Upload
others
View
3
Download
0
Embed Size (px)
Citation preview
DOI: http://dx.doi.org/10.14334/Pros.Semnas.TPV-2020-p.14-27
14
Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk
Mendukung Peternakan Maju, Mandiri dan Modern
Strategies for Facing Climate Change in the New Normal Era to
Support Advanced, Independent and Modern Livestock
Arundhati ST
Direktur Adaptasi Perubahan Iklim, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
ABSTRACT
Climate change has consequences on several sectors of agriculture including on
sub sector of livestock or animal husbandry. Related climate change, livestock activities
are a source of green house gases emmisions, but in the other hand the livestock sector
is one of the activities affected by climate change. Climate change negatively impacts
on livestock sector both directly and indirectly. The direct effects comprise of rising
temperature, variations in photoperiod as well as precipitation and indirect effects
include reduced feed quality as well as quantity, less water availability and higher
disease susceptibility. Livestock is one of the sectors driving the national economy, the
efforts to reduce the impact and risks of climate change in livestock sector are very
important. Reducing impacts and risks of climate change in the livestock sector are
carried out by developing climate change adaptation efforts through reducing hazards
due to climate, reducing vulnerability (by reducing sensitivity and promoting adaptive
capacity) and also manging the exposure related of livestock. The climate change
adaptation on livestock sector can support the achievement of the targets set out in
Indonesia's Nationally Determined Contribution (NDC), namely economic resilience,
social and livelihood resilience as well as ecosystem and landscape resilience as part of
Indonesia's commitment to following up the Paris Agreement.
Key words: Climate change, animal husbandry, climate change adaptation
ABSTRAK
Perubahan iklim berdampak pada beberapa sektor pertanian termasuk subsektor
ternak atau peternakan. Terkait perubahan iklim, kegiatan peternakan merupakan
salah satu sumber emisi gas rumah kaca, namun di sisi lain sektor peternakan
merupakan salah satu kegiatan yang terkena dampak perubahan iklim. Perubahan
iklim berdampak negatif pada sektor peternakan baik secara langsung maupun tidak
langsung. Efek langsung terdiri dari kenaikan suhu, variasi pencahayaan matahari
(fotoperiode) serta curah hujan dan efek tidak langsung termasuk penurunan kualitas
dan kuantitas pakan, ketersediaan air yang lebih sedikit dan kerentanan penyakit yang
lebih tinggi. Peternakan merupakan salah satu sektor penggerak perekonomian
nasional, maka upaya untuk mengurangi dampak dan risiko perubahan iklim di sektor
peternakan sangat penting dilakukan. Pengurangan dampak dan risiko perubahan
Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju
15
iklim di sektor peternakan dilakukan dengan mengembangkan upaya adaptasi
perubahan iklim melalui pengurangan bahaya akibat iklim, pengurangan kerentanan
(dengan cara mengurangi kepekaan dan meningkatkan kapasitas adaptif) dan juga
mengatur keterpaparan terkait ternak. Adaptasi perubahan iklim pada sektor
peternakan dapat mendukung pencapaian target yang ditetapkan dalam nationally
determined contribution (NDC) Indonesia, yaitu ketahanan ekonomi, ketahanan sosial
dan penghidupan serta ketahanan ekosistem dan bentang alam sebagai bagian dari
komitmen Indonesia untuk menindaklanjuti Persetujuan Paris.
Kata kunci: Perubahan iklim, peternakan, adaptasi perubahan iklim
PENDAHULUAN
Perubahan iklim merupakan salah satu tantangan serius yang dihadapi
masyarakat dunia pada saat ini dan akan menjadi lebih serius di masa depan
mengingat peningkatan suhu atmosfer bumi secara global terus terjadi. Sejumlah
bukti baru dan kuat yang muncul dari berbagai studi mutakhir memperlihatkan
faktor antropogenik, terutama industrialisasi yang berkembang cepat selama 50
tahun terakhir telah menyebabkan terjadinya peningkatan suhu global secara
signifikan. Seiring peningkatan suhu secara global, mendorong terjadinya
perubahan iklim seperti perubahan pola curah hujan, pergeseran musim hujan dan
kemarau, peningakatan frekuensi kejadian iklim ekstrim, serta peningkatan
frekuensi kejadian El Nino Southern Oscillation (ENSO) baik El Nino maupun La
Nina.
Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup mendefinisikan perubahan iklim sebagai
“berubahnya iklim yang diakibatkan langsung atau tidak langsung oleh aktivitas
manusia sehingga menyebabkan perubahan komposisi atmosfir secara global dan
selain itu juga berupa perubahan variabilitas iklim alamiah yang teramati pada
kurun waktu yang dapat dibandingkan”. Kegiatan industrialisasi telah mendorong
peningkatan emisi dan konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di atmosfer, yang terdiri
atas karbondioksida (CO2), dinitro oksida (N2O), metana (CH4), sulfurheksaflorida
(SF6), perflorokarbon (PFCs), dan hidrofloro-karbon (HFCs). Keberadaan gas
tersebut di atmosfer menyebabkan terjadinya efek rumah kaca yang menyebabkan
meningkatnya suhu bumi secara global. Walaupun berbagai gas tersebut juga
timbul dari aktivitas alami, namun faktor aktivitas manusia merupakan faktor
dominan yang menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer bumi yang
menyebabkan kenaikan suhu global.
