175
KERTAS KEBIJAKAN Kata Pengantar oleh Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim) Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini

Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

Embed Size (px)

DESCRIPTION

Kesadaran bahwa perubahan iklim merupakan masalah pembangunan yang pentingdan harus segera mendapatkan penanganan telah ditunjukkan oleh semua kalangandi Indonesia. Termasuk kelompok generasi muda dan masyarakat terdampaklangsung di berbagai pelosok Nusantara. Kesadaran tersebut berkembang dari berbagaimomentum kebijakan pemerintah sejak tahun 2007 dan gejala-gejala alam yangekstrem beberapa tahun belakangan yang telah menimbulkan dampak-dampak burukterhadap kegiatan ekonomi masyarakat. Di tengah kesadaran yang makin deras tersebut, pengembangan sains dan kebijakan. Untuk menangani masalah perubahan iklim perlu terus ditingkatkan. Kesadaran dan pengetahuan yang baik mengenai perubahan iklim tentu tidak sertamerta menyelesaikan masalah. Keduanya harus diikuti dengan kerjasama yang mantapantarlembaga dan kelompok terkait, khususnya antara lembaga pemerintah danlegislatif¸ sehingga kebijakan yang dibuat akan mencapai sasaran secara efektif, yaitumasyarakat Indonesia yang memiliki daya tahan terhadap dampak negatif perubahaniklim dan yang menjalankan kegiatan ekonomi dengan emisi gas rumah kaca serendahmungkin

Citation preview

Page 1: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

Friedrich-Naumann-Stiftung (FNS) didirikan pada 1958 oleh Presiden pertama Republik Federal Jerman, Theodor-Heuss. Ia menamakan lembaga ini sesuai dengan nama seorang pemikir Jerman, Friedrich-Naumann (1860-1919), yang memperkenalkan pendidikan kewarganegaraan di Jerman untuk mewujudkan warga yang sadar dan terdidik secara politik.

FNS mengawali kegiatannya di Indonesia pada 1969 dan memulai kerja sama resminya dengan pemerintah Indonesia sejak 26 April 1971. FNS membagi pengetahuan dan nasihat kepada para politisi, pembuat keputusan, masyarakat sipil, dan masyarakat secara umum. Lembaga ini bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat dan institusi-institusi pendidikan untuk berbagi pengetahuan dan membantu menciptakan perubahan yang positif dan damai pada masyarakat di negara-negara itu.

KERTAS KEBIJAKAN

Friedrich-Naumann-Stiftung für die FreiheitJl. Rajasa II No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta 12110

p. +62 21 725 6012-13 f. +62 21 7203868

email. [email protected]

www. fnsindonesia.org

Kata Pengantar oleh Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim)

Strategi Pembangunan IndonesiaMenghadapi Perubahan Iklim:Status dan Kebijakan Saat Ini

Page 2: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

buku-1-pruf-4.indd 6 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 3: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

KESADARAN bahwa perubahan iklim merupakan masalah pembangunan yang pent-ing dan harus segera mendapatkan penanganan telah ditunjukkan oleh semua ka-langan di Indonesia. Termasuk kelompok generasi muda dan masyarakat terdampak langsung di berbagai pelosok Nusantara. Kesadaran tersebut berkembang dari berba-gai momentum kebijakan pemerintah sejak tahun 2007 dan gejala-gejala alam yang ekstrem beberapa tahun belakangan yang telah menimbulkan dampak-dampak buruk terhadap kegiatan ekonomi masyarakat.

Di tengah kesadaran yang makin deras tersebut, pengembangan sains dan kebijakan untuk menangani masalah perubahan iklim perlu terus ditingkatkan. Perubahan iklim membutuhkan basis ilmiah yang kuat yang kemudian diterjemahkan ke dalam produk-produk kebijakan baik di tingkat nasional maupun daerah. Baik kajian ilmiah mau-pun produk kebijakan yang sudah dibuat oleh berbagai kalangan di Indonesia belum banyak diketahui oleh legislatif dan masyarakat luas. Dengan latar belakang inilah saya menilai tulisanini menjadi penting untuk dibaca dan disebarluaskan. Tulisanini merangkum permasalahan mendasar perubahan iklim di Indonesia dimana kebutuhan untuk beradaptasi sama pentingnya dengan kebutuhan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca atau yang disebut mitigasi perubahan iklim. Tulisanini juga dengan cermat memaparkan kajian dan langkah kebijakan yang telah dibuat oleh berbagai lembaga pemerintah dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Kesadaran dan pengetahuan yang baik mengenai perubahan iklim tentu tidak serta merta menyelesaikan masalah. Keduanya harus diikuti dengan kerjasama yang man-tap antarlembaga dan kelompok terkait, khususnya antara lembaga pemerintah dan legislatif¸ sehingga kebijakan yang dibuat akan mencapai sasaran secara efektif, yaitu masyarakat Indonesia yang memiliki daya tahan terhadap dampak negatif perubahan iklim dan yang menjalankan kegiatan ekonomi dengan emisi gas rumah kaca serendah mungkin.

Besar harapan saya bahwa tulisanini dapat menjadi dasar untuk tindak lanjut dialog kebijakan baik antara pemerintah dan legislatif maupun antara pemerintah dengan pemangku kepentingan yang lain. Kontribusi positif dan aktif dari semua pihak akan membuat kita mampu memetik peluang dari berbagai tantangan yang dihadirkan oleh perubahan iklim.

Rachmat Witoelar Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim

Kata Pengantar

buku-1-pruf-4.indd 1 3/6/2011 11:36:26 PM

Page 4: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

PERUBAHAN Iklim telah menjadi salah satu masalah global yang terpenting saat ini. Indonesia tidak hanya merupakan salah satu penyumbang gas emisi rumah kaca, terutama dari penebangan hutan dan pengalihan lahan gambut, dengan keberadaan 18.000 lebih pulau dan sektor pertaniannya yang kuat ia juga sangat terpengaruh oleh dampak-dampak perubahan iklim.

Sebagai suatu Negara dengan ekonomi yang tumbuh, Indonesia harus me-nyesuaikan kebijakan lingkungan dengan kepentingan bisnis vital untuk membentuk kerangka “pro-pertumbuhan, pro-orang miskin, pro-lingkungan” yang berkelanjutan. Ini jelas bukan pekerjaan gampang. Desentralisasi dan kewenangan yang saling tumpang tindih membutuhkan adanya pendekatan-pendekatan yang inovatif seperti mekanisme anggaran dan insentif yang efektif yang didasarkan pada realita di lapangan. Di lain pihak, sektor usaha seperti green technology dan energi yang terbarukan tumbuh per-lahan, menciptakan peluang bagi Indonesia dan perusahaan-perusahaan asing untuk mengintensifkan perdagangan bilateral mereka.

Sementara memang memahami kompleksitas masalah perubahan iklim sering-kali sangat menantang, sangatlah penting bagi para pembuat kebijakan untuk mampu menghargai argumen-argumen dan faktor-faktor penentu perubahan iklim. Bahasa ilmiah, pemangku kepentingan yang tak terhitung jumlahnya, kebijakan nasional dan perundingan internasional menyulitkan mereka untuk memahami betul soal ini.

Seri Kertas Kebijakan tentang perubahan iklim ini menyediakan jawaban atas tantangan-tantangan yang dimaksud di atas. Masing-masing menggambarkan ham-batan yang terbentang di depan kita dan apa yang harus dilakukan oleh Indonesia dalam rangka mitigasi emisi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan yang berubah. Dengan bekerjasama dengan beberapa pakar terkemuka Kertas-kertas Kebijakan ini disusun dalam beberapa bulan belakangan agar Anda pun menjadi ahli di bidang pe-rubahan iklim.

Selamat membaca.

Salam hangat,

David Vincent Henneberger Editor, FNS Jakarta

Kata Pengantar

buku-1-pruf-4.indd 2 3/6/2011 11:36:26 PM

Page 5: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

3

Daftar Isi

Pengantar ............................................................................................... 9

1. Perubahan Iklim di Indonesia ................................................. 14

2. Profil dan Peluang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia .................................................................................... 19

3. Strategi Adaptasi dan Mitigasi untuk Menghadapi Perubahan Iklim ........................................................................ 36

4. Komitmen untuk Menurunkan Emisi GRK ........................... 45

5. Strategi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 26 dan 41 persen ..................................................................... 49

6. Mekanisme Pendanaan untuk Aksi Perubahan Iklim di Indonesia ................................................................................ 54

7. Tantangan Implementasi Program Aksi mengatasi Perubahan Iklim ........................................................................ 60

Rekomendasi Kebijakan ....................................................................... 68

Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini

Penulis: Fabby Tumiwa

buku-1-pruf-4.indd 3 3/6/2011 11:36:26 PM

Page 6: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

4

Pendahuluan .......................................................................................... 791. Pembangunan Indonesia Sebagai Gerakan Menuju Ekonomi Rendah Karbon ......................................................... 812. Tantangan dan Kesempatan untuk Berbagai Sektor di Indonesia ................................................................................ 953. Tantangan Penerapan Kebijakan dalam Program Adaptasi, Kehutanan dan Energi ........................................... 105Kesimpulan ............................................................................................. 116Rekomendasi Kebijakan ....................................................................... 118

Kebijakan berbasis Lingkungan Hidup dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia:

Tantangan dan Kesempatan Penulis: Kurnya Roesad Supervised by Mubariq Ahmad

Pengantar Perubahan Iklim Penulis: IGG Maha Adi

Ringkasan Eksekutif ............................................................................. 131Pengantar ............................................................................................... 1341. Isu-isu Utama ............................................................................ 137 A. Deforestasi ........................................................................ 137 B. Konversi Lahan Gambut ................................................ 141 C. Konsumsi Energi .............................................................. 146 D. Tata Ruang ........................................................................ 1482. Regulasi Internasional ............................................................. 1513. Kebijakan Berbasis Perubahan Iklim ..................................... 1554. Dampak Perekonomian Nasional ........................................... 1575. Peranan Stakeholder Utama ................................................... 1606. NAMA dan Target Emisi Indonesia ....................................... 1627. Peranan NGO ............................................................................. 164Glosarry .................................................................................................. 168

buku-1-pruf-4.indd 4 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 7: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

Fabby Tumiwa

KERTAS KEBIJAKAN

Strategi Pembangunan IndonesiaMenghadapi Perubahan Iklim:Status dan Kebijakan Saat Ini

C

M

Y

CM

MY

CY

CMY

K

FA_rev_3_Strategi Pembangunan_cover_BW.pdf 1 3/7/11 9:26 AM

Page 8: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

buku-1-pruf-4.indd 6 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 9: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi

Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini

Fabby Tumiwa

buku-1-pruf-4.indd 7 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 10: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

Strategi Pembangunan Indonesia Menghadapi Perubahan Iklim: Status dan Kebijakan Saat Ini

Penulis: Fabby Tumiwa

Desain cover & tata letak: Freshwater Communication

Dicetak di Indonesia.Penerbit: Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit, Indonesia

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.Dipersilakan mengutip atau memperbanyak sebagian isi buku ini

dengan seizin tertulis dari penulis dan/atau penerbit.

IndeksISBN: 978-979-1157-29-2

Copyright © 2010.

Friedrich-Naumann-Stiftung für die FreiheitJl. Rajasa II No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta 12110

Tel.: 62-21-7256012-13Fax: 62-21-7203868

E-mail: [email protected]

Page 11: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

9

INDONESIA adalah negara kepulauan dengan jumlah pulau

mencapai lebih dari 13 ribu, dan panjang kawasan pesisir mencapai

80 ribu km. Dengan total populasi mencapai 231 juta, diperkirakan

sekitar 41,6 juta orang tinggal di kawasan pesisir pantai dengan

ketinggian dibawah 10 meter atau yang dikenal sebagai Low Elevation Coastal Zone (McGranahan, dkk, 2007). Menurut

Dahuri dan Dutton (2000), kawasan pesisir pulau-pulau utama di

Indonesia adalah tempat beroperasinya berbagai industri, aktivitas

ekonomi dan infrastruktur. Diperkirakan aktivitas di kawasan pesisir

menyumbang 25 persen Pendapatan Domestik Bruto dan menyerap

15 persen tenaga kerja (MoE, 2007). Kenaikan permukaan air

laut akibat pemanasan global berpotensi menciptakan kerugian

ekonomi bagi Indonesia. Berdasarkan proyeksi kenaikan permukaan

air laut setinggi 1,1 meter pada tahun 2100 akan mengakibatkan

hilangnya 90,260 km2 kawasan pesisir dengan potensi kerugian

ekonomi sebesar US$ 25,56 milyar (Susandi, 2008).

Pengantar

buku-1-pruf-4.indd 9 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 12: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

10

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk terbanyak

keempat di dunia, yang merupakan salah satu negara penghasil

emisi gas rumah kaca (GRK) yang cukup signifikan di dunia. Emisi

GRK yang terbesar disumbangkan oleh kegiatan penggundulan

hutan (deforestasi) dan perubahan tata guna lahan. Luas Indonesia

mencapai hampir 2 juta kilometer persegi, dengan luas cakupan

hutan yang mencapai 88,49 juta hektar pada tahun 2005, yang

telah berkurang dari 116.65 juta hektar pada tahun 1990 (WRI,

2006).

Indonesia adalah negara peringkat kedua, setelah Brasil, untuk

tingkat kehilangan wilayah tutupan hutan (Hansen et al, 2009).

Badan PBB untuk Pangan dan Pertanian (FAO) memperkirakan

selama periode 2000-2005, Indonesia kehilangan 1,87 juta hektar

per tahun kawasan hutan. Adapun data resmi deforestasi dari

Kementerian Kehutanan (2010) menunjukkan laju deforestasi yang

beragam pada kurun 1990-2010, dengan rata-rata laju deforestasi

tahunan sebesar 1,9 juta ha (tabel 1). Berkurangnya tutupan

hutan terjadi karena proses konversi kawasan hutan dan alih fungsi

hutan secara massal untuk kegiatan produksi kayu, perkebunan,

pertambangan, dan pertanian.

buku-1-pruf-4.indd 10 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 13: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

11

Tabel 1. Laju Deforestasi Indonesia (1990 – 2010)

Laju Deforestasi(juta ha/th)

1990-1996

1996-2000

2000-2003

2003-2006

2010(Projected)

Indonesia 1,87 3,51 1,08 1.17 1.125

Inside designated

forest

1,37 2,83 0,78 0.76 0.770

Outside designated

forests

0,50 0,68 0,30 0.41 0.355

Sumber: Data Kementerian Kehutanan (2010)

Hutan Indonesia menyimpan potensi penyimpan karbon.

Sebagai negara dengan luas hutan tropis ketiga di dunia setelah

Brazil dan Republik Demokratik Congo, Indonesia memiliki

potensi sebagai penyimpan dan penyerap karbon yang besar.

Selain itu kawasan hutan dan laut Indonesia juga menyimpan

keanekaragaman hayati yang melimpah. Indonesia tercatat sebagai

negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati terbesar kelima

di dunia. Indonesia memiliki sekitar 10 persen spesies bunga di

dunia, 12 persen mamalia, 16 persen reptil dan amfibi, 17 persen

jenis burung. Kawasan laut Indonesia yang seluas 33 juta hektar

adalah habitat bagi 450 spesies karang (coral), dan mengandung

25 persen spesies ikan di dunia, termasuk varietas ikan karang yang

buku-1-pruf-4.indd 11 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 14: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

12

langka. Keanekaragaman hayati yang kaya dan kawasan hutan yang

bernilai konservasi tinggi memberikan pelayanan ekosistem dan

menjadi sumber penghidupan bagi jutaan orang yang kehidupannya

bergantung pada hutan dan laut.1

Perekonomian Indonesia juga sangat bergantung pada

sumberdaya alam, khususnya dari ekosistem laut dan hutan.

Keberlanjutan kawasan-kawasan ekosistem tersebut tidak hanya

terancam oleh faktor-faktor tradisional antara lain: peningkatan

jumlah penduduk, perkembangan industri, dan urbanisasi. Faktor-

faktor tersebut mempercepat proses konversi lahan, penggundulan

hutan skala besar, kebakaran lahan, kerusakan habitat asli hewan

dan tumbuhan, kerusakan daerah tangkapan air dan eksploitasi

sumberdaya kelautan, tetapi saat ini berbagai ancaman tersebut

juga akan semakin diperburuk oleh adanya perubahan iklim.

Dari penjelasan tentang relasi antara pembangunan dan

ketersediaan sumber daya alam, fenomena perubahan iklim yang

sedang terjadi menambah kompleksitas tantangan pengelolaan

sumber daya alam dan ekonomi Indonesia. Situasi ini bukannya

tidak disadari oleh pemerintah dan masyarakat Indonesia. Di

tingkat pengembangan pengetahuan, dalam dua dekade terakhir

terakhir terdapat berbagai penelitian dan kajian tentang dampak

1 Kementerian Kehutanan dalam publikasinya pada tahun 2000 memperkirakan sekitar 30 juta orang bergantung kehidupannya secara langsung pada sektor hutan.

buku-1-pruf-4.indd 12 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 15: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

13

perubahan iklim di Indonesia yang dilakukan oleh berbagai institusi

akademis dan non-akademis. Dalam tiga tahun terkahir kajian-

kajian tentang pilihan kebijakan dan strategi untuk mendukung

pembangunan rendah emisi di Indonesia juga semakin beragam.

Hasilnya adalah berbagai produk kebijakan dan dokumen strategi

untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim.

Tulisan ini bermaksud menyajikan informasi tentang kajian-

kajian terbaru adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, serta

perkembangan terbaru kebijakan publik dalam ranah perubahan

iklim di Indonesia. Tulisan ini diharapkan dapat memberikan

gambaran kepada para pembaca tentang wacana dan upaya

pemerintah Indonesia untuk menghadapi perubahan iklim.

buku-1-pruf-4.indd 13 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 16: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

14

IKLIM di Indonesia pada dasarnya ditentukan oleh sirkulasi monsun

(monsoon circulation) Asia dan Australia yang dicirikan oleh sistem

angin dekat permukaan yang berubah arah hampir sekitar setengah

tahun sekali. Perubahan tersebut menyebabkan pula perubahan

musim yang utama yakni musim penghujan dan musim kemarau.

Dalam literatur mengenai monsun Asia (Johnson, 1992), dikenal

adanya summer monsoon dalam periode Juni-Juli-Agustus (JJA)

dan winter monsoon dalam periode Desember-Januari-Februari

(DJF). Periode ini kurang lebih sama dengan apa yang dikenal

masyarakat awam di Indonesia dengan istilah “musim Timur“, yang

identik dengan musim kemarau dan “musim Barat“ untuk musim

penghujan, khususnya di Pulau Jawa.

Meskipun periode DJF umumnya merupakan periode hujan

di Indonesia, hal ini tidaklah berlaku sama di seluruh wilayah

Indonesia. Sedikitnya terdapat tiga pola curah hujan tahunan di

Perubahan Iklim di Indonesia1

buku-1-pruf-4.indd 14 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 17: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

15

Indonesia yakni pola monsunal, ekuatorial dan lokal (Aldrian and Susanto, 2003). Untuk pola monsunal, umumnya periode DJF merupakan periode puncak hujan, sedangkan untuk pola ekuatorial terdapat dua puncak periode hujan di sekitar April-Mei dan Oktober-November, dan untuk pola lokal umumnya periode puncak hujan terjadi di sekitar Juni-Juli.

Dengan mempertimbangkan kondisi geografis, topografi, dan iklim, Indonesia merupakan negara yang rentan terhadap dampak dari fenomena perubahan iklim. Dampak perubahan iklim sudah mulai dirasakan di Indonesia dalam satu abad terakhir. Pada umumnya berbagai negara di kawasan Asia mengalami kenaikan rata-rata suhu permukaan 1-3°C dalam satu abad terakhir. Di Indonesia, efek pemanasan global dapat ditengarai dari kecenderungan kenaikan temperatur dan kelembaban relatif di seluruh kawasan Indonesia. Selain itu, perubahan iklim dapat terdeteksi dari perubahan curah hujan yang terkait dengan frekuensi kejadian cuaca dan iklim ekstrim selama periode 1981 sampai dengan 2007 (DNPI, 2010).

Ketiadaan data historis temperatur yang handal menyebabkan upaya untuk mengukur kenaikan temperatur permukaan di Indonesia lebih sukar. Walaupun demikian terdapat sejumlah penelitian yang mencoba mendapatkan gambaran kenaikan temperatur di Indonesia. Kajian Hulme dan Sheard (1999) menemukan bahwa sejak 1900, temperatur permukaan Indonesia naik sebesar 0.3°C sejak 1900. Kajian tim ICCSR (Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap) BAPPENAS mengemukakan temperatur permukaan di Indonesia selama abad 20 mengalami kenaikan sebesar 0,5°C (ICCSR, 2009). Dalam hal curah hujan, Hulme dan Sheard (1999)

buku-1-pruf-4.indd 15 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 18: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

16

menyimpulkan curah hujan berkurang 2 hingga 3 persen secara umum di seluruh Indonesia. Walaupun demikian Boer dan Faqih (2004) menemukan bahwa terdapat variabilitas antar kawasan dimana terjadi penurunan curah hujan di bagian selatan Indonesia (Jawa, Lampung, Sumatera Selatan, Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara) dan kenaikan curah hujan di bagian utara Indonesia (sebagian besar Kalimantan dan Sulawesi).

Selain itu terjadi pergeseran tingkat presipitasi pada dua musim (kemarau dan penghujan). Di bagian selatan Indonesia, curah hujan di musim penghujan bertambah, sedangkan curah hujan di musim kemarau berkurang. Situasi yang terbalik terjadi di kawasan utara Indonesia. Yang perlu diperhatikan bahwa variabilitas curah hujan di Indonesia sangat dipengaruhi oleh El Nino-Southern Oscilation (ENSO),2 dimana: (i) musim kemarau menjadi lebih panjang daripada situasi normal selama periode El Nino, dan lebih pendek saat periode La Nina; (ii) awal musim penghujan mengalami kemunduran saat periode El Nino, dan lebih awal saat periode La Nina; (iii) penurunan curah hujan yang signifikan pada musing kemarau terjadi saat periode El Nino, dan kenaikan yang signifikan saat periode La Nina. Sejumlah kajian ilmiah memperkirakan bahwa fenomena ENSO2 akan lebih sering terjadi dengan intensitas yang

2 El Nino – Southern Oscillation (ENSO) adalah gejala penyimpangan (anomali) pada suhu permukaan Samudra Pasifik di pantai Barat Ekuador dan Peru yang lebih tinggi daripada rata-rata suhu normalnya. Gejala ini lebih umum dikenal di kalangan awam dengan nama El Niño (bahasa Spanyol, dibaca: “El Ninyo” yang berarti “anak laki-laki kecil”). Gejala penyimpangan di tempat yang sama tetapi berupa penurunan suhu dikenal sebagai La Niña (dibaca “La Ninya”). Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menamakan arus laut hangat yang kadang-

buku-1-pruf-4.indd 16 3/6/2011 11:36:27 PM

Page 19: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

17

semakin tinggi di masa yang akan datang akibat pemanasan iklim global.

Kajian ICCSR (2009) menyatakan selang/ interval ENSO yang sebelumnya terjadi dalam 3-7 tahun akan menjadi lebih pendek, 2-3 tahun sebagaimana yang juga ditunjukkan oleh kecenderungan tahun-tahun terakhir. Hal ini berarti Indonesia cenderung akan mengalami variabilitas cuaca yang semakin tinggi di masa yang akan datang, yang menghasilkan dampak yang cukup luas terhadap berbagai aspek sosial, ekonomi dan lingkungan, seperti tingkat produksi pertanian, dan kondisi cuaca ekstrim.

Sejumlah kajian ilmiah menunjukkan bahwa Indonesia akan mengalami kenaikan temperatur secara bertahap. Kajian yang dilakukan oleh Boer dan Faqih (2004) memperkirakan kenaikan temperatur dari 0,2°C menjadi 0,3°C per dekade. Kajian ICCSR, berdasarkan pada model iklim yang telah dikembangkan secara global, memproyeksikan kenaikan temperatur 0.8-1°C pada kurun waktu 2020-2050, relatif terhadap acuan basis tahun 1960-1990. Adapun pada kurun waktu 2070-2100, kenaikan temperatur di Jawa-Bali berkisar antara 2-3°C, dan kenaikan yang tertinggi terjadi di Sumatra sebesar 4°C.

kadang mengalir dari Utara ke Selatan antara pelabuhan Paita dan Pacasmayo di daerah Peru yang terjadi pada bulan Desember. Kejadian ini kemudian semakin sering muncul yaitu setiap tiga hingga tujuh tahun serta dapat mempengaruhi iklim dunia selama lebih dari satu tahun.

buku-1-pruf-4.indd 17 3/6/2011 11:36:28 PM

Page 20: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

18

Selain itu juga diperkirakan akan terjadi kenaikan temperatur permukaan laut sebagai akibat meningkatnya temperatur permukaan. Kenaikan temperatur permukaan laut diperkirakan sebesar 0,65°C pada 2030, 1,1°C pada 2050 dan 2,15°C pada 2100. Salah satu dampak langsung dari kenaikan temperatur permukaan laut adalah berpindahnya stok ikan dari perairan Indonesia (ICCSR, 2009). Adapun untuk curah hujan, kajian tim ICCSR menunjukkan hasil yang bervariasi untuk setiap kawasan dan kepulauan di Indonesia pada periode 2010-2050 dan 2070-2100, dengan kecenderungan kenaikan curah hujan pada bulan-bulan basah, dan penurunan pada bulan-bulan transisi.3

Salah satu dampak peningkatan laju pemanasan global adalah kenaikan permukaan air laut, sebagai akibat meluruhnya lapisan es di kutub. Dari hasil kajian dan pengamatan, Indonesia akan mengalami kenaikan permukaan air laut 0,6-0,8 cm per tahun (ICCSR, 2009). Dengan ribuan pulau kecil, serta ribuan kilometer kawasan pesisir, diperkirakan Indonesia akan kehilangan wilayah daratan yang cukup signifikan sebagai dampak kenaikan muka air laut. Kenaikan ini, ditambah dengan faktor penurunan tanah, akan berdampak pada intrusi air laut dan genangan air pada kota-kota besar Indonesia, khususnya yang terletak di pesisir Jawa bagian utara, seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya.

3 Pembahasan tentang hal ini dapat dibaca secara lebih lengkap pada naskah: ICCSR (2010): Basis Saintifik: Analisa Proyeksi Suhu dan Curah Hujan, Bappenas, Jakarta.

buku-1-pruf-4.indd 18 3/6/2011 11:36:28 PM

Page 21: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

19

INDONESIA memproduksi gas rumah kaca dalam jumlah yang

signifikan. Emisi GRK Indonesia berkontribusi sebesar 5 persen

dari total emisi GRK dunia. Kontribusi tersebut jauh lebih tinggi

dibandingkan dengan kontribusi kepada Produk Domestik Bruto

(PDB) dunia, sebesar 0,6 persen pada tahun 2005. Indikator ini

menunjukkan bahwa laju kenaikan emisi GRK jauh diatas kenaikan

PDB, serta memberikan indikasi arah pertumbuhan ekonomi

Indonesia yang tidak berkelanjutan.

Berdasarkan data yang dikumpulkan pada tahun 2008 oleh

CDIAC (Carbon Dioxide Information Analysis Center), jika dilihat

hanya dari emisi karbondioksoida (CO2) dari sektor energi, maka

Indonesia merupakan pengemisi ke-15 dunia dengan total emisi

sebesar 397 juta ton CO2 di tahun 2007. Sementara data yang

dikumpulkan oleh World Resource Institute (WRI), untuk tahun 2005

Profil dan Peluang Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia

2

buku-1-pruf-4.indd 19 3/6/2011 11:36:28 PM

Page 22: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

20

tanpa dimasukkannya sektor kehutanan dan perubahan tataguna

lahan, maka total emisi gas rumah kaca Indonesia tahun tersebut

adalah 586,3 juta ton setara CO2, dan jika emisi dari kehutanan

dan perubahan tataguna lahan diperhitungkan maka akan menjadi

2.045,3 juta ton setara CO2.

Emisi Indonesia di akhir dekade 1990-an sempat meningkat

cukup tinggi sebagai akibat terjadinya kebakaran lahan dan hutan

di tahun 1997/1998. Diperkirakan sekitar 24 milyar stok karbon

tersimpan di vegetasi dan tanah, dimana sekitar 80 persen dari stok

karbon tersebut tersimpan di kawasan hutan (KLH, 2003).

Kontribusi utama peningkatan emisi gas rumah kaca berasal

perubahan lahan dan perubahan tata guna lahan (kebakaran

hutan, penebangan liar, degradasi lahan gambut, penggundulan

hutan, dan lain sebagainya). Walaupun demikian, emisi GRK dari

sektor energi juga mengalami peningkatan dramatis dalam kurun

waktu dua dekade terakhir. Emisi GRK dari sektor-sektor lainnya

juga mengalami kenaikan, walaupun tidak sebesar kenaikan dari

kedua sektor utama tersebut.

buku-1-pruf-4.indd 20 3/6/2011 11:36:28 PM

Page 23: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

21

Gambar 1. Profil dan Proyeksi Emisi Gas Rumah Kaca Indonesia (2005 – 2030)

Kajian Dewan Nasional Perubahan Iklim dan McKinsey (DNPI,

2010) mengindikasikan tingkat emisi GRK tahunan Indonesia

mencapai 2,1 Giga ton (Gt)4 pada tahun 2005. Seiring dengan

pertumbuhan ekonomi dan pembangunan diperkirakan pada tahun

2030 emisi GRK akan mencapai 3,3 Gt per tahun. Perhitungan dan

proyeksi emisi GRK Indonesia ditampilkan pada gambar 1.

4 1 Giga ton = 1.000.000.000 ton; 1 ton = 1000 kg.

buku-1-pruf-4.indd 21 3/6/2011 11:36:29 PM

Page 24: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

22

Penggunaan lahan dan perubahan tata guna lahan dan

kehutanan (LULUCF) serta degradasi lahan gambut masing-masing

menjadi penyumbang emisi GRK yang terbesar. Sebanyak 1,61

Gt setara CO2 atau 78 persen emisi GRK Indonesia tahun 2005

bersumber dari kedua sektor ini. Penyumbang emisi GRK terbesar

ketiga adalah dari sektor pertanian, yakni sebesar 0,13 Gt, di tempat

ke empat adalah sektor pembangkit listrik yang menyumbang 0,11

Gt, di urutan kelima sektor minyak dan gas bumi yang menyumbang

0,095 Gt, ke enam adalah sektor transportasi sebesar 0,06 Gt,

sedangkan dua sektor lain yaitu semen dan bangunan masing-

masing menyumbang 0,025 Gt setara CO2. Jumlah emisi GRK dari

tiga sektor energi (pembangkit listrik, minyak dan gas bumi, serta

transportasi) mencapai 0,265 Gt setara CO2 atau sekitar 13 persen

dari total emisi GRK Indonesia.

