdha cenderung mengalami stress
berat sedangkan lansia yang tinggal bersama keluarga cenderung mengalami
stress ringan. Hasil ini mendukung penelitian Selo, dkk (2017), yang
menunjukkan hasil dari analisis yang menggunakan uji independent sample t-test
membuktika bahwa p value = (0,001) < (0,050) yang artinya “ada perbedaan
tingkat stress pada lansia di dalam dan di luar Panti Wedha Pangesti Lawang”.
Sehingga dapat di pahami terdapat perbedaan tingkat stress pada lansia yang
tinggal di dalam dan di luar Panti.
Menurut Kaunang, dkk (2019), Dampak stress umumnya yang jika tidak
diatasi oleh lansia dapat menyebabkan lansia mengalami kemunduran fisik dan
juga menyebabkan aktivitas hipotalamus yang selanjutnya mengendalikan dua
sistem neuroendokrin, yaitu sistem simpatis dan sistem korteks adrenal yang
dapat menimbulkan berbagai dampak seperti gangguan pernafasan akibat
spasme jalan napas, jantung berdebar-debar, pembuluh darah menyempit
(conctriction), peningkatan kadar glukosa darah, serta dapat mengakibatkan
depresi sistem imun sehingga lansia yang mengalami stres mudah terserang
penyakit.
Cara mengendalikan stress yang bisa dilakukan oleh lansia dengan
melakukan istirahat yang cukup, mengungkapkan perasaan dengan teman dipanti
yang bisa dipercayai, bersikap positif dan melakukan aktivitas fisik seperti Hatha
yoga. Hatha yoga merupakan bentuk yoga yang paling umum dipraktikkan di
Amerika Utara dan melibatkan praktik postur fisik dalam hubungannya dengan
kesadaran napas untuk membantu mengembangkan fokus mental untuk
menghubungkan fikiran, tubuh dan jiwa (Sindhu, 2013).
Hasil penelitian Huang, dkk (2013), menunjukkan bahwa rasio LF / HF
dan PSS menurun secara signifikan pada peserta setelah satu kelas 90 menit yoga
Hatha. Ini menunjukkan intervensi yoga tunggal dapat efektif untuk stres, sebuah temuan yang mirip dengan penelitian sebelumnya seperti Satyapriya, (2009), yang
menunjukkan efektifitas 60 menit komprehensif yang dilakukan pada wanita yang
hamil 18-20 minggu, dan West et al, (2004), yang melaporkan pengurangan stres
11
yang dirasakan di antara 69 mahasiswa universitas yang sehat yang berpartisipasi
dalam kelas yoga Hatha selama 90 menit.
Hasil penelitian Sarubin, PA, dkk (2014), menunjukkan bahwa
peningkatan parsial sekresi COR selama DEX/CRH test setelah satu minggu
terapi pada pasien yang menerima perawatan yoga sementara ada pengurangan
parsial setelah lima minggu yoga. Kelompok kontrol penurunan bertahap nilai-
nilai COR AUC dari minggu 0 hingga minggu 5 dapat diamati, yang
menunjukkan bahwa terapi yoga menyebabkan penurunan sekresi COR secara
berturut-turut.
Hasil penelitian Wardani (2015), yaitu dengan memberikan latihan Hatha
yoga terhadap tingkat stress pada wanita sebelum dan sesudah perlakuan selama 6
hari dan didapatkan bahwa sebelum dan setelah diberikan Hatha Yoga terdapat
penurunan nilai tingkat stress, untuk mengetahui lebih jauh signifikan pengaruh
latihan Hatha yoga terhadap tingkat stress pada wanita maka dilakukan analisis
data dengan uji statistik dengan menggunakan uji Wilcoxon. Hasil uji Wilcoxon
didapatkan nilai z terbesar -3.127a
dengan nilai signifikan (p) 0, 002 sehingga
dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh latihan Hatha Yoga terhadap tingkat stress
wanita selama 6 hari berturut-turut.
SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan
Melakukan latihan hatha yoga jangka panjang secara teratur akan
memberikan manfaat bagi kesehatan dan lebih dapat menurunkan stress yang
lebih signifikan pada lansia yang mengalami stress.
2. Saran
Berdasarkan hasil dari review jurnal didapatkan beberapa saran antara lain
sebagai berikut:
1) Bagi Lansia
Hasil dari literature review ini sebagai acuan dasar yang digunakan untuk
mengatasi stress pada lansia yaitu dengan cara mempraktekkan secara rutin
gerakan hatha yoga.
2) Bagi Pihak Panti
Diharapkan pihak panti mendapatkan informasi yang benar tentang bagaimana
cara mengatasi tingkat stress dengan melakukan latihan hatha yoga dan
menambah kegiatan aktivitas fisik yag dilakukan seperti dua minggu sekali.
12
DAFTAR PUSTAKA
Azizah, Lilik M. 2011. Perawatan Lanjut Usia. Surabaya: Graha Ilmu
Badan Pusat Statistik. Statistik Penduduk Lanjut Usia tahun 2019 (online).
Available:
https://www.bps.go.id/publication/2019/12/20/ab17e75dbe630e05110ae53b/st
atistik-penduduk-lanjut-usia-2019.html diaskes pada tanggal 15 Januari 2020
Depkes RI. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2013. Direktorat Jendral PPM dan
PI.Jakarta (online). Available http://repository.usu.ac.id/bitstrem/profil-
kesehatanindonesia/Reference.pdf (diakses tanggal 5 januari 2020)
Dinas Kesehatan Provinsi Bali. 2018. Profil Penduduk Lansia di Bali. Bali: Data
dan Program.
Gothe NP, Krame AF, McAuley E. 2014. The Effect Of An 8-Week Hatha Yoga
Intervention On Executive Function In Older Adults. J Gerontol A Bio Sci
Med Sci 69(9):1109-16.
Health and Safety Executive. 2015 . Work Related Stress, Anxiety and Depression
Statistics in Great Britain. Available: http://www.hse.gov. (7 Januari 2020).
Huang, F., Chien, D., Chung, U. 2013. Effects Of Hatha Yoga On Stres In Middle-
Aged Woman. National Taipei University Of Nursing And Health Sciences.
Indriana. Y, Kristiana. F. I., Sonda. A. A., Intanirian. A. 2015. Tingkat Stres
Lansia Di Panti Werdha “Pucang Gading” Semarang. Fakultas Psikologi
Unriversitas Diponegoro.
Kaunang, D. I,. Buanasari. A,. Kallo. V. 2019. Gambaran Tingkat Stres Pada
Lansia. Progam Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran Universitas
Sam Ratulangi.
Kemkes RI, 2015. Pembinaan Kesehatan Olahraga Di Indonesia. Available:
https://www.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/infodatin/infodatin_ol
ahraga.pdf. (10 Januari 2020)
Khaidir & Nora.2017. Gambaran Tingkat Stres Pada Lansia Di Panti Jompo
Kota Lhokseumawe. Lhokseumawe: Program Studi Kedokteran Fakultas
Kedokteran Universitas Malikussaleh.
Kinasih, AS. 2010. Pengaruh Latihan Yoga Terhadap Peningkatan Kualitas
Hidup. Fakultas Psikologi Universitas: Gajah Mada. Vol. 18 No. 1, 2010: ISN:
0854-7108.
13
Mubarak, W. I., Chayatin N., dan Bambang A. S. 2015.Buku Ajar Keperawata
Dasar.Jakarta: Salemba Medika.
Oron, G, Allnut, E, Lackman, T, Tamar, SA, Hananel Holzer, Takefman, J. 2015.
A prospective study using Hatha yoga for stress reduction among woman
waiting for IVF treatment. Department of obstetric and Gynecology, McGill
University, Montreal, Quebec H3A1A1. Canada
Santoso, E & Tjhin, P. 2018. Perbandingan Tingkat Stres Pada Lansia Di Panti
Werdha Dan Di Keluarga. Program Studi Kedokteran Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti.
Sari. A. R, Utami, SA, Suarnata, K. 2015. Pengaruh Senam Otak Terhadap
Tingkat Stres Lansia Di Panti Sosial Tresna Werdha Jara Mara Pati
Singaraja. Singaraja: Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Udayana.
Sarubin, N, Nothdurfter, C, Schule, C, Lieb, M, Uhr, M, Born, C. 2014. The
influence of Hatha yoga as an add-on treatment in major depression on
hypothalamic-pituarity-adrenal-axis activity: A randomized trial. Department
of Psychiatry and Psychoteraty. University Regensburg. Germany
Sindhu, P. 2013. Hidup Sehat dan Seimbang dengan Yoga. Bandung: PT. Mizan
Pustaka.
Selo, J, Candrawati, E, Putri, MR. 2017. Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia Di
Dalam Dan Di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang. Program Studi Ilmu
Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Tribhuwana Tunggadewi
Malang.
Sunaryo, Wijayanti, R, Kuhu, M, M, Sumedi, T, Widyanti D, E, Sukrillah, A, U,
Riyadi, S, Kuswati, A. 2016. Asuhan Keperawatan Gerontik Yogyakarta:CV
Andi Offset.
Wardani, T. P. 2015. Pengaruh Latihan Hatha Yoga Terhadap Tingkat Stres Pada
Wanita Di Dusun Karang Tengah Sleman Yogyakarta. Yogyakarta: Program
Studi Ilmu Keperawatan Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan „Aisyiyah.
GAMBARAN TINGKAT STRES PADA LANSIA DI PANTI JOMPO KOTA
LHOKSEUMAWE TAHUN 2017
Khaidir1*
, Nora Maulina2
1Program Studi Kedokteran fakultas Kedokteran universitas Malikussaleh
2Bagian Fisiologi Fakultas Kedokteran Universitas Malikussaleh
*Corresponding author : [email protected]
Abstrak
Menua atau menjadi tua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia. Apabila
seseorang memasuki masa usia lanjut, terjadi berbagai perubahan baik yang bersifat
fisik, mental, maupun sosial. Perubahan-perubahan tersebut akan menempatkan individu usia
ini pada posisi serba salah yang akhirnya hanya menjadi sumber akumulasi stres dan frustasi belaka. Stres dapat menyerang semua orang, baik anak-anak, orang dewasa maupun lanjut
usia (lansia). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran tingkat stres pada lansia di
panti jompo kota lhokseumawe tahun 2017. Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan croos sectional dengan tekhnik pengambilan sampel menggunakan metode total
sampling. Jumlah sampel yang diambil sebnyak 55 responden. Hasil dari penelitian ini
memperlihatkan bahwa tingkat stres paling tinggi adalah tingkat stres sedang yaitu sebanyak 25 orang (45,4%), tingkat depresi paling tinggi yaitu depresi sedang sebanyak 25 orang
(45,4%), tingkat kecemasan tertinggi yaitu normal sebanyak 19 orang (34,5), didapatkan juga
usia terbanyak yaitu usia 60-74 sebanyak 31 orang (56,3%), didapatkan juga lansia dengan
jenis kelamin terbanyak adalah perempuan sebanyak 34 orang (61,9%), didapatkan juga lansia terbanyak berpendidikan dasar (SD/SMP) yaitu sebanyak 40 orang (72,8%). Kata Kunci : Tingkat stres lansia; Usia; Jenis kelamin; Pendidikan
Description Stress Level of Elderly at Nursing Home Lhokseumawe in 2017
Abstract
Aging or getting old is a condition that occur in human life. When human enters the elderly, they
will getting various change both physically, mental and social. The changes will make the elderly
in wrong position and finally its only make the accumulation of stress and frustation. Stress can
attack every one, both children, adult and the elderly. This research aims to know the description
of stress levels in the elderly at Nursing Home Lhokseumawe on 2017. This type of research
is descriptive with cross sectional approach and sampling technique using total sampling
method. The samples taken to 55 respondents. The results of this study describe that the
highest stress level is moderate stress as many as 25 respondents (45,4%), the highest
depression level is moderate depression as many as 25 respondents (45,4%), the highest
worry level is normal as many as 19 respondents (34,5%), with the age of most respondents is
the age of 60-74 years as many as 31 respondents (56,3%), with the most sex of respondents
being women as many as 34 respondents (61,9%), with most respondents education is primary
school (SD/SMP) as many as 40 respondents (72,8 %). Keywords : Stress levels of the elderly; Age; Sex; Education
Jurnal Averrous Vol.4 No.1 2018
PENDAHULUAN
Penduduk lanjut usia di dunia pada tahun 2012 mencapai 680 juta jiwa dan yang
mengalami stres sekitar 32% 1. Penduduk lanjut usia di atas 65 tahun pada tahun 2000 di Swedia
ada 17,4%, Belgia 16,4%, Inggris 16%, Jerman 15,9% dan Denmark 15,2% 2. Penduduk di
sebelas negara kawasan Asia Tenggara yang berusia di atas 60 tahun berjumlah 124 juta orang
dan diperkirakan akan terus meningkat sehingga tiga kali lipat di tahun 20501.
Data Badan Pusat Statistik Provinsi Aceh menunjukkan bahwa jumlah lansia di Provinsi
Aceh terus meningkat dari 5,3 juta jiwa (2009), menjadi 14,4 juta jiwa (2010) dan diperkirakan
pada tahun 2020 mencapai 28,8 juta jiwa. Jumlah lansia di Kota Lhokseumawe terus
meningkat dari 5,3 ribu jiwa (2008) menjadi 14,4 ribu jiwa (2010)3.
Apabila seseorang memasuki masa usia lanjut, terjadi berbagai perubahan baik yang
bersifat fisik, mental, maupun sosial. Proses alamiah adalah proses perkembangan
manusia sejak periode awal sampai masa usia lanjut merupakan kenyataan yang tidak bisa
dihindari dan mengalami berbagai perubahan-perubahan yang menyertai proses
perkembangan ketika orang tersebut memasuki masa usia lanjut. Perubahan-perubahan
tersebut akan menempatkan individu usia ini pada posisi serba salah yang akhirnya hanya
menjadi sumber akumulasi stres dan frustasi belaka4.
Data awal yang telah peneliti kumpulkan menunjukkan bahwa jumlah lansia di
Kota Lhokseumawe berkisar 1,8ribu jiwa (2017) dan mempunyai dua panti jompo yaitu
Panti Jompo Darussa‟adah dengan jumlah lansia sebanyak 60 orang dan Panti Jompo An-Nur
berjumlah 24 orang5.
Lansia yang dominan lebih memilih tinggal di panti jompo daripada di kota,
dikarenakan secara psikis mereka membutuhkan lingkungan yang mengerti dan memahami
mereka. Lansia membutuhkan teman yang sabar, yang mengerti dan memahami kondisinya.
Mereka membutuhkan teman ngobrol, dikunjungi kerabat atau keluarganya, dan sapaan
yang sejuk serta sangat senang jika didengarkan nasehatnya. Dengan demikian dapat
menurunkan gejala stres yang dialaminya6
Jurnal Averrous Vol.4 No.1 2018
METODE PENELITIAN
Desain penelitian
Penelitian ini adalah jenis penelitian deskriptif dengan pendekatan cross-sectional. Lokasi yang
dipilih untuk penelitian ini adalah Panti Jompo Darussa‟dah dan An-Nur di Kota Lhokseumawe.
Populasi dan sampel penelitian
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh lansia di Kota Lhokseumawe tahun 2017
yaitu sebanyak 80 orang. Sampel dalam penelitian ini adalah lansia di panti jompo Kota
Lhokseumawe yang memenuhi criteria inklusi dan eksklusi. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi
dalam penelitian ini adalah:
Kriteria inklusi:
1. Lansia yang tercatat sebagai penghuni Panti Jompo Darussa‟adah dan An-Nur di Kota
Lhokseumawe.
2. Bersedia menjadi subjek penelitian.
Kriteria eksklusi:
1. Lansia yang mengalami gangguan verbal / pendengaran / penglihatan.
2. Lansia yang mengkonsumsi obat antidepresan.
3. Lansia yang berusia >90 tahun.
Pengambilan sampel
Teknik pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling yaitu sampel yang
memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi yaitu sebanyak 55 sampel. Lansia tiap Panti Jompo
Kota Lhokseumawe berdasarkan kriteria inklusi yaitu Panti Jompo Darussa‟adah sebanyak 41
sampel dan Panti Jompo An-Nur sebanyak 14 sampel.
Hasil Penelitian dan Analisis
Karakteristik Lansia Panti Jompo Darussa‟dah dan An-Nur di Kota Lhokseumawe
Sampel dalam penelitian ini adalah lansia yang berada di Panti Jompo Darussa‟dah dan
An-Nur di Kota Lhoekseumawe sebanyak 55 orang. Berdasarkan hasil penelitian didapatkan data
sebagai berikut:
Jurnal Averrous Vol.4 No.1 2018
Tabel 5.1 Gambaran karakteristik berdasarkan usia
Frekuensi Persentase (%)
(n)
45-59 16 29,2 tahun 31 56,3
60-74 8 14,5
tahun
75-90
tahun
Total 55 100
Tabel 5.1 menunjukkan bahwa sebagian responden berumur 60-74 tahun sebanyak 31 orang
(56,3%), diikuti umur 45-59 tahun sebanyak 16 orang (29,2%), dan paling sedikit umur 75-90
tahun sebanyak 8 orang (14,5%).
Tabel 5.2 Gambaran karakteristik berdasarkan jenis kelamin
Laki-laki
Perempuan
Total
Frekuensi
(n)
21
34
55
Persentase
(%)
38,1
61,9
100
Tabel 5.2 menunjukkan bahwa responden jenis kelamin yang terbanyak adalah Perempuan
(61,9%) dan paling sedikit pada Laki-laki (38,1%).
Tabel 5.3 Gambaran karakteristik berdasarkan pendidikan
Dasar
(SD/SMP)
Menengah
(SMA)
Tinggi
(Perguruan tinggi)
Total
Frekuensi
(n)
40
13
2
56
Persentase
(%)
72,8
23,6
3,6
100
Jurnal Averrous Vol.4 No.1 2018
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa pendidikan yang terbanyak adalah dari golongan dasar
(SD/SMP) yaitu sebanyak 40 orang (72,8%), diikuti golongan menengah (SMA) sebanyak 13
orang (23,5%) dan yang paling sedikit dari golongan perguruan tinggi yaitu sebanyak 2 orang
(3,6%).
Tabel 5.4 Gambaran frekuensi berdasarkan tingkat stres pada lansia di Panti Jompo
Darussa’dah dan An-Nur di Kota Lhokseumawe
Tidak mengalami stres
Stres ringan
Stres sedang
Stres berat Total
Frekuensi
(n)
8
14
25
8
56
Persentase (%)
14,5
25,4 45,4
14,5
100,0
Berdasarkan tabel 5.4 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat stres
sedang sebanyak 25 orang (45,4%), diikuti tingkat stres ringan sebanyak 14 orang (25,4%), dan
paling sedikit tidak memiliki stres sebanyak 8 orang (14,5%) dan stres berat sebanyak 8
orang (14,5%).
Tabel 5.5 Gambaran frekuensi berdasarkan tingkat depresi pada lansia di Panti Jompo
Darussa’dah dan An-Nur di Kota Lhokseumawe
Frekuensi (n) Persentase (%)
Normal 10 18,1
Ringan 12 21,8
Sedang 25 45,4
Berat 8 14,5
Total 56 100,0
Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki tingkat depresi
terbanyak yaitu tingkat sedang sebanyak 25 orang (45,4%) dan paling sedikit dengan tingkat
depresi berat sebanyak 8 orang (14,5%).
Jurnal Averrous Vol.4 No.1 2018
Tabel 5.6 Gambaran frekuensi berdasarkan tingkat kecemasan pada lansia di Panti Jompo
Darussa’dah dan An-Nur di Kota Lhokseumawe
Frekuensi (n) Persentase (%)
Normal 19 34,5
Ringan 18 32,7
Sedang 13 23,6
Berat 5 9,0
Total 56 100,0
Berdasarkan tabel 5.5 menunjukkan bahwa sebagian besar responden memiliki
tingkat kecemasan terbanyak yaitu normal sebanyak 19 orang (34,5%) dan paling sedikit dengan
tingkat kecemasan berat sebanyak 5 orang (9,0%).
PEMBAHASAN
Gambaran Umum Hasil Penelitian
Karakteristik lansia di panti jompo Darussa’dah dan An-nur Lhokseumawe
Usia
Umur dapat mempengaruhi kedewasaan seseorang. Stres lebih sering terjadi pada usia
muda, umur rata-rata awitan antara 20-40 tahun. Faktor sosial sering menempatkan seseorang
yang berusia muda pada risiko tinggi. Predisposisi biologic seperti genetik juga sering
memberikan pengaruh pada seseorang yang berusia lebih muda. Walaupun demikian, depresi
juga dapat terjadi pada anak-anak dan usia lanjut7
.
Stres mampu menjadi kronis apabila stress muncul untuk pertama kalinya pada usia 60
tahun keatas. Berdasarkan hasil studi pasien lansia yang mengalami depresi diikuti selama 6
tahun, kira-kira 80% tidak sembuh namun terus mengalami depresi atau mengalami depresi
pasang surut8
Jenis Kelamin
Jenis kelamin berperan terhadap terjadinya stres. Ada perbedaan respon antara laki-laki
dan perempuan saat menghadapi konflik. Otak perempuan memiliki kewaspadaan yang negatif
terhadap adanya konflik dan stres, pada perempuan konflik memicu hormon negatif sehingga
memunculkan stres, gelisah, dan rasa takut. Sedangkan laki-laki umumnya menikmati adanya
konflik dan persaingan, bahkan menganggap bahwa konflik dapat memberikan dorongan yang
Jurnal Averrous Vol.4 No.1 2018
positif. Dengan kata lain, ketika perempuan mendapat tekanan, maka umumnya akan lebih
mudah mengalami stress7
Pendidikan
Tingkat pendidikan yang tinggi cenderung menyebabkan perubahan pada pola berpikir
dan pandangan hidup. Seseorang dengan tingkat pendidikan yang tinggi akan mengalami
perubahan pola berpikir dari tradisional ke arah yang lebih maju sehingga tidak hanya
memandang persoalan dari satu sisi saja melainkan dapat dari berbagai sudut pandang 7.
Pendidikan dapat mempengaruhi seseorang termasuk juga perilaku seseorang akan pola
hidup terutama dalam memotivasi untuk sikap, berperan dalam pembangunan kesehatan. Makin
tinggi pendidikan seseorang makin mudah menerima informasi, sehingga makin banyak pula
pengetahuan yang dimiliki.9
.
Gambaran tingkat stres pada lansia Panti
Jompo Darussa’dah dan An-Nur di Kota
Lhokseumawe
Tingkat stres
Berdasarkan hasil penelitian tingkat yang tidak mengalami stres sebanyak 8 orang
(14,5%), tingkat stres ringan sebanyak 14 orang (25,4%), tingkat stres sedang sebanyak 25 orang
(45,4%). Tingkat stres ringan dikarenakan adanya dukungan dari lingkungan yang baik
seperti keakraban sesama lansia lainnya serta dapat juga dikarenakan pola individu yang
sudah baik terkait penyesuaian diri. Stres adalah suatu respon fisik normal terhadap suatu
peristiwa yang membuat hidup seseorang menjadi terancam atau mengganggu keseimbangan
dalam beberapa cara, seperti yang ketika seseorang mengalami tubuh akan melakukan
pertahanan secara otomatis yang dikenal dengan sebutan fight or fight reaction atau reaksi stres
10.
Stres dalam kelurga dapat di sebabkan karena adanya konflik dalam keluarga, seperti
perilaku yang tidak sesuai dengan harapan, keinginan dan cita-cita serta pendapat yang tidak
dapat di satukan. Oleh karena itu keluarga bisa menjadi pengaruh stress 11
.
Jurnal Averrous Vol.4 No.1 2018
Kesimpulan
1. Gambaran tingkat stres terbanyak yaitu tingkat stres sedang (46,4%) dan yang lansia paling
sedikit yang tidak mengalami stres dan stres berat (14,3%).
2. Gambaran usia terbanyak yaitu usia 60-70 sebanyak 55,4%, jenis kelamin terbanyak yaitu
perempuan sebanyak 64,2%,sedangkan dari segi pendidikan terbanyak yaitu dasar
(SD/SMP) sebanyak (71,4%).
Saran
Lansia
Bagi lansia yang tinggal di panti disarankan untuk tetap menjaga kemampuan kognitif dengan
cara melatih kemampuan memorinya misalnya mengisi teka-teki silang, membaca buku
sebagai upaya untuk mencegah penurunan intelektual (pikun). Menghindari pemikiran
negatif mengenai diri sendiri dan masa depan, menghilangkan perasaan bersalah atau
menyesal mengenai kesalahan dimasa lalu, istirahat dengan cukup, dan menjaga pola makan.
Peneliti selanjutnya
Diharapkan untuk meneliti lebih lanjut pada variabel yang berbeda, agar dapat diperoleh
informasi lebih kongkrit yang berhubungan denga tingkat stres pada lansia.
Institusi pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pembelajaran atau referensi
bagi mahasiswa, sehingga mahasiswa dapat mengembangkan wawasannya tentang
asuhan keperawatan gerontik agar lebih berkualitas.
Jurnal Averrous Vol.4 No.1 2018
REFERENSI
1. World Health Organization., 2012. Prevalence and related influencing
depressive symptoms. Archives of Gerontology and Geriatrics. Diakses pada 23 Desember 2016: http://www.sciencedirect.com/science/article
factors of tanggal
2. Ronald., 2015. Sehatdan Ceria di Usia Senja. Jakarta:Rineka Cipta, hal: 22-44.
3. Profil Kesehatan Provinsi Aceh., 2012. Profil Kesehatan di Aceh. Daerah Istimewa Aceh.
4. Indriana, Y., 2010. Gerontologi: Memahami Kehidupan Usia Lanjut. Semarang:
Penerbit Universitas Diponegoro, hal: 77-99.
5. Dinas Sosial Kota Lhokseumawe., 2016. Profil Panti Jompo Kota Lhokseumawe. Aceh, Kota
Lhokseumawe.
6. Depkes RI., 2013. Lansia, Bab 1. Jakarta, diakses pada tanggal 22 Desember 2016;
www.depkes.go.id/downloads/Buletin%20Lansia
7. Amir, L.M. (2008). Keperawatan lanjut usia. Yogjakarta : Graha Ilmu
8. Nevid., Spencer, AR., dan Greene, B. 2009. Psikologi Abnormal Edisi ke lima Jilid I. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
9. Notoatmodjo, S., 2007. Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku. Jakarta: Rineka Cipta, hal:
60-88.
10. Stuart & Sundeen., 2008. Instrument DASS (Depression Sukadiyanto.,2010. Stress dan cara menguranginya. Jurnal. FIK Yogyakarta.
Anxiety Stress Universitas
Scales). Negeri
11. Puspasari, S. (2009). Hubungan Kemunduran Fisiologis dengan Stres pada Lanjut Usia di
Kelurahan Kaliwiru Semarang. Diakses pada tanggal 16 Maret 2016
darihttp://digilib.unimus.ac.id/gdl.php?modbrowse&op=read&id=jtptunim us-gdl-
septikapus-5189&PHPSESSID=1e67af6fa4bdd962b24ed311c991538.
Jurnal Averrous Vol.4 No.1 2018
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
PERBEDAAN TINGKAT STRES PADA LANSIA DI DALAM
DAN DI LUAR PANTI WERDHA PANGESTI LAWANG
Jefri Selo1)
, Erlisa Candrawati2)
, Ronasari Mahaji Putri3)
1) Mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang 2)
Dosen Program Studi Keperawatan Poltekkes Kemenkes Malang 3)
Dosen Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang
E-mail : [email protected]
ABSTRAK
Data Kependudukan PBB tahun 2013 di Indonesia jumlah lansia sebanyak 14,4 juta jiwa
atau sebanyak 7,18% dari jumlah penduduk. Semakin meningkatnya umur lansia maka
persoalan yang di alaminya juga semakin banyak sehingga menyebabkan stres baik lansia
yang tinggal dengan keluarga maupun lansia yang tinggal di dalam panti lansia. Tujuan
penelitian untuk mengetahui perbedaan tingkat stres pada lansia di dalam dan di luar panti
Werdha Pengesti Lawang. Desain penelitian mengunakan desain komparatif. Populasi
dalam penelitian ini sebanyak 40 lansia yang tinggal di luar panti dan 68 lansia yang
tinggal di Panti Werdha Pangesti Lawang, penentuan sampel penelitian menggunakan
simple random sampling sebanyak 21 lansia yang tinggal di luar panti dan sebanyak 27
lansia yang tinggal di Panti Werdha Pangesti Lawang. Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah kuisioner. Metode analisis data yang di gunakan ialah independent
sample t-test. Hasil penelitian membuktikan kurang dari separuh (40,7%) responden
mengalami tingkat stress sedang di dalam panti werdha dan kurang dari separuh (47,6%)
responden tidak mengalami stress di luar werdha, sedangkan hasil uji independent sample
t-test membuktikan “ada perbedaan tingkat stres pada lansia di dalam dan di luar Panti
Werdha Pangesti Lawang” dangan p-value = (0,001) < (0,050). Adanya perbedaan tingkat
stres pada lansia di dalam dan di luar panti maka perlu adanya dukungan keluarga untuk
memberi semangat kepada lansia yang tinggal dengan keluarga, sedangkan bagi lansia
yang tinggal di panti werdha harus ada kegiatan sosialisasi untuk memberi pengertian
kepada lansia agar mau menerima diri apa adanya dan merawat diri secara mandiri.
Kata Kunci : Lansia, Panti Werdha, Tingkat Stres.
522
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
THE DIFFERNCES IN THE LEVEL OF STRESS IN THE ELDERLY WITHIN AND
OUTSIDE THE ISTITUITION WERDHA PANGESTI LAWANG
ABSTRACT
Un population data in 2013 in Indonesia the number of elderly as much as 14.4 million or
as much as 7.18% of the population. The ingreasing age of the problems in the elderly are
also more and more natural, cousing stress both elderly who live with families and the
elderly living in nursing the elderly. Research purposes to determine difference in the level
of stress in the elderly within and outside the instituition werdha Pangesti Lawang. Design
study using a comparative design. Population in this research as much as 40 elderly who
live outside the home and 68 elderly people who live in instituitions werdha Pangesti
Lawang, the determination of sample using simple random sampling as much as 21 elderly
who luive outside homes and as many as 27 elderly people who live in instituitions werdha
Pangesti Lawang. The data collection technigues used were guestionnaires. Data analysis
methods used is independent sample t-test. Studies show less than half (40.7%) of
respondents experience moderate stress levels in homes elderly and less than half (47.6%)
of respondents did not experience stress byond werdha, while the test results independent
sample t-test to prove is a difference the level of stress in the elderly inside and outside the
home elderly Pangesti Lawang with p-value (0.001) < (0.050). The difference in the levels
of stress in the elderly inside and outside the instituitions will need support of family into
give encouragement to the elderly who live with the family, whereas for the elderly living
in nursing werdha there should be dessimination to give sense to the elderly to accept
yourself what it is and take care of themselves independently.
Keyword : Istituition Werdha, Level of stress, Elderly.
PENDAHULUAN Gejala-gejala kemunduran fisik antara
lain kulit mulai mengendur, timbul
Lansia merupakan tahap terakhir keriput, mulai beruban, pendengaran dan
dalam tahap pertumbuhan. Dan penglihatan mulai berkurang, mudah
merupakan proses alami yang tidak dapat lelah, gerakan mulai lambat dan kurang
dihindari oleh setiap individu. Proses lincah. Masalah tersebut akan berpotensi
menua ditandai dengan adanya pada masalah kesehatan baik secara
perubahan-perubahan baik anatomis, umum maupun kesehatan jiwa (Juniarti,
biologis, fisiologis, maupun psikologis. 2008).
523
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
Populasi lansia semakin meningkat. pada lanjut usia, dengan 21,25%
Jumlah penduduk di 11 negara anggota menunjukan keluhan berat dan 18,75%
WHO kawasan Asia Tenggara yang menunjukan keluhan sedang. Nussbaum
berusia di atas 60 tahun berjumlah 142 (1998) melaporkan bahwa kelaziman
juta orang dan di perkirakan akan terus
meningkat hingga 3 kali lipat di tahun
stres adalah antara 2% sampai 8% bagi
warga lansia yang tinggal di komunitas. 2050. Sedangkan Jumlah lansia di Skala ini meningkat sampai 10% bagi
seluruh dunia dapat mencapai jumlah 1 warga lansia di lembaga perawatan
miliar orang dalam kurun 10 tahun kesehatan dan 15% bagi warga lansia di
mendatang (Data Kependudukan PBB, panti jompo atau perawat intensif. Skala
2013). Indonesia termasuk salah satu lazim tentang stres diantara warga
negara Asia yang pertumbuhan penduduk lansia secara konsisten antara 18% dan
lansianya cepat. Sejak tahun 2000, 40%.
Indonesia sudah memiliki lansia sebesar Faktor yang mempengaruhi stres
14,4 juta penduduk (7,18% dari jumlah pada lansia ada dua, yaitu faktor internal
penduduk) dan pada tahun 2020 dan eksternal. Faktor internal adalah
diperkirakan akan berjumlah 28,8 juta sumber stres yang berasal dari diri
(11,34%). Hasil pendataan yang seseorang sendiri, seperti penyakit dan
dilakukan pada tahun 2007 ditemukan konflik. Sedangkan faktor eksternal
penduduk Lansia berjumlah 18,96 juta adalah sumber stres yang berasal dari luar
(8,42% dari total penduduk) dengan diri seseorang seperti keluarga dan
komposisi perempuan 9,04% dan 7,80% lingkungan. Perawatan lansia harus
laki laki (Badan Pusat Statistik, 2013). dilakukan dengan teliti, sabar, dan penuh
Semakin meningkatnya jumlah cinta. Perawatan lansia diharapkan dapat
lansia di Indonesia akan menimbulkan meningkatkan kualitas hidup lansia
permasalahan yang cukup komplek baik sehingga mereka tetap merasa bahagia
dari masalah fisik maupun psikososial. dan dapat menjalani kehidupan masa
Masalah psikososial yang paling banyak
terjadi pada lansia adalah stress (Tamher
tuanya dengan lebih baik (Puspasari,
2009). & Noorkasiani, 2009 ). Insidensi stres di Beberapa efek yang sering muncul
Indonesia pada tahun 2008 tercatat atau dapat dikatakan beberapa gejala
sebesar 10% pada lansia dari total yang mencirikan seseorang mengalami
penduduk Indonesia. Menurut Stanlay stres menurut Weiss (2009) diantaranya
(2007), walaupun tinggal dengan adalah keletihan, kebimbangan, perasaan
keluarga masih terdapat 10-15 % lansia
yang mengalami stres.
tertekan oleh tuntutan orang lain terhadap
diri anda, keinginan untuk melarikan diri Penelitian Raden (2015) dari segalanya dan semua orang, merasa
menunjukan tingkat stres yang tinggi takut.