Berkaitan dengan sumber GRK tersebut, tiga jenis GRK yakni CO2, N2O, dan
CH4 memiliki keterkaitan dengan kegiatan pertanian, termasuk di dalamya
kegiatan peternakan. Kontribusi ketiga jenis GRK tersebut pada Tahun 2014
berdasarkan dokumen Indonesia Third National Communication (TNC) under
UNFCCC berturut-turut adalah 87, 9,7 dan 3,3% (MoEF 2018). Berdasarkan hasil
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020
16
inventarisasi yang dilakukan KLHK, sektor pertanian pada Tahun 2017
memberikan sumbangan sebesar 11,04% atau sebesar 121,686 Gg CO2e dari total
emisi GRK nasional sebesar 1102 Gg CO2. Kontribusi tersebut di bawah sektor
energi (48%) dan sektor kehutanan dan kebakaran gambut (26%). Kegiatan
peternakan sendiri sebagai bagian dari sektor pertanian memberikan kontribusi
sebesar 22,714 Gg CO2e (KLHK 2019).
Sumber emisi terbesar dari sub sektor peternakan adalah emisi CH4 dan N2O.
Gas CH4 merupakan tipikal GRK yang diemisikan dari sektor pertanian termasuk
peternakan, terutama dari ternak ruminansia. Terdapat dua sumber CH4 dari
ruminansia, yaitu yang berasal dari proses pencernaan pakan dalam rumen ternak
ruminansia (CH4 enterik) dan yang berasal dari proses dekomposisi kotoran ternak
baik ruminansia dan nonruminansia. Sedangkan N2O dihasilkan dari proses
dekomposisi kotoran ternak, baik dari ruminansia maupun nonruminansia. Dalam
penghitungan emisi GRK kegiatan peternakan dikelompokkan menjadi dua yakni
fermentasi enterik (enteric fermentation) dan pengolahan limbah ternak (manure
management). Total emisi GRK sub sektor peternakan pada Tahun 2017 sebesar
22,714 Gg CO2e bersumber dari fermentasi enterik sebesar 61%, diikuti oleh emisi
N2O langsung dari pengelolaan limbah ternak (28%), serta emisi CH4 dari
pengelolaan limbah ternak dan emisi N2O tidak langsung dari pengelolaan limbah
ternak (6%).
Sumbangan GRK dari sektor pertanian relatif kecil dibandingkan sektor
lainnya, namun keberadaan CH4 yang dominan dari kegiatan peternakan
memberikan sumbangan yang cukup berpengaruh terhadap pemanasan global,
mengingat CH4 mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan CO2,
karena daya menangkap panas gas atau Global Warming Potential (GWP) CH4
adalah 25 kali dibandingkan dengan CO2.
Walaupun kontribusi sektor pertanian relatif kecil (11%) terhadap emisi GRK
nasional, namun sektor pertanian, termasuk peternakan, merupakan sektor yang
akan mengalami dampak perubahan iklim yang cukup besar. Pada sisi lain, dari
perspektif kontribusi perekonomian nasional, sektor pertanian termasuk kehutanan
dan kelautan, yang di dalamnya meliputi peternakan, memiliki kontribusi yang
tinggi bagi perekonomian nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS),
sektor pertanian masih menjadi salah satu sektor penting pada struktur produk
domestik bruto (PDB) Indonesia. Kontribusi sektor pertanian terhadap PDB
mengalami peningkatan pada kuartal II Tahun 2020 sebesar 15,46%. Sektor
pertanian juga menjadi satu-satunya sektor penyangga utama PDB yang tumbuh
positif sepanjang periode ini (Timorria IF 2020). Kontribusi sektor pertanian
terhadap PDB naik dibandingkan kuartal I Tahun 2020 yang memberikan
kontribusi sebesar 12,84% terhadap PDB dan sebesar 11,19% dibandingkan dengan
kuartal IV Tahun 2019. Khusus untuk peternakan sendiri pada PDB pada Tahun
2018 mencapai 231,71 triliun atau berkontribusi 16,35% kepada total PDB sektor
pertanian yang sebesar Rp. 1.417,07 triliun. Dengan kondisi perekonomian yang
Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju
17
memburuk akibat Covid-19, di mana banyak sektor mengalami penurunan, maka
sektor pertanian menjadi harapan untuk nenghindarkan Indonesia dari krisis
ekonomi yang melanda dunia.
IKLIM DAN TERNAK
Berkaitan dengan iklim, kondisi iklim sangat berpengaruh terhadap kegiatan
peternakan. Walaupun hewan ternak mempunyai kemampuan untuk
menyesuaikan diri atau beradaptasi dengan perubahan iklim yang terjadi, namun
pertumbuhan dan perkembangan hewan ternak sangat dipengaruhi oleh iklim
tempat dia berada. Iklim akan mempengaruhi hewan ternak baik secara langsung
maupun tidak langsung. Pengaruh langsung dapat berupa perilaku merumput di
siang hari, misalnya ternak yang digembalakan pada daerah yang berbeda iklim,
maka masa merumput cenderung akan berkurang, pola penggunaan atau
pengambilan makanan oleh ternak akan berubah, sebagai contoh meningkatnya
suhu menyebabkan ternak semakin sedikit makan, karena ternak cenderung akan
lebih banyak minum. Selain itu pengaruh langsung dapat berupa pengaruh
terhadap kebutuhan air minum ternak. Kebutuhan air hewan ternak akan
meningkat apabila suhu menglami kenaikan, air berperan penting dalam
metabolisme ternak, selain itu air juga membantu ternak melepaskan panas
tubuhnya secara konduksi dan penguapan,
Iklim juga mempengaruhi langsung terhadap efisiensi pengunaan makanan,
sebagai contoh hewan ternak dapat mengalami heat stress apabila iklim suatu
tempat panas, sehingga ternak tidak banyak melakukan gerak untuk menjaga suhu
tubuhnya tetap stabil. Selain itu kondisi iklim yang lebih hangat akan
menyebabkan hilangnya zat-zat makanan yang dibutuhkan oleh hewan ternak.
