Upload
liuk-irawati
View
31
Download
13
Embed Size (px)
DESCRIPTION
antihistamin
Citation preview
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
rahmat dan anugrah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Referat yang
berjudul anti histamin ini demi memenuhi syarat kepaniteraan klinik. Dengan
terselesaikannya makalah ini, penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada dr. Boedhi Setyanto, SpKK selaku pembimbing. Penulis telah
berusaha untuk menyusun referat ini dengan sebaikbaiknya. Namun demikian,
sebagai manusia biasa, penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
referat ini. Oleh karena itu, demi kesempurnaan, penulis mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dari semua pihak. Akhir kata, penulis meminta
maaf bila dalam penyusunan makalah ini ada hal-hal yang tidak berkenan.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya, dan bagi
pengembangan ilmu pengetahuan khususnya.
J
Malang, 22 November 2011
Penulis
BAB I
Pendahuluan
HISTAMIN DAN ANTI HISTAMIN
A. PENGERTIAN
Histamin atau beta-imidazoliletilamin atau 4(2-aminoetil)-imidazol adalah
senyawa jenis amin yang terlibat dalam imun lokal, selain itu senyawa ini juga
berperan dalam pengaturan fungsi fisiologis dan sebagai neurotransmitter. Pada
awalnya histamin besrta asetilkolin memiliki persamaan dalam sejarahnya, yaitu
disintesis secara kimia sebelum diketahui sifat biologiknya, keduanya disintesa
dari ekstraksi ergot. Histamin dibangun dari substansi kimia asam amino histidin
oleh pengaruh enzim histidin dekarboksilase. Sebagai tanggapan tubuh terhadap
patogen, maka tubuh memproduksi histamin di dalam basofil dan sel mast,
dengan adanya histamin maka terjadi peningkatan permeabilitas kapiler-kapiler
terhadap sel darah putih dan protein lainnya. Hal ini akan mempermudah sel darah
putih dalam memerangi infeksi di jaringan tersebut. Beberapa fungsi pengaturan
di dalam tubuh juga telah ditemukan berkaitan erat dengan kehadiran histamin.
Sewaktu diketahui bahwa histamin banyak mempengaruhi proses fisiologi dan
patologik, maka dicari obat yang bersifat antagonis histamin. Antihistamin
bekerja secara kompetitif, yaitu dengan menghambat interaksi histamin dengan
reseptor histamin. Sejak Bovet dan Staub (1937) menemukan ikatan amine berisi
ether phenolic yang bersifat antagonis terhadap efek histamin pada reseptor H1,
maka bahan tersebut kemudian dikembangkan menjadi bahan obat antihistamin
tahun 1940. Antihistamin yang aman dan efektif untuk pengobatan pertama kali
dilaporkan oleh Bovet dan Walthert (1944) yang menggunakan mepyramine
(phenothrazine) dan O Leary menggunakan diphenhydramine untuk pengobatan
urtikaria kronik. Fakta menunjukkan antihistamin ini tidak seluruhnya bisa
menghambat efek histamin di mukosa lambung, hal ini menunjukkan adanya
reseptor histamin lain yang kemudian dikenal sebagai reseptor H2. Disusul
dengan didapatkannya reseptor H3 pada jaringan sistem syaraf pusat, syaraf
perifer dan brokus serta reseptor Hic yang bekerja sebagai messenger intraseluler
berperan dalam pertumbuhan sel yang penerapannya di bidang dermatologi belum
diketahui. Semua antihistamin bekerja sebagai kompetitif inhibitor terhadap
histamin pada reseptor dijaringan dan beberapa diantaranya ada yang mempunyai
khasiat tambahan. Dalam perkembangannya dilakukan substitusi pada cincin
imidazole sehingga muncul antihistamin generasi II yang tidak menembus sawar
darah otak untuk mengurangi efek sedasi yang sering mengganggu. Kelainan kulit
pada selalu disertai dengan gejala kulit memerah, membengkak, rasa pedih dan
gatal, yang kesemuanya merupakan bagian dari proses inflamasi dan reaksi akibat
bebasnya histamin. Pemberian obat pada anak tidak sama dengan yang dilakukan
pada orang dewasa. Adanya perbedaan kematangan faal organ tubuh menurut
usia menyebabkan terjadinya perbedaan kinetika obat. Pada penggunaan
antihistamin, perlu pengetahuan tentang jenis antihistamin, farmakodinamik,
farmakokinetik, efek samping dan interaksi obat yang dapat terjadi. Berdasarkan
urutan pemilihan dan pemberian obat yang rasional, setelah ditegakkan diagnosis
penyakit dengan tepat yang kemudian diikuti dengan penetapan problema utama
yang harus ditanggulangi, dokter selanjutnya menetapkan sediaan apa yang akan
diberikan. Pertimbangan akan khasiat (eficacy), keamanan (safety yang berkaitan
dengan efek samping obat), kecocokan (suitability yang berkaitan dengan
kontraindikasi), ketersediaan (availability) dan harga (cost) saja, ternyata belum
memenuhi syarat kerasionalan pemberian obat.