Emisi Lahan Gambut

Emisi dari lahan gambut menyumbang 38 persen total emisi

GRK Indonesia pada tahun 2005 dan proyeksi berdasarkan

skenario business as usual, emisi tahunan dari lahan gambut akan

mengalami kenaikan sebesar 20 persen, dari 772 MtCO2e5 pada

2005 menjadi 972 MtCO2e pada 2030 jika tidak ada langkah

tindakan yang diambil untuk menguranginya. Terlepasnya karbon

dari lahan gambut tropis merupakan suatu tantangan tersendiri

5 Million ton CO2 equivalent = Juta ton setara karbondioksida (CO2).

buku-1-pruf-4.indd 22 3/6/2011 11:36:29 PM

Page 25: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

23

bagi Indonesia yang memiliki 5 persen luas lahan gambut dari luas

seluruh lahan gambut dunia, dan 50 persen dari luas seluruh lahan

gambut yang berada di kawasan tropis.

Terlepasnya emisi dari lahan gambut disebabkan oleh

dekomposisi lahan gambut akibat konversi lahan untuk pemanfaatan

lain, terutama untuk penanaman pohon penghasil bubur kertas

(pulp) dan perkebunan kelapa sawit; serta kebakaran lahan gambut

yang sangat dipengaruhi oleh faktor musim.

Walaupun menjadi sumber emisi GRK yang besar, potensi

penurunan emisi GRK dari lahan gambut sesungguhnya tergantung

pada pilihan tindakan-tindakan yang diambil, serta dapat

dilakukan dengan biaya yang relatif rendah. Secara keseluruhan

terdapat peluang pengurangan emisi GRK sebesar 566 MtCO2e

pada sektor gambut dengan melakukan berbagai tindakan,

termasuk diantaranya pencegahan pembakaran, rehabilitasi lahan

gambut, serta pengelolaan air pada perkebunan kayu yang ada dan

perkebunan kelapa sawit yang ada saat ini atau secara umum pada

kawasan gambut yang dipakai untuk pertanian.

Pencegahan kebakaran gambut dengan sejumlah cara

diantaranya menghindari pembakaran saat pembukaan lahan,

penggunaan teknologi tepat guna untuk gambut secara manual,

memperkuat regulasi dan penegakan hukum, serta membangun

kesadaran masyarakat, dan sejumlah tindakan lainnya, dapat

mengurangi emisi hingga 320 MtCO2e pada 2030 dengan biaya

buku-1-pruf-4.indd 23 3/6/2011 11:36:29 PM

Page 26: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

24

sekitar US$ 0,35 per tCO2e. Tindakan pengelolaan air dirawa lahan

gambut berpotensi mengurangi emisi hingga 80 MtCO2e dengan

biaya US$ 0,85 per tCO2e. Adapun rehabilitasi lahan gambut,

misalnya dilahan bekas mega proyek penanaman padi (rice estate) sejuta hektar di lahan gambut Kalimantan Tengah, dapat

menurunkan emisi GRK sebesar 180 tCO2e dengan biaya US$ 5,21

per tCO2e.

Emisi dari Pemanfaatan Lahan dan Alih Guna Lahan Kehutanan

Emisi yang dihasilkan dari kegiatan pemanfaatan lahan dan alih-

fungsi lahan kehutanan (Land Use, Land-Use Change and Forestry, LULUCF) menyumbang lebih dari 35 persen total emisi karbon di

Indonesia, yaitu sebesar 745 MtCO2e pada tahun 2005. Kontribusi

LULUCF diperkirakan akan tetap siginifikan walaupun emisi bersih

LULUCF akan menurun menjadi 670 MtCO2e pada tahun 2030 atau

berkurang 18 persen dibandingkan emisi 2005. Namun demikian,

emisi bruto tahunan diperkirakan tetap pada angka yang tinggi

yaitu lebih dari 1.080 MtCO2e. Penurunan emisi sebesar 170 MtCO2e

berasal dari kenaikan potensi penyerapan karbon dari kawasan

hutan yang dihutankan kembali, dan dari ekspansi penanaman

pohon untuk produksi kayu dan kebun tumbuhan skala besar.

Sektor LULUCF berpotensi menurunkan emisi GRK pada

tahun 2030 secara signifikan, melampaui peningkatan emisi

buku-1-pruf-4.indd 24 3/6/2011 11:36:29 PM

Page 27: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

25

dari sektor ini dengan skenario business as usual. Hal ini dapat

terjadi karena kegiatan penanaman yang dilakukan sebagai upaya

konservasi (bukan untuk produksi), dan penanaman hutan serta

reboisasi secara efektif dapat menciptakan penyerap karbon

baru; yang mampu menyimpan lebih banyak karbon daripada

yang dilepaskan ke atmosfir. Potensi pengurangan tahunan sektor

LULUCF mencapai 1.204 MtCO2e pada tahun 2030. Dari jumlah ini

upaya menghentikan deforestasi dan degradasi hutan (termasuk

melalui skema REDD, Reducing Emission from Deforestation and forest Degradation) dapat menyumbang penurunan emisi sebesar

811 MtCO2e. Tindakan penanaman hutan dan reboisasi dapat

menurunkan emisi sebesar 280 MtCO2e, sedangkan tindakan untuk

mencegah pembakaran hutan dapat berkontribusi pada penurunan

emisi sebesar 43 MtCO2e.

Kajian DNPI (2010) merekomendasikan sembilan pilihan

tindakan sebagai langkah penting untuk melakukan penurunan

emisi GRK pada tahun 2010-2030, antara lain:

1. Penurunan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan (REDD)

memiliki potensi penurunan emisi terbesar, yaitu 570 MtCO2e,

dimana upaya untuk mencegah konversi lahan hutan ke

pertanian skala kecil berpotensi menurunkan emisi 190

MtCO2e. Biaya penurunan untuk mencegah laju deforestasi

sangat bervariasi, berkisar antara US$ 1 hingga $30 per tCO2e.

Biaya terendah untuk tindakan pencegahan konversi lahan

buku-1-pruf-4.indd 25 3/6/2011 11:36:29 PM

Page 28: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

26

menjadi lahan pertanian skala kecil, sedangkan biaya terbesar

terjadi pada upaya untuk mencegah konversi hutan menjadi

kawasan hutan tanaman industri (pohon untuk produksi pulp)

dan/atau perkebunan kelapa sawit, yang mendekati US$ 30

per tCO2e emisi yang dapat dihindarkan.

2. Kegiatan aforestasi dan reforestasi (penanaman dan

menghutankan kembali bekas lahan hutan) memberikan

kemungkinan penurunan emisi sebesar 300 MtCO2e pada

2030, dengan biaya sebesar US$ 5 hingga 6 per tCO2e, yang

dapat dilakukan dengan menghutankan kembali lahan dan

hutan yang terdegradasi seluas 10 juta hektar, diluar program

GERHAN (Gerakan Reboisasi Hutan Nasional) Kementerian

Kehutanan yang telah dicanangkan sebelumnya.

3. Tindakan pengurangan emisi karbon karena degradasi

kawasan di kawasan hutan produksi dengan menerapkan

konsep pengelolaan hutan berkelanjutan (sustainable forest management) berpotensi menurunkan emisi sebesar 200

MtCO2e, dengan biaya sekitar US$ 2 per tCO2e.

4. Budidaya hutan (silviculture) secara intensif sebagai kegiatan

untuk meningkatkan riap pertumbuhan yang berarti juga dapat

meningkatkan kemampuan penyerapan tumbuhan dari hutan

produksi berpotensi mengurangi emisi sebesar 100 MtCO2e,

dengan biaya US$ 10 per tCO2e.

buku-1-pruf-4.indd 26 3/6/2011 11:36:29 PM

Page 29: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

27

5. Pencegahan kebakaran hutan, berpotensi mengurangi 43

MtCO2e pada 2030, dengan biaya sebesar US$ 5 per tCO2e.

Pilihan penurunan emisi karbon dan biaya untuk masing-masing

tindakan dari sektor LULUCF ditampilkan pada gambar 2.

Gambar 2. Pilihan aksi dan biaya penurunan emisi dari sektor LULUCF

Emisi dari Sektor Energi

Proyeksi emisi GRK dari sektor energi tahun 2020 dan 2030

menunjukan adanya potensi kenaikan yang signifikan. Emisi sektor

buku-1-pruf-4.indd 27 3/6/2011 11:36:30 PM

Page 30: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

28

energi secara kumulatif disumbang oleh pembangkit listrik, produksi

minyak dan gas bumi serta sektor transportasi.

Dibandingkan tahun 2005, emisi GRK dari pembangkit listrik

diperkirakan naik hampir 4 kali lipat pada 2020 menjadi 370

MtCO2e, dan 7 kali lipat pada tahun 2030 menjadi 810 MtCO2e.

Kenaikan ini disebabkan oleh peningkatan laju elektrifikasi dari

60 persen menjadi 100 persen yang diperkirakan terjadi sebelum

tahun 2030, dan kenaikan permintaan tenaga listrik karena

meningkatnya usaha manufaktur dan jasa. Konsumsi tenaga listrik

diperkirakan meningkat dari 120 Terrawatt-hour (TWh) pada tahun

2005, menjadi 970 TWh pada tahun 2030.

Dalam dua dekade ke depan diperkirakan lebih dari 80 persen

pembangkit tenaga listrik yang beroperasi membakar bahan

bakar fossil (batubara, minyak dan gas bumi), dimana 66 persen

diantaranya adalah pembangkit listrik tenaga batubara. Pemerintah

Indonesia juga merencanakan untuk mengoptimalkan pemanfaatan

panas bumi (geothermal) dengan mentargetkan beroperasinya 9

Gigawatt (GW) Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) pada

tahun 2030.

Sektor ketenagalistrikan memiliki potensi pengurangan emisi

sebesar 260 MtCO2e, dimana sekitar 225 MtCO2e bisa didapatkan

dari peningkatan pemanfaatan sumber-sumber energi terbarukan

seperti optimalisasi panas bumi (geothermal), pemanfaatan

buku-1-pruf-4.indd 28 3/6/2011 11:36:30 PM

Page 31: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

29

biomassa untuk pembangkit listrik, pembangkit listrik tenaga nuklir,

dan penggunaan teknologi pembangkit batubara bersih, yaitu

teknologi Carbon Capture and Storage (CCS). Tambahan penurunan

emisi sebesar 47 MtCO2e bisa diperoleh dengan melaksanakan

tindakan-tindakan pengelolaan disisi permintaan (demand side management), yang dapat menurunkan tingkat permintaan tenaga

listrik.

Biaya pengurangan emisi GRK di sektor pembangkit listrik

bervariasi antara US$ 10 hingga 40 per tCO2e. Penambahan

kapasitas panas bumi dari yang telah direncanakan sebelumnya

sebesar 6 GW pada 2020 membutuhkan biaya US$ 27 per tCO2e,

pemanfaatan limbah biomassa yang berasal dari limbah pengolahan

kayu, limbah kelapa sawit, limbah pertanian dan lain sebagainya,

membutuhkan biaya US$ 45 per tCO2e. Pembangunan PLTU

batubara dengan teknologi CCS diperkirakan membutuhkan biaya

US$ 10 per tCO2e, sedangkan pembangunan PLTN membutuhkan

biaya US$ 14 per tCO2e.6

Emisi dari sektor transportasi diperkirakan meningkat 7

kali lipat pada 2030 menjadi 443 MtCO2e, dari 60 MtCO2e pada

6 Hingga saat ini aplikasi PLTU batubara dengan CCS belum dilaksanakan secara komersial dan diperkirakan baru matang dan layak secara komersial setelah 2020. Perhitungan dan analisis yang dilakukan dalam studi DNPI (2010) untuk PLTU batubara dengan CCS menggunakan estimasi investasi, sementara untuk PLTN berdasarkan investasi saat ini.

buku-1-pruf-4.indd 29 3/6/2011 11:36:30 PM

Page 32: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

30

2005. Kenaikan ini disumbang oleh peningkatan jumlah kendaraan

bermotor pribadi dan komersial sebesar 3 kali lipat dari jumlah saat

ini, yang berkorelasi dengan bertambahnya konsumsi bahan bakar

minyak untuk sektor transportasi.

Terdapat potensi untuk menurunkan emisi sektor transportasi

sampai dengan 100 MtCO2e pada tahun 2030 melalui tiga pilihan

mitigasi utama, yaitu dengan : (1) perbaikan sistem pembakaran

internal mesin; (2) peralihan dari kendaraaan bertenaga BBM ke

kendaraan hibrida dan listrik; dan (3) dengan mengadopsi bahan

bakar biodiesel yang terbuat dari kelapa sawit. Tiga perempat

dari total potensi penurunan emisi (atau 75 MtCO2e) berasal

dari penyempurnaan mesin pembakaran internal konvensional

(internal combustion engines – ICE) di semua kelas kendaraan yang

dapat didorong melalui standar efisiensi bahan bakar yang lebih

tinggi, yang dapat dicapai dengan biaya negatif. Pilihan seperti

pemanfaatan biodiesel dari kelapa sawit menambah pengurangan

sebesar 10 MtCO2e, dengan biaya mencapai US$ 100 per tCO2e,

sedangkan penerapan mobil listrik membutuhkan biaya US$ 300

per tCO2e.

Emisi GRK dari fasilitas produksi dan pengolahan minyak

dan gas bumi akan meningkat dari 122 MtCO2e pada tahun 2005

menjadi 135 MtCO2e pada 2020, dan 137 MtCO2e pada 2030. Kajian

emisi karbon DNPI terbatas pada produksi, termasuk gas flaring

dan pengolahan minyak, tetapi belum memperhitungkan emisi dari

buku-1-pruf-4.indd 30 3/6/2011 11:36:30 PM

Page 33: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

31

pengembangan cadangan minyak dan gas bumi, pengangkutan dan

petrokimia, serta konsumsi minyak dan gas yang tergantung pada

penggunaan masing-masing sektor.

Sektor minyak dan gas bumi memiliki peluang untuk

menurunkan emisi GRK Indonesia hingga 30 persen (41 MtCO2e)

sampai dengan tahun 2030 melalui upaya yang terfokus pada

tiga upaya mitigasi, yaitu : (1) perbaikan proses pemeliharaan dan

pengendalian, (2) program-program hemat energi dan efisiensi

energi, serta (3) penurunan pemanfaatan kembali gas suar bakar

(flaring).

Biaya penurunan emisi terbesar terjadi pada upaya

pemanfaatan gas flaring, sebesar US$ 28 per tCO2e. Penerapan co-generation (cogen) pada kilang pengolahan dapat menambah biaya

US$ 6 per tCO2e. Perbaikan proses pemeliharaan dan pengendalian

lintas sub-sektor produksi dan pengilangan dalam menghasilkan

pengurangan sedikit lebih besar dari 7 MtCO2e dan bersifat positif

laba netto (-103 USD per tCO2e sehingga dapat menaikkan

keuntungan selama masa waktu penurunan emisi.

Emisi dari Pertanian

Pertanian adalah sektor dengan emisi tertinggi ketiga di Indonesia,

setelah LULUCF dan gambut, dengan emisi mencapai 132 MtCO2e

pada tahun 2005 (berdasarkan tata guna lahan saat itu). Emisi dari

buku-1-pruf-4.indd 31 3/6/2011 11:36:30 PM

Page 34: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

32

sektor ini diperkirakan akan meningkat sampai dengan 25 persen

menjadi 164 MtCO2e pada tahun 2030. Potensi pengurangan

untuk sektor ini diperkirakan mencapai kurang lebih 105 MtCO2e

setiap tahunnya atau sekitar 63 persen dari emisi sektor terkait

pada tahun 2030.

Penyempurnaan pengelolaan pengairan dan pupuk untuk

pertanian padi menawarkan potensi pengurangan yang signifikan

sebesar 45 MtCO2e atau 43 persen dari emisi sektor tersebut.

Peluang pengurangan sektor pertanian yang ketiga berasal dari

pemulihan lahan yang rusak (yaitu lahan pertanian yang telah

rusak akibat gangguan berlebihan, erosi, hilangnya bahan-bahan

organik, gangguan kadar garam atau asam), yang akan berkontribusi

terhadap penurunan emisi sebesar 35 MtCO2e.

Biaya pengurangan rata-rata di sektor pertanian mencapai

US$ 5 per tCO2e. Pemulihan lahan yang rusak melalui pembentukan

wadah penyerapan karbon (meningkatkan bahan organik dalam

tanah) memerlukan biaya sebesar US$ 13,8 per tCO2e, sementara

perbaikan pengelolaan pengairan padi dan pengelolaan pupuk padi

menghabiskan biaya masing-masing sebesar US$ 7 dan $ 21,7 per

tCO2e setiap tahunnya.

Emisi Semen

Emisi sektor semen diperkirakan akan mengalami peningkatan tiga

kali lipat dari 26 MtCO2e pada tahun 2005 menjadi 75 MtCO2e

buku-1-pruf-4.indd 32 3/6/2011 11:36:30 PM

Page 35: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

33

pada tahun 2030. Hal ini akan didorong oleh peningkatan produksi

bahan semen yang signifikan di Indonesia dari 31 juta ton pada

tahun 2005 menjadi 125 juta ton pada tahun 2030. Sebagian

besar emisi ini dihasilkan oleh produksi arang besi (clinker), unsur

penting dalam produksi semen. Proses tersebut melibatkan proses

pengapuran batu kapur dan tanah liat, reaksi kimia yang melepaskan

CO2e dalam jumlah yang signifikan sebagai produk sampingan.

Mengganti arang besi dengan bahan pengganti seperti limbah

batubara (fly ash) atau limbah dari pembuatan logam (slag) dapat

menurunkan secara signifikan emisi langsung dari sektor semen.

Dengan adanya teknologi-teknologi lain, sektor semen dapat

menurunkan lebih lanjut emisinya sampai dengan 12 persen atau

9 MtCO2e pada tahun 2030. Meskipun penggantian arang besi

terus menjadi peluang terbesar untuk pengurangan sekitar 7,5

MtCO2e dengan biaya rata-rata negatif sebesar US$ -25 per tCO2e,

memasukan bahan-bahan bakar alternatif, khususnya dari limbah

industri dan kota, dapat menurunkan lebih lanjut emisi dari sektor

semen sampai dengan 4,5 MtCO2e dengan biaya rata-rata yang

tidak terlalu tinggi sebesar US$ 8 per tCO2e.

Emisi Bangunan

Emisi dari sektor bangunan akan meningkat dari 71 MtCO2e pada

tahun 2005 menjadi 215 MtCO2e pada tahun 2030, didorong oleh

buku-1-pruf-4.indd 33 3/6/2011 11:36:31 PM

Page 36: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

34

pertumbuhan konsumsi energi rumah tangga dan komersial sebesar

5–7 persen setiap tahunnya.

Dengan menggunakan teknologi-teknologi yang ada, sektor

bangunan dapat menurunkan emisinya sampai dengan 22 persen

pada tahun 2030, yaitu sebesar 48 MtCO2e – dengan sebagian

besar penurunan (lebih dari 70 persen) tidak memerlukan biaya

atau biaya pengurangan negatif.

Kajian emisi karbon DNPI menyimpulkan bahwa secara

keseluruhan Indonesia memiliki potensi pemotongan emisi hingga

2,3 GtCO2e per tahun pada tahun 2030 untuk semua sektor penghasil

emisi, dengan tingkat biaya yang bervariasi dari skenario business as usual (gambar 3). Lebih dari setengah potensi penurunan emisi

tersebut dapat dilakukan tanpa perlu biaya tambahan atau biaya

negatif.

Hasil perhitungan ini memberikan indikasi secara teoritis bahwa

Indonesia dapat menurunkan emisinya secara signifikan. Indonesia

sangat mungkin melakukan perpindahan model pembangunan dari

jalur pembangunan emisi karbon tinggi menuju pembangunan

emisi karbon rendah, tanpa perlu mengorbankan pertumbuhan

ekonomi jangka panjang. Sektor kehutanan dan pembangkit listrik

menjadi dua sektor terbesar yang dapat berkontribusi terhadap

penurunan emisi GRK. Untuk mencapai hal ini, diperlukan kebijakan

pembangunan dan implementasi yang mendesak.

buku-1-pruf-4.indd 34 3/6/2011 11:36:31 PM

Page 37: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

35

Gambar 3. Potensi pengurangan emisi GRK dan kurva biaya pada tahun 2030

buku-1-pruf-4.indd 35 3/6/2011 11:36:31 PM

Page 38: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

36

Indonesia meratifikasi United Nation Framework Convention

on Climate Change (UNFCCC) melalui penetapan UU No. 6/1994.

Indonesia juga telah menandatangani Protokol Kyoto tahun 1997,

dan meratifikasinya pada tahun 2004 melalui UU No. 17/2004.

Dengan meratifikasi Protokol Kyoto, maka Indonesia dapat

berpartisipasi dalam pengembangan proyek Clean Development Mechanism (CDM), yang dimulai pada 2005, melalui pembentukan

CDM Designated National Authority (DNA) di Kementerian

Lingkungan Hidup (KLH). Pada tahun 2009, DNA berpindah ke

DNPI.

Dalam empat hingga lima tahun terakhir, isu perubahan iklim

telah mendapatkan perhatian yang lebih luas dalam penyusunan

kebijakan dan program pembangunan jangka panjang. Sejumlah

kajian tentang dampak perubahan iklim terhadap berbagai sektor

dan bidang serta peri-kehidupan masyarakat Indonesia juga telah

Strategi Adaptasi dan Mitigasi untuk Menghadapi Perubahan Iklim

3

buku-1-pruf-4.indd 36 3/6/2011 11:36:32 PM

Page 39: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

37

dilakukan. Secara umum strategi adaptasi dan mitigasi perubahan

iklim adalah integrasi program aksi keduanya kedalam rencana

pembangunan nasional jangka panjang, menengah dan jangka

pendek, yang dituangkan dalam program kerja kementerian dan

kelembagaan.

Proses pengintegrasian tersebut terjadi melalui beberapa

tahap dan proses. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang

(RPJP) 2005 – 2025, perubahan iklim dinyatakan sebagai tantangan

untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dan pengurangan

kemiskinan. Dokumen Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) 2004-2009 juga mengidentifikasi dampak

perubahan iklim di Indonesia terhadap upaya untuk mencapai

target-target yang ditetapkan dalam rencana pembangunan

tersebut. Walaupun demikian, strategi pembangunan nasional

yang dituangkan dalam RPJMN 2004-2009 belum secara lengkap

mempertimbangkan aksi untuk melaksanan adaptasi dan mitigasi

perubahan iklim secara sektoral dan lintas-sektoral.

Perhatian terhadap fenomena perubahan iklim semakin

meningkat di kalangan pemangku kepentingan di Indonesia,

termasuk pembuat kebijakan, menjelang Konferensi para Pihak

ke-13 (COP-13) dari Konvensi PBB tentang Perubahan Iklim

(UNFCCC) di Bali pada Desember tahun 2007. Untuk pertama

kalinya, pemerintah mengeluarkan naskah Rencana Aksi Nasional

menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI), yang mencakup situasi

fenomena perubahan iklim di Indonesia dan usulan rencana aksi

buku-1-pruf-4.indd 37 3/6/2011 11:36:32 PM

Page 40: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

38

mitigasi gas rumah kaca dan adaptasi terhadap peningkatan

pemanasan global dan perubahan iklim, melalui koordinasi antar-

sektor pembangunan.

Lebih kurang enam bulan setelah COP 13, dengan

mempertimbangkan perlunya meningkatkan koordinasi pelaksanaan

pengendalian perubahan iklim dan untuk memperkuat posisi

Indonesia di forum perundingan internasional dalam pengendalian

perubahan iklim, Presiden RI membentuk Dewan Nasional

Perubahan Iklim (DNPI) melalui Peraturan Presiden No. 46/2008.

Presiden RI menjadi Ketua DNPI, yang dibantu oleh dua orang Wakil

Ketua, yakni Menko Perekonomian dan Menko Kesra, 17 Menteri

terkait dan Kepala BMKG sebagai anggota. Untuk melaksanakan

mandatnya, maka Presiden menunjuk seorang Ketua Harian, Kepala

Sekretariat, dan dibantu oleh Kelompok-kelompok Kerja (Pokja)

sebagai pelaksana kegiatan Dewan sehari-hari.

Upaya untuk mengoperasionalkan rekomendasi dalam

RAN-PI kedalam RPJMN 2004-2009 coba dilakukan oleh Badan

Perencanaan Pembangunan Nasional (BAPPENAS) melalui

penyusunan naskah National Development Planning: Indonesia Response to Climate Change. Naskah yang kemudian dikenal

sebagai “Yellow Book” ini mulai diperkenalkan secara terbatas saat

berlangsungnya COP 13, tetapi baru dipublikasikan secara penuh

pada tahun 2008. Yellow Book juga ditujukan sebagai dokumen

perantara (bridging document) yang mempertimbangkan berbagai

isu sektoral dan lintas sektoral yang sensitif terhadap perubahan

buku-1-pruf-4.indd 38 3/6/2011 11:36:32 PM

Page 41: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

39

iklim, sekaligus untuk mempertajam program pembangunan yang

dituangkan dalam RPJMN 2004-2009, dan sebagai masukan dalam

merumuskan RPJMN 2010-2014.

Naskah “Yellow Book” Bappenas berusaha mengintegrasikan

adaptasi dan mitigasi perubahan iklim dalam perencanaan

pembangunan nasional. Selain itu ditetapkan juga prioritas sektor

untuk adaptasi yaitu: (i) pertanian dan (ii) daerah pesisir, pulau-

pulau kecil, kelautan dan perikanan; dan mitigasi yaitu: (i) energi

dan pertambangan, (ii) kehutanan. Lebih daripada itu, isi yang

terpenting dari “Yellow Book” adalah daftar proyek dari sektor-

sektor prioritas dan non-prioritas yang terkait dengan perubahan

iklim.

Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) juga telah menyelesaikan

penyusunan Second National Communication (SNC) pada tahun

2009. Sesuai dengan Konvensi Perubahan Iklim, pelaporan inventori

gas rumah kaca dalam bentuk National Communication merupakan

salah satu bentuk tanggung jawab negara berkembang. National

Communication Indonesia yang pertama dibuat pada tahun

1994, dengan basis emisi tahun 1990. SNC mencakup inventori

emisi GRK pada rentang tahun 2000-2005. Pada dasarnya SNC

merupakan dokumen inventori emisi GRK dari berbagai sektor di

Indonesia, dimana yang dihitung adalah emisi GRK bersih. SNC

menjadi dokumen acuan bagi penentuan kebijakan dan prioritas

aksi mitigasi perubahan iklim.

buku-1-pruf-4.indd 39 3/6/2011 11:36:32 PM

Page 42: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

40

Dalam upaya mengintegrasikan lebih lanjut perubahan iklim dalam pembangunan nasional, BAPPENAS menyusun dokumen kebijakan perencanaan sektoral yang disebut Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR). Menurut BAPPENAS, “peta jalan sektoral” bertujuan mengintegrasikan perubahan iklim kedalam perencanaan pembangunan sektoral dan lintas sektor, serta untuk mempercepat implementasi berbagai sektor yang relevan untuk menghadapi perubahan iklim. ICCSR mencakup jangka waktu pembangunan selama 20 tahun, dengan prioritas pembangunan yang ditentukan sesuai dengan rencana pembangunan jangka menengah 5 tahunan.

Dalam formulasi strategi adaptasi, ICCSR mengintegrasikan kerangka penilaian resiko akibat pemanasan global dan dampak perubahan iklim yang telah terjadi dan akan terjadi di Indonesia untuk menentukan tingkat ancaman bahaya iklim (climate hazards) dan dampaknya pada sektor-sektor yang relevan. Prioritas dan rencana aksi adaptasi ditentukan berdasarkan pada tingkat dampak yang terjadi.

Adapun strategi mitigasi dicapai melalui proses analisa terhadap skenario laju emisi GRK pada setiap sektor berdasarkan kajian tingkat pertumbuhan emisi dari sektor-sektor tersebut, dan dilakukan analisa terhadap skenario mitigasi untuk setiap sektor (energi, transportasi, industri, kehutanan dan limbah/sampah).

Naskah ICCSR merinci berbagai rencana kegiatan untuk

sektor-sektor energi, industri, transportasi, limbah, kehutanan,

buku-1-pruf-4.indd 40 3/6/2011 11:36:32 PM

Page 43: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

41

sampah, pertanian, kelautan dan perikanan, air serta kesehatan

yang dikategorikan dalam 3 kelompok aktivitas. Sesuai dengan

rencananya, berbagai rencana aksi yang telah dikaji seharusnya

diimplementasikan sebagai rangkaian program kerja pada

kementerian dan lembaga yang terkait, sesuai dengan prioritas

pembangunan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) yang berlaku selama 5 tahun.

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) telah melakukan

kajian Indonesia GHGs Abatement Cost Curve, untuk melakukan

identifikasi berbagai peluang dan pilihan-pilihan aksi mitigasi untuk

menurunkan emisi GRK Indonesia berdasarkan biaya penurunan

(abatement cost) dari setiap aksi mitigasi tersebut. Laporan kajian

DNPI ini telah dipublikasi dan dapat dipakai sebagai salah satu

acuan untuk menetapkan prioritas kebijakan dan rencana aksi

untuk mencapai target penurunan emisi GRK sebesar 26 dan 41

persen, sebagaimana telah digariskan oleh Presiden RI.