Suhu yang tinggi menyebabkan hewan ternak semakin sering berkeringat dan
mengeluarkan air ludah, sehingga akan semakin banyak zat makanan yang hilang.
Pada ternak mamalia apabila mereka berkeringat maka mereka akan kehilangan
air dan mineral dari dalam tubuhnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan
dan produktivitasnya. Perubahan iklim secara langsung juga dapat menyebabkan
menurunnya nafsu makan hewan ternak akibat temperatur yang sangat tinggi,
sehingga feed intake ternak pun akan menurun dan juga mempengaruhinya
lamanya merumput dan akhirnya juga mempengaruhi pertumbuhan dan
produktififtas dari ternak.
Perubahan iklim juga dapat menyebabkan ternak mengalami stress yang akan
mempengaruhi perilaku hewan ternak. Faktor eksternal berupa perubahan cuaca,
makanan dan kondisi lingkungan merupakan faktor yang dapat menyebabkan
stres pada ternak. Sebagai contoh, perubahan iklim akan berdampak pada
produksi susu pada hewan sapi perah. Meningkatnya suhu akan mengurangi
produktivitas susu sapi perah. Sapi perah dapat menghasilkan susu 56% pada
daerah subtropik, berbeda dengan daerah tropis sapi perah lebih sedikit
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020
18
menghasilkan susu. Perubahan iklim juga sangat mempengaruhi kualitas susu
yang dihasilkan seperti kandungan susu dan lemak di dalamnya.
Perubahan iklim juga dapat mempengaruhi ternak secara tidak langsung,
seperti perubahan kualitas dan kuantitas pakan (rumput atau tanaman) yang
tersedia bagi hewan ternak. Tanaman yang dimakan ternak serta air yang diminum
akan berpengaruh terhadap kandungan gizi dari tanaman yang dimakan hewan
ternak serta mempengaruhi daya cerna hewan ternak karena perubahan struktur
serat tanaman yang dimakan. Struktur pakan yang kasar akan menyebabkan daya
produksi ternak menjadi lebih rendah.
Perubahan iklim juga akan mendorong adanya parasit dan penyakit ternak.
Lingkungan dengan panas dan kelembapan yang tinggi merupakan tempat yang
baik bagi jamur, parasit, nyamuk, lalat, dan penyakit lain. Sebagai contoh pada
wilayah yang curah hujannya hanya cukup untuk tumbuhnya semak-semak, maka
keberadaan semak-semak tersebut akan menyebabkan berkembangbiaknya
nyamuk yang dapat mengakibatkan penyakit tidur bahkan dapat menyebabkan
kematian ternak. Selain berpengaruh terhadap ternak itu sendiri, perubahan iklim
juga akan berpengaruh terhadap proses penyimpanan dan penanganan hasil
ternak. Sebagai contoh iklim tropis baik lembap/kering dapat merusak hasil ternak
sehingga membutuhkan teknik pengolahan terhadap hasil ternak.
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM DI INDONESIA TERHADAP
PETERNAKAN
Iklim merupakan faktor lingkungan yang memberikan pengaruh penting
terhadap fungsi ekologis ekosistem. Perubahan iklim akan mempengaruhi
ekosistem dengan berbagai cara, misalnya peningkatan suhu akan memaksa
spesies bermigrasi ke daerah dengan garis lintang yang lebih tinggi atau mencari
tempat yang lebih tinggi untuk mencari suhu yang lebih kondusif demi
kelangsungan hidup mereka. Naiknya tinggi permukaan laut, intrusi air laut ke
dalam sistem air tawar akan memaksa beberapa spesies kunci untuk berpindah
atau mati, sehingga menghilangkan predator atau pemangsa yang penting dalam
rantai makanan yang ada.
Berkaitan dengan kegiatan peternakan, hewan ternak merupakan hewan budi
daya sehingga upaya adaptasinya akan bergantung dari teknik budi daya yang
dilakukan oleh manusia. Hewan ternak yang dibudi dayakan di daerah tropis
memiliki risiko yang lebih besar akibat perubahan iklim dibandingkan dengan
hewan ternak yang berada di daerah bergaris lintang tinggi karena sensitivitas
terhadap temperatur, air dan ketersediaan pakan.
Perubahan iklim yang terjadi secara global telah mempengaruhi kondisi iklim
bumi baik berupa kenaikan suhu atmosefer, perubahan pola curah hujan,
meningkatnya frekuensi iklim ekstrim seperti badai, kekeringan yang panjang
yang selanjutnya memberikan dampak terhadap berbagai sektor, termasuk sektor
Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju
19
pertanian dan peternakan. Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim atau
Intergovermental Panel on Climate Change (IPCC) melaporkan bahwa aktivitas
manusia diperkirakan telah menyebabkan pemanasan global sekitar 1,0°C di atas
tingkat praindustri, dengan kemungkinan kisaran 0,8°C sampai dengan 1,2°C.