ANTI HISTAMIN
Anti histamin penghambat reseptor H1 ( AH1 )
Antihistamin ini biasanya digunakan untuk mengobati reaksi alergi, yang
disebabkan oleh tanggapan berlebihan tubuh terhadap alergen (penyebab alergi),
seperti serbuk sari tanaman. Reaksi alergi ini menunjukkan penglepasan histamin
dalam jumlah signifikan di tubuh. Farmakokinetik secara umum yaitu
antagonisme Histamin H1 yang mempengaruhi otot polos terutama bronkus,
permeabilitas kapiler yaitu untuk mengurangi edema, untuk reaksi anafilaksis dan
alergi, pada kelenjar eksokrin AH1 mempengaruhi sekresi saliva dan eksokrin lain
akibat histamine, pada susunan saraf pusat dapat merangsang atau menghambat
SSP umumnya terjadi kantuk atau sedasi pada pemakaian AH1, antikolinergik
nemun tidak memadai untuk dosis terapeutik, anestesi local yaitu beberapa jenis
antihistamin dapat bersifat anestetik seperti prometazin dan pirilamin.
ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H1 (AH-1)
AH - 1 dibagi menjadi :
1. AH-l generasi pertama, disebut juga AH-l tradisional karena sudah cukup
lama dikenal dalam pengobatan.
2. AH-l generasi kedua, disebut juga AH-l nonsedasi, karena tidak
menembus sawar darah - otak sehingga tidak memberi efek sedasi
ANTIHISTAMIN HI GENERASI I / TMDISIONAL
Berdasarkan rumus kimianya, AH-l tradisional digolongkan :
Etanolamin: difenhidramin, dimenhidrinat, klemastin, karbinoksamin
maleat
Etilendiamin: tripelenaminHCl, pirilamin maleat, tripelenamin sitrat.
Alkilamin: klorfeniramin maleat, bromfeniramin maleat,
deksklorfeniramin, deksbromfeniramin, triprolidin
Piperazin: hidroksizin HCl, hidroksizinp amoat, siklizin HCl, siklizin
laktat, meklizin HCl
Fenotiazin: metdilazinHCl, prometazinHCl
Piperidin: azatadtn, siproheptadin
Efek framakologis
Semua AH-l memiliki efek farmakologis dan terapeutik yang serupa, dengan
menghambat histamin secara kompetitif pada reseptor H-l. AH-l menghambat
efek histamin pada pembuluh darah, bronkus, dan berbagai macam otot polos.
AH-l juga bermanfaat untuk mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain
yang disertai pelepasan histamin endogen berlebihan. Khasiat utama yang
diharapkan dari antihistamin H1 terutama sebagai kompetitif inhibitor pada
reseptor histamin sehingga dapat menghambat efek histamin berupa vasodilatasi
dan peningkatan permeabilitas kapiler yang secara klinis berupa eritem, bentol
(urtika) dan rasa gatal.
Efek klinis dari antihistamine H1 biasanya lebih lama dari penurunan kadar
dalam plasma karena adanya antihistamin di jaringan atau adanya hasil metabolit
yang aktif. Pada urtikaria, antihistamine H1 dapat mengurangi ukuran, lama,
frekuensi urtika dan gatal. Pada dermatitis atopik, efek sedasi merupakan efek
yang paling berperan dalam mengurangi gatal.