524
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
Seseorang yang memasuki masa sanak saudara serta keluarga mereka.
lansia maka akan mengalami Namun patut diperhitungkan bahwa
keterbatasan-keterbatasan dimana dirinya lansia kadang sukar beradaptasi terhadap
akan lebih bergantung kepada orang lain, lingkungan maupun suasana baru dan
proses untuk mencari nafkah terhenti dan kadang lebih menyukai tinggal di
sulit untuk berinteraksi secara luas. rumahnya sendiri.
Perubahan-perubahan yang menyertai Hasil penelitian yang di lakukan
proses perkembangan menuju tahap Putri (2012) menunjukkan bahwa stres
lansia dapat menjadikan sumber masalah pada lansia yang bertempat tinggal di
dan keputusasaan ketika seorang lansia Panti yaitu stres berat 56,5%, stres
tidak memiliki kesiapan dalam sedang 26,1% dan yang mengalami stres
menghadapi perubahan-perubahan ringan sebanyak 17,4%. Sedangkan stres
tersebut (Indriana, 2008). Adanya pada lansia yang bertempat tinggal
perubahan-perubahan yang dialami dirumah mengalami stres ringan 56,5%,
lansia, seperti perubahan pada fisik, stres sedang 30,4% dan yang mengalami
psikologis, spiritual, dan psikososial stres berat 13%.
menyebabkan lansia mudah mengalami Menjadi tua dan lemah adalah
stres (Azizah, 2011). Pelayanan berbasis proses yang tidak terelakkan. Perawatan
keluarga dan masyarakat cenderung sulit lansia harus dilakukan dengan teliti,
dipisahkan, sehingga terdapat sabar, dan penuh cinta. Keberadaan lansia
pengelompokan secara umum terhadap seringkali di persepsikan secara negatif
lansia, yaitu lansia dengan pelayanan dan keliru, dimana lansia dianggap
komunitas (non panti) dan lansia dengan sebagai beban keluarga maupun
pelayanan panti. Kebanyakan lansia masyarakat sekitarnya. Hal ini muncul
tinggal dalam masyarakat, kurang dari karena melihat dari kasuistik terhadap
1% hidup dalam lingkungan lembaga. lansia (jompo) yang hidupnya sangat
Seiring dengan lanjutnya usia, statistik tergantung kepada orang.
meningkat sampai kira-kira 22% lansia Persepsi negatif seperti ini
yang lemah, yaitu berusia 85 tahun ke sesungguhnya tidak sepenuhnya benar,
atas, hidup dalam lingkungan lembaga karena masih banyak lansia yang dapat
(Stanley & Beare, 2007). berperan aktif, baik dalam keluarga
Lingkungan dapat menyebabkan maupun dalam masyarakat. Umumnya
stres pada lansia, seperti halnya para lansia masih memegang peranan yang
lansia yang berada dalam panti jompo amat penting dalam kegiatan rumah
penyebab stres mereka antara lain kangen tangga. Temuan tersebut menunjukkan
dengan keluarga mereka karena jarang bahwa lansia masih dianggap penting
dijenguk, tidak cocok dengan teman dalam menentukan arah kehidupan
sepanti, dan merasa tidak dipedulikan sebagian besar rumah tangga tempat
525
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
mereka berada. Di berbagai negara senangin aja mas” dan dia juga
berkembang, para lansia dianggap beban mengatakan meskipun keluarga jarang
keluarga sehingga di titipkan di panti- mengunjunginya, tetapi dipanti banyak
panti jompo, bahkan terlantar. teman yang menemani. Kegiatan-
Faktor keluarga juga sangat kegiatan yang di lakukan para lansia yaitu
berperan besar dalam kejadian stres para setiap hari minggu dilakukan penyaluran
lansia. Dukungan keluarga sangat hobi seperti : Fisioterapi (Jadwal
berperan signifikan untuk menjauhkan ditentukan ruangan), Misa kebaktian (tiap
stres pada lansia. Bagi lansia yang tinggal jam 5 pagi), Do‟a Rosario bagi yang
di Panti Werdha, kehadiran dan beragama katolik (sehabis sarapan pagi),
kunjungan keluarga tentu saja memberi Pelayanan Kesehatan dan Sosial.
peran penting terhadap resiko stres yang Rekreasi pada saat waktu luang, beberapa
lebih kecil. Dukungan sosial dianggap lansia ada yang memanfaatkan untuk
penting bagi kebahagiaan hidup para berlatih berjalan, menyulam, membaca
lanjut usia, sehingga di rasakan bahwa surat kabar, atau bahkan mengobrol
keberadaannya masih berarti bagi dengan lansia lain maupun dengan
keluarga dan orang lain di sekitarnya perawat. Untuk rekreasi keluar panti tidak
(Asih et al.,1998:196). ada, yang ada hanyalah senam lansia
Panti Werdha Pangesti Lawang yang dilakukan setiap hari minggu seperti
merupakan salah satu panti jompo yang bernyanyi atau permainan lain yang bisa
berada di wilayah Kabupaten Malang, menyalurkan hobi dari para lasia tersebut.
Jawa Timur. Berdasarkan hasil studi Hasil studi pendahuluan pada
pendahuluan yang dilakukan peneliti di tanggal 6 Februari 2016 di RT 05-06
Panti Werdha Pangesti Lawang tanggal 5
Februari 2016 didapatkan jumlah lansia
kelurahan Tlogomas dengan melakukan
wawancara pada 10 lansia yang tinggal sebanyak 64 orang. Sebagian besar lansia dirumah, 6 orang menyatakan bahwa
dimasukkan oleh keluarganya karena mereka bahagia tinggal di rumah karena
lansia sering di tinggal sendirian di sering menghabiskan waktu mereka
rumah. Hasil wawancara dengan petugas dengan bermain dengan cucu ataupun
panti mereka mengatakan bahwa bercengkrama dengan tetangga.
beberapa lansia di panti mengalami Sedangkan 4 orang mengatakan bahwa
gangguan penurunan fungsi fisik dan mereka sebenarnya merasa bosan dengan
hanya sekali dalam seminggu di kunjungi kegiatan sehari-hari yang mereka
keluarga, hal inilah yang menyebabkan lakukan. Tidur dan membersihkan kamar
stres pada lansia. Berdasarkan wawancara adalah kegiatan yang sering lansia
yang dilakukan dengan seorang lansia, lakukan apabila timbul rasa bosan. Lansia
dia mengatakan terpaksa tinggal di merasa tinggal bersama keluarga tidak
panti,” senang tidak senang, di senang- nyaman karena mereka jarang di
526
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
perhatikan, mereka merasa menjadi menjadi responden. Kriteria inklusi
beban bagi keluarga. Masalah yang penelitian ini adalah lansia yang tinggal
timbul dapat membuat lansia cepat marah
dan susah tidur.
di dalam Panti Werdha Pangesti Lawang
sebagai berikut, lansia yang berusia 60 Tujuan penelitian untuk tahun keatas, lansia yang bertempat
mengetahui perbedaan tingkat stres pada tinggal di dalam Panti Werdha Pangesti
lansia di dalam dan di luar panti Werdha Lawang, lansia yang tidak mengalami
Pengesti Lawang.
METODE PENELITIAN
dimensia, bersedia menjadi responden.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Desain penelitian mengunakan Tabel 1. Tingkat Stress pada Lansia di
desain komparatif untuk membandingkan Dalam Panti Werdha Pengesti
perbedaan dua fakta dari objek yang Lawang
diteliti. Populasi dalam penelitian ini
sebanyak 40 lansia yang tinggal di luar
panti dan sebanyak 68 lansia yang tinggal
di Panti Werdha Pangesti Lawang,
dengan penentuan sampel penelitian
Tingkat Stress f (%)
Tidak stres 3
11,1 Ringan 7
25,9 Sedang 11
40,7 Berat 6
22,2 Total 27 100
menggunakan simple random sampling
yang berarti pengambilan sampel secara Berdasarkan Tabel 1. diketahui
acak sehingga didapatkan sampel kurang dari separuh (40,7%) responden
penelitian sebanyak 21 lansia yang mengalami tingkat stress sedang di dalam
tinggal di luar panti dan sebanyak 27 Panti Werdha Pengesti Lawang.
lansia yang tinggal di Panti Werdha
Pangesti Lawang. Teknik pengumpulan Tabel 2. Tingkat Stress pada Lansia di
data yang digunakan adalah kuisioner. Luar Panti Werdha Pengesti
Metode analisa data yang di gunakan Lawang
yaitu independent sample t-test dengan
menggunakan SPSS. Variabel dalam
penelitian ini adalah tingkat stress.
Kriteria inklusi dalam penelitian ini
Tingkat Stress f (%) Tidak stres 10 47,6
Ringan 4 19,0
Sedang 5 23,8
Berat 2 9,5
adalah lansia yang berusia 60 tahun Total 21 100
keatas, lansia yang bertempat tinggal di
kelurahan Tlogomas RT 05-06, lansia
yang tinggal bersama keluarganya, lansia
yang tidak mengalami dimensia, bersedia
Berdasarkan Tabel 2. diketahui
kurang dari separuh (47,6%) responden
527
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
tidak mengalami stress di luar Panti artinya “ada perbedaan tingkat stres pada
Werdha Pengesti Lawang. lansia di dalam dan di luar Panti Werdha
Dalam mengetahui perbedaan Pangesti Lawang”.
tingkat stres pada lansia di dalam dan di
luar Panti Werdha Pengesti Lawang, Tingkat Stress pada Lansia di Dalam
maka data disajikan pada gambar berikut: Panti
Hasil penelitian menunjukan bahwa
kurang dari separuh (40,7%) responden
mengalami tingkat stress sedang di dalam
Panti Werdha Pengesti Lawang.
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat
diketahui bahwa lansia yang tinggal di
dalam panti mengalami tingkat stress
sedang, dikarenakan tidak tinggal dengan
keluarga sehingga lansia kemungkinan
dalam hidupnya merasa sendiri dan tidak
ada yang memberi semangat. Faktor-
faktor yang mempengaruhi stres pada
lansia yaitu faktor iternal seperti penyakit
dan pertentangan, serta faktor eksternal
seperti keluarga dan lingkungan. Dalam
penelitian ini faktor yang membuat lansia
mengalami tingkat stress sedang yaitu
Gambar 1. Grafik Antara Tingkat Stres
Pada Lansia Di Dalam Dan
Di Luar Panti.
faktor keluarga dimana lanjut usia yang
tidak memiliki keluarga berkemungkinan
akan tinggal di panti karena pada masa
tua lasia tidak ada yang mengurusi, hal Pada penelitian ini untuk ini diperkuat dari data sebanyak (40,0%)
mengetahui data yang menggunakan lansia yang tinggal didalam panti tidak
desain penelitian komparatif mengunakan memiliki anak. Sedangkan kemungkinan
uji independent sample t-test untuk lain yang menyebabkan tingkat stress
menentukan perbedaan tingkat stress sedang yaitu faktor penyakit dimana
pada lansia di dalam dan di luar panti,
sedangkan keapsahaan data dilihat dari
lansia merasa cemas terhadap penyakit
yang di alaminya karena pada lansia yang tingkat signifikasi p value sebesar 5% berumur 60 – 74 tahun mengalami
atau kurang dari 0,050. Hasil uji penurunan fungsi pisikologis sehingga
independent sample t-test membuktikan memudahkan lansia untuk jatuh sakit
bahwa p value = (0,001) < (0,050) yang
528
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
dimana didapatkan sebanyak (89%) anak serta cucunya, maka muncul
lansia berumur eldery. perasaan tidak berguna dan kesepian.
Stress merupakan sebuah keadaan Padahal mereka yang sudah tua masih
yang dialami lansia ketika ada sebuah mampu mengaktualisasikan potensinya
ketidaksesuaian antara tuntutan-tuntutan secara optimal. Jika lansia dapat
yang diterima dan kemampuan untuk mempertahankan pola hidup serta cara
mengatasinya. Stress terjadi pada lansia dia memandang suatu makna kehidupan,
apabila stresor dirasakan dan maka sampai ajal menjemput lansia
dipersepsikan sebagai ancaman sehingga masih dapat berbuat banyak bagi
menimbulkan kecemasan yang kepentingan semua orang (Darmojo,
merupakan awal dari gangguan kesehatan 2003).
fisik dan psikologis yang berupa Cara mengendalikan stres yang bisa
perubahan fungsi fisiologis, kognitif, dilakukan oleh lansia dengan melakukan
emosi, dan perilaku. Apabila lansia istirahat yang cukup, menungkapkan
mengalami stress berkepanjangan akan perasaan dengan teman di panti yang bisa
bisa menimbulkan berbagai penyakit dipercayai, bersikap positif dalam
yang bisa membuat lansia semaki tidak manjalani hidup dan mendekatkan diri
berdaya. Lansia di dalam panti yang kepada tuhan sehingga mampu
mengalami tingkat stress sedang memberikan ketenangan batin, karena
diketahui dari (79%) responden merasa melakukan ibadah (berdoa) dapat
sulit untuk bersantai dalam artian susah memenuhi beberapa kebutuhan
merasa tenang atau selalu memikirkan psikologis yang penting pada lansia,
beban hidup dan sebanyak (77%) membantu mereka menghadapi kematian,
responden merasa sulit untuk beristirahat. memperoleh dan memelihara rasa berarti
Didapatkan sebanyak (22,2%) dalam hidupnya, serta penerimaan
lansia mengalami stress berat dimana terhadap berbagai kehilangan yang tidak
lansia sering merasa dirinya tidak dapat dihindarkan pada masa lanjut usia
berharga dan merasa bersalah. Lansia (Azizah, 2011).
tidak mampu memusatkan pikirannya
dan tidak dapat membuat keputusan Tingkat Stress pada Lansia di Luar
dimana lansia yang mengalami stress Panti
selalu menyalahkan diri sendiri, Hasil penelitian menunjukan bahwa
merasakan kesedihan yang mendalam kurang dari separuh (47,6%) responden
dan rasa putus asa tanpa sebab dan lansia tidak mengalami stress di luar Panti
mempersepsikan diri sendiri, sehingga Werdha Pengesti Lawang. Lansia di luar
menciptakan perasaan tanpa harapan panti yang tidak mengalami stress
dan ketidakberdayaan yang diketahui dari (65%) responden dapat
berkelanjutan. Lansia yang terpisah dari memaklumi hal apapun yang
529
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
menghalangi untuk menyelesaikan hal didasarkan terdapat ketidaknyamanan
yang sedang dilakukan, serta diketahui lansia tinggal bersama keluarga karena
juga sebanyak (60%) responden tidak mereka jarang diperhatikan, mereka
mudah merasa cemas, merasa tenang merasa menjadi beban bagi keluarga,
apabila terdapat masalah ringan dan sehingga membuat lansia merasa
lansia tidak mudah gelisah. Faktor yang kesepian yang berdampak pada stress
mempengaruhi responden tidak yang berkepanjangan (Srianti, 2008).
mengalami stress berupa faktor eksternal Pencegahan stress pada lansia yang
yaitu hidup dengan keluarga dan dilakukan pihak keluarga seperti
lingkungan tempat tinggal mendukung memberikan perhatian dengan cara
untuk melakukan sosialisasi dengan melakukan pendekatan diri dengan lansia
masyarakat sekitar. seperti melakukan interaksi yang
Berdasarkan hasil dapat diketahui berkelanjutan pada saat waktu luang
bahwa lansia yang hidup bersama dengan mengajak untuk jalan-jalan dan
keluarga akan berdampak tidak memberikan semangat dan motivasi
mengalami kejadian stress. Hal tersebut dengan cara sering menanyakan
dikarenakan lansia yang hidup dengan kebutuhan lansia serta mencukupi
keluarga mendapatkan perhatian, adanya kebutuhannya agar lansia merasa hidup
komunikasi dengan anak dan cucu, lebih berguna dan dibutuhkan dalam
kebutuhan lansia tercukupi karena ada anggota keluarga. Sedangkan yang harus
seorang anak yang mencari nafkah. dilakukan lansia sendiri dalam mencegah
Diketahui bahwa lansia yang tidak stress yang dialaminya seperti sering
mengelami stres memiliki anak 1 sampai melakukan kontak sosial seperti
2 orang didapatkan dari (43,0%) lansia berkumpul dengan banyak orang atau
yang tinggal dengan keluarga. Hal teman-teman sebaya dengan melakukan
tersebut sesuai dengan penelitian Putri komunikasi dan mendapatkan informasi
(2012), menjelaskan faktor keluarga juga dalam membangkitkan semangat untuk
sangat berperan besar dalam kejadian hidup, melakukan aktivitas untuk
stres para lansia. Dukungan keluarga menghindari rasa bosan seperti menonton
sangat berperan signifikan untuk televisi, membaca koran, mendengar
menjauhkan stres pada lansia. radio dan berolahraga dan berfikir secara
Lansia yang tinggal dirumah tidak positif seperti mengendalikan perasaan
mengalami stress karena lansia bisa dan fikiran agar tetap tenang dengan cara
menghabiskan waktu dengan bermain tidak memikirkan banyak keluhan dalam
dengan cucu ataupun bercengkrama keluarga dan hidup.
dengan anak atau tetangga. Diketahui
juga sebanyak (9,5%) lansia yang tinggal
di dalam keluarga mengalami stress berat
530
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
Perbedaan Tingkat Stress pada Lansia kesulitan beradaptasi sehingga mereka
di Dalam dan di Luar Panti merasa stres, kehilangan kontrol atas
Hasil analisis data menggunakan uji hidupnya, dan kehilangan identitas diri
independent sample t-test membuktikan yang secara tidak langsung akan
bahwa p value = (0,001) < (0,050) yang berpengaruh terhadap Quality of Life
artinya “ada perbedaan tingkat stres pada (QoL) (Suaib, 2007). Berdasarkan hal
lansia di dalam dan di luar Panti Werdha tersebut dapat dipahami bahwa
Pangesti Lawang”. Sehingga dapat lingkungan tempat tinggal dapat
dipahami bahwa terdapat perbedaan mempengaruhi kenyamanan lansia.
tingkat stres pada lansia yang tinggal di Adapun lingkungan yang memenuhi
dalam dan di luar Panti Werdha Pengesti kebutuhan-kebutuhan lansia diantaranya
Lawang. lingkungan yang memberikan rasa
Hasil penelitian ini sepaham nyaman dengan adanya dukungan dari
dengan penelitian yang dilakukan Putri anak dan cucu. Kebutuhan-kebutuhan
(2012), bahwa terdapat perbedaan tingkat tersebut jika tidak dapat terpenuhi akan
stres pada lansia yang bertempat tinggal menimbulkan masalah-masalah dalam
di rumah dan di UPT Pelayanan Sosial kehidupan lansia sehingga akan
Lanjut Usia. Dimana lansia yang tinggal
di rumah mengalami stress ringan pada
(56,5%) lansia dikarenakan ada keluarga
yang merawat dan mencukupi kebutuhan
mengakibatkan timbulnya stress (Komari,
2008).
Dengan adanya perbedaan tingkat
stres pada lansia di dalam dan di luar
lansia, sedangkan lansia yang tinggal di panti maka perlu adanya dukungan
panti mengalami stress berat pada keluarga untuk memberi semangat
(54,0%) lansia karena di dalam panti kepada lansia yang tinggal dengan
lansia hanya mendapatkan kebutuhan keluarga, sedangkan bagi lansia yang
pribadi secara terbatas yang disediakan tinggal di panti Werdha harus ada
pihak panti dan jarang adanya keluarga kegiatan sosialisasi untuk memberi
dan sanak saudara yang mengunjungi pengertian kepada lansia untuk mau
karena sebagian besar lansia yang tinggal menerima diri apa adanya dan merawat
di panti tidak memiliki anak. diri secara mandiri. Dalam mencegah
Menurut Indriana, dkk. (2010), kejadian stress yang dialami lansia maka
salah satu faktor yang dapat perlu adanya dukungan keluarga seperti
menimbulkan stres pada lansia yang memberi kesempatan kepada lansia untuk
berada dalam lingkungan panti adalah berperan serta dalam kegiatan
karena tidak memiliki keluarga, kesepian, pencegahan terhadap gangguan
dan isolasi diri. Lansia yang pindah ke kesehatan, seperti tidak melarang
tempat tinggal yang baru seperti panti melakukan olah raga yang tidak berat,
wreda, terdapat kemungkinan munculnya memberikan kenyamanan dalam hal
531
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
meningkatkan penyembuhan lansia DAFTAR PUSTAKA
secara mandiri, seperti memberikan
kesempatan kepada lansia untuk Asih et al., 1998. Keperawatan
berinteraksi dengan masyarakat dan Keluarga:Teori dan Praktik. Edisi
memberikan pengobatan untuk mengatasi Ke Tiga. Jakarta: EGC.
penyakit atau gejala-gejala yang penting
untuk penyembuhan dan peningkatan Azizah, L. 2011. Keperawatan Lanjut
kemandirian lansia. Bagi lansia yang Usia. Yogyakarta. Graha Ilmu.
tinggal di panti maka perlu meningkatkan
keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa Badan Pusat Statistik, 2013.Gambaran
sehingga menimbulkan ketenangan jiwa Kesehatan Lanjut Usia di Indonesia.
dan siap menghadapi masa tua. Buletin Jendela Data & Informasi
Kesehatan, Semester I, 1, pp 1-16.
http://www.depkesw.go.id/download
KESIMPULAN s/Buletin Lansia pdf. Diakses pada
tanggal 06 November 2014.
1) Kurang dari separuh responden
mengalami tingkat stress sedang di Darmojo, B. 2003. Konsep Menua Sehat
dalam Panti Werdha Pengesti Dalam Geriatri, Jurnal Kedokteran
Lawang.
2) Sebagaian kecil responden
dan Farmasi Medika. Jakarta : Grafiti
Medika Pers. mengalami tingkat stress sedang di
luar Panti Werdha Pengesti Lawang. Indriana, Y. dkk. 2010, Tingkat Stres
3) Ada perbedaan tingkat stres pada Lansia di Panti Wredha Puncak
lansia di dalam dan di luar Panti Gading. Semarang . 8 (2): 88-90.
Werdha Pangesti Lawang.
Juniarti, N. Eka, S. & Damayanti, A.
2008; Gambaran Jenis dan Tingkat
SARAN Kesepian Pada Lansia di Balai Panti
Sosial TresnaWredha Pakutandang
Bagi Peneliti Selanjutnya Sebagai Ciparay Bandung, Skripsi, Fakultas
informasi untuk melakukan penelitian Ilmu Keperawatan Universitas
dengan jumlah sampel yang seimbang Padjajaran, hal 3.
untuk masing-masing kelompok yang
diteliti sehingga hasil penelitian yang Komari, M.N. 2008. Faktor-Faktor Yang
didapatkan juga seimbang. Berhubungan Dengan Terjadinya
Stress Pasa Lansia Di Panti Wredha
Dharma Bakti Surakarta. Skripsi.
532
Nursing News Volume 2, Nomor 3, 2017
Perbedaan Tingkat Stres Pada Lansia di Dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti Lawang
Universitas Muhammadyah Srianti, A. 2008. Tinjauan Tentang Stres.
Surakarta. Surakarta. Universitas Padjajaran Fakultas Ilmu
Keperawatan Jatinagor. Artikel
Puspasari, S. 2009. Hubungan Penelitian.
Kemunduran Fungsi Fisiologis
Dengan Stres Pada Lanjut Usia Di Tamher & Noorkasiani. 2009. Kesehatan
Kelurahan Kaliwaru Semarang. Usia Lanjut dengan Pendekatan
Semarang. Semarang. Skripsi Asuhan Keperawatan. Jakarta.
Universitas Muhammadiyah Salemba Medika.
Semarang.
Weiss, D. H. 2009. Manajemen Stres.
Putri, R. D. 2012. Perbedaan Tingkat Batam: Binarupa Aksara.
Stres Pada Lansia Yang Bertempat
Tinggal di Rumah Dan Di UPT
Pelayanan Sosial Lanjut Usia
Bondowoso. Skripsi. Program Studi
Ilmu Keperawatan Universitas
Jember. Jember.
Raden. J,S, dkk, 2015. Senam Lansia dan
Tingkat Stres pada Lansia di Dusun
Polaman Argorejo Kecamatan
Sedayu 2 Kabupaten Bantul
Yogyakarta, JNKI, Vol. 3, No. 2,
Tahun 2015, 111-116.
Stanley & Beare. 2007. Buku Ajar
Keperawatan Gerontik. Jakarta .
EGC.
Suaib, M. 2007. Stressor dan Mekanisme
Koping pada Lanjut Usia di Panti
Sosial Tresna Werdha Unit Budi
Luhur Yogyakarta. Karya Tulis
Ilmiah Universitas Muhammadiyah.
Yogyakarta.
533
PENGARUH LATIHAN HATHA YOGA TERHADAP
TINGKAT STRES PADA WANITA DI DUSUN
KARANG TENGAH SLEMAN
YOGYAKARTA
NASKAH PUBLIKASI
Disusun oleh:
TITIS PUSPITA WARDANI
201110201136
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2015
PENGARUH LATIHAN HATHA YOGA TERHADAP
TINGKAT STRES PADA WANITA DI DUSUN
KARANG TENGAH SLEMAN
YOGYAKARTA
NASKAH PUBLIKASI
Diajukan Guna Melengkapi Sebagian Syarat Mencapai Gelar Sarjana Keperawatan
Pada Program PendidikanNers-Program Studi Ilmu Keperawatan
Di Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan „Aisyiyah
Yogyakarta
Disusun oleh:
TITIS PUSPITA WARDANI
201110201136
PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN ‘AISYIYAH
YOGYAKARTA
2015
i
PENGARUH LATIHAN HATHA YOGA TERHADAP
TINGKAT STRES PADA WANITA DI DUSUN
KARANG TENGAH SLEMAN
YOGYAKARTA
THE EFFECT OF HATHA YOGA EXERCISE
ON WOMEN STRESS LEVEL IN
KARANG TENGAH SLEMAN
YOGYAKARTA
Titis Puspita Wardani, Ruhyana
Program Studi Ilmu Keperawatan STIKES „Aisyiyah Yogyakarta Email :[email protected]
Tujuan mengetahui pengaruh latihan hatha yoga terhadap tingkat stress pada wanita
di Dusun Karang Tengah Sleman Yogyakarta. Jenis penelitian ini adalah Quasi
Eksperimen dengan rancangan yang digunakan Pretest-Posttest with Control Grup.
Teknik pengambilan sampel dengan random sampling dan didapat 34 responden.
Terbagi dalam 2 kelompok, 17 kelompok intervensi dan 17 kelompok kontrol. Cara
pembagian responden antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol dengan
Accidental Sampling. Analisa data yang digunakan adalah Wilcoxon Math Pairs
Test. Berdasarkan uji statistuk didapatkan penurunan tingkat stres pada kelompok
intervensi dengan nilai p = 0,02. Hal ini menunjukkan ada pengaruh latihan hatha
yoga terhadap tingkat stres pada kelompok intervensi.
Saran: Diharapkan Ibu melakukan latihan hatha yoga sebagai salah satu upaya
mencegah atau mengurangi stres.
Kata kunci: Latihan hatha yoga, Wanita, Tingkat Stres, Pengaruh
The purpose of this study was to investigate the effect of Hatha Yoga exercise to
women‟s stress level in Karang Tengah Sleman Yogyakarta. This study employed
quasi experiment study with pretest-posttest design and control group. The research
samples were 34 respondents which were taken through random sampling technique.
The respondents were divided into two groups, 17 people in intervention group and
17 people in control group. The respondents in the intervention and control group
were divided through the Accidental Sampling. The data analysis used Wilcoxon
Math Pairs Test. The statistical test result shows that the stress level on intervention
group is decreased with p value 0.02. The statistical test shows that there is an effect
of Hatha Yoga exercise on the stress level on intervention group. Mothers are
expected to do Hatha Yoga exercise as one of efforts to prevent or reduce stress.
Keywords : Hatha Yoga exercise, stress level, effect
iii
Berdasarkan studi pendahuluan yang telah dilakukan di RT 06 dan RT
07 di dusun Karang Tengah Gamping Sleman Yogyakarta pada tanggal 9 Oktober 2014, didapatkan data wawancara dari 10 wanita di Dusun Karang
Tengah Gamping Yogyakarta diketahui bahwa 6 wanita dari 10 wanita merasa tegang bila menghadapi masalah, sering mengalami sakit kepala, marah-marah tanpa sebab, cepat marah dikarenakan anaknya susah diatur,
dan memiliki banyak beban pekerjaan. Wanita di dusun Karang Tengah
LATAR BELAKANG
Statistik World Health Organisation (WHO) tahun 2007, prevalensi
penderita tekanan psikologis ringan 20-40%, dan mereka tidak membutuhkan
pertolongan spesifik. Prevalensi penderita tekanan psikologis sedang sampai
berat yaitu 30-50%, membutuhkan intervensi social dan dukungan psikologi
dasar, sedangkan gangguan jiwa ringan sampai sedang (depresi berat, stress
berat dan gangguan psikotik) yaitu 3-4% memerlukan penanganan kesehatan
jiwa yang dapat diakses melalui pelayanan kesehatan umum dan pelayanan
kesehatan komunitas (Balitbangkes,2013)
Berdasarkan hasil Survei Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun
2013 didimensikan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Balitbangkes) menunjukan bahwa prevalensi gangguan jiwa berat paling
tinggi terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dengan menunjukan
sekitar 3 dari setiap 1000 penduduk DIY mengalami gangguan jiwa berat.
Gejala gangguan dari aspek fisik yang dialami seseorang yang stres
ditandai dengan denyut jantung yang tinggi dan tangan berkeringat, sakit
kepala, sesak nafas, konstipasi. Secara aspek kognitif yang dialami seseorang,
ditandai dengan lupa akan sesuatu, sulit berkonsentrasi, cemas mengenai
sesuatu hal, dan sulit untuk memproses informasi, sedangkan secara aspek
emosi yang dialami seseorang ditandai dengan berpikiran negatif, susah
berkonsentrasi, marah, perasaan tidak aman, ketidakpuasan bekerja, sedih,
depresi, gelisah (Adhon, 2013).
Sleman Yogyakarta, mengatakan hal tersebut diakibatkan oleh stres. Dampak
dari stres yang dialami wanita di dusun Karang Tengah sleman Yogyakarta
dari hasil wawancara yang dilakukan peneliti 5 wanita merasa mudah marah
dan cemas. Terdapat 3 wanita mengalami sering pusing dan nyeri otot. Badan
mudah lesu, lemah terdapat 4 wanita. Insomnia 2 wanita.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan menggunakan metode Quasi Eksperimen
dengan rancangan penelitian Pretest-Posttest with Control Group. Rancangan
penelitian ini dilakukan randomisasi, artinya pengelompokan anggota-
anggota kelompok kontrol dan kelompok eksperimen dilakukan berdasarkan
acak atau random, kemudian dilakukan pretest pada kedua kelompok tersebut
dan diikuti intervensi pada kelompok eksperimen. populasi dalam penelitian
ini adalah semua wanita usia 30-50 tahun di dusun Karang Tengah berjumlah
123 orang. Tehnik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah
Probability Sampling dengan tehnik Random Sampling yaitu penentuan
sampel secara acak dan anggota dari populasi mempunyai kesempatan yang
sama untuk diambil sampel (Notoatmojo, 2012). Teknik Random Sampling
ini dilakukan dengan cara mengundi anggota populasi atau lottery technique . 1
cara pembagian responden antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol
dengan pengambilan accidental sampling yaitu pelaksanaan pengambilan
sampel dengan cara peneliti mengamati subyek yang ditemui sebelum
pelaksanaan latihan hatha yoga terhadap kelompok eksperimen dengan
memilih responden sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi yang telah
ditentukan oleh peneliti, dan pada kelompok yang tidak dilakukan latihan
hatha yoga. Besar sampel yang ditetapkan penelitian ini adalah 34 responden.
Dari 34 responden tersebut dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu 17 kelompok
eksperimen yang diberi perlakuan hatha yoga dan 17 kelompok kontrol yang
tidak diberi perlakuan hatha yoga. Uji analisa yang digunakan dalam
penelitian ini menggunakan uji statistic Wilcoxon Match Pairs Test.
HASIL PENELITIAN
Dusun Karang Tengah Nogotiro Gamping Sleman Yogyakarta
merupakan kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Gamping. Dusun
tersebut merupakan salah satu Dusun yang terletak di Yogyakarta, tepatnya di
Kelurahan Nogotirto Kecamatan Gamping, Kabupaten Sleman. Padukuhan
Karang Tengah Nogotirto merupakan dusun yang sangat luas yaitu 54 ha,
dengan luas kebun 25 ha dan sebagian sawah seluas 29 ha.