Pemanasan global kemungkinan akan mencapai 1,5°C antara tahun 2030 dan 2052
jika kondisinya terus meningkat dari kecepatan saat ini (IPCC 2018).
Dalam konteks Indonesia, berdasarkan kajian yang dilakukan KLHK Tahun
2017 tren suhu rata-rata tahunan Indonesia, secara dekadal dengan periode 30
tahun (1961-1990 dan 1971-2000) menunjukkan tren peningkatan suhu hampir di
seluruh Indonesia sebesar 0.01-0.04°C/tahun atau 1,2°C per 30 tahun. Sementara
data proyeksi suhu di masa depan, secara umum menunjukkan bahwa semakin
lama periode proyeksi dengan periode baseline, peningkatan suhu di wilayah
tersebut cenderung meningkat. Pada tingkat skenario yang rendah (RCP 2.6),
peningkatan suhu rata-rata relatif kecil, sedangkan kisaran tertinggi terdapat pada
skenario ekstrim (RCP 8.5) yang menunjukkan peningkatan sangat besar
dibandingkan dengan skenario lain, terutama untuk periode 2076-2100 yang
mencapai kisaran kenaikan 2.37-4.09°C
Untuk curah hujan, hasil kajian menunjukkan periode 1981-2010 merupakan
periode basah dengan tren dekadal yang menunjukkan laju peningkatan curah
hujan tahunan di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan pada periode sebelumnya
1971-2000 menunjukkan kondisi yang lebih kering (tren dekadal negatif).
Berdasarkan nilai rerata model, curah hujan di musim kemarau masa depan
cenderung semakin kering dan curah hujan di musim hujan dan periode transisi
(dari basah ke musim kemarau) lebih basah. Secara umum ditemukan bahwa
skenario ekstrim akan meningkatkan ketidakpastian iklim di masa depan. Hasil
proyeksi curah hujan juga menunjukkan beberapa daerah yang mengalami
peningkatan curah hujan rata-rata, sementara yang lain mengalami penurunan
(MoEF 2018).
Indonesia sebagai negara kepulauan di wilayah tropis merupakan negara
yang rentan terhadap perubahan iklim baik karena kenaikan temperatur udara,
perubahan pola curah hujan, meningkatnya kejadian iklim, kenaikan temperatur
dan juga muka air laut. Meskipun belum banyak data yang komprehensif tentang
dampak perubahan iklim terhadap kegiatan peternakan di Indonesia, akan tetapi
perhatian dampak perubahan iklim pada kegiatan peternakan akan menjadi
semakin penting mengingat kebutuhan protein hewani yang cukup tinggi sejalan
dengan kenaikan jumlah penduduk.
Peningkatan temperatur akibat perubahan iklim akan memberikan dampak
terhadap hewan ternak di Indonesia, diperkirakan masalah heat stress yang
mengancam hewan ternak akan meningkat. Dampak kenaikan temperatur akan
lebih terasa mengungat wilayah Indonesia di daerah tropis. Variabel iklim seperti
temperatur dan kelembapan berpotensi memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan dan produksi semua jenis ternak domestik. Selain itu perubahan
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020
20
iklim juga akan mempengaruhi kesehatan hewan ternak baik akibat penyakit-
penyakit dan stres yang berkaitan dengan kenaikan temperatur udara itu sendiri,
gangguan kesehatan akibat kejadian-kejadian cuaca yang ekstrim, adaptasi sistem
produksi ternak terhadap lingkungan baru, maupun penyakit hewan yang muncul
baru dan yang muncul kembali.
Penelitian terkait dampak perubahan iklim terhadap kesehatan hewan ternak
di Indonesia masih sangat terbatas. Berbagai penelitian terkait dampak perubahan
iklim terhadap kesehatan selama ini lebih fokus pada dampak kesehatan terhadap
manusia, dan keterkaitan dengan hewan lebih banyak dilihat sebagi media
penularan (vector-borne disease) seperti malaria dan demam berdarah karena
meningkatnya vektor nyamuk akibat kenaikan suhu dan perubahan pola hujan.
Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dalam sidang tahunannya yang ke-
77 tahun 2009 menyatakan akibat dari perubahan iklim, dunia menghadapi
munculnya penyakit-penyakit hewan yang baru muncul dan yang muncul kembali
(emerging and re-emerging animal diseases). Merebaknya penyakit-penyakit pada
beberapa hewan domestik maupun hewan liar seperti blue tongue, rift valley fever,
west nile, avian influenza atau juga penyakit-penyakit yang disebarkan oleh vektor
diyakini berkaitan langsung maupun tidak langsung dengan perubahan iklim.
Kompleksitas dari keterkaitan antara berbagai faktor yang mempengaruhi
munculnya penyakit-penyakit hewan baru dan yang muncul kembali tersebut
mengindikasikan bahwa ketidakpastian akan terus membayangi masa depan
kehidupan manusia dan hewan. Perubahan iklim hanyalah salah satu di antara
berbagai faktor dari perubahan ekosistem yang memunculkan penyakit-penyakit
hewan tersebut (Naipospo TSP 2010).
