14
DOI: http://dx.doi.org/10.14334/Pros.Semnas.TPV-2020-p.14-27 14 Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju, Mandiri dan Modern Strategies for Facing Climate Change in the New Normal Era to Support Advanced, Independent and Modern Livestock Arundhati ST Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan ABSTRACT Climate change has consequences on several sectors of agriculture including on sub sector of livestock or animal husbandry. Related climate change, livestock activities are a source of green house gases emmisions, but in the other hand the livestock sector is one of the activities affected by climate change. Climate change negatively impacts on livestock sector both directly and indirectly. The direct effects comprise of rising temperature, variations in photoperiod as well as precipitation and indirect effects include reduced feed quality as well as quantity, less water availability and higher disease susceptibility. Livestock is one of the sectors driving the national economy, the efforts to reduce the impact and risks of climate change in livestock sector are very important. Reducing impacts and risks of climate change in the livestock sector are carried out by developing climate change adaptation efforts through reducing hazards due to climate, reducing vulnerability (by reducing sensitivity and promoting adaptive capacity) and also manging the exposure related of livestock. The climate change adaptation on livestock sector can support the achievement of the targets set out in Indonesia's Nationally Determined Contribution (NDC), namely economic resilience, social and livelihood resilience as well as ecosystem and landscape resilience as part of Indonesia's commitment to following up the Paris Agreement. Key words: Climate change, animal husbandry, climate change adaptation ABSTRAK Perubahan iklim berdampak pada beberapa sektor pertanian termasuk subsektor ternak atau peternakan. Terkait perubahan iklim, kegiatan peternakan merupakan salah satu sumber emisi gas rumah kaca, namun di sisi lain sektor peternakan merupakan salah satu kegiatan yang terkena dampak perubahan iklim. Perubahan iklim berdampak negatif pada sektor peternakan baik secara langsung maupun tidak langsung. Efek langsung terdiri dari kenaikan suhu, variasi pencahayaan matahari (fotoperiode) serta curah hujan dan efek tidak langsung termasuk penurunan kualitas dan kuantitas pakan, ketersediaan air yang lebih sedikit dan kerentanan penyakit yang lebih tinggi. Peternakan merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian nasional, maka upaya untuk mengurangi dampak dan risiko perubahan iklim di sektor peternakan sangat penting dilakukan. Pengurangan dampak dan risiko perubahan

Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

  • Upload
    others

  • View
    3

  • Download
    0

Embed Size (px)

Citation preview

Page 1: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

DOI: http://dx.doi.org/10.14334/Pros.Semnas.TPV-2020-p.14-27

14

Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk

Mendukung Peternakan Maju, Mandiri dan Modern

Strategies for Facing Climate Change in the New Normal Era to

Support Advanced, Independent and Modern Livestock

Arundhati ST

Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

ABSTRACT

Climate change has consequences on several sectors of agriculture including on

sub sector of livestock or animal husbandry. Related climate change, livestock activities

are a source of green house gases emmisions, but in the other hand the livestock sector

is one of the activities affected by climate change. Climate change negatively impacts

on livestock sector both directly and indirectly. The direct effects comprise of rising

temperature, variations in photoperiod as well as precipitation and indirect effects

include reduced feed quality as well as quantity, less water availability and higher

disease susceptibility. Livestock is one of the sectors driving the national economy, the

efforts to reduce the impact and risks of climate change in livestock sector are very

important. Reducing impacts and risks of climate change in the livestock sector are

carried out by developing climate change adaptation efforts through reducing hazards

due to climate, reducing vulnerability (by reducing sensitivity and promoting adaptive

capacity) and also manging the exposure related of livestock. The climate change

adaptation on livestock sector can support the achievement of the targets set out in

Indonesia's Nationally Determined Contribution (NDC), namely economic resilience,

social and livelihood resilience as well as ecosystem and landscape resilience as part of

Indonesia's commitment to following up the Paris Agreement.

Key words: Climate change, animal husbandry, climate change adaptation

ABSTRAK

Perubahan iklim berdampak pada beberapa sektor pertanian termasuk subsektor

ternak atau peternakan. Terkait perubahan iklim, kegiatan peternakan merupakan

salah satu sumber emisi gas rumah kaca, namun di sisi lain sektor peternakan

merupakan salah satu kegiatan yang terkena dampak perubahan iklim. Perubahan

iklim berdampak negatif pada sektor peternakan baik secara langsung maupun tidak

langsung. Efek langsung terdiri dari kenaikan suhu, variasi pencahayaan matahari

(fotoperiode) serta curah hujan dan efek tidak langsung termasuk penurunan kualitas

dan kuantitas pakan, ketersediaan air yang lebih sedikit dan kerentanan penyakit yang

lebih tinggi. Peternakan merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian

nasional, maka upaya untuk mengurangi dampak dan risiko perubahan iklim di sektor

peternakan sangat penting dilakukan. Pengurangan dampak dan risiko perubahan

Page 2: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju

15

iklim di sektor peternakan dilakukan dengan mengembangkan upaya adaptasi

perubahan iklim melalui pengurangan bahaya akibat iklim, pengurangan kerentanan

(dengan cara mengurangi kepekaan dan meningkatkan kapasitas adaptif) dan juga

mengatur keterpaparan terkait ternak. Adaptasi perubahan iklim pada sektor

peternakan dapat mendukung pencapaian target yang ditetapkan dalam nationally

determined contribution (NDC) Indonesia, yaitu ketahanan ekonomi, ketahanan sosial

dan penghidupan serta ketahanan ekosistem dan bentang alam sebagai bagian dari

komitmen Indonesia untuk menindaklanjuti Persetujuan Paris.