Masyarakat di lingkungan ini mayoritas beragama Islam dan bersuku
Jawa.Selain itu, masyarakat di sekitar ini memiliki kebiasaan gotong royong,
sebagai salah satu bentuk kebersamaan antar masyarakat. Batas-batas wilayah
Padukuhan Karang Tengah adalah sebelah timur Padukuhan Kuarasan,
sebelah selatan Padukuhan Kajor, sebelah barat RingRoad Ponowaren, dan
sebelah utara Padukuhan Ponowaren
Dusun Karang Tengah terdiri dari 2993 penduduk dan jumlah kepala
kluarga (KK) 835, laki-laki sebanyak 1.520 penduduk sedangkan perempuan
1.475 penduduk. Perdukuhan di Dusun Karang Tengah terdapat 17 RT, dalam
penelitian ini peneliti mengambil responden di Dusun Karang Tengah
khususnya RT 06 dan RT 07.
Karakteristik Responden
Tabel 4.1 Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
Kelompok Intervensi Kelompok Kontrol
Karakteristik Frekuensi ( % ) Frekuensi ( % )
Usia
30-35 1
36-40 6 41-45 3
46-50 7
Jumlah 17
5,9 5 29,4
35,3 1 5,9
17,6 2 11,8
41,2 9 52,9 100 % 17 100 %
2
Pendidikan
SD
SMP
SMA
SMK
SARJANA
Jumlah
7 41,2 2 11,8 6 35,3 5 29,4 3 17,6 4 23,5 1 5,9 2 11,8
0 0 4 23,5
17 100 % 17 100 %
Pekerjaan
IRT 12 70,6 6 35,3
Pedagang 4 23,5 4 23,5
Karyawan 0 0 2 11,8
Pegawai swasta 1 5,9 2 11,8
PNS 0 0 3 17,6
Jumlah 17 100 % 17 100 % Sumber : Data Primer 2015
Berdasarkan tabel 4.1 diketahui bahwa karakteristik responden
berdasarkan usia pada kelompok intervensi yang berusia 46-50 tahun
sebanyak 7 orang (41,2%), sedangkan pada kelompok kontrol responden
berusia 46-50 tahun berjumlah 9 orang (52,9%).
Dilihat dari karakteristik responden berdasarkan tingkat
pendidikannya. Pada kelompok intervensi didapatkan tingkat pendidikan
terbanyak adalah SD yaitu 7 orang (41%), sedangkan pada kelompok kontrol
didapatkan tingkat pendidikan responden yang ditempuh adalah SMP dengan
jumlah 5 orang (29,4%).
Karakteristik responden berdasarkan jenis pekerjaan sebagian besar
yaitu sebagai ibu rumah tangga. Pada kelompok intervensi responden
memiliki jenis pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sebanyak 12 orang
(70,6%), sedangkan pada kelompok kontrol responden memiliki jenis
pekerjaan sebagai ibu rumah tangga sebanyak 6 orang (35,3%).
Hasil pretest dan posttest tingkat stres pada wanita kelompok intervensi
dan kelompok kontrol
Tabel 4.2 Distribusi Frekuensi Tingkat Stres Berdasarkan Nilai Pretest
danPosttest Kelompok Intervensi dan Kelompok kontrol
Nilai Pretest Tingkat Stres Frekuensi ( % )
Nilai Posttest Frekuensi ( % )
Intervensi : Tidak Stres
Ringan Sedang
Total
Kontrol : Tidak Stres
Ringan
Sedang
Total
5 29,4 11 64,7
5 29,4 6 35,3
7 41,2 0 0
17 100 % 17 100 %
3 17,6 2 11,8
5 29,4 4 23,5
9 52,9 11 64,7 17 100 % 17 100 %
3
Berdasarkan tabel 4.2 dapat diketahui tingkat stres responden
kelompok intervensi sebelum diberikan latihan hatha yoga, bahwa hasil
tertinggi dari pretest terhadap tingkat stress yaitu kategori tingkat stres
sedang sebanyak 7 orang (41,2%), setelah dilakukan latihan hatha yoga
didapatkan hasil tertinggi posttest terhadap tingkat stres adalah kategori
tidak stres sebanyak 11 orang (64,7%), Sedangkan pada kelompok kontrol
pada saat pretest didapatkan hasil tingkat stres tertinggi adalah kategori stres
sedang sebanyak 9 orang (52,9%), akan tetapi pada saat posttest mengalami
peningkatan tingkat stres kategori sedang sebanyak 11 orang (64,7%).
Hasil Analisis Data
Hasil uji statistik pada kelompok eksperimen dan kelompok control Tabel 4.3 Uji Wilcoxon Pretest dan Posttest kelompok intervensi dan
kelompok kontrol Uji Wilcoxon N Z p-value
Pre-post eksperimen 17 -3,127a
0,002 Pre-post kontrol 17 -577
a 0,564
Sumber : Data Primer 2015
Berdasarkan tabel 4.4 menyajikan hasil analisis uji Wilcoxon menunjukkan tingkat stress pada wanita sebelum (pretest) dan sesudah (post
test) pada kelompok intervensi didapatkan nilai Z hitung -3,127a dan nilai p-
value sebesar 0,002 p<0.05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa Ha diterima dan Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pemberian latihan hatha yoga berpengaruh terhadap tingkat stres pada wanita di Desa Karang Tengah Sleman Yogyakarta. Sedangkan pada kelompok kontrol
didapatkan nilai Z -577a
dan p-value sebesar 0,564 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa Ha ditolak dan Ho diterima, artinya tidak ada pengaruh latihan hatha yoga setelah intervensi pada kelompok kontrol. Hal tersebut dikarenakan tidak terdapat perbedaan tingkat stres pada latihan hatha yoga yang bermakna antara pengukuran pada pretest dan posttest.
Hasil uji beda pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol Tabel 4.4 Hasil uji statistik Mann-Whitney Test pada kelompok
intervensi dan kelompok kontrol
Perbedaan Post-Intervensi dan Post-Kontrol
Mann-Whitney U
Wilcoxon W
Z
Asymp.Sig.(2-tailed)
Sumber: Data primer 2015
54.500
207.500
-3.119
0,002
Pada tabel 4.4 menunjukkan hasil uji beda statistik dengan
menggunakan Mann Whitney, hasil posttest kelompok intervensi dan kelompok kontrol didapatkan hasil p value kurang dari 0,05 (P>0,05) yaitu
sebesar 0,002. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara yang
melakukan latihan hatha yoga dan tidak melakukan latihan hatha yoga. Dari 4
hasil penelitian ini yang lebih baik melakukan latihan hatha yoga adalah
pada kelompok intervensi, karena latihan hatha yoga dapat mengurangi
ketegangan tubuh, pikiran, dan mental, serta mengurangi stres.
PEMBAHASAN
Karakteristik Responden
Berdasarkan tingkat pendidikan didapatkan hasil bahwa seseorang
yang tingkat pendidikannya rendah kurang mampu dalam mengatasi stres.
Sebaliknya, orang yang memiliki pendidikan tinggi akan memiliki
kemampuan yang lebih baik dalam mengatasi stres. Sejalan dengan
penelitian yang dilakukan oleh Setyoadi (2012) dengan judul Perbedaan
Tingkat Kualitas Hidup pada Wanita Lansia di Komunitas dan Panti, yang
memaparkan bahwa didapatkan sebagian besar responden memiliki
pendidikan terakhir SD yaitu sebanyak 39% dari total rentang pendidikan
tidak sekolah, SD, SMP, SMA.
Hal ini sesuai dengan teori Sunaryo (2004) yang menyatakan
bahwa pendidikan mempengaruhi cara pandang seseorang terhadap
informasi yang didapatnya. Hapsari (2009) juga mengatakan bahwa
presentasi penduduk dengan tingkat pendidikan SMA ke atas memiliki
status kesehatan baik yang paling banyak jika dibandingkan dengan
mereka yang berpendidikan SD-SMA ataupun yang tidak lulus SD. Dapat
dikatakan bahwa pendidikan yang tingkat pendidikannya rendah
berpeluang 1,7 kali berstatus kesehatan buruk di banding mereka yang
berpendidikan tinggi.
Tingkat Stres Sebelum di Lakukan Latihan Hatha Yoga Pada Wanita di Dusun Karang Tengah Sleman Yogyakarta
Hasil sebelum dilakukan latihan hatha yoga menunjukkan bahwa
mayoritas wanita di desa karang tengah sleman yogyakarta yang memiliki
tingkat stres dalam kategori sedang sebanyak 7 orang (41,7%). Tingkat
stress sedang yang dialami responden sesuai dengan teori Potter dan Perry
(2005), tingkat stress sedang merupakan tingkat stress yang berlangsung
lebih lama, dari beberapa jam sampai beberapa hari. Selain dilakukannya
pengambilan hasil sebelum dilakukan perlakuan latihan hatha yoga dari
responden kelompok intervensi juga dilakukan pengambilan hasil dari
responden kelompok kontrol antara lain tingkat stres terbanyak pada
kategori stres sedang sebanyak 9 responden (52,9 %).
Tingkat stres dalam kategori sedang pada responden kelompok
kontrol ini terjadi karena para responden tersebut sebagian memiliki
masalah ekonomi dan beban kerja yang berlebihan. Hasil yang didapatkan
pada saat penelitian adalah semua responden memiliki nilai tingkat stres
yang berbeda-beda, hal ini disebabkan karena stres pada wanita dapat
disebabkan oleh berbagai situasi dan kondisi sebagai akibat dari stresor
yang berupa perubahan-perubahan baik fisik, mental, maupun sosial dalam
keadaan yang dialami dan karena stres bersifat subyektif dan dipengaruhi
oleh berbagai faktor. Hawari (2006) juga menyatakan bahwa seseorang
yang mengalami stres, selain mengalami keluhan fisik juga dapat
mengalami keluhan psikis (ketakutan, kekhawatiran, dan kesedihan).
5
Tingkat Stres Setelah di Lakukan Latihan Hatha Yoga Pada Wanita
di Dusun Karang Tengah Sleman Yogyakarta Berdasarkan tabel 4.2 dapat dilihat bahwa setelah dilakukan latihan
hatha yoga, 11 orang (64,7%) mengalami penurunan kategori tidak stres.
Dan 6 orang (35,3%) mengalami penurunan dari tingkat stres sedang
menjadi ringan. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa latihan hatha
yoga efektif untuk menurunkan tingkat stres pada wanita. Hasil tersebut
didukung teori Shindu (2013) bahwa hatha yoga dapat meningkatkan
konsentrasi dan menenenangkan pikiran terhadap masalah yang dihadapi
(stress). Menurut Shindu (2006), dengan berlatih secara rutin setiap hari,
kita akan mendapatkan kemajuan yang lebih nyata dan cepat dibandingkan
dengan mereka yang melakukan hanya satu atau dua kali dalam seminggu.
Menurut penelitian Linda (2008) membuktikan bahwa adanya pengaruh yoga terhadap stres pada wanita karir. Dengan hanya melakukan
yoga beberapa kali sudah dapat merasakan manfaatnya, pernyataan ini didukung dengan teori yang menyatakan yoga adalah sesuatu yang
mengagumkan, dengan berlatih beberapa jam dalam seminggu seorang praktisi sudah merasakan manfaatnya. Jika latihan dilakukan setiap hari
secara teratur akan lebih banyak manfaat yang didapat. Untuk pemula disarankan utuk berlatih 3-4 kali seminggu selama 1-11/2 jam setiap
sesinya. Setelah dilakukan analisis tingkat stres pada kelompok kontrol
dalam waktu yang sama didapatkan bahwa pada kelompok kontrol yang
mempunyai kategori tingkat stres terbanyak adalah tingkat stres sedang
sebanyak 11 responden (64,7 %). Terjadinya peningkatan tingkat stres
pada responden kelompok kontrol ini karena saat penelitian dilaksanakan
banyak responden yang memiliki beban kerja berlebihan, pekerjaan rumah
yang belum terselesaikan dan masalah ekonomi, hal ini dapat menjelaskan
bahwa kelompok kontrol yang tidak diberi perlakuan semakin terbebani
dengan pekerjaan kantor dan aktifitas di rumah. Hal ini sesuai dengan teori
Hidayat (2007) stres yang terlalu besar dapat mengancam kemampuan
seseorang untuk menghadapi lingkungannya.
Pengaruh Latihan Hatha Yoga Terhadap Tingkat Stres Pada Wanita di Dusun Karang Tengah Sleman Yogyakarta
Hasil penelitian yang dilakukan dengan memberikan latihan hatha
yoga terhadap tingkat stres pada wanita sebelum dan sesudah perlakuan
selama 6 hari didapatkan bahwa sebelum dan setelah diberikan latihan hatha yoga terdapat penurunan nilai tingkat stress. Untuk mengetahui lebih
jauh signifikan pengaruh latihan hatha yoga terhadap tingkat stres pada
wanita maka dilakukan analisis data dengan uji statistik dengan menggunakan uji Wilcoxon.
Hasil uji Wilcoxon didapatkan nilai z terbesar -3.127a
dengan nilai signifikasi (p) 0,002 sehingga dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh latihan hatha yoga terhadap tingkat stres pada wanita selama 6 hari
berturut-turut. Menurut penelitian Devi (2012) membuktikan adanya pengaruh latihan yoga terhadap tekanan darah sebelum dan sesudah
melakukan latihan yoga selama 6 hari berturut-turut dan terdapat perbedaan yang signifikan. Didukung oleh teori Shindu (2013) mengatakan bahwa saat menghadapi stres, kelenjar adrenal di dalam tubuh
akan bereaksi dan menimbulkan sensasi berupa sakit perut yang kemudian
6
akan mengeluarkan hormon adrenalin yang akan terpompa ke aliran darah
dan terkirim ke otak. Kemudian, otak akan merespon dengan
mengeluarkan hormon kortisol yang disebut sebagai hormone stres.
Tingginya kadar kortisol di dalam darah atau stres akan menimbulkan
gejala seperti otot tubuh menegang, telapak tangan berkeringat, mata
membelalak tegang, serta jantung berdebar kencang.
Perbedaan tingkat stress sebelum dan sesudah latihan hatha yoga pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
Berdasarkan uji beda Mann-Whitney Test didapatkan hasil bahwa
hasil posttest pada kelompok intervensi dan kontrol didapatkan hasil p
value kurang dari 0,05 (P<0,05) yaitu sebesar 0,002. Hal ini menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan antara yang melakukan latihan hatha yoga dan
tidak melakukan latihan hatha yoga.
Latihan hatha yoga merupakan latihan sederhana untuk
menurunkan tingkat stres. Menurut penelitian yang dilakukan Danhauer
(2009) tentang yoga dan stres didapatkan hasil bahwa, terjadi perubahan
yang signifikan untuk mengurangi depresi, menghilangkan efek negative
stres, mengurangi kecemasan, meningkatkan kesehatan mental, serta
peningkatan kualitas hidup secara keseluruhan.
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Tingkat stres wanita sebelum dan sesudah dilakukan latihan hatha yoga
pada kelompok intervensi, sebelum dilakukan latihan hatha yoga hasil
tertinggi berada pada kategori tingkat stres sedang yaitu sebanyak 7
responden (41,2 %) tingkat stres ringan dan tidak stres sebanyak 5
responden (29,4 %). Sedangkan sesudah dilakukan latihan hatha yoga
sebagian besar mengalami penurunan tingkat stres yang menjadi tidak
stres sebanyak 11 responden (64,7 %) dan tingkat stres ringan 6 responden
(35,3 %).
Tingkat stres wanita sebelum dan sesudah dilakukan latihan hatha yoga
pada kelompok kontrol, sebelum dilakukan latihan hatha yoga hasil
tertinggi berada pada kategori tingkat stres sedang yaitu sebanyak 9
responden (52,9 %) tingkat stres ringan 5 responden (29,4 %) dan tidak
stres sebanyak 3 responden (17,6%). Sedangkan sesudah dilakukan latihan
hatha yoga hasil tertinggi
Adanya perbedaan antara yang melakukan latihan hatha yoga dengan yang
tidak melakukan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol
ditunjukkan dengan hasil nilai p = 0,002
Latihan hatha yoga berpengaruh untuk menurunkan tingkat stres pada
wanita di dusun karang tengah sleman yogyakarta.
Saran
Bagi Responden
Hasil penelitian ini sebagai panduan dasar atau usaha mandiri yang
digunakan untuk mengatasi stres pada wanita yaitu dengan cara
mempraktekkan secara rutin setiap hari dengan latihan hatha yoga. Bagi Kader Kesehatan
7
Diharapkan mendapat informasi yang jelas dan benar tentang
alternatif cara menurunkan tingkat stres seperti dengan melakukan latihan
hatha yoga. Dan diharapkan untuk menambah kegiatan olahraga yang
dilkaukan di dusun karang tengah yang dapat dilakukan satu minggu
sekali.
Bagi Peneliti Selanjutnya
Bagi peneliti selanjutnya disarankan agar dapat mengendalikan
variabel pengganggu dan keseriusan masing-masing responden dalam
mengikuti latihan hatha yoga, agar penelitian berjalan dengan lebih
efektif.
DAFTAR PUSTAKA
Adhon. (2013). Manajemen Stres dan Emosi. Yogyakarta : Mantra
Books.
Balitbangkes,(2013). Hasil Riset Kesehatan Dasar. Kementrian
Kesehatan RI. Jakarta.
Devi. (2012). Pengaruh Latihan Yoga Terhadap Penurunan Tekanan
Darah Pada Lanjut Usia (Lansia) di Panti Wreda
Pengayoman “Pelkros” dan Panti Wreda Omega
Semarang. http://pmb.stikestelogorejo.ac.id. Diakses
tanggal 29 Mei 2015.
Hapsari,D. (2009). Pengaruh Lingkungan Sehat Dan Pengaruh Perilaku
Hidup Sehat Terhadap Status Kesehatan. Journal Litbang
dalam
http://depkes.go.idindes.phpbpkarticleviewfile21921090.
Diakses Tanggal 29 Maret 2015.
Hawari, D.(2002). Stres Cemas dan Depresi. FK UI. Jakarta.
Hidayat, A.(2007). Pengantar Konsep Dasar Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Potter, P., & Perry, A.G. (2005). Buku Ajar Fundamental Keperawatan
Konsep, Proses, dan Praktek. Jakarta: EGC.
Setyoadi, (2012). Perbedaan Tingkat Kualitas Hidup Pada Wanita
Lansia Di Komunitas dan Panti. Tesis Tidak
Dipublikasikan. Universitas Brawijaya Malang.
Shindhu, P.(2006), Hidup sehat dan seimbang dengan yoga, Cetakan I,
Qanita, Jakarta
(2013), Hidup Sehat dan Seimbang Dengan Yoga, Cetakan II, Qanita, Jakarta.
Sunaryo, (2004). Psikologi Untuk Keperawatan. Jakarta: EGC. 8
e-journal Keperawatan(e-Kp) Volume 7 Nomor 2, Agustus 2019
GAMBARAN TINGKAT STRES PADA LANSIA
Vindy Dortje Kaunang
Andi Buanasari
Vandri Kallo
Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran
Universitas Sam Ratulangi
Email: [email protected]
Abstract: Elderly there is gradual physical and psychological deterioration, where the decline
in conditions can cause stress to some elderly people. Psychosocial problems in the elderly can
include stress, anxiety (anxiety) and depression. The problem comes from several aspects,
including changes in physical, psychological and social aspects. This study was conducted to
describe stress levels in the elderly at Badan Penyantunan Sosial Usia Terlantar Senja Cerah.
Methods of this research is a descriptive survey research. The research was carried out at the
Badan Penyantunan Sosial Usia Terlantar Senja Cerah in June to July 2019. This study used
the Depression Anxiety Stress Scale 42 instrument which was changed to 20 questions.
Univariate analysis to find out and describe the description of each variable consisting of age,
type of sex, physical stress and psychological stress. These data are displayed in the form of
frequency distribution tables and percentages. The results showed that of the 51 elderly in this
study, 47 elderly (92.2%) experienced mild physical stress. This study also found that of 51
elderly people in this study, 43 elderly (84.3%) experienced mild psychological stress. In
conclusion, the results of this study get an overview of physical and psychological stress in the
elderly at the Balai Penyantunan Sosial Lanjut Usia Terlantar Senja Cerah.
Keywords: Physical Stress, Psychological Stress, Elderly.
Abstrak: Lansia terjadi kemunduran fisik dan psikologis secara bertahap, dimana penurunan
kondisi tersebut dapat menimbulkan stres pada sebagian lansia. Masalah psikososial pada lansia
dapat berupa stres, ansietas (kecemasan) dan depresi. Masalah tersebut bersumber dari beberapa
aspek, diantaranya perubahan aspek fisik, psikologis dan social. Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui gambaran tingkat stress pada lansia di Balai Penyantunan Sosial Lanjut Usia
Terlantar Senja Cerah. Metode penelitian ini merupakan penelitian survei deskriptif. Penelitian
telah dilaksanakan di Balai Penyantunan Sosial Lanjut Usia Terlantar Senja pada Juni sampai
dengan Juli 2019. Penelitian ini menggunakan instrumen Depression Anxiety Stres Scale 42
yang dirubah menjadi 20 pertanyaan. Analisis univariat untuk mengetahui dan mendeskripsikan
gambaran pada masing-masing variabel yang terdiri dari umur, jenis kelamin, stress fisik dan
stress psikologi. Data-data tersebut ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan
persentasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 51 lansia dalam penelitian ini, sebanyak
47 lansia (92,2%) mengalami stress fisik ringan. Penelitian ini juga mendapatkan dari 51 lansia
dalam penelitian ini, sebanyak 43 lansia (84,3%) mengalami stress psikologis ringan.
Kesimpulan, hasil penelitian ini mendapatkan gambaran stress fisik dan psikologis pada lansia
di Balai Penyantunan Sosial Lanjut Usia Terlantar Senja Cerah.
Kata Kunci: Stres Fisik, Stres Psikologis, Lansia.
1
e-journal Keperawatan(e-Kp) Volume 7 Nomor 2, Agustus 2019 PENDAHULUAN
Penuaan merupakan suatu proses
natural, penuaan akan terjadi pada semua
sistem tubuh manusia dan tidak semua
system akan mengalami kemunduran pada
waktu yang sama. Meskipun proses
menjadi tua merupakan gambaran yang
universal, namun tidak seorangpun
mengetahui dengan pasti penyebab
penuaan atau mengapa manusia menjadi
tua pada usia yang berbeda-beda
(Fatmawati dan Imron, 2017).
Manusia berkembang dari ketidak-
berdayaan hingga menjadi manusia yang
sempurna dan mandiri, dan akhirnya
menjadi renta tak berdaya lagi. Akan tetapi,
ada sebagian orang yang takut dan tidak
mau menerima kenyataannya serta tak tahu
harus bagaimana menghadapi masa lanjut
usianya. Betapa banyak orang lanjut usia
yang merasa kesepian dan tak berguna, dan
tak sedikit pula yang mengalami stress
(Rahman, 2016).
Batasan lansia merupakan seseorang
yang telah berusia 60 tahun atau lebih.
Dalam Undang-undang No. 13 tahun 1998
tentang kesejahteraan lansia, yang ter-
masuk lansia adalah seseorang yang telah
ber-usia 60 tahun atau lebih. Berdasar hasil
Susenas tahun 2013, jumlah lansia di
Indonesia men-capai 20,04 juta orang atau
sekitar 8,05 persen dari seluruh penduduk
Indonesia (BPS, 2013).
Lansia terjadi kemunduran fisik dan
psikologis secara bertahap, dimana penurunan kondisi tersebut dapat
menimbulkan stres pada sebagian lansia.
Masalah psikososial pada lansia dapat berupa stres, ansietas (kecemasan) dan
depresi. Masalah tersebut bersumber dari
beberapa aspek, diantaranya perubahan
aspek fisik, psikologis dan sosial. Gejala yang terlihat pada lansia dapat berupa
emosi labil, mudah tersinggung, gampang
merasa dilecehkan, kecewa, tidak bahagia, perasaan kehilangan, dan perasaan tidak
berguna. Walaupun tidak disebutkan lebih
terperinci mengenai angka kejadian dari masing-masing masalah psikososial
tersebut, namun dari penjelasan tersebut
dapat diketahui bahwa perubahan-
perubahan yang terjadi pada lansia dapat
berkembang menjadi masalah-masalah lain
yang seringkali juga disertai dengan
terjadinya perubahan konsep diri (Hurlock,
2004).
Stres merupakan reaksi fisiologis dan
psikologis yang terjadi jika seseorang
merasakan ketidakseimbangan antara
tuntutan yang dihadapi dengan kemampuan
untuk mengatasi tuntutan tersebut. Stres
dapat dikatakan adalah gejala penyakit
masa kini yang erat kaitannya dengan
adanya kemajuan pesat dan perubahan yang
menuntut adaptasi seseorang terhadap
perubahan tersebut dengan sama pesatnya.
Usaha, kesulitan, hambatan, dan kegagalan
dalam mengikuti derap kemajuan dan
perubahannya menimbulkan beraneka
ragam keluhan (Rahman, 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh Azizah
dan Hartanti (2016) mendapatkan bahwa
sebagian besar lansia mengalami stress
dalam katagori sedang. Hasil penelitian ini
sejalan dengan teori yang menyebutkan
bahwa pada umumnya lansia akan
mengalami stress, kecemasan dan depresi
yang dapat terjadi gangguan baik fisik,
mental maupun sosial. Dilihat dari segi
mental lansia dengan stress akan menjadi
pemarah, pemurung, sering merasa cemas
dan lain sebagainya. Dampak dari lansia
yang mengalami stress adanya penurunan
kualitas hidup lansia dengan hipertensi di
wilayah kerja Puskesmas Wonopringgo
Kabupaten Pekalongan.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Selo, dkk (2017) mendapatkan bahwa
sebagian besar (40,7%) lansia yang tinggal di Panti Wrdha Pangesti Lawang
mengalami stress sedang sedangkan lansia
yang tinggal di luar Panti Werdha Pangesti
Lawang sebagian besar (47,6%) tidak mengalami stress. Hal ini dikarenakan
lansia tidak tinggal dengan keluarga
sehingga lansia kemungkinan dalam hidupnya merasa sendiri dan tidak ada yang
memberi semangat. Umumnya stress yang
berlarut-larut dapat menimbulkan perasaan cemas, takut, tertekan, kehilangan rasa
2
e-journal Keperawatan(e-Kp) Volume 7 Nomor 2, Agustus 2019 aman, harga diri terancam, gelisah, keluar
keringat dingin, jantung sering berdebar-
debar, pusing, sulit atau suka makan dan
sulit tidur. Kecemasan yang berat dan
berlangsung lama akan menurunkan
kemampuan dan efisiensi seseorang dalam
menjalankan fungsi-fungsi hidupnya dan
pada akhirnya dapat menimbulkan berbagai
macam gangguan jiwa. Banyak yang kita
temukan lansia yang dikirim ke panti jompo
dan tidak terurus keluarga, ada lansia yang
diasingkan dari kehidupan anak cucunya
meskipun hidup dalam kehidapan yang
sama dan ada lansia yang masih harus
bekerja keras meskipun sudah tua
(Musradinur, 2016).
Dampak stres umumnya yang jika
tidak dapat diatasi oleh lansia dapat
menyebabkan lansia mengalami
kemunduran fisik. Kemunduran fisik
terjadi karena lansia memikirkan dan
mempunyai persepsi buruk terhadap
perubahan yang terjadi pada dirinya.
Keadaan ini yang mempengaruhi kualitas
hidup lansia (Putri, 2012). Berdasarkan
survei pendahuluan yang dilakukan oleh
peneliti mendapatkan bahwa jumlah lansia
yang ada di Balai Penyantunan Sosial
Lanjut Usia Terlantar Senja Cerah
sebanyak 51 lansia. Sebanyak 4 lansia yang
diambil pada survei awal mengalami gejala
stress fisik berupa lansia mudah merasa
letih, merasa lemas seperti mau pingsan,
nafsu makan yang berubah-ubah dan tidak
mampu untuk melakukan suatu kegiatan.
Dari survei awal ini juga menunjukkan ada
5 lansia mengalami gejala stress psikologis
seperti mudah tersinggung, gelisah, mudah
marah dan sulit untuk beristirahat.
Penelitian ini tidak mengambil stress
kimiawi dikarenakan menurut petugas
disana pemberian obat-obatan tidak rutin.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini merupakan penelitian
survei deskriptif. Penelitian telah dilaksanakan di Balai Penyantunan Sosial Lanjut Usia Terlantar Senja pada Juni
sampai dengan Juli 2019. Penelitian ini menggunakan instrumen Depression
Anxiety Stres Scale 42 yang dirubah
menjadi 20 pertanyaan, terdiri dari 4
pertanyaan tentang stress fisik dengan skor
jika jawaban “tidak pernah” bernilai 4,
“kadang-kadang” bernilai 3, “sering”
bernilai 2, dan “selalu” bernilai 1. Katagori
penilaian stress fisik dibagi: stres fisik
ringan 12-16, stress fisik sedang 7-11, dan
stres fisik berat 1-6.
Stres Psikologis terdiri dari 16
pertanyaan dengan skor “tidak pernah”
bernilai 4, “kadang-kadang” bernilai 3,
“sering” bernilai 2, dan “selalu” bernilai 1.
Katagori penilaian stres psikologis dibagi :
stres psikologis ringan 45-64, stres
psikologis sedang 23-44, dan stress
psikologis berat 1-22. Dalam penelitian ini
didapatkan populasi yaitu sebanyak 51
lansia dengan tolal sampling yaitu dimana
jumlah sampel yang digunakan adalah
seluruh total populasi yaitu sebanyak 51
responden. Analisis univariat untuk
mengetahui dan mendeskripsikan gambaran
pada masing-masing variabel yang terdiri
dari umur, jenis kelamin, stress fisik dan
stress psikologi. Data-data tersebut
ditampilkan dalam bentuk tabel distribusi
frekuensi dan persentasi.
HASIL dan PEMBAHASAN
Tabel 1. Gambaran Stress Fisik pada
Lansia di Balai Penyantunan Sosial Lanjut
Usia Terlantar Senja Cerah
Stres Fisik n %
Ringan 47 92,2
Sedang 4 7,8
Total 51 100,0
Sumber :Data Primer 2019
Hasil penelitian diatas dapat diketahui
bahwa dari 51 lansia dalam penelitian ini,
sebanyak 47 lansia (92,2%) mengalami
stress fisik ringan. Berdasarkan penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
lansia mengalami stress fisik ringan. Hal ini
disebabkan karena para lansia kadang bahkan tidak pernah mengalami kelelahan
padahal tidak mengerjakan hal-hal yang
melelahkan, detak jantung meningkat setelah melakukan aktivitas, cenderung
3
e-journal Keperawatan(e-Kp) Volume 7 Nomor 2, Agustus 2019
bereaksi berlebihan terhadap suatu situasi
misalnya berbicara lebih cepat dan merasa
telah menghabiskan banyak energi.
Penelitian ini masih ditemui lansia
yang mengalami stress fisik sedang
disebabkan para lansia sering mengalami
kelelahan padahal tidak mengerjakan hal-
hal yang melelahkan. Hal ini sesuai dengan
teori Kamso (2000) dalam Karepouwan,
dkk (2018) dimana lanjut usia terjadi
penurunan kekuatan sebesar 88%,
pendengaran 67%, penglihatan 72%, daya
ingat 61%, serta kelenturan yang menurun
sebesar 64%. Jadi walaupun tidak atau
jarang melakukan aktivitas fisik yang berat
lansia pasti merasakan kelelahan dan
menghabiskan banyak energi. Hasil ini
sesuai dengan Rahman (2016) dimana
aspek-aspek stres meliputi gejala stres yang
berkaitan dengan kondisi dan fungsi tubuh
dari seseorang, seperti; sakit kepala, sulit
tidur, banyak melakukan kekeliruan dalam
kerja. Gejala-gejala stress fisik seperti sakit
kepala, nyeri otot, sakit punggung, rasa
lemah, gangguan pencernaan, rasa mual
atau muntah-muntah, sakit perut, nafsu
makan hilang atau selalu ingin makan,
jantung berdebar-debar, sering buang air
kecil, tekanan darah tinggi, tidak dapat tidur
atau tidur berlebihan, berkeringat secara
berlebihan dan sejumlah gejala lain.
Proses penuaan mengakibatkan
perubahan (penurunan) struktur dan
fisiologis pada lanjut usia seperti :
penglihatan, pendengaran, sistem paru,
persendian tulang. Seiring dengan
penurunan fungsi fisiologis tersebut,
ketahanan tubuh lansia pun semakin
menurun sehingga terjangkit berbagai
penyakit. Penurunan kemampuan fisik ini
dapat menyebabkan lansia menjadi stress,
yang dulunya semua pekerjaan bisa
dilakukan sendirian, kini terkadang harus
dibantu orang lain. Perasaan membebani
orang lain inilah yang dapat menyebabkan
stress.
Orang dikatakan lansia jika usianya lebih dari 60 tahun. Pada lansia mengalami proses penuaan yang mengakibatkan
perubahan-perubahan fungsi pada lansia,
salah satunya adalah penurunan fungsi
kognitif. Semakin bertambahnya usia
seseorang maka kecepatan proses di pusat
saraf semakin menurun yang dapat
mengakibatkan perubahan penurunan
fungsi kognitif. Kemunduran fungsi
kognitif sebelum usia 50 tahun adalah
abnormal dan patologis. Perubahan fungsi
kognitif dialami hampir semua orang yang
mencapai usia 70-an tahun. Pada usia 65-75
tahun didapati kemunduran pada beberapa
kemampuan. Di atas usia 80 tahun didapati
kemunduran yang cukup banyak
(Bandiyah, 2009).
Lansia yang menderita penyakit dapat
mengakibatkan perubahan fungsi fisiologis
pada orang yang menderitanya. Perubahan
fungsi tersebut dapat mempengaruhi
kehidupan seseorang dapat menyebabkan
stress pada kaum lansia yang
mengalaminya. Perubahan fungsi fisiologis
yang dialami seseorang tergantung pada
penyakit yang dideritanya. Semakin sehat
jasmani lansia semakin jarang ia terkena
stress, dan sebaliknya, semakin mundur
kesehatannya, maka semakin mudah lansia
itu terkena stress. Para lansia yang rentan
terhadap stress misalnya lansia dengan
penyakit degeneratif, lansia yang menjalani
perawatan lama di rumah sakit, lansia
dengan keluhan somatis kronis, lansia
dengan imobilisasi berkepanjangan serta
lansia dengan isolasi sosial (Hidaayah,
2013).