Sesuai dengan profil emisi GRK maka Reducing Emission from Deforestation and Degradation (REDD) adalah salah satu

bentuk program mitigasi GRK yang penting bagi Indonesia. Untuk

mengimplementasikan program REDD plus di Indonesia, pada 20

September 2010, Presiden mengeluarkan Keputusan Presiden yang

menetapkan pembentukan Satuan Tugas REDD. Satuan Tugas ini

akan dipimpin oleh Kuntoro Mangkusubroto, kepala UKP4 (Unit

Kerja Presiden untuk Pengendalian dan Pengawasan Pembangunan),

dengan sejumlah pejabat yang mewakili kementerian dan lembaga

buku-1-pruf-4.indd 41 3/6/2011 11:36:32 PM

Page 44: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

42

yang relevan sebagai anggotanya (Bappenas, KLH, Kementerian

Keuangan, Kementerian Kehutanan, Badan Pertanahan Nasional dan

DNPI). Tugas Satgas REDD sebagaimana yang dicantumkan dalam

Kepres adalah memastikan terbentuknya strategi nasional untuk

mengurangi emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi

hutan (REDD plus) dan rencana nasional untuk aksi pengurangan

emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan.7

Sebagai bagian dari tugas dibawah Satgas REDD, sebuah

Strategi Nasional Penurunan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi

Hutan (Stranas REDD plus) juga baru dipublikasikan.8 Stranas REDD

plus mencoba mengidentifikasi penyebab terjadinya deforestasi

dan degradasi hutan dan perumusan strategi yang diperlukan untuk

menekan penyebab tersebut dalam rangka mengurangi emisi serta

peningkatan serapan dan simpanan karbon dari kegiatan konservasi

hutan, pengelolaan hutan secara lestari, restorasi ekosistem, dan

berbagai usaha peningkatan produktivitas hutan produksi dan

hutan tanaman.

Naskah ini juga menyajikan tahapan pelaksanaan REDD+

di Indonesia, yang secara umum dibagi dalam tiga tahap: (1)

penyusunan strategi yang mencakup strategi nasional dan rencana

7 http://www.thejakartapost.com/news/2010/09/24/kuntoro-mangkusubroto-chairs-redd-task-force.html

8 Draft pertama Naskah Stranas REDD tertanggal 23 September 2010. Naskah ini disusun oleh Bappenas, bekerjasama dengan Kementerian Kehutanan, Kementerian Pertanian.

buku-1-pruf-4.indd 42 3/6/2011 11:36:32 PM

Page 45: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

43

aksi nasional REDD plus; (2) membangun kesiapan dan pelakasanaan

tindakan awal berupa pembangunan infrastruktur prasyarat REDD+,

pemenuhan kondisi pemungkin dan pelaksanaan kegiatan-kegiatan

awal; dan (3) implementasi yang mencakup pengarusutamaan

REDD+ dalam pembangunan, integrasi REDD+ ke dalam RPJMN

dan implementasi penuh, terutama di daerah-daerah percontohan

berdasarkan kriteria yang ditentukan. Dalam naskah Stranas REDD

plus yang pertama, belum dicantumkan rencana aksi yang rinci

untuk diimplementasikan di masing-masing tahap.

Dalam hal teknologi untuk mitigasi perubahan iklim, pada

tahun 2009, Kementerian Lingkungan Hidup dan Badan Pengkajian

dan Penerapan Teknologi (BPPT) telah menyelesaikan kajian

kebutuhan teknologi untuk mitigasi perubahan iklim (Technology Needs Assessment for Climate Change Mitigation, TNA). Kajian ini

telah berhasil mengidentifikasi prioritas teknologi untuk mitigasi

GRK untuk 7 sektor Indonesia: Energi, Kelautan, Kehutanan, Industri,

Pertanian, Persampahan, dan Transportasi. Selain opsi pilihan

teknologi, TNA juga melakukan analisis marginal abatement cost untuk pilihan teknologi di setiap sektor.

Untuk mendukung pembuatan Strategi Nasional Adaptasi

dan Rencana Aksi Adaptasi menghadapi perubahan iklim, DNPI

telah menyelesaikan Adaptation Science and Policy Study.9 Kajian

9 Kajian ini berjudul Adaptation Science and Policy Studies, yang dilakukan oleh

buku-1-pruf-4.indd 43 3/6/2011 11:36:32 PM

Page 46: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

44

mencoba mengidentifikasi berbagai kajian dan analisis yang telah

dilakukan oleh berbagai institusi yang terkait dengan adaptasi pe-

rubahan iklim di Indonesia. Melalui kajian ini, dicoba untuk mengi-

dentifikasi celah (gap) dan kebutuhan untuk mengembangkan

strategi adaptasi, kebutuhan strategi pendanaan serta kebutuhan

teknologi untuk Indonesia.

Sejumlah kementerian sektoral, misalnya Kementerian

Pertanian dan Kementerian Kelautan dan Perikanan juga telah

membuat kajian terkait dengan identifikasi tantangan dan pilihan-

pilihan adaptasi di sektor pertanian, dan strategi adaptasi untuk

kelautan dan kawasan pesisir.

Dengan penjelasan ini, dapat disimpulkan bahwa kajian untuk

adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia telah cukup

banyak dan beragam. Berbagai kajian ini dapat menjadi acuan

dalam perumusan strategi dan rencana aksi adaptasi dan mitigasi

perubahan iklim di Indonesia.

DNPI dan LAPI ITB, atas dukungan UK Aid dan British Council. Kajian ini dimulai pada Maret 2010 dan diselesaikan pada Juli 2010.

buku-1-pruf-4.indd 44 3/6/2011 11:36:32 PM

Page 47: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

45

“INDONESIA berkomitmen untuk menurunkan emisi gas-gas rumahkaca sebanyak 26 persen dari level “business as usual”, pada tahun 2020, atau 41 persen bila ada bantuan keuangan dari negara-negara maju.” Pengumuman ini dibuat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di pertemuan G20 di Pittsburgh, Pennsylvania, Amerika Serikat, pada September 2009. Komitmen ini kembali ditegaskan oleh Presiden SBY saat berpidato pada COP-15 United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC) di Copenhagen, Denmark, Desember 2009 . Dalam pidatonya, Presiden SBY juga menyampaikan komitmen Indonesia untuk mewujudkan “ekonomi rendah karbon.”

Walaupun gagal mencapai kesepakatan yang mengikat semua Negara Pihak, COP15 menghasilkan Copenhagen Accord, yang merupakan deklarasi politik yang diinisiasi oleh 23 pemimpin negara maju dan negara berkembang yang melakukan diskusi pada saat COP 15 berlangsung. Sifat Copenhagen Accord tidak mengikat, dan bukanlah hasil yang berasal dari proses negosiasi multilateral

Komitmen untuk Menurunkan Emisi GRK

4

buku-1-pruf-4.indd 45 3/6/2011 11:36:32 PM

Page 48: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

46

yang transparan dan demokratis. Walaupun demikian, Copenhagen Accord merupakan hasil terbaik yang bisa didapat, yang memuat komitmen nyata tetang target pembatasan kenaikan suhu global, dan komitmen pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim hingga 2020.

Sebagai tindak lanjutnya, UNFCCC memberikan batas waktu hingga 31 Januari 2010 kepada negara-negara anggota UNFCCC untuk menyampaikan rencana penurunan emisi GRK masing-masing.10 Sebagai bentuk dukungan, melalui surat tanggal 19 Januari 2010 pemerintah Indonesia melalui Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) menyampaikan kepada Sekretariat UNFCCC dukungan pada Copenhagen Accord tersebut, dan komitmen Indonesia untuk menurunkan emisi. Surat ini disusul dengan usulan target resmi Indonesia untuk dilampirkan pada Copenhagen Accord pada tanggal 30 Januari 2010, dengan merinci sektor-sektor yang terlibat dalam inisiatif penurunan emisi ini. Mengingat target yang disampaikan adalah target sukarela sesuai dengan kapasitas RI sebagai negara berkembang dan karenanya memang tidak dimintakan adanya detail rencana pencapaian target tersebut seperti yang dicantumkan dalam Appendix II Copenhagen Accord.

Dalam surat yang dikirimkan oleh Rachmat Witoelar, Ketua Harian DNPI kepada Sekretaris Eksekutif UNFCCC, Yvo de Boer,

10 Hingga saat ini terdapat 138 negara, yang mewakili sekitar 86 persen emisi global tahun 2005, yang telah menyampaikan dukungannya terhadap Copenhagen Accord dan menyampaikan target penurunan emisi GRK.

buku-1-pruf-4.indd 46 3/6/2011 11:36:33 PM

Page 49: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

47

Indonesia merinci 7 bentuk aksi untuk pencapaian penurunan emisi 26% dari skenario BAU pada tahun 2020, yaitu:

• Pengelolaan lahan gambut yang menjamin keberlanjutannya

• Penurunan laju deforestasi dan degradasi lahan hutan.

• Pengembangan proyek penyerapan emisi karbon di sektor kehutanan dan pertanian

• Promosi penghematan dan efisiensi energi

• Pengembangan dan pemanfaatan sumber energi alternatif dan terbarukan

• Penurunan limbah padat dan cair

• Perpindahan kepada moda transportasi rendah emisi

Salah satu upaya yang telah dilakukan Indonesia saat ini adalah dengan ditandatanganinya Letter of Intent (LoI) dengan pemerintah Norwegia dalam menurunkan emisi gas rumah kaca (GRK) global akibat deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut di Indonesia. Implementasi LoI akan dilaksanakan dalam 3 tahapan yaitu tahap 1 hingga akhir 2010, tahap 2 selama tahun 2011-2013 dan tahap 3 sejak 2014 hingga akhir tahun 2016.

Upaya yang lebih terstruktur adalah memadukan target penurunan 26 persen dan dokumen roadmap kedalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) 2010-2014 dan prioritas kerja pemerintah untuk 2010 yang dituangkan dalam Inpres 1/2010. Hasilnya adalah skenario penurunan emisi 26 dan 41 persen dari 7 sektor pada tahun 2020, yang dapat dilihat pada tabel 2.

buku-1-pruf-4.indd 47 3/6/2011 11:36:33 PM

Page 50: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

48

Tabe

l 2.

Profi

l Emi

si Ind

ones

ia 20

05 da

n 202

0 den

gan S

kena

rio P

enur

unan

Em

isi 26

perse

n dan

41 pe

rsen (

dalam

giga

ton)

Sek

tor

Pro

fil E

mis

iTa

rget

P

enur

unan

em

isi 2

6%

Targ

et

tam

baha

n pe

nuru

nan

emis

i 15

%

Pro

fil E

mis

i 202

0

Em

isi

2005

BA

U

2020

Em

isi

% d

ari

BA

UE

mis

i%

dar

i B

AU

Ske

nario

26

%S

kena

rio 4

1%

Laha

n G

ambu

t0,

831,

090,

280

9,5

0,05

72,

030,

810,

75

Sam

pah

0,17

0,25

0,04

81,

60,

031,

070,

200,

17

Keh

utan

an0,

650.

490,

392

13,3

0,31

11,0

20,

10(0

,21)

Per

tani

an0,

050,

060,

008

0,3

0,00

30,

110,

050,

05

Indu

stri

0,05

0,06

0,00

10,

00,

004

0,14

0,06

0,06

Tran

spor

tasi

--

0,00

80,

30,

008

0,28

(0,0

1)(0

,02)

Ene

rgi

0,37

1,00

0,03

01,

00,

010,

380,

970,

96

Tota

l2,

122,

950,

767

260,

422

15,0

12,

181,

76

Sum

ber:

Muba

riq A

hmad

(Pris

ma, V

ol 3,

2010

)

buku-1-pruf-4.indd 48 3/6/2011 11:36:33 PM

Page 51: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

49

DALAM rangka melaksanakan penurunan emisi GRK sebagai mana yang telah ditargetkan, pemerintah Indonesia melalui BAPPENAS menyusun Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca (RAN-GRK) yang akan dituangkan dalam bentuk Peraturan Presiden (Perpres).11

Dalam naskah lampiran Perpres RAN-GRK dinyatakan bahwa rencana ini adalah turunan dari Strategi Pembangunan Nasional yang Berkelanjutan, dengan cakupan penurunan emisi secara langsung, peningkatan kapasitas penyerapan, dan kegiatan-kegiatan yang secara tidak langsung menurunkan emisi GRK. Dinyatakan pula bahwa RAN GRK tidak menghambat pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan, serta merupakan komitmen Indonesia pada upaya penurunan emisi di tingkat global. Mengingat RAN GRK juga dipakai sebagai sarana koordinasi dalam usaha

11 Hingga tulisan ini dibuat, rancangan Peraturan Presiden sudah dibahas di Sekretariat Negara. Diharapkan Perpres tersebut akan dikeluarkan pada akhir bulan Oktober mendatang.

Strategi Penurunan Emisi Gas Rumah Kaca 26 dan 41 persen

5

buku-1-pruf-4.indd 49 3/6/2011 11:36:33 PM

Page 52: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

50

mengoptimalkan akses terhadap potensi pendanaan domestik dan internasional.

Dasar penyusunan RAN-GRK adalah usulan dari kementerian/

lembaga dalam RPJMN 2010-2014 dan RPJPN 2005-2025, yang kemudian dalam forum koordinasi perencanaan penyusunan RAN-GRK untuk menjabarkan rencana penurunan emisi GRK nasional sebesar 26 persen dari skenario business as usual. Program yang diprioritaskan adalah yang pelaksanaannya memakai dana dari sumber APBN dan APBD (termasuk pinjaman), swasta, masyarakat, dengan sejumlah kriteria yaitu: efektifitas penggunaan biaya dengan prinsip biaya termurah penurunan emisi GRK secara terintegrasi, kemudahan dalam implementasi, dan sejalan dengan prioritas pembangunan nasional.

RAN-GRK menetapkan enam bidang dengan target penurunan emisi 26 persen dan 41 persen. Untuk melaksanakan target penurunan tersebut, RAN-GRK juga menetapkan Kementerian/Lembaga yang bertanggung jawab melaksanakan rencana aksi, sesuai dengan program di masing-masing kementerian/lembaga. Rencana dan target penurunan emisi 26 dan 41 persen yang dinyatakan dalam RAN-GRK ditampilkan pada tabel 3.

Sejalan dengan perkembangan negosiasi di tingkat internasional, target penurunan emisi sukarela yang telah dijadikan target oleh Indonesia nantinya dapat dikategorikan sebagai self-funded NAMA atau unilateral NAMA, yaitu sebesar 26% yang ditargetkan untuk dicapai dengan pendanaan dalam negeri (dana pemerintah maupun swasta). Adapun supported NAMA yaitu sebesar 15% yang merupakan selisih antara 26% dan 41% yang direncanakan dapat dicapai dengan adanya dukungan pendanaan internasional. Upaya penurunan emisi di luar kegiatan yang telah

buku-1-pruf-4.indd 50 3/6/2011 11:36:33 PM

Page 53: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

51

dika

tego

rikan

seba

gai u

paya

pen

capa

ian

targ

et 2

6% d

an 4

1% p

ada

dasa

rnya

dap

at d

ikat

egor

ikan

seba

gai

cred

iting

NAM

A at

aupu

n te

tap

dila

ksan

akan

seba

gai b

agia

n da

ri M

ekan

ism

e Pe

mba

ngun

an B

ersi

h (C

DM,

clea

n de

velo

pmen

t mec

hani

sms)

yan

g m

erup

akan

bag

ian

dari

pasa

r kar

bon

(car

bon

mar

ket)

.

Tabe

l 3.

Targ

et Pe

nuru

nan E

misi

GRK

per B

idang

2010

– 20

20 (D

raft)

Bid

ang

Ren

cana

Pen

urun

an E

mis

i

(GtC

O2e

)

Ren

cana

Aks

iK

/L P

elak

sana

26%

41%

Keh

utan

an

dan

Laha

n G

ambu

t

0,67

21,

039

Pen

gend

alia

n ke

baka

ran

huta

n da

n

laha

n, p

enge

lola

an ja

ringa

n da

n ta

ta

air,

Reh

abili

tasi

hu

tan

dan

laha

n,

HTI

, H

R,

Pem

bera

ntas

an

illeg

al

logg

ing,

pe

nceg

ahan

de

fore

stas

i,

pem

berd

ayaa

n m

asya

raka

t

Kem

ente

rian

Keh

utan

an, K

LH,

Kem

ente

rian

PU

,

Kem

ente

rian

Per

tani

an

buku-1-pruf-4.indd 51 3/6/2011 11:36:33 PM

Page 54: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

52

Per

tani

an0,

008

0,01

1In

trodu

ksi v

arita

s pa

da re

ndah

em

isi,

efisi

ensi

ai

r iri

gasi

, pe

nggu

naan

pupu

k or

gani

c

Kem

ente

rian

Per

tani

an, K

LH

Ene

rgi

dan

trans

porta

si0,

038

0,05

6P

engg

unaa

n bi

ofue

l, m

esin

de

ngan

st

anda

r efi

sien

si

BB

M

lebi

h tin

ggi,

mem

perb

aiki

TD

M,

kual

itas

trans

porta

si,

dem

and

side

m

anag

emen

t, efi

sien

si

ener

gi,

peng

emba

ngan

rene

wab

le e

nerg

i

Kem

ente

rian

Per

hubu

ngan

, K

emen

teria

n E

SD

M,

Kem

ente

rian

PU

Indu

stri

0,00

10,

005

Efis

iens

i en

ergi

, pe

nggu

naan

re

new

able

ene

rgi

Kem

ente

rian

Per

indu

stria

n

Lim

bah

0,04

80,

078

Pem

bang

unan

TP

A,

peng

elol

aan

sam

pah

deng

an 3

R, d

an p

engo

laha

n lim

bah

terp

adu

di p

erko

taan

Kem

ente

rian

PU

da

n K

LH

Tota

l 0,

767

1,18

9

Sum

ber:

Re

ncan

a Aks

i Nas

ional

Penu

runa

n Emi

si Ga

s Rum

ah K

aca (

Draft

, 3 O

ktobe

r 201

0)

buku-1-pruf-4.indd 52 3/6/2011 11:36:33 PM

Page 55: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

53

Satu hal yang perlu dipahami adalah pelaksanaan upaya

penurunan emisi bagi negara berkembang seperti Indonesia dapat

dilaksanakan secara paralel antara satu jenis NAMA dengan jenis

NAMA yang lain selama kegiatannya tidak dilakukan di dua kategori

yang berbeda. Oleh karena itu penting untuk dapat segera disusun

dan disepakati kegiatan atau aksi di tiap sektor yang masuk ke

dalam kategori pencapaian target 26% dan juga yang masuk

dalam kategori pencapaian target hingga 41% dengan pendanaan

internasional. Dengan tersusunnya daftar ini maka upaya penurunan

emisi dapat dilaksanakan dengan lebih efektif dan efisien.

buku-1-pruf-4.indd 53 3/6/2011 11:36:33 PM

Page 56: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

54

Kebutuhan Pendanaan

Mekanisme pendanaan perubahan iklim merupakan salah satu

komponen vital yang memungkinkan sebuah negara melaksanakan

strategi penurunan emisi GRK (mitigasi), maupun strategi untuk

mengatasi dampak perubahan iklim (adaptasi).

Untuk dapat melakukan mitigasi dan adaptasi yang efektif

sehingga mencapai target penurunan emisi, maka perlu diketahui

pendanaan yang dibutuhkan untuk memenuhi target mitigasi emisi

GRK yang hendak dicapai serta potensi pengurangan emisi yang

tersedia untuk setiap jenis aksi di setiap sektor/bidang. Pemerintah

Indonesia juga telah menyusun kebijakan untuk mendukung

program aksi setiap sektor yang melaksanakan mitigasi dan

kebutuhan anggaran untuk melaksanakan program aksi tersebut.

Semakin besar target penurunan emisi suatu sektor, semakin besar

pula anggaran yang akan diberikan untuk sektor tersebut.

Mekanisme Pendanaan untuk Aksi Perubahan Iklim di Indonesia

6

buku-1-pruf-4.indd 54 3/6/2011 11:36:34 PM

Page 57: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

55

Perhitungan tentang kebutuhan dana untuk melakukan

strategi dan tindakan adaptasi untuk sektor-sektor prioritas hingga

kini belum tersedia. Hal ini terjadi karena perhitungan biaya adaptasi

dipengaruhi oleh berbagai variable yang cukup kompleks. Sifat

adaptasi yang unik dan spesifik untuk kawasan tertentu membuat

perhitungan kebutuhan dan untuk adaptasi harus dilakukan secara

hati-hati. Berbeda dengan adaptasi, perhitungan kebutuhan

dana untuk aksi/tindakan mitigasi relatif lebih mudah dilakukan.

Perhitungan biaya untuk aksi mitigasi dapat ditemukan dalam

Studi NEEDS (National Economic, Environment and Development Study) oleh DNPI dan Sekretariat UNFCCC, ICCSR, lndonesia GHGs Abatement Cost Curve, dan kajian-kajian lain yang telah dilakukan

di Indonesia, dengan mudah ditemukan perhitungan biaya untuk

aksi mitigasi.

Menurut kajian Second National Communication (KLH, 2009),

penurunan emisi 26 persen hingga 2020 akan menimbulkan biaya

sebesar 83,3 triliun rupiah per tahun. Adapun penurunan emisi 41

persen akan menimbulkan biaya sebesar 168,3 triliun rupiah per

tahun. Nilai ini setara dengan 1.4 persen dan 2.8 persen proyeksi

PDB Indonesia pada tahun 2010.

Perhitungan Indonesia GHGs Abatement Cost Curve oleh DNPI

mengindikasikan kebutuhan biaya tahunan untuk melaksanakan

seluruh pilihan aksi mitigasi mencapai 12,84 milyar Euro atau 180

triliun rupiah setiap tahunnya hingga 2030, dengan biaya penurunan

buku-1-pruf-4.indd 55 3/6/2011 11:36:34 PM

Page 58: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

56

rata-rata sebesar 6 Euro per ton CO2e. Total biaya penurunan emisi

tersebut setara dengan 5,6 persen total GDP Indonesia pada tahun

2005.

Sementara itu kajian ICCSR untuk mitigasi di sektor semen,

transportasi (penggantiaan moda transportasi), limbah/sampah

(skenario optimis), dan kehutanan (LULUCF) dalam mencapai target

penurunan emisi 26 persen, memperkirakan dibutuhkan total biaya

US$ 26,89 milyar. Apabila aksi lahan gambut dimasukkan, maka

kebutuhan biaya mencapai US$ 36,619 milyar pada tahun 2020.

ICCSR belum menghitung kebutuhan dana dan biaya adaptasi

untuk sub-sektor pembangkit listrik.

Sumber pendanaan

Menurut kajian National Economic, Environment, and Development Study (NEEDS) yang dilakukan oleh DNPI, terdapat sumber-sumber

pendanaan untuk aksi perubahan iklim di Indonesia terdiri dari: (i)

sumber dana yang sudah ada saat ini (existing sources of funds) dan (ii) sumber dana potensial di masa depan. Sumber dana yang

tersedia saat ini berasal dari: (i) dana pemerintah (APBN/APBD),

(ii) Dana dari badan/lembaga multilateral dan bilateral (ODA),

(iii) Dana hibah dari lembaga multilateral dan bilateral untuk

perubahan iklim; (iv) dana swasta/organisasi filantropi (nasional

dan internasional). Sumber pendanaan yang potensial di masa

mendatang termasuk diantaranya sumber-sumber pendanaan

buku-1-pruf-4.indd 56 3/6/2011 11:36:34 PM

Page 59: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

57

swasta asing dan domestik, serta pendanaan dari sumber-sumber

pasar karbon, misalnya dari proyek Clean Development Mechanism (CDM), carbon offsets, dan lain sebagainya.

Dalam hal pembiayaan perubahan iklim, sejak 2008

pemerintah Indonesia telah menerima pinjaman dalam bentuk

development program loans (DPL), serta climate change policy loan (CCPL), dari pemerintah Perancis (AfD), Jepang (JICA) dan yang

baru masuk pada tahun 2010 berasal dari Bank Dunia. Hingga

tahun 2010, jumlah pinjaman DPL/CCPL dari tiga institutsi tersebut

telah mencapai 2 milyar USD. Pinjaman-pinjaman tersebut

tidak ditujukan untuk sebuah proyek tertentu, tetapi pinjaman

yang dikelola oleh Kementerian Keuangan sebagai bagian dari

anggaran pemerintah ditujukan untuk membantu pemerintah

Indonesia mengembangkan kebijakan dan program yang dapat

membantu Indonesia menuju pembangunan rendah karbon, dan

pertumbuhan yang lebih berkelanjutan. Terkait dengan pinjaman

tersebut pemerintah juga telah memberikan komitmennya untuk

menyelesaikan serangkaian kebijakan dan langkah terkait dengan

mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Dalam praktis dana DPL dan

CCPL dipakai sebagai penutup defisit anggaran pemerintah.

Selain pinjaman program, tersedia juga pinjaman proyek

misalnya proyek di sektor listrik dan panas bumi (geothermal) dan tenaga air (hydro power) yang berasal dari lembaga-lembaga

keuangan multilateral dan bilateral, seperti misalnya World Bank,

Asia Development Bank, KfW (Kreditanstalt fur Wiederaufbau/

buku-1-pruf-4.indd 57 3/6/2011 11:36:34 PM

Page 60: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

58

Bank Jerman), JICA (Japan International Corporation Agency), dan

sebagainya. Selain itu terdapat juga seeds fund sebagai modal

bergulir dan pinjaman lunak yang ditujukan untuk proyek-proyek

yang ramah terhadap lingkungan, seperti program IEPC yang

didukung oleh KfW dan PAE yang didanai oleh JBIC (JICA).

Sejumlah dana hibah yang juga tersedia untuk Indonesia

untuk dua hingga empat tahun mendatang, sebagian besar

ditujukan untuk aksi-aksi mitigasi, diantaranya Climate Investment Fund (CIF), yang terdiri dari Clean Technology Fund dan Forest Investment Program, sebagai bagian dari program yang dikelola

oleh World Bank dan ADB, yang ditujukan untuk mendukung

proyek-proyek energi terbarukan di Indonesia. Untuk program

REDD, tersedia dana hibah UN-REDD, yang saat ini dikelola oleh

UNDP. Dana ini bertujuan untuk membantu pemerintah Indonesia

dalam mempersiapkan implementasi program REDD. Selain itu

terdapat juga dana Technical Assistance dari Global Environmental Facility (GEF) untuk pengembangan panas bumi, efisiensi energi,

dan restorasi ekosistem kehutanan.

Institusi Pendanaan Iklim

Untuk memobilisasi pendanaan perubahan iklim dari sumber-

sumber dana-dana publik, khususnya dari institusi bilateral dan

multilateral dan dana dari pemerintah Indonesia sendiri, dibentuk

Indonesia Climate Change Trust Fund (ICCTF) pada tahun 2009 oleh

buku-1-pruf-4.indd 58 3/6/2011 11:36:34 PM

Page 61: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

59

pemerintah Indonesia dibawah koordinasi BAPPENAS. Dana yang

dikelola ICCTF diperuntukkan bagi pendanaan program-program

mitigasi dan adapatasi yang sesuai dengan sectoral roadmap

BAPPENAS.

Selain ICCTF, dibentuk juga Indonesia Green Investment Fund

(IGIF) oleh Kementerian Keuangan. Pengelolaan IGIF dilakukan

oleh unit Pusat Investasi Pemerintah (PIP), salah satu unit dibawah

Kementerian Keuangan. Tujuan dari IGIF adalah menarik pendanaan

dan mendorong investasi yang bersumber dari sektor swasta

dan yang berbasis pasar (market based funding) untuk mendanai

proyek-proyek investasi rendah emisi karbon. IGIF dirancang sebagai

instrumen koordinasi dengan pendanaan swasta dalam memenuhi

kebutuhan investasi skala besar.

Model institusi ICCTF dan IGIF merupakan hal baru, terlebih

lagi dalam hal pendanaan untuk pembiayaan program atau proyek

perubahan iklim. Pembentukan fasilitas semacam ini boleh jadi

menempatkan Indonesia pada jajaran terdepan diantara negara-

negara berkembang lain dalam hal kesiapan untuk mengakses dana-

dana internasional yang berada dibawah UNFCCC, maupun yang

berada diluar UNFCCC di masa yang akan datang. Kedua lembaga

ini, minimal telah mengadopsi standar tata kelola keuangan dengan

standar internasional dalam struktur institusi maupun prinsip-

prinsip operasinya, yang merupakan tuntutan terbesar dari negara-

negara donor internasional saat ini.

buku-1-pruf-4.indd 59 3/6/2011 11:36:34 PM

Page 62: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

60

SEBAGAIMANA yang telah disampaikan oleh Presiden RI pada

pertemuan G-20 tahun 2009 lalu, Indonesia berkomitmen

melaksanakan konsep ekonomi rendah karbon, yang kemudian

dituangkan kedalam target penurunan emisi GRK sebesar 26 dan

41 persen dari business as usual. Disisi lain, pertumbuhan ekonomi,

pengurangan kemiskinan dan pengangguran adalah tantangan yang

harus dihadapi di dalam negeri. Keinginan untuk berperan dalam

menyelesaikan pemanasan global dan prioritas di dalam negeri

melahirkan tantangan baru. Tantangan tersebut adalah bagaimana

menyusun kebijakan dan program adaptasi dan mitigasi perubahan

iklim yang mendukung strategi pro-growth, pro-poor & pro-job,

yang sekaligus dapat pula mendukung pencapaian pembangunan

ekonomi yang rendah karbon (ERK), yang merupakan konsep baru

di dalam wacana pembangunan Indonesia.

Setelah hampir setahun penurunan emisi dicanangkan, masih

terdapat tantangan untuk adanya dukungan komitmen melakukan

Tantangan Implementasi Program Aksi mengatasi Perubahan Iklim

7

buku-1-pruf-4.indd 60 3/6/2011 11:36:34 PM

Page 63: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

61

Tantangan Implementasi Program Aksi mengatasi Perubahan Iklim

penurunan emisi GRK secara suka rela dari berbagai kalangan.

