41
BAB I PENDAHULUAN Paru adalah organ tubuh yang berperan dalam sistem pernafasan yaitu proses pengambilan oksigen (O 2 ) dari udara bebas saat menarik nafas, melalui bronkus sampai dinding alveoli O 2 akan ditransfer ke pembuluh darah yang didalamnya mengalir antara lain sel-sel darah merah untuk dibawa ke sel-sel berbagai organ tubuh lain sebagai energi dalam proses metabolisme. Kelainan pada perkembangan paru dapat terjadi pada mekanisme embriologi melalui proses genetik, molekuler, dan varietas faktor pertumbuhan (Thurlbeck and Churg, 1995). Agenesis paru kongenital/aplasia merupakan kasus yang sangat jarang. Lebih dari 50% pasien agenesis paru meninggal pada usia 5 tahun pertama kehidupan. Beberapa individual menunjukkan gejala asimptomatik selama hidupnya. Pada kasus agenesis unilateral, tidak ditemukan cavitas pleura pada sisi yang terkena. Jantung dan paru yang normal akan memenuhi seluruh rongga toraks, serta terjadi pergeseran mediastinum dan rotasi jantung (Kumar et al., 2008). Hipoplasia paru merupakan kelainan yang ditandai dengan perkembangan yang tidak lengkap dari jaringan paru. Hipoplasia paru merupakan persoalan yang serius 1

Refrat New (1)

Embed Size (px)

DESCRIPTION

agenesis paru

Citation preview

Page 1: Refrat New (1)

BAB I

PENDAHULUAN

Paru adalah organ tubuh yang berperan dalam sistem pernafasan yaitu proses

pengambilan oksigen (O2) dari udara bebas saat menarik nafas, melalui bronkus

sampai dinding alveoli O2 akan ditransfer ke pembuluh darah yang didalamnya

mengalir antara lain sel-sel darah merah untuk dibawa ke sel-sel berbagai organ tubuh

lain sebagai energi dalam proses metabolisme. Kelainan pada perkembangan paru

dapat terjadi pada mekanisme embriologi melalui proses genetik, molekuler, dan

varietas faktor pertumbuhan (Thurlbeck and Churg, 1995).

Agenesis paru kongenital/aplasia merupakan kasus yang sangat jarang. Lebih

dari 50% pasien agenesis paru meninggal pada usia 5 tahun pertama kehidupan.

Beberapa individual menunjukkan gejala asimptomatik selama hidupnya. Pada kasus

agenesis unilateral, tidak ditemukan cavitas pleura pada sisi yang terkena. Jantung

dan paru yang normal akan memenuhi seluruh rongga toraks, serta terjadi pergeseran

mediastinum dan rotasi jantung (Kumar et al., 2008).

Hipoplasia paru merupakan kelainan yang ditandai dengan perkembangan yang

tidak lengkap dari jaringan paru. Hipoplasia paru merupakan persoalan yang serius

pada periode perinatal dengan tingkat kematian yang signifikan. Lebih dari 50% dari

kasus ini mengalami malformasi jantung, GI, genitourinari, dan skeletal (Chin, 2012).

Dalam kasus ketuban pecah dini pada usia kehamilan 25 minggu, kejadian

hipoplasia paru dilaporkan berkisar 9-28 % (13% pada kebanyakan studi ) dengan

tingkat kematian 71-95 % dan meningkat bila keadaan ketuban pecah dini terjadi

pada usia gestasi kurang dari 25 minggu dan juga pada keadaan oligohidramnion

lebih dari 2 minggu (Moretti and Papoff, 2012). Agenesis atau hipoplasia paru

bilateral merupakan keadaan yang tidak memungkinkan untuk hidup sedangkan

agenesis atau hipoplasia unilateral memiliki gejala asimptomatik dan mengakibatkan

hanya sepertiga kasus saja yang terdiagnosis selama hidup. Diagnosis ditegakkan

berdasarkan thoraks X-ray atau dideteksi saat autopsy (Behrman et al., 1999;

Rajshekar et al., 1997).

1

Page 2: Refrat New (1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Anatomi Paru

2.1.1 Rongga Toraks

Paru merupakan organ yang elastis, berbentuk kerucut, dan terletak dalam

rongga dada atau toraks. Mediastinum sentral yang berisi jantung dan beberapa

pembuluh dasah besar memisahkan paru tersebut (Gambar 2.1). Setiap paru

mempunyai apeks (bagian atas paru) dan dasar. Pembuluh darah paru dan bronkial,

bronkus, saraf dan pembuluh limfe memasuki tiap paru pada bagian hilus dan

membentuk akar paru. Paru kanan lebih besar daripada paru kiri dan dibagi menjadi

tiga lobus oleh fisura interlobaris. Paru kiri dibagi menjadi dua lobus (Price, 2006).

Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen sesuai dengan

segmen bronkusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan paru kiri

dibagi menjadi 9 segmen (Gambar 2.1). Suatu lapisan tipis kontinu yang mengandung

kolagen dan jaringan elastis, dikenal sebagai pleura, melapisi rongga dada (pleura

parietalis) dan menyelubungi setiap paru (pleura viselaris). Di antara pleura

parietaslis dan viselaris terdapat suatu lapusan tipis cairan pleura yang berfungsi

untuk memudahkan kedua permukaan itu bergerak selama pernapasan dan untuk

mencegah pemisahan toraks dan paru, yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca

objek yang saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeser satu

dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan (Price, 2006).