STRATEGI MENGHADAPI PERUBAHAN IKLIM DALAM ERA
NEW NORMAL
Perubahan iklim secara langsung maupun tidak langsung akan memberikan
pengaruh kepada perekonomian nasional, terutama terhadap beberapa bidang
kehidupan dasar seperti pangan, air, energi, dan kesehatan. Sebagai bentuk
kesadaran terhadap fenomena perubahan iklim, Pemerintah Indonesia sudah
berkomitmen untuk mendorong upaya adaptasi perubahan iklim sebagai bagian
dalam perencanaan pembangunan. Komitmen terhadap adaptasi didasarkan pada
posisi Indonesia sebagai bagian dari masyarakat dunia untuk mengurangi dampak
negatif perubahan iklim terhadap berbagai sektor ekonomi yang dapat berakibat
pada penurunan produk domestik bruto (PDB) secara global.
Secara geografis, Indonesia memiliki berbagai habitat mulai dari dataran
rendah, hutan, padang rumput, perbukitan, pegunungan tinggi, pessisir hinga laut
dalam. Kondisi ini menjadikan Indonesia memiliki kekayaan keanekaragaman
hayati yang tinggi sebagai modal dalam beradaptasi terhadap perubahan iklim
dari jasa ekosistem tersebut untuk kegiatan peternakan, walaupun di lain pihak
Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju
21
perubahan iklim akan mengancam keberadaan ekosistem itu sendiri.
Keanekaragaman hayati termasuk keanekaragaman spesies dan genetik baik
hewan maupun tanaman menjadi modal bagi upaya adaptasi peternakan, untuk
mendapatkan spesies ternak yang tahan iklim dan tanaman sebagai sumber pakan
ternak.
Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya pengendalian dampak
perubahan iklim selain mitigasi perubahan iklim, di mana keduanya merupakan
upaya yang tidak bisa dipisahkan. Adaptasi perubahan iklim merupakan upaya
yang dilakukan untuk meningkatkan kemampuan dalam menyesuaikan diri
terhadap dampak perubahan iklim, termasuk keragaman iklim dan kejadian iklim
ekstrim sehingga potensi kerusakan akibat perubahan iklim berkurang, peluang
yang ditimbulkan oleh perubahan iklim dapat dimanfaatkan.
Adaptasi perubahan iklim dilakukan dengan mengurangi risiko akibat dari
perubahan iklim sehingga dampak perubahan iklim yang akan terjadi dapat
dikurangi atau dihindari. Pengurangan risiko perubahan iklim dilakukan dengan
melakukan upaya-upaya yang berkaitan dengan faktor bahaya perubahan iklim,
kerentanan perubahan iklim (yang meliputi faktor kapasitas dan sensitivitas) serta
faktor keterpaparan (IPCC 2014). Bahaya merupakan sifat perubahan iklim yang
berpotensi menimbulkan kerugian bagi manusia atau kerusakan tertentu bagi
fungsi lingkungan hidup yang dapat dinyatakan dalam besaran, laju, frekuensi,
dan peluang kejadian. Bahaya perubahan iklim sektor peternakan dapat berupa
kenaikan temperatur, gangguan ketersediaan air, pakan, penyakit terkait iklim.
Kerentanan merupakan kecenderungan suatu sistem untuk mengalami
dampak negatif yang meliputi sensitivitas terhadap dampak negatif dan
kurangnya kapasitas adaptasi untuk mengatasi dampak negatif. Sensitivitas
merupakan tingkat di mana suatu sistem akan terpengaruh atau responsif
terhadap rangsangan iklim. Sedangkan kapasitas adaptasi adalah potensi atau
kemampuan suatu sistem untuk menyesuaikan diri dengan perubahan iklim,
termasuk variabilitas iklim dan iklim ekstrim, sehingga potensi kerusakannya
dapat dikurangi/dicegah. Kerentanan pada sektor peternakan dapat dikurangi
dengan mengurangi sensitivitas hewan ternak dari bahaya perubahan iklim serta
meningkatkan kapasitas adaptasinya. Adapun faktor keterpaparan merupakan
faktor keberadaan manusia, mata pencaharian, spesies/ekosistem, fungsi
lingkungan hidup, jasa dan sumber daya, infrastruktur, atau aset ekonomi, sosial,
dan budaya di wilayah atau lokasi yang dapat mengalami dampak negatif.
Strategi menghadapi perubahan iklim pada sektor peternakan pada era new
normal dilakukan dengan melakukan upaya adaptasi perubahan iklim dengan
tetap memperhatikan kondisi-kondisi dari adanya pandemik virus Covid-19.
Upaya adaptasi dilakukan dengan berbagai aksi untuk menurunkan risiko
perubahan iklim, mulai dari menurunkan bahaya, mengurangi keretanan dan
keterpaparan perubahan iklim. Adapun strategi yang dapat dilakukan antara lain:
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020
22
a. Pengurangan tingkat bahaya
Pengurangan tingkat bahaya dapat dilakukan dengan mengurangi bahaya
perubahan iklim yang akan mengancam hewan ternak baik langsung maupun
tidak langsung, misalnya mengurangi faktor-faktor yang menyebabkan
penyakit ternak yang dapat berkembang karena perubahan iklim muncul di
wilayah tersebut, misalnya dengan melakukan karantina.
b. Pengurangan kerentanan
Pengurangan tingkat kerentanan hewan ternak dapat dilakukan dengan
mengurangi sensitivitas hewan ternak dan meningkatkan kapasitas adaptasi
untuk merespons bahaya perubahan iklim.