Salah satu isu yang menjadi wacana perdebatan akhir-akhir ini

adalah terkait program penurunan GRK yang merupakan turunan

dari kesepakatan Indonesia dan Norwegia. Masih terdapat sejumlah

kalangan pengusaha dan akademisi yang mempertanyakan

manfaat langsung dari komitmen Indonesia dalam melakukan

penurunan emisi GRK. Sejumlah kalangan yang kontra terhadap

rencana ini menganggap mitigasi GRK bukanlah tanggung jawab

Indonesia sebagai negara berkembang. Pihak ini menganggap

bahwa komitmen Presiden kepada masyarakat dunia dikuatirkan

dapat menurunkan keunggulan ekonomi Indonesia, menghambat

investasi dan menutup peluang usaha.12

Penolakan tersebut menjadi tantangan bagi pemerintah

saat ini yaitu bagaimana agar keinginan politis yang kuat untuk

membawa Indonesia menempuh jalur ERK mendapatkan dukungan

dari kalangan yang lebih luas, baik birokrasi, masyarakat sipil,

dan pengusaha. Salah satu caranya adalah mengkomunikasikan

gagasan ERK kepada seluruh pemangku kepentingan secara

intensif, termasuk juga kepada pemerintah daerah, serta berupaya

12 Sofyan Wanandi, salah satu pengusaha terkemuka yang secara terbuka menentang pernjanjian kerjasama Indonesia dengan Norwegia yang memasukan aksi moratorium di sektor kehutanan. Berita ini dapat dilihat di: http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=261322; Sejumlah akademisi juga mempertanyakan tentang justifikasi ilmiah dari rencana moratorium tersebut terhadap target penurunan emisi yang telah dicanangkan oleh pemerintah: http://www.thejakartapost.com/news/2010/09/03/skepticism-mounts-benefits-moratorium.html

buku-1-pruf-4.indd 61 3/6/2011 11:36:34 PM

Page 64: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

62

memberikan keyakinan bahwa pilihan untuk melaksanakan

ERK serta upaya-upaya mewujudkan green growth di Indonesia

sesungguhnya memiliki nilai positif dan baik untuk mencapai

keunggulan ekonomi di masa mendatang. Argumentasi yang

berdasar pada biaya dan manfaat secara jujur perlu disampaikan

mengingat implementasi di tahap awal biasanya berat. Dukungan

dari pemangku kepentingan diperlukan, dengan mempertimbangkan

bahwa berbagai kebijakan dan peraturan yang akan disusun untuk

mencapai tingkat penurunan emisi yang telah ditargetkan perlu

dilaksanakan oleh berbagai pihak yang terkait.

Selain itu perlu diwaspadai pula bahwa implementasi berbagai

kebijakan ini dalam jangka pendek akan menimbulkan ongkos sosial

dan politik, yang dapat beresiko memukul balik pemerintah saat ini.

Oleh karena itu, upaya penjelasan dan penyebar-luasan informasi

kebijakan perlu dilakukan secara pro-aktif. Begitu pula kajian

paska implementasi serta keteguhan untuk mengawal komitmen

ini diperlukan guna meredam berbagai efek distorsi yang dapat

menarik mundur Indonesia dari jalur pembangunan yang berbasis

pada ekonomi rendah karbon.

Tantangan lainnya adalah mencapai keseimbangan dalam

melaksanakan program adaptasi dan mitigasi. Sejauh ini, wacana

yang lebih mengemuka adalah aksi mitigasi. Pidato Presiden di forum

G20 tahun 2009 lalu lebih banyak menekankan komitmen Indonesia

untuk melakukan mitigasi, tetapi hanya sedikit saja mengangkat

kebutuhan untuk adaptasi. Rendahnya prioritas terhadap adaptasi

buku-1-pruf-4.indd 62 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 65: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

63

sedikit banyaknya tercermin dalam bentuk kerjasama bilateral

dan multilateral serta berbagai aktivitas institusi pemerintah dan

non-pemerintah yang menangani perubahan iklim akhir-akhir ini.

Terdapat kesan bahwa prioritas untuk mitigasi lebih didahulukan,

ketimbang adaptasi. Padahal ancaman perubahan iklim di berbagai

sektor dan wilayah Indonesia cukup serius, sesuai dengan hasil

kajian yang telah dilakukan selama ini.

Dalam konteks adaptasi perubahan iklim, koordinasi dan

integrasi program antar sektor masih merupakan tantangan yang

besar. Sejauh ini pemerintah telah mendorong kebijakan dan strategi

adaptasi di tingkat sektoral dengan upaya integrasi antar-sektor

yang minim. Sejumlah sektor yang rentan terhadap perubahan iklim

berusaha membuat penilaian kerentanan (vulnerability assessment) dan merumuskan strategi dan program adaptasi sektoral.

Mengingat adaptasi perubahan iklim memiliki dimensi

lokalitas tetapi juga lintas sektoral, dan saling kait mengkait

maka salah satu solusi yang dapat ditawarkan untuk mengatasi

hambatan ini adalah mempercepat proses koordinasi antar sektor

untuk mendorong pengarusutamaan adaptasi dalam perencanaan

pembangunan nasional, membentuk jaringan informasi ancaman

bencana akibat perubahan iklim, serta strategi adaptasi yang

terintegrasi di berbagai sektor. Untuk itu perlu memperbesar

alokasi pendanaan pada APBN/APBD untuk aksi-aksi adaptasi,

dan juga peran institusi yang dibentuk khusus untuk menangani

buku-1-pruf-4.indd 63 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 66: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

64

perubahan iklim, yaitu DNPI perlu dioptimalkan,13dengan dukungan

dari BAPPENAS dan Kementerian Keuangan yang vital untuk

mendorong integrasi antar-sektor tersebut dalam konteks integrasi

perencanaan pembangunan dan penganggaran.

Dengan terdapatnya rencana untuk penyusunan Peraturan

Presiden tentang Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi Gas

Rumah Kaca (RAN-GRK) sebagai dasar hukum untuk mencapai

penurunan emisi 26 dan 41 persen, tantangan yang dihadapi

saat ini adalah: (i) bagaimana konsistensi kebijakan pasca 2014,

setelah pemerintahan Presiden Yudhoyono berakhir; (ii) bagaimana

menurunkan target pengurangan emisi setiap sektor yang telah

ditetapkan menjadi program-program sektoral yang rinci dan dapat

memberikan hasil penurunan emisi yang dapat diukur, dilaporkan

dan diverifikasi (MRV-able); (iii) bagaimana menerjemahkan dan

menurunkan berbagai target penurunan emisi sektoral kedalam

rencana pembangunan provinsi, dan kabupaten/kota di seluruh

Indonesia.

Kekuatiran tentang konsistensi implementasi rencana aksi

paska 2014 sangatlah beralasan, mengingat target penurunan

13 Sesuai dengan Pasal 3, Peraturan Presiden No. 46/2008, dua dari empat tugas DNPI adalah: (a) Merumuskan kebijakan nasional, strategi, program dan kegiatan pengendalian perubahan iklim; (b) Mengkoordinasikan kegiatan dalam pelaksanaan tugas pengendalian perubahan iklim yang meliputi kegiatan adaptasi, mitigasi, alih teknologi dan pendanaan.

buku-1-pruf-4.indd 64 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 67: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

65

emisi adalah program utama dari pemerintahan saat ini dan

belum tentu menjadi komitmen rezim sesudahnya. Sudah lazim

didengar jargon: “ganti pimpinan, ganti kebijakan.” Resiko bahwa

pemerintah Indonesia paska 2014 tidak melanjutkan rencana ini,

atau melanjutkan dengan prioritas yang lebih rendah, tetap saja

ada. Ditambah lagi Copenhagen Accord bukanlah keputusan yang

mengikat bagi para pihak yang memberikan dukungannya, demikian juga target penurunan emisi secara sukarela yang disampaikan oleh negara-negara pendukung Copenhagen Accord.

Dalam rangka menghadapi kemungkinan inilah, implementasi rencana aksi penurunan emisi dalam lima tahun mendatang (2010-2014) mempunyai nilai penting untuk memberikan indikasi dan bukti bahwa target tersebut dapat tercapai (achievable). Keberhasilan melaksanakan penurunan emisi sekaligus juga meletakkan landasan yang kuat untuk kesinambungan pelaksanaan rencana aksi ini untuk periode lima tahun berikutnya. Dengan demikian target penurunan emisi 26 persen dari skenario business as usual pada tahun 2020 dan peta jalan untuk mewujudkan ekonomi rendah karbon dapat terwujud.

Tantangan selanjutnya adalah merealisasikan target penurunan emisi di masing-masing bidang dan sektor kedalam program kerja instansi kementerian/lembaga yang mendapatkan tugas (lihat tabel 2), dengan hasil yang terukur dan dapat diverifikasi. Saat ini sejumlah strategi dan rencana aksi yang mendukung penurunan emisi tertera dalam naskah ICCSR yang dikembangkan oleh Bappenas. Walaupun dokumen ICCSR terlihat cukup komprehensif,

buku-1-pruf-4.indd 65 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 68: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

66

namun berbagai program aksi yang diindikasikan dalam program ini tidak dapat serta merta dilaksanakan oleh kementerian lembaga yang bersangkutan. Pelaksanaannya masih memerlukan koordinasi dan kerjasama antar instansi, diluar instansi yang bertanggung jawab terhadap target tersebut.

Sebagai contoh untuk bidang energi yang salah satu rencana aksinya adalah pengembangan energi terbarukan. Rencana yang terindikasi adalah meningkatkan penetrasi energi terbarukan untuk produksi tenaga listrik. Penanggung jawab bidang ini adalah Kementerian ESDM. Diperkirakan tidak mudah bagi Kementerian ESDM mencapai target yang dibebankan kepada mereka dengan pertimbangan bahwa investasi pembangkit listrik dari energi terbarukan sangat bergantung pada berbagai kebijakan insentif fiskal dan non-fiskal yang tidak berada dalam kendali Kementerian ESDM, melainkan Kementerian Keuangan. Implementasinya juga cukup banyak, selain BUMN ada juga pihak swasta.

Rencana aksi penurunan emisi melalui peningkatan efisiensi mesin kendaraan bermotor, yang juga merupakan tanggung jawab Kementerian Perhubungan juga membutuhkan koordinasi dan kerjasama dengan Kementerian Perindustrian yang mengatur produksi dan standar industri otomotif. Konsekuensi dari rencana aksi ini adalah menaikkan standar kendaraan bermotor yang beredar di Indonesia, dan pembatasan produk-produk kendaraan yang boros BBM. Untuk itu tidak saja dibutuhkan standar industri yang lebih tinggi, tetapi juga kebijakan dan aturan perdagangan yang lebih ketat, serta berbagai kebijakan disinsentif yang mendorong konsumen membeli kendaraan bermotor yang boros BBM.

buku-1-pruf-4.indd 66 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 69: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

67

Sejumlah rencana aksi juga membutuhkan kerjasama dan kemampuan Pemerintah Daerah untuk mengimplementasikannya. Misalnya rencana penurunan emisi melalui perbaikan kualitas transportasi publik di perkotaan dan memperbaiki transport demand management (TDM) khususnya di kota-kota besar. Dalam era otonomi daerah, kebijakan transportasi perkotaan adalah tanggung jawab dari pemerintah daerah. Oleh karenanya, rencana ini harus sepenuhnya mendapatkan dukungan dari Pemda yang perlu dituangkan dalam perencanaan dan prioritas pembangunan daerah serta alokasi anggaran yang memadai dalam APBD-nya. Berbagai contoh lain dapat dilihat pada sejumlah bidang lainnya, misalnya pengelolaan lahan gambut dan kehutanan, serta pengelolaan limbah/sampah kota.

Tantangan lain adalah implikasi biaya dari pelaksanaan sejumlah rencana aksi yang dituangkan dalam RAN-GRK. Beberapa rencana aksi yang dipilih sepertinya tidak didasarkan pada prinsip marginal abatement cost, yang merupakan syarat penting dalam menentukan prioritas aksi dalam kondisi sumberdaya yang terbatas. Contoh di sektor energi misalnya peningkatan konsumsi bio-fuel. Implementasi aksi mungkin tidak terlalu tepat sebagai bagian dari pencapaian target karena biaya penurunan emisi dari aksi ini sebenarnya relatif tinggi, sebagaimana yang disajikan pada kurva biaya DNPI.14

14 Laporan Indonesia GHGs Abatement Cost Curve oleh DNPI dan McKinsey menghitung abatement cost untuk pemanfaatan bio-diesel dari minyak sawit mencapai 100 USD per tCO2e (exhibit 21, hal. 30).

buku-1-pruf-4.indd 67 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 70: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

68

Akses pendanaan untuk mitigasi perubahan iklim relatif lebih mudah didapatkan, dibandingkan akses pendanaan untuk adaptasi. Keterbatasan perhitungan biaya untuk adaptasi secara nasional dan lintas sektor sebagai dasar untuk prioritas aksi mempersulit alokasi dana untuk adaptasi dan selanjutnya proses penggangaran. Dengan terbatasnya komitmen dunia internasional untuk menyediakan dana adaptasi untuk perubahan iklim, termasuk mekanisme pendanaan yang saat ini tersedia dibawah UNFCCC, menyebabkan program-program adaptasi sepertinya harus didanai dari anggaran pemerintah (APBN/APBD) atau pinjaman luar negeri. Tantangan saat ini adalah menetapkan prioritas aksi yang akan didanai, dengan mempertimbangkan keterbatasan ruang fiskal pada anggaran yang ada, serta tarik-menarik dengan prioritas untuk aksi mitigasi yang telah ditetapkan sebagai kebijakan nasional.

Kebijakan fiskal memiliki peran penting dalam mendorong tercapainya target penurunan emisi rumah kaca. Kajian Green Paper on Economic and Fiscal Policy Strategies for Climate Change in Indonesia, yang dikeluarkan oleh Kementerian Keuangan merekomendasikan penerapan pajak/pungutan karbon pada bahan bakar fossil dengan potensi pendapatan sebesar 95 triliun rupiah per tahun. Penerapan kebijakan ini dapat menjadi pendorong bagi pencapaian sejumlah rencana aksi dalam RAN-GRK misalnya efisiensi energi, efisiensi bahan bakar kendaraan, dan penetrasi energi terbarukan, dan sebagainya. Selain itu, pajak karbon ini dapat menjadi sumber pendanaan domestik untuk kegiatan adaptasi dan mitigasi.

buku-1-pruf-4.indd 68 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 71: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

69

Walaupun rekomendasi ini baik dalam konteks kebijakan perubahan iklim, pelaksanaannya membutuhkan sejumlah reformasi kelembagaan dan aturan perpajakan, serta kebijakan harga energi domestik. Selain itu diperlukan strategi untuk melakukan persuasi kepada publik, mengantisipasi penolakan dari sektor industri dan bisnis, serta efek penurunan kesejahteraan pada kelompok

masyarakat miskin.

buku-1-pruf-4.indd 69 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 72: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

70

1. Bagi negara berkembang seperti Indonesia, perubahan iklim

sangat erat kaitannya dengan pembangunan dan kehidupan

masyarakat. Oleh karena itu, strategi dan kebijakan mengenai

perubahan iklim harus meliputi strategi dan kebijakan adaptasi

serta mitigasi yang saling terkait yang tidak dapat dilepaskan

dari upaya pengentasan kemiskinan dan penanggulangan

serta pengendalian bencana.

2. Rencana Aksi Nasional untuk Penurunan Emisi Gas Rumah

Kaca sebagai acuan kegiatan pencapaian target sukarela

penurunan emisi dapat segera diterjemahkan dalam kebijakan

dan rencana kegiatan di masing-masing sektor dengan

mempertimbangkan pilihan aksi dengan biaya terendah (least cost options), terutama bagi kegiatan yang dicanangkan

dengan sumber pendanaan dalam negeri.

Rekomendasi Kebijakan

buku-1-pruf-4.indd 70 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 73: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

71

3. Implementasi di tingkat sektor dalam bentuk program

kementerian dan lembaga memerlukan kebijakan dan petunjuk

pelaksanaan yang lebih operasional. Karenanya, program kerja

di kementerian dan lembaga terkait untuk tahun 2011 penting

difokuskan pada upaya ini sehingga target pencapaian dapat

ditetapkan dan menjadi salah satu indikator penilaian dan

kinerja dari kementerian dan lembaga terkait serta kepastian

dalam alokasi anggaran (APBN/APBD).

4. Akuntabilitas dan transparansi merupakan hal yang tidak

dapat dikesampingkan, karenanya perlu dikembangkan

peraturan mengenai standar MRV (pengukuran, pelaporan

dan verifikasi) di setiap kementerian dan lembaga sehingga

pencapaian target sukarela dapat dipertanggungjawabkan,

termasuk di tingkat internasional bagi kegiatan yang didukung

dengan dana internasional.

5. Koordinasi implementasi rencana aksi dan juga perumusan

arah, strategi dan kebijakan mengenai perubahan iklim

merupakan hal penting dan karenanya fungsi serta peran

DNPI sesuai dengan Peraturan Presiden no. 46/2008 harus

optimal dengan adanya dukungan dari sektor, kementerian

dan lembaga terkait.

6. Program pengembangan kapasitas harus segera dilakukan

bagi:

buku-1-pruf-4.indd 71 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 74: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

72

a. Kementerian dan lembaga pemerintah pusat untuk

dapat (a) mengintegrasikan strategi mitgasi dan adaptasi

perubahan iklim ke dalam perencanaan program kegiatan

di kementerian dan lembaga, serta (b) membuat program

kerja yang terukur dan terjangkau dengan pemantauan

dan evaluasi kinerja secara kualitatif dan kuantitatif.

b. Pemerintah daerah (Pemda) untuk dapat mengintegrasikan

konsep dan pendekatan ekonomi rendah karbon dalam

perencanaan pembangunan daerah.

7. Pentingnya kajian lebih lanjut terkait dengan sumber

pembiayaan domestik baik bagi adaptasi maupun mitigasi

dengan pengembangan instrumen fiskal dan non-fiskal,

peningkatan peran perbankan maupun pasar karbon untuk

mendorong pembangunan rendah karbon dan penurunan

emisi secara nyata.

8. Perlu segera disusun mekanisme koordinasi dan penguatan

kelembagaan pendanaan perubahan iklim yang ada (ICCTF dan

IGIF) dengan mekanisme dan institusi keuangan lain). Penting

pula untuk segera disusun mekanisme pengawasan (oversight mechanisms) untuk memastikan tata kelola dan efektivitas

investasi dan pembiayaan serta tercapainya sasaran integritas

sosal dan kelestarian lingkungan dalam pelaksanaannya.

buku-1-pruf-4.indd 72 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 75: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

73

9. Penting untuk dilakukan edukasi di tingkat kementerian dan

lembaga, pemerintah daerah dan publik untuk mendorong

terlaksananya upaya penurunan emisi secara nyata.

10. Perlu dikembangkannya kegiatan dan proyek uji coba di

tingkat propinsi maupun kabupaten/kota sebagai bentuk

lanjutan dari edukasi yang telah dilaksanakan untuk dapat

mencapai target sukarela penurunan emisi GRK.

Rekomendasi khusus terkait dengan fungsi anggaran dan pengawasan pembangunan DPR:

11. Perlu dipastikan kesesuaian anggaran dalam hal jumlah dan

peruntukannya di tingkat kementerian dan lembaga untuk

pelaksanaan program dan kegiatan penurunan emisi GRK.

12. Perlu dipastikan keseimbangan adaptasi dan mitigasi

perubahan iklim dalam program pembangunan jangka pendek,

jangka menengah dan jangka panjang sesuai dengan kondisi

spesifik di tiap sektor dan wilayah.

buku-1-pruf-4.indd 73 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 76: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

buku-1-pruf-4.indd 74 3/6/2011 11:36:35 PM

Page 77: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

KERTAS KEBIJAKAN

Kebijakan berbasisLingkungan Hidup danPertumbuhan Ekonomi di Indonesia:Tantangan dan Kesempatan Kurnya Roesad

C

M

Y

CM

MY

CY

CMY

K

FA_rev_3_Kebijakan berbasis_cover_BW.pdf 1 3/7/11 9:26 AM

Page 78: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

buku-2-pruf-4.indd 76 3/6/2011 11:41:14 PM

Page 79: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

Kebijakan Berbasis Lingkungan Hidup

& Pertumbuhan Ekonomi

di Indonesia: Tantangan dan Kesempatan

Kurnya Roesad Supervised by Mubariq Ahmad

buku-2-pruf-4.indd 77 3/6/2011 11:41:14 PM

Page 80: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

Kebijakan berbasis Lingkungan Hidup dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia:Tantangan dan Kesempatan

Penulis: Kurnya Roesad Supervised by Mubariq Ahmad

Desain cover & tata letak: Freshwater Communication

Dicetak di Indonesia.Penerbit: Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit, Indonesia

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.Dipersilakan mengutip atau memperbanyak sebagian isi buku ini

dengan seizin tertulis dari penulis dan/atau penerbit.

Indeks

Copyright © 2010.

Friedrich-Naumann-Stiftung für die FreiheitJl. Rajasa II No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta 12110

Tel.: 62-21-7256012-13Fax: 62-21-7203868

E-mail: [email protected]

buku-2-pruf-4.indd 78 3/6/2011 11:41:14 PM

Page 81: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

79

Pendahuluan

MENGATASI perubahan iklim merupakan agenda utama bagi

pembangunan dunia internasional saat ini. Negara besar yang

sedang berkembang seperti Indonesia menjadi salah satu kontributor

terbesar emisi Gas Rumah Kaca (GHG/ Greenhouse Gas emissions),

tetapi juga menjadi korban yang terkena dampak langsung dari

perubahan iklim itu. Untuk menghadapi masalah ini, para pembuat

kebijakan berbasis lingkungan di Indonesia harus memperhatikan

keseimbangan dua hal. Pertama adalah perlunya pertumbuhan

ekonomi yang baik untuk mencapai tujuan tradisional pembangunan

ekonomi yaitu; menciptakan kesejahteraan, membuka lapangan

1 Kurnya Roesad, RMAP/ Crawford School of Economics and Government, ANU

Kebijakan berbasis Lingkungan Hidup dan Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia:Tantangan dan Kesempatan1

Kurnya RoesadSupervised by Mubariq Ahmad

buku-2-pruf-4.indd 79 3/6/2011 11:41:15 PM

Page 82: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

80

pekerjaan, dan meningkatkan pendapatan. Yang kedua adalah

menjaga kualitas lingkungan hidup untuk mempertahankan

kelangsungan sumber daya alam yang ada.

Makalah ini menunjukkan bahwa kebijakan lingkungan hidup

yang komprehensif – dalam kerangka strategi per tumbuhan ekonomi

rendah karbon- menjadi penting untuk mencapai dua tujuan tadi.

Bagian pertama makalah ini akan menjelaskan latar belakang

kebijakan pertumbuhan ekonomi rendah karbon dan bagaimana

profil dan proyeksi emisi Indonesia menentukan kemungkinan dan

tantangan mitigasi iklim. Bagian ke dua membahas secara khusus

segi ekonomi- keuntungan yang mungkin diperoleh dan biaya

yang harus dikeluarkan baik secara keseluruhan maupun sektoral,

apabila kebijakan mitigasi iklim itu diterapkan di Indonesia. Bagian

ke tiga akan menguraikan tantangan yang harus dihadapi dalam

penerapan kebijakan dengan prioritas pada sektor tertentu-

adaptasi, kehutanan dan energi. Bagian terakhir merangkum semua

hasil temuan.

buku-2-pruf-4.indd 80 3/6/2011 11:41:15 PM

Page 83: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

81

MENGATASI perubahan iklim global telah menjadi agenda utama

dalam pembangunan dunia saat ini. Hampir seluruh lembaga

pembangunan dan keuangan multilateral mengakui kesimpulan

ilmiah dari Panel Antarbangsa Mengenai Perubahan Iklim (IPCC/

Intergovernmental Panel on Climate Change) yang menyatakan

bahwa perubahan iklim sedang terjadi dan emisi yang dihasilkan

dari aktivitas manusia (antropogenik) menjadi penyebab utama.

Seperti dikemukakan dalam catatan IPCC 2007 dibawah ini:

“Kenaikan suhu dalam sistem iklim adalah hal yang tidak dapat

dipungkiri lagi. Observasi telah membuktikan adanya peningkatan

temperatur atmosfer dan laut di seluruh dunia, mencairnya salju dan

es dalam spektrum luas, dan naiknya rata-rata suhu dan permukaan

Pembangunan Indonesia Sebagai Gerakan Menuju Ekonomi Rendah Karbon

1

buku-2-pruf-4.indd 81 3/6/2011 11:41:15 PM

Page 84: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

82

air laut <….> Sebagian besar dari pemanasan global yang terjadi

dalam kurun waktu 50 tahun terakhir disebabkan meningkatnya emisi

gas gumah kaca dan besar kemungkinan adanya peningkatan suhu

rata-rata yang disebabkan aktivitas manusia (antropogenik) di setiap

benua (kecuali Antartika) <….> Pemanasan antropogenik yang terjadi

dalam tiga dekade terakhir sangat mungkin karena adanya pengaruh

berskala global di mana perubahan fisik dan sistem biologis banyak

terjadi” (IPCC, halaman 72).

Tinjauan terbaru tentang emisi CO2 menunjukkan bahwa

tanpa usaha mitigasi yang kolaboratif, dunia akan mengalami

bencana besar di mana temperatur air laut rata-rata menjadi 50

Celsius lebih tinggi dibandingkan masa pra-industri (IPCC 2009).

Dengan kearifan konvensional hal itu di atasi dengan menstabilkan

emisi gas rumah kaca global pada angka 450 ppm dari ekuivalen

CO2 untuk menjaga pemanasan global tetap pada 20 Celsius, atau

pada tingkatan di mana kebudayaan manusia dapat beradaptasi

dari akibat terburuk perubahan iklim dengan biaya relatif rendah

(Stern 2006, World Bank 2010c)

Konsekuensi fisik dari perubahan iklim global termasuk

perubahan pola curah hujan, naiknya permukaan air laut (diperburuk

dengan adanya gelombang badai), terjadinya cuaca ekstrim dengan

intensitas dan frekuensi yang makin tinggi, dan meningkatnya

prevalensi penyakit akibat vektor (organisma seperti nyamuk aedes

aegypti sebagai perantara penyakit Demam Berdarah/ vector-borne

buku-2-pruf-4.indd 82 3/6/2011 11:41:15 PM

Page 85: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

83

disease)- dan juga terjadinya peningkatan fenomena bencana

berskala dunia, seperti perputaran balik Arus Teluk (Gulf Stream)

atau men cairnya lapisan es Greenland.

Kegagalan ekonomi yang disebabkan pemanasan global

cukup besar dan substansial. Tinjauan (Review) Stern (2006)

mengemukakan dalam kerangka business-as-usual (BAU); bila

langkah-langkah serius menuju mitigasi iklim tidak dilakukan, maka

dunia harus menginvestasikan satu persen dari total GDP (Gross Domestic Products) per tahun untuk memitigasi akibat terburuk dari

perubahan iklim. Bank Dunia memperhitungkan bahwa 75 sampai

80% dari kerusakan lingkungan yang disebabkan perubahan iklim

harus ditanggung negara-negara berkembang (Bank Dunia 2010c)

Akibat ekonomis yang harus ditanggung negara-negara

berkembang terlihat jelas dengan adanya penurunan produktivitas

ekonomi. Penurunan ini khususnya dialami sektor perikanan dan

pertanian, dalam bentuk penurunan produktivitas perikanan

dan pertanian, kerusakan infra struktur, hilangnya area dan

pemukiman produktif karena tergenangnya lahan, punahnya

spesies mahluk hidup, dan menurunnya integritas ekosistem

sebagai sistem pendukung kehidupan (Ahmad, 2010). Akibat lain

adalah meningkatnya tekanan-tekanan pada sistem pengelolaan

kesehatan dan air, perubahan pola perdagangan, perubahan aliran

dana investasi internasional, dan peningkatan pola migrasi. Semua

faktor ini akan meningkatkan kerentanan negara berkembang

terhadap kemungkinan adanya guncangan.

buku-2-pruf-4.indd 83 3/6/2011 11:41:15 PM

Page 86: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

84

Akibat dari perubahan iklim global memang sangat nyata,

dan Indonesia harus menghadapi komunitas internasional di mana

sebagian besar perekonomian negara-negara maju ini bertitik tolak

dari jalur pertumbuhan ekonomi rendah karbon. Sebagian besar

negara dunia, terutama yang berekonomi maju, telah memiliki

komitmen untuk mengusahakan reduksi emisi. Walaupun COP 15

di Copenhagen gagal mendapatkan titik temu dalam membuat

kebijakan yang mengikat dalam hal penanggulangan perubahan iklim

setelah periode pertama Protokol Kyoto berakhir tahun 2012 nanti,

komunitas inter nasional tidak mencoret masalah perubahan iklim

dari agenda utama mereka. Komunike Copenhagen (Copenhagen Accord?) berhasil membuat negara-negara berkembang (developing

economies) menyusun komitmen baru untuk mereduksi emisi, di

mana mereka memiliki tujuan yang sama dengan negara-negara

maju (developed economies). Semua menyusun target ambisius

menyangkut energi terbarukan untuk mencapai target emisi yang

telah ditetapkan sebelumnya.

Tabel 1 : Target Emisi dan Energi Terbarukan di Negara Tertentu.

Target Reduksi Emisi Target Energi Terbarukan

Australia 5-25% di bawah emisi pada tahun 2000

20% pada tahun 2020, dari 8% di tahun 2007

China 40-45% di bawah emisi 2005 dalam intensitas emisi

15% pada tahun 2020, dari 8% di tahun 2006

Indonesia 26-41% di bawah BAU (business as usual)

15% pada tahun 2025 (termasuk nuklir)

buku-2-pruf-4.indd 84 3/6/2011 11:41:15 PM

Page 87: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

85

Japan 25 % di bawah emisi 1990 16TwH pada tahun 2014

Korea 30% di bawah BAU 6.08 % pada tahun 2020, dari 2.7 % di tahun 2009

Malaysia Target akan diumumkan pada tahun 2011

Singapore 16% di bawah BAU

Thailand 30% di bawah BAU 20% pada tahun 2022

Philippines perbaikan100% dibandingkan angka 2005 – 2015

USA 17% di bawah BAU Tidak Ada Target Nasional, 30 negara bagian telah punya target masing-masing yang ditentukan sebelumnya

Vietnam 5% pada tahun 2020, dari 3% di tahun 2010

Sumber: Rangkuman yang disarikan dari dokumen nasional, usulan kepada UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) dan “Olz and Beerepoot” (2010), sebagaimana diuraikan dalam data Bank Dunia, (2010c)

Komitmen untuk mereduksi emisi gas rumah kaca perlu

didukung oleh kebijakan politik yang kongkrit untuk mencapai

tujuan ambisius itu. Semua negara harus mengadopsi strategi

ekonomi rendah karbon dengan membuat dan memakai produk

berkarbon rendah atau dengan intensitas karbon yang rendah, dan

menghitung faktor lingkungan dalam menentukan harga produk

(pricing environmental externalities).

buku-2-pruf-4.indd 85 3/6/2011 11:41:15 PM

Page 88: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

86

Tren emisi menunjukkan bahwa usaha mereduksi emisi

merupakan hal yang sulit dicapai. Yang harus digaris-bawahi di

sini adalah emisi harus dilihat sebagai akibat (corollary) dari hasil

pertumbuhan. Emisi selalu mengacu pada pertumbuhan GDP di

hampir semua negara (lihat Tabel 2). Untuk menurunkan emisi

ke tingkatan di bawah angka skenario BAU (business-as-usual), pertumbuhan ekonomi, pada tatanan tertentu, harus dipisahkan

dari emisi. Untuk mencapainya, ada dua hal yang harus dilakukan.

