Upload
billy-betha-nagara
View
47
Download
4
Embed Size (px)
Citation preview
Plasmodium vivax
SEJARAH
HOSPES
Manusia merupakan hospes perantara parasit ini, sedangkan hospes definitifnya
adalah nyamuk Anopheles betina
NAMA PENYAKIT
Plasmodium vivaks menyebabkan penyakit malaria vivaks yang juga disebut
malaria tersiana.
DISTRIBUSI GEOGRAFIS
Plasmodium vivax ditemukan di daerah subtropik, seperti Korea Selatan, Cina
Mediterania Timur, Turki, beberapa negara Eropa pada waktu musim panas, Amerika
Selatan dan Utara. Di daerah tropik dapat ditemukan di Asia Timur (Cina, daerah
Mekong) dan Selatan (Srilangka dan India), Indonesia, Filipina serta di wilayah Pasifik
seperti Papua Nuigini, kepulauan Solomon dan Vanuatu. Di Afrika, terutama Afrika
Barat dan Utara, spesies ini jarang ditemukan. Di Indonesia Plasmodium Vivax tersebar di
seluruh kepulauan dan pada musim kering, umumnya di daerah endemi mempunyai
frekuensi tertinggi di antara spesies yang lain.
MORFOLOGI
DAUR HIDUP
Dengan tusukan nyamuk anopheles betina sporozoit masuk melalui kulit ke
peredaran darah perifer manusia; setelah ± jam sporozoit masuk dalam sel hati dan
tumbuh menjadi skizon hati dan sebagian menjadi hipnozoit. Skizon hati berukuran 45
mikron dan membentuk ± 10.000 merozoit. Skizon hati ini masih dalam daur praeritrosit
atau daur eksoeritrosit primer yang berkembangbiak secara aseksual dan prosesnya
disebut skizogoni hati.
Hipnozoit tetap beristirahat dalam sel hati selama beberapa waktu sampai aktif
kembali dan mulai dengan daur eksoeritrosit sekunder. Merozoit dari skizon hati masuk
ke peredaran dan menginfeksi eritrosit untuk mulai dengan daur eritrosit (skizogoni
darah). Merozoit hati pada eritrosit tumbuh menjadi trofozoit muda yang berbentuk
cincin, besarnya ± eritrosit. Dengan pulasan Giemsa sitoplasmanya berwarna biru,
inti merah,mempunya vakuol yang besar. Eritrosit muda atau retikulosit yang dihinggapi
P.vivax ukurannya lebih besar dari eritrosit lainnya, berwarna pucat, tampak titik halus
berwarna merah, yang bentuk dan besarnya sama disebut titik Schuffner. Kemudian
trofozoit muda menjadi trofozoit stadium lanjut (trofozoit tua) yang sagat aktif sehingga
sitoplasmanya tampak berbentu ameboid. Pigmen parasit menjadi makin nyata dan
berwarna kuning tengguli. Skizon matang dari daur eritrosit mengandung 12 – 18 buah
merozoit dan mengisi seluruh eritosit dengan pigmen berkumpul di bagian tengah atau di
pinggir. Daur eritrosit pada P.vivax berlangsung 48 jam dan terjadi secara sinkron.
Walaupun demikian, dalam darah tepi dapat ditemukan semua stadium parasit, sehingga
gambaran dalam sediaan darah tidak uniform.
Sebagian merozoit tumbuh menjadi trofozoit yang dapat membentuk sel kelamin,
yaitu makrogametosit dan mikrogameosit (gametogoni) yang bentuknya bulat atau
lonjong, mengisi hampir seluruh erotrosit dan masih tampak titik Schuffner di sekitarnya.
Makrogametosit (betina) mempunyai sitoplasma yang berwarna biru dengan inti kecil,
padat dan berwarna merah. Mikrogametosit (jantan) biasanya bulat, sitoplasma berwarna
pucat, biru kelabu dengan inti yang besar, pucat, dan difus. Inti biasanya terletak
ditengah. Butir – butir pigmen, baik pada makrogametosit maupun mikrogametosit, jelas
dan tersebar pada sitoplasma.
Dalam nyamuk terjadi daur seksual (sporogoni) yang berlangsung selama 16 hari
pada suhu 20oC dan 8 – 9 hari pada suhu 27oC. Dibawah 15oC perkembangan secara
seksual tidak mungkin berlangsung.