• Pengurangan sensitivitas
Dilakukan dengan seleksi jenis/spesies ataupun genetis hewan ternak, yang
tahan terhadap bahaya iklim yang akan terjadi. Strategi ini bisa jadi
merupakan strategi jangka panjang yang harus dikembangkan sebagai
bentuk adaptasi hewan ternak terhadap perubahan iklim. Adanya perbedaan
toleransi termal antara spesies hewan ternak satu dengan yang lain
memberikan petunjuk dalam memilih hewan thermotolerant. Dengan
teridentifikasi hewan yang toleran terhadap panas maka dapat diperoleh
hewan ternak yang berproduksi tinggi atau mampu mempertahankan
produktivitas ketika terkena kondisi heat stress. Sebagai contoh ternak
dengan rambut pendek, rambut berdiameter lebih besar dan warna bulu
yang lebih ringan lebih beradaptasi dengan lingkungan yang panas
dibandingkan dengan rambut yang lebih panjang dan warna yang lebih
gelap. Selain tolerant terhadap suhu, hal serupa juga bisa dilakukan untuk
bahaya terkait penyakit ternak, dengan melakukan seleksi jenis ataupun
genetis yang tahan terhadap penyakit yang akan berkembang akibat
perubahan iklim.
• Peningkatan kapasitas adaptif
Peningkatan kapasitas adaptif dapat dilakukan agar ternak mampu
menyesuaikan dengan kondisi perubahan yang ada. Upaya peningkatan
kapasitas adaptif dilakukan oleh peternak agar ternak dapat bertahan
dengan kondisi iklim yang berubah. Kapasitas adaptif dapat dilakukan
dengan memanfaatkan tekonologi yang ada maupun dengan pengembangan
teknologi modern yang mampu mengantisipasi adanya ancaman perubahan
iklim. Langkah yang dapat dilakukan antara lain:
- Melakukan modifikasi lingkungan
Berkaitan dengan kenaikan suhu yang menimbulkan heat stress bagi
ternak, pendekatan yang paling umum dilakukan adalah mengubah
lingkungan hewan ternak melalui penyediaan rumah atau tempat teduh
(bersama dengan pakan dan air minum), sistem pendingin evaporatif
dengan air dalam bentuk kabut, dan penyediaan kolam pendingin. Kolam
Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju
23
pendingin dan sprinkler juga dapat digunakan untuk mendinginkan
lingkungan. Salah satu cara yang mungkin paling mudah dan murah
adalah dengan pembuatan shading untuk memodifikasi lingkungan
hewan dalam menghadapi adanya kenaikan temperatur udara.
Untuk hewan luar, penyediaan naungan (alami atau buatan) adalah
salah satu metode yang paling sederhana dan hemat biaya untuk
meminimalkan panas dari radiasi matahari. Penanaman pohon sangat
efektif sebagai bahan naungan. Selain itu bahan naungan alami memberikan
keteduhan pada hewan serta memberikan pendinginan temperatur udara
dari uap air yang menguap melalui daun.
Pemberian warna atau nuansa buatan dapat memberikan perlindungan
dari efek radiasi matahari pada saat warna alami tidak mendukung. Selain
itu jenis bahan naungan atau atap akan mempengaruhi suhu ruangan
misalnya dengan penggunaan bahan alami ataupun bahan logam sintetis
untuk struktur naungan seperti atap galvanis atau aluminium putih.
- Melakukan managemen nutrisi ternak
Melakukan modifikasi nutrisi diperlukan untuk membantu hewan
agar tidak mengalami defisiensi nutrisi akibat kenaikan temperatur udara
yang menimbulkan heat stress. Cuaca yang panas akan menyebabkan
asupan bahan kering (dry matter intake) rendah sehingga mengurangi
efisiensi nutrisi yang dapat diserap oleh ternak. Managemen nutrisi
diharapkan dapat meningkatkan kualitas nutrisi, memberikan pakan yang
segar dan bersih untuk hewan ternak. Peningkatan kualitas pakan
dilakukan dengan memberikan pakan dengan kandungan energi tinggi,
namun rendah serat agar rumen atau perut hewan ternak dapat berfungsi
dengan baik. Upaya pemberian suplemen vitamin dan mineral dapat juga
dilakukan, misalnya pemberian natrium dan kalium untuk mengganti
mineral yang hilang akibat respirasi/pernapasan, pengeluaran keringat dan
atau urin yang berlebih serta vitamin B kompleks untuk memaksimalkan
proses metabolisme tubuh dan merangsang nafsu makan ternak sapi.
Managemen nutrisi dapat dilakukan dengan mengatur komposisi
makanan ternak agar diperoleh makanan ternak yang tepat. Misalnya
menggunakan campuran leguminosa yang dikombinasikan dengan rumput
atau jerami. Leguminosa seperti Gliricidia, Leucaena dan Kaliandra adalah
tiga jenis leguminosa yang rendah emisi metan sehingga dapat berfungsi
juga untuk kegiatan mitigasi GRK. Keunggulan ketiga leguminosa ini
adalah adaptif terhadap iklim di Indonesia, disukai ternak, mengandung
protein tinggi (22-24%). Hijauan ini berproduksi sepanjang tahun dan
rendah emisi gas metana dibandingkan dengan jenis rumput seperti
rumput gajah.