2

Page 3: Refrat New (1)

3

Gambar 2.1 Rongga toraks dan segmen bronkopulmonar Sumber: Price, 2006

Page 4: Refrat New (1)

2.1.2 Saluran Pernafasan

Saluran penghantar udara yang membawa udara kedalam paru adalah hidung,

faring, laring, trakea, bronkus, dan bronkiolus (Gambar 2.2). Saluran pernafasan dari

hiduung sampai bronkiolus dilapisi membran mukosa bersilia. Ketika masuk ringga

hidung, udara disaring, dihangatkan, dan dilembapkan. Ketiga proses ini merupakan

fungsi utama dari mukosa respurasi yang terdiri dari epitel toraks bertingkat, bersilia,

dan bersel goblet (Gambar 2.2 B). Permukaan epitel diliputi oleh lapisan mukus yang

disekresi oleh sel goblet dan kelenjar mukosa. Partikel debu yang kasar disaring oleh

rambut-rambut yang terdapat dalam lubangg hidung, sedangkan partikel yang halus

akan terjerat dalam laipsan mukus. Gerakan silia mendorong lapisan mukus ke

posterior di dalam rongga hidung, dan ke superior didalam sistem pernapasan bagian

bawah menuju faring. Dari sini pertikel halus akan tertelan atau dibatukkan keluar.

Lapisan mukus memberikan air untuk kelembapan, dan banyaknya jaringan

pembuluh darah di bawahnya akan menyuplai panas ke udara inspirasi. Jadi udara

inspirasi telah disesuaikan sedemikian rupa sehingga udara yang mencapai faring

hampir bebas debu, bersuhu mendeketai suhu tubuh, dan kelembapannya mencapai

100% (Price, 2006).

Udara mengalir dari faring menuju laring atau kotak suara. Laring terdiri dari

rangkaian cincin tulang rawan yang dihubungkan oleh otot-ototdan mengandung pita

suara. Ruang berbentuk segitiga di antara pita suara (yaitu glostis) bermuara ke dalam

trakea dan membentuk bagian antara saluran pernafasan atas dan bawah. Glotis

merupakan pemisah antara saluran nafas pernafasan bagian atas dan bawah.

Meskipun laring terutama dianggap berhubungan dengan fonasi, tetapi fungsinya

sebagai organ pelindung jauh lebih penting. Pada waktu menelan, gerakan laring

keatas, penutupan glotis, dan fungsi seperti pintu dari epiglotis yang berbentuk daun

pada pintu masuk laring, berperan untuk mengarahkan makanan dan cairan masuk ke

dalam esofagus. Jika benda asing masih mampu melampaui glotis, fungsi batuk yang

dimiliki laring akan membantu menghalau benda dan sekret keluar dari saluran

pernfasan bagian bawah (Price, 2006).

4

Page 5: Refrat New (1)

Trakea disokong oleh cincin tulang rawan berbentuk seperti sepatu kuda yang

panjangnya kurang lebih 12,5 cm (5 inci). Struktur trakea dan bronkus dianalogkan

dengan sebuah pohon, oleh karena itu dinamakan pohon trakeobronkial. Permukaan

posterior trakea agak pipih dibandingkan dengan sekelilingnya karena cincin tulang

rawan di daerah itu tidak sempurna, dan letaknya tepat di depan esofagus. Tempat

trakea bercabang menjadi bronkus utama kiri dan kanan dikenal sebagai karina.

Karina memiliki banyak saraf dan dapat menyebabkan brronkospasme dan batuk

berat jika dirangsang (Price, 2006).

5

Gambar 2.2 Sistem pernafasan. Inset A, Asinus, atau unit fungsional paru. Inset B, membrane mukosa bersilia.

Sumber: Price, 2006

Page 6: Refrat New (1)

Bronkus utama kiri dan kanan tidak simetris (Gambar 2.2). Bronkus utama

kanan lebih pendek dan lebih lebar dibandingkan dengan bronkus utama kiri dan

merupakan kelanjutan dari trakea yang arahnya hampir vertikal. Sebaliknya, bronkus

utama kiri lebih panjang dan lebih sempit dibandingkan dengan bronkus utama kanan

dan merupakan kelanjutan dari trakea dengan sudut yang lebih tajam (Price, 2006).

Cabang utama bronkus kanan dan kiri bercabang lagi menjadi bronkus lobaris

dan kemudian bronkus segmentalis. Percabangan ini berjalan terus menjadi bronkus

yang ukurannya semakin kecil sampai akhirnya menjadi bronkiolus terminalis, yaitu

saluran udara terkecil yang tidak mengandung alveoli (kantung udara). Bronkiolus

tidak diperkuat oleh cincin tulang rawan, tetapi dikelilingi oleh otot polos sehingga

ukurannya dapat berubah (Price, 2006).

Setelah bronkiolus terminalis terdapat asinus yang merupakan unit fungsional

paru, yaitu tempat pertukaran gas (Gambar 2.2 A). Asinus terdiri dari (1) bronkiolus

respiratorius, yang terkadang memiliki kantong udara kecil atau alveoli pada

dindingnya; (2) duktus alveolaris terminalis, yaitu struktur akhir paru. Asinus atau

kadang-kadang disebut dengan lobulus primer memiliki garis tengah kira-kira 0,5

sampai 1,0 cm. terdapat sekitar 23 kali percabangan mulai dari trakea sampai sakus

alveolaris terminalis. Dalam setiap paru terdapat 300 juta alveolus (Price, 2006).

Terdapat dua tipe lapisan sel alveolar: pneumosit tipe I, merupakan lapisan tipis

yang menyebar dan menutupi lebih dari 90% daerah permukaan, dan pneumosit tipe

II, yang bertanggung jawab terhadap sekresi sufkatan. Gambar 2.3 memperlihatkan

struktur mikroskopik sebuah duktus alveolaris dan alveolus-alveolus berbentuk

poligonal yang mengitarinya (Price, 2006).

6

Gambar 2.3 Perubahan structural pada sakus alveolaris terminalis (potongan melintang) selama siklus respirasi.

Sumber: Price, 2006

Page 7: Refrat New (1)

2.2 Agenesis Paru

2.2.1 Definisi

Agenesis paru adalah suatu keadaan tidak terbentuknya satu atau kedua sisi

paru termasuk bronkus, bronkiolus, dan parenkim paru. Kelainan ini terjadi karena

perkembangan yang terhenti sehingga sama sekali tidak ditemukan bekas brankial

atau vaskular dan jaringan parenkim (Sjamsuhidajat, 2010).