Ookista muda dalam nyamuk mempunyai 30 – 40 butir pigmen berwarna kuning
tengguli dalam bentuk granula halus tanpa susunan khas.
PATOLOGI DAN GEJALA KLINIS
Masa tunas intrinsik biasanya berlangsung 12 – 17 hari, tetapi pada beberapa
strain P.vivax dapat sampai 6 – 9 bulan atau mungkin lebih lama. Serangan pertama
dimulai dengan sindrom prodromal: sakit kepala, nyeri punggung, mual, dan malaise
umum. Pada relaps sindrom prodomal ringan atau tidak ada. Demam tidak teratur pada 2
– 4 hari pertama, kemudian menjadi intermiten dengan perbedaan yang nyata pada pagi
dan sore hari, suhu meninggi kemudian turun menjadi normal. Kurva demam pada
permulaan penyakit tidak teratur, disebabkan beberapa kelompok parasit yang masing –
masing mempunyai saat sporulasi tersendiri, hingga demam tidak teratur. Kemudian
kurva demam menjadi teratur, yaitu dengan periodisitas 48 jam. Serangan demam terjadi
pada siang atau sore hari dan mulai jelas dengan stadium menggigil, panas dan
berkeringat yang klasik. Suhu badan dapat mencapai 40.6oC (105oF) atau lebih. Mual dan
muntah, pusing, mengantuk atau gejala lain akibat iritasi serebral dapat terjadi tetapi
hanya berlangsung sementara. Anemia pada serangan pertama biasanya belum jelas atau
tidak berat, tetapi pada malaria menahun menjadi lebih jelas. Trombositopenia sering
ditemukan dan jumlah trombosit meningkat setelah pemberian obat antimalaria.
Malaria vivaks yang berat pernah dilaporkan di Uni Soviet, India, Pakistan,
Turki, Afganistan dan Irak. Komplikasi dapat berupa gangguan pernapasan sampai acute
respiratory distress syndrome, gagal ginjal, ikterus, anemia berat, ruptur limpa, kejang
yang disertai gangguan kesadaran. Pada penderita ini, P.vivax sebagai penyebab
dibuktikan dengan teknik PCR. P. falciparum tidak ditemukan baik dengan pemeriksaan
konvensional, rapid test ataupun PCR. Walaupun jarang terjadi, komplikasi umumnya
ditemukan pada orang non-imun, sehingga pada kelompok tertentu malaria vivaks dapat
membahayakan jiwa penderitanya, selain kelemahan yang disebabkan oleh relapsnya.
Limpa pada serangan pertama mulai membesar, dengan konsistensi lembek dan
mulai teraba pada minggu kedua. Pada malaria menahun limpa menjadi sangat besar,
keras dan kenyal. Trauma kecil (misalnya pada suatu kecelakaan) dapat menyebabkan
ruptur limpa, tetapi hal ini jarang terjadi.
Pada permulaan serangan pertama, jumlah parasit P.vivax sedikit dalam
peredaran darah tepi. Tetapi bila demam tersian telah berlangsung, jumlahnya bertambah
banyak. Suatu serangan tunggal yang tidak diberi pengobatan, dapat berlangsung
beberapa minggu dengan serangan demam yang berulang. Demam lama kelamaan
berkurang dan dapat menghilang sendiri tanpa pengobatan karena sistem imun penderita.
Selanjutnya, setelah periode tertentu (beberapa minggu – beberapa bulan), dapat
terjadi relaps yang disebabkan oleh hipnozoit yang menjadi aktif kembali. Berdasarkan
periode terjadinya relaps, P.vivax dibagi atas tropical strain dan temperate
strain.Plasmodium vivax tropical strain akan relaps dalam jangka waktu yang pendek
(setelah 35 hari) dan frekuensi terjadinya relaps lebih sering dibandingkan temperate
strain. Hal ini dapat ditemukan pada infeksi P.vivax di Indonesia yang telah diobati
secara radikal. Sebaliknya, pada temperate strain yang ditemukan di Korea Selatan,
Madagaskar, Eropa dan Rusia relaps terjadi 6 – 10 bulan setelah permulaan infeksi.