Banyak faktor yang mempengaruhi
tingkat stress lansia yang tinggal di panti.
Ketika berbicara tentang faktor yang mempengaruhi tingkat stres, kita tidak bisa
lepas dari sumbersumber penyebab stres
atau yang biasa disebut dengan stresor.
Stresor merupakan semua faktor yang mempengaruhi timbulnya stress yang
mengganggu keseimbangan dalam tubuh
(Padila, 2013). Sebagian penyebab stress lansia di panti ialah mudah merasa lelah
padahal tidak melakukan pekerjaan yang
melelahkan. Semakin tua umur maka akan terjadi penurunan kekuatan yang sangat
besar. Walaupun tidak melakukan aktivitas
4
n %
e-journal Keperawatan(e-Kp) Volume 7 Nomor 2, Agustus 2019 fisik yang berat para lansia akan tetap
merasakan kelelahan.
Gejala stress fisik dapat berupa sakit
kepala, pusing, pening, tidur tidak teratur,
insomnia (susah tidur), bangun terlalu awal,
sakit punggung, terutama dibagian bawah,
urat tegang terutama pada leher dan bahu,
tekanan darah tinggi atau serangan jantung,
selera makan yang berubah, mudah lelah
atau kehilangan daya energi, dan bertambah
banyak melakukan kekeliruan atau
kesalahan kerja dan hidup (Rahman, 2016).
Penurunan fisik umum dialami lansia,
misalnya penurunan sistem imun yang
cenderung menurun, penurunan sistem
integumen yang menyebabkan kulit mudah
rusak, perubahan elastisitas arteri pada
sistem kardiovaskular yang dapat
memperberat kerja jantung, penurunan
kemampuan metabolisme oleh hati dan
ginjal, serta penurunan kemampuan
penglihatan dan pendengaran. Perubahan
fisik yang cenderung mengalami penurunan
tersebut akan menyebabkan berbagai
gangguan secara fisik yang ditandai dengan
ketidakmampuan lansia untuk beraktivitas
atau melakukan kegiatan yang tergolong
berat sehingga mempengaruhi kesehatan
serta akan berdampak pada kualitas hidup
lansia (Ummah, 2016).
Tabel 2. Gambaran Stres Psikologis pada
Lansia di Balai Penyantunan Sosial Lanjut
Usia Terlantar Senja Cerah
Stres
Psikologis
Ringan 43 84,3
Sedang 8 15,7
Total 51 100,0
Sumber : Data Primer 2019
Tabel di atas dapat diketahui bahwa dari 51 lansia dalam penelitian ini,
sebanyak 43 lansia (84,3%) mengalami stress psikologis ringan. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa sebagian besar lansia mengalami stress psikologis ringan. Hal ini disebabkan karena para lansia kadang
bahkan tidak pernah mengalami merasa
terganggu oleh baying-bayang masa lalu
yang buruk, marah karena hal yang sepele,
sulit bersantai, mudah tersinggung, sulit
merasa tenang, merasa ketakutan tanpa ada
alasan yang jelas, merasa kesepian, mudah
gelisah, sulit untuk beristirahat, merasa
hidup sudah tidak berarti lagi, mudah
marah, jika merasa tertekan tidak
melakukan kegiatan apapun, tidak sabar
ketika mengalami penundaan, merasa
kehilangan minat, mudah menangis serta
tidak bisa dihibur dengan apapun jika
merasa sedih.
Penelitian ini masih ditemui lansia
yang mengalami stress psikologis sedang
dimana para lansia sering mengalami
mudah tersinggung, mudah marah karena
hal-hal yang sepele. Menurut asumsi
peneliti, sebagian besar lansia masih
memiliki keluarga akan tetapi keluarga
jarang berkunjung sehingga membuat
sebagian lansia merasa sudah tidak berarti
bagi keluarganya. Hasil ini sesuai dengan
pendapat Arbi dan Ambarini (2018) dimana
stress psikologis disebabkan oleh gangguan
struktur, fungsi jaringan, organ, atau
sistemik sehingga menimbulkan fungsi
tubuh tidak normal. Stres proses
pertumbuhan dan perkembangan,
disebabkan oleh gangguan pertumbuhan
dan perkembangan pada masa bayi hingga
tua. Penyebab stres psikologis seperti
labelling dan prasangka, ketidak kepuasan
terhadap diri sendiri terhadap suatu hal
yang dialami, kekejaman, konflik peran,
percaya diri yang rendah, perubahan
ekonomi, emosi yang negatif, dan
kehamilan.
Stres psikologis merupakan stres yang
disebabkan karena gangguan situasi
psikologis atau ketidakmampuan kondisi psikologis untuk menyesuaikan diri seperti
hubungan interpersonal, sosial budaya atau
faktor keagamaan. Individu sering
menggunakan keadaan emosionalnya untuk mengevaluasi stres. Proses penilaian
kognitif dapat mempengaruhi stres dan
pengalaman emosional. Reaksi emosional terhadap stres yaitu rasa takut, fobia,
kecemasan, depresi, perasaan sedih dan
5
e-journal Keperawatan(e-Kp) Volume 7 Nomor 2, Agustus 2019
rasa marah. Dampak negatif stres seperti
tekanan darah tinggi, pusing, sedih, sulit
berkonsentrasi, tidak bisa tidur seperti
biasanya, terlampau sensitif, depresi, dan
lainnya serta dalam kondisi tertentu, stres
bisa menimbulkan berbagai keluhan
(Musradinur, 2016).
Gelisah atau cemas, sedih, depresi,
menangis, mood atau suasana hati sering
berubah-ubah, mudah panas atau cepat
marah, harga diri menurun atau merasa
tidak aman, terlalu peka dan mudah
tersinggung, gampang menyerah dan sikap
bermusuhan, emosional atau kehabisan
sumber daya mental (burn out) merupakan
gejala-gejala dari stress psikologis (Sary,
2015). Lansia yang mengalami stres emosi
seperti merasa khawatir dengan masalah
yang tidak jelas, merasa letih, bangun tidur
badan terasa sakit, merasa capek, merasa
jantung berdebar akan menyebabkan
kualitas tidur yang menurun. Lansia yang
mengalami stres akan mengalami kualitas
tidur yang buruk. Depresi dan kecemasan
seringkali mengganggu tidur. Seseorang
yang dipenuhi dengan masalah mungkin
tidak bisa rileks untuk bisa tidur.
Kecemasan akan meningkatkan kadar
norepinephrin dalam darah yang akan
merangsang sistem saraf simpatetik
(Dahroni, dkk, 2017).
Kondisi psikologis lansia, misalnya
pengalaman, sifat, jenis kepribadian dan
cara pandang. dapat berpengaruh dalam
menghadapi stress. Cara pandang lansia
yang yang positif dalam menghadapi
masalah, dapat menyelesaikan masalah
tersebut melalui proses mekanisme
penyelesaian yang positif pula. Berorientasi
pada masalah, selalu mencari jalan tengah,
berdasarkan pertimbangan pengalaman
yang baik maupun kurang baik. Orang yang
selalu menyikapi positif segala tekanan
hidup akan kecil resiko terkena stress
(Rahman, 2016).
Inti dari kesuksesan dimasa lansia
adalah kemampuan untuk beradaptasi terhadap berbagai perubahan dan peristiwa hidup yeng membawa perubahan ternyata
belum bisa dilakukan oleh seluruh lansia
subyek penelitian ini Tingkat strss yang
tinggi menunjukkan ketidakmampuan
mereka dalam menyesuaikan terhadap
berbagai perubahan tersebut. Tanggung
jawab selanjutnya berada pada caregivers
atau pihak-pihak di sekitar lansia atara lain
pengurus panti, keluarga, teman-teman,
maupun helper untuk membantu para lansia
panti menjalani masa tuanya dengan sukses
atau dengan kata lain mampu beradaptasi
dengan berbagai perubahan sehingga
meminimalkan stress yang dialami. Ketika
lansia mampu menerima dan menyesuaikan
diri dengan berbagai peristiwa yang
mengubah kehidupannya maka hal ini
berarti pula tingkat stres yang dialami akan
menurun (Ummah, 2016).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka
didapatkan sebagian besar lansia di Balai Penyantunan Sosial Lanjut Usia Terlantar
Senja Cerah mengalami stress fisik ringan.
Sebagian besar lansia lansia di Balai Penyantunan Sosial Lanjut Usia Terlantar
Senja Cerah mengalami stress psikologis
ringan.
DAFTAR PUSTAKA
Arbi, D. K. A. dan Ambarini, T., K. 2018. Terapi Brief Mind fulness-Based Body
Scan untuk Menurunkan Stres Atlet
Bola Basket Wanita Profesional. Jurnal Psikologi dan Kesehatan Mental. 6 (1): 1-12
Azizah, R dan R. D. Hartatnti. 2016.
Hubungan antara Tingkat Stres dengan
Kualitas Hidup Lansia Hipertensi di
Wilayah Kerja Puskesmas
Wonopringgo Pekalongan. The 4 th
University Research Coloqium. 261-
278.
Badan Pusat Statistik. RI. 2013. Statistik Penduduk Lanjut Usia Indonesia 2013: Hasil Sensus Penduduk 2013. Jakarta : BPS.
6
e-journal Keperawatan(e-Kp) Volume 7 Nomor 2, Agustus 2019
Bandiyah, S. 2009. Lanjut Usia dan
Keperawatan Gerontik. Yogyakarta :
Nuha Medika.
Dahroni, Arisdiani, T dan Y. P. Widiastuti.
2017. Hubungan Antara Stres Emosi
dengan Kualitas Tidur Lansia. Jurnal
Keperawatan 5 (2): 68-71.
Fatmawati, V dan M. A. Imron. 2017.
Perilaku Koping pada Lansia yang
Mengalami Penurunan Gerak dan
Fungsi. Intuisi, Jurnal Psikologi Ilmiah
9 (1): 26-38.
Hidaayah, N. 2013. Stress pada Lansia
Menjadi Faktor Penyebab dan Akibat
Terjadinya Penyakit. The Journal of
Health Sciences 6 (2): 1-8
Hurlock, E.B. 2004. Developmental
psychology: a life span approach. 5th edition. Alih bahasa: Istiwidayanti dan
Soedjarwo. Jakarta: Erlangga.
Karepowan, S. R., Wowor, Man Katuuk,M.
2018. Hubungan Kemunduran
Fisiologis dengan Tingkat Stres Pada
Lanjut Usia di Puskesmas Kakaskasen
Kecamatan Tomohon Utara. Jurnal
keperawatan 6 (1): 1-7.
Musradinur. 2016. Stres dan Cara
Mengatasinya dalam Perspektif
Psikologi. Jurnal Edukasi 2 (2): 183-
200.
Padila. 2013. Buku Ajar Keperawatan
Gerontik. Nuha Medika: Bengkulu.
Putri, R. D. 2012. Perbedaan Tingkat Stres
Pada Lansia Yang Bertempat Tinggal
di Rumah Dan Di UPT Pelayanan
Sosial Lanjut Usia Bondowoso.
Skripsi. Program Studi Ilmu
Keperawatan Universitas Jember.
Jember
Rahman, S. 2016. Faktor-faktor yang Mendasari Stres pada Lansia. Jurnal Pendiidkan Indonesia 16 (1): 1-7.
Sary, Y.N.E., 2015. Buku Ajar Psikologi
Pendidikan. Yogyakarta: Parama
Publishing.
Selo, J., E. Candrawati dan R. M. Putri.
2017. Perbedaan Tingkat Stres pada
Lansia di Dalam dan di Luar Panti
Werdha Pangesti Lawang. Nursing
News 2 (3): 522-533.
Ummah, A. C. 2016. Hubungan Kebutuhan Spiritual dengan Kualitas Hidup pada
Lansia di Panti Wredha Kota Semarang. Skripsi. Universitas
Diponegoro. Semarang.
7
Jurnal Biomedika dan Kesehatan Vol.1 No. 1 Juni 2018
ORIGINAL ARTICLE
Perbandingan tingkat stres pada lansia
di Panti Werdha dan di keluarga
Edi Santoso1 Purnamawati Tjhin2
ABSTRAK
LATAR BELAKANG
Lanjut usia (lansia) adalah orang yang telah mencapai usia 60 tahun
atau lebih. Perubahan fisik, mental, dan social pada lansia dapat menjadi
pemicu stress, misalnya kematian pasangan, status sosial ekonomi
rendah, penyakit, isolasi sosial dan tempat tinggal lansia. Prevalensi
stres pada lansia di panti sosial (30%) lebih tinggi dibanding lansia yang
tinggal bersama keluarga (8,34%). Tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui perbandingan tingkat stress pada lansia di panti werdha dan
di keluarga.
METODE
Penelitian menggunakan studi deskriptif komparatif dengan desain cross-
sectional, selama bulan September-Desember 2017 pada 144 lansia yang
terbagi menjadi 72 orang tinggal di Panti Sosial Tresna Werdha Budi
Mulia 2, Cengkareng Barat dan 72 orang tinggal bersama keluarga di
wilayah kerja Puskesmas Grogol Petamburan Jakarta Barat. Pengambilan
sampel dilakukan dengan teknik Consecutive non-random sampling dan
pengukuran tingkat stres menggunakan kuesioner Stress Assessment
Questionnaire. Perbandingan tingkat stres pada lansia di kedua lokasi
menggunakan uji Chi-square dengan tingkat kepercayaan 95%.
HASIL
Rerata usia lansia yang tinggal di panti adalah 68,81+6,72 dan yang di
keluarga 67,79+3,43. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada tingkat
stres lansia ditinjau dari segi usia (p=0,102) dan jenis kelamin (p=0,598).
Terdapat perbedaan bermakna pada tingkat stres lansia berdasarkan
tingkat pendidikan (p=0.000), status perkawinan (p=0.000), riwayat
penyakit (p=0,039), dan lokasi tempat tinggal (p=0.000).
1 Program Studi Kedokteran,
Fakultas Kedokteran,
Universitas Trisakti
2 Departemen Anatomi,
Fakultas Kedokteran,
Universitas Trisakti
Korespondensi:
dr. Purnamawati Tjhin, MPd.Ked
Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti, Jalan Kyai Tapa No. 260,
Grogol, Jakarta Barat.
Telp: 081311385925
Email: [email protected]
J Biomed Kes 2018;1(1):26-34
DOI: 10.18051/JBiomedKes.2018.
v1.26-34
pISSN: 2621-539X / eISSN: 2621-5470
Artikel akses terbuka (open access) ini
didistribusikan di bawah lisensi Creative
Commons Attribution 4.0 International
(CC-BY 4.0)
KESIMPULAN
Lansia yang pernah mengenyam pendidikan formal, masih memiliki
pasangan hidup, mempunyai riwayat penyakit kurang dari 3, dan
bertempat tinggal bersama keluarga cenderung memiliki tingkat stress
rendah.
Kata kunci : tingkat stres, lansia, panti werdha, keluarga
26 DOI: https://dx.doi.org/10.18051/JBiomedKes.2018.v1.26-34
Santoso, Tjhin Perbandingan tingkat stres pada lansia
ABSTRACT
Comparison of stress levels in elderly At nursing home (Panti Werdha) and in the family
BACKGROUND Elderly are people who have reached the age of 60 years or older. Physical, mental, and social changes in the elderly can be a stressor, such as partner mortality, low socioeconomic status, disease, social isolation, and elderly residence. The prevalence of stress in the elderly in nursing home (30%) is higher than the elderly who live with the family (8.34%). The purpose of this study was to determine the comparison of stress levels in the elderly in the nursing home (panti Werdha) and in the family. METHODS The study used a comparative descriptive study with cross-sectional design, during September-December 2017 at 144 elderly divided into 72 people living in Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 2, Cengkareng Barat and 72 people living with family in primary health care Grogol Petamburan West Jakarta. Sampling selected by Consecutive non-random sampling technique and measurement of stress level using Stress Assessment Questionnaire questionnaire. Comparison of stress level in elderly in both locations using Chi-square test with 95% confidence level. RESULT The mean age of the elderly living in the nursing care (panti Werdha) is 68.81+ 6.72 and the family is 67.79 + 3.43. There was no significant difference in elderly stress level in based on age (p = 0,102) and gender (p = 0,598). There were significant differences in elderly stress level based on education level (p = 0.000), marital status (p = 0.000), history of disease (p = 0,039), and residence location (p = 0.000). CONCLUSION Elderly who had formal education, still have a spouse, have a history of less than 3, and reside with family tend to have low stress levels. Keywords : level of stress, elderly, nursing home, family
PENDAHULUAN
Lanjut usia (lansia) adalah istilah yang
digunakan untuk orang yang telah mencapai
usia 60 tahun atau lebih.(1) Indonesia sebagai
negara berkembang termasuk salah satu
negara yang jumlah lansianya bertambah
paling cepat di Asia Tenggara. P a d a t a h u n
2 0 1 2 , jumlah lansia di Indonesia telah
mencapai 20 juta jiwa dan sekitar 7,59%
dari jumlah penduduk Indonesia sehingga
menempatkan Indonesia sebagai negara
berstruktur tua (ageing population) karena
persentase penduduk lansia telah mencapai
angka diatas 7%.(2,3)
Lansia mengalami perubahan yang
bersifat normal baik dari segi fisik maupun
mental. Sebagian orang menganggap bahwa
masa lansia sebagai masa penurunan fungsi
biologis yang tidak dapat dihindari oleh
setiap manusia. Berbagai penurunan fungsi
biologis pada lansia dapat mempengaruhi
berbagai perubahan aspek dalam kehidupan
yang saling berkesinambungan, antara lain
perubahan fisik, psikologis, dan sosial, y a n g
jika tidak dapat dilalui dengan baik maka akan
muncul hambatan-hambatan dalam menjalani
aktivitas sehari-hari dan berpotensi menjadi
stressor yang mengakibatkan stres pada lansia. (4)
Selain perubahan fisiologis yang
dialami oleh lansia, kekecewaan, rumah
kosong (sepi), kecacatan dan gangguan dalam
kemandirian, masalah dalam hubungan,
pengasingan juga menjadi stressor bagi
lansia.(4) Penyebab stress merupakan faktor
yang multidimensi. Stres dapat disebabkan
oleh perubahan-perubahan negative dalam
kehidupan misalnya kematian pasangan,
menurunnya status sosial ekonomi, penyakit
fisik yang menyertai, isolasi sosial, lokasi
tempat tinggal tinggal dan spiritual. Demikian
juga perubahan kedudukan, pensiun, serta
menurunnya kondisi fisik dan mental yang
mengakibatkan menurunnya kemampuan
untuk melakukan aktivitas sehari-hari seperti
membersihkan diri, toileting, menyiapkan
makanan, juga dapat mengakibatkan stres
pada lansia.(5)
Perubahan positif dalam kehidupan
misalnya kelahiran anggota keluarga baru,
prestasi anggota keluarga, atau peningkatan
27
J Biomed Kes
kesehatan, dan kejadian sehari-hari dapat
mengurangi tingkat stres atau depresi.(5)
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS)
prevalensi kejadian stres pada lansia yang
tinggal bersama keluarga di Indonesia
mencapai 8,34%. Prevalensi stres pada lansia
yang menjalani perawatan di panti sosial
mencapai 30%.(6)
Penelitian yang dilakukan Indriana
Y. et.al pada tahun 2010 pada 32 lansia
Panti werdha Pucang Gading Semarang
menunjukkan 81,25% lansia mengalami stres
berat dengan skor di atas 150 dan 18,75%
menunjukkan keluhan sedang. Salah satu
factor yang menyebabkan stres pada lansia di
panti adalah ketiadaan kebersamaan dengan
anggota keluarga sehingga mereka merasa
dicampakan atau tersisih.(7) Tetapi penelitian
di daerah Jawa Tengah yang dilakukan
oleh Syahnur R pada tahun 2006 tentang
perbandingan stres antara lansia yang tinggal
terpisah dari keluarga dengan lansia yang
tinggal bersama keluarga menyatakan bahwa
stres pada lansia tidak dipengaruhi oleh lokasi
tempat tinggal.(8)
Adanya perbedaan hasil penelitian
yang telah dilakukan sebelumnya dan
penelitian sebelumnya dilakukan di salah
satu lokasi saja, mendorong peneliti untuk
mengetahui perbandingan tingkat stress pada
lansia di panti werdha dan di keluarga.
Vol.1 No. 1 Juni 2018
ansietas atau depresi.
Berdasarkan rumus besar sampel
penelitian perbandingan 2 proporsi dan
ditambah drop-out sebesar 10%, jumlah
sampel yang dibutuhkan pada penelitian ini
adalah 144 responden yang terbagi menjadi
72 orang pada kelompok lansia di panti
werdha dan 72 orang pada kelompok lansia
yang tinggal bersama keluarga. Perhitungan
besar sampel menggunakan rumus besar
sampel penelitian perbandingan 2 proporsi
dan pemilihan responden dilakukan dengan
teknik Consecutive non-random sampling.(9)
Keterangan:
Zα = Alpha 5% maka simpang baku
alpha = 1,96
Zβ = Beta 20% maka simpang baku
beta=0,842
P1
= Proporsi pada kelompok yang
sudah di ketahui nilainya (0.3).(6)
METODE
Q1
= 1- P1
P2
= Proporsi pada kelompok lansia
di keluarga yang mengalami stres
Penelitian menggunakan studi
deskriptif komparatif dengan desain cross-
sectional selama bulan September-Desember
2017 pada populasi lansia yang tinggal di
Panti Sosial Tresna Werdha Budi Mulia 2
Cengkareng Barat dan lansia yang tinggal
bersama keluarga di wilayah kerja Puskesmas
Grogol Petamburan Jakarta Barat. Kriteria
inklusi yang digunakan adalah lansia yang
berusia 60 tahun atau lebih, tinggal di panti
sosial dan di keluarga, mampu berkomunikasi
dan aktif, serta bersedia menjadi responden
penelitian ini dengan menandatangani
informed consent. Sedangkan kriteria
eksklusinya adalah lansia yang sakit berat
dan pernah didiagnosis atau memiliki riwayat
(0,08).(6)
Q2
= 1 - P2
P1 - P
2 = Selisih proporsi minimal yang
dianggap bermakna
P = Proporsi total =
Q = 1 – P
Pengukuran tingkat stres menggunakan
kuesioner Stress Assessment Questionnaire
(SAQ). Variabel tingkat stres terdiri dari empat
indikator berupa pertanyaan tertutup yang
menanyakan tenntang sumber stres, gejala,
penanganan, dan stabilitas. Kuesioner terdiri
dari 19 pertanyaan favourable (pertanyaan no
1, 3, 4, 6 , 7, 9, 11, 12, 13, 14, 15, 18, 19,
22, 23, 25, 26, 27, 28) dan 10 pertanyaan
28
Santoso, Tjhin
unfavourable (pertanyaan no 2, 5,8 , 10, 16,
17, 20, 21, 24, 29). Pertanyaan favourable
nilainya 2 untuk jawaban “ya” dan nilai 1
untuk jawaban “tidak”, sedangkan pertanyaan
unfavourable adalah nilai 1 untuk “ya” dan
nilai 2 untuk jawaban “tidak”. Jumlah skor
akan dikelompokan menjadi 3 kategori
tingkat stres yaitu stres ringan (skor 0-38),
stres sedang (skor 39-48), dan stres berat
(skor >49).
Hasil penelitian dianalisis secara
univariat dan bivariat. Analisis univariat
mendeskripsikan frekuensi dan persentase
variabel yang diteliti, baik variabel tergantung
maupun variabel bebas. Analysis bivariat
untuk dilakukan untuk melihat perbandingan
tingkat stres lansia di panti sosial dan di
keluarga menggunakan uji komparatif
proporsi tidak berpasangan, yaitu dengan uji
Chi-square dengan tingkat kepercayaan 95%
atau p<0,05.
HASIL
Pada tabel karakteristik responden,
dapat dilihat bahwa sebagian besar responden
berusia antara 60-74 tahun (88,9%). Lebih
banyak lansia yang berusia lebih dari 75
tahun di panti (16,67%) daripada di keluarga
Perbandingan tingkat stres pada lansia
(5,56%). Jenis kelamin responden hampir
seimbang baik di panti maupun di keluarga,
dengan persentase laki-laki sedikit lebih
banyak daripada perempuan yaitu 50.7%. Di
panti lebih banyak lansia perempuan (51,39%)
sedangkan di keluarga lebih banyak laki-laki
(52.78%). Tingkat pendidikan responden
mayoritas tidak sekolah (50,7%) secara
keseluruhan dan 55,56% lansia yang tidak
sekolah tinggal di panti dan yang bersekolah
sebagian besar tinggal bersama keluarga
(54.17%). Sebagian besar responden berstatus
duda atau janda (82,64%). Lansia yang tinggal
di panti, lebih banyak yang memiliki riwayat
penyakit lebih dari 3 keluhan (29.17%).
Hasil uji Chi-square menunjukkan
perbedaan bermakna (p=0.000) antara lokasi
tempat tinggal lansia dengan tingkat stres.
Lansia yang bertempat tinggal di keluarga
sebagian besar mengalami stres ringan
(58.3%), sedangkan lansia yang bertempat
tinggal di panti werdha paling banyak
mengalami stres berat (50.0%).
Analisis bivariat antara karakteristik
responden usia dengan tingkat stres tidak
menunjukkan perbedaan bermakna (p=0.102).
Tetapi lansia yang memiliki usia lebih rendah
Tabel 1. Karakteristik responden lansia di Panti Werdha (n=72) dan di keluarga (n=72)
Variabel
Usia
60-74
≥ 75
Panti Werdha
n(%)
60 (83,33%)
12 (16,67%)
Keluarga
n(%)
68 (94.44%)
4 (5.56%)
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tingkat Pendidikan
Tidak Sekolah
Sekolah
Status Perkawinan
Menikah
Duda-janda
Riwayat Penyakit
≤3 Keluhan
>3 Keluhan
Keterangan: n= jumlah; %=persentase
35 (48,61%)
37 (51,39%)
40 (55,56%)
32 (40,44%)
0 (0,00%)
72 (100%)
51 (70.83%)
21 (29.17%)
38 (52.78%)
34 (47.22%)
33 (45.83%)
39 (54.17%)
25 (34.72%)
47 (65.28%)
61 (84.72%)
11 (15.28%)
29
J Biomed Kes Vol.1 No. 1 Juni 2018
Tabel 2. Perbandingan tingkat stres pada lansia di panti werdha dan lansia di keluarga
Variabel
Lokasi
Tingkat stres p
Ringan n (%) Sedang n (%) Berat n (%)
Keluarga
Panti
Umur
60-74 Tahun
≥ 75 Tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Tingkat Pendidikan
Sekolah
Tidak sekolah
Status Perkawinan
Menikah
Duda - janda
Riwayat Penyakit
>3 Keluhan
<3 Keluhan
42 (58.3%)
10 (13.9%)
50 (39.1%)
2 (12.5%)
29 (39,7%)
23 (32.4%)
38 (53.5%)
14 (19.2%)
17 (68.0%)
35 (29.4%)
35 (31.3%)
17 (53.1%)
18 (25.0%)
26 (36.1%)
38 (29.7%)
6 (37 .5%)
20 (27.4%)
24 (33.8%)
17 (23.9%)
27 (37.0%)
7 (28.0%)
37 (31.1%)
40 (35.7%)
4 (12.5%)
12 (16.7%)
36 (50.0%)
40 (31.3%)
8 (50.0%)
24 (32.9%)
24 (33.8%)
16 (22.5%)
32 (43.8%)
1 (4.0%)
47 (39.5%)
37 (33.0%)
11 (34.4%)
0,000€*
0.102€
0,598€
0,000€*
0,000€*
0.021€*
n=jumlah; %=persentase; €=uji Chi-square; *= p<=0.05=perbedaan bermakna
(64-75 tahun) lebih banyak yang mengalami
stres ringan (39.1%) dan lansia yang berusia
lebih dari 75 tahun lebih banyak yang
mengalami stres berat (50%). Demikian juga
hasil uji Chi- square antara jenis kelamin dan
tingat stres tidak menunjukkan perbedaan
bermakna. laki-laki lebih banyak yang
mengalami stres ringan (39,7%), sedangkan
perempuan lebih banyak yang mengalami
stres sedang (33.8%) dan stres berat (33.8%).
Perbandingan tingkat stres berdasarkan
tingkat pendidikan menunjukkan lansia
yang mengenyam pendidikan formal
lebih banyak yang mengalami stres ringan
(53.5%), sedangkan lansia yang tidak pernah
mengenyam pendidikan formal mayoritas
mengalami stres berat (43.8%). Hasil uji Chi-
square menunjukkan perbedaan bermakna
(p=0.000).
Perbedaan tingkat stres berdasarkan
status perkawinan juga menunjukkan
perbedaan bermakna (0.000). Lansia yang
masih memiliki pasangan lebih banyak yang
mengalami stres ringan (68.0%) dan lansia
yang sudah tidak memiliki pasangan sebagian
besar mengalami stres berat (39.5%). Lansia
yang memiliki lebih dari 3 keluhan penyakit
lebih banyak yang mengalami tingkat stres
sedang (35.7%), sedangkan lansia yang
memiliki riwayat penyakit kurang dari 3
sebagian besar mengalami stres ringan
(53.1%). Hasil uji statistik hubungan antara
jumlah penyakit yang dialami lansia dengan
tingkat stres menunjukkan perbedaan
bermakna (p=0.021).
PEMBAHASAN
Faktor penyebab stres pada lansia
Perubahan fisiologis baik dalam hal
fisik maupun mental pada lansia tidak dapat
dihindari sehingga dapat muncul berbagai
hambatan dalam menjalani aktivitas sehari-
hari dan berpotensi menjadi stressor bagi
lansia.(4) Penelitian yang dilakukan oleh
Jeon H-S dan Dunkle RE mendapatkan hasil
30
Santoso, Tjhin
bahwa tanda depresi meningkat sesuai dengan
pertambahan usia, terutama pada lansia yang
berusia di atas 85 tahun.(5) Hasil penelitian ini
menunjukkan tidak ada hubungan bermakna
antara usia dengan tingkat stres, walaupun
responden yang berusia lebih tua lebih banyak
yang mengalami stres sedang dibandingkan
dengan yang berusia lebih muda. Hasil yang
berbeda mungkin saja disebabkan karena
usia sampel penelitian yang di atas 75
tahun sangat sedikit (11.1%) dibandingkan
dengan lansia yang berusia antara 60-74
tahun dan lansia yang tertua adalah berusia
75 tahun. Karakteristik usia responden pada
penelitian Jeon HS dan Dunkle RE lebih tua
dibandingkan dengan usia responden pada
penelitian ini. Semakin tua usia, penurunan
fungsi fisik dan mental tentu saja akan semakin
besar sehingga risiko untuk terjadi stress akan
lebih besar. Hasil penelitian ini mendukung
penelitian yang dilakukan oleh Scott SB et.al
yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan
antara usia dengan stress karena stress lebih
tergantung pada waktu terjadinya, lamanya
terpapar stressor, dan kuatnya stressor.(10)
Penyebab stress juga bersifat multifaktorial
sehingga tidak semata-mata karena usia.
Hasil uji Chi-square terhadap
hubungan antara jenis kelamin dan tingkat
stress menunjukkan tidak ada perbedaan
yang bermakna walaupun perempuan lebih
banyak yang mengalami stress sedang
dan berat dibandingkan dengan laki-laki.
Hasil penelitian ini berbeda dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Sutinah
yang mendapatkan hasil terdapat hubungan
antara jenis kelamin dengan tingkat depresi.
Perempuan lebih banyak yang terkena depresi
karena perempuan lebih cenderung untuk
mencari pengobatan sehingga lebih mudah
terdeteksi dibanding laki-laki.(11) Perempuan
yang lebih tua memiliki tingkat depresi yang
lebih tinggi, lebih banyak yang memiliki
keluhan penyakit fisik, kurang tidur, dan
jarang melakukan aktifitas fisik atau olah raga.
(12) Ada perbedaan respon antara laki-laki dan
perempuan saat menghadapi konflik. Otak
perempuan memiliki kewaspadaan yang
negatif terhadap adanya konflik dan stress.
Pada perempuan konflik memicu hormon
Perbandingan tingkat stres pada lansia
negatif sehingga memunculkan stres, gelisah,
dan rasa takut, sedangkan laki- laki umumnya
menikmati adanya konflik dan persaingan,
bahkan menganggap bahwa konflik dapat
memberikan dorongan yang positif. Dengan
kata lain, ketika perempuan mendapat
tekanan, maka umumnya akan lebih mudah
mengalami stres.(12) Adanya perbedaan hasil
penelitian ini dengan penelitian tersebut
mungkin disebabkan karena mekanisme
coping terhadap stressor yang dihadapi oleh
lansia baik perempuan dan laki-laki ini relative
sama karena mengikuti berbagai kegiatan
yang serupa misalnya senam atau olah raga di
panti maupun di komunitas.
Berdasarkan status pendidikan, lansia
yang memiliki riwayat pendidikan formal
lebih banyak yang mengalami stres ringan,
sedangkan lansia tidak pernah mengenyam
pendidikan formal cenderung mengalami
stres berat. Maka dapat disimpulkan
terdapat perbedaan bermakna antara status
pendidikan dengan tingkat stres. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tse
YP di Hongkong yang menyatakan bahwa
orang dengan pendidikan tinggi mempunyai
kemampuan intelektual yang lebih baik dalam
mengendalikan stres dibandingkan dengan
orang yang memiliki tingkat pendidikan
lebih rendah.(13) Kemampuan inilah yang
digunakan seseorang untuk menyelesaikan
masalah atau stressor dengan baik. Terdapat
perbedaan dari psikologi seseorang
berdasarkan tingkat pendidikan. Pendidikan
merupakan usaha yang dilakukan secara
sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi
dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian,
kecerdasan akhlak mulia, serta keterampilan
yang diperlukan dirinya dan masyarakat. (14) Pendidikan dapat mempengaruhi pola
pikir seseorang dalam menghadapi berbagai
stressor. Lansia yang memiliki tingkat
pendidikan yang tinggi mampu mengelola
masalah (coping) dengan baik sehingga dapat
meminimalisir terjadinya stres sedangkan
lansia yang memiliki pendidikan yang rendah
kurang memiliki pengetahuan yang cukup
31
J Biomed Kes
untuk menyelesaikan masalah sehingga lebih
mudah mengalami stres.