Schneider (1912) mengklasifikasikan agenesis menjadi tiga kelompok, dan

dimodifikasi oleh Boyden (1955), berdasarkan tahap perkembangan paru-paru,

agenesis paru diklasifikasikan menjadi tiga kategori:

a. Tipe 1 (Agenesis) – bronkus dan paru tidak terbentuk sama sekali serta tidak

adanya suplai pembuluh darah.

b. Tipe 2 (Aplasia) – cabang trakea dan bronkus terbentuk dengan parenkim

paru yang tidak lengkap.

c. Tipe 3 (Hipoplasia) – cabang brongkus, parenkim paru dan pembuluh darah

terbentuk sempurna namun ukurannya sangat kecil (Kisku et al., 2008).

7

Gambar 2.4 A. Normal lungs. B. Pulmonary aplasia, with complete absence of both bronchial and alveolar tissue. C and D, Pulmonary dysplasia. Some bronchial elements are present, but there are no alveoli. Enlargement of the sound lung and the resulting displacement of the heart and mediastinum are not shown.Sumber : Chin, 2012

Page 8: Refrat New (1)

Moretti and Papoff (2012) mengklasifikasikan agenesis paru berdasarkan pada

seberapa luas daerah yang tidak mempunyai jaringan bronkopulmonal, berikut

kategori klasifikasinya:

a. Agenesis paru bilateral,

b. Agenesis paru unilateral,

1) Bronkus dan paru pada 1 sisi tidak terbentuk sama sekali serta tidak

terdapat suplai pembuluh darah

2) Bronkus utama terbentuk, namun parenkim paru tidak terbentuk

(aplasia)

3) Beberapa cabang bronkus, parenkim paru, dan pembuluh darah

terbentuk (hipoplasia)

c. Agenesis lobaris

8

Gambar 2.5 A to C. Pulmonary hypoplasia. Tree conditions of different embryogenesis that all result in a smaller than normal lung. A, Alveolar tissue not fungctional. B, Reduced size of one lung. C, Hypoplasia resulting from lobar dysplasia. The accompanying mediastinal shift is not shown. D to F. Pulmonary ectoplasia. Part or all of one lung is attached to the esophagus and usually is supplied by a systemic artery. D, Bronchoesophageal fistula. E, Sequestration of right lower lobe. F, Sequestration of lower lobe and dysplasia of upper lobe.Sumber : Chin, 2012

Page 9: Refrat New (1)

Dari klasifikasi diatas, angka kejadian agenesis lobaris lebih sering ditemukan

daripada agenesis paru unilateral total dan agenesis kiri lebih sering terjadi terutama

pada lobus atas dan tengah (Moretti and Papoff, 2012)

Agenesis paru bilateral atau hipoplasia yang bermakna merupakan keadaan

yang tidak memungkinkan untuk hidup. Hampir 50% agenesis paru disertai dengan

anensefali, hernia diafragmatika, kelainan saluran kencing, kelainan jempol,

deformitas spina torakalis dan kerangka iga (distrofi toraks), anomali ginjal

(oligohidroamnion), malformasi jantung sisi kanan dan efusi pleura kongenital.

Hipoplasia bilateral ditemukan pada 10% dari semua autopsi neonatus (30% dari

bayi-bayi yang umurnya kurang dari 1 minggu); hipoplasia ini memainkan peran

penting pada kematian, banyak penderita dengan keadaan yang telah dituliskan

sebelumnya (Behrman et al., 1999; Kisku et al., 2008).

Agenesis atau hipoplasia unilateral dapat hanya mempunyai sedikit gejala dan

tanda-tanda nonspesifik, mengakibatkan hanya sepertiga kasus yang terdiagnosis

selama hidup. Lesi sisi kiri lebih lazim ditemukan. Pada agenesis unilateral, seluruh

parenkim paru dan struktur pendukung serta saluran pernafasan tidak ada dibawah

jajaran karina. Anak dengan hipoplasia paru unilateral biasanya mempunyai satu paru

kecil yang tidak dapat dikembangkan. Pergeseran mediastinum yang diakibatkannya,

serta mortalitas terkait, lebih besar bila hipoplasia atau agenesis meliputi paru kanan

(Behrman et al., 1999).

2.2.2 Epidemiologi

Angka kejadian yang sebenarnya adalah tidak diketahui, namun dari etiologi

(dalam urutan frekuensi) di Amerika Serikat dilaporkan bahwa dalam kasus ketuban

pecah dini pada usia kehamilan 15-28 minggu, kejadian agenesis paru berkisar 9-28%

(13% pada kebanyakan studi). Agenesis paru juga terjadi pada hernia diafragma yang

diperkirakan 0,08-0,45 kasus per 1000 kelahiran (Chin, 2012).

Prevalensi kasus agenesis berkisar 0,0034-0,0097 dan berdasarkan autopsi

didapatkan 1 dari 15.000 orang (Kurjak et al., 2007).

9

Page 10: Refrat New (1)

Dalam studi yang berbeda, dilaporkan tingkat kematian pada pasien dengan

agenesis paru adalah 71-95% selama periode perinatal. Kondisi berikut meningkatkan

risiko kematian:

Ketuban pecah dini pada usia kehamilan kurang dari 25 minggu

Oligohidramnion berat (indeks cairan ketuban <4) selama lebih dari 2 minggu

Persalinan prematur (Chin, 2012).

2.2.3 Etiologi

Tidak ada etiologi yang pasti pada agenesis paru namun proses ini

kemungkinan terjadi oleh karena faktor genetika, teratogenik dan faktor mekanik

(Yetim et al, 2011).

Hipoplasia paru dapat bersifat primer ataupun sekunder, dan yang sering terjadi

adalah hipoplasia paru sekunder. Penyebab hipoplasia paru primer belum

diidentifikasi. Berdasarkan penelitian eksperimental menunjukkan bahwa adanya

kekurangan dalam faktor transkripsi tertentu atau faktor pertumbuhan dapat

menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan paru (Chin, 2012).