Pertama, pola produksi harus decarbonized (produk yang dihasilkan

rendah karbon atau kandungan karbonnya dikeluarkan). Hal ini

dicapai dengan efisiensi energi dan diarahkan supaya sumber

energi bersih lebih banyak digunakan. Kedua, perbaikan perilaku

konsumtif harus diarahkan pada tingkatan berkelanjutan.

Tabel 2: GDP, Pertumbuhan Emisi dan Energi (%)

Angka Pertumbuhan Tahunan Rata-rata 1971-1990 1990-2000

2000-2005

Dunia

Pertumbuhan Emisi 2.1 1.1 2.9

Pertumbuhan GDP 3.4 3.2 3.8

Pertumbuhan Energi 2.4 1.4 2.7

OECD (Organization for Economic Cooperation and Development)

buku-2-pruf-4.indd 86 3/6/2011 11:41:15 PM

Page 89: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

87

Pertumbuhan Emisi 0.9 1.2 0.7

Pertumbuhan GDP 3.2 2.7 2.1

Pertumbuhan Energi 1.5 1.6 0.8

Non-OECD

Pertumbuhan Emisi 4.2 0.9 5.5

Pertumbuhan GDP 3.8 4 6.2

Pertumbuhan Energi 3.8 1 4.6

Sumber: Garnaut, Howes, Jotzo, Sheehan (2008)

Strategi pertumbuhan rendah karbon di suatu negara

tergantung dari mitigasi iklim dan kemampuannya beradaptasi,

yang juga bergantung dari profil emisi negara itu.

Indonesia menjadi korban, tapi juga kontributor per ubahan

iklim. Sektor pertanian negara ini masih signifikan. Hal ini membuat

Indonesia rentan terhadap pola perubahan cuaca ekstrim. Usaha

untuk mengurangi kemiskinan akan sangat bergantung pada

langkah-langkah adaptasi dengan menjaga sistem produksi

cadangan pangan. Dengan kata lain, Indonesia, berada paling

buku-2-pruf-4.indd 87 3/6/2011 11:41:16 PM

Page 90: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

88

depan sebagai negara yang memiliki hutan hujan terbesar di dunia,

dengan aktivitas pengrusakan hutan (deforestation) yang menjadi

penyebab utama tingginya emisi gas rumah kaca.

Gambar 1: 25 Negara dengan Emisi CO2 Tertinggi (2004)Sumber: International Energy Agency (2007) [www.iea.org]

Data tren emisi menunjukkan bahwa Indonesia termasuk

dalam 25 negara penghasil emisi terbesar, bila emisi berbasis

hutan termasuk dalam perhitungan penyebab emisi. Berdasarkan

pada hitungan pembakaran bahan bakar fosil, Indonesia termasuk

dalam 25 negara penghasil emisi CO2 terbesar, atau pada urutan

ke 16 bila Uni Eropa dihitung sebagai satu negara. Tetapi bila

pengrusakan hutan dan perubahan tata guna lahan (land use

change) dimasukkan dalam perhitungan penyebab tingginya emisi

buku-2-pruf-4.indd 88 3/6/2011 11:41:17 PM

Page 91: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

89

CO2 yang dihasilkan satu negara, maka Indonesia menjadi salah

satu negara penghasil emisi CO2 terbesar di dunia2.

Profil emisi Indonesia menunjukkan bahwa tata guna

lahan dan perubahan tata guna lahan dan kehutanan (LULUCF)

mengambil porsi terbesar, diikuti oleh kebakaran lahan gambut,

dan penggunaan energi.

Gambar 2: Sektor Emisi 2005 Source: Indonesia Second National Communication to the UNFCCC, 2009.

2 Banyak keraguan yang menyertai pendataan emisi dari sumber-sumber berbasis kehutanan. Data terkini dari Kementrian Kehutanan menunjukkan bahwa pengrusakan hutan (deforestation) yang terjadi saat ini hanya sepertiga dari angka rata-rata sekitar akhir 1990an.

buku-2-pruf-4.indd 89 3/6/2011 11:41:19 PM

Page 92: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

90

Catatan: • Peatfire:kebakaranlahangambut

• LULUCF (Land Use, Land Use Change and Forestry):Penggunaan Lahan, Perubahan Tata guna lahan danKehutanan

• Waste:buangan/sampah

• Agriculture:pertanian

• Industry:Industri

• Energy:Energi

Emisi CO2 per kapita Indonesia memang tidak terlalu tinggi

bila dibandingkan dengan angka internasional, yaitu 2t CO2 per

kapita. Tapi data ini juga menunjukkan bahwa Indonesia masih

harus mengejar ketinggalan di bidang pertumbuhan ekonomi.

Fakta juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia

menggunakan intensitas karbon yang lebih tinggi. Hal ini

ditunjukkan dari data pertumbuhan emisi CO2 per kapita yang

lebih cepat dibandingkan pertumbuhan GDP per kapita. Angka

pertumbuhan per tahun emisi CO2 per kapita naik 3,3 kali lipat

selama tahun 1980 sampai 2004. Dalam kurun waktu yang sama

angka pertumbuhan tahunan GDP per kapita meningkat hanya

2,3 kali lipat, sementara peningkatan pemakaian energi per orang

meningkat 2,1 kali lipat (lihat Gambar 3). Berarti intensitas karbon

dari pemakaian energi itu meningkat pula.

buku-2-pruf-4.indd 90 3/6/2011 11:41:19 PM

Page 93: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

91

Gambar 3: Angka Pertumbuhan Tahunan GDP, Penggunaan Energi dan Emisi per Kapita

Sumber: International Energy Agency (2007) [http://www.iea.org/]

Kita akan melihat lebih jauh lagi kenapa hal ini terjadi. Tabel 3

menunjukkan bahwa meningkatnya intensitas karbon dari produksi

dan konsumsi listrik disebabkan meningkatnya penggunaan

bahan bakar batubara. Sektor industri dan listrik berperan paling

besar dalam menyebabkan tingginya emisi karena penggunaan

batubara.

buku-2-pruf-4.indd 91 3/6/2011 11:41:20 PM

Page 94: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

92

Tabel 3: Emisi CO2 di Indonesia thn 2006 (dalam juta t CO2)

Sumber Bahan Bakar Fosil

Kelompok Konsumsi Batubara BBM Gas

Total Emisi

Total Persentase

(%)

Pertumbuhan Emisi 1990-

2006 (%)

Industri 50.73 23.08 22.32 96.13 29 192

Listrik 57.49 23.22 9.12 89.82 27 309

Transportasi 72.35 0.01 72.36 22 127

Lainnya* 0.06 44.95 31.29 76.3 23 60

Diantaranya; Residensial 0.06 25.76 0.04 25.86 8 41

Total 86.8 179.6 69.6 334.61 100

Catatan: * ‘Lainnya’ termasuk produsen yang tidak teralokasi dalamkelompok di atas, dan industri yang menggunakan energi lainnya.

Sumber: IEA 2008 Annexes

buku-2-pruf-4.indd 92 3/6/2011 11:41:20 PM

Page 95: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

93

Gambaran tren emisi ini menunjukkan bahwa Indonesia harus

menghadapi dua tantangan besar. Pertama; dalam jangka pendek

dan menengah, masalah utama adalah bagaimana mereduksi

emisi dari LULUCF (Tata guna lahan, Perubahan Tata guna lahan

dan Kehutanan), termasuk didalamnya penanggulangan kebakaran

lahan gambut. Kedua; dalam jangka panjang, mitigasi emisi yang

berhubungan dengan penggunaan energi akan jadi hal penting di

masa depan, dengan catatan bahwa pemerintah dapat menjaga

keseimbangan pasokan energi- yang didapat dari usaha yang

bergantung pada penggunaan bahan bakar batubara yang lebih

murah- dan mengusahakan target energi terbarukan.

Indonesia sudah berkomitmen untuk mereduksi emisi menjadi

26% lebih rendah dari skenario BAU pada tahun 2020. Tabel 4

merupakan ilustrasi skenario itu. Dimulai dengan angka emisi

tahun 2005, menurut scenario BAU, emisi total akan meningkat

dari 2,12 menjadi 2,95 giga ton (gt) pada tahun 2020. Reduksi emisi

menjadi 26% lebih rendah dari angka BAU pada tahun 2020. Hal

ini akan membuat sektor kehutanan menjadi kontributor terbesar

dalam mengurangi total emisi, diikuti oleh lahan gambut, sampah/

limbah, dan energi. Sebanyak 15% reduksi emisi dapat dicapai

bila bantuan internasional diberikan secara substansial. Hal ini

dilakukan khususnya untuk proyek-proyek berbiaya besar seperti

instalasi geothermal, yang memerlukan investor asing berskala

global untuk pembangunannya (Ahmad 2010a).

buku-2-pruf-4.indd 93 3/6/2011 11:41:20 PM

Page 96: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

94

Tabe

l 4:

Proy

eksi

Emisi

Indo

nesia

di ta

hun 2

020

Em

isi (G

t)

Targ

et

Redu

ksi

(26%

)

Targ

et

Redu

ksi

(15%

)

Sken

ario

Em

isi

20

05BA

U 20

20Gi

ga to

n%

dar

i BAU

Giga

ton

% d

ari B

AU26

%41

%

Gam

but

0.83

1.09

0.280

9.50.0

572.0

30.8

10.7

5

Sam

pah

0.17

0.25

0.040

1.60.0

301.0

70.2

0.17

Kehu

tana

n0.6

50.4

90.3

9213

.30.3

1011

.020.1

-0.21

Perta

nian

0.05

0.06

0.008

0.30.0

030.1

10.0

50.0

5

Indu

stri

0.05

0.06

0.001

00.0

040.1

40.0

60.0

6

Tran

spor

tasi

0.008

0.30.0

080.2

8-0

.01-0

.02

Ener

gi0.3

71

0.030

10.0

100.3

60.9

70.9

6

Tota

l2.1

22.9

50.7

6726

0.422

15.01

2.18

1.76

Sour

ce: A

hmad

(2

010a

)

buku-2-pruf-4.indd 94 3/6/2011 11:41:20 PM

Page 97: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

95

Tabe

l 4:

Proy

eksi

Emisi

Indo

nesia

di ta

hun 2

020

Em

isi (G

t)

Targ

et

Redu

ksi

(26%

)

Targ

et

Redu

ksi

(15%

)

Sken

ario

Em

isi

20

05BA

U 20

20Gi

ga to

n%

dar

i BAU

Giga

ton

% d

ari B

AU26

%41

%

Gam

but

0.83

1.09

0.280

9.50.0

572.0

30.8

10.7

5

Sam

pah

0.17

0.25

0.040

1.60.0

301.0

70.2

0.17

Kehu

tana

n0.6

50.4

90.3

9213

.30.3

1011

.020.1

-0.21

Perta

nian

0.05

0.06

0.008

0.30.0

030.1

10.0

50.0

5

Indu

stri

0.05

0.06

0.001

00.0

040.1

40.0

60.0

6

Tran

spor

tasi

0.008

0.30.0

080.2

8-0

.01-0

.02

Ener

gi0.3

71

0.030

10.0

100.3

60.9

70.9

6

Tota

l2.1

22.9

50.7

6726

0.422

15.01

2.18

1.76

Sour

ce: A

hmad

(2

010a

)

YANG menjadi pertanyaan besar sekarang adalah; Apakah reduksi

emisi ini bisa dilakukan tanpa mengganggu per ekonomian dan

kesejahteraan masyarakat? Berapa biaya yang harus dikeluarkan

dan apa keuntungan menggunakan strategi pertumbuhan rendah

karbon bagi perekonomian Indonesia?

Para ahli ekonomi akan setuju bahwa implementasi

kebijakan berbasis lingkungan dan pertumbuhan ekonomi

akan saling melengkapi, bila biaya memadai dari konsekuensi

sosial dan lingkungan sudah diperhitungkan. Carbon pricing

(penetapan harga karbon) dianggap sebagai instrumen penting

untuk mencapai tujuan itu. Dengan membayar untuk emisi

karbon (dan komponen gas rumah kaca lainnya), sistem insentif

dirubah sedemikian rupa sehingga produsen/ individu pemangku

Tantangan dan Kesempatan untuk Berbagai Sektor di Indonesia

2

buku-2-pruf-4.indd 95 3/6/2011 11:41:20 PM

Page 98: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

96

kepentingan harus menanggung resiko kerusakan lingkungan

karena aktivitas ekonomi mereka. Harga barang dengan intensitas

karbon tinggi akan terdorong naik, sehingga emisi bisa ditekan.

Pertama, karena kebutuhan konsumen akan bergerak ke arah

produk dengan intensitas emisi yang lebih rendah. Kedua, para

pemasok harus mencari produk yang menghasilkan emisi lebih

rendah, misalnya produk yang menggunakan teknologi efisiensi

energi, atau menggunakan listrik berbahan dasar energi terbarukan.

Ketiga, para investor harus berinvestasi pada proyek-proyek yang

menghasilkan produk dengan intensitas emisi lebih rendah. Sistem

carbon pricing akan memberikan insentif finansial bagi wiraswasta

yang mengembangkan produk baru dengan intensitas emisi lebih

rendah (Sterner 2003, Helm dan Hepburn 2009, IMF 2008).

Pemasukkan dari carbon pricing akan dapat digunakan untuk

mengganti biaya yang harus dikeluarkan untuk program mitigasi.

Hal ini dapat dilakukan dengan berbagai cara. Pemasukkan itu

dapat digunakan untuk mengurangi pajak lain, dan mungkin

akan mengubah biaya menjadi keuntungan. Pemasukkan ini,

paling tidak, dapat mengganti sebagian dari biaya pengawasan

terhadap kemungkinan terjadinya polusi, dan meningkatkan

prospek mendapatkan keuntungan ganda (double dividend) melalui

introduksi penerapan pajak karbon/ carbon tax (IMF 2008).

buku-2-pruf-4.indd 96 3/6/2011 11:41:20 PM

Page 99: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

97

Boks 1: Pengalaman Internasional menerapkan carbon pricing

Skema European Emissions Trading (ETS) adalah skema bisnis/ perdagangan emisi gas rumah kaca (GHG) terbesar di dunia. Didirikan pada tahun 2005 bersamaan dengan mulai diberlakukannya target reduksi emisi gas rumah kaca menurut Protokol Kyoto. ETS membatasi emisi dari 11.500 instalasi energi dan industri di 25 negara yang terbagi dalam enam sektor industri utama. ETS terkendala beberapa masalah, yang berujung pada ketidakstabilan harga produk, tetapi beberapa temuan menunjukkan bahwa skema itu membantu mereduksi emisi (sebanyak 2 s/d 5% dibawah angka business-as-usual BAU, menurut Ellerman, et al., 2010).

Lembaga di luar ETS adalah RGGI (Regional Greenhouse Gas Initiative) yang didirikan pada tahun 2005 oleh tujuh negara bagian di Amerika Utara untuk pertama kali membentuk program yang mengatur pembatasan dan perdagangan untuk mengurangi emisi CO2 di Amerika Serikat. Berbeda dengan Uni Eropa, perizinan dikeluarkan dengan cara dilelang. Harga penawaran ditetapkan sangat rendah mulai dari US$1.86 di tahun 2008 sampai US$ 3.51 dengan kelonggaran penetapan batas akhir periode pemberlakuan izin (2009-2011). Selandia Baru sudah meregulasi penerapan skema ETS mulai tahun 2008 dan memberlakukan skema transisi mulai 1 Juli 2010. Pada periode transisi ini (1 Juli 2010–31 Desember 2012), peserta ETS dapat membeli unit emisi dengan harga tetap, yaitu NZ$ 25 per unit. Sektor-sektor energi dan industri

buku-2-pruf-4.indd 97 3/6/2011 11:41:20 PM

Page 100: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

98

yang menggunakan bahan bakar fosil cair dapat membelinya setengah harga.

Penerapan pajak karbon secara global memang baru terbatas di negara-negara Eropa. Sejumlah negara di Eropa (seperti Jerman, semua negara di Semenanjung Skandinavia, dan Perancis) telah menerapkan pajak bahan bakar, dan pajak energi dan emisi untuk bahan-bahan dengan kandungan karbon. Denmark adalah negara yang pertama kali di dunia, memberlakukan pajak karbon untuk bahan bakar fosil pada awal 1990an. Penerapan regulasi ini yang antara lain menyebabkan Denmark berhasil menurunkan 5% emisinya sejak 1990, walaupun rata-rata pertumbuhan tahunan sedikit di atas 2%. Jerman memberlakukan pajak listrik. Di negara-negara tersebut, berbagai kemudahan/ potongan pajak diberlakukan untuk industri. Di sektor perlistrikan, dua negara yaitu Finlandia dan Jerman mencoba memberlakukan pajak berdasarkan jenis dan sumber produksi tenaga listrik. Tetapi Pengadilan Uni Eropa memutuskan hal itu sebagai diskriminasi terhadap penggunaan energi import (Sumber: Bank Dunia, 2010 dan Sterner, 2003).

Usaha terkini untuk membuat model makroekonomis

mensimulasi akibat dari implementasi kebijakan mitigasi terhadap

perekonomian Indonesia. Kementrian Keuangan melalui Green

Paper (2009) mensimulasi efek penerapan pajak karbon bagi

perekonomian Indonesia. Pajak karbon untuk pembakaran bahan

bakar fosil akan mereduksi emisi, dan pada saat yang sama

mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengurangi kemiskinan.

buku-2-pruf-4.indd 98 3/6/2011 11:41:21 PM

Page 101: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

99

Beberapa kebijakan perlu menyertai implementasi pajak tersebut.

Pertama; pajak itu diberlakukan pada konsumen pengguna listrik

dan bahan bakar. Kedua; pemasukan digunakan untuk mengurangi

pajak lainnya dan penyediaan dana untuk langkah-langkah

pengurangan kemiskinan. Secara spesifik, pemasukan dari pajak

karbon dapat digunakan lagi untuk mengurangi pajak penjualan.

Pajak karbon akan ditetapkan sejumlah Rp 80.000,- per ton

emisi CO2. Regulasi ini diharapkan dapat mereduksi emisi yang

diakibatkan pembakaran bahan bakar fosil sebanyak kurang lebih

10% di bawah angka business-as-usual BAU. Tambahan reduksi

dapat dihasilkan melalui pemberlakuan kebijakan khusus seperti

dukungan terhadap penggunaan tenaga geothermal atau penjualan

izin ekspor karbon, yang diharapkan dapat menghasilkan antara US$

2 sampai 3 miliar pada tahun 2020, dalam bentuk pendapatan per

tahun pajak ekspor, dengan perhitungan dolar saat ini (Kementrian

Keuangan, 2009).

Berbagai model upaya reduksi emisi pemerintah dan proyek-

proyek usaha pengembangan emisi rendah karbon dari Bank

Dunia, dilakukan berdasarkan berbagai skenario kebijakan untuk

mensimulasi dampak ekonominya3. Pertama, beberapa model

penetapan harga karbon digunakan untuk memperhitungkan

dampak sosial dan ekonomis dari REDD (Reduction of Emissions

from Deforestation and Forest Degradation) yang bertujuan

3 Penjelasan berikut ini sangat tergantung pada (validitas) data Ahmad (2010b)

buku-2-pruf-4.indd 99 3/6/2011 11:41:21 PM

Page 102: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

100

mengurangi emisi akibat deforestasi dan kerusakan hutan. Hasil

terbaik adalah Indonesia mendapat pemasukan dari REDD dengan

menetapkan harga US$ 20 untuk setiap ton emisi ekuivalen CO2

(tCO2e). Perhitungan ini mengasumsikan distribusi pemasukan

dengan pembagian yang proporsional antara pemerintah dengan

rumah tangga, dengan memperhatikan perbandingan rumah

tangga di daerah dan kota besar, di lokasi di Jawa dan luar Jawa.

Walaupun melambat dalam skala nasional, ekonomi tumbuh positif

di beberapa daerah, menandakan aliran distribusi pendapatan dari

pusat ke daerah.

Kedua, kebijakan untuk secara bertahap mengurangi subsidi

bahan bakar mulai tahun 2010 dan benar-benar menghapus subsidi

itu di tahun 2015, menghasilkan per tumbuhan positif, pengurangan

kemiskinan, dan penurunan emisi. Hal ini mengasumsikan bahwa

satu penerapan kebijakan dapat menjamin 100% dari pengeluaran

yang dihemat dapat dikembalikan dalam bentuk pertumbuhan

ekonomi melalui belanja pemerintah.

Ketiga, kebijakan untuk meningkatkan efisiensi energi-

dengan mengurangi intensitas karbon- di sektor penggunaan listrik

dapat memberikan hasil positif, bila biaya teknologi ditanggung

pemerintah, dengan menggunakan anggaran negara untuk

“membayar” penerapan pengetahuan dari luar negeri.

Keempat, peningkatan efisiensi energi di sektor manufaktur

swasta juga dapat memberikan manfaat bila berdasarkan asumsi

buku-2-pruf-4.indd 100 3/6/2011 11:41:21 PM

Page 103: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

101

tertentu. Bila efisiensi energi bisa ditingkatkan 10% dari tahun

2010 sampai 2015 dengan biaya sampai 0,5% dari total hasil pada

tahun 2015, maka tujuan mendorong pertumbuhan (ekonomi),

mengurangi kemiskinan dan mereduksi emisi dapat dicapai. Biaya

investasi diasumsikan dibayarkan kepada investor asing oleh

pemerintah. Sektor-sektor yang termasuk di sini adalah tekstil,

makanan dan minuman, semen, logam dan karet.

Tabel 5: Hasil dari Model Analisa CGE (Computable General Equilibrium)

Kajian Model Ekonomi GDP (% relatif untuk kasus

dasar)

Kemiskinan (%)

Reduksi emisi (%relatif untuk kasus dasar)

MoF Green Paper 2009 (Indonesia 3-E Model)

0.4 -0.6 -10.1

Skenario Ekonomi Rendah Karbon 2010 (Dynamic Inter-Regional CGE Model)

- REDD -0.04 -2.54 -0.32

- Penghapusan subsidi bertahap

3.46

-7.61 -0.01

-SektorListrik-Peningkatanefisiensienergi

0.45 -2.81 -0.02

buku-2-pruf-4.indd 101 3/6/2011 11:41:21 PM

Page 104: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

102

-Efisiensienergisektorswasta

0.05 -1.04 -0.06

Sumber: MoF (2009), Ahmad (2010b) Catatan: - Skenario terbaik dipilih untuk dimasukkan dalam tabel ini. - MoF (Minister of Finance) - REDD (Reduction of Emissions from Deforestation and Forest

Degradation)

Model ini mengilustrasi bahwa tujuan menghasilkan

pertumbuhan (ekonomi) rendah karbon dapat dicapai me lalui

berbagai cara. Implementasi kebijakan berdasarkan beragam

pilihan penggabungan instrumen fiskal (baik dengan penerapan

pajak karbon, maupun penghapusan subsidi energi) dan teknologi

(misalnya melalui investasi pada teknologi peningkatan efisiensi

energi di sektor pembangkit tenaga dan manufaktur) dapat

memberikan hasil ekonomi positif dan peningkatan kesejahteraan

sosial.

Serangkaian simulasi itu memperlihatkan satu temuan

bahwa setiap kebijakan harus didukung oleh kebijakan tambahan

untuk melengkapinya, untuk menjamin adanya kompensasi sosial

dan distribusi hasil yang adil. Penghapusan subsidi harus dibarengi

dukungan yang tepat sasaran untuk rakyat miskin. Kebijakan REDD

yang efektif memerlukan mekanisme yang efektif pula dalam

transfer fiskal antar daerah, dan penerapan kebijakan berbasis

hutan yang tegas dan koheren dari pemerintah.

buku-2-pruf-4.indd 102 3/6/2011 11:41:21 PM

Page 105: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

103

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI 2009) juga menghitung

potensi biaya dan keuntungan berbagai sektor dalam melakukan

upaya mitigasi. DNPI memperkirakan bahwa Indonesia berpotensi

untuk mengurangi emisi gas-gas rumah kaca (GHG) sampai 2,3 Gt

per tahun pada tahun 2030. Hitungan itu diproyeksikan sebagai 7

persen dari total emisi (dunia) di tahun 2030.

Kajian itu menemukan lebih dari 150 kemungkinan

pengurangan emisi gas untuk enam sektor utama yaitu; kehutanan

dan lahan gambut, semen, pembangkit tenaga, pertanian,

transportasi, dan bangunan. Lebih dari 80% dari kemungkinan ini

berasal dari sektor kehutanan dan lahan gambut. Tidak seperti di

banyak negara, biaya pengurangan emisi itu relatif rendah atau

hanya sekitar 3 Euro per ton ekuivalen CO2 pada tahun 2030 (DNPI

2009)4. Tabel 6 menunjukkan biaya pengurangan masing-masing

sektor. Yang perlu diketahui adalah Indonesia akan menjadi target

yang sangat menarik bagi investor energi bersih, bila hanya melihat

dari rendahnya biaya pengurangan emisi.

4 Estimasi biaya ini tidak termasuk biaya implementasi dan transaksi, di mana untuk beberapaupayapenguranganemisi,perhitungannyaakansangatsignifikan(DNPI2009,hal. 13).

buku-2-pruf-4.indd 103 3/6/2011 11:41:21 PM

Page 106: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

104

Tabel 6 : Potensi dan Biaya Penurunan Emisi

Potensi Reduksi Biaya Reduksi Rata-rata

MtCO2e/tahun EUR/MtCO2 e

Kehutananan 1100 7

L.Gambut 700 6

Pembangkit 220 19

Pertanian 105 5

Transportasi 100 -80

Bangunan 50 -38

Semen 10 -5

Sumber: DNPI 2009

buku-2-pruf-4.indd 104 3/6/2011 11:41:22 PM

Page 107: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

105

RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah) Indonesia-

dokumen kebijakan utama pemerintah menyangkut rencana

pembangunan ekonomi- memasukkan mitigasi dan adaptasi

terhadap perubahan iklim dalam proses pembuatan kebijakan.

Dokumen perencanaan pemerintah itu mencatat dalam agenda

pengembangan program jangka panjangnya, pentingnya hubungan

antara pertumbuhan ekonomi dengan masalah pengelolaan

lingkungan. Secara umum dapat dikatakan pengrusakan lingkungan

dibatasi sebagai akibat pengelolaan yang tidak efektif atas sumber

daya alam. Terkurasnya sumber daya alam secara cepat dan

polusi yang terjadi akan menimbulkan akibat sosial dalam bentuk

penurunan kualitas hidup, khususnya kesehatan, dan berkurangnya

keamanan cadangan pangan. Bidang-bidang yang diprioritaskan

termasuk pengurangan degradasi lingkungan dan polusi, pembuatan

sistem peringatan dini menyangkut prediksi atas bencana besar

Tantangan Penerapan Kebijakan dalam Program Adaptasi, Kehutanan dan Energi

3

buku-2-pruf-4.indd 105 3/6/2011 11:41:22 PM

Page 108: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

106

seperti tsunami, dan peningkatan kapasitas institusi terkait dalam

penanggulangan bencana alam (Bappenas 2009, hal. 1-45).

Tantangan adaptasi terhadap akibat kerusakan lingkungan

diprioritaskan pada sektor-sektor5 berikut; pertanian, yang

diutamakan adalah masalah keamanan cadangan pangan. Hilangnya

produktivitas- terutama dalam produksi beras- dikhawatirkan

terjadi karena berubahnya kondisi cuaca, sementara kegagalan

panen disebabkan konversi lahan.

Sektor kesehatan perlu berinvestasi dalam memperkuat

kapasitas institusional untuk mengantisipasi merebaknya penyakit

yang berhubungan dengan perubahan cuaca, seperti penyakit

gangguan pernapasan atas dan penyakit yang disebabkan virus

(viral-based diseases). Hal ini juga memerlukan investasi memadai

di bidang infrastruktur sanitasi.

Pengelolaan resiko bencana perlu membangun sistem

peringatan dini untuk mengantisipasi terjadinya bencana seperti

banjir atau bencana lain yang berhubungan dengan perubahan

cuaca.

5 Penjelasan berikut berdasarkan rangkuman yang disusun Ahmad (2010).

buku-2-pruf-4.indd 106 3/6/2011 11:41:22 PM

Page 109: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

107

Masalah pengelolaan air termasuk memperbaiki pengelolaan

dan perlindungan terhadap batas perairan (watershed). Perubahan

pola hujan memerlukan peningkatan efisiensi sistem pengelolaan,

penyimpanan dan distribusi air.

Dari profil emisi dan skenario proyeksi emisi yang telah dibahas

di atas, jelas terlihat bahwa masalah-masalah sektor kehutanan

dan mitigasi energi harus menjadi prioritas bagi Indonesia.

Sebagai dokumen perencanaan utama pemerintah, RPJM

memprioritaskan sektor kehutanan pada program penanggulangan

perubahan iklim. Kebijakan yang diterapkan bertujuan untuk

memperkuat kapasitas institusi dan kerjasama antar lembaga untuk

menangani lahan gambut dan rehabilitasi hutan, dengan target

500.000 hektar per tahun. Juga melalui penerapan kebijakan yang

tepat, meningkatkan usaha menurunkan tingkat deforestasi, dan

mengoptimalkan pendanaan melalui mekanisme yang ada seperti

IHPH (Izin Hak Pengelolaan Hutan), PSDH dan Dana Reboisasi/

penanaman kembali (Bappenas 2009, halaman I-56).

Skema REDD+ (program pengurangan emisi akibat deforestasi

dan kerusakan hutan) memungkinkan Indonesia menerima insentif

financial dari negara-negara maju untuk menghentikan perubahan

penggunaan hutan untuk mencegah terlepasnya karbon ke

atmosfer. Pemerintah sedang mengembangkan proyek percobaan

dengan skema REDD di hutan-hutan di propinsi Kalimantan Tengah,

Kalimantan Timur, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Sejumlah

buku-2-pruf-4.indd 107 3/6/2011 11:41:22 PM

Page 110: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

108

proyek tersebut akan mengukur usaha deforestasi, kerangka institusi

dan legalitasnya, dan pembentukan mekanisme insentif REDD.

Indonesia telah menanda-tangani perjanjian dengan

pemerintah Norwegia untuk bekerja sama mengurangi pengrusakan/

deforestasi di hutan dan lahan gambut Indonesia. Norwegia berjanji

untuk menyediakan US$ 1 milyar yang akan dibayarkan berdasarkan

tingkat reduksi emisi di sektor kehutanan. Pemerintah saat ini

sedang dalam proses membentuk badan khusus untuk menangani

aliran dana dari REDD+ dan lembaga keuangan Norwegia.