Kata kunci: Perubahan iklim, peternakan, adaptasi perubahan iklim

PENDAHULUAN

Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan serius yang dihadapi

masyarakat dunia pada saat ini dan akan menjadi lebih serius di masa depan

mengingat peningkatan suhu atmosfer bumi secara global terus terjadi. Sejumlah

bukti baru dan kuat yang muncul dari berbagai studi mutakhir memperlihatkan

faktor antropogenik, terutama industrialisasi yang berkembang cepat selama 50

tahun terakhir telah menyebabkan terjadinya peningkatan suhu global secara

signifikan. Seiring peningkatan suhu secara global, mendorong terjadinya

perubahan iklim seperti perubahan pola curah hujan, pergeseran musim hujan dan

kemarau, peningakatan frekuensi kejadian iklim ekstrim, serta peningkatan

frekuensi kejadian El Nino Southern Oscillation (ENSO) baik El Nino maupun La

Nina.

Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan

Pengelolaan Lingkungan Hidup mendefinisikan perubahan iklim sebagai

“berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas

manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan

selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada

kurun waktu yang dapat dibandingkan”. Kegiatan industrialisasi telah mendorong

peningkatan emisi dan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, yang terdiri

atas karbondioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflorida

(SF6), perflorokarbon (PFCs), dan hidrofloro-karbon (HFCs). Keberadaan gas

tersebut di atmosfer menyebabkan terjadinya efek rumah kaca yang menyebabkan

meningkatnya suhu bumi secara global. Walaupun berbagai gas tersebut juga

timbul dari aktivitas alami, namun faktor aktivitas manusia merupakan faktor

dominan yang menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer bumi yang

menyebabkan kenaikan suhu global.

Berkaitan dengan sumber GRK tersebut, tiga jenis GRK yakni CO2, N2O, dan

CH4 memiliki keterkaitan dengan kegiatan pertanian, termasuk di dalamya

kegiatan peternakan. Kontribusi ketiga jenis GRK tersebut pada Tahun 2014

berdasarkan dokumen Indonesia Third National Communication (TNC) under

UNFCCC berturut-turut adalah 87, 9,7 dan 3,3% (MoEF 2018). Berdasarkan hasil

Page 3: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020

16

inventarisasi yang dilakukan KLHK, sektor pertanian pada Tahun 2017

memberikan sumbangan sebesar 11,04% atau sebesar 121,686 Gg CO2e dari total

emisi GRK nasional sebesar 1102 Gg CO2. Kontribusi tersebut di bawah sektor

energi (48%) dan sektor kehutanan dan kebakaran gambut (26%). Kegiatan

peternakan sendiri sebagai bagian dari sektor pertanian memberikan kontribusi

sebesar 22,714 Gg CO2e (KLHK 2019).

Sumber emisi terbesar dari sub sektor peternakan adalah emisi CH4 dan N2O.

Gas CH4 merupakan tipikal GRK yang diemisikan dari sektor pertanian termasuk

peternakan, terutama dari ternak ruminansia. Terdapat dua sumber CH4 dari

ruminansia, yaitu yang berasal dari proses pencernaan pakan dalam rumen ternak

ruminansia (CH4 enterik) dan yang berasal dari proses dekomposisi kotoran ternak

baik ruminansia dan nonruminansia. Sedangkan N2O dihasilkan dari proses

dekomposisi kotoran ternak, baik dari ruminansia maupun nonruminansia. Dalam

penghitungan emisi GRK kegiatan peternakan dikelompokkan menjadi dua yakni

fermentasi enterik (enteric fermentation) dan pengolahan limbah ternak (manure

management). Total emisi GRK sub sektor peternakan pada Tahun 2017 sebesar

22,714 Gg CO2e bersumber dari fermentasi enterik sebesar 61%, diikuti oleh emisi

N2O langsung dari pengelolaan limbah ternak (28%), serta emisi CH4 dari

pengelolaan limbah ternak dan emisi N2O tidak langsung dari pengelolaan limbah

ternak (6%).

Sumbangan GRK dari sektor pertanian relatif kecil dibandingkan sektor

lainnya, namun keberadaan CH4 yang dominan dari kegiatan peternakan

memberikan sumbangan yang cukup berpengaruh terhadap pemanasan global,

mengingat CH4 mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan CO2,

karena daya menangkap panas gas atau Global Warming Potential (GWP) CH4

adalah 25 kali dibandingkan dengan CO2.

Walaupun kontribusi sektor pertanian relatif kecil (11%) terhadap emisi GRK

nasional, namun sektor pertanian, termasuk peternakan, merupakan sektor yang

akan mengalami dampak perubahan iklim yang cukup besar. Pada sisi lain, dari

perspektif kontribusi perekonomian nasional, sektor pertanian termasuk kehutanan

dan kelautan, yang di dalamnya meliputi peternakan, memiliki kontribusi yang

tinggi bagi perekonomian nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),

sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor penting pada struktur produk

domestik bruto (PDB) Indonesia. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB

mengalami peningkatan pada kuartal II Tahun 2020 sebesar 15,46%. Sektor

pertanian juga menjadi satu-satunya sektor penyangga utama PDB yang tumbuh

positif sepanjang periode ini (Timorria IF 2020). Kontribusi sektor pertanian

terhadap PDB naik dibandingkan kuartal I Tahun 2020 yang memberikan

kontribusi sebesar 12,84% terhadap PDB dan sebesar 11,19% dibandingkan dengan

kuartal IV Tahun 2019. Khusus untuk peternakan sendiri pada PDB pada Tahun

2018 mencapai 231,71 triliun atau berkontribusi 16,35% kepada total PDB sektor

pertanian yang sebesar Rp. 1.417,07 triliun. Dengan kondisi perekonomian yang

Page 4: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju

17

memburuk akibat Covid-19, di mana banyak sektor mengalami penurunan, maka

sektor pertanian menjadi harapan untuk nenghindarkan Indonesia dari krisis

ekonomi yang melanda dunia.