Penyebab hipoplasia paru sekunder meliputi:

1. Volume toraks janin Kecil

CDH (Congenital Diafragma Hernia)

CAM (Congenital Adenomatoid Malformation)

Efusi pleura dengan fetal hydrops

Malformasi thoraks

Achondroplasia

Osteogenesis imperfecta

Thoracic neuroblastomas

Hydrothorax

Massa pada abdomen

2. Prolonged oligohydramnios

Fetal renal agenesis

Urinary tract obstruction

10

Page 11: Refrat New (1)

Bilateral renal dysplasia

Bilateral cystic kidneys

Prolonged rupture of membranes

3. Ketuban pecah dini

4. Oligohydramnios yang berat (amniotic fluid index < 4)

5. Fase latent memanjang

6. Decreased fetal breathing

Lesi SSP

Lesi dari sumsum tulang belakang, batang otak, dan saraf phrenicus

Penyakit neuromuskular (misalnya dystrophy myotonic, atrofi otot

tulang belakang)

Arthrogryposis multiplex congenital

Obat-obatan yang menganggu kehamilan

7. Penyakit jantung bawaan dengan aliran darah paru yang buruk

Tetralogi of Fallot

Hipoplasia jantung kanan

Hipoplasia arteri paru

Scimitar syndrome, menyebabkan hipoplasia paru sisi kanan

unilateral

Trisomi 18, 13, dan 21 (Chin, 2012).

2.2.4 Patofisiologi

Pada pengembangan paru yang normal, ruang fisik di dada janin harus

memadai, dan cairan ketuban harus dibawa ke paru-paru oleh gerakan pernapasan

janin yang pada akhirnya menyebabkan distensi paru, dan paru mengembang.

Beberapa faktor yang mempengaruhi volume dan komposisi cairan ketuban, adalah

sebagai berikut:

1. Volume dan tekanan

11

Page 12: Refrat New (1)

Volume cairan di paru ditentukan oleh cairan yang disekresi di epitel paru

(4-5mL/kg/jam) dan cairan yang mengalir dari trakea ke dalam faring janin.

Tekanan dalam trakea janin biasanya sekitar 2 mmHg lebih tinggi daripada dalam

cairan ketuban.

Setiap perubahan dalam volume dan tekanan cairan ketuban dalam trakea dan paru

selama tahap canalicular perkembangan paru janin pada usia kehamilan 15-28

minggu dapat menyebabkan hipoplasia.

2. Komposisi cairan paru-paru

Pengembangan paru diatur oleh beberapa faktor transkripsi, seperti faktor

transkripsi tiroid 1 (TTF - 1), kumpulan inti hepatosit, dan faktor pertumbuhan.

Adanya faktor pertumbuhan dalam cairan ketuban menunjukkan bahwa

pengembangan paru bukan hanya karena tekanan. Sinyal dari faktor-faktor

pertumbuhan yang terintegrasi dengan pengaruh lingkungan, seperti volume cairan

paru-paru dan hyperoxia, menyebabkan proliferasi sel dan diferensiasi. Faktor

pertumbuhan dihasilkan oleh jaringan mesenchymal dan terdapat dalam cairan

ketuban.

3. Peran ginjal dalam pertumbuhan paru-paru

Pengembangan paru dimulai selama midtrimester dengan percabangan

morfogenesis dan postnatal dengan perkembangan alveoli. Urin janin merupakan

komponen penting dari cairan ketuban selama akhir kehamilan dan memberikan

kontribusi terhadap pertumbuhan paru-paru. Selama perkembangan janin, ginjal

juga merupakan sumber utama prolin. Prolin membantu dalam pembentukan

kolagen dan mesenkim di paru, sehingga menjelaskan hipoplasia paru berat jika

terdapat agenesis ginjal dan displasia. Hipoplasia paru mengurangi berat paru,

jumlah alveolar, generasi lebih sedikit dari saluran udara dan hipoplasia dari arteri

pulmonalis (Chin, 2012).

2.2.5 Manifestasi Klinis

12

Page 13: Refrat New (1)

a. Anamnesis

Pada pasien dengan hipoplasia paru, gambaran gejala klinis bervariasi tergantung

pada sejauh mana hipoplasia dan anomali lainnya (Berger et al., 2012). Riwayat

lainnya termasuk gerakan janin yang tidak baik selama kehamilan, kebocoran

cairan ketuban juga oligohidramnion. Pada neonatus mungkin asimtomatik atau

dengan gangguan pernapasan berat juga apnea yang memerlukan dukungan

ventilasi yang adekuat. Pada anak-anak yang lebih tua, dyspnea dan sianosis dapat

muncul pada aktivitas, atau riwayat infeksi pernafasan berulang (Morokuma et

al., 2010).

b. Pemeriksaan Fisik

Inspeksi dada bisa tampak normal atau kecil dengan atau tanpa scoliosis.

Pergeseran mediastinal terlihat ke sisi yang sakit, dan terdengar redup pada

perkusi. Pada hipoplasia sisi kanan, jantung bergeser ke kanan, yang dapat

menyebabkan diagnosis keliru sebagai dekstrokardia. Suara nafas dapat menurun

atau tidak ada di sisi hipoplasia, terutama dasar paru dan daerah axilla

(Morokuma et al., 2010).

Pneumotoraks spontan atau yang berhubungan dengan ventilasi mekanis dapat

terjadi. Cacat kompresi akibat oligohidramnion berkepanjangan, kontraktur, dan

arthrogryposis dapat muncul. Potter fasies (hypertelorism, epicanthus,

retrognathia, nasal bridge tertekan, letak telinga rendah) menunjukkan hipoplasia

paru-paru yang terkait dengan cacat ginjal (Morokuma et al., 2010).