Farmakokinetik
Farmakokinetik AH-l yang banyak dibahas adalah klorfeniramin,
bromfeniramin, prometazin, hidroksizin, dan dipenhidramin. Pada pemberian oral
AH-l tradisional umumnya mulai timbul efek dalam waktu 15 - 30 menit, efek
maksimal sekitar 1 jam, dan efek bertahan selama 4 - 24 jam. Pemberian
intramuskular atau intravena mempunyai pemberian intravena secara cepat dapat
menyebabkan hipotensi. Beberapa AH-l mempunyai masa kerja lebih panjang,
misal klorfeniramin, bromfeniramin, dan hidroksizin yang mencapai lebih dari 20
jam, sehingga dapat diberikan 1 atau 2 kali sehari. Waktu paruh eliminasi
prometazin berkisar antara 10 - 14 jam, difenhidramin 4 jam, klorfeniramin 14 -
25 jam, bromfeniramin 14 jam, dan hidroksizin sekitar 20 jam. Waktu paruh
dalam serum pada anak - anak lebih singkat, sehingga perlu diberikan 2 atau 3 kali
sehari. AH-l didistribusikan ke seluruh tubuh, umumnya melewati sawar darah
otak dan plasenta, serta dapat diekskresi melalui air susu ibu. Obat-obat tersebut
dimetabolisme di hati sehingga penggunaan obat ini pada penyakit hati berat akan
menimbulkan akumulasi. AH-l menginduksi enzim mikrosomal hepatik, sehingga
mempercepat metabolismenya sendiri. Metabolisme terjadi melalui sistem
cytrochrome P-450 di hepar. Waktu paruh ini akan memanjang pada penderita
yang lebih tua atau penderita dengan sirosis hepar atau penderita yang mendapat
obat microsomal oxygenase inhibitor seperti ketokon azole, eritromisin, doxepin,
cimetidine. Ekskresi antihistamin ini terutama melalui ginjal. Pemberian jangka
lama beberapaA H-1 dapat menyebabkan subsensitivitas.
Penggunaan pada Kelainan Kulit
AH-1 tradisional dilaporkan efektif meredakan pruritus dan wheal pada
urtikaria pada lebih dari 70% pasien. Pada urtikaria idiopatik kronik, obat yang
terbaik adalah hidroksizin. Obat ini banyak digunakan sebagai obat lini pertama
pada urtikaria disebabkan efeknya sebagai aintihistamin, sedatif, dan
antiserotonin. Hidroksizin efektif menghilangkan gejala urtikaria, bahkan dengan
dosis cukup rendah sehingga dapat mengurangi efek samping. Diamati bahwa
obat ini lebih efektif untuk mencegah terjadinya reaksi urtikaria, pruritus akibat
pelepasan histamin, dermografisme, urtikaria kolinergik. Siproheptadin
direkomendasikan untuk urtikaria karena dingin. Belum diketahui mengapa obat
ini lebih baik daripada yang lain untuk keadaan ini. Antihistamin dapat diberikan
sebagai pengobatan urtikaria dan pruritus yang disebabkan reaksi alergi. Tetapi,
obat ini tidak efektif mengatasi gejala hipersensitivitas berat yang terjadi pada
anafilaksis, misalnya hipotensi dan obstruksi saluran nafas atas yang disebabkan
edema laring. Pengobatan untuk anafilaksis adalah epinefrin, dan antihistamin
dapat diberikan sebagai terapi tambahan untuk mengendalikan efek sekunder pada
kulit dan mukosa. Klein dan Galant membuktikan bahwa hidroksizin dapat
mengurangi pruritus 30% - 50% pada anak-anak dengan dermatitis atopik, yang
secara bermakna lebih baik daripada siproheptadin. Penelitian terdahulu menduga
keberhasilan pengobatan dermatitis atopik dengan antihistamin disebabkan efek
sedasi. Tetapi beberapa kepustakaan dan penelitian terakhir menunjukkan bahwa
antihistamin nonsedasi mempunyai efek yang sama dengan antihistamin
tradisional pada penderita dermatitis atopik anak-anak maupun dewasa. AH-l
dapat digunakaan untuk mengobati pruritus. Perbaikan tampak pada penderita
dermatitis atopik dan dermatitis kontak, juga pada beberapa keadaan, misalnya
gigitan serangga. Pada pasien dengan pruritus berat, efek sedasi dan
penghambatan reseptor histamin sangat berguna, terutama bila diberikan
menjelang tidur. Beberapa pruritus yang tidak didasari alergi kadang-kadang
memberi respons terhadap pemberian antihistamin. Mastositosis adalah kelainan
yang ditandai dengan peningkatan jumlah sel mas pada berbagai jaringan, dan
paling sering pada kulit. Antagonis reseptor histamin merupakan obat yang utama
dan dapat digunakan untuk mengobati gejala yang berhubungan dengan kulit,
traktus gastrintestinal, dan sistem kardiovaskular. Kadang-kadang antihistamin
diberikan secara topikal pada konjungtivitis alergik, dermatitis alergik, dan
pruritus akibat sengatan serangga, tetapi pemakaian jangka lama dapat
menyebabkan sensitisasi. Terapi menggunakan AH-1 dimulai dengan satu jenis
antihistamin. Apabila terjadi kegagalan, dosis dapat dinaikkan sampai mencapai
dosis yang masih dapat dipakai dan aman. Jika belum menolong, sebaiknya
diganti atau ditambah dengan antihistamin golongan lain.
