Upload
viean25
View
147
Download
8
Embed Size (px)
Citation preview
1
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK
Tesis, Januari 2012
Rika Sri Wahyuni
PENGARUH ISOFLAVON KEDELAI TERHADAP KADAR HORMON TESTOSTERON BERAT
TESTIS DIAMETER TUBULUS SEMINIFERUS dan SPERMATOGENESIS TIKUS PUTIH
JANTAN (Rattus norvegicus)
ABSTRAK
Di negara-negara maju seperti Amerika, Jepang ditemukan kasus infertil baik pria maupun wanita
sekitar 80% dari 400 juta pasangan. Saat ini, angka infertil meningkat mencapai 15%-20% dari sekitar 50 juta
pasangan di Indonesia. Kelainan pada pria memberi kontribusi 30% dan 20% disebabkan kelainan kedua
belah pihak pasangan. Masyarakat, khususnya kaum pria, tidak menyadari bahwa makanan yang dimakan
sehari-hari juga dapat menjadi faktor penyebab infertilitas. Salah satu makanan tersebut adalah kedelai,
kedelai mengandung isoflavon yang memiliki sifat estrogen like dan antiandrogenik sehingga dapat
menyebabkan infertilitas pada pria. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh isoflavon terhadap
kadar hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis pada tikus putih
jantan (Rattus norvegicus ).
Penelitian ini menggunakan metode pendekatan post test only control group design, terhadap tikus
putih jantan dengan berat 150–250g. Sampel terdiri dari 25 ekor tikus yang dibagi 5 kelompok yaitu
kelompok kontrol (K), kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Kelompok perlakuan diberikan isoflavon
dengan dosis masing-masing 1,26mg, 2,52mg, 3,78mg dan 5,04mg diberikan peroral selama 48 hari.
Kemudian tikus dikorbankan, diambil darah dan testisnya. Dilanjutkan dengan melakukan pengukuran kadar
hormone testosterone, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis. Kemudian hasilnya
dianalisa dengan menggunakan One Way ANOVA dan dilanjutkan dengan uji Multiple Comparrison jenis
Bonferroni.
Hasil penelitian didapat bahwa dosis 1,26mg telah menunjukkan penurunan yang signifikan terhadap
kadar hormon testosteron dibandingkan kelompok kontrol. Pada berat testis penurunan yang signifikan
terlihat pada dosis 3,78mg, pada diameter tubulus seminiferus penurunan signifikan baru terlihat pada dosis
5,04mg dibandingkan kelompok kontrol. Terjadi penurunan sel spermatogonium secara signifikan pada dosis
2,52mg, penurunan sel spermatosit yang signifikan terdapat pada dosis 5,04mg, sedangkan pada sel spermatid
dosis 1,26mg telah menunjukkan penurunan yang signifikan.
Dari hasil ini disimpulkan bahwa terdapat pengaruh pemberian isoflavon kedelai terhadap kadar
hormon testosteron, berat testis, diameter tubulus seminiferus dan spermatogenesis tikus putih jantan (Rattus
novergicus).
Kata Kunci: Isoflavon Kedelai, Kadar Hormon Testosteron, Berat Testis, Diameter Tubulus Seminiferus,
Spermatogenesis
2
PENDAHULUAN
Infertilitas merupakan masalah yang
dialami pria dan wanita diseluruh dunia.
Infertilitas adalah pasangan yang menjalani
hubungan seksual secara teratur tanpa
perlindungan selama 12 bulan dan tidak terjadi
kehamilan. Kasus infertilitas sejak beberapa tahun
terakhir meningkat (Llewellyn, 2001). Menurut
Siswono (2003) dalam Afriani (2010)
menyebutkan di negara-negara maju seperti
Amerika, Jepang ditemukan kasus infertil baik
pria maupun wanita sekitar 80% dari 400 juta
pasangan, dan Kurniawan (2009) menyebutkan
berdasarkan survey keseharan rumah tangga
(1996) diperkirakan ± 3,5 juta pasangan (7 juta
orang) mengalami infertil. Saat ini, para ahli
memastikan angka infertil meningkat mencapai
15%-20% dari sekitar 50 juta pasangan di
Indonesia.
Dahulu perhatian terfokus hanya pada
pihak wanita saja sebagai penyebab ketidak
suburan pasangan. Saat ini diketahui kelainan
pada pria memberi kontribusi 30% dan 20%
disebabkan kelainan kedua belah pihak pasangan.
Oleh sebab itu faktor pria atau suami memegang
kontribusi 50% pada pasangan infertil atau
dengan kata lain baik suami maupun isteri
mempunyai kontribusi yang sama (Trilsky, 2008).
STUDY PROGRAM OF BIOMEDICINE Thesis, January 2012 Rika Sri Wahyuni THE EFFECT OF MONOSODIUM GLUTAMATE GIVEN ON ESTRADIOL AND PROGESTERONE HORMONE LEVEL ON FEMALE WHITE RATTS (Rattus norvegicus)
ABSTRACT
The countries like America, and Japan, it was found that the cases of infertile men and women
were about 80% from 400 million couples. Today, many experts ensure that the rate number of infertility
increases 15% -20% of approximately 50 million couples in Indonesia. The abnormalities also happen to
men contributed 30% and 20% due to the abnormalities of both couples. Society, especially men, do not
realize that the foods daily consumed are also one of the infertility factors. One of these foods are
soybeans, soybean contains isoflavone with estrogen-like and antiandogenik, which can cause men’s
infertility. This study aims at finding out the effect of soybean isoflavone on testosterone hormone level
with testis weight of diameter of seminiferous tubules and spermatogenesis in male white rats (Rattus
norvegicus).
This research approach is post test only control group design, treated to the male white rats
weighing 150-250g. The sample consisted of 25 rats, which were divided into 5 groups: control group
(K), treatment group of P1, P2, P3 and P4. The treatment groups were orally given a dose of isoflavones
for each, 1,26mg, 2,52mg, 3,78mg and 5,04mg for 48 days. After 48 days of treatment the rats were
sacrificed, their blood and testes were taken. Then, the results were analyzed by using One Way ANOVA
and continued by multiple comparison test typed Benferroni.
The finding of the study showed a dose of 1.26 mg has shown a significant decline in
testosterone levels than the control group. In a significant reduction of testicular weight seen at doses of
3.78 mg, the diameter of seminiferous tubules decreased significantly look at a dosage of 5.04 mg than
the control group. A decline in spermatogonial cells was significantly at doses of 2.52 mg, a significant
decrease in spermatocyte cells contained in the 5.04 mg dose, whereas at doses of 1.26 mg spermatids
cells have shown a significant decline.
From the results, it is concluded that there is significant effect of soybean isoflavones on levels
of the hormone testosterone with testis weight of diameter of seminiferous tubule and spermatogenic. It
is suggested to carry out a further research on the effect of isoflavones on sperm quality of Leydig cells,
Sertoli cells, estrogen hormone levels and cholesterol in male rats.
Key Words: Soybean Isoflavone, Hormone Levels of Testosterone, Testis Weight, Diameter of
Seminiferous Tubules, Spermatogenesis
3
Analisis yang dilaporkan oleh beberapa klinik
yang meliputi jumlah pasien yang banyak dalam
dua dekade yang lalu adalah faktor laki-laki
(produksi sperma cacat, kesulitan inseminasi)
30%-40%, faktor ovulasi 5%-25%, faktor tuba
atau uterus 15%-25%, faktor servik/imunologik
5%-10%, tidak dapat dijelaskan setelah
investigasi 10%-25% (Llewellyn, 2001).