IKLIM DAN TERNAK

Berkaitan dengan iklim, kondisi iklim sangat berpengaruh terhadap kegiatan

peternakan. Walaupun hewan ternak mempunyai kemampuan untuk

menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan iklim yang terjadi, namun

pertumbuhan dan perkembangan hewan ternak sangat dipengaruhi oleh iklim

tempat dia berada. Iklim akan mempengaruhi hewan ternak baik secara langsung

maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dapat berupa perilaku merumput di

siang hari, misalnya ternak yang digembalakan pada daerah yang berbeda iklim,

maka masa merumput cenderung akan berkurang, pola penggunaan atau

pengambilan makanan oleh ternak akan berubah, sebagai contoh meningkatnya

suhu menyebabkan ternak semakin sedikit makan, karena ternak cenderung akan

lebih banyak minum. Selain itu pengaruh langsung dapat berupa pengaruh

terhadap kebutuhan air minum ternak. Kebutuhan air hewan ternak akan

meningkat apabila suhu menglami kenaikan, air berperan penting dalam

metabolisme ternak, selain itu air juga membantu ternak melepaskan panas

tubuhnya secara konduksi dan penguapan,

Iklim juga mempengaruhi langsung terhadap efisiensi pengunaan makanan,

sebagai contoh hewan ternak dapat mengalami heat stress apabila iklim suatu

tempat panas, sehingga ternak tidak banyak melakukan gerak untuk menjaga suhu

tubuhnya tetap stabil. Selain itu kondisi iklim yang lebih hangat akan

menyebabkan hilangnya zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh hewan ternak.

Suhu yang tinggi menyebabkan hewan ternak semakin sering berkeringat dan

mengeluarkan air ludah, sehingga akan semakin banyak zat makanan yang hilang.

Pada ternak mamalia apabila mereka berkeringat maka mereka akan kehilangan

air dan mineral dari dalam tubuhnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan

dan produktivitasnya. Perubahan iklim secara langsung juga dapat menyebabkan

menurunnya nafsu makan hewan ternak akibat temperatur yang sangat tinggi,

sehingga feed intake ternak pun akan menurun dan juga mempengaruhinya

lamanya merumput dan akhirnya juga mempengaruhi pertumbuhan dan

produktififtas dari ternak.

Perubahan iklim juga dapat menyebabkan ternak mengalami stress yang akan

mempengaruhi perilaku hewan ternak. Faktor eksternal berupa perubahan cuaca,

makanan dan kondisi lingkungan merupakan faktor yang dapat menyebabkan

stres pada ternak. Sebagai contoh, perubahan iklim akan berdampak pada

produksi susu pada hewan sapi perah. Meningkatnya suhu akan mengurangi

produktivitas susu sapi perah. Sapi perah dapat menghasilkan susu 56% pada

daerah subtropik, berbeda dengan daerah tropis sapi perah lebih sedikit

Page 5: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020

18

menghasilkan susu. Perubahan iklim juga sangat mempengaruhi kualitas susu

yang dihasilkan seperti kandungan susu dan lemak di dalamnya.

Perubahan iklim juga dapat mempengaruhi ternak secara tidak langsung,

seperti perubahan kualitas dan kuantitas pakan (rumput atau tanaman) yang

tersedia bagi hewan ternak. Tanaman yang dimakan ternak serta air yang diminum

akan berpengaruh terhadap kandungan gizi dari tanaman yang dimakan hewan

ternak serta mempengaruhi daya cerna hewan ternak karena perubahan struktur

serat tanaman yang dimakan. Struktur pakan yang kasar akan menyebabkan daya

produksi ternak menjadi lebih rendah.

Perubahan iklim juga akan mendorong adanya parasit dan penyakit ternak.

Lingkungan dengan panas dan kelembapan yang tinggi merupakan tempat yang

baik bagi jamur, parasit, nyamuk, lalat, dan penyakit lain. Sebagai contoh pada

wilayah yang curah hujannya hanya cukup untuk tumbuhnya semak-semak, maka

keberadaan semak-semak tersebut akan menyebabkan berkembangbiaknya

nyamuk yang dapat mengakibatkan penyakit tidur bahkan dapat menyebabkan

kematian ternak. Selain berpengaruh terhadap ternak itu sendiri, perubahan iklim

juga akan berpengaruh terhadap proses penyimpanan dan penanganan hasil

ternak. Sebagai contoh iklim tropis baik lembap/kering dapat merusak hasil ternak

sehingga membutuhkan teknik pengolahan terhadap hasil ternak.

DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA TERHADAP

PETERNAKAN

Iklim merupakan faktor lingkungan yang memberikan pengaruh penting

terhadap fungsi ekologis ekosistem. Perubahan iklim akan mempengaruhi

ekosistem dengan berbagai cara, misalnya peningkatan suhu akan memaksa

spesies bermigrasi ke daerah dengan garis lintang yang lebih tinggi atau mencari

tempat yang lebih tinggi untuk mencari suhu yang lebih kondusif demi

kelangsungan hidup mereka. Naiknya tinggi permukaan laut, intrusi air laut ke

dalam sistem air tawar akan memaksa beberapa spesies kunci untuk berpindah

atau mati, sehingga menghilangkan predator atau pemangsa yang penting dalam

rantai makanan yang ada.

Berkaitan dengan kegiatan peternakan, hewan ternak merupakan hewan budi

daya sehingga upaya adaptasinya akan bergantung dari teknik budi daya yang

dilakukan oleh manusia. Hewan ternak yang dibudi dayakan di daerah tropis

memiliki risiko yang lebih besar akibat perubahan iklim dibandingkan dengan

hewan ternak yang berada di daerah bergaris lintang tinggi karena sensitivitas

terhadap temperatur, air dan ketersediaan pakan.

Perubahan iklim yang terjadi secara global telah mempengaruhi kondisi iklim

bumi baik berupa kenaikan suhu atmosefer, perubahan pola curah hujan,

meningkatnya frekuensi iklim ekstrim seperti badai, kekeringan yang panjang

yang selanjutnya memberikan dampak terhadap berbagai sektor, termasuk sektor

Page 6: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju

19

pertanian dan peternakan. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau

Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa aktivitas

manusia diperkirakan telah menyebabkan pemanasan global sekitar 1,0°C di atas

tingkat praindustri, dengan kemungkinan kisaran 0,8°C sampai dengan 1,2°C.

Pemanasan global kemungkinan akan mencapai 1,5°C antara tahun 2030 dan 2052

jika kondisinya terus meningkat dari kecepatan saat ini (IPCC 2018).

Dalam konteks Indonesia, berdasarkan kajian yang dilakukan KLHK Tahun

2017 tren suhu rata-rata tahunan Indonesia, secara dekadal dengan periode 30

tahun (1961-1990 dan 1971-2000) menunjukkan tren peningkatan suhu hampir di

seluruh Indonesia sebesar 0.01-0.04°C/tahun atau 1,2°C per 30 tahun. Sementara

data proyeksi suhu di masa depan, secara umum menunjukkan bahwa semakin

lama periode proyeksi dengan periode baseline, peningkatan suhu di wilayah

tersebut cenderung meningkat. Pada tingkat skenario yang rendah (RCP 2.6),

peningkatan suhu rata-rata relatif kecil, sedangkan kisaran tertinggi terdapat pada

skenario ekstrim (RCP 8.5) yang menunjukkan peningkatan sangat besar

dibandingkan dengan skenario lain, terutama untuk periode 2076-2100 yang

mencapai kisaran kenaikan 2.37-4.09°C

Untuk curah hujan, hasil kajian menunjukkan periode 1981-2010 merupakan

periode basah dengan tren dekadal yang menunjukkan laju peningkatan curah

hujan tahunan di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan pada periode sebelumnya

1971-2000 menunjukkan kondisi yang lebih kering (tren dekadal negatif).

Berdasarkan nilai rerata model, curah hujan di musim kemarau masa depan

cenderung semakin kering dan curah hujan di musim hujan dan periode transisi

(dari basah ke musim kemarau) lebih basah. Secara umum ditemukan bahwa

skenario ekstrim akan meningkatkan ketidakpastian iklim di masa depan. Hasil

proyeksi curah hujan juga menunjukkan beberapa daerah yang mengalami

peningkatan curah hujan rata-rata, sementara yang lain mengalami penurunan

(MoEF 2018).

Indonesia sebagai negara kepulauan di wilayah tropis merupakan negara

yang rentan terhadap perubahan iklim baik karena kenaikan temperatur udara,

perubahan pola curah hujan, meningkatnya kejadian iklim, kenaikan temperatur

dan juga muka air laut. Meskipun belum banyak data yang komprehensif tentang

dampak perubahan iklim terhadap kegiatan peternakan di Indonesia, akan tetapi

perhatian dampak perubahan iklim pada kegiatan peternakan akan menjadi

semakin penting mengingat kebutuhan protein hewani yang cukup tinggi sejalan

dengan kenaikan jumlah penduduk.

Peningkatan temperatur akibat perubahan iklim akan memberikan dampak

terhadap hewan ternak di Indonesia, diperkirakan masalah heat stress yang

mengancam hewan ternak akan meningkat. Dampak kenaikan temperatur akan

lebih terasa mengungat wilayah Indonesia di daerah tropis. Variabel iklim seperti

temperatur dan kelembapan berpotensi memberikan pengaruh terhadap

pertumbuhan dan produksi semua jenis ternak domestik. Selain itu perubahan

Page 7: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020

20

iklim juga akan mempengaruhi kesehatan hewan ternak baik akibat penyakit-

penyakit dan stres yang berkaitan dengan kenaikan temperatur udara itu sendiri,

gangguan kesehatan akibat kejadian-kejadian cuaca yang ekstrim, adaptasi sistem

produksi ternak terhadap lingkungan baru, maupun penyakit hewan yang muncul

baru dan yang muncul kembali.

Penelitian terkait dampak perubahan iklim terhadap kesehatan hewan ternak

di Indonesia masih sangat terbatas. Berbagai penelitian terkait dampak perubahan

iklim terhadap kesehatan selama ini lebih fokus pada dampak kesehatan terhadap

manusia, dan keterkaitan dengan hewan lebih banyak dilihat sebagi media

penularan (vector-borne disease) seperti malaria dan demam berdarah karena

meningkatnya vektor nyamuk akibat kenaikan suhu dan perubahan pola hujan.

Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dalam sidang tahunannya yang ke-

77 tahun 2009 menyatakan akibat dari perubahan iklim, dunia menghadapi

munculnya penyakit-penyakit hewan yang baru muncul dan yang muncul kembali

(emerging and re-emerging animal diseases). Merebaknya penyakit-penyakit pada

beberapa hewan domestik maupun hewan liar seperti blue tongue, rift valley fever,

west nile, avian influenza atau juga penyakit-penyakit yang disebarkan oleh vektor

diyakini berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan perubahan iklim.

Kompleksitas dari keterkaitan antara berbagai faktor yang mempengaruhi

munculnya penyakit-penyakit hewan baru dan yang muncul kembali tersebut

mengindikasikan bahwa ketidakpastian akan terus membayangi masa depan

kehidupan manusia dan hewan. Perubahan iklim hanyalah salah satu di antara

berbagai faktor dari perubahan ekosistem yang memunculkan penyakit-penyakit

hewan tersebut (Naipospo TSP 2010).

STRATEGI MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM DALAM ERA

NEW NORMAL

Perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan

pengaruh kepada perekonomian nasional, terutama terhadap beberapa bidang

kehidupan dasar seperti pangan, air, energi, dan kesehatan. Sebagai bentuk

kesadaran terhadap fenomena perubahan iklim, Pemerintah Indonesia sudah

berkomitmen untuk mendorong upaya adaptasi perubahan iklim sebagai bagian

dalam perencanaan pembangunan. Komitmen terhadap adaptasi didasarkan pada

posisi Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia untuk mengurangi dampak

negatif perubahan iklim terhadap berbagai sektor ekonomi yang dapat berakibat

pada penurunan produk domestik bruto (PDB) secara global.

Secara geografis, Indonesia memiliki berbagai habitat mulai dari dataran

rendah, hutan, padang rumput, perbukitan, pegunungan tinggi, pessisir hinga laut

dalam. Kondisi ini menjadikan Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman

hayati yang tinggi sebagai modal dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim

dari jasa ekosistem tersebut untuk kegiatan peternakan, walaupun di lain pihak

Page 8: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju

21

perubahan iklim akan mengancam keberadaan ekosistem itu sendiri.

Keanekaragaman hayati termasuk keanekaragaman spesies dan genetik baik

hewan maupun tanaman menjadi modal bagi upaya adaptasi peternakan, untuk

mendapatkan spesies ternak yang tahan iklim dan tanaman sebagai sumber pakan

ternak.

Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya pengendalian dampak

perubahan iklim selain mitigasi perubahan iklim, di mana keduanya merupakan

upaya yang tidak bisa dipisahkan. Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya

yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri

terhadap dampak perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim

ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang

yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan.

Adaptasi perubahan iklim dilakukan dengan mengurangi risiko akibat dari

perubahan iklim sehingga dampak perubahan iklim yang akan terjadi dapat

dikurangi atau dihindari. Pengurangan risiko perubahan iklim dilakukan dengan

melakukan upaya-upaya yang berkaitan dengan faktor bahaya perubahan iklim,

kerentanan perubahan iklim (yang meliputi faktor kapasitas dan sensitivitas) serta

faktor keterpaparan (IPCC 2014). Bahaya merupakan sifat perubahan iklim yang

berpotensi menimbulkan kerugian bagi manusia atau kerusakan tertentu bagi

fungsi lingkungan hidup yang dapat dinyatakan dalam besaran, laju, frekuensi,

dan peluang kejadian. Bahaya perubahan iklim sektor peternakan dapat berupa

kenaikan temperatur, gangguan ketersediaan air, pakan, penyakit terkait iklim.

Kerentanan merupakan kecenderungan suatu sistem untuk mengalami

dampak negatif yang meliputi sensitivitas terhadap dampak negatif dan

kurangnya kapasitas adaptasi untuk mengatasi dampak negatif. Sensitivitas

merupakan tingkat di mana suatu sistem akan terpengaruh atau responsif

terhadap rangsangan iklim. Sedangkan kapasitas adaptasi adalah potensi atau

kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim,

termasuk variabilitas iklim dan iklim ekstrim, sehingga potensi kerusakannya

dapat dikurangi/dicegah. Kerentanan pada sektor peternakan dapat dikurangi

dengan mengurangi sensitivitas hewan ternak dari bahaya perubahan iklim serta

meningkatkan kapasitas adaptasinya. Adapun faktor keterpaparan merupakan

faktor keberadaan manusia, mata pencaharian, spesies/ekosistem, fungsi

lingkungan hidup, jasa dan sumber daya, infrastruktur, atau aset ekonomi, sosial,

dan budaya di wilayah atau lokasi yang dapat mengalami dampak negatif.

Strategi menghadapi perubahan iklim pada sektor peternakan pada era new

normal dilakukan dengan melakukan upaya adaptasi perubahan iklim dengan

tetap memperhatikan kondisi-kondisi dari adanya pandemik virus Covid-19.