Sebagian besar responden pada
penelitian ini berstatus sebagai duda/janda,
terutama di panti Werdha. Sama halnya
dengan penelitian sebelumnya, kematian
pasangan merupakan perubahan negatif yang
menjadi salah satu stressor bagi lansia. Hasil
uji statistik menunjukkan adanya perbedaan
bermakna terkait dengan tingkat stress
dengan status perkawinan lansia. Lansia
yang sudah tidak memiliki pasangan, lebih
cenderung mengalami stress berat dan stress
sedang. Memiliki pasangan dapat menjadi
coping strategy dalam menghadapi stress.
Lansia yang memiliki pasangan dapat
menyelesaikan suatu masalah dengan baik
karena dapat berbagi cerita dan mendapat
dukungan dari keluarga atau pasangan. Lansia
juga merasa mendapat dukungan moril dari
orang terdekatnya sehingga dapat mengatasi
stressor dengan baik. Self eficacy dan
dukungan sosial memiliki efek positif bagi
lansia untuk mengimplementasikan coping
strategies yang tepat dalam mengatasi stres.(15)
Perubahan fisiologis tubuh pada
lansia dapat menjadi stressor yang bila tidak
ditangani dengan baik dapat menyebabkan
stress, depresi atau gangguan kesehatan
lainnya.(16) Sepanjang hidup, ketika sistem
imun cederung menurun, maka efek stress akan
sangat kuat. Stress juga dapat memperburuk
efek penuaan.(17) Hasil penelitian menunjukkan
terdapat perbedaan bermakna antara jumlah
penyakit yang dikeluhkan dengan tingkat
stres. Semakin banyak jumlah penyakit yang
dimiliki lansia, semakin tinggi tingkat stress
yang dialami.
Masalah kesehatan adalah penyebab
utama stress pada lansia, seperti kecacatan,
masalah pada penglihatan, pendengaran,
memori.(18,19) Berbagai masalah kesehatan
yang terjadi dapat menurunkan kemampuan
mereka dalam bekerja dan pada kasus yang
lebih berat menyebabkan stress pada orang
lain yang berhubungan dengan mereka.(19)
Kesulitan dalam mengingat dan mengingat
kembali sesuatu, berkurangnya kemampuan
indera pendengaran, pengecapan, raba, kontrol
berkemih, penyakit spesifik, perubahan
Vol.1 No. 1 Juni 2018
pola tidur, perubahan dalam pola makan,
ketidakmampuan dalam aktivitas sehari-
hari (berbelanja, menyiapkan makanan,
membersihkan rumah) juga merupakan factor
yang menjadi stressor bagi lansia.(20)
Perbandingan tingkat stres lansia di
keluarga dan di Panti Werdha
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
terdapat perbedaan bermakna pada tingkat
stress lansia yang tinggal di panti Werdha
dan di keluarga. Lansia yang tinggal di
panti Werdha cenderung mengalami stress
berat sedangkan lansia yang tinggal bersama
keluarga cenderung mengalami stress
ringan. Hasil ini mendukung penelitian
yang dilakukan oleh Selo J di Panti Werdha
Pangesti Lawang yang mendapatkan bahwa
sebagian besar penghuni panti mengalami
stres sedang sedangkan sebagian besar lansia
yang tinggal di luar panti tidak mengalami
stress.(16) Demikian pula penelitian di India
mendapatkan 48.5% responden lansia yang
tinggal di panti jompo memiliki tingkat stres
yang lebih tinggi dibandingkan rata-rata orang
yang mengalami stres dan 58% responden
mengalami depresi ringan.(21)
Lansia yang tinggal di panti merasa
tidak mempunyai keluarga, kurangnya
aktivitas dalam panti dan isolasi diri, sehingga
dapat menyebabkan stres pada lansia. Keadaan
ini menguatkan teori tentang pentingnya
dukungan social pada lansia. Syahnur R pada
tahun 2006 dalam penelitiannya menyatakan
bahwa stres pada lansia tidak dipengaruhi
oleh lokasi tempat tinggal, tetapi dipengaruhi
oleh dukungan sosial yang didapatkan.(8)
Self-eficacy dan dukungan sosial
memiliki efek positif untuk menjadi
lansia yang memiliki kemampuan untuk
mengatasi stress akibat penuaan sehingga
dapat meningkatkan kualitas hidup lansia.
dan mengurangi tingkat stres pada lansia.
Dukungan sosial dapat dilakukan dengan
cara intervensi dan program latihan untuk
orang yang menjelang lansia, berfokus pada
peran dan kehilangan yang timbul pada masa
transisi. Dengan demikian diharapkan dapat
digunakan mekanisme dan strategy coping
yang efektif sambil mempersiapkan sumber
32
Santoso, Tjhin
coping seperti dukungan sosial dan self
eficacy.(15)
Panti Werdha merupakan salah satu
upaya untuk memberikan dukungan sosial
bagi lansia yang tidak memiliki keluarga.
Di Indonesia, keputusan keluarga untuk
menempatkan lansia di panti Werdha belum
tentu dapat diterima oleh lansia. Mereka
mungkin merasa terbuang, tidak dibutuhkan
lagi, terisolasi, dan kehilangan orang-orang
yang dicintai. Selain itu, panti Werdha
merupakan tempat yang relatif asing bagi
lansia jika dibandingkan dengan tinggal di
rumahnya sendiri bersama keluarganya. Hal
inilah yang dapat menjadi stresor, baik yang
berasal dari dirinya maupun dari lingkungan.
Walaupun kadang-kadang penempatan lansia
di suatu panti maupun lembaga- lembaga
sosial disebabkan oleh keinginan para lansia
itu sendiri atau karena kondisi keluarga.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian
perbandingan tingkat stres pada lansia di panti
werdha dan lansia di keluarga disimpulkan
bahwa terdapat perbedaan bermakna tingkat
stres pada lansia berdasarkan lokasi tempat
tinggal di panti Werdha dan di keluarga, tingkat
pendidikan, status perkawinan dan jumlah
keluhan penyakit yang dialami. Lansia yang
tinggal bersama keluarga, memiliki riwayat
pendidikan formal, mash memiliki pasangan,
dan memiliki keluhan penyakit kurang dari 3,
cenderung memiliki tingkat stres ringan.
Dukungan sosial dapat memperkecil
tingkat stress lansia dan meningkatkan
kemampuan coping strategies lansia dalam
menghadapi stress. Pantiwerdha sebagai tempat
tinggal lansia dapat melakukan peningkatan
perawatan kesehatan, menghindari perasaan
kesepian ataupun tidak diperhatikan oleh
keluarganya, memperbanyak aktivitas
fisik dan interaksi sosial dengan sesama
penghuni panti Werdha. Selain itu, dapat
dicoba untuk melakukan berbagai mekanisme
coping mengatasi stress seperti berdoa,
membaca, menonton televisi, mendengar
musik, dan berbicara dengan teman dan
keluarga.(18)
Perbandingan tingkat stres pada lansia
UCAPAN TERIMA KASIH
Terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada Panti Werdha Budi Mulia 2
Cengkareng Barat dan Puskesmas Grogol
Petamburan Jakarta Barat. yang telah
memberikan tempat dan waktunya kepada
penulis untuk melaksanakan penelitian dan
kepada semua pihak yang telah membantu
terselesaikannya penelitian ini.
DAFTAR REFERENSI
1. Departemen Kesehatan RI Laporan
Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT): Litbangkes 2013
2. Kementrian Kesehatan RI. Situasi dan
Analisys Lanjut Usia. 2014 [cited 2017
Mei 25]. Available from: http://www.
depkes.go.id/
3. Utami PDR. Hubungan antara
karakteristik personal dan sikap lansia
terhadap pelayanan di Panti Werdha
dharma Surakarta. Jurnal keperawatan
2008;2:131-2. Available at: https://
scholar.google.co.id/
4. Moradi Z, et.al., Evaluation of stress
factors among the elderly in the nursing
homes for the elderly (Eram and Mother)
in Kermanshah in 2015. Journal of
Medicine and Life. 2015;8(Spec Iss
3):146-150. PMC5348947
5. Jeon H-S, Dunkle RE. Stress and
Depression Among the Oldest-Old:
A Longitudinal Analysis. Research
on aging. 2009;31(6):661-687.
doi:10.1177/0164027509343541.
6. Badan penelitian dan pengembengan
kesehatan kementerian kesehatan RI.
Riset kesehatan dasar tahun 2013.
Available at: htt//www.litbang.depkes.
go.id/sites/download/rkd2013/Laporan_
Riskesdas2013.PDF. Accessed May 25,
2017.
7. Indriana Y. Kristiana I F. Somda A A.
et.al. Tingkat Stres Lansia di Panti werdha
“Pucang Gading” Semarang. 2010;2:87-
8. Available at: https://ejournal.undip.
ac . id/index .php /psikologi /ar t ic le /
view/2953/2639 33
J Biomed Kes
8. Syahnur R, Perbandingan tingkat Stres
antara Lansia yang tinggal terpisah
dari keluarga dan lansia yang tinggal
bersama keluarga. Electronic Thesis
and Disertation Gadjahmada University.
2006. Available at: http://etd.repository.
ugm.ac.id/index.php?mod=penelitian_
detail&sub=PenelitianDetail&act=view
&typ=html&buku_id=30351&obyek_
id=4
9. Dahlan, M.S. Besar Sampel dan Cara
Pengambilan Sampel. Jakarta : Salemba
Medika. 2013.
10. Scott SB, Sliwinski MJ, Blanchard Fields
F. Age differences in emotional responses
to daily stress: The role of timing, severity,
and global perceived stress. Psychology
and aging. 2013;28(4):10.1037/a0034000.
doi:10.1037/a0034000.
11. Sutinah, Maulani. Hubungan pendidikan,
jenis kelamin dan status perkawinan
dengan depresi pada lansia. Journal
Endurance 2. June 2017. Vol (2): 209-
16. DOI: http://doi.org/10.22216/jen.
v2i2.1931
12. Suen, LJW & Morris, DL. Depression
and gender differences - Focus on
Taiwanese American older adults. Journal
of Gerontological Nursing. 2006. Vol 32:
28-36.
13. Tse YP. Perceived social support and
matrial satisfaction: A Moderator Effect
on parental stress in hongkong. 2007
available at: http://dspace.cityu.edu.hk/
handle/2031/5118
14. Charini.N. Faktor-faktor yang
berhubungan dengan stress pengasuhan
pada ibu dengan anak usia prasekolah. 2013.
Available at: http://repository.uinjkt.ac.id/
dspace/bitstream/123456789/24103/1/
Nurul%20Chairini-fkik.pdf
15. Hava T. Sara C. Maintaining Successful
Aging: The Role of Coping Patterns and
Resources. Journal of Happiness Studies;
Dordrecht Vol. 15, Iss. 2, (Apr 2014): 255-
270. DOI:10.1007/s10902-013-9420-4
16. Selo J. Candrawati E., Putri RM.,
Perbedaan Tingkat Stres pada Lansia di
dalam dan di Luar Panti Werdha Pangesti
Lawang. Nursing News. 2017. Vol 2: (3)
34
Vol.1 No. 1 Juni 2018
17. Graham, J. E., Christian, L. M., &
Kiecolt-Glaser, J. Stress, age, and immune
function: Toward a lifespan approach.
Journal of Behavioral Medicine, 2006.
Vol. 29(4): 389-400. doi:http://dx.doi.
org/10.1007/s10865-006-9057-4
18. Hunter, I. R. and Gillen, M. C., Stress
Coping Mechanisms in Elderly Adults:
An Initial Study of Recreational and
Other Coping Behaviors in Nursing
Home Patients. Adultspan Journal. 2009.
8: 43-53. doi:10.1002/j.2161-0029.2009.
tb00056.x
19. Oldehinkel AJ, Ormel J, Brilman
EI, Vandenberg L. Psychosocial and
vascular risk factors of depression in
later life. Journal of Affective Disorders.
2003;74(3):237–246. [PubMed]
20. Sadrossadat SJ, Houshyari Z, Sadrossadat
L. Construction and standardization of
the measurement scale stressors of aging
(aging of Iran) in the eighth. Spring.
2013:28.
21. Suresh R. Perceived stress and depression
among elderly people residing at old age
home. International Journal of Recent
Scientific Research. 2016. 7:11608-
116011.
Dow
nlo
aded fro
m h
ttps://jo
urn
als
.lww
.com
/jnr-tw
na b
y B
hD
Mf5
eP
HK
av1zE
oum
1tQ
fN4a+
kJLhE
ZgbsIH
o4
XM
i0hC
yw
CX
1A
WnY
Qp/IlQ
rHD
3c9C
HB
lrWfC
qahyZ
Uy/c
xX
A4cd
KhO
qT
/PV
govE
uy7w
njO
IdaN
k1V
WoQ
==
on 0
5/1
1/2
020
O R I G I N A L A R T I C L E The Journal of Nursing Research h VOL. 21, NO. 1, MARCH 2013
Effects of Hatha Yoga on Stress in Middle-Aged Women
Fu-Jung Huang1 & Ding-Kuo Chien2 & Ue-Lin Chung3*
1MSN, RN, Head Nurse, Department of Nursing, Mackay Memorial Hospital, and Adjunct Lecturer, Department of
Nursing, Mackay Medicine, Nursing and Management College & 2MS, MD, Attending Physician, Department of Emergency Medicine, Mackay Memorial Hospital, and Adjunct Lecturer, Department of Nursing, Mackay
Medicine, Nursing and Management College & 3EdD, RN, Professor, Chinese Medicine With Western Nursing, National Taipei University of Nursing and Health Sciences.
ABSTRACT Background: Stress is considered a crucial trigger for physical
and mental illness. Stress reduction is a known long-term benefit
of regular Hatha yoga practice. The efficacy of a single-session
Hatha yoga class on stress reduction is not currently known.
Purpose: This study investigated the comparative effective-
ness of a single 90-minute Hatha yoga class and an 8-week,
90-minute-class-per-week course.
Methods: We used a quasiexperimental design and recruited
63 female community residents in New Taipei City aged
40Y60 years. Participants were randomly divided into an exper-
imental group (n = 30) and a control group (n = 33). The exper-
imental group received the 8-week Hatha yoga course. The
control group received no intervention. The Perceived Stress
Scale (PSS) and heart rate variability (HRV) assessed stress
reduction effectiveness. Chi-square, independent t test, paired
t test, and generalized estimating equations were used for
data analysis.
Results: After a single 90-minute class of Hatha yoga, exper-
imental group PSS scores were significantly less than those of
the control group (p = .001). Although experimental group HRV
(low-frequency norm and high-frequency norm) had improved,
these changes were not statistically significant (p = .059). PSS
scores for the single 90-minute class and 8-week course did not
significantly differ (p = .157) and HRV of statistics is significant
(p = .005). Generalized estimating equations analyzed changes
in the effectiveness over time of stress reduction (HRV and
PSS) after the Hatha yoga intervention. Results showed the
postintervention HRV and PSS of the experimental group de-
creased significantly (p G .001) more than the control group.
Conclusions/Implications for Practice: Our findings support
the position that regular, long-term practice of Hatha yoga
provides clear and significant health benefits. Participation in a
single 90-minute Hatha yoga class can significantly reduce per-
ceived stress. Doing Hatha yoga regularly can reduce perceived
stress even more significantly.
KEY WORDS: Hatha yoga, middle-aged women, perceived stress, heart rate variability.
Introduction Maintaining and improving personal health is a key public
issue. The American Psychological Association refers to the
fact that more than 40% of adults have experienced stress-
related health problems (Flight Safety Foundation, 2006).
Long-term stress can lead to physiological fatigue and emo-
tional exhaustion (Huang, 2010), with middle-aged women
at particular risk (Chang, 2010). Women aged 40Y60 years
have had several decades of life experience and experience
visible signs of aging in terms of physical appearance and
health (Chang, 2010). They often need to handle the stresses
of family responsibilities and personal careers concurrently.
Stress can cause mental and physical disorders if not man-
aged properly (Wu & Lin, 2008).
Stress typically produces a negative psychological impact
when an individual is challenged or threatened. The indi-
vidual can regain balance by using appropriate stress man-
agement techniques. Stress stimulates the hypothalamus of
the central nervous system to activate endocrine and sympa-
thetic nervous systems, which trigger a series of physiological
reactions. Increased and stronger heart rates increase car-
diac output, increased blood pressure supplies the body with
blood more efficiently, increased blood sugar released by the
liver nourishes muscles, and a suppressed immune system
increases the possibility of infection (Greenberg, 1983/2000;
Ross & Thomas, 2010). Stress has been widely discussed in
the literature, with results illustrating that extreme stress
takes emotional and physical tolls on the individual (Chen,
Kao, & Chen, 2009; Ho et al., 2010; Lucini, Di Fede, Parati,
& Pagani, 2005).
Psychological stress is associated with the autonomic ner-
vous system (Cheema, Marshall, Chang, Colagiuri, & Machliss
,
Accepted for publication: November 12, 2012
*Address correspondence to: Ue-Lin Chung, No.365, Ming-te
Road, Peitou District, Taipei City 11219, Taiwan, ROC.
Tel: +886 (2) 2822-7101 ext. 3119;
E-mail: [email protected]
doi:10.1097/jnr.0b013e3182829d6d
59 Copyright © 2013 Taiwan Nurses Association. Unauthorized reproduction of this article is prohibited.
The Journal of Nursing Research
2011). Heart rate variability (HRV) is a common physio-
logical indicator used to assess the autonomic nervous sys-
tem (Furutani, Tanaka, & Agari, 2011; Takada, Ebara, &
Kamijima, 2010). A physiological phenomenon in which
the time interval between heartbeats varies, HRV, is measured
by the variation in the beat-to-beat interval. Methods used to
detect beats include ECG and the pulse wave signal derived
from a photoplethysmograph (PPG). The PPG measures pulse
waves; its signal reflects changes in blood flow detected by
infrared light passing through microcirculatory blood vessels.
An optical sensor detects the amount of light passed through
(or reflected from) the blood flow. This waveform can also be
processed to derive beat-by-beat interbeat intervals. Research
has shown no statistically significant differences and a sig-
nificantly high correlation between interbeat interval data
measured by both ECG and PPG in short-term steady-state
recordings (Bolanos, Nazeran, & Haltiwanger, 2006; Gil
et al., 2010). HRV continuous variation is mainly affected
by the autonomic nervous system, HRVanalysis can be grouped
under time domain and frequency domain. Advantages of
frequency domain spectral analysis are that it is sensitive,
accurate, and quantitative, enabling analysis of short-term
steady states and measurement of physiological changes of
individual sympathetic and parasympathetic nervous sys-
tems (Chen, Tsai, Lo, Tsai, & Jeng, 2005).
Many studies have confirmed that practicing yoga en-
ables individuals to cope with and release stress (Chattha,
Raghuram, Venkatram, & Hongasandra, 2008; Satyapriya,
Nagendra, Nagarathna, & Padmalatha, 2009; West, Otte,
Geher, Johnson, & Mohr, 2004). The usual Western methods
define yoga as a complementary or alternative treatment,
and it is regarded as a beneficial activity enabling individ-
uals to improve their state of health and maintain mental
and physical well-being (Shapiro et al., 2007).
Wu and Lin (2008) analyzed nine studies to study the
effectiveness of regular yoga practice for stress reduction.
They found that, although various forms of yoga were used,
most included Hatha yoga. Hatha yoga uses asana practices
to control the autonomous nervous system and muscle func-
tion and keep the body clean, flexible, and well lubricated. It
also focuses on pranayama and meditation trainings, which
relieve chronic stress patterns (Lee & Yang, 2011; Satyapriya
et al., 2009; Tu, Hsu, & Huang, 2011). Ross and Thomas
(2010) analyzed 12 studies and compared the health bene-
fits of yoga practice with other exercises. They found that
yogic practice had profound benefits on physical and men-
tal stress reduction. Yoga acts as both a curative and pre-
ventive therapy, helping individuals to manage and prevent
stress effectively. Furthermore, it also improves overall phys-
ical wellness, helps the practitioner to attain mental and
emotional peace, and promotes quality of life (Michalsen
et al., 2005; Tu et al., 2011).
Wu and Lin (2008) synthesized the literature and recog-
nized that most recent studies have focused on the 12-week,
long-term practice of yoga and supported its benefits on re-
ducing stress. However, such a regimen is not easy to maintain
Fu-Jung Huang et al.
in the midst of a busy modern lifestyle. The efficacy of a single
class of Hatha yoga in reducing stress is unknown, and pre-
vious research on the effectiveness of such has yielded in-
conclusive results (Wei & Tai, 2008; West et al., 2004). This
study thus investigated whether there are significant differ-
ences in stress reduction between a single class and regular
long-term yogic practice. We hoped to provide stress reduction
advice for those unable to practice yoga on a regular basis.
Methods
Study Design and Participants This research used a quasiexperimental design. It was ap-
proved by the Mackey Memorial Hospital Institutional Review
Board in Taiwan (No. 11MMHIS111). Healthy female resi-
dents aged 40Y60 years of a community in New Taipei City
were recruited. Exclusion criteria included cardiovascular
disease, smoking, and currently taking medications. A con-
venience sample of participants was randomly divided into
either the experimental or control group. The experimental
group received an 8-week course (one 90-minute class per
week) of Hatha yoga, whereas the control group received no
intervention.
The freely available software for power calculations,
G*Power 3, estimated the sample size needed for the esti-
mated effect size using a pre/post by group interaction. We
planned an effect size of 0.3, a significance level of .05, and
a test power of 0.80 (Cheema et al., 2011). The calculated
sample size was 56 subjects in total. Considering the pos-
sibility of dropouts, we recruited 63 participants, with 30 in
the experimental group and 33 in the control group. All re-
ceived prestudy baseline Perceived Stress Scale (PSS) and HRV
measurements. In the experimental group, the first postin-
tervention measurement was taken after the first 90-minute
Hatha yoga class, and the second postintervention measure-
ment was done after the full 8-week course. Participants in
the experimental group were excluded from the second mea-
surement if they missed two or more classes.
Intervention Design of the Hatha yoga class was based on reports in the
literature (Chattha et al., 2008; Lee & Yang, 2011; Satyapriya
et al., 2009) and professional yoga books (Farhi, 2000/2011).
Classes were led by certified yoga teachers, with class con-
tents as follows: First, hold one‟s breath and adjust inhalation
and exhalation for about 15Y20 minutes. Next, switch from
diaphragmatic breathing to abdominal breathing and chant
„„om.‟‟ Gradually extend inhalation and exhalation times to
facilitate mental and physical peace and then progress to the
next stage. Total asana practice time was around 50Y60
minutes. It started from a sun salutation pose to warm-up,
followed by different asanas, including the cobra pose, down-
ward facing dog, warrior pose, triangle pose, boat pose, cow
face pose, hero pose 1, hero pose 2, twisted triangle pose,
60 Copyright © 2013 Taiwan Nurses Association. Unauthorized reproduction of this article is prohibited.
Effects of Hatha Yoga on Stress
spinal twist pose, seated angle pose, child‟s pose, fish pose,
wheel pose, locust pose, camel pose, shoulder stand, plow
pose, and ending with the corpse pose. Students used 15Y20
minutes for meditation training and adjusting breathing.
Finally, the entire training came to a conclusion by chanting
„„om‟‟ three times to slow breathing rates down, followed by
steady heartbeat and the moderating role to achieve mind
serenity. Classes were held once a week with 90 minutes per
class. The total intervention lasted 8 weeks.
Data Collection Outcome measures included PSS and HRV. The PSS is the
most widely used psychological instrument for measuring
stress perception in clinical trials and studies (Mimura &
Griffiths, 2008). Cohen, Kamarck, and Mermelstein (1983)
developed a widely used psychological instrument for mea-
suring stress perception. It has been translated into Chinese
by Chu and Kao (2005) and validated with good reliability
(Cronbach‟s alpha = .84Y.86) and validity (correlation with
symptomatology = .52Y.76). The study questionnaire con-
sisted of 14 questions about stress experienced during the
previous month and associated coping strategies. It used a
5-point scoring system, from 0 to 4, with the seven positive
items reverse scored. The final score was the sum of all
14-item scores, with a higher score indicating higher per-
ceived respondent stress. The HRV instrument used in this
research was the SA-3000P Heart Rate Variability Analyzer
(Medicore Co., Ltd., Seoul, South Korea). Participants were
requested to abstain from caffeinated food and beverages on
the day of their assessments. After 5Y10 minutes of rest with
a regular and calm breathing pattern, participants were seated
and a continuous 5-minute ECG recording was collected using
a PPG device affixed to the subject‟s index finger. During the
monitoring period, participants kept the height of the PPG and
index fingers at the same level as the heart. HRV analysis was
derived from continuous pulse rate recordings at a sampling
rate of 1,024 Hz. Interbeat intervals were computed, and the
HRV power spectrum was obtained via a fast Fourier trans-
formation algorithm using an appropriate software program.
The energy in the specific frequency bands of HRV were ex-
pressed as normalized units for low-frequency (LF; range,
0.05Y0.15 Hz) and high-frequency (HF) bands (range, 0.15Y
0.4 Hz), as recommended by the Task Force for Pacing and
Electrophysiology. HF norm, LF norm, and LF/HF ratio were
derived using spectral analysis of successive interbeat inter-
vals. This analysis technique separates the heart rate spectrum
into its frequency components and provides quantitative esti-
mates of sympathetic and vagal (parasympathetic) neural influ-
ences on the heart. (Cheema et al., 2011; Hynynen, Konttinen,
Kinnunen, Kyrolainen, & Rusko, 2011; Satyapriya et al., 2009).
Data Analysis SPSS 17.0 for Windows (SPSS, Inc., Chicago, IL, USA) was
used for data analysis. Chi-square and Student‟s t tests were
VOL. 21, NO. 1, MARCH 2013
used to analyze demographic and baseline comparisons between
the experimental and control groups. In the experimental
group, paired t tests and generalized estimating equations
examined the interaction effect of the Hatha yoga interven-
tion over time (after the first 90-minute class and after the
8-week course) to analyze differences in PSS and HRV (LF
norm, HF norm, and LF/HF ratio) at the two times.
Results All 63 respondents completed pretest and Posttest 1 (after a
90-minute class) evaluations. However, five experimental
group participants were excluded from Posttest 2 due to
prior absence from two classes. One control group partici-
pant missed Posttest 2 due to illness. In total, 57 participants
completed all assessments, including 25 in the experimental
group and 32 in the control group.
Participant Demographic and Baseline
Comparisons Table 1 displays the demographic and baseline comparisons.
There were 63 female participants in total, randomly as-
signed to the experimental group (n = 30) and control group
(n = 33). Average age was 46 years in the experimental group
and 45.6 years in the control group. There were no signif-
icant differences between the two groups with regard to
age, marital status, education, income, perceived health, or
baseline PSS and HRV values.
Efficacy of the 90-Minute Hatha Yoga Class Table 2 shows the effectiveness of one 90-minute yoga
class. After a single class, participant PSS scores and LF/HF
ratio were significantly below those of their control group
peers (p = .001). Although experimental group biophysical
indicators and HRV (LF norm and HF norm) had also
changed, these changes were not at statistically significant
levels (p = .059).
Comparison of Stress Reduction Efficacy:
One Class and the Full 8-Week Course Table 3 shows the effectiveness of both the first yoga class
and the 8-week yoga course in the experimental group. There
were no significant differences between the two assessment
points with regards to PSS using paired samples t tests. How-
ever, the 8-week course decreased LF norm values (p = .005),
increased HF norm values (p = .005), and decreased the LF/HF
ratio (p = .027) significantly more than the single 90-minute
class We further analyzed the effects ([posttest Y pretest] /
pretest 100). LF norm decreased 16.32% after the first
90-minute class of yoga and 23.78% after the 8-week course.
HF norm increased 24.68% and 35.48% after the 90-minute
class and 8-week course, respectively, and PSS decreased
61
Copyright © 2013 Taiwan Nurses Association. Unauthorized reproduction of this article is prohibited.
Variable
Experimental (n = 30) Control (n = 33)
#2 t p M SD n % M SD n %
Age (years) 46.0 4.3 45.6 4.8 0.33 .74
Marital status .002 .96
Married 18 60.0 20 60.6
Single 12 40.0 13 39.4
Education .422 .52 Junior college or less 13 43.3 17 51.5 University or above 17 56.7 16 48.5
Income/month .458 .79
None 5 16.7 5 15.2 30,000 or under 6 20.0 9 27.3
30,000 above 19 63.3 19 57.5
PSS 22.6 7.0 24.2 8.8 j0. 7 7 .44
HRV LF Norm 60.2 20.0 52.2 18.2 1.67 .10
HF Norm 39.8 20.0 47.8 18.2 j1.6 7 .10 LF/HF 2.3 1.8 1.7 1.8 1.23 .22
The Journal of Nursing Research Fu-Jung Huang et al.
TABLE 1.
Participant Demographics and Baseline Comparisons (N = 63) Note. PSS = Perceived Stress Scale; HRV = heart rate variability; LF = low frequency; HF = high frequency.
8.85% and 16.96% after the 90-minute class and 8-week
course, respectively.
The Effectiveness of Post-Hatha Yoga
Intervention Stress Reduction by Time Table 4 shows the generalized estimating equations analysis
of stress reduction (HRV and PSS) after yoga intervention at
the two time points. The process time compared pretest and
Posttest 1 (after a 90-minute class of Hatha yoga) and pretest
and Posttest 2 (after an 8-week course of Hatha yoga). In ad-
dition, we used a first-order autoregressive working corre-
lation matrix to verify the effectiveness of HRV and PSS on
the interaction of yogic intervention by time. After the first
90-minute class, the experimental group showed a decrease
in LF norm and an increase in HF norm in comparison to
pretest values, although the differences were not statistically
significant (p = .107). However, the LF/HF ratio and PSS
TABLE 2.
Comparisons of the Two Groups in PSS and HRV Af ter a 90-Minute Class (N = 63)
Pretest Posttest 1 (90min) PretestYPosttest 1
Variable M SD M SD M PSS
Experimental 22.6 7.0 20.6 7.0 j2 . 0
Control 24.2 8.8 24.4 8.9 0.2
LF Norm Experimental 60.2 20.0 50.4 14.7 j9 . 8
Control 52.2 18.2 49.2 21.1 j1 . 6
HF Norm
Experimental 39.8 20.0 49.6 14.7 9.8
Control 47.8 18.2 50.8 21.1 1.6
LF/HF ratio
Experimental 2.3 1.8 1.2 0.7 j1 . 0 Control 1.7 1.8 1.5 1.7 j0 . 1
SD t p
j3. 6 4 .001
2.8
2.0
j1. 9 3 .059
19.0
14.6
1.93 .059 19.0
15.6
j2. 5 4 .017
1.8
1.3 Note. PSS = Perceived Stress Scale; HRV = heart rate variability; LF = low frequency; HF = high frequency.
62 Copyright © 2013 Taiwan Nurses Association. Unauthorized reproduction of this article is prohibited.
Effects of Hatha Yoga on Stress
TABLE 3.
Comparison of Stress Reduction (PSS and HRV) Af ter a 90-Minute Class and the 8-Week Course in the Experimental Group
Variable
90 Minutes (n = 30)
8 Weeks (n = 25)
t p M SD M SD
PSS 20.5 7.5 19.0 7.2 1.46 .157
LF Norm 51.4 13.7 45.6 14.2 3.11 .005
HF Norm 48.6 13.7 54.4 14.2 j3. 11 .005
LF/HF ratio 1.2 0.7 1.0 0.6 2.36 .027
Note. PSS = Perceived Stress Scale; HRV = heart rate variability; LF = low frequency; HF = high frequency.
scores of the experimental group had significantly decreased
compared to the control group (p = .021, p G .001, respec-
tively). After practicing an 8-week course of Hatha yoga,
the experimental group showed a significant decrease in LF
norm (B = j15.43, p G .001), an increase in HF norm (B =
15.43, p G .001), a decrease in LF/HF ratio (B = j1 .15, p =
.004), and a decrease in PSS score (B = j4 .05, p G .001)
compared with the pretest values.
Discussion Study results showed that LF/HF ratio and PSS significantly
decreased in participants after a single 90-minute class of
Hatha yoga. This suggests a single yoga intervention can be
effective for stress, a finding similar to previous studies such
as that of Satyapriya et al. (2009), which reported the effec-
tiveness of a 60-minute comprehensive yoga relaxation therapy
on women who were 18Y20 weeks pregnant, and West et al.
(2004), who reported a reduction in perceived stress among
69 healthy university students participating in a 90-minute
Hatha yoga class. However, our results differ from those
VOL. 21, NO. 1, MARCH 2013
of Wei and Tai (2008), who studied the effectiveness of a
50-minute yoga session on the HRV of sleep-deprived col-
lege students, and Telles, Singh, and Balkrishna (2011), who
studied the effectiveness of practicing 35-minute HF yoga
breathing (kapalabhati; breath rate, 1.0 Hz). We hypothesize
that a single yoga class can significantly decrease perceived
stress and physical stress (LF/HF ratio), but that HRV is
extremely sensitive and easily affected by many factors (Li,
Tzeng, & Wei, 2009; Lin & Lee, 2008).