Jika etiologi hipoplasia adalah penyakit neuromuskuler, pasien juga memiliki

wajah miopati dengan mulut berbentuk V, kelemahan otot, dan gangguan

pertumbuhan. Massa perut, seperti penyakit ginjal kistik dan kandung kemih

membesar harus dicari. Anomali terkait kardiovaskular, GI (misalnya fistula

trakeo, anus imperforata), dan sistem genitourinari, serta anomali skeletal dari

tulang-tulang vertebra, costae, dan tungkai atas, juga dapat ditemukan pada

pemeriksaan (Morokuma et al., 2010).

2.2.6 Gambaran Radiologi

13

Page 14: Refrat New (1)

a. Radiography

14

Gambar 2.6 Chest X-ray of a neonate with agenesis of the right lung. Black arrows show the right lobar bronchi ending blindly. Mediastinum shifts to be right side

Sumber: Chin, 2012

Gambar 2.7 A chest radiograph of a 14-year-old child with primary pulmonary hypoplasia of the right side causing secondary scoliosis

Sumber: Chin, 2012

Page 15: Refrat New (1)

Gambar 2.8 Hypoplasia of the left side Sumber : Chin, 2012

Hipoplasia paru biasanya unilateral tetapi kadang-kadang terlihat bilateral.

Volume dada berkurang pada sisi yang sakit, paru-paru yang sakit lebih kecil,

dan mediastinum bergeser ke sisi paru-paru hipoplasia (lihat gambar 2.6, 2.8).

Ada juga pergeseran mediastinal ipsilateral yang meningkat selama inspirasi

karena peningkatan volume paru-paru kontralateral. Selain itu, sering didapatkan

tulang rusuk cacat, paru-paru lebih lusen dari biasanya (homogen opacity juga

dapat dilihat), dan hilus kecil karena pembuluh arteri paru hipoplasia atau

aplastik. Hal lain yang terkait kelainan ini adalah anomali vertebral (Chin, 2012).

b. Computerized Tomography Scan

Pada CT scan thorax dapat diperhatikan penurunan volume pada sisi yang sakit,

kompensasi overinflation dari sisi yang berlawanan, pergeseran mediastinum

ipsilateral, hipoplasia saluran udara, dan kelainan tulang rusuk (lihat gambar di

bawah).

15

Gambar 2.9 Lateral view with primary pulmonary hypoplasia of the right lung showing one dome of the diaphragm. Sumber: Chin, 2012

Page 16: Refrat New (1)

Gambar 2.10 Computed tomography pemindaian menunjukkan hipoplasiaparu di sisi kiri. Sumber: Chin, 2012

Gambar 2.11 Computed tomography scan (mediastinum window) menunjukkan hipoplasia paru kiri. Sumber: Chin, 2012

16

Page 17: Refrat New (1)

Dengan teknologi CT scanner multisection, CT angiography dapat dilakukan

dalam beberapa menit dengan bahan kontras intravena dan gambar dapat

direkonstruksi dalam berbagai bidang. Penelitian ini dilakukan secara noninvasive

untuk menilai pembuluh darah paru, yang dibandingkan dengan angiografi

konvensional. Perhatikan pembuluh arteri pada paru hipoplasia, pembuluh darah

yang menyimpang, serta kelainan terkait jantung, scimitar sindrom, kelainan

diafragma, kelainan gastrointestinal dan kelainan urogenital (Chin, 2012).

17

Gambar 2.12 Contrast-enchanced computed tomographic image of the cest obtained at age 2 month showing the mediastinal shift and the absence of left pulmonary tissue. Sumber: Chin, 2012

Gambar 2.13CT scan of chest showing volume loss with ipsilateral shift of heart and mediastnal contents and the lower lobe bronchus on the left side. The left upper lobe bronchus is indistinct. Sumber: Chin, 2012

Page 18: Refrat New (1)

c. Magnetic Resonance Imaging

Saat ini MRI janin semakin sering digunakan untuk memprediksi adanya

hipoplasia paru (Duncan et al., 1999). Faktor-faktor yang digunakan untuk

memprediksi hipoplasia paru adalah (1) volume paru janin, (2) volume paru-paru

relatif, dan (3) rasio volume paru-paru berat badan (yang merupakan rasio yang

paling banyak digunakan) (Ruano et al., 2006; Cannie et al., 2006).

Volume paru janin diukur dengan memperoleh bagian tipis dari paru-paru. Luas

penampang dihitung dengan menggambar garis besar paru-paru dan

memperkirakan daerah di dalamnya. Volume dari setiap bagian diperoleh dengan

mengalikan luas daerah dengan ketebalan bagian. Untuk menentukan volume

paru-paru relatif, persentase volume paru dihitung relatif terhadap volume paru

yang diharapkan untuk usia kehamilan pasien. Parameter ini tidak berlaku pada

janin makrosomia atau down sindrom (Ruano et al., 2006; Cannie et al., 2006).

Kombinasi MRI dan USG juga dapat digunakan untuk memprediksi

perkembangan hipoplasia paru. Tanigaki et al menggunakan rasio volume paru

janin diukur dengan menggunakan MRI dan berat badan janin diperkirakan

melalui ultrasonografi untuk tujuan ini. Pada bayi postnatal, MR angiography

merupakan metode yang dapat diandalkan untuk menilai pembuluh darah paru,

yang dapat hipoplasia dan abnormal, tetapi tidak benar-benar ada (tidak seperti

agenesis) (Tanigaki et al., 2004).

d. Ultrasonography

Sebagaimana dibahas di bagian MRI, ultrasonografi antenatal dapat digunakan

untuk memprediksi perkembangan hipoplasia paru. Fitur yang berguna dalam

memprediksi hipoplasia paru adalah (1) daerah paru-paru, (2) rasio luas paru-paru

ke daerah dada, (3) rasio thoraks ke lingkar perut, dan (4) volume paru, yang

dapat diukur dengan menggunakan banyak teknik, termasuk USG 3-dimensi

(Osada et al., 2002).