Upaya adaptasi dilakukan dengan berbagai aksi untuk menurunkan risiko

perubahan iklim, mulai dari menurunkan bahaya, mengurangi keretanan dan

keterpaparan perubahan iklim. Adapun strategi yang dapat dilakukan antara lain:

Page 9: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020

22

a. Pengurangan tingkat bahaya

Pengurangan tingkat bahaya dapat dilakukan dengan mengurangi bahaya

perubahan iklim yang akan mengancam hewan ternak baik langsung maupun

tidak langsung, misalnya mengurangi faktor-faktor yang menyebabkan

penyakit ternak yang dapat berkembang karena perubahan iklim muncul di

wilayah tersebut, misalnya dengan melakukan karantina.

b. Pengurangan kerentanan

Pengurangan tingkat kerentanan hewan ternak dapat dilakukan dengan

mengurangi sensitivitas hewan ternak dan meningkatkan kapasitas adaptasi

untuk merespons bahaya perubahan iklim.

• Pengurangan sensitivitas

Dilakukan dengan seleksi jenis/spesies ataupun genetis hewan ternak, yang

tahan terhadap bahaya iklim yang akan terjadi. Strategi ini bisa jadi

merupakan strategi jangka panjang yang harus dikembangkan sebagai

bentuk adaptasi hewan ternak terhadap perubahan iklim. Adanya perbedaan

toleransi termal antara spesies hewan ternak satu dengan yang lain

memberikan petunjuk dalam memilih hewan thermotolerant. Dengan

teridentifikasi hewan yang toleran terhadap panas maka dapat diperoleh

hewan ternak yang berproduksi tinggi atau mampu mempertahankan

produktivitas ketika terkena kondisi heat stress. Sebagai contoh ternak

dengan rambut pendek, rambut berdiameter lebih besar dan warna bulu

yang lebih ringan lebih beradaptasi dengan lingkungan yang panas

dibandingkan dengan rambut yang lebih panjang dan warna yang lebih

gelap. Selain tolerant terhadap suhu, hal serupa juga bisa dilakukan untuk

bahaya terkait penyakit ternak, dengan melakukan seleksi jenis ataupun

genetis yang tahan terhadap penyakit yang akan berkembang akibat

perubahan iklim.

• Peningkatan kapasitas adaptif

Peningkatan kapasitas adaptif dapat dilakukan agar ternak mampu

menyesuaikan dengan kondisi perubahan yang ada. Upaya peningkatan

kapasitas adaptif dilakukan oleh peternak agar ternak dapat bertahan

dengan kondisi iklim yang berubah. Kapasitas adaptif dapat dilakukan

dengan memanfaatkan tekonologi yang ada maupun dengan pengembangan

teknologi modern yang mampu mengantisipasi adanya ancaman perubahan

iklim. Langkah yang dapat dilakukan antara lain:

- Melakukan modifikasi lingkungan

Berkaitan dengan kenaikan suhu yang menimbulkan heat stress bagi

ternak, pendekatan yang paling umum dilakukan adalah mengubah

lingkungan hewan ternak melalui penyediaan rumah atau tempat teduh

(bersama dengan pakan dan air minum), sistem pendingin evaporatif

dengan air dalam bentuk kabut, dan penyediaan kolam pendingin. Kolam

Page 10: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju

23

pendingin dan sprinkler juga dapat digunakan untuk mendinginkan

lingkungan. Salah satu cara yang mungkin paling mudah dan murah

adalah dengan pembuatan shading untuk memodifikasi lingkungan

hewan dalam menghadapi adanya kenaikan temperatur udara.

Untuk hewan luar, penyediaan naungan (alami atau buatan) adalah

salah satu metode yang paling sederhana dan hemat biaya untuk

meminimalkan panas dari radiasi matahari. Penanaman pohon sangat

efektif sebagai bahan naungan. Selain itu bahan naungan alami memberikan

keteduhan pada hewan serta memberikan pendinginan temperatur udara

dari uap air yang menguap melalui daun.

Pemberian warna atau nuansa buatan dapat memberikan perlindungan

dari efek radiasi matahari pada saat warna alami tidak mendukung. Selain

itu jenis bahan naungan atau atap akan mempengaruhi suhu ruangan

misalnya dengan penggunaan bahan alami ataupun bahan logam sintetis

untuk struktur naungan seperti atap galvanis atau aluminium putih.

- Melakukan managemen nutrisi ternak

Melakukan modifikasi nutrisi diperlukan untuk membantu hewan

agar tidak mengalami defisiensi nutrisi akibat kenaikan temperatur udara

yang menimbulkan heat stress. Cuaca yang panas akan menyebabkan

asupan bahan kering (dry matter intake) rendah sehingga mengurangi

efisiensi nutrisi yang dapat diserap oleh ternak. Managemen nutrisi

diharapkan dapat meningkatkan kualitas nutrisi, memberikan pakan yang

segar dan bersih untuk hewan ternak. Peningkatan kualitas pakan

dilakukan dengan memberikan pakan dengan kandungan energi tinggi,

namun rendah serat agar rumen atau perut hewan ternak dapat berfungsi

dengan baik. Upaya pemberian suplemen vitamin dan mineral dapat juga

dilakukan, misalnya pemberian natrium dan kalium untuk mengganti

mineral yang hilang akibat respirasi/pernapasan, pengeluaran keringat dan

atau urin yang berlebih serta vitamin B kompleks untuk memaksimalkan

proses metabolisme tubuh dan merangsang nafsu makan ternak sapi.