Comparing data from the single 90-minute class and 8-week
course, we found significant differences in physiological in-
dicators (LF norm, HF norm, and LF/HF ratio) in the exper-
imental group. A decrease in PSS values was observed but
was not statistically significant. An analysis of the effects
showed that the LF norm decreased from 16.32% to 23.78%,
the HF norm increased from 24.68% to 35.48%, and PSS
decreased from 8.85% to 16.96%. Satyapriya et al. (2009)
reported the effectiveness of a 60-minute comprehensive
yoga relaxation therapy in women who were 18Y20 weeks
pregnant and found that HF norm significantly increased
by 64% in the 20th week and by 150% in the 36th week but
that LF norm and the LF/HF ratio significantly decreased.
Furthermore, psychological stress decreased 31.75% in the
36th week. Their results were similar to our findings.
Generalized estimating equations modified the interde-
pendence of repeated measurements. Compared with exper-
imental group baseline values, there were significant decreases
of LF/HF ratio and PSS after the single class and significant
reductions in stress (PSS and all physiological indicators) after
the 8-week course. This suggests that Hatha yoga has an
immediate stress reduction effect as well as providing ad-
ditional cumulative benefits over time.
Chang (2010) reported that middle-aged women who en-
gaged in regular yogic practice had lower degrees of fatigue
and stress. Similarly, Wu and Lin (2008) reported the benefits
of regular yoga participation on reducing physical and men-
tal stress. Their findings are consistent with the results of our
study. In addition, many surveys have confirmed that regularly
practicing yoga can release stress tension and improve mood
TABLE 4.
GEE Model Analysis of Stress Reduction (HRV and PSS) Af ter a 90-Minute Class and the 8-Week Course
LF Norm
Item B 95% CI
HF Norm
p B 95% CI p B
LF/HF PSS
95% CI p B 95% CI p Intercept 25.00 [ 7.7, 42.3] .005 8.39 [ j7.1 , 23.9] .288 0.99 [ j0.1, 2.1] .073 6.37 [ 2.1, 10.7] .004
Group 2.09 [ j1 .5 , 5.7] .253 j2. 0 9 [ j5.7 , 1.5] .253 0.18 [ j1.2, 0.6] .397 j0 .2 7 [ j0.8, 0.2] .274
Time
90-Minute
8-Week
j6. 8 1 [ j15.1, j1.5 ] .107 6.81
j15.43 [ j23.5, j7.3 ] G.001 15.43
[ j1.5 , 15.1] .107 j0. 88 [ j1.6, j0. 1 ] .021 j2. 27 [ j3.5 , j1 . 1 ] G.001 [ 7.3, 23.5] G.001 j1.1 5 [ j1.9 , j0. 4 ] .004 j4. 05 [ j6.2 , j2 . 0 ] G.001
Note. Group (control group = reference); Time (baseline = reference); controlled variables included age, marital status, education, and income. GEE = generalized estimating equations; HRV = heart rate variability; PSS = Perceived Stress Scale; LF = low frequency; HF = High frequency; CI = confidence interval.
63
Copyright © 2013 Taiwan Nurses Association. Unauthorized reproduction of this article is prohibited.
¨ ¨
The Journal of Nursing Research
(Chang, 2010; Brisbon & Lowery, 2011; Hartfiel, Havenhand,
Khalsa, Clarke, & Krayer, 2011).
Limitations The main limitation of this study was its relatively small sam-
ple size, short duration, and inclusion of women only. Therefore,
findings cannot be extrapolated to the general population.
Further research should involve a larger sample size that
includes men, longer research duration, and additional bio-
logical indicators (e.g., salivary cortisol and alpha-amylase)
to improve measurement accuracy and the generalizability of
the findings. Also, we used a PPG to collect HRV data in this
study. Although research has shown no statistically signifi-
cant differences and a significantly high correlation between
interbeat interval data measured by both ECG and PPG in
short-term steady-state recordings, the potential for instru-
ment measurement error remains. Finally, PSS typically mea-
sures stress during the previous month. However, this study
had only 1 week separating pretest and first posttest, represent-
ing a potential study limitation.
Conclusions Modern medicine focuses on preventive measures. Primary
prevention focuses on reducing health risks, preventing dis-
ease, and encouraging regular exercise. Regular exercise is
not always convenient due to busy lifestyles. The results of
our study suggest that a single 90-minute class of Hatha yoga
significantly reduced perceived stress and physical stress.
Furthermore, our results showed that long-term yoga par-
ticipation is better than a single yoga class in achieving effec-
tive stress reduction. Therefore, we suggest that communities,
firms, and government agencies offer yoga-related courses as
a way to reduce general stress and improve general health
among their employees and the general public. Results sug-
gest that practicing yoga regularly over the long term will
benefit individual practitioners as well.
References Bolanos, M., Nazeran, H., & Haltiwanger, E. (2006). Comparison
of heart rate variability signal features derived from elec-trocardiography and photoplethysmography in healthy individuals. Engineering in Medicine and Biology Society, 28th Annual International Conference of the IEEE, 1, 4289Y4294. doi:10.1109/IEMBS.2006.260607
Brisbon, N. M., & Lowery, G. A. (2011). Mindfulness and levels of stress: A comparison of beginner and advanced Hatha yoga practitioners. Journal of Religion and Health, 50(4), 931Y941. doi:10.1007/s10943-009-9305-3
Chang, S. L. (2010). The effects of yoga on anxiety, depression and quality of life for middle aged women. Journal of Physical Education Fu Jen Catholic University, 9, 51Y65. (Original work published in Chinese)
Chattha, R., Raghuram, N., Venkatram, P., & Hongasandra, N. R.
Fu-Jung Huang et al.
(2008). Treating the climacteric symptoms in Indian women with an integrated approach to yoga therapy: A randomized control study. Menopause, 15(5), 862Y870. doi:10.1097/ gme.0b013e318167 b902
Cheema, B. S., Marshall, P. W., Chang, D., Colagiuri, B., & Machliss, B. (2011). Effect of an office worksite-based yoga program on heart rate variability: A randomized controlled trial. BMC Public Health, 11, 578. doi:10.1186/1471-2458-11-578
Chen, S. M., Kao, H. T., & Chen, C. H. (2009). The study on work stress, leisure coping and healthVA case with female teachers of senior high school in Taipei City. Journal of Tourism and Health Science, 8(1), 37Y56. (Original work published in Chinese)
Chen, S. R., Tsai, Y. H., Lo, E. C., Tsai, Y. S., & Jeng, C. (2005). Heart rate variability and its application in nursing. New Taipei JournalofNursing,7(1), 1Y12. (Original work published in Chinese)
Chu, L. C., & Kao, H. S. R. (2005). The moderation of meditation experience and emotional intelligence on the relationship between perceived stress and negative mental health. Chinese Journal of Psychology, 47(2), 157Y179. (Original work pub-lished in Chinese)
Cohen, S., Kamarck, T., & Mermelstein, R. (1983). A global mea-sure of perceived stress. Journal of Health and Social
Behavior, 24(4), 385Y396. doi:10.2307/2136404
Farhi, D. (2011). Yoga mind, body & spirit: A return to whole-ness (L. N. Yu, Trans.). Taipei City, Taiwan, ROC: PsyGarden. (Original work published 2000)
Flight Safety Foundation. (2006). Accumulated stress presents range of health risks. Retrieved from http://flightsafety.org/ hf/hf_jan-feb06.pdf
Furutani, M., Tanaka, H., & Agari, I. (2011). Anxiety and heart rate variability before sleep indicate chronic stress in students. Perceptual and Motor Skills, 112(1), 138Y150. doi:10.2466/ 09.13.PMS.112.1.138-150
Gil, E., Orini, M., Bailon, R., Vergara, J. M., Mainardi, L., & Laguna, P. (2010). Photoplethysmography pulse rate variabil-ity as a surrogate measurement of heart rate variability during non-stationary conditions. Physiological Measurement, 31(9), 1271Y1290. doi:10.1088/0967-3334/31/9/015
Greenberg, J. S. (2000). Comprehensive stress management (2nd ed.; J. D. Pan, Trans.). Taipei City, Taiwan, ROC: Psychological. (Original work published in 1983)
Hartfiel, N., Havenhand, J., Khalsa, S. B., Clarke, G., & Krayer, A. (2011). The effectiveness of yoga for the improvement of well-being and resilience to stress in the workplace. Scandi-navian Journal of Work, Environment & Health, 37(1), 70Y76. doi:10.5271/sjweh.2916
Ho, H. C., Chang, S. H., Tsao, J. Y., Chang, M. F., Chen, Y. H., & Yang, T. (2010). The relationship between job stress and physicalYmental health among hospital staff. Chinese Journal of Occupational Medicine, 17(4), 239Y252. (Original work published in Chinese)
Huang, B. Y. (2010). The mediatory effect of social support in the stress-response process. Formosa Journal of Mental
Health, 23(3), 401Y436. (Original work published in Chinese)
Hynynen, E., Konttinen, N., Kinnunen, U., Kyrolainen, H., & Rusko, H. (2011). The incidence of stress symptoms and heart rate variability during sleep and orthostatic test. European Journal of Applied Physiology and Occupational Physiology, 111(5), 733Y741. doi:10.1007/s00421-010-1698-x
64 Copyright © 2013 Taiwan Nurses Association. Unauthorized reproduction of this article is prohibited.
Effects of Hatha Yoga on Stress Lee, T. I., & Yang, J. J. (2011). Hatha yoga. Sports Research
Review, 113, 1Y6. (Original work published in Chinese)
Li, Y. M., Tzeng, C. B., & Wei, Z. T. (2009). Effect of exercise with different intensity on oxygen saturation and autonomic ner-vous systems at rest and exercise. Journal of Sports Health and Leisure, 11, 34Y41. (Original work published in Chinese)
Lin, J. C., & Lee, A. Y. (2008). The effect of regular exercise training on heart rate variability. Chinese Journal of Occupational
Medicine, 22(4), 13Y22. (Original work published in Chinese)
Lucini, D., Di Fede, G. D., Parati, G., & Pagani, M. (2005). Impact of chronic psychosocial stress on autonomic cardiovascular regulation in otherwise healthy subjects. Hypertension, 46 (5), 1201Y1206. doi:10.1161/01.HYP.0000185147.32385.4b
Michalsen, A., Grossman, P., Acil, A., Langhorst, J., Ludtke, R., Esch, T., I Dobos, G. J. (2005). Rapid stress reduction and anxiolysis among distressed women as a consequence of a three-month intensive yoga program. Medical Science Monitor, 11(12), 555Y561.
Mimura, C., & Griffiths, P. (2008). A Japanese version of the Perceived Stress Scale: Cross-cultural translation and equiva-lence assessment. BMC Psychiatry, 8, 85. doi:1471-244X -8-85
Ross, A., & Thomas, S. (2010). The health benefits of yoga and exercise: A review of comparison studies. Journal of Alternative and Complementary Medicine, 16(1), 3Y12. doi:10.1089/acm.2009.0044
Satyapriya, M., Nagendra, H. R., Nagarathna, R., & Padmalatha, V. (2009). Effect of integrated yoga on stress and heart rate variability in pregnant women. International Journal of Gynecology & Obstetrics, 104(3), 218Y222. doi:10.1016/ j.ijgo.2008.11.013
VOL. 21, NO. 1, MARCH 2013 Shapiro, D., Cook, I. A., Davydov, D. M., Ottaviani, C., Leuchter,
A. F., & Abrams, M. (2007). Yoga as a complementary treat-ment of depression: Effects of traits and moods on treatment outcome. Evidence-Based Complementary and Alternative Medicine, 4(4), 493Y502. doi:10.1093/ecam/nel114
Takada, M., Ebara, T., & Kamijima, M. (2010). Heart rate variability assessment in Japanese workers recovered from depressive disorders resulting from job stress: Measure-ments in the workplace. International Archives of Occupa-tional and Environmental Health, 83(5), 521Y529. doi:10.1007/ s00420-009-0499-1
Telles, S., Singh, N., & Balkrishna, A. (2011). Heart rate variability changes during high frequency yoga breathing and breath awareness. BioPsychoSocial Medicine, 5, 4. doi:10.1186/ 1751-0759-5-4
Tu, C. C., Hsu, K. L., & Huang, Y. L. (2011). Yoga effect of exer-cise on body, mind and body. Journal of National Cheng Kung University Physical Education Research, 43(2), 67Y74. (Original work published in Chinese)
Wei, C. Y., & Tai, H. C. (2008). The effects of three physical trainings on heart rate variability of the college students after sleep deprivation. Show Chwan Medical Journal, 8(3,4), 77Y83. (Original work published in Chinese)
West, J., Otte, C., Geher, K., Johnson, J., & Mohr, D. C. (2004). Effects of Hatha yoga and African dance on perceived stress, affect, and salivary cortisol. Annals of Behavioral Medicine, 28(2), 114Y118. doi:10.1207/s15324796abm2802_6
Wu, Z. I., & Lin, L. L. (2008). The benefits of yoga exercise on the body and mind reduce stress. Quarterly of Chinese Physical Education, 22(1), 47Y54. (Original work published in Chinese)
65 Copyright © 2013 Taiwan Nurses Association. Unauthorized reproduction of this article is prohibited.
Reproductive BioMedicine Online (2015) 30, 542–548
www. s c ien c ed i r e c t . c om www. rbmon l in e . c om
ARTICLE
A prospective study using Hatha Yoga for
stress reduction among women waiting for
IVF treatment
Galia Oron *, Erica Allnutt, Tasha Lackman, Tamar Sokal-Arnon, Hananel Holzer, Janet Takefman ** Department of Obstetrics and Gynecology, McGill University, Montreal, Quebec H3A 1A1, Canada
* Corresponding author. E-mail address: [email protected] (G Oron).
** Corresponding author. E-mail address: [email protected] (J Takefman).
Dr Oron completed her residency in 2010 and is a senior physician in obstetrics and gynaecology at the Hospital
for Women, Rabin Medical Center, Israel. She is currently completing a 2-year fellowship in Reproductive En-
docrinology and Infertility at the McGill University, Montreal, Canada, and was awarded excellence for the years
2012 and 2013. In the field of reproduction, she has published articles investigating the expression of growth
differentiation factors and their effect on the growth and maturation of early human ovarian follicles.
Abstract Yoga has been found to be effective in treating anxiety and depression, reducing stress and improving the overall quality
of life in the general population. Minimal research is available on the effect of stress-management programmes with IVF patients.
Owing to the diversity of conditions treated, the poor quality of most studies, and the different assessment tools used to evaluate
the psychological state, it is difficult to draw definite conclusions. Previous studies have used different mind–body interventions
and general measures of stress without evaluation of specific stresses known to result from infertility and its treatment using
standard-ized measures. In this single-centre study, 49 infertile women were recruited to participate in a 6-week Yoga class during
2013 while awaiting their IVF treatment. Study participants were asked to complete standardized questionnaires assessing fertility-
related quality of life (FertiQoL), marital harmony (Dyadic Adjustment Scale [DAS]), state and trait anxiety (State-Trait Anxiety
Inventory [STAI]) and depression (Beck Depression Inventory [BDI]) before commencing and after completing the Yoga
workshops. Anxiety, depres-sion and fertility-specific quality of life showed improvement over time in association with
participation in a 6-week Yoga pro-gramme in women awaiting their treatment with IVF.
© 2015 Reproductive Healthcare Ltd. Published by Elsevier Ltd. All rights reserved.
KEYWORDS: infertility, in-vitro fertilization, stress, Yoga
http://dx.doi.org/10.1016/j.rbmo.2015.01.011
1472-6483/© 2015 Reproductive Healthcare Ltd. Published by Elsevier Ltd. All rights reserved.
Yoga as a complementary treatment for patients undergoing IVF treatment 543
Introduction Ample evidence has shown that the diagnosis of infertility and
the process of IVF are stressful (Burns and Covington, 2006;
Galhardo et al., 2013; Menning, 1980; Oddens et al., 1999;
Wischmann et al., 2001). Stress is defined as a physical,
mental, or emotional response to events that cause bodily or
mental tension experienced when transactions with the en-
vironment exceed the individual capacity of coping (Catherino,
2011; Collins et al., 1992). The success of IVF treatment un-
questionably depends on numerous biological variables, in-
cluding the cause of infertility, maternal age, protocol used,
number of oocytes retrieved and fertilized, and embryo
quality. Some evidence, however, suggests that psychologi-
cal stress may be a contributing factor as well. Overall, some
empirical studies have shown an association between stress
and poor IVF treatment outcome (Smeenk et al., 2001),
whereas others have not (Anderheim et al., 2005; Lintsen
et al., 2009). The reason for the mixed results may be par-
tially attributed to the use of different instruments for stress
measurement or the investigation of different outcome
parameters.
Specific studies have shown an improved effect on well-
being and IVF outcome, using various interventions such as
counselling (Facchinetti et al., 2004), support group ses-
sions (Galhardo et al., 2013), mind–body workshops and re-
laxation strategies (Domar et al., 2011).
Furthermore, studies conducted on healthy, fertile women
with mild-to-moderate levels of stress report that Yoga suc-
cessfully reduces anxiety and stress and improves quality of
life during pregnancy (Khasky and Smith, 1999; Malathi and
Damodaran, 1999; Smith et al., 2007).
Therefore, the primary aim of the present study was to
evaluate whether patients who participated in a voluntary,
free of charge, 6-week Hatha Yoga workshop demonstrated
lower levels of stress and depression and improved quality of
life related to their infertility diagnosis just before their IVF
treatments.
Materials and methods Participants
The study was conducted at the McGill University Health Cen-
tre‟s Reproductive Centre, a large public university affili-
ated fertility clinic in Montreal, Quebec, Canada, between
January and June, 2013. In 2010, the cost of fertility treat-
ments became covered by the government health insurance
plan for all Quebec residents, and, as a result, the approxi-
mate waiting time from first physician visit to treatment com-
mencement for IVF increased from 2 months to 8–12 months.
The study was originally initiated to offer patients a con-
structive, alternative intervention while waiting for treat-
ment. It was hoped that by offering patients a 6-week Yoga
workshop during this waiting time, they would remain engaged
in the process and with the clinic while waiting for treat-
ment. It was also hypothesized that patients might derive psy-
chological benefits from their involvement in weekly Yoga
classes and that was the purpose of the study.
All female patients, between the ages of 21 and 42 years,
scheduled to begin their IVF cycle using their own gametes,
before starting treatment, who met the study criteria were
eligible for the study. Marital status and sexual orientation
were not exclusionary criteria; therefore single women and
lesbian couples could also participate. Patients were ex-
cluded from the study if they required fertility treatments
other than IVF, if they required oocyte donation or if they
spoke neither English nor French, the two official languages
of the province.
Posters, pamphlets and flyers were distributed through-
out the centre explaining a study was under way in which a
free-of-charge 6-week Hatha Yoga workshop with a quali-
fied Yoga instructor specialized in Yoga for fertility patients
would be offered to female patients of the clinic. Nurses and
doctors were also asked to inform patients about the pro-
gramme and distribute the pamphlets to eligible patients
during their initial consultation. Because this programme was
being offered to those women interested as an alternative to
simply waiting for treatment to begin, no controlled design
was implemented. The Yoga workshop included a weekly 2-h
session that consisted of 15 min of breathing and centreing,
40 min of discussion on a weekly theme, 55 min of Yoga poses
and 10 min of final guided progressive relaxation. The weekly
discussions focused on different themes such as „what is Yoga
for fertility‟, „sharing our stories‟, „stress, anxiety and de-
pression, triggering the relaxation response and exploring
coping mechanisms‟, „nurturing one‟s self‟, „lifestyle – diet,
sleep and exercise‟ and „recognizing the profound affect that
the journey towards parenthood can have on the different re-
lationships in our lives‟. The 55 min of Yoga postures evolved
through the workshop beginning with an introduction to Yoga
postures and learning Yogic breathing as a tool to release stress
and bring awareness to the body – to practising more ad-
vanced coordinated movements while reciting mantras and
affirmation.
Classes were scheduled in the evenings, offsite at a Yoga
studio, centrally located. Yoga sessions started every 6–8
weeks, and patients were assigned to each session accord-
ing to the time of enrolment and according to their prefer-
ence for English- or French-speaking sessions. The McGill
University Health Centre ethics review board authorized this
study on 3 October 2012 (reference 11–275-PSY). Costs for
the programme were underwritten using an unrestricted edu-
cational grant from EMDSerono, Canada.
Patients who enrolled in the study signed a consent form
and were asked to complete a background information ques-
tionnaire and four additional questionnaires (standardized
measures used to assess emotional functioning) each at two
separate time points: one before and one after completing
the Yoga workshop: (i) The fertility-related quality of life tool
(FertiQoL), which has been shown to be a valid tool to assess
quality of life among women with infertility (Aarts et al., 2011;
Boivin et al., 2011; Hsu et al., 2013); (ii) the Dyadic Adjust-
ment Scale (DAS), a measure of couple adjustment; (iii)
Spielberger State-Trait Anxiety Inventory (STAI) (Spielberger
et al., 1983); and (iv) the Beck Depression Inventory (BDI) (Beck
et al., 1961, 1988). As Montreal is a bilingual city, the ques-
tionnaires were available in English or French according to
patient preference. The study was overseen by the Princi-
pal Investigator of the study, our in-house reproductive health
psychologist who has expertise in this area.
The average waiting period from completing the Yoga work-
shop and beginning IVF treatment was 1–3 months. Women
544 were instructed not to use additional stress-reduction methods
during the study period. No specific evaluation regarding con-
tinued use of Yoga practices during the waiting period and
during treatment was made; however, participants did com-
plete a form once the workshop ended, which included seven
items on a Likert scale enquiring about satisfaction with the
workshop.
G Oron et al. Table 1 Characteristics of the study participants (n = 49).
Maternal (years) 35.8 ± 4.5
Years of infertility 3.7 ± 3
Relationship (years) 7.2 ± 5.5
Living with any children (yes) 4 (8.2%)
Area of living
Urban 34 (70.8%) Suburban 11 (22.9%)
Questionnaires Fertility quality of life
FertiQoL is an internationally validated instrument that mea-
sures quality of life in people experiencing fertility prob-
lems. It is a 36-item tool used to assess core (24 items) and
treatment-related (10 items) quality of life as well as overall
life and physical health assessment (two items). The Core tool
includes 12 personal items that assess the effect of fertility
problems on the emotional and mind-body functioning and 12
interpersonal items assessing the effect of fertility prob-
lems in the relational and social domains. As patients had not
yet had their treatment cycle, the optional treatment module
was not deemed appropriate. Higher scores indicate higher
quality of life.
Dyadic adjustment scale
The DAS is a self-report scale that has 32 items measuring the
degree of partner satisfaction using a six-scale response ranging
from „always agree‟ to „always disagree‟ (Spanier et al., 1979).
It is probably the most widely used scale for evaluating the
quality and adjustment of a couple‟s relationship (Graham
et al., 2006; Graham et al., 2011). After reversing scores for
reverse-scoring items, answers are placed on a six-point Likert
response scale structured to reveal functioning on four factors:
couple consensus (13 items), satisfaction (10 items), cohe-
sion (five items) and emotional expression (four items). High
scores indicate a greater satisfaction and low scores indi-
cate a conflict between the couple. The internal consis-
tency of the scale in the original study was satisfactory
(Cronbach alpha was 0.96).
State-trait anxiety inventory
The STAI is a commonly used measure of trait and state
anxiety. It can be used in clinical settings to diagnose anxiety
and to distinguish it from depressive syndromes. After re-
versing scores for positively worded items, the question-
naire was scored for state (20 items) and trait (20 items)
anxiety ranging from 20–80. The Trait scale was only used at
baseline and State scales were completed at baseline and upon
completion of the workshop. Higher scores indicate more
anxiety.
Beck depression inventory
The BDI is a 13-item self-report measure of depression used
as an assessment tool by healthcare professionals and
researchers in a variety of settings. It is one of the most widely
used instruments for assessing the severity of depression,
in both clinical settings and normal populations. The
questionnaire is composed of items relating to symptoms of
depression, such as hopelessness and irritability; cognitions
such as guilt or feelings of being punished; as well as physical
Rural 3 (6.3%)
Income N = 33
≤ $50,000 5 (15.2%)
> $50,000 to <100,000 14 (42.4%)
≥ $100,000 14 (42.4%)
Values presented as mean ± SD or n (%).
symptoms such as fatigue, weight loss, and lack of interest
in sex. For the 13 items in the BDI, total sum of values (ranging
from 0 to 3) were multiplied to derive a total score. Higher
scores indicate higher depression levels.
Statistical analysis
The FertiQoL Core total and subscale scores were com-
puted, transformed to scaled scores and summary statistics
were calculated (e.g. reliability coefficient, mean and stan-
dard deviation). Scaled scores were computed to achieve a
range of 0–100, allowing comparisons between scales easier
and more comprehensible. For scaling, items with reverse-
scoring were reversed; all items were summed and multi-
plied by 25/k, where k was the number of items in the desired
subscale or total scale. For the sake of brevity, only final analy-
ses are shown here. See www.fertiqol.org for FertiQoL in all
languages and for scoring instructions. The Wilcoxon Signed-
Rank test was used to examine, for each subscale, whether
there was significant change between time 1 (T1) (before the
Yoga workshop) and time 2 (T2) (after the Yoga workshop).
Results A total of 57 women volunteered to participate in the study.
Eight dropped out before completing the entire 6-week Yoga
workshop. Reasons for drop-out included not being comfort-
able in a group setting, not being able to attend regularly and
not wanting to pursue Yoga as a complementary approach.
Forty-nine patients completed the 6-week Yoga workshop, an-
swered all questionnaires, and were therefore included in the
analyses.
Study population
The mean age of women was 35.7 ± 4.5 (range 26–43), with
a mean duration of infertility of 3.7 years (Table 1). A total
of 91.8% of the study population had primary infertility
(45/49). Four per cent of the study sample was unemployed
(2/49), 8.2% were students (4/49) , 2.0% were homemakers
60
Core
Fert
ilQoL S
co
re
70
80
90
50
40
30
Diff
ere
nce:a
fter
and b
efo
re
30
−10
0
10
20
Yoga as a complementary treatment for patients undergoing IVF treatment 545
Table 2 Fertility-related quality of life scores.
Before After P-value
(Signed-Rank test)
Core FertilQoL
Emotional
Mind–body
Relational
Social
55.4 ± 14.3 (43)
52.1 ± 20.2 (48)
55.6 ± 22.0 (48)
74.1 ± 14.7 (44)
58.5 ± 19.7 (47)
64.7 ± 15.3 (32) 0.0027
58.8 ± 18.8 (46) 0.006
62.5 ± 17.5 (41) 0.008
77.1 ± 15.9 (40) NS
60.9 ± 20.7 (43) NS
Values for mean ± SD; NS = not statistically significant. Core FertilQoL = Core fertility-related
quality of life.
Difference
Before After
Time median +/– 95% CI
Figure 1 Plots of paired pre-post Core fertility-related quality of life (FertiQoL) scores. The left plot contains Box-plots for both
pre- and post-Yoga Core FertiQoL scores, with pre-post pairs from the same participant connected by lines. The right plot shows
the distribution of the difference of pre-post Core FertiQoL Scores, together with median +/− 95% CI (red) of the difference.
(1/49) and the rest were skilledprofessionals. A total of 89.8%
of the sample was university-educated (undergraduate degree
[46.9%, 23/49] and Masters or PhD degrees [42.9%, 21/49]).
Analyses comparing time 1 to time 2 for standardized measures Fertility quality of life
Patients had a significantly higher mean Core FertilQoL scores
after participating in the study (T2 = 64.7, SD 15.3) than before
(T1 = 55.4, SD 14.3); P = 0.027. Emotional quality of life
subscale analysis showed improvement over time. (T1 = 52.1
± 20.2 versus T2 58.8 ± 18.8); P = 0.006 as did mind–body
quality-of-life analysis (T1 = 55.6 ± 22.0 versus T2 = 62.5 ±
17.5); P = 0.008 (Table 2).
Plots of paired pre-post Core FertiQoL Scores are pre-
sented in Figure 1.
The state-trait anxiety inventory
The State anxiety questionnaire showed a significant reduc-
tion in mean anxiety score (T1 = 46.7 ± 12.1 versus T2 = 42.8
± 9.6); P = 0.0002.
Beck depression inventory
The BDI also showed significantly reduced levels of mean de-
pression scores at the end of the Yoga workshop (T2 = 5.26
± 3.9) compared with (T1 = 7.77 ± 5.97); P = 0.0004.
Dyadic adjustment scale
Results using the relationship measure showed the Yoga work-
shop did not affect couple adjustment (T1 = 95.5 ± 7.58 versus
T2 = 96.1 ± 7.18) (Table 3).
Satisfaction scale analysis
Overall, the degree of satisfaction with the Yoga workshop
was rated as high on the Satisfaction questionnaire com-
pleted after the Yoga workshop finished. On a scale from 1
to 5 with 1 being unsatisfied and 5 fully satisfied, overall sat-
isfaction rates were high, with a mean average score of 4.6
± 0.6. Patients reported „feeling more relaxed‟ as a result of
the programme, with an average score of 4.3 ± 0.7; and
„feeling more in control of feelings‟, with an average score
of 4.9 ± 0.2. The overall score for „planning to continue to
546 G Oron et al.
Table 3 Beck Depression Inventory, Dyadic Adjustment Scale and State-Trait Anxiety
Inventory scores.
Before After
P-value
(Signed-Rank test)
BDI
DAS
STAI-state
7.77 ± 5.97 (48)
95.5 ± 7.58 (38)
46.7 ± 12.1 (46)
5.26 ± 3.9 (47) 0.0004
96.1 ± 7.18 (41) NS
42.8 ± 9.6 (42) 0.0002
Values are Mean ± SD; NS = not statistically significant. BDI = beck depression inventory;
DAS = dyadic adjustment scale; STAI = state-trait anxiety inventory.
practising Yoga while waiting for treatment after the work-
shop was over‟ was 4.4 ± 0.9.
From a qualitative perspective, patient comments indi-
cated high satisfaction with the programme. The following
represents a sampling of the comments. No negative com-
ments were recorded by participants.
„Actually, thanks to you for the wonderful workshop, it was
an amazing space for laughing, crying, sharing, reflect-
ing and charging new batteries for the ongoing journey.‟
„Thank you very much for the great experience we had in
the group and for introducing Yoga to my life. On my
journey I feel very confined and lost and the Yoga ses-
sions helped bring more control of my feelings, on my stress
and a sense of hope and less loneliness. I learned to listen
to my body and I am trying to apply the breathing tech-
nique in my daily routine.‟
„Thank you for the amazing Yoga classes that did so much
for my mind, body and spirit.‟
„I just wanted to say thank you for the opportunity of par-
ticipating in the YOGA for Fertility workshop. I really
enjoyed the class and I found it really interesting to hear
other women‟s fertility stories and opinions, which were
so like my own. It was eye opening for me, and really gave
me a deeper insight to this process‟.
„I am grateful to have participated in the workshop, it has
helped me realize where I need to work on some of my
issues going forward in my treatment‟.
„I just wanted to tell you that I really enjoyed the Yoga
classes. Somehow, I feel more at peace with whatever will
happen in the future whether I get pregnant or not. Learn-
ing Yoga poses and breathing helps me deal with stress.‟
„I just want to say how much I appreciate the fertility Yoga
workshop. It‟s great to meet other women going through
similar experiences. Even more, it‟s so empowering to feel
that I‟m actually DOING something that might enhance my
chances of success. I am already feeling stronger and better
prepared to cope with the stress of IVF.‟
Discussion Patients undergoing IVF report high levels of depressive
symptoms, anxiety and distress compared with the general
population (Chen et al., 2004; Cousineau and Domar, 2007;
Galhardo et al., 2013; Mousavi et al., 2013). Infertility-related
psychological stress has been divided into „baseline‟ stress
(acute and chronic) associated with the experience of being
infertile, and „procedural‟ stress (acute) associated with the
treatment procedures themselves (Klonoff-Cohen et al.,
2001). Most studies examining infertility-associated stress,
however, do not differentiate among these different types and
expressions of stress, and use different assessment tools to
evaluate psychological state. Furthermore, many studies use
only general measures of stress and do not include measures
that assess stress associated specifically with infertility (Boivin
and Takefman, 1996; Demyttenaere et al., 1992; Yong et al.,
2000).
In general, Hatha Yoga has been found to be effective in
alleviating anxiety and depression, reducing generalized stress
and improving overall quality of life (Kirkwood et al., 2005;
Michalsen et al., 2005; Pilkington et al., 2005; Woodyard,
2011). In the present study, the implementation of Hatha Yoga
as a complementary stress-reducing modality was evalu-
ated among patients awaiting IVF treatment. Both domains
of stress were evaluated (depression and anxiety) using
standardized questionnaires before and after intervention
(STAI, BDI) as well as couple harmony. In addition, fertility-
related quality of life was assessed using the FertilQol ques-
tionnaire, a reliable and validated tool for the infertile
population.
Minimal research has been conducted on the effect of
stress-management programmes with IVF patients (Domar
et al., 2011; Hammerli et al., 2009; Smith et al, 2010). Certain
psychological and complementary interventions have been
shown to be beneficial in stress reduction among infertile pa-
tients awaiting treatment. A randomized-controlled study
evaluating the efficacy of mind–body workshop in IVF pa-
tients (Chan et al., 2005) showed that the mind–body inter-
vention was successful in improving the psychosocial and
spiritual well-being of women undergoing their first IVF;
however, this study was carried out in China on Chinese women
and may not necessary be generalizable to western popula-
tions. Yoga has been proposed as a relaxation method to help
women experiencing the challenges of infertility (Khalsa,
2003).
In our study, Yoga was found to improve the overall quality
of life related to infertility, and, in particular, to reduce the
negative feelings and thoughts associated with infertility. It
was also found to reduce general anxiety and depression over
time.
In a recent study, implementing Hatha Yoga as an adju-
vant therapy for women undergoing IVF, similar findings were
reported (Valoriani et al., 2014). Specifically, anxiety, de-
pression and distress were assessed with the STAI, Edin-
burgh Depression Scale (EDS) and General Health Questionnaire
(GHQ-60), questionnaires, and demonstrated reduced de-
pression and distress in 45 infertile patients participating in
Yoga as a complementary treatment for patients undergoing IVF treatment 547 a Yoga study. Although the above study did not use specific
measures of infertility-related stress as ours does, evidence
seems to be mounting about the benefits of Yoga with this
medical population.