Hasil penelitian terkini menjelaskan
bahwa adanya kemungkinan efek yang merugikan
dari toksin lingkungan, seperti dari tumbuhan
terhadap fungsi reproduksi (Brandell, 2000).
Masyarakat, khususnya kaum pria, tidak
menyadari bahwa makanan yang dimakan sehari-
hari juga dapat menjadi faktor penyebab
infertilitas.
Di Indonesia, kedelai merupakan salah
satu komoditi pangan utama setelah padi dan
jagung. Hasil penelitian yang dilakukan Muchtadi
menyimpulkan bahwa produk olahan kedelai yang
paling banyak dikonsumsi oleh penduduk
golongan menengah dan bawah adalah tahu dan
tempe. Selain itu, kedelai juga mengandung
isoflavon, yang merupakan salah satu senyawa
fitokimia (Muchtadi, 2010)
Kandungan isoflavon pada kedelai
berkisar 2-4 mg/g kedelai. Senyawa isoflavon
tersebut pada umumnya berupa senyawa
kompleks atau konjugasi dengan senyawa ikatan
glukosa.Selama proses pengolahan, baik melalui
proses fermentasi maupun proses non-fermentasi,
senyawa isoflavon dapat mengalami transformasi,
terutama melalui proses hidrolisa, sehingga dapat
diperoleh senyawa senyawa isoflavon bebas yang
disebut aglikon (Prawiroharsono, 1998)
Isoflavon memiliki kemiripan struktur
kimia dengan estrogen pada mamalia. Cincin
fenolat pada isoflavon merupakan struktur penting
pada kebanyakan komponen isoflavon yang
berfungsi untuk berikatan dengan reseptor
estrogen. Isoflavon mampu berikatan dengan
Reseptor Estrogen (RE), dengan sifatnya yang
agonis ataupun antagonis. Isoflavon sebagai
senyawa estrogen like, mengawali kerjanya
dengan cara meniru cara kerja estrogen (Winarsi,
2005).
Isoflavon dapat berikatan dengan
receptor estrogen di hipofisis anterior untuk
menstimulus pengeluran Follicle Stimulating
Hormone (FSH) dan Luteinizing Hormone (LH)
sesuai dengan poros hipotalamus-hipofisis-tetis.
Hipotalamus mensintesis Gonadotropin-Releasing
Hormon (GnRH), dan mensekresinya ke dalam
portal hipotalamus-hipofisis. Setelah mencapai
hipofisis anterior GnRH merangsang pelepasan
LH maupun FSH. LH diambil oleh sel-sel leydig
yang berikatan pada reseptor spesifik membran
dan menyebabkan sekresi androgen. Sebaliknya,
peningkatan kadar androgen akan menghambat
sekresi LH dari hipofisis anteriror melalui suatu
efek langsung pada hipofisis dan suatu efek
penghambat pada tingkatan hipotalamus. Baik
hipotalamus maupun hipofisis memiliki reseptor
androgen dan estrogen. Namun demikian, efek
inhibisi utama androgen terhadap hipotalamus
tampaknya terutama diperantarai oleh estradiol
yang dapat dihasilkan lokal dari aromatisasi
testosteron. Sedangkan FSH terikat reseptor
spesifik pada sel-sel sertoli ditubulus seminiferus
dan merangsang pembentukan Androgen Binding
Protein (ABP). FSH penting untuk mengawali
spermatogenesis, namun pematangan spermatozoa
tidak hanya memerlukan efek FSH saja, tetapi
juga efek testosteron. Kerja utama FSH pada
spermatogenesis mungkin terjadi melalui
stimulasi pembentukan ABP, yang
memungkinkan kadar testosteron intratubular
yang tetap tinggi (Greenspan, 1998)
Salah satu dampak negatif yang
ditimbulkan adalah adanya penurunan kadar
testosteron yang menyebabkan penurunan kualitas
spermatozoa yang diperoleh dari hasil penelitian
yang dikutip dari penelitian Weber dalam
Karahalil (2006) menyimpulkan bahwa kadar
testosteron dan androestenidion, serta berat
prostat pada tikus jantan dewasa Sprague-Dawley
yang diberi diet kaya fitoestrogen dalam jangka
pendek menurun secara signifikan.
Penelitian lain juga menyebutkan bahwa
pemberian tepung kedelai sebagai sumber
fitoestrogen kepada kelinci (dosis 246 dan 490
mg/kg bb) berpengaruh menurunkan aspek
reproduksi khususnya kualitas spermatozoa,
spermatogenesis dan luas jaringan interstisial
(Kuntana, 2009)
Mitchel (2001) menyebutkan bahwa
konsumsi isoflavon pada pria umur 18-46 tahun
dengan dosis 40-70 mg/hari dilaporkan tidak akan
mempengaruhi kualitas spermatozoa, sedangkan
Astuti (1999) menyatakan pada pemberian
genistein (salah satu bentuk isolate isoflavon
murni) melalui injeksi pada dosis 4 mg/kg berat
badan/hari dilaporkan menyebabkan perubahan
pada berat testis, serta berkurangnya volume
lumen pada tubuli seminiferus dan terganggunya
spermatogenesis (Astuti, 2009)
Akhir-akhir ini, senyawa fitoestrogen
banyak menarik perhatian masyarakat, khususnya
dalam dunia medis, karena banyaknya laporan
dari beberapa peneliti bahwa konsumsi makanan
berbasis tanaman kaya fitoestrogen sangat
bermanfaat untuk kesehatan (Winarsi, 2005).
Namun karena ia juga bersifat estrogen like
peneliti bermaksud untuk melihat pengaruh
isoflavon kedelai terhadap kadar hormon
testosteron, berat testis, diameter tubulus
4
seminiferus dan spermatogenesis pada tikus jantan
karena kedelai dan produknya mengandung
isoflavon dan banyak dikonsumsi oleh seluruh
lapisan masyarakat.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
experimental, dengan rancangan penelitian
posttest only control group design yaitu
rancangan yang digunakan untuk mengukur
pengaruh perlakuan pada kelompok eksperimen
dengan cara membandingkan kelompok tersebut
dengan kelompok kontrol (Daniel, 1999)
Populasi dalam penelitian ini adalah
tikus putih betina (Rattus novergicus) yang
terdapat pada Unit Pemeliharaan hewan
percobaan (UPHP), dengan pertimbangan tikus
adalah mamalia coba atau sering disebut dengan
hewan laboratorium. Hewan laboratorium tersebut
digunakan sebagai model untuk penelitian
sebelum diperlakukan pada manusia.
Tahap Persiapan
Pada awal penelitian, tikus dikondisikan
secara seksama untuk mendapatkan berat badan
dan kriteria inklusi yang sesuai. Sebelum
dilakukan intervensi, tikus pada tiap kelompok
diadaptasikan terlebih dahulu selama 1minggu.