Ultrasonografi dapat digunakan untuk menilai faktor yang berkontribusi terhadap

hipoplasia paru, seperti oligohidramnion, agenesis ginjal, obstruksi ginjal, kista

18

Page 19: Refrat New (1)

Gambar 2.14 Gambaran vaskularisasi dan jantung pada agenesis paru. Sumber : Zhang et al,2012

ginjal, displasia ginjal, hernia diafragma, massa di thoraks dan perut, dan efusi

pleura. Malformasi kongenital terkait juga dapat terlihat (Osada et al., 2002;

Vintzileos et al., 1989; Gerards et al., 2008; Gorincou et al., 2007; Gerards et al.,

2007).

Tingkat kepercayaan

Visualisasi langsung dari hipoplasia mungkin dengan teknik yang tepat dan

ultrasonografi terlatih. Anomali terkait yang berkontribusi terhadap

pengembangan hipoplasia paru, juga dapat dideteksi (Osada et al., 2002).

Gambar 2.15 Gambaran pembuluh darah pada hipoplasia paru (Gabarre et al., 2005)

19

Page 20: Refrat New (1)

e. Nuclear Imaging

Scan perfusi diperoleh dengan menggunakan mikrosfer albumin dapat

menunjukkan cacat akibat penurunan vaskularisasi paru. Jenis scanning bukan

investigasi penting dalam hipoplasia paru. Namun, pencitraan nuklir ini dapat

digunakan untuk membedakan Swyer-James syndrome (unilateral diperoleh

hyperlucent paru akibat obliteratif bronchiolitis / konstriktif) dan gangguan arteri

paru proksimal, yang dapat memiliki penampilan radiografi yang sama. Dalam

Swyer-James sindrom, scan perfusi normal, tapi ada obstruksi ekspirasi

dipandang sebagai cacat mengisi scan ventilasi. Resolusi tinggi CT scan saja

biasanya cukup untuk membuat diagnosis. Dalam gangguan arteri paru proksimal,

ada tidak lengkap serapan perfusi scan, tapi ventilasi scan normal (Chin, 2012).

f. Angiography

Di masa lalu, angiografi umumnya digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis

hipoplasia paru. Temuan termasuk paten dan arteri paru hipoplasia (tidak seperti

di agenesis, di mana tidak ada) dan hubungan dengan arteri pulmonalis proksimal

terganggu dengan cabang intraparenchymal paten yang beranastomosis dengan

pembuluh darah kolateral sistemik. Penyimpangan dan terkait sindrom pedang

juga dapat dideteksi. Dengan munculnya CT angiography dan magnetic resonance

angiography, angiografi konvensional tidak lagi diperlukan untuk

mengkonfirmasi diagnosis (Chin, 2012).

Tingkat kepercayaan

Meskipun angiografi dulunya sangat berguna dalam mendiagnosis status vaskular

pada hipoplasia paru, sekarang berkurang karena CT dan MR angiography adalah

non-invasif dan sama-sama sensitive (Chin, 2012).

20

Page 21: Refrat New (1)

2.2.7 Penatalaksanaan

a. Medical Care

Pada janin dengan hipoplasia paru, sebelum pengiriman dan tergantung pada lesi

yang mendasarinya, beberapa intervensi dapat dilakukan untuk meningkatkan

volume paru-paru janin dan meningkatkan pengembangan paru-paru.

- Ketuban pecah dini tanpa tanda-tanda gawat janin atau infeksi intrauterin

dilakukan secara konservatif dengan atau tanpa tokolitik, antibiotik, dan

steroid dalam berbagai kombinasi. Upaya telah dilakukan untuk

mengurangi cacat dalam membran dengan transcervically menggunakan

“lem fibrin" Namun, teknik ini membutuhkan cerclage awal,

meningkatkan risiko infeksi, dan mempengaruhi keberhasilan.

- Amnioinfusions Serial semakin digunakan dalam kasus-kasus ketuban

pecah dini pada usia kehamilan kurang dari 32 minggu.

Prosedur ini, jika berhasil telah terbukti mengurangi risiko hipoplasia paru

dan secara signifikan meningkatkan hasil pada perinatal.

Setelah dilahirkan, bayi membutuhkan dukungan pernapasan, yang bisa berkisar

dari memasok oksigen tambahan untuk ventilasi mekanis, termasuk ventilasi

frekuensi tinggi dan oksigenasi membran extracorporeal (ECMO). Strategi

ventilasi telah berbelok ke arah penggunaan hypercapnia permisif, terutama

dalam kasus hernia diafragma kongenital (CDH), dengan tingkat kelangsungan

hidup meningkat dalam beberapa laporan. Ventilasi cair parsial juga telah

digunakan, tanpa keuntungan yang pasti.

- ECMO terutama diindikasikan pada bayi dengan hernia diafragma yang

terkait dengan hipoplasia paru dan ketika hipoplasia ringan dipersulit oleh

hipertensi pulmonal persisten. Sebuah respon menurun menjadi oksida

nitrat diyakini terjadi dengan hipertensi paru terkait dengan hipoplasia.

- Pemberian surfaktan dari 4 mL/kg di hipoplasia paru sekunder CDH telah

terbukti manjur dalam meningkatkan oksigenasi, mengurangi kebutuhan

untuk ECMO, dan meningkatkan tingkat kelangsungan hidup jika

21

Page 22: Refrat New (1)

profilaksis diberikan pada saat lahir. Penelitian pada hewan telah

menunjukkan bahwa surfaktan secara signifikan meningkatkan mekanik

paru dan pertukaran gas dan yang menyimpan jaringan paru-paru dari B

protein surfaktan dan fosfatidilkolin yang rendah pada hernia diafragma.

- Dialisis untuk mendukung fungsi ginjal disediakan dalam beberapa kasus,

tetapi harus dimulai hanya setelah pertimbangan yang hati-hati. Pasien

dengan gangguan ginjal kronis yang parah dengan hipoplasia paru

memiliki prognosis buruk, hasil akhir sulit untuk diperbaiki, bahkan

dengan dukungan ginjal dan pernafasan optimal.