Furthermore, this study shows that that patients in this
study who were in a relationship did not have impaired couple
functioning but rather were harmonious, based on rela-
tively high baseline average scores using a standardized in-
terpersonal measure and FertiQoL subscale. This in in
accordance with some studies showing that infertility may act
as a cohesion factor within the couple (Galhardo et al., 2013;
Schmidt et al., 2005). Therefore, it was not surprising that
the Yoga classes did not improve this domain of functioning
as scores were in the high normal to begin with and classes
did not include spouses. The fact that Yoga was not found in
our study to have an effect on marital adjustment is a vali-
dating finding as it would have been difficult to explain such
an occurrence. Furthermore, the fact that no change over time
was reported for couple functioning, as opposed to other mea-
sures for which improvement overtime was observed, dem-
onstrates that participants did not simply rate all measures
improved because of sweeping positive feeling, but rather paid
attention to specific measures of functioning and responded
accordingly. The interpersonal subscale of FertiQoL also did
not show improvement over time, indicating that FertiQoL is
a valid measure of interpersonal quality of life for infertile
women as it correlated well with the DAS. (The r score
between interpersonal FertiQol and DAS at T1 was 0.67, and
was 0.39 at T2, P < 0.02).
The limitations of the study include the volunteer nature
of the study. Participants who volunteer to an interventional
study such as this might be a self-selected population with
either increased levels of anxiety and stress, increased aware-
ness of the benefits of lifestyle modifications or with a belief
in the Yoga method as an effective tool for intervention. They
may also be a subset of the population who are more com-
fortable with group experiences or with using other comple-
mentary therapeutic approaches. The lack of a control group
to to which participants are randomly assigned, means that
only an association between the intervention and improve-
ment in functioning can be reported but no conclusions can
be drawn with certainty that participation in Yoga leads to
improved functioning. Furthermore, from a socioeconomic per-
spective, our study group might not reflect the general, in-
fertile female population because our participants were mostly
university educated. Therefore, it would be misleading to gen-
eralize these results to all infertile women undergoing IVF
treatment. Given the encouraging findings, however, it can
be recommended that Yoga might benefit certain female pa-
tients, does no harm, and the opportunity to take part in such
a workshop was appreciated by all.
All patients who completed the Yoga programme re-
mained at the clinic and carried out their IVF treatments also
suggesting that the offer of a free Yoga workshop was effec-
tive in keeping participants connected to the clinic and can
be used in the future to make the demands of a long waiting
list more tolerable thereby improving quality of care in patient
services. Similarly, reported satisfaction scores and testimo-
nies were very positive, specifically indicating a commit-
ment to continue practising Yoga after the workshop was over
and to recommend this form of exercise to others in the same
situation. Given infertility and its treatment has been
reported by many patients as contributing to feelings of help-
lessness, the ability to practice Yoga before and during treat-
ment should likely be seen as empowering skill set which gives
control back to patients and fortifies them (Valoriani et al.,
2014).
No negative effects were observed on objective mea-
sures or self-report evaluations. Therefore, Hatha Yoga for
women experiencing infertility can be considered as a comple-
mentary intervention before IVF treatment. It is recom-
mended that further research be undertaken using a
randomized, controlled design to determine whether it is spe-
cifically the yoga exercises that cause improved levels of emo-
tional functioning or whether non-specific, confounding factors
are at play. A larger, future study would also allow for as-
sessment of the role Yoga might play in improving success rates
with IVF by lowering stress levels.
Overall, it is reasonable to conclude that anxiety, depres-
sion and fertility-specific quality of life showed improve-
ment over time in association with participation in a 6-week
Yoga programme in women awaiting treatment with IVF.
References Aarts, J.W., van Empel, I.W., Boivin, J., Nelen, W.L., Kremer, J.A.,
Verhaak, C.M., 2011. Relationship between quality of life and dis-
tress in infertility: a validation study of the Dutch FertiQoL. Hum. Reprod. 26, 1112–1118.
Anderheim, L., Holter, H., Bergh, C., Möller, A., 2005. Does psycho-
logical stress affect the outcome of in vitro fertilization? Hum. Reprod. 20, 2969–2975.
Beck, A.T., Ward, C.H., Mendelson, M., Mock, J., Erbaugh, J., 1961. “Beck Depression Inventory (BDI)” An inventory for measuring de-
pression. Arch. Gen. Psychiatry 4, 561–571. Beck, A.T., Steer, R.A., Garbin, M.G., 1988. Psychometric proper-
ties of the Beck Depression Inventory: twenty-five years of evalu-
ation. Clin. Psychol. Rev. 8, 77–100. Boivin, J., Takefman, J.E., 1996. Impact of the in-vitro fertilization
process on emotional, physical and relational variables. Hum. Reprod. 11, 903–907.
Boivin, J., Takefman, J., Braverman, A., 2011. The fertility quality of life (FertiQoL) tool: development and general psychometric properties. Hum. Reprod. 26, 2084–2091.
Burns, L.H., Covington, S.N., 2006. Psychology of infertility. In: Cov-
ington, S.N., Burns, L.H. (Eds.), Infertility Counseling a Compre-
hensive Handbook. Cambridge University Press, New York, pp. 1–19.
Catherino, W.H., 2011. Stress relief to augment fertility: the pres-
sure mounts. Fertil. Steril. 95, 2462–2463. Chan, C.H., Chan, C.L., Ng, S.M., Ng, E.H., Ho, P.C., 2005. Body-
mind-spirit intervention for IVF women. J. Assist. Reprod. Genet. 22, 419–427.
Chen, T.H., Chang, S.P., Tsai, C.F., Juang, K.D., 2004. Prevalence of depressive and anxiety disorders in an assisted reproductive technique clinic. Hum. Reprod. 19, 2313–2318.
Collins, A., Freeman, E.W., Boxer, A.S., Tureck, R., 1992. Percep-
tions of infertility and treatment stress in females as compared with males entering in vitro fertilization treatment. Fertil. Steril. 57, 350–356.
Cousineau, T.M., Domar, A.D., 2007. Psychological impact of infer-
tility. Best Prac. Res. Clin. Obstet. Gynaecol. 21, 293–308. Demyttenaere, K., Nijs, P., Evers-Kiebooms, G., Koninckx, P.R., 1992.
Coping and the ineffectiveness of coping influence the outcome of in vitro fertilization through stress responses. Psychoneuroendocrinology 17, 655–665.
548 Domar, A.D., Rooney, K.L., Wiegand, B., Orav, E.J., Alper, M.M.,
Berger, B.M., Nikolovski, J., 2011. Impact of a group mind/body intervention on pregnancy rates in IVF patients. Fertil. Steril. 95, 2269–2273.
Facchinetti, F., Tarabusi, M., Volpe, A., 2004. Cognitive-behavioral treatment decreases cardiovascular and neuroendocrine reac-
tion to stress in women waiting for assisted reproduction. Psychoneuroendocrinology 29, 162–173.
Galhardo, A., Cunha, M., Pinto-Gouveia, J., 2013. Mindfulness-
based workshop for infertility: efficacy study. Fertil. Steril. 100, 1059–1067.
Graham, J.M., Liu, Y.J., Jeziorski, J.L., 2006. The dyadic adjust-
ment scale: a reliability generalization meta-analysis. J. Mar-
riage Fam. 68, 701–717. Graham, J.M., Diebels, K.J., Barnow, Z.B., 2011. The reliability of
relationship satisfaction: a reliability generalization meta-
analysis. J. Fam. Psychol. 25, 39–48. Hammerli, K., Znoj, H., Barth, J., 2009. The efficacy of psychologi-
cal interventions for infertile patients: a metaanalysis examin-
ing mental health and pregnancy rate. Hum. Reprod. 15, 279– 295.
Hsu, P.Y., Lin, M.W., Hwang, J.L., Lee, M.S., Wu, M.H., 2013. The fertility quality of life (FertiQoL) questionnaire in Taiwanese in-
fertile couples. Taiwan. J. Obstet. Gynecol. 52, 204–209. Khalsa, H.K., 2003. Yoga: an adjunct to infertility treatment. Fertil.
Steril. 80, 46–51. Khasky, A.D., Smith, J.C., 1999. Stress, relaxation states, and cre-
ativity. Percept. Mot. Skills 88, 409–416. Kirkwood, G., Rampes, H., Tuffrey, V., Richardson, J., Pilkington,
K., 2005. Yoga for anxiety: a systematic review of the research evidence. Br. J. Sports Med. 39, 884–891.
Klonoff-Cohen, H., Chu, E., Natarajan, L., Sieber, W., 2001. A pro-
spective study of stress among women undergoing in vitro fertil-
ization or gamete intrafallopian transfer. Fertil. Steril. 76, 675– 687.
Lintsen, A.M., Verhaak, C.M., Eijkemans, M.J., Smeenk, J.M., Braat, D.D., 2009. Anxiety and depression have no influence on the can-
cellation and pregnancy rates of a first IVF or ICSI treatment. Hum. Reprod. 24, 1092–1098.
Malathi, A., Damodaran, A., 1999. Stress due to exams in medical students–role of Yoga. Indian J. Physiol. Pharmacol. 43, 218– 224.
Menning, B.E., 1980. The emotional needs of infertile couples. Fertil. Steril. 34, 313–319.
Michalsen, A., Grossman, P., Acil, A., Langhorst, J., Lüdtke, R., Esch, T., Stefano, G.B., Dobos, G.J., 2005. Rapid rapid stress reduc-
tion and anxiolysis among distressed women as a consequence of a three-month intensive yoga program. Med. Sci. Monit. 11, 555– 561.
Mousavi, S.A., Masoumi, S.Z., Keramat, A., Pooralajal, J., Shobeiri, F., 2013. Assessment of questionnaires measuring quality of life in infertile couples: a systematic review. J. Reprod. Infertil. 14, 110–119.
G Oron et al. Oddens, B.J., Tonkelaar, I., Nieuwenhuyse, H., 1999. Psychosocial
experiences in women facing fertility problems: a comparative survey. Hum. Reprod. 14, 255–261.
Pilkington, K., Kirkwood, G., Rampes, H., Richardson, J., 2005. Yoga for depression: the research evidence. J. Affect. Disord. 89, 13– 24.
Schmidt, L, Holstein, B, Christensen, U, Boivin, J, 2005. Does infer-
tility cause marital benefit? An epidemiological study of 2250 women and men in fertility treatment. Patient Educ. Couns. 59, 244–251.
Smeenk, JM, Verhaak, CM, Eugster, A, van Minnen, A, Zielhuis, GA, Braat, DD, 2001. The effect of anxiety and depression on the outcome of in-vitro fertilization. Hum. Reprod. 16, 1420–1423.
Smith, C, Hancock, H, Blake-Mortimer, J, Eckert, K, 2007. A ran-
domized comparative trial of Yoga and relaxation to reduce stress and anxiety. Complement. Ther. Med. 15, 77–83.
Smith, JF, Eisenberg, ML, Millstein, SG, Nachtigall, RD, Shindel, AW, Wing, H, Cedars, M, Pasch, L, Katz, PP, Infertility Outcomes Program Project Group, 2010. The use of complementary and al-
ternative fertility treatment in couples seeking fertility care: data from a prospective cohort in the United States. Fertil. Steril. 93, 2169–2174.
Spanier, G.B., 1979. The measurement of marital quality. J. Sex. Marital. Ther. 5, 288–300.
Spielberger, CD, Gorsuch, RL, Lushene, R, Vagg, PR, Jacobs, GA, 1983. Manual for the State-Trait Anxiety Inventory. Consulting Psy-
chologists Press, Palo Alto, CA. Valoriani, V, Lotti, F, Vanni, C, Noci, MC, Fontanarosa, N, Ferrari,
G, Cozzi, C, Noci, I, 2014. Hatha-yoga as a psychological adju-
vant for women undergoing IVF: a pilot study. Eur. J. Obstet. Gynecol. Reprod. Biol. 176, 158–162.
Wischmann, T, Stammer, H, Scherg, H, Gerhard, I, Verres, R, 2001. Psychological characteristics of infertile couples: a study by the Heidelberg Fertility Consultation Service. Hum. Reprod. 16, 1753– 1761.
Woodyard, C, 2011. Exploring the therapeutic effects of Yoga and its ability to increase quality of life. Int. J. Yoga 4, 49–54.
Yong, P, Martin, C, Thong, J, 2000. A comparison of psychological functioning in women at different stages of in vitro fertilization treatment using the mean affect adjective check list. J. Assist. Reprod. Genet. 17, 553–556.
Declaration: The authors report no financial or commercial con-
flicts of interest.
Received 3 September 2014; refereed 17 January 2015; accepted 20
January 2015.
Journal of Psychiatric Research 53 (2014) 76e 8 3
Contents lists available at ScienceDirect
Journal of Psychiatric Research
j o urn a l hom epage : www . e lsev ier .c om / lo c a te /p sy ch ir e s
The influence of Hatha yoga as an add-on treatment in major
depression on hypothalamicepituitaryeadrenal-axis activity: A
randomized trial
Nina Sarubin a, c, *, Caroline Nothdurfter a , b , Cornelius Schüle c, Martin Lieb a, Manfred Uhr b ,
Christoph Born c, Ricarda Zimmermannc c , Markus Bühner d , Katharina Konopka a,
Rainer Rupprecht a , b , Thomas C. Baghai a
a Department of Psychiatry an d Psychotherapy, University Regensburg, Germany b Max-Planck-Institute of Psychiatry, Munich, Germany c Department of Psychiatry an d Psychotherapy, Ludwig-Maximilian-University, Munich, Germany d Department of Psychology/Statistics an d Evaluation, Ludwig-Maximilian-University, Munich, Germany
a r t i c l e i n f o a b s t r a c t
Article history:
Received 15 Decemb er 2 013
Received in revised f o r m
2 6 February 2 014
Accepted 2 6 February 2 014
Keywords:
Yoga
D epress ion
Escitalopram
Qu et iap ine
Cortisol
DEX/CRH-test
1. Introduction
Objectives: The impact of Hath a yoga as add -on t r ea tmen t to quetiap in e fu ma rat e ex ten d ed release
(QXR) or escitalopram (ESC) in dep ressed patien ts on hypotha lamicep itu itary eadrenal (HPA) axis ac-
tivity was assessed.
Methods: 6 0 inpatients suffering from major depressive disorder (MDD) according to DSM-IV w e re
randomized for a 5 week t r ea tm en t with Yoga or not (control group) a n d with either QXR (30 0 mg/day)
or ESC (10 mg/day). Serial dexamethasone/corticotropin releasing hormon e (DEX/CRH) tests w e re p er-
formed to assess HPA axis function. The Hamilton Depression Rating Scale (21-HAMD) was used weekly.
Results: A m ore pronounced down regulation of t h e HPA axis activity d u e to yoga could not b e detected .
The stepwise long t e r m cortisol reduction was seen in both medication groups, irrespectively of yoga
add -on t r ea tmen t . In addition, cortisol improvers in week 1 of t h erapy (reduction in cortisol peak value
with in th e DEX/CRH test) r each ed significant greater amelioration of depressive symptoms after 5 weeks.
Conclusions: Our results suggest t h a t antidepressant agents down regulate HPA axis function to a great er
extent t h a n additional Hath a yoga t r eatment . Moreover, a n early reduction of HPA system hyperactivity
after one week of pharmacological t r ea tmen t seems to raise t h e possibility of a favorable t r ea tm en t
response.
2 014 Elsevier Ltd. All r ights reserved.
an add-on to antidepressant t reatment . In our study the word yoga
is used to tag Hatha yoga, which is one of the most commonly Yoga combines breathing techniques, meditation, muscle practiced types of yoga (Birdee et al., 2008). Yoga increases health-
relaxation and physical workout (Pilkington et al., 2005; Granath
et al., 2006). The aim of t he holistic yoga practice is to enhance
the development of individual’s self-awareness and control of t he
body and mind, the ultimate goal is a so called “nirvana like state”
(Ross and Thomas, 2010; Patel et al., 2012; Mehta and Sharma,
2013) equivalent to deep relaxation which may be useful also as
* Corre spond ing au th o r. D ep a r t men t of Psychiatry a n d Psychotherapy, Ludwig-
Maximilian-Universi ty Munich, Nu ssb au mst ra sse 7, 8 0 3 3 6 Munich, Germany.
Tel.: þ 4 9 8 9 516 0 5 3 82 ; fax: þ 4 9 8 9 516 0 3930.
E-mail address : n i n a. sar ub i n @ med. un i - mu en ch en. d e (N. Sarubin).
related quality of life in general while reducing perceived stress of
the participants (West et al., 2004; Kjellgren et al., 2007; Vera et al.,
2009; Patel et al., 2012). With respect to psychological and physi-
ological benefits, Yoga improves a wide range of symptoms such
as anxiety, stress and depressive mood, heart rate, blood pressure
(Li and Goldsmith, 2012), memory performance (Ross and
Thomas, 2010), insomnia (Vera et al., 2009), and reduction of
emotional tension (Andrade and Pedrao, 2005). Congruent wi th
these reports and due to a growing number of patients wi th
mood disorders using complementary or alternative therapy
interventions (Ernst, 2003), recent reviews indicate that yoga
is used in clinical
context as an effective therapeutic intervention in unipolar
http://dx.doi .org/10.1016/j. jpsychires.2014.02.022 0 0 2 2- 3 9 56 / 2 014 Elsevier Ltd. All r ights reserved.
N. Sarubin et al. / Journal of Psychiatric Research 53 (2014) 76e83 77
depression (Pilkington e t al., 2005; Uebelacker e t al., 2010; D’Silva e t
al., 2012; Kinser e t al., 2012; Mehta and Sharma, 2013) and bi-polar
disorders (Andreescu et al., 2008) regarding reduction in
depressive symptoms. Practicing yoga is associated with several
biochemical effects such as influence on blood pressure, heart rate,
urinary catecholamines (Granath e t al., 2006) and cortisol levels in
healthy subjects (Vera et al., 2009; Rocha e t al., 2012). The effects of
yoga seem to be mediated via multiple paths such as reduction in
sympathetic tone, activation of antagonistic neuromuscular sys-
tems, relaxation in the neuromuscular system and stimulation of the
limbic system (Riley, 2004) which yield to the restoration of the
homeostasis of the stress response systems (Streeter e t al., 2012).
Due to a lack of randomized controlled trials (RCT) measuring plasma cortisol levels via DEX/CRH tests in representative study
fibromyalgia and depressive symptoms were increased after 8
weeks of yoga class (75 min twice a week). With respect to the
corticosteroid receptor hypothesis, serial DEX/CRH tests are the
gold standard concerning the measurement of HPA axis system in
depressed patients (Schüle e t al., 2009a).
Despite this clearly limited scientific research regarding HPA
axis in the frame of yoga and major depression, yoga is already
recommended as a second-line adjunctive t reatment in mild to
moderate major depression (Ravindran e t al., 2009).
Given that a direct relationship between yoga, cortisol levels and
declines in major depression are not yet finally supported, the
purpose of this study was to de termine whether yogic practices as a
useful supplement to pharmacologic therapy in major depression
contribute to a possible reduction of HPA axis activity. We assumed
populations, the cur rent studies report inconsistent results that e independent of the yoga sessions e those patients who regarding the directions of change of potential biomarkers which are
associated with depressive symptoms (Pilkington e t al., 2005; Mehta
and Sharma, 2013). Although the underlying mechanisms
concerning neurobiological and emotional changes during yoga
exercise in depressed patients are yet unknown (Kinser et al., 2012;
Streeter e t al., 2012), one of the discussed hypothesis are changes in
stress hormone systems, which can be measured via cortisol-
secretion (Vedamurthachar et al., 2006; Vadiraja e t al., 2009; Ross and
Thomas, 2010; Streeter e t al., 2012; Woolery e t al., 2004). The
corticosteroid receptor hypothesis (neuroendocrinological hy-
pothesis) is a prominent approach concerning the etiology of major
depression and considers a dysregulation of the HPA axis function as
a possible mechanism (Holsboer, 2000, 2001). Since depressive
symptoms have been linked to HPA axis hyperactivity in a part of
depressed patients, a gradual normalization of the HPA system
dysregulation as measured by serial combined DEX/CRH tests
precedes or coincides with the response to antidepressant treat -
ment and is according to some authors a necessary prerequisite for
clinical remission to become manifest (Ising e t al., 2007). Damp-
ening on HPA axis system results in decreased cortisol levels, this is
would observe a decrease in cortisol levels within the fi rst week
(improvement) also would be more likely to show a reduction in
symptoms of depression. Due to the unclear direction of possible
changes in cortisol levels in DEX/CRH tests caused by yoga training, no
predictions were made in this regard. The aim regarding the yoga
training was exploratory and not confirmatory: we investi-gated
whether additional yoga t reatment would have both endo-crine
effects on cortisol levels and clinical effects on depressive
symptoms regarding response and non-response in the context of
conventional t reatments (medication) in clinically depressed in-
patients. It is widely unexplored up to now wh ether yoga increases or
decreases the probability of a pharmacologic treatment response in
depressed patients.
In the present study, the influence of 5-week t reatment with the
atypical antipsychotic drug with antidepressant propert ies que-
tiapine fumarate extended release (QXR) and of the selective
serotonin-reuptake inhibitor (SSRI) escitalopram (ESC) in combi-
nation with yoga (60 min/week) or control group (no yoga inter-
vention) on the t ime course of HPA axis activity was investigated in
depressed inpatients.
partly mediated or moderated via restored signaling of corticosteroid-activated mineralocorticoid receptors (MR) and
glucocorticoid receptors (GR) (Pariante and Miller, 2001). More-
over, the HPA axis seems to be a promising target regarding n e w
treatment strategies in depression (Schüle e t al., 2009b).
To date there is no randomized controlled study investigating the
effects of yoga in patients with diagnosed MDD involving a refined
measurement of the HPA axis activity using cortisol levels or
DEX/CRH-tests (Li and Goldsmith, 2012; Mehta and Sharma, 2013).
Therefore, the impact of yoga on cortisol levels in depressed
patients seems ambiguous. Only a few RCT’s measuring depressive
“symptoms” (major depression was not diagnosed) and cortisol levels
are available (Woolery e t al., 2004; Vedamurthachar e t al., 2006;
Vadiraja e t al., 2009). These studies indicate that two weeks daily
yoga sessions of 45 min (Vedamurthachar et al., 2006) and six weeks
with three yoga session for one hour each week lead to a significant
decrease in plasma cortisol and salivary morning cortisol
(Vedamurthachar et al., 2006; Vadiraja e t al., 2009) compared
to brief supportive therapy (Vadiraja e t al., 2009) and continued
inpatient care (Vedamurthachar et al., 2006). Moreover,
reductions in plasma cortisol were correlated significantly with a
- Are the endocrinological effects of yoga/no yoga t reatment and
QXR/ESC on HPA system related to the antidepressant efficacy of
these drugs after 5 weeks of treatment?
- Is the onset of antidepressant action of QXR/ESC related to yoga?
2. Method The intention-to-treat sample comprised 60 unrelated patients
who were aged 18e65 years and suffering from a major depressive
episode according to DSM-IV criteria (296.2 or 296.3). Patients
were recruited from August 2009 u p to February 2012. The allo-
cation of the patients to the treatment groups was done according to
the pre-defined randomization plan and occurred in a random-ized
order. Patients were treated for 5 weeks with either QXR (300
mg/day; group 1) or ESC (10 mg/day; group 2) and yoga therapy
(Hatha yoga 60 min/week) or no yoga (control group). The yoga
training group was supervised by a physical therapist and
consisted of maximum 15 patients. Due to different side effect
patterns of ESC and QUE as well as different administration t imes in
decreased sum score in t he Beck Depression Inventory clinical practice (ESC is given preferably in the morning whereas (Vedamurthachar e t al., 2006; Vadiraja e t al., 2009). One random-ized
study investigated salivary cortisol levels in the morning in young
adults with mild depressive symptoms (no diagnosed MDD), which
had lower BDI-scores and higher morning cortisol levels after five
weeks (two 1-hour yoga classes each week) of yoga compared to
wait-list group (Woolery e t al., 2004). Another study (non-
randomized and without control group) yielded similar re -
sults (Curtis et al., 2011): salivary cortisol levels of patients with QXR is usually administered in the evening) no blinding concerning the
medication was conducted. See Table 1 for details of clinical and
demographical characteristics of depressed patients at admission.
Details concerning the administration of QXR, ESC and t he process of
the DEX/CRH-test and laboratory methods see Supplemental
Information.
The DEX/CRH was per formed before treatment, after 1 and after 5 weeks of treatment calculating cortisol (COR) area under the
78 N. Sarubin et al. / Journal of Psychiatric Research 53 (2014) 76e83
Table 1
Clinical a n d demo graphic d a t a in 5 3 o u t of 6 0 depressive p a t i en t s t rea t ed wi th yoga (n ¼ 2 2 ; 6 0 mi n /week) o r n o yoga [control gro up ¼ CG] (n ¼ 31) a n d ei th er QXR (n ¼ 2 5 ;
3 0 0 mg/day) o r ESC (n ¼ 2 8 ; 10 mg/day) for 5 w ee k s (co mp le te r analysis). Data r ep re sen t m e a n SD ( s t an d a r d deviation). Suppress i on s t a tu s a t basel ine ( w ee k 0) : S
¼ Suppr essor s ; NS ¼ Non-Suppr essor s. Medical p r e - t r ea t men t : Pre ¼ P re-Trea tmen t; NPre ¼ No Pre -Trea tmen t . Resp on se : R ¼ Resp o n d e r s ; NR ¼ Non- Responder s. Statistical
p a r ame te r s of Chi sq u a r e t es t s an d Fisher’ s exac t t e s t for quali tative variables a s wel l as M an n eWh i tn ey U- te st s ( n o n- pa r ame t r ic quanti t ative variables) a n d T-t es ts (p arametr ic
quanti ta tive variables) a r e provided.
All p a t i en t s (n ¼ 53) Yoga (n ¼ 22) CG (n ¼ 31) Statistical evaluat ion
C h i- sq uar e t e s t (quali tative variables)
Sex [M/F]
Medical p r e - t r e a tm en t (Pre/NPre)
Suppr ess ion s t a tu s (S/NS)
T-test (quanti tative variables)
21-HAMD s u m score, w e e k 0
Age [years]
Age of o n se t [years]
Nu mb er of depressive ep isod es
Dur at ion of tota l il lness [ mon th s]
Dur at ion of i n d ex ep i sod e [weeks]
Dur at ion of w a sh - o u t p e r i od [days]
COR AUC a t base l ine ( wee k 0) [nmol/l min]
Weight [kg]
Height [cm]
a Fisher ’s exac t t e s t (2-sided) . b M an n eWh i tn ey- U- te s t (2-sided) .
3 8 /1 5
1 6 /3 7
2 7 /2 6
22.04 5.23
40.25 12.57
34.91 10.76
2.23 1.85
75.43 116.57
11.17 10.76
25.34 14.83
8 78 4. 53 80 16. 34
80.92 14.99
174.87 12.59
1 4 /8
8 /1 6
1 2 /1 0
22.73 6.54
37.27 11.85
33.41 8.42
2.05 1.96
58.07 97.49
10.59 9.50
26.27 14.59
7 28 0. 78 56 97. 39
81.22 16.13
173.41 17.29
2 4 /7
1 0 /2 1
1 5 /1 6
21.55 4.11
42.356 12.85
35.97 12.17
2.35 1.78
87.76 128.53
11.58 11.71
24.68 15.21
9 85 1. 70 92 64. 43
80.72 14.40
175.90 7.92
c2 df
0.152 1
0 .195 1
T/Z d f 0.75 32.645
1.464 5 1
0.905 50.982
1.232
0.931
0.760
0.386
1.154 5 1
0.119 5 1
0.71 5 1
p-value
0.357a
0.697
0.659
p-value 0.460
0.149
0.370
0 .218 b
0.352 b
0.447 b
0.700 b
0.254
0.906
0.48
curve (AUC) values to assess HPA axis function. Hamilton Depres-
sion Rating Scale, 21-item version (HAMD-21) was used at day 0, 4,
7,14, 21, 28 and 35 (Hamilton, 1960). The study was approved by the
local ethics committee and was carried out in accordance wi th the
Declaration of Helsinki (ht tp: / /www.wma.net) and had been
approved both by a local ethics committee (intramural review
panel of the Ludwig-Maximilian-University of Munich, Faculty of
Medicine). The laboratory cortisol measurements w ere performed
at the Max-Planck-Institute of Psychiatry, Munich, Germany.
2.1. Eligibility
The patients w ere diagnosed by experienced and trained psy-
chiatrists using the Structured Clinical Interview for DSM-IV,
German version (Wittchen et al., 1997). Exclusion criteria see
Supplemental Information.
According to pre-protocol w e present the results of 53 unipolar
depressed patients (8 out of 25 QXR treated patients were in the
yoga group, whereas 14 out of 28 ESC treated patients performed
yoga), which completed the full study period including the
completion of 3 combined DEX/CRH test (see Consort 2010 Flow
Diagramm).
2.2. Outcome measures
21-HAMD sum scores and total area under the cortisol con-
centration time curve (COR AUC values) wi thin the DEX/CRH tests
w ere pre-defined as primary outcome measures. The assessment of
HPA-axis activity was measured by COR AUC values between
15.00 h and 16.15 h during 3 serial DEX/CRH tests determined by
the trapezoid rule (Forsythe et al., 1969).
The dexamethasone suppression status (suppression versus
non-suppression) wi thin the DEX/CRH test at admission was
change in the peak cortisol level after CRH challenge between DEX/
CRH week 0 and week 1. A cortisol peak improver was defined by a
lower COR peak concentration during the second test in week 1;
otherwise, a COR peak non-improver was presumed. The peak COR
level was used for the categorization into HPA system improvers
and non-improvers instead of the COR AUC value to be in line wi th
previous definitions of HPA system improvement in remit ted
depression (Zobel et al., 1999, 2001; Ising et al., 2007).
Clinical response was defined as a reduction of more than 50% of
the HAMD-21-score from day 0 (admission) wi thin 5 weeks of
t reatment . Severity of depression (HAMD-21) was estimated on
days e 1, 4, 7, 14, 21, 28. All raters w ere experienced psychiatrists or
psychologists.
2.3. Statistical analysis
The software program SPSS version 20.0 (IBM Corp. Released
2011. IBM SPSS Statistics for Windows, Version 20.0. Armonk, NY:
IBM Corp.) was used for data analysis. Analyses w er e performed
using repeated measurement ANOVAs (rmANOVAs) for the sub-
samples of cortisol-suppressors vs. cortisol non-suppressors,
cortisol-improvers vs. cortisol-non-improvers and clinical
responder vs. non-responder. KolmogoroveSmirnov Test (KST) was
used to test about normal distribution of cortisol levels (COR). Due
to significant KSTs’ w e computed the natural logarithm (log) of COR
AUC values before ANOVAs’ w ere performed. For details regarding
the within-subjects and between-subjects factors for each analysis
see Results section. A separate analysis for clinical response was
carried out by Chi-Square-Tests and rmANOVAs, whereas COR AUC
values (within-subject-factor) and categorization in response vs.
non-response (between-subject-factor) w ere used to estimate
differences in the complete sample as well as in the database
splitted subsample of yoga and control group. The Mauchly’s test of
defined by a cortisol cut-off criterion of 5624 nmol/l (COR AUC sphericity showed that sphericity cannot be assumed the
week 0) applied to the fi rst DEX/CRH test in week 0, which was
derived from the median of COR AUC in our sample, since a
generally accepted cut-off criterion defining suppression status has
not been established yet for the DEX/CRH test (Schüle et al., 2009a).
Greenhouse-Geisser procedure was used to correct t he degrees of
freedom in the F-tests. For all analysis t he significance level was set
at a ¼ 0.05. Post-hoc tests w ere additionally performed for all
rmANOVA procedures, w h en a significant “group” or “ t r eatment”
HPA axis activity at t he t ime of the second DEX/CRH test at week factor was found to compare the single t ime points of
1 was categorized in improver and non-improver according to the measurements.
3
21
-HA
MD
su
m s
co
re
N. Sarubin et al. / Journal of Psychiatric Research 53 (2014) 76e83 79
yoga (n=22) control group (n=31)
30
25
20
subject-effect: 21-HAMD sum score day 0, 4, 7, 14, 21, 28, 35) no
statistical significant group effect (F ¼ 0.003; df ¼ 1; p ¼ 0.935), but
a statistical significant t ime effect (Greenhouse-Geisser-correction
“ t ime” : F ¼ 75.166; df ¼ 6; ¼ 0.450; p ¼ 0.000) was detected. So,
independent ly of the group, a statistical significant amelioration of
depressive symptoms could be observed. (Fig. 1).
15
10
5
0
day day day day 0 4 7 14
day day day 21 28 35
3.2. Assessment of HPA axis function (performance of DEX/CRH
tests)
3.2.1. Comparison of patients treated with yoga and no-yoga
RmANOVA using “ t ime” (DEX/CRH test 1e3) and “group” (yoga
versus control group) as wi thin and between subjects factors
showed no significant “ t ime” effect (F ¼ 2.482; df ¼ 2; p ¼ 0.089),
no significant “group” effect (F ¼ 0.316; df ¼ 1; p ¼ 0.577) and no
Fig. 1. 21-HAMD su m score in depressive patients tr ea ted wi th yoga (60 min/week) or
no yoga (control group) in combination QXR (30 0 mg p er day) or ESC (10 mg p e r day)
for 5 weeks, respectively. SEM (s tandard error of mean ) indicated .
3. Results
3.1. Clinical improvement
In the yoga group 13 out of 22 completers (59% of patients) w ere
responders, whereas in the control group 18 out of 31 completers
(58% of patients) showed a clinical response (21-HAMD sum score).