DIAGNOSIS
1. Diagnosis dengan mikroskop cahaya
Sediaan darah dengan pulasan Giemsa merupakan dasar untuk
pemeriksaan dengan mikroskop dan sampai sekarang masih digunakan sebagai
baku emas untuk diagnosis rutin. Sediaan darah malaria dapat digunakan untuk
identifikasi spesies maupun menghitung jumlah parasit.
Pemeriksaan sediaan darah tebal dilakukan dengan memeiksa 100 lapang
pandang mikroskop dengan pembesaran 500-600/1000 yang setara dengan 0,20 µl
darah. Jumlah parasit dapat dihitung per lapang pandang mikroskop. Metode semi-
kuantitatif untuk menghitung parasit (parasit count) pada sediaam darah tebal
adalah sebagai berikut :
+ = 1-10 parasit per 100 lapangan
++ = 11-100 parasit per 100 lapangan
+++ = 1-10 parasit per 1 lapangan
++++ = >10 parasit per 1 lapangan
Hitung parasit secara kuantitatif dapat dilakukan dapat dilakukan dengan
menghitung jumlah parasit per 200 leukosit dalam sediaan darah tebal dan jumlah
leukosit rata-rata 8000/µl darah, sehingga jumlah parasit dapat dihitung sebagai
berikut:
Parasit/µl darah = ∑ parasit dalam 20 leukosit x 40
Pada sediaan darah tipis dihitung dahulu jumlah eritrosit perlapagan
pandang mikroskop. Selain itu perlu diketahui jumlah total eritrosit, misalnya
4.500.000 eritrosit/µ darah (perempuan) atau 5.000.000 eritrosit/µl darah pada
laki-laki. Kemudian jumlah parasit stadium aseksual dihitung paling sedikit
dalam 25 lapang pandang mikroskop dan total parasit dihitung sebagai berikut:
Parasit/µl darah = X Jumlah eritrosit/µl
2. Metode lain tanpa menggunakan mikroskop (Metode ini mendeteksi protein
atau asam nukleat yang berasal dari parasit).
Rapid antigen detection test (RDT)
Dasarnya adalah immunochomatography pada kertas nitrocellulose.
Dengan cara ini berbagai protein parasit yang spesifik dapat dideteksi dalam darah
dari ujung jari penderita. Enzim lactate dehydrogenase yang dihasilkan berbagai
spesies plasmodium dapat digunakan untuk menyatakan infeksi non-falciparum
seperti P. vivax. Rapid test malaria ini telah dicoba di berbagai daerah endemis
malaria di dunia, termasuk di Indonesia. Tes ini sederhana dan cepat karena
hasilnya dapat dibaca dalam waktu ± 15 menit. Selain itu tes ini dapat dilakukan
oleh petugas yang tidak terampil dan memerlukan sedikit latihan. Alatnya
sederhana, kecil dan tidak memerlukan aliran listrik. Secara umum rapid test
mempunyai nilai sensitivitas dan spesifisitas lebih dari 90%.
Kelemahan rapid test adalah :
1) Kurang sensitif bila jumlah parasit dalam darah rendah (kurang dari
100 parasit/µl darah)
2) Tidak dapat mengukur densitas parasit (secara kuantitatif)
3) Antigen yang masih beredar beberapa hari-minggu setelah parasit
hilang memberikan reaksi positif palsu
4) Gametosit muda (immature), bukan yang matang (mature) mungkin
masih dapat dideteksi
5) Biaya tes ini cukup mahal
6) Tidak stabil pada suhu ruang 30oC
Hasil positif palsu yang disebabkan antigen residual yang beredar dan
gametosit muda dalam darah biasanya ditemukan pada penderita tanpa gejala.
Selain itu juga pada pada orang yang mengandung faktor rhematoid. Seharusnya
tidak mengakibatkan over threatment bila test ini digunakan untuk menunjang
diagnosis klinis pada penderita dengan gejala.
Keterangan:
Diagnosis malaria vivaks ditetapkan dengan menemukan parasit P.vivax
pada sediaan darah yang dipulas dengan Giemsa. Dengan Rapid test dapat
terlihat garis positif baik sebagai pen-LDH dan/atau Pv-LDH. Rapid test
sebaiknya dilakukan bersamaan dengan pemeriksaan mikroskopik untuk
menghindari false negative.
TERAPI PENGOBATAN
Prinsip dasar pengobatan malaria vivaks adalah pengobatan radikal yang
ditunjukkan terhadap stadium hipnozoit di sel hati dan stadium lain yang berada di
eritrosit.