EFEK SAMPING
Terjadi pada 15-25% pasien yang diberi antihistamin, dengan derajat intensitas
yang berbeda secara individual.
1. Depresi atau stimulasi susunan syaraf pusat
Depresi susunan syaraf pusat berupa sedasi bahkan sampai sopor sering
mengganggu aktivitas sehari-hari, teqadi pada pemakaian golongan amino
alkilether dan phenothiazine, tolerans terhadap efek sedasi dapat terjadi setelah
beberapa hari pemberian. Efek terhadap susunan syaraf pusat yang lain berupa
dizzinus, tinitus, gangguan koordinasi, konsentrasi berkurang dan gangguan
penglihatan/diplopia. Stimulasi susunan syaraf pusat berupa nervous, irritable,
insomnia dan tremor dapat terjadi pada pemakaian golongan alkylamine.
2. Efek anti kolinergik
Berupa retensi urine, disuria, impotensia dan mulut/mukosa kering dapat
terjadi pada pemakaian golongan amino ethyl ether, phenothrazine dan piperazine.
3. Hipotensi
Dapat terjadi pada pemberian antihistamin intravena yang terlalu cepat.
4. Dermatitis, erupsi obat menetap, fotosensitisasi, urtikaria dan petechiae di kulit
terutama setelah pemakaian secara topikal.
5. Keracunan akut
Terutama pada anak-anak seperti keracunan atropin berupa halusinasi, ataksia,
gangguan koordinasi, konvulsi dan efek entikolinergik (flushing, pupil lebar,
febris).
KONTRA INDIKASI DAN INTERAKSI OBAT
Dermatitis kontak alergi dapat terjadi pada pemakaian antihistamin H1 secara
topikal golongan ethylene diamine pada penderita yang telah mendapat obat lain
yang mempunyai struktur yang mirip (aminophyline).
Efek sedasi akan meningkat bila antihistamin H1 diberikan bersama dengan
obat antidepresan atau alkohol.
Golongan phenothiazine dapat menghambat efek vasopressor dari epinephrine.
Efek antikolinergik dari antihistamin akan menjadi lebih berat dan lebih lama
diberikan bersama obat inhibitor monoamine (procarbazine, furazolidone,
isocarboxazid).
Golongan piperazine pada binatang percobaan dapat menimbulkan efek
teratogenik.
TOLERANSI
Pemakaian antihistamin terutama hydroxizine lebih dari 3 minggu dapat terjadi
penurunan efektivitas klinis dalam mengatasi urtika. Mekanisme terjadinya belum
pasti, diduga adanya auto induksi pada metabolisme di hepar dan meningkatnya
ekskresi melalui urin, penggantian dengan antihistamin golongan lain pada
beberapa kasus dilaporkan dapat menolong. Tolerans tidak pernah dilaporkan
pada pemakaian chlorpheneramine. Penelitian lain terhadap antihistamin H1
generasi 2 tidak menunjukkan timbulnya tolerans setelah pemakaian 6-8 minggu.