The Chi-square test did not reveal any significant difference in the
ratio of responders and non-responders between the yoga or no-
yoga group (c2 ¼ 0.030; df ¼ 1; p ¼ 0.862).
When comparing the two groups (between-subject-effect: yoga
vs. control group) concerning the 21-HAMD sum score (within-
significant “ t ime group” interaction effect (F ¼ 3.095; df ¼ 2; p
¼ 0.054) indicating no significant di fferent impact of t he two
groups (yoga group and control group) on HPA axis function over
t ime (Table 2, Fig. 2). The descriptive data analyses showed a partial
increase in COR secretion during the DEX/CRH test after one week
of therapy in patients receiving yoga treatment while there was a
partial reduction after five weeks of yoga (Table 2, Fig. 2). In th e
control group a stepwise decrease in COR AUC values from week
0 to week 5 could be observed, which suggests that antidepressant
medication without yoga therapy lead to a successively reduction
in COR secretion (Table 2, Fig. 2).
To explore the influence of QXR and ESC, another rmANOVA
using “ t ime” (DEX/CRH test COR AUC week 1e3) as between and
“group” (yoga versus control group) and “ t reatment” (ESC vs. QXR)
as wi thin subjects factors, revealed no significant “ t ime” effect
(F ¼ 3.057; df ¼ 2, p ¼ 0.525), no significant “group” effect for yoga
vs. control group (F ¼ 0.001; df ¼ 1; p ¼ 0.974), but a significant
Table 2
COR r e spo n ses t o 3 DEX/CRH te s t s ( w ee k 0, 1, 5) in 5 3 o u t of 6 0 d ep r essed p a t i en t s t r ea ted with yoga o r no-yoga (60 mi n /w eek) an d additi onal QXR o r ESC (comp le te r analysis).
Data a r e given for all p a t i en t s (n ¼ 53) a n d separate ly for t h e yoga gr oup (n ¼ 22) a n d control group (n ¼ 31). SD ( s t an d a r d deviation) is indicated.
All p a t i en t s (n ¼ 53)
C o mp le t e samp l e (n ¼ 53)
QXR (n ¼ 25)
ESC (n ¼ 28 )
No n - sup pr esso r s (n ¼ 26)
Suppr essor s (n ¼ 27)
No n - r e sp on d er s (n ¼ 20)
R esp on d er s (n ¼ 33)
Yoga (n ¼ 22)
C o mp le t e samp l e (n ¼ 22)
QXR (n ¼ 8)
ESC (n ¼ 14 )
No n - sup pr esso r s (n ¼ 10)
Suppr essor s (n ¼ 12)
No n - r e sp on d er s (n ¼ 8)
R esp on d er s (n ¼ 14)
Control group (n ¼ 31)
C o mp le t e samp l e (n ¼ 31)
QXR (¼17)
ESC (¼14)
No n - sup pr esso r s (n ¼ 16)
Suppr essor s (n ¼ 15)
No n - r e sp on d er s (n ¼ 12)
R esp on d er s (n ¼ 19)
We e k 0 CORAUC [nmol/l min]
8 78 4. 53 80 16. 34
7 38 8. 33 83 14. 48
1 00 03 1. 13 76 74. 45
1 48 49 .5 8 7 54 1.9 4
2 94 4. 11 12 73. 88
8 00 1. 12 72 78. 95
9 25 9. 32 85 05. 90
7 28 0. 78 56 97. 39
6 28 2. 25 64 67. 52
7 85 1. 37 53 80. 37
1 22 64 .9 3 4 67 2.9 4
3 12 7. 33 16 43. 35
6 60 0. 68 55 55. 31
7 66 9. 41 59 47. 33
9 85 1. 70 92 64. 43
7 90 8. 83 91 92. 19
1 22 10 .9 0 9 11 8.2 6
1 64 64 .9 8 8 62 9.1 7
2 79 7. 53 916.54
2 93 21 .7 4 8 33 6.6 7
1 04 30 .8 3 9 98 3.1 1
We e k 1 CORAUC [nmol/l min]
8 49 3. 83 1 10 89. 55
3 41 0. 99 3 43 0.3 9
1 30 32 .0 9 13 45 7.5 7
1 24 11 .0 7 11 22 2.0 3
4 72 1. 68 9 73 3.6 9
1 25 46 .8 1 15 05 6.1 4
6 03 7. 49 6 98 2.4 7
9 91 9. 13 1 29 51. 36
3 04 3. 84 2 72 6.2 8
1 38 47 .8 7 14 87 4.3 8
1 29 40 .4 3 11 19 8.7 9
7 40 1. 39 1 42 26. 81
1 68 33 .3 2 18 44 1.4 9
5 96 8. 17 6 45 0.2 8
7 48 2. 33 9 65 3.9 4
3 58 3. 76 3 78 1.6 0
1 22 16 .3 2 12 38 8.0 3
1 20 80 .2 2 11 59 0.4 5
2 57 7. 92 2 41 7.6 7
9 68 9. 14 1 23 63. 62
6 08 8. 56 7 52 4.6 2
We e k 5 CORAUC [nmol/l min]
7 76 5. 70 82 66. 47
5 38 7. 41 71 05. 91
9 88 9. 17 87 64. 14
1 10 40 .4 6 8 83 0.8 7
4 61 2. 22 63 74. 39
7 79 9. 51 75 35. 73
7 74 5. 20 87 93. 46
8 58 3. 26 80 58. 01
6 39 1. 63 68 41. 64
9 83 5. 61 86 62. 58
1 23 28 .9 2 8 22 5.1 7
6 29 5. 20 74 59. 12
1 11 17 .0 5 8 91 9.3 4
7 13 5. 37 74 72. 87
7 18 5. 50 84 94. 49
4 91 4. 83 73 83. 82
9 94 2. 73 91 91. 44
1 08 60 .1 7 9 43 3.7 4
3 26 5. 84 52 32. 12
5 58 7. 82 58 41. 28
8 19 4. 56 98 30. 19
3
3
3
3
3
3
80 N. Sarubin et al. / Journal of Psychiatric Research 53 (2014) 76e83
3.2.2. Separate analysis of HPA axis function in responders and
non-responders
There w ere 33 (62.26%) treatment responders and 20 (37.74%)
non-responders in t he total patient sample, whereas 14 (42.42%)
responders w ere in the yoga group while 19 (57.58%) responders
w ere part of the control group. To detect any associations between
the clinical response and COR values during DEX/CRH test, rmA-
NOVA (“t ime”: DEX/CRH-test 1e3; “group”: responders
versus non-responders) w ere performed and revealed a
significant “ t ime group” interaction effect (F ¼ 4.002; df ¼ 2; p ¼
0.024) but not a significant “group ” effect (F ¼ 0.465; df ¼ 1; p ¼
0.498) nor “ t ime” effect (F ¼ 2.271; df ¼ 2; p ¼ 0.108).
After splitting the database in yoga and control group, a separate
analysis revealed that the significant “ t ime group ” interaction
effect could mainly be demonstrated in the yoga group reaching
statistical significance (F ¼ 4.069; df ¼ 2; p ¼ 0.025) whereas in t he
control group no significance for a “ t ime group” interaction effect
was shown (F ¼ 1.415; df ¼ 2; p ¼ 0.251) (Fig. 3). Nevertheless, these
results suggest that an early attenuation of HPA axis activity in the
control and Hatha-yoga group raises the possibility of a favorable
clinical response (21-HAMD sum score).
3.2.3. Analysis of COR improvers and COR non-improvers
In our total sample of 53 patients 30 COR improvers and 23 COR
non-improvers w ere detected (Fig. 4). RmANOVA using 21-
HAMD-sum scores (day 0, 4, 7, 14, 21, 28, 35) as within-subject-
factor and improvement vs. non-improvement as between-
subject-factor revealed a highly significant “ t ime ” effect, i.e.
decrease in 21-HAMD sum scores (Greenhouse-Geisser-
correction “ t ime” : F ¼ 72.651; df ¼ 6; ¼ 0.470; p < 0.001) and
a significant “group” effect (F ¼ 10.078; df ¼ 1; p ¼ 0.003)
but no significant “ t ime group” interaction effect (Greenhouse-
Geisser-correction “ t ime group”: F ¼ 2.014; df ¼ 6; ¼ 0.470; p ¼
0.118). In addition,
Fig. 2. Mean COR concentrations during 3 DEX/CRH tests (week 0, 1, 5) in depressed
patients treat ed wi th yoga (60 min/week) or no yoga (control group) an d QXR (30 0 mg
per day) or ESC (10 mg p er day) for 5 weeks. SEM (s tandard error of mean ) indicated .
post-hoc rmANOVA (comparisons of the single 21-HAMD sum score rating t ime points) showed a tr end towards a better clinical response in improvers (in terms of a lower HAMD-21 sum score) from day 7 onwards (day 7: F ¼ 5.705; df ¼ 1; p ¼ 0.021; day 14: F ¼ 8.130; df ¼ 1; p ¼ 0.006; day 21: F ¼ 8.289; df ¼ 1; p ¼ 0.006; day 28: F ¼ 7.379; df ¼ 1; p ¼ 0.009; day 35: F ¼ 12.576; df ¼ 1; p ¼ 0.001; see Fig. 4).
Comparing yoga and control group wi th respect to COR im-
provers and non-improvers the database was splitted in yoga and
control group. Within the yoga group the clinical outcome was
significant depend en t of COR improvement status: a statistically
significant “ t ime ” effect (21-HAMD sum scores day 0e35), a
sig-nificant “group” effect (improvement vs. non- improvement)
but no significant “ t ime group” interaction effect was
demonst rated in the rmANOVA (Greenhouse-
Geisser-correction “ t ime ” :
F ¼ 36.099; df ¼ 6; ¼ 0.425; p ¼ 0.000; “group ” : F ¼ 6.22
“ treatment” effect for ESC vs. QXR (F ¼ 9.672; df ¼ 1; p ¼ 0.003), and a
significant “ t ime tr eatment” interaction effect (F ¼ 4.751; df ¼ 2;
p ¼ 0.011), indicating an equal impact of both, yoga vs. no yoga on
HPA axis function over t ime, while the re is a statistical significant
difference on HPA axis activity due to the “ t r eatment ” medication
ESC vs. QXR. So the medication seems to influence the HPA axis
activity in a greater amount than yoga or no yoga therapy in our
sample.
26 out of 53 depressed inpatients (49.06%) were non-
suppressors (DEX/CRH test week 0) before the beginning of anti-
depressant therapy (Table 1). A separate analysis of the non-
suppressors (baseline: week 0) demonstrated that an inhibition of
HPA axis activity mainly occurred in the control group in baseline
non-suppressors compared to the yoga group.
df ¼ 1; p ¼ 0.021; Greenhouse-Geisser-correction “ t ime group ” : F ¼
0.694; df ¼ 6; ¼ 0.425; p ¼ 0.537). In th e yoga group, th e
possibility of a clinical response was significant higher in th e
improver category, suggesting that COR improvement in week 1 is a
favorable condition for response after 5 weeks (Fig. 4). Nearly the
same results were observed in th e control group: a significant
“group ” effect, a significant “ t ime ” effect and a significant
“ t ime group” interaction effect were shown indicating that COR
improvement was associated with clinical response (Greenhouse-
Geisser-correction; “ t ime” : F ¼ 26.808; df ¼ 6; ¼ 0.477;
p ¼ 0.000; “group” : F ¼ 4.816; df ¼ 1; p ¼ 0.036; “ t ime group ” : F ¼
2.900; df ¼ 6; ¼ 0.477; p ¼ 0.042). COR improvement in
week 1 lead to a greater amelioration of depressive symptoms in
week 5 independent ly of th e membership to yoga or no yoga
(Fig. 4).
N. Sarubin et al. / Journal of Psychiatric Research 53 (2014) 76e83 81
Fig. 3. Mean COR concentrations during 3 DEX/CRH tests (week 0, 1, 5) in depressed patients treated with yoga (60 min/week) or no yoga (control group) an d QXR (30 0 mg p e r day)
or ESC (10 mg p e r day) subdivided into non-responders an d responders. SEM (s tandard error of mean ) indicated.
4. Discussion
In this study w e investigated the effects of ESC or QXR mono-
therapy with/without additional yoga on cortisol in unipolar
depressed patients and analyzed if these changes are associated
wi th depressive symptom reduction and medical response.
A statistical significant reduction in depressive symptoms (21-
HAMD) after five weeks of t reatment was observed in the Hatha-
yoga group and in the control group (Fig. 1). One of our main re-
sults is the finding that additional yoga or no yoga therapy do not
differ significantly in thei r long t erm influence on the HPA axis
activity: both groups conducted a decrease of cortisol level during
DEX/CRH test during week 1 to week 5, t he affiliation to yoga or
control-group failed to reach statistical significance (Fig. 2). How-
ever, analyzing the data descriptively, patients in the yoga group
showed a di fferent COR AUC course during DEX/CRH test from
week 0 to week 5 in comparison to control group: members of t he
Hatha-yoga group showed an increase in COR in week 1, and a
partial reduction in COR after five weeks of t r eatment (Fig. 2). In
contrast to this, within the control group a stepwise and continuous
decrease in COR AUC values during week 0 to week 5 w ere
observed (Fig. 2). The down-regulation of t he HPA axis activity may
be explained to some extent by a restoration of t he disturbed
negative feedback control due to QXR and ESC (Nickel et al., 2003;
Zobel et al., 1999). Besides that QXR and ESC influenced the HPA
axis activity statistically significantly. With reference to the differ-
ential COR effects in the Hatha-yoga and control group, a possible
explanation for this is t he relative high number of ESC patients
wi thin the Hatha-yoga group: 8 of 22 patients in the yoga group
w ere randomized to QXR, while 14 patients received ESC medica-
tion. In addition, taking a closer look at the control group (n ¼ 31)
14 patients were treated wi th ESC, 17 received QXR. The unequal
proportion of patients receiving QXR or ESC treatment wi thin the
yoga and control group is one of the limitations of the study, which
was generated through unequal drop-out-numbers in the different
subgroups (see Consort Flow Diagramm).
Regarding the COR level boost in week 1 and a partial down-
regulation in week 5 in the Hatha-yoga group, these results are
exactly in line with other studies reporting a temporarily COR in-
crease due to ESC in depressed patients and in healthy subjects
(Nadeem et al., 2004). With respect to the acute inhibitory effects of
COR in week 1 and a partial rebound in week 5 in the control group
(Fig. 2), these results are congruent wi th the findings of other
studies investigating the effect of QXR on COR values (Cohrs et al.,
2006; de Borja Goncalves Guerra e t al., 2005). In this context it can
be hypothesized that antidepressant medication has a significant
impact on HPA axis activity, which is not exceeded by the influence
of Hatha-yoga. This is the first study to date, that investigates the
t ime course of COR values measured by serial DEX/CRH tests and
states that additional yoga does not lead to a superior effect on
clinical outcome and HPA axis overdrive compared to antidepres-
sant medication alone. This illuminating result may add another
jigsaw piece to the controversial discussion about changes in COR
values due to yoga (Vera et al., 2009; West et al., 2004; Yoshihara
et al., 2011): the influence of yoga on cortisol may be too small to
be detected, especially in the context of concomitant therapy with
antidepressant medication. One (non-randomized) study reports a
significant drop in serum cortisol in depressed patients who
received yoga or yoga in combination wi th antidepressant medi-
cation for th ree month (yoga on a daily basis of one hour), more-
over those who received yoga-only showed a high correlation
between reduction of serum cortisol level and antidepressant
response (Thirthalli et al., 2013). Other studies report inconsistent
results concerning COR level changes due to yoga: long-term yoga
practice (several years) leads to an increase in blood cortisol in
healthy subjects (Vera et al., 2009), while other studies found no
differences in cortisol compared to control groups (Yoshihara et al.,
2011). Interestingly, short-term yoga practice (several days to
weeks) results in decreased cortisol levels in healthy subjects (West
et al., 2004). There are only a few RCTs including major depression
and cortisol levels, which are reporting significant decreases in
COR, but the evidence seems to be clearly limited and should be
82 N. Sarubin et al. / Journal of Psychiatric Research 53 (2014) 76e83
seems to raise highly significant the possibility of a clinical
response in week 5 (Figs. 3 and 4). Moreover, the responders within
the yoga and control group showed a similar significant t r end
during DEX/CRH-test: a rapid down-regulation of HPA axis function
already after 1 week of t r eatment was followed by a partial re-
increase of COR concentrations after 5 weeks of therapy, whereas
in the non-responders (in particular wi thin the yoga group) a more
blunted response in cortisol levels in week one and a marked
decrease in week 5 was observed (Fig. 3). These results are
congruent wi th further studies reporting an association between
early COR improvement and clinical response, indicating that COR
is a potential biomarker for clinical response in depression (Ising
et al., 2005, 2007).
To constrict these results it should be mentioned that t he low
frequency of Hatha-sessions (60 min/week) may not be sufficient to
prove any endocrinological changes concerning COR values
compared to other studies wi th depressed patients (Vadiraja et al.,
2009; Vedamurthachar et al., 2006). In summary, patients had
about 5 60 min of Yoga practice which definitively seems too
short and too superficial to expect noteworthy endocrinological
changes. Moreover, an inclusion of an ethical and spiritual
component wi thin the Yoga practice may provide additional ben-
efi ts over yoga practiced as an exercise (Smith, 2011). After all, the
patients’ inner compliance is t he basis for t he efficacy of methods
such as Yoga. In this study no data was collected regarding the
question how yoga was received and perceived by the patients. Due
to concomitant antidepressant medication it was not possible to
investigate the isolated antidepressant effects of Hatha-yoga ther-
apy alone and therefore it was not possible t he replicate the finding
of an immediate down-regulating effect of yoga on HPA axis ac-
tivity (Ross and Thomas, 2010). A different analysis concerning the
same patients but wi thout covering the Yoga and control group
subsamples and wi thout analyzing improvement and non-
Fig. 4. Mean 21-HAMD su m scores (day 0e3 5 ) in depressed patients treat ed wi th yoga
(60 min/week) or no-yoga (control group) additional with QXR (30 0 mg p e r day) or
ESC (10 mg p e r day) subdivided into COR improvers an d COR non-improvers . COR
improver ¼ pat ient wi th reduction of COR peak value in t h e DEX/CRH tes t af ter 1 week
of tr eatmen t , as compar ed to baseline (week 0). SEM (s tandard error of mean ) indi-
cated . Significant group effects in t h e ANOVA for r epea ted measu remen ts indicated .
* ¼ significant group differences in post-hoc tests (p < 0.05). **, *** ¼ highly significant
group differences in post-hoc tes ts (p < 0.01, p < 0.001).
viewed as very preliminary: Vadiraja and colleagues included
breast cancer patients wi th no diagnosed major depression but
“depressive symptoms” in thei r study (Vadiraja e t al., 2009),
Vedamurthachar and colleagues investigated only male patients
wi th alcohol dependen ce syndrome and no diagnosed major
depression according to DSM-IV (Vedamurthachar et al., 2006).
Therefore, t he present study provides a first at tempt towards
exploring neuroendocrine correlates of Hatha-yoga training in
depressed patients who at least in part suffer also from HPA axis
overdrive.
Regarding the predictive value of early COR improvement
(reduction of the COR peak value in the DEX/CRH test after 1 week
improvement regarding cortisol-secretion has already been pub-
lished elsewhere (Sarubin et al., 2014).
Despite several limitations, our study could not provide evi-
dence that Hatha-yoga as augmentation to pharmacologic treat-
ment may lead to a significant improvement in depressive
symptoms. Nevertheless, in the context of growing interest about
additional therapeutic strategies treating depression, Hatha-yoga
seems to be a promising approach in the tr eatment of depression
(Kinser et al., 2012; Mehta and Sharma, 2013; Pilkington et al.,
2005). Further clinical studies and larger control samples are
necessary to investigate t he biological impact and psychological
benefits of Hatha-yoga therapy as add on treatment to antide-
pressants in major depressed patients.
Role of funding source
This study was supported by an unrestricted grant from Astra-
Zeneca Germany.
Contributors
All authors have made substantive intellectual contributions to
the submitted work in form of conception of the study, and/or
acquisition of data, and/or analysis and interpretation of data, and/
or drafting or revising the article. Nina Sarubin conducted the DEX/
CRH tests, performed the literature search, wrote t he manuscript,
performed the statistical analyses and was responsible for the
ratings of t he patients. Cornelius Schüle designed the study, wrote
the protocol and was the principal investigator of the study. Caro-
line Nothdurfter, Christoph Born and Martin Lieb recruited the
patients for the study. Katharina Konopka participated in the of therapy) an early down regulation of HPA system hyperactivity literature research and statistical analyses. Markus Bühner
N. Sarubin et al. / Journal of Psychiatric Research 53 (2014) 76e83 83
supervised the statistical analyses. Rainer Rupprecht and Thomas
Baghai participated in the drafting of the article and revising it
critically. Manfred Uhr’s laboratory analyzed serum cortisol levels.
All authors approved the final version of the manuscript and take
public responsibility for its content.
Potential conflicts of interest
This study was supported by an unrestricted grant from AstraZe-
neca Germany. Rainer Rupprecht has been on AstraZeneca advisory
boards. Thomas C. Baghai accepted paid speaking engagements and
acted as a consultant for Astra-Zeneca, Glaxo-Smith-Kline, Janssen-
Cilag, Pfizer and Servier. This study was supported by an unre-
stricted grant from AstraZeneca Germany. Nina Sarubin, Caroline
Nothdurfter, Katharina Konopka, Manfred Uhr, Christoph Born, Martin
Lieb, Markus Bühner and Cornelius Schüle reported no direct or in-
direct financial or personal relationships, interests, and affiliations
relevant to the subject matter of the manuscript that have occurred
over the last three years, or that are expected in the foreseeable future.
Acknowledgment
All Hatha-yoga training groups w ere supervised by Birgit Rosin,
a trained- yoga and physiotherapist.
Appendix A. Supplementary data
Supplementary data related to this article can be found at ht tp: / /
dx.doi.org/10.1016/j.jpsychires.2014.02.022. References
An d rad e RL, Pedr ao LJ. S o me cons idera tion s ab o u t nur se s ’ u s e of n o n tradi tional
t h e rap i e s in psychiatric nurs ing care. Rev Lat Am En f e r magem 2 0 05;13 :737 e4 2 . And reescu C, Mulsant BH, Eman ue l JE. C o mp l emen tar y an d al ternative med ic ine in
t h e t r ea t men t of bipolar disord er e a review of t h e evidence. J Affect Disord 2 0 0 8 ;110 :16 e26.
Birdee GS, Legedza AT, Saper RB, Bertisch SM, Eisenberg DM, Phillips RS. Characteristics of yoga users : resul t s of a natio nal survey. J Gen In te rn Med 2 0 0 8 ;23 :16 5 3 e8.
C ohrs S, Roher C, Jordan W, Meier A, Hu e th er G, Wu t tk e W, e t al. The atypical antipsychotics ol an zapi ne a n d queti apin e, b u t n o t haloperidol , red u ce ACTH a n d cortisol secr et ion in heal thy subjects. Psychopharmacology (Berl) 2 0 0 6 ;18 5 :11 e8.
Curtis K, O sad chu k A, Katz J. An e igh t - week yoga int ervent ion is asso c iated w i th i mp r ovemen t s in pain, psychological functioning a n d mindfuln ess, a n d changes in cortisol levels in w o m e n w i th fibromyalgia. J Pain Res 2 011 ;4 : 18 9 e201.
D’Silva S, Poscablo C, Hab o u sh a R, Kogan M, Kligler B. M ind-body medic in e th e r-
apie s for a range of d ep r e ss i o n severi ty: a sys temat i c review. Psychosomatics 2 012 ;5 3 :4 0 7 e23.
d e Borja Goncalves G uer ra A, Castel S, Benedito-Silva AA, Calil HM. Neuro end o cri ne effects of qu e t i ap i n e in heal thy volunteers. In t J Neurop syc hopharmaco l 2 0 0 5 ;8 : 4 9 e57.
Ernst E. Co mp lementary medici ne : whe re is t h e evidence? J Fam Pract 20 03;5 2:630 e4 . Forsythe AI, Keen an TA, Organick EI, S tenber g W. C o mp u te r science: a fi r s t course.
New York: J o hn Wiley a n d Sons Inc.; 1969. Gran ath J, Ingvarsson S, von TU, Lundb erg U. Stress m an agemen t: a ra nd o mi zed study
of cognitive behavioural th erapy an d yoga. Cogn B ehav Ther 2 0 0 6 ;3 5 :3 e10. Hamil ton M. A rating scale for depre ss ion. J Neurol Neuro sur g Psychiatry 19 6 0 ;2 3 :
5 6 e6 2 . Hol sboer F. The corticosteroid recep tor hypo thesi s of dep r ess io n. Neuro -
psychopharmacology 2 0 0 0 ;2 3 :47 7 e5 01. Hol sboer F. S tress, hypercortisol ism a n d corticosteroid receptor s in d epr ess i o n :
implications for therapy. J Affect Disord 2 0 01 ;6 2 :7 7 e91. Ising M, Ho r s tman n S, Kloiber S, Lu cae S, Bind er EB, Kern N, e t al. C o mb i n ed
d exame th ason e / co r t i co t ro p in releasing h o r mo n e t e s t predic ts t r e a t men t r e sp o n se in majo r d ep r e ss i on e a potenti al b i o mar ke r ? Biol Psychiatry 2 0 0 7 ;6 2 :47 e5 4 .
Ising M, Kunzel HE, Bind er EB, Nickel T, Modell S, Holsboer F. The co mb i n ed dexameth ason e / C R H te s t as a potential surr o gat e ma r ke r in depre ss ion. Prog Neurop sychoph armacol Biol Psychiatry 2 0 0 5 ;2 9 : 108 5 e9 3 .
Kinser PA, Goehler LE, Taylor AG. Ho w might yoga h e l p d ep r e ss i on? A n eur ob i o-
logical perspective. Explore 2 0 12 ;8 : 118 e26. Kjellgren A, Bood SA, Axelsson K, Nor lander T, Saatcioglu F. Wel lness t h r o u gh a
co mpr ehen s ive yogic breathi ng p r ogram e a controlled pilot trial. BMC C o m-
p l em en t Alt ern Med 2 0 0 7 ;7:4 3.
Li AW, Go ldsmith CA. The effects of yoga o n anxiety a n d stress. Altern Med Rev 2 012 ;17:21e 3 5 .
M ehta P, S h a r ma M. Yoga as a co mp l emen tar y th er a py for clinical dep re ss ion. C o mp l emen t Hea lth Pract Rev 2 013 ;15 :15 6 e70.
Nad eem HS, At t en b u r r o w MJ, C o wen PJ. C o mp ar i so n of t h e effec ts of c i ta lopram a n d esci ta lopram o n 5 - Ht - med ia ted n eur o en d ocr i n e respon ses. Neuro -
psychopharmacology 2 0 0 4 ;29 : 169 9 e 703. Nickel T, Sonntag A, Schill J, Zobel AW, Ackl N, B r u n n au e r A, e t al. Clinical a n d
neurobiological effects of t i an ep t i n e a n d p a roxe t i n e in majo r depr e ss ion. J Clin Psychopharmacol 2 0 0 3 ;2 3 : 15 5 e 6 8 .
Parian te CM, Miller AH. Glucocorticoid recep tor s in majo r d ep re ss i o n : relevance to pathophysiology a n d t r ea tmen t . Biol Psychiatry 2 0 01 ;4 9 :3 91 e 404 .
Patel NK, Newste ad AH, Fer rer RL. Th e effects of yoga o n physical functioning a n d h ea l th relat ed quali ty of life in o ld er adu l t s : a systemat i c revie w a n d me t a -
analysis. J Altern C o mp l em en t Med 2 012 ;18 :9 0 2 e17. Pilkington K, K ir kwo od G, R amp es H, Ri chardson J. Yoga for d epr e ss i o n: t h e
re se ar ch evidence. J Affect Disord 2 0 0 5 ;8 9 : 13 e24. Ravindran AV, L am RW, Fil teau MJ, L esp eran ce F, Ken ned y SH, Par ikh SV, e t al.
C anad i an Ne twor k for M ood a n d Anxiety Tr ea tmen t s (CANMAT) clinical guidelines for t h e m an a ge m en t of ma jo r depre ssive d i so rd er i n adults. V. C o mp l emen tar y an d al ternative medi cin e t r ea tmen t s . J Affect Disord 20 09;117(Suppl . 1) :S54e6 4 .
Ri ley D. Hatha yoga and the treatment of i l l ness. Altern Ther Heal th M ed 200 4;10:20e1
. Rocha KK, Ribeiro AM, Rocha KC, Sousa MB, Al b u que r qu e FS, Ribeiro S, e t
al. Imp r ovemen t in physiological a n d psychological p a r am e te r s af t er 6 m o n t h s of yoga practice. Conscious Cogn 2 012 ;21 :84 3 e5 0 .
Ross A, T h o mas S. The h ea l th b en efi t s of yoga a n d exerci se: a review of co mp ar i so n studies. J Altern C o mp l e men t Med 2 010 ;16 :3 e12.
Sarubin N, Nothdur f te r C, S chmotz C, W i m m e r AM, T r u m me r J, Lieb M, Uhr M, e t al. Imp ac t o n cortisol a n d an t i d ep re ssan t efficacy of qu et i ap in e a n d esc i ta lopram in depre ss ion. Psychoneuroendocrinology 2 0 14 ;3 9 : 141 e51.
Schüle C, Baghai TC, Eser D, Hafner S, B orn C, H er r m an n S, e t al. Th e co mb i n ed dexame th ason e/ C R H te s t (DEX/CRH te s t) a n d predi ct ion of acute t r ea t me n t r e sp o n se in majo r depre ss ion. PLoS One 2 0 0 9a ;4 :e43 24.
Schüle C, Baghai TC, Eser D, R upprech t R. Hypothalamic-pi tui tary-adrenocortical syst em dysregulation a n d n e w t r ea t men t strategie s in depr e ssi on. Exper t Rev Neu r o th er 2 0 0 9 b ;9 : 10 0 5 e19.
Smith JA. Is t h e r e m o r e to yoga th an exer cise? Altern Ther Health Med 2 011 ;17:22 e9 . Streeter CC, Gerbarg PL, Saper RB, Ciraulo DA, Brown RP. Effects of yoga on the autonomic
nervous system, gamma-aminobutyric-ac id, an d allostasis in epilepsy, depression, an d post- trau mati c str e ss disorder. Med Hypotheses 2 012 ;7 8 :571 e9.
Thirthall i J, Naveen GH, Rao MG, Varambally S, Chr i s toph er R, Gan gad har BN. Cortisol an d an t i d ep re ssan t effects of yoga. Indian J Psychiatry 2013;55(Supp l . 3) :S405e8 .
Uebelacker LA, Ep s te in - Lub o w G, G au d ian o BA, Tr emo n t G, Battl e CL, Miller IW. Hath a yoga for d ep re ss i on : critical review of t h e eviden ce for efficacy, plausible mech an i sms of action, a n d directions for f u tu r e resear ch. J Psychiatr Pract 2 010 ;16 :2 2 e 3 3 .
Vadiraja HS, Raghavendra RM, Nagara thn a R, Nagendra HR, Rekh a M, Vani tha N, e t al. Effects of a yoga p r ogram o n cortisol r hy th m a n d m o o d s ta t e s in early b r eas t cancer p a t i en t s undergo ing adju van t r ad io ther apy: a r an d o mi zed controlled trial. Integr Can cer Ther 2 0 0 9 ; 8 : 3 7 e46.
V ed amu r th a ch a r A, J anaki ramai ah N, Hegde JM, Shetty TK, Su bbakr i shna DK, S u resh b abu SV, e t al. An ti dep re ssant efficacy a n d h o r mo n a l effects of Sud ar-
sh an a Kriya Yoga (SKY) in alcohol d e p e n d en t individuals. J Affect Di sord 2 0 0 6 ;9 4 :2 4 9 e5 3 .
Vera FM, M an zan e qu e JM, M aldo nad o EF, C a r r anqu e GA, Rodriguez FM, Blanca MJ, e t al. Subjective sleep quali ty a n d h o r mo n a l mo d u l a t i on in long- te rm yoga practi tioners. Biol Psychol 2 0 0 9 ;8 1 :16 4 e 8.
West J , Ot te C, Geher K, Johnson J, Mohr D C. Effects of hatha yoga and African dance on perceived stress, affect, an d salivary cortisol. An n Behav Med 2 0 0 4 ; 2 8 : 114 e 8.
Wi t tch en HU, Wun der l i ch U, Zaudig M, Fydrich T. S tru ktur i er t e s kl inisches in t er-
view für DSM-IV. Achse I: psychische störun gen. Göttingen: Hogrefe; 1997. Woolery A, Myers H, Steml iebm B, Zeltzer L. A yoga interventi on for young adult s wi th
elevated s ymp to ms of depre ssion. Altern Th er Health Med 20 04;10(2):60e3 . Yoshih ara K, Hiramoto T, Sudo N, Kubo C. Profi le of m o o d state s a n d stre ss-r e la ted
biochemical indices in l ong- t er m yoga practi tioners. Biopsychosoc Med 2 011 ;5 (6 ) :2 e7.
Zobel AW, Nickel T, Sonntag A, Uhr M, Hol sboer F, Ising M. Cortisol r e sp o n se in t h e co mb i n ed dexame th ason e/ C R H te s t a s pr edi c tor of r e lapse in p a t i en t s wi th r emi t ted depr ess i on. A prospect ive study. J Psychiatr Res 2 0 0 1 ;3 5 : 8 3 e94.
Zobel AW, Yassouridis A, Frieboes RM, Hol sboer F. Prediction of m ed i u m- t e r m o u tco me by cortisol r e sp o n se t o t h e co mb i n ed d exame th aso n e-C R H te s t in p a t i ent s wi th r emi t ted depre ss ion. Am J Psychiatry 19 9 9 ;15 6 :9 4 9 e51.