- Beberapa studi menunjukkan bahwa pengendalian infeksi yang ketat dapat

meningkatkan hasil neonatus dengan CDH tanpa perlu ECMO (Morikawa

et al., 2008).

CDH telah dikaitkan dengan kerusakan kronis paru serta penyakit kardiovaskular,

penyakit GI, gagal tumbuh, cacat dan kelainan muskuloskeletal dan neurokognitif

(Peetsold et al., 2009).

Manajemen dari salah satu kelainan paru-paru cystic kongenital seperti

malformasi adenomatoid kistik (CAM) perlu mempertimbangkan perbaikan

spontan dan resolusi kemungkinan jangka panjang di banyak lesi ini (Fitzgerald,

2007).

- Manajemen mereka harus individual dengan lesi yang sangat besar

mengakibatkan hipoplasia paru-paru atau hidrops janin dengan

kemungkinan operasi janin yang diperlukan (Nicolai, 2009)

- Dalam kebanyakan kasus lesi paru janin, melanjutkan observasi dengan

terapi pascakelahiran (Wilson, 2008).

b. Surgical Care

Pada pasien dengan CAM berat yang memiliki prognosis yang sangat buruk,

operasi janin mungkin di pusat-pusat tertentu. Sebuah tim multidisiplin dengan

keahlian dalam operasi janin harus mengevaluasi baik janin dan ibu hamil.

Sebuah indikasi utama untuk operasi janin adalah adanya hidrops dan kehamilan

22

Page 23: Refrat New (1)

kurang dari 32 minggu. Thoracocentesis dapat memungkinkan drainase cairan

dari CAM, tapi cairan biasanya cepat terkumpul kembali (Chin, 2012).

Percutaneous janin oklusi trakea endoluminal (Feto) dengan balon, dimasukkan

pada usia kehamilan 26-28 minggu, dapat dipertimbangkan untuk bayi CDH

terisolasi dengan prognosis buruk. Prosedur ini ditemukan minimal invasif, dapat

mengurangi perubahan hipoplasia paru, dan dapat meningkatkan tingkat

kelangsungan hidup dalam kasus ini sangat dipilih. Selain itu, saluran udara dapat

dikembalikan sebelum kelahiran (Chin, 2012).

- Pada hewan percobaan, oklusi trakea janin (TO) menginduksi

pertumbuhan paru-paru dan pematangan morfologi. Fetoscopic TO

dengan klip dapat menyebabkan pertumbuhan paru-paru dipercepat dan

mencegah hipoplasia paru. Namun, satu studi menunjukkan bahwa janin

TO digunakan untuk mengobati CDH parah menghasilkan peningkatan

sederhana dalam fungsi paru neonatal tetapi signifikansi klinis

dipertanyakan

- Setelah melahirkan, operasi untuk memperbaiki hernia diafragma, untuk

memperbaiki CAM, dan untuk dekompresi efusi pleura mungkin

menyelamatkan jiwa dan kuratif dalam beberapa kasus.

Manajemen dari salah satu kelainan paru-paru cystic bawaan seperti CAM perlu

mempertimbangkan perbaikan spontan dan resolusi kemungkinan yang terjadi

untuk jangka panjang. Risiko kanker selanjutnya dan tingkat kompensasi

pertumbuhan paru-paru juga tidak didefinisikan dengan baik (Chin, 2012).

2.2.8 Prognosis

Lebih dari 50% pasien agenesis paru meninggal pada usia 5 tahun pertama

kehidupan. Hipoplasia sisi kanan memiliki prognosis yang lebih buruk daripada

hipoplasia sisi kiri, mungkin karena hilangnya massa paru kanan lebih besar dan

pergeseran mediastinum lebih parah. Sebuah volume paru minimal 45%

dibandingkan dengan subyek kontrol usia yang sama telah terbukti menjadi prediktor

bertahan hidup pada neonatus dengan hernia diafragma diobati dengan membran

23

Page 24: Refrat New (1)

extracorporeal oksigenasi (ECMO). Demikian pula, kapasitas residual fungsional dari

12,3 mL/kg, sekitar satu setengah kapasitas normal, telah dianggap sebagai prediktor

bertahan hidup di hipoplasia paru dengan hernia diafragma kongenital (CDH) (Chin,

2012).

24

Page 25: Refrat New (1)

BAB III

KESIMPULAN

Agenesis paru adalah suatu keadaan tidak terbentuknya satu atau kedua sisi

paru termasuk bronkus, bronkiolus, dan parenkim paru. Berdasarkan tahap

perkembangan paru-paru, agenesis paru diklasifikasikan menjadi tiga kategori:

Tipe 1 (Agenesis)

Tipe 2 (Aplasia)

Tipe 3 (Hipoplasia)

Agenesis paru bilateral atau hipoplasia yang bermakna merupakan keadaan

yang tidak memungkinkan untuk hidup Dalam sebuah studi, dilaporkan tingkat

kematian pada pasien dengan hipoplasia paru adalah 71-95% selama periode

perinatal. Hipoplasia paru biasanya unilateral tetapi kadang-kadang terlihat bilateral.

Volume dada berkurang pada sisi yang sakit, paru-paru yang sakit lebih kecil, dan

mediastinum bergeser ke sisi paru-paru hipoplasia. Pada CT scan thorax dapat

diperhatikan penurunan volume pada sisi yang sakit, kompensasi overinflation dari

sisi yang berlawanan, pergeseran mediastinum ipsilateral, hipoplasia saluran udara,

dan kelainan tulang rusuk Pada MRI janin digunakan untuk memprediksi adanya

hipoplasia paru. Faktor-faktor yang digunakan untuk prediksi adalah (1) volume paru

janin, (2) volume paru-paru relatif, dan (3) rasio volume paru-paru berat badan (yang

merupakan rasio yang paling banyak digunakan).