Indikasi
Antihistamin generasi pertama untuk mengatasi hipersensitifitas, reaksi tipe I
yang mencakup rhinitis alergi musiman atau tahunan, rhinitis vasomotor, alergi
konjunktivitas, dan urtikaria.Agen ini juga bisa digunakan sebagai terapi
anafilaksis adjuvan. Difenhidramin, hidroksizin, dan prometazin memiliki indikasi
lain disamping untuk reaksi alergi. Difenhidramin digunakan sebagai antitusif,
sleep aid, anti-parkinsonism atau motion sickness. Hidroksizin bisa digunakan
sebagai pre-medikasi atau sesudah anestesi umum, analgesik adjuvan pada pre-
operasi atau prepartum, dan sebagai anti-emetik. Prometazin digunakan untuk
motion sickness, pre- dan postoperative atau obstetric sedation.
ANTIHISTAMIN H1 GENERASI II
Antihistamin H1 generasi II (antihistamin H1 non sedasi) ini tidak menembus
sawar darah otak sehingga efek sedasi kecil. Termasuk dari golongan ini antara
lain terfenadine, astemizole, loratadine dan cetirizine. Obat di atas pada dosis
terapi tidak menembus sawar darah otak sehingga mempunyai efek sedasi
minimal.
Astemizole
Astemizole dimetabolisme di hepar melalui sistem cythocrome P-450 dengan
waktu paruh 9,5 hari, dibandingkan dengan antihistamin H1 yang lain mempunyai
afinitas lebih besar terhadap reseptor H1 sehingga khasiat anti urtika masih dapat
berlangsung 4 minggu setelah obat dihentikan. Obat yang dapat menghambat
metabolisme hepar melalui sistem cytochrom P-450 seperti ketokon azole,
itrakonazole, eritromisin, cimetidine, doxepin, sari buah anggur (grape fruit juice)
tidak boleh diberikan bersama astemizole, terfenadine karena dapat menimbulkan
perpanjangan QT interval, aritmia, takikardi ventrikular (torsades de points).
Astemizole juga tidak bisa diberikan pada penderita dengan penyakit jantung dan
hati.
Terfenadine
Terfenadine seperti pada astemizole, juga dimetabolisme melalui sistem
cytochrome P-450 di hepar sehingga dapat menimbulkan aritmia kardiak,
takikardi ventricular, pemanjangan gelombang QT sehingga tidak dapat diberikan
bersama Cytochrome P-450 inhibitor lain seperti doxepin, antibiotik makrolide,
anti jamur rmidrazole, cimetidine. Terfenadine dapat menimbulkan rash
paradoksal seperti urtikaria. Terfenadine dan astemizole sejak 1998 sudah tidak
dipasarkan lagi di Amerika Serikat dan Kanada.
Fexofenadine
Fexofenadine yang merupakan metabolit aktif dari terfenadin tidak
dimetabolisir oleh cytochrome P-450, efek kardiotoksik lebih rendah, dengan efek
samping kecil sehingga di Inggris merupakan obat alternatif dari terfenadine.
Lorstadine
Loratadine merupakan antihistamin H1 golongan piperidine dengan efek sedasi
dan antikolenergik minimal, dimetabolisir melalui sistem cytochrome P-450 di
hepar menjadi descarbo-ethoxyloratadine yang dikeluarkan melalui urine dan
faeces, efek kardiotoksik tidak pernah dilaporkan pada pemakaian bersama
ketokonazole atau erithromisin. Secara in vitro, loratadine juga dapat menghambat
pelepasan leukotrine pada paru manusia, tetapi kurang efektif menekan pelepasan
histamine.
Cetirizine
Cetirizine merupakan hasil metabolit aktif dari hydroxyzine, dengan efek
sedasi, efek antikolinergik minimal. Beberapa antihistamin generasi II seperti
cetinzine secara in vivo terbukti mempunyai efek anti inflamasi seperti hambatan
terhadap aktivasi eosinofil, neutrofil, limfosit dan khematotaksis dengan jalan
menghambat :
1. Adhesi lekosit ke endotel venule/kapiler dengan akibat ektravasasi.
2. Efek kemotaksis sehinga terjadi migrasi melalui jaringan ke tempat radang
3. Aktivasi sel radang/pelepasan mediator
4. Ekspresi adhesi molekul oleh endotel/sel target.
Cetirizine terbukti dapat menghambat terjadinya urtikaria karena efek PAF dan
kallikrein pada reaksi fase lambat, misalnya terjadinya urtikaria karena kodein dan
bradykinin dan pada dermatitis atopik dapat menghambat akumulasi eosinofil.1-4
Azelustine
Azelastine selain sebagai antihistamin H1 juga dapat menghambat pelepasan
mediator histamin dari sel mast dan sel radang lain dengan jalan mencegah influx
kalsium atau pelepasan kalsium intraseluler.