Setelah itu, tikus dibagi menjadi 5 kelompok,
yaitu 1 kelompok kontrol negatif, dan 4
kelompok perlakuan, yang dikandangkan secara
terpisah. Tiap kelompok diberi perlakuan sesuai
dengan prosedur yang telah ditentukan
sebelumnya dan isoflavon yang telah dilarutkan
diberikan dengan dosis 1,26mg, 2,52mg, 3,78mg
dan 5,04mg per 200gr berat badan tikus secara
oral selama 48 hari, kemudian pembedahan dan
pengambilan sampel darah dan testis tikus untuk
dilakukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut
Tahap Pelaksanaan
1. Memberikan perlakuan dengan cara
memberikan larutan isoflavon pada masing
– masing kelompok perlakuan secara
berulang dengan dosis 1,26mg, 2,52mg,
3,78mg dan 5,04 mg selama 48 hari (selama
satu tahap spermatogenesis tikus).
2. Setelah hari ke-48 disiapkan untuk
dilakukan pembedahan :
Kadar Hormon Testosteron :
1. Sebelum pembedahan hewan, dilakukan
pembiusan dengan cara meletakkan obat pada
dasar stoples, kemudian hewan dimasukkan
dan wadah ditutup. Apabila hewan sudah
kehilangan kesadarannya lalu dikeluarkan
dan dapat mulai dibedah.
2. Darah diambil dari vena cava inferior,
kemudian dimasukkan ke dalam gelas ukur
3. Gelas ukur yang berisikan darah diletakkan di
rak tes tube dan diamkan selama kurang lebih
10 menit
4. Setelah dilakukan sentrifus 3000 RPM
selama 15 menit untuk memisahkan serum
darah
5. Serum darah kemudian dipisahkan ke gelas
ukur yang baru dan selanjutnya dilakukan
pengukuran kadar hormone dengan metode
ELISA
Berat Testis :
1. Pengambilan organ testis dilakukan dengan
membuka kulit tubuh di daerah testis dengan
posisi telentang.
2. Organ testis diambil dengan cara memotong
bagian epididimis
3. Testis dibersihkan dari jaringan ikat dan
lemak serta pembungkusnya
4. Kemudian testis ditimbang dengan timbangan
elektronik kemudian dimasukan kedalam
cairan fiksatif dan dilabelisasi
Diameter Tubulus Seminiferus dan
Spermatogenesis
Pembuatan preparat histologi dilakukan dengan
metode parafin dan matoksilin - Eosin.
Diameter Tubulus Seminiferus
Pengukuran diameter tubulus seminiferus
dilakukan dengan menggunakan alat micrometer
yaitu dengan mengukur jarak terdekat antara 2
titik berseberangan pada garis tengahnya.yang
terpendek dan mengukur jarak terjauh antara titik
yang berseberangan, kemudian dibagi dua. Kedua
titik tersebut berada pada batas antara membrana
basalis dan sel spermatogenik..Tiap masing
masing preparat diukur miminal 10 tubulus Hasil
pengukuran dinyatakan dalam satuan mikro meter
(µm) (Sarno,2000).
Spermatogenesis
Pemeriksaan dilakukan pada tubulus
seminiferus dengan pengamatan mikroskop
elektrik pada pembesaran 400x dan diamati dalam
5 lapangan pandang (mulai dari kiri atas bergeser
ke kanan atas, bergeser ke tengah, bergeser ke kiri
bawah dan bergeser ke kanan bawah pada setiap
preparat dari testis kiri dan kanan kemudian
dirata-ratakan.
1. Jumlah sel spermatogonium : jumlah sel
dengan bentuk bulat, dekat membran basal,
inti berbentuk lonjong dengan kromatin
5
haslus dan selaput inti tipis yang diamati dan
dhitung dibawah mikroskop
2. Jumlah sel spermatosit : jumlah sel
berbentuk bulat, besar, inti gelap dengan
kromosom terlihat jelas yang diamati dan
dihitung dibawah mikroskop
3. Jumlah sel spermatid : jumlah sel berbentuk
bulat, lebih kecil dari spermatosit, inti bulat,
pucat dan terang yang diamati dan dihitung
dibawah mikroskop
HASIL
Penelitian ini dilakukan di Laboratorium
Farmakologi Fakultas Farmasi, Laboratorium
Biomedik dan Laboratorium Patologi Anatomi
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang
pada bulan Agustus-November 2011. Penelitian
ini terdiri atas 5 kelompok dengan pemberian
dosis isoflavon yang bervariasi pada masing-
masing kelompok tikus putih jantan. Minimal
berat badan tikus yang digunakan adalah 191gram
dan maksimal 200gram. Rata-rata berat badan
tikus yang digunaan pada masing-masing
kelompok, baik kelompok kontrol, kelompok P1,
P2, P3 dan P4 adalah 195gram dan rata-rata
pemberian isoflavon pada masing-masing
kelompok (P1, P2, P3 dan P4) adalah 1,97cc
dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Pada P1
pemberian 1,97cc setara dengan 1,26mg
isoflavon, P2 pemberian 1,97cc setara dengan
2,56mg, P3 pemberian 1,97cc setara dengan
3,78mg dan P4 pemberian 1,97cc setara dengan
5,04 mg.
Hasil penelitian pengaruh isoflavon kedelai
terhadap kadar hormon testosteron, berat testis,
diameter tubulus seminiferus dan
spermatogenesis tikus putih jantan (Rattus
novergicus) dapat dilihat pada tabel-tabel berikut:
5.1. Kadar Hormon Testosteron
Tabel 5.1. Uji Normalitas Kolmogorov-
Smirnov Kadar Hormon
Testosteron (ng/ml) Tikus Putih
Jantan (Rattus novergicus) pada
kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan
Kadar Hormon Testosteron (ngr/ml)
Mean 3,91
SD 1,46
p 0,13
Dari tabel 5.1 terlihat bahwa data kadar
hormon testosteron terdistribusi normal (p>0.05)
dengan rata-rata 3,91ng/ml dan standar deviasi
1,46ng/ml. Kemudian dilanjutkan dengan uji
ANOVA untuk melihat adakah pengaruh
pemberian isoflavon kedelai terhadap kadar
hormon testosteron
Tabel 5.2. Hasil Uji ANOVA Kadar
Hormon Testosteron (ng/ml)
Tikus Putih Jantan (Rattus
novergicus) pada kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan
Kelompok
Perlakuan
Rata-rata
(ng/ml) SD p
Kontrol 6,51 0,49 0,001
P1 4,14 0,42
P2 3,20 0,31
P3 2,95 0,12
P4 2,73 0,36
Tabel 5.2 menunjukkan adanya penurunan
rata-rata kadar hormon testosteron pada kelompok
yang diberi isoflavon dibandingkan dengan
kelompok yang tidak diberi isoflavon (kontrol)
pada tikus putih jantan (Rattus novergicus). Rata-
rata kadar hormon testosteron pada kelompok
kontrol adalah 6,51ng/ml, P1 4,14ng/ml, P2
3,20ng/ml, P3 2,95ng/ml dan P4 2,73ng/ml. Dari
hasil uji ANOVA diperoleh p value sebesar 0.001
(p<0.05) yang berarti ada pengaruh pemberian
isoflavon kedelai terhadap kadar hormon
testosteron. Untuk melihat signifikasi antar
kelompok perlakuan dilanjutkan dengan uji Post
Hoc Bonferroni
Kelompok Perlakuan
P4P3P2P1Kontrol
Mean
of
Kad
ar
Ho
rmo
n t
esto
ste
ron
7.00
6.00
5.00
4.00
3.00
2.00
Grafik 5.1. Hasil Uji Multiple Comparisons
Bonferroni Kadar Hormon
Testosteron (ng/ml) Tikus Putih
Jantan (Rattus novergicus) pada
kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan
Dari grafik 5.1 diketahui bahwa antara
kelompok kontrol dengan kelompok P1,
kelompok kontrol dengan kelompok P2,
kelompok kontrol dengan kelompok P3,
Keteranngan :
a = p<0.05
b = p≥0.05
a
a
\
a
a
a
a
a
b
b
b
6
kelompok kontrol dengan kelompok P4 dan antara
kelompok P1 dengan kelompok P2, kelompok P1
dengan kelompok P3, kelompok P1 dengan
kelompok P4 menunjukkan perbedaan yang
bermakna (p<0.05), sedangkan antara kelompok
P2 dengan kelompok P3, kelompok P2 dengan
kelompok P4 dan antara kelompok P3 dengan
kelompok P4 tidak terdapat perbedaan yang
bermakna (p>0.05)
5.2. Berat testis
Tabel 5.3. Uji Normalitas Kolmogorov-
Smirnov Berat Testis (g) Tikus
Putih Jantan (Rattus novergicus)
pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan
Berat Testis (g)
Mean 1,14
SD 0,10
p 0,99
Tabel 5.3 menunjukkan bahwa data
berat testis terdistribusi normal (p>0.05) dengan
rata-rata 1,14g dan standar deviasi 0,10g.
Kemudian dilanjutkan dengan uji ANOVA untuk
melihat adakah pengaruh pemberian isoflavon
kedelai terhadap berat testis
Tabel 5.4. Hasil Uji ANOVA Berat Testis
(g) Tikus Putih Jantan (Rattus
novergicus) pada kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan
Kelompok
perlakuan
Rata-rata
(g) SD p
Kontrol 1,26 0,08 0,001
P1 1,19 0,09
P2 1,13 0,05
P3 1,09 0,03
P4 1,03 0,08
Dari tabel 5.4 dapat dilihat adanya penurunan
rata-rata berat testis pada kelompok yang diberi
isoflavon dibandingkan dengan kelompok yang
tidak diberi isoflavon (kontrol). Rata-rata berat
testis pada kelompok kontrol 1,26g, P1 1,19g, P2
1,13g, P3 1,09g dan P4 1,03g. Dari hasil uji
ANOVA diperoleh p value sebesar 0.001
(p<0.05) yang menunjukkan ada pengaruh
pemberian isoflavon kedelai terhadap berat testis.
Untuk melihat signifikasi antar kelompok
perlakuan dilanjutkan dengan uji Post Hoc
Bonferroni
Kelompok Perlakuan
P4P3P2P1Kontrol
Mean
of
Bera
t te
sti
s
1.30
1.25
1.20
1.15
1.10
1.05
1.00
Grafik 5.2. Hasil Uji Multiple Comparisons
Bonferroni Berat Testis (g) Tikus
Putih Jantan (Rattus novergicus)
pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan yang telah
diberi Isoflavon
Dari grafik 5.2 dapat dilihat tidak
terdapat perbedaan yang bermakna antara
kelompok kontrol dengan kelompok P1,
kelompok kontrol dengan P2, tetapi terdapat
perbedaan yang bermakna antara kelompok
kontrol dengan kelompok P3, kelompok kontrol
dengan kelompok P4. Antara kelompok P1
dengan kelompok P2, kelompok P1 dengan
kelompok P3 tidak terdapat perbedaan yang
bermakna tetap antara kelompok P1 dengan
kelompok P4 terdapat perbedaan yang bermakna.
Antara kelompok P2 dengan kelompok P3,
kelompok P2 dengan kelompok P4, dan antara
kelompok P3 dengan kelompok P4 tidak terdapat
perbedaan yang bermakna (p>0.05).
5.3. Diamter Tubulus Seminiferus
Tabel 5.5. Uji Normalitas Kolmogorov-
Smirnov Diameter Tubulus
Seminiferus (µm) Tikus Putih
Jantan (Rattus novergicus) pada
kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan
Diameter Tubulus Seminiferus (µm)
Mean 130
SD 10,10
p 0,70
Tabel 5.5 menunjukkan bahwa data
diameter tubulus seminiferus terdistribusi normal
(p>0.05) dengan rata-rata 130µm dan standar
deviasi 10,10 µm. Kemudian dilanjutkan dengan
uji ANOVA untuk melihat adakah pengaruh
pemberian isoflavon kedelai terhadap diameter
tubulus seminiferus
Keteranngan :
a = p<0.05
b = p≥0.05
b b
a
a
b
b
a b
b
b
7
Tabel 5.6. Hasil Uji ANOVA Diameter
Tubulus Seminiferus (µm) Tikus
Putih Jantan (Rattus novergicus)
setelah pada kelompok kontrol
dan kelompok perlakuan
Kelompok
Perlakuan
Rata-rata
(µm) SD p
Kontrol 140 14,13 0,037
P1 134 8,96
P2 128 5,53
P3 126 5,83
P4 122 5,83
Dari tabel 5.6 terlihat adanya penurunan
rata-rata diameter tubulus seminiferus pada
kelompok yang diberi isoflavon dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Rata-rata diameter
tubulus seminiferus kelompok kontrol 140µm, P1
134µm, P2 128µm, P3 126µm dan P4 122µm.
Dari hasil uji ANOVA diperoleh p value sebesar
0,037 (p<0.05) yang menunjukkan ada pengaruh
pemberian isoflavon kedelai terhadap diameter
tubulus seminiferus. Untuk melihat signifikasi
antar kelompok perlakuan dilanjutkan dengan uji
Post Hoc Bonferroni
Kelompok Perlakuan
P4P3P2P1Kontrol
Mea
n o
f D
iam
eter
Tu
bu
lus
Sem
inif
eru
s
140.00
135.00
130.00
125.00
120.00
Grafik 5.3. Hasil Uji Multiple
Comparisons Bonferroni
Diameter Tubulus
Seminiferus (µm) Tikus Putih
Jantan (Rattus novergicus)
setelah Diberi Perlakuan
Dari grafik diatas dapat dilihat hanya
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan P4
yang terdapat perbedaan bermakna (p<0.05),
sedangan antara kelompok kontrol dengan
kelompok P1, kelompok kontrol dengan P2,
kelompok kontrol dengan P3, antara kelompok P1
dengan kelompok P2, kelompok P1 dengan
kelompok P3, kelompok P1 dengan kelompok P4,
antara kelompok P2 dengan kelompok P3,
kelompok P2 dengan P4 dan antara kelompok P3
dengan kelompok P4 tidak terdapat perbedaan
yang bermakna (p>0.05)
5.4. Spermatogenesis
Tabel 5.7. Uji Normalitas Kolmogorov-
Smirnov Sel Spermatogenik (sel)
Tikus Putih Jantan (Rattus
novergicus) pada kelompok
kontrol dan kelompok perlakuan
Spermatogenesis
Spermatogo
nium
(sel)
Spermato
sit
(sel)
Spermatid
(sel)
Mean 14 39 84
SD 4 8 16
P 0,59 0,35 0,75
Tabel 5.7 menunjukkan bahwa data
spermatogenesis terdistribusi normal, baik pada
sel spermatogonium, spermatosit maupun
spermatidnya (p>0.05) dengan rata-rata sel
spermatogonium 14 sel, sel spermatosit 39 sel
dan spermatid 84 sel dan standar deviasi sel
seprmatogonium 4 sel, sel spermatosit 8 sel dan
sel spermatid 16. Kemudian dilanjutkan dengan
uji ANOVA untuk melihat adakah pengaruh
pemberian isoflavon kedelai terhadap
spermatogenesis
Tabel 5.8. Hasil Uji ANOVA Jumlah Sel
Spermatogenik Tikus Putih
Jantan (Rattus novergicus) pada
kelompok kontrol dan kelompok
perlakuan
Kelp
Perl.
Sel Spermatogenik
Spermatogonium Spermatosit Spermatid
Rata-rata
± SD p
Rata-rata
± SD p
Rata-rata
± SD p
K 20 ± 4 0,001 46 ± 10 0,048 109 ±8 0,001
P1 17 ± 3 42 ± 2 91 ± 5
P2 14 ± 2 38 ± 8 80 ± 5
P3 11 ± 2 37 ± 4 77 ± 4
P4 10 ± 1 32 ± 9 68 ± 7
Dari tabel 5.8 dapat dilihat adanya
penurunan rata-rata jumlah sel spermatogenik,
baik jumlah sel spermatogonium, jumlah sel
spermatosit maupun jumlah sel spermatid pada
kelompok yang diberi isoflavon dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Dari hasil uji ANOVA
diperoleh p value secara berurutan untuk sel
spermatogonium, spermatosit dan spermatid
sebesar 0,001, 0,048 dan 0,001 (p<0.05) yang
menunjukkan ada pengaruh pemberian isoflavon
kedelai terhadap spermatogenesis. Untuk melihat
signifikasi antar kelompok perlakuan dilanjutkan
dengan uji Post Hoc Bonferroni
Keteranngan :
a = p<0.05
b = p≥0.05
b
b
b
a
b b
b
b
b
b
8
Kelompok Perlakuan
P4P3P2P1Kontrol
Mea
n o
f S
per
mat
og
on
ium
20
18
16
14
12
10
Grafik 5.4. Hasil Uji Multiple Comparisons
Bonferroni sel spermatogonium
(sel) Tikus Putih Jantan (Rattus
novergicus) setelah Diberi
Perlakuan
Grafik 5.4 menunjukkan bahwa antara
kelompok kontrol dengan kelompok P1 tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna. Tetapi
antara kelompok kontrol dengan kelompok P2,
kelompok kontrol dengan kelompok P3,
kelompok kontrol dengan P4 menunjukkan
perbedaan yang bermakna. Antara kelompok P1
dengan kelompok P2 tidak menunjukkan
perbedaan yang bermakna tetapi antara kelompok
P1 dengan kelompok P3, kelompok P1 dengan
kelompok P4 terdapat perbedaan yang bermakna.
Sedangkan antara kelompok P2 dengan kelompok
P3, kelompok P2 dengan kelompok P4 dan antara
kelompok P3 dengan kelompok P4 tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna
Kelompok Perlakuan
P4P3P2P1Kontrol
Mean
of
Sp
erm
ato
sit
50
45
40
35
30
Grafik 5.5. Hasil Uji Multiple Comparisons
Bonferroni sel spermatosit (sel)
Tikus Putih Jantan (Rattus
novergicus) setelah Diberi
Perlakuan
Pada grafik 5.5 terlihat bahwa terdapat
perbedaan yang bermakna antara kelompok
kontrol dengan kelompok P4 (p<0.05), tetapi
tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara
kelompok kontrol dengan kelompok P1,
kelompok kontrol dengan kelompok P2,
kelompok kontrol dengan P3, antara kelompok
P1 dengan kelompok P2, kelompok P1 dengan
kelompok P3, kelompok P1 dengan kelompok
P4, antara kelompok P2 dengan kelompok P3,
kelompok P2 dengan kelompok P4, begitu juga
antara kelompok P3 dengan kelompok P4
(p>0.05)
Kelompok Perlakuan
P4P3P2P1Kontrol
Mea
n o
f S
pe
rma
tid
110
100
90
80
70
60
Grafik 5.6. Hasil Uji Multiple Comparisons
Bonferroni Spermatid (sel) Tikus
Putih Jantan (Rattus novergicus)
pada kelompok kontrol dan
kelompok perlakuan yang telah
diberi Isoflavon
Grafik 5.6 menunjukkan terdapat
perbedaan yang bermakna antara kelompok
kontrol dengan kelompok P1, kelompok kontrol
dengan kelompok P2, kelompok kontrol dengan
kelompok P3 dan kelompok kontrol dengan
kelompok P4. Antara kelompok P1 dengan
kelompok P2 tidak terdapat perbedaan yang
bermakna, tetapi antara kelompok P1 dengan
kelompok P3, kelompok P1 dengan kelompok P4
terdapat perbedaan yang bermakna. Antara
kelompok P2 dengan kelompok P3 tidak terdpat
perbedan yang bermakna tetapi antara kelompok
P2 dengan kelompok P4 terdapat perbedaan yang
bermakna. Antara kelompok P3 dengan
kelompok P4 tidak terdapat perbedaan yang
bermakna
Keteranngan :
a = p<0.05
b = p≥0.05
b a
a
a
b
a
a
b
b
b
Keteranngan :
a = p<0.05
b = p≥0.05
b
b
b
a
b
b
b
b
b
b
Keteranngan :
a = p<0.05
b = p≥0.05
a
a a
a
b a
a
b
a
b
9
DISKUSI
6.1. Kadar Hormon Testosteron
Berdasarkan hasil penelitian didapatkan
kadar hormon testosteron mengalami penurunan
sesuai dengan makin tinggi dosis isoflavon yang
diberikan pada tikus. Setelah dilakukan analisis
data dengan uji statistic One Way Anova
menunjukkan perbedaan kadar hormon
testosterone yang bermakna (p<0.05) antara
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan
P1, P2, P3 dan P4. Untuk mengetahui perbedaan
yang signifikan antara kelompok kontrol dengan
masing-masing perlakuan, maka dilanjutkan
dengan uji Multiple Comparison Bonferroni,
didapatkan perbedaan yang signifikan antara
kelompok kontrol dengan perlakuan P1-P4, P1
dengan P3-P4 (P<0.05), antara P1 dengan P2, P2
dengan P3-P4 dan P3 dengan P4 tidak
menunjukkan perbedaan yang bermakna
(P>0.05).
Terjadinya penurunan kadar hormon
testosteron disebabkan oleh isoflavon yang
bersifat estrogen like dan juga bersifat
antiandrogenik. Isoflavon mengawali kerjanya
dengan cara meniru kerja estrogen, sehingga
mampu berikatan dengan reseptor estrogen yang
terdapat pada hipofisis anterior.
Pada pria, testis juga memproduksi
estrogen dalam jumlah yang sedikit tetapi
bermakna, tetapi sebagian besar hormon estrogen
dihasilkan dari reaksi aromatisasi perifer hormon
testosteron dan androstenedion. Hormon ini
diduga berperan serta dalam pengaturan FSH
sebagai inhibin (Murray, 2003)
Secara fisiologis dalam system portal
HHT, hipotalamus mensekresikan GnRH untuk
menstimulus hipofisis anterior mensekresikan
FSH dan LH, namun karena isoflavon yang
berikatan dengan reseptor estrogen menyebabkan
sekresi FSH menurun begitu juga dengan sekresi
LH. Jika sekresi LH terhambat, maka
pertumbuhan dan pematangan sel leydig serta
kemungkinan jumlah sel leydig berkurang
sehingga sekresi hormon testosteron akan
berkurang. Hal ini disebabkan karena sel leydig
merupakan tempat terjadinya proses
steroidogenesis yang menghasilkan tetsosteron,
jika jumlah/fungsinya berkurang maka
produksinyapun akan berkurang (Hanum, 2010).
Selain itu, isoflavon juga menghambat
kerja enzim 17-β-hidroksisterodoksidorektase,
yang dibutuhkan untuk sintesis testosteron.
Testosteron berasal dari prekursor kolesterol,
kolesterol mengandung 27 atom karbon, setelah
hidroksilasi dari kolesterol pada atom C20
dan
atom C22
terjadi pemecahan rantai samping
menjadi bentuk pregnenolon dan asam isocaproat,
pemecahan ini di samping adanya enzim 20β
hidroksilasi dan 22β hidroksilasi juga adanya
peran LH dalam meningkatkan aktivitas enzim
(Jacob, 1994). Selanjutnya konversi pregnenolon
menjadi testosteron membutuhkan beberapa
enzim, yaitu 3β-hidroksisteroid dehidrogenase,
17α-hidroksilase dan 17-β-
hidroksisteroidoksidorektase (Murray, 2003).
Berarti dengan demikian jika LH menurun maka
pemecahan rantai samping menjadi bentuk
pregnenolon dan asam isocaproat akan terganggu
sehingga pregnenolon tidak terbentuk dan
selanjutnya testosteronpun tidak terbentuk. Begitu
juga dengan gangguan pada enzim 17-β-
hidroksisterodoksidorektase, meskipun
pregnenolon terbentuk namun tidak dapat
dikonversi menjadi testosteron.
6.2. Berat testis
Dari hasil penelitian didapatkan berat
testis tikus mengalami penurunan sesuai dengan
makin tinggi dosis isoflavon yang diberikan pada
tikus. Setelah dilakukan analisis data dengan uji
statistic One Way Anova menunjukkan perbedaan
rata-rata berat testis yang bermakna (p<0.05)
antara kelompok kontrol dengan kelompok
perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Untuk mengetahui
perbedaan yang signifikan antara kelompok
kontrol dengan masing-masing perlakuan, maka
dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison
Bonferroni, tidak didapatkan perbedaan yang
signifikan antara kelompok kontrol dengan
perlakuan P1-P2, P1 dengan P2-P3, P2 dengan
P3-P4, dan P3 dengan P4 (p>0.05), tetapi
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
kelompok kontrol dengan P3-P4, P1 dengan P4
(p<0.05)
Penurunan rata-rata berat testis diduga
disebabkan oleh pemberian isoflavon pada dosis
tinggi mengakibatkan terhambatnya
perkembangan sel leydig atau berkurangnya
jumlah sel leydig yang disebabkan oleh sekresi
LH yang terhambat akibat efek anti androgenik
dari isoflavon. Dugaan lain penurunan berat testis
juga disebabkan oleh menurunnya FSH dan kadar
hormon testosteron yang memiliki fungsi penting
dalam proses spermatogenesis
Spermatogenesis pada dasarnya
merupakan proses yang dikendalikan oleh system
saraf melalui poros hipotalamus-hipofisis-testis
(HHT), dan dapat berjalan normal jika hubungan
atau poros antara hipotalamus-hipofisis-testis
yang membentuk system neuro endokrin tersebut
berjalan normal. Hormon atau anti hormon yang
dapat mengganggu poros HHT pada dasarnya
akan mengganggu spermatogenesis (Tadjudin,
1986). Apabila testosteron di dalam sel leydig
berkurang maka akan mengakibatkan pembelahan
10
meiosis terganggu, sehingga pembentukan
spermatid dan seterusmya juga akan terganggu.
Dugaan ini didukung oleh hasil parameter
spermatogenesis pada penelitian ini
Penyusutan berat testis telah dilaporkan
berhubungan dengan penyusutan dimensi tubuli
seminiferi sebagai tempat utama berlangsungnya
proses spermatogenesis untuk menghasilkan
spermatozoa (Fritz, 2003). Tubulus seminiferus
merupakan bagian utama massa testis, yaitu
sekitar 80% (Sherwood, 2001).
6.3. Diameter Tubulus Seminiferus
Dari hasil penelitian didapatkan diameter
tubulus tikus mengalami penurunan sesuai dengan
makin tinggi dosis isoflavon yang diberikan pada
tikus. Setelah dilakukan analisis data dengan uji
statistic One Way Anova menunjukkan perbedaan
diameter tubulus seminiferus yang bermakna
(p<0.05) antara kelompok kontrol dengan
kelompok perlakuan P1, P2, P3 dan P4. Untuk
mengetahui perbedaan yang signifikan antara
kelompok kontrol dengan masing-masing
perlakuan, maka dilanjutkan dengan uji Multiple
Comparison Bonferroni, didapatkan perbedaan
yang signifikan hanya antara kelompok kontrol
dengan P4 (p<0.05), tetapi menunjukkan
perbedaan yang tidak signifikan antara kelompok-
kelompok lainnya (p>0.05)
Tubulus seminiferus merupakan bagian
utama dari masa testis (80%) yang merupakan
tempat berlangsungnya spermatogenesis. Sel-sel
endokrin yang mengeluarkan testosteron (sel
leydig) terletak dijaringan ikat antra tubulus-
tubulus seminiferus. Sel leydig mengandung
enzim-enzim dengan konsentrasi tinggi yang
diperlukan untuk sintesis testosteron. Setelah
disekresikan testosteron yang baru disekres diikat
oleh ABP yang disekresikan oleh sel sertoli
masuk ke lumen tubulus seminiferus untuk proses
spermatogenesis (Sherwood, 2001)
Penurunan diamter tubulus seminiferus
pada penelitian ini diduga karena terhambatnya
sekresi LH dihipofisis anterior untuk menstimulus
pertumbuhan dan jumlah sel leydig sehingga
sekresi testosteron berkurang, dan adanya hambat
17-β-hidroksisteroidoksidoreduktase pada sel
leydig unuk produksi testosteron oleh isoflavon
sehingga terjadi penurunan kadar hormon
testosteron. Kurangnya hormon testosteron dan
FSH inilah diduga menyebabkan atropi atropi
tubulus seminiferus.
6.4. Spermatogenesis
Aktivitas spermatogenesis tikus putih
jantan yang diberi perlakuan isoflavon dengan
dosis yang berbeda menunjukkan penurunan
dibandingkan dengan kelompok kontrol. Hal ini
dapat diketahu dengan menghitung jumlah
anggota sel spermatogenik rata-rata dalam tubulus
seminiferus testis, yang merupakan indikator
terganggunya spermatogenesis. Setelah dilakukan
analisis data dengan uji statistic One Way Anova
menunjukkan perbedaan jumlah sel-sel
spermatogenik yang bermakna (p<0.05) antara
kelompok kontrol dengan kelompok perlakuan
P1, P2, P3 dan P4. Untuk mengetahui perbedaan
yang signifikan antara kelompok kontrol dengan
masing-masing perlakuan, maka dilanjutkan
dengan uji Multiple Comparison Bonferroni, pada
sel spermatogonium didapatkan perbedaan yang
signifikan antara kelompok control dengan P2-P4,
P1 dengan P3-P4 (P<0.05) tetapi tidak
menunjukkan perbedaan yang signifikan antara
kelompok control dengan P1, P1 dengan P2, P2
dengan P3-P4 dan P3 dengan P4 (P>0.05), pada
sel spermatosit perbedaan yang signifikan terdapat
antara control dengan P4 (p<0.05) dan antara
kelompok-kelompok lain tidak terdapat perbedaan
yang bermakna, sedangkan pada pada sel
spermatid perbedaan yang signifikan terlihat
antara kelompok kontrol dengan P1-P4, P1
dengan P3-P4, P2 dengan P4 (p<0.05), dan tidak
terdapat perbedaan signifikan antara P1 dengan
P2, P2 dengan P3 dan P3 dengan P4 (P>0.05)
Spermatogenesis adalah suatu proses
perkembangan spermatogonia dari epithelium
tubuli seminiferi yang mengadakan proliferasi dan
selanjutnya berubah menjadi spermatozoa. Pada
mamalia, spermatogenesis berlangsung dalam
tubulus seminiferus testis dan berlangsung terus
secara berkesinambungan sepanjang masa
reproduksi (de Kretser dan Kerr, 1997).
Testosterone dan FSH memiliki peranan
penting dalam proses spermatogenesis. FSH
menstimulus sel sertoli untuk mensisntesis ABP
yang berfungsi mengikat testosterone yang
disekresikan oleh sel leydig untuk dibawa ke
lumen tubulus seminiferus yang digunakan dalam
proses spermatogenesis. Penurunan pada kadar
FSH dan testosterone menyebabkan terganggunya
proses spermatogenesis bahkan menyebabkan
dapat menyebabkan atropi pada sel-sel
spermatogenik.
Pernyataan ini didukung oleh Hafez
(2000) yang menyatakan bahwa hormon yang
terutama berperan dalam sistem reproduksi jantan
adalah hormon testosteron. Secara umum hormon
ini berfungsi untuk merangsang pertumbuhan
spermatogonium, perkembangan spermatosit
primer dan sekunder serta diferensiasi spermatid
menjadi spermatozoa atau dengan kata lain
hormon testosteron berperan utama dalam
spermatogenesis.
Selain menghambat hipofisis anterior
untuk mensekresikan LH, isoflavon juga
11
diketahui dapat menghambat 17-β-
hidroksisteroidoksidoreduktase, enzim yang
dibutuhkan dalam sintesis androstenodion
menjadi testosteron, sehingga pada defisiensi
enzim tersebut mengakibatkan penurunan kadar
testosteron (Karahalil, 2006).
KESIMPULAN dan SARAN
Kesimpulan
Dari hasil penelitian mengenai
pemberian isoflavon terhadap kadar hormon
testosteron, berat testis, diameter tubulus dan
spermatogenesis dapat disimpulkan :
1. Terdapat penurunan yang bermakna kadar
hormon testosteron tikus putih jantan
(Rattus novergicus) pada pemberian
isoflavon dosis 1,26mg
2. Terdapat penurunan yang bermakna berat
testis tikus putih jantan (Rattus novergicus)
pada pemberian isoflavon dosis 3,78mg
3. Terdapat penurunan yang bermakna
diameter tubulus seminiferus tikus putih
jantan (Rattus novergicus) pada pemberian
isoflavon dosis 5,04mg
4. Terdapat penurunan yang bermakna sel
spermatogonium tikus putih jantan (Rattus
novergicus) pada pemberian isoflavon
dosis 2.52mg, penurunan yang bermakna
sel spermatosit pada pemberian isoflavon
dosis 5,04mg dan penurunan yang
bermakna sel spermatid pada pemberian
isoflavon dosis 1,26mg
Saran
Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan dan
kesimpulan diatas maka disarankan untuk
peneliti selanjutnya agar melakukan pemeriksaan
selanjutnya mengenai sel leydig, sel sertoli, kadar
hormon estrogen, FSH, LH, kolesterol serta
kualitas spermatozoa
DAFTAR PUSTAKA
Adlercreutz H, Markkanen H, Watanabe S, 1993.
Plasma Concentration of Phytoestrogen in
Japanese Men. Lancet
Astuti, 2009. Kualitas Spermatozoa Tikus Jantan
yang Diberi Tepung Kedelai Kaya
Isoflavon, Fakultas Pertanian Universitas
Lampung, 41(4):180-186
Attanassova N, Mckinnel, et al, 2000.
Comparative Effects of Neonatal Exposure
of Male Rats to Potent and Weak
(environmental) Estrogens on
Spermatogenesis at Puberty and The
Relationship to adult testis size and
Fertility : Evidence for Stimulatory Effects
of Low Estrogen levels. The Endocrine
Society, 141(10):3898-3905
Bardin, CW, Cheng CY, musto, NA. Gunsalus,
GL. 1988, The Sertoli Cell. In E Knobil
and, JD. Neill (eds). The psysiology of
Reproduction. Vo; 1. Raven Press New
York
Brandell, Schllegel, 2000. Evaluatin of male
infertility, In : Keel BA, May JV, De Jonge
CJ, editors, Handbook of Assisted
Reproduction Laboratory, Boca Raton,
Florida, CRC Press, LCC:77-94
Brzozowski AM et al, 1997. Molecular basis of
Agonism and Antagonism in the Estrogen
Receptor. Nature (Lond), 389 :753-758
Budisantoso, Hieronymus. 1994. Susu dan Yogurt
Kedelai. Yogyakarta : Penerbit Kanisius
Carnerro and Kelly, 1998. Sistem Reproduksi
Pria, dalam (Tambayong J, Alih Bahasa).
Histology Dasar, Edisi VIII, Jakarta,
Penerbit Buku Kedokteran Jakarta, EGC
Cunningham AR, Klopman G, Rosenkranz HS,
1997 A. Dichotomy in the Lipophilicity of
Natural Estrogen, Xenoestrogens and
Phytoestrogens. Environ Health Perspect
De Kretser, D.M, 1997. Evaluation of Male
Gonadal Function. In : P.J. Rowe and E.M.
Vikhlyaeva (eds)
De Kretser and Kerr, JB, 1997. The Cytology of
The Testis. In : E. Knobil and JD Neill
(eds). The Psysiology of reproduction. Vol.
I. Raven Press. New York
Fritz WA, Wang J, Eltoum IE, Lamartiniere CA,
2002. Dietary Genistein Down-Regulates
Androogen and Estrogen Receptor
Expression in The Rat Prostate, Moll Cell
Endocrinol, 186:89-99
Ganong, WF. 1998. Fisiologi Kedokteran.
Diterjemahkan oleh Andrianto J. Oswari
(ed) Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran
EGC
Greenspan, Baxter, 1998. Endokrinologi Dasar
dan Klinik,Ed IV, alih bahasa : Caroline
Wujaya, maulany, Sonny Samsudin,
Jakarta, EGC
12
Gultekin E, Yildiz F, 2006. Introduction to
Phytoestrogen, In : Yildiz F, Editor,
Phytoestrogen in Functional food, Boca
Raton, Florida, CRC Press Taylor &
Francis Group LLC
Hadley, M.E, 1992. Endocrynology, Prentice-
Hall, Inc, Simon dan Schuster Company
Englewood
Hanum M, 2010. Biologi Reproduksi, Nuha
medika, Yogyakarta
Hall, P.F, 1988. Steroid synthesis : Organization
and Regulation. In : E. Knobil dan J.D.
Neill (eds). The Physiology of
Reproduction. Vol.1. Raven Press, New
York
Hafez E, 1996. Human Semen and Fertility
Regulation in Men. The CV. Mosbyuni
Hess, RA. 1999. Spermatogenesis, Overview in
Encyclopedia of Reproduction 4
Hodgson, Y, D.M. Robertson, D.M. de Kretser,
1983. The Regulation of Testicular
Function, In : Greep, R.O, Reproductive
Physiology IV, International Review of
Physiology Vol.27, Univercity Park Press,
Baltimore
Junqueira, LC dan J. Carneiro, 1995. Basic
Histology (Histologi Dasar). Terjemahan
Adji Dharma. Edisi Ketiga. Penerbit EGC,
Jakarta
Kang KS, Che JH, and Lee YS, 2002. Lack of
Adverse Effects in the F1 Offspring
maternally Exposed to Genistein at human
Intake Dose Level, Food Chem Toxical,
40:43-51
Karahalil B, 2006. Benefits and risk of
Phytoestrogens, in : Yildiz F, Editor,
Phytoestrogen in functional foods, Boca
Raton, Florida, CRC Press Taylor &
Francis Group LLC, 33-210
Khaidir,2006. Studi Literatur Penilaian Tingkat
Fertilitas dan Penatalaksanaannya pada
Pria, Jurnal Kesehatan Masyarakat
Kim H, Peterson TG, Barnes S, 1998. Mechanism
of action of the Soy Isoflavone Genestein :
Emerging Role of its Effect Through
Transforming Growth factor beta
Signaling, Am J Clin Nutr, Am J Clin
Nutr, 68:1418S-1425S
Kuczynski, H.J, 1982. Fertility Controle in the
Male, A Development Perspective. In:
F.X.A
Kuntana, 2009. Jurnal Bionatura : Pengaruh
Pemberian Phytoestrogen terhadap
Kualitas Spermatozoa, Spermatogenesis
dan Luas Jaringan Interstisial pada kelinci
(Oryctolagus Cuniculus), 11(1):47-58
Kurniawan, 2009. Infertilitas Pasutri,
http://www.ujung-
dunia.co.cc/2009/06/infertilitas-pasangan-
suami-istri-kesehatan.html, [19 Mei 2011]
Leclerq G, Heuson JC, 1979. Physiological and
Pfarmacological Effect of Estrogen in
Breast Cancer. Biochem Biophys Acta
Llewellyn D, 2001. Dasar-dasar Obstetri dan
Ginekologi Ed VI, Jakarta, Hipokrates
Mitchell JH, Elizabeth C, Kinnibeurgh D, Provan
A, Collins AR, Irvin Ds, 2001. Effect of
Phytoestrogen Food Supplement on
Reproducting Health in Normal Males,
Clin SCI, 100(6):8-613
Muchtadi D, 2010. Kedelai Komponen Bioaktif
untuk Kesehatan. Penerbit Alpabeta
Bandung
Murray K, 2003. Biokimia Harper, Alih Bahasa
Andry Hartono, Ed, 25, Jakarta, EGC
Nasution, A W, 1993. Biologi Kedokteran
(Reproduksi) Fakultas Kedokteran
Universitas Andalas padang
Nasution A W, 1999. Andrologi, Fakultas
Kedokteran Universitas Andalas Padang
Norris, D.O, 1990. Vertebrate Endocrynology,
Lea and Febiger, Philadelphia
Prawiroharsono, 1998. Benarkah Tempe Sebagai
Anti Kanker, Jurnal Kedokteran dan
Farmasi Medika, No. 12 Tahun ke-14,
Desember 1998
Ross, M.H and E.J. Reith, 1985. Histology, A
Text and Atlas, Prentice – Hall. Inc, New
York
13
Rudolf S, 1986. The Anatomy of Laboratory Rat,
Baltimore : The Williams and Wilking
Company
Rugh, 1997. The Mouse is reproduction and
development Mineopolis : Burgess
Saryono, 2008. Biokimia Reproduksi, Untuk
Kebidanan, Keperawatan, Kedokteran dan
Kesehatan Masyarakat (Kespro). Mitra
cendekia Press, Yogyakarta
Schmidl MK, Labuza TP, 2000. Essentials of
Function Foods, Aspen Publishher, Inc,
GAitherburg, Maryland
Setchell KDR, Borriello SP, Hulme P, et al, 1984.
Non steroid Oestrogen of Dietary Origin :
Possible Roles in Hormon Dependent
Disease, AM J Clin Nutr
Setchell KDR, Adlercreutz H, 1988. Mammalian
Lignans and Phytoestrogens. Recent
Studies on Their Formation, Metabolism
and Biological Role in health and Disease,
In: Role of The Gut Flora in Toxicity and
Cancer (Rowland IR, ed), Ac Press,
London, UK
Setchell KDR, 1998. Phytoestrogens :
Biochemistry, Physiology, and Implication
for Human Health of Soy Isoflavon, Am J
Clin Nutr
Sherwood, 1995, Human Physiology from Cell to
Systems, Second Edition, West Publishing
Company, San Fransisco
Sherwood, 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke
Sistem, Ed. 2, Jakarta, EGC
Siswono, 2003. Infertilitas pada Pria. Dalam
Afriani, 2010. Gambaran Kecemasan
Pasangan Infertile yang Berkunjung ke RS
Adenan Adenin, Fk Keperawatan USU
Tadjudin, MK. 1986, Cara Keluarga Berencana
Hormonal pada Pria. Prosiding kongres
Nasional1. Perkumpulan Endokrinologi
Indonesia. Jakarta.
Van, Tienhoven. 1993. Reproductive Physiology
of vertebrata. Second Edition, Cornell
University Press. London
Wilson, J.D, 1996. Androgens, In : Goodman and
Gilman’s The Pharmacological Basis of
Therapeutics, Nineth Edition, International
Edition.
Winarsi, 2005. Isoflavon, Berbagai Sumber, Sifat
dan Manfaatnya pada Penyakit
Degeneratif, Yogyakarta, UGM University
Press
Yanwirasti, 2008. Langkah-langkah Pokok
Penelitian Biomedik, Fakultas Kedokteran
Universitas andalas Padang
Zaneveld, L.J.D and Chatterton, R.T, 1982,
Biochemistery of Mammalian
Reproduction, A Wiley-Interscience
Publication, John Wiley and Sons, New
York.