Ultrasonografi dapat digunakan untuk menilai faktor yang berkontribusi

terhadap hipoplasia paru, seperti oligohidramnion, agenesis ginjal, obstruksi ginjal,

kista ginjal, displasia ginjal, hernia diafragma, massa di thoraks dan perut, dan efusi

pleura. Malformasi kongenital terkait juga dapat terlihat. Dengan munculnya CT

angiography dan magnetic resonance angiography, angiografi konvensional tidak lagi

diperlukan untuk mengkonfirmasi diagnosis.

Prognosis pada hipoplasia sisi kanan lebih buruk daripada hipoplasia sisi kiri,

disebabkan oleh hilangnya massa paru kanan lebih besar dan pergeseran mediastinum

lebih parah.

25

Page 26: Refrat New (1)

DAFTAR PUSTAKA

1. Berger RM, Beghetti M, Humpl T, Raskob GE, Ivy DD, Jing ZC, et al. Clinical features of paediatric pulmonary hypertension: a registry study. Lancet. Feb 11 2012;379(9815):537-46.

2. Morokuma S, Anami A, Tsukimori K, Fukushima K, Wake N. Abnormal fetal movements, micrognathia and pulmonary hypoplasia: a case report. Abnormal fetal movements. BMC Pregnancy Childbirth. Aug 17 2010;10:46. 

3. Osada H, Iitsuka Y, Masuda K, et al. Application of lung volume measurement by three-dimensional ultrasonography for clinical assessment of fetal lung development. J Ultrasound Med. Aug 2002;21(8):841-7.

4. Vintzileos AM, Campbell WA, Rodis JF, et al. Comparison of six different ultrasonographic methods for predicting lethal fetal pulmonary hypoplasia. Am J Obstet Gynecol. Sep 1989;161(3):606-12. 

5. Duncan KR, Gowland PA, Moore RJ, et al. Assessment of fetal lung growth in utero with echo-planar MR imaging. Radiology. Jan 1999;210(1):197-200. 

6. Ruano R, Martinovic J, Aubry MC, Dumez Y, Benachi A. Predicting pulmonary hypoplasia using the sonographic fetal lung volume to body weight ratio--how precise and accurate is it?. Ultrasound Obstet Gynecol. Dec 2006;28(7):958-62. 

7. Cannie M, Jani JC, De Keyzer F, Devlieger R, Van Schoubroeck D, Witters I, et al. Fetal body volume: use at MR imaging to quantify relative lung volume in fetuses suspected of having pulmonary hypoplasia.Radiology. Dec 2006;241(3):847-53. 

8. Tanigaki S, Miyakoshi K, Tanaka M, et al. Pulmonary hypoplasia: prediction with use of ratio of MR imaging-measured fetal lung volume to US-estimated fetal body weight. Radiology. Sep 2004;232(3):767-72.

9. Gerards FA, Twisk JW, Fetter WP, Wijnaendts LC, van Vugt JM. Predicting pulmonary hypoplasia with 2- or 3-dimensional ultrasonography in complicated pregnancies. Am J Obstet Gynecol. Jan 2008;198(1):140.e1-6. 

10. Gorincour G, Eurin D, Avni FE. Prenatal prediction of pulmonary hypoplasia: US and MR imaging working together. Radiology. Nov 2007;245(2):608-9. 

11. Gerards FA, Twisk JW, Fetter WP, Wijnaendts LC, Van Vugt JM. Two- or three-dimensional ultrasonography to predict pulmonary hypoplasia in pregnancies complicated by preterm premature rupture of the membranes. Prenat Diagn. Mar 2007;27(3):216-21. 

26

Page 27: Refrat New (1)

12. Morikawa N, Kuroda T, Honna T, et al. The impact of strict infection control on survival rate of prenatally diagnosed isolated congenital diaphragmatic hernia. Pediatr Surg Int. Oct 2008;24(10):1105-9. 

13. Peetsold MG, Heij HA, Kneepkens CM, Nagelkerke AF, Huisman J, Gemke RJ. The long-term follow-up of patients with a congenital diaphragmatic hernia: a broad spectrum of morbidity. Pediatr Surg Int. Jan 2009;25(1):1-17. 

14. Fitzgerald DA. Congenital cyst adenomatoid malformations: resect some and observe all?. Paediatr Respir Rev. Mar 2007;8(1):67-76. 

15. Nicolai T. Management of the upper airway and congenital cystic lung diseases in neonates. Semin Fetal Neonatal Med. Feb 2009;14(1):56-60. 

16. Wilson RD. In utero therapy for fetal thoracic abnormalities. Prenat Diagn. Jul 2008;28(7):619-25. 

17. Fitzgerald DA. Congenital cyst adenomatoid malformations: resect some and observe all?. Paediatr Respir Rev. Mar 2007;8(1):67-76.

18. Price, S.A and Wilson, L.M. 2006. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Edisi ke-6. EGC. Jakarta.

19. Behrman, R.E; Kliegman, R.M and Arvin, A.M. 1999. Ilmu Kesehatan Anak : Nelson. Vol 2. EGC. Jakarta

20. Chin, T.W. 2012. Pediatric Pulmonary Hypoplasia . [online] Medscape J. http://emedicine.medscape.com/article/1005696-overview [diakses November 2012].

21. Kisku, K.H; Panigrahi, M.K; Sudhakar, R; Nagarajan, A; Ravikumar, R and Daniel, JR. 2008. Agenesis of Lung – A Report of Two Cases. Lung India, 25(1): 28–30.

22. Thurlbeck, W.M and Churg, A.M. 1995. Pathology of the Lung. Thieme Medical Publisher. New York.

23. Kumar et al., 2008. Right Lung Agenesis. African Journal of Pediatric Surgery, 5(2), 102-104.

24. Rajshekar, B; Gomber,S and Khrisnan, A. 1997. Pulmonary Agenesis. Indian Pediatric, 34, 534-538.

25. Sjamsuhidajat, R. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Sjamsuhidajat-de Jong. Ed.3. Jakarta. EGC

26. Gabarre et al., 2005. Isolated Unilateral Pulmonary Agenesis. J Ultrasound Med, 24:865-868.

27