Managemen nutrisi dapat dilakukan dengan mengatur komposisi

makanan ternak agar diperoleh makanan ternak yang tepat. Misalnya

menggunakan campuran leguminosa yang dikombinasikan dengan rumput

atau jerami. Leguminosa seperti Gliricidia, Leucaena dan Kaliandra adalah

tiga jenis leguminosa yang rendah emisi metan sehingga dapat berfungsi

juga untuk kegiatan mitigasi GRK. Keunggulan ketiga leguminosa ini

adalah adaptif terhadap iklim di Indonesia, disukai ternak, mengandung

protein tinggi (22-24%). Hijauan ini berproduksi sepanjang tahun dan

rendah emisi gas metana dibandingkan dengan jenis rumput seperti

rumput gajah.

Page 11: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020

24

c. Pengurangan keterpaparan

Tingkat keterpaparan pada kegiatan peternakan dapat dikurangi

dengan menempatkan hewan ternak pada wilayah yang tingkat

keterpaparan terhadap perubahan iklim rendah. Sebagai contoh untuk

mengurangi tingkat keterpaparan akibat kenaikan suhu maka keberadaan

faktor-faktor yang menyebabkan adanya suhu tinggi dihindari, misalnya

dengan menempatkan ternak di wilayah pedesaan yang kemungkinan

wilayahnya tidak terkena urban heat island effect seperti di wilayah

perkotaan.

Beberapa upaya lain untuk mengurangi keterpaparan antara lain:

• Pemilihan lokasi kandang ternak yang tepat, dengan kondisi temperatur

udara dan kelembapan yang sesuai serta jauh dari lokasi bencana banjir

dan longsor;

• Pemilihan lokasi peternakan dengan ekosistem yang mendukung

ketersediaan pakan dan air yang cukup;

• Pemilihan lokasi peternakan dengan ekosistem yang mampu

mengurangi terjadinya serangan penyakit ternak.

Kegiatan adaptasi perubahan iklim, termasuk adaptasi di peternakan

memerlukan dukungan multi pihak, termasuk dukungan dari dunia usaha. Upaya

untuk menarik dukungan dunia usaha sebagai mitra dalam adaptasi perubahan

iklim kegiatan peternakan telah dilakukan KLHK dengan salah satu perusahaan

swasta yang bergerak di bidang peternakan dengan melibatkan Paguyuban

Peternak Rakyat Nasional (PPRN) melalui Project USAID-APIK di Kabupaten

Blitar, Jawa Timur.

Kabupaten Blitar merupakan salah satu sentra produksi telur terbesar di

Indonesia, yang memenuhi 70% dari kebutuhan telur untuk Provinsi Jawa Timur

dan berkontribusi sebesar 30% dari kebutuhan telur ayam nasional. Namun, sentra

ayam petelur ini relatif rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kondisi cuaca

yang ekstrem berdampak cukup besar pada produksi telur di Blitar. Cuaca yang

terlalu panas, angin kencang dan/atau hujan deras berpengaruh pada produktivitas

ayam petelur. Selain rendahnya higienitas kandang yang telah memberi dampak

pada penurunan kualitas telur, cuaca ekstrem juga meningkatkan risiko penyakit

pada ayam petelur.

Untuk mengantisipasi danpak perubahan iklim tersebut dikembangkan

kandang ayam yang adaptif terhadap perubahan cuaca ekstrem, memberikan

efisiensi penggunaan air, pakan, dan juga tenaga kerja. Kandang percontohan

dibangun untuk populasi 2.000 ekor ayam dengan desain konstruksi atap dan

ketinggian lantai yang mendukung sirkulasi udara maksimal untuk mengurangi

cekaman panas dan tampias air hujan. Kandang juga dilengkapi dengan mesin

pemberi pakan semi otomatis (semi automatic feeding hopper system) yang

mendukung efisiensi waktu pemberian pakan, tenaga kerja, dan mengurangi

Page 12: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju

25

kerugian dari pakan yang tumpah. Diperkirakan dengan penerapan sistem ini,

peternak dapat menghemat sekitar Rp 42 juta per tahun untuk populasi 2.000 ekor

ayam.

PENUTUP

Meskipun keberadaan industri peternakan di Indonesia masih belum

berkembang sebagaimana di negara-negara maju, namun upaya untuk mendorong

penelitian terhadap dampak perubahan iklim terhadap sektor peternakan sudah

saatnya dilakukan. Mengingat kegiatan peternakan merupakan salah satu sumber

matapencaharian masyarakat Indonesia, maka upaya agar sektor ini dapat tetap

tumbuh dan tangguh terhadap perubahan iklim maka upaya adaptasi perubahan

iklim harus dilakukan. Sektor peternakan merupakan salah satu sektor mendasar

yang berperan dalam mendukung ketahanan pangan. Kebutuhan protein hewani

yang terus meningkat akibat pertumbuhan penduduk dan kondisi ancaman

pandemik Covid-19 yang menuntut daya tahan tubuh yang tinggi maka

keberadaan sektor peternakan yang tangguh terhadap perubahan iklim mutlak

diperlukan. Upaya adaptasi perubahan iklim sektor peternakan tidak terbatas

terkait manajemen peternakan semata tetapi juga terkait upaya peningkatan

literasi dan pemahaman perubahan iklim SDM petani pengelola ternak. Untuk itu

upaya pemberian pengetahuan terkait dampak perubahan iklim dan upaya

adaptasi pada kegiatan peternakan harus terus dilakukan.