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020
24
c. Pengurangan keterpaparan
Tingkat keterpaparan pada kegiatan peternakan dapat dikurangi
dengan menempatkan hewan ternak pada wilayah yang tingkat
keterpaparan terhadap perubahan iklim rendah. Sebagai contoh untuk
mengurangi tingkat keterpaparan akibat kenaikan suhu maka keberadaan
faktor-faktor yang menyebabkan adanya suhu tinggi dihindari, misalnya
dengan menempatkan ternak di wilayah pedesaan yang kemungkinan
wilayahnya tidak terkena urban heat island effect seperti di wilayah
perkotaan.
Beberapa upaya lain untuk mengurangi keterpaparan antara lain:
• Pemilihan lokasi kandang ternak yang tepat, dengan kondisi temperatur
udara dan kelembapan yang sesuai serta jauh dari lokasi bencana banjir
dan longsor;
• Pemilihan lokasi peternakan dengan ekosistem yang mendukung
ketersediaan pakan dan air yang cukup;
• Pemilihan lokasi peternakan dengan ekosistem yang mampu
mengurangi terjadinya serangan penyakit ternak.
Kegiatan adaptasi perubahan iklim, termasuk adaptasi di peternakan
memerlukan dukungan multi pihak, termasuk dukungan dari dunia usaha. Upaya
untuk menarik dukungan dunia usaha sebagai mitra dalam adaptasi perubahan
iklim kegiatan peternakan telah dilakukan KLHK dengan salah satu perusahaan
swasta yang bergerak di bidang peternakan dengan melibatkan Paguyuban
Peternak Rakyat Nasional (PPRN) melalui Project USAID-APIK di Kabupaten
Blitar, Jawa Timur.
Kabupaten Blitar merupakan salah satu sentra produksi telur terbesar di
Indonesia, yang memenuhi 70% dari kebutuhan telur untuk Provinsi Jawa Timur
dan berkontribusi sebesar 30% dari kebutuhan telur ayam nasional. Namun, sentra
ayam petelur ini relatif rentan terhadap dampak perubahan iklim. Kondisi cuaca
yang ekstrem berdampak cukup besar pada produksi telur di Blitar. Cuaca yang
terlalu panas, angin kencang dan/atau hujan deras berpengaruh pada produktivitas
ayam petelur. Selain rendahnya higienitas kandang yang telah memberi dampak
pada penurunan kualitas telur, cuaca ekstrem juga meningkatkan risiko penyakit
pada ayam petelur.
Untuk mengantisipasi danpak perubahan iklim tersebut dikembangkan
kandang ayam yang adaptif terhadap perubahan cuaca ekstrem, memberikan
efisiensi penggunaan air, pakan, dan juga tenaga kerja. Kandang percontohan
dibangun untuk populasi 2.000 ekor ayam dengan desain konstruksi atap dan
ketinggian lantai yang mendukung sirkulasi udara maksimal untuk mengurangi
cekaman panas dan tampias air hujan. Kandang juga dilengkapi dengan mesin
pemberi pakan semi otomatis (semi automatic feeding hopper system) yang
mendukung efisiensi waktu pemberian pakan, tenaga kerja, dan mengurangi
Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju
25
kerugian dari pakan yang tumpah. Diperkirakan dengan penerapan sistem ini,
peternak dapat menghemat sekitar Rp 42 juta per tahun untuk populasi 2.000 ekor
ayam.
PENUTUP
Meskipun keberadaan industri peternakan di Indonesia masih belum
berkembang sebagaimana di negara-negara maju, namun upaya untuk mendorong
penelitian terhadap dampak perubahan iklim terhadap sektor peternakan sudah
saatnya dilakukan. Mengingat kegiatan peternakan merupakan salah satu sumber
matapencaharian masyarakat Indonesia, maka upaya agar sektor ini dapat tetap
tumbuh dan tangguh terhadap perubahan iklim maka upaya adaptasi perubahan
iklim harus dilakukan. Sektor peternakan merupakan salah satu sektor mendasar
yang berperan dalam mendukung ketahanan pangan. Kebutuhan protein hewani
yang terus meningkat akibat pertumbuhan penduduk dan kondisi ancaman
pandemik Covid-19 yang menuntut daya tahan tubuh yang tinggi maka
keberadaan sektor peternakan yang tangguh terhadap perubahan iklim mutlak
diperlukan. Upaya adaptasi perubahan iklim sektor peternakan tidak terbatas
terkait manajemen peternakan semata tetapi juga terkait upaya peningkatan
literasi dan pemahaman perubahan iklim SDM petani pengelola ternak. Untuk itu
upaya pemberian pengetahuan terkait dampak perubahan iklim dan upaya
adaptasi pada kegiatan peternakan harus terus dilakukan.
Agar upaya adaptasi perubahan iklim di kegiatan peternakan dapat berjalan
dengan baik (koordinatif, integratif, sinkron dan sinergi) sehingga dapat
mewujudkan peternakan yang tangguh iklim maka perlu dukungan semua pihak
baik pemerintah, perguruan tinggi, badan penelitian, dunia usaha, lembaga
swadaya masyarakat serta masyarakat itu sendiri untuk secara bersama-sama
menyusun strategi dan rencana aksi adaptasi sektor petenakan baik di tingkat
nasional maupun lokal. Upaya adaptasi kegiatan peternakan diharapkan dapat
mendukung tercapainya target yang tertuang dalam Nationally Determined
Contribution (NDC) Indonesia yakni ketahanan ekonomi, ketahanan sosial dan
sumberpenghidupan serta ketahanan ekosistem dan lanskap sebagai nagian dari
komitmen Indonesia dalam menindaklanjuti Persetujuan Paris.