Acrivastine
Acrivastine merupakan metabolit dari tripropilidine dengan kerja yang cepat.
Efek samping sedatif ringan, pada jantung tidak ada, interaksi obat dapat terjadi
bila diberikan bersama alkohol.
Beberapa Obat yang Mempunyai Khasiat Lain atau Seperti Antihistamin
1. Antidepresant trisiklik seperti doxepin (amitriptylin) dapat menghambat lebih
kuat terjadinya urtika akibat histamin dibanding clorpheneramine. Pemakaian
secara topikal dapat menimbulkan dermatitis kontak alergi.
2. Ketotifen (derivat Benzocyclohepta thiophen) dapat menghambat pelepasan
histamin dari sel mast dan menghambat terjadinya anafilaksis kutan pasif pada
hewan coba dan sebagai “calcium channel blocker”. Mempunyai efek sedasi dan
meningkatkan berat badan.
3. Oxatomide (Piperidine) termasuk golongan antihistamin H1 yang dapat
menghambat pelepasan histamin dan mediator lain dari sel mast.
ANTIHISTAMIN PENGHAMBAT RESEPTOR H2 (AH2)
Adanya reseptor histamin H2 yang terdapat pada pembuluh darah kulit
manusia merangsang pemakaian antihistamin Hz sebagai obat yang membantu
antihistamin H1 pada pengobatan urtikaria.
Cimetidine
Cimetidine merupakan antihistamin H2 yang pertama dan paling banyak
digunakan. Penyerapan di lambung sedikit, sebagian besar di usus halus. Waktu
paruh 2 jam dan kadar maksimal tercapai 80 menit setelah pemberian. Meskipun
tidak menembus sawar darah otak, efek samping pada syaraf dapat terjadi pada
penderita tua dengan fungsi ginjal yang kurang baik berupa halusinasi, delirium,
gangguan bicara, bingung. Cimetidene bersifat anti androgen berupa ginekomasti,
impotansi, produksi prolactin. Cimetidine menghambat produksi asam lambung
sehingga terutama digunakan pada ulkus peptikum. Efek samping berupa
neutropenia, depresi sumsum tulang. Ranitidine lebih aman digunakan bersama
antihistamin generasi II karena metabolisme tidak melalui sistem Cytochrome P-
450 hepar. Pada urtikaria kronik, pemakaian antihistamin H2 sebagai tambahan
antihistamin H1 dilaporkan memberi hasil baik pada urtikaria kronis.
Tiap sediaan antihistamin menunjukkan khasiat farmakodinamik tersendiri
dalam pengobatan kelainan kulit yang disertai dengan keluhan gatal. Antihistamin
lebih mampu menghilangkan rasa pedih pada urtikaria daripada eksema atopik.
Azelastine lebih menonjol dalam mengurangi rasa gatal, sedangkan citirizine lebih
nyata menghilangkan bengkakan. Pada kenyataannya waktu paruh antihistamin
pada anak lebih pendek daripada orang dewasa, misalnya chlorpheniramine,
hydroxyzine, cetirizine, dan terfenadine. Umumnya antihistamin mempunyai nilai
volume ditribusi dt antara 3.4 - 18.5 Lkg, kecuali cetirizine (0.8 Llkg). Selain itu
cetirizine diekskresikan melalui urine lebih banyak dalam bentuk utuh (60%
dosis). Farmokinetik citerizine pada anak-anak tidak sama dengan yang dijumpai
pada orang dewasa. Waktu paruh citerizine pada anak (4.910.b jam) lebih pendek
daripada orang d ewasa( 8.612.1ja m). Hal ini dikarenakan metabolismenya lebih
cepat ditandai dengan ekskresi bentuk utuhnya melalui urine makin sedikit.
Sebagai salah satu obat yang cepat, cetirizine sering direkomendasikan untuk
digunakan pada penanggulanganre aksi anafilaksis. Anggapan bahwa sediaan
antihistamin adalah sediaan yang aman menjadi penyebab luasnya pemakaian
sediaan ini. Tetapi pengkajian tentang keamanan antihistamin pada anak sangat
jarang dilakukan. Simons mendapatkan bahwa anakanak dengan dermatitis atopik
yang mendapatkan terapi cetirizine (0.25 mglkg) tidak mengalami pemanjangan
QTc interval.