Agar upaya adaptasi perubahan iklim di kegiatan peternakan dapat berjalan

dengan baik (koordinatif, integratif, sinkron dan sinergi) sehingga dapat

mewujudkan peternakan yang tangguh iklim maka perlu dukungan semua pihak

baik pemerintah, perguruan tinggi, badan penelitian, dunia usaha, lembaga

swadaya masyarakat serta masyarakat itu sendiri untuk secara bersama-sama

menyusun strategi dan rencana aksi adaptasi sektor petenakan baik di tingkat

nasional maupun lokal. Upaya adaptasi kegiatan peternakan diharapkan dapat

mendukung tercapainya target yang tertuang dalam Nationally Determined

Contribution (NDC) Indonesia yakni ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan

sumberpenghidupan serta ketahanan ekosistem dan lanskap sebagai nagian dari

komitmen Indonesia dalam menindaklanjuti Persetujuan Paris.

Sebagai bagian dari upaya antisipasi dampak perubahan iklim pada kegiatan

peternakan, maka dalam penyusunan kebijakan di bidang peternakan khususnya

pada tingkat nasional perlu memperhatikan berbagai rekomendasi kebijakan yang

dikeluarkan oleh lembaga internasional berdasarkan hasil penelitian di seluruh

dunia seperti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Intergovernmental

Panel on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), Food and Agriculture Organization

(FAO), Wildlife Conservation Society (WCS) dan Consortium for Conservation Medicine.

Diharapkan dengan memperhatikan rekomendasi kebijakan pada tingkat global

diperoleh pandangan yang lebih luas terkait dampak perubahan iklim pada

Page 13: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020

26

kegiatan peternakan baik saat ini maupun masa depan sehingga dapat disusun

berbagai opsi kebijakan strategis untuk adaptasi perubahan iklim di bidang

peternakan beserta implementasinya.

REFERENSI

Hernadi, Agus, et.al. 2020. Membangun Ketangguhan Strategi, Upaya dan Kisah

Sukses Hadapi Perubahan Iklim dan Bencana. Jakarta (Indonesia): USAID APIK.

IPCC. 2014. Summary for policymakers. In: Field CB, VR Barros, Dokken DJ, Mach KJ,

Mastrandrea MD, Bilir TE, Chatterjee M, Ebi KL, Estrada YO, Genova RC, Girma

B, Kissel ES, Levy AN, MacCracken S, Mastrandrea PR, White LL, editors. Climate

Change 2014: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part A: Global and Sectoral

Aspects. Contribution of Working Group II to the Fifth Assessment Report of the

Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge (UK) and New York

(USA): Cambridge University Press. pp. 1-32.

IPCC. 2018. Summary for Policymakers. In: Masson-Delmotte V, Zhai P, Pörtner H-O,

Roberts D, Skea J, Shukla PR, Pirani A, Moufouma-Okia W, Péan C, Pidcock R,

Connors S, Matthews JBR, Chen Y, Zhou X, Gomis MI, Lonnoy E, Maycock T,

Tignor M, Waterfield T, editors. Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report

on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related

global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the

global response to the threat of climate change, sustainable development, and

efforts to eradicate poverty. In Press.

[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2019. Laporan Inventarisasi

Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan dan Verivikasi Tahun 2018.

Jakarta (Indonesia): Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.

Ministry Environment and Forestry Republic of Indonesia. 2018. Indonesia Third

National Communication under UNFCCC. Jakarta (Indonesia): Ministry

Environment and Forestry Republic of Indonesia.

Naipospos TSP. 2010. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Penyakit Hewan, Seminar

Globalisasi, Perubahan Iklim dan Penyakit Hewan. Center for Indonesia

Veterinary Analytical Studies (CIVAS). Bogor.

Timorria I.F. 2020. Kuartal II/2020, BPS: Kontribusi Pertanian terhadap PDB Justru

Naik. Bisnis.com. [disitasi 5 Agustus 2020].

DISKUSI

Pertanyaan

1. Apakah perubahan iklim membuat sifat tanah menjadi asam atau menjadi asin karena

intrusi air laut? Penelitian harus mengarah ke: "heat stress", tanaman pakan tahan

kering, smart farming (efisien air, pakan dll), penyakit baru, pengolahan pakan

Page 14: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal

Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju

27

2. Seberapa besar kontribusi N2O dr unggas dlm perubahan iklim?

3. Adakah data yg membuktikan bahwa ternak sapi menjadi salah satu penyumbang

utama perubahan iklim?

4. Ternak sapi bisa berkontribusi tetapi bukan penyumbang utama perubahan

5. Menurut hemat saya, Indonesia sudah banyak melakukan upaya-2 mitigasi PI, namun

masih relative sedikit terhadap strategi Adaptasinya. Secara global, saat ini banyak

sekali modelling-2 yang diintroduksikan, namun bagaimana kebijakan Indonesia dalam

hal ini mengingat kondisi peternakan kita yang memang berbeda dengan diluar negeri?

Jawaban

1. Perubahan iklim mempengaruhi tingkat curah hujan misalnya menjadi tinggi tetapi

tidak mempengaruhi keasaman tanah. Penelitian heat stress perlu dilakukan pada

ternak dan pakan sebagai dampak dan mencari solusi nya akibat perubahan iklim

2. Tidak terlalu besar tetapi cukup berperan kontribusinya dalam perubahan iklim yang

utama/terbesar adalah perubahan tataguna lahan kehutanan/penebangan, energi,

namun pertanian hanya 0,38%

3. Ternak sapi bisa berkontribusi tetapi bukan penyumbang utama perubahan iklim

4. Kementan bisa memberikan kebijakan dominan, dengan kondisi perubahan iklim saat

ini peternakan tetap dapat mempertahankan/meningkatkan produktivitas dan nutrisi

yang ada melalui literasi dijelaskan dampak dan solusi terhadap pemanasan global