Sebagai bagian dari upaya antisipasi dampak perubahan iklim pada kegiatan
peternakan, maka dalam penyusunan kebijakan di bidang peternakan khususnya
pada tingkat nasional perlu memperhatikan berbagai rekomendasi kebijakan yang
dikeluarkan oleh lembaga internasional berdasarkan hasil penelitian di seluruh
dunia seperti Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), Intergovernmental
Panel on Biodiversity and Ecosystem Services (IPBES), Food and Agriculture Organization
(FAO), Wildlife Conservation Society (WCS) dan Consortium for Conservation Medicine.
Diharapkan dengan memperhatikan rekomendasi kebijakan pada tingkat global
diperoleh pandangan yang lebih luas terkait dampak perubahan iklim pada
Prosiding Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner Virtual 2020
26
kegiatan peternakan baik saat ini maupun masa depan sehingga dapat disusun
berbagai opsi kebijakan strategis untuk adaptasi perubahan iklim di bidang
peternakan beserta implementasinya.
REFERENSI
Hernadi, Agus, et.al. 2020. Membangun Ketangguhan Strategi, Upaya dan Kisah
Sukses Hadapi Perubahan Iklim dan Bencana. Jakarta (Indonesia): USAID APIK.
IPCC. 2014. Summary for policymakers. In: Field CB, VR Barros, Dokken DJ, Mach KJ,
Mastrandrea MD, Bilir TE, Chatterjee M, Ebi KL, Estrada YO, Genova RC, Girma
B, Kissel ES, Levy AN, MacCracken S, Mastrandrea PR, White LL, editors. Climate
Change 2014: Impacts, Adaptation, and Vulnerability. Part A: Global and Sectoral
Aspects. Contribution of Working Group II to the Fifth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge (UK) and New York
(USA): Cambridge University Press. pp. 1-32.
IPCC. 2018. Summary for Policymakers. In: Masson-Delmotte V, Zhai P, Pörtner H-O,
Roberts D, Skea J, Shukla PR, Pirani A, Moufouma-Okia W, Péan C, Pidcock R,
Connors S, Matthews JBR, Chen Y, Zhou X, Gomis MI, Lonnoy E, Maycock T,
Tignor M, Waterfield T, editors. Global Warming of 1.5°C. An IPCC Special Report
on the impacts of global warming of 1.5°C above pre-industrial levels and related
global greenhouse gas emission pathways, in the context of strengthening the
global response to the threat of climate change, sustainable development, and
efforts to eradicate poverty. In Press.
[KLHK] Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2019. Laporan Inventarisasi
Gas Rumah Kaca (GRK) dan Monitoring, Pelaporan dan Verivikasi Tahun 2018.
Jakarta (Indonesia): Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Ministry Environment and Forestry Republic of Indonesia. 2018. Indonesia Third
National Communication under UNFCCC. Jakarta (Indonesia): Ministry
Environment and Forestry Republic of Indonesia.
Naipospos TSP. 2010. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Penyakit Hewan, Seminar
Globalisasi, Perubahan Iklim dan Penyakit Hewan. Center for Indonesia
Veterinary Analytical Studies (CIVAS). Bogor.
Timorria I.F. 2020. Kuartal II/2020, BPS: Kontribusi Pertanian terhadap PDB Justru
Naik. Bisnis.com. [disitasi 5 Agustus 2020].
DISKUSI
Pertanyaan
1. Apakah perubahan iklim membuat sifat tanah menjadi asam atau menjadi asin karena
intrusi air laut? Penelitian harus mengarah ke: "heat stress", tanaman pakan tahan
kering, smart farming (efisien air, pakan dll), penyakit baru, pengolahan pakan
Arundhati: Strategi Menghadapi Perubahan Iklim dalam Era New Normal untuk Mendukung Peternakan Maju
27
2. Seberapa besar kontribusi N2O dr unggas dlm perubahan iklim?
3. Adakah data yg membuktikan bahwa ternak sapi menjadi salah satu penyumbang
utama perubahan iklim?
4. Ternak sapi bisa berkontribusi tetapi bukan penyumbang utama perubahan
5. Menurut hemat saya, Indonesia sudah banyak melakukan upaya-2 mitigasi PI, namun
masih relative sedikit terhadap strategi Adaptasinya. Secara global, saat ini banyak
sekali modelling-2 yang diintroduksikan, namun bagaimana kebijakan Indonesia dalam
hal ini mengingat kondisi peternakan kita yang memang berbeda dengan diluar negeri?
Jawaban
1. Perubahan iklim mempengaruhi tingkat curah hujan misalnya menjadi tinggi tetapi
tidak mempengaruhi keasaman tanah. Penelitian heat stress perlu dilakukan pada
ternak dan pakan sebagai dampak dan mencari solusi nya akibat perubahan iklim
2. Tidak terlalu besar tetapi cukup berperan kontribusinya dalam perubahan iklim yang
utama/terbesar adalah perubahan tataguna lahan kehutanan/penebangan, energi,
namun pertanian hanya 0,38%
3. Ternak sapi bisa berkontribusi tetapi bukan penyumbang utama perubahan iklim
4. Kementan bisa memberikan kebijakan dominan, dengan kondisi perubahan iklim saat
ini peternakan tetap dapat mempertahankan/meningkatkan produktivitas dan nutrisi
yang ada melalui literasi dijelaskan dampak dan solusi terhadap pemanasan global