KESIMPULAN
Pada pengobatan dengan antihistamin perlu diperhatikan beberapa hal dibawah
ini:
- Dosis adekuat.
- Diantara antihistamin generasi I tidak terbukti ada yang lebih efektif secara
konsisten.
- Antihistamin generasi I jangan diberikan bersama alkohol atau antidepresant
karena dapat meningkatkan efek sedasi.
- Bila dengan salah satu golongan antihistamine hasilnya kurang efektif, dapat
diganti atau dikombinasikan dengan antihisthmin golongan lain.
- Pemberian antihistamin generasi II pada pagi hari dan bila dianggap perlu dapat
ditambahkan antihistamin generasi I pada malam hari.
- Pemakaian antihistamin generasi II di atas dosis terapi dapat menimbulkan /
meningkatkan efek sedasi.
- Tidak boleh diberikan bersama dengan obat yang menghambat cytochrom P-450
karena dapat menimbulkan efek kardiotoksik.
- Bila terjadi tolerans, substitusi dengan antihistamin golongan lain pada beberapa
kasus dapat menolong.
- Memilih obat untuk anak-anak relatif lebih sulit dari pada bagi orang dewasa,
suatu obat yang ideal harus memenuhi kriteria berikut sesuai dengan urutannya :
* Keamanan
* Kualitas hidup
* Mudah diberikan dan cepat diabsorpsi
* Mula kerja cepat tanpa efek samping
* Aktivitas anti alergi.
- Tujuan utama pengobatan adalah menghentikan perjalanan penyakrt agar tidak
menimbulkan komplikasi medis yang serius.
- Efektivitas terpaksa dikorbankan bila pemberian jangka panjang mengganggu
perkembangan fisik dan mental anak-anak.
- Sering tidak masuk sekolah serta berkurangnya daya konsentrasi dan fungsi
kognitif akibat pengobatan tidak boleh terjadi dalam pengobatan jangkapanjang
apabila durasi penyakit pada anak-anak diperkirakan akan lama.
Daftar Pustaka
S. ganiswara, FARMAKOLOGI DAN TERAPI, FK UI, Jakarta: 1998
Farmacia.com, artikel tentang efek anti alergi pada anti histamin, diterbitkan
pada 19 juni 2008, diakses tanggal 4 desember 2009
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsudin U ; Histamin dan Antihistamin ; dalam Farmakologi dan Terapi,
Bagian Farmakologi FK - UI, Jakarta1, 980; p : 201- 10.
2. Hay RJ, Greaves M.W, Warin AP ; Systemic Therapy dalam Rook /
Wilkinson /
Ebling Textbook of Dermatology ; Champion R.H et all, editor, Black well
Imam Budi Putra : Pemakaian Antihistamin Pada Anak, 2008
USU e-Repository © 2008
ScienceLtd1,9 98;3315-7. r
3. Soter NA. Antihistamines. dalam : Fitzpatnck's Dermatology in General
Medicine,4'h. FrtzpatrickT B et all, editors.M cGraw Hill ;New York, 1999,p;
282t -7.
13
4.
5.
6.
7.
Sukanto. H ; Penggunaan Antihistamin secara Rasional di Bidang Dermatologi ;
dalam, Berkala Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin ; Vo|. 14. No. 3. Desember
2002, Airlanggar University press, Surabaya : p ; 244 - 51.
Lelo. A ; Pemakaian Kortikosteroid dan Antihistamin yang Rasional pada Anak ;
dalam. Simposium Masalah Kulit pada Bayr dan Anak serta Penatalaksanaanya,
Medan, 6 Mei 2000; Penerbit U niversitasS umateraTJtaraPress2,0 00 : p ; 5l -
6r.
Triestianawati, W ; Bramono. K ; Antihistamin pada Kelainan Kulit ; dalam
Media Dermato-VenereologicaIn donesianaV, ol. 25 No. l, 1998, pERDOSKI,
Jakarta : p ; 38 - 43.
West. P.D, Micalt G ; Principles of Pediatric Dermatological Therapy ; dalam
Textbook of Pediatric Dermatology Harper J, Oranje A, Rose N, editors.
Blackwell Science Ltd, 2000; p : 1 73I - 42.
t4