Yang patut dipertanyakan adalah; sampai sejauh mana

dana yang berasal dari skema REDD dapat digunakan untuk

memberdayakan masyarakat setempat dan mendorong mereka

berpartisipasi dalam program perlindungan hutan. Sekitar 10 juta

dari 35 juta penduduk miskin Indonesia tinggal di sekitar area

hutan. Kurang lebih seperempat bagian dari penghasilan mereka

bergantung pada sumber-sumber hutan, termasuk keragaman

hayati (biodiversity) di dalamnya (Ahmad, 2010). Proyek- proyek

REDD di masa depan perlu memperhatikan hak komunitas lokal

untuk mengakses sumber daya hutan dan perlunya menjaga fungsi

pemisahan karbon (carbon sequestration functions) hutan itu

(Ahmad, 2010).

Sejumlah kebijakan yang pernah maupun yang sedang

diterapkan sekarang ini kurang berhasil mencapai tujuan itu.

Distorsi (penyimpangan) penerapan kebijakan menyebabkan insentif

buku-2-pruf-4.indd 108 3/6/2011 11:41:22 PM

Page 111: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

109

yang dihasilkan tidak dapat digunakan untuk program konservasi

dan pendayagunaan (panen) hasil hutan yang berkesinambungan.

Sebagai contoh, penghasilan yang didapat dari pajak dan insentif

tidak digunakan sebagai instrumen insentif, tetapi hanya sebagai

sarana pengumpulan dana. Sementara sistem pajak kehutanan

tidak melindungi usaha pemeliharaan lingkungan lahan hutan

dan produktivitas hutan di masa depan, tetapi hanya untuk

mendapatkan keuntungan dari penebangan hutan jangka pendek

(short-run forest depletion) (Bank Dunia, 2006). Skema REDD+

dapat membuat kerangka institusional untuk mengubah struktur

insentif dan arah pengelolaan hutan Indonesia.

Kementrian Keuangan (2009) merekomendasi pem bentukan

mekanisme keuangan regional untuk aktivitas penanganan

perubahan iklim, dan secara khusus untuk membuat mekanisme

aliran dana REDD. Mekanisme ini mengatur pembayaran berdasarkan

performa pemerintahan regional (terutama tingkat kecamatan),

melalui perbaikan sistem DAK (Dana Alokasi Khusus). Pembayaran

dihubungkan dengan keberhasilan yang dicapai dan akibat yang

ditimbulkan dari pelaksanaan program. Pemerintah regional

memiliki otoritas penuh untuk membuat dan mengimplementasi

proyek tersebut, sementara pemerintah pusat berfungsi sebagai

penghubung utama dengan aspek internasional maupun nasional

skema itu (Kementrian Keuangan, 2009).

Tantangan yang dihadapi sektor energi adalah mengamankan

ekspansi jaringan dan pasokan listrik, tapi pada saat yang sama,

buku-2-pruf-4.indd 109 3/6/2011 11:41:22 PM

Page 112: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

110

mengurangi intensitas karbon dari aktivitas pembangkit tenaga

(listrik). Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, emisi dan energi

per kapita Indonesia meningkat, terutama karena meningkatnya

pemakaian batu bara untuk campuran energi. Bila dilihat hanya

dari sudut pandang finansial, batubara adalah pilihan yang paling

baik dan berkelanjutan, karena ketersediaan batubara yang cukup

banyak di Indonesia.

Realitas yang ada di Indonesia adalah; pemadaman listrik adalah

hal biasa. Perusahaan yang beroperasi menemui banyak hambatan

infrastruktur, yang mempengaruhi keputusan menyangkut investasi.

Penjatahan penggunaan tenaga listrik menyebabkan ketidakpastian

investasi dan hasil keputusannya, dan pada akhirnya berimbas pada

hasil emisi. Manifestasi dari ketidakpastian ini adalah proporsi dari

perusahaan yang berinvestasi di bidang pengadaan tenaga listrik

(captive power), yaitu yang memiliki kapasitas pembangkit tenaga

listrik sendiri. Tenaga listrik yang dijual ke PLN berjumlah 6620

MW di tahun 2005, dibandingkan dengan kapasitas instalasi PLN

yang berjumlah 22.284 MW (IEA 2008). Prevalensi dari pengadaan

listrik swasta di Indonesia ini juga berkontribusi pada angka emisi

yang lebih tinggi, karena hampir semua pasokan listrik dari luar

jaringan PLN itu bergantung pada sumber daya tidak terbarukan

(non-renewable sources).

Tetapi ketergantungan pada pembangkit tenaga berbahan

dasar batubara ini tidaklah berkesinambungan dan Indonesia perlu

lebih memberdayakan berbagai sumber-sumber non-fosil yang

buku-2-pruf-4.indd 110 3/6/2011 11:41:22 PM

Page 113: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

111

ada. Termasuk sumber-sumber geothermal atau micro-hydro, yang

menunjukkan potensi pengembangan paling baik. Saat ini, hanya

sekitar dua persen dari potensi energi terbarukan yang digunakan.

Dalam Energy Blueprint 2005-2025, pemerintah menyusun target

ambisius memberdayakan energi terbarukan. Pada tahun 2025,

ditargetkan 17% dari total penggunaan energi harus berasal dari

sumber-sumber energi terbarukan, dengan fokus perhatian pada

pengembangan energi geothermal (IEA 2008).

Pemerintah berencana untuk meningkatkan kapasitas

produksi energi geothermal dari 1.100 MW di tahun 2010 ke

5.000 MW di tahun 2014 (RPJM 2009). Beberapa kebijakan telah

diterapkan untuk meningkatkan investasi di bidang pengembangan

geothermal. Pertama, insentif pajak bagi investasi geothermal dan

energi terbarukan lainnya telah diberlakukan. Kedua, ada dukungan

finansial melalui anggaran negara untuk eksplorasi energi terbarukan.

Ketiga, aturan penetapan harga jual dari pasokan energi geothermal

tersebut sudah dikeluarkan6. Kebijakan-kebijakan ini juga dibarengi

rencana pemerintah untuk membuka jalan mekanisme pendanaan

6 KeputusanPresidenNo.4/2010menugaskanPLNuntukmempercepatpembangunaninstalasi pembangkit tenaga menggunakan energi terbarukan, batubara dan gas, dan memberi mandat pada PLN untuk mengembangkan dan membeli tenaga listrik darisumber energi terbarukan (Januari 2010). Peraturan Menteri ESDM (Energi dan Sumber DayaMineral) No. 32/ 2009 tentangStandarHarga JualTenaga Listrik olehPTPLNdariPusatPembangkitTenagaListrikGeothermal(Desember2009).PeraturanMenteriESDM No. 31/ 2009 tentang harga pembelian tenaga listrik dengan energi terbarukan (November 2009). Peraturan Menteri Keuangan No. 24/ 2010 tentang insentif pajak untuk pengembangan energi terbarukan yang dikeluarkan pada Januari 2010 (Bank Dunia 2010b).

buku-2-pruf-4.indd 111 3/6/2011 11:41:22 PM

Page 114: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

112

perubahan iklim dari komunitas internasional. Pinjaman sejumlah

US$ 400 juta akan disalurkan ke Indonesia melalui CTF (Clean

Technology Fund) sebagai usaha menarik dana dari pihak lainnya

untuk investasi geothermal (Ahmad 2010, Bank Dunia 2010).

Hal yang menghubungkan ke tiga prioritas penanganan

masalah kehutanan, energi dan adaptasi adalah penyediaan

investasi dan peraturan yang jelas untuk proyek infrastruktur.

Masalah investasi berbasis iklim di Indonesia masih menjadi

perhatian. Walaupun Indonesia memperbaiki peringkatnya menurut

penilaian Doing Business Ratings-Indonesia berada di peringkat 122

tahun 2010, naik dari peringkat 129 di tahun 2009- masih banyak

kekhawatiran pihak investor khususnya yang berhubungan dengan

masalah pelaksanaan kontrak dan penegakan peraturan (Bank Dunia

2010a). Korupsi masih menjadi hambatan besar, walaupun Indeks

Transparency International menunjukkan bahwa Indonesia sedikit

memperbaiki peringkatnya (RPJM 2009). Kualitas infrastruktur di

Indonesia juga berada di peringkat yang relatif rendah, seperti yang

terlihat di Tabel 7 (ADB, ADBI 2009).

Tabel 7: Kualitas Infrastruktur, Negara-negara Tertentu

Negara JalanRel KA

Pela buhan Bandara

Tenaga Listrik

Kese luruhan

Dunia 3.8 3.0 4.0 4.7 4.6 3.8

buku-2-pruf-4.indd 112 3/6/2011 11:41:22 PM

Page 115: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

113

G7 5.7 5.4 5.4 5.8 6.4 5.7

Asia 3.7 3.6 3.9 4.6 4.1 3.8

Asia Timur 4.7 4.8 4.8 5.1 5.3 4.6

Asia Tenggara 4.2 3.2 4.3 5.1 4.7 4.2

Singapura 6.6 5.6 6.8 6.9 6.7 6.7

Hong Kong 6.4 6.2 6.6 6.7 6.7 6.3

Malaysia 5.7 5.0 5.7 6.0 5.8 5.6

Korea 5.8 5.8 5.2 5.9 6.2 5.6

Thailand 5.0 3.1 4.4 5.8 5.5 4.8

China 4.1 4.1 4.3 4.4 4.7 3.9

Indonesia 2.5 2.8 3.0 4.4 3.9 2.8

Vietnam 2.6 2.4 2.8 3.9 3.2 2.7

Skor: 1 = belum berkembang, 7 = ekstensif, standard internasional

Sumber: ADB dan ADBI (2009)

buku-2-pruf-4.indd 113 3/6/2011 11:41:22 PM

Page 116: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

114

Mengatasi ketidakpastian peraturan dan implementasi

kebijakan sangat penting untuk investasi di bidang energi

terbarukan. Proyek berbiaya besar seperti pengembangan energi

geothermal dihitung dengan penetapan harga awal yang tinggi

(high initial fixed costs), dan pelaksanaannya perlu mengikuti

aturan kontrak yang rumit. Investor memerlukan jaminan bahwa

investasi mereka akan kembali dan mekanisme resiko mitigasi di

antara pihak terkait perlu diterapkan.

Sebagai tambahan, adanya pengurangan harga energi jelas

mendistorsi upaya memberikan isyarat yang tepat bagi para

investor. Subsidi bahan bakar dan listrik yang diterapkan sekarang

tidak hanya meningkatkan pemborosan konsumsi energi, tetapi

juga mendistorsi tujuan pemberian insentif untuk produksi energi

bersih. Selama pengadaan tenaga listrik berbahan bakar fosil dan

batubara diproduksi dengan biaya rendah- yang tidak mencerminkan

“harga sebenarnya dari pengadaan tenaga listrik”, dan dengan

memasukkan biaya pemeliharaan lingkungan untuk pengadaan

tenaga listrik- maka energi terbarukan tidak akan kompetitif.

Karena pemerintah Indonesia menghadapi kendala anggaran,

maka investasi energi terbarukan bergantung pada investasi

swasta domestik dan asing. Memperbaiki iklim investasi menjadi

hal yang sangat penting. Mekanisme subsidi internasional seperti

CTF bisa menyediakan sumber daya yang bermanfaat untuk mulai

membuka jalan investasi energi terbarukan berskala besar, dan

dapat digunakan untuk membiayai penetapan harga awal yang

buku-2-pruf-4.indd 114 3/6/2011 11:41:23 PM

Page 117: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

115

tinggi dari produksi energi terbarukan, juga membantu pemerintah

menerapkan program kompensasi sosial untuk masyarakat miskin.

Pada akhirnya, faktor-faktor ekonomi yang bersifat politis

dan political will akan menentukan dalam menggerakkan reformasi

kebijakan dan peraturan. Implementasi yang efektif dari reformasi itu

adalah proses politik yang membutuhkan negosiasi dan koordinasi

anggaran, dan pelaksanaan proyek pada berbagai tingkatan di

lintas lembaga, antara pemerintah Jakarta dan daerah, dan antara

pemerintah dan parlemen. Pengawasan arus uang dan sumber

daya pada tingkatan berbeda ini, dapat menjadi sumber kekuasaan

dan korupsi. Hal ini bisa terjadi terutama dalam proyek-proyek

pembangunan rendah karbon seperti REDD dan energi terbarukan.

Mengusahakan transparansi dalam pengelolaan arus uang dari

sumber internasional, dan efektivitas pelaksanaan proyek, menjadi

tantangan utama yang harus diatasi para pembuat kebijakan.

buku-2-pruf-4.indd 115 3/6/2011 11:41:23 PM

Page 118: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

116

MAKALAH ini menunjukkan dan membuktikan bahwa kebijakan

berbasis lingkungan yang komprehensif- dalam kerangka strategi

ekonomi rendah karbon- adalah hal yang penting untuk mencapai

tujuan pembangunan yang berkelanjutan di Indonesia.

Bagian pertama makalah ini menjelaskan bagaimana

kebijakan pertumbuhan ekonomi rendah karbon, dan profil dan

skenario proyeksi emisi Indonesia menentukan kemungkinan dan

tantangan mitigasi yang harus dihadapi.

Bagian kedua menyoroti segi khusus dari ekonomi-

keuntungan dan biaya secara keseluruhan dan sektoral bila

kebijakan mitigasi diiplementasikan di Indonesia. Berbagai pilihan

penerapan kebijakan ekonomi dapat mendorong pertumbuhan dan

mengurangi kemiskinan dan emisi. Pengelolaan emisi dari hutan

dan lahan gambut dapat menghasilkan kemungkinan mitigasi

terbaik bagi Indonesia.

Kesimpulan

buku-2-pruf-4.indd 116 3/6/2011 11:41:23 PM

Page 119: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

117

Bagian ke tiga menyoroti tantangan penerapan kebijakan

yang terjadi dalam prioritas sektor-sektor tertentu- adaptasi,

kehutanan, dan energi. Hambatan yang mengikat ke tiga sektor ini

adalah ketidakpastian peraturan dan investasi yang menyangkut

investasi infrastruktur.

Profil dan pengurangan biaya emisi Indonesia membuka

banyak kemungkinan untuk menarik minat mekanisme keuangan

internasional berbasis iklim untuk mulai menanamkan investasi

berskala besar di bidang pengembangan teknologi rendah karbon.

Tetapi tetap perlu memperkuat konsensus politik domestik demi

kelangsungan implementasi strategi pembangunan rendah karbon.

Kapasitas institusi domestik- secara spesifik yang menyangkut

perbaikan iklim investasi dan penegakan peraturan- perlu diperkuat

untuk menarik minat lebih banyak investor swasta.

Oleh sebab itu, menerapkan strategi pembangunan rendah

karbon perlu melewati proses reformasi yang kompleks. Perlu

koordinasi kebijakan di beberapa bidang utama; fiskal (carbon pricing), kebijakan investasi dan teknologi, reformasi sektor energi/

kehutanan, dan reformasi struktural yang lebih luas. Pengaturan

pelaksanaan serangkaian upaya reformasi ini membutuhkan

pertimbangan politis, dan bergantung pada faktor-faktor ekonomi

yang bersifat politis yang menggerakkan proses reformasi itu.

buku-2-pruf-4.indd 117 3/6/2011 11:41:23 PM

Page 120: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

118

BANTUAN dan investasi donatur asing seperti FNS dan investor

swasta Jerman harus disalurkan ke program yang menjadi prioritas

utama pemerintah Indonesia. Berikut ini beberapa rekomendasi

utama yang dirangkum dari dokumen kebijakan GOI, dengan

memperhatikan kemungkinan investasi bagi pemerintah dan

swasta Jerman.

Pertama, berikan dukungan kebijakan dalam pengembangan instrumen ekonomi dan kerangka peraturan untuk mendukung pembangunan rendah karbon. Saat ini, kapasitas dan keahlian dalam mengadopsi

instrumen pajak yang mendorong pertumbuhan berbasis lingkungan

(green growth) masih terbatas. Pepajakan berbasis lingkungan

adalah bidang kebijakan yang relatif belum berkembang di Indonesia.

Dengan meningkatnya kemungkinan pendanaan melalui produk

dan jasa yang terkait dengan keuangan karbon, maka keahlian

untuk pengelolaannya perlu dikembangkan. The Green Paper dari

Rekomendasi Kebijakan

buku-2-pruf-4.indd 118 3/6/2011 11:41:23 PM

Page 121: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

119

Kementrian Keuangan dapat digunakan sebagai dasar pembentukan

kebijakan yang kokoh, karena sudah membahas berbagai pilihan

kebijakan fiskal untuk mengatasi masalah keuangan berbasis iklim.

Jerman memiliki cukup pengalaman dalam reformasi kebijakan

fiskal berbasis lingkungan sejak tahun 1990an, sehingga mampu

memberikan bantuan teknis yang diperlukan.

Kedua, lakukan investasi melalui dukungan kebijakan untuk membangun kapasitas pengkajian regional. Ada kebutuhan untuk memperkuat institusi secara

menyeluruh dan memperkuat kerangka kebijakan untuk

penanggulangan masalah perubahan iklim dan lingkungan,

terutama pada tingkat regional. Pertumbuhan pembangunan

rendah karbon di tingkat regional harus terintegrasi ke dalam

rencana pembangunan nasional dan proses penyusunan anggaran.

Membangun kapasitas keuangan regional untuk menghasilkan

produk-produk yang bersifat analitis untuk mendukung proses

penyusunan kebijakan adalah salah satu bidang investasi utama

bagi donatur Jerman.

Ke tiga, lakukan investasi melalui dukungan kebijakan untuk membangun mekanisme keuangan dan fiskal regional untuk penyaluran dana REDD.

Menerapkan kebijakan untuk mitigasi emisi dari perubahan tata

guna lahan dan sektor kehutanan dalam kerangka REDD, akan

menjadi pilar utama dari program pembangunan berbasis iklim bagi

Indonesia di tahun-tahun mendatang. Untuk menjamin efektivitas

pengawasan dan aliran dana dari pusat ke daerah, pemerintah

buku-2-pruf-4.indd 119 3/6/2011 11:41:23 PM

Page 122: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

120

perlu membangun mekanisme keuangan regional untuk mengelola

proses ini.

Mekanisme ini terbagi dalam dua elemen. Pertama, perlu ada

sistem transfer fiskal lintas kelembagaan pemerintah yang efektif

untuk penyaluran dana dari tingkat nasional ke tingkat regional. Ke

dua, perlu ada mekanisme insentif yang memadai untuk memastikan

pembayaran melalui skema REDD tersalur ke hasil proyek yang

diinginkan. Ke tiga, mekanisme ini harus memiliki kerangka yang

efisien untuk pengelolaan keuangan berbasis hutan, termasuk skema

insentif bagi para pemangku kepentingan (stakeholders) untuk

mengawasi aliran dana REDD. Pendanaan studi dan pengembangan

kerangka fiskal dan insentif yang terintegrasi ini adalah salah satu

bidang potensial bagi sumber dana Jerman.

Ke empat, berikan dukungan kebijakan dan lakukan investasi dengan memperkuat kerangka institusi dan peraturan untuk meningkatkan pasokan energi terbarukan di Indonesia. Potensi energi terbarukan

Indonesia begitu besar. Tetapi pengambilan pasokan energi

terbarukan terjadi sangat lambat karena berbagai masalah struktural

yang menyangkut sektor pengadaan listrik, masalah iklim investasi,

dan kurangnya kemampuan teknis dalam memajukan sumber-

sumber energi hijau (green energy).

Sejak 1990an, Jerman telah memulai program ambisius untuk

mengembangkan produksi energi terbarukan dalam skala besar.

Bantuan dalam penerapan kebijakan dan keahlian teknis dapat

buku-2-pruf-4.indd 120 3/6/2011 11:41:23 PM

Page 123: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

121

diberikan pada pemerintah untuk mengambil sari pelajaran dengan

konteks Indonesia. Salah satu bidang pembahasan yang penting

adalah mengadopsi Feed in Tariffs (FITs) untuk memfasilitasi

proyek-proyek energi terbarukan seperti energi geothermal dan

membuat proyek-proyek itu menarik secara finansial bagi investor.

Hal ini membutuhkan koordinasi kebijakan yang rumit, dan para

ahli Jerman akan dapat memberikan masukan yang bermanfaat.

Ke lima, berbagi dengan para ahli teknis Jerman dalam pengembangan perusahaan skala kecil dan menengah, dan menghubungkannya dengan proyek-proyek energi terbarukan di daerah pedalaman. Pasokan

energi dari daerah terpencil di Indonesia, pada tatanan tertentu,

akan bergantung pada produsen energi non-jaringan berskala kecil

berbasis komunitas. Jerman memiliki banyak pengalaman dalam

mengembangkan pertumbuhan usaha berskala kecil dan menengah

di Indonesia. Jerman dan GTZ juga berpengalaman mengembangkan

sejumlah proyek micro-hydropower. Menghubungkan dua masalah

ini dengan, misalnya, berinvestasi di sektor finansial domestik

untuk penilaian dan pengembangan skema green micro-finance,

akan menjadi lahan investasi yang menjanjikan.

Ke enam, berikan dukungan kebijakan dan bantuan teknis dalam membangun kapasitas domestik untuk pendanaan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur adalah

tantangan utama mencapai tujuan mitigasi dan adaptasi. Tanpa

investasi memadai untuk membangun infrastruktur ‘hijau’ (green infrastructure)- seperti instalasi pembangkit energi geothermal

buku-2-pruf-4.indd 121 3/6/2011 11:41:23 PM

Page 124: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

122

atau sistem transportasi cepat massal- Indonesia akan berada di

posisi buruk untuk dapat mengsukseskan pertumbuhan rendah

karbon. Jaminan dan pembagian resiko, dan mekanisme mitigasi

juga penting untuk memberikan insentif tambahan bagi investor

yang menanamkan uangnya dalam proyek-proyek tersebut.

Serangkaian fasilitas ini dapat dibangun dengan mendirikan

lembaga LEDFF (Low- Emission Development Financing Facility)

seperti usulan Dewan Nasional Perubahan Iklim DNPI dan United Nations Framework Convention on Cimate Change UNFCCC (2009).

IGIF (Indonesian Green Investment Fund) di bawah Kementrian

Keuangan didirikan pada tahun 2009 untuk memenuhi fungsi itu.

Para ahli teknis Jerman akan membantu pemerintah dalam menarik

minat sumber-sumber swasta dan berbasis pasar untuk pendanaan

program/ proyek pembangunan emisi rendah.

Ke tujuh, jaga hubungan baik dan berikan dukungan kebijakan untuk reformasi ekonomi dan pemerintahan secara menyeluruh di Indonesia, berdasarkan kebutuhan yang digerakkan oleh pemangku kepentingan domestik. Seperti yang terjadi

di banyak negara, reformasi pembangunan ekonomi dan rendah

karbon adalah proses yang berlangsung terus-menerus. Proses itu

juga rumit, dan sulit diimplementasikan dalam urutan yang benar,

dan juga membutuhkan ketelitian dalam pengkajiannya. Dialog

melalui kebijakan yang transparan dan jujur adalah cara yang

paling tepat untuk mencapai tujuan itu.

buku-2-pruf-4.indd 122 3/6/2011 11:41:23 PM

Page 125: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

123

Referensi:

Asian Development Bank 2009, The Economics of Climate Change in Southeast Asia: a Regional Review, Manila.

ADB and ADBI, 2009. “ Infrastructure for a Seamless Asia.” Asian Development Bank, Manila, and Asian Development Bank Institute, Tokyo.

Ahmad, Mubariq (2010). “Turning Climate Change into Opportunity: Indonesia’s Strategy Toward Low Carbon Economy.” Draft Working Paper, World Bank Jakarta, Environment Unit: Jakarta

Ahmad, Mubariq (2010a). “Ekonomi Perubahan Iklim.” In: Prisma Vol.29, No.2, April 2010

Ahmad Mubariq (2010b).Low Carbon Economy Scenarios: Results of Dynamic IR-CGE Model Simulations in Comparison with Baseline. Presentation to the Fiscal Policy Office: Jakarta

BAPPENAS (Indonesian National Planning and Development Agency). 2009. National Medium Term Development Program for 2009-2014.

DNPI (Indonesian National Climate Change Council) (2009). “Indonesia’s Greenhouse Gas Abatement Cost Curve. “ DNPI: Jakarta.

DNPI (Indonesian National Climate Change Council) and UNFCCC (2009). “

National Economic, Environment and Development Study (NEEDS). Indonesia Country Study.” Final Report, December 2009: Jakarta

Dethier, Jean-Jacques, Maximillian Hirn, Stephanie Straub (2010). ‘Explaining enterprise performance in developing countries with business climate

buku-2-pruf-4.indd 123 3/6/2011 11:41:23 PM

Page 126: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

124

survey data.” In: The World Bank Research Observer Advance Access published September 2, 2010.

Ellerman et al 2010 carbon finance http://www.caissedesdepots.fr/en/news/all-the-news/half-year-2009-2010-sales-up-10-on-a-reported-basis-03-like-for-like/pricing-carbon-the-book-of-reference-presentation.html

Garnaut, Ross, Stephen Howes, Frank Jotzo and Peter Sheenan. 2008. “ Emissions in the Platinum Age: The Implications of Rapid Development for Climate Change Mitigation.” In: Oxford Review of Economic Policy, Volume 24, Number2, 2008, pp.377-401.

Garnaut, Ross. 2008. “ The Garnaut Climate Change Review. “ Cambridge University Press: Cambridge.

Helm, Dieter, and Cameron Hepburn.2009. “ The Economics and Politics of Climate Change.” Oxford University Press: Oxford

IMF. 2008. “The Fiscal Policy Implications of Climate Change.” Paper prepared by the Fiscal Affairs Department, February 22, 2008. IMF: Washington D.C. www.imf.org/external/np/pp/eng/2008/022208.pdf

International Energy Agency. 2008. “Energy Policy Review of Indonesia.” OECD/IEA: Paris

International Energy Agency (IEA). 2009. “ Sectoral Approaches in Electricity – Building Bridges to a Safe Climate.” IEA/OECD: Paris

Ministry of Environment (2007). “ National Action Plan For Climate Change.”

Ministry of Environment and BPPT (2009). “ Indonesia’s Technology Needs Assessment on Climate Change.”

Ministry of Environment 2009. “ Second National Climate Change Communication.”

buku-2-pruf-4.indd 124 3/6/2011 11:41:23 PM

Page 127: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

125

Ministry of Finance (2009). “ Green Paper on Economic and Fiscal Policy Options For Climate Change Mitigation.

OECD/IEA (2009). “World Energy Outlook 2009.” OECD/IEA; Paris. Resosudarmo, Budi (2009). “IRSA-INDONESIA 5.” Presentation at World Bank

Office Jakarta.

Stern, Nicholas Herbert (2007). “ The Economics of Climate Change: The Stern Review.” Great Britain Treasury, 2007.

World Bank (2006). “ Sustaining Economic Growth, Rural Livelihoods, and Environmental Benefits – Strategic Options for Forest Assistance.” World Bank: Jakarta

World Bank. 2007. “Spending for Development: Making the Most of Indonesia’s New Opportunities.” World Bank Office Jakarta.

World Bank (2009). “ Low Carbon Growth Country Studies – Getting started. Experience From Six Countries.” ESMAP Brief.

World Bank (2009a). “ Climate Change and the World Bank Group. Phase 1: an Evaluation of World Bank Win-Win Energy Policy Reforms.” The World Bank: Washington D.C.

World Bank (2010a). Indonesia: Climate Change Policy Loan. World Bank Jakarta Memorandum Document. April 2010

World Bank (2010b). “Doing Business 2010.” Downloaded from http://www.doingbusiness.org/~/media/FPDKM/Doing%20Business/Documents/Annual-Reports/English/DB10-FullReport.pdf. World Bank: Washington D.C.

World Bank 2010c, World development report 2010: development and climate change, Oxford University Press, New York

buku-2-pruf-4.indd 125 3/6/2011 11:41:24 PM

Page 128: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

buku-2-pruf-4.indd 126 3/6/2011 11:53:15 PM

Page 129: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

PengantarPerubahan Iklim IGG Maha Adi

KERTAS KEBIJAKAN

C

M

Y

CM

MY

CY

CMY

K

FA_rev_3_Pengantar Perubahan_cover_BW.pdf 1 3/7/11 9:25 AM

Page 130: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

buku-3-pruf-4.indd 128 3/6/2011 11:32:08 PM

Page 131: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

Pengantar Perubahan Iklim

IGG Maha Adi

buku-3-pruf-4.indd 129 3/6/2011 11:32:08 PM

Page 132: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

Pengantar Perubahan Iklim

Penulis: IGG Maha Adi

Desain cover & tata letak: Freshwater Communication

Dicetak di Indonesia.Penerbit: Friedrich-Naumann-Stiftung für die Freiheit, Indonesia

Hak cipta dilindungi oleh undang-undang.Dipersilakan mengutip atau memperbanyak sebagian isi buku ini

dengan seizin tertulis dari penulis dan/atau penerbit.

Indeks

Copyright © 2010.

Friedrich-Naumann-Stiftung für die FreiheitJl. Rajasa II No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta 12110

Tel.: 62-21-7256012-13Fax: 62-21-7203868

E-mail: [email protected]

buku-3-pruf-4.indd 130 3/6/2011 11:32:08 PM

Page 133: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

131

TAHUN 2005, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia menerbitkan

laporan State of the World’s Forest dan menempatkan Indonesia di

urutan ke delapan negara yang memiliki hutan terluas di dunia,

tetapi dengan tingkat deforestasi 1,8 juta ha per tahun atau 2

persen setiap tahun, antara periode 2000-2005. Sektor kehutanan

juga menjadi penyumbang emisi gas-gas rumah kaca (GRK) terbesar

di Indonesia, dengan 64% dari total emisi. Kajian terhadap emisi dari

lahan gambut menunjukkan data yang lebih tinggi, sebagaimana

dinyatakan dalam studi oleh Wetlands International dan University

of Greifswald pada tahun 2008, dimana Indonesia mengemisikan

500 juta ton gas-gas rumah kaca dari lahan gambut pertahun, atau

yang tertinggi di dunia di atas Uni Eropa (173 juta ton) dan Rusia

(151 juta ton)

Dari sektor eksploitasi dan konsumsi energi, emisi yang

dilepaskan mencapai 9% atau sebesar 275 Mton CO2e dari total

Ringkasan Eksekutif

buku-3-pruf-4.indd 131 3/6/2011 11:32:08 PM

Page 134: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

132

emisi GRK Indonesia pada tahun 2005 yang mencapai 3,014 Mton

CO2e. Tetapi, pemakaian energi meningkat rata-rata 7% setiap

tahun, dan tahun 2007, misalnya, lebih dari 75% masyarakat

Indonesia mengkonsumsi energi berbasis fosil, yaitu minyak bumi,

gas, dan batubara. Bila tidak diikuti program pengurangan emisi,

maka dalam skenario normal sampai tahun 2030, sumber emisi

utama akan didominasi sektor transportasi, industri, dan pembangkit

listrik dengan persentase rata-rata 20% yang merupakan implikasi

langsung dari transisi menuju negara industri maju.

Hasil kajian ADB tentang dampak perubahan iklim di Asia

Tenggara menyimpulkan bahwa kawasan ini mempunyai peranan

penting dalam pengurangan emisi gas rumah kaca global di masa

mendatang. Dalam skenario emisi tinggi, suhu tahunan rata-rata

di empat negara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam—

diperkirakan meningkat rata-rata 4,8°C sampai tahun 2100 dari

tingkat suhu rata-rata pada tahun 1990; permukaan laut dunia

rata-rata diperkirakan meningkat 70 sentimeter selama periode yang

sama, dengan konsekuensi yang mengerikan bagi kawasan ini; dan

Indonesia, Thailand, serta Vietnam diperkirakan akan mengalami

cuaca yang lebih kering dalam 2–3 dekade mendatang.

Biaya rata-rata perubahan iklim untuk empat negara di Asia

Tenggara—jika dunia terus “melakukan kegiatan seperti biasanya”

dan jika semua dampak pasar dan bukan pasar dan resiko bencana

buku-3-pruf-4.indd 132 3/6/2011 11:32:08 PM

Page 135: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

133

besar dipertimbangkan—akan sama dengan hilangnya 6,7% Produk

Domesik Bruto (PDB) setiap tahunnya hingga tahun 2100. Kerugian

ini lebih dari dua kali lipat dari angka kerugian rata-rata di tingkat

global. Hingga akhir abad ini, biaya ekonomi secara keseluruhan

per tahun rata-rata dapat mencapai 2,2% dari PDB jika hanya

dampak pasar yang dipertimbangkan; jika dampak non-pasar ikut

dihitung maka bisa mencapai 5,7% dari PDB; dan bisa naik hingga

6,7% dari PDB jika risiko-risiko bencana besar ikut dihitung. Hal

ini terjadi karena keempat negara termasuk Indonesia, memiliki

garis pantai yang relatif panjang, konsentrasi populasi yang tinggi

di daerah pesisir, ketergantungan yang tinggi akan pertanian dan

sumber daya alam, kapasitas adaptasi yang relatif rendah, dan

kebanyakan memiliki iklim tropis dibandingkan negara-negara lain

di dunia. Dengan stabilisasi gas rumah kaca pada tingkat 450–550

ppm, biaya ekonomi secara keseluruhan karena pemanasan global

menjadi jauh lebih rendah.

buku-3-pruf-4.indd 133 3/6/2011 11:32:08 PM

Page 136: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

134

PENGARUH manusia terhadap perubahan iklim global telah dilaporkan berbagai penelitian sejak paruh pertama abad ke-20. Pengaruh tersebut semakin kuat berdasarkan berbagai penelitian dari sampel di seluruh dunia. Salah satu laporan Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) tahun 1990, mempertegas menguatnya pengaruh aktivitas manusia tersebut. Saling terhubung sebagai satu kesatuan iklim global, maka perubahan iklim akan mempengaruhi semua negara dan kawasan di dunia, namun dengan dampak yang berbeda-beda tergantung posisi geografis, program mitigasi dan tingkat adaptasi yang dilakukan.

Tahun 2004 Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto yang memberi kesempatan kepada pemerintah untuk membenahi pendataan iklim secara nasional, serta mendapatkan berbagai skema insentif sesuai yang diatur dalam protokol. Namun, meskipun kewajiban negara-negara industri maju untuk menurunkan emisinya bersifat mengikat, laju kenaikan emisi gas rumah kaca ternyata tidak dapat

Pengantar

buku-3-pruf-4.indd 134 3/6/2011 11:32:09 PM

Page 137: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

135

ditekan, bahkan dampak perubahan iklim menyebabkan kerugian yang sangat tinggi di berbagai belahan dunia.

Hasil kajian Panel Antar-pemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC) tahun 2007 misalnya, menunjukkan 11 dari 12 tahun terpanas sejak tahun 1850 terjadi dalam waktu kurun 12 tahun terakhir. Kenaikan temperatur total dari tahun 1850-1899 sampai dengan tahun 2001-2005 adalah 0,76°C. Muka air laut rata-rata global telah meningkat dengan laju rata-rata 1,8 mm per-tahun dalam rentang waktu antara tahun 1961 sampai 2003. Kenaikan total permukaan air laut yang berhasil dicatat pada abad ke-20 diperkirakan 0,17 m. Laporan IPCC juga menyatakan bahwa kegiatan manusia ikut berperan dalam pemanasan global sejak pertengahan abad ke-20. Pemanasan global akan terus meningkat dengan percepatan yang lebih tinggi pada abad ke-21 apabila tidak ada upaya penanggulangannya.

Indonesia memiliki karakteristik geografis dan geologis yang sangat rentan terhadap perubahan iklim, karena merupakan negara kepulauan dengan sekitar 17.500 pulau besar dan kecil, memiliki garis pantai sepanjang 81.000 kilometer atau terpanjang di dunia, daerah pantai yang luas dan besarnya populasi penduduk yang tinggal di daerah pesisir, memiliki hutan yang luas namun sekaligus menghadapi ancaman kerusakan hutan, rentan terhadap bencana alam, dan kejadian cuaca ekstrim, memiliki tingkat polusi yang tinggi di daerah urban, memiliki ekosistem yang rapuh seperti area pegunungan dan lahan gambut, serta kegiatan ekonomi yang masih sangat menggantungkan diri pada bahan bakar fosil dan

buku-3-pruf-4.indd 135 3/6/2011 11:32:09 PM

Page 138: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

136

produk hutan, serta memiliki kesulitan untuk beralih ke bahan bakar alternatif yang lebih ramah lingkungan.

Data kejadian bencana yang dicatat dalam the OFDA (Office of US Foreign Disaster Assistance)/ CRED (Center for Research on Environmental Decisions) International Disaster Database mengungkapkan sepuluh kejadian bencana terbesar di Indonesia yang terjadi dalam periode waktu antara tahun 1907 dan 2007, terjadi setelah tahun 1990-an dan sebagian besar merupakan bencana yang terkait dengan iklim, khususnya banjir, kekeringan, kebakaran hutan, dan epidemi penyakit. Hal ini menunjukkan bahwa kejadian bencana terkait iklim mengalami peningkatan baik dari sisi frekuensi maupun intensitasnya. Kerugian ekonomi yang ditimbulkan oleh 10 bencana terbesar tersebut mencapai hampir 26 miliar dolar dan sekitar 70% merupakan kerugian akibat bencana yang terkait dengan iklim.

Pada sisi lain, hutan Indonesia sebagai penyimpan karbon terbesar, masih mengalami laju deforestasi yang cukup tinggi, peningkatan pemakaian bahan bakar minyak dan batubara sebagai energi utama dalam pembangunan, penundaan implementasi program energi ramah lingkungan, serta laju konversi hutan menjadi peruntukan lain, semakin memperparah dampak negatif perubahan iklim terhadap Indonesia.

Seluruh uraian di atas menunjukkan bahwa upaya sistematis dan integratif untuk memperlambat laju pemanasan global bersama masyarakat dunia, disertai upaya meningkatkan ketahanan terhadap perubahan iklim, sudah merupakan suatu keharusan.

buku-3-pruf-4.indd 136 3/6/2011 11:32:09 PM

Page 139: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

137

A. Deforestasi

HUTAN menutupi 30% daratan bumi, dan hutan mewakili 77%

stok karbon yang tersimpan di dalam seluruh vegetasi dan 39% dari

seluruh karbon yang tersimpan di dalam tanah. Hutan menyimpan

karbon dua kali lipat jumlah karbon di atmosfer, dan hutan tropis

adalah penyimpan karbon paling besar, setara dua kali lipat dari

hutan jenis lainnya.

Berdasarkan data Departemen Kehutanan, luas kawasan

hutan Indonesia pada tahun 2007 adalah 120,35 juta ha dengan

komposisi: Hutan Produksi 48%, Hutan Konservasi 17%, Hutan

Lindung 28%, Hutan Produksi Konversi 7%. Dari luasan tersebut,

53,9 juta ha diantaranya terdegradasi dengan berbagai tingkatan,

yang tersebar pada Hutan Konservasi (11,4 juta ha), Hutan Lindung

(17,9 juta ha), dan Hutan Produksi (24,6 juta ha). Diyakini pula,

Isu-isu Utama1

buku-3-pruf-4.indd 137 3/6/2011 11:32:09 PM

Page 140: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

138

bahwa tahun 2009 sekitar 42 juta ha hutan sudah gundul atau

habis ditebang.1

Tahun 2005, Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO)

menerbitkan laporan State of the World’s Forest dan menempatkan

Indonesia di urutan ke delapan negara yang memiliki hutan

terluas di dunia, tetapi dengan tingkat deforestasi 1,8 juta ha

pertahun atau 2 persen setiap tahun, antara periode 2000-2005.

Laju kerusakan ini adalah yang kedua tercepat di dunia saat itu,

di bawah Brasil.2 Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) pada

tahun 2007 melakukan interpretasi citra Landsat7 ETM+, dengan

menggunakan data pemotretan citra satelit tahun 2004 – 2006

yang digeneralisasi menjadi data tahun 2005, menunjukan bahwa

tutupan hutan pada seluruh region di Indonesia menjadi sekitar 83

juta hektar. Walaupun dengan catatan, masih ada sekitar 33 juta

hektar yang belum dapat diidentifikasi sebagai hutan maupun non-

hutan karena areanya tertutup oleh awan.

Hutan tropis merupakan stok karbon (carbon stock) terbesar

di bumi, dan tiap satu hektare rata-rata menyimpan karbon 200

t CO2 ha-1 tahun-1, bahkan hutan gambut kedalaman 1 meter

dapat menyimpan karbon 600 metrik ton, dibandingkan dengan

1 http://www.antaranews.com/berita/1264315996/menhut-42-juta-ha-hutan-indonesia-gundul

2 Food and Agriculture Organization of the United Nations.2007. State of the World’s Forest 2007. Rome,Italy.

buku-3-pruf-4.indd 138 3/6/2011 11:32:09 PM

Page 141: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

139

kebun kelapa sawit 9-18 t CO2 ha-1 tahun-1. Dengan demikian,

konversi lahan gambut di Indonesia akan menyebabkan dampak

yang sangat penting bagi iklim dunia, karena luasnya mencapai

56% dari total luas gambut di dunia. 3

Kondisi tutupan hutan di pulau Kalimantan dan Papua

memiliki kecenderungan menurun dari tahun ke tahun, sedangkan

di kawasan lainnya tutupan hutan mengalami penurunan maupun

peningkatan luas. Walaupun demikian, ada beberapa faktor yang

dapat mempengaruhi penghitungan di atas, seperti besar-kecilnya

data yang tidak dapat diolah karena tertutup awan serta perbedaan

metode yang digunakan dalam melakukan analisis. Sejauh ini, data

hasil interpretasi citra satelit tahun 2003 masih menjadi acuan

penghitungan tutupan hutan dan menjadi sumber data resmi yang

digunakan di Departemen Kehutanan.4 Penyumbang emisi GRK

terbesar di Indonesia adalah sektor kehutanan sebesar 64% dari

total emisi.5

Namun beberapa sumber menyatakan bahwa tingkat

deforestasi di Indonesia menurun selama satu dekade terakhir.

Data NGO World Growth menyebut pengurangan itu dari 1,7%

per tahun selama dekade 1990-an menjadi sekitar 0,5% per tahun

3 Singleton, Ian. 2008. Dampak Lingkungan Akibat Pembangunan Kelapa Sawit. PanEco/ Yayasan Ekosistem Lestari.

4 Forest Watch Indonesia. 2009. Perkembangan Tutupan Hutan Indonesia. http://fwi.or.id/.

5 WWF Indonesia. 2008. Perubahan Iklim, Bisakah Dicegah? Bandung.

buku-3-pruf-4.indd 139 3/6/2011 11:32:09 PM

Page 142: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

140

dalam periode 2000-2010, sedangkan Kementerian Lingkungan

Hidup mencontohkan penurunan itu terjadi dari 2 juta hektare

per tahun pada 2007 menjadi 1,02 juta ha per tahun pada 2008.6

Kementerian Lingkungan Hidup juga mengungkapkan 72,5 juta ha

hutan harus dipertahankan dari pembalakan dan konversi, sesuai

kebijakan presiden untuk melakukan moratorium hutan alam dan

gambut, peraturan kehutanan seperti kawasan konservasi, hutan

lindung, hutan produksi dengan kelerengan lahan lebih dari 40° dan

peraturan penataan ruang.7 Dalam 72,5 juta ha termasuk lebih

dari 28 juta kawasan berstatus hutan produksi, yang didalamnya

terdapat 6,2 juta ha lahan gambut. Selain itu, juga terdapat 21,5

juta ha lebih berupa hutan primer. Keberadaan sejumlah lahan

gambut dan hutan primer juga ditemukan dalam kawasan areal

penggunaan lain sehingga ada 4,7 juta ha hutan areal penggunaan

lain yang juga harus dipertahankan.

Dalam dokumen nota kesepahaman (letter of intent) antara Pemerintah Indonesia dengan Pemerintah Norwegia yang

ditandatangani pada 26 Mei 2010, disebutkan bahwa penghentian

pengeluaran izin baru konversi hutan alam dan gambut ditetapkan

selama dua tahun, dan dimulai pada 1 Januari 2011. Dokumen itu

juga menyebutkan bahwa program uji coba provinsi REDD Plus

(Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation)

6 Dimuat di berbagai media massa, antara lain lihat di http://sains.kompas.com/read/2010/06/23/02274636/Luas.Hutan.Harus.68.Persen

7 Idem

buku-3-pruf-4.indd 140 3/6/2011 11:32:09 PM

Page 143: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

141

yang pertama dimulai pada Januari 2011, yang dilanjutkan uji coba

REDD plus untuk provinsi kedua pada 2012. Mulai Januari 2011

juga telah dioperasionalkan instrumen pendanaan oleh pemerintah

Norwegia sebesar 200 juta dolar AS sampai 2014.8

B. Konversi Lahan Gambut

GAMBUT merupakan tanah hasil akumulasi timbunan bahan

organik dengan komposisi lebih dari 65% (enam puluh lima prosen)

yang terbentuk secara alami dalam jangka waktu ratusan tahun dari

lapukan vegetasi yang tumbuh di atasnya yang terhambat proses

dekomposisinya karena suasana anaerob dan basah. Indonesia

memiliki luas lahan gambut sekitar 20,6 juta ha atau 10,8%

dari total luas daratan dan sebagian besar tersebar di Sumatera,

Kalimantan dan Papua. Lahan gambut hanya meliputi 3% dari luas

daratan di seluruh dunia, namun menyimpan 550 Gigaton Karbon

atau setara dengan 30% karbon tanah, 75% dari seluruh karbon

atmosfir, setara dengan seluruh karbon yang dikandung biomassa

(massa total makhluk hidup) daratan dan setara dengan dua kali

simpanan karbon semua hutan di seluruh dunia.9 Situs Scientific

American mengklaim kemampuan gambut menyimpan karbon total

mencapai 500 miliar metriks ton atau dua kali lipat dibandingkan

8 http://www.antaranews.com/berita/1281445152/menhut-tegaskan-moratorium-hutan-mulai-2011.

9 Agus, Fahmudin dan I.G. Made Subiksa. 2008. Lahan Gambut: Potensi untuk Pertanian dan Aspek Lingkungan. Balai Penelitian Tanah, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Bogor.

buku-3-pruf-4.indd 141 3/6/2011 11:32:09 PM

Page 144: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

142

total penyimpanan oleh seluruh jenis hutan yang ada di bumi.

Gas-gas rumah kaca utama yang keluar dari lahan gambut adalah

karbon dioksida (CO2), metana (CH4), dan nitrogen oksida (N2O).

Keberadaan air merupakan kunci kemampuan ekosistem

gambut menyimpan karbon. Proses pembusukan dan penguraian

bahan-bahan organik di lahan gambut berlangsung sangat lambat

karena prosesnya berlangsung nir-oksigen (anaerob). Karena

kecepatan oksigen di air melambat sampai 10 ribu kali dibandingkan

di udara, maka proses pelapukan zat organik berlangsung sangat

lama. Tetapi, sekali saja gambut dikeringkan airnya, maka

mikroorganisme dengan cepat akan membusukkan semua bahan

organik, sehingga mereka menghasilkan karbon sebagai dampak

sampingan proses situ. Karena bahan organik gambut tersedia

sangat melimpah, maka gambut akan menjadi emiter terbesar gas

rumah kaca.10 Restorasi sistem drainase hutan gambut sangat

penting, karena akan berfungsi mengulangi proses penyimpanan

karbon oleh gambut.

Ekosistem lahan gambut sangat penting dalam sistem

hidrologi kawasan hilir suatu daerah aliran sungai (DAS), karena

mampu menyerap air sampai 13 kali lipat dari bobotnya. Dalam

keadaan hutan alami, lahan gambut berfungsi sebagai penambat

10 Lihat http://www.scientificamerican.com/article.cfm?id=peat-and-repeat-rewetting-car-bon-sinks, diunduh tanggal 17 Agustus 2010, pkl. 17.00 wib.

buku-3-pruf-4.indd 142 3/6/2011 11:32:09 PM

Page 145: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

143

(sequester) karbon, sehingga berkontribusi dalam mengurangi gas

rumah kaca di atmosfer, walaupun proses penambatan berjalan

sangat pelan setinggi 0-3 mm gambut per tahun (Parish et al., 2007) atau setara dengan penambatan 0-5,4 t CO2 ha-1 tahun-1.

Apabila hutan gambut ditebang dan didrainase, maka karbon

tersimpan pada gambut mudah teroksidasi menjadi gas karbon

dioksida, salah satu gas rumah kaca terpenting. Selain itu lahan

gambut juga mudah mengalami penurunan permukaan (subsiden)

apabila hutan gambut dibuka. Oleh karena itu diperlukan kehati-

hatian dan perencanaan yang matang apabila mengkonversi hutan

gambut.

Karena variabilitas lahan gambut sangat tinggi, baik dari

segi ketebalan gambut, kematangan maupun kesuburannya, tidak

semua lahan gambut layak untuk dijadikan areal pertanian. Dari

20,6 juta ha lahan gambut di pulau-pulau utama Indonesia, hanya

sekitar 6 juta ha yang layak untuk pertanian. Kerusakan ekosistem

gambut akan berdampak besar terhadap lingkungan setempat (in situ) maupun lingkungan sekelilingnya (ex situ). Kejadian banjir di

hilir DAS merupakan salah satu dampak dari rusaknya ekosistem

gambut. Sesuai dengan Keputusan Presiden No. 32 tahun 1990

tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, lahan gambut dengan

ketebalan lebih dari 3 meter ditetapkan sebagai kawasan konservasi.

Tahun 2009 Menteri Pertanian menerbitkan Peraturan Menteri

Pertanian No.14/Permentan/PL-120/2/2009 tentang Pedoman

Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit, yang

melarang konversi gambut tebal di atas tiga meter dan gambut

buku-3-pruf-4.indd 143 3/6/2011 11:32:09 PM

Page 146: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

144

mentah. Namun dengan berbagai peraturan yang ada, menurut

studi yang dilakukan Wetlands International dan University of

Greifswald, pada tahun 2008 Indonesia mengemisikan 500 juta

ton gas-gas rumah kaca dari lahan gambut pertahun, atau yang

tertinggi di dunia, di atas Uni Eropa (173 juta ton) dan Rusia (151

juta ton). 11

Rank CountryAnnual CO2 emissions[8][9]

(in thousands of metric tons)

Percentage

of global total

World 29,321,302 100%

1 China 6,538,367.00 22.30%

2 United State 5,838,381.00 19.91%

3 India 1,612,362.00 5.50%

4 Russia 1,537,357.00 5.24%

5 Japan 1,254,543.00 4.28%

6 Germany 787,936.00 2.69%

7 Canada 557,340.00 1.90%

8 United Kingdom 539,617.00 1.84%

11 Wetlands International.2009. Global Peatland CO2 Picture: Peatland status and drainage related emissions in all countries of the world (updated August, 2009). Wageningen, Netherlands.

buku-3-pruf-4.indd 144 3/6/2011 11:32:10 PM

Page 147: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

145

9 South Korea 503,321.00 1.72%

10 Iran 495,987.00 1.69%

11 Mexico 471,459.00 1.61%

12 Italy 456,428.00 1.56%

13 South Africa 433,527.00 1.48%

14 Saudi Arabia 402,450.00 1.37%

15 Indonesia 397,143.00 1.35%

Gambar 1. Daftar negara-negara emiter terbesar dunia tahun 2007 (Sumber: CDIAC untuk PBB, 2008)

Gambar 2. Emisi dari sektor kehutanan manjadi sumber emisi ketiga terbesar di dunia. Sepuluh negara menjadi penyumbang 80% emisi dari sektor kehutanan, dan dua negara yaitu Brasil dan Indonesia menyumbangkan lebih dari 50% emisi tersebut (Sumber: World Resources Institute/CAIT, 2007).

buku-3-pruf-4.indd 145 3/6/2011 11:32:11 PM

Page 148: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

146

C. Konsumsi Energi

SEBAGAI bentuk komitmen yang tinggi terhadap penurunan emisi

gas-gas rumah kaca, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden

No.5 tahun 2005 tentang Kebijakan Energi Nasional. Beleid ini,

antara lain, memberikan wewenang kepada Dewan Energi Nasional

(DEN) untuk menyusun cetak biru energi yang akan dipakai

pemerintah Indonesia untuk menetapkan berbagai kebijakan energi

di masa mendatang. Dalam Perpres tersebt diatur pula bauran

energi (mix energy) nasional tahun 2025, yang menetapkan batas

penggunaan minyak bumi kurang dari 20%.

Pada dekade 1970-an Indonesia merupakan salah satu

produsen minyak bumi yang diperhitungkan dunia, dan bergabung

sebagai anggota Negara-negara Eksportir Minyak Bumi (OPEC).

Indonesia menikmati kenaikan harga minyak mentah dunia pada

era 1970-an dan rata-rata mampu memproduksi 1,3 juta barel

perhari, tetapi terus menurun hingga mencapai rata-rata 900

ribu barel perhari. Tahun 2004, jumlah impor mulai lebih besar

dibandingkan jumlah ekspor, yaitu rata-rata ekspor 400 ribu barel,

dibandingkan volume impor sekitar 500 ribu barel. Karena volume impor melebihi produksi dalam negeri serta ekspor, maka sejak tahun 2004 Indonesia telah menjadi net-oil importer.

Tahun 2003 batas konsumsi BBM 60 juta kiloliter atau setara satu juta barel per hari (bph) tercapai, sedangkan produksi total BBM sekitar 0,8 juta bph sedangkan sisanya merupakan produk

buku-3-pruf-4.indd 146 3/6/2011 11:32:11 PM

Page 149: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

147

non BBM (pelumas, LPG, bahan baku petrokimia, dan sebagainya). Jadi sekitar 20% dari BBM yang digunakan di dalam negeri berasal dari impor. Jika sektor minyak bumi dan sektor BBM digabung, Indonesia defisit 12 juta KL (20% kali 60 juta KL). Untuk menutup defisit ini, paling tidak produksi minyak bumi Indonesia harus ditingkatkan menjadi 1,25 juta bph. Sementara itu, permintaan BBM akan masih terus tumbuh, apalagi jika harga BBM tetap relatif lebih murah dari energi alternatifnya, sehingga penggunaan BBM secara besar-besaran tidak dapat dihindarkan.12

Data yang disajkan dalam laporan tentang perubahan iklim di Indonesia tahun 2007 menunjukkan, sektor energi hanya menyumbang 9% atau sebesar 275 Mton CO2e dari total emisi GRK Indonesia pada tahun 2005 sebesar 3.014 Mton CO2e. Tetapi, pemakaian energi meningkat rata-rata 7% setiap tahun, dan tahun 2007, misalnya, lebih dari 75% masyarakat Indonesia mengkonsumsi

energi berbasis fosil, yaitu minyak bumi, gas, dan batubara.13

Peningkatan konsumsi energi berbasis fosil itu, diperkirakan

akan meningkatkan emisi sampai 3 (tiga) kali lipat dan menjadi

sektor penyumbang emisi GRK terbesar di Indonesia.14 Tanpa

adanya usaha-usaha diversifikasi dan konservasi energi, emisi GRK

dari sektor pembangkit pada tahun 2025 akan naik menjadi enam

12 http://dbm.djmbp.esdm.go.id/old/portal-dpmb/modules/_news/news_detail.php13 Maritje, Hutapea. 2009. Energy and Climate Change in Indonesia. Paper presented at

Workshop on Climate Change and Energy, Bangkok, 26-27 March, 2009.14 PEACE.2007. Indonesia and Climate Change: Working Paper on Currenct Status and

Policies. Jakarta, March 2007.

buku-3-pruf-4.indd 147 3/6/2011 11:32:11 PM

Page 150: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

148

kali lipat dari emisi GRK pada saat ini, menjadi sebesar 2.167 juta

ton CO2e. Sedangkan dengan asumsi usaha-usaha diversifikasi dan

konservasi energi berjalan sesuai dengan rencana, emisi GRK dari

sektor energi pada tahun 2025 akan naik 3 (tiga) kali lipat dari

emisi GRK saat ini, yaitu sebesar 1.100 juta ton CO2e.15

D. Penataan Ruang

KESALAHAN dalam penataan ruang, baik di tingkat nasional

maupun daerah dapat menyebabkan meningkatnya kerentanan

terhadap dampak perubahan iklim. Banyak alih fungsi hutan lindung

menjadi perumahan di tepi pantai, dapat mengancam kawasan

pantai itu menjadi lebih rentan terhadap gelombang laut.

Gambar 3. Skenario normal konsumsi berbagai jenis energi di Indonesia sampai 2030

15 Lestari, Gita. 2007. Pengarusutamaan Isu Perubahan Iklim di Sektor Energi. http://lead.co.id/. Jakarta.

buku-3-pruf-4.indd 148 3/6/2011 11:32:12 PM

Page 151: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

149

Gambar 4. Sumber-sumber utama emisi gas rumah kaca pada skenario

normal sampai tahun 2030

Menurut dokumen RAN-PI (Rencana Aksi Nasional – Perubahan

Iklim), komposisi bauran energi (mix energy) yang diharapkan bisa

tercapai pada tahun 2025 sesuai dengan Peraturan Presiden No.5

Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional, adalah: minyak

bumi 20%, batu bara 33%, gas alam 30%, bahan bakar nabati

(biofuel) 5%, panas bumi 5%, sumber energi baru terbarukan

lainnya 5%, dan batu bara yang dicairkan (liquified coal) sebesar

2%. Tanpa melakukan upaya penurunan emisi, diperkirakan emisi

CO2 dari sektor energi di Indonesia bisa mencapai 1.200 juta Ton

pada tahun 2025. Dengan melakukan upaya diversifikasi sumber

energi (dengan target penggunaan energi baru dan terbarukan

sebesar 17% dari komposisi energi nasional) dan upaya konservasi,

buku-3-pruf-4.indd 149 3/6/2011 11:32:14 PM

Page 152: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

150

maka emisi CO2 ditargetkan bisa turun hingga 17% terhadap

skenario Business as Usual (BAU).16

Bila dilakukan maksimalisasi panas bumi hingga mencapai

8,4% dari energi nasional (melebihi target PERPRES yang sebesar

2%) emisi CO2 akan turun lebih jauh menjadi 20%. Sedangkan

penerapan teknologi Carbon Capture and Storage (CCS) pada sektor

pembangkit listrik akan mampu menekan emisi CO2 hingga 37%

pada tahun 2025.17

16 Laporan lengkap lihat, Kantor Menteri Negara Lingkungan Hidup.2007. Rencana Aksi Nasional Menghadapi Perubahan Iklim. Jakarta. Hal. 33-35.

17 Idem

buku-3-pruf-4.indd 150 3/6/2011 11:32:14 PM

Page 153: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

151

KEKHAWATIRAN dampak perubahan iklim mulai dibahas serius

oleh PBB pada Konferensi PBB untuk Lingkungan dan Pembangunan

(UNCED), atau lebih dikenal dengan Konferensi Tingkat Tinggi Bumi

(Earth Summit) di Rio de Janeiro, Brasil tahun 1992. Salah satu

pakta lingkungan yang dihasilkan oleh KTT Bumi adalah United

Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC),

dengan tujuan utama menstabilkan gas-gas rumah kaca di atmosfer

pada tingkat yang dapat mencegah dampak membahayakan dari

pengaruh manusia pada sistem iklim global.

Pada tahun-tahun awal pendiriannya, UNFCCC bersifat

legally non-binding, karena tidak mengatur adanya kewajiban

yang mengikat bagi negara-negara anggota untuk membatasi

emisi gas-gas rumah kaca pada tingkat tertentu, maupun untuk

menetapkan mekanisme pelaksanaannya. Mulai tahun 1995 para

pihak yang terlibat dalam UNFCCC bertemu secara teratur dalam

Regulasi Internasional2

buku-3-pruf-4.indd 151 3/6/2011 11:32:14 PM

Page 154: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

152

sebuah konferensi yang kelak dikenal dengan nama Conference on

Parties (COP).

COP-1 diadakan di Berlin, dan dalam konferensi ini negara-

negara industri maju sepakat untuk mengikatkan diri mereka

dengan kewajiban mengurangi emisi sampai tingkat tertentu

beserta tenggat waktu, dan didukung kebijakan serta ukuran-

ukuran yang jelas untuk memenuhi target tersebut. Kedua hasil

penting dari COP-1 inilah yang dikenal sebagai Berlin Mandate

(Mandat dari Berlin) yang akan menentukan negosiasi dalam

COP selanjutnya. Untuk menjawab skeptisisme yang menyatakan

bahwa perubahan iklim tidak memiliki basis sains yang dapat

dipertanggungjawabkan serta dipenuhi oleh ketidakpastian, maka

dalam COP-2 di Swiss, para menteri yang dari negara-negara yang

telah meratifikasi Berlin Mandate memperkuat komitmen mereka

dengan menandatangani Minister Declaration untuk menyatakan

bahwa perubahan iklim akibat dampak manusia telah terjadi, serta

dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.

Langkah bersejarah dalam negosiasi perubahan iklim global

terjadi pada COP-3 di Tokyo tahun 1997, ketika seluruh anggota

sepakat menandatangani sebuah protokol memuat kewajiban

setiap negara untuk memenuhi batas maksimal emisi gas-

gas rumah kaca, dan tenggat pelaksanaannya. Para pihak yang

menandatangani Protokol Kyoto dibagi dua yaitu negara-negara

industri maju yang digolongkan dalam Annex I dengan kewajiban

buku-3-pruf-4.indd 152 3/6/2011 11:32:14 PM

Page 155: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

153

memenuhi target emisi (legally binding), dan Annex B yang terdiri

dari negara-negara berkembang tanpa kewajiban mengikat.

Hal-hal pokok yang diatur Protokol Kyoto adalah: Kepastian

target emisi untuk setiap negara anggota, Kerangka umum

perdagangan karbon, dan Komitmen untuk mengadakan COP

selanjutnya yang diikuti penetapan sanksi bagi negara yang tidak

berhasil memenuhi target mereka. Sampai bulan Juli 1996, protokol

sudah diratifikasi oleh 164 pemerintah di seluruh dunia dan hampir

semua negara industri maju, kecuali oleh dua negara yaitu Amerika

dan Australia, yang sudah menandatangani protokol tetapi gagal

mendapatkan dukungan para wakil rakyat di dalam negeri untuk

meratifikasinya. Indonesia meratifikasi Protokol Kyoto tanggal

3 Desember 2004 pengesahan DPR RI terhadap Undang-Undang

No.17 tahun 2004 tentang Pengesahan Kyoto Protokol

Desain Protokol Kyoto sebenarnya ditujukan kepada target-

target di tingkat nasional, tetapi setiap anggota mempunyai tiga

mekanisme lain untuk mencapai targetnya melalui kerjasama

dengan negara lain, yaitu:

•Perdagangan Emisi Internasional (IET)

•Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM)

•Joint Implementation (JI)

Mekanisme IET didasarkan oleh ide pembatasan emisi di

negara-negara Annex I, sedangkan CDM dan JI adalah mekanisme

buku-3-pruf-4.indd 153 3/6/2011 11:32:14 PM

Page 156: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

154

berbasis proyek. Bila CDM diterapkan berdasarkan ide meningkatkan

pembatasan produksi emisi di negara-negara Annex B, maka JI

mempunyai ide yang sama, tetapi diterapkan di negara Annex I.

Jumlah proyek yang telah mendapatkan sertifikat reduksi emisi

dalam mekanisme CDM di Indonesia, hingga Januari 2010 terhitung

hanya enam proyek, sangat kecil dibandingkan Cina dan India yang

berjumlah ratusan.18

Tahun 1988 juga menjadi tahun bersejarah bagi negosiasi

iklim global, ketika Badan Meteorologi Dunia dan UNEP mendirikan

IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). Lembaga ini

ditugaskan untuk menyediakan basis data ilmiah terkait perubahan

iklim, dan menjadi basis negosiasi dalam perundingan di konferensi

UNFCCC.19 Tahun 2007 IPCC dan Al Gore menerima Nobel Perdamaian

atas upaya mereka dalam program perubahan iklim global.

Pada COP-13 di Bali tahun 2007, pemerintah Australia akhirnya

meratifikasi Protokol Kyoto dan resmi mengikatkan dirinya pada

kewajiban pengurangan emisi gas rumah kaca, sedangkan Amerika

Serikat menjadi satu-satunya negara industri di dunia yang belum

meratifikasi protokol. Per-bulan Oktober 2009 atau dua bulan

menjelang COP-15 di Copenhagen, sebanyak 187 pemerintahan

telah resmi meratifikasi protokol.

18 Untuk CDM dan status proyek di seluruh dunia, lihat http://www.cdmpipeline.org / dan http://cdm.unfccc.int/

19 Untuk sejarah lengkap IPCC, lihat http://www.ipcc.ch/, dan sejarah lengkap UNFCCC, lihat, http://www.unfccc.int/

buku-3-pruf-4.indd 154 3/6/2011 11:32:15 PM

Page 157: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

155

PEMERINTAH Indonesia berusaha menunjukkan keseriusannya

menanggulangi dampak perubahan iklim global melalui berbagai

kebijakan. Tahun 2007 pemerintah menyelesaikan Rencana Aksi

Nasional-Menghadapi Perubahan Iklim (RAN-PI) yang memuat

pedoman bagi institusi atau lembaga terkait dalam melaksanakan

berbagai upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

Salah satu kelemahan RAN ini adalah sifatnya yang tidak mengikat,

sehingga kementerian masih dapat mengeluarkan kebijakan yang

menghambat bahkan kontra-produktif terhadap program mitigasi

perubahan iklim.

Hingga kini, paling tidak sudah tercatat empat regulasi yang

diterbitkan Departemen Kehutanan berkaitan dengan perubahan

iklim dan perdagangan karbon. Pertama, Peraturan Menteri

Kehutanan No. P.14/Menhut-II/2004 tentang Tata Cara Aforestasi

dan Reforestasi dalam Kerangka Pembangunan Bersih. Kedua,

Kebijakan Berbasis Perubahan Iklim3

buku-3-pruf-4.indd 155 3/6/2011 11:32:15 PM

Page 158: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

156

Peraturan Menteri Kehutanan No. P.68/Menhut-II/2008 tentang

Penyelenggaraan Demontration Activities Pengurangan Emisi Karbon

dari Deforestasi dan Degradasi Hutan. Ini biasa disebut program

REDD (Reducing Emissions from Deforestation and Degradation).

Ketiga, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.30/Menhut-II/2009

tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi

Hutan. Terakhir, Peraturan Menteri Kehutanan No. P.36/Menhut-

II/2009 tentang Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau

Penyimpanan Karbon pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung.

Peraturan Pemerintah No.46 Tahun 2008 tentang

Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI) yang bertujuan untuk

mengkoordinasikan pelaksanaan pengendalian perubahan iklim dan

untuk memperkuat posisi Indonesia di forum internasional dalam

pengendalian iklim. Dengan pembentukan DNPI, maka koordinasi

program perubahan iklim di tingkat nasional berada di tangan

DNPI dan Presiden.

buku-3-pruf-4.indd 156 3/6/2011 11:32:15 PM

Page 159: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

157

STUDI global yang diungkapkan dalam Stern Report terhadap

dampak perubahan iklim terhadap perekonomian menyimpulkan,

konsekuensi yang timbul dari efek perubahan iklim yang ekstrim

adalah kenaikan nilai belanja antara 5%-20% dari Gross World

Product (Produk Global Bruto).

Apakah program berbasis mitigasi dan adaptasi perubahan

iklim akan menguntungkan atau merugikan perekonomian

Indonesia dan memperlambat pertumbuhan ekonomi saat ini?

Pemerintah Indonesia belum merilis hasil studi khusus tentang

dampak perubahan iklim terhadap aspek-aspek perekonomian

Indonesia, tetapi ADB telah menerbitkan hasil studi serupa tahun

2009, untuk kawasan Asia Tenggara. Kesimpulannya, kawasan Asia

Tenggara kemungkinan menderita perubahan iklim lebih besar

daripada rata-rata global.

Dampak terhadap Perekonomian Nasional

4

buku-3-pruf-4.indd 157 3/6/2011 11:32:15 PM

Page 160: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

158

Asia Tenggara berkontribusi sebanyak 12% terhadap total

emisi gas rumah kaca di dunia pada tahun 2000. Dan dengan

pertumbuhan ekonomi dan populasi yang cepat angka kontribusi

ini diperkirakan akan terus meningkat. Kawasan ini mempunyai

peranan penting dalam pengurangan emisi gas rumah kaca global di

masa mendatang. Dalam skenario emisi tinggi, suhu tahunan rata-

rata di empat negara—Indonesia, Filipina, Thailand, dan Vietnam—

diperkirakan meningkat rata-rata 4,8°C sampai tahun 2100 dari

tingkat suhu rata-rata pada tahun 1990; permukaan laut dunia

rata-rata diperkirakan meningkat 70 sentimeter selama periode

yang sama, dengan konsekuensi yang mengerikan bagi kawasan ini.

Indonesia, Thailand, serta Vietnam diperkirakan akan mengalami

cuaca yang lebih kering dalam 2–3 dekade mendatang.20

Menurut ADB, biaya rata-rata perubahan iklim untuk keempat

negara itu—jika dunia terus “melakukan kegiatan seperti biasanya”

dan jika semua dampak pasar dan bukan pasar dan resiko bencana

besar dipertimbangkan—akan sama dengan hilangnya 6,7% Produk

Domesik Bruto (PDB) setiap tahunnya hingga tahun 2100. Kerugian

ini lebih dari dua kali lipat kerugian rata-rata global. Hingga akhir

abad ini, biaya ekonomi secara keseluruhan per tahun rata-rata

dapat mencapai 2,2% dari PDB jika hanya dampak pasar yang

20 ADB. 2009. Ekonomi Perubahan Iklim di Asia Tenggara: Tinjauan Regional. Intisari. Manila, Filipina, April, 2009.

buku-3-pruf-4.indd 158 3/6/2011 11:32:15 PM

Page 161: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

159

dipertimbangkan; jika dampak non-pasar ikut dihitung maka bisa

mencapai 5,7% dari PDB; dan bisa naik hingga 6,7% dari PDB jika

risiko-risiko bencana besar ikut dihitung. Hal ini terjadi karena

keempat negara tersebut memiliki garis pantai yang relatif panjang,

konsentrasi populasi yang tinggi di daerah pesisir, ketergantungan

yang tinggi akan pertanian dan sumber daya alam, kapasitas

adaptasi yang relatif rendah, dan kebanyakan memiliki iklim tropis

dibandingkan negara-negara lain di dunia. Dengan stabilisasi gas

rumah kaca pada tingkat 450–550 ppm, biaya ekonomi secara

keseluruhan karena pemanasan global menjadi jauh lebih rendah.

Hal ini menunjukkan bahwa biaya jika tidak melakukan tindakan,

dan karenanya manfaat dari melakukan tindakan, bisa sangat besar

di empat negara tersebut.21

Krisis ekonomi Asia tahun 1997-1998 dan krisis ekonomi

global 2007-2009, menawarkan peluang untuk memulai suatu

transisi untuk mewujudkan ekonomi yang tahan iklim dan rendah

karbon di Asia Tenggara. Program-program stimulus hijau dapat

sekaligus menopang ekonomi, menciptakan lapangan kerja,

mengurangi kemiskinan, mengurangi emisi karbon, dan menyiapkan

kawasan secara lebih baik dalam menghadapi pengaruh-pengaruh

perubahan iklim yang terburuk.

21 Idem

buku-3-pruf-4.indd 159 3/6/2011 11:32:15 PM

Page 162: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

160

UPAYA Mitigasi dan Adaptasi perubahan iklim membutuhkan kerjasama yang kuat di antara sektor-sektor pembangunan. Kedua upaya tersebut membutuhkan sumber dana yang cukup besar. Untuk mencapai kepada kondisi tersebut pada tahun 1990, telah dibentuk Komisi Nasional Perubahan Iklim (melalui Kepmen No. 07/MENKLH/1/1990 tentang Pembentukan Komite Pemantauan dan Evaluasi Dampak Perubahan Iklim pada Lingkungan). Pada Tahun 1992 komite tersebut dibubarkan dan diganti berdasarkan Kepmen No. 35/MENKLH/8/1992 tentang Pembentukan Kelompok Kerja Komite Nasional Iklim dan Lingkungan yang bertujuan untuk meningkatkan kelancaran pelaksanaan tugas-tugas di bidang lingkungan hidup dan dampaknya. Bulan April 2003, Kementrian Negara Lingkungan Hidup kembali membentuk Komisi Nasional dan Tim Teknis Perubahan Iklim (Kepmen No. 53 Tahun 2003) dalam rangka mengantisipasi perubahan iklim di tingkat tingkat dan koordinasi serta kerjasama berbagai pemangku kepentingan.

Dampak penting perubahan iklim terhadap kehidupan dan pembangunan, telah mendorong Presiden Susilo Bambang

Peranan Stakeholder Utama5

buku-3-pruf-4.indd 160 3/6/2011 11:32:15 PM

Page 163: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

161

Yudhoyono menetapkan Peraturan Presiden No. 46 Tahun 2008 tentang Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Otoritas nasional untuk mengintegrasikan rencana, strategi dan implementasi program terkait perubahan iklim dan pengawasannya, berada di tangan DNPI yang diketuai langsung Presiden Republik Indonesia. Dewan ini adalah koordinator tingkat nasional untuk seluruh sektor strategis pembangunan dalam mengarus-utamakan (mainstreaming) program-program berbasis perubahan iklim.

Berpedoman RAN-PI, para menteri atau pemimpin lembaga negara dapat menyusun sendiri rencana aksi kementeriannya, yang disesuaikan dengan rencana aksi nasional. Di dalam era otonomi daerah, dimungkinkan pula gubernur atau bupati membentuk sebuah lembaga seperti DNPI menyusun cetak biru program tentang perubahan iklim dan memberi masukan untuk tingkat daerah.

Selain DNPI, ada pula Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang tugas pokoknya antara lain menyusun dan merumuskan kebijakan pembangunan nasional. Pertengahan tahun 2009, Bappenas menerbitkan Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR) yang merupakan dokumen strategi adaptasi dan mitigasi perubahan iklim untuk sembilan sektor pemerintahan seperti kehutanan, energi, industri, kesehatan, transportasi, limbah, pertanian, perikanan dan kelautan, dan sumberdaya air. Strategi itu diharapkan menjadi acuan bagi pemerintah pusat dan daerah dalam menyusun kebijakan terkait perubahan iklim. 22

22 Lihat, Bappenas. 2009. Indonesia Climate Change Sectoral Roadmap (ICCSR), Synthesis Report. Jakarta, December,2009.

buku-3-pruf-4.indd 161 3/6/2011 11:32:15 PM

Page 164: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

162

SALAH satu dokumen penting yang dihasilkan oleh Bali Road Map

adalah Bali Action Plan yang antara lain memuat NAMA (Nationally Appropriate Mitigation Action), yang merujuk pada serangkaian

tindakan kebijakan dan aksi dari pemerintah untuk mengurangi

emisi gas-gas rumah kaca. Implementasi NAMA berbeda-

beda setiap negara, sesuai prinsip “common but differentiate responsibilities and respective capabilities”. Fokus NAMA

Indonesia adalah mengintegrasikan kebijakan berbasis perubahan

iklim dengan aspek-aspek pembangunan ekonomi lainnya yang

berbasis pro growth, pro job, pro poor dan pro environment. Kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan di bawah NAMA antara lain

pemantauan pengurangan emisi (pengurangan lahan kritis hingga

51% pada tahun 2012), menambah sumber-sumber energi ramah

lingkungan dalam bauran energi nasional seperti geothermal, untuk

mengurangi emisi sektor energi sebesar 17% pada tahun 2025, dan

konversi limbah menjadi energi. Program lain adalah meningkatkan

NAMA dan Target Emisi6

buku-3-pruf-4.indd 162 3/6/2011 11:32:15 PM

Page 165: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

163

partisipasi swasta dalam CDM, dan program pengelolaan pesisir dan kelautan secara integratif.23

Dalam pertemuan G-20 di Pittsburgh Amerika Serikat tahun 2009, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi secara sukarela sebesar 26 % pada tahun 2020, berbasis tingkat emisi tahun 2005. Komitmen ini lebih tinggi dari Jepang dan Australia (25%) bahkan dari Amerika Serikat (17%). Pemerintah memiliki tujuh sektor prioritas penurunan emisi sampai tahun 2020 yaitu sektor energi yang diupayakan mampu menurunkan emisi karbon sebesar 1 persen. Sektor transportasi dan industri yang diperkirakan mendukung penurunan emisi karbon masing-masing 0,3 persen dan 0,01 persen. Lalu ada pula sektor pertanian yang diharapkan menyumbang penurunan emisi sebesar 0,3 persen, sektor kehutanan 13,3 persen, pengelolaan limbah 1,6 persen dan pengelolaan lahan gambut yang bisa mencapai 9,6 persen. Menurut perhitungan Bappenas, penurunan emisi karbon hingga 26 persen pada 2020 membutuhkan dana Rp 83,3 triliun. Dalam skenario pemerintah, bila target itu dibantu oleh negara lain, lembaga donor internasional dan dana program tanggung jawab sosial perusahaan (CSR), maka

pengurangan emisi karbon bisa mencapai 41% pada 2020.24

23 Bratasida, Liana. 2008. What is ‘nationally appropriate mitigation action?’. Presentation at OECD Annex I Expert Group, Paris, May 5-6 2008.

24 http://www.antaranews.com/berita/1261581375/penurunan-emisi-26-persen-butuh-rp83-3-triliun

buku-3-pruf-4.indd 163 3/6/2011 11:32:15 PM

Page 166: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

164

BANYAK NGO yang terlibat dalam menangani masalah-masalah

perubahan iklim dan dampaknya di Indonesia, baik pada tingkat

kebijakan maupun aktivitas di akar rumput. Beberapa di antara

NGO-NGO utama itu adalah:

WWF Indonesia, telah berada di Indonesia sejak tahun 1961

dan merupakan salah satu NGO lingkungan terbesar dan terlama

yang beroperasi di Indonesia. Lembaga konservasi ini memiliki 25

kantor perwakilan area tersebar di seluruh Indonesia, dan memiliki

berbagai program antisipasi perubahan iklim, misalnya program

restorasi lahan gambut di Taman Nasional Sebangau, Kalimatan

Tengah. WWF juga mendorong adanya pemanfaatan energi yang

lebih ramah lingkungan, dan perlindungan spesies.

Program WWF yang paling lama dan paling terkenal adalah

proteksi kawasan hutan tropis di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi,

PerananNGO7

buku-3-pruf-4.indd 164 3/6/2011 11:32:16 PM

Page 167: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

165

dan Papua, untuk mengurangi illegal logging, program sertifikasi

hutan, dan mencegah konversi hutan yang bernilai konservasi

tinggi (HCVF). Mereka juga bekerjasama erat dengan kelompok

masyarakat sipil, seperti masyarakat adat, media-massa, dan

berbagai institusi pendidikan.

The Nature Conservancy (TNC), baru saja menyelesaikan

model penerapan REDD di kawasan hutan Berau, Kalimantan Timur.

Hasil evaluasinya akan diserahkan kepada Kementerian Kehutanan

agar dapat dipakai sebagai model REDD di Indonesia. Program

prestisius yang dilaksanakan TNC di Indonesia adalah peluncuran

Coral Triangle Initiative (CTI) pada bulan Mei, 2009 yang merupakan

program enam negara untuk melindungi kawasan laut terkaya di

dunia. The Conservancy juga masih aktif melakukan penelitian

di berbagai kawasan perairan laut Indonesia, dan membantu

pemerintah dengan menyediakan dana, staf ahli, manajemen, data,

dan informasi ilmiah yang diperlukan untuk melindungi kawasan

yang memiliki sensitivitas ekologis tinggi.

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) adalah NGO

yang didirikan tahun 1999 dan khusus menangani masalah-

masalah yang berkaitan dengan masyarakat adat, terutama

berhubungan dengan tuntutan kedaulatan ekonomi, budaya,

dan politik. Di tingkat internasional, AMAN diakui oleh forum

permanen PBB untuk masalah-masalah masyarakat adat. Dalam

isu perubahan iklim, AMAN menuntut pemerintah Indonesia untuk

buku-3-pruf-4.indd 165 3/6/2011 11:32:16 PM

Page 168: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

166

menyelesaikan berbagai masalah-masalah terkait masyarakat adat

sebelum pelaksanaan berbagai mekanisme yang diputuskan dalam

negosiasi iklim seperti REDD dan REDD Plus. Anggota AMAN

saat ini mencapai 1.163 komunitas masyarakat, dan mengklaim

mewakili lebih dari 17 juta anggota. Dalam nota kesepahaman

tentang hibah US$ 1 miliar antara Pemerintah Indonesia dengan

Pemerintah Norwegia, AMAN adalah salah satu NGO yang dimintai

pendapat dan pertimbangannya.

Greenpeace Indonesia, dikenal karena aksi-aksi langsung di

lapangan. Greenpeace Indonesia berafiliasi dari Grenpeace Asia dan

Greenpeace International. Kampanye Greenpeace yang terkenal

di Indonesia adalah upaya mereka menghentikan pembangunan

pembangkit listrik bertenaga batubara, dan kampanye mencegah

konversi hutan tropis dan lahan gambut menjadi perkebunan

kelapa sawit. Kedua kampanye ini telah membawa dampak

internasional yang sangat luas terhadap produksi minyak sawit

maupun para pembelinya di luar negeri. Tekanan Greenpeace

sangat kuat terhadap pasar internasional, agar menolak produk-

produk yang dihasilkan dengan cara menghancurkan hutan tropis

dan melepaskan lebih banyak emisi karbon. Tekanan Greenpeace

Indonesia juga membantu munculnya komitmen Presiden untuk

melakukan moratorium penebangan hutan alam dan pembukaan

lahan gambut mulai tahun 2011.

Civil Society Forum (CSF), adalah gabungan dari 23 NGO

dan dibentuk menjelang berlangsungnya COP-13 di Bali tahun

buku-3-pruf-4.indd 166 3/6/2011 11:32:16 PM

Page 169: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

167

2007. Beberapa NGO yang bergabung ke CSF antara lain Wahana

Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Sawit Watch, Koalisi Rakyat

untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Yayasan Telapak, Lembaga Alam

Tropika (Latin), Indonesian Center for Environmental Law (ICEL), dan

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam). Isu-isu yang ditangani CSF

umumnya berkaitan dengan keadilan iklim, termasuk didalamnya

isu-isu seperti hutang iklim (climate debt), produksi dan konsumsi,

dan hak asasi manusia. Dalam beberapa isu, sikap CSF sangat keras

terutama menyangkut penolakan kebijakan hutang luar negeri

untuk membiayai program perubahan iklim.

buku-3-pruf-4.indd 167 3/6/2011 11:32:16 PM

Page 170: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

168

Adaptasi Tindakan penyesuaian oleh sistem alam

atau manusia yang berupaya mengurangi

kerusakan terhadap dampak yang ditimbulkan

oleh perubahan iklim

Antropogenik Buatan manusia atau kejadian yang

disebabkan oleh manusia

Atmosfer Lapisan gas yang melingkupi satu planet,

seperti bumi.

Perubahan Iklim Perubahan rata-rata jangka panjang yang

ditentukan oleh nilai tengah parameter

cuaca dalam mengukur kondisi iklim dan

variabilitasnya. Parameter tersebut antara

lain termasuk suhu udara, curah hujan, dan

kecepatan angin

Glossary

buku-3-pruf-4.indd 168 3/6/2011 11:32:16 PM

Page 171: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

169

Bali Road Map Dikenal pula sebagai Peta Jalan Bali adalah

dokumen kesepakatan aksi yang dihasilkan

sidang COP-13/UNFCCC tahun 2007 di

Bali, yang terdiri dari lima hal pokok yaitu

komitmen pasca 2012, adaptasi, tranfer

teknologi, REDD, dan CDM

CDM Clean Development Mechanism atau

Mekanisme Pembangunan Bersih adalah

mekanisme dalam Protokol Kyoto yang

membantu negara-negara industri untuk

memenuhi target pernurunan emisi dan

membantu negara-negara berkembang

untuk mencapai tujuan pembangunan

berkelanjutan.

Efek Rumah Kaca Dampak yang ditimbulkan gas rumah kaca

ketika menahan radiasi balik matahari yang

dipancarkan bumi dalam bentuk panas

sehingga memanaskan atmosfer bumi

Gas Rumah Kaca (GRK) Gas-gas yang menyebabkan terjadinya efek

rumah kaca. Beberapa GRK utama di atmosfer

adalah uap air (H2O), karbon dioksida (CO2),

metana (CH4), ozon (O3), dinitrogen oksida

(N2O), dan chlorofluorocarbon (CFC)

buku-3-pruf-4.indd 169 3/6/2011 11:32:16 PM

Page 172: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

170

IPCC Intergovernmental Panel on Climate Change,

terdiri atas panel ahli yang dibentuk oleh

gabungan badan-badan PBB, dan terdiri dari

para ahli berbagai ilmu yang berhubungan

dengan perubahan iklim, dan bertanggung

jawab untuk memberikan informasi dan basis

ilmiah untuk UNFCCC.

Mitigasi Tindakan untuk mengurangi emisi GRK dan

untuk meningkatkan penyimpanan karbon

dalam rangka mengatasi perubahan iklim

NAMA Nationally Appropriate Mitigation Action atau

Aksi Mitigasi yang Layak secara Nasional,

adalah tindakan sukarela yang dilakukan oleh

negara berkembang untuk mengurangi emisi

karbonnya sejalan dengan konteks ekonomi,

lingkungan, sosial, dan politik negara

tersebut.

PDB Produk Domestik Bruto adalah perangkat ukur

pendapatan nasional dengan memasukkan

nilai semua barang dan jasa yang diproduksi

oleh suatu negara pada periode tertentu

REDD Reducing Emission from Deforestation and

Forest Degradation, sebuah mekanisme

buku-3-pruf-4.indd 170 3/6/2011 11:32:16 PM

Page 173: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

171

untuk mengurangi emisi GRK dengan cara

memberikan kompensasi kepada pihak-pihak

yang melakukan pencegahan deforestasi dan

degradasi hutan

REDD Plus Kerangka kerja REDD yang lebih luas dengan

memasukkan konservasi hutan, pengolahan

hutan lestari atau peningkatan cadangan

karbon agar partisipasi untuk menerapkan

REDD semakin luas serta untuk memberikan

penghargaan kepada negara-negara yang

sudah melindungi hutannya

Protokol Kyoto Kesepakatan internasional agar negara-

negara industri dapat mengurangi emisi GRK

secara kolektif sebesar 5,2 persen selama

periode 2008-2012 berdasarkan tingkat emisi

tahun 1990

UNFCCC United Nations Framework Convention on

Climate Change atau Konvensi PBB untuk

Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim

adalah penjanjian yang disepakati tahun

1992 untuk mendesak negara-negara yang

berkepentingan agar menstabilkan GRK pada

tingkat yang tidak membahayakan manusia.

buku-3-pruf-4.indd 171 3/6/2011 11:32:16 PM

Page 174: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

Fabby Tumiwa lahir di Manado pada tahun 1976. Fabby berlatar belakang pendidikan teknik elektro dari Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Mendirikan Institute for Essential Services Reform (IESR) pada tahun 2007 dan saat ini menjabat sebagai Direktur Eksekutif.

Sebelum bergabung dengan IESR, Fabby sempat berkiprah di sejumlah organisasi non-pemerintah (NGO) di Indonesia. Dia selama ini juga dikenal publik sebagai ahli analisa energi dan ketenagalistrikan Indonesia. Komentar, tulisan serta analisanya juga dipublikasikan di berbagai media baik cetak dan elektronik, selain diundang sebagai nara sumber di berbagai seminar dan konferensi internasional.

Kurnya Roesad adalah penerima beasiswa PhD di Environment and Resource Management Program at the Crawford School of Economics and Government, Australian National University (ANU). Ia juga penerima penghargaan Australian Leadership. Ruang lingkup penelitiannya adalah ekonomi lingkungan dan kebijakan energi. Terkait dengan studi PhDnya, ia sempat bekerja di Jakarta sebagai peneliti di Centre for Strategic and International Studies (CSIS) dan kemudian menjadi ekonom di kantor World Bank.

Mubariq Ahmad mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi di Universitas Indonesia pada tahun 1985, kemudian mendapatkan gelar Master International Trade and Finance dari Columbia University pada tahun 1990 dan mendapatkan gelar Ph.D dalam bidang Natural Resources and Environmental Economics di Michigan State University pada tahun 1997. Sejak tahun 2009 sampai saat ini, Mubariq Ahmad menjadi konsultan/penasehat senior untuk bidang Kebijakan Perubahan Iklim di World Bank cabang Jakarta. Sebelumnya Mubariq aktif terlibat dalam berbagai proyek dan institusi internasional seperti menjadi Direktur Eksekutif WWF Indonesia dan Indonesian Eco-labelling Institutes, serta mengepalai proyek Manajemen Sumber Daya Natural yang dibiayai oleh USAID.

IGG Maha Adi, adalah salah satu pendiri dan sekarang menjabat sebagai Direktur Eksekutif Society of Indonesian Environmental Journalists (SIEJ). Setelah menamatkan sarjana Ilmu dan Teknologi Kelautan IPB, ia berkarir sebagai wartawan di Majalah Tempo dan editor di majalah National Geographic-Indonesia.

Tahun 2010 ia mendapatkan gelar master ilmu lingkungan dari Universitas Indonesia, dan sekarang mengajar berbagai pelatihan di bidang komunikasi lingkungan dan jurnalisme lingkungan serta penulis lepas.

Page 175: Kertas Kebijakaan Strategi pembangunan Indonesia dalam menghadapi perubahan iklim: status dan kebijakan saat ini

Friedrich-Naumann-Stiftung (FNS) didirikan pada 1958 oleh Presiden pertama Republik Federal Jerman, Theodor-Heuss. Ia menamakan lembaga ini sesuai dengan nama seorang pemikir Jerman, Friedrich-Naumann (1860-1919), yang memperkenalkan pendidikan kewarganegaraan di Jerman untuk mewujudkan warga yang sadar dan terdidik secara politik.

FNS mengawali kegiatannya di Indonesia pada 1969 dan memulai kerja sama resminya dengan pemerintah Indonesia sejak 26 April 1971. FNS membagi pengetahuan dan nasihat kepada para politisi, pembuat keputusan, masyarakat sipil, dan masyarakat secara umum. Lembaga ini bekerja sama dengan lembaga-lembaga pemerintahan, organisasi masyarakat dan institusi-institusi pendidikan untuk berbagi pengetahuan dan membantu menciptakan perubahan yang positif dan damai pada masyarakat di negara-negara itu.

KERTAS KEBIJAKAN

Friedrich-Naumann-Stiftung für die FreiheitJl. Rajasa II No. 7, Kebayoran Baru, Jakarta 12110

p. +62 21 725 6012-13 f. +62 21 7203868

email. [email protected]

www. fnsindonesia.org

Kata Pengantar oleh Prof. Ir. Rachmat Witoelar (Ketua Harian Dewan Nasional Perubahan Iklim)

Strategi Pembangunan IndonesiaMenghadapi Perubahan Iklim:Status dan Kebijakan Saat Ini