Sejak tahun 1989, P. vivax yang resisten klorokuin mulai dilaporkan di Papua
Nugini, selanjutnya dari berbagai daerah di Indonesia, terutama Indonesia bagian timur.
Hal yang sama juga di temukan di Myanmar dan India. Untuk menghadapi hal ini
pengobatan klorokuin selama 3 hari dilakukan bersamaan dengan primakuin selama 14
hari. Dengan cara ini, maka primakuin akan bersifat sebagai skizontisida darah selain
membunuh hipnozoit di sel hati. Obat lain sebagai alternatif yang dapat diberikan adalah
artesunat-amodiakuin, dihidroartemisinin-piperakuin, atau non-altemisinin seperti
meflokuin dan atovaquone-proguanil.
Plasmodium vivax yang toleran terhadap primakuin mula-mula dilaporkan dari
timor leste pada tahun 1993. Sejumlah tentara Australia yang bertugas di daerah tersebut
terinfeksi P.vivax dan setelah kembali ke negaranya diobati secara radikal. Tentara
Australia tersebut ternyata tetap menderita relaps walaupun sudah diberikan klorokuin 3
hari dan primakuin 1 x 1 tablet (15 mg) selama 14 hari. Penelitian yang dilakukan di
Muangthai memperlihatkan bahwa peningkatan dosis primakuin menjadi 30 mg/hari
dapat mengatasi masalah ini. Pemeriksaan kadar glukosa 6 fosfat dihidrogenase dalam
darah penderita, perlu dilakukan untuk menghindari terjadinya anemia hemolitik.
EPIDEMIOLOGY
DAFTAR PUSTAKA
1. Mendis K, Sina BJ, Marchesini P, Carter R. The neglected burden of Plasmodium
vivax malaria. Am J Trop Med Hyg 2001; 64 (1,2) S97-106.
2. Ree HI. Unstable vivax malaria in Korea. Korean J Parasitol 2000; 38 (3): 119 –
38.
3. Brillman J. Plasmodium vivax malaria from Mexico- a problem in the Unite
States. West J Med 1978;147: 469 – 73.
4. Oh MD, Shin H, Shin D, Kim U, Lee S, Kim N et al. Clinical features of vivax
malaria. Am J Trop Med Hyg 2001; 65 (2). 143 – 6.
5. Beg MA, Khan R, Baig SM, Gulzar, Hussain R, Smego RA Jr. Cerebral
invovement in benign tertian malaria. Am J Trop Med Hyg 2002; 67: 230 – 2.
6. Ozsoy MF, Oncul O, Pekkafali Z, Pahsa A, Yenen OS. Splenic complications in
malaria: report of two cases from Turkey (case report). J Med Microbiol 2004;
53: 1255 – 8.
7. Kochar DK, Saxwna V, Singh N, Kochar SK, Kumar SV, Das A. Plasmodium
vivax malaria. Emerg Infect Dis 2005; 11: 132 – 4.
8. Spudick JM, Garcoa LS. Graham DM, Haake DA. Diagnostifc and therapeutic
pitfalls associated with primaquine-tolerant Plasmodium vivax. J Clin Microbiol
2005; 43: 978-81.
9. Cogswell FB. The hypnozoite and relapse in primate malaria. Clin Microbiol Rev
1992; 5: 26-35.
10. Baird JK. Chloroquine resistance in Plasmodium vivax. Antimicrob Agents
Chemother 2004; 48: 4075-83.
11. Kitchener SJ, Auliff AM, Rieckmann KH. Malaria in the AustralianDefence
Force during and after participation in the International Force in East Timor
(INTERFET). Med J Aust 2000; 173: 583-5.
12. Wilairatana P, Silachamroon U, Krudsood S, Singhasivanon P, Treeprasertuk S,
Bussaratid V et al. Efficacy of primaquine regimens for primaquine-resistant
Plasmodium vivax malaria in Thailand. Am J Trop Med Hyg 1999; 61: 973-7.
13. Pukrittayakamee S, Vanijanonta S, Chantra A, Clemens R, White HJ. Blood
stage antimalarial efficacy of primaquine in Plasmodium vivax malaria. J Infect
Dis 1994; 169: 932-5.
14. Moody A. Rapid diagnostic tests for malaria parasites. Clin Microbiol Rev 2002;